The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

FS = CRR (3)
CSR

Likuifaksi diprediksi terjadi ketika FS  1 , dan likuifaksi tidak akan terjadi jika nilai FS  1.

3.2.3 Analisis Likuifaksi Metode Liquefaction Potential Index (LPI)

Indeks Potensi Likuifaksi atau Liquefaction Potential Index (LPI) adalah suatu indeks yang digunakan untuk
estimasi potensi likuifaksi yang menyebabkan kerusakan fondasi. Kerusakan fondasi akibat likuifaksi tanah sangat
dipengaruhi oleh tingkat keparahan likuifaksi. Dalam menghitung LPI, Iwasaki et al., (1978) berasumsi bahwa
tingkat kerentanan likuifaksi berhubungan dengan Ketebalan lapisan yang terlikuifaksi, Kedalaman lapisan (jarak
lapisan terlikuifaksi terhadap permukaan tanah), dan Jumlah lapisan dengan nilai faktor keamanan kurang dari satu
(FS < 1). Indeks potensi likuifaksi dihitung menggunakan persamaan oleh Iwasaki et al. (1981).

20 (4)

LPI = 0 F.w.(z).dz

dimana, F = 1 – FS untuk FS ≤ 1 dan FS = 0 untuk FS > 1, w(z) merupakan fungsi bobot yang bergantung
kedalaman yaitu w(z) = 10 – 0,5z dengan z adalah kedalaman dari permukaan tanah (dalam meter).

Tabel 1. Indeks potensi likuifaksi (Iwasaki et al., 1981)

Nilai Indeks Potensi Likuifaksi Klasifikasi Potensi Likuifaksi

0 < LPI ≤ 5 Rendah
5 < LPI ≤ 15 Tinggi
LPI > 15 Sangat Tinggi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari perambatan gelombang di titik penelitian S-1, S-2, S-3 dan S-4 dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4
menunjukkan perbandingan gelombang input dan gelombang di permukaan tanah. Gelombang dirambatkan akan
menghasilkan nilai percepatan maksimum tanah di tiap lapisannya, sampai akhirnya akan memperoleh nilai
percepatan tanah maksimum di permukaan tanah. Dari hasil analisis, didapatkan nilai pada masing-masing titik
penelitian yaitu sebesar 0,571 g di titik S-1, 0,143 di titik S-2, 0,234 g di titik S-3 dan 0,153 di titik S-4.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4. Hasil analisis perambatan gelombang (a) S-1 (b) S-2 (c) S-3 (d) S-4

620

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Setelah mendapatkan nilai percepatan tanah maksimum dilakukan analisis faktor aman yang diperoleh dari
perbandingan nilai Cyclic Resistance Ratio (CRR) dengan Cyclic Stress Ratio (CSR). Jika didapatkan nilai FS<1
maka dilakukan analisis likuifaksi menggunakan metode Liquefaction Potential Index (LPI).

Pada penelitian ini didapatkan nilai LPI sebesar 1,926 di titik S-2 dan 1,787 di titik S-3, sedangkan pada titik S-1
dan titik S-4 tidak terdapat potensi likuifaksi karena pada kedua titik tersebut didapatkan nilai LPI sebesar 0.
Berdasarkan nilai LPI yang didapat, seluruh titik penelitian dapat dikategorikan kedalam klasifikasi potensi
likuifaksi rendah. Hasil analisis nilai LPI pada titik S-2 dan S-3 penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel. 2 hasil analisis nilai LPI titik S-2 dan S-3

S-2 S-3

FS F w(z) F.w(z) LPI Pelapisan FS F w(z) F.w(z) LPI Pelapisan

0,155 0,845 9,921 8,382 0,664 1,220 0,000 9,700 0,000 0,000
0,317 0,683 9,731 6,648 1,262 0,932 0,068 8,200 0,554 0,830
1,095 0,000 0,000 0,000 0,000 2,347 0,000 6,800 0,000 0,000
1,525 0,000 0,000 0,000 0,000 0,801 0,199 6,000 1,196 0,957
2,057 0,000 0,000 0,000 0,000 3,190 0,000 0,000 0,000 0,000

LPI TOTAL 1,926 LPI TOTAL 1,787

5 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penyelidikan tanah, jenis tanah pada sekitar Danau Dendam Tak Sudah terdiri dari tanah
lempung dan juga tanah pasir. Nilai percepatan tanah maksimum (PGA) yang didapat yaitu sebesar 0,143 g – 0,571
g. Dari hasil analisis nilai LPI, dapat disimpulkan bahwa wilayah wisata Danau Dendam Tak Sudah berpotensi
rendah terhadap terjadinya likuifaksi dengan nilai 0 di titik S-1 dan S-4 serta sebesar 1,926 di S-2 dan 1,787 di S-3.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih banyak kepada Fakultas Teknik dan Program Studi Teknik Sipil Universitas
Bengkulu dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

REFERENSI
Andrus, R. D., dan Stokoe, K. H. (2000). “Liquefaction Resistance of soils from Shear Wave Velocity”. Journal of
Geotechnical and Geoenvironmental Engineering, 126(11), 1015-1025

Andrus, R.D., Stokoe, K.H., dan Juang, C.H. (2004). “Guide for Shear-Wave-Based Liquefaction Potential
Evaluation”. Earthquake Spectra, 20, 285-308

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). (2019). Katalog Gempa Bumi Signifikan dan Merusak
1821-2018. Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Jakarta

Elgamal, A., Yang, Z., dan Lu, J. (2006). Cyclic1D: a computer program for seismic ground response. Department
of Structural Engineering, University of California, San Diego

Farid, M., dan Hadi, A. I. (2017). “Measurement of Shear Strain in Map Liquefaction Area for Earthquake
Mitigation in Bengkulu City”. TELKOMNIKA, 16(4), 1597-1606

Google Maps. (2020). Wilayah Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu, http://www.google.com

Idriss, I. M., dan Boulanger, R. W. (2008). “Soil Liquefaction during Earthquakes. Monograph MNO-12”.
Earthquake Engineering Reseach Institute (EERI), Oakland, California

621

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Iwasaki, T., Tatsuoka, F., dan Tokida, K. (1981). “Soil Liquefaction Potential Evaluation with Use of the
Simplified Procedure”. International Conferences on Recent Advances in Geotechnical Earthquake Engineering
and Soil Dynamics

Mase, L. Z., Likitlersuang, S., dan Tobita, T. (2019). “Finite Element Liquefaction Site Response Analysis in
Bengkulu City”. Final Report of Collaboration Research, Research Affair, University of Bengkulu, Bengkulu,
Indonesia

Misliniyati, R., Mawardi, Besperi, Razali, M. R., dan Muktadir, R. 2013. “Pemetaan Potensi Likuifaksi Wilayah
Pesisir Berdasarkan Data Cone Penetration Test di Kelurahan Lempuing, Kota Bengkulu”. Jurnal Inersia, 5(2), 1-
10

Sugalang, Buana, T.W. (2012). “Potensi Likuifaksi Daerah Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu”. Buletin Geologi
Tata Lingkungan, 22(2), 87-100

622

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Respon Seismik dan Potensi Likuifaksi Berdasarkan Konsep
Perambatan Gelombang Seismik dan Simplified Energy
di Universitas Bengkulu

S. Agustina, L. Z. Mase*, Hardiansyah

Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Bengkulu, Bengkulu, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Gempa bumi merupakan fenomena alam yang dapat menimbulkan banyak kerusakan, salah satunya likuifaksi. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui respon seismik dan potensi likuifaksi di lingkungan Universitas Bengkulu. Terdapat 3 titik
lokasi penelitian, yaitu di Fakultas Teknik (S-1), Fakultas MIPA (S-2) dan GOR Universitas Bengkulu (S-3). Lokasi tersebut
memiliki perlapisan tanah yang tersusun atas tanah kepasiran pada kedalaman kurang dari 20 m, sehingga memungkinkan
likuifaksi dapat terjadi. Respon seismik dan potensi likuifaksi dianalisis menggunakan konsep perambatan gelombang seismik
dan simplified energy dari data Cone Penetration Test (CPT) dan kecepatan gelombang geser (Vs). Hasil penelitian ini berupa
perbandingan percepatan spektra pada masing-masing titik pengujian dengan SNI 1726-2019. Beberapa faktor penentu
likuifaksi seperti, rasio tekanan air pori (ru), faktor aman (FS) dan Maximum Kinetic Energy Density (MKED) juga
ditampilkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Fakultas Teknik (S-1) memiliki nilai percepatan
spektra tertinggi sebesar 0,954 g pada periode pendek yaitu 0,206 detik. Potensi likuifaksi paling tinggi dengan nilai ditemukan
pada daerah Fakultas MIPA (S-2) yang memiliki nilai FS paling rendah yaitu 0,225 – 0,779, nilai ru mendekati 1 dan nilai
MKED sebesar 2,7 – 3,7.103 Joule/m3 pada kedalaman dangkal (0 – 14 m). Hal tersebut mengindikasikan bahwa gedung-
gedung berlantai rendah atau gedung yang memiliki periode pendek di Universitas Bengkulu lebih rentan mengalami
kerusakan akibat gempa bumi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan menjadi bahan pertimbangan
dalam pembangunan gedung-gedung berlantai rendah di Universitas Bengkulu.

Kata kunci: Universitas Bengkulu, Respon Seismik, Likuifaksi, Gelombang Seismik, Simplified Energy

1 PENDAHULUAN

Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang paling sering terjadi di Kota Bengkulu. Kerusakan yang
ditimbulkan akibat gempa bumi tidak hanya berdampak pada bangunan gedung, namun juga terhadap struktur
tanah. Likuifaksi menjadi fenomena serius akibat gempa bumi yang dapat mengakibatkan banyak kerusakan.
Likuifaksi dapat berdampak pada kerusakan struktur tanah, selain itu juga dapat berdampak pada bangunan
diatasnya. Sehingga, perlu dilakukan penelitian-penelitian mengenai dampak kejadian gempa bumi untuk
mengurangi resiko yang ditimbulkan akibatnya.

Beberapa penelitian yang mengangkat permasalahan respon seismik dan potensi likuifaksi di Kota Bengkulu sudah
banyak dilakukan sebelumnya. Mase et al. (2018) menganalisis respon seismik pada perlapisan tanah di Universitas
Bengkulu menggunakan permodelan linier dan non-linier. Agustina, et al. (2019) menganalisis respon seismik pada
area sentral di Kota Bengkulu menggunakan permodelan linier. Penelitian lainnya yang membahas likuifaksi yaitu
penelitian Mase dan Hardiansyah (2019) di daerah Universitas Bengkulu dan Mase (2020) di daerah pesisir Kota
Bengkulu. Secara umum, penelitian yang dilakukan membahas respon seismik terhadap potensi likuifaksi. Namun,
penelitian yang membandingkan respon seismik model tanah dengan SNI 1726-2019 belum dilakukan. Selain itu,
analisis likuifaksi menggunakan metode simpiflied energy berdasarkan perhitungan energi kinetik juga masih
sangat jarang dilakukan.

Penelitian ini menganalisis potensi likuifaksi berdasarkan respon seismik di lingkungan Universitas Bengkulu.
Terdapat 3 titik pengujian menggunakan data Cone Penetration Test (CPT) dan kecepatan gelombang geser (Vs)
berdasarkan survei mikrotremor. Perambatan gelombang seismik pada permodelan satu dimensi dilakukan pada
penelitian ini. Potensi likuifaksi juga dianalisis berdasarkan metode simplified energy dari energi kinetik yang
ditimbulkan akibat perambatan gelombang seismik. Hasil penelitian ini berupa respon seismik yang dibandingkan
dengan SNI 1726-2019 pada kelas situs tanah di masing-masing titik pengujian. Hasil lainnya berupa rasio tekanan
air pori (ru), faktor aman (FS) dan Maximum Kinetic Energy Density (MKED) untuk menentukan seberapa besar

623

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

potensi likuifaksi dapat terjadi di Universitas Bengkulu. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman awal
dalam perencanaan gedung tahan gempa di Universitas Bengkulu.

2 AREA PENELITIAN
Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 Lokasi penelitian pada Gambar 1 terdapat 3 titik yaitu di Fakultas
Teknik (S-1), Fakultas MIPA (S-2) dan GOR Universitas Bengkulu (S-3). Lokasi penelitian tersebut ditandai
dengan penyemat berbentuk segitiga. Titik-titik tersebut dianggap dapat mewakili kondisi tanah di Universitas
Bengkulu yaitu pada tanah timbunan, tanah rawa dan daerah dengan perbedaan elevasi cukup tinggi.

Gambar 1. Lokasi penelitian (dimodifikasi dari Google Earth, 2020)

Penyelidikan tanah dilakukan dengan menggunakan pengujian Cone Penetration Test (CPT) dan survei
mikrotremor untuk mendapatkan nilai kecepatan gelombang geser (Vs). Hasil penyelidikan tanah dapat dilihat pada
Gambar 2. Secara umum, perlapisan tanah yang terdapat di Universitas Bengkulu tersusun atas tanah lempungan
(OH, CH dan CM) dan tanah kepasiran (SM dan SW). Nilai Vs pada daerah penelitian berkisar antara 300 – 450
m/s2. Adanya perlapisan tanah kepasiran pada area penelitian menjadikan area ini memiliki kemungkinan
mengalami likuifaksi. Pada titik S-1 tanah pasir ditemukan pada kedalaman lebih dari 11,5 m. Pada titik S-2
perlapisan tanah pasir SM dan SW ditemukan pada kedalaman 0,5 – 30 m, sedangkan pada titik S-3 tanah pasir
ditemukan pada kedalaman lebih dari 5,5 m.

3 METODE PENELITIAN

3.1 Perambatan Gelombang Satu Dimensi
Perambatan gelombang satu dimensi digunakan untuk mengetahui perilaku dinamis tanah akibat pengaruh
gelombang gempa yang melalui perlapisan tanah. Perambatan gelombang satu dimensi pada penelitian ini mengacu
pada konsep yang diusulkan oleh Elgamal et al. (2006). Gelombang input dari penelitian Mase et al. (2019)
dirambatkan pada permodelan lapisan tanah yang didapatkan dari perhitungan hasil pengukuran CPT. Gelombang
input tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Gelombang input tersebut merupakan gelombang input terskala yang
mempertimbangkan faktor seismisitas di Kota Bengkulu. Beberapa parameter yang dihasilkan dari perambatan
gelombang satu dimensi adalah tegangan geser, tegangan total, tekanan air pori, percepatan spektra dan besaran
nilai Peak Ground Acceleration (PGA). Parameter tersebut kemudian digunakan dalam perhitungan empiris potensi
likuifaksi.

624

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

(a) (b) (c)

Gambar 2. Hasil penyelidikan tanah (a) S-1 (Fakultas Teknik) (b) S-2 (Fakultas MIPA) (c) S-3 (GOR Universitas Bengkulu)

Percepatan (g) 0.4 PGAmax = 0,367 g
0.3
0.2 5 10 15 20 25 30 35 40
0.1
Waktu (detik)
0
-0.1 Gambar 3. Gelombang input terskala (Mase et al., 2019)
-0.2
-0.3
-0.4

0

3.2 Analisis Semi Empiris

Perhitungan empiris potensi likuifaksi dilakukan berdasarkan metode yang diusulkan oleh Idriss dan Boulanger
(2008). Berdasarkan studi kehandalan yang dilakukan Mase (2018), metode Idriss dan Boulanger (2008)
merupakan metode yang paling mendekati hasilnya dengan kejadian likuifaksi di Kota Bengkulu. Beberapa
rumusan yang digunakan dalam analisis likuifaksi adalah rumusan CRR dan CSR untuk menghitung FS seperti
yang ditunjukkan pada Persamaan (1), (2) dan (3) berikut:

CSR = 0,65rd amax σv 1 1 (1)
g σv' MSF Kσ

dimana CSR adalah rasio tegangan siklik, rd adalah faktor reduksi kedalaman, amax adalah percepatan maksimum, g
adalah percepatan gravitasi, v dan v’adalah tegangan geser dan tegangan efektif overburden, MSF adalah faktor

skala magnitude dan K adalah faktor koreksi overburden.

.CRR = exp [qc1Ncs + ( )qc1Ncs 2 – ( )qc1Ncs 3 + ( )qc1Ncs 4 – 2,8] (2)

113 1000 140 137

Dimana CRR adalah rasio tahanan siklis dan qcN1cs adalah nilai qc pasir bersih ekivalen terkoreksi.

625

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

FS = CRR (3)
CSR

Dimana FS adalah faktor aman. Likuifaksi dapat terjadi bila FS ≤ 1 (Youd dan Idriss, 2001).

Parameter baru yang digunakan dalam menganalisis likuifaksi adalah Maximum Kinetic Energy Density (MKED).
Perhitungan ini dilakukan berdasarkan konsep yang dikembangkan Jafarian dkk. (2008). Parameter tersebut
digunakan untuk mengetahui potensi likuifaksi berdasarkan konsep penyederhanaan energi menggunakan energi
kinetik. Jafarian dkk. (2008) menyebutkan bahwa permodelan energi kinetik memiliki trend yang sama dengan
permodelan tegangan menggunakan nilai CSR. Hasilnya memperlihatkan bahwa kedua model tersebut memiliki
zona likuifaksi yang sama. Sehingga, perhitungan MKED dapat digunakan untuk menganalisis likuifaksi.
Persamaan yang digunakan dalam perhitungan MKED dapat dilihat pada persamaan berikut.

MKED = 1 ρ a2max.e0,3M rd2 (4)
2

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis pada titik-titik penyeledikan tanah ditunjukkan pada Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6, secara
berurutan. Hasil analisis tersebut berupa perbandingan respon spektra, nilai rasio tekanan air pori (ru), nilai faktor
aman (FS) dan nilai MKED. Gambar 4 menunjukkan hasil analisis pada titik S-1. Pada Gambar 4, diketahui bahwa
perbandingan percepatan spektra pada perlapisan tanah SM dan SW di kedalaman 11,5 m dan 15 m cukup aman
bila dibandingan dengan desain spektra SNI 1726-2019 pada kelas situs tanah SC dan SD. Percepatan spektra
maksimum yang terjadi pada tanah SM adalah sebesar 0,818 g pada peride 0,211 detik. Sedangkan pada tanah SW,
percepatan maksimum yang terjadi adalah sebesar 0,954 g pada periode 0,206 detik. Pada titik S-1, potensi
likuifaksi dapat dikatakan rendah karena nilai ru < 1 dan FS > 1. Nilai MKED yang terjadi adalah sebesar 4 – 6.103
Joule/m3.

0.12 m S-1 1.4 Rasio Tekanan Air Pori Faktor Aman (FS) MKED (103.Joule/m3)
0.23 m SNI 1726-2019 [Tanah Ker as (S C)] (ru)
OH SNI 1726-2019 [Tanah Sed ang ( SD) ] 012 3 0 2 4 6 8 10
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 0
CH 1.2 SNI 1726-2019 [Tanah Lun ak (SE) ] 0
S-1 [d =11,5 m (SM)]
S-1 [d = 15 m (SW )] 2 22

CM 1 4 44

0.8 6 66

0.6

0.4

0.2

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Periode (det)
Percepatan S pektra (g)
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
8 88

11.27 m SM 10 10 10
11.69 m
12 12 12

14 14 14

16 16 16

18 18 18

SW 20 20 20

22 22 22

24 24 24

26 26 26

28 28 28

30.0 m 30 30 30

Gambar 4. Hasil analisis titik S-1 (Fakultas Teknik)

Pada titik S-2 (Gambar 5) percepatan spektra maksimum juga terjadi pada periode pendek yaitu pada periode 0,206
– 0,313 detik pada semua perlapisan tanah. Desain spektra cukup aman setelah dibandingkan dengan SNI 1726-

2019 pada kelas situs tanah SC dan SD. Pada titik S-2, potensi likuifaksi tinggi terjadi pada perlapisan tanah pasir
sedang (SM) karena memiliki nilai ru mendekati 1 dan nilai FS < 1 yaitu sebesar 0,225 – 0,779 pada kedalaman 0,5
– 14 m. Nilai MKED yang terjadi adalah sebesar 2,7 – 3,7.103 Joule/m3.

626

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

0.15 m S-2 1.4 SNI 1726-2019 [Tanah Ker as (S C)] Rasio Tekanan Air Pori Faktor Aman (FS) MKED (103.Joule/m3)
1.2 SNI 1726-2019 [Tanah Sed ang ( SD) ] (ru)
0.29 m OH SNI 1726-2019 [Tanah Lun ak (SE) ] 012345 0 2 4 6 8 10
0.49 m CH S-2 [d =3,5 m (SM)] 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 0
CM S-2 [d =6,5 m (SW )] 0
SM S-2 [d =13,5 m (SM)] 2 22
S-2 [d =20 m (SW)] 4
6 44
8
6.31 m SW 1 10 66
6.89 m 12
Percepatan S pektra (g) 14 88
Ke dalaman (m)16
Ke dalaman (m)18
Ke dalaman (m)20
0.8 22 10 10
SM 24
26 12 12
0.6 28
30 14 14

16 16

0.4 18 18

19.37 m 0.2 20 20
30.0 m SW
22 22
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 24 24

Periode (det) 26 26

28 28

30 30

Gambar 5. Hasil analisis titik S-2 (Fakultas MIPA)

Hasil analisis pada titik S-3 ditunjukkan pada Gambar 6. Pada titik S-3, desain spektra juga cukup aman setelah

dibandingkan dengan SNI 1726-2019 pada kelas situs tanah SC dan SD. Percepatan spektra maksimum juga terjadi
pada periode pendek yaitu pada periode 0,211 – 0,313 detik. Potensi likuifaksi di titik ini juga tergolong rendah
karena memiliki nilai ru < 1 dan FS > 1 dengan nilai MKED sebesar 4 – 7.103 Joule/m3.

S-3 Rasio Tekanan Air Pori Faktor Aman (FS) MKED (103.Joule/m3)
(ru)
OH 1.4 SNI 1726-2019 [Tanah Ker as (S C)] 0 1 2 3 0 2 4 6 8 10
CH 1.2 SNI 1726-2019 [Tanah Sed ang ( SD) ] 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 0
0.6 m SNI 1726-2019 [Tanah Lun ak (SE) ] 0
2.6 m CM 1 S-3 [d =5,5 m (SM)] 2 22
SM S-3 [d =18 m (SW)] 4
5.2 m 6 44
6.8 m 8
10 66
12
Percepatan S pektra (g) 14 88
Kedalaman (m)16
Kedalaman (m)18
Kedalaman (m)20
0.8 22 10 10
24
26 12 12
28
0.6 30 14 14
SW 0.4
16 16

18 18

20 20

0.2 22 22

24 24

0 26 26
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
28 28
Periode (det)
30 30
30.0 m

Gambar 6. Hasil analisis titik S-3 (GOR Universitas Bengkulu)

Secara umum, percepatan spektra maksimum terjadi pada periode pendek yaitu periode 0,206 – 0,313 detik.
Periode tersebut merupakan periode bangunan berlantai rendah (2 – 3 lantai). Gedung-gedung di Universitas
Bengkulu secara umum merupakan bangunan berlantai rendah dengan jumlah lantai 2 – 3 lantai. Sehingga, gedung-

gedung di Universitas Bengkulu memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap kerusakan akibat gempa bumi. Potensi

likuifaksi tertinggi terjadi di daerah Fakultas MIPA yang merupakan daerah sekitar rawa. Perlapisan tanah pasir

pada titik ini ditemukan pada kedalaman lebih dari 0,5 m. Likuifaksi juga diperkirakan dapat terjadi saat nilai
MKED lebih dari 2,7.103 Joule/m3.

5 KESIMPULAN
Perlapisan tanah di wilayah Universitas Bengkulu secara umum tersusun atas tanah lempungan dan tanah
kepasiran. Tanah kepasiran tersebut dapat berpotensi terlikuifaksi. Desain spektra pada masing-masing titik
penyelidikan cukup aman terhadap desain spektra berdasarkan SNI 1726-2019 pada kelas situs tanah sedang (SD)

627

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

dan tanah keras (SC). Nilai percepatan spektra maksimum adalah sebesar 0,954 g dan terjadi pada periode pendek.
Potensi likuifaksi tertinggi terjadi pada daerah Fakultas MIPA dengan nilai FS sebesar 0,225 – 0,779 dan nilai
MKED sebesar 2,7 – 3,7.103 Joule/m3 pada kedalaman 0,5 – 14 m. Kedalaman tersebut biasanya digunakan untuk
perletakan pondasi bangunan berlantai rendah. Bangunan berlantai rendah biasanya juga disebut sebagai bangunan
dengan periode pendek. Sehingga, berdasarkan analisis bangunan berlantai rendah di Universitas Bengkulu
memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada Universitas Bengkulu, untuk pendanaan
penelitian kolaborasi tahun 2020 yang mana studi ini merupakan salah satu cakupannya. Peneliti juga
mengucapkan terimakasih banyak kepada Fakultas Teknik dan Program Studi Teknik Sipil Universitas Bengkulu
dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

REFERENSI
Agustina, S., Anggraini, P.W., Fikri, M.N., dan Mase, L.Z. (2019). “Analisis Respon Seismik Area Sentral di Kota
Bengkulu”, 6th ACE Conference, Padang, Sumatera Barat, 29 Oktober

Badan Standarisasi Nasional. (2019). SNI-1726-2019 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan
Gedung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

Elgamal, A., Yang, Z., dan Lu, J. (2006). Cyclic1D: a computer program for seismic ground response. Department
of Structural Engineering, University of California, San Diego

Google Earth. (2020). Wilayah Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu, http://www.google.com

Idriss, I.M., dan Boulanger, R.W. (2008). “Soil Liquefaction During Earthquakes”. Earthquake Engineering
Research Institute (EERI), USA

Jafarian, Y., Vakili, R., Sadhegi, A.R., Sharafi, H., dan Baziar, M.H. (2008). “A New Simplified Criterion For The
Assesment of Field Liquefaction Potential Based on Dissipated Kinetic Energy”. The 14th World Conference of
Earthquake Engineering, Beijing China

Mase, L.Z., dan Hardiansyah. (2020). “An Implementation of Numerical Analysis in Predicting The Liquefaction
Potential On Soil Sites In University Of Bengkulu, Indonesia”. Civil Engineering and Built Environment
Conference 2019. 191-201

Mase, L. Z., Likitlersuang, S., dan Tobita, T. (2019). “Finite Element Liquefaction Site Response Analysis in
Bengkulu City”. Final Report of Collaboration Research, Research Affair, University of Bengkulu, Bengkulu,
Indonesia

Mase, L.Z., Mawardi, and Amri, K. (2018). “A Comparison of Soil Models for Seismic Response Analysis (A Case
Study in Soil Sites in University of Bengkulu, Indonesia)”, Seminar Nasional Inovasi, Teknologi dan Aplikasi
2018, 227-235

Mase, L.Z. (2018). “Studi Kehandalan Metode Analisis Likuifaksi Menggunakan SPT Akibat Gempa 8,6 Mw, 12
September 2007 di Area Pesisir Kota Bengkulu”. Jurnal Teknik Sipil ITB, 25(1). 53-60

Mase, L.Z. (2020). “Liquefaction Potential Analysis Based on Nonlinear Ground Response on the Coastline of
Bengkulu City, Indonesia”. Makara J Technol, 24(1), 34-42

Youd, T.L., dan Idriss, I.M. (2001). “Liquefaction Resistance of Soils: Summary Report from The 1996 NCEER
and 1998 NCEER/NSF Workshops on Evaluation of Liquefaction Resistance of Soil”. Journal of Geotechnical and
Geoenvironmental Engineering Div, ASCE, 127(4), 297-313

628

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Numerik Perkuatan Lereng dengan Menggunakan
Barisan Tiang Pancang dan Cerucuk pada Tanah Clay Shale di Kalimantan

I.T. Pratama*, A.Y. Arif

Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Clay shale merupakan salah satu jenis batuan sedimen penyebab tanah longsor dibeberapa daerah di Indonesia karena sifatnya
yang mudah lapuk ketika terekspos air. Sehingga, metode penanganan berupa pemancangan tiang diperlukan untuk mencegah
pergerakan tanah lanjutan. Lereng di lokasi studi kasus ini memiliki kemiringan rata-rata 1V:10,5H dengan jenis tanah
eksisting dominan lempungan yang merupakan hasil pelapukan clay shale. Analisis kestabilan lereng jangka pendek dengan
bantuan program metode elemen hingga dua dimensi dilakukan pada lereng pasca tanah longsor yang terjadi akibat
penimbunan berlebih. Analisis balik pertama-tama dilakukan untuk memperoleh parameter material deposisi tanah longsor dan
juga tanah eksisting. Hasil analisis menunjukan bahwa pola keruntuhan yang terjadi berupa longsoran translasi dengan faktor
keamanan lereng pasca longsor adalah 1,05. Direkomendasikan penggalian sedalam 3 m dan pemasangan struktur perkuatan
berupa pemancangan barisan tiang pipa baja dan cerucuk untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan lereng. Faktor
keamanan lereng yang diperoleh di Zona I di mana perkuatan lereng berupa cerucuk dan barisan tiang pancang digunakan
adalah 1,29, sedangkan di Zona II di mana perkuatan lereng hanya menggunakan cerucuk, faktor keamanan lereng adalah 1,25.

Kata kunci: Longsoran Translasi, Faktor Keamanan, Kestabilan Lereng, Metode Elemen Hingga

1 PENDAHULUAN

Clay shale merupakan salah satu jenis tanah problematik yang menjadi salah satu penyebab terjadinya tanah
longsor di Indonesia. Clay shale memiliki karakteristik mudah lapuk ketika terekspos udara atau air secara
langsung sehingga mengakibatkan penurunan nilai kuat geser tanah (Gouw, et al., 2019). Gartung (1986)
menyatakan bahwa dalam kondisi awal (unweathered), nilai sudut geser clay shale dapat mencapai 41° sedangkan
nilai kohesinya mencapai 85 kN/m2. Sebaliknya, pada saat kondisi lapuk (weathered), clay shale memilki nilai
sudut geser residu sebesar 9° dan kohesi mendekati nol. Hal ini berimplikasi pada penurunan nilai kuat geser tanah
dan kemampuan tanah untuk menahan tegangan geser yang terjadi akibat berat sendiri tanah dan beban luar.
Sehingga, perkuatan lereng berupa tiang pancang atau cerucuk diperlukan untuk memberikan gaya penahan
tambahan.

Pada makalah ini akan dipaparkan sebuah studi kasus kegagalan suatu lereng pertambangan di Kalimantan Timur
akibat penimbunan berlebih di atas lapisan tanah clay shale. Selain itu, hasil analisis numerik berupa rekomendasi
perkuatan lereng dengan menggunakan barisan tiang pancang pipa baja dan cerucuk juga akan dideskripsikan.
Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan menggunakan program metode elemen hingga dua dimensi PLAXIS
2D (Brinkgreve, et al., 2016). Analisis yang dilakukan di dalam makalah ini merupakan analisis kestabilan lereng
jangka pendek atau hanya mempertimbangkan kestabilan lereng selama periode operasi pengeboran. Hasil analisis
menunjukan bahwa untuk memenuhi faktor keamanan yang disyaratkan oleh SNI 8460:2017, yaitu 1,25,
diperlukan perkuatan lereng berupa barisan tiang pancang dan cerucuk di Zona I dan perkuatan dengan hanya
menggunakan cerucuk di Zona II. Selain itu, perlu dilakukan penggalian sedalam 3 m dari elevasi muka tanah
eksisting untuk mereduksi tegangan geser yang terjadi pada lereng akibat berat sendiri tanah.

2 KONDISI LERENG EKSISTING
Lereng dalam studi kasus ini berada di dalam suatu lokasi pertambangan di Kalimantan Timur. Lereng memiliki
kemiringan yang relatif landai yaitu 1V:10,5H (1 vertikal:10,5 horizontal). Tanah longsor terjadi akibat
penimbunan berlebih dengan tinggi timbunan kurang lebih 3 m hingga 8 m dalam waktu yang relatif cepat di atas
lapisan tanah clay shale. Selain itu, diduga bahwa longsor terjadi akibat pemadatan tanah timbunan yang juga
kurang baik dan akibat menggunakan tanah residu hasil pelapukan clay shale. Berdasarkan hasil pengamatan awal
longsoran, jarak dari mahkota longsor ke titik pengeboran adalah 12 m hingga 18 m dan terjadi pergeseran lokasi
mahkota longsor sejauh 6 m hingga 8 m menuju titik pengeboran setelah satu bulan pasca longsoran terjadi. Hal ini

629

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

menunjukan adanya pergerakan rayapan (creep) pada lereng. Terindikasi juga bahwa longsoran bersifat translasi
dengan panjang zona pengaruh mencapai 100 m. Pemancangan 2 lapis barisan tiang pipa baja dengan panjang
pembenaman kurang lebih 10 m dan bentang 36 m dilakukan untuk menahan pergerakan tanah. Namun, barisan
tiang tidak dapat menahan pergerakan tanah dan turut bergerak bersamaan dengan material longsoran sejauh
kurang lebih 10 m dari posisi pemancangan awal. Hal ini mengindikasikan kedalaman pemancangan tiang tidak
mencapai kedalaman tanah keras sehingga terjadi deformasi di dasar tiang.

Untuk memperoleh data stratifikasi dan parameter tanah, uji sondir dilakukan di 4 titik berbeda di sekitar titik
rencana pengeboran dan di dalam zona longsoran. Gambar 1a dan Gambar 1b masing-masing menunjukan nilai
tahanan ujung (qc) dan rasio gesekan selimut (Rf) terhadap elevasi uji sondir S-01, S-02, S-03, dan S-04. Hasil uji
sondir menunjukan bahwa tanah pada kedalaman hingga 9,4 – 13,8 m di bawah permukaan tanah memiliki nilai qc
antara 4,9 – 98,9 kg/cm2 dan nilai Rf antara 0,7 – 6,7%. Pada lapisan ini diinterpretasikan bahwa kekuatan geser
tanah telah menurun hingga mencapai kekuatan residu tanah. Sedangkan, nilai qc dan Rf pada tanah keras (lebih
dalam dari 9,4 m sampai 13,8 m di bawah permukaan tanah) masing-masing berkisar antara 89 – 247,2 kg/cm2 dan
0,3 – 0,7%. Berdasarkan hasil uji sondir, dapat diindikasikan bahwa potensi lokasi bidang gelincir berada di
permukaan tanah keras. Klasifikasi perilaku mekanis tanah berdasarkan respon tanah terhadap desakan konus pada
uji sondir menurut Robertson, et al., (1986) menunjukan bahwa perilaku tanah di lokasi ini secara umum
menyerupai perilaku tanah pasiran atau lanauan. Gambar 2 menunjukan stratifikasi tanah berdasarkan hasil uji
sondir dan klasifikasi perilaku tanah oleh Robertson, et al., (1986) yang disesuaikan. Selanjutnya, berdasarkan data
observasi sumur pantau, elevasi muka air tanah di lokasi ini berkisar antara 1,4 m hingga 4,8 m di bawah
permukaan tanah.

(a) (b)
Gambar 1. Hasil uji sondir: (a) tahanan ujung (qc) dan (b) rasio gesekan selimut (Rf).

Pasir lepas Pasir berlempung Pasir lepas Pasir berlempung Pasir berlempung
Pasir berlempung Timbunan dan lanau dan lanau dan lanau
dan lanau
Pasir lepas Batu bara
Pasir lepas

Pasir Pasir lepas Pasir berlempung
tersementasi dan lanau

Pasir tersementasi Pasir medium Pasir Padat

Gambar 2. Pemodelan lereng dan meshing pada PLAXIS 2D.

630

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 ANALISIS NUMERIK DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

3.1 Pemodelan Numerik

Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan bantuan program elemen hingga dua dimensi, PLAXIS 2D untuk
memperoleh faktor keamanan lereng berdasarkan metode reduksi phi-c (phi-c reduction) dan nilai momen lentur
dan gaya geser pada struktur tiang. Model lereng memiliki panjang dan tinggi berturut-turut mencapai 382 m dan
69 m. Analisis kestabilan lereng di dalam makalah ini merupakan analisis kestabilan jangka pendek di mana fokus
analisis adalah pada kestabilan lereng pada masa konstruksi atau selama pengeboran berlangsung, yaitu selama
kurang lebih satu hingga dua minggu. Terdapat pula penimbunan di kaki lereng dengan ketinggian timbunan
mencapai 5 m di atas permukaan tanah eksisting yang berfungsi sebagai platform untuk rig pengeboran. Pada kasus
ini, berat rig diasumsikan sebesar q = 25 kN/m2, sedangkan untuk berat pelat lantai kerja, q bernilai 6,1 kN/m2.

Jenis longsoran pada kasus ini adalah longsoran translasi di mana suatu massa tanah bergerak di atas suatu bidang
planar, maka peningkatan faktor keamanan (FK) lereng dengan menggunakan metode penambahan beban
tambahan (counterweight) di kaki lereng bukan merupakan solusi yang efektif. Pemberian counterweight di kaki
lereng akan meningkatkan tegangan geser pada tanah dasar dan dapat menyebabkan pergerakan tanah lanjutan.
Pemasangan tiang bor atau pancang merupakan salah satu solusi untuk menangani kegagalan lereng translasi pada
tanah clay shale (Jitno et al, 2019; Irsyam et al, 2007). Selain itu, penggalian tanah clay shale pada tubuh lereng
juga dapat dilakukan untuk mereduksi beban dan untuk meningkatkan FK lereng. Dengan demikian, dalam
makalah ini direkomendasikan untuk dilakukan penggalian sedalam 3 m dari elevasi awal dan konstruksi struktur
perkuatan berupa tiang pancang dan cerucuk untuk meningkatkan faktor keamanan dan menjaga stabilitas lereng.

Dua jenis konfigurasi perkuatan lereng direkomendasikan di dalam studi ini. Konfigurasi pertama (Zona I) yaitu
dengan menggunakan barisan tiang pancang pipa baja sebanyak 2 lapis dengan jarak antar lapis adalah 1,5 m dan
cerucuk dengan konfigurasi 1,5 m × 1,5 m dan pola pemasangan segitiga. Panjang tiang cerucuk (Lc) adalah 6 m,
sedangkan panjang tiang pancang (Lp) adalah 12,5 m. Tiang pancang didesain untuk menembus tanah keras
sedalam minimal 1 m. Diameter minimum cerucuk yang digunakan (Dc) adalah 10 cm, sedangkan diameter pipa
baja untuk tiang pancang (Dp) adalah 0,46 m. Jarak antar tiang pancang yang digunakan (Sp) adalah 1 m.
Kemudian, untuk konfigurasi kedua (Zona II), perkuatan lereng dilakukan dengan hanya menggunakan cerucuk
dengan spasi antar tiang cerucuk (Sc) 1 m dengan pola pemasangan segitiga. Nilai Lc dan Dc di Zona II secara
berturut-turut adalah 6 m dan 10 cm. Tabel 1 menunjukan tahapan konstruksi yang akan disimulasikan di dalam
PLAXIS 2D.

Tabel 1. Tahapan konstruksi

Tahap Tahap konstruksi

1 Penggalian dan pemasangan geotekstil untuk persiapan konstruksi platform rig pengeboran di kaki lereng.
2 Konstruksi timbunan platform rig pengeboran di kaki lereng.
3 Pembebanan berupa rig pengeboran (q = 25 kN/m2).
4 Penggalian sedalam 3 m untuk persiapan konstruksi rig pengeboran.
5a Pemasangan tiang pancang dan cerucuk di Zona I.
5b Pemasangan cerucuk di Zona II.
6a Pembebanan berupa pelat beton (q = 6,1 kN/m2) sebagai lantai kerja dan rig pengeboran (q = 25 kN/m2) di Zona I.
6b Pembebanan berupa pelat beton (q = 6,1 kN/m2) sebagai lantai kerja dan rig pengeboran (q = 25 kN/m2) di Zona
II.

3.2 Parameter Input

Model konstitutif Mohr-Coulomb digunakan untuk memodelkan perilaku tegangan-regangan yang terjadi pada
tanah. Analisis tegangan efektif dengan parameter kuat geser efektif (kohesi efektif (c') dan sudut geser efektif (ϕ'))
diadopsi untuk memodelkan kekuatan geser tanah (τ). Parameter tanah seperti berat isi (γ), kohesi efektif (c'), sudut
geser puncak efektif (ϕ'p), sudut geser residu efektif (ϕ'r), angka Poisson efektif (υ'), dan modulus elastisitas efektif
tanah (E') diestimasikan dengan menggunakan beberapa korelasi empiris berdasarkan nilai qc dan Rf (Budhu, 2010;
Anagnostopoulos, et al., 2003; Kulhawy dan Mayne, 1990; Wolff, 1989). Parameter tanah yang telah diestimasikan
kemudian dikalibrasi melalui proses analisis balik (back analysis) untuk memperoleh nilai parameter kuat geser
tanah yang mendekati nilai sesungguhnya di lokasi longsoran.

631

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 2 menunjukkan nilai parameter tanah berdasarkan hasil analisis balik yang digunakan dalam analisis
kestabilan lereng. Nilai ϕ'p pada Tabel 2 diterapkan pada tanah eksisting di luar zona longsoran, sedangkan nilai ϕ'r
diterapkan pada lapisan tanah yang berada di dalam zona longsoran. Hasil kalibrasi nilai ϕ'r pada Tabel 2 serupa
dengan nilai ϕ'r dari hasil penelitian terdahulu (Gartung, 1986; Skempton, 1977; Stark dan Duncan, 1991, Irsyam,
et al., 2006) dan nilai tipikal ϕ'r untuk tanah lempung yang direkomendasikan oleh Budhu (2010). Sebagai
tambahan, pada studi kasus ini, parameter tanah timbunan diasumsikan memiliki nilai γ = 17 kN/m3, kuat geser tak
terdrainase (su) = 50 kN/m2, υ' = 0,35, dan E' = (1 + υ')/(1 + υu) × 250su = 11.287 kN/m2 di mana υu adalah angka

Poisson dalam kondisi tak terdrainase dan bernilai 0,495.

Tabel 2. Estimasi parameter tanah berdasarkan hasil analisis balik

No Jenis perilaku tanah γ c' ϕ'p ϕ'r E' υ'

(kN/m3) (kN/m2) (°) (°) (kN/m2)

1 Pasir lepas 12,1 – 13,0 1,25 – 4 27,9 – 30,2 9,6 – 11,2 1,382 – 5,390 0,35

2 Pasir berlempung dan lanau 11,7 – 12,7 1,25 – 4,25 27,4 – 27,9 9,3 – 9,6 566 – 1,312 0,35

3 Pasir medium 17,2 0,5 30,2 - 5,390 0,35
4 Pasir tersementasi 17,4 – 18,3 0,5 30,6 – 32,7 -
6,108 – 9,700 0,30

5 Pasir padat 18,5 0,5 33,1 - 10,590 0,30

6 Batu bara 12,0 116,7 15,0 - 25,250 0,35

Struktur pondasi rig, barisan tiang pancang, dan cerucuk dalam studi ini dimodelkan sebagai element setara pelat
(equivalent plate element) dengan tipe material elastis dan isotropik. Ou (2006) merekomendasikan rentang nilai
faktor pengurangan kekuatan geser (Rinter) pada dinding penahan tanah yang terbenam baik di tanah pasir maupun
lempung sebesar 0,5 hingga 0,67. Pada studi ini, Rinter diasumsikan memiliki nilai sebesar 0,67 dan diaplikasikan
pada setiap elemen setara pelat. Tabel 3 menunjukan nilai parameter struktur perkuatan lereng yang digunakan
dalam studi ini di mana A adalah luas penampang tiang, I adalah momen inersia penampang tiang, dan υ adalah
angka Poisson. Sebagai tambahan, geotekstil digunakan sebagai pemisah antara tanah lunak dengan material
timbunan dan untuk meningkatkan kestabilan lereng timbunan di kaki lereng. Material geotekstil dimodelkan
sebagai material elastis dengan kekakuan aksial (EA) sebesar 142,9 kN/m.

Tabel 3. Estimasi parameter struktur perkuatan

No Jenis perkuatan Diameter, D Spasi, S EA EI υ
(m) (m) (×104 kN) (kNm)
1 Tiang pancang pipa baja 0,46 1,0 34,600 0,3
2 Pondasi rig 0,46 3,0 135 34,600 0,3
3 Cerucuk 0,1 1,0 134 24,06 0,3
4 Cerucuk 0,1 1,5 3,85 24,06 0,3
3,85

4 HASIL DAN DISKUSI

Gambar 3 menunjukan estimasi lokasi bidang gelincir berdasarkan hasil analisis balik dengan faktor keamanan
lereng eksisting 1,05. Selain itu, Gambar 3 mengindikasikan bahwa jenis longsoran yang terjadi merupakan jenis
longsoran translasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan faktor keamanan lereng, pada studi kasus ini
direncanakan untuk dilakukan penggalian sedalam 3 m sebagai upaya untuk menurunkan tegangan geser yang
terjadi pada tanah akibat berat sendiri tanah. Kemudian, pemasangan perkuatan lereng berupa tiang pancang pipa
baja berdiameter 0,46 m dan cerucuk akan dilakukan di Zona I, sedangkan di Zona II, hanya dilakukan pemasangan
cerucuk.

632

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Estimasi lokasi bidang gelincir Lokasi Pengeboran
Estimasi lokasi muka air Pondasi rig

Gambar 3. Estimasi lokasi bidang gelincir kondisi eksisting.

Tabel 4. Perubahan faktor keamanan disetiap tahapan konstruksi

Tahap Faktor Tahap Faktor
keamanan keamanan
1 1,03 5a 1,26
2 1,028 5b 1,26
3 1,027 6a 1,29
4 1,22 6b 1,25

Tabel 4 menunjukan perubahan nilai faktor keamanan (FK) disetiap tahapan konstruksi. Hasil pada Tabel 4
mengindikasikan bahwa peningkatan FK secara signifikan terjadi pada tahap 4 di mana pada tahap 4, dilakukan
penggalian di area rencana pengeboran, di atas lereng sedalam 3 m. Hal ini menunjukan bahwa pada studi kasus
ini, metode pengurangan beban pada tubuh lereng merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan FK lereng
khususnya pada lereng dengan jenis longsoran translasi. Peningkatan nilai FK juga terjadi di tahap 5a dan 5b
walaupun tidak signifikan. Akan tetapi, hal ini tidak menyiratkan bahwa pemasangan perkuatan lereng berupa tiang
pancang dan cerucuk tidak memiliki peranan dalam meningkatkan atau menjaga stabilitas lereng. Analisis
kestabilan lereng kemudian dilakukan tanpa struktur perkuatan lereng dan diperoleh nilai FK diakhir tahapan
konstruksi sebesar 1,08. Hasil ini mengindikasikan bahwa tiang pancang dan cerucuk berfungsi untuk menjaga
stabilitas lereng dengan mendistribusikan tegangan geser yang terjadi akibat beban luar berupa beban rig dan pelat
beton ke tiang pancang dan cerucuk yang kemudian didistribusikan ke lapisan tanah yang lebih kompak.

Tiang pancang atau cerucuk akan secara efektif menjaga kestabilan lereng apabila struktur dipasang dengan
panjang pembenaman yang memotong bidang gelincir dan ujung tiang terbenam di tanah keras. Tabel 4
menunjukan nilai FK lereng di Zona I pada tahap akhir konstruksi (tahap 6a) meningkat menjadi 1,29, sedangkan
pada Zona II, diperoleh nilai FK sebesar 1,25 pada tahap akhir konstruksi (tahap 6b). Nilai FK yang diperoleh telah
menenuhi kriteria faktor keamanan minimum yang disyaratkan di dalam SNI 8460:2017, yaitu 1,25 untuk lereng
tanah. Gambar 4 dan Gambar 5 secara berturut-turut menggambarkan potensi lokasi bidang gelincir di Zona I dan
di Zona II pada tahap 6a dan 6b.

Beban pelat beton, q = 6,1 kN/m2 Lokasi Pengeboran

Geotekstil; Lokasi Pengeboran 35 m
3
EA = 142,9 kN/m 35 m 5 Cerucuk;
1 q = 31,1 kN/m21 Lc: 6 m (min.),
Dc: 0,1 m, Sc:
3 q = 31,1 kN/m2 1,5 m
1

Cerucuk;

Lc: 6 m (min.), Dc: 0,1 m, Sc: 1,5 m

Tiang Pancang; Estimasi potensi lokasi bidang
Lp: 12,5 m, Dc: 0,46 m, Sp: 1 m gelincir

Gambar 4. Potensi lokasi bidang gelincir di Zona I.

633

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Beban pelat beton, q = 6,1 kN/m2 Lokasi Pengeboran

Geotekstil; Lokasi Pengeboran 35 m
3
EA = 142,9 kN/m 35 m 5 Cerucuk;
1 q = 31,1 kN/m21 Lc: 6 m (min.),
Dc: 0,1 m, Sc:
3 q = 31,1 kN/m2 1,5 m
1

Cerucuk;

Lc: 6 m (min.), Dc: 0,1 m, Sc: 1,5 m

Estimasi potensi lokasi bidang
gelincir

Gambar 5. Potensi bidang gelincir di Zona II.

Dalam desain struktur penahan tanah, nilai momen lentur dan geser pada tiang perlu diperiksa terhadap nilai
kapasitas momen dan geser tiang. Berdasarkan hasil PLAXIS 2D, nilai momen lentur maksimum (Mmax) tiang
pancang adalah 108,18 kNm dan geser maksimum (Qmax) sebesar 143,04 kN. Sesuai dengan ketentuan umum
desain struktur baja SNI 1729:2015 untuk desain kekuatan izin (DKI) bahwa kekuatan lentur yang diizinkan adalah
Mn/Ωb, sedangkan untuk geser adalah Qn/Ωv di mana Mn adalah momen nominal, Qn adalah geser nominal, Ωb
adalah faktor keamanan untuk lentur sebesar 1,67, dan Ωv adalah faktor keamanan untuk geser sebesar 1,5. Nilai
Mn/Ωb dan Qn/Ωv untuk profil penampang yang digunakan dalam kasus ini secara berturut-turut adalah 115,7 kNm
dan 690,4 kN. Dengan demikian, desain barisan tiang pancang dengan pipa baja telah memenuhi kriteria umum
desain struktur baja.

5 KESIMPULAN

Dalam studi ini dilakukan analisis kestabilan lereng terhadap lereng timbunan clay shale dengan perkuatan tiang
pancang dan cerucuk menggunakan program PLAXIS 2D. Berdasarkan hasil analisis balik, tanah clay shale di
lokasi ini memiliki rentang nilai kohesi efektif berkisar antara 1,25 kN/m2 hingga 4,24 kN/m2 dan sudut geser
residu antara 9,3° hingga 11,2°. Kemudian, hasil analisis kestabilan lereng menunjukan bahwa metode penggalian
tanah dapat meningkatkan faktor keamanan lereng secara signifikan khususnya pada lereng dengan tipe longsoran
translasi oleh sebab tegangan geser yang bekerja pada lereng akibat berat sendiri tanah berkurang. Pemasangan
perkuatan lereng berupa tiang pancang dan cerucuk dapat berfungsi untuk menjaga kestabilan lereng dengan
mendistribusikan tegangan geser yang terjadi akibat berat sendiri tanah dan beban luar ke dalam lapis tanah yang
lebih kompak. Namun, perlu diperhatikan bahwa panjang tiang pancang atau cerucuk harus dapat memotong
potensi bidang longsor dan ujung tiang pancang harus terbenam pada lapisan tanah yang kompeten agar struktur
perkuatan tiang dapat secara efektif menjaga kestabilan lereng. Sebagai tambahan, selain dapat menahan
pergerakan tanah, tiang pancang dan cerucuk juga dapat berfungsi untuk mencegah pelebaran mahkota longsor ke
arah titik pengeboran. Nilai momen lentur dan geser yang terjadi pada struktur juga perlu diperiksa terhadap
kapasitas lentur dan geser dari penampang tiang untuk mencegah kegagalan struktur dalam menahan pergerakan
tanah. Terakhir, solusi perkuatan lereng pada kasus ini hanya dievaluasi untuk kondisi jangka pendek atau selama
masa pengeboran. Sehingga, evaluasi kestabilan jangka panjang diperlukan apabila lokasi ini akan digunakan untuk
kegiatan operasional pasca pengeboran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada C4GH Unpar atas kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses desain
perkuatan lereng di lokasi ini dan juga atas izin untuk mempublikasikan hasil studi ini. Selain itu, penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Budijanto Widjaja, Ph.D., Bapak Dr. Cindarto Lie, M.Sc., dan Bapak
Aswin Lim, Ph.D. atas dukungan, komentar, dan saran membangun selama proses desain berlangsung.

REFERENSI
Anagnostopoulos, A., Koukis, G., Sabatakakis, N., and Tsiambaos, G. (2003). “Empirical correlations of soil
parameters based on cone penetration tests (CPT) for Greek soils.” Geotechnical & geological engineering, 21(4),
377-387

634

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Badan Standarisasi Nasional. (2015). SNI 1729: 2015 Spesifikasi untuk Bangunan Gedung Baja Struktural, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia

Badan Standarisasi Nasional. (2017). SNI 8460: 2017 Persyaratan Perancangan Geoteknik, Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta, Indonesia

Brinkgreve, R.B.J., Kumarswamy, S., Swolfs, W.M., Waterman, D., Chesaru, A., and Bonnier, P.G. (2016).
PLAXIS 2015 User Manual. PLAXIS bv, Delft, the Netherlands

Budhu, M. (2010). Soil Mechanics and Foundation. John Wiley & Sons, Inc., Chichester, UK

Gartung, E. (1986). “Excavation in hard clays of the Keuper formation.” Proc. Geotechnical Aspects of Stiff and
Hard Clays, Seattle, Washington, 69-83

Gouw, T.L., and Gunawan, A. (2019). “Slope Stabilization by Use of Geosynthetics in Clay Shale Formation.”
Proc. International Conference on Landslide and Slope Stability, Bali, Indonesia, D1-1-D1-13

Jitno, H., Lailatin, Pratiwi, F., Satwikawati, N.L. (2019). “Soil reinforcement of highway embankment on clay
shale foundation.” Proc. International Conference on Landslide and Slope Stability, Bali, Indonesia, D7-1-D7-9

Irsyam, M., Susila, E., Himawan, A. (2007). “Slope failure of an embankment on clay shale at KM 97+ 500 of the
cipularang toll road and the selected solution.” Proc. the International Symposium Geotechnical Engineering,
Bangkok, Thailand, 531-540

Kulhawy, F.H., and Mayne, P.W. (1990). Manual on Estimating Soil Properties for Foundation Design, Electric
Power Research Institute, Palo Alto, California

Ou, C.Y. (2006). Deep Excavation Theory and Practice. Taylor & Francis, London, UK

Robertson, P. K., Campanella, R. G., Gillespie, D., & Greig, J. (1986). “Use of piezometer cone data.” Proc. Use of
In Situ Tests in Geotechnical Engineering, Blacksburg, Virginia, 1263-1280

Stark, T.D., and Duncan, J.M. (1991). “Mechanisms of strength loss in stiff clays.” Journal of Geotechnical
Engineering, 117(1), 139-154

Skempton, A.W. (1984). “Slope stability of cuttings in brown London clay.” In Selected Papers on Soil Mechanics,
Thomas Telford Publishing, 241-250

Wolff, T.F. (1989). “Pile capacity prediction using parameter functions.” Proc. Predicted and Observed Axial
Behavior of Piles: Results of a Pile Prediction Symposium, Evanston, Illinois, United States, 96-106

635

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Penggunaan Ground Anchor Sebagai Solusi Aplikatif Stabilitas Lereng
Berdasarkan Simulasi Numerik

A.W. Kurniawan1, A. Rifai1*, S. Ismanti1, M. Adriyati2, F. Purwoko3

1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
2Departement of Civil and Structural Engineering, Faculty of Engineering, Kyushu University, JAPAN

3Teknik Sipil, Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Kelongsoran pada lereng merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Bencana tersebut menyebabkan kerugian
seperti kerusakan bangunan bahkan keselamatan orang. Terdapat beragam jenis mitigasi bencana untuk menanggulangi
kelongsoran. Salah satu solusi jangka panjang mengatasi kelongsoran dengan memberikan perkuatan angkur pada lereng.
Solusi ini mampu menahan tanah dari kemungkinan terjadinya kelongsoran. Analisis numerik dilakukan dengan 2 metode
yaitu Finite Element menggunakan Plaxis untuk mengetahui nilai displacement dengan hasil analisis kondisi eksisiting terjadi
displacement hingga 8 cm, selanjutnya analisis menggunakan perkuatan Ground Anchor dengan diameter 32 mm, bekerja
mereduksi hingga 63,75% dari sebelum diberikan perkuatan pada lereng dan Limit Equilibrium menggunakan Slope/W untuk
mengetahui nilai Safety Factor dengan hasil analisis kondisi eksisiting diperoleh SF 1,299 pada kondisi statik dan SF 0,671
pada kondisi dinamik, dimana angka aman tersebut tidak sesuai SNI 8460:2017, setelah dilakukan analisis menggunakan
perkuatan Ground Anchor, nilai SF 2,588 pada kondisi statik dan SF 1,331 pada kondisi dinamik, dimana angka aman tersebut
sesuai SNI 8460:2017. Dapat disimpulkan bahwa pemasangan ground anchor mampu mereduksi penurunan yang terjadi dan
meningkatkan nilai angka aman.

Kata kunci: Stabilitas Lereng, Ground Anchor, Safety Factor, LEM, FEM

1 PENDAHULUAN

Suatu permukaan tanah yang miring yang membentuk sudut tertentu terhadap bidang horizontal disebut sebagai
lereng. Lereng dapat terjadi secara alamiah atau dibentuk oleh manusia dengan tujuan tertantu. Permukaan tanah
membentuk sudut kemiringan maka komponen massa tanah di atas bidang gelincir cenderung akan bergerak ke
arah bawah akibat gravitasi. Kelongsoran tanah pada lereng merupakan bencana alam yang sering terjadi di
Indonesia. Bencana tersebut dapat menyebabkan kerugian seperti kerusakan bangunan bahkan keselamatan orang
yang berada di sekitarnya. Kelongsoran lereng kebanyakan terjadi pada saat musim penghujan. Hal ini menjadi
jenuh air dan air yang terperangkap pada rongga-rongga tanah yang mengakibatkan derajat kejenuhan air
meningkat dan kuat geser tanah turun secara drastis (Yoshida, 1991).

Kebutuhan stabilitas lereng merupakan faktor penting dalam mitigasi bencana. Terdapat beragam jenis mitigasi
bencana untuk meningkatkan stabilitas lereng. Salah satu solusi jangka panjang untuk mengatasi kelongsoran
adalah dengan memberikan perkuatan angkur pada lereng (Pratama, 2018). Ground anchor pada lereng dengan
cara memasukan batang tulangan dengan panjang dan kemiringan tertentu kedalam lereng dan menginjeksinya.
Tujuan dari ground anchor adalah menambah kuat geser tanah disepanjang bidang longsor, memotong bidang
longsor, dan mengurangi gaya dorong disepanjang bidang longsor. Konstruksi menggunakan ground anchor dipilih
berdasarkan segi kekuatan dan penggunaan lahan untuk konstruksi. Solusi ini dianggap mampu menahan tanah dari
kemungkinan terjadinya kegagalan lereng atau longsor (Riogilang, 2014).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai angka aman dan penurunan yang terjadi pada lereng
sebelum adanya ground anchor. Serta mengetahui nilai angka aman dan penurunan yang terjadi sesudah dilakukan
ground anchor. Penurunan yang terjadi dilakukan analisis menggunakan metode elemen hingga. Nilai angka aman
akan dilakukan analisis menggunakan metode kesetimbangan batas.

636

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2 METODE PENELITIAN

2.1 Penentuan Batas Antar Elemen

Analisis numeris dalam pemodelan 2 dimensi harus ditentukan batas yang sesuai, karena batas tersebut akan ada
kaitannya dengan jarak displacement ataupun tegangan yang terjadi setelah didapat hasil dari pengolahan data.
Pemodelan lapisan tanah isotropic homogeneous dengan mesh 2-D harus dicirikan dengan dimensi yang empat kali
lebih besar dari panjang timbunan, dan kedalaman minimal 5 atau sampai menemukan lapisan tanah keras yang
harus disempurnakan karena luasan tegangan maksimum sesuai dengan pembebanan dari timbunan ditunjukan
pada Gambar 1.

Ukuran setiap elemen harus ditingkatkan secara bertahap, pada saat pembuatan mesh elemen bergerak menjauh
dari geometri pemodelan atau membuat gradasi hingga bertemu batas geometri lainnya, perlu diperhatikan
kedalaman lapisan tanah keras, untuk menerapkan kondisi batas = = 0, ditunjukkan dengan angka yang sesuai
dari perubahan kekakuan yang relative kecil antar kedua lapisan.

Gambar 6. Tipikal dimensi pemodelan timbunan (Azizi, 2000).

Hasil analisis dengan metode kesetimbangan batas menghasilkan angka aman yang didapatkan dari rasio antara
gaya yang menahan dengan gaya yang bekerja mendorong suatu lereng. Nilai angka aman lereng dikatakan aman
apabila diatas 1,00. namun untuk mengantisipasi ketidakpastian dilapangan, angka aman harus memenuhi batas
yang disyaratkan menurut SNI 8460:2017, yaitu 1,50 untuk kondisi permanen dan 1,10 untuk kondisi sementara.

2.2 Analisis Stabilitas Lereng
Analisis stabilitas lereng umumnya didasarkan pada konsep keseimbangan batas plastis (limit plastic equilibrium).
Analisis tersebut dapat menentukan faktor aman dari bidang longsor potensial (Hardiyatmo, 2012). Dalam analisis
stabilitas lereng, terdapat kriteria sebagai berikut:

a) Kelongsoran lereng terjadi di sepanjang permukaan bidang longsor tertentu dan dapat dianggap masalah dalam
bidang 2 dimensi.

b) Massa tanah yang longsor dianggap sebagai benda masif.
c) Tahan geser dari massa tanah pada setiap titik sepanjang bidang longsor tidak tergantung orientasi permukaan

longsor.
d) Faktor aman didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata-rata sepanjang bidang longsor potensial,

dan kuat geser rata-rata tanah sepanjang permukaan longsor.
e) Faktor aman didefinisikan sebagai nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakan,

berikut persamaan (1) faktor aman.

Dengan adalah tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah (atau kuat geser yang tersedia),
adalah tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor (atau kuat geser yang dimobilisasi
oleh tanah untuk menjaga keseimbangan, dan F adalah faktor aman.

637

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

F=  (1)
d

Menurut teori Mohr-Coulumb, tahanan geser maksimum ( ) dapat bergerak akibat tanah, di sepanjang bidang
longsor dengan persamaan.

 = c +tg (2)

Dengan c = kohesi, = tegangan normal, = sudut gesek dalam tanah. Persamaan tersebut dapat dikaitkan dengan
tegangan geser yang terjadi ( ) akibat beban tanah dan beban-beban lain pada bidang longsor, sesuai dengan
persamaan.

d =cd + tgd (3)

Dengan dan adalah kohesi dan sudut gesek dalam yang terjadi atau yang dibutuhkan untuk keseimbangan
pada bidang longsornya, maka faktor aman diperoleh dengan persamaan.

F = c + tgd (4)
cd + tg d

Literatur mengenai Tata Cara Perencanaan Penanggulangan Longsor mengenai angka aman untuk longsor ada
beberapa syarat aman yang harus diperhatikan (SNI 8460:2017), dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Angka aman menurut SNI 8460:2017.

Biaya dan Konsekuensi dari kegagalan lereng Tingkat ketidakpastian kondisi analisis

Rendaha Tinggib

Biaya perbaikan sebanding dengan biaya tambahan untuk merancang lereng 1,25 1,50
yang lebih konservatif

Biaya perbaikan lebih besar dari biaya tambahan untuk merancang lereng 1,50 2,00 atau lebih
yang lebih konservatif

a Tingkat ketidakpastian kondisi analisis dikategorikan rendah, jika kondisi geologi dapat dipahami, kondisi tanah

seragam, penyelidikan tanah konsisten, lengkap dan logis terhadap kondisi di lapangan.

b Tingkat ketidakpastian kondisi analisis dikategorikan tinggi, jika kondisi geologi sangat kompleks, kondisi tanah

bervariasi, dan penyelidikan tanah tidak konsisten dan tidak dapat diandalkan.

2.3 Analisis Displacement

Analisis displacement yang terjadi dilakukan menggunakan metode elemen hingga (finite element) merupakan
metode yang baik dalam melakukan analisis numeris pada bidang struktur, dengan kondisi statis maupun dinamis.
Analisis numeris dilakukan dengan dimensi 1, 2, dan 3 (Suhendro, 2000). Metode elemen hingga dimodelkan
pembagian seluruh daerah permasalahan menjadi elemen-elemen yang lebih kecil (mesh). Masing-masing elemen
merupakan batas permasalahan baru yang akan dianalisis dan secara eksplisit dimodelkan responnya terhadap
elemen yang lain.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Tanah

Data tanah yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah data uji penetrasi standar (SPT), nilai-nilai properties
tanah, dan nilai pendekatan yang disesuaikan dengan referensi menurut Look (2007). Dalam analisis, hasil
pengujian pada titik BH-1 tahun 2019 dan BH-1 tahun 2020, nilai properties tanah dari hasil hasil laboratorium
akan dijadikan sebagai acuan pembuatan korelasi tanah dan. Berdasarkan korelasi antar 2 titik bor didapatkan 3
lapisan tanah, lapisan tanah dibawah permukaan tanah adalah sandy gravel dengan ketebalan 4m, jenis tanah
dibawahnya yaitu batuan lapuk dengan ketebalan 8m hingga 10,5m, sedangkan jenis tanah berikutnya lapisan
padat. Hasil deskripsi lapisan tanah dapat dilihat pada Gambar 2.

638

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 7. Hasil korelasi bawah permukaan.

3.2 Data Struktur Pemodelan

Analisis desain yang dilakukan menggunakan, angkur BJTS 50 diameter 32 mm serta panjang 7 m dan dinding
penahan tanah, dikarenakan terdapat dinding penahan tanah yang sudah ada sebelumnya. Parameter perkuatan
Uraian desain dan bentuk geometri dapat dilihat pada Tabel 2, analisis evaluasi desain dari sisi geoteknik
selanjutnya akan dimodelkan pada program numeris plaxis.

Tabel 2. Engineering properties dari material perkuatan lereng.

Material γsat (kN/m3) γusat (kN/m3) E (kN/m2) ν

Gravity Wall 21 23 1,0E+07 0,15

Material E (kN/m2) d (m) A (m2) EA (kN)
Angkur 2,0E+08 0,032 0,000804 160.849,5

3.3 Input Parameter

Tanah dimodelkan program numerik yaitu Slope/W dan Plaxis. Masing-masing cluster dan material layer diberi
input parameter sesuai dengan data tanahnya. Hasil korelasi yang digunakan sebagai input parameter pada program
Plaxis dan Slope/W terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter tanah pada program Slope/W dan Plaxis.

Lapisan γsat (kN/m3) c (kN/m2) φ (°) E (kN/m2) ν (°)
4,51
Sandy Gravel 20 12,7 34,51 50.000 0,25 5,20
7,24
Lapukan Batuan 21 1,0 35,50 28.000 0,30

Breksi Volkanik 26 8,0 37,20 200.000 0,20

Gambar 8. Pemodelan pada Plaxis.

639

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Pemodelan dilakukan pada area makam yang telah mengalami longsor dan disesuaikan dengan hasil data pemboran
serta uji SPT, Analisis permodelan sesuai dengan Gambar 3 Ukuran pemodelan dibuat berdasarkan usulan Azizi
(2000).

3.4 Hasil Analisis Displacement

Hasil analisis dengan menggunakan plaxis didapatkan displacement, pada kondisi eksisting dan menggunakan
struktur perkuatan angkur pada lereng ditunjukan oleh Tabel 4. Hasil analisis pada tabel tersebut menunjukkan nilai
total displacement dan horizontal displacement pada kondisi eksisting dan menggunakan struktur perkuatan angkur
pada lereng, berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa perpindahan total displacement dengan
angkur dapat mereduksi turun sebesar 63,75% dan perpindahan horizontal displacement mereduksi turun 72,58%.
Maka, penggunaan struktur perkuatan angkur pada lereng bekerja dengan baik untuk menahan displacement yang
terjadi seperti ditunjukan pada Gambar 4.

Tabel 4. Hasil analisis displacement pada Plaxis.

Tahapan Analisis Total Displacement (cm) Horizontal Displacement (cm)

Eksisting 8,0 6,2
Perkuatan Angkur 2,9 1,7

Gambar 9 Hasil analisis displacement lereng dengan penanganan ground anchor pada Plaxis.

3.5 Hasil Analisis Angka Aman

Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan nilai SF pada kondisi statik dan dinamik, berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa nilai SF pada lereng memenuhi standart SNI 8460:2017, dapat dilihat dari hasil numerik yang
disajikan pada Gambar 5, dimana bidang gelincir yang terjadi pada lapisan tanah lapukan batuan lebih besar dari
SF 1,5 pada kondisi statik dan SF 1,0 pada kondisi dinamik. Spesifikasi perkuatan angkur menggunakan BJTS 50
dengan dimater 32 mm, panjang 7 m untuk menahan bidang gelincir pada lapisan lapukan batuan dan panjang 3 m
untuk additional structure dengan jarak masing-masing 2,6 m × 2,6 m, detail disajikan pada buku spesifikasi
teknis.

Tabel 5. Nilai angka aman lereng.

Tahapan Analisis SF

Eksisting Statik Gempa
Perkuatan Angkur 1,299 0,671
2,588 1,331

640

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 10. Hasil analisis angka aman lereng dengan penanganan ground anchor pada Plaxis.

4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, beberapa kesimpulan yang dapat diambil pada laporan ini adalah:

a) Berdasarkan hasil analisis total penurunan kondisi eksisting yaitu 8 cm dan penurunan horizontal sebesar 6,2
cm. Sedangkan berdasarkan analisis kestabilan lereng menggunakan metode Limit Equilibrium Method (LEM)
pada kondisi eksisting diperoleh angka aman sebesar SF= 1,299 kondisi statik dan angka aman sebesar SF=
0,671 kondisi dinamik. Dari hasil angka aman kondisi eksisting, angka aman kurang dari nilai yang disyaratkan
dalam SNI 8460:2017 (min SF < 1,5 statik dan min SF < 1,0 dinamik).

b) Setelah diberikan perkuatan angkur dengan diameter 32 mm dan panjang 7 m, total penurunan menjadi 2,9 cm,
maka dapat disimpulkan bahwa angkur bekerja dan mereduksi 63,75% dari kondisi eksisting. Penurunan pada
kondisi horizontal Setelah diberikan perkuatan angkur penurunan menjadi 1,7 cm, maka dapat disimpulkan
bahwa angkur bekerja dan mereduksi 72,58% dari kondisi eksisting. Berdasarkan analisis kestabilan lereng
menggunakan metode Limit Equilibrium Method (LEM) pada kondisi eksisting diperoleh angka aman sebesar
SF= 1,299 kondisi statik dan angka aman sebesar SF= 0,671 kondisi dinamik, tidak sesuai dengan standar SNI
(min SF > 1,5 statik dan min SF > 1,0 dinamik). Pada kondisi lereng dengan perkuatan angkur didapatkan angka
aman sebesar SF= 2,588 kondisi statik dan angka aman sebesar SF= 1,331 kondisi dinamik, sesuai dengan
standar SNI (min SF > 1,5 statik dan min SF > 1,0 dinamik). Pemasangan ground anchor mampu meningkatkan
nilai angka aman lereng.

REFERENSI
Azizi, F. (2000). Applied Analysis in Geotechnics. E & FN Spon, London

Badan Standarisasi Nasional. (2017). SNI 8460:2017 tentang Pesyaratan Perancangan Geoteknik. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta

Hardiyatmo, H. C. (2012). Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Look, B. G. (2007). Handbook of Geotechnical Investigation and Design Tables. Taylor and Francis Group,
London

Pratama, A.P., (2018). Kajian Variasi Penggunaan Angkur Dan Kedalaman Secant Pile Terhadap Stabilitas
Galian Dalam. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Riogilang, H., Pontororing, C., Mekel, A. (2014). “Soil Nailing dan Anchor Sebagai Solusi Aplikatif Penahan
Tanah untuk Potensi Longsor Di STA 7+250 Ruas Jalan Manado-Tomohon”, Jurnal Ilmiah Media Engineerin
Vol.4 No 2, September 2014 (119-126) ISSN: 2087-9334

Suhendro, B., (2000). Metode Elemen Hingga dan Aplikasinya. Beta Offset, Yogyakarta

Yoshida, Y., Kuwano, J., Kuwano, R. (1991). “Effects of Saturation on Shear Strength of Soil”. Soils and
Foundations, Vol. 13, 1, pp. 181-186

641

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Perbaikan Tanah menggunakan Biopolimer Guar Gum Pada Tanah Pasir Lepas

A. Lim*, F. Wiwarsono

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Salah satu cara untuk meningkatkan kuat geser tanah yang lazim digunakan adalah dengan cara mencampur sejumlah semen
pada tanah, yang dikenal dengan metode soil cement. Namun, perbaikan tanah yang umumnya menggunakan semen juga
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, salah satunya adalah efek rumah kaca dari emisi CO2 yang dihasilkan.
Artikel ini menyajikan alternatif perbaikan tanah dimana menggunakan biopolimer Guar Gum. Guar Gum adalah polisakarida
alami yang umumnya digunakan sebagai bahan aditif di bidang industri makanan dan pemboran minyak. Uji Geser Langsung
dilakukan untuk mengetahui peningkatan kuat geser tanah pasir lepas yang telah dicampurkan dengan Guar Gum. Pengaruh
waktu curing sampel, kadar air, maupun konsentrasi Guar Gum juga diinvestigasti secara komprehensif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai kohesi tanah meningkat cukup signifikan setelah perbaikan. Hal ini disebabkan karena partikel pasir
saling terikat oleh biopolymer film yang dibentuk oleh Guar Gum.

Kata kunci: Perbaikan Tanah, Biopolimer, Guar Gum, Pasir Lepas, Kuat Geser

1 PENDAHULUAN

Perbaikan tanah merupakan salah satu aplikasi utama dari sebagian besar teknik konstruksi geoteknik. Tujuan
utama dari perbaikan tanah adalah untuk meningkatkan atau mengubah karakteristik tanah untuk tujuan tertentu
(Ayeldeen, et al., 2016). Semen Portland adalah bahan aditif paling umum yang digunakan dalam perbaikan tanah.
Namun, penggunaan semen dalam volume yang besar memiliki beberapa kelemahan terutama dalam pandangan
lingkungan. Khususnya, gas karbon dioksida (CO2) dan nitrogen oksida yang dihasilkan selama produksi semen,
dengan tingkat emisi udara tertentu dalam bentuk debu semen (Chang, et al., 2015). Karbon dioksida (CO2) adalah
penyebab utama perubahan iklim, dan semen bertanggung jawab atas 5-7% dari emisi CO2 di dunia dan
menyumbang 12-15% dari total konsumsi energi di sektor industri (Gutiérrez-Antonio, et al., 2017). Hal ini
menyebabkan perlunya alternatif baru dalam perbaikan tanah yang ramah lingkungan, salah satunya ialah dengan
menggunakan biopolimer sebagai substitusi komponen konvensional.

Biopolimer adalah sebuah polimer yang diproduksi oleh organisme alami seperti bakteri, tanaman pertanian,
eksoskleton dan dinding sel. Biopolimer memiliki bahan neutral karbon yang terbentuk selama produksi biopolimer
sehingga dapat mengurangi emisi karbondioksia (CO2) (Chang, et al., 2015). Dalam bidang geoteknik, biopolimer
digunakan sebagai stabilitator tanah dengan tujuan meningkatkan perilaku dan karakteristik tanah (Chang, et al.,
2015). Biopolimer Guar Gum merupakan suatu polisakarida alami yang dicampurkan dengan tanah guna perkuatan
tanah (Ayeldeen, et al., 2016). Guar Gum telah digunakan dalam bidang minyak dan gas, produksi kertas, tekstil,
dan juga umumnya digunakan sebagai stabilitator, pengemulsi dan pengental dalam variasi produk makanan
(Mudgill, et al., 2014).

Pada bidang geoteknik, penilitian penggunaan gum alami masih terbatas, namun terus berkembang. Kwon, et al.,
(2019), meneliti tentang karakteristik geoteknik dari campuran soft marine soil dengan biopolimer Xanthan Gum
dan Ɛ-polylysine dimana terbentuknya jembatan antara partikel tanah melalui ikatan hydrogen. Chan, et al. (2015)
meneliti tentang perbaikan tanah menggunakan biopolimer Gellan Gum dan Xanthan Gum terhadap tanah Korean
Residual Soil dimana dalam pencampurannya biopolimer ini menyerap air dan membentuk hidrogel dimana
hydrogel ini berevaporasi sehingga ikatan atau matriks antara biopolimer dengan partikel tanah lebih kaku dan
kuat. Gum alami yang berasal dari alam ini bisa menjadi salah satu alternatif pilihan perbaikan tanah dan juga
material konstruksi dan bangunan pada masa yang akan datang akibat kelayakan ekonomi dan ramah lingkungan
bila dibandingkan dengan menggunakan semen.

Pada artikel ini, studi laboratorium perbaikan tanah pasir lepas dengan biopolimer Guar Gum dilakukan untuk
mengetahui perubahan parameter kuat geser tanah pasir yang telah diperbaiki dengan menggunakan uji Geser
Langsung (Direct Shear test).

642

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2 BAHAN DAN METODE EKSPERIMENTAL

2.1 Properties Tanah Pasir

Tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah pasir murni (clean-sand) dengan index properties yang
tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan uji berat jenis (ASTM D 854-91), diperoleh nilai Gs sebesar 2,61. Berdasarkan
uji berat isi kering yang dilakukan, pasir dalam penelitian ini mempunyai berat isi kering minimum 14,2 kN/m3 dan
berat isi kering maksimum 17,6 kN/m3.Berdasarkan sistem klasifikasi USCS (Unified Soil Classification System),
tanah alami yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tanah pasir bergradasi buruk atau Poorly Graded Sand
(SP).

Tabel 2. Index properties tanah pasir murni

Parameter Nilai

Berat Jenis, Gs 2.61
Klasifikasi Tanah Poorly Graded Sand (SP)
Berat isi,  14,8 kN/m3
Berat isi kering, d 14,7 kN/m3
Berat isi kering maksimum, dmax 17,6 kN/m3
Berat isi kering minimum, dmin 14,2 kN/m3
Kepadatan Relatif, Dr
21 %

2.2 Guar Gum

Guar Gum yang digunakan adalah Guar Gum Food Grade yang diproduksi oleh PT. Meihua – China dan dapat
dilihat pada Gambar 1. Bentuk Guar Gum yang diperoleh adalah dalam bentuk tepung. Aplikasi Guar Gum pada
perbaikan tanah akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Gambar 2. Guar Gum dalam kemasan

2.3 Persiapan Sampel Uji
Pencampuran sampel dilakukan dengan variasi konsentrasi, kadar air, dan waktu curing (pemeraman). Rencana
percobaan tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rencana pencampuran sampel uji

Konsentrasi Guar Gum (%) Kadar Air (%) Waktu Curing (hari)

0,5 15 dan 20 1. Oven dried: 24 jam
1 2. Kering Udara: 7, 14, 28

Variasi pencampuran sampel uji dilakukan untuk mengkaji efek dari tiap variasi terhadap peningkatana kekuatan
geser tanah pasir. Tiga sampel akan disiapkan untuk setiap set pengujian untuk mengakomodasi variasi tegangan
normal yang diberikan pada saat uji geser langsung (ASTM D6528-17).

643

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2 menyajikan tahapan persiapan sampel uji. Metode dry mixing digunakan dalam penelitian karena
menunjukkan hasil kekuatan sampel uji yang lebih tinggi dibandingkan wet mixing (Chang, et al., 2015). Pada dry
mixing, sampel tanah dicampurkan dengan tepung Guar Gum kemudian dicampurkan dengan air. Tanah
dicampurkan dengan variasi konsentrasi biopolimer (0,5% dan 1%) dan variasi kadar air (15% dan 20%).

Gambar 2. Tahapan persiapan sampel uji (a). Timbang pasir murni, (b). Tambahan Guar Gum sesuai dosis, (c).
Aduk rata (dry mixing), (d). Tambahkan air sesuai dosis, (e). Sampel siap dicetak, (f). Proses pencetakan sampel ke

ring uji geser langsung. (Albrecht, et al., 2020)
2.4 Uji Geser Langsung (ASTM D6528-17)
Pengujian ini dilakukan dengan 3 (tiga) variasi tegangan normal pada sampel uji dengan cara mengatur beban pada
ujung lengan momen alat uji geser langsung. Adapun variasi beban yang diatur dalam pengujian geser langsung ini
adalah 1,5 kg, 3 kg, dan 4,5 kg. Adapun tegangan normal yang diperoleh dari 3 variasi beban tersebut adalah 55,68
kPa, 110,97 kPa, dan 165,03 kPa. Gambar 3 menyajikan sampel sebelum dan sesudah di uji geser langsung.

(a) (b)

Gambar 3. (a). Sampel sebelum diuji, dan (b). Sampel setelah diuji.
3 HASIL PENGUJIAN DAN DISKUSI
Tegangan geser () dihitung dengan menggunakan persamaan (1) yang dimana angka 100 kPa diambil sebagai
reference stress untuk nilai tegangan normal (σn) (Albrecht et al, 2020). Pada artikel ini, tegangan geser ini juga

644

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

disebut sebagai kuat geser. Kohesi tanah disimbolkan dengan c, dan sudut geser dalam tanah disimbolkan dengan
. Persamaan (1) mengadopsi model keruntuhan tanah Mohr-Coulomb.

 = c +n tan (1)

3.1 Kajian Terhadap Tegangan Geser / Kuat Geser Tanah

Gambar 4 menyajikan perbandingan kuat geser sampel uji pada konsentrasi Guar Gum 0,5% dan 1,0%. Dari
Gambar 4, tersaji dengan jelas bahwa penggunaan Guar Gum dapat meningkatkan kuat geser tanah. Kuat geser
tanah pasir murni (tanpa perbaikan) adalah 72,7 kPa, dan setelah diperbaiki meningkat bervariasi dari 92,85 kPa
hingga 389,6 kPa yang tergantung dari kadar air sampel uji, waktu curing dan konsentrasi Guar Gum. Peningkatan
kuat geser yang terjadi adalah diantara 27% hingga 435.9%. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari Gambar 4
antara lain:

a) Semakin lama waktu curing, maka kuat geser tanah juga akan meningkat.
b) Pada waktu curing 28 hari, sampel uji belum mencapai kekuatan terbesarnya. Kuat geser terbesar dapat tercapai

ketika sampel dicuring dengan cara dioven 24 jam (oven-dried).
c) Penambahan konsentrasi Guar Gum meningkatkan kuat geser tanah.
d) Kadar air sampel 15% memberikan kuat geser yang lebih tinggi daripada kadar air sampel 20%.

Hasil serupa juga diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ayeldeen, et al. (2016), Muguda et al.
(2017), Swain, et al. (2018), dan Dehghan, et al. (2018) dimana penambahan biopolimer dan waktu curing
meningkatkan karakteristik mekanis tanah. Selain itu, kadar air sampel yang lebih rendah menghasilkan
peningkatan kuat geser tanah yang lebih tinggi.

220,5

(a) (b)

Gambar 4. Perbandingan kuat geser sampel uji pada konsentrasi Guar Gum (a). 0,5% dan (b). 1%.
3.2 Kajian Terhadap Nilai Kohesi dan Sudut Geser Dalam Tanah.
Gambar 5 menyajikan nilai kohesi dan sudut geser dalam pada sampel uji yang diberikan konsentrasi Guar Gum
0,5% dan 1 %. Pada pasir murni, nilai kohesi adalah nol. Ketika pasir murni dicampur dengan Guar Gum, terlihat
jelas bahwa nilai kohesi meningkat secara signifikan. Semakin lama waktu curing, maka nilai kohesi akan semakin
meningkat. Begitu juga, semakin tinggi kadar konsentrasi Guar Gum, maka nilai kohesi juga semakin meningkat.
Nilai kohesi yang diperoleh dari pengujian ini bervariasi dari nilai 60 kPa hingga 158 kPa. Untuk sampel yang
dikeringkan melalui oven, nilai kohesi mampu mencapai 312 kPa pada konsentrasi Guar Gum 1 %.

645

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Sebaliknya, nilai sudut geser dalam () bisa menjadi lebih kecil dari nilai sudut geser dalam pasir murni. Pada
sampel dengan kadar air 20% dan Guar Gum 0,5%, nilai  selalu lebih kecil dari nilai  pasir murni. Namun, kuat
geser tanah tetap meningkat karena kontribusi dari kohesi yang signifikan. Pada sampel dengan kadar air 15 % dan
Guar Gum 1%, nilai  lebih besar dari nilai  pasir murni pada waktu curing diatas 14 hari. Sedangkan, untuk
sampel dengan kadar air 15 % dan 20%, pada kosentrasi Guar Gum 1%, nilai  lebih besar dari nilai  pasir murni
pada waktu curing 28 hari. Untuk sampel yang dikeringkan melalui oven, nilai sudut geser dalam mampu mencapai
50,26° pada konsentrasi Guar Gum 0,5 %.

Disini terlihat jelas bahwa, penambahan Guar Gum pada tanah pasir mengakibatkan perubahan nilai  yang bersifat
fluktuatif terhadap waktu curing. Sedangkan, penambahan Guar Gum pada tanah pasir mengakibatkan perubahan
nilai kohesi yang bersifat meningkat secara konstan terhadap waktu curing.

Pasir murni

Pasir murni

(a) (b)

Gambar 5. Nilai kohesi dan sudut geser dalam pada konsentrasi Guar Gum 0,5% dan 1,0% (a). Kohesi dan (b).
Sudut geser dalam.

4 KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil uji geser langsung, penambahan biopolimer Guar Gum pada tanah pasir lepas meningkatkan kuat geser
tanah. Hal ini diakibatkan Guar Gum yang mengisi rongga-rongga atau pori-pori tanah lalu mengikat partikel tanah
sehingga menjadi suatu gel/biofilm yang mengeras akibat dehidrasi. Penambahan konsentrasi Guar Gum dan waktu
curing meningkatkan kuat geser tanah yang direpresentasikan dengan meningkatnya nilai kohesi. Namun,
perubahan nilai sudut geser bersifat fluktuatif. Perlu dilakukan pengujian Scanning Electron Microscope untuk
melihat struktur mikro dari partikel tanah yang telah dicampur dengan Guar Gum. Kadar air sebesar 15% untuk
pencampuran sampel memberikan hasil yang terbaik. Namun, perlu ditinjau lagi untuk kadar air yang lebih rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ikatan Alumni Teknik Sipil (IATS) UNPAR dan UNPAR atas dukungan
dana penelitian yang telah diberikan kepada penulis.

646

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

REFERENSI
ASTM D854-91 Standard Test Methods for Specific Gravity of Soil Solids by Water Pycnometer

ASTM D3080/D3080M-11 Standard Test Method for Direct Shear Test of Soils Under Consolidated Drained
Conditions

Albrecht, Y., Wiwarsono F., dan Putra D. (2020). “Studi Eksperimental Perbaikan Tanah Pasir Lepas dengan

Campuran Biopolimer Xanthan gum dan Guar Gum”. Proc. 24th Annual National Conference on Geotechnical
Engineering, 213-218

Ayeldeen, M.K., Negm, A.M, dan El Sawwaf, M.A. (2016). “Evaluating the Physical Characteristics of
Biopolymer/Soil Mixtures”. Arabian Journal of Geosciences. 9, 371.

Chang, I., Prasidhi, K.A., dan Cho, C.G. (2015). “Effect of Xanthan Gum Biopolymer on Soil Strengthening.”
Construction and Building Materials. 85, 65-72.

Dehghan, H., Tabarsa, A., Latifi, N., dan Bagheri, Y. (2018). “Use of Xanthan and Guar Gums in Soil
Strengthening.” Clean Technologies and Environmental Policy. 21, 155-165.

Gutiérrez-Antonio, C., Gómez-Castro F.I, de Lira-Flores J.A., dan Hernández S. (2017) “A review on the
production process of renewable jet fuel.” Renewable and Sustainable Energy Reviews. 79, 709-729.

Kwon, Y., Lee, M., dan Cho, C.G. (2019). “Geotechnical Engineering Behavior of Biopolymer treated Soft Marine
Soil.” Geomechanics and Engineering, 17(5), 453-464

Mudgil, D., Barak, S., dan Khatkar B.S. (2014). “Guar Gum : Processing, Properties, and Food Appliactions - A
Review.” Springer. J Food Sci Technol, 51(3), 409-18

Muguda, S.E. (2017). “Mechanical Properties of Biopolymer-Stabilised Soil-Based Construction Materials.” ICE
Publisher, Geotechnique Letters, 7, 309-314

Swain, K. (2015). Stabilization of Soil Using Geopolymer and Biopolymer. Master. Thesis. National Institute of
Technology Rourkella, India

647

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Metode Bio-mediated Soil Improvement untuk Perbaikan Tanah
yang Berkelanjutan

P.G Oktafiani*, H. Putra

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB University, Bogor, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Perkembangan infrastruktur nasional sebanding dengan peningkatan permintaan lahan. Permasalahan yang ada yaitu lahan
tersedia seringkali kekuatannya belum cukup untuk dilakukan pembangunan diatasnya. Permasalahan lahan yang ditemukan di
Indonesia adalah masalah tanah lunak dan tanah yang memiliki karakteristik daya dukung yang rendah dan tingginya
kompresibilitas tanah. Pada daerah tropis seperti Indonesia permasalahan tanah ditambah dengan infiltrasi yang tinggi sehingga
tanah makin rentan terhadap bencana dan daya dukung yang kecil. Oleh karena itu penting untuk melakukan perbaikan tanah.
Metode perbaikan tanah yang sudah banyak dilakukan diantaranya adalah pemadatan tanah, preloading, vibrasi dan chemical
grouting. Perbaikan tanah tersebut cenderung memiliki biaya yang mahal dan kurang ramah lingkungan, terlebih yang
memanfaatkan bahan kimia. Tentunya pekerjaan konstruksi yang berkelanjutan memiliki ciri yaitu ramah lingkungan dan
efisien dari segi biaya dan waktu. Salah satu cara yang dikembangkan dan banyak diteliti saat ini adalah Bio-mediated Soil
Improvment. Pada paper ini akan dibahas tentang dua metode Bio-mediated Soil Improvement yaitu Microbially Induced
Calcite Precipitation (MICP) dan Enzyme Mediated Calcide Precipitation (EMCP). Pada paper ini akan diulas mengenai
efesiensi dan efektivitas dari kedua metode tersebut untuk diterapkan berdasarkan dari penambahan sheer strength dan
distribusi material. Dibahas juga dampak lingkungan dan tantangan serta peluang kedua metode tersebut kedepannya.

Kata kunci: Bio-medicated Soil Improvement, Tanah Lunak, MICP, EMCP

1 PENDAHULUAN

Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas dalam pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19. Pada
tahun 2021 pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur menjadi prioritas dengan anggaran mencapai 149,8
triliun tertinggi dibandingkan kementerian lain (BPIW, 2020). Selain itu, peningkatan pembangunan juga terjadi
disektor swasta. Meningkatnya pembangunan infrastruktur sebanding dengan permintaan lahan. Dimana masalah
yang sering dihadapi dalam persiapan lahan adalah masalah tanah lunak(Lesmana dan Susila, 2016). Permasalahan
lain yang umumnya ditemukan adalah karakteristik tanah yang memiliki daya dukung yang rendah dan tingginya
kompresibilitas tanah. Pada daerah tropis seperti Indonesia permasalahan tanah lunak ditambah dengan infiltrasi
yang tinggi sehingga tanah menjadi rentan bencana dan memiliki daya dukung yang kecil(Soon, et al., 2013). Maka
dari itu, banyak penelitian yang mempelajari tentang perbaikan tanah.

Metode perbaikan tanah yang sudah banyak dilakukan diantaranya adalah pemadatan tanah, preloading, vibrasi dan
chemical grouting (Rahman, et al., 2020). Perbaikan tanah tersebut cenderung memiliki biaya yang mahal dan
kurang ramah lingkungan, terlebih yang memanfaatkan bahan kimia (Geonandi, 2017). Tentunya pekerjaan
konstruksi yang berorientasi masa depan atau berkelanjutan memiliki ciri yaitu ramah lingkungan dan efisien dari
segi biaya dan waktu. Salah satu cara yang dikembangkan dan banyak diteliti saat ini adalah Bio-mediated Soil
Improvment. Metode ini memiliki pendekatan ramah lingkungan dan efektifitas kerja. Studi tentang metode
tersebut menunjukkan potensi yang besar dan luas untuk diterapkan pada perbaikan tanah. Metode ini terbukti bisa
digunakan dalam perbaikan tanah yang dimanfaatkan dalam mencegah likuifaksi dan longsoran pasir lepas dimana
sering mengakibatkan kegagalan pada pembangunan terutama deformasi pondasi(Umar, et al., 2016).

Bio-mediated soil improvement atau bio-grouting merupakan metode yang memanfaatkan reaksi biokimia dalam
tanah dengan hasil akhir yaitu menghasilkan endapan kalsit yang dapat meningkatkan sifat teknik tanah (Umar, et
al, 2016; Kim, et al., 2018). Metode bio-grouting ini dapat berupa pemanfaatan bakteri atau enzyme sebagai media
dalam pembentukan kalsit dalam tanah. Pemanfaatan bakteri dalam bio-grouting ini dikenal dengan Microbially
Induced Calcite Precipitation atau MICP. Metode MICP ini memanfaatkan bakteri untuk mengikat tanah yaitu
dengan presipitasi kalsium karbonat CaCO3 yang hasilnya butiran tanah akan terikat bersama dengan kalsit
sehingga meningkatkan sifat mekanik dari tanah(Wen, et al., 2019; Rahman, et al., 2020). Peningkatan kekuatan ini

648

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

diharapkan bisa memperbaiki tanah dengan umur layan lebih dari 50 tahun, sesuai dengan umur layan struktur
geoteknik kebanyakan (Rahman, et al., 2020). Bakteri yang digunakan bervariasi, contoh bakteri yang digunakan
diantaranya adalah S. saprophyticus dan S. pasteurii (Kim, et al., 2018). Pada prinsipnya bakteri akan
menghasilkan enxyme urease yang nantinya akan terhidrolisis bersama dengan air membentuk ion NH4+ dan CO32-.
Selanjutnya CO32- akan bereaksi dengan bereaksi dengan ion Ca2+ dan menghasilkan kalsit CaCO3. Pada saat kalsit
mengendap pada ruang pori tanah dan mengisi rongganya maka sifat mekanik tanah akan mengalami peningkatan
(Cheng, et al., 2014; Tsesarsky, et al., 2017; Raveh-Amit dan Tsesarsky, 2020). Metode MICP sangat tergantung
oleh kondisi lingkungan, yaitu kondisi pH, suhu, durasi reaksi predator alam dari bakteri, potensi redoks, dan
keterbatasan ruang (Kim, et al., 2018). Oleh karena itu, metode ini cukup kompleks dan sulit diterapkan dimana
harus memperhatikan kondisi lingkungan agar bakteri tetap hidup dan presipitasi juga dapat berjalan. Dikarenakan
metode ini cukup susah untuk diterapkan secara langsung di lapang, maka muncul inovasi baru yaitu dengan
menggunakan enzyme sebagai pengganti dari bakteri. Metode tersebut dikenal dengan Enzyme Mediated Calcide
Precipitation atau EMCP.

EMCP adalah metode perbaikan tanah yang memanfaatkan enzyme urease sebagai bahan proses hidrolisis urea
yang menghasilkan ion NH4+ dan CO32-. Selanjutnya ion CO32- akan membentuk kalsit dan terpresipitasi kedalam
tanah (Putra, et al.; 2015, Putra, et al., 2016; Putra, et al., 2017a; Putra, et al., 2017b). EMCP merupakan solusi dari
metode MICP yang mana dalam pengaplikasiannya masih terhambat didalam mengkondisikan bakteri dan
lingkungannya sehingga susah untuk diterapkan dilapang. Metode EMCP sendiri dapat digunakan sebagai
penambah kekuatan pada tanah yaitu meningkatkan shear strength, stifsness dan mengurangi permeabilitas
tanah(Putra, et al., 2018; Putra, et al., 2020a). Metode EMCP sudah berhasil meningkatkan kekuatan tanah berpasir
dan dapat digunakan dalam pencegahan liquifaksi (Putra, 2017; Putra, et al., 2020).

Metode bio-mediated soil improvement merupakan salah satu metode yang berpotensi besar dalam memperbaiki
tanah dengan proses biologi yang tentunya lebih ramah lingkungan. Oleh karenanya banyak penelitian mengenai
metode ini baik dengan memanfaatkan bakteri maupun enzyme. Paper ini akan mendiskusikan tentang aplikasi
metode bio-grouting dengan memanfaatkan endapan kalsit sebagai media perbaikan tanah mulai dari konsep kalsit,
mekanisme perbaikan tanah, potensinya dalam perbaikan tanah, dampak lingkungan, serta tantangan dan peluang
pengembangan.

2 KONSEP KALSIT SEBAGAI PERBAIKAN TANAH

Kalsit merupakan salah satu jenis semen alami yang banyak ditemukan dialam. Studi awal mengenai kalsit
dilakukan oleh Ismail, et al. (2002) yang menunjukkan bahwa kalsit dapat digunakan sebagai pengganti semen dan
menambah sifat mekanik dari suatu material porus (Ismail, et al., 2002). Kalsit dapat ditemukan secara alami yaitu
melalui aktifitas dari bakteri. Proses pembentukan kalsit pada metode MICP sendiri dibagi menjadi dua kategori
yaitu biostimulation (mikroba asli tanah yang diinjeksikan nutrient) dan bioaugmentation (mikroba dan nutrient
yang diinjeksikan bersama ke dalam tanah) (Rahman, et al., 2020). Proses MICP diperoleh melalui proses kimia
seperti hidrolisis urea, denitrifikasi, reduksi besi, dan reduksi sulfat (Kim, et al., 2018; Rahman, et al., 2020; Raveh-
Amit dan Tsesarsky, 2020).

Proses hidrolisis kimia ini bisa dilihat pada Persamaan 1, 2, dan 3. Dimana urea akan terhidrolisis dan
menghasilkan ion karbonat yang akan bereksi dengan ion kalsium dan menghasilkan kalsit yang akan terpresipitasi
ke dalam tanah. Proses ini tidak hanya ada pada metode MICP tapi juga diterapkan pada metode EMCP.

( 2)2 + 2 2O → 2 4+ + 32− (1)

2. 2O → 2+ + 2 − (2)

2+ + 32− → CaC 3 (3)

Pada proses hidrolisis ini memiliki tingkat efisiensi yaitu 90% dan mudah untuk di kontrol (Rahman, et al., 2020).
Selain proses hidrolisis, proses kimia berupa denitrifikasi oleh bakteri juga banyak diteliti sebagai alternatif metode
yang memiliki potensi perbaikan tanah. Dapat dilihat pada Persamaan 4 dan 5 proses dari denitrifikasi menjadi
kalsit. Proses ini banyak digunakan pada mitigasi likuifaksi dengan memanfaatkan pelepasan N2 yang tidak larut
(Rahman, et al., 2020).

649

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3− + 1,25 2O → 0,5 2 + 1,25 2 + 0,75 2O + − (4)

2+ + 2 + 2 − → CaC 3 + 2O (5)

Metode EMCP juga menerapkan reaksi kimia hidrolisis seperti pada Persamaan 1, 2, dan 3. Perbedaan antara
MICP dan EMCP dalam memproduksi kalsit terletak pada agen urease, dimana pada MICP digunakan bakteri
sedangkan EMCP digunakan enzim. Enzim yang digunakan disebut urease, enzim ini bisa diperoleh secara kimiawi
maupun ditemukan di alam. Tumbuhan yang mengandung banyak urea antara lain varietas kacang-kacangan,
melon, dan keluarga tumbuhan pinus (Baiq, et al., 2020). Metode EMCP ini terbilang cukup mudah dimana enzyme
urea tidak memerlukan perlakuan khusus seperti pada bakteri. Pengaplikasian dari metode ini yaitu dengan
mencampurkan bubuk urease dengan pasir dan larutan CaCl2-urea lalu diinjeksikan dengan tekanan 50 kPA
(Yasuhara, et al., 2012; Putra, Yasuhara, Erizal, et al., 2020a).

3 SHEAR STRENGTH

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa kedua metodeo bio-mediated soil improvement baik berupa MICP
maupun EMCP terbukti dapat meningkatkan daya dukung tanah. Salah satu parameter yang diukur adalah shear
strength atau kekuatan geser tanah. Kekuatan geser tanah bisa dilihat pada pengujian UCS. Dalam beberapa
penelitian dilakukan beberapa perlakuan untuk metode MICP yaitu dengan membedakan bakteri. Bakteri yang
digunakan akan mempengaruhi konsentrasi urea yang akan terbentuk. Pada table 1 dapat terlihat bahwa terdapat
beberapa jenis bakteri yang diuji coba untuk memperbaiki kekuatan geser tanah jenis pasir Ottawa. Terlihat bahwa
nilai UCS tertinggi terdapat pada pengujian menggunakan bakteri S pasteurii dengan penambahan urease dengan
konsentrasi kimia urea tertinggi yaitu dalam rentang 0,25-1,5 dimana memperoleh nilai UCS hingga 2145 kPA.
Dapat terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi dari bahan kimia yang terbentuk oleh aktivitas bakteri, maka akan
semakin tinggi juga nilai dari UCS. Adapun faktor lain yang mempengaruhi dari penambahan kekuatan dan
efektivitas dari metode ini adalah faktor lingkungan berupa pH, temperatur, dan durasi reaksi(Kim, Kim dan Youn,
2018). Dimana hal tersebut mempengaruhi dari aktivitas bakteri sehingga berpengaruh pada reaksi kimia atau
presipitasi kalsit yang terjadi. Dimana pH optimum yang diperlukan adalah netral yaitu pada pH 7 dengan suhu
30oC, dimana diatas 50oC presipitasi sedikit terjadi. Lama durasi yang dibutuhkan yaitu antara 2-3 hari (Kim, Kim
dan Youn, 2018).

Tabel 1. Hasil Uji UCS menggunakan metode MICP (Choi, et al., 2020)

Bakteri Aktivitas Tanah Density Konsentrasi kimia UCS (kPa)
Nama Urease Tipe (g/cm3) Urea Ca
1,62 – 1,63 180 – 2270
Bacillus sphaericus 10 U/ml Ottawa sand 1,65 1,0 1,0 230 – 2215
Sporosarcina pasteurii Ottawa sand 1,7 0,3 0,3 520 – 1709
Sporosacina pasteurii 3,7 mM/min Ottawa sand 0,3 0,3
1,5 – 2,0 1,58 -1,64 98 – 2145
S pasteurii and urease mL/min Ottawa sand 0,25-1,5 0,25-1,5
0,3 – 1,5
(OD600)

Disamping itu, dapat terlihat pada table 2 terdapat beberapa benda uji dengan menggunakan metode EMCP pada
kadar urease yaitu 1,5 – 6 g/L. Pengujian ini juga dilakukan pada jenis tanah yang sama yaitu pasir Ottawa.

Diperoleh hasil dengan konsentrasi enzyme urease sebanding dengan peningkatan konsentrasi urea yang terbentuk.

Hal tersebut juga sebanding dengan peningkatan kekuatan, dimana pada konsentrasi Urease 6 g/L dengan urea yang

terbentuk yaitu 3 M menghasilkan kekuatan mencapai 2400 kPa.

Table 2. Hasil Uji UCS menggunakan metode EMCP (Almajed, et al., 2020)

EICP Enzime Urease Tanah Konsentrasi kimia Nofat dry UCS (kPa)
Tipe
E1 Density Urea CaCl2.H2O milk (g/L) 750
E2 (g/cm3) 1500
E3 1,5 g/L Ottawa sand 1,59 -1,80 0,5 M 0,335 M 4 2400
3,0 g/L Ottawa sand 1,59 -1,80 1,0 M 0,670 M 4
6,0 g/L Ottawa sand 1,59 -1,80 2,0 M 1,340 M 4

650

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 DISTRIBUSI MATERIAL DAN EFEKTIVITAS

Distribusi material penting dianalisis guna menguji efektivitas dari kedua metode dalam memperbaiki tanah.
Diperlukan distribusi material yang merata guna menjadikan peningkatan kekuatan tanah yang menyeluruh.
Distribusi material diamati melalui cara yaitu mencoba kedua metode tersebut pada sebuah bidang yang dapat
direpresentasikan tanah di lapang. (Cheng dan Cord-Ruwisch, 2014) melakukan sebuah penelitian untuk melihat
distribusi material MICP dengan metode prekolasi permukaan. Hasil yang didapatkan adalah metode MICP ini
layak untuk digunakan di lapang. Dengan metode perkolasi permukaan cocok digunakan pada tanah dengan tingkat
permeabilitas yang tinggi seperti tanah kerikil atau pasir kasar dengan kedalaman konsolidasi mencapai 2 m.
Sedangkan pada penelitiannya menggunakan tanah berpasir halus menunjukkan bahwa homogenitas kekuatan yang
dihasilkan masih kurang dengan kedalaman konsolidasi 1 m. Dapat dilihat pada gambar 1 merupakan model
matematik dari local strength yang terukur (Cheng dan Cord-Ruwisch, 2014). Penelitian lain dengan menggunakan
metode EMCP mengungkapkan bahwa metode EMCP yang diterapkan pada drum memberikan hasil kalsit yang
terbentuk homogen dengan bentuk kalsit yang terbentuk berupa lingkaran (Putra, et al., 2020a). Adanya
penambahan magnesium pada metode EMCP terbukti dapat mengontrol laju hidrolisis dan membuat distribusi
presipitasi kalsit lebih homogen dengan tingkat keseragaman mencapai 48% (Putra, et al., 2016; Putra, et al.,
2020a).

Gambar 1. Hasil pengujian MIPC pasir halus (a) dan (b), hasil pengujian EMCP (c),
(Cheng dan Cord-Ruwisch, 2014; Putra, et al., 2020b)

5 DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN

Teknik perbaikan tanah dengan metode bio-mediated sail improvement yaitu menggunakan MICP dan EMCP
dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan teknik perbaikan tanah lainnya. Didasarkan pada bahan
yang digunakan adalah bakteri dan enzyme yang merupakan bahan yang terdapat dialam. Berkebalikan dengan
pernyataan tersebut, nyatanya dalam penerapannya bakteri yang digroutingkan bisa merusak komunitas bakteri asli
dan menghasilkan bahan kimia yaitu C dan N (urea, natrium asetat, molase, ragi, dan ammonium klorida) serta
CaCl2 merupakan produk sisa industry. Pada penelitiannya Casas (2020) menyatakan bahwa aktivitas bakteri
menghasilkan CO2 pada proses pasca reaksi (nitrifikasi). CO2 merupakan salah satu gas pencemar pada efek rumah
kaca. Penambahan deolite dan pengoptimalan durasi reaksi antara 8-10 jam yaitu bisa mengurangi 50-75% emisi
CO2 (Casas, et al., 2020). Pada penelitian lain, ditemukan bahwa pH yang dihasilkan selama proses MICP dalam
kisaran 6,5 – 8,5 dimana pH tersebut masih aman terhadap lingkungan. Terdapat kemungkinan pengendapan logam
dan terdapat efek samping adanya proses bioleaching dalam tanah sehingga terjadi pelepasan Cu akibat dari
aktivitas bakteri (Zhang, et al., 2021). Terdapat beberapa dampak lingkungan terhadap aktivitas bakteri dalam
metode MICP, walaupun memiliki dampak yang tidak terlalu signifikan adanya penambahan komponen baru di
alam akan membuat komponen keseimbangannya berubah. Pada Teknik EMCP, produk sisa yang dihasilkan dalam
reaksinya adalah ammonia yang mana juga dapat mencemari lingkungan. Ion ammonia ini berperan penting dalam
pembentukan kalsit dan efektivitas perbaikan tanah (Putra, et al., 2020a). Beberapa metode yang dapat digunakan
untuk mengurangi adanya ion ammonia ini adalah dengan penambahan zeolite. Penambahan zeolite dapat
mengurangi konsentrasi ammonia dengan kekuatannya 75% dari kekuatan awal (Putra, et al., 2017a; Putra, et al.,
2020a).

6 TANTANGAN DAN PELUANG APLIKASI METODE MICP DAN EMCP

Penggunaan metode bio-mediated soil improvement dengan Teknik MICP dan EMCP memiliki peluang
keberlanjutan yang prospektif. Dalam metode grouting yang sudah dilakukan baik metode MICP dan EMCP
memperlihatkan hasil dimana metode ini bisa diterapkan. Tantangan yang ada yaitu pada penerapan metode MICP

651

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

aktivitas bakteri harus diamati secara kontinu untuk dapat menghasilkan reaksi yang homogen. Disamping itu
menggunaan EMCP lebih mudah diterapkan dimana yang perlu dipertimbangkan hanya tipe tanah dan presipitasi
serta ilfiltrasi material. Dari segi ramah lingkungan, nyatanya kedua metode ini masih menimbulkan dampak
lingkungan dari material sisa reaksi yang terjadi. Perlu adanya penelitian lanjutan guna mengurangi sisa material
yang ditimbulkan tanpa mengurangi kekuatannya. Pada penerapannya di media tanah yang berbeda perlu dilakukan
penelitian kembali terkait dengan kadar organic maupun anorganik dari tanah yang dapat mempengaruhi reaksi
pembentukan kalsit dikedua metode tersebut.

7 KESIMPULAN

Metode perbaikan tanah menggunakan MICP dan EMCP merupakan salah satu metode perbaiakn tanah yang
prospektif untuk diaplikasikan. Dalam beberapa penelitian dibuktikan bahwa kedua metode dapat meningkatkan
kekuatan geser tanah. Dimana hasil pengujian UCS mencapai nilai 2145 kPa untuk MICP dan 2400 kPa untuk
EMCP. Distribusi material pada metode MICP dan EMCP memiliki homogenitas yang baik dengan memperhatikan
beberapa faktor lingkungan dan durasi reaksi. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kedua metode tersebut
terletak pada material sisa reaksi yang mana dapat mencemari lingkungan. Penambahan material lain seperti deolit
dan zeolite bisa dijadikan alternatif hanya saja mengurangi dari segi kekuatannya. Hal tersebut masih diperlukan
penelitian lanjutan. Disamping itu, dampak lingkungannya masih lebih rendah dimana dalam pembuatannya tidak
menghasilkan limbah tertentu, hanya dalam proses pengaplikasiannya masih menghasilkan produk sisa. Penelitian
lebih lanjut diperlukan guna pengaplikasian di beragam jenis tanah lain.

REFERENSI
Almajed, A., Abbas, H., Arab, M., Alsabhan, A., Hamid, W., dan Al-Solloum, Y. (2020). “Enzyme-Induced
Carbonate Precipitation (EICP)-Based methods for ecofriendly stabilization of different types of natural sands”.
Journal of Cleaner Production, 274, p. 122627

Baiq, H. S., Yasuhara, H., Kinoshita, N., Putra, H., dan Johan, E. (2020). “Examination of calcite precipitation
using plant-derived urease enzyme for soil improvement”. International Journal of GEOMATE, 19(72), pp. 231–
237

Casas, C. C., Graf, A., Bruggemann, N., Schaschke, C. J., dan Jorat, M. E. (2020). “Dolerite Fines Used as a
Calcium Source for Microbially Induced Calcite Precipitation Reduce the Environmental Carbon Cost in Sandy
Soil”. Frontiers in Microbiology, 11(September), pp. 1–11

Cheng, L. dan Cord-Ruwisch, R. (2014) “Upscaling Effects of Soil Improvement by Microbially Induced Calcite
Precipitation by Surface Percolation”. Geomicrobiology Journal, 31(5), pp. 396–406

Cheng, L., Shahin, M. A. dan Cord-Ruwisch, R. (2014). “Soil Stabilisation by Microbial-Induced Calcite
Precipitation (MICP): Investigation into Some Physical and Environmental Aspects”. 7th International Congress
on Environmental Geotechnics, 64(12), pp. 1105–1112

Choi, S. G., Chang, I., Lee, M., Lee, J. H., Han, J. T., dan Kwon, T. H. (2020). “Review on geotechnical
engineering properties of sands treated by microbially induced calcium carbonate precipitation (MICP) and
biopolymers”. Construction and Building Materials, 246, p. 118415

Geonandi, D. H. (2017). “Perbaikan tanah melalui mediasi hayati [Bio-mediated soil improvement]”, E-Journal
Menara Perkebunan, 85(1), pp. 44–52

Ismail, M. A., Joer, H. A., Randolph, M., dan Meritt, A. (2002). “Cementation of porous materials using calcite”.
Geotechnique, 52(5), pp. 313–324

Kim, G., Kim, J. dan Youn, H. (2018). “Effect of temperature, pH, and reaction duration on microbially induced
calcite precipitation”. Applied Sciences (Switzerland), 8(8)

Lesmana, A. dan Susila, E. (2016). “Studi Perilaku dan Mekanisme Interaksi Penggabungan Prefabricated Vertical
Drain dan Deep Cement Mixing untuk Perbaikan Tanah Lunak”. Jurnal Teknik Sipil, 23(3), pp. 203–212

652

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Putra, H., Yasuhara, H., Kinoshita, N., dan Neupane, D. (2015). “Optimization of Calcite Precipitation as a Soil
Improvement Technique”. Proceedings of the 2nd Makassar International Conference on Civil Engineering,
(August), pp. 9–14

Putra, H., Yasuhara, H., Kinoshita, N., dan Neupane, D. (2016). “Effect of magnesium as substitute material in
enzyme-mediated calcite precipitation for soil-improvement technique”. Frontiers in Bioengineering and
Biotechnology, 4(MAY)

Putra, H. (2017). “Optimization of Enzyme-Mediated Calcite Precipitation for Soil Improvement Technique”.
(October), p. 5. Available at: http://iyokan.lib.ehime-u.ac.jp/dspace/handle/iyokan/5279.

Putra, H., Yasuhara, H., Kinoshita, N., Erizal, dan Sudibyo, T. (2018). “Improving Shear Strength Parameters of
Sandy Soil using Enzyme-Mediated Calcite Precipitation Technique”. Civil Engineering Dimension, 20(2), p. 91

Putra, H., Yasuhara, H., Kinoshita, N., dan Fauzan, M. (2020). “Promoting Precipitation Technique using Bio-
Chemical Grouting for Soil Liquefaction Prevention”. Civil Engineering Dimension, 22(1), pp. 1–5

Putra, H., Yasuhara, H., Fauzan, M., dan Erizal. (2020a). “Review of enzyme-induced calcite precipitation as a
ground-improvement technique”. Infrastructures, 5(8)

Putra, H., Yasuhara, H., Fauzan, M., dan Erizal. (2020b). “Review of Enzyme-Induced Calcite Precipitation as a
Ground-Improvement Technique”. Infrastructures, 5(8), p. 66

Putra, H., Yasuhara, H. dan Kinoshita, N. (2017a). “Applicability of natural zeolite for NH-forms removal in
enzyme-mediated calcite precipitation technique”. Geosciences (Switzerland), 7(3)

Putra, H., Yasuhara, H. dan Kinoshita, N. (2017b). “Optimum condition for the application of enzyme-mediated
calcite precipitation technique as soil improvement method”. International Journal on Advanced Science,
Engineering and Information Technology, 7(6), pp. 2145–2151

Rahman, M. M., Hora, R. N., Ahenkorah, I., dan Beecham, S. (2020). “State-of-the-art review of microbial-induced
calcite precipitation and its sustainability in engineering applications”. Sustainability (Switzerland), 12(15)

Raveh-Amit, H. dan Tsesarsky, M. (2020). “Biostimulation in desert soils for microbial-induced calcite
precipitation”. Applied Sciences (Switzerland), 10(8)

Soon, N. W., Lee, L. M., Khun, T. C., dan Ling, H. S. (2013). “Improvements in engineering properties of soils
through microbial-induced calcite precipitation”. KSCE Journal of Civil Engineering, 17(4), pp. 718–728

Tsesarsky, M., Gat, D. dan Ronen, Z. (2017). “Biological aspects of microbial-induced calcite precipitation”.
Environmental Geotechnics, 5(2), pp. 69–78

Umar, M., Kassim, K. A. dan Ping Chiet, K. T. (2016). “Biological process of soil improvement in civil
engineering: A review”. Journal of Rock Mechanics and Geotechnical Engineering, 8(5), pp. 767–774

Wen, K., Li, Y., Liu, S., Bu, C., dan Li, L. (2019). “Development of an Improved Immersing Method to Enhance
Microbial Induced Calcite Precipitation Treated Sandy Soil through Multiple Treatments in Low Cementation
Media Concentration”. Geotechnical and Geological Engineering, 37(2), pp. 1015–1027

Yasuhara, H., Neupane, D., Hayashi, K., dan Okamura, M. (2012). “Experiments and predictions of physical
properties of sand cemented by enzymatically-induced carbonate precipitation”. Soils and Foundations, 52(3), pp.
539–549

Zhang, J., Su, P., Li, Y., dan Li, L. (2021). “Environmental investigation of bio-modification of steel slag through
microbially induced carbonate precipitation”. Journal of Environmental Sciences (China), 101, pp. 282–292

653

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Studi Pengaruh Penambahan Zeolite Sangkaropi Sebagai
Bahan Stabilisasi Material Tanah Lunak

N. Marfu’ah*, T. Harianto, R. Irmawaty, A. B. Muhiddin

Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Tanah memiliki peran yang sangat penting dalam konstruksi jalan sehingga, kapasitas daya dukung sudah menjadi parameter
yang perlu diperhatikan. Metode yang paling sering digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung tanah adalah
stabilisasi secara kimiawi. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai CBR pada tanah lunak yang distabilisasi
secara kimiawi dengan material alam. Dalam hal ini, material alam yang digunakan merupakan zeolite dengan persentase 3%.
Untuk kondisi tak terendam, nilai CBR diuji pada waktu pemeraman 0,1,14 dan 28 hari. Sedangkan untuk kondisi terendam
terbagi atas dua kondisi lingkungan, yaitu pada air tawar dan air laut. Hasil menunjukkan bahwa, nilai CBR tanah terstabilisasi
zeolite meningkat seiring dengan meningkatnya periode pemeraman, dengan peningkatan sebesar 3 kali – 6 kali. Sedangkan,
untuk kondisi terendam, kedua kondisi lingkungan yaitu air tawar dan air laut menunjukkan nilai CBR yang cenderung sama,
masing-masing 1,7 kali dan 1,6 kali. Berdasarkan SNI 03-3437-1994 dan SNI 03-3438-1994 mengenai persyaratan timbunan
yang distabilisasI, pada kondisi tak terendam, nilai CBR memenuhi untuk pengaplikasian sebagai lapisan subbase. Sedangkan
untuk kondisi terendam memiliki nilai CBR yang masih lebih besar dari nilai CBR tanah asli.

Kata kunci: Zeolite, CBR,Rendaman dan Tak Terendam

1 PENDAHULUAN
Ketersediaan material terkadang menjadi salah satu permasalahan yang terjadi di lapangan. Salah satunya adalah
ketersediaan sirtu dalam sebuah pekerjaan jalan. Beberapa daerah di Indonesia contohnya Papua, sering kali
mengalami kesulitan dalam penyediaan sirtu, yang dalam penyediaannya membutuhkan alokasi dana yang sangat
banyak untuk mendatangkan sirtu dari daerah lain. Sehingga, material lokal alternatif sangat dibutuhkan untuk
kondisi-kondisi seperti ini.

Tanah merupakan salah satu material yang tersedia langsung di lapangan (Bowles, 1986). Namun, kapasitas daya
dukung yang rendah sering kali menjadi permasalahan yang ditemui. Sehingga berbagai metode perkuatan tanah
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung tanah tersebut. Stabilisasi kimia merupakan metode yang
paling ekonomis dalam perkuatan tanah (Hardiyatmo, 2010) Sehingga, metode ini merupakan metode paling sering
digunakan. Material yang paling umum digunakan sebagai material pengikat adalah material alam yaitu semen dan
kapur, namun seiring perkembangan zaman, penggunaan material alternsatif sebagai material pengikat sudah
semakin banyak dikembangkan. Umumnya pengembangan material alternatif ini berasal dari material alam lainnya
seperti zeolite lokal (Tangkeallo, et al., 2018) maupun zeolite impor (Mahabadi, et al., 2006) dan material alternatif
dari sisa produk/produk sekunder seperti: fly ash (Nurdin, et al., 2016), fiber (Kumar, et al., 2007; Harianto, et al.,
2008), limbah aspal buton (Harianto, et al., 2019) serta overboulder aspal buton (Dhani, et al., 2018). Hal ini
dilakukan untuk memanfaat sumber daya alam maupun limbah dengan sebaik mungkin.

2 METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Material

2.1.1 Tanah lunak
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tanah lunak yang diambil di daerah Kampus Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin Kabupaten Gowa. Tanah lunak ini kemudian diuji dengan beberapa pengujian
karakteristik dasar seperti pengujian kadar air mula-mula ketika pengambilan sampel dilakukan, pengujian analisa
saringan, pengujian berat jenis, dan pengujian batas-batas atterberg serta pengujian karakteristik mekanis yang
terdiri dari kompaksi dan CBR. Adapun metode pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM dan kemudian

654

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

data-data tersebut digunakan untuk menentukan jenis tanah dengan mengacu kepada sistem USCS maupun
AASHTO.

GOWA REGENCY

Gambar 1. Lokasi pengambilan tanah

2.1.2 Zeolite

Zeolite merupakan salah satu jenis mineral yang memiliki deposit cukup besar di alam yang sering digunakan
sebagai katalis. Kemampuan menyerap air zeolite membuatnya sering digunakan dalam bidang industri (Sarajar
dan Legrans, 2018). Lokasi pengambilan zeolite pada penelitian ini bertempat di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi
Selatan. Potensi zeolite Sangkaropi Kabupaten Toraja Utara ini, memiliki deposit sekitar 168.480.000 ton pada
daerah seluas 360.000 m² (Kartawa dan Kusumah, 2010). Berdasarkan hasil tes Difraksi X-Ray, senyawa penyusun
zeolite terdiri dari 81,83% SiO2. Dimana, hal itu menyebabkan senyawa ini berpotensi untuk membentuk reaksi
pozzolan. Zeolite yang digunakan merupakan fraksi yang lolos ssaringan no.200. Ini disebabkan oleh tingkat
reaktivasi material sangat dipengaruhi oleh tingkat kehalusan partikelnya dalam artian semakin besar luas
permukaan spesifik suatu material maka akan mempercepat reaksi kimia yang terjadi (janz dan Johansson, 2002).

(a) Berbutir kasar (b) Lolos saringan No. 200

Gambar 2. Zeolite

Presentasi zeolite yang digunakan adalah 3% dari berat tanah. Pembuatan sampel yang digunakan mengacu kepada
berat isi kering dan kadar air optimum dari pengujian kompaksi.

2.2 Prosedur Pengujian

2.2.1 Komposisi rencana/mix design

Sampel yang akan dibuat yaitu sampel CBR. Dimana sampel tanah asli dibuat dalam dua kondisi, yaitu kondisi tak
terendam dan rendaman air tawar sedangkan, untuk sampel tanah yang terstabilisasi zeolite dibuat dalam tiga
kondisi yaitu, kondisi tak terendam, rendaman air tawar dan rendaman air laut. Adapun perendaman sampel ini
dilakukan selama 4 hari / 96 jam setelah dilakukan curing selama 2 jam. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
membandingkan perilaku sampel terhadap lingkungan yang berbeda.

655

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Berikut merupakan data Mix Design yang ditampilkan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Mix design

Sampel Komposisi Waktu Kondisi
Tanah Asli Zeolite (%) Curing
(hari) Rendaman/Tak
0 0 terendam

Tanah+3% Zeolite 3 0,1,14,28 Tak Terendam

Tanah+3% Zeolite 3 0 Rendaman air laut

Tanah+3% Zeolite 3 0 Rendaman air tawar

2.2.2 Pembuatan benda uji

Pembuatan benda uji CBR dilakukan menggunakan metode pemadatan statis (Sharma & Deka, 2016; Venkatarama
Reddy & Jagadish, 1993). Kepadatan sampel dengan menggunakan metode pemadatan statis lebih akurat, lebih
mendekati nilai ɤdry maksimum pada hasil pengujian kompaksi dan mudah dikontrol dibandingkan dengan metode
dinamis.

(a) Rendaman (b) Tak terendam

Gambar 3. CBR

Sampel CBR berdimensi 15,2 cm x 17,8 cm kemudian dipadatkan dengan menggunakan alat CBR dengan

kecepatan 1,2 mm/menit dan kemudian diperam dengan waktu yang telah ditentukan seperti pada Tabel 1.
Pengujian CBR laboratorium mengacu pada standar ASTM D1883 – 16.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut merupakan hasil pengujian CBR akibat penambahan zeolite yang disajikan dengan waktu curing yang
berbeda dan pengaruh lingkungan yang berbeda.

3.1 Karakteristik Tanah

Pengujian karakteristik fisik tanah lempung melalui serangkaian pengujian propertis dasar. Berdasarkan hasil
pengujian sampel tanah lempung tersebut, maka berdasarkan standar USCS, material lempung yang digunakan
dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi CH atau tanah lempung anorganis dan tanah subur dengan
plastisitas tinggi. Adapun berdasarkan standar AASHTO tanah yang digunakan dalam penelitian ini masuk dalam
klasifikasi A-7-6. Berikut merupakan hasil pengujian karakteristik dasar yang ditampilkan pada Tabel 2.

656

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 2. Karakteristik Tanah Hasil
2,71
No Jenis Pengujian Satuan 12,17
1 Berat Jenis (Gs) -
2 Kadar Air mula-mula (Wn) % 37,41
3 Analisa Saringan 21,76
4 Pasir % 40,83
%
Lanau % 58,37
Lempung 29,08
5 Batas-batas Atterberg % 29,29
a. Batas Cair (LL) %
b. Batas Plastis (PL) % 1,41
c. Indeks Plastisitas (PI) 25,28
6 Standard Proctor Test) gr/cm3 6,84
a. MDD (d maks) %
b. Kadar air optimum (wopt) % 2,78
7 California Bearing Ratio (CBR) Unsoaked

8 California Bearing Ratio (CBR) Soaked %

CH

Gambar 3. Diagram plastisitas Casagrande

3.2 CBR Tanah Asli
Di bawah ini pada Gambar 4 ditampilkan perbandingan nilai CBR tanah asli tanpa penambahan bahan stabilisasi.

6,84
California Bearing Ratio, CBR
(%) 2,78

Tak Terend0am Rendam5 an
Kondisi Lingkungan

Gambar 4. Nilai CBR tanah kondisi tak terendam dan rendaman

657

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Berdasarkan gambar 4, dapat dilihat bahwa kondisi tak terendam memiliki nilai CBR yang lebih tinggi daripada
kondisi rendaman yaitu 6,84 % dan 2,78%. Ini disebabkan oleh air rendaman yang mempengaruhi tegangan air pori
sehingga tegangan efektif menurun pada sampel sehingga kapasitas dukung semakin menurun.

Kapasitas dukung pada tanah ditunjukkan dengan nilai CBR. Dalam standar SNI 03-3437-1994 dan SNI 03-3438-
1994 untuk timbunan yang distabilisasi semen dan kapur mensyaratkan bahwa nilai CBR untuk nilai lapisan tanah
dasar (subgrade) adalah minimum 6% sementara untuk pengaplikasian sebagai lapis pondasi bawah (subbase)
minimum 20%. Di bawah ini ditunjukkan hasil pengujian CBR tanah terstabilisasi zeolite dengan umur pemeraman
yang bervariasi pada Gambar 5.

45

California Bearing Ratio, CBR (%) 40 40,80
28
35 31,42

30 27,99
25 23,23
20

15

10

5

0

0 7 14 21
Curing Time ( days )

Gambar 5. Nilai CBR pada variasi masa pemeraman

Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5, dapat dilihat kecenderungan nilai CBR meningkat seiringCalifornia Bearing Ratio, CBR (%)
dengan peningkatan masa pemeraman yaitu mulai dari 0 hari, 1 hari, 14 hari hingga 28 hari. Ini disebabkan oleh
semakin meningkatnya umur pemeraman, maka akan menyebabkan aglomerasi tanah apabila ditinjau secara
structural menggunakan XRD. Adapun nilai CBR berturut-turut yaitu: 23,23%; 27,99; 31,42%; 40,80%. Dimana,
dengan merujuk pada standar SNI 03-3437-1994 dan SNI 03-3438-1994 untuk timbunan terstabilisasi, penambahan
zeolite 3% untuk kondisi tak terendam memenuhi persyaratan untuk pengaplikasian sebagai lapis pondasi bawah
(subbase).

3.3 Rekapitulasi CBR Tanah + Zeolite pada Kondisi Lingkungan Berbeda

25 23,23

20

15

12,14

11,02

10

5

0 Rendaman A5ir Tawar Rendam1a0n Air Laut
Tak Tere0ndam Kondisi Lingkungan

Gambar 6. Nilai CBR tanah kondisi tak terendam, rendaman air tawar, dan rendaman air laut

Berdasarkan Gambar 6 diperoleh data pada kondisi tak terendam, kondisi rendaman air tawar dan kondisi
rendaman air laut. Sampel yang dibandingkan merupakan sampel tanpa pemeraman (0 hari) dan untuk sampel
rendaman, sampel ini direndam selama 96 jam (4 hari).

Berdasarkan hasil penelitian, tanah terstabilisasi pada kondisi tak terendam memiliki nilai CBR yang lebih tinggi
daripada tanah terstabilisasi pada kondisi rendaman. Pada kondisi tak terendam, rendaman air tawar dan rendaman

658

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

air laut berturut-turut diperoleh nilai CBR sebesar 23,23%; 12,14%; 11,02%. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya pada Gambar 4, kondisi perendaman pada sampel tanah akan menurunkan daya dukung tanah tersebut,
baik itu tanah yang tak terstabilisasi maupun tanah yang terstabilisasi.

Adapun untuk kondisi rendaman air tawar dan air laut pada penelitian ini memiliki nilai CBR yang cenderung
sama. Dengan merujuk pada SNI 03-3437-1994 dan SNI 03-3438-1994, penambahan zeolite 3% pemeraman 0 hari
untuk kondisi rendaman tidak memenuhi untuk pengaplikasian sebagai lapisan pondasi bawah jalan (subbase).
Namun, nilai CBR rendaman yang diperoleh masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai CBR tanah asli
yang tak terendam. Ini membuktikan bahwa, penambahan zeolite 3% sangat efektif untuk meningkatkan nilai CBR
meskipun pada pemeraman 0 hari.

4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan analisa data, dapat disimpulkan sebagai berikut.

a) Nilai CBR mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan masa pemeraman. Dimana pada penelitian ini
nilai CBR optimum 40,80% yang diperoleh pada pemeraman 28 hari.

b) Berdasarkan SNI 03-3437-1994 dan SNI 03-3438-1994 mengenai persyaratan timbunan yang distabilisasi
semen dan kapur, penambahan zeolite 3% kondisi tak terendam dengan waktu pemeraman 0, 1, 14 dan 28 hari
memenuhi persyaratan untuk pengaplikasian sebagai lapis pondasi bawah (subbase). Sedangkan untuk kondisi
rendaman dengan waktu pemeraman 0 hari tidak memenuhi untuk pengaplikasian sebagai lapis pondasi bawah
(subbase)

REFERENSI
Bowles, J. (1986). Physical and Geotechnical Properties. McGraw-HillCollege, New York

Dhani, Noor, Samang, L., Harianto, T., dan Djamaluddin, A.R. (2018). "Characteristics Study of Over Boulder
Asbuton as Pozzalanic Material for Soft Soil Stabilization". International Seminar On Infrastucture Development,
Manado

Hardiyatmo, H. C. (2010). "Stabilisasi Tanah untuk Perkerasan Jalan". Gadjahmada University Press, Yogyakarta

Harianto, T., Du, Y., Hayashi, S., Suetsugu, D., dan Nanri, Y. (2008). "Geotechnical properties of soil-fibre
mixture as a landfill cover barrier material." J. Southeast Asian Geo. Society 39 (3): 137-143

Harianto, T., Rauf, I., dan Marfu'ah, N. (2019). "Studi Nilai Cbr Geokomposit Ringan (Tanah-Eps) Stabilisasi
Limbah Aspal Buton". Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2019, Surakarta

Janz, M., dan Johansson, S. E. (2002). The Function of Different Binding Agents in Deep Stabilization. National
Deep Mixing Program, Swedish Deep Stabilization Research Centre, Swedia

Kartawa, W., and Kusuma, K. D. (2010). Potential in Sangkaropi-Mendila Regions. Tana Toraja, Sulawesi Selatan

Kumar, Walia, A. B. J., dan Bajaj, A. (2007). "Influence of Fly Ash, Lime, and Polyester Fibers on Compaction
and Strength Properties of Expansive Soil." J.Mater.Civ.Eng. ASCE (ASCE) 19: 242-248

Nurdin, S., Samang, L., Patanduk, J., dan Harianto, T. (2016). "Kinerja Tanah Lunak Stabilisasi Fly Ash dengan
Perkuatan Serat Alami sebagai Lapis Penutup Landfill". Inersia

Sarajar, A. N., dan Legrans, R. R. I. (2018). "Pengaruh Penambahan Zeolite Terhadap Kuat Geser Tanah
Berlempung". Jurnal Sipil Statik, 6, 501-509.

Tangkeallo, M. M., Samang, L., Muhiddin, A. B., dan Djamaluddin, A. R. (2018). "Experimental Study of Laterite
Soil Stabilized with Zeolite". International Symposium on Infrastructure Development, Manado

659

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

SIMBOL DAN SINGKATAN

AASHTO Association of American Society Highway Transport Organization

ASTM American Society for Testing Materials

CBR California Bearing Ratio

CH Lempung berplastisitas tinggi

MDD Berat isi kering maksimum/Maximum Dry Density

OMC Kadar air optimum/Optimum Moisture Content

SNI Standar Nasional Indonesia

USCS Unified Soil Classification System

660

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Python Application in Geotechnical Engineering Practices – A Review

B.A. Yogatama1*, B.A. Tirta2

1BUT Menard Geosystems, Jakarta, INDONESIA
2PT Witteveen Bos Indonesia, Jakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

The trend of the 4th industrial revolution has recently made an impact in the construction industry. The availability of vast
amount of data and the increasing number of Python programming language course demand led to several application cases of
automation, machine learning, visualization, etc. which boost the construction productivity. In civil engineering sector, one of
the most affected field is geotechnical engineering. This paper describes the application example of Python in daily
geotechnical engineering practices, and clearly describes the benefits of such effort compared to the conventional practices.
Future potential development and the main obstacles for this new field are also addressed. The use of Python will enforce
geotechnical engineers with a data driven decision-making tool which can resulted in a more economical and more reliable
geotechnical design.

Keywords: Python, Geotechnical, Automation

1 BACKGROUND
For the past years, the world is revolving for the fourth time: the so-called industrial revolution 4.0 or the 4th
industrial revolution is here, already existed, and subconsciously, we are already a part of it. We engage it for
almost every day (e.g. e-commerce, fintech, etc.). The backbone of this 4th revolution is present in the form of
internet, which is way easier to be accessed today compared to 10-20 years back. We are at the point where big,
raw data is within our grasp and waiting to be exploited. Today, this resource is just as valuable as oil and gas,
maybe even more.

As the financial technology and e-commerce flourish in this new era, the next question is how and what will be the
impact for the construction industry? More specifically, how can we implement and integrate this concept for all
sides within this industry (employer, design consultant, supervisor, contractor, professional association)? The
following chart by PWC summarizes the main field of application in which the construction industry can
participate.

Figure 3. Industry 4.0 framework and contributing digital technologies (www.pwc.com)

This interesting framework summarizes what defines industry 4.0 concept and it gives a first idea on how civil
engineers can contribute and apply it in the construction sector. Based on personal experience, below are some
examples of construction 4.0 which have been started and implemented in real life nowadays.

a) A mobile application specifically made for construction supervisors which enables them to take pictures at
project site, put some notes, and send the observation data to the cloud network which can be viewed,

661

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

interpreted, and assessed from a separate location (the site office) at the same time. This ease the supervisors in
coordination and data record filtering, thus optimizing their production.
b) 3D concrete printing for building (already implemented in The Netherlands).
c) BIM (Building Information Modelling) which has been implemented in many large-scale construction projects
worldwide.

Looking at the chart above, the backbone of all those innovations are digitalization and programming. Recently the
trend of programming language is more inclined toward Python, an open source language which is easier to
understand compared to others e.g. C++, Java, etc. Python is a very high-level, dynamic, object-oriented, general
purpose programming language that uses interpreter and can be used in a vast domain of applications. It was
designed to be easy to understand and easy to use. Python is termed as a very user-friendly and beginner-friendly
language in the recent times. It has gained popularity for being a beginner-friendly language, and it has replaced
Java as the most popular introductory language. As a dynamically typed language, Python is very flexible. This
language can support different styles of programming including structural and object-oriented (Srinath, 2017).

Based on the above positive features of Python, this paper tries to share the writer’s experience in using Python
with a focus in the field of geotechnical engineering (part of the construction industry) from the perspective of
geotechnical consultant, EPC marine contractor, and EPC ground improvement contractor (Chapter 2). Obstacles
often found during the application are addressed in Chapter 3, while Chapter 4 describes the potential development
and the expected role of geotechnical engineer in a digitalized geotechnical practice.

2 EXAMPLE OF PYTHON USAGE IN GEOTECHNICAL PRACTICES

The application of Python, considering all its features, in geotechnical engineering can be classified as three main
functions/purposes as summarized in Table 3. The application examples are listed in Table 4 along with which
Python function works for the corresponding case.

Function Table 3. Classification of Python function in geotechnical application
Calculator
Data handler Description
Computation of geotechnical calculation
Visualizer Management of bulk data files e.g., creating, deleting, reading, writing multiple data
from/into multiple files within a directory
Creation of interactive plot/chart

Table 4. List of Python application example

No. Example Case Applicable Function

1 Reading and visualizing CPT/CPTu Calculator, Data handler, Visualizer
2 CPT/CPTu liquefaction analysis Calculator, Data handler, Visualizer
3 Single-click conversion into 3D visualizer software Data handler
4 Automatic plotting of geotechnical monitoring chart Data handler, Visualizer
5 Automatic model creation for geotechnical software Data handler
6 Stochastic analysis, reliability assessment Calculator, Data handler, Visualizer
7 Quick estimation of cost or quantities Calculator, Data handler

2.1 Reading and Visualizing CPT/CPTu

Unlike Standard Penetration Test (SPT) result, the presentation of Cone Penetration Test (CPT) result is usually
come in the form of digital text format (e.g., XLS, TXT). Its low-cost nature and rapid execution lead to higher
number of CPT points assigned to a project compared to SPT. Therefore, usually the CPT result arrive in bulk
number at one time. The soil investigation contractor mostly submits the digital text data along with the graphs of
their own template. At one point there is a necessity to plot the graph of these large number CPT data with
personalized template showing features of the CPT/CPTu data which is not presented by the contractor. Python can
be used to automate the reading process of these data and subsequently create the intended plot of the graphs
(Figure 4).

2.2 CPT/CPTu Liquefaction Analysis

Liquefaction triggering analysis can be performed by either using SPT or CPT data following a simplified
procedure method (this method has been amended by various authors since its conception). Liquefaction analysis

662

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

using CPT data has several advantages compared to the SPT due to its continuous measurement of soil medium
properties (through cone resistance, qc and friction ratio, Rf). By this way, the presence of thin lenses and transition
layers can be detected and subsequently included or excluded from the analysis. Similar with the previous example,
large numbers of CPT data always arrive periodically in a project which require them to be analysed against
liquefaction (e.g. Dynamic Compaction and/or Vibro Compaction ground improvement project). Python script can
be developed to automate the analysis and mass-produce the liquefaction profile plot (Figure 5).

Figure 4. Reading and plotting multiple CPT/CPTu data files

Figure 5. Liquefaction analysis from multiple CPT/CPTu data files

2.3 Single-click Conversion into 3D Visualizer Software
There are several commercial 3D geotechnical model builders which can create stratigraphy or lithology volume
blocks from the interpolation of input data (boring logs, SPT, CPT, etc.). This software helps the geotechnical
engineer to interpret the existing geotechnical situation and to prepare proper mitigation of the corresponding risks.
The writer had experiences in using such software in RockWorks (developed by RockWare, Inc.).

The outstanding and high-quality 3D plots produced by the software comes at the expense of tiresome and time-
wasting data input process, especially when dealing with large number of input data. RockWorks fortunately has an
important feature which allows the data input to be imported using a spreadsheet template. Python then comes into
play with reading and storing the irregular input data into this spreadsheet. Figure 6 and Figure 7 shows the
example result of this application by using the previous CPT plots from Figure 4 and liquefaction plots from Figure
5, respectively.

Figure 6. RockWorks plot of CPT lithology profile

663

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Figure 7. RockWorks plot of liquefaction analysis profile

2.4 Automatic Plotting of Geotechnical Monitoring Chart
In recent years, the digitalization of geotechnical monitoring instrument is increasing. The recorded data is stored in
a local data logger which is then transmitted into cloud server using internet connection. Most often these
digitalized instruments are installed within or in the vicinity of a critical structure (e.g. dams, deep excavation).
Despite the trend of this automatic data recording, some projects are still utilizing manual recording of geotechnical
instrument.

In a large-scale land reclamation project, hundreds of settlement plates were installed to help the contractor record
the ground settlement over time due to primary consolidation. Current state of a settlement plate concept only
enables for a manual elevation recording which is performed periodically (weekly or daily). For the case of land
reclamation with a total area of exceeding 100 hectares, the monitoring contractor could only provide the record of
hundreds settlement plates in a weekly basis. After receiving the updated elevation data, geotechnical engineers
were then required to convert the data into ground settlement and to update the settlement curve accordingly. To
help interpreting the data, the engineer was also required to compare the settlement data with other instrument
recording e.g. piezometer (all of these must be done in a short time). The received raw data came in a spreadsheet
format with multiple tabs, each tab contained the data history for one settlement plate. It is not difficult to imagine
the difficulty of such workflow, due to the large data volume and the necessity to do visual comparison of which
settlement plate paired with which piezometer.

With Python, the plotting process of large dataset from the settlement plate and piezometer can be automated
within seconds, thus saving a lot of time for the engineer to make the interpretation and analysis of the on-going
consolidation progress.

2.5 Automatic Model Creation for Geotechnical Software
When a geotechnical engineer is tasked to build and setup dozens or hundreds of a typical geotechnical model for a
detailed calculation with different input datasets, it will be very time-consuming to do it manually. Python can be
utilized to help the process, starting from reading and sorting the input data, building, and running the model, up to
plotting the analysis output. However, the extent of Python involvement depends on the geotechnical software
itself. The latest version of PLAXIS 2D and PLAXIS 3D already have a Python API built-in within their program,
thus enables remote scripting using Python easily. Several applications of this automated PLAXIS model building
has been demonstrated by Rasch (2016) and Akbas (2015).

The writer has applied this with a settlement analysis software D-Settlement (Deltares). In contrary with PLAXIS,
D-Settlement does not have an integration with Python. Automation using Python is possible since the model input
for D-Settlement has its own specific script format which can be engineered according to personal need. For a
large-scale land development project, settlement analysis for hundreds of boreholes with different loading history
was required. All the relevant input data were stored within a spreadsheet. Python read the input data and
subsequently build all model each with specified soil profile, soil parameter, loading condition, etc. (Figure 8). Due
to the limitation of D-Settlement which does not support Python, the automation could only be done for the model
building phase. Running the model and interpreting the result were still performed manually.

664

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Figure 8. A template for input data compilation (left) and the resulting D-Settlement
model automatically built using Python (right)

In another land reclamation project, an EPC marine contractor under supervision of the authorized geotechnical
consultant utilized Python and QGIS to automate the settlement model creation to perform settlement back-
calculation analysis. Due to the availability of good quality data, automation was possible and was performed to
create more than 120 settlement models in a weekly basis. The topography data history and the PVD installation
recording were combined to build the loading history for a particular settlement plate location, and further
combined with the settlement plate measurement data to finalize the model creation (Figure 9).

Figure 9. Combination of multiple digital data as an input for a back-calculation settlement analysis

2.6 Stochastic Analysis, Reliability Assessment
The increasing computation capability in geotechnical practices lead to the trend of probabilistic/reliability analysis
of a geotechnical design. This framework enables engineers to put statistical parameters into their deterministic
design parameter, to get the statistical pattern of the calculation output. For example, a stochastic slope stability
analysis based on variance in soil parameter and slope geometry will give a histogram of safety factor value
corresponding to such given input variances (Akbas, 2015). The amount of model/calculation depends on the
degree of complexity of the problem. The higher the number of varied input parameters, the larger the required
amount of the model. It is not uncommon that this number reach hundreds or even thousands of models.

Yogatama and Tirta (2018) performed a stochastic linear visco-elastic site response analysis of a three-layered
typical soil profile subjected to a ground motion at bedrock. The shear wave velocity and thickness of each layer
was generated stochastically by giving a mean and standard deviation value for three different datasets, each
representing soil class SE, SD, and SC according to SNI 1726-2012. For each dataset, 1000 model realizations
were created. Python was heavily involved starting from setting up the random parameter, preparing the model,
running calculation, and plotting the output.

665

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Figure 10. Input parameter, histogram of VS30 and f0, site amplification factor plot (Yogatama and Tirta, 2018)

2.7 Quick Estimation of Cost or Quantities
Automated analysis procedure can be utilized to quickly create a cost estimate or bill of quantity, for example the
work by Kaelin et al. (2017). Using Python, they developed a digital online platform to carry out spatial analysis
along tunnel alignment to increase the design productivity by the shared use of the automated calculation
procedures. Their scripts enable to rapidly produce the bill of quantities, complete with multiple charts showing the
cost breakdown along the tunnel.

From the point of view of an EPC ground improvement contractor, this application is very useful to quickly
produce a design quantity and consequently, the estimated cost, in the proposal stage of a project. Often the EPC
contractor received a lot of borehole data from a prospective client and is expected to submit a proposal within a
short time window. This is not a problem for a small treatment area, but for a large-scale project it is another story.
For example, in a proposal stage of a national toll road construction project, ground improvement is required which
spans for more than dozens kilo meters with varying soil condition. Python has been utilized to quickly estimate
which section requires treatment using a compilation of digitalized NSPT data. By this way, the quantity of the
ground improvement method (e.g. stone columns, controlled modulus column, or PVD) can be further optimized.

2.8 Other Application
The previous described examples are only a tiny fraction of the full Python potential in geotechnical engineering
application. The main strongest feature of Python which has not been applied by the writer is its ability to perform
Machine Learning (ML). The application of Machine Learning in geotechnical engineering is increasing and is
mainly used to perform statistical analysis of geotechnical parameter correlation up to the prediction of soil
stratigraphy. Puri et al. (2017) established numerous geotechnical parameter correlations using Machine Learning
based on geotechnical data obtained from 1053 boreholes in the state of Haryana, India. Tsiaousi et al. (2018)
utilized Python to develop Artificial Neural Network (ANN) model based on multi-layer perceptron algorithm to
estimate soil stratigraphy and shear wave velocity profiles based on CPT data. The result of this ML model has
been implemented for a large-scale levee design (15 km long) in The Netherlands.

2.9 Summary of Applied Case
The following table summarizes the application examples of Python as described above from the point of view of
different applicators. The project type is determined as a typical project in which Python is normally performed by
the writers.

666

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Table 5. Summary of Python application example

Applicator Project Type Project Stage Python Application
Land reclamation Conceptual Design
Geotechnical Detailed Design Creation of input data for 3D geotechnical modeller software
Consultant Automatic settlement model creation
Supervision Reliability/probabilistic analysis
Automatic liquefaction analysis
Automatic plotting of geotechnical monitoring data

Marine Land reclamation Construction Automatic settlement model creation
Contractor Various projects
Proposal Quick estimation of construction cost or quantities
Ground
Improvement
Contractor

3 PROBLEMS/OBSTACLES IN CURRENT PRACTICE

3.1 Irregular Data Template

Automation of geotechnical analysis is powerful, but it highly depends on a uniform data template. A simple typo
or misplaced rows/columns can jeopardize the process and require manual adjustment of these outliers. This is a
common case and can be encountered frequently in a local project. Usually, it comes from human error. For
example, soil investigation contractor who still utilizes manual CPT submit the CPT data in their own spreadsheet
format. Sometimes, the cone resistance and sleeve friction column are misplaced (which will lead to a serious
interpretation error). This kind of observation is not found when dealing with data from electrical CPT. Depend on
the CPT equipment developer, the recorded data template varies. For example, Geomil CPT equipment from The
Netherlands provide digital CPT data in GEF (Geotechnical Exchange Format), which has a regular data structure.
CPT data with GEF format is easier to be automated compared to the manual spreadsheet.

3.2 Irregular Data Format

In a large project we often encounter submission of numerous geotechnical data in different format. For example,
SPT or CPT data come in the form of PDF table, XLS spreadsheet, or even TXT files. This varying data format is
usually due to the involvement of more than one soil investigation contractor, either currently involved or was
involved. It is very difficult to make an automation process out of this data mess. In the end, the engineer had to
make everything uniform by manual conversion into one data format before processing the automation (which
takes a lot of time on its own).

This manual conversion process also possesses a challenge when there are, for example, several boring log formats
which come from different contractors. One boring log is easy to interpret, while others take more time due to
visual obstacle (e.g. bad placement of chart, small font, irregular spacing between depths, etc.).

There was also an interesting case where in the beginning of a DED stage, a project owner stated their possession
of a large number of SPT and CPT data within a project location and the design consultant was eager to process the
bulk data using Python. Unfortunately, it turned out to be that the soil investigation campaigns were performed in
1990s and all data were in hardcopy format. Obviously, digitalization of these data must be done prior to any
further automation phase, however the process could take forever.

3.3 Lack of Programming Experience

Despite programming language course has become a permanent civil engineering curriculum in any university,
most fresh-graduate engineers are still not fluent enough when dealing with actual case using their own
programming ability. Maybe it is due to a strong perception on people’s mind that the use of programming is only
beneficial for academical purpose.

In a project team this will make its own problem, for example, when only one person is fluent with programming
and he/she is the one who developed all the important and useful scripts to help his/her colleagues. In the absence
of this person, things will be difficult when the scripts must be modified or adjusted to accommodate recent
changes in the project. This will not be a problem when all or several project members also possess an adequate

667

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

understanding of programming. In that case, it will be a challenge also for any geotechnical engineer to create a
good script which can be understood by other people.

3.4 Special Case Condition

As described in the previous chapter, automation works best when there is a repetitive task utilizing multiple input
data with the same format. This will not be the case when the engineer is dealing with a special case situation
which require a specific treatment. For example, a settlement back-calculation to fit the settlement plate data can be
performed automatically when the soil condition, soil parameter, and loading history are simple. But when there is
a complex soil alteration process (e.g. squeezing of soft clay material) and complex loading history (multiple
unload-reload scheme), a manual calculation is preferred than automatic.

4 WHAT NEXT?

4.1 Geotechnical Digitalization in the Future

There are countless possibilities on the development and application of Python in geotechnical engineering.
Obviously, the development will go along with the evolution of digital data culture in geotechnical industry. The
use of digital data format will eventually replace the conventional hardcopy. Once the digital culture of
geotechnical data is materialized, it is only about time when our repetitive tasks will be replaced with several lines
of script. Farook et al., (2019) suggested that future development of automation would be in the form of modular
and inter-disciplinary automation. Within modular automation, smaller automation components are linked to form a
more powerful process, while inter-disciplinary automation will oversee the linking of automated components
across engineering disciplines.

One example of modular automation can take us to The Netherlands. The TNO, Geological Survey of The
Netherlands developed an online storage of geotechnical data which contains thousands of CPT data, geo-electrical
survey data, geological boring log data, ground water monitoring data all into one repository (www.dinoloket.nl).
All data has their own uniform format. Combining this with topography and bathymetry data, several attempts are
on-going to make a fully automated dike evaluation process. All the user needs to do is to define a cross section
along a riverbank segment, then the script will read the existing topography, nearby CPT data, interpret the soil
layer and determine the soil parameter (by Machine Learning), create a PLAXIS model, run the model, and plot the
result. All of this will eventually come with one or two clicks to get the calculation result.

4.2 Role of Geotechnical Engineers

Looking at the example above, the next question will be: what will be the role of geotechnical engineers in the
future? How will geotechnical engineers survive the automation threat? The most honest answer would be that
geotechnical engineers will still be relevant in the future, however with a certain adaptation effort. The core of
geotechnical engineering will stay the same, the only difference is on how geotechnical engineers will do their
things from now on. Using automation, working sequence can go a lot faster thus lead to a more in-depth analysis
to create a better decision making. Hours lost from performing numerous manual repetitive tasks can be converted
to personal or professional development, for example.

One commodity which require the attention of many geotechnical engineers is how to start learning programming.
The world is changing, and so does geotechnical engineers. To stay relevant, this digital knowledge may prove a
geotechnical engineer’s worth compared to a software developer or IT specialist. In the end, engineering judgement
is what matters the most in geotechnical practice and there is no one better at it except geotechnical engineers. As
stated by Phoon et al. (2019), data-driven decision making does not imply taking the geotechnical engineer out of
the entire life cycle management chain. It is intended to support rather than to replace human judgment.

4.3 Role of Indonesian Society of Geotechnical Engineers and Ministry of Public Works

The digitalization of geotechnical engineering practice needs to be started from creating an initiation to set a
uniform/standard national geotechnical data format which must be respected by all components in the geotechnical
industry. The Ministry of Public Works (PU), with the support of Indonesian Society of Geotechnical Engineers
(HATTI) should be the initiator of such standardization to make it the cornerstone of a future national digital
geotechnical data repository. A standardized data format can refer to the AGS Data Format (Association of
Geotechnical and Geoenvironmental Specialist) as an example, while the concept of the online data repository can

668

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

refer to TNO’s Dinoloket and/or New Zealand Geotechnical Database. By this way, the digital data culture will
eventually merge into all sectors within the geotechnical engineering industry.

5 CONCLUSION
Python is proved to be a valuable tool in the geotechnical engineering practice, as described by its application in
several project examples in Chapter 2. Python can be utilized to help engineers in geotechnical analysis calculation,
geotechnical data handling, repetitive task automation, and Machine Learning. With Python, the geotechnical
industry can reach a new height. However, the dawn of geotechnical digitalization will not simply remove the role
of geotechnical engineer, rather it will enforce them with a data driven decision making tool which can resulted in a
more economical and more reliable geotechnical design.

REFERENCES
Akbas, B. (2015). Probabilistic Slope Stability Analysis using Limit Equilibrium, Finite Element and Random
Finite Element Methods. M.Sc. Thesis, Middle East Technical University, Ankara, Turkey

Farook, Z., Matthews, C., Skinner, M., and Brown, M. (2019). “Automation in Geotechnical Design – Application
and Case Studies”. Proceeding of the XVII ECSMGE-2019, Reykjavik, Iceland

Kaelin, K., Scheffer, L., and Kaelin, J. (2017). “Analyzing Spatial Data along Tunnels”. Journal of GeoPython,
Issue 2

Phoon, K.K., Ching, J., and Wang, Y. (2019). “Managing risk in geotechnical engineering - from data to
digitalization”. Proceedings of the 7th International Symposium on Geotechnical Safety and Risk (ISGSR), 13-34

Puri, N., Prasad, H.D., and Jain, A. (2017). “Prediction of Geotechnical Parameters using Machine Learning
Techniques”. Procedia Computer Science 125, 509-517

Rasch, C. (2016). Modelling of cyclic soil degradation - Development of a cyclic accumulation model and the
application to a gravity-based foundation. M.Sc. Thesis, TU Delft, Delft, The Netherlands

Srinath, K.R. (2017). “Python – The Fastest Growing Programming Language”. International Research Journal of
Engineering and Technology, Volume 4, Issue 12, 354-357

Tsiaousi, D., Travasarou, T., Drosos, V., Ugalde, J., and Chacko, J. (2018). “Machine Learning Applications for
Site Characterization Based on CPT Data”. Proceeding of Geotechnical Earthquake Engineering and Soil
Dynamics V, Austin, Texas, 461-472

Yogatama, B.A. and Tirta, B.A. (2018). “A comparison between VS30 based- and natural frequency based-site
amplification factor for three different types of soil classification”. Proceeding of the 20th South East Asian
Geotechnical Conference and the 3rd AGSSEA Conference, Jakarta, Indonesia, 301-306

669


Click to View FlipBook Version