The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:19:26

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka

278 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka KAKI LANGIT

DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada
seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identi-
tas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi ham-
pir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi sta-
tus yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terku-
bur di makam itu.

Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict­
Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu,
ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa ke-
hidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat
dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai
hant­ u.”

Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan
ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke
kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang.
Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan
yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.

Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal”
dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah
se­orang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Ing­
gris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian ter-
dalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentang­an
di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—­
seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928
itu—­­ memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara
yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.

Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk
dalam ”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu ana-
sir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun

Catatan Pinggir 9 279

http://facebook.com/indonesiapustaka KAKI LANGIT

keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang
satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan­
para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indone­
sia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”,­
untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang
tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh
ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau
yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak
bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.

Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya
bu­at kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.

Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat se-
buah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab
se­buah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti
hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya
bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa
bangs­a lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap
has­rat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak
pernah berhenti kecuali mati.

Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bu-
kan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub
cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan.
Bangsa adalah kaki langit.

Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk
disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu
yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.

Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan
pro­ses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang
nya­ris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward
Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”

Tempo, 2 November 2008
280 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA, 2008

Weep no more, my lady,
Oh, weep no more today

KAU kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di­
kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin wak-
tu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My
Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terde­
ngar­sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Fos-
ter menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang menco­
ba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan se­
derhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai ”Penghisap­
an”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi.­Sebuah
ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkum-
pul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?

Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu
yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara
di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama
Tu­han. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Be­
loved­ Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu
yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak ter-
duga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menang-
gung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan
air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang me­
nyemb­ uhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa
me­nyanyi, menari, menyanyi.

Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Ka­
dang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan kein-
dahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang
tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang

Catatan Pinggir 9 281

http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA, 2008

kekal. Maka jangan menangis lagi.
Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kena­

pa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di
atas tubuh bertakhta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus­
dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan da­
ya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.

Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir­
penjelasan yang gamblang, bahwa ada pigmen dalam kulit yang
jad­ i nasib. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam,
ada kulit ”negro”, ada juga yang ”putih”. Warna-warna itulah
yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi
sebelum eksistensi.

Tapi benarkah Takdir segala-galanya? Di majelis hutan Missi­
ssippi itu, suara perempuan tua itu merendah: ”Saudara-saudara-
ku, kegelapan menyertai kita.”

”Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan
ge­tah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black
Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kege­lapan
kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelap­an
yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.

”Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang me-
nampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-
tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang me-
lindungi kita dari Kebengisan.”

Blood on the leaves
And blood at the root
Black bodies swinging
In the southern breeze
Strange fruits hanging
From the poplar trees

282 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA, 2008

Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang
tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes
yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia diba-
kar. Ini Sherman, Texas, 1930.

Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: ”negro” buruh tani ini
ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan mem-
perkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu,
bisik-bisik beredar: Hughes adalah ”hewan yang tahu betul apa
yang dimauinya”.

Para petani kulit putih yang tinggal di dusun itu telah lama
be­ringas, dan kini punya alasan buat lebih beringas. Mereka yang
selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pig-
men berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung peng­
adila­ n tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka
seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak ber-
buat apa-apa—malah membantu mengatur lalu lintas. Di sebuah
lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan
dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.

Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang,
terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.

Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf da­
ri tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu ”negro”.
Tub­ uh-tubuh yang dibunuh itu bergelantungan seperti puluh­
an buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam
Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-­
akan telah jadi napas: Darah pada daun/darah pada akar/Jasad hi­
tam yang terayun-ayun/di angin selatan/buah ganjil yang tergan­
tung/di pohon poplar.

Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak
pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu—tak dihiasi daun-
daun—seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas,
teg­ ak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja­

Catatan Pinggir 9 283

http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA, 2008

Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata,
adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang
lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.

Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: ”utuh”, ”har­
monis”, ”mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih.
Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-a­ kan
yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan:
ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang pu-
nya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut
wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut
”harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya
”bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”.

Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: ”putih”, ”hitam”, ”bor-
juis”, ”proletar”, ”asli”, ”tak-asli”, ”mayoritas”, ”minoritas”. Tiap
taks­onomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.

Tapi itu berarti di sini tak ada Takdir. Tak ada hakikat sebelum
apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembag­ i­
an, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses poli-
tik. Si ”hitam” bukan jadi ”hitam” karena ia diciptakan ”hitam”,­
me­lainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan
ke dalam kategori ”hitam”. Sejarah ”hitam” dan ”putih” adalah
ri­wayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang
de­ngan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1.000 pekik
dari pita suara yang panas.

Yes, we can
Yes, we can
Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park,
Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sang-
gup. Kita—kata orang-orang itu—sanggup membuat seorang

284 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka OBAMA, 2008

Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan
dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan
sejarah yang telah memicu Perang Saudara pada abad ke-19. Kita
sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang se­
akan-a­ kan sebuah struktur yang cantik.

Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa
me­lintasi taksonomi ”hitam-putih”. Ini terutama cerita keme­
nanga­ n dari pengertian lain tentang ”politik”. Sebab yang datang
bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapat-
kan yang-mungkin. Pada tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita
justru menyaksikan ”politik” sebagai hasrat, setengah nekat, un-
tuk menggayuh yang-tak-mungkin.

Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin.
Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus-
men­ erus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak ter-
hingga—yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia an-
tre berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka
menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang
menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seper­
ti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.

Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.
Weep no more, my lady,
Oh, weep no more today.

Tempo, 16 November 2008

Catatan Pinggir 9 285

http://facebook.com/indonesiapustaka

286 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

KATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah mem-
buang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah­
sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut.­
Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pe­
sannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keada­
an di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang
akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.

Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pa­
da 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat
pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—
den­ gan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indo-
nesia orang menyebutnya ”zaman meleset”.

Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, ju­
ga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa­
dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,”
tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan
yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang
prosp­ ektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sen­
diri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa la­
lu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employ­
ment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah
”tekn­ ik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan
masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita se­
bet­ulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.

Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para
pakar—tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri.
Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti tentang
kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah,
men­ urut Keynes, terdiri atas proses jangka pendek, short runs.

Catatan Pinggir 9 287

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis
bahwa kesukaan Keynes akan jangka pendek hanya akibat ketak-
mampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa generasi.
Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes
seorang gay.

Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih berse­
kol­ah di Eton, Keynes hanya berpacaran dengan sesama pria,
mes­kipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova, bale-
rina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara ten-
densi seksual itu dan teori ekonominya—yang sebenarnya juga
sebuah teori tentang manusia.

Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperki-
rakan, tapi dalam teori Keynes, manusia bukan peran yang pa-
sif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang ”Ta­
ngan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan pen­ a­
waran, para ekonom cenderung memberikan peran yang begitu
do­minan kepada sang Pasar. Tapi Keynes ragu.

Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbe-
sar, India, Keynes tak begitu percaya bahwa dengan mekanisme
yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan problemnya sen­
di­ri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang pera­
sa­an optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah
juga ketika tak ada dasar yang solid untuk sebuah perhitungan
yang masuk akal”.

Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” ada­
lah satu sisi dari manusia. Sisi lain adalah kapasitasnya untuk me­
ngendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era stabili­
sasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian” dengan
pe­ngarahan dan kontrol atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar
ter­capai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya: kekuatan
politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah
ha­sil yang positif, dan perencanaan ekonomi sedikit-banyak di-

288 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

perlukan.
Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang pe­

nulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata peng­
antar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theo­
ry, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepa-
da kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Nega­
ra yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata
Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih
men­ gemuka”.

Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah
Na­zi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berle­
bihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem
yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya.
Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada menga­
gumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes
tak ikut arus.

Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak
kel­uarga istrinya di St Petersburg. Mereka melarat dan menderita.
Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa
dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedalu-
warsa” tentang ekonomi.

Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatas­
an—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Ma-
nusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa
bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi ke-
salahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar
biasa pada Keynes.

Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas
warga elite masyarakat Inggris—lebih karena kepiawaian pikir­
annya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes lahir di
Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian
pucuk kehidupan intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup mem-

Catatan Pinggir 9 289

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

buat John Maynard seorang pemuda cemerlang yang tertarik
akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom.
Ia kolektor seni rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak ke-
hidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal dan valas yang,
mesk­ ipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu
rekan-rekannya yang satu lingkungan.

Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak
jau­ h dari London, ia adalah tuan rumah untuk saat-saat minum
teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat,
semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal.
Di sana secara teratur datang Leonard dan Virginia Woolf, Mary
MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury Group” ini,
ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; no­
vel dan teori-teori terkenal ditulis.

Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi
jiwa tumbuh pada Keynes. Ada sebuah kritik yang datang dari
Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di
Lond­ on School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana
Negara yang gagal mengatur dananya akan rudin terlanda infla­
si. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya kritik
yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan
jangkauan tangan Negara akan mematikan kebebasan, dan akan
membuat borjuasi terhambat.

Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya
berbahaya, kalau dilakukan oleh satu lapisan elite yang progresif
dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge, atau Har-
vard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan pereko-
nomian ke arah terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidak­
nya, dengan kepemimpinan yang pintar dan bisa dipercaya, Ne­
gar­a sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk
keadilan, tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang di­
lemparkan Keynes ke lantai itu bisa terus diingat: perlu keberani­

290 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

an para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di
luar formula kapitalisme.

Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada
1980-an, formula kapitalisme kembali menguat. Para pemimpin
tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara kesejahteraan”. Niat
me­nyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahir­
kan­sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara­
itu hampir mandek. Untuk kesejahteraan yang menyeluruh dan
me­rata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara punya­
uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih
hasil sendiri. Negara, sebagai lembaga publik, merasa wajib meng­
atur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi dengan dem­ ikian
inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.

Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan
Thatcher jadi Perdana Menteri Inggris. Kedua pemimpin ini me­
mulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan, dan
int­ervensi Negara praktis diharamkan.

Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmur­
an yang tampak di bawah perekonomian ala Reagan dan That­
cher,­Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah ia pernah
mengatakan hidup dan sejarah terdiri atas proses jangka-pendek?
Ketika pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mu-
jarab sepanjang masa, manusia lupa akan keterbatasan kecerdas­
annya sendiri.

Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menye­
butkan di mana salahnya ”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua
gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi Reagan sesat ja-
lan karena... ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bu-
kan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara ke-
sejahteraan.”

Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melan-
da dunia mengingatkan orang pada Keynes lagi dan bahwa ada

Catatan Pinggir 9 291

http://facebook.com/indonesiapustaka DI ZAMAN YANG MELESET

keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan manusia.
Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para

pengangg­ ur kian bertambah. Kita membaca angka-angka itu.
Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat
lain tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pa-
hitnya hidup dilanda Depresi Besar dalam novel termasyhur John
Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.

Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudara­
nya telah jadi orang-orang yang terusir, kehilangan tanah, kehi­
langan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya membangun­
murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang mera-
jalela bersama putus asa.

Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit ha­
rap­an. Menjelang akhir novel, Tom Joad menghangatkan hati
ki­ta karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam
ke­kurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa
makan, aku akan di sana....”

Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus da­
tang dari atas.

Tempo, 30 November 2008

292 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MUMBAI

”... yes, it was my Bombay, but also not-mine”

Saleem kembali ke kota kelahirannya, Bombay: tempat
tinggal nostalgianya yang paling dalam. Tapi di awal ta-
hun 1970-an itu, kota itu telah berubah.
Tokoh utama novel Salman Rushdie Midnight’s Children ini
tak menemukan kembali toko penjual tumpukan komik Super-
man. Dan nun di bukit itu tak ada lagi rumah-rumah megah yang
dirias bunga bougenville, menatap ke laut. Tak ada lagi lapang­an
sirkus di masa kanak. Kini yang tampak adalah ”monster-mons­
ter yang mengangkang menjulang ke langit, memanggul nama
asing yang ganjil: OBEROI-SHERATON....”

Saleem, yang dilahirkan di tengah malam 15 Agustus 1947,
pers­is di hari India lahir, akhirnya cuma punya masa lalu. Ia me-
masuki kota itu seraya memeluk erat Aadam, si bocah yang jadi
anakn­ ya, dan berseru gembira: ”Back-to-Bom!” Tapi ia tak bisa
kem­bali. Sebab itu ia harus musnah. Durga telah berkata kepa­da­
nya: ”... ketika orang kehilangan minat pada hal-ihwal yang baru,
ia membuka pintu bagi Malaikat Hitam.”

Kini Bombay disebut Mumbai—hampir sepenuhnya sebuah
hal baru, dibentuk minat baru. Orang jadi penting bila berlalu
lalang di ruang pasar modal yang terus membubung, atau di kori­
dor industri film yang menjangkau dunia. Dengan glamor dan
kalkulator mereka membuat hotel megah seperti Oberoi dan Taj
Mahal bukan sebagai monster yang asing, melainkan sebuah ke­
gairah­an yang tak dimengerti Saleem.

Tapi berbeda dengan Saleem, para penghuni Mumbai di la­
pisa­ n atas itu tak hendak sepenuhnya berpijak ke kota yang oleh
orang Portugis disebut ”Teluk yang Baik” (Bom Bahia) itu. Da­

Catatan Pinggir 9 293

http://facebook.com/indonesiapustaka MUMBAI

lam­sebuah buku yang memukau tentang pesona dan kebrutalan
Bomb­ ay, Maximum City, Suketu Mehta menggambarkan sebuah
kalangan atas, the society set, yang sebenarnya benci hidup di sana.
Mereka tinggal di Mumbai karena tak bisa hidup di tempat lain
di India. Bila mereka pindah, mereka pindah ke New York atau
London. Atau mereka bawa New York dan London ke ibu kota
neg­ ara bagian Maharashtra itu. ”Jika kita berjalan lepas dari ja­
lana­ n Bombay yang jorok, kita akan berada di Soho,” tulis Meh-
ta. ”Seluruh usaha dicurahkan untuk membuatnya ’luar-negeri’:
para pel­ayannya, makanannya, dekornya.”

Tapi mungkin tak hanya kalangan atas yang memimpikan ne­
geri lain. Dengan akses yang relatif mudah ke kancah diaspora
orang-orang India di seluruh dunia, terutama di Amerika dan
Ero­pa, sebenarnya tak jelas betul mana yang ”asing” dan bukan,
man­ a yang ”luar” dan ”dalam”.

Saleem dalam Midnight’s Children—yang riwayatnya oleh
Salman Rushdie diparalelkan dengan bangsa dan negara ”India”
—sebenarnya berdarah Inggris; ia anak haram William Meth-
wold, yang ditukar jadi anak Ahmed dan Amina Sinai. Sampai
akhir hayatnya, Saleem adalah sebuah keragaman dalam satu so-
sok, keanekaan yang batasnya tak jelas. Agaknya menyadari ini,
kutipan awal dalam Maximum City diambil dari ucapan Kabir:
”Aku sendirian, tapi beberapa.”

Bahkan dalam kesendirian, apakah makna batas? Di mana ia
ditarik? Hari-hari ketika Mumbai kena gempur sejumlah teroris
yang tak dikenal, para pemimpin politik dan komentator India
berbicara tentang ”kekuatan luar” dan ”perbatasan yang bolong-
bolong” yang menyebabkan serangan sehebat itu terjadi. Tapi jik­ a
Mumbai, seperti Saleem—ya, seperti India seluruhnya—tak ha­
nya satu, melainkan kebhinekaan, maka yang ”asing” dan yang
”lua­ r” adalah identifikasi yang mudah runyam.

Maximum City mengutip Victor Hugo: semua kota besar di­

294 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MUMBAI

rund­ ung skizofrenia. Mumbai dirundung gejala kepribadian
gand­ a yang bisa parah. Mehta berhasil menghadirkan kepada ki­
ta dunia gelap yang tersembunyi di kota terkaya di India ini: ada
Monalisa, penari kabaret yang memotong pergelangan tangan­
nya sendiri, ada Vijay Lal, perwira polisi yang jujur tapi tak eng-
gan menyiksa tahanannya. Ada Sunil, Satish, dan Mohsin, yang
bis­a bercerita dengan acuh tak acuh bagaimana membunuh
orang.

Mehta tak menjerit menghakimi mereka, meskipun kita bisa
merasakan horor yang merayap ke dalam laporannya.

Dalam cerita Sunil, misalnya. Ia anggota Shiv Sena, organis­as­i
Hindu yang tumbuh dengan dendam dan kebencian kepada­mi-
noritas muslim. Pada Januari 1993, setelah sebuah bentrok­an an-
tara Hindu-muslim, Sunil dan teman-temannya bergerak mem­
ba­bat orang muslim, menjarah milik mereka, membakar tub­ uh
me­reka hidup-hidup.

Dengan rinci ia gambarkan bagaimana seseorang mati terba-
kar. ”Minyak menetes dari tubuhnya. Matanya jadi besar, besar...
dan jika kau sentuh tangannya, putihnya kelihatan, putih, pu-
tih... terutama di hidung.”

Horor, dia sendiri mengakui itu. Tapi ia dengan tenang mem-
basmi habis tubuh penjual roti langganannya. ”Kejahatannya ter-
besar adalah ia muslim,” seperti kata seorang anggota Sena yang
lain.

Hal yang sama bisa dikatakan oleh seorang muslim yang me-
menggal leher seorang Hindu: ”Kejahatannya terbesar adalah ia
Hindu”—dan sebab itu identitas di Mumbai, sebagaimana diki-
sahkan Mehta, harus bisa dikaburkan: kartu nama dicetak dalam
dua versi, muslim dan Hindu.

Ini cara untuk selamat, ini mungkin bukan heroisme, tapi ja­
ngan-j­angan ini menunjukkan dasar persoalan: bagaimana kita
men­definisikan diri dan orang lain?

Catatan Pinggir 9 295

http://facebook.com/indonesiapustaka MUMBAI

Dalam kisah Salman Rushdie, Saleem menutup kisahnya de-
ngan sebuah kalimat amat panjang. Tapi kata-katanya bukan se-
buah ucapan selamat tinggal kepada India yang beraneka-ragam.
Justru sebaliknya:

”Akulah bom di Bombay, simaklah aku meledak, tulang pe­cah-
retak tertekan desakan tak enak kelimunan manusia, kantung berisi
belulang yang jatuh, ke bawah ke bawah ke bawah...

... aku telah jadi yang-begitu-banyak-terlampau-banyak....”
”Terlampau banyak”: perbedaan bukanlah sesuatu yang gam-
pang berhenti. Siapa yang memaksakan sesuatu yang tunggal,
akan batal.

Tempo, 7 Desember 2008

296 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka FORTINBRAS

DI tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan se­
orang Fortinbras. Pangeran Norwegia yang masih­mu­
da ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakes­
peare, tapi dalam dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga
absurditas.

Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Ham-
let menyaksikan pangeran itu menggelar pasukan: 20 ribu praju-
rit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak berangkat ti-
dur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah
yang tak berarti, petak yang begitu kecil hingga tak cukup un-
tuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh [akan] disembu-
nyikan”.

Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan:
bahkan demi ”sekerat cangkang telur” pun orang macam Fortin-
bras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tak
dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.

Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap ke­
pahlawanan. Tapi kegilaan dan kedahsyatan Fortinbras meng-
gugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore
ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikir­
an—”yang sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat
kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap: ia akan
bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak ber-
harga.

Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib
dan kemungkinan mati dihadapi. Orang tak perlu lagi ”memikir-
kan terlalu persis apa yang terjadi”. Sebab kita tahu sebagaimana
Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar,
adil dan tak adil, patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak

Catatan Pinggir 9 297

http://facebook.com/indonesiapustaka FORTINBRAS

dapat sepenuhnya tajam dan dapat dikekalkan. Momen keputus­
an, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang mende-
sak, momen yang digegas. ”Saat keputusan adalah sebuah kegila­
an” (ia mengutip Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah
int­erupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis, hukum, dan
ethis—tapi itulah kebebasan.

Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang
takut akan ”kegilaan”, waswas akan pikiran ”berlumur darah”
dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak sela­
ma­nya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan
luhur dalam niat. Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat
politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut sebuah para-
bel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penon-
ton dari sang pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan.
Sang pelaku pertandingan tak akan bisa melihat dari luar gelang-
gang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh
kemasyhuran.

Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat
mengambil jarak dari laku yang terjadi di arena itu. Dialah tamsil
sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan mengamati dan
merenungkan, bios theôrêtikos. Arendt juga mengatakan bahwa
dalam risalah Plato tentang ”negarawan”, seorang penguasa yang
ideal dikatakan tak bertindak sama sekali. Ia berada di atas per-
buatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang
bekerja, ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian
yang bila perlu menempuh air yang bacin dan lumpur yang ber-
najis.

Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirun­
dung­bimbang? Pangeran Denmark ini, mahasiswa yang pere-
nung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewa-
jiban yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan
seperti ”sebuah penjara”. Shakespeare menggambarkan anak

298 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka FORTINBRAS

mu­da itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana Elsinore, ber-
gumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar
ini—gumam bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-
hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa yang mungkin terjadi.
Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah
dan kematian,

Dan rona asli yang mewarnai tekad
jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat
Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama
Jadi surut, berpaling jalan
Tak lagi bernama tindakan—
Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak ber-
tindak. Tekadnya masih saja ”tersaput pikiran pucat”. Satu hal be-
sar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai penonton—
atau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di ba-
bak III karya Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertun­
jukan sandiwara yang menyindir Raja, orang yang kini bertakhta
dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang
dua bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di
mal­am itu, seperti dikatakannya kepada sahabatnya, Horatio,
ada­lah ”Aku harus seperti tak berbuat apa-apa”.
Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet­
sebenarnya. Ia telah menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenung-
kan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku berlangsung tanpa ki­
ta mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebe-
lumnya ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama,
ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali menganggap itu sebagai cela.
Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah kebebas­
an?
Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan di-

Catatan Pinggir 9 299

http://facebook.com/indonesiapustaka FORTINBRAS

gerakkan seorang Fortinbras. Pada akhirnya, di satu ujung jalan,­
kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil,­
dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersi-
fat coba-coba; tak ada yang untuk selama-lamanya. Kita mung-
kin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal adalah ilusi.

Tempo, 14 Desember 2008

300 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PELACUR

Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu meme­
cah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pela-
cur.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung,
Jaw­ a Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun
mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.

Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun,
berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerja­
nya.­Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecah­
nya,­untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun,
anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam
sampai tengah hari.

Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrak­
an mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai
pukul tiga sore.

Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua
anakn­ ya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ri­
bu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur,
mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kam-
pung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan se­
ped­ a motor.

Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina
itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.

Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang meni­
kah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu
dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka
saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di
Pabrik Rokok ”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting si-
garet itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus meni-

Catatan Pinggir 9 301

http://facebook.com/indonesiapustaka PELACUR

kah.
Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya

di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada peng-
harapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus
asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bo­
lo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan
jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir
sep­ aruh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan
mal­am mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif:
Rp 10 ribu sepersetubuhan.

”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang,
selama ini, ketika melayani tamu?”

”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang
pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah
satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perem-
puan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur
itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang ke-
cil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mere­
ka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana
Shir­a Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersa­
ma peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di
Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri
ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui
mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk
se­p­ erti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang te­
rus­menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk­No­
va yang dibawanya ikut ke Jakarta.
Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara,
dan aktivis perempuan yang menjamu mereka tak membuat para
pel­acur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova diurus pa-

302 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PELACUR

nitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya
melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua
dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke
neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutrada-
ra dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada
tahun 2000 setelah enam tahun di pesantren Darunnajah di Ja-
karta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca ma-
jalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur
dan kaumnya.

Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran.
Ada dua yang legal, yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-
sia:­di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan kerja
datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertam-
bah 50 persen.

Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang
den­ gan hormat ke wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Na-
sib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus seko-
lah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur
berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan
melacur ia rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa
mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu hidup
anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang sauda-
ra. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialek-
tika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang
pem­ ilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, se­
orang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) da­
lam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan.

Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.
Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang re­
mang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengu­
tuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut

Catatan Pinggir 9 303

http://facebook.com/indonesiapustaka PELACUR

paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu
bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi
ke­ringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bu-
lan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tu-
lungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang de-
ngan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah
penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk memban-
tu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.

Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupa­
kan-N­ ya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk
menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya,
karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam
kerelaannya.

Tempo, 21 Desember 2008

304 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PIZZARO

DI abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mung­
kin ia bukan yang disebut Yesus, yang digambarkan­se-
bagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Na-
tal. Tapi apa arti sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana
pun,­pada akhirnya manusialah yang memilih bagaimana me-
manggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi ke-
hendak di dunia.

Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan mencerita-
kannya dengan sedikit imajinasi.

Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Ame­
rika Selatan itu dengan 102 orang pasukan dan 62 ekor kuda. De-
ngan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir Spanyol itu
men­ garungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-
orang kufur, najis, biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi
tia­ p laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan lurus yang ditun-
jukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang.

Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menung-
gu Atahualpa, raja bangsa Inca. Ia di sana bersama ribuan hamba
sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka sebenarnya
siap berperang.

Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka
oleh Frater Vicente, rohaniwan yang datang bersama para con­
quistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan
sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai,
sebagaimana Pizarro, utusan Raja Spanyol yang dia sebut sebagai
”sahabat Tuhan”. Ia mengimbau orang Inca agar meninggalkan
de­wa-dewa mereka.

Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah
Atah­ ualpa menjawab bahwa ia tak dapat mengubah imannya ke-

Catatan Pinggir 9 305

http://facebook.com/indonesiapustaka PIZZARO

pada sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat.
Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.

Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan
Tuan atas agama Tuan?”

”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan.
”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara pada-
ku.”
Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengar­
kan di dekat kuping. Dan tanpa beranjak dari takhta, dengan ge­
rak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata
suc­ i yang tercetak itu ke tanah.
Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!”
Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa
yang sudah direncanakan. Mereka teriakkan perintah menye­
rang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier
dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.
Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak
pern­ ah menghadapi senjata itu terkejut, panik, menghambur
hen­dak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan
man­ usia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan
1.500 orang mati terinjak-injak.
Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sande­
ra. Ia akhirnya menawarkan emas untuk memperoleh kebebasan-
nya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000 kilo­
gram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa­
tetap dikurung. Pada akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat
ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol dibunuhi. Tak
ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan
yang diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia
akan dibakar hidup-hidup bila menolak Yesus, atau ia akan hanya
mat­i dicekik bila bersedia berpindah agama.
Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang

306 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PIZZARO

kaf­ir dan memilih cara pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia
dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca.

Pizarro berhasil.
Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah ke-
berhasilan. Seandainya pun Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan
bahwa Tuhan ada bersama para penakluk—sebab di sini Tuhan
hadir sebagai ”Aku” yang menaklukkan.
Siapa pun nama-Nya.

Tempo, 28 Desember 2008

Catatan Pinggir 9 307

http://facebook.com/indonesiapustaka

308 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka

2009

Catatan Pinggir 9 309

http://facebook.com/indonesiapustaka

310 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TRANSFORMASI

Ketika Kristus lahir
dunia jadi putih
juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah
jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari

Subagio Sastrowardojo mengerti transformasi yang aja-
ib dalam kisah Natal. Ia bukan seorang Kristen, tapi sajak
itu datang dari sebuah Indonesia sekian puluh tahun yang
lalu, yang dengan serta-merta mengerti apa yang universal dalam
cer­ita yang luar biasa tapi juga bersahaja itu: Yesus lahir, tapi ha­
nya­satu bintang di langit yang tampak terang di atas Bethlehem.
Tak ada suara dahsyat atau guncangan bumi yang mengubah
geog­ rafi. ”Malam sunyi...,” kata lagu yang berulang kita dengar
itu. Begitu biasa, tapi kelahiran itu diterima sebagai isyarat: Tu-
han tak meninggalkan manusia sendirian.

Maka,
manusia berdiri dingin sebagai patung-patung mesir
dengan mata termangu ke satu arah
Dalam imaji yang muncul dari larik sajak ini, manusia tak
ber­gerak, bahkan tanpa perasaan lagi. Tapi suatu ketika terasa
ada daya lain yang mengambil peran. Dari sesosok kekuatan yang
dalam Perjanjian Lama digambarkan bisa ganas, cemburu, dan
dest­ruktif, hadir sebuah pesona yang diasosiasikan dengan ”ta­
ngan­bayi sepuluh hari”. Dan manusia termangu.
Pertanyaan besar sejarah—yang sebenarnya tiap akhir tahun
diu­ ngkapkan dengan cara yang banal—adalah bagaimana keaja-
iban seperti itu mungkin. Dengan kata lain, bagaimana harapa­ n

Catatan Pinggir 9 311

http://facebook.com/indonesiapustaka TRANSFORMASI

bisa hidup. Bisakah dunia dan kehidupan diperbaiki, ketika ri­
wayat manusia telah demikian panjang, juga deretan kekecewa­
annya.

Nabi-nabi datang, petuah dan perintah dimaklumkan, dan
kem­ udian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknolo-
gi—tapi tiap kali kita mengalami perbaikan dalam hidup, tiap
kal­i ada mala yang terjadi. Mungkin sebab itu di sebuah buku
yang terbit pada 1990 Agamben menulis: ”Kita dapat mempunyai­
harapan hanya dalam apa yang tak punya penyembuhan” (rime­
dio).

Tentu saja ada paradoks dalam ucapan itu. Berharap kepada­
sesuatu yang tak bisa disembuhkan atau tak dapat diperbaiki sa­
ma saja dengan tak berharap. Namun barangkali di situ bekerja
iman, sebuah dasar sikap yang dalam agama Kristen dan Islam
di­contohkan dalam diri Ibrahim. Kita ingat ia dititahkan Tuhan
menyembelih anak kesayangannya sendiri. Kita bayangkan ia
berj­alan sedih, tak paham, lunglai, ke Gunung Muria dan cuma
percaya kepada sesuatu yang tak bisa diperhitungkannya.

Ada semacam sikap tawakal (yang tak selalu terkait dengan
agam­ a) ketika manusia berjalan terus, walaupun sejarah penuh
de­ngan kebengisan, kegagalan, dan kesengsaraan. Tak henti-hen­
tinya kita mengarungi l’ irreparabile, yang tak dapat diperbaiki.

Dalam keadaan itu manusia memang kelihatan heroik. Na-
mun ada yang kosong: baginya, tak akan ada transformasi di du-
nia. Manusia dengan gagah menanggungkan langit yang ”gelap
oleh darah dan jinah”, tanpa tahu bahwa sesuatu bisa mengubah
itu jadi ”lembut seperti tangan bayi yang sepuluh hari”.

Kita bisa mempersoalkan tepat-tidaknya metafora dalam sa-
jak Subagio itu (bagaimana langit jadi seperti ”tangan bayi”?). Ta­
pi kita tak akan luput menangkap radikalnya perubahan yang
terj­adi ketika kita tahu bahwa Tuhan, atau apa pun namanya bagi
yang mengutamakan cinta kasih, bisa begitu dekat. Tak menghe­

312 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TRANSFORMASI

rankan bila Paulus dikutip mengatakan bahwa di antara tiga hal
yang tinggal—iman, pengharapan, kasih—maka kasih itulah
yang terbesar. Iman dan pengharapan bisa menggusur gunung.
Kasih tak merasa perlu untuk itu. Ia merayakan adanya gunung,
membuka diri kepada liyan, yang lain, yang bukan dirinya.

Sajak Subagio menyebut ”mata” (manusia) yang ”termangu
ke satu arah”. Kata ”termangu”—dan bukan ”terpaku”—menya­
rank­ an sikap visual yang lebih pasif. ”Satu arah” itu bukan sesu­
atu yang disasar, melainkan sesuatu yang seakan-akan justru me-
narik kita ke arahnya, meskipun tak jelas benar.

”Kita mengharapkan apa yang tak kita lihat,” kata Paulus, ”ki­
ta menantikannya dengan tekun.” Artinya, yang penting bukan­
lah yang tampak, tempat kita meletakkan fokus. Yang penting
buk­ anlah sesuatu yang dapat dipastikan, yang bisa dikuasai.
Bah­wa kita bisa tekun menantikannya itu karena kita terpesona
ketika sesuatu yang seakan-akan mukjizat hadir: ada cinta kasih,
ternyata.

Sebab itu harapan tak sepenuhnya penting untuk membuat
hid­ up berharga. Kesadaran akan ini kurang meluas di sebuah ba-
bakan kehidupan yang oleh Agamben disebut sebagai ”waktu
yang tinggal”. Ini bukan lagi waktu para ”nabi”, kata Agamben.
Dalam tradisi Yahudi, ”nabi” didefinisikan ”oleh hubungannya
de­ngan masa depan”. Bagi Agamben, ”waktu yang tertinggal”
ada­lah waktu yang sekarang. Dan itu adalah waktu para ”utus­
an”, apostel, yang dalam peristilahan Kristen disebut ”rasul”. Sab-
da, kata Agamben, ”diberikan kepada sang rasul, utusan sang ju­
ru selamat, yang waktunya bukanlah masa depan, melainkan se­
karang”.

Di ”waktu yang tersisa” sekarang ini, harapan, iman, dan cinta­
kasih tak selalu cocok—bahkan terkadang yang dua pertama di­
sebut diunggulkan di atas yang lain. Sajak Subagio mengingat-
kan, Natal tak datang tanpa kejutan.

Catatan Pinggir 9 313

http://facebook.com/indonesiapustaka TRANSFORMASI

Terutama ketika iman bisa begitu keras dan harapan jadi op-
timisme yang buta dan menghalalkan segalanya. ”Dunia jadi pu-
tih” bukan tanda musim dingin yang hanya terjadi di sebagian
muka bumi. ”Dunia jadi putih” adalah bagian dari transformasi
ketika kita menyadari bahwa kita tak selamanya hidup di bawah
kekerasan dan pelanggaran, ”darah dan jinah”. Di waktu yang
tersisa ini, kelembutan terkadang menyelip—dan unggul.

Hanya dalam ritual agama, yang aturannya ditaati tiap kali,
dan hanya dalam kalender iklan, Natal dapat direncanakan.

Tempo, 4 Januari 2009

314 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DIBURU

Tahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi
kit­a tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita yang senantiasa
datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya se­
telah perjalanan selesai.

Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab
ki­ta adalah anjing diburu dalam tamsil Catetan Th. 1946 Chairil
Anwar, yang

—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.
Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tam-
bo tentang perubahan, ketika
Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.
Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai,
gejolak reda dan rusuh hati berhenti, jika bencana, jatuh bangun-
nya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk sudah le-
wat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kabur—jika nanti tia-
da sawan lagi diburu/Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan
berdebu—kita akan bisa mencoba menemukan makna dari semua
itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir setempat.
Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kemba-
li ”kenangan berdebu”, dan memberi arti dari pengalaman itu—
semua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas ruang
dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. ”Sandi-
wara sekarang” kian lama kian hanya secara fragmentaris tam-

Catatan Pinggir 9 315

http://facebook.com/indonesiapustaka DIBURU

pak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.
Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-

bend­ a teknologi ditemu-ciptakan dan disebarkan kian cepat dan
tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian mudah
jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat me-
luas, dan berubah pula ekologi manusia yang merespons infor-
masi itu.

Semua memergoki kita sebelum kita siap—seakan-akan pada
tiap jam berita pagi masa-depan melewati ambang pintu tanpa
me­ngetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti kera­
gama­ n, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang
pern­ ah disebut sebagai ”kejutan masa-depan”, the future shock, ki­
ni jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana kita ”tahu” atau
”tak tahu”. Kita ”tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur
atau di ranjang”, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. ”Ke­
juta­ n masa-depan” mempercepat masa-kini jadi masa-lalu, dan
men­ yebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita,
makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi.

Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita,
dan goyah pula posisi kita sebagai subyek yang ”mengetahui”.
Apa artinya ”mengetahui”? Alain Badiou mencerminkan suasana
zaman ini ketika ia membedakan ”pengetahuan” dari ”kebenar­
an”.

”Pengetahuan” bersifat melanjutkan, mengulang, menerap-
kan. Sebaliknya kebenaran bercirikan sifat ”baru”, sesuatu yang
”kawedar”—sesuatu yang kita temui ketika kita misalnya mem-
baca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Hei-
degger tentang penyair dan kebenaran: ”Penyair selalu bicara se­
akan-akan ’ada’ diekspresikan buat pertama kalinya.”

Badiou berbicara tentang ”proses kebenaran”.
Proses itu menyebabkan ”pengetahuan” tak begitu penting di­
bandingkan pengalaman dan perbuatan.

316 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DIBURU

Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan ke-
mudian mencoba mempertautkan) antara ngèlmu dan laku, anta-
ra ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan
da­lam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi
ini, dalam arus deras informasi yang berubah terus dengan cepat
ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan sebaliknya laku
membentuk ngèlmu?

Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita,
dan pengalaman jasmaniah, punya sejarah sendiri. Ada masanya­
ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-em-
piris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari per-
jalanan di dunia, ” kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair
Wedatama yang terkenal.

Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam
ambivalensi. Di satu pihak ada dorongan untuk melihat kesadar­
an, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain pihak
ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan se-
bagai sesuatu yang berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman
itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris ha­
nya mampu menyajikan ”sebagian dari sandiwara sekarang”—
de­ngan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain pihak ada
keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi,
batas itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mem-
punyai sebuah pandangan yang total, yang menyeluruh, tentang
hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika ma-
nusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia men-
jalani sebuah laku, sebuah perjalanan dalam hidup. Di lain pi-
hak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan Kitab Su­
ci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari to-
talitas yang belum diungkapkan kepada kita.

Catatan Pinggir 9 317

http://facebook.com/indonesiapustaka DIBURU

Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti tebersit dari Ca­
tetan Th. 1946, kita selalu mencoba berdiri dari sejarah yang ter-
guncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—tapi itu­
lah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, ter-
kadang dengan kreatif, dalam dunia fisik yang rapuh, sementara,
kekurangan.

Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris
dari Chairil lagi yang bisa menjawab:

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau ba­
sah!­

Tempo, 11 Januari 2009

318 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SISIPHUS

DI atas tuts pianonya, Ibrahim Souss memainkan Le
Myth­de Sisyphe. Komposisi itu mencoba menghidup-
kan kembali gerak, kepedihan, dan absurditas nasib
yang dialami manusia setengah dewa yang dihukum Zeus itu: ia,­
Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan
tia­ p kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia ha­­
rus­kembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi. Dalam mi­
tol­­ogi Yunani Kuno itu, nasib itu tak pernah berakhir.

Souss memainkan karyanya itu ketika ia jadi direktur kantor
PLO di Paris, sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak tahu di mana
ia sekarang: seorang pianis yang piawai, komponis yang kreatif,
yang dengan Le Myth de Sisyphe hendak menyatakan sesuatu ten-
tang Palestina.

Ia lahir di Yerusalem pada 1945. Umurnya baru tiga tahun
ket­ika orang Palestina diusir dari bagian kota itu setelah perang
Arab-Israel tahun 1948. Setelah kekalahan Arab yang nista pada
1967, Ibrahim bergabung dengan PLO. Ia memilih karena ia ha­
rus­memilih: ia tahu ia, bagian dari bangsa yang diusir dan di­
abai­kan, tak bisa cuma bisa hidup merdeka dengan musik.

Sisiphus-nya pun mengandung ambiguitas. Di satu pihak, di
dalamnya tergambar nasib orang Palestina yang tiap kali berha­
rap, tiap kali pula kandas. Dari 1948 sampai 2009, berapa genera-
si terus hidup terjepit dan dihinakan, berapa usaha perdamaian
ga­wal?

Tapi, seperti kata Souss sendiri, Palestina bukan Sisiphus.
”Ka­mi menolak menjalankan hukuman itu.” Hakikat Palestina,
katanya pula, adalah penampikannya untuk dibuang.

Ambiguitas itu pula yang tersirat ketika Albert Camus menu-
lis esainya dengan tema yang sama. Saya kira pengaruh Camus

Catatan Pinggir 9 319

http://facebook.com/indonesiapustaka SISIPHUS

pad­ a Souss cukup jelas, meskipun ia sampai pada kesimpulan
yang berbeda.

Dalam tafsir Camus, kian lama kian tumbuh semacam simbi­
osis dalam diri Sisiphus dengan batu yang diangkutnya. Pada to-
koh itu tampak, tulis Camus, sebuah wajah yang, seraya bekerja­
keras dan begitu dekat dengan batu, telah mengeraskan diri dan
dunianya. Dari keadaan terkutuk dan dipenjara para dewa, ia
akhirnya mengubah posisinya secara radikal. Kini nasibnya ada­
lah miliknya. Ia lebih kuat ketimbang batu karang.

Sebuah sikap yang gagah, tentu—yang dengan itu juga me­
nunjukkan perlawanan terhadap Zeus: raja dewa itu hendak
mengh­ inanya, tapi Sisiphus-lah yang kini menistanya, dengan
menga­ nggap hukuman itu tak relevan. Sejak saat itu, alam semes-
ta tak punya lagi yang dipertuan.

Tapi kesimpulan Camus yang termasyhur, bahwa kita harus
bisa membayangkan Sisiphus ”bahagia”, adalah kesimpulan yang
bermasalah. Setidaknya bagi Souss. Dan yang pasti bagi Palesti-
na. Heroisme yang tampak di sana memang memberikan se­ma­
ngat,­tapi itu bukan kisah kepahlawanan yang menyenangkan.
Di Palestina, pahlawan tak mati hanya satu kali, melainkan ber­
kali-kali. Tiap kali sang syuhada tewas hidup pun bersinar, tap­ i
seb­ entar, dan selamanya pedih.

Masalahnya, bisakah yang heroik dan yang pedih itu menggu­
gah, di masa kita sekarang? Ketika Camus menuliskan esainya
pa­da awal tahun 1940-an, ia tak mempersoalkan itu. Ia bertolak­
dari asumsi yang lazim pada zamannya: siapa saja akan melihat­
hu­kuman atas Sisiphus sesuatu yang tak bisa diterima dalam ta­
tanan manusia, dan perlawanannya dengan demikian amat dah-
syat. Tapi ”manusia”, siapakah dia sekarang? Samakah ia dengan
”siapa saja”?

Di Palestina, gerilyawan dan bocah-bocah, aktivis dan kakek-
nenek, dengan segera tahu apa artinya ketidakadilan. ”Kau bu-

320 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SISIPHUS

rung yang beruntung... ajari aku terbang mengatasi peluru, ajari
aku merdeka,” begitulah kerinduan diucapkan dalam lagu yang
dig­ ubah Rima Terazi, yang dinyanyikan anak-anak di kamp-
kamp pengungsi. Kerinduan kepada sesuatu yang absen: keadil­
an, kemerdekaan, perdamaian. Kerinduan yang di sini berlaku
bagi ”siapa saja”.

Tapi di Amerika dan Eropa, tampaknya ada kesulitan besar
unt­uk melihat yang universal dalam kerinduan itu. Orang me-
nyaksikan bagaimana museum Holocaust didirikan di mana-
mana di kedua bagian dunia ”Barat” itu, sebagai tanda solidaritas­
kepada orang-orang Yahudi yang dibunuh dan diusir di Eropa
pada zaman Hitler. Sementara orang bisa mencatat begitu sedikit
simpati kepada orang Palestina yang ditundung dari tanahnya se-
lama 60 tahun.

Mau tak mau, orang sampai pada kesimpulan bahwa yang-
uni­versal tidaklah satu. Ada yang menang dan yang kalah, ada
yang berada dalam hegemoni dan yang masih tersingkir.

Tapi bila yang-universal ternyata tak satu, dan bahwa yang
tam­pak sebenarnya akibat posisi hegemonik satu bagian masya­
rakat manusia dalam menilai, apa gerangan yang dapat membuat
kita melihat manusia langsung sebagai sesama? Apa yang mem-
buat kita tergerak untuk berbuat baik di mana saja dan kapan saja
dan bagi siapa saja—sesuatu yang lahir dari yang disebut Kant se-
bagai das Faktum der Vernunft?

Atau ”faktum” itu jangan-jangan hanya fiksi? Kini, di Palesti­
na yang diduduki Israel, aniaya seperti tak pernah bisa dihenti-
kan. Kini ada bagian dari dunia yang tak merasa dituntut untuk
berbuat baik ke mereka yang dinistakan. Sementara itu, ada juga
yang hanya mau berbuat baik buat Palestina tanpa mau berbuat
baik kepada mereka yang lain yang juga dianiaya.

Bila demikian, manusia akan hilang harap untuk jadi sesa-
ma....

Catatan Pinggir 9 321

http://facebook.com/indonesiapustaka SISIPHUS

Untunglah, compassion—perasaan ikut sakit ketika orang lain
menderita—bukanlah sesuatu yang mustahil; kita mengalaminya­
sehari-hari, tanpa kita harus melalui pergulatan politik untuk
mer­asa bertugas menolong orang lain.

Yang mencemaskan dari tragedi Palestina ialah bahwa peng­
alam­an sehari-hari itu acap kali tenggelam. Yang memberi harap­
an ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan
sel­alu kembali.

Mungkin macam Sisiphus.

Tempo, 18 Januari 2009

322 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka POHON

DI sebagian bukit Pasir Tengah di atas Sarongge, hutan
jad­ i monoton. Pohon-pohon kayu putih menguasai
area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai
15 meter, berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-
akan jangat yang telanjang dan di sana-sini terkelupas.

Di bawahnya: hamparan rumpun daun wortel. Bumi dibudi­
dayakan dengan telaten di sini. Dari pucuk bukit, sesekali terde­
ngar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk meng­
angkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki
yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para
pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekat
tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan
di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi ten-
da-tenda putih yang melindungi perkebunan strawberry.

Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hi­
dup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses pro­
duksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit
dan hutan tropis itu untuk perspektif tersebut.

Hanya beberapa hektare di sebelah sana, tampak lanskap yang
berbeda: sisi bukit yang belum disentuh. Hutan masih penuh ra-
gam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasamala dan mahoni,
suren dan puspa, tampak nongol dengan pelbagai derajat warna
cokelat-abu-abu-hijau, bertaut dengan belukar yang tak teperma-
nai, mungkin di antaranya bermula pada zaman purba.

Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit
itu masih hidup sekitar 60 ekor harimau. Di situ manusia be-
lum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya
sendiri.

Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan

Catatan Pinggir 9 323

http://facebook.com/indonesiapustaka POHON

dua sisi tanah tinggi dan kehidupan. Yang satu akan disebut se-
cara resmi sebagai ”hutan industri”, yang sebenarnya adalah ”ke-
bun”—sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan
jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, ”di mana alam
hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich). Yang lain, yang di
sebelah sana: pohon-pohon yang seperti pokok eik yang disan-
jung sang penyair, mengorak tanpa dikelola dalam tahap dan jen-
jang pertumbuhan oleh manusia:

Dan engkau mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari
akar yang kukuh, saling berjalin, mencengkeram ruang, dengan le­
ngan­perkasa, seperti elang menangkap mangsa....

Kontras itu memang dibangun dari sebuah masa ketika sang
penyair Jerman akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam
hi­dupnya yang menyendiri, merindukan kemerdekaan (dika­ta­
kan ia melintasi masuk ke zaman Romantik) dan hanya dengan
ke­bebasan ia tak hendak menampik kehidupan yang dibangun
da­ri orang-orang yang asyik beramai-ramai, kehidupan yang di­
sebutnya sebagai das gesellige Leben.

Kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda, tapi
tampaknya kita belum bisa melepaskan hasrat itu: tak hendak
men­ yerah kepada persetujuan orang banyak yang hanya tunduk
kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Men­
schenbeifall, (”Persetujuan Orang-orang”). Pasar dan demokrasi
memang menjurus ke arah penciptaan ”kebun” ketimbang po­
hon-­pohon yang, seperti pokok eik (Eichbäume) ”tegak, bagaikan
kaum para titan”. Tapi haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah
hut­an industri?

Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tu-
nas yang berbeda ke celah-celah pohon kayu putih—sebuah tin-
dakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi tu-

324 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka POHON

nas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas
di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang ”eksotik”, kata petugas
Departemen Kehutanan itu, melainkan yang ”endemik”. Para
pe­tani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-po-
hon yang produktif, tetapi sesuatu yang tidak produktif: sesuatu
yang justru lebih dekat kepada hidup, meskipun bukan hidup
”manusia yang bekerja keras untuk hasil”, yang disebut dalam sa-
jak Die Eichbäume.

Yang tanpa hasil, yang tak produktif berguna ketika jarak an-
tara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang
menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua
itu tak lagi menyimpan cukup air.

Kini yang dulu disebut sebagai keindahan yang hijau bukan
lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersi-
kap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak meng-
hancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak
untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain,
kek­ uasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin
yang harus dijangkau bersama.

Pohon tegak, ”masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah
aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Manusia mungkin tak sebagai
dewa ketika membentuk aliansi merdeka—sebab aliansi itu bu-
kan hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga
tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru 30 tahun kemudian
pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan melihatnya.

Saya tersentak sejenak. Mungkin jika ada yang berharga da­
lam laku saya, sebagaimana laku orang-orang lain hari itu di bu­
kit Pasir Tengah itu, ialah mengingat bahwa kita tak melakukan
itu buat diri kita sendiri yang besok lusa mungkin mati.

Tempo, 25 Januari 2009

Catatan Pinggir 9 325

http://facebook.com/indonesiapustaka

326 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka BADRI

Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri
seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang
baru.
Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah
itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat,
kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi
ini tak datang ke dunia secara spektakuler. Ia menyusup dalam
berkas-berkas kecil.

Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian da­
ri Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-ta­
hun­lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang
ba­bat hutan. Bersama beberapa temannya, ia keluar-masuk kawa­
san Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji
dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-po-
tong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, se­
jak­tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan
nafkahnya dengan merusak hutan.

Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun
1979.

Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jumat. Sejak pagi ia terus
saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia
beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti diku-
tip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.

”Hanya setetes,” katanya, ”tetapi membuat badan saya segar.
Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hi-
lang.”

Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu
da­tang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok
yang baru ditebangnya. ”Saya terkejut,” kata Badri. ”Saya duduk

Catatan Pinggir 9 327


Click to View FlipBook Version