The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:19:26

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 9 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR

rung-burung. Tanpa mengenal mana yang prenjak dan mana
yang kutilang, ia dengarkan kicau sehabis gelap itu seperti harap­
an yang kembali. Ternyata tak semua bisa digusur gedung-gedung
kota yang mengalahkan pepohonan tempat beberapa makhluk
hinggap dan hidup. Seperti halnya tak semua dibinasakan oleh
bi­sing. Biarpun cuma beberapa menit. Kata akhir mengenai ke-
hidupan ini belum bisa diucapkan.

Tapi benarkah? Benarkah selingan dan surprise ringkas itu pu-
nya makna yang lebih besar dalam hidup—terutama hidup di
kota yang luas tapi berjubel itu? Bisakah ia masih berharap dari
manusia, bukan dari burung dan kembang?

Pengantar koran datang. Ia malas membaca halaman perta-
ma: terlalu banyak kabar dan statemen buruk. Ia malas membaca
halaman opini: terlalu banyak tulisan yang tak memberinya ja-
wab terhadap yang diucapkannya tadi tentang kebencian. Ia ha­
nya­membaca halaman iklan, kemudian melupakannya.

Setelah sarapan kecil, ia putuskan untuk pergi lebih pagi ke
kant­or. Ia tinggalkan secarik kertas dengan pesan kepada suami­
nya yang baru akan pulang siang nanti dari Yogya, menengok T,
anak mereka yang bersekolah di sana: ”Makanan sudah aku siap-
kan di kulkas.”

Lalu ia berjalan ke ujung gang, menunggu taksi.
Sopir taksi itu mengenal betul jalan ke arah kantornya di Ke-
mang Timur. Sambil duduk di jok belakang, W mencoba mengi­
rim beberapa pesan pendek lewat telepon genggamnya ke asisten-
nya. Tapi tiba-tiba matanya tertarik ke sebuah foto keluarga yang
tak lazim tertempel di dasbor: sepasang suami-istri dan seorang
anak perempuan. Pasti sopir itu dan keluarganya.
”Ini anak saya, Bu,” tiba-tiba sopir itu berkata, tahu bahwa pe­
numpang di belakangnya memperhatikan foto itu.
”Dia besok akan dioperasi otaknya,” katanya lagi.
”Kenapa, Pak?”

578 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR

”Dia sering pingsan. Dia sudah SMA, anaknya pinter, ra­por­
nya­bagus. Tapi dia sering pingsan dan harus berhenti bersekolah.­
Kata dokter, ada cairan dalam otaknya yang mengganggu.
Mungk­­ in karena sering jatuh dulu waktu kecil.”

”Dia anak kami satu-satunya, Bu. Saya bikin apa saja supaya
dia bisa sembuh. Saya orang miskin. Tapi dia harus selamat.”

”Pasti mahal sekali biayanya, Pak?”
”Saya berusaha dapat surat keterangan tanda miskin, Bu.
Aduh, bukan main susahnya. Saya datang bolak-balik ke kantor
Kecamatan Balaraja—kami tinggal di Tangerang—dan selalu
di­tolak. Malah nggak dilayani. Delapan kali, Bu. Delapan kali
sa­ya ke sana, menghadap. Membawa surat lengkap dari RT, RW,
kelurahan....”
”Sampai sekarang belum dapat surat itu?”
”Akhirnya saya marah, Bu. Saya meledak, begitulah. Saya bi-
lang pada ibu-ibu petugas yang menerima surat-surat itu, ’Apa
ibu-ibu nggak pernah punya anak, nggak pernah anaknya sakit?’
Saya bilang, ’Baca, nih, Bu, baca: apa yang tertulis di surat dari lu-
rah saya....’”
”Akhirnya mereka baca....”
”Lalu?” tanya W.
”Ternyata ibu-ibu itu masih punya hati, Bu. Mereka nangis se­
telah membaca. Mereka kasih saya surat keterangan itu. Jadi al-
hamdulillah, saya bisa bawa anak saya ke dokter untuk dioperasi
tanpa bayar....”
”Syukurlah, Pak, saya ikut senang,” sahut W.
Tiba-tiba nada suara sopir itu berubah. ”Tapi saya nyesel, Bu,
saya jadi sedih banget.”
”Saya sedih banget kok saya sampai marah-marah kepada para
petugas di kecamatan itu. Itu kurang patut, kan, Bu. Sewenang-
wenang, namanya....”
W terdiam.

Catatan Pinggir 9 579

http://facebook.com/indonesiapustaka SOPIR

Ia ingat sejuk tadi pagi, setelah malam yang gerah. Ia ingat
bur­ung. Ia ingat kembang anggrek. Ia merasakan sesuatu yang
meng­guncangkan hatinya. Ia bersyukur berjumpa dengan se­
orang yang seperti jadi jawab untuk doanya tadi pagi. Tapi senga­
jak­ ah Tuhan membuat keadaan begitu muram hingga selingan
seperti kisah sopir itu jadi sangat berarti? Bila demikian apa ke-
hendak-Nya?

W turun dari taksi. Sopir itu berkata: ”Doakan, ya Bu, anak
say­ a supaya selamat.”

Di kantor, di mejanya, ia berdoa. Untuk seorang anak perem-
puan yang tak dikenalnya. Tapi ia makin tahu Tuhan tak bisa di-
duga. Mungkin Ia pertama-tama adalah pengguncang hati. Sele-
bihnya Penciptaan berjalan. Belum selesai.

Tempo, 21 Maret 2010

580 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERSIS

PENDETA Hale datang jauh-jauh ke Kota Salem di akhir­
abad ke-17 itu dengan keyakinan ia akan mengha­lau­
kejahatan dari muka bumi. Ia diundang ke kota di Te­
luk Massachusetts itu untuk memeriksa satu kasus santet: ada
seorang anak gadis yang pingsan terjatuh di hutan, dan ada se­
orang budak hitam dari Barbados yang dituduh jadi dukun setan
yang menyebarkan bid’ah dan malapetaka.

Dalam lakon The Crucible Arthur Miller ini Pendeta Hale
tam­pil sebagai seorang yang ingin mendekati persoalan dengan
logis dan ilmiah. Ia berbeda dari orang-orang udik itu. Ia tak
ingin­terlibat dalam takhayul. ”We cannot look to superstition in
this. The Devil is precise.”

Tapi ia tak merasa ada kontradiksi dalam kata-kata itu. Ia me-
nolak takhayul, tapi baginya Setan bukanlah sesuatu yang ambi­
gu. Setan itu hadir secara pasti dan akurat. Hale membedakan
de­ngan jelas antara keyakinannya yang berdasarkan Alkitab dan
takhayul; baginya, iman dapat ditunjang dengan sikap ilmiah.
Ta­pi pada saat yang sama ia tak menggunakan dasar paling mula
da­ri sikap ilmiah. Ia tak hendak mempertanyakan dan menguji
ti­ap hipotesis; ia tak bertekad mendapatkan pembuktian secara
em­piris. Hale, yang hidup di zaman sebelum empirisisme John
Locke terdengar, datang ke kota udik itu dengan buku-buku te-
bal. ”Ilmiah” baginya rasional, tapi itu saja: tak bertolak dari
peng­amatan, tak berangkat dari pengalaman dalam ruang dan
waktu.

Maka, ”The Devil is precise,” kata Hale. Demikian pula keya­
kina­ n tentang Tuhan. Itu sebabnya ia menganggap theologi seba­
gai sebuah ”benteng” yang tak bisa retak, biarpun kecil. Ia tak
mem­beri kemungkinan ada seorang, justru dalam kecenderung­

Catatan Pinggir 9 581

http://facebook.com/indonesiapustaka PERSIS

annya yang religius, untuk bisa ragu sedikit pun.
Dalam lakon The Crucible, Hale pada akhirnya guncang juga:

sejumlah orang dihukum mati, meskipun mereka sebenarnya
tak bisa diputuskan dengan persis telah bersalah terlibat dalam
bid’ah. Manusia—lengkap dengan perasaannya yang kalut dan
dorongan hatinya yang tersembunyi—senantiasa mrucut untuk
ditangkap untuk disimpulkan. Tentang hidup dan matinya, ten-
tang Tuhan dan Iblisnya, ragu adalah sesuatu yang tak terelak-
kan.

Sebab manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un ro­
seau pensant, sebagaimana kata Blaise Pascal yang terkenal, keti-
ka ia mencoba menunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan
kerapuhannya.

Pascal sendiri (lahir 1623 dan meninggal pada usia 40) dah-
syat dan rapuh. Sebelum berumur 16 ia menulis sebuah risalah sa­
tu theorem yang mengejutkan Descartes, filosof itu. Pada umur
19 ia menemukan satu mesin hitung yang sebagiannya ki­ni ter-
simpan di Conservatoire des Arts et Métiers, Paris. Pada umur
25, ia mengadakan eksperimen dengan satu tabung berisi mer­
kuri yang kemudian jadi prinsip barometer. Bersama Fermat ia
dik­ enal­se­bag­ ai ilmuwan yang mengembangkan penghitungan
prob­ abilitas.

Tapi dengan otak yang demikian cemerlang, Pascal hidup
sakit-sakitan; sejak umur 18 sarafnya rusak, dan kemudian tak
bi­sa bergerak tanpa tongkat penyangga. Meskipun demikian, bu-
kan hanya sakit itu yang mengubah hidupnya.

Pada Senin, 23 November 1645, ia naik sebuah kereta berkuda
melintasi Pont de Neuilly. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu terkejut
dan terlontar ke Sungai Seine. Kereta itu hampir ikut terjungkal,
tapi untung kendali putus dan badan kendaraan itu tergantung-
gant­ung di tebing. Pascal pingsan. Ketika ia siuman, ia merasa ba­
ru mengalami sesuatu yang luar biasa: Tuhan datang kepadanya.­

582 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PERSIS

Pengalaman itu digoreskannya pada sebuah catatan yang ia jahit
ke dalam lipatan jas panjangnya untuk dibawa ke mana saja.

”Tuhan Ibrahim, Tuhan Isak, Tuhan Yakub, bukan tuhan para
filosof dan ilmuwan. Kepastian, kepastian. Rasa, sukacita, damai,
Tuhan Yesus Kristus....”

Sejak itu, ia tak hanya akan dikenal sebagai ilmuwan. Cat­at­
an-catatan pendek yang merekam pikirannya, dan ia guratkan
dal­am keadaan tubuh yang kian sakit, diketemukan terserak-se­
rak.­Baru pada 1670, sewindu setelah ia meninggal, coretan itu
dihimpun dan sebuah buku terbit dengan judul Pensées de M. Pas­
cal sur la réligion, et autre sujets.

Pensées tak kalah termasyhur dengan dalil yang dirumuskan
Pas­cal dalam Fisika: serangkai percikan yang meneguhkan pilih­
annya untuk beriman, sebab iman bukanlah dalil. Pilihan itu se-
buah ”taruhan”—sebuah langkah yang melibatkan seluruh hi­
dup,­dengan segala risikonya. Tak mungkin Tuhan dibuktikan
sec­ ara ilmiah. Iman harus mengambil jalan yang tak bisa pasti.­
Tapi Pascal sudah memutuskan. Ia membuat sebuah insinye de-
ngan tulisan, Scio cui credidi (”Aku tahu siapa yang aku telah
imani”).

Tapi juga dengan pilihan itu pun, ia tak bisa berhenti untuk
re­sah. ”Alam tak menawarkan apa pun yang tak membuat ragu
dan cemas,” tulisnya. ”Jika tak kulihat tanda keilahian, aku akan
tet­ap dalam pengingkaran. Jika kulihat di mana-mana jejak-jejak
satu Pencipta, aku akan istirah damai dalam iman. Tapi aku da­
lam keadaan nestapa: melihat begitu banyak, hingga aku tak bisa
mengingkari-Nya, dan melihat begitu sedikit hingga aku tak ya-
kin. Seratus kali aku ingin: jika ada seorang Tuhan yang mendu-
kung alam ini, akan ditampakkan Ia tanpa ambiguitas.”

Keinginannya adalah keinginan yang religius secara men-

Catatan Pinggir 9 583

http://facebook.com/indonesiapustaka PERSIS

dalam. Namun bahkan sang ilmuwan tak bicara tentang Tuhan
yang persis. Ia bicara tentang Tuhan yang hanya bisa ia rumuskan
dengan kata-kata yang menyentuh, terasa sakit kadang-kadang,
tapi dengan hasrat yang tak terlarai.

Tempo, 28 Maret 2010

584 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DI YERUSALEM

DI Yerusalem, justru di Yerusalem, percayakah orang
bahw­ a manusia itu diciptakan dari Ruh yang satu? Bah­
wa agama-agama dengan Tuhan-Yang-Tunggal, yang
menegaskan jejak mereka yang cemas dan keras beratus-ratus­ta-
hun di kota itu, sungguh-sungguh yakin bahwa manusia—yang
diharapkan menyembah Khalik yang sama—dianggap bisa ber-
bagi keluhan tentang ketidakadilan?

Memang agak ganjil dan mungkin menyedihkan, bahwa di
Yer­usalem, justru di Yerusalem, kita bertanya bisakah manusia
ber­sepakat menolak kesewenang-wenangan—dan bisakah kita
berbicara tentang manusia sebagai ”sesama”.

Hari-hari ini, Israel membangun permukiman untuk warga­
Israel yang Yahudi di Yerusalem Timur, merebut hak orang Pales­
tina dan melanggar kesepakatan yang diakui dunia. Hari-hari
ini, di Yerusalem tampaknya tak berlaku pertanyaan apa pun
yang membuat ragu—dan pintu ditutup bagi gugatan dari luar
ger­bang. Hampir seluruh negeri di dunia, termasuk Amerika Se­
rik­ at, menganggap tindakan itu sewenang-wenang, tapi tampak-
nya bagi para pemimpin Israel, apa yang sewenang-wenang bagi
orang lain tak berlaku buat mereka. ”Kami adalah kami—apa
mau dikata.”

Perang agaknya telah demikian membekas dalam pemikiran
seperti itu—perang yang menghendaki pihak ”sana” hancur atau
bisu. Israel, merasa terkepung dan terancam sejak lahir, menye­
rang dan menduduki wilayah orang sejak mula, dan bersikap
bahw­ a perdamaian harus dicapai dengan kemenangan posisi, te­
lah jadi sesuatu yang bukan hanya sebuah negeri. Israel adalah se-
buah pasukan tempur. Ia siaga terus-menerus—dan umumnya
tak pernah kalah.

Catatan Pinggir 9 585

http://facebook.com/indonesiapustaka DI YERUSALEM

Tapi bagi sikap yang demikian, antagonisme dan perbedaan
ada­lah awal dan akhir dalam kehidupan. Manusia tak dianggap
satu, tak pernah dan tak akan ada ”sesama”. Jika ada percakapan,
yang terjadi monolog yang berganti-ganti atau bertabrakan. Tak
dip­ erlukan kesepakatan. Sebab tak ada nilai-nilai yang dihayati­
bersama. Yang diperlukan hanyalah persetujuan—dan itu diper­
oleh dengan memaksa dan membungkam pihak yang lain.

Pola perhubungan internasional seperti inikah yang akan me-
nentukan selamanya?

Pernah abad ke-20 dibentuk oleh perpecahan yang seakan-
akan kekal, setelah dua perang besar meletus dan perang dunia
ke­tiga yang lebih mengerikan mengancam. Tapi pernah abad ke-
20 juga menyaksikan perdamaian-perdamaian besar, terutama­
setelah ”Perang Dingin” berakhir tanpa diumumkan. Pernah pa­
ra pemikir menganggap hidup adalah perbedaan. Tapi pernah
me­reka mulai menganggap bahwa optimisme Hegel benar.

Dalam optimisme ini, putik akan digantikan kembang, kem-
bang akan digantikan buah—seakan-akan yang pertama ditam­
pik yang kedua, dan seakan-akan yang kedua (bunga dan kemu-
dian buah) tampil sebagai wakil paling benar dari sang tanaman.
Namun, kata Hegel dalam kalimat yang terkenal, sifat mereka
yang cair akan menjadikan mereka hanya sekadar momen-mo-
men dari ”sebuah kesatuan organis”. Mereka berkonflik, tapi yang
satu merupakan keniscayaan yang lain, dan keduanya bersa­ma-
sama membentuk hidup keseluruhan.

Demikianlah Hegel berbicara tentang dialektik: putik sebagai
tesis akan mendapatkan bunga sebagai antitesis, dan dari oposisi
itu akan ada buah, sebagai hasil ”tempuk-junjung” (Aufhebung).
Dengan kata lain, dalam sejarah ada saat-saat yang bersengketa,
tapi kemudian akan ada rekonsiliasi. Bahkan antara sang Paduka­
yang menaklukkan dan sang Takluk yang kalah, hubungan tak
putus: pada akhirnya hanya ketika sang Takluk menyatakan ke-

586 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DI YERUSALEM

sadaran dirinya, sang Paduka akan mendapatkan pengakuan.
Pembebasan terjadi ketika pembebasan itu tak hanya untuk diri
sendiri.

Tapi Hegel hidup di abad ke-19, sebelum Marx, dan jauh se-
belum konflik Timur Tengah berjangkit berpuluh tahun tanpa
dis­usul sesuatu yang positif. Di abad ke-21, optimisme Hegelian
berhenti. Justru di Yerusalem.

Mungkin kita memang tak boleh percaya kepada cara meman­
dang sejarah seakan-akan membaca riwayat hidup tumbuh-tum-
buhan. Sejarah terdiri atas yang tak bisa diperhitungkan. Dialek-
tika terlalu sederhana untuk menafsirkannya.

Maka di zaman pasca-Hegel, keyakinan akan terjadinya
”tem­puk-junjung”—konflik yang kemudian melahirkan sesuatu
yang lebih terjunjung—digantikan dengan perspektif lain: bah-
wa dalam hidup, perbedaan tak akan berhenti.

Tapi dengan ”doktrin” itu orang bisa menghalalkan perang,
pen­ indasan, dan kesewenang-wenangan dengan mengatakan:
”Ka­m­ i adalah kami, apa mau dikata.”

Walhasil, tak ada titik Archmides yang bisa dipergunakan se-
bagai titik bertolak untuk menilai. Orang-orang Palestina berte-
riak, sakit dan terhina. Sebentar lagi kekerasan akan meletus, na-
mun yang memilih pihak tak tahu lagi bagaimana menjelaskan
pilihan itu kepada orang lain yang berbeda.

Saya ingat, ketika Hitler menyerbu Polandia, 1 September
1939,­W.H. Auden menulis sajak yang mencatat rasa cemasnya:
harapan habis di hari-hari ketika apa yang adil dan tak adil hanya
bisa dipecahkan dengan dusta atau perang.

Kini rasanya dunia merasakan kecemasan yang mirip. Justru
karena Yerusalem:

As the clever hopes expire
Of a low dishonest decade:

Catatan Pinggir 9 587

Waves of anger and fear DI YERUSALEM
Circulate over the bright
And darkened lands of the earth.... Tempo, 4 April 2010

http://facebook.com/indonesiapustaka 588 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PASKAH

Setelah Maria menemukan makam itu kosong dan ke-
mudian ia melihat Yesus berdiri di belakangnya dan ia ber-
seru, ”Rabuni!”, dan sejak Sang Guru menampakkan diri
di depan beberapa murid yang berkumpul di ruang tertutup, dan
kemudian menampakkan diri lagi beberapa kali, agama Kristen­
merayakan Paskah sebagai hari kebangkitan kembali: tubuh
yang telah mati disalib itu bangkit dari kubur. Ia kekal.

Orang-orang Arab Kristen di Nazareth terkadang menyebut
Paskah sebagai, ’Íd al-Qiyãmah, ”Perayaan Kebangkitan Kemba-
li”.

Tapi Yesus yang bangkit kembali itu tak berada di bumi untuk­
seterusnya. Ia telah berpamit kepada Maria: ”sekarang Aku akan
pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allah­
mu”. Dalam salah satu kitab disebut, 40 hari setelah penampak-
an pertama itu, tubuh Yesus naik ke surga. Palestina pun senyap.
Saya bayangkan para murid yang tak banyak itu hidup dengan
harapan-harapan yang tak jarang guncang.

Namun sebenarnya di situ pula akhir tak terjadi. Hegel pernah
mengatakan bahwa ”kebangkitan kembali adalah universalisa­
si dari penyaliban”. Jika sakit dan kematian di Golgotha itu di­
tafsirkan sebagai teladan dari pengorbanan diri secara habis-
ha­bisan untuk orang lain yang dekat dan jauh, untuk siapa saja
yang dikenal dan tak dikenal, jika penyaliban itu dianggap con-
toh bahwa sengsara dan kematian mampu untuk ditanggungkan
tanpa benci dan dendam (meskipun dengan kepedihan dan kesu-
nyian yang menusuk), maka penyaliban itu sendiri sudah meru-
pakan kebangkitan kembali. Itu juga momen yang universal:
sang korban bisa menggugah bahkan mereka yang tak berada di
sekitar kejadian itu, berabad-abad kemudian, termasuk mereka

Catatan Pinggir 9 589

http://facebook.com/indonesiapustaka PA SK A H

yang bukan Kristen.
Mungkin itu sebabnya, disebutkan dalam kisah dan seja­

rah,­par­a murid tetap setia, dan pengikut bertambah meluas. Ke­
yakin­an yang dilahirkan dari ajaran baru yang kemudian mem-
bedakan diri dari doktrin Yahudi itu—ajaran justru yang pada
dasarnya berdasar hampir sepenuhnya pada kata dan laku Yesus,­
bukan pada hukum yang tersusun lengkap—malah semakin ku­
at ketika Yesus tak ada lagi.

Agaknya itulah sebabnya, yang terjadi di hari Paskah, ketika
pa­ra murid melihat Sang Guru bangkit dari kematian, bukanlah
cuma sebuah kejadian penghibur buat yang berkabung.

Ada satu bagian yang menarik dalam The Monstrosity of
Christ: sebuah tukar pikiran antara John Millbank dan Slavoj Zi­
zek. Zizek, yang mengambil posisi sebagai seorang atheis yang
menawarkan sebuah ”theologi materialis”, menunjukkan bahwa
keb­ angkitan kembali Kristus tak terjadi dengan lenyapnya tubuh
dari makam. ”Tubuhnya yang disiksa tetap selamanya sebagai
peng­ingat yang bersifat zat,” kata Zizek. Tapi sementara jasadnya
demikian, Kristus ”bangkit kembali dalam kebersamaan orang-
orang yang mukmin”, the collective of believers.

Zizek mengambil contoh lain. Ada sebuah lagu dari tahun
1925 tentang Joe Hill, seorang aktivis buruh Amerika yang mati
dibunuh. Penyanyi Joan Baez pernah melagukannya:

I dreamed I saw Joe Hill last night
Alive as you and or me.
Says I, ”But Joe, you’re ten years dead”
”I never died,” says he.
”The copper bosses killed you, Joe.
They shot you, Joe,” says I.
”Takes more than guns to kill a man.”

590 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PA SK A H

Says Joe, ”I didn’t die.”
And standing there as big as life,
And smiling with his eyes.
Joe says, ”What they forgot to kill
Went on to organize.”
”Joe Hill ain’t dead,” he says to me,
”Joe Hill ain’t never died.
Where working men are out on strike,
Joe Hill is at their side.”
Joe Hill tak pernah mati, tapi bukan sebagai sosok yang ada
di luar ruang dan waktu para buruh itu. ”Ia hidup di sini, persis­
dalam jiwa para pekerja yang mengingatnya dan melanjutkan
perj­uangannya,” kata Zizek.
Dengan kata lain, ”pahlawan tak mati-mati”, seperti kata
H.R. Bandaharo—tapi bukan sebagai patung yang dipuja kapan
saja di mana saja, melainkan sebagai yang hadir dalam laku yang
konkret. Bagi Zizek, kesalahan para pengikut Kristus ialah keti-
ka mereka terjatuh ke dalam ”reifikasi” (katakanlah: pemberhala­
an) dan melupakan kata-kata Yesus yang terkenal: ”Jika akan ada
kasih di antara kalian berdua, aku akan ada di sana.”
Kasih, dalam konteks ini, adalah laku yang menempuh hidup
den­ gan tubuh yang lemah, yang kadang-kadang kesakitan atau
ter­goda, tapi tiap kali bisa mengatasi diri karena laku itu tak ha­
nya­untuk diri sendiri. Di situlah kebangkitan kembali akan sela­
lu berupa kebangkitan, bukan pengulangan.

Tempo, 11 April 2010

Catatan Pinggir 9 591

http://facebook.com/indonesiapustaka

592 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SAN-DEK

LOL!
Saya bingung.
Dengan telepon genggam, sebuah teks berisi lelucon di­
kirim. Sebagai jawaban, tiga huruf itu yang muncul.

LOL? Baru kemudian seorang teman menjelaskan bahwa hu­
ruf-h­ uruf itu berarti ”laugh out loud”. Artinya: si pengirim pesan
ke­tawa terpingkal-pingkal.

Pelan-pelan saya belajar. Begitu banyak singkatan. Begitu ba­
nyak penanda yang direduksi dan lambang yang ganjil. Dengan
se­tengah gagap saya memasuki samudra ”short messages services”,
SMS, atau, dalam bahasa Indonesia, ”san-dek” (ringkasan dari
kata ”pesan pendek”). Artinya saya jadi salah seorang dari tiga
mil­iar manusia yang mengirim lebih dari satu triliun san-dek tiap
tahun, dengan bahasa tersendiri.

Sekitar dua tahun lalu ada sebuah buku yang ditulis David
Cryst­al, Texting: The Gr8 Db8. Ia mencoba menjawab kenapa
orang gemar mengirim san-dek, yang sebenarnya tak lebih ring-
kas ketimbang tanda morse (yang mengganti huruf ”s” dengan
tiga pijitan tombol saja). Menurut Crystal, orang mengirim san-
dek sebagai sukan, game. Orang mengirim SMS sebagaimana
orang membuat gurindam: dalam sebuah bentuk yang ringkas—
tak boleh lebih dari 140 bytes atau 160 huruf—harus disampai-
kan sebuah isi yang kena. Ini tantangan keterampilan yang me-
mikat.

Mungkin itu sebabnya san-dek jadi kaya dengan singkatan
atau inisial. ”LOL” hanya salah satunya. Ada ”GBU” (God bless
you) atau ”OMG” (Oh, my God). Ada juga ”IMHO”: in my hum­
ble opinion. Lebih pintar lagi piktogram, dan tak boleh dilupakan:­
”emotikon”, gambar-gambar yang menandai perasaan tertentu.

Catatan Pinggir 9 593

http://facebook.com/indonesiapustaka SAN-DEK

Tentu, seperti kata Crystal pula, menggunakan singkatan bu-
kan hanya gejala zaman telepon genggam. Dalam surat resmi
pun­dari dulu sudah ada inisial ”A.S.A.P.” (sesegera mungkin),
”R.S.V.P.” (mohon jawaban), atau ”cc” (tembusan). Dan dalam
kat­a-kata bersuku banyak, peringkasan sering terjadi—sebuah
ge­jala yang sulit dielakkan dalam bahasa Indonesia yang silabel-
nya berenteng itu: ”se-a-kan-a-kan”, ”ter-go-poh-go-poh”....

Tapi berbeda dari zaman lampau, inilah zaman bermain-main
kata dengan cara agak saksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya. Hanya dalam beberapa detik orang bisa saling menu-
lis dan sampai serentak ke lima benua.

Dalam hal kecepatan ini bahasa Inggris memang punya kele-
bihan: rata-rata kata Inggris cuma terdiri atas empat huruf. Baha­
sa Indonesia lebih dari itu. Tapi seperti bahasa Inggris, bahasa ki­ta
punya keuntungan: hampir tak memakai tanda diakritik seper­
ti misalnya bahasa Prancis, Portugis, atau, paling repot, bahasa
Cek. Bahasa Cek hampir mustahil ditulis di SMS dengan telepon
genggam yang kita kenal.

Tapi tiap bahasa punya ringkasannya, demi kecepatan. Dalam
bahasa Cek, ”hosipa” berarti ”Hovno si pamatuju” atau ”aku tak
ingat apa pun”. Dalam bahasa Prancis, ”ght2v1” berarti ”J’ai ache­
té du vin”, ”aku sudah beli anggurnya”.

Yang menarik kita dengar dari Crystal—ia seorang linguis
prof­esional yang telah menulis sekitar 100 judul buku—ialah
bahw­ a ia tak cemas. Ia tak waswas bahwa akan terjadi perubahan
bahasa yang merasa harus makin pendek dan tergesa-gesa. Sebab,
kata Crystal, satu triliun pesan pendek ”tak lebih dari beberapa
percik buih dalam samudra bahasa”. Lagi pula, manusia bermain-
main dengan bahasa sejak dulu, di era pra-HP, dan sampai seka-
rang kita masih saling bicara dengan enak.

Yang bagi saya tak kalah penting adalah kembalinya kesadar­
an dan keterampilan akan bahasa tulis dalam masa surat elektro­

594 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka SAN-DEK

nik dan san-dek ini. Generasi kini hidup dikepung oleh gambar
dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai­
pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat
iba­dah, atau di televisi. Bahasa lisan menguasai ruang. Tapi un-
tunglah tak selama-lamanya. Kini, seraya memegang erat telepon
genggam yang dimiliki berjuta-juta orang Indonesia dari pelba­
gai kelas sosial, rakyat di seluruh penjuru tanah air melatih kete­
rampilan menulis tiap jam, mungkin tiap menit. Lebih dahsyat
ke­timbang kursus pemberantasan buta huruf. Insya Allah, ke-
mampuan baca-tulis, biarpun sangat sederhana, akan meningkat
di negeri ini.

Meskipun dalam san-dek, bahasa lisan praktis berbaur dengan­
bahasa tulis, masih ada ruang tempat kita mampu bersikap lebih
analitis biarpun sejenak. Dengan tradisi bahasa tulis yang kuat,
orang seakan-akan bisa meletakkan bahasa di atas meja, mencer-
matinya, dan mengurainya.

Bahkan sejak seseorang membubuhkan kata-katanya dalam
hu­ruf dan angka, ia harus cukup teliti. Satu hal yang agaknya di­
lupakan ialah bahwa di tengah kekacauan ejaan dalam bahasa­
ki­ta, anak-anak muda memperkenalkan bahasa tulis yang justru­
mengharuskan mereka memperhatikan baik-baik tiap huruf; me­
reka menyebutnya ”bahasa Alay”. Bahasa ini juga ibarat sebuah
suk­ an. Dari main-main ini kreativitas berkembang ke mana-ma-
na. Bahkan di Internet saya temukan ada yang mampu menyusun­
program penyalin teks ke dalam ”bahasa” yang mirip huruf paku
itu: gabungan antara huruf dan angka yang harus pas. Agaknya
ada konsensus: di kalangan Alay, salah eja bikin bengong. 54l4h
3j4, b1kin b3n60n6.

Setidaknya, bahasa tulis yang hidup dari pertukaran kata de-
ngan tangkas dan cepat itu punya semacam dorongan demokrati-
sasi dalam berkomunikasi. Saling berhubungan tanpa saling ha-
dir, tiap ”aku” hanya muncul di layar karena satu atau beberapa

Catatan Pinggir 9 595

http://facebook.com/indonesiapustaka SAN-DEK

”kamu” juga muncul di layar yang sama. Tiap ”aku” tak bisa men-
dorongkan dirinya sebagai pemberi makna yang tunggal. Tak
ada pusat yang akan berdiri lebih dari beberapa jam.

Yang ada hanya teks yang berseliweran, mengalir, bercampur,
tak permanen. D4l4m k34n3ka-r464m4n.

Tempo, 18 April 2010

596 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DIRI

DI hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang
Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas pekan lalu di Ja-
karta, saya berada di Singapura.
Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti.­
Saya diam dengan sopan. Akhirnya pada menit ke-40 ia minta­
pen­dapat saya. Dengan catatan: ”Anda ini orang Jawa, tentu An­
da akan mengatakannya tak terus terang....”

Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apakah saya
orang Jawa, atau bukan orang Jawa.”

Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada
di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui perca­
kap­an macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menye-
but seseorang dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau
”bangsa Melayu” atau ”bangsa” apa saja—dengan suatu sifat
yang mereka anggap khas pada ”bangsa” itu.

Berada di dua negeri ini, di mana etnisitas menguasai kebi-
jakan politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak su-
dah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan bila di
sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak iden-
titas. Khususnya yang terkait dengan ”perkauman”. Kalau saya
berg­ erak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti halnya tuan
rumah saya malam itu.

Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu
di sini adalah bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah
yang seakan-akan keramat, yakni ”jati diri”. Saya selalu berkebe­
ratan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bah-
kan ketika orang mengatakan telah menemukan ”jati diri”, orang
sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang ”(se)-jati” mustahil dida­
pat.

Catatan Pinggir 9 597

http://facebook.com/indonesiapustaka DIRI

”Diri” atau ”aku” lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah.
Pend­ ekar psikoanalisis Prancis, Lacan, menemukan bahwa kesa­
daran akan ”aku” dimulai ketika seorang bocah berada dalam
”ta­hap cermin”. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia
dib­ eri tahu bahwa itulah dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada
ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak tampak pada
cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian
dan traumanya.

Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Ges­
talt pun muncul. Itulah yang, kata Lacan, ”melambangkan posisi
per­manen dari ’aku’”. Ketika kemudian si bocah diberi nama oleh
si ayah—bapak yang menguasai bahasa—identitas pun diku­
kuhk­ an.

Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendi­
ri. Ia dirumuskan oleh nama dan bahasa—sebuah bangunan
simbol­yang disusun masyarakat. Identitas tampak sebagai perbe­
daan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbanding­
an selamanya mirip mata rantai yang tak putus-putusnya antara
X dan lain-lain di dunia.

Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang dari New
York ini—ia hitam, gay, dan melarat—meninggalkan Amerika
dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya: ”Aku
bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bah-
kan berjumpa dengan diriku sendiri.”

Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan
orang lain. Bahkan sifatnya mengandung antagonisme. ”Identitas­
ditanya hanya ketika ia terancam,” kata Baldwin, ”... atau ketika si
orang asing datang memasuki gerbang.”

Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih
mu­da, pada suatu malam ia berjalan di pusat kota Wina. Di sana
ia bertemu dengan sesosok bayangan berkafan hitam dan beram-
but hitam dikepang. ”Yahudikah ini?” Hitler bertanya pada diri

598 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka DIRI

sendiri. Setelah ia amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam ha­
ti: ”Orang Jermankah ini?”

Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman
atau seorang profesor. Ia mempersoalkan identitas etnisnya kar­e­
na baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia menganggap­
identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena anta­gon­ is­
me yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen.

Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam
ke­rangkeng identitas (hitam, gay, asing), menampik itu. Baginya
iden­titas lebih mirip ”garmen yang menutupi ketelanjangan diri”.
Baginya, lebih baik garmen itu dikenakan dengan agak longgar,
seperti pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat di­
perkirakan, diri yang telanjang yang terbungkus di sana. Bahkan
bagi Baldwin, orang harus punya ”kekuatan untuk menggan­ti
jubahnya”.

”Anda orang Jawa...,” kata tuan rumah saya, dan saya terse­
nyum­masam. Saya seperti Baldwin: bagi saya, yang penting bu-
kanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan
sep­ erangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia
sebagai agency, pelaku.

Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebas­
an orang hitam dan perempuan dan mungkin minoritas lain yang
tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan ken­ ya­
taan bahwa identitas itu sesekali perlu (ketika ia ”terancam”)­tapi
tak pernah benar-benar hadir.

Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabut­
an. Untuk meminjam kata-kata Alain Badiou dalam konteks la­
in, identitas adalah hasil ”compter-pour-un”, ”menghitung buat ja­
di satu”. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku
mel­etakkan diri sebagai pemersatu dari segala yang carut-marut
dan tak terduga dalam diriku.

Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa­

Catatan Pinggir 9 599

http://facebook.com/indonesiapustaka DIRI

mengancam, bergelombang perbedaan-perbedaan yang mem-
bentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan identi-
tas itu adalah bagian dari paranoiaku.

Tempo, 25 April 2010

600 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKU

—untuk Hari Buku, 2010

Buku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam peng­
alaman saya.
Ketika saya berumur hampir enam, tentara penduduk­
an­Belanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di
hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas
truk, kam­ i sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya
ingat:­dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar
kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur.

Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang pen­
ting­bagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu
mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.

Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa pu-
luh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah
(saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak
ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab
macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun ti-
dak.

Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya se-
buah kamus Webster terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman
pertama ada tanda tangan bapak dengan pena celup) dan sebuah
buku sejarah Inggris.

Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat
orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa
fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang yang
har­us mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak
memperjelas arti kata palanquin.

Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya ba­

Catatan Pinggir 9 601

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKU

nyak­gambar berwarna. Saya tak pernah lupa dua di antaranya.
Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan

seorang lelaki tertidur dengan pakaian lengkap, sementara dua le-
laki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang pulas.

Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap
yang dikunjungi dua hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa
Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah Inggris abad ke-
17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London
untuk dipenggal. Salah satu ”hantu” dalam gambar itu mungkin
kepala penjara.

Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan
yang sunyi. Seorang perempuan duduk di sampingnya; tangan-
nya yang satu menahan darah keluar dari luka lelaki yang telen-
tang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan.
Ber­cak darah merah tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah
lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan Inggris di wilayah
Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan den-
dam.

Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat
peng­u­ sung mayat, buku-buku yang dibuang ke sumur sementara
ayah diikat.... Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas.
Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada
buk­ u dengan sampul tebal.

Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul ku-
kuh karya Karl May tentang Winnetou. Kami tak tahu milik sia-
pa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang Karl
May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba
yang magis dan idyllic.

Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa
kami nikmati isinya itulah kami mulai memesan Winnetou Gu­
gur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan atas
karya James Fennimore Cooper, The Last of the Mohicans) dari

602 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKU

Noord­hoff Kolff di Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor
di Groningen, Belanda.

Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang di-
tunggu dengan tegang: kami hampir selalu berebut siapa yang
akan membaca lebih dulu.

Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat
ajaib: tinggal di kota kecil tanpa gedung bioskop, hanya dengan
buk­ u saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak pernah ter-
tembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, tapi
selalu terasa akrab.

Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Win-
netou, tapi saya menangis ketika menjelang pertempuran ter­
akhir,­ia tahu ia akan ”pergi ke ladang perburuan yang kekal”. Sa­
ya menangis untuk si Jamin dan si Johan yang teraniaya di sebuah
sudut Batavia yang jauh. Air mata saya keluar untuk Sampek dan
Engtay yang mati dalam cerita yang saya ikut dengarkan keti-
ka beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacan­ ya
dalam bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.

Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu
itu dengan pengalaman selanjutnya dengan buku. Saya bisa me-
nyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di perjalanan ke da­
lam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam su­
mur.

Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi ”de-
mokrasi terpimpin” dan ”ekonomi terpimpin”. Atas nama ”Revo­
lusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil alih dunia
pen­­ erbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober
1962 penerbit seperti Noordhoff Kolff dihentikan; ia digantikan­
peru­­ sahaan negara yang disebut ”Noor Komala”. Yang memim­
pin­­seo­­ rang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bers­aing dengan
ba­gus­menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalik­ an
se­orang jenderal. Ketika kertas, percetakan, transportasi, dan

Catatan Pinggir 9 603

http://facebook.com/indonesiapustaka BUKU

hamp­ ir seluruh kehidupan ekonomi jadi ”terpimpin”, banyak­hal
ma­cet. Usah­ a penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti
Djamb­­ at­an,­­yang menerbitkan sebuah atlas yang monumental,
ter­jeremb­ ap dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu.

Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya
terasa hangat dan bau dan kertasnya berwibawa tapi ram­ ah.­Je­
nisn­ ya kian kehilangan ragam. ”Demokrasi Terpimpin” juga
memulai sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang
sederet buku—sejarah yang berlanjut hingga kini.

Waktu itu, satu-satunya penghibur adal­ah karya berjilid tebal
terbitan Uni Soviet yang dijual murah di tok­ o buku milik PKI.
Masih ada Dostoyevsky, Turgenev, dan Tolstoy—dalam terje­
maha­ n Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publish­ing
House—tapi tak lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers­Kara­
mas­ov atau Fathers and Sons. Moskow punya sensornya sendiri.

Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan
mem­buang sejumlah jilid ke sumur. Tapi saya juga tak bisa melu­
pak­ an para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran dari se-
buah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia pu-
nya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu
muncul kembali.

Tempo, 2 Mei 2010

604 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PROLETARIAT

—Hari Buruh, 2010

PADA suatu hari di tahun 2010, seorang perempuan dari
Utara membayar lebih dari satu juta dolar untuk membeli
beberapa ekor anjing.
Dan kita tercengang: Cina bukan lagi Mao. Saya tak tahu ma-
sih adakah orang di sana yang ingat Mao Zedong yang pernah
berbicara berapi-api tentang ”proletariat”, ”proletariat gelandang­
an”, dan ”semi-proletariat”, kelompok miskin yang akan membe-
baskan Cina dari ”keadaan setengah feodal dan setengah kolo-
nial”.

Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang menjerat?­—
adalah uang dan hasrat, dan dengan itu banyak batas diterobos.
Per­empuan dari Utara itu, seperti ditulis China Daily, pada hari
itu­ mengirimkan 30 mobil Mercedes-Benz ke bandara untuk
menj­emput hewan yang dipesannya.

Ia pasti salah seorang dari 835.000 orang miliarwan yang ada
di Republik Rakyat yang berpenduduk sekitar 1.330.000.000
ini. Ia pasti bagian dari 0,06 persen warga yang hidup berkelim-
pahan dan tak merasa berdosa atau rikuh di negeri yang setengah
abad yang lalu diguncang ”Revolusi Kebudayaan Proletar” itu.

Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan
bahkan siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga de-
ngan granat; babi itu tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21
sekarang orang berduit membayar dengan harga mahal anjing je-
nis Mastiff Tibet.

Walhasil, kita tak pernah paham benar bahwa Cina masih
meng­anggap diri ”komunis” tapi hidup dengan ketimpangan so-
sial yang demikian tajam.

Catatan Pinggir 9 605

http://facebook.com/indonesiapustaka PROLETARIAT

Tentu harus dicatat, indeks Gini, yang menunjukkan ketim­
pangan itu, di Cina sudah mulai menurun. Kini angkanya sekitar­
40,8. Tetapi dibandingkan dengan itu, Indonesia sedikit lebih­
baik: 39,4. Tak meratanya pembagian kekayaan di Cina bahkan­
kurang-lebih sama dengan keadaan di negeri kapitalis yang pa­
ling­timpang, yakni Amerika Serikat, dan jauh lebih buruk ke­
timbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 36.

Agaknya bayang-bayang Marx tak pernah berkelibat lagi di
Maus­oleum Mao di Beijing. Marx menganggap milik privat (an-
jing Mastiff, mobil Mercedes-Benz, babi kurus, atau sepetak ta­
nah)­sebagai sumber keterasingan manusia dari proses kerja. Ia
pern­ ah mengumandangkan bahwa justru kaum buruh—yang
tak punya apa-apa, kecuali ”rantai yang membelenggunya”—
yang akan jadi pelopor penggerak ke masa depan yang bebas dari
keterasingan. Tapi di Cina kini Marxisme telah jadi benda mu­
seum­prasejarah. Dan kita tak tahu lagi di mana pula mereka,
proletariat.

Sejak mula sebenarnya ”proletariat” memang sebuah kelas so-
sial yang ganjil di Cina. Dalam sebuah tulisan pada 1926, ”Anali­
sis Kelas dalam Masyarakat Cina”, Mao mengakui, proletariat
han­ ya berjumlah dua juta. Buruh industri itu terutama bekerja­di
kereta api, pertambangan, pengangkutan laut, tekstil, dan pem­
buatan kapal, ”dan sejumlah yang sangat besar di antaranya­di-
perbudak dalam perusahaan modal asing”. Tapi, sebagaimana­
layaknya seorang Marxis sejati, Mao percaya, kelas buruh ini
”yang paling progresif” pantas jadi ”kekuatan memimpin dalam
gerakan revolusioner”.

Sebab, berbeda dengan kalangan lain, buruh industri tinggal
dan bekerja memusat, di sekitar lokasi yang sama. Lebih penting
lagi, tulis Mao, ”mereka telah kehilangan alat produksinya, ting-
gal punya dua tangan saja...”.

Tapi persoalan yang timbul segera setelah itu: bagaimana ke-

606 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka PROLETARIAT

las buruh, dalam posisi bukan mayoritas, dapat menggunakan
ca­ra pandang mereka yang menurut Marxisme bersifat istimewa,
untuk jadi standar masyarakat umumnya?

Kita tahu, Mao—setelah Lenin—menganggap penting bu-
kan hanya buruh, tapi juga peran petani untuk menggerakkan
Re­volusi. Mao tak akan mengatakan orang-orang pedalaman itu
bagian dari apa yang disebut Marx sebagai ”kedunguan dusun”.
Tapi para petani, juga yang paling tak berpunya, selalu ingin pu-
nya tanah. Mereka bagaimanapun tak ingin merayakan heroisme
kaum yang tak punya apa-apa.

Hasrat itu, ”borjuis” sifatnya, pada akhirnya memang tak te-
redam. Kita tak bisa mengatakan bahwa kodrat manusia adalah
ingin empunya dan makin rakus, tapi Marx punya kesalahan ke-
tika ia menganggap milik pribadi dengan sendirinya penyebab
alienasi manusia, ketika manusia mengutamakan apa yang jadi
miliknya dan tak lagi jadi tuan dari benda dan kerja.

Dalam perkembangan politik Cina, alienasi justru berlang-
sung ketika manusia merunduk di hadapan buah tangannya sen­
diri yang lain—kali ini bukan milik diri sendiri, melainkan jus-
tru sesuatu yang hampir sepenuhnya sosial: tata simbolik—kata,
slogan, dan doktrin. Juga organisasi, baik dalam bentuk kontrol
kehidupan sehari-hari dari unit tetangga maupun, lebih agung
lagi, Partai Komunis.

Di Cina, kediktatoran proletariat berbeda dari yang dibayang-
kan Marx. Ketika ia menyusun teori sejarahnya, Marx memper-
hitungkan bahwa pada suatu tahap perkembangan kapitalisme,
proletariat akan jadi golongan yang melimpah. Borjuis kecil akan
dicaplok borjuis besar dan, seperti kaum buruh, akhirnya tak pu-
nya apa-apa lagi. Yang papa jadi mayoritas.

Tapi, dengan jumlah kaum buruh industri yang begitu kecil
di tengah kaum yang lain, yang terjadi adalah kediktatoran yang
cemas. Ia harus defensif dan ofensif sekaligus. Ia harus meyakin­

Catatan Pinggir 9 607

http://facebook.com/indonesiapustaka PROLETARIAT

kan.­Ia harus ketat, dalam manajemen tubuh dan pikiran orang
ramai.

Akhirnya ia jebol juga. Partai boleh tetap berkuasa, tetapi etos
proletariatnya telah dihapus. Pembebasan ternyata bukan datang
dari mereka yang tak punya apa-apa, tapi dari punya dan keingin­
an untuk punya.

Bersama itu, segala yang ganjil dan gila-gilaan pun bisa ter-
jadi, juga sebuah alienasi lain: 30 mobil Mercedes-Benz untuk
menjemput anjing....

Mungkin sesekali kita perlu bertanya, bagaimana dengan mi-
lik dan bukan-milik manusia bisa bebas.

Tempo, 9 Mei 2010

608 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CUL-DE-SAC

POLITIK jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya diten-
tukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-
balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia
kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang
diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya an-
teng di komidi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa­
politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang
muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang
mungkin saja.

Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain—katakan-
lah yang muluk dan rumit—yang bisa menyeru dan memukau di
luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih,
buk­ an berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang
”baik” bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia
bukan sekadar elemen pasif dari sebuah situasi?

Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin­la­
ma makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme.
Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang
di luar itu. Juga ketentuan mana yang ”baik” dan ”buruk” diang-
gap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu ke-
pentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transen-
dental.

Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan
”bukt­i” bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil
fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diper-
lakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ven­
triloquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara
yang da­tang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-ang-
sur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga.

Catatan Pinggir 9 609

http://facebook.com/indonesiapustaka CUL-DE-SAC

Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih tak gampang berilusi.
Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman ini-
lah terjadi apa yang bisa disebut sebagai ”transisi dari sukma ke ji­
wa”, a transition from the soul to the psyche, sebagaimana kata Ter-
ry Eaglet­on dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale Univer­
si­ty Press, 2010). Dengan kata lain, manusia tak lagi mencari pen­­
je­las­an pada theologi, tetapi pada psikoanalisis.

Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula,
kedua-duanya adalah ”kisah hasrat manusia”, ”narratives of hu­
man desire”. Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan ca­
cat. Agama Kristen menyebutnya ”dosa asal”, sedang kaum psi­
koa­­ nalis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai ”neurosis”.
Kedua-duanya punya janji penyembuhan. Baik agama maupun
psi­koanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa dise-
lamatkan. Bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara
mas­­uk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang
bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya.

Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu—ketika
suk­ma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa—
orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa
disebut ”transendental”. ”Sukma” berhubungan dengan yang
”ilahi”; ”jiwa” berhubungan dengan hasrat badani.

Dalam ketidak-percayaan itu, nilai-nilai jadi tergantung kepa­
da apa yang dialami badan di dunia, dengan ruang dan waktu
tert­entu. Tak ada yang bisa mengatasi ruang dan waktu itu. Maka
yang ”baik” bagi orang Kristen dianggap lahir dari pengalaman
ma­nusia Kristen di sebuah zaman dan sebuah tempat; artinya tak
berarti ”baik” bagi orang Islam di sebuah masa dan negeri yang
ber­beda. Transendensi tak meyakinkan lagi. Yang ada imanensi.

Tapi benarkah kehidupan hanya bersifat imanen? Yang mena­
rik­ialah bahwa Eagleton, seorang Marxis, tak melihat transen­
dens­­i sepenuhnya bisa dinafikan. Banyak hal, tulisnya, misalnya

610 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka CUL-DE-SAC

seni dan bahasa, yang bukan sekadar respons dan pantulan ke-
adaan sosialnya. Meskipun itu tak berarti hal-hal itu ”jatuh dari
langit”.

Sebab manusia bukanlah cuma cerita badan dan tanah. Da­
lam pengalaman kita, tak ada konflik antara hal-hal yang lahir
da­ri sejarah (”the historical”) dan hal-hal yang melampaui sejarah
(”the transcendental”). Ini karena sejarah justru ”merupakan se-
buah proses transendensi-diri”. Manusia sebagai ”makhluk seja­
rah” adalah makhluk yang mampu mengatasi dirinya sendiri.
Se­orang Marxis, berbeda dengan seorang penganut materialisme
Fuerbach, percaya bahwa zat bukan yang menentukan; selalu ada
dialektik.

Maka transendensi bukan omong-kosong. Eagleton menyebut­
ada transendensi yang ”vertikal” dan yang ”horizontal”. Yang
per­tama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tu-
han, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus lon-
catan melampaui batas-batas sejarah.

Saya kira, di situlah kita bisa kembali percaya bahwa ada ni-
lai-nilai yang tak hanya merupakan hasil konstruksi hubungan-
hubungan sosial di suatu masa di suatu tempat. Di situlah kita bis­a
percaya bahwa politik sebenarnya mampu bergerak meloncat me­
lampaui pusarannya sendiri. Politik bisa jadi gerak yang terpang-
gil untuk menjangkau sesuatu yang transendental, meskipun­tak
membawa-bawa Tuhan. Politik cukup sah untuk merasa diseru­
bu­at melakukan yang ”baik” bagi semua orang meskipun itu usa­
ha perjuangan sekelompok orang.

Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada poli-
tik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai
yang menggugah manusia di luar cul-de-sac itu. Kita tak usah se­
la­lu menghalalkan bahwa politik adalah perhitungan kekuatan,
tak lebih dan tak kurang. Kita masih bisa menampik pandangan
”sia­pa yang kuat akan dapat” dan ”yang lemah tak akan pernah

Catatan Pinggir 9 611

http://facebook.com/indonesiapustaka CUL-DE-SAC

be­nar”.
Maka kita bisa, dan kita perlu, kembali ke politik yang tergoda­

oleh cakrawala, ke dalam apa yang dikatakan Eagleton sebagai a
process of self-transcendence. Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur­
yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat.­

Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi
man­ usia.

Tempo, 16 Mei 2010

612 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka GELAP

Siang itu saya lihat seorang perempuan berjilbab duduk
tekun di depan sebuah mikroskop di sebuah lab. Saya ter-
ingat Kartini.
Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902, Kartini mencan-
tumkan seuntai kwatrin:

Door nacht tot licht
Door storm tot rust
Door strijd tot eer
Door leed tot lust
Banyak orang meleset dari sajak pendek ini. Buku kumpulan
surat Kartini yang pertama terbit pada 1911 berjudul Door Duis­
ternis Tot Licht. Kalimat itu agaknya dipilih J.H. Abendanon, pe-
jabat pemerintahan Hindia Belanda yang bersemangat mendu-
kung putri Bupati Jepara itu. Abendanon pula yang menyeleksi
surat-surat gadis itu dan menerbitkannya. Penyair Armijn Pane
ke­mudian menerjemahkan buku itu jadi Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Dengan judul itu agaknya orang menemukan sebuah metafor­
untuk menggambarkan pergulatan Kartini membebaskan diri
dari dunia adat yang kuno, kolot, dan mengekang. ”Terang”
(licht)­adalah kiasan untuk pencerahan sikap dan pikiran: tanda
emansipasi dari yang mengekang itu.
Joost Coté termasuk yang berpikir demikian. Peneliti yang
men­ erjemahkan surat-surat Kartini yang lebih lengkap dan me­
nerbitkannya dalam sebuah buku (diterbitkan oleh Monash Asia
Institute of Monash University tahun 1992) itu menulis bahwa
”dari gelap terbitlah terang” diambil dari sajak dalam surat Karti-

Catatan Pinggir 9 613

http://facebook.com/indonesiapustaka GELAP

ni, yang mencerminkan ”kesadaran dirinya tentang perjuangan-
nya yang bersejarah”.

Tapi saya kira tak demikian. Jika kita baca surat yang memuat
sajak itu (mungkin karya Kartini sendiri), kita akan tahu bahwa­
ka­ta ”terang” itu mengacu ke sesuatu yang sama sekali lain: ”te­
rang” adalah saat Kartini menemukan identitasnya sebagai se­
orang muslimah. Ia mendapatkan ”terang” itu berkat bimbingan
ibu kandungnya, yang datang dari keluarga santri, bukan seorang
wanita berpendidikan Barat, tapi ”seorang perempuan tua... dari
mana aku memperoleh pelbagai kembang yang terbit dari hati”.

Bahwa Abendanon tak mengaitkan kalimat yang dipilihnya
itu dengan apa yang sebenarnya terjadi, itu mengungkapkan se-
buah perspektif yang tipikal seorang Eropa terpelajar di awal abad
ke-20: baginya, perjuangan Kartini adalah teladan modernisasi.
Mo­dernisasi adalah jalan ke Aufklärung, ”pencerahan”. Dan itu
pas­ti bukan jalan ke agama, apalagi Islam. ”Pencerahan” adalah
dat­angnya cahaya yang menggantikan kegelapan tua: irasionali-
tas, takhayul, dan taklid.

Bagi Abendanon, juga bagi para pemikir modernisasi Indone­
sia (Takdir Alisjahbana, Sjahrir, Tan Malaka, Sukarno), ruang­
dan waktu Kartini adalah miniatur sejarah ketika rasionalitas­
mengg­ edor pintu sebuah masyarakat yang ”terkebelakang”. Ma­
ka mereka menyebut Kartini (seperti dalam lagu yang kita hafal)­
”pendekar”, khususnya ”pendekar kaumnya untuk merdeka”:
merd­ eka dari adat yang mengekang dan dari kepercayaan yang
membekukan pikir.

Tapi bagi Kartini, perkaranya lebih kompleks. Ia hidup di
tengah-tengah derap maju rasionalitas itu, namun dan pada saat
yang sama ia tahu bahwa agama—yang umumnya dilihat sebagai
deretan dogma yang beku—tak terusir ke masa silam.

Mungkin itu sebabnya, perempuan berjilbab dengan mikros-
kop itu mengingatkan saya kepada Kartini: agama dan rasionali-

614 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka GELAP

tas bukanlah dua kubu yang bertentangan.
Ada suatu masa, terutama di Eropa, ketika rasionalitas me-

nampik iman. Ilmu pengetahuan pun meninggalkan agama,
atau­keduanya hidup terpisah, sementara rasio menguasai kehi­
dupan. Tapi dengan kemenangan itu, sesuatu terjadi pada rasio.
Seusai pertempuran rasio dengan agama, kata Hegel, agama me-
mang terpuruk, tapi ”rasio... [berubah] hanya jadi intelek semata-
mata”.

Dalam Revolusi Prancis, rasio dirayakan, agama diusir. Sejak
itu iman hidup dalam batin, bukan dalam kehidupan sosial dan
tub­ uh lembaga seperti Gereja. Agama mundur dari arena, tapi
iman menemukan ruang hidupnya yang baru, di dunia privat.
Rasio tak merasa perlu mengusirnya—dan ia tak juga mampu
menjelaskannya. Maka rasio lebih baik menyibukkan diri dalam
soal lain: jadi intelek, atau jadi akal semata (dari mana kata ”meng­
akali” berasal). Dengan alat itulah manusia mengakali­alam dan
mengendalikannya. Ia jadi Tuan. Ia menghasilkan sesuatu yang
dulu tak ada.

Dulu rasio tak berhenti tergugah akan ketakjuban dunia; de-
ngan itulah filsafat serta ilmu lahir. Tapi pada akhirnya rasio, se-
bagai akal, ikut membuat hilangnya pesona dunia—dan, dalam
pandangan muram Max Weber, pelan-pelan manusia pun terdo-
rong ke dalam ”kerangkeng besi”.

Maka kisah kemenangan rasio juga kisah kekalahannya. Akal
budi lupa bahwa ia sebenarnya hanya hadir sebagai ”terang” kare-
na ada ”gelap”. ”Gelap” bukanlah sebuah keadaan defisit dari te­
rang, tapi justru yang membuat terang jadi terang. Ketika gelap
dit­olak dan dicampakkan, tak ada lagi yang berharga yang ting-
gal.

Tapi pada saat itulah—dalam mencampakkan gelap—agama
dan akal sering bertemu. Saya teringat perempuan berjilbab di
depan mikroskop itu: saya teringat Kartini. Jangan-jangan Kar-

Catatan Pinggir 9 615

http://facebook.com/indonesiapustaka GELAP

tini termasuk orang yang meninggalkan ”malam” (keadaan gelap
yang sementara), karena baginya agama dan rasio menghendaki­
demikian. Bukankah agama dan dunia modern menolak segi
yang kacau dan tak terungkapkan dari manusia—misalnya du-
nia bawah-sadarnya?

Tapi jika demikian, saya takut ia akan buntu: ia akan berhenti
me­mahami hidup. Saya ingat kata-kata Chesterton tentang mis-
tisisme: ”manusia dapat memahami semuanya karena ia dibantu
oleh apa yang tak dapat dipahaminya”. Dengan kata lain, manu-
sia memahami hidup karena ia mengakui dan menemui misteri.

Tapi mungkin saja mikroskop di tangan itu lain. Mungkin
ia bagian dari ketakjuban yang sedang bangkit lagi—bukan alat
akal untuk menaklukkan hidup, tak mengakui gelap.

Tempo, 23 Mei 2010

616 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TERTIB

Saya tak tahu benarkah Tuhan hanya menghendaki dunia
yang tertib.
Ada sebuah cerita detektif yang ganjil yang ditulis G.K.
Chesterton, The Man Who Was Thursday. Buku ini lain dari ceri-
ta detektif biasa: ujungnya mirip sebuah renungan tentang Tu-
han—bermula dari ketegangan antara anarkisme dan ketertiban,
dengan tokoh seorang agen Scotland Yard yang menyamar seba­
gai penyair.

Cerita dibuka dengan senja di Saffon Park, sebuah wilayah di
tepi Kota London. Di lingkungan rumah-rumah berbatu bata
warn­ a terang itu hidup sebuah ”dukuh artistik”, artistic colony.
Bu­ku ini tak menyebutnya ”dukuh seniman”, sebab tempat itu
tak pernah memproduksi karya seni apa pun. Keistimewaannya:
enak dipandang.

Tapi kita diantar untuk tak menyukai suasana di sana. Ter­
utama­karena penghuninya. Ada orang bertampang penyair yang
semenarik syair, tapi ia sendiri bukan penyair. Atau si Fulan yang
berlagak filosof tapi sebenarnya sosok yang bisa membuat filosof
merenung. Para wanitanya menyatakan diri bebas, tapi suka me­
muj­i para lelaki dengan berlebihan. Orang yang memasuki at­
mos­fer sosial tempat itu akan merasa seperti ”memasuki sebuah
kom­ edi yang telah ditulis”.

Tokoh sentral di sini bernama Lucien Gregory. Ia seorang pe-
nyair berambut merah yang dibelah tengah, dengan keriting ke-
cil bak rambut perawan dalam lukisan Eropa kuno. Chesterton
menggambarkan parasnya ”lebar dan brutal” dengan dagu yang
menjorok ke depan dan dengan perilaku seperti ”sebuah cam-
puran malaikat dengan monyet”.

Gregory seorang anarkis dengan suara keras. Ia gemar meng­

Catatan Pinggir 9 617

http://facebook.com/indonesiapustaka TERTIB

ulang kecek lamanya tentang seni sebagai kehidupan yang tak
mengakui hukum dan tentang seni (atau kiat) untuk tak mema-
tuhi hukum, ”the lawlessness of art and the art of lawlessness”. Bagi­
nya, seorang seniman identik dengan seorang anarkis: ia melawan­
kekuasaan negara dan lembaga lain, ia bahkan bebas dari aturan
seni sendiri.

Gregory selalu didengar; tak seorang pun di dukuh itu yang
membantahnya.

Tapi senja di Saffon Park itu berubah ketika ke sana datang
Gabriel Syme, seorang berambut sedikit kuning berkulit pucat
langsat, dan digambarkan sebagai sosok yang menebarkan ”bau
kembang leli di sekitarnya”.

Bertentangan dengan Gregory, Syme menyebut diri ”seorang
penyair hukum, seorang penyair ketertiban”. Syahdan, kedua pe-
nyair yang berbeda sikap itu pun berdebat.

Bagi Gregory, dunia akan mandul dan membosankan bila ter-
tata seperti jaringan kereta api di bawah tanah. Rel dan stasiun-
stasiun itu tampak murung, tak ada yang asyik, tak ada kejutan:
semuanya sudah diperhitungkan, persis + tepat.

Bagi Syme, justru ketepatan itu puisi. Lihat, katanya, betapa
menakjubkan (”epical”, katanya) seorang pemanah burung ter-
bang yang mengenai sasarannya. ”Khaos itu membosankan,”
kata Syme. ”Tiap kali kereta api masuk, saya merasa ia telah mene­
rabas­deretan para pengepung, dan manusia telah memenangkan
satu pertempuran melawan khaos.”

Dari sini, kisah Syme kian aneh. Untuk menunjukkan bahwa
dirinya seorang anarkis yang serius, Gregory membawa Syme ke
sebuah tempat pertemuan rahasia para tokoh anarkisme. Seba-
liknya, Syme mengaku, ia sebenarnya anggota dinas rahasia Scot-
land Yard. Ia dapat perintah khusus dari seorang bos yang super-
rahasia, pemegang peran paling penting dalam cerita ini: seorang
yang yakin bahwa dunia seni dan ilmu ”diam-diam bergabung

618 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka TERTIB

dalam perang suci melawan Keluarga dan Negara”.
Bahkan bagi sang bos, ancaman juga datang dari para filosof.

Baginya, ”penjahat paling berbahaya sekarang adalah filosof mo­
dern yang sama sekali tak mengakui hukum”. Dibandingkan de-
ngan para filosof, para maling malah manusia bermoral. Sementa-
ra para filosof tak mengakui hak milik, para maling menghargai­
nya; hanya milik itu harus diambil jadi kepunyaan mereka. Para
pembunuh juga lebih baik, karena sebenarnya mereka secara tak
langsung menghargai hidup. Sebaliknya para filosof benci hidup
itu sendiri.

Dengan pandangan macam itu, para detektif spesial dikerah-
kan. Mereka harus datang ke pertemuan seni, ”guna mendeteksi­
para pesimis”. Mereka juga harus bisa melihat dari buku-buku
sajak bahwa kejahatan akan dilakukan. ”Kita mesti menelusuri
asal-usul pikiran yang mengerikan itu, yang setidak-tidaknya
mend­ orong orang ke arah fanatisme intelektual dan kejahatan in-
telektual.”

Demikianlah Syme berangkat bertugas. Dan setelah ia dibawa
Gregory ke tempat pertemuan rahasia para anarkis hari itu, ia de-
ngan cepat menyusup. Ia diangkat jadi salah satu anggota Central
Anarchist Council, organisasi rahasia yang akan menghancurkan
peradaban. Untuk menjaga kerahasiaan, tiap anggota disebut de-
ngan nama hari. Syme jadi ”Thursday”, Kamis. Pemimpin dewan
itu disebut ”Sunday”, Ahad.

Kisah ini jadi tambah ajaib ketika akhirnya diketahui, tiap
angg­ ota dewan kaum anarkis itu ternyata detektif dari kantor
yang sama—dan bahwa Ahad adalah sang bos yang memerintah­
kan mereka. Dan klimaks yang paling mengejutkan: Ahad itu se­
sungguhnya Tuhan.

The Man Who Was Thursday lebih rumit dan kaya ketimbang
yang saya ringkaskan. Tapi tanpa lebih jauh kita sudah didorong
menjawab: benarkah Tuhan berpihak kepada ketertiban? Benar­

Catatan Pinggir 9 619

http://facebook.com/indonesiapustaka TERTIB

kah dunia seni, ilmu, dan filsafat—yang menerabas batas—se-
buah ancaman, bagian dari khaos?

Di Saffon Park, Syme berbicara tentang pemanah yang berha-
sil membidik burung. Baginya keakuratan itu ”epikal”. Tapi tida-
kkah ia melihat: sejak saat anak panah lepas dari busur, khaos me-
nyertainya? Senjata itu punya sasaran, tapi angin bisa menyebab­
kannya gawal. Khaos menegaskan manusia sebagai makhluk
yang dengan dan dalam cemas membangun sejarah. Tak ada­
nya garis lurus antara arah dan akhir adalah bagian dari kemer­
dekaannya. Itu nasib Adam di luar surga.

Tempo, 30 Mei 2010

620 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Waiçak

Bayi yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu
memegangi sebatang dahan pohon Sal di Kebun Lum-
bini.
Adakah ini lambang pertautan antara bayi yang suci itu de-
ngan kehidupan yang bersambung ke ranting dan daun—dari
mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara mene­
mukan tempat jeda?

Saya tak tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun
yang lalu akan selalu tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda
punya pertanyaan yang tak pernah putus. Tapi beberapa ”data”
dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan percakapan—
setidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca,
yang mungkin di antaranya Buddhis.

Sang Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Sid­ ­
dhart­a. Ayahnya, Suddhodhana, adalah Raja Kapilavastu, wi­la­
yah­di kaki Himalaya. Keluarga ini bagian dari klan Gautama,
yang termasuk wangsa Shakya. Dari kitab Jataka kita dapat se-
dikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu.

Siddharta hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang
tak secantik dan setenteram Keraton Kapilavastu. Ada 40.000
penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita di­
kir­im ke hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun meni-
kah. Ia jadi ayah yang hidup mewah dan nyaman.

Tapi kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah
perjalanan di luar istana, sang pangeran melihat dunia yang sela-
ma ini tertutup dari dirinya: seorang tua, seorang yang sakit, dan
seo­ rang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar: ternyata­ma­
nusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan mening­gal.
”Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur sang pa­

Catatan Pinggir 9 621

http://facebook.com/indonesiapustaka Waiçak

nger­­an kemudian. Sejak itu ia pun mencari jawab tentang kodrat
”usia tua, sakit, kesedihan, dan ketakmurnian”—keadaan yang
tak akan bisa dielakkan siapa pun yang lahir di dunia. Ia pun me­
rasa perlu ”menemukan yang tak dilahirkan”. Dan itu adalah
”punc­ ak kedamaian Nirwana”.

Cerita itu begitu terkenal hingga kita lupa untuk bertanya: pa­
da saat itu, di manakah agama yang bisa menjawab kegelisahan
Sid­ dharta?

Mungkin tak ada. Di bawah Pegunungan Himalaya, sekitar
400 tahun sebelum Masehi, tampaknya orang tak mendengar-
kan kitab suci lagi. Upanishad digugat, para pendeta dicemooh.

Dalam salah satu jilid The Story of Civilization, Will Durant
men­ gutip Chandogya Upanishad, yang menyamakan para Brah-
mana ortodoks dengan barisan anjing: masing-masing meme-
gang ekor anjing sebelumnya. Swasanved Upanishad bahkan me-
nyatakan tak ada tuhan (dewa), tak ada surga, neraka, dan re-
inkarnasi. Kitab-kitab Veda dianggap cuma karangan orang-
orang geblek yang congkak; khalayak ramai patuh karena dibuai
kata yang berbunga-bunga untuk menopang dewa, kuil, dan
orang ”suci”.

Saat itu, para penghujat dewa dan pendeta beredar di mana-
mana: para Nastik, kaum nihilis, para Sangaya. Satu kelompok
besar Paribhajaka (”Pengembara”) berjalan dari kota ke kota, du-
sun ke dusun, mencari murid atau lawan filsafat. Mereka meng­
ajar­kan logika sebagai kiat membuktikan pendapat, atau menun-
jukkan bahwa Tuhan tak pernah ada. Di samping mereka, ada
kaum Charvaka, atau kaum ”materialis”, yang menertawakan ke-
percayaan bahwa Veda itu ilham para dewa. Bagi mereka, yang
bisa diyakini ada hanya yang dapat diketahui lewat pancaindra.
Materi adalah satu-satunya. Realitas. Tak ada keabadian. Tak
ada kelahiran kembali. Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri.
Agama hanya pengisi rasa kekosongan.

622 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka Waiçak

Mereka inilah yang pelan-pelan menguras sudut-sudut India
dari pengaruh kitab-kitab suci. Sekaligus melumpuhkan penga-
ruh kasta Brahmana di masyarakat. Dari sini pula tumbuh keya-
kinan baru, dimulai oleh kasta lain, para kesatria, yang tak ber-
sandar pada struktur kependetaan dengan teologi yang berpusat
pada adanya Yang Maha Pencipta. Bagi keyakinan baru ini, ada
atau tak adanya Tuhan bukan persoalan penting.

Ketika Siddharta berangkat dewasa, suasana pasca-Veda itu-
lah yang berkembang. Tak mengherankan bila ia tak mengandal­
kan kitab apa pun untuk menjawab kegundahannya. Dan tak
mengherankan pula bahwa ketika ia mendapat ”pencerahan” dan
jadi Buddha, ajarannya bergema cepat.

Para pengikut datang mungkin juga karena sang Buddha bisa
menunjukkan jalan bagi sebuah masyarakat di mana samsara
buk­ an saja sebuah konsep filsafat. Kesadaran tentang itu berto-
lak dari hidup sehari-hari. Di India, apalagi pada masa itu, lahir,
sakit, tua, dan mati bukanlah peristiwa asing di jalan-jalan.

Tapi itu bukanlah akhir cerita. Buddhisme bukan seluruhnya­
se­buah negasi agung. Sang Guru mengumandangkan sesuatu
yang mampu melampaui tema kesedihan pasca-kelahiran itu: da­
lam ajarannya tak ada patah-arang yang radikal terhadap hidup.
Buddha tak menganjurkan sikap asketis yang ekstrem; ia meno-
lak bunuh diri sebagai pilihan.

Dalam arti tertentu, ia masih melihat hidup mengandung ha­
rapa­ n—justru ketika manusia bebas dari pengharapan.

Saya bukan seorang Buddhis. Bagi saya harapan yang tanpa
pengharapan itu terletak dalam kemungkinan kita menerima du-
nia dan segala isinya—yang menderita—sebagai apa yang dalam
bahasa Jawa disebut bebrayan, ”pertalian kebersamaan”. Ketika
kit­a menghayati hidup sebagai keadaan yang bisa sakit, tua, dan
mat­i, kita pun akan lebih peka terhadap rapuh dan rentannya sia-
pa saja yang ada dalam keadaan itu. Semacam perasaan senasib

Catatan Pinggir 9 623

http://facebook.com/indonesiapustaka Waiçak

tumbuh.
Dengan kata lain, nasib bukanlah ”kesunyian masing-ma-

sing” seperti dikatakan Chairil Anwar. Hidup meletakkan ma-
sing-masing sebagai bagian dari sebuah keseluruhan—seperti
akar, kulit, dahan, ranting, dan daun pohon Sal. Bahkan pohon­
itu juga bagian dari perjalanan burung-burung dan peserta dalam
lingkungan ke mana selalu ia embuskan oksigen pada hari terik.
Untuk siapa saja.

Harapan, dengan kata lain, ialah karena kita tak bersendiri.

Tempo, 6 Juni 2010

624 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK RACHEL CORRIE

Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menem­
bus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel
hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama ”Rachel
Corrie”.

Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan me­
reka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang
mati untuk rakyat Palestina.

***
Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah nama-
mu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang berse-
dia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang
memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu
Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.
Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat
da­lam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar,
dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya ”semen-
tara”.
Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hi­
dup­140 ribu penghuni—yang 60 persennya pengungsi—juga
pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pe-
kan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-
laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permu­
kiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara
tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah
me­reka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300
orang—orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan.
Tentara itu mencari ”teroris”, katanya, dan orang-orang kam-
pung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-
dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan

Catatan Pinggir 9 625

http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK RACHEL CORRIE

tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tem-
pat untuk pergi.

Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia,
seo­ rang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur
laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang
di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan
teng­gelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel
men­deru. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancur-
kan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba
menghalangi.

Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebab­
kan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di
belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang ber-
teriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu
terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan
Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit
Najar.

***
Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban
dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau ter­
bun­ uh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi,
dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi
de­ngan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di
se­antero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh
suara protes yang mengikuti jenazahmu?
Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang
menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari
itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Sea­
ttle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan
Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika,
tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.
Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada

626 Catatan Pinggir 9

http://facebook.com/indonesiapustaka UNTUK RACHEL CORRIE

di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan
beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The
New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang,
ber­sama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadi­
kan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina
yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung ha­
laman mereka.

Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya
kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian
Washington, bergabung dengan International Solidarity Move-
ment, untuk mengatakan: ”Ini harus berhenti.”

Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk
e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan
di surat kabar The Guardian, kau menulis, ”Kusaksikan pemban-
taian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan
ini, dan aku benar-benar takut.... Kini kupertanyakan keyakin­
anku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia.
Ini harus berhenti.”

Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak se­
dih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa,
pu­nya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman
sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalah-
kah dia? Beberapa kalimat dalam surat kepada ibunya menggam-
barkan perasaannya yang intens: ”Ngeri dan tak percaya, itulah
yang kurasakan. Kecewa.”

Ia kecewa melihat ”realitas yang tak bermutu dari dunia kita”.
Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah realitas itu. ”Sama
sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini,”
tulisnya. ”Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat
diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku.”

Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta?
Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah

Catatan Pinggir 9 627


Click to View FlipBook Version