The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Untuk perhitungan PP, dari Tabel 4, kolom Kumulatif PV untuk Jaringan Irigasi Guntur, dengan nilai investasi awal
sebesar Rp. 7.883.508.225,00 terletak antara tahun ke- 4 (Rp. 6.394.660.00,00) dan tahun ke-5 (Rp. 8.041.960.00,00),
sehingga nilai PP dapat dicari dengan Persamaan 3.

PP = n + ( a – b ) / ( c – b )

= 4 + (7.883.508.225,00 - 6.394.660.00,00) / (8.041.960.00,00 - 6.394.660.00,00)

= 4,80 tahun

Hasil perhitungan PP untuk Jaringan Irigasi Guntur, PP = 4,8 tahun yang masih di bawah 5 tahun, artinya bersifat
cost effective. Dengan perhitungan yang sama didapat nilai PP untuk Jaringan Irigasi Kedondong = 7,22 tahun,
bersifat tidak cost effective, dan Jaringan Irigasi Kali Duren = 5,65 tahun, bersifat tidak cost effective. Secara
diagramatis, perhitungan PP disajikan dalam Gambar 1, 2, dan 3 di bawah ini.

Rp. juta 16,000 12,534.8143,325.58 …
14,000
12,000 10,205.3111,268.53
10,000
8,786.37 10,384.16
8,000
6,000 8,211.16 8,2769,.72940.388,627.992,262.694,299.195,339.5180,337.27
4,000 7,919.01 8,245.48
5,346.63
Biaya
3,849.70

2,000 1,638.06

0

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Tahun

Gambar 1. Hubungan antara manfaat dan biaya pada Jaringan Irigasi Guntur

Rp. juta14,000 9,747.63 10,843.0211,527.0142,174.10
12,000
10,000 8,247.77 8,795.24 9,065.229,108.82 9,973.49 10,111.30

8,000 8,827.88 7,600.48 8,827.91 10,019.4710,062.56
6,000
4,000 8,281.52 5,873.89
2,000
4,625.00 Biaya

3,330.11

1,416.97

-

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Tahun

Gambar 2. Hubungan antara manfaat dan biaya pada Jaringan Irigasi Kedondong

521

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Rp. juta9,000 7,766.448,202.41
8,000
7,000 7,305.58
6,000
5,000 5,947.88 6,567.55
4,000 5,199.03 5,639.93
3,000 6,476.97

5,150.45 5,670.94 5,769.26

5,174.95 5,442.12 5,120.89 5,697.22 5,740.13
3,957.59

3,116.13 Biaya

2,000 2,243.69 Manfaat
1,000 954.70

-

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Tahun

Gambar 3. Hubungan antara manfaat dan biaya pada Jaringan Irigasi Kali Duren

Nilai BCR > 1 terdapat pada ke-3 jaringan irigasi, sehingga investasi untuk ke-3 jaringan irigasi tersebut dianggap
cost effective sampai tahun 2020. Namun demikian, nilai PP untuk Jaringan Irigasi Kedondong dan Kali Duren adalah
lebih dari 5 tahun, yang dikategorikan tidak cost effective dari sisi waktu. Kondisi tersebut disebabkan karena ke-3
jaringan irigasi dalam pengelolaan hanya ditanami sebanyak 2 kali, yaitu Musim Tanam I (MT I) dan Musim Tanam
II (MT II). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, musim tanam III (MT III) seharusnya masih dapat ditanami
dengan jenis tanaman padi, meskipun hanya sebagian atau tidak seluruh lahan yang ada. Alternatif yang lain dengan
menanami palawija untuk MT III, baik sebagian atau seluruh lahan yang ada. Penambahan nilai manfaat untuk MT
III dapat memperpendek nilai PP, sehingga nilai PP dapat ditekan menjadi kurang dari 5 tahun.

5 KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jaringan Irigasi Guntur secara analisis ekonomi yang paling efektif untuk
investasi, karena nilai BCR paling besar dibandingkan yang lain, yaitu sebesar 1,47 dibandingkan Jaringan Irigasi
Kedondong BCR sebesar 1,25 dan Jaringan Irigasi Kali Duren dengan BCR sebesar 1,34. Nilai PP yang paling cepat
ada di Jaringan Irigasi Guntur yang paling cepat yaitu 4,8 tahun. Sedangkan PP untuk Jaringan Irigasi Kedondong
adalah 7,22 tahun dan Jaringan Irigasi Kali Duren adalah 5,65 tahun. Dari nilai BCR ke-3 jaringan irigasi tersebut
bersifat cost effective sampai tahun 2020, tetapi dari nilai PP untuk dua jaringan irigasi tidak cost effective.
Pemanfaatan Musim Tanam III (MT III) dapat diupayakan sehingga dapat mengubah kondisi evaluasi kelayakan
ekonomi menjadi cost effective.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR), Badan Pusat
Statistik dan Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Purworejo, yang telah memberikan bantuan
data dan informasi yang sangat membantu dalam penyelesaian penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat berjalan
dengan lancar.

REFERENSI

Arifin, B. (2004). Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Indonesia

Dell'Isola, A., dan Kirk, S. (2003). Life Cycle Costing for Facilities. Wiley

El-Nashar, W. Y., dan Elyamany, A. H. (2017). “Value Engineering for Canal Tail Irrigation Water Problem”. Ain
Shams Engineering Journal

Floren, Kaming, P. F., & Ervianto, W. I. (2019). “Embung Infrastructure Maintenance Model based on Life Cycle
Cost”. Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas , Vol. 3, Edisi Khusus 2

Gray, C. (2007). Pengantar Evaluasi Poyek. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia

522

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Herman, S., dan Rudi, R. (2018). “Pengembangan dan investasi irigasi kecil untuk peningkatan produksi”. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian

Kusuma, P. T., dan Mayasti, N. K. (2014). “Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Produksi Komoditas
Lokal: Mie Berbasis Jagung”. Jurnal AGRITECH

Pujawan, N. (2004). Ekonomi Teknik. Guna Widya, Jakarta, Indonesia

Rejekiningrum, P., dan Saptomo, S. K. (2015). “Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Sistem Irigasi Cakram
Otomatis Bertenaga Surya di Nusa Tenggara Barat”. Jurnal Irigasi , 10, 2, 125 – 136

Saleh, E. (2010). “Studi Konflik Air Irigasi dan Alternatif Penyelesaiannya di Daerah Irigasi Kelingi Sumatera
Selatan”. Jurnal Keteknikan Pertanian .

Sumaryanto, S. (2006). “Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Nilai
Ekonomi Air Irigasi”. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi.

Taufik, M., dan Setiawan, A. (2018). “Analisis Efisiensi Irigasi Pada Petak Tersier Dengan Metode Drum”.
Proceeding of The 7th University Research Colloquium 2018: Bidang Teknik dan Rekayasa (pp. 6-14). STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

523

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pemetaan Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
pada Sungai-Sungai Tidak Terukur Melalui Penerapan Model Hidrologi dan

Sistem Informasi Geografis

(Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Serayu Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah)

Y. Suwarno*, J. Suryanta

Badan Informasi Geospasial, Jl Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Jawa Barat, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Salah satu model pembangkit listrik yang dikembangkan oleh pemerintah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PLTMH). PLTMH memiliki beberapa keuntungan yaitu, cocok untuk topografi wilayah Indonesia, output daya yang dihasilkan
kecil sehingga cocok untuk desa-desa terpencil, biaya pembangunannya rendah sehingga bisa melibatkan pengusaha kecil
menengah, bersifat kesinambungan karena air hanya diperlukan untuk memutar turbin setelah itu bisa digunakan untuk keperluan
lain, dan ramah lingkungan karena tidak mencemari lingkungan. Tujuan penelitian adalah membuat peta potensi PLTMH di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu bagian hulu yang tercakup dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara. Metode yang digunakan
adalah penerapan model hidrologi dan Sistem Informasi Geografis. Parameter yang dibutuhkan dalam model ini adalah debit
aliran sungai dan beda tinggi antara sumber air dengan lokasi turbin. Perhitungan debit dengan menggunakan Thornthwaite and
Mather Water Balance model, sedangkan estimasi beda tinggi diturunkan dari data Digital Elevation Model (DEM). Metode ini
cocok digunakan untuk sungai-sungai di bagian hulu yang belum terukur debitnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di
wilayah Kabupaten Banjarnegara terdapat 5 kelas potensi PLTMH, yaitu (442 – 637) kW di 3 Sub DAS, (295 – 441) kW di 4
Sub DAS, (148 – 294) kW di 6 Sub DAS, (60 – 147) kW di 4 Sub DAS, dan (0 – 59) kW di 7 Sub DAS.

Kata kunci: Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, Sungai-Sungai Tidak Terukur, Model Hidrologi, Sistem Informasi

Geografis

1 PENDAHULUAN
Salah satu bentuk pembangkit tenaga listrik yang sedang dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga mikro hidro
(Direktorat Jenderal Ketenagalistikan, Kementerian ESDM, 2017). PLTMH baik digunakan untuk sungai-sungai
yang ketersediaan airnya terjamin sepanjang tahun (ESHA, 2010). Dengan pengembangan tenaga mikro hidro,
diharapkan pengusaha kecil dan menengah bisa ikut serta, karena modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar
(Prayoga, 2008). Keuntungan lain adalah tidak merusak lingkungan, karena hanya diperlukan aliran air untuk
memutar turbin (Arafat, et al., 2015). Setelah digunakan untuk memutar turbin, air bisa digunakan untuk keperluan
lain seperti pertanian (Yah dan Oumer, 2017).

Masih banyak potensi mikro hidro di Indonesia yang belum dimanfaatkan, kendalanya karena tidak banyak data
akurat tentang potensi mikro hidro. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membuat model perhitungan, yang
setelah divalidasi dengan data lapangan diharapkan dapat digunakan untuk memperkirakan nilai potensi mikro hidro
yang paling mendekati keadaan. Salah satu metode untuk mengukur aliran sungai tanpa mendatangi lokasi adalah
dengan pendekatan model hidrogeologi dan Sistem Informasi Geografis (Mathi dan Desmukh, 2016).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat model perhitungan potensi tenaga mikro hidro dengan data terbatas
yang ada di Indonesia. Studi kasus dilakukan di wilayah hulu DAS Serayu yang tercakup dalam administrasi
Kabupaten Banjarnegara. Pemilihan lokasi ini dikarenakan kondisi topografinya sangat ideal, selain itu sudah ada
beberapa mikro hidro yang operasional sehingga mempermudah dalam validasi model. Data penelitian ini disajikan
dalam bentuk peta potensi listrik mikro hidro wilayah Kabupaten Banjarnegara.

2 DATA DAN METODE
Kebutuhan data didasarkan pada model perhitungan potensi mikro hidro sebagaimana rumus berikut (Ansori, 2014;
dalam Nalendra, 2016).

524

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

= ∗ ∗ ∗ (1)

Dimana P adalah daya (kW), g merupakan konstanta gravitasi (m/sec2), Q adalah aliran 525olumetric atau debit
(m3/sec), H merupakan beda tinggi atau net head (m), dan e adalah konstanta efisiensi keseluruhan.

Berdasarkan rumus tersebut, maka komponen yang harus diketahui adalah debit aliran sungai dan beda tinggi (net
head) antara posisi pengukuran debit dengan posisi generator turbin. Sedangkan konstanta gravitasi (g) adalah 9.8
m/sec2 dan konstanta efisiensi € adalah 0,5.

2.1 Ekstraksi Batas DAS dan Sub DAS

Peta lokasi studi Kabupaten Banjarnegara dibuat dari Peta Rupabumi Indonesia digital dari Badan Informasi
Geospasial, kemudian dilanjutkan dengan mengolah data Digital Elevation Model (DEM) dalam resolusi spasial 9 m
diturunkan menjadi 20 m untuk mempercepat pemrosesan komputer. Dari data DEM tersebut diekstrak jaringan
sungai dan orde sungai, selanjutnya dibuat batas DAS dan Sub DAS. Pembagian Sub DAS didasarkan pada sungai
orde 3 (Strahler, 1952 dalam Asdak, 2007.). Peta Sub DAS (Sub Catcment of Serayu Basin) orde 3 wilayah
Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 1.

2.2 Membuat Peta Beda Tinggi (net head)

Beda tinggi dibuat berdasarkan perkiraan lereng permukaan dari peta kemiringan lereng. Peta kemiringan lereng
dibuat dari data Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi spasial 9 m diturunkan menjadi 20 m. Peta
kemiringan lereng wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 2.

Dari peta kemiringan lereng diturunkan peta perkiraan beda tinggi (H), yaitu beda tinggi antara lokasi input debit
dengan lokasi rencana turbin. Perhitungan mencari beda tinggi dengan formula sebagai berikut (Persamaan 2).

= ∗ 100, maka = ∗ (2)
100

Dimana S = lereng (%), H adalah jarak vertical dari suatu titik ke bawah, dan x adalah ukuran pixel dari DEM. Peta
beda tinggi (net head) untuk PLTMH wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 3.

2.3 Data Curah Hujan

Data curah hujan tahunan digunakan untuk mengetahui pola distribusi curah hujan di wilayah Kabupaten
Banjarnegara. Data ini dihasilkan dari korelasi antara besarnya curah hujan tahunan dengan ketinggian. Banyak faktor
yang mempengruhi jumlah curah hujan disuatu wilayah, tetapi ketinggian merupakan faktor yang sangat menentukan,
semakin tinggi letak wilayah maka akan semakin besar curah hujannya (Tikno, et al., 2016). Peta isohyet curah hujan
tahunan wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 4.

2.4 Data Evapotranspirasi

Evapotranspirasi dihitung melalui pendekatan remote sensing, yaitu dengan membuat peta Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI). Vegetasi diklasifikasikan berdasarkan nilai indeksnya, mulai dari jarang sampai rapat.
Kemudian nilai indek vegetasi dikonversi ke nilai koefisien evapotranspirasi (kc) melalui kesepadanan dengan nilai
kc dalam literatur. Peta NDVI wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 5.

Dari peta indeks vegetasi dibuat peta koefisien vegetasi untuk evapotranspirasi aktual. Berdasarkan data ini dapat
diperkirakan kc dari NDVI yang paling tinggi nilainya 0.5 – 0.6 dianggap sama dengan antara banana dan rubber

trees yaitu sekitar 1.1, dan vegetasi jarang sekitar 0.75 sedangkan yang amat jarang sekitar 0.5. Hasil perhitungan

Evapotranspirasi Aktual (AET) didasarkan pada nilai ETc (Reference crops Evapotranspiration) yaitu dengan rumus

Persamaan 3.

= ∗ (3)

Peta evapotranspirasi aktual wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 6.

525

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.5 Data tanah

Keberadaan air dalam pori-pori tanah tergantung dari kapasitas tanah untuk menahan air (WHC = Water Holding
Capacity), sedangkan kapasitas tanah berkaitan erat dengan tekstur tanah. WHC tanah tergantung dari teksturnya,
semakin halus tekstur tanah semakin tinggi WHC-nya, demikian pula sebaliknya.

Peta field capacity dan available water capacity dibuat berdasarkan sebaran tekstur tanah dan penutup lahan (land
cover). Tektur tanah menentukan field capacity dan land cover dikaitkan dengan zona perakaran. Peta field capacity
untuk Hydrology Soil Groups wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan pada Lampiran 7.

Selain peta field capacity dibuat pula peta Hidrologic Soil Group (HSG), yang digunakan untuk perhitungan runoff
dengan pendekatan model Soil Conservation Service (SCS) curve number. Peta HSG diturunkan berdasarkan peta
sebaran tekstur tanah dan penutup lahan. Peta Hydrology Soil Groups wilayah Kabupaten Banjarnegara disajikan
pada Lampiran 8.

2.6 Thornthwaite and Mather Water Balance Method

Thornthwaite and Mather Water Balance Method adalah model perhitungan keseimbangan air jangka panjang
(longterm water balance model), dengan menggunakan data curah hujan bulanan, ketebalan solum tanah dan tekstur
tanah.

Prinsip water balance dapat digambarkan dalam persamaan berikut.

= + + + + + (4)

Dimana P adalah curah hujan, I merupakan intersepsi, AET adalah evapotranspirasi aktual, RO merupakan runoff,
δSM adalah perubahan lengas tanah, δGWS merupakan perubahan cadangan air tanah, dan GWR merupakan aliran

air tanah.

2.7 Validasi Model

Untuk mengetahui apakah model yang dibuat hasilnya mendekati kebenaran, maka dilakukan validasi terhadap
pembangkit energi listrik mikro hidro eksisting di Kabupaten Banjarnegara. PLTMH eksisting ini dikelola oleh
swasta maupun pemerintah daerah dan beberapa sudah operasional (Lampiran 9).

Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir penelitian

526

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini adalah peta potensi PLTMH Kabupaten Banjarnegara (Gambar 2). Potensi PLTM Kabupaten
Banjarnegara dikelompokkan ke dalam 5 kelas, yaitu (442 – 637) kW, (295 – 441) kW, (148 – 294) kW, (60 – 147)
kW, dan (0 – 59) kW.

Secara umum potensi tinggi (442-637) kW dan agak tinggi (295-441) kW menempati wilayah hulu dengan
kemiringan lereng terjal. Potensi sedang (148-294) kW menempati wilayah tengan dengan kemiringan lereng agak
terjal. Sedangkan potensi agak rendah (60 – 147) kW dan rendah (0 – 59) kW menempati wilayah lembah di sekitar
sungai utama dengan kemiringan lereng agak landai.

Wilayah penelitian umumnya merupakan pedesaan di pegunungan, sehingga listrik yang dihasilkan bisa menjadi
konsumsi sendiri atau dijual ke pemerintah (PLN). Apabila dilihat dengan wilayah administrasi Kabupaten
Banjarnegara (Lampiran 10), dan dikaitkan dengan jumlah penduduk yang bisa dialiri listrik, maka distribusinya
seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Gambar 2. Peta Potensi PLTMH Kabupaten Banjarnegara

Tabel 1. Distribusi Potensi PLTMH per Wilayah Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara

Kelas Potensi Jumlah Wilayah Kecamatan Jumlah
1 Listrik (kW) Sub DAS Penduduk (jiwa)
2 442 - 637 3 Pandanarum, Wanayasa, Karangkobar 97.338
295 - 441 4 Kalibening, Banjarmangu, 192.131
3 Purwanegara, Batur
148 - 294 6 Kalibening, Wanayasa, Pejawaran, 261.452
4 Batur, Pagentan, Bawang
60 - 147 4 Punggelan, Kalibening, Karangkobar, 193.681
5 Wanayasa
0 - 59 7 Punggelan, Pagentan, Pejawaran, 373.442
Bawang, Banjarnegara, Banjarmangu,
Susukan

4 KESIMPULAN

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro cocok dikembangkan dengan kondisi topografi di Indonesia, produksi
listriknya rendah sangat cocok untuk desa-desa terpencil di wilayah pegunungan, biaya pembangunannya rendah
memungkinkan melibatkan pengusaha kecil dan menengah, pengelolaan berkesinambungan karena air yang
digunakan hanya untuk memutar turbin selanjutnya bisa digunakan untuk keperluan lain, ramah lingkungan karena

527

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

tidak mencemari air sungai akibat pengoperasiannya. Potensi PLTMH di Kabupaten Banjarnegara terdapat 5 kelas
potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, yaitu (442 – 637) kW di 3 Sub DAS, (295 – 441) kW di 4 Sub DAS,
(148 – 294) kW di 6 Sub DAS, (60 – 147) kW di 4 Sub DAS, dan (0 – 59) kW di 7 Sub DAS.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Badan Informasi Geospasial dan instansi di Kabupaten Banjarnegara atas
dukungan biaya dan data sehingga penelitian ini dapat terlaksana, serta kepada nara sumber Bpk. A.B. Suriadi MA.

REFERENSI
Arafat, F., Wulandari, C., dan Qurniati, R. (2015). “Willingness to Accept Payment for Environmental Service of
Water Sub Das Way Betung Upstream by Society Forest Area Register 19 (Case Study in Talang Mulya Village,
District of Padang Cermin, Sub Province Pesawaran)”. Jurnal Sylva Lestari, 3(1)

Asdak, C. (2007). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Bappeda Kabupaten Banjarnegara. (2016). “Potensi Terhitung dan Data Riil Potensi Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro di Kabupaten Banjarnegara”. Bappeda Kabupaten Banjarnegara, Banjarnegara

Direktorat Jenderal Ketenagalistikan, Kementerian ESDM. (2017). Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan
Infrastruktur Penyediaan Tenaga Listrik. Ditjen Ketenagalistrikan, Kemen. ESDM, Jakarta

Mathi, R.S. dan Desmukh.T. (2016). “Spatial Ttechnology for Mapping Suitable Sites for Run-of-river Hydro Power
Plants”. International Journal of Emerging Trends in Engineering and Development. 4(6). 123–134

Nalendra, S. (2016). “Kendali Geologi Terhadap Rekayasa Tata Letak Konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-
Hidro (PLMH) Daerah Air Terjun Riam Manangar, Kalimantan Barat”. Prosiding Semnas AVoER 8. pp. 586-598.
ISSN 979-587-617-1

Prayoga. (2008). Studi Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Head Rendah Di Sungai Cisangkuy
Kabupaten Bandung (Kajian Teknis). Institut Teknologi Bandung, Bandung

Tikno, S., Hariyanto, T., Anwar, N., Karsidi, A., dan Aldrian, E. (2016). “Aplikasi Metode Curve Number Untuk
Mempresentasikan Hubungan Curah Hujan dan Aliran Permukaan di DAS Ciliwung Hulu–Jawa Barat”. Jurnal
Teknologi Lingkungan, 13(1), 25-36. 2016

Yah, N.F. dan Oumer, A.N. (2017). “Small Scale Hydro-power as a Source of Renewable Energy in Malaysia: A
review”. Renewable and Suistanable Energy Reviews, Elsevier. vol.72, p.228-239

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2

528

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Lampiran 3 Lampiran 4
Lampiran 5 Lampiran 6
Lampiran 7 Lampiran 8
Lampiran 9 Lampiran 10

529

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Distribusi Kecepatan Gesek Akibat Struktur Peredam Energi
pada Aliran Seragam Saluran Terbuka

I. Widyastuti*, M. A. Thaha, R. T. Lopa, M. P. Hatta

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Kecepatan aliran dalam saluran biasanya sangat bervariasi dari satu titik ke titik lainnya. Hal ini disebabkan adanya tegangan
geser di dasar dan dinding saluran dan keberadaan permukaan bebas. Pada aliran saluran terbuka, distribusi kecepatan seringkali
dibedakan sebagai distribusi kecepatan di daerah inner region, yang berada di dekat dasar dimana distribusi kecepatan logaritmik
berlaku, dan di daerah outer region, yang berada jauh dari dasar dimana distribusi kecepatan menyimpang secara jelas dan
sistimatik terhadap hukum logaritmik. Percobaan dilakukan pada saluran flume dengan Panjang 8,00 m, lebar 0,40 m dan tinggi
0,40 m. Untuk kemiringan saluran yang digunakan 0,05% dan 0,15% pada bidang licin. Tipe aliran adalah aliran turbulent
seragam, menggunakan 3 (tiga) variasi debit inlet (Q). Untuk Struktur Peredam Energi menggunakan model segitiga dengan
tinggi segitiga ditentukan berdasarkan tinggi rata-rata kecepatan maksimum sebesar 0,6D. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kecepatan gesek yang terjadi setelah melewati struktur peredam energi menjadi kecil namun konstantan integrasi semakin
meningkat. Selain itu secara kuantitatif terkonfirmasi bahwa dengan adanya struktur peredam maka nilai Froude yang terjadi
setelah melewati SPE (Struktur Peredam Energi) akan meningkat dan terjadi intensitas turbulen disepanjang saluran.

Kata kunci: Struktur Peredam Energi, Kecepatan Gesek, Konstanta Integrasi, Angka Froude

1 PENDAHULUAN

Pertimbangan merancang Struktur Peredam Energi (SPE) berupa model segitiga adalah dapat mengurangi kecepatan
arus sepanjang tebing saluran, mempercepat sedimentasi dan menjadi salah satu alternatif pengamanan struktur
utama abutmen jembatan. Adapun parameter utama yang perlu diperhatikan adalah mengetahui Distribusi Kecepatan
Gesek dasar akibat adanya Struktur Peredam Energi (SPE). Selain itu, akibat adanya SPE, maka terjadi perubahan
viskositas aliran. Data pendukung yang dapat digunakan untuk menentukan nilai viskositas aliran adalah debit, tinggi
muka air, kualitas air dan temperature (Hasbi, et al., 2020).

Kecepatan gesek yang terjadi didasar saluran merupakan perlawanan aliran yang dimaksud berupa konfigurasi
kekasaran dasar yang mempengaruhi kecepatan gesek di dasar saluran. Menurut Richardson (1990) dalam Kodoatie
(2001), perlawanan terhadap aliran pada sungai-sungai aluvial adalah sangat kompleks karena banyak variabel tidak
begitu diketahui secara baik. Kesulitan lainnya, terutama pada kondisi lapangan, adalah bagaimana menentukan
variabel-variabel yang mempengaruhi aliran dan sebaliknya variabel-variabel mana yang dihasilkan dari aliran
tersebut.

Oleh karena itu, penting juga untuk mengungkapkan caranya struktur peredam energi segitiga tersebut
mempengaruhi aliran turbulen karena efek ini belum dieksplorasi dengan sangat sistematis. Fokus utamanya adalah
kecepatan gesek dasar dan pengaruh aliran dengan Angka Froude pada struktur peredam energi.

2 LANDASAN TEORI

2.1 Hukum Distribusi Kecepatan Logaritmik

Pada aliran saluran terbuka, distribusi kecepatan seringkali dibedakan sebagai distribusi kecepatan di daerah inner
region, yang berada di dekat dasar dimana distribusi kecepatan logaritmik berlaku, dan di daerah outer region, yang
berada jauh dari dasar dimana distribusi kecepatan menyimpang secara jelas dan sistimatik terhadap hukum
logaritmik (Kironoto, 2009).

= 0 = ∗2 = 2 (1)
∗2


530

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

dimana 0 adalah tegangan geser, ∗ merupakan kecepatan geser, adalah berat jenis fluida (air), merupakan
kerapatan fluida (air), ∗ adalah koefisien Chezy tak berdimensi, merupakan gravitasi, adalah radius hidrolik,

maka besarnya kecepatan geser dan tegangan geser dapat diketahui:

∗ = √ (2)

Karakteristik aliran saluran terbuka akan mengalami tahanan geser dan hampir selalu turbulen sehingga unsur laminer
dapat diabaikan. Hanya sebagian kecil di dekat batas-batasnya (dasar saluran dan tebing) aliran bisa bersifat laminer.
Dengan prinsip tegangan Reynolds dari hasil perataan waktu (time averaging) Persamaan Navier-Stoke, diketahui
bahwa besarnya tegangan :

= + 2 ( )2 (3)



laminer turbulen

Sketsa terdapat pada Gambar 1.

y

z
x

Gambar 1. Sketsa tegangan geser aliran ke arah sumbu x

Dimana adalah tegangan dasar saluran, adalah kecepatan kearah x, adalah kekentalan dinamik fluida (air),
adalah panjang campur Prandtl (Prandtl mixing length).

Menurut Von-Karman (Kodoatie, 2001), besarnya l adalah proposional dengan jarak y dari batas (dasar saluran),
yaitu : = , dimana = konstanta Von Karman ( = 0,4).

Dengan ≈ , maka didapat hubungan (1) dan (2) adalah:

∗ = √ 0 = (4)



Hubungan kecepatan dan ∗ dengan mengacu pada persamaan (4) adalah:

= 1 ln + (5)



Harga c dapat dievaluasi pada jarak , sehingga:

= 1 ln (6)



dimana adalah konstanta dari integrase persamaan (5) atau ketinggian dari dasar saluran yang secara hipotesis
kecepatan alirannya adalah nol. Konstanta integrasi mempunyai urutan besaran yang sama dengan tebal lapisan
laminar ( ) yang merupakan fungsi yang tergantung dari kondisi batas halus sampai kasar (French, 1987 dalam
Kodoatie, 2001). Pada kondisi halus (smooth), maka = ∗ , dimana m = 10-0,96 = 1/9, = viskositas kinematik,
u* adalah kecepatan gesek. Pada kondisi kasar (rough), yo tergantung dari ketinggian kekasaran pada dasar saluran

ks maka yo = m.ks (Kodoatie, 2001).

531

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 METODE PENELITIAN

Percobaan dilakukan pada saluran flume dengan Panjang 8,00 m, lebar 0,40 m dan tinggi 0,40 m. Selama percobaan,
kemiringan saluran yang digunakan adalah 0,05% dan 0,15%. Kondisi aliran menggunakan 3 (tiga) variasi debit (Q),
tanpa struktur dan dengan Struktur Peredam Energi (SPE) berbentuk plat segitiga dengan tinggi plat yang ditentukan
berdasarkan besarnya rata-rata kecepatan maksimum yang terjadi yaitu 0,6D dari rata-rata tinggi muka air adalah
setinggi 0.06 m dari dasar saluran.

Data pengukuran distribusi kecepatan, yang meliputi distribusi kecepatan pada aliran seragam tanpa struktur (6
distribusi kecepatan), dan dengan struktur (24 distribusi kecepatan). Pada pengukuran distribusi kecepatan dengan
struktur, dilakukan pengukuran di daerah hulu dan hilir struktur, dimana struktur diletakkan pada jarak x = 4,00 m.
Setiap pengukuran masing-masing dilakukan pada jarak x = 3,50 m ; x = 4,25 ; x = 4,50 ; x = 5,00 dan x = 5,50.
Skema terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema percobaan pada saluran terbuka

Tabel 1. Parameter utama aliran tanpa struktur

Run Q So D bA b/D R X 10-3 U Re x 10-5 Fr
(ltr/dtk)
LQ1S1 7,54 (-) (Cm) (Cm) Cm2 (-) (cm) (cm) (Cm/dtk) (-) (-)
LQ1S2 0,0005 8,20 8,28 22,99 0,65 0,26
LQ2S1 9,24 0,0025 7,20 40,00 328,00 4,88 5,82 8,28 26,56 0,68 0,32
LQ2S2 0,0005 9,20 40,00 288,00 5,56 5,29 8,28 28,17 0,86 0,30
LQ3S1 10,00 0,0025 8,10 40,00 368,00 4,35 6,30 8,28 30,00 0,84 0,34
LQ3S2 0,0005 9,50 40,00 324,00 4,94 5,77 8,28 30,40 0,95 0,31
0,0025 8,70 40,00 380,00 4,21 6,44 8,28 34,10 1,00 0,37
40,00 348,00 4,60 6,06

Keterangan; Q adalah debit aliran terukur, So merupakan kemiringan dasar saluran, D adalah kedalaman aliran, b/D
merupakan aspek rasio, b adalah lebar flume/saluran (= 40 cm), merupakan viskositas kinematic, R adalah jari-jari
hidraulis (A/(2D+B), Re merupakan 4RU/ – angka Reynolds; Fr = U/(gD)0,5; U adalah kecepatan rata-rata (vertikal)

aliran.

Pada setiap running aliran, setiap data memiliki nomenklatur yang terdiri atas huruf dan angka (Tabel 1). Untuk kode
huruf pertama, L dan M, menggambarkan bahwa pengukuran aliran diperolah pada kondisi tanpa struktur (Loss) dan
dengan struktur (Model). Kode digit kedua menunjukkan debit (Q), dengan variasi debit yang diberikan angka-angka.
Kode digit ke empat adalah variasi kemiringan dasar (slope) yang diberikan kode S dan ditambahkan angka sebagai
kode variasi. Adapun parameter utama dari data aliran yang digunakan diberikan pada Tabel 1.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecepatan aliran dalam saluran terbuka biasanya sangat bervariasi dari satu titik ke titik yang lain. Kecepatan aliran
memiliki tiga komponen arah menurut koordinat kartesius. Namun komponen arah vertikal dan lateral biasanya kecil
dan dapat diabaikan. Sehingga hanya kecepatan aliran yang searah dengan arah aliran yang diperhitungakan.(Rinaldi,
2001).

532

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

4.1 Validasi Data Pengukuran

Pengukuran dilakukan pada kondisi aliran seragam permanen berjarak x = 4,50 m dari inlet dengan variasi debit dan
kemiringan. Untuk menentukan kecepatan gesek dasar, digunakan pengukuran distribusi kecepatan yang berada
didaerah dekat dasar (inner region), yaitu pada y/D ≤ 0,2, Bersama-sama dengan persamaan distribusi kecepatan
logaritmik (persamaan 1). Persamaan distribusi kecepatan logaritmik tersebut akan memberikan suatu korelasi
(persamaan liniear), bila u yang didapat menggambarkan fungsi ln(y/yo), dan memberikan kemiringan garis, m =
u*/ , serta harga konstan, C. Dengan mengambil nilai = 0,4, dapat diperoleh nilai u*.

Sebagai langkah awal, untuk mengetahui apakah hukum logaritmik (log law) masih dapat digunakan atau tidak, maka
hasil pengukuran distribusi kecepatan akan diplot data kecepatan (u) versus kedalaman (y/D) dengan mengambil data
pengukuran sejauh kedalaman y/D ≤ 0,2.

(a) (b)
Gambar 3. Penentuan kecepatan gesek (u*) dan konstanta integrase (C)

Keterangan; data pengukuran tanpa struktur peredam energi dan data pengukuran dengan struktur peredam energi
pada jarak x = 4,50 m

Berdasarkan Gambar 3a, menunjukkan bahwa untuk distribusi kecepatan tanpa struktur masih dapat mengikuti fungsi
hukum logaritmik namun pada Gambar 3b, terlihat contoh distribusi kecepatan arah x = 4,50 memiliki rentang nilai
konstantan integrasi C ≫ 8,5. Hal ini menunjukkan nilai kecepatan gesek yang mengecil dan konstanta integrasi (C)
dari persamaan regresi menunjukkan peningkatan yang signifikan bahkan melampaui nilai batas rentang yang
disyaratkan (lihat nilai C Gambar 3b yang nilai konstanta sama dengan C.u*).

4.2 Kecepatan Gesek dan Konstanta Integrasi

Pengukuran dilakukan pada kondisi aliran seragam permanen tanpa struktur dan berjarak x = 4,50 m dari inlet dan
dengan Struktur Peredam Energi (SPE) beserta variasi debit dan kemiringan. Adapun distribusi kecepatan aliran arah
vertikal dan longitudinal dapat dilihat pada Gambar 4.

3.50 4.25 4.50 5.00 5.50

H
D

h

l

(a) Kecepatan aliran arah vertikal tanpa SPE (b) Kecepatan aliran arah longitudinal dengan SPE

Gambar 4. Profil kecepatan aliran

533

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pada Gambar 4, memperlihatkan aliran arah longitudinal tak berdimensi pada kemiringan 0,05% dengan debit
terbesar yang terjadi pada kondisi aliran tanpa struktur (garis penuh) dan dengan struktur sebelum melewati struktur
berjarak x = 3,50 (bergaris putus) dan setelah melewati struktur pada jarak x = 4,50 dan x = 5,00 m, dimana besarnya
laju kecepatan aliran terlihat makin berkurang dan tegangan yang terjadi di dasar semakin kecil. Analisis selanjutnya
adalah menganalisis berkurangnya kecepatan yang terjadi di dasar yang selanjutnya di sebut kecepatan gesek (u*)

Untuk menentukan kecepatan gesek dasar tanpa struktur, digunakan pengukuran distribusi kecepatan yang berada
didaerah dekat dasar (inner region), yaitu pada y/D ≤ 0,2, Bersama-sama dengan persamaan distribusi kecepatan
logaritmik (Persamaan 1). Persamaan distribusi kecepatan logaritmik tersebut akan memberikan suatu korelasi

(persamaan liniear), bila u yang didapat menggambarkan fungsi ln(y/ks), dan memberikan kemiringan garis, m =
u*/ , serta harga konstan, C. Dengan mengambil nilai = 0,4, dapat diperoleh nilai u* dari Persamaan 5.

Sebagai langkah awal, untuk mengetahui apakah hukum logaritmik masih dapat digunakan atau tidak, maka hasil

pengukuran distribusi kecepatan akan diplot data kecepatan (u) versus kedalaman (y/D) dengan mengambil data
pengukuran sejauh kedalaman y/D ≤ 0,2 (Gambar 3).

30U (cm/dtk) LQ1S1 50 X = 3.50 m
25 U (cm/dtk)LQ1S340 X = 4.25 m
20 30 X = 4.50 m
15 0.1 0.2 0.3 20 0.05 0.1 0.15 0.2 X = 5.00 m
10 z/D 10 z/D < 0.2 X = 5.50 m
5 0
0 0.25
0
0

(a) Data tanpa SPE (b) Data dengan SPE

Gambar 5. Distribusi Kecepatan Aliran pada dasar saluran

Pada Gambar 5a, bahwa distribusi kecepatan aliran tanpa SPE, mengikuti hukum logaritmik (log-law) baik pada
saluran tanpa kemiringan maupun adanya kemiringan, namun sebaliknya, jika aliran melewati SPE (gambar 5b) pada
jarak x = 4,25 terjadi perubahan besarnya kecepatan aliran sampai pada jarak ± x = 4,50 dan fungsi hukum logaritmik
akan menuju kembali berlaku pada jarak x = 5,00 m – x = 5,50 m.

Pada Tabel 2 terlihat, nilai kecepatan gesek (u*) terkecil rata-rata berada pada jarak x = 4,25 m – x = 4,50 m berkisar
antara 0,70 – 1,30, begitu pula dengan tegangan geser yang terjadi akan mengecil seiring dengan kecepatan gesek.
Namun sebaliknya untuk konstanta integrasi (C) memperlihatkan nilai yang sangat besar berkisar antara 37,08 –
48,79, yang mana hal ini mengisyaratkan bahwa kecepatan aliran yang terjadi setelah melewati SPE memiliki
kecepatan aliran di luar batas rentang yang cukup jauh dari normalnya suatu aliran. Pada jarak x = 5,00 – x = 5,.50,
aliran akan mulai kembali mengikuti hukum logaritmik.

Tabel 2. Rekapitualsi hasil perhitungan u*, C, dan τO-z (aliran dengan struktur)

Run u* (cm/dtk) C

M1Q1S1 3,50 4,25 4,50 5,00 5,50 3,50 4,25 4,50 5,00 5,50
M1Q1S2 13,69
M1Q2S1 1,61 0,82 0,70 1,66 1,37 8,97 48,56 46,26 14,54 12,90
M1Q2S2 13,77
M1Q3S1 1,57 0,95 0,55 1,20 1,20 9,76 48,79 44,71 12,90 13,23
M1Q3S2 10,78
1,87 0,89 1,00 1,81 1,63 8,26 47,75 43,70 12,43 11,81

2,46 1,05 0,86 2,23 2,03 8,40 46,86 42,97 13,28

1,93 0,95 1,38 1,96 2,26 9,20 47,27 40,13 11,75

2,52 1,30 0,82 1,82 1,74 8,78 41,85 37,08 11,58

534

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

4.3 Angka Froude

Angka Froude merupakan parameter non-dimensional yang menunjukkan efek relatif dari efek inersia terhadap efek
gravitasi. Sebuah kondisi yang mengukur resistensi dari sebuah benda yang bergerak melalui air dan membandingkan
benda-benda dengan ukuran berbeda berdasarkan pada kecepatan atau beda jarak (Khavasi, et al., 2012).

= (6)


1.0 1.0

0.5 0.5
Floc
Floc

0.0 0.5 0.6 0.7 0.0 0.5 0.6 0.7
0.4 x/L 0.4 x/L

(a) Data tanpa SPE (b) Data dengan SPE

Gambar 6. Profil Distribusi Lokal Bilangan Froude

Pada Gambar 6, menunjukkan perubahan kenaikan angka Froude setelah melewati struktur peredam. Perilaku ini
terjadi hampir sama ketika aliran melewati struktur bahwa aliran cenderung mengalami kenaikan.

5 KESIMPULAN

Profil aliran aliran pada Struktur Peredam Energi (SPE) diselidiki secara eksperimental di saluran persegi panjang
dan di peroleh hasil sebagai berikut.

a) Diketahui bahwa Struktur Peredam Energi (SPE) menyebabkan intensitas distribusi profil turbulent menjadi
berubah. Di bagian hilir struktur, profil intensitas turbulent memiliki bentuk yang tidak seragam dan memiliki
distribusi kecepatan aliran yang tinggi dibandingkan di daerah hulu struktur sehingga kecepatan gesek (u*) yang
terjadi di dasar menjadi kecil dan nilai perubahan konstanta integrasi (C) yang signifikan melebihi nilai yang
disyaratkan serta aliran akan kembali menjadi normal jika menjauhi struktur

b) Kondisi perubahan aliran sangat mirip dengan perubahan lokal bilangan Froude dan dapat diprediksi secara
proporsi bahwa Angka Froude dengan kekuatan inersia membuat aliran lebih banyak tidak stabil. Dalam aliran
yang tidak ada struktur, perubahan di Froude lokal jumlahnya tampak tidak terlalu banyak tetapi untuk percobaan
dengan adanya struktur peredam energi, variasi bilangan Froude lokal tampaknya mengalami kenaikan.

REFERENSI
Hasbi, M., Pallu, M. S., Lopa, R., Hatta, M. P., & Zetiawan, Z. (2020). “Effect of velocity flow patterns on viscosity
in Saddang River”. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 419, 12108

Khavasi, E., Jamshidnia, H., Firoozabadi, B., & Afshin, H. (2012). “Experimental investigation of flow structure of
a density current encountering a basal obstacle Experimental investigation of flow structure of a density current
encountering a basal obstacle”. December 2014, 2–6

Kironoto, B. (2009). “Pengaruh Angkutan Sedimen Dasar (Bed Load) Terhadap Distribusi Kecepatan Gesek Arah
Transversal Pada Aliran Seragam Saluran Terbuka”. Forum Teknik Sipil, 17

Kodoatie. J. R. (2001). Hidrolika Terapan Aliran pada Saluran Terbuka dan Pipa (Revisi, 20). Andi Offset,
Yogyakarta

Rinaldi, B. (2001). “Model Fisik Pengendalian Gerusan Di Sekitar Abutmen Jembatan”. Forum Teknik Sipil, X, 139–
149

535

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Penilaian Tingkat Pencemaran Logam Berat Sedimen
Waduk Saguling Provinsi Jawa Barat

E. Wardhani1*, D. Roosmini2, S. Notodarmojo2

1Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Bandung, INDONESIA
2Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pencemaran empat logam berat (Cd, Cr, Cu, dan Pb) di sedimen Waduk Saguling
dengan menggunakan 4 jenis indeks yaitu Igeo, CF, MPI, dan PERI. Contoh yang diteliti merupakan sedimen permukaan yang
berasal dari 12 titik mewakili musim hujan dan kemarau. Hasil penelitian menyatakan bahwa berdasarkan konsentrasi total pada
musim hujan berurutan dari yang terbesar dan terkecil yaitu Cr>Cu>Pb>Cd sedangkan pada musim kemarau Cu>Cr>Pb>Cd.
Berdasarkan Igeo sedimen telah tercemar Cd dengan kategori extremely polluted pada musim hujan dan Highly to extremely
polluted musim kemarau. Tiga logam berat lainnya yaitu Cr, Cu, dan Pb termasuk kategori unpolluted to moderated polluted
pada dua musim penelitian. Berdasarkan CF sedimen telah tercemar Cd dengan kategori very high contamination pada musim
hujan dan kemarau, dan tercemar Cr, Cu, dan Pb dengan kategori moderated contamination. Berdasarkan PERI diketahui bahwa
kualitas sedimen Waduk Saguling telah tercemar Cd dengan kategori serious ecological risk pada musim hujan dan kemarau,
artinya pencemaran Cd sudah berdampak serius terhadap ekosistem waduk. Sebagai perbandingan untuk Cr, Cu, dan Pb dengan
kategori low grade ecologogical risk pada dua musim yang berbeda. Logam berat Cd walaupun konsentrasi yang terkandung
paling rendah tetapi memiliki tingkat bahaya yang tinggi dibanding 3 logam berat lainnya.

Kata kunci: Indeks, Pencemaran, Saguling, Sedimen

1 PENDAHULUAN
Kualitas sedimen danau mencerminkan proses pencemaran yang terjadi di daerah tangkapan air. Sedimen berfungsi
sebagai tempat akumulasi logam berat. Ketika kondisi lingkungan berubah secara langsung dapat mempengaruhi
kualitas air di atasnya (Wardhani et al., 2014; Arinda dan Wardhani, 2018). Hal tersebut dapat mempengaruhi
organisme yang hidup di badan air tersebut. Pemantauan kualitas sedimen harus menjadi bagian yang terintegrasi
dalam program pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air (Wardhani et al., 2017a; Wardhani et al.,
2017b; Wardhani et al., 2018). Penilaian kualitas sedimen dilakukan dengan menggunakan beberapa indeks geokimia
terkait dengan kontaminasi logam berat. Metode yang digunakan antara lain: Geo-accumulation Index (Igeo) dan
Contamination Factor (CF) untuk menilai kualitas sedimen di masing-masing titik pantau (Liu et al., 2011; Sanja et
al., 2015). Metode lain yang digunakan untuk menilai kualitas sedimen untuk seluruh badan air adalah Metal
Pollution Index (MPI) dan Potential Ecological Risk Index (PERI) (Wardhani et al., 2016a).

Waduk Saguling berfungsi sebagai Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA), tetapi seiring dengan berkembangnya
kebutuhan air maka waduk ini fungsinya berkembang menjadi sumber air untuk irigasi, perikanan jaring terapung,
dan sumber air baku untuk kebutuhan domestik dan industri. Berdasarkan hal tersebut pengetahuan mengenai faktor-
faktor yang berkaitan dengan kualitas air seperti kandungan logam berat dalam sedimen menjadi sangat penting.
Penelitian mengenai penilaian kualitas sedimen di Waduk Saguling dapat memberikan gambaran pencemaran yang
sebenarnya terjadi. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengambil keputusan dalam melakukan tindakan
pengendalian pencemaran air yang telah terjadi Waduk Saguling.

2 METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama 3 tahun dari 2015-2018. Sampel sedimen diambil mewakili musim hujan dan kemarau.
Penentuan puncak musim hujan dan kemarau berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) Provinsi Jawa Barat dan PT. Indonesia Power. Musim hujan diwakili pada Bulan November
2015 dan April 2017. Musim kemarau diwakili pada Bulan Agustus 2016 dan September 2017. Sedimen
menggunakan sedimen permukaan pada kedalaman 0-20 cm di 12 titik sampling. Pengambilan sampel sedimen
menggunakan eikman grab sampler.

536

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Lokasi sampling disajikan pada Gambar 1. Lokasi Inlet Waduk terdapat 2 titik yaitu 1A Sungai Citarum di Nanjung
pada koordinat 06º56'29,8" N 107º32'10,7" E, dan 1B Sungai Citarum Batujajar pada koordinat 06º54'58,9" N
107º28'32,3"E. Daerah genangan terdiri dari 8 titik yaitu titik 2 muara Sungai Cihaur pada koordinat 06º53'13,5" N
107º28'32,3" E, titik 3 muara Sungai Cimerang pada koordinat 06º53'13,4" N 107º27'09,0" E.Titik 4 muara Sungai
Cihaur Kampung Maroko pada koordinat 06º53'13,0" N 107º25'54,4" E, titik 5 muara Sungai Cipatik pada koordinat
06º56'07,6" N 107º27'25,5" E, titik 6 muara Sungai Ciminyak yang terdapat perikanan jaring terapung pada koordinat
06º57'14,6"N 107º26'03,8"E, titik 7 muara Sungai Cijere pada koordinat 06º56'14,9" N 107º24'50,8" E, titik 8 muara
Cijambu pada koordinat 06º56'00,4" N 107º22'22,4"E, dan titik 9 dekat intake structure pada koordinat 06º54'54,4"
N 107º22'26,3" E. Lokasi outlet Waduk terdapat 2 titik sampling yaitu 10 A di Tailrace pada koordinat 06º51'49,8"N
107º20'57,0" E dan 10 B S. Citarum di Bantar Caringin pada koordinat 06º51'10,8" N 107º20'58,0"E.

Penilaian kualitas sedimen menggunakan metode Igeo, CF, MPI, dan PERI. Nilai Igeo menggambarkan pengkayaan

konsentrasi logam berat di sedimen perairan atas dasar nilai . Prinsip dari metode ini yaitu membandingkan
konsentrasi terukur di sedimen dengan konsentrasi logam berat yang asli berasal dari aktivitas alami (Muller et
al, 1969). Rumus untuk menghitung Igeo disajikan pada Persamaan 1.

= log 2 (1)

1,5

dimana: merupakan konsentrasi logam dalam sampel sedimen (mg/kg) dan adalah konsentrasi logam latar
belakang (mg/kg). Nilai 1,5 dipergunakan untuk menormalisasi variasi nilai latar belakang akibat variasi litogenik.
Tujuh nilai Igeo yang menggambarkan kualitas sedimen seperti disajikan pada Tabel 1. Thomilson, et al., (1980)
menyatakan bahwa tingkat kontaminasi sedimen oleh logam berat dinyatakan dalam faktor kontaminasi atau CF yang
dihitung dengan rumus yang disajikan pada Persamaan 2.

= (2)



Hasil dari perhitungan dengan metode CF ini dibandingkan dengan beberapa kelas tingkat pencemaran seperti
disajikan pada Tabel 2.

Gambar 1. Lokasi titik sampling

Tabel 1. Nilai, Kelas, dan Katagori Penilaian Kualitas Sedimen dengan Metode Igeo (Mulleret al, 1969)

Nilai Igeo Kelas Igeo Tingkat Pencemaran
< 0-0 0 Unpolluted
0-1 1 Unpolluted to moderated
1-2 2 Moderated polluted

2-3 3 Moderated polluted to high polluted

3-4 4 Highly polluted
4-5 5 Highly to extremely polluted
5-6 ≥6 extremely polluted

537

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 2. Nilai dan Katagori Penilaian Kualitas Sedimen dengan Metode CF (Thomilson, et al., 1980)

Nilai CF Katagori Pencemaran
Low
CF < 1 Moderated
1 ≤ CF ≥ 3 Considerable
3 ≤ CF ≥ 6 Very high

CF > 6

MPI merupakan metode penilaian kualitas sedimen terkait pencemaran logam berat yang menggunakan data lebih
dari satu titik pengukuran. Metode ini dikembangkan oleh Thomilson et al, (1980) dengan rumus disajikan pada
Persamaan 3.

= ( 1 × 2 × 3 × )1⁄ (3)

Dimana merupakan jumlah logam yang diteliti dan merupakan nilai contamination factor yang dihitung dengan
menggunakan persamaan 2. Hasil dari perhitungan dengan metode jika < 1 menyatakan sedimen belum
tercemar tetapi jika > 1 maka sedimen telah tercemar. Metode PERI diterapkan untuk mengevaluasi ancaman bahaya
yang disebabkan oleh keberadaan logam di sedimen Metode PERI yang dipergunakan disajikan pada Persamaan 4
(Hakanson, 1980).

( ) (4)

= ∑

=1

, merupakan indek respon toksik yang diteliti oleh Hakanson (1980) dengan nilai masing-masing yaitu Cd = 30,
Cu = Pb = Ni = 5, Cr = 2, Zn = 1; merupakan konsentrasi logam yang terkandung dalam sedimen (mg/kg) dan
merupakankonsentrasi latar belakang yang mewakili daerah studi (mg/kg). Nilai dan katagori PERI disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3. Nilai dan katagori penilaian kualitas sedimen dengan metode PERI (Hakanson, 1980)

Kelas PERI Nilai PERI Kategori Pencemaran
1 PERI<150 low-grade ecological risk
2 150<PERI<300 moderate ecological risk
3 300<PERI<600 severe ecological risk
4 PERI>600 serious ecological risk

Prinsip penilaian kualitas sedimen dengan metode yang telah dijabarkan yaitu membandingkan konsentrasi logam
berat yang terukur di dalam sedimen dengan konsentrasi latar belakangnya ( ). yang dipergunakan dalam
penilaian kualitas sedimen ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di daerah tangkapan air Waduk Saguling.

Konsentrasi latar belakang untuk Cd, Cr, Cu, and Pb masing-masing sebesar 0,34±0,10 mg/kg, 110,57±28,61 mg/kg,

49,93±9,28 mg/kg, and 18,62±9,83 mg/kg (Wardhani et al., 2016; Wardhani et al., 2018).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi Cd, Cr, Cu, dan Pb pada musim hujan urutan rata-rata konsentrasi total logam di sedimen Waduk
Saguling dari yang terbesar dan terkecil yaitu Cr>Cu>Pb>Cd sedangkan pada musim kemarau yaitu Cu>Cr>Pb>Cd.
Musim hujan dan kemarau konsentrasi total logam berat Cd di sedimen Waduk Saguling selalu menempati posisi
paling kecil. Seperti di jabarkan pada Tabel 4.

Kualitas sedimen dengan menggunakan metode Igeo seperti ditunjukan pada Tabel 5. Sedimen Waduk Saguling telah
tercemar Cd dengan kategori extremely polluted pada musim hujan dengan nilai Igeo berkisar antara 6,74-9,72.
Musim kategori Igeo Highly to extremely polluted dengan nilai Igeo berkisar antara 4,78-9,13. Tiga logam lainnya
yaitu Cr, Cu, dan Pb termasuk kategori unpolluted to moderated polluted karena nilai Igeo berkisar antara 0-1.
Berdasarkan hasil perhitungan kualitas sedimen dengan menggunakan CF sedimen Waduk Saguling telah tercemar
Cd dengan kategori very high contamination pada musim hujan dan kemarau, dan tercemar Cr, Cu, dan Pb dengan
kategori moderated contamination seperti disajikan pada Tabel 6.

538

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Hasil penilaian kualitas sedimen Waduk Saguling dengan metode MPI logam berat Cd menempati posisi tertinggi
diikuti oleh Cu, Pb, dan Cd. Nilai MPI untuk Cd pada musim hujan mencapai 43,38 lebih besar jika dibanding musim
kemarau sebesar 32,17, nilai MPI Cu pada musim hujan 2,10 lebih rendah dibanding musim kemarau 2,85. Nilai
MPI untuk Cr musim hujan sebesar 1,16 lebih besar dibanding musim kemarau 1,09 terakhir nilai MPI Pb musim
hujan sebesar 1,33 lebih rendah dibandingkan dengan kemarau 1,42. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode
MPI dapat disimpulkan bahwa sedimen Waduk Saguling secara keseluruhan telah tercemar oleh Cd, Cr, Cu, dan Pb.
Danau di beberapa negara telah tercemar logam berat seperti halnya Waduk Saguling seperti Dam Aguamilpa Mexico
memiliki nilai MPI sebesar 1,20 (Peraza, 2015), Danau Rawal Pakistan dengan nilai MPI sebesar 2,03 (Zahra, 2014),
Danau Burullus nilai MPI sebesar 0,55-0,70 (Darwish, 2018), dan Danau Symsar Polandia Utara dengai nilai MPI
sebesar <1 (Potasznik et al., 2016) menunjukan kedua danau tersebut belum tercemar.

Tabel 4. Konsentrasi Cd, Cr, Cu, dan Pb Total di Sedimen Waduk Saguling musim hujan dan kemarau (mg/kg)

Lokasi Cd Kemarau Cr Kemarau Cu Kemarau Pb Kemarau
Hujan 13,98 Hujan 189,05 Hujan 263,18 Hujan 73,88
1A 16,46 11,56 165,25 122,34 106,74 157,79 18,59 34,75
1B 16,32 11,82 136,81 103,84 150,32 244,47 27,75 38,78
2 15,44 12,00 118,27 156,02 143,58 156,37 27,70 21,39
3 14,23 12,01 121,45 127,30 73,43 158,75 17,17 33,94
4 16,68 9,06 146,14 103,45 129,00 89,49 29,56 25,47
5 15,37 8,64 134,50 94,15 85,12 95,85 23,98 23,05
6 14,02 10,56 120,24 97,12 127,16 133,41 22,35 24,49
7 15,43 8,10 145,09 92,02 125,02 69,53 40,20 13,54
8 13,71 9,67 120,03 116,02 82,47 135,18 18,23 20,05
9 14,93 10,65 132,21 113,47 153,04 154,28 23,22 20,95
10A 13,86 15,47 124,47 162,65 79,37 165,18 28,62 19,81
10B 11,43 1,50 94,74 80,00 61,43 65,00 27,88 50,00
Standar 1,50 11,12 80,00 123,12 65,00 151,95 50,00 29,17
Rata-rata 14,82 2,16 129,93 30,74 109,72 56,95 25,43 15,85
Standar Deviasi 1,48 8,10 17,79 92,02 32,34 69,53 6,36 13,54
Minimum 11,43 15,47 94,74 189,05 61,43 263,18 17,17 73,88
Maksimum 16,68 165,25 153,04 40,20

Tabel 5. Nilai Igeo logam berat Cd, Cr, Cu, dan Pb di Sedimen Waduk Saguling

Lokasi Cd Kemarau Cr Kemarau Cu Kemarau Pb Kemarau
Hujan Hujan Hujan Hujan
1A 8,25 0,34 1,06 0,80
1B 9,72 6,82 0,30 0,22 0,43 0,63 0,20 0,37
2 9,63 6,97 0,25 0,19 0,60 0,98 0,30 0,42
3 9,11 7,08 0,21 0,28 0,58 0,63 0,30 0,23
4 8,40 7,09 0,22 0,23 0,30 0,64 0,19 0,37
5 9,85 5,35 0,27 0,19 0,52 0,36 0,32 0,27
6 9,07 5,10 0,24 0,17 0,34 0,39 0,26 0,25
7 8,28 6,23 0,22 0,18 0,51 0,54 0,24 0,26
8 9,11 4,78 0,26 0,17 0,50 0,28 0,43 0,15
9 8,09 5,70 0,22 0,21 0,33 0,54 0,20 0,22
10A 8,81 6,29 0,24 0,21 0,62 0,62 0,25 0,23
10B 8,18 9,13 0,23 0,30 0,32 0,66 0,31 0,21
Rata-rata 6,74 6,57 0,17 0,22 0,25 0,61 0,30 0,31
Standar Deviasi 8,75 1,28 0,24 0,06 0,44 0,23 0,27 0,17
Minimum 0,87 4,78 0,03 0,17 0,13 0,28 0,07 0,15
Maksimum 6,74 9,13 0,17 0,34 0,25 1,06 0,19 0,80
9,85 0,30 0,62 0,43

539

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 6. Nilai CF Logam Berat Cd, Cr, Cu, dan Pb di Sedimen Waduk Saguling

Lokasi Cd Kemarau Cr Kemarau Cu Kemarau Pb Kemarau
Hujan 41,10 Hujan 1,71 Hujan 5,27 Hujan 3,97
1A 48,41 34,00 1,49 1,11 2,14 3,16 1,00 1,87
1B 48,00 34,75 1,24 0,94 3,01 4,90 1,49 2,08
2 45,40 35,29 1,07 1,41 2,88 3,13 1,49 1,15
3 41,85 35,32 1,10 1,15 1,47 3,18 0,92 1,82
4 49,06 26,65 1,32 0,94 2,58 1,79 1,59 1,37
5 45,21 25,41 1,22 0,85 1,70 1,92 1,29 1,24
6 41,24 31,06 1,09 0,88 2,55 2,67 1,20 1,31
7 45,38 23,81 1,31 0,83 2,50 1,39 2,16 0,73
8 40,32 28,43 1,09 1,05 1,65 2,71 0,98 1,08
9 43,91 31,32 1,20 1,03 3,06 3,09 1,25 1,13
10A 40,76 45,49 1,13 1,47 1,59 3,31 1,54 1,06
10B 33,60 32,72 0,86 1,11 1,23 3,04 1,50 1,57
Rata-rata 43,60 6,36 1,18 0,28 2,20 1,14 1,37 0,85
Standar Deviasi 4,36 23,81 0,16 0,83 0,65 1,39 0,34 0,73
Minimum 33,60 45,49 0,86 1,71 1,23 5,27 0,92 3,97
Maksimum 49,06 1,49 3,06 2,16

Berdasarkan hasil perhitungan kualitas sedimen dengan menggunakan PERI diketahui bahwa kualitas sedimen
Waduk Saguling telah tercemar Cd dengan kategori serious ecological risk pada musim hujan dan kemarau, artinya
pencemaran Cd sudah berdampak serius terhadap ekosistem waduk. Sebagai perbandingan untuk Cr, Cu, dan Pb
dengan kategori low grade ecologogical risk pada dua musim yang berbeda. Musim hujan nilai PERI untuk Cd, Cr,
Cu, dan Pb masing-masing sebesarar 15,7, 28, 132, dan 82 sedangkan musim kemarau yaitu 11,8, 27, 183, dan 94.
Perbandingan dengan penelitian di negara lain yaitu di Danau Dangting China nilai PERI sebesar 75,5-1.402,46
termasuk kategori Serious ecological risk (Wang, 2012), dan Uzuncayir Dam Tunceli Turki1 dengan nilai 11,62
termasuk kategori Low ecological risk (Kutlu, 2018).

Upaya pengendalian pencemaran logam berat khususnya Cd. Rekomendasi penurunan konsentrasi Cd di Waduk
Saguling yang pertama adalah pengelolaan limbah industri yang berada di DTA Waduk Saguling. Saat ini di daerah
Hulu Citarum, sekitar 556 industri berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah, sisanya membuang
langsung limbahnya ke anak Sungai Citarum atau ke Sungai Citarum (Dirjen SDA Dep PU, 2018). Penegakan hukum
harus diterapkan untuk memaksa pihak pemilik perusahaan untuk melakukan pengolahan air limbah sebelum di
buang ke perairan. Sumber Cd yang lain diprakirakan berasal dari aktivitas domestik dimana menurut Peterson dan
Alloway (1979) konsentrasi Cd dari sewerage sludge negara Eropa berkisar antara 0,4-3,8 mg/kg dengan nilai rata-
rata sebesar 2 mg/kg. Jumlah penduduk di Cekungan Bandung pada tahun 2017 sebanyak 9.115.193 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk yang masuk DAS Citarum Hulu sebanyak 4.115.193 jiwa. Berdasarkan hasil proyeksi tahun 2020
jumlah penduduk akan meningkat menjadi 10.190.304 jiwa dan tahun 2025 menjadi 11.382.200 jiwa. Sekitar 480
ton/hari limbah cair masuk ke Sungai Citarum dengan rincian 85% limbah domestik dan 15% limbah industri (DLH
Provinsi Jawa Barat, 2018). Tingginya pertumbuhan penduduk di DAS Citarum meningkatkan emisi limbah cair
domestik yang masuk ke Sungai Citarum dan bermuara ke Waduk Saguling. Karakteristik limbah cair domestik
tidak mengandung Cd, tetapi nilai BOD, TSS, minyak dan lemak yang terdapat dalam limbah cair domestik akan
menurunkan nilai DO serta parameter kualitas air lainnya dalam air sehingga mempengaruhi keberadaan Cd dalam
air.

Berdasarkan Peterson dan Alloway (1979) sumber Cd dapat berasal dari pupuk di lahan pertanian, kapur, dan kompos
dengan nilai konsentrasi Cd yang berasal dari pupuk fosfat sebesar 0,10-170 mg/kg, pupuk nitrat sebesar 0,05-8,50
mg/kg, pupuk dari lahan pertanian 0,10-0,80 mg/kg, dari pembuatan kompos sampah sebesar 0,01-100 mg/kg, dan
dari kapur sebesar 0,04-0,10 mg/kg. Berdasarkan hal tersebut sosialisasi praktik budidaya pertanian yang ramah
lingkungan merupakan upaya penting dalam menurunkan beban pencemaran Cd. Sampai saat ini pedoman
penggunaan pupuk belum berdasarkan pada aspek perlindungan lingkungan (DLH Provinsi Jawa Barat, 2018).
Melihat kondisi saat ini pencemaran Cd telah terjadi maka Departemen Pertanian beserta instansi terkait harus mulai

540

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

melakukan penelitian penggunaan pupuk optimal untuk pertumbuhan tanaman tanpa menyisakan residu yang
berlebih.

4 KESIMPULAN

Penelitian menyatakan bahwa sedimen Waduk Saguling telah tercemar dibuktikan dengan tingginya konsentrasi
empat logam berat di sedimen pada musim hujan dan kemarau. Urutan rata-rata konsentrasi total logam di sedimen
dari yang terbesar ke terkecil musim hujan yaitu Cr>Cu>Pb>Cd sedangkan musim kemarau Cu>Cr>Pb>Cd.
Berdasarkan hasil penilaian dengan metode Igeo sedimen tercemar Cd dengan kategori extremely polluted pada
musim hujan dengan nilai Igeo berkisar antara 6,74-9,72. Musim kemarau termasuk kategori Highly to extremely
polluted dengan nilai berkisar antara 4,78-9,13. Tiga logam lainnya yaitu Cr, Cu, dan Pb termasuk kategori unpolluted
sampai moderated polluted. Metode CF menyatakan sedimen telah tercemar Cd dengan kategori very high
contamination pada musim hujan dan kemarau, dan tercemar Cr, Cu, dan Pb dengan kategori moderated
contamination. Metode MPI menyimpulkan bahwa sedimen Waduk Saguling secara keseluruhan telah tercemar oleh
Cd, Cr, Cu, dan Pb. Metode PERI menyimpulkan bahwa kualitas sedimen Waduk Saguling telah tercemar Cd dengan
kategori serious ecological risk pada musim hujan dan kemarau, artinya pencemaran Cd sudah berdampak serius
terhadap ekosistem waduk. Sebagai perbandingan untuk Cr, Cu, dan Pb dengan kategori low grade ecologogical risk
pada dua musim yang berbeda. Musim hujan nilai PERI untuk Cd, Cr, Cu, dan Pb masing-masing sebesarar 15,7, 28,
132, dan 82 sedangkan musim kemarau yaitu 11,8, 27, 183, dan 94.

REFERENSI

Anonim. (2018). Laporan Tahunan Kualitas Air. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Depertemen Pekerjaan
Umum Republik Indonesia

Anonim. (2018). Laporan Status Lingkungan Hidup. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat

Arinda, A., dan Wardhani, E. (2018). “Analisis Profil Konsentrasi Pb di Air Waduk Saguling”. Rekayasa Hijau:
Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan, 2(3)

Darwish, D. H., Maie, I. E., Lamiaa, I. M. (2018). “Evaluation of Heavy Metals Pollution using Sediments in Burullus
Lake and the nearby Mediterranean Sea, Egypt”. International Journal of Environmental and Water, 7(2)

Hakanson, L. (1980). “An Ecological Risk Index for Aquatic Pollution Control: A Sedimentological Approach”.
Water Research., 14, 975-1001

Kutlu B. (2018). “Dissemination of heavy metal contamination in surface sediments of the Uzuncayir Dam Tunceli
Turki”. Human and Ecologival Risk Assessment 2018: An International Journal

Liu, B., Hu Ke, Jiang, Z, Yang, J., Luo, X., Liu, A. (2011). “Distribution and enrichment of heavy metals in a
sediment core from the Pearl River Estuary”. Environ Earth Sci, 62:265-275

Muller, G. (1969). “Index of geo accumulation in sediments of the Rhine River”. Geo Journal, 2: 108-118

Peraza, J. G. R., De, A. J., Farías, F. A .G., Rode, M., García, A. S., Terrones, Y. A. B. (2015). “Assessment of
heavy metals in sediment of Aguamilpa Dam”. Mexico Environ Monit Assess, 187 (3):134

Peterson, P. L. dan Alloway, B. J. (1979). “Cadmium in soils and vegetation. In Webb, M. B. (Ed.), The Chemistry,
Biochemistry and Biology of Cadmium”. Elsevier/North-Holland and Biomedical Press, Amsterdam

Potasznik, A. K., Szymczyk, S., Skwierawski, A., Lewczuk, K.G., dan Cymes, I. (2016). Heavy metal contamination
in the surface layer of bottom sediments in flow through lake: A case study of lake Symsar in Northern Poland Water
8(358)

Sanja, S., Gordana, D., Dubravka, R., Aldenovic, I., Nenad, S., Dordevic, D. (2015). “Evaluation of sediment
contamination with heavy metals: the importance of determining appropriate background content and suitable
element for normalization”. Environ Geochem Health 37: 97-113

541

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Wang, Z., Sun, R., Zhang, H., Chen, L. (2015). “Analysis and assessment of heavy metal contamination in surface
water and sediment: a case study from Luan River, Northern China”. Front Environ. Sci. Eng, 9 (2): 240-249

Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2014). “Pencemaran Kadmium di Sedimen Waduk Saguling
Provinsi Jawa Barat”. Jurnal Manusia dan Lingkungan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada.
Volume 23(3), 285-294

Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2016). “Vertical Profile of Heavy Metal Concentration in Core
Sediments of Saguling Lake, West Java Indonesia”. Asian Academic Society International Conference Proceeding
Series

Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2017a). “Heavy Metal Speciation in Sediments in Saguling Lake
West Java Indonesia”. International Journal of GEOMATE, Vol 12(34) 146-151, ISSN: 2186-2990, Japan

Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2017b). “Status heavy metal in Sediment of Saguling Lake, West
Java. Province”. International Journal IOP Conferences Series: Earth and Environmental Science, 60, 2017, 012035.

Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2018). “Stream Sediment Geochemical Survey of Selected
Element In Catchment Area Of Saguling Lake”. MATEC Web Conf, 147, 08003

Zahra, A., Zaffar, M.H., Naseem, R., Malik, Zulkifl, A. (2013). “Enrichment and geo-accumulation of heavymetals
and risk assessment of sediments of the Kurang Nallah-feeding tributary ofthe Rawal Lake Reservoir, Pakistan”. Sci
Total Environ, 470-471C:925-33

542

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Penentuan Lokasi IPAL Ternak di Sungai Saddang

R. O. Tarru*, S. Baja, F. Maricar, R. T. Lopa

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Hasanuddin, Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Sungai Saddang mengalami degradasi kualitas air. Sumber pencemar berasal dari pemukiman penduduk, industri, pusat
perdagangan. Salah satu pusat perdagangan yaitu pasar ternak, selain tempat perdagangan kebutuhan bahan pokok juga terdapat
lokasi khusus untuk perdagangan ternak khususnya kerbau dan babi. Keberadaan pasar tersebut memberikan konstribusi yang
sangat besar terhadap pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Toraja Utara selain sumber pendapatan daerah, pasar ternak ini
juga menjadi destinasi wisata karena keunikan pasar tersebut. Jumlah ternak yang banyak menimbulkan permasalahan terhadap
lingkungan karena limbah yang dihasilkan belum mendapatkan penanganan dengan baik. Limbah dari ternak langsung mengalir
ke saluran alam dan buatan menuju ke sungai Saddang yang berjarak 64 m dari pasar ternak sehingga perlu dilakukan langkah-
langkah pengembangan teknologi pengolahan dan pelestarian sumber daya air salah satunya adalah menentukan lokasi IPAL
sehingga tujuan penelitian ini adalah menentukan lokasi IPAL ternak di Sungai Saddang. Metode dalam penelitian ini adalah
penelitian lapangan dengan menetukan titik koordinat pengambilan sampel air dengan bantuan aplikasi Sistim Informasi
Geografis (SIG) dan penelitian laboratorium untuk menentukan baku mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran. Hasil penelitian
menunjukkan penempatan Lokasi IPAL direncanakan di ST04 dan ST05 sehingga dapat digunakan untuk memproses limbah
yang akan mengalir ke badan sungai agar lebih aman sesuai dengan baku mutu lingkungan.

Kata kunci: Kualitas Air Sungai, Limbah Ternak, Sungai Saddang, SIG

1 PENDAHULUAN

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang berkembang cepat serta tingkat penghidupan masyarakat yang semakin
maju, banyak kawasan resapan air yang dijadikan kawasan pemukiman dan pengembangan daerah perkotaan,
kawasan industri dan perdagangan dengan kata lain perubahan penggunaan lahan mencerminkan dampak aktivitas
manusia terhadap lingkungan yang membuat jumlah ketersediaan air semakin lama semakin berkurang dan terjadi
pencemaran yang berdampak kepada air yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi pada sungai yang berada
di Kabupaten Toraja Utara yaitu Sungai Saddang. Sungai Saddang yang merupakan sungai lintas provinsi (Provinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Toraja Utara
merupakan kawasan strategis di Sulawesi Selatan sebagai Kawasan hutan lindung, secara geografis merupakan salah
satu kabupaten yang memiliki topografi pegunungan dengan penggunaan lahan dominan hutan. Hal ini menyebabkan
potensi air yang dimiliki cukup besar, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air.

Kondisi aliran Sungai mengalami degradasi kualitas air akibat pencemaran dari limbah domestik dan non-domestik.
Sumber pencemar berasal dari pemukiman penduduk, industri, pusat perdagangan. Salah satu pusat perdagangan
yaitu pasar ternak, selain tempat perdagangan kebutuhan bahan pokok juga terdapat lokasi khusus untuk perdagangan
ternak khususnya kerbau dan babi. Limbah dari ternak langsung terbuang kedalam saluran alam dan buatan menuju
ke sungai Saddang yang berjarak 64 m dari pasar ternak sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pengembangan
teknologi pengolahan dan pelestarian sumber daya air. Salah satu langkah penanganan limbah yang terbuang secara
langsung ke badan sungai yaitu dengan menentukan posisi IPAL berdasarkan pemetaan sebaran limbah yang
dialirkan sungai Saddang berdasarkan penetuan baku mutu air metode Indeks pencemaran.

1.1 Standar Baku Air Bersih

Air yang digunakan sehari-hari baik untuk keperluan mandi, mencuci haruslah memenuhi Standar Baku Mutu Air
Bersih. Sedangkan untuk minum harus memenuhi Standar Baku Air Minum berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang kurang mampu memenuhi kebutuhan
yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik semakin menurun, kegiatan industri, non domestik
dan kegiatan lain yang bedampak negatif terhadap sumber daya air sehingga menyebabkan kualitas menurun, salah
satu pengelolaannya dengan pemantauan dan interprestasi data kualiatas air mencakup kualitas fisik, kimia dan

543

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

biologi.Kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air untuk dipergunakan bagi pemenuhan tertentu kehidupan
manusia, seperti untuk air minum, mengairi tanaman, minuman ternak dan sebagainya. Salah satu potensi sumber
daya air yang strategis dan banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas pembangunan adalah air sungai. Mengingat
sungai merupakan sumberdaya air yang penting untuk menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
manusia, maka fungsi sungai sebagai sumberdaya air harus dilestarikan agar dapat menunjang pembangunan secara
berkelanjutan.

1.2 Metode Indeks Pencemaran (IP)

Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa
peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai (Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No
115 Tahun 2003)

= √ ( / ) 2 + / )2 (1)

2

Dimana Lij adalah konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air (j),
Ci merupakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi
pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, hasil Pengukuran dan PIj adalah indeks pencemaran.

Air Limbah

Air limbah (wastewater) adalah air buangan yang berasal dari kegiatan permukiman masyarakat, rumah tangga,
rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen, kampus, asrama, industri, air tanah, air permukaan serta
buangan lainnya (Metclaf dan Eddy, 2004).

Pengolahan limbah cair bertujuan untuk menghilangkan atau menyisihkan kontaminan. Kontaminan dapat berupa
senyawa organik yang dinyatakan oleh nilai BOD, COD, nutrient, senyawa toxic, mikrorganisme patogen, partikel
non-biodegradable, padatan tersuspensi maupun terlarut. Pengolahan limbah cair dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga metode, yaitu pengolahan fisik, kimia dan biologi. Penerapan masing-masing metode tergantung pada kualitas
limbah dan kondisi fasilitas yang tersedia.

1.3 Sistem Informasi Geografis

Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital,
(PPPPTK, 2016) Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non-spasial, sehingga para
penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara. ArcMap GIS adalah software
yang dikeluarkan oleh Environmental Systems Research Institute (ESRI). Perangkat lunak ini memberikan fasilitas
teknis yang berkaitan dengan pengelolaan data spasial. Kemampuan grafis yang baik dan kemampuan teknis dalam
pengelolahan data spasial tersebut memberikan kekuatan secara nyata pada ArcMap untuk melakukan analisis
spasial.

2 METODOLOGI STUDI

2.1 Gambaran umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tallunglipu Matallo, Kecamatan Tallunglipu, Kabupaten Toraja Utara,
Provinsi Sulawesi pada DAS Saddang, uji sampel di Laboratorium Produktifitas dan kualitas Perairan Fakultas
Kelautan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

544

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 1. Lokasi penelitian (Google Earth, 2020)

2.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel air sungai di 6 titik penelitian dimana titik ST.01, ST2, ST.03 berada di hulu dan titik ST.04-
ST.05 berada di hilir jika ditinjau dari pasar hewan tersebut dan ST.0 berada di outlet limbah. Adapun koordinat dan
jarak dari tiap titik pengambilan sampel menggunakan aplikasi ArSurvey123 terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Koordinat pengambilan sampel

NO. X Y

ST 1 119°54'44.149"E 2°57'25.569"S

ST 2 119°54'42.776"E 2°57'28.823"S

ST 3 119°54'39.185"E 2°57'33.597"S

ST 4 119°54'37.403"E 2°57'38.159"S

ST 5 119°54'36.459"E 2°57'39.163"S

ST 0 119°54’37.670”E 2°57’38.394”S

Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel Penelitian
Pada Gambar 2 jarak antara pengambilan sampel ±100 meter tiap titik sampelnya yang berada di aliran sungai dan
ST.00 merupakan outlet limbah dari pasar hewan yang langsung masuk ke sungai dengan DAS Saddang dengan lebar
sungai 35 m yang berjarak 64 m dari pasar ternak.Parameter yang diteliti di Laboratorium terdiri dari Suhu,TDS, pH,
DO, COD, BOD, NO2 , NO3 , E.Coli dan Total Coliform.

545

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengujian Sampel di Laboratorium
Hasil pengujian sampel air Sungai Saddang Kabupaten Toraja Utara yang di uji di Laboratorium Produktivitas dan
Kualitas Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin terdapat pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 hasil pengujian sampel air Sungai Saddang pada ST.0 ST.1, ST.2, ST.5 menunjukkan parameter
BOD melampaui kriteria baku mutu air. Parameter COD, Total coliform, E. Coli melampaui kriteria baku mutu air.

Tabel 2. Hasil pengujian laboratorium setiap stasiun (Tarru, 2020)

No. Parameter Satuan Kode Sampel Kriteria Baku Mutu Air
ST.00 ST.01 ST.02 PP No. 82 Tahun 2001
ST.03 ST.04 ST.05
Suhu udara ±3o
I. Physics 1000

1 Suhu C 25,9 27,2 27,7 27,7 27,7 27,7 6-9
11,1 3,45 0,13 0,84 9,95 1,59 6
2 Total Dispended Solids ppm 2

(TDS) 10

II. Chemicals 7,12 6,93 6,99 6,98 7,02 6,67 10
3 Derajat keasaman (pH) - 0,06
1000
4 Dissolved Oxygen (DO) ppm 3,21 3,04 2,86 1,9 0,48 0,36 100

5 Biochemical Oxygen ppm 2278,3 2297,9 130,6 0,65 0,98 3,92
Demand (BOD)

6 Chemical Oxygen ppm 5695,68 1,63 2,45 9,79 5744,54 326,40

Demand (COD)

7 Nitrat (NO1) ppm 0,951 tt 0,019 tt 1,375 0,026
8 Nitrit (NO2) ppm 1,158 0,01 0,026 0,012 1,304 0,066

III. Microbiology colony/100 >1100 >1100 >1100 >1100 >1100 36
9 Total Coliform ml 160
colony/100 3500 17 3500 43 160000
10 E. Coli ml

3.2 Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Indeks Pencemaran (IP)

Berdasarkan IP dapat dihitung setelah semua parameter pencemar air Sungai Saddang di uji di Laboratorium. Metode
IP sama dengan metode STORET dimana nilai setiap parameter dibandingkan dengan baku mutunya.

Tabel 3. Hasil Status Mutu Air di Stasiun outlet (ST.00) dengan Indeks Pencemaran

No. Parameter Satuan Lij Ci Ci/Lij Ci/Lij baru
1 Suhu oC Suhu udara ±3o 25,9 8,63 5,68
2 Total Dispended Solids ppm 11,1 0,01 0,01
1000
(TDS) - -0,25
3 Derajat keasaman (pH) ppm 6-9 7,12 -0,25 3,11
ppm 16,28
4 Dissolved Oxygen (DO) 6 3,21 2,64
5 Biochemical Oxygen ppm 14,78
2 2278,3 1139,15
Demand (BOD) ppm 0,10
ppm 10 5695,8 569,57 25,89
6 Chemical Oxygen Demand colony/100 ml 1,21
(COD) colony/100 ml 10 0,951 0,10 2,02
0,06 68,82
7 Nitrat (NO1) 1000 5695,68 94928,00 6,88
8 Nitrit (NO2) 100 25,89
9 Total Coliform >1100 1,10 18,94
10 E. Coli
160 1,60

Jumlah

Rata-rata
Maksimum

IP

STATUS MUTU AIR TERCEMAR BERAT

546

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Berdasarkan Tabel 3 hasil perhitungan dengan metode Indeks Pencemaran pada ST.0 total IP 18,94 menunjukkan
status mutu air masuk kategori cemar berat. Untuk ST.01, ST.02, ST.03, ST.04, ST.05 tecantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekapan status mutu air Sungai Saddang dengan IP

Titik Jarak dari Hulu (M) Skor IP Status Mutu
ST.01
ST.02 0 11,79 Tercemar Berat
ST.03 108,59 7,28 Tercemar Sedang
ST.04
ST.05 292,85 6,34 Tercemar Sedang
44340 10,74 Tercemar Berat

554,67 12,17 Tercemar Berat

Skor IP 20 ST.02 ST.03 ST.04 ST.05
10 ST.01 500 600
100 200 300 400
0 Jarak dari Hulu (m)
0

Gambar 3. Grafik Nilai Indeks Pencemaran

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh status mutu air sepanjang Sungai Saddang adalah ST.01 yang berada di hulu
mengalami keadaan tercemar berat, stasiun ST.02 yang berada di hulu mengalami tercemar sedang, stasiun ST.03
yang berada di hulu mengalami tercemar sedang, stasiun ST.04 dan ST.05 yang berada di hilir mengalami tercemar
berat serta ST.00 yang berada di outlet juga terbukti tercemar berat. Berdasarkan hasil perhitungan STORET dan IP,
memiliki tren yang sama dimana tingkat pencemaran di ST.00, ST.04 dan ST.05 tercemar berat.

3.3 Analisis Spasial Distribusi Kualitas Air

Berdasarkan pengujian sampel di laboratorium (Tabel 1), penetuan status mutu air metode IP (Tabel 4) maka analisis
spasial distribusi kualitas air di Sub DAS Saddang menggunakan perangkat lunak ArcGis (ArcMap 10.4) ditunjukkan
pada peta distribusi Gambar 4.

Gambar 4. Peta zona distribusi dengan metode IP

Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan tingkat pencemaran berdasarkan metode Indeks Pencemaran dengan cara
melakukan digitasi kenampakan tata guna lahan dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Kecamatan Tallunglipu untuk
mendapatkan peta tata guna lahan disekitar aliran Sungai Saddang serta digitasi aliran sungai dengan menggunakan
Data DEM (Digital Elevation Model) DEMNAS 2013-22v1.0 untuk menampilkan aliran sungai musiman.
Melakukan skoring untuk tiap-tiap data parameter kualitas air dari penelitian lapangan yang telah di analisis
laboratorium dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 untuk status mutu air. Plotting koordinat lokasi

547

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

stasiun penelitian untuk mendapatkan peta sebaran lokasi titik pengambilan sampel penelitian, Ploting dan interpolasi
untuk tiap-tiap data parameter kualitas air dari hasil skoring terebut pada tiap titik pengambilan sampel untuk
mendapatkan peta sebaran tiap-tiap parameter kualitas air. Selanjutnya membuat buffer untuk mengetahui lebar
sungai lalu Raster Processing (Clip) untuk mendapatkan peta zona distribusi kualitas air di sekitar sungai penelitian
tersebut. Pada menunjukan bahwa di ST.04 dan ST.05 mengalami pencemaran berat sehingga di perlukan bangunan
IPAL agar dapat digunakan untuk memproses limbah cair yang langsung masuk ke sungai agar lebih aman pada saat
dibuang ke lingkungan, sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan.

3.4 Penentuan Lokasi IPAL Ternak Di Sungai Saddang

Gambar 5. Peta lokasi penentuan bangunan IPAL

Berdasarkan Gambar 5 menunjukan bahwa di ST.04 dan ST.05 mengalami pencemaran berat karena limbah dari
pasar ternak itu melewati stasiun tersebut sehingga di perlukan bangunan IPAL agar dapat digunakan untuk
memproses limbah cair yang langsung turun ke sungai agar lebih aman pada saat dibuang ke lingkungan, sesuai
dengan baku mutu lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan IPAL berada di sekitar Stasiun 04 dan
Stasiun 05 karena tempat tercemar sungai yang berasal dari pasar ternak sebelum mengalir melewati hilir.

4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemetaan menunjukan bahwa di ST.04 dan ST.05 mengalami pencemaran berat sehingga
penempatan bangunan IPAL akan direncanakan pada ST.04 dan ST.05 sehingga dapat digunakan untuk memproses
limbah yang akan mengalir ke badan sungai agar lebih aman sesuai dengan baku mutu lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Dinas Pertanian Kabupaten Toraja Utara, Laboratorium Produktifitasdan Kulitas Perairan
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sebagai tempat pengmbilan data sekunder dan pengujian
Laboratorium.

REFERENSI
Metcalf dan Eddy. (2004). Wastewater Engineering, Fourth Edition, McGrraw-Hill Inc, New York

Pusat Penembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK). (2020). Data spasial

Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Republik Indonesia. (2003). Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No 115 Tahun 2003 tentang status mutu air

Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air

Tarru, R. O., dan Tarru, H. E. (2016). “Analisis Air Sungai Sadang terhadap kualitas Air PDAM Toraja Utara”.
Prosiding Seminar Sumber Daya Air, Surabaya

548

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tarru, R. O., Ambun, E., dan Prihartini, Z. (2018). “Pola Pengelolaan Sumber Daya Air terpadu di Kabupaten Toraja
Utara”. Prosiding Seminar HATHI, Medan

Tarru, R. O., Garce, N., dan Prihartini, Z. (2019). “Studi Penentuan Status Mutu Air Sungai Saddang untuk
Kebutuhan Air Bersih”. Prosiding Seminar HATHI, Kupang

549

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kajian Hidrologi Metode Hidrograf Nakayasu untuk Rancangan Embung
di Kawasan Industri JIIPE Gresik

R. F. Indriani1, M. Hafiizh2, W. Utama1*

1Departemen Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, INDONESIA
2Departemen Infrastruktur Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pengembangan kawasan industri JIIPE dapat mengubah tata guna lahan di sekitar lokasi pengembangan tersebut. Daerah
penelitian sebagian besar memiliki litologi lempung. Kawasan pengembangan ini harus terhindar dari banjir. Penelitian bertujuan
untuk merencanakan tampungan yang dapat mengolah sistem pengaliran. Data yang dibutuhkan yaitu data geografi, data curah
hujan, data meteorologi, data kawasan, dan data fungsi lahan. Pada studi ini digunakan metode Hidrograf Nakayasu. Metode
Hidrograf Nakayasu memiliki parameter tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak hidrograf, tenggang waktu dari
titik berat hujan sampai titik berat hidrograf, tenggang waktu hidrograf, luas daerah aliran sungai, dan panjang alur sungai utama
terpanjang. Hasil perhitungan dengan metode ini yaitu nilai debit puncak serta dihitung pada kondisi eksisting dan kondisi
rencana. Pada studi ini dilakukan perhitungan debit kemungkinan dalam periode ulang 25 tahun Dari perhitungan ini dihasilkan
grafik hidrograf debit banjir kondisi eksisting dan kondisi rencana. Perhitungan selisih debit maksimum antara kondisi eksisting
dan rencana untuk mengetahui debit yang harus ditahan setiap detik dalam tampungan. Nilai bangkitan debit yaitu 18,7 m3/dtk.
Perhitungan volume tampungan yang harus ditahan di embung sebagai pengendali volume kebutuhan yaitu 168.300 m3.
Perhitungan volume tampungan berdasarkan luas embung yang dijadikan sebagai volume ketersediaan yaitu 169.956 m3,
Sehingga diperoleh rekomendasi dimensi embung yaitu dengan nilai luasan 36.947 m2 dan kedalaman embung 4,5 m.

Kata kunci: Debit, Embung, Hidrograf, Nakayasu.

1 PENDAHULUAN

Wilayah kajian termasuk dalam kawasan industri JIIPE. Kawasan industri JIIPE sebagai kawasan pengembangan
yang harus terhindar dari banjir. Sebagian besar memiliki litologi tanah lempung. Daerah studi sebagai kawasan
industri dengan luasan total kurang lebih 185 ha di Manyar, Gresik, Jawa Timur. Kawasan ini berbatasan dengan
selat Madura, Jalan Daendels, dan Kali Mireng yang melintasi Kawasan. Daerah studi memiliki iklim tropis dengan
suhu cuaca bervariasi antara 25ºC - 32 ºC. Hujan tahunan berkisar 900 mm sampai 2600 mm dengan rerata 1500 mm.
Sebagai kawasan industri harus bebas dari bahaya banjir (El Hajj, et al., 2015). Untuk itu, dalam perencanaannya
akan dilakukan kajian hidrologi.

Pada studi terdahulu, kajian banjir kawasan secara menyeluruh dan merencanakan sebuah tampungan sesuai dengan
area pengembangan untuk menahan dan mengolah sistem pengaliran pada kawasan terbangun (Kurniawan, et al.,
2017). Selain itu, dalam perencanaan sebuah tampungan diperlukan kajian untuk diperoleh volume tampungan
(Nurasiyah , 2015). Penelitian bertujuan untuk merencanakan tampungan yang dapat mengolah sistem pengaliran.
Sehingga diperoleh rekomendasi dimensi embung yaitu kedalaman embung dan tinggi jagaan dari data volume
tampungan.

2 METODOLOGI

Wilayah kajian pada Gambar 1 berada di Gresik Jawa Timur. Wilayah studi berada di kawasan industri JIIPE.
Kawasan industri JIIPE sebagai kawasan pengembangan yang harus terhindar dari banjir (El Hajj, et al., 2015).
Sebagian besar memiliki litologi tanah lempung (Dovan, et al., 2019).

550

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Wilayah JIIPE

Daerah Penelitian

Gambar 1. Daerah penelitian

Data yang digunakan yaitu data geografis meliputi kondisi penggunaan lahan, kondisi topografi, dan luas wilayah
studi. Selain data geografis, data yang digunakan yaitu data curah hujan tahun 2003 hingga tahun 2019, data

meteorologi, luasan area yaitu 185 ha, dan data perhitungan distribusi hujan metode Log Pearson III. Selain itu,
fungsi lahan sebagai kawasan industri ringan 1.295.000 m2, jalanan umum paving 370.000 m2, dan fasilitas lahan
terbuka 185.000 m2. Metode yang digunakan yaitu metode Hidrograf Nakayasu.

3.1 Perhitungan distribusi curah hujan dengan metode Log Pearson III

Perhitungan distribusi curah hujan berdasarkan data curah hujan maksimal tahunan. Data curah hujan maksimal
tahunan berasal dari stasiun hujan Manyar. Data curah hujan rata-rata dihitung melalui distribusi probabilitas Log
Pearson III. Selanjutnya dilakukan uji distribusi frekwensi terhadap perhitungan curah hujan hasil metode Log
Pearson III (Basuki, et al.,2009). Hasil metode Log Pearson III dicocokkan dengan syarat dari uji distribusi frekuensi.
Dari data tersebut, diperoleh perhitungan distribusi hujan dengan Log Pearson III (Rosmala, et al., 2016).

3.2 Perhitungan Besaran Debit Periode Ulang Kondisi Eksiting

Metode yang digunakan dalam perhitungan besaran debit periode ulang yaitu metode Hidrograf Satuan Sintesis
Nakayasu. Berikut rumus yang digunakan.

= (1)
3.6 (0.3 0.3)

Qp sebagai debit puncak (m3/dtk), C sebagai koefisien aliran, A sebagai luasan area tangkapan (km2), R sebagai
besaran curah hujan periode ulang (mm). Perhitungan besaran debit periode ulang kondisi eksisting saluran Kalimati
dengan fungsi lahan tambak. (Soraya, et al., 2017) Perhitungan Hidrograf Satuan Nakayasu kondisi eksisting melalui
perhitungan waktu konsentrasi, perhitungan satuan waktu hujan, perhitungan waktu awal hujan sampai puncak banjir,
penurunan debit puncak, dan dihasilkan nilai Qp yaitu debit puncak. Selanjutnya diperoleh tabel dan grafik Hidrograf
Nakayasu banjir kondisi eksisting periode ulang 25 tahun (Margini, et al., 2017).

2.3 Perhitungan Besaran Debit Periode Ulang Kondisi Rencana

Perhitungan besaran debit periode ulang kondisi rencana yang akan diubah menjadi lahan industri kawasan JIIPE.
Perhitungan Hidrograf Satuan Nakayasu kondisi rencana digunakan rumus pada persamaan 1. p sebagai debit puncak
(m3/dtk), C sebagai koefisien aliran, A sebagai luasan area tangkapan (km3), R sebagai besaran curah hujan periode
ulang (mm) Margini, et al., 2017). Selanjutnya diperoleh tabel dan grafik Hidrograf Nakayasu banjir kondisi rencana
periode ulang 25 tahun (Krisanayanti, et al.,2019).

551

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil perhitungan distribusi curah hujan dengan metode Log Pearson III
Syarat teoritis pada metode Log Pearson III yaitu dengan nilai Cs dan nilai Ck yang flleksibel (Handajani, 2005).
Nilai Cs pada metode Log Pearson III yaitu 0,4 dan nilai Ck pada metode Log Pearson III yaitu 1,534180. Sehingga
dari nilai Cs dan Ck lolos dari hasil uji distribusi frekwensi. Berikut hasil perhitungan distribusi hujan metode Log
Pearson III.

Tabel 1. Perhitungan curah hujan rencana kala ulang 25 tahun dengan Log Pearson III

Periode Ulang (T) K S log Xt Xt
(mm)
2 -0,064 2,173 149,07
5 0,817 2,443 277,11
10 1,316 2,595 393,61
25 1,875 2,766 583,59

Dari Tabel 1, pada periode ulang 25 diperoleh nilai variabel Log Pearson III yaitu 1.875. Sementara nilai Xt yaitu
583,59 mm. Nilai Xt menunjukkan nilai curah hujan rencana.

3.2 Perhitungan Besaran Debit Periode Ulang Kondisi Eksiting

Metode yang digunakan dalam perhitungan besaran debit periode ulang yaitu metode Hidrograf Satuan Sintesis
Nakayasu. Qp sebagai debit puncak (m3/dtk), C sebagai koefisien aliran, A sebagai luasan area tangkapan (km2), R
sebagai besaran curah hujan periode ulang (mm) (Renantono, et al., 2016). Luas DAS yaitu 1,85 km2, panjang Sungai
Mireng 19,4 km, hujan satuan (R 25th) yaitu 583,59 mm, koefisien aliran ( C ) yaitu 0,3 dengan fungsi lahan sebagai
tambak, dan nilai alpha (α) yaitu 2,4.

Gambar 2. Hidrograf Nakayasu banjir kondisi eksisting periode ulang 25 tahun

Dari hasil perhitungan hidrograf kondisi eksisting yang ditunjukkan di Gambar 2 diatas diperoleh debit puncak pada
nilai Q yaitu 5.062 m3/detik pada waktu 2,5 jam.

3.3 Perhitungan Besaran Debit Periode Ulang Kondisi Rencana
Perhitungan besaran debit periode ulang kondisi rencana yang akan dirubah menjadi lahan industri kawasan JIIPE.
Perhitungan Hidrograf Satuan Nakayasu kondisi rencana melalui perhitungan waktu konsentrasi, perhitungan satuan
waktu hujan, perhitungan waktu awal hujan sampai puncak banjir, penurunan debit puncak, dan dihasilkan nilai Qp
yaitu debit puncak. Selanjutnya diperoleh tabel dan grafik Hidrograf Nakayasu banjir kondisi rencana periode ulang
25 tahun. Qp sebagai debit puncak (m3/dtk), C sebagai koefisien aliran, A sebagai luasan area tangkapan (km2), R

552

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

sebagai besaran curah hujan periode ulang (mm) (Renantono, et al., 2016). Luas DAS yaitu 1,85 km2, panjang Sungai

Mireng 19,4 km, hujan satuan (R 25th) yaitu 583,59 mm, koefisien aliran ( C ) yaitu 0,65 sebagai kombinasi/ gabungan
karena beralih fungsi, dan dan nilai alpha (α) yaitu 2,4.

Gambar 3. Grafik Hidrograf Nakayasu debit banjir rencana periode ulang 25 tahun

Dari hasil perhitungan hidrograf kondisi rencana yang ditunjukkan pada Gambar 3 diatas diperoleh debit puncak
pada nilai Q yaitu 23.762 m3/detik pada waktu 2,5 jam.

4 DISKUSI
Pada hasil perhitungan rumusan Hidrograf Nakayasu diperoleh nilai debit maksimum (Qmax) pada kondisi eksisting
yaitu 5.062 m3/dtk. Sementara nilai debit maksimum (Qmax) pada kondisi rencana yaitu 23.762 m3/dtk. Selisih antara
nilai debit maksimum dan debit rencana yaitu 18,7 m3/dtk. Selisih dari 2 kondisi di atas inilah yang harus
dikendalikan oleh sebuah tampungan yang disebut bangkitan debit (Sasmito, 2017). Untuk memperoleh nilai volume
tampungan yang harus ditahan melalui perhitungan selisih debit yaitu 18,7 m3/dtk dengan waktu puncak yaitu 2,5
jam. Maka volume tampungan yang harus ditahan saat bangkitan debit maksimum terjadi adalah 168.300 m3.

Ditinjau dari fungsi ketersediaan lahan maka dilakukan percobaan sehingga luas tampungan yaitu 3,69 ha. Dengan
kebutuhan ketersediaan tampungan pada rencana embung direkomendasikan kedalaman setinggi 4,5 m dan tinggi
jagaan 30 cm. Adanya tinggi jagaan dipengaruhi luas daerah aliran air Sungai Mireng. Maka rekomendasi kedalaman
tampungan embung zona tersebut sebesar 4,8 m dengan ketersediaan efektif volume tampungan sebesar 36.947 m2
X 4,5 m = 169.956 m3.

5 KESIMPULAN
Kegiatan JIIPE mengembangkan industri dengan mengubah fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan eksisting yaitu
tambak menjadi lahan industri. Dengan perubahan nilai koefisien aliran (C) tambak yaitu 0,3 menjadi nilai koefisen
lahan industri yaitu 0,65. Dari perubahan fungsi lahan mengakibatkan adanya nilai bangkitan debit yaitu 18,7 m3/dtk.
Bangkitan debit dikendalikan dengan pembuatan embung agar tidak mengubah aliran permukaan. Sehingga diperoleh
dimensi embung dengan luasan 36.947 m2 dan kedalaman embung 4,5 m. Waktu puncak yang dibutuhkan untuk
menahan volume tampungan yaitu 2,5 jam. Dimana ketika curah hujan berlangsung selama 2,5 jam, maka embung
berperan mengendalikan air. Sehingga embung dapat menahan air sebelum air dialirkan ke laut atau sungai.

UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam pembuatan makalah ini, banyak pihak yang membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
ini, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera dan ITS TEKNO

553

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

SAINS yang telah menyediakan data dan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian. Serta beberapa pihak
yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungannya selama penyusunan hasil penelitian ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya yang telah memfasilitasi
penelitian ini.

REFERENSI
Basuki, Winarsih, I., dan Adhyani, N. L. (2009). “Analisis Periode Ulang Hujan Maksimum dengan Berbagai Metode
(Return Period Analyze Maximum Rainfall with three method)”. Journal Agromet: Institut Pertanian Bogor, Bogor

Dovan, B., Utama, W., Singgih, M., dan Syaeful, A. (2019). “Integrasi Data Resistivitas 2d dengan Parameter Fisis
dan Mekanis Tanah untuk Evaluasi Daya Duku Tanah (Studi Kasus: Ruas Jalan Kawasan JIIPE, Manyar, Gresik)”.
Jurnal Geosaintek : Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

El Hajj, C., Piatyszek, E., Tardy, A., dan Laforest, V. (2015). “Development of generic bow-tie diagrams of
accidental scenarios triggered by flooding of industrial facilities (Natech)”. Journal of Loss Prevention in the Process
Industries, 36, 72–83.

Handajani, N. (2005). “Analisa Distribusi Curah Hujan dengan Kala Ulang Tertentu”. Jurnal Rekayasa
Perencanaan: UPN “Veteran” Jawa Timur.

Krinayanti, D. S., Frans, J. H., dan Halema, E. U. (2019). “Analisis Parameter Alfa Hidrograf Satuan Sintetik
Nakayasu pada DAS Di Pulau Flores”. Jurnal Teknik Sipil

Kurniawan, E. E., Halimawan, R. A., dan Kurniani, D. (2017). “Analisis Pengaruh Pengembangan Kawasan Industri
Candi terhadap Banjir Sungai Bringin”. Jurnal Karya Teknik Sipil: Universitas Diponegoro, Semarang

Margini, N. F., Nusantara, D. A. D., dan Ansori, M. B. (2017). “Analisa Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu dan
ITB pada Sub DAS Konto, Jawa Timur”. Jurnal Teknik Hidroteknik: Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Renantono, Y., Dermawan, V., dan Chandrasasai, D. (2016). “Studi Perencanaan Bangunan Pengendali Sungai di
Tukad Lampah Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali”. Jurnal Pengairan: Universitas Brawijaya,
Malang

Rosmala, D., Lilly M., dan Widandi, S . (2016). “Analisis Parameter Alfa Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Di
Sub Das Lesti”. Jurnal Teknik Pengairan: Universitas Brawijaya, Malang

Sasmito, dan Triatmodjo, B., Sujono, J., dan Harto, S. (2017). “Pengaruh Kondisi Awal Kelengasan Tanah terhadap
Debit Puncak Hidrograf Satuan”. Jurnal Teknik Sipil

Soraya, A., Dinar, D., dan Sarino. (2017). “Analisis Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu Akibat Perubahan
Penggunaan Lahan terhadap Debit Puncak Banjir pada Sub DAS Sekanak”. Prosiding Simposium: Universitas
Sriwijaya, Malang

554

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Estimasi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Metode Empiris Di Pantai Zakat

R. B. Henkuswara*, Besperi, G. Gunawan

Program Studi Teknik Sipil – Fakultas Teknik, Universitas Bengkulu, Bengkulu, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Provinsi Bengkulu memiliki banyak pantai yang langsung berbatasan dengan samudera hindia, yang menyebabkan pantai di
Provinsi Bengkulu memiliki ombak yang besar. Pantai Zakat adalah salah satu pantai yang terletak di Provinsi Bengkulu dimana
pantai tersebut berlokasi di Kelurahan Pasar Bengkulu, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu. Pantai ini memiliki ombak
yang besar sehingga dapat menyebabkan pengikisan pada bibir pantai dan juga laju sedimentasi yang cepat. Transpor sedimen
yang cepat akan menyebabkan terjadi perubahan garis pantai pada Pantai Zakat. Tujuan dari penelitian untuk menentukan jumlah
angkutan sedimen yang terjadi dan memprediksi perubahan garis pantai sepanjang 1000 m selama 10 (sepuluh) tahun (2020-
2030) dengan menggunakan Metode Empiris. Metode Empiris yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Caldwel. Hasil
dari penelitian ini diketahui bahwa angkutan sedimen terbesar terjadi pada pias ke 10 sebesar 25927,551 m3/Tahun. Abrasi
terbesar pada pias ke 9 sebesar 2,86 m dan sedimentasi terbesar pada pias ke 10 sebesar 3,17 m.

Kata kunci: Perubahan Garis Pantai, Angkutan Sedimen, Pantai Zakat, Metode Empiris

1 PENDAHULUAN

Pantai Zakat adalah salah satu pantai yang terletak di Provinsi Bengkulu dimana pantai tersebut berlokasi di
Kelurahan Pasar Bengkulu, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu. Pantai ini memiliki pesona alam yang indah
sehingga banyak para wisatawan maupun penduduk lokal mengunjungi pantai ini. Pantai ini memiliki ombak yang
besar sehingga dapat menyebabkan pengikisan pada bibir pantai dan juga transpor sedimen yang cepat. Laju
sedimentasi yang cepat akan menyebabkan terjadi perubahan garis pantai pada Pantai Zakat. Besperi, et al. (2019),
telah melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai sepanjang 250 m di Pantai Tapak Paderi selama 20 (dua
puluh) tahun (2013-2033) menggunakan Metode Komar.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian perubahan garis pantai di Pantai Zakat, namun dengan metode empiris
yang berbeda. Tujuan dari penelitian untuk menentukan jumlah angkutan sedimen yang terjadi dan memprediksi
perubahan garis pantai sepanjang 1.000 m selama 10 (sepuluh) tahun (2020-2030) dengan menggunakan Metode-
metode Empiris. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi pedoman dasar bagi Pemerintah untuk melakukan
pencegahan perubahan garis pantai yang signifikan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Data Angin

Menurut Lilimwelat, et al., (2019) data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di permukaan
laut pada lokasi penelitian. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran langsung di atas permukaan laut atau
pengukuran di darat di dekat lokasi penelitian yang kemudian dikonversi menjadi data angin di laut. Hubungan angin
di atas permukaan laut dan angin di daratan diberikan oleh (CERC, 1984 dalam Akhir dan Mera, 2011).

RL = UW (1)
UL

Kecepatan angin U = UW dalam m/s dikoreksi dengan memperhitungkan faktor tegangan angin (wind-stress factor)
sehingga,

UA = 0,71 1,23 (2)

Dengan; RL adalah hubungan antara angin di laut dan di darat, Uw merupakan kecepatan angin di laut (m/dt), UL
adalah kecepatan angin di darat (m/dt) dan UA merupakan aktor tegangan angin (m/dt).

555

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.2 Fetch

Menurut Wakkary et al. (2017) arah fetch bisa datang dari segala arah, yang besarnya dapat dihitung sebagai berikut.

Feff = ∑Xi .cos .α (3)
∑cos.α

Dengan; Feff adalah fetch rata–rata efektif (Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung
akhir fetch), Xi merupakan panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch, 
adalah deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6° sampai sudut sebesar 42° pada
kedua sisi dari arah angin.

2.3 Gelombang Signifikan

Baskoro (2009) dalam Artha (2015) menyatakan bahwa gelombang siginifikan secara umum adalah gelombang
terbesar yang diambil dari rerata pengamatan dilapangan yang telah diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil.

2.4 Gelombang Laut Dalam Ekivalen
Tinggi gelombang di laut dalam ekivalen dalam diberikan dengan rumus (Triatmodjo, 1999).

H’0 = Ks × Kr × H0 (3)

Dengan; H’0 adalah tinggi gelombang laut dalam ekivalen, H0 merupakan tinggi gelombang laut dalam, dan Ks adalah
koefisien pedangkalan.

Ks = √nn0 L0 (4)
L

Dengan; L0 adalah panjang gelombang di laut dalam, L merupakan panjang Gelombang dan Kr adalah koefisien
refraksi.

Kr = √ccoossαα0 (5)

Dengan; α adalah sudut arah datang gelombang dan α0 merupakan sudut arah datang gelombang pada arah angin
terbanyak.

2.5 Transpor Sedimen (Angkutan Sedimen)

2.5.1 Transpor Sedimen Menuju - Meninggalkan Pantai

Menurut Triatmodjo (1999) transpor sedimen menuju-meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak lurus
garis pantai. Transpor sedimen tegak lurus pantai dapat dilihat pada kemiringan pantai dan bentuk dasar lautnya.

2.5.2 Transpor Sedimen Sejajar Pantai

Menurut Triatmodjo (1999) transpor sedimen sejajar pantai mempunyai arah sejajar dengan garis pantai. Transpor
sedimen menggunakan Metode Caldwel dapat dirumuskan sebagai berikut:

Qs = 1,200 P01,8 (6)

Dengan; Qs adalah angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/hari) dan P1 merupakan komponen fluks energi
gelombang sepanjang pantai pada saat pecah.

P1 = ρg Hb2 Cb sin αb cos αb (7)
8

Dengan; ρ adalah apat massa air laut (kg/m3), Hb merupakan tinggi gelombang pecah (m), dan Cb adalah cepat rambat
gelombang pecah (m/dt), dan αb merupakan sudut datang gelombang pecah.

556

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.6 Perubahan Garis Pantai
Menurut Triatmodjo (1999) pencarian nilai perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut.

∆y= ∆t (Qi+1- Qi) (8)
db ∆x

Dengan; ∆y adalah perubahan garis pantai (m), ∆t merupakan jumlah tahun pemodelan, db adalah kedalaman
gelombang pecah (m), ∆x merupakan jarak antar pias sejajar garis pantai (m), Qi+1 adalah jumlah transpor sedimen

i+1 (m3), dan Qi merupakan jumlah transpor sedimen i (m3).

2.7 Validasi Model Perubahan Garis Pantai

Validasi yang digunakan untuk melihat apakah perhitungan sudah benar menggunakan rumus Root Mean Square
Error (RMSE). Simamora (2019) mengatakan rumus RMSE sebagai berikut.

RMSE = √∑in=1 (ymodel-yobs)2 (9)

n

Dengan; yobs adalah data garis pantai dari lapangan, ymodel adalah data garis pantai dari model dan n merupakan jumlah
data.

Hasil dari validasi tersebut tidak boleh melebihi 10% dari garis pantai awal dan yang melebihi 10% dari garis pantai
awal hanya 25% dari semua data garis pantai.

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Pasar Bengkulu, Kecamatan Sungai Serut, Kota Bengkulu. Lokasi tersebut memiliki
titik koordinat diantara 3°46'56.66" Lintang Selatan dan 102°15'36.97” Bujur Timur. Tinjauan lokasi pada penelitiian
ini sepanjang 1000 m yang dibagi menjadi 10 pias, dimana jarak antar pias 100 m. Titik pias 0 terletak di 3°46'59.37"
Lintang Selatan dan 102°15'35.00" Bujur Timur sedangkan titik ke 10 terletak di 3°46'28.07" Lintang Selatan dan
102°15'44.03" Bujur Timur.

Gambar 1. Lokasi penelitian (Google Earth, 2020)

3.2 Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang diambil secara langsung dilapang. Data primer yang diambil tinggi gelombang dan periode gelombang dan data
kemiringan pantai. Data sekunder adalah data yang didapatkan dari instansi-instansi terkait, buku dan jurnal. Data
sekunder yang diambil adalah data kecepatan angin selama 10 tahun (2011-2020) dari BMKG kelas 1 Pulau Bai Kota
Bengkulu dan data pasang surut selama 4 tahun (2017-2020) dari TNI Angkatan Laut Kota Bengkulu.

557

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Garis Pantai Awal

Garis pantai awal dilakukan dengan pengambilan langsung di lapangan. Pengukuran dilakukan dengan cara memsang
patok (titik) pada setiap lokasi yang telah di tentukan sepanjang lokasi penelitian. Patok dipasang dipinggir pantai,
lalu diukur dari patok ke garis pantai yang basah. Hasil dari pengukuran ini dijadikan sebagai acuan untuk
menghitung perubahan garis pantai. Setelah dilakukan pengukuran ternyata garis pantai awal pada Pantai Zakat
memiliki pola garis pantai cekung ke arah darat.

Gambar 2. Garis pantai awal

4.2 Perhitungan Koefisien Refraksi
Nilai y pada perhitungan ini didapat dari pengukuran langsung dilapangan, dimana pengukuran tersebut diukur dari
patok ke garis pantai. Nilai ∆x diambil dari jarak antar patok. Nilai α0 diambil menggunakan Googke Earth dengan
melihat arah datang gelombang. Perhitungan refraksi dihitung menggunakan Persamaan 5. Hasil perthitungan
refraksi ini menunjukkan bahwa pada pias ke 10 memiliki nilai terbesar dengan nilai 1,0058. Hal ini disebabkan
karena pada pias tersebut memiliki sudut datang gelombang pecah paling besar.

4.3 Perhitungan Tinggi dan Kedalaman Gelombang Pecah (Hb dan db)
Ketinggian dan kedalaman gelombang pecah dihitung untuk mengetahui berapa besar gelombang yang ada untuk
digunakan sebagai perencanaan pada perubahan garis pantai ini. Hasil dari perhitungan tinggi dan kedalaman
gelombang pecah memiliki nilai terbesar dengan nilai 6,35 m dan 7,05 m. Hal ini terjadi dikarenakan pada lokasi
penelitian sudut arah datang gelombangnya memiliki sudut yang lebih besar dari pada pias sebelumnya.

4.4 Perhitungan Komponen Fluks Energi (P1)
Komponen fluks energi dihitung untuk mengetahui berapa besar energi gelombang yang datang untuk menabrak
langsung garis pantai. Fluks energi ini dihitung menggunakan Persamaan 7. Hasil dari perhitungan fluks energi ini
menghasilkan nilai terbesar pada pias ke 10 dengan nilai 164,19 t/d/m. Hal ini disebabkan ketinggian dan kedalaman
gelombang pecah pada pias ke 10 yang menabrak garis pantai memiliki nilai paling besar.

4.5 Analisis Perubahan Garis Pantai
Perubahan garis pantai dihitung untuk melihat apakah pada pantai tersebut terjadi sedimentasi atapun terjadi abrasi,
Perhitungan perubahan garis pantai dihitung menggunakan Persamaan 8. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pias ke
10 terjadi sedimentasi terbesar yaitu sebesar 3,17 m. Hal ini terjadi karena energi gelombang yang datang pada pias
tersebut lebih besar dibandingkan dengan pias sebelumnya.

558

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 1. Perhitungan Analisis Perubahan Garis Pantai

Pias ∆t db ∆x Qs Qs yawal ∆y y1
(Tahun) (m) (m) (m) (m)
(m) (m3/Hari) (m3/Thn)

11 6,95 100 61,158 22.322,702 17,4 0,07 17,33

21 6,95 100 61,294 22.372,360 16,7 -0,43 17,13

31 6,95 100 60,477 22.073,929 15,9 1,51 14,39

41 6,93 100 63,356 23.124,998 15,7 2,46 13,24

51 6,91 100 68,018 24.826,416 12,6 -1,52 14,12

61 6,87 100 65,133 23.773,624 11,4 1,53 9,87

71 6,91 100 68,018 24.826,416 12,5 -0,93 13,43

81 6,88 100 66,266 24.187,175 11,3 -0,33 11,63

91 6,88 100 65,637 23.957,675 11,5 2,86 8,64

10 1 7,05 100 71,034 25.927,551 12,2 -3,17 15,37

Gambar 3. Perubahan garis pantai selama 10 tahun (2020-2030)

4.6 Validasi Pemodelan Perubahan Garis Pantai

Validasi dilakukan untuk melihat permodelan perubahan garis pantai ini sudah bisa dikatakan benar atau belum.
Validasi ini dihitung menggunakan Persamaan 9. Validasi ini dikatan benar apabila nilai RMSE per piasnya kurang
dari 10 % dari yawal atau sekurang kurangnya nilai RMSE yang kurang dari 10 % dari yawal sebanyak 75% dari total
seluruh data. Hasil validasi pemodelan garis pantai menggunakan Metode Caldwel menujukkan bahwa semua pias
masuk kedalam persyaratan validasi.

Tabel 2. Validasi pemodelan perubahan garis pantai

Pias yawal y1 RMSE 10% DARI GARIS PANTAI AWAL
(m) (m)

1 17,4 17,33 0,023 1,74

2 16,7 17,13 0,136 1,67

3 15,9 14,39 0,478 1,59

4 15,7 13,24 0,777 1,57

5 12,6 14,12 0,482 1,26

6 11,4 9,87 0,485 1,14

7 12,5 13,43 0,293 1,25

8 11,3 11,63 0,105 1,13

9 11,5 8,64 0,906 1,15

10 12,2 15,37 1,002 1,22

559

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

6 KESIMPULAN
a) Sedimentasi terjadi pada pias ke 2, ke 5, ke 7, ke 8 dan ke 10.
b) Abrasi terjadi pada pias ke 1, ke 3, ke 4, 6 dan ke 9.
c) Laju Sedimentasi terbesar terjadi pada pias ke 10 sebesar 25.927,551 m3/Tahun
d) Abrasi terbesar terjadi pada pias ke 9 sebesar 2,86 m, sedangkan sedimentasi terbesar terjadi pada pias ke 10

sebesar 3,17 m.
e) Sudut datang gelombang, kemiringan pantai dan juga jenis sedimentasi pada lokasi penelitian berpengaruh

terhadap besar kecilnya laju sedimentasi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini, kepada pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih juga tidak lupa
diucapkan kepada semua pihak di Program Studi Teknik Sipil yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini
dapat terlaksana.

REFERENSI
Akhir, B. dan Mera, M. (2011). “Lintasan Gelombang Laut Menuju Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu”. Jurnal
Rekayasa Sipil. Universitas Andalas, Padang, Vol. 7 No.2, Hal. 47-60

Artha, S, B. (2015), Redesain Struktur Bangunan Jetty di Muara Air Palik Kecematan Air Napal Bengkulu Utara,
Skripsi, Program Studi Teknik Sipil, Bengkulu, Universitas Bengkulu.

Besperi, Gunawan, G., Mawardi, Karsa, O. D. (2019). “Pemodelan Transpor Sedimen Tapak Paderi Kota Bengkulu”.
6th ACE Conference, Hal. 583-592

Google Earth, diakses pada tanggal 7 Oktober 2020

Lilimwelat, K. O., Retraubun, N., Telussa, M. F. (2019). “Analisa Erosi Pantai Desa Seri Kecamatan Nusaniwe Kota
Ambon”, Jurnal Manumata, Vol. 5 No. 2, Hal. 85-94

Simamora, R. J. (2019). Estimasi Energi Gelombang Pada Musim Peralihan II di Muara Sungai Banyuasin. Skripsi,
Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Sriwijaya, Inderalaya.

Triatmodjo, B. (1999). Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta

Wakkary, A. C., Jasin, M. I., Dundu, A. K.T. (2017). “Studi karakteristik Gelombang Pada Daerah Pantai Desa
Kalinaung Kab. Minahasa Utara”. Jurnal Sipil Statik, Vol. 5 No. 3, Hal.167-174

560

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Debit Tersedia dan
Kebutuhan Air Irigasi Daerah Irigasi Bendung Air Manjunto

N.T. Dinanti*, F. Nurrochmad, E.P.A. Pratiwi

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Perubahan tutupan lahan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) akan mempengaruhi ketersedian airnya dan perubahan tata guna
lahan di daerah irigasi dapat mempengaruhi kebutuhan air tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luasan perubahan
lahan dan pengaruh perubahan tersebut terhadap ketersediaan debit sungai dan kebutuhan air di Daerah Irigasi (DI) Air Manjunto
pada tahun 2013, 2015, dan 2018. Data dalam penelitian ini merupakan hasil digitasi citra satelit Google Earth Pro. Hasil analisis
menunjukkan bahwa di DAS Bendung Air Manjunto luas perkebunan sawit pada tahun 2013 adalah 625,86 ha, meningkat
menjadi 1.244,61 ha (98,86%) dan 1.807,14 ha (45,20%) pada tahun 2015 dan 2018. Luas lahan sawah di DI Air Manjunto pada
tahun 2013 sebesar 2.057,90 ha bertambah menjadi 2.684,09 ha (30,43%) pada tahun 2018, sedangkan luas lahan sawit pada
tahun 2013 sebesar 6.614,66 ha bertambah menjadi 6.886,85 ha (4,11%). Perubahan tutupan lahan menyebabkan debit rerata
maksimum sungai pada 2013-2018 mengalami peningkatan sebesar 21,79% sedangkan debit rerata minimum pada tahun 2013-
2018 mengalami penurunan hingga 61,49%. Kebutuhan air untuk sawah pada tahun 2013-2018 meningkat sebesar 30,43% dan
kebutuhan air untuk perkebunan sawit meningkat sebesar 4,11%.

Kata kunci: Daerah Aliran Sungai, Daerah Irigasi, Tutupan Lahan, Ketersedian Air, Kebutuhan Air

1 PENDAHULUAN

Daerah Irigasi (DI) Air Manjunto merupakan daerah irigasi dengan luas lahan potensial mencapai 9.493 ha. Adanya
DI Air Manjunto diharapkan dapat mendukung produksi usaha tani di Kabupaten Mukomuko guna meningkatkan
produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keandalan air
irigasi, keandalan prasarana, serta kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi sangat diperlukan. Keandalan air
irigasi diwujudkan dengan pembangunan Bendung Air Manjunto di DAS Air Manjunto. Keandalan prasarana
diwujudkan dengan peningkatan dan pengelolaan jaringan irigasi DI Air Manjunto (termasuk operasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi), sedangkan kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi diwujudkan dengan usaha
pemanfaatan air di bidang pertanian baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hingga saat ini usaha peningkatan
luasan lahan pertanian belum dilakukan secara maksimal. Kegiatan untuk perluasan sawah fungsional di DI Air
Manjunto belum maksimal karena usaha pencetakan lahan sawah ini beriringan dengan usaha perluasan lahan
perkebunan sawit. Sawit merupakan komoditas berharga jual tinggi yang dapat membantu pendapatan sebuah
kabupaten atau provinsi. Pengaturan dan penyediaan air di DI Air Manjunto direncanakan untuk mengaliri kebutuhan
air irigasi persawahan, tetapi saat ini air irigasi tersebut juga dimanfaatkan untuk pengairan perkebunan sawit.
Peningkatan luasan lahan persawahan merupakan usaha guna meningkatkan pendapatan masyarakat tani dan
ketahanan pangan, serta pada sektor perkebunan sawit guna meningkatkan pendapatan daerah kabupaten/provinsi.

Ketersedian air adalah hal yang penting dalam usaha meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan. Ketersediaan
air untuk penyediaan kebutuhan air irigasi sawah dan perkebunan tidak cukup jika hanya dari air hujan. Sumber air
utama dalam pengelolaan alokasi air adalah air permukaan dalam bentuk air sungai, saluran, danau atau tampungan
lainnya (KemenPUPR, 2017). Perlu dilakukan usaha untuk penyediaan air tersebut, contohnya dengan membendung
sungai ataupun membuat waduk. Sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan air di DI Air Manjunto berasal dari
DAS Bendung Air Manjunto yang mempunyai luas tangkapan hujan sebesar 43.000 ha. Namun, saat ini DAS Air
Manjunto sudah mengalami perubahan tutupan lahan yang mengakibatkan adanya perubahan fluktuasi besarnya debit
sungai. Joleha, et al. (2014) menyatakan, jumlah dan fluktuasi ketersedian air di suatu DAS dipengaruhi oleh faktor
besaran curah hujan dan lama waktu hujannya, sedangkan faktor hidrologi seperti bentuk wilayah, geologi, jenis
tanah, dan tutupan lahan akan menentukan distribusi dan kecepatan aliran serta kualitas air. Jika ada perubahan pada
salah satu faktor hidrologi, maka akan mempengaruhi jumlah ketersedian air di suatu tempat tersebut (Djuwansah
dan Rusyudi, 2012). Lahan hutan di DAS Air Manjunto semakin berkurang akibat beralih fungsi menjadi perkebunan

561

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

sawit maupun pembukaan lahan untuk kepentingan lainnya. Widodo dan Dasanto (2010) menyatakan bahwa,
berubahnya kondisi fisik di suatu DAS dari hutan menjadi perkebunan pada umumnya akan mengubah karakteristik
sungai dan sistem tatanan keseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air. Pawitan (1999) menyatakan
bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air di suatu wilayah akibat
meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim.

Perubahan alih fungsi lahan akan mengubah fungsi hidrologi suatu DAS yaitu sebagai daerah penyangga, penahan
dan pelepasan air. Perubahan tata guna lahan di DAS Bendung Air Manjunto ditandai dengan semakin meningkatnya
luasan lahan perkebunan sawit. Sawit termasuk dalam tanaman yang mempunyai perakaran dangkal (akar serabut),
sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan, sehingga sawit membutuhkan air sepanjang tahun agar dapat
berproduksi secara maksimum. Karena tanaman sawit berakar dangkal, tanaman ini tidak mempunyai kemampuan
menyimpan air sebaik pohon lain (Baskoro, 2017). Sawit harus ditanam di daerah dengan curah hujan 2000-2500
mm setahun, tidak tergenang air saat hujan, serta tidak kekeringan saat kemarau (Kelvin, et al., 2019).

Perubahan tutupan lahan di hulu DAS akan mempengaruhi daerah hilirnya. Perubahan tata guna lahan di DAS
Bendung Air Manjunto akan berdampak ke DI Air Manjunto. Ketersedian air akan mempengaruhi besaran alokasi
air yang akan dialirkan ke daerah irigasi tersebut. Ketersedian air di alam sering kali tidak dapat diprediksi, sedangkan
kebutuhan air untuk irigasi persawahan dan perkebunan adalah suatu yang mutlak ada apabila di daerah tersebut
terdapat tanaman. Doorenbos dan Pruitt (1977) pernah melakukan studi mengenai kebutuhan air untuk beberapa jenis
tanaman perkebunan, salah satunya adalah sawit. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa kebutuhan air
tanaman sawit adalah sebesar 4,10-4,65 mm perhari atau sebesar 1476-1674 mm pertahun untuk mencukupi
kebutuhan pertumbuhan dan produksinya. Untuk jenis tanaman padi, kebutuhan air tanaman adalah sebesar 4,16-
7,91 mm perhari atau 1500-2850 mm pertahun atau per tiga musim tanam.

Besarnya perubahan tutupan lahan di DAS dan DI Air Manjunto serta pengaruhnya terhadap ketersedian maupun
kebutuhan air belum pernah diteliti. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pemetaan untuk mendapatkan besaran
kuantitatif perubahan tutupan lahan di DAS Bendung Air Manjunto. Perubahan tutupan lahan tersebut kemudian
dibandingkan dengan besarnya debit sungai yang menggambarkan kondisi ketersedian air di Bendung Air Manjunto.
Selanjutnya, perubahan tata guna lahan di DI Air Manjunto juga dianalisis, sehingga nilai kebutuhan air untuk irigasi
persawahan maupun untuk perkebunan sawit dapat diketahui.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini berada di DAS Bendung Air Manjunto dan DI Air Manjunto yang berada di Desa Lalang Luas
Kecamatan Lubuk Pinang Kabupaten Mukomuko yang berjarak ± 280 km dari Provinsi Bengkulu (Gambar 1).

3.1 Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil citra satelit Google Earth Pro tahun 2013, 2015, dan 2018 serta data
peta Rupa Bumi Indoesia (RBI) dari situs website tanahair.indonesia.go.id untuk mengetahui batas administrasi
wilayah. Data citra satelit Google Earth Pro diambil pada perekaman tanggal 26 September 2013, 17 Desember
2015, dan 12 Juli 2018. Data debit sungai di hulu Bendung Air Manjunto didapatkan dari hasil pengukuran Balai
Wilayah Sungai Sumatera VII. Data debit yang digunakan adalah data debit pada tahun 2013, 2015, dan 2018.

2.2 Metode Analisis

Proses pengolahan data diawali dengan mendigitasi tutupan lahan pada tahun-tahun yang telah ditentukan. Setelah
itu, peta diolah menggunakan software ArcGIS ArcMap 10.2.1 dan dihitung luas tutupan lahannya. Proses digitasi
tutupan lahan di hulu Bendung Air Manjunto pada tahun 2013, 2015, dan 2018 dilakukan terhadap lahan hutan,
perkebunan sawit, semak belukar, dan ladang. Analisis tutupan lahan di DI Manjunto dilakukan secara terpisah
dengan mendigitasi lahan pertanian sawah dan perkebunan sawit pada tahun 2013 dan 2018. Untuk analisis data debit
Sungai Air Manjunto, data debit terukur dianalisis dengan menghitung debit rerata periode tengah bulanan.

562

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 1. Peta DAS Air Manjunto
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Perubahan Tutupan Lahan di DAS Bendung Air Manjunto
Berdasarkan hasil digitasi peta tutupan lahan, terjadi peningkatan luasan perkebunan sawit di DAS Bendung Air
Manjunto, sedangkan luas ladang, semak belukar, dan hutan mengalami penurunan (Gambar 2). Peningkatan luasan
lahan perkebunan sawit sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 adalah sebesar 618,75 ha atau meningkat sebesar
98,86%. Peningkatan luasan lahan perkebunan sawit sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2018 adalah sebesar
562,53 ha atau meningkat sebesar 45,20%. Perbandingan luasan lahan pada tahun 2013, 2015, dan 2018 dapat dilihat
pada Tabel 1 di bawah ini.

Gambar 2. Peta Tutupan Lahan di DAS Bendung Air Manjunto

563

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 1. Luas Tutupan Lahan di DAS Bendung Air Manjunto Tahun 2013, 2015, dan 2018

Tutupan Lahan Luas (ha) 2015 2018

Sawit 2013 1.244,61 1.807,14
Ladang 946,22 802,03
Semak 625,86 116,25 105,56
Hutan 1.041,57 41.492,92 41.085,27
DAS Bendung Air Manjunto 159,51 43.800,00 43.800,00
41.973,07
43.800,00

Adanya perubahan tutupan lahan, dapat mempengaruhi ketersediaan air di sebuah DAS. Di DAS Bendung Air
Manjunto, lahan perkebunan sawit cenderung ditanam di sempadan sungai. Hal ini dapat berdampak negatif untuk
ketersedian air di sungai. Adanya perubahan tutupan lahan mempengaruhi fluktuasi debit di tahun 2013, 2015, dan
2018. Debit rerata tengah bulanan di Bendung Air Manjunto dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Debit Rerata Tengah Bulanan di Bendung Air Manjunto Tahun 2013, 2015, dan 2018

Debit (m3/s)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

2013 1212121212121212121212 1 2
2015
2018 23,0 25,8 26,3 20,4 18,3 28,0 22,2 17,5 20,7 18,2 18,8 15,6 22,2 21,8 21,3 19,4 23,9 28,3 45,8 44,6 57,3 39,5 22,6 40,9
16,7 16,4 30,7 18,9 17,9 18,8 35,1 40,0 94,5 29,5 78,4 20,5 12,0 14,6 16,1 16,8 15,8 20,8 18,9 15,8 61,9 77,6 118,1 21,2
22,1 6,0 12,8 28,2 33,9 26,5 22,2 32,1 47,0 30,0 15,7 14,6 22,3 18,5 26,6 29,4 30,0 20,5 29,2 33,3 62,8 45,2 69,8 22,0

Berdasarkan data debit rerata di tahun 2013-2015-2018, debit maksimum pada tahun 2013 ke tahun 2015 mengalami
peningkatan hingga 106,05%, sedangkan perubahan debit maksimum dari tahun 2013 ke 2018 mengalami
peningkatan sebesar 21,79%. Apabila dilihat dari kondisi lahan pada tahun 2015, terjadi pembukaan lahan yang
cukup besar. Hutan ditebang dan menyebabkan lahan menjadi tanah kosong tanpa tumbuhan. Keadaan ini diikuti
dengan curah hujan yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan debit sungai. Namun, debit maksimum pada tahun
2018 mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa, perubahan tutupan
lahan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ketersedian air. Terdapat faktor lain yang mungkin lebih penting
dalam menentukan debit puncak, misalnya hujan. Di sisi lain, debit rerata minimum pada tahun 2013 ke tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 23,58%, sedangkan dari tahun 2013 ke tahun 2018 terlihat bahwa debit mengalami
penurunan sebesar 61,49%.

Dengan adanya perubahan tutupan lahan hutan menjadi perkebunan sawit, pada saat curah hujan tinggi air tidak dapat
ditahan, sehingga terjadi genangan ataupun limpasan banjir. Namun, ketika musim kemarau tiba, akar-akar sawit
akan menyerap air yang ada di dekatnya. Perubahan kondisi tutupan lahan, curah hujan, serta adanya perubahan
faktor jenis tanaman dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan debit sungai. Hal ini akan berdampak untuk
ketersediaan air untuk daerah hilir yang berupa daerah persawahan, perkebunan, dan permukiman yang
membutuhkan air sepanjang tahun.

3.2 Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Irigasi Air Manjunto

Bendung Air Manjunto pada awalnya direncanakan dapat mengairi sawah seluas 9.493 ha. Namun, hingga saat ini
perluasan lahan yang dicetak untuk menjadi sawah belum terlaksana dengan maksimal. Analisis digitasi untuk
pemetaan dilakukan dengan tujuan membandingkan luasan lahan sawah dan perkebunan sawit pada tahun 2013 dan
2018. Peta tutupan lahan di DI Air Manjunto (Gambar 3) memperlihatkan bahwa perubahan lahan perkebunan sawit
tidak sepesat yang terjadi di hulu bendung, sedangkan perkembangan luas sawah fungsional masih jauh dari total
lahan potensial yang direncanakan.

Luasan tutupan lahan dan kebutuhan air tanaman di DI Air Manjunto dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tahun 2013
luasan lahan sawah di Daerah Irigasi Air Manjunto adalah sebesar 2.057,90 ha sedangkan tahun 2018 luasan sawah
menjadi 2.684,09 ha atau terjadi peningkatan lahan sebesar 30,43%. Apabila dilihat dari peta tutupan lahan, terjadi
perubahan tata guna lahan dari perkebunan sawit menjadi lahan sawah. Namun, hal ini tidak membuat lahan sawit
berkurang, tahun 2018 perkebunan sawit bertambah luasannya menjadi 6.886,85 ha dari luas 6.614,66 ha di tahun
2013 atau meningkat sebesar 4,11%. Kebutuhan total air tanaman dari tahun 2013 ke tahun 2018 mengalami
peningkatan dari 5,44 m3/s menjadi 6,16 m3/s atau meningkat sebesar 13,22%.

564

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 3. Peta Tutupan Lahan di Daerah Irigasi Air Manjunto

Tabel 3. Luas Tutupan Lahan dan Kebutuhan Air Tanaman di DI Air Manjunto Tahun 2013 dan 2018

Tutupan Lahan Luas (ha) Kebutuhan Air Tanaman (m3/s)

Sawah 2013 2018 2013 2018
Perkebunan Sawit 2.057,90 2.684,09 1,88 2,46
Total 6.614,66 6.886,85 3,56 3,71
8.672,56 9.570,94 5,44 6,16

Total kebutuhan air tanaman pada tahun 2013 adalah sebesar 5,44 m3/s, sedangkan nilai debit minimum sungai pada
tahun 2013 adalah sebesar 15,65 m3/s. Dengan kata lain, ketersedian air minimum di bendung masih mencukupi
kebutuhan air untuk persawahan dan perkebunan sawit di DI Air Manjunto. Kebutuhan air tanaman pada tahun 2018
adalah sebesar 6,16 m3/s, sedangkan debit minimum di bendung pada tahun 2018 yaitu sebesar 6,03 m3/s. Nilai total
kebutuhan air tanaman lebih tinggi daripada nilai ketersedian air minimum di bendung, sehingga air tidak dapat
mencukupi kebutuhan air tanaman di DI Air Manjunto. Kekurangan air atau defisit air yang terjadi pada tahun 2018,
kemungkinan akibat adanya perubahan tutupan lahan di DAS Air Manjunto maupun di DI Air Manjunto.

Banyak lahan perkebunan yang beralih fungsi menjadi lahan sawah, tetapi ada juga lahan baru yang dibuka untuk
perkebunan sawit. Perkebunan sawit ini pun banyak yang ditanam di dekat areal persawahan maupun di sempadan
saluran irigasi. Hal ini dapat menimbulkan konflik, khususnya petani sawah dan petani sawit. Sawit membutuhkan
waktu sekitar 4 tahun untuk dapat menghasilkan buah dan selama pertumbuhan membutuhkan perawatan yang baik
serta membutuhkan air dengan jumlah yang cukup agar dapat tumbuh dengan baik. Tanaman padi hanya
membutuhkan waktu sekitar 110 hari atau 120 hari (4 bulan) untuk panen, dan penanaman padi dilakukan
berdasarkan ketersedian air tahunan (periode tanam).

Pada teorinya, pemenuhan kebutuhan air tanaman di daerah irigasi dapat diatur menyesuaikan ketersedian air pada
musim hujan dan musim kemarau. Bila ketersedian air banyak, petani akan menanam padi, sedangkan pada musim
kemarau, petani dapat mengolah lahan untuk ditanami palawija. Dengan keadaan yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, perubahan tutupan lahan di hulu memberikan dampak terhadap ketersediaan debit di sungai.
Peningkatan debit ketika musim hujan dapat menyebabkan terjadinya banjir atau pengenangan di lahan pertanian
yang merusak tanaman, sedangkan penurunan debit ketika musim kering dapat menyebabkan tanaman menderita
kekurangan air. Di sisi lain, dengan adanya peningkatan luasan dari lahan persawahan dan perkebunan sawit, maka
kebutuhan air akan air akan terus meningkat karena tanaman padi dan sawit merupakan tanaman yang memerlukan
banyak air.

4 KESIMPULAN

Pemetaan dan analisis untuk mendapatkan perubahan tutupan lahan di DAS Air Manjunto telah dilakukan pada
penelitian ini. Peningkatan luasan lahan perkebunan sawit di DAS Bendung Air Manjunto adalah sebesar 98,86%
pada tahun 2013-2015 dan 45,20% pada tahun 2015-2018. Perluasan lahan perkebunan sawit yang terjadi dari tahun
ke tahun dengan cara pembukaan lahan hutan diikuti dengan peningkatan debit maksimum sungai saat musim hujan

565

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

dan penurunan debit minimum sungai ketika musim kemarau. Debit maksimum sungai pada tahun 2013-2015
meningkat hingga 106,05% dan 21,79% pada tahun 2013-2018, sedangkan debit minimum sungai menurun sebesar
23,58% pada tahun 2013-2015 dan 61,49% pada tahun 2013-2018. Hasil pemetaan tata guna lahan di DI Air
Manjunto pada tahun 2013-2018 juga menunjukkan peningkatan luasan lahan persawahan maupun lahan perkebunan
sawit, masing-masing sebesar 30,43% dan 4,11%. Hal ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan air untuk tanaman.
Kebutuhan total air tanaman dari tahun 2013-2018 meningkat sebesar 13,22%. Perubahan tata guna lahan yang tidak
terkontrol memperbesar kemungkinan terjadinya krisis air, yaitu kondisi pada saat kebutuhan air lebih tinggi dari
pada ketersediaan air seperti yang terjadi pada tahun 2018.

Perubahan tata guna lahan bukan satu-satunya faktor yang akan mempengaruhi ketersedian air. Penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti curah hujan, jenis tanaman, kondisi iklim, serta
kondisi dan jenis tanah. Perubahan tata guna lahan di DAS Bendung Air Manjunto dan DI Air Manjunto perlu
dikendalikan pada masa yang akan datang untuk mengurangi risiko terjadinya krisis air. Selain itu, perlu
diperhitungkan juga mengenai prediksi ketersediaan air dan kebutuhan air irigasi. Informasi tersebut dapat digunakan
untuk dasar perencanaan kebutuhan air irigasi dengan merencanakan skenario penjadwalan masa tanam yang
optimal.

REFERENSI
Baskoro, D.P.T. (2017). “Kelapa Sawit: Benarkah Rakus Air”. Buletin Fakultas Pertanian IPB, Bogor

Djuwansah, M.R. dan Rusydi, A.F. (2012). “Daya Dukung Sumber Daya Air (DDSA) Kota Cirebon dan Sekitarnya”.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology), Vol. 22 No. 1: 35-48

Doorenbos, J., dan Pruitt, W. (1977). Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. Rome, Italia: FAO

Joleha, Bochari, Trimaijon. (2014). “Analisis Potensi Ketersedian Air Sub DAS Subayang Kampar Kiri”. Jurnal
Fakultas Teknik Pengairan Universitas Pasir Pengaraian, pp: 31-36

Kelvin J., Triyatno, Febriandi. (2019). “Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Menjadi Lahan Kelapa Sawit di
Kecamatan Tanjung Mutiara”. Jurnal Buana, Vol: 3 No. 2

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2017). Modul Hidrologi, Kebutuhan dan Ketersedian air:
Pelatihan Alokasi Air. Badan Pengembangan SDM, Jakarta

Pawitan, H., (1999). “Penilaian Kerentanan dan Daya Adaptasi Sumber Daya Air Terhadap Perubahan Iklim”.
Makalah Seminar Nasional_kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta

Widodo, I.T., dan Dasanto, B.D. (2010). “The Estimation of Oil Palm Plantation Environmental Value Using Crop
Evapotranspiration of Oil Palm”. Agromet 24(1):23–32

566

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Pemodelan Perubahan Garis Pantai Bengkulu
(Studi Kasus Pantai Tapak Paderi Bengkulu)

F. Andini1*, Besperi2*, G. Gunawan3*

Program Studi Teknik Sipil, Universitas Bengkulu, Bengkulu, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pantai Tapak Paderi Bengkulu cenderung mengalami perubahan garis pantai berupa sedimentasi atau penambahan luas daratan
yang disebabkan oleh transport sedimen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perubahan garis pantai dalam kurun
waktu 5, 10 dan 15 tahun ke depan dengan pemodelan menggunakan program GENESIS-CEDAS. Data primer pada penelitian
ini adalah sedimentasi dasar. Data sekunder yang digunakan yaitu batimetri, garis pantai, pasang surut, dan data angin. Hasil
pemodelan menunjukkan terdapat perubahan garis pantai yang didominasi akibat sedimentasi dan sedikit abrasi. Hasil
pemodelan lima tahun (2020-2025) menunjukkan sedimentasi maksimum sebesar 6,42 m, dan abrasi sebesar -0,03 m, sedangkan
hasil pemodelan sepuluh tahun (2020-2030) dan lima belas tahun (2020-2035) mengalami peningkatan sedimentasi yaitu sebesar
10,47 m dan 13,16 m.

Kata kunci: Perubahan Garis Pantai, Pemodelan, Sedimentasi, GENESIS

1 PENDAHULUAN

Pantai Tapak Paderi merupakan salah satu objek wisata bersejarah bagi Kota Bengkulu yang berlokasi di Kebun
Keling, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Pantai Tapak Paderi dahulunya digunakan sebagai pusat
pelabuhan pertama di Bengkulu. Pelabuhan lama Tapak Paderi sempat menjadi kolam wisata bagi pengunjung
sebelum hilang akibat sedimentasi. Hempasan gelombang besar menyebabkan pengikisan perlahan dan terjadi
transpor sedimen pada pesisir pantai Tapak Paderi yang menimbulkan masalah perubahan garis pantai.

Fajri, et al., (2013), sebelumnya telah melakukan penelitian tentang Simulasi Perubahan Garis Pantai Teluk Belitung
Kabupaten Kepulauan Meranti Menggunakan Program GENESIS dengan pola perubahan garis pantai 3 variasi yaitu
5, 10 dan 15 tahun. Hasil penelitian dibandingkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan dimana terdapat abrasi
dan akresi. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian menggunakan program GENESIS di Tapak Paderi
dengan pola yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi perubahan garis pantai dan mengetahui wilayah
yang memiliki kemungkinan mengalami abrasi dan sedimentasi.

2 METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Angin

Data angin digunakan untuk meramalkan gelombang adalah data di permukaan laut pada lokasi pembangkitan.
Hubungan antara angin diatas laut dan angin diatas daratan terdekat diberikan oleh Persamaan 1 dan 2 sebagai berikut
(Triatmodjo, 1999).

RL = (1)


UA= 0.71 1.23 (2)

Dimana RL adalah hubungan anatara angin di darat dan di laut, Uw adalah kecepatan angin di darat (m/dt), UL adalah
kecepatan angin di laut (m/dt), UA adalah faktor kecepatan angin (m/dt).

2.2 Gelombang

Menurut Yulius (2013) komponen pembangkit gelombang adalah angin yang dipengaruhi oleh kecepatan angin (U),
lama hembus angin (td), arah angin dan panjang fetch (F). Fetch merupakan panjang daerah bangkitan gelombang
dimana kecepatan dan arah angin berhembus.

567

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.3 Sedimentasi

Sedimentasi terjadi pada kondisi gelombang menuju pantai mengangkut material ke tempat lain dan tidak kembali.
Proses dinamis pantai dipengaruhi gerak sedimen yang terdiri dari transpor sepanjang pantai (longshore transport)
dan transpor tegak lurus (onshore-offshore transport) (Pranoto, 2007).

2.4 Batimetri

Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan kedalaman laut dan disajikan dengan menggunakan garis kontur
kedalaman. Garis kontur adalah garis abstrak yang menghubungkan beberapa lokasi atau daerah yang memiliki
ketinggian atau kedalaman yang sama (Mutiara, 2018).

Gambar 1. Batimetri Pantai Bengkulu

2.5 Perubahan Garis Pantai

Menurut Arafat dan Hidayat (2011) Perubahan garis pantai dapat diakibatkan oleh transport sedimen apabila pantai
mengalami abrasi artinya sedimen yang terangkut lebih besar dari yang diendapkan. Sedangkan apabila pantai
mengalami akresi atau sedimentasi artinya sedimen yang terangkut lebih kecil dari yang diendapkan.

2.6 GENESIS

GENESIS adalah subprogram yang terdapat pada software CEDAS yang digunakan untuk mengetahui transport rate
yang diperoleh dalam pemodelan garis pantai dalam kurun waktu tertentu serta dapat mensimulasikan skenario
penambahan bangunan pelindung pantai (Hariyadi, 2011). Kalibrasi dan validasi model dilakukan menggunakan
rumus perbandingan dengan membandingkan perubahan garis pantai hasil pemodelan dengan data tahun yang
berbeda pada Persamaan 3. Langkah-langkah pada penggunaan dalam pemodelan program GENESIS dapat dilihat
pada Gambar 2.

Kesalahan relatif = − ′ x 100% (3)


Dimana; X adalah garis pantai data sekunder dan X’ merupakan garis pantai hasil pemodelan.

Gambar 2. Bagan alir penggunaan program GENESIS (Fajri, et al., 2013)

568

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.7 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian tentang Pemodelan Perubahan Garis Pantai Bengkulu (Studi Kasus Pantai Tapak Paderi Kota
Bengkulu) berada di Kebun Keling, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Panjang lokasi penelitian sejarak
500m sepanjang pantai yang dibagai menjadi 10 pias, dan dimana sepanjang jarak tersebut tidak ada bangunan pantai
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Lokasi penelitian

2.8 Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil
adalah data sedimentasi dan gelombang (sebagai perbandingan data dengan data sekunder). Data gelombang
lapangan diambil selama 7 hari dalam 3 waktu pagi, siang dan sore menggunakan alat Theodolite. Data sekunder
adalah data yang tidak langsung didapatkan oleh peneliti, namun didapatkan dari instansi/badan yang terkait. Data
sekunder yang diambil adalah data kecepatan dan arah angin 10 tahun (2011-2020) dari BMKG Stasiun Meteorologi
dan Klimatologi Kelas I Pulau Baii Bengkulu, data pasang surut 4 tahun (2017-2020) dari TNI AL Bengkulu, dan
data batimetri website DEMNAS/BATNAS tahun 2018.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisa Data Angin
Data angin bulanan dari tahun 2011-2020 diolah untuk mendapatkan kecepatan maksimum dan arah angin dominan.
Persentase kejadian angin dikelompokkan menjadi delapan arah mata angin kemudian disajikan dalam bentuk mawar
angin (windrose). Berdasarkan mawar angin dapat terlihat bahwa arah barat (west) merupakan arah yang dominan
datangnya angin seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Mawar angin (windrose)

3.2 Analisa Data Gelombang
Analisa data gelombang diolah berdasarkan data angin selama 10 tahun, dengan panjang fetch 200 km (digunakan
untuk samudera lepas) dan menggunakan Persamaan 1 dan 2 untuk mendapatkan tinggi gelombang signifikan (Hs)
dan periode gelombang signifikan (Ts). Hasil peramalan Hs dan Ts dapat dilihat pada Tabel 1.

569

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 1. Peramalan Hs dan Ts rata- rata tahun 2011-2020

Tahun Kecepatan Angin Kecepatan Angin RL UW (m/det) UA (m/det) HS (met) TS (det)
(UL) Max (UL) Max (m/det)
2011 (Km/Jam) 1,15 11,83 14,83 3,5 9,0
2012 10,29 1,15 11,83 14,83 3,5 9,0
2013 37 10,29 1,16 11,34 14,07 3,5 9,0
2014 37 9,77 1,17 10,83 13,31 3,0 9,0
2015 35 9,26 1,41 7,25 8,12 1,8 7,3
2016 33 5,14 1,41 7,25 8,12 1,8 7,3
2017 19 5,14 1,42 15,34 20,41 4,7 10,0
2018 19 10,80 1,17 10,83 13,31 3,0 9,0
2019 39 9,26 1,20 9,88 11,88 2,7 8,2
2020 33 8,23 1,45 6,71 7,39 1,7 7,0
30 4,63
17

Hasil data gelombang lapangan yaitu dengan nilai Hs = 2,44 m dan Ts = 6,94 det, dimana nilai ini lebih kecil daripada
nilai yang didapatkan dari hasil pengolahan data BMKG. Dalam melakukan pemodelan menggunakan program
GENESIS diambil data gelombang Hs dan Ts terbesar dari data angin 10 tahun yang akan digunakan sebagai data
input gelombang pada GENESIS. Data angin tahun 2017 dipilih dan diubah menjadi data angin jam-jaman.

3.3 Sedimentasi

Pengujian fisis sedimentasi yang dilakukan adalah analisa saringan dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
nilai diameter yang besesuaian dengan yang lolos 50% (d50). Nilai ini akan menjadi input pada program GENESIS.
Hasil pengujian 3 sampel sedimentasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai d50 pada sampel sedimen

No Sampel d50 Jenis
(mm) Sedimen
1 Titik 1 0,206
2 Titik 2 0,214 Pasir Sedang
3 Titik 3 0,218 Pasir Sedang
Rata-rata 0,212 Pasir Sedang

3.4 Pemodelan Perubahan Garis Pantai

3.4.1 Grid generator

Tahapan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan running adalah melakukan input data. Data batimetri dalam
format XYZ (ASCII) dan garis pantai awal dalam format XY Pairs diinput ke dalam program CEDAS/NEMOS/Grid
Generator.

3.4.2 WWL Data

Data ini berisikan waktu, parameter tinggi, periode, arah gelombang dan lokasi. Data gelombang jam-jaman hasil
dari analisa data angin pada tahun 2017 diambil sebagai input data pada program CEDAS/NEMOS/WWL Data.

3.5 Hasil Pemodelan Perubahan Garis Pantai

3.5.1 Pemodelan perubahan garis pantai 5 tahun

Waktu pemodelan yang dipilih untuk perubahan garis pantai 5 tahun dilakukan mulai tanggal 1 November 2020
sampai dengan 28 Desember 2025. Hasil perubahan garis pantai 5 tahun dengan pemodelan GENESIS dapat dilihat
pada Gambar 5.

570


Click to View FlipBook Version