http://facebook.com/indonesiapustaka 9Goenawan Mohamad
PusCaattatDanatPain&ggairn6alisa TEMPiOii
Kumpulan tulisan 9
GOENAWAN MOHAMAD
di majalah Tempo, Juli 2007-Desember 2010
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 9 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii Catatan Pinggir 9
9GOENAWAN MOHAMAD
http://facebook.com/indonesiapustaka PUSAT DATA & ANALISA TEMPO
Catatan Pinggir 9 iii
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 9
© Goenawan Mohamad
Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo, Juli 2007 - Desember 2010
Kata pengantar: F. Budi Hardiman
Editor bahasa: Dewi Kartika Teguh W., H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Korektor dan Indeks: Ade Subrata, Danni Muhadiansyah, Dina Andriani,
Driyandono Adi
Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo
Cetakan Pertama, 2011
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 9
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011
xxii + 776 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-602-9065-38-4
Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
iv Catatan Pinggir 9
Daftar Isi
http://facebook.com/indonesiapustaka xi Pengantar
1 Gubernur
5 Mereka
9 Murtad
13 Atheis (1)
17 Bergman
21 Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945
27 Formula
31 Turki
35 Ong
39 11/9
43 Puasa
47 Gestapu
51 Myanmar
55 Švejk
59 Po Kyin
63 Pulang
67 Sepatu Tua
71 Kresna
75 Macet
79 Bendera
83 Bolong
87 Hijau
91 Minoritas
95 Rakus (1)
99 Langka
Catatan Pinggir 9 v
http://facebook.com/indonesiapustaka 2008
105 Bhutto
109 Cermin
113 Bento
117 Slamet
121 Sensor
125 Kayon
129 Puing
133 Da Vinci
137 Obama
141 Fouda
145 Dering Itu
149 Melayu
153 Harmoko
157 Negeri Asal
161 Fitna
165 Kaligrafi
169 Hoppla!
173 Ini Pagi, Kata Kartini
177 Mak
181 Ta’ayush
185 B.O.
189 Aladin
193 Jalan
197 BBM
201 Indonesia (1)
205 Gua
209 DD
213 Mikropolitik
217 La Police
221 Gerai
225 Api, Laut
vi Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 229 El Cambio
233 Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
239 Tahanan
243 Bintang
247 Perang
251 Mukjizat
255 Zilot
259 Rakus (2)
263 Ulysses
267 ”In the Wee Small Hours”
271 Pleonoxia
275 Tawa
279 Kaki Langit
281 Obama, 2008
287 Di Zaman yang Meleset
293 Mumbai
297 Fortinbras
301 Pelacur
305 Pizarro
2009
311 Transformasi
315 Diburu
319 Sisiphus
323 Pohon
327 Badri
331 Potret
335 Y.D. (1944-2009)
343 Darwin
347 Cebolang
351 Mono
355 Sjahrir di Pantai
363 Bukan-Pasar
Catatan Pinggir 9 vii
http://facebook.com/indonesiapustaka 367 Tiga Fantasi
371 Karnivalesk
375 Herman
379 Politik-P
383 Estaba la Madre
387 Tiga Nenek Sihir
391 Neo-Liberal
395 Thersites
399 Untuk Boediono: Sebuah Titipan
dari Sebuah Gedung Bersejarah
405 Blangkon
409 Bukan-Jawa
413 Memihak
417 Berbagi
421 Debat
425 Kamar
429 Monumen
433 Tentang Rakyat
437 Teror Itu
441 Politesse
445 Si Buntung
449 Rendra, (1935-...)
457 Indonesia (2)
461 Padri
465 Modernitas
469 Yudistira
473 Krisis
477 Nama Itu
481 Perajam
485 KPK
489 Kastil
493 Des
viii Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 497 Erasmus
501 Eumenides
505 Cicak & Buaya
509 Watchmen
513 Cesare
517 Melodrama
521 Pintu
525 Recehan
529 Macbeth
2010
535 Trowulan
539 Usinara
543 Gus Dur
547 Januari
551 Kata
555 Atticus
557 Cap
561 Benda-benda
565 Émile
569 Sang Militan
573 Percakapan
577 Sopir
581 Persis
585 Di Yerusalem
589 Paskah
593 San-Dek
597 Diri
601 Buku
605 Proletariat
609 Cul-de-Sac
613 Gelap
617 Tertib
Catatan Pinggir 9 ix
http://facebook.com/indonesiapustaka 621 Waiçak
625 Untuk Rachel Corrie
631 Juni
635 Pemimpin
639 Rumah
643 Repetisi
647 Atheis (2)
651 14 Juli 1789
655 Anak
659 Ahmadiyah
663 Manifes
667 Daging
671 Majenun
675 Ampun
679 Nama, atau Mengapa Juliet Salah
685 ”Roh”, ”Api”, Kata Bung Karno
691 Si Ayam
695 Guna
699 Baik
703 Yang-Lain
707 Asterix
711 Teater
715 Kanvas
719 Maridjan
723 Des
727 Ibrahim
731 Orakel
735 Pencerahan
739 Primordialisme
743 Dari Suatu Hari yang Pendek di Yogyakarta
751 Indeks
x Catatan Pinggir 9
Coretan Sang Pelintas Batas
http://facebook.com/indonesiapustaka F. Budi Hardiman
Esai-esai yang secara rutin dimuat dalam majalah Tempo
dengan nama Catatan Pinggir ini salah satu karya tulis yang
paling menarik di negeri ini. Majalah itu memuat berita, yaitu
berb icara dari perspektif pengamat, dan memang demikianlah
berita sebagai berita sedapat mungkin berbicara dari perspektif
penga mat. Catatan Pinggir merupakan satu-satunya bagian dari
majalah itu yang dengan leluasa beralih-alih perspektif, kadang
dari perspektif pengamat dan kadang dari perspektif pelaku, ka
dang si ”saya” muncul dan kadang si ”dia”. Berita sebagai berita se
dapat mungkin jauh dari mitos, alegori, metafor, dan mendekati
faktum, tetapi Catatan Pinggir membangun sebuah jembatan ra-
hasia antara faktum dan mitos, antara deskripsi dan alegori. Itu-
lah cara bagaimana esai-esai itu menjadi obat kepicikan. Seusai
membacanya, pengetahuan kita tentang banyak hal—tokoh, ka-
sus, sejarah, dst.—bertambah seiring dengan bertambah kayanya
cara lihat yang ditawarkannya.
Penulisnya sudah menuturkan puluhan cerita yang dibaca, di-
ingat, dan digalinya dari berbagai tradisi, entah itu filsafat dari
masa silam yang sudah sayup-sayup di telinga, sisi sejarah dinasti
Barat atau Timur yang dikenal atau kerap diabaikan dalam histo-
riografi, narasi kekuasaan yang masih bising di telinga kita, atau
apa saja yang hendak dikomentari penulisnya. Tanpa canggung
ia pindah dari kitab suci agama yang satu ke kitab suci agama
yang lain untuk memberikan semacam ”pencerahan eksistensi
al”atas sebuah topik, seolah untuk menghindarkan kita menja
dihomo unius libri1 yang picik memandang dunia. Argumentasi
para filsuf Barat pun dimanfaatkan secara piawai, bahkan sam-
Catatan Pinggir 9 xi
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
pai pikiran sang filsuf sendiri menjadi jelas. Suatu saat faktum
dibeberkan. Di saat lain film cerita, mitos, alegori, dan metafor
dik isahkan. Akan tetapi, setelah membaca bagian-bagian berita
dari majalah itu, pembaca akan segera mengerti bahwa penulis ti-
dak membiarkan jurang antara fiksi dan realitas tetap menganga.
Mitos yang dikisahkannya itu kadang terhubung dengan faktum
yang diberitakan di negeri ini. Mitos dan metafor seolah dibiar-
kan penulisnya untuk berbicara tentang fakta yang diberitakan,
agar pembaca dapat menemukan bagaimana kebijaksanaan yang
mengendap di dalam fiksi itu mencerahi realitas yang diberita-
kan.
Kita tahu, penulisnya, Goenawan Mohamad, adalah seorang
wartawan dan sekaligus penyair. Bahwa penyair menuturkan mi-
tos, narasi, alegori, atau metafor tidaklah mengherankan. Kita ju
ga tidak heran bahwa wartawan melaporkan faktum. Kedua pro-
fesi tersebut mengenali batas-batas kawasan mereka masing-ma-
sing. Lalu, apa yang dapat dikatakan mengenai seorang penulis
yang menuturkan mitos dengan maksud mengomentari faktum
atau melaporkan faktum dengan membangun jembatan rahasia
ke kawasan mitos? Penulis Catatan Pinggir adalah seorang pelin
tasbatas atau seorang—seperti disebut orang Jerman—Grenz
gänger. Sebutan serupa pernah diberikan untuk filsuf Prancis,
Jacques Derrida, oleh Wolfgang Welsch, karena pemikiran Der-
rida bergerak di antara metafisika dan sesuatu di luarnya, yaitu
dalam tegangan di antara keduanya, persis di pinggiran.2 Kita
mempunyai Goenawan yang berpikir dalam tegangan antara ka-
wasan faktum dan kawasan fiksi, alegori, metafor, mitos, sastra.
Seorang pelintas batas bukanlah seseorang yang tidak tahu
1 Arti pepatah Latin ini adalah ”orang dari satu buku”. Yang dimaksud adalah seseorang yang tidak me-
miliki pengetahuan selain dari satu buku yang ia miliki.
2 Lih. Welsch, Wolfgang, Vernunft. Die Zeitgenőssische Vernunftkritik und das Konzept der transversalen
Vernunft, Suhrkamp, Frankfurt a.M., hlm. 247.
xii Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
batas. Dia tahu batas, maka dia dapat melintasinya. Batas tentu
dapat dilintasi tanpa pengetahuan, yaitu secara tidak sengaja, te
tapi dengan cara itu batas dilintasi hanya secara obyektif, semen-
tara secara subyektif tidak pernah terjadi pelintasan batas. Goena
wan tidak ingin melintasi batas hanya secara obyektif, tetapi juga
secara subyektif, yaitu dengan sengaja. Dia ”bermain di antara”
kedua kawasan yang selama ini dijaga ketat dalam pikiran orang
banyak. Dan hal ini sebuah kesengajaan. Dengan sengaja posisi
tidak ditegaskan sejak awal, karena ”bermain di antara” berarti
beralih-alih posisi. Dengan sengaja solusi juga tidak dijanjikan se-
jak awal, karena solusi adalah bagian keseriusan yang tentu asing
bagi permainan. Seperti Sokrates, penulis Catatan Pinggir kerap
mengakhiri tuturannya dengan pertanyaan atau kesangsian. Da
lam ”Perajam” (4 Oktober 2009), misalnya, tuturan tentang kisah
hukum rajam dalam Injil yang awalnya menggiring kita pada
pend irian bahwa person adalah sentral dalam agama diakhiri de-
ngan sebuah enigma: ”Tapi kepada siapakah sebenarnya agama
berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing?
Atau kepada ’gerombolan’? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus
membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia
berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat
itu tak berteriak.” Goenawan tahu betul apa artinya aporia yang
mengh adang di ujung lorong panjang dan berkelok dari pencari-
an suatu jawaban final. Dengan demikian, permainannya adalah
sebuah keseriusan yang patut mendapat perhatian kita.
Pertanyaan dan kesangsian yang diletakkan di akhir esainya
secara tersirat mengundang pembaca untuk terbuka terhadap pe
ristiwa. Teks-teks berita yang memenuhi halaman-halaman sebe
lumnya dalam majalah Tempo bukanlah peristiwa, melainkan
laporan tentangnya. Dengan menyebut sebuah laporan sebagai
faktum, peristiwa seolah dibekukan sebagai obyek-obyek yang
dap at diamati. Ketidakterdugaan yang menandai setiap hal yang
Catatan Pinggir 9 xiii
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
berciri peristiwa seolah dapat dijelaskan sebagai hal-hal yang ter-
duga. Faktum membuat kita tidak bertanya-tanya lagi karena se-
olah tidak dapat muncul lagi hal tak terduga. Suatu dunia yang
seluruhnya dapat dijelaskan atau sepenuhnya dapat diantisipasi
adalah sebuah dunia yang tidak memberi tempat untuk peristiwa,
sebuah dunia yang untuk seorang penyair pasti menjemukandan
bahkan mengerikan. Peradaban telah mencapai banyak prestasi
untuk mengusir peristiwa: sains, teknik, birokrasi, dan jurnalis
me. Diletakkan pada akhir majalah itu, Catatan Pinggir seolah
membebaskan kembali peristiwa dari kerangkeng laporan-lapor
an atasnya yang dianggap faktual dalam jurnalisme. Sang pelin-
tas batas mendekonstruksi tatanan fakta yang dilaporkan sebe-
lumnya untuk menginsafi kembali ”yang serba mungkin” yang
telah dipaksa berhenti dalam kerangkeng laporan-laporan itu.
Istilah ”catatan pinggir” itu sendiri sudah menyiratkan kodrat
tulisan ini. Catatan-catatan yang bisa berupa komentar singkat,
kode, coretan, acuan, tanda-tanda baca, dst. biasanya ditulis di
pinggiran halaman buku yang sedang dibaca. Peneliti yang biasa
bekerja dengan banyak buku akan sangat tertolong dengan mem-
berikan catatan-catatan di pinggir halaman buku yang diteliti
nya.Apa saja isinya? Segala yang mungkin ditulis, asal singkat.
Catatan-catatan itu bisa menyimpan memori, prapemikiran,
atau embrio argumen peneliti yang bisa saja mempersoalkan, me-
nyanggah, atau—lebih tepat—menunda keyakinan-keyakinan
yang ditulis dalam buku itu. Secara semiotis dapat dikatakan
bahwa catatan-catatan di pinggir buku itu menentang rezim
makn a yang menjadi hegemonial dalam buku itu. Sementara se-
buah buku lahir prematur, yaitu selesai sebelum waktunya, kare-
na pengarang sebenarnya juga tidak pernah merasa cukupuntuk
menulis, catatan pinggir adalah tulisan yang menunda penyele
saia n. ”Buku-buku yang paling berguna,” demikian tulis Vol
taire, ”adalah buku-buku yang mengajak pembaca untuk me-
xiv Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
lengkapinya.”3
Seandainya dipaksa untuk menjelaskan posisi, satu-satunya
deskripsi yang lumayan kena untuk posisi penulis Catatan Ping-
gir adalah bergerak di pinggiran, yaitu menunda penyelesaian.
Rezim-rezim politis silih berganti seperti gelombang-gelombang,
dan seperti perahu layar esai-esai Goenawan mengarungi zaman
lewat embusan roh zaman menyertai gelombang-gelombang itu.
Cara lihat ini juga bisa dicoba: jika politik adalah sebuah perja
lanan menembus berbagai medan menuju entah ke mana, esai-
esaiitu dapat dianggap sebagai coretan-coretan pada pepohonan,
tebing, dan semak yang telah dilalui. Pada coretan-coretan itu ki
ta mungkin dapat menemukan jalan untuk kembali. Dari yang
telah lewat mungkin juga petunjuk ke depan dapat diperoleh.
Nam un jangan berharap untuk mengetahui tujuan entah itu
punc ak atau lembah karena si pencoret tidak meninggalkan apa-
apa selain isyarat untuk terus pergi.
***
Apa saja yang dibahas di dalamnya? Catatan Pinggir berbi-
cara tentang hampir semua persoalan penting yang gaduh dibi-
carakan di dalam republik kita. Buku ini merupakan kumpulan
esai Goenawan dalam Tempo yang merentang selama lebih dari
tiga tahun, yaitu dari Juli 2007 sampai Desember 2010. Pembac a
kumpulan ini tidak hanya segera akan menangkap keluasan dan
kedalaman pengetahuan penulisnya, tetapi juga akan takjub de
ngan stamina intelektual yang dibuktikan Goenawan untuk me
lahirkan tulisan-tulisan yang penuh variasi dan tidak menjemu
kan ini. Bukan hanya itu, jika berasal dari mazhab akademis yang
ketat, pembaca tentu akan tertantang dengan metode yang ju
gabermacam-macam yang dipilihnya. Di sana, misalnya, tidak
han ya ada impresi-impresi situasi, alegori-alegori, atau bahkan
3 Lih. Knischek, Stefan, Lebensweisheiten berűhmter Philosophen, Humbolt, Műnchen, 2000, hlm. 165.
Catatan Pinggir 9 xv
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
semacam celotehan di kafe, tapi juga psikoanalisis, hermeneu-
tik, dekonstruksi, kritik ideologi, semiotik, sejarah filsafat, dst.
Tidak cukup hanya polifonik dengan pemakaian berbagai istilah
asing, karena biasa ”bermain di antara”, Goenawan juga adalah
seseorang yang polimorfis dalam menyiangi kulit gejala yang ber
lapis-lapis. Pembaca dapat ikut melihat dunia dari perspektif se
macam compound eyes dalam penulisan, sehingga cukup diyakin
kan bahwa cara melihat itu tidak tunggal, tetapi banyak.
Kiranya buku ini dapat kita mulai dari mana saja justru karena
esai-esai itu dapat dibaca lepas satu sama lain. Klasifikasi tematis
pun tidak dapat diseragamkan karena komentator yang berbeda-
beda dapat menemukan klasifikasi yang berbeda-beda pula. Goe-
nawan banyak mengulas tokoh-tokoh sejarah kita, seperti Tan
Malaka, Muhammad Yamin, Wahidin, dan Sukarno, dan cukup
sering bercerita tentang seniman dan budayawan. Dalam hal ini
sejarawan dan politikus pasti punya urusan tersendiri dengan
Goenawan. Karena area keterlibatan saya adalah penulisan dan
penga jaran filsafat, saya sendiri cenderung memperhatikan topik-
topik yang dekat dengan filsafat. Di sini saya mengambil segelin
tircontoh.
Beberapa Catatan Pinggir langsung atau tak langsung bersen-
tuhan dengan persoalan ”metodologis”. ”Cicak dan Buaya” (15
Nov ember 2009), misalnya, adalah sebuah tilikan psikoanalisis
Freud. Jika bukan praktek dekonstruksi, ”Watchmen” (22 No-
vember 2009) setidaknya merupakan penjelasan ilustratif ten-
tang apa itu dekonstruksi. Semacam metode Entmythologisierung
(demitologisasi) ala Bultmann yang masih saja menyulut kontro
versi teologis juga ada di sini dalam kombinasi ganjil dengan Zi
zek, seperti dapat dicermati dalam ”Paskah” (11 April 2010). Bah-
kan Ideologiekritik yang dulu dibidikkan Horkheimer dan tim-
nya ke arah Aufklärung dalam ”Modernitas” (6 September 2009)
menemukan target lokalnya: ”Pramoedya dan Tan Malaka begi
xvi Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
tusaja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremeh
kan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh
kerja dan fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah,
hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari
abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga sela-
lu bisa tak terduga-duga, tak pernah kering.” Ulasan-ulasan ring-
kas seperti itu mengandung argumen yang juga memiliki gaung
di dalam mazhab-mazhab akademis ketat yang membutuhkan
berlembar-lembar argumentasi dan kerap tetap tak dimengerti
oleh pembaca biasa.
Yang memukau pada tulisan-tulisan Goenawan adalah teknik
khasnya dalam mencerahi peristiwa dengan tilikan yang bajik dan
bijak: dengan lincahnya—kadang juga akrobatis—dia meng
hubungkan peristiwa, tokoh, kasus, atau apa saja yang menarik
minatnya dengan pendapat para filsuf atau pemikir yang buku-
bukunya paling sering keluar dari rak-rak buku kampus. Nama-
nama besar, seperti Laclau, Zizek, Deleuze, Lacan, Badiou, dan
Schmitt, menambah deretan nama yang lebih klasik yang pernah
dibahas Goenawan, seperti Sokrates, Machiavelli, Hegel, Marx,
dan Freud. Kekayaan literatur yang dibacanyaakan menggoda
homo unius libri untuk menambah bacaannya. Dalam ”Bhutto”
(6 Januari 2008), Carl Schmitt dipakai untuk mengomentari
tragedi Bhutto. Problem absurditas informasi yang ditematisasi
dalam drama absurd Beckett secara tak terdugadihubungkan de-
ngan persoalan komunikasi yang ramai dibicarakan para pemba
ca J. Habermas dan Karl Otto Apel, seperti terbaca dalam ”Per-
cakapan” (14 Maret 2010). ”Bento” (20 Januari 2008) adalah ko-
mentar atas seorang filsuf, Spinoza. Di dalam ”Orakel” (5 Desem-
ber 2010) kita dapati bagaimana perkara rumit seperti peralih
an dari teosentrisme ke antroposentrisme dalam filsafat Barat di
tanganGoenawan menjadi begitu ilustratif. Memahami perta
runga n berlarut-larut antara logos dan mitos, rasionalitas dan
Catatan Pinggir 9 xvii
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
takhayul sebagai pertarungan language games, ia mengajak kita
untuk terbuka terhadap misteri Ada. ”Katakan itu takhayul,” tu-
lisnya, ”Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya.”
Beberapa contoh lain adalah coretan-coretan tentang seja
rah yang sekilas tampaknya ”cuma” menyampaikan informasi,
tetapi jika dicermati ternyata dibidikkan kepada kepicikan-ke
picikan. Dalam hal ini kritik agama tetap merupakan tema fa-
vorit Goenawan, sebagaimana dapat kita tangkap, misalnya, da
lam ”Si Ayam” (26 September 2010), ”Ahmadiyah” (8 Agustus
2010), ”Daging” (22 Agustus 2010), ”Émile” (28 Februari 2010),
”Mono” (8 Maret 2009), ”Bento” (20 Januari 2008), dan ”Si Bun-
tung” (9 Agustus 2009). Baginya agama dapat merosot menjadi
benda, res, atau berhala sesembahan penderita paranoia yang di-
dikte rasa takut akan kekosongan dirinya dan memburu yang
lain. Termasuk dalam res itu adalah legalisme agama yang diper-
soalkannya secara kritis, seperti tampak dalam ”Perajam” (4 Ok
tober 2009). Doktrin intoleran dari Vatikan pun tak luput da
ri bidikannya, sebagaimana terbaca dalam ”Mereka” (22 Juli
2007). Untuk menghadapi Zeitgeist yang serba politis sekaligus
serb a agamawi, dia lalu membuat catatan tentang mistik, seperti
dap at dibaca dalam ”Guna” (3 Oktober 2010). Politisasi agama
malah menjauhkan kita dari Tuhan. Goenawan lalu mengubah
kutipan yang dikutip mistikus Meister Eckhart: ”Andaikata aku
punya Tuhan yang dapat kugunakan, aku tak akan menganggap-
nya Tuhan.” Yang sebaliknya juga dilakukannya: menyingkap
”iman implisit” dalam sains yang telanjur dianggap sebagai sum-
ber atheisme, seperti ditunjukkan dalam ”Darwin” (22 Februari
2009). Sekularisme tidak mungkin menjadi total, demikianlah
keyakinan yang tersirat.
Ada juga topik yang dulu digunjingkan oleh Adorno dan ka
wan-kawan sebagai Kritik der Massenkultur, yaitu masifikasi, se-
perti tertuang dalam ”Debat” (28 Juni 2009) dan ”Potret” (8 Feb-
xviii Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
ruari 2009), sebuah coretan melawan kediktatoran visualitas
yang mulai mendominasi masyarakat kita. Kita mungkin men-
duga, kritik atas kapitalisme suatu kali akan menjadi radikal dan
total, karena di beberapa esai Marx di tangan Goenawan bagai
guru Timur yang menasihati kehidupan. Dugaan itu keliru. Se-
perti sekularisme, kapitalisme dan individualisme juga tidak
mungkin menjadi total, karena selalu saja ada celah bagi sosialitas
manusia, sebagaimana tertuang dalam ”Berbagi” (21 Juni 2009).
Begitu juga yang kolektif tidak akan menjadi total, karena selalu
saja akan ada celah bagi individualitas. Dalam ”Ibrahim” (28 No-
vember 2010), Goenawan menyingkap enigma kolektivisasi dan
individualisasi, impersonalisasi dan personalisasi itu dengan ale-
gori menutup wajah dan melihat wajah. Manusia punya wajah
yang tak dapat ditotalisasi, direifikasi, atau didepersonalisasi ke-
cuali dengan menyelubunginya.
Karena pelintasan batas membawa tegangan semantik juga,
ambivalensi merupakan locus penceritaan yang digemari Goena
wan, seperti dapat kita baca dalam ”Perang” (7 September 2008)
atau dalam ”Monumen” (12 Juli 2009), yang mengironikan celah
yang menganga di antara penanda dan petanda. Hidup seorang
manusia itu sendiri mengandung ambivalensi, maka Catatan
Pinggir juga berlaku sebagai serpihan-serpihan informasi tentang
potret seorang tokoh yang menguak ambivalensi hidupnya, se-
bagaimana ditunjukkan dalam ”Tiga Fantasi” (29 Maret 2009)
dan ”Rendra (1935-...)” (16 Agustus 2009). ”Teror Itu” (26 Janu
ari 2009) kiranya merupakan contoh bagaimana dua ciri yang
bertentangan seperti horor dan komedi dalam film dibiarkan me
ngatakan sesuatu untuk kejadian real di Jakarta, yaitu bom di
Ritz-Carlton dan JW Marriott beberapa tahun lalu, dan dengan
cara itu ambivalensi justru memungkinkan harapan.
Goenawan juga tak segan mengolok-olok ”diri” lewat mulut
orang lain, sebelum dia membawa pembacanya kepada penelitian
Catatan Pinggir 9 xix
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
sem antik yang lebih dalam yang segera menghambarkan olok-
olok tadi, seperti dapat kita baca dalam ”Primordialisme” (19
Desember 2010) atau ”Diri” (25 April 2010). Baginya identitas
adalah topik sensitif yang merahasiakan ironi: kejawaan, kepria
an/keperempuanan, atau keislaman adalah ke-apa-an yang biasa
dipakai untuk menjelaskan ke-siapa-an, tetapi ketika ke-apa-an
ini begitu menentukan seseorang, ke-siapa-annya yang merupa
kanmisteri itu dicaplok oleh batasan-batasan yang datang dari
ke-apa-an itu. ”Bagi saya,” tulisnya dalam ”Diri”, ”yang penting
buk anlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan
seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia
sebagai agency, pelaku.” Dari fiksi tentang identitas itulah lahir
segregasi dan diskriminasi ras, gender, dan religius. ”Dan iden-
titas itu adalah bagian dari paranoiaku,” katanya. Cara Goena
wanuntuk melepaskan diri dari fiksi konyol itu menyerupai cara
Georg Simmel, yakni melawan setiap upaya stabilisasi dan esen-
sialisasi identitas dengan memahami ”diri” sebagai sesuatu yang
tid ak pernah ”sejati”, karena terdiri atas banyak relasi yang terus
berubah. Akibatnya, seperti secara personal disingkapkannyada
lam ”Indonesia” (23 Agustus 2009), ia sendiri kagum akan sem a
cam ”imigran permanen” yang tidak berakar pada tanah mana
pun. Namun bukankah anti-esensialisme merupakan konsek
uensi logis pelintasan batas?
***
Jika mengikuti terus esai-esai Goenawan, akan timbul kesan
bahwa Catatan Pinggir ”cerewet”.4 Tapi kesan itu keliru. Yang di
tengahlah yang cerewet dan bising, sementara yang di pinggir
cend erung hening mengamati. Sementara peristiwa-peristiwa
yang di tengah itu bagaikan teriakan-teriakan histeris manusia
4 Bdk. Steele, Janet, Wars Within. Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru, Dian
Rakyat, Jakarta, 2007, hlm. 145.
xx Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
massa dalam Colosseum yang menentukan hidup-matinya gla
diator yang kalah, Catatan Pinggir menarik diri dari kerumun
an dan mencoba mendengarkan keheningan manusia batiniah.
Membaca esai-esai singkat ini, orang tidak sekadar menjadi
”orang”, tetapi akan menjadi ”seseorang”. Catatan Pinggir me
ngandung motif individuasi yang merebut kembali sang aku yang
berpikir dari kerumunan yang berpikir standar atau bahkan ti-
dak berpikir sama sekali. Paradoks, ironi, aporia, ambivalensi,
dan ketidakselesaian yang tidak hanya disajikan, tetapi juga di
latihkan oleh Goenawan, membantu untuk menemukan kembali
individualitas individu yang sudah terancam punah di negeri ki
ta. Membaca dan menulis tidak bisa dengan berisik, dan memba
ca dan menulis, demikian Sloterdijk, akan membangun interi-
oritas manusia.5 Lagi, dalam ”Perajam”, kalimat ”Tapi sepotong
kalimat itu tak berteriak” menyampaikan secara enigmatis bah-
wa tulisan tidak lumat di dalam gejolak kediktatoran oleh tak se
orang pun, seperti dialami dalam demokrasi massa. Ia terarah pa
da interioritas manusia.
Karena itu, antara penulis Catatan Pinggir dan pembacanya
terjadi sebuah hubungan diam yang hanya dapat dialami oleh—
saya mengacu pada Luhmann—suatu spesies yang tinggi taraf
evolusinya, yaitu suatu makhluk yang mampu mereproduksi
”masyarakat” lewat menulis dan membaca.6 Berbeda dengan
DPR yang bising dan gaduh, karena politik memang tidak lain
dari ”bicara keras-keras”, menulis dan membaca hanya mungkin
tanpa berisik, yaitu mendengarkan ”bagian dalam” manusia. Se-
buah tulisan, seperti Catatan Pinggir ini, menghasilkan masyara-
kat tanpa kehadiran seorang pun, sementara dengan kehadiran
orang banyak, politik yang berisik itu bisa jadi malah ”mengha
5 Bdk. Sloterdijk, Peter, Sphären III, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 2004, hlm. 382-383.
6 Lih. Luhmann, Niklas, Social Systems, Stanford, Stanford University Press, 1995, hlm. 427.
Catatan Pinggir 9 xxi
http://facebook.com/indonesiapustaka CORETAN SANG PELINTAS BATAS
bisi”masyarakat. Mengapa? Karena language games dan isi pikir
an yang dimainkan dalam Catatan Pinggir mereproduksi publik
pembaca yang kritis, suatu lapisan sosial yang sangat diperlukan
untuk demokrasi, sementara dengan oportunisme dan pragma
tism e kekuasaan, politik kerap justru menghancurkan individu-
alitas individu.
Yang dibutuhkan dalam demokrasi bukanlah kerumunan
yang berteriak sama. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan
orang yang berani berpikir dan mengeluarkan suara yang berbe
dadan bahkan menentang kerumunan. Seklusi dari politik lewat
menulis dan membaca sampai saat ini masih merupakan jalan
untuk memelihara kewarasan dan menghindar dari histeria mas-
sa dalam politik. Catatan Pinggir menawarkan jalan itu. Penulis
nya tampak tidak goyah oleh teriakan riuh rendah berita-berita
di tengahnya; dia berdiri di atas batu karang yang tenang dan ko-
koh: kebebasan berpikirnya. ”Kini perlawanan terhadap Nega
ra + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang majal,” be-
gitu keyakinannya, ”... Maka satu-satunya cara melawan mung-
kin dengan menulis, mencerca, atau menertawakan. Selebihnya
ilusi.”7 Tentu Goenawan tidak minta pembacanya untuk setuju
padanya. Dia bahkan seperti memprovokasi kita untuk memban-
tah. Esai-esainya adalah deretan tantangan untuk berpikir tanpa
tuntunan hal-hal yang baku atau—seperti dikatakan di atas—
obat kepicikan. Membacanya adalah latihan yang enak dan perlu
ke dalam kebebasan berpikir. Anda harus mencobanya sendiri.
Selamat membaca.
7 Mohamad, Goenawan, ”Berbagi”, dalam: Tempo, 21 Juni 2009.
xxii Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUBERNUR
SANCHO Panza yang pendek, buncit, dan bodoh itu ber-
mula sebagai sasaran olok-olok, tapi saya tak tahu adakah
ia berakhir demikian.
Penggubahnya, Cervantes, memperkenalkan tokoh petani
buta huruf dari La Mancha itu dalam bagian awal Don Quixote
seb ag ai sosok yang lebih menggelikan sekaligus memelasketim
bang Don Quixote yang majenun itu sendiri. Sancho tahu, orang
yang dengan setia diikutinya itu seorang yang sinting dirundung
khayal— seorang yang berangkat meninggalkan dusunnya dan
membayangkan dirinya seorang kesatria pengembara, yang ga
gah dan mulia hati, seperti dibacanya dari cerita-cerita kuno. San-
cho tahu kesintingan ini, tapi ia mengikuti lelaki keremp eng yang
mengenakan baju zirah zaman pertengahan itu ke mana saja, naik
keledai, meskipun ia tak memahaminya. Ia percaya, janji orang
yang menyebut dirinya Don Quixote itu akan terpenuhi: kelak, ia
akan diangkat jadi gubernur di sebuah pulau, di sebuah ”insula”.
Di bagian kedua novel termasyhur ini, ternyata harapan itu
terpenuhi—tapi kita menemukan dalam diri tokoh konyol ini se
suatu yang lain.
Syahdan, dalam perjalanan pengembaraannya ke pelbagai pe-
losok Spanyol, Don Quixote dan Sancho Panza bertemu dengan
sepasang bangsawan. Suami-istri ini berniat menjadikan kedua
orang yang berubah akal itu obyek permainan. Cara mereka: me
reka layani fantasi Don Quixote dengan memperlakukannya se-
bagai kesatria pengembara betul-betul. Mereka kerahkan orang
untuk membuat agar suasana seakan-akan kembali ke zaman da-
hulu. Salah satu olok-olok ialah mengangkat Sancho Panza jadi
”gubernur” di sebuah ”insula” yang sebenarnya sebuah dusun.
Demikianlah Sancho diarak ke Barataria yang dihuni sekitar
Catatan Pinggir 9 1
http://facebook.com/indonesiapustaka GUBERNUR
1.000 penduduk. Memasuki gerbang dusun ia disambut orang
ram ai, dibawa ke gereja terbesar, diserahi kunci desa, dan diiring
ke kursi hakim di gedung mahkamah. Di situ ia diberi tahu bah-
wa ”menurut adat kuno” Barataria, siapa saja yang berkuasa di
”pulau” itu harus menjawab pertanyaan yang ”agak rumit dan ru-
wet”, hingga rakyat dapat mengukur kecerdasan gubernur baru
mereka, dan dengan demikian dapat menentukan, akankah me
rek a bersukacita atau berkabung.
Ternyata Sancho Panza bukan lagi seseorang yang termakan
ilusinya sendiri—justru ketika ia dijerumuskan ke dalam ilusi. Ia
menolak disebut dengan gelar ”Don”. ”Kamu harus tahu, Bung,”
ujarnya kepada orang yang dipasang jadi pembantunya. ”Aku tak
punya gelar itu, juga tak seorang pun dalam keluargaku.” Dan de
ngan suara yang cukup radikal dalam sebuah novel pada abad ke-
16, Sancho mengatakan, ”Saya kira di insula ini ada lebih banyak
Don ketimbang batu, tapi cukup begitulah: Tuhan mengerti aku,
dan jika jabatanku sebagai gubernur hanya berlangsung bebera-
pa hari, aku akan babat para Don ini, sebab begitu banyak mere
ka....”
Kita tak bisa mengatakan Sancho seorang revolusioner. Ia
mempertahankan privilese para priayi, menghormati agama, dan
menjunjung tinggi para padri. Namun bagaimanapun, di Barata
ria itu ia jadi sosok yang menolak dikalahkan: ia meloncat keluar
dari sistem yang dipasang.
Dalam sistem itu, seorang petani yang melarat diharuskan ja
di lucu ketika ia tak jadi dirinya sendiri; Sancho justru jadi dirinya
sendiri. Dalam sistem itu, seorang petani harus terbukti goblok
jik a berkuasa; Sancho justru mampu memecahkan soal-soal ke-
adilan yang dihadapkan kepadanya.
Lebih dari keadilan, atau di dasar keadilan, ada hal lain yang
tak diabaikannya: rasa belas, terutama ketika alasan untuk meng
hukum seseorang seimbang dengan alasan untuk membebaskan-
2 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUBERNUR
nya dari hukuman. Ia ingat ada satu ajaran yang diberikan ke-
padanya oleh Don Quixote: ”bila hukum dalam keraguan, aku
harus mengutamakan dan merangkul rasa belas”.
Ternyata, pada titik yang paling puncak dalam hidupnya,
Sancho Panza tak bisa melepaskan pertautannya dengan mereka
yang terkekang dan lapar. Agak lucu keluhannya kepada perla
kuan Dokter Recio yang serba melarang pak gubernur yang bun-
cit itu makan hal-hal yang dianggap tak sehat. Juga suratnya ke-
pada istrinya, dan surat istrinya kepadanya—meskipun ditulis-
kan orang lain—menunjukkan kuatnya ikatan Sancho dengan
asal-usulnya. Suratnya kepada Don Quixote mengungkapkan si
sinya yang tak kalah penting: ”Sejauh ini, saya tak menyentuh ba
yaran atau menerima suap, dan saya tak tahu apa artinya ini, se-
bab mereka katakan di sini bahwa orang-orang memberi atau me-
minjamkan banyak kepada gubernur yang biasanya datang ke in-
sula ini, bahkan sebelum mereka datang, dan bahwa itulah prak-
tek umum siapa saja yang pegang jabatan gubernur, tak hanya di
sini....”
Pada suatu zaman yang korup macam itu, jabatan akhirnya
seb uah kesempatan untuk jadi manusia luar biasa justru dengan
jadi manusia biasa. Terutama dalam sikap terhadap kedudukan:
ketika jabatannya membuatnya terasing dari dirinya sendiri, San-
cho memilih untuk meninggalkan kursinya yang luhur.
Salah satu bagian yang mengharukan dalam Don Quixote ia
lah setelah Sancho dipermainkan habis-habisan. Pada suatu ma
lam, ”insula” itu seakan-akan diserang musuh. Pak Gubernur ha-
rus dilindungi dengan dijepit perisai seperti seekor penyu. Dalam
”pertempuran”, ia terjatuh tergolek secara menggelikan. Ia ping-
san. Tapi itulah titik akhir.
Fajar merekah ketika Sancho siuman. Ia pun berdiri, menge
nakan bajunya dengan amat pelan karena luka-luka tubuhnya.
Selama itu ia diam, juga ketika ia berjalan ke kandang tempat
Catatan Pinggir 9 3
http://facebook.com/indonesiapustaka GUBERNUR
keledainya diinapkan. Orang-orang pun mengikutinya, di anta-
ranya ada yang menyesal bahwa olok-olok mereka sudah berlebih
an.
Di kandang itu, Sancho sang petani merangkul keledai yang
selama itu menemaninya. Matanya basah: ”Kemari, teman perja
lanan dan sahabatku, kawanku di sepanjang sengsara dan duka”.
Ia tahu dengan hewan itu ia merasakan kebahagiaan. Di kursi gu-
bernur itu tidak.
Tempo, 15 Juli 2007
4 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MEREKA
MEREKA di luar dan terkutuk, kami tidak. Di sini,
kami adalah penyelamatan; di sana, mereka sesat....
Di abad ke-21, suara seperti itu akan terasa sebagai
gema dari sebuah zaman kusam berabad-abad yang lalu. Tapi
benarkah itu suara yang telah lapuk oleh panas, lekang oleh hu-
jan?
Tembok Vatikan berdiri tegak, tua, seakan tak terusik. Dalam
bulan Juli 2007 ini Paus Benediktus menegaskan kembali apa
yang dirumuskannya ketika ia masih Kardinal Joseph Ratzinger
tujuh tahun sebelumnya. Doktrin ini, Dominus Iesus, telah me-
nyebabkan para pemimpin Protestan menganggap Vatikan kini
sebuah pintu yang ditutup kembali. Pertalian ekumeni dan dia-
log sesama iman Kristiani mungkin tak dapat diharapkan lagi.
Seorang tokoh Protestan, Wolfgang Huber, ketua kelompok Ge-
reja Evangeli Jerman, mengeluh: ”Harapan ke arah sebuah per
ubahan dalam situasi hubungan ekumeni telah digusur lebih
menjauh....”
Paus yang sekarang, kata Huber, mengulangi ”statemen yang
melecehkan” yang termaktub dalam Dominus Iesus. Pernah ada
sua tu masa harapan kerukunan akan tumbuh pesat, ketika Kon-
sili Vatikan II dijadikan pegangan bagi Gereja Katolik untuk me
nerima dengan lebih hormat agama-agama lain. Tapi Konsili Va
tikan itu kini berumur 40 tahun, dan di Takhta Suci duduk se
orang Paus yang memandang cemas dunia pascamodern.
Kecemasannya memang mencemaskan. Ketika Dominus Ie-
sus diumumkan, Presiden Federasi Gereja-Gereja Evangeli Italia,
Domenico Maselli, bereaksi: teks itu merupakan ”sebuah lang-
kah besar mundur dalam hubungan antara Katolik Romawi dan
komunitas Kristiani lain”. Gereja Anglikan, ketika itu di bawah
Catatan Pinggir 9 5
http://facebook.com/indonesiapustaka MEREKA
Uskup Agung Canterbury, George Carey, mengecamnya sebagai
sesuatu yang tak dapat diterima.
Tapi doktrin ”tak ada penyelamatan di luar Gereja”, extra ecc
lesiam nulla salus, agaknya senantiasa dapat dipanggil kemba-
li ketika dibutuhkan. Dan Paus Benediktus XVI melihat bahwa
abad ke-21 adalah masa serba nisbi, tak ada ajaran yang dianggap
ben ar secara mutlak, ketika manusia bingung mencari pegang
an seakan-akan Tuhan benar mati. Ia membawakan ketakutan
orang-orang tradisionalis, yang mengecam ”ekumenisme” Konsi
li Vatikan II, yang dianggap telah mengaburkan garis lurus ajar
an. Doktrin telah dibuat lemah di hadapan ”agama-agama yang
palsu”.
Tapi orang tak bisa menyalahkan sebuah zaman. Pintu yang
tertutup selalu mengikuti tiap gereja—dan Roma tak hanya kali
ini membuat palang pintu yang besar. Di tahun 1441, Gereja me-
maklumkan bula Cantate Domino, 1441: ”tak seorang pun yang
ada di luar Gereja Katolik, tak hanya orang tak beragama, juga
orang Yahudi, orang murtad... tak akan mendapatkan tempat
dalam kehidupan abadi, tapi mereka akan masuk ke dalam api
abadi yang disiapkan oleh Setan... biarpun mereka besar sede
kahnya, biarpun mereka menumpahkan darah atas nama Kris-
tus....”
Maka apa sebenarnya yang baru dalam pendirian Paus Bene-
diktus XVI—dan apa yang aneh di sana, sebab hampir tiap aga
ma membangun pintu benteng yang membatasi ”mereka” de-
ngan ”kami”, dan menunjukkan gejala yang disebut oleh Bergson
sebagai ”moralitas tertutup”?
Dalam risalahnya yang terkenal, karya besarnya yang terakhir,
Dua Sumber Moralitas dan Agama, Bergson menyebut ”morali-
tas tertutup” itu tampak ketika agama hadir dalam sifatnya yang
”statis”. Moralitas ini berkembang dari kehendak untuk menjaga
kesatupaduan sosial—sebuah kebutuhan yang tumbuh karena
6 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MEREKA
spesies tahu ia tak akan dapat hidup sendirian. Kelanjutan hidup
komunitas itu mengharuskan adanya sikap patuh kepada aturan,
ketika ada rasa terancam oleh elemen yang ada di luarnya. Bagi
Bergson, ”moralitas tertutup” berurusan dengan perang. Di sini
berperan ”fungsi fabulasi”: dengan inilah dihadirkan citra dewa
atau tuhan yang mengawasi, agar kepatuhan dijaga.
Dari segi ini, extra ecclesiam nulla salus dan pelbagai variasinya
dalam agama-agama lain pada hakikatnya berpegang pada apa
yang keras tapi beku, kukuh tapi mandek. Berbeda dengan ”mo-
ralitas terbuka”. Bergson menggunakan kata ”terbuka” karena si-
fatnya yang inklusif, tak hendak menyisihkan ”mereka” dari ”ka
mi” yang suci, dan mencalonkan mereka serta-merta ke api nera-
ka yang kekal.
Moralitas ini lahir dari ”emosi kreatif”: emosi yang melahir
kan (dan bukan dilahirkan oleh) representasi, seperti ketika se
orang musikus, karena dorongan emosinya, melahirkan nada-na-
da dalam notasi.
Dapat dibayangkan bahwa dalam hal ini bukan teks ajaran
dan lembaga sang penjaga doktrin yang melahirkan hubungan
aku dengan Tuhan. Hubungan aku dengan Tuhan lahir dari
”emosi kreatif”: dari kerinduan, diri pun menjangkau yang Ma-
ha-Agung.
Tentu saja ada sesuatu yang tak dapat diatur di sana—juga tak
dapat dibatasi. Maka wajar jika ”moralitas terbuka” pada akhir
nya tak akan berkutat pada perumusan siapa ”mereka” siapa
”kami”. Jika di sini orang bicara tentang ”penyelamatan”, ia tak
didahului dengan membangun sebuah tembok yang kedap. Ia
tak lahir dari ketakutan. Ia tak hendak berlindung dari kehancur
an, sebab percaya bahwa Tuhan tak akan menghancurkan, sebab
Tuhan akan selalu menjadikan, akan berada dalam proses yang
tak tepermanai....
Tapi mungkin Paus seperti halnya mereka yang melihat bah-
Catatan Pinggir 9 7
http://facebook.com/indonesiapustaka MEREKA
wa ajaran dan komunitas harus selalu dijaga—kalau perlu dengan
darah dan besi. Dalam pandangan ini hanya dengan ketakutan,
dan dengan pintu tertutup, manusia dapat diselamatkan.
Itu juga wajah muram zaman ini.
Tempo, 22 Juli 2007
8 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MURTAD
Saya tak akan berpindah agama—dan dengan demikian
seb enarnya saya memilih agama saya sekarang. Tapi saya
sedih benar mendengar cerita orang yang dilarang mem i
lihagama yang ingin dianutnya. Saya sedih mendengar kisah Re-
vathi Massosai.
Perempuan Malaysia ini, yang sudah menikah dan beranak
satu, lahir dari ayah ibu yang beragama Hindu tapi kemudian
berpindah jadi muslim. Dari pasangan ini ia mendapatkan nama
muslim. Tapi ia dibesarkan oleh neneknya, seorang Hindu, dan
Revathi memilih mengikuti agama sang nenek. Di Malaysia, ini
jadi masalah. Di negeri itu, orang yang berayah muslim harus ja
di seorang muslim. Dan sebagai muslimah, Revathi dilarang ber-
pindah agama atau menikah dengan seorang yang tak seiman. Ia
dilarang murtad.
Tapi di tahun 2004 Revathi kawin dengan seorang pria Hin-
du. Pasangan ini mendapatkan seorang anak perempuan.
Januari yang lalu ia datang ke mahkamah pengadilan agar se
cara resmi ia disebut sebagai seorang Hindu. Bukan saja usaha
nya gagal; ia malah ditahan para petugas. Ia dimasukkan ke ”pu-
sat pemulihan akidah”. Dia ditahan sampai enam bulan. Tuju
an para pejabat syariah Islam ialah untuk menjaganya agar ia te
tap berada ”di jalan yang benar”—tentu saja ”jalan yang benar”
menurut para pemegang otoritas iman di Malaysia.
Selama enam bulan dikungkung itu, ia harus mengenakan jil
bab, menegakkan salat, dan lain-lain. Yang kemudian dicerita-
kannya kepada dunia ialah bahwa juga kepadanya disajikan da
gingsapi—sesuatu yang bagi orang Hindu merupakan pelang-
garan.
Pengakuan itu agaknya menimbulkan suara marah dari ka-
Catatan Pinggir 9 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MURTAD
langan Hindu di Malaysia, dan para advokat pembela penguasa
syariah di Negara Bagian Malaka itu pun buru-buru menjelas-
kan bahwa apa yang dikatakan Revathi tak benar. Mereka yakin,
demikian dikutip BBC, bahwa perempuan itu masih bisa dibujuk
untuk tetap tak meninggalkan Islam.
Revathi membantah.
Saya tak tahu, apa yang akan didapat para penguasa syariah
Islam di Malaka itu sebenarnya: seorang muslimah yang selamat
rohnya dari api neraka, atau jumlah penganut Islam yang tak
berk urang, atau seorang yang hanya pura-pura beriman kepada
Allahtapi hatinya menderita dan tak ikhlas.
Saya tak tahu bagaimana orang-orang yang berkuasa di per-
adilan syariah itu menafsirkan kearifan terkenal Quran, bahwa
”tak ada paksaan dalam agama”.
Saya juga tak tahu pasti adakah segala usaha mencegah se
orang dewasa memilih agamanya sendiri itu merupakan bagian
dari politik waswas yang merundung Malaysia—yang menye-
babkan soal identitas ”Islam” dipertautkan tetap dengan identitas
”Melayu”, hingga agama bukan lagi diyakini karena kesadaran,
melainkan dipegang karena faktor genetik. Saya orang Indonesia,
yang dengan agak bangga bisa mengatakan, di negeri ini keis-
laman tak secara otomatis dikaitkan dengan ras. Iman bukan-
lah sesuatu yang otomatis. Agama adalah akal, kata Nabi. Akal
mengimplikasikan kemerdekaan berpikir dan memilih.
Memang harus saya katakan, saya seorang muslim karena
orang tua saya. Tapi saya sebenarnya bebas untuk tak mengikuti
garis itu—sebagaimana orang-orang Arab dulu bebas untuk tak
mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan
untuk mengikuti Rasul Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga
sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam aga
masaya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling ba-
10 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MURTAD
gus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam
agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam
agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah
agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab yang paling represif
dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan ha
rapan. Agama menyumbangkan kepada kehidupan manusiase-
cercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan akan datang,
nilai itu—dan segala sifat Allah—tetap memberi inspirasi. Agak
nya itulah yang berada dalam inti iman.
Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang
saya pilih dan Revathi pilih, melainkan bagaimana seseorang te
tap berada dalam inti iman itu—bagaimana ia hidup dan bertin-
dak.
Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan se
orang murtad tak bisa menggugat—sebagaimana tokoh Lazaro
yang murtad tak bisa untuk tak merasa dekat dengan Don Ma
nuel,pastor di kota kecil Spanyol dalam novel Migel de Unamu-
no, Saint Manuel Bueno, Sang Martir.
Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah
seorang penolong, penyabar dan—menurut sang pencerita—
suka mendahulukan ”mereka yang paling malang, dan terutama
mereka yang membangkang”. Tapi ia juga padri dengan mata
sedih. Pandangannya meredup ketika ia mengatakan kepada se
orang anak bahwa orang harus percaya kepada Neraka.
Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya meng-
hormatinya dan jadi pembantunya. Berdua mereka merawat yang
sakit, menemani yang kesepian, memberi makan yang lapar,
menghibur yang berduka.
Pastor itu tak meminta Lazaro tetap jadi seorang Kristen. Ia
hanya minta agar pemuda itu ”berpura-pura percaya”, meskipun
tetap tak beriman, sekadar agar tak membuat heboh penduduk
kota kecil itu. Don Manuel tak mendesakkan kebenaran, sebab
Catatan Pinggir 9 11
http://facebook.com/indonesiapustaka MURTAD
kebenaran, seperti pernah dikatakannya kepada Lazaro, ”mung-
kin sesuatu yang begitu tak tertanggungkan, begitu mengerikan,
begitu mematikan, hingga orang-orang biasa tak dapat hidup de-
ngan itu”.
Ia sendiri mungkin tak percaya akan neraka; ia bersedih bila
Tuhan membalas dendam. Tapi ia tak hendak meninggalkan
agam anya, sebagaimana ia membiarkan Lazaro murtad. Pada sa
at yang sama, seluruh laku hidupnya menunjukkan bahwa harap
an bisa terjadi—harapan sebagai bayang-bayang Tuhan yang ha-
dir dalam tiap perbuatan baik dan ikhlas bagi mereka yang luka
dan diabaikan.
Tempo, 29 Juli 2007
12 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (1)
Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi
layakkah ia dibela?
Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhati
anketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religi
on Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tu-
han tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara
sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of
Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya
den gan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Na
tion. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang
pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pe
ngarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan
disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan
disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah
merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang
berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya
gemb ira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih de-
ngan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisis yang
tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman
ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakut
an dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah
damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan
Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah
yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka
dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara ten-
tang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001,
hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara ra-
Catatan Pinggir 9 13
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (1)
dio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu sen-
jakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan le
bihmerasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila
Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk ber-
doa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay,
Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan
antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen
di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gere
ja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang
Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat
dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda be
sar”,an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpu
ak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai
sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik
antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—
yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab,
tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah ke
kuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah
dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip se
orang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang
men ampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran
itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara
Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada
11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Is-
lam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme
di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di
Palestina.
14 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (1)
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bu-
kan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam
Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan
keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran aga
ma dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah di-
tentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama
bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembu
nuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang
mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya:
agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: ja
ngan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan du-
nia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dili-
hat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Ma-
jlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Arm-
strong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari si-
kap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung
dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak,
Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun
perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang sa-
ling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih
jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa
jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama
sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru
berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—se-
buah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas,
agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-
Catatan Pinggir 9 15
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (1)
orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan
dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah ber-
mula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang
merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan
tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas
nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel
yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di
wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama
bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang
tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu
datang dan bersuara?
Tempo, 5 Agustus 2007
16 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BERGMAN
Tuhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi
kemudian beban itu lepas, bahkan jauh sebelum sutrada-
ra film ini meninggal dalam usia 89—dengan nama ha
rumke seluruh dunia—di Pulau Farö di Laut Baltik, 30 Juli yang
lalu. ”Superstruktur keagamaan saya yang berat ke atas telah run-
tuh,” katanya pada suatu kali—dan ia merasa lega.
Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam hidup
nya, Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker seorang ayah. Ayah
itu pendeta Lutheran Swedia yang keras, yang tak jarang me
ngurung Ingmar kecil di ruang gelap—seperti yang bertahun-
tahun kemudian digambarkannya dalam tokoh Pendeta Edvard
Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih itu, dalam film Fanny
och Alexander (1983).
Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10 tahun.
Ia anak yang peka rasa, agak pelamun, dan terbuka pada khayal
yang hidup. Dibesarkan dalam keluarga Ekhdal yang longgar,
sensual, gembira, dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pen-
deta Vergerus, setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi ibunya:
sebuah dunia dengan iman yang teguh, puritan, represif, dan be
ngis.
Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang magis dan
remang di antara boneka-boneka antik sebuah keluarga Yahudi.
Satu dimensi lain pun muncul: dalam hidup ada sesuatu yang
ajaibdan mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh da
ri akidah agama.
Fanny och Alexander, yang mengandung anasir otobiografis
yang tebal, praktis sebuah gugatan kepada ruang terkunci yang
bernama ”akidah agama”. Masa kecil Bergman—seperti dalam
kisah si Alexander—adalah tahun-tahun yang dirundung trau-
Catatan Pinggir 9 17
http://facebook.com/indonesiapustaka BERGMAN
ma dalam ruang terkunci itu. Salah satu perasaan yang paling
men usuk, bagi Bergman, adalah perasaan direndahkan. Kini ia
melihatnya sebagai salah satu sebab ia memandang muram ajar
an agama. Ia ”menentang agama Kristen dengan sangat,” katanya
dalam Bergman on Bergman, Interviews with Ingmar Bergman,
”karena agama ini dilekati motif penghinaan yang sangat ganas.”
Bagi ajaran agama Kristen yang ia warisi, manusia adalah pendo-
sa sejak lahir. Ia selalu berada dalam posisi untuk diawasi.
Memang agak aneh, Bergman tak melihat segi lain dari iman
Kristen: adanya keyakinan akan Kasih dan Penebusan. Mungkin
karena dalam hidup Bergman Tuhan hadir lebih sebagai tiran—
dan teramat kuat pula pembangkangannya lantaran itu. Dalam
The Magic Lantern, otobiografinya, ia mengatakan: ”Saya telah
bergulat seumur hidup saya dengan sebuah hubungan yang me-
nyakitkan dan tanpa suka cita dengan Tuhan”.
Hubungan yang menyakitkan itu pula yang agaknya menda
sari film Der Sjunde Inseglet (versi Inggris, The Seventh Seal, 1957).
Dalam film ini aktor Max von Sydow memainkan peran kesatria
Antonius Block yang pulang dari Perang Salib, letih, murung, dan
guncang iman. Diiringi pembantunya, Jöns, ia kembali ke negeri
nya yang dikerkah wabah. Di tengah jalan, Ajal menjemputn ya.
Block mencoba menawar dengan menantang bermain catur: jika
ia kalah, ia bersedia dibawa Ajal pergi. Di sela-sela permainan itu,
ia masuk ke sebuah gereja kecil. Ia pun mengutarakan kerisauan
hatinya kepada seorang pastor—yang ternyata sang Maut sendiri.
Ajal: ”Apa yang kau tunggu?”
Block: ”Pengetahuan.”
Ajal: ”Kamu mau jaminan.”
Dengan kata lain, Block perlu kepastian—yang ia beri nama
”pengetahuan”—karena ia berpijak di sebuah dasar yang sudah
18 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BERGMAN
guyah. ”Aku ingin Tuhan ulurkan tangan-Nya, tunjukkan paras-
Nya, bicara padaku.”
Block memang di ambang murtad. Tapi siapa yang gandrung
kepada ”pengetahuan” yang menjamin adanya Tuhan sebenar
nyamenanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Tak mengherankan
bila di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena
dituduh jadi dukun penyebar sampar, Block hanya tertarik pada
persoalan adakah pada saat kematiannya wanita itu melihat Tu-
han. Sang kesatria tak tergerak membawakan air untuk si terhu-
kum. Justru Jöns yang tak beriman yang punya belas.
Dengan kata lain, antara soal Tuhan dan manusia, mana yang
lebih didahulukan? Di satu sisi, kita saksikan Block dengan obsesi
mendapatkan jaminan tentang Tuhan. Di sisi lain, di bawah ma-
tahari yang cerah, kita lihat hidup sederhana dan bahagia keluar-
ga Jof, si pemain akrobat, yang tak memerlukan itu.
”Saya selalu bersimpati kepada orang seperti Jöns dan Jof
,”
kata Bergman. Sebaliknya, ia memandang obsesi Block seba
gaifanatisme: orang yang pikirannya mengabaikan manusia di
dekatnya.
Mungkin itu sebabnya, ketika membuat Vargtimmen (The
Time of the Wolf, 1968) Bergman merasa menemukan makna ke-
sucian yang lain: dalam manusia sendiri. ”Pengertian cinta,” ka-
tanya, ”adalah satu-satunya bentuk kesucian yang bisa kita pikir-
kan.”
Di sekitar masa itulah ia merasakan ”struktur keagamaan” da
lam dirinya, yang ”berat ke atas”, telah digantikan dengan apre
siasi kepada yang ada di ”bawah”: hidup di bumi yang fana dan
penuh salah, tapi mengandung sesuatu yang suci dan mempeso-
na.
Ia merasa lega. ”Ketika segi religius dari kehidupanku terha-
pus,” katanya, ”hidup terasa lebih mudah dijalani.”
Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari ”trilogi ke
Catatan Pinggir 9 19
http://facebook.com/indonesiapustaka BERGMAN
imana nnya”, Såsom I en Spegel (Through a Glass Darkly, 1961),
Nattv ardsgästerna (Winter Light, 1962), dan Tystnaden (The Si
lence, 1963).
Dalam Såsom I en Spegel, Karin yang menderita skizofrenia
adalah fokus cinta yang tak mudah dari ayahnya, David. Tapi de-
ngan itu David juga yang bisa mengatakan bahwa ”cinta ada di
dunia nyata”. Dalam Nattvardsgästerna, Pastor Tomas Ericsson
yang susut imannya akhirnya menjalankan ritual di gereja ko-
song itu untuk Marta, kekasihnya, yang konkret hadir di bangku
sunyi itu.
Tanpa persentuhan hati semacam itu, kita akan hidup dalam
keterpisahan, seperti kakak beradik Ester dan Anna yang meng
inap di sebuah kota asing dalam Tystnaden. Artinya, sekali kita
memutuskan Tuhan tak menjawab lagi, neraka adalah orang lain
yang tak peduli.
Tempo, 12 Agustus 2007
20 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
ADA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun
tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada ge
lombang massa yang menghancurkan sebuah penjara,
tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang
mencoba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak
ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadam
kan.
Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya se-
jumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacakan se-
buah teks, yang kemudian disebut ”Naskah Proklamasi”. Pada
pagi hari itu juga bendera Merah Putih dikibarkan, tapi tak di
mana-mana, hanya di depan sebuah gedung tak begitu besar di
Jalan Pegangsaan, Jakarta, tempat para pelopor kemerdekaan itu
berkumpul.
Namun sesuatu berubah. Terutama dalam diri mereka yang
menga laminya. Setelah bertahun-tahun tertekan dan tersisih da
lam proses menentukan sejarah tempat mereka hidup, hari itu
orang bisa menyebut diri ”Indonesia” dan jadi ”merdeka”.
Revolusi memang sebuah transformasi: sejak saat itu sesuatu
yang dialami segera jadi sesuatu yang dihayati—ketika orang
mengartikulasikan apa yang terjadi dengan kata, lambang, mitos.
Mereka memberi makna kepada semua itu, dan mendapatkan
makna dari sana. ”Indonesia” waktu itu wujud politik dan geo-
grafi yang sebenarnya belum ada; tapi ia telah begitu berarti hing-
ga kelak orang akan mempertaruhkan nyawa buat mempertahan
kannya.
Tak berarti semua itu serta-merta muncul pada 17 Agustus
1945. ”Indonesia” sebagai sebuah komunitas telah dianggit, diar-
tikulasikan, dipaparkan, dan diberi makna sejak awal abad ke-20.
Catatan Pinggir 9 21
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
Pada bulan Juni dan Juli 1945, di sebuah gedung lain di daerah
Menteng di Jakarta, sebuah panitia bahkan telah bekerja berda
sarkan anggitan itu. Tugasnya menyiapkan bentuk negara dan
konstitusi bagi sebuah ”Indonesia” yang akan lahir.
Meskipun demikian, tak semua bisa dipersiapkan. Ada yang
tak terduga-duga, ketika tiba-tiba sebuah kekosongan terjadi: di
wilayah yang semula dikuasai Jepang ini tak ada lagi kuasa apa
pun yang berdaulat.
Sejarah akhirnya memang bukan sebuah lorong lempang. Se-
lalu ada kelokan mendadak. Revolusi sering ditulis sebagai ujung
yang logis dari sebuah sebab sosial politik, tapi bahkan Revolusi
Rusia—yang mengartikulasikan diri sebagai revolusi Marxis, ba-
gian dari ramalan ”sosialisme ilmiah”—sebenarnya juga sebuah
kejutan: perubahan besar di bulan Oktober 1917 itu dilakukan
sejumput minoritas, sebuah partai atas nama kelas buruh di se-
buah negeri yang masih agraris, dipimpin Lenin yang baru saja
kembali dari hidup di pengasingan. Tapi sejak itu, Rusia tak per-
nah kembali seperti dulu, dan ”Revolusi Oktober” mengandung
getaran yang menggugah.
Juga di bulan Agustus 1945 itu. Di Indonesia, sesuatu yang
serba-mungkin telah berubah: revolusi itu jadi sebuah kata sakti
yang kemudian membayangi terus politik Indonesia.
***
Ketika Bung Karno membubarkan sistem demokrasi par-
lementer pada tahun 1958, ia membenarkan tindakannya sebagai
”penemuan kembali Revolusi kita”. Itulah judul pidato penting-
nya yang kemudian dikenal juga sebagai ”Manifesto Politik”.
Tampak bahwa ”Revolusi”—karena getarannya yang dah-
syat—tak dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari keadaan serba-
mungk in, sesuatu yang bisa jadi tapi bisa juga tidak. Dalam baha-
sa politik yang dipakai, ”Revolusi” adalah tuah. Ia sesuatu yang
dapat berulang, dilanjutkan melintasi waktu. Dalam beberapa
22 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
kalimatnya, Bung Karno bahkan membandingkannya dengan
revolusi Amerika dan revolusi Rusia—sebuah klaim bahwa yang
terjadi di Indonesia bisa jadi standar baru dalam sejarah dunia.
Saya tak menganggap Bung Karno berlebihan. Tapi ia tak me
lakukan sesuatu yang baru. Ia mengulangi cara memandang se-
jarah yang lazim pada masa itu: menafsirkan revolusi sebagai to-
talitas, juga sebagai sebuah jalan universal, kerja para pelaku yang
kompak karena semua berdasarkan nalar atau mengikuti hukum
sejarah.
Namun revolusi tidaklah sesederhana itu. Waktu itu agaknya
dialami tapi tak disadari, bahwa hasil penting Revolusi Agustus
1945 adalah penegasan tentang peran apa yang disebut Claude
Lefort ”tempat kosong” dalam revolusi itu—sebuah pembuka
bagi kehidupan demokrasi.
Ketika orang Indonesia melihat Hindia Belanda runtuh dan
kem udian Jepang jatuh, jelas bahwa di posisi pemegang kedaulat
an itu ada sesuatu yang sudah seharusnya terbuka, kosong, untuk
diisi oleh yang lain. Revolusi Indonesia, ditandai dengan Prokla-
masi Sukarno-Hatta, adalah sebuah langkah merebut tempat
yang kosong itu—satu hal yang agaknya bukan bagian dari seja
rahkemerdekaan India, Singapura, atau Malaysia. Kejadian itu
membuat pengertian ”politik”, la politique, punya sifat yang lebih
radikal.
Ada heroisme dalam Revolusi Agustus, ada yang transforma-
tif dalam kejadian itu—dan sebab itu ada sesuatu yang layak un-
tuk dianggap indah dan dikenang terus. Tapi tiap revolusi nasio
nal—yang jadi ciri perlawanan terhadap kolonialisme—meng
andaikan sebuah bangunan bangsa yang pasti. Ketika pemerin-
tah kolonial tak ada lagi, ”tempat yang kosong” yang ditinggal-
kan seakan-akan sudah dipesan selama-lamanya untuk sebuah
himpunan politik tanpa konflik, tanpa kongkurensi. Dan revolu-
si, sebagai sesuatu yang transformatif, dibayangkan akan sang-
Catatan Pinggir 9 23
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
gup menghilangkan endapan masa lalu dan membentuk manusia
baru: manusia yang bisa dipastikan seia-sekata.
Dengan kata lain, revolusi, sebagai mitos, justru menggarisba
wahi sebuah citra-diri yang tanpa-konflik. Pada pertengahan ta-
hun 1960-an Bung Karno berkali-kali menyeru ”penggalangan
yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all
revolutionaire krachten. Tapi mereka yang hendak dibuat bersatu
padu—PNI, NU, PKI, dan dapat dibilang juga ABRI—sebenar
nya juga mereka yang bersaing, saling mengintai, dan saling me
nerkam. Pada dasarnya mereka tahu, siapa pun di antara merek a
sah untuk mengisi ”tempat yang kosong” itu. Pada dasarnya me
reka juga tahu, Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”,
tak akan dapat terus-menerus berada di sana.
Tak urung, revolusi Agustus yang ”ditemukan kembali” itu
pun terbentang antara la politique—yang membuka terus-men e
rus sifat radikal, agar perubahan selalu terjadi dan kian demo
kratis—dan le politique, yang mengandaikan keutuhan bentuk
seb uah bangunan kebersamaan—yang tak jarang akhirnya man
dek, buntu, bahkan represif.
Akhirnya ”demokrasi terpimpin” pun gagal menggantikan
demokrasi parlementer yang dicoba diterapkan di antara tahun
1946 dan 1958. Bagi saya, kegagalan ini bermula dari tafsiran
yang salah atas revolusi. Revolusi ternyata bukan sesuatu yang
pun ya ”rel” atau garis lurus. Revolusi ternyata tak sepenuhnya bi
sa melintasi waktu. Sebagian besar dari dirinya terjadi sebagai se-
buah aksiden sejarah. Banyak elemennya yang tak bisa diulangi.
Ia juga tak pernah bisa melintasi perbedaan dan sengketa yang
timbul dalam perjalanan sebuah bangsa.
Di bawah ”Orde Baru”, antara 1966-1998, kata ”revolusi” me-
mang telah ditanggalkan. Tapi di sini juga tampak usaha menia-
dakan la politique dari kehidupan masyarakat—sebuah lanjutan
kecenderungan represif ”demokrasi terpimpin”, tapi dijalankan
24 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
Presiden Soeharto dengan lebih luas dan lebih lama. Sebuah mis-
en-scène disusun untuk memanggungkan Indonesia sebuah kesa
tuan yang stabil dan serba selaras.
Tapi tak ada sebuah bangsa yang serba selaras. Pemanggungan
itu pun gagal memberikan makna bagi para pelaku politik dan
orang ramai. Mis-en-scène itu akhirnya tak mampu lagi menam-
pakkan mis-en-sense.
***
Pemanggungan—itu juga yang bisa dikatakan tentang
demokrasi parlementer pada dasawarsa pertama setelah kemer
dekaan. Sebagian pemimpin Indonesia, terutama Sjahrir, konon
menyarankan sistem itu diterapkan agar Indonesia dilihat— ten-
tu saja oleh Eropa dan Amerika—sebagai sebuah negara demo
kratis, yang tak merupakan kelanjutan model fasisme Jepang.
Tapi sebenarnya masih jadi pertanyaan, adakah para pelaku
kegiatan politik dan orang banyak mendapatkan makna dalam
panggung itu. Di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan
alok asi sumber kekayaan ke daerah, dibayang-bayangi Perang
Din gin yang merasuk ke dalam politik dalam negeri, diintai am-
bisi militer yang menampik kepemimpinan sipil, demokrasi par-
lementer dengan segera kehilangan kemampuannya untuk jadi
artikulasi rakyat.
Bung Karno—selamanya curiga kepada apa yang berbau
”Barat”—dengan segera menganggap sistem ini sebuah cangkok
an.
Saya kira di sini kita menyaksikan bagaimana para pendukung
demokrasi parlementer lebih memperhatikan adanya bentuk in
stitusional—parlemen, mahkamah yang mandiri, dan pers yang
bebas—sebagai formula. Hak seakan-akan diberikan, bukan ha-
sil sebuah perjuangan yang melibatkan orang banyak. Sangat me-
narik, misalnya, bahwa di awal Oktober 1945 ada ketentuan dari
Menteri Penerangan bahwa pers ”harus” merdeka. Dalam formu-
Catatan Pinggir 9 25
http://facebook.com/indonesiapustaka ADA REVOLUSI DI BULAN AGUSTUS 1945
la semacam itu, tak ada pengalaman transformatif seperti yang
terjadi dalam sebuah revolusi.
Dengan kata lain, hak-hak asasi hanya mendapatkan makna
jika direbut dari kondisi pengingkaran akan hak-hak itu—se-
buah proses yang memang membutuhkan pengalaman sejarah
yang pahit. Dalam dasawarsa awal kemerdekaan, pengalaman se
macam itu tak cukup tebal dan melekat dalam ingatan. Ketika
jauh di awal persiapan kemerdekaan Bung Hatta memperingat
kan akan perlunya hak-hak asasi karena khawatir akan kesewe
nang-wenangan negara, orang mengatakan bahwa dia ”curiga”
kepada negara. Orang tak mengira, beberapa dasawarsa kemudi-
an kecurigaan itu memang beralasan.
Sebuah bagian yang sedih dari sejarah Indonesia kemudia n
memang terbentang. Tapi mungkin dengan itu kita bisa menda
patkan makna dari apa yang dulu dikatakan tapi tak begitu di-
hayati: kemerdekaan.
Tempo, 19 Agustus 2007
26 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FORMULA
Tiap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekam
an sejarah, manusia berkali-kali menggagas sebuah ma-
syarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong
khayal yang agak lucu. Ia perlu Raja Utopus.
Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Uto-
pus berhasil membangun sebuah negeri yang tanpa sengketa, tan-
pa ketimpangan, dan tanpa keserakahan—tapi untuk itu ia harus
menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri
yang sehat walafiat itu mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak
kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa terjadi dalam
isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung
dan anaknya di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu.
Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidam-
kan—atau sebuah kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata
”Utopia” (yang bergerak antara uo-topos yang berarti ”tak bertem-
pat” dan eu-topos yang berarti ”tempat yang baik”) terkand ung
ironi. Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada
awal abad ke-16, telah mendahului suara akhir abad ke-20.
Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan lu
hurtelah gagal untuk membuat manusia bahagia. Terbitlah ke
perluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita ha-
rus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali.
Ironi itu sehat.
Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia dihu
kum gantung di lapangan umum. Derap langkah mereka yang
marah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan, dengan ce
pat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap
memimpikan dunia baru yang bagai surga juga akan memberan
tasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak hanya doa, tapi juga
Catatan Pinggir 9 27