Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Tabel 1. Kode pembagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur
No Kota Kode
1 Samarinda 501
2 Balikpapan 502
3 Samboja 503
4 Penajam 504
5 IKN 505
6 Tanjung Redep 506
7 Sangatta 507
8 Tenggarong 508
9 Melak 509
10 Bontang 510
11 Tanah Grogot 511
12 Muara Wahau 512
2.2 Jarak Wilayah dengan Bandar Udara
Untuk memodelkan rute dan jadwal penerbangan dengan konsep multi airport system diperlukan data jarak antar
wilayah dengan kedua bandara Hub tersebut, yakni Bandar Udara SAMS. Balikpapan dan APT. Pranoto Samarinda.
Tabel 2. Jarak wilayah dengan lokasi bandar udara yang ditinjau
No Kota Bandara APT Pranoto Bandara SAMS Balikpapan
SMD (km) (km)
1 Samarinda 23,9 115
2 Balikpapan 132 11,4
3 Samboja 108 46,6
4 Penajam 183 30.7
5 IKN 151 104
6 Tanjung Redep 497 629
7 Sangatta 143 278
8 Tenggarong 52,7 139
9 Melak 348 433
10 Bontang 95 228
11 Tanah Grogot 319 203
12 Muara Wahau 296 429
2.3 Data Penerbangan
Data penerbangan pada bandar udara di APT. Pranoto Samarinda diambil pada bulan terbesar yaitu pada bulan
Desember 2019 dengan jumlah penumpang berangkat sebesar 32.356 orang, jumlah pergerakan pesawat 300 kali,
maka untuk penumpang/harinya adalah 1.079 orang, pergerakan pesawat/harinya adalah 10 kali. Sedangkan data
penerbangan pada bandar udara di SAMS. Balikpapan diambil pada bulan terbesar yaitu pada bulan November 2019
dengan jumlah penumpang berangkat sebesar 191.399 orang, jumlah pergerakan pesawat 2.442 kali, maka untuk
penumpang/harinya adalah 6.380 orang, pergerakan pesawat/harinya adalah 82 kali.
2.4 Rute Penerbangan
Rute penerbangan pada bandar udara APT. Pranoto Samarinda sebanyak 9 rute penerbangan dan pada bandar udara
SAMS. Balikpapan sebanyak 20 rute penerbangan. Semua rute yang ada di bandar udara APT. Pranoto Samarinda
juga dilayani oleh rute pada bandar udara SAMS. Balikpapan. Tipe pesawat yang digunakan dalam penerbangan
tersebut adalah tipe ATR72, CRJ1000, B734, B735, B738, B739, dan A320.
2.5 Frekuensi Penerbangan
Frekuensi penerbangan didapatkan dari data sekunder yang terekam pada otoritas bandar udara di lokasi penelitian
yaitu pada Bandar Udara APT. Pranoto Samarinda dan Bandar Udara SAMS. Balikpapan.
473
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 3. Frekuensi penerbangan bandara APT. Pranoto Samarinda
No Rute Penerbangan Frekuensi
1 Jakarta (CGK)
2 Jakarta (HLP) 7
3 Surabaya (SUB)
4 Makasar (UPG) 4
5 Denpasar (DPS) 1
6 Yogyakarta (YIA) 1
12 Kalimarau Berau (BEJ) 3
17 Tanjung Selor (TJS) 2
19 Melak/Melahan (GHS) 1
Sumber : Otoritas bandara APT. Pranoto (2020) 1
Tabel 4. Frekuensi penerbangan bandara SAMS. Sepinggan Balikpapan
No Rute Penerbangan Frekuensi
1 Jakarta (CGK)
2 Jakarta (HLP) 19
3 Surabaya (SUB)
4 Makasar (UPG) 11
5 Denpasar (DPS) 8
6 Yogyakarta (YIA) 1
7 Manado (MDC) 5
8 Semarang (SRG) 1
9 Banjarmasin (BDJ) 1
10 Tarakan (TRK) 7
11 Palangkaraya (PKY) 6
12 Kalimarau Berau (BEJ) 2
13 Pontianak (PNK) 9
14 Palu (PLW) 1
15 Banyuwangi (BWX) 3
16 Kertajati (KJT) 1
17 Tanjung Selor (TJS) 1
18 Mamuju (MJU) 1
19 Melak/Melahan (GHS) 1
20 Malinau (LNU) 3
Sumber : Otoritas bandara SAMS. Balikpapan (2020) 1
2.6 Batasan Model
Dalam pemodelan jadwal penerbangan perlu diperhatikan batasan dari bandar udara yaitu jumlah maksimal
pergerakan pesawat terbang setiap jam, jam pelayanan operasi penerbangan, load factor, dan kapasitas terminal
keberangkatan di Bandar Udara APT Pranoto dan Bandar Udara SAMS Balikpapan.
Tabel 5. Batasan model
No Batasan Bandar Udara APT Bandar Udara
Pranoto SAMS Balikpapan
10 kali
1 Pergerakan 7 kali
15 jam
pesawat
40%
2 Operasional bandar 15 jam 1.405 orang
udara
3 Load factor 40%
4 Kapasitas terminal 500 orang
keberangkatan
Sumber : Data sekunder & wawancara (2020)
474
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2.7 Simulasi Rute dan Frekensi Penerbangan
Dari hasil simulasi pemodelan dengan menggunakan Multiple Airport Demand Allocation Model (MADAM) pada
Bandar Udara di APT. Pranoto Samarinda dan Bandar Udara SAMS. Sepinggan Balikpapan didapatkan hasil sebagai
berikut:
Tabel 6. Hasil simulasi pemodelan rute dan jumlah penerbangan di bandara APT.Pranoto Samarinda
No Rute Penerbangan Frekuensi Penerbangan
1 Jakarta (CGK) Eksisting Simulasi
2 Jakarta (HLP)
3 Surabaya (SUB) 77
4 Makasar (UPG)
5 Denpasar (DPS) 44
6 Yogyakarta (YIA) 11
12 Kalimarau Berau (BEJ) 11
17 Tanjung Selor (TJS) 33
19 Melak/Melahan (GHS) 22
11
11
Dari hasil simulasi menunjukkan frekuensi penerbangan pada kondisi eksisting sebesar 82 penerbangan dan hasil
simulasi sebesar 86 penerbangan/hari. Ada error sebesar 4,9% yang artinya diperlukan adanya penambahan frekuensi
penerbangan sebanyak 4 kali.
Tabel 7. Hasil simulasi pemodelan rute dan jumlah penerbangan di Bandara SAMS. Balikpapan
No Rute Penerbangan Frekuensi Penerbangan
Eksisting Simulasi
1 Jakarta (CGK) 19 17
2 Jakarta (HLP) 2
3 Surabaya (SUB) 11 10
4 Makasar (UPG) 8 8
5 Denpasar (DPS) 1 1
6 Yogyakarta (YIA) 5 5
7 Manado (MDC) 1 1
8 Semarang (SRG) 1 1
9 Banjarmasin (BDJ) 7 7
10 Tarakan (TRK) 6 6
11 Palangkaraya (PKY) 2 2
12 Kalimarau Berau (BEJ) 9 9
13 Pontianak (PNK) 1 1
14 Palu (PLW) 34
15 Banyuwangi (BWX) 1 1
16 Kertajati (KJT) 1 1
17 Tanjung Selor (TJS) 1 2
18 Mamuju (MJU) 1 2
19 Melak/Melahan (GHS) 3 4
20 Malinau (LNU) 1 2
Dari hasil simulasi menunjukkan adanya frekuensi penerbangan antara kondisi eksisiting dengan hasil simulasi
menggunakan MADAM sama yaitu 20 penerbangan/hari.
2.8 Simulasi Pergerakan Penumpang
Tabel 8. Hasil pergerakan penumpang
No Data Simulasi Bandar Udara Balikpapan Bandar Udara APT Pranoto
Tetap Berpindah Waktu Tetap Berpindah Waktu
Tempuh Tempuh
(orang) (orang) (menit) (orang) (orang) (menit)
1 Data Eksisting 6.400 0 35,3 924 176 37,9
475
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Dari tabel diatas menunjukkan adanya perpindahan penumpang dari Bandara APT. Pranoto ke Bandara SAMS.
Balikpapan sebesar 176 orang.
2.9 Simulasi Kondisi
Maksud simulasi kondisi ini adalah untuk melihat kemungkinan adanya kenaikan jumlah penumpang akibat adanya
isu strategis adanya penetapan Provinsi Kalimantan Timur menjadi Ibukota Negara. Jika kondisi kapasitas bandar
udara baik sisi darat dan sisi udara tidak dilakukan pengembangan, maka kondisi hasil simulasi terhadap kenaikan
jumlah penumpang dalam beberapa kondisi adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Hasil simulasi kondisi
No Data Simulasi Bandar Udara Balikpapan Bandar Udara APT Pranoto
Tetap Berpindah Waktu Tetap Berpindah Waktu
Tempuh Tempuh
(orang) (orang) (menit) (orang) (orang) (menit)
35,3 37,9
1 Data Eksisting 6.400 0 35,3 924 176 37,9
0
2 Kenaikan 10% 0 35,3 37,9
733
dari data 7.100 35,6 1.008 192 36
eksisting
3 Kenaikan 30%
dari data 9.191 1.302 248
eksisting
4 Kenaikan 50%
dari data 12.585 1.974 376
eksisting
Dari hasil simulasi diatas dapat disimpulkan bahwa Bandar Udara APT. Pranoto perlu dilakukan pengembangan
terhadap kapasitas bandar udaranya dari hasil simulasi kondisi eksisting. Sedangkan untuk Bandar Udara SAMS.
Balikpapan akan mengalami over capacity jika terjadi kenaikan penumpang 50% dari kondisi existing yang ada atau
dengan pembangunan bandar udara baru untuk mengurangi kapasitas pada Bandar Udara SAMS. Balikpapan dengan
memperhatikan persyaratan ruang udara yang ada.
3 KESIMPULAN
Dari hasil simulasi kondisi eksisting menggambarkan adanya pengaruh terhadap kedua Hub bandar udara tersebut
dari sisi pengaturan rute dan jadual penerbangan serta kondisi kapasitas dari bandar udara yang ada. Dengan
keberadaan isu strategis terhadap keberadaan IKN dengan simulasi kondisi kenaikan penumpang dalam beberapa
kondisi mengindikasikan perlu ada strategi-strategi pengaturan yang komprehensif dari keberadaan 2 bandar udara
tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Promotor dan Co-Promotor yang dengan sabar membantu
mengarahkan penelitian ini, serta teman-teman seperjuangan di Transportasi Unhas.
REFERENSI
Adisasmita, S. A. (2014). Tatanan Bandar Udara Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.
De Neufville. (1995). “Management of multi-airport systems”. Journal of Air Transport Management, 2(2), 99-110.
FAA. (1977). Decription of The Multiple Airport Demand Allocation Model, Federal Aviation Administration,
Washington DC, USA.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
476
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Analisis Pengaruh Karakteristik Pengguna Ojek Online Terhadap Frekuensi
Pengunaannya di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
M. I. H. Kamal*, M. Z. Irawan, Dewanti
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Fenomena meningkatnya jumlah pengguna ojek online dari tahun ke tahun memunculkan hipotesis bahwa jasa angkutan
paratransit ini sangat dimintai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
karakteristik pengguna ojek online adalah usia muda, berpendidikan tinggi, dan baik dalam finansial. Sebagai kota pendidikan,
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) memiliki kesamaan karakteristik warganya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosio-demografi dengan frekuensi penggunaan ojek online di KPY
sebagai moda transportasi alternatif pilihan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode regresi linear berganda untuk
mengukur besarnya pengaruh variabel sosial demografi frekuensi penggunaan ojek online serta analisis uji asumsi klasik untuk
menguji validitas kerangka model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat variabel (jenis kelamin, tingkat pendapatan,
kepemilikan sepeda motor, tingkat pendidikan) berpengaruh signifikan terhadap frekuensi penggunaan. Akan tetapi, dua variabel
lainnya (umur dan status tinggal) tidak mempengaruhi frekuensi penggunaan ojek online. Kerangka model sepenuhnya valid
berdasarkan kriteria uji asumsi klasik.
Kata kunci: Frekuensi, Ojek Online, Sosial Demografi, Regresi Linear Berganda.
1 PENDAHULUAN
Tepat satu dasawarsa layanan transportasi online eksis di Indonesia sebagai perusahaan digital services yang
melayanai berbagai kebutuhan. Mulai dari jasa pelayanan antar penumpang, antar makanan, antar barang hingga
utilitas rumah tangga lainnya. Selain itu, hadirnya perusahaan transportasi online pun membuka lapangan pekerjaan
baik waktu penuh maupun paruh waktu (Anwar, 2017) sehingga menjadi peluang bagi masyarakat yang belum
mendapatkan pekerjaan. Dawes (2013) menyebutkan bahwa fenomena transportasi online merupakan penerapan dari
prinsip sharing economy.
Andriani (2019) menyebutkan bahwa per semester 1/2019, sejak diluncurkan pada tahun 2015 aplikasi dan ekosistem
Gojek telah diunduh oleh lebih dari 155 juta pengguna, dengan lebih dari 2 juta mitra pengemudi, hampir 400.000
mitra merchants, dan lebih dari 60.000 penyedia layanan di Asia Tenggara. Fenomena ini menggeser banyak hal
dalam tatanan transportasi perkotaan. Perkembangan pesat pada pelayanan transportasi online juga diprediksikan
dapat mengubah perilaku perjalanan masyarakat.
Penelitian tentang penggunaan transportasi online masih terbatas, khususnya untuk ojek online. Berdasarkan
penelitian yang berbasis di Amerika Serikat dan Kanada ditemukan bahwa transportasi online lebih banyak
digunakan oleh orang-orang yang relatif muda, terpelajar dan baik dalam finansial (Clewlow & Mishra, 2017; Dias
dkk, 2019; Conway dkk, 2018; Grahn dkk, 2020; Sikder, 2019; Young & Farber, 2019). Berkebalikan dengan situasi
yang terjadi di Cina, Tang dkk (2020) 53% data sampelnya yang merupakan pengguna Didi (layanan transportasi
online setempat) tidak berpendidikan tinggi. Sikder (2019) mengungkapkan bahwa pekerja dengan jadwal fleksibel
cenderung menggunakan transportasi online dibandingkan non-pekerja dan pekerja dengan jadwal tetap. Di Jakarta
sendiri, Irawan, dkk (2020) menemukan bahwa faktor pendapatan berpengaruh positif pada penggunaan ojek online,
tingkat pendidikan berpengaruh negatif pada penggunaan ojek online, sedangkan usia dan jenis kelamin tidak
berpengaruh. Hal baiknya, Tirachini (2020) menemukan bahwa transportasi online dapat meningkatkan mobilitas
bagi orang disabilitas dan yang memiliki kekurangan mental serta dapat mengurangi diskriminasi spasial dan ras
yang sebelumnya teridentifikasi pada beberapa pengemudi taksi.
Mengutip beberapa referensi tersebut, secara garis besar pengguna transportasi online ialah mereka penduduk berusia
muda, berpendidikan serta baik dalam finansial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengaruh
karakteristik penggunaan transportasi online, studi kasus di Yogyakarta. Penentuan studi kasus di Yogyakarta
dikarenakan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) memiliki kemiripan karakteristik seperti yang disebutkan.
477
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Sebanyak 110 perguruan tinggi yang terletak di KPY menimbulkan adanya potensi pertambahan penduduk
mahasiswa yang memiliki karakteristik berusia muda, berpendidikan dan baik dalam finansial.
Mengenai intensitas atau frekuensi penggunaan transportasi online, tinggal di daerah dengan kepadatan tinggi juga
berkorelasi dengan frekuensi penggunaan transportasi online yang lebih tinggi (Dias dkk, 2019; Circella dkk, 2018;
Conway dkk, 2018). Penelitian menunjukkan bahwa transportasi online sebagian besar digunakan untuk perjalanan
sesekali dan kondisi tertentu saja, karena mayoritas pengendara menggunakan layanan ini beberapa kali per bulan,
seperti yang ditunjukkan oleh Brown (2018) di California, oleh Grahn, dkk (2020) di Amerika Serikat (studi
nasional), oleh Ilavarasan, dkk (2018) di New Delhi dan oleh Tirachini & del Río (2019) di Santiago. Beberapa studi
cenderung menemukan bahwa kemungkinan menjadi pengguna jasa transportasi online meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan dan akan menurun seiring bertambahnya usia (Dias, 2019; Sikder, 2019; Tirachini & del
Río, 2019). Menariknya, hubungan antara kepemilikan mobil dan intensitas penggunaan transportasi online juga
diperdebatkan. Di satu sisi, Conway, dkk (2018) menemukan bahwa di Amerika Serikat, kepemilikan mobil
berhubungan negatif dengan penggunaan transportasi online. Circella, dkk (2018) menemukan bahwa individu yang
tidak memiliki mobil di rumah cenderung menggunakan tumpangan lebih sering di California. Di sisi lain, Tirachini
& del Río (2019) tidak menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara frekuensi penggunaan
transportasi online dan ketersediaan mobil pribadi di Santiago. Juga telah dibuktikan bahwa pengguna angkutan
umum multimoda lebih cenderung akan menggunakan transportasi online daripada mereka yang mengendarai mobil
pribadi sebagai first mile dan last mile (Conway dkk, 2018). Bukti serupa dikemukakan oleh Sikder, dkk (2019) yang
menemukan bahwa penggunaan mobil bersama (shared car), sepeda bersama (shared bicycle), dan angkutan umum
semuanya berkorelasi positif dengan penggunaan transportasi online di Amerika Serikat.
Dari beberapa referensi tersebut, studi terkait analisis faktor yang memengaruhi frekuensi penggunaan transportasi
online masih didominasi oleh layanan taksi roda empat, sedangkan masih sedikit studi terkait layanan taksi roda dua
atau ojek online yang massif di beberapa negara di Asia Tenggara, sehingga penelitian ini bertujuan untuk
mengekplorasi faktor yang memengaruhi intensitas penggunaan ojek online berdasarkan karakteristik sosial
demografi pengguna ojek online di Yogyakarta.
2 METODE PENELITIAN
2.1 Desain penelitian
Desain penelitian yang dilakukan berdasarkan tingkat penjelasan dari kedudukan variabelnya termasuk penelitian
asosiatif kausal, merupakan penelitian yang mencari hubungan pengaruh sebab-akibat yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Sugiyono, 2012, pp.56).
Penelitian ini bersifat kuantitatif. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara menggunakan
kuesioner online dengan metode stratified random sampling yaitu melakukan wawancara kepada populasi yang
mempunyai anggota tidak homogen dan berstrata secara proporsional dari setiap elemen populasi. Adaptasi dari
karakteristik pengguna transportasi online di beberapa negara yaitu pengguna yang berusia muda, berpendidikan dan
baik dalam finansial, maka target responden penelitian ini adalah penduduk Yogyakarta dengan rentang usia lebih
dari 16 tahun dan berstatus (a) Pelajar Sekolah Menengah Atas, (b) Mahasiswa, (c) Pekerja. Target jumlah sampel
menggunakan rumus slovin dengan perkiraan tingkat kesalahan 5%. Jumlah populasi di KPY (Kota Yogyakarta, Kab.
Sleman, Kab. Bantul) 2.669.981 jiwa (Prov. DIY dalam Angka 2020), maka didapatkan minimal responden yang
harus diraih ialah 399,94 ≈ 400 responden.
2.2 Analisis regresi Linear Berganda
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linear berganda untuk menguji pengaruh seluruh variabel
independen terhadap variabel dependen (frekuensi) secara simultan/bersamaan. Parameter penilaiannya, jika nilai
Fhitung > Ftabel serta nilai probabilitas signifikansi kurang dari 0,05. Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
Fr = b0 + b1 GEN + b2 AGE + b3 INCM + b4 MCOWN + b5 ADDRESS + b6 EDU (1)
dimana Fr adalah frekuensi, b0 adalah konstanta, b1- b6 adalah koefisien regresi, GEN adalah jenis kelamin, AGE
adalah usia, INCM adalah pendapatan, MCOWN adalah kepemilikan sepeda motor, RES adalah status tinggal, EDU
adalah Pendidikan.
478
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2.3 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan bertujuan untuk menguji validitas model metode regresi linear dengan mengukur
beberapa kriteria, di antaranya adalah (a) Uji Liniearitas berfungsi untuk mengetahui hubungan liniearitas variabel
bebas kepada variabel terikat; (b) Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji terjadinya korelasi antarvariabel
independen dalam model regresi. Tidak terjadi multikolinearitas apabila Nilai Tolerance > 0,1 dan Nilai Variance
Inflation Factor (VIF) < 10; (c) Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji terjadinya ketidakseimbangan
variance dari residual satu pengamatan kepada pengamatan lainnya (Ghozali, 2011).
3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses pengambilan data dilaksanakan pada Bulan Januari 2020 sehingga tidak diperlukan untuk kalibrasi dengan
kondisi pandemi Covid-19. Data yang terhimpun sebanyak 655 responden yang selanjutnya dilakukan reduksi data
outlier sehingga didapatkan 600 data responden untuk dilakukan proses pemodelan analisis regresi linear berganda.
3.1 Hasil Analisis Regresi Liner Berganda
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa adanya pengaruh variabel sosial demografi terhadap
frekuensi penggunaan ojek online. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa jenis
kelamin, usia, pendapatan, kepemilikan sepeda motor, status tinggal serta tingkat pendidikan secara simultan
berpengaruh pada frekuensi penggunaan ojek online yang dibuktikan dengan nilai Fhitung sebesar 44,796 yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Ftabel 0,272 serta nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari
syarat yaitu 0,005 menunjukkan adanya pengaruh keenam variabel tersebut terhadap frekuensi penggunaan ojek
online. Kemudian, nilai R Square sebesar 0,312 menunjukkan bahwa keenam faktor ini berpengaruh 31,2% terhadap
peningkatan penggunaan ojek online di Yogyakarta. Sedangkan 68,8% lainnya disebabkan dari faktor lainnya yang
tidak ditelaah pada penelitian ini.
Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Koefisien
Variabel Regresi thitung Sig.
Konstanta 5,100 23,100 0,000
X1 -0,372 -5,325 0,000
X2 -0,079 -1,179 0,239
X3 0,162 6,225 0,000
X4 -1,036 -12,401 0,000
X5 -0,026 -0,328 0,743
X6 -1,044 -4,840 0,000
Fhitung 44,796 0,000
R Square 0,312
Jika ditelaah lebih lanjut setiap variabel, terdapat dua variabel yang memiliki nilai probabilitas signifikansi diatas
0,005 yaitu faktor usia (X2) dengan nilai sig. 0,239 dan status tinggal (X5) dengan nilai sig. 0,743. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kedua variabel tersebut secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap frekuensi penggunaan ojek
online. Sedangkan empat variabel lainnya yaitu jenis kelamin (X1), pendapatan (X3), kepemilikan sepeda motor (X4),
serta pendidikan (X6) secara parsial memiliki pengaruh terhadap frekuensi penggunaan ojek online dengan dibuktikan
nilai probabilitas signifikansi 0,000 yang lebih kecil dari 0,005.
Nilai koefisien dari variabel jenis kelamin (X1) -0,372 yang mana variabel ini bersifat dummy dengan nilai matematis
digunakan 0 untuk perempuan dan 1 untuk laki-laki. Dikarenakan nilai koefisien minus, maka dapat disimpulkan
bahwa jenis kelamin perempuan lebih besar tingkat penggunaan ojek online dibandingkan dengan jenis kelamin laki-
laki sebesar 37,2%. Kepemilikan sepeda motor (X4) berpengaruh signifikan pada frekuensi penggunaan ojek online,
nilai koefisien variabel ini adalah -1,036 yang berarti bahwa responden yang tidak memiliki sepeda motor akan
berpotensi untuk menggunakan ojek online lebih tinggi dibandingkan responden yang memiliki sepeda motor.
Fenomena ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Circella, dkk (2018) yang menemukan bahwa individu yang
tidak memiliki kendaraan pribadi akan meningkatkan pengguaan jasa layanan transportasi online.
479
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Kemudian faktor tingkat pendapatan (X3) pun berpengaruh signifikan pada peningkatan penggunaan ojek online, nilai
koefisien dari variabel ini 0,162 menandakan bahwa semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula frekuensi
penggunaan ojek online di Yogyakarta. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara bahwa
pendapatan berpengaruh positif pada penggunaan layanan transportasi online (Dias, 2019; Sikder, 2019; Tirachini &
del Río, 2019). Disisi lain tingkat pendidikan (X6) juga berpengaruh signifikan terhadap frekuensi penggunaan ojek
online di Yogyakarta, koefisien variabel pendidikan besarnya -1,044 menandakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan responden maka semakin berkurang frekuensi penggunaan ojek online-nya. Responden yang memiliki
status pelajar sekolah memiliki potensi untuk menggunakan ojek online lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena
pelajar tidak memiliki izin untuk mengendarai kendaraan pribadi dan memilih untuk menggunakan ojek online
sebagai moda transportasi penunjang kebutuhan perjalanan. Hal ini sejalan dengan Irawan (2019) yang menyatakan
bahwa faktor pendapatan berpengaruh positif pada penggunaan ojek online, sedangkan tingkat pendidikan
berpengaruh negatif pada penggunaan ojek online. Pada penelitian tersebut, usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh
pada penggunaan ojek online.
3.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
Pengujian yang kedua ialah Uji Asumsi Klasik untuk mengukur validitas hasil uji regresi linear. (a) Pada analisis
pemodelan ini hanya terdapat dua variabel bebas yang bersifat kuantitatif, selebihnya bersifat kategorik, kedua
variabel tersebut adalah variabel usia (X2) dan pendapatan (X3). Hasil uji linearitasnya kedua variabel ini memiliki
hubungan linear dengan frekuensi penggunaan. Variabel pendapatan bersifat positif sedangkan variabel usia bersifat
negatif. Akan tetapi hasil analisis regresi secara simultan variabel usia tidak berpengaruh kepada variabel terikat,
frekuensi penggunaan. (b) Hasil uji multikolinearitas menghasilkan nilai tolerance > 0,1 dan VIF <10 maka tidak
terjadi multikolinearitas (Tabel 2). (c) Hasil uji heteroskedastisitas menghasilkan nilai yang dilihat pada kolom Sig.
seluruh nilai variabel bebas > 0,05 tidak terjadi heteroskedastisitas (Tabel 3). Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa hasil uji asumsi klasik analisis pemodelan regresi linear berganda karakteristik pengguna ojek online terhadap
frekuensi penggunaan di Yogyakarta ini valid.
Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Multikolinearitas
Variabel Tolerance VIF
Konstanta
X1 0,924 1,082
X2 0,800 1,250
X3 0,853 1,172
X4 0,942 1,061
X5 0,893 1,120
X6 0,815 1,227
Tabel 3. Rangkuman Hasil Analisis Heteroskedastisitas
Variabel Sig.
Konstanta
X1 0,323
X2 0,575
X3 0,013
X4 0,643
X5 0,304
X6 0,996
480
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh faktor-faktor sosial demografi pengguna
ojek online terhadap frekuensi penggunaannya di Yogyakarta. Secara simultan variabel jenis kelamin (X1),
pendapatan (X3), kepemilikan sepeda motor (X4), serta pendidikan (X6) berpengaruh kepada frekeuensi
penggunaannya sedangkan variabel usia (X2) dan status tinggal (X5) responden tidak berpengaruh terhadap frekuensi
penggunaan ojek online di Yogyakarta. Responden berjenis kelamin perempuan berpotensi lebih tinggi dalam
peningkatan penggunaan ojek online. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi penggunaan ojek online pula.
Sedangkan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil potensi penggunaan ojek online. Responden yang tidak
memiliki sepeda motor memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan yang memiliki sepeda motor. Analisis ini
juga telah dilakukan uji asumsi klasik dan dinyatakan valid berdasarkan uji normalitas, uji linearitas, uji
multikolinearitas, uji heteroskedastisitas.
REFERENSI
Anwar, A. A. (2017). “Online vs Konvensional: Keunggulan dan Konflik Antar Moda Transportasi di Kota
Makassar”. ETNOSIA : Jurnal Etnografi Indonesia, 2(2), 220.
Brown, A. (2018). "Ridehail revolution: Ridehail travel and equity in Los Angeles". Ph.D. Thesis, UCLA, Los
Angeles, California.
Circella, G., Alemi, F., Tiedeman, K., Handy, S., and Mokhtarian, P. (2018). "The Adoption of Shared Mobility in
California and Its Relationship with Other Components of Travel Behavior". Research Report, UC Davis, Davis,
California.
Clewlow, R. R., & Mishra, G. S. (2017). "Disruptive Transportation: The Adoption, Utilization, and Impacts of Ride-
Hailing in the United States". Research Report, UC Davis, Davis, California.
Conway, M., Salon, D., & King, D. (2018). "Trends in Taxi Use and the Advent of Ridehailing, 1995–2017: Evidence
from the US National Household Travel Survey". Urban Science, 2(3), 79.
Dias, F. F., Lavieri, P. S., Kim, T., Bhat, C. R., & Pendyala, R. M. (2019). "Fusing Multiple Sources of Data to
Understand Ride-Hailing Use". Transportation Research Record, 2673(6), 214–224.
Grahn, R., Harper, C. D., Hendrickson, C., Qian, Z., & Matthews, H. S. (2020). "Socioeconomic and usage
characteristics of transportation network company (TNC) riders". Transportation, 47(6), 3047–3067.
Ilavarasan, P. V, Verma, R. K., & Kar, A. K. (2018). Urban Transport in the Sharing Economy Era Collaborative
Cities. CIPPEC.
Irawan, M. Z., Belgiawan, P. F., Joewono, T. B., & Simanjuntak, N. I. M. (2020). "Do Motorcycle-Based Ride-
Hailing Apps Threaten Bus Ridership? A Hybrid Choice Modeling Approach With Latent Variables". Public
Transport, 12(1), 207–231.
Sikder, S. (2019). "Who Uses Ride-Hailing Services in the United States?". Journal of the Transportation Board,
2673(12).
Tang, B. J., Li, X. Y., Yu, B., & Wei, Y. M. (2020). "How app-based ride-hailing services influence travel behavior:
An empirical study from China". International Journal of Sustainable Transportation, 14(7), 554–568.
Tirachini, A. (2020). "Ride-hailing, travel behaviour and sustainable mobility: an international review". In
Transportation, 47(3).
Tirachini, A., & del Río, M. (2019). "Ride-hailing in Santiago de Chile: Users’ characterisation and effects on travel
behaviour". Transport Policy, 82, 46–57.
Young, M., & Farber, S. (2019). "The who, why, and when of Uber and other ride-hailing trips: An examination of
a large sample household travel survey". Transportation Research Part A: Policy and Practice, 119, 383–392.
481
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Kajian Efektivitas Halte Bus BRT Transjateng Purwokerto
Juanita*, B. Prastio
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Penyelenggaraan transportasi bus BRT Transjateng di Purwokerto ditunjang dengan penempatan halte bus untuk kelancaran
operasional bus dalam pelayanan pada penumpang bus. Peningkatan kualitas layanan operasional bus perlu ditunjang tata letak
halte bus. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektivitas infrastruktur halte bus BRT Transjateng di Purwokerto sehingga
memungkinkan operasional aman dan lancar. Tinjauan efektivitas halte bus didasarkan pada kelengkapan fasilitas halte,
kondisi fisik halte, dimensi halte, dan penempatan halte BRT terhadap ruang lalu lintas. Kelengkapan fasilitas halte ditinjau
dari fasilitas utama dan fasilitas tambahan halte. Hasil analisis tingkat efektivitas halte bus tinggi mencapai 17 %, efektivitas
sedang 37 % dan rendah 47%.
Kata kunci: Efektivitas, Halte, Tata letak, Kondisi, Bus.
1 PENDAHULUAN
Menyediakan angkutan umum yang murah, nyaman, dan tepat sangat membantu mengurangi jumlah kendaraan di
jalan (Mahfudhi and Handoyo, 2014). Jenis transportasi umum yang mulai banyak dipilih adalah jenis bus rapid
transit (BRT). Sistem bus rapid transit telah terbukti memiliki banyak keunggulan termasuk keterjangkauan,
kendaraan berkapasitas tinggi, dan layanan yang andal (Li et al., 2012). Angkutan umum Purwokerto sebelum ada
BRT yaitu angkot. Hasil penelitian indeks kepuasan pengguna sebesar 57 % kinerja pelayanan masih dianggap
kurang baik oleh pengguna. Pelayanan yang harus ditingkatkan diantaranya jam operasi angkot, waktu kedatangan
dan keberangkatan angkot, kemudahan perpindahan angkot, kecepatan operasi angkot, kebersihan dalam angkot
dan tidak ada gangguan dari penumpang lain karena merokok atau membuang sampah dalam angkot (Juanita and
Pinandita, 2015). Kendaraan untuk beraktifitas bekerja, kampus dan sekolah mencapai 70 % menggunakan sepeda
motor sedangkan lainnya dengan mobil dan penggunaan kendaraan tidak bermotor (Juanita and Anjarwati, 2013).
Upaya mendorong penggunaan angkutan umum, Pemerintah Daerah dalam memberikan peningkatan layanan
secara resmi membuka operasional BRT di Purwokerto, pada tanggal 13 Agustus 2018 oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah dengan rute Terminal Bulupitu (Purwokerto) menuju Terminal Bukateja (Purbalingga). Secara
geografis BRT Transjateng melewati dua kota, yaitu purwokerto dan purbalingga. Untuk mengetahui operasional
layanan BRT Transjateng perlu diketahui efektivitas halte bus untuk evaluasi dan peningkatan layanan
operasional BRT Transjateng. Halte menjadi tempat para penumpang naik dan turun bus, dengan dilengkapi oleh
berbagai fasilitas yang menunjang keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna. Penentuan tingkat pelayanan
merupakan salah satu cara mengetahui efektivitas kebijakan lalu lintas (Menteri Perhubungan, 2006). Efektivitas
halte harus diukur agar bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah dan peningkatan di masa depan dengan
memperhatikan segala kekurangan yang dimiliki halte BRT Transjateng saat ini. BRT Transjateng merupakan
transportasi publik yang cukup murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat baik pelajar ataupun para pekerja.
Beberapa penelitian mengukur tingkat efektivitas BRT didasarkan pada pengendalian real-time untuk menghindari
kemacetan kendaraan bus / BRT (Li et al., 2012). Tetapi efektivitas halte bus perlu juga ditinjau dari aspek
perencanaan infrastruktur yang didasarkan pada kelengkapan fasilitas halte, kondisi fisik halte, dimensi halte, dan
penempatan halte BRT terhadap ruang lalu lintas. Dampak halte bus dapat memberikan mekanisme pada
aksesibilitas transit, konektivitas transit, perubahan jadwal transit (untuk meningkatkan / mengurangi headway),
dan perubahan pola penggunaan lahan pada penumpang (Chakour and Eluru, 2016). Tujuan penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui efektivitas perencanaan infrastruktur halte BRT Transjateng Purwokerto yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi terkait dalam pengembangan halte BRT Transjateng Purwokerto di
masa yang akan datang. Selain itu penelitian diharapkan dapat berkontribusi terhadap aspek perencanaan
infrastruktur untuk pelayanan angkutan umum.
482
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2 KAJIAN LITERATUR
Efektivitas mempunyai intrepretasi yang luas, pada penilaian social ekonomi biasa digunakan untuk investasi
transportasi mengenai profitabilitas dan efektivitas biaya proyek (Brooks and Schellinck, 2013). Konsekuensi,
efektivitas dan pengeluaran dikaitkan dengan biaya teknis transportasi dan teknis pemeliharaan infrastruktur
(Griskeviciute-Geciene and Griškevičiene, 2016). Beberapa definisi efektivitas angkutan umum dari berbagai
peneliti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Definisi efektivitas dari berbagai peneliti
Peneliti Definisi
Dimensi ekonomi
McCrosson (1978); Talley (1998) Fokus pada output yang dikonsumsi
Fielding et al. (1978) Perbandingan yang dihasilkan dengan keluaran atau tujuan yang diinginkan
Tulkens and Wunsch (1994) Kecukupan penawaran dengan permintaan
Berdasarkan tujuan
Gleason and Barnum (1982) Sejauh mana suatu tujuan telah tercapai
Dajani and Gilbert (1978) Sejauh mana layanan transit mencapai tujuan mobilitas individu dan komunitas
Khan (1981) Kemampuan untuk memenuhi tujuan layanan dan operasional yang lebih luas yang
dihasilkan dari kombinasi kepentingan masyarakat, industri dan pemerintah
Fielding and Lyons (1981) Sejauh mana layanan yang dikonsumsi sesuai dengan tujuan dan sasaran pemerintah
Kelley dan Rutherford (1982) Seberapa baik transit memenuhi tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh kebijakan
pemerintah
Sudut pandang pelanggan
Yeh et al. (2000) Sejauh mana layanan transportasi memenuhi kebutuhan penumpang
Hensher and Prioni (2002) Efektivitas bagi pengguna: kualitas layanan
TCRP (2003) Efektivitas biaya: kemampuan untuk memenuhi permintaan dengan sumber daya
yang ada. Efektivitas layanan: orang yang diangkut berdasarkan sumber daya yang
ada
Sumber : (Diana and Idraulica, 2010)
Berdasarkan pada intrepretasi efektivitas yang luas dan berdasarkan pada Tabel 1, maka disini efektivitas
didefinisikan mengacu pada tujuan dimana efektivitas disini mengacu pada kemampuan dalam pemenuhan tujuan
layanan dan operasional yang dihasilkan dari kombinasi kepentingan masyarakat, industri dan pemerintah.
Penyelenggaraan operasional BRT dengan elemen penting ketersediaan halte ditujukan untuk kepentingan
masyarakat dan pemerintah telah mengatur standar penyelenggaraan halte ditinjau dari kelengkapan fasilitas halte,
kondisi fisik halte, dimensi halte, dan penempatan halte BRT terhadap ruang lalu lintas (Hubdat, 1996). Jika dalam
pelaksanaan infrastruktur ada ketidaksesuaian dengan standar maka mengacu pada kemampuan dalam pemenuhan
tujuan dan operasional akan terdapat ketidakseimbangan kualitas layanan.
Tempat perhentian bus adalah tempat untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang dengan tujuan 1)
menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas; 2) menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan
penumpang umum; 3) menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang; 4)
memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus. Perencanaan lokasi halte
bus mempertimbangkan kenyamanan, keamanan, akses pengguna bus ke lokasi dan operasi angkutan dan lalu lintas
yang aman, sedangkan perencanaan tata letak memastikan bahwa halte berkontribusi terhadap penyediaan system
yang menarik dan dapat diakses oleh penduduk (Kumararaja and Karuppanan, 2016). Fasilitas halte bus terdiri dari
fasilitas utama dan tambahan. Tata letak halte terhadap ruang lalu lintas berjarak maksimal 100 meter terhadap
failitas penyeberangan pejalan kaki, dan 50 meter dari persimpangan (Hubdat, 1996). Kenyamanan berjalan kaki,
akses ke angkutan bus, konektivitas jalan, dan campuran penggunaan lahan merupakan prediktor signifikan dari
volume lalu lintas pejalan kaki pada jarak kurang dari 400 m (Kim et al., 2017). Fasilitas pemberhentian
transportasi umum yang terdapat di beberapa bagian kawasan perkantoran, perdagangan dan pendidikan di kota
Surabaya banyak dihubungkan dengan jalur pejalan kaki atau trotoar (Utomo and Wahjudjanto, 2008). Tata letak
mempengaruhi konektifitas dan aksesibilitas para pengguna bus BRT. Konektivitas spasial terhadap jaringan bus
yang rendah menekankan kebutuhan untuk menambah keandalan koneksi antara node jaringan dan meningkatkan
jumlah jaringan (Chen et al., 2014). Di lingkungan perkotaan dimana halte bus berada harus memperhatikan
kebutuhan pejalan kaki (Bonotti et al., 2015). Pembangunan perumahan seharusnya didekatkan dengan pusat
pelayanan dengan fungsi campuran dan halte perpindahan moda (Wunas and Natalia, 2015).
483
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di sepanjang rute Purwokerto – Purbalingga dimana terdapat 30 halte BRT Transjateng
pada koridor tersebut. Secara keseluruhan alur dari tahapan penelitian disajikan pada Gambar 1.
Pra penelitian Penelitian Tahap akhir
- Persiapan - Teknik - Pengolahan
- Penyusunan pengumpulan data
data
instrumen - Analisis data
- perizinan - Pengumpulan - Hasil
data - Kesimpulan
-
Gambar 1. Tahap penelitian
Teknik pengumpulan data dilakukan berdasarkan jenis data yaitu primer dan sekunder. Data sekunder dilakukan
dengan teknik wawancara dan studi literatur dan data - data yang diperoleh dari dinas terkait yaitu peta, dan daftar
halte BRT Transjateng. Data primer dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan. Pengukuran dilakukan untuk
mengetahui dimensi halte dan jarak antara halte dengan fasilitas pejalan kaki dan persimpangan, sedangkan
pengamatan dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik halte, dan fasilitas halte yang terdapat di setiap halte yang
menjadi objek penelitian. Disamping itu dilakukan pencatatan koordinat halte dengan penggunaan GPS untuk
memetakan tata letak halte bus transjateng. Data primer dalam penelitian ini antara lain : a) Kondisi halte; dinilai
pada aspek: i) kondisi fisik halte (kondisi keterawatan halte) ii) fasilitas halte (fasilitas utama dan fasilitas
tambahan), dan iii) dimensi halte. b) Tata letak halte terhadap ruang lalu lintas yaitu i) jarak penempatan halte
terhadap fasilitas pejalan kaki dan ii) jarak penempatan halte dengan persimpangan.
Pengolahan data dilakukan menggunakan metoda scoring pada masing-masing faktor yang berpengaruh. Penilaian
scoring menggunakan harkat (nominal) 1, 2 dan 3. Scoring didasarkan pada pemenuhan standar halte sesuai
Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum Dirjen Perhubungan Darat 1996.
Klasifikasi penilaian scoring terhadap faktor berpengaruh disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi penilaian scoring pada faktor berpengaruh
No Faktor berpengaruh Kriteria Harkat (scoring)
a. Kondisi halte
1 Kondisi fisik halte Buruk 1
Cukup 2
Terdapat kerusakan pada fasilitas halte Baik 3
Terdapat fasilitas halte yang berkarat atau kotor
Fasilitas halte dalam kondisi terawat Buruk 1
2 Kelengkapan Fasilitas Halte Cukup 2
Fasilitas utama halte tidak lengkap
Fasilitas utama lengkap namun fasilitas tambahan Baik 3
tidak lengkap
Fasilitas utama dan tambahan lengkap Buruk 1
3 Dimensi halte Cukup 2
Dimensi halte < 4x2 meter Baik 3
Dimensi halte = 4x2 meter
Dimensi halte > 4x2 meter Buruk 1
b. Tata letak halte terhadap ruang lalu lintas
Tidak memenuhi standar jarak penempatan halte Cukup 2
terhadap persimpangan dan fasilitas pejalan kaki
Hanya memenuhi salah satu jarak penempatan halte Baik 3
terhadap persimpangan dan fasilitas pejalan kaki
Memenuhi standar jarak penempatan halte dan
fasilitas pejalan kaki
484
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Kelengkapan fasilitas halte ditinjau dari fasilitas utama dan fasilitas tambahan halte. Fasilitas utama meliputi
identitas halte, rambu petunjuk, papan informasi, lampu penerangan dan tempat duduk. Sedangkan fasilitas
tambahan halte antara lain tempat sampah, pagar dan papan iklan pengumuman.
Penilaian efektivitas halte BRT diperoleh melalui total jumlah skor pada masing-masing faktor di
setiap halte. Semakin besar skor yang didapatkan maka tingkat efektivitas semakin tinggi. Teknik analisis
penentuan efektivitas BRT secara keseluruhan diklasifikasikan kedalam tiga kelas, yaitu tingkat efektivitas tinggi,
sedang dan rendah didasarkan pada interval kelas skor yang diperoleh.
4 HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil survei terdapat 30 halte yang tersebar sepanjang jalur lalu lintas BRT Transjateng Purwokerto
dari Terminal Bulupitu sampai Kecamatan Banjarsari, Sokaraja. Penilaian efektivitas halte BRT disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Skor penilaian efektivitas halte BRT
Nama Halte Penilaian Kondisi fisik Dimensi halte Tata letak Jumlah
Fasilitas halte 3 3 3
Terminal Bulupitu 3 1 1 3 12
Simpang Pancurawis 1 2 2 3 6
Simpang 4 Karangbawang 1 1 2 2 2 8
Andang Pangrenan 1 1 2 2 3 7
Bioskop rajawali 1 1 1 1 2 8
Mandiri 1 1 2 2 2 5
Mandiri 1 2 2 3 7
RRI 1 3 3 3 8
Pratista harsa 3 3 3 3 12
Pasar Manis 3 3 3 2 12
Bruderan 1 1 1 2 9
SMAN 1 Purwokerto 1 2 2 3 5
Bioskop Rajawali 2 1 3 3 2 8
Andang Pangrenan 2 1 2 2 3 9
Simpang 4 karangbawang 2 1 3 3 1 8
SPBU Candi Mas 3 3 3 2 10
Depo Pelita 3 2 2 1 11
SMPN 2 Sokaraja 1 2 2 3 6
Kampus 2 UMP 1 2 2 2 8
RS Orthopedi 1 2 2 2 7
Margono Soekarjo 1 2 2 2 7
Klenteng Sokaraja 1 1 2 2 2 7
Klenteng sokaraja 2 1 2 2 3 7
SMPN 1 Sokaraja 1 2 2 1 8
SMPN 1 Sokaraja 2 1 2 2 3 6
SMAN 1 Sokaraja 1 1 2 2 3 8
SMAN 1 Sokaraja 2 1 2 2 2 8
Bulog 1 1 1 2 7
Banjarsari 1 1 2 2 2 5
Banjarsari 2 1 7
Efektivitas halte bus berdasarkan jumlah penilaian dikategorikan rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan Tabel 1
diperoleh rentang nilai 5 – 7,3 pada kategori rendah, rentang nilai 7,4 – 9,7 pada kategori sedang dan rentang nilai
9,8 – 12 pada kategori tinggi. Hasil penilaian efektivitas halte bus diperoleh bahwa 16% mempunyai tingkat
efektivitas tinggi, sedang 37% dan rendah 47%. Gambar 2. menunjukan sebaran tingkat efektivitas halte BRT
Transjateng Purwokerto.
Berdasarkan penilaian diketahui bahwa fasilitas utama halte tidak lengkap mencapai 83% dan fasilitas utama dan
tambahan lengkap hanya 17%. Fasilitas utama yang tidak terdapat di halte BRT Transjateng adalah lampu
penerangan. Fasilitas lampu penerangan banyak dijumpai belum terpasang di halte BRT. Lampu penerangan
485
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
penting untuk keamanan dan kenyamanan penumpang saat malam karena BRT Transjateng beroperasi sampai
pukul 19.00 sehingga diperlukan lampu penerangan.
Gambar 2. Sebaran tingkat efektivitas halte BRT Transjateng Purwokerto
Kondisi fisik halte dalam penelitian ini terkait tingkat keterawatan pada fasilitas utama dan fasilitas tambahan
halte. Kondisi fisik halte didasarkan pada adanya kerusakan, halte tidak terawat atau ketiadaan fasilitas tersebut
pada halte. Kondisi fisik fasilitas halte hasil penilaian diketahui bahwa kondisi cukup baik 53%, kondisi baik 30%
dan kondisi buruk 17%. Kondisi fisik halte, terutama kursi dan identitas halte, fasilitas tempat duduk pada halte
mulai luntur cat pelapisnya dan akhirnya menimbulkan korosi pada tempat duduk tersebut. Selain itu
ditemukan halte yang tidak memiliki identitas halte, rambu petunjuk dan tempat sampah.
Halte yang tersebar di 30 titik berukuran 6,4 x 2 meter, 2 x 2,3 meter, 2 x 2 meter, dan 1,5 x 1,5 meter. Berdasarkan
hal tersebut penilaian dimensi halte yang memenuhi standar hanya 3% dan 97% belum memenuhi standar. Halte
BRT Transjateng Purwokerto yang memenuhi kriteria dimensi yaitu di terminal Bulupitu. Keterbatasan dimensi
berpengaruh pada kemampuan daya tampung penumpang.
Penempatan halte BRT terhadap ruang lalu lintas dibedakan kedalam tiga kategori yang didasarkan pada
penempatan halte terhadap persimpangan dan fasilitas pejalan kaki. Terdapat 14% tidak memenuhi standar, 43%
hanya memenuhi salah satu jarak penempatan halte terhadap persimpangan dan fasilitas pejalan kaki dan 43%
memenuhi standar jarak penempatan halte dan fasilitas pejalan kaki. Disamping itu penempatan halte BRT terdapat
di sekitar sekolah untuk menarik minat pelajar dan mengantisipasi permintaan dari penumpang pelajar untuk
menggunakan BRT. Jarak jangkauan halte, penempatan dan fasilitas halte akan mempengaruhi faktor-faktor
penggunaan halte (Sitohang and Situmorang, 2019). Terdapat 5 halte yaitu di SMAN 1 Purwokerto sebanyak
1 halte, SMPN 2 Sokaraja sebanyak dua halte arah yang berbeda, SMPN 1 Sokaraja, SMAN 1 Sokaraja
sebanyak dua halte yang memiliki arah berbeda. Ditinjau dari penempatan halte terdapat 12 halte yang tidak
memiliki terhadap fasilitas pejalan kaki. Hal tersebut berpengaruh pada keamanan dan ketertiban para pejalan kaki
sebagai pengguna halte ketika menyeberang jalan. Jarak halte terhadap persimpangan juga mempengaruhi
efektivitas penggunaan halte, minimum 50 meter yang ditentukan dirjen perhubungan darat menjadi parameter
dalam menentukan tata letak halte yang lebih ideal di ruang lalu lintas.
5 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil tinjauan pada efektivitas halte BRT Transjateng Purwokerto 16% mempunyai tingkat
efektivitas tinggi, sedang 37% dan rendah 47%. Dimensi halte disepanjang rute belum memenuhi standar 97%
sehingga kapasitas halte masih rendah. Kondisi halte yang ditinjau dari kondisi fisik halte (keterawatan fasilitas)
53% cukup baik, sedangkan kelengkapan fasilitas masih kurang, tetapi aksesibilitas ditinjau dari tata letak halte
(penempatan halte) terhadap ruang lalu lintas, yaitu jarak pada persimpangan dan zebra cross
memiliki efektivitas cukup baik 43%, baik 43% dan buruk hanya 14%. Diperlukan perencanaan infrastruktur yang
matang untuk pelayanan angkutan umum terkait fasilitas, dimensi halte dan tata letak halte. Penelitian lanjutan
486
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
diperlukan kajian efektivitas biaya investasi terhadap profitabilitas dan biaya pemeliharaan sehingga infrastruktur
halte dapat memberikan kenyamanan penumpang BRT.
REFERENSI
Bonotti, R., Rossetti, S., Tiboni, M., and Tira, M. (2015). "Analysing Space-Time Accessibility Towards the
Implementation of the Light Rail System: The Case Study of Brescia.” Planning Practice and Research, 30, 424–
442.
Brooks, M. R., and Schellinck, T. (2013). "Measuring Port Effectiveness : What Really Determines Cargo Interests
’ Evaluations Of Port Service Delivery ?" 13th WCTR, July 15-18, 2013 – Rio de Janeiro, Brazil, 1–17.
Chakour, V., and Eluru, N. (2016). "Examining the influence of stop level infrastructure and built environment on
bus ridership in Montreal.” Journal of Transport Geography, 51, 205–217.
Chen, S., Claramunt, C., and Ray, C. (2014). "A spatio-temporal modelling approach for the study of the
connectivity and accessibility of the Guangzhou metropolitan network.” Journal of Transport Geography, 36, 12–
23.
Diana, M., and Idraulica, D. (2010). "Performance Indicators For Urban Public Transport Systems With A Focus
On Transport Policy Effectiveness Issues.” 12th WCTR, 1–26.
Griskeviciute-Geciene, A., and Griškevičiene, D. (2016). "The Influence of Transport Infrastructure Development
on Sustainable Living Environment in Lithuania.” Procedia Engineering, 134, 215–223.
Hubdat, D. (1996). Pedoman teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum, Direktur
Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta, Indonesia.
Juanita, and Anjarwati, S. (2013). Analisis Pergerakan Bangkitan Perumahan di Purwokerto Berdasarkan Sosio
Ekonomi. Penelitian LPPM UMP.
Juanita, and Pinandita, T. (2015). "Analisis Pelayanan Angkutan Umum Dalam Kota Purwokerto Berdasarkan
Metoda Importance Performance Analysis Dan Customer Satisfaction Index.” Techno, 16(2), 79–84.
Kumamaraja, P. and Karuppanan, G. (2016). "Planning of Bus Stops for Safe and Effecient Passenger Boarding
and Alighting.” International Journal of Engineering Research and Technology, 5(06), 296–304.
Wunas, S. and Natalia, V. V. (2015). Perkembangan jaringan prasarana transportasi menuju kota mega (studi
kasus kota makassar), Makassar, Indonesia.
Kim, T., Sohn, D. W., and Choo, S. (2017). "An analysis of the relationship between pedestrian traffic volumes and
built environment around metro stations in Seoul.” KSCE Journal of Civil Engineering, 21(4), 1443–1452.
Li, F., Duan, Z., and Yang, D. (2012). "Dwell time estimation models for bus rapid transit stations.” Journal of
Modern Transportation, 20(3), 168–177.
Mahfudhi, U. A., and Handoyo, P. (2014). "Penanggulangan Kemacetan Dan Kebutuhan Alat Transportasi Di Kota
Surabaya Uzair.” Paradigma, 2(3), 2014.
Menteri Perhubungan. (2006). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan, Kementrian Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Sitohang, O., and Situmorang, A. E. (2019). "Analisis Efektivitas Halte di Kota Medan." Jurnal Rekayasa
Konstruksi Mekanika Sipil, 2(1), 58–74.
Utomo, N., and Wahjudjanto, I. (2008). "Analisa Tingkat Pelayanan Jalur Pejalan Kaki Yang Sinergis Dengan
Fasilitas Transportasi Publik Di Kota Surabaya." Jurnal Rekayasa Perencanaan, 4(3).
487
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Pengaruh Variasi Mutu Beton terhadap Interface Shear Strength antara Rigid
Pavement dan AC-WC
P. D. Marsela1*, M. F. Siswanto2, L. B. Suparma2
1Mahasiswa Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, INDONESIA
2Dosen Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Departemen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Perkerasan jalan beton yang telah mengalami penurunan kinerjanya perlu ditingkatkan lagi dengan melakukan pelapisan ulang
dengan campuran beraspal di atasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mutu beton pada pelapisan ulang
campuran beraspal AC-WC pada rigid pavement terhadap kekuatan gesernya. Metode SNI 03-2834-2000 dan Spesifikasi
Bina Marga tahun 2018 untuk perencanaan campuran beton dan AC-WC digunakan dalam penelitian ini. Silinder beton
ukuran Ǿ 100 mm × 200 mm sebanyak 15 buah digunakan pada uji kuat tekan. Untuk uji kuat geser lekatan digunakan
ketebalan rigid pavement 12 cm dan lapisan AC-WC 5cm saat beton berumur lebih dari 28 hari. Hasil ujinya dikontrol dengan
analisis pemodelan menggunakan software BISAR 3.0. Dari hasil pengujian diperoleh kesimpulan bahwa semakin tinggi mutu
beton semakin tinggi pula kuat geser lekatan antara rigid pavement dan lapisan AC-WC di atasnya. Kuat geser lekatan tertinggi
rata-rata didapat sebesar 0,78 MPa pada mutu beton 50 MPa. Hasil ini lebih tinggi dari analisis pemodelan dengan BISAR 3.0
dengan asumsi full bonding (0,581MPa) dan lebih rendah dengan asumsi full slip (0,967 MPa).
Kata kunci: Mutu Beton, Kuat Geser, Rigid Pavement, AC-WC, BISAR 3.0.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstruksi perkerasan jalan dibuat agar dapat melayani pengguna jalan, dimana pengguna jalan dapat merasa
nyaman, aman dan lancar dalam berlalu lintas. Konstruksi perkerasan jalan ini akan menurun kinerjanya setelah
umur rencana dilampaui atau adanya peningkatan arus lalu lintas yang sangat besar yang tidak sesuai dengan
rencana awal. Pengereman atau putaran roda sering kali menyebabkan permukaan perkerasan bergeser dan berubah
bentuk atau deformasi (Pavement Interactive, 2020).
Berdasarkan bahan pengikatnya, lapis perkerasan jalan dibagi menjadi dua kategori yaitu lapis perkerasan kaku
(rigid pavement) bahan pengikatnya berupa semen sedangkan lapis perkerasan lentur (flexible pavement) bahan
pengikatnya berupa aspal. Penggunaan perkerasan kaku di Indonesia terus berkembang dengan cepat, baik untuk
jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi, jalan kota bahkan jalan-jalan perumahan. Rigid Pavement adalah konstruksi
perkerasan dengan bahan baku agregat menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya, sehingga mempunyai
tingkat kekakuan yang relative cukup tinggi khususnya bila dibandingkan dengan flexibel pavement.
Pada konstruksi jalan beton yang sudah mengalami penurunan kinerja perlu ditingkatkan dengan beberapa cara
yaitu melakukan penambalan di seluruh kedalam pada perkerasan yang terjadi kerusakan, membongkar dan
mengganti material yang jelek dengan material yang bagus kemudian dipadatkan, melakukan pengisian celah pada
retak yang berkelok-kelok dengan aspal dan melakukan pembangunan kembali perkerasan dengan lapis tambahan
(overlay) aspal (Hardiyatmo, 2009). Sebelum dilakukan overlay, diberikan lapisan perekat (tack coat) terlebih
dahulu di antara perkerasan lama dan baru. Penelitian ini fokus pada perbaikan konstruksi jalan beton dengan
menggunakan metode overlay. Peran tack coat adalah untuk memberikan ikatan adhesif yang memadai antar
lapisan perkerasan sehingga berperilaku sebagai struktur monolitik (Tashman et al., 2006).
Minimnya penelitian serta referensi mengenai variasi mutu beton terhadap kuat geser, oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh variasi mutu beton terhadap kuat geser pada rigid pavement dan AC-WC.
Pada penelitian ini dilakukan analisis menggunakan software BISAR 3.0 untuk mendapatkan nilai tegangan geser
minimum yang direncanakan.
488
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2 METODE PENELITIAN
2.1 Pengujian di Laboratorium
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Bangunan dan Laboratorium Transportasi Fakultas Teknik
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Variasi mutu beton yang digunakan yaitu 20
MPa, 27,5 MPa, 35 MPa, 42,5 MPa, dan 50 MPa. Penelitian ini menggunakan metode SNI 03-2834-2000 dan
Spesifikasi Bina Marga tahun 2018 pada perancangan campuran beton dan AC-WC, SNI 1974:2011 pada
pengujian kuat tekan beton. Benda uji yang digunakan, berbentuk silinder dengan ukuran Ǿ 10 cm× 20cm untuk
kuat tekan beton dan Ǿ 10 cm × 17 cm untuk kuat geser terdiri dari rigid pavement dengan ketebalan 12 cm dan
AC-WC 5,0 cm. Pembuatan benda uji kuat geser dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pertama melakukan
pembuatan benda uji rigid pavement dengan menggunakan komposisi campuran yang telah sesuai dan telah
ditargetkan dalam penelitian ini. Tahap kedua yaitu proses pemberian lapis perekat (tack coat), pada penelitian ini
menggunakan tack coat aspal emulsi tipe CRS-1 dengan takaran 0,75 l/m2. Tahap ketiga yaitu pembuatan lapisan
AC-WC. campuran AC-WC dipadatkan menggunakan alat pemadatan manual dengan jumlah tumbukan 1 × 75
tumbukan. Pada saat ketiga tahapan telah selesai dilakukan, kemudian masuk pada tahapan pengujian kuat geser
yang dilakukan di Laboratorium untuk mengetahui kuat geser antara lapisan rigid pavement dan AC-WC. Pada
penelitian ini menggunakan alat Marshall Test yang digunakan untuk mendapatkan parameter Marshall namun
telah dilengkapi perangkat Leutner Test. Pengoperasian alat uji kuat geser ini dilakukan secara otomatis dan
menampilkan hasil pengujian kuat geser melalui monitor DSU merek ELE international yang telah disediakan.
Berdasarkan hasil pengujian kuat geser diperoleh nilai beban maksimum (kg) dan displacement (mm) untuk setiap
variasi mutu beton.
2.2 Analisis Struktur Perkerasan Menggunakan BISAR 3.0
Analisis karakteristik material struktur perkerasan yang digunakan pada tahapan analisis berpedoman pada Manual
Desain Perkerasan Jalan 2017. Software BISAR (Bitumen Stress Analysis in Road) 3.0 adalah program komputer
untuk menghitung defleksi dan kemampuan menghadapi kekuatan horizontal dan slip antara lapisan perkerasan
serta menghitung stress komprehensif dan profil regangan seluruh struktur. Menurut Nonde (2014), koefisien
gesekan antara roda dan permukaan perkerasan diasumsikan berkisar antara 0 – 0,5 beban horizontal didefinisikan
dengan mengalikan koefisien ini dengan nilai beban vertikal. Pembebanan yang dimodelkan menggunakan
kombinasi beban vertikal dan horizontal yang berasal dari beban kendaraan dengan konfigurasi roda single axle
dual wheel standar sebesar 80 kN. Kondisi permukaan lapisan diasumsikan pada dua kondisi antarmuka yaitu
kondisi ikatan penuh (full bonding) dan kondisi tanpa ikatan (full slip). Dalam pemodelan perlu diperhatikan bahwa
full slip diasumsikan sebagai 0,99 (tidak persis sama dengan 1,0) dan full bonding sebagai 0,01 untuk tujuan
perhitungan. Penggunaan software BISAR 3.0 pada penelitian ini untuk mencari nilai tegangan geser maksimum,
tegangan geser maksimum yang diperoleh ditetapkan menjadi batas nilai kuat geser minimum rencana yang
dibutuhkan lapisan perkerasan untuk menahan pembebanan yang direncanakan.
3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Analisis Pengujian Kuat Geser
Pengujian kuat geser yang dilakukan pada variasi mutu beton karena ingin mengetahui pengaruh dari beberapa
mutu beton yang berbeda terhadap kuat geser pada rigid pavement dan AC-WC dengan menggunakan tack coat
aspal emulsi jenis CRS-1 dengan volume sebaran 0,75 l/m2 karena kinerja tack coat lebih baik menggunkaan
volume di atas 0,23 l/m2 (Yildrim et al., 2005). Menurut Leng et al. (2008), lapisan HMA-PCC lebih banyak
menyerap tack coat, sehingga penggunaan volume tack coat harus lebih tinggi. Volume tack coat 0,75 l/m2
merupakan volume yang masih dalam batasan yang disyaratkan Spesifikasi Umum Bina Marga 2018. Hasil
pengujian geser kemudian direkapitulasi menajdi hasil nilai rata-rata kuat geser dan displacement nilai rekapitulasi
ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.
489
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 1. Hasil rata-rata pengujian kuat geser.
No Mutu Beton Kuat Geser Kuat Geser Displacement
(MPa) (kg/cm2) (MPa) (mm)
1 20 6,63 0,66 0,84
2 27,5 7,22 0,72 0,75
3 35 7,43 0,74 0,76
4 42,5 7,67 0,76 1,01
5 50 7,86 0,78 0,82
Kuat Geser (MPa) 0.90
0.80
0.70 10 20 30 40 50 60
0.60 Mutu Beton (MPa)
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0
Gambar 1. Grafik hubungan antara kuat geser dan Variasi Mutu Beton.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1, seiring besarnya nilai mutu beton menunjukkan bahwa nilai kuat geser
semakin meningkat dimulai dari mutu beton 20 MPa hingga mutu beton 50 MPa dan belum mendapatkan nilai
penurunan dari kuat geser sehingga belum diketahui pada mutu beton berapa akan terjadi penurunan kuat geser.
Kekuatan geser interface tertinggi diperoleh sebesar 0,78 MPa pada mutu beton tertinggi yaitu 50 MPa dalam
penelitian ini di antara 5 variasi mutu beton yang diamati. Mutu beton yang rendah memiliki pengaruh terhadap
kuat geser karena pada penelitian ini untuk mutu beton 20 MPa memiliki nilai kuat tekan beton yang rendah
sehingga tidak dapat menahan beban geser yang lebih besar. Dapat disimpulkan juga bahwa mutu beton yang
rendah tidak cocok bila digunakan sebagai perkerasan untuk lalu lintas yang tinggi.
Variasi mutu beton berpengaruh terhadap kekuatan geser, apabila dalam penerapan di lapangan menggunakan mutu
beton yang rendah maka perkerasan tersebut tidak dapat menerima beban geser yang tinggi sehingga dapat
menimbulkan permasalahan dalam kerusakan jalan. Namun, apabila menggunakan mutu beton yang tinggi akan
meminimalisir permasalahan pada kerusakan jalan yang diakibatkan oleh adanya gaya geser yang timbul akibat
adanya percepatan dan perlambatan dari kendaraan yang melintasi perkerasan jalan.
Mutu beton dengan kualitas yang baik akan menghasilkan suatu perkerasan yang baik , jadi apabila perkerasan
beton dengan mutu tinggi di terapkan di lapangan sebagai perkerasan existing kemudian diberikan tack coat dengan
takaran yang yang pas sebagai pengikat antara rigid pavement dan AC-WC maka akan menjadi satu kesatuan yang
dapat menahan gaya geser yang timbul pada perkerasan, karena apabila menggunakan takaran tack coat yang
berlebihan maka akan membuat fungsi dari tack coat itu sendiri yang dimana berfungsi sebagai pengikat namun
bila dengan menggunakan takaran yang berlebih akan berfungsi sebagai pelumas atau pelicin (Yulianto, 2002).
490
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3.1. Hasil Analisis Pemodelan Struktur Perkerasan Menggunakan BISAR 3.0
Pada penelitian ini menggunakan pemodelan tegangan geser pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur yang
diberikan variasi pembebanan menggunakan perangkat lunak BISAR 3.0. pemodelan digunakan asumsi FB (full
bonding) dan FS (full slip), Pembebanan kendaraan dengan konfigurasi roda single axle dual wheel standar dengan
pembebanan arah vertikal (beban kendaraan) dan horizontal (beban saat pengereman). Penelitian ini memodelkan
dua variasi beban yaitu beban vertikal (beban kendaraan) standar 80 kN dan horizontal (beban saat pengereman)
standar 10 kN. Hasil pemodelan yang dimodelkan menggunakan software BISAR 3.0 dilakukan rekapitulasi dan
analisis terhadap hasil tegangan geser, mutu beton dan depth (kedalaman) dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3,
Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6.
Tabel 2. Hasil rekapituasi nilai shear stress dan displacement , mutu beton 20 MPa
Pembebanan standar (80 kN)
Depth FB FS
(m) Shear stress
Shear stress Displacement (m) (MPa) Displacement (m)
0,05 (MPa) 0,824
0,17 0,0001821
0,27 0,4432 0,00003732 0,748 0,00004867
0,0000203
0,2385 0,00002946 0,3751
0,3145 0,00002379
Tabel 3. Hasil rekapituasi nilai shear stress dan displacement , mutu beton 27,5 MPa
Pembebanan standar (80 kN)
Depth FB FS
(m) Shear stress
Shear stress Displacement (m) (MPa) Displacement (m)
0,05 (MPa) 0,8881
0,17 0,0001821
0,27 0,5004 0,00003732 0,8012 0,00004867
0,0000203
0,3003 0,00002946 0,3358
0,2994 0,00002379
Tabel 4. Hasil rekapituasi nilai shear stress dan displacement, mutu beton 35 MPa
Pembebanan standar (80 kN)
Depth FB FS
(m) Shear stress
Shear stress Displacement (m) (MPa) Displacement (m)
0,05 (MPa) 0,9042
0,17 0,0001821
0,27 0,5157 0,00003732 0,8151 0,00004867
0,0000203
0,3172 0,00002946 0,3266
0,2954 0,00002379
Tabel 5. Hasil rekapituasi nilai shear stress dan displacement, mutu beton 42,5 MPa
Pembebanan standar (80 kN)
Depth FB FS
(m) Shear stress
Shear stress Displacement (m) (MPa) Displacement (m)
0,05 (MPa) 0,9668
0,17 0,0001821
0,27 0,5805 0,00003732 0,8697 0,00004867
0,0000203
0,3907 0,00002946 0,2924
0,279 0,00002379
491
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 6. Hasil rekapituasi nilai shear stress dan displacement, mutu beton 50 MPa
Pembebanan standar (80 kN)
Depth FB Displacement (m) FS Displacement (m)
(m) Shear stress
Shear stress (MPa) 0,0001821
0,05 (MPa) 0,9675 0,00004867
0,17 0,0000203
0,27 0,5812 0,00003732 0,8702
0,3916 0,00002946 0,2921
0,278 0,00002379
Berdasarkan hasil rekapitulasi pada tabel di atas, menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan nilai
tegangan geser secara teratur dengan semakin bertambahnya kedalaman titik pembebanan pada perkerasan yang
dimodelkan untuk semua mutu. Semakin bertambahnya nilai kedalaman akan menyebabkan pembebanan yang
dimodelkan terdistribusi dan tereduksi hingga pada kedalaman tertentu nantinya nilai tegangan geser yang
dihasilkan akan bernilai 0,0 MPa.
Analisis hubungan dan pengaruh mutu beton terhadap tegangan geser dari hasil pemodelan terhadap struktur
perkerasan komposit dilakukan untuk melihat bagaimana hubungan dan pengaruh tegangan geser terhadap mutu
beton akibat dari pembebanan vertikal dan horizontal yang disalurkan kendaraan pada perkerasan jalan. Untuk
lebih jelasnya hubungan mutu beton terhadap tegangan geser dapat dilihat pada Gambar 2.
1.2
1.1 FB (Full
1 Bonding)
Shear Stress (MPa) 0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60
Mutu Beton (MPa)
Gambar 2. Grafik hubungan antara mutu beton dan shear stress
Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai tegangan geser secara teratur dengan semakin
bertambahnya nilai mutu beton pada perkerasan komposit yang dimodelkan. Semakin besarnya nilai mutu beton
menyebabkan besarnya nilai modulus elastisitas yang ada pada perkerasan beton sehingga terjadi peningkatan nilai
tegangan geser yang terjadi pada struktur perkerasan. Pada dasarnya, Perkerasan yang dimodelkan dengan full
bond interface mengalami tegangan geser yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dimodelkan dengan
kondisi full slip (Nonde, 2014). Namun pada penelitian ini, nilai tegangan geser dengan asumsi full slip diperoleh
nilai yang relatif besar. Nilai tegangan geser yang relatif lebih besar ini diksebabkan oleh adanya perbedaan nilai
modulus elastisitas. Nilai modulus elastisitas rigid pavement lebih tinggi dibandingkan dengan nilai modulus
elastisitas AC-WC. Perbedaan nilai modulus elastisitas antara kedua lapisan akan berpengaruh terhadap nilai
tegangan geser, semakin tinggi perbedaan nilai modulus elastisitas antar lapisan akan menyebabkan semakin
tingginya tegangan geser yang dihasilkan. Perbedaan modulus antara lapisan Hot Mix Asphalt (HMA) dan Portland
Concrete Cement (PCC) dapat membuat antarmuka (interface) di antara dua lapisan ini lebih cenderung gagal
dalam mode geser (Ozer et al., 2012).
492
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
4 KESIMPULAN
Variasi mutu beton memiliki pengaruh terhadap kuat geser. Faktor yang mempengaruhi adalah adanya perbedaan
nilai modulus elastisitas antara rigid pavement dan AC-WC, nilai modulus elastisitas rigid pavement lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai modulus elastisitas AC-WC. Semakin besar nilai mutu beton menyebabkan besarnya
nilai modulus elastisitas yang ada pada perkerasan beton. Semakin tinggi perbedaan nilai modulus elastisitas antara
rigid pavement dan AC-WC akan menyebabkan semakin tingginya tegangan geser yang dihasilkan.
Hasil kuat geser lekatan tertinggi rata-rata didapat sebesar 0,78 MPa pada mutu beton 50 MPa. Hasil ini lebih tinggi
dari analisis pemodelan dengan BISAR 3.0 dengan asumsi full bonding (0,581MPa) dan lebih rendah dengan
asumsi full slip (0,967 MPa). Pada asumsi dengan full slip nilai kuat geser dianggap tidak memenuhi tegangan
geser minimum karena hasil tegangan geser minimum lebih besar dari nilai kuat geser pengujian di laboratorium,
karena sebaiknya nilai kuat geser di laboratorium harus lebih besar dari nilai tegangan geser rencana yang telah
dianalisis menggunakan software BISAR 3.0, jika demikian maka hasil penelitian bila diasumsikan dengan full slip
tidak bisa diterapkan di lapangan walaupun kondisi untuk full slip tidak mungkin terjadi karena tidak ada ikatan
antar lapisan.
REFERENSI
Leng, Z., Ozer, H., Al-Qadi, I. L., and Carpenter, S. H. (2008). “Interface Bonding Between Hot-Mix Asphalt And
Various Portland Cement Concrete Surface.” Transportation Research Record: Journal Of The Transportation
Research Board, 2057(1), 46-53.
Nonde, L. (2014). “Effect of Vertical and Horizontal Load on Pavement Interface Shear Stress.” IJERT, 3(10),
1295–1299.
Ozer, H., AL-Qadi, I. L., Wang, H., and Leng, Z. (2012). “Characteristic of Interface Bonding Between Hot-Mix
Asphalt and Concrete Pavements: Modelling and In-Situ to Accelerated Loading.” Internasional Journal of
Pavement Engineering, 13(2), 181-196.
Pavement Interactive. (2020). “Slippage Cracking”, https://pavementinteractive.org/reference-desk/pavement-
management/pavement-distresses/slippage-cracking/ (Accessed December 2020).
Tashman, L., Nam, K., and Papagiannakis, A. T. (2006). Evaluation of the Influence of Tack Coat Construction
Factors on the Bond Strength Between Pavement Layers, Washington State Department of Transportation,
Washington, D.C., USA.
Yildrim, Y., Smit, A. F., and Korkmaz, A. (2005). “Development of a Laboratory Test Procedure to Evaluate Tack
Coat Performance.” Turkish Journal of Engineering and Environmental Science, 29, 195-205.
Yulianto. (2002). “Kuat Geser Aspal Cair Dan Aspal Emulsi Sebagai Tack Coat Antara Wearing Course Dan
Binder Course.” Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
493
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Pengaruh Rendaman Air pada Kinerja Campuran AC-WC Menggunakan
Reclaimed Asphalt Pavement (RAP)
T. Iduwin*, D. P. Purnama, R. Hidayawanti
1Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi PLN, Jakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Penggunaan material pengganti dalam beberapa tahun terakhir sering digunakan pada kegiatan penelitian dan juga dalam
kegiatan kontruksi. Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) merupakan bahan alternatif yang berguna untuk digunakan sebagai
bahan perkerasan jalan karena mengurangi penggunaan agregat alam dan bahan pengikat aspal baru, yang diperlukan untuk
membuat campuran beraspal. Curah hujan yang tinggi dan didukung dengan masih banyak prasarana jalan yang kurang memadai
khususnya drainase dapat mengakibatkan air tergenang hingga banjir. Banjir pada perkerasan jalan nantinya akan merusak
perkerasan jalan dan menyebabkan umur rencana jalan akan berkurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh rendaman air terhadap campuran aspal panas AC-WC dengan menggunakan material RAP 0%, 25% dan 35 %.
Pengujian yang dilakukan adalah uji marshall untuk mendapatkan nilai kadar aspal optimum dan durablitas dengan melakukan
variasi perendaman 0,1, 2, 4 dan 7 hari. Nilai KAO untuk tiap variasi adalah 5,4 % untuk Rap 0%, 5,6 Untuk Rap 25 % dan 6 %
untuk RAP 35 %. Pada pengujian durabilitas didapat nilai indeks durabilitas pertama pada variasi 0%, 25% dan 35 % sebesar
8,23%, 10,57 dan 10,99. Sedangkan untuk nilai indeks durabilitas kedua pada variasi 0%, 25% dan 35 % diperoleh nilai kekuatan
sisa (sa) sebesar 92,26%, 90,38% dan 89,71%.
Kata kunci: Durabilitas, RAP, AC-WC.
1 PENDAHULUAN
Penggunaan material pengganti dalam beberapa tahun terakhir sering digunakan pada kegiatan penelitian dan juga
dalam kegiatan kontruksi. Pada konstruksi pembangunan dan pemeliharaan jalan di Indonesia sendiri memerlukan
kebutuhan material yang sangat banyak.
Di Indonesia kebutuhan menggunakan material aspal berkisar 1,3 juta ton per tahun. Adapun produksi aspal yang
mapu diproduksi di Indonesia hanya sebanyak 900.000 ton per tahun, sehingga masih mengimpor bahan untuk
memenuhi kebutuhan material tersebut (West, 2018).
Keterbatasan material pada kontruksi perkerasan mendorong beberapa praktisi dan akademisi melakukan research
penggunaan bahan pengganti baik dari daur ulang maupun bahan melimpah lainnya. Penggunaan bahan daur ulang
perkerasan. Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) merupakan bahan alternatif yang berguna untuk digunakan sebagai
bahan perkerasan jalan karena mengurangi penggunaan agregat alam dan bahan pengikat aspal baru, yang diperlukan
untuk membuat campuran beraspal (Copeland, 2011).
Pada pengujian laboratorium yaitu pengujian Marshall pada campuran Laston dengan campuran Reclamied Asphalt
Pavement (RAP) sebanyak 35 % dan sampah plastic Low Densty PoIyethylene (LDPE) menjadi bahan adiktif yang
bervariasi 0%, 1%, 3%, dan 5%. Mendapatkan hasil yang bahwa sampah plastik LowDensity PoIyethyIene (LDPE)
berhasil meningkatkan niIai stabiIitas sebesar 0.93%, VFA sebesar 1.42%, VIM sebesat 1,42% dan kadar optimum
plastik yang didapatkan sebesar 4.8% dengan kadar aspaI 6,45%. Penggunaan Low Density PoIyethyIene (LDPE)
dapat menghemat biaya penggunaan aspaI sebesar 3,9% dengan penggunaan kadar plastik 4,8% (Iqbal, 2018).
Berdasarkan penelitian tentang Kinerja Campuran Aspal Beton dengan Reclaimed Asphalt Pavement pada jalan
Nasional Provinsi Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diguakan RAP sebesar 20-40% dan RAP optimum sebesar
20-30%. Hasil penelitiannya menunjukkan kinerja campuran Asphalt Concrete menggunakan Reclaimed Asphalt
Pavement (Widayanti et al., 2017).
Pada penelitian tentang campuran beraspal menggunakan Reclaimed Asphalt Pavement dan agregat slag baja
menjelaskan bahwa penggunaan material RAP dan slag baja mencapai optimum pada kadar RAP 20-25%. Secara
494
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
keseluruhan pada kondisi optimum ini terjadi peningkatan kinerja campuran beraspal dan ketahanan terhadap
kelelahan (West, 2018).
PeneIitian yang berjudul juduI “AnaIisis Penggunaan RecIaimed AsphaIt Pavement (RAP) Sebagai Bahan Campuran
AspaI Dingin Bergradasi Terbuka Dengan Menggunakan AspaI EmuIsi Jenis Kationi” menunjukkan bahwa
komposisi 25% RAP JI. Ir. Soekarno, Tabanan dan 75% materiaI baru memenuhi persyaratan Spesifikasi dengan
Kadar AspaI Optimum sebesar 6,7% yang terdiri dari 5,2% aspaI emuIsi dan 1,5% aspaI RAP. Penggunaan komposisi
tersebut mengakibatkan adanya pengurangan biaya sebesar 21,25% dibandingkan campuran aspaI dingin tanpa RAP
(Permana, 2015).
Indonesia merupakan negara dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Tingginya intensitas curah hujan dan
didukung dengan masih banyak prasarana jalan yang kurang memadai khususnya drainase seperti masih banyak
drainase yang rusak, tidak terawat bahkan masih ada jalan yang tidak memiliki saluran drainase dapat mengakibatkan
air tergenang hingga banjir. Pada saat musim hujan, masih banyak perkerasan jalan di Indonesia yang tergenang oleh
air bahkan mengakibatkan banjir di sekeliling jalan tersebut. Disaat air dalam keadaan tergenang tersebut dapat
mengakibatkan kinerja perkerasan campuran aspal beton berupa ketahanan dan keawetan (durability) jalan menjadi
berkurang.
Melihat besarnya dampak banjir terhadap perkerasan jalan, maka perlu adanya pengetahuan dan inovasi dalam bidang
jalan terus dikembangkan agar didapat kualitas perkerasan jalan yang mampu bertahan pada cuaca ekstrim dan
pertumbuhan lalu-lintas yang tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penulis menilai perlu
dilakukan penelitian dengan pengujian di laboratorium Pengaruh Rendaman Air pada Kinerja campuran AC-WC
mengunakan Reclaimed Asphalt Pavement (RAP).
2 METODE
2.1 Tinjauan Umum
Hal yang ditinjau dalam artikel ini adalah mengetahui nilai korelasi antara penggunaan Rechlamed Asphalt Pavement
(RAP) terhadap nilai marshall immersion pada perkerasan Asphalt Concrete Wearin Coarse (AC-WC).
2.2 Proses Penelitian
Proses penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :
a) Tahap persiapan
a. Mengumpulkan data dan teori dasar tentang material yang akan digunakan sebagai bahan penyususun
perkerasan AC-WC terutama material Rechlamed Asphalt Pavement (RAP)
b. Pendataan dan penyiapan alat-alat serta material yang akan digunakan dalam penelitian.
c. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal penetrasi 60/70 Produksi Pertamina.
2. Air yang digunakan berasal dari Laboratorium UP PPP Bina Marga DKI Jakarta
3. Agregat halus (Pasir)
4. Agregat kasar (Split)
5. Reclaimed Asphalt Pavement (RAP)
b) Tahap pengujian fisis material penyusun
c) Tahap perancangan benda uji
a. Penentuan gradasi agregat
b. Penentuan Kaspal aspal rencana (Pb) dan kada aspal optimum (KAO)
c. Pembuatan Benda Uji
d) Tahap pengujian benda uji
Tahap ini di lakukan pengujian marshall untuk mengevaluasi karakteristik campuran diantaranya VFWA, VITM,
VMA, density, Stabilitas, Flow dan Marshall Quotient. Pengujian selanjutnya adalah pengujian Durabilitas
dengan perendaman 0, 1, 2, 4 dan 7 hari.
495
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
e) Tahap Analisis Data
Pada tahap ini data- data yang di peroleh dari hasil pengujian marshall di analisis dengan bantuan program
microsoft excel untuk mendapatkan hubungan antara variabel – variabel yang diteliti dalam penelitian.
(a) (b)
(c)
Gambar 1. Material RAP
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pemeriksaan Fisis Agregat
Agregat kasar, agregat halus dan filler yang digunakan dalam campuran AC-WC ini berasal dari AMP I Pulo Gadung,
PT. Jaya Kontruksi. Hasil pengujian karakteristik agregat sudah memenuhi spesifikasi Binamarga 2018.
3.2 Penentuan Kadar Aspal Optimum
Dari hasil pengujian kemudian dibuat grafik hubungan antara kadar aspal dengan masing-masing karakteristik uji
Marshall untuk menentukan kadar aspal optimum sesuai spesifikasi.
Kadar Aspal Optimum diperoleh berdasarkan metode narrow range yaitu dengan mengambil nilai tengah dari
karakteristik yang memenuhi persyaratan. KAO yang diperoleh untuk variasi 0 %, 25% dan 35 % secara berurutan
adalah 5,4 %; 5,6 %; dan 6 %.
3.3 Indeks Durabilitas Pertama
Nilai IDP (r) menggambarkan nilai penurunan kuat tekan campuran beton aspal akibat pengaruh rendaman air. Nilai
IDP hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
496
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
12.00 10.57 10.99
10.00
Indeks Durabilitas Pertama (%)
8.00 8.23
6.00
4.00
2.00
0.00 Variasi 0% Variasi 25% Variasi 35%
Nilai IDP 8.23 10.57 10.99
Gambar 2. Indeks Durabilitas Pertama
Pada Gambar 6 terlihat bahwa nilai IDP pada variasi RAP 0%, 25%, dan 35% adalah 8,23%, 10,57%, dan 10,99 %.
Nilai variasi 35% menghasilkan nilai IDP yang paling tinggi dibandingkan dengan 0% dan 25%. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi 0% dan 25% merupakan varisi yang paling tahan terhadap pengaruh air dibandingkan dengan 35%.
3.4 Indeks Durabilitas Kedua
Nilai Indeks Durabilitas Kedua disimbolkan dengan a yang menggambarkan luasan kehilangan kekuatan yang
terbentuk diantara kurva keawetan dengan garis So (nilai absolut dari kekuatan awal) = 100%. IDK menunjukkan
kehilangan kekuatan (a) dan kekuatan sisa (Sa) yang menggambarkan sifat durabilits pada campuran. Hasil penelitian
Indeks Durabilitas Kedua (IDK) penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
100.00 7.74 9.62 10.29
90.00
80.00 Nilai a dan sa (%) 92.26 90.38 89.71
70.00
60.00 Variasi 0% Variasi 25% Variasi 35%
50.00 7.74 9.62 10.29
40.00 92.26 90.38 89.71
30.00
20.00
10.00
0.00
Kehilangan Kekuatan (a)
Kekuatan sisa (sa)
Gambar 3. Nilai Sa dan a
497
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Kekuatan Sisa "Sa" (%)100 95.11 93.82 Kekuatan Sisa "Sa" (%)100 94.37
95 95 92.46
90 90.37 90 88.70
89.39
85 85
85.24
80 80
0 000 0 0 000 0
Lama Perendaman (hari) Lama Perendaman (hari)
(a) (b)
100
Kekuatan Sisa "Sa" (%) 95
90 92.88 92.21
87.84
85
84.81
80 000 0
0 Lama Perendaman (hari)
(c)
Gambar 4. Kehilangan Kekuatan (a) 0%, (b) 25%, (c) 35%
Pada Gambar 7 sampai dengan 10 terlihat bahwa Nilai Indeks Durabilitas Kedua pada variasi RAP 0%, 25% dan
35% secara berurut adalah 7,76%, 9,62%, dan 10,29%. Pada variasi 35%
memiliki nilai penurunan kekuatan (a) yang paling besar yaitu 10,29%, hal ini
menunjukkan bahwa pada variasi RAP 35% memiliki campuran yang paling rentan
penurunan kekuatan terhadap perendaman, dengan variasi RAP 0% dan 25%.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kesimpulan berupa hasil pengujian fisis material
mememenuhi standar Spesifikasi Umum Bina Marga (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018).
Untuk nilai Kadar Aspal Optimum yang didapat untuk masing masing variasi adalah 5,4 % untuk RAP 0%, 5,6 Untuk
Rap 25 % dan 6 % untuk RAP 35 %. Pada pengujian durabilitas didapat nilai Indeks Durabilitas Pertama pada variasi
0%, 25% dan 35 % sebesar 8,23%, 10,57 dan 10,99. Sedangkan untuk nilai Indeks Durabilitas Kedua pada variasi
0%, 25% dan 35 % diperoleh nilai kekuatan sisa (Sa) sebesar 92,26%, 90,38% dan 89,71%. Saran yang dapat
498
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
diberikan terkait dengan hasil penelitian adalah dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan melakukan peneletian
laboratorium tentang penggunaan RAP terhadap pengujian Cantabro dan Indirect Tensile Strength.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemnristek/BRIN yang telah memberikan dana hibah tahun 2020, dan
juga kepada Prodi Teknik Sipil IT PLN, LPPM IT-PLN dan tim penelitian yang telah memberi dukungan dan
membantu pelaksanaan penelitian ini.
REFERENSI
Copeland, A. (2011). "Reclaimed Asphalt Pavement in Asphalt Mixtures: State of the Practice." Report No. FHWA-
HRT-11-021, FHWA, McLean, Virginia.
Iqbal, M. (2018). "Pengaruh Penggunaan Limbah Plastik Tipe Low Density Polyethylene (LDPE) pada Campuran
Perkerasan Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC) dengan Penggunaan Reclaimed Asphalt Pavement (RAP)."
Skripsi, Universitas Andalas, Padang, Indonesia.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2018). Spesifikasi Umum 2018, Kementrian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia.
Permana, I. G. B. M. (2015). "Analisis Penggunaan Reclaimed Asphalt Pavement (RAP) Sebagai Bahan Campuran
Aspal Dingin Bergradaasi terbuka dengan Menggunakan Aspal Emulsi Jenis Kationik (Studi Kasus Material RAP
dari Jalan Ir. Soekarno Tabanan)." Master Tesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia.
West, R. C. (2018). Reclaimed Asphalt Pavement Management." NCAT Report, Auburn University, Auburn,
Alabarma.
Widayanti, A., Ria, A. A. S., Jaya Ekaputri, J., and Suprayitno, H. (2017). "Karakteristik Material Pembentuk
Reclaimed Asphalt dari Jalan Nasional di Provinsi Jawa Timur." Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas,
1(1), 11–22.
499
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Analisis Lajur Khusus Sepeda Motor pada Ruas Jalan Tol Bali
Mandara
K. D. Nursanjaya*, M. Z. Irawan, S. Priyanto
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Sepeda motor adalah kendaraan yang paling disukai untuk transportasi orang Indonesia termasuk masyarakat Bali. Jumlah
kepemilikan kendaraan bermotor juga mengalami kenaikan dari beberapa tahun ini. Penggunaan sepeda motor di Kota Denpasar
sangat mendominasi dan salah satu penyebabnya adalah kurang berkembangnya sektor angkutan umum. Sepeda motor
berkontribusi ke jumlah terbesar data kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Dengan jumlah kepemilikan sepeda motor yang tinggi
kontribusi pengguna sepeda motor yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas masih tinggi. Salah satu solusi yang dapat
mengurangi tingkat kecelakan pengguna sepeda motor adalah dengan membangun lajur sepeda motor dengan pemisah lajur dari
kendaraan roda empat. Jalan Tol Bali Mandara merupakan satu-satunya jalan tol yang berada di Provinsi Bali dan memiliki lajur
khusus untuk pengendara sepeda motor. Dengan demikian penelitian terkait perkembangan layanan lajur khusus sepeda motor
dan keselamatannya pada jalan tol menjadi sangat penting yang dapat memberikan penilaian bagaimana perkembangan layanan
dan apakah indikator keselamatan pada jalan tol tersebut memiliki standar sehingga meminimalisasikan terjadinya kecelakaan
lalu lintas. Penelitian ini juga akan mengetahui konsep pengaruh perkembangan dan keselamatannya sebagai upaya mewujudkan
layanan yang berkeselamatan dan berorientasi pada asas keadilan, kebermanfaatan dan berkepastian hukum pagi pengguna
layanan.
Kata kunci: Lajur Khusus Sepeda Motor, Keselamatan, Perkembangan Layanan.
1 PENDAHULUAN
Sepeda motor adalah kendaraan yang paling disukai untuk transportasi orang Indonesia termasuk masyarakat Bali.
Alasan sepeda motor disukai khususnya masyarakat Bali karena aksesibilitas yang tinggi serta kemudahan bagi
pengguna. Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor juga mengalami kenaikan dari beberapa tahun ini. Penggunaan
sepeda motor di Kota Denpasar sangat mendominasi. Sepeda motor berkontribusi ke jumlah terbesar data kecelakaan
lalu lintas setiap tahun. Berdasarkan jenis kecelakaan yang melibatkan kendaraan, kecelakaan sepeda motor memiliki
persentase 72% sedangkan kecelakaan kendaraan tidak bermotor, mobil penumpang, angkutan orang (bus), barang
transportasi, dan kendaraan khusus memiliki sisa persentase 28%. Penyebab peningkatan kecelakaan yang
melibatkan sepeda motor termasuk meningkatkan kecepatan kendaraan, menyalip kendaraan lain, tidak melibatkan
jarak aman antara kendaraan, dan pejalan kaki yang lewat sembarangan (Vietnamese-German Transportation
Research Centre (VGTRC), 2015).
Gambar 1. Grafik tingkat kecelakaan di Indonesia (Tahun 2016-2018)
500
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Salah satu solusi menangani hal tersebut adalah dengan membangun lajur sepeda motor yang diusulkan oleh Le dan
Nurhidayati (2016) yang nyatakan bahwa pengguna sepeda motor harus diatur dengan menyediakan lajur sepeda
motor dengan pemisah lajur dari kendaraan roda empat. Itu dapat menjadi cara yang efektif untuk mewujudkan jalan
yang aman dan mengurangi tingkat kecelakaan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol yang merupakan perubahan dari
PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol menyatakan sepeda motor dapat melewati ruas jalan tol. Jalan tol tidak
lagi hanya untuk kendaran roda empat keatas. Latar belakang lahirnya perubahan PP Nomor 44 Tahun 2009 yaitu
untuk memberikan kemudahan dan keadilan bagi masyarakat karena sepeda motor merupakan moda transportasi
dengan populasi yang cukup besar di Indonesia. PP Nomor 44 Tahun 2009 menjadi dasar hukum pembangunan dan
pengoperasian dari Lajur Khusus Sepeda Motor di Jalan Tol Bali Mandara. Jalan Tol Bali Mandara merupakan satu
– satunya jalan tol yang berada di Provinsi Bali. Pembangunan jalan tol ini beda dengan jalan tol yang sudah umum
dibangun di Indonesia, dikarenakan memiliki lajur khusus untuk pengendara sepeda motor. Dengan memiliki
perbedaan dengan jalan tol umumnya, menjadikan Jalan Tol Bali Mandara ini penilaian keselamatan tersendiri terkait
lajur khusus sepeda motor.
Jalan Tol Bali Mandara terletak di perbatasan tiga wilayah, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Kuta,
dan Nusa Dua. Panjang dari Jalan Tol Bali Mandara adalah 12,7 km menghubungkan dari Pelabuhan Benoa, Bandara
I Gusti Ngurah Rai dan Kawasan Nusa Dua. Sepanjang 12,7 km jalan tol ini sudah dilengkapi lajur khusus bagi
sepeda motor untuk melintas di jalan tol ini.
Gambar 2. Lajur khusus sepeda motor
Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian terkait perkembangan layanan lajur khusus sepeda motor dan
keselamatannya pada jalan tol menjadi sangat penting dan diharapkan dapat memberikan penilaian perkembangan
layanan dan menunjukkan indikator keselamatan pada jalan tol agar memiliki standar sehingga meminimalisasikan
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini dapat mengetahui konsep pengaruh perkembangan dan
keselamatannya sebagai upaya mewujudkan layanan yang berkeselamatan dan berorientasi pada asas keadilan,
kebermanfaatan dan berkepastian hukum pagi pengguna layanan. Pada penelitian ini masih dalam proses
pengembangan hipotesis.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan perkembangan layanan lajur khusus sepeda motor dan
mengidentifikasi faktor-faktor keselamatan yang mempengaruhi perkembangan layanan lajur khusus sepeda motor
pada Jalan Tol Bali Mandara.
2 STUDI PUSTAKA
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan Lajur Khusus Sepeda Motor
(JKSM). Penelitian terkait Lajur Khusus Sepeda Motor yang telah dijadikan topik penelitian pernah dilakukan
Mulyadi (2015). Penelitian ini membahas hubungan yang saling mempengaruhi antara volume lalu lintas, kecepatan
tempuh, kerapatan, arus lalu lintas, dan derajat kejenuhan pada JKSM di Jembatan Suramadu-Madura. Analisis yang
dilakukan dengan menggunakan data kecepatan tempuh dan volume sepeda motor yang menghasilkan kerapatan,
arus lalu lintas dan derajat kejenuhan. Dari parameter tersebut dihasilkan nilai koefisien korelasi antara volume lalu
501
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
lintas, kecepatan tempuh, kerapatan, arus lalu lintas, dan derajat kejenuhan pada JKSM Suramadu dengan metode
regresi linier. Penelitian dengan topik Lajur Khusus Sepeda Motor juga dilakukan Muhammad Ilham Ashari (2019)
dengan topik “Analisa Perencanaan Lajur Sepeda Motor pada Kawasan Tertib Lalu Lintas di Kota Medan”. Penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja ruas jalan serta perencanaan penetapan lajur khusus sepeda motor pada
kawasan tertib lalu lintas. Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan dengan melakukan pengamatan secara
langsung di ruas Jalan Pangeran Diponegoro dengan menyebarkan surveyor pada titik-titik tertentu guna
memudahkan dalam pencatatan sehingga diperoleh data pengamatan yang valid. Pengamatan langsung dilakukan
dengan pencatatan secara manual data jumlah kendaraan yang melewati ruas Jalan Pangeran Diponegoro, jenis
kendaraan, serta geometrik ruas jalan tersebut.
Penelitian terkait Lajur Khusus Sepeda Motor juga dilakukan oleh Septiansyah (2019). Penelitian ini menggunakan
evaluasi efektivitas implementasi lajur khusus sepeda motor pada ruas Jalan Medan Merdeka Barat, DKI Jakarta
untuk mengetahui penyebab tidak efektifnya lajur, dimana efektivitas ditinjau dari persepsi pengguna lajur khusus
sepeda motor. Analisis persepsi pengguna lajur khusus sepeda motor dilakukan berdasarkan data survei kuesioner
menggunakan metode Importance Peroformance Analysis (IPA). Selanjutnya Hikmana (2014). Penelitian ini
memiliki tujuan untuk Evaluasi Efektivitas Implementasi Lajur Sepeda Motor menggunakan metode Analisis
Statistika Deskriptif serta metode Importance Performance Analysis (IPA) dan metode SWOT untuk mengetahui
kinerja dan strategi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi penggunaan lajur khusus sepeda motor
pada ruas Jalan Raya Darmo Surabaya memberikan pengaruh positif terhadap kelancaran lalu lintas.
3 HIPOTESIS
Adapun hipotesis yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah terdapat perkembangan pada layanan Lajur
Khusus Sepeda Motor dan terdapat berbagai faktor yang menentukan keselamatan dari layanan Lajur Khusus Sepeda
Motor pada Jalan Tol Bali Mandara.
4 PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Layanan Jalur Khusus Sepede Motor
Karakteristik pergerakan sepeda motor yang memiliki mobilitas tinggi serta memiliki kemampuan bermanuver yang
berbeda dengan kendaraan roda empat atau lebih sangat memberikan pengaruh terhadap karakteristik lalu lintas.
Kemampuan tersebut adalah bermanuver secara zig-zag, mendahului kendaraan lain, berhenti mendadak, dan masuk
ke celah-celah kendaraan lainnya saat terjadi antrian kendaraan. Manuver-manuver ini sangat mempengaruhi
kelancaran arus kendaraan roda empat atau lebih. Sepeda motor pada jalan lalu lintas yang heterogen cenderung
memiliki kecepatan tempuh yang lebih rendah daripada kecepatan tempuh sepeda motor pada ruas jalan yang
memiliki lalu lintas yang homogen seperti pada JKSM (Mulyadi, 2015).
Penggunaan sepeda motor yang meningkat dan tingkat kecelakaan yang diakibatkan oleh pengendara sepeda motor
menyebabkan pemerintah memikirkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Pemisahan lalu lintas sepeda motor
dengan lalu lintas kendaraan lainnya serta faktor geometri jalan sangat penting dalam mempengaruhi pergerakan
sepeda motor. Adanya Lajur Khusus Sepeda Motor (LKSM), akan memberikan dua manfaat langsung yaitu adanya
fasilitas jalan bagi pengguna sepeda motor sehingga kendaraan ini dapat melaju sesuai dengan karakteristiknya dan
melancarkan arus lalu lintas bagi kendaraan roda empat atau lebih. Pemisahan lalu lintas sepeda motor di Indonesia
telah diterapkan secara parsial di beberapa ruas jalan kota besar, dan penerapannya sudah mencakup Jalan Tol seperti
yang sudah dilakukan di Jembatan Suramadu dan Jalan Tol Bali Mandara.
4.2 Keselamatan Jalur Khusus Sepeda Motor di Jalan Tol
Jalan Tol adalah sebuah jalan bebas hambatan yang dibangun peruntukannya untuk kendaraan roda empat atau lebih.
Arti bebas hambatan disini bukan bebas hambatan dari kata macet namun bebas hambatan dari aspek gangguan
kiri/kanan pengguna jalan (seperti pejalan kaki, parkir on road, perilaku orang menyeberang dan lain-lainnya yang
dapat mengganggu kelancaran berkendara). Untuk saat ini kendaraan roda dua dilarang untuk memasuki jalan tol
kecuali di Jalan Tol Jembatan Suramadu dan di Jalan Tol Bali yang diberlakukan adanya kendaraan roda dua yang
dapat melintas di jalan tol ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Mengenai Motor Masuk Tol PP No.44 Tahun 2009
membolehkan sepeda motor lewat tol bila ada lajur khusus. Pasal 38 Ayat (1a) PP itu berbunyi, ”Jalan tol dapat
dilengkapi lajur jalan tol khusus bagi kendaraan bermotor roda dua yang secara fisik terpisah dari lajur jalan tol yang
diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih”.
502
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Lajur khusus untuk sepeda motor harus dilengkapi rambu lalu lintas yang memadai sehingga lajur sepeda motor harus
menerangkan dari lajur khusus itu sendiri dan jika terjadi kecelakaan agar tidak menyebabkan korban (Le dan
Nurhidayati, 2016). Dan juga lajur khusus untuk sepeda motor harus dilengkapi dengan marka yang jelas yang dapat
memandu pengguna untuk berkendara dengan aman dan tidak mengakibatkan korban jiwa. Ada tiga parameter dalam
desain lajur sepeda motor: desain sepeda motor itu sendiri, tersedia ruang kendaraan, dan perilaku pengendara. Faktor
lain yang mempengaruhi ketersediaan ruang adalah jarak yang ditempuh, lebar lajur, posisi tercampur (ambang
batas), jarak dari lajur mobil, jalan akses, tipe pemisah atau tipe guard rail, jenis trotoar, dan simpang susun (Zuna
et al., 2019).
5 KESIMPULAN
Sepeda motor adalah kendaraan yang paling disukai untuk transportasi orang Indonesia termasuk masyarakat Bali.
Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor juga mengalami kenaikan dari beberapa tahun ini. Penggunaan sepeda
motor yang meningkat dan tingkat kecelakaan yang diakibatkan oleh pengendara sepeda motor menyebabkan
pemerintah memikirkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Adanya Lajur Khusus Sepeda Motor (LKSM),
akan memberikan tiga manfaat langsung yaitu:
a) Adanya fasilitas jalan bagi pengguna sepeda motor sehingga kendaraan ini dapat melaju sesuai dengan
karakteristiknya dan melancarkan arus lalu lintas bagi kendaraan roda empat atau lebih.
b) Lajur khusus untuk sepeda motor harus dilengkapi rambu lalu lintas yang memadai sehingga lajur sepeda motor
harus menerangkan dari lajur khusus itu sendiri dan jika terjadi kecelakaan agar tidak menyebabkan korban.
c) Serta lajur khusus untuk sepeda motor harus dilengkapi dengan marka yang jelas yang dapat memandu pengguna
untuk berkendara dengan aman dan tidak mengakibatkan korban jiwa.
REFERENSI
Ashari, M. I., Lubis, K., Rangkuti, N. M.(2019). “Analisa Perencanaan Lajur Sepeda Motor Pada Kawasan Tertib
Lalu Lintas Di Kota Medan.” JCEBT, 3(1), 27-39.
Hikmana, A. A., Djakfar, L., Suharyanto, A. (2014). “Evaluasi Efektivitas Implementasi Lajur Sepeda Motor (Studi
Kasus Jalan Raya Darmo Kota Surabaya).” Jurnal Rekayasa Sipil, 9(3), 158-165.
Le, Quyen, and Nurhidayati, Z. A. (2016). “A Study of Motorcycle Lane Design in Some Asian Countries.” Procedia
Engineering, 142, 292-298.
Tuan, V. A. (2015). “Motorcycle Accidents in Vietnam”. Presentation, Director of Vietnamese-German
Transportation Research Center (VGTRC) Dr. Eng. Vu Anh Tuan. Geneva. March 23-26.
Mulyadi, A. M. (2015). “Hubungan Volume Lalu Lintas, Kecepatan Tempuh, Derajat Kejenuhan, Kerapatan Dan
Arus Lalu Lintas, Pada Jalur Khusus Sepeda Motor (JKSM) di Jembatan Suramadu.” Jurnal Rekayasa Sipil, 4(2),
49-61.
Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Sekretariat Negara, Jakarta, Indonesia.
Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 88, Sekretariat Negara, Jakarta, Indonesia.
Septiansyah, M. V. M., Wulansari, D. N. (2019). “Analisis Persepsi Pengguna Lajur Khusus Sepeda Motor (Studi
Kasus: Jalan Medan Merdeka Barat, DKI Jakarta).” Jurnal Forum Mekanika, 8(1), 10-18.
Santosa, S. P., Mahyuddin, A. I., and Sunoto, F. G. (2017). “Anatomy of injury Severity and Fatality in Indonesian
Traffic Accidents.” Journal of Engineering and Technological Sciences, 49(3), 412-422.
Zuna, H. T., Astuti, Z. B., Hikmawati, S., Simalango, A.A. (2019). “The Development of Motorcycle Lane on Toll
Roads as an Alternative to Reduce Accidents in Mix Used Traffic.” Journal of Infrastructure Policy and
Management, 2(1), 67-75.
503
06 Sustainable Water
Resources Management
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Pengolahan Air Limbah Pemukiman Secara Komunal
(Studi Kasus: Kelurahan Pejagoan, Kebumen)
E. Riyanto1*, A. Setiawan1, A. R. Darajat2
1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Purworejo, INDONESIA
2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Tidar, Magelang, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Pejagoan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kebumen. Daerah ini memiliki wilayah sebagian besar pemukiman.
Sebelumnya warga di RW 06 Desa Pejagoan membuang air limbahnya di kolam pembuangan. Sejak tahun 2018 kolam
pembuangan limbah tersebut dibangun tempat penginapan dan wisata alam. Setelah adanya pembangunan tersebut warga
membuang air limbah langsung ke sungai. Ditinjau dari aspek lingkungan, hal ini dapat berpotensi menimbulkan masalah
pencemaran lingkungan. Tujuan penelitian ini merencanakan SPAL serta IPAL komunal yang efektif dan efisien. Penelitian ini
menggunakan data proyeksi jumlah penduduk pada awal tahun 2020. Perhitungan proyeksi penduduk menggunakan metode
geometrik. Data kualitas air limbah domestik berupa data BOD, COD dan TSS, penelitian ini digunakan baku mutu berdasarkan
Peraturan Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016. Hasil penelitian diperoleh desain teknis SPAL dan IPAL komunal menggunakan
Anaerobic Baffled Reactor (ABR). SPAL dengan dimensi pipa 200 mm. Sistem ini dilengkapi dengan 34 manhole. Bangunan
IPAL memiliki kapasitas sebesar 101,920 m3/hari. Proses pengolahan yang digunakan ABR dengan settling tank dan 4 bak
biofilter untuk mempermudah operasional serta lahan yang dibutuhkan sedikit karena dibangun di lingkungan pemukiman dan
berada diposisi bawah tanah.
Kata kunci: Limbah Domestik, SPAL, IPAL, ABR.
1 PENDAHULUAN
Kecamatan Pejagoan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kebumen. Daerah ini sebagian besar
pemukiman. Sebelumnya warga di wilayah RW 06 Desa Pejagoan membuang air limbah di kolam pembuangan.
Sejak tahun 2018 kolam pembuangan limbah tersebut dibangun tempat penginapan dan wisata alam. Setelah
pembangunan tersebut warga membuang air limbah langsung ke sungai. Ditinjau dari aspek lingkungan, hal ini dapat
berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Menurut Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 tentang baku mutu air limbah, bahwa untuk
melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya
perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan air limbah di lingkungan. Oleh sebab itu perlu sistem yang
terintegrasi untuk mengatasi dan mencegah pencemaran. Sistem penyaluran air limbah dan instalasi pengolahan air
limbah secara komunal merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan. Dengan adanya sistem ini diharapkan kadar
pencemaran menjadi turun. Jumlah air limbah yang dibuang akan selalu bertambah seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk. Penduduk yang bermukim di wilayah ini hampir semua belum memiliki bangunan pengolahan air
limbah baik yang individu maupun komunal. khususnya limbah yang berasal dari non toilet atau limbah dapur (grey
water).
Antisipasi untuk menghindari dampak yang merugikan akibat pembuangan air limbah domestik tersebut, diperlukan
desain instalasi pengolahan air limbah domestik yang berfungsi menurunkan konsentrasi zat-zat pencemar sebelum
air limbah tersebut dialirkan kebadan air penerima. Upaya untuk mencapai sanitasi yang lebih baik yakni dengan
merencanakan pembangunan Sistem Penyaluran Air Limbah (SPAL) dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Juga akan dihitung rencana anggaran biaya (RAB) untuk merealisasikan hal tersebut.
Adi, et al. (2016) melakukan penelitian mengenai perancangan ulang Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik
dengan Proses Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Filter. Hasil Penelitian dengan teknologi ABR memiliki
keunggulan yang lebih banyak diantaranya ABR unggul dalam aspek teknis dengan efisiensi penyisihan polutan yang
lebih baik (Tchobanoglous, et al., 2003). ABR juga unggul dalam aspek finansial dengan biaya pembangunan dan
operasional dan perawatan yang lebih rendah. Sehingga, ABR lebih layak dipilih sebagai alternatif pengganti IPAL.
504
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2 METODE PENELITIAN
Ide penelitian berasal dari permasalahan warga Dukuh Legok RW 06, Desa Pejagoan, Kecamatan Pejagoan,
Kabupaten Kebumen membuang air limbah domestik langsung ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Data
yang digunakan dalam perencanaan ini mencakup data primer dan data sekunder. Adapun data primer dalam
penelitian ini adalah:
a) Topografi Lokasi Penelitian
Adapun keadaan topografi di wilayah Desa Pejagoan rata-rata memiliki kontur yang hampir sama yaitu dataran
rendah dan hanya sebagian berupa lembah di bagian lereng Sungai Lukulo.
Gambar 1. Topografi lokasi penelitian
b) Kualitas air limbah domestik
Adapun parameter kualitas air limbah domestiknya sebelum melaui pengolahan air limbah untuk BOD: 25 mg/l,
COD: 85 mg/l dan TSS: 20 mg/l.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah:
a) Data dan informasi demografi
Data penduduk menurut sumber dari ketua RW 06 Desa Pejagoan, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen. Pada
awal tahun studi, yaitu tahun 2020, jumlah penduduknya sebanyak 980 jiwa. Dengan rincian sebagai berikut.
Tabel. 1 Jumlah penduduk (Data kependudukan wilayah RW 06 Tahun 2020)
Wilayah Jumlah penduduk (jiwa)
RT 01 160
RT 02 180
RT 03 180
RT 04 190
RT 05 270
505
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Mulai
Pengumpulan Data
Data Primer Data Sekunder
1. Data dan Informasi demografi
1. Topografi lokasi penelitian
2. Kualitas air limbah domestik
3. Kondisi eksisting saluran pembuangan limbah
Perhitungan Proyeksi Penduduk
Perancangan Dimensi SPAL
Perancangan Dimensi IPAL
Perhitungan RAB
Selesai
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Debit air limbah yang dihasilkan tergantung pada jenis kegiatan dari masing-masing sumber air limbah tersebut.
Untuk mengetahui volume air limbah domestik akhir tahun pada studi yang dilakukan, dilakukan terlebih dahulu
proyeksi terhadap jumlah penduduk. Setelah diperoleh jumlah penduduk pada akhir tahun, kemudian diketahui
proyeksi volume air limbah pada akhir tahun studi tersebut, yaitu tahun 2025. Berikut perhitungan proyeksi penduduk
menggunakan metode geometrik.
Pn = P0 (1 + r) n (1)
Pn adalah jumlah penduduk setelah n tahun kedepan, P0 adalah jumlah penduduk pada tahun awal, r adalah Angka
pertumbuhan penduduk dan n adalah jangka waktu dalam tahun.
Pn = 980 (1+4%) 5
Pn = 1.192 jiwa
Debit air limbah yang digunakan pada perencanaan 80% terhadap penggunaan air bersih warga setempat. Sebelum
menghitung debit air limbah, perlu diketahui debit kebutuhan air bersih warga setempat. Wilayah penelitian termasuk
dalam kategori kota kecil, pemakaian air bersih setiap orang 130 l/orang/hari (Cipta Karya Dinas PU, 2016).
Debit air limbah rata-rata dapat dihitung sebagai berikut.
Qave = Jml. pddk x Debit air bersih x 80% (2)
= 980 x 130 x 80% = 101.920 l/hari
506
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Dari debit rata-rata yang didapat, selanjutnya ditentukan debit puncak. Jumlah penduduk dalam perhitungan ini
didasarkan pada blok pelayanan, sehingga faktor pada perencanaan ini bersifat variatif.
Berikut ini contoh perhitungan pada blok area 1. (3)
Fpeak (fp) = (18+ √P)/(4+ √P) = (18+√40/1000)/(4+√40/1000) = 4,465
Qpeak = Qave x fp = 4,160 x 4,46 = 18,576 m3/hari
Qmin = 1 x (jumlah penduduk)0,2 xQaverage (4)
5
1000
= 1 x ( 40 )0,2 x 4,160 = 0,437 m3/hari
5 1000
Selanjutnya untuk menghitung debit infiltrasi dan debit air limbah total.
Qinfiltrasi = 14 m3 /ha x luas wil (5)
= 14 m3 /ha x 0,255 ha = 3,565 m3/hari
Qtotal = Qpeak + Qinfiltrasi (6)
= 0,215 + 3,565 = 22,141 m3/hari
Debit rata-rata total sebesar 101,920 m3/hari dan Qtotal adalah sebesar 499,014 m3/hari. Air limbah yang berasal dari
rumah tangga dialirkan menuju pipa sekunder dan pipa primer sebelum menuju IPAL. Beban pada tiap segmen pipa
berbeda antara pipa yang dekat dengan sumber air limbah dan pipa yang dekat dengan instalasi pengolahan. Hal ini
terjadi karena adanya kumulatif beban limbah pada perjalanan menuju instalasi. Penanaman pipa limbah memiliki
kedalaman awal khusus yang berbeda dengan pipa air bersih (PDAM). Berikut perhitungan jalur pipa A1-A2.
Elevasi tanah awal = 15 m
Elevasi tanah akhir = 10 m
Panjang pipa = 99,57 m
Slope = 0,009
Diameter pipa = 200 mm = 0,2 m
Kedalaman pipa =1m
H = Slope x Panjang pipa (7)
Elevasi atas pipa = 0,009 x 99,57 = 0,896 m
= Elevasi tanah awal – (1 m + diameter pipa)
= 15 m – ( 1 m + 0,2 m ) = 13,8 m
Elevasi akhir pipa = Elevasi tanah akhir – ( H + diameter pipa) (8)
= 10 m – (0,896+0,2 m) = 8,904 m (9)
Kedalaman pipa awal = elevasi tanah awal – elevasi atas pipa
= 15 m – 13,8 m = 1,2 m
Kedalaman pipa akhir = elevasi tanah awal – elevasi akhir pipa
= 15 m– 8,904 m = 6,096 m
Manhole terletak pada setiap saluran lurus, belokan, percabangan pipa, dan pada perubahan elevasi. Pada
perencanaan ini pengadaan manhole setiap 50 m untuk manhole lurus. Dimensi vertikal bergantung pada
507
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
kedalamannya. Lubang masuk (access shaft) pada manhole, minimal 50 cm x 50 cm atau diameter 60 cm. Bak kontrol
(Inspection Chamber) adalah untuk mengetahui apakah sistem pembuangan air pada rumah tinggal masih berfungsi
dengan semestinya. Luas permukaan minimal 50x50 cm, dan diberi tutup plat beton yang mudah dibuka-tutup.
Kedalaman bak, (40- 60) cm, disesuaikan dengan kebutuhan kemiringan pipa persil yang masuk. Bak penampung
digunakan sebagai tempat sementara untuk menampung aliran air limbah pada ujung akhir sebelum memasuki ABR.
Perhitungan Dimensi ABR, diketahui kualitas air limbah.
Debit rata – rata = 101,92 /hari = 4,246 m3/jam
Hours of most flow = 12 jam
Qpeak hour = 8,493 m3/jam
Flow peak Hour = Q x 3 jam (10)
= 8,493 x 3 jam = 25,48 m3
Qat peak hour = 101,92 + 25,48 = 127,40 m3/hari
Menghitung massa dan volume lumpur.
Waktu pengurasan: 2 tahun
Produksi lumpur = lumpur TSS x durasi pengurasan (11)
(12)
= 3,058 x 2 x 365 = 2232,048 kg/2 tahun
(13)
Stabilisasi lumpur = 66% x produksi lumpur
= 66% x 2232,048 = 1473,15168 kg/2 tahun
Volume lumpur = 1473,15168 : 2 tahun : 1,083 = 1,86 m3/hari
Dimensi ruang lumpur
Asumsi lebar (w) ABR = 2,5 m
Kedalaman (h) ABR = 3,5 m
Kedalaman (h) ruang lumpur = 1 x kedalaman ABR
3
= 1 x 3,5 = 1,16 m
3
Ac ruang lumpur = 2,5 x 1,2 = 3 m2
Panjang ruang lumpur = 1,86 : 3 = 0,6 m = 1 m
Dimensi settling tank = 3,5 m – 1,2 m = 2,3 m
H bak pengendap
Volume peak hour = Q x td
=8,493 m3/jam x 3 jam = 25,48 m3
Asumsi lebar (w) ABR = 2,6 m
508
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Luas (As) = Vol : H
= 25,48 : 2,3 = 11,07 m
Panjang ABR = 11,7 : 2,6 = 4,5 m
Karena perhitungan dimensi ruang lumpur lebih pendek dari dimensi settling tank, maka dimensi yang digunakan
untuk ABR berdasarkan perhitungan dimensi settling tank.
Panjang =4m
Lebar = 2,5 m
Tinggi = 3,5 m
Slope = 0,0000012 m3
Dh = 0,2 m
Debit pipa dibagi 6.
Dh = D = 0,2 m = 200 mm= 0,0333
Qpeak = 8,4933 m3/jam = 0,0023 m3/det
Q tiap pipa = 0,00039321
Re = 0,0003 x 0,2 : 0,0000012 x 0,0333
=1966,0493 < 2300 (memenuhi)
Vcek = 0,0003 : 0,0333= 0,0117 m3/det
Jadi total pipa yang digunakan untuk menghubungkan tiap baffle adalah 6 buah pipa dengan diameter 200 mm.
Perhitungan kompartemen pada ABR.
Kualitas Limbah pada Baffle 1.
Qave = 101,92 m3/hari = 4,246 m3/jam
HSettling = Hbaffle = 3,5
Panjang L baffle = 0,5 x Hbaffle = 1,75 m
Nilai upflow velocity max = 2 m/ jam
Nilai yang dipilih = 2 m/jam
As luas permukaan = 8,4933 : 2 jam = 4,2466 m2
Lebar baffle = 4,2466 : 1,75 = 2,4266 = 2,5 m
Dimensi baffle.
Panjang = 1,75 m
Lebar = 2,5 m
Tinggi = 3,5 m
Vol 1 baffle/kompartmen = (1,75+0,2) x 2,5 x 3,5 = 17,0625 m3
509
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel. 2 Hasil Pengolahan
Parameter Satuan Kadar Maksimum Influen Effluen
BOD mg/l 30 25 21
COD mg/l 100 85 72
TSS mg/l 30 20 10,8
Dari perhitungan RAB diperoleh biaya konstruksi SPAL dan IPAL sebesar Rp. 380.308.000,00. Tipe struktur berupa
beton bertulang dan terletak di bawah permukaan tanah (ground water tank).
Gambar 3. Desain instalasi pengolahan air limbah
4 KESIMPULAN
Sistem Penyaluran Air Limbah (SPAL) RW 06 Desa Pejagoan menggunakan saluran dengan dimensi pipa sebesar
8”. Sistem ini dilengkapi dengan 34 manhole. Metode pengolahan Air Limbah yang digunakan adalah Anaerobic
Baffled Reactor (ABR) dengan settling tank dan 4 bak biofilter karena lebih mudah operasional, lahan yang
dibutuhkan sedikit karena dibangun di lingkungan perkampungan dan dibangun dibawah tanah. Biaya yang untuk
pembangunan SPAL dan IPAL sebesar Rp 380.308.000,00.
REFERENSI
Adi, H. P., Razif, M. dan Moesriwati, A. (2016). “Perancangan Ulang Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik
dengan Proses Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Filter”. Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya, Indonesia
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2016). Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik - Terpusat
Skala Permukiman. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2004). Peraturan Gubernur Jawa Tengah No 10. Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah.
Pemerintah Daerah Jawa Tengah, Semarang, Indonesia
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Indonesia
Tchobanoglous, G., Burton, F. L., Stensel, H. D. (2003). Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse. Fourth
Edition. McGraw – Hill, Inc, New York
510
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Dampak Penggunaan Riffle-Pool Terhadap Penggerusan
Pada Bagian Hilir Bendung
S. Teofilus
Magister Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Kecepatan jatuh aliran yang besar dengan gradien tekanan ke tanah yang abnormal serta turbulensi aliran akan menyebabkan
peluang besar terjadinya penggerusan di hilir bendung. Oleh karena itu perlu diteliti mengenai desain riffle-pool yang paling
optimum sehingga dapat mengurangi penggerusan lokal di hilir bendung semaksimum mungkin. Tujuan dari penulisan ini adalah
mengevaluasi pengaruh fitur riffle-pool terhadap penggerusan yang terjadi di hilir bendung. Saluran menggunakan model fisik
yang sudah tersedia di Laboratorium Hidraulika dan Mekanika Fluida Program Studi S-1 Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Kristen Maranatha, yaitu saluran terbuka dengan panjang saluran 8,0 m; lebar 0,40 m; dan tinggi 0,60 m. Dalam
penelitian ini, saluran tidak dimiringkan atau dalam kondisi datar. Selain itu, debit yang digunakan adalah debit maksimum.
Berdasarkan penelitian di laboratorium dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan riffle-pool dapat mengurangi penggerusan
yang terjadi di hilir bendung. Hasil yang diperoleh tanpa penggunaan riffle-pool yaitu titik terdalam sebesar -2,3 cm dengan
datum berada pada ambang hilir bagian atas dengan jarak 22 cm dari end sill bendung, sedangkan dengan penggunaan riffle-
pool yaitu titik terdalam hanya -1,30 cm dengan datum berada pada ambang hilir bagian atas dengan jarak 8,4 cm dari end sill
bendung.
Kata kunci: Bendung, Penggerusan, Riffle-Pool
1 PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
memenuhi kebutuhan, dan aspirasi manusia (Salim, 1990). Oleh karena itu perkembangan ilmu Teknik Sipil harus
memperhatikan masalah keberlanjutan (sustainability) dalam mengatasi berbagai permasalahan. Salah satu
permasalahan dalam konteks ilmu Teknik Sipil adalah penggerusan yang merupakan bagian dari permasalahan
daerah aliran sungai dan masih sering terjadi (Arfy, et al., 2019). Permasalahan penggerusan tidak hanya berdampak
bagi daerah di mana penggerusan tersebut berlangsung yang berupa terjadinya penurunan kualitas lahan, tetapi juga
berdampak pada bagian hilir terutama penurunan kapasitas tampung waduk ataupun sungai.
Permasalahan yang terkait dengan faktor biotik dan abiotik pada suatu sungai antara lain dengan menerapkan konsep
riffle-pool untuk menjaga keberlanjutan sungai di bagian hilir (Taylor, 2000). Oleh karena itu penelitian ini
mengambil permasalahan terkait penggerusan di bagian hilir yang harus diatasi dengan perekayasaan riffle-pool
dalam kerangka menjaga keberlanjutan sungai. Penelitian ini berupa simulasi pada model fisik yang akan dilakukan
untuk mencapai tujuan utamanya yaitu mengevaluasi pengaruh dari pola penempatan material pada perekayasaaan
riffle-pool di bagian hilir bendung dengan debit aliran tertentu.
Konsep keberlanjutan pada kasus sungai salah satunya adalah dengan memperhatikan faktor biotik dan abiotik di
dalamnya. Permasalahan yang terkait dengan faktor biotik dan abiotik pada suatu sungai antara lain dengan
menerapkan konsep riffle-pool untuk menjaga keberlanjutan sungai di bagian hilir. Oleh karena itu penelitian ini
mengambil permasalahan terkait penggerusan di bagian hilir yang harus diatasi dengan perekayasaan riffle-pool
dalam kerangka berpikir menjaga keberlanjutan sungai.
Air tidak pernah mengalir dalam garis lurus bahkan dalam alur sungai yang tampaknya lurus. Aliran air yang
melewati batu atau penghalang lain menimbulkan area pergerakan air yang lebih lambat dan lebih cepat. Area yang
lebih lambat ditemukan di bagian sungai yang dalam dan penuh dengan sedimen. Area ini disebut dengan pools.
Sementara itu, area yang lebih cepat ditemukan di bagian sungai yang dangkal dan berada di sekitar batu. Area ini
disebut dengan riffles. Lalu, sungai mengalir pada sisi-sisi sungai yang masih relatif lurus. Setelah itu, aliran air yang
lebih cepat akan bergerak berlawanan dari arah sungai dari waktu ke waktu sehingga akan membentuk meander.
511
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Meander adalah badan sungai yang berbelok-belok secara teratur dengan arah belokan mencapai setengah lingkaran
Deskripsi model fisik riffle-pool dapat dilihat pada Gambar 1.
Riffle Riffle
Rocks & Pebbles
Pool Pool
Silt
Gambar 1. Deskripsi model riffle-pool
2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model fisik yaitu saluran terbuka dengan panjang 8 m dengan
potongan melintang empat persegi panjang yang memiliki lebar 0,40 m dan tinggi 0,60 m. Sedimen yang digunakan
sepanjang 2,23 m dengan tinggi 0,14 m setelah peredam energi dibagian hilir bendung. Riffle ditempatkan setelah
hilir bendung dengan jarak antar riffle pada pengujian pertama yaitu 0,25 m sebanyak 4 riffle dan pengujian kedua
berjarak 0,5 m sebanyak 4 riffle pula. Riffle memiliki tinggi 0,3 cm dan lebar 0,40 m mengikuti ukuran lebar saluran
yang diselimuti kawat berjaring. Tampak atas riffle-pool dengan selisih jarak 25 cm dapat dilihat pada Gambar 2a,
dan tampak atas riffle-pool dengan selisih jarak 50 cm dapat dilihat pada Gambar 2b.
Gambar 2a. Tampak atas riffle-pool dengan selisih jarak 25 Gambar 2b. Tampak atas riffle-pool dengan selisih
cm jarak 50 cm
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan metode eksperimental analitis. Metode
eksperimental analitis ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan antara hasil eksperimen di laboratorium dengan
rumus-rumus yang sudah ada. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan empiris
dan rasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk riffle-pool dengan jarak tertentu terhadap
penggerusan yang terjadi pada bagian hilir bendung.
Pengukuran kecepatan dilakukan dengan menggunakan alat Current Meter, terdapat beberapa jenis baling-baling
yang berbeda, yaitu:
a) Propeller 1-147068 dengan diameter 50 mm dan pitch 0,05.
b) Propeller 2-141579 dengan diameter 50 mm dan pitch 0,10.
c) Propeller 6-144981 dengan diameter 30 mm dan pitch 0,10.
Penelitian dilakukan menggunakan Propeller 1-147068, dan jumlah putaran dihitung menggunakan Persamaan 1
Persamaan 2, dan Persamaan 3.
n ≤ 3,06 v = 0,0607 * n + 0,020 (1)
3,06 ≤ n ≤ 9,60 v = 0,0558 * n + 0,035 (2)
512
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
9,60 ≤ n ≤ 17,65 v = 0,0533 * n + 0,059 (3)
Dengan n adalah jumlah putaran/waktu pengukuran kecepatan
Kecepatan aliran diambil dengan beberapa posisi seperti terlihat pada Gambar 3. Variabel lainnya seperti “n” adalah
jumlah putaran yang dihasilkan dari pembagian bacaan 1 dan 2 kemudian dirata-rata dengan lama putaran (t) selama
30 detik. Dengan menggunakan tipe Propeller 1-147068 maka didapat kecepatan aliran. Pengukuran kecepatan
dilakukan sebelum, pada, dan sesudah riffle. Posisi pembacaan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Posisi Pembacaan Current Meter
3 ANALISI DATA
Kecepatan aliran pada saluran berbagai skenario (jarak) diambil dengan 3 posisi, dengan membagi 40 cm lebar
saluran menjadi 3 bagian, kemudian hitung kecepatan aliran di tiap bagiannya. Pembacaan kecepatan juga dilakukan
sebelum, pada dan sesudah riffle. Variabel lainnya seperti “n” adalah jumlah putaran yang dihasilkan dari pembagian
bacaan 1 dan 2 kemudian dirata-rata dengan lama putaran (t) selama 30 detik. Kecepatan aliran dihitung dengan
menggunakan tipe Propeller 1-147068. Data bacaan kecepatan dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Tabel 1. Hasil bacaan kecepatan sebelum dipasang riffle
Bagian Riffle Kecepatan Tengah (bacaan 1,2) Kiri (bacaan 1,2)
Kanan (bacaan 1, 2) 134,50 149,00
Riffle 1 147,50 146,50 150,00
Riffle 2 153,00 135,50 149,50
Riffle 3 147,00 132,00 147,50
Riffle 4 137,00
Tabel 2. Hasil bacaan kecepatan dipasang riffle dengan jarak 25 cm
Bagian Riffle Kecepatan Tengah (bacaan 1, 2) Kiri (bacaan 1, 2)
Kanan (bacaan 1, 2)
Riffle 1 Sebelum 104,00 94,00 113,50
Riffle 2 Pada 156,00 135,50 152,00
Riffle 3 Sesudah 183,50 174,50 182,00
Riffle 4
Sebelum 183,50 174,50 182,00
Pada 169,50 154,00 167,00
Sesudah 202,50 169,50 162,50
Sebelum 202,50 169,50 162,50
Pada 184,50 177,00 185,00
Sesudah 224,50 211,50 197,00
Sebelum 224,50 211,50 197,00
Pada 184,00 183,00 183,50
Sesudah 225,00 215,50 199,50
513
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 3 Hasil bacaan kecepatan dipasang riffle dengan jarak 50 cm
Bagian Riffle Sebelum Kecepatan Tengah (bacaan 1, 2) Kiri (bacaan 1, 2)
Riffle 1 Pada Kanan (bacaan 1, 2) 88,50 110,00
Riffle 2 Sesudah 111,00 141,00 151,00
Riffle 3 Sebelum 142,00 130,00 136,50
Riffle 4 Pada 136,50 130,00 136,50
Sesudah 136,50 162,00 175,50
Sebelum 178,00 159,00 148,00
Pada 158,50 159,00 148,00
Sesudah 158,50 164,00 151,50
Sebelum 167,00 138,50 136,00
Pada 138,50 138,50 136,00
138,50 193,00 193,50
190,50
Sesudah 213,50 218,00 201,50
Kecepatan awal dilakukan pada saat pertama kali air dijalankan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan fitur dari riffle-
pool. Tinggi muka air dibaca menggunakan meteran taraf pada hulu saluran. Hasil yang didapat dari bacaan meteran
taraf dihitung menggunakan rumus Thompson sehingga didapatkan debit aliran konstan. Debit aliran ini yang
digunakan sebagai acuan debit maksimum. Kecepatan aliran yang dihitung adalah:
Mencari beda tinggi muka air (1)
∆h = El. Akhir – El. Awal Thompson
= 31,80 – 14,94 = 16,86 cm
= 0,1686 m
Menghitung debit aliran (2)
Q = 1,39 * (∆h)5/2
= 1,39 * (0,1686)5/2
= 0,0162 m3/detik
Penelitian ini menggunakan beberapa skenario yang telah direncanakan untuk mengetahui kedalaman penggerusan
yang terjadi di hilir bendung dengan kondisi aliran air pada saluran menggunakan debit maksimum dan dengan
kondisi:
a) Tanpa dipasang riffle;
b) Dengan dipasang riffle berbentuk setengah lingkaran dengan ukuran panjang 0,04 m, lebar 0,4 m dan tinggi 0,03
m dengan jarak antar riffle 0,25 m;
c) Dengan dipasang riffle berbentuk setengah lingkaran dengan ukuran panjang 0,04 m, lebar 0,4 m dan tinggi 0,03
m dengan jarak antar riffle 0,50 m.
Kecepatan rata-rata saluran tanpa dipasang riffle sebesar 0,3 m/detik dengan penggerusan di hilir bendung sebesar
2,3 cm, sedangkan kecepatan rata-rata saluran dengan dipasang riffle dengan jarak 50 cm antar riffle adalah sebesar
0,32 m/detik dengan penggerusan di hilir bendung sebesar 2,1 cm dan kecepatan rata-rata saluran dengan dipasang
riffle dengan jarak 25 cm antar riffle adalah sebesar 0,36 m/detik dengan penggerusan sebesar 1,3 cm. Hal ini
membuktikan bahwa semakin rapat jarak antar riffle mengakibatkan kenaikan kecepatan aliran dan mengurangi
penggerusan di bagian hilir.
Pada penelitian ini menggunakan hipotesis awal yaitu dengan adanya fitur riffle-pool dengan jarak tertentu dapat
mempengaruhi kedalaman penggerusan lokal yang terjadi. Hasil eksperimental penelitian ini adalah membandingkan
pola penggerusan tanpa riffle-pool dan menggunakan riffle-pool dibagian hilir bendung. Hasil penggerusan pada
bagian hilir bendung dengan berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 4.
514
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Tabel 4. Hasil penggerusan yang terjadi pada bagian hilir bendung dengan berbagai skenario
No Pola Eksperimen Kecepatan Rata-rata Kedalaman Penggerusan
Bentuk
Jarak antar riffle (cm) m3/det Satuan dalam cm
1 Tanpa Riffle - 0,40 2,3
2 Dengan Riffle 50 0,32 2,1
3 Dengan Riffle 25 0,36 1,3
Berdasarkan hasil eksperimental tersebut dapat ditarik sebuah fakta bahwa kecepatan rata-rata pada saluran dapat
dikurangi dengan adanya konstruksi riffle. Namun penentuan jarak antar riffle harus diselidiki lebih lanjut mengingat
semakin dekat jarak antar riffle justru penurunan kecepatan tidak berubah banyak.
Berdasarkan hasil kedua eksperimen dengan menggunakan riffle dengan jarak yang berbeda dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a) Semakin rapat jarak antar riffle maka semakin kecil juga penggerusan yang terjadi. Dari penggerusan awal tanpa
menggunakan riffle sebesar 2,3 cm menjadi 1,3 cm setelah menggunakan pola riffle dengan jarak 25 cm.
Sebaliknya bila semakin lebar jarak antar riffle yaitu dari 50 cm penggerusan sebesar 2,1 cm.
b) Hipotesis awal terbukti bahwa dengan jarak antar riffle yang semakin rapat mengurangi penggerusan, tetapi juga
semakin meningkatkan kecepatan aliran.
c) Kedalaman air mempengaruhi pemilihan tipe current meter yang terkait dengan diameter baling-baling.
Semakin pendek kedalaman muka air maka semakin kecil pula baling-baling yang digunakan. Begitu juga
mempengaruhi jumlah titik kedalaman yang digunakan, semakin pendek kedalaman air, semakin sedikit titik
kedalaman yang digunakan.
d) Eksperimen awal yang terjadi tanpa menggunakan riffle menggerus sedimen sepanjang 2 m, kemudian setelah
dipasang pola riffle penggerusan yang terjadi hanya berjarak 1m dari hilir bendung.
e) Penempatan jarak antar riffle mempengaruhi jarak penggerusan. Dari hasil eksperimen dapat dilihat dengan
menggunakan pola riffle 50 cm, penggerusan yang terjadi sepanjang 100 cm, dan dengan menggunakan pola
riffle 25 cm, penggerusan yang terjadi hanya sepanjang 75 cm. Jadi, semakin pendek jarak antar riffle maka
semakin pendek pula jarak penggerusan yang terjadi.
f) Jika melihat pada hasil penggerusan memang benar bahwa dengan menggunakan jarak antar riffle 25 cm
penggerusan semakin berkurang, tetapi dari pola kontur yang terjadi, pola penggerusan 50 cm lebih baik karena
perpindahan sedimen yang terbesar yaitu +2 lebih sedikit dibandingkan pola riffle 25 cm.
4 KESIMPULAN
Pada penelitian ini menggunakan debit maksimum atau debit 100%. Kecepatan aliran rata-rata saat debit 100% pada
penelitian tanpa menggunakan riffle sebesar 0,40 m3/detik, kecepatan saat menggunakan riffle dengan jarak 25 cm
sebesar 0,36 m3/detik dan kecepatan saat menggunakan riffle dengan jarak 50 cm sebesar 0,32 m3/detik. Perbandingan
selisih persentase terkecil antara analitis dan eksperimen dengan rumus Schoklitsch yaitu 35,87%.
Dari penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis awal benar yaitu dengan adanya penambahan riffle penggerusan
lokal yang terjadi di bagian hilir bendung semakin kecil. Dengan jarak antar riffle 50 cm mengurangi penggerusan
sebesar 0,2 cm dan dengan jarak antar riffle 25 cm mengurangi penggerusan sebesar 1 cm.
REFERENSI
Arfy, M. C., Yunus, I., dan Kasmuri, M. (2019). “Kajian Sistem Aliran Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Bendung
Kota Palembang”. Jurnal Teknik Sipil, 7(2), 41-52
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Pengairan. (1986). Standar Perencanaan Irigasi (Kriteria
Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02). CV. Galang Persada, Bandung
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Pengairan. (1986). Standar Perencanaan Irigasi (Kriteria
Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP 04). CV. Galang Persada, Bandung
515
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Salim, E. (1990). Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang diakses di
http://www.stiami.ac.id/jurnal/detail_jurnal/34/140-strategi-pembangunan-berkelanjutan.html pada tanggal 14
Januari 2018
Taylor, C.M. (2000). “A Large-scale Comparative Analysis of Riffle and Pool Fish Communities in an Upland
Stream System”. Environmental Biology of Fishes, 58, 89–95
LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Saat Eksperimen
Gambar L.1. Profil aliran
Gambar L.2. Pengukuran kecepatan aliran
Lampiran 2 Dokumentasi Setelah Eksperimen
Gambar L.3. Pola penggerusan yang terjadi
516
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Evaluasi Kelayakan Ekonomi pada Jaringan Irigasi
Berbasis Biaya Siklus Hidup
(Studi Kasus pada Jaringan Irigasi Guntur, Kedondong, dan Kali Duren di Purworejo)
M. Taufik1*, S. Winarno2
1Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Purworejo, INDONESIA
2Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Pengelolaan jaringan irigasi yang baik dapat diukur dengan mempertimbangkan biaya pembangunan dan pemeliharaan yang
dikaitkan dengan manfaat yang diterima oleh masyarakat selama masa usia bangunan. Penelitian ini akan mengevaluasi
kelayakan ekonomi jaringan irigasi berbasis biaya siklus hidup yang mempertimbangkan biaya dan manfaat untuk jaringan irigasi
daerah hulu di Kabupaten Purworejo. Biaya selama siklus hidup dihitung dari biaya awal, biaya operasional, biaya perawatan
dan penggantian, sedangkan manfaat dihitung berdasarkan hasil manfaat bersih yang diperoleh oleh hasil panen padi dan kolam
ikan. Analisis dilakukan menggunakan metode Benefit Cost Ratio (BCR) dan Payback Period (PP). Hasil evaluasi berdasarkan
nilai BCR untuk Jaringan Irigasi Guntur sebesar 1,47, Jaringan Irigasi Kedondong sebesar 1,25 dan Jaringan Irigasi Kali Duren
sebesar 1,34. Semua jaringan irigasi tersebut memiliki nilai BCR > 1 yang mengindikasikan bahwa jaringan irigasi ini adalah
bersifat cost effective. Berdasarkan waktu pengembalian investasi atau PP, Jaringan Irigasi Guntur, Kedondong, dan Kali Duren
memiliki PP masing-masing selama 4,8 tahun, selama 7,22 tahun, dan 5,65 tahun. Terdapat nilai PP pada 2 jaringan irigasi yang
lebih besar dari 5 tahun, sehingga pada kedua jaringan irigasi tersebut masih bersifat tidak cost effective yang perlu ditindaklanjuti
masa tanam atau jenis tanaman nya.
Kata kunci: Pengelolaan Jaringan Irigasi, Biaya Siklus Hidup, Evaluasi Kelayakan Ekonomi
1 PENDAHULUAN
Sektor sumber daya air dan irigasi menghadapi permasalahan investasi jangka panjang dan pengelolaan manajemen
yang semakin kompleks dan menantang (Herman dan Rudi, 2018). Penanganan pengelolaan irigasi yang tidak efektif
akan menjadi kendala bagi pengembangan perekonomian dan tercapainya ketahanan pangan nasional (Arifin, 2004).
Permasalahan yang sering timbul untuk jaringan irigasi terutama di daerah dataran tinggi yaitu penggunaan air yang
cenderung boros. Hal ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang nilai ekonomi air. Para pakar di bidang
sumberdaya air di negara-negara maju berpendapat bahwa selama ini air dinilai terlalu rendah sehingga
pemanfaatannya boros (Sumaryanto, 2006). Berdasarkan kebutuhan air di lokasi, jaringan irigasi di daerah dataran
tinggi akan membutuhkan dimensi yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena letak topografi yang cukup tinggi,
sehingga diperlukan biaya untuk pembangunan dan pemeliharaan yang lebih besar dibandingkan dengan jaringan
irigasi di sebelah hilir atau bawah. Kebutuhan faktor K (koefisien pengaliran) untuk pemenuhan kebutuhan irigasi di
daerah hulu cukup besar, karena tingkat rembesan yang tinggi dan kehilangan air di sepanjang saluran cukup besar
yang disebabkan perbedaan elevasi selama dalam pengaliran dan petak sawah terasering (Taufik dan Setaiawan,
2018). Kondisi pola pembagian air dan petugas pembagi air di lapangan antara petani dengan petani, antara petani
dengan kolam air deras, dan dengan pemakai air yang lain tidak ada, sehingga terjadi rebutan antar pihak (Saleh,
2010).
Penelitian ini membahas tentang biaya siklus hidup sebagai dasar dalam pengelolaan jaringan irigasi di Kabupaten
Purworejo, untuk kondisi di daerah hulu sehingga hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai dasar dalam metode
pemeliharaan dan manfaat dari pengelolaan jaringan irigasi di daerah hulu, baik pemeliharaan secara rutin maupun
berkala, secara optimal dan efisien. Banyak penelitian yang membahas tentang biaya siklus hidup (life cycle cost).
Floren, et al. (2019) membahas tentang model pemeliharaan berbasis biaya siklus hidup untuk embung di Kabupaten
Sleman DIY, dengan harapan dapat mengkaji model pemeliharaan dan perawatan embung secara optimal dan efisien.
Pemanfaatan metodologi Value Engineering dan biaya siklus hidup untuk menemukan alternatif kekurangan air serta
517
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
alternatif penghematan air meliputi penghematan air irigasi dengan meningkatkan sistem irigasi permukaan yang
tidak efisien termasuk kekurangan air di kanal hilir di Mesir (El-Nashar dan Elyamany, 2017).
Penelitian ini akan mengevaluasi kelayakan ekonomi pada jaringan irigasi berbasis biaya siklus hidup, yang
mempertimbangkan biaya dan manfaat untuk jaringan irigasi di daerah hulu di Kabupaten Purworejo. Penelitian
dimulai dengan investigasi ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Purworejo, tentang nilai
bangunan dan biaya pemeliharaan pada ke-3 jaringan irigasi di daerah hulu. Berikutnya, data berupa manfaat yang
diterima oleh masyarakat pengguna air untuk pertanian dan kolam ikan, diperoleh dengan survei pada ke-3 kecamatan
yang meliputi 16 desa yang dialiri oleh jaringan tersebut. Biaya siklus hidup diperoleh dari perhitungan tentang nilai
bangunan dan biaya pemeliharaan, serta hasil manfaat bersih yang diperoleh masyarakat.
2 METODE PENELITIAN
Data yang diperoleh dalam penelitian ini didapat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, berupa luas
area tanam, nilai asset, biaya operasional, dan biaya pemeliharaan untuk ke-3 jaringan irigasi di daerah hulu
Kabupaten Purworejo. Data luas kolam ikan dan harga pasaran ikan didapat dari survei lokasi di 3 kecamatan yang
terdiri dari 16 desa, yang memanfaatkan sumber air dari ketiga jaringan irigasi tersebut. Standar harga jual gabah
kering didapat dari BPS tahun 2020. Analisis data terdiri dari 2 bagian, yaitu analisis biaya dan analisis manfaat.
Aspek biaya meliputi nilai asset (investasi) ditambah biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Aspek manfaat
diperoleh dari hasil bersih pada panen padi ditambah dengan panen kolam ikan yang mendapatkan air dari ke-3
jaringan irigasi tersebut. Evaluasi kelayakan ekonomi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang efektifitas
pengelolaan jaringan irigasi melalui analisis Benefit Cost Ratio yaitu membandingkan nilai biaya dan manfaat bersih,
serta analisis Payback Period untuk mengukur waktu pengembalian investasi jaringan irigasi tersebut.
3 ANALISI KELAYAKAN EKONOMI
3.1 Biaya Siklus Hidup (Life Cycle Cost)
Biaya siklus hidup adalah total biaya yang dikeluarkan sepanjang siklus hidup yang langsung berhubungan dengan
biaya pengelolaan selama umur ekonomis. Konsep biaya siklus hidup adalah sebuah proses untuk menentukan biaya
paling efektif di antara banyak alternatif yang tersedia (Dell'Isola dan Kirk, 2003). Sedangkan menurut Pujawan
(2004), biaya siklus hidup dari suatu bangunan adalah jumlah semua pengeluaran yang berkaitan dengan bangunan
tersebut sejak dirancang sampai tidak terpakai lagi. Perhitungan biaya siklus hidup (BSH) disajikan dalam Persamaan
1 berikut.
BSH = Biaya Awal (Aset) + Biaya Penggunaan + Biaya Perawatan dan Penggantian (1)
dimana biaya awal adalah biaya perencanaan dan pelaksanaan bangunan, biaya penggunaan adalah biaya yang
digunakan selama bangunan beroperasi, biaya perawatan dan penggantian adalah biaya untuk perawatan serta
penggantian komponen-komponen penyusun bangunan selama umur ekonomis bangunan.
3.2 Metode Kelayakan Ekonomi
Kelayakan ekonomi untuk bangunan adalah untuk mengukur apakah proyek atau bangunan yang dimaksud akan
memberikan sumbangan, manfaat, atau mempunyai peranan yang positif dalam pembangunan ekonomi secara
keseluruhan dan memberikan peranan yang cukup besar sehingga alokasi dana yang ditempatkan pada proyek
dimaksud cukup bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas dalam kurun waktu yang ditinjau (Gray, 2007;
Kusuma dan Mayasti, 2014). Analisis yang dimaksud meliputi Benefit Cost Ratio (BCR) dan Payback Period (PP).
3.3 Benefit Cost Ratio (BCR)
Analisis BCR dilakukan untuk mengukur apakah biaya yang telah dikeluarkan pada sebuah investasi akan
memberikan manfaat yang lebih besar daripada biayanya, atau bersifat cost effective. Secara umum, nilai BCR
dihitung dengan membandingkan antara manfaat yang diterima masyarakat dan BSH selama umur ekonomis sebuah
bangunan atau investasi (Rejekiningrum dan Saptomo, 2015). Persamaan 2 menyajikan perhitungan BCR, sebagai
berikut.
BCR = Jumlah manfaat / Total BSH (2)
518
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Sebuah investasi dinyatakan cost effective apabila nilai BCR > 1. Pada kasus jaringan irigasi, manfaat adalah manfaat
bersih yang diterima masyarakat pengguna air irigasi. Manfaat bersih adalah hasil panen dikurangi biaya produksi
(biaya bibit, upah tanam, pembelian pupuk, dan upah pemanenan). Sedangkan BSH jaringan irigasi dihitung dengan
Persamaan 1.
3.4 Payback Period (PP)
PP dilakukan untuk menghitung kapan sebuah investasi mengalami impas atau modalnya kembali. Istilah ini merujuk
kepada periode maupun jumlah tahun yang dibutuhkan guna mengembalikan nilai investasi awal. Istilah ini lebih
dikenal dengan sebutan waktu pengembalian modal. Nilai PP dihitung dengan Persamaan 3.
PP = n + ( a – b ) / ( c – b ) (3)
dimana a adalah jumlah investasi awal, b merupakan jumlah kumulatif arus kas pada tahun n, c adalah jumlah
kumulatif arus kas pada tahun n+1, dan n merupakan tahun terakhir dimana jumlah arus kas pada tahun n masih
belum bisa menutup a (atau jumlah investasi awal). Pada kasus investasi jaringan irigasi, nilai PP < 5 tahun dapat
dikategorikan sebagai cost effective.
4 DATA DAN ANALISIS
4.1 Data
Data yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) dan Water Resources Data
Center (WRDC) adalah berupa nilai suatu investasi aset awal dan luas tanam tahun 2010. Luas kolam ikan didapat
dari survei dan wawancara langsung terhadap petani yang memanfaatkan air dari ke-3 jaringan irigasi tersebut (lihat
Tabel 1). Selama satu tahun terdapat 2 Musim Tanam (MT) pada lahan sawah dan dua kali panen untuk kolam ikan.
Tabel 1. Luas jaringan irigasi, pola tanam, dan nilai aset
No. Jaringan Nilai aset Luas baku Luas tanam padi (Ha) Luas kolam ikan
irigasi (Rp.) (Ha) (m2)
7.883.508.225,- 326 MT-I MT-II 1.561
1 Guntur 8.213.435.861,- 282 296
2 Kedondong 5.022.533.299,- 190 326 326 1.051
3 Kali Duren
282 282
190 190
4.2 Analisis
Data berupa biaya operasional dan pemeliharaan didapat dari DPUPR. Biaya operasional berupa upah pegawai,
kendaraan dinas, peralatan kantor dan komunikasi, dan perlengkapan kerja. Biaya operasional selalu ada setiap tahun.
Biaya pemeliharaan diperlukan manakala ada kerusakan yang harus ditangani di lapangan, baik pemeliharaan yang
nilainya kecil maupun yang nilainya besar. Biaya pemeliharaan belum tentu setiap tahun ada, tergantung kondisi
bangunan yang ada. Data ini disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Biaya operasional dan pemeliharaan tahunan
No Jaringan Biaya operasional dan pemeliharaan (Rp. juta)
irigasi 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
1.801,42 90,41
1 Guntur 37,91 333,14 41,80 43,89 484,17 941,15 57,80 68,36 77,80 93,98
52,59 1.364,55
2 Kedondong 36,66 38,49 625,56 42,44 329,56 64,65 1.369,13 77,74
3 Kali Duren 136,60 27,93 29,33 316,09 274,68 45,98 41,61 72,56
Berdasarkan Tabel 3, dari penjumlahan manfaat panen padi dan panen kolam ikan, nilai yang paling besar yaitu
Jaringan Irigasi Guntur. Hal ini karena luas area tanamnya paling besar yaitu 326 Ha. Untuk Jaringan Irigasi Kali
Duren nilai manfaatnya paling kecil, karena luas area tanamnya paling kecil, meskipun luas kolamnya lebih besar
dari luas kolam Jaringan Irigasi Kedondong.
519
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 3. Perhitungan manfaat bersih hasil panen padi dan panen ikan tahunan
No Jaringan Hasil panen padi dan panen ikan (Rp. juta)
irigasi 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
1 Guntur 1.749,21 2.521,98 1.822,81 1.877,35 2.771,55 2.103,99 1.683,51 2.141,14 1.427,75 1.442,28
2 Kedondong 1.513,12 2.181,59 1.576,78 1.623,97 2.397,48 1.820,02 1.456,29 1.852,15 1.235,05 1.247,61
3 Kali Duren 1.019,48 1.469,86 1.062.37 1.094,16 1.615,32 1.226,25 981,19 1.247,90 83,21 840,59
Perhitungan nilai arus kas tahun ke-n = manfaat tahun ke-n (Tabel 3) – biaya operasional dan pemeliharaan tahun
ke-n (Tabel 4). Nilai arus kas tahun ke-n kemudian diekivalenkan menjadi nilai sekarang (atau PV=Present Value).
Tingkat pengembalian modal investasi pada jaringan irigasi adalah menggunakan tingkat suku bunga Bank
Indonesia, yang mana pada tahun 2020 adalah berkisar 6,79% per tahun. Nilai Kumulatif PV dihitung dengan
penjumlahan PV secara berturut-turut mulai dari awal. Hasil perhitungan ini disajikan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Perhitungan Present Value (PV) dan kumulatif PV pada arus kas
Jaringan irigasi Guntur Jaringan irigasi Kedondong Jaringan irigasi Kali Duren
No Tahun PV Kumulatif PV PV Kumulatif PV PV Kumulatif PV
(Rp. juta) (Rp. juta) (Rp. juta) (Rp. juta) (Rp. juta) (Rp. juta)
1 2011 1.602,55 1.602,55 1.382,64 1.382,64 826,78 826,78
2 2012 1.919,50 3.522,05 1.879,38 3.262,02 1.264,50 2.091,28
3 2013 1.462,60 4.984,66 781,17 4.043,19 848,36 2.939,64
4 2014 1.410,00 6.394,66 1.216,25 5.259,45 598,36 3.538,00
5 2015 1.647,30 8.041,96 1.489,25 6.748,70 965,49 4.503,49
6 2016 784,22 8.826,18 1.183,83 7.932,53 795,98 5.299,47
7 2017 1.026,72 9.852,90 55,04 7.987,57 593,39 5.892.86
8 2018 1.225,88 11.078,77 1.049,42 9.036,99 695,12 6.587,99
9 2019 (206,95) 10.871,82 640,93 9.677,92 431,74 7.019,72
10 2020 701,13 11.572,95 598,32 10.276,24 (271,75) 6.747,97
Total 11.572,95 10.276,24 6.747,97
Berdasarkan Tabel 4, nilai BCR dapat dihitung untuk masing-masing jaringan irigasi, sebagai berikut.
Jaringan Irigasi Guntur
BCR = Jumlah Present Value (PV) / Investasi Awal
= 11.572.950.000,00 / 7.883.508.225,00
= 1,47 (BCR > 1), investasi untuk Jaringan Irigasi Guntur bersifat cost effective.
Jaringan Irigasi Kedondong
BCR = Jumlah Present Value (PV) / Investasi Awal
= 10.276.240.000,00 / 8.213.435.861,00
= 1,25 (BCR > 1), investasi untuk Jaringan Irigasi Kedondong bersifat cost effective.
Jaringan Irigasi Kedondong
BCR = Jumlah Present Value (PV) / Investasi Awal
= 6.747.970.000,00 / 5.022.533.299,00
= 1,34 (BCR > 1), investasi untuk Jaringan Irigasi Kali Duren bersifat cost effective.
520