The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:19:26

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka IBRAHIM

kan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-
Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan na-
manya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: ”Bila ayah ba­
ringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan
ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir, bila ayah
melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah
akan batal melaksanakan perintah Allah.”

Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang ter­
masy­h­ ur itu, yang bertahun 1635. Judulnya ”Pengurbanan Is­
hak”.­­Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St Peters­
burg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim men­ ut­up­
wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega
melihat mata si bocah dalam kesakitan.

Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar­
dan gementar Ibrahim sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Da­
lam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir Kristen Den-
mark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama:­
Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierke­
gaard­tak melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang ke­dua.­
Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Seba­gai­
mana ditulis dalam Kitab Kejadian:

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu
menga­ mbil pisau untuk menyembelih anaknya.
22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepad­ a­
nya: ”Abraham, Abraham.” Sahutnya: ”Ya, Tuhan.”
22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan
kauapa-apakan dia.”
Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi
dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan ki­
rin­ ya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah

728 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka IBRAHIM

sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak
sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.

Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia,
da­lam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi.
Agak­nya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan
atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa do­
sa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah
pertama Tuhan.

Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emma­
nuel Levinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu
mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam
esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abra-
ham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia
punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar
suara kedua-itu esensial”.

Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang
kur­ban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak teperma-
nai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah
Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”

Dan bagi Levinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah
men­ getuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung ja-
wab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat
itu. Ia jadi berarti karena itu.

Tempo, 28 November 2010

Catatan Pinggir 9 729

http://facebook.com/indonesiapustaka

730 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ORAKEL

SYAHDAN, dewa-dewa berhenti bicara, sekitar abad per-
tama tarikh Masehi. Yang saya maksud adalah dewa-de-
wa Yunani, yang berabad-abad sebelumnya dipercaya me-
nyampaikan pesannya kepada manusia melalui orakel. Mereka
seakan-akan telah pergi.

Apa sebabnya?
Pada mulanya, takjub, gentar, dan merasa tak berdaya melihat­
angkasa yang tak terbatas, orang Yunani Kuno merunduk. Mere­
ka menegakkan satu sesembahan, yakni langit itu sendiri. Seperti
di mana pun, dulu dan sekarang, mereka percaya bahwa alam se-
mesta—yang tak selamanya bisa ditebak itu—mengandung ke­
kuatan supernatural yang bebas dari daya manusia.
Tapi kemudian yang disembah terasa begitu jauh, begitu ab­
strak, begitu susah dipahami. Maka ia dibayangkan punya sosok­
seperti manusia: mula-mula disebut Uranus, kemudian Zeus.
Dan dari sini mithologi berkembang. Politheisme lahir dengan
banyak sekali dewa. ”Nama-nama mereka semua,” kata Hesiodos,­
penyair dan pencerita lisan yang hidup antara abad ke-8 dan ke-7
sebelum Masehi, ”akan merepotkan manusia yang fana bila harus
mengisahkannya.”
Di Olimpus, nun di puncak itu, sejumlah besar dewa pun
ting­g­ al,­hidup bersama, bersengketa, saling dendam, saling mem­­­
ban­tu.­Di bawah, di bumi, sang dewi Gaea. Di sampingnya, ri­b­ u­
an dewa-dewi yang kur­ang penting menghuni dan menjaga air,
udara, laut, hutan, dan angin.
Tampaknya itulah cara orang Yunani Kuno menafsir Ada—
atau lebih tepat: misteri Ada. Mereka menyadari, mungkin de-
ngan terkesima, bahwa langit, laut, darat, dan segala isinya itu
”ada”—satu keadaan yang jadi penting (dan memukau) karena di

Catatan Pinggir 9 731

http://facebook.com/indonesiapustaka ORAKEL

sisi lain, manusia juga mengenal keadaan ”tidak ada”. Kelahiran,
kem­ atian. Saya tak tahu kapan monotheisme lahir pertama kali­
nya,­dan apakah itu tak pernah terjadi dalam alam pikiran Yuna­
ni.

Saya tak tahu apakah dalam menafsirkan Ada itu orang-orang
Yunani Kuno ada yang bertemu dengan satu pengalaman religius
yang dialami orang di masa lain, di tempat lain. Ataukah mereka
mendapat wahyu. Yang kita tahu, Yunani Kuno tak sepi dewa-
dewa.

Saya kira, politheisme itu berkembang dari suatu sikap yang­
pan­theis­tik—tapi kemudian menampiknya. Sikap yang pan­the­
ist­­ik menganggap segala sesuatu yang ada sebenarnya Satu, ta­
pi Sat­u yang memanifestasikan diri-Nya dalam segala ben­da.
Mist­eri Ada meruap di mana-mana. Manusia tak henti-hent­in­ ya
bertanya­dari mana dan kenapa ia datang, ke mana dan ke­n­ apa ia
pergi. Tak mudah menjawab. Manusia terpukau.

Mungkin itu sebabnya pantheisme menyamakan Yang Satu
dengan Yang Suci, atau ”yang ilahi”.

Tapi dari sini politheisme kemudian berkembang lain. Bagi si­
kap pantheistis, Yang Suci itu tak bisa diwujudkan dalam sosok­
sesembahan yang personal—apalagi mirip manusia, dengan ge­
rak,­ kehendak, kecemburuan, dan kemarahannya. Politheisme
seb­ aliknya. Zeus beristri dan beranak, berhasrat dan beremosi.

Saya ingat satu sajak Amir Hamzah, ketika berdoa di depan
Tuhan yang tak mudah dimengertinya: ”Aku manusia, rindu ra­
sa, rindu rupa”. Politheisme seperti yang terdapat di Yunani Kuno
menyatakan kerinduan itu dalam nama, upacara, patung, dan
kisah-kisah.

Tapi tetap saja: jarak antara dewa-dewa dan manusia tak mu-
dah terjembatani. Maka dibutuhkan orakel.

Orang-orang yang dianggap bisa jadi perantara dengan apa
yang diniatkan penghuni Olimpus hadir di mana-mana dalam

732 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ORAKEL

kehidupan zaman itu. Ada sejumlah perempuan yang disebut
Sibyl (”Kehendak Dewa”). Mereka memaklumkan orakel yang
dipercayai luas.

Yang termasyhur di Delphi. Di situ, dewa yang diajak bicara
adal­ah Apollo. Tiga perempuan tua yang tanpa cela dalam hidup­
dianggap jadi perantaranya. Yang paling utama, disebut Pythia,
akan duduk di sebuah tripod tinggi di tepi sebuah lubang besar
dar­i mana keluar gas yang ganjil. Seraya mengunyah daun-daun
yang memabukkan, sang Pythia akan menghirup gas itu, dan
akhirnya ia mengigau. Kata-katanya itulah yang dianggap jawab­
an Apollo kepada manusia.

Tapi kalimat yang tak jelas itu harus ditafsirkan oleh para pen-
deta. Interpretasi bisa bertentangan. Maka si penanya sendiri
yang sebenarnya memilih jawaban.

Pada akhirnya, manusia itulah yang memilih.
Mungkin itulah kemudian yang menyebabkan dewa-dewa
ber­henti bicara. Di abad pertama Masehi, dari sebuah diskusi di
Delphi, Plutarch, pemikir dan tokoh publik yang terkemuka itu,
menulis buku yang dalam terjemahan Latinnya disebut De De­
fectu Oraculorum. Di sana, bersama beberapa tamunya, Plutarch
mengemukakan problem: mengapa orakel mulai kehilangan da­
yan­ ya: tak terasa lagi sebagai wahyu para dewa.
Tak ada jawaban yang final. Hanya Plutarch menunjukkan
sa­tu indikasi, ada tanda-tanda kematian para dewa—sekian ra-
tus tahun sebelum Nietzsche mengumumkan, Tuhan telah mati.
Mungkin karena orang makin sadar, orakel sebenarnya dibentuk
oleh tafsir yang tak pasti dan bahasa yang terbatas.
Tapi ada dua sikap yang sebenarnya bisa tumbuh dari sini.
Yang pertama, manusia makin merasa penting. Misteri ten-
tang Ada makin tak menggetarkan dan memukau lagi. Hanya
orang yang percaya takhayul yang meneruskan itu. Dan oleh Plu-
tarch mereka yang percaya takhayul diejek sebagai ”takut akan

Catatan Pinggir 9 733

http://facebook.com/indonesiapustaka ORAKEL

dewa-dewa, lari berlindung kepada mereka, dan marah kepada
mereka, menjilat mereka, bersumpah kepada mereka...”.

Yang kedua, manusia seharusnya makin sadar, betapa besar
pe­ran bahasa yang terbatas yang dipakai untuk menafsirkan mis-
teri dari Ada. Dengan demikian semakin sadar pula ia seharus-
nya, bahwa tuhan atau para dewa tak dapat ditemui tanpa meng-
hayati bahwa dunia dan isinya menyimpan apa yang ilahi, apa
yang suci, apa yang transenden.

Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang
berharga di dalamnya.

Tempo, 5 Desember 2010

734 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PENCERAHAN

Agama tak mati-mati. Tapi juga sekularisasi. Jangan-ja­
ngan karena keduanya sebenarnya tak bertentangan.
Pernah ada suatu zaman ketika orang-orang pintar me­
ngira bahwa agama (”candu bagi orang banyak”, kata Marx) akan
terhapus dari kehidupan.

Dari Eropa, suara seperti ini menyebut diri suara ”Pencerah-
an”. Mereka gambarkan manusia melangkah dari gelap ke cerah.
”Gelap” berarti kondisi ketika manusia berpikir dan memandang
dunia dalam bimbingan doktrin dan dogma. ”Cerah” berarti hi­
langn­ ya dua hal itu. Dengan ”Pencerahan”, manusia bebas dari
ke­tergantungan kepada kepercayaan yang mengikat pikirannya.
Kita ingat perumusan Kant yang termasyhur itu: ”Pencerahan”
berarti keluar dari Unmündigkeit, ketidakdewasaan atau keter-
gantungan kepada bimbingan orang lain—sebuah keadaan yang
sebenarnya dibikin si manusia sendiri, selbst verschuldeten.

Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun 1789: Revolusi Prancis.
Orang-o­ rang atheis menyingkirkan keyakinan dan lembaga
agam­­ a dari kehidupan publik. Revolusi ini punya dampak yang
mendalam dan panjang pada proses sekularisasi, sampai di Pran-
cis (dan Eropa) hari ini. Tapi tak berarti agama lenyap.

Mula-mula beberapa tokoh revolusi menegakkan ”pemujaan
ke­pada akal budi”, Culte de la Raison. Kultus ini tak mengenal
ses­embahan. Dekristenisasi berlangsung, Tuhan dimakzulkan.
Tapi itu tak bertahan lama. Tahun 1794, ketika ia jadi pemimpin
Revolusi, Robespierre menghukum pancung para pelopor anti-
Tuh­ an. Ia pun menegakkan Culte de l’Être suprême, pemujaan
kep­ ada Wujud Yang Maha Luhur. Ia percaya manusia perlu Tu-
han, setidaknya untuk meneguhkan keadilan sosial. ”Andai Tu-
han tak ada,” tulis Voltaire di tahun 1770, ”ia harus diciptakan.”

Catatan Pinggir 9 735

http://facebook.com/indonesiapustaka PENCERAHAN

Kant kurang-lebih berpikiran sama.
Memandang Tuhan sebagai yang berguna—Tuhan yang ins­

tru­mental itu—tak berhenti dengan gagalnya proyek Robespie­
rre. Bahk­­ an sebenarnya tak bermula dari sana. Ketika manusia
berpik­ ir, sejak masa Aristoteles, bahwa makhluk di dunia ini pasti­
ada penyebab pertamanya (causa sui, penyebab yang tak disebab-
kan apa pun), konsep ”Tuhan” ditemukan. Konsep itu diletak-
kan sebagai dasar argumen. Kemudian, di zaman ketika manu-
sia memakai Tuhan untuk memperkuat posisi politik dan me-
nambah kekayaan, atau sekadar menenteramkan hati yang takut,
Tuhan juga ada untuk berguna. ”God is a concept to measure our
pain,” kata John Lennon.

Dengan demikian, Tuhan tak lagi sakral. Ia jadi sesuatu yang
prof­an. Posisinya tak jauh beda dari ”instrumen” lain. Di situ se­
kularisasi terjadi tapi tak atas nama sekularisme. Agama berkelin­
dan semangat profan, dan sebaliknya, agenda yang profan (ala
Ro­bespierre atau ala George W. Bush) dengan alim memakai ba­
ju agama. Dalam keadaan itu manusia sebenarnya cerdik dan
berkuasa. Ia lebih mandiri ketimbang yang dibayangkan Kant.

Kant memang tak mengemukakan sesuatu yang baru. Pen­
cerahan terjadi sejak manusia punya kehendak dan memperalat
apa saja yang di luar dirinya untuk mencapai kehendak itu. De-
ngan kata lain: sejak manusia berani berpikir. Sapere aude! sem-
boyan yang dipungut Kant sebagai moto Pencerahan: ”Beranilah
un­tuk bijak”, atau ”Beranilah untuk berpikir”. Tapi tekad yang
le­bih gagah juga pernah dinyatakan satu abad sebelumnya.

Pada awal abad ke-17, Francis Bacon di Inggris menulis satu
proy­ ek yang ambisius, The Great Renewal. Pemikir, pejabat, nega­
rawan, dan ilmuwan itu ingin memperbaharui gerak kemajuan
pengetahuan. Halaman awal bukunya bergambar sebuah perahu
yang melintasi ”Pilar-pilar Heraklaitos” menuju ke Lautan Atlan-
tik. Di zaman dahulu, tulisan yang termaktub di antara kedua pil­ar

736 Catatan Pinggir 9

PENCERAHAN

itu berbunyi, ”Ne plus ultra” (Jangan pergi lebih dari sini). Di buku
Bacon, motonya, ”Multi pertransibunt, et augebitter scientia” (Ban-
yak yang akan melintas, dan ilmu pengetahuan akan ber­tamb­ ah).

Bacon meninggal di tahun 1626, karena kedinginan dalam
salj­u. Ilmu pengetahuan bertambah, juga keberanian manusia
un­tuk menembus batas. Tapi Bacon tak segera diikuti. Eropa, ju­ga
Inggris, tak tertarik untuk ilmu. Benua itu terlibat dalam per­ang­
antara Protestan dan Katolik yang tak henti-hentinya. Bacon per-
nah memperkirakan, konflik antar-iman ini akan menum­buh­
kan atheisme. Tentu ia salah. Fanatisme malah berkobar. Meski-
pun, dan ini yang sering dilupakan, ketika itu sebenarnya Tuhan
telah direduksikan jadi pendukung kubu yang saling menghan-
curkan. Tuhan telah jadi bagian dari teknologi politik.

Maka tak benar apa yang dikatakan Marx: agama adalah can-
du bagi orang banyak. Candu menidurkan. Tapi di zaman itu,
ju­ga di zaman kini, agama bagian dari energi untuk satu tujuan:
mengalahkan apa yang di luar itu: dunia yang dianggap tak beres;
manusia yang dianggap mencong; alam yang dianggap mubazir.

Dari dalamnya lahir manusia sang penakluk.
Ini tak hanya berlaku di dunia Kristen. Di dunia Islam, abad
ke-20, dari Maududi sampai dengan Qutb, citra manusia yang
se­penuhnya dibentuk oleh tujuan—dan sanggup mengubah du-
nia—membayang di mana-mana. Manusia yang di pusat semes-
ta itu juga pandangan yang dianut Iqbal. Setidaknya dalam sajak
ini, ketika ia berbicara dengan Tuhan:

http://facebook.com/indonesiapustaka Paduka buat malam, aku buat sinar
Paduka buat lempung, aku buat poci tembikar

Itu suara khas semangat modern: angkuh, yakin. Ketika itu
yang suci sebenarnya tak teramat menggetarkan dan tak teramat
berarti lagi.
Tempo, 12 Desember 2010

Catatan Pinggir 9 737

http://facebook.com/indonesiapustaka

738 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PRIMORDIALISME

TEMAN itu berkata dengan tersenyum mengasihani:
”Kam­ u orang pesisir. Kamu tak mengerti Jawa.” Waktu
itu, sekitar 20 tahun yang lalu, saya baru menonton se-
buah tarian dari Keraton X. Saya tak menyukainya.

Saya tak tahu benarkah itu karena saya ”tak mengerti Jawa”,
dan apakah ”tak mengerti Jawa” itu ada hubungannya dengan
fak­ta bahwa saya ”orang pesisir”.

Saya memang dilahirkan di sebuah kota di pantai utara Jawa.
Bagi para literati yang hidup di lingkungan Keraton Yogya dan
Su­rakarta, pesisir adalah wilayah (atau lebih tepat: perilaku, pi­
lih­an-pilihan artistik, dan bahasa) yang berbeda dari yang di-
dapatkan di sekitar keraton. ”Berbeda” dalam arti lebih ”kasar”,
lebih ”tak pantas”, dan ”kurang Jawa”.

Maka mungkin teman itu benar: saya ”tak mengerti Jawa”.
Tapi siapa yang mengerti Jawa? Apa itu ”Jawa”?
Kata itu, ”Jawa”, tentu saja sebuah nama, untuk menyebut se­
su­at­u yang dikemukakan sebagai sebuah ”kesatuan”. Tapi apa
yang dianggap sebagai satu itu, sebuah himpunan, sebenarnya
tak­­satu. Sebab itu tiap nama mengukuhkan sesuatu yang sebe­
narn­ ya genting.
Jauh sebelum unsur-unsur yang kemudian jadi himpunan itu
terbentuk, yang ada adalah kemajemukan atau multiplisitas mur-
ni, yang tak berpola, tak konsisten. Kemajemukan yang seperti
itu­ibarat chaos yang tak akan terjangkau pikiran. Tapi manusia
berpikiran. Dan berpikir selamanya berangkat bersama proses
mengi­dentifikasi. Syahdan, yang tak konsisten itu pun tersatu-
kan,­compter-pour-un, kata Badiou.
Demikianlah ”Jawa” disebut. ”Jawa” sebuah Gestalt, sebuah
sos­­ok keseluruhan yang lebih dari sekadar pelbagai ”anggota”-

Catatan Pinggir 9 739

http://facebook.com/indonesiapustaka PRIMORDIALISME

nya.­Ia bukan sekadar himpunan yang menyatukan Yogya, Sala,
keraton, priayi, luar keraton, abdi dalem, petani.

Tapi ia tak selesai hanya di situ. Banyak sekali hal bisa dima­
sukkan di dalam ”Jawa”: Sala utara, selatan, keraton tahun 1930,
keraton sekarang, petani tebu, petani tebu yang tak punya la­
dang, demikian seterusnya sampai tak tepermanai, tak terhitung.
”Jawa” adalah kata sebagai perekat, dan juga indeks, untuk pelba­
gai hal yang di-satu-kan itu.

Telah kita lihat, begitu banyak yang bisa ia cakup. Seperti sa­ya
katakan tadi, nama sebenarnya mengukuhkan sesuatu yang gen­
ting, yang labil. Maka dalam tiap nama ada jejak kekuasaan agar
yang labil tak cepat kacau. Nama adalah hasil kesepakatan sosial.
Kesepakatan ini berlangsung dalam proses panjang dan tiap kali
ada pemegang hegemoni yang menentukan.

”Jawa” pada akhirnya merupakan konsep yang dibentuk
oleh yang berkuasa atau berwibawa, bagian dari ”metastruktur”:­
Mangkunegara IV yang mengambil teladan moral cerita wayang­
untuk merumuskan ”jati diri” di depan kekuasaan asing,­atau pe­
merintahan Hindia Belanda yang ingin mengontrol ker­ag­ aman
yang rumit itu, atau juga pemerintahan setelah kemerd­ ekaan, un­
tuk alasan yang mirip atau beda. ”Orde Baru”, misalnya, selain
menyajikan citra Jawa dengan bangunan rumah joglo di Taman
Mini Indonesia Indah, mendukung studi ”Javanologi” yang ber-
pusat di Sala. ”Jawa” pun jadi bagian dari pengetahuan, dan de­
ngan segera pula jadi bagian dari informasi yang mandek di da­
lam ensiklopedia.

Sementara itu, nama juga bukan cuma deskriptif. Ia mengan­
dung tuntutan, atau harapan, bahwa sesuatu yang membawa na­ma
itu seharusnya seperti yang selama ini dibayangkan. Nama ”Ja­wa”
mengandung syarat-syarat. Sifat ”halus”, misalnya, sering dis­ebut
sebagai salah satunya. Sebab itu ada ucapan ”durung Ja­wa” (belum
Jawa) atau ”njawani” (berperilaku seperti seharusnya orang Jawa).

740 Catatan Pinggir 9

PRIMORDIALISME

Dengan demikian, ”Jawa” merupakan, untuk memakai istilah­
matematika, sebuah ”himpunan”, khususnya ”himpunan inten­
sio­ nal”, sesuatu yang diniatkan dari atas.
Persoalannya ialah bahwa selalu ada yang tak tercakup dalam
niat itu. Di dalam wilayah ”Jawa” ternyata ada orang-orang yang
tak bisa atau tak peduli dengan harapan ala Mangkunegara dan
Tam­ an Mini. Ada juga orang-orang yang disisihkan. Penyebutan
”pesisir” adalah akibat dari itu semua. Pesisir adalah nama untuk
”me­reka” yang bagian dari ”kita” tapi jauh di luar sana. ”Meta-
struktur” tak mencakupnya. Sebab itu tak menjinakkannya.
Maka dari mereka yang tak tercakup itulah, yang tak jelas an-
tara di luar dan di dalam itu, sebuah definisi dan identitas akan
guyah. Kitab ensiklopedia yang telah baku akan terterobos. Tapi
dengan itu sebenarnya sebuah komunitas akan terselamatkan: ia
tak akan mengeras tertutup dalam primordialisme—dalam se-
mangat untuk menegaskan diri dengan mengibarkan apa yang
dianggap melekat sejak dulu dalam identitas diri. Primordialisme
hanya mengejar bayangan: apa yang ”melekat sejak dulu” itu jus-
tru sesuatu yang sebenarnya tak pernah utuh. Primordialisme
adalah hasil ingatan yang tebang pilih.
Memang, primordialisme kadang-kadang dinyatakan sebagai
pernyataan agar perbedaan dihormati; agar keanekaragaman
(”kea­ rifan lokal”) dirawat, dengan atau tanpa nostalgia. Tapi ke­
anekaragaman tak sama dengan primordialisme. Bhinneka tak­
hanya terdiri atas ”himpunan intensional”. Ia dinamika dar­i ba­
wah, yang tak diatur oleh desain yang dikehendaki para pen­diri
Taman Mini, sang pemegang hegemoni.
Dengan kata lain, keanekaragaman adalah bayang-bayang
http://facebook.com/indonesiapustaka chaos yang mencari bentuk. Bila primordialisme bersifat defensif,
keanekaragaman bersifat dinamis—dan itulah yang selama ini
membuat Indonesia merupakan tanah air dari semua pesisir yang
selalu bergerak.
Tempo, 19 Desember 2010

Catatan Pinggir 9 741

http://facebook.com/indonesiapustaka

742 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK
DI YOGYAKARTA

Yogyakarta, 17 Desember 1949.
Bung Karno mengenakan satu setel pakaian yang mung-
kin didesainnya sendiri. Kerah itu memanjang ke atas,
me­nutupi seluruh leher. Jas dengan sederet kancing itu tanpa da­si.
Di bahunya ada epaulet tipis seperti tanda pangkat seorang mar­
sekal. Pici hitamnya tampak lebih tinggi dari biasa, satu kontras
yang necis buat seluruh kostum yang putih sampai warna sepatu.

Dengan sosoknya yang lebih jangkung dari orang-orang di se­
kitarnya, dengan tubuh yang ramping dan paras tampan, ia sadar
ia bintang utama dalam prosesi itu.

Mereka berjalan melewati gerbang Keraton, menuju balairung
Si­tihinggil. Di depan: Fatmawati Sukarno, cantik di bawah keru-
dungnya yang berenda, bersama Rahmi Hatta, rupawan dengan
ram­butnya yang hitam pekat. Bung Karno di saf berikutnya ber-
jalan didampingi Mohammad Roem. Di belakangnya: Bung
Hatta,­berjas warna terang.

Sejumlah opsir tentara, berdasi yang diselipkan ke baju sera­
gam­khaki, berjalan menyusul. Kemudian tampak sebarisan pe­
remp­ uan, memakai gaun, dengan wajah santai dan riang, mung-
kin pegawai kementerian atau aktivis politik.

Lalu acara resmi pun dimulai di ruang yang lazim dipakai un-
tuk menghadap raja-raja Yogya itu: upacara pengambilan sumpah­
Presiden Republik Indonesia Serikat.

Sesudah pembacaan doa, Bung Karno berdiri maju, di balik
seb­ uah kursi besar dengan ukiran bintang di atas sandarannya.
Di belakangnya seorang ulama mengangkat Quran. Di depan-
nya Ketua Mahkamah Agung. Tak jauh di belakang Bung Kar-
no, Bung Hatta berdampingan dengan Hamengku Buwono IX,

Catatan Pinggir 9 743

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

yang mengenakan seragam militer: pici perwira warna hitam,
uniform khaki dengan dasi warna gelap.

Lalu, mengikuti kalimat demi kalimat Ketua Mahkamah
Agung, Bung Karno mengucapkan sumpah: ”Saya berjanji­se­
kuat tenaga, akan menunjukkan kesejahteraan Republik Indone-
sia Serikat... [dan] akan melindungi segala kebebasan dan hak-
hak umum dan khusus sekalian penduduk Negara....”

Demikianlah, di pagi itu, sebuah adegan yang impresif dari
seb­ uah republik muda yang bangga akan kemerdekaannya. Tapi
mungkin kebanggaan itu pula yang membuat Republik Indone-
sia Serikat (RIS) yang dijanjikan hari itu tak berumur panjang. 17
Agustus 1950, RIS dibubarkan. Yang menggantikan Negara fe­
der­al itu adalah apa yang lahir di tahun 1945: negara kesatuan In-
donesia kembali.

Dan federalisme pun cuma sebuah selingan yang pendek da­
lam­sejarah kita. Kejadiannya ringkas, tapi anehnya kata ”federal”­
berl­­anj­ut. Ia jadi stigma sampai dengan awal abad ke-21.

***
Dimulai dengan Van Mook. Orang kelahiran Semarang­
dan menamatkan sekolah menengahnya di HBS Surabaya­ ini
sering dianggap sebagai antagonis busuk dalam sejarah kemer­
dekaan ne­geri kelahirannya. Seluruh karier Hubertus Johannes
mem­ ang praktis jadi pendukung pemerintahan di koloni Keraja­
an Belanda ini.
Tapi ia bukannya tanpa warna lain. Dalam buku Menjadi In­
donesia Parakitri Tahi Simbolon, sebuah karya sejarah yang layak­
dibaca berkali-kali, nama Van Mook termasuk di antara maha­
siswa yang mendirikan dan jadi sekretaris IVS, Indonesisch Ver-
bond van Studeerenden (Serikat Pelajar Indonesia), 12 Januari
1918. Waktu itu umurnya 24. Ia belajar ”Indologie” di Leiden se­
tel­ah kuliah teknik di Delft. Tampaknya ia akrab dengan para
mahasiswa dari Hindia Belanda yang progresif. Ia termasuk salah

744 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

satu dari sedikit undangan (yang diseleksi ketat) yang ikut makan
malam di Hotel Paulenz, Den Haag, di awal musim semi 1917—
sebuah pertemuan di mana nama ”Indonesia” untuk pertama ka-
linya dipakai oleh seorang peserta.

Dari pelbagai pertemuan dan kongres masa itu, sudah kelihat­
an pandangan Van Mook: Indonesia adalah bhineka. Negeri ini
terbangun dari pelbagai etnisitas dan budaya, dan tentu saja tak
se­muanya ”pribumi”. Ia sendiri, meskipun keturunan Belanda,
jug­ a merasa bagian dari Indonesia. Tapi ia tentu berbeda dari
Dou­wes Dekker, yang juga bukan ”pribumi”. Bersama Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker
mendirikan Indische Partij (IP) dengan tujuan yang tegas: ”India
bebas dari Nederland”.

Bagi Van Mook, yang kemudian jadi Letnan Gubernur Jen-
deral Belanda di Indonesia, Indonesia tak boleh lepas.

Tapi nasibnya tak beruntung. Ia menjabat tugas itu sampai­
1942. Jepang datang, Van Mook tak bisa melawan. Ia mengungsi
ke Australia. Kemudian Jepang kalah Perang Pasifik dan Indon­ e­
sia menyatakan dirinya merdeka—satu hal yang tentu tak mudah
diterima oleh petinggi terakhir Hindia Belanda itu, atau siapa­
pun­pemerintah yang bertakhta di Den Haag.

Namun dengan susah-payah, akhirnya Kerajaan Belanda sen­
diri, juga Van Mook, sadar: kemerdekaan Indonesia tak bisa di­
tolak. Tapi Van Mook, begitu ia kembali berkantor di Jakarta,
setelah pemerintahan Republik Indonesia menyingkir ke Yogya,
menyiapkan agendanya sendiri.

Pertengahan Juli 1946, ia menyelenggarakan sebuah konferen­
si untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), di Kota
Malino, sebuah kota peristirahatan di Sulawesi Selatan. Konfe-
rensi dihadiri oleh utusan-utusan dari beberapa daerah yang ada
di Indonesia sebelah timur. Pada pidato penutupan, Van Mook
mengemukakan bahwa konferensi Malino ini ”meletakkan dasar

Catatan Pinggir 9 745

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

bagi Indonesia baru”.
Dalam agenda Malino, Indonesia yang akan berdiri adalah se­

buah negara federal, yang akan bekerja sama dengan Belanda de­
ngan masa peralihan 5 hingga 10 tahun. Lagu Indonesia Raya di­
terima sebagai lagu kebangsaan, tapi dalam rencana Van Mook,
yang akan bekerja adalah Voorlopige Federale Regering (VFR),
Pem­ erintah Federal Sementara.

Kalangan politik yang lebih radikal, kaum ”republikein”,
menga­ nggap para peserta Malino ”boneka” Van Mook buat me­
ngembalikan struktur kolonial. Tapi retorika revolusi tak menge-
nal nuansa. Mereka yang mendukung pertemuan Malino tak de-
ngan sendirinya bersama Van Mook. Anak Agung Gde Agung,
bangsawan Bali itu, bukan seorang radikal, tapi ia menentang ren-
cana VFR. Dan ketika ia makin berperan di BFO (Bijeenkomst­
voor Federale Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Federal
yang dibentuk di Bandung Mei 1948, Anak Agung makin terbu-
ka untuk bertaut dengan kalangan ”republikein”. Ketika Desem-
ber 1948 Belanda menyerbu Yogya, ia mengundurkan diri dari ja-
batan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, sebagai protes.

Di bawah pengaruhnya pula, BFO berperan untuk sebuah ja-
lan tengah, antara kaum ”republikein” dan kaum kolonialis.

Di tahun 1949 itu, sebuah kompromi besar tercapai. Di Den
Haag, sebuah Konferensi Meja Bundar (terkenal sebagai KMB)
dis­elenggarakan antara Indonesia, BFO, dan Belanda; perwa­kil­
an PBB ikut hadir. Kemerdekaan Indonesia diakui, tapi negara
In­donesia akan jadi sebuah negara federal.

RIS pun dibentuk. Itulah yang diresmikan di Keraton Yogya-
karta hari itu.

Dalam derajat tertentu, dengan RIS, desain Van Mook gol.
Ne­gara federal ini dibangun dengan 16 negara bagian dan tiga
daerah kekuasaan. Yang mencolok: Republik Indonesia (dengan
presiden Mr Assaat) ada di antara, misalnya, Negara Pasundan

746 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

dan Negara Jawa Timur dan Negara Madura.
Artinya sebuah Indonesia yang berbeda telah lahir—lain dari

yang ada dalam gagasan para bapak dan ibu pendiri Republik.
Dalam pertemuan untuk mempersiapkan kemerdekaan sebelum
Agustus 1945, hanya Bung Hatta dan Johannes Latuharhary dari
Maluku yang setuju dengan ide federalisme. Dan mereka tak bi­
car­a banyak. Penentang utama: Muh. Yamin, cendekiawan asal
Sa­wahlunto pengagum Kerajaan Majapahit itu. Bagi Yamin, se-
perti bagi kaum nasionalis waktu itu, federalisme akan merapuh-
kan persatuan bangsa.

Tapi Van Mook, pejabat kolonial lulusan ”Indologie” itu, me­
nge­tahui Indonesia sebagai bangunan etnografis dan administra-
tif. Sementara itu, para penggerak kemerdekaan 17 Agustus 1945
yang militan mengalami Indonesia. Bagi mereka Indonesia se-
buah panggilan kebenaran.

***
Bogor, 16 November 1947: Raden Soeria Kartalegawa,
mant­an Bupati Garut, mendeklarasikan berdirinya PRS, Partai­
Rakyat Pasundan. Pandji Rakjat, mingguan yang diterbitkan
oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD), menyiarkannya dengan
antusias. Enam bulan kemudian, sekitar 5.000 orang hadir ketika­
Kartalegawa memproklamasikan berdirinya ”Negara Pasundan”.
Wartawan harian Merdeka Rosihan Anwar, yang meliput per-
temuan Malino dan kemudian menulis di harian Pikiran Rak­
yat­12 Desember 2006, tentang deklarasi PRS itu. Catatannya
ten­tang Kartalegawa: ”Dia tidak suka dengan perjuangan kemer­
dekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum ménak­
punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani
oleh rakyat selaku abdi setia.” Menurut Rosihan, Kartalegawa
perc­ aya, orang Sunda ”tidak mau diperintah oleh seorang Guber-
nur Republik”.
Van Mook tak merestui pilihan Kartalegawa. Orang ini ko­

Catatan Pinggir 9 747

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

rup,­kata para pejabat Belanda. Tapi Negara Pasundan tetap—
dan seorang aristokrat lain yang jadi ”wali negara”: Wiranataku-
sumah yang dilantik setahun kemudian.

Persoalannya: Siapakah yang bisa bicara untuk mereka yang
tinggal di wilayah yang disebut ”Pasundan”? Tak lama setelah RIS
berdiri, di beberapa tempat di Jawa Barat (Indramayu dan Tasik-
malaya, misalnya) muncul gerakan menolak Negara Pasundan.­
Suara ini kemudian bergema di Parlemen Pasundan sendiri.

Di Makassar batas-batas juga tak bisa lagi dipastikan dari atas.
Oposisi terhadap Negara Indonesia Timur (NIT) berkeca­muk
sejak awal 1950. April tahun itu, di Polombangkeng, di sela­tan
Makassar, mereka yang menolak federalisme menyatakan memi­
sahk­ an diri dari NIT dan bergabung dengan Republik Indonesia
yang berpusat di Yogya. Sebuah poster dipasang dengan gambar
Presiden NIT, Sukawati, dengan tulisan ”Sukawati ingin naik
kud­ a, tetapi rakyat yang menderita”.

Seperti tampak di Jawa Barat dan tempat-tempat lain, federal­
isme yang didirikan Van Mook (dan KMB) ditentang dari dalam
negara-negara bagian itu sendiri. Kesan yang dikemukakan Rosi­
han Anwar kuat: federalisme ini akhirnya pertautan antara apa
yang disebut sebagai ”feodalisme” dan ”kolonialisme”. Keba­
nyaka­­ n pemimpin negara bagian adalah elite lama, umumnya
ka­um aristokrat, karena Van Mook berasumsi rakyat Indonesia
masih merasa satu dengan kepala-kepala adat dan raja-raja mere­
ka.

Kata ”federal” jadi sebuah kata kotor yang dihindari—satu
hal yang terbawa terus sampai dengan jatuhnya Orde Baru. Partai­
Amanat Nasional (PAN) berdiri di bawah pimpinan Amien Rais
dengan platform ingin mendirikan Indonesia yang federalistis.
Agenda ini dapat oposisi keras, dan tak disebut-sebut lagi. Kaum
nasionalis di PDIP dan tentara segera mengukuhkan apa yang di-
anggap sebagai terusan 1945. NKRI.

748 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DARI SUATU HARI YANG PENDEK DI YOGYAKARTA

Sejarah tak pernah searah. Dari hari yang pendek di Yogya,
17 Desember 1949 sampai dengan hari ini, Desember 2010, ada
yang berubah, tapi ada kecemasan yang menetap, bahkan ada
yang mundur ke zaman yang lalu.

Tempo, 26 Desember 2010

Catatan Pinggir 9 749

http://facebook.com/indonesiapustaka

750 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka A Indeks
Abacha, Sani, 255
Abdullah, Basuki, 716 Catatan Pinggir 9 751
Abdullah, Taufik, 152, 463
Abendanon, J.H., 613, 614
Abubakar, Dahaltu, 256
Adam, nabi, 121
Adams, Cindy, 631
Adams, Henry, 368, 369
Adinegoro, Kromodjojo, 535
Adorno, 91, 467
Adrianus VI, paus, 497
Aeschylus, 501
Affandi, 717
Agamben, 68, 69, 231, 312, 313, 487
Agamemnon, 395, 397, 398, 501
Agung, Anak Agung Gde, 746
Agung, sultan, 348
Agustin, Ucu, 302, 303
Ahmad, Maulana, 660
Ahmad, Mirza Ghulam, 660, 661
Ahmed, 294
Aiken, Conrad, 173
Al Gore, 88, 95
Al Masih, 135
Al-Ash’ari, Abu’l Hasan, 688
Alcaff, A.N., 473
Aleksander VI, paus, 513, 514
Al-Ghazali, Muhammad, 141

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Ali bin Abi Thalib, 143
Ali, Hassan, 33, 34
Ali, Mohammad, 137
Ali, Tariq, 106
Alisjahbana, Sutan Takdir, 63, 66, 149, 159, 359, 453, 614
Alley, Rewi, 253
Al-Nabhani, Taqiuddin, 29
Al-Saffah, 143
Al-Thabari, 142
Alwi, Des, 356, 493-495, 723-726
Amangkurat I, 537
Amba, 468
Ametung, Tunggul, 501
Andangdjaja, Hartojo, 433, 434
Anderson, Margaret, 263-266
Anderson, Benedict, 225, 279
Antar, Yori, 640
Antigone, 503
Anusapati, 501
Anwar, 649
Anwar, Chairil, 110, 169-172, 226, 234, 315, 318, 359, 425, 426,
446, 451, 483, 551, 624, 669
Anwar, Rosihan, 335, 747, 748
Apel, Karl-Otto, 575
Apin, Rivai, 152, 451, 452
Apollo, dewa, 502, 733
Arendt, Hannah, 298, 490, 677
Arif, Andi, 375, 377
Arifin, Marzuki, 558
Aristophanes, 699-702
Aristoteles, 244, 736
Arjuna, 71, 72, 128, 431, 469, 703, 704

752 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Armstrong, Eugene, 163
Armstrong, Karen, 15
Arok, Ken, 451, 501
Asa, Syu’bah, 336
Assaat, mr, 746
Assyaukanie, Luthfi, 686
Aswarudi, Herdy, 371
Atahualpa, 305, 306
Athena, dewi, 506
Auden, W. H., 587
Aung San Suu Kyi, 51-53
Aung Way, 51, 52
Ayub, nabi, 348, 503
B
Ba’asyir, Abu Bakar, 201, 202, 204
Baadilla, 356
Bacalov, Luis, 383
Bachelard, Gaston, 425, 426, 639, 640
Bachrul, Meity, 341
Bachtiar, Toto Sudarto, 417, 418
Bacon, Francis, 717, 736, 737
Badiou, Alain, 129, 131, 160, 223, 227, 244, 316, 414, 518, 519,
571, 599, 739
Baez, Joan, 590
Baig, Mirza Wali Ahmad, 660
Bakhtin, Mikhail, 373, 421
Baldwin, James, 598, 599
Bandaharo, H.R., 66, 378, 591
Banquo, 387-389
Bargawa, Rama, 703, 704
Barroso, Ary, 439
Basudewa, raja, 72

Catatan Pinggir 9 753

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Bataille, George, 102
Baudelaire, 193, 349
Bayat, Asef, 76
Beach, Sylvia, 265, 266
Beckett, Samuel , 573, 574
Benda, Julien, 413, 414
Benediktus XVI, paus, 5, 6
Benjamin, Walter, 68, 303, 467, 468, 711
Benkler, Yochai, 419
Bergman, Ingmar, 17-19
Bergson, 6, 7
Bernstein, Charles, 711
Bhabha, Homi, 186
Bharata, 471
Bhutto, Benazir, 105, 106
Bhutto, Fatima, 105
Bhutto, Zulfikar Ali, 105
Bima, 452, 469
Bisma, 276, 468, 540
Blake, Eddie, 509, 510
Bleckmann, Willem, 716
Block, Antonius, 18, 19
Bloom, Leopold, 265
Boediono, 399, 403, 404, 409
Boma, raja, 71-74
Bonaparte, Louis, 75
Boneff, Marcel, 271
Bonjol, Imam, 463
Borgia, Cesare, 513-515
Borgia, Rodrigo, kardinal, 513
Bosch, 717
Botero, 429

754 Catatan Pinggir 9

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Botti, Chris, 269
Boulez, 111
Brecht, Bertolt, 712
Breton, André, 264
Brooks, Peter, 518
Brown, Graham K., 150
Brutus, kaisar, 727
Buber, Martin, 182
Budiman, Arief, 37
Bush, George Walter, 40, 41, 146, 147, 229, 230, 736
Buwono IX, Hamengku, 271
Buwono VII, Hamengku, 719
Buwono X, Hamengku, 409, 720, 721
Byron, lord, 268, 269
C
Caesar, Julius, 707
Calixtus III, paus, 513
Campbell, 199
Camus, Albert, 319, 320, 407
Capulet, Juliet, 315, 316, 679
Carey, George, 6
Castoriadis, 569
Ceauşescu, 83, 84
Certeau, Michel de, 196
Cervantes, Miguel de, 1, 671, 672, 674
Char, René, 87-89
Charles I, raja, 602
Cheney, Dick, 40-42, 146
Chesterton, G.K., 616, 617
Claudio, 384
Clinton, Bill, 529-531
Clinton, Hillary , 145, 146, 148

Catatan Pinggir 9 755

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Cocteau, Jean, 264
Coelho, Paulo, 267
Coen, Jan Pieterszoon, 494, 724
Cokroaminoto, H.O.S., 631
Cokroaminoto, ny, 631
Colijn, H., 478
Corrie, Rachel, 625, 626-629
Coté, Joost, 613
Critchley, Simon, 215, 216, 244, 276
Cruise, Tom, 121
Crystal, David, 593, 594
D
D’Abbraccio, Milly, 243
Daedalus, Stephen, 265
Daendels, 75, 525
Dahlan, Ahmad, kiai haji, 694
Dahm, Bernard, 685
Dahrendorf, Ralf, 498
Darwin, 343-345
Darwish, Mahmoud, 239-242
Dasamuka, 519
Daud, Amir, 337
Dawis, Aimee, 597
Dawkins, Richard, 13
De Launay, 653
Debord, Guy, 563
Dekker, Douwes, 209, 210, 479, 745
Deleuze, 111, 112, 470, 575
Derrida, Jacques, 467, 511, 677
Descartes, 575, 582
Desirée, 275
Dezentjé, Ernest, 426, 716, 717

756 Catatan Pinggir 9

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Diah, B.M., 335
Dionysius, 360
Djalinus, Yusril, 335-342
Djojopuspito, Suwarsih, 159
Djojosugito, 660
Dono, Heri, 717
Dostoyevsky, Fyodor, 29, 123, 604
Douglas, Michael, 259
Duadji, Susno, 505-507
Dubos, René, 89
Ducroo, 158
Duncan, 388, 529
Dunham, Ann, 138
Durant, Will, 622
Duryudana, 125
E
Eagleton, Terry, 610-612
Eckhart, Meister, 695, 698
Eco, Umberto, 545
Edison, Thomas Alva, 268
Effendi, Shemsi, 32
Eisenhower, Dwight D., 247, 249
Ekalaya, Bambang, 377
Eland, Leo, 716
Eliot, T.S., 264
Elson, R. E., 477-479
Eluard, Paul, 713
Engtay, 603
Enzensberger, Hans Magnus, 445-447
Epelbaum, Renee, 383, 384
Ericsson, Tomas, 20
Espinoza, Baruch de, 113-115

Catatan Pinggir 9 757

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Etheridge, Melissa, 95
F
Fairouz, 544
Fennimore Cooper, James, 602
Ferneyhough, Brian, 711
Finch, Atticus, 555, 556
Fitzroy Godber, Peter, 485, 486
Foster, E.M., 290
Foster, Stephen, 281
Foucault, Michel, 36, 37, 467
Fouda, Farag, 141-144
France, Anatole, 706
Freud, Sigmund , 178, 276, 610, 696
Friedman, Milton, 260, 363
Fukuyama, Francis, 291
G
Gaea, dewi, 731
Galsworthy, John, 543
Gandhi, Mahatma, 184, 199, 543
Gandring, empu, 501
Gautama, Siddharta, 621, 623
Geert, Clifford, 426
Gekko, 261
Georges, baron, 193
Gerung, Rocky, 380
Gesel, Silvio, 101
Ghata, Yasmine, 165, 166
Ghazali, Abd. Moqsith, 351
Giacometti, 429
Gibbons, Dave, 509
Gilliam, Terry, 438, 439
Ginanjar, Ging, 376

758 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Girard, René, 483
Goeslaw, Melly, 683
Goethe, 689, 720
Gogh, Theo van, 161
Gorky, Maxim, 177-179
Goscinny, Ren, 707, 709
Gramsci, 664
Greenblatt, Stephen, 531
Gregory, Lucien, 617-619
Guevara, Che, 419
Gundono, Slamet, 347-349
Guntur-Romly, Mohammad, 544
H
Habermas, 49, 219, 552, 553, 570
Hadad, Ismid, 38
Hadad, Toriq, 335
Hadler, Jeffrey, 461,462
Hale, 581, 582
Hali, Hussain, 447
Halintar, Bambang, 341
Hamlet, 53, 111, 297-299, 517
Hamzah, Amir, 69, 149-152, 545, 656, 732
Hara, Edi, 717
Harjowiryo (Sukidi), 681
Harmoko, 153, 154, 341
Harris, Sam, 13, 14
Hartojo, Budiman S., 680
Harymurti, Bambang, 335
Hasan, 648-650
Hašek, Jaroslav, 55-57
Hassan, T.A., 661, 685
Hatta, Mohammad (Bung Hatta), 26, 129, 355,356,359,430,447

Catatan Pinggir 9 759

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

493, 494, 632-634, 723-725, 745
Hatta, Rahmi, 743
Haussman, Eugène, 193
Hawa, Siti, 121
Hayek, Friedrich von, 290
Heap, Jane, 264-266
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich, 211, 515, 524, 586, 589, 656,
705
Heidegger, Martin, 641, 669
Heilman, Robert, 517
Hektor, 397
Hemingway, 264
Hendarwan, Herman, 375, 377, 378
Heraclitus, 686
Hesiodos, 731
Hidayah, Nur, 301-304
Hill, Joe, 590, 591
Hirschman, Albert, 365, 525
Hitchens, Christopher, 13-15
Hitler, Adolf, 321, 407, 431, 587, 598
Hobbes, Thomas, 570
Hoed, Anto, 683
Holbein, 497
Hölderlin, 324, 325, 643
Holiday, Billie, 283, 284
Homeros, 264, 398
Horatio , 111, 299
Hsu-Chih Mo, 171, 172
Huber, Wolfgang, 5
Hughes, George, 283
Hugo, Victor, 294, 349, 675
Huis, Erasmus, 497-499

760 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Huizinga, 497 INDEKS
Husen, Ida Sundari, 166
Hussein, Saddam, 628 Catatan Pinggir 9 761
Hutten, Ulrich von, 498
Hythloday, Raphael, 30
I
Ibnu Saud, raja, 690
Ibrahim, nabi, 99, 101, 727-729
Iesus, Dominus, 5
Ilyas, Karni, 338
Inandiak, Elizabeth D., 349
Iqbal, Mohammad, 106, 107
Iskan, Dahlan, 338
Ismail, Usmar, 473
Ismaya, Badri, 327-330
Ithaca, raja, 395
J
Jackson, Jesse, 137
Jackson, Mahalia, 139
Jassin, H.B., 171
Jati, Hidayat, 682
Jati, Parang, 352
Jati, Waluyo, 377
Joad, Tom, 292
Johannes, Hubertus, 744
Jones, Terry, 692, 693
Jorge, 545
Josef Švejk, 55
Joyce, James, 264, 265
Judt, Tony, 248
Jufri, Fikri, 37, 335, 336
Julius II, paus, 498

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Jung, 100
K
Kabayan, 276
Kafka, 232, 489, 491, 523
Kahlo, Frida, 717
Kant, Immanuel, 298, 321, 541, 542, 577, 695-697, 736
Kardinah, 173, 174
Karna, 704
Kartalegawa, raden Soeria, 747
Kartini, 173-175, 613-615
Kemal, Mustafa, 31-34
Kerry, John, 248
Keynes, 527
Keys, Alicia, 95
Khan, Liaquat Ali, 105
Khomeini, ayatullah, 569
Kierkegaard, 298, 728
Kim Il-sung, 636
Kim Jong-il, 636
King, Alexander, 199
Kinross, 32
Klee, Paul, 132
Kreon, raja, 506
Kresna, 71, 72, 431
Krugman, Paul, 364
Kumbakarna, 276
Kundera, Milan, 422
Kunt, Rikkat, 165-167
Kunti, 468, 470, 705
Kurami, Aminah Lawal, 256, 257
Kusumasumantri, Iwa, 356, 494, 724
Kusumo, Sardono W., 348

762 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka L INDEKS
Lacan, Jacques, 559, 598
Laclau, Ernesto, 49, 85, 478, 665 Catatan Pinggir 9 763
Laherrere, 199
Lal, Vijay, 295
Langie, G.S.S.J. Ratu, 479
Latuharhary, Johannes, 747
Laura Stoler, Ann, 210
Lazaro, 11
Lee, Harper, 555
Lefort, Claude, 23, 24, 29
Leibnitz, 115, 116
Leksmana, 92
Lelono, Heru, 251
Lenin, 547
Lennox, Annie, 95
Leonard, 290
Lesmana, Jack, 518
Levinas, 729
Levy, Leon, 273
Lewis, Sinclair, 197
Lietaer, Bernard, 100, 101
Locke, John, 581
Logan, James, 477
Lorca, Federico Garcia, 87, 450
Loren, Sophia, 673
Louis XVI, raja, 651
Lowell, Amy, 264
Lubis, A.B., 236
Lubis, Mochtar, 335, 663
Lubis, Zulkifly, 341
Lukács, György, 237

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Luther, Martin, 139, 497
Lysenko, 252, 253
M
Mac, Freddie, 259, 260
Macbeth, 387-389, 529-532
Macbeth, lady, 529, 532
MacCarthy, Mary, 290
Macduff, 389
Machiavelli, 515
Mada, Gajah, 430
Madoff, 367-370
Madrim, 469, 470
Mae, Fannie, 259, 260
Mahtum, M., 341
Makarim, Nono Anwar, 37
Malaka, Tan, 233-238, 359, 466, 467, 614, 632, 633, 712, 713
Malraux, André, 158
Mandayun, Rustam, 340
Mandela, Nelson, 40, 41, 414, 415
Mangkunegara IV, 411,740
Mangun, romo, 544
Mangunkusumo, Cipto, 186, 210, 356, 479, 494, 632, 745, 724
Manhattan, dr, 510, 511
Manuel, Don, 11, 12
Mao Zedong, 252, 253, 605-607, 637
Marcel, Gabriel, 644
Marchand, Oliver, 517
Maria, Bunda, 135, 177
Maridjan, mbah , 719, 720, 722
Marion, Jean-Luc, 136
Márquez, Felipe Gonzáles, 230
Marshall, Andrew, 719

764 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Marx, Karl, 73, 211, 244, 261, 369, 406, 408, 519, 526, 536, 549,
561-563, 575, 587, 601, 606, 607, 644, 645, 649, 663, 664, 669,
735, 737
Maselli, Domenico, 5
Masriadi, 717
Mauss, Marcel, 99
May, Karl, 602
Maya, Umar, 410
Maycomb, 555, 556
Mayella Ewell, 555, 556
Maynard Keynes, John, 229, 287-291, 392
McCain, John, 230, 248
Megawati, 227, 684
Mehta, 295
Melati, Rima, 518, 681, 684
Messiah, 468
Methwold, William, 294
Michelangelo, 134, 135
Mihardja, Achdiat K., 647
Millbank, John, 590
Minogue, Kyle, 95
Miskin, haji, 462, 463
Moeljanto, D.S., 451
Mohamad, Goenawan, 335
Montague, Romeo, 315, 316, 679
Moore, Alan, 509
More, Thomas, 27
Morrison, Toni, 281
Mortaro, kardinal, 135
Mouffe, Chantal, 221, 442
Mrazek, Rudolf, 361
Muda, Iskandar, sultan, 537

Catatan Pinggir 9 765

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Mugianto, 377
Muhammad III, 28
Muhammad SAW, nabi, 162, 351
Muljam, Ibnu, 143
Mulyasari, Prita, 413, 527
Mundardjito, 535
Munir, 413
Murad III, 28
Murad IV, 28
Murtaza, 105
Musa, nabi, 134, 351
Musawa, Harun, 337, 338
Myriel, uskup, 675-678
N
Nakula, 469, 470
Napoleon III, 708
Nawi, Ezra, 184
Necker, Jacques , 652
Neumann, Louisa Margaretha, 210
Niebuhr, Reinhold, 413
Niel, Robert van, 186
Nietzsche, 263, 357-359, 470, 733
Nilovna, Pelagedia, 177
Nitisastro, Widjojo, 198
Njono, 681
Njoto, 681
Nolde, Emil, 135
Nova, 301-303
Nusseibeh, Sari, 183
O
O’Toole, Peter, 672
Obama, Barack H., 137-139, 145-147, 229-231, 285, 371, 710

766 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Odysseus, 396, 397 INDEKS
Oedipus, 502, 517
Onghokham, 35-38, 349 Catatan Pinggir 9 767
Orestes, 501, 502
Orosco, 283, 284
Orwell, 60, 61
Osterman, 511
Otto, Rudolf, 721
P
Pachauri, Rajendra, 95, 98
Pakubuwono, sultan, 411
Paley, William, 343, 344
Paltrow, Gwyneth, 429
Pamuk, Orhan, 76, 77
Pandu, 469, 471
Pane, Armijn, 613
Pane, Sanusi, 149, 453
Panggabean, Samsu Rizal, 142
Panza, Sancho, 1-4
Pascal, Blaise, 582
Pasolini, Pier Paolo, 227
Patria, Nezar, 377
Paulson, Hank, 259
Paulus, 313
Paus, sri, 134
Pavel, 177-179
Peccei, Aurelio, 199
Pekik, Djoko, 680
Pemberton, John, 410, 411
Pendit, Nyoman S., 472
Pergolesi, 384
Perron, Edgar du, 157-159

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Persik, Dewi, 173
Petruk, 276
Petrus, Bimo, 377
Petrus, santo, 498
Pheidippides, 700
Pia, Pascal, 158
Picabia, Francis, 264
Picasso, Pablo, 717
Pirngadie, 716
Pizarro, Francisco, 305-307
Plainview, Daniel, 197, 198
Plato, 298, 333, 524, 566, 720
Poerwadarminta, W.J.S., 645
Polydamas, 397
Pompilius, Numa, 515
Pont, Henry MacLaine, 535
Potter, Harry, 367, 368
Prabangsa, 413
Prabowo, Tony, 711, 712
Prasetya, Stanley Adi, 376
Prinka, S., 682
Protschky, Susie, 716
Punjabi, Raam, 562
Pylades, 501
Q
Quijana, Alonso, 671, 672
Quixote, Don, 1-3, 671-674
R
Rabelais, Gargantua, 349
Raffles, Stamford Thomas, 461
Rais, Amien, 748
Raison, Culte de la, 735

768 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Rama, 92, 466 INDEKS
Ramadhan K.H., 130, 450, 473
Rancière, 218-220, 396 Catatan Pinggir 9 769
Rasuanto, Bur, 336, 680
Ratzinger, Joseph, kardinal, 5
Reagan, Ronald, 291
Reich, Robert B., 97
Rembrandt, 728, 729
Renan, 280
Renceh, tuanku nan, 462
Rendra, 67, 449-454
Rentjoko, Antyo, 418
Revathi, 9, 10
Rewang, 681
Reza, Faisol, 377
Ri Myong-guk, 635
Ricoeur, Paul, 82
Rilke, 657, 753
Robespierre, 435, 735, 736
Robinson, Tom, 555
Robson, S.O., 71
Roem, Mohammad, 743
Romulus, 56
Romus, 56
Ronggowarsito, 72, 682
Rorschach, 509-512
Rorty, Richard, 48, 49
Rousseau, Jean-Jacques, 434, 565-568
Ruci, dewa, 452
Rudd, Kevin, 391
Rumsfeld, 41
Rusdianto, Aan, 377

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Rushdie, Salman, 293, 296, 545
Rusli, 649
S
Sa’ad, Ibnu, 142
Sade, Marquis de, 652
Sadewa, 469
Sadikin, Ali, 189-191
Sadra, Mulla, 689
Sahal, Ahmad, 683
Said, Salim, 38
Saint-Exupéry, Antoine de, 656, 657
Saleem, 293, 294
Saleh, Boejoeng, 474, 475
Salm, Abraham, 716
Salma, Happy, 121
Samba, 71
Sampek, 603
Samuel, 385
Samuel Windsor Earl, George, 477
Sandburg, 264
Sandioriva, Qori, 683
Sani, Asrul, 451
Saptono, Irawan, 375
Sara, 385
Sarkozy, 710
Sartre, 434
Sastrowardojo, Subagio, 120, 311-313, 450
Satish, 295
Schama, Simon, 651
Schiller, 358, 720
Schmitt, Carl, 107, 441, 442
Schneider, Laurel C., 352

770 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Schumacher, 454
Segar, E.C., 708
Semar, 329
Sen, Amartya, 364, 365
Sengkuni, 471
Sforza, Ludovico, 135
Shakarov, Andrei, 252
Shakespeare, William, 275, 297-299, 387, 529, 531, 649, 679
Shanawaz, 105
Shapiro, Carl, 368-370
Sharon, Ariel, 240, 241, 628
Shihab, Rizieq, 201
Shulman, David, 183
Silado, Remy, 680
Simanjuntak, Cornel, 111
Simbolon, Parakitri Tahi, 744
Sinai, Amina, 294
Siompo, Jacko, 91
Siregar, Aminudin T.H., 717
Siregar, Merari, 189
Situmorang, Sitor, 64-66
Sjahrir, 25, 235-238, 355-360, 475, 493,494, 614, 723-725
Slamet, 116-119
Sloterdijk, Peter, 223
Smith, Adam, 101, 288, 289, 364
Sokrates, 421, 422, 699, 701, 720
Soe Hok Gie, 212, 214, 548
Soedjatmoko, 199, 453, 454, 474, 475
Soeharto, 25, 75, 117, 119, 129, 153, 154, 191, 340, 375-377, 381,
385
Sondheim, Stephen, 275
Sophocles, 502

Catatan Pinggir 9 771

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Soros, George, 364
Souss, Ibrahim, 319, 320
Soyinka, Wole, 255, 257
Spacey, Kevin, 96
Srihadi, 191
Stalin, Joseph, 252, 289, 431, 637
Stallman, Richard, 418
Stallone, Sylvester, 429
Stein, Gertrude, 264
Steinbeck, John, 294
Stewart, Matthew, 115
Stone, Oliver, 259
Strepsiades, 699, 700
Subianto, Prabowo, 341
Suddhodhana, 621
Sudirman, 430
Sudirohusodo, Wahidin, 185-188, 405
Sudjatmiko, Budiman, 376, 688-690, 716, 743, 744
Sudjojono, S., 717
Suggs, Baby, 281
Sukarno (Bung Karno), 21-25, 129, 189-191, 195, 214, 225, 226,
234-237, 203, 204, 399-401, 409, 429-432,475-478, 518, 548,
604, 610, 631-633, 659-663, 679, 681, 684-687
Sukarno, Fatmawati, 743
Sukawati, 748
Sukemi, 680
Sukito, Wiratmo, 37
Sunaryo, 430
Sunil, 295
Suriosubroto, Abdullah, 716
Suryaningrat, Suwardi, (Ki Hajar Dewantara) 83, 187, 188, 210,
632, 745

772 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka INDEKS

Suryomentaram, ki ageng, 271-274
Sutoro, 138
Sutowo, Ibnu, 198
Sutrisno, 301
Suwati, 348
Suyat, 377
Swastika, Dewa K.S., 118
Sydow, Max von, 18
Syme, Gabriel, 618, 619
T
Tae-se, Jong, 636
Tagore, 357
Tajudin, Yudi Ahmad, 195
Tas, Sal, 358
Tedjobayu, 376
Teeuw, A., 71
Terazi, Rima, 321
Thatcher, Margareth, 291
Theo Goldberg, David, 92
Thersites, 395-397
Thomas Anderson, Paul, 197
Thukul, Wiji, 381
Thurman, Uma, 96
Toer, Pramoedya Ananta, 129, 177, 244-235, 409, 465-468, 548
Tohjaya, 501
Tolleng, Rahman, 211, 214, 215, 380
Tolstoy, Leo, 604
Trisnadi, Harjoko, 341
Trotsky, 236
Turgenev, Ivan, 604
Turtle, Archibald ”Harry”, 439
Twain, Mark, 368

Catatan Pinggir 9 773

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka U
U Po Kyin, 59-61
Uddawa, 74
Uderzo, Albert, 707, 709
Uranus, 731
Usamah bin Ladin, 335, 628
Usinara, raja, 539, 540
Usman bin Affan, 142, 143
Usmani, khilafah, 33
Utami, Ayu, 353, 683
Utari, 631
Utopus, raja, 27, 29
V
Valjean, Jean, 675-678
Van der Veur, Paul W., 210, 211
Van Mook, 744-748
Veidt, Adrian, 511
Veraswami, 61
Vicente, frater, 305, 306
Vinci, Leonardo da, 133, 135
Voldemort, lord, 368
Voltaire, 652
W
Wahid, Abdurrahman (Gus Dur), 227, 543-545
Waikiki, I Made, 681
Wakidi, 716
Waljinah, 684
Wanusi, Choki Sapta, 682
Ward, Barbara, 89
Wasserman, 672
Watchmen, 509, 510
Weber, Max, 453, 490, 615, 721

774 Catatan Pinggir 9

INDEKS

http://facebook.com/indonesiapustaka Wibisono, Christianto, 336
Wiesel, Elie, 368
Wijaya, Putu, 335
Wilders, Geert, 161-163
Wilhelmina, ratu, 479
William II, Frederick, 697
Williams, Walter, 272
Wilson, 375
Wiranatakusumah, 748
Wisnu, 72, 73
Wonder, Stevie, 137
Wong Jing, 485
Woolf, Virginia, 290
Woolsey, John M., 266
Y
Yahwe, 720
Yamin, Muhammad, 430
Yap Thiam Hien, 131
Yeats, 344
Yesus, 123, 135, 177, 305, 306, 481-484, 513,589-591
Yohanes, 481,482
Yudhoyono, Susilo Bambang, 399, 409
Yudistira, 469, 470
Z
Zagana, 52
Zaini, 111
Zalomova, Anna, 177
Zarathustra, 470
Zegna, Emiglio, 562
Zeus, 319, 320, 502, 700, 731, 732
Zia ul-Haq, 105
Zizek, Slavoj, 84, 244, 590

Catatan Pinggir 9 775

INDEKS

Zubaidah, 31, 32

http://facebook.com/indonesiapustaka 776 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SELEPAS jadi pemimpin redaksi majalah Tempo
dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goe­
na­wan nyaris jadi apa yang ia pernah tulis da­
lam sebuah esainya: transit lounger. Seorang
yang berkeliling dari satu ne­ga­ra ke negara
lain: mengajar, berceramah, menulis. Seorang
yang berpindah dari satu tempat penantian ke
tempat penantian berikutnya, tapi akhirnya ha­
nya punya sebuah Indonesia. Seperti ditulisnya
da­lam sebuah sajaknya: ”Barangkali memang ada sebuah negeri yang ingin kita
lepaskan tapi tak kunjung hilang.
Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo dan
Jarrad­Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi­
sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama di-
pentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Di tahun 2006, Pastoral, se-
buah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006.
Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreo-
grafer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Berke-
ley, California. Tapi ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam
bah­­ asa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk way­ ang­kulit yang di-
mainkan dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan dalang Slamet Gundono,
Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirto-
sudarmo. Ia menulis dan menyutradarai opera Tan Malaka pada 2010 dan 2011.
Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si
Mal­­in Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan
(1993), Set­ elah Revol­usi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana
(1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001).
Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamun­
tjak,­terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara­
nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines
(1994) dan ConversationswithDifference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe­
nawan bah­wa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam­
satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.

ii Catatan Pinggir 6


Click to View FlipBook Version