The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:19:26

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka RECEHAN

adil—kita secara spontan berduyun-duyun datang untuk bersa-
ma perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan uang receh­
an—fragmen dari sebuah kesatuan yang tak tampak—yang jus-
tru menunjukkan sesuatu yang mengagumkan: kita belum me-
nyerah kepada ”tirani keputusan-keputusan kecil”. Kita adalah
bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sam-
pai hari ini.

Tempo, 20 Desember 2009

528 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MACBETH

Politik, seperti halnya tragedi, tak akan punya arti tan-
pa kesangsian. Mungkin itulah sebabnya Macbeth, trage-
di Shakespeare, tak mudah dilupakan, juga oleh seorang
presiden.

Pada suatu malam sastra di Gedung Putih, Presiden Clinton
ber­cerita bahwa perkenalan pertamanya dengan puisi berlang-
sung di SMP, ketika gurunya memintanya menghafal baris-baris
solilokui dalam Macbeth. Lalu ditambahkannya, setengah melu-
cu: untuk memasuki kehidupan politik, membaca Macbeth bu-
kanlah awal yang baik.

Ketika acara selesai dan hadirin bergiliran menjabat tangan-
nya, seseorang bertanya masih ingatkah presiden itu baris-baris
Macbeth itu. Di saat itu Clinton pun membacakannya dengan ba-
gus:

... here upon this bank and shoal of time,
We’ d jump the life to come. But in these cases
We still have judgement here, that we but teach
Bloody instructions which, being taught, return
To plague th’ inventor.
Kalimat itu diucapkan Macbeth, ketika tokoh lakon ini sendi­
rian, merenung dalam kebimbangan. Panglima perang itu bernia­ t
membunuh rajanya, Duncan, meskipun ia tahu baginda menya­
yanginya dan mempercayainya: Duncan telah menghadiahinya
wi­layah kekuasaan yang lebih luas dan bersedia datang menginap
di kastilnya. Tapi Macbeth berniat membunuhnya, karena ada
ra­malan tiga nenek sihir bahwa ia akan jadi raja.
Dan tak kalah penting, karena Lady Macbeth, istrinya yang

Catatan Pinggir 9 529

http://facebook.com/indonesiapustaka MACBETH

perk­ asa, mendesaknya, meyakinkannya.
Malam itu Macbeth pun membunuh raja, ketika tamu agung

itu tengah tidur. Untuk menghapus jejak, ia tuduh dan ia bunuh
para penjaga. Darah yang mengalir tak berhenti di sana....

Tapi sesaat itu, ketika ia sangsi, ketika ia merasa berada ”di te­
bing dan laut waktu”, Macbeth bukan seorang yang keji. Ia mera-
sa ada yang tak patut bila ia jalankan niatnya: ia mengkhianati ra-
janya dan membantai seorang ”lemah lembut” (meek), yang ”ke-
bajikannya akan mengimbau bagaikan malaikat”, hingga akan
jatuh kutuk ketika ia dipaksa meninggalkan dunia.

Memang tak jelas benar apa yang membuat Macbeth bim-
bang: seperangkat nilai-nilai, sebuah tatanan moral, atau hanya
ket­akutan pembalasan. Kita dengar baris yang dibacakan Clin-
ton: siapa yang membawa ajaran berdarah, kata Macbeth, akan
mendapatkan yang sama, yang berbalik, merongrong ia yang me­
mulanya.

Mungkin dalam ambivalensi itu antara bisikan moral dan
dag-dig-dug ketakutan dengan mudah bujukan Lady Macbeth
menjeratnya. Menjerat: sebab Duncan mati, Macbeth jadi raja,
tapi sejak itu yang ada hanya pembunuhan demi pembunuhan.
Macbeth tragis karena kita sebenarnya bisa melihat apa yang baik
dalam dirinya tapi nujum dan nasib tak ditolaknya. Ia jadi keji.

Bukan karena nujum dan nasib itu sebegitu sakti. Macbeth,
dengan kemauannya sendiri, memilih nujum dan nasib dan bu-
kan yang lain. Dia juga yang bolak-balik datang meminta nujum
dari tiga nenek sihir itu, bahkan mencoba mengubah ramalan
yang tak disukainya.

Macbeth tragis, sebab kita menyaksikan bagaimana kekuasa­
an meringkus semuanya. Termasuk meringkus saat-saat sangsi di
depan ”tebing dan laut waktu” sebelum seseorang meloncat ke
ma­sa depan saat-saat ketika bisikan yang lain masih bisa terde­
ngar.­

530 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MACBETH

Saya tak kunjung takjub apa sebabnya hasrat ke kekuasaan
mampu meringkus semua itu. Apa yang istimewa dalam kekuasa­
an? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya?
Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhan—
yakni sejenis nihilisme, yang menegaskan bahwa kita tak perlu
sangsi karena kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan yang
gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Seperti kita lihat di
Indonesia kini, uang, jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media,
itulah yang akhirnya menentukan apa dan siapa yang salah dan
apa dan siapa yang tidak. Selebihnya: nihil.

Apa lagi gerangan yang dikenang seorang presiden seperti
Clinton setelah membaca Macbeth? Clinton sendiri mungkin
tak perlu merenungkan jauh; ia tak perlu bergulat dengan dilema
yang dahsyat. Ia seorang presiden yang dapat naik dan turun
takhta tanpa melalui pembunuhan.

Maka menarik untuk menyimak apa yang dikatakan Clinton
kepada Stephen Greenblatt yang kemudian menuliskan kesannya
dari malam sastra di Gedung Putih itu dalam The New York Re­
view of Books, 12 April 2007. Karya Shakespeare itu, kata Clinton,
adalah kisah tentang seseorang dengan ambisi yang amat besar
yang ”obyeknya secara ethis tak memadai”.

Ada yang baru di sini: bukan si Macbeth yang ”secara ethis tak
memadai”, melainkan sasarannya: kekuasaan. Mungkin yang di-
maksud Clinton bukan kekuasaan pada umumnya (rasanya ia tak
hendak berpikir demikian tentang kekuasaan seorang Presiden
Amerika), melainkan kekuasaan yang direbut Macbeth. Dalam
lak­ on ini, kekuasaan bukan saja tampak tak sah, tapi juga tak ada
tu­juannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi me-
nyembunyikan sifatnya yang tak sah. Macbeth adalah cerita ten-
tang nihilisme dalam bentuknya yang mengerikan dan menye­
dih­kan, karena seorang baik telah mengikuti nujum dan nasib,
dan tenggelam dalam kekejian—seraya menyimpulkan bahwa

Catatan Pinggir 9 531

http://facebook.com/indonesiapustaka MACBETH

hidup hanyalah ”kisah yang dibawakan seorang dungu, penuh
amarah dan suara seru, yang tak punya arti apa-apa”.

Suaranya sebenarnya murung. Di saat itu Macbeth justru
menunjukkan: nihilisme tak bisa mutlak. Dengan getir ia sendi­
ri merasakan ada yang hilang di dunia ketika hanya kekuasaan
yang tak menyebabkannya hidup tenteram telah jadi satu-satunya­
perkara yang dipertaruhkan.

Syahdan, di kamarnya yang gelap, setelah pembunuhan ter-
jadi, Lady Macbeth tiba-tiba merasa melihat ada darah di tangan-
nya. Berjam-jam ia coba basuh, tapi tak terhapus juga. Jejak keja-
hatan itu tetap bau. Dan akhirnya ia tahu: ”seluruh parfum dari
Arabia tak akan dapat mengharumkan tangan kecil ini”.

Tempo, 27 Desember 2009

532 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka

2010

Catatan Pinggir 9 533

http://facebook.com/indonesiapustaka

534 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TROWULAN

SEBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Ti­
mur mungkin bisa bicara tentang kita.
Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Keca-
matan Trowulan, Mojokerto. Di area seluas 63 x 63 meter persegi
itu, di bawah atap rendah, berderet petak galian, semuanya cu­
ma­sekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi se­
akan-a­ kan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana:
bekas-bekas rumah, pola lantai halaman, gerabah yang hal­us,
tangga, lorong parit, gobang, ribuan artefak....

Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual ke-
agamaan. Arkeolog Mundardjito, guru besar dari UI yang telah
bert­ahun-tahun bekerja dalam ekskavasi besar ini, menunjukkan
betapa pentingnya yang ditemukan di sana: sebelum Trowulan,
para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota.

Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berha-
sil. Inilah sebuah pintu baru ke masa silam!

Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya ten-
tang itu) tertular oleh semangat itu dan pergi ke Trowulan—
mengi­kuti Mundardjito berjalan dari situs ke situs, menggali,
men­ elaah, membuat hipotesis. ”Kalau di lapangan, umur saya
bu­kan 73, tapi 37,” katanya, setengah bergurau.

Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja be-
sar ini, yang sebenarnya dimulai pada 1924, ketika Bupati Mo-
jokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama Arsitek Henry Mac­
Laine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapa-
hit (OVM). Mundardjito bersama para arkeolog yang lebih muda
adalah penerus ikhtiar OVM—mungkin dengan gairah dan rasa
ingin tahu yang berbeda.

Masa lalu memang sederet panjang tanda tanya. Di wilayah

Catatan Pinggir 9 535

http://facebook.com/indonesiapustaka TROWULAN

sekitar 100 kilometer persegi, di mana lapangan ekskavasi tadi
terletak, sejarah Majapahit terpendam. Tapi kenapa terpendam?
Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak bersisa, se-
dangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan
Islam di Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapa-
hit, yang kurang-lebih seumur Cambridge University di Inggris,
kini hanya bekas yang terserak dan tersembunyi?

Mungkin perang telah merusak semuanya, hingga kota itu di­
tinggalkan dan pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan­
bahan-bahan yang membentuknya. Mungkin gempa atau wabah.
Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak mampu ber-
tahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya ”sirna ilang”)
menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya
tak ada kekayaan sosial—dalam bentuk harta dan pemikiran—
yang secara kontinu bisa merawat, merenovasi, dan merekon­
struksi diri.

Bila sebuah catatan dari Cina abad ke-15 menggambarkan­
Maj­apahit, yang dicatatnya adalah istana: bersih dan terawat, di­
kelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter. Dalam
kompleks istana, bangunan bertiang kayu yang besar setinggi 10-
13 meter. Atap bangunan terbuat dari sirap. Atap rumah rakyat
dari ijuk atau jerami.

Itu semua memang bahan yang tak tahan lama, tapi akan bisa
diperbaharui terus-menerus seandainya kekuasaan dan struktur
masyarakatnya punya basis ekonomi yang luas, bila mereka tak
cuma tergantung kepada satu poros.

Tapi mungkin Majapahit benar-benar cuma tergantung ke-
pada satu poros. Mungkin Majapahit satu contoh yang disebut
Marx sebagai ”despotisme timur”: sang baginda punya kuasa
yang absolut; ia tak mengizinkan kekuatan sosial-ekonomi di luar
dirinya. Dalam despotisme ini, tak boleh ada satu lapisan elite
yang kurang-lebih mandiri.

536 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TROWULAN

Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, adalah
sebuah kerajaan yang dahsyat. Sultan yang perkasa ini—yang de-
ngan kekuatan militernya mengalahkan sebuah armada Portugis
dan menaklukkan pelbagai kerajaan di Semenanjung—meme-
gang dengan ketat monopoli perdagangan. Dengan itu ia buat
”orang kaya”, satu lapisan elite yang sedang tumbuh, tergantung
kepada belas kasihnya.

Di Mataram abad ke-17, Amangkurat I bertindak mirip: ia
men­ ampik saran seorang tamu Belanda agar baginda membuat
raky­ atnya kaya. Jika mereka berharta, kata raja Mataram yang
bengis itu, ”mereka bisa melawanku”.

Tapi dengan demikian kekuasaan para sultan seakan-akan
berdiri di atas pedestal yang tinggi tapi sendiri. Ketika takhta
guncang, ketika para raja kehabisan sumber kekayaan dan gagas­
an, tak ada penyangga sosial lain. Tak ada kelompok masyarakat
yang mandiri seperti halnya kaum burger dalam sejarah kota-ko-
ta Eropa. Dari kalangan ini—yang kemudian disebut bourgeoi­
sie—lahir kekuatan yang memperkukuh kota.

Tak aneh bila di Eropa, kota dilambangkan sebagai ”tembok”.
Kata tuin dalam bahasa Belanda lama juga berarti pagar. Tapi
saya tak tahu tepatkah kiasan itu berlaku untuk ibu kota Majapa­
hit. Kitab Negarakertagama yang ditulis di masa itu hanya me-
nyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi tembok. Tapi
tak jelas, adakah dengan demikian kota pun lahir sebagai sebuah
wilayah yang merdeka. Atau ia hanya sebuah tempat ”di mana
kita tak usah berjalan melalui sawah”. Artinya tak ada batas yang
tegas antara ”kota” dan ”di luarnya”.

Jangan-jangan itulah yang terjadi—yang secara tak sadar ber-
lanjut hingga kini: orang berpindah dari luar ke dalam kota tan-
pa membuat hidupnya berubah. Perilaku dan nilai-nilai ”udik”
merembes ke kehidupan urban—dan begitu juga sebaliknya.
Yang ”udik” menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni

Catatan Pinggir 9 537

http://facebook.com/indonesiapustaka TROWULAN

ha­rus dijaga dan orang saling menunggu. Sebaliknya yang ”udik”
membuat hidup lebih santai dan bisa berbagi. Walhasil, harmoni
bisa memperkuat sebuah kota, tapi juga bisa memperlemahnya.

Itukah barangkali riwayat kota yang hilang di Trowulan itu:
dirawat tumbuh dengan harmoni + serasi, dan tak siap untuk hi­
dup­tanpa harmoni + tak serasi?

Tempo, 3 Januari 2010

538 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka USINARA

ALKISAH, seekor burung deruk yang luka terbang, pa­
nik,­ketakutan, dan putus asa. Di belakangnya seekor
lang memburu. Terdesak, deruk itu pun menerobos ma-
suk lewat sebuah tingkap, dan terjatuh di sebuah bilik yang le­
ngang.­

Di ruang puri itu, Raja Usinara sedang duduk, membaca,
hanya ditemani dua orang abdi.

Burung malang yang terlontar di kaki baginda itu berkata,
”To­longlah saya!” Suaranya lamat-lamat.

Usinara melihat tubuh unggas itu berdarah. Burung itu pun
diangkatnya, dan disuruhnya salah satu abdi membawa air dan
obat. Ketika ia bersihkan luka itu dengan hati-hati, tiba-tiba ter-
dengar suara yang membentak, berat dan gelap, dari arah jendela:
”Kembalikan ia kepadaku!”

Di bendul jendela itu dilihatnya seekor lang besar dengan pan-
dang yang liar. ”Deruk itu milikku!” lang itu berkata. ”Aku telah
berhasil menggigitnya: itulah tanda ia mangsaku. Hukum perbu-
ruan menentukan demikian. Berikan kembali ia kepadaku. Li-
hat, aku gemetar. Aku lapar. Sudah sepekan aku tak memangsa
apa-apa.”

Untuk beberapa saat Usinara yang terkejut itu kehilangan ka­
ta-kata. Tapi akhirnya raja yang lembut hati itu—yang juga me­
lihat bagaimana lang itu memang gemetar karena lapar—me­
nawarkan sebuah jalan lain: ia akan memberikan daging apa saja
yang diminta burung buas itu asal deruk itu dibebaskan.

”Kau bilang daging apa saja?”
”Ya, apa saja yang kau minta.”
Tak terduga-duga, lang itu berkata, ”Kau gantikan daging de-
ruk itu dengan dagingmu sendiri.”

Catatan Pinggir 9 539

http://facebook.com/indonesiapustaka USINARA

Usinara terenyak. Ia sadar ia terjebak janji yang sulit. Tapi ia
tak hendak ingkar. ”Berapa banyak?” tanyanya.

”Seberat tubuh deruk itu saja,” jawab si lang.
Maka dacin pun disiapkan dan belati yang tajam dihunus. Bu-
rung kecil itu pun ditimbang, juga kemudian daging dari tubuh
Usinara yang dikerat. Dalam jumlah kati yang sama daging segar
itu disajikan ke depan si lang, yang memakannya dengan lahap.
Tapi begitu serpihan daging terakhir lenyap di paruhnya yang
menakutkan, burung buas itu berkata, ”Aku masih lapar.” Dan ia
menuduh Usinara ingkar janji. ”Kau berdusta. Daging yang kau
berikan pasti masih kurang dibanding dengan berat badan deruk
mangsaku. Ia harus ditimbang lagi!”
Mendengar itu, Usinara pun menyuruh tubuh deruk itu dile­
takkan di dacin kembali. Ternyata benar: badan unggas itu jauh
lebih berat dari semula. Bahkan hampir seberat tubuh sang raja.
Meski terkejut dan pucat, Usinara mengambil belati dan me-
renggutkan jangatnya sendiri, sepotong demi sepotong. Darah
membasah di ruang itu. Tampak baginda menahan sakit, tubuh-
nya kian lama kian lemah, dan akhirnya rubuh....
Dalam kisah yang terselip di antara ribuan seloka Mahabhara­
ta ini (yang saya ceritakan kembali dengan variasi saya sendiri),
Usinara tidak mati. Lang pemangsa dan mangsanya yang luka
itu sebenarnya dewa-dewa; mereka datang untuk menguji amal
sang raja....
Tapi bagi saya, kehadiran para dewa justru tak penting dalam
kisah ini. Yang membuat kita terpukau ialah bahwa Usinara tak
tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia masuk ke dalam si­
tuasi itu begitu saja semata-mata untuk menyelamatkan seekor
bu­rung yang tak berdaya. Kisah Usinara adalah kisah pengorban­
an diri yang radikal.
Dalam Mahabharata, tokoh Bisma juga sebuah teladan pe­
ngor­banan: putra mahkota itu berjanji tak akan naik takhta, juga

540 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka USINARA

tak akan kawin dan punya anak, demi kebahagiaan ayahnya.­
Tapi Bisma telah meniadakan masa depannya untuk seorang
yang sedarah. Usinara sebaliknya: ia berikan raga dan nyawanya
un­tuk keselamatan makhluk lain yang tak ia kenal. Ia melakukan
yang tak berhingga. Ia kerelaan tak berbatas.

Maka kita terpana—juga karena yang dilakukan Usinara se­
sua­ tu yang sama sekali baru. Keputusannya tak dianjurkan adat
dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi
mor­alitas—dan mencapai dasar yang ”ethikal”, yakni semacam
ke­baikan budi, atau cinta kasih, yang memberikan segalanya,
menanggungkan segalanya, demi liyan: bagi yang bukan bagian
diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pin-
tuku, yang tak kukenal—yang tak akan memberikan apa pun ke-
padaku, tapi terancam, ketakutan, tertindas, menderita.

Dan Usinara memberikan dirinya bukan karena patuh ke-
pada aturan atau taat kepada Tuhan. Usinara tak dikendalikan
pamr­ih, tak menuruti kalkulasi dosa & pahala yang sering dila­
kuk­ an orang beragama dalam tata buku moral mereka. Lakunya
adalah laku kemerdekaan.

Apa gerangan yang mendorongnya? Adakah imbauan dari
yang ”ethikal” hanya terjadi pada tokoh dongeng? Mungkinkah
kebaikan budi itu menggerakkan hati orang pada umumnya?

Tak setiap orang Usinara, tentu. Tapi dalam pengalaman ma-
nusia ada perbuatan yang, meskipun tak dramatis, paralel dengan­
yang dilakukan raja itu: satu hal yang menyebabkan kita berpi­
kir, mengikuti postulat Kant, bahwa dalam diri manusia ada
yang menyebabkan dirinya—dengan otonomi penuh, dengan
kem­­ au­an bebas—menghormati dan mematuhi panggilan ”hu-
kum moral”: diam-diam seorang wartawan menampik bayaran
uang untuk menulis fitnah, menolak juga godaan untuk jadi pah­
lawan. Diam-diam seorang pejabat memilih diberhentikan ke­
timbang mematuhi perintah atasan yang melanggar hukum....

Catatan Pinggir 9 541

http://facebook.com/indonesiapustaka USINARA

Tapi apa itu sebenarnya, dari mana datangnya das Faktum der
Vernunft itu? Tak bisa dijelaskan. Faktum itu tak mungkin ditun-
jukkan di dunia empiris. Kita, kata Kant, hanya ”mengerti keti-
dakmungkinannya untuk dimengerti”.

Mungkin justru sebab itu kita takjub: Usinara tak bertolak se-
bagai ”aku” yang telah merumuskan apa itu kebaikan budi. Ia bu-
kan ”aku” di pusat situasi. Kita takjub karena ia mengatasi keter-
batasan dirinya justru ketika ia merasa, di saat yang konkret itu,
imbauan makhluk yang terancam itu adalah segala-galanya.

Selebihnya, juga dirinya sendiri, hanya turahan.

Tempo, 10 Januari 2010

542 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka GUS DUR

Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hi­
dupn­ ya antikekerasan dimakamkan dengan upacara
mil­iter. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan se­
orang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang
tak dikehendakinya.

Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang
pan­jang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia
hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang
menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-
kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentu-
kan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tuju­
an kita yang jelas.

Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Kedua­
nya saling menyilang tak henti-hentinya.

”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam
lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terjemahan se-
buah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui
yang mana.

Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan mening-
galkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika
yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilaku-
kannya.

Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia
tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak
lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas—yang
membuat sejarah manusia berarti.

Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang
tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan
sem­ enakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia men-

Catatan Pinggir 9 543

http://facebook.com/indonesiapustaka GUS DUR

jangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pa­
gar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mereka yang di luar itu.
Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan di-
aniaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah.
Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil—kebera-
nian yang hampir tak terdapat pada orang lain.

”Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” ka­
ta Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah kon­
struksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan
dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang di-
waspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga ke-
cemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang
menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan se-
buah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menje-
lajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai
suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda
dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang,
tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan
yang telah berhenti.

Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti.
Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, diku-
tipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya. Pe­
tilann­ ya, saya coba terjemahkan:
Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan,
sebagai rumah tinggal,
bukan istana
Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan
berselimutkan luasnya ruang,

544 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka GUS DUR

merasa daif di hadapan yang kelak,
dan lupa akan waktu silam yang hilang
Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak
ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.
Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat un-
sur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan
humor.
Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia
ya­kin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakal­
an dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan
yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggeli­
sahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cembu­ru”.
Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan hu-
mor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala
biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia
abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian dike-
tahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah
buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang ter-
tawa.
Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka­
yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang me­
nert­awakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, se-
bab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan
diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”.
Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presi­
den, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.
Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab
ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berhar­
ga—­ ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang
beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.
Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki

Catatan Pinggir 9 545

http://facebook.com/indonesiapustaka GUS DUR

kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang
sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang nis-
caya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah
panggilan yang muram, sedih.

Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.

Tempo, 17 Januari 2010

546 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka JANUARI

Tiap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan
Januari.
15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana
me­nakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan,
memb­ akar puluhan mobil dan ratusan sepeda motor, membumi­
hanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu ter-
masuk megah), dan merusak apa saja yang memakai logo per­
usahaa­ n Jepang. Sudah beberapa lama sebelumnya—pada masa
ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis ma-
hasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada
modal Jepang. Dan hari itu aksi massa meledak.

Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya.
Tapi, bagi saya, hari itu yang terjadi sebuah laku tanpa ide. Ter-
biasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi” sebagai
langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi
massa, tapi juga berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang
tak cuma datang dari batok kepala, melainkan dari benturan de-
ngan keadaan.

Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan
sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum”
dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan
ke­kuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan
memimpin, jelas pula sistem politik & ekonomi yang akan dite­
rap­kan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan.

Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”prog­
ram” apa pun, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah rev­ o­
lus­i besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak
bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—
bahkan jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta

Catatan Pinggir 9 547

http://facebook.com/indonesiapustaka JANUARI

itu.
Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial,

dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita
yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pe-
mikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, frater­
nité.

Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang ter-
jadi di tahun 1945 di Indonesia (dan 17 Agustus hanya salah satu
pen­ anda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”. Sebab sejak
itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan
Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolo-
nialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah
bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati un­
tuk merdeka. Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pra­
moedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, bersaksi tentang
sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak
dapat dibalikkan.

Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu.
Say­ a tak ada di Indonesia. Dari sebuah kota kecil di Eropa saya
han­ ya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat al-
marhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu)
tentang aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya.

Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja­
sama para mahasiswa itu dengan militer; ada pembantaian de-
ngan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendu-
kung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan
tampak bahwa militer mengambil-alih gerak perubahan politik
yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru yang anti-
demokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kom­
pas dan Harian Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi
yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis merobohan sistem
”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara untuk mengukuhkan

548 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka JANUARI

hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan ke-
merdekaan pers dan rule of law serius.

Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati.
Na­mun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya
rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan un-
tuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang
tak tenang. Setelah 1966, demokrasi memang dibalikkan jadi ke­
diktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan lagi: sis­
tem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum
Cina dan Vietnam meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”.

Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali
tak disebut. Tapi ia punya pukaunya sendiri: dalam historiografi
populer Indonesia, ”revolusi” dikaitkan dengan sepatah kata yang
ganjil tapi mempesona: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya
dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai
terus. Ia berarti ”generasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”per-
juangan” dan ”kekuatan” yang gagah (yang juga kita temukan
da­lam ”angkatan bersenjata”). Maka ”Angkatan ’45” disebut, dan
orang pun latah: ”Angkatan ’66” menyusul.

Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan­
dengan sebutan ”angkatan”. Peristiwa yang disebut ”Malari” itu
tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut,
amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir
untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung Soehar-
to, lengkap dengan dusta dan propagandanya—sebuah fragmen
sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan.

Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan be-
tapa mudahnya revolusi ditiru. Meskipun harus dicatat: revolusi
seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah yang
meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma
repetisi. Tiap usaha mengulangnya akan tampak sok-pahlawan
dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam Brumaire Ke-18

Catatan Pinggir 9 549

http://facebook.com/indonesiapustaka JANUARI

Louis Bonaparte—dan di sini saya ubah sedikit: ”Kejadian be-
sar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali
kedua berupa banyolan.”

Tempo, 24 Januari 2010

550 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka KATA

Jika bedil sudah disimpan...
—Chairil Anwar, ”Catetan Th. 1946”

PERANG (atau kekerasan) punya batas. Ia akan berakhir,
betapapun panjang rentang waktunya. Kalaupun berlan-
jut, ia tak bisa menjawab segala soal. Jika bedil sudah di-
simpan, dan hancur-menghancurkan telah jadi kenangan yang
berdebu, kita akan melihat bahwa masyarakat manusia juga me­
ngan­dung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.

Sebab itu, ”Kita memburu arti...,” kata Chairil Anwar dalam
sajak yang saya kutip di pembuka tulisan ini.

Memburu ”arti” dalam hal ini mencoba mencari makna dan
nil­ai dari luka dan rasa terhina, dari pengalaman brutal dan getir
yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah kita
lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia?
Berharga buat apa, buat siapa?

Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu.
Ke­kerasan dalam bentuk pengalaman pra-diskursif kita ganti de-
ngan wacana.

Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, meru-
pakan pilihan yang lebih sedikit ongkosnya ketimbang mesin ke­
kuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan sepenuhnya
akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura se-
buah otoritas. Atau ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah
bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena pada saling bicara.

Dalam sajaknya di atas Chairil berseru kepada zaman pasca-
perang:

... jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,

Catatan Pinggir 9 551

http://facebook.com/indonesiapustaka K ATA

Tulis...!
Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus
dan dengan pena yang baru diasah itu, bisa menjawab problem
da­sar politik—”politik” dalam arti proses penyelenggaraan kehi­
dupan manusia sebagai makhluk sosial?
Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kela-
hiran demokrasi. Ketika para penghulu agama dan raja bukan
lag­ i otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong itu
yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompok-
kelompok yang kian leluasa mengajukan pikiran alternatif, de-
ngan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di Ero-
pa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli ke-
benaran runtuh, orang ”memburu”, dan bukan hanya ”meneri-
ma”, arti.
Tapi betapa tak mudah. Demokrasi adalah sistem yang mem-
buat mereka yang pegang kekuasaan dan hegemoni menyadari
bah­wa status mereka tergantung-gantung dalam kontingensi.
Dal­am keadaan yang tak permanen itu, bagaimana ”arti” yang
tetap dapat ditegakkan, dan bagaimana ”arti” itu dirumuskan se-
bagai kaidah?
Dalam ketiadaan tempat berpegang itu orang umumnya me­
nunjuk kepada ”kebenaran”. Veritas non auctoritas facit legem.
”Ke­benaran”, bukan auctoritas, itulah yang membuat kaidah.
Tapi tak dengan sendirinya itu gampang. Persoalan klasik­kita,
bagaimana sanggup ”kebenaran” jadi kaidah, bila ”kebenaran”
itu sendiri jangan-jangan dibentuk oleh kekuasaan? Bagaimana
menetapkan kebenaran itu, bila ibarat kata pepatah, ”kepala sa­
ma berbulu, pendapat berlainan”?
Ada yang percaya, mengikuti Habermas, aksi komunikatif
akan mencapai konsensus. Ada yang percaya, terdapat hubung­
an yang lempang antara rasionalitas, rembukan—sebagai proses

552 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka K ATA

pertimbangan—dengan ”kebenaran”.
Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme

epistemik: ia berpegang pada satu premis bahwa ada sesuatu da­
lam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat
berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Haber-
mas mengibaratkan daya komunikatif sebagai sebuah kekuatan
yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu hanya mempe­
ngaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan
keputusan politik dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi
kom­ unikatif yang sejati menang tanpa ngasoraké. Bahkan kata
”me­nang” itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalah-
kan. Konsensus bukanlah kekalahan.

Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus
bukan sesuatu yang mustahil di akhir sebuah proses politik. De-
mokrasi ”deliberatif”—yang membuka diri pada rembukan dan
saling mempertimbangkan—dengan prosedur yang benar akan
bisa mencapai mufakat. Setidaknya mufakat dalam pengertian
Übereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan sepaham, tapi
mencapai titik pertemuan yang cocok.

Tapi saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, se-
raya menggunakan bahasa—dengan sendirinya kita melakukan
aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi peng­
arah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita,
bukan sebaliknya. Seperti dikatakan sebuah sajak Subagio Sas­
tro­wardojo:

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah.

Catatan Pinggir 9 553

http://facebook.com/indonesiapustaka K ATA

Kita hanya mengulang—termasuk mengulang sebutan dari
pra­duga masa lalu, ide yang sudah lama atau bahkan mati, acuan
yang telah lewat. Tapi pada saat itu pula, dalam berkomunikasi­
kita ingin semua signatum yang sudah ada mengutarakan apa
yang sedang ada pada saat ini. Makna pun berubah tiap kali. Tak
ada yang siap.

Sebab itu aksi komunikatif bukanlah untuk menyampaikan
makna, melainkan untuk membentuknya. Rasionalitas yang ko-
munikatif sekalipun ikut ”terperangkap dalam kata”.

Maka berbahaya bila politik dalam demokrasi dikerahkan un-
tuk merumuskan ”kebenaran” dan dengan ”kebenaran” itu disu­
sun­akidah. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus meng­
akui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan ba-
hasa yang sudah terang-benderang, tapi bahasa yang terbentuk
karena krisis, konflik, kekurangan, dalam kehidupan.

Sebaris lagi dari Chairil: ”Tulis karena kertas gersang dan teng­
gorokan sedikit mau basah.”

Tempo, 31 Januari 2010

554 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ATTICUS

PENDUDUK kota kecil itu, Maycomb, bukan orang yang
keji, tapi ada sesuatu yang menakutkan di pengadilan itu.
Tom Robinson tak terbukti bersalah, tapi hampir seluruh
penduduk bersepakat dengan diam-diam atau berteriak: Tom
harus dihukum mati.

Dan para juri memutuskan ia memang telah memperkosa
Mayella Ewell. Dan vonis itu dibacakan hakim. Dan Tom dima-
sukkan ke sel penjara, menunggu, tapi putus asa, mencoba me­
lari­kan diri, dan ditembak mati.

Novel terkenal To Kill a Mockingbird, ditulis oleh Harper Lee
dan terbit pada 1960, mungkin akan selalu mengingatkan kita
bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi
orang banyak. Orang banyak itu penduduk kulit putih yang tak
ingin dipermalukan seorang buruh kulit hitam, justru karena si
negro tak bersalah dan dengan demikian ayah dan ibu si gadis
yang bersalah, berdusta—dan bukan cuma itu, sebab dari penga-
dilan itu tampak bahwa Mayella itu yang mencoba merayu Tom,
bukan sebaliknya.

Pengacara yang lurus hati itu, Atticus Finch, telah ikut mem-
permalukan mereka. Ia, duda yang senantiasa berpakaian leng-
kap itu, seharusnya di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia ju­
ga berkulit putih. Tapi tidak. Atticus Finch memutuskan untuk
mem­bela Tom Robinson. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun
ia harus menghadapi para tetangganya, bahkan disesali kakak
kand­ ungnya sendiri. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak
berharap, dari sebuah mahkamah di kota di pedalaman selatan
Amerika, untuk melihat seorang hitam sebagai sesama manusia.

”Kasus ini,” kata Atticus Finch kepada anaknya, ”kasus Tom
Robinson ini, sesuatu yang merasuk ke hati nurani, Scout. Aku

Catatan Pinggir 9 555

http://facebook.com/indonesiapustaka AT T ICUS

tak akan sanggup pergi ke gereja dan menyembah Tuhan jika aku
tak menolong orang itu.”

Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi
ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Atticus Finch mung-
kin bukan seorang yang tiap kali membaca Injil, tetapi ia merasa
harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu per-
sis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu
persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Salibkan dia!”

Atticus dimusuhi tetangganya. Di luar gedung pengadilan,
ses­eorang datang, dan meludahi mukanya. Orang itu Ewell, ayah
Mayella, pemabuk yang suka memukuli anaknya sendiri.

Dan Atticus berkata, ”Nah, kalau meludahi mukaku dan
meng­ancam-ancamku dapat menyelamatkan Mayella dari pu­
kul­an tambahan, aku dengan senang hati menerima diludahi.”

Di kota kecil Maycomb yang sedang menanggungkan depresi
ekonomi, ketika orang dirundung cemas, Atticus Finch berdiri: ia
jadi merasa kuat, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggung­
kannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mayella yang
dipukuli dan Tom yang difitnah dan dizalimi oleh kekuasaan
yang seharusnya melindunginya.

Tempo, 7 Februari 2010

556 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CAP

KADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan
kata, menjerat diri dengan kata. Sejarah politik Indone-
sia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit
dan jerat kata dari masa ke masa.

Pada tahun 1960-an, di bawah ”demokrasi terpimpin”, jepit
dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata ”kontra-revolusioner”.­
Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau
satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan ter-
tangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang
atau—dalam kata yang dominan waktu itu—”diganyang”. Kata
”kontra-revolusioner” sama artinya dengan ”musuh” Republik,
peng­khianat tanah air, penentang ”Revolusi”, dan segala usaha
yang sedang digerakkan oleh sang Pemimpin Besar Revolusi
yang tak bisa dibantah.

Dalam varian ”kontra-revolusioner” ini ada kata ”PSI” dan
”Masyumi”—dua partai politik yang dibubarkan Bung Karno,
Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh
dua kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI
dan Masyumi dipenjarakan. Surat kabar mereka ditutup. Dan
melalui serangan verbal lewat media massa, ”PSI” dan ”Masyu-
mi” (kemudian juga ”Manikebu”) segera jadi kata yang menjepit
dan menjerat siapa saja yang dianggap musuh politik. Buat dige-
buk.

Pada tahun 1970-an, di bawah ”Orde Baru”, kata yang dengan
lebih buas menjepit dan menjerat adalah ”PKI” dan ”G30S” atau
”Gestapu”. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak
dan tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan di-
bunuh, tanpa bekas.

Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata ”PKI”

Catatan Pinggir 9 557

http://facebook.com/indonesiapustaka CAP

dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa,
yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ke­
tak­ utan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.

Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk­
menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar
atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak,
atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma
akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi
ber­sama penyingkiran.

Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di
jan­ gat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang
dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari bahasa,
ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi
dan bahkan sikap dan laku mereka. Kata sebagai stigma berkem-
bang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun. Racun ini
ke­mudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.

Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: pur-
basangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa diperguna­
kan­untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan, stig-
ma bisa bertahan lama.

Setelah ”demokrasi terpimpin” runtuh, kata ”PSI” dan ”Ma-
syumi” masih merupakan stigma yang berlanjut. Ketika pada Ja­
nuari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil,
motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa meng-
gunakan media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang keke­
rasan itu ”PSI” dan ”Masyumi”. Sejumlah orang yang sering di-
beri label ”PSI” dan ”Masyumi” dipenjarakan. Banyak di antara­
nya tanpa diadili. Segera sesudah itu, sebuah buku propaganda
di­terbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang wartawan,
Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap ”PSI” dan ”Masyumi”, dua
partai yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikuman-
dangkan lagi.

558 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CAP

Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut ber-
campur dengan bawah-sadar, dan diubah-ubah maknanya oleh
apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan da­
lam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi
jelas dan transparan. Dan tak ingin untuk demikian.

Apa arti ”PSI”? ”Masyumi”? ”Manikebu”? ”PKI”? ”Ges­
tapu”? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya arti kata-kata itu.
Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung
di dalamnya. Sebagai salah satu perumus ”Manifes Kebudayaan”
(yang diubah jadi ”Manikebu”, sebagai langkah awal stigmatisa-
si), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang
hab­ is-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendu-
kung paham ”seni untuk seni”.

Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak menghe­
rankan jika paranoia masih mencengkam ketika orang dengar ka­
ta ”komunis” dan ”Marxis”, juga 20 tahun setelah Partai Komu­
nis terbesar di dunia jatuh.

Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan meng­
awetkan stigma sendiri: ”neoliberal”, ”liberal”, ”sekuler”, ”funda­
men­talis”—dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jer­
nih, bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank
Cent­ury, bahkan meningkat suasana yang mempermudah stig-
matisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap
bu­nyi, tiap rangkaian huruf, tiap penanda.

Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng
dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intole­
ran­s­i. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan
makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis
Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, un-
tuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa menjepit
dan menjerat—bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri.

Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian ja­

Catatan Pinggir 9 559

http://facebook.com/indonesiapustaka CAP

di doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit
itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melum-
puhkan semuanya.

Tempo, 14 Februari 2010

560 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka BENDA-BENDA

Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya le­
nganku bertelekan ke sebuah bantal—masih kurasakan sukacita pada benda-
benda ini.

—Konghucu

Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari
kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan
kita pakai setiap hari—mungkin kita nikmati—tapi di
manakah kita?

Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etala­
se yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan ja­
rak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita.
Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan
film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim.
Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih ke-
banyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah
ber­ubah.

Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ke-
tika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian,
atau, dalam bahasa Portugis, feitiço.

Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx
belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre
Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau
dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara ten-
tang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang
dij­ual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan
sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berja-
lan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang
juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan

Catatan Pinggir 9 561

http://facebook.com/indonesiapustaka BENDA-BENDA

yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manu­
sia di luarnya.

Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan
pan­talon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak
pe­duli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor
yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada
desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak
me­rasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya
sed­ eret pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan
Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat
metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”.

Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan­
dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih per-
gi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi,
hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang
tel­ah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam
etal­ase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—
majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sine-
tron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagi—yang membentuk
pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall
itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau
”kepatutan”.

Berangsur-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kes­a­
dara­ n kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang
sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa
meng­hadirkan ”kecantikan”?), tapi terus-menerus kita hendak
menj­angkau. Dengan kata lain, markah-markah itu jadi penanda­
yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu kuat
hingg­ a kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu
terjadi dalam ”milik”: kita ingin memiliki mereka, sementara kita
juga dimiliki mereka.

Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air mi-

562 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka BENDA-BENDA

num, dan bantal itu sudah berubah. ”Apa yang dulu dialami da­
lam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi,” tu-
lis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah
kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya ”ada” jadi ”milik”
dan ”milik” jadi ”penampilan”. Kita hidup, kita ada, tetapi dalam
ken­ yataannya kita dibentuk oleh ”penampilan” yang mendorong
kita memiliki.

Kita hidup dalam ”masyarakat tontonan”, la socièté du specta­
cle. ”Tontonan”, yang punya akar pada kata Jawa ”ton”, menemu-
kan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, ”bukan-
lah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara
orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji”.

Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini seba­
gai kemerosotan. Bukunya, La socièté du spectacle, adalah tafsir
yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapital-
isme, manusia sebenarnya hidup dalam ”alienasi”, dalam ”keter-
asingan”: aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga
kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari
ben­da yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku
terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan
bend­ a itu.

Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penon­
ton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton
(alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi­
markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin ku­
rang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca ko-
ran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu
ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di
mana-mana. Ia tak berumah.

Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin
tak seperti Konghucu. Mungkin itu kebahagiaan hidup yang pal-
su. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa representasi?

Catatan Pinggir 9 563

http://facebook.com/indonesiapustaka BENDA-BENDA

Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus
untuk menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?

Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi ha-
rus diakui, harapan itu makin tipis. Maka apa yang harus dilaku-
kan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya subyektivi-
tas yang cukup untuk mencoba merebut kembali ”ada” dari ”mi-
lik” dan ”penampilan”.

Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.

Tempo, 21 Februari 2010

564 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ÉMILE

Bagaimana cara menodai agama?
11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadil­
an, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk no­
vel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan
anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah ber-
salah karena ”menganggap semua agama sama-sama baik”.

Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontar­
kan tuduhan itu; dalam buku, ujarnya, Rousseau telah ”berani
men­coba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”.
Ia ”mengejek dan menghujat agama Kristen...”.

Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu diro­
bek dan dibakar, tapi juga Rousseau ditangkap.

Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum
bu­kunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan
bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari
ke­reta, bersujud dan mencium tanah: ”Yang Maha Tinggi, pelin­
dung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah nege­
ri kebebasan!”

Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya­
di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk
pind­ ah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat ad-
ministrator itu disebut ”Dewan yang Dua Puluh Lima”—karya
Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social
dianggap ”penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.

Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa
Kat­olik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan
Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau itu
dibasmi. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jene­
wa, harus ditangkap.

Catatan Pinggir 9 565

http://facebook.com/indonesiapustaka Émile

Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama.
Seb­ ulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk
perg­ i. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung
Swiss, Môtiers-Travers.

Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa la­gi
kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Pro­
tes­tan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi penyalin
partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak bi-
asa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja.

Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai
se­orang Kristen yang alim. Suatu hari ia mengunjungi seorang
aris­tokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, ”As­
sal­amualaikum.” Para pastor Calvinis di ibu kota daerah itu telah
memaklumkan pengarang Émile sebagai ”orang murtad”.

Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu mengha-
dapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris menulis 29 halaman
kutukan terhadap Émile.

Tapi benarkah buku itu menodai agama?
Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile ada­
lah untuk menawarkan sebuah sistem pendidikan, buat jadi per-
timbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti
Pla­to, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua
yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya
tak radikal. Seraya meyakini—seperti kalimatnya yang termasy­
hur dalam Du contrat social—bahwa ”manusia dilahirkan merde-
ka dan di mana-mana ia terikat rantai”dalam Émile Rousseau
men­ unjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial de-
ngan bebas.
Di situlah peran agama. Ketika si Émile, tokoh anak yang jad­ i
pusat cerita ini, berumur 18, ia baru mulai bisa diberi pendidika­ n
agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada se­
orang padri dusun, vicaire savoyard, dari Pegunungan Alpen, Ita-

566 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Émile

lia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat
par­a santo.

Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepa­
da jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara
itu, ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia
men­ olak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja
bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada iradat-Nya.
Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan re­
presi, manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.

Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan
dal­am agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memper-
baiki fiil manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan
unt­uk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang ber-
beda dari agama kita sebagai hal yang ”terkutuk”. Kata sang pad­
ri: ”Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan se­
mua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi ma­
ka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling ke­
jam dan tak adil.”

Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lu-
nak, pandangannya dalam Du contrat social.

Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkan-
nya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar
Krist­en—dan ia tak berkeberatan bila ada agama yang jadi ”dog-
ma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama
yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau,
siapa yang mengatakan ”di luar Gereja tak ada penyelamatan”
siapa yang mempersetankan agama lain—harus dibuang ke luar
dari negerinya.

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak
me­ngejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya
(dan juga tak mudahnya) manusia membersihkan sebuah negeri
dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup se-

Catatan Pinggir 9 567

http://facebook.com/indonesiapustaka Émile

bagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau
me­mang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada
iman sebagai kekuasaan.

Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak
tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang meno-
dai agama, melainkan lawan-lawannya.

Tempo, 28 Februari 2010

568 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN

Kita dengar mereka berdebat di dalam dan di luar parle­
men. Kita tahu demokrasi sedang marak. Kita ikuti pa­
ra politikus mengatakan, ”kami sedang mencari keb­ e­­
naran”. Tapi saya kira semua itu hanya salah sangka. Atau sebuah
lagak. Sebab ambisi sebuah demokrasi bukanlah, atau tak mung-
kin, ”kebenaran”.

Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur
bagaimana keputusan politik diambil, kita akan melihat bahwa
demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak pernah
utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba
mungkin. Di sini, yang membentuknya sering bukan ”kebenar­
an”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar ketika ia menga­
ta­kan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”.

Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang
paling atas di dunia ini, dan juga nun di dasar paling dasar dari
ke­hidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni,
tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang aba-
di, yang didesain Allah, telah terbukti bisa disingkirkan. Fondasi
yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.

Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang ke-
mudian mengisi liang kosong itu akan tahu, ia tak identik dengan
growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa menyatakan
diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan se-
bangun dengan dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak
mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi tunggal. Otoritas yang
ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatul-
lah Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya
terbatas.

Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan,

Catatan Pinggir 9 569

http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN

dem­ okrasi adalah kekurangan yang juga keniscayaan. Tak ada al-
ternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat manu-
sia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa­
mer­eka, demos, yang berada di luar pemegang otoritas, itulah
yang menentukan.

Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengerti­
an yang abstrak demos itu bisa dianggap tunggal dan kekal. Da­
lam pengalaman konkret, cuma sesekali ”rakyat” bisa dihitung
se­bagai ”satu”.

Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak
Hobbes hingga Habermas adalah bagaimana tersusunnya sebuah
tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana manu-
sia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan
rapi dan nyaman?

Ada yang menjawab—terutama yang memandang manusia
dengan muka muram—bahwa tata dan tertib hanya bisa terba­
ngun­jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang memaksa­
kannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia
adalah makhluk yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendi­ri,
melainkan dengan ”inter-subyektivitas”. Dan ”inter-subyektivi­
tas” itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bi­
sa mengelak dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa
bu­kanlah sebuah produk monolog.

Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang
memb­ uat manusia bisa mencapai mufakat.

Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan ”kebenar­
an”. Dalam bentuknya yang terbaik, mufakat hanyalah jejak-je-
jak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak kun-
jung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu,
yang lahir dari proses tawar-menawar dan kompromi. Proses itu,
apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat itu: perimbang­
an kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi

570 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN

yang tersedia.
Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang

uni­versal.
Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpak-

sa harus bekerja dengan dasar-dasar yang tak kuat, yang tak ber-
laku selama-lamanya dan diterima di mana saja. ”Kebenaran”,
jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertim-
bangan praktis. Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus
ber­tengkar untuk menentukan bahwa A adalah A. Besok kita ha-
rus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas ter-
tentu.

Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak
100% yakin akan benarnya kesimpulan yang dimufakati. Apala-
gi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan si kuat
yang disamarkan.

Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di
Indonesia. Dengan gaya yang berbeda-beda, dalam demokrasi ini
yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang sehat,
ber­tolak dari rasionalitas yang praktis.

Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang di-
yakini? Di mana kita temukan makna yang sangat berarti bagi hi­
dup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian? Bagaimana­
akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah
be­nar-benar A? Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita ha­
nya bekerja separuh hati untuk hidup yang lebih baik, sebab yang
”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan?

Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang meli-
hat politik seraya melupakan sifat tragis demokrasi. Ia bisa meng­
ikuti­semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh kebenaran se-
bagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi
oleh jejaknya sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh se­
su­atu yang diakui luhur oleh semua orang selamanya.

Catatan Pinggir 9 571

http://facebook.com/indonesiapustaka SANG MILITAN

Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia berse-
dia melihat kebenaran bagaikan energi dari petir: gelegar dan ca-
hayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.

Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”,
tet­ap penting. Sistem ini memberikan peluang bagi kerendahan
hat­i. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu hidup ter-
diri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.

Tempo, 7 Maret 2010

572 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERCAKAPAN

Dua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu
Godot Samuel Beckett ini, di babak ke-7, mereka berbi-
cara:
Gogo: Lalu apa?
Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling men­
dekat, sampai sekitar 10 kaki). Yah, kurang pelan, mungkin. Begi-
tulah jalannya.

Gogo: Memangnya jalan?
Didi: Ya. Harus.
Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus ”ja-
lan”. Tapi buat apa? Menunggu Godot menjawab dengan kering:
kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku menunggu
yang tak berkesudahan.
Di sebuah adegan lain, Estrogen bertanya: ”Do we need a po­
int?”­Apa kita memang perlu ada ide atau pikiran yang ingin di­
kem­ ukakan jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan? Ja-
wab Damvlad: ”Sebagian orang mungkin perlu itu.” Estrogen:
”Meskipun tak ada?”
Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa ”ka-
bar” selamanya akan ”kabur”. Ini memang sebuah teater, dan di
atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater ini di-
alog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo
skeptis: ”Memangnya jalan?”
Syahdan, sejarah mencatat hubungan antarmanusia yang pu-
tus, perang dan kekerasan tak henti-hentinya terjadi. Orang sa-
dar, percakapan ”harus jalan”. Tapi juga orang sadar, bahasa ada­
lah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para

Catatan Pinggir 9 573

http://facebook.com/indonesiapustaka PERCA K A PA N

pem­bicara (lengkap dengan pelbagai baunya yang aneka ragam),
sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi makna yang
bersinar ke arah mana saja.

Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan
menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk
menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan per-
nah terjadi....

Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu. Dari lakon Beck-
ett itu kita juga bisa dapat kesan, orang-orang yang ”menunggu
Godot” itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka harus di sana
ber­sama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi,­
tak lebih dan tak kurang, pertengkaran (sebagaimana persetuju­
an) tak terjadi. Kita bahkan bisa menyimpulkan: ajaib, dalam su­
as­ana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa diterima
orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walau-
pun bahasa tak punya arah.

Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia,­
kalaupun tak ada sesuatu yang universal, toh masih ada yang da­
pat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-pihak
yang punya mulut dan abab berbeda-beda.

Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan ”poli-
tik” di sini sedikit kuno: ikhtiar untuk merawat pertalian sosial.­
Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu keku­
ata­ n, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antago­
nisme saja yang jadi dasarnya, pertalian sosial selamanya akan
men­cemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat yang mampu
terus-menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya ”kami”
meng­hadapi ”mereka”, tapi juga (atau justru) ”kami” yang ber­
usaha­terus-menerus membentuk ”kita”.

Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat
”kita” tak mustahil? Dari mana datangnya ”yang universal” yang
me­mungkinkan ”kami” dan ”mereka” bisa jadi ”kita”?

574 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERCA K A PA N

Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai
yang universal datang dari luar sejarah manusia, dari sesuatu yang
transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan. Bahkan
Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbi-
cara tentang perlunya ”de-transendentalisasi”.

Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguh-
kan ”imanensi”, sejak Marx sampai Deleuze, mencoba menjelas-
kan bahwa nilai-nilai ”universal” mengikuti riwayat manusia de-
ngan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemi­
kir ”post-modern” malah menunjukkan, yang ”universal” hanya
ked­ ok bagi asumsi dunia modern yang memegang dominasi.

Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk ”kita”
akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata,
orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini
ter­asa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah
kemungkinan lain?

Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden,
kita toh bisa lihat (mengikuti Karl-Otto Apel) ada yang ”transen-
dental” dalam hidup kita—sesuatu yang tumbuh dari satu tem-
pat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang
”tak adil” memang bisa berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan,
tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di mana-mana.

Apel berbicara tentang ”ethika wacana”, Diskursethik: ia tak
menganggap penilaian moral semata-mata subyektif, dan segala­
hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang dirumuskan
Descartes, ”aku berpikir”—yang akhirnya hanya berkutat de-
ngan ”aku”. Apel mengajukan alternatif: ”aku berargumen”. De-
ngan kata lain, ”aku” menggunakan bahasa, walaupun patah-pa-
tah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.

Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak
bicara akan menerima sesuatu yang bisa ditumbuhkan jadi nilai
bersama: sebuah prinsip ”universalisasi”. Percakapan, betapapun

Catatan Pinggir 9 575

http://facebook.com/indonesiapustaka PERCA K A PA N

sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaima-
na bentuk dan akhir percakapan itu—kita tak tahu bagaimana
sang Godot—tapi kita tetap melakukannya. Sebuah pragmatis­
me sehari-hari.

Do we need a point?
Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada—
tujua­ n yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat—tapi kita
tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu Godot,
kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menying-
kirkan, atau membeli, orang lain.

Tempo, 14 Maret 2010

576 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR

Khusus di pagi itu W melihat ke luar jendela, ke arah
la­ngit yang masih belum terang penuh, dan bertanya,
atau berdoa, atau berharap-harap cemas: ”Tuhan selu-
ruh alam, akan bebaskah kita hari ini dari kebencian?”—sambil
tak sadar ia pakai kata ”kita” di kalimat itu. Seakan-akan ”Tu-
han” termasuk subyek yang ikut bertanya. Mungkin karena ia tak
tahu di mana Tuhan—jangan-jangan Tuhan akrab merasuk ke
da­lam dirinya—atau mungkin karena ia makin merasa, di du-
nia yang berhari-hari dipanasi politik dan maki-maki dan suara
bising di TV, Tuhan juga perlu teman untuk melawan kebencian
dan kebisingan.

W, perempuan berumur 43 tahun itu, menyukai hening, bu-
kan karena hening punya makna religius yang dalam, tapi karena­
hening, di kota besar ini, semacam ruang yang bisa bebas dari
kolonisasi suara yang menjerit-jerit: dominasi enam pengeras sua­
ra sehabis subuh dan knalpot ribuan sepeda motor yang melintas­
tak jauh dari rumahnya. Hening itu sebentar, tapi begitu berharga­
dan mengejutkan—seperti anggrek putih yang sendirian di ke-
bun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon
dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tam-
pak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise.

Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan?
W bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant:
”Die Schopfung ist niemals vollendet”. Penciptaan tak pernah usai.
Pagi bukanlah serangkaian repetisi.

Ia memang merasa bisa bersyukur, pagi ini yang ia dapatkan­
adalah sejuk yang baru. Mungkin karena setelah beberapa malam
yang gerah dan pengap, kebun itu memberinya oksigen yang se­
akan-akan datang buat pertama kali. Atau mungkin karena bu-

Catatan Pinggir 9 577


Click to View FlipBook Version