http://facebook.com/indonesiapustaka MACET
kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak
hanya satu.
Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan
raya, keserakahan masih berkibar, perebutan ruang masih ber-
langsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri dari ”em-
pat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya
musnah, lingkungan runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!”
Tempo, 18 November 2007
78 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BENDERA
Surabaya, 19 September 1945.
Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebe-
lum perang itu, sebuah tim Anglo-Dutch Country Section
menempati kamar No. 33.
Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh
sua ra kemerdekaan. Republik Indonesia baru berdiri, dengan
bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan
biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang.
Seb uah transisi besar terasa tegang sampai ke saraf kaki.
Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing
itu ada di sana. ADCS adalah organisasi intelijen gabungan Ing-
gris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar No.
33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus
bek erja agar Indonesia tak lepas dari kekuasaan Belanda.
Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit”
itu. Saya coba bayangkan hari itu perasaan orang-orang Belanda
yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang, hotel yang
dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu
telah berubah nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Ke-
mudian Jepang datang, pemerintahan Hindia Belanda bertekuk
lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara.
Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia.
Dan ketika di bulan September 1945 Jepang tak berkuasa lagi,
”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di mana-mana ter
den gar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk ke-
merdekaan itu.
Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka
tak hendak ditampar ketiga kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi
sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya ”Oranje”!),
Catatan Pinggir 9 79
http://facebook.com/indonesiapustaka BENDERA
mereka kibarkan Merah-Putih-Biru. Mereka berharap Surabaya
akan bangun dari tidur dan melihat: Belanda tetap di sini....
Apakah sebuah bendera, sebenarnya? Selembar kain yang di-
beri harga untuk menandai ”kami” yang ”bukan-mereka” dan
”mereka” yang ”bukan-kami”. Bendera adalah saksi sejarah bah-
wa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan ”dia”
yang di luar diriku. Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang
membentuk diriku, hingga ”aku” jadi sebuah totalitas yang se
akan-a kan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang
selalu mengancam akan melenyapkan aku. Identitas selamanya
genting.
Pagi itu, bendera di atas Hotel ”Oranje” itu menegaskan kem-
bali perannya dalam suasana genting. Di tahun 1572 ia bagian
dari perlawanan orang Belanda menghadapi penjajahan Spanyol.
Di tahun 1945, di Surabaya, ia bagian dari ingin kembalinya dau
lat Belanda yang terancam oleh para ”inlander” yang mau mem
berontak.
Tapi yang memberontak juga punya bendera. Mereka punya
seb uah penanda yang maknanya secara a priori tak ada, dan sebab
itu bisa disambut pelbagai unsur dan interpretasi yang berbeda-
beda. Ketika pagi itu orang Surabaya melihat sang Tiga Warna
berkibar, mereka tahu: ada penanda lain, bukan milik mereka,
yang dipasang oleh ”mereka” yang mengancam ”kami”.
Maka sebelum hari siang, Sudirman, residen Surabaya, wakil
Republik, datang. Ia merasa punya otoritas dan kewajiban me
minta agar bendera Belanda itu diturunkan. Tapi ia ditampik;
konon seorang Belanda dalam tim ADCS itu bahkan mencabut
pistolnya.
Di luar, berpuluh-puluh pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak
dapat dielakkan. Seorang Belanda tewas ditikam. Empat orang
pemuda Surabaya mati. Beberapa orang memasang tangga dan
mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun di-
80 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BENDERA
turunkan. Warna birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini
jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang semula. Di Jalan
Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan
mata yang jadi basah, mereka berseru, ”Merdeka! Indonesia
merdeka!”
Apakah selembar bendera sebetulnya? Sesuatu yang mewakili
sebuah wacana yang disebut ”Indonesia”. Sebuah signan yang di-
pilih untuk mematok wacana itu: dengan itulah, ”Indonesia”, se
patah kata yang tak henti-hentinya melahirkan arti, telah terpa
cak(setidaknya dalam satu atau beberapa jenak) dalam lambang
sang Merah Putih.
Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa ”Indonesia” tak di
pacak oleh konsep yang jelas dan lengkap, melainkan oleh perbu
atan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan tiwi
krama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebe
naran menggugah. Hari itu ”Indonesia” lahir dalam sebuah keja
dian yang transformatif: untuk meminjam kata Alain Badiou,
karena subyek yang bangkit oleh l’ événement.
Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang
dari langit. Merah-Putih itu beberapa menit yang lalu adalah Me
rah-Putih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga lahir
dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut
”Oranje-Wit-Blau”), ”Indonesia” muncul bukan dari ketiadaan
total. Ada masa lalu yang tetap membayang.
Tapi pada sisi lain, ”Indonesia” berkibar setelah sebuah pemo-
tongan. Ada yang ditiadakan dari bendera yang terpasang di
atas Hotel ”Oranje” pukul 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu
ingat:peristiwa di Hotel ”Oranje” itu sesuatu yang heroik, tapi
para pahlawan memberi kita sebuah warisan yang terbelah dan
kurang.
Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian
yang transformatif. Tapi di lain pihak, masa lalu—bahkan masa
Catatan Pinggir 9 81
http://facebook.com/indonesiapustaka BENDERA
lalu yang traumatik—terus-menerus membayanginya. Ia kurang,
karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.
Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhas-
rat, agar dirinya utuh. Ia punya utopianya sendiri yang tak akan
pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap.
Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri
dari pedihnya ketakutuhan dan kekurangan. Utopia itu, untuk
meminjam kata Paul Ricoeur, adalah ”satu tangan kritik”.
Dengan itu kita tahu, ”kerja belum selesai, belum apa-apa”,
tapi tiap kali kita bisa memberinya arti.
Tempo, 25 November 2007
82 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BOLONG
Harapan menggerakkan kita dengan bahasa yang tak
jelas. Seakan-akan di sekitarnya ada sebuah lubang ver-
bal—bolong yang diterobos oleh sesuatu yang tak ter-
katakan. Seperti yang terjadi pagi itu, 18 Desember 1989, di kota
Timisoara di Rumania sebelah barat, dekat perbatasan negeri itu
dengan Yugoslavia.
Peristiwa ini dimulai dengan keputusan pemerintahan Presi
denCeauşescu untuk mengusir seorang pendeta asal Hungaria
yang telah bicara terus terang tentang keburukan kediktatoran
Rum ania. Ia tampaknya seorang rohaniwan yang dicintai jemaat
nya,hingga hari itu mereka berkumpul di sekitar apartemennya,
berjaga agar bapak pendeta tak digusur dengan kekerasan.
Berangsur-angsur, banyak orang yang bergabung. Yang mere-
ka dengar ialah bahwa rezim komunis yang bertakhta di Bukares
itu sekali lagi bermaksud membatasi kemerdekaan beragama. Sa
tu kelompok besar manusia pun berhimpun—suatu hal yang tak
pernah terjadi sebelumnya di Rumania. Mereka berharap, meski
pun tak jelas berharap apa.
Dalam beberapa jam, polisi dan pasukan agen rahasia Securi
tate sudah mengepung tempat itu. Tapi tahun 1989 adalah tahun
perubahan besar di Eropa Timur. Kurang sebulan sebelum protes
di Timisoara itu, Tembok Berlin runtuh, dan sejak 9 November
satu demi satu kekuasaan Partai Komunis guncang atau rontok.
Perlindungan Uni Soviet tak diberikan lagi kepada para penguasa
yang dibenci rakyat itu. Tapi pemerintahan Ceauşescu tak me-
nyadari bagaimana rapuhnya dirinya. Ketika suara protes kian
galak, para petugas keamanan bertindak dengan gas air mata,
semb uran air, pukulan, dan juga penangkapan.
Hanya sebentar berhasil. Malamnya rakyat berkumpul di
Catatan Pinggir 9 83
http://facebook.com/indonesiapustaka BOLONG
sekitar Katedral Ortodoks Rumania. Dari sini aksi menjalar.
Dan esok harinya, 17 Desember, massa menyerbu masuk Komite
Distrik Partai Komunis. Mereka buang dokumen, brosur propa-
ganda, dan karya-karya Ceauşescu.
Ketika mereka coba bakar gedung itu, muncul tentara Ruma
nia—dengan panser, tank, helikopter, dan bedil. Tembakan ter
den gar, korban jatuh. Untuk beberapa jam para demonstran mun-
dur. Pagi 18 Desember, menembus kepungan pasukan keaman-
an, 30 pemuda maju ke arah Katedral, menyanyikan ”Deşteapta-
te, române!” (Bangunlah, Bangsa Rumania!), sebuah lagu nasio
nalyang dilarang rezim komunis sejak tahun 1947. Mereka me
ngib arkan bendera Rumania—tapi sebuah bendera yang berlu-
bang, karena lambang Partai Komunis yang semula terpacak di
tengah sang saka itu telah digunting dan dicampakkan.
Akhirnya revolusi antikomunis itu tak dapat dipadamkan la
gi, meskipun para pemuda itu ditembaki dan beberapa orang te
was dan luka-luka. Keberanian menjalar ke seluruh republik,
samp ai akhirnya Ceauşescu dan istrinya terpojok dan ditembak
mati para pemberontak.
Rumania pun berubah. Demokrasi menang.
Syahdan, kini, di Museum Militer di Bukares, terpasang se
lembar bendera yang dibawa 30 pemuda di hari bersejarah di Ti-
misoara: bendera yang bolong.
Tapi bolong itu bukanlah sesuatu yang hampa: ia justru me
lambangkan harapan dan juga rasa tak puas yang begitu luas dan
meluap-luap, hingga apa yang simbolik tak menampungnya lagi.
Saya teringat yang dikatakan Slavoj Zizek dalam Tarrying with
the Negative tentang lambang pembangkangan rakyat Ruma-
nia itu: ”Antusiasme yang menggerakkan mereka secara harfiah
adalah antusiasme terhadap lubang ini.” Sebab lubang itu belum
diisi oleh agenda politik apa pun, belum direbut maknanya oleh
proy ek ideologis yang mana pun. Kita ingat: kemarahan yang
84 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BOLONG
berm ula dari terusirnya seorang pendeta Protestan juga akhirnya
menjalar menemukan tempat perlawanannya di katedral Gereja
Ortodoks. Protes yang berawal dari sekelompok jemaat, akhirnya
jadi seruan, ”Bangunlah, Bangsa Rumania!”
Dengan kata lain, bolong itu mengisyaratkan bahwa harapan
belum diringkas dan diberi bentuk oleh sebuah kerangka makna.
Perebutan untuk memberi kerangka makna kepada ”penanda
yang kosong” itulah—jika kita pakai argumen Laclau yang ter-
kenal—yang menggerakkan politik. Memang pada suatu tahap,
akan ada yang memegang hegemoni, akan ada satu nama, satu
identitas, yang punya kuasa dan wibawa buat jadi pengisi bolong
itu. Tapi sejarah menunjukkan, politik tak akan berakhir. Hanya
sebuah ilusi besar untuk mengira bahwa lubang itu akan lenyap.
Kaum liberal atau kaum kiri, kaum sekuler atau kaum agama,
mau tak mau harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akhir
nya tak akan mampu mewakili sepenuhnya harapan rakyat yang
tak 100% terkatakan itu, yang dilambangkan dengan bagus di
lemb ar bendera di museum di Bukares itu: ada identitas nasional
yang diutarakan, tapi pada dirinya ada sebuah lubang.
Saya teringat akan bendera Merah Putih yang dikibarkan di
Hotel ”Oranje” di Surabaya pada bulan September 1945: bendera
itu juga lahir dari tindakan mencopot bagian yang tak dikehen-
daki dari tubuhnya. Tapi tak ada yang bolong yang menganga di
sana. Identitas seakan-akan kian tegas: ini merah-putih, bukan
merah-putih-biru.
Mungkinkah sebab itu revolusi Indonesia sering membuah-
kan salah sangka? Kita sering mengira kita adalah bangsa yang
sudah jadi, lengkap, selesai mengartikulasikan diri—bahkan
Muhammad Yamin pernah berteori bahwa Merah Putih sudah
berumur 1.000 tahun sampai saat ia dikibarkan di abad ke-20.
Tapi sejarah Merah Putih di Surabaya itu bukanlah sejarah
mengulang yang telah pasti dan ajek. Yang terjadi hari itu adalah
Catatan Pinggir 9 85
http://facebook.com/indonesiapustaka BOLONG
tindakan kreatif yang berani—sebuah laku yang di tengah ketak
pastian mengubah kondisi yang tersedia jadi sesuatu yang baru
dan berarti. Seperti sepotong puisi.
Tapi kita tahu puisi tak henti-hentinya ditulis. Kata dan arti-
kulasi yang siap kemarin tak lagi menampung getaran hati yang
meluap hari ini. Maka klise pun ditanggalkan, percakapan kem-
bali disegarkan—sebuah metafor lain bagi ikhtiar terus-menerus
untuk ”mengisi kemerdekaan”.
Tempo, 2 Desember 2007
86 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HIJAU
DI dunia yang letih, orang mengutip sajak Federico Gar-
cia Lorca yang masyhur itu:
Hijau, kumau engkau hijau:
Bintang agung yang beku dingin
Tiba dengan bayang ikan
Yang merintis fajar
Verde que te quiero verde.... Puisi Lorca mempesona karena
lonc atan-loncatannya—warna hijau, bintang agung, bayang
ikan, hari fajar—yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam
satu tafsir, tapi memperkaya kita dengan imaji-imaji yang menge-
jutkan, baru, segar, tak terulangi, seperti dalam mimpi.
Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, imaji yang segar, me
loncat-loncat, dan tak disangka-sangka—ya, juga warna hijau—
jadi alternatif (yang tak diakui) bagi sebuah kehidupan yang
mengabaikan itu semua. Modal, mesin, dan birokrasi telah mem-
buat sistem yang hanya kenal bentuk dan warna pada lajur lapor
an keuangan dan bagan eksak di buku-buku teknik. Baik kapital
isme (digerakkan orang Eropa dan Amerika) maupun sosialisme
(dimulai di Uni Soviet dan Cina) sama-sama meringkus dunia
dalam garis lurus, hitam-putih—garis ”modernitas” dan ”kema-
juan”, garis nalar yang menghitung, mencapai, dan menghasil-
kan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi, sebaliknya, tak hen-
dak menaklukkan, tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya,
bahkan cenderung rela membiarkannya, menyambutnya, seba
gai elemen hidup yang tak terduga. ”Le poète ne force pas le réel,”
kata René Char.
Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi seba
Catatan Pinggir 9 87
http://facebook.com/indonesiapustaka HIJAU
gaimana Lorca hanya mengutarakan hasratnya di antara lanskap
yang memukau tapi tragis di Andalusia, puisi—dan pelbagai su-
ara yang gundah menyaksikan ”modernitas” dan ”kemajuan”—
hanya bisa bicara secara terbatas.
Memang suara yang menghendaki ”hijau” itu terkadang
membingungkan. Ia tak menawarkan cara bagaimana menghen
tikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dan perlunya kemaju
an teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun kecurigaan
dan kebencian: di tahun 1930-an, di Jerman, pemujaan akan Blut
und Boden (”darah dan tanah”) dikobarkan para penganjur Na-
ziisme, yang ingin menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi
dan alamnya yang perawan, agar Volk, bangsa atau ras, tak terce-
mar oleh persentuhan dengan ”yang-asing” dan ”yang-borjuis” di
kota besar.
Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reak-
sioner dalam seruan ”hijau” di masa lampau.
Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film
dokumenter An Inconvenient Truth adalah indikasinya: film do-
kumenter yang dibuat dengan ongkos satu juta dolar ini begitu
laris di mana-mana; ia dapat menghimpun dana 49 juta dolar le
bih.Al Gore, tokoh di pusat film yang memperingatkan perubah-
an iklim global itu, mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian ta-
hun 2007. Berjuta-juta penonton akan selalu ingat suaranya:
”Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda
perhatikan daun berkerisik pada angin. Anda dengar suara burung;
anda dengar katak pohon. Di ke-jauhan ada lenguh seekor lembu.
Anda rasakan rerumputan itu.... Hening; damai. Dan tiba-tiba,
ada yang bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti mena
rik napas dalam-dalam dan berbisik, ’Ah, ya, aku telah lupa semua
ini’.”
88 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka HIJAU
Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau,
bersama itulah hasrat Lorca, ”kumau engkau hijau”, menemukan
makna dan wibawa lain. ”Hijau” telah jadi hasrat untuk mengga
pai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi tak hadir:
bumi yang tak rusak oleh polusi dan keserakahan.
”Hijau”, melalui proses percakapan dan pergulatan kepenting
an, berangsur-angsur telah jadi kepentingan umum. Ia jadi lam-
bang sesuatu yang universal.
Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung ”globalisasi”
yang berbeda dengan globalisasi kapital, justru ketika bangunan
global satu-satunya ini terancam musnah. Kini yang diserukan
Barbara Ward dan René Dubos dalam buku mereka yang terke-
nal, Only One Earth (dalam bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi),
yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di tahun 1972,
mendapatkan pendengar. Pelbagai identitas yang berbeda-be
da—yang ditandai nama negara, bangsa, kelompok etnis, kelas
sosial, gender—berada dalam posisi setara. Mereka ekuivalen di
bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting.
Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti ben-
teng tertutup. Dalam diri tiap negara, atau bangsa, atau kelom
pok etnis, atau kelas, atau gender, ada anasir yang akan membuka
diri ke luar, memahami nasib ”hanya satu bumi” ini. Tapi ada ju
ga yang justru akan melihat ”hanya satu bumi” hanyalah ilusi;
mereka akan kembali menutup pintu, bersiaga. Dengan kata lain,
”globalisasi” kecemasan ini tak berarti akan menghasilkan se-
buah dunia yang tanpa konflik—tak peduli betapa bersemangat,
tulus, dan sopannya para kepala negara berbicara di Bali.
Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini ha
rapan lebih punya sandaran ketimbang di masa lampau, ketika
yang universal datang secara menakutkan dan mencurigak an:
ekspansi ”peradaban” sekelompok manusia dengan sejarah ter-
tentu ke kelompok-kelompok manusia lain, seperti ketika Eropa
Catatan Pinggir 9 89
http://facebook.com/indonesiapustaka HIJAU
mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika ”Pencerah
an”-nya mengubah muka bumi dengan kolonialisme dan ”kema-
juan”.
Kini, yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan ke-
matian—yakni kematian yang akan mengenai siapa saja. Juga
melawan ketidakadilan, karena mereka yang kaya adalah yang
paling merusak bumi, sementara yang miskin akan jadi korban
pertama kali. Walhasil, yang universal kali ini datang bukan dari
si kuasa, tapi dari yang terancam—dan itu praktis berarti siapa
saja.
Kini aku bukan diriku
Rumahku bukan rumahku
Biarkan aku sebentar naik ke beranda tinggi
Biarkan aku pergi! Biarkan aku naik
Ke beranda hijau
Tempat air bergema pelan
Di balustrada bulan
Tempo, 9 Desember 2007
90 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MINORITAS
Sederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, ber
gerak—terkadang seperti patung kayu dari Asmat, ter-
kadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua,
terkadang seperti sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul
putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan kaki, tarik-menarik,
berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompo, penata tari kelahir
an Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pas
ti ia memikat kita: sederet anekdot yang menyambut hidup da
lam kontras dan keserempakan, gabungan antara yang jenaka
dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin
sebuah parodi, mungkin juga sebuah nostalgia.
Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, de-
ngan tangan dan kaki ditekuk seperti menirukan kanguru, se
akan-a kan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum manu
sia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak.
Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada ”warna lokal”, tapi
pada akhirnya yang penting bagi sebuah koreografi yang kuat bu-
kanlah mencerminkan sebuah identitas, ”daerah” atau ”nasio
nal”, ”tradisional” ataupun ”modern”, melainkan bagaimana
memb uat sebuah karya mencengangkan.
Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan
untuk mengukuhkan identitas, melainkan menunjukkan ada
yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas—
apa yang disebut oleh Adorno sebagai ”non-identitas”.
Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan
In Front of Papua yang memukau di National Museum of Singa
pore awal November yang lalu, seorang penonton bertanya: ”Apa
kah ini tarian dari kebudayaan minoritas?”
”Minoritas”—tak seorang pun di Indonesia akan mengguna
Catatan Pinggir 9 91
http://facebook.com/indonesiapustaka MINORITAS
kan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekali-
pun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini ber
tanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa
hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan
alam. Ia mudah melihat ekspresi yang ”primitif”, ”eksotik”—
yang praktis tak ada di London atau New York—sebagai sesuatu
yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di ma-
na-mana; yang beda dari itu adalah ”minoritas”.
Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai
mereka yang berdarah Cina, atau Arab, atau Eropa, atau India—
seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak pernah
digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting?
Dan mengapa berdasarkan ras?
Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit
dan corak hidung yang berbeda-beda. Kita misalnya melihatnya
dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan kasar
dan ”raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan ra
ut wajah dan bentuk tubuh para Pandawa dalam Mahabharata
dan Rama dan Leksmana dalam Ramayana.
Tapi menata wayang—dengan pakem yang tetap—tak sama
dengan menata manusia. Menata manusia adalah obsesi kekuasa
an politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan sebuah sistem
yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan meng
arahk an. Saya kira David Theo Goldberg benar (di tahun 2002 ia
menerbitkan The Racial State) ketika ia menunjukkan bahwa ka
tegori ”ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelo-
la apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan meng
asingkan ”tantangan dari apa yang tak diketahui”, the challengeof
the unknown.
Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan
klasifikasi—sebagaimana layaknya sebuah bangunan modern di
kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan ke
92 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MINORITAS
kaburan. Di luar kantor dan tata buku gubernemen, Indonesia
harus dibuat rapi. Manusia pun dibagi dalam kategori: ”pribu-
mi”, ”Timur Asing”, dan ”Eropa”. Dan yang ”pribumi” dibagi
lagi dalam ”suku”.
Bagaimana menentukan klasifikasi ini tak pernah jelas. Sebab
”pribumi” tampaknya ditentukan berdasar tempat kelahiran, se-
dang ”Eropa” berdasar asumsi asal usul genetik. ”Timur Asing”
tampaknya berdasar atas ”ras” dan sekaligus ”tempat asal”—se-
buah kategorisasi yang tak akan pas ketika ”Timur” berarti juga
penduduk yang berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam, Mala
ya,yang menampakkan ciri-ciri tubuh yang sama dengan orang
Minang, Makassar, atau Jawa.
Kata ”asing” juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang
nenek moyangnya 400 tahun yang lalu sudah beranak-pinak di
Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila dibandingse
orang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Mala
ka ke Medan.
Dan apa sebenarnya ”suku”? Kata ini tampaknya dipakai un-
tuk membuat satu kategori baru di bawah ”pribumi” dan ”Timur
Asing.” Ada kesan bahwa satu ”suku” mengandung satu identitas
budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika
bahasa dipakai sebagai cirinya, maka ”suku Jawa” tak pernah ada.
Sebab yang disebut ”bahasa Jawa”, yang diajarkan di sekolah, se-
benarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakar-
ta, tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas.
Maka tak bisa dikatakan ”suku Jawa” adalah satu ”mayoritas”.
Sama tak masuk akalnya menyebut orang Indonesia keturunan
Cina ”minoritas”: pemakai bahasa Hokian agaknya lebih banyak
ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur.
Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi
kekacauan yang ternyata menghasilkan kekacauan baru. Dengan
kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari bahasa dan
Catatan Pinggir 9 93
http://facebook.com/indonesiapustaka MINORITAS
manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga seba
gai khaos, menatap ”tantangan dari apa yang tak diketahui”, me
rasa cemas dengan yang ”lain” yang mengancam kerapian yang
palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indo-
nesia adalah bangunan minoritas-minoritas.
Atau serangkaian ”non-identitas”: totem-totem gelap bertutul
putih yang bergerak antara yang biasa dan tak terduga.
Tempo, 16 Desember 2007
94 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (1)
Apa yang bisa membebaskan kita dari keserakahan?
Malam itu saya duduk di antara 800 penonton konser
penghormatan buat kedua pemenang Hadiah Nobel
Perd amaian 2007 di Balai Konser Spektrum, Oslo. Di panggung
yang terang, Al Gore berdiri berdampingan dengan Rajendra Pa
chauri, Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim
(IPCC).
Orang India berumur 67 tahun itu tak banyak dikenal sebe
lumnya. Rambut dan janggutnya memanjang, dan dibiarkan pu-
tih secercah di sebelah kiri, hingga raut mukanya angker. Dalam
upacara pemberian Hadiah Nobel malam sebelumnya di Balai
Kota Oslo ia mengenakan jas tutup dengan saputangan hijau ter-
sisip di saku, dan berpidato dengan nada membosankan. Kini, di
panggung Spektrum itu, ia bisa lucu: ”Kolega saya hanya men ge
nal saya dengan nama julukan ’Pachi’, tapi sekarang, berkat ha
diah Nobel, mereka tahu nama saya ’Pachauri’.”
Ia tampak lebih kharismatik ketimbang Al Gore, dan lebih
mampu menggugah hati. Di panggung itu, di antara hiasan dua
lengkung besar bak gading raksasa yang terkadang menyala ge-
merlap oleh ribuan watt tata lampu, Pachauri mengutip Gandhi:
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap
orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang.”
Saya tak tahu apakah kata-kata itu bakal punya efek. Konser
itu menenggelamkan suara lain, apalagi yang khidmat. Di balai
besar itu yang hadir adalah gerak dan lagu Kyle Minogue, Alicia
Keys, Earth Wind & Fire, Annie Lennox, Melissa Etheridge (”I
need to Wake Up,” dalam film An Inconvenient Truth), dan pang-
gung tampil gembira, gemerlap, gemuruh dengan gitar listrik dan
perkusi.
Catatan Pinggir 9 95
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (1)
Berapa kilowatt dikerahkan untuk acara yang hendak mengu
mandangkan semangat hemat energi itu? Saya tak tahu apakah
Pachauri bertanya. Di sebelahnya berdiri dua bintang Hollywood
yang jadi pembawa acara, Kevin Spacey yang necis dan Uma
Thurm an yang gilang gemilang dengan gaun panjang kehijauan
yang mengkilap.
Pachauri tak tampak terkesima, tapi tak juga merengut. Me
ngenakan jas warna gelap dengan dasi merah yang tak mencolok,
glamor tak menyentuhnya. ”I hate shopping,” kata Pachauri kepa-
da Kevin Spacey. ”Saya hanya membeli apa yang saya butuhkan.”
”Yang saya butuhkan”, bukan ”yang saya hasratkan.” Beda ke
dua kalimat itu adalah beda antara yang lumrah dan yang sera
kah. Tapi kian lama garis itu kian kabur. Glamor adalah penyakit
menular di panggung dunia—lewat pertunjukan mode, konser
besar para bintang pop dan rock, film Hollywood, film Bolly-
wood, iklan, media, dan seluruh hasil industri budaya. Dari sana
lahir kebutuhan baru yang sebenarnya bukan kebutuhan, me-
lainkan hasrat untuk tak ketinggalan. Rasa iri adalah daya yang
dahsyat. Ialah kekuatan rahasia yang membangun pola konsumsi
dari mal ke mal, menggerakkan produksi dan melebarkan distri-
busi.
Iri, dan bersama itu rakus.
Konon, iri dan rakus terbit dari rasa cemas. Tapi tampaknya
ada dinamika lanjut yang menyebabkan seseorang merasa tak ha
nya butuh satu mobil, tapi 10 mobil Porsche dan Jaguar, atau me
rasa perlu membeli dan membeli lagi rumah dan tanah, di sam
ping menyimpan uangnya bermiliar-miliar dalam bank untuk
mendapatkan hasil lebih banyak. Orang-orang macam itu rasa
nyatak tergerak oleh rasa iri (mereka sudah ada di puncak) atau
oleh rasa cemas akan kelangkaan (mereka sudah berlebih) kecuali
kalau mereka sedikit sakit jiwa dan ingin membeli juga masa de-
pan.
96 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (1)
Masa depan memang perlu dikuasai. Tapi bukankah rasa ce-
mas di balik keinginan menguasai itu—yang membuat orang
menimbun mobil, rumah, uang—justru membuat rasa cemas
baru, karena planet ini dengan demikian akan tak habis-habisnya
dikuras sampai kering dan kelangkaan akan berkecamuk?
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan
tiap orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang,”
Pachauri mengutip Gandhi. Tapi yang tak bisa dilupakan ialah
bahwa ”keserakahan tiap orang” hanya sebuah hipotesis. Yang
sud ah terbukti: keserakahan beberapa orang.
Sejarah kita sekarang adalah sejarah yang dibentuk ”super-
kapitalisme”, untuk meminjam istilah Robert B. Reich dalam bu-
kunya, Supercapitalism: The Transformation of Business, Democra
cy,and Everyday Life. Dengan ”superkapitalisme”, jurang antara
yang kaya dan miskin kian menganga tajam. Di Amerika tahun
2005, 21,2 persen pendapatan nasional tertumpah ke hanya 1
persen pencari nafkah. Di tahun 2005, penghasilan pejabat ter-
tinggi perusahaan Wal-Mart besarnya 900 kali dari upah rata-
rata pegawainya. Pendapatan keluarga pemilik perusahaan itu
diperkirakan US$ 90 miliar, yang artinya sama dengan jumlah
penghasilan 120 juta penduduk Amerika yang miskin.
Tuan bisa katakan, ini memang ketimpangan, tapi ketimpang
an tak sama dengan keserakahan. Benar, tapi bukan hanya ketim
pangan yang jadi soal. ”Superkapitalisme” yang mengelu-elu-
kan Wal-Mart dan Wall Street itu membuat komunitas manusia
rapuh. Seperti ditunjukkan Reich, di bawah ”superkapitalisme”,
”lembaga-lembaga yang dulu menghimpun nilai-nilai warga ne
gara telah merosot.” Kata ”warga negara” jadi masalah; orang te
lah jadi ”investor” atau ”konsumen” yang mengutamakan laba
bagi diri sendiri. Pengertian common good, atau yang baik bagi
bersama, telah sirna. Orang tak perlu merasa bersalah jika punya
10 mobil Jaguar di tengah-tengah jutaan manusia yang melarat
Catatan Pinggir 9 97
http://facebook.com/indonesiapustaka RAKUS (1)
dan tak punya kerja.
Tapi bumi makin panas, sumber alam makin rudin, planet
terancam punah. Si serakah tak perlu merasa diri serakah dan
bersalah, tapi masa depan yang ia sangka dapat dibelinya adalah
masa yang rongsokan: hutan habis, ikan punah, udara beracun.
Rasanya bukan hanya imbauan untuk hidup sederhana ketika
Pachauri mengatakan, ”I hate shopping.” Rasanya ia ingin bebas
dari keserakahan karena ia tak hendak masuk legiun bunuh diri.
Tempo, 23 Desember 2007
98 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka LANGKA
Pada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang
mati disembelih untuk korban adalah lambang pemberi
an yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membu
nuhanak yang dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya
memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak berjanji apa-apa. Dan
seandainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan men
dap atkan imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah
anak itu mati?
Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak ter-
ulangi. Seperti yang dilakukan Ibrahim, kata kuncinya adalah
”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak.
Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai ling-
karan dengan ujung yang akan bertaut kembali. Seperti dikata
kan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan me-
nentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang
terjadi adalah pertukaran antara jasa dan jasa atau jasa dan benda.
Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbang
an besar Marcel Mauss dengan telaah antropologinya dalam Essai
sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam kehidupan
bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”.
Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasar-
kan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam
kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”mem
beri”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak
melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung
premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup.
”Memberi” tak mengenal Langka.
Tapi hidup kian ribut oleh Langka dan manusia cemas.
”Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah per
Catatan Pinggir 9 99
http://facebook.com/indonesiapustaka LANGKA
dag anga n: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, da
ri mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara
menghadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka.
Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke wila
yah di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa
lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga keserakaha n
yang terbit dari kecemasan itu. Rahmat Tuhan tak dilihat lagi se-
bagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu
yang harus diperebutkan.
Dengan kata lain, beribu tahun setelah Ibrahim, hubungan
man usia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran
yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hi-
tung pahala yang dipegang dengan waswas: jangan-jangan Tu-
han selalu kekurangan. Orang pun berlomba-lomba melipatgan-
dakan ibadat dan jumlah umat, memamerkan masjid, gereja dan
kealiman.
Ada keserakahan yang menyusup di situ, tapi kita tak bisa me
ngatakan, Rakus, yang lahir dari sindrom Langka, adalah sifat
manusia yang mendasar. Ia dibentuk sejarah.
Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The
Future of Money: Beyond Greed and Scarcity, menawarkan satu te
ori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun sebelum
zaman ini, manusia di Barat menyimpan ”Bunda Agung” sebagai
archetype, sebagai citra yang terawat dalam jiwa individual mau-
pun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu arah tertentu.
Dalam sang ”Bunda Agung”—agaknya sama dengan Ibu Perti
wi—ada citra tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia
yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu kemudian tersingkir
oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan
hukum dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya sang Bunda
Agung tenggelam. Ketika manusia tak percaya lagi akan keder-
mawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus.
100 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka LANGKA
Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris.
Di masa itulah Adam Smith merumuskan pemikirannya ten-
tang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun
jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari
premis itu. Apalagi dari Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian
yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian ber-
peran. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang
sebagai sesuatu yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan
pinjaman seraya memungut bunga, bank akan memperoleh lebih
banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar.
Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang
dan sistem peredarannya itulah yang membuat Langka dan Ra
kus ”terus-menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral,
yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, seca
ra tak langsung menguntungkan mereka yang menyimpan uang
di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu memikat—terutama
ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam
rangkaian pinjam-meminjam dengan bunga berbunga. Lapang
an kerja makin sedikit. Ketimpangan pun menajam, seperti di
Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan
politik.
Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pe-
makaian uang lokal dan menyebut sistem Silvio Gesel di tahun
1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya mendapat-
kan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada
pemerintah. Dengan demikian, bank tak memberi kesempatan
bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur.
Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut?
Mungkin, tapi entah kapan. Uang, seperti kata Lietaer, telah ja
di sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia,
dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya
Langka dan kehancuran sosial.
Catatan Pinggir 9 101
http://facebook.com/indonesiapustaka LANGKA
Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab ”memberi” masih tetap
mungkin. ”Memberi” membebaskan manusia dari cincin besi
itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam ”keadaan
yang tak hidup dari dunia yang profan”. Hanya dalam memberi,
dalam berkorban, orang menemukan sesuatu yang suci, justru
dalam tak adanya faedah.
Mungkin seperti Ibrahim di Muria: ia tak tahu apa faedah
perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat
ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus,
mengatasi rasa takut akan Langka di ”dunia yang profan”.
Tempo, 30 Desember 2007
102 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka
2008
Catatan Pinggir 9 103
http://facebook.com/indonesiapustaka
104 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BHUTTO
Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa
menit setelah pukul 5.30 sore 27 Desember 2007 itu, se
orang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru
selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Tokoh
politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya
ke luar kap atap. Sebuah bom meledak. Ia rubuh. Dengan cepat
mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul
6.16, ia tak bernyawa lagi.
Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun
orang itu histeris.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan.”
Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951.
Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas,
ditembak, setelah berpidato di taman yang sama—sebuah alun-
alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.
Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dika-
bulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari
taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Be
nazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh
pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia
telah membunuh seorang lawan politiknya....
Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?
Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan.
Tig a dari empat anak Zulfikar dengan istrinya, Nusrat, tewas. Di
tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Ri
viera, Prancis, dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia dira-
cun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politik
nya, Murtaza, mati dalam tembak-menembak dengan polisi Pa
kistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan ko
Catatan Pinggir 9 105
http://facebook.com/indonesiapustaka BHUTTO
lumnis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi.
Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan
politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan.
Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan
diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947.
Tapi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekono
mi, Pakistan—dalam kata-kata penulis Tariq Ali di koran The
Guardian pekan lalu—hanya sebuah ”conflagration of despair”,
sebuah gelombang api yang menjalarkan putus asa.
Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembu
nuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa berta
han (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan se-
perti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan
dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9 persen seta-
hun.
Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sam-
pai 7 persen. Aktivitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas
ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuari
um. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ke
takpastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah
rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka
berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat.
Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.
Kenapa? Karena ”Islam”?
Saya kira bukan. ”Islam” adalah sebuah nama yang maknanya
dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering
diabaikan ialah bahwa patokan itu—katakanlah hukum syari-
at—tak selamanya mampu mewakili ”Islam” yang dianggit, yang
diimajinasikan secara sosial dalam sejarah—imajinasi yang ber-
lapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah
Castoriadis, ”magma”.
Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof
106 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BHUTTO
itu, merumuskan argumennya agar minoritas muslim di India
pun ya tanah airnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian
tentang identitas ”Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai
sep erti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agen-
da mendirikan negeri kaum muslimin tersendiri. Ia tak melihat
bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung
konstruksi atas arus yang ”magmatik”. Konstruksi itu ditentukan
oleh sebuah ”pusat”. ”Pusat” itu adalah sang pemenang dalam
perg ulatan mencapai posisi hegemonik.
Saya katakan ”pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap pe
rumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika
Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan se
gera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik pa
ran oia yang mencemaskan.
Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun
imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiavelli
mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan
bukan sebagaimana ”seharusnya”, melainkan sebagaimana ”ada
nya”. Politik sebagaimana ”adanya” adalah yang kemudian diru-
muskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di
dasarnya adalah antagonisme.
Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakis
tan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan se
enakn ya dari meja para administrator Inggris. Syahdan, sebanyak
14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru
itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, keb i
ngunga n yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang me-
luas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal
retak—dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.
Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci
murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan se-
bab itu mengakui dirinya tak sempurna, dalam kasus Pakistan la-
Catatan Pinggir 9 107
http://facebook.com/indonesiapustaka BHUTTO
bel ”Islam” telah menutupi apa yang najis dan menakutkan itu—
juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup
dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan—
atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa
ditolak, bahwa ”Islam” dan ”Pakistan”, (ya, bahkan ”Bhutto”),
adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.
”Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”—dan berka-
li-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.
Tempo, 6 Januari 2008
108 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CERMIN
Tahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31
Desember, akan saya lihat: guratan umur makin keras.
Keriput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Ram-
but rontok.
Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan
ulang tahun ke-50, atau ke-60, atau lebih, kita tahu jangka waktu
hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah
tampak.
Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan
berakhir. Saya pasti tak akan menyaksikan 7.000.000 batang
muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon tinggi dan
rimb un, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di
kota saya masa kecil. Saya tak akan melihat tanah air kaya kembali
dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti tak akan merasakan ja-
lan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin
tak lagi dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama,
dan di Jakarta, di ibu kota, sesuatu yang lebih manusiawi hadir
bahk an di rumah sakit umum, di penjara, di kaki lima, dan mu-
seum dan teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangun
an lama selesai dipugar, dan stasiun kereta api gaya Art Deco di
wilayah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempesona kem-
bali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami.
Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang
akan terjadi. Bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana jika kelak
ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang mengge
legak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi
adalah bentrokan berdarah yang tak henti-hentinya, karena ma-
syarakat jadi amat timpang antara kaya dan miskin, dan sumber-
sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan?
Catatan Pinggir 9 109
http://facebook.com/indonesiapustaka CERMIN
Bagaimana jika mereka yang lemah terus tertekan oleh kemaha
kuasaan uang, ketidakjujuran pejabat negara, dan sifat represif
dari lembaga-lembaga adat dan agama?
Saya, seperti Anda, tak tahu bagaimana menjawab itu. Orang
mampu menyusun statistik, membuat prediksi, memperkirakan
probabilitas. Tapi kita tahu hidup tak bisa distatistikkan, karena
yang tak lazim selamanya bisa terjadi—atau memang selalu ter-
jadi.
Ada sebuah sajak Chairil Anwar:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku
Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah
”ketika” yang probabilitasnya praktis 100 persen. Tapi tak urung,
ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: ”topan ajaib”
yang ”menggulingkan gundu, memutarkan gasing...”.
Bahwa kita bisa merasakan yang ajaib itu sebetulnya sebuah
keajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan meng-
hasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan
betapa hidup tak semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga ke
juta n demi kejutan.
Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat ki
ni disebut sebagai ”kejadian”, setidaknya semenjak Heidegger me-
nyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar hubunga n
kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah kompo
sisi musik: nada yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan,
nad a yang di sebelahnya; masing-masing hadir, terdengar, en
tahdari mana. Di situ kita tahu, hidup bergerak didorong oleh
élan vital yang kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memu-
110 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka CERMIN
kau, bukan oleh satu titik yang kukuh di ujung sana dari sebuah
garis lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak
Chairil, komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai.
Semuanya ”kejadian”. Itu sebabnya dalam pemikiran Deleuze,
”kejadian” sama saja maknanya dengan ”penciptaan”.
Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca me-
lihat proses keuzuran. Tahun juga sebuah tanda waktu yang tak
sempurna, ”titimangsa” yang hanya satu sisi.
Sebab—jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze (yang
mengembangkan buah pikir para filosof sebelumnya)—ada wak-
tu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang pertama adalah
waktu yang merupakan satu rangkaian ”kini” yang bisa diukur,
diingat, dan disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu
kreatif, waktu ”kejadian”, waktu kejutan. Dikatakan secara lain,
itulah ”waktu yang copot dari sendi”, time out of joint, untuk me-
makai kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (de
mik ianlah tersebut dalam lakon Shakespeare) hantu ayahnya da
tang memberi tahu rahasia yang mengerikan di takhta Denmark.
Waktu yang ”copot dari sendi” memang terasa mencemaskan.
Tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu
sebagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebe
basan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk
di momen ”kejadian”. Seperti nada B minor yang muncul dalam
harmoni, ”kejadian” tak berlangsung dalam waktu yang sudah
disusun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada
akhirnya ”kejadian” atau ”penciptaan” tak bisa selamanya berada
dalam harmoni. Deleuze melukiskannya dengan membanding-
kan musik Baroque dan neo-Baroque: sebuah peralihan dari pe-
nyelesaian atau cakupan harmonis ke dalam sebuah susunan yang
macam-macam nada, termasuk yang sumbang, atau, dalam kata-
kata komponis Boulez, ”sebuah polifoni dari pelbagai polifoni”.
Hidup adalah sebuah polifoni, bergerak, memencar, multi-
Catatan Pinggir 9 111
http://facebook.com/indonesiapustaka CERMIN
lipatan yang tak henti-henti. Kematian hanyalah salah satu mo-
men di dalamnya. Haruskah saya sesali, jika itu terjadi? Tiba-tiba
saya temukan lagi satu kutipan yang ditulis Deleuze: ”Yang ter-
baik dari semua dunia yang mungkin bukanlah dunia yang mere-
produksi yang abadi, melainkan yang jadi tempat di mana cipta-
an baru diproduksi”.
Yang abadi tak akan di sini. Di depan cermin tetap akan tam-
pak rambut rontok dan kulit mengeriput. Juga napas kian lemah.
Tapi entah di mana dalam evolusi hidup, ada ”topan ajaib” yang
seakan-akan menggerakkan bahkan mainan yang mati: ”memu-
tarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapal
an.”
Tempo, 13 Januari 2008
112 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BENTO
Bento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru ber
umur24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis para rabbi di Si
nag oga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda
itu, yang pernah jadi murid yang pandai dalam pendidikan aga
ma,dibuang dari kalangan Yahudi, dari ”bangsa Israel”, karena
pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji.
Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari
mimbar kata demi kata dilafalkan, seraya terompet besar yang
meratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan
suram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya se
muan ya padam dan ruang jadi gelap: lambang kematian cahaya
rohani dalam diri orang yang dikutuk.
”Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari ma
lam. Terkutuklah ia ketika ia berbaring dan terkutuklah ia ketika
ia bangun. Terkutuklah ia bila ia keluar dan terkutuklah ia bila
masuk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan
Eklesiastik itu berbunyi: ”... Tuhan akan mencoret namanya dari
kehidupan di bawah Langit.”
Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah
menc atat, dengan keputusan seperti itu para pembesar agama me
nunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya. Se-
jak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak sau
daranya. Tapi ia tak mau takluk. Ia meninggalkan usaha ayahnya
yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang sewa dari ru
mah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah
lensa buat teleskop dan mikroskop. Ia mati sebelum umur 45 dan
hanya meninggalkan dua pasang celana dan tujuh lembar keme-
ja. Tapi ia, Bento, nama panggilan Portugis bagi Baruch de Es-
pinoza, atau Spinoza pemikir yang menulis Tractacus Theologico-
Catatan Pinggir 9 113
http://facebook.com/indonesiapustaka BENTO
Politicus, tak pernah tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal.
Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam
itu mengambil keputusan sekeras itu. Mereka sendiri berasal dari
para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik de-
ngan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap mur-
tad hidup-hidup, tempat raja dan gereja memaksa orang Yahudi
dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari di tahun
1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000
orang Yahudi dibantai.
Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya ka-
kek-nenek yang lari dari aniaya di Semenanjung Iberia, menun-
jukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza, meskipun
tak sekejam membakar orang di api unggun.
Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat
iman seperti gembok: kita hidup dalam bilik yang tertutup dan
terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati.
Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza—yang
die jek sebagai espinas (”duri-duri”)—bisa sangat mengganggu. Ia
dianggap atheis.
Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada—dan
tak hanya itu. Novalis bahkan menganggap Spinoza ”orang yang
gandrung-akan-Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili dan
memp idana orang per orang. ”Tuhan tak memberikan hukum
kep ada manusia untuk menghadiahi mereka bila patuh dan
mengh ukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza. Tuhan bu
kanperson. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia
tak bisa dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang meman-
dang Tuhan dengan memakai sifat dan fiil manusia sebagai mo
delakhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cem-
buru dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa?
Bagi Spinoza, Tuhan itu ”substansi”. Substansi itu mengambil
”modus”, dan Tuhan mengambil modus sebagai Natura naturans,
114 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka BENTO
Alam kreatif yang membuahkan ”alam yang di-alam-kan”, Na
tura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaan-
nya.
Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan
yang akan mencintai, atau membenci, atau membuat mukjizat.
Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam segala
yang ada.
Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di za-
man lain. Tapi seperti dikisahkan dengan mengasyikkan oleh
Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic, tentang
pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan
adalah ”nama persoalan abad ke-17”.
Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak
aliran protestanisme; ilmu pengetahuan mulai mengguncang Ki
tab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi lemba-
ga agama.
Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi ke-
bebasan. Spinoza sejenak merasakan kemerdekaan justru ketika
ia dikeluarkan dari jemaat Yahudi—dan bersyukur ia hidup di
negeri yang tak akan membinasakan orang ”murtad”. Namun
pada akhirnya ia tahu: tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri
bagi iman orang ramai.
Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan
belati. Ia selamat. Tapi ia tahu ia harus berhati-hati. Ia, yang ting
galmenumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den Haag,
praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak
henti-hentinya merokok—dan menyelesaikan beberapa buku.
Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha menerbitkannya. Se
orang penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbaha-
ya bagi iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika
Spinoza ke Amsterdam untuk mencetak satu karyanya, ia dengar
desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi Kristen bah-
Catatan Pinggir 9 115
http://facebook.com/indonesiapustaka BENTO
wa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun
membatalkan niatnya.
Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, ter-
bit di tahun 1677. Sementara itu Tractacus-Theologico-Politicus
yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul dengan
tanpa nama—dan segera masuk buku terlarang.
Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang
Tuhan yang terpaut erat dengan manusia dan semesta—artinya
Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta—Spi-
noza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta ha
rus ditiadakan. Iman yang tulus hanya tumbuh dalam kebebas
an—dan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu Spinoza
benar.
Tempo, 20 Januari 2008
116 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SLAMET
Slamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pa
da umur 48. Mungkin Kota Pandeglang mendengarnya.
Mungkin Banten dan Jakarta mendengarnya. Tapi hanya
10 menit.
Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia kem-
bali jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berju-
ta-juta titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk:
tuan-tuan berbaris membesuk Soeharto, sang patriarkh yang ge
ringterbaring di rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan
mengikuti naik-turun tekanan darahnya, menyimak jantung
dan paru-parunya, berkomat-kamit membaca doa untuknya, dan
berseru, makin lama makin keras, maafkan dia, maafkan dia....
Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi
tak ada peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada
mala yang besar (meskipun tak disebut sebagai dosa) ketika di
luar pintu seseorang rubuh, tertindih, hilang harap—dan kita
tak menolongnya.
Slamet adalah indikator negatif peradaban. Ia yang hidup bu-
kan sebagai penggugat, mati, dan dengan itu ia menggugat.
Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap mis
kin. Sejak 1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan sing-
kong, tahu, tempe, dan pisang di sekitar Jalan Ahmad Yani di
Pand eglang. Ia pernah yakin hidup akan lebih baik setelah ia ber-
henti bekerja di sebuah pom-bensin. Mula-mula memang ada ha
rapan: ia bisa memperoleh untung sedikit-sedikit. Kata istrinya,
Nuriah, Slamet dapat membawa laba sampai Rp 20 ribu sehari.
Tapi kemudian harga kedelai naik cepat dari Rp 3.400 menu-
ju ke Rp 8.000 sekilo. Akhirnya Slamet hanya bisa membawa pu-
lang rata-rata Rp 8.000, sementara tiap kali ia harus belanja ba
Catatan Pinggir 9 117
http://facebook.com/indonesiapustaka SLAMET
hansampai Rp 100 ribu.
Apa yang bisa dilakukannya? Utangnya memberat. Tapi bu-
kan hanya itu yang menimpanya. Ia, yang lahir di Ciamis dan
mati di Pandeglang, ia yang berkeluarga di rumah 7 x 7 meter
persegi berdinding gedek yang terletak di dekat Pasar Badak, di-
tentukan nasibnya tak di sana, melainkan di kejauhan: oleh para
birokrat Departemen Pertanian dan Perdagangan, oleh pasar du-
nia yang bergejolak, oleh ladang dan lumbung di Amerika Seri-
kat, oleh pusat-pusat makanan di Cina, oleh cuaca dan panen di
Brasil, oleh struktur agrobisnis di Argentina.
Apa daya Slamet di sela-sela jaringan raksasa itu? Seorang pa
karDepartemen Pertanian Amerika Serikat telah memperhitung
kan, produksi kedelai tahun 2007-2008 akan turun 14 persen di
negeri itu, dan pembaca koran tahu Amerika Serikat adalah salah
satu produsen terbesar. Ketika para petani Amerika mendahulu-
kan menanam jagung yang lebih menguntungkan untuk indus-
tri biodiesel, suplai kedelai pun merosot di dunia. Sementara itu,
Brasil dan Argentina hanya meningkat sedikit panennya. Semen-
tara itu, permintaan bertambah, terutama dari Cina dan India,
dua negeri yang lebat penduduk dan sedang tumbuh pesat ekono
minya. Maka harga pun membubung tak terelakkan. Di Pandeg
lang, Slamet terjungkal.
Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup di sebuah negeri de
nganpara birokrat yang seperti tak hendak tahu dan berbuat;
tren memburuk itu bukanlah sesuatu yang mendadak. Slamet
adalah sebuah indikator keteledoran.
Ia juga gejala kegagalan. Di tahun 1974, Indonesia bisa me-
menuhi kebutuhan kedelai dengan produksi sendiri, tapi sejak
1975 sudah jadi pengimpor. Ketika di Jawa tanah-tanah pertani-
an yang subur dipergunakan untuk kebutuhan lain, kedelai kian
tak mendapat ruang yang cukup untuk ditanam. Seorang peneli
ti, Dewa K.S. Swastika, bahkan sejak tahun 2000 menghitung:
118 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SLAMET
tanpa terobosan yang berarti, defisit kedelai akan berlanjut.
Apa ”terobosan” itu, saya, seperti halnya Slamet, tak tahu.
Yang saya tahu, Indonesia tak mengalami apa yang dialami Bra
sil.Di sana, demokrasi yang menggantikan kediktatoran militer
memb ongkar juga kendali pemerintah atas pasar, dan di antara
2002-2003 (ketika di Indonesia tak ada lagi harapan untuk swa
sembada) di negeri Amerika Selatan itu produksi kedelai naik
hampir 300 persen dibandingkan dengan 1987-1988.
Lebih beruntungkah Brasil ketimbang Indonesia, yang kem-
bali ke demokrasi dengan masyarakat yang telah dipangkas habis
sumber-sumber kepemimpinannya? Saya tak tahu adakah ini so
al malang dan mujur. Yang pasti, demokrasi datang dan negeri
ini hanya punya sederet pengambil keputusan yang kacau, atau
tak cerdas, atau bingung. Tampaknya cerita kedelai ini juga cerita
keledai-keledai.
Tuan-tuan pasti tak mau seperti itu. Tapi jangan takut. Cerita
Slamet bukanlah hanya cerita tentang tempe dan kekuasaan dan
kebebalan. Ia juga cerita sebuah keadaan, ketika seorang bisa be-
gitu putus asa dililit utang Rp 5 juta, sementara tak jauh dari tem-
pat ia menggantung diri ada orang-orang yang menghabiskan be
ratus juta untuk satu malam perhelatan. Cerita Slamet adalah ce
rita seorang yang dibunuh dengan acuh tak acuh. Maka ia juga
cerita tentang kematian yang tak terdengar, tapi seperti sebuah
teriakan.
Slamet memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia tetap se-
buah kontras: ia kecemasan yang tak ditengok, ia bukan Soeharto
yang terus-menerus dijenguk. Tapi ia lebih siap mati. Menjelang
ia menggantung diri, dibelinya dua helai kaus putih. Ia bicara de-
ngan Oji, anaknya yang masih di kelas tiga SMK Pariwisata dan
sudah setahun belum membayar uang sekolah. Ia bisikkan bahwa
ia akan segera meninggal.
Slamet akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang tenang.
Catatan Pinggir 9 119
http://facebook.com/indonesiapustaka SLAMET
Putus asa itu tampaknya menyebabkannya siap dan ikhlas. Ia
adalah pemberitahuan, ia seperti sajak Subagio Sastrowardojo:
pada akhirnya, apa sebenarnya yang dimiliki manusia?
Tak ada yang kita punya
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir
Lalu cepat lari sebelum
semua berakhir
Tempo, 27 Januari 2008
120 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SENSOR
Kami, sejumlah juru sensor, duduk di ruangan gelap se-
perti seregu malaikat yang waswas.
Kami tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tu-
han, (meskipun kami tak tahu ke arah mana semestinya), dengan
mata gundah: tidakkah Ia terlampau optimistis tentang manusia
ketika Ia memutuskan untuk menciptakan makhluk yang mere-
potkan ini? Tidakkah Tuhan lalai menduga bahwa manusia akan
menyebarkan kejorokan di muka bumi?
Kami, para juru sensor, sungguh khawatir. Memang Tuhan
pernah mengatakan kekhawatiran itu tak berdasar. ”Aku tahu
apa yang kalian tak tahu”, kata-Nya. Tapi kami tetap tak percaya
manusia akan berfiil baik, berakhlak tinggi, dan berjiwa kuat. Ba
gi kami, manusia pasti akan mudah tergoda syahwat dan kemu
dia n mencandu seks. Manusia, terutama yang muda-muda, pasti
akan terhanyut tenggelam oleh arus hal ihwal yang erotis. Tentu,
ini baru dugaan, tapi lebih baik kami siaga.
Sebab kami, para juru sensor, sebenarnya tak ikhlas ketika Tu-
han memberi begitu besar kemerdekaan kepada Adam + Hawa
beserta keturunannya. Kami mendengarkan baik-baik kata
Allah,tapi kami tersenyum kecut ketika mendengar beberapa ka-
limat dalam Al-Baqarah bahwa Ia mengangkat manusia sebagai
”khalifah”-Nya di bumi.
Sebab, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin makhluk
yang lemah ini—yang kadang-kadang memandang dengan be-
rahi sebuah foto Happy Salma atau berpikir cabul tentang Tom
Cruise—bisa diandalkan sebagai wakil-Nya? Bagaimana mung-
kin kita harus merayakan kedaulatan manusia?
Hati kami menampik. Manusia tak bisa dipercaya. Tentu, ka
mi, para juru sensor, para alim ulama dan pengkhotbah moral,
Catatan Pinggir 9 121
http://facebook.com/indonesiapustaka SENSOR
juga manusia. Tapi rasanya kami lain: bahan kami mungkin lem-
pung yang lebih unggul. Jangan-jangan malah kami diciptakan
dengan campuran api. Kami memang oknum luar biasa. Buktin-
ya: kami telah dipilih Pemerintah Republik Indonesia sebagai se
kelompok kecil yang tentu tak akan tergoda bila menonton, mi
saln ya, adegan malam pengantin baru dalam film Berbagi Suami.
Sebab kami tak sembarangan. Kami yakin bahwa orang yang
buk an kami, mereka yang bukan juru sensor, akan rusak bila me-
lihatnya. Kalau tidak rusak, pasti bingung, atau salah paham.
Kasihan, ’kan? Karena orang-orang di luar gedung lembaga yang
luhur ini belum sematang kami. Mereka belum terdidik. Mere
ka lemah iman, suka melamun, bolos ibadah, penuh dosa, dan,
maaf, bodoh-bodoh. Mereka harus dilindungi.
Lagi pula mereka tak butuh kebebasan untuk memilih apa
yang akan mereka tonton, tak perlu kemerdekaan untuk berpikir
sendiri dan mengutarakan pendapat. Kebebasan itu kemewahan.
Atau dikatakan secara lain: kemerdekaan itu harus ada batasnya.
Kami tahu, mereka tak tahu mana batasnya. Sebab itulah
kami yang akan bikin rambu-rambu. Bagaimana cara kami mem
bikin, dan apakah rambu-rambu itu adil dan dapat dipertang
gungjawabkan—ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan. Pokoknya,
inilah tugas kami.
Ini tugas yang mulia, sebagaimana mutu diri kami yang mu-
lia. Kami menjaga manusia Indonesia dari pelbagai bahaya yang
mengancam mereka—dari bahaya masturbasi sampai dengan
bahaya aborsi, dari bahaya film biru sampai dengan koran ku
ning.Bukankah ada seorang tua yang mengatakan, (dan seperti
lazimnya orang tua, mengatakannya berkali-kali), kita sekarang
sedang diserbu ”gerakan syahwat merdeka”?
Tentu, sinyalemen itu menggelikan. Sebab sebenarnya tak ada
”gerakan”, tak ada aktivitas yang terarah dan terorganisasi. Yang
terjadi adalah dinamika kapitalisme: ketika ekonomi pasar mu-
122 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SENSOR
lai bangkit, tampak celah-celah untuk memasarkan hal-hal yang
terkait ”syahwat”. Tapi jika kata ”gerakan” dipakai, itu cuma ba-
gian dari sebuah bualan—sebuah siasat retorika untuk membuat
orang dag-dig-dug. Sedikit menyesatkan tak apa-apa, asal tujuan
tercapai.
Namun ada ”gerakan” atau tidak, lebih baik kami mendahu-
lui: kami harus tegakkan benteng. Lebih baik kami awas, sejak
awal.
Sebab manusia terlampau lembek. Harus kami katakan, Tu
han salah. Tuhan terlalu optimistis. Itu juga yang diutarakan
sangPengusut Agung dalam satu bagian novel Dostoyevsky yang
termasyhur itu, Karamazov Bersaudara.
Dalam cerita ini, kardinal di Sevilla, Spanyol, yang berusia 90
tahun, dengan bengis dan yakin menangkap orang yang dituduh
murtad, mengusut imannya sampai sejauh-jauhnya, dan memba-
karnya hidup-hidup. Tiap hari, api unggun tampak di mana-ma-
na. Orang ketakutan, sampai akhirnya Yesus sendiri turun kem-
bali ke bumi untuk membebaskan mereka.
Tapi sang Kardinal tak gentar. Ia juga tak menyesal. Malah ia
berani bicara agresif kepada Tuhan: ”Apa yang Paduka telah ta
warkan kepada manusia? Apa yang dapat Paduka tawarkan? Ke-
bebasan? Manusia tak dapat menerimanya. Manusia butuh hu-
kum-hukum, sebuah tata yang mapan yang terperi untuk seterus
nya, yang akan menolongnya membedakan yang sejati dan yang
palsu....”
Membangkangkah dia? Bukankah sang Pengusut melakukan
semuanya untuk menyelamatkan dunia? Jawabnya ”ya” dan ”ti-
dak”.
Dalam Kitab Suci, ada cerita bahwa Iblis, yang merasa tak ter-
buat dari lempung, melainkan dari api, menampik untuk meng
ikuti Tuhan yang memberi kepercayaan kepada manusia. De-
ngan demikian bisa dikatakan, sang Pengusut Agung tak tampak
Catatan Pinggir 9 123
http://facebook.com/indonesiapustaka SENSOR
berbeda dari Iblis. Tapi apa salahnya? Kami bukan Iblis, na
munkami juga sepakat dengan sikapnya yang memandang ma-
nusia sebagai makhluk yang tak dapat diandalkan. Sebab itu-
lah kami ada: manusia harus dijaga, dilindungi, diawasi, diatur,
dikekang....
Dunia mencemaskan. Dunia dan manusia gampang berdosa
dan najis. Mencatat semua itu memang bisa sama dengan mera-
gukan, layakkah Tuhan diberi ucapan terima kasih dan kita ber-
syukur. Para juru sensor, yang duduk di ruangan gelap seperti se-
regu malaikat yang berwajah suram, tahu apa jawabnya.
Tempo, 3 Februari 2008
124 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KAYON
Setelah Duryudana mati, dan berangsur-angsur pagi
meluas, dan suara gamelan bertambah pelan, tancep ka
yon.Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-
tengah layar. Kisah berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal
belum diutarakan. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk
itu selesai.
Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal,
isyarat untuk penutup. Dari jauh bentuk itu mirip sebuah siluet
segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di gu
nungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon
rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi
menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk
teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada
harimau, banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain.
Juga wajah seram banaspati.
Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal,
tapi bertaut dalam satu misteri, sesuatu yang angker, tapi juga te
duh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di luar
nya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti-
hentinya, di kerimbunan yang agung itu hidup berlangsung an-
teng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir detik demi
detik seakan-akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit
dan jam seakan-akan diinterupsi dan distop. Segala hal seakan-
akan berada di luar waktu.
Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan ter-
libat dengan, peristiwa-peristiwa yang berubah dan terkadang
mengguncang. Terletak terpisah tapi tak jauh dari medan peris-
tiwa, kayon adalah sebuah kontras.
Dalam wayang kulit, ketika dalang menghadirkan adegan
Catatan Pinggir 9 125
http://facebook.com/indonesiapustaka K AYON
majelis yang tertib di balairung atau sebuah pertempuran yang se
ru di tepi hutan, kayon akan terpasang di sisi layar, seperti menan
dai bahwa ada kehidupan yang bertentangan dengan kehidupa n
manusia yang tak henti-hentinya berubah dan resah. Meskipun
demikian, gunungan itu juga yang mengisyaratkan pergantian
bab ak atau adegan. Ironis, bahwa yang berada di luar waktu jus-
tru jadi tengara perubahan waktu.
Bahkan sesekali ki dalang akan mengangkat dan menggerak
kan kayon untuk melukiskan angin gemuruh, halilintar yang me
ngejutkan, dan saat keajaiban yang membuat seorang kesatria ja
di makhluk yang dahsyat.
Dengan kata lain, dengan gunungan, waktu yang tak kekal da
lam hidup manusia senantiasa dibayang-bayangi sebuah wujud
rahasia yang hadir di awal dan terpacak di akhir.
Barangkali karena itu Bharatayudha adalah sebuah tragedi.
Bukan karena perang besar itu sia-sia. Memang tak jelas apa sebe
narn ya arti kemenangan Pandawa dalam merebut kembali Kera-
jaan Hastina, jika akhirnya seluruh generasi kedua mereka terbu
nuh dan, ketika perang usai, seantero anggota keluarga dibantai
Asw atama di sebuah malam yang lengah.
Tapi Bharatayudha terasa sebuah tragedi karena kontras dan
ironi kayon tepat mengenai inti ceritanya. Lihatlah para kesatria
itu. Mereka jalani hidup yang berubah-ubah, yang tak mudah,
mereka masuk ke dalam sengketa yang menyakitkan dan buas,
mereka ambil keputusan-keputusan yang rumit dan musykil, ta
pi mereka tak akan dapat membatalkan perang yang mengerikan
itu. Sudah ditetapkan, Bharatayudha akan terjadi. Baik para Pan-
dawa maupun Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan ca
ra lain. Apa arti pilihan dan keputusan manusia di bawah Nasib
dan Kutuk yang permanen?
Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu
yang manakah manusia ketika ia menanggung sengsara atau ber-
126 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka K AYON
laku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari Na-
sib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di
dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan
masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada waktu se-
hari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membu
nuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah
waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun sejenak, biarpun tak
utuh.
Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang
melawan situasi tempat ia hidup, merombak kondisi yang mem-
bentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah sang
Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu
mungkin adalah Karna. Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi
ia berani maju menandingi para kesatria. Ia, seorang pendekar
yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih
berpihak kepada Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya
akan hancur. Tapi ia bebas.
Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika
Karn a berdiri sendiri memandang ke arah kayon. Wilayah itu tak
akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang
agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci raha-
sia, sepasang raksasa yang berjaga entah atas titah siapa, dan ma-
can, dan banteng, dan kera, dan burung merak... semuanya sua-
sana angker yang tak mempunyai bahasa.
Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan
waktunya sendiri. Lebih radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri
yang membayang dari gunungan itu—memutuskan untuk ber-
tindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang
Kala? Baginya semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit
untuk ditanggung. Ia tak terikat dengan sebuah masa lalu dan se-
buah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian
dengan orang lain: para Kurawa.
Catatan Pinggir 9 127