The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

melakukan survei karakteristik jalan. Survei karakteristik jalan dibagi tiga kelompok, yakni survei geometrik jalan
(bina marga, 1997b), survei arus lalu lintas, survei kecepatan (Bina Marga, 1997).

2.2 Teknik Pengolahan Data

Berdasarkan data yang dikumpulkan maka pengolahan data yang dilakukan secara umum terbagi atas beberapa
bagian yaitu Pengolahan data yang berkaitan dengan volume lalu lintas harian, Pengolahan data yang berkaitan
dengan kondisi ruas jalan, Penentuan jam puncak, karakteristik lalu lintas pada jam puncak, Perhitungan biaya
operasional kendaraan, Perhitungan biaya kemacetan.

2.3 Teknik Analisis dan Pembahasan
Pada tahapan ini, dilakukan analisis terhadap hasil pengolahan data. Analisis yang dilakukan menggunakan metode
PT. Jasa Marga dan LAPI ITB (LAPI ITB, 1996) sehingga didapat biaya kemacetan di Jalan Tamangapa Raya.

2.4 Analisis Data

Pada pembahasan ini meliputi pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Pengumpulan data terdiri dari pemilihan
rute yang menjadi objek penelitian dan karakteristik lalu lintas. Pengolahan data berisi tentang penentuan jam puncak
dan perhitungan penambahan BOK sebagai biaya kemacetan untuk digunakan dalam analisis data. Selanjutnya, akan
dilakukan analisis dari hasil pengolahan data, yang mengacu terhadap perhitungan biaya kemacetan kendaraan
pribadi.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Kecepatan Kendaraan

Dari hasil survey di sepanjang Jalan Tamangapa Raya, terdapat titik tertentu yang menjadi lokasi kemacetan terutama
pada jam puncak. Titik yang menjadi kemacetan menjadi pusat penelitian dan pengambilan data. Adapun hasil
pengamatan dan pengolahan data lalu lintas dan kecepatan kendaraan di Jalan Tamangapa Raya, Kota Makassar
dituangkan pada Tabel.1.

Dari hasil analisa kecepatan pada Tabel 1, terdapat dua perbedaan kecepatan yaitu kecepatan maksimal dan kecepatan
minimal. Pada hari kerja, perbedaan kecepatan sangat signifikan terutama pada jam-jam sibuk. Kondisi fluktuasi
kecepatan rata-rata per jam pada ruas Jalan Tamangapa Raya dapat dilihat pada Gambar 1. Kecepatan kendaraan
sangat berhubungan dengan volume lalu lintas, karena semakin tinggi volume lalu lintas maka kecepatan rata-rata
kendaraan yang bergerak juga semakin rendah, sebaliknya jika volume lalu lintas semakin sedikit yang melintas di
jalan Tamangapa Raya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1, yaitu volume tertinggi dan kecepatan rata-rata terendah
terjadi pada pukul 16.00-17.00 dengan volume sebesar 1641 smp/jam dengan kecepatan 7.2 km/jam.

3.2 Perhitungan Biaya Operasional Kendaraan

Unit-unit biaya yang dihitung untuk perhitungan Biaya Operasi Kendaraan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 1. Volume kendaraan vs kecepatan rata-rata perjam

Waktu Volume kendaraan (smp) Kecepatan (km/Jam)

06.00 - 07.00 617 25,7
07.00 - 08.00
08.00 - 09.00 1442 23,1
09.00 - 10.00
10.00 - 11.00 1263 22,5
11.00 - 12.00
12.00 - 13.00 1218 26,8
13.00 - 14.00
14.00 - 15.00 1491 23,0
15.00 - 16.00
16.00 - 17.00 1360 24,6
17.00 - 18.00
18.00 - 19.00 1144 23,4

1361 18,7

1353 12,8

1356 11,3

1641 7,2

1500 8,7

1425 13,0

226

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

100%
98%
96%
94%

Volume Kend Kecepatan (Km/Jam)
Gambar 1. Fluktuasi volume vs kecepatan rata-rata perjam pada ruas Jalan Tamangapa Raya

Tabel. 2 Data unit BOK kendaraan pribadi

No Unit BOK Harga satuan
Unit
1 Toyota Avanza Rp. 230.350.000
Liter
2 Bahan Bakar Liter
Liter
Solar Rp. 5.150
Rp/jam
Bensin Rp. 6.550 Perjam

3 Pelumas Castrol Magnetec 10 W Rp. 65.000

4 Ban Mobil Pribadi Rp. 650.000

5 Tarif Ekonomis Awak Kendaraan Rp. 8.300

6 Upah Pekerja Bengkel 2020 Rp. 18.475

3.2.1 Besaran biaya BOK dan kecepatan per jam

Dari hasil analisis kecepatan pada Tabel 1, dapat dilihat perbedaan kecepatan maksimum dan minimum, sehingga
besarnya biaya operasional perjam dapat dihitung. Perhitungan biaya operasional kendaraan dengan kecepatan
normal menggunakan rumus yang dikembangkan oleh PT. Jasa Marga dan LAPI ITB dapat dilihat dibawah ini :

a) Konsumsi Bahan Bakar
= 0,0284 2 − 3,0644 2 + 141,68
= 0,0284 × 602 - 3,0644 × 602 + 141,68
= (10.787,92) lt/1000 km

= KKB dasar× ( 1 ± Kk + K1 + Kr )
= -10.787,92 × [1 ± (0,253+ 0,253+0,085) ]
= 14.434,24 lt/1000 km

′ = Konsumsi BBM × harga BBM
= 14.434,24/1000 km × 6550
= 94.544,25 /1000 km

b) Konsumsi Minyak Pelumas
= (0.003 lt⁄(1000 km)× 1000)× 1.5
= 4,5/1000 km
= 4,5/1000 km

′ = konsumsi pelumas x harga pelumas
=4,5/1000 km  65000
=292,500 /1000 km

c) Konsumsi Pemakaian Ban
= 0,000848 – 0,0045333
= 0,000848  60 – 0,0045333
= 0,046 /1000 km

227

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

′ = pemakaian ban  harga ban
= 0,0463467  650000
= 30.125,4 /1000 km

d) Biaya pemeliharaan (suku cadang )
= 0,0000064 + 0.0005567
= 0,0000064  60 + 0.0005567
= 0,00094/1000 km

′ = pemakaian suku cadang  harga kendaraan
= 0,0009407/1000 km  230350000
= 216,529/1000 km

e) Biaya Pemeliharaan (montir)
= 0,00362 + 0,36267
= 0,00362  60 + 0,36267
= 0,57987 /1000 km

′ = Pemeliharaan montir x upah kerja montir perjam
= 0,57987/1000 km  18475
=12.050,69 /1000 km

f) Biaya penyusutan
Y = 1 / (2,5 + 125)
= 1/(2,5  60) + 125
= 0,0036 /1000 km

Y' = biaya penyusutan x1/2 harga kendaraan
= 0.00363636363636364/1000 km x 1/2 230350000
= 418,818 /1000 km

g) Bunga modal
Bunga modal = 0,22 % harga kendaraan
= 0,22 %  230.350.000
= 506.770

h) Biaya Asuransi
Y = 38 / 500
= 38/500  60
= 0,0013 /1000 km

Y' = biaya asuransi  harga kendaraan
= 0.00126666666666667/1000 km  230.350.000
= 291.777 /1000 km

Jumlah biaya operasional kendaraan yang dialami oleh pengguna kendaraan pribadi dengan kecepatan 60 km/jam di
Jalan Tamangapa Raya adalah sebesar Rp. 1.356.344,67/1000 km atau Rp. 1.356,34/km per kendaraan. Tabel 3
menunjukkan biaya operasional kendaraan dengan kecepatan eksisting. Dari hasil perhitungan biaya operasional dan
kecepatan kendaraan pada Tabel 3, dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila kecepatan kendaraan menurun maka
biaya operasional kendaraan akan bertambah, sehingga pada pengguna mobil pribadi mengalami kerugian.

3.2.2 Biaya kemacetan dengan perhitungan biaya operasional kendaraan untuk mobil pribadi

Biaya kemacetan di Jalan Tamangapa Raya dihitung dengan menggunakan selisih antara biaya umum pada kondisi
yang sebenarnya dan pada kondisi kecepatan rencana. Selisih biaya kemacetan perjam dapat dilihat pada Tabel 4.
Dari hasil analisis biaya kemacetan, didapat kerugian akibat kemacetan perhari rata-rata sebesar Rp.993,39/km per
kendaraan pribadi. Dari hasil biaya kemacetan. biaya kemacetan untuk 10 tahun kedepan dapat diprediksi dengan
mengambil nilai pertumbuhan kendaraan sebesar 8% dan tingkat suku bunga diambil sebesar 7,5%. Dari hasil

228

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

perhitungan, maka dapat kerugian pengguna kendaraan pribadi selama 10 tahun yang akan datang akibat kemacetan
adalah sebesar Rp. 14.047.394.,07.

Dalam penelitian, kajian mengenai kebisingan kendaraan juga dilakukan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Dari
hasil penelitian ini, diketahui pula bahwa nilai kebisingan rata-rata mencapai 70.07 dB(A), dimana nilai ini diatas
nilai standar yang di syaratkan sebesar 55 dB(A). Dengan demikian, kebisingan kendaraan saat terjadi kemacetan
mengakibatkan adanya polusi kebisingan di Jalan Tamangapa Raya, Kota Makassar.

Tabel. 3 Besaran biaya operasional kendaraan pada setiap jam

Jam Kecepatan Biaya Operasional Kendaraan
(km/Jam) (Rp/km)
06.00 - 07.00
07.00 - 08.00 25,7 1.838,41
08.00 - 09.00 23,1 1.931,92
09.00 - 10.00 22,5 1.956,28
10.00 - 11.00 26,8 1.803,88
11.00 - 12.00 23,0 1.935,90
12.00 - 13.00 24,6 1.875,76
13.00 - 14.00 23,4 1.917,84
14.00 - 15.00 18,7 2.143,28
15.00 - 16.00 12,8 2.629,61
16.00 - 17.00 11,3 2.827,32
17.00 - 18.00 7,2 3.759,13
18.00 - 19.00 8,7 3.320,79
13,0 2.606,48

Tabel. 4 Selisih biaya kemacetan per jam

Jam Kecepatan Biaya Operasional Kecepatan Biaya Operasional Biaya Kemacetan
(km/jam) Kendaraan (Rp/km) (km/jam) Kendaraan (Rp/km) (Rp/km)
06.00 – 07.00
07.00 – 08.00 25,7 Rp. 1.838,41 60 Rp 1.356,34 Rp. 482,07
08.00 – 09.00 23,1 Rp. 1.931,92 60 Rp 1.356,34 Rp. 575,58
09.00 –10.00 22,5 Rp. 1.956,28 60 Rp 1.356,34 Rp.599,94
10.00 –11.00 26,8 Rp. 1.803,88 60 Rp 1.356,34 Rp. 447,54
11.00 –12.00 23,0 Rp. 1.935,90 60 Rp 1.356,34 Rp. 579,56
12.00 – 13.00 24,6 Rp. 1.875,76 60 Rp 1.356,34 Rp. 519,42
13.00 – 14.00 23,4 Rp. 1.917,84 60 Rp 1.356,34 Rp. 561,50
14.00 – 15.00 18,7 Rp. 2.143,28 60 Rp 1.356,34 Rp. 786,94
15.00 – 16.00 12,8 Rp. 2.629,61 60 Rp 1.356,34 Rp. 1.273,27
16.00 – 17.00 11,3 Rp. 2.827,32 60 Rp 1.356,34 Rp. 1.470,98
17.00 – 18.00 7,2 Rp. 3.759,13 60 Rp 1.356,34 Rp. 2.402,79
18.00 – 19.00 8,7 Rp. 3.320,79 60 Rp 1.356,34 Rp. 1.964,45
13,0 Rp. 2.606,48 60 Rp 1.356,34 Rp. 1.250,14

Tabel. 5 Data Kebisingan Kendaraan Jalan Tamangapa Raya

Pemantaun Waktu (WIT) Hasil Syarat Mutu Satuan Metode Uji

Lokasi 1 07.30 60.6 55 dB(A) IK-MT-30.07
dB(A) IK-MT-30.07
Lokasi 2 10.30 73.4 55 dB(A) IK-MT-30.07
dB(A) IK-MT-30.07
Lokasi 3 15.15 72.8 55

Lokasi 4 17.02 73.5 55

Sumber : Olah Data Laboratorium BBIHP Makassar 2020

229

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

4 KESIMPULAN
Dari hasil analisis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ruas Jalan Tamangapa Raya mengalami volume tertinggi
pada 16.00-17.00 dengan volume lalu lintas 1641 smp/jam. Dengan adanya kemacetan yang terjadi, kecepatan
kendaraan untuk menempuh jalan tersebut berkurang dari 25,7 km/jam menjadi 7.2 km/jam. Biaya kemacetan yang
terjadi di Jalan Tamangapa Raya sebesar Rp 993,39 /km/kendaraan dan kerugian yang terjadi selama 10 tahun
mengalami kemacetan di jalan Tamangapa Raya Kota Makassar sebesar Rp. 14.047.394,07. Selain itu, dengan
tingkat kebisingan yang terjadi pada saat jam puncak rata-rata yang mencapai 70.07 dB(A) bisa mempengaruhi
pengguna kendaraan pada saat terjadi kemacetan.

UCAPAN TERIMA KASIH
Bersama ini saya ucapkan terimakasih kepada panitia SNTI Abad ke-21 atas terlaksananya simposium ini dan bisa
ikut serta, semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat bangsa dan negara.

REFERENSI
BBIP Makassar. (2020), Kementrian Perindustrian., (2020) Perhitungan Nilai Kebisingan Kendaraan Jalan
Tamangapa Kota Makassar, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Makassar, Makassar, Indonesia.

Badan Pusat Statistik. (2020). Hasil Sensus Penduduk 2020. Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, Jakarta,
Indonesia.

Badan Pusat Statistik. (2020). Kota Makassar dalam Angka 2020, BPS Kota Makassar, Makassar, Indonesia.

Bina Marga. (1997). Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.

Bina Marga. (1997). “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota.” No. 038/TBM/1997, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.

Lembaga Afiliansi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB. (1996). Laporan Akhir Studi Perhitungan Biaya Operasi
Kendaraan– PT. Jasa Marga, ITB Bandung, Bandung, Indonesia.

Tamin, O.Z. (2000). Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB Bandung, Bandung, Indonesia.

230

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kurva Belajar pada Pekerjaan Pondasi Dangkal yang Menggunakan Material
Blok Beton

H. Nuryanto, S. Winarno*

Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pekerjaan konstruksi yang dilakukan berulang-ulang akan menghasilkan fenomena yang dinamakan efek pembelajaran atau
learning effect, dimana produktivitas yang diperlukan untuk melakukan satu siklus adalah lebih tinggi daripada yang dibutuhkan
untuk melakukan siklus sebelumnya. Salah satu pekerjaan konstruksi yang dalam pengerjaannya dilakukan secara berulang
adalah pekerjaan pondasi dangkal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pembelajaran pada pekerjaan pondasi
dangkal dengan menggunakan material blok beton. Data dikumpulkan dari proyek pekerjaan pondasi pagar dengan panjang
29 m pada tahap I dan 37,7 m pada tahap II. Hasil yang didapatkan adalah terdapat efek pembelajaran dengan adanya peningkatan
produktivitas yang cukup signifikan dari pekerjaan pondasi ini. Efek pembelajaran ditunjukkan dengan learning curve pada
peningkatan produktivitas dengan persamaan regresi = 0,1102 + 0,4775 untuk pekerjaan tahap I, sementara tahap II memiliki
persamaan = 0,0952 + 0,5131.

Kata kunci: Kurva Belajar, Pondasi Blok Beton.

1 PENDAHULUAN

Pelaksana konstruksi diharuskan untuk mampu memilih keputusan-keputusan yang menghasilkan atau
mengkontribusikan hasil akhir yang efisien untuk owner selama menangani sebuah proyek konstruksi. Strategi-
strategi yang menghubungkan antara biaya, waktu, dan kualitas dari suatu proyek merupakan dampak dari keputusan-
keputusan ini (Hinze, 2008). Gabungan dari sumber daya seperti manusia, material, peralatan, metode kerja, dan
biaya yang dihimpun dalam suatu wadah organisasi sementara untuk mencapai sasaran dan tujuan dapat didefinisikan
sebagai proyek (Husen, 2009). Faktor yang berhubungan dengan perencanaan, perancangan, dan implementasi
merupakan aspek yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produktivitas dari sebuah proyek (Soekiman et
al.,2011). Dua aspek yang sangat penting dalam produktivitas adalah efisiensi dan efektivitas (Ravianto, 1986).

Banyak pekerjaan konstruksi yang dilakukan secara berulang-ulang akan menghasilkan fenomena yang dinamakan
sebagai efek pembelajaran atau learning effect, dimana produktivitas pekerjaan yang dihasilkan untuk melakukan
satu siklus adalah lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk melakukan siklus sebelumnya, sehingga membentuk
sebuah kurva pembelajaran (learning curve). Kurva belajar adalah representasi grafis hubungan antara durasi
produksi unit dan jumlah unit yang telah diproduksi (Olomalaiye et al., 1998). Learning curve dapat digunakan dalam
berbagai cara. Nilai potensial dari learning curve adalah kemampuannya dalam memprediksi waktu/siklus kerja
lanjutan (Everett & Farghal, 1994), dan juga dapat digunakan dalam memprediksi kinerja pekerjaan, dalam hal ini
berkaitan dengan produktivitas (Wong et al., 2007). Beberapa investigasi sebelumnya yang mengaplikasikan teori
learning curve ini kepada industri konstruksi membuktikan kepentingan konsep ini terhadap produktivitas daripada
pekerja (Jarkas, 2010). Model matematika kurva pembelajaran dapat digunakan pada pekerjaan konstruksi untuk
memprediksi waktu dan biaya yang dibutuhkan dalam suatu pengulangan pekerjaan (Mályusz & Pém, 2013).

Kurva pembelajaran dapat menyiratkan bahwa ketika banyak pekerjaan dan tugas yang serupa atau hampir identik
dilakukan, maka upaya yang dilakukan untuk melakukan tugas tersebut dapat dikurangi pada setiap pelaksanaan
tugas yang berurutan (Ostwald & McLaren, 2003). Li et al memperkenalkan pendekatan alternatif untuk permodelan
kurva belajar berdasarkan teori ketidakpastian dengan memecahkan masalah penjadwalan single-machine (Li et al.,
2019). Pada penelitian yang lain, Brockmann & Brezinski (2015) melakukan investigasi tentang analisis efek kurva
belajar pada pelaksanaan kontruksi jembatan dengan metode segmental-precast di Bangkok, Thailand. Analisis kurva
belajar pada pekerjaan insulasi atap telah dilakukan oleh Malyuzs & Pem (2013). Data yang dipakai adalah data
volume dan data waktu pekerjaan insulasi atap yang terbagi dalam 7 siklus pekerjaan.

Salah satu pekerjaan konstruksi yang dalam pengerjaannya dilakukan secara berulang adalah pekerjaan pondasi
dangkal. Pondasi bangunan harus diletakkan pada lapisan tanah yang cukup keras, padat, dan mampu mendukung

231

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

beban bangunan tanpa menimbulkan penurunan yang berlebihan (Gunawan, 1991). Dimensi pondasi dihitung
berdasar beban bangunan dan beban-beban lainnya seperti di peraturan pembebanan (Surjoputranto, 1991).

Pada periode awal, produktivitas perkerjaan biasanya masih rendah karena pekerja baru mulai belajar memasang
material pondasi pada tahap awal. Setelah terjadi pengulangan pekerjaan, tukang dan pekerja mulai terlatih dan
trampil sehingga produktivitas pekerjaan meningkat karena ada proses pembelajaran atau adaptasi pada pekerjaan
yang sama dan berulang. Peningkatan produktivitas pada pekerjaan yang berulang-ulang yang dikombinasikan
dengan waktu pengerjaan dapat membentuk sebuah kurva belajar, yang menggambarkan sebuah proses adaptasi
pekerjaan tersebut. Peningkatan produktivitas juga berimplikasi pada waktu pengerjaan yang cepat sehingga biaya
upah pekerja dapat ditekan. Pada umumnya, proses belajar yang ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas akan
terjadi pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan. Setelah itu, pada titik waktu tertentu nilai produktivitas akan
cenderung konstan, sampai tukang dan pekerja mengakhiri jam kerjanya.

Pada umumnya, material pondasi dangkal menggunakan batu kali atau batu alam yang direkatkan dengan plester
(adukan pasir, semen, dan air) sehingga membentuk susunan material pondasi dangkal yang kompak. Batu kali
disusun sedemikian rupa sehingga jumlah plester adalah sesedikit mungkin. Batu kali yang memiliki permukaan
bersudut akan memberikan lekatan dan ikatan yang lebih baik dibandingkan dengan permukaan yang bulat.
Penggunaan batu bulat untuk pondasi tidak baik untuk memenuhi konsep/kaidah rumah tahan gempa (Fauzi, 2009).
Pada kenyataannya, dikutip dari situs beritasampit.co.id, didapat informasi bahwa material batu kali sulit didapat atau
langka di daerah Sampit (Berita Sampit, 2017). Kelangkaan batu kali juga terjadi di daerah Lumajang Jawa Timur
(Harijanti, 2016). Untuk itu, sebuah penelitian untuk menemukan material-material baru yang lebih ramah
lingkungan tanpa mengurangi syarat-syarat kekuatan perlu selalu dilakukan (Ban, et al., 2020). Kelangkaan batu kali
di beberapa tempat di Indonesia memberikan tantangan untuk menciptakan material pondasi dangkal yang baru dan
yang dapat dicetak dengan sistem pabrikasi sehingga kebutuhan plester pengikatnya juga dapat diminimalkan dan
waktu pekerjaan dapat ditekan. Salah satu material pondasi dangkal yang dapat menggantikan material batu kali
adalah adalah dengan menggunakan blok beton persegi, yang mana permukaannya dibuat kasar. Kelebihan dari blok
beton ini adalah (1) dapat dibuat secara pabrikasi, (2) kebutuhan plester dapat ditekan, (3) tidak memerlukan tempat
penempatan yang luas di lokasi proyek, dan (4) waktu pemasangan yang lebih cepat. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui efek belajar pada pekerjaan pondasi dangkal dengan material blok beton yang diwujudkan dalam
kurva belajar (learning curve).

2 METODE PENELITIAN

Data produktivitas pekerjaan pondasi diambil dari proyek pekerjaan pondasi dangkal di Jalan Terung 2, Krandon,
Wedomartani, Kec. Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pekerjaan galian dan urugan tanah
tidak dimasukkan dalam hitungan. Material pondasi menggunakan blok beton persegi dengan ukuran 12 cm  22 cm
 40 cm. Material ini diperoleh dari proses pabrikasi di Pusat Inovasi Material Vulkanis Merapi, Universitas Islam
Indonesia (PIMVM UII). Pondasi yang dibangun terdiri dari dua tahap, yaitu tahap I sepanjang 29 m (terdiri dari 3
lapis) dan tahap II sepanjang 37,7 m (sisi Timur sepanjang 21 m terdiri dari 5 lapis dan sisi Barat dengan panjang
16,7 m terdiri dari 8 lapis). Tebal plester pengikat antar blok beton adalah sekitar 1 cm. Pengukuran produktivitas
dilakukan dengan pengukuran (1) capaian volume pekerjaan dan (2) waktu yang dibutuhkan secara langsung, dari
awal sampai akhir pekerjaan. Pelaksanaan pekerjaan direkam dengan kamera foto dan video recorder untuk
kebutuhan validasi hasil pengukuran langsung dan bukti dokumentasi.

3 PONDASI DANGKAL

3.1 Pondasi Batu Kali

Pondasi batu kali dalam proses konstruksinya masih menggunakan banyak tenaga kerja, mulai dari proses pemecahan
batu, pemasangan batu, dan pengikatan antar batu dengan plester dari adukan semen, pasir, dan air. Proses ini sudah
secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Proses pekerjaan semacam ini
memerlukan waktu yang relatif lama. Hal ini karena tukang harus menempatkan batu kali yang permukaannya tidak
beraturan dalam susunan yang cukup rapat dengan batu kali di sampingnya. Diantara susunan batu kali diletakkan
plester perekat agar pasangan pondasi dapat melekat satu sama lain. Volume plester perekat yang dipasang antara
batu kali akan menjadi besar, manakala pemasangan antar batu-batu kali dilakukan dengan serampangan, dan pada
akhirnya biaya pembangunan pondasi dengan material batu kali menjadi lebih mahal.

232

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3.2 Pondasi Blok Beton

Pondasi dengan material blok-blok beton, cara pengerjaannya seperti memasang dinding bangunan, tetapi
pemasangannya langsung di atas tanah dan tidak memerlukan dudukan pijakan di ketinggian. Dengan pemasangan
seperti ini maka diharapkan pekerjaan dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat, karena dimensi materialnya
sudah relative seragam sehingga mudah untuk dipasang sesuai dengan dimensi pondasi yang diinginkan seperti
memasang bata dinding dengan beberapa lapis blok beton. Dimensi dan berat blok beton perlu di desain sampai ideal
agar proses rantai blok beton mulai dari pencetakan, pengangkutan, dan pemasangannya dapat dilaksanakan oleh
personil terkait dengan nyaman. Kenyaaman personil terkait rantai ini menjadi penting karena jika blok beton terlalu
besar dan berat maka personil tidak bisa bekerja dengan optimal karena gampang lelah, namun jika terlalu kecil maka
bisa berimplikasi pada produktivitas yang rendah dan kebutuhan plester perekat yang banyak. Kondisi ideal adalah
dimana blok beton tersebut memiliki besar dan berat tertentu yang tidak memberatkan personil pekerja tapi masih
memiliki produktivitas yang tinggi. Pada kasus ini, dimensi blok beton pondasi adalah 12 cm  22 cm  40 cm dengan
berat rata-rata sebesar 20 kg, yang masih mampu dan nyaman untuk diangkat, dipindahkan, dan dipasang oleh satu
orang personil atau tukang. Upaya untuk mempercepat waktu pemasangan pondasi dan pengurangan waktu
pelaksanaan dengan cara mengganti material batu kali dengan blok beton adalah salah satu penyelesaian yang
realistis.

4 KURVA BELAJAR

Kurva belajar (learning curve) sebagai perwujudan proses adaptasi terhadap sebuah pekerjaan yang berulang-ulang
adalah model penyajian data yang menunjukkan hubungan antara waktu pekerjaan dengan produktivitas suatu
pekerjaan. Kurva belajar membantu untuk memprediksi lamanya waktu pekerjaan dan besarnya volume pekerjaan
(produktivitas) yang akan dihasilkan pada siklus tertentu. Model matematika kurva pembelajaran dapat digunakan
pada pekerjaan konstruksi untuk memprediksi waktu dan biaya yang dibutuhkan dalam suatu pengulangan aktivitas
(Malyusz & Pem, 2014). Nilai potensial dari learning curve adalah kemampuannya dalam memprediksi waktu/siklus
kerja lanjutan (Everett & Farghal, 1994). Fungsi utamanya adalah pengestimasian, tetapi mereka juga dapat
digunakan dalam memprediksi performa pekerjaan, dalam hal ini berkaitan dengan produktivitas (Wong et al., 2007).
Beberapa investigasi sebelumnya yang mengaplikasikan teori learning curve ini kepada industri konstruksi
membuktikan adanya kepentingan konsep ini terhadap produktivitas daripada pekerja (Jarkas, 2010).

Penelitian tentang kurva belajar telah dilakukan oleh Jingga (2014), yang meneliti tentang pengaplikasian kurva
belajar pada pekerjaan pengecoran kolom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas dari kurva belajar dan menguji efisiensi pemakaian kurva belajar dalam memprediksi
kinerja dalam pengerjaan pengecoran kolom. Susilo et al. (2017) telah meneliti kurva belajar untuk pemasangan
dinding partisi pada pembangunan gedung sentral Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini
bertujuan membandingkan kurva belajar model Wright dengan kurva belajar model De Jong.

Pada tahun 2013, Levente Mályusz telah meneliti kurva belajar pada pemasangan insulasi atap. Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan hasil studi eksplorasi untuk mengevaluasi kemampuan prediksi dari berbagai model
kurva belajar, model matematika, dan metode penyajian dalam pekerjaan insulasi atap dan membandingkan data
lapangan dengan data yang dilaporkan dalam literatur (Mályusz & Pém, 2013). Li et al. (2019) juga telah meneliti
tentang pengembangan kurva belajar dengan memanfaatkan teori ketidakpastian. Data yang dipakai adalah hasil
pengamatan terhadap 500 pekerja yang kemudian ditanyakan mengenai pengalaman bekerja yang berkaitan dengan
produktivitas hasil kerja. Brockman & Brezinski (2015) meneliti tentang efek kurva pengalaman dalam kontruksi
jembatan. Penelitian ini bertujuan mempelajari dampak dari kurva pengalaman sebagai bentuk pembelajaran
organisasi yang dikembangkan pada paruh kedua abad 20.

5 DATA DAN ANALISIS

Dalam penelitian ini, material pondasi yang digunakan adalah blok beton dengan ukuran 40 cm  22 cm  12 cm.
Analisis dilakukan untuk kontruksi pondasi sepanjang 29 m untuk tahap I dengan menggunakan pondasi 3 lapis, dan
tahap II sepanjang 37,7 m, yang terbagi menjadi 2 bagian. Bagian 1 terdiri dari 8 lapis sepanjang 16,7 m, sementara
itu bagian 2 terdiri dari 5 lapis sepanjang 21 m. Terdapat 2 orang tukang batu dan 2 orang asisten tukang, dengan jam
kerja normal: 08.00-16.00 WIB, dengan waktu istirahat jam 12.00-13.00.

Data produktivitas diamati dan diukur secara langsung, serta juga direkam dengan foto dan video recorder. Pada
penelitian ini data dikelompokkan per hari, dengan masa penelitian tahap I selama 2 hari dan tahap II selama 3 hari.

233

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Setiap hari, proses pekerjaan dibagi menjadi 2 sesi, yaitu sesi pagi yang berlangsung pukul 08.00 – 12.00, dan sesi
siang yang berlangsung pukul 13.00 - 16.00. Jam kerja yang diukur adalah periode jam kerja dimana tukang dan
asistennya bekerja, sedangkan jam istirahat atau tukang mengerjakan pekerjaan yang bukan pekerjaan pondasi tidak
dimasukkan dalam data pengukuran. Tabel 1 dan 2 menyajikan hasil pengukuran produktvitas pekerjaan untuk tahap
I dan tahap II masing-masing.

Berdasarkan Tabel 1 dan 2, produktivitas pekerjaan pada Hari I, II, dan III mengalami kenaikan yang merupakan
sebagai bukti adanya proses belajar, baik pada sesi pagi dan siang. Adapun rangkuman kenaikan produktivitas
tersebut disajikan dalam Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terjadi peningkatan produktivitas pada sesi pagi sebesar
0,284 m3/jam pada tahap I dan 0,100 m3/jam pada tahap II. Demikian pula pada sesi siang, peningkatan produktivitas
adalah sebesar 0,221 m3/jam pada tahap I dan 0,222 m3/jam pada tahap II. Hasil ini menunjukkan adalah proses
belajar dalam pelaksanaan pekerjaan pondasi dengan blok beton.

Tabel 1. Hasil pengukuran produktivitas pekerjaan pondasi Tahap I

Hari 1 Sesi pagi Mulai Selesai Durasi (jam) Volume (m3) Produktivitas (m3/jam)
5/9/2020 Sesi siang (1) (2) (3) (4) (5)=(4)/(3)
08:58
Hari 2 Sesi pagi 14:15 10:16 2,367 1,392 0,588
7/9/2020 Sesi siang 15:00 0,750 0,499 0,665
09:40 Rerata Hari 1 3,117 1,891 0,626
13:00
12:00 2,333 2,036 0,873
14:48 1,800 1,595 0,886
Rerata Hari 2 4,133 3,631 0,879
Total 7,250 5,522 0,753

Tabel 2. Hasil pengukuran produktivitas pekerjaan pondasi Tahap II

Hari 1 Sesi Pagi Mulai Selesai Durasi (jam) Volume (m3) Produktivitas (m3/jam)
17/9/20 Sesi Siang (1) (2) (3) (4) (5)=(4)/(3)
Sesi Pagi 08:05
Hari 2 Sesi Siang 10:11 09:45 1,667 0,724 0,434
18/9/20 13:15 11:45 1,567 1,086 0,693
Sesi Pagi 16:00 2,750 2,186 0,795
Hari 3 Sesi Siang 08:00 Rerata Hari 1 5,983 3,996 0,668
19/9/20 10:00
13:15 09:20 1,333 0,854 0,640
15:10 11:30 1,500 1,400 0,933
14:40 1,417 1,472 1,039
08:00 16:10 1,000 0,938 0,938
10:50 Rerata Hari 2 5,250 4,664 0,888
13:15
15:10 10:20 2,333 1,478 0,633
11:45 0,917 0,690 0,753
14:50 1,583 2,000 1,263
16:30 1,333 1,651 1,238
Rerata Hari 3 6,167 5,819 0,944
Total 17,400 14,479 0,832

Tabel 3. Kenaikan produktivitas pada Hari I, II, dan III, serta Sesi Pagi dan Siang

Produktivitas (m3/jam) Kenaikan produktivitas
Hari 3 rata-rata (m3/jam)
Hari 1 Hari 2

Sesi Pagi 0,588 0,873 - 0,284
Tahap I
Sesi Pagi 0,434 0,640 0,633 0,100
Tahap II

Sesi Siang 0,665 0,886 0,221
Tahap I 0,795 0,938 1,238 0,222
Sesi Siang
Tahap II

234

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Temuan dalam proses belajar di Tabel 3 di atas kemudian dapat diwujudkan dalam kurva belajar (learning curve).
Rerata produktivitas pekerjaan tahap I adalah sebesar 0,753 m3/jam, dan didapat persamaan regresi linier
= 0,1102 + 0,4775, dengan nilai 2 = 0,89060. Untuk tahap II, diperoleh rerata produktivitas sebesar 0,832
m3/jam (atau naik sebesar = (0,832-0,753)/0,753 = 10,49%), dengan persamaan garis lurus = 0,0952 + 0,5131,
dan 2 = 0,5404. Kurva belajar dari pekerjaan pondasi dengan material blok beton disajikan dalam Gambar 1 dan 2.

Produktivitas (m3/jam) 1.000 y = 0.1102x + 0.4775 0.873 0.886
0.800 R² = 0.906
0.600 0.665
0.400
0.200 0.588
0.000

Hari 1 Hari 1 Hari 2 Hari 2
Pagi Siang Pagi Siang

Gambar 1. Kurva belajar pada pekerjaan tahap I

Produktivitas (m3/jam) 1.400 y = 0.0952x + 0.5131 0.989 1.251
1.200 R² = 0.5404
1.000 Siang
0.800 0.795 0.787 0.693 Hari 3
0.600
0.400 0.564
0.200
0.000

Pagi Siang Pagi Siang Pagi

Hari 1 Hari 1 Hari 2 Hari 2 Hari 3

Gambar 2. Kurva belajar pada pekerjaan tahap II

6 KESIMPULAN

Penelitian ini telah menunjukkan fakta bahwa telah terjadi proses belajar pada pekerjaan pondasi dengan material
blok beton, yang dibuktikan dengan adanya peningkatan produktivitas pada sesi pagi sebesar 0,284 m3/jam pada
tahap I dan 0,100 m3/jam pada tahap II. Pada sesi siang, peningkatan produktivitas adalah sebesar 0,221 m3/jam pada
tahap I dan 0,222 m3/jam pada tahap II. Proses belajar yang dihasilkan tersebut kemudian dinyatakan dalam kurva
belajar. Pada pekerjaan tahap I terdapat persamaan garis lurus = 0,1102 + 0,4775, dan Ttahap II adalah
= 0,0952 + 0,5131. Produktivitas pekerjaan tahap I adalah sebesar 0,753 m3/jam, dan pada tahap II sebesar
0,832 m3/jam (naik sebesar 10,49%). Kajian ini belum memperhitungkan variabel kondisi cuaca, kehadiran
pengawas, dan kondisi kesehatan pekerja, yang perlu diteliti lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan salah satu bagian topik penelitian di Pusat Inovasi Material Vulkanis Merapi (PIMVM),
Universitas Islam Indonesia (UII). Terima kasih disampaikan kepada Jurusan Teknik Sipil dan Program Doktor
Teknik Sipil UII dan para pekerja di proyek yang telah memberi bantuan moril dan materiil dalam penelitian ini.

REFERENSI

Ban, M., Aliotta, L., Gigante, V., Mascha, E., Sola, A. and Lazzeri, A. (2020). "Distribution depth of stone
consolidants applied on-site: analytical." Construction and Building Materials, 259, 120394.

235

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Berita Sampit. (2017). https://beritasampit.co.id/. Retrieved from https://beritasampit.co.id/2017/08/
29/E2/80/8/pasir-cor-langka-pembangunan-pasar-mangkikit-terhambat/

Brockmann, C. and Brezinski, H. (2015). "Experience curve effects in bridge construction." Procedia Economics
and Finance, 21, 563-570.

Everett, G. and Farghal, H. (1994). "Learning curve predictors for construction field operations." Journal of
Construction Engineering and Management, Vol 120, 603-616.

Fauzi, M. (2009). "Analisis Pembuatan pondasi rumah permanen terhadap konsep ”Rumah Tahan Gempa” di
Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah". Jurnal Teknik Sipil Inersia, Vol 1, (1), 1-6.

Gunawan, R. (1991). Pengantar Teknik Pondasi. Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.

Harijanti, D. (2016). ekonomi.bisnis.com. Retrieved from https://ekonomi.bisnis.com/read/
20160110/45/508559/pasir-langka-ongkos-konstruksi-di-jawa-timur-meningkat

Hinze, J. W. (2008). Construction Planning and Scheduling (3rd Edition ed.). Parson, Florida, United States.

Husen, A. (2009). Manajemen Proyek: Perencanaan, Penjadwalan dan Pengendalian Proyek. Andi, Yogyakarta,
Indonesia.

Jarkas, A. M. (2010). "Analysis and measurement of buildability factors affecting edge formwork." Journal of
Engineering Science and Technology Review 3(1), 142-150.

Jingga, D. (2014). "Aplikasi pemasangan learning curve theory pada pekerjaan pengecoran kolom pada proyek
pembangunan Apartemen L.A." City. Thesis, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.

Li, Y., Yang, X., and Yang, Z. (2019). "Uncertain learning curve and its application in scheduling." Computers &
Industrial Engineering, 131, 534-541.

Mályusz, L., & Pém, A. (2013). "Prediction of the learning curve in roof insulation." Automation in Construction,
36, 191-195.

Malyusz, L., and Pem, A. (2014)." Predicting future performance by learning curves." Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 119, 368-376.

Olomalaiye, P. O., Jayawardane, A. K., and Harris, F. C. (1998). Contruction Productivity Management. Prentice
Hall;, New Jersey, United States.

Ostwald, P. F., and McLaren, T. S. (2003). Cost Estimating for Engineering and Management. Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, United States.

Ravianto, J. (1986). Penelitian Kerja dan Produktivitas. Lembaga Pembinaan Manajemen, Jakarta, Indonesia.

Soekiman, A., Pribadi, K., Soemardi, B., and Wirahadikusumah, R. (2011). "Study on factor affecting project level
productivity in Indonesia." Annuals of Faculty Engineering Hunedoara- International Journal of Engineering, IX
(2011), 35-40.

Surjoputranto, S. (1991). Pengantar Teknik Pondasi. Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.

Susilo, J., Unas, S. E., and W, I. (2017). "Kurva belajar untuk pemasangan dinding partisi pada pembangunan Gedung
Sentral Fakultas Pertanian Tahap III UB Malang." Jurnal Teknik Sipil, Vol 1(1).

Wong, P. S., Cheung, S. O., & Hardcastle, C. (2007). "Embodying learning effect in performance prediction." Journal
of Construction Engineering and Management - ASCE, Vol 133 (6), 474-482.

236

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Qualitative Value for Money pada Skema Availability Payment untuk
Pengembangan Infrastruktur di Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia

Y.A. Tanne*, I. Mahani, R.Z. Tamin

Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam pemerataan ketersediaan infrastruktur pelayanan dasar Indonesia. Pastisipasi
pihak swasta diperlukan dengan adanya kebijakan pemerintah menjadikan APBN/APBD sebagai sumber daya terakhir
pengadaan infrastruktur. Skema Availability Payment (AP) menjadi alternatif pengadaan dan memastikan ketersediaan
infrastruktur berkualitas dan dapat dibuktikan dengan analisis Value for Money (VfM). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
kriteria Qualitative VfM, evaluasi persepsi stakeholder serta evaluasi skema AP pada proyek Penerangan Jalan Umum (PJU)
Kota Bandung dalam konteks Qualitative VfM. Penelitian ini menggunakan studi kasus PJU Kota Bandung yang direncanakan
tahun 2017. Implementasi analisis Qualitative VfM meliputi aspek ekonomi dan finansial; teknis; sosial; politik dan hukum;
serta manajerial dan institusi pemerintah. Evaluasi persepsi stakeholder terhadap kriteria qualitative VfM pada proyek PJU kota
Bandung yaitu perlu kesamaan persepsi mengenai pemasukan dari operasional infrastruktur; perlu keterlibatan investor/ pihak
swasta yang memiliki pengalaman dengan skema AP; perlu perhatian terhadap faktor lingkungan; perlu kebijakan politik kepala
daerah yang didasarkan pada kebutuhan jangka panjang; serta komitmen dari pegawai pemerintah melaksanakan skema AP.
Evaluasi skema AP pada proyek PJU Kota Bandung dalam konteks Qualitative VfM yaitu perbaikan data teknis eksisting PJU
mengenai kualitas ketersediaan dan jumlah PJU; konsultasi publik yang komprehensif; keterlibatan DPRD sejak awal serta
penyusunan kembali organisasi KPBU Kota Bandung.

Kata kunci: Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha, Availability Payment, Qualitative Value for Money.

1 PENDAHULUAN

Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu kebijakan strategis pemerintah Indonesia dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran pembangunan infrastruktur
yang terus meningkat dari 256,1 T (2015) ke 419,2 T (Kementerian Keuangan, 2019). Namun demikian, peringkat
daya saing infrastruktur Indonesia ternyata masih tertinggal di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Hal ini
menunjukkan berbagai perbaikan yang dilakukan pemerintah masih belum mampu mendongkrak peringkat daya
saing Indonesia. Dalam Global Competitiveness Index (CGI) 2019 yang dirilis oleh World Economic Forum,
Indonesia berada di peringkat 72 dari 141 negara yang di survey dan berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei
dan Thailand di kawasan ASEAN. Untuk mengejar ketertinggalan, pada tahun 2020-2024 Pemerintah Indonesia
mengambil kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur penggerak ekonomi dan pemerataan pelayanan dasar di
seluruh wilayah. Dengan demikian, peran pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat
diperlukan untuk melakukan pengadaan infrastruktur yang berkualitas dan memberikan pemerataan pelayanan dasar
bagi masyarakat.

Pemerintah Indonesia mengusulkan paradigma baru dalam pendanaan infrastruktur (Bappenas, 2018) dengan
menjadikan APBN/APBD sebagai sumber daya terakhir (last resource). Pemerintah kemudian mendorong peran
swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KBPU). Availability Payment (AP) sebagai salah
satu jenis KPBU dapat menjadi alternatif pengadaan infrastruktur untuk memastikan pelayanan yang berkualitas dan
berkesinambungan bagi masyarakat, sepeti yang tercantum dalam PMK No. 190 tahun 2015.

Sejauh ini, pengadaan infrastruktur dengan skema AP masih jarang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama
tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan PPP Book hingga tahun 2019, hanya dua infrastruktur yang sudah dikerjakan
dengan skema AP di tingkat kabupaten/kota yaitu Bandar Lampung Water Supply dan West Semarang Water Supply.
Berbagai kendala dihadapi mulai dari rendahnya tingkat pemahaman hingga lemahnya koordinasi antar stakeholder.
Untuk meningkatkan penggunaan skema AP di pemerintahan daerah serta mengidentifikasi permasalahan yang
terjadi, perlu dilakukan suatu analisis evaluatif mengenai persepsi dan pemahaman para stakeholder terhadap kriteria
Value for Money (VfM) yang meliputi aspek ekonomi dan finansial; teknis; sosial; politik dan hukum; serta
institusional pemerintah (Hang, 2017). Analisis VfM, yang biasanya meliputi kualitatif dan kuantitatif (Wibowo,
2016), dapat memberikan informasi apakah implementasi proyek yang direncanakan lebih baik menggunakan skema

237

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

KPBU daripada skema tradisional (World Bank Institute, 2013). Keterbatasan data dan asumsi-asumsi dalam analisis
kuantitatif yang dimiliki saat ini membuat analisis kualitatif menjadi sangat diperlukan untuk memperoleh penilaian
kelayakan penggunaan skema AP. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kriteria Qualitative VfM dan
mengevaluasi persepsi stakeholder serta evaluasi skema AP pada proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) Kota
Bandung dalam konteks Qualitative VfM. Penelitian ini menggunakan studi kasus Proyek Penerangan Jalan Umum
(PJU) Kota Bandung yang pada tahun 2017 telah direncanakan menggunakan skema AP.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian analisis Qualitative Value for Money (VfM)
Hang (2017) memaparkan beberapa pengertian Qualitative VfM yang dilakukan di beberapa negara. Meskipun ada
berbagai perspektif dalam literatur mengenai analisis ini, dapat dipahami sebagian besar pandangan setuju bahwa
Qualitative VfM dapat dilihat sebagai proses evaluasi dampak faktor-faktor kualitatif yang sulit dihitung secara
kuantitatif terhadap kelayakan KPBU.

2.2 Penentuan Kriteria Qualitative Value for Money (VfM)
Berdasarkan kriteria yang dikumpulkan Hang (2017) melalui berbagai sumber dan World Bank Institute (2013),
disusunlah suatu kriteria Qualitative VfM untuk skema AP yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan
berbagai penyesuaian yang diperlukan. Kriteria Qualitative VfM untuk skema AP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Qualitative VfM untuk skema AP (Hang, 2017)

Lingkup Tinjauan Daftar Kriteria

1 Aspek Ekonomi a) Proyek infrastruktur akan lebih efektif dari segi biaya jika menggunakan skema AP

dan Finansial dibandingkan skema Tradisional.

b) Infrastruktur dapat menghasilkan pemasukan dari operasionalnya (self-funded).

c) Proyek infrastruktur menarik minat sektor swasta dari sudut pandang finansial.

d) Proyek infrastruktur dapat menarik modal asing.

e) Kondisi ekonomi yang stabil dan menguntungkan.

2 Aspek Teknis a) Ukuran proyek infrastruktur secara teknis dapat ditangani oleh satu konsorsium swasta.

b) Proyek infrastruktur terbuka untuk diaplikasikan suatu inovasi.

c) Pemerintah memiliki pengalaman untuk melakukan pengadaan dengan skema AP untuk

proyek serupa.

d) Pihak swasta memiliki pengalaman untuk menangani skema AP.

e) Output dan kualitas layanan dari infrastruktur mudah untuk didefinisikan.

f) Kontrak kerjasama cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan spesifikasi output dan

kualitas layanan infrastruktur.

3 Aspek Sosial a) Ada kebutuhan jangka panjang dan dukungan dari masyarakat terhadap infrastruktur tersebut.

b) Proyek infrastruktur dapat menghasilkan lapangan pekerjaan.

c) Infrastruktur ramah lingkungan.

4 Aspek Politik dan a) Proyek infrastruktur tidak sensitif terhadap faktor politik. Apapun kebijakan politik tidak

Hukum mempengaruhi pengadaan proyek infrastruktur ini.

b) Lingkungan politik yang stabil dan kebijakan politik berkesinambungan.

c) Ada dukungan politik untuk proyek infrastruktur.

d) Proyek infrastruktur termasuk dalam strategi dan rencana kerja jangka panjang pemerintah.

e) Ada landasan hukum atau peraturan yang jelas terkait infrastruktur.

5 Aspek Institusi a) Komitmen pegawai pemerintah terkait tugas dan fungsi baru apabila infrastruktur dikelola

Pemerintah dengan skema AP (termasuk jika terjadi pengurangan jumlah pegawai).

b) Pembagian risiko dan wewenang yang jelas antara pihak swasta dan pemerintah.

c) Tersedia dukungan pemerintah untuk pengadaan infrastruktur (VGF, Penjaminan, dll).

d) Mekanisme kontrol yang jelas oleh pemerintah terhadap kinerja pihak swasta.

238

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat advokasi/partisipatif dan evaluatif yang bertujuan memberikan gambaran dan masukan pada
stakeholder yang berperan dalam pembuatan kebijakan pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk jenis penelitian studi kasus (Creswell & Creswell, 2017). Stakeholder
yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan proyek Penerangan Jalan
Umum Kota Bandung antara lain: Seksi Perencanaan Penerangan Jalan Umum Dinas Pekerjaan Umum Kota
Bandung; Seksi Perencanaan Investasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Sstu Pintu (DPMPTSP)
Kota Bandung yang juga eks Unit Pelaksana Teknis (UPT) KPBU Kota Bandung; Badan Perencanaan Penelitian
Pengembangan (Bappelitbang) Kota Bandung; PT.Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT.PII); dan Direktorat
Pengembangan Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Peneliti menggunakan kuesioner ordinal (perangkingan) yang dianalisis dengan metode weighted average untuk
memperoleh gambaran tingkat kepentingan (signifikansi) dari stakeholder terhadap aspek Qualitative VfM. Kriteria
yang tergolong sebagai kriteria utama adalah yang memiliki nilai signifikansi > 50% dengan asumsi lebih dari
setengah responden sepakat menganggap kriteria tersebut lebih penting dibanding lainnya sedangkan kriteria ≤ 50%
digolongkan sebagai kriteria pendukung. Metode ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana para
stakeholder memandang aspek-aspek kualitatif dalam skema AP. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh
catatan penting dari pelaksanaan skema AP yang menunjang aspek qualitative VfM melalui Proyek PJU Kota
Bandung.

4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Riwayat dan Status Proyek PJU Kota Bandung

Pada tahun 2016 Walikota Bandung meluncurkan Program Bandung Caang Baranang (Bandung Terang Benderang)
yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperluas cakupan penerangan jalan di Kota Bandung, sehingga
memudahkan pergerakan lalu lintas, keselamatan jalan, penurunan tingkat kejahatan, dan pencapaian penghematan
biaya energi untuk Kota Bandung. Proyek inilah yang kemudian direncanakan menggunakan skema AP dan
memperoleh bantuan dana hibah penyiapan proyek dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) yang
diwakili oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Proyek ini kemudian masuk ke dalam
PPP Book Bappenas tahun 2017 dengan rencana jadwal implementasi proyek meliputi pre-qualification and bidding
pada kuartal I 2017; evaluation and award pada kuartal III 2017; contract signing pada kuartal IV 2017; dan financial
close and construction pada 2018. Dalam prosesnya proyek ini mengalami kendala ketika akan dilakukan lelang
karena pihak eksekutif tidak memperoleh persetujuan pelaksanaan proyek dari pihak legislatif. Selain itu, proses
penyiapan proyek dinilai terlalu terburu-buru karena mengikuti ketersediaan dana hibah perencanaan proyek. Pada
tahun 2018, UPT KPBU yang merupakan kesekretariatan dari Simpul KPBU Kota Bandung dibubarkan dan hingga
tahun 2020, belum ada kelanjutan mengenai rencana proyek ini.

4.2 Aspek Ekonomi dan Finansial

Berdasarkan Tabel 4, dalam aspek ekonomi dan finansial, para stakeholder proyek PJU Kota Bandung telah
memahami bahwa skema AP dapat memberikan efektivitas biaya dalam pengadaan infrastruktur dibandingkan skema
tradisional. Diharapkan dalam menyusun studi pendahuluan untuk skema AP, stakeholder terkait terlebih dahulu
memastikan terciptanya efektivitas biaya termasuk dalam hal biaya pengadaan. Selain itu, Pemerintah menyadari
pentingnya pemilihan infrastruktur yang tepat untuk dikerjasamakan serta menjaga kondisi perekonomian yang stabil
dan menguntungkan demi mendukung terwujudnya pengadaan infrastruktur dengan skema AP.

Tabel 2. Kriteria Qualitative VfM pada Aspek Ekonomi dan Finansial

Kriteria Qualitative VfM Score (signifikansi) Persepsi

terhadap kriteria

a Proyek infrastruktur akan lebih efektif dari segi biaya jika menggunakan 4,6/5,0 (92%) Utama

skema AP dibandingkan skema Tradisional

b Infrastruktur dapat menghasilkan pemasukan dari operasionalnya (self-funded) 2,4/5,0 (48%) Pendukung

c Proyek infrastruktur menarik minat sektor swasta dari sudut pandang 2,8/5,0 (56%) Utama

finansial

d Proyek infrastruktur dapat menarik modal asing 2,2/5,0 (44%) Pendukung

e Kondisi ekonomi yang stabil dan menguntungkan 3,0/5,0 (60%) Utama

239

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Hanya sebagian stakeholder proyek PJU Kota Bandung yang telah memahami bahwa pemasukan yang mungkin
diperoleh melalui operasional infrastruktur tidak menjadi kriteria utama dalam aspek ini. Dochia & Parker (2009)
menyatakan bahwa kualitas layanan lebih penting daripada memaksimalkan pendapatan dalam skema AP. Dengan
demikian Pemerintah perlu menyamakan pemahaman dan persepsi mengenai hal ini baik di pusat maupun daerah.
Selain itu, kemungkinan menarik modal asing untuk proyek infrastruktur perlu menjadi perhatian. Catatan penting
yang perlu diperhatikan dalam aspek ekonomi dan finansial berdasarkan proyek PJU Kota Bandung antara lain:

a) Pemerintah daerah perlu memahami kemampuan fiskal dan lingkup proyek dalam menentukan alokasi anggaran
yang digunakan untuk pembayaran ketersediaan layanan.

b) Perlu dipahami bahwa skema AP bukan merupakan “hutang” pemerintah melainkan pembayaran atas
ketersediaan pelayanan yang baik untuk masyarakat.

4.3 Aspek Teknis

Berdasarkan Tabel 3, sebagian besar kriteria teknis yang diajukan menjadi perhatian penting oleh stakeholder proyek
PJU Kota Bandung. Hal ini menunjukkan pemahaman yang baik dari stakeholder dalam pemilihan proyek untuk
memastikan terwujudnya prinsip VfM dalam pengadaan infrastruktur dengan skema AP. Namun, pemerintah pusat
dan daerah perlu menyamakan pemahaman mengenai bentuk kontrak kerjasama yang fleksibel. Catatan penting yang
perlu diperhatikan dalam aspek teknis berdasarkan proyek PJU Kota Bandung antara lain:

a) Dalam kasus Kota Bandung. pertimbangan pemilihan infrastruktur PJU selain faktor kebijakan antara lain:
kemudahan replikasi infrastruktur PJU di daerah lain karena umumnya terdapat di kota-kota di Indonesia; tidak
ada kebutuhan pembebasan lahan; dan adanya pemasukan pajak untuk infrastruktur ini meskipun dalam
prakteknya tidak dapat langsung digunakan untuk pembayaran ketersediaan.

b) Perlu memperhatikan status aset PJU terkait dengan status jalan yang ada di Kabupaten/Kota.
c) Perlu konsultan studi kelayakan yang berkualitas dan berpengalaman mempersiapkan proyek dengan skema AP

untuk menarik minat swasta.

4.4 Aspek Sosial

Berdasarkan Tabel 4, para stakeholder proyek PJU Kota Bandung menyadari pentingnya faktor kebutuhan dan
dukungan dari masyarakat dalam pengadaan infrastruktur serta memastikan adanya lapangan pekerjaan yang
dihasilkan dengan skema AP. Namun dalam perkembangannya pemerintah baik di pusat maupun daerah juga perlu
memperhatikan bagaimana kriteria dampak lingkungan yang dihasilkan oleh proyek infrastruktur.

Tabel 3. Kriteria Qualitative VfM pada Aspek Teknis

Kriteria Qualitative VfM Score (signifikansi) Persepsi terhadap
kriteria
a Ukuran proyek infrastruktur secara teknis dapat ditangani oleh satu
konsorsium swasta 1,8/6,0 (30%) Pendukung

b Proyek infrastruktur terbuka untuk diaplikasikan suatu inovasi 4,6/6,0 (77%) Utama
Utama
c Pemerintah memiliki pengalaman untuk melakukan pengadaan dengan 3,4/6,0 (57%)
Utama
skema AP untuk proyek serupa Utama
Utama
d Pihak swasta memiliki pengalaman untuk menangani skema AP 3,8/6,0 (63%)

e Output dan kualitas layanan dari infrastruktur mudah untuk didefinisikan 4,2/6,0 (70%)

f Kontrak kerjasama cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan 3,2/6,0 (53%)

spesifikasi output dan kualitas layanan infrastruktur

Tabel 4. Kriteria Qualitative VfM pada Aspek Sosial

Kriteria Qualitative VfM Score (signifikansi) Persepsi terhadap
kriteria

a Ada kebutuhan jangka panjang dan dukungan dari masyarakat terhadap 3,0/3,0 (100%) Utama

infrastruktur yang akan diadakan

b Proyek infrastruktur dapat menghasilkan lapangan pekerjaan 1,6/3,0 (53%) Utama
c Infrastruktur ramah lingkungan 1,4/3,0 (47%) Pendukung

240

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Catatan penting yang perlu diperhatikan dalam aspek sosial berdasarkan proyek PJU Kota Bandung antara lain:
a) Skema AP sebaiknya digunakan untuk infrastruktur yang memiliki kebutuhan mendesak dan dukungan dari

masyarakat.
b) Untuk infrastruktur PJU Kota Bandung, banyaknya keluhan dari masyarakat mengenai kualitas pelayanan PJU

(misalnya lampu yang tidak berfungsi dan pemasangan lampu ilegal) menunjukkan bagaimana infrastruktur ini
menjadi kebutuhan dari masyarakat.
c) Konsultasi publik sangat diperlukan secara khusus kepada masyarakat yang terdampak untuk memperoleh
gambaran mengenai dukungan masyarakat serta stakeholder terkait.

4.5 Aspek Politik dan Hukum

Berdasarkan Tabel 5, landasan hukum dan peraturan yang jelas mengenai infrastruktur yang akan diadakan menjadi
perhatian utama dari para stakeholder proyek PJU Kota Bandung. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah pusat dan
daerah perlu menyelaraskan kerangka hukum yang berkesinambungan untuk KPBU secara khusus skema AP serta
sektor infrastrukturnya. Selain itu stakeholder menyadari perlunya dukungan politik dari pemerintah pusat maupun
daerah yang selaras dengan rencana kerja dan kebijakan politik jangka panjang. Dari aspek ini juga dapat dilihat
bagaimana proyek infrastruktur dipandang sangat sensitif dengan faktor politik. Catatan penting yang perlu
diperhatikan dalam aspek politik dan hukum berdasarkan proyek PJU Kota Bandung antara lain:

a) Diperlukan komitmen dari PJPK dan pemerintah daerah termasuk dalam hal koordinasi dengan pemerintah pusat
jika terjadi permasalahan dalam pelaksanaan skema AP.

b) Keterlibatan sejak awal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung sangat penting dalam
skema AP terutama dalam kaitannya dengan persetujuan anggaran.

c) Kebijakan politik kepala daerah sangat menentukan penggunakan skema AP untuk suatu proyek infrastruktur.

4.6 Aspek Institusi Pemerintah

Berdasarkan Tabel 6, para stakeholder proyek PJU Kota Bandung memberikan perhatian besar terhadap analisis
risiko dan pembagian wewenang antara pemerintah dan pihak swasta serta ketersediaan dukungan pemerintah untuk
menarik minat swasta. Namun demikian, Pemerintah juga perlu memperhatikan mekanisme kontrol yang baik dari
pemerintah terhadap kinerja pihak swasta dan memastikan komitmen dari pegawai pemerintah dengan menyusun
organisasi kepengurusan KPBU yang baik secara khusus untuk skema AP.

Tabel 5. Kriteria Qualitative VfM pada Aspek Politik dan Hukum

Kriteria Qualitative VfM Score (signifikansi) Persepsi terhadap
Kriteria

a Proyek infrastruktur tidak sensitif terhadap faktor politik. Apapun 1,0/5,0 (20%) Pendukung

kebijakan politik tidak mempengaruhi pengadaan proyek infrastruktur ini

b Lingkungan politik yang stabil dan kebijakan politik berkesinambungan 2,4/5,0 (48%) Pendukung

c Ada dukungan politik untuk proyek infrastruktur 3,4/5,0 (68%) Utama

d Proyek infrastruktur termasuk dalam strategi dan rencana kerja jangka 3,4/5,0 (68%) Utama

panjang pemerintah

e Ada landasan hukum atau peraturan yang jelas terkait infrastruktur yang 4,8/5,0 (96%) Utama

akan diadakan

Tabel 6. Kriteria Qualitative VfM pada Aspek Institusi Pemerintah

Kriteria Qualitative VfM Score (signifikansi) Persepsi terhadap
Kriteria
a Komitmen pegawai pemerintah terkait tugas dan fungsi baru apabila
infrastruktur dikelola dengan skema AP (termasuk jika terjadi 1,6/4,0 (40%) Pendukung
pengurangan jumlah pegawai)
3,6/4,0 (90%) Utama
b Pembagian risiko dan wewenang yang jelas antara pihak swasta dan 2,8/4,0 (70%) Utama
pemerintah 2,0/4,0 (50%) Pendukung

c Tersedia dukungan pemerintah untuk pengadaan infrastruktur (VGF,
Penjaminan, dll)

d Mekanisme kontrol yang jelas oleh pemerintah terhadap kinerja pihak
swasta

241

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Catatan penting yang perlu diperhatikan dalam aspek institusi berdasarkan proyek PJU Kota Bandung antara lain:
a) Bappenas tidak mengatur secara spesifik lokasi simpul KPBU di daerah untuk mengakomodasi perbedaan

nomenklatur organisasi dan memberikan kebebasan kepada kepala daerah, sedangkan DPMPTSP/ UPT KPBU
Kota bandung berpendapat sebaiknya lokasi simpul ini diseragamkan di tiap daerah untuk menghindari
ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Kota Bandung perlu menentukan kesekretariatan Simpul KPBU yang baru
sehubungan dengan adanya kebijakan pembubaran UPT KPBU pada Tahun 2018.
b) Bappenas sebagai bagian dari Kantor Bersama KPBU Indonesia akan memfasilitasi pemerintah daerah yang
mengalami kendala dalam proyek KPBU. Kantor Bersama KPBU Indonesia diharapkan dapat menjadi unit
khusus yang menjadi leader untuk memberikan arah yang jelas dalam pelaksanaan skema KPBU di Indonesia.
c) PT. PII mendorong pemerintah daerah untuk memahami detail transfer risiko dari pemerintah ke pihak swasta
dalam hal proyek yang dikerjakan dengan KPBU khususnya skema AP.

5 KESIMPULAN
Implementasi analisis Qualitative VfM meliputi aspek ekonomi dan finansial; teknis; sosial; politik dan hukum; serta
manajerial dan institusi pemerintah. Catatan evaluasi persepsi stakeholder terhadap kriteria qualitative VfM pada
proyek PJU kota Bandung yaitu perlu kesamaan persepsi mengenai pemasukan dari operasional infrastruktur; perlu
keterlibatan investor/ pihak swasta yang memiliki pengalaman dengan skema AP; perlu perhatian terhadap faktor
lingkungan; perlu kebijakan politik kepala daerah yang didasarkan pada kebutuhan jangka panjang; serta komitmen
dari pegawai pemerintah melaksanakan skema AP. Catatan evaluasi skema AP pada proyek PJU Kota Bandung
dalam konteks Qualitative VfM yaitu perlu perbaikan data teknis eksisting PJU mengenai kualitas ketersediaan dan
jumlah PJU; konsultasi publik yang komprehensif; keterlibatan DPRD sejak awal serta penyusunan kembali
organisasi KPBU Kota Bandung terutama penentuan Simpul KPBU.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Z. Tamin, Dr. Iris Mahani S.T.,
M.T. dan para narasumber serta seluruh pihak yang telah terlibat dan memberikan dukungan pada penelitian ini.

REFERENSI
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2018). Lampiran Perpres Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018
(Perpres Nomor 79 tahun 2017). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Indonesia.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2019). PPP (Public-Private Partnerships) Book 2012-2019. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Indonesia.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, Sage publications, Inc., California, United States.

Dochia, S. and Parker, M. (2009). Introduction to Private Public Partnerships with Availability Payments. Jeffrey
A. Parker & Associates Inc., Philadelphia, United States.

Hang, D. T. T. (2017). “Evaluation of qualitative value for money of public private partnership projects in Vietnam.”
Journal of International Studies, 10(4), 192-206.

Kementerian Keuangan RI. (2015). Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan (PMK
Nomor 190 tahun 2015). Kementerian Keuangan RI, Jakarta, Indonesia.

Kementerian Keuangan. (2019). Anggaran Infrastruktur Indonesia 2015-2020. Retrieved from http://www.data-
apbn.kemenkeu.go.id/Dataset/Details/1014 , Direktorat Penyusunan APBN Kementerian Keuangan RI, Jakarta,
Indonesia.

Wibowo, A. (2016). “Perkembangan terkini dalam pembiayaan infrastruktur yang melibatkan partisipasi badan
usaha.” Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil X, Yogyakarta, 1-10.

World Bank Institute and Public-Private Infrastructure Advisory Facility (2013). Value-for-Money Analysis-
Practices and Challenges: How Government Choose When to Use PPP to Deliver Public Infrastructure and Service.
The World Bank., Washington, United States.

242

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Kerusakan Gedung SD Inpres Desa Asilulu Kabupaten Maluku
Tengah dan Pengaruhnya terhadap Anggaran Biaya Pembangunan

A. Nanlohy*, L. Leuhery, R. Nunumete

Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Ambon,INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Perawatan (maintenance) sangat penting untuuk dilakukan pada suatu bangunan, terutama pada bangunan vital. Perawatan sering
diabaikan oleh pemerintah daerah sehingga bangunan menjadi rusak berat. Gedung SD Negeri Inpres yang terletak di Desa
Asilulu, Kabupaten Maluku Tengah, merupakan sarana dan prasarana pendidikan yang dibangun tahun 2013. Masa layan suatu
bangunan gedung adalah 20 tahun sesuai aturan pemerintah. Tetapi kenyataannya, pada tahun 2019 gedung SD Negeri Inpres
Desa Asilulu sudah mengalami kerusakan berat. Persentase dan bobot kerusakan ditinjau berdasarkan Permen PU
No.24/PRT/M/2008 dan SNI 2847-2013. Selama interval waktu enam tahun, gedung tersebut mengalami kerusakan sebesar
96,57%. Nilai bobot kerusakan pekerjaan untuk bagian atap mencapai 100%, bagian plafon mencapai 98,18%, struktur kolom
mencapai 50%, bagian dinding sebesar 98,86%, dan instalasi sebesar 100%. Hasil perhitungan bobot pekerjaaan mengalami
deviasi harga dari pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan konstruksi sebesar Rp145.785.777,70 atau 52,72%, apabila gedung
sekolah ini tidak dilakukan perawatan secara berkala.

Kata kunci: Kerusakan, Pemeliharaan, Gedung, Biaya.

1 PENDAHULUAN

Salah satu program pemerintah untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan adalah dengan membangun sarana
dan prasarana pendidikan. Selain pembangunan saran dan prasarana pendidikan, sistem perawatan terhadap sarana
dan prasarana yang telah dibangun juga sangat penting dalam menunjang kegiatan belajar mengajar. Tetapi, hingga
kini sistem perawatan masih diabaikan oleh pemerintah, termasuk salah satunya perawatan terhadap gedung sekolah
SD INPRES Asilulu, Kabupaten Maluku Tengah, yang berjarak kurang lebih 50 km dari ibu kota Provinsi Maluku.
Gedung ini telah mengalami kerusakan, namun masih digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Menurut informasi
dari pihak sekolah, kerusakan gedung tersebut pernah disampaikan kepada pemerintah daerah untuk dapat dilakukan
perbaikan. Menurut pihak sekolah, beberapa guru merasa tidak nyaman lagi untuk menggunakan ruang kelas yang
sudah rusak sebagai tempat belajar mengajar. Pihak sekolah sudah juga sudah pernah melakukan koordinasi dengan
pihak pemerintah daerah, namun hingga kini belum ada realisasi lebih lanjut. Hingga saat ini, proses untuk perawatan
dan memperbaiki gedung tersebut tidak pernah dilakukan.

Perawatan infrastruktur seharusnya dilakukan secara berkala selama sikus hidup infrastruktur tersebut (Kaming &
Ervianto, 2019), sehingga bangunan tersebut dapat berfungsi dengan baik. Mengingat perhitungan biaya
pemeliharaan dilakukan dengan pendekatan volume kerusakan yang terjadi (Mawardi et al., 2018), perawatan rutin
adalah upaya agar anggaran yang dikeluarkan tidak besar sebagai bahagian dari manajemen proyek. Untuk
pemeliharaan pada gedung vital yang berfungsi sebagai tempat fasilitas umum sangat penting dilakukan. Gedung
sekolah sebagai sarana pendidikan yang berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, diatur dalam UUD 1945
dan UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendanaan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
dan daerah, juga masyarakat sebagai penunjang pembangunan infrastruktur, dan belum dilakukan dilakukan secara
merata diseluruh Indonesia.

Gedung sekolah SD Inpres Asilulu, Kabupaten Maluku Tengah, mempunyai tiga ruang kelas yang sudah mengalami
kerusakan, namun masih digunakan untuk proses belajar mengajar meskipun kondisinya sudah tidak layak. Gedung
sekolah tersebut baru dibangun pada tahun 2013. Apabila dibandingkan dengan umur rencana dari gedung tersebut,
seharusnya gedung sekolah belum mengalami kerusakan seperti yang saat ini telah terjadi. Oleh karena itu, dampak
dari kerusakan tersebut perlu diteliti, karena apabila keadaan ini dibiarkan terus berlanjut akan mempengaruhi
kualitas dan mutu pendidikan para murid.

Ruangan kelas yang atapnya sudah bocor. Terlihat pada Gambar 1, ruangan kelas yang atapnya bocor masih
digunakan, sehingga para siswa harus duduk berdempetan dan untuk meenghindari panas matahari dan air hujan

243

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

yang masuk ke dalam ruangan. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan saat proses belajar-menhgajar berlangsung.
Selain itu, kebocoran yang terjadi saat hujan juga berpengaruh terhadap bagian lain dari bangunan sekolah. Pada
Gambar 2 dan 3 juga terlihat penutup atap sudah mengalami kerusakan yang berpengaruh terhadap kerusakan rangka
kuda-kuda dan plafon. Pada Gambar 4 dan 5, menunjukkan kondisi dimana keindahan dan kebersihan sekolah tidak
nampak lagi akibat kerusakan bangunan. Dinding sekolah mengalami retak dan pengelupasan pada lapisan catnya.
Kolom juga mengalami retak hingga tampak tulangan di dalamnya, akibatnya kekuatan dari kolom dapat berkurang.

Perawatan suatu bangunan sering diabaikan oleh pemerintah daerah, khususnya di Kabupaten Maluku Tengah.
Perawatan berkala pada gedung sekolah ini juga dilakukan di beberapa daerah lain di Indonesia , hingga terkadang
mengakibatkan korban jiwa. Kajian pengelolaan pemeliharaan dan perawatan yang diteliti oleh Widiasanti &
Nugraha (2016) menunjukkan bahwa perawatan gedung sangat penting dan diharapkan dapat dilakukan secara
berkala sehingga dana yang akan digunakan lebih efisien. Selain itu, kajian pemeliharaan juga dapat digunakan untuk
merancang program pemeliharaan (Usman & Winandi, 2009). Memelihara bangunan itu tidak mudah dan
memerlukan kaitan berbagai disiplin ilmu. Kegiatan pemeliharaan sebagai suatu bagian yang integral dari tujuan dan
fungsi organisasi pembangunan gedung. Untuk mencapai hasil pemeliharaan yang optimal, diperlukan standar yang
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan.

Gambar 1 Ruang Kelas

Gambar 2 Kerusakan Atap
244

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 3 Kerusakan plafon

Gambar 4 Kerusakan kolom

Gambar 5 Kerusakan dinding
2 METODE
Metode yang digunakan untuk studi kasus gedung sekolah SD Inpress Asilulu adalah dengan survey lapangan untuk
melihat dan mengetahui kerusakan pada bangunan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan formulir penilaian
kondisi bangunan eksisting, dokumentasi gambar, dan sistem pengolah data menggunakan komputer. Pengambilan
data dilakukan di sekolah dengan melakukan pengecekan setiap ruangan rusak dan mengukur lebar retak pada

245

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

dinding dan kolom. Penilaian kerusakan bangunan gedung mengacu pada Permen PU No.24 Tahun 2008, yang
dilakukan secara bertahap mengikuti hirarki bangunan gedung. Bangunan tergolong rusak ringan apabila persentase
kerusakan ≤ 30%, rusak sedang apabila persentase kerusakan sebesar 30% - 45%, rusak berat apabila persentase
kerusakan bernilai 45% - 65%, dan rusak total persentase kerusakan mencapai ≥65%. Persentase kerusakan dihitung
menggunakan Persamaan (1).

= × 100% (1)



dimana merupakan bobot presentase tingkat kerusakan, merupakan harga per item pekerjaaan, dan adalah
harga total pekerjaan. Harga untuk item pekerjaan diambil dari Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Kabupaten
Maluku Tengah tahun 2019. Kerusakan bangunan menurut intensitasnya berdasarakan Permen PU No.24 Tahun
2008 dengan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu: kerusakan ringan yang diijinkan pada komponen
non struktur; kerusakan sedang yang terjadi pada sebagian komponen non-struktur dan atau komponen struktur atap;
serta kerusakan berat apabila kerusakan terjadi pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun
non struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang mempengaruhi kerusakan gedung sekolah salah satunya adalah lokasi gedung yang hanya berjarak 16
m dengan tepi pantai. Faktor angin dan gempa menjadi penyebab terjadinya kerusakan gedung sekolah. Selain faktor-
faktor tersebut, yang menjadi masalah terjadinya kerusakan adalah tidak dilakukan perawatan secara berkala. Pada
awal survey, ditemukan bahwa bangunan gedung SD Inpres Asilulu yang dibangun pada tahun 2013 tidak dirawat
dengan baik. Hingga tahun 2020, bangunan gedung sekolah telah mengalami kerusakan dengan pada bahagian
struktur dan non struktur. Tingkat kerusakan yang terjadi berbeda-beda pada tiga ruang kelas dengan luas 197,93 m2.

Kerusakan terjadi pada bagian atap, rangka kuda-kuda, plafon, dinding, dan kolom yang bisa mengakibatkan atap
zink menjadi berkarat. Selain itu, atap zink tidak dilapisi dengan cat anti karat sehingga terjadi kerusakan yang
semakin besar seperti kebocoran dan terlihat lubang pada atap. Sebagai akibat dari atap yang berlubang, air akan
merembes merembes dan mengenai rangka kuda-kuda dan plafon ketika terjadi hujan. Selain itu, pada musim barat
dimana angin kencang sering terjadi membuat tingkat kerusakan atap semakin parah.

Selain pada komponen atap, ditemukan kerusakan pada bagian lain yang meliputi cat pada dinding bangunan yang
mengelupas dan pudar, pintu dan jendela yang sudah rusak, dinding pada ruang kelas retak, serta tulangan pada
kolom yang telah nampak akibat korosi. Selain itu dalam pembangunan akan berdampak pada anggaran pemerintah,
apabila gedung sekolah akan direhabilitasi ataukah dibangun baru. Disini jelas terlihat kurangnya pemeliharaan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan gedung yang merupakan aset daerah tersebut. Pemeliharan
bangunan adalah sangat penting dan perlu setelah bangunan tersebut selesai dibangun dan dipergunakan.
Pemeliharaan ini akan membuat umur bangunan tersebut menjadi lebih panjang, ditinjau dari aspek kekuatan,
keamanan, dan kinerja (performance) bangunan. Berhasil atau tidaknya suatu pembangunan gedung dapat dilihat
dari usia pemakaian bangunan.

Dalam penggunaan material yang digunakan untuk pekerjaan beton, kemungkinan menggunakan pasir laut yang
berada di sekitar tepi pantai, karena pada tulangan kolom nampak telah mengalami korosi seperti dilihat pada Gambar
5. Penggunaan pasir laut yang mengandung sulfat dan garam klorida, dapat berpengaruh terhadap kerusakan beton
yakni tulangan besi beton menjadi berkarat dan sebagian sengkang putus. Potensi kerusakan pada beton yakni terjadi
retak dan pecah, karena pasir yang asin akan mengurangi rekatan dengan semen, seperti yang terlihat pada Gambar
6.

Data yang didapat melalui pengamatan lapangan, perhitungan tingkat kerusakan pada bangunan gedung sekolah
sesuai volume kerusakan pada bahagian struktur dan non struktur. Perhitungan volume kerusakan dan bobot
kerusakan terhadap keseluruhan bangunan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa kerusakan yang
terjadi telah mencapai 96,57%, dan kerusakan yangterjadi digolongkan sebagai kerusakan berat hingga tahun 2019.
Dilihat dari bobot kerusakan, dapat dikatakan bahwa gedung sekolah ini tidak layak lagi untuk digunakan sebagai
proses belajar mengajar. Kerusakan berat terjadi akibat dari tidak dilakukannya perawatan secara berkala. Pada
komponen dinding, atap, dan instalasi listrik, apabila dilakukan perawatan dua tahun sekali selama enam tahun (2013-
2019) maka perawatan yang dilakukan hanya dibutuhkan pada item pengecatan dan istalasi listrik. Besarnya biaya
yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 2.

246

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabe1. Bobot kerusakan gedung sekolah

Jenis Pekerjaan Nilai Pekerjaan (Rp) Volume kerusakan Bobot kerusakan (%)

A. Atap 54.212.569,40 849,86 m2 45,03
1. Penutup atap zink 22.944.096,00 2,52 m3 19,06
2. Kuda-kuda kayu kelas I 8.896.567,50 0,85 m3 6,87
3. Gording kayu kelas I 7.298.084,00 68,98 m 6,03
4. Listplank 1.724.293,00 43,40 m2 1,45
5. Bumbungan atap zink 25.311.125,42 849,86 m2 21,02
6. Pengecatan atap 120.404.735,32 Total kerusakan atap 99,44
Jumlah pekerjaan atap
46.137.608,00 255,20 m3 89,42
B. Plafon 5.461,174,35 255,20 m3 10,58
1. Rangka dan penutup 51.598.782.35 Total kerusakan plafon 100,00
2. Cat plafon
Jumlah pekerjaan plafon 31.667.438,16 265,8 m3 36,28
42.638.319.38 535,80 m3 49,23
C. Pekerjaan dinding 11.483.602,85 539,90 m3 13,36
1.Pasangan dinding batako 85.789.360,39 Total kerusakan dinding 98,86
2.Plester dinding
3.Pengecatan dinding 4.567.900,00 27 titik 37,79
Jumlah pekerjaan dinding 3.938.625,00 27 buah 32,87
423.375,00 3 buah 3,53
D. Pekerjaan Instalasi Listrik 625.335,00 3 buah 5,22
1.Titik instalasi lampu 549.051.00 3 buah 4,58
2. Lampu 18 watt 1.500.000,00 1 buah 12,52
3. Stop kontak 417.750,00 1 unit 3,49
3. Saklar ganda 11.982.036,00 Total kerusakan instalasi listrik 100,00
4. Saklar tunggal 96,57
5. KWH meter (1200 watt) 269.774.914,06 Presentase kerusakan
6. Mcb/sekring
Jumlah pekerjaan instalasi listrik

Jumlah total biaya

Tabel 2. Biaya perawatan gedung yang dilakukan secara berkala

Jenis pekerjaan Jumlah harga

Pengecatan atap Rp 75.933.376,27
Pengecatan plafon Rp 16.383.523,04
Pengecatan dinding Rp 34.450.808,50
Jumlah biaya perawatan Rp 130.761.719,85

Apabila tidak dilakukan perawatan sehingga mengalami kerusakan sebesar 96,57% maka biaya yang dibutuhkan
untuk perawatan adalah sebesar Rp 276.547.497,55. Selisih nilai antara perawatan yang dilakukan dua tahun sekali

dengan tidak dilakukan perawatan hingga rusak berat sebesar Rp145.785.777,70 atau 52,72%

4 KESIMPULAN

Gedung sekolah SD Inpres Desa Asilulu sebagai salah satu sarana pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan
siswa telah mengalami kerusakan. Gedung ini sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah untuk
lebih meningkatakan pembangunan infrastruktur pendidikan sehingga siswa dapat melakukan aktifitas belajar
mengajar yang layak sesuai anjuran pemerintah. Kerusakan yang terjadi disebabkan beberapa faktor diantaranya
lokasi sekolah yang berdekatan dengan tepi pantai, gempa, angin. Selain itu, tidak dilakukannya perawatan secara
berkala sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.24/PRT/M/2008 juga mempengaruhi besarnya volume
kerusakan dan biaya perbaikan. Hasil assessment menunjukkan bahwa apabila dilakukan perawatan secara berkala,
maka biaya perawatan yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 130.761.719,85 selama periode 6 (enam) tahun. Sementara
itu, besarnya biaya perbaikan apabila tanpa tidak dilakukan perawatan berkala mencapai Rp 276.547.497,55, dengan
deviasi biaya sebesar Rp145.785.777,70 atau 52,72%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Ambon, para guru SD
Inpres Desa Asilulu, dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian kami.

247

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

REFERENSI
Kementerian PUPR. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta,
Indonesia. `

Kaming, P.F. and Ervianto, W.I., (2019). “Model pemeliharaan infrastruktur embung berbasis biaya siklus hidup di
Kabupaten Sleman DIY.” Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas, 3.

Mawardi, E., Aulia, T.B. and Abdullah, A. (2018). “Kajian konsep operasional pemeliharaan gedung SMA Bina
Generasi Bangsa Meulaboh Aceh Barat.” Jurnal Teknik Sipil, 1(4), 811-822.

Usman, K. and Winandi, R., (2009). “Kajian manajeman pemeliharaan gedung (building maintenance) di Universitas
Lampung.” Rekayasa: Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas Lampung, 13(2), 157-166.

Widiasanti, I., and Nugraha, R. E. M. (2016). “Kajian pengelolaan pemeliharaan dan perawatan gedung perguruan
tinggi: Studi kasus Universitas Negeri Jakarta.” JTERA - Jurnal Teknologi Rekayasa, Vol. 1, (1), 41-46

248

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Sumber Daya Manusia di Industri Konstruksi Periode 2011–2020:
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi:

Sebuah Tinjauan Sistematis

F. Fassa1*, A. Wibowo2, A. Soekiman2

1Program Studi Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Universitas Agung Podomoro, Jakarta, INDONESIA
2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Permasalahan mengenai produktivitas tenaga kerja konstruksi masih sering terjadi di sejumlah negara. Artikel ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi. Selain itu,
artikel ini menjelaskan mengenai perkembangan publikasi yang telah berkontribusi terhadap topik produktivitas tenaga kerja
konstruksi. Metode yang dipilih untuk menjawab tujuan penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis (systematic literature
review) dengan menggunakan sumber yang kredibel di dalam database google scholar dengan periode artikel tahun 2011-2020.
Berdasarkan hasil pemindaian, telah dikumpulan dan dianalis sebanya 84 artikel yang relevan dengan topik penelitian. Hasil
temuan dari studi ini menunjukkan bahwa terdapat lima faktor utama yang sangat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
konstruksi yaitu: spesifikasi teknis; pengalaman dan keterampilan tenaga kerja; pasokan material; peralatan; dan koordinasi.
Selain itu perkembangan mengenai topik produktitas tenaga kerja konstruksi terus meningkat hingga tahun 2020, dan negara
India menjadi penyumbang publikasi terbesar pada penelitian ini dengan bobot 26% dari total 84 artikel. Manfaat dari hasil
kajian ini yaitu sebagai salah satu masukan bagi pelaku industri konstruksi untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja
konstruksi.

Kata Kunci: Tinjauan Sistematis, Faktor-Faktor, Produktivitas, Tenaga Kerja Konstruksi, Industri Konstruksi

1 PENDAHULUAN

Industri konstruksi merupakan salah satu industri yang strategis bagi perekonomian nasional disetiap negara
(Mamlook et al., 2020) tidak terkecuali bagi Indonesia. Salah satu alasan mengapa industri ini sangat strategis bagi
perekonomian bangsa adalah karena kegiatan industri konstruksi dapat menarik banyak investasi baik dari sektor
publik maupun sektor swasta (Jalal & Shoar, 2019), dan tenaga kerja merupakan salah satu sumber daya utama dalam
industri konstruksi. Saat ini, sumber daya manusia memiliki peran strategis dalam peningkatan produktivitas suatu
organisasi, dan faktor ini menjadi salah satu aspek penentu dalam berkompetisi di industri konstruksi (Attar et al.,
2012). Faktor yang strategis ini disebabkan karena disetiap proyek konstruksi biaya tenaga kerja memiliki porsi yang
cukup besar terhadap biaya proyek dengan persentase sebesar 30% sampai dengan 50% dari total keseluruhan biaya
(Yates & Guhathakurta, 1993). Oleh karena itu, apabila tenaga kerja tidak dikelola dengan benar maka dapat
memunculkan banyak permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi. Dalam mengerjakan setiap
pembangunan proyek, banyak tantangan yang dihadapi oleh setiap pelaku industri konstruksi dan salah satu tantangan
penting tersebut adalah produktivitas tenaga kerja konstruksi (Soham & Rajiv, 2013). Tenaga kerja yang baik selalu
identik dengan produktivitas, artinya dalam menentukan kesuksesan suatu proyek salah satunya ditentukan dengan
produktivitas pekerja yang tinggi (Kavithra et al., 2017). Dengan kata lain, produktivitas tenaga kerja konstruksi
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi seluruh kinerja proyek konstruksi. Namun demikian,
hingga saat ini tenaga kerja pada industri konstruksi masih menghadapi sejumlah kendala terkait produktivitas
pekerja.

Hampir di setiap negara yang melaksanakan kegiatan konstruksi menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja
merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan konstruksi (Wen & Keong, 2018). Pada penelitian di
Inggris, ditemukan bahwa permasalahan terkait dengan produktivitas tenaga kerja kontruksi adalah keterampilan
tenaga kerja, kualitas pengawasan, metode kerja, bonus, dan kondisi lapangan (Horner et al., 1989). Temuan lain di
Singapura menunjukan faktor seperti kualifikasi pengawas yang rendah, jumlah tenaga terampil yang rendah,
turnover tenaga kerja yang tinggi, ketidakhadiran pekerja yang cukup sering, kesulitan dalam komunikasi dengan
pihak asing menjadi faktor kendala dalam produktivitas di lapangan (Lim & Alum, 1995). Pada studi di India,
ditemukan bahwa permasalahaan mengenai produktivitas tenaga kerja adalah ketidaktersediaan material proyek
konstruksi secara tepat waktu (Thomas & Sudhakumar, 2014). Selanjutnya menurut Hickson & Ellis (2014), terdapat

249

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

lima faktor yang menjadi tantangan dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja kontruksi di Trinidad dan
Tobago, yaitu: kurangnya pengawasan terhadap tenaga kerja; penjadwalan; target kinerja yang diberikan kepada
tenaga kerja yang tidak realistis; kurangnya tenaga kerja yang berpengalaman; kurangnya kepemimpinan manajer
konstruksi. Pada penelitian di Oman disebutkan bahwa salah satu tantangan utama yang dihadapi industri konstruksi
negara ini adalah produktivitas tenaga kerja yang rendah (Jarkas et al., 2015). Sama halnya dengan Indonesia,
permasalahan yang dihadapi saat ini salah satunya adalah permasalahan terkait produktivitas tenaga kerja konstruksi,
hasil yang ditemukan oleh (Anditiaman et al., 2020) menyimpulkan bahwa permasalahan yang mengenai
produktivitas konstruksi di Indonesia antara lain: keterampilan tenaga kerja, peralatan dan material.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi
faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi. Kemudian dari hasil identifikasi tersebut
selanjutnya menentukan lima faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja konstruksi. Adapun
luaran penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pelaku industri konstruksi khususnya kontraktor
dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja di proyek konstruksi.

2 DEFINISI DAN KAJIAN DI SEJUMLAH NEGARA

Kata “produktivitas” dapat didefinisikan dengan banyak cara, salah satunya yaitu produktivitas merupakan
perbandingan antara output pekerjaan dengan input pekerjaan, namun demikian sumber daya input dan output ini
memiliki variasi yang beragam antara industri satu dengan industri lainnya (Kavithra et al., 2017). Adapun sumber
daya untuk input dapat terdiri dari: tenaga kerja, material, energi, modal, dan desain (Mamlook et al.,2020). Dalam
industri konstruksi kata “produktivitas” dapat dikaitkan sebagai produktivitas tenaga kerja, sehingga produktivitas
yang dihasilkan oleh pekerja konstruksi menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu proyek. Isu terkait dengan
produktivitas tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, namun isu ini juga banyak dibahas disejumlah negara
maju. Berikut adalah beberapa studi yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
konstruksi di sejumlah negara.

Menurut Attar et al. (2012) faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, antara lain: kurangnya keselarasan
terhadap tujuan proyek; adanya konflik terhadap kontrak; kesulitan dalam mengukur produktivitas; rendahnya
komitmen terhadap upaya perbaikan secara berkelanjutan; dan fokus tenaga kerja dalam bekerja. Menurut Jarkas &
Radosavljevic (2012), faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, yaitu: penundaan pembayaran;
pengerjaan ulang; kurangnya skema insentif/ bonus; adanya perubahan disain yang tinggi; supervisor yang tidak
kompeten. Menurut Soham & Rajiv (2013) faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, yaitu:
keterlambatan pembayaran, keterampilan tenaga kerja, kejelasan spesifikasi teknis, kekurangan material, motivasi
tenaga kerja. Menurut Jarkas et al. (2015) beberapa temuan yang berhubungan dengan produktivitas tenaga kerja,
yaitu: kesalahan dan kelalaian dalam gambar desain; kurangnya pengawasan kepada tenaga kerja; kejelasan
spesifikasi proyek. Menurut Jarkas et al. (2014) faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, yaitu:
kurangnya skema insentif/ bonus; proses pengambilan keputusan yang lambat oleh pemilik; kekurangan tenaga kerja
terampil.

3 METODOLOGI

Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis tinjauan sistematis. Metode ini merupakan salah
satu metode yang efektif untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi semua penelitian yang revelan dengan topik dan
salah satu pendekatannya berbasis kutipan (Dallasega et al., 2018). Untuk melaksanakan metode analisis tinjauan
sistematis ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan. Pertama, pada tahap ini dilakukan penentuan topik dan kata
kunci penelitian. Setelah ditetapkan topik maka selanjutnya dilakukan pencarian artikel (pencarian terbatas pada
artikel berbahasa Inggris). Adapun penentuan topik dan kata kunci penelitian yang telah ditetapkan adalah: “factor”,
“affecting”, “construction labour”, dan “productivity”. Pada tahap ini juga batasan tahun terbitkan artikel mulai
dari tahun 2011 hingga tahun 2020.

Selanjutnya, untuk memudahkan pencarian artikel maka digunakan tools Publish or Perish edisi 7 dengan sumber
artikel yang berasal dari google scholar. Adapun jenis pubikasi yang dicari dibatasi dalam bentuk luaran jurnal.
Tahap kedua adalah setelah kata kunci, tools, dan mesin pencari sumber artikel ditentukan kemudian memasukan
data tersebut kedalam tools Publish or Perish. Selanjutnya dilakukan pemindaian artikel dengan memeriksa judul
dan abstrak yang sesuai dengan topik penelitian. Berikutnya memeriksa artikel yang relevan dan berfokus pada kata
kunci yang telah ditetapkan. Pada tahap ini juga ada artikel yang dieklusifkan karena pembahasan ruang lingkup
artikel tidak termasuk dengan topik yang dipilih. Hasil akhir pemindaian artikel mendapatkan 84 artikel yang

250

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

selanjutnya isi artikel ditinjau secara sistematis. Tahap ketiga menganalisis isi artikel yang telah disaring secara
mendalam kemudian dan mengektrasi temuan dan kesimpulan yang relevan dengan topik.

Berdasarkan tahun penerbitan dapat disampaikan bahwa sebanyak 6% artikel terbit pada kurun waktu 2011-2012;
18% artikel terbit pada kurun waktu 2013-2014; 21% artikel terbit pada kurun waktu 2015-2016; 20% artikel terbit
pada kurun waktu 2017-2018; dan 35% pada kurun waktu 2019-2020. Pada Gambar 2 dapat dilihat lebih detail terkait
jumlah artikel berdasarkan tahun publikasinya. Berdasarkan gambar yang sama, jumlah artikel yang membahas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi terus meningkat setiap tahun.
Meskipun pada periode 2017-2018 terjadi penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Namun pada
periode selanjutnya yaitu 2019-2020 terjadi kenaikan yang signifikan sebesar 15% dibandingkan periode
sebelumnya.

Selanjutnya pada gambar 3 dapat dilihat distribusi jumlah artikel berdasarkan negara yang dijadikan sebagai data
pada penelitian. Data yang dihasilkan ini dapat memberikan gambaran yang jelas bahwa permasalahan mengenai
produktivitas tenaga kerja konstruksi merupakan isu global. Artinya permasalahan mengenai produktivitas tenaga
kerja tidak hanya terjadi pada negara-negara dengan kriteria tertentu saja (misalnya negara berkembang).
Berdasarkan jumlah negara yang sering muncul, dapat disimpulkan bahwa ada lima negara teratas yang memiliki
kontribusi tertinggi dalam hal kajian mengenai produktivitas tenaga kerja yaitu: India dengan 26%; diikuti Malaysia,
Mesir, dan Nigeria masing-masing berkontribusi sebesar 7%; dan Australia sebanyak 6%.

Gambar 2. Jumlah artikel menurut tahun publikasi

Gambar 3. Distribusi jumlah artikel berdasarkan negara

251

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesifikasi Teknis

Berdasarkan data empiris, terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi.
Salah satu temuan penting mengenai faktor ini adalah spesifikasi teknis. Hasil dari tinjauan sistematis ini
mengkonfirmasi Jarkas & Bitar (2012), yang menyimpulkan bahwa faktor seperti spesikasi teknis dan adanya variasi
pekerjaan selama proses pelaksanaan menjadi faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
konstruksi. Untuk mengurangi terjadinya spesfikasi teknis yang tidak sesuai, maka setiap perencana harus
memperhatikan secara detail gambar yang akan dibuat dengan mengetahui kondisi lapangan (Rivas et al., 2011).

4.2 Pengalaman dan Keterampilan Tenaga Kerja

Secara umum, tenaga kerja yang kurang berpengalaman dan tidak terampil biasanya menghasilkan produktivitas
yang rendah. Dengan pengalaman dan keterampilan teknis yang rendah pada akhirnya dapat berdampak pada hasil
pekerjaan mereka. Hal ini mengakibatkan setiap pekerjaan mereka hampir selalu ditolak oleh pengawas baik sebagian
maupun seluruhnya. Dengan penolakan ini maka akan memunculkan permasalahan lain seperti adanya pekerjaan
ulang untuk memperbaiki produk atau hasil proses konstruksi. Dengan kata lain faktor pengalaman dan keterampilan
tenaga kerja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi. Hal ini telah
terkonfirmasi oleh El-Gohary & Aziz (2013), terdapat lima faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas tenaga
kerja konstruksi di Mesir, yaitu: pengalaman dan keterampilan tenaga kerja; adanya program insentif/ bonus;
ketersediaan material dan kemudahan penanganan material; kepemimpinan dan kompetensi dari manajer konstruksi;
dan kompetensi pengawas lapangan.

Pada kasus lainnya juga ditemuan hal yang sama, bahwa hasil dari penelitian yang dikeluarkan oleh (Jarkas et al.,
2012) menyimpulkan ada sepuluh faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di negara Qatar, yaitu:
keterampilan tenaga kerja; kekurangan material di proyek konstruksi; rendahnya pengawasan pada tenaga kerja;
kekurangan tenaga kerja berpengalaman; komunikasi antara tim proyek dengan tenaga kerja proyek yang buruk;
kurangnya kepemimpinan manajer konstruksi; cuaca buruk dan suhu tinggi; banyaknya penundaan dalam
menanggapi "Permintaan Informasi" (RFI); kurangnya penyediaan transportasi bagi tenaga kerja; dan proporsi
pekerjaan yang disubkontrakkan cukup banyak. Untuk mengembangkan keterampilan dan pengalaman tenaga kerja
konstruksi maka salah satu upaya yang dilakukan adalah adanya kebijakan pemerintah yang konkrit dalam
mendorong dan memperhatikan pendidikan formal berbasis vokasi (El-Gohary & Aziz, 2013).

4.3 Pasokan Material

Selain aspek pengalaman dan keterampilan tenaga kerja, permasalahan konstruksi juga menjadi pembahasan yang
menarik di Cili. Hal ini disebabkan isu terkait dengan lingkungan, kualitas, tim proyek, dan produktivitas tenaga
kerja menjadi permasalahan yang sering muncul di negara tersebut. Menurut Rivas et al. (2011), ada beberapa faktor
utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi di Cili, yaitu: aspek material (seperti: adanya
keterlambatan dalam pengiriman material kelokasi proyek, kurangnya ketersediaan material ketika pekerjaan akan
dimulai, letak material yang jauh dari lokasi pekerjaan); aspek peralatan (seperti: kurangnya peralatan, alat tidak
tersedia saat dibutuhkan, alat rusak saat dibutuhkan, alat tidak diganti saat rusak, ruang peralatan terlalu jauh dari
area kerja); aspek truk (minimnya ketersediaan truk yang cukup di lapangan terutama untuk pengangkutan material
atau peralatan bergerak); aspek pekerjaan ulang (adanya perubahan disain yang disebabkan oleh klien, dan kesalahan
disain).

Kasus lainnya yang membahas aspek material yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja juga terkonfirmasi di
India. Menurut. Thomas & Sudhakumar (2014), ada lima faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di
India, yaitu: ketersediaan material yang tepat waktu di tempat kerja; pengiriman material yang tertunda oleh pemasok;
pemogokan yang dilakukan oleh tenaga kerja; pengerjaan ulang akibat revisi disain; dan tidak tersedianya gambar di
tempat kerja pada waktu yang diperlukan.

4.4 Peralatan

Faktor tertinggi lainnya yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah peralatan kerja. Peralatan
kerja merupakan salah satu aspek yang dapat menunjang kecepatan tenaga kerja dalam melaksanakan aktifitas
kegiatan konstruksi. Hal ini terkonfirmasi oleh Tsehayae & Fayek (2014). Berdasarkan kajian yang dilakukan di
Kanada, dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor tertinggi yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di

252

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kanada, yaitu: peralatan kerja yang kurang memadai; usia penduduk; pengalaman tenaga kerja dan kompetensi
tenaga kerja; cuaca buruk; evaluasi harian sistem K3 dan kerjasama.

Temuan lain di India juga memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa salah satu faktor tertinggi yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja adalah peralatan (Thomas & Sudhakumar, 2013). Untuk meningkatkan produktivitas
terkait dengan penggunaan peralata kerja maka dengan meningkatkan kompetensi dan keterampilan yang dimiliki
oleh tim akan memungkinkan mereka untuk memilih peralatan atau alat yang paling sesuai yang berkaitan dengan
pekerjaan tertentu (Rao et al., 2015).

4.5 Koordinasi

Faktor tertinggi yang menjadi isu global mengenai dalam produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah koordinasi.
Koordinasi yang buruk sering kali menjadi isu yang sering muncul dan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
pada proyek konstruksi, dan hal ini terkonfimasi oleh Durdyev & Mbachu (2017). Hasil penelitian yang dilakukan
di Kamboja, ada lima faktor tertinggi yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, yaitu: kepemimpinan/
manajemen yang buruk dan perencanaan serta koordinasi yang buruk (faktor manajemen); perubahan dan kondisi
tanah yang tidak terduga (faktor eksternal); kekurangan tenaga kerja terampil dan motivasi atau komitmen pekerja
yang buruk (tenaga kerja); arus keuangan yang tidak mencukupi dan kontigensi yang tidak memadai. Begitu juga
dengan kasus yang ditemukan di Arab Saudi, bahwa ada lima faktor tertinggi yang mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja, yaitu: koordinasi antara kelompok kerja; peningkatan peralatan; hubungan yang antar rekan kerja; lokasi
kerja yang lebih luas; tenaga kerja yang lebih terampil (Choudhry, 2015).

5 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian tinjauan sistematis, banyak temuan penting yang dapat diambil dari pengalaman empiris di
negara berkembang maupun negara maju yang telah mengkaji faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja
konstruksi. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja yaitu: spesifikasi teknis; pengalaman dan keterampilan tenaga kerja; pasokan material; peralatan; dan
koordinasi. Temuan lain yang didapat pada penelitian ini adalah tren perkembangan artikel yang mengkaji topik
produktivitas tenaga kerja terus meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2020. Adapun negara yang paling tinggi
dalam menghasilkan kajian mengenai produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah India. Manfaat akhir dari
penelitian ini adalah dapat dijadikan masukan bagi pelaku industri konstruksi dalam mengelola produktivitas tenaga
kerja. Namun demikian dari penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak potensi penelitian yang dapat dikaji
selanjutnya seperti evaluasi dampak produktivitas terhadap biaya proyek,potensi klaim perpanjangan waktu dan
kajian lainnya.

REFERENSI

Attar, A .A., Gupta, A.K., and Desai, D.B. (2012). “A Study of various factors affecting labour productivity and
methods to improve it." IOSR Journal of Mechanical and Civil Engineering, 11-14.

Anditiaman, N. M., Latief, R. U., Rahim, I. R., and Arifuddin, R. (2020). "Identification of construction productivity
components in Indonesia Case study of construction projects at the ministry of public works and housing provision
(PUPR)." The 3rd International Conference on Civil and Environmental Engineering (ICCEE 2019), Bali, 012146.

Choudhry, R. M. (2015). "Achieving safety and productivity in construction projects." Journal of Civil Engineering
and Management, 23(2), 1-8.

Dallasega, P., Rauch, E., and Linder, C. (2018). "Industry 4.0 as an enabler of proximity for construction supply
chains: A systematic literature review." Computers in Industry, 205-225.

Durdyev, S. and Mbachu, J. (2017). "Key constraints to labour productivity in residential building projects: evidence
from Cambodia." International Journal of Construction Management, 18 (5),1-10.

El-Gohary , K. M. and Aziz, R. F. (2013). "Factors influencing construction labor productivity in Egypt." Journal of
Management in Engineering, 30 (1), 1-9.

Hickson, B. G. and Ellis, L. A. (2014). "Factors affecting construction labour productivity in Trinidad and Tobago."
The Journal of the Association of Professional Engineers of Trinidad and Tobago, 4-11.

253

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Horner, R.M.W, Talhouni, B.T, and Thomas, H.R. (1989). "Preliminary results of major labour productivity
monitoring programme." The 3rd Yugoslavian Symposium on Construction Management, Yugoslavia, 18-28.

Jalal, M. P. and Shoar, S. (2019). "A hybrid framework to model factors affecting construction labour productivity
Case study of Iran." Journal of Financial Management, 385-409.

Jarkas, A. M. (2015). "Factors influencing labour productivity in Bahrain's construction industry." International
Journal of Construction Management, , 94-108.

Jarkas, A. M., and Bitar, C. G. (2012). "Factors affecting construction labor productivity in Kuwait." Journal Of
Construction Engineering And Management, 138 (7), 811-820.

Jarkas, A. M. and Radosavljevic, M. (2012). "Motivational factors impacting the productivity of construction master
craftsmen in Kuwait." Journal of Management in Engineering.

Jarkas, A. M., Kadri, C. Y., and Younes, J. H. (2012). "A survey of factors influencing the productivity of
construction operatives in the state of Qatar." The International Journal of Construction Management, 12 (3),1-23.

Jarkas, A. M., Radosavljevic, M., and Wuyi, L. (2014). "Prominent demotivational factors influencing the
productivity of construction project managers in Qatar." International Journal of Productivity and Performance
Management, 1070-1090.

Jarkas, A. M., Al Balushi, R. A., and Raveendranath, P. K. (2015). "Determinants of construction labour productivity
in Oman." International Journal of Construction Management, 332-344.

Kavithra, S.S., Ambika, D., and Shankari, R. S. (2017). "Review on quantified impacts of construction labour
productivity towards project performance." International Research Journal of Engineering and Technology (IRJET),
1294-1297.

Lim, E, and Alum, J. (1995). "Construction productivity: Issues Encountered by contractors in Singapore."
International Journal of Project Management, 51-58.

Mamlook, R. A., Bzizi, M., Kbisbeh, M. A., Ali, T., and Almajiri, E. (2020). "Factors Affecting Labor Productivity
in the Construction Industry." American Journal of Environmental Science and Engineering, 24-30.

Rao, B. P., Sreenivasan, A., and NV, P. B. (2015). "Labor productivity-analysis and ranking." International Research
Journal of Engineering and Technology (IRJET), 151-155.

Rivas, R. A., Borcherding, J. D., González, V., and Alarcón, L. F. (2011). "Analysis of factors influencing
productivity using craftsmen questionnaires: Case study in a Chilean construction company." Journal Of
Construction Engineering And Management, 137 (4), 312-320.

Soham, M. and Rajiv, B. (2013). "Critical factors affecting labour productivity in construction projects: case study
of South Gujarat Region Of India." International Journal of Engineering and Advanced Technology (IJEAT), 583-
591.

Thomas, A. V. and Sudhakumar, J. (2013). "Critical analysis of the key factors affecting construction labour
productivity –An Indian perspective." The International Journal of Construction Management, 103-125.

Thomas, A. V. and Sudhakumar, J. (2014). "Factors influencing construction labour productivity: An Indian case
study." Journal of Construction in Developing Countries, 53–68.

Tsehayae, A. A. and Fayek, A. R. (2014). "Identification and comparative analysis of key parameters influencing
construction labour productivity in building and industrial projects." Can. J. Civ. Eng, 41(10), 878-891.

Wen, V. N. and Keong, S. M. (2018). "A study of factors affecting the labour productivity of construction projects
in Sarawak." Int Journal – Built Environment.

Yates, J. K, and Guhathakurta, S. (1993). "International labor productivity." Cost Engineering Journal, 15-25.

254

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Manajemen Risiko di Industri Konstruksi Periode 2017 s.d 2020: Tinjauan
Sistematis dan Analisis Konten

F. Fassa1*, A. Soekiman2, A. Wibowo2

1Program Studi Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Universitas Agung Podomoro, Jakarta, INDONESIA
2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Banyak penelitian menemukan bahwa industri konstruksi sangat rawan terhadap risiko yang terkait dengan permasalahan biaya
proyek, penjadwalan, keselamatan kerja, maupun permasalahan yang disebabkan adanya intervensi oleh pemerintah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi risiko didalam industri konstruksi dan menganalisis
perkembangan penelitian mengenai topik manajemen risiko di industri konstruksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tinjauan sistematis. Temuan dari analisis bibliometrik dan analisis konten menunjukkan bahwa risiko seperti perencanaan
manajemen risiko; pembiayaan; waktu; pemangku kepentingan; pemerintah dan komunikasi merupakan faktor yang cukup
sering dikaji selama periode 2017 s.d 2020. Temuan berikutnya adalah teknik analisis yang populer digunakan oleh banyak
peneliti yang mengkaji manajemen risiko yaitu statistic analysis dengan bobot sebesar 41%, Selain itu, Malaysia merupakan
negara yang mendominasi penelitian terkait dengan manajemen risiko dengan bobot sebesar 19% selama periode 2017 s.d 2020.

Kata Kunci: Manajemen Risiko, Industri Konstruksi, Tinjauan Sistematis, 2017 s.d 2020.

1 PENDAHULUAN

Proyek konstruksi identik dengan ketidakpastian, hal ini disebabkan karena proyek konstruksi bersifat kompleks,
unik, dan dinamis (El-Sabek & McCabe, 2018). Dengan ketidakpastian pada proyek konstruksi ini maka dapat
menimbulkan dampak, baik negatif maupun positif terhadap suksesnya suatu proyek konstruksi. Industri konstruksi
merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian setiap negara yang mampu menciptakan lapangan kerja dan
memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto. Akan tetapi seperti sektor lainnya industri ini memiliki
berbagai risiko yang membuat pencapaian tujuan proyek sulit terpenuhi sesuai harapan para pemangku kepentingan.
Namun karena sifatnya yang menantang, dinamis dan kompleks sifat industri, tidak ada proyek konstruksi yang bebas
risiko (Boateng et al., 2020). Risiko, menurut PMI (2017) adalah kejadian atau kondisi yang tidak pasti dan apabila
terjadi dapat berdampak positif atau negatif terhadap kesuksesan proyek. Pengelolaan risiko suatu proyek adalah
kegiatan untuk memitigasi atau menghilangkan terjadinya dampak dari efek negatif dan sering disebut sebagai
manajemen risiko (Boatenga et al., 2020). Manajemen risiko telah diterapkan di berbagai industri dan banyak
memberikan hasil yang sangat baik (Zou et al., 2017).

Setiap risiko yang muncul dalam proyek konstruksi umumnya bersifat saling mempengaruhi. Contohnya risiko yang
diakibatkan oleh sumber daya manusia dapat mempengaruhi waktu, biaya dan keselamatan dalam proyek konstruksi
begitupun sebaliknya. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh (Hatefi & Tamošaitienė, 2019) dengan
mengunakan metode Fuzzy DEMATEL dan Fuzzy ANP didapat bahwa faktor risiko pada proyek konstruksi
mempunyai pengaruh yang signifikan satu sama lain. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdiri dari para pemangku
kepentingan turut memberikan risiko terhadap proyek konstruksi yang dapat mengancam keberhasilan proyek.
Pengaruh yang disebabkan oleh para pemangku kepentingan cenderung mempengaruhi seberapa berisiko dan
signifikannya suatu ancaman yang dapat timbul pada proyek konstruksi (Xia et al., 2017). Dengan banyaknya faktor
risiko yang dapat mempengaruhi keberhasilan proyek konstruksi maka pengelolaan dan penilaian risiko yang akurat
sangat penting saat perencanaan proyek. Pada negara tertentu penerapan manajemen risiko dalam proyek konstruksi
tidak tercapai akibat kurangnya pengetahuan mengenai bagaimana mengelola risiko proyek konstruksi. Pengetahuan
ini disebabkan karena baik pemilik maupun kontraktor tidak menggunakan informasi proyek masa lalu mereka untuk
meningkatkan perencanaan dalam menghadapi risiko yang akan terjadi pada proyek berikutnya (Pooworakulchai,
2018). Risiko lain yang sering terjadi diproyek konstruksi yang ada di Pakistan adalah potensi terjadinya
keterlambatan konstruksi. Faktor risiko ini menunjukan bahwa risiko keterlambatan proyek konstruksi di Pakistan
disebabkan tidak memiliki perencanaan dan manajemen yang tepat. Permasalahan seperti keterlambatan adalah jenis

255

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

risiko yang sangat tinggi karena efeknya tidak hanya terbatas pada jadwal proyek dan keuangan tetapi juga
menyebabkan kualitas pekerjaan yang buruk dan dampak lain seperti perselisihan (Farid et al., 2020). Berdasarkan
permasalahan diatas, maka perlu dilakukan suatu pemetaan mengenai faktor-faktor terkait risiko yang ada di proyek
konstruksi. Selanjutnya, mengidentifikasi metode apa saja yang telah dikaji terkait dengan manajemen risiko proyek
konstruksi. Kemudian bagaimana tren perkembangan penelitian terkait manajemen risiko konstruksi yang telah
dilakukan banyak negara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan faktor risiko di proyek konstruksi
berdasarkan tinjauan sistematis. Kemudian penelitian ini bertujuan untuk melihat tren perkembangan kajian
mengenai manajemen risiko pada industri konstruksi. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu acuan
bagi pelaku industri konstruksi dalam meningkatkan kinerja manajemen risiko.

2 METODOLOGI

Untuk dapat mengidentifikasi state of the art faktor risiko dalam proyek konstruksi, dan untuk mengintegrasikan
karya ilmiah yang membahas mengenai manajemen risiko di industri konstruksi metode tinjauan sistematis dipilih
pada penelitian ini. Tinjauan sistematis merupakan metode yang terstruktur, transparan dan dapat direproduksi untuk
meninjau penelitian dengan tahapan identifikasi artikel, pemilihan topik, dan menganalisis artikel yang telah
ditetapkan (Gough et al., 2012). Kata kunci yang digunakan dalam pencarian artikel adalah “risk management,
construction industry”. Adapun pencarian artikel menggunakan tools Publish or Perish dengan beberapa batasan
seperti: tahun artikel periode 2017 s.d 2020; kategori artikel berbentuk jurnal dan prosiding; maksimal pencarian
artikel 50 buah. Langkah berikutnya, hasil pemindaian yang telah didapat kemudian dianalisis satu persatu
berdasarkan tahun, metode penelitian dan luaran. Tabulasi data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
microsof excel. Adapun detail protokol tinjauan sistematis penelitian ini dapat terlihat pada Tabel 1.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Metode atau Teknik Identifikasi Risiko yang Digunakan dalam Artikel yang Dipilih
Berdasarkan hasil tinjauan sistematis dan analisis bibliometrik ditemukan berbagai macam artikel yang menggunakan
metode atau teknik untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko-risiko yang ada di industri konstruksi. Hasil
analisis yang telah diidentifikasi pada setiap artikel tersaji pada Gambar 1.

Tabel 1. Protokol tinjauan sistematis

Tahapan Penjelasan Tahapan Keterangan
1 Menentukan rumusan masalah/ pertanyaan Aspek-aspek apa saja yang terkait dengan risiko yang ada di
penelitian proyek konstruksi
2 Menetapkan kriteria yang dibutuhkan Kriteria apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan artikel
terkait?
3 Menetapkan kata kunci • Tools Publish or Perish
4 Melakukan pencarian • Artikel berbahasa inggris
• Publikasi dalam bentuk jurnal dan prosiding
5 Analisis • Publikasi dengan periode 2017 s.d 2020
• Maksimal Artikel 50
6 Sintesis/Kesimpulan Risk Management; construction industry
Sumber (Badi & Murtagh, 2019)
• Input ke Publish or Perish
• Pindai
• Kumpulkan artikel yang sesuai topik (didapat 32 artikel

yang revelan dari total 50 artikel yang dipindai)

• Kajian mendalam setiap artikel dengan analisis
bibliometrik dan konten analisis

• Tabulasi menggunakan microsoft excel
• Pengelompokan berdasarkan tahun, negara, metode

• Memberikan intisari penelitian

256

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 1. Teknik analisis pada setiap artikel

Metode statistic analysis merupakan teknik yang paling populer digunakan dalam menganalisis risiko di industri
konstruksi dengan bobot sebesar 43,75%. Hal ini menunjukan tren penggunaan teknik statistic analysis lebih populer
dengan perbandingan 1 dari 2 artikel menggunakan teknik ini. Temuan kedua berikutnya adalah teknik literature
review yang digunakan dalam menganalisis topik manajemen risiko di industri konstruksi dengan bobot sebesar
21,88%. Hasil ini menunjukan bahwa penggunaan teknik literature review digunakan pada setiap artikel yang dikaji
pada penelitian ini memiliki perbandingan 1 dari 5 artikel yang terpilih. Temuan ketiga tertinggi lainnya adalah teknik
Fuzzy dengan bobot sebesar 12,5% atau 1 dari 8 artikel yang terpilih menggunakan analisis Fuzzy pada setiap
penelitiannya. Sebagai contoh teknik seperti Fuzzy DEMATEL digunakan untuk menentukan keterkaitan dan
ketergantungan antar faktor risiko. Struktur jaringan untuk mengimplementasikan metode Fuzzy ANP diekstraksi
berdasarkan hasil dari Fuzzy DEMATEL. Fuzzy ANP diterapkan untuk menilai kepentingan dari faktor risiko dan
menilai alternatif serta prioritaskan faktor risiko yang dapat terjadi pada proyek konstruksi (Hatefi & Tamošaitienė,
2019). Teknik berikutnya yang digunakan untuk menganalisis artikel terpilih adalah Mathematical Modeling dan
Delphi masing-masing menyumbang 6,25%. Kemudian dikuti oleh teknik system dynamic, struktural equation
modeling dan studi kasus masing-masing menyumbang bobot sebesar 3,13%.

3.2 Jumlah Artikel Berdasarkan Tahun Publikasi
Berdasarkan hasil analisis bibliometrik, jumlah artikel yang membahas mengenai manajemen risiko di industri
konstruksi didominasi pada tahun 2017 sebanyak 41%. Artinya 1 dari 2 artikel yang dikaji pada penelitian ini
artikelnya berasal dari tahun 2017. Sedangkan pada tahun 2018 jumlah artikel yang membahas manajemen risiko
jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya dengan bobot sebesar 28%. Penurunan ini terus terjadi hingga tahun 2020
dengan bobot sebesar 6% (lihat Gambar 2). Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa, ketertarikan peneliti dalam
mengkaji mengenai manajemen risiko dalam 4 tahun terakhir terus menurun.

3.3 Luaran Publikasi Berdasarkan Asal Negara
Adapun hasil analisis berdasarkan asal negara ditemukan bahwa terdapat beberapa negara yang mendominasi luaran
publikasi yaitu: Malaysia sebesar 19%; kemudian diikut Cina sebesar 13%; lalu India sebesar 10%; dan Iran dengan
Pakistan masing-masing memberikan kontribusi sebesar 9%. Dari data ini dapat diambil kesimpulan bahwa selama
kurun waktu 4 tahun terakhir (2017 s.d 2020) penelitian negara di benua Asia mendominasi > 60% dari total artikel
terpilih. Dengan kata lain perlu dicatat bahwa permasalahan terkait dengan manajemen risiko di industri konstruksi
masih sangat banyak ditemukan di benua Asia. Adapun detail sebaran artikel berdasarkan asal negara terlihat pada
Gambar 3.

257

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2. Jumlah artikel berdasarkan tahun publikasi

Gambar 3. Luaran publikasi berdasarkan asal negara

3.4 Perencanaan Manajemen Risiko Industri Konstruksi
Dalam mengerjakan proyek infrastruktur umumnya memiliki risiko yang cukup besar. Oleh karena itu para
pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi risiko apa saja yang dapat terjadi pada suatu proyek infrastruktur. Dari
hasil survei yang dilakukan melalui metode anilisis statisitik pada proyek konstruksi jalan di India oleh (Kumar et
al., 2017) ditemukan faktor risiko yang dapat mempengaruhi proyek konstruksi jalan, antara lain: perencanaan yang
tidak efisien, kondisi tanah yang tidak terduga, sumber daya, keadaan kahar dan masalah pemerintah yang
berkontribusi secara signifikan terhadap keseluruhan risiko di proyek konstruksi jalan. Namun sebaliknya risiko
politik, ancaman perang, dan perubahan akibat pemilik memiliki dampak yang sangat rendah pada proyek tersebut.
Menurut kajian yang dilakukan oleh (Boateng et al., 2020), berdasarkan analisis Fuzzy menunjukan bahwa kurangnya
praktik manajemen risiko yang baik dapat menyebabkan kinerja buruk diberbagai sektor industri konstruksi di Ghana.
Untuk mengatasi fenomena kinerja yang buruk tersebut maka klien dan pemilik modal perlu meminta rencana
manajemen risiko dari kontraktor sebelum mengontrak mereka untuk melaksanakan proyek konstruksi. Temuan
lainnya menunjukan bahwa pelatihan secara berkala dan terencana terhadap manajer proyek di negara tersebut perlu
diperbaiki. Langkah perbaikan ini akan meningkatkan standar praktik manajemen risiko di setiap manajer proyek.
Dalam studi ini juga ditemukan bahwa pembelajaran Manajemen Risiko dilaksanakan dengan kualitas yang buruk di
lembaga pendidikan.
3.5 Risiko Waktu dan Biaya Dalam Industri Konstruksi
Risiko yang terjadi diproyek konstruksi tidak hanya berdampak terhadap pembengkakan biaya maupun
keterlambatan waktu, akan tetapi industri konstruksi merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya dan berisiko
tinggi yang dapat menyebabkan kecelakaan dan cedera (Soltanzadeh et al., 2017). Beberapa temuan terkait dengan
faktor individu dan organisasi dapat memberikan peran penting dan signifikan dalam mengurangi tingkat kejadian

258

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

dan tingkat keparahan pada kecelakaan konstruksi. Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh (Saeed, 2018)
menemukan bahwa faktor terpenting yang menyebabkan keterlambatan waktu dan pembengkakan biaya adalah
perencanaan konstruksi yang tidak memadai, estimasi yang buruk, perubahan proyek selama konstruksi, manajemen
kontrak yang buruk, dan masalah keuangan dan pembayaran. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kinerja
proyek yang buruk dapat dikurangi secara signifikan dengan: memberikan perencanaan konstruksi yang lebih baik
pada awal proyek, mencegah perubahan proyek selama konstruksi, memperbaiki manajemen kontrak dan
memperbaiki masalah keuangan dan pembayaran. Selain itu, meningkatkan komunikasi antara pihak konstruksi
sangat penting untuk pengendalian biaya dan waktu konstruksi. Berbagi informasi mengenai risiko pada proyek, dan
memiliki prioritas bisnis yang sama memberikan manfaat untuk mengurangi kemungkinan penundaan waktu dan
pembengkakan biaya. Risiko pembiayaan pada industri konstruksi sering menjadi permasalahan yang selalu dihadapi
oleh setiap manajer proyek, artinya jika pembiayaan telah diatasi dengan benar maka risiko yang akan muncul dalam
bentuk apapun dapat ditangani (Rehman et al., 2017). Artikel yang membahas mengenai risiko pada pendanaan
konstruksi juga terkonfirmasi oleh (El-Sayegh et al., 2018) yaitu masalah pendanaan (klien kekurangan dana)
merupakan risiko nomor satu yang terjadi di negara UEA. Artikel lainnya yang membahas mengenai pendanaan
menyimpulkan bahwa adanya dana darurat (contigency fund) yang cukup dapat menutupi risiko dalam proyek
konstruksi (Lam & Siwingwa, 2017). Di Indonesia sendiri risiko akibat keterlambatan waktu di proyek konstruksi
masih banyak terjadi, keterlambatan ini tidak hanya berdampak kepada pemilik proyek ataupun kontraktor, namun
juga berpengaruh besar terhadap masyarakat seperti contohnya keterlambatan proyek jalan berdampak terhadap
penutupan ataupun pengalihan arus lalu lintas disekitar proyek (Nurdiana et al.,2018).

3.6 Risiko Dari Aspek Pemangku Kepentingan

Proyek konstruksi juga sering dihadapkan pada masalah kompleks yang terkait dengan pemangku kepentingan,
termasuk konflik antar tim proyek seperti klien dan kontraktor (Hwang & Ng, 2015). Berdasarkan hasil anilisis
matematika modeling yang dilakukan oleh (Xia et al., 2017) menyimpulkan bahwa terdapat 3 tahapan yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi risiko dari aspek pemangkung kepentingan. Pertama membuat indeks terhadap
atribut risiko (probabilitas dan dampak). Kedua adalah membuat indeks atribut pemangku kepentingan (legitimasi,
dan urgensi, dan posisi pemangku kepentingan). Ketiga adalah pengelolaan risiko (kemampuan pemangku
kepentingan untuk secara proaktif mengurangi risiko individu yang akan mereka hadapi dalam kaitannya dengan
probabilitas atau dampaknya). Menurut (Pooworakulchai, 2018), ada tiga hal penting dalam penerapan manajemen
risiko di industri konstruksi, yaitu sumber daya manusia, informasi, dan pembelajaran yang berkelanjutan. Menurut
Xia et al. (2018), efektifitas dari manajemen risiko dapat ditingkatkan dengan adanya integrasi pemangku
kepentingan secara efektif, artinya peran pemangku kepentingan memegang peranan yang penting dalam
keberhasilan suatu manajemen risiko.

3.7 Risiko Pemerintah Dan Komunikasi Dalam Industri Konstruksi

Hasil analisis yang dilakukan oleh (Kumar et al., 2017) disimpulkan bahwa faktor-faktor seperti permasalahaan
pemerintah, secara signifikan mempengaruhi risiko diproyek konstruksi. Dengan kata lain, manajemen risiko akan
lebih kuat (yaitu lebih positif) untuk organisasi yang memiliki aturan dan regulasi yang jelas (Omer et al., 2019).
Berikutnya pengaruh pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) telah banyak digunakan
dalam pembangunan infrastruktur selama 30 tahun terakhir (Xiong et al., 2017). Namun demikian, KPBU ini banyak
mengalami banyak risiko yang muncul dan akhirnya menyebabkan gagalnya proyek tersebut, sehingga manajemen
risiko berbasis ex ante sudah tidak relevan dalam menjawab permasalahan ini dan dibutuhkan cara seperti metode ex
post sehingga hasil dari model ex post ini memberikan keleluasaan dalam melakukan renegosiasi serta penghentian
pekerjaan diawal dapat diperkenankan untuk mengevaluasi dampak yang akan muncul pada proyek infrastruktur.
Berikutnya, risiko yang terkait dengan aspek komunikasi telah terkonfirmasi oleh (Rahman & Adeleke, 2018) bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara komunikasi yang efektif dengan manajemen risiko di industri
konstruksi Malaysia, hal ini berimplikasi bahwa komunikasi yang efektif mempunyai peranan penting dalam
membatasi terjadinya risiko di masa depan dalam proyek industri konstruksi di Malaysia.

4 KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil tinjauan sistematis (analisis bibliomertik dan analisis konten) terhadap 32 artikel yang relevan
dalam topik manajemen risiko di industri konstruksi, dan dari analisis yang mendalam dapat disimpulkan bahwa
faktor risiko yang sering muncul pada 32 artikel terpilih yaitu terkait dengan: risiko perencanaan manajemen; risiko
pembiayaan; risiko pemangku kepentingan; dan risiko pemerintah serta komunikasi.Temuan berikutnya menunjukan
bahwa teknik analisis seperti statistic analysis menjadi daya tarik utama bagi sebagian peneliti dalam menganalisis

259

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

penelitian mengenai topik manajemen risiko di industri konstruksi.Negara dari benua Asia sangat mendominasi
penelitian dengan topik manajemen risiko, artinya ada permasalahan yang cukup besar terkait dengan risiko di
industri konstruksi yang ada di negara-negara di benua Asia. Jumlah artikel yang didapat pada penelitian ini
didominasi pada tahun 2017 sebesar 41%.

REFERENSI
Badi, S. and Murtagh, N. (2019). "Green supply chain management in construction: A systematic literature review
and future research agenda". Journal of Cleaner Production, 223, 312-322.

Boateng, A., Ameyaw, C., and Mensah, S. (2020). "Assessment of systematic risk management practices on building
construction projects in Ghana". International Journal Of Construction Management.

El-Sabek , L. M., and McCabe, B. Y. (2018). "Coordination challenges of production planning in the construction of
international mega-projects In The Middle East". International Journal of Construction Education and Research, 14
(1), 118-140.

El-Sayegh, S. M., Manjikian, S., Ibrahim, A., Abouelyousr, A., and Jabbour, R. (2018). "Risk identification and
assessment in sustainable construction projects in the UAE". International Journal of Construction Management.

Farid, W., Kureshi, N. I., Babar, S., and Mahmood, S. (2020). "Critical risk factors of construction industry of
pakistan forimproving project outcome". Mehran University Research Journal of Engineering and Technology,
39(1), 71-80.

Gough, D., Oliver, S., and Thomas, J. (2012). An Introduction to Systematic Reviews. SAGE, London, United
Kindom.

Hatefi, S. M. and Tamošaitienė, J. (2019). "An Integrated fuzzy dematel-fuzzy anp model for evaluating construction
projects by considering interrelationships among risk factors". Journal of Civil Engineering and Management, 25(2),
114–131.

Hwang, B. G., and Ng, H. B. (2015). "Project network management: risks and contributors from the viewpoint of
contractors and sub-contractors". Technological and Economic Development of Economy , 22(4), 631–648.

Kumar, R. P., Sheikh, A., and Asadi, S. (2017). "A systematic approach for evaluation of risk management in road
construction projects - A model study". International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET), 8(3),
888-902.

Lam, T. Y. M., and Siwingwa, N. (2017). "Risk management and contingency sum of construction projects". Journal
of Financial Management of Property and Construction, 22(3), 237-251.

Nurdiana, A., Wibowo, M. A., and Kurnianto, Y. F. (2018). "The identification of risk factors of delay on the road
construction project in Indonesia". International Conference on Maritime and Archipelago (ICoMA 2018), Bangka
Belitung, 384-387).

Omer, M. S., Adeleke, A. Q., and Lee, C. K. (2019). "Level of risk management practice in malaysia construction
industry from a knowledge-based perspective". Journal Of Architecture, Planning and Construction Management,
9(1), 112-130.

Pooworakulchai, C. (2018). "Applied risk management in construction industry: A review". International Journal of
Engineering Technologies and Management Research, 234-240.

Rahman, N. F., and Adeleke, A. Q. (2018). "The relationship between effective communication and construction risk
management among Kuantan Malaysian construction industries". Journal of Advanced Research in Applied Sciences
and Engineering Technology, 10(1), 18-24.

Rehman, M. A., Iqbal, T., and Shakil, M. (2017). "Identification of risk factors associated with pakistan’s
construction industry-project manager perspective". International Journal of Business and Social Science, 8(3), 150-
157.

260

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Saeed, Y. S. (2018). "Cost and time risk management in construction projects". Tikrit Journal of Engineering
Sciences, 25(1), 42 - 48.

Soltanzadeh, A., Mohammadfam, I., Moghimbeygi, A., and Ghiasvand, R. (2017). "Exploring Causal Factors on the
Severity Rate of Occupational Accidents in Construction Worksites." Int J Civ Eng, 15, 959-965.

Xia, N., Zhong, R., Wu, C., Wang, X., and Wang, S. (2017). "Assessment of stakeholder-related risks in construction
rojects: integrated analyses of risk attributes and stakeholder influences". Jurnal Construction Engineering and
Managemenet, 143 (8), 04017030.

Xia, N., Zou, P. X., Griffin, M. A., Wang, X., and Zhong, R. (2018). "Towards integrating construction risk
management and stakeholder management: A systematic literature review and future research agendas".
International Journal of Project Management, 701-715.

Xiong, W., Zhao, X., Yuan, J. F., and Luo, S. (2017). "Ex post risk management in public-private partnership
infrastructure projects". Project Management Journal, 76–89.

Zou, Y., Kiviniemi, A., and Jones, S. (2017). "Review of risk management through BIM and BIM – related
technologies". Saf Sci, Saf Sci. 97(1):88–98.

261

Yogyakarta, 25-26Januari2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Konstruksi
Berkelanjutan pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang

D. Pangemanan*, R. U. Latief , R. Arifuddin, S. Hamzah

Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Likupang menjadi salah satu wilayah pengembangan pariwisata nasional dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK). Pada pembangunan KEK, didapati beberapa kendala diantaranya pelaksanaan peraturan konstruksi berkelanjutan
berdasarkan Permen PUPR Nomor 05/PRT/M/2015.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan konstruksi berkelanjutan pada KEK Likupang. Metode yang dilakukan adalah kajian literatur dari
berbagai sumber baik online maupun studi pustaka offline. Dari sumber pustaka yang telah dikaji sebelumnya, diperoleh data
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh diantaranya lingkungan, sosial-ekonomi, budaya, sumber daya manusia, kebijakan
pemerintah, produktivitas, material, komitmen, inovasi, minimalisasi limbah, dan strategi pengelolaan sampah. Berdasarkan data
kajian pustaka yang diperoleh, ada 6 faktor yang berpengaruh besar terhadap kebijakan konstruksi berkelanjutan untuk
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) khususnya wilayah Likupang yaitu sosial, ekonomi, investasi bisnis,
pengalaman, dukungan pemerintah. dan lingkungan. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa 6 (enam) faktor yang
berpengaruh ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan panduan konstruksi berkelanjutan untuk pembangunan KEK
Likupang

Kata kunci: Konstruksi Berkelanjutan, Kawasan Ekonomi Khusus, Kebijakan, Lingkungan

1 PENDAHULUAN

Perkembangan proyek konstruksi di Indonesia dinilai sangat pesat, hal ini terlihat dari begitu banyak proyek
pembangunan yang dilaksanakan diberbagai daerah dengan fokus utama adalah pembangunan infrastruktur.Adapun
infrastruktur yang dibangun mencakup 2 (dua) bidang pokok yaitu infrastruktur teknis dan infrastruktur sosial.
Infrastruktur teknis meliputi pembangunan fasilitas berupa jalan, jembatan, bendungan, bandara, dan pelabuhan,
sedangkan infrastruktur sosial meliputi pembangunan gedung sekolah dan rumah sakit. Seiring dengan
perkembangan proyek konstruksi inilah maka terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan dan alam sekitar,
termasuk pola pemanfaatan kekayaan alam yang semakin dieksplorasi sehingga ketersediaan sumber daya alam
semakin terbatas. Salah satu dampak terhadap lingkungan adalah terjadi pemanasan global. Konstruksi hijau
merupakan salah satu aspek pendukung konsep konstruksi berkelanjutan. Menurut World Commission On
Enviromental Development (WCED) pada tahun 1987, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam pelaksanaannya, menurut Majdalani et al. (2006) konstruksi berkelanjutan
merupakan cara bagi industri konstruksi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan
isu-isu sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya. Konsep konstruksi berkelanjutan memiliki 3 (tiga) bidang fokus
utama yaitu lingkungan, kehidupan sosial, dan kesejahteraan ekonomi (Brownhill & Rao, 2002).

Likupang masuk ke dalam rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional dan telah ditetapkan menjadi
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata, yang merupakan salah satu dari Kawasan Pengembangan Pariwisata
Nasional, dengan nama KEK Likupang. Adapun komponen utama infrastruktur yang akan dibangun pada KEK
Likupang yaitu hotel, resort, dan private dock yang diberi nama dermaga segitiga emas yang meliputi Likupang,
Wakatobi dan Raja Ampat. KEK Likupang merupakan kawasan yang sangat luas dan prospektif, dengan
pembangunan infrastruktur yang kompleks. Pembangunan dengan pendekatan konstruksi berkelanjutan sangat tepat
untuk dilakukan di Likupang, karena kawasan ini terletak pada daerah terbuka, lokasinya sangat asri dan relatif dekat
dengan permukiman penduduk setempat. Konsep pendekatan konstruksi bekelanjutan ini fokus pada keseimbangan
antara kehidupan sosial dan kemajuan ekonomi kemasyarakatan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Berdasarkan latar belakang dan hasil temuan penelitian sebelumnya, maka diperoleh informasi mengenai proses
penerapan konstruksi berkelanjutan dalam dunia konstruksi. Dengan adanya fakta-fakta tersebut, maka dalam
mewujudkan pembangunan KEK yang efektif dan efisien, perlu dilakukan kajian penerapan konstruksi berkelanjutan

262

Simposium Nasional Teknologi InfrastrukturAbad ke-21 Yogyakarta, 25-26Januari 2021

yang tentunya kematangan penerapannya ditentukan mulai dari tahap pemograman dan perencanaan suatu kegiatan
proyek. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir berbagai kendala yang ada dan meningkatkan kinerja proyek
konstruksi dalam menerapkan konsep konstruksi berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan daerah. Dengan
diidentifikasinya kendala-kendala pada penerapan konstruksi berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Utara, faktor-faktor
yang mempengaruhi penerapan konstruksi berkelanjutan pada pembangunan KEK Likupang dapat dirumuskan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan konstruksi
berkelanjutan pada kawasan ekonomi khusus (KEK) Likupang.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri konstruksi dikenal sebagai industri dengan tingkat fragmentasi yang tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik
(2002), industri konstruksi menjadi penyumbang gross domestic product (GDP) yang cukup besar (sekitar 6-7%) dan
menjadi media penyedia lapangan kerja dominan sekitar 4 juta tenaga kerja di Indonesia. Perkembangan industri
konstruksi semakin pesat. Menurut Hendrickson & Horvath (1999), salah satu industri besar yang dikenal sebagai
penyumbang terbesar polusi pada lingkungan adalah industri konstruksi. Konstruksi berkelanjutan merupakan
konsep yang dikembangkan untuk menjelaskan tanggung jawab industri konstruksi dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan (Kibert, 2008). Titik berat dari konsep konstruksi berkelanjutan terfokus pada tiga pilar
utama yaitu ramah lingkungan, kehidupan sosial, dan kesejahteraan ekonomi (Brownhill & Rao, 2002; Luther 2005).
Konstruksi berkelanjutan adalah serangkaian proses pembangunan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas
hidup dan memberikan kepuasan bagi para pelanggan proyek, menyediakan kemungkinan dan potensi untuk
terjadinya perubahan fungsi bangunan diwaktu mendatang, serta menyediakan lingkungan sosial yang maksimal
dalam penggunaan sumber daya (OGC, 2000). Dengan adanya konsep ini, maka banyak manfaat yang dapat
diperoleh dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah Indonesia melalui kementerian Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat (PUPR) telah menetapkan
langkah-langkah dan teknik penyelenggaraan infrastruktur berkelanjutan, meliputi tahapan Pemograman,
Perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan serta pembongkaran. Setiap tahap tersebut dilaksanakan
dengan langkah-langkah dan teknik pengelolaan yang mempertimbangkan prinsip berkelanjutan, yang tertuang
dalam Permen PUPR No.5/PRT/M/2015 terangkum sebagai berikut :

1. Tahap Pemograman adalah rangkaian kegiatan perencanaan awal untuk menetapkan tujuan, strategi, langkah
yang harus dilakukan, jadwal, serta kebutuhan sumber daya, terutama pendanaan, untuk mencapai infrastruktur
berkelanjutan. Pemograman infrastruktur berkelanjutan harus dilaksanakan sejak awal oleh unit organisasi
teknis di Kementerian PUPR untuk memastikan ketersediaan, keberlangsungan dan keberlanjutan pemenuhan
sumber daya dalam pencapaian tujuan pada tahap selanjutnya.

2. Tahap Perencanaan Teknis didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang berupa proses pemikiran, penciptaan
dan perekayasaan dalam rangka mewujudkan infrastruktur berkelanjutan yang diharapkan. Perencanaan teknis
infrastruktur berkelanjutan harus dilaksanakan sesuai dengan persyaratan teknis dan persyaratan teknis
infrastruktur berkelanjutan, untuk memastikan keterbangunan pada tahap pelaksanaan konstruksi dan kinerja
infrastruktur pada tahapan pemanfaatan dan pembongkaran.

3. Tahap Pelaksanaan Konstruksi, tahapan ini diharapkan dapat berkontribusi secara baik terhadap pencapaian
infrastruktur berkelanjutan sehingga pelaksanaannya harus dilakukan dengan pendekatan konstruksi hijau dan
memperhatikan aspek sosial dan ekonomi di lokasi.

4. Tahap Pemanfaatan, tahap ini ditujukan untuk mempergunakan infrastruktur berkelanjutan sesuai dengan
fungsinya dan mempertahankan kinerja infrastruktur berkelanjutan berdasarkan kondisi actual yang
diperbolehkan dibandingkan dengan target dan criteria perencanaan teknis. Infrastruktur berkelanjutan harus
dimanfaatkan dengan optimal dan dipelihara agar kinerjanya dapat dipertahankan sesuai dengan umur layanan
sehingga dapat berkontribusi pada ketercapaian tujuan dengan pendekatan pengelolaan asset.

5. Tahap Pembongkaran, infrastruktur berkelanjutan dapat dibongkar pada akhir masa layanan dengan pendekatan
dekonstruksi agar tercapai tujuan penyelenggaraan infrastruktur berkelanjutan secara utuh. Dekonstruksi
merupakan pembongkaran bangunan yang bertujuan untuk mendapatkan material atau komponen bangunan
yang masih dapat digunakan kembali (reuse) dan untuk mendapatkan material baru melalui proses siklus ulang
(recycle). Salah satu strategi dalam pembongkaran suatu infrastruktur adalah memilih material yang masih
memiliki nilai dan membuang yang benar-benar tidak dapat digunakan lagi. Dekonstruksi juga dapat
didefinisikan sebagai pembongkaran infrastruktur secara terencana dan hati-hati yang bertujuan untuk
memaksimalkan penggunaan kembali komponen dan material infrastruktur, serta meminimalkan jumlah
material yang terbuang ke lingkungan dan menjadi limbah.

263

Yogyakarta, 25-26Januari2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Konsep konstruksi berkelanjutan memiliki 3 (tiga) bidang fokus utama yaitu lingkungan, kehidupan sosial, dan
kesejahteraan ekonomi (Brownhill & Rao, 2002). Setiap faktor memiliki variabel masing-masing sesuai kebutuhan
dan kondisi masyarakat setempat. Penelitian terkait faktor-faktor penentu keberhasilan pekerjaan proyek konstruksi
umumnya dianalisis secara terpisah antara kualifikasi, dan teknis pelaksanaan atau managemen proyek. Pada
umumnya analisis ini dilakukan secara parsial dengan tujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif antara objek
pengaruh dan yang dipengaruhi. Beberapa penelitian serupa menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan konstruksi berkelanjutan dan juga penerapan konstruksi sejenis pada kawasan ekonomi khusus. Namun
demikian, pada penelitian ini penulis lebih banyak melakukan analisa berbagai faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi proses perencanaan pembangunan pada kawasan ekonomi khusus (KEK) Likupang dengan
pendekatan konstruksi berkelanjutan.

3 METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode studi literatur yang dikaji berdasarkan penelitian sebelumnya, yang dibatasi pada
kajian dasar dan literatur analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan konstruksi berkelanjutan
pada pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus. Lokasi penelitian ditetapkan pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Likupang, dengan dasar pertimbangan bahwa KEK Likupang merupakan salah satu proyek prioritas pemerintah
dalam rangka pengembangan sektor pariwisata dan perekonomian di kawasan Indonesia Timur. Variabel penelitian
bisa disebut juga sebagai sifat atau konstruk yang akan dipelajari sehingga memiliki nilai yang bervariasi, yang mana
variabel bisa dijadikan simbol atau lambang yang padanya kita bisa letakan sembarang nilai atau bilangan (Kerlinger,
2006).Variabel menjadi aspek penting bagi peneliti sehingga melakukan pengolahan data untuk memecahkan
permasalahan yang ada dan menjawab setiap hipotesis penelitian. Berdasarkan kajian literatur yang mengacu pada
penelitian terdahulu, maka ditentukan beberapa faktor yang akan diteliti pada penelitian lebih lanjut, sehubungan
dengan implementasi pembangunan proyek konstruksi dengan pendekatan konstruksi berkelanjutan, terlihat pada
Tabel 1.

Pada dasarnya, untuk mendukung penelitian ini diperlukan kajian lebih mendalam terhadap teori dan konsep yang
berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi berkelanjutan yang diterjemahkan pada pembangunan proyek
konstruksi. Penelitian ini berfokus pada identifikasi dan analisis berdasarkan kajian literatur terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi penerapan pembangunan KEK Likupang yang didesain dengan pendekatan konstruksi
berkelanjutan, dengan bertitik tolak pada beberapa faktor yang digunakan. Faktor yang digunakan meliputi faktor
sosial, ekonomi, lingkungan, dukungan pemerintah, investasi bisnis, dan pengalaman. Untuk mendukung kajian
lanjutan atau penelitian lanjutan terhadap 6 faktor ini, maka metode yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu
dengan menggunakan instrumen kuesioner yang diberikan kepada stakeholder meliputi penyedia jasa (kontraktor
dan konsultan) yang pernah menangani proyek dengan pendekatan konstruksi berkelanjutan, pemerintah (pusat,
provinsi, kota/kabupaten), para investor, akademisi, dan masyarakat. Gambar 2 menunjukkan indikator reflektif dan
formatif dalam hubungannya dengan variabel laten.

Berdasarkan konsep penelitian yang telah dibuat pada bagian sebelumnya, maka disusunlah langkah penelitian dalam
kerangka desain penelitian yang akan menjadi panduan dalam proses penelitian selanjutnya sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 3.

Tabel 1. Variabel penelitian

Variabel Definisi

1 Faktor sosial
2 Faktor ekonomi
3 Faktor lingkungan
4 Faktor dukungan pemerintah
5 Faktor investasi bisnis
6 Faktor pengalaman

264

Simposium Nasional Teknologi InfrastrukturAbad ke-21 Yogyakarta, 25-26Januari 2021

Gambar 2. Indikator reflektif dan formatif (Ghozali, 2006)

Gambar 3. Dimensi faktor penelitian

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam konteks sustainability (keberlanjutan), terdapat konsep Sustainable Project Management yang menekankan
bahwa manajemen proyek, khususnya bidang konstruksi, dapat turut berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Dalam ilmu manajemen proyek, ada suatu istilah yang sangat popular yakni “Iron Triangle”. Konsep iron triangle
merupakan prinsip dasar yang ditanamkan dan diterapkan dalam rangka penataan suatu pekerjaan atau organisasi
proyek. Konsep ini dianggap sebagai aspek kunci keberhasilan suatu pekerjaan proyek konstruksi. Konsep iron
triangle menyatakan bahwa suatu proyek tergantung pada tiga hal utama, yakni cost (dana/biaya), time (waktu), dan
quality (kualitas). Namun pada kenyataannya, sering terjadi di lapangan, bahwa hanya dua hal yang bisa dipenuhi
atau dicapai oleh suatu proyek. Artinya, jika perusahaan punya keterbatasan dana dan keterbatasan waktu, maka
harus kompromi dengan kualitas. Demikian pula jika perusahaan mempunyai keinginan untuk mencapai kualitas
yang tinggi sedangkan waktu yang dimiliki adalah terbatas, maka terpaksa harus mengeluarkan biaya/dana lebih
besar agar dapat memenuhi tujuan. Untuk memudahkan pemahaman tentang konsep sustainable project
management, maka konsep iron triangle dimodifikasi menjadi Sustainable Iron Triangle (Radyati, 2017). Hal ini
dimaksudkan agar konsep yang diusungkan tidak terkesan tradisional, namun telah mengikuti perkembangan dan
kebutuhan dunia industri. Bagan modifikasi konsep ini dapat dilihat pada Gambar 4.

265

Yogyakarta, 25-26Januari2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 4. Sustainable iron triangle project

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa komponen cost diubah menjadi “investasi di bidang keberlanjutan”. Hal ini dapat
diartikan sebagai investasi di empat bidang yang berkaitan dengan keberlanjutan, yang disebut dengan compass
sustainability, tentang holistic structure in sustainable construction yang mencakup: nature (lingkungan hidup),
economy (ekonomi), society (masyarakat), dan wellbeing (kesejahteraan individu). Pada intinya, regulasi KEK
diciptakan pemerintah agar dunia usaha mendapatkan kepastian hukum melaksanakan kegiatan produksi, investor
tertarik menanamkan modalnya, penyerapan tenaga kerja meningkat, serta pengembangan infrastruktur dapat
berjalan dengan lancar. KEK Likupang menjadi salah satu proyek besar dengan desain pendekatan konstruksi
berkelanjutan, sebagai momentum setiap stakeholder untuk menjabarkan praktik hijau dalam pembangunan.Oleh
karena itu, perlu dukungan sepenuhnya dari pemerintah sebagai pengatur regulasi untuk mensosialisasikan metode
konstruksi berkelanjutan kepada semua komponen pemangku kepentingan sehingga terdapat kesamaan pemahaman
antara pemerintah dengan penyedia jasa, investor, dan masyarakat mengenai konstruksi berkelanjutan. Hal ini sangat
penting untuk menunjang implementasi prinsip konstruksi berkelanjutan (Willar & Pengemanan, 2019). Selain itu,
Lingga & Pratomo (2013) dalam kajian pada wilayah KEK Sei Mangkei, menunjukkan bahwa pengembangan KEK
harus selaras dengan pembangunan kehidupan sosial dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya. Strategi
kebijakan yang bisa dilakukan adalah dengan mewajibkan setiap badan usaha pada wilayah KEK, mengalokasikan
anggarannya untuk melaksanakan bina lingkungan. Perspektif kebijakan ini harus selalu direfleksikan pada
kebutuhan negara dalam jangka panjang. Berdasarkan beberapa kajian literatur, dapat disimpulkan bahwa dukungan
pemerintah dapat menjadi faktor yang perlu diteliti pada penerapan konstruksi berkelanjutan di KEK Likupang.
Wujud dukungan pemerintah dengan membangun regulasi-regulasi khusus dapat memberikan manfaat dan dampak
positif bagi pengembangan kawasan ekonomi khusus dengan maksimal. Pada prinsipnya, peran pemerintah sangat
erat kaitannya dengan keberlangsungan suatu penyelenggaraan pembangunan, karena pemerintah adalah salah satu
elemen pemangku kepentingan yang berperan sebagai pemberi tugas bagi para penyedia jasa, sekaligus juga
pemerintah bertindak sebagai user atau pengguna produk yang dihasilkan oleh penyedia jasa.

Dari beberapa faktor yang diteliti tersebut, merujuk pada penelitian dan literatur sebelumnya tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi pembangunan dengan pendekatan konstruksi berkelanjutan dan juga pembangunan kawasan
ekonomi khusus, maka teridentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan konsep konstruksi berkelanjutan
di dunia, sehingga dipilih 6 (enam) faktor yang mempengaruhi konstruksi berkelanjutan di Indonesia yang didasarkan
pada data kajian dan hasil penelitian sebelumnya. Faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan merupakan tiga poin utama
konstruksi berkelanjutan yang wajib diterapkan pada setiap tahapan pelaksanaan konstruksi sehingga faktor sosial,
ekonomi, dan lingkungan menjadi tolak ukur keberhasilan program konstruksi berkelanjutan. Selanjutnya, faktor
yang mempengaruhi konstruksi berkelanjutan adalah keterampilan manajemen proyek berupa kemampuan
merencanakan proyek secara efektif dan strategis, kemampuan mengontrol perencanaan serta mengendalikan
pelaksanaan proyek sesuai dengan garis rencana yang telah dibuat, termasuk pengendalian atas pengaruh adanya
hambatan dan resiko proyek yang kemungkinan terjadi. Faktor ini menyiratkan kondisi pengalaman perusahaan
maupun pemimpin perusahaan. Faktor lain yang berpengaruh dan tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan
pemerintah berupa regulasi yang mengatur pelaksanaan konstruksi dan pengawasan terhadap konstruksi. Dari semua
faktor yang telah ada, konstruksi berkelanjutan tentunya akan sangat dipengaruhi faktor eksternal yaitu ekonomi dan
investasi bisnis. Investor mudah mengalokasikan dana jika kawasan investasi menjanjikan keuntungan dan tren
positif bagi perekonomian. Jika investasi bisnis menunjukkan kemajuan, maka perekonomianpun menjadi makin
baik.

266

Simposium Nasional Teknologi InfrastrukturAbad ke-21 Yogyakarta, 25-26Januari 2021

5. KESIMPULAN

Pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Likupang membawa dampak besar bagi perekonomian masayarakat
sekitar. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah telah mengatur kebijakan konstruksi yang berkelanjutan dengan
menitikberatkan pada kemajuan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Untuk mewujudkan KEK Likupang yang
berbasis konstruksi berkelanjutan, dapat disimpulkan bahwa ada 6 (enam) faktor utama yang sangat berpengaruh,
yaitu sosial, ekonomi, investasi bisnis, dukungan kebijakan pemerintah, pengalaman, dan lingkungan. Dibutuhkan
kerjasama yang baik antara stakeholder dan pemerintah untuk mewujudkan KEK berbasis konstruksi yang
berkelanjutan. Untuk lebih memperkuat hasil analisis kajian literatur terhadap keenam faktor ini, perlu dilakukan
penelitian lanjutan ke tahap studi lapangan pada lokasi KEK Likupang dengan melibatkan setiap elemen stakeholder
proyek sehingga dapat memperoleh data dan informasi yang lebih terbaru dan akurat.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik. (2002) Pengertian Industri. Available at: https://www.bps.go.id/subject/9/industri-besar-dan-
sedang.html (Accessed 22 October 2020).

Brownhill, D., and Rao, S (2002). A Sustainable Checklist for Developments: A Common Framework for Developers
and Local Authorities, HIS BRE Press, London, United Kingdom.

Ghozali, I. (2006). Aplikasi Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS)
edisi pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

Hendrickson, C. and Horvath, A., (1999). “Resources use and enviromental emisions of U.S construction sectors.”
Journal Constructions Engineering Management, 126 (1).

Kementerian PUPR, (2015), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 5/PRT/M/2015
tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi Berkelanjutan pada penyelenggaraan Infrastruktur Bidang
Pekerjaan Umum dan Permukiman. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia.

Kerlinger. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.

Kibert, C. H. (2008). Sustainable Construction : Green Building Design and Delivery, Wiley, Hoboken, United
States.

Lingga, D. and Pratomo, W.A (2013). “Persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekonomi khusus Sei
Mangkei sebagai klaster industri.” Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Volume 1 (2) , 13-20.

Luther, R (2005), Construction Technology Centre Atlantic, Available at : http://ctca.unb.ca/CTCA1/sustainable
construction.html . (Accessed 22 October 2020).

Majdalani, Z., Ajam, A., and Mezher, T (2006), “Sustainability in the construction industry: a Lebanese case study”,
Construction Innovation, Vol. 6(1), 33-46.

OGC. (2000). Achieving Sustainability in Construction Procurement, available at: www.ogc.gov.uk/documents/
sustanability_in_construction . (Accessed 22 October 2020).

Radyati. M. R. N (2017) Founding Director MM-CSR Universitas Trisakti. Available at : http://www.rei.or.id/
newrei/berita-sustainable-project-management.html . (Accessed 22 October 2020).

WCED. (1987). Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, United Kingdom.

Willar, D. and Pangemanan, D. (2019) “Reviewing government initiatives on implementing sustainable infrastructure
construction.” Conference paper in ISEC-10, Chicago.

267

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Faktor Penghambat Penerapan Jalan Hijau (Green Road ) di Indonesia

M. Wimala*, Y. L. D. Adianto, R. Kusnadi

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Jalan hijau (green road) merupakan proyek jalan yang dirancang dan dilaksanakan mengikuti kaedah keberlanjutan. Di
Indonesia, pendekatan ini mulai semarak dilakukan sejak tahun 2013 yang ditandai dengan lahirnya standar pemeringkatan Jalan
Hijau Indonesia oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun demikian, sampai saat ini, penerapannya
pada proyek infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat minim. Hal ini mendasari penelitian kali ini untuk mengidentifikasi
faktor penghambat dari penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengkombinasi
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam mencapai tujuan. Faktor-faktor penghambat penerapan jalan hijau (green road) yang
dirumuskan dari hasil kajian literatur akan divalidasi dan diolah lebih lanjut untuk menentukan tingkat signifikansinya. Hal
tersebut akan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner terhadap para pelaku konstruksi jalan, yakni dari pihak pemerintah dan
juga para kontraktor. Hasil menunjukkan bahwa lima faktor teratas adalah mahalnya biaya terkait teknologi jalan berkelanjutan,
minimnya regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan jalan hijau (green road) di Indonesia, belum adanya insentif dari
pemerintah untuk para pelaku jalan hijau (green road), kurangnya pengetahuan dan pengalaman bagi para pelaku jalan hijau
(green road), dan keterbatasan material lokal di pasaran yang memenuhi spesifikasi. Diperoleh juga hasil bahwa tingkat
signifikansi semua faktor hambatan yang berhasil diidentifikasi masih di atas 60%. Hal ini berarti rintangan penerapan jalan
hijau (green road) di Indonesia masih cukup berat.

Kata kunci: green road, jalan hijau, keberlanjutan, jalan keberlanjutan.

1 PENDAHULUAN

Pembangunan jalan sebagai salah satu infrastruktur pendukung ekonomi negara setiap tahunnya mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Dari tahun 1990 sampai dengan 2018, pertambahan panjang jalan di Indonesia
rata-rata per tahun untuk jalan nasional adalah 9.787 km (Badan Pusat Statistik, 2020). Sebanyak kurang lebih 83
proyek pembangunan infrastruktur jalan nasional/strategis baik tol maupun non-tol termasuk proyek strategis
nasional sejak beberapa tahun terakhir ini (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Proyek, 2020). Tidak lepas
dari berbagai manfaat pertumbuhan proyek jalan di Indonesia, akibatnya terhadap lingkungan antara lain
berkurangnya sumber daya alam sebagai material pembentuk jalan, meningkatnya jumlah limbah akibat proses
konstruksi, meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari setiap tahapan proyek, serta berkurangnya lahan
produktif akibat pengalihan lahan juga perlu diperhatikan. Pembangunan satu kilometer tipikal jalan perkerasan
lentur dibuktikan dapat mengkonsumsi energi sebagai tujuh terajoule akibat pemakaian berbagai bahan bakar dari
proses pembuatan aspal maupun beton bertulang (Horvath dan Hendrickson, 1998). Penelitian lain juga merumuskan
bahwa kurang lebih 65,8 kg CO2 dihasilkan dari pembangunan jalan hot mix asphalt (HMA), dan berarti
menyumbang sebesar 38-39% gas rumah kaca dari produksi bitumen saja (Espinoza et al., 2019). Pembangunan
kurang lebih satu km satu jalur jalan juga diklaim menggunakan energi per tahunnya sebanyak 100 rumah tangga di
Amerika selama satu tahun penuh (Greenroads, 2013). Dilatarbelakangi oleh kesadaran akan peduli lingkungan,
pendekatan pembangunan berkelanjutan mulai diadopsi di seluruh dunia.

Konsep pembangunan berkelanjutan, atau biasa disebut sebagai sustainable construction mulai digaungkan di
Amerika Serikat pada tahun 1994. Seperti green building yang sudah tidak asing didengar, jalan hijau (green road)
merupakan pecahan dari usaha mencapai pembangunan berkelanjutan yang selanjutnya dipraktikan dalam industri
konstruksi. Pendekatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa keberhasilan sebuah proyek infrastruktur jalan dapat
memberikan manfaat bukan hanya terhadap manusia, namun juga terhadap lingkungan. Berbagai standar penilaian
dan pemeringkatan telah berhasil dikembangkan di beberapa negara, termasuk Indonesia untuk mengukur pewujudan
dari jalan hijau (green road). Di Indonesia, standar pemeringkatan Jalan Hijau Indonesia yang dilahirkan pada tahun
2013 menekankan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam usaha pengukuran kinerja jalan hijau (green road)
pada tahap perancangan, pelaksanaan dan operasional. Namun demikian, penggunaannya belum menunjukkan hasil
yang maksimal. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menjadi penghambat penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia.

268

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Belum banyak penelitian yang secara khusus membahas tentang jalan hijau (green road) di Indonesia. Kebanyakan
penelitian serupa membahas tentang hambatan penerapan green building dan green construction, dan bukannya
green road. Namun demikian, terdapat satu penelitian yang membahas hal serupa, yang dilakukan oleh Mustofa et
al., (2017). Penelian tersebut melakukan studi kesiapan dan hambatan implementasi jalan hijau (green road) di
Provinsi Sumatera Barat. Penelitian kali ini memiliki perbedaan fokus pembahasan dari sudut pandang yang berbeda
dimana hanya para kontraktor yang dijadikan objek penelitian, dan lokasi yang berbeda yaitu di sekitar DKI Jakarta
dan Jawa Barat.

2 JALAN HIJAU (GREEN ROAD)

Terminologi jalan hijau, atau dalam Bahasa Inggris biasa disebut green road umumnya terkait dengan sebuah
pendekatan keberlanjutan yang diterapkan pada konstruksi jalan sepanjang siklus hidupnya. Hal ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi kepada pelestarian lingkungan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Pasal 12 menyatakan bahwa persyaratan
teknis jalan harus memenuhi ketentuan keamanan, keselamatan, dan lingkungan. Hal ini juga didukung oleh
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 19 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknik Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 5 tahun 2015
tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi Berkelanjutan pada Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang
Pekerjaan Umum dan Permukiman. Jalan di Indonesia harus laik fungsi jalan, dimana memenuhi persyaratan terkait
aspek keselamatan, keamanan, kelancaran, ekonomis, kenyamanan, dan ramah lingkungan. Meskipun demikian,
konsep jalan hijau (green road) baru ramai dibicarakan pada tahun 2012 dalam Deklarasi Jalan Hijau Indonesia yang
diprakarsai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan bekerja sama dengan beberapa pihak yang
terkait, yaitu Bina Marga, Badan Pembinaan Konstruksi (Bapekon), dan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia
(HPJI) (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2013). Salah satu produk yang dihasilkan pada tahap I
adalah Jalan Hijau Indonesia, sebuah standar penilaian dan pemeringkatan jalan hijau (green road) di Indonesia.
Aspek sosial, ekonomi dan, lingkungan yang diterjemahkan ke dalam lima kategori penilaian yaitu Lingkungan dan
Keairan, Akses dan Transit, Pelaksanaan Konstruksi, Material dan Sumber Daya Alam, dan Teknologi Perkerasan
dipertimbangkan dalam menentukan predikat sebuah jalan hijau (green road). Selanjutnya, lima kategori tersebut
dipecah lagi menjadi subkategori dan beberapa indikator pembentuk yang memiliki bobot dan sistem penilaiannya.
Nilai total yang diperoleh akan menentukan tingkatan sertifikasi Jalan Hijau Indonesia, yaitu bintang 1, 2, 3 dan 4
(lihat Tabel 1). Penerapan jalan hijau (green road) merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata untuk membantu
pemerintah dalam memenuhi komitmen akan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26% (dengan usaha sendiri)
dan sebesar 41% (jika membantu bantuan internasional) pada tahun 2030 seperti yang tertera dalam dokumen
Nationally Determined Contribution (NDC) (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Oleh karena
itu, peran serta berbagai pihak terutama di industri konstruksi di Indonesia akan sangat menentukan keberhasilannya.

Tabel 1. Pembagian Tingkat Sertifikasi Jalan Hijau (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2013)

Bintang Kriteria Tingkatan Sertifikasi Jalan Hijau
★ Jalan yang telah memenuhi persyaratan (Studi Kelayakan Jalan Baru, Izin Lingkungan,
★★ Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL)
★★★ a. Memenuhi persyaratan bintang 1
b. Menyediakan sistem drainase jalan
★★★★ c. Menanam beberapa pohon
d. Menerapkan penghematan material dalam pelaksanaan konstruksi
e. Menyediakan akses bagi pejalan kaki
f. Mencapai nilai sukarela 20 poin (20% peraihan nilai dari total poin)
a. Memenuhi persyaratan bintang 1
b. Menyediakan sistem drainase jalan dan penghijauan
c. Menerapkan penghematan material dan energi
d. Menyediakan akses bagi pejalan kaki, multimoda dan pesepeda
e. Mencapai nilai sukarela 30 poin (30% peraihan nilai dari total poin)
a. Memenuhi persyaratan bintang 1
b. Menyediakan sistem drainase jalan berkelanjutan dan penghijauan
c. Menerapkan penghematan material dan energi
d. Menyediakan akses bagi pejalan kaki, multimoda dan pesepeda
e. Menggunakan sistem rantai pasok dalam proses memiliki sertifikasi green
f. Menggunakan teknologi baru/inovasi yang telah mendapat sertifikasi hijau
g. Mencapai nilai sukarela 45 poin (45% peraihan nilai dari total poin)

269

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3 METODOLOGI

Penelitian menggunakan mixed-method ini dimulai dengan merumuskan faktor-faktor penghambat dari penerapan
jalan hijau (green road) dari berbagai literatur baik dari dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, rumusan faktor-
faktor tersebut divalidasi menggunakan metode wawancara dengan beberapa ahli di bidang konstruksi jalan, baik
dari pihak pemerintah, praktisi maupun akademisi. Hasil validasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kuesioner
yang akan disebarkan kepada beberapa kontraktor kelas menengah dan besar yang khusus berkecimpung di
konstruksi jalan. Penyebaran kuesioner ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran kondisi eksisting dari
penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah mengetahui faktor penghambat yang
dirasakan oleh para responden berdasarkan pengalaman di lapangan. Kuesioner dirancang menggunakan skala Likert
yang terdiri dari lima tingkatan, dan hasilnya akan diuji validitas dan reabilitasnya menggunakan program IBM®
SPSS® Statistics. Selanjutnya, analisis rangking atau biasa disebut Relative Important Index (RII) dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor penghambat yang mempengaruhi penerapan jalan hijau (green road) secara signifikan. Hasil
penelitian ini dapati digunakan sebagai bahan dasar dalam merumuskan berbagai strategi untuk menjawab
permasalahan yang ada pada keseluruhan sistem terkait jalan hijau (green road) di Indonesia.

4 FAKTOR PENGHAMBAT GREEN ROAD CONSTRUCTION

Dua puluh satu faktor penghambat penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia berhasil dirumuskan dari hasil
kajian literatur yang mendalam dan telah melewati proses validasi. Selanjutnya, untuk mengetahui gambaran kondisi
eksisting dan proyeksinya di masa yang akan datang terkait penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia, 15
perusahan kontraktor jalan di sekitar DKI Jakarta dan Jawa Barat dilibatkan dalam survei melalui kuesioner. Para
responden yang dipilih untuk mengisi kuesioner terdiri dari project manager, site engineer, quantity surveyor dan
quality control dengan pengalaman rata-rata delapan tahun di konstruksi jalan. Berdasarkan hasil kuesioner, 21 faktor
penghambat yang berhasil diidentifikasi menunjukkan hasil RII di atas 60%, dimana lima faktor yang paling
signifikan terhadap penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia, adalah: 1) Mahalnya teknologi jalan
berkelanjutan, seperti permeable pavement, rubber asphalt, dan road energy (90,7%), 2) Minimnya regulasi yang
berlaku terkait penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia (85,3%), 3) Belum adanya insentif dari pemerintah
bagi para pelaku jalan hijau (green road) (80%), 4) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman para pelaku konstruksi
jalan hijau (green road) (78,7%), dan 5) Keterbatasan material lokal yang memenuhi spesifikasi di pasaran (78,7%).

Gambaran kondisi eksisting dari penerapan jalan hijau (green road) di Indonesia adalah kompleks dan saling terkait
sehingga sangat menarik untuk dibahas. Berdasarkan layaknya siklus hidup sebuah proyek konstruksi, penerapan
jalan hijau (green road) bisa dimulai jika ada permintaan dari owner, dalam hal ini pemerintah. Diketahui dari hasil
wawancara dengan narasumber dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan bahwa permintaan dari
pemerintah sendiri terhadap proyek jalan hijau (green road), dan sertifikasinya masih sangat minim selama ini. Tanpa
adanya permintaan dari owner, tentu saja tidak akan ada kesempatan bagi para pelaku konstruksi lainnya termasuk
konsultan, kontraktor dan juga pengelola jalan untuk memiliki pengalaman yang cukup. Namun demikian, dikatakan
juga bahwa mulai tahun ini banyak konstruksi jalan hijau (green road) yang akan direncanakan untuk dibangun,
dengan tujuan akhir mendapatkan sertifikasi Jalan Hijau Indonesia. Oleh karena itu, peran terbesar dalam hal ini
berada di pihak pemerintah.

Pemerintah mempunyai kewajiban yang sangat dominan untuk mulai memperkenalkan konsep jalan hijau (green
road) di Indonesia melalui program-program diseminasi pengetahuan, teknologi dan inovasi terkini. Begitu juga
dengan penerbitan regulasi yang jelas, sebab tanpa hal tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa penerapannya tidak
akan maksimal. Di Indonesia, penerapan jalan hijau (green road) didasarkan kepada Peraturan Presiden RI No.
59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals),
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Th. 2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan
Teknis Jalan, dan Peraturan Menteri PUPR No. 5/2015 tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi
Berkelanjutan pada Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum dan Permukiman. Pembahasan teknis
yang lebih detail masih perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga konsep jalan hijau (green road) ini dapat
diterjemahkan dan dilaksanakan langsung oleh para pelaku konstruksi jalan. Regulasi selanjutnya diharapkan dapat
digunakan untuk mendasari berbagai keputusan yang berlaku terkait penerapan jalan hijau (green road), seperti
penetapan harga satuan dari setiap pekerjaan dan standar spesifikasi material dan alat yang telah disesuaikan dengan
teknologi keberlanjutan terkini. Elemen pekerjaan yang tidak mempunyai dasar aturannya seringkali tidak boleh
dimasukan ke dalam rencana anggaran biaya pada proyek pemerintah, tidak terkecuali pada konstruksi jalan itu
sendiri. Tidak adanya standar harga satuan yang terkini memaksa para pelaksana untuk menggunakan harga satuan
yang sama untuk elemen pekerjaan jalan konvensional dan menyebabkan kerugian berada di pihaknya.

270

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Konsep berkelanjutan adalah konsep yang cukup baru di Indonesia sehingga upaya untuk merubah mindset para
pihak yang terlibat di dunia konstruksi adalah hal yang tidak mudah, ditambah lagi dengan sifat penerapan jalan hijau
(green road) yang masih sukarela. Para pelaku konstruksi memilih untuk tidak mengindahkannya sampai saat ini.
Seperti halnya dengan konsep green building, diperlukan waktu yang cukup lama untuk masyarakat mulai sadar akan
hal tersebut meskipun sampai saat ini pelaksanaannya tetap masih terus ditingkatkan. Meskipun idealnya kedua
pendekatan perlu dijalankan bersama-sama, pendekatan top-down dirasakan akan lebih efektif dibandingkan
pendekatan bottom-up di Indonesia dikarenakan karakteristik bangsa Indonesia (Wimala et al., 2016). Terbukti dari
hasil kuesioner bahwa beberapa syarat yang telah diwajibkan saat ini oleh pemerintah terkait kepemilikan dokumen
Studi Kelayakan Jalan Baru, Izin Lingkungan, Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL) untuk proyek konstruksi
jalan yang telah ditangani oleh semua responden telah dipenuhi. Persyaratan ini juga digunakan dalam permohonan
sertifikasi Jalan Hijau Indonesia, dan berhak memperoleh tingkat sertifikasi bintang 1.

Sejumlah 93,3% dari total responden mengaku telah mengetahui tentang konsep berkelanjutan secara umum, jalan
hijau (green road) dan sertifikasi Jalan Hijau Indonesia. Secara umum, mereka menyetujui bahwa pendekatan ini
dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari proyek konstruksi jalan kepada lingkungan. Namun demikian,
pemahaman mereka masih perlu ditingkatkan, terutama terkait aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam penilaian
jalan hijau (green road) dan prosedur sertifikasi. Hal ini ditandai dengan nilai pemahaman mereka yang rata-rata
hanya mencapai 67,6% dari keseluruhan pertanyaan yang diberikan. Hasil studi literatur lain juga menunjukkan
bahwa tingkat pemahaman kontraktor dan para akademisi masih rendah sehingga terdapat perbedaan pemahaman
yang signifikan diantara kontraktor, konsultan, akademisi dan owner pada kategori aktivitas pelaksanaan konstruksi
pada survei pemahaman tentang sertifikasi Jalan Hijau Indonesia (Faah & Soekiman, 2017). Di samping itu, para
responden juga belum mengetahui dengan pasti beberapa contoh proyek yang telah mendapatkan sertifikasi.
Dibandingkan dengan kontraktor kelas menengah, 46,7% dari total reseponden yang merupakan kontraktor kelas
besar memang terlihat lebih memahami akan konsep konstruksi jalan berkelanjutan dan sertifikasi jalan hijau di
Indonesia yang kemungkinan besar dikarenakan kegiatan sosialisasi yang mereka ikuti. Kegiatan sosialisasi yang
diberikan kepada kontraktor-kontraktor jalan tentang konstruksi berkelanjutan maupun sertifikasi jalan hijau memang
telah dijalankan oleh pihak kementrian PUPR meskipun belum maksimal. Menurut Greece Lawalata, salah satu
pemrakarsa Jalan Hijau Indonesia, usaha yang dilakukan oleh Kementrian PUPR masih berbentuk surat edaran
kepada balai-balai organisasi konstruksi jalan tentang usaha penerapan jalan hijau di masa yang akan datang, dan
sifatnya masih berupa penyataan dan himbauan. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman kontraktor tentang jalan
hijau (green road) merupakan faktor penghambat paling mendasar dikarenakan keterkaitannya dengan faktor
penghambat yang lain. Informasi dan penelitian terkait jalan hijau (green road) juga sangat minim, dibuktikan dari
hasil pencarian di internet baik termasuk di situs Kementrian PUPR.

Faktor biaya tampaknya memegang peranan yang sangat penting dalam penerapan jalan hijau (green road) di
Indonesia. Terbukti dari hasil kuesioner bahwa mahalnya teknologi berkelanjutan merupakan penghambat terbesar
saat ini. Perbedaan biaya investasi awal yang cukup besar dari penggunaan material dan alat dengan teknologi yang
lebih ramah lingkungan, dibandingkan dengan hal serupa yang konvensional sangat dirisaukan oleh para pelaksana
konstruksi. Masih sedikitnya produksi material dan alat dengan teknologi terkini di dalam negeri menyebabkan para
pelaksana juga terpaksa mengimpornya dan menyebabkan biaya yang tidak murah. Material lokal yang ada di pasaran
saat ini masih belum banyak yang memenuhi spesifikasi ramah lingkungan. Jika pun ada yang memenuhi,
ketersediaannya belum merata di seluruh Indonesia. Seringkali di beberapa proyek, pihak kontraktor harus
menggunakan material yang jauh dari lokasi proyek sehingga berpotensi untuk meningkatkan polusi dan limbah
selain juga biaya yang dikeluarkan untuk pengadaannya. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki para
pelaku konstruksi juga dapat mempengaruhi pendapat akan pengertian mahalnya biaya investasi jalan hijau (green
road). Sudah waktunya pemikiran tentang biaya penerapan jalan hijau (green road) bukan hanya dilihat dari biaya
investasi awal saja, melainkan biaya yang akan dikeluarkan, serta manfaat yang akan diperoleh selama siklus hidup
proyek jalan tersebut. Bahan, teknologi dan sistem yang digunakan pada jalan hijau (green road) relatif
membutuhkan lebih sedikit perawatan (Klatzel, 2000). Manfaat terkait penurunan emisi gas rumah kaca yang dapat
diperoleh melalui tiga mekanisme yang ditawarkan Protokol Kyoto, yaitu joint implementation, emission trading,
serta clean development mechanism menambah daftar kelebihan pembangunan jalan hijau (green road).

Terkait hal di atas, pemberian insentif baik fiskal maupun non-fiskal diharapkan dapat mendorong minat dari semua
pihak. Dengan investasi awal yang cukup besar untuk teknologi berkelanjutan, para pelaksana konstruksi berharap
hal tersebut dapat diperoleh dari pihak pemerintah. Sedikit berbeda dengan konsep green building, dimana pihak
owner bisa dari pihak swasta maupun pemerintah, proyek jalan dimiliki hanya oleh pemerintah sehingga perlu

271

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

dipastikan siapakah yang lebih bertanggung jawab dalam penerapan jalan hijau (green road). Pemenuhan persyaratan
untuk sertifikasi Jalan Hijau Indonesia yang telah dikembangkan dan dilaksanakan saat ini difokuskan lebih banyak
kepada kinerja para pelaksananya, terutama pihak kontraktor. Namun demikian, penghargaan berupa plakat diberikan
kepada balai besar atau satuan kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Marga dan Pemerintah Daerah (Dinas),
dan berupa sertifikat kepada kepala satuan kerja dan pejabat pembuat komitmen (Lawalata dan Sailendra, 2018).
Tidak heran jika para pelaksana, baik konsultan, kontraktor serta pengelola jalan tidak menunjukkan animo yang
tinggi untuk menerapkan konsep jalan hijau (green road) ini. Dengan kata lain, keuntungan serta manfaatnya sampai
saat ini hanya akan dirasakan oleh pihak owner maupun para pengguna jalan.

Beberapa strategi usaha yang dapat direkomendasikan kepada pihak pemerintah tentang faktor-faktor penghambat
yang signifikan di atas adalah penerbitan regulasi dan pedoman teknis yang mengatur tentang jalan hijau (green road)
di Indonesia sepanjang siklus hidup proyek, termasuk di dalamnya adalah keterkaitan dengan perolehan sertifikasi
Jalan Hijau Indonesia. Saat ini, spesifikasi yang ditawarkan oleh para kontraktor pada saat tender hanya berdasarkan
kepada spesifikasi teknis pekerjaan jalan oleh Bina Marga. Sebaiknya setelah regulasi dan pedoman teknis
diterbitkan, point tambahan penerapan jalan hijau (green road) perlu ditambahkan sebagai persyaratan tenderDi
pihak pemerintah sendiri, perlu ditetapkan unit khusus yang menangani perencanaan, pelaksanaan, serta
pengawasannya. Pihak pemerintah dapat mengajak Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), asosiasi
profesi di bidang teknik sipil dan pihak industri yang terkait untuk bersama-sama mengadakan program sosialisasi,
seperti kegiatan seminar, workshop, proyek contoh, serta penelitian seperti yang telah diadakan oleh Green Building
Council Indonesia (GBCI) untuk green building. Hal ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman semua pihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan jalan hijau (green road). Sertifikasi khusus dari
program sosialisasi dapat diberikan kepada para peserta dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu
persyaratan untuk mengikuti atau terlibat dalam proyek jalan hijau (green road) di masa yang akan datang. Sertifikasi
juga dapat diberikan kepada sesiapa yang ingin menjadi tim penilai, membantu pihak pemerintah dalam tahap
pelaksanaan dan pengawasannya.

Pihak pemerintah juga dapat merencanakan dukungan berapa insentif dan penghargaan kepada semua pelaku
konstruksi jalan hijau (green road) sesuai keterlibatannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong keinginan para
pihak yang akan terlibat untuk terus mengamalkan konsep jalan hijau (green road) di masa yang akan datang.
Keringinan pajak atau pemberian subsidi juga bisa diberikan kepada para produsen material dan alat berat ramah
lingkungan sehingga harga di pasaran dapat ditekan seoptimal mungkin. Saat ini, beberapa material alternatif seperti
aspal karet alam cair (lateks), aspal karet alam padat (masterbatch), aspal plastik dan aspal serbuk alam teraktivasi
(Askat) begitu juga rencana penggunaan slag ke dalam aspal telah dikembangkan oleh Kementerian PUPR.
Dukungan terhadap kegiatan penelitian seperti ini perlu terus ditingkatkan, bekerja sama dengan para akademisi dan
pihak industri dalam mengembangkan inovasi teknologi ramah lingkungan untuk mewujudkan penerapan jalan hijau
(green road) di Indonesia.

Terkait dengan hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini menujukkan sedikit perbedaan mengenai faktor
penghambat penerapan jalan hijau (green road) yang dialami oleh para kontraktor di sekitar DKI Jakarta dan Jawa
Barat terutama dalam tingkat signifikasinya. Dari kelima faktor penghambat terbesar, hanya satu faktor yaitu
keterbatasan material lokal di pasaran yang memenuhi spesifikasi yang tidak diperoleh dari hasil penelitian
sebelumnya. Keempat lainnya sama-sama dialami oleh para pelaku konstruksi jalan yang menjadi responden di dua
penelitian, meskipun dengan tingkat kepentingan yang berbeda.

5 KESIMPULAN

Sampai saat ini, penerapan konsep jalan hijau (green road) pada proyek-proyek jalan di Indonesia masih jauh dari
sempurna. Hal ini dibuktikan dengan nilai RII di atas 60% diperoleh untuk 21 faktor penghambat yang berhasil
diidentifikasi dalam penelitian ini yang menggambarkan kesulitan yang masih banyak dihadapi oleh para pelaku
konstruksi jalan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya pengenalan dengan terbitnya beberapa peraturan
pemerintah, penerapan konsep ini masih berada di tahap awal. Beberapa faktor penghambat dominan dalam
pelaksanaannya yang berhasil diidentifikasi dari penelitian ini antara lain adalah mahalnya biaya terkait teknologi
jalan berkelanjutan, minimnya regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan jalan hijau (green road) di Indonesia,
belum adanya insentif dari pemerintah untuk para pelaku jalan hijau (green road), kurangnya pengetahuan dan
pengalaman bagi para pelaku jalan hijau (green road), dan keterbatasan material lokal di pasaran yang memenuhi
spesifikasi. Ke depannya, beberapa strategi usaha yang dapat ditawarkan antara lain penerbitan pedoman teknis,
peningkatan kegiatan sosialisasi, pemberian insentif baik fiskal maupun non-fiskal bagi para pelaku jalan hijau (green

272

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

road), serta peningkatan kegiatan penelitian serta pengembangan teknologi ramah lingkungan yang dapat diperoleh
secara lokal.

REFERENSI
Badan Pusat Statistik. (2020). Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan,1957-2018 (KM).

Espinoza, M., Campos, N., Yang, R., Ozer, H., Aguiar-Moya, J. P., Baldi, A., Loría-Salazar, L. G., and Al-Qadi, I.
L. (2019). “Carbon Footprint Estimation in Road Construction: La Abundancia-Florencia Case Study”.
Sustainability (Switzerland), 11(8), 1–13

Faah, K. J., and Soekiman, A. (2017). “Analisis Tingkat Pemahaman Pemangku Kepentingan Terkait Penerapan
Konsep Jalan Berkelanjutan (Green Road) Di Kota Kupang”. Jurnal Infrastruktur, 3(01), 83–93

Greenroads. (2013). Hacienda Green Street Improvements.

Horvath, A., and Hendrickson, C. (1998). “Comparison of Environmental Implications of Asphalt and Steel-
Reinforced Concrete Pavements”. Transportation Research Record, 1626, 105–113

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional
2017 - Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional, Menuju NDC 2030

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2013). Jalan Hijau Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia

Klatzel, F. (2000). Green Roads: Building Environmentally Friendly, Low Maintenance Rural Roads Through Local
Participation. GTZ Food for Work, Nepal

Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Proyek. (2020). Proyek Strategis Nasional. Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia

Lawalata, G. M., and Sailendra, A. B. (2018). Pemeringkatan Jalan Hijau. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia

Mustofa, S., Purnawan, and Putri, E. E. (2017). “Studi Kesiapan dan Hambatan Implementasi Green Road
Construction (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Barat)”. 4th ACE Conference. 9 November 2017, Padang, Sumatra
Barat, 127-136

Republik Indonesia. (2006). Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan,
Presiden Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia

Wimala, M., Akmalah, E., and Sururi, M. R. (2016). “Breaking through the Barriers to Green Building Movement
in Indonesia: Insights from Building Occupants”. Energy Procedia, 100

273

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Analisis Kelayakan Reaktivasi Jalur Kereta Api Madiun – Slahung

E. Yulie1*, S. Malkamah1, I. Muthohar1, S. Priyanto2

1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
2Politeknik Perkeretaapian Indonesia, Madiun, Jawa Timur, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional mempunyai karakteristik pengangkutan
secara massal. Kereta Api juga memiliki keunggulan tersendiri, dengan semakin kuatnya isu lingkungan. Maka keunggulan
kereta api dapat dijadikan sebagai salah satu alasan yang kuat untuk membangun maupun mengaktifkan kembali jalur-jalur
pendukung lintas utama. Penelitian ini menitik beratkan pada jalur kereta api lama Madiun-Slahung seperti yang tertuang dalam
RIPNAS 2018.Kelayakan yang ditinjau dari kelayakan finansial dari suatu proyek sistem transportasi transit massal, terdiri atas
biaya pembangunan (construction cost), dan biaya operasi dan pemeliharaan (maintenance), sedangkan pengembalian dari
proyek diharapkan diperoleh dari pendapatan langsung yang dalam hal ini berasal dari pendapatan tiket (farebox). Parameter
dari analisis finansial antara lain Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Payback Period (PP), serta Internal Rate
of Return (IRR). Proyek dikatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1, PP lebih cepat dari umur proyek, serta nilai IRR harus lebih
besar dari tingkat bunga yang digunakan saat ini, dan sebaliknya. Maka dapat dikatakan biaya pelaksanaan akan lebih
menguntungkan bila diinvestasikan di tempat lain untuk kegiatan yang lain. Keputusan untuk melakukan investasi yang
menyangkut sejumlah besar dana dilakukan dengan harapan mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang seringkali
berdampak besar terhadap kelangsungan hidup suatu proyek.

Kata kunci: Reaktivasi, Kelayakan, Finansial, Madiun-Slahung

1 PENDAHULUAN

Transportasi perkeretaapian mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan
wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peran tersebut penting dalam rangka
mewujudkan wawasan nusantara, serta memperkokoh pertahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkeretaapian sebagai
salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara
massal dan memiliki keunggulan tersendiri, dengan semakin kuatnya isu lingkungan, maka keunggulan kereta api
dapat dijadikan sebagai salah satu alasan yang kuat untuk membangun maupun mengaktifkan kembali jalur-jalur
pendukung lintas utama, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain. Perlunya dikembangkan potensi
dan tingkatan peran kereta api sebagai penghubung wilayah Provinsi Jawa Timur khususnya antara Madiun-Slahung
untuk menunjang, mendorong dan menggerakkan pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat
transportasi perkeretaapian mempunyai banyak keunggulan dibanding moda transportasi lain diantaranya kapasitas
angkut besar (massal), cepat, aman, hemat energi dan ramah lingkungan serta membutuhkan lahan yang relatif
sedikit. Tak jarang kereta api dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan transportasi yang ada di Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui rencana induk perkeretaapian nasional telah merencanakan pengembangan jaringan
jalur kereta api dengan mengoptimalkan jaringan eksisting melalui program peningkatan, rehabilitasi, reaktivasi
lintas non-operasi serta peningkatan kapasitas lintas melalui pembangunan jalur ganda dan shortcut. Salah satu
program pengembangan jaringan jalur tersebut adalah pengaktifan kembali jalur kereta api Madiun-Slahung
(Republik Indonesia, 2018). Berdasarkan pada RIPNAS 2018 maka penelitian ini dilakukan untuk melakukan
analisis terhadap kelayakan finansial dengan menggunakan 4 alat analisis yaitu Net Present Value, Benefit Cost Ratio,
Internal Rate of Return, dan Payback Period.

Reaktivasi jalur kereta api Madiun-Slahung akan memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah Madiun-Slahung.
Kegiatan reaktivasi memerlukan perencanaan yang matang dikarenakan anggaran pembangunannya yang besar dan
keberadaan trase eksisting yang saat ini sudah digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat sekitar jalur eksisting.
Oleh karena itu perlunya dilakukan penelitian mengenai kelayakan finansial sebagai rekomendasi kepada pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat, apakah sebaiknya proyek reaktivasi tersebut layak dikerjakan atau sebaiknya
proyek tersebut ditunda terlebih dahulu.

274

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu terkait analisis kelayakan reaktivasi jalur
kereta api. Penelitian terkait analisis reaktivasi jalur kereta api juga dilakukan oleh Fuadi et al. (2014). Penelitian ini
menggunakan parameter kelayakan berupa NPV, BCR dan IRR pada kajian reaktivasi jalur cabang lintas DAOP IV.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan dengan menggunakan 3 skenario berdasarkan tingkat
discount rate sebesar 2,5%, 5% dan 7,5%. Berdasarkan perhitungan kelayakan finansial, proyek tersebut dinyatakan
layak untuk dilakukan hal ini dikarenakan nilai NPV>0 (positif) dan BCR>1.

Penelitian terkait analisis reaktivasi jalur kereta api yang juga dilakukan oleh Widyasti et al. (2018). Penelitian ini
menggunakan parameter kelayakan seperti NPV, BCR, PI dan IRR pada pada Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung,
Jawa- Barat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai kelayakan secara ekonomi dan finansial dengan
melakukan 2 skenario pada tingkat diskon 2% dan 3,46% yaitu merupakan skenario menengah dan terburuk.
Sehingga proyek tersebut dapat dinyatakan layak untuk dibangun karena memenuhi syarat kelayakan secara ekonomi
yaitu NPV>0, BCR>1, PI>1 dan nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang digunakan saat ini. Berdasarkan
perhitungan analisis kelayakan ekonomi, proyek ini dinyatakan tidak layak secara ekonomi karena tidak memenuhi
syarat kelayakan ekonomi. Namun pada perhitungan analisis kelayakan finansial proyek ini dinyatakan layak untuk
dibangun pada tingkat diskon 2% dan 3,46% sehingga memenuhi persyaratan kelayakan ekonomi. Dan jika dilakukan
perhitungan analisis gabungan kelayakan ekonomi dan finansial dengan skenario terbaik, menengah dan terburuk
maka proyek tersebut layak untuk dilakukan.

3 PEMBAHASAN

3.1 Jalur Kereta Api Madiun-Slahung

Penelitian ini berada pada jalur Madiun-Slahung dan lebih menitik beratkan pada jalur kereta api eksisting Madiun-
Slahung. Rute eksisting ini memiliki 15 stasiun yang dilewati, tetapi kondisi untuk saat ini hanya ada beberapa stasiun
saja yang ada yaitu Stasiun Madiun, Stasiun Kanigoro, Stasiun Pagotan, Stasiun Ponorogo, Stasiun Jetis, Stasiun
Balong dan Stasiun Slahung.

Pada Gambar 1 terdapat jalur kereta api yang menghubungkan antara Madiun dan Slahung, dan ditutup pada tahun
1985 hingga saat ini. Kondisi jalur kereta api yang sudah ditutup hampir 40 tahun ini, hampir sepanjang jalur eksisting
ini ditempati oleh masyarakat maupun fasilitas umum (jalan), karena jalur ini melewati wilayah perkotaan padat
penduduk di Madiun dan juga di Ponorogo bahkan sampai di Slahung. Untuk itu perlunya dilakukan analisis
kelayakan guna melihat nilai kelayakan secara finansial terhadap jalur kereta api Madiun-Slahung. Sehingga
penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah setempat maupun pusat
untuk melakukan pembangunan kembali /reaktivasi terhadap jalur kereta api Madiun-Slahung.

Gambar 1. Lokasi jalur kereta api Madiun-Slahung

275


Click to View FlipBook Version