The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

kg), agregat (1190 – 1480 kg), faktor air semen (0,27 – 0, 34), perbandingan berat pasir dan kerikil (0 sampai 1 : 1).
Penambahan agregat halus akan menurunkan permeabilitas tetapi akan meningkatkan kuat tekan. Standar
permeabilitas menurut UNI EN 12697-40 berkisar 5.78 x 10-3 sampai dengan 2.69 x 10-2 m/s (ACI, 2010).

Kuntjoro et al., (2009), mendapatkan mix design dengan slump 0 – 10 dan dengan faktor air semen diantara 115
sampai dengan 150 liter per m3 beton menghasilkan kuat tekan dan porousitas optimum yaitu pada kadar batu
apung 8% dan kadar batu pecah 92%, kuat tekan 330 kg/cm2 dan porositas 330 mm/jam

Faktor air semen yang terlalu tinggi pada beton porous mengakibatkan pasta semen terlalu cair dan mengalir
meninggalkan agregat sehingga terjadi endapan di bagian dasar. Faktor air semen untuk beton non pasir bukan
faktor utama untuk mengontrol sifat kekuatan. Faktor yang lebih penting adalah perbandingan agregat dengan
semen. Ada suatu faktor air semen optimum yang memberikan kekuatan dan kepadatan maksimum. Penggunaan
faktor air semen lebih tinggi dari 0,45 mengakibatkan pasta semen menjadi terlalu cair, dan akan mengalir
meninggalkan agregat dan menyebabkan pengendapan pasta semen di dasar. Dengan faktor air semen yang lebih
rendah dari 0,45 pasta tidak akan cukup untuk melapisi agregat. Faktor air semen optimum memungkinkan pasta
semen untuk melapisi agregat secara seragam (Ginting, 2015). Artikel ini menguraikan pengaruh penambahan abu
batu sebagai pengisi dalam adukan beton tanpa pasir. Diharapkan abu batu dapat meningkatkan kuat tekan
betonnya. Ada 2 aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah kuat tekan dan pola kerusakannya.

2 METODE PENELITIAN

2.1 Material

Bahan atau material yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Semen, semen yang digunakan adalah Portland Composite Cement (PCC). Semen menggunakan merk semen

yang ada di pasaran Yogyakarta dan sekitarnya yaitu merk I, II, III dan IV.
b. Agregat kasar, yaitu batu pecah (split) ukuran 2 cm sampai dengan 3 cm, berasal dari daerah Cangkringan,

Sleman, Yogyakarta.
c. Air, berasal dari Pusat Inovasi Material Vulkanik Merapi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
d. Filler, abu batu merupakan limbah dari penggergajian batu di sekitar Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Turi,

atau Kecamatan Muntilan

2.2 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental yaitu metode yang dilakukan dengan
mengadakan suatu percobaan secara langsung. Kegiatan eksperimental yang dilakukan adalah dengan membuat
campuran beton non pasir dengan berbagai variasi perbandingan campuran semen dengan agregat ditambah filler
(abu batu) dengan faktor air semen tetap. Selain itu, dilakukan pula uji kuat tekan dan mengamati pola kerusakan.
Rancangan campuran dijabarkan pada Tabel 1sebagai berikut.

Tabel 1. Rancangan campuran dan benda uji

Semen Komposisi Campuran fas Jumlah sampel

Merk I 1 (semen) : 6 (agregat) 0,4 4
Merk II 1 (semen) : 6 (agregat) 0,4 4
Merk III 1 (semen) : 6 (agregat) 0,4 4
Merk IV 1 (semen) : 6 (agregat) 0,4 4

Merk I 1 (semen): 1 (abu batu) : 6 (agregat) 0,5 4
Merk II 1 (semen): 1 (abu batu) : 6 (agregat) 0,5 4
Merk III 1 (semen): 1 (abu batu) : 6 (agregat) 0,5 4
Merk IV 1 (semen): 1 (abu batu) : 6 (agregat) 0,5 4

30

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian kuat tekan beton umur 28 hari non pasir tanpa dan dengan bahan pengisi limbah abu batu
penggergajian batu pada berbagai variasi merk semen, seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Rerata Uji Kuat Tekan beton non pasir tanpa abu batu umur 28 hari

Merk I Kuat Tekan (MPa) Standar Deviasi Rerata Kuat Tekan (MPa)
SBM1 4,47
3,77
SBM2 4,43 0,33 3,63
SBM3 4,50
SBM4 4,25 4,70

Merk II 2,82 4,02
SD1 3,56 0,43 4,20
SD2 3,58
SD3 3,74
SD4
2,90
Merk III 4,47 0,88
SSG1 4,92
SSG2 3,77
SSG3
SSG4 3,01
3,96 0,50
Merk IV 4,08
STR1 3,37
STR2
STR3 Rerata
STR4

Tabel 3. Rerata Uji Kuat Tekan beton non pasir dengan pengisi abu batu umur 28 hari

Merk I Kuat Tekan (MPa) Standar Deviasi Rerata Kuat Tekan (MPa)
ASBM1 1,37 4,95
ASBM2 2,67
ASBM3 2,74 2,48 4,03
ASBM4 4,40 0,93 4,63
5,49
Merk II 0,83 4,56
ASD1 2,10 Rerata 4,32
ASD2 5,96
ASD3 1,33

Merk III 2,84
SSG1 3,42
SSG2 4,95
SSG3 4,31
SSG4
3,43
Merk IV 4,16
ASTR1 4,96
ASTR2 3,09
ASTR3
ASTR4

31

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

5.50

Kuat Tekan Beton (MPa) 5.00 4.95 4.70 4.56 Tanpa Abu batu
4.50 4.47 4.63 Dengan Abu Batu
4.00
4.02

3.50 3.63

3.00 3.13
Merk I
Merk II Merk III Merk IV

Merk Semen

Gambar 1. Hubungan merk semen dengan kuat tekan beton non pasir.

Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa kuat tekan beton non pasir mengalami penambahan kuat tekan setelah adanya
penambahan abu batu. Campuran limbah abu batu, air dengan semen membentuk pasta yang berfungsi mengikat
sekaligus mengisi ruang kosong diantara agregat. Karakteristik kualitas merk semen sedikit berpengaruh terhadap
kuat tekan beton non pasir. Pola kerusakan beton non pasir dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4.

Pola kerusakan beton non pasir tanpa pengisi abu batu didominasi lepasnya ikatan pasta semen dengan agregat.
Agregat banyak terlepas dikarenakan daya rekat kecil dan banyaknya rongga antar agregat. Pola kerusakan beton
non pasir dengan pengisi abu batu, agregat yang terlepas cenderung lebih sedikit. Dengan kata lain pasta semen
yang terbentuk adanya abu batu membuat ikatan antar agregat lebih kuat dan beton lebih padat. Kepadatan beton
non pasir dengan pengisi abu batu meningkatkan kuat tekan sehingga pola kerusakan membentuk garis halus dan
agregat tidak banyak terlepas.

Kuat tekan beton non pasir dipengaruhi ikatan agregat dengan pasta semen. Rasio campuran semen dengan agregat
yang rendah akan mengakibatkan berkurangnya pasta semen yang menyelimuti agregat sehingga daya rekat atau
ikatan dengan agregat berkurang. Hal ini akan mengakibatkan terlepasnya ikatan agregat dengan pasta semen. Jika
rasio semen dengan agregat terlalu besar akan mengakibatkan pasta semen terlalu banyak maka kuat tekan beton
non pasir akan didominasi oleh pasta semen, bukan oleh agregat maka kuat tekan beton non pasir juga akan rendah.
Abu batu berfungsi untuk mengisi rongga-rongga antar agregat dan mencegah pasta semen mengendap di bawah
yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan meloloskan air. Pemilihan jenis dan mutu semen akan menjadi
pertimbangan. Semen merk IV menghasilkan kuat tekan beton yang lebih baik dari yang lainnya.

Gambar 2. Pola kerusakan beton Gambar 3. Pola kerusakan beton non .
non pasir tanpa abu batu pasir dengan abu batu
Gambar 4. Terlepasnya ikatan pasta semen
dengan agregat

32

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 KESIMPULAN
Kuat tekan beton non pasir menggunakan bahan pengisi limbah abu batu penggergajian lebih besar daripada tanpa
menggunakan abu batu. Hasil campuran abu batu dan semen mengisi rongga-rongga kosong antara agregat. Pola
kerusakan beton non pasir terlepasnya ikatan antar pasta semen dengan agregat dan sebagian kecil pecahnya
agregat. Jenis dan mutu semen mempengaruhi kuat tekan beton non pasir.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan salah satu bagian topik penelitian di Pusat Inovasi Material Vulkanis Merapi (PIMVM),
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Terima kasih disampaikan kepada Jurusan Teknik Sipil dan
Program Doktor Teknik Sipil UII Yogyakarta.

REFERENSI
ACI. (2010). Report on Pervious Concrete ACI 522R-10, American Concrete Institute, Farmington Hills, United
States.

Ginting, A. (2015). “Kuat Tekan dan porositas beton porous dengan bahan pengisi styrofoam.” Jurnal Teknik Sipil,
Volume 11 ( Nomor 2), 76-168.

Khonado, M. F., Manalip, H., and Wallah, S.E (2019). “Kuat tekan dan permeabilitas beton porous dengan variasi
ukuran agregat.” Sipil Statik, Vol.7 (No.3), 351-358.

Kuntjoro, Saptarita, K., and Herdianto. (2009). “Metode mix design beton porous untuk mendapatkan porositas
optimum.” Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009, Surabaya, A425-1434.

Megasari, S. W., Yanti, G., & Zainuri. (2020). “Hubungan karakteristik beton porous dengan variasi komposisi
agregat kasar.” Seminar Nasional Pakar ke 3 , Jakarta

Winarno, S. (2017). “Comparative Strength and Cost of Rice Husk Concrete Block.” The 5th International
Conference on Sustainable Built Enviroment, Banjarmasin.

33

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Compressive and Tensile Creep of Glued-Laminated Bamboo

Ngudiyono1*, B. Suhendro2, A. Awaludin2, A. Triwiyono2

1Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Mataram, Mataram, INDONESIA
2Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

Glued-laminated bamboo has been widely used for various structural elements of buildings. Under long term compressive and
tensile constant loading the glued-laminated bamboo will causing creep deformation. The creep effect has the potential to
affect service life on building structures. Limited study was carried out compressive and tension creep of glued-laminated
bamboo, therefore, it is necessary to conduct a more comprehensive study of the compressive and tensile creep parallel to the
grain of glued-laminated bamboo. The research aims are knowing the effect of the load level 30% on creep behavior of glued-
laminated bamboo parallel to the grain subjected to compressive and tensile constant loading. The result showed that Burger
model was used to fit the creep data and then can be used for predicting primary and secondary creep stage. The primary stage
of the compressive creep for 2 days, while the primary of the tensile creep for 29 days, followed by the secondary stage until
the 90th day, this indicates that glued-laminated bamboo is more vulnerable to compressive creep than tensile creep. The
Burger and Power model were successfully for predicting viscoelastic compressive and tensile creep parameters.

Keywods: Creep, Compressive, Tensile, Burger Model, Power Law.

1 INTRODUCTION

1.1 Background
Recent years, glued-laminated bamboo has been widely used for various structural elements of buildings because
the bamboo typically be harvested in less than 3 - 4 years, renewable and sustainable material, mechanical
properties similiar with timber (Janssen, 2000; Sharma et al., 2015; Ni et al., 2016). Its have been applicated to
many elements of building structures such as beam, column and truss. The construction of elements carrying
compressive, tensile or combination force.

Glued-laminated bamboo is classified as a viscoelastic material because it possesses properties that are common to
both perfect solid and liquid. Under long term constant loading the glued-laminated bamboo will causing creep
deformation. Creep behaviour is well known as one of the primary structural behaviours to be understood for the
development analysis and design of glued-laminated bamboo structures (Holzer et al., 1989; Gottron et al., 2014).

The creep is critical to structural design of glued-laminated bamboo structures. The creep effect has the potential to
affect service life on building structures. Another problem due to creep is the ability to alter the material
characteristics and mechanical properties of the structural elements, which leads to causing building structure
failure (Gottron et al., 2014, Ngudiyono et al., 2019).

Research on creep bamboo, bamboo composite, glued-laminated bamboo has been carried out by previous
researchers (Ma et al., 2014; Gottron et al., 2014 and Xiao et al., 2014; Ma et al., 2015; Ma et al., 2016; Ounjaijom
and Rangsri, 2016). However, the researchers focused more on flexural creep. Li and Xiao (2015) were carried out
compressive and tension creep of glued-laminated bamboo, but limited discussion about primary and secondary
creep behavior. Therefore, it is necessary to conduct a more comprehensive study of the compressive and tensile
creep parallel to the grain of glued-laminated bamboo.

1.2 Creep
Creep is a slow deformation of a material under constant loading. Creep in general may be described in terms of three
different stages illustrated in Figure 1. The first stage in which creep occurs at a decreasing rate is called primary
creep; the second, called the secondary stage, proceeds at a nearly constant rate; and the third or tertiary stage
occurs at an increasing rate and terminates in fracture (Findley et al., 1976).

34

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Primary Secondary Tertiary
Total strain


 Creep rate

Ot
Figure 1. Three creep stage (Findley et al., 1976)

1.3 Burger Model

The arrangement of elements of the Burger model is shown in Figure 2, where the Maxwell and Kelvin models are
connected in series. Constitutive equation of Burger model can be expressed as:

 +  1 + 1 + 2  + 1 2  = 1 + 1 2  (1)
E1 E2 E2 E1 E2 E2

The creep behavior of the Burgers model under constant load can be obtained with solving the equation (1), that
second order differential equation with Laplace transformation method in two initial conditions, shown in Equation

(2).

 (t) = 0 + 0 t + 0 (1 − e −(E2 /2 )t ) (2)
E1 1 E2

1.4 Power Law Model

Empirical mathematical equations the most successfully descriptions for creep in the viscoelastic material under
constant relative humidity and temperature is the power law model, of the general form (Dinwoodie, 2000).

 (t) = 0 + at m (3)

where ε(t): time-dependent strain, 0: instantaneous strain, a and m are material constants can be determined with
curve fitting experiment data, and t: elapsed time. The empirical equation above can adequate to describe a
secondary stage, nonlinear creep behavior of the viscoelastic material, and easier than using other mode



E1 
 


E2  


Figure 2. Mechanical element of Burger model (Findley et al., 1976)

35

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 RESEARCH METHODOLOGY

2.1 Materials

Three to four-year-old Dendrocalamus asper bamboo species used in this research for fabrication of glued-
laminated bamboo specimens. The bamboo culm was preserved with a 5% borax liquid and then naturally dried
until the moisture content (MC) was approximately 12% using conventional drying. Then, the bamboo culm was
cut 1.5 m and splitting producing strips with cross section of 20 mm widths and about 10-15 mm thick (according
to the thickness of the bamboo culm) and then planned until the final dimension of strips bamboo was 15 mm of
width and 5 mm of thickness. The strips of bamboo were laminated together by using Polyvinyl Acetate (PVA) into
beams with rectangular cross-section and then a hydraulic jack pressure of 2 MPa was applied for minimum 6
hours.

2.2 Specimens

The specimen of glued-laminated bamboo parallel to the grain of compressive and tensile creep test according to
the ASTM D143 as shown in Figure 4.

2.3 Compressive and Tensile Creep Test

Compressive and tensile creep test according to the ASTM D6815. From the short term test average ultimate
compressive and tensile strength of glued-laminated bamboo parallel to the grain were 48.67 MPa and 160.68 MPa.
Constant load level was applied 30% to ultimate compressive and tensile strength (14.60 MPa and 50.60 MPa).
Setting-up can be seen in Figure 5 and 6, deformation of specimen was measured by using dial gauge with an
accuracy of 0.001. The instantaneous or elastic deformation was recorded after 1 minute a constant load was
applied, then the load was maintained for 90 days. An intensive recording was done every 5 minutes for 60 minutes
(1 hour), every 60 minutes (1 hour) until 300 minutes (5 hour), then every day until 90 days.

(a) (b)
Figure 3. (a) Specimen of compressive creep test (b) Specimen of tensile creep test (ASTM D143, 2002)

Figure 4. Setting-up of compressive creep test (unit in mm)
36

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Figure 5. Setting-up of tensile creep test (unit in mm)

3 RESULTS AND DISCUSSION

3.1 Primary and Secondary Compressive and Tensile Creep
In order to explain the primary and secondary behavior of the creep, creep test data was performed in a curve fitting
using the Burger mechanical model (combination of Maxwell and Kelvin's model in series). The results of the
analysis are presented in Figures 7 and 8. Based on the Figures, it can be seen that the initial/instantaneous/ elastic
compressive strain occurred after 1 minute the load applied to the bamboo fiber parallel to the grain 0.0042 s,
while the initial/instantaneous/elastic tensile strain 0.00305 s. Furthermore, the strain continues to increase along
the time. It can also be seen from the graph that the primary stage of the compressive creep for 2 days, while the
primary of the tensile creep for 29 days, followed by the secondary stage until the 90th day.

3.2 The compressive and tensile creep parameters
The compressive and tensile creep parameters were obtained from the Burger and Power Law model fitting curves
of the total strain testing data vs time as shown in Figure 12 for compressive creep and Figure 12 for tensile creep
until 90 days. The result of the curve fitting was presented in Table 1 and 2.

0.0200 0.0050

Total Compressive Strain (s)0.0150 0.0040
Total Tensile Strain (s)
0.0100 0.0030
0.0020

0.0050

Experiment 0.0010 Experiment
Instantaneous Strain
Instantaneous Strain 0.0000 Curve Fitting Burger Model
0
Curve Fitting Burger Model 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0.0000 Time (Day)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Time (Day)

(a) (b)
Figure 6 (a) Curve fitting total compressive strain vs time of glued-laminated bamboo ; (b). Curve fitting total tensile strain vs

time of glued-laminated bamboo

37

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

(a) (b)
Figure 7. (a). Curve fitting total compressive strain Burger and Power Law model of glued-laminated bamboo; (b). Curve

fitting total tensile strain Burger and Power Law model of glued-laminated bamboo

Table 1. Viscoelastic parameters compressive and tensile glued-laminated bamboo from the Burger model

Parameter Unit Compressive Tensile

E1 MPa 13248.639 16645.320
E2 MPa 2871.510 2430042.743
η1 MPa/day 208910.810 8206070.603
η2 MPa/day 1435.755 9520005.541

Table 2. Parameters compressive and tensile glued-laminated bamboo from the Power Law model

Parameter Compressive Tensile

A 5.88E-05 1.01E-08
n 0.655 2.000
m -0.423 -0.500

The Burger model has been used successfully to obtain the viscoelastic parameters of glued-laminated bamboo
(Table 1). This parameter can be used to validate or predict the creep behavior of a glued-laminated bamboo
structure under constant long-term tensile, compressive and flexural loading. The parameter E1 is Maxwell's
modulus of elasticity, which can show elastic deformation behavior and can be used to predict MOE of glued-
laminated bamboo. Meanwhile, E2 is the Kelvin modulus of elasticity (delayed elastic modulus), the parameter E2
also related to the retardation time creep and shows the slope level of the secondary creep curve. η1 is Maxwell's
dashpot viscosity constant and η2 is Kelvin's dashpot viscosity constant. These three parameters can explain the
viscoelastic behavior or creep of glued-laminated bamboo. From Table 1, it can be seen that the value of E1
compressive and tensile is 13248,639 MPa and 16645,320 MPa which are close to the MOE from short-term
compressive and tensile glued-bamboo lamination test. The value of parameter E2 from compressive creep is
2871,510 MPa which is smaller than E1. Meanwhile, the value of parameter E2 from tensile creep is 2430042,743
MPa which is smaller than E1.

Likewise, with the Power Law model, it has been successfully used to obtain the glued-laminated bamboo creep
parameters (Table 2). Parameter A determines the creep deformation as a whole, while parameter m is related to
curve curvature and parameter n explains that the creep rate is affected by the load level. From Table 2 it can be
seen that the parameter value of A compressive creep greater than tensile creep, shows that the laminated bamboo
compressive creep strain greater than tensile creep. The parameters of m and n compressive creep glued-bamboo
laminated is smaller than the tensile creep, this shows that the rate of compressive creep is faster compared to
tensile creep.

38

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 CONCLUSION
Compressive and tensile creep behavior of glued-laminated bamboo was investigated in the creep test room
subjected constant loading 30% ultimate strength, the following conclusions could be made from the results and
discussions presented above. Burger model was used to fit the creep data and then can be used for predicting
primary and secondary creep stage. The primary stage of the compressive creep for 2 days, while the primary of the
tensile creep for 29 days followed by the secondary stage until the 90th day, this indicates that glued-laminated
bamboo is more vulnerable to compressive creep than tensile creep. The Burger and Power model were
successfully for predicting viscoelastic compressive and tensile creep parameters.

ACKNOWLEDGMENTS
The authors would like thank to the Mataram University which has financial supporting for this publication.

REFERENCES
ASTM. (2002). ASTM D6815 2002 Standart Specification for Evaluation of Duration of Load and Creep Effect of
Wood and Wood-Based Product, ASTM International West Conshojocken, United States.

ASTM. (2002). ASTM D143 2002 Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber, ASTM
International, West Conshojocken, United States.

Dinwoodie, J. M., (2000), Timber: Its Nature and Behavior, E & F Spon, London, England.

Findley, M. N., Lai, J. S., and Onaran, K. (1976). Creep and Relaxation of Nonlinear Viscoelastic Material with
Introduction to Linear Viscoelastic, Dover Publication, Inc., New York, United States.

Gottron, J., Harries, K. A., and Xu, Q. (2014). “Creep Behavior of Bamboo”, Contruction and Building Material,
66, pp. 79-88.

Holzer, S. M., Loferski, J. R., and Dillard, D. A. (1989). “A Review of Creep in Wood : Concepts Relevent to
Develop Long-Term Behavior Predictions for Wood Structures”, Wood and Fiber Science, 21(4), pp. 376-392.

Janssen, J. J. A. (2000). Designing and Building with Bamboo (Technical Report:Vol 20), International Network
for Bamboo and Rattan, Beijing, China.

Li, L., and Xiao, Y. (2015). “Creep Behavior of Glubam and CFRP-Enhanced Glubam Beams.” Journal of
Compositers for Contruction, June 10, 1-11.

Ma, X., Wang, G., Jiang, Z., Xian, Y., and Li, H. (2014). “Comparison of Bending Creep Behavior of Bamboo-
Based Composites Manufactured by Two Types of Stacking Sequences.” BioResources, 9 (3), 5461-5472.

Ma, X., Jiang, Z., Tong, L., Wang, G., and Jeng, H. (2015). “Development of Creep Models for Glued Laminated
Bamboo Using the Time-Temperature Superposition Principle.” Wood and Fiber Science, Vol. 47 (2), 1-6.

Ma, X., Liu, X., Jiang, Z., Fei, B., and Wang, G. (2016). “Flexural Creep Behavior of Bamboo Culm
(Phyllostachys pubescens) in Its Radial Direction.” Journal Wood Science, 62, 487–491.

Ni, L., Zhang, X., Liu, H., Sun, Z., Song, G., Yang, L., and Jiang, Z. (2016). “Manufacture and Mechanical
Properties of Glued Bamboo Laminates, Glued Bamboo Lumber.” BioResources, 11(2), 4459 – 4471.

Ngudiyono, Suhendro, B., Awaludin, A., and Triwiyono, A. (2019). “Review of Creep Modelling for Predicting of
Long-Term Behavior of Glued-Laminated Bamboo Structures.” MATEC Web Conf. Volume 258, Proc. Of
International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials (SCESCM)2018,
Yogyakarta.

Ounjaijom, T., and Rangsri, W., 2016, “Numerical and Experimental Study of the Transverse Creep-Recovery
Behavior of Bamboo Culm (Dendracalamus hamiltonii).” Walailak Journal Science & Technology, 13(4), 615 –
629.

39

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Sharma, B., Gatoo, A., Bock, M., and Ramage, M. (2015). “Engineered Bamboo for Structural Applications.”
Construction and Building Material, 81, 66-73.

Xiao, Y., Li, L., and Yang, R. Z. (2014). “Long-Term Loading Behavior of a Full-Scale Glubam Bridge Model.”
Journal of Bridge Engineering, 19(9).

40

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kinerja Bekisting Sistem (PERI) pada Pekerjaan Struktur Bungker Ruang
Teleterapi Linear Accelerator (LINAC)

(Studi pada Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada Badung)

I.G.L.B Eratodi1*, A.Triwiyono2,

1Departemen Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar, INDONESIA
2Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Dalam rangka meningkatkan pelayanan khusus dibidang radioterapi, Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada Badung berencana
untuk menginstall pesawat Teleterapi Linear Accelerator (LINAC). Sesuai dengan regulasi ketenaganukliran yang berlaku di
Indonesia, pesawat teleterapi Linac tersebut harus dipasang di ruangan radioterapi yang telah mendapatkan izin konstruksi dari
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Bangunan sipil tempat memasang pesawat Teleterapi Linear Accelerator (LINAC)
adalah struktur bungker beton bertulang. Dalam mewujudkan konstruksi bungker, proses konstruksi beton bertulang dimensi
ekstra besar membutuhkan teknologi khusus. Perkembangan pesat teknologi dunia konstruksi di Indonesia tampak dengan
semakin banyaknya inovasi-inovasi yang digunakan dalam proses dan metode pelaksanaan konstruksi penggunaan bekesting.
Salah satunya bekisting sistem PERI24. Dimensi bungker beton bertulang 30 × 10,85 × 7,05 m3 ( × × ) dibutuhkan
bekisting dengan kinerja struktur yang handal menerima beton basah suhu maksimal 310C. Pada penelitian ini menggunakan
analisa statika kombinasi portal dan struktur statis tak tentu didapatkan hasil konstruksi bekesting sistem dengan material
Phenolik 18 mm kelas III, PERI GT24 dan Column Wale SRZ 239 handal dalam mendukung struktur beton bertulang bungker
ini.

Kata kunci: Bungker, Bekesting, LINAC, Column Wale.

1 PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan lingkup besar yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pelayanan khusus dibidang
radioterapi, Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada Badung berencana untuk memasang pesawat Teleterapi Linear
Accelerator (LINAC) sesuai dengan regulasi ketenaganukliran yang berlaku di Indonesia, pesawat teleterapi LINAC
tersebut harus dipasang di ruangan radioterapi yang telah mendapatkan izin konstruksi dari Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN). Bangunan sipil tempat memasang pesawat Teleterapi Linear Accelerator (LINAC) adalah
struktur bungker. Dalam mewujudkan konstruksi bungker, proses konstruksi beton bertulang dimensi ekstra besar
membutuhkan teknologi khusus. Perkembangan pesat teknologi dunia konstruksi di Indonesia tampak dengan
semakin banyaknya inovasi-inovasi yang digunakan dalam proses dan metode pelaksanaan konstruksi Peranan
teknologi bertambah semakin besar terutama untuk mempermudah proses yang terjadi pada suatu proyek konstruksi.
Salah satunya inovasi teknologi bekisting. Bekisting adalah alat konstruksi cetakan yang berfungsi sementara,
digunakan untuk menumpu beton basah selama beton dituang sampai kering siap layan dan dibentuk sesuai dengan
bentuk yang direncanakan (Wigbout, 1997). Sebuah konstruksi bekisting wajib memenuhi syarat dan kriteria
kekuatan, kekakuan, dan stabilitas. Syarat ini wajib dipenuhi mengingat bekisting adalah alat konstruksi mendukung
pekerjaan beton bertulang yang dilakukan berulang-ulang dan kontinu pada bangunan struktur beton serta
membutuhkan dan dialokasikan biaya yang besar untuk membuatnya (American Concrete Institute). (Hanna, 1999).
Saat ini dalam dunia kontruksi terdapat 3 (tiga) jenis bekisting yaitu bekisting konvensional, semi sistem dan sistem
PERI. Pemilihan model/ jenis bekisting merupakan sebuah keputusan yang penting dan vital pada proyek bangunan
struktur beton bertulang karena mempengaruhi biaya, waktu pekerjaan dan kualitas akhir konstruksi (Wigbout,
1997). Dalam mensupport struktur-struktur beton dimensi besar seperti struktur bunker beton bertulang penahan
radiasi atau perisai alat medis, bekisting menggunakan material sistem PERI merupakan komponen yang sangat
penting dalam pekerjaan bekisting untuk menunjang pekerjaan bungker tersebut. Pada bungker Teleterapi Linear
Accelerator (LINAC) Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada Badung menggunakan bekisting sistem PERI. Untuk
mengetahui kehandalan struktur dalam mendukung proses konstruksi beton bertulang bungker butuh kinerja
bekisting.

41

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bekisting merupakan alat struktur yang termasuk non permanen berfungsi untuk menahan beban beton (beban
sendiri/ beban mati) dan beban hidup bangunan. Bekisting sangat berpengaruh besar dalam menentukan beban dan
bentuk konstruksi yang dibuat menyesuaikan peruntukannya sehingga wajib dipastikan kekuatannya untuk memikul
beban beton dan yang meyertai dalam proses pengecoran (Saptowati, H., 2018). Bekisting dalam konstruksi
bangunan sipil ada 3 jenis, yaitu:

2.1 Bekisting Konvensional

Bekisting konvensional merupakan bekisting yang pada umumnya menggunakan material kayu dengan teknologi
sederhana, yang tiap saat setelah penggunaan dapat dibongkar pasang menjadi elemen-elemen dasar, dapat disusun
kembali sesuai fungsi dan bentuk-bentuk lainnya. Pada umumnya jenis bekisting konvensional ini berbahan kayu
papan atau balok, sedangkan material konstruksi supportnya disusun dari beberapa kayu balok. Bekisting jenis
konvensional ini memungkinkan dibuat bentuk dan pemanfaatan sesuai kebutuhan kerja beton (Pratama, et al. 2017
dan Astri, 2007).

Adapun bekisting konvensional memiliki keunggulan, yaitu: (a). materialnya mudah dicari, (b) harganya murah, dan
(c) tidak membutuhkan keahlian khusus pekerja. Sedangkan bekisting jenis konvensional memiliki kekurangan
antara lain: (a). naterial dari bahan kayu yang cenderung kurang awet untuk dipakai secara berulang-ulang, (b) waktu
proses untuk bongkar dan pasang bekisting menjadi lebih lama, (c). luarannya menimbulkan banyak limbah, sampah
kayu dan paku, dan (d). bentuknya tidak konsisten dan presisi.

2.2 Bekisting Semi Sistem

Pratama et al., (2017) menyatakan dengan berbagai kekurangan metode bekisting jenis konvensional tersebut maka
direncanakan jenis kedua yaitu bekisting semi sistem yang terbuat dari plat baja (besi hollow). Untuk satu unit
bekisting semi sistem ini material yang umum digunakan jauh tahan lama dan lebih awet dibanding bekisting jenis
konvensional, sehingga dapat digunakan berulang kali, seterusnya sampai pekerjaan selesai Jadi secara total sampai
selesai pelaksanaan konstruksi, bekisting jenis semi sistem ini menjadi jauh lebih murah. Keunggulan bekisting semi
sistem adalah tahan lama dan lebih murah. Kekurangan bekisting semi sistem secara umum memerlukan lahan
tertentu untuk pabrikasi bekisting.

2.3 Bekisting Sistem (PERI)

Bekisting sistem jenis ini merupakan elemen-elemen bekisting pabrikasi yang dibuat di workshop, sebagian besar
komponen-komponennya terbuat dari baja. Bekisting sistem dimaksudkan untuk penggunaan kontinu dan berulang
kali. Tipe bekisting jenis ini dapat digunakan untuk sejumlah pekerjaan (Astri, 2007 dan Zakiyah 2015). Bekisting
sistem dapat pula disewakan lewat distributor atau penyalur alat-alat bekisting. Keunggulan utama dari bekisting
sistem (PERI), yaitu: (a). dalam proses konstruksi mudah dipasang dan dibongkar, (b) konstruksinya ringan, (c).
dapat dipakai berulang-ulang kali, dan (d) kualitas akhir pengecoran akan baik dengan siklus pembongkaran yang
dapat lebih cepat serta dapat diaplikasikan pada pekerjaan konstruksi beton yang dimensi dan volume besar.
Kekurangan dari jenis bekisting sistem (PERI) adalah harganya mahal dan membutuhkan tenaga kerja keahlian
khusus dan peralatan berat untuk mendukung proses pelaksanaannya. (Pratama, et al. 2017).

Bekisting sistem (PERI) menggunakan beberapa material (Zakiyah, 2015; Astri, 2007; Novi & Indyani, 2012) yaitu:
Phenolik 18 mm kelas III, PERI GT24 dan Column Wale SRZ 239. Panel Girder GT24 seperti tampak pada Gambar
1. dengan uraian masing-masing material sebagai berikut:
1) Peri Girder GT 24, material GT 24 Girder dengan panjang, L = (sesuatu type panel). Satuan m. GT 24 Girder

adalah struktur besi untuk pengaku pada bekisting jenis Sistem PERI
2) Panel adalah bentuk cetakan bekisting sistem PERI yang bersentuhan secara langsung pada permukaan beton.
3) Column Wale Waler SRZ, Column Wale SRZ 10, merupakan material sabuk/ pengikat kolom maupun dinding

pada bekisting sistem PERI. Column Vario Waler SRZ 239

42

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 1. Panel Girder GT24.

3 METODOLOGI

Bekisting dan perancah didesain mampu menahan beban beton basah, beban hidup dan beban peralatan kerja lainnya
selama proses pengecoran dan pengeringan beton. Dengan demikian dibutuhkan analisa yang tepat terlebih dahulu
sehingga nantinya mampu memikul beban ke semua arah dan dimungkinkan tidak terjadi deformasi yang berlebihan
serta memenuhi syarat stabilitas tinjauan dari segi keamanan pemakaian material. Perhitungan struktur bekisting,
statika yang dianalisis dan kontrol meliputi :

1) Momen maksimal yang terjadi

= 0,1071 × × 2 (1)
2) Kontrol tegangan yang terjadi

= (2)



dimana adalah tegangan yang terjadi pada balok lentur bekisting, adalah nilai momen akibat beban diatas
balok bekisting dalam bentuk beton bertulang bungker, serta adalah momen perlawanan yaitu rasio momen
inersia dan pusat titik berat balok.

3) Kontrol lendutan yang terjadi (3)
δ’ =

400

dimana δ adalah lendutan ijin, dan adalah panjang batang.

Dinding bungker Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada Badung berencana untuk menginstall pesawat Teleterapi
Linear Accelerator (LINAC) merupakan struktur bungker besar yang jarang ada di Indonesia dengan dimensi
bungker beton bertulang 30 × 10,85 × 7,05 m3 ( × × ). Struktur bungker ini mempunyai tebal struktur 1,30
meter, 1,50 meter, 1,6 meter, 1,80 meter, dan 3,00 meter (Gambar 2.). Plat lantai di bagi menjadi tiga area yaitu area
I dengan tebal 2,50 meter, area II mempunyai ketebalan struktur 3,00 meter, dan area III dengan tebal dinding atas
sebesar 3,50 meter seperti tampak pada gambar potongan memanjang dan melintang Gambar 3. Struktur dengan
ketebalan seperti itu diperlukan bekisting khusus untuk mampu menompang beban-beban yang bekerja pada
bekisting. Bekisting merupakan material bagian dari proses sebuah konstruksi pendukung komponen utama dalam
pekerjaan beton yang mempunyai bentuk khusus dengan daya dukung tertentu dan berfungsi sebagai penyangga
beban pekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi, sekaligus pula bekisiting berperan sebagai penyangga sebelum
dilakukan pemasangan besi tulangan dan pengecoran sampai dengan beton kering.

43

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2. Denah struktur beton bertulang dan konstruksi bekisting bungker.

(a) (b)
Gambar 3. Potongan struktur beton bertulang dan konstruksi bekisting bungker: (a) melintang dan (b) memanjang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data-Data Material

Material-material yang digunakan pada bekesting sistem ini adalah Phenolik 18 mm kelas III, PERI GT24 dan
Column Wale SRZ 239 dimana material-material itu memiliki data sebagai berikut :

a) Phenolik 18 mm kelas III
′ = 75 kg/cm2 dan = 48,6 cm4
= 54 cm3 dan = 80.000 kg/cm2
b) PERI GT24

= 700 kg/m = 70.000 kg/cm

= 0,7 x = 490 kg/m

= 1400 kg, = 1.000.000 kg/cm2 dan = 8.000 cm4
c) Column Wale SRZ 239
= 412 cm4, = 82,4 cm3, dan ′ = 1600 kg/cm2

dimana adalah modulus elastisitas, adalah momen inersia pada sumbu , adalah momen inersia pada
sumbu , adalah beban mati pada sumbu , adalah beban mati pada sumbu , adalah beban merata
maksimal, adalah momen ultimit, adalah momen ijin dan S’ult adalah kuat geser ultimit.

44

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

(a) (b) (c)
Gambar 4. Statika konstruksi bekisting bungker: (a) momen; (b) geser dan (c) normal

4.2 Kontrol pada Tiap Material

Statika gaya dalam struktur bekesting dimodelkan dengan SAP2000 sesuai Gambar 4. Statika struktur dimodelkan
sederhana sebagai struktur rangka portal 3D menggunakan material penampang Steel Wale SRZ 239, = 100.000
kg/cm2, dengan beban mati (beban beton bertulang ′ =35 MPa dengan nilai density sebesar 2,35 kg/m3), beban
hidup, pemodelan beban gempa dengan respon spektrum Desa Kapal, Kabupaten Badung. Pemodelan struktur ini
untuk mendapatkan statika sebagai input analisis control tiap elemen konstruksi bekesting sistem PERI Plywood 4 x
8-18 mm, PERI GT24 Steel Wale, SRZ 239 Steel Wale SRZ 239, sebagai berikut:

a) Kontrol Plywood 4 x 8-18 mm (Gambar 5.)

Concrete pressure berdasarkan DIN 18218 (Deutsche Industrie Norm / Standar Industri Jerman)

Plastic Concrete/Slump = 14 cm (K2)

Rate of rise ( ) = 1,5 m/h

Concrete Pressure = 10 + 19
= 34 kN/m2 = 3400 kg/m2
= 0,34 kg/cm2

1) Momen maksimal yang terjadi adalah 27,48 kgcm, kontrol tegangan yang terjadi adalah 0.508 kg/cm2 < 75
kg/cm2 (aman)

2) Kontrol lendutan yang terjadi δ adalah 0,032 cm < 0,075175 cm (δ’ = ( )), aman.

400

b) Kontrol PERI GT24
Beban yang bekerja pada PERI GT24
= 0,35 m x 3400 kg/m2 = 1190 kg/m = 0,119 kg/cm
1) Momen maksimal yang terjadi, adalah 178,67 kg.m < 700 kg.m (pakai girder, memenuhi)

2) Kontrol lendutan yang terjadi δ adalah 0,19 cm < 2,96 cm (δ’ = ( )), dengan adalah 1184 cm (aman)

400

c) Kontrol Steel Wale SRZ 239
Beban pada SRZ berasal dari Beban Terpusat dari GT24
=
= x 35 – (1190 x 17,5)
= 35 – 20.825 = 20.825
35
= 595 kg
1) Momen maksimal yang terjadi, adalah 226,47 kg.m
2) Kontrol tegangan yang terjadi adalah 274,84 kg/cm2 < 1600 kg/cm2 (aman)

d) Kontrol Tierod DW 15

= 72,9 kg × 6 = 437,4 kg
tie rod = 90 KN = 9.000 kg

Jadi, < tie rod

= 437,3 kg < 9.000 kg (aman)

45

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 5. Detail material plywood

Gambar 6. Konstruksi bekisting sistem PERI GT24 struktur bungker.

5 KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan kinerja bekisting sistem PERI untuk konstruksi bungker ini ruang Teleterapi Linear
Accelerator (LINAC) dapat ditarik kesimpulan bahwa material Phenolik 18 mm kelas III, PERI GT24 dan Column
Wale SRZ 239 handal dalam mendukung struktur beton bertulang bungker ini. Selain itu, metode, jenis, dan kekuatan
bekisting yang diperlukan sangat menentukan dimensi, proses kerja dan bentuk akhir beton akurat sehingga nilai
kekuatan beton K300 dengan densitas 3,0 t/m3 yang diinginkan dapat tercapai.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan pada PT. Tunas Jaya Sanur dan Konsultan Manajemen
Konstruksi PT. Ayodya Karya atas kerjasama dalam penyiapan data dan gambar serta proses analisis kinerja
penelitian ini.

REFERENSI
Astri, N. (2007). “Perbandingan bekisting konvensional dengan bekisting sistem peri ditinjau dari segi biaya dan
waktu pelaksanaan pada proyek Apartement Salemba Residance.” Master Thesis, FT Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia.
Hanna, A. S. (1999). Concrete Formwork System, Marcel Dekker, Marcel Dekker Inc., New York, United States.
Novi, Y.D.S. and Indyani, R. (2012). “Analisa perbandingan penggunaan bekisting semi konvensional dengan
bekisting sistem table form pada konstruksi gedung bertingkat.” Jurnal Teknik ITS, 1(1), D67 – D71.
Pratama, H., S., Anggraeni, R., S., Hidayat, A., and Khasani, R., R. (2017). “Analisa perbandingan penggunaan
bekisting konvensional, semi sistem, dan sistem (peri) pada kolom gedung bertingkat.” Jurnal Karya Teknik Sipil,
Vol 6 (1), 303-313.
PT. Tunas Jaya Sanur , (2020). “Metode pelaksanaan bekesting sistem PERI Rumah Sakit Umum Daerah Mangusada
Badung” , PT. Tunas Jaya Sanur, Denpasar, Indonesia.

46

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Saptowati, H. (2018), “Analisis bekisting pada pengecoran dinding bunker gedung iradiator merah-putih.” Prima,
Vol 15 (2), 1411-0296.

Wigbout, F. (1997). Bekisting (Kotak Cetak), Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Zakiyah, N. (2015). “Analisis kekuatan, kekakuan dan stabilitas pada proyek pembangunan UI teaching hospital”,
Undergraduate Thesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

47

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Pengaruh Rongga dan Jarak Sengkang pada Kekuatan Tekan Kolom Berlubang
dengan Penampang Berbentuk Lingkaran

S. Hartawan*, A. Triwiyono, Muslikh, I. Satyarno

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Kekuatan tekan atau desak kolom berlubang sangat berpengaruh penting dalam stuktur bangunan. Dengan demikian, kolom
sering diperkuat dengan tujuan untuk meningkatkan daya desak dari kolom, salah satunya menggunakan sengkang spiral. Tujuan
penelitian ini yaitu menguji silinder beton dengan mutu 29 MPa. Variasi yang digunakan yaitu terdiri dari 2 jenis benda uji yaitu
benda uji polos dan bersengkang spiral. Benda uji polos terdapat variasi pada lubang dan dibagi menjadi tiga model yaitu solid,
berlubang 2,5 cm, dan berlubang 5 cm. Sedangkan untuk benda uji sengkang spiral ditambahkan dengan adanya variasi jarak
sengkang spiral yang bervariasi yaitu 2,5 cm, dan berjarak 5 cm. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pengaruh yang
dihasilkan oleh lubang dan diberi penambahan sengkang spiral dengan jarak yang bervariasi dapat meningkatkan kekuatan dari
beton serta memberikan daktilitas tambahan pada kolom.

Kata kunci: Rongga, Jarak, Tekan Kolom, Kolom Berlubang.

1 PENDAHULUAN

Dewasa ini, struktur beton bertulang banyak digunakan sebagai elemen struktur, diantaranya untuk konstruksi
jembatan, konstruksi gedung dan bangunan – bangunan lainya. Untuk menentukan kualitas beton tergantung pada
bahan penyusunnya (Zuraidah & Hastono, 2013). Salah satu cara melihat kualitas beton yaitu dengan menguji beton
dengan tekanan tinggi, kolom dengan beton mutu tinggi akan membutuhkan tekanan pembatas yang lebih tinggi
(Canbay et al., 2006). Beton yang potensial sangat dibutuhkan dalam membangun struktur gedung yang kokoh di
masa yang akan datang.

Dalam struktur gedung, pondasi merupakan salah satu elemen struktur yang menopang bangunan dimana salah satu
penopang ialah tiang pancang, elemen ini berfungsi untuk menyangga beban konstruksi dan menyalurkannya
kedalam tanah, tiang pancang memiliki kekuatan untuk mengirim gaya vertikal dan gaya lateral. Namun, selain
kelebihannya pondasi tiang pancang dikenal juga karena bobot yang sangat berat dan pembuatan tiang pancang yang
tergolong memakan waktu yang lama serta pembuatan yang cukup rumit. Berjalannya waktu semua elemen bangunan
gedung dibangun bukan hanya menggunakan aspek kekuatan atau ketahanan gedungnya saja melainkan juga
mempertimbangkan dari sisi efektif dan efisiensi (Kuranovas & Kvedaras, 2007). Salah satu caranya yaitu dengan
mendesain kolom yang berlubang dan menggunakan Sengkang spiral yang dapat menghemat biaya tanpa
mengabaikan kekuatannya (AlAjarmeh et al., 2020).

Sengkang spiral berfungsi sebagai tulangan transversal pada kolom yang dapat memberikan stability pada tulangan
tekan dan memberikan kekuatan geser dalam menahan gaya geser / shearing forces yang terjadi serta memberikan
perlindungan pada inti beton. Dalam penelitian (Kim et al., 2013) spiral baja menunjukkan kekuatan dan keuletan
yang lebih dibandingkan dengan spesimen lainnya. Beton silinder yang berongga dan bertulang spiral lebih getas jika
dibandingkan dengan beton yang tidak berongga (Sudarsana, 2011). Hal ini menjadi landasan penulis tertarik
menguji rongga dan jarak sengkang terhadap kapasitas tekan kolom berlubang dengan penampang berbentuk
lingkaran.

2 LANDASAN TEORI

Tinjauan mengenai perkuatan beton pada stuktur kolom ialah bertujuan untuk mengetahui prilaku kekuatan tekan
pipa beton menggunakan sengkang spiral ganda (Sugiarto et al., 2018). Penelitian dilakukan benda uji pipa beton
berukuran 15x30cm dengan mutu beton ′ = 29 MPa. Benda uji divariasikan menjadi 3 jenis, yaitu polos,
bersengkang spiral tunggal, dan bersengkang spiral ganda. Benda uji dengan sengkang divariasikan pula jarak 7,5
cm, 10 cm, dan 15 cm. Dari hasil penelitian diketauhi bahwa terjadi peningkatan pada pipa beton yang paling efektif
pada jarak 7,5 cm dengan kenaikan 33-35% menggunakan sengkang tunggal dan ganda. Kemudian untuk variasi
jarak didapat jika perubahan jarak sengkang antara 7,5 – 15 cm tidak terjadi peningkatan yang signifikan.

48

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Berdasarkan penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan kekuatan tekan akibat penambahan
tulangan spiral dapat terjadi namun pada jarak tertentu saja yang menghasilkan peningkatan yang paling efektif.

Penelitian (Zuraidah & Hastono, 2013) terkait pengaruh rongga terhadap kuat tekan beton dengan menggunakan
variasi rongga sebesar 0%, 2,2%, 3%, 4,5%, dan 9%. Benda uji tersebut diuji tekan hingga beton hancur dan didapat
penurunan secara signifikan antara rongga sebesar 0%-9%. Pada rongga 2,2% terjadi penurunan sebesar 16,67%,
untuk rongga 3% mengalami penurunan 20,57%, sedangkan untuk rongga 4,5% terjadi penurunan 29,19%, dan
penurunan paling besar pada saat kondisi rongga 9% yaitu 43,05%.

3 METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan 24 benda uji dan mutu yang digunakan sebesar ′ =29,05 MPa. Benda uji yang dibuat
menggunakan cetakan manual berbahan dasar pipa PVC berdiameter 15-16 cm dan tinggi rata-rata 30 cm. Masing-
masing benda uji memiliki sample sebanyak 2 (dua). Variasi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat dalam
Tabel 1.

Detail untuk benda uji solid dapat dilihat pada Gambar 1 dan untuk benda uji dengan senkang spiral ditampilkan
pada Gambar 2 dan Gambar 3. Tiap benda uji akan diberi kode P untuk kondisi polos dan S untuk kondisi
menggunakan sengkang spiral. Untuk benda uji polos tanpa lubang diberi kode P.0.0 sedangkan untuk S.2.2
digunakan untuk kode beton bersengkang dengan lubang 2,5 cm dan jarak sengkang 2,5 cm. Detail lengkap akan
ditampilkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Variasi Benda Uji

Jenis Benda Uji Diameter lubang, Jarak sengkang, Jumlah benda
(cm) uji
(cm) -
2
∞ 2,5 2
2
Solid 2,5 5 2
5 2
2
7,5 2
2
∞ 2
2
2,5 2
2
5 24

Sengkang Spiral 7,5


2,5

5

7,5

Total Benda Uji (Buah)

Gambar 1. Sketsa Benda uji tanpa sengkang :a). solid, b). berlubang 2,5 cm, c). berlubang 5cm, (d). dan berlubang 7,5cm

49

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2. Sketsa benda uji dengan jarak sengkang 2,5cm Gambar 3. Sketsa benda uji dengan sengkang 5 cm dan:
dan: a). tanpa lubang, b). berlubang 2,5cm, c) berlubang a). tanpa lubang, b). berlubang 2,5cm, c). berlubang
5cm, d). berlubang 7,5cm.
5cm, d). berlubang 7,5cm.

4 HASIL DAN ANALISA

Pengujian beton dilakukan dengan uji kuat tekan beton hingga batas maksimal. Pada benda uji polos dengan kode
P.0.0 didapatkan kuat rata-rata sebesar 552 kN dan tegangan maksimumnya 28,01 MPa. Setelah diteliti lebih lanjut
terjadi perbedaan yang cukup signifikan pada benda uji tanpa lubang dan benda uji dengan lubang 2,5 cm, hal ini
dikarenakan bocornya penahan cetakan pada saat proses pemadatan menggunakan vibrator dengan cetakan manual
dari Pipa PVC sehingga terjadi penurunan pada saat keadaan beton polos. Kekuatan tekan yang didapat dari benda
uji P.2.0 meningkat dengan rata-rata sebesar 636 kN dengan tegangan maksimumnya yaitu 37,21 MPa. Penurunan
terjadi secara berkala akibat bertambahnya dimensi lubang pada beton, seperti pada P.5.0 yaitu benda uji pada kondisi
lubang sebesar 5cm, mutu yg dihasilkan yaitu 20,90 MPa dengan kuat tekan yang dihasilkan 403 kN dan untuk P.7.0
atau kondisi beton dengan lubang berdimensi 7,5cm mutu yang dihasilkan hanya sebesar 14,53 MPa dan kuat tekan
maksimumnya sebesar 225 kN. Grafik antara kuat tekan, jarak sengkang, dan dimensi lubang pada saat kondisi solid
bisa dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Hasil yang didapat pada kondisi beton yang diberi tambahan sengkang berjarak sebesar 2,5 cm dengan kode S.0.2
atau pada saat kondisi beton tanpa lubang namun diberi perkuatan sengkang berjarak 2,5 cm, kuat tekan yang
dihasilkan sebesar 820 kN dan tegangan maksimumnya 40,65 MPa. Selanjutnya pada kode benda uji S.2.2 kuat tekan
yang didapat sebesar 852 kN dengan tegangan yang dihasilkan yaitu 47,72 MPa. Pengujian selanjutnya untuk S.5.2
yaitu kondisi beton dengan lubang sebesar 5 cm dan diperkuat sengkang berjarak 2,5 cm terjadi penurunan untuk
kuat tekan dan tegangannya, yaitu sebesar 689 kN dan 35,52 MPa. Kondisi beton dengan lubang berdimensi 7,5 cm
dan diberi perkuat sengkang berjarak 2,5 cm (S.7.2) akan menghasilkan penurunan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan S.5.2 dengan nilai kuat tekannya 542.5 kN dan tegangan yang dihasilkan 35,03 MPa.

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 dapat diamati bahwa terjadi penurunan secara bertahap seperti pada benda uji
S.0.5 menghasilkan kuat tekan sebesar 732,5 kN dengan tegangan maksimal 37,01 MPa. Selanjutnya jika diberi
tambahan dimensi sebesar 2,5cm yaitu pada benda uji S.2.5 didapat 650 kN untuk kuat tekannya sedangkan tegangan
yang dihasilkan sebesar 36,47 MPa. Benda uji S.5.5 atau pada saat kondisi beton memiliki lubang 5 cm dan diberi
perkuatan sengkang berjarak 5 cm, tegangan yang dihasilkan yaitu 31,52 MPa dan kuat tekannya sebesar 606 kN.
Pada saat beton dengan sengkang berjarak 5 cm diberi lubang dibagian tengahny sebesar 7,5 cm maka terjadi
penurunan yang cukup signifikan dibandingkan pada benda uji S.5.5. Terlihat pada Gambar 5 kuat tekan yang
dihasilkan benda uji S.7.5 yaitu 397,5 kN dan tegangan maksimal yang dihasilkan sebesar 25,98 MPa. Hasil lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

50

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

50Tegangan Maksimal
(MPa)
40 Tanpa Sengkang
30 Sengkang 25mm
20 Sengkang 50mm

10

0
0 25 50 75
Diameter Lubang (mm)

Gambar 4. Hubungan antara diameter lubang dan tegangan terhadap penambahan sengkang.

Pmaks (kN) 1000 Tanpa Sengkang
800 Sengkang 25mm
600 sengkang 50mm

400

200 25 50 75
0 Diameter Lubang (mm)

Gambar 5. Hubungan antara Kuat tekan dan diameter lubang terhadap penambahan sengkang.

Tabel 2. Hasil Kuat Tekan dan Tegangan maksimum

Kode Diameter Jarak sengkang Pmaks (kN) Rata -rata Tegangan Maks Rata -rata
lubang (mm) (mm) (kN) (MP)a (MPa)
P.0.0 # 1 28,01
P.0.0 # 2 0 575 552,5 29,33 34,205
P.2.0 # 1 0 530 26,69 22,69
P.2.0 # 2 25 625 636 33,81 14,53
P.5.0 # 1 25 0 647 34,6 40,65
P.5.0 # 2 50 560 403 31,41 43,975
P.7.0 # 1 50 246 13,97 38,545
P.7.0 # 2 75 225 225 14,47 35,025
S.0.2 # 1 75 225 14,59 37,005
S.0.2 # 2 0 760 820 37,8 33,6
S.2.2 # 1 0 880 43,5 34,23
S.2.2 # 2 25 894 852 46,09 25,98
S.5.2 # 1 25 25 810 41,86
S.5.2 # 2 50 652 689 36,37
S.7.2 # 1 50 726 40,72
S.7.2 # 2 75 585 542,5 37,63
S.0.5 # 1 75 500 32,42
S.0.5 # 2 0 725 732,5 36,51
S.2.5 # 1 0 740 37,5
S.2.5 # 2 25 645 650 32,91
S.5.5 # 1 25 50 655 34,29
S.5.5 # 2 50 606 606 34,33
S.7.5 # 1 50 606 34,13
S.7.5 # 2 75 385 397,5 25,59
75 410 26,37

51

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

5 KESIMPULAN
Adapun hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Penambahan sengkang spiral pada beton berlubang dapat menaikkan kuat tekannya.
b. Benda uji yang efektif ialah dengan persyaratan mutu beton 29,05 MPa, yaitu pada benda uji S.5.2 dengan

tegangan yang dihasilkan sebesar 35,03 MPa.

Berdasarkan SNI 03 2847 2013, batas lubang pada beton ialah tidak lebih dari 4% namun dapat diupayakan dengan
penambahan sengkang spiral dengan jarak tertentu.

REFERENSI
ASTM. (2018). ASTM C39/C 39M – 18 Standart Test Method For Compressive Streght Of Cylindrical Concrete
Specimens, ASTM International, West Conshohocken, United States.

AlAjarmeh, O. S., Manalo, A. C., Benmokrane, B., Karunasena, W., & Mendis, P. (2020). "Effect of spiral spacing
and concrete strength on behavior of GFRP-reinforced hollow concrete columns." Journal of Composites for
Construction, 24(1).

Canbay, E., Ozcebe, G., & Ersoy, U. (2006). "High-strength concrete columns under eccentric load." Journal of
Structural Engineering, 132(7), 1052–1060.

Kim, S. W., Kim, Y. S., Lee, J. M., & Kim, K. H. (2013). "Structural performance of spirally confined concrete with
EAF oxidising slag aggregate." European Journal of Environmental and Civil Engineering, 17(8), 654–674.

Kuranovas, A., & Kvedaras, A. K. (2007). "Contrifugally manufactured hollow concrete-filled steel tubular
columns." Journal of Civil Engineering And Management, XIII(4), 297–306.

Sudarsana, W. (2011). "Perilaku silinder beton berongga yang dikekang dengan tulangan spiral." Jurnal Ilmiah
Teknik Sipil, 15(2).

Sugiarto, Y. S., Yuwono, R. C., & Budi, G. S. (2018). "Pengaruh sengkang spiral ganda terhadap kekuatan tekan
pipa beton." Jurnal Dimensi Pratama Teknik Sipil, Vol 7 (2), 312–319.

Zuraidah, S., & Hastono, K. B. (2013). "Pengaruh rongga dalam beton terhadap kuat tekan beton." Jurnal Teknik
Sipil KERN, 3(1), 1–6.

52

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pemanfaatan Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) untuk
Meningkatkan Kuat Tarik dan Daktalitas Beton

A. Masdar*, R. Junnaidy, A. Sagita

Program Studi Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknologi Payakumbuh, Payakumbuh, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Beton mempunyai kelemahan dalam kuat tarik dan daktilitasnya, sehingga saat menerima beban yang melampaui kapasitasnya,
beton akan mengalami keruntuhan yang mendadak. Penggunaan kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) yang merupakan
material alami pada beton bertujuan untuk meningkatkan kuat tarik beton sehingga daktalitas beton dapat ditingkatkan. Penelitian
dilakukan dengan metoda eksperimental. Variabel penelitian adalah persentase penambahan serat kulit Tanaman Pimping pada
campuran beton masing-masing sebesar 1%, 1,5%, dan 2%. Pengujian dilakukan terhadap kuat tarik beton dan pengamatan
perilaku keruntuhan beton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kuat tarik beton pada variasi serat 1%, 1,5% dan 2%
masing-masing adalah 1,978 MPa, 1,704 MPa dan 1,631 MPa, sedangkan rata-rata kuat tarik pada beton tanpa serat adalah 1,905
MPa. Hasil pengamatan perilaku keruntuhan beton serat memperlihatkan hasil keruntuhan yang lebih bersifat daktail yang
artinya beton tidak runtuh secara mendadak. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa serat bagian luar tanaman dapat
meningkatkan kuat tarik beton pada persentase 1% dan dapat meningkatkan sifat daktalitas beton sehingga perilaku keruntuhan
beton menjadi lebih baik.

Kata kunci: Beton, Serat, Pimping, Kuat Tarik, Daktilitas.

1 PENDAHULUAN

Material konstruksi dari beton memiliki sifat yang getas sehingga kemampuan untuk menahan tegangan tarik relatif
kecil dan keruntuhan yang tejadi secara mendadak. Waktu keruntuhan yang relatif pendek ini menjadikan rentang
waktu penyelamatan pada saat terjadi bencana seperti gempa bumi sangat singkat. Kondisi ini akan menyebabkan
timbulnya banyak korban. Waktu keruntuhan yang singkat ini akan menimbulkan resiko bencana menjadi besar.
Untuk mencegah banyaknya korban perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan perilaku keruntuhan beton dari getas
menjadi lebih daktail. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan serat sebagai bahan campuran
beton. Penggunaan serat pada beton selain baja tulangan, diperlukan untuk meningkatkan kuat tarik beton dan
menjadikan perilaku keruntuhan beton kesifat yang lebih daktil. Jenis serat yang biasa digunakan pada beton
diantaranya adalah serat kaca, serat besi, serat sintetis dan serat alami.

Keunggulan penggunaan serat alami seperti serat alami dari tanaman bambu pada beton serat adalah kekuatan yang
tinggi, memiliki sifat-sifat yang tepat untuk sebuah komposit dengan harga yang relatif murah sehingga mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi (Wallenberger et al., 2004). Secara kharakteristik mekanik, keunggulan dari serat bambu
adalah kekuatan tarik yang tinggi dan dapat dipertandingkan dengan material lain seperti baja (Rill et al., 2010;
Kriven et al., 2013). Selain mempunyai kuat tarik yang relatif tinggi, serat bambu merupakan bahan yang ringan dan
lentur sehingga memiliki elastisitas yang cukup tinggi. Penelitian terkait dengan penggunaan serat alami untuk
meningkatkan kuat tarik beton sebelumnya telah banyak dilakukan diantaranya penelitian untuk peningkatan
kekuatan tarik beton yang menggunakan serat bagian dalam bambu oleh Masdar et al. (2019) dan Trimurtiningrum
(2018) melakukan penelitian untuk pengaruh penambahan serat bambu terhadap kuat tarik dan kuat tekan beton.
Penggunaan serat bambu pada campuran beton untuk meningkatkan daktalitas pada keruntuhan beton juga telah
dilakukan oleh Junnaidy et al. (2017) dan Huang et al. (2016). Suhardiman (2011) mengembangkan penggunaan
serat untuk beton dari kulit bambu ori (Bambusa arundinacea).

Penelitian ini merupakan pengembangan penggunaan serat alami pada beton. Serat yang digunakan pada beton adalah
serat alami dari kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea). Pertimbangan penggunaan serat dari kulit Tanaman
Pimping (Themeda Gigentea) adalah karena tanaman Pimping (Themeda Gigentea) ketersediaannya berlimpah
sehingga mudah didapat dan secara fisik mempunyai kharakteristik menyerupai serat bambu. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat diaplikasikan pada struktur beton dan memperluas penggunaan bahan alami dari serat pimping
sehingga dapat menghasilkan beton dengan perilaku daktail dengan harga yang ekonomis, ramah lingkungan dan
dapat di aplikasikan oleh masyarakat luas.

53

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif untuk mengetahui pengaruh penggunaan serat bagian luar (kulit) pada Tanaman Pimping (Themeda

Gigentea) dalam campuran beton terhadap kuat tarik belah. Penelitian dilakukan secara eksperimen yang dilakukan

di laboratorium skala 1:1. Secara garis besar penelitian terdiri dari 2 tahap pengujian. Pada tahap awal penelitian
dilakukan pengujian pendahuluan pada material pembentuk beton. Hasil pengujian pendahuluan diperlukan untuk
merancang komposisi masing-masing agregat (job mix) beton berserat maupun beton tanpa serat. Pada tahap kedua
dilakukan pengujian tarik belah pada sampel atau benda uji beton.

2.2 Lokasi Penelitian

Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) yang digunakan sebagai serat pada beton berasal dari daerah Limbukan Kota
Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat. Tanaman Pimping banyak terdapat pada di berbagai tempat terutama pada
lahan kosong dan tumbuh secara liar seperti tanaman rumput liar. Pengujian dilakukan di Laboratorium Beton
Sekolah Tinggi Teknologi Payakumbuh.

2.3 Material

Secara visual Tanaman Pimping ini menyerupai Tanaman Bambu dengan ukuran yang lebih kecil. Persentase serat
kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) yang digunakan pada campuran beton berserat adalah 1%, 1,5%, dan
2%, terhadap berat semen Sementara itu bahan serat yang digunakan disajikan pada Gambar 1. Serat pimping yang
digunakan sebagai bahan campuran beton adalah dengan panjang serat 1,5 cm dan diameter serat Pimping berkisar
antara 1,5 mm. Rasio diameter serat terhadap panjang serat kulit Pimping ( / ) sekitar 1/10. Semen yang di gunakan
adalah semen PPC. Agregat kasar yang digunakan untuk bahan campuran beton berupa kerikil saring sungai yang
berasal dari Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, sedangkan aggregat halus yang digunakan berasal dari Pasir Kukit
Limbuku, Payakumbuh, Sumatra barat. Adapun air yang digunakan pada penelitian ini adalah air PDAM yang berada
di Laboratorium Sekolah Tinggi Teknologi Payakumbuh. Beton direncanakan adalah memiliki kuat tekan 14,9 MPa
atau setara dengan beton mutu K-175. Bahan campuran beton yang terdiri dari aggregat kasar (kerikil saring),
aggregat halus (pasir) dan semen yang digunakan pada campuran beton sebagaimana disajikan pada pada Gambar 2.

Gambar 7. Bahan serat alami dari bagian kulit Tanaman Pimping

Gambar 2. Aggregat halus, aggregat kasar dan semen yang digunakan pada campuran beton
54

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.4 Pengujian

Pengujian dilakukan secara statik menggunakan compression Testing Machine berdasarkan SNI 03-2491-2002 dan
ASTM C496/C496M – 04, 2006, tentang metode pengujian tarik belah sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3.
Pengujian dilakukan pada masing-masing benda uji yaitu pada beton normal (sebagai pembanding) dan pada masing-
masing benda uji dengan variasi serat bambu terhadap berat semen. Jumlah sampel beton normal adalah 5 buah dan
jumlah beton dengan campuran serat (Kulit pimping) adalah 15 buah Setelah melakukan pengujian pendahuluan
terhadap material pembentuk beton, dibuat job mix design beton untuk masing-masing variasi yaitu untuk beton
normal dan 3 variasi persentase serat bambu terhadap berat semen. Selain pengujian untuk mengetahui kekuatan
beton, perilaku keruntuhan selama pengujian menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengujian Pendahuluan Sifat Bahan

Data pengujian pendahuluan pada material pembentuk campuran beton berserat diperlukan dalam rancangan beton.
Pengujian pendahuluan tersebut diantaranya kadar air dan berat jenis material, kadar lumpur, penyerapan air, bobot
isi dan bobot isi aggreagat. Hasil pengujian pendahuluan material disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengujian
pendahuluan yang disajikan pada Tabel 1, analisa saringan dan rancangan campuran beton dibuat sesuai dengan
kekuatan beton yang direncanakan.

3.2 Hasil Pengujian Tarik Beton

Pengujian kuat tarik beton dilakukan pada beton normal, dan beton serat. Pengujian kuat tarik beton serat dilakukan
dengan variasi persentase terhadap berat serat masing-masing adalah 1%,1,5% dan 2% Pengujian kuat tarik beton
dilakukan pada umur 28 hari. Hasil pengujian kuat tarik beton disajikan Gambar 4.

Gambar 3. Set up Pengujian Tarik Belah

Tabel 1. Hasil Pengujian Pendahuluan pada Aggregat.

Pengujian Aggregat Halus

Kadar air (%) Kasar 5,7
Kadar lumpur (%) 1,3
Berat jenis SSD 2,1 2,012
Penyerapan (%) 0,6 4,801
Berat isi gembur (gr/cm3) 2,516 1,381
Berat isi padat(gr/cm3) 2,631 1,837
1,981
1,148

55

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.5

Persentase serat kulit Pimping (%) 2

1.5

1

0.5

0 BN BS 1 B S1.5 BS 2
1.905 1.978 1.704 1.631
Rata-rata kuat tarik
beton serat (MPa)

Gambar 4. Grafik hasil Perbandingan persentase serat terhadap kuat tarik beton

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan serat alami dari kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) yang
disajikan pada Gambar 4. diketahui bahwa penggunaan serat alami dari Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea)
dapat meningkatkan kekuatan tarik beton. Persentase serat Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) yang
menghasilkan kekuatan optimum adalah sebesar 1% dari berat semen. Informasi ini dapat dijadikan referensi dalam
penggunaan serat serat alami dari Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) pada beton berserat yaitu pada serat
dengan panjang serat sebesar 1,5 cm dan persentase serat bambu terhadap berat semen 1% menghasilkan kekuatan
kekuatan tarik rata-rata sebesar 1,978 MPa untuk beton dengan kuat tekan ′=14,9 MPa. Perbandingan kuat tarik
beton terhadap kuat tekan beton pada beton dengan serat dari kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) adalah
sebesar 13,3%. Penggunaan serat alami dari kulit Bambu Ori (Bambusa arundinacea) yang dilakukan oleh
Suhardiman (2011) menunjukkan bahwa kekuatan tarik teringgi adalah 2,56 MPa berada pada persentase serat
sebesar 1,5% dari berat semen untuk beton dengan kuat tekan sebesar 24,36 MPa. Nilai kuat tarik beton dengan serat
dari kulit Bambu Ori (Bambusa arundinacea) mempunyai nilai kuat tarik 10,51% dari kuat tekan beton. Nilai kuat
tarik beton serat ini lebih tinggi dibandingkan kuat tarik beton normal dimana menurut perkiraan terhadap terhadap
kekuatan tarik beton terhadap kekuatan tekannya, nilai kuat tarik beton sekitar 8% kuat tekannya (Satareh & Darvas,
2017).

Rendahnya kuat tarik beton menyebabkan perilaku keruntuhan beton bersifat getas. Sifat getas beton ini menjadikan
kehancuran pada beton dapat terjadi secara tiba-tiba dan ini sangat membahayakan apabila diaplikasikan pada
konstruksi. Keberadaan beton serat alami dari kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) pada campuran beton,
selain meningkatkan kekuatan tarik beton, dapat juga menurunkan berat isi beton atau dengan kata lain beton menjadi
lebih ringan dibandingkan dengan beton tanpa serat.

3.3 Perilaku Keruntuhan Beton

Keruntuhan yang terjadi pada beton disajikan pada Gambar 5. Menunjukkan perbandingan keruntuhan yang terjadi
pada beton tanpa serat dan beton yang menggunakan serat dari Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea).
Perilaku keruntuhan beton yang menggunakan serat dari Kulit Tanaman Pimping (Themeda Gigentea) menunjukkan
perilaku keruntuhan yang lebih baik atau lebih daktil. Keberadaan serat dari Kulit Tanaman Pimping (Themeda
Gigentea) pada beton dapat menahan beton untuk tidak hancur dan terpecah pada saat pengujian menjapai beban
ultimit. Serat pada beton mampu menahan retak yang terjadi sehingga keruntuhan tidak terjadi secara tiba-tiba. Proses
tersebut terjadi selama peningkatan pembebanan pada pengujian tarik belah sampai beton tersebut mencapai
keruntuhan dimana beban tidak dapat ditingkatkan lagi. Penambahan serat pada beton dapat mengurangi keruntuhan
karena serat bekerja menahan keruntuhan beton dengan cara mengikat beton.

56

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

(a) (b)
Gambar 5. Perilaku Keruntuhan pada Beton(a) Beton Normal/tanpa serat (b) Beton dengan serat kulit pimping

Untuk beton tanpa serat atau beton normal terlihat pola retak yang berbeda apabila dibandingkan dengan beton serat.
Untuk beton tanpa serat durasi keruntuhan lebih pendek dimana bagian beton langsung hancur dan tidak dapat
disatukan lagi sedangkan pada beton yang menggunakan serat dari kulit tanaman Pimping, beton masih melekat satu
sama lainnya meskipun pada beton telah terjadi retak yang cukup besar. Perilaku keruntuhan yang tidak getas dan
meskipun terjadi retak, benda uji masih dalam kondisi utuh tidak hancur seperti halnya beton tanpa serat. Hal ini
menggambarkan kondisi beton yang terjadi apabila beton serat ini diaplikasikan pada struktur sehingga dapat
direkomendasikan untuk penerapannya pada konstruksi yang menggunakan struktur beton. Tentunya masih
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan variasi serat dan persentase yang lebih banyak sehingga hasil yang
didapatkan lebih maksimal.

4 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan tentang kekuatan tarik beton berserat yang menggunakan serat dari
kulit tanaman pimping dibandingkan dengan beton tanpa seat. Selain ini perilaku keruntuhan pada masing-masing
beton juga dapat diketahui, sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Hasil dari pengujian mutu agregat mengenai kadar lumpur pada agregat kasar dan agregat halus masing-
masingnya adalah 0,6% dan 1,3% sehingga dapat disimpulkan mutu agregat untuk campuran beton atau
material pembuatan beton dinyatakan layak digunakan, karena persentase kadar lumpur dibawah 1% (SNI 03-
2834-2000) untuk agregat kasar 5% (SNI 03-2834-2000) untuk agregat halus.

b. Nilai kuat tarik antara beton normal dan beton serat kulit Tanaman Pimping terhadap berat semen untuk
persentase 1%, 1,5% dan 2% pada umur 28 hari masing-masing adalah BN 1,905, MPa BS 1% 1,978 MPa, BS
1,5% 1,704 MPa, dan BS 2% 1,631 MPa. Dapat disimpulkan bahwa nilai kuat tarik pada beton berserat 1%
lebih tinggi di bandingkan beton normal ataupun dengan beton berserat 1,5% dan beton berserat 2%.

c. Perilaku keruntuhan beton pada beton normal lebih getas (sifat keruntuhan beton lebih cepat) beton yang
dicampur menggunakan serat dari Kulit Tanaman Pimping terdapat ikatan pada mortar sehingga pola
keruntuhan beton lebih daktail. Hal tersebut membuktikan bahwa keruntuhan pada beton berserat lebih baik
karena mampu menahan beban secara lebih daktail dan memperlambat terjadi keruntuhan pada beton

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih atas terlaksananya penelitian ini kepada Kepala Laboratorium Teknologi Bahan Sekolah Tinggi
Teknologi Payakumbuh dan semua pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

REFERENSI

ASTM. (2006). ASTM C496/C496M – 04, 2006, Standart Test Method for Spilitting Tensile Strenght of Cylinder
Concrete Specimens, ASTM International, West Conshohocken, United States.

BSN. (2000). SNI 03-2491-2000. tentang Metode Pengujian Kuat Tarik Belah Beton, Badan Standarisasi Nasional,
Jakarta, Indonesia.

Huang, Y., Fei, B., Wei, F. and Zhao, C. (2016). “Mechanical properties of bamboo fiber cell walls during the culm
development by nano identation.” Industrial Crop and Product, Vol. 92, 102-108

57

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Junnaidy, R., Masdar, A. D., Marta, R., and Masdar, A. (2017). “Penggunaan serat bambu pada beton untuk
meningkatkan daklaitas pada keruntuhan beton”, Seminar Nasional Startegi Pengembangan Infrastruktur ke-3,
Padang, 131-135

Kriven, W. M., Wang, J., Zhou, Y., and Gyekenyesi, A. L. (2013). “developments in strategic materials and
computational design III.” Cer Engr Sci Proc, Vol. 33(10), 31–42.

Masdar, A., Junnaidy, R., Miharti, I., and Masdar, A. D. (2019). “Peningkatan kekuatan tarik beton berserat
menggunakan serat bagian dalam bambu”, Konferensi Nasional Teknik Sipil ke-12, Batam, 101-107.

Rill, E., Lowry, D.R., and Kriven, W.M. (2010), “Properties of basalt fiber reinforced geopolymer composites.” Proc.
34th International Conference & Exposition on Advanced Ceramics & Composite, Florida.

Satareh, M. and Darvas, R. (2017). Concrete Structure. Spinger International Publishing, Cham, Switzerland

Suhardiman, M. (2011). “Kajian penambahan serat Bambu Ori terhadap kuat tekan dan kuat tarik beton”, Jurnal
Teknik, Vol. 1. No. 2, 88-95/

Trimurtiningrum, R. (2018). “Pengaruh penambahan serat bambu terhadap kuat tarik dan kuat tekan beton.”. Jurnal
Hasil Penelitian LPPM Untag Surabaya. Vol. 03. No. 01.

Wallemberger, T. F. and Weston, E.N. (2004). Natural Fiber, Plastic, and Composite. Kluwer Academic Publisher,
Boston, United States.

58

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pemanfaatan Limbah Serbuk Kaca sebagai Bahan Tambah Sebagian Dari
Semen dalam Pembuatan Beton Normal

A. Pebrianto1, H.A. Safarizki1*, Marwahyudi2

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo, INDONESIA
2GFY Reasearch Group, Universitas Sahid Surakarta, Surakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Beton merupakan bahan utama yang sering digunakan dalam pembangunan. Beton dapat didefinisikan sebagai campuran dari
agregat halus dan agregat kasar dengan semen yang disatukan oleh air serta sering ditambah bahan aditif dengan persentase
tertentu. Pada penelitian ini menggunakan serbuk kaca, serbuk kaca mempunyai komposisi silika yang cukup besar dilihat dari
itu serbuk kaca bisa digunakan sebagai bahan campuran beton dengan ini serbuk kaca dipakai sebagai bahan tambah sebagian
dari semen terhadap kuat tekan beton. Dengan persentase 0%,7%,10% dan 11% menggunakan benda uji berbentuk silinder
dengan jumlah sampel 14 benda uji. Pengujian dilakukan pada umur beton 28 hari untuk mengetahui kuat tekan umum yang
maksimum. Dari hasil uji kuat tekan serbuk kaca mengalami peningkatan pada persentase 7% sebesar 30,29 MPa, dan pada
persentase 10% dan 11% mengalami penurunan dengan hasil 24,95 MPa dan 29,03 MPa dibandingkan dengan beton normal
sebesar 29,34 MPa. Maka dapat disimpulkan beton bahan tambah serbuk kaca dapat meningkatkan kuat tekan beton.

Kata kunci: Beton Normal, Serbuk Kaca, Kuat Tekan.

5 PENDAHULUAN

Dalam pembangunan infrastruktur gedung, jalan dan jembatan, beton (concrete) adalah material yang paling sering
digunakan dan umum dikalangan masyarakat setempat di Indonesia maupun di dunia. Materia penyusun beton terdiri
dari campuran semen, agregat (halus dan kasar), air serta bahan-bahan lainnya apabila diperlukan. Menurut SNI-03-
2847-2002, yang disebut beton normal adalah beton uang memiliki berat jenis diudara atau berat massa volume beton
yaitu 2100 – 2550 kg/m3, dimana mengandung agregat kasar dan halus. Pada beton normal, kuat tekan beton encapai
20 – 35 MPa pada umur 28 hari.Kriteria yang harus dimiliki oleh beton normal adalah harus memiliki sifat
kemudahan dalam pelaksanaan (workability) dan juga ketahanan selama umur digunakannya (Durability). Kekuatan
beton normal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: faktor air semen (FAS) , perbandingan bahan–bahannya,
mutu bahan–bahannya, modulus kehalusan agregat halus, ukuran agregat yang digunakan, bentuk butiran pada
agregat (size agregate), kondisi pada saat mengerjakan, kondisi pada saat pengerasan.

Kaca adalah amorf (non kritalin) material padat yang bening dan trasparan (tembus pandang), biasanya rapuh. Kaca
dibuat dari campuran 75% silikon dioksida (SiO2) ditambah Na2O, CaO, dan beberapa zat tambahan. serbuk kaca
biasanya mengandung Si 2 sebesar 61,72%, AI2O3 sebesar 3,45%, Fe2O3 sebesar 0,18%, dan CaO sebesar 2,59%.
Dengan kandungan silika lebih dari 60%, maka serbuk kaca sangat berpotensi untuk digunkanan dalam campuran
pembuatan beton. Kaca berasal dari bahan yang bersifat cair namun mempunyai kepadatan yang tinggi. Limbah kaca
yang digunakan dan didaur ulang dapat meningkatkan nilai guna serbuk kaca. Kuat tekan beton dengan menggunakan
kaca sebagai pengganti agregat halus dan substitusi semen cenderung akan menurunkan kuat tekan beton pada kadar
tertentu (Sudjati et al., 2014; Punusingon et al., 2019). Penambahan serbuk kaca dengan kadar tertentu pada campuran
beton dapat mempermudah pengerjaan beton (Lolo et al., 2019; Purnomo & Hisyam, 2014). Penggunaan kaca dalam
campuran beton juga akan mempengaruhi kuat tarik belah dari beton (Sudjati et al., 2015). Selain itu, penggunaan
kaca pada campuran beton juga dapat menjadikan beton menjadi lebih getas (Karwur et al., 2013). Pada penelitian
ini dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh penambahan limbah serbuk kaca pada kuat tekan beton.
Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini berupa penggunaan serbuk kaca sebagai pengganti sebagian dari semen
yaitu dengan kadar 0%, 7%, 10%, dan 11%,

6 METODE PENELITIAN

6.1 Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan concrete compression machine yang berfungsi sebagai alat penguji kuat tekan beton
(kuat tekan). Selain itu, juga digunakan satu set ayakan agregat halus dan agregat kasar untuk menyaring pasir dan

59

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

krikil. Neraca dan gelas ukur, juga digunakan yang mana masing-masing memiliki fungsi untuk menimbang sampel
material, mengukur takaran perbandingan volume dari bahan. Cetakan silinder beton yang digunakan pada penelitian
ini memiliki diameter 15 cm dan tinggi 30 cm.

Sedangkan untuk membuat campuran beton digunakan semen tipe 1 karena tidak dibutukan persyaratan semen
khusus pada penelitian ini.Agregat kasar yang digunakan merupakan kerikil yang berasal dari daerah Sukoharjo dari
pabrik pemecah batu. Agregat kasar berukuran maksimum 20 mm dan minimum 4,75 mm setelah diayak. Agregat
halus yang digunakan merupakan pasir yang diperoleh dari daerah Yogyakarta. Agregat halus yang digunakan
berukuran maksimum lebih kecil dari 4,75 mm. Serbuk kaca yang dugunakan sebagai bahan tampah merupakan hasil
penumbukan dan diayak serta disesuaikan sesuai ukurannya (Gambar 1).

6.2 Pemeriksaan Agregat Halus (Pasir)

Agregat halus yang diinginkan adalah agregat halus yang tidak menyerap air pada beton sehingga tidak
mempengaruhi faktor air semen pada campuran yang telah direncanakan. Aggregat halus yang baik digunakan untuk
membuat campuran beton memiliki standar penyerapan air kurang dari 3%, sedangkan pengujian pada aggregat halus
yang akan digunakan diperoleh nilai rata-rata sebesar 2,62 (Tabel 1). Sedangkan persyaratan berat jenis agregat
normal yang digunakan pada campuran beton berkisar pada 2,50 – 2,90, maka dapat disimpulkan bahwa agregat
halus yang diperiksa termasuk agregat normal. Pengujian kadar lumpur juga dilakukan agar mengetahui adanya
lumpur yang terkandung dalam agregat halus supaya tidak mempengaruhi kuat tekan beton yang telah direncanakan.
Pengujian kadar lumpur dilakukan dengan melarutkan pasir dalam gelas ukur 1000 ml yang dicampur dengan agregat
halus dan air lalu dikocok hingga 60 kocokan dan didiamkan kurang lebih 24 jam, maka diketahui endapan lumpur
pada agregat halus. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan modulus halus butiran pasir yang dilakukan dalam 3 kali
pemeriksaan. Modulus halus butiran (MHB) pasir sebesar 2,58, 2,61, 2,65 jadi agregat halus (pasir) tersebut telah
masuk dalam persyaratan yaitu berkisar 1,5 – 3,8 sehingga agregat halus dapat digunakan dalam campuran beton.

6.3 Pemeriksaan Agregat Kasar (Kerikil)

Berat jenis agregat kasar yang normal dan baik untuk digunakan dalam campuran beton berkisar 2,5 - 2,7, dimana
penyerapan yang diakibatkan oleh agregat kasar tidak boleh lebih dari 3%. Oleh karena itu, dilakukan 5 kali uji
pemeriksaan berat jenis dan penyerapan dan didapatkan nilai rata-rata berat jenis yang sebesar 2,7 serta penyerapan
0,75% (Tabel 2). Pemeriksaan gradasi agregat kasar butiran maksimal agregat kasar 20 mm, jadi yang digunakan
adalah grafik batas butir agregat kasar maksimal 20 mm. Dengan ini agregat kasar memenuhi syarat sehingga dapat
digunakan sebagai campuran beton.

Gambar 8 Serbuk kaca

Tabel 2. Hasil perhitungan rata-rata dari 5 kali pemeriksaan penyerapan dan uji berat jenis agregat halus

Keterangan Notasi I II III IV V Rata-rata

Berat Jenis Curah Kering (SD) A/(B+S-C) 2,575 2,60 2,58 2,52 2,52 2,55

Berat Jenis Curah Jenuh (SSD) S/(B=S-C) 2,638 2,64 2,64 2,59 2,6 2,62

Berat Jenis Semu A/(B+A-C) 2,749 2,73 2,75 2,78 2,74 2,74

Penyerapan Air (S-A)/A)100% 2,46 1,83 2,35 4,38 3,41 2,88

60

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

6.4 Pengujian Kuat Tekan Sampel Beton

Pengujian kuat tekan pada beton dilakukan untuk mengetahui kuat tekan hancur dari benda uji. Pengujian kuat tekan
dilakukan saat sampel berumur 28 hari. Jumlah beton yang di uji adalah 14 beton dengan bentuk silinder, yang terdiri
dari 5 buah beton normal, 3 buah beton dengan campuran 7% serbuk kaca, 3 buah beton dengan campuran 10%
serbuk kaca, 3 beton dengan campuran 11% serbuk kaca.

7 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari Tabel 3,didapatkan kuat tekan beton normal sebesar 24,84 MPa,34,06 MPa, 33,83 MPa, 29,78 MPa, dan 24,23
MPa dengan rata-rata sebesar 29,34 MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kaca 7% adalah sebesar
31,01 MPa, 29,84 MPa, dan 30,01 MPa, dengan rata-rata sebesar 30,29 MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah
serbuk kaca 10% adalah sebesar 24,16 MPa, 23,84 MPa, dan 26,84 MPa, dengan rata rata sebesar 24,95 MPa. Kuat
tekan beton dengan bahan tambah serbuk kaca 11% adalah sebesar 32,01 MPa, 28,14 MPa, dan 26,95 MPa, dengan
rata-rata sebesar 29,03 MPa. Gambar 2 menunjukkan bahwa kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kaca 7%
naik kuat tekannya menjadi sebesar 30,29 MPa (naik 0,95%) dari kuat tekan beton normal. Sementara itu, kuat tekan
beton dengan bahan tambah serbuk kaca 10% dan 11% turun menjadi 24,95 MPa (turun 4,39%) dan 29,03 MPa
(turun 0,31%).

Tabel 3. Hasil perhitungan rata-rata dari 5 kali uji berat jenis kerikil dan penyerapan.

Keterangan Notasi I II III IV V Rata-rata

Berat Jenis Curah Kering (SD) (A/(B-C)) 2,67 2,74 2,65 2,64 2,71 2,68
Berat Jenis Curah Jenuh (SSD) ((B/(B-C)) 2,68 2,76 2,67 2,66 2,74 2,70
Berat Jenis Semu (A/(A-C)) 2,71 2,79 2,70 2,69 2,80 2,78
Penyerapan Air (B-A)/A)100% 0,53 0,70 0,60 0,75 1,16 0,75

Tabel 4. Hasil uji kuat tekan beton umur 28 hari.

No Kadar penambahan Berat silinder Kode benda uji Umur beton Kuat tekan Kuat tekan rata-
rata (MPa)
serbuk kaca beton (kg) BN.0% (hari) (MPa)
BN.0% 29,34
1 0% 12,3 BN.0% 7 24,83
13,6 BN.0% 1 34,06 30,29
2 7% 13,4 BN.0% 3 33,83 24,95
3 10% 13,5 SK.7% 28 29,78 29,03
4 11% 13,8 SK.7% 28 24,23
13,4 SK.7% 28 31,03
13,2 SK.10% 28 29,84
13,4 SK.10% 28 30,01
13,5 SK.10% 28 24,16
13,5 SK.11% 28 23,84
SK.11%
13,6 SK.11% 28 26,84
13,5 28 32,01
13,6 28 28,14
13,5 28 26,95

Gambar 9 Grafik hasil pengujian kuat tekan beton

61

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 10 Kerusakan pada benda uji: a). beton normal, b).beton dengan serbuk kaca 7%, c). beton dengan serbuk kaca 10%,
d). beton dengan serbuk kaca 11%

Dari Gambar 3.(a) terlihat bahwa beton normal pada saat diuji benda uji mengalami kerusakan yang tidak merata dan
hanya rusak atau pecah disalah satu bagian saja lalu beton normal ini tidak sampai runtuh. Dapat diamati pada
Gambar 3.(b), beton bahan tambah serbuk kaca 7% mengalami kerusakan yang merata hingga meledak dan benda
uji bisa runtuh. Beton dengan serbuk kaca 10% pada Gambar 3.(c) mengalami kerusakan yang merata dan tidak
sampai runtuh/pecah. Sementara itu, pada Gambar 3.(d), beton dengan serbuk kaca 11% mengalami kerusakan yang
merata dan benda uji meledak sehingga benda uji mengalami keruntuhan serta pecah yang secara merata.

8 KESIMPULAN
Beton normal awalnya direncanakan memiliki kuat tekan sebesar 20 MPa, namun setelah pelaksanaan didapatkan
kuat tekan sebesar 29,34 MPa atau naik 9,34%. Penambahan serbuk kaca sebanyak 7% dapat meningkatkan kuat
tekan beton menjadi 30,29 MPa (naik 0,95%) dibandingkan dengan beton normal. Dengan penambahan serbuk kaca
10% dan 11% kuat tekan beton menurun menjadi 24,95 MPa (turun 4,39%) dan 29,03 MPa (turun 0,31%)
dibandingkan dengan kuat tekan beton normal. Dilihat dari kenampakan visual pecahnya beton setelah diuji tekan,
dapat disimpulkan bahwa beton normal hanya mengalami kerusakan yang tidak merata, hanya rusak/ pecah pada satu
bagian saja, dan tidak mengalami runtuh. Sementara itu, beton dengan bahan tambah serbuk kaca 10% hanya
mengalami kerusakan merata namun tidak sampai runtuh/pecah. Beton dengan bahan tambah serbuk kaca 11% dan
7% mengalami kerusakan yang merata sampai meledak sehingga beton mengalami keruntuhan dan pecah, dan
disebabkan karena bahan campuran serbuk kaca menyatu dengan bahan-bahan penyusun pembuatan beton.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Laboratorium Struktur dan Bahan Prodi Teknik Sipil Universitas Veteran Bangun
Nusantara Sukoharjo atas kesempatan bagi penulis untuk melakukan uji dalam penelitian ini.

REFERENSI
Lolo, J.A. , Ambali, D. P. P., and Paembonan, M. L. (2019). "karakterisasi serbuk kaca sebagai substitusi parsial
semen terhadap sifat fisis-mekanis campuran beton." Journal Dynamic Saint, 4(2), 850–854.

Karwur, H. Y., R. Tenda, S. E., Wallah, and Windah, R. S. (2013). "Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk
kaca sebagai substitusi parsial semen." Jurnal Sipil Statik, 1(4), 276–281.

Punusingon, M. A., Handono, B. D., and Ronny, P. (2019). "Uji eksperimental kuat tekan beton daur ulang dengan
bahan tambah abu terbang (fly ash) dan serbuk kaca sebagai substitusi parsial semen." Sipil Statik, 7(1), 57–66.

Purnomo, H. and Hisyam, E. S. (2014). "Pemanfaatan serbuk kaca sebagai substitusi parsial semen pada campuran
beton ditinjau dari kekuatan tekan dan kekuatan tarik belah beton." Jurnal Fropil, 2(1), 45–55.

Sudjati, J. J., Atmaja, A. E., and Suwignyo, G. A. L. (2015). "Pengaruh substitusi sebagian agregat halus dengan
serbuk kaca dan silica fume terhadap sifat mekanik beton." Jurnal Teknik Sipil, 13(2), 94–103.

Sudjati, J. J., Yuliyanti, T., and Rikardus. (2014). "Pengaruh penggunaan serbuk kaca sebagai terhadap sifat mekanik
beton." Jurnal Teknik Sipil, 13(1), 1–11.

62

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Review Karakteristik Baja Berdinding Tipis Akibat Beban Torsi

N. Arman*, A. Saputra, S. Siswosukarto

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Gagasan dasar pengembangan Rumah Instan Struktur Baja (RISBA) adalah membangun kembali rumah yang rusak karena
gempa, yang bisa dibangun dengan cepat, struktur utama awet, aman, dan mengurangi potensi timbulnya korban pada kejadian
gempa yang akan datang. Selain itu, rumah RISBA juga didesain menjadi nyaman, sesuai dengan lingkungan tropis di Indonesia.
Penggunaan baja berdinding tipis diketahui dapat meningkatkan produktivitas, pengendalian kualitas, dan efisiensi biaya pada
struktur bangunan rumah sederhana. Baja tipis juga diketahui dapat menahan gaya-gaya akibat dari beberapa perlakuan. Salah
satu akibat dari perlakuan gaya terhadap frame baja adalah meliuk atau memuntirnya frame baja tipis tersebut. Makalah review
karakteristik baja berdinding tipis akibat beban torsi akan mengkaji tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang mempelajari
tentang baja berdinding tipis akibat beban rotasi, sehingga diharapkan paper ini dapat membantu untuk memahami perilaku baja
akibat adanya beban torsi dan juga dapat mengetahui kapasitas nominal dari baja tipis agar tidak melebihi kapasitas ultimit yang
terjadi pada baja tersebut.

Kata kunci: Torsi, Baja Berdinding Tipis, Beton, Komposit.

1 PENDAHULUAN

Baja berdinding tipis sudah banyak digunakan dalam dunia konstruksi. Contoh penggunaan baja berdinding tipis
dalam bentuk silinder/tabung adalah pada struktur jembatan dengan isian beton (Wang et al., 2017) karena memiliki
penampang dan kekakuan lentur yang lebih besar (Wang et al., 2018). Baja canai dingin juga digunakan dalam
pembangunan Rumah Instan Struktur Baja (RISBA). Baja berdinding tipis memiliki beberapa keunggulan diataranya
daktilitas yang sangat tinggi, daya tahan yang kuat, dan mampu menopang beban torsi dengan sangat baik. Baja
menjadi familiar dikalangan masyarakat karena keunggulannya yang begitu menarik, namun masih banyak yang
belum memaksimalkan fungsi dari baja itu sendiri. Oleh sebab itu, makalah ini akan fokus mengkaji riset-riset tentang
baja berdinding tipis yang dibebani oleh beban torsi sehingga dapat membantu memahami kinerja dari baja dalam
menahan torsi, serta untuk mengetahui kapasitas nilai torsi pada kondisi ultimit.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Gaya Torsi

Torsi adalah ukuran kekuatan/gaya yang dapat menyebabkan objek berputar sekitar sumbu. Sama seperti gaya yang
menyebabkan suatu objek berakselerasi dalam kinematika linier (gerak lurus), torsi menyebabkan suatu objek
mengalami percepatan sudut. Torsi juga disebut momen atau momen gaya, adalah bentuk ekuivalen rotasi dari gaya
linear. Analog rotasi dari gaya, masa, dan percepatan adalah torsi, momen inersia, dan percepatan sudut. Torsi sediri
dapat didefinisikan sebagai hasil perkalian antara gaya yang bekerja pada tuas dengan jarak dari titik tengah tuas
(Serway & Jewett, 2004). Sebagai contoh, gaya sebesar 3 N yang bekerja sepanjang 2 m dari titik tengah
mengeluarkan torsi yang sama dengan gaya sebesar 1 N yang bekerja sepanjang 6 m dari titik tengah. Persamaan
torsi dapat didefenisikan seperti berikut,

= × (1)
= θ (2)

dimana τ adalah torsi atau momen gaya, adalah vektor torsi, sedangkan adalah skalar torsi. Pada Persamaan (1)
dan (2), adalah vektor posisi dari sumbu putaran ke titik di mana gaya bekerja, adalah vektor gaya, serta θ adalah
sudut antara vektor gaya dan vektor lengan gaya.

2.2 Perilaku Baja Tipis Berbentuk Tabung dengan Isian Beton terhadap Beban Torsi

Salah satu metode desain dan konstruksi baru yang hemat biaya dan dapat mempercepat konstruksi jembatan adalah
dengan menggunakan baja tipis berbentuk tabung (Dawood et al., 2011; Abdelkarim et al., 2015). Gambar 1.(a) dan

63

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

(b) menunjukkan pilar jembatan menggunakan baja tipis berbentuk tabung yang diisi beton. Beban torsi yang terjadi
begitu kecil karena tabung baja pada kolom CFST (Concrete Filled Steel Tube) bertindak sebagai bekisting beton
yang bersifat sebagai tulangan longitudinal dan geser pada struktur. Pengurungan menerus ke inti beton menyebabkan
adanya interaksi antara kekakuan tabung baja dan cangkang beton yang mengontrol perilaku kolom. Selanjutnya, inti
beton di kolom CFST bertindak sebagai penahan pada tabung baja dan memberikan stabilitas lateral yang menunda
tekuk lokal tabung baja. Oleh karena itu, kolom CFST menunjukkan kinerja yang unggul ketika menahan gerakan
tanah gempa. Torsi yang terjadi pada kolom bergantung pada properti tabung baja luar dan ketebalan cangkang beton
(Bi et al., 2013).

2.3 Perilaku Baja Tipis dengan Dinding Ganda terhadap Beban Torsi

Pemberian tambahan baja tipis baja hollow pada struktur baja berdinding tipis (baik berbentuk lingkaran maupun
persegi) memberikan manfaat yang cukup besar dalam menahan beban torsi. Baja tipis berdinding ganda mampu
menahan gaya torsi 20% lebih kuat (Gambar 2). Hal ini dikarenakan penggunaan baja tipis berdinding ganda
memberikan kekuatan lebih terhadap puntiran baik dari atas maupun dari bawah (Han et al., 2013).

Kapasitas torsi meningkat seiring dengan rasio baja nominal (αn) dan kekuatan tabung baja luar (fsyo) meningkat.
Nilai nominal rasio baja (αn) dapat meningkatkan kekakuan elastis. Dengan meningkatnya kekuatan beton (fcu),
kapasitas torsi hanya meningkat sedikit. Hal ini disebabkan oleh kontribusi beton yang diapit yang hanya menahan
5-6% torsi. Untuk kolom dengan rasio lubang (χ) yang lebih besar, seperti χ sebesar 0,75, pengaruh kekuatan beton
(fcu) terhadap daya puntir lebih kecil, karena proporsi beton yang diapit semakin berkurang. Ketika rasio lubang (χ)
kurang dari 0,5, rasio kekuatan (fsyi) dan lebar terhadap ketebalan (d / tsi) dari tabung baja bagian dalam memiliki
sedikit pengaruh pada kurva T terhadap θ. Beban yang ditahan oleh pipa baja dalam semakin besar dengan
meningkatnya rasio berlubang (χ). Sehingga, ketika rasio berlubang (χ) melebihi 0,5, kapasitas torsi akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kekuatan tabung baja dalam (fsyi) dan rasio lebar terhadap ketebalan yang menurun
dari tabung baja dalam (d / tsi). Dapat disimpulkan dari Gambar 3 bahwa rasio lubang (χ) berpengaruh signifikan
terhadap kapasitas torsi kolom CFDST. Dibandingkan dengan torsi yang ditahah oleh beton, torsi yang ditahan oleh
pipa baja bagian dalam lebih besar. Ketika rasio lubang (χ) meningkat, kapasitas torsi komponen meningkat karena
bertambahnya luas pipa baja bagian dalam (Han et al. 2013).

(a) (b)
Gambar 1. a). Jembatan lengkung komposit baja-beton dengan kolom yang dihubungkan secara kaku dengan girder, b). Model

elemen hingga dari kolom HC-SCS (Hollow-Core Steel-Concrete-Steel) (Sujith et al., 2016)

64

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 2. Hubungan Sudut dan Tegangan (Han et al. 2013)

Gambar 3. Hubungan nilai T terhadap θ (Han et al., 2013)

2.4 Beban torsi dan aksial terhadap baja tipis berbentuk tabung berongga
Beban torsi dan aksial pada tabung berongga dengan lapisan pelat baja disisi atas dan bawah memiliki sebaran nilai
torsi yang tergantung dari material pelat baja yang digunakan, serta sambungan las yang menjadi penghubung baja
tabung berongga dengan plat baja. Gambar 4. (a) menunjukkan bahwa besarnya nilai torsi pada tabung baja berongga
(Gambar 4.(b)) memiliki hubungan yang linear sampai pada titik lelehnya, serta menurun secara konsisten sampai
tabung berada pada nilai minimum. Rendahnya nilai sebaran data yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat
tegangan tekuk yang terjadi pada baja berongga tersebut (Piening et al. 2001).

2.5 Beban Torsi dan Aksial Siklik pada Baja Tipis Campuran Beton
Baja berdinding tipis berbentuk kolom dengan campuran beton didalamnya memiliki kekuatan torsi dan daktilitas
yang tinggi. Gaya tekuk lokal dari tabung baja diredam oleh beton yang ada didalamnya, sehingga sudut rotasi dan
regangan geser kolom bersifat linear selama tahap elastis dan tahap elastis-plastik.

65

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

(a) (b)
Gambar 4.a) Hasil uji tekan dan torsi, b). Benda uji (Piening et al. 2001)

(a) (b)
Gambar 5.a) Kurva histeresis momen torsi dengan sudut rotasi, b). Hubungan antara momen torsi dengan gaya aksial (Nie et

al. 2001)

Penurunan nilai tegangan dan kekakuan spesimen terjadi ketika benda uji mengalami keretakan. Kolom komposit
berdinding tipis dengan beban torsi-siklik dan beban torsi-kompresi memiliki kapasitas disipasi energi yang tinggi,
seperti yang ditunjukkan pada kurva histeretik sudut momen-rotasi pada Gambar 5 (a). Keadaan torsi murni pada
kolom komposit berdinding tipis dapat dianggap sebagai kombinasi dari torsi-tarik dari tabung baja dan torsi-tekan
dari beton, dimana jumlah gaya dari beton sama dengan jumlah gaya pada tabung baja (Gambar 5.(b)). Kapasitas
torsi dapat ditingkatkan dengan pemberian gaya aksial yang kecil, tetapi akan sangat berkurang (mengecil) dengan
pemberian gaya aksial yang besar. Gaya aksial memiliki pengaruh terhadap arah penampang beton diagonal spiral
dan tabung baja serta terhadap kapasitas torsi kolom baja berdinding tipis komposit (Nie et al., 2012).

2.6 Beban Torsi Terhadap Baja Tipis menggunakan Finite Element Analysis (FEA)
Pemodelan elemen hingga banyak digunakan untuk mengetahui pengaruh parameter penting yang menentukan
kekuatan torsi ultimit dari penampang komposit. Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, kekuatan beton memiliki
pengaruh terhadap kapasitas torsi, tetapi kekakuan elastis kurva masa terhadap regangan memiliki pengaruh yang
cukup besar. Kenaikan nilai torsi terus meningkat karena modulus geser beton memiliki keterkaitan dengan kekuatan
seperti pada Gambar 6 (Han et al., 2007).

66

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 6. Kurva beban terhadap regangan (Han et al. 2007)

Gambar 6 menunjukkan bahwa tegangan yang terjadi pada benda uji yang diisi beton lebih besar daripada benda uji
yang tidak diisi beton. Tabung baja dari kolom CFT dalam torsi memiliki deformasi plastis yang signifikan tanpa
penurunan kekuatan karena tekuk lokal dicegah oleh beton. Untuk beton terkekang, retak terjadi pada saat tegangan
geser mencapai kuat tarik beton. Retakan tidak merambat karena kurungan yang diapit oleh tabung baja.Untuk beton
inti, kekuatan torsi di bawah gaya aksial meningkat dengan meningkatnya rasio gaya aksial, kemudian kekuatan torsi
menurun setelah rasio gaya aksial sama (Han et al. 2007).

2.7 Beban Torsi pada Penampang Hollow

Hubungan antara kekakuan baja dan ketebalan baja mempengaruhi perilaku kolom baja itu sendiri, perilaku torsi
kolom sangat bergantung pada sifat dinding baja dan ketebalan selubung baja (Huang et al. 2013). Ketika tegangan
geser dan regangan geser hollow meningkat, maka regangan geser juga meningkat. Hal ini berbading lurus dengan
nilai torsi yang terjadi. Jika nilai torsi semakin besar, maka sudut yang dibentuk semakin besar (Gambar 7).
Peningkatan kekuatan tabung baja sisi luar akan mempengaruhi kekuatan hollow baja bagian dalam terhadap torsi
sebelum kapasitas hollow luar menurun. Gambar 8 menunjukkan pelunakan bertahap yang terjadi pada kekakuan
kolom ketika penampang hollow baja luar telah leleh. Hal ini diikuti oleh penurunan kekakuan yang signifikan dan
disebabkan oleh lelehnya penampang hollow bagian dalam. Kenaikan kekuatan penampang baja hollow bagian luar
meningkatkan torsi pada kolom (He et al. 2014).

Gambar 7. Hubungan sudut dan torsi (Huang et al., 2013)

67

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 8. Grafik hubungan tegangan-regangan geser pada elemen tarik dan tekan (He et al., 2014)

KESIMPULAN
Berdasarkan studi literatur baja berdinding tipis akibat beban torsi maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas baja
berdinding tipis terhadap beban puntir tergantung dari material dan spesifikasi dari baja tersebut. Dimensi dan mutu
dari material juga mempengaruhi kekuatan dari baja. selain itu, semakin besar beban aksial yang diberikan selama
baja terpuntir, maka kapasitas puntir akan semakin kecil dan sebaliknya.

REFERENSI
Abdelkarim, O., Gheni, A., Anumolu, S., and ElGawady, M. (2015). “Seismic behavior of hollow-core FRP-
concrete-steel bridge columns.” Structures Congress 2015, 585–596

Bi, K., Hao, H., and Ren,W. X. (2013). “Seismic response of concrete filled steel tubular arch bridge to spatially
varying ground motions including local site effect.” Adv. Struct. Eng., 16(10), 1799–1817.

Dawood, H., ElGawady, M., and Hewes, J. (2011). “Behavior of segmental precast post-tensioned bridge piers under
lateral loads.” J. Bridge Eng., 17(5), 735–746

Han, L. H., Yao, G. H., and Tao, Z. (2007). “Performance of concrete-filled thin-walled steel tubes under pure
torsion.” Thin-Walled Structures, 45, 24–36.

Han, L.H., Huang, H., and Zhao, X.L. (2013). “Investigation on concrete filled double skin steel tubes (CFDSTs)
under pure torsion.” J. Constr. Steel Res, 90 (2013), 221–234

Nie, J. G., Hang, Y. W., and Fan, J. S. (2012). “Experimental study on seismic behavior of concrete filled steel tube
columns under pure torsion and compression–torsion cyclic load.” Journal of Constructional Steel Research, 79,
115–126.

Wang, H. Y., Guo, Y. F., Liu, J. P., and Zhou, X. H. (2017). “Experimental study on torsion behavior of concrete
filled steel tube columns subjected to eccentric compression.” Journal of Constructional Steel Research, 129, 119–
128

Wang, H. Y., Lu, G. B., Zhou. X. H. (2018). “Experimental study of the cyclic behavior of concrete-filled double
skin steeltube columns subjected to pure torsion.” Journal of Constructional Steel Research, 129, 119–128.

Piening, M., Farshad, M., and Zimmermeann, B. G. (2001). “Buckling loads of CFRP composite cylinders under
combined axialand torsion loading experiments and computations.” Composite Structures, 53, 427 435

He, R. Sneed, H. L., and Belarbi, A. (2014). “Torsional repair of severely damaged column using carbon fiber-
reinforced polymer.” Aci Structural Journal, Technical Paper. No. 111-S59

Serway, R. A. and Jewett, Jr. J.W. (2003). Physics for Scientists and Engineers. 6th Ed. Brooks Cole, Boston, United
States

68

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Aplikasi Bakteri sebagai Agen Self-Healing pada Beton

R. Z. Rahmawan*, M. Fauzan, H. Putra, Erizal

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Intitut Pertanian Bogor, Bogor, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Paper ini membahas aplikasi bakteri sebagai agen self-healing pada beton, meliputi jenis, cara penerapannya serta memberikan
gambaran mengenai pengaruh penambahan bakteri terhadap sifat beton. Retakan mikro pada beton menyebabkan masuknya zat
berbahaya melalui celah keretakan yang dapat mempercepat terjadinya korosi pada tulangan beton sehingga memperpendek
umur beton. Biaya untuk memperbaiki kerusakan terbilang mahal, tidak efektif, dan memiliki dampak terhadap lingkungan.
Maka perlu teknik lain dalam upaya memperbaiki kerusakan yaitu self-healing concrete. Penambahan bakteri ureolitik yang
dapat menghasilkan urea diintegrasikan bersama dengan sumber kalsium untuk menutup retakan mikro yang baru terbentuk
dengan pengendapan CaCO3. Teknik self-healing dengan bakteri memberikan hasil yang menjanjikan dalam menyegel retakan
mikro pada beton. Literatur menunjukkan bahwa metode enkapsulasi akan memberikan hasil yang lebih baik daripada metode
aplikasi langsung dan juga menunjukkan bahwa penggunaan bakteri sebagai agen self-healing dapat meningkatkan sifat pada
beton seperti kekuatan dan ketahanannya serta dapat menurunkan penyerapan air dan permeabilitasnya yang diperkuat dengan
analisis mikrostruktur.

Kata kunci: Bakteri, Beton, CaCO3, Retakan, Self-healing.

1 PENDAHULUAN

Seiring bertambahnya populasi manusia maka kebutuhan terhadap pembangunan perumahan yang berkelanjutan dan
murah menjadi tak terelakan sehingga banyak peneliti dan insinyur mencari cara praktis untuk dapat merancang
konstruksi yang kuat, ideal, dan tahan lama (Balam et al., 2017). Salah satu material bangunan yang banyak dikenal
dan diterima masyarakat yaitu beton (Zhang et al., 2016). Beton memiliki kelebihan yaitu bersifat plastis sebelum
setting time, tahan api, mudah didapat dan dibentuk, serta memiliki kuat tekan yang tinggi (Pourfallahi et al., 2020).
Namun karena beberapa faktor seperti kelebihan beban, reaksi alkali dengan agregat, susut, rangkak, dan perubahan
volume akibat temperatur tinggi dapat menyebabkan keretakan internal atau keretakan pada permukaan beton (Wu
et al., 2019). Zat atau partikel lain seperti − dan 42− dapat masuk melalui celah keretakan meskipun keretakannya
kecil (Chen et al., 2019). Hal tersebut dapat mempercepat terjadinya korosi pada tulangan baja dan kerusakan pada
beton sehingga memperpendek umur beton (Bhaskar et al., 2017). Keretakan pada beton mengakibatkan kekuatan
dan ketahanannya menurun serta biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan terbilang mahal, bahkan di UK biaya
pemeliharaan pada bidang konstruksi menghabiskan £40 milyar atau setara dengan Rp. 762.059.349.600,- sehingga
penting untuk segera memperbaiki retak mikro pada beton (Chindasiriphan et al., 2020).

Metode perbaikan secara manual memiliki kekurangan diantaranya mahal, butuh waktu yang cukup lama, memiliki
dampak terhadap lingkungan sehingga perlu teknik baru yaitu self-healing concrete (Mostavi et al., 2015). Manurut
Khaliq & Ehsan (2016) teknik self-healing mengkombinasikan material kualitas tinggi dengan kemampuan untuk
menyembuhkan kerusakan sehingga mekanisme self-healing yang efektif mungkin dapat mengurangi pekerjaan
perbaikan, mengurangi dampak lingkungan dan ekonomi yang terkait. Self-healing oleh mikroba melibatkan
pengendapan kalsium karbonat melalui aksi langsung bakteri pada senyawa kalsium (Vijay et al., 2017) atau dengan
dekomposisi urea oleh bakteri ureolitik (Wang et al., 2014). Hidrolisis urea dan oksidasi asam organik mengendapkan
CaCO3 (Jonkers et al., 2010). Sedangkan metabolism bakteri mengubah 1 mol kalsium laktat, Ca(C3H5O3)2 menjadi
1 mol kalsium karbonat seperti pada persamaan (1) (Sangadji, 2017).

Ca(C3H5O3)2 + 6CO2 + (Bacillus alkaliphilic) → CaCO3 + 5CO2 + 5H2O (1)

Perbaikan retak pada beton terutama terjadi karena adanya pengendapan kalsium karbonat oleh bakteri. Bakteri akan
aktif ketika keretakan pada beton terekspos oleh kelembaban atmosfer. Terdapat dua metode yang digunakan untuk
menambahkan bakteri pada beton yaitu metode langsung dan metode enkapsulasi (Yatish et al., 2020). Tujuan dari
paper ini yaitu untuk mengulas bagaimana sifat beton dengan penambahan bakteri serta tipe atau jenis bakteri yang
digunakan untuk pengendapan kalsium karbonat.

69

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 KONSEP SELF-HEALING DAN MEKANISME PENERAPAN BAKTERI PADA BETON

2.1 Konsep Self-Healing concrete

Teknik penyembuhan autogenous merupakan pendekatan yang baik dalam perbaikan retakan mikro pada permukaan
beton, penambahan bakteri menyebabkan pengendapan kalsium karbonat yang membentuk lapisan untuk menutupi
retak pada beton (Pei et al., 2013). Bakteri yang ditambahkan harus dapat bertahan pada lingkungan basa tinggi atau
alkali karena beton bersifat basa (Ersan et al., 2015). Bacillus sphaericus dapat mengendapkan CaCO3 di lingkungan
basa tinggi dengan mengubah urea menjadi amonium dan karbonat (Tittelboom et al., 2010). Kalsium karbonat
membantu mengisi retakan mikro dan mengikat bahan lain seperti pasir dan kerikil dalam beton (Kaur et al., 2012).
Bentuk keretakan apapun pada beton akan menyebabkan bakteri menjadi aktif dari tahap hibernasinya. Metabolisme
bakteri menghasilkan endapan kalsium karbonat yang mengisi celah retakan. Setelah retakan terisi penuh dengan
kalsium karbonat, bakteri kembali ke tahap hibernasi dan ketika terjadi keretakan lagi maka bakteri kembali aktif dan
mengisi celah retakan tersebut sehingga bakteri dapat dikatakan sebagai agen self-healing yang tahan lama.
Mekanisme ini disebut sebagai Microbiologically Induced Calcium Carbonate Precipitation (MICP) (Vijay et al.,
2017). Dekomposisi urea oleh bakteri dengan bantuan enzim urease merupakan proses yang umum dilakukan. Enzim
urease dihasilkan oleh bakteri dengan cara metabolisme, enzim urease ini mengkatalis urea CO(NH2)2 menjadi
karbonat ( 32−) dan amonium ( 4+) (Tittelboom et al., 2010). Dinding sel bakteri bermuatan negatif, sehigga
menarik kation dari lingkungan bersama dengan 2+ untuk mengendap di permukaan sel mereka. Ion 2+ bereaksi
dengan 32− untuk pengendapan kalsium karbonat di permukaan sel yang berfungsi sebagai situs nukleasi.

2+ + → − 2+ (2)

− 2+ + 32− → − 3 ↓ (3)

2.2 Mekanisme penerapan bakteri pada beton

Menurut Khaliq & Ehsan (2016) terdapat dua metode untuk menerapkan bakteri pada beton yaitu secara langsung
dan enkapsulasi. Penerapan agen self-healing dalam beton secara langsung dilakukan dengan cara penggabungan
bakteri dalam light weight agregate (LWA) dan grafit nano platelet (GNP); telah terungkap bahwa GNP memberikan
hasil yang lebih baik dalam perbaikan keretakan. Metode lainnya yaitu enkapsulasi. Retakan yang terjadi
memecahkan mikrokapsul yang tertanam, selanjutnya agen self-healing dilepaskan ke permukaan retakan dengan
menggunakan gerakan kapiler. Agen self-healing bereaksi dengan katalis tertanam dan mengaktifkan polimerisasi
untuk kemudian menutup retakan di dekatnya. Self-healing concrete dengan enkapsulasi memiliki kemampuan untuk
memberikan perbaikan yang berkualitas tinggi, dalam hal jangkauan lebar retakan yang lebih luas yang dapat
disembuhkan dan reaksi awal terhadap retak pada matriks (Souradeep & Kua, 2016).

3 PENGARUH BAKTERI TERHADAP SIFAT BETON

3.1 Kinetika Hidrasi

Penambahan bakteri pada beton dapat mempercepat atau memperlambat waktu pengerasan beton tergantung pada
sumber kalsium yang disuplai. Nutrisi untuk bakteri disediakan dalam bentuk kalsium laktat, kalsium nitrat, dan
kalsium format. Penambahan kalsium laktat dapat memperlambat waktu pengerasan, sedangkan kalsium format dan
kalsium nitrat dapat mempercepat waktu pengerasan beton (Luo & Qian, 2016; Zhang et al., 2015).

3.2 Kuat Tekan

Metode bioteknologi yang berdasarkan presipitasi kalsit terbukti dapat meningkatkan kuat tekan beton struktural.
Endapan kalsit menyebabkan porositas dan permeabilitas mortar semen berkurang (Ramachandran et al., 2001).
Penambahan Bacillus megaterium dengan konsentrasi 30x105 cfu/ml meningkatan kuat tekan sebesar 24% pada
beton mutu tinggi 50 MPa (Andalib et al., 2016). Peningkatan kuat tekan sebesar 20% terjadi ketika ditambahkan
Sparcious pasteurii dengan konsentrasi 105 sel/ml pada beton dengan 10% fly ash (Chahal et al., 2012). Kuat tekan
pada beton silika fume meningkat karena pengendapan CaCO3 oleh bakteri yang dibuktikan dengan analisa XRD dan
SEM yang menunjukan CaCO3 pada beton (Chahal et al., 2012). Kuat tekan beton dengan dengan bakteri Bacillus
subtilis (2x109 sel/ml) meningkat sebanyak 20% dibandingkan beton tanpa bakteri pada umur 28 hari (Nosouhian et
al., 2016). Sel bakteri pada mortar dengan konsentrasi fly ash yang berbeda 10%, 20%, dan 40% berturut-turut
meningkat sebesar 19%, 14%, dan 10% (Achal et al., 2011). Khaliq & Ehsan (2016) melaporkan bahwa penambahan
bakteri Bacillus subtilis bersamaan dengan GNP meningkatkan kuat tekan pada semua umur akibat pengendapan

70

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

kalsium karbonat oleh bakteri. Kekuatan tekan 28 hari meningkat jika dibandingkan dengan kontrol mortar semen
dengan memasukkan bubuk spora reaktif dalam mortar semen (Luo & Qian, 2016).

Berdasarkan Tabel 1. terdapat beberapa jenis bakteri diantaranya Bacillus subtilus, Bacillus sphaericus, S.pasteurii,
dan Bacillus megaterium dengan konsentrasi sel optimum sebesar 105 sel/mm. Terbukti bahwa dengan penambahan
bakteri terjadi peningkatan terhadap kuat tekan. Peningkatan kuat tekan tertinggi terdapat pada jenis Bacillus
sphaericus dengan peningkatan kuat tekan sebesar 22%. Data pada tabel disajikan dengan grafik pada Gambar 1.

3.1 Permeabilitas dan Daya Serap Air

Permeabilitas dapat menggambarkan ketahanan beton karena sifat ini dapat menentukan degradasi pada beton akibat
penetrasi zat berbahaya. Deposisi CaCO3 pada beton mengakibatkan penurunan daya serap air dan permeabilitas
benda uji beton. Penambahan bakteri S. Pasteurii pada beton fly ash menyebabkan penurunan porositas dan
permeabilitas beton. Penyerapan air ditemukan berkurang empat kali lipat dengan konsentrasi bakteri dalam beton
sebesar 105 sel/ml (Chahal et al., 2012). Pada beton yang terisi bakteri, pori-pori terisi dengan pengendapan kalsium
karbonat sehingga menurunkan porositas dan permeabilitasnya (Chahal et al., 2012). Beton yang dibuat dengan
penambahan Bacillus megaterium menyerap tiga kali lebih sedikit air dibanding beton kontrol (Achal et al., 2011).
Penambahan bakteri Bacillus aerius menyebabkan penurunan daya serap air dan porositas akibat pengendapan kalsit
sehingga meningkatkan daya tahan struktur beton (Siddique et al., 2016). Bakteri S. pasteurii dapat mengendapkan
kristal CaCO3 pada beton recycled coarse aggregate (RCA) dan dapat mengurangi penyerapan air sehingga kualitas
beton RCA meningkat (Qiu et al., 2014).

Tabel 1. Pengaruh beberapa jenis bakteri terhadap peningkatan kuat tekan beton

Bakteri kelas Konsentrasi Kuat tekan 28 Peningkatan Referensi
beton sel (sel/mm) hari (MPa) kuat tekan (%)
Bacillus subtilis (Bhagyashri et al., 2017)
Bacillus sphaericus M25 105 - 25 (Reddy& Revathi, 2019)
S. pasteurii M20 105 36 80 (Chahal et al., 2012)
S. pasteurii 10% fly ash (Chahal et al., 2012)
S. pasteurii 20% fly ash - 105 28 22 (Chahal et al., 2012)
S. pasteurii 30% fly ash (Chahal et al., 2012)
Bacillus megaterium - 105 27,6 20 (Wiktor & Jonkers, 2011)
- 105 26 15
- 105 25 11
M25 105 37 48

80

Peningkatan Kuat Tekan (%) 70

60

50

40

30

20

10

0

Bacillus Bacillus S. Pasteurii S. Pasteurii S. Pasteurii S. Pasteurii Bacillus

Subtilis sphaericus 10% fly ash 20% fly ash 30% fly ash Megaterium

Gambar 2. Grafik pengaruh beberapa jenis bakteri terhadap kuat tekan beton (Chahal et al., 2012; Reddy & Revathi, 2019;
Bhagyashri et al., 2017; Wiktor & Jonkers, 2011)

71

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.2 Permeabilitas ion klorida

Korosi baja tulangan merupakan salah satu serangan lingkungan yang paling umum terjadi yang menyebabkan
kerusakan struktur beton karena masuknya klorida. Uji permeabilitas klorida cepat dilakukan dengan memantau
jumlah arus listrik yang melewati sampel. Berdasarkan muatan yang melewati sampel, permeabilitas beton dapat
ditentukan. Bakteri dapat memproduksi CaCO3 yang dapat berfungsi sebagai penghalang masuknya zat berbahaya
sekaligus dapat menurunkan permeabilitasnya (Siddique et al., 2016). Ketahanan beton terhadap permeasi klorida
dapat ditingkatkan dengan memasukkan bakteri ke dalam beton. Jumlah arus listrik yang melewati beton bakteri
11,7% lebih sedikit dibandingkan dengan beton tanpa bakteri. Penggunaan Sparcious pasteurii dan Bacillus subtilis
mengurangi penetrasi klorida beton (Nosouhian et al., 2016). Penambahan Bacillus aerius pada beton dapat
mengurangi jumlah arus yang mengalir sebesar 55,8%, 49,9% dan 48,4% dibandingkan beton normal pada umur 7,
28 dan 56 hari (Siddique et al., 2016). Penggunaan Sparcious pasteurii dengan konsentrasi 105 sel/ml pada beton
dengan 10% silika fume menunjukkan ketahanan yang baik terhadap penetrasi klorida yang cepat (380 coulomb)
(Chahal et al., 2012). Penggunaan Sporoscarcina pasteurii dengan konsentrasi 105 sel/ml pada beton fly ash juga
dapat menurunkan jumlah ion klorida yang masuk (Chahal et al., 2012).

Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa untuk semua jenis bakteri terdapat pengurangan arus yang mengalir pada
spesimen. Seperti yang bisa dilihat pada jenis bakteri S. pasteurii dengan konsentrasi 105 sel/mm terjadi pengurangan
arus dari 1988 coulomb menjadi 989 coulomb atau sebesar 50,25%. Penurunan arus ini menunjukan bahwa terdapat
pengendapan kalsium karbonat yang menutupi pori dan keretakan pada beton sehingga beton lebih kedap.

3.1 Analisis mikrostruktur

Pengendapan kalsium dalam beton dengan Bacillus megaterium divisualisasikan dengan analisis SEM. Berdasarkan
Gambar 3, bakteri ditemukan dalam kontak yang dekat dengan kristal kalsit. Pada pengamatan lebih dekat, ditemukan
bakteri berbentuk batang yang berhubungan dengan kristal kalsit. Kehadiran kristal kalsit ini berfungsi sebagai
penghalang masuknya zat berbahaya dan meningkatkan impermeabilitasnya. (Achal et al., 2011). Penambahan
bakteri ke dalam beton dapat memperbaiki struktur mikro beton melalui pengendapan mineral. Hal tersebut telah
diverifikasi oleh analisis SEM, EDS dan XRD, dengan penambahan konsentrasi bakteri Bacillus megaterium sebesar
30x105 cfu/ml memiliki (38,76%) berat kalsium lebih banyak dibandingkan dengan beton tanpa bakteri (Andalib et
al., 2016).

Kekuatan beton RHA ditingkatkan dengan penambahan bakteri, akibat pengendapan kalsium karbonat di pori-pori
dan hal ini dikonfirmasi dengan menggunakan citra SEM (Siddique et al., 2016). Wiktor dan Jonkers (2011)
melaporkan bahwa endapan kalsium karbonat dalam retakan sampel uji dikonfirmasi oleh hasil yang diperoleh
dengan menggunakan mikrostruktur sehingga dapat diketahui penurunan penyerapan air serta permeabilitas klorida.
Gambar 4 menunjukkan pengamatan stereomikroskopis langsung pada retakan spesimen kontrol dan spesimen
berbasis bakteri sebelum dan setelah 100 hari curing. Lebar retakan yang benar-benar sembuh secara signifikan lebih
besar pada spesimen berbasis bakteri (0,46 mm) dibandingkan dengan spesimen kontrol (0,18 mm) (Wiktor and
Jonkers, 2011).

Tabel 2. Pengaruh bakteri terhadap permeabilitas ion klorida

Bakteri konsentrasi bakteri umur 28 hari Beton bakteri Penurunan (%) Referensi
(sel/mm) Beton kontrol
S. pasteurii (Chahal et al., 2012)
Bacillus aerius 105 1988 989 50,25 (Siddique et al., 2016)
Bakteri AKKR5 (Siddique et al., 2016)
Bacillus subtilis 105 2366 2075 12,30 (Nosouhian et al., 2016)
S. pasteurii (Chahal et al., 2012)
105 2366 1998 15,55

4 x 106 5385 4625 14,11

105 1990 950 52,26

72

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 3 Analisis SEM (a) kristal kalsit pada mortar fly ash (b) gambaran lebih dekat pada mortar fly ash (c) pengendapan
kalsit yang diinduksi bakteri pada mortar fly ash (Cc – kristal kalsit) (Achal et al., 2011)

Gambar 4 Gambaran stereomikroskopis (a) spesimen kontrol sebelum retak tersegel (c) setelah penyegelan 100 hari, (b)
spesimen biokimia sebelum penyegelan (d) setelah penyegelan 100 hari (Wiktor and Jonkers, 2011)

4 KESIMPULAN DAN POTENSI APLIKASI DI MASA DEPAN
Telah terbukti bahwa penggunaan bakteri dalam proses penyegelan keretakan pada beton berjalan efektif. Terdapat
berbagai jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menyegel keretakan terutama spesies Bacillus. Penggunaan
bakteri sebagai agen self-healing berpengaruh positif karena dapat meningkatkan kuat tekan, mengurangi penyerapan
air, dan manurunkan permeabilitas beton. Analisa mikrostruktur menunjukan bahwa beton mikroba dapat menjadi
alternatif solusi keretakan pada beton yang hemat biaya, ramah lingkungan, dan pada akhirnya mengarah pada
peningkatan keawetan bahan bangunan. Sebelum memperkenalkan konsep ini secara komersial, diperlukan
demonstrasi skala besar. Sifat susut, korosi dan karbonasi beton masih harus dipelajari secara detail. Pemeriksaan
menyeluruh dari properti yang disebutkan akan menjelaskan perilaku secara real time dari self-healing concrete.
Meskipun konsep ini telah menunjukkan hasil yang menjanjikan di laboratorium, efisiensinya dalam melindungi
elemen beton yang lebih besar perlu diuji lebih lanjut di bawah rentang suhu yang tidak ideal, konsentrasi garam
yang tinggi, dan pada usia elemen beton yang lebih tua.

REFERENSI
Achal, V., Pan, X., and Özyurt, N. (2011). “Improved strength and durability of fly ash-amended concrete by
microbial calcite precipitation.” Ecological Engineering. 37(4): 554–59.

Andalib, R., Majid, M.Z.A., Hussin, M.W., Ponraj, M., Keyvanfar, A., Mirja, J., and Lee, H.S. (2016). “Optimum
concentration of bacillus megaterium for strengthening structural concrete.” Construction and Building Materials.
118: 180–93.

Balam, N.H., Mostofinejad, D., and Eftekhar, M. (2017). “Use of carbonate precipitating bacteria to reduce water
absorption of aggregates,” Constr. Build. Mater., 141:565–577.

Bhagyashri, P., Archana, M., Megh, B., and Soyali4, P. (2017).“Bacterial concrete 1,” J. Inform. Knowl. Res. Civ.
Eng., 4(2) 393–397.

73

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Bhaskar, S., Hossain, K.M.A., Lachemi, M., Wolfaardt, G., and Kroukamp, M.O. (2017). “Effect of self-healing on
strength and durability of zeolite-immobilized bacterial cementitious mortar composites,” Cem. Concr. Compos.,
82:23–33.

Chahal, N., Siddique, R., and Rajor, A. (2012). “Influence of bacteria on the compressive strength, water absorption
and rapid chloride permeability of concrete incorporating silica fume.” Construction and Building Materials. 37:
645–51.

Chahal, N., Siddique, R., and Rajor, A. (2012). “Influence of bacteria on the compressive strength, water absorption
and rapid chloride permeability of fly ash concrete.” Construction and Building Materials. 28(1): 351-356.

Chen, L., Ma, G., Liu, G., and Liu, Z. (2019). “Effect of pumping and spraying processes on the rheological properties
and air content of wet-mix shotcrete with various admixtures,” Constr. Build. Mater., 225:311–323.

Chindasiriphan, P., Yokota, H., and Pimpakan, P. (2020). “Effect of fly ash and superabsorbent polymer on concrete
self-healing ability,” Constr. Build. Mater., 233:1-13.

Ersan, Y.C., Silva, F.B.D., Boon, N., Verstraete, W., and Belie, N.D. (2015). “Screening of bacteria and concrete
compatible protection materials,” Constr. Build. Mater., 88:196–203.

Jonkers, H.M., Thijssen, A., Muyzer, G., Copuroglu, O., and Schlangen, E. (2010). “Application of bacteria as self-
healing agent for the development of sustainable concrete,” Ecol. Eng., 36(2):230–235.

Kaur, M., Bhawna, and Lall, G.C. (2012). “Renewed approach of integration WLAN & UMTS and handover,” Int.
J. Comput. Appl., 44(10): 31–35.

Khaliq, W., and Ehsan, M. (2016). “Crack healing in concrete using various bio influenced self-healing techniques.”
Construction and Building Materials. 102: 349–57.

Luo, M., and Qian, C. (2016). “Influences of Bacteria-Based Self-Healing Agents on Cementitious Materials
Hydration Kinetics and Compressive Strength.” Construction and Building Materials 121: 659–63.

Mostavi, E., Asadi, S., Hassan, M.M., and Alansari, M. (2015). “Evaluation of self-healing mechanisms in concrete
with double-walled sodium silicate microcapsules,” J. Mater. Civ. Eng., 27(12):1-8.

Nosouhian, F., Mostofinejad, D., and Hasheminejad, H. (2016). “Concrete durability improvement in a sulfate
environment using bacteria.” Journal of Materials in Civil Engineering. 28(1): 1-12.

Pei, R., Liu, J., Wang, S., Yang, M. (2013). “Use of bacterial cell walls to improve the mechanical performance of
concrete,” Cem. Concr. Compos., 39:122–130.

Pourfallahi, M., Shahvari, A.N., and Salimizadeh, M. (2020). “Effect of direct addition of two different bacteria in
concrete as self-healing agent,” Structures, 28(September):2646–2660.

Qiu, J., Tng, D.Q.S., and Yang, E.H. (2014). “Surface treatment of recycled concrete aggregates through microbial
carbonate precipitation,” Construction Building Material. 57:144–150.

Ramachandran, S.K., Ramakrishnan, V., and Bang, S.S. (2001). “Concrete remediation with b. pasteurii.pdf.” ACI
Materials journal. 98(1): 3–9.

Reddy, B.M.S., and Revathi, D. (2019).“An experimental study on effect of Bacillus sphaericus bacteria in crack
filling and strength enhancement of concrete,” Mater. Today Proc., 19:803–809.

Reddy, P.V.Y., Ramesh, B., and Kumar, L.P. (2020). “Influence of bacteria in self healing of concrete - a review,”
Mater. Today Proc., xxxx:1-7.

Sangadji, S. (2017). “Can self-healing mechanism helps concrete structures sustainable?,” Procedia Eng., 171: 238–
249.

74

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Siddique, R., Nanda, V., Kunal, Kadri, E.H., Khan, M.I., Singh, M., and Rajor, A. (2016). “Influence of bacteria on
compressive strength and permeation properties of concrete made with cement baghouse filter dust.” Construction
and Building Materials. 106: 461–69.

Siddique, R., Singh, K., Kunal, Singh, M., Corenaldesi, V., and Rajor, A. (2016). “Properties of bacterial rice husk
ash concrete.” Construction and Building Materials. 121: 112–19.

Souradeep, G., and Kua, H.W. (2016).“Encapsulation technology and techniques in self-healing concrete,” J. Mater.
Civ. Eng., 28(12):1-15.

Tittelboom, K.V., Belie, N.D., Muynck, W.D., and Verstraete, W. (2010).“Use of bacteria to repair cracks in
concrete,” Cem. Concr. Res., 40(1):157–166.

Vijay, K., Murmu, M., and Deo, S.V. (2017). “Bacteria based self healing concrete – A review,” Constr. Build.
Mater., 152:1008–1014.

Wang, J.Y., Soens, H., Verstraete, W., and Belie, N.D. (2014). “Self-healing concrete by use of microencapsulated
bacterial spores,” Cem. Concr. Res., 56:139–152.

Wiktor, V., and Jonkers, H.M. (2011). “Quantification of crack-healing in novel bacteria-based self-healing
concrete.” Cement and Concrete Composites. 33(7): 763–70.

Wu, M., Hu, X., Hu, Z., Zhao, Y., Cheng, W., and Lu, W. (2019). “Two-component polyurethane healing system:
Effect of different accelerators and capsules on the healing efficiency of dynamic concrete cracks,” Constr. Build.
Mater., 227:1-15.

Zhang, Y., Guo, H.X., and Cheng, X.H. (2015). “Role of calcium sources in the strength and microstructure of
microbial mortar.” Construction and Building Materials. 77: 160–67.

Zhang, J.L., Wu, R.S., Li, Y.M., Zhong, J.Y., Deng, X., Liu, B., Han, N.X., and Xing, F. (2016). “Screening of
bacteria for self-healing of concrete cracks and optimization of the microbial calcium precipitation process,” Appl.
Microbiol. Biotechnol., 100(15):6661–6670.

75

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Aplikasi Penggunaan Biji Asam Jawa (Tamarindus Indica L.) sebagai
Alternatif Pengganti Bahan Koagulan di IPA Bolon, PDAM Tirta Lawu,

Kabupaten Karanganyar

S. S. Pranadesta1, R. Ermawati1, N. N. N. Marleni2*

1Akademi Teknik Tirta Wiyata, Magelang, INDONESIA
2Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Penggunaan biokoagulan semakin menarik karena minimnya efek negatif dibanding dengan koagulan berbasis senyawa kimia.
Namun kajian yang mendalam akan efektifitas penurunan kekeruhan dengan mengunakan biokoagulan masih belum banyak
dilakukan. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui efektifitas biokoagulan dibandingkan koagulan kimia yang biasa
digunakan di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Bolon, PDAM Karanganyar. Parameter gradien kecepatan ( ) dan waktu detensi
( ) di IPA Bolon dihitung dan dikonversi ke nilai pengadukan untuk jartest dalam skala laboratorium. Dari perhitungan,
diperoleh nilai di bak koagulasi sebesar 120 rpm dengan 3 menit, sedangkan untuk flokulasi bak 1 dan bak 2 diperoleh
sebesar 15 rpm dan 10 rpm dengan td masing-masing sebesar 4 menit dan 21 menit. Hasil uji jar test menunjukkan dosis optimum
dari dua koagulan yang biasa digunakan oleh PDAM yaitu PAC dan Aluminiun Sulfate sebesar 8 mg/L dan 9 mg/L, dengan
efisiensi penurunan kekeruhan sebesar 94,74% dan 94,09%. Sedangkan untuk biokoagulan biji asam jawa, dengan dosis 12 mg/L
baru diperoleh penurunan kekeruhan sebesar 57,18%. Masih rendahnya nilai penurunan kekeruhan oleh biokoagulan biji asam
jawa kemungkinan karena tidak sesuainya dan , serta perlakuan awal kepada biji asam jawa ketika dibuat menjadi koagulan.

Kata kunci: Koagulan, Jartest, Koagulasi, Instalasi Pengolahan Air.

1 PENDAHULUAN

Penyediaan air minum harus memenuhi indikator 4K yaitu kuantitas, kontinuitas, kualitas, dan keterjangkauan. Telah
banyak kajian mengenai indikator pemenuhan kuantitas dan kontinuitas pada penyelenggara penyedia air minum,
namun jarang yang memperhatikan kualitas air yang disalurkan kepada masyarakat. Indikator kualitas yang tertera
pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2020 mensyaratkan air yang diterima masyarakat dari
penyelenggara penyedia air harus memenuhi standar fisika, kimia dan biologi yang telah ditetapkan. Untuk menjaga
kualitas, penyelenggara penyedia air seperti Perusahaan Daerah Air Minum mengolah airnya sehingga memenuhi
standar. Salah satu bentuk pengolahan untuk menurunkan kekeruhan adalah pembubuhan koagulan. Koagulan yang
sering digunakan saat ini adalah aluminium sulfat, poli aluminium chlroide (PAC), ferrric chloride dan ferric sulfate,
namun aluminium sulfat merupakan yang paling populer karena kinerja bahan kimia yang baik dan harga yang
terjangkau bagi PDAM. Meskipun koagulan PAC, aluminium sulfate, ferric chloride sudah terbukti memiliki kinerja
pengolahan yang baik, namun terdapat beberapa kerugian dalam penggunaan senyawa kimia ini yaitu adanya
penurunan pH sehingga air bersifat asam, tidak efisiennya kinerja pengolahan pada suhu rendah dan adanya
kemungkinan menjadi penyebab masalah kesehatan, misalkan : penyakit Alzheimer, presnile dementia (Srinivasan
et al., 1999), dan bersifat neurotoksik (Campbell, 2002), biaya yang tinggi karena bahan-bahan koagulan ini adalah
senyawa kimia yang memerlukan proses panjang dalam produksinya serta banyaknya jumlah lumpur yang terbentuk
(Theodoro et al., 2013; Yin, 2010). Koagulan garam ferric juga dapat mempercepat korosi pipa yang ada di IPA (Shi
et al., 2004). Maka dari itu koagulan berbasis tanaman merupakan salah satu alternatif yang patut dicoba untuk
meminimalkan kerugian-kerugian yang terdapat pada senyawa kimia koagulan, karena senyawa koagulan alami ini
sebenarnya telah digunakan selama kurang lebih 2000 tahun di India, Afrika, dan China (Asrafuzzaman et al., 2011).

Biji asam jawa (Tamarindus indica L.) telah diketahui memiliki manfaat sebagai biokoagulan yang memiliki
kandungan yang hampir mirip dengan bahan koagulan yang umum dipakai oleh PDAM (Hendrawati et al., 2013).
Biji asam jawa (Tamarindus indica L.) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yang juga dimiliki oleh biji
kelor dan biji kacang babi. Protein yang terkandung dalam biji asam jawa inilah yang diharapkan dapat berperan
sebagai polielektrolit alami yang kegunaannya mirip dengan koagulan sintetik (Hendrawati et al., 2013). Asam Jawa
(Tamarindus indica L.) juga termasuk tanaman yang banyak ditemui di Indonesia terutama Pulau Jawa. Menurut
kajian dari Pengchai et al. (2012), biji asam jawa memiliki kemampuan dapat menurunkan 76% kekeruhan saat

76

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

diaplikasikan pada skala laboratorium. Namun sampai saat ini belum pernah dicoba untuk diaplikasikan pada skala
IPA. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas pembubuhan koagulan alami (biokoagulan) dibandingkan
dengan koagulan berbasis kimia yang diaplikasikan pada kondisi tingkat pengadukan dan waktu pengadukan yang
sesuai dengan kondisi eksisting IPA di Indonesia, dalam hal ini adalah IPA di PDAM Tirta Lawu, PDAM Karang
Anyar. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi PDAM atau para akademisi untuk
mengembangkan koagulan alami sehingga dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan.

2 METODE

2.1 Pengumpulan Data

Debit air baku diukur dengan menggunakan metode ambang tajam ℎ yang sudah terpasang secara permanen di
inlet Instalasi Pengolahan Air Minum. Pengukuran pH, kekeruhan dan alkalinitas sangat diperlukan untuk melakukan
pengujian dosis koagulan. Data pengukuran langsung ini juga didukung dengan data historis kualitas air baku.
Dimensi unit koagulasi, flokulasi dan sedimentasi didapatkan dengan pengukuran di lapangan sedangkan untuk
ukuran dalam bak didapatkan dari As Built Drawing seperti dapat terlihat pada Tabel 1.

2.2 Pengolahan Data

Untuk menentukan putaran Jartest maka perlu dilakukan perhitungan terhadap Gradien Kecepatan ( ) dan Waktu
detensi ( ) di bak koagulasi, flokulasi dan pengendapan. sistem pembubuhan koagulan di IPA adalah menggunakan
sistem pengadukan hidrolis dengan memanfaatkan terjunan dalam bak. Pembubuhan bahan kimia menggunakan
pompa dosing dan titik pembubuhan berada pada bak kedua. Unit flokulasi berbentuk tabung terdiri atas 2 bak. Tipe
flokulator IPA Bolon yaitu saluran bersekat vertikal. Bukaan pintu pada setiap bak flokulator berbentuk persegi
panjang. Unit Sedimentasi berbentuk kerucut dan dilengkapi dengan saluran inlet berupa pipa manipol dan pipa
lateral. Bak sedimentasi juga dilengkapi dengan plate settler untuk mengurangi beban permukaan dan gutter untuk
saluran pelimpah. Sistem pengadukan pada IPA Bolon menggunakan pengadukan hidrolis, maka gradien dari sistem
hidrolis harus dikonversi ke sistem mekanis karena Jartest menggunakan pengadukan mekanis. Adapun persamaan-
persamaan untuk menghitung debit air baku, gradien kecepatan hidrolis dan mekanis serta penentuan dosis di Jartest
dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Persamaan (1), adalah debit (m3/det) dan ℎ adalah tinggi penampang basah (m).

Tabel 1. Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Debit air baku Kualitas air baku IPA
Kualitas air baku As bulit drawing IPA
Dosis koagulan
Dimensi unit koagulasi, flokulasi dan sedimentasi

Tabel 2. Persamaan untuk Pengolahan Data

Data Persamaan No. Persamaan

5

= 1,4174ℎ2

Debit menggunakan ℎ Persamaan (1)

Dosis Koagulan = × Persamaan (2)
ℎ Persamaan (3)
Waktu Detensi ( ) Persamaan (4)
Headloss dalam pipa =
Persamaan (5)
Gradien Kecepatan Persamaan (6)
Tenaga Pengadukan Persamaan (7_
Jumlah Putaran Mekanis ℎ = [0,2785× ℎ × 2,63]1,85 ×

= √ ×

×

= 2 × ×

1

= ( 5× )3

×

77

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.3 Analisis Data

Setelah mendapatkan gradien kecepatan dan waktu detensi untuk jartest yang berasal dari gradien kecepatan dan
waktu detensi eksisiting IPA, maka dilakukan proses penentuan dosis optimum untuk koagulan PAC, Aluminium
Sulfat dan Biji Asam Jawa. Sampel air berasal dari titik yang sama sehingga memiliki pH, kekeruhan serta alkalinitas
yang sama. Lalu untuk setiap koagulan ditambahkan dosis yang sama dan dicari dosis optimum untuk setiap
koagulan. Efektifitas akan dihitung dengan menggunakan Persamaan (8). Selanjutnya hasil jartest antara PAC,
aluminium sulfat dan biji asam jawa dibandingkan persentase penurunan kekeruhannya.

% ℎ = ( ℎ − ℎ ℎ ) (8)



3 HASIL PENELITIAN

3.1 Kualitas Air Baku
Kualitas air baku yang diukur pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

3.2 Debit Air Baku

Dari hasil pengukuran lapangan kondisi eksisting IPA Bolon, diketahui bahwa tinggi penampang basah adalah 0,262
m. Maka debit air baku adalah :

5 = 5 = 0,00498 3⁄

= 1,4174 × ℎ2 1,4174 × 0,2622

Berdasarkan hasil perhitungan debit yang dilakukan untuk debit bak koagulasi yaitu 0,00498 m3 /det, untuk bak
flokulasi dibagi menjadi 2 bak yang masing-masing tiap bak dibagi menjadi 8 dan 4. Bak flokulasi yang pertama
yaitu 0,006125 m3/det dan untuk bak flokulasi yang kedua yaitu 0,01225 m3/det.

3.3 Dimensi Bak Koagulasi, Flokulasi dan Sedimentasi
Dimensi dari bak koagulasi, flokulasi dan sedimentasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Kualitas Air Baku

Parameter Satuan Nilai
oC
Suhu - 27
pH NTU 7,14
Kekeruhan 78,9

Tabel 4. Dimensi Bak Koagulasi, Flokulasi dan Sedimentasi

Koagulasi Pipa Outlet Panjang, m Bak 1 Panjang, m Bak 2
0,2 Lebar, m 1,8 Lebar, m 1,8
Diameter, m 8,8 Tinggi muka air, m 0,8 Tinggi muka air, m 1,5
Panjang, m 120 2,3 2,0
Kekasaran Panjang, m
Flokulasi Bak 1 Panjang, m Bak 2 Lebar, m Bak 3
1,2 Lebar, m 3,55 Tinggi muka air, m 3,55
Diameter, m 1,2 Tinggi muka air, m 0,75 0,75
Tinggi, m 5,8 5,8

Sedimentasi 6,2
5,8
Panjang, m 3,5
Lebar, m
Kedalaman zona 1,5
pengendap, m
Kedalaman zona lumpur, m

78

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3.4 Perhitungan Gradien Kecepatan dan Waktu Detensi di Jartest

Gradien kecepatan dan waktu detensi yang digunakan untuk jartest berasal dari gradien kecepatan dan waktu detensi
IPA Bolon. Tabel 5 menyajikan hasil perhitungan putaran Jartest.

3.5 Hasil Jartest

Hasil jartest dan perbandingan kekeruhan, pH dan suhu serta persentase penurunan kekeruhan dapat dilihat pada
Tabel 6. Tabel 7 menyajikan perbandingan kebutuhan PAC, alum dan biji asam jawa yang didapat pada dosis
optimum.

4 DISKUSI

Pada proses koagulasi terdapat empat mekanisme yaitu double layer compression, polymer bridging, charge
neutralization, and sweep coagulation (Bolto, 1995; Bolto & Gregory, 2007). Diantara keempat mekanisme tersebut,
polymer bridging and charge neutralization adalah mekanisme koagulasi yang paling berpengaruh terhadap
keefektifan kinerja koagulan berbasis tanaman (Bolto & Gregory, 2007; Yin, 2010). Kinerja koagulan alami
(biokoagulan) pada IPA Bolon dibanding dengan koagulan berbasis senyawa kimia yang sering di gunakan di PDAM
yaitu PAC dan Alum memang masih belum memuaskan karena dosis optimum yang ditemukan adalah sebesar 12
mg/L dengan efisiensi penurunan kekeruhan yaitu 57,18%. Sedangkan untuk senyawa PAC dan Aluminium sulfat
dengan dosis 8 mg/l dan 9 mg/L menghasilkan penurunan kekeruhan sebesar 94,74% dan 94,09%. Pada penelitian
ini, dosis dari biokoagulan sudah diaplikasikan secara bervariasi, akan tetapi efisiensi penurunan kekeruhan masih
rendah dan tidak ada peningkatan yang signifikan.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Gradien Kecepatan dan Waktu Detensi

Unit RPM , detik , menit

Koagulasi 120 166 3
Flokulasi 1 15 221 4
Flokulasi 2 10 1260 21

Tabel 6. Perbandingan Hasil Jartest

Koagulan Dosis, Kekeruhan pH Suhu % Penurunan
PAC mg/L Awal Awal Kekeruhan
Alum Awal Akhir 7,17 Akhir 29,9 Akhir
Biji Asam Jawa 4 7,04 28,3 91,07
6 13,30 7,17 7,06 29,9 28,5 90,35
8 7,02 28,5 94,74
9 7,61 7,17 6,98 29,9 28,5 95,84
10 6,87 28,5 97,24
11 4,14 6,65 28,5 98,16
12 6,69 28,5 98,68
4 78,9 3,28 6,77 28,7 80,22
6 6,65 28,7 88,37
8 2,17 6,90 28,7 92,67
9 6,71 28,7 94,09
10 1,45 6,79 28,7 95,75
11 6,55 28,7 97,75
12 1,04 6,69 28,7 98,23
4 7,14 28,5 42,71
6 15,60 7,14 28,5 46,13
8 7,14 28,5 50,40
9 9,17 7,14 28,5 52,68
10 7,14 28,5 54,22
11 5,78 7,14 28,5 54,95
12 7,14 28,5 57,18
78,9 4,66

3,35

1,77

1,39

45,20

42,50

39,13

78,9 37,33

36,12

35,54

33,78

79


Click to View FlipBook Version