http://facebook.com/indonesiapustaka API, LAUT
tapi juga bisa menggerakkan perubahan.
Buat sebuah perubahan sosial, mereka yang tak terikat masa
lalu—para pemuda—diperlukan di depan, sebagai penghela dan
pendorong. Tapi jika kini kita tak melihat mereka, itu karena par-
tai hanya jadi sebuah tempat pengawet, berangkat dari keinginan
untuk kembali, bukan untuk sebuah gerakan maju.
Tempo, 3 Agustus 2008
228 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka EL CAMBIO
Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa:
sejarah politik adalah sejarah kembang api.
Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang
tokoh politik dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak
bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak
tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.
Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi ca
lon presiden, ia seperti kembang api. Ia berseru, Change!—dan se-
bagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi itu sejak Ameri-
ka berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan
”perubahan” itu sendiri.
Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat ki
ni dalam titik terburuk. Presiden Bush hanya bisa mengulang ka
ta-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme ala
Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi
pasar yang memproduksi pengangguran seakan-akan John May-
nard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya gagal me
nyetop bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Pe
rangIrak-nya berangkat dengan kebohongan besar dan berlanjut
tanp a diketahui kapan selesai. Amerika tak lagi punya wibawa
moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi ma-
nusia tanpa malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.
Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dah-
syatkah ”perubahan” yang disuarakannya?
Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika
keadaan buruk dan harus dijebol. Pemilihan umum adalah mesin
yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung da
lam ”kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki per
ubahan yang ”ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam
Catatan Pinggir 9 229
http://facebook.com/indonesiapustaka EL CAMBIO
tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncang-
guncang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sendiri de-
ngan puas dan menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik
itu status quo.
Dalam haribaan ”kurva lonceng”, Obama jinak. Ia tak akan
bersedia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang
mengg ebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangan
nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencaridu-
kungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekat bilang akan meng
ajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan berani menam
piksepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi,
meskipun korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak
akan bertekad mengubah sikap orang Amerika yang cenderung
memandang perang sebagai kegagahan patriotik, bukan keke
jaman.
Seraya bersaing ketat dengan McCain, ia—yang memprokla-
masikan diri sebagai pemersatu Amerika, negarawan yang akan
menyembuhkan negeri yang terbelah antara ”biru” dan ”me
rah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.
Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audaci
ty of hope. Saya teringat Spanyol pada 1982, ketika kediktatoran
Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung per
ubahan. Felipe Gonzáles Márquez, waktu itu 40 tahun, memikat
seluruh negeri. Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan
tangan yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya:
Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol sampai
empat masa jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berang-
kat dari semangat kelas buruh yang radikal itu kian dekat dengan
kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzáles,
Spanyol jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam
Perang Teluk 1991. Politik jadi biasa-biasa saja. Sebagai tanda ba
gaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai So-
230 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka EL CAMBIO
sialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan menga
takan, kata cambio (”perubahan”) berakhir di kios Cambio, pe-
nukaran mata uang.
Mungkin itu indikasi bahwa ”perubahan” pada akhirnya ha
rusdibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai dan diatur
oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian mirip de-
ngan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda
isi daging McDonald’s dan Burger King; kita hanya menikmati
nyakarena melihat banyak orang merasa menikmatinya; dan kita
pun merasa kenyang dan sedikit keren.
Itulah haribaan ”kurva lonceng”—di mana tiap Obama
akhirn ya akan turun dari ketinggian gemebyar kembang api. Da
lam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercaha
ya, jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otori
tas. Kehidupan politik yang melahirkannya kehilangan greget
yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.
Dengan kata lain, kita hidup dalam masa ”pasca-politik”, se-
perti kata Agamben. Dengan tontonan yang digelar oleh dan le
watmedia massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap orang te
lah jadi obyek ”biopolitik”. ”Cacah jiwa” berubah jadi ”cacah ba
dan”; dengan itu seorang warga dikemas dan dikelola administra-
si negara, jadi satuan yang diperlakukan ”sekadar hidup”.
Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis sosial ala
Agamben. Tapi itu indikasi bahwa kita kini perlu memikirkan
lagi bagaimana menghadapi demokrasi.
Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat de-
mokrasi sebagai yang tak terelakkan dan kita manfaatkan kele-
bihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia akan
mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial.
Artinya akan tertutup luka dan sakit, dan akan tersingkir hasrat,
harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu yang radi-
kal.
Catatan Pinggir 9 231
http://facebook.com/indonesiapustaka EL CAMBIO
Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kem-
bang api. Kita bahkan bisa membacanya sebagai perjalanan an-
tariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis: penjela-
jahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semes-
ta. Kita yakin kita akan menemuinya, seraya berusaha mengerti
kenapa Kafka berkata: ”Sang Juru Selamat hanya akan datang
ketika ia tak dibutuhkan lagi”.
Tempo, 10 Agustus 2008
232 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di ha
laman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: men
jelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan
melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh.
Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda
sud ah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikan-
nya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi
yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Se-
buah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya
membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram.
Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus
1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri de-
ngan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”—apalagi sebuah
”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti ka
ta Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana ko-
lonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia
Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian
menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru
orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk me
neg askan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan
penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik
orang ramai di Lapangan Ikada itu.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, se
ngit,dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuat
an militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Be-
Catatan Pinggir 9 233
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
landa” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer
mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang
terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa
merdeka...”.
Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itu-
lah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tu-
lang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti dise-
but dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek la-
hir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, un-
tuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab
subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan
seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu
pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang
jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang
luar biasa.”
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit
pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa,
seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya
sebagai hasil dari berbagai keadaan.”
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan
perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang
disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi dige
rakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap
keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika
revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh di-
tentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat
yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin
menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, meng
utarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosial-
234 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
isme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti pu-
nya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan
oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.
Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang
Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revo
lusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak
akan punya peran ”pimpinan”.
Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendi
rin ya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana
ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi
dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang
rev olusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Mala
ka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu
menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan
Indonesia.
***
Tak begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agus-
tus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi
kemerdekaan bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah
Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah
buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu be
remb ug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan
Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marx-
is-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat se-
jenis Yudas.
Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis—
orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Sukar-
no untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang
itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menying
kirkan Sukarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang
Catatan Pinggir 9 235
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
dip eroleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka
bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari penga
ruh Sukarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia
juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat
keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Ing-
gris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang
itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok de-
ngan sang ”pragmatis”.
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky
tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri
sep erti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang
kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak
setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan
Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap
”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosial
is”.
Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-
kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan
agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, merefor
masi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu.
Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi ta-
hap kedua, ”tahap sosialis”.
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bah-
kan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin
terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan eko-
nomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang le
bih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis
yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka
tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus meng-
236 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
gantikan Sukarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Ma
laka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung
Karn o. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang
juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka
sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir kare-
na ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan
”otak yang luar biasa”.
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berba
gai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis
yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu,
membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman
disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hu
ngaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.
Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia meng
ikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai
Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya”meng
ekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Le
nindan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia
obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusi
oner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács,
di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah.
Penubuhannya adalah Partai Komunis.
Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wa
cana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis
hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya ba-
tas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di te
ngah”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus beker-
ja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak
akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut
Catatan Pinggir 9 237
http://facebook.com/indonesiapustaka TAN MALAKA, SEJAK AGUSTUS ITU
kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhir
nya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi ke-
hilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada sa
at yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil”
yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa pa
tuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi,
yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda ra-
dikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang me-
wakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang
tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba
mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis
Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Ko-
munis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komu-
nis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperial
isme.
Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin
mengu bah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara
tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa.
Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.
Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan
mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati.
Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.
Jakarta, 7 Agustus 2008.
Tempo, 17 Agustus 2008
238 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAHANAN
Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita
ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib
Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan
para tahanan dan dikerjakan para penganggur—yakni meng
olahharap?
Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap
***
Di sini tak ada ”aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu
***
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku...
Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu
Catatan Pinggir 9 239
http://facebook.com/indonesiapustaka TAHANAN
tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish,
tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan
paksa?
Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu,
dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok ituberd i
ri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulain ya:
dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter diba
ngun.Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membata-
si wilayah Israel dari wilayah Palestina—batas yang ditarik sejak
1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak ma-
suk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang
melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat
berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas
parit yang digali di kedua sisi.
Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-
Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk me-
nyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi
sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan
80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya
buat kerja.
Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada
yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah me-
misahkan sejumlah manusia dari dunia—dan identitas pun jadi
kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang
harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:
Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang
kesembilan akan datang musim-panas nanti....
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri
tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan—kita tak tahu lagi mana yang da
240 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAHANAN
tang lebih dulu—gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak
cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didiri-
kan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota
itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang,
sepanjang 155 kilometer—tapi tak setinggi dan sepanjang tem-
bok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didiri-
kan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para
pemilih yang yakin—atas nama keselamatan diri, meskipun un-
tuk itu harus mencelakakan orang lain.
Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag me-
mutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asa-
si manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas
yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh.
Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah ja
di seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud
Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya
bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia),
mengatakan, ”Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya,
dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi... tapi
sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”
Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakber
dayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya be
nar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geo
metri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak
tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah
”huruf lazuardi”—warna langit di atas Palestina, sesuatu yang
mengembalikan pesona dan kebebasan—yang bisa dituliskan
bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim
piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-
habisnya.
Tapi, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya,
berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang
Catatan Pinggir 9 241
http://facebook.com/indonesiapustaka TAHANAN
yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya
ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu:
di Palestina, ketidaka dilan tegak dan dijaga ketat, sementara ke-
adilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa merun-
tuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.
Tempo, 24 Agustus 2008
242 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BINTANG
Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan
paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi
memaparkan apa yang mau mereka capai dengan ber-
saing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang
bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu:
politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita te
ngahmemasuki ”sindrom Italia”.
Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam
sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum
pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili
”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengang-
guran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly
D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia
pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Bor
ghese, Maharani Nimfomaniak.
Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon
legislator itu belum ada bintang blue film. Kita seakan-akan men-
dengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di
Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap
orang sudah muak dengan wajah para politisi itu.... Mereka ganti
nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanji-
kan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—
yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang
seperti butuh sesuatu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa
para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang
di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuat
an yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar per-
Catatan Pinggir 9 243
http://facebook.com/indonesiapustaka BINTANG
juangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam
jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang menggerakkan para
pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah rep ublik yang lebih baik.
Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tam-
paknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.
Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihil-
isme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.
Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak
negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah pa
neldiskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Dis
appointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara.
Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa keti-
dakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi ha
rapa n akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidakadil
an itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala
ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zi
zek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan mo
daldengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok
adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai
mati”.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?
Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan,
dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi men-
jauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaik
an bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah meng
asingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang
selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan du-
nia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.
Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan
bom, menebar takut dan maut, seperti Al-Q aidah. Tapi kini kita
tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan sesuatu yang lebih hebat ke
timb ang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak
244 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BINTANG
musn ah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis
internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya se-
buah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan,
dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah
musuh yang mati.
Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang
bertahan itu, kita mengubah politik jadi parodi terhadap politik
itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno,
adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-
pura menjalankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya se-
bagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang
dan pesohor lain, yang esensial adalah kemasan. Partai jadi ko-
moditas, lengkap dengan khayalan yang muncul: seakan-akan
partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan
dan medan perjuangan.
Kini kita punya media massa yang mempermudah parodi
itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga
ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu
menjangkau khalayak seluas-luasnya; kalau tidak, ia akan gagal
sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai
sesuatu yang gampang dan sedap dipandang, acap kali menyen
tuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan.
Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhartayang
tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang la
yakdirenungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah state-
men bahwa serius itu tak bagus.
Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau
orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggu
gah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadil
an, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manu-
sia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti de-
ngan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh,
Catatan Pinggir 9 245
http://facebook.com/indonesiapustaka BINTANG
tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang pal-
su, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah
produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.
Tempo, 31 Agustus 2008
246 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG
Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya
tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus di-
produksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-
habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang
yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai se-
buah pencurian.”
”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang
mengu capkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dika
tak annya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika
Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hu
bungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, se-
buah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-in-
dustri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali
meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar
dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat ba
ju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh
dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tem-
bak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusia
an-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.
Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasa
warsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan
Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan
dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa
di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan
tamp ak dengan jelas.
Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua
itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain ten-
tang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, si-
kap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban seha-
Catatan Pinggir 9 247
http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG
bis-habisnya.
Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai De-
mokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Pe
rangVietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik,
John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan
dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebalik
nya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan
menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan ke
mamp uannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena
itu.
Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah
datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The
New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang
tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya
dem okrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik meng
agungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang
dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para
politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lam-
bang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.
Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat
Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerikatak
pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayah
nyakarena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat
dip erkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperium-
nya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial
di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak per-
nah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bi
sa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi
kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang di-
lancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.
Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain.
Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya
248 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG
yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu,
Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Du-
nia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta,
Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hi-
tam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum
58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama
15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis ke-
hilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan
dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika perca
ya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September
2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan
oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut,
malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para
teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang
hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi
pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan
tak hanya mengenai orang Amerika.
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh
kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakut-
kan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia
adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebab
kan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab”
dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong,
Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari
Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu
ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.
Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya
mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan
untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror!
The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat,
Catatan Pinggir 9 249
http://facebook.com/indonesiapustaka PERANG
tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut
kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya,
kesia-siaannya, kebodohannya”.
Tempo, 7 September 2008
250 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MUKJIZAT
Mukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Ma-
nusia punya kemampuan besar untuk membentuk
khay al jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah
mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”.
Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa
yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia
dari tebing jurang bencana. Di zaman kini—persisnya di zaman
ketika seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden In-
donesia, di masa ketika kata ”ilmu” & ”teknologi” sering mem-
buat mata silau—orang pun percaya akan blue energy dan padi
”Super Toy HL-2”.
Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperda
ya. Mukjizat hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh
bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam, agar hari
ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke
depan”.
Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu.
Hasrat buat mendatangkan mukjizat selamanya gawal, bahkan
ketika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan ”ilmu”.
Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni
Sov iet di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak
petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini
menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenar
an”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang Trans-
kaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan pu-
nah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup
sepanjang musim salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”.
Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko meng-
klaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—
Catatan Pinggir 9 251
http://facebook.com/indonesiapustaka MUK JIZ AT
yang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—mendu-
kungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertani-
an pun yang berani membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan di-
angkat ke jabatan yang penting: memimpin Akademi Ilmu-ilmu
Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetu-
juinya. Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mang-
kat, ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka menge-
camnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas kemunduran
yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena ”penyebar
an pandangan pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pem-
bunuhan para ilmuwan yang sejati.
Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat
untuk super-kuasa: ”iman” atau ”ilmu” seakan-akan bisa mem-
bawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh
tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain
dari Cina. Menjelang akhir 1950-an, Mao Zedong—yang ber
imankepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme itu ”il-
miah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar
membuat ”loncatan jauh ke depan”.
Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan wak-
tu beberapa tahun jadi sebuah negeri industri yang setaraf Ing
gris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina
yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun de-
ngan mengerahkan segala bahan yang ada. Hasilnya: baja yang
tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama
dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu,
hingga sawah dan ladang telantar—dan kelaparan pun datang.
Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak pernah bisa dipasti
kan.
Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding
dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang men
dambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika
252 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MUK JIZ AT
Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang per-
tanian diambil alih negara dan panen gagal bertubi-tubi. Saya
kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang
pad a 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi
Alley tentang bocah-bocah buruh perajutan sutra di Shanghai,
yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali
perebus kepompong yang mendidih.
Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah,
sementara jari tangan mereka bengkak memerah memunguti ke-
pompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di be-
lakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah
yang salah kerja. Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang
penuh uap dan panas itu, ”mereka terlalu sengsara untuk bisa di-
lukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.
Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan
memang tak mudah buat bersabar di hadapan itu. Maoisme be-
rangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang ce
pat dan tepat. Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantia
sa bergerak, berkelok, dan tak jarang jadi kabur? Baik ”iman”
maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi terlampau mudah
diselesaikan. Apalagi jika, seperti dalam hal blue energy dan ”ver-
nalisasi”, ada kekuasaan yang bersedia mendesakkan mukjizat
itu.
Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet
di masa Lysenko, bukan pula Cina di masa Mao. Di sini ”iman”
dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi meng
alir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan,
dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat
pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor ke-
presidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan.
Mukjizat Lysenko dalam ilmu biologi berlangsung antara
1927 dan 1964, dengan korban yang tak sedikit. Mukjizat Mao
Catatan Pinggir 9 253
http://facebook.com/indonesiapustaka MUK JIZ AT
lebih sebentar, tapi menghancurkan kehidupan jutaan manu-
sia. Mukjizat blue energy dan ”Super Toy HL-2” lebih pendek
umurnya. Mungkin kita perlu bersyukur. Kita masih bisa melihat
keyakinan dan kepastian, ”iman” dan ”ilmu” sebagai kekuatan
yang sementara.
Tempo, 14 September 2008
254 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ZILOT
WOLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaima-
na rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk
Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia
31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bu-
lan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah
Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tu-
lisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama
setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang
lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jen-
deral Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka di-
hukum mati in absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pe
ngarang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung.
Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menen-
tang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang le
bih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah
airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan mere
kayang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya
”mereka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah
di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar
mereka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya
di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit
Irak ataupun di Gedung Putih”.
Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang
did era pembunuhan antarkelompok agama karena fundamental-
isme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kedik-
tatoran militer ketika ia sendiri dipenjarakan.
”Fundamentalisme agama lebih berbahaya... sebab ia tak ber
bentuk, dan bergerak ke banyak arah,” katanya dalam satu wa
wanc ara bertanggal Januari 2003. ”Melawan kediktatoran mili-
Catatan Pinggir 9 255
http://facebook.com/indonesiapustaka ZILOT
ter, kita bisa memfokuskan sasaran. Kita dapat melawannya lang-
sung. Kediktatoran itu segerombolan orang yang didera hasrat
kek uasaan. [Tapi] fundamentalisme memperoleh pengikut di
tempat yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam ben-
tuk yang acak dan sangat berbahaya.”
Tanah airnya mungkin salah satu saksi yang boncel-boncel
dan berdarah. Sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria
Utara, penduduk yang muslim memilih untuk menerapkan sya-
riah Islam. Tapi kian lama kian tampak, ada yang tak beres de
nganketetapan itu, terutama di republik yang berpenduduk 147
juta dan hanya 50 persennya muslim, sementara 40 persennya
Kristen. Sementara korupsi meluas, 70 persen penduduk di ba
wah garis kemiskinan. Ketimpangan sosial tajam (indeks Gini
hampir 44, bandingkan dengan Indonesia yang 34) dan hanya 68
persen penduduknya yang melek huruf (sementara Indonesia: 90
persen). Syariah Islam, yang sibuk mengurus soal akhlak pribadi,
tak kunjung tampak hendak melenyapkan kondisi sosial itu.
Bahkan satu kejadian menggambarkan bagaimana hukum
syariah jadi soal yang gawat: kasus Aminah Lawal Kurami.
Maret 2002, perempuan berumur 27 ini dijatuhi hukuman
mati dengan dirajam, karena mahkamah syariah di Kota Funtua
menganggapnya telah berzina. Ia baru bercerai, tapi melahirkan.
Perempuan miskin ini divonis tanpa didampingi pembela. Hanya
satu hakim yang menjatuhkan hukuman. Aminah buta huruf,
tak tahu undang-undang yang dianggap tak boleh dilanggarnya.
Tentu saja para hakim syariah tak menganggap hal itu bisa
meringankan hukumannya. Harian The Guardian awal Oktober
2003 mengutip pernyataan Dahaltu Abubakar dari mahkamah
banding di Katsina: ”Tak tahu undang-undang tak bisa jadi pem-
belaan.” Ini bukan hukum bikinan manusia, katanya. ”Selama
kamu muslim, hukum ini berlaku buat dirimu.”
Syukurlah, setelah kampanye yang gigih di seluruh dunia—
256 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ZILOT
bahkan The Oprah Winfrey Show ikut membelanya—Aminah
tak jadi mati dirajam. Tapi kejadian itu menunjukkan bagaimana
penerapan syariah Islam justru mengungkapkan perbenturan an-
tara hukum dan keadilan, antara iman dan kemanusiaan.
Tapi apa artinya kemanusiaan, apa artinya hidup, bagi yang
disebut Soyinka sebagai ”pihak kematian”, the party of death? Se-
bab ”kematian” di sini tak hanya menyangkut disambutnya hu-
kum rajam dan potong tangan, tapi juga menyangkut tafsir yang
tak hidup lagi.
The party of death itu juga yang berkibar ketika pada tahun
2000 dan 2002 Nigeria, khususnya di Kota Kaduma, orang Kris-
ten dan Islam baku bunuh. Dari sana Soyinka menulis sajak,
Twelve Canticles for the Zealot, dengan nada yang marah dan kali
mat yang menusuk. Sajak pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra
tahun 1986 itu tak begitu bagus, sebetulnya, tapi bukankah ia
pun ya alasan untuk tergesa-gesa?
Para zilot telah menyuarakan pekik pertempuran, dan Soyin-
ka memandang mereka sebagai ”pelayan vampir”, yang hinggap
di pucuk gereja, di menara masjid, di kupola katedral. Ia berteng-
ger di tembok penyangga ”kesalihan”. Sang ”pelayan vampir” itu
men unggu untuk loncat ke semua arah. Ia tak akan berangkat
sendirian. Ia akan mengajak: ”Datanglah bersamaku atau, kalau
tidak, ke neraka!”
Maka tangan sang zilot terulur, kata sajak Soyinka pula, tapi
bukan untuk membuai ranjang bayi yang damai. Tangan itu ”ca-
kar kebencian”, mencengkeram dari ujung ke ujung, ”Membu
buhkan luka, membunuh, itulah segalanya”.
Zilot—sebuah pengertian dari Injil yang kemudian meng-
gambarkan sikap orang fanatik yang militan—dalam sajak So
yinka kata itu menunjuk mereka yang atas nama hukum agama
yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas
bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana. Maka dari
Catatan Pinggir 9 257
http://facebook.com/indonesiapustaka ZILOT
Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”:
”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik ca-
dar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”.
Tempo, 21 September 2008
258 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (2)
Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk,
tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone.
Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya
membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, me-
nampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, di-
perankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu ba-
gus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu...
menandai gerak maju manusia.”
Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme”
tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus ju
ga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapi-
talisme”.
Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.
Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meya-
kinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena
definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”,
”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.
Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak,
nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Econo
mist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasa
an Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli,
Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga de-
partemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan eko-
nomi pasar yang baru timbul....”
Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan
rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Fred-
die Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek
yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.
Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan di-
Catatan Pinggir 9 259
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (2)
reksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi peru-
sahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga
utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusa-
haan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mi-
rip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini
di Venezuela.
Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar”
dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini ter-
jadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Fried-
man bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal bia
sanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah
perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah
siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemung
kina n jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menye
pak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka ha-
rus dilindungi ketika tangan itu patah?
Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri.
Tap i tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Me-
mang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terha
dap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International
Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam
perekonomian Bush.
Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenar
nya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara”
dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti
sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan
dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang di-
lakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian,
bukan ”pemerataan” hak.
Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Nega-
ra” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama
10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk
260 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (2)
melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang
ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keam
bruka n sudah terasa.
Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar”
tern yata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa
yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan
bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang me-
mihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah
”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?
Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Se-
jarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah
kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum
pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang
lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan
dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pa-
kar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti me-
makai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme”
begitu gampang dikatakan.
Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba
itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna.
Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih
akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama
sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut
Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan
”kebebasan”, perang tak akan padam.
Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah per-
juangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan
dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya
akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus.
Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaik
an budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang ma
cam Gekko.
Catatan Pinggir 9 261
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (2)
Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya
terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oli-
ver Stone.
Tempo, 28 September 2008
262 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ULYSSES
ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia
tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya
Margaret Anderson.
Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah
keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap ta-
hun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, tap
lak, gorden, dan lukisan dinding baru.
Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sen
diri.
Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah sehari
an merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis per-
tama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, me
ngenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing in
spired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat
tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah
mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat:
kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan....”
Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku
akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus
yang bisa disajikan dunia....”
Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dike-
nal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago,
Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-
omong tentang seni”, itulah semboyannya.
Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor perta
ma majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan
psikoanalisis—hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika
dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid.
Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak
Catatan Pinggir 9 263
http://facebook.com/indonesiapustaka ULYSSES
laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, di-
usir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalah
nya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat,
dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif da
lam gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi.
Ked ua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan
The Little Review dengan memindahkannya ke New York. Seraya
membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tem-
pat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat
sejarah.
The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudi-
an jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy
Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein.... Sejak awal,
Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di Lon-
don, dan dari Eropa André Breton dan Jean Cocteau mengirim-
kan tulisan mereka.
Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya.
Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika
modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang
”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata
sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan
terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra
memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih
kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial.
Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam
ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya
sendiri di tepi Danau Michigan, sampai dengan ketika ia berani
menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918.
Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732
halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan de-
ngan epos Yunani Kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah ten-
tang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari
264 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ULYSSES
Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen
Daedalus dan Leopold Bloom.
Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode
ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga
ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf
sea kan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—
mungkin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses
ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga pa
ra profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang
saya maksud”.
Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra
yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan
kearifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat”, ka
ta Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat
meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor.
Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”.
Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh
yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppres
sionof Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan,
dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu.
Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihu-
kum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100.
The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa de-
pan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk me-
ninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”morali-
tas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—
dan melanjutkan The Little Review di Eropa.Ulysses juga telantar.
Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau
mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris,
seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, di-
am-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di
tepi Sungai Seine, ”Shakespeare and Co”.
Catatan Pinggir 9 265
http://facebook.com/indonesiapustaka ULYSSES
Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan.
Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu ber
edar.Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia
mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit
syahwatnya karena Ulysses.
Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang di
bawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”morali
tas”itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan li
bido diri sendiri.
Tempo, 5 Okttober 2008
266 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ”IN THE WEE SMALL HOURS”
IZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam
para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam
tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur,
seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau be
ngong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang menco
ba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.
Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat keti
ka gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dini-
hari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail
datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho),
”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang”.
Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan ten-
tang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah
sesua tu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang
akan bersama kita sesudah cahaya.
Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya
yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang
kek al. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pu-
kul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik
yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.
Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pu
la. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan bebera
pa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua
itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru ti-
dak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan
hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat.
Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya
adak ah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang
”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika di
Catatan Pinggir 9 267
http://facebook.com/indonesiapustaka ”IN THE WEE SMALL HOURS”
sandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah
kita alami?
Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mung-
kin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada
hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia se
macam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang me-
nyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan
kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita
tak pernah tahu.
Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari
keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak
takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan ke-
damaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendi
rian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberon-
dong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin
Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau
lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah se
lingandari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian
dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat keda-
maian hal yang lumrah.
Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal
putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Kra
katau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun
berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu me-
nutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di
Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Ta-
hun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”.
Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis se-
buah sajak yang memukau, Darkness.
... dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
268 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ”IN THE WEE SMALL HOURS”
tanpa sinar, tanpa jalur,
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta...
Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak
membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought
no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementa
ra Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya”. Angin
pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis
Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam
Semesta itu sendiri. She was the Universe.”
Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu
ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulahse-
babnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan
dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga
keterbukaan.
Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain,
kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di
jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan
sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi,
”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet
Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir se-
jenak seperti sesuatu yang abadi.
Tempo, 12 Oktober 2008
Catatan Pinggir 9 269
http://facebook.com/indonesiapustaka
270 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PLEONOXIA
Apa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang
meninggalkan istana itu, Ki Ageng Suryomentaram, se-
andainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia berjalan
di Sudirman Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang
memamerkan benda-benda mentereng dan ruang BEJ di mana
harg a saham rontok, para pemilik dana panik, dan di langit-la
ngitnya bergaung rasa cemas?
Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang
menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang ke-
hilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”
Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.
Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogya-
karta. Ia pangeran ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku
Buwono VII. Ibunya seorang garwa ampilan. Pangeran kecil ini
bersekolah di Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan for-
malnya tipis, tapi ia berbahasa Belanda dengan baik, dan kemu-
dian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia membaca.
Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”BendaraPa
ngeran Harya Suryomentaram”. Kita tak tahu bagaimana hid up
nya pada masa itu, tapi ada sebuah kejadian yang membuat masa
depannya berubah.
Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16,
tahun 1978), Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu.
Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di
Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang Pangeran melihat
ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat,ber
susah payah, mencari sesuap nasi. Sementara itu di gerbong itu
ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diper
olehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang
Catatan Pinggir 9 271
http://facebook.com/indonesiapustaka PLEONOXIA
tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia?
Sejak itu Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh
orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti punya bagi ma-
nusia.
Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan
mélik. Yang pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua
bera rti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”.
Kini milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai pe
rilaku yang wajar; keduanya dianggap bagus buat pertumbuhan
ekonomi. Dan jika dari kesibukan dengan milik dan mélik itu la-
hir sifat tamak, Sudirman Business District adalah saksinya. Di
sini bergema kata-kata Walter Williams, ekonom dari George
Mason University, tentang the virtue of greed: ”Sebutlah itu ta-
mak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi
akhirnya motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi.”
Mungkinkah itu sebabnya ”pasar”—yang digerakkan milik
dan mélik—tak mudah ditertibkan oleh Negara? Bank sentral
dan kementerian keuangan di seluruh dunia bergerak. Mereka
hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin mem-
pengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-
sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara, yang bekerja untuk kepen
tinga n umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang
tak mengacuhkan res publica.
Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan
mélik pada zaman ini. Bersama cepatnya alir kekayaan dari tem-
pat ke tempat—ya, itulah globalisasi—terjadilah akselerasi has-
rat. Kepuasan akan satu benda dengan segera dihapus oleh hasrat
baru. ”Benda”—yang telah berubah jadi komoditas—kini jadi
lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10 mobil Jagu
ar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus.
Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai
dengan yang ”baru”, jadi kian cepat tiba. Menabung kehilang
272 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PLEONOXIA
an alasannya. Kapitalisme zaman ini makin mengukuhkan da
lil Leon Levy (”investor jenius dari Wall Street”, kata majalah
Forbes), bahwa ”tiap satu persen tabungan naik di masyarakat, la
ba perusahaan akan turun 11 persen”.
Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleo
noxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan
lagi, lagi, lebih, lebih.
Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa ge-
rangan yang akan dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tela
dan.Ia melihat bagaimana pleonoxia datang setapak demi seta
pak.Pangeran itu mencegahnya dengan drastis: ia meninggalkan
keraton. Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat agar gelar
Pangerannya dibatalkan. Salah satu bangsawan terkaya di Yogya-
karta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya, menyerah-
kan kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah
Banyumas. Ia memakai nama ”Notodongso” dan praktis meng-
hilang. Ketika Raja menyuruh orang mencari putranya yang gan-
jil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali
sumur.
Apa yang dicarinya? ”Suprana-supréné, aku kok durung tau
kepethuk wong,” konon begitulah yang dikatakannya. ”Selama
ini, aku belum pernah berjumpa manusia.” Ia tahu, manusia le-
bur di antara milik dan mélik.
Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bri
ngin.Orang melihatnya selalu hanya memakai kathok pendek hi-
tam, tak bersandal. Di lehernya terkalung sehelai batik bermotif
parang rusak barong yang konon melambangkan resistansi.
Mungk in dengan itulah manusia muncul, kadang-kadang: da
lam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara sederhana,
menghargai liyan dengan mulut membisu.
Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang
masuk, seorang penumpang lain yang menyangka Suryomenta
Catatan Pinggir 9 273
http://facebook.com/indonesiapustaka PLEONOXIA
ram seorang kuli menyerahkan sebuah koper agar diangkat. De-
ngan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus—dan segera
setelah itu, ia turun lagi. Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin pe
nump ang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.
Begitu merendah—seorang yang tak akan kelihatan dari lan-
tai tinggi Sudirman Business District, seorang yang seakan-akan
menunjukkan: ”Lihat, tanganku di dekat akar rumput. Lebih
banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa
kau rengkuh.”
Tempo, 19 Oktober 2008
274 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAWA
Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita mene-
mui manusia dengan mengakui sifatnya yang ”komi-
kal”.
Kau menyukai lelucon dan aku menyukai tertawa. Justru ke-
tika kita menyadari, dengan sedikit sakit, harapan yang sulit di-
penuhi, impian yang rasanya mustahil. Tampaknya lawak bisa
juga sebuah tanda murung. Atau ketakmampuan mencapai.
Atau kesia-siaan.
”Bawa masuk para badut!” konon begitulah bisik di belakang
panggung bila sebuah pertunjukan terasa jadi hambar dan harus
diselamatkan, agar para penonton tak pergi. Send in the clowns!
kata lagu terkenal dalam musikal Broadway Little Night Music
pada 1973—sebuah lagu yang dinyanyikan saat tokoh lakon ini,
Desirée, terduduk bersendiri, sadar ia telah salah pilih dan kini
ditinggalkan orang yang sebenarnya dicintainya. Seperti yang di-
katakan sang komponis, Stephen Sondheim: ini ”sebuah lagu se
saldan amarah”.
”Bawa masuk para badut!”. Tapi seperti dicantumkan di akhir
lagu itu, disadari bahwa para badut sebenarnya tak diperlukan
datang. ”Don’t bother, they are all here.” Mereka sudah di sini; me
reka adalah kita sendiri.
Kita: badut. Antara ”kita”, ”badut”, dan ”kekonyolan”—seba
gaim ana antara ”clown” dan ” fool” dalam teater Shakespeare—
terd apat pertautan. Di simpul itu tampak bahwa kita, manusia,
adalah makhluk yang peyot, meskipun tak putus-putusnya me
narik. Keadaan peyot yang dilihat bukan dengan rasa kesal itulah
yang membuat kehidupan tak membuka jalan bagi sifat takabur.
Hal itu agaknya perlu ditegaskan lagi kini, di masa ketika kita ke-
cewa kepada para tokoh, dan menghasratkan pahlawan datang,
Catatan Pinggir 9 275
http://facebook.com/indonesiapustaka TAWA
sementara, seperti hari-hari ini, dunia tetap tak bisa dibuat ten-
teram penuh.
Pada sifat peyot yang menarik itulah terletak humor. Humor,
kata Simon Critchley dalam Infinitely Demanding, ”mengingat-
kan kita akan sifat rendah hati dan keterbatasan kondisi manusia”.
Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita menemui manusia
dengan mengakui sifatnya yang ”komikal”, comic acknowledg
ment, bukan dalam sifatnya dalam posisi sebagai pahlawan trage-
di. Kita akan melihat diri kita, manusia, lebih sebagai Petruk atau
si Kabayan ketimbang sebagai Bisma atau Kumbakarna.
Memang perlu kematangan tersendiri untuk mendapatkan
perspektif itu. Bertolak dari makalah Freud tentang humor,
Critchley memperkenalkan satu faktor dalam kesadaran manu
sia, yang disebutnya ”super-ego II”. Kita ingat, dalam psikoanali
sis Freud ”super-ego” adalah sang Penguasa yang Keras yang
mengh uni kesadaran manusia: ia pengawas, pengendali, dan pe
nindak yang menyebabkan ego patuh kepada hukum ajaran mo
ralmasyarakat. Tapi ”super-ego” pula yang dengan demikian me-
nyebabkan ego tertekan dan menderita.
Tapi Freud tak berhenti di situ. Dalam makalah bertahun
1927, ia menyebut kemungkinan hadirnya ”super-ego” yang bu
kanlagi sang Penguasa yang Streng. ”Super-ego” inilah yang ha-
dir dalam humor, yang ”berbicara dengan kata-kata yang ramah
yang menghibur kepada si ego yang ketakutan”. Itulah yang dise-
but Critchley sebagai ”super-ego II”.
Jiwa manusia akan lebih sehat, tak dirundung takut dan di
dera rasa bersalah yang habis-habisan, jika ”super-ego” yang lain
ini tak dibungkam. Dengan kata lain: jika humor tak dimatikan
dan tawa serta permainan tak diharamkan. Dengan kata lain, jika
manusia mengakui ada yang lucu dalam ketaksempurnaannya,
tapi dengan pengakuan itu ia jadi akrab. Itulah saat ketika kita
tak didera untuk jadi Prometheus yang menantang dewa dan du-
276 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TAWA
nia, mengalahkan apa yang di luar.
Maka bukankah pemeo populer itu benar, bahwa tertawa itu
sehat? Yang sehat adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja te
rusdalam keterbatasan, seperti cinta yang tak diakui tapi tulus.
Dari sini, kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi
ind ah, menyambut apa yang tak tentu tapi pada tiap detik mem-
beri alasan untuk hidup yang berarti.
Tempo, 26 Oktober 2008
Catatan Pinggir 9 277