http://facebook.com/indonesiapustaka FORMULA
cemooh, namun cemooh selalu dicap subversi, pengkhianatan,
atau paling sedikit pemborosan waktu.
Saya kira tak adanya ironi itulah yang tampak mencolok ke-
tika Hizbut Tahrir menghimpun 70 ribu orang di Jakarta pekan
lalu. Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali ”khila-
fah” di dunia Islam, dan sekaligus ia menolak demokrasi. Tak
tampak usaha mengambil jarak dari desain besar itu, tak terde
ngarselintas pun keraguan—apalagi cemooh—yang dibiarkan
mengganggu. Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan
jawaban: Bagaimana sang ”khalifah” di pucuk pimpinan diten
tuk an? Oleh siapa? Bagaimana membentuk kekuatan yang bisa
menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang terbangun
selama ini?
Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebe
narn ya kearifan itu bisa datang dari sejarah dunia muslim sendi
ri—jika sejarah ditafsirkan sebagai jalan hidup manusia yang ba
nyak salah, proses di mana kesucian berhenti.
Tapi dengan sikap jiwa yang merasa terpuruk di jurang yang
ruwet, para ideolog ”Islamisme” hanya melihat masa lalu seperti
langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah ada
prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Mu-
rad III (1574-95) yang punya 103 anak dari sederet istri—sebuah
keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam khilafah Us-
mani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakh-
ta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV
(1623-40) melakukan hal yang sama, dan hanya membiarkan se
orang adik hidup hanya karena si adik lemah mental.
Pendek kata, sejarah—yang selamanya penuh dengan keti
dakpastian—tak diantisipasi dengan sebuah sistem yang dapat
men gelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan, tanpa
darah. ”Islamisme” gagal belajar dari kondisi itu. Yang dijalan
kann ya adalah ”politik kesempurnaan”: karena Islam dianggap
28 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FORMULA
sebagai ”jawaban yang sempurna” untuk membangun sebuah
masyarakat yang ”sempurna”, ada usaha menghapus wajah hidup
yang tragis dan cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, di-
anggap tak punya peran dalam politik.
Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqi
uddin al-Nabhani, seorang qadi dari Yerusalem, pada tahun
1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran
akan kondisi yang tragis: ”luruhnya marka-marka kepastian”, se-
perti dikatakan Claude Lefort. Dengan catatan: la dissolution des
repères de la certitude itu tak hanya disadari sejak Revolusi Prancis.
Masa lalu Islam telah memaparkan itu. Setelah Nabi wafat, ter-
buka ”tempat yang kosong” yang mau tak mau minta diisi—tapi
untuk mengisinya tak seorang pun yang akan setara Rasulullah.
Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang dapat meng
artikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Si pengisi harusber-
sedia diganti, atau akan terpaksa diganti. ”Tempat kosong” itu
tak akan kunjung penuh.
Hidup memang tak cocok buat ”politik kesempurnaan”. Hi
dupadalah tempat ”politik kedaifan”—politik yang lebih tawakal
dan tak cepat marah. Manusia berubah tapi keterbatasan menyer
tainya. Ia makhluk yang dilahirkan kurang. Peradaban justru la-
hir dari keadaan kurang yang tragis itu. Dostoyevsky benar ke-
tika dalam catatan hariannya ia menulis: ”Semut tahu formula
bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka.... Tapi
manusia tak punya formulanya sendiri.”
Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia
makhluk khayal yang tak dengan sendirinya menyenangkan bila
malam tiba. Di Utopia, bunyi trompet akan terdengar pada jam-
jam tertentu, isyarat bahwa 30 keluarga akan bersantap bersama-
sama dalam sebuah komunitas. Dunia privat praktis hilang. Ke-
seragaman memerintah. Rumah dan kota semua tampak mirip.
”Kalau kamu sudah melihat satu, kamu sudah melihat semua
Catatan Pinggir 9 29
http://facebook.com/indonesiapustaka FORMULA
nya,”kata tokoh dalam Utopia yang mengisahkan negeri ajaib
itu, Raphael Hythloday.
Dalam bahasa Yunani, konon hythloday berarti ”pembicara
omong-kosong”. Kita geli. Tapi bukankah di awal dan di akhir,
iron i tak bisa diabaikan, dan cemooh bagian dari jalan ke kebe
nara n?
Tempo, 26 Agustus 2007
30 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TURKI
MUSTAFA lahir di tahun 1881 dari kandungan seorang
ibu yang saleh, Zubaidah namanya. Perempuan ini
kuat wataknya; ia tak mudah menyerah kepada kehen-
dak sang suami. Khususnya dalam hal pendidikan buat anak le-
laki mereka satu-satunya—seorang anak yang tak mereka sangka
kelak akan dikenang dengan kagum sebagai Atatürk, ”bapak
Turki [modern]”, tapi juga dikutuk keras sebagai penghancur
Khilafah Usmani, sebuah imperium yang dianggap sanggup me-
nyatukan bangsa-bangsa muslim selama beradab-abad.
Mustafa Kemal memang lahir di sebuah zaman ketika perten-
tangan tak terelakkan, bahkan sejak hari ia harus bersekolah.
Ali Riza, sang ayah, ingin agar Mustafa masuk sekolah umum.
Tapi Zubaidah tetap bersikeras. Si buyung harus hafal Quran; ia
harus jadi hoja, guru agama.
Mustafa pun dikirim masuk sekolah Fatimah Mullah Kadin,
pendidikan Islam yang terkemuka di Kota Salonika itu. Diterima
di sekolah itu agaknya sesuatu yang istimewa. Dalam buku Ata
türk: The Rebirth of a Nation, Patrick Kinross mengutip penuturan
Mustafa sendiri tentang upacara di hari pertama itu.
Di pagi hari, ibunya mendandaninya dengan pakaian putih
dan kalung leher bersulam emas; sorban melingkar di kepala. Ia
pun dijemput seorang hoja beserta ulama lain. Mereka melang-
kah ke jalan dalam semacam prosesi ke sekolah. Di sekolah yang
bertaut dengan sebuah masjid itu, doa bersama pun dibacakan.
Lalu sang guru membimbing Mustafa masuk ke sebuah ruang.
Di sana sebuah Quran sudah siap terbuka.
Tapi ia tak lama bersekolah di situ. Ia membangkang karena
disuruh duduk bersila di lantai. Ia benci membaca dan menulis
huruf Arab. Ia gelisah.
Catatan Pinggir 9 31
http://facebook.com/indonesiapustaka TURKI
Akhirnya ayahnya memindahkan Mustafa ke sekolah umum
yang diasuh Shemsi Effendi. Di situ si buyung bersemangat. Kali
ini Zubaidah tak berkeberatan.
Zubaidah memang berubah, seperti Turki. Salonika, sebuah
kota perdagangan di Makedonia, bertaut dengan dunia luar tiap
hari. Kota pelabuhan di teluk itu beragam penduduknya: Yahudi
(meskipun sebagian telah jadi muslim), Bulgaria, dan Armenia.
Ada konsulat Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal.
Ketika Mustafa berumur belasan tahun, kereta api buat perta
ma kalinya masuk ke kota itu. Dalam bukunya, Kinross mengu
tip kenang-kenangan seorang penghuni: ”Abad [ke-19] ini sedang
mendekati akhir. Dengan diam-diam dunia Barat merayap ma-
suk, mencoba memikat Timur dengan keajaibannya.... Dipamer-
kannya di depan mata kami sihir ilmu pengetahuan dan mukjizat
temuan dan ciptaannya. Kami menangkap selintas kecemerlang
annya dan dengan malu-malu mendengarkan nyanyian merdu
dew i lautnya. Ibarat orang dusun yang ikut dalam sebuah jamuan
besar, kami merasa rendah diri dan tingkah kami kikuk....”
Dari sini kita tahu, bukan Mustafa Kemal yang mengubah
Turki, tapi Turki memang tak bisa seperti dulu lagi. Seperti kere-
ta api yang mendengus dan berderak masuk ke Salonika, abad
baru—dengan segala godaan dan kerisauannya—tak dapat di
elakkan siapa pun.
Syahdan, anak yang pernah didandani sorban itu kini lebih
tertarik kepada pakaian yang lain: seragam yang dikenakan de-
ngan bergas oleh para prajurit. Ia ikut ujian masuk sekolah me
nen gah militer. Ia lulus. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai
seo rang perwira yang tangguh, cerdas, dan bisa menggerakkan
pasukannya yang terpojok hingga menang. Pertempuran tentara
Turk i yang dipimpinnya melawan pasukan Inggris dan sekutu
nyadi jazirah Gallipoli di tahun 1915 adalah sejarah kemenangan
Turki yang tak terlupakan.
32 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TURKI
Tapi Kemal sadar, kemenangan itu tak akan selamanya di pi-
hak Turki. Ia tahu ada yang hilang di ”imperium Usmani”: di wi
layahnya yang terbentang luas, pelbagai negeri, termasuk Tanah
Arab, mulai resah di bawah titah Istanbul. Pada saat yang sama,
kekhalifahan kian merosot—sebuah proses yang telah mulai se-
jak hari-hari akhir Sulaiman yang Agung, setelah baginda jadi
murung karena terpaksa membunuh putra-putranya sendiri yang
mencoba merebut takhta. Berangsur-angsur, Khilafah Usmani
jadi kekuatan yang gombyor dan lembek.
Abad ke-20 adalah abad yang kian mengingatkan bahwa mus-
tahil ada kekuasaan yang dapat selamanya kencang dan mampu
sepenuhnya mengisi ruang kehidupan—apalagi mengisinya de-
ngan kepastian. Bahkan agama tak dapat dipakai untuk meno-
pang takhta dan kepastiannya. Sejarah dinasti Usmani menun-
jukkan, pada akhirnya tafsir tentang ”Islam” masa itu dikaitkan
dengan ”Islam” para sultan yang hidup antara seraglio yang pe
nuh perempuan simpanan dan medan perang yang penuh de-
ngan bangkai.
Ketika wibawa mereka runtuh, guyah pula wibawa ”Islam”.
Akhirnya manusia, apalagi Kemal, tak bisa lagi berharap banyak
dari mereka yang mengklaim punya satu hal yang bisa menjawab
semua hal. Orang makin sadar, demokrasi diperlukan.
Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan pentingnya nol:
dalam keadaan tak berisi, terkandung sebuah awal ikhtiar untuk
memberi isi; tapi dengan nol, manusia menampik ketakaburan.
Saya kira Kemal, dalam keresahan dan ketidaksabarannya,
dalam semangat dan keterbatasannya, akhirnya menyadari hal
itu: ia seorang diktator yang mencoba membangun demokrasi.
Ada sebuah anekdot. Pada suatu hari, dalam usahanya mem-
perbaiki sistem politik Turki yang macet karena sikapnya sendi
ri yang otoriter, Kemal bertemu dengan seorang pegawai muda
Kementerian Pendidikan, Hassan Ali namanya. Sang Presiden
Catatan Pinggir 9 33
http://facebook.com/indonesiapustaka TURKI
mengundang anak muda itu duduk di dekatnya. Dengan sikap
seorang guru, Kemal mengujinya soal-soal dasar matematika:
Apa itu titik? Apa itu garis?
Hassan bisa menjawab dengan baik. Lalu Kemal bertanya:
”Apa itu nol?”
Hassan Ali: ”Definisi nol yang terbaik adalah sesuatu yang sa
ma dengan diri saya di depan tuan, Pasha.”
Kemal: ”Tapi nol itu penting!”
Hassan Ali: ”Begitu juga saya, Pasha.”
Tempo, 2 September 2007
34 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ONG
SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Univer-
sitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju
dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas
kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berle
biha n. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan ka
rena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti men-
derita.
Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit mero
sot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi maha-
siswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reforma
si: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terka
dang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya
menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikir-
kan sekitar.
Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia meningg al
pekan lalu, ia disebut sebagai ”sejarawan”. Terutama sejak ia kem-
bali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia
sendiri punya versi lain tentang dirinya. Ada dua hal yang dia ba
wa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepan
daia n memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, ka-
tanya, tanpa senyum.
Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-
jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Ke
duan ya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem
yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sen-
tuhan personal.
Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhor-
mat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan
hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah
Catatan Pinggir 9 35
http://facebook.com/indonesiapustaka ONG
ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu ti-
tik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari ma-
sa-kininya sendiri.
Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara
tentang ”genealogi”, yang bisa dikatakan sebagai penulisan alter-
natif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyata-
an bahwa yang dituju bukanlah ”pengetahuan” dan ”kebenaran”
tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.
Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam
Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak
untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin se-
babnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali
yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya
di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali
santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya
waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.
Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke ma-
jalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya
selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemu-
dian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan
yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.
Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemuka-
kan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodir
djo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa,
yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang ”atas”. Ia
suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misal-
nya ”perhitungan hari baik” dalam masyarakat Jawa, atau jumlah
gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolon ial.
Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel,
yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang
kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang
sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan
36 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ONG
empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sam-
pai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.
Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa
kategori. Apakah dia sebenarnya—”sejarawan”, ”kolumnis”, ”in-
telektual publik”, ”juru masak”—ia tak peduli. Ia keturunan Ti
onghoa yang akan menampik stereotip warga ”kebudayaan Ci
na”—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai ”sinic culture”, se-
buah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras,
dari ”indic culture”, ”kebudayaan ala India”. Dengan bangga, pe-
mimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya merek a
yang berakar pada ”kebudayaan Cina” yang cocok buat pemba
nguna n ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada
dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.
Onghokham menertawakan ”teori” Lee Kuan Yew yang sa
ngatdekat dengan pandangan rasialis itu. ”Lee bukan menggam-
barkan watak orang Cina,” katanya. ”Gambaran idealnya gam
baran seorang Kristen Metodis.”
Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis,
para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya
Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempur
naan. Ong jauh dari merek a yang peduli akan prestasi tingg i,
karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mend a
patkan gelar ”profesor” karena ia anggap sepele tetek-bengek ad
min istratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang
memikat justru hal-hal yang dianggap ”dosa” oleh Puritanisme:
makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.
Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang
intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang ”ma-
nusia” dan ”masyarakat”.
Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya ter-
masuk sekelompok teman yang kemudian dikenal sebagai penu-
lis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito,
Catatan Pinggir 9 37
http://facebook.com/indonesiapustaka ONG
Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi
di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, de-
ngan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar
mencemooh kami sebagai ”intelektual kota”. Mungkin ia hendak
mengingatkan, kami yang suka omong tentang ”Indonesia” acap
kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakar-
ta itu. ”Indonesia” bukanlah hanya ide. ”Indonesia” adalah kehi
dupa n. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.
Tempo, 9 September 2007
38 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9
SAYA melihat New York 11 September 2001. Sampai lewat
ten gah malam, yang mengepung adalah suasana murung
dan cemas, berkabung dan waswas. Orang di pelbagai
penjuru terperanjat. Dunia tersentuh: mereka ingin menemani
kota itu, bersama ribuan kandil yang dinyalakan di sudut-sudut
jalan, seakan-akan mau ikut mencari mereka yang tak pulang
dari puing.
Asap kebakaran masih membubung hitam beberapa hari se
telah itu, membentuk sebuah sosok di langit New York sebelah se-
latan, seakan-akan mengisi rongga yang melompong di angkasa
setelah dua gedung jangkung The World Trade Center runtuh
dan 3.000 orang yang tak bersalah mati.
Tapi dengan cepat asap dan debu diubah sesuatu yang ber-
warna: bendera Amerika, bendera Amerika, bendera Amerika.
Di mana-mana. Tak putus-putusnya televisi menyiarkan orang
menyanyi God Bless America, bergetar, bergemuruh. Di seluruh
Amerika Serikat, pada jutaan layar, huruf yang muncul tak henti-
hentinya adalah AMERICA UNDER ATTACK.
Dan perkabungan pun jadi api.
Tema klasik nasionalisme pun berulang pada hari-hari itu:
”Kami dihina. Mereka jahat. Kami dizalimi. Mereka brutal. Me
reka harus dibalas. Kami bangkit. Kami kuat.”
Orang Amerika akan marah jika dikatakan bahwa tema nasi-
onalisme itu tak jauh berbeda dengan yang dulu terbit di Jerman,
kini di Arab dan Israel. Tapi itu justru indikasinya: orang Ameri-
ka akan marah karena nasionalisme merek a—yang disebut”pa-
triotisme”—juga api yang sama yang mampu membentuk ”ka
mi” jadi sesuatu yang terang dan orang lain, ”mereka”, jadi frag
menkegelapan.
Catatan Pinggir 9 39
http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9
Mungkin itu sebabnya saya beberapa lama termenung di Wa
shington Square Park, sore itu. Di lapangan yang rindang itu ber-
macam orang berkumpul, menyatakan belasungkawa dan du-
kungannya kepada New York—ya, kepada Amerika Serikat. Ada
yang mengekspresikan perasaan dengan doa yang diam, ada yang
menuliskan kalimat yang tulus.
Tapi yang tak akan saya lupakan ialah secarik kertas yang di-
robek dari sebuah buku tulis dan disematkan entah oleh siapa di
sehelai pagar kawat di bawah lengkung gerbang taman. Di sana
tercantum satu paragraf tulisan tan gan, serangkai kata-kata Nel-
son Mandela:
”Rasa takut kita yang terdalam tak disebabkan oleh karena kita
tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam disebabkan kekuata n
kita yang tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan
kita, itulah yang paling mengerikan kita.”
Saya terkesima: kalimat itu muncul seperti dipanggil ke te
ngahsuasana yang membutuhkannya.
Mandela: bertahun-tahun lamanya pemimpin Afrika hitam
ini dianiaya sebuah kekuasaan yang brutal; ia dengan gampang
akan diterima sebagai korban yang tak bersalah, yang memancar
kan ”cahaya terang”. Pada saat yang sama, ia juga pemimpin poli-
tik dan moral yang dipatuhi jutaan orang di Afrika Selatan, se-
buah ”kekuatan yang tak tepermanai”.
Tapi, berbeda dengan orang Amerika dan pemimpin me
reka, George W. Bush & Dick Cheney, Mandela tahu benar apa
yang harus ditakuti: keagungan diri. Bagi Bush & Cheney, Tu-
han memberkati Amerika, God Bless America, dan mungkin
benar. Tap i soalnya jadi gawat ketika Tuhan dan ”cahaya terang”
mengambil alih seluruh sikap dan pikiran dan memperkukuh ke
agunga n diri.
40 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9
Apalagi ketika itu diintegrasikan ke dalam proyek besar yang
disebut ”The New American Century”.
Dick Cheney, Rumsfeld, dan konco-konco mereka—yang su-
dah lama punya proyek untuk mengubah dunia ke dalam ”Abad
Baru” yang mereka kuasai—sebenarnya orang-orang yang secara
tak langsung diperkuat oleh teror ”11/9”. Mereka bisa bersorak-
sorai: hari itu musuh lahir, ketika sejumlah orang asing mena-
brakkan dua pesawat ke dua buah gedung yang bisa jadi lambang
kejayaan Amerika.
Sebab Cheney pernah khawatir, AS tak akan punya musuh la
gi setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh. Mu-
suh itu penting. AS butuh sesuatu yang mengancam di luar sana,
dan sebab itu bisa membuatnya bersatu padu. Maka di New
Yorkhari itu, Al-Qaidah praktis memberi Cheney dan Bush se-
buah hadiah: alasan yang bagus untuk merasa memiliki ”cahaya
terang” dan menampilkan ”kekuatan yang tak tepermanai”.
Akhirnya, ”9/11” adalah dalih untuk sebuah proyek imperial,
mula-mula dengan bendera ”perang melawan terorisme”: ”Kami
dizalimi. Mereka harus dibalas.”
Dalih itu begitu memikat hingga sejumlah intelektual terpan
dang Amerika tak malu-malu berseru menghalalkan perang itu
sebagai ”perang yang adil”, seakan-akan keadilan dapat begitu
saja diterima secara universal, bukan hasil pergulatan yang tak
mud ah untuk jadi pasti. Ketika Mandela memperingatkan kita
akan ”cahaya terang” dan ”kekuatan yang tak tepermanai”, ia se-
benarnya hendak menunjukkan bahwa kedua hal itu tak pernah
menetap—dan tak pernah tinggal di satu sisi. Mandela berbicara
agar kita tahu perlunya mengosongkan diri—sadar bahwa diri
kita sebenarnya ”tak memadai”, bahkan mengandung ”kegelap
an”.
Tapi siapa yang membaca kearifan di secarik kertas di bawah
gerbang Washington Square itu? Bush & Cheney telah mengge
Catatan Pinggir 9 41
http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9
lembung dengan proyek ”Abad Baru Amerika”. Ketika perang
melawan teror Al-Qaidah diperluas jadi Perang Irak yang dike-
cam dunia—karena dilancarkan dengan dusta yang malang-me
lintang—mereka bahkan inginmenunjukkan, ”kekuatan yang
tak tepermanai ”justru penting untuk dirayakan. Kekuatan itu
mereka anggap bisa menentukan segala-galanya, juga untuk me
monopoli ”cahaya terang”.
Tapi kini terbukti, ”kekuatan yang tak tepermanai” itu hanya
sebuah waham besar. Juga gegabah. Hegemoni tak pernah pasti.
Perang melawan Al-Qaidah tak juga berhasil—sebuah kegagalan
yang patut disesali di mana-mana. Perang di Afganistan makin
sulit. Perang di Irak praktis kehilangan tujuan. Amerika diben-
ci di pelbagai pelosok. Orang Amerika takut datang ke pelbagai
tempat.
Ah, Tuan Cheney, di manakah kini ”The New American Cen
tury”?
Tempo, 16 September 2007
42 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PUASA
DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah pri-
vilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya
berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hing-
ga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa
tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi
lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi
ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa
pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus ditu
tup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—
dansekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. Dem i
ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minuma nber-
alkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meski
punmereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup me
reka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran bu
ka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk
kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau ber-
syukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang an-
juran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa
datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa
diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para
ulam a, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak
tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas
kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang dengan gam-
pang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu
berlaku, saya tak pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau
lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang sedang saya rasakan. Ja
Catatan Pinggir 9 43
http://facebook.com/indonesiapustaka PUASA
ngan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat
”sikap merunduk”) yang dengan gerutu.
Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan ke-
palsuan, akhirnya soal seperti itu tak dipersoalkan. Pokoknya: sa
ya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.
Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati
orang yang berpuasa dapat berangkat dari sebuah alasan yang
bag us. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang dekat de-
ngan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya me
nekankan pentingnya tubuh—justru dengan mengaktualisasi-
kan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang berbicara
tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah
penegasan diriku sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: seba
gai aku yang ingin dan tak mendapat, aku yang menolak untuk
rakus tapi juga merasa sakit.
Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa
puasa dapat memberi diri sesuatu yang sama sekali bertentangan:
rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-akan dalam
kesucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak na-
jis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya
lebih nista dari diriku.
Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghor-
mati aku. Kalau tidak, orang lain harus aku jauhi. Kalau tidak,
orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus meniadakan-
nya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau meng
ubahnya.
Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering mene
mukan wajah yang bertentangan seperti saya sebut tadi dari orang
yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana pun.
Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang
ada diberi sanksi oleh sebuah bayangan tentang Yang Maha Kua-
sa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan dan kekuatan,
44 Catatan Pinggir 9
PUASA
bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Ra-
him yang mengampuni si daif dan si retak-cacat.
Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam
kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengala-
mi dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang
abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit
bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersen-
tuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan
men yadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari
waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.
Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, me-
lainkan kesucian diri yang penuh, manusia merasa seakan-akan
berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh perubah
an, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.
Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang
tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan
sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu
yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, se-
buah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna meng
angkatku?
Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut
dihormati.
Tempo, 23 September 2007
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 9 45
http://facebook.com/indonesiapustaka
46 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GESTAPU
Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembu
nuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah
jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang
bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau
disiksa.
Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih,
dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita
masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita me
nyemb unyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus
mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang
saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mam-
pu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang.
Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.
Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru”
runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil—tapi bersandar
pada kapasitasnya membangun rasa takut—ambruk. Tapi segera
terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga
antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat
oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia
nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti berakhir de-
ngan membunuh.
Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—
bisa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa”—yang
akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara ber-
saing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin.
Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehi
dupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk
”masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat.
Catatan Pinggir 9 47
http://facebook.com/indonesiapustaka GESTAPU
Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.
Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak un-
tuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang
menghendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang
”baik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mere
ka?
Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk
ke dalam pengalaman—dan kita ragu adakah nilai yang univer-
sal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti
Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya con
tingent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang ”baik”
selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan.
Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu
dicampur dengan satu dosis besar ironi.
Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleran
si. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang
boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk
membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak mengang-
gap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Ba
ginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejama n
terjadi.
Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas an
tarmanusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Ba
gaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan
pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang
menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?
Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-
memb unuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang
mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nya-
man Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak
bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana ga
gasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu
48 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GESTAPU
senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.
Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak meng
herankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan Amerika Latin,
orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan inspirasi
dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauanuniver
sal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme
bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak
datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan
perubahan.
Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, de-
ngan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah
bahwa Marxisme—sebuah alat diagnostik yang cemerlang—
ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa
yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan
ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai
komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.
Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia me
yakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa
yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi ada
lah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunika-
si dapat menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”.
Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa do-
rongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indo-
nesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras mem-
bentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat
tentang ”masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakap
an yang ideal?
Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marx-
isme. Kita akan bisa melihat—seperti Laclau memanggil roh
Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil
pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang
memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui
Catatan Pinggir 9 49
http://facebook.com/indonesiapustaka GESTAPU
bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus
tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang
menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-
cita.
Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang
mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka
sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus-
menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos
akan terlalu mahal—seperti 30 September dan 1 Oktober 1965—
untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.
Tempo, 30 September 2007
50 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MYANMAR
Kau benar, Suu Kyi: keberanian bisa menular. Ia juga bi
sa menyentuh. Dunia kini tengah menyaksikan dengan
kagum deretan 10 ribu biarawan dan biarawati berju
bah merah berbaris dari Pagoda Shwegadon, menapak jalan-ja-
lan kota Yangoon. Telah sepuluh hari lamanya mereka utarakan
apa yang selama ini telah kau utarakan, mereka ucapkan apa yang
selama ini dibisukan: pemerintahan militer tak bisa diterima!
Myanmar tak bisa ditindas!
Mereka juga datang memasuki Avenue Universitas, mendekat
ke rumah tempat kau ditahan selama sebelas tahun. Seratus orang
polisi mencegah. Para biarawan itu mundur. Tapi akhirnya ada
yang juga mendekat. Orang-orang melihat kau muncul di jen-
dela. Kau melambai, menyambut mereka—dengan mata basah.
Aku ingin sekali berada di jalan itu, Suu Kyi. Tiap keberanian
untuk keadilan adalah cercah harapan—benda langka di zaman
yang sinis. Seperti berkah yang hilang, seperti wahyu yang sela-
lu tertunda. Tapi keberanian, biarpun sejenak, bisa menular, kau
pernah bilang. Aku tak heran ketika Aung Way, sang penyair, ke-
marin berkata, ”Besok banyak lagi yang akan serta!”
Hari ini, ada yang dihalau dari Myanmar. Tak akan banyak
lagi yang akan bilang: ”Kita semua hanya memikirkan diri sendi
ri.” Kau pernah katakan, rasa takut itu mengkorup jiwa, tapi ada
yang lebih jahat ketimbang itu, Suu Kyi: ketakpercayaan kepada
yang baik dalam diri sesama. Sinisme itulah yang membinasakan
kita.
Memang, orang bilang, sejarah tak selamanya dibikin dari op-
timisme. Sebab itu aku tak akan bicara tentang itu. Tapi jelas:
kelaliman, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dirasa
kan luas adalah sebuah kehilangan yang menusuk hati. Dari li-
Catatan Pinggir 9 51
http://facebook.com/indonesiapustaka MYANMAR
ang luka itulah keadilan disebut sebagai hasrat yang kuat dan ke-
bebasan jadi pekik yang keras. Tanpa seorang pintar pun yang
mendefinisikannya.
Kau pasti tahu, dari pengalamanmu, sebuah rezim tak dengan
sendirinya rubuh di depan pekik itu. Tapi para jenderal itu—de-
ngan seragam mereka yang wagu tapi yakin—kini tak bisa lagi
mengatakan, ”Hai, kalian tak mewakili bangsa ini! Kamilah
yang mewujudkannya!” Kini ribuan jubah merah yang bergerak
itu adalah tanda kesekian dari zaman yang bergerak, dengan su-
ara yang menggugat: ”Tuan-tuan tidak mewakili kami! Burma
telah jadi sebuah jurang!”
Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau
dalam tak punya udara lepas. Sebab bukan hanya protes seperti
itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa yang
selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil,
ungkapan lucu, saling tatap yang muram, bahkan senyum diku-
lum—semuanya jadi bagian dari penolakan. Karena tiap frase di
Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan
tiap represi membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu men-
jalar tak sepihak. Para jenderal di podium itu ikut terkena: bahasa
mereka tak berbunyi lagi.
Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini
dibiarkan oleh rezim karena cemoohnya dianggap tak berbahaya.
Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan ucapan-ucap
an lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku
dengar ia bilang akan menyediakan makanan dan minuman bag i
para pemrotes. Itu bukan isyarat sepele—sebab tentara telah me
nembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap, bebera-
pa biara dikepung, dan jam malam diumumkan.
Beberapa bulan yang lalu, di puncak Bukit Mandalay, di ba
lustrada yang memanjang dari patung perak Sang Buddha, biara
wan muda yang aku belum berani sebut namanya itu menunjuk
52 Catatan Pinggir 9
MYANMAR
jauh ke bawah. Lihat deretan bangunan kuning itu, katanya.
Penjara Myinchan. Dan aku tahu apa maksudnya.
Burma sebuah penjara, ia seperti menirukan Hamlet yang
menyimpan dendam. Tahun 1988, ia berbisik dalam bahasa Ing-
gris yang bagus. Kami semua ingat 1988. Apa yang terjadi di ta-
hun itu? Ia menjawab: 3.000 demonstran ditembak mati.
Dan dunia tak bisa berbuat banyak. Kau pasti cemas, Suu Kyi.
Dunia selalu tak akan bisa berbuat apa-apa kecuali mengeluar-
kan kata-kata jika nanti lebih banyak orang ditembak. Indonesia,
negeriku, yang pernah menumbangkan sebuah rezim yang mirip,
mungkin juga akan tak malu untuk hanya diam—sebagaimana
ia juga dulu tak malu-malu membiarkan kaum fasis itu masuk
ASEAN. Dan kami, yang di kejauhan menyatakan simpati, yang
menulis, membuat statemen, mengenakan baju merah mengikuti
protes di Yangoon dan Mandalay, hanya bisa sebatas ini.
Tapi keberanian tak hanya menular, Suu Kyi. Keberanian
membangun sesuatu ke dalam diri. Hari-hari ini protes mungkin
akan gagal. Tapi bangunan batin itu akan bisa tetap, mungkin
makin meluas dalam mengalahkan ketakutan, mengusir sinisme.
Mudah-mudahan ia akan lebih bertahan ketimbang sebuah re
zim—biarpun begitu banyak kekecewaan dalam sejarah. Sebab
Myanmar telah punya sebuah teladan: engkau. Sebab sejak hari
ini tiap pagi harapan memanjat naik, biarpun pelan, lebih tinggi
ketimbang 1.000 pagoda.
Tempo, 7 Oktober 2007
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 9 53
http://facebook.com/indonesiapustaka
54 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ŠVEJK
Hari itu 5 Oktober 1945. Tak seorang pun agaknya
yang ingat Švejk. Atau tak seorang pun di antara para
pemuda yang bertekad mendirikan angkatan perang
untuk Republik Indonesia yang baru berumur dua bulan itu yang
pernah membaca Švejk, Prajurit Baek.
Kita tahu kenapa. Waktu itu Indonesia sedang bertolak de-
ngan keyakinan seorang pemuda tanggung; ia belum tahu bahwa
banyak hal sebenarnya perlu diolok-olok—juga perkara yang mu-
lia dan luhur: tanah air, tuhan resmi, tentara nasional. Seingat
saya, Švejk, sebuah prosa yang penuh cemooh, baru dikenal di In-
donesia pada 1950-an, ketika Republik sudah mulai senyum ke-
cut dan novel itu diterjemahkan.
Karya satire Jaroslav Hašek ini terbit dalam bahasa Cek pada
1923. Inilah kisah Josef Švejk, seorang prajurit yang ikut dalam
Perang Dunia I—sebuah perang yang bagi Hašek bukan cuma
brutal, tapi juga sia-sia dan tak beralasan.
Agar mudah membayangkan sosok Švejk, kita lihat ilustrasi
Josef Lada yang menyertai novel ini sejak awal: si prajurit berumur
sekitar 40, tambun dan sedikit buncit perutnya, dengan hidung
yang mencuat seperti sosis goreng. Seluruhnya kaku. Alkisah, de-
ngan antusias ia mendaftarkan diri di dinas militer. Tapi ia begi
tu dungu sehingga tak jelas benarkah ia mau berjuang atau justru
hendak mengacaukan tentara Kerajaan Austro-Hungaria dari
dalam, saking pandirnya.
Ada situasi absurd dalam tiap novel ”picaresque”, dalam tiap
kisah petualangan si kebayan. Švejk, Prajurit Baek sering diang-
gap sebagai novel anti-perang, tapi yang diolok-olok bukanlah
kekerasan besar itu. Bahkan tak ada adegan pertempuran dalam
karya Hašek ini. Švejk memunculkan sesuatu yang lebih tak ma-
Catatan Pinggir 9 55
http://facebook.com/indonesiapustaka ŠVEJK
suk akal, kocak saking absurdnya, dan menakutkan: birokrasi
tentara.
Mesin manusia inilah yang membuat seorang serdadu seperti
Švejk jadi sebutir bola lembek yang ditendang ke sana-kemari di
sebuah pertandingan yang edan.
Tapi bisa juga dikatakan bahwa Hašek tak cuma bicara ten
tangitu. Semua organisasi besar jadi bulan-bulanannya, dan se
mua oknum yang terlibat ditertawakannya: dari maharaja, pen-
deta, sampai pejabat rendah, semua ditampilkan tak becus, atau
teler, atau berpikir sempit dan rasialis. Tentu saja mereka menga
tak an mereka menjalankan tugas. Tapi atas nama tugas pula me
rek a bisa agresif, baik dengan kata maupun dengan perbuatan—
terutama terhadap anak buah.
Walhasil, dalam Švejk, Negara terjadi karena hasrat mencipta
kan tertib, dan tertib itu berarti kepatuhan. Sifat ”baik” pun sa
ma dengan sikap ”tunduk”. Tapi Hašek menunjukkan, dengan
tertawa geli, bahwa hasrat penaklukan itu cuma ilusi. Si Švejk di-
katakan sebagai prajurit yang ”baik”, tapi ia tetap mencong ke
sana-kemari, hingga di sini saya lebih suka menyebutnya bukan
”baik”, tapi ”baek”.
Para penguasa—contoh yang paling mencolok adalah para
pembesar militer—selalu tak insyaf bahwa mereka sebenarnya
dibatasi sejarah. Negara tak datang dari langit. Ia dibangun oleh
tangan dan kaki manusia dalam sebuah ruang dan waktu terba-
tas. Ia tak ajeg dan tak kekal. Tapi, lebih dari itu, ia juga ditopang
oleh riwayat kekerasan. Legitimasinya didasarkan pada sebuah
masa lalu yang sebenarnya tak legal, bahkan ganas.
Legenda Roma adalah paradigmanya: kota itu dibangun oleh
Romus dan Romulus, tapi Roma praktis terjadi setelah Romus
memb unuh saudaranya itu. Indonesia (juga Amerika Serikat,
Cina, India, atau mana saja) pun berdiri lewat permusuhan, pe-
nyingkiran, dan pemaksaan sesama saudara.
56 Catatan Pinggir 9
ŠVEJK
Tentu saja tak sepenuhnya sejarah adalah kisah yang berdarah.
Setelah kekerasan, lahirlah simbol, mitos, dan seluruh produksi
wacana—yang sering dirancang untuk mengukuhkan diri.
Satu cerita dalam Švejk adalah kisah prajurit Marek. Sukare-
lawan ini diberi tugas menulis sejarah batalion tempat ia berga
bung. Ia pun sibuk menuliskan tindakan heroik batalion itu—
tapi lebih dahulu, sebelum perang sebenarnya terjadi.
”Sebutkan nama seorang sersan mayor di kompi 12,” kata Ma
rek sambil merancang karya sejarahnya. ”Houska? Bagus. Nanti
dalam pertempuran kepala Houska akan copot kena ranjau. Ke-
palanya akan terlontar, tapi tubuhnya akan berbaris maju satu
atau dua langkah, membidik dan pesawat musuh itu jatuh.”
”Historiografi” seperti itu tentu saja menggelikan, sebab keli-
hatan bagaimana Marek merancang agar akal sehat dan imajinasi
diperkosa.
Tapi Negara dan legitimasinya tak pernah kekal. Yang disusun
Marek akan rontok. Akan muncul seorang Hašek yang tak mau
terkesima wacana resmi. Bukan maksudnya menuliskan sejarah
tandingan—sebab sejarah tandingan juga bisa tergoda dusta. Se-
perti Idrus dalam novel Surabaya, yang mengisahkan kembali
hari-hari pertempuran November 1945, seorang Hašek mungkin
akan menulis yang lain tentang 5 Oktober—dan membuat kita
arif: siapa saja yang dengan mesin dan wacana mencoba membuat
kita ”baik”, paling-paling hanya akan membuat kita gagal meme
nuhi rumusnya; kita hanya jadi ”baek”.
Tempo, 14 Oktober 2007
http://facebook.com/indonesiapustaka Catatan Pinggir 9 57
http://facebook.com/indonesiapustaka
58 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PO KYIN
Apati adalah produk samping kolonialisme yang menye-
babkan kemerdekaan dianggap keliru. Mungkin bukan
hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melain
kankombinasi antara bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesu
atu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi lagi.
Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel
Orwell Burmese Days ini memang tak mudah dilupakan: ia ada
lah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas yang tak
bisa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk
menghancurkan orang yang didengkinya, dan ia ingin memper
oleh semuanya—juga surga.
Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim per
adila n rendah di Kota Kyauktada, Burma Utara, sedang duduk di
beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi langit
warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang pan-
jang dan gerah. Tapi U Po Kyin, seperti patung dewa dari porse-
lin, tak bergeming.
Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia
tak bisa bangkit dari kursinya tanpa ditolong. Kepalanya gundul,
raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak berkerut.
Tungk ai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya.
Ia mengenakan sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau
dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma untuk acara tak
resm i. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari
kotak kayu dipernis di meja dekatnya.
Ia, U Po Kyin, sedang merenungkan nasibnya yang baik.
Suksesnya dimulai dengan sebuah keputusan ketika ia masih
seorang anak yang terkesima melihat pasukan Inggris berbaris
masuk penuh kemenangan ke Kota Mandalay. Memandang ba
Catatan Pinggir 9 59
http://facebook.com/indonesiapustaka PO KYIN
risan laki-laki bermuka merah dan berseragam merah itu, yang
menyandang senapan panjang di pundak dan melangkah dalam
derap yang berat tapi berirama, ia lari. Kesimpulannya: manusia
yang baru datang itu tak akan terkalahkan. Dan Po Kyin kecil
pun bertekad untuk bergabung dengan bangsa itu, nanti bila ia
besar. Ia tak hendak memihak Burma yang kalah.
Pada umur 17 ia mencoba jadi pegawai gubernemen, tapi ga-
gal. Ia miskin dan tak punya koneksi. Maka tiga tahun lamanya
ia bekerja di lorong-lorong pasar Mandalay yang apak dan bacin,
jadi kerani saudagar beras, seraya sekali-sekali mencuri. Pada
umur 20 ia dapat 400 rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan,
dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di ibu kota itu ia
berh asil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah.
Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meski
pungajinya kecil. Ia menilap banyak barang dari gudang guberne
men. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah lowongan
terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang ke-
banyakan masuk penjara, dan dengan itu ia naik.
Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim per
adila n rendah Kota Kyauktada, dengan sikap adil yang terkenal
tapi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin
akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemu-
dian memutuskan berdasarkan hukum yang ada.
Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira
Orw ell sedikit berlebihan menampilkan tokoh yang begitu busuk
dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po Kyin. Novel
ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit
oleh kolonialisme—dibelah oleh prasangka dan kebencian rasial,
yang pada akhirnya merupakan garis kebijakan penjajahan juga.
Bila ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa—yang
anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang diang-
gap setara—kita tahu sebabnya: diskriminasi dan penghinaan
60 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PO KYIN
karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang sumsum
siapa saja.
Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu
sendiri mereproduksinya dalam hidup mereka. Po Kyin akan
menghalalkan tindakan apa saja—menghasut, membuat keru
suhan, memfitnah—untuk dapat disetarakan dengan orang pu-
tih di Klub Eropa. Dr Veraswami, orang India berkulit gelap itu,
mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan menganggap
bahw a manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica.
Ketika sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan
mata nyalang melihat akibat buruk kolonialisme, Veraswamijus-
tru membantahnya. ”Lihat Burma di zaman Thibaw,” katanya,
”dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang
tamp ak sekarang di sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor
polisi....”
Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan
mereka perlukan. Bagi orang macam mereka, kemerdekaan tak
pernah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan se-
buah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadil
an mengepung hidup mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui,
tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang menjebak mereka,
bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menang—
itu bahkan terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan
bangsa yang terjajah itu: tak ada perlawanan.
Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myan-
mar hari-hari ini menjawab: tidak.
Tempo, 21 Oktober 2007
Catatan Pinggir 9 61
http://facebook.com/indonesiapustaka
62 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PULANG
Pulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa
juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung pa-
nas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan ma
ti, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”?
”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang,
tap i juga waktu. ”Pulang” berarti kembali ke tempat asal, ke titik
di bumi dari mana aku berangkat, dulu.
Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuai
kan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas
kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon.... Bila
para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang se-
makin konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya.
Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai
bag ian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas.
Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga
Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto mo-
dernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi.
”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk te
duh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan
untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang
penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia be-
rani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.
Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik
ke tradisi. Tradisi mengandung tuntutannya sendiri. Modernitas
adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.
Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang
anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar di
lepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang
kin i jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang
Catatan Pinggir 9 63
http://facebook.com/indonesiapustaka PULANG
yang disunat yang jadi dewasa.
Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau
melantunkan kembali melankoli kehilangan dalam ritus itu—
ketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang
rind u dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang
putus. Saya kutip bagian akhir sajak itu:
Si anak hilang kini kembali
tak seorang dikenalnya lagi
berapa kali panen sudah
apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
ibu menghampiri ingin disapa
anak memandang ibu bertanya
ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
dingin Eropa musim kotanya
ibu diam berhenti berkata
tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
bapa lama sudah mendengkur
di pantai pasir berdesir gelombang
tahu si anak tiada pulang
64 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PULANG
Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bu-
kan sajak bebas, tapi berbeda dengan sastra tradisional, dalam
Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens. Anak
muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan ”dingin
Eropa” yang belum sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak
bic ara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di sekitarnya, juga
suara kangen sang ibu.
Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada
akhirnya hanya gelombang yang berdesir yang tahu bahwa ia me-
mang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu ia datang
dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana ge
lomb ang berasal, ke mana ia menghilang.
Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu ter-
dengar seruan agar kita ingat akan akar kita. Yang sering dilupa
kan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan sen
dirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah
hasil seleksi terhadap ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya ber
akar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada keluarga ter-
tentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan
dengan nilai tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan dise-
but sebagai identitas, timbul masalah.
Saya pernah mengatakan, ”jati diri” adalah sebuah kata yang
meragukan. ”Jati” berarti ”benar”; tapi mana sebenarnya ”diri”
yang ”benar”? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk itu. Pulang
ke dalam ”diri” yang ”benar” pada akhirnya juga sebuah pengem-
baraan tersendiri, sebab yang ”benar” itu hanya tercapai sementa
ra, semacam sebuah pelabuhan transito.
Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris
yang berisi petuah:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli beranak beli
Catatan Pinggir 9 65
http://facebook.com/indonesiapustaka PULANG
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu
Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan
menetap—dari mana lahir Takdir dan Sitor. Talibun itu memang
tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak yang
hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa
teluk yang terlindung telah ditinggalkan. Sang perantau tak ber-
jalan untuk mencari ibu, melainkan ”induk semang”. Dengan
kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan
san ak keluarga tapi bersedia menerima sang perantau, yang juga
asing.
Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di ja
ringan Internet tapal batas raib, justru bertambah rasa takut ke
pada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian konser-
vatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain,
untuk sebuah pembebasan, ”Tak seorang berniat pulang, walau
mati menanti.”
Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.
Tempo, 28 Oktober 2007
66 Catatan Pinggir 9
SEPATU TUA
http://facebook.com/indonesiapustaka Victor yang baik,
Percik darah saya yang pertama
Di bumi ini tumpahnya
Rendra menulis Sajak-Sajak Sepatu Tua: jika ada hu
bunga n yang intim dan mendasar antara seseorang de-
ngan sepetak tanah—dan hubungan itu tumbuh jadi
puisi—kita menyaksikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh
kapitalisme.
Kapitalisme akan mengubah petak tanah itu jadi ruang yang
bisa dipertukarkan. Setelah itu, atau berbareng dengan itu, di
konsumsi. Konsumsi adalah laku menghabisi. Si petak tanah
mengalami proses seperti nasi tumpeng: ia mempunyai sesua tu
yang indah ditata dan diberi makna simbolik, tapi setelah itu
akan berubah jadi santapan, benda yang siap dikunyah dan dite
lan. Mengkonsumsi adalah membikin ludes.
Sepatu tua yang menemani kakiku bertahun-tahun, yang be
gitu kenal dengan raut telapak dan jariku, yang merupakan bagi
an pengalaman hidupku, oleh kapitalisme akan dianggap sebagai
sesuatu yang mendekati habis. Kata ”tua” akan menjadi sama de-
ngan ”bekas”: sepasang sepatu yang aus, perlu dibuang, dan harus
dig anti dengan yang baru.
Dalam arti tertentu, kapitalisme memisahkan hampir segala
hal. Dengan memberi harga, kekuatan modal dan pasar bisa
memb elah sepetak tanah dan sepasang sepatu ke dalam nilai gu
na dan nilai tukar, memisahkan apresiasi dari konsumsi, memi
sahkan yang kreatif dari yang produktif, memisahkan pengha
yatan dari sukses—dan kemudian menindas yang disebut perta-
ma. Sepatu itu tidak lagi bagian dari hidupku; ia dilepaskan dari
Catatan Pinggir 9 67
http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU TUA
sejarah tubuh dan kenanganku. Ia, sebagai bekas, akan jadi ben-
da yang tak perlu disimpan. Ia hanya elemen dalam perputaran
perdagangan, termasuk perdagangan di pasar loak.
Pemisahan seperti itu yang menyebabkan sebuah komoditi
jadi semacam hewan korban. Dipisahkan dari statusnya sebagai
sesuatu yang unik, yang singular, ia bisa dipertukarkan dengan
sesuatu yang datang dari yang tak tampak. Dalam agama, ia dise-
but ”rahmat Tuhan”; dalam kapitalisme ia disebut ”harga” yang
ditentukan oleh ”tangan yang tak terlihat.”
Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu
karyanya yang diterbitkan setelah ia meninggal, melihat kapital-
isme sebagai agama. Yang dikatakan Agamben dalam Profana
tions (Zone Books, 2007) tentang perkara ini membuat saya me
mik irkan kembali satu segi agama dan kapitalisme yang dapat
memb uat mereka bergandengan—gejala yang kini tampak di
mana-mana.
Agama, dalam arti yang dikenal di bahasa Barat, bukan ber-
asal dari kata religare, sesuatu yang mengikat dan menyatukan
yang insani dengan yang ilahi. Menurut Agamben, asal kata reli
gio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap penuh hati-hati
dan cermat yang harus kita miliki ketika berhubungan dengan
para dewa. Harus ada kekhusyukan yang waspada di depan ben-
tuk dan formula, yang harus ditaati ketika kita memisahkan ma
na yang sakral dan mana yang profan. Religio bukan menyatukan
manusia dan dewa, melainkan meneguhkan bahwa masing-ma
singterpisah jelas.
Sebab itu, kata Agamben, yang menentang agama bukanlah
sikap tak beriman kepada yang ilahi, melainkan sikap abai, atau
perilaku yang bebas dan tak terpaku oleh pemisahan itu. Melaku-
kan sesuatu yang profan, kata Agamben, berarti membuka ke-
mungkinan untuk sikap yang acuh tak acuh, atau lalai terhadap
pemisahan antara yang sakral dan yang tidak.
68 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU TUA
Namun saya kira ada yang dilupakan Agamben: apa yang ter-
jadi setelah pemisahan. Seperti saya sebut di atas tentang pemi
saha n yang terjadi oleh kapitalisme, ada penindasan yang satu
oleh yang lain. Demikianlah nilai guna ditindas oleh nilai tukar,
dorongan kreatif didesak oleh dorongan produktif, apresiasi atas
satu barang ditenggelamkan oleh konsumsi yang membuat ba-
rang itu ludes dan terbuang.
Dalam agama, perpisahan antara yang insani dari yang ilahi
akhirnya juga dicoba dilenyapkan ketika kehidupan yang profan
dicengkeram oleh gairah untuk membuat semuanya jadi wilayah
Tuhan, ketika ”kota manusia” hendak dilindas oleh ”kota Tu-
han.”
Itu sebabnya para dewa atau Tuhan ”cemburu”, dalam pe
ngertian Perjanjian Lama dan sajak Amir Hamzah, ketika manu
sia abai. Atau ketika ia lebih akrab dengan sebuah benda, atau se
petak tanah dan segala yang dianggap tak layak menyaingi-Nya.
Seperti halnya kapitalisme tak akan dengan mudah membiarkan
benda-benda tak dipertukarkan, bebas lepas dari harga, uang,
dan proses komodifikasi.
Tapi akan menyerahkan manusia? Mungkin ya—tapi tak se
lamanya. Terutama jika ia menemukan cara membebaskan hal ih-
wal melalui apresiasi yang tanpa perhitungan—lewat permainan,
misalnya, atau lewat puisi, dan keakraban dengan pengalama n
yang datang dari hidup. Dengan kiasan Rendra, lewat sajak-sajak
sepatu tua: sesuatu yang tak kekal, tetapi lebih berarti ketimbang
mati, sesuatu yang tak berguna dan bisa dibuang, tetapi tak akan
bisa dicampakkan. Sesuatu yang bisa bertahan dari keangkeran
agama yang merengkuh ke mana-mana dan mampu mengelak-
kan desakan kekuatan yang disebut pasar yang menjerat apa saja.
Suatu sikap abai, tapi bisa mengembalikan apa yang bermakna.
Tempo, 4 November 2007
Catatan Pinggir 9 69
http://facebook.com/indonesiapustaka
70 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KRESNA
DI lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan—dan
pangeran dari Dwarawati itu merasakan suasana itu be-
gitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan
ular ikut menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang
menjorok melampaui tebing. Tak ada cerah yang tersisa, rasanya.
Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Boma
memp orakpandakan wilayah itu. Di tepi hutan, ladang-ladang
telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara pema-
tang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah;
dind ingnya tak berbekas. Hari-hari murung. ”Dan di pohon-po-
hon beringin, capung pun bertangis-tangisan sedih ditinggalkan
oleh mereka yang mencintai keindahan.”
Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif
Jawa Kuno yang ditulis di abad ke-12. Diterjemahkan oleh A.
Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini me
ngisahkan perang antara pasukan Kresna dan balatentara Raja
Boma yang menyerbu dan merusak pusat-pusat pertapaan di se
kitar Dwarawati.
Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta per
lind ungan, Kresna pun mengirimkan Samba, putra mahkota, ke
wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip di atas adalah
adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.
Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bo
ma itu memang dahsyat, dengan ribuan gajah, kuda, dan manu-
sia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas, perut robek,
jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah
pertempuran malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Ju
ga Arjuna, dengan kematian yang diikuti pekik bumi dan gemu
ruh laut yang berkabung.
Catatan Pinggir 9 71
http://facebook.com/indonesiapustaka KRESNA
Tak urung, Kresna pun turun gelanggang. Berhadapan de-
ngan Boma yang ganas dan tak terkalahkan, ia dengan serta mer
tamengubah diri jadi Wisnu dalam bentuk yang mengerikan,
yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: ”Mon-
ster dari tiga dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya,
mengh itam bagaikan semut, menghunus berbagai senjata, di an-
tara gelimang darah dan untaian usus manusia....”
Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Boma pun kalah, tewas.
Kisah telah mencapai dan melampaui klimaksnya.
Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya
oleh kesusastraan Jawa setelah abad ke-18; Ronggowarsito hanya
akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang tak
bern ama yang hidup di masa Jawa Hindu itu.
Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir
cerita ini. Di dua bagian dikisahkan dengan khidmat bagaimana
para dewa memberi Kresna—yang telah rela mengorbankan
anakn ya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata—
sebuah anugerah.
Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah ta
wara n kepada Kresna yang berduka cita: ia boleh memilih sese
orang di antara yang tewas dalam perang itu untuk dihidupkan
kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sen
diri? Atau Raja Basudewa? Atau Arjuna?
Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sa
nak saudaranya sendiri. Yang dimintanya kembali dari pelukan
Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang tak
pun ya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kres-
na untuk meminta perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya
dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata itu.
Di canto 111 kembali para dewa memberi Kresna anugerah.
Kali ini Kresna minta lebih: agar semua dihidupkan kembali—
term asuk musuh-musuhnya. Katanya:
72 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KRESNA
Cedi, Karna, dan Jarasandha
Semua jelas musuh hamba
Tapi kembalikanlah juga mereka dari kematian
Bersama keluarga mereka
Permintaan Kresna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia
seb enarnya mengingatkan: tiap perang, tiap perjuangan untuk
pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang universal
dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan.
Boma, ”najis pada seantero bumi”, kalêngka ning rat, harus
disingkirkan. Tapi bukan agar mampu meyakinkan secara uni-
versal tentang apa yang ”najis” maka Kresna menjelma jadi Wis
nu. Ia jadi Wisnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa
itu, justru karena Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bo
mamenggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat ”tiwikrama”.
Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kresna adalah suby ektif:
ia jadi kukuh. Tapi juga universal: perang itu, kematia n Boma
itu,bukan buat dirinya sendiri, melainkan buat semua, juga mu-
suh-musuhnya.
Sesuatu yang subyektif, namun juga universal—itulah para-
doks tiap perjuangan politik. Di awal perjuangan itu harus ada
garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan ka
wan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki?
Dalam saat ”tiwikrama”, ketika Kebenaran menggugahku, dan
aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan maknanya. Tapi
pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang
membuat makna itu begitu penting.
Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum per-
juangan dimulai. Justru yang universal berangkat dari ketiadaan
—sebuah situasi di mana aku tak punya apa pun yang membe-
bani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843
ketika ia mencoba merumuskan arti ”proletariat”: ”Aku bukan
Catatan Pinggir 9 73
http://facebook.com/indonesiapustaka KRESNA
apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi segalanya.” Dari situasi
ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan
pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilang-
nya semua kelas sebagai perumus identitas.
Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang
didengarkan Kresna: ”Jangan bersikukuh ketika si lemah datang
kepada Paduka.” Maka mantan raja Druma, yang tak punyaapa-
apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si le-
mah, si ”bukan apa-apa”, mengingatkan kita bahwa jika ada yang
universal dalam manusia, itu adalah karena ia bisa hadir sebagai
”segalanya”. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan se-
lama-lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.
Tempo, 11 November 2007
74 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MACET
Jalan raya adalah sejarah politik.
Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk per
siapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” se
panjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan
Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa
Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat
Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa,
berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar
gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.
Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu ram-
pung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena di-
kerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas.
Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan
hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini
sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.
Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah
kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para pe
nguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disang-
gah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”,
sebuah istilah yang kini masuk ke kamus politik Indonesia, dan
sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim
Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu.
Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipu-
kuli, ada bangunan yang dirusak.
Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, ja-
lan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin meng
ubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika fo-
rum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sam-
bungan lagi dengan orang ramai.
Catatan Pinggir 9 75
http://facebook.com/indonesiapustaka MACET
Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuh-
nya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah
para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the
Arab Streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rak
yatberdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergem
bira,marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut nege
ri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk
partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang
tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para po
litikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara
yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.
Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang
gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala da
lam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics:
Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menye
butnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Ba
yat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi ma-
suknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak
mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-
diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang
di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat,
”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan
bera lih ke ranah politik.”
Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia ber
kunjung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang sopir. Di
tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu se
mua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian
melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah laku yang
terlarang.
Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru
”kehadiran agama” paling terasa: tiap kali ribuan orang tak me-
matuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para aya
76 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MACET
tullahyang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidup
an. Mereka sedang berkonfrontasi dengan hukum syariah yang
mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah, tatkala di bela
kang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya
saat untuk bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang
Teheran yang diam-diam menikmati alkohol dan percakapan be-
bas di ruang privat mereka.
Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaima-
na jalan raya adalah sebuah arena politik—setidaknya the politics
of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini le
bihjauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu
adalah bagian dari gerak sejarah yang selalu menggagalkan kese
rakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan lalu lintas,
mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk
menertibkan hanya sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap
para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki ”ketaatan”
atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para
pengendara mobil (ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut
tiap celah avenue.
Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga se-
jarah keserakahan dan perebutan. Dengan kata lain, sejarah ke
langkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung
macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak
cukup—sebuah kelangkaan akibat gagalnya para penghuni kota
membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang menggerakkan
kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.
Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak seka-
dar sebuah alat transportasi; ia juga sebuah pesona. Dari waktu ke
waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena sebuah
”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang
sama, komoditi yang memancarkan pesona itu bertaut dengan
hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu selalu merangsang
Catatan Pinggir 9 77