http://facebook.com/indonesiapustaka BADRI
terdiam, merenungkan tetes air itu.”
Sejak hari itu—ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober
1979—ia gundah. Ia kembali masuk-keluar hutan, tapi kali ini
tidak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa
poh on-pohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar
mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan
itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. ”Sejak tahun itu pula
saya berjanji tidak lagi menebang pohon,” tuturnya. Bahkan ia
bersumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya.
Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat
lubang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir
tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi ku-
lit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke
bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia
menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik
sakit.
Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang
pencuri kini jadi sang pemberi. Istrinya marah. Hidupnya sendiri
tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali
ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas ke-
amanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk
men anam pohon apa saja di tanah kosong mana saja—yang tak
jarang kepunyaan orang tapi dibiarkan telantar atau sedang dibi-
dik untuk diperjualbelikan.
Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kese
tiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu
program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah ”kejadian”.
Kata ”jadi”—sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak
mudah diterjemahkan—menggambarkan perubahan yang-po-
tensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah.
”Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terka
dang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat
328 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BADRI
dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat, itu karena semuanya
berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak la
zim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipa-
cu oleh kepentingan-diri.
Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya tergun-
cang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979
itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia
menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa.
Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan
men gorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya
kaum atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia
bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu
yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hu-
tan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk ma-
nusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.
Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak ber-
pikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh
dan menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang
yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau
sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa ”sesama” tak
pernah ”sama”, kecuali sebagai angka statistik.
Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi
mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah
perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang po-
hon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa
membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan
karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang
pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan.
Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu?
Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang ber-
nama lengkap Badri Ismaya (dan ”Ismaya” adalah Semar dalam
wayang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan
Catatan Pinggir 9 329
http://facebook.com/indonesiapustaka BADRI
yang lebih mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan
manusia, Badri memberikan dirinya. Ia ingin kita tak bunuh diri,
karena saling menghancurkan dan putus asa setelah melihat diri
sebagai unsur yang keji di atas bumi. Saya kira Badri ingin manu-
sia jadi seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi layak diberi
ucapan terima kasih.
Tempo, 1 Februari 2009
330 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POTRET
SEMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semo-
ga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang lis-
trik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan
segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar
manusia.
Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah.
Tapi....
Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para
pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima
bulan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah
potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau
”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia,
para pembaca yang budiman, juga kelatahan.
Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap
orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat bersa-
ing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya meka
nisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks.
Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol
ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak
dalam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di se
panjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari
yang lain.
Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah ter-
pasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari
Partai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, mengena
kan jas dan dasi. Kedua-duanya memasang sederet huruf, mak
sudnya singkatan, di dekat nama mereka, dimaksudkan sebagai
gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, atau
”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lu-
Catatan Pinggir 9 331
http://facebook.com/indonesiapustaka POTRET
rus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kur-
sus montir.
Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan
sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di
sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa ba
nyakpotret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan na-
ma-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita
ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan
yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah
men yatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah
itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah
berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati
potret kampanye.”
Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar?
Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain.
Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-
menit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti.
Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta
untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori
pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka
pernah meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak
sia-sia.
”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan
mereka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu
bisa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai ke-
latahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka
akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan
dan orang-orang jadi jenuh.
Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru
propaganda Partai Nazi, bahwa repetisi akan punya hasil positif;
bahkan dusta yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran.
Partai yang sering memasang iklan di televisi memang tercatat—
332 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POTRET
oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan ka
dang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”.
Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita
saksikan penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri
tapi ada saat yang sama takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya
saya ingat dari deretan gambar di tepi jalan itu bukanlah wajah
calon anggota DPR wilayah saya, melainkan tampang yang lain
dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka
monyet.
Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan
yang menggugah, dari retorika yang menggetarkan. Repetisi da
lam politik hari ini adalah muka orang yang terpampang di bi-
dang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan gampang me-
nyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan ben-
tuk persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertem-
pel, tanpa pesona.
Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan
yang visual ke dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis
tua bahwa ”melihat” sama dengan ”mengetahui”.
Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yu-
nani Kuno memakai perumpamaan orang yang hidup dalam
gua, yang dari kegelapan melihat terang. Tapi tak berhenti di si
tu. Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh (melihat)
sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi
merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita
pun menonton iklan di layar itu, atau melihat (biarpun dengan
sekilas) potret-potret di pohon itu, seraya hampir lupa bahwa, se-
perti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra penglihatan adalah
indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, mi
salnya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Ja
uh sebelum Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi
nahor, atau ”penglihatan yang hebat”.
Catatan Pinggir 9 333
http://facebook.com/indonesiapustaka POTRET
Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya
ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat
Ind onesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tem-
pat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian
berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang ber
harga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bi-
cara apa-apa.
Tempo, 8 Februari 2009
334 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
Jurnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap ka
li sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang
tak kelihatan. Bahkan di halaman majalah ini dan juga di
Koran Tempo, bagian yang tak tampak sebenarnya lebih be
sarperannya.
Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat,
foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja,
perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keteram
pilan yang bertahun-tahun. Juga: pembentukan l’esprit de corps.
Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak
kelihatan itu. Harian Indonesia Raya dulu hanya identik dengan
Mochtar Lubis, Merdeka dengan B.M. Diah, Pedoman dengan
Rosihan Anwar. Juga Tempo sering dianggap cukup bisa diwakili
oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Harymurti, To-
riq Hadad.
Betapa tak lengkapnya. Siapa yang pernah bekerja di dalam
majalah ini tahu, seorang Goenawan Mohamad sebenarnya ber-
gantung pada orang lain yang praktis tak pernah dapat tepuk-ta
ngan.
Salah satu yang mengelak dari aplaus itu adalah Yusril Djali-
nus. Ia meninggal pekan lalu. Perkabungan keluarga besar Tempo
hari-hari ini karena Yusril lebih dari sekadar seorang kolega.
Bagi saya, dialah pembentuk utama ethos Tempo, sikap kerja
yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu,
harus dicapai. Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak
kurang penting: kerja sama yang saling mempercayai. Yusril, pen-
daki gunung itu (dia tokoh kelompok pencinta alam, ”Wanad-
ri”), tak banyak berpidato di depan para wartawan agar ethos itu
tertanam. Yusril langsung memberi contoh, dan ia membentuk
Catatan Pinggir 9 335
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
sistem.
Saya mengenalnya sejak ia bekerja sebagai reporter baru di ma
jalah berita Ekspres di tahun 1970. Saya mengenalnya sebagai se
orang yang bicara halus dengan aksen Sunda, seorang pemuda
kurus, tinggi, berambut rimbun. Mula-mula saya tak begitu
memp erhatikannya. Langsung di bawah saya ada sejumlah sas
traw an yang waktu itu sudah mulai terkenal (misalnya Putu Wi-
jaya, Syu’bah Asa, Usamah) yang entah kenapa jadi wartawan.
Karena sifat majalah itu yang dasarnya adalah kecakapan berceri-
ta dalam tulisan—para sastrawan itu mengambil peran yang sen-
tral. Di antara mereka, Yusril tentu tak menonjol.
Ia baru saja meninggalkan kuliahnya di Jurusan Publisistik
Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan ia bukan seorang penulis
yang canggih; tulisannya jelas, tapi nyaris kaku.
Hanya dengan pelan-pelan saya mulai menyadari: Yusril ba-
gus dalam kerja tim dan ia tangguh. Ia tak pernah mengelakkan
tug as. Majalah Ekspres, yang kami dirikan di tahun 1970, masih
sebuah usaha yang merangkak. Dana tak tersedia banyak, juga
untuk kerja sehari-hari. Pada suatu hari Yusril tak dapat uang
transp or. Pemuda yang pernah membiayai kuliahnya dengan jadi
tukang potret keliling dari desa ke desa ini memutuskan: ia berja-
lan kaki. Pada satu hari Jakarta yang terik, ditempuhnya jarak 20
kilometer dari Jatinegara sampai Pecenongan, bersama debu, kar-
bon dioksida, dan keringat.
Ketika saya dan teman-teman lain, misalnya Fikri Jufri, Chris-
tianto Wibisono, dan Bur Rasuanto, mendirikan majalah Tempo
(setelah meninggalkan ramai-ramai majalah Ekspres), Yusril ter-
masuk yang ikut bergabung.
Itu tahun 1971. Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat
dan ketololan. Seperti Ekspres, mingguan baru ini mengambil
mod el majalah berita Time dan Newsweek di Amerika. Tapi sebe
narn ya kami tak tahu bagaimana cara memproduksinya. Kami
336 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
bahk an bekerja mula-mula tanpa melalui koordinasi. Peran satu
orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain,
dan sejumlah wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejum-
lah wartawan lain bisa menghabiskan waktu main biliar. Tiap pe-
kan hampir selalu ada yang jatuh sakit kecapekan.
Setelah dua-tiga tahun, baru kami tahu ini tak beres. Kami
mengundang seorang konsultan: Amir Daud, bekas wartawan
Time di Jakarta.
Dialah yang mengajari kami membentuk organisasi dasar.
Beg itu tololnya kami hingga baru dari Amir-lah kami tahu perlu
nya menulis memo untuk teman sekerja, bila si rekan sedang ber-
tugas di luar kantor. Dari Amir Daud pula kami mulai belajar
bekerja efisien. Ia menyarankan agar kami punya seorang ”chief
reporter” yang akan membagi tugas hingga distribusi tenaga kerja
tak acak-acakan.
Penugasan, pesan Amir, harus tertulis. Ini memang akan
memb uat ia bisa diingat, mudah dikontrol, dan bila ada problem,
bisa dipindahkan langsung ke wartawan lain. Penugasan harus
jelas dan ringkas. Bahkan Amir memperkenalkan kebiasaan me-
mendekkan nama kami. Maka nama saya pun jadi ”G.M.”, Fikri
Jufri jadi ”F.J.”, dan Yusril jadi ”Y.D.” (Amir, yang menyukai gaya
Amerika, mengucapkannya ”Way-Di”). Akronimisasi nama itu
melekat sampai hari ini.
Tempo beruntung: ”Y.D.” jadi chief reporter pertama. Yang pa
tut diingat ialah bahwa pada awalnya jabatan ini—yang segera
kami Indonesiakan jadi ”koordinator reportase” (diakronimkan
jadi ”KR”)—tak ditunjuk dari atas. Saya sebagai pemimpin re
daksi memutuskan agar pejabat KR dipilih para wartawan sendi
ri.
Y.D. bersama Harun Musawa terpilih dengan jumlah suara
yang sama. Saya kemudian memasang Yusril di posisi itu. Harun
Musawa, yang berminat pada sastra dan punya kemahiran menu-
Catatan Pinggir 9 337
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
lis yang lebih, disiapkan untuk mengelola dan mengisi salah satu
rubrik. Y.D. punya kelebihan yang berbeda. Sebagaimana dika
takan Harun, ”Saya tak akan mungkin selugas Yusril dalam ber-
sikap.” Harun lemah lembut; Yusril tegas dengan kombinasi yang
langka: ia selalu bisa bercanda. Disiplin keras yang diterapkannya
bisa tak terasa menekan, sebab segera setelah itu ada suasana ber-
gurau.
Dari jabatan inilah, sejak 1976, Y.D. berkembang cepat. Kepe-
mimpinannya produktif. Seperti dikatakan Harun, pada rekan
dekatnya ini ada kemampuan memotivasi bawahan agar bekerja
optimal. Seperti para pendaki tebing, reporter harus pantang me-
nyerah untuk ”menembus sumber”. Berita harus diperoleh mela
lui rintangan apa pun.
Ethos inilah yang berkembang penuh dalam diri Dahlan Is-
kan (yang kemudian jadi pemimpin dan pembangun dan seka-
rang pemimpin grup media Jawa Pos), yang di awal tahun 1981
meliput terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas dengan
korb an 600 orang tewas. Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan
selama tiga hari di sana tanpa memincingkan mata. Baru empat
hari kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang
jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo.
Karni Ilyas, kini tokoh media televisi di Indonesia yang me-
mimpin TV One dengan 1.200 karyawan, membawa ethos itu ke
tempat kerjanya sekarang. Di kantor kerja Karni di Pulogadung,
sebuah poster Tempo terpampang di salah satu dinding. ”Ke mana
pun kantor saya pindah, [poster] ini akan saya bawa,” katanya.
Sebagai wartawan Tempo yang pernah menghasilkan lapor
an yang merupakan scoop, Karni mengingat Yusril sebagai orang
yang tak mudah puas akan hasil kerja anak buahnya. Tapi dengan
itu, kata Karni, para wartawan ”terpacu”. ”Yang tidak bisa akan
terpental dengan sendirinya.”
Tapi jadi pemacu hanyalah salah satu kelebihan Yusril. Ia juga
338 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
pembangun institusi. Bagaimana mengelola kerja para wartawan
dan yang bukan wartawan, bagaimana melatih mereka terus-me
nerus, menilai mereka dengan sistematis, dan memberi mereka
kesempatan berkembang—semua itu dimulai dari sistem yang
dibangun Y.D.
Salah satu yang jarang ditilik ketika orang menelaah Tempo
adalah sistem itu yang bisa membuat majalah ini memandang
jurn alisme sebagai sebuah posisi ethis. Posisi yang bertahan hing-
ga hari ini.
***
Jurnalisme sebagai sebuah posisi ethis yang diteguhkan
Y.D. adalah kerja kewartawanan dengan sikap yang memandang
orang lain dan merasa bertanggung jawab: jurnalisme yang tam
pil dengan kukuh bukan karena ia merasa unggul, melainkan jus-
tru ketika ia prihatin. Dengan keprihatinan kepada liyan, orang
lain yang juga sesama, ia bertindak.
Posisi ethis itu dimulai ketika seorang wartawan tergerak buat
menulis sesuatu, baik sebuah investigasi tentang ketidakadilan
maupun sebuah cerita ringan yang menghibur. Segera ia dituntut
dirinya sendiri untuk terbuka, juga kepada yang paling tak disu-
kainya. Ia dituntut diri sendiri untuk tak culas. Ia diminta tak pu-
tus-putusnya untuk meraih apa yang baik dan yang benar, beta-
papun mustahilnya.
Di sini ethos yang ditanamkan Yusril dapat diikhtisarkan:
Pertama, seorang wartawan harus pantang surut mendapatkan
berita. Kedua, ia tak bisa dibeli. Tiap kali ada godaan buat lem-
bek dan menyeleweng, tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang
mungkin sekali celaka, atau tertipu, karena kebohongan berita
nya.
Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk mendapat-
kan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”am-
plop” dan suap. Prinsip ini tak bermula di majalah Tempo dan bu-
Catatan Pinggir 9 339
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
kan dicanangkan oleh Y.D. Yang dilakukan Yusril adalah mem-
perkuat tembok hingga sogokan tak tembus ke tubuh organisasi.
Y.D. memanfaatkan sistem produksi berita majalah ini: sebuah
berita selalu hasil kerja tim yang anggotanya bisa berubah, dan se-
buah berita selalu diperiksa setidaknya dua lapis redaksi.
Tapi tak hanya mencegah yang buruk. Y.D. juga menumbuh-
kan rasa harga diri ke kalangan wartawan. Departemen redaksi
mengalokasikan dana yang cukup bagi tiap wartawan untuk be
kerja. Yusril-lah yang pertama kali di tahun 1980-an merancang
agar reporter mampu menjamu para humas—dan dengan itu
memb alikkan praktek sebelumnya, di mana sang reporter yang
selamanya dijamu. Yusril juga yang mengharuskan wartawan me-
nolak uang saku perjalanan yang disediakan satu lembaga yang
mengundang, dan untuk itu ada dana dari kantor yang memadai.
Dari sini wartawan jadi oknum yang dihormati, dan pada gi
lira nnya, merasa diri kukuh. Ia jadi subyek yang merdeka. Harga
diri ini tampaknya terbawa ke saat yang paling kritis. Di tahun
1994, ketika Tempo dibredel, Rustam Mandayun, waktu itu Ke-
pala Biro Yogyakarta, melakukan aksi protes terbuka bersama
mah asiswa dan kaum cendekiawan, satu hal yang penuh risiko di
bawah rezim Soeharto. Saya bertanya kepadanya, kenapa ia me-
milih langkah itu, sementara ia punya keluarga. Rustam menja-
wab, tanpa suara yang heroik: ”Kan kita semua sudah dibiasakan
menolak amplop, Mas.”
Jurnalisme adalah sebuah posisi ethis ketika ia bersiteguh un-
tuk merdeka, sebab hanya dengan kemerdekaan itu rasa tanggung
jawab dan harga diri tumbuh. Tapi seperti para pendaki gunung
dan tebing, dalam kegigihan itu juga perlu dijalin rasa saling per-
caya dalam sebuah tim. Di sini, posisi ethis menyentuh ke sesama
teman sekerja: tak boleh ada curang-mencurangi.
***
Berada di lapis pimpinan, Y.D. sangat peka akan soal itu.
340 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
Itu sebabnya ia tak pernah mendahulukan kepentingan diri, jus
tru ketika ia punya kekuasaan yang besar. Seperti dikenang Har
jokoTrisnadi, direktur keuangan waktu itu, Yusril tak pernah
mau men erima fasilitas apa pun tanpa aturan yang berlaku bagi
siapa saja. Ia rela untuk tak ditunjuk jadi pemimpin redaksi.
Di tahun 1994 ada usaha dari Menteri Penerangan Harmoko
dan Jenderal Prabowo Subianto, waktu itu menantu Presiden, un
tuk memecah belah dan mengendalikan Tempo dari dalam. Salah
satu caranya membujuk Y.D. untuk jadi pemimpin redaksi.Yus-
ril menolak dengan seketika. ”Yusril bukan orang yang akan ber
khianat,” kata Zulkifly Lubis, rekan sekerjanya yang ikut mem-
bangun organisasi Tempo.
Dalam masalah-masalah ethis, saya selalu bersandar pada Yus-
ril. Sebagai salah satu anggota dewan direksi, ia diberi kemung-
kinan mendapatkan saham di sebuah majalah yang dimiliki oleh
Tempo. Tapi Yusril menolak. Ia teguh tak tertarik untuk mem-
perbanyak milik dan menyukai yang mentereng dan gemerlap.
Den gan itu ia pantas untuk menuntut sikap tangguh yang setara
dari para wartawan.
Ia tahu l’esprit de corps dan kerja tim amat menentukan dalam
ikhtiar itu. Pimpinan dan bawahan harus kompak, dan sebab itu
manajemen pun harus bersikap adil terutama kepada yang beker-
ja di bawah: selain tak mementingkan diri sendiri, pimpinan tak
boleh pilih kasih dan harus terbuka dalam pengambilan keputus
an. Karena di Tempo ada Dewan Karyawan yang bertindak seba
gai serikat sekerja dan tak ada pribadi yang memiliki modal se-
cara langsung—saham dikuasai institusi yang separuhnya diken-
dalikan karyawan l’esprit de corps itu mudah ditumbuhkan.
Untuk itu pula Y.D. (bersama Bambang Halintar, M. Mah-
tum, Zulkifly Lubis, dan kemudian Meity Bachrul) menyusun
cara evaluasi dan promosi yang transparan. Tak ada pengangkat
an tanpa melalui jenjang karier dan jabatan yang jelas. Penilaian
Catatan Pinggir 9 341
http://facebook.com/indonesiapustaka Y.D. (1944-2009)
harus bisa diketahui orang yang dinilai.
Pada mula dan pada akhirnya, jurnalisme, justru di sisinya
yang tak tampak, adalah setiakawan. Itu yang dijalankan Yusril
sampai ia meninggal. Malam sebelum ia pergi, saya sempat men-
cium pipinya yang masih hangat. Saya tahu saya tak akan meli-
hatnya lagi. Tapi saya tahu ia bukannya tanpa peninggalan yang
tak ternilai.
Tempo, 15 Februari 2009
342 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DARWIN
Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tu-
han. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai
hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari la-
hirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia
”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik”. Teori evolusinya
yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang
segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tu-
han, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari se
mua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika di
lih at di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS
Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun
yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor ini (setelah gagal
bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar
geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasi
hati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s
College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada
abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evi
dences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih
membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan oto
nomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya
mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the
Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”.
Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah
lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil,
ditanggalkannya argumen Paley.
Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil
Catatan Pinggir 9 343
http://facebook.com/indonesiapustaka DARWIN
desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan
bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa dikatakan dirancang
”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu, me
nyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyia-
sati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Gala-
pagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan
bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila keti-
dakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya
perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas
bud ak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika
ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudak
an sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang beragama Kristen”.
Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan
nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang
adil dan mahapenyayang menghasilkan desain yang melahirkan
kea daan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah
kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan”
Tuh an di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak
takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat
ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja se
leksi alamiah. Lingkungan hidup yang mengontrol nasib kehi
dupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan.
Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan
dan tak optimal, dan tiap penyelesaian bergantung pada keadaan
ketika itu.
Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah
bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut
penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama di-
junjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak
344 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DARWIN
orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para peng-
kritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang
pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan”
yang datang dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup
di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum
yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan je-
nis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar ber-
beda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar
komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada
dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evo
lusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal se-
lamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan
itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun ter-
bangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Ste-
phen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari
plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek
tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang
direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hi
dupdengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut
kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang ter-
jadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flowchart
yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah
meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di de-
pan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang
ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keteram
pilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is
as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia
Catatan Pinggir 9 345
http://facebook.com/indonesiapustaka DARWIN
tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu
bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan
kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang
sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.
Tempo, 22 Februari 2009
346 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CEBOLANG
TEATER itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh
300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak ritmis seperti
pen ari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terka
dang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang
dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor
pen uh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan
pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah la
gu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya,
ekspresinya bisa tangis.
Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit
yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi,
dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang sa
tu ke idiom yang lain.
Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang mana pun
kin i, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khazanah. Tubuh
dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu—sebuah
keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri—adalah se-
buah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang.
Sejarah kebudayaan itu dapat disebut ”Jawa”, tapi yang tak da
pat ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan
pangk ur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diato
nik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengu
tip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-
akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasi-
dah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi
Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang se
ring dianggap ”kasar” dan ”kurang-Jawa”.
Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di Kota Sla
wi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12
Catatan Pinggir 9 347
http://facebook.com/indonesiapustaka CEBOLANG
keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir tak
pernah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang
tanpa dibayar.
Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari
bapak sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang
kiai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia seorang santri yang
keras.
Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya be-
rangkat untuk jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia tak
bertahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya, se-
bab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke Solo
dan kuliah di STSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di
mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wila
yahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditam
piknya. Selain mendalang—dan jadi penerus ayahnya—ia ikut
dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab dengan Ren-
dra.
”Saya ini seperti Karna,” katanya pada suatu ketika, ”tak pu-
nya bapak yang jelas. Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual
saya pak kiai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain.”
Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia;
di pentas itu ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan
identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran
yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.
Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai
Teater Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen
dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah
tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang melarikan
diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram me-
nyerbu.
Gundono beruntung. Versi yang dipakainya—dengan judul
Cebolang Minggat—bukanlah teks yang seperti mumi di mu
348 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CEBOLANG
seum.Ia bekerja sama dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang sas-
trawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan mengatakan:
”Ini adalah Centhini abad ke-21.”
Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar ba-
hasa Jawa. Ia, tulisnya, ”seorang petualang dan pencinta Jawa”. Ia
menggubah kembali 4.200 halaman, 722 tembang, 2.000 bait
lebih itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandra
an yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan
teks asli. Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah.
Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan
sajak Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga ma-
suk anasir yang kocak dari Gargantua Rabelais. ”Centhini, c’est
Rabelais!” kata sejarawan Onghokham kepada sang penyadur.
Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula la-
hirnya Centhini—teks yang merupakan pertemuan berbagai alir.
Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan, nostalgia,
dan kreativitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti
dikatakan dalam pengantar, adalah ”pengembaraan edan luar
batas”.
Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjuk
an dusun itu Inandiak duduk di depan laptop. Ia membaca de-
ngan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis,
lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: ”Cebolang bertubuh lu
wes dan licin layaknya penari Ramayana....”
Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini
agak kikuk, dan Inandiak melafalkannya dengan aksen asing
yang menghidupkan konsonan akhir—tapi itu justru yang me-
nyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundo-
no meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang,
nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam
upacara santri, dan gamelan, dan joget, dan suara bariton yang
berkisah....
Catatan Pinggir 9 349
http://facebook.com/indonesiapustaka CEBOLANG
Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sa
ngaterotis: deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti
di sana. Cebolang yang melarikan diri dari rumah, setelah me
nempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang.
Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan
”ilmu yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lain-
nya”.
”Ayahanda, ilmu apa itu?”
”Cinta.”
Tempo, 1 Maret 2009
350 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MONO
Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah ber
tengkar. Yang satu muslim dan yang satu lagi Yahudi.
Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas
sek alian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar,
orang muslim itu menjotos muka si Yahudi.
Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad,
yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang ter-
jadi. Maka Rasulullah pun memanggil si muslim dan berkata:
”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat
semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama me
rek a. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku li
hat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah
ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah
dia adalah orang yang dikecualikan Allah.”
Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’ il
Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu,
Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai
salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan
Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.
Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang de-
ngan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan
musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut
sebagai agama-agama Ibrahimi.
Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad
SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas
Musa”, dan, ”aku tidak tahu...”.
Catatan Pinggir 9 351
http://facebook.com/indonesiapustaka MONO
Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasadi
atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka.
Mereka akan membenarkan si muslim yang memukul si Yahudi.
Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”me
nyimpang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah,
membaca syahadat Islam.
Dari mana datangnya kekerasan itu?
Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa mem-
buat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang
sama bisa menghalalkan pembunuhan.
Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti ba
nyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan
tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-
kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupan-
nya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah
Sabda, melainkan Laku.
Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi
suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sem-
barang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering ter-
jadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercaya
an yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya ka-
ta-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesa
tuan tafsir.
Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—
dan kita harus bebas dari the logic of the One.
Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Mono
theism.Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim
about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya me
lampaui ke-satu-an dan totalitas.
Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multi
plisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, me
nurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu
352 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MONO
menerima yang tak terduga tak berhingga.
Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan
”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak
hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang
jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam
perjalanan benda-benda planeter.
Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi
tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kem-
bali?
Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu.
Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya:
”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” De-
ngan kata lain, ”anti-liyan”?
Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan”
itu berpangkal pada ”bilangan yang dijadikan metafora bagi inti
falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilangan
”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ketiadaan, kekosongan,
sunyi, shunyat, shunya, sekaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada
bilangan nol,” kata Parang Jati.
Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme,
tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam
shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol
dirumuskan”.
Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun
ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan di
mulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia
pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual”
dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemu-
kan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya
matematis.”
Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, me-
lainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menun-
Catatan Pinggir 9 353
http://facebook.com/indonesiapustaka MONO
jukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melain
kanketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.
Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah de-
ngan memakai ”the logic of the One”?
Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu
saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indone-
sia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam
asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang
berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai
kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.
Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau
tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus
”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”.
Tempo, 8 Maret 2009
354 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari
1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Bebera-
pa jam sesudah itu bom meledak.
Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Cata-
lina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan
penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot
pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat
Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus me-
ninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar wak-
tu satu jam untuk bersiap.
Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam
16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak ang-
katnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.
Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina
itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku
atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam
belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selama-lamanya—
kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper
pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali
kehilangan itu.
Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di da
lam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar
jend ela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru
bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang
buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.
Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjah-
rir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada pepe
rangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah men-
duga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.
Catatan Pinggir 9 355
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
***
Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari
1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda
Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang,
ia menem ui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, ber-
main, bergurau.
Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan
ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter
panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan
vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh
Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bu-
kunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah.
Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah
ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang
keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cu-
cu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perem-
puan, Lily dan Mimi.
Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka... adalah
teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Ban-
da itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak
menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Ma
ngunkusumo, Iwa Kusumasumantri....
Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman
yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matemati-
ka, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menye-
wa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.
Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa
anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar,
atau mendaki gunung di sebelah sana.
***
Anak-anak, permainan, pantai—mungkin itulah kiasan
terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-
356 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak
berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:
”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan
dau n kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut da
lam...
”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar meng
arungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan me
nebarkannya kembali...”
Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh
”manfaat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut
dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikum-
pulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.
Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an
itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang bu
angan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu ber
ubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai
itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau temp at
asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan
tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga
tak diakhiri akalbudi.
Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesung
guhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya ya-
kini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bah-
kan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepan-
jang impuls, dorongan, gairah membiarkannya....”
Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa
emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, se-
buah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”).
Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebuda
yaa n, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu jenius,” tulisnya kepada
Catatan Pinggir 9 357
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietz
sche menyebut, mengikuti Schiller, adanya ”dorongan bermain”,
Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan”api
hidup abadi” yang ”bermain, seperti si anak dan sang seniman”,
dalam arti ”membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...”.
Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat
dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?
***
Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. ”Di
sini benar-benar sebuah firdaus,” tulisnya tentang Banda Neira
pada awal Juni 1936.
Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya se-
jak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau
itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal—ber-
main dengan anak-anak dan mengajar. ”Seakan-akan ia, dalam
bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang
tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem.”
Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyu-
kai politik. ”Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bu-
kan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dah-
syat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun
sep enuhnya manusiawi—yang kita sebut politik. Ia tak merasa
kan ada panggilan....”
Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia
mengelakkannya?
Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema
dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi ber-
sama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesa
wat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah
pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di
rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke ala
mat yang terjamin.
358 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Ca
talina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak ter-
hindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-
anak, rantau antah berantah—mungkin dalam hal-hal ini Sjah-
rir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut
sebagai ”kelupaan yang aktif”.
Namun di dalam kabin itu ”kelupaan” (Vergeszlichkeit) tak
mungk in jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pi-
lot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pas-
ti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan
aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cu
aca dan situasi perang.
Pesawat Catalina itu bukan ”the only possible non-stop flight”,
untuk ”terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder menda-
rat”, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada
akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan ren-
cana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi.
Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan,
gairah.
Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti pa
ra penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bu-
kan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan
”Surat Kepercayaan Gelanggang”, Sjahrir percaya, kebudayaan
Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik
dan adat yang ”semi-feodal”, bukan dengan mengelap-elap candi
tua.
Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka
yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya ha
nya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia
menulis tentang perlunya ”nuchterheid” dan ”zakelijkheid”, sikap
berpertimbangan dan lugas—pada saat ketika ia juga menyam
but Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar ba
Catatan Pinggir 9 359
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
gaikan Dionysius.
Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang
diunggulkan tata sosial borjuis—tata yang mengandung kontra-
diksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani men
jelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandungsi
fat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, ke
lugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, indus-
tri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur
kehidupan politik.
Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi
itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam si-
kapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis
yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik”
ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang terting-
gal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang me-
nyebabkannya dibuang ke Banda Neira.
***
Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di
bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin
masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiap-
kan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena
di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan
konflik kekuasaan.
Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tan-
pa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang
digambarkan tak terpesona oleh politik?
Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia
kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Su
karno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat
yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.
April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam
setelah Sjahrir wafat: ”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar
360 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SJAHRIR DI PANTAI
bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya
sebagai seorang manusia....”
Ditulis kembali dari Setelah Revolusi Tak Ada lagi (Jakarta, Alva-
bet: 2001). Diolah dari Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (Studies on
Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.
Tempo, 15 Maret 2009
Catatan Pinggir 9 361
http://facebook.com/indonesiapustaka
362 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN-PASAR
DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibu-
tuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima.
Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-
ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh
dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu lintas.
Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi
bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang
pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai
milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.
Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang
pernah disebut sebagai ”pasar metaforik”: kegiatan yang tak ter-
batas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hu
bungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.
Dalam ”pasar metaforik” ini pun (yang selanjutnya akan ditu
lis dengan ”P”) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah ja
di benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan
akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga:
hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh
Pasar itu sendiri.
Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama
menonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi di
teg akkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada
Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Ne
gara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi
mereka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam
ekon omi, mereka yang menampik ”kekuasaan yang sewenang-
wenang segelintir orang” yang terkadang disebut sebagai birokra-
si dan hendak mengendalikan perilaku yang pada akhirnya dipi-
lih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh peme
Catatan Pinggir 9 363
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-PA S A R
nang Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam
berargumentasi itu, ekonomi pun di mana-mana digerakkan oleh
semangat deregulasi dan privatisasi. Negara—itu sesuatu yang
buruk. Pasar—itu selamanya penting.
George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu
”fund amentalisme pasar”; Paul Krugman menamakannya ”abso-
lutisme laissez faire”. Dalam tulisannya di The New York Review of
Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama
apa pun. Tapi ia menyebut kesalahan mereka yang tak bisa de
nganjelas membedakan ”keniscayaan” (necessity) pasar dari ”ke
serb acukupan” (sufficiency) pasar.
Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bu
kan-p asar—dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa para
penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai ”ba
pak paham kapitalisme” itu, telah keliru bukan karena sang ba
pak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam bukunya yang per-
tama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang meng
anggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk
oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung.
Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara tentang perlunya
”perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat ber
masyarakat”.
Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka
justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat
oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada
sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan
memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan
kep emilikan. Tukar-menukar komersial tak dapat berlangsung
sec ara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membuat
perjanjian kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misal
nya karena tak perlu terus-menerus membayar biaya perkara
penga duan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif
364 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-PA S A R
tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah
dan berlebih dari korupsi.
Pendek kata, menurut Sen, ”kapitalisme yang berorientasi
laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusi
onal yang lain”. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak
bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.
Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah menga
takan hal itu dalam esainya, ”Against Parsimony: Three Easy Ways
of Complicating Some Categories of Economic Discourse”: ketika
kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat meng-
abaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan
hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, ”sistem
itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri”. Sebab vitalitas itu be-
rangkat dari sikap menghormati ”norma-norma moral tertentu”,
sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ”ideolo-
gi resmi kapitalisme”.
Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa
”rak us itu bagus”—seperti yang dikumandangkan oleh risa
lahmacam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed—pada
akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang
ini—seorang pebisnis terpandang—berhasil mengeruk US$
65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam
uang dengan penuh kepercayaan di koceknya.
Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak ka-
lah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu me-
minjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa
betapa perlunya ”nilai-nilai institusional” di luar Pasar. Mereka
perlu dijaga.
Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-ni-
lai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa
yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan ram-
bu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit
Catatan Pinggir 9 365
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-PA S A R
nyaris tipis dan pengertian ”bebrayan” dirusak oleh ketimpangan
sosial dan korupsi? Apa gerangan yang harus dilakukan?
Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin se
kalibisa menjawab itu.
Tempo, 22 Maret 2009
366 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA FANTASI
WAJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Ta
pisebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah mo
dern— dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Ame
rika sebagai dunia Harry Potter.
Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak da
patdiandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan
sejak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra
yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan mem-
beri dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan tea
ter.
Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana ben-
da-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm
Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York,
sebuah lagi di Prancis.... Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup
yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40;
merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22.
Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, se-
bagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga
bera rti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bur-
sa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang
mengawasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mus-
tahil dikibuli.
Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah ja
di bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan ba-
ru-baru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva,
perguruan tinggi Yahudi yang telah 122 tahun berdiri di Ameri-
ka.
Dengan jabatan dan kekayaan itu ia yakinkan orang agar me
nanamkan uang ke usahanya, dengan janji akan ada perolehan
Catatan Pinggir 9 367
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA FANTASI
yang besar dan ajek tiap tahun.
Semuanya akhirnya hanya kebohongan: Madoff membayar
”perolehan” itu bukan dari hasil investasi, melainkan dari uang
yang ditanam investor baru. Pada akhirnya, uang yang dipercaya
kan kepadanya ia tilep—entah untuk apa saja.
Ada lebih dari 13 ribu rekening di pelbagai negara yang jadi
korb an. Universitas Yeshiva sendiri kehilangan $ 110 juta. Madoff
juga memusnahkan dana The Elie Wiesel Foundation for Huma
nity, yang didirikan Elie Wiesel, pemenang Hadiah Nobel Perda
maian dan penulis buku Malam, karya terkenal tentang peng
alamanhidup dalam kamp konsentrasi Nazi. Sebesar $ 15 juta le
bih—atau hampir seluruh aset yang dipunyai yayasan itu—raib.
Bahkan para tetangganya di Palm Beach, kebanyakan orang
tua Yahudi yang berpunya, kena tipu. Termasuk Carl Shapiro, se
orang jutawan umur 95 yang telah menganggap Madoff sebagai
anak; $ 400 juta uang pribadinya hilang.
Kenapa itu bisa terjadi? Keserakahan dan kelicikan Madoff
tentu jadi pangkalnya. Juga kemampuannya meyakinkan orang.
Tapi tak dapat diabaikan: suasana optimisme yang melonjak-lon
jak, ketika keadaan investasi cerah, dan orang mau percaya apa
pun agar uang jadi pohon buah yang subur. Euforia itu ruang ba
gi fantasi. Dan kapitalisme Amerika pun berkembang jadi kisah
ala Harry Potter tanpa (atau dengan) Lord Voldemort.
Di situlah Madoff, sang ilusionis alias juru sulap, membangun
tiga lapis fantasi dengan sempurna.
Yang pertama fantasi bahwa dana itu hidup dan bergerak sen
diri, seakan-akan sejumlah makhluk rahasia dari Hogwart yang
bekerja untuk membawa kekayaan.
Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ke
timbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek
Mark Twain, The One Million Banknote.
Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di Lon-
368 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA FANTASI
don dalam keadaan compang-camping dan lapar. Tapi tiba-tiba
ia jadi alat taruhan dua jutawan kakak-beradik.
Sang kakak mengatakan, bila seorang jembel dipegangi se
lembar mata uang bernilai sejuta pound sterling selama 30 hari,
orang itu akan mati kelaparan. Untuk beli makanan, ia harus me-
nukarkan mata uang segede itu agar jadi recehan. Tapi orang tak
akan percaya dan ia pasti akan ditangkap.
Sang adik sebaliknya menebak: si jembel akan berhasil.
Maka Adams pun jadi kelinci percobaan. Taruhan dijalan
kan— dan ternyata si adik yang benar. Si Yankee jembel bisa me
yakinkan orang, cukup dengan menunjukkan kertas bertanda
1.000.000 pound itu, bak paspor seorang jutawan. Toko dan res
toran akan melayaninya bagai raja.
Artinya, kertas berangka itu telah jadi jimat. Orang hidup de-
ngan ”fetisisme” itu. Dalam hubungannya dengan komoditas la
in, uang kertas itu bukan lagi terpacak di bumi, melainkan, un-
tuk memakai kata-kata Marx, ”berdiri di atas kepalanya”, tum-
buh keluar dari sifatnya sebagai kertas. Ia jadi sesuatu yang ”jauh
lebih hebat ketimbang seandainya ia harus menari menurut ira-
manya sendiri”.
Dengan itu lahirlah lapisan fantasi kedua: Madoff bukan ha
nya menampakkan selembar kertas sejuta dolar, tapi lebih. Dan
para pemilik jutaan dolar pun menerimanya sebagai kawan se
kaum. Bila si Henry yang rombeng itu bisa meyakinkan dunia,
apalagi Madoff yang tinggal di Palm Beach.
Tapi fantasi itu tak berhenti di sini. Ada fantasi lapis ketiga.
Shapiro mengira hubungannya dengan Madoff adalah hubungan
antarmanusia. Ternyata bukan. Madoff memompa fantasi itu,
meskipun baginya hubungan antarmanusia cuma sebuah medi-
um pertukaran uang. Sebab dengan fantasi Shapiro-lah transaksi
kapitalisme mungkin.
Memang akhirnya hati Shapiro tertusuk. Kini kita, yang terje-
Catatan Pinggir 9 369
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA FANTASI
bak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga
fantasi yang dipupuk Madoff.
Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapi-
talisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin ke-
cil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan
membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya.
Meskipun tak mudah.
Tempo, 29 Maret 2009
370 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KARNIVALESK
SEORANG pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi
gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing ber
gambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Ta
ngerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari
Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan
sedang cari duit derma; ia, seorang pengamen, sedang berkampa-
nye.
Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung
tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada se-
buah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu
memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka
itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar.
Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa
dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.
Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan de-
ngan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a
plane. It is not Superman. It is... well, dia calon wakil rakyat, pem-
buat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain
memp erkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai ”papinya
si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret
besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beck-
ham, pemain bola tersohor itu....
Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum
2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.
Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya
dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya,
bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya.
Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman da
lam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang ter-
Catatan Pinggir 9 371
http://facebook.com/indonesiapustaka K A RNI VA LE SK
lalu banyak maunya.
Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama
aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jorjoran di
sepanjang jalan—dengan hasil yang sama sekali tak memikat.
Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekat,
atau yang rapor masa lalunya mengerikan tapi bicara sebagai ba
pak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju:
karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?
Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan
bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingung
an itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasaannya
yang malas dan serampangan....
Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam diang
gap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan ”tak begitu perlu”
karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai ber
kampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya
tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak me-
milih, ”golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jum-
lah suara sang pemenang nanti.
Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa
ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih
kesibukan lain—misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim
bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?
Tapi ”ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermi
liar-m iliar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak pe
duli bila hasilnya cuma sekadar masuk hitungan dalam daftar
yang umurnya tak lebih dari tiga bulan.
Tapi kata ”ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang
lebih tepat mungkin ”lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya
jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah
tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang te
ngahmereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demo
372 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka K A RNI VA LE SK
krasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang
diejek para pesertanya sendiri.
Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masygul dan mencibir.
Ada satu sifat dalam Pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghi-
bur para ”pemerhati politik” yang prihatin: ini sebuah karnaval,
Bung!
Keramaian ”karnivalesk” mengandung sesuatu yang kurang
ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sa
ma rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemi
sah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak inginpro
duktif. Seperti dikatakan Mikhail Bakhtin, yang carnivalesque
”menangguhkan untuk sementara waktu semua perbedaan hie
rark is dan tanggul batas antara manusia”.
Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam kar-
naval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut
pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai ko-
moditas. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan,
melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling meng-
gugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemu
an yang universal. Ia melawan monolog.
Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi
bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang
tercapai oleh poster-poster yang tampaknya berlebihan itu: se-
buah ekspresi menertawakan diri sendiri.
Maka marilah kita jangan terlalu masygul: tak ada jeleknya
orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain)
untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu. Lucu yang sehat,
lucu yang mencemooh wajah (juga wajahku) yang sok-penting.
Tempo, 5 April 2009
Catatan Pinggir 9 373
http://facebook.com/indonesiapustaka
374 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HERMAN
Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap po-
hon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia.
Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hi-
lang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadi-
an itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang
yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya ju
ga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya
betul.
Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik
(PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29
Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi
informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menuliske-
nangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis... tentang
Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali
aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembu-
nyi....”
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam
beb erapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika
tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD,
setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi
Jurn alis Independen), setelah orang-orangnya menduduki de
ngankekerasan Kantor PDI-P.... Beberapa orang sudah dilenyap-
kan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Ne-
zar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain....
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-te
man aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini di
kenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana
mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digere
bek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Ira
Catatan Pinggir 9 375
http://facebook.com/indonesiapustaka HERMAN
wan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu—
mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan
karena tiap kali diubah.
Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubunga n
dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan per
gerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, se-
cara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya se
kelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai ge
rakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan ka
mi saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perla-
wanan.
Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia
dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu pu-
nya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluh
an ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu,
membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan
pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu.
Dengan menjajal keberanian.
PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerjasa
ma dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Ko
mite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah ke
arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasatun-
tuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto (”kami pura-
pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura meng
adakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota
PRD—mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersema
ngat,dan tak gentar—adalah sayap yang paling saya andalkan
dalam KIPP.
Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan
mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap.
Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk
meningkatkan perlawanan—”la lutta continua!”—dan sebagian
376 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HERMAN
menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan bagian ge
rakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.
Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, ter-
masuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu
68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran informasi
dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok
M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik
bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya.
Kem udian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul se-
bagaimana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dija
ga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka
mulut.
Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih te-
pat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati,
Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD
yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat,
dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan
dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam tes-
timoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.
Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hi-
lang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul,
yang untuk beberapa lama dapat disembunyikan satu tim teman-
teman, juga kemudian lenyap.
Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidak
nya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan ba
gaim ana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian
dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat
dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulut-
nya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada mem-
buat napasnya putus. Tersengal-sengal.
Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap sela-
manya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh.
Catatan Pinggir 9 377