http://facebook.com/indonesiapustaka MAK
sembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat
mengucapkan kebenara n itu dengan lantang.... Sejauh ini ke-
benaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak
akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah
membawa kebenaran ke dunia....”
Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan
kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhir
nya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan
ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.
Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang dide-
sain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya
banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu
pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan ga
ris lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh
kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahbe
ran ian.
Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ke-
tika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini
akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di
situ.
Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, rea
lism e problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang
lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu da
sawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjuk
kan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya ba
wah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Ki
ni kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.
Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari seb agai
dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?
Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi ke-
banggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berki-
bar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan se-
178 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MAK
cara terbuka siapa kita; kita junjung bend era kita hari ini, bendera
nalar, kebenaran, kebebasan!”
Begitu meyakinkankah ”nalar”?
”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara
menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita...
ibu rohani kita.”
Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai
”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi,
September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan
mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang ber
kuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum
pekerja. lahir, dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah
hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot
dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak ber-
sentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin
menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita:
para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minim
um yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilang
an kesempatan kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’
terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi
Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya
Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menu-
lis sebuah buku yang kritis— yang baru bisa diterbitkan di Rusia
setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak meng
ingatEngels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan penting-
nya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.
”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika
manusia tak lagi menggunakan tangannya unluk merangkak.
Catatan Pinggir 9 179
http://facebook.com/indonesiapustaka MAK
Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan
meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkem-
bang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.
Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu
sebabnya dalam novel ini si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan!
Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang ba
ru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”
Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”; agama yang
ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju
”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa
benar dan kekal akan terasing dari sejarah.
Tempo, 11 Mei 2008
180 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TA’AYUSH
Sejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita keke-
jaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun da
ri ta’ayush.
Ta’ayush adalah kata Arab yang berarti ”hidup bebrayan”. Kata
ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana
”bangsa” bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melain
kanjuga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Isra
el. Ia bulan ini berumur 60, dengan kegundahan yang dulu tak
terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948.
Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah war-
ga Israel memakai ta’ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia
terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun musta-
hil. Tapi statemennya yakin:
Kami—warga Israel keturunan Arab dan Yahudi—hidup di
kelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasial
isme, dan diskriminasi...; dinding penutup dan pengepungan
yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wi
layah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi se-
luruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di
jantung Timur Tengah....
Kami bergabung bersama membentuk ”Ta’ayush”, sebuah
gerakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja
sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan de-
ngan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan
Yahudi.
”Kemitraan sejati”—ketika dari Israel tak terdengar semangat
yang universal, tapi ”tembok dan kawat berduri”? Ta’ayush di te
ngah”pemisahan, rasialisme, dan diskriminasi”? Keraguan se-
perti itu tak aneh bila terdengar di wilayah itu, yang selalu dekat
Catatan Pinggir 9 181
http://facebook.com/indonesiapustaka TA’AYUSH
dengan api kebencian yang murub. Tapi semangat organisasi ini
bukan baru. Jauh sebelum Israel lahir, pada 1925 di wilayah Pa
lestina berdiri Brith Shalom.
Organisasi ini—berarti ”Kontrak Perdamaian”—hendak me
laksanakan ide-ide Martin Buber (1878-1965), filosof Yahudi
yang terkenal karena karyanya Ich und Du (”Aku dan Kau”). Bu-
ber bukan saja menentang kekerasan orang Yahudi ketika meng-
hadapi orang Arab, melainkan menjauh dari arus besar nasional
isme dalam Zionisme. Berpindah dari Jerman yang menghalau
dan membinasakan orang Yahudi, Buber datang ke Palestina.
Tapi, berbeda dengan banyak Zionis lain, ia punya cita-cita ter
send iri. Ia tak ingin sebuah republik Yahudi, tapi sebuah negeri
dwi-bangsa.
Ia tak punya ilusi idenya akan diterima kaum nasionalis yang
menggebu-gebu. Tapi, baginya, perjuangan tak hanya terdiri dari
strategi politik. Buber bersuara terus, percaya bahwa kebenaran
moral tetap penting biarpun terpojok. Bertahun-tahun lamanya
ia dilupakan. Tapi mungkin ini tanda kegundahan Israel, bila
kini pemikirannya menarik perhatian lagi: sebuah kumpulan tu
lisannya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2005, dengan
judul A Land of Two Peoples.
Tampaknya orang sedang mencari jalan dan harapan, ketika
Israel harus memecahkan dilemanya yang terbesar. Republik ini
berdiri dengan asas demokrasi (dulu ia demokrasi satu-satunya
di Timur Tengah), yang mengakui mandat datang dari suara ter-
banyak warganya. Namun, sejak kemenangannya yang menge-
jutkan pada 1967, ketika Israel tak hanya punya sejarah yang pan-
jang tapi juga peta bumi yang luas, republik itu harus mengakui:
dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini
suara yang datang dari warga yang ”lain” itu makin lama makin
penting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; pendu
duk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus
182 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TA’AYUSH
menduduki wilayah Arab yang hanya bisa ia pertahankan dengan
darah dan besi.
Maka kini paranoia, kebencian, dan kehendak destruktif me
rasuk di mana-mana—sebuah lingkaran setan, sebuah napas ib-
lis, yang diperkuat dengan nama Tuhan di kedua belah pihak.
Apa gerangan yang akan terjadi dengan Israel? Tidakkah Martin
Buber dulu benar: Israel sebaiknya memang tak hanya semata-
mata republik Yahudi? Dengan kata lain, masa depan adalah
ta’ayush, dengan pelbagai versi yang mungkin?
Tak mudah untuk percaya. Harapan gelap. ”Israel, seperti ma-
syarakat mana saja, punya anasir yang buas dan mengidap pato
logi sosial,” tulis David Shulman dalam Dark Hope: Working for
Peace in Israel and Palestine, sebuah buku kesaksian yang sedih
dari seorang anggota kelompok Ta’ayush. Tapi dalam 40 tahun
terakhir orang-orang Yahudi yang destruktif telah dapat tempat,
lengkap dengan dalih ideologisnya, dalam ”usaha pemukiman”.
Di pelbagai wilayah, tutur Shulman, orang-orang itu ”punya ke-
bebasan yang tak terbatas untuk menteror penduduk Palestina:
menyerang, menembak, melukai, dan terkadang membunuh—
semua atas nama apa yang dianggap kesucian tanah ini dan hak
eksklusif orang Yahudi atasnya.”
Mereka praktis tak bisa disetop. Tiap usaha mengatasi kebi-
adaban itu, tiap usaha perdamaian—juga dari pemerintah Israel
sendiri—terjerat dalam apa yang disebut Shulman sebagai ”me-
sin yang rumit”. Aparat pemerintah sipil, tangan militer dan poli-
si, jalin-menjalin secara sengaja dan tidak dengan para pemukim
Yahudi, yang bisa begitu kejam hingga tega menebarkan racun ke
ternak orang Palestina miskin penghuni gua.
Tapi gelap atau terang, harapan tak sepenuhnya padam. Ter
utamaketika ada orang Arab seperti Sari Nusseibeh, Rektor Uni-
versitas al-Quds, yang melawan represi dengan berani justru ka
rena ia memakai cara damai. Atau orang seperti Shulman sendi
Catatan Pinggir 9 183
http://facebook.com/indonesiapustaka TA’AYUSH
ri, seorang pengagum Gandhi. Atau Ezra Nawi, si Yahudi asal
Irak yang menolong orang Palestina tak putus-putusnya: orang
yang percaya bahwa manusia, juga dalam bentuk bangsa, perlu
ta’ayush.
Untuk itu ide kebangsaan bukan hanya lahir dari ingatan—
satu tendensi yang dominan di Israel—tapi justru dari kemam-
puan melupakan. Tak mungkin bangsa akan tegak dengan kese-
tiaan primordial, apalagi dengan trauma dan saling dendam yang
berakar.
Tempo, 18 Mei 2008
184 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka B.O.
POTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu meng-
gambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan
bag ian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak
cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil
postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa.
Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.
Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh
utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca
teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai
foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal.
Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”?
Apan ya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?
Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan
organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahi-
din sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak
mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk
menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-
anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia berte-
mu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.
Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-
20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—
terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bu-
miputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut
”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.
Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial
dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat di-
mengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam se
kam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.
Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi dae-
Catatan Pinggir 9 185
http://facebook.com/indonesiapustaka B.O.
rah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri,
misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangun
kusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan per-
nah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran
itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence
of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa”
tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak
yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak
1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang
ingin masuk STOVIA.
Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan
pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang dida
tangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani
perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan
cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantarse
orang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat
lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa ha
nya dalam waktu setahun.
Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”.
Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”.
Kolonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan mem-
bedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander di-
beri kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir
sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Ho
mi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun.
Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali me
rek a yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian
Eropa.
Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang
melampaui soal beasiswa. ”Boedi Oetomo” dibentukoleh para
mah asiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera ber
akhir.Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhir
186 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka B.O.
nya mesti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami
adalah bagian dari kekuatan struktural.
Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk
mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam
seb uah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas
tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan diri
nya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat.
Dan itulah yang terjadi pada ”Boedi Oetomo”.
Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesua tu
yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Ba
rat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yog
ya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”,
”Madura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: se
muan ya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Boe
di Oetomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak mengguna
kan bahasa Jawa, melainkan Melayu.
Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdo-
rong menjangkau yang universal?
Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik.
Bagi mereka, ”Boedi Oetomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik”
harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif
itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”.
Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal
dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak seso-
pan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan se
ngaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pan-
tat sebagai protes. Suwardi Suryaningrat, pemuda bangsawan ke-
turunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan
menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Be-
landa ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke-100
kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang di
adak an di tanah yang tak punya kemerdekaan.
Catatan Pinggir 9 187
http://facebook.com/indonesiapustaka B.O.
Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku
seorang Belanda.... ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang
Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah
airnya, juga aku mencintai tanah airku....”
Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan
diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam
menghargai kemerdekaan.
Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa
dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara
igauan sendiri.
Tempo, 25 Mei 2008
188 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ALADIN
JAKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin ra-
hasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebe-
lum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden
Sukarno jadi gubernur kota ini.
Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R.
Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejum-
lah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah
pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus
kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil–
kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi....
Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan
merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi
”ada” itu.
Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Uni-
versitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak
tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut
”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salem-
ba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa
halaman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol.
Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tem-
pat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Ro-
bur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia,
sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan
teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk
tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang.
Atau trem yang bergerak seakan-akan enggan melanjutkan za-
man Batavia dalam cerita Si Jamin dan Si Johan saduran Merari
Siregar.
Semua itu surut ke belakang kepala, tak lama setelah Ali Sa-
Catatan Pinggir 9 189
http://facebook.com/indonesiapustaka ALADIN
dikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah,
bergegas.
Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia.
Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan
masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik
dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja mem-
bentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain,
mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa
diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk
dengan kini dan esok.
Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara
tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu
apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mende-
sak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Ja-
karta sendiri.
Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah.
Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal
yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk
membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingar-
bingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang
baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya.
Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manusia
yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia ha-
rus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak.
Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus
kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Ban-
teng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas pe
numpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari,
Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang
calo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju.
Orang itu terjerembap.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau me-
190 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ALADIN
minta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemah
an orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari
nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah.
Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak
lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun
bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ.
Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja.
Salah satu anekdot terkenal terjadi dengan pelukis Srihadi di
sebuah pameran. Salah satu kanvas seniman terkenal itu meng-
gambarkan Jakarta dengan pencakar langit, tapi juga dengan ke
kalang-kabutannya. Ali Sadikin melihat kanvas itu; ia naik darah.
Ia ambil bolpoin dan ia coret-coret karya Srihadi. Para seniman
pun protes. Ali Sadikin, yang telah memberi mereka fasilitas dan
menghargai kebebasan kreatif, tak membalas dengan mengingat-
kan mereka akan apa yang telah diberikannya. Malah ia minta
maaf. Srihadi kemudian menyimpan karyanya tak untuk dijual;
baginya, coretan Bang Ali adalah kenangan tentang seorang pe-
mimpin yang jarang didapat di Indonesia: begitu berkuasa tapi
bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri.
Ali Sadikin memang berbeda dari yang lain di tatanan Orde
Baru itu. Ia tokoh yang berdiri agak sendiri, di tepi wilayah Soe-
harto. Ia diangkat Bung Karno, tak lama sebelum Bung Karno
jatuh. Ia seorang perwira KKO, ketika rezim dikuasai Angkatan
Darat. Dengan tubuh tinggi dan paras mirip bintang film, ia me-
nonjol mengatasi yang lain—dan ia punya kebanggaan sendiri
untuk tak merunduk. Dengan segera orang tahu: Jakarta mem-
punyai seorang pemimpin, bukan pejabat.
Pada zaman ketika pemimpin dan calon pemimpin dibabat—
ketika Soeharto-lah yang menunjuk ketua partai apa pun, me-
milih panglima angkatan dan kepala daerah mana pun—ketika
cara kerja, perilaku, dan bahkan bahasa jadi bagian dari biro
kratisasi, Ali Sadikin tak tenggelam.
Catatan Pinggir 9 191
http://facebook.com/indonesiapustaka ALADIN
Ia memang memanfaatkan struktur yang dibangun Orde Ba
ru: kepala daerah bisa jadi pemegang otokrasi. Tapi ia punya rasa
percaya diri yang besar pada dirinya yang menyebabkannya—
seorang otokrat par excellence—tak gentar mendengar kritik, tak
takut akan ide baru dan saran orang.
Seandainya ia jadi presiden republik....
Tapi ia tak mau. Ia mengajukan kritiknya yang fundamental
kepada ”Orde Baru”, tapi ia membuktikan kritik itu bukan kare-
na rasa iri dan getir orang yang sudah tak berkuasa lagi.
Saya belum pernah menjumpai orang sebesar dia dalam sikap.
Bertahun-tahun lamanya bagi saya hanya dia presiden saya.
Tempo, 1 Juni 2008
192 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka JALAN
Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan,
ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan
yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau
ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, ja-
lan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi
tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar ba
gaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok
itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau meng
ikutirasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri
kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak
waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus meng
alihkan fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang
dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivi-
tas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan
LeSpleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—
yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting
dalam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggam-
barkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi mo
dern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneuriese
akan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Parismeng
ikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua da-
sawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai,
dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar memperta
hankan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur,se-
raya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi sekaligus
memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara
men akjubkan dan mencemaskan itu.
Catatan Pinggir 9 193
http://facebook.com/indonesiapustaka JALAN
Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama de-
ngan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu
besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota.
Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Ja-
karta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Ran-
cangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang men-
coba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-ru-
gi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah
yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap
kali menyerbu kembali.
Kota ini sendiri bukanlah teladan rasionalitas. Birokrasi begi
tu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas
menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan
beg itu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang
terjadi, melainkan involusi.
Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: da
lam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam
milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam
keadaan berjejal.
Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Ga-
rasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang
lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyur
an”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi
di sana, terpisah tapi terpaut.
Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat,
hingga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi ang-
gur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi
jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke se-
la-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band,
pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan ber-
dandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota
yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata.
194 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka JALAN
Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”.
Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering me-
lihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru
men unjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang ekso-
tis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita
menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah se-
buah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-
kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan
hal yang menakjubkan.
Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap
apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Re-
alisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bu-
kanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia
dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyur
an merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi bentuk jadi
sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka
peluang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia se
akan-akan menampilkan yang itu-itu juga.
Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamas
yayang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang
hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk meng
ikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang
yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.
Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu
statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pi-
dato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak
mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri diba
cakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak
menimbulkan perubahan di pentas itu.
Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan
yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan
kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman,
Catatan Pinggir 9 195
http://facebook.com/indonesiapustaka JALAN
sebuah khaos dalam perhatian.
Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran
dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan
kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memu
ngutfragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian
mengaktualisasikannya dalam rahasia”.
Tempo, 8 Juni 2008
196 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BBM
IA kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyem-
pit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan
dibentuk buat melumat apa saja. ”Aku penuh persaingan.
Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kuben-
ci.”
Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Da
nielDay-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik
perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau me-
nipu untuk menang.
Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sen
tralnya sosok Plainview di layar putih itu. Yang kita ikuti ada
lah kisah tentang kekuasaan yang membuat seseorang seakan-
akan palu godam, tentang kemauan merengkuh dan memiliki
yang membuat orang bengis. Sutradara dan penulis skenario Pa
ul Thomas Anderson berkisah tentang seorang raja minyak di wi
layah California pada awal abad ke-20.
Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada
1927. Tapi ada beda besar antara film Anderson dan novel Lewis.
Tokoh Ross dalam Oil! bukan mirip seekor hewan yang paranoid
seperti Plainview. Meskipun begitu, Ross dengan dingin menyo
gok politikus dan pejabat, yakin bahwa uang suap bisa membuat
urusan cepat beres.
Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa ber
kilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda ter-
jadi.
Kita tak hanya menyaksikannya dalam film dan membacanya
dalam novel. Di Indonesia, kita mengalaminya dalam kehidup
an: Indonesia pada 1970-an adalah Indonesia yang dimanjakan
petrodolar, ketika Pertamina yang seharusnya milik Republik itu
Catatan Pinggir 9 197
http://facebook.com/indonesiapustaka BBM
praktis jadi kerajaan pribadi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan
keluarganya, ketika kekayaan para pejabat perusahaan itu berki
lau-kilau, tersimpan hingga di sudut yang jauh di luar negeri, ke-
tika korupsi dan kemewahan membludak seperti tak akan ber
akhir—dan mungkin memang belum berakhir.
Kejiwaan yang dibentuk oleh uang yang licin, berkilau, dan
melimpah dari barel demi barel itulah yang merupakan awal ja-
lan sesat Indonesia.
Memang para pejabat Pertamina dan anak cucunya yang
gomb yor itu bukan makhluk seperti Daniel Plainview yang ber-
tulang keras dengan wajah yang siap menerkam. Tapi justru per-
bedaan ini menandai sesuatu yang lebih berarti: bagaimanapun,
Plainview jadi kaya oleh tangan dan kakinya sendiri, sedangkan
para pejabat Pertamina dan anak cucu mereka hampir tak pernah
meneteskan keringat untuk memperoleh harta & kuasa yang be-
gitu menjulang.
Yang merisaukan, kecenderungan gombyor itu menular: se
akan-akan Indonesia tak harus bersakit-sakit dahulu, seakan-
akan kekayaan alam akan selalu tersedia. Maka segala hasrat un-
tuk megah & mentereng pun berkobar: pada masa itu ada yang
berniat membangun ”industri” penerbangan tanpa peduli perhi
tungan laba-rugi, ada yang dengan gampang berutang untuk
membuat pabrik-pabrik pupuk terapung dan armada kapal tang-
ki minyak raksasa; lapangan golf luas pun dibuka di mana-mana,
rumah mewah besar yang lebih bergas ketimbang yang di Beverly
Hills didirikan di hampir tiap kota besar.
Saya ingat arsitek pembangunan ekonomi Indonesia, Widjojo
Nitisastro, memandang gila-gilaan waktu itu dengan masygul:
”Seharusnya, kita tak punya minyak...”.
Tapi Widjojo dan para ekonom lain yang terkenal dengan
”uang ketat” itu tak sepenuhnya berkuasa. Presiden Soeharto me-
mang mendengar suara mereka—tapi tak selalu, dan tak lama.
198 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BBM
Mewah dan manja telah jadi jalan sesat Indonesia.
Memang ada usaha untuk mencoba mengingatkan, tapi usa
ha itu tak laku. Pada 1972 terbit sebuah laporan yang mengejut-
kan dunia, The Limits to Growth. Buku itu hasil penelitian yang
ditugasi oleh The Club of Rome, sebuah lembaga swasta yang di
dirikan Aurelio Peccei, industriawan Italia, dan Alexander King,
ilmuwan Skotlandia. Dalam The Limits to Growth kita diingat-
kan, pertumbuhan ekonomi akan ada batasnya dan sumber ener
gi akan kian habis.
Saya ingat cendekiawan terkemuka Indonesia, Soedjatmoko,
yang diundang untuk ikut membahas laporan itu, pulang ke In-
donesia dan menyerukan agar kita meninjau kembali ”strategi
pemb angunan”. Ia bicara tentang perlunya ”teknologi madya”
yang ramah terhadap lingkungan dan hemat minyak bumi.
Saya menyebutnya ”neo-Gandhiisme”: gema suara Gandhi
yang memilih hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja, dan
hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.
Tapi ”neo-Gandhiisme” itu lenyap sebelum jadi. Mungkin ka
rena di dalamnya tak ditelaah bagaimana nanti posisi Indone
sia di depan dunia luar yang terus menumbuhkan ekonomi dan
kekuatan teknologi. Semboyan ”kecil itu indah” Schumacherter-
dengar terlalu romantis. Di negeri Gandhi sendiri, India, teknolo-
gi dikembangkan—juga senjata nuklir.
Dan kita juga abai kembali. Kita terus di jalan minyak yang
berkilau, licin, dan menyesatkan. Melalui ”krisis moneter” 1989,
kita terus menghimpun mobil mewah (dan mendapatkan subsi
di untuk bensinnya) dan terus mendirikan mall demi mall (dan
menikmati subsidi untuk listriknya). Kita melanjutkan ”Sutowo-
isme” yang alpa bahwa energi, terutama BBM, akan mencekik
kita.
Maka, ketika harga minyak membubung di dunia, kita kaget.
Kita lupa pada 1998 Campbell dan Laherrere sudah mengumum-
Catatan Pinggir 9 199
http://facebook.com/indonesiapustaka BBM
kan ke dunia harga minyak tak akan bisa turun. Kita lupa per-
tumbuhan ekonomi Cina dan India akan mengkonsumsi BBM
dengan pesat. Permintaan pun naik, persediaan terbatas.
Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan menge-
cam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di
depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”.
”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan
dari riwayat minyak. Di salah satu adegan Plainview memper
ingatk an, ”...Kalian punya kesempatan baik di sini, tapi ingat, ka-
lian bisa kehilangan ini semua jika tak berhati-hati....”
Bicarakah ia kepada kita?
Tempo, 15 Juni 2008
200 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (1)
DI luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu se-
buah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni
yang panas: ”SBY Pengecut!”
Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai
”Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum ka
rena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab,
Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi
dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan de-
ngan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditang-
kap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan
Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman
Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2008.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahan-
an boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembe-
la, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan,
dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Ke-
pala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan de-
ngan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan
berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersa-
ma atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang
mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan
hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membe-
la diri; ia bukan hewan untuk korban.
Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir,
sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan
mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa digantung-
Catatan Pinggir 9 201
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (1)
kan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana
pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan:
kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita.
Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita
capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang
mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk,
sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang
tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat
ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan
kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas.
Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola seng
keta.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita ga-
gal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kema-
rin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:
”... ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan
kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam
sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Seja
rah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998,
konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di
Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asa
si manusia, Munir.”
Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu?
Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan
yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci,
kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara ber-
dua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Sauda-
ra juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut
202 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (1)
”bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga me
rawat rahmat itu.
Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama
halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka
bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indo-
nesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang
sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna—dengan meng-
klaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi,
sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak
perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila
dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak
asasinya—dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung ka
rena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, ada
lah buah sejarah dan geografi tanah air ini—di mana perbedaan
diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja
bersama diperlukan.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik
dari tradisi lokal, ”gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu se
ring dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang me-
narik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham
yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang ”kekeluargaan”.
Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan ber
ubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap
dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”.
Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan
pikiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung
Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia
tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan
Catatan Pinggir 9 203
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (1)
sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya,bah-
kan dengan membawa nama Tuhan—atau justru karena memba-
wa nama Tuhan—siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara
Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno se
bag ai ”egoisme-agama.”
Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno
pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan
jik a ”egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut dide
ngarkan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan ca
ra leluasa.”
Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara
Shih ab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-
apa?
Tempo, 22 Juni 2008
204 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUA
Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga
bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna
keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang,
hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya
memberikan ilham dan daya tahan.
Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali
menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan,
menghalalkan penindasan.
Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di be-
berapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kem-
bali.
Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang
sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik
mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perem-
puan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan
agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota
milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuh-membunuh telah be-
berapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak
pernah kembali.
”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada
tahun-tahun menjelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi
dalam gua bersama Rasulullah, ketika orang-orang Quraisy ber-
simaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan
setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi
gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari
pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat
Nabi?”
Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasul
ullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau.
Catatan Pinggir 9 205
http://facebook.com/indonesiapustaka GUA
Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi
yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bah-
kan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar
itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya di-
lahirkan berbeda.”
Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup
di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak
bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua se-
dang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas.
Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di
atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang
hitam memukul perkusi, sendirian.
Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya berkata,
sep erti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu perkara besar pada za-
man kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari ku-
lit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.”
Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa
itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sed e
mikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal
agama-agama.”
”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan
lok al. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia.
Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan
manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah
sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?”
Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pelin
dung— yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari
asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?
Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah
halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendengar suara jeng
kerikdi sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Mengapa
kita harus memakai perisai?”
206 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUA
Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.
”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya
akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah
bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya
untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Mu-
hammad putra Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tu-
han meletakkan seekor laba-laba, yang menyusun jaringnya, dan
dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki
siapa pun.”
Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.
Apa yang inspiratif?
Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bi
lakita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bahwa yang memi
sahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-
laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng.
Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah,
mengu bah yang agresif ke luar dengan yang tenang dan yakin da
lam batin.
Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan
send irinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan
gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah ki
sah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya
guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh ke-
bengisan apa pun?
Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Saya pun
ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang di
usir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah
diterjang. Betapa rapuh. Tapi mereka punya ruang sendiri, mung-
kin gua, mungkin liang, mungkin sarang, yang mengandung ra-
hasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah raha-
sia.
Tempo, 29 Juni 2008
Catatan Pinggir 9 207
http://facebook.com/indonesiapustaka
208 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DD
Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan sa
ya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene
Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia
bag i saya.
Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta
Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial menu
duhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terha-
dap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak
ben ar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti
dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri
kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.
Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu
apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya,
”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes
Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain
sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasi
nya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” ten-
tang cita-cita partai itu.
Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembela
an Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak
lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar
yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan...? Tidakkah sese
orang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia
hidup?”
”Saya tak dapat berbuat lain.... Kecuali saya dalam sebuah to
ko barang loakan dapat memperoleh watak yang sudah usang, se-
mangat yang telah luntur, dan kedok yang kelihatannya tak me
ngerikan.”
Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah pro-
Catatan Pinggir 9 209
http://facebook.com/indonesiapustaka DD
sa yang gemilang. Douwes Dekker ini bukan Douwes Dekker
yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya: penulis
Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes
Dekker dari Pasuruan ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan
sang kakek.
Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion
andthe Gadfly (KITLV Press, 2006)—sebuah buku yang layak
dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa enggannya.
”Men gapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu
tak adil. Eduard Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sas-
trawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest François Eugene, ”cu
ma seorang jurnalis rata-rata”.
Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda....”
Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang
oleh Van der Veur disebut ”DD”? Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada
8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri
Edoua rd Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann.
Ibunya putri seorang Jerman yang kawin dengan seorang wanita
Jawa.
Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara tak
sonomi” (istilah Ann Laura Stoler, dalam telaahnya tentang ke
kuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang Indo
akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang
”asli” dan ”murni”. Orang Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang
nestapa”.
Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara tak-
sonomi” dengan hati kesal dan mata nyalang: ia tahu, taksonomi
manusia adalah laku yang sewenang-wenang.
Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam.
Pada pertengahan 1898 ia selesai sekolah menengah dan bekerja
di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan Gunung
Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli
210 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DD
tua pernah mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memper-
lakukan kami sebagai manusia.” Tapi majikannya menilai DD
tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”.
Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan
di dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu ada sengketa
pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di seki-
tarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak
petani, ia menyatakan itu kepada atasannya. Ia diperingatkan.
Dari sini ia juga berhenti.
Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.
Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan
Hindia Belanda: ia bergabung dalam sukarelawan untuk Perang
Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20 itu, ke-
tika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Ing
gris. Syahdan, Februari 1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke
medan perang.
Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat da
lam diri DD pada masa itu. Dalam perjalanan ke Afrika Selatan
itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and
the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda,
mendengar suara seseorang yang bicara dalam ”bahasa Belanda
murni” di depan potret ”Ratu Belanda yang tercinta”.
Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia di
buang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia kembali ke Jawa—tapi dengan
sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan
keserakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa diram-
pok; pada 1908 ia menulis: api besar yang membakar desa-desa
Aceh telah membuat terang ”kebangkrutan moral Kristiani” pe
merintah kolonial.
Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi
tempat para mahasiswa STOVIA berkunjung—para pemuda
yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi Pran-
Catatan Pinggir 9 211
http://facebook.com/indonesiapustaka DD
cis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan.
Ketika dua aktivis asal STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cip-
to Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial, DD menu-
lis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ”di-
taklukkan di dalam penjara”, telah ”mempersatukan kita semua”.
Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah
kerja ke masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—
dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Indone-
sia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang
yang berbeda-beda, bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Su-
wardi dibuang, dan DD menulis: ”Anak-anak berkulit cokelat
dan putih... akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka
berdua lalui.”
Tempo, 6 Juli 2008
212 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MIKROPOLITIK
—untuk Rahman Tolleng, pada ulang tahun ke-70
Soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan.
Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk per
ubahan, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara
terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti? Atau begi-
tukah nasib dunia: sejarah adalah repetisi kesalahan yang tak kita
sadari? Atau sejarah sebenarnya tak punya tujuan, apa pun yang
dikatakan Hegel dan Marx?
Rahman Tolleng kini 70 tahun: ia mungkin tak akan menja-
wab pertanyaan di atas. Tapi ia saksi yang bisa menunjukkan, ka-
laupun sejarah hanya sebuah cerita acak-acakan, tak berarti ia sia-
sia. Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan
Hegel, tak berarti manusia takluk. Kalaupun kebebasan tak ber-
hasil terbentang penuh di dunia, seperti diperhitungkan Marx,
tak berarti ia tak layak diperjuangkan.
Entah mengapa, selalu ada orang-orang yang bersedia bekerja
untuk menjaga agar sejarah, yang tujuannya tak jelas, tak berge
rak jadi arus yang berakhir dengan pembinasaan—khususnya
pembinasaan mereka yang tak berdaya.
Pada 1 Juni yang lalu saya bertemu Rahman Tolleng di hala
man depan Galeri Nasional, Jakarta. Orang-orang, termasuk
anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari Taman
Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang se-
dang akan memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipu-
kuli sampai berdarah-darah oleh sepasukan orang seakan-akan
hend ak menunjukkan, ”Kami Islam, sebab itu Kami berhak me
mukul!”
Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia
Catatan Pinggir 9 213
http://facebook.com/indonesiapustaka MIKROPOLITIK
tak kelihatan letih. Ini tahun 2008.
Saya coba mengingat, kapan saya bertemu pertama kali de-
ngan dia. Mungkin pada 1962. Seingat saya, ia muncul di hala-
man sebuah hotel besar di Bandung yang lampunya hanya sete
ngahmenerangi ruang. Kami diperkenalkan oleh seorang teman.
Saya mahasiswa baru dari Jakarta. Ia sudah aktivis terkemuka
Gerakan Mahasiswa Sosialis di Bandung. Tahun-tahun itu ia ha-
rus setengah bersembunyi—terutama karena ia tak mau dibung-
kam. GMSOS organisasi yang dekat rapat dengan Partai Sosialis
Indonesia yang dilarang Presiden Sukarno. Para pemimpinnya
dip enjarakan.
Setelah itu saya jarang sekali melihatnya. Beberapa orang te-
man, antara lain Soe Hok Gie (ia juga aktivis GMSOS), memberi
tahu saya bahwa Rahman terus menghimpun dan memproduksi
tulisan yang diam-diam diedarkan dan didiskusikan di antara
mah asiswa di Bandung. Ketika pada 1966 mahasiswa di Band ung
dan Jakarta turun ke jalan, mengguncang ”demokrasi terpimpin”
yang melahirkan otokrasi, Rahman tak lagi bersembunyi.Ia me-
mimpin mingguan Mahasiswa Indonesia.
Dari sini pula saya menduga apa gerangan yang menyebabkan
ia bergerak, menulis, membentuk kelompok. Politik, baginya,
adalah sebuah tugas.
Tapi itu tugas yang murung, agaknya. Seperti tiap orang sege
nerasinya, Rahman Tolleng tahu yang terjadi pada 1908 sampai
2008: gerakan antikolonial yang terkadang menyempit jadi xeno
fobia, revolusi yang meletus dan segera jadi Negara yang mau me
ngend alikan segala hal, perubahan yang berakhir jadi teror, refor-
masi yang melambungkan harapan tapi segera kelihatan betapa
terbatas jangkauannya. Adakah harapan?
Setelah 1998, kita berusaha percaya bahwa demokrasi konsti-
tusional, dengan parlemen yang dipilih, adalah jalan perbaikan
yang pantas dan rendah hati. Radikalisme hanya bagus buat pi
214 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MIKROPOLITIK
dato.
Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil
yang merusak padi di sawah kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip
”vampir”, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit yang
mengh isap darah dari tubuh demokrasi.
Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nya
ris jadi sederet bordello, di mana si kaya bisa membeli sukma dan
raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang pre
siden seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-
menerus menunggu mandat. Kini para mahasiswa mencoba
mengu lang heroisme angkatan sebelumnya, seakan-akan sejarah
bisa diulangi. Di manakah harapan?
Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa
bahwa harapan tak pernah datang sebelum perbuatan. Siapa yang
menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan ter
pekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan
memb uat harapan sebuah obat yang serba mujarab, dan mem-
bikin agenda melambung-lambung.
Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan ma
ti—”politik” dalam arti the political: gerak dan gairah melawan
kebekuan yang represif.
Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering
murung karena fana tapi juga tak terhingga. Saya ingat anjuran
Alain Badiou: ”Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang mili-
tan dari aksi yang terbatas”. Kita tahu dunia tak akan jadi surga;
hanya di surga kita bisa tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab
itu kita tak bisa berhenti.
Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si sete
ngahdewa yang dengan gagah menanggungkan hukuman itu:
mengangkut batu besar ke puncak gunung, dan segera sesudah
itu akan menggelundung kembali. Kita hanya makhluk yang di-
tuntut, dipanggil, terus-menerus oleh sesuatu yang tiap saat me-
Catatan Pinggir 9 215
http://facebook.com/indonesiapustaka MIKROPOLITIK
nyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi harkat liyan,
bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu
yang ”infinitely demanding”, dan saya kira dengan itulah politik
adalah ”ethik” dalam perbuatan.
Di situlah ”mikropolitik” punya makna: ia ”militansi dari aksi
yang terbatas”. Ia bukan rencana mengubah semesta berdasarkan
wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.
Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa de-
ngan harapan, bisa tidak. Sebab ia perlawanan yang membuat
hidup kita—di sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang
lain—tak sia-sia.
Juga pada usia 70.
Tempo, 13 Juli 2008
216 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka LA POLICE
Syahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh,
setahun setelah Meulaboh dihancurkan tsunami. Ia diper
silakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun
kembali. Ia senang, sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia se
orang dosen jurusa n sastra Inggris.
Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh,
ia menulis di papan tulis: T-R-A-G-E-D-I.
”Anak-anak,” katanya kepada murid-murid sekolah menengah
itu, ”kalian tahu apa arti tragedi?”
”Tahu, Pak!” jawab para murid hampir serentak.
”Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!”
Murid A: ”Apabila seorang tua memanjat pohon mangga un-
tuk memetik sebuah buat cucunya yang sakit—tapi ia terjatuh
dan mati.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.”
Murid B: ”Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan
olahragawan nasional kena gelombang tsunami dan semuanya
tew as.”
Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar
yang menyedihkan bangsa.
Murid C: ”Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain
terbang dengan sebuah helikopter, dan tiba-tiba pesawat tergun-
cang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam jurang.”
Riziq: ”Nah, itu yang benar—itulah contoh tragedi. T-R-A-
G-E-D-I! Coba kamu terangkan kepada teman-temanmu, kena-
pa itu bisa disebut tragedi.”
Murid C: ”Pertama, karena itu pasti bukan kecelakaan. Ke
dua,karena itu pasti bukan sebuah kehilangan besar yang menye
dihkan bangsa.”
Catatan Pinggir 9 217
http://facebook.com/indonesiapustaka LA POLICE
Satire yang mencemooh para politikus legislator macam ini
pasti kini mulai bermunculan. Mungkin lucu, mungkin pahit,
atau kasar, tapi semuanya sebuah gejala krisis kepercayaan yang
gawat: politik telah kehilangan makna sosialnya.
Bila beberapa orang anggota DPR ditahan karena menerima
suap, bila partai didirikan hanya untuk mengusung pemimpin-
nya agar jadi presiden, bila mereka yang ingin jadi presiden tak
jelas apa maunya selain mengelus-elus ego sendiri, orang Indone
sia akan memandang ke pemilihan umum pada 2009 dengan
angkat bahu: apa gunanya ramai-ramai itu buatku?
Nila setitik memang membuat susu sebelanga rusak. Dari se
kian ratus anggota DPR, tentu banyak yang tak terima suap. Pasti
ada yang rajin membahas rencana undang-undang dengan serius
dan tekun mengunjungi orang-orang yang memilih mereka, un-
tuk tahu apa yang diinginkan agar keadaan bisa lebih baik.
Tapi tampaknya tak terelakkan: persoalan besar Indonesia, sa
tu dasawarsa setelah kembali ke demokrasi dengan pemilihan be-
bas, adalah bagaimana merawat kepercayaan bahwa pemilihan
bebas itu diperlukan.
Tanpa kepercayaan itu, apa jadinya Indonesia? Negeri ini se-
buah bangunan dalam waktu: ia berubah, bersama penghuninya,
dengan kelemahan, kekuatan, dan harapan mereka. Semuanya
tak bisa mandek. Bila Indonesia belum berniat bunuh diri, pemi
liha n bebas adalah satu cara yang baik untuk mengikuti niat hi
dupitu. Kalau tidak, tubuh sosial akan kaku-beku oleh usia—
dan mudah retak, bahkan patah.
Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen
tak bisa menganggap diri identik dengan masyarakat: wakil ada
lah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang sanggup
menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari ke-
nyataan bahwa dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang
disebut Rancière la police: struktur yang diam-diam mengatur
218 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka LA POLICE
dan menegakkan tubuh itu.
La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan ”polis”
sebagai negeri dan ”polisi” sebagai penjaga ketertiban) bersifatoli-
garkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang tak terelak-
kan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang mengua-
sai dan dikuasai.
Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang
lemah—meskipun dengan mengeluh dan marah. Dengan kata
lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan poten
si si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Rancière, itu berarti
nun di dasar yang tak hendak diingat, ada kesetaraan di antara
kedua pihak.
Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis,
hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan sengka-
rut tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam
”logika” itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk
masyarakat justru mungkin karena mengakui kesetaraan. Kete
ganga n dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan kon-
flik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-
hentinya.
Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi
komunikasi ala Habermas: di arena itu tak ada tujuan untuk ber-
sepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan ar-
gumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, ”perbauran dua
dunia”, ”di mana ada subyek dan obyek yang tampak, ada yang
tidak”.
Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la poli
tique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan makna so
sial.Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-
apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Ran
cière menyebut kata ”skandal demokrasi”: ia agaknya mau me
nunjukkan bahwa kehormatan para tulang punggung la police
Catatan Pinggir 9 219
http://facebook.com/indonesiapustaka LA POLICE
pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan
apa-apa itu.
Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah.
Mereka cuma bisa mengejek. Tapi, bila lelucon di atas membuat
kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap: proses
parlementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan
mereka yang bukan apa-apa.
Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanya
lah sebuah konsensus darurat. Ia penting. Tapi seperti dikatakan
Rancière: ”Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.”
Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain?
Jangan-jangan kita menghasratkan ini: mereka yang hidup nya-
man dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam
jurang.
Tempo, 20 Juli 2008
220 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GERAI
Mungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet
partai?
Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan
dengan itu. Indische Partij, Partai Komunis, Partai Sarekat Islam,
PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan.
Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usa
ha membongkar sebuah wacana yang dianggap cacat, tapi dijejal-
kan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang final.
Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”.
Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke
arah emansipasi sosial dan musnahnya ketidakadilan. Dengan
kata lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang mengge
rakk an hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, wa-
laupun gambaran itu bukan sebuah desain yang siap.
Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid
STOVIA—yang kemudian jadi bara pertama perlawanan anti
kolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis
den gan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!”
Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion da
lam politik: fantasi, hasrat, ”semua hal yang tak dapat diringkus
jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang membentuk
subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bu
kantentang ”aku”. Ia justru timbul karena ada sesuatu yang uni
versal yang datang mengimbau, sesuatu yang berarti bukan cum a
bua tku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang me
lampaui jagat kecilku.
Dari situlah passion, atau gelora hati, terbit. Mouffe bahkan
men yebut perlunya ”mobilisasi gelora hati”. Sebab politik sebuah
partai yang menganggap dirinya bagian dari pergerakan, sebuah
Catatan Pinggir 9 221
http://facebook.com/indonesiapustaka GERAI
partai dengan ”imajinari sosial” yang menggugah passion—par-
tai politik yang seperti itu bukanlah tanda nafsi-nafsi.
Justru sebaliknya: didirikan hanya segelintir orang pun—se-
perti halnya Indische Partij—partai seperti itu pada dasarnya
inginmenjangkau liyan, mereka yang lain yang juga sesama. PNI
yang berangkat atas nama kaum ”marhaen” dan PKI yang atas
nam a kaum buruh keduanya membayangkan sebuah masyarakat
di mana marhaen dan proletar akan lenyap, sebab tak akan ada
kelas sosial lagi: manusia akan sama rata, sama rasa.
Tapi adakah partai yang seperti itu sekarang?
Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai,
kios dan show-room. Inilah zaman ketika advertensi tak henti-
hentinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika hasil
jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang
kebenaran, ketika penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di
televisi lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang
menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang
lebih menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih
penting: kemasan.
Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pe-
kan raya. Tiap tauke kios akan berusaha mendapatkan pembeli
seb anyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ: tak
akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didu-
kung) pekan raya itu sendiri.
Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa
yang berlubang dalam situasi di mana ia lahir, kini partai berdiri
sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk investa-
si—yang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang
surplus.
Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman.
Partai tak akan jadi pembelot. Tapi saya kira sebetulnya sebuah
fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa
222 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GERAI
”imajinari sosial”, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah poli-
tik yang tak membentuk subyektivitas yang lahir karena terpang-
gil oleh yang universal.
Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan
saja. Tapi ini cuma universalitas sebagai façade. Dalam percakap
an para juru kampanye partai, seperti di kantor perdagangan,
orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan ten-
tang ”segmen pasar”.
Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha
patungan. Tapi pada awal dan akhirnya yang berlaku adalah ke-
masing-masing-an. Para pemilih akan datang bak konsumen. Ta
pi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bah-
wa iklan mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpi-
kat—zaman berkuasanya perangai ”akal yang sinis”, der Zynisch
en Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk.
Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik.
Tapi kita tak bisa mengelakkan keniscayaan hadirnya partai di se-
buah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding Nega-
ra? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan
dapat mengelakkan dimensi politiknya—politik sebagai perta-
rungan: konsensus akan selalu berlubang, ketakadilan akan me-
nimbulkan jerit.
Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak
akan jadi bisu. Akan selalu muncul mereka yang setia kepada
gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit
dalam militansi, sujet fidèle dalam pengertian Alain Badiou.
Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor
Lembaga Bantuan Hukum di Jalan Diponegoro, Jakarta, di ba
wah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk. Ku-
rus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah.
Mereka memaklumkan berdirinya Partai Rakyat Demokratik,
seb uah partai kiri—ketika suasana tambah represif di bawah
Catatan Pinggir 9 223
http://facebook.com/indonesiapustaka GERAI
”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap
partai alternatif akan dibabat.
Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer
mem andangi mereka. Kami tahu, ke sana mata-mata penguasa
mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-
anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah
itu.
Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran
partai-partai hari ini.
Tempo, 27 Juli 2008
224 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka API, LAUT
Bung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto me-
mimpin gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sa-
dikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun.
Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi
lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus
berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberi-
takan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi
pemimpin?
Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar.
Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan da
lam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi:
kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu,
kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis.
Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lemba
ga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat
munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang se
akan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega.
Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benar-benar
bernapas.
Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi—
dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ke-
tika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru
jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Be
ned ict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”:
yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju,
tapi juga di belakang, jadi pendorong.
Gemuruh itu menemukan jejaknya, dengan sedikit mencong-
mencong, dalam organisasi-organisasi pemuda. Ada Gerakan Pe
muda Marhaen, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Rak
Catatan Pinggir 9 225
http://facebook.com/indonesiapustaka API, LAUT
yat, Pemuda Sosialis, Pemuda Ansor—dan pada 1958 sampai
1966, sebagian dari ”gerakan” itu disingkirkan dan sebagian di-
hidupkan kembali, sebuah tanda bahwa sesuatu sedang guncang
di masa itu.
Pada 1958, Bung Karno menyebut tema ”Manifesto Politik”
yang dimaklumkannya ”penemuan kembali revolusi kita”. Sam-
pai 1965, kata ”revolusi” jadi sakti kembali. Tak berarti masa itu
adalah masa yang seluruhnya layak dirindukan kembali: ”revolu-
si”, walaupun dalam bentuk separuh retorika belaka, punya kor
bannya sendiri. Tapi ada yang kuat di sana, dan suasana seperti
matang kembali, berseru, seperti Chairil Anwar berseru:
Ayo Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Kemudian datang 1965-1966: api itu membakar, laut itu
mengh antam, ke sana-kemari, dan dari arang dan puing Indone-
sia berpegang erat-erat, dengan rasa takut dan paranoia, sebuah
keadaan yang disebut ”stabilitas”. Gemuruh dan gejolak dicegah.
Revolusi digantikan Kontrarevolusi. Lembaga-lembaga diku
kuhkan. Sistem dan prosedur dimantapkan.
Dalam keadaan itu, yang muda tak bisa lagi berkata, seperti
Chairil berkata, ”aku sekarang api, aku sekarang laut”. Berang-
sur-angsur, yang muda jadi bagian penopang bangunan yang di
dirikan dan diberi nama ”Orde Baru”: jadi paku, sekrup, dan pe-
nyangga—hal-hal yang tak bisa mengguncang, bahkan diada-
kan buat melawan guncangan. Para pemuda bukan lagi bergerak,
melainkan harus antre dengan tertib. ”Orde Baru” adalah sebuah
masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” seba
gai yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus na
pasnya.
226 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka API, LAUT
Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia me-
mang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenar
nya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif
dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang
merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang
”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan la-
hirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang be
nar-benar awal.
Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemung
kina n berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu
fragmen dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah di-
kutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat
yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita
temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang te
lah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bi
la ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah
debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang
ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lem-
bah yang anteng...”.
Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup
kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan.
Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan
pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini si-
buk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius de-
ngan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang ge-
muk tapi tua.
Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam
umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdur
rahman Wahid, 68 tahun, belum hendak melepaskan niatnya
buat kembali jadi kepala negara. Tapi bukan hanya itu soalnya.
Ketuaan itu terasa ketika partai-partai memang tidak dimaksud-
kan untuk jadi ”api” dan ”laut”—kekuatan yang bisa destruktif
Catatan Pinggir 9 227