http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK RACHEL CORRIE
rumah yang begitu nyaman, begitu ”Amerika”, hingga si penghu-
ni tak menyadari sama sekali bahwa ia sebenarnya berpartisipasi
secara tak langsung dalam sesuatu yang keji, yakni ”dalam pem-
bantaian”.
***
Itulah sebabnya kau berangkat ke Palestina. ”Datang ke
sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulaku-
kan,” begitu kau tulis pada 27 Februari 2003. ”Maka jika aku ter-
dengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecende
rungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong,
cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada
di ten gahpembantaian yang juga aku dukung secara tak lang-
sung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab.”
Ia menuduh dirinya sendiri ikut bersalah. Tapi ia meletakkan
kesalahan yang lebih besar pada pemerintahnya.
Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat ju
taan orang Amerika lain yang senantiasa membenarkan apa yang
dilakukan Ariel Sharon—hingga dalam keadaan perang dengan
Irak sekalipun, dari Washington, DC, datang tawaran satu trili-
un dolar untuk bantuan militer langsung kepada Israel, di celah-
celah berita tentang orang Palestina yang ditembak dan dihalau,
di antara kabar tentang anak-anak Palestina yang tewas. Bukan
main—cuma beberapa hari setelah seorang Amerika tewas ditab
rak buldoser di Kota Rafah!
Jika ada kepedihan hati di sana, kau pasti mengetahuinya lebih
intim, Rachel. Dari lumpur Kota Rafah itu kau pasti mengerti
apa yang jarang dimengerti orang Amerika: kekerasan bisa mun-
cul di puing-puing itu, sebagai bagian dari usaha untuk, seperti
kau katakan dalam suratmu, ”melindungi fragmen apa pun yang
tersisa”.
Kau akan bisa menunjukkan bahwa Usamah bin Ladin dan
Saddam Hussein, dengan wajah mereka yang setengah gelap,
628 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK RACHEL CORRIE
menjadi penting karena mereka bisa bertaut dengan gaung Pales-
tina di mana segalanya telah direnggutkan. Sampai hari ini, yang
terdengar sebenarnya adalah sebuah gema dari geram bertahun-
tahun yang terkadang kacau, terkadang keras, dan senantiasa ka-
lah.
Senantiasa kalah—di Yerusalem, di Kabul, di Bagdad.
Tapi adakah kalah segala-galanya? Tidak, kau pasti akan bi-
lang, semoga tidak. Dalam suratmu bertanggal 28 Februari,
kau ceritakan kepada ibumu sesuatu yang menyebabkan engkau
merasa lebih mantap sedikit, di antara perasaan pahitmu menyak-
sikan hidup yang dibangun oleh ketidakadilan. Tak semuanya
ternyata hanya ngeri, tak percaya, dan kecewa. Di celah-celah lu
ka yang merundung penghuni Palestina yang kau kenal di Ra-
fah, kau menemukan sesuatu yang tidak pernah kau lihat dalam
hidupmu sebelumnya: ”... satu derajat kekuatan dan kemampuan
dasar manusia untuk tetap menjadi manusia”. Dan kau punya
sepatah kata untuk itu: dignity.
Tapi apa kiranya yang bisa didapat dari dignity, dari harga
diri, yang menyebabkan manusia tak melata di atas debu sebelum
menggadaikan segala-galanya? Tak banyak, juga sangat banyak.
Yang lemah akan tetap roboh. Tapi di depan tubuh yang ter
geletak di lumpur, tubuh yang terjerembap dan menuding keti-
dakadilan, kemenangan sang superkuat sekalipun akan terhenti:
ia hanya ibarat sebuah buldoser yang sekadar menghancurkan.
Genggaman itu kosong. Penaklukan itu ilusi.
Ya, Rachel yang ada di surga, semoga namamu selalu akan
kembali. Kini memang saya bimbang. Tapi masih ingin saya per-
caya bahwa tak mustahil akan ada sebuah ruang di mana yang
lemah tak terusir, dan yang lain bisa sewaktu-waktu berteriak
”Stop kau!”—dan sebab itu merdeka.
Tempo, 13 Juni 2010
Tulisan ini pernah dimuat di Tempo edisi 30 Maret 2003.
Catatan Pinggir 9 629
http://facebook.com/indonesiapustaka
630 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka JUNI
Juni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita menge
nang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini. Ada satu keja
dian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika
Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai
bag i Utari.
Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat
Islam, yang menampung Sukarno sewaktu anak kepala sekolah
dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk
masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Su
karno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini
praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah ke
luarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjut-
kan ke Technische Hooge School di Bandung.
Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan
merundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak
yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, terma-
suk Sukarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak
terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Suk ar
nomemutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih me
rup akan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan
Sukarno sendiri baru 20.
Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu.
Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang de
ngan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghu
lu berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian
orang yang beragama Kristen... tidak sesuai dengan kebiasaan
kita dalam agama Islam.”
Sukarno membela diri. Cara berpakaian kini ”sudah diperba
harui”.
Catatan Pinggir 9 631
http://facebook.com/indonesiapustaka JUNI
Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas
pada pantalon dan jas buka, katanya.
Menghadapi suara keras itu, Sukarno membalas. Ia tak sudi.
Tuturnya: biar ”Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyu
ruhk u untuk menanggalkan dasi”. Maka ia bangkit dari kursi
dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus menco
pot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak
jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu ber-
kata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya
akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari
perk awinan saya.”
Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan
oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara
tamu....
Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno,
melainkan juga problem Indonesia zaman itu: bagaimana mem-
bebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut
Bung Karno ”pendirian yang kolot”.
Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil
posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda
Sukarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya
Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan
menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasio
nalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait de-
ngan agenda modernitas.
Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mence
mooh para ”oude-cultuur maniak” yang ”pikiran dan angan-
angannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu
Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.
Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumus-
kan sebagai ”Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) ber-
lawanan dengan segala yang berhubungan dengan mistik dan
632 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka JUNI
kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun
mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu
”ketimuran”.
Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda,
Indonesia yang muda harus memutuskan semua hubungan de-
ngan masa lampau ”untuk membangun kehidupan nasional baru
yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern”.
Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak
hanya memutuskan kaitan dengan masa silam yang setengah feo-
dal, yang sering disebut ”kebudayaan daerah” atau segala yang
dik ibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga
ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lem-
baga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak mem-
buat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolo-
nialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan
”Barat”. Para perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang se-
bagai teladan dan Turki baru sebagai inspirasi. Dalam sebuah tu-
lisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip
sebagai pembuka: ”Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju
Barat.”
Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno:
ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes.
Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana un-
tuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.
Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Kar
no menegaskan: tabir tampaknya ”soal kecil, soal kain yang re-
meh”. Tapi sebenarnya ”soal mahabesar dan mahapenting”, sebab
menyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah
simbol dari perbudakan kaum perempuan!”
Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam
sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, ”perbudakan” seperti
itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa di-
Catatan Pinggir 9 633
http://facebook.com/indonesiapustaka JUNI
ubah.
Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimis
me. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang ber
akar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat yang
mesti mengubah keadaan itu sendiri”.
Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar.
Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke ma
na, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda
antik atau ditinggalkan.
Tempo, 20 Juni 2010
634 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN
... dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi
kek uatan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”
—Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea Utara, menjelang pertan
dingan di Piala Dunia.
Tuhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan.
Tapi tiap kesebelasan yang bertanding di Sokkerstad
yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan ke
kuatan apa saja, termasuk yang gaib, untuk menang. Bagi kiper
Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala negaranya,
Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang to-
koh sakit-sakitan yang malam itu mungkin sedang terbaring di
Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer jauhnya dari Jo-
hannesburg.
Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawan-
nya berjuang. Ratusan juta penonton di seluruh dunia menyaksi-
kan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi, efektif.
Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Merekaka-
lah: 2-1—meskipun kalah dengan bangga, karena mereka telah
menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga, manajer
tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang be-
gitu gigih dan begitu defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini be-
lakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang
tanah airku.”
Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri
atau tidak. Sepak bola di Piala Dunia punya daya yang ganjil.
Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian
dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku
kaki, mendukung sebuah tim nasional. Ketika sebelum pertan
Catatan Pinggir 9 635
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN
dinga n Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara, dinyanyikan,
(”Tekad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke du
nia.”), Jong Tae-se, pemain nomor 8, menangis.
Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan
dan tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas di Korea Utara.
Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marx-
isme-Leninisme sudah bertransformasi jadi agama. Sebagaimana
agama, ia membentuk struktur yang direkatkan oleh doktrin.
Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan memperta
utkan bagian-bagian bangunan itu. Bagi agama pada umumnya,
batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche sebagai ideologi Korea
Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putranya,
Kim Jong-il, menggantikan peran itu.
Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja
Kim. Sebuah studi yang dikutip The Christian Science Monitor
menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara pada 1990 bi-
aya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran
nasional, pada 2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ke-
tika alokasi buat pertahanan dan kesejahteraan rakyat diperkecil,
dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi pera
watan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, bill
board, mural, dan seterusnya.
Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi un-
tuk memuja sang Ketua sangat intensif: antara 304 dan 567 jam
pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa kecil
Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Univer-
sitas Kim Il-sung di Pyongyang ada enam fakultas yang khusus
mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim Bapak dan Kim
Putra.
Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi ta
karan. Tapi sesuatu yang sebelumnya hanya terdapat pada zaman
Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa terjadi di kubu
636 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN
sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin
Uni Soviet sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Ze-
dong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943 hingga 1976.
Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol
lain:
Wahai, Stalin yang agung
Tuan-lah yang menyuburkan tanah
Tuan-lah yang memulihkan abad
Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi
Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia te
ladan oleh Partai, Li Feng, menulis catatan hariannya yang terdiri
atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:
”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemu
di. Kita harus makan dan dalam berperang kita harus bersenjata.
Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa mem
pelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revo
lusioner.”
Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau
sang Pemimpin. Mungkin juga kultus itu merupakan respons
dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada 1960-
an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pe-
mimpin Besar Revolusi.
Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus
sang pemimpin berkembang: paduan antara kekuasaan politik
dan kata-kata yang mendukungnya.
Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan se-
buah kekuasaan sederet kata jadi doktrin, dan doktrin jadi slo-
gan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses
Catatan Pinggir 9 637
http://facebook.com/indonesiapustaka PEMIMPIN
bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna
kata yang diucapkannya. Ia juga makin kurang yakin akan tafsir
yang datang dari dirinya sendiri, karena makna ditentukan para
penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya)
juga mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan,
mereka tak tahu di mana kata-kata sendiri.
Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan sang
Pemimpin.
Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, ka
rena makna tak dikuasai lagi. Dengan kalimat yang berlebihan,
seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya bahwa
bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti.
Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri
Myong-guk. Ia Tuhan yang mencemaskan. Ia juga Tuhan yang
menenangkan.
Tempo, 27 Juni 2010
638 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RUMAH
DI ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, se-
buah dusun di Flores Barat mencoba mengingat.
Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembaliru
mah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa
lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri,
setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan
tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat sur-
plus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka mem-
bentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan
desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad
ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisi-
kan hal-hal yang aus.
Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai
nam a yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan
oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua
lain di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”,
di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa
merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap sa
at bumi menjangkau yang kosmis.
Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak
lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang verti-
kal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh
bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift.
Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki.
Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak ber-
teman dengan ruang. Penghuni Wae Rebo yang hidup di antara
gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih lu
as ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun
rumah susun memaksa ruang atau dipaksa ruang; konstruksi
Catatan Pinggir 9 639
http://facebook.com/indonesiapustaka RUMAH
mereka lahir dari impuls geometris.
Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan
batas yang lurus-kaku, dan dengan itu memisahkan apa yang di
luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan, ruang terbu-
ka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan
tak dapat dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka
menanggungkan agorafobia.
Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus me
ngeluhkan kota-kota zaman ini dan menyesali modernitas. Mo-
dernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z ke
masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Na-
mun nostalgia justru menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa
kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi manusia masa sekarang
yang sedang takut kepada lupa.
Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan.
Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memper
kaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari masa silam
yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.
Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari
di tahun 2009 berjalan berjam-jam mendaki ke Dusun Wae Re
bo,dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika mere
ka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan
lagi kepiawaian arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika ke-
mudian ada dermawan yang membiayai usaha untuk mensyukuri
tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan
bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang
baru dan berbeda. Buku yang kemudian mereka terbitkan, Pesan
dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia Pustaka Uta-
ma, 2010) adalah rekaman semua itu.
Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia
sebenarnya bagian dari modernitas, yang tak mau hanya meneri-
ma apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena kritik itu juga
640 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RUMAH
tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.
Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketak-
mampuan kita untuk merasakan tempat kita tinggal sebagai ba-
gian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehi
langan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fa
jar, telah jadi ”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi
panjang.
Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik ke-
pada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen.
Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada ”memba
ngun”,tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua
yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh—baik karena
benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.
Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?
Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi,
untuk menggunakan kalimat penyair Hölderlin di Jermanabad
ke-18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der Mensch).Di
kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubunga n dengan
ruang hidupnya sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.
Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bi
sa diutarakan oleh mereka yang punya rumah yang sejuk dan te
nang,mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya.
Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang meng
inapdari tempat ke tempat, para pemulung yang membuat kere-
ta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di mana
saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”.
Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tu-
buh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan ten-
tang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons
itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temu-
nya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan
menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di se-
Catatan Pinggir 9 641
http://facebook.com/indonesiapustaka RUMAH
buah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.
Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa
Wae Rebo kita temukan sesuatu yang baru di dalam bentuk fisik
yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi.
Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui
kreasi.
Tempo, 4 Juli 2010
642 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka REPETISI
Pada suatu hari saya berjalan dalam sebuah mall, di se
panjang deretan etalase. Seakan-akan melangkah di atas
ruas jalan yang telah dipindahkan dari tengah kota ke se-
buah interior, saya tertegun. Beberapa detik lamanya, saya tak
tahu saya sedang di mana.
Di saat itu saya sadar, sebuah mall bukanlah sebuah titik dalam
peta bumi. Ia bukan sebuah lokasi; berada jauh dari langit dan ta-
nah, ia seakan-akan tak tersentuh waktu + unsur alam. Di mana
pun letaknya, ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaia n
bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuk
nya, konteks tak diperlukan.
Mungkin karena mall adalah sebuah pengulangan. Saya bisa
berp indah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang
sam a. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu
ban gunan ke bangunan lain. Baik di Orchard Road, Singapura,
maupun di Senayan, Jakarta; baik di Brunswick, Melbourne,
maupun di Queensway, Hong Kong, model-model yang ditam
pilkan di pelbagai tempat itu praktis serupa—setidaknya dengan
potongan tubuh dan gaya yang tak berbeda—dengan kaca-kaca
etalase yang bermiripan.
Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpan-
jangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang
memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan
pengu langan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang ber
ulangkali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi.
Ia juga perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah
penanda yang ingin diingat. Sebagai keseluruhan, etalase-etalase
dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin meninggal-
kan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio
Catatan Pinggir 9 643
http://facebook.com/indonesiapustaka REPETISI
Armani, Versace...) terkait secara permanen sebagai penanda ke-
molekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi
angan-angan kita.
Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, di-
wakili manekin berdandan dan poster wajah + tubuh yang memi
kat, ”seakan-akan sosok-sosok yang otonom” yang hadir ”dengan
kehidupan mereka sendiri”, seperti dikatakan Marx ketika ia ber-
bicara tentang ”fetisisme komoditas” dalam Das Kapital. Benda-
benda itu bukan lagi seperti produk dan kreasi orang. Mereka
berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manu-
sia.
Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka
bersaing, tapi semua melihat ke arah kita, mengajak kita masuk
ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-akan
menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya
cermin, ia menyajikan ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga men-
dorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti antara ”tam-
pan” dan ”kurang tampan”.
Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. Hasrat adalah tanda ma-
nusia sebagai kekurangan. ”Menghasratkan,” kata Gabriel Mar-
cel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang terkenal ten-
tang ”punya” (l’avoir), ”adalah punya tanpa mempunyai.”
”Punya” mengandung ketegangan, antara yang empunya dan
yang dipunyai, antara qui dan quid. Di satu pihak, sesuatu yang
dipunyai, quid, adalah sesuatu yang di luar aku yang empunya,
qui. Tapi di lain pihak, ia bagian dari diriku. Itu sebabnya, kata
Marc el, ”Ada semacam penderitaan atau perasaan terbakar yang
merupakan satu bagian hakiki dari hasrat”—satu kesimpulan
yang berabad-abad sebelumnya telah disebutkan Sang Buddha
dalam kata dukha.
Termasuk dalam penderitaan, ketakseimbangan, keterasing
an itu adalah convoitise, sebuah sikap yang dalam bahasa Jawa
644 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka REPETISI
disebut mélik. Dalam Baoesastra Djawa yang dihimpun W.J.S.
Poerwadarminta (1939), kata itu berarti ”hasrat atau keinginan
untuk mengambil, memiliki”.
Salah satu sifat mélik: ia tak punya obyek tertentu. Keinginan
itu lebih merupakan keinginan mempunyai tanpa sasaran yang
sud ah dipilih sebelumnya. Ada unsur rasa cemburu dan gelora
hati di dalamnya yang berbau busuk. Sebuah kata-kata mutiara
Jawa yang terkenal memperingatkan bahaya itu: mélik nggén
dhonglali—hasrat dan kecemburuan untuk memiliki membawa
dalam dirinya sikap melupakan perilaku yang baik.
Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya ada
lah kuil-kuil di mana fetisisme komoditas jadi ritual, dan mélik
jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya perilaku
buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pa
da akhirnya menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri menga
takan bahwa manusia, sebagai makhluk yang dibentuk dari tu-
buh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mende
ngar, yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (lei
dendes Wesen) dan sebab itu, dengan gairah, dengan semangat, ia
mendapatkan kekuatan menggapai obyeknya.
Tapi saya ingat sebuah lukisan kaca dari Jawa Tengah: Petruk
(seperti mengacu ke parodi wayang terkenal, Petruk Jadi Raja) du
duk di kursi, memangku seorang perempuan, salah satu tangan
nyamemegang botol minuman. Ruangan besar, ada tanda-tanda
kekayaan yang untuk ukuran sang pelukis rakyat sangat mewah.
Di gambar itu tertulis huruf-huruf Jawa: mélik nggéndhong lali.
Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu
tubuh, tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang se-
lalu berarti privat, bergerak ke luar. Dari sinilah akumulasi ter-
jadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan
rum ah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalah-
gunaan milik publik.
Catatan Pinggir 9 645
http://facebook.com/indonesiapustaka REPETISI
Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase,
akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika
ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku....
Tempo, 11 Juli 2010
646 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (2)
Beberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan
masih membandingkan dirinya dengan ”Hamlet si Tu-
kang Sangsi”.
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis—sebuah novel yang
tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K.
Mihardja, meninggal pekan lalu di Canberra, Australia. Penga
rang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib
tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu
masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.
Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama
kali beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa
segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih
bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan ”si Tukang Sangsi” te
taptokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi:
ia bisa melintasi zamannya sendiri.
Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir
1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubahan besar dalam
sejarah modern yang terkadang tak tertanggungkan guncangan-
nya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang
luhur dan sakral.
Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasu
kanJepang, tapi ia bukan seorang pelawan. Pada jam malam di
Bandung itu ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia ka-
lap, galau, marah, dan cemburu, ketika mengetahui istrinya per-
nah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.
Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya jalan sepi. Orang sudah dipe
rintahkan menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak pe
duli. Teriak hatinya bersilang selisih dengan teriak peringatan pe
tugas keamanan.
Catatan Pinggir 9 647
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (2)
Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia ter-
guling. Ia ditangkap, karena disangka mata-mata. Tubuhnya
yang TBC itu disiksa Kenpetai. Di suatu hari pada 1945 itu ia ma
ti di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah perang. Bu-
kan sebagai pelawan.
Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang
terg erus oleh, tapi juga terasing dari, proses yang membentuk di
rin ya. Apa mau dikata: proses itu selalu diduduki pihak lain.
Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan, dan horor menghuni
seluruh dirinya. Putra ménak bergelar raden dari sebuah kampung
di Garut itu pada usia remaja memutuskan untuk mengikuti jejak
ayahnya: ”menganut ilmu mistik”. Mungkin karena ia terpenga-
ruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut.
”Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut ke-
pada neraka,” tuturnya. Dari para pembantu rumah tangga kelu-
arga itu ia dapatkan cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang ke-
palang. Maka, katanya pula, ”Aku sangat taat menjalankan pe
rintah Ayah dan Ibu tentang agama.”
Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di Kali Ci-
kapundung 40 kali dalam semalam, mengunci diri di kamar se-
lama tiga hari tanpa makan, tidur, dan bicara. Tapi semua bukan
tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi da
ri kengerian kepada Yang Maha Ngeri.
Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia teng-
gelam dalam tata simbolik yang diwakili ”Ayah” (dan ”Tuhan”)
yang membentuk fiilnya dengan deretan kata ”tidak boleh”.
Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi garis demar-
kasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam
liangperlindungannya sendiri. Apa yang tinggal dari dirinya bu-
kan lagi sebuah subyek yang bebas, melainkan obyek yang ter-
sisih, terasing, dari hidup.
Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubung
648 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (2)
an dengan dunia di luar garis itu.
Bekerja di jawatan air minum kota praja Bandung, pada suatu
hari ia bertemu dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari
Rusli ia berkenalan dengan Kartini, perempuan 20 tahun yang
mengubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia jatuh cinta kepa
dagadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan
hidupnya.
Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian
Parta, seorang aktivis politik sayap kiri. Merekalah orang yang
merasa mewakili sebuah masa depan: modernitas yang yakin, se-
perti diucapkan Parta, bahwa ”tekniklah Tuhan kita”. Bagi mere
ka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah ”madat” yang dibu-
tuhkan orang banyak karena kondisi kehidupan yang nestapa.
Hasan tak mampu menghadapi atau menangkis argumen se-
perti itu—karena ia memang tak pernah bergulat dengan perta
nyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya. Karena ia me
rasa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama.
Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia
akhirnya mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri
”atheis”. Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa
tertariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul—
keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggeluti
nya.
Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing antara
memilih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tare
katnya. Ia sendiri tahu ia bahkan lebih pengecut ketimbang
Hamlet dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut ”atheis”
bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali
lagi, ia takut siksa neraka.
Hasan sebagai tokoh novel unik, tapi ia agaknya bukan satu
perkecualian. Saya kira Marx keliru jika ia hanya menganggap
agama sebagai ”suara keluh (der Seufzer) dari orang-orang yang
Catatan Pinggir 9 649
http://facebook.com/indonesiapustaka ATHEIS (2)
tertindas”. Yang tak dialami banyak orang seperti Hasan adalah
agama yang mengekspresikan suara yang terpesona, gentar, dan
bersyukur—atau agama sebagai pengakuan bahwa kita ada, da
lam kemerdekaan yang bersahaja, bersama dengan yang tak kekal
namun tak terhingga.
Sumbangan novel Atheis kepada zaman ini adalah mengisah-
kan tragisnya sebuah iman yang sebenarnya sebuah ketakutan.
Tempo, 18 Juli 2010
650 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 14 JULI 1789
Tak ada apa-apa hari itu. Dan Louis XVI pun mencatat
dalam buku hariannya: ”rien”.
14 Juli 1789. Di Istana Tuileries yang ia diami sejak ia di
desak meninggalkan Versailles dan pindah ke Paris, Raja Prancis
itu tak tahu yang terjadi beberapa belas kilometer dari kursinya.
Menjelang senja yang panjang hari itu, Penjara Bastille direbut
rakyat.
Tembak-menembak berlangsung sejak lewat tengah hari. Se-
belumnya, di depan halaman luar penjara itu, sekitar 900 warga
Paris berhimpun: tukang kayu, pembikin gembok, penjahit,
pembuat topi, pedagang anggur, pengusaha cabaret, pemilik pa
brik bir, dan tentara yang diam-diam meninggalkan induk pasu-
kan.
Sebenarnya mereka cemas.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Simon Schama dalam
Citizens, kecemasan itu berjangkit sejak malam sebelumnya. Ada
desas-desus, pasukan disiapkan untuk memadamkan para pem-
bangkang yang menentang Raja. Keadaan genting. Orang marah
di mana-mana. Harga roti mencekik. Di Lyon terbit kerusuhan.
Di Paris beberapa kali kantor cukai diserbu. Tentara disiagakan
untuk mengawal pasar penjualan gandum atau konvoi yang
menga ngkut tepung.
Awal Juli juga mencekam penduduk miskin, sebab itulah ma
sa ketika segala utang & sewa harus dibayar. Sehari sebelum tang-
gal 7, ketika terme tiba, tampak keluarga-keluarga meninggalkan
tempat sewaan, membawa kain yang biasa mereka sambung-sam
bung untuk turun dari jendela kamar mereka semula. Merek a
berjalan di sepanjang kota dalam eksodus yang tak jelas.
Akhirnya orang pun mencari biang keladi. Dugaan beredar
Catatan Pinggir 9 651
http://facebook.com/indonesiapustaka 14 JULI 1789
bahwa di balik semua itu ada siasat kaum aristokrat. Para bang-
sawan ini membuat rakyat lapar karena ingin menyingkirkan
Jacques Necker, menteri keuangan, seorang bankir asal Swiss
yang dianggap mampu menyelamatkan Prancis dari kebangkrut
an. Dugaan itu tak benar, tapi Necker memang dimusuhi kelas
atas itu. Dalam catatan sejarah, ia cakap dan jujur. Ia bahkan siap
mengorbankan hartanya untuk jadi jaminan impor pangan dari
Amsterdam. Tapi semuanya terlambat. Prancis menanggungkan
musim dingin yang ganas. Selain transportasi yang rusak, perang
Turki-Rusia dan konflik politik di Baltik membuat suplai pangan
tak mudah.
Ibu kota makin rusuh. Ketakpuasan menjalar ke kalangan mi
liter yang lebih memihak le troisieme état, penduduk yang bukan
dari kalangan aristokrat ataupun Gereja. Sementara itu, milisia
yang dibentuk untuk menertibkan kerusuhan, gardes françaises,
yang terdiri atas anak-anak muda dari pedesaan, ikut tak setia.
Bersama penduduk, mereka akhirnya jadi bagian dari ”penakluk
Bastille”.
Penjara ini sebenarnya sudah tak berfungsi penuh lagi. Peme
rintah sedang merencanakan akan merobohkan gedung nomor
232 di rue Saint-Antoine itu. Dibangun pada akhir abad ke-14 se-
bagai benteng, bangunan 4½ lantai itu diubah jadi penjara pada
abad ke-17. Di sanalah dikurung anak nakal yang diminta keluar-
ganya agar disekap, atau para penulis yang dianggap menghasut
atau cabul. Voltaire sudah dua kali dikurung sebentar. Marquis
de Sade termasuk penghuni terakhir.
14 Juli itu, hanya tinggal tujuh yang di dalam. Empat orang
adalah penipu. Seorang bangsawan nakal yang dimasukkan atas
permintaan keluarga sendiri. Dua yang lain orang gila. Tak ada
lag i pembangkang.
Kondisi penjara itu juga tak buruk amat. Marquis de Sade (dari
mana kata ”sadisme” berasal, dan sebab itu ia disekap) diperbo
652 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka 14 JULI 1789
lehk an membawa berjenis-jenis pakaian, sarung beledu buat ban-
tal, tiga macam pewangi, dan 133 buku. Ia bahkan memanfaat-
kan kesempatan yang unik: ia naik ke jalur menara, dan dengan
mem akai pengeras suara yang dibuat dari ketopong logam pena-
dah kencing, ia berpidato ke arah jalan raya tentang kekejaman
yang dialaminya. Ia tak diapa-apakan. Ia bahkan bebas seminggu
sebelum 14 Juli. Tapi Bastille tak bisa mengelakkan diri dari kon-
flik dan ketegangan yang akhirnya meledak hari itu.
Gubernur penjara, De Launay, cemas akan keadaan yang ma-
kin rusuh di Paris, memperlengkapi Bastille dengan 250 barel
amun isi dan 15 kanon di delapan menara setinggi 20 meter itu.
Ada tiga pucuk lagi yang terarah ke gerbang. Lebih dari 12 senjata
api lain, yang bisa menembakkan peluru setengah kilogram, di-
siapkan di tembok.
Orang ramai yang datang hari itu sebenarnya cuma hendak
mengambil amunisi dan kanon itu. Mereka takut semua itu akan
dipakai untuk membungkam mereka. Tapi perundingan ber
langsung alot. Akhirnya bentrokan tak terelakkan. Para penjaga
Bastille tak bisa bertahan.
De Launay ditangkap. Tapi ia tak menyerah. Ia berteriak,
”Biarkan aku mati!” dan menendang orang sekitarnya. Ia segera
tewas oleh pelbagai senjata tajam. Seseorang memotong lehernya
dengan pisau saku. Kepalanya diarak.
Apa yang terjadi sebenarnya? Raja bertanya kepada orang
yang melaporkan kejadian hari itu: ”Pemberontakan?”Sang pela
por menjawab, ”Bukan, Paduka, revolusi.”
Tak jelas sebenarnya apa bedanya. Meskipun banyak yang di
lebih-lebihkan dalam kisah perebutan Bastille, kata ”revolusi”
mendapatkan auranya tersendiri. Sebuah événement telah mene
mukan nama yang menggugah. Sejak itu orang tak berpaling
dari apa yang mengimbau dari aura itu. ”Revolusi” disebut sam-
pai abad-abad berikutnya, jadi penanda hasrat untuk menghadir
Catatan Pinggir 9 653
http://facebook.com/indonesiapustaka 14 JULI 1789
kan apa yang diserukan di Prancis hari-hari itu: kemerdekaan,
kesetaraan, dan persaudaraan bagi siapa saja dan kapan saja—se
sua tu yang menjangkau yang tak terhingga.
Mungkin sebab itu 14 Juli itu penting: yang tak terhingga itu
lahir dari sejarah, bukan dari ketiadaan, ex nihilo, bukan pula
dari titah Tuhan.
Tempo, 25 Juli 2010
654 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK
HAMPIR tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang di-
hilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai me
reka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti
para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiai
berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi
sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat iba-
dah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah
mesti menuruti tatanan simbol yang dijadikan sendi kehidupan
ibu-bapak.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi ini pun se
bagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya
pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepreneur baju dan sepatu,
industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa iklan, peng
arahkindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilang
kan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.
Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuahge
nerasi baru akan meninggalkan tradisi—sisa simptom masyara
katpetani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika per
ubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa berta
han dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepa
da yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang
baru.
Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan,
dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua de-
ngan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka un-
tuk masuk ke dunia yang baru—yang sebenarnya bukan dunia
Catatan Pinggir 9 655
http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK
anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, acap kali anak hanya diberi, tapi de-
ngan sikap yang mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri
berkorban, dan dengan pengorbana n itu memposisikan diri lebih
mulia. Saya kira ambivalensi itulah yang tecermin dalam satu sa-
jak Amir Hamzah yang ditulis pada tahun 1930-an:
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah di
nilailasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas
melayani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan su
dut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indo
nesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak
yang menggugat kearifan orang dewasa—satu hal yang kita te
mukan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry.
Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan
tiap hari.
Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ke
tersisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri ma
kin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak—hilang-
nya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di
atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.
Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh ”hasil”, ”guna”,
”perhitungan”, ”efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang
ingin terus-menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang se
mula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formula, alam jadi proyek,
ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise,
dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap
656 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK
saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang
disebut Hegel sebagai ”kehidupan yang bergerak sendiri tapi se-
benarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati”, ein sich in sich
selbst bewegende Leben des Todes.
Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. ”Orang dewasa,”
kata sang Pangeran Kecil dalam karya De Saint-Exupéry itu,
”men yukai angka-angka.” Orang dewasa (sebuah kiasan untuk
”orang modern” atau lebih tepat ”borjuis”) hanya mampu melihat
setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. De
ngankata lain, ”mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan
keh adiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exu-
péry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas
jadi paradigma.
Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, diteladankan oleh ke
asyikan anak-anak. Sebelum Tagore dan De Saint-Exupéry, Ril
kesudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bu-
kan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan ”dalam
sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di
seh elai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan ben-
da-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya ”berkisar
dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri de-
ngan segala detail.
Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak ber
ubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan
pand ang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional.
Mereka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai ben-
da mati yang bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke
mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang
terkenal itu:
... sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang
Catatan Pinggir 9 657
http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK
Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan
Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.
Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihi
langkan.
Tempo, 1 Agustus 2010
658 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka AHMADIYAH
Pada suatu hari di bulan November 1936, Bung Karno
menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi
masih sangat terbatas, surat itu dikirim seseorang dari
Bandung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian
barat; dari sana ia diterbangkan sebagai vliegpost (pos udara) ke
Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buang
an.
Surat itu ditulis seorang teman. Ia bercerita bahwa harian Pe
mandangan memuat satu informasi kecil: Bung Karno telah men
dirikan cabang Ahmadiyah dan ”menjadi propagandis Ahmadi-
yah” wilayah Sulawesi.
Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar ce
rita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak. Ia sudah siap men-
dengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk ”anti-Islam”,
karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di
Indonesia. Meskipun demikian, Bung Karno membantah. De-
ngan tenang sekali.
”Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya da
lam suratnya bertanggal 25 November tahun itu, yang bisa kita
tem ukan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Karena ia bu-
kan anggota, kata Bung Karno pula, ”Mustahil saya mendirikan
cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.” Apalagi un-
tuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana. Sebagai orang
yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda, Bung
Karno bahkan tak akan diizinkan untuk ”pelesir ke sebuah pulau
yang jauhnya hanya beberapa mil sahaja dari Ende”.
Tapi dari peristiwa ini tampak: Islam di Indonesia punya prob-
lem yang tiap kali seperti didaur ulang. Tahun 1936, seperti 2010:
ada kecurigaan kepada orang yang mengemukakan pendapat
Catatan Pinggir 9 659
http://facebook.com/indonesiapustaka AHMADIYAH
lain tentang Islam. Tahun 1936, seperti 2010: ada sikap berseteru
terh adap gerakan dan keyakinan Ahmadiyah.
Di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap
Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Meskipun mu-
la-mula tak ada gejolak apa pun. Pada awalnya sekitar 20 pemuda
Islam dari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di
Qadian. Tahun 1925: mubalig pertama Ahmadiyah Qadian sam-
pai ke Tapaktuan, Aceh. Ia kemudian ke Sumatera Barat. Pada
1926, organisasi Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun ka-
langan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ah-
mad seorang pembaharu dan sekaligus ”nabi” tapi nabi yang tak
membawa syariat baru.
Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubung
an dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak menganggap Mirza
Ghulam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid
(pembaharu).
Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun 1924, dua pendakwah ge
raka n ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang
ke Yogya. Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang
mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadi-
yah sebagai ”organisasi saudara Muhammadiyah”. Tapi, setelah
sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929, di
nyatakan bahwa ”orang yang percaya akan Nabi setelah Muham-
mad SAW adalah kafir”. Djojosugito dipecat. Ia mendirikan Ge
rakan Ahmadiyah Indonesia, 4 April 1930.
Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini? Dari
nada suratnya, tidak. ”Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam
Ahmad seorang nabi dan belum percaya ia seorang mujaddid,”
katanya. Tapi Bung Karno memuji pelbagai buku dan tulisan da
ri kalangan Ahmadi. ”Saya dapat banyak faedah daripadanya.”
660 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka AHMADIYAH
Salah satunya, yang dalam bahasa Belanda disebut Het Evangelie
van den daad, oleh Bung Karno disebut ”brilliant, berfaedah bagi
semua orang Islam”.
Apalagi Bung Karno melihat ada tenaga yang positif dari ka-
langan Ahmadiyah:
”... pada umumnya ada mereka punya ’ features’ yang saya setu-
jui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran pengli-
hatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka pu-
nya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja
dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Is
lam.”
Bung Karno bukannya menyetujui semua. Ia menolak ”pe
ngeramatan” Mirza Ghulam Ahmad dan ”kecintaan” kalangan
Ahmadi ”kepada imperialisme Inggris”. Tapi, tulis Bung Karno
pula, ia ”merasa wajib berterima kasih” kepada pandangan yang
term aktub dalam karya-karya mereka.
Di masa itu, seperti tampak dari Surat-surat Islam dari Endeh,
(korespondensinya dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Is-
lam” di Bandung), Bung Karno memang sudah menunjukkan
keingina nnya. Ia hendak mendorong umat Islam ke masa depan,
buk an berbalik ke masa lalu. ”Kenapa kita mesti kembali ke za-
man ’kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat?” tulis
Bung Karno dalam surat bertanggal 22 Februari 1936. ”Islam itu
kemajuan! ”
Maka tak mengherankan bila ”kemajuan” itu yang ia lihat
pad a gerakan Ahmadiyah. Tapi, lebih dari itu, Bung Karno tak
mungkin mengabaikan apa yang dibawa sejarah: benturan dan
pertemuan pelbagai buah pengalaman.
Dalam kaitan itu, Bung Karno melihat ”cacat” ”Persatuan Is-
lam” yang dipimpin T.A. Hassan, yaitu ”sektarisme”: hanya pa-
Catatan Pinggir 9 661
http://facebook.com/indonesiapustaka AHMADIYAH
ham sendiri yang dianggap benar; gagasan lain dimusuhi.
Padahal, dengan ”membuka semua pintu budi akal kita bagi
sem ua pikiran”, kata Bung Karno di akhir suratnya, akan lahir
Islam yang ”tiada kolot dan mesum”, yang bukan ”hadramaut
isme”. Akan lahir Islam yang ”cinta kemajuan dan kecerdasan”.
Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun 1936?
Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk
berbicara tentang ”kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di
Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan
terjerumus ke dalam ”sektarisme”. Hari-hari ini, ”sektarisme” itu
bahkan ditegaskan dengan kekerasan.
Tempo, 8 Agustus 2010
662 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MANIFES
DI bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan di-
umumkan: ”Manifes Kebudayaan”. Ia dengan segera
menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap
”kontrarevolusioner” oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebu-
dayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu itu. Kemudian
juga oleh Presiden Sukarno.
Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan
ejekan ”Manikebu”—dinyatakan ”terlarang”. Para penanda ta
ngann ya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya
mereka di mana saja. Di masa ”demokrasi terpimpin”, yang sudah
membredel sejumlah surat kabar dan majalah dan memenjara-
kan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu punya
efek yang tak main-main.
Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu, bukan untuk
mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulis-
nya karena sebentar lagi 17 Agustus.
Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang di-
harapkan dari kemerdekaan yang direbut dan republik yang di
dirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita de
ngar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah lita
ni: ”Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara”, ”tak ada lagi
semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini paling sering disebut),
dan bahkan ”gagal”.
Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang ber-
lebihan dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada
zaman?
Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur
22 tahun itu saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus bela
jar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini: ”Manusia
Catatan Pinggir 9 663
http://facebook.com/indonesiapustaka MANIFES
membuat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka.” Ke-
adaan yang kita temui, ketika kita bergerak mengubah dunia, bu-
kanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada sebelum kita ada.
Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi
yang telah mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran gene
rasi yang masih hidup bagaikan ”mimpi buruk”.
”Manifes” agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang
waktu itu mengakui keterbatasan manusia dalam mengubah se-
jarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi para penanda
tangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada:
”Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena
kami menyadari bahwa dunia ini bukan sorga. Karena berfikir se-
cara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan bah-
wa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-ma-
salah, dan setiap tantangan yang kami jawab akan menimbulkan
tantangan-tantangan baru.”
Dengan menyebut ”kami berfikir secara dialektik”, ”Mani-
fes” ingin menegaskan bahwa dialektik tak akan berhenti dalam
satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah sebuah
proses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai ling-
karan totalitas, karena tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa
menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan sepenuhnya.
”Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan
dari kelas yang berkuasa,” kata ”Manifes”, mengutip Marx. Tapi
sejarah juga mengajarkan: ”Justru karena tidak termasuk dalam
kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan
baru.”
Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan
bisa penuh. Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia
itu, dalam teks ”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang kenis-
664 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MANIFES
cayaan munculnya ”kontrahegemoni”.
Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang
mengisi ruang ”hegemoni” dan ”kontrahegemoni” itu. Di satu
sisi, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan lawan.
Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesu
atu yang universal.
”Manifes” dikecam karena di dalamnya termaktub kata ”hu-
manisme universal”. Dalam suasana politik yang mengagungkan
konfrontasi yang militan—ketika sikap memihak adalah mes
ti—pen gertian ”universal” dianggap mengaburkan sasaran per
lawana n.Tapi saya kira ada salah paham di sini. Semangat untuk
yang ”univ ersal” justru bisa bertaut erat dengan semangat untuk
memihak.
Jauh setelah ”Manifes Kebudayaan”, pemikir yang pernah ja
di aktivis buruh Argentina, Ernesto Laclau, mengambil contoh
seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut dalam
aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaik
an gaji, hari libur tambahan, dan yang semacam itu, keterlibat
anku akan berakhir bila tuntutan setempat itu terpenuhi.
Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih
luas: sebagai bagian dari perjuangan revolusioner yang hendak
mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin tak akan
terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari
libur, tapi justru sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku
adalah untuk sesuatu yang lebih luas—masyarakat sosialis, mi
saln ya—yang akan dinikmati siapa saja, di mana saja.
Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa
dipisahkan dari kalimat terkenal ini: ”bahwa sesungguhnya ke-
merdekaan adalah hak semua bangsa...”.
Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal ha
nya bisa terlaksana dalam kondisi yang terbatas. Kemerdekaan
yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja akhirnya hanya
Catatan Pinggir 9 665
http://facebook.com/indonesiapustaka MANIFES
diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu ter-
tentu. Itu agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang
mengeluh—seraya mungkin tahu, atau tak tahu, bahwa tiap ke-
luhan sebenarnya menyembunyikan harapan.
Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab,
seperti tertulis dalam ”Manifes Kebudayaan”, dunia ini ”bukan
sorga”.
Tempo, 15 Agustus 2010
666 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DAGING
Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan
yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak
tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikenda-
likan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita
dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 diniha
ri, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, meng
anjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat.... Kita
dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak
gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpi
sah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru di bulan
Ram adan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistensi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ang-
kringan sederhana di kaki lima. Kita akan lihat semarak pelbag ai
penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi se
buah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu,kreati
vitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagang
an makanan naik sampai 60%. Orang ramai berbelanja untuk
membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang ber
usaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat ang-
gapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu
adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang
norm al, dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, meng-
inginkan imbalan yang memuaskan.
Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang
menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap se
akan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka min-
Catatan Pinggir 9 667
http://facebook.com/indonesiapustaka DAGING
ta diperlakukan sebagai kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang
berpuasa!”, seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”ja
nganmenggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”.
Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar
tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan
akan godaan. Di bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa
niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikh-
las) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim
proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.
Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup
sepanjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan
keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para
juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah naf
kah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik
dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh
(ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun naf
kah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut
mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di
hari Lebaran.
Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-
orang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa,
tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa
den gan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan se-
bagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih
dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai
pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa
sebagai reduksi agresifitas menghadapi dunia—agresivitas yang
meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.
Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan
Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan
Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup un-
668 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DAGING
tuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk keta-
makan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan ke-
menangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa
yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriak-
kan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek
yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan
dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil
Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.
Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah
manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai
bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang
dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan
bagi dirinya sendiri...”. Tapi di situ Marx salah. Di abad ini yang
kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurah-
kan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek
yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak
seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat
kita sadar, kita tak pernah bisa utuh sendiri: aku selalu bersama
kek uranganku. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-
zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan lapar
dan haus adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut
pada ”yang-lain”, bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada
pencernaan, arus darah, trauma, dan nostalgia kita. Juga pada cu
aca, flora, fauna, benda-benda sekitar kita. Kita ada di bumi, di
bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tu-
han—sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi
itu, aku bisa rasakan bumi, langit, sesama makhluk, dan rahmat
Tuhan mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan keta-
makan dan agresivitasku.
Catatan Pinggir 9 669
http://facebook.com/indonesiapustaka DAGING
Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompen-
sasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan ter-
asing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa
telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah
tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali de-
ngan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan
tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.
Tempo, 22 Agustus 2010
670 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MAJENUN
DI sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair.
Atau kedua-duanya.
”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada
orang gila?”
”Kami punya banyak kesamaan.”
Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung da
lamsebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad ke-17. Si penyair
yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervantes. Da
lam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote
de la Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid
panjang yang berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini,
diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan pendekat
an yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau
menerima kegilaan.
Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Ma-
drid. Ia sebuah satire: Don Quixote tampil sebagai tokoh yang di
tertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes terasatum
buh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibacade
ngan jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu da
lam keg ilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua yang terlalubanyak
membaca buku tentang kesatria, tiba-tiba meninggalkan rumah
nya,berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang ca
balerro. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ke-
tika para kesatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso
Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”.
Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas
kisah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya tak pernah menyu-
Catatan Pinggir 9 671
http://facebook.com/indonesiapustaka MAJENUN
kai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan skenario
Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak ter-
lupakan. Terutama karena Peter O’Toole bermain dengan cemer-
lang sebagai Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan teruta
ma karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya
Brecht dengan layar putih ala Hollywood.
Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, pe-
nyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama
bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik
Span yol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan
iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah.
Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para
tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.
Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu
peti yang dibawanya. Ia siap membela diri di depan mahkamah
kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.
Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang pe-
nyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan tata rias, dan
muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi be-
rat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.
Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner
itu, dengan diiringi pelayannya, kini disebut Sancho Panza, naik
kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera memindah-
kan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh
plateau sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di
punggung Rocinante.
Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan
novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang juga membuat adap-
tasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan be-
berapa bab yang penting dari narasi Cervantes.
Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan Pela-
cur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat sang majenun mem-
672 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MAJENUN
bayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur sebagai
Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mem-
persembahkan hidup dan cintanya.
Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi
sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah kegilaan yang luhur dan
sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang dari
La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan
sinisme. ”I hope to add some measure of grace to the world,” katanya
agak malu-malu, sambil memandang Aldonza dengan lembut,
mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila.
Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu.
Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia merasa nista dan tak per-
nah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa tum-
buh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus
dan pahit, ”dan kita belatung yang merayap di atasnya.”
Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan
putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya”.
Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia
yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang kurus dan ling
lung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak
penting.”
Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendi
ri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia
di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang kesatria,
itu sebuah privilese.
To dream the impossible dream,
To fight the unbeatable foe,
To bear with unbearable sorrow
To run where the brave dare not go
To right the unrightable wrong
Catatan Pinggir 9 673
http://facebook.com/indonesiapustaka MAJENUN
Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Man
cha menampilkan Don Quixote sebagai seorang yang tulus dan
militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak
sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seper
ti halnya seorang penyair yang masuk menemui malam entah un-
tuk apa.
Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam
film ini, justru ”yang terlalu praktis, itulah kegilaan”. Barangkali
justru terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itu-
lah kegilaan.
Sebaliknya berjuang dengan setia dalam mimpi—dengan
niat memberikan yang baik bagi dunia, meskipun mustahil—
bisa memberi harga kepada manusia. Bahkan seorang Aldonza
akan bisa melihat, ada yang luhur dalam hidup. Ia akan bisa ter-
bebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau meng-
hitung laba-rugi. Dan ia akan bisa tahu, ia bukan belatung di atas
onggokan tahi.
Tempo, 29 Agustus 2010
674 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka AMPUN
TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Toulon, setelah 19
tah un dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibe-
baskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa
arah, lama dan sendirian.
Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya mem-
bawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu
ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa,
bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi ja-
lan. Dengan rasa marah dan pahit.
Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Mi
sérables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi ceri-
ta kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah.
Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di
Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup My
riel.Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan
bersendiri.
Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean
mend apatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan
alat-alat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melari-
kan diri.
Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang
berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu me
rek a temukan benda-benda milik keuskupan.
Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayang-
kan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini
ia akan dikurung seumur hidup. Dulu, di kota kecil kelahiran-
nya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 ia mencuri roti dari
sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia dipenja
rakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun
Catatan Pinggir 9 675
http://facebook.com/indonesiapustaka AMPUN
karena Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri.
Kini nasib lebih buruk menantinya.
Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup
Myriel mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barang-
barang perak itu diberikan kepada tamunya yang kelaparan un-
tuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di hadapan polisi, padri
yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga kandil
dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya—meski-
pun laki-laki itu tak pernah berjanji apa-apa—bahwa ia akan jadi
orang baik.
Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi
tak hanya itu. Hari itu ia—seorang lelaki perkasa—merampas
uang 50 sous dari seorang anak. Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari
anak itu di seantero kota, untuk mengembalikan uang itu. Tapi
tak ketemu....
Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia
jadi orang baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah
bahwa sebenarnya Uskup Myriel tak mengharapkan itu. ”Janji”
yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: sang Uskup berbohong agar
Valjean bebas dari hukuman.
Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bu-
kan sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y ka
rena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf
sang Uskup adalah maaf yang ikhlas, tanpa syarat.
Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf
tanpa syarat juga bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku
memberi kau sebagai isyarat bahwa aku lebih dari kau. Bila dem i
kian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau dilupakannya
sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Malah maaf
itu menegaskan nista itu.
Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas
disebut pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti
676 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka AMPUN
Derrida, ”pengampunan”, dalam arti semurni-murninya, adalah
”mengampuni hanya apa yang tak dapat diampuni”, le pardon
pard onne seulement l’ impardonnable.
Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari
Uskup Myriel kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang
dibayangkan Derrida, sebab kejahatan yang terjadi pada dasarnya
bisa diampuni: pelakunya seorang yang takut mati kelaparan.
Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga
sama sekali tak dapat diampuni, hingga pengampunan kepada
nyasebuah perbuatan yang benar-benar tanpa pamrih? Adakah
”radical evil” dalam pengertian Hannah Arendt, yang ”menum-
bangkan semua ukuran yang kita kenal”?
Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada
siapa kita. Memang ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi
di Auschwitz dan Dachau, atau dalam ”kepulauan gulag” yang
dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois fanatik
semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan pe-
nyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde
Baru di Indonesia.
Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang univer-
sal, tapi mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan
oleh intensitas perasaan para korban di suatu masa, di suatu tem-
pat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan yang ikhlas terha-
dap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi
korban di suatu masa, di suatu tempat.
Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sen
diri, pengampunan murni itu mustahil?
Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dike-
hendaki hidup yang adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya
sebagai imbauan ke dalam diri—untuk menggugat sejauh mana
kah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan.
Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang
Catatan Pinggir 9 677