http://facebook.com/indonesiapustaka HERMAN
Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr.
Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”.
Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman
sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah
airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada
orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.
Tempo, 12 April 2009
378 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK-P
DI bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di
antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170
juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan
terd engar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka.
Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lem-
bar-lembar kertas yang diberikan kepadaku. Sederet gambar. Se-
jumlah nama, 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa
berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercan
tum yang menggerakkan hati saya. Tak ada dorongan kesetiaan
yang akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata
pelan tapi bangga, di bilik itu, ”Partaiku, wakilku!”
Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehim-
pun penanda yang tampaknya tak berkaitan dengan yang ditan-
dai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai.
Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisi-
kan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda ko-
song itu.
Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku
mengu bah diriku jadi satu satuan numerik, sebuah unsur dalam
sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk,
tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin seka-
li tak akan, jadi bagian hidupku.
Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya pada tahun 2009
ini, adalah sebuah alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa
terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan seluruh tu-
buhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah gunting
atau sepasang sepatu, dan pada saat itu juga berubah: ia hanya ja
di tenaga-kerja-sebagai-komoditas; ia tak berkaitan lagi dengan
buah tangannya sendiri. Ia terasing.
Catatan Pinggir 9 379
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK-P
Aku pun keluar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan
TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan
yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Ada
jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling ter
asing.Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati.
Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kem
balinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir
Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang
dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis
yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik.
Tapi di sini, ”politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, ”po
litik-P”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ri-
tus, ”politik-R”.
”Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gam-
bar di lembaran kartu suara 2009 itu. ”Politik-R” datang karena
ritus adalah repetisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bi
sa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal,
tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khu
syuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang.
Kita bisa juga mengatakan, ”politik-R” adalah politik tanpa la
passion pour le réel—untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pe-
mikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.
Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan
memasuki le réel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri ke-
pada yang paling tak terduga. Le réel ada dalam tubuh kita, di
baw ah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah
Antah Berantah yang tak terjaring dalam ”pengetahuan”, tak ter-
cakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di
sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.
Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. ”Politik-P”
adalah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruh-
kan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang
380 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK-P
belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku,
bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai sub-
yek—bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi
den gan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.
”Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasi-
kan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan
Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para
mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata men-
duduki Parlemen sampai Soeharto terdesak mundur.
Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang ”politik-R” menggan
tikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing pada ta-
hun 2009 bukan semata-mata ”politik-R” yang tak terelakkan.
Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politikus itu tak
men andai apa-apa—tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenar
nya sebuah symptom. Mereka gejala dua nihilisme yang berten-
tangan.
Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenar
an—karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua par-
tai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak
oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan be-
berapa partai bukanlah ”partai politik” (yang mengandung ”ke-
bersamaan”), melainkan ”partai palangki”: dibuat hanya untuk
jadi tempat mengusung sang pemimpin.
Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebe
naran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelaku-
nya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah
selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le réel. Maka tak
ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain.
Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Se-
bab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Per-
juangan dalam arti sebenarnya melawan kebekuan dan represi,
juga dalam pikiran sendiri.
Catatan Pinggir 9 381
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITIK-P
Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme....
Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana
aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik sua
ra, jari pencontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta
manusia?
Tempo, 19 April 2009
382 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ESTABA LA MADRE
”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung...”
Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedihan ma-
nusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu
yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.
Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terbandingkan.
Tap i pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu
yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.
Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah
titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ri-
buan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu
orang hilang.
Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa
anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik.
Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang
sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio,
Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka
justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—
dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.
Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkatan laut
menc eritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda
yang diculik itu. Pada suatu saat mereka akan dibius dan ditelan-
jangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat.
Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan
hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu....
Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak meng-
ingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan
sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di You-
Tube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesu-
Catatan Pinggir 9 383
http://facebook.com/indonesiapustaka ESTABA LA MADRE
nyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda
itu muncul sejenak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah.
Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.
Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan
sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila
itu,” begitu kita dengar di pembukaan.
Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan,
dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi
sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya
dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang
berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah
dihilangkan. Mereka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu,
mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di
Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama
20 tahun.
”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak
bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu
orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai
”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang
tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 pe
rempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-
angsur, jumlah itu jadi 400.
Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah
lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo.
Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya,
mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang di
gubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur
26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja
seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan
di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum
pendebat Filius...”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi
salib tempat sang anak tergantung.”
384 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ESTABA LA MADRE
Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu
datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka
dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang
”hilang”.
Tentu ada beda antara sang Ibu dalam Stabat Mater dan para
ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Ar-
gentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan
Sara, ibu si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis,
mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demiki-
anlah paduan suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.
”Ini pukul sembilan.
Ini pukul 10.
Tengah malam
Fajar datang,
dan ia tak pernah pulang.”
Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti ter-
jadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara
bisa begitu ketakutan?
Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya ju
ga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim
Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin seka-
li membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup
kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia
adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutal
an dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak ya-
kin akan legitimasinya sendiri.
Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membe
dak an khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada
adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun
di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka
Catatan Pinggir 9 385
http://facebook.com/indonesiapustaka ESTABA LA MADRE
mengancam si lemah dan mengajukan dalih kebersamaan—
hingga terdengar menggelikan:
Hidup kemerdekaan!
Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.
Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang mengaku.
Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka menjerit.
Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekua-
saan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan la
yang,di dinding kios koran, di pelb agai sudut di Buenos Aires, ka-
ta-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-ma-
na yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”
Tempo, 26 April 2009
386 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA NENEK SIHIR
TIGA nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jenderal
Macbeth dan Jenderal Banquo melewati hutan yang ge
lap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka
dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil.
Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di de-
pan ketiga makhluk aneh itu—tiga sosok yang mengelu-elukan
Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti ba-
gian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak
bahk an akan disebut sebagai raja.
Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan
tiba-tiba tampak berubah. Raja? Takhta? Benarkah puncak itu
akan tercapai, jika mengingat bahwa Duncan, raja yang diabdi
nyadan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih ku-
kuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di
kedudukan milik baginda?
Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakes
peare yang termasyhur ini, dimulai dengan adegan tiga nenek si-
hir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari
tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.
Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru ter-
tib yang ada—dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia wak-
tu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi
raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth un-
tuk mengambil alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut
itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat, dan lambangnya gun-
cang.
Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya
jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Mac-
beth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja,
Catatan Pinggir 9 387
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA NENEK SIHIR
pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekadar pasif menung-
gu sampai keberuntungan itu datang.
Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk
ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang
Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya
yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut istrinya untuk
merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak
yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu
Jenderal Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa mem-
beri tahu istrinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu
dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum,
atau ”takdir”, bisa dikalahkannya.
Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan per
buata nnya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada arti-
nya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti
bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang di-
tentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang se-
cara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi sia-
pa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya
dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.
Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka
tak pernah dihormati sebagai nabi. Wibawa mereka praktis tak
ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir
subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jen-
deral secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ke-
tiga makhluk itu ”imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara
dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.
Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang am-
bisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu
di mana mesti berhenti—dalam arti berhenti menaklukkan yang
lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan
kekerasan.
388 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA NENEK SIHIR
Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pa
da mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth men-
campakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan
dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia
menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia meng
artikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga
perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bi
sa dikalahkan oleh seseorang yang ”tak dilahirkan oleh perempu
an”, jenderal itu yakin tak akan ada manusia yang bisa meroboh
kannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat
itu: Macduff, yang akhirnya berhasil membunuhnya, lahir sete
lah perut ibunya dirobek dan sang bayi direnggutkan ke luar.
Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras
dan menakutkan. Maka ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang
tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu, misalnya,
yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa pe
nuhdimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cu-
aca buruk itu.
Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Istrinya merasa
tan gannya selalu berdarah. Macbeth melihat hantu Banquo yang
dibunuhnya datang malam-malam di ruangnya. Kian menghan-
tui rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin
buas.
Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya
ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus
apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertak-
lukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia
menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.
Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa mencu
lik, menyiksa, menggertak—atau, sebaliknya membeli manusia
dengan uang—tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-
nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan
Catatan Pinggir 9 389
http://facebook.com/indonesiapustaka TIGA NENEK SIHIR
akan bertaut dengan mala—yang buruk, yang busuk, yang keji,
yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.
Tempo, 3 Mei 2009
390 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NEO-LIBERAL
PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun
2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan
tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.
Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang
berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Month
ly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah
titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan eko-
nomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir
dengan kegagalan.
Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal
yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran ak-
tif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu di-
intervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan
uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.
Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa
krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbe-
da. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi
yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapital-
isme sosial-demokratik”.
Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demo
krasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanji-
kan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pa
saryang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan
yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak
bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memper-
baiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota
Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan,
”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang
oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun
Catatan Pinggir 9 391
http://facebook.com/indonesiapustaka NEO-LIBERAL
adalah pikiran yang gila.”
Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926
John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan me
nunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelo
la, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis
send iri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba meng-
gabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Nega
ra—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Key
nesian”.
Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang ter-
susun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama,
telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke
dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih
bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati.
Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neo-libe
ralisme” yang didaur ulang.
Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di
dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu.
Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri me
nunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan
itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bangsa
yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan eko-
nomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses
internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial.
Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya
karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan
bahw a kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokrat-
nya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengem-
bangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Ada-
pun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong
maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik.
Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?
392 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NEO-LIBERAL
Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh
dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah con-
tohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah
amanat publik.
Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan
intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa
wasw as: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu
menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari
pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelba
gai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberal-
isme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjuk-
kan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang ter-
tular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.
Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya
berlubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisau-
kan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan
menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal”
yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan
birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anar-
ki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-
hampir tak ada lagi.
Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru
sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah
kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu
pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” da
lam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-
beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat,
agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.
Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana
mengatur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekali
guspasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang
masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mende
Catatan Pinggir 9 393
http://facebook.com/indonesiapustaka NEO-LIBERAL
ngar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin ka
rena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan
Neg ara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy end
ing.
Tempo, 10 Mei 2009
394 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka THERSITES
Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka
yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, to-
koh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya
Homeros dari sekitar abad ke-9 sebelum Masehi.
Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan
prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites
dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya
lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal be-
berapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat
dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam
mereka yang berkuasa.
Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai,
Thersites mendamprat Raja Agamemnon.
”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”seka-
rang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan ingin
kan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan
jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan
jarahan itu kepada tuan.”
Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang
merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan
rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat
baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi
sengsara.”
Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru ke-
pada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan
orang ini di Troya.”
Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus,
mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersi
tes!Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran
Catatan Pinggir 9 395
http://facebook.com/indonesiapustaka THERSITES
bila tak ada yang mendukungmu....”
Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke
punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan ber
darah.
Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah me
nertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan....
Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam ki
sah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata
Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang
diciptakan oleh musuh-musuhnya.”
Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kua
lifikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata
atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang
bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang
tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas
hamba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat ke-
lima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam:
kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang ti-
dak.
Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tu-
han”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan
yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undi
an. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang me
merintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebe
tulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan
peran sosial.
Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah
kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang
bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan.
Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam
kisah Yunani Kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial leb-
ih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mer-
396 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka THERSITES
eka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus
disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapat-
nya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran
Troya dan saudara sekandung.
Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan
tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap pe-
nyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah sia-
pa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang
tak masuk hitungan, le compte des incomptés.
Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi
bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam
paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai peleng-
kap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi kete-
gangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan
pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan
mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.
Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada
yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang dile
takkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi.
Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia
dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan
demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon
dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin di
tingg alkan sendiri di ambang Perang Troya?
Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku
politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa
saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai
perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan
itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa
dahsyat.
Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Ody
sseus.Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa
Catatan Pinggir 9 397
http://facebook.com/indonesiapustaka THERSITES
sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon.
Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu ber-
mula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain.
Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segala
nya.Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu berta
han.Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia se-
buah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil,
di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta.
Tempo, 17 Mei 2009
398 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN
DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
Kita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno
mengu capkan pleidoinya di pengadilan kolonial 79 ta-
hun yang lalu—karena kita merasa sesuatu yang ganjil
terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.
Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang
yang akan dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak da
tangdari kancah yang ribut di mana partai-partai politik bersaing
mendapatkan uang atau kedudukan.
Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan per-
ekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh par-
tai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor da
lam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian, dan
penyanyi. Ia bukan seorang vote-getter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai ca
lon wakilnya tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat.
Tapi lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa Boediono bukan
saja seorang yang telah bekerja untuk perbaikan kehidupan per-
ekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat dan pribadi yang
bersih.
Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas sa
ya sebut juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau ti-
dak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik ki
ta. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah
kepemimpinan yang berani—dan itu indikasi bahwa kita, seba
gai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang merisaukan itu.
Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan se
macam sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua da
pat diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan
Catatan Pinggir 9 399
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
partai harus juga dianggap sebagai komoditas.
Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa
berc erita, bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk mem-
peroleh suara. Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih
mengorganisasi diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan
agar dibeli.
Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan ci-
ta-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.
Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koa
lisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan
program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diper-
buat bagi pemilih dan bagi Republik. Koalisi antarpartai hampir
sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat jabatan apa, bahkan
siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.
Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ter-
nak itu pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaik
an dan kebenaran dalam politik? Benarkah semuanya untuk ke-
pentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang meng-
gugah hati dan membentuk kesepakatan?
***
79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai plei-
doinya dengan sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen
yang menunjukkan, betapa bisa palsunya klaim pemerintah kolo
nial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkan-
nya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan keadilan
yang universal.
Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang di-
pergunakan hari itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini
didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali mem-
beri kesempatan lebar pada pendapat subyektif....”
Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan
pasal tentang ”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan,
400 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
pasal itu, seperti pasal yang menyebut diri ”pencegah penyebaran
rasa benci” (haatzaai artikelen), mengandung kata-kata yang bisa
ditafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jak-
sa dan hakim kolonial. Bung Karno mengulang apa yang sering
dikatakan tentang pasal-pasal seperti itu—yakni ”aturan karet
yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan yang dapat diren-
tang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak, atau
apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”.
Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa ke-
adilan dan kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah
direduksi jadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang
tak terhingga, telah dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang
mau mendikte karena berkuasa.
Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinyata
kanbersalah. Ia dihukum empat tahun penjara dan dikurung di
Sukamiskin. Tapi tak mudah menerima keputusan itu sebagai
eksp resi keadilan. Pada saat palu diketukkan, terasa benar apa
yang diingatkan Marxisme: keadilan dan kebenaran selamanya
adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata
lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik, perta-
rungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.
Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian dari
apa yang disebut hermeneutics of suspicion, yang meragukanbah
waada kebenaran yang mulus dan murni. Tapi kita ingat, bah
kandalam Marxisme orang senantiasa dirundung pertanyaan:
ben arkah politik hanya pergulatan kepentingan ”subyektif” atau
sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan proletariat untuk
membebaskan manusia dari ikatan kepentingan kelas-kelas? Bila
perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran dan keadil
an yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah ba
nyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?
Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan
Catatan Pinggir 9 401
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
yang terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik ber-
beda dari pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang
membuat kita memenuhi panggilannya.
Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang uni-
versal bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya.
Yang universal adalah yang justru dirasakan sebagai kekurangan
yang akut. Keadilan (sebuah nilai universal) jadi sesuatu yang se
akan-akan hadir, memanggil-manggil, ketika ketidakadilan me
rajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi mendesak semua
orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia
Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang
memukau:
... Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan
atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi pengu
at—tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak
boleh tidak, pasti achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti
achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali me
rasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”
Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan
dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan
kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena
sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak.
***
Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke-
21, yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad
yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan
dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun
sebuah masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan
sem akin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan
402 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
lingk ungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah
beg itu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban
buat persoalan lama ditemukan.
Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak
untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang
tunggal dan kekal bagi kini dan nanti.
Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menam
pik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka un-
tuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara
yang berbeda, dengan sumber kreatif yang beraneka.
Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang
ekonom adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan
dan kelangkaan, dan seorang teknokrat adalah seorang yang ha
rusbersua tiap kali dengan kerumitan. Itu sebabnya Boediono ta
hu, doktrin seperti ”neoliberalisme” tak akan pernah berhasil, se
bagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan pernah sampai di tu-
juan.
Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti
sikap yang hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan
nilai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Se
orang ekonom, terutama di Indonesia, tak mungkin mengabaikan
persoalan korupsi, ketakadilan dalam aturan main, goyahnya ke-
mandirian lembaga yudikatif, dan last but not least, tipisnya mo
dalsosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya kepada liyan—
orang lain yang juga sesama.
Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang
tentang hal-hal yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan ke-
setiaan yang tak habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini.
Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang
pongah. Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-me
nerus memanggil: ia belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri
dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita ter-
Catatan Pinggir 9 403
http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK BOEDIONO: SEBUAH TITIPAN DARI SEBUAH GEDUNG BERSEJARAH
kadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Tapi tetap: Indo-
nesia bukan hanya sebuah tempat tinggal. Indonesia adalah se-
buah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban untuk cita-
cita yang membuat negeri ini lahir.
Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyia-
nyiakan amanat itu. Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah ka
mi mengucapkan selamat bertugas.
Bandung, 15 Mei 2009
Tempo, 24 Mei 2009
404 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BLANGKON
Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wa-
hidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan
blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan
STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon
kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan
sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, sur
jan, dan kain—dan semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan
para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernya
taan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan
songk ok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan,
kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang me
ngen akan jas dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh
tamp ak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh.
Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas
pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para
dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api
kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih ren-
dah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih
”orientalisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa Hin-
dia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para
pemuda ”pribumi”.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sam-
pai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka
pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi,
dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mere-
Catatan Pinggir 9 405
http://facebook.com/indonesiapustaka BLANGKON
ka bertemu. Di sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu
Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah
terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.
Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung
dalam ketiadaan ”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”.
Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka
lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung
Karno berkata dua dasawarsa kemudian: ”... cacing pun tentu
bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang
”berkeluget-keluget”—subyek sebagai trauma karena rasa sakit,
subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité,
dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena men-
coba lepas dari megap-megap oleh putusnya hubungan dengan
”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut ”se
sama”.
Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia
bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.
Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi
di sebuah dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai
makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihak
an itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah
masa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.
Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis ten-
tang ”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang men-
cakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan
sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bang-
sa” untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Se
perti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah ke-
las yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusaha
kan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja.
Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal—
406 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BLANGKON
tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.
Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuang
an, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak,
maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam
l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.
Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”ka
mi”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku”
atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan li
yan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan
kata lain, merindukan agar ”kita” ada.
Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah ge
rakbersama—bangkit.
Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan
berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan
”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kam i”
dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada
waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesaidi-
maknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi
dan identitas apa pun.
Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti.
”Boed i Oetomo” dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah per
geraka n nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan
han ya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga
”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi.
Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas
pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan
perlawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari
”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika
ia jadi bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang ter
siratdalam lagu Internationale.
Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari
”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus
Catatan Pinggir 9 407
http://facebook.com/indonesiapustaka BLANGKON
merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,”
kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang beron
tak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para
prib umi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai
blangkon dengan wajah yang kalem.
Tempo, 31 Mei 2009
408 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BUKAN-JAWA
K” arena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada
saya dengan senyum mengasihani. ”Karena itu kau tak
mengerti....”
Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya
tak menyukai tarian itu sebuah karya abad ke-18 yang tak meng-
gugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya,
menyimpulkan saya ”tak mengerti”.
Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah
20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai
mem ainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya
akan kata-kata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh
Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang me
rasa lebih kenal rakyat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang
inlander.
Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam ka-
sus saya, saya bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa
itu ”Jawa”?
Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap
jelas, padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan
Sultan Hamengku Buwono X itu ”raja Jawa”, sementara kita de-
ngan sah juga bisa mengatakan bahwa ia—dengan segala hor
mat—tak lebih dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta.
Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”, tetapi bisa juga di-
katakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono,
calon wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang la
hirdan besar di Blitar, Jawa Timur, dan sangat mungkin bahasa
masa kanaknya bukan bahasa Surakarta.
Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi sia
pasaja yang datang dari Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi sia
Catatan Pinggir 9 409
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-JAWA
pasaja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak
mengacu ke sesuatu yang tetap....
Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua,
tempat sejumlah orang yang dianggap penggerak ”separatisme”
disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Ka
tolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis
lap oran buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utus
an dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah
seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang
”telah banyak membunuh” orang Papua.
Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata sa
ya,tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu di-
lakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 1965-1966
jug a telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang
jau h lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang
penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada
akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.
Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton
On the Subject of ”Java”. Buku itu membantu saya yang sudah
agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai identi-
fikasi, bera sal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan
di pesisirutara Jawa Tengah di mana orang menggunakan ba-
hasa yang berbeda-beda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang
dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering
menonton way ang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang
wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak
mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang
dengan keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu
kelompok dan dengan gampangan disebut ”Jawa”?
Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi sa
ya menyukai telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan la
hirnya wacana tentang ”Jawa” dengan modernitas. Wacana itu
410 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-JAWA
dan keinginan membentuk identitas itu—muncul justru ketika
modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa, masuk menero
bospintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di Sura-
karta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kesu
nana n”, dan istana yang biasa disebut ”Mangkunegaran”.
Dari keduanyalah mula-mula orang bicara tentang ”Jawa”.
Dunia ”Kesunanan” adalah dunia ”Jawa” yang cenderung berge
rakke pinggir, keluar dari tatapan dan pemahaman para pengelo
la kolonialisme Belanda. Dunia ”Mangkunegaran”, yang lebih
muda umurnya, punya kecenderungan sebaliknya: ada keingin
anbergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang tak mu
dahdilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut
”Lan genh arjan” adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan
Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana formal Be
landa (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan
kain batik. Berangsur-angsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pa
kaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara pernikahan orang di luar
istana.
”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno,
perm anen, dan utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding
tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pem-
berton disebut sebagai the sense of hidden ’Java’. Ada yang kemu-
dian membuatnya sebagai misteri yang memikat tentang ”Jawa”.
Tapi, bagi saya, jangan-jangan yang disebut oleh Mangkunegara
IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia Jawa” atau
”de geheime Javaansche wetenschap” itu satu pengakuan akan tak
mungkinnya bahasa mana pun merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, se
bag aimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di ne
geri Antah Berantah.
Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Ero
pa itu menganggap saya—yang berbahasa Jawa dengan baik dan
benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik ”bukan orang
Catatan Pinggir 9 411
http://facebook.com/indonesiapustaka BUK A N-JAWA
Jawa”. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa menger-
ti apa itu ”Jawa” sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama,
han ya untuk memudahkan percakapan, atau permusuhan, atau
pertalian.
Tempo, 7 Juni 2009
412 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK
POLITIK adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan
keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theo-
log itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya
kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik—artinya
seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang
ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaik
nya terjadi bagi kehidupan bersama.
Niebuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata ”tugas”.Kata
yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komandose
buah partai atau kekuasaan apa pun. Tugas itu muncul, di dalam
diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan
sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam
kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesamayang
berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-
adilan.
Saya menyebutnya ”luka” karena persoalan ketidak-adilan
buk anlah sesuatu yang abstrak, tapi konkret, menyangkut tubuh,
melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah:
Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan
orang yang dilenyapkan di masa ”Orde Baru” dan tak pernah di-
usut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa se-
cara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang di-
bunuh dengan brutal karena ia mengkritik orang yang berkuasa.
Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang te
rasa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya
apa yang adil, aku terpanggil.
Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang
clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata
clerc disebut sebagai ”intelektuil”, tapi itu adalah padanan yang
Catatan Pinggir 9 413
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK
taktepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke za
man lama Eropa, ke kalangan rohaniwan yang semata-mata
mengu tamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian
politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi.
Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual
yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok
dan mengobar-ngobarkan ”nafsu politik”.
Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia menganggap
”nilai-nilai universal” itu sudah terpatri selesai di dalam diri. Ia
tak mengakui bahwa yang ”universal” datang dari pengalaman
manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang berkekurangan, terba-
tas, hidup dengan liyan, fana. Benda memisahkan rasionalitas
dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapa pun yang setara
den gan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana ni-
lai-nilai universal konon ditampik.
Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa
kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita
yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru
bag i ”ras Arya”, kaum ”Islamis” hanya untuk menegakkan supre
masi umat sendiri. Apa yang kini disebut ”budayawan”, atau ”in-
teligensia”, atau ”intelektual publik” yang memihak ke kaum ma
cam itu memang tak akan mengakui politik sebagai tugas yang
sedih. Di kancah itu, politik adalah kerja yang brutal.
Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemim
pin kaum kulit hitam, tapi cita-citanya tak hanyauntukkeb aikan
kaumnya. Dalam cerita Afrika Selatan luka ketid aka dilan itu
mem anggil keadilan dalam arti yang sebenarn ya:sebab sebuah
keadaan itu berlaku bagi siapa saja. Itulah sifat universal yang ber-
beda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas dalam
politik Mandela berlangsung dalam proses: universalitas yang,
dalam kata-kata Alain Badiou, ”kreatif” karena merombak per
bedaan yang berabad-abad dianggap seakan-akan kodrat.
414 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK
Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil
untuk memihak. Tapi dengan itu ia memandang politik sebagai
seb uah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi
ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak
berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api
bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menyela
matk an kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri),
tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain
menderita.
Dengan demikian, seperti Mandela, memihak tak berarti me-
lenyapkan sikap tak memihak. Perjuangan, atau pergulatan poli-
tik, memang bisa menjadikan sikap memihak menjadi mutlak.
Disitulah bahaya ”politik sebagai panglima” yang mengarahkan
segala sudut hidup kita seakan-akan bisa bikin dunia jadi sempur
na. Tidak, kita mau tak mau harus menyadari dunia adalah tem-
pat yang cacat. Tiap perjuangan politik akan terbentur pada ke
terbatasannya sendiri.
Sebab itu, bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan
bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk sela-
ma-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini
kurang cacat di antara yang amat cacat—sarana sementara untuk
mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Tak berarti kita menyerah. Tak berarti kita pelan-pelan meng-
halalkan ketakadilan sebagai kodrat hidup. Sebab, di tengah ke
taka dilan yang akut, kita selalu merasakan bahwa kita tak bisa
mengelakkan panggilan keadilan. Keadilan yang entah di mana,
keadilan yang entah kapan datang.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka
celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati
jadi keras—dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Tapi
kita siap: kalaupun gagal, setidaknya ada yang berharga yang di-
Catatan Pinggir 9 415
http://facebook.com/indonesiapustaka MEMIHAK
perkelahikan.
Maka selalu ada saat untuk bertindak dan memihak, ada saat
untuk berdiri menjauh, merenungkan apa yang tadi kita laku-
kan. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan.
Tempo, 14 Juni 2009
416 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BERBAGI
Bagaimana kita membebaskan diri dari terkaman Pa
sar?
Ada sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang
struktur sosial dan manusia; mereka umumnya mengatakan: tak
ada lagi harapan. Kapitalisme merasuk ke mana-mana pada abad
ke-21 ini. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi
subyek untuk selama-lamanya. Kita tak bisa berharap dari Nega
ra, yang bagi kaum pemikir yang muram itu tak jauh jaraknya
dari takhta sang Modal Besar.
Akhirnya kita tak sanggup melawan. Kini perlawanan terha
dap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang ma-
jal. Tak ada efek. Tidak ada lagi Marxisme yang menyatukan ka
um buruh dan menyiapkan datangnya revolusi. Yang ada hanya
protes yang terpecah-pecah. Seperti tembakan mercon yang sa
lingtak berkaitan.
Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis,
mencerca, atau menertawakan. Selebihnya ilusi.
Tapi benarkah cengkeraman Kapital itu demikian total?
Jawab saya: tidak benar.
Pada suatu hari saya mendapatkan sebuah hadiah. Saya se
dangmenulis sebuah risalah dan membutuhkan satu kutipan da
ri puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tapi saya tak punya lagi kumpulan
puisinya, Suara, yang terbit pada pertengahan 1950-an, juga tak
ada sajak-sajak dalam buku Etsa. Tiba-tiba terpikir oleh saya un-
tuk mencarinya di Internet, melalui Google. Alhamdulillah, saya
menemukan apa yang saya cari! Itulah hadiah yang tak disangka-
sangka hari itu....
Tapi pada saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah ber-
buat baik dengan mengunggah sajak itu ke alam maya. Ia mung-
Catatan Pinggir 9 417
http://facebook.com/indonesiapustaka BERBAGI
kin seorang pengagum Toto Sudarto Bachtiar, atau seorang pen-
cinta puisi. Yang jelas, ia seorang yang dengan tanpa mengharap-
kan balasan apa pun bersusah payah membuat agar sajak sang pe-
nyair dapat dibaca orang lain, dan saya—yang tak mengenalnya,
tak pula dikenalnya—mendapatkan manfaat.
Saya ceritakan ”hadiah” saya itu kepada Antyo Rentjoko, se
orang yang disebut sebagai ”Begawan Blogger”, dan ia menunjuk
kan kepada saya bahwa itulah kehidupan yang berlangsung di
dun ia maya: tiap orang yang masuk ke sana akan beramai-ramai
berbagi.
Di sana ada semacam gotong-royong post-modern: tak ada
yang memerintahkan, tak ada pusat komando, tak ada pusat, dan
tak ada perbatasan yang membentuk lingkungannya. Masing-
masing orang memberi sesuai dengan kemampuannya. Yang
diberikan adalah informasi, yang didapat juga informasi. Tapi
transaksi itu tak menggunakan uang. Pasar dan Modal Besar tak
hid updi sini.
Dengan gotong-royong post-modern itulah lahir Wikipedia,
sebuah ensiklopedia yang bisa dibaca dan dikutip bebas tanpaba
yar. Didirikan pada 2001, ensiklopedia lewat Internet ini kini su-
dah terbit dalam 266 bahasa, isinya ditulis oleh 75 ribu penyum-
bang aktif. Siapa saja sebenarnya dapat mengisi dan mengedit isi
nya—dan dengan demikian diasumsikan ada saling koreksida
lam proses berbagi informasi itu. Dalam komunitas yang terben-
tuk oleh Wikipedia ini—tiap bulan ia dikunjungi 65 juta orang—
sebuah dunia baru tengah mendesak dunia ensiklopedia lama,
yang disusun dengan biaya besar, dan membutuhkan Modal Be-
sar.
Hal yang mirip terjadi dalam gerakan yang dirintis Richard
Stallman untuk menyediakan peranti lunak gratis bagi siapa saja.
Beribu-ribu pengembang software pun bekerja sebagai sukarela-
wan bersama-sama dan berhasil menciptakan GNU/Linux, se-
418 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BERBAGI
buah pesaing serius bagi sang Modal Besar di belakang Micro-
soft. Sebanyak 4,5 juta sukarelawan lain menciptakan sebuah su-
perkomputer paling kuat di muka bumi, SETI@Home.
Melihat gejala ini, Yochai Benkler, guru besar dari Yale itu,
menulis The Wealth of Networks, merasa yakin bahwa kita tengah
menyaksikan ”bangkitnya produksi nonpasar”. Ia menyebutnya
”produksi sosial” yang tak berdasarkan klaim dengan tujuan di-
jual ke pasar. Tak ada pula dasar hak milik, misalnya atas paten.
Dalam buku yang dikirimkan Antyo ke saya itu saya temukan
suatu totokan ke dalam pikiran kita yang mulai beku: kapitalisme
memang tidak mati-mati, seperti Vampir pengisap darah, tapi
akhirnya ada cara untuk menegaskan bahwa cengkeraman sang
Modal Besar tak bisa menaklukkan seantero kehidupan. Kapital-
isme tak 100 persen memaksakan komodifikasi semua hal. Kini
Wikipedia, GNU/Linux, dan SETI@Home menunjukkan itu.
Subyek, meskipun dalam kehadirannya yang tak kukuh, tak selu-
ruhnya ditelan hidup-hidup.
Maka para pemikir muram (dan mereka yang mimpi jadi Che
Guev ara di ruang-ruang akademi) tak boleh mengatakan de-
ngan geraham gemeretak bahwa kapitalisme adalah sistem yang
menelan ”ruang kehidupan”.
Tapi benarkah Benkler? Tidakkah Modal Besar akan punya
kemampuan untuk memanfaatkan hasil ”produksi sosial” itu—
misalnya IBM bisa mendapatkan keuntungan dari jasa merawat
Linux? Bagaimana dengan persaingan?
Barangkali masih terlampau pagi untuk menyimpulkan bah-
wa telah kita temukan alternatif baru. Tapi dunia maya telah
memperkenalkan kemungkinan lahirnya kehidupan yang lebih
menarik: kehidupan di mana individu ternyata bisa menjalankan
kebebasan tapi pada saat yang sama memilih untuk berbagi.
Manusia sebenarnya tak terlampau buruk.
Tempo, 21 Juni 2009
Catatan Pinggir 9 419
http://facebook.com/indonesiapustaka
420 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DEBAT
Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur ber-
laga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Sokrates me
nanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyo
al dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia
tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah
orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan
menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti
Sokrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.
Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umum-
nya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bi
cara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-
hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba
mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan
atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna
yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.
Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan se
buah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah
pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya
mud ah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau un-
tuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya
benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.
Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi
yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan
Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang ter-
buka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke
sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Jus
tru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pen
dapat dan pendirian.
Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia
Catatan Pinggir 9 421
http://facebook.com/indonesiapustaka DEBAT
yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi me
reka tentang realitas berbeda—dan teknik Sokrates akan menim-
bulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan
posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri
sendiri, dalam kalimat.
Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan?
Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan se
orang Sokrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak
selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian
dari keramahan dan redanya rasa gentar.
Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon
presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang
akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya
duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan
sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung
atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan bad
minton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, de-
bat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan se
gala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita te-
gang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata,
debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat
kita bertepuk.
Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar da
lam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiap-
kan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta memper-
tajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah da
ri acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya
dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu
untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelengga-
rakan pertandingan gladiator.
Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah are-
na apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik
422 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DEBAT
telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media
massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan
sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-
banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin
ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika
televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ong-
kos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak
terelakkan.
Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disu-
sul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih
kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komenta-
tor hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bah-
wa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus
digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa diper-
tanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat
lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Sokrates dan
eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.
Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya
tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa
yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi me
reka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan
mungk in juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-
olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu
membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu le
bih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ke
timbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.
Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.
Tempo, 28 Juni 2009
Catatan Pinggir 9 423
http://facebook.com/indonesiapustaka
424 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KAMAR
Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma
3 mx 4 m, ”terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuni
nyatujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika se-
buah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu
perkasa.
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurung
andan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin la
ma makin dramatis. Sang ibu ”tertidur dalam tersedu”. Sang
bap ak ”terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu
yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran
”orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan me
ngirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tampak ”sudah
lim a anak bernyawa di sini”.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan
suara. ”Keramaian penjara sepi selalu”.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang
lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini
kota ini—yang baru saja berulangtahun ke-482—dihuni 12 juta
orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah
ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana
pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70%
penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita
saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di
Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan
tentang Paris: ”Di Paris tak ada rumah.” Itu tulis Gaston Bache-
lard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. ”Penduduk
kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-su-
sun”. Akhirnya rumah hanya terbangun horizontal; ia kehilang
Catatan Pinggir 9 425
http://facebook.com/indonesiapustaka KAMAR
an ”kosm isitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kos-
mis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas dari misteri ke
agungan.
Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia,
kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan
nyam an dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di
pedalaman—sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar
sejarah sosial-ekonomi Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah
lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti
yang dulu diidealkan lukisan Dezentjé. Petani miskin tak mampu
lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sem-
pit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian
banyak. Sebuah ”involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clif-
ford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-
bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilu
kiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah du-
sun.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program
pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu
berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta,
kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubung
an antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membe
kas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme:
orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; ”rumah” bukan-
lah faktor penting dalam stabilitas.
Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrak
an lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah
kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi
juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas un
tukku. Tempat telah jadi komoditas. Ia bukan lagi bagian dari
pengalama nku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi men
426 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KAMAR
dapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir
dari prosesk u mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses se-
perti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan mem-
buat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liang-
nya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk sia-
pa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.
Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah
dan tempat kerja sering kali begitu jauh, lalu lintas begitu padat,
hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya
sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah
kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton
televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan
pada pukul lima....
Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah
sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manu-
sia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tem-
pat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di
luar apa yang biasa disebut ”rumah”. Ada ruang, sebagiannya ter
sembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-be-
likan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyim-
pan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai,
sebuah stasiun bus, sebuah tempat pertemuan....
Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik
kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang
seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tena-
ga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apa pun pada
akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap
akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak me-
nyebut diri ”tunawisma”.
Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana
”wism a” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup
yang tak bisa mandek. Ada yang hilang dalam kepadatan itu.
Catatan Pinggir 9 427