http://facebook.com/indonesiapustaka AMPUN
yang bukan korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan.
Kadang-kadang pula kita lupa, dalam memaafkan ada godaan
keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma untuk
menunjukkan kekayaannya.
Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak di-
maksudkan sebagai pengampunan. Tindakan Uskup Myriel
mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi membebaskan
seseorang dari siksaan—dan membebaskannya pula dari kepasti
an nasib yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromoco-
rah yang ke mana-mana harus membawa paspor kuning, tak se-
terusnya harus nista.
Tempo, 5 September 2010
678 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
Sebuah klise: What is in a name?
Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597,
kata-kata itu diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap
kali orang kerepotan karena soal nama, dikutiplah Juliet (atau
persisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan soal penting.
Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, mes
kipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.
What’s Montague? It is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.
Nama, buat Juliet, hanya tempelan. Nama bukan tangan, ka
ki, lengan, atau wajah. ”Romeo, doff thy name!” katanya kepada
sangpacar agar menanggalkan tempelan itu. Juliet sedang ma
bukk ep ayang. Baginya cintanya tak akan buyar kalaupun Romeo
Montague menamakan diri ”Johny Puyol.”
Tapi klise terjadi karena repetisi dan, dalam hal ini, repetisi
terjadi karena ternyata orang berkali-kali dibikin repot oleh na
ma. Romeo and Juliet jadi sebuah tragedi (yang dikenang terus se-
lama hampir 500 tahun) justru karena Juliet salah berteori; ia tak
tahu ada banyak hal yang terdapat dalam sebuah nama.
Terutama di Indonesia. Di negeri ini, pemberian nama adalah
sebuah kehebohan. Di masa kecil, Bung Karno diganti namanya
dari ”Kusno” jadi ”Sukarno”. Ayahnya berharap anak laki-laki itu
tak akan sakit-sakitan lagi. Malah dengan nama baru itu ia di
harapkan akan seperti Karna, tokoh cerita wayang itu. Menurut
penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna se
orang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si
Catatan Pinggir 9 679
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
anak.
Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan seka-
dar tempelan. Nama punya daya performatif.
Ya, Juliet salah.
Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak semba-
rangan memberi nama anaknya. Yang laki-laki: ”Guntur”, ”Gu-
ruh”, Taufan”—kata-kata yang punya daya sugestif tentang ke-
dahsyatan alam. Yang perempuan: ”Mega” dan ”Sukma”. Kedua
kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut.
Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi pen
ting:”Guntur” dan ”guruh” dipilih karena lebih bagus terdengar
ketimbang ”gledek”. Bung Karno & segenap bangsa Indonesia
akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang anak berna-
ma ”Gledek Sukarnoputra”.
Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat
(dan sifat) orang tua ketimbang nasib si anak. ”Guntur”, ”guruh”,
”taufan”, ”mega” menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-
halyang sublim, yang tak statis, dan terkait dengan langit.
Pelukis Djoko Pekik—seorang perupa Lekra yang datang da
ri sebuah desa Jawa Tengah yang miskin—melihat ke arah lain.
Nama anak + cucunya dipinjamnya dari benda sehari-hari yang
tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril
(”paku rel kereta api”), Lugut (”miang pada bambu”), Drejeg La
lang(”umbi alang-alang”). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sa-
dar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi
nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.
Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin
ini bagian dari kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi
dewasa dan mandiri, seorang anak Indonesia mengubah nama
nyayang ia rasakan tak cocok lagi buat dirinya: Yapi Panda Ab-
diel Tambajong jadi ”Remy Silado”, sastrawan tenar. Almarhum
wartawan Budiman S. Hartojo lahir sebagai Munawir. Apalagi
680 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
di Jawa Tengah: orang lazim meninggalkan nama muda dan me-
makai jeneng tuwa: Harjowiryo, dulu Sukidi.
Nama, dengan demikian, sebuah pengukuhan diri dan pe
nand a transisi.
Tapi yang ditandai tak hanya transisi pribadi. Indonesia per-
nah menyaksikan politik penamaan bergerak dalam skala besar
—satu bukti bahwa bahasa, yang punya kekuasaan atas diri kita,
juga terlibat dengan benturan kekuasaan di masyarakat luas. Un-
tuk memperkuat ke-Indonesia-an, elite politik mendesak orang
Indonesia keturunan Cina mengubah namanya agar tak terasa
”Cina” lagi. Peng-Indonesia-an juga ditujukan ke yang lain. Bung
Karno memberi nama baru kepada bintang film Lientje Tamba
yong—karena bunyi ”tje” itu adalah warisan Belanda—dan jadi-
lah ”Rima Melati.”
Politik penamaan bisa dilakukan berbeda. Di Jawa, nama me
nunjukkan kelas: ”Suryo Sumirat” nama khas bangsawan; ”Pai-
din,” ”Kromo” umumnya petani. Sebagai satu sikap politik, para
tokoh PKI menyebut diri seperti kaum bawah itu: Njoto, Njono,
Rewang. Njoto dan Njono tak memakai sebutan ”Su-,” karena
sering yang pakai ”Su” di awal namanya adalah priayi.
Tapi akan salah untuk menyimpulkan bahwa kita selalu
memb eri bobot politik pada sebuah nama. Orang Tapanuli tak
jarang memberi nama anak dengan hal yang tak luar biasa: ”Ra-
dio”, ”Kantor”, ”Sutradara”, misalnya. Di Jawa Barat, ada ayah
yang memberi nama mirip merek mobil: ”Fia Fiati” atau ”Honda
Impalawati.”
Nama juga dipakai untuk pengingat-ingat. Seorang pelukis
Bali menamai anaknya ”I Made Waikiki”, diambil dari nama
Pantai Waikiki, Honolulu. Anak peremuan itu lahir ketika sang
ayah berpameran di Hawaii. Ada yang bernama ”Amagapa”: un-
tuk mengingat kapal Amagapa yang membawa ayah-ibu ke Ma-
nado. Ada ”Delanov”: ia lahir 8 November. Ada ”Ampeno Herli-
Catatan Pinggir 9 681
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
no”. Artinya, ”Ampek Nopember Hari Lahirnyo” (dia orang Mi
nang).
Jika kita amati, sumber yang dipakai untuk menemukan na
ma di Indonesia tak terbatas ragamnya. Bisa pangkat militer:
”Kapten”, ”Letnan”, atau tokoh sejarah: ”Gandhi”, ”Kennedy”,
”Mussolini”.
Ada juga judul buku. Saya beri nama anak saya pertama ”Hi-
dayat Jati”. Seorang teman di Amerika bertanya apa maksud kata-
kata itu. Saya jawab, saya tak tahu; saya cuma mengambilnya dari
judul buku Ronggowarsito, sastrawan Jawa abad ke-19. Teman
saya terbelalak: ”Kamu sampai hati menamai anakmu seperti ju
dul buku?” (Dia pasti tak akan memberi nama anaknya ”Gone
With the Wind”).
Tapi orang Indonesia tak mudah terbelalak dalam soal ini. S.
Prinka almarhum, desainer grafis majalah Tempo, mendapatkan
namanya dari akronim: ”Prinka” adalah ”Perjuangan Republik
Indonesia Merdeka”; maklumlah, ayahnya seorang perwira polisi
di masa revolusi. Teman saya, Choki Sapta Wanusi, hasil akronim
yang lain: ”Sapta” berarti ”tujuh”, dan ”Wanusi” dari ”Pahlawan
Revolusi”. Bisa diperkirakan ia lahir kapan.
Begitu beragamnya sumber yang dipakai, hingga terkadang
sulit kita melacak ”etimologi” sebuah nama Indonesia. Ada se
orang yang punya nama ”Marmorita-rita stell taurantia gutata”.
Say a tak tahu apa artinya dan kenapa dipilih. Tampaknya ada se
macam anggapan, dahsyatnya nama tergantung dari panjang-
nya. Misalnya (ini benar-benar ada): ”Buyung Abdurahman
Nanda Aria Megat Sambat Elang di Laut.” Orang tak perlu cemas
bagaimana memanggilnya. Toh akhirnya si anak cuma dipang-
gil dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Si Marmorita-rita stell
taurantia gutata, misalnya, dipanggil ”Muning”.
Tapi nama juga bisa dipilih tanpa mau terdengar dahsyat, bah-
kan tanpa ornamen. Ada anak yang dinamai ”Disiplin Pribadi”
682 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
(dipanggil ”Ipin”). Penyanyi Melly Goeslaw dan suaminya Anto
Hoed punya anak yang mereka beri nama yang lugas: ”Anakku
Lelaki”.
Lucu? Bagi saya, charming. Dalam hal menciptakan nama, sa
ya kira bangsa Indonesia paling inovatif, dan paling bebas, di du-
nia. Dan dalam suasana jengkel kepada Malaysia kini, saya bi
sa menghibur Anda bahwa kita lebih kaya dalam perkara ini. Di
Malaysia, variasi nama Melayu tak jauh beranjak dari Anwar,
Badawi, Harun, Muhammad, Musa....
Sebenarnya Malaysia tak aneh. Di Amerika, Eropa, dan dunia
selebihnya, yang ada hanya varian nama baptis yang itu-itu juga:
John, Paul, Tom, James, William. Di Amerika bisa disusun buku
pedoman memberi nama bayi. Di Indonesia itu mustahil.
Maka bagi orang Amerika & Eropa, nama-nama Indonesia
memb ingungkan. Ada satu pasangan Jerman yang memberi na
ma bayinya ”Lilian Ayu”. Ketika didaftarkan untuk administrasi
penduduk, si petugas tak mau menerima; ”ayu” itu bukan nama,
katanya. Tak menyerah, si ayah pun membeli novel Saman, de-
ngan foto Ayu Utami di sampul. Buku itu ditunjukkan ke sang
birokrat. Baru ia tahu, ”Ayu” bukan sayur-mayur.
Kebingungan yang lebih terkenal menyangkut apa yang dise-
but surname. Umumnya di Indonesia orang tak memakai ” fami
ly name”—atau tak ada ketentuan yang pasti tentang itu. Ketika
Ahmad Sahal mendaftarkan anaknya, Sri Mulyani, ke sebuah
sekolah di Inggris, ia dipanggil ”Mr. Mulyani”. Orang Inggris tak
tahu, di Indonesia, orang tak selalu mengikuti nama suami atau
ayah.
Kita sering repot tentang itu, tapi sebenarnya kita bisa bangga.
Sebab diam-diam di sini tersirat pengakuan bahwa tiap orang tak
mesti tergantung identitasnya dari kepala rumah tangga.
Qori Sandioriva, misalnya. Ia muncul sebagai dirinya, Miss
Indonesia Universe 2010, bukan sebagai anggota sebuah keluar
Catatan Pinggir 9 683
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA, ATAU MENGAPA JULIET SALAH
ga; ”Sandioriva” itu ”Qori”. Bukan wakil sebuah puak. Dari na
ma itu, tak tampak dari ”suku” apa atau dari agama apa dia. Ia
wakil Indonesia.
Sebagaimana Rima Melati. Bung Karno telah meneladani ke-
Indonesia-an dengan memilih nama itu, sebagaimana ia membe
ri nama putrinya ”Megawati”, bukan ”Waljinah”. Bung Karno
menghindari nama yang tipikal Jawa (atau kelompok suku dan
etnis lain), dan dengan demikian menunjukkan: tanah air ini bu-
kan hanya multi-kultural, melainkan ”inter-kultural”.
Jika di Malaysia atau Singapura ada garis yang jelas antara
”Harun” dan ”Stephen”, di Indonesia kita bisa bersua dengan
”Stephen Harun” dalam diri satu orang. Jika di Semenanjung
Muhammad Ali pasti orang yang masuk dalam kategori Melayu,
di sini belum tentu. Tiga puluh tahun yang lalu seorang teman
punya kenalan bernama Muhammad Islam. Agamanya Kristen.
Juliet salah, tapi ada bagusnya dia bertanya. What is in a name?
Sebab ternyata banyak cerita dalam sepotong nama. Terutama
jika kita tak anggap nama sebagai tanda identitas yang mengung-
kung, melainkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pribadi-
pribadi. Merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpun
an. Bukan sebuah angka.
Tempo, 12 September 2010
684 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
Bung Karno mungkin kesepian. Di Ende, diasingkan
oleh pemerintah kolonial sejak Februari 1934, hanya sa-
tu-dua orang yang berani mengunjunginya. Tentu saja
tak ada rapat umum tempat ia bisa berpidato, dielu-elukan orang
ramai, didengarkan dengan kagum.
Seorang penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menye-
butkan, dalam kesendirian itu Bung Karno ”berpaling mencari
lindungan ke dalam Islam”. Di Ende, Bung Karno memang ba
nyakbicara soal Islam, tapi saya tak yakin tepatkah kata ”lindung
an” (dalam versi Inggris ”refuge”) di situ.
Sejak Desember tahun itu, ia memulai serangkaian kores
pond ensi dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” yang
beralamat di Bandung. Surat-surat itu, kemudian terkenal seba
gai ”Surat-Surat Islam dari Endeh”, terkumpul dalam Dibawah
Bend era Revolusi, sebuah buku monumental yang menghimpun
hampir semua risalah yang ditulis Bung Karno di masa pergerak
an nasional. Mula-mula ia meminta kepada ”saudara-saudara” di
Bandung itu agar dikirimi buku-buku. Kemudian surat-surat itu
jadi sederet diskusi tentang keadaan umat Islam di Indonesia dan
dunia.
Saya belum pernah membaca bagaimana T.A. Hassan mem-
balas. Tapi dari ke-12 surat Bung Karno, tak tampak ada rasa gen-
tar untuk mengecam keadaan Islam waktu itu dengan kata-kata
tajam. Artinya, ia tak mencari ”lindungan” dalam Islam. Apalagi
Islam yang ia saksikan adalah Islam yang dirundung takhayul
dan ”taqlidisme” dan dihambat ”hadramautisme yang jumud-
maha-jumud”.
Islam yang demikian itu menampik perubahan. Pada 18
Agustus 1936, Bung Karno menulis: ”Kita royal sekali dengan
Catatan Pinggir 9 685
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
perkataan ’kafir’, kita gemar sekali mencap segala barang yang
baru dengan cap ’kafir’.” Maka yang disebut ”Islam” akhirnya ha
nya,
... dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mata
nya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang mata
nyadicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang se
lalu berputar—dia, dialah yang kita namakan Islam.
”Astagfirullah!” seru Bung Karno.
Saya tak tahu apa yang akan terjadi terhadap Bung Karno se-
andainya ia hidup di hari ini dengan kata-kata setajam itu. Tapi
tampaknya masa lalu belum beringas. Memang di tahun 1928-
29, di Pekalongan, Jawa Tengah, ada orang yang menganggap
nyaw a Bung Karno ”halal” untuk dihabisi, karena bicara banyak
tentang nasionalisme. Tapi kesan saya, tahun 1930-an adalah ma
sayang punya ruang luas untuk berpolemik tentang Islam, tanpa
hendak saling membungkam. Tulisan tajam Bung Karno dimuat
dalam majalah Pandji Islam, yang terbit pada 1935; juga bantah-
an terhadapnya. Hasilnya: satu mutu perdebatan yang sampai
sekarang belum tertandingi.
Hassan bukan orang yang sepaham. Khususnya dalam hal ke-
bangsaan. Buku Luthfi Assyaukanie, Islam and the Secular State
in Indonesia, menyebut Hassan sebagai orang yang menganggap
tindakan ”mengundang dan mengajak orang ke dalam kebang-
saan” satu hal yang ”dilarang oleh Islam”. Sebaliknya Bung Karno
menilai ”Persatuan Islam”, organisasi Hassan, cenderung kepada
”sektarisme”. Tapi benturan pendapat kedua orang itu—apa pun
jawaban Hassan dalam korespondensi bersejarah itu—tak sam-
pai merusak percakapan mereka.
Tentu harus dicatat: seandainya Bung Karno bukan seorang
pemimpin pergerakan nasional yang diikuti ribuan orang, mung-
686 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
kin ia tak akan didengar dengan rasa segan. Ada satu hal lain:
dalam kritiknya kepada keadaan dunia Islam ia meletakkan diri
sebagai orang-dalam: ia memakai kata ”kita”, bukan ”kalian”.
Tapi ada faktor yang lebih penting. Indonesia sedang berada
dalam kejutan perubahan-perubahan besar sejarah. Kolonialisme
memperkenalkan dunia modern yang tak terkalahkan. Tradisi
dan adat mulai digugat, modernitas melecut. Masyarakat lama
retak. Berdirinya Sarekat Islam (tahun 1912) adalah jawaban
atas keretakan itu. Organisasi ini meninggalkan Islam yang di
cem ooh Bung Karno sebagai celak-kurma-jubah-dupa semata.
Lebih jelas lagi Muhammadiyah. Ia lahir dengan tekad menying
kirkan Islam dari ”takhayul”, dengan keberanian menghalalkan
orang Islam mengenakan pakaian Barat dan niat mendirikan se
kolah dan rumah sakit seperti dilakukan orang Kristen.
Maka ketika Bung Karno menyebut adanya dynamical laws
of progress, tak ada yang membantahnya. Menjelang pertengah-
an abad ke-20 itu, orang umumnya yakin kemajuan adalah ”hu-
kum” sejarah, juga buat umat Islam. ”Panta rei, kata Heraclitus—
segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal memer-
lukan pembaharuan,” tulis Bung Karno dalam ”Me-’muda’-kan
Pengertian Islam”.
Tapi jika kemajuan tak bisa dielakkan, tak berarti umat Is
lamtak jadi subyek yang aktif menggerakkannya. Bung Karno,
seorang Marxis yang paham dialektika, akan menjawab bahwa
sejarah, juga kemajuan, tak hanya terjadi karena ia niscaya. Kema-
juan terjadi karena ada kesadaran manusia untuk bertindak.
Maka Bung Karno berkali-kali bicara perlunya umat Islam
menghidupkan ”Roh Islam yang berkobar-kobar”, ”api Islam
yang menyala-nyala”, ”dari ujung zaman yang satu ke ujung za-
man yang lain”.
Dua buah metafor yang memukau—tapi juga dua kiasan yang
keliru. Bung Karno tampaknya percaya ada ”api” yang kekal, ada
Catatan Pinggir 9 687
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
”Roh Islam yang sejati”. Dengan kata lain, keduanya tak tersen-
tuh oleh sejarah yang bergerak, bebas dari panta rei. Di sini Bung
Karno melenceng dari pandangan Marxistisnya sendiri. Dalam
pandangan ini ”Roh Islam yang sejati” tak akan pernah ada. Yang
ada: tafsir orang, di suatu masa, di suatu tempat tentang apa yang
”sejati” dan yang bukan.
Dan tentang ”Roh”....
Barangkali kita tak perlu istilah yang melambung. ”Roh” itu
sebenarnya hal yang biasa saja: hasrat manusia untuk tak tengge
lam. ”Api” itu bukan datang dari luar sejarah, ”Roh” itu bukan ja
tuh dari langit. Keduanya terbit dari dalam pengalaman manusia
di atas bumi di dalam kekurangannya.
Itu sebabnya hasrat itu senantiasa ada. Bung Karno, yang ter-
kadang seakan-akan menyamakan ”Api” dan ”Roh” itu dengan
”rasio”, mengatakan bahwa ada sebuah masa—tak kurang dari
1.000 tahun—ketika sejarah Islam hanya terdiri atas ”abu” dan
”debu”. Itu adalah masa gelap yang panjang ketika ”akal menjadi
terkutuk” di ingatan umat.
Tapi benarkah semudah itu gelap menimpa?
Bung Karno termasuk orang yang berasumsi, kebekuan itu
bermula dengan berkuasanya pemikiran Abu’l Hasan al-Ash’ari.
Sejak berkembangnya Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9,
”Islam bukan lagi satu agama yang boleh difikirkan secara merde-
ka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tarikat.”
Di sini saya kira Bung Karno alpa. Ia tak menjelaskan ba
gaim ana sebuah ”haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa,
hingga ”akal, fikiran, rede, reason, dienyahkan”. Bung Karno—
seorang Marxis yang menafsirkan sejarah—seharusnya tak per-
caya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah menghentikan
”rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal ”hampir
seribu tahun dikungkung”. Ia tak seharusnya percaya bahwa satu
”haluan” dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama.
688 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
Apalagi sejarah mencatat, keadaan ”terkungkung” itu tak ber-
langsung ”hampir seribu tahun”. Juga tak pernah secara mutlak.
Dunia Islam terus melanjutkan vitalitasnya di abad ke-12 di Spa
nyol. Di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan kekuasaannya ke
Balkan dan merebut Konstantinopel, bahkan mengepung Wina
untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul
menghasilkan sastra, teater, dan arsitektur yang dikagumi sampai
sekarang, misalnya Taj Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra mem-
bangun Mazhab Ishfahan.
Walhasil, ada yang tak kunjung padam. Bukan ”Api” yang ke
kal, bukan ”Roh” yang datang dari luar sejarah, melainkan praxis,
atau laku, yang mencoba mengatasi kemandekan, yang mencoba
melepaskan diri dari kekurangan. Dalam laku itulah kaidah yang
mencengkeram ditabrak, dibengkokkan, atau dibuat elastis. Kata
Bung Karno:
Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama,
tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan ku
da, tak kenal lain senjata melainkan pedang dan panah... kalau hu
kum-hukumnya tidak seperti ’ karet’. Zaman beredar, kebutuhan
man usia berobah—panta rei!—maka pengertian manusia tentang
hukum-hukum itu adalah berobah pula.
Kata ”karet” kini punya konotasi yang kurang baik (Bung
Karno menerjemahkannya dari kata elastic), tapi agaknya gam-
baran yang hendak dipaparkan adalah keniscayaan sikap yang lu-
wes, sikap pragmatis: pada mulanya bukan logos yang, seperti di-
dalilkan rasionalisme, tak tersentuh oleh pengalaman di dunia.
Pada mulanya adalah laku, ”Im Anfang war die Tat,” seperti ujar
Faust dalam karya Goethe.
Dalam laku, kesadaran lahir. Melalui laku, pengetahuan
tumbuh. Pengalamanlah yang menentukan tafsir manusia ten-
Catatan Pinggir 9 689
http://facebook.com/indonesiapustaka ”ROH”, ”API”, KATA BUNG KARNO
tang kaidah dan hukum yang datang dari Kitab Suci.
Manusia keliru bila menolak peran pengalaman. Maka meski-
pun mengagumi kebangkitan kerajaan Ibnu Saud dari padang
pasir Arab, Bung Karno melihat jalan buntu dalam semangat
”pem urnian” agama di zaman Raja itu.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah
”kemurnian”-nya: ”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam
belum dihinggapi kekotorannya seribu-satu takhayul dan seribu-
satu bid’ah.” Tapi ketika ”kemurnian” disamakan dengan ”keasli
an”, pemurnian jadi sesuatu yang menampik sejarah. Wahabisme
mencurigai ”tiap-tiap kemodernan”; ia seakan-akan pantulan pa
dang pasir yang tak kenal tiupan hawa sejuk dari ”lapisan udara
negeri lain”. Di tahun 1920-an, telepon dan radio diharamkan
masuk ke Mekah. Akibatnya, pemurnian berakhir dengan kega
gala n. Raja Ibnu Saud akhirnya bertindak mengatasi para ulama
nya. Negeri Wahabi itu sedikit berubah.
Sampai di mana batas perubahan itu? Tidakkah, seperti sering
ditakutkan, sikap pragmatis, yang begitu luwes terhadap per
ubaha n dalam sejarah, akan mengakhiri kepastian ajaran yang
dianggap kekal dan mutlak?
Bung Karno belum menjawab itu. Tapi siapa yang akan bisa
menjawab itu, kecuali dengan kata-kata?
Tempo, 19 September 2010
690 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SI AYAM
Ada seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras.
Bila ini kurang aneh, masih ada tambahannya: ia merasa
diri sebagai sebutir beras dan membayangkan ada seekor
ayam besar yang membuntutinya, untuk mematuknya.
Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci
pintu dan jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan
di sebelah rumah. Ia menutup kupingnya bila ia dengar ayam me
ngaisdan berkotek.
Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawa-
nya ke seorang psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi,
hingga akhirnya ia dapat diyakinkan bahwa ia memang bukan
sebutir beras.
Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-
laki itu tetap saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.
”Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan
beras?”
”Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih meng
anggap begitu.”
Ini cerita fiktif tentang paranoia—tapi lebih dari itu, ceri-
ta bagaimana orang percaya kepada hal yang paling aneh kare-
na ia memang mau percaya. Dunia di luar dirinya adalah dunia
yang dibentuk menurut kecemasannya. Informasi cuma penting
sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si ayam memang
ada.
Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu
ia dapat alasan kenapa hidupnya tak menyenangkan. Ia bisa me
ngeluh terus-menerus tentang keadaan tanpa melihat dirinya me-
mang patut menjalani hidup yang celaka.
Lagi pula, bayangan tentang si ayam memberinya kepastian.
Catatan Pinggir 9 691
http://facebook.com/indonesiapustaka SI AYAM
Hewan khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia ”pegang”, dan
itu menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak
berbentuk, yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi
khaos.
Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras &
ayam itu, terutama dalam diri orang-orang yang ”beriman”. Aga
ma tampaknya memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi
pada Terry Jones, seorang pendeta dari gereja fundamentalis di
Gainesville, Florida, AS, yang berencana membakar Quran tiap
hari.
Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia
tak tahu sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti ter-
dapat dalam rekaman yang transkripnya diperoleh CBS News, se
panjang umurnya yang 51 tahun itu ia tak pernah bertemu de-
ngan seorang muslim pun.
Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan de-
ngan apa yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa
hidup terdiri atas beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan
mematuk beras. Si ayam, atau si Setan, ada di mana-mana. Dari
transkrip bertanggal 10 Agustus 2010:
T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan
bera rti datang dari Setan? Benarkah?
J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang
Anda maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Se
tan hanya karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada
dasarnya, umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari
Setan. Benar.
T: Apakah agama Hindu dari Setan?
J: Ya, tentu.
T: Agama Buddha?
J: Ya.
692 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SI AYAM
T: Bagaimana tentang agama Yahudi?
J: Ya.
Jones dan jemaatnya yang cuma 50 keluarga memusuhi siapa
saja yang berbeda dari dirinya. Sang pendeta selalu membawa se-
pucuk pistol ke mana-mana. Pada Agustus 2009, dua anak dari
jemaat Jones pergi ke sekolah dengan mengenakan T-shirt ber-
tuliskan ”Islam is of the Devil”—hingga mereka dilarang masuk
kelas karena ”melanggar aturan berpakaian”.
Ia mengakui mengikuti Yesus, tapi kita tak tahu Yesus yang
bagaimana. Ia pernah tinggal di Jerman dan mendirikan sebuah
kongregasi di Kota Köln, Christliche Gemeinde Köln (CGK),
dari 1981 sampai 2008. Ia didenda pengadilan kota itu karena
memakai gelar ”Doktor”. Jones hanya pernah dua tahun belajar
di universitas negeri di Missouri dan tak pernah dapat gelar apa
pun di bidang teologi. Seorang pemimpin gereja di Kota Köln
men gatakan, pendeta Amerika itu ”tak memancarkan nilai-nilai
Injil dan Kristiani”, dan hanya membuat dirinya jadi ”pusat sega
la-galanya”.
Menjadikan diri pusat, itu juga gejala seorang yang menyangka
dirinya akan dihabisi Musuh Besar. Dengan membayangkan
adanya musuh sedahsyat itu, ia menjadikan dirinya istimewa. Di
sini tampak, imajinasi diri sebagai sebutir beras (si lemah yang
terancam) dan si ayam (si kuat yang mengancam) sebenarnya ber-
taut sejak semula dalam pandangan orang macam Terry Jones.
Para bigot, Kristen atau Islam, begitu cemas bahwa kepercayaan
dan nilai-nilai mereka akan dihancurkan—dan sebab itu meng-
gelembungkan kekuatan diri dalam rasa benci.
Iman mereka kepada Tuhan adalah iman yang tertutup. Iman
yang takut menemui orang lain, dunia lain, karena cemasdiri
mereka akan jadi cair. Sebab itu agama mereka adalah agama
yang defensif. Terry Jones membawa Injil dan pistol, Taliban dan
Catatan Pinggir 9 693
http://facebook.com/indonesiapustaka SI AYAM
pelbagai variasinya di Indonesia membawa Quran dan golok.
Ke luar, mereka galak. Ke dalam, mereka represif. Merekaterus-
menerus ingin mengukuhkan persatuan, sebab itu anti-perbe
daan di kaum sendiri. Mereka gemar melarang dan berseru
”awas”.
Tak mudah meyakinkan mereka bahwa iman yang tertutup
itu akhirnya akan diterobos perubahan. Seperti ditunjukkan to
koh KH Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah, ”agama itu
proses”. Benda-benda yang dianggap ”kafir”—biola, pakaian
Barat, meja dan bangku sekolah, dan juga kereta api—tak dapat
ditolak selama-lamanya. Yang semula ”kafir” pun jadi bagian dari
”Islam”, bukan karena si kafir menyerah, tapi karena yang Islam
bukan jadi benteng, yang tertutup, tapi jadi bahtera yang meng
arungilautan baru. Di dalamnya manusia bukan cuma sebutir
beras yang ketakutan dan bukan juga seekor ayam yang ganas.
Tempo, 26 September 2010
694 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUNA
APA guna Tuhan? Kita mungkin tak pernah bertanya.
Kita mungkin takut bertanya. Tapi Tuhan dimanfaat-
kan manusia tiap hari: Ia jadi tumpuan untuk mendapat-
kan yang dihasratkan. Ia disebut Sang Maha Pemurah: Ia sumber
perkenan. Dengan perkenan-Nya si sakit dibuat sembuh, si zalim
jatuh, perkawinan selamat, bulu tangkis menang, dan bisnisber
untung. Pernah ada seorang pengusaha yang merayakan ulang
tahunnya dengan disertai seorang pendeta yang membacak an
”doa mencegah bangkrut”.
Mungkin hanya orang macam Meister Eckhart, mistikus Jer-
man yang hidup di abad ke-14 itu, yang bisa mengatakan: ”Ka-
laupun satu-satunya doa yang kamu bisa ucapkan adalah ’terima
kasih’, itu sudah akan cukup.”
Memang ada beda antara Tuhan seorang mistikus dan Tuhan
orang ramai. Bagi orang ramai, Tuhan itu bermanfaat. Kalaupun
bukan untuk jadi sang penolong, Ia jadi fondasi terakhir dari apa
yang mereka ketahui dan perbuat. Dunia tak kekal dan tak tung-
gal, bergerak acak dan tanpa kepastian. Tanah dan laut menyim
pan bekas gerakan yang tak semuanya tampak, bencana yang tak
bisa diprediksi. Mengalami itu, manusia akan jadi gila seandai
nyatak menemukan sesuatu yang stabil dan abadi. Dengan itu
yang acak dijelaskan, yang kacau pun ditata.
Maka Tuhan pun hadir dan disembah.
Tapi tak hanya karena itu. Tuhan tak hanya bermanfaat dalam
keadaan manusia goyah. Ada sesuatu dalam diri manusia yang
tak mudah dijelaskan. Kant adalah pemikir pertama yang men-
deteksi hal itu; ia menyebutnya ”hukum moral”.
Kita tahu manusia terdiri atas tubuh yang tak bisa lepas dari
hukum di dunia fisik: jasad itu akhirnya akan aus, atau tak bisa
Catatan Pinggir 9 695
http://facebook.com/indonesiapustaka GUNA
melawan gravitasi, atau bertambah volume bila diisi. Jasmani itu
tunduk pada hubungan yang deterministis. Tapi di samping yang
fisik itu, ada yang lain. Ternyata pada manusia ada sesuatu yang,
untuk mudahnya, oleh Kant disebut ”noumenal”: rasio yang
memb uatnya otonom dari alam. Pada manusia ada ”hukum mo
ral”.
Kesadaran akan hukum moral ini sering konflik dengan has-
rat badan kita, tapi kita mengakuinya sebagai sesuatu yang lebih
tinggi ketimbang dorongan tubuh kita mengejar kenikmatan.
”Hukum moral” itu, dalam pemikiran Kant, tak lahir dari peng
alaman. Ia inheren dalam struktur kejiwaan kita. Ia semacam
mahkamah yang sudah tertanam sejak kita jadi manusia. Ia me
nuntut kita mematuhinya secara mutlak. Dan kita mematuhinya
bukan karena kita hendak mendapatkan hadiah atau pahala. Kita
mematuhinya tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa perkecualian.
Dalam bahasa Kant, kita mematuhinya sebagai ”kategorischen
Imperativ”, kewajiban kategoris—yang harus kita patuhi sebagai
sesuatu yang universal berlaku, tanpa standar ganda, dengan me-
lihat manusia bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan.
Dari mana datangnya? Kant tak bisa menjawab. Kata-katanya
yang termasyhur: ”Dua hal yang memenuhi pikiran dan ma-
kin lama makin mengagumkan dan membuat kita terkesima...
malam yang penuh bermiliar bintang di angkasa dan hukum
moral di dalam diri manusia.”
Kita tahu Kant hidup lebih dari satu abad sebelum Sigmund
Freud. Ia belum baca penjelasan bahwa ada nafsu di bawah sadar
yang mendasari semua perilaku manusia. Tapi seperti Freud, Kant
tak mencari penjelasan tentang ”hukum moral” dari agama. Tin-
dakan moral, kata Kant, bukanlah jadi sesuatu yang kita anggap
wajib karena itu perintah Tuhan. Tapi kita harus menganggapnya
sebagai titah Tuhan karena kita punya ”kewajiban batin” kepada
tindakan moral itu.
696 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka GUNA
Dengan kata lain, peran dan kehadiran Tuhan disimpulkan
dari deduksi. Tuhan harus diasumsikan ada, karena ada kesadar
an moral pada manusia. Sebuah agama yang bertolak dari akal
budi, menurut Kant, tak didasarkan kepada wahyu ilahi, melain-
kan kepada rasa tanggung jawab yang ditafsirkan sebagai unsur
ilahiah dalam diri manusia.
Tampak ada ambivalensi dalam pandangan Kant tentang Tu-
han. Ia berangkat dari tesis bahwa manusia adalah makhluk yang
otonom. Tapi ia menyimpulkan manusia memerlukan fondasi.
Kant punya pengaruh yang kuat dalam teologi Kristen, tapi se-
benarnya ia tak bisa dikatakan sebagai pemikir yang memandang
Tuhan dengan sangat hormat. Bukunya, Die Religion innerhalb
der Grenzen der blosten Vernunft (Agama dalam Batas-batas Akal
Semata) dilarang beredar oleh Frederick William II. Sensor telah
mencium ada yang murtad dalam risalah filosof dari Könisberg
yang terpencil itu.
Kant tak melawan. Tapi dalam catatannya yang ditemukan
setelah ia meninggal, yang dihimpun dalam Opus postumum (dari
1882-84), ada satu kalimat yang bisa merisaukan orang-orang
beriman: ”Tuhan bukanlah satu substansi yang ada di luar diri-
ku, tapi hanya satu hubungan moral dalam diriku”. Akal budi
punya daya untuk memerintah dengan wibawa, dan ”menyamar
sebagai satu person ilahiah”. Maka ”Sang Ens Summum [Wujud
yang Maha Luhur] adalah sebuah ens rationis [sebuah kreasi akal
budi]....”
Demikianlah Tuhan berguna. Ia jadi sumber kesatupaduan.
Ia, bersama agama yang dibangun atas nama-Nya, berfungsi se
bagai penata kehidupan sosial. Ia bisa dipakai untuk menente
ramk an hati kita ketika tak ada poros bagi nilai-nilai yang ber
ubah dan berbeda.
Tapi begitukah kita bicara tentang Tuhan? Cukupkah Tuhan
hanya dimengerti sebagai Fondasi yang stabil dan statis, bukan
Catatan Pinggir 9 697
http://facebook.com/indonesiapustaka GUNA
Tuhan dalam ketidakterdugaan hingga kita tak mampu menang-
kap-Nya untuk digunakan?
Meister Eckhart mengutip seorang Guru: ”Andai kata aku pu-
nya Tuhan yang dapat kumengerti, aku tak akan menganggap-
nya Tuhan.” Mungkin juga: Andai kata aku punya Tuhan yang
dapat kugunakan, aku tak akan menganggapnya Tuhan.
Tempo, 3 Oktober 2010
698 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK
Sebelum Sokrates dihukum mati dengan meminum ra-
cun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Dalam sebuah
lakon yang dipentaskan di tahun 423 sebelum Masehi,
Aristophanes mengkhayalkan Sokrates sebagai pendidik yang
dibenci orang: sekolahnya, yang disebut ”Toko Pikiran”, dibakar
ramai-ramai. Sokrates melarikan diri.
Aristophanes punya alasan untuk menulis komedi itu: ia me-
musuhi guru filsafat yang dikagumi para pemuda itu. Aristopha
nes seorang konservatif. Ia tak percaya kepada sikap skeptis yang
diajarkan pada filosof. Ia anggap diakuinya hak-hak politik indi
vidu akan memperlemah Negara. Ia curigai sosialisme sebagai
pengh asut para budak. Dan ia menganggap agama sangat pen
tingbagi kehidupan bersama.
Dengan pandangan hidup yang seperti itu, baginya Sokrates
seb uah sumber kekacauan. Sokrates telah menyesatkan anak-
anakmuda, hingga mereka doyan bertanya terus-menerus ten
tangapa saja, juga tentang dewa-dewa.
Dalam lakon yang ditulisnya itu, Mendung, Aristophanes
membuat sebuah satire yang tajam.
Syahdan, Pak Strepsiades datang ke Sokrates di sekolah ”Toko
Pikiran”. Dilihatnya tuan guru sedang berada dalam sebuah ke
ranjang yang tergantung-gantung dari loteng. Di bawahnya be-
berapa murid menungging dengan pantat mencuat ke langit dan
hidung menyentuh tanah. Ada yang menduga, dalam adegan itu
Aristophanes hendak menyindir Sokrates, seorang homoseksual,
yang gemar memburu anak-anak muda. Tapi sang dramawan tak
cuma menyinggung hal itu.
Di pentas, tokoh Sokrates digambarkan berkata dengan ang-
kuh. Kutipan dialognya:
Catatan Pinggir 9 699
http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK
Sokrates: ”Kamu bersumpah demi dewa yang mana? Sebab di
sinidewa-dewa tak laku. (Menunjuk ke Mendung): itu dia dewa-
dewa yang nyata.
Strepsiades: ”Tapi mosok nggak ada Zeus?”
Sokrates: ”Tak ada Zeus.”
Strepsiades: ”Lalu siapa yang bikin hujan, dong?”
Sokrates: ”Mendung itu. Kan kamu tak pernah melihat hujan
tanpa mendung?”
Aristophanes menganggap Sokrates tak punya Tuhan. Dan
itu berbahaya.
Dalam bagian berikutnya, satire itu mengisahkan putra Strep
siades yang bernama Pheidippides bersua dengan sepasang makh-
luk yang bernama Argumen Adil dan Argumen Tak-adil. Si Adil
menganjurkannya untuk meniru kebajikan orang-orang dari
Marathon. Si Tak-adil sebaliknya mengajarkan moralitas baru:
apa untungnya mencapai kebajikan? Tiap satu orang jujur yang
sukses akan ditandingi dengan 10 orang tanpa kejujuran yang ju
ga sukses. Coba lihat para dewa sendiri, kata si Tak-adil. Mereka
bohong, mencuri, membunuh-dan tetap disembah oleh seluruh
orang Yunani.
Pheidippides jadi murid yang patuh. Pada suatu hari, ia pukul
ayahnya sendiri. Alasan: ia cukup kuat dan merasa nikmat me
lakukan itu. Lagi pula, katanya kepada sang ayah, Strepsiades:
”Bukankah engkau memukuliku ketika aku masih anak-anak?”
Strepsiades mengaduh dan minta belas kasih Zeus. Tapi anak
mud a yang memukulnya itu memberi tahu: Zeus tidak ada. Yang
ada, seperti kata Sokrates, hanya Pusaran. Pusaran itu yang me-
nyebabkan air jadi hujan dan kembali jadi air.
Mendengar itu, Strepsiades berteriak marah. Ia berseru kepada
seluruh warga kota yang baik agar menghancurkan filosofi baru
itu. ”Toko Pikiran” dibakar. Sokrates nyaris tertangkap....
700 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK
Pendirian Aristophanes: moralitas akan berantakan jika tak
ada agama yang mengusung dewa-dewa. Sokrates, yang memper-
tanyakan segalanya pada dasarnya meragukan segalanya. Pada
akhirnya ia tak beriman kepada apa pun. ”Tentang dewa-dewa,
aku tak tahu apa-apa,” kata guru itu. Pandangan agnostiknya
adalah teladan yang mengandung tuba.
Memang, Sokrates tak menggunakan dewa-dewa sebagai
sumber apa yang baik. Sebagaimana dikutip dalam Euthyphro,
yang baik itu baik bukan karena dewa-dewa membenarkannya,
melainkan para dewa membenarkannya karena hal itu baik. De-
ngan kata lain: manusia otonom, sebenarnya. Ia bisa menentukan
sendiri.
Dalam pengalaman manusia sepanjang sejarah, memang yang
ada di ”atas” sana tak bisa diketahui. Manusia membaca Tuhan
(atau para dewa) sebagaimana ia menebak orakel: ia menafsirkan.
Ia tak bisa lain. Ia hanya berpegang pada interpretasi. Dan in-
terpretasi itu tentu dipengaruhi oleh wataknya, pengalamannya,
acuannya. Jika si manusia itu bersifat penuh kasih sayang, maka
dewa atau Tuhan yang dibacanya akan tampil sebagai Tuhan yang
penuh kasih sayang. Jika si manusia itu jahat, cemburu, dan pen-
dendam, maka dewa atau Tuhan yang sampai kepada imannya
adalah Tuhan yang cemburu dan pendendam. Walhasil, bukan
agama yang membentuk manusia, melainkan sebaliknya. Mak a
memang benar ketika orang mengatakan, bukan agaman yayang
jahat, melainkan manusianya. Tersirat di sini pengakuan tentang
terbatasnya pengaruh agama bagi perilaku manusia umumnya.
Yang tak pernah kita dengar ialah ketika pernyataan itu dibalik:
bukan agamanya yang mulia, tetapi manusianya....
Dan Sokrates pun dihukum mati. Ia harus minum racun. Ba
nyakcerita dan ada beberapa tafsir kenapa ia dianggap bersalah
kepada negeri yang ia pernah bela. Tapi konon Sokrates menye-
but bahwa pelbagai dakwaan kepadanya semata-mata berdasar-
Catatan Pinggir 9 701
http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK
kan citra tentang dirinya yang disebarkan Aristophanes.
Yang patut dicatat ialah bahwa tak ada nada dendam dalam
kata-kata akhirnya.
Tempo, 10 Oktober 2010
702 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka YANG-LAIN
Beberapa saat sebelum ia tewas, Karna tahu ia akan ka-
lah. Dan ia akan kalah dengan kesadaran yang pahit: ia
akhirnya memang bukan apa-apa. Ia merasa diri telah
bertempur dengan keberanian seorang pendekar perang, tapi
siapakah dia sebenarnya? Bukan seorang dari keluarga Kurawa
yang dibelanya. Bukan seorang kesatria seperti para pangeran di
pertempuran di Kurusetra itu. Ia hanya seorang yang, ketika ter-
pojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan
menyelamatkannya dari panah Arjuna.
Saat terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Tapi
ia ingat: mantra yang lengkap itu tak diberikan kepadanya oleh
gurunya, Rama Bargawa. Sang guru membatalkan memberinya
versi yang penuh, karena ia dianggap telah berdusta: ketika ia da
tang berguru, Karna tak mengaku ia datang dari kasta kesatria—
kasta yang bagi Rama Bargawa, yang berasal dari kaum brahma
na dan punya dendam khusus kepada para kesatria, harus dimus
nahkan.
”Tapi hamba memang bukan dari kasta itu,” Karna ingin
memprotes ketika sang guru membongkar ”kepalsuan” dirinya.
Tapi protes itu, seperti air matanya, harus ia tahan. Ia segera kem-
bali ke asrama, mengemasi pakaian dan busur serta panahnya,
lalu pergi seperti dikehendaki: seorang murid yang diusir.
Tidak, Rama Bargawa tak akan mempertimbangkannya kem
bali. Guru ini merasa tahu bagaimana dengan tepat meletakkan
orang lain. Baginya tak ada yang tak terduga: manusia selalu ada
dalam kategori tertentu. Kasta. Asal-usul. Agama. Kategori itu
memberinya kekuatan, juga kekuasaan, untuk mengerti dan me
nguasai benda-benda dan apa saja yang di luar dirinya. Anak mu
da tampan dan cerdas yang dulu datang kepadanya untuk bergu-
Catatan Pinggir 9 703
http://facebook.com/indonesiapustaka YA NG-L A IN
ru itu harus seorang kesatria, apabila ia bukan brahmana. Identi
tas itu kukuh, dan harus ditegakkan. Bagi Rama Bargawa, tak
ada yang tak dapat digolongkan.
Yang tak diketahui Bargawa ialah bahwa Karna justru tak da
pat digolongkan. Kisah hidupnya kita kenal: seorang bayi han yut
di sungai, dalam sebuah kotak kulit, tak tahu dibuang dari ma
nadan oleh siapa. Orang hanya bisa menduga: kotak itu, dan se
lim ut yang menutupi tubuh bayi itu, menunjukkan orok itu bu
kanberasal dari kaum kebanyakan. Tapi ia akhirnya harus berna-
sib lain. Seorang perempuan, istri seorang sais kereta, menemu-
kannya, menyelamatkannya, dan akhirnya mengadopsinya. Kar-
na tumbuh sebagai anak hingga remaja sebagai bagian dari kasta
para sais. Tapi benarkah? Ia mencintai ayah-ibu angkatnya, tapi
orang-orang selalu mengatakan bahwa ia anak dapat, ia tak sama
dengan orang-orang di dusun itu. Ia berbeda.
Tapi siapa dia? Apa dia?
Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah sisip
an tragedi: seorang telah dengan sia-sia, meskipun heroik, men-
coba melawan takdir yang tak adil. Di Kurusetra, di perang tan
dingdengan Arjuna itu, Karna tahu: ia kalah, ia mati, karena ia
lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, tapi oleh bahasa
sang Guru, ia ditunjuk dengan pasti dan benci-dan mantra sakti
itu bukan untuknya.
Di sini yang kejam bukan hanya nasib. Yang kejam adalah im-
perialisme pikiran ala Bargawa yang selalu ingin menaklukkan,
bahkan mematikan, ”non-identitas”. Atau selalu ingin meringkus
hal-hal yang tak bisa dikategorikan, dengan mengidentifikasikan
unsur-unsur yang sama dalam benda-benda. Dalam penyusun
an kategori, ”yang-lain” harus ditiadakan. ”Yang-lain” harus di-
transformasikan ke dalam desainku yang satu. ”Yang-lain” harus
diubah sebagai, atau ke dalam, sesuatu yang sama.
Dalam imperialisme pikiran itu, Rama Bargawa tak sendiri.
704 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka YA NG-L A IN
”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.”
Kata-kata itu mungkin terlalu berlebihan, tapi dalam kenyataan,
”yang-lain”, ”yang-beda”, selamanya tak diakui, atau diringkus.
Dan Karna mati. Ia adalah ”yang-lain”, yang di luar kasta dan ka
um. Ia bukan kesatria, bukan pula brahmana atau sudra; ia bukan
Kurawa, bukan pula Pandawa. Memang pernah, ia diangkatjadi
adipati dalam wilayah kekuasaan Kurawa. Memang pernah,
Kunti, ibu para Pandawa, mengaku bahwa Karna adalah anak
nyayang dulu ia buang karena ia tak berani hidup dengan bayi
yang ayahn ya tak jelas. Tapi nasib sudah mencengkeram: ia, Kar-
na, sen antiasa berada di luar, sejak lahir sampai dengan mati.
Tapi Mahabharata tak menghukumnya. Para dalang tak melu
kiskan Karna sebagai tokoh yang sial. Dalam sebuah cerita yang
membuka keragaman yang demikian besar, Karna bisa membuat
kita lebih mengerti tentang manusia. Kita bisa mengerti bahwa
orang lain tak pernah bisa kita rumuskan—kecuali dengan ke-
bencian dan dendam. Orang lain adalah lain, berbeda, tapi ia tak
mutlak berbeda. Sesuatu yang mutlak berbeda tak dapat disebut
berbeda, karena tak dapat dibandingkan. Terapung-apung antara
”beda” dan ”sama” itulah yang membuat manusia bisa merasakan
apa yang ditanggungkan liyan: orang lain yang juga bisa disebut
”sesama”.
Maka kita pun ikut berkabung untuk Karna.
Tempo, 17 Oktober 2010
Catatan Pinggir 9 705
http://facebook.com/indonesiapustaka
706 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ASTERIX
TIAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampil-
kan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak
untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk
lebih arif.
Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole
Franc e, adalah la gaiet de la rflexion et la joie de la sagesse. Bersama
iron i kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal
ihw al yang berlebihan—dan jadi sedikit bijaksana seraya riang.
Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40—
yang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di dunia—tak
berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok
kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di
bawah 20.
Asterix diciptakan Ren Goscinny dan Albert Uderzo. Umur
kom ik ini lebih panjang ketimbang Goscinny sendiri, yang me-
ninggal pada 1977, setelah ulang tahunnya yang ke-51. Uderzo
men eruskan karya bersama itu. Cerita bergambar yang kocak itu
kini sudah mencapai sekitar 34 jilid, sejak pertama kali terbit di
majalah Pilote pada 29 Oktober 1959.
Sebagaimana tiap penggemarnya tahu, Asterix dikisahkan
tinggal di sebuah desa bernama Armorica di wilayah Gaul, atau
Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 sebelum Masehi. Di
masa itu, daerah yang luasnya meliputi peta Prancis modern itu
(plus Belgia, Luksemburg, dan Swiss) dikuasai imperium Roma
wi di bawah Julius Caesar. Goscinny menciptakan Desa Armori-
ca yang bebas untuk menunjukkan bahwa tak semua bangsa Gal
liatakluk. Dengan cara yang kacau-balau, tapi dengan bantuan
ramuan jamu dukun mereka, Asterix dan orang-orang sekam-
pungnya selalu bisa mengalahkan tentara Romawi yang perkasa.
Catatan Pinggir 9 707
http://facebook.com/indonesiapustaka ASTERIX
Ramuan jamu itu bisa membuat tubuh mereka mahakuat, seperti
Popeye sang Kelasi setelah menyantap bayam.
Tapi Asterix dan kawan-kawannya yang mencoba mengelak
dari penjajahan Romawi berbeda dari si Popeye yang melawan
Bluto yang merebut sang kekasih, Olive Oyl. Karya E.C. Segar,
kartunis yang hidup pada awal abad ke-20 di kota kecil Chester
di Illinois, Amerika Serikat, itu praktis tak bicara apa pun yang
terkait dengan politik. Popeye sebuah lelucon cepat yang bisadi
ulangilagi, cocok buat anak-anak. Sebaliknya, Asterix men gan
dungpercakapan tentang kekuasaan dan tentang apa yang bisa
disebut sebagai patriotisme.
Patriotisme selalu punya masa lalu pilihan, dan dalam kasus
Prancis—sebagaimana tersirat dari lelucon Goscinny dan Uder
zo—pilihan itu jatuh ke sebuah sejarah dua milenium lebihdi
masa silam. Tokohnya Vercingetorix, yang bunyi ”ix”-nya meng
ilhami Goscinny dan Uderzo untuk dipelesetkan.
Vercingetorix menolak kolonisasi Romawi. Orang Gallia ini
berontak. Ia berhasil menghimpun kembali para pemimpin lokal
yang saling bersaing. Ia jadi raja mereka dengan dukungan petani
miskin. Ia tak main-main. Ia pernah mengalahkan Julius Caesar,
dan hampir berhasil ketika ia mengepung pasukan Romawi de-
ngan 30.000 tentara di Alesia. Tapi Caesar lebih berpengalaman.
Dibangunnya dua dinding konsentris sebagai penangkis. Vercin-
getorix gagal. Pemimpin Gallia ini akhirnya menyerah pada ta-
hun 52 sebelum Masehi, dirantai ke Roma dan mati.
Jika kita lihat patung setinggi tujuh meter yang didirikan Na-
poleon III untuk mengenang Vercingetorix, kita praktis tak akan
teringat Asterix atau siapa pun dari tangan Goscinny dan Uderzo.
Sosok patriot besar Gallia itu tinggi tegap. Rambutnya ikal me
manjang. Sebaliknya Asterix kontet, apalagi bila disandingkan
dengan sahabatnya yang gendut gempal, Obelix. Wajahnya tua,
tapi tanpa wibawa.
708 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka ASTERIX
Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang
tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar
Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. De-
ngan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme
bukan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, ta
tapan mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi
yang konyol. Patriotisme jadi konyol ketika gairah mencintai se-
buah tanah air meluap-luap sedemikian rupa hingga tak ada ru-
ang untuk melihat apa pun yang lain, apalagi untuk kesadaran
akan ironi.
Asterix menyegarkan, mungkin karena ia lahir setelah dua
perangbesar yang hampir menghancurkan Eropa—dua perang
yang dipicu oleh patriotisme yang berkembang jadi nasionalisme
yang ganas. Mungkin bukan kebetulan bahwa Goscinny dan
Uderzo bukan orang Prancis ”asli”, kalaupun kata ”asli” ini je
las. Goscinny, yang pernah masuk tentara Prancis pada masa Pe
rangDunia II (sebagai pembuat poster), berdarah Yahudi Polan-
dia; meskipun lahir di Paris, ia dibesarkan di Buenos Aires dan
pernah tinggal di New York. Uderzo keturunan Italia. Nama ke
luarga itu berasal dari Dusun Oderzo di Italia, sekitar 70 kilo-
meter arah timur laut dari Venesia. Ketika karya mereka terbit,
dan disukai tak hanya oleh orang Prancis, tampaklah bahwa Ero-
pa tak bisa menganggap nasionalisme lama dengan tanpa humor.
Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang
pahlawan tanah air—juga tentang heroisme umumnya—sudah
dit inggalkan.
Dalam hal itu, Asterix berbeda dari para superhero produk
Amerika. Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah
pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka
sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba
dahsyat—seperti para penggambar itu belum pernah kecewa da
lam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu.
Catatan Pinggir 9 709
http://facebook.com/indonesiapustaka ASTERIX
Syahdan, Presiden Sarkozy menghadiahkan komik Asterix
kepada anak Presiden Obama. Saya tak tahu apa pesannya. Tapi
mungkin ini: di dunia ini, Nak, humor dan ironi lebih menyela
matkan kita ketimbang impian tentang kekuasaan dan keagung
an....
Tempo, 24 Oktober 2010
710 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TEATER
Tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubah
nya....
Marx mengemukakan ini—meskipun tak persis begi-
tu—ketika ia berbicara tentang filsafat. Statemennya dapat juga
diterapkan untuk ideologi dan agenda politik. Tapi di sini saya
inginmengemukakan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih
bersahaja: produksi kesenian. Terutama teater.
Teater tak cuma sebuah tafsir atas kenyataan. Bekerja dalam
teater mengajarkan kepada saya bahwa pada mulanya memang
buk an teks—satu kesimpulan yang juga berlaku untuk hal-hal
lain dalam hidup. Ketika saya menulis libretto untuk Opera Tan
Malaka, saya menyusun sebuah teks yang agak rinci. Saya sudah
merancang bagaimana adegan diaktualisasikan dalam pentas,
unsur apa saja yang harus hadir di sana, bagaimana para pemeran
bergerak. Tapi dalam proses produksi, banyak hal berubah.
Pertama-tama perlu disebutkan, opera ini tak dimaksudkan
untuk jadi sebuah narasi biografis. Saya tak ingin berkisah ten-
tang riwayat orang yang pernah disebut sebagai ”Bapak Republik
Indonesia” ini bagian demi bagian. Saya asumsikan cerita perju
angannya bisa dibaca di tempat lain. Dengan sebuah libretto saya
ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Dalam pertemuan awal Tony Prabowo menyebut yang dili
hatnya di Lincoln Center Festival tahun 2005: Shadowtime, se-
buah opera tentang pemikiran dan pengalaman Walter Benja-
min, yang diciptakan komponis Brian Ferneyhough dan libretis
Charles Bernstein. Ini ”opera pikiran”. Kami pun sepakat: yang
akan saya tulis adalah sebuah ”opera-esai”.
Tentu saja ini akan berbeda dari opera dalam pengertian yang
lazim. Saya tak pernah menyukai opera macam itu, di mana
Catatan Pinggir 9 711
http://facebook.com/indonesiapustaka T E AT ER
tiap ucapan dinyanyikan para pemegang peran. Tony Prabowo
sependapat dengan saya. Walhasil, kami berniat untuk membuat
sebuah opera yang setengah-hati.
Saya menemukan satu model yang pas: teater epik dan jejak-je
jak Brecht. Teater ini bergema keras di awal abad ke-20 di Jerman
ketika semangat revolusi Marxis, yang mengilhami Tan Malaka,
bertaut dengan energi pembebasan dalam seni. Orang lupa, sebe-
lum di pertengahan tahun 1930-an Stalin mengurung sastra dan
seni dalam kerangkeng yang ia sebut ”realisme sosialis”, Revolusi
Oktober 1917 di Rusia seakan-akan membuka bendungan kreati-
vitas yang sebelumnya tertekan kekuasaan Tsar. Gerakan avant-
garde dan lain-lain lahir. Lebih mengesankan lagi Konstruktivi
sionis dalam seni rupa dan arsitektur.
Brecht, pemikir dan pelaku teater sayap kiri yang terbesar
dalam sejarah, melanjutkan elan itu. Ia menerobos ”adat” yang
membentuk teater Eropa. Zaman makin mengungkapkan ironi
dan kontradiksi, ketika dunia borjuasi kian ditunjukkan keretak
an dan disparitasnya. Dari kondisi itu sebuah jenis teater lain pun
dibutuhkan—teater yang tak lagi menampilkan dunia kenyataan
yang koheren.
Brecht pun melahirkan teater yang hidup dari montase: ba-
gian-bagian yang terpisah, yang sekaligus hadir. Tak ada lagi to
talitas yang merangkum dan menguasai. Tiap tesis menemukan
antitesisnya. Ada aktor yang berbicara. Ada poster. Film. Nyanyi.
Gerak tari atau semacam tari. Tak ada pusat. Para penonton dili-
batkan, sebab batas antara ”luar” dan ”dalam” praktis tak lagi
tetap. Mereka diharapkan aktif memilih segi pandang mereka
sendiri, dan siap memindahkannya. Mereka tak diharapkan ha
nyut terbuai oleh alur cerita. Tak ada alur cerita. Yang ada hanya
entakan-entakan untuk berpikir.
Sebuah opera tentang Tan Malaka tentunya cocok dengan en-
takan kontradiksi itu. Itulah yang kemudian terwujud. Di pen-
712 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka T E AT ER
tas, imaji penjara diperkuat (kita ingat Dari Penjara ke Penjara),
tapi pada saat yang sama juga imaji revolusi: barisan pelbagai pa-
sukan revolusioner di tengah sayup-sayup suara radio dengan
lagu ”Internasionale”. Juga aksentuasi kepada keinginan pembe-
basan: ”Aku tulis namamu, kemerdekaan”, seperti kata sajak Paul
Eluard, penyair komunis Prancis itu.
Panggung ala Konstruktivisionis Rusia dalam opera ini me
ngesankan sebuah pabrik tempat buruh ditindas, tapi juga kapal
yang membawa orang meninggalkan dunia lama ke laut bebas,
seperti Sinbad. Apa yang maskulin, serebral, abstrak, dan kekal
dalam discourse politik (”menulis, dan menulis”) langsung diser-
tai laku menyuratkan sesuatu di bumi yang tak kekal, oleh ta
nganseorang perempuan yang bergegas.
Paduan suara seakan-akan berada di atas kejadian-kejadian,
tap i pada saat yang sama menyuarakan kata hati. Sementara sang
”narator” mengambil jarak dari sejarah Tan Malaka, sang ”to
koh”dalam sel justru terlibat dengan sejarah itu. Penyanyi aria
pertama adalah kontras bagi penyanyi kedua. Kata-kata bertaut
dan bertarung dengan musik, makna dengan suara. Gaya realis
dalam penampilan kedua aktor ditingkahi dengan cetusan-ce
tusa nimajistis: deretan buruh yang lelah, hamburan rakyat mis
kinyang tergusur di bawah hujan, pasukan Nazi yang perkasa
dan represif. Waktu, dalam opera tentang sosok sejarah ini, diha
dirkan justru dalam potongan-potongan yang tanpa kronologi.
Suasana lokal—rombongan orang melarat itu, suara Bung Karno
membacakan proklamasi, kostum penyanyi aria—dipasang ber-
sama suasana yang melintasi lokalitas.
Saya ingat Brecht. Teater kami, katanya, adalah untuk me
rangsang hasrat mengetahui dan keasyikan (Spaß ) mengubah re-
alitas. Saya baru teringat kalimat itu kembali setelah proses mem-
persiapkan opera ini hampir selesai. Keasyikan itu terutama kare-
na ada pertemuan dengan kemungkinan baru, juga pergulatan
Catatan Pinggir 9 713
http://facebook.com/indonesiapustaka T E AT ER
dengan kesalahan sendiri—karena pada mulanya bukanlah teks.
Pada mulanya adalah perbuatan, seperti kata Tokoh dalam opera
ini, dan itu berarti ketidakpastian.
Hidup mau tak mau berlangsung, dan dirayakan, dari situ.
Tempo, 31 Oktober 2010
714 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KANVAS
DI Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Te
lanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan
proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi
halus. Paras dengan raut yang tanpa cela....
Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan selera
nya,selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10
tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih meng-
hormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tam-
pak dirawat.
Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Za
man berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konserva
tif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak
mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana
itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu
tertawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain
yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat kar
ya-karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—
seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih
hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu
mengalahkan dirinya sendiri.
Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika
keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di
Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya
artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”in-
dah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan
keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa yang tak
cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang
harus dilenyapkan.
Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap ke
Catatan Pinggir 9 715
http://facebook.com/indonesiapustaka K A N VA S
indahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indo-
nesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung
yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-
petani yang tenteram.
Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19.
Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in
the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para pe
nelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut
nama seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang
hidup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah
yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan”
dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunan i
yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan
kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada
hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan
dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh
gamb ar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pe-
lukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya
tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).
Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam
kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann
(1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-
1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-
1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pa
sara n seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan peng
usaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang
dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu.
Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di
masa silam. Bung Karno menggemari Dezentjé, sebagaimanaia
menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, ber-
wajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan-apalagi
kek acauan. Juga sebagaimana ia menggemari karya Basuki Ab
716 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka K A N VA S
dullah.
Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-
an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala
Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam
buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar
& Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebut-
kan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah.
Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”ar
tistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus.
Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut
Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban,
dan berjuang terus-menerus”.
Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang si
ap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang
kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kanvas
yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karenater
kendali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang”
mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit
dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan,
karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan.
Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan
demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang ha
nya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Da
lam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak me-
nyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejut-
kan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang grotesque,
mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan
itulah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau
Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri
Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—ti-
dak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: ke
sediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan
Catatan Pinggir 9 717
http://facebook.com/indonesiapustaka K A N VA S
ditolak.
Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-pa-
tung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak.
Tempo, 7 November 2010
718 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MARIDJAN
Mbah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tem-
patnya bertugas di Gunung Merapi, karena ia sejak la
ma menolak turun menghindar dari letusan yang telah
berkali-kali menelan korban itu. Kesetiaannya mengagumkan,
tapi apa arti tugas itu sebenarnya?
Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari
alam pikiran yang dikukuhkan Kerajaan Mataram sejak abad ke-
17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya Empu
Rama dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung
Jamurdipa karena telah mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang
itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang kemudian
disebut Merapi itu—yang jadi semacam keraton para arwah. Dan
ke sanalah Raja Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati
(1575-1601), mengirim juru tamannya yang berubah jadi raksasa.
Si raksasa diangkat sebagai ”Patih Keraton Merapi”, dijulukiKiai
Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisahk an
mempersunting Ratu Laut Selatan, menunjukkan bahwa kuasa
nya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah pelanjut Ke
raja an Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat
orang untuk jadi kuncen Merapi.
Maridjan, yang biasa dipanggil ”Mbah”, sejak 1982 diangkat
Hamengku Buwono IX untuk tugas itu. Betapa penting kehor-
matan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki
Merapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan ”Raden”; nama
resminya Surakso Hargo.
Tapi ia tak tunduk kepada raja yang sekarang, Hamengku Bu-
wono X. Dalam majalah National Geographic yang terbit Januari
2008, (”Living with Volcanoes”, tulisan Andrew Marshall), dise-
butkan bagaimana Maridjan menganggap HB X membiarkan
Catatan Pinggir 9 719
http://facebook.com/indonesiapustaka MARIDJAN
para pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir da
ri tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan enggan ikut dalam
upac ara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang,
kain, dan potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan un-
tuk melestarikan hubungannya dengan Keraton Merapi.
Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran
yang berbeda. Sri Sultan, yang dalam National Geographic digam-
barkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani, me
ngatakan: ”Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas
mithos yang pesimistis.”
Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia berto-
lak dari keyakinan manusia bisa melepaskan diri dari alam seki-
tarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia. Fisi-
ka, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus da
ri kesanggupan menaklukkan bumi. Kesadaran modern meng
anggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada peri menghuni
samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus mo
dern ini sebagai die Entgötterung der Natur, ”lepasnya dewa-dewa
dari alam”.
Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tum-
buh kesadaran hilangnya sifat yang magis dari alam. Animisme,
yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma, tergusur di
Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 sebelum Mase-
hi, rasionalitas disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang
bek erja hanya berdasarkan ”naluri”. Plato tak menghendaki pe-
nyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa de-
ngan manusia.
Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme
terusir, sejak monotheisme ditegakkan. Pada mulanya adalah
agama Yahudi. Yahwe adalah Tuhan yang ”cemburu”, demikian
disebut dalam Perjanjian Lama. ”Janganlah ada padamu allahla
720 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MARIDJAN
in di hadapan-Ku,” begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orang-
orang penyembah patung lembu dibinasakan, segala sikap yang
menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima
dianggap menyembah berhala.
Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut
dalam agama Kristen dan Islam. Pada satu titik, agama Ibrahim
ini bertemu dengan semangat modern: saat ”lepasnya dewa-dew a
dari alam”. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tum
buh misalnya di kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut
sebagai pembawa modernitas dalam Islam di Indonesia. Tak
mengherankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB
X)cenderung menampik adat nyadran di Merapi dan di mana sa
ja. Nyadran adalah pemberhalaan.
Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan.
Max Weber, sosiolog itu, telah termasyhur dengan telaahnya ten-
tang proses hilangnya yang ”magis” dari dunia, yang terjadi sejak
modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggu-
nakan ”akal instrumental”, memperlakukan alam sebagai sesu
atu yang bisa diperalat, dengan hasil yang bisa diarahkan. Dunia
modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut.
Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan
kep ekaannya kepada yang sesungguhnya mendasari iman-kepe-
kaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang Suci, yang
dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mys
terium, tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada
diri kita rasa gentar dan takjub karena misterinya yang dahsyat.
Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak boleh di-
”sekutu”-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh.
Kita hanya berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun
mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya dapat dikalkulasi.
Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mere
ka yang merasa bisa memperhitungkan maksud Tuhan dengan
Catatan Pinggir 9 721
http://facebook.com/indonesiapustaka MARIDJAN
cepat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi untuk tujuan
tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang
merasa bisa menjelaskan & menguasai alam-dan membuat ma-
nusia bersujud kepada Tuhan yang sebenarnya tak akrab.
Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepa-
da Tuhan yang sama. Tapi Tuhan itu masih membuatnya gentar,
takjub, dan bertanya.
Tempo, 14 November 2010
722 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DES
DES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi
nia tur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu
pad a 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Sjahrir jadi
orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bi
sa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu be
ragam pengalamannya, begitu pas ia di Pulau Maluku itu. Begitu
”Indonesia”.
Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,
tap i saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
ben ar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
stafnya.
Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasing
kan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya ada
lah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemu-
kan di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional
Catatan Pinggir 9 723
http://facebook.com/indonesiapustaka DES
paling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama per
dagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, le-
tak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab
(atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Ke-
mudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di
sew a untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret
an tiang.
Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau
itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon,
Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.
Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin
saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya me-
nyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di de
katn ya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica
724 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka DES
yang berumur 400 tahun. Seakan-akan di sore itu, sejumlah abad
bertemu.
Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi se-
antero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya
menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam di
tembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang
Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratus
anorang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sin i
pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run sete
lah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Be-
landa di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan
dengan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun
tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan....
Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang
tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, ta
pi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca
bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell
University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia,
tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak dari darah
dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau ti
dak, dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan
memb entuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan
”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol),
yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa
yatseperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta
Catatan Pinggir 9 725
http://facebook.com/indonesiapustaka DES
pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itumenegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
melawan.
Tempo, 21 November 2010
Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Tempo, 19 Oktober 2009.
Diterbitkan ulang untuk mengenang Des Alwi.
726 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka IBRAHIM
Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, me-
nyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah
engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin
itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang
diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati.
Ia berangkat.
Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya
akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan,
biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu se
lam at. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih meng-
guncang diri saya ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.
Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Da
lam Frygt og Baeven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun
1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman
Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang
universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapansaja.
Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindak
annya di Bukit Muria itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hu
kum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibra-
him menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang
absurd”. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim
bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membu
nuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannya—
hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi
Kierkegaard, seorang ”kesatria iman”.
Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ”kesatria
iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia
sampai hati benar?
Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletak-
Catatan Pinggir 9 727