The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:19:26

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA ITU

pidato pembelaannya di depan mahkamah kolonial ”Indonesia
menggugat”, nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita sakit
kar­ena ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok
yang bebas. Tak begitu jelas batas ”sesuatu” itu, tapi ia mengan­
dung­energi yang dahsyat yang membuat Bung Karno berani ma-
suk sel penjara dan banyak pemuda tak gentar mengorbankan
diri.

”Indonesia” telah jadi sebuah ”penanda kosong” ala Laclau.
Tak ada yang dengan sendirinya mampu secara tuntas dan penuh
mengisikan sebuah makna ke dalamnya. Yang terjadi hanya: ma-
sing-masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing
atau bersengketa. Buku Elson adalah riwayat pengisian ”penanda
kosong” yang berbunyi ”Indonesia” itu.

Bagi para peneliti antropologi pada abad ke-19, dari Prancis,
Inggris, Jerman, dan Belanda, ”Indonesia” adalah sebuah konsep
praktis buat kerja. Tapi orang Belanda umumnya tak memahami
ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad berpendapat,
nama ”Indonesia” lebih cocok untuk merek cerutu.

Sebaliknya bagi para pemuda yang datang dari tanah jajahan­
ke Nederland. Di tanah asing itu tumbuh rasa kebersamaan ter­
send­ iri, baik di kalangan yang datang dari Aceh maupun Am-
bon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan itu, na­
ma ”In­donesia” jadi sederet bunyi yang mempersatukan, dan de-
ngan persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula-mu­la­
merek­ a tak menyetujui membentuk cabang Boedi Oetomo (ka­
ren­ a ter­batas ”orang Jawa”). Mereka membentuk ”Indische Ver­e­
niging”­(IV). Kemudian jadilah ”Indonesisch Verbond van Stu-
deerende” (IVS).

Para politikus kolonial yang konservatif seperti H. Colijn
men­coba menunjukkan bahwa persatuan Indonesia mustahil,
ka­rena perbedaan suku dan ras yang ada. ”Indonesia” bagi orang-
orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. Dalam se-

478 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA ITU

buah pertemuan IV, pemuda dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu La­
ngie,­menegaskan perlunya ”persaudaraan” pelbagai suku dan ras
di ”Indonesia”. Buku Elson juga mencatat, dalam sebuah perte­
muan IVS pada 1920, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta
men­ yebut diri sebagai ”seseorang yang dalam batas tertentu me-
wakili orang Jawa, dan dengan demikian juga bagian dari Indo-
nesia”. Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, ”Hidup
In­donesia!”

Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil meng­
isi makna ”Indonesia” adalah dua tokoh sebuah partai radikal,
In­dische Partij.

Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar
Dewantara. Dalam majalah Hindia Poetra yang diterbitkan
kembali pada 1919, aktivis itu menyatakan: ”... orang Indonesia
adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak
peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina,
Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.”

Yang kedua adalah E. Douwes Dekker, yang kemudian dike-
nal sebagai Setiabudi. Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat
terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 1913: ”Bukan, Paduka
yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air kami....”

Dan ketika dua teman seperjuangannya, Cipto Mangunku-
sumo dan Suwardi, ditangkap dan dibuang oleh pemerintah ko-
lonial, ia menulis, dengan rasa sedih, tapi dengan sikap teguh:
”Kami berdiri, bukan hanya... berdampingan satu sama lain, tapi
juga di dalam satu sama lain.”

Kata-kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100
tahun kemudian, pada hari ini. Indonesia bukan sekadar multi-
kultural, tapi juga inter-kultural: tiap orang jadi Indonesia karena­
memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam dirinya. Sebab In-
donesia bukanlah kebhinekaan yang bersekat-sekat seperti dalam
rezim apartheid. Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik,

Catatan Pinggir 9 479

http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA ITU

bercampur, berbaur dengan bebas.
Dengan itu, Indonesia, si ”penanda kosong” ini, mengimbau

siapa saja tak putus-putusnya, menggerakkan ”kami” jadi ”kita”.
Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam ruang dan waktu, tapi ia te­
ra­sa tak berhingga.

Tempo, 27 September 2009

480 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERAJAM

INI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang
termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pela-
taran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar.
Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan
orang­Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang
lang­sung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak.

Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hu-
kum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perem-
puan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemim­
pin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi
toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”

Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan
orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin
agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan ce-
mooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.

Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya me­ngi­
ra-­ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum
Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama
yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang
ter­cantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan
bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar,
bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah
meng­hayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan di-
rawat dengan cinta-kasih.

Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hu-
kum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi
yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih
ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi
akidah.

Catatan Pinggir 9 481

http://facebook.com/indonesiapustaka PERAJAM

Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus.
Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menu­
lis­kan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemim­
pin Yahudi itu terus-menerus bertanya”, demikian menurut Yo­
han­ es, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barang siapa di antara ka­
mu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan
bat­u kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan
me­n­ ulis di tanah.
Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak se­
orang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan
”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua”.
Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang ditud­ uh pe-
zina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum­eng-
kau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudi­
an jadi teladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak
akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan
penga­­ mpunan adalah laku yang transformatif.
Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus
membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas ta-
nah. Apa yang digoreskannya?
Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah
isyar­at. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pa­
da pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi
harf­iah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata—juga
dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun
bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh (”jari-
jari”), meskipun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan di­
injak­para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan selalu
melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari
makna itu.
Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik

482 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERAJAM

ke­tentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi se-
cara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalam­
an, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di
sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di
mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barang siapa di
antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan
dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap
orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.

Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah.
Mendadak mereka melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak
sep­ enuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi
komp­ leks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Ke-
marin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula?

Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksem-
plar dari ”perempuan-perempuan yang demikian”. Ia satu sosok,
wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan—dan sebab
itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak ter-
ulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan na-
manya, kenapa ia sampai didakwa?

Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu,
adal­ah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke
mana. Chairil Anwar benar: ”Nasib adalah kesunyian masing-
ma­sing”.

Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu,
René Girard—yang menganggap mimesis begitu penting dalam
hidup manusia—menunjukkan satu adegan yang menarik: se­
tel­ah terenyak mendengar kata-kata Yesus itu, ”satu demi satu
orang-orang itu pergi....” Pada saat itulah, dorongan mimesis—
hasrat manusia menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang
lain—berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari
kanc­ ah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. ”Teks
Injil itu,” kata Girard, ”dapat dibaca hampir secara alegoris ten-

Catatan Pinggir 9 483

http://facebook.com/indonesiapustaka PERAJAM

tang munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang
primordial.”

Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada­
tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ”ge­
rom­bolan”? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk,
membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia ber-
kata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berte-
riak.

Tempo, 4 Oktober 2009

484 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka KPK

Semua bermula di Hong Kong, barangkali. Seorang te-
man yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing
mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009)
men­ unjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan ko-
rupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.

Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini
menc­ eritakan pergulatan beberapa petugas Independent Co­m­
mi­s­sion Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwir­a­
polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak no­
rak,­kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan se-
potong kisah yang disederhanakan.

Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada
1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicon-
toh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan po-
tongan-potongan cerita yang lurus.

ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjara­
kan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa men­
je­laskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya.
Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekan-
nya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya
kem­bali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.

Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, me­
rasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggota­
nya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi.
Akhir­nya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Go­
ver­nor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada ham-
pir semua anggota polisi yang korup yang kejahatannya dilaku-
kan sebelum 1977. Wibawa ICAC pun guncang. Pemerintah tak
sepenuhnya mendukungnya.

Catatan Pinggir 9 485

http://facebook.com/indonesiapustaka KPK

Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Se-
jak amnesti itu, polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan
HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya
oleh ICAC di tahun 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa
pun asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik
yang konstan.

Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan
sen­dirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk me-
nyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan.
April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau mengang-
gap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alas­
an: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu.
Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik
meng­anggap ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan”
hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang
bekas tertuduh merekam percakapan mereka.

ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya
adal­ah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi,
jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mere­
ka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut
”norm­ al” dan korupsi tak berkecamuk.

Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indone­
sia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap
titik. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekua-
saannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran
yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula
par­a pelayan rumah sakit yang dari ruang ke ruang baru membe­
ri pertolongan bila pasien memberi uang.

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghan­
curkan ”modal sosial”—kemampuan dan kemauan masyarakat
yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Sinisme berke-
camuk: siapa saja dapat dibeli. Ejekan yang memelesetkan sing-

486 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka KPK

katan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”)
adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sede-
ret labirin yang membusuk.

Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang
abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perke-
cualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK
bahk­ an lebih besar: di Hong Kong ICAC tak punya wewenang
menuntut. Wewenang itu ada pada kejaksaan. Di sini, KPK me-
megangnya.

KPK bahkan diharapkan bebas dari kekuasaan eksekutif. Di
Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertang-
gung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Gover-
nor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden
dan mungkin juga tidak kepada DPR.

Keluarbiasaan itu mungkin tak enak diungkit-ungkit kini.
Tap­ i mungkin tak bisa dilupakan: posisi KPK diletakkan (untuk
me­makai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hu-
kum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu
ditopang hukum yang lahir dari satu subyektivitas yang menegas-
kan kedaulatannya untuk membuat perkecualian.

Tapi kedaulatan itu toh akhirnya bertopang pada legitimasi­
yang contingent. Tak ada dasar a priori bagi hak pemegang ke­
kuasaan istimewa itu.

Maka di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan itu justru kian bu­
tuh­pembenaran. Apalagi yang diperoleh ICAC dan KPK bersi-
fat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat
sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih
rakyat. Badan seperti KPK terus-menerus perlu pihak di luar diri­
nya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugasnya
yang luhur mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik
berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap diri­
nya.

Catatan Pinggir 9 487

http://facebook.com/indonesiapustaka KPK

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengke-
ta bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong
Kong. Adegannya mungkin kurang brutal, tapi akan ada korban
yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”,
perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ru-
ang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan
dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemas­
an, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang
100 tahun.

Tempo, 11 Oktober 2009

488 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka KASTIL

SEORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mende­
ngarn­ ya. Maka tahulah saya ada yang ganjil yang jadi ru-
tin dalam pemerintahan kota yang dipimpinnya, seakan-
akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari novel Kaf-
ka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20
melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat
dasawarsa ini.

Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada
sua­ tu hari di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim su-
rat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia
tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia
ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan
untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu ker-
tas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang
sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.

Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lu-
rus hati yang diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-
akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat
terenyak. Ia seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih de-
ngan penuh harapan oleh rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pa­
da hari pertama ia masuk kantor balai kota, ia lihat ratusan orang
duduk di dalamnya: para pegawai. Sebagian besar baca koran. Se-
bagian lagi main catur. Bahkan ada seorang pegawai perempuan
asyik merajang sayur.

Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari
pertama masa jabatannya: ”Kantor macam apa itu?”

Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang bi-
asa saja, Pak—kantor pemerintah. Itu adalah kantor di mana me-

Catatan Pinggir 9 489

http://facebook.com/indonesiapustaka K A STIL

sin yang disebut birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk
membatalkan tesis Max Weber dan mengukuhkan gambaran
yang absurd dalam karya-karya fiktif Kafka—meskipun cerita
birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kemu-
raman Kafka.

Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan ke­
niscayaan dunia modern. Berbeda dari kaki-tangan raja-raja di
zam­ an lampau, yang bekerja berdasarkan perpanjangan karisma
Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi merupakan alat sebuah oto-
ritas yang bersifat ”legal-rasional”. Dalam tesis Weber, birokrasi
membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang jelas. Organi­
sasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia dengan sa-
dar bersifat impersonal. Seluruh bangunan itu punya rasionalitas
yang mantap.

Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan
sang wali kota?

Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak
ta­hu. Tapi jangan-jangan inilah ”rasionalitas” itu: birokrasi itu
adal­ah sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia diperlu-
kan. Birokrat, kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh,
adalah ”the functionaries of necessity”. Dengan catatan: necessity itu,
keperluan yang tak bisa dielakkan itu, pada awal dan akhirnya di-
tentukan oleh dinamika organisasi itu sendiri. Birokrasi tak perlu
punya sasaran untuk dicapai. Mesin itu berjalan mandiri.

Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat ale-
gorinya oleh Kafka dalam cerita pendeknya yang termasyhur, Di
Koloni Hukuman.

Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pe­
ngun­jung tentang proses eksekusi yang akan dijalani seorang ter-
hukum. Ia akan diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin
yang bekerja seperti sehimpun jarum tato raksasa, mesin yang
akan menusuki si terhukum dan dengan itu akan tertulis sebuah

490 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka K A STIL

kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si terhukum mati.
Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang ja­

di fokus bukan si terhukum; orang ini cuma diam saja, bahkan
tak tahu atau peduli apa kesalahannya. Melalui sang Opsir, to-
koh utama yang muncul adalah mesin yang ganjil, brutal, dan ru-
mit itu. Ketika sang Opsir yang mengoperasikan mesin itu tahu
penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia membiarkan dirinya
jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus didapatkan sasaran-
nya.

Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa
fungsinya ketika ia hadir, dalam jumlah yang berlebih dan tak
bekerja untuk satu hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali
kota tak boleh memecat pegawainya—meskipun ia sanggup
bekerja dengan 20% saja dari tenaga yang ada. Bahkan tiap tahun
ia harus menerima 700 pegawai baru.

Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang
digambarkan Kafka, aparat pemerintahan di kantor-kantor ne­
gar­­a tak tampak mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di Koloni­
Hukuman tak tepat dipakai. Mereka yang duduk menganggur di
kant­or wali kota itu tak punya ciri-ciri mesin yang efektif. Jika
kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin satu-satunya­no­­
veli­s yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern
yang harus menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita
lebih mirip sebuah kastil.

Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”),
kita dipertemukan dengan sebuah konstruksi yang mendominasi
lanskap desa. Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak tampak
siapa yang punya. Ketika K datang untuk menghadap, yang dise-
but hanya seorang administrator yang bernama Klamm (dalam
bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang tak pernah bisa ditemuinya.

Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul,
melalui lapisan staf dan telepon yang berdering dan tak disahut.

Catatan Pinggir 9 491

http://facebook.com/indonesiapustaka K A STIL

Birokrasi yang impersonal itu pada akhirnya tak menjawab dan
tak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab. Di balik bangunan
besar itu, mungkin sebenarnya hanya ada khaos. Gubernur itu
menyerah. Wali kota itu menyerah.

Tempo, 18 Oktober 2009

492 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DES

DES Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam mi­
ni­atur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat­
lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur
100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Banda Neira, jika
kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini dalam umur 83 ta-
hun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil,
melihat Hatta dan Sjahrir jadi orang buangan yang turun dari
kap­ al dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak
yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu
pas ia di pulau Maluku itu. Begitu ”Indonesia”.

Des Alwi seperti Banda Neira: elemen yang sering tak diingat,­
tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indone-
sia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal
Mallarangeng, yang telah dua kali ke Banda Neira dengan rasa
ka­g­ um kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau
itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia
be­nar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.

Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa
dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus dise­
rang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir
seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda menco-
ba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut
”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap
staf­nya.

Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-
20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasing­kan­
ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya ada­lah
rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan­
di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling

Catatan Pinggir 9 493

http://facebook.com/indonesiapustaka DES

awal, seperti minyak bumi pada zaman ini. Dan bersama perda-
gangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.

Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16,
let­ak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar
Arab (atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa.
Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian
Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka
selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala,
bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.

Di Banda Neira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante­
itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei
1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen
(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka di­
sewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda
yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh
ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deret­
an tiang.

Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama
orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu
sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Se-
rang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sjahrir.

Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tam-
pak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung
selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun pen-
jajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500
tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927
di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Sjahrir—
orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin­
saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya me-
nyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di de­
kat­nya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica

494 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DES

yang berumur 400 tahun. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah
abad bertemu.

Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi se-
antero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya­
menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam di­
tembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang
Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratus­
an­orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini
pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run se­te­
lah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Be-
landa di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.

Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan
den­ gan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun
tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan....

Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang
tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama,
tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca
bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell
University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia,
tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak darah­dan
dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak,
dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan mem-
bentuk tanah airnya.

Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan
”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol),
yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Sjahrir, yang masa mu-
danya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November
1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwa­
yat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, ta­

Catatan Pinggir 9 495

http://facebook.com/indonesiapustaka DES

pi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak ten-
tang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing”
itu­menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita
me­lawan.

Tempo, 25 Oktober 2009

496 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ERASMUS

Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang hu­
man­isme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun
tok­ oh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di
Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme
abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Eras-
mus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther,
pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi
yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”.
Licin, sukar ditangkap.

Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak
mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh
empasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia
memb­ ela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam,
tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya se-
makin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk su-
ratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan,
”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther
kar­ena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan
hamba karena hamba menentangnya....”

Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di za-
mannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda ter-
kemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan mo­
der­ asi”.

Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti so-
sok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas­
Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof yang me­
ditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pe­
nga­rang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford
pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah

Catatan Pinggir 9 497

http://facebook.com/indonesiapustaka ERASMUS

karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di
balik sikapnya yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire
yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus Julius II. Dalam
sa­tire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat:
”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius:
”Ab­surd!”

Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus
diperlakukan. Ia meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa di­
ser­tai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur
di katedral kota itu.

Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang mera-
gukan banyak hal dalam agama Kristen, tapi setia kepada Gereja.
”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada suatu hari
aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”

Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang ten-
tang pemikir ini adalah seruannya untuk menghadapi perbedaan
pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian.
”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih
baik ketimbang kebanyakan perang.”

Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kris-
ten” bila berbicara tentang Erasmus—atau, dalam perumusan
lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme” ini, skep­
tis­isme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi
pa­da akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama.
Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Eras-
mus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut un-
tuk akal budi.

Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan
mengatasi pikiran yang umum di zamannya—yang tak amat le-
luasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang di­
kend­ alikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu
hanya sikap yang membuat pemikiran buntu.

498 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka ERASMUS

Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah
un­tuk menghadapi kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang to-
koh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus ikut
bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari
kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan­da­
mai­menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” seba­gai
yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.

Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang menga­
gumk­ an dari humanisme, tapi juga ada unsur yang menyebabkan­
humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan
kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas
pa­da kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani Kuno yang ”ka­
fir”­—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat menangkap du­
nia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya ter­
sirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap,
atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini
me­nentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menang­
kap­dunia sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan re­
presentasi dari realitas yang obyektif.

Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini
terbentur kepada apa yang jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan
itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi penakluk
”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya
bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-
sia.

Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur,
Encomium Moriae, yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai
The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang gebleg, yang
tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehi­
dupa­ n bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap ge­
bleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak
berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan de-

Catatan Pinggir 9 499

http://facebook.com/indonesiapustaka ERASMUS

ngan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang
diajarkan agama.

Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang
menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya.
Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat
dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan keti-
dakadilan.

Tempo, 1 November 2009

500 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka EUMENIDES

KITA kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi
tahukah kita dari mana datangnya keadilan?
Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari
”rasa keadilan”. Kata ”rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah
”ke­sadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak
ha­nya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melain-
kan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain,
sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang
kita sebut ”rasa keadilan” itu.

Tapi ”rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya ge­
lap yang mungkin belum juga selesai.

Ada masanya ”keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalas­
an simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong
Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa
abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas
na­ma keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusa-
pati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang
mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, ”satu
mata dibalas satu mata”.

Tapi jika ”keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita
temukan dalam cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya
sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 sebelum Masehi kita
temukan bagaimana ”keadilan” itu mengalami transformasi.

Dalam lakon Oresteia yang terdiri atas tiga bagian itu, Aga­
memn­ on membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai
pemb­ alasan ia dibunuh istrinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah
berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya. Se­
muan­ ya­atas tuntutan keadilan.

Memang kepada sahabatnya, Pylades, ia bertanya: ”Apa yang

Catatan Pinggir 9 501

http://facebook.com/indonesiapustaka EUMENIDES

kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!” Tapi
atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal
yang mengerikan itu juga.

Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut Ερινυς—yang
dalam bahasa Inggris disebut ”the furies”—mengejarnya. Orestes
harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.

Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang
radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradil­an.
De­wi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat
meng­ambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sen­di­­
ri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubah­
nya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam
ki­sah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk se­
lama-lamanya.

Pendek kata, ini adalah lakon lahirnya hukum yang berbeda
sama sekali.

Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan me­
ring­kus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memo-
tong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus se­
penuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.

Hukum itu juga meringkus: ia tak mengizinkan perasaan pri­
badi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan ”pembalas­
an”. Mungkin inilah awal pandangan yang disebut ”positivisme
hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-
nilai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang diga­
ris­kan undang-undang—biarpun itu dirasakan tak adil.

Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aes­
chylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon.
Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan
di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan
yang melawan tanah airnya sendiri. Ia pengkhianat. Menurut un-
dang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak

502 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka EUMENIDES

dimakan gagak di luar dinding kota.
Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal

itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan me­
ngorb­­ ankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur,
yakni hukum dari dewa-dewa, dibandingkan dengan hukum ke­
rajaan. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai berperang,­
negara tak akan kukuh hukumnya bila ia goyah—meskipun
putra­nya sendiri, tunangan Antigone, membela gadis yang mem-
bangkang itu.

Tapi dari kedua lakon Yunani Kuno itu kita bisa tahu: di dasar
hukum, di awal hukum, ada kekerasan yang disembunyikan. Pa­
ra dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah adalah
semacam bawah sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum
Kreon adalah kelanjutan dari peperangan.

Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika un-
dang-undang mereduksikan hidup seseorang yang unik dan khas
jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku umum. Derri­
da menyebut reduksi ini ”kekerasan klasifikasi”.

Dengan kekerasan itu, di mana keadilan tanpa darah? Jika ke-
adilan telah diubah jadi sesuatu yang tak lagi pembalasan den-
dam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang
hukum dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa
seorang manusia tak bisa dianggap sebagai sekadar sebuah kasus
legal.

Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani Kuno
ikut dalam percaturan yang berdarah antara manusia. Rasanya­
tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam agama
Abrah­ ami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham meng­
apa,­dalam Alkitab, Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun le-
laki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.

Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak sela­
ma­nya jelas, dan mungkin memang tak akan jelas. Tapi tiap kali

Catatan Pinggir 9 503

http://facebook.com/indonesiapustaka EUMENIDES

kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke se-
buah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mung-
kin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: ”Keadilan, atau
kehancuran!”

Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa
dibenamkan oleh bangunan mahkamah mana pun. Hukum se-
lamanya sebuah kekurangan.

Tempo, 8 November 2009

504 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CICAK & BUAYA

... dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika­ka­
ta ”cicak” melawan ”buaya” dipakai pertama kalinya dalam per­
tentangan yang kini disebut sebagai konflik antara ”KPK” dan
”Polisi”. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji­tak­
memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang dip­ a­
kainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:

”Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Ci­
cak kok me­lawan buaya....”

Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pel­a­
ku yang bertentangan—dan tak seimbang.

Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter pan-
jangnya, hidup di celah-celah rumah kita, tak mengganggu, de-
ngan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mang-
sanya nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak
menyanyikan lagu yang riang tentang dia, (”Cicak-cicak di din­
ding­...”) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun,
ke­cuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat ”kadal” kecil
dar­i khatulistiwa itu.

Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjang-
nya. Kulitnya kasar keras, moncongnya menakutkan, dan meski-
pun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa menyerang.
Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang,
hab­ itatnya jarang didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya
hew­ an lain, juga kita.

Dalam bahasa Indonesia, ”buaya” umumnya sebuah metafor
untuk sesuatu yang punya sifat tak baik: ”buaya darat”, misalnya.
Ada memang kata ”buaya kroncong”, yang barangkali dipakai­

Catatan Pinggir 9 505

http://facebook.com/indonesiapustaka CICAK & BUAYA

unt­uk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis mu­
sik itu—dan penggemar itu tak gampang puas.

Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi
meng­umpamakan dirinya—mungkin juga korpsnya—dengan
seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya melihat
dal­am diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin
ju­ga kepintaran yang agresif. Dalam wawancara yang saya kutip­
tadi, Susno Duadji melihat pihak ”sana”, yakni KPK, sebagai ci­
cak yang ”masih bodoh”. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah
ber­usaha ”memintarkan”, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si
kecil itu telah diberi kekuasaan, kata Susno Duadji, tapi ”malah
mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa”.

Dari semua itu tampak, metafor Susno—seperti halnya meta-
for pada umumnya—tidak berperan sebagai ornamen. Memang
ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan,
ka­rena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa
(den­ gan kata lain: sesuatu yang tercerap pancaindra). Tapi orang
yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan untuk
mem­perindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa baha-
sa tak dimulai dari ide. Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa ber-
pangkal dari proses indrawi.

Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan
ini berlaku sejak kata seru seperti ”Wah!” sampai kata benda yang
mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan asosiasi terten-
tu di dalam pikiran kita. Kata ”sulur”, misalnya, mengandung
bu­nyi ”lur” yang kita dapatkan dalam ”julur”, ”salur”, ”balur”:
seb­ uah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu yang me-
manjang tapi tak meregang.

Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji),
dan bukan sesuatu yang rasional dan kognitif, metafor dilahirkan
dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik metafor
maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyam-

506 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CICAK & BUAYA

paikan sebuah pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang
fundamental.

Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang di-
pilih untuk merumuskan cita-cita Partai Golkar; atau palu-arit
untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi bi­
la simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih­
spontan; ia lebih bergerak ke arah asosiasi ketimbang ke arah kon-
sep. ”Pungguk merindukan bulan” adalah sebuah metafor, bukan
simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji see­ kor
burung buruk muka yang hinggap di sebuah dahan ketika­malam
mengagumi purnama. Antara si pungguk dan rembulan­itu ada
kontras yang jelas—juga jarak yang tak akan terjangkau.­Metafor
itu lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang meng­
ikhtisarkan sebuah ide tentang cinta yang tak sampai.

Juga ketika kata ”cicak” dan ”buaya” dengan spontan dipakai:
sa­ya kira yang berperan bukan sebuah konsep yang dipikirkan.
Bahk­ an ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.

Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu mensu­
gest­ikan bahwa yang terjadi tak berbeda dari perseteruan di alam
bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum se­
bag­ ai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Me-
mang Susno Duadji tak melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-
buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan, sang buaya
tak marah, ”cuma menyesal” karena menurut penilaiannya si ci­
cak masih tetap saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat
dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi demikian tam-
pak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.

Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bah-
wa konflik antarlembaga negara hanya selesai karena kekuatan fi­
sik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas dalam
manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai
secara luas itu memang menunjukkan sebuah pengakuan bahwa

Catatan Pinggir 9 507

http://facebook.com/indonesiapustaka CICAK & BUAYA

”hukum” selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa pengerti­an
”keadilan” sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persainga­ n
hegemoni atas bahasa dan makna?

Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan
lepas dari keinginan sang pemakai pemula. Ia ramai-ramai di-
pungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia hewan
itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng
yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang
tersembunyi?

Tempo, 15 November 2009

508 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka WATCHMEN

Ketika polisi tak ada, dan keadilan terasa asing, mun-
cullah Watchmen. Dalam cerita bergambar karya Alan
Moore dan Dave Gibbons ini, sejumlah orang luar biasa
perkasa menyamar sebagai vigilante: penyelamat kota dari kekeji-
an, penyelamat Republik dari musuh, bahkan penyelamat dunia
dari perang besar Armageddon.

Rorschach, salah seorang dari mereka, memulai cerita ini de-
ngan menulis dalam catatan hariannya, 12 Oktober 1985: ”Kota
ini takut kepadaku. Aku telah melihat mukanya yang sebenar­
nya.” Bagi Rorschach, yang menutup wajahnya dengan topeng
put­ih bebercak-bercak hitam, jalanan kota telah jadi ”selokan
meman­jang” yang ”penuh darah”. Ia merasa unggunan najis ”seks
dan pembunuhan” akan menggenang membusa sampai ping-
gang, dan ”semua cabo dan politikus akan memandang ke atas
dan ber­teriak, ’Selamatkan kami.’”

Rorschach adalah suara yang tajam getir, yang bergetar di atas
garis yang jelas: ”Sebab ada kebaikan dan ada mala, dan mala ha-
rus dihukum. Bahkan sampai di hadapan Armageddon aku tak
akan berkompromi dalam perkara ini.”

Berbeda dari Rorschach adalah Eddie Blake, ”The Comedi-
an”. Ia menertawakan hidup dengan sinisme yang dalam. Ia tahu
masa depan, yang bergerak cepat, tak punya tempat berlindung:
dunia, seraya meneruskan lukanya yang busuk, hidup di bawah
ancaman perang nuklir. ”Blake mengerti,” kata Rorschach ten-
tang kawannya ini. ”Ia melihat wajah abad ke-20... dan memilih
untuk jadi sebuah cerminan dan sebuah parodi tentang abad ini.”

Maka Blake adalah kebrutalan. Ia mencoba memerkosa re­
kann­ ya sendiri dalam kelompok vigilante The Minutemen. Ia
ikut dalam Perang Vietnam, tapi cepat-cepat meninggalkan Sai-

Catatan Pinggir 9 509

http://facebook.com/indonesiapustaka WATCHMEN

gon ketika musuh mulai meringsek; ketika seorang perempuan
se­tempat yang dihamilinya marah karena ia begitu tak bertang-
gung jawab, ditembaknya perempuan itu dari jarak dekat di tem-
pat umum. ”Blake itu menarik,” kata Dr Manhattan. ”Aku be-
lum pernah bertemu dengan orang yang seperti dia: dengan se­
nga­ja tak bermoral.” Di Vietnam, orang macam ini cocok, karena
”kegilaan itu, pembantaian yang seenaknya itu”.

Tak begitu jelas bagi saya, mengapa The Comedian bergabung
dengan tokoh-tokoh bertopeng atau setengah bertopeng yang pe­
nuh niat baik untuk menyelamatkan kota dari kebusukan. Tak
be­gitu jelas apa yang baik dan adil dan apa yang tidak bagi orang
ini. Tapi jika ada yang menyebabkan cerita bergambar Watchmen
punya arti lain adalah justru kemampuannya menampilkan be-
tapa tak murninya kebaikan, sebagaimana betapa tak murninya
ke­jahatan.

Tokoh yang paling berbudi dalam cerita ini adalah Dr Man-
hattan. Seorang ilmuwan muda yang cemerlang, Jon Osterman,
terjebak dalam ruang eksperimen dan kecelakaan dahsyat terja­
di. Ia berubah jadi manusia yang punya daya yang ajaib. Ia bisa
men­ gendalikan struktur atom. Ia mampu menghancurkan tank
dengan mengarahkan energi dari telunjuknya. Ia sanggup mela­
yang­langsung ke Mars. Ia juga dapat memindahkan tubuh ma-
nusia dari jarak jauh. Tapi ia tak berbuat apa-apa ketika di ha-
dapannya, Blake menembak perempuan Vietnam itu. ”Kau bisa
mengubah pistolku jadi uap...,” kata Blake ketika Dr Manhattan
menegurnya. ”Tapi kau tak menggerakkan jarimu sama sekali.”

Adrian Veidt juga istimewa. Orang mengatakan dialah manu­
sia paling cerdas di dunia. Mundur dari kelompok vigilante, ia
membangun kekayaan yang tak tanggung-tanggung. Dengan
itu­lah ia membangun sebuah pusat di Kutub Selatan—dan dari
sana, ia membinasakan ribuan orang di Kota New York. Dengan
itu, ia berhasil mengalihkan dua negara superkuat, Amerika Seri-

510 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka WATCHMEN

kat dan Uni Soviet, dari permusuhan. Keduanya jadi sekutu, ka­
rena merasa ada kekuatan lain dari luar bumi yang mengancam.

Adilkah tindakannya? ”Jon,” katanya kepada Dr Manhattan
menjelang cerita berakhir, ”aku tahu orang menganggap aku tak
punya perasaan lagi.... Apa yang penting adalah bahwa aku tahu
aku telah bergulat menyeberangi tubuh orang-orang tak bersalah
yang terbunuh untuk menyelamatkan umat manusia.... Tapi ha-
rus ada seseorang yang menanggung beban berat kejahatan yang
keji tapi perlu itu.”

Benarkah? Veidt sendiri tak yakin. Ia masih bertanya, ”Jon...
apa yang kulakukan benar, bukan? Semuanya berakhir baik.”
Tapi Osterman hanya menjawab, ”Tak ada yang berakhir, Adri-
an. Tak akan ada yang pernah berakhir.”

Juga keputusan tentang kebaikan dan kekejian tak akan ber­
akhir.­Rorschach merasa ada konfrontasi yang tegas antara ke­
baika­ n dan mala, tapi ia sendiri meletakkan garis itu pada keke­
rasan yang brutal.

Tapi mungkin dengan itu ia ingin memperingatkan bahwa
baik otoritas moral yang diwakili lembaga resmi—polisi, penga-
dilan, hukum—maupun dirinya, seorang vigilante, bermula se­
bag­ ai kekerasan. Seperti dialami para tokoh Watchmen, tiap kali
kita bersikap bahwa kebaikan diri kita tak sedikit pun terkonta­
mi­nasi kejahatan, akan terjadi kesewenang-wenangan.

Sebab itu, perlu dekonstruksi. Dekonstruksi adalah keadilan,
kata Derrida: membuka diri kita kepada yang di sana yang berbe­
da dan dibungkam. Termasuk bagian diri sendiri yang cacat.

Itu sebabnya keputusan untuk adil tak bisa bertolak hanya da­
ri hukum yang ada. Keputusan yang adil perlu menggunakan
atura­ n tapi juga meniadakannya. Tiap kali harus ada peninjauan
kembali. Tiap kali harus ada kerendahan hati.

Apa yang menakutkan dari Watchmen adalah bahwa manu-
sia-manusia itu, yang menyamar, sebenarnya juga setengah me-

Catatan Pinggir 9 511

http://facebook.com/indonesiapustaka WATCHMEN

nutup mata. ”Kota ini takut kepadaku,” kata Rorschach. ”Aku
telah melihat mukanya yang sebenarnya.” Tapi bisakah ia melihat
mukanya sendiri yang sebenarnya?

Tempo, 22 November 2009

512 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CESARE

Pernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasa­
an, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, pembu­
nuha­ n, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke-16 di
Ital­ia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci.

Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan suara bulat­
da­lam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus baru
ini memilih nama ”Aleksander” tokoh sejarah ”yang tak terka­
lah­kan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak
per­nah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma
menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda
putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna-warni, deretan
kesatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di
ujung prosesi itu Aleksander kemudian tampak: dalam usia 61 ia
tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap perca­
ya diri yang mengesankan.

Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewah-
an itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus:
ia naik jenjang karier sampai jadi kardinal dalam usia 25 tahun.
Tentu saja jalur cepat itu karena Paus Calixtus III adalah paman-
nya. Yang tak bisa dilupakan adalah bahwa Kardinal Borgia yang
pandai memimpin Kuria itu, yang unggul dalam administrasi
dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati
para perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak
gelap pertama.

Enam tahun kemudian, seorang perempuan lain jadi ibu dari
empat anak yang baru, antara lain Cesare.

Itu memang zaman ketika kehidupan seksual para petinggi­
Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika ke­
dudukan kepausan bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan

Catatan Pinggir 9 513

http://facebook.com/indonesiapustaka CESARE

da­na dan memberi tempat bagi sanak keluarga. Paus Aleksander
memperoleh 30 ribu dukat uang untuk memberi izin perceraian
seorang raja Hungaria, menerima bayaran 120 ribu dukat dari 12
kardinal yang dipromosikannya. Sebuah sajak satire pernah ditu-
lis tentang itu: ”Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus....”

Sang Paus tak peduli. Ia tak mendengarkan apa yang dika­
ta­k­ an orang ramai tentang dirinya. Ia mengukuhkan takhta ke­
paus­an, dan untuk itu segala cara ditempuh. Ia beruntung. Ia
mend­­ apatkan bantuan dari putranya, Caesar Borgia, sang penak­
luk yang berhasil memperluas wilayah kepuasan—terutama se­te­
lah anak muda itu, dalam usia 22 tahun, melepaskan jabatannya
sebagai kardinal dan terjun memimpin peperangan.

Cesare, yang tak kalah rupawan ketimbang ayahnya, bertu-
buh jangkung dan berambut pirang, adalah lelaki perkasa yang
kon­ on mampu membengkokkan sepatu kuda dengan tangan te­
lanjang. Ia bisa merobohkan seekor banteng dengan sekali tebas.
Ia tak mengenal takut. Ia periang dan cerdik. Perempuan menga­
guminya tapi tahu bahwa mereka hanya akan dipergunakan se-
bentar. Nafsu utama lelaki ini hanya satu: kekuasaan. Ia bisa bru-
tal dan keji, ia bisa cerdik dan culas. Tapi ia bisa menenangkan
rakyat di bawahnya.

Ia hidup menyendiri di Roma, setengah tersembunyi, hingga­
begitu banyak desas-desus beredar bagaimana ia meracun mu­s­uh­
politiknya, atau memenjarakan orang penting untuk kemudi­
an dilepaskan setelah membayar ribuan dukat. Tak pernah je­
las­ tercatat dalam sejarah, benarkah semua itu dilakukannya.
Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efek-
tif, dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang
menghambat jalannya. Tapi juga dalam memerintah, ia bisa
meng­ambil hati mereka yang hidup di bawah.

Sejarah kekuasaannya, sebagaimana kekuasaan ayahnya, me-
nimbulkan perdebatan sampai hari ini, dan tak hanya di Italia:

514 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CESARE

tak adakah dorongan lain dalam dinamika kekuasaan politik, se-
lain mendapatkan dan menggunakan kekuasaan politik?

Machiavelli, yang menulis Il Principe, menggambarkan­pe­ri­
laku Cesare Borgia dengan penuh pujian: ”Ia dianggap kejam...
tapi kekejamannya bisa menggabungkan kembali Roamagna,
me­nyatukannya, dan memulihkannya ke dalam suasana damai
dan setia....” Cesare bisa menimbulkan rasa takut, tapi juga rasa
cin­ta, dari orang lain. Bagi Machiavelli, seorang penguasa yang
har­us memilih antara dicintai atau ditakuti, lebih baik memilih
yang terakhir. Ia harus bisa mengorbankan cinta.

Salahkah Machiavelli? Hegel memuji pemikir politik Italia
dar­i abad ke 16 itu dalam hal ”kesadarannya yang tinggi tentang
hal-hal yang niscaya dalam membentuk sebuah negara”. Semua­
nya­harus bisa diperalat, juga agama. Machiavelli mengambil te-
ladan dari Numa Pompilius yang memimpin Roma: untuk men-
jinakkan sebuah masyarakat yang ganas dengan cara yang damai,­
Numa memakai agama sebagai ”penopang yang paling perlu dan
pasti bagi tiap masyarakat yang beradab”.

Tapi tampak, bagi Machiavelli dorongan pertama bukanlah
dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada Ke­
baik­an yang Kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan
me­lahirkan ketertiban. Nilai-nilai yang dianjurkan Tuhan tak
penting kecuali untuk itu. Tak mengherankan bila seorang pe­
ngag­ umnya menyebut dia irrisor et atheos, ”seorang atheis yang
membawakan satire” dalam filsafatnya tentang kekuasaan.

Machiavelli tak salah: ia membongkar apa yang nyata dalam
ke­hidupan politik, bukan apa yang seharusnya. Sebab apa yang
se­harusnya (yang berdasarkan sesuatu yang transendental) pad­ a
akhirnya ditentukan tafsirnya oleh siapa yang di dunia ini me­
nang atau ingin menang.

Tapi kita dengan mudah bisa menunjukkan, Machiavelli tak
lengkap. Hidup tak hanya tumbuh dalam ketertiban dan kekua-

Catatan Pinggir 9 515

http://facebook.com/indonesiapustaka CESARE

saan. Pengalaman menunjukkan, hidup juga punya momen yang
transendental. Ada yang menggugah entah kenapa dari saat yang
”ethikal”: ketika kita merasa bertanggung jawab untuk adil, ter­
utama­kepada orang lain, terutama kepada yang menderita.

Tempo, 29 November 2009

516 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MELODRAMA

Politik terkadang butuh melodrama. Pada saat-saat ter-
tentu ia sebuah melodrama tersendiri bahkan. Seperti da­
lam sinetron yang silih berganti kita saksikan di TV—la-
kon-lakon yang itu-itu juga, Kitsch yang tanpa malu memperda-
gangkan ajaran budi pekerti yang simplistis—politik sebagai
melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” dan pada saat yang
sama, tak meyakinkan.

Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Kata ini saya pungut
dari Oliver Marchand yang menulis satu esai yang bagus tentang
pol­itik sebagai teater dan teater sebagai politik (Marchand me-
minjamnya dari Robert Heilman). Monopathy adalah ”kesatuan
per­asaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh”. Tokoh-
tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya konflik yang menda­
sar dalam dirinya”—berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang tero­
bek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar
dan gelora hati. Melodrama adalah konflik manusia dengan ma-
nusia lain, sedang tragedi menghadirkan tokoh seperti Hamlet­
dan Oedipus, dan dengan demikian tragedi adalah konflik di da­
lam diri manusia. Maka melodrama bergantung pada permusuh­
an dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau bakhil, ideo­
logi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam
yang destruktif, dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya
hi­tam atau putih.

Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik,
trag­ edi mirip agama—kecuali bila agama pun jadi proyek poli-
tik, bukan lagi merupakan ruang persentuhan aku dan Tuhan,
melainkan ruang persaingan atau benturan antara ”kami” dan
”mereka”.

Revolusi adalah model yang bisa jadi acuan jika kita bicara

Catatan Pinggir 9 517

http://facebook.com/indonesiapustaka MELODRAMA

tent­ang politik sebagai melodrama. Dramawan Peter Brooks me­
nunjukkan hal ini. Melodrama, katanya, adalah ”genre dan ucap­
an dari moralisme revolusi”. Dalam revolusi pesan moral di­utar­a­
kan tanpa ambiguitas: di sini kaum revolusioner yang mulia,­di
sana kaum kontrarevolusioner yang keji.

Tiap revolusi menyangka, atau menyatakan diri, membawa
ses­uatu yang baru. Revolusi Prancis menyatakan tahun permula­
an kekuasaan baru sebagai ”tahun nol”. Revolusi Rusia meng­
ubah nama-nama kota terkenal (”St. Petersburg” jadi ”Lenin-
grad”), juga Revolusi Indonesia menolak nama ”Batavia” dan
menj­adikannya ”Jakarta”. Bahkan Bung Karno mengubah nama
orang yang mengandung nama ”Belanda”: Lientje Tambayong
jadi ”Rima Melati”, Jack Lemmers jadi ”Jack Lesmana”.

Para sejarawan mungkin tak akan melihat apa yang ”baru” bi­
sa sedemikian absolut. Tarikh baru bisa dimaklumkan, nama ba­
ru bisa diterima umum, tapi senantiasa akan ada endapan dari
mas­a lampau dalam peristiwa revolusioner yang mana pun. Lagu
Revolusi Oktober yang dinyanyikan dengan menggetarkan oleh
paduan suara Tentara Merah menggunakan melodi yang sama
dengan nyanyian Selamat Tinggal, Slavianka yang digubah pada
1912—yang juga dinyanyikan untuk membangkitkan semangat
pasukan Tsar menjelang perang di Balkan.

Sudah tentu, bagi kaum militan yang muncul menegaskan di­
ri dalam revolusi, apa yang ”baru” itulah yang menyebabkan me­
reka maju dan yakin. Badiou, yang menyebut Revolusi Prancis
dan Rusia sebagai ”kejadian”, l’evénement, mengklaim bahwa ke-
jadian itu adalah sebuah proses ”kebenaran”, dan ”kebenaran”,
(berbeda dari ”pengetahuan”) bersifat ”baru”. Mungkin seperti
puisi yang lahir dan—meskipun menggunakan bahasa yang
ada—bisa dihayati sebagai baru sama sekali.

Persoalannya, sebuah revolusi (sebagai ”kejadian” yang dah­
syat­sekalipun) bukan hanya menerobos sebuah ”situasi”, bukan

518 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka MELODRAMA

sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga datang dari
sebuah ”situasi”, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut sta­
tus quo. Saya kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi
bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada keadaan obyektif, bila tak
terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum
borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun,
kecuali tenaga.

Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bu-
kanlah lakon seru yang tak dirundung ambiguitas dalam dirinya.­
Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya mengan­
dung­sifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri,
gerak terasa mundur dan jadi antiperubahan, tak pastinya proses
yang biasa dibayangkan dalam pidato-pidato ”moralisme revolu-
sioner”.

Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama
akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pejuang
yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian motif
dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya,
akan tampak menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para
pen­ onton. Terutama dalam keadaan ketika elan perubahan telah
bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang
meluas.

Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat.­
Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang
mengi­nginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis me­
nakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan
akhir yang jelas dan bahagia: Sita kembali mendampingi suami­
nya­setelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada dalam cerita
kita bahwa Sita harus dibakar untuk membuktikan dirinya ”suci”
setelah bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.

Melodrama, dalam pentas dan dalam politik, memang meng­
asyikkan, dengan atau tanpa air mata. Tapi memandang politik

Catatan Pinggir 9 519

http://facebook.com/indonesiapustaka MELODRAMA

dengan sikap pengarang sinetron akan cenderung menampik ke-
sadaran akan yang tragis dalam sejarah—dan kita hanya akan
jadi anak yang abai dan manja.

Hidup tak bergerak dengan monopati.

Tempo, 6 Desember 2009

520 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PINTU

Mereka saling tak kenal, tapi masing-masing mere­ka
berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang pe­
rempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di per­
kebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengam-
bil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan
yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore
kota itu.

Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika me­
re­ka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dice-
gat penjaga.

”Mau ke mana?” tanya juru pintu.
”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama,
dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan.
”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.
Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya se-
dang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya
akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang
ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena
meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia
diceritakan untuk kita.
Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa
melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi
meng­urungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Ka-
lau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja.
Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada
pin­tu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada penjaganya, yang
makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu
ketiga saja, si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri
tak berani melihat.”

Catatan Pinggir 9 521

http://facebook.com/indonesiapustaka PINTU

Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alas­
an: ”Supaya nyonya tak merasa ada yang ketinggalan,” tapi pe­
rem­puan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di
depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia ha-
fal bagaimana gerak tangan penjaga itu menabok nyamuk, mem-
bersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari naik
ke topi itu.

Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.
Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya
bersinar dari bagian dalam gerbang. Hanya sebentar. Ketika de-
ngan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap bunyi napas
itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si
nenek yang tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengar-
nya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan, kenapa selama bertahun-
tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?”
Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya
dari kutu No. 72, dan menjawab: ”Orang lain tak ada yang kema­
ri, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.”
Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh
beberapa puluh tahun yang lalu itu. Dan pintu itu ditutup.
Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat un-
tuk membuat Hukum, yang ditulis dengan huruf ”H”, merupa­
kan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang—semacam
firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata
yang tak boleh disentuh?
Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia
bahwa Hukum sebenarnya tak pernah ada?
Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya me­
nungg­ u. Menunggu. Entah sabar atau gentar, entah tawakal atau
putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah
sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa diri­
nya tak layak, hingga tanpa digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang

522 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PINTU

kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri. Tapi mung-
kin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi an-
tara bebas dan tak bebas—terutama menunggu Hukum, yang
ditulis dengan ”H”.

Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyang­
ka Hukum adalah Keadilan. Sangkaannya berlangsung sampai
akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya yang
sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu
ada Keadilan itu sendiri.

Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.
Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya
betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh,
Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggam-
bar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya­
akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hu-
kum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bah-
kan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri.
Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia—
seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan
ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh
seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang
para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala
hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak
ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke
batu atau kayu atau logam itu....
Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang
mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para le­
gisl­ator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi
dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental­
bukan produk dari dunia ini, meskipun ia meraga—dari kata
”raga”—di dunia.
Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang

Catatan Pinggir 9 523

http://facebook.com/indonesiapustaka PINTU

bertahun-tahun mengatakan bahwa Hukum justru sesuatu yang
harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki.

Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indone­
sia, melainkan dari sebuah negeri tempat hukum dibuat oleh Ne­
gara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada Repub­
lik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang
utuh. Tapi bagi kita di Indonesia, apa yang bisa dikatakan ten-
tang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu yang jangan-
jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak
jelas? Menjaga ”Hukum”, yaitu ketidakpastian?

Tempo, 13 Desember 2009

524 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka RECEHAN

DI Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendi­
ri. Sejak Daendels membentangkan 1.400 km ”La
Grand­ e Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan
ke­tika dinas pekerjaan umum Republik Indonesia membuka ja­
lur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan sebagai ruang un-
tuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan
gerak, dari dunia modern yang dinamis dan tak bergantung lang-
sung pada alam. Tapi apa yang kita alami kini? Dengan lekas bisa
Anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan ham-
batan; jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam.
Jalan adalah lahan banjir.

Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendara-
an ini berkembang biak dengan cepat. Dan dengan cepat pula
mob­ il, sebuah tanda modernitas yang lain—teknologi dengan
di­namika tinggi—telah terbalik posisinya: ia malah jadi simp-
tom kesumpekan. Kita bisa hitung berapa meter persegi wilayah
jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya jika ada
500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa
kecilnya bagian kota yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya
gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah kongesti, inilah
”batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”.

Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan de-
ngan rada persis bagaimana akibat kongesti ini bagi hidup kejiwa­
an. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap
hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilo-
meter dalam satu jam, terutama sekitar pukul tujuh malam hari?
Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar yang tak ter-
hingga?

Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap

Catatan Pinggir 9 525

http://facebook.com/indonesiapustaka RECEHAN

di­jok mobil. Atau menulis sajak. Tapi saya tak tahu bagaimana
orang lain memanfaatkan kemacetan itu—yang mengambil kira-
kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seming-
gu, atau sekitar tiga hari kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas
ada­lah implikasinya bagi kehidupan bersama. Kongesti itu—
berj­ubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu—adalah se-
buah gejala perpecahan sosial.

Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di
sebelah, di depan, dan mungkin juga di belakangnya sebagai pi-
hak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme, ber-
langsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mu-
lut atau klakson). Menutup mata tidur juga bisa jadi sikap tak
mengacuhkan orang yang di luar sana.

Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang di­
sebut Hirsch, dalam The Social Limits to Growth, sebagai ”the ty­
ran­ny of small decisions”: keputusan individual yang tak bertautan
satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya
membeli mobil, saya tak memikirkan apa dampaknya bagi kelan-
caran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca—hal-hal yang meru-
pakan bagian kebersamaan.

Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat—yang biasa diba­
yang­kan sebagai sebuah bangunan utuh—tak hadir. Polisi lalu
lint­as—jikapun ada—memperkuat raibnya keutuhan sosial itu,­
ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang so­
gok. Sebagaimana banyak orang menghayati mobil dan ruas ja-
lan sebagai milik privat, polisi itu juga memberlakukan otoritas-
nya sebagai kekuasaan privat. Saya selalu mengatakan, korupsi
adalah privatisasi kekuasaan yang didapat dari orang banyak.

Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang
dan jasa masyarakat yang, dalam kata-kata Marx, ”dikomunika-
sikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah
dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli”. Di kemacetan jalan Jakar-

526 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka RECEHAN

ta, kita tak lagi bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hu-
kum, kelancaran, dan udara bersih.

Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan
public spirit, moralitas, dan semangat untuk kepentingan publik.

Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan me­
ngendalikan kapitalisme dari bahaya ”tirani keputusan-keputus­
an kecil”. Itulah inti dari ”kompromi Keynesian”, cara Keynes un-
tuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelan-
jutan. ”Kompromi Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa
dis­erahkan kepada pasar. Diakui bahwa public spirit selamanya
perlu.

Ketika zaman pasca-neoliberal kini ditinggalkan, ketika
”komp­ romi Keynesian” diangkat untuk dijadikan kebijakan lagi,
timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan te-
ladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuat­
an yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—
dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai
yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia
memaksimalkan kepentingan diri.

Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam ”kompromi Keyn­ e­
s­ian” itu, bahwa para pejabat Negara yang jadi pengelola sistem
sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai tersendiri?

Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak de-
ngan sendirinya bebas dari ”tirani keputusan-keputusan kecil”.
Di atas telah saya sebutkan korupsi sebagai privatisasi kekuasaan.
Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat
bekerjanya apa ”yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi?

Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos po­
lisi­di pojok perempatan. Mungkin jawabnya bukan di jalan-jalan
yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan. Jawabnya
ada di dekat kita sendiri.

Ketika Prita didenda Hakim—yakni petugas Negara yang tak

Catatan Pinggir 9 527


Click to View FlipBook Version