http://facebook.com/indonesiapustaka K AYON
Dengan itulah Karna jadi subyek—justru karena ia, seraya
melepaskan diri dari Waktu, Kala, menjangkau orang lain dan
bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya
Bharatayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi.
Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu.
Karna tewas dihunjam panah Arjuna, tapi tak ada yang bercerita
bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai pahlawan.
Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara ga
melan menghilang dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang be-
lum diutarakan dan kita tak mengerti.
Tempo, 10 Februari 2008
128 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PUING
1945, 1966, 1998....
Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki
sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik
Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Sukarno, dan yang
ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.
Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak lagi
hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke
sebuah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman
patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi
runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu,
datang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai
retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”.
Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk
menga wetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu mele
dak.Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, mengge-
tarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.
1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah
pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”,
misalnya, adalah penanda waktu ketika Sukarno dan Hatta
memp roklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi
sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali
hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta
pad a tanggal 17 Agustus 1945.
Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sa
ma sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebih
kan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara yang muncul
seb agai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat
kerdil. Di antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan
menguat. Tak semua hal merupakan ”awal”, dan mungkin tak
Catatan Pinggir 9 129
http://facebook.com/indonesiapustaka PUING
ada awal yang ”sama sekali baru”.
Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung keke-
cewaan, diikuti disilusi.
Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang
Ind onesia membentuk sebuah republik yang merdeka begitu me-
luap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan republik
mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan
sakit dan kematian, juga dengan sikap tulus dan keberanian. Na-
mun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang sakti itu jadi
boyak.
Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pra
moedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi. Farid, seorang remaja
Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya kare-
na keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang
komandan gerilya yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahan
kanKranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan Bekasi, dan ber-
tempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat da
lam persenjataan.
Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri,
adalah rekaman ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa ja-
jahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu dah-
syat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya
pula, ”lebih berhasil dalam seluruh sejarah Indonesia daripada se-
luruh Revolusi bersenjata yang pernah dilakukannya”.
Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap.
Hanya beberapa tahun setelah pertempuran Farid di sepanjang
Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang menanggungkan
”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk
judul. ”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah
metafor untuk masa tahun 1950-an yang dirundung frustrasi.
Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik
yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri,
130 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PUING
kesetiaan kepada ”1945” tak ada lagi.
Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasiswa
yang menumbangkan ”demokrasi terpimpin” yang represifsejak
1958-1965—para pemuda yang bersedia menanggungkan ke-
kerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demo
kratis—berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim
yang menggantikan ”demokrasi terpimpin” ternyata sebuah ”de-
mokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian
yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa.
Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut menco-
ba membuka zaman baru di bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian
kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak dengan bru-
tal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan se-
perti kerbau yang dicocok hidungnya.
Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa se
telah Soeharto pergi: bukankah ”royan revolusi” dirasakan lagi
dan orang juga mengeluh?
Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau an-
tara pengharapan dan kekecewaan telah jadi sebuah pola yang
beru lang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat apa arti
”1945”, ”1966”, atau ”1998”.
Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara
kita bertahan dari serbuan gelap dan campur-aduk yang membi
ngungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama itu
ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?
Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang spe-
kulatif”), karena ingin memurnikan waktu, menertibkan ruang.
Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan, selamanya diling-
kungi khaos.
Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”ke-
benaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Je-
jak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama
Catatan Pinggir 9 131
http://facebook.com/indonesiapustaka PUING
itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.
Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi
dengan narasi yang lain dari yang dibawakan Walter Benjamin.
Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara ia ter-
bang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang dirun-
tuhkannya—reruntuhan yang terus meninggi dan mendesakkan
diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati kejadian demi
kejadian.
Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau
1966, atau 1998. Mungkin tidak; hanya warna polos yang ber
gerak.
Tempo, 17 Februari 2008
132 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DA VINCI
Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-
15:
”... manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap men
dapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan
yang baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerinduann ya itulah
terbawa kuman kematiannya sendiri.”
Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vin-
ci tak berhenti di situ. Baginya, kita tak harus menyesali, justru
harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak
pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar
kehidupan,” dan ”Manusia adalah sebuah teladan bagi dunia.”
Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”teladan”, se-
bagaimana laiknya seorang seniman zaman Renaissance. Dan ia
menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu abad ke-
15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia,
dan yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang menga
gumkan.
Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikem-
bangkan. Di kanvas, orang tak lagi menggambar gunung yang
jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun ja
distabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang
sang pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”re-pre-
sentasi”), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh su
dut pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendali
kan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak lagi berpusat da
lam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”,
adalah ukuran segala-galanya.
Catatan Pinggir 9 133
http://facebook.com/indonesiapustaka DA VINCI
Itu juga pandangan Michelangelo. Pelukis ini pernah menulis
sep otong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya me-
nampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia.
Maka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina
di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langit-
lan git bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah.
Kita bisa menyangka, di situ Michelangelo (dan juga Sri Pa
us)lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa
danBani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai
Allah”.Tapi gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun
ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bu
nyisangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah
pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia
jangan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-
Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat bagimu
patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau
yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air....”
Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disem-
bah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika
Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan
turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang me
reka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak.
Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan hukuman yang me
ngerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membu
nuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam
Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu
orang....”
Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan
garang ketika orang-orang Kristen dan Islam menghancurkan
patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan momen dra-
matisnya di kaki Sinai hari itu.
Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan
134 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DA VINCI
gamb ar, atau membuat berhala untuk disembah? Dalam sejarah
Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi gam-
bar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Mi-
chelangelo dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usa
ha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak diperlakukan se
bagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.
Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu
tempat. Apalagi di zaman ketika, seperti kata Leonardo, ”Manu-
sia” hadir sebagai teladan, juga dalam imajinasi.
Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana
adeg an Perjamuan Terakhir dalam Injil, ia—yang hidup beratus-
ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan Al
Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga
Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang ter-
gambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan kemela
rata n para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15:
gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik terletak di taplak
meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakanpa
ra penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lu
kisan itu muncul di dinding batu.
Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan
dalam kekinian—satu hal yang juga dilakukan oleh Emil Nolde,
pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang melukis Per-
jamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah
yang pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh
tekad seperti dalam poster perjuangan buruh. Leonardo—yang
melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, me-
lainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar
bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Ben-
jamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan,
tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.
Beda antara berhala (l’ idole) dan aikon (l’ icône) seperti yang di-
Catatan Pinggir 9 135
http://facebook.com/indonesiapustaka DA VINCI
paparkan Jean-Luc Marion, filosof Katolik dari Prancis itu, pada
dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala adalah ke-
tika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-
Nya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya
sebagai karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manu-
sia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya,
gelap yang gemilang.
Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai.
Leonardo telah mencatat hal itu pada suatu hari di abad ke-15.
Tempo, 24 Februari 2008
136 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA
Seandainya Obama seorang perempuan....
Tentu saja ia bukan—dan ini bisa dikatakan sebagai se-
buah kekurangan. Tapi nobody’s perfect—seperti kata si ju
tawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika
diberi tahu bahwa orang yang digandrunginya itu (”Daphne”
yang sebenarnya adalah Jerry) ternyata laki-laki.
Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perem-
puan, kemarin, atau besok. Sebab bahkan sekarang pun ia sudah
merupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai) identi-
tas. Ia contoh bahwa ”identitas” bukanlah sebuah cap yang kekal
dan kaku. Dalam kata pengantar edisi tahun 2004 untuk buku-
nya The Dream of My Father, Obama sendiri menyebut ”the fluid
state of identity—the leaps through time, the collision of cultures—
that mark our modern life.” Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari
tubuhnya sendiri: bahwa identitas selalu dalam keadaan cair—
ciri zaman ini.
Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wa-
jar menunjukkan bahwa politik tak bisa hanya mengibarkan pan-
ji-panji partikularisme, dengan politik identitas yang menegas-
kan apa yang istimewa pada ”kami” dan tidak pada ”mereka”. Po
litik pada akhirnya sebuah proses pencarian dan penyampaian
apa yang universal. Politik adalah suatu pergulatan antarkelom-
pok yang terdorong membentuk ”kita”.
Obama tak bermula dari ”kami” yang pasti. Orang berkata,
pria yang hari-hari ini sedang ikut bersaing untuk jadi calon Par
tai Demokrat buat jabatan Presiden Amerika Serikat adalah orang
kulit hitam pertama yang berhasil naik ke gelanggang setinggi
itu. Tapi sebutan black bagi Obama berlebihan—dan sekaligus
kurang. Ia tak sehitam Mohammad Ali, Stevie Wonder, atau Jesse
Catatan Pinggir 9 137
http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA
Jackson.
Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Ma
lah, jika kita percaya hasil penelitian trah oleh The New England
Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada dalam garis ke-
turunan seorang raja Skotlandia pada abad ke-12.
Tapi sementara itu ia juga seorang ”Afro-Amerika” dalam pe
ngertian yang harfiah. Ayahnya, Barrack Hussein, datang dari
suk u Luo di Provinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing di
Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dun-
ham.
Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Hono-
lulu, 4 Agustus 1961. Tapi, ketika ia berumur dua tahun, orang
tuan ya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu ekonominya
di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Ke
nya yang berambisi tinggi itu kembali ke tanah kelahirannya.
Bagi si anak yang tertinggal di Hawaii, ia jadi seorang ayah yang
tak dikenal. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah
beru mur 10. Barrack tua kemudian tewas dalam kecelakaan mo
bilpada 1982. Sang ayah jadi nama yang menandai kehilangan
dalam diri anaknya.
Dalam kehilangan itulah pengertian ”Afro-Amerika” yang
harfiah berubah. Makna lain kemudian mengisi lubang itu, dan
sejak itu Obama memandang dirinya sendiri secara lain. Berkat
ibunya.
Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia
masuk lembaga legislatif, pemuda separuh Kenya ini menyebut
dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria. Tapi yang
agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama
mereka hidup di Jakarta.
Ibu itu, Ann—seorang perempuan yang dibesarkan dengan
pandangan yang tak konvensional—menikah dengan seorang
mah asiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Pada 1967 keluarga
138 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA
itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan,
Maya.
Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an
adalah masa pergolakan di Indonesia, ekonomi masih berat, dan
kepastian belum tampak. Sedikit yang kita ketahui tentang ayah
tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk mema-
sukkan Barrack ke The Jakarta International School. Maka Bar-
rack (biasa disebut ”Barry”) bersekolah di sekolah negeri di Jalan
Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk mendapat pendidik
an yang lebih baik di Amerika.
Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu,
dan harus bangun pukul 4 pagi untuk itu. Sang ibu tak hanya
menga jarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry
dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr Martin Luther
King, juga kisah tentang anak-anak hitam yang terjepit di Ameri-
ka Serikat bagian selatan. Dari sinilah Barry memilih apa arti
”Afro-Amerika” baginya: bagian dari perjuangan pembebasan
dari diskriminasi rasial, keterbelakangan, dan ketersisihan orang
hitam berabad-abad.
Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itu—
dan ia tumbuh jadi seorang pemuda dengan kulit hitam yang
tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan
hak-hak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menem-
puh jalan yang lebih luas terbentang. Tapi ia sudah bertindak,
dengan bekerja di komunitas hitam di Chicago. Ia memasuki se-
jarah Amerika yang baru.
Kini ia tengah ikut membuat sejarah itu—sebuah sejarah yang
pernah bernoda oleh larangan bagi orang hitam untuk berada di
satu sekolah, satu bus, dan satu tempat kencing dengan orang ku-
lit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternya-
ta bisa mengembangkan diri.
Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum
Catatan Pinggir 9 139
http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA
yang paling di pinggiran bisa bergerak masuk ke tengah—dan
ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang menunjuk-
kan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesa
lahannya sendiri, yang telah memilih pemerintahan Bush yang
menumbuhkan antagonisme ”kami” dan ”mereka” di mana-ma-
na.
Obama (terutama jika ia menang) adalah sebuah indikator
leb ih kuat, bahwa demokrasi Amerika membuat antagonisme
tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri. Demokrasi itu
sendiri proses perubahan. Pada abad ke-21, Amerika Serikat bisa
berhenti jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi.
Tempo, 2 Maret 2008
140 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FOUDA
Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda
di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menye
rangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-lukapa
rah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: ”Ya, kami mem-
bunuhnya.”
Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bu-
kankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas
al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat
agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muham-
mad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.
Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang
tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca
buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat
kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.
Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebat
an di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti
30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-
Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara
agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam
dan lembaga khilafah.
Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam se-
rangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan
oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pe-
mikiran kaum ”Islamis”: mereka yang ingin menegakkan ”negara
Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ke-
tika para sahabat Nabi memimpin umat.
Bila kaum ”Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai
Catatan Pinggir 9 141
http://facebook.com/indonesiapustaka FOUDA
zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya,
sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu ”za-
man biasa”.
Bahkan sebenarnya ”tidak banyak yang gemilang dari masa
itu”, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. ”Malah,
ada banyak jejak memalukan.”
Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah
saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul
yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644
itu—melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang—
bera khir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para
pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang mur-
tad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.
Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan
al-Thabari, jenazahnya terpaksa ”bertahan dua malam karena ti-
dak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada
orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menya
latinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan sa
lah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikubur-
kan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy
Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu ter-
jadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin
akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã
karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang me
narik:khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari kesera
kahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
Kaum ”Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu,
tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tin
daka n berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang
kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur
142 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FOUDA
cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan
bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.
Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan,
”Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan
Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun mene
muijalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran yang Hi
lang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa
lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. ”Me
reka juga mencari kaidah dalam Islam... tapi mereka tak mene-
mukannya,” tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka
mengepung Usman—lalu membunuhnya, lalu menistanya.
Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diper
kirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu
mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sa
ngat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan
takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya me
reka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, me
reka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.
Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis.
Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh de-
ngan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa,
Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan.
Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki
orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong.
Mayatnya dibakar.
Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abba
siyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, ”si Jagal”. Di mim-
bar ia mengaum, ”Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi
tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia
ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakin
an orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun
mend ekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang
Catatan Pinggir 9 143
http://facebook.com/indonesiapustaka FOUDA
khalif sampai ke kuburan.
Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang
agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang
telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup,
apa lagi....
Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah ”Si Jagal”, orang ma
cam Fouda harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi
khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir
lebih dari 10 tahun yang silam—bukan di Indonesia. Mungkin
ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru Departemen
Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.
Tempo, 9 Maret 2008
144 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DERING ITU
Dini hari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di
seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon berdering di Ge-
dung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampak-
nya gawat. Siapa gerangan yang mampu memberi respons yang
tepat kepada pesan lewat telepon itu?
Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang
dibawakan sebuah iklan: sebuah film pendek yang dimulai de-
ngan cahaya biru yang suram, dengan dini hari yang sunyi, anak-
anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang me-
nyarankan sesuatu yang tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap
yang menyembunyikan ancaman.
Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan
suara untuk melawan pesaingnya, Barack H. Obama, pesan iklan
itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu hanya seorang Presi
den Amerika yang kenal ”para pemimpin dunia, kenal dunia mi-
liter, seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang ber-
bahaya....”
Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu
tak ada pada Obama, seorang yang belum pernah memimpin ne
geri dalam ancaman perang.
Tiap propaganda tentu memaafkan sendiri keculasannya.Ik
lanitu tak menyebut bahwa sebenarnya Hillary juga belumdiu ji.
Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai istri seorang
presiden. Ia memang kemudian jadi seorang senator, tapi satu-
satun ya keputusan penting adalah dukungannya kepada Perang
Irak Presiden Bush—yang ternyata sebuah keputusan yang cela-
ka.
Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan—dan berhasil
mey akinkan pemilih di dua negara bagian—menunjukkan bah-
Catatan Pinggir 9 145
http://facebook.com/indonesiapustaka DERING ITU
wa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada mulanya
adalah paranoia.
Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: ”dunia yang ber-
bahaya ini....” Di sana tak ada kemungkinan lain dalam dering
telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata se-
buah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid an-
tara Palestina dan Israel, atau pesawat ruang angkasa Amerika
yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah planet.
Sebab, kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak
menampilkan suasana gawat di mana Hillary Clinton berperan
besar; sebab ia kenal betul ”dunia militer”.
Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerikama
cam inikah yang akan tecermin dalam pemilihan umum 2008:
Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan su
ramsekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu per
nahmembentuk PBB di dunia yang penuh harapan damai dan
kem erdekaan?
Jika demikian, kita pantas murung.
Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi.
Neg eri yang ditinggalkannya memang telah jadi negeri yang
dibenci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang
tanp a mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan
yang palsu, seraya tak peduli melanggar hak-hak asasi manusia di
Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang disembunyi
kan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap ter-
buka kemungkinan Amerika mengukuhkan politik paranoia
yang dilembagakan sejak 11 September 2001.
Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari
itu, ketika para teroris Al-Qaidah menabrakkan dua pesawat ter-
bang ke dua menara tinggi di New York dan membunuh hampir
3.000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Che
ney menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah
146 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DERING ITU
Uni Soviet dan Cina mundur. Dengan musuh itu Amerika dapat
memiliki arah yang tegas dan satu.
Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya ter
send iri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Maka pe
rangantiterorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk
mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak
mengherankan bila sampai hari ini Al-Qaidah belum dihabisi
dan Usamah bin Ladin masih tersembunyi. Tak mengherankan
bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.
London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit me-
nyambut pilihan rakyat Amerika yang mendukung kembali Pre
siden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia menyer
bu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu
tampak wajah George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah
kalimat: How can 59,054,087 people be so DUMB?
Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. ”Saya
tak tahu lagi, di mana tanah air saya,” katanya sedih.
Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi,
ketika bersama ribuan orang muda setanahairnya ia ikut berkam-
panye untuk Obama dan merayakan kemenangan di sebelas ne
gara bagian. ”Anak-anak muda ini,” tulisnya, ”telah menemukan
kembali indahnya kehidupan berpolitik; kami telah menemukan
keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul buku Obama, the
Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-
kaca karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror
tak benar, setidaknya di tahun 2008 ini: jutaan pemilih Amerika
ternyata tak bodoh.
Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru—zaman
yang bisa menyambut seorang Obama, yang bukan 100% ”pribu-
mi”, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana jas
nya— tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa
mengg ugah: patriotisme yang membuat sebuah bangsa bersama-
Catatan Pinggir 9 147
http://facebook.com/indonesiapustaka DERING ITU
sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang tumbuh di
bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada ta-
nah air yang bisa membawa damai ke dunia.
Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu,
pada pukul 3 pagi sebuah ledakan terdengar di Times Square,
New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari sebuah
alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersen-
jata. Tak ada yang terbunuh. Tapi dengan segera keluar statement
Hillary Clinton: ”Apa pun yang kita ketahui dari serangan ini, itu
sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah
air kita.”
Ancaman. Dering lewat tengah malam....
Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika.
Tempo, 16 Maret 2008
148 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MELAYU
Begitu banyak salah paham tentang Amir Hamzah. Pe-
nyair ini dibunuh dalam sebuah pergolakan sosial di Su-
matera Utara pada tahun 1946, tak lama setelah Indone-
sia diproklamasikan. Kekuasaan Belanda dan Jepang dinyatakan
habis, tapi ”negara” dalam republik yang masih beberapa bulan
umurnya itu belum tersusun. Mesin kekuasaan belum berjalan
ketika euforia ”kerakyatan” meletup di mana-mana. Kata ”Revo
lusi” (dengan ”R”) diarak. Itu berarti seluruh tata yang lama ha-
rus dihancurkan, meskipun tak selalu jelas apa yang akan meng-
gantikannya.
Amir Hamzah adalah anggota keluarga Sultan Langkat. De-
ngan demikian ia berasal dari kelas feodal, bagian masa lalu yang
dibenci, meskipun tak pernah tercatat bahwa Amir—yang meng-
habiskan waktu mudanya bukan di istana, melainkan di sekolah-
sekolah di Jawa—melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan.
Dunia hanya mengenalnya sebagai seorang yang menulis sa-
jak yang menyentuh hati sampai hari ini. Karya-karyanya adalah
serangkaian ekspresi yang merupakan bagian dari ”puisi baru”
Indonesia, dan memang demikian. Amir tak ingin sepenuhnya
lepas dari ungkapan Melayu klasik, tapi banyak kata bentukan-
nya yang datang dari gramatika Jawa. Dalam sebuah sajak yang
indah—gabungan ironi dan kesedihan—ia menyebut diri ”beta,
bujang Melayu”, tapi seluruh kumpulan puisinya, Buah Rindu
(yang ditulis pada 1928-35), ia persembahkan kepada ”Paduka
Indonesia Raya”, selain kepada ”ibu ratu” dan kepada seorang pe
remp uan dengan nama ”Sendari”.
Tampak bahwa Amir Hamzah, seperti teman-teman segene
rasinya, S. Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, yang aktif di se
kitar majalah Poedjangga Baroe, melihat diri bagian dari generasi
Catatan Pinggir 9 149
http://facebook.com/indonesiapustaka MEL AY U
yang didera oleh masa depan. Mereka hendak menciptakan sesu
atu yang baru dari sebuah kondisi terjajah, terkebelakang, terhi-
na—sesuatu yang bukan lagi bisa disebut ”Jawa”, ”Melayu”, atau
”Ambon”.
Dalam arti itu, Amir Hamzah adalah sebuah fenomen ”pasca-
Melayu”.
Jika kita perhatikan sajaknya yang terkenal itu, kata ”bujang
Melayu” itu memang disebut bukan hendak membanggakan di
ri. Bahkan sebaliknya: kata itu sejajar dengan frase ”anak Lang-
kat, musyafir lata,” bagian dari bait-bait yang murung:
Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang Melayu
Himbau pungguk tiada merindu
Dalam telingaku seperti dahulu.
Tuan aduhai mega berarak
Yang meliput dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musyafir lata.
Zaman memang telah berubah. Graham K. Brown, dalam te
laa hnya yang membandingkan terbentuknya identitas politik di
Indonesia dan Malaysia (The Formation and Management of Po
litical Identities: Indonesia and Malaysia Compared), mengutip
catatan sejarah: pada masa kesultanan Malaka, ”Melayu” bukan-
lah identitas sebuah kelompok etnis, melainkan sebuah lapisan
elite yang masih berhubungan darah dengan raja. Kitab Sejarah
Melayu praktis berarti genealogi para sultan.
Tapi pada 1511 Malaka jatuh diserbu armada Portugis. Ke-
luarga kerajaan melarikan diri ke Johor. Tak ada lagi pemegang
hegemoni yang menentukan apa arti ”Melayu”. Kata itu akhir
150 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MEL AY U
nya menyebar bersama diaspora para pedagang pasca-Malaka.
”Melayu” bukan lagi identitas yang menunjukkan lapisan sosial,
melainkan sebuah ”identitas horizontal”. Nama itu jadi penanda
dalam pengelompokan sosial yang berbeda-beda tapi setara—
terutama dalam pandangan kekuasaan kolonial orang Eropa.
Kolonialisme memang tatapan yang membekukan si terjajah.
Kolonialisme adalah garis ruang yang brutal—baik ruang dalam
kehidupan sehari-hari maupun ruang dalam lajur daftar pendu
duk dan kitab hukum. Jakarta yang didirikan sebagai Batavia
oleh VOC pada tahun 1650-an berkembang jadi kota yang terba
ngun oleh apartheid: di satu sisi dibatasi tembok tempat orang Be-
landa hidup, di sisi lain Ommelanden, tempat yang ”lain” diletak-
kan.
Dari pemisahan macam ini sang penjajah membangun identi-
tas etnis untuk memudahkan kontrol dan pembagian kerja. De-
ngan itu juga berlangsung divide et impera. Dalam telaah Brown
dikutip keputusan VOC di Cirebon, misalnya, untuk memper
kuk uh batas etnis agar bisa mengisolasi orang ”peranakan”, ketu
runa n Cina yang semula hidup berbaur sebagai penasihat politik
sultan. Dengan itu, kompeni bisa memperlemah posisi kedua-
duanya.
Maka tak mengherankan bila pembebasan dari kolonial-
isme bertaut dengan kehendak melepaskan diri dari tatapan yang
membekukan itu. Amir Hamzah dan puisinya adalah bagian
dari pembebasan itu: ia tak lagi bisa disebut ”Melayu”. Sejak ta-
hun 1930-an, puisi Indonesia adalah puisi para ”musyafir lata,”
para pejalan yang tak punya apa-apa selain kebebasannya dalam
menjelajah. Indonesia lahir dari penjelajahan itu.
Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme
yang mengangkut milik yang diwariskan masa lalu, baik dalam
wujud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu sebabnya
”Indonesia” dan ke-”Indonesia”-an selalu terasa genting, tapi de-
Catatan Pinggir 9 151
http://facebook.com/indonesiapustaka MEL AY U
ngan itu justru punya makna yang tak mudah disepelekan.
Baru-baru ini saya dengar cerita sejarawan Taufik Abdullah
ketika ia di Mekkah. Di kota suci itu seorang Malaysia bertanya
kepadanya apakah ia orang ”Indon”—sebutan yang sering dipa
kaiorang Malaysia untuk menyebut Indonesia. Taufik Abdullah
marah. ”Jangan sebut ’Indon’,” katanya, ”tapi ’Indonesia’.”
Ia menjelaskan kenapa ia marah. ”Saya penelaah sejarah. Saya
tahu nama ’Indonesia’ diperjuangkan dengan tidak main-main,
sejak awal abad ke-20.”
Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa
ribu orang dipenjara dan mati untuk nama itu? Bisakah kita me-
lupakannya?
Ada sebuah sajak Rivai Apin pada tahun 1949:
Ingatlah bila angin bangkit
Ingatlah bila angin bangkit
Bahwa daerah yang kita mimpikan
Telah bermayat, banyak bermayat
Sajak itu ditulis tiga tahun setelah Amir Hamzah dibunuh.
Tampaknya memang hanya dengan tragedi kita tahu apa yang se-
harusnya kita hargai.
Tempo, 23 Maret 2008
152 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HARMOKO
Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabat
annya sebagai Menteri Penerangan ”Orde Baru”, datang
lahseorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajah
nya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja peneri-
ma tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu,
Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.”
”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.
Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu
pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum sa
mar-samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap Pak Har-
moko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak ter
henyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab
sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerang
an lagi.”
Dan perempuan itu pun pergi.
Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucap
an, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali.
Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian
curiga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan
cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Pene
rangan.
Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya
memang hanya pura-pura banyak kerja) pun menunggu. Dengan
mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang lagi.
Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal
send iri, dengan didampingi dua direktur jenderal, duduk mene-
Catatan Pinggir 9 153
http://facebook.com/indonesiapustaka HARMOKO
muinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar. Senyum-
nya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya:
”Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Har-
moko. Petugas kami sudah memberi tahu bahwa Pak Harmoko
sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang lagi, da
tang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi?
Apa maksud Ibu, sebenarnya?”
”Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu.
”Saya datang berkali-kali kemari karena saya senang mendengar
kabar baik itu berkali-kali.”
Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan
dalam latar masa ”Orde Baru”, ketika ada ketaksukaan yang me
luas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak henti-henti-
nya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang
itu-itu juga, seraya tak putus-putusnya bermulut manis kepada
Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan orang takut
membantah kebohongan para pembesar.
Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaib
an bisa sangat sederhana: seorang menteri berhenti.
Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem
politik yang meniadakan keajaiban. Ada yang lugas di sini: ber-
hentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari regularitas.
Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar
tour of duty seperti yang harus dijalani para birokrat sipil dan mili-
ter. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih bisa jadi
berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur
yang agonistik: yang naik dan yang berhenti bergerak dalam se-
buah bangunan politik dengan ketegangan, perjuangan, per
sainga n, pertentangan. Ada kalah dan menang.
Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi
oleh hantu yang sesekali memperlihatkan diri, seperti hantu sang
raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah Berantah. Ketika
154 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HARMOKO
ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-
benar jelas bagi dirinya sendiri.
Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak
bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh arti
kulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah
tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan
tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Be-
rantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin da
lam satu wacana.
Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang pro
duktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai
sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa
justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang nega-
tif, yang traumatis, di sekitarnya.
Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan
man ajemennya, perubahan para legislator dan undang-undang
nya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks de
mokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) menia
dakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah sistem
yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Be-
rantah.
Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sa
na duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit po
ngah,memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama
adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat un-
dang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah
undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum.
Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan
mencapai apa yang normatif. Ia terbatas. Masih ada sesuatu yang
tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana
yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan.
Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap
Catatan Pinggir 9 155
http://facebook.com/indonesiapustaka HARMOKO
dipenuhi. Ia juga berada dalam Antah Berantah. Ia seperti han-
tu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu dalam
Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon.
Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah se-
buah tragedi. Kalaupun keadilan mirip hantu, ia bukan mukjizat.
Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—dan ia
bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali.
Tempo, 30 Maret 2008
156 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NEGERI ASAL
Pembebasan datang dari yang tak punya nama.
Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belan-
da memandang ke pantai di sebelah barat Jawa itu, mere-
ka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang
dem ikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal
di bandar yang gerah dan terik itu. Sebuah ekonomi pengenalan
berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam per-
bedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama.
Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—
dan di situlah kolonisasi memasang tonggak dan pagarnya. Seki-
tar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat da-
gang VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Be-
landa di ”Hindia Timur”, ekonomi pengenalan berkembang jadi
administrasi penamaan.
Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itu
lah usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan ”apa
yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa jus-
tru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai,
bukan nama bahasa atau jenis pekerjaan.
Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada
sang penguasa bahasa atau bahasa sang penguasa. Seakan-akan
berd asarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah
metonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”,
dan ”Eropa” merujuk tempat, tapi tempat belum tentu sama de-
ngan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa lalu
dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir,
atau ketika dibesarkan? Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan
cuma memilihku?
Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land
Catatan Pinggir 9 157
http://facebook.com/indonesiapustaka NEGERI ASAL
van herkomst. Kata ”asal” dalam judul itu ambigu sebenarnya.
Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesar-
kan dalam keluarga kaya raya pemilik perkebunan, dengan darah
campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal. Ketika
Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan ba
lik ke Eropa, tanah leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Bel-
gium dan tinggal dikelilingi pelayan dan kemewahan. Si Edgar
yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohemi
an di lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan André
Malraux. Pengarang Prancis ini kemudian memperuntukkan
novelnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La
Condition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu.
Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku
ayahnya sendiri, sang tuan besar dalam struktur masyarakat ko-
lonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang
Eropa—meskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan
itulah ia dan keluarganya dinamai.
Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama seba
gai seorang bocah. Bersama ayahnya, tuan onderneming itu, Du
croo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya perbudak
an di Amerika itu, Uncle Tom’s Cabin—dengan simpati kepada si
budak hitam dan benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah
sad ar betapa dekat posisinya dengan si pemilik budak yang ke-
jam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli
seo rang petani, dan novel ini dibuka dengan menyebut orang
Erop a ”bandit yang berniat sungguh-sungguh”.
Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang
melanjutkan gaya hidup seorang tuan besar kolonial di negeri
yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du Per-
ron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan ce-
rai dan menikah lagi, dan semua itu harus ia biayai. Ia terdesak.
Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia ”kembali”.
158 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NEGERI ASAL
Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia
tak betah bergaul dengan kawan-kawan masa kecilnya: perilaku
orang-orang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak ia
hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron
memilih teman lain: sejumlah intelektual Belanda yang progresif
dan orang-orang pergerakan untuk kemerdekaan. Suwarsih Djo-
jopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan
dalam novel Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya.
Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial
itu tak ada tempat baginya. Ia seorang sastrawan yang tak hendak
percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia meng
angg ap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra
bekerja untuk ”pembangunan bangsa”, sebagai sikap ”seniman
serd adu”. Takdir menyerangnya balik.
Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia ber
kata, ”Untuk berada di pihak yang benar, orang harus jadi se
orang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis, mengganggu,
dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis.
Tapi saya juga akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.”
Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima ta-
hun sebelum perjuangan kaum nasionalis berhasil.
Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberi-
kan kep ada Du Perron—”Eropa” atau ”inlander” atau ”timur
asing”— tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak
ternamai.
Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis se-
jak sebelum Du Perron kembali ke Eropa. Pada 1908, sejumlah
mahasiswa di Belanda yang datang dari ”Hindia” mendirikan
Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan pena
maan yang ada dalam klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakar
ta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada 1912, untuk
membangun ”patriotisme dari semua penduduk Hindia”, berda
Catatan Pinggir 9 159
http://facebook.com/indonesiapustaka NEGERI ASAL
sarkan kesetaraan politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identi-
tas) yang berbeda-beda.
Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pem-
bebasan dimulai dari sebuah komunitas yang, seperti kata Alain
Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”.
Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama,
tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.
Tempo, 6 April 2008
160 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FITNA
Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi adver-
tensi. Jika tuan teriakkan rasa muak, geram, dan tak sa-
bar tuan kepada sekelompok manusia—dengan teriak
an yang cukup keras—tuan akan menarik perhatian orang ra-
mai. Tuan bahkan akan dapat dukungan.
Geert Wilders tahu betul hal itu.
Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang co-
cok bagi zaman yang celaka sekarang. Tiap kali ia mencaci maki
orang imigran—para ”non-pribumi” muslim yang hidup di Ne
geri Belanda—ia dengan segera tampak mumbul seperti balon
jingga di langit Den Haag.
Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengah
an Februari 2007, inilah yang dikatakannya: ”Jika orang muslim
ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan
memb uang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: ”Jika Mu-
hammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter
dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu diusir....”
Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat
Wild ers sebagai ”politician of the year”. Para wartawan surat kabar
yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi
diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan
ringkasnya yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan
bau tentu.
Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk
tangan karena benci memperoleh tempat yang strategis. Pada
awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan
ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Is-
lam, Mohammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak
dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar ke-
Catatan Pinggir 9 161
http://facebook.com/indonesiapustaka FITNA
bencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan me-
limpah ke partai yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat
mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29
dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlang-
sung setelah pembunuhan yang mengerikan itu.
Kini bisa diperkirakan film Fitna yang dibuatnya akan mem-
buat Wilders lebih berkibar-kibar—terutama jika benci yang di
tiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak,
menga ncam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan
memp eroleh sesuatu yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi,
Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam,
akan dikukuhkan.
Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya.
Isinya repetitif. Apa maunya sudah dapat pula diperkirakan.
Dimulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt
Westergaard itu—gambar seorang berpipi tambun dengan bom
di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai ”potret”
Nabi Muhammad—film ini adalah kombinasi antara petilan teks
Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih memba-
cakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau
kata-kata benci yang berkobar-kobar.
Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna,
misalnya—perintah Allah agar umat Islam menghimpun keku
atan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh—diikuti oleh
potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrak-
kan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Ke-
mudian tampak pengeboman di kereta api di Madrid. Setelah itu:
seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap,
men yatakan: ”Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim
terbunuh”.
Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang meng
ajark an khotbah kebencian yang memekik-mekik dan tindak
162 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka FITNA
biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang
pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De
Volkskrant: Quran, baginya, adalah ”buku fasis” yang harus dila-
rang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hit-
ler. ”Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.”
Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool ko
non menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Qur
ansecara keseluruhan, ”Saya lebih suka bukunya.” Sang penulis
resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih
ayat-ayat Quran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua
orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek petilan itu. Dan
tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.
Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat
yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang mem-
produksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan
bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam
dengan mulut yang penuh api—mereka itulah yang mengkons
truksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran
tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak ja-
rang membentuk ajaran.
Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga
yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seperti
Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda
kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuh-
kan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir.
Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai
hal jadi ringkas—dan membuat sang pembenci tegas, jelas, me-
nonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam de-
ngan demagogi ”Islam”.
Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila
ia hendak menunjukkan hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39
dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong menjelang
Catatan Pinggir 9 163
http://facebook.com/indonesiapustaka FITNA
akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena
merasa mengikuti firman Tuhan?
Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan de-
ngan fitnah, ketika yang sakral bertaut dengan yang brutal. Kita
hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis Gulliver’s
Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus
menusuk: ”Kita punya agama yang cukup untuk membuat kita
membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita mencintai....”
Tempo, 13 April 2008
164 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KALIGRAFI
Sepotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di
antara bingkai yang dilukis dengan warna keemasan: se-
buah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang
piawai. Di sudut disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt
(1903-1986).
Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan
juru kaligrafi Turki yang terkemuka justru di masa ketika Kemal
Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus mengganti hu
ruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi
adalah makhluk yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat
Kunt lolos dari keterpencilan.
Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat
posisi mengajar di Akademi Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan
diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan di Mu-
seum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine
Ghata.
Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu
terbit sebuah novel pertama, La Nuit des Caligraphes.
Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh
tiga. Istanbul sedang merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan....
Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya kejam terhadap mere
kayang takut kepadanya.
Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel ini—bertolak da
ri riwayat hidup Rikkat Kunt—memang mempesona. Dunia sas-
tra Prancis menyambutnya dengan hangat.
Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa,
sedang sibuk dengan dua nama: ”Turki” dan ”Islam”. Imigran
Catatan Pinggir 9 165
http://facebook.com/indonesiapustaka KALIGRAFI
Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari Uni Eropa,
dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan
perempuan, tapi juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang
men anggung sebuah peradaban yang terluka.
Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si
Lain”. Bagaimana memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah de-
mokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat ”tidak beda”, agar tak
membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya,
agar tak terjadi kesewenang-wenangan?
La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan
itu. Yasmine Ghata, anak seorang novelis dan penyair Libanon,
lah ir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak menulis kare-
na satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.
Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pem-
baca Eropa karena dari dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib:
”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia kepada sesuatu
yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya
imajinatif, yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan
La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak bercerita tentang abad
ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan
itu pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah
proses yang tak mudah, tak gampang diputus-putus. Kaligrafi—
seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir mem-
bentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik ten-
tang kontinuitas.
Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah
besar seperti ”agama” dan ”modernisasi”—yang membayang di
belakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga yang berha
dap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ke-
tika La Nuit des Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia
(dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir, oleh Ida Sundari Hu-
sen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Tur-
166 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KALIGRAFI
ki, orang berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama
kemajuan, dan konflik atas nama Tuhan.
”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan,
katanya pula, tak dapat meluncur di atas huruf-huruf yang pen
dek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin
Turk i agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa
lalu lenyap dan membuat masa depan lekas datang: ia memaksa
kan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah lama dari
bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seni-
man kaligrafi ”terluka”, kata Rikkat.
Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab
yang lebih dalam: seni kaligrafi adalah ibadah yang tulus dan tra-
gis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap kehadiran
Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.
Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini me
ngandung kiasan untuk suasana sunyi dalam ibadah itu dan juga
suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman Ka
ligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religi-
us di hadapan sekularisasi yang agresif.
Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang pen
ting. Novel ini jadi suara pengimbang di tengah sebuah masya
rakat yang memandang iman dengan cemooh atau curiga. Tapi
perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam”
dijalani dengan imajinasi yang subur.
Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang
berumur 100 tahun”, yang ”menulis di bawah pengawasan ketat
Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis yang
”bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya
bahwa alat-alat tulis bisa bergerak sendiri, terkadang menari ero-
tis, juga dalam memuja Yang Maha Suci.
Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra ke-
pada fantasi seperti itu, dan fantasi yang tumbuh terus dalam
Catatan Pinggir 9 167
http://facebook.com/indonesiapustaka KALIGRAFI
kreasi, apa yang lebih yang diberikan ”modernisasi”? Sesuatu
yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan ”guna”
dan ”hasil”.
Tapi demikian juga yang diberikan ”agama”—jika ”agama”
adalah keyakinan yang cuma mengerti hukum, yang lurus, ke
ring, dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang
diingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang ”zig-
zag”, ”labirin”, dan ”spiral”—yang mengembalikannya kepada
yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya. Ya,
hidupnya.
Tempo, 20 April 2008
168 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HOPPLA!
... Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.
Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara
yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat
Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April
1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, ber-
gairah, gemuruh, dan khaotis.
Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik
kertas:
...wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht +
enthousiasme.
Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya
manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme.
Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf
pertamanya dengan sebuah sajak:
Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu
bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hi
dup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu
munc ul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, ta-
hap pendahulu yang galau, yang khaotis.
Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan
ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif
tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943
Catatan Pinggir 9 169
http://facebook.com/indonesiapustaka HOPPLA!
itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa
pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan
”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak per-
lu...”.
Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci
hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.”
Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanya
kan— bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama.
Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tra
disi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyu-
mi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertabur
an beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara
yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga le
bihasyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlim-
pah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika
pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?
Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu
sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal
yang paling ganjil.
Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip
lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa.
Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kela-
na tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di
seb uah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata
Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku
tidak bisa berpaling.”
Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilang
an rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap
kek uasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas
pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia
yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi
kebenaran yang tak terduga-duga.
170 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HOPPLA!
Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak
pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-
Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan
seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pan-
tai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:
”Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan
bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan te
riakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah
”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra
dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa penduduk
an Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”,
seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan pa
nen,menabung, bikin kapal.... Banyak seniman yang patuh. Bagi
Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.
”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak
dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia.
Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat,
hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mim-
pi, pengharapan, cinta, dan dendam.”
Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa
diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan,
bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya
bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam
satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil
Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri
Catatan Pinggir 9 171
http://facebook.com/indonesiapustaka HOPPLA!
manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati
bersembunyi.”
Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak ce
rah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita
dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan,
berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu
justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.
Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi
judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ke-
tiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara
dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata
Di pantai, di senja, tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak....
Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak
terp ahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejal-
kan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang ke-
hilangan. ”Aku...,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan
pendeta atau kiai tentang sesuatu.”
Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru ka
rena itu.
Tempo, 27 April 2008
172 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INI PAGI, KATA KARTINI
It is morning, Senlin says, and in the morning
Should I not pause in the light to remember God?
—Conrad Aiken
INI pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan be-
rangkat kerja, naik ojek dengan motor yang guncang, terpe-
kur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung
mimpi, mungkin mimpi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun
di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan nama seorang
haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan membayangkan
dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin
sejumlah goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.
Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja
itu, di sebuah panti pijat, si asisten pemilik usaha akan berkata
kepadanya: ”Jangan lupa gembok.” Dan ia akan mengambil di
lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting
mengkilap, dengan gembok kecil yang merah.
”Jangan lupa gembok”. Aku tak akan lupa, tak akan lupa.
Gemb ok itu melindungi perempuan pemijat dari dosa, kata pega-
wai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi kealim
an, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan
jasmani & rohani. ”Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin,” kata
Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-perempuan pemijat, ka
ta asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.
Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimu
lai dengan ingatan tentang dosa, kekotoran manusia, atau najis,
Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan
kem ungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik
Catatan Pinggir 9 173
http://facebook.com/indonesiapustaka INI PAGI, KATA KARTINI
dirasakannya, dan fatwa yang menyuntikkan ke jantungnyase
gumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum kuda.
Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama
ia mencari upah, tak mencari laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, be
narkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki laki-laki? Sua-
minya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke
sekolah; pak cik yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia
sendiri hidup dari utang; satpam yang selalu sangat ramah kepada
istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu
berkata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek,
”Aku tak suka bau badan.”
Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok
di celana-dalam, kata Kardinah: bupati yang selalu berpikir ten-
tang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan pengedar
syahwat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya
senyum mesum; nyonya kepala jawatan agama yang kalang-ka-
but mengintip film ”begituan” dan merasa betapa gemuruhnya
godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah.
”Jangan lupa gembok”. Laki-laki adalah otak, kata ketua Ma
jelis Ulama setempat, perempuan adalah badan. Laki-laki mata
hari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat
pula dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah
tersenggol lendir dan gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi
melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau harum, tapi ju
ga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di
kepala. Jangan lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai,
jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari mata turun ke vagi
na.Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa
celana-dalam.
Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi ada
lah dag-dig-dug. Pagi adalah suara tokek di dinding yang dite
bak seperti ramalan feng-sui: rezeki–rugi–rezeki–rugi–rezeki–
174 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INI PAGI, KATA KARTINI
tidak.... Dan Kardinah, dan Rukmini, dan Badriyah, dan Sri
Urip, dan Zakiyah, dan seluruh tim pemijat itu, mereka tahu
bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah dan ter-
duga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, se-
bab para tamu adalah orang yang terhormat, dan orang yang ter-
hormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang harus diprotek-
si dengan sepotong logam berwarna merah.
Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stella—ataupun siapa nun di
luar sana. Di ruang ini hari dimulai dengan kewaspadaan. Atau
kecurigaan. Atau penghinaan. Dan kaum yang lapar, kaum yang
terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah.
Ini pagi, kata Kartini, aku turun dari gelap
dan dengan angin yang menghuni,
aku berangkat, entah ke mana.
Sepucuk kunci di kantungku,
arlojiku kuputar siap.
Langit menyuram,aku turun tangga.
Ada bayang-bayang di jendela, melintas,
juga sepotong awan di atas,dan sesosok tuhan
di antara bintang—aku akan pergi....
Tempo, 4 Mei 2008
Catatan Pinggir 9 175
http://facebook.com/indonesiapustaka
176 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MAK
Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap,
termasuk Pavel—dan Maxim Gorky menulis novelMat’.
Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan
Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.
”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat,dan
tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mend am
pingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan
sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Ye-
sus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan
di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah
masyarakat.
Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu
mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan
semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme”
tapi condong ke arah mitologi.
Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova
yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi sete
lah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam
novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh,
den gan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si
bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-
bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia
sehari-hari.
Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai,
ketika polisi mulai mengepung:
”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua,
membangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangun
kan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembu-
nyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Ber-
Catatan Pinggir 9 177