http://facebook.com/indonesiapustaka KAMAR
Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, menco-
ba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan
suara, dalam ”keramaian penjara sepi selalu”.
Tempo, 5 Juli 2009
428 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
ENDE, Flores. Beberapa meter dari pohon sukun yang
rind ang itu ada sebuah patung. Yang hendak dihadirkan
di atas pedestal itu sosok Bung Karno, yang pada 1933
dibuang ke kota ini.
Tak impresif. Warnanya yang menguning karena iklim me-
nambah kesan letih ke seluruh permukaannya. Tubuh itu kurus,
memanjang ke langit, yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai
gambaran Bung Karno yang menderita tapi bercita-cita.
Foto-foto yang tersimpan di Museum Bung Karno di kota itu
memang memperlihatkan seorang laki-laki yang ramping. Tapi
patung itu tampaknya tak ingin menggambarkan sang pemimpin
yang kurang gizi di pengasingan: bajunya yang khas, bersaku em-
pat, dengan dasi, adalah baju ketika Bung Karno sudah jadi presi
den. Dan saya lihat di sana Bung Karno memegang tongkat ko-
mando yang berujung kepala burung garuda—meskipun hewan
itu lebih mirip ayam jago yang lemas....
Saya duga sang pematung bukanlah seorang seniman yang
menguasai teknik—jika hal ini bisa disimpulkan dari ketidakmi-
ripan patung itu dengan tokoh yang dipatungkan. Wajah Bung
Karno itu bermata besar, berhidung runcing, dan tatapannya se-
perti gamang melihat dunia.
Tapi haruskah sebuah patung mirip dengan wajah orang yang
dipatungkan? Tidakkah sang pematung punya hak interpretasi?
Giacometti mungkin akan selamanya menampilkan sosok yang
seperti stalagmit kerempeng di gua-gua, meskipun seandainya ia
hendak mematungkan Sylvester Stallone. Botero akan selamanya
membuat tubuh jadi gemuk montok, meskipun seandainya ia
hendak menghadirkan Gwyneth Paltrow.
Monumen selamanya sehimpun tafsir. Patung Bung Karno
Catatan Pinggir 9 429
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
dan Bung Hatta di Taman Proklamasi yang diciptakan G. Si
dharta tidak persis seperti foto yang kita kenal tentang kedua
proklamator itu. Patung karya Sunaryo ke arah Bandara Soekar
no-Hatta juga akhirnya hanya simbolisasi tentang sang ”dwi-
tunggal”. Manakah yang ”benar”: patung Sudirman di Jalan Su
dirm an, Jakarta—tongkrongan yang gagah perkasa itu—atau
patung Sudirman di Jalan Malioboro, Yogya: tubuh dan wajah
yang prihatin dan sedikit lapar?
Monumen memang bukan untuk mengkopi dunia. Mungkin
tak ada yang ditirukan; yang ada hanya yang dijelmakan kembali
dari kesan, atau perasaan, tentang sesuatu.
Sebab tiap monumen mengandung politik ingatan. Tiap mo
num en merupakan hasil pergulatan antara yang dikehendaki ke
kuasaan di belakang pembuatan monumen itu dan ingatan ko
lektif: tiap monumen disertai niat membentuk apa yang diingat
orang ramai.
Wajah Gajah Mada yang tembam—yang kita kenal dari buku
sejarah, lambang Polisi Militer dan patung di Markas Besar Ke-
polisian Negara—mungkin bukan diambil dari dokumen ten-
tang tokoh politik Majapahit itu. Tak banyak catatan tentang
sang mahapatih. Ada lelucon bahwa wajah itu ditentukan oleh
Muh amad Yamin—tokoh politik yang suka menulis tentang se-
jarah itu—semata-mata karena ia menemukan sebuah topeng di
makam tua yang mirip dengan wajahnya sendiri. Tapi Yamin,
dengan posisinya sebagai ideolog nasionalisme Indonesia, bisa
merebut untuk dirinya otoritas di bidang sejarah. Ia pun berhasil
membuat kesimpulannya jadi sebuah ikon.
Tapi saya tetap merasa, patung Bung Karno di dekat pohon
sukun di Ende itu tak cocok. Mungkin masalahnya bukan mirip
atau tak mirip. Mungkin masalahnya monumen itu gagal dalam
meyakinkan bahwa ia mewakili sebuah tafsir tentang Bung Kar-
no.
430 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
Monumen adalah bagian dari seni publik—dan jarak antara
seni publik dan propaganda sangat dekat. Tiap propaganda pu-
nya dua kekuatan: kekuatan dari luar dirinya untuk membujuk,
dan kekuatan dari dalam dirinya untuk mencapai kemampuan
tekn ik yang menyebabkan orang ramai terbujuk dan yakin.
Itulah sebabnya karya-karya propaganda yang kita lihat pada
zam an Stalin di Uni Soviet dan zaman Hitler di Jerman dibuat
den gan teknik yang piawai. Kita lihat contohnya pada patung Pe
tan i Berbedil di Jakarta yang dibuat seorang seniman ”realisme
sosialis” Rusia. Yang hendak digambarkan adalah ide perangge
rily a Indonesia sebagai perang kaum petani—dan sebab itu sosok
itu bercaping dan tak berbaju. Kita tahu itu bukan citra umum
kita tentang para pejuang perang kemerdekaan. Tapi patung
itu dibuat dengan teknik tinggi. Kita tahu penyimpangan (atau
”dusta”?) selalu perlu tutup yang gemilang.
Patung Bung Karno di Ende: ia tak punya teknik yang tinggi,
tutup yang gemilang. Sengaja atau tidak, sang pematung justru
menunjukkan ia ingin mengagumi Bung Karno dan membuat
Bung Karno mengagumkan—tapi ia tak sanggup.
Tapi begitukah memang niatnya? Jangan-jangan faktor lain
berp engaruh. Monumen resmi memerlukan persetujuan pejabat
resmi. Sang pejabat tak peduli apakah yang ditampilkan di sana
bag us atau tidak menurut para kritikus patung. Baginya yang
penting adalah proyek itu berdiri, dengan anggaran tertentu—
yang mungkin diselewengkan.
Dengan kata lain: monumen tak hanya dibangun melalui po
litik ingatan, tapi juga politik pengabaian. Kekuasaan yang ada
di belakang pembuatan sebuah monumen berhasil mengabaikan
hal-hal ”estetik”—bahkan juga tujuan membangun monumen
itu. Kita pun tak peduli untuk apa patung kereta perang Arjuna
dan Kresna dibangun di dekat Monumen Nasional di Jakarta.
Kita hanya melihatnya.
Catatan Pinggir 9 431
http://facebook.com/indonesiapustaka MONUMEN
Artinya tiap monumen—juga patung Bung Karno di Ende
itu—punya cerita panjang, lebih ketimbang sepotong wajah.
Tempo, 12 Juli 2009
432 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TENTANG RAKYAT
Tentang rakyat, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Kata itu, seperti bagian penting dari mantra, punya efek
yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas. Seperti bagian
dari mantra, ia diulang untuk membuat orang terkesima, atau
tund uk, atau bersemangat. Tapi ia (sebagaimana mantra) akan
hilang tuahnya apabila diletakkan sebagai sebuah satuan sintakse
yang diurai maknanya. Di hadapan analisis, kata ”rakyat” akan
jadi sebuah problem.
Artinya (seperti arti kata umumnya) ternyata bergantung pada
bedanya dengan kata lain tempat ia dipasangkan. ”Rakyat” ber
artibagian penduduk yang tak sedang berkuasa dari sebuah nege
ri, bila kata itu disandingkan dengan ”pemerintah”. Tapi kata
”raky at” bisa berarti sebuah kekuatan tersendiri, juga di dalam
pem erintahan, seperti dalam istilah ”Republik Rakyat Cina”. Ka
ta itu juga bisa mengandung makna perlawanan terhadap yang
map an. Tapi ”rakyat” juga bisa berarti suara mayoritas yang, seba
gaimana lazimnya mayoritas, berkumpul di bagian tengah kurva
lonceng dalam statistik: sebuah tendensi di luar yang ekstrem.
Saya ingat sebuah sajak Hartojo Andangdjaja yang mencoba
mengutarakan apa itu ”rakyat”. Tapi sebagaimana layaknya puisi,
ia tak menawarkan definisi, melainkan imaji:
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
Catatan Pinggir 9 433
http://facebook.com/indonesiapustaka TENTANG RAKYAT
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta...
Rakyat ialah suara beraneka
Sajak itu—agak terlalu panjang bagi selera saya—saya potong
di bait itu. Tapi saya kira kita bisa menyimpulkan apa yang hen-
dak dikemukakan penyairnya: Rakyat adalah subyek. Tapi sub-
yek itu bukan terbentuk sebagai substansi yang sudah ada dan
akan selalu ada; rakyat bukanlah ”kehadiran” yang tegak sebelum
dan sesudah ”kemauan” atau ”perbuatan” atau ”keputusan”. Bagi
Hartojo, ”rakyat” lahir dari kerja, berpikir, mencipta. Subyek itu
hanya jadi subyek dalam praksis.
Dalam hal ini kata ”rakyat” sejajar dengan pengertian ”prole-
tariat” dalam pengertian Sartre: kaum proletar ”membentuk diri
nya sendiri dari aksi hari-ke-hari”. Ia ada hanya melalui aksi. ”Ia
adalah aksi. Kalau ia berhenti beraksi, ia buyar.”
Tentu saja ada beda antara gambaran tentang ”rakyat” dalam
sajak Hartojo dan asal-usul ”proletariat” dalam definisi Sartre.
”Rakyat” dalam puisi Hartojo lebih merupakan subyek produksi
dan kreasi ketimbang subyek politik. Rakyat sebagai subyek poli-
tik diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak ”buyar” (decomposed),
dengan kata lain: utuh dan tunggal, sedangkan rakyat dalam
imaji puisi Hartojo tidak. ”Rakyat adalah suara beraneka.”
434 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TENTANG RAKYAT
Dalam sejarah demokrasi, selalu ada pertemuan, perbenturan
dan persilangan antara rakyat sebagai subyek politik dan rakyat
sebagai ”suara beraneka”. Menjelang demokrasi modern lahir dari
rahim Revolusi Prancis, Rousseau mengatakan bahwa apa yang
membuat ”kemauan publik” bukanlah ”jumlah pemilih”, me-
lainkan ”kepentingan bersama yang menyatukan mereka”.
Persoalannya, kemudian, bagaimana ”menyatukan” suara
yang ”beraneka” itu. Robespierre, yang selalu cenderung untuk
bersikap ekstrem, mengambil kesimpulan bahwa ”kita perlu satu
kemauan yang tunggal”, une volonté UNE, seperti ditulisnya da
lam catatan pribadinya pada tahun 1793. Dari sini kita tahu apa
yang dilakukannya: teror terhadap mereka yang tak dianggap
men olak jadi tunggal, pembasmian mereka yang ”bukan-rakyat”.
Dipimpin Robespierre, Revolusi Prancis bisa membebaskan, tapi
juga bisa dengan bengis menghilangkan kebebasan.
Sebab orang seperti Robespierre merasa tahu betul apa yang
disebut ”rakyat” dan akhirnya terjebak: ia sendiri dipenggal oleh
mereka yang juga merasa mewakili ”rakyat”. Ia orang berniat
baik—sebagaimana banyak intelektual dewasa ini—yang kare-
na niat baiknya melihat rakyat sebagai subyek politik yang diberi
status ontologis: rakyat tak lagi sesuatu yang dibentuk oleh prak-
sis, melainkan yang membentuk praksis. Pada gilirannya, ”rak
yat”jadi bagian dari sebuah mitologi, atau setidaknya bagian dari
mantra.
Tapi demokrasi kemudian belajar: jika sistem ini bermula seb-
agai ”pemerintahan oleh rakyat”, ia berangsur-angsur menerima
bahwa ”rakyat” adalah sebuah subyek yang tak ”hadir”. Para pen-
dukung demokrasi memang sering terkecoh. Mereka alpa bahwa
rakyat adalah subyek yang, sebagai subyek, tak sepenuhnya bisa
diterjemahkan oleh bahasa. Ia bisa berganti-ganti maknanya—
sosokn ya, suaranya, lakunya.
Maka tak mengherankan bila percakapan dan debat—dengan
Catatan Pinggir 9 435
http://facebook.com/indonesiapustaka TENTANG RAKYAT
sik ap membela rakyat—yang kita ikuti di koran dan televisi sela-
ma ini bisa tiba-tiba dipergoki oleh kenyataan bahwa rakyat tak
mendengarkan hiruk-pikuk itu.
Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu
bisa bertanya: tentang rakyat, apa sebenarnya yang kita tahu?
Tempo, 19 Juli 2009
436 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TEROR ITU
Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita
marah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi
itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan me-
lukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marri
ott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis
jaw abnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya de
ngark an percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin
bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis kare
na tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah ta
nah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa dia bai
kan,atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang
sea kan-a kan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini tera n
cam— Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direk at
kanke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, ka
ren a pidato di televisi.
Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain.
Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner
itu—justru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada
di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan se-
perti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi
kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa
men gatakan, ”Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan
membuat saya tidak malu lagi.”
Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ke
timbang apa saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi
adalah ”Amerika”, atau ”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”,
atau ”kehidupan sekuler”, atau apa pun. Ketika kita merasa seper
ti kehilangan sebuah republik yang dibangun bersama—dengan
segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—teror itu prak-
Catatan Pinggir 9 437
http://facebook.com/indonesiapustaka TEROR ITU
tis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang be-
bas. Ia memusuhi Indonesia.
Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan mela-
wan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang
sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan,
juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu,
teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu.
Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton.
Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada
penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke
dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuas
an, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti
dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?
Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektaku
lerdengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang pe
nuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New
York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas.
Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen
itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya
mengh aru biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh (”Ameri-
ka”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk meng-
gerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak
punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.
Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing re
turn”. Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sam-
pai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika
ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali
membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa ber-
panjang-panjang membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.
Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry
Gilliam, horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan se-
buah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa pengha
438 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka TEROR ITU
ngatruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum se-
buah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene. Yang ter-
dengar melodi Aquerela do Brasil dari Ary Barroso yang riang dan
ringan. Teror telah demikian jadi bagian dari hidup sehari-hari
dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman entah berantah.
Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang disebut
oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita
tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald
”Harry” Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul
sejenak. Teror telah jadi seperti ”seni untuk seni”.
Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gil-
liam, di mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk se-
buah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai ter-
bentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenar
nya—sebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran
kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah
kesulitan, dan tak lebih dari itu?
Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang
kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih
berharga—sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri
yang aman dan demokratis—kita tahu siapa yang akan menang.
Kita. Indonesia.
Tempo, 26 Juli 2009
Catatan Pinggir 9 439
http://facebook.com/indonesiapustaka
440 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITESSE
DI sebuah TPS, pada pukul 9 pagi: para tetangga datang,
saling menyapa, saling senyum, bercakap-cakap agak
lirih, duduk menunggu dengan tertib, kemudian bergi
liran masuk ke ruang kotak suara, mencontreng, mencelupkan
jari ke tinta hitam, lalu melangkah ke luar, menyambung senyum
dan percakapan, tentang tetangga yang sudah pindah, tentang
anak yang baru menikah, tentang selokan yang belum diperbaiki,
tentang segala hal—kecuali tentang partai atau tokoh yang telah
dan akan dipilih hari itu.
Politik: apa gerangan ia sebenarnya? Di TPS itu tak ada gelora
yang berapi-api. Para militan dan partisan sedang mengubah diri
jad i warga RT (jangan lupa, artinya, ”Rukun Tetangga”). Poli-
tik seakan-akan berhenti jika politik, (das Politische, kata Carl
Schmitt) adalah sebuah arena kekuasaan, sengketa, dan antago
nisme. Tapi benarkah?
Berhari-hari sebelumnya kampanye memang menderu sega
nas deretan panser dalam perang yang, dengan bendera yang
angkuh,menembakkan kata-kata yang ingin menghancurkan.
Tap ipada hari itu, di TPS itu, para tetangga yang bertentangan
dalam menentukan pilihan dengan serta-merta tampak jinak:
orang-o rang yang saling mengucapkan selamat pagi. Mereka se
perti salingmengerti: pilihanmu adalah pilihanmu, pilihanku pi
liha nku. Nanti, menjelang sore hari, mereka akan dengan tegang
men anti hasil penghitungan suara, tapi setelah itu....
Beberapa minggu kemudian anggota DPR ditentukan, presi
den dan wakil presiden dilantik. Dan segera setelah itu tak terasa
lagi kemeriahan, gereget, dan semangat.
Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu
sebagai tingkat matang demokrasi sebuah kebajikan. Ada yang
Catatan Pinggir 9 441
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITESSE
menunjukkan bahwa ajang politik memang bukan medan tem-
pur. Bagi mereka ini, politik berbeda dari polimos atau perang.
Politik, bagi mereka ini, adalah ruang kemerdekaan dan partisi
pasi publik. Di sana orang ramai membahas, menimbang, dan
mem utuskan nasib bersama. Dengan kata lain, di TPS itu tam-
pak, apa yang ”sosial” dalam hidup manusia ternyata tak dihabisi
oleh ”politik”bahkan sebaliknya.
Tapi ada yang menganggap itu hanya façade. Antagonisme
memang bisa ditutup-tutupi oleh proses politik sebagai Politesse.
Dipergunakan oleh Schmitt, istilah itu menyarankan sebuah laga
yang sengit tapi sopan. Tapi bagi Schmitt dan para teoretikuspo
litikyang sepaham, politik tak sama dengan pertandingan Man-
chester United vs Chelsea. Sebuah masyarakat dan sebuah bangsa
terbentuk dari luar dan dari dalam oleh konflik. ”Saya menegas-
kan, politik dan polimos berjalan bergandengan,” kata Chantal
Mouffe.
Tapi jangan-jangan tak begitu sebenarnya, dan barangkali
kita di sini bertemu dengan sebuah hiperbol. Dalam pengamatan
sehari-hari, politik tak hanya bergandengan dengan polimos. Pada
akhirnya Mouffe sendiri mengatakan, berbeda dari Schmitt, ia
menga kui perlunya ”pasifikasi”: tujuan demokrasi adalah me-
mungkinkan bentuk-bentuk yang bisa mengekspresikan konflik
tanpa menghancurkan asosiasi politik.
Di TPS itu, senyum dan percakapan ikut membangun proses
sederhana yang mengelakkan sikap saling menghancurkan. Bah-
kan seakan-akan tempat itu jadi tempat silaturahmi atau bertan-
dang—meskipun kita tahu, dan orang pun akhirnya mengerti,
ada yang tak selamanya tuntas dalam Politesse. Selalu ada residu
dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada amarah yang
tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik ber-
jabat tangan.
Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai are-
442 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITESSE
na pertempuran, pengalaman sejarah memang tak pernah meng-
hadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh. Keragaman tak
han ya bisa tampak bagai variasi, tapi juga sebagai pertikaian,
bahkan perpecahan. Manusia bisa rasional, dan itulah dasar yang
membuat orang percaya akan efektifnya demokrasi ”deliberatif”.
Tapi manusia tak hanya—dan tak selama-lamanya—memben-
tuk bangunan sosial-politiknya hanya dengan berembuk.
Apa boleh buat. Krisis gagasan besar kini ada di mana-mana.
Juga agama tak selamanya bersuara dengan meyakinkan lagi. Ki
ta hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada kesadaran
yang meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemung-
kinan. Seorang pemikir pernah menyebut zaman ini sebagai ”the
age of contingency”.
Politik pada akhirnya adalah pengakuan akan kontingensi itu.
Kontingensi adalah sebuah lubang besar: tak ada jaminan yang
kekal tentang apa yang baik dan tak baik mengenai masyarakat.
Jaminan itu hanya terjadi bukan setelah (dan bukan sebelum) di-
perjuangkan. Salah satu bentuk perjuangan terjadi sebenarnya
ketika kita masuk ke ruang untuk mencontreng. Di situ kita se-
benarnya membangun jaminan dengan harapan yang setengah
yakin bahwa besok apa yang dibangun itu tak akan runtuh.
Di luar TPS itu tak ada jaminan apa-apa. Tapi setidaknya juga
tak ada pisau yang dihunus dan pistol yang dicabut. Yang kalah
akan bersungut-sungut, yang menang akan tersenyum puas, dan
masing-masing akan melanjutkan sikap waspada. Tapi ada satu
faktor yang sering dilupakan dalam politik pada zaman yang ser-
ba-mungkin itu: waktu.
Waktu membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, ber
ubah posisi atau mengantar kita ke kematian. Waktu membatasi,
tapi juga membuka pintu. Kita mencoba. Dengan kata lain, kita
mengambil langkah sementara. Dalam ”the age of contingency”,
demokrasi adalah politik dengan kesadaran akan kesementara-
Catatan Pinggir 9 443
http://facebook.com/indonesiapustaka POLITESSE
an—seperti hitam tinta yang melumeri kelingking kita di TPS
itu.
Tempo, 2 Agustus 2009
444 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SI BUNTUNG
JANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya su-
dah tak tahu lagi apa maksudnya.
Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berba
rengdengan itu orang lain berkata jihad itulah yang membe
narkan bila orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh.
Tiap tafsir bisa dibantah tafsir lain. Kepada siapa saya bisa minta
kata akhir tentang apa sebenarnya yang diperintahkan agama?
Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak
perlu dan tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom
yang diledakkan untuk membunuh dan bunuh diri itu justru
mungkin akan lebih jelas bila dilihat sebagai sesuatu yang tak da
pat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa.
Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran,
apalagi ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahu-
lu, dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka.
Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tam-
paknya tak terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Ka
ta ini tak menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”bun
tung”adalah lawan kata ”beruntung”. Seorang teman diBonn ta
dipagi mengirim sebuah tulisan Hans Magnus Enzensberg er dan
di sana saya menemukan apa yang saya maksud. Dalam bahasa
Jerm an Enzensberger menyebut si buntung ”Verlierer”; dalam ba-
hasa Inggris ”loser”.
Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam
kecelakaan yang niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya
sendiri. Enzensberger menyebut ”kapitalisme”, ”persaingan”,
”imperium”, dan ”globalisasi”, tapi kita bisa menambahkan bah-
wa terbentuknya negara-bangsa atau lembaga agama—bahkan
dalam sejarah kota dan banjar—juga menyebabkan ada orang-
Catatan Pinggir 9 445
http://facebook.com/indonesiapustaka SI BUNTUNG
orang yang terbuncang, tertinggal, kalah, bahkan separuh atau
seluruhnya hancur. Mereka yang luka. Si buntung.
Sejarah juga mencatat, si buntung bisa memilih untuk mene
rima nasib. Si korban bisa menuntut pampasan. Si kalah bisa me
nunggu kesempatan lain. Tapi ada yang oleh Enzensberger dise-
but sebagai ”si buntung radikal”: ia yang mengisolasi diri, menja-
dikan dirinya tak kelihatan, merawat khayal atau phantasma-nya,
menyimpan tenaga, dan menanti sampai saatnya datang.
Tapi saat itu bukanlah saat untuk menebus nasibnya yang pa
rah. Si buntung radikal, menurut Enzensberger, mengatakan ke-
pada dirinya sendiri: ”Aku buntung, dan tak bisa lain selain bun-
tung.” Ia tak melihat hidupnya berharga, dan tak memandang
hid up orang lain berharga pula. Maka ketika saat itu tiba dan ia
mengg ebrak, si buntung siap membinasakan orang lain sekaligus
dirinya sendiri.
Tapi agak berbeda dari Enzensberger, saya tak menganggap
bahw a seluruh momen penghancuran itu sebuah pernyataan ke-
beranian yang putus asa. Yang meledak juga bukan hasrat terpen-
dam untuk mengekalkan ke-buntung-an. Bukankah pada saat
itu, seperti dikatakan Enzensberger sendiri, akhirnya si buntung
radikal bisa melihat dirinya jadi ”tuan dari hidup dan kematian”?
Ia jadi seorang militan. Ia jadi subyek. Sejenak ia membebaskan
diri dari statusnya yang celaka: untuk memakai kata-kata dalam
sebuah sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati”.
”Ber-arti”, atau mendapatkan harga dan makna, itulah yang
diberikan oleh ajaran atau ideologi. Tentu saja karena ada keco
cokan antara si buntung radikal dan ajaran atau ideologi itu: pe
tua h dan petunjuk itu, tentang jihad atau perang, lahir dari tafsir
yang diutarakan dari sebuah situasi luka.
Enzensberger memaparkan luka itu—dalam sejarah Islam—
sebagaimana yang umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” ada
lah nama bagi sebuah peradaban, yang terjadi adalah sebuah ri-
446 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka SI BUNTUNG
wayat panjang tentang arus yang surut. Enzensberger mengutip
sajak penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali (1837-1914),
yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya
pad a abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan da
lam ilmu/tak menonjol dalam kriya dan industri”.
Yang kemudian berlangsung adalah Islam yang hanya memu
ngut, cuma meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui. Teruta
ma di dunia Arab, yang pada satu sisi bangga telah jadi sumberda
ri sebuah agama yang menakjubkan tapi di sisi lain terus-mene
rus menemukan kekalahan. Enzensberger menulis: ”Bagi setiap
orang Arab yang peduli untuk merenungkannya, tiap bendayang
kini hampir mutlak dipakai di kehidupan sehari-hari... mewa
kilisebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, tiap
pesawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk
teknologi tinggi”.
Bahkan terorisme—dari gagasan, gaya, serta peralatannya—
datang pada abad ke-20 dari ”Barat” yang mereka haramkan.
Lingkaran setan tak dapat dielakkan lagi. Yang terpuruk jadi
merasa tambah terpuruk justru ketika ingin membebaskan diri.
Dalam lingkaran itu kebencian pun berkecamuk—gabungan an-
tara kepada ”mereka” dan juga kepada diri sendiri. Tak meng
herank an, di wilayah ini, si buntung radikal berkelimun.
Akankah ada pembebasan? Mungkinkah pembebasan? Saya
percaya, jadi buntung bukanlah hukuman yang kekal. Tapi un-
tuk itu agaknya diperlukan sebuah lupa. Si buntung perlu tak
mengacuhkan lagi luka sejarah. Ia perlu melihat kekalahannya
seb agai bagian dari pengalaman dan memandang pengalaman
itu sebagai, seperti kata petuah lama, guru yang baik.
Tapi saya sadar, si buntung radikal akan sulit untuk bersikap
demikian. Terutama ketika ia menerima ajaran bahwa lukanya
adalah luka di luar sejarah. Maka bom diledakkan, surga yang
kekal dijanjikan, jihad ke kematian jadi langkah awal dan akhir.
Catatan Pinggir 9 447
Dan selebihnya beku. SI BUNTUNG
Tempo, 9 Agustus 2009
http://facebook.com/indonesiapustaka 448 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-...)
SAYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selama-
lamanya”, kecuali bahwa jasad itu dimakamkan, 7 Agus-
tus 2009, dalam umur hampir 74. Rendra tak pernah
mati: ia telah memberi kita puisi.
Lalu terdengarlah suara
di balik semak itu
sedang bulan merah mabuk
dan angin dari selatan.
Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi
deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan
sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat
pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak ter-
hingga. ”Tujuh pasang mata peri/terpejam di pohonan”. Imaji se-
perti itu terus-menerus tak bisa dibekukan oleh tafsir.
Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika
apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya—yaitu yang fantas-
tis, yang ganjil, yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi ke-
tika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa ber-
guna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena
kea daan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri.
Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorban
kanbanyak hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus
dikorbankan berkali-kali.
Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kri-
tik dan kearifan sosial yang menggugah, saya ingin mengenang-
nya lebih dari sekadar itu.
***
Catatan Pinggir 9 449
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-...)
Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpe
sona membaca sajak Litani Domba yang Kudus di majalah Kisah.
Sajak Rendra ini melantunkan pengulangan yang berbunyi se-
perti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang
tangkas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang terasa ak
rab—yang datang dari latar agama Katolik yang membesarkan
sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa ini, yang ditu-
lisnya sekitar hari sakramen pernikahannya dengan Sunarti Su-
wandi:
Di gereja St Josef
tanggal 31 Maret 1959
di pagi yang basah
seorang malaikat telah turun.
Seorang malaikat remaja
dengan rambut keriting
berayun di lidah lonceng.
Maka sambil membuat bahana indah
dinyanyikan masmur
yang mengandung sebuah berita
yang bagus.
Dan kakinya yang putih indah
terjuntai
Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun
1950-an lain. Puisi Rendra adalah sebuah kecenderungan naratif
yang unik, lincah, cerah, dan acap kali amat manis.
Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bah-
wa dalam sajak-sajak Rendra terdapat pengaruh kuat puisi pe-
nyair Spanyol Federico Garcia Lorca, yang di Indonesia waktu itu
diperkenalkan dengan bagus oleh Ramadhan K.H. Tapi orang
jug a bisa mengatakan, dalam puisi Rendra masa itu bergema lagu
450 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-...)
dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya itu menunjukkan, tak seperti
Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan
meninggalkan daratan, Rendra—seperti Lorca, seperti dolanan
anak-anak dusun—lebih akrab dengan lanskap yang terdiri atas
bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku
Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sa
habatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bah-
wa ia ingin ”tetap bergantung pada daun-daun, dan air sungai”.
Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani—mungkin karena mereka
datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau—la
ut adalah kemerdekaan, dengan risiko menghadapi malapetaka
dan kesendirian. ”Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah
asal dalam salah satu sajaknya, ”batu semua!”
Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggam-
barkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing de-
ngan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat.
Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di ha-
dapan ”sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam para
seniman yang meniru-niru ”jalang”-nya Chairil Anwar. Para
pemb untut macam itu, kata Rendra, hanya ”menjalang dengan
otak babinya”.
Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar.
Terh adap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. ”Konsekuen
sidari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Ka
wan,” demikian kata Rendra, ”adalah penghapusan undang-un-
dang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.”
***
Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bisa
berbicara tentang satu Rendra. Ia kemudian mempesona kita ke
tikaia berbicara tentang peran soal ”orang urakan”: orang-orang
yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban
hukum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ide-
Catatan Pinggir 9 451
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-....)
ologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para ”urakan” justru
berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembe-
basan.
Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan
lebih menarik ketimbang posisi pembela ketertiban. Meskipun ia
tak pernah memaki tanah asal sebagai ”batu semua!” sebagaima-
na Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tem-
pat tinggal, rumah, dan negeri asal.
Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak
akrab. Baginya kebudayaan Jawa adalah sebuah ”kebudayaan ka-
sur tua”: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur nye
nyak.
Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang
dik ecamnya adalah ”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira di
mulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa lalu lain, yang
menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tem-
bang-tembang kuno,” katanya, ”ada ajaran yang mengajak kita
untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada.”
Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana
yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ru
ci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan
”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sen
diri, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebuda
yaa n tradisional yang ada, kata Rendra, ”individu belum dikete
mukan”.
Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota
New York. Dari sana datang beberapa puisinya yang matang dan
memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie. Dalam se-
pucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia
mengatakan, ”Perubahan terjadi di dalam saya.... Adapun yang
paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah
ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang
452 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-....)
seh at untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”
Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman modern i
sasi”. Ia bersuara tentang agar orang Indonesia ”melawan alam”.
Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak Bengkel
Teater Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia
berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaima-
na di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan
bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang
ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Indi-
vidu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya
merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya
dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawan-
nya, kata Rendra.
Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawa
kan para sastrawan pada 1930-an, terutama oleh S. Takdir Ali
sjahb ana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika
menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia men
jelaskan kenapa harus ada ”konfrontasi” dengan ”faktor-faktor
keb udayaan” yang tidak mendukung pembangunan bangsa.
Rendra meneruskan ”firman modernisasi” itu.
Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, se
orang penganut Theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi
gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa
”akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya
akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Mazhab
Frankfurt melihat ”Pencerahan” yang membawa ”firman mo
dernisasi” pada akhirnya melahirkan penindasan.
Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gam-
baran tentang ”Timur” dalam idealisasi kaum Orientalis. Akhir
nya, sebagai kelanjutan sikap ”anti-Barat”, penyair Madah Kelana
itu memuja semangat Jepang yang fasistis.
Berbeda dari Sanusi, kaum inteligensia Indonesia yang hidup
Catatan Pinggir 9 453
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-....)
dalam dasawarsa 1970 dan 1980 punya acuan lain.
Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh
oleh Schumacher, dan Schumacher yang terpengaruh oleh Bud
dhisme, berbicara tentang perlunya ”teknologi madya”. Ini juga
masa ketika Arief Budiman mengedepankan ”teori dependenzia”
yang mengecam ”ketergantungan” Dunia Ketiga kepada modal.
Ini juga masa ketika Rendra mementaskan Mastodon dan Burung
Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik ”pemba
ngunanisme” kekuasaan ”Orde Baru”.
Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan ”modernisasi”
dan ”melawan alam” yang ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak
tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan mene-
tap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat ”teknologi madya”
yang merupakan ”Gandhisme baru” tampaknya tak bergema la
gi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana nege
ri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang mema
kai teknologi tinggi. Teori ” dependenzia” sudah ditinggalkan pa
ra teoretikusnya sendiri di Amerika Latin. Pembangunan sosialis
model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis
dengan gegap-gempita dan mencengangkan dunia.
Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah
memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari ”fir-
man modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat
dari kata-katanya: ”Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang
bertanya pada kehidupan.”
***
Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin men-
jebak kita dengan jawaban. Seorang penyair akan merasakan
gundah ketika orang ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa.
Rendra—di pentas selalu karismatis, suaranya memukau—
akan dengan gampang berada dalam status itu: seorang penyair
yang jadi intelektual publik karena keadaan yang tertekan me-
454 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-....)
maksanya demikian, dan seorang intelektual publik yang kata-
katanya berubah jadi khotbah karena orang ramai—dengan do-
rongan tersendiri—mendesaknya.
Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak
yang akan kekal dalam sejarah kesusastraan mana pun.
Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
”Sekarang kita bubaran
Hari ini khotbah tak ada”.
Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesak-desak
an. Mata mereka menatap bertanya-tanya. Mereka ingin benar
mendengar. Mereka pun berdesah, barbareng, dengan suara
aneh. Padri itu menyaksikan semua itu dengan cemas:
”Lihatlah aku masih muda.
Biarkan aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
Merenungkan keindahan Ilahi.”
Tapi orang banyak itu tak membiarkannya. Mereka tak mau
bubar. Mereka akhirnya mendesak, dan dalam sebuah orgi yang
Catatan Pinggir 9 455
http://facebook.com/indonesiapustaka RENDRA, (1935-....)
buas dan bernafsu, memperkosa sang padri, mencincang daging-
nya, memakannya, dalam suara gemuruh, ”cha-cha-cha, cha-
cha-cha...”.
Fantastis.
Jakarta, 8 Agustus 2009
Tempo, 16 Agustus 2009
456 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (2)
KADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang
ada dalam pikiran bapak saya beberapa saat sebelum ia
ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayang
kan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia
merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap
kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak keta
kutan di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu.
Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau
beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap
pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti ke-
beranian) pun punah: peluru-peluru menembus batok kepalanya.
Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah pulang lagi.
Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan
dan menangis. Hanya ibu yang teguh: seperti tiang rumah yang
ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan meng
ambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-
gesa itu.
Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat.
Ia mungkin sudah tahu, hidup suaminya akan berakhir seperti
itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah
menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai
bapak ke pembuangan nun di Digul, di Papua, yang tak terkira
kan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara tentang
suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya
sesekali berbicara tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-
saat ia seperti bertapa buat menetralisasi musuh-musuhnya (yang
tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada saat-saat ia mening-
galkan rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada saat-
saat ia tak putus-putusnya mendengarkan radio. Selama itu, ibu
Catatan Pinggir 9 457
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (2)
tak pernah berbicara tentang ”Indonesia”.
Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa itu—yang
terlibat langsung dalam pergerakan nasional sejak awal abad ke-
20—”Indonesia” sudah dengan sendirinya hadir dalam pikiran,
sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. Atau kata ”Indo
nesia” dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia
Belanda”. Karena setiap saat dalam aktivitas politik masa itu ada
lah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap
masuk penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati.
Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasade-
ngan praktis: mereka harus makan dan bersekolah. Hampir ha
nyaitu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak ada
pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira ju
ga saudara-saudara sekandung saya, dengan ingatan tentang ba
pak—dan bersama itu, diam-diam, ”Indonesia” pun menong-
krongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti.
Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa
pertautan dengan ”Indonesia”.
Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya
tak akan bisa merumuskan dengan fasih apa arti ”Indonesia” bagi
saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumus-
kan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap un-
tuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di negerinya—
misalnya melawan mereka yang menindas. Saya melihat Upik
dan Udin yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang
terhantam tsunami dan memasang bendera merah-putih kecil di
ransel mereka. Saya mengenal Tati dan Toto yang—meskipun
tak menyukai apa saja yang ”politik”—berkaca-kaca matanya ke-
tika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung.
Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena ta-
nah air adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: ha
rum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras
458 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka INDONESIA (2)
arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu
yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengen
dap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan diba
ngun,anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga
harapan akan melakukan sesuatu yang berarti.
Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak
merasa terpaut dengan tanah air yang mana pun. Saya kira, mere
ka yang bersetia kepada gagasan ”Darul Islam” yang tak berpeta
bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu
wilayah ke wilayah lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat.
Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah bagian dari bumi
dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi me
reka adalah segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan,
ruang dan waktu tertentu. Tak akan mengherankan bila ”Indo-
nesia” bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka seder-
hana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wi
layah diri. Tak ada yang lain.
Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi
betapa berbedanya dengan mereka yang merasa terpaut dengan
sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di depan
regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama ”Indonesia” de-
ngan tekad utuh. Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad
untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan negeri ini. Tapi
bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama,
yang hidup fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak per-
nah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata.
Tempo, 23 Agustus 2009
Catatan Pinggir 9 459
http://facebook.com/indonesiapustaka
460 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI
Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Stamford Raffles
memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemu-
kan Kerajaan Pagaruyung.
Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi
sejak orang Portugis mendatanginya pada 1648 ia tak pernah lagi
diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah keraja-
an dongeng, berlanjut sampai hari ini.
Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun.
Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah
dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Had
ler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles
mamp u merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi
sejarah, mungkin melalui ”a feat of archeological alchemy”. Maka
lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga
kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri
yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung.
Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengku
lu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa
saja yang ”India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan
Hind u-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam.
Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang
yang tak membangun apa-apa. Apalagi Islam, bagi Raffles, ada
lah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang
berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut
pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan se-
wenang-wenang di gurun pasir Arabia.
Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal
Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai
Mek ah sejak 1806 sampai 1812 mengumandangkan ajaran yang
Catatan Pinggir 9 461
http://facebook.com/indonesiapustaka PADRI
menampik tafsir apa pun tentang Quran. Mereka dengan keras
men untut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan
Hadis, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir),
dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan
tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham.
Pada masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang.
Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang
matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah se
orang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari
tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wila
yah pedalaman Sumatera Barat itu.
Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku
Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membu
nuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan
sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan
dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura
mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga
Kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.
Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah
sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan baru ha
bis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat?
Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari
bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri.
Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan
lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekalipun tetap sebuah jalan:
tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapas
an, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah ben-
tuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam
jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dike-
hendaki kaum Padri.
Orang yang cukup arif untuk menerima ketidaksempurnaan
itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs—yang
462 Catatan Pinggir 9
PADRI
dipuji sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku ter-
baik tentang Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir—me-
nampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini.
Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan
Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah
bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol,
yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkanhasil
jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Ga
dang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan.
Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi
pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang
emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya.
Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran.
Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bagai
man a pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya
sesuai dengan Quran? Selama delapan hari ia merenung dan
akhirn ya ia mengirim empat utusan ke Mekah. Pada 1832 utusan
itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran
yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih.
Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar
para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perda-
maian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak
akan mengganggu kerja para kepala adat. Sebuah kompromi be-
sar berlaku. Pada 1837, administrator Belanda mencatat bagaima-
na masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan
Imam Bonjol itu: ”Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”.
Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri—
juga seandainya perang Padri diteruskan. Pagaruyung tersisa atau
http://facebook.com/indonesiapustaka tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada se
suatu yang tetap bertahan dari masa lampau—sesuatu yang tak
tertangkap oleh hukum apa pun, sesuatu Entah yang ada bersama
sejarah.
Tempo, 30 Agustus 2009
Catatan Pinggir 9 463
http://facebook.com/indonesiapustaka
464 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MODERNITAS
DI kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer me-
nonton wayang. Atau ia memperhatikan orang menon-
ton wayang.
Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di
sepetak lapangan, layar dipasang dan batang pisang dibaringkan.
Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola lam-
pu 100 watt?) menyala di atasnya.
Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap,
tanpa beskap, tanpa keris. Para pangrawit mulai memainkan ga
melan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik kebersaha-
jaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasing
an itu para tahanan menatah sendiri wayang mereka dari kulit
sap i yang mereka ternakkan, dengan pahat kecil yang diraut dari
besi sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi.
Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu ber
gembira.
Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang
dim uat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I, ia anggap wa
yang—juga gamelan dan tembang—”membawa orang tertelan
oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak...”.
Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau domi-
nan. Padahal manusia-lah yang harus mengambil peran, bukan
para dewa:
Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon. Pukula n gong peng-
habisan. Selesai segala-galanya! Para dewa, brahmana dan satria
kembali masuk ke kamp us ki dalang. Akal dan perasaan bertam-
bah jenuh dengan pengalama n ulang. Dengan bersinarnya mata
hari kembali terhalau para dewa, brahmana dan satria dalam
Catatan Pinggir 9 465
http://facebook.com/indonesiapustaka MODERNITAS
perspektif bentuknya sendiri.
Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang ”me
mukau, mempesonakan, menyihir, mematikan kesadaran, me
matikan akal, membebalkan”. Dan setelah itu tak ada pembebas
an.
Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masy
gul seandainya tahu pandangan sastrawan besar itu. Tapi Pra
moedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia
yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (de-
ngan Marxisme) bergema keras bersama cita-cita kemerdekaan
nasional.
Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Ba
gin ya, telah tiba zaman yang mengharuskan bangsanya mema
sukidunia ilmu empiris (”Ilmu Bukti”). Tan Malaka menganggap
kisah anak panah Sri Rama ”yang bisa menjelma jadi Naga” ha
nya”menggelikan hati”. Bahkan bisa membuat marah. Sebab,
”... kepercayaan pada kesaktian semacam itu, yang bisa diper
oleh manusia, pada urat akarnya memadamkan semua hasrat dan
minat terhadap Ilmu Bukti.”
Tan Malaka berseru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong
100 inci,” katanya dalam Madilog, ”yang bisa melihat kesemua
penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya...!”
Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat
kepada modernitas itu. Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja
menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremehkan ra-
sionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan
fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tu-
buh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari abad ke
abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa
466 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka MODERNITAS
tak terduga-duga, tak pernah kering.
Di Indonesia yang ingin meninggalkan ”keterbelakangan”, si-
kap Pramoedya dan Tan Malaka sikap yang lumrah. Mereka tak
mengalami sebuah situasi ketika ”kemajuan” justru tampak seba
gai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, se-
perti dalam gambaran ”Malaikat Sejarah” Walter Benjamin.
Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia
II, menyaksikan modernitas yang muram: hidup yang melangkah
dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi instru-
men untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan.
Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang
bisa juga melihatnya sebagai progresi ke arah hidup yang bak di
sek ap ”kerangkeng besi”, tunduk kepada kalkulasi dan tuntutan
efisiensi.
Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mereka
benar. Tapi kaum Marxis-Leninis kemudian juga ikut pola ”ke
majuan” itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen dan ter-
ukur. ”Rencana Lima Tahun” dilaksanakan dengan gemuruh.
Mereka bentang ruang jadi bidang yang abstrak agar bisa difor-
mat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni dan imaji-
nasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagai-
kan alam semesta dijadikan dalam Genesis baru—tapi bersama
itu, sebuah ”kerangkeng besi” mengungkung semuanya.
Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak
dua abad sebelumnya. ”Postmodernisme” hanya memberinya
tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak berkali-ka-
li, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Fou-
cault, belum ada yang menjawab: bisakah kita mengalahkan do-
rongan yang melahirkan modernitas ala Eropa itu—yang men-
janjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat?
Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu.
Jangan-jangan yang bisa dilakukan hanya memulihkan kemba-
Catatan Pinggir 9 467
http://facebook.com/indonesiapustaka MODERNITAS
li pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegup—seperti
ketika kita membaca puisi—dan menebusnya sejenak dari ceng-
keraman rasionalitas sang penakluk.
Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras moder-
nitas, namun terus dengan (dalam kata-kata Benjamin) ”daya
m essianik yang lemah”, schwache messianische Kraft. Di sana kita
sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun ber-
juang kembali, meskipun tak bisa selamanya kukuh....
Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang
terbelah, Kunti yang tak setia tapi ibu yang teguh, Bisma yang
memb uang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan ki
sah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pra
moed ya tak menyukainya.
Tempo, 6 September 2009
468 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka YUDISTIRA
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang
terik di hutan pekat itu, Yudistira menemukan keempat
adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua sau
dara kandungnya seibu, Bima dan Arjuna. Lebih ke utara terda
pat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadewa. Kedua
nya adik yang lain: putra Pandu dari Ibu Madrim.
Yudistira terenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas
pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia
den gar suara berat yang tak tampak sumbernya.
Suara itu mengatakan, keempat kesatria itu mati karena me-
langgar larangan: mereka telah diberi tahu untuk tak meminum
air telaga itu, tapi mereka dengan penuh percaya-diri, bahkan
angkuh melawan pantangan itu. Yudistira sebaiknya tak mela
kukan hal yang sama, kata suara gaib itu. Ia harus menjawab leb ih
dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air danau.
Yudistira bersedia. Dalam Mahabharata ada beberapa perta
nyaa n yang dimajukan, tapi di sini saya kutip saja yang terakhir,
yang paling menentukan.
Kata suara gaib: ”Salah satu dari adikmu akan segera kuhidup-
kan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudistira?”
Yudistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilih
anyang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih:
”Nakula”.
”Nakula?” suara itu heran. ”Bukan Bima, saudara kandungmu
yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan ga
jah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
”Bukan,” jawab Yudistira, kata-katanya semakin mantap. ”Se
babyang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuata n.
Catatan Pinggir 9 469
http://facebook.com/indonesiapustaka YUDISTIRA
Pelindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku,
yang selamat dan hidup, adalah putra Kunti. Sudah sepatutnya
putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku.”
Mendengar jawaban itu, suara itu pun raib, dan muncullah
Batara Yama di depan Yudistira. Dewa Maut itu dengan mesra
mem eluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung
Pand u itu. Tak ayal, keempat jenazah itu tak hanya Nakula dihi
dupkan kembali.
Ketika saya baca lagi fragmen Mahabharata ini, saya merasa
Yudistira, seorang penjudi yang gagal, sadar: ketika ia memilih, ia
ibarat melempar dadu. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa
hid up adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya.
Tak jelas arahnya. Absurd.
Sebab di tepi telaga itu Yudistira sebenarnya tak tahu, muka
man a dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkan-
nya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nan-
ti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, tapi aku tak ta-
kut. Aku siap.
Pada saat itu ia jadi manusia yang mendekati Zarathustra da
lam puisi Nietzsche: baginya keluasan langit ibarat meja para de
wa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat
angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang mema
toknya dengan tujuan dan menambatnya ke dalam hubungan
kausalitas. Dalam hidup, yang bergerak adalah ketidak-pastian.
Yudistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, ia bukan
”pem ain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk ge
langgang dengan bersenjata teori probabilitas. Yudistira tidak.
Itukah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para
Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membi
ngungkan? Itukah sebabnya ia mau menghadapi lawan judi yang
tangguh dan curang, Sengkuni?
470 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka YUDISTIRA
Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yud is
tira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu—yang kelak jadi
benih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada
strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang dite-
baknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap
lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu ja
tuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan.
Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudistira berani, tapi ia bersalah. Ia jadikan hartanya, keraja
annya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya istrinya, ba-
rang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan. Memang ia tam
pildengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas se-
raya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ih
wal.Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpang
gil untuk memikirkan sesama yang lain.
Kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak,
hari itu Yudistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan
Sengkuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pa-
sif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh ha
ti: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bima dan harapannya
kep ada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektivitas yang kuat. Tapi saat itu
dharma-nya bukanlah aktualisasi ”aku yang teguh”, melainkan
sesuatu yang digerakkan oleh rasa hidup yang tak terhingga, yang
membuatnya ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas
asal-usul. Ia merasakan kasih ada harapan, justru dalam cemas
dan ketidaklengkapan.
Mungkin itu sebabnya dalam Mahabharata, Yudistira adalah
kesatria yang ganjil. Ia raja yang menganggap diri pendosa; be-
gitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali
ke tangan keluarga Pandu. Baginya, perilaku para kesatria, kasta
Catatan Pinggir 9 471
http://facebook.com/indonesiapustaka YUDISTIRA
pend ekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa
makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan
bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci
tentang manusia, kasta dan perannya. Tapi seperti dikatakannya
kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan
Nyoman S. Pendit), ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan
mempelajari kitab-kitab suci”.
Tempo, 13 September 2009
472 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KRISIS
IA hadir tapi ia asing di kantor itu: seorang bekas gerilyawan
di kehidupan yang ditentukan oleh daftar absen. Oleh pukul
8-13. Oleh lajur lurus di permukaan kertas.
Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan
bagus oleh A.N. Alcaff) akhirnya hanya duduk: bingung tak tahu
mau apa, malu pada diri sendiri dan nyaris putus asa. Revolusisu-
dah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau hidup, ka
lah atau menang, menyerah atau berkorban, kini jauh. Yang di
saksikannya cuma kemenangan yang diborong si culas dan kor
ban yang jatuh tanpa ada hubungannya dengan usaha kemerde
kaan.
Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya me
rumuskan zamannya: si ”bekas pejuang” (kata itu lazim waktu
itu)makin tampak sebagai bekas, dan arti ”pejuang” makin jadi
kab ur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak melakukan
hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer repub
likyang ditegakkannya.
Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang
”norm al”, dan normalisasi memang membasmi yang dianggap
ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di antara mereka yang
tersisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan pedih,
dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi
telah hilang—perasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut ”ro
yan”,mirip yang dialami seorang ibu sehabis melahirkan, seperti
dilukiskannya dalam novelnya Royan Revolusi.
Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya di
utarakan: ”krisis”. Koran dan majalah di Jakarta masa itu gemar
menyebutnya—seakan-akan Indonesia seperti tergambar dalam
film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang hidup
Catatan Pinggir 9 473
http://facebook.com/indonesiapustaka KRISIS
yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan
tak ada jalan keluar.
Para cendekiawan juga bicara. Soedjatmoko menulis dalam
majalah kebudayaan yang baru terbit pada Agustus 1954, Kon
frontasi, dengan kalimat seperti ini:
Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh rakyat kita
sekarang ini tidak lain merupakan gambaran dari apa yang ter-
lihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan... gejala-gejala...
kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan, dan lenyapnya
nilai-nilai.
Mulanya ia berbicara tentang ”krisis” dalam sastra Indone-
sia, tap i keadaan sekitar juga ia lihat gawat tampaknya. Kini kita
tak mudah membayangkannya. Seorang cendekiawan lain, Boe
joengSaleh, tak sepenuhnya menyetujui tulisan di Konfrontasi
itu. Dalam majalah Siasat pada bulan yang sama ia membantah
Soed jatmoko. Tapi ia juga bicara tentang ”krisis”.
Untuk memajukan kesusastraan agar lebih mendekati ke
ingina n-keinginan kita (yang akan selalu bertambah besar), perlu
diadakan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini....
Kita bisa melihat, kedua suara itu praktis paralel. Keduanya
bersungguh-sungguh. Dengan catatan: dalam banyak hal Boe-
joeng Saleh lebih unggul. Argumennya menunjukkan ia punya
acua n ke sejarah sosial Indonesia. Pilihan katanya disertai tang-
gung jawab; ia tak cuma latah dengan kata ”krisis”. Bahasa Indo-
nesianya hidup dan lebih segar (ia pakai perumpamaan ”pisang
berkubak” dan ia perkenalkan kata ”gawai”). Dan bila Soedjat-
moko bicara tentang ”krisis kesusastraan” tanpa menunjukkan
contoh, Boejoeng Saleh menangkisnya dengan menyebut sederet
474 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka KRISIS
judul roman Indonesia mutakhir.
Jalan keluar dari krisis yang ditawarkan Boejoeng Saleh juga
terasa lebih tegas. Ia, seorang pendukung PKI yang piawai, me
ngatakan perlunya ”mengendalikan revolusi nasional demokratis
kita”. Soedjatmoko, yang tak datang dengan perlengkapan teori
Marxis-Leninis tentang ”dua-tahap-revolusi”, hanya menawar-
kan imbauan normatif yang sudah biasa: ”pengerahan tenaga na
sional yang bulat”, dengan ”melepaskan diri dari pertengkaran-
pertengkaran”. Ia terlampau gampang menganggap masyarakat
bisa ”bulat” dan hidup tanpa pertengkaran.
Tapi di sisi lain Boejoeng Saleh punya kelemahan seperti Soe
djatmoko: kedua cendekiawan tahun 1950-an ini memandang se-
jarah sebagai satu feuilleton. Riwayat manusia mereka lihat seba
gai sebuah kontinuitas dengan ruas-ruas yang tegas terpisah. Bila
mereka bicara tentang ”krisis”, mereka bicara tentang sebuah ruas
yang buruk dari cerita bersambung yang sama.
Saya kira akan lain analisisnya seandainya mereka memandang
sejarah sebagai cerita pendek yang berhamburan. Masing-masing
punya ”krisis”-nya, tapi juga punya yang ”bukan-krisis” dan
”kontra-krisis”. Tiap cerita mencoba, dengan sia-sia, menyatukan
multiplisitas yang tak tepermanai itu, tapi ragam yang ada senan-
tiasa tak konsisten.
Mengabaikan ragam itulah yang membuat orang bicara ten-
tang ”krisis”—atau ”keadaan terpuruk”—seraya melihat ”kini”
seb agai satu totalitas, sambil membandingkannya dengan totali-
tas sebelumnya. Bila mereka mengeluh, keluhan itu diterjemah-
kan sebagai ingatan. Nostalgia berkuasa: jika kita bicara tentang
orang masa lalu (Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan seterus-
nya), mereka selalu dikatakan lebih baik ketimbang generasi hari
ini.
Tak aneh jika banyak orang duduk, terenyak, melihat kini bu
kan sebagai kini, melainkan sebagai masa silam yang cacat. Se
Catatan Pinggir 9 475
http://facebook.com/indonesiapustaka KRISIS
perti Iskandar, mereka tak berbuat apa-apa. Sampai lewat jam
malam yang tak mereka tentukan. Sampai korban jatuh, kadang-
kadang tak sengaja.
Tempo, 20 September 2009
476 Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka NAMA ITU
PADA pertengahan abad ke-18, seorang yang menjelajah
kepulauan ini—dan melihat penghuninya yang berku-
lit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepa-
da diri sendiri: apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang
mereka diami?
Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor
Earl, memutuskan: ”Indunesia”. Tapi segera ia berubah pikiran.
”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak
lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama ”Indone-
sia”.
”Indonesia” sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of In
donesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada
2008 dan membentuk dokumen paling lengkap tentang gagasan
kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup de-
ngan saga sendiri.
Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya
dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengu
kuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari
nia t membuat konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia”
dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Ro-
bot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi akhirnya kita
mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, ketika
yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi,
berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi,
seperti gamelan disebut ”Kiai Tunggul”. Ia menghadirkan se-
buah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gen-
tar, gugup atau harap harap cemas.
Nama ”Indonesia” juga seakan-akan sesosok person. Ia tak
han ya menandai sebuah tempat. Ketika Bung Karno menyebut
Catatan Pinggir 9 477