The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 7. Perbandingan Dosis Optimum

PAC Kebutuhan Perhari Alum Kebutuhan Perhari Biji Asam Jawa Kebutuhan Perhari
22,94 kg/hari 25,81 kg/ hari 34,42 kg/hari
Dosis Optimum Dosis Optimum Dosis Optimum
8 mg/L 9 mg/L 12 mg/L

Apabila dibandingkan dengan peneltian dari Pengchai et al. (2012), biji asam jawa seharusnya dapat menurunkan
kekeruhan sampai dengan 76% hanya dengan dosis 2 mg/L, namun pada penelitian ini Biji Asam Jawa hanya dapat
menurunkan maksimal sampai 57,18% pada dosis 12 mg/L. Efektifitas proses koagulasi ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu pH, suhu, tingkat kekeruhan, jenis dan dosis koagulan, kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan
(Radiyaningrum & Caroline, 2017). Pada penelitian ini, dosis biokoagulan telah divariasikan namun hasil prosentase
penghilangan kekeruhan relative kecil. Maka dari itu, kemungkinan kecilnya persentase removal dikarenakan
kecepatan dan waktu pengadukan yang tidak sesuai. Oleh karena itu untuk penelitian kedepan perlu dicari gradien
kecepatan dan waktu detensi yang paling sesuai untuk pemakaian biokoagulan. Penilaian efektifitas koagulan juga
seharusnya dikaji secara ekonomi dan tidak hanya semata-mata melihat persentase penghilangan kekeruhan.

5 KESIMPULAN

Penelitian ini mengkaji efektifitas aplikasi penggunaan biokoagulan atau koagulan alami biji asam jawa dibandingkan
dengan dua koagulan berbasis senyawa kimia PAC dan aluminium sulfat di IPA Bolon, PDAM Karanganyar.
Parameter fisik pengadukan yaitu gradien kecepatan ( ) dan waktu detensi ( ) didapatkan dari sistem pembubuhan
koagulan dilapangan. dan pengadukan hidrolis dilapangan dikonversi menjadi pengadukan mekanis untuk
proses jartest di laboratorium. Hasil jartest dari ketiga koagulan menyatakan bahwa efektifitas penurunan kekeruhan
dari senyawa kimia PAC dan aluminium sulfate masih jauh lebih tinggi dibanding dengan biokoagulan. Dengan dosis
optimum PAC dan aluminium sulfat sebesar 8 mg/L dan 9 mg/L didapatkan persentase penurunan kekeruhan 94,74%
dan 94,09%. Sedangkan untuk biokoagulan biji asam jawa dengan dosis 12 mg/L didapatkan penurunan kekeruhan
57,18%. Dosis biokoagulan telah divariasikan, namun hasil persentase penghilangan kekeruhan relatif kecil.
Kemungkinan kecilnya persentase removal dikarenakan kecepatan dan waktu pengadukan yang tidak sesuai. Maka
dari itu penelitian selanjutnya dapat melakukan kajian terhadap gradien kecepatan dan waktu detensi yang paling
sesuai untuk biokoagulan. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para peneliti dan praktisi dalam mempertimbangan
koagulan alami (biokoagulan) dalam aplikasi penurunan kekeruhan untuk air baku air minum.

REFERENSI

Asrafuzzaman, M., Fakhruddin, A.N.M. and Hossain, M., 2011. "Reduction of turbidity of water using locally
available natural coagulants." ISRN microbiology, 2011 (10), 1-6.

Bolto, B. and Gregory, J. (2007). "Organic polyelectrolytes in water treatment". Water research, 41(11), 2301–2324.

Bolto, B.A. (1995). "Soluble polymers in water purification." Progress in Polymer Science, 20(6), pp.987–1041.

Campbell, A. (2002). "The potential role of aluminium in Alzheimer’s disease." Nephrology Dialysis
Transplantation, 17(suppl_2), 17–20.

Hendrawati, H., Syamsumarsih, D., and Nurhasni, N. (2013). Penggunaan biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.)
dan Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) Sebagai koagulan alami dalam perbaikan kualitas air tanah."
Jurnal Kimia Valensi, 3(1), 23-34.

Pengchai, P., Keawkhun, K., and Suwapaet, N. (2012). "Low-cost engineering techniques in sustainable operation of
a rural clean water plant in Thailand." Science Technology and Development (Pakistan), Vol 31 (3), 271-279.

Radiyaningrum, A.D. and Caroline, J. (2017). "Industri batik dengan koagulan PAC pada proses koagulasi flokulasi."
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan, Surabaya, 1–6.

Shi, Y., Fan, M., Brown, R.C., Sung, S. and Van Leeuwen, J.H. (2004). "Comparison of corrosivity of polymeric
sulfate ferric and ferric chloride as coagulants in water treatment." Chemical Engineering and Processing: Process
Intensification, 43(8), pp.955–964.

80

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Srinivasan, P.T., Viraraghavan, T., and Subramanian, K.S. (1999). "Aluminium in drinking water: An overview."
Water Sa, 25(1), 47–55.

Theodoro, J.D.P., Lenz, G.F., Zara, R.F. and Bergamasco, R. (2013). "Coagulants and natural polymers: perspectives
for the treatment of water." Plastic and Polymer Technology, 2(3), 55–62.

Yin, C.-Y. (2010). "Emerging usage of plant-based coagulants for water and wastewater treatment." Process
Biochemistry, 45(9), 1437–1444.

81

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Rekayasa Material Bata Kobel dalam Infrastruktur Bangunan Sipil Ramah
Lingkungan Abad ke-21

C.L. Susilawati1*, I.W. Tyas2, H.M.A. Sutoto1

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Semarang, INDONESIA\

2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Flores, Ende, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Masyarakat pedesaan mengalami kendala untuk membangun rumah, bak tampung air dan infrastruktur bangunan lainnya karena
dana yang terbatas. Rekayasa material bata Kobel merupakan teknologi batu pres tanah bertautan dikembangkan untuk
menyediakan material bangunan pengganti batako/batu bata, terbuat dari bahan dasar tanah. Sistem ini tidak memerlukan
pekerjaan penyelesaian karena disusun saling bertautan. Penelitian tentang berbagai material tanah menjelaskan bahwa pada
dasarnya tanah yang baik untuk sistem ini adalah mengandung unsur butiran tanah yang mudah dimampatkan. Penambahan
bahan kapur ataupun semen berfungsi sebagai perekat saja. Beberapa contoh kegiatan yang telah dilakukan seperti: bangunan
rumah, dibuat sendiri oleh pemiliknya. Bata Kobel juga dikembangkan untuk infrastruktur bangunan sipil yang menuntut
kekuatan struktur sederhana seperti konstruksi bak tampung, lapangan parkir, saluran drainase dan lainnya juga telah dilakukan.
Bata Kobel juga menjadi peluang usaha BumDes, yang mendorong masyarakat pedesaan mampu memenuhi kebutuhan material
bangunan dalam pembangunan desanya. Akhirnya, rekayasa bata Kobel ini adalah teknologi sederhana tepat guna dalam
infrastruktur bangunan sipil yang ramah lingkungan dapat diterapkan pada masyarakat pedesaan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan yang mandiri menyongsong abad 21.

Kata kunci: Bata Kobel, Rekayasan Material, Infrastruktur Bangunan Sipil, Ramah Lingkungan.

1 PENDAHULUAN

Masyarakat pedesaan mengalami kendala untuk membangun rumah, bak tampung air dan infrastruktur bangunan
lainnya karena dana yang terbatas, mahal untuk membangunnya. Hal ini mendorong untuk dikembangkannya suatu
teknologi tepat guna yang sederhana, murah dan dapat dikerjakan oleh masyarakat pedesaan itu sendiri. Rekayasa
material bata kobel merupakan teknologi batu pres tanah bertautan dikembangkan untuk menyediakan material
bangunan pengganti batako/batu bata, terbuat dari bahan dasar tanah. Sistem ini tidak memerlukan pekerjaan
penyelesaian karena disusun saling bertautan, sehingga mendukung pembangunan infrastruktur biaya rendah
(Susilawati et al., 2017), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (Susilawati et al., 2020; Susilawati & Tyas, 2018).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji kekuatan hasil batu pres dari berbagai macam tanah yang ada di
Semarang. Kesimpulan yang diberikan terkait dengan hubungan bahan tambahan dan kuat tekan yang dihasilkan,
yaitu penambahan bahan semen belum memastikan naiknya kuat tekan, namun penambahan bahan kapur dapat
menaikan kuat tekan (Daryanto, 1996). Penelitian tentang berbagai material tanah menjelaskan bahwa tanah yang
baik adalah mengandung unsur butiran tanah yang mudah dimampatkan. Penambahan bahan kapur ataupun semen
berfungsi sebagai perekat saja (Setiawan,1999). Kajian lebih lanjut dalam penerapan praktis teknologi batu pres
untuk pengembangan pemukiman pedesaan menunjukkan bahwa pembangunan rumah sederhana di pemukiman
pedesaan memerlukan batu dengan kuat tekan sekitar 15-20 kg/cm2, dan tanah lempung yang dicampur dengan kapur
akan meningkatkan kuat tekan batu yang dihasilkan (Hartanto & Susilawati, 2002).

Bata kobel tidak memerlukan pekerjaan penyelesaian (finishing) yaitu mortar spesi untuk menyusunnya dan plesteran
untuk merapikannya. Bata Kobel ini rapi saling terkait atau bertautan satu sama lain saat disusun, tidak perlu mortar
spesi untuk menyatukannya, dan sisinya membentuk dinding yang sekaligus rapi, tidak perlu plesteran. Untuk
konstruksi kolom praktis dalam membangun rumah sederhana, digantikan dengan memasukkan satu batang besi
dalam lubang yang ada, kemudian diisi campuran beton membentuk konstruksi kolom praktis. Begitu pula untuk
konstruksi balok sloof, ataupun balok penutup dinding dilakukan hal yang sama pada profil bata bentuk U. Hal ini
menjadikan bata kobel ini murah dan sekaligus lebih ramah lingkungan (Susilawati & Dore, 2014).

82

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Sejak 2015 pemerintah mengucurkan dana desa yang dikelola oleh desa untuk meningkatkan kesejahteraan. Desa
mulai bertumbuh meningkatkan infrastruktur dalam berbagai aspek kehidupan dan fasilitasnya. Selanjutnya
dikembangkan pula Badan Usaha Milik Desa (BumDes) sebagai upaya menuju kemandirian desa (Kemetrian
Keuangan RI, 2017). Rekayasa material bata kobel mulai diperkenalkan untuk pengembangan infrastruktur, pertanian
dan ekonomi pedesaan dalam acara bursa inovasi di Kabupaten Ende. Hal ini mendorong untuk melakukan kajian
lebih lanjut akan fungsi dan peran bata kobel dalam bangunan teknik sipil pada masyarakat pedesaan.

2 KONSEP DAN KERANGKA PIKIR

Sebelum konsep dan kerangka pikir dikembangkan, perlu dilakukan kajian pustaka terkait dengan rekayasa material
bata Kobel. Kajian pustaka ini merupakan teknologi sederhana batu pres tanah bertautan meliputi: 1) Bahan dasar
dan komposisi campuran, 2) Pengembangan alat cetak pres, dan 3) Jenis-jenis batu yang dihasilkannya.

2.1 Bahan Dasar dan Komposisi Campuran

Bata Kobel adalah sejenis material batu bata yang dibuat dari bahan dasar tanah, ditambahkan bahan lainnya agar
lebih stabil ketika ditekan (Compressed Stabilized Earth Brick-CSEB). Bata ini lebih dikenal di Indonesia semacam
batako atau bata lego, tidak perlu lapisan mortar untuk menyusun dan saling terkait/bertautan. Faktor utama stabilisasi
tanah dipengaruhi oleh jenis tanah, kadar semen, pemadatan dan metode penyampuran. Hal ini merupakan perubahan
setiap sifat tanah untuk meningkatkan kinerjanya secara teknik (Krishnaiah & Reddy, 2008). Fungsi utama medium
stabilisasi adalah untuk mengurangi pembengkakan sifat tanah, melalui pembentukan kerangka kaku massa tanah,
yang akan meningkatkan kekuatan dan daya tahannya (Anifowose, 2000). Semen portland adalah stabiliser yang
banyak digunakan karena kemampuannya mengurangi batas cair (Liquid Limit) dan meningkatkan indeks plastisitas
(Plasticity Index), sehingga dapat meningkatkan kemampuan kerja tanah. Penambahan bahan kimia penstabil seperti
semen dan kapur mempunyai efek ganda: percepatan flokulasi dan promosi ikatan kimia. Bahan pengikat tergantung
pada jenis stabilisator yang digunakan (Janz & Johansson, 2002). Hasil studi mengungkapkan bahwa tanah dengan
indeks plastisitas (PI) < 15% cocok memakai stabilisator semen (Guettala et al., 2002). Pengamatan lain menjelaskan
bahwa pengikat semen sebaiknya berkisar 4%-10% berat kering tanah (Mesbah et al., 2004). Pengikat semen > 10%
menjadi tidak ekonomis untuk produksi CSEB (Fetra et al., 2011).

Investigasi awal terkait CSEB terhadap 2 sampel tanah, disimpulkan bahwa tanah memiliki karakteristik yang cocok
untuk stabilisasi semen dengan indeks plastisitas 12,4% - 14,6%. Peningkatan stabilisasi dari 0% - 7,5% memberikan
kekuatan antara 0,35N/mm2 - 2,84 N/mm2 (Waziri et al., 2013). Semen yang merupakan elemen mahal, dapat
dipertahankan hingga kisaran 3-10% tanpa kinerja yang membahayakan. Dari pengalaman di Tanzania, rasio 1:16
(semen:tanah) dapat menghasilkan rata-rata 100 bata pres tanah stabil (Interlocking Stabilized Soil Brick-ISSB) dari
satu kantong semen 50 kg. Hal ini setara dengan 0,45 m3 volume dinding. Sebaliknya bata konvensional
(Conventional Brick-CB) dengan rasio semen:pasir biasanya 1:8 hanya dapat menghasilkan 20 batu per 50 kg kantong
semen (setara 0,31 m3 volume dinding). Karenanya ISSB menghasilkan 31% lebih banyak volume dinding daripada
CB. Batas tanah untuk stabilisasi yang mengurangi penggunaan semen dalam produksi bata Kobel ini ditunjukkan
seperti dalam Gambar 1 berikut ini (Kintingu, 2009).

Tanah dengan susut rendah (kadar pasir tinggi) lebih stabil dengan semen (PC) untuk ditekan/pres menggunakan
mesin pres berdaya tinggi (>4MPa), sedangkan tanah yang memiliki susut tinggi (kadar tanah liat tinggi) lebih stabil
dengan menggunakan kapur untuk ditekan/pres menggunakan mesin pres berdaya rendah (hingga 2MPa).

Gambar 1. Grafik batas tanah untuk stabilisasi minimal penggunaan semen (Kintingu, 2009)

83

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.2 Pengembangan Alat Cetak Pres

Pengembangan alat cetak pres bata kobel ini didasarkan dari beberapa macam tulisan terkait sistem dan teknologi
ini, juga paten-paten yang telah dikeluarkan terkait alat pres batu pres tanah. Alat pres yang diterapkan telah
dimodifikasi lebih lanjut berdasarkan pengalaman penerapan selama ini dan dengan ukuran seperti ditunjukkan dalam
Gambar 2.

2.3 Jenis-jenis Batu Pres Tanah, Bata Kobel

Jenis dan bentuk dari batu pres tanah pada dasarnya untuk membentuk dinding suatu bangunan. UN-HABITAT
mengembangkan Interlocking Stabilised Soil Blocks (ISSB) untuk mengatasi krisis pemukiman dalam program
pemukiman di Uganda (UN-Habitat, 2009). Dalam program ini dikenal beberapa bentuk jenis batu dengan ukuran
dasar 140 x 266 x 95 mm, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Ukuran batu ditingkatkan agar lebih optimal menahan
beban, dengan dimensi seperti ditunjukkan dalam Gambar 3 (Onyeakpa & Onundi, 2014).

Kemudian. Habitech Center memberikan dimensi batu pres tanah bertautan ini dengan variasi jenis untuk batu
normal, batu setengah dan batu bentuk U yang difungsikan untuk membentuk struktur balok dengan meletakkan satu
batang besi beton dan mengisi bentuk U dengan campuran beton, dijelaskan dalam Gambar 4 (Anwar et al., 2018).

2.4 Konsep dan Kerangka Pikir

Konsep dan kerangka pikir bata Kobel ini dapat diilustrasikan seperti dalam Gambar 5.

Gambar 2. Alat pres batu dan ukuran batu yang dihasilkan

Gambar 3. Beberapa bentuk jenis batu dengan ukuran dasar 140x266x95 mm (UN-Habitat, 2009) 230x200x125 mm
(Onyeakpa & Onundi, 2014).

Gambar 4. Variasi jenis batu dari Habitech (Anwar et al., 2018)
84

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kebutuhan batu bata interlocking brick bata Kobel
infrastruktur
• batako • rekayasan material • infrastruktur
• material bangunan • bata merah bangunan gedung bangunan sipil
• bata ringan ramah lingkungan

Gambar 5. Konsep dan kerangka pikir

Kebutuhan infrastruktur dalam pengembangan wilayah sangat dibutuhkan. Hal ini juga berdampak pada kebutuhan
akan material bangunan yang semakin efektif, efisien, murah dan ramah lingkungan sehingga berkelanjutan. Selama
ini kebutuhan material bangunan seperti batu bata dipenuhi dengan menyediakan batako yang banyak diproduksi
dalam skala industri besar maupun rumahan. Demikian pula halnya dengan material bangunan bata merah.
Sedangkan bata ringan banyak diproduksi oleh industri besar sehingga cukup mahal harganya. Rekayasa material
bangunan mulai dikembangkan, khususnya untuk bangunan gedung melalui sistem interlocking brick atau bata yang
saling bertautan/mengait. Pengembangan dilakukan mulai dengan bahan dasar tanah maupun semen dan pasir. Dari
sinilah dikembangkan bata kobel dengan tetap mendasarkan konsep pada bahan dasar tanah sehingga murah dan
ramah lingkungan. Pengembangan bata kobel tidak hanya diaplikasikan pada bangunan rumah sebagai dinding saja,
tetapi juga dikembangkan untuk memenuhi infrastruktur bangunan lainnya seperti bak tampung dan saluran air,
bangunan dinding penahan tanah dan lapangan parkir, dan sebagainya. Prinsip kekuatan struktur tetap
diperhitungkan, yaitu memasukkan lubang bata dengan besi dan mengisinya dengan adukan beton sehingga berfungsi
sebagai kekuatan struktur. Isian yang cukup untuk kekuatan struktur ini menjadikan bangunan tetap kuat, namun
efektif, efisien dan murah, serta ramah lingkungan. Hal ini akan menjamin keberlanjutan dari sistem. Aplikasi yang
sederhana ini dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri sehingga meningkatkan daya tumbuh kembang masyarakat
dalam menyediakan infrastrukturnya sendiri secara berkelanjutan.

3 APLIKASI REKAYASA MATERIAL BATA KOBEL

Aplikasi bata Kobel telah dilakukan untuk bangunan rumah sederhana, bangunan bak tampung dan saluran air,
bangunan dinding penahan tanah dan lapangan parkir, yang terkait erat dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang
dilakukan sebagai implementasi salah satu Tridharma perguruan tinggi.

3.1 Bata Kobel dalam Konstruksi Bangunan Rumah

Aplikasi bata kobel dalam bangunan rumah sederhana yang selama ini pernah dilakukan seringkali dalam kegiatan
pengabdian kepada masyarakat di desa yang terpencil, sulit untuk menemukan bahan material bangunan karena lokasi
geografis yang tidak memungkinkan. Kegiatan diawali dengan memberikan penyuluhan, pelatihan dan pelaksanaan
program rumah sehat, perkembangan fisik penerapan batu pres tanah untuk rumah sederhana di Jawa Tengah.

Bangunan rumah sederhana yang selama ini telah diterapkan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Jawa
Tengah adalah: Rumah Bapak Harjosalim, Desa Jlarem dan rumah bapak Ngateman, Desa Kupulrejo. Semakin
berkembang terjadi di Desa Ngargosari dengan dimulainya bangunan rumah pak Lurah, kandang dan kamar mandi
pak Panut, kamar mandi dan WC pak Ngadinu, kemudian rumah pak Slamet dan pak Pardi di Desa Sendang Rejo.
Pengembangan selanjutnya dilakukan untuk bapak Paulus Moa di pantai Nunsui-Kupang, NTT. Setelah terhenti
beberapa saat, pengembangan dilanjutkan dalam kegiatan kerjasama dengan Yayasan Tangan Pengharapan untuk
rumah sehat di Desa Tli’u, antara lain rumah bapak Lukas Hiler Liunesi (Gambar 6).

Gambar 6. Pembangunan rumah dalam pengabdian di Desa Jlarem, Kumpulrejo dan Ngargosari

85

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.2 Bata Kobel dalam Konstruksi Bak Tampung dan Saluran Air
Bangunan bak tampung air hujan dengan salurannya sebagai upaya pengolahan air hujan agar dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mulai diuji cobakan bersamaan dengan pembangunan asrama mahasiswi di
Nasipanaf, Kab. Kupang dan di kampus UNIFLOR (Gambar 7).

3.3 Bata Kobel dalam Konstruksi Dinding Penahan Tanah
Penerapan sistem batu pres tanah ini juga dilakukan dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Pemo, Kec.
Kelimutu, Kab. Ende, Prov. NTT. Bangunan dinding penahan tanah sekaligus dipadukan dengan bak tampung air
hujan untuk memenuhi kebutuhan air rumah desa wisata (home-stay) (Gambar 8).

3.4 Bata Kobel dalam Konstruksi Lapangan Parkir
Sistem dan teknologi batu pres tanah ini juga diterapkan untuk lapangan parkir di kampus UNIFLOR, juga
diperkenalkan pada masyarakat dalam kegiatan KKN mahasiswa di pedesaan (Gambar 9)

3.5 Bata Kobel dalam Infrastruksi Bangunan Sipil Ramah Lingkungan
Beberapa aplikasi yang telah dilakukan selama ini memberikan pengalaman bahwa bata Kobel dapat diterapkan pada
infrastruktur bangunan sipil yang ramah lingkungan, murah, efisien dan efektif dalam penyusunan konstruksi. Hal
yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Kekuatan struktur yang dibutuhkan perlu diperhitungkan dalam aplikasinya.
2. Konsep bahan dasar tanah tetap secara konsisten diterapkan sehingga tetap ramah lingkungan.
3. Bongkaran konstruksi tetap dapat digunakan kembali, sehingga ramah dan berkelanjutan.
4. Ketekunan dan kerapian pencetakan memberikan hasil yang persisi sehingga mudah dalam menyusun konstruksi.

Gambar 7. Bak tampung dan saluran air hujan di asrama mahasiswi Nasipanaf dan UNIFLOR (dokumentasi foto)

Gambar 8. Sistem bata Kobel untuk dinding penahan tanah dan bak tampung air hujan di Kelimutu, Ende (dokumentasi foto)

Gambar 9. Bata Kobel untuk lapangan parkir di UNIFLOR dan pelatihan di Desa Rukuramba (KKN) (dokumentasi foto)
86

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 KESIMPULAN
Dapat disimpulkan, bahwa rekayasa material bata Kobel ini adalah teknologi sederhana tepat guna dalam
infrastruktur bangunan sipil yang ramah lingkungan dapat diterapkan pada masyarakat pedesaan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan yang mandiri menyongsong abad 21.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak yang terlibat dalam proses pengembangan sistem dan teknologi batu
pres tanah bertautan bata Kobel ini, yaitu teman dosen Teknik Sipil UNIKA Soegijapranata Semarang, Yayasan
Tangan Pengharapan, Yayasan Pendidikan Tinggi Flores, Pusat Studi Pengembangan Sumber Daya Air UNIFLOR,
Alm. Bapak Marselinus Petu Bupati Ende, Bank BNI 46 cabang Ende, Kades Rukuramba Bapak Markus, Kades
Tanali, Mosalaki Desa Tanali, Bapak Lukas Liunesi, Bapak Markus Raja dan saudara-saudara lain yang membantu
dalam pengembangan dan penerapan batu pres tanah pada bangunan sipil.

REFERENSI
Anifowose, A. Y. B. (2000). “Stabilisation of lateritic soils as a raw material for building blocks.” Bulletin of
Engineering Geology and the Environment, Vol. 58, 151-157.

Anwar, N., Sthapit, G. R., Neupane, C. C., (2018). “Habitech building technology”. Poster in Resilient Homes
Challenge, Habitech Upgradation Project, Nepal.

Daryanto. (1996). Pengujian material bahan bangunan untuk bata bertautan (lock brick). Laporan Penelitian
Universitas Katolik Soegijapranata Tahun Anggaran 1995-1996, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang,
Indonesia.

Fetra, V. R., Rahman, I. A., and Zaidi, A. M. (2011). “Preliminary study of compressed stabilized earth block
(CSEB).” Australian Journal of Basic and Applied Sciences, Vol. 5 (9), 6-12.

Guettala, A., Houari, H., Mezghiche, B. and Chebili, R. (2002). “Durability of lime stabilized earth blocks,” Courrier
du Savoir, Vol. 2, 61-66

Hartanto, D. and dan Susilawati (2002). Penerapan praktis teknologi bata bertautan untuk pengembangan
pemukiman di pedesaan. Laporan Penelitian Universitas Katolik Soegijapranata Tahun Anggaran 2001-2002.
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Indonesia.

Janz, M. and Johansson, S.E. (2002). The Function of Different Building Agents in Deep Stabilisation, Swedish Deep
Stabilisation Research Centre, Linkoping, Sweden.

Kementerian Keuangan RI. (2017). Buku Saku Dana Desa. Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta,
Indonesia.

Kintingu, S. H. (2009). “Design of interlocking bricks for enhanced wall construction flexibility, alignment accuracy
and load bearing”. Ph. D Thesis, University of Warwick, Conventry, United Kingdom.

Krishnaiah, S. and Reddy, P.S. (2008). “Effects of clay on soil cement block,”. The 12th International Conference
of Intl. Ass. for Computer Methods and Advances in Geomechanics (IACMAG), Goa, 4362-4368

Mesbah, A., Morel, J. C., Walker, P. and Ghavami, K. (2004). “Development of a direct tensile test for compacted
earth blocks reinforced with natural fibres.” Journal of Materials in Civil Engineering, Vol.16 (1), 95- 98

Onyeakpa, C., and Onundi, L. (2014). “Improvement on the design and construction of interlocking blocks and its
moulding machine”. IOSR Journal of Mechanical and Civil Engineering (IOSR-JMCE), Volume 11 (2), 49-66.

Setiawan, P. L. (1999). Tanah (Tanpa Semen) sebagai Bahan Bata Bertautan (Lock Brick). Laporan Penelitian
Universitas Katolik Soegijapranata Tahun Anggaran 1998-1999, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang,
Indonesia.

87

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Susilawati, C. L., Suni, P. K. Y., and Tjandra E. (2020). “Lock-brick system technology is an ecological building
material innovation”. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science Vol. 419, The 3rd International
Conference on Civil and Environmental Engineering (ICCEE 2019), Bali.

Susilawati, and Tyas, I. W. (2018). “Lock-brick system for sustainable and environment infrastructure building
materials”. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, International Conference on Building
Materials and Construction (ICBMC 2018), Nha Trang, 233-240.

Susilawati, Veronika, and Shuayib. (2017). “Sistem lock-brick mendukung pembangunan infrastruktur biaya rendah
dan berkelanjutan”. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 11, Jakarta, Air 19-26.

Susilawati, C.L. and Dore, B. (2014). “Keterpaduan rekayasa pengelolaan air hujan dan sistem bata bertautan dalam
menciptakan masyarakat desa sehat sejahtera”. Prosiding KoNTekS 8, Bandung,, L1-L8

UN-Habitat (2009). “Interlocking stabilised soil blocks appropriate earth technologies in Uganda.” United Nations
Human Settlements Programme, Nairobi, Kenya

Waziri, B. S., Lawan, Z. A., Mustapha, and Mala, M. (2013). “Properties of compressed stabilized earth blocks
(CSEB) for low-cost housing construction: a preliminary investigation.” International Journal of Sustainable
Construction Engineering & Technology,Vol 4 (2), 39-46.

88

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Studi Pengaruh Agregat Plastik pada Beton dan Dampaknya terhadap
Lingkungan

A. A. Mohsa*, H. Putra, Erizal

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Beton merupakan bahan bangunan paling umum di dunia konstruksi dengan empat komposisi utama yaitu :air, semen, agregat
kasar dan agregat halus. Penggunaan beton yang banyak berdampak buruk pada lingkungan. Salah satunya, eksploitasi agregat
dapat menyebabkan erosi yang berdampak pada lingkungan. Plastik merupakan bahan yang sering digunakan dalam industri dan
kehidupan sehari hari. Kebanyakan limbah plastik adalah non-biodegredable dan tidak beraksi dengan lingkungan, yang
mengakibatkan sangat susah diurai hingga ratusan tahun. Daur ulang limbah plastik menjadi agregat sebagai pengganti agregat
pada beton merupakan salah satu cara recycle untuk mengurangi limbah plastik. Limbah plastik yang digunakan adalah limbah
plastik Polyethylene (PE), Polypropylene (PP), Polyvinyl Chloride (PVC) dan Polystyrene. Penggunaan limbah plastik yang
beragam ini bertujuan untuk mengetahui limbah plastik paling efektif dalam campuran beton. Sifat mekanik yang direview adalah
kuat tekan, densitas beton dan analisis mikrostruktur. Hubungan ikatan pada beton agregat plastik harus dilakukan untuk
mengetahui penyebab terjadinya penurunan kerja. Jumlah subtitusi agregat plastik mulai dari 38,9%-50%. Hubungan ikatan pada
beton dapat dilihat dengan menggunakan uji Scanning Electron Microscope. Kuat tekan beton agregat plastik mengalami
penurunan terhadap beton kontrol, rekomendasi aplikasi dari beton adalah sebagai beton praktis. Didapatkan densitas beton
agregat plastik antara 1120 kg/m3- 1920 kg/m3. Didapatkan jenis agregat plastik paling optimal adalah PVC.

Kata kunci: Agregat Buatan, beton, limbah plastik dan lingkungan

1 PENDAHULUAN

Beton merupakan bahan bangunan yang paling umum di dunia dengan empat komposisi utama yaitu : air, semen,
agregat kasar dan agregat halus (del Rey Castillo et al., 2020). Sumber daya ini sangat mempengaruhi lingkungan
jika terlalu banyak dieksploitasi. Sebagai contoh 4,1 juta m3 beton diproduksi di New Zeland pada tahun 2018
menggunakan 5,1 miliar ton agregat (1 m3 beton menggunakan 1250 kg agregat) (Belmokaddem et al., 2020).
Mengurangi jumlah agregat pada sumber tambang sangat penting untuk lingkungan dan generasi masa depan (del
Rey Castillo et al., 2020). Salah satu indikator kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari eksploitasi agregat
berlebihan adalah erosi. Erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tingggi ke
tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalu tiga tahapan yaitu
pelepasan, pengangkutan dan pengendapan. Semakin mengeksploitasi agregat maka kemungkinan erosi semakin
tinggi.

Pemanfaatan limbah dalam campuran beton sudah sangat banyak dalam penelitian, seperti penggunaan fly ash,
limbah kaca, limbah plastik, maupun biochar (del Rey Castillo et al., 2020). Namun fokus review menggunakan
limbah plastik sebagai subtitusi agregat pada campuran beton. Platik merupakan bahan umum yang sering digunakan
pada kehidupan masyarakat, hampir di setiap sektor menggunakan plastik terkhususnya plastik sekali pakai.
Penggunaan plastik semakin meningkat sejak memasuki abad 20 dan 21 terutama pada 2 dekade awal abad 21. Pada
2017, 348 juta ton plastik diproduksi di seluruh dunia. Limbah plastik dapat diproses dengan 3 metode utama yaitu :
recycle, insinerasi dan landfilling, tergantung kemampuan dan tujuan masing masing (Gertsakis & Lewis, 2003). Di
tahun yang sama 2017, 27,3% limbah plastik dikelola hanya dengan cara landfill dan pada tahun 2015 di USA 35,4
juta ton atau sekitar 75,4% plastik dikelola secara landfill (US Environmental Protection Agency, 2016)

Kebanyakan tipe dari plastik adalah non-biodegredable dan tidak bereaksi dengan alam atau lingkungan, hal ini
menyebabkan plastik sangat susah diurai dalam jangka waktu yang panjang hingga berabad. Beberapa tipe dari
plastik juga bisa melepaskan zat racun ke lingkungan sehingga metode landfilling atau open dumping merupakan
metode yang tidak terlalu solutif dalam menangani plastik. Sementara metode insinerasi efektif dalam
menghilangkan limbah padat menjadi udara dan menghasilkan energi tetapi jika tidak dilakukan dengan benar dan
teliti maka metode ini berbahaya dikarenakan dapat melepaskan zat zat beracun ke udara seperti karbon dioksida dan
zat beracun lainnya. Oleh karena itu recycle merupakan metode paling baik dalam mengolah limbah plastik dengan
salah satu metode yang digunakan yaitu penggunaan kembali limbah plastik dalam industri konstruksi bangunan
(Choi et al., 2009; Jassim, 2017; Safinia & Alkalbani, 2016).

89

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Hasil yang sering didapatkan dalam pencampuran limbah plastik ke dalam beton sebagai pengganti agregat yaitu
pengurangan kemampuan kerja, kepadatan dan kinerja mekanis yang dihasilkan tanpa meningkatkan daya tahan
material beton secara signifikan (del Rey Castillo et al., 2020). Dalam hal abrasi menggunakan plasitk PET sebagai
pengganti agregat beton mengalami peningkatan kemampuan diakarenakan plastik PET memiliki tekstur yang lebih
kasar. Sumber utama masalah dalam pencampuran agregat plastik ke dalam beton yaitu ketidakcocokan bahan kimia
plastik dengan pasta semen, mengingat bahwa plastik merupakan bahan hidrofobik dan tidak dapat mengikat secara
kimiawi dengan semen pasta sehingga kekuatan antara pasta semen dan agregat plastik sangat rendah yang
menyebabkan penurunan kualitas daya dukung beton (Gu & Ozbakkaloglu, 2016).

Review paper ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis dari beton bersubtitusi agregat limbah plastik. Kemudian
di cari keunggulan dan kelemahan dari agregat limbah plastik tersebut yang dimana berpotensi untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut di masa depan. Rumusan masalah dari topik review paper ini adalah dengan jenis limbah
plastik yang berbeda manakah limbah plastik yang paling efektif dilihat dari sifat mekanis beton.

2 DAUR ULANG AGREGAT PLASTIK

2.1 Mechanical Recycling

Daur ulang plastik secara mekanik mengacu pada proses yang melibatkan peleburan, penghancuran atau granulasi
plastik limbah. Sebelum didaur ulang plastik harus disortir terlebih dahulu. Teknologi teknologi untuk menyortirkan
plastik secara otomatis menggunakan beberapa teknik seperti X-ray fluorescence, infrared dan electrostatics and
flotation. Setelah penyortiran, plastik dilebur secara langsung dan dicetak menjadi baru, atau dilebur setelah
dihancurkan menjadi serpihan serpihan dan diproses menjadi butiran yang disebut dengan regranulate (Siddique et
al., 2008). Botol plastik setelah dikonsumsi terutama botol yang terbuat dari polyethylene terephthalate (PET) di daur
ulang secara termo-mekanis dan hal ini dapat digunakan sebagai bahan kompostit untuk aplikasi engineering (Ávila
& Duarte, 2003). Limbah plastik PVC yang digunakan untuk lantai dapat didaur ulang secara mekanis dimana limbah
plastik ini tidak mengalami peningkatan kualitas ataupun tanpa penambahan plasticizer baru (Yarahmadi et al., 2001).

2.2 Chemical Modification

Plastik dapat didaur ulang dengan cara chemical modification atau depolimerisasi. Cara untuk mencapai
depolimerisasi adalah dengan hidrolisis (penguraian kimia) dan pirolisis (dekomposisi termal). Misalnya
polyethylene terephthalate (PET) dapat dimodifikasi secara kimia untuk menghasilkan polyester tak jenuh, polyester
thermoset yang biasanya digunakan dalam bak mandi, lambung kapal dan panel eksterior mobil. Contoh lain adalah
dekomposisi termal limbah akrilik ke dalam metil methacrylate (MMA), monomer ini biasanya digunakan dalam
jendela pesawat dan tanda neon. Bagaimanapun juga, teknik ini jauh lebih rumit untuk memodifikasi agregat plastik
secara kimia untuk menghasilkan bahan baku (Rebeiz & Craft, 1995).

3 KUAT TEKAN BETON

Pergantian agregat alami menjadi agregat buatan dari limbah plastik pasti akan berpengaruh terhadap sifat mekanis
beton itu tersendiri. Pada Tabel 1, digunakan 5 jenis limbah plastik dengan 1 beton kontrol. Rasio air dengan semen
direkapitulasikan mulai dari 0,43 hingga 0,53. Perggantian jumlah agregat plastik (berat) dimulai dari 38,9% hingga
50%. Dilakukan pengujian pada hari ke 28 dimana pada hari ke-28 beton kontrol memiliki kuat tekan yaitu 35 MPa
dan beton limbah plastik memiliki kekuatan paling tinggi pada PVC 45% yaitu 21,5 MPa. Beton dengan agregat
limbah plastik paling lemah berada pada HDPE 50% dengan kekuatan 11 MPa. Tren ini dapat dikaitkan dengan fakta
bahwa agregat plastik, tidak seperti agregat alami. Agregat plastik memiliki permukaan yang halus, dan kedap udara
dan kurang tahan, sehingga melemahkan kekuatan kohesi pada antarmuka antara matriks semen dan agregat
(Babafemi et al., 2018; Islam et al., 2016; Jacob-Vaillancourt & Sorelli, 2018).

Perbedaan nilai kekuatan antara beton yang mengandung agregat Polyethylene Terephthalate (PET) dan yang
mengandung agregat alami dikaitkan dengan kandungan bleeding water yang lebih tinggi dalam campuran beton
yang mengandung PET daripada dalam campuran beton konvensional. Air dalam campuran beton yang mengandung
PET sebagian besar terletak di sekitar partikel agregat PET, yang mengarah pada ikatan yang lebih lemah antara
matriks semen dan PET Agregat (Frigione, 2010).

90

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 1. Pengaruh limbah plastik terhadap kuat tekan beton

Nama sampel / Aggregat plastik Kuat tekan 28 hari Referensi
(%) (MPa)
RC (Real Concrete)
PVC1 0,48 - 35,0 (Belmokaddem et al., 2020)
PVC2
PE1 0,48 50,0 20,0 (Belmokaddem et al., 2020)
PE2
PP1 0,43 45,0 21,5 (Kou et al., 2009)
Polystyrene1
Polystyrene 2 0,48 50,0 11,0 (Belmokaddem et al., 2020)

0,5 50,0 15,5 (Alqahtani et al., 2017)

0,48 50,0 17,0 (Belmokaddem et al., 2020)

0,5 38,9 13,1 (Tang et al., 2008)

0,53 50,0 12,1 (Sabaa & Ravindrarajah, 1997)

4 DENSITAS BETON

Densitas beton merupakan salah satu sifat properties beton yang mempengaruhi sifat mekanis beton itu tersendiri.
Densitas beton dapat diukur pada keadan beton segar atau dalam keadaan beton kering. Hasil rekapitulasi densitas
beton kering dapat dilihat pada Tabel 2. Beton kontrol memiliki densitas 2400 kg/m3 sedangkan beton agregat plastik
memiliki densitas mulai dari 1410 kg/m3 hingga 1900 kg/m3. Terjadi penurunan densitas beton mulai dari 21% -
42%. Beton dengan agregat PVC merupakan beton yang memiliki densitas paling tinggi sedangkan beton dengan
polystyrene memiliki densitas beton paling rendah. Menurut (American Concrete Institute, 2013) beton ringan
merupakan beton dengan densitas 1120 kg/m3- 1920 kg/m3. Dari hasil rekapitulasi didapatkan bahwa seluruh beton
dengan agregat limbah plastik dapat dikategorikan ke beton ringan.

Pada Gambar 1 dapat dilihat mengenai hubungan antara kuat tekan dan densitas beton kering. Beton subtitusi limbah
plastik tidak ada yang dapat melewati kuat tekan dan densitas beton dari beton asli (RC). Tren dari grafik menunjukan
bahwa densitas beton tidak terlalu mempengaruhi kuat tekan pada beton subtitusi limbah plastik, seperti beton PE1
dan PE2 memiliki densitas sebesar 1760 kg/m3 dan 1882,76 kg/m3 sedangkan PVC2 memiliki densitas 1580 kg/m3.
Tetapi beton PE1 dan PE2 memiliki kuat tekan yang lebih rendah daripada Beton PVC 2 yaitu 11 MPa dan 15,5 Mpa
dibandingkan 21,5 MPa milik beton PVC2.

Tabel 2 Hasil pengaruh limbah plastik terhadap densitas beton kering

Nama sampel / Agregat plastik Densitas beton kering Referensi
(%) (kg/m3)
RC (Real Concrete)
PVC1 0,48 - 2400,00 (Belmokaddem et al., 2020)
PVC2
PE1 0,48 50,0 1900,00 (Belmokaddem et al., 2020)
PE2
PP1 0,43 45,0 1580,00 (Kou et al., 2009)
Polystyrene1
Polystyrene2 0,48 50,0 1760,00 (Belmokaddem et al., 2020)

0,50 50,0 1882,76 (Alqahtani et al., 2017)

0,48 50,0 1825,00 (Belmokaddem et al., 2020)

0,50 38,9 1410,00 (Tang et al., 2008)

0,53 50,0 1835,00 (Sabaa & Ravindrarajah, 1997)

40 3000

35 Kuat Tekan 2500
30 Densitas Beton
Kuat tekan (MPa)
Densitas (kg/m3)
25 2000

20 1500

15 1000
10
5 500

00

Gambar 1 Hubungan densitas beton dan kuat tekan beton

91

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

5 DAYA TAHAN BETON MENGANDUNG POLIMER

Daya tahan beton sangat erat kaitannya dengan permeabilitas cairan dan gas, karena beton bertanggung jawab atas
korosi pada baja tulangan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk memilih jenis bahan beton
yang tepat untuk meningkatkan daya tahan. Kekhawatiran telah muncul tentang daur ulang bahan limbah dalam beton
karena potensi kehadiran kontaminan (Mohammed et al., 2020). Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa
plastik daur ulang tidak memiliki daya tahan yang baik seperti agregat alami. Banyak faktor yang mempengaruhi
daya tahan untuk beton yang mengandung plastik sebagai penggantian agregat alami; faktor-faktor ini termasuk
permeasi ion klorida, porositas dan penyerapan air, ketahanan terhadap pembekuan dan pencairan berulang. (Sharma
& Bansal, 2016).

6 ANALISIS MIKROSTRUKTUR

Gambar 2 dan 3 merupakan foto dari analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) pada beton yang mengandung
agregat limbah plastik PP dan beton agregat alami. Dapat dilihat bahwa pada beton agregat limbah plastik memiliki
zona ITZ (Interfacial Transition Zone) sehingga jarak antar pasta semen dan agregat limbah plastik cukup jauh yang
mengakibatkan turunnya ikatan antar partikel. Sedangkan pada beton agregat alami tidak memiliki ITZ sehingga
terjadi ikatan yang baik antara agregat dan pasta semen. Kehadiran pori-pori ini dapat menimbulkan penurunan
kekuatan kompresif dan juga berat unit beton komposit bahwa pengurangan sifat mekanis komposit yang
diformulasikan disebabkan oleh adhesi yang buruk antara agregat plastik daur ulang dan matriks semen (Alqahtani
et al., 2017; Gu & Ozbakkaloglu, 2016; Şimşek & Uygunoğlu, 2018).

7 DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN

Salah satu tujuan review paper ini adalah melihat dampak beton subtitusi limbah plastik terhadap lingkungan, dimana
seberapa banyak limbah plastik yang dapat didaur ulang jika menggunakan beton subtitusi limbah plastik ini. Tabel
3 menjelaskan mengenai jumlah plastik yang dapat digantikan untuk volume beton 1 m3, dari hasil di tabel bahwa
PVC1 menggantikan agregat alami paling banyak sebanyak 248 kg, sedangkan yang paling rendah adalah PVC2
menggantikan agregat alami sebanyak 135 kg. Hasil tersebut memiliki rentang yang tidak terlalu jauh dimana
dominasi rata-rata pergantian agregat berada di 150 kg.

Gambar 2. Zona ITZ pada beton agregat limbah plastik PP (Belmokaddem et al., 2020)

Gambar 3. Hasil analisis electron scanning microscopy (SEM) pada beton agregat alami (Belmokaddem et al., 2020)
92

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 3 Jumlah agregat plastik untuk 1m3 beton

Nama Sampel Jumlah Limbah Plastik (kg) Referensi

PVC1 248 (Belmokaddem et al., 2020)
PVC2 135 (Kou et al., 2009)
PE1 165 (Belmokaddem et al., 2020)
PE2 151 (Alqahtani et al., 2017)
PP1 151 (Belmokaddem et al., 2020)
Polystyrene2 155 (Sabaa & Ravindrarajah, 1997)

8 REKOMENDASI APLIKASI

Sesuai dengan persyaratan pada SNI-2461-2014 mengenai standar spesifikasi untuk beton agregat ringan, oleh karena
itu dapat direkomandisakn penggunaan beton agregat limbah plastik dimana kuat tekan rendah diterima dengan kuat
tekan minimum yaitu 17 MPa. Sehingga sampel PVC1, PVC2 dan PP1 dapat digunakan sesuai dengan standar seperti
dalam pengaplikasian trotar, jalur, parit dan beton praktis.

9 KESIMPULAN DAN POTENSI PENELITIAN SELANJUTNYA

Pergantian agregat alami menjadi agregat limbah plastik berpengaruh terhadap kualitas beton, terlihat pada
penurunan kuat tekan beton paling tinggi yaitu PVC 45% yaitu 21,5 MPa sedangkan beton kontrol memiliki kuat
tekan 35 MPa. Densitas beton agregat limbah plastik mulai dari 1410 kg/m3 hingga 1900 kg/m3, hal ini dapat
dikategorigan sebagai beton ringan menurut ACI. Hal yang paling mempengaruhi kualitas beton adalah ikatan antara
agregat plastik dan pasta semen, Hal ini disebabkan oleh plastik yang memiliki sifat hidrofobik yang diperkuat pada
analisis mikrostruktur SEM. Terdapat rongga diantara agregat limbah plastik dengan pasta semen dimana hal ini
dapat mengakibatkan turunnya kekuatan beton. Dari kekurangan hasil pengujian tersebut maka perlu diselesaikan
masalah tersebut di masa yang akan datang dimana rongga rongga antara agregat limbah plastik dan pasta semen
dapat tertutupi sehingga kekuatan beton dapat meningkat.

REFERENSI
Alqahtani, F. K., Khan, M. I., Ghataora, G., and Dirar, S. (2017). "Production of recycled plastic aggregates and its
utilization in concrete." Journal of Materials in Civil Engineering, 29 (4), 04016248.

American Concrete Institute. (2013). ACI CT-13 - ACI Concrete Terminology,American Concrete Institute,
Farmington Hills, united States

Ávila, A. F., and Duarte, M. V. (2003). "A mechanical analysis on recycled PET/HDPE composites." Polymer
Degradation and Stability, Vol 8 (2), 373-382.

Babafemi, A. J., Šavija, B., Paul, S. C., and Anggraini, V. (2018). "Engineering properties of concrete with waste
recycled plastic: A review." In Sustainability (Switzerland), 10 (1),3875.

Belmokaddem, M., Mahi, A., Senhadji, Y., and Pekmezci, B. Y. (2020). "Mechanical and physical properties and
morphology of concrete containing plastic waste as aggregate." Construction and Building Materials, 257, 119559.

Choi, Y. W., Moon, D. J., Kim, Y. J., and Lachemi, M. (2009). "Characteristics of mortar and concrete containing
fine aggregate manufactured from recycled waste polyethylene terephthalate bottles." Construction and Building
Materials, Vol 23 (8), 2829-2835.

del Rey Castillo, E., Almesfer, N., Saggi, O., and Ingham, J. M. (2020). "Light-weight concrete with artificial
aggregate manufactured from plastic waste." Construction and Building Materials, 265, 120199.

Frigione, M. (2010). "Recycling of PET bottles as fine aggregate in concrete." Waste Management, Vol 30 (6), 1101-
1106.

Gertsakis, J., and Lewis, H. (2003). "Sustainability and the waste management hierarchy." A Discussion Paper on
the Waste Management Hierarchy and Its Relationship to Sustainability.

Gu, L., and Ozbakkaloglu, T. (2016). "Use of recycled plastics in concrete: A critical review." Waste Management,
Vol 51, 19-42.

93

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Islam, M. J., Meherier, M. S., and Islam, A. K. M. R. (2016). "Effects of waste PET as coarse aggregate on the fresh
and harden properties of concrete." Construction and Building Materials, Vol 125, 946-951.

Jacob-Vaillancourt, C., and Sorelli, L. (2018). "Characterization of concrete composites with recycled plastic
aggregates from postconsumer material streams." Construction and Building Materials, Vol 182, 561-572.

Jassim, A. K. (2017). "Recycling of Polyethylene Waste to Produce Plastic Cement." Procedia Manufacturing, Vol
8, 635 - 642,

Kou, S. C., Lee, G., Poon, C. S., and Lai, W. L. (2009). "Properties of lightweight aggregate concrete prepared with
PVC granules derived from scraped PVC pipes." Waste Management, 29(2), 621–628.

Mohammed, H., Sadique, M., Shaw, A., and Bras, A. (2020). "The influence of incorporating plastic within concrete
and the potential use of microwave curing; A review." Journal of Building Engineering, 32(June), 101824.

Rebeiz, K. S., and Craft, A. P. (1995). "Plastic waste management in construction: technological and institutional
issues." Resources, Conservation and Recycling, Vol 15 (3-4), 245-257.

Sabaa, B., and Ravindrarajah, R. (1997). "Engineering properties of lightweight concrete containing crushed
expanded polystyrene waste." Materials Research Society, 1997, Fall Meeting, Symposium MM: Advances in
Materials for Cementitious Composites, Boston.

Safinia, S., and Alkalbani, A. (2016). "Use of recycled plastic water bottles in concrete blocks." Procedia
Engineering, Vol 164, 214-221.

Sharma, R., and Bansal, P. P. (2016). "Use of different forms of waste plastic in concrete - A review." In Journal of
Cleaner Production, Vol 112 (1), 473-482.

Siddique, R., Khatib, J., and Kaur, I. (2008). "Use of recycled plastic in concrete: A review." Waste Management,
28(10), 1835–1852.

Şimşek, B., and Uygunoğlu, T. (2018). "A full factorial-based desirability function approach to investigate optimal
mixture ratio of polymer concrete." Polymer Composites, Vol 39 (9).

Tang, W. C., Lo, Y., & Nadeem, A. (2008). Mechanical and drying shrinkage properties of structural-graded
polystyrene aggregate concrete. Cement and Concrete Composites, 30(5), 403–409.

US Environmental Protection Agency. (2016). Advancing Sustainable Materials Management: 2014 Fact Sheet.
United States Environmental Protection Agency, Office of Land and Emergency Management, Washington, DC,
United States.

Yarahmadi, N., Jakubowicz, I., and Gevert, T. (2001). "Effects of repeated extrusion on the properties and durability
of rigid PVC scrap." Polymer Degradation and Stability,Vol 73 (1), 93-99.

94

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pemanfaatan Serbuk Limbah Batu Kapur dan Limbah Bata Ringan dalam
Pembuatan High Early Strength Sustainable Self Compacting Concrete

C. Richardy, Evan*, S. H. Sumali, H. Sugiharto

Program Studi Teknik Sipil, Universitas Kristen Petra, Surabaya, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Di era modern ini, pembangunan konstruksi adalah salah satu hal terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara.
Untuk mempertahankan pertumbuhan ini, kontruksi yang bersifat sustainable sangatlah diperlukan. Self-compacting concrete
sering digunakan karena menghasilkan kuat tekan awal yang tinggi. Tetapi perlubahan aditif seperti superplasticizer atau abu
silika untuk mendapatkan kuat tekan awal yang tinggi. Kali ini akan digunakan serbuk limbah bata ringan sebagai bahan
pengganti. Penggunaan serbuk limbah bata ringan dan serbuk batu kapur dapat menjadi solusi untuk mengurangi sebagian semen.
Pada penelitian ini, self-compacting concrete diperoleh dengan menggunakan serbuk limbah bata ringan dan serbuk batu kapur
untuk menggantikan 34% semen yang dibutuhkan. Dengan membuat perbandingan 53:47 pada rasio serbuk limbah bata ringan
dan serbuk batu kapur maka diperoleh kuat tekan awal yang tinggi dengan kekuatan tekan 1 hari mencapai 18.36 MPa, yang
mana telah lulus persyaratan BS EN 197-1 bahwa kuat tekan awal tinggi membutuhkan kekuatan 20 Mpa pada usia 2 hari.
Kelecakan (workability) dari self-compacting concrete juga cukup baik, dimana hasil flow test dapat mencapai diameter 59 cm
and 63 cm.

Kata kunci: Self-Compacting Concrete, Sustainable, Kuat Tekan Awal Tinggi, Serbuk Limbah Bata Ringan, Serbuk Batu

Kapur.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di era modern ini, pembangunan konstruksi adalah salah satu hal terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Untuk mempertahankan pertumbuhan ini, konstruksi berkelanjutan diperlukan. Ada banyak
masalah yang akan dihadapi pada setiap proyek konstruksi. Salah satu solusi untuk menghadapi berbagai masalah ini
adalah dengan menggunakan material self-compacting concrete (SCC) yang ramah lingkungan. Syarat yang
dibutuhkan agar beton tersebut bisa disebut SCC adalah memiliki kemampuan mengisi, kemampuan passing,
ketahanan segregasi, serta deformabilitas dan flowabilitas yang tinggi, supaya dapat memadat dengan sendirinya.
Pada SCC, beton tidak perlu dipadatkan menggunakan vibrator karena beton akan memadat sendiri dengan
memanfaatkan gravitasi. Dengan demikian polusi udara dan suara yang diakibatkan oleh penggunaan vibrator dapat
dihilangkan, dan biaya pembuatan beton dapat diminimalkan. Penggantian semen dengan menggunakan bahan
serupa sangat diperlukan karena dapat menurunkan biaya dan mengurangi dampak lingkungan. Limbah bata ringan
dan limbah batu kapur mengandung kalsium karbonat dapat digunakan sebagai material pengganti semen. Limbah
bata ringan sendiri diperoleh dari reruntuhan bata ringan yang disebabkan oleh pergerakan gempa atau renovasi
proyek. Sehingga konsep sustainable ini dapat diterapkan dengan menggunakan dua bahan, limbah bata ringan dan
limbah batu kapur. Dua aspek konsep sustainable adalah ramah lingkungan dan hemat biaya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh penggunaan serbuk limbah bata ringan dan serbuk
batu kapur terhadap kekuatan tekan awal SCC. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui efek
penggunaan batu kapur dan serbuk limbah bata ringan terhadap semen dapat berpengaruh terhadap konsep
sustainable concrete.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self-Compacting Concrete
Self-compacting concrete adalah beton yang dapat padat dengan sendirinya tanpa terjadinya segregasi dalam beton.
Menurut Okamura & Ouichi (2003) ada 3 metode untuk membuat self-compacting concrete, yaitu dengan membatasi
jumlah agregat, meminimumkan rasio air-bahan pengikat, dan menggunakan bahan aditif.

95

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Membatasi jumlah agregat dapat dilakukan pada agregat kasar, sedangkan menambahkan jumlah bahan pengikat
merupakan metode untuk membuat beton SCC dapat dengan mudah dipadatkan. Dari Gambar 1 menunjukkan
komposisi self-compacting concrete yang diusulkan oleh Okamura & Ouichi (2003).

2.2 High Early Strength Self-Compacting Concrete (HESSCC)

High Early Strength Self Compacting Concrete (HESSCC) merupakan sebuah penemuan baru dalam dunia teknik
sipil yang memiliki keunggulan workability / kelecakan tinggi dan kekuatan awal tinggi, sehingga dapat digunakan
sebagai inovasi dalam pengerjaan konstruksi beton. Kekuatan awal HESSCC ditentukan sebesar 300 kg/cm2 untuk
umur beton 1 hari (Sugiharto et al., 2006).

2.3 Limbah Bata Ringan

Bata ringan merupakan salah satu jenis beton ringan yang biasa digunakan dalam dunia konstruksi. Bata ringan relatif
ringan, memiliki konduktivitas termal yang lebih rendah, ketahanan panas yang lebih tinggi, penyusutan yang lebih
rendah, dan memerlukan proses konstruksi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan beton konvensional. Bata
ringan dapat dianggap sebagai bahan yang ramah lingkungan, yang mana proses persiapannya mengkonsumsi energi
lebih rendah dan mampu mengurangi konsumsi energi bangunan sekitar 50% tanpa menambahkan lapisan isolasi
termal ke dinding bangunan. Oleh karena itu, limbah bata ringan yang tersedia berlimpah. Limbah bata ringan
biasanya dibuang di lokasi konstruksi dan pembongkaran. Daur ulang limbah bata ringan akan menjadi pendekatan
yang baik untuk meminimalkan pembuangan akhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Stier & Forberger (2015)
menilai kemungkinan jumlah limbah bata ringan hingga 2,05 juta ton setiap tahunnya.

2.4 Limestone Powder

Serbuk batu kapur ( 3) adalah senyawa yang dapat dengan mudah ditemukan di semua batu di seluruh dunia.
3 adalah komponen utama dari kulit kerang, siput, mutiara, dan telur. Jika 3 dibakar maka akan bereaksi
dan menghasilkan kalsium oksida dan karbon dioksida. Perumusan reaksi dapat ditulis dalam Persamaan (1) dan (2)
(Shakhashiri, 2003).

3 → + 2 (1)

( ) 2 + 2 → 3 + 2 (2)

2.5 Kelebihan SCC Dibandingkan Beton Konvensional

Campuran SCC yang lebih cair daripada campuran beton konvensional, membuat campuran SCC dapat mengalir dan
memadat ke setiap sudut struktur bangunan mengisi tinggi permukaan yang diinginkan dengan rata (self-leveling)
tanpa mengalami bleeding. Dengan sifatnya yang lebih cair dibandingkan dengan beton konvensional, beton SCC
tentu akan mengurangi kerumitan pengerjaannya. Selain itu, komponen halus pada SCC cenderung lebih banyak
daripada beton konvensional, karena SCC memanfaatkan perilaku pasta yang dapat membantu mengalirkan beton
segar. Beton konvesional menggunakan agregat kasar sebesar 70%-75% dari volume beton. Selain itu ukuran agregat
kasar pada SCC lebih kecil daripada beton konvensional. Ukuran agregat kasar yang digunakan pada SCC sekitar
5 mm-20 mm. Komposisi agregat inilah yang dapat mengurangi tingkat permeabilitas dan porositas pada SCC
sehingga beton lebih kedap air dan cenderung lebih awet dari pada beton konvensional.

Gambar 1. Komposisi bahan dari self-compacting concrete (Okamura & Ouichi, 2003)
96

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian
Dalam pengembangannya, penulisan makalah ini menggunakan metode kajian literatur dan eksperimental. Sistem
eksperimental dilakukan dengan melakukan perubahan dalam mix design yang diterapkan dalam beton hingga
ditemukan komposisi yang memenuhi persyaratan self-compacting concrete, memiliki kekuatan awal tinggi, dan juga
sustainable.

3.2 Material

3.2.1 Semen
Semen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PPC Semen Gresik dengan berat jenis 3,15 g/cm3

3.2.2 Agregat halus (pasir)
Pasir yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pasir lokal dari Lumajang dengan berat jenis 2,71 g/cm3 . Tabel 1
menunjukkan hasil analisa ayakan pasir yang digunakan dalam penelitian ini.

3.2.3 Limbah bata ringan
Serbuk limbah bata ringan yang digunakan dalam penelitian ini mengandung ukuran yang lebih kecil dari 0.30µm.
Berat jenis dari serbuk limba bata ringan ini adalah 2,5 g/cm3. Huang et al. (2012) menyelidiki penggunaan kapur
dengan tailing tembaga dan terak tanur tinggi pada bata ringan, yang menunjukkan berat jenis kering 0.61 g/cm3 dan
kekuatan tekan 4,0 N/mm2

3.2.4 Serbuk batu kapur
Serbuk batu kapur ( 3) yang digunakan dalam penelitian ini dari PT. Omya Indonesia mesh 2000. Berat jenis
dari serbuk batu kapur ini adalah 2,7 g/cm3

3.2.5 Agregat kasar (kerikil)
Kerikil yang digunakan dalam penelitian ini maksimum berukuran 14mm dan memiliki berat jenis 2,7 g/cm3

3.2.6 Air
Air yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan air dari PDAM.

3.2.7 Superplasticizer
Superplasticizer digunakan untuk mengurangi rasio semen air dengan maksud untuk meningkatkan kelecakan tanpa
mengorbankan kekuatan tekan. Superplasticizer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu MasterGlenium Sky 8851
dengan asumsi kepadatan 1,05 kg/L

3.3 Perencanaan Mix Design
Komposisi material dalam mix design direncanakan sesuai dengan metode American Concrete Institute (ACI).

Tabel 5. Hasil analisa ayakan pasir

Nomor ayakan Berat agregat (g) Pasir tertahan (%) Pasir tertahan kumulatif (%) Passing (%)

1.18mm 245 14.87% 14.87% 85.13%
0.6mm 356 21.62% 36.49% 63.51%
0.3mm 538 32.66% 69.15% 30.85%
0.15mm 287 17.43% 86.58% 13.42%
0.075mm 178 10.81% 97.39% 2.61%
Pan 43 2.61% 100.00% 0.00%

97

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.4 Metode Pembuatan Beton

Siapkan agregat halus dan agregat kasar disiapkan pada kondisi Saturated Surface Dry. Semua material yang akan
digunakan diukur beratnya. Selanjutnya, agregat kasar dimasukkan ke dalam mixer, lalu diikuti dengan agregat halus
hingga kedua bahan ini tercampur dengan rata. Semen, limbah bata ringan, dan serbuk kapur dimasukkan ke dalam
mixer, kemudian dicampur dengan agregat sampai tercampur dengan rata. Selanjutnya, air dan superplasticizer yang
telah dicampur sebelumnya dituangkan ke dalam campuran beton. Campuran beton ini diuji dengan slump flow test
untuk melihat apakah kelecakannya sudah memenuhi persyaratan self-compacting concrete atau tidak. Kemudian,
campuran beton dituangkan ke bekisting yang telah disiapkan sebelumnya

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Beton

Dalam pengembangannya, penulisan makalah ini menggunakan metode kajian literatur dan eksperimental. Sistem
eksperimental dilakukan dengan melakukan perubahan - perubahan dalam mix design yang akan diterapkan dalam
beton hingga ditemukan komposisi yang memenuhi persyaratan self-compacting concrete, kekuatan awal tinggi, dan
sustainable.

4.1.1 Uji coba cetakan silinder 15x30 cm

Mix design yang digunakan pada percobaan ini dengan menggunakan cetakan beton berupa silinder 15x30 cm dimana
kandungan serbuk /semen yang digunakan adalah 39%. Hasil pengujian tekan campuran ini disajikan dalam Tabel
2. Meskipun campuran ini bisa mencapai 68 cm saat flow test, terjadi bleeding (perdarahan) yang sangat buruk
menyebabkan permukaan campuran tidak dapat mengeras sama sekali bahkan setelah beberapa jam. Kesalahan
jumlah air dan superplasticizer yang digunakan dalam percobaan ini ditemukan sebagai penyebab terjadinya
bleeding.

4.1.2 Final mix design dengan cetakan silinder 15x30 cm

Setelah mengetahui bahwa kesalahan jumlah air dan superplasticizer adalah penyebab bleeding, maka jumlah air dan
superplasticizer yang digunakan dalam final mix design dikurangi untuk menghindari terjadinya bleeding, seperti
ditunjukkan Tabel 3.

Hasil flow test yang didapatkan pada percobaan ini memiliki diameter 59 cm and 63 cm yang mana telah memenuhi
persyaratan self-compacting concrete. Kekuatan tekan yang diperoleh dari masing-masing sampel beton adalah 18,49
MPa, 18,49 MPa, and 18,11 MPa (Tabel 4, Tabel 5, dan Gambar 2). Pada Gambar 3 tidak ditemukan bleeding di
sekelilingnya, ini menunjukkan bahwa campuran tersebut memiliki viskositas yang bagus.

Tabel 2. Hasil uji coba kekuatan tekan

Serbuk/semen Air/semen Superplasticizer Kuat Tekan 1 Hari (kN) Kuat Tekan 1 Hari (MPa)
39% 35% 14,71
0,78% 260

Tabel 3. Final mix design

Material Rasio (%) kg/m3

Semen 14,28 449,82
128,41
Air 12,84 100,00
95,66
Serbuk limbah bata ringan 4,00 886,44
780,00
Serbuk batu kapur ( ) 3,54 6,61
Agregat halus 32,71
2446,94
Aggregat kasar 30,00

Superplasticizer 0,63

Total 100

Tabel 4. Hasil uji final kekuatan tekan

Nomor sampel Berat (kg) Berat jenis (kg/m3) Kuat tekan 1 hari (kN) Kuat tekan 1 hari (MPa)

Sampel 1 12,974 2447,261 330 18,49
Sampel 2 13,024 18,49
Sampel 3 12,992 2456,692 330 18,11

2450,656 320

98

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 5. Hasil rata-rata uji final kekuatan tekan

Serbuk/semen Air/semen Superplasticizer Rata-rata kuat tekan 1 hari (kN) Rata-rata kuat tekan 1 hari (MPa)
43% 18,36
28,5% 0.63% 326,67

Gambar 2. Hasil uji kuat tekan beton

Gambar 3. Hasil uji slump flow

4.2 Analisa Sustainability

4.2.1 Aspek lingkungan

Daur ulang bata ringan yang terbuang menjadi penting untuk mengurangi dampak lingkungan dari limbah dan
mengurangi biaya produksi akibat penggunaan semen. Dengan mengganti semen menggunakan serbuk limbah bata
ringan yang di daur ulang, akan meningkatkan kandungan kristal tobermorit yang akan meningkatkan kekuatan dari
bata ringan ini. Ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan untuk penimbunan limbah, tetapi juga mengurangi
konsumsi energi dan menyederhanakan proses produksi. Ini akan membuat siklus hidup produk lebih sehat secara
ekologis. Selain itu, pada beton SCC dapat mengurangi kebutuhan listrik / bensin, karena tidak perlu vibrator untuk
memastikan konsolidasi yang tepat dan otomatis mengurangi kebisingan di tempat kerja.

4.2.2 Aspek ekonomi

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sugiharto et al. (2006) dalam membuat mix design dari self-
compacting concrete yang memiliki kekuatan awal tinggi, dan dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya pembuatan beton
tiap m3 dari penelitian sebelumnya dan penelitian ini ditampilkan pada Tabel 6 dan 7.

Tabel 6. Mix design dan biaya HESSCC 24MPa dengan hasil slump test 50 cm dan kekuatan tekan 1 hari 24 MPa (Sugiharto et
al., 2006)

Material Rasio (%) kg/m3 Biaya/kg Biaya/m3

Semen 19,060 591,000 IDR 1.250,00 IDR 738.750,00
Air 37,710 142,500 IDR 0,00 IDR 0,00
Aggregat halus 25,140 678,800 IDR 200,00 IDR 135.760,00
Aggregat kasar 14,250 1018,200 IDR 100,00 IDR 101.820,00
Superplasticizer 2,500 14,775 IDR 80.000,00 IDR 1.182.000,00

Total IDR 2.158.330,00

99

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 7. Mix design dan biaya dengan menggunakan limbah bata ringan dan serbuk batu kapur

Material Rasio (%) kg/m3 Biaya/kg Biaya/m3

Semen 14,28 449,82 IDR 1.250,00 IDR 562.275,00
Air 12,84 128,41 IDR 0,00 IDR 0,00
Limbah bata ringan 4,00 100,00 IDR 30,00 IDR 3.000,00
Serbuk batu kapur ( ) 3,54 95,66 IDR 1.100,00 IDR 105.226,00
Aggregat halus 32,71 886,44 IDR 200,00 IDR 177.288,00
Agregat kasar 30,00 780 ,00 IDR 100,00 IDR 78.000,00
Superplasticizer 0,63 6,61 IDR 80.000,00 IDR 528.800,00

Total IDR 1.454.589,00

Mix design yang menggunakan limbah bata ringan dan serbuk batu kapur sebagai pengganti semen dapat menghemat
biaya hingga 32,6%. Selain itu, penggunaan self-compacting concrete yang memiliki kekuatan awal tinggi dapat
memberikan biaya penghematan tambahan ketika self-compacting concrete digunakan pada kesempatan yang tepat
dibandingkan beton konvensional.

5 KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penggunaan serbuk limbah bata ringan dan serbuk batu kapur dapat
digunakan sebagai bahan pengganti semen pada self-compacting concrete karena kekuatan tekan beton 1 hari dapat
dikategorikan sebagai beton mutu awal tinggi yang membutuhkan kekuatan tekan 300 kN. Sedangkan beton yang
menggunakan serbuk limbah bata ringan dan serbuk batu kapur bisa mencapai 326,67 kN dalam 1 hari. Selain itu,
penggunaan serbuk limbah bata ringan dan serbuk batu kapur dapat menghemat biaya yang dibutuhkan sebesar 32,6%
untuk membuat self-compacting concrete yang memiliki kuat tekan awal tinggi.

REFERENSI
Huang, X. Y., Wen, N., Cui, W., and Wang, Z.J. (2012). “Preparation of autoclaved aerated concrete using copper
tailings and blast furnace slag.” Construction and Building Materials 27(1), 1-5.

Okamura and Ouichi. (2003). “Self-compacting concrete.” Journal of Advanced Concrete Technology, 1(1), 5–15.

Shakhashiri. (2003). Lime : Calcium Oxide — CaO. Retrieved August 15, 2018, from http://scifun.org/GenChem/
CHEMWEEK/Lime_CalciumOxide.pdf

Stier, C. and Forberger, J. (2015). “Survey results about the handling of aerated concrete from the building
demolition.” Chemie Ingenieur Technik, 88(4), 506–513.

Sugiharto, H., Gunawan, T., and Muntu, Y. (2006). "Penelitian mengenai peningkatan kekuatan awal beton pada self
compacting concrete." Civil Engineering Dimension, Vol 8(2), 87-92.

100

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Review Analisis Ketahanan Lentur Pada Balok Baja Canai Dingin

S.Widayanti*, A. Saputra, A. Triwiyono

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Baja canai dingin dalam dunia konstruksi kini telah banyak digunakan karena merupakan material yang memiliki banyak
keunggulan, seperti rasio kekuatan terhadap berat yang lebih tinggi, stabilitas dimensi, dan kecepatan dalam pengerjaan
konstruksi. Baja canai dingin didesain untuk dapat memikul beban tekan yaitu tekuk. Dalam pengaplikasiannya sebagai balok,
baja canai dingin akan dominan memikul gaya dalam yang berupa momen lentur dan gaya geser. Namun akibat rasio
kelangsingan yang besar dan ketebalan penampang yang tipis, perubahan bentuk penampang pada saat memikul beban tekan
rentan terjadi. Perubahan bentuk ini merupakan kegagalan yang terjadi pada baja canai dingin saat atau sebelum mencapai
kapasitas lelehnya, sehingga hal ini harus dihindari. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah faktor geometri
atau penampang. Oleh karena itu dalam review ini akan dibahas beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terkait
berbagai jenis profil penampang balok baja canai dingin dalam kapasitasnya menahan lentur. Penelitian dilakukan secara
eksperimental dengan pengujian empat titik (four-point bending) dan atau dengan analisis numerik. Dari hasil review masing-
masing penelitian memberikan hasil berupa kapasitas beban ultimit yang dapat ditahan balok baja canai dingin. Dari kesimpulan
beberapa penelitian, penggunaan lebih dari satu profil baja canai dingin sebagai balok dapat meningkatkan kekuatan ultimit
balok bersebut.

Kata kunci: Lentur, Baja Canai Dingin, Kapasitas Beban Ultimit, Balok.

1 PENDAHULUAN

Baja canai dingin adalah salah satu bahan konstruksi yang populer digunakan karena memiliki kuat tarik yang tinggi
namun dengan bobot yang ringan. Dengan kelebihan tersebut, baja canai dingin dapat diaplikasikan sebagai
komponen struktural bangunan tahan gempa seperti balok dan kolom. Balok adalah elemen struktural yang berfungsi
menahan pelat lantai secara langsung dan digunakan sebagai pengikat antar kolom. Balok juga berfungsi untuk
menyalurkan beban yang bekerja menuju kolom. Balok dikenal sebagai elemen lentur, karena balok dominan
memikul gaya dalam berupa momen lentur dan gaya geser. Di Indonesia desain konstruksi baja canai dingin
menggunakan SNI 7971:2013, beberapa negara maju juga mengeluarkan design code sendiri, seperti AISI (American
Iron and Steel Institute), Australian Standard (AS/AZS), British Standard, dan Eurocode. Penelitian mengenai
perilaku struktur balok baja canai dingin semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai perilaku
ketidakstabilan seperti local buckling, distortional buckling , dan lateral buckling beserta interaksinya merupakan
subjek yang begitu menarik untuk di teliti guna memahami sehingga dapat menangani berbagai fenomena tersebut.
Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah faktor geometri atau penampang. Berdasarkan hal ini, maka
banyak penelitian yang melakukan pengujian secara eksperimental maupun analisis numerik untuk mengetahui
kapasitas lentur balok baja canai dingin dengan berbagai bentuk profil penampang. Beberapa modifikasi profil
penampang tak jarang dilakukan untuk meningkatkan kinerja kekuatan baja canai dingin sebagai balok untuk
memikul momen lentur, seperti dengan menggabungkan dua profil baja canai dingin untuk meningkatkan kekuatan
ultimit dari balok baja canai dingin tersebut. Namun masih perlu dikaji lebih lanjut mengenai penggunaan jenis
sambungan baja canai dingin yang digunakan untuk menggabungkan lebih dari satu profil agar dapat meningkatkan
kekuatan ultimit secara lebih baik.

2 RISET TENTANG KETAHANAN TEKUK KOLOM CFS

Laim et al. (2013) menganalisis perilaku lentur balok baja canai dingin dengan melakukan pengujian empat
titik (four-point bending test). Benda uji yang terdiri dari baja canai dingin profil C (lipped channel) dan profil U.

Benda uji terdiri dari berbagai bentuk, yaitu balok C, balok R, balok I, dan balok 2R yang dapat dilihat pada Gambar
1.(a). Balok I terdiri dari dua profil C yang saling dihubungkan, balok R terdiri dari profil U yang dihubungkan
dengan profil C, sedangkan balok 2R terdiri dari dua balok R yang dihubungkan melalui badan profil C. Sambungan
pada setiap balok menggunakan sekrup baja karbon Hilti SMD03Z. Panjang balok yang digunakan adalah 3000 mm
dan jarak antar sekrup sepanjang balok adalah 1000 mm. Untuk setting up pengujian dapat dilihat pada Gambar 1.(b).

101

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Balok 2R menunjukkan kapasitas beban ultimit rata-rata 132,32 KN yang jauh lebih tinggi dari pada balok lain.
Kapasitas beban ultimit rata-rata terendah ada pada balok C yang hanya 11,72 KN, sedangkan balok I dan balok R
menunjukkan kapasitas beban ultimit rata-rata masing-masing sebesar 41,68 KN dan 60,14 KN. Dari nilai beban
ultimit dapat disimpulkan bahwa penggunaan penampang berongga seperti balok R dapat meningkatkan kapasitas
angkut balok sebesar 1,45 kali lipat dibanding penampang terbuka (balok I). Pada balok C dan balok I mengalami
mode kegagalan lateral torsional buckling, sedangkan distortional buckling terjadi pada balok R dan balok 2R.
Penggunaan lebih dari satu baja canai dingin sebagai balok dapat meningkatkan kekuatan balok baja canai dingin
tersebut.

Raghul & Maheswari (2015) menganalisis mode tekuk dan kekuatan balok baja canai dingin dibawah pembebanan
lentur dengan melakukan simulasi nonlinier berdasarkan metode elemen hingga menggunakan Abaqus 6.10 untuk
mengetahui pengaruh lebar dan tinggi balok pada prilaku lentur balok baja canai dingin tersebut. Spesimen
permodelan terdiri dari balok baja canai dingin yang terbuat dari satu atau lebih profil baja canai dingin, yaitu
penampang balok C (lipped channel) dan penampang balok R (profil C digabungkan dengan profil U dengan
melakukan sambungan pada bagian sayap), bentuk penampang yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.(a).
Untuk semua spesimen digunakan panjang balok 1000 mm dan sambungan pada balok R menggunakan baut M10.
Jarak pada pitch (spasi pusat ke pusat) dan edge (tepi) masing-masing adalah 60 mm dan 50 mm. Skema pemodelan
analitis dilakukan dengan pembebanan dua titik yang ditunjukkan pada Gambar 2.(b) dan modeling pada Abaqus
6.10 dapat dilihat pada Gambar 2.(c). Pembebanan dilakukan pada jarak 333.33 mm (sepertiga dari bentang balok)
dan penyangga balok dibuat sedemikian rupa sehingga antara kedua titik pembebanan balok berada dalam keadaan
lentur murni.

Kegagalan balok yang terjadi pada penampang balok C (lipped channel) sesuai dengan mode kegagalan lateral-
torsional buckling, sedangkan pada balok R mengalami mode kegagalan distortional buckling. Penggunaan profil
sigma sebagai pengganti profil C dirasa dapat meningkatkan perilaku balok baja canai dingin terhadap lateral
torsional buckling. Untuk meningkatkan perilaku struktur dari profil R, dapat disarankan dengan menggati profil U
dengan profil C (lipped channel). Penggunaan lebih dari satu atau dua profil pada balok baja canai dingin dapat
meningkatkan rasio kekuatan terhadap beratnya.

Gambar 1. a). Skema penampang balok uji, b). Setting-up pengujian (Laim et al.,2013)

(a) (b) (c)

Gambar 2. a) Balok baja canai dingin, b). Skema permodelan spesimen, c). Pemodelan Abaqus 6.10 (Raghul & Maheswari,

2015)

102

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kang (2016) melakukan penelitian untuk mengetahui perilaku lentur balok back-to-back baja canai dingin profil C
dengan menggunakan sambungan baut pada pelat badan. Pada penelitian ini dilakukan dengan adanya variasi jarak
sambungan baut, ketebalan penampang dan akan dilihat mode kegagalan yang terjadi pada balok tersebut. Dilakukan
simulasi numerik dengan menggunakan program Abaqus yang nantinya akan dibandingkan dengan hasil
eksperimennya. Terdapat 12 benda uji pada penelitian ini dengan panjang balok baja canai dingin yang digunakan
adalah 4000 mm. Digunakan 2 variasi ketebalan profil C (1.2 mm dan 1.5 mm) dan 4 variasi jarak sambungan baut
( L/2 = 2000 mm, L/3 = 1.333 mm, L/4 = 1000 m, dan L/6 = 677 mm ). Contoh pengaplikasian sambungan baut dan
setting-up pengujian dapat dilihat pada Gambar 3. (a) dan (b).

Mode kegagalan yang terjadi pada simulasi numerik sesuai dengan mode kegagalan yang diamati pada saat pengujian
secara eksperimental, yaitu terjadi mode kegagalan lateral torsional buckling dan distortional buckling, diamati pula
tidak ada terjadinya kerusakan baut. Untuk pengaruh ketebalan, pada saat ketebalan profil bertambah dari 1.2 mm
menjadi 1.5 mm terjadi penambahan beban maksimum sebesar 3% untuk jarak sambungan baut L/2, 40% untuk jarak
L/3, 19% untuk jarak L/4 dan 98% untuk jarak L/6.

Haris et al. (2018) melakukan studi eksperimental mengenai baja ringan dengan menggunakan profil kanal ganda
dan profil hollow dalam memikul gaya lentur. Baja profil C (channel) dibentuk menjadi kanal ganda (double channel)
dengan menggunakan sambungan sekrup, penggabungan ini membentuk dua kombinasi model yaitu model bebentuk
kotak (DC-box) dan model back-to-back (DC-I). Sambungan sekrup pada model DC-box berada pada bagian sayap,
sedangkan pada model DC-I berada pada bagian badan seperti pada Gambar 4.(a). Terdapat 5 spesimen benda uji,
yaitu dua spesimen penampang hollow, dua spesimen penampang DC-box, dan satu spesimen penampang DC-I.
Pengujian benda uji dilakukan dengan memberi beban kepada dua titik secara meningkat dan monoton. Bentang
balok yang digunakan adalah 1200 mm, jarak dua titik pembebanan adalah 430 mm, sehingga panjang bentang geser
adalah 385 mm. Pada bagian terbuka, DC-I rentan terhadap elastic lateral torsional buckling, sedangkan untuk yang
kondisi tertutup yaitu DC-Box dan hollow mengalami local buckling permanen. DC-box dapat menahan beban dua
kali lipat lebih tinggi dari pada DC-I , sehingga kombinasi ini yang paling disarankan.

(a) (b)
Gambar 3. a). Balok C back-to-back , b). Setting-up pengujian (Kang, 2016)

(a) (b)
Gambar 4. (a) Detail properti penampang, dan (b) Skema pengujian eksperimental (Haris et al., 2018)

103

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Sureshbabu & Selvan (2019) melakukan penelitian secara eksperimental tentang perilaku lentur penampang
bergelombang saluran berbibir pada balok baja canai dingin. Spesimen terdiri dari tiga jenis benda uji yang berbeda
bentuk, yaitu balok 1 (Back to back horizontally corrugated beam without spacing), balok 2 (Back to back
horizontally corrugated with spacing), dan balok 3 (Beam with vertical corrugation). Balok 1 terdiri dari dua
penampang horizontal bergelombang yan6g tidak diberi spasi diantaranya. Balok 2 memiliki bentuk sama seperti
balok 1, hanya saja diantara penampang di berikan spasi sebesar 25 mm. Balok 3 terdiri dari penampang yang
memiliki gelombang vertikal. Panjang balok baja canai dingin yang digunakan adalah 1200 mm. Ketiga bentuk
penampang balok baja canai dingin yang bebeda dapat dilihat pada Gambar 5. Dilakukan pengujian empat titik (four
point banding test) dengan beban 100 Ton yang dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hasil pengujian diketahui balok
yang bergelombang vertikal memperoleh nilai ketahanan ultimit dua kali lipat lebih tinggi dari balok dengan
bergelombang horizontal.

Sai & Kishore (2019) melakukan penelitian secara eksperimental dan numerik terkait dengan kapasitas lentur yang
ada pada balok baja canai dingin profil C yang dibentuk menyerupai profil I dengan menggunakan sambungan sekrup
pada bagian badan profil. Dimensi dari benda uji adalah 200 x 120 x 14.7 x 1.8 mm dengan panjang 550 mm. Profil
penampang benda uji dan setting up pengujian dapat dilihat pada Gambar 7. (a) dan (b). Analisis numerik
menggunakan software ANSYS 18, permodelan dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8. Baja canai dingin dengan
penampang terbuka seperti ini mengalami kegagalan local buckling dan distortional buckling. Hasil kapasitas momen
antara pengujian secara eksperimental dan analisis numerik memiliki perbedaan sekitar 1,14%.

(a) (b) (c)
Gambar 5. a). Balok 1, b). Balok 2, dan c). Balok 3 (Sureshbabu & Selvan, 2019)

Gambar 6. Setting up pengujian (Sureshbabu & Selvan, 2019)

(a) (b)
Gambar 7. a). Bentuk balok profil I, b). Setting-up pengujian (Sai & Kishore, 2019)

104

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

(a) (b) (c)
Gambar 8. (a) Pemodelan balok baja canai dingin, (b) Mode kegagal yang terjadi pada bagian sayap, dan (c) Mode kegagalan

yang terjadi pada bagian badan.

Sureshbabu & Selvan (2020) melakukan penelitian dengan membandingkan berbagai variasi profil penampang balok
baja canai dingin dengan menggunakan IS 801–1975 untuk baja canai dingin. Pada penelitian ini dilakukan pengujian
secara eksperimental di laboratorium dan analisis numerik dengan menggunakan software Abaqus. Digunakan
kekuatan luluh sebesar 230 N/mm2, modulus elastisitas sebesar 2 x 105 N/mm2, dan nilai poisson rasio sebesar 0,3.
Penelitian secara eksperimental menggunakan kapasitas beban sebesar 400 kN. Pembebanan dilakukan pada jarak
sepertiga dari tumpuannya hingga kegagalan terjadi. Berbagai ukuran variasi profil benda uji disajikan pada Tabel 1.
Setting-up pengujian dapat dilihat pada Gambar 9, dan simulasi hasil analisis numerik dapat dilihat pada Gambar 10.

Didapatkan hasil bahwa kapasitas lentur balok meningkat dengan adanya pelat pada bagian atas dan bawah sayap
profil. Pelat penutup ini dapat menghilangkan kegagalan geser pada wilayah badan penampang. Ketika kedalaman
badan balok meningkat, kekuatan dan kekakuan balok juga ikut meningkat. Penerapan pengaku pada profil dapat
meningkatkan kapasitas beban, kekakuan, dan kekuatan balok. Pemberian spasi pada badan profil dapat
meningkatkan daya dukung beban hampir 22%. Penggunaan pengaku pada bagian tengah dan tepi penampang balok
dapat mengurangi defleksi. Dan penampang balok dengan profil yang memiliki bibir pada bagian sayap, memiliki
kapasitas beban yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki bibir pada bagian sayap, karena bibir
dapat mengontrol local buckling pada penampang.

Tabel 1. Benda uji yang digunakan

Nama benda uji Ukuran benda uji (mm)
Balok 1 (Back to back Sigma without spacing) 1200x140x190x2,5
Balok 2 (Back to back Sigma with spacing) 1200x165x190x2,5
Balok 3 (Back to back Supacee) 1200x150x195x2,5
Balok 4 (Back to back C) 1200x100x230x2
Balok 5 (Face to face C) 1250x185x200x 2,5
Balok 6 (Z Section with lip) 1200x75x190x2,5
Balok 7 (Z Section witout lip) 1200x75x190x2,5

Gambar 9. Setting-up pengujian

105

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

(a) (b) (c) (d)

Gambar 10. Hasil analisis numerik dengan Abaqus : a). Balok profil sigma, b). Balok profil Z, c). Balok profil C, d). Balok

profil Supacee

3 KESIMPULAN

Hasil tinjauan pustaka dalam makalah ini berupa rangkuman beberapa penelitian terkait pengujian lentur balok baja
canai dingin dengan berbagai variasi profil penampang yang dilakukan secara eksperimental di laboratorium maupun
dengan analisis numerik. Dalam beberapa penelitian dilakukan modifikasi dengan menggabungkan 2 profil baja canai
dingin sekaligus, dan modifikasi ini terbukti dapat meningkatkan kekuatan ultimit dari balok baja canai dingin. Pada
balok dengan penampang terbuka, terjadi lateral torsional buckling, sedangkan pada penampang yang tertutup
(menggabungkan lebih dari satu profil) mengalami distortional buckling. Pada penelitian selanjutnya diharapkan
dapat meneliti lebih lanjut mengenai jenis sambungan yang digunakan untuk menggabungkan lebih dari satu profil
baja canai dingin.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih banyak kepada dosen pembimbing Bapak Ashar Saputra, ST., MT., Ph.D dan Bapak Dr. Ing. Ir. Andreas
Triwiyono yang telah membantu dalam penulisan paper ini.

REFERENSI
Sureshbabu. S., and Selvan, S. S. (2019). "Experimental Investigation on the flexural behaviour of cold formed
corrugated steel channel section". International Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering , Vol
8 (6S3), 124-132.

Sureshbabu, S. S., and Selvan, S. S. (2020). "Study on the flexural and compressive behavior of cold-formed steel".
Materials.

Haris, S., Prasetio, A., Thamrin, R. and Herman, H. (2018). "Experimental study of bending behaviour of double
channel and hollow section of light gauge steel". International Journal on Advanced Science Engineering
Information Technology, Vol.8 (3), 882-888.

Kang, K. (2016). "Investigation on flexural behaviour of cold formed steel c back-to-back beam". Master Thesis,
Tammasat University, Bangkok, Thaiand.

Laim, L., Rodrigues, J. P. C. and Silva, L. (2013). "Flexural behaviour of cold-formed steel beams". International
Conference on Design, Fabrication and Economy of Metal Structures, Hungary.

Raghul, V. and Maheswari, N. U. (2015). "Analitycal investigation on cold-formed steel built-up section under
flexure". International Journal of Advanced Engineering Research and Technology (IJAERT), Vol. 3 (4)

Sai, K. M. and Kishore, I. S. (2019). "Flexural investigation on innovative cold formed steel built up using direct
strength method". International Journal of Recent Technology and Engineering, Vol. 7 (6C2).

106

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pengaruh Limbah Serbuk Kayu Terhadap Kuat Tekan Beton Sebagai Bahan
Tambah Pembuatan Beton Normal

A.D. Prasetyo1, H.A. Safarizki1*, Marwahyudi2

1Program Studi Teknik Sipil, Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo, INDONESIA
2GFY Reasearch Group, Universitas Sahid Surakarta, Surakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Dalam dunia konstruksi, bagian yang terpenting dari bangunan adalah beton. Beton adalah campuran dari semen portland, air,
agregat kasar, agregat halus, dan dengan atau tidak bahan tambah lain guna menambah daya dukung beton. Penelitian terhadap
limbah serbuk kayu dilakukan sebagai bahan tambah dengan persentase sebesar 0%, 1%, 2%, 5%, dan 10% terhadap berat pasir.
Serbuk kayu yang digunakan didapat dari industri pengolahan kayu didaerah Wonogiri. pada umumnya Penelitian ini biasa
dimanfaatkan guna menambah daya kuat tarik beton. Maka, pada penelitian yang dibuat ini bertujuan mengetahui pengaruh
limbah serbuk kayu pada kuat tekan beton. Beton dicetak menggunakan silinder berdiameter 15cm x 30cm. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan serbuk kayu di usia 28 hari dengan bahan tambah serbuk kayu 1% menghasilkan kuat tekan
terbesar yaitu 28,40 MPa dari pada beton Normal yang mencapai 26,15 MPa dan 2 % menghasikan kuat tekan sebesar 28,15
MPa dari 26,15 MPa Beton Normal. Dan pengaruh pada persentase 5% menghasil kuat tekan beton menurun dari beton normal,
penambahan serbuk Kayu 5% mendapatkan 17,85 MPa dari 26,15 MPa, dan untuk persentase serbuk Kayu 10% mendapatkan
5,45 MPa dari 26,15 MPa. Maka dapat disimpulkan beton bahan tambah serbuk kayu dapat meningkatkan kuat tekan beton.

Kata kunci: Serbuk Kayu, Kuat Tekan.

1 PENDAHULUAN

Beton adalah material yang paling sering digunakan dan umum dikalangan masyarakat. Beton banyak digunakan
dalam infrastruktur gedung, jalan, jembatan, dan sebagainya. Beton adalah material yang terdiri atas campuran
semen, agregat ( halus dan kasar ), air, dan bahan tambah bila diperlukan (Fransiska et al., 2016). Beton normal
adalah beton yang mengandung agregat kasar dan halus yang diperoleh dari alam yang dipecah sehingga didapat
berat jenis beton sebesar 2100 – 2550 kg/ 3 menurut ACI (SNI-03-2847-2002, 2002). Kuat tekan beton normal
mencapai 20 – 35 MPa pada umur 28 hari (SNI-03-2847-2002, 2002). Beton selain memiliki kelebihan dalam
penerima beban tekan yang baik beton juga memiliki kelemahan dalam menahan gaya tarik. Untuk mengatasi hal
tersebut, dibuatlah beton komposit. Beton normal harus memiliki sifat kemudahan dalam pelaksanaan (workability)
dan juga ketahanan selama masa layan (durability). Kekuatan beton normal ditentukan oleh beberapa faktor antara
lain faktor air semen (FAS), perbandingan bahan–bahannya, mutu bahan–bahannya, modulus kehalusan agregat
halus, ukuran agregat yang digunakan, bentuk butiran pada agregat (size agregate), kondisi pada saat mengerjakan,
dan kondisi pada saat pengerasan (Muhammad, 2018).

Serbuk gergaji adalah butiran kayu yang dihasilkan dari proses menggergaji. Limbah serbuk kayu yang sering kali
hanya dibakar dan dianggap sampah, kini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan beton. Serbuk kayu merupakan
limbah yang melimpah dan tidak terpakai. Limbah ini tidak berbahaya dan tidak mengandung bahan berbahaya bagi
kesehatan. Menurut Martawijaya et al. (2005) dalam Saifudin (2013), serbuk kayu mengandung selulosa tinggi,
dimana kandungan selulosa mencapai 49%. Selain itu, serbuk kayu juga mengandung lignin sebesar 26,8%, pentosa
sebesar 15,6%, abu sebesar 0,6% dan silika sebesar 0,2%. Penelitian yang dilakukan oleh Siswadi et al. (2007).
menunjukkan penambahan serbuk gergaji sebanyak 1 kg/m3 pada beton dapat meningkatkan kuat tekan sebesar 3,1%.
sedangkan penelitian Saifudin (2013). yang menambahkan serbuk gergaji sebanyak 5 gr pada benda uji kubus ukuran
sisi 15 cm menunjukkan peningkatan kuat tekan beton sebesar 8,7%. Menurut Gargulak et al. (2001), penambahan
serbuk kayu pada campuran adukan beton sebesar sebanyak 5 gr/kubus dapat meningkatkan kuat tekan sebesar 1,08%
dibandingkan dengan beton normal, dari kandungan serbuk kayu dan penelitian sebelumnya serbuk kayu yang dapat
menambah kuat tekan, maka penelitian ini sangat berpotensi meningkatan kuat tekan beton. Pada penelitian ini,
dilakukan pengujian untuk mengetahui hasil penambahan limbah serbuk kayu dalam penambahan dari berat pasir
pada beton. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini berupa penggunaan serbuk kayu sebagai bahan tambah
sebagian dari berat pasit yaitu dengan kadar 0%, 1%, 2%, 5% dan 10%.

107

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah :
a. Concrete compression machine yang berfungsi sebagai alat penguji beton (kuat tekan) pada waktu yang
ditentukan,
b. Satu set ayakan agregat halus dan agregat kasr untuk menyaring pasir dan krikil. Satu set ayakan memiliki
ukuran saringan yang berbeda sesuai kebutuhan,
c. Neraca yang berfungsi untuk menimbang sampel material,
d. Gelas ukur berfungsi sebagai takaran perbandingan volume dari bahan, dan
e. Cetakan silinder beton yang digunakan pada penelitian ini dengan diameter 15 cm dan tinggi 30 cm.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah :
a. Semen
Semen yang digunakan untuk penelitian ini adalah semen jenis tipe 1 karena tidak dibutukan persyaratan
semen khusus pada penelitian ini.
b. Agregat Kasar
Agregat kasar menggunakan kerikil yang berasal dari daerah Sukoharjo dari pabrik pemecah batu. Agregat
kasar yang digunakan berukuran maksimum 20 mm dan minimum 4,75 mm setelah diayak.
c. Agregat Halus (pasir)
Pasir menggunakan pasir yang diperoleh dari daerah Yogyakarta. Agregat halus yang digunakan berukuran
maksimum lebih kecil dari 4,75 mm
d. Serbuk Kayu
Serbuk Kayu yang digunakan adalah hasil pengayakan serta disesuaikan sesuai ukuran dengan butiran pasir
(agregat halus), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

2.2 Pemeriksaan Agregat Halus (Pasir)

Agregat halus yang diiginkan adalah agregat halus yang tidak menyerap air pada beton, sehingga tidak merubah dan
mempengaruhi faktor air semen pada campuran beton. Agregat halus yang baik digunakan untuk membuat campuran
beton memiliki standar penyerapan air kurang dari 3%, sedangkan pengujian pada aggregat halus yang digunakan
diperoleh nilai rata-rata sebesar 2,62, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Persyaratan berat jenis agregat normal yang
digunakan pada campuran beton berkisar pada 2,50 – 2,90, maka dapat disimpulkan bahwa agregat halus yang
diperiksa termasuk agregat normal.

Gambar 11 Serbuk Kayu

Tabel 6. Hasil perhitungan rata-rata dari 5 kali pemeriksaan penyerapan dan uji berat jenis agregat halus

Keterangan Notasi I II III IV V Rata-rata

Berat Jenis Curah Kering (SD) A/(B+S-C) 2,58 2,60 2,58 2,52 2,52 2,55
Berat Jenis Curah Jenuh (SSD) S/(B=S-C) 2,64
Berat Jenis Semu A/(B+A-C) 2,75 2,64 2,64 2,59 2,6 2,62
Penyerapan Air (S-A)/A)100% 2,46
2,73 2,75 2,78 2,74 2,74

1,83 2,35 4,38 3,41 2,88

108

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pengujian kadar lumpur juga dilakukan agar mengetahui kandungan lumpur dalam agregat halus agar tidak
mempengaruhi kuat tekan beton rencana. Pengujian kadar lumpur pada agregat halus dilakukan dengan melarutkan
pasir dalam gelas ukur 1000 ml dengan mencampurkan agregat halus dengan air lalu dikocok hingga 60 kocokan dan
didiamkan kurang lebih 24 jam, sehingga diketahui endapan lumpur pada agregat halus. Selanjutnya, dilakukan
pemeriksaan modulus halus butiran pasir yang dilakukan dalam 3 kali pemeriksaan. Modulus halus butiran (MHB)
pasir sebesar 2,58, 2,61, 2,65, sehingga agregat halus (pasir) tersebut memenuhi persyaratan yang berkisar 1,5 – 3,8
dan agregat halus dapat digunakan dalam campuran beton.

2.3 Pemeriksaan Agregat Kasar (Kerikil)

Berat jenis agregat kasar yang normal dan baik untuk digunakan dalam campuran beton berkisar 2,5 - 2,7. Sedangkan
penyerapan yang diakibatkan oleh agregat kasar tidak boleh lebih dari 3%. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan material yang dilalukan sebanyak 5 kali uji pemeriksaan berat jenis dan penyerapan. Dari serangkaian
uji yang dilakukan, didapatkan nilai rata-rata berat jenis yang sebesar 2,7 serta penyerapan 0,75%. Secara lebih detail,
hasil pengujian agregat kasar dapat dilihat pada Tabel 2. Pemeriksaan gradasi agregat kasar butiran maksimal agregat
kasar 20 mm, jadi yang digunakan adalah grafik batas butir agregat kasar maksimal 20 mm. Karena sudah memenuhi
persyaratan diatas, maka agregat kasar dapat digunakan sebagai campuran beton.

2.4 Pengujian Kuat Tekan Sampel Beton

Pengujian kuat tekan pada beton dilakukan untuk mengetahui kuat tekan hancur dari benda uji. Pengujian kuat tekan
dilakukan saat sampel berumur 28 hari. Jumlah beton yang di uji adalah 15 beton dengan bentuk silinder, yang terdiri
dari 3 buah beton normal, 3 buah beton dengan campuran 1% serbuk kayu, 3 buah beton dengan campuran 2% serbuk
kayu, 3 buah beton dengan campuran 5% serbuk kayu, dan 3 buah beton dengan campuran 10% serbuk kayu.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari Tabel 3, didapatkan kuat tekan beton normal sebesar 25,02 MPa, 26,89 MPa, dan 26,55 MPa, dengan rata-rata
sebesar 26,15 MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kayu 1% sebesar 23,15 MPa, 32,10 MPa, dan
29,95 MPa dengan rata-rata sebesar 28,40 MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kayu 2% sebesar
30,00 MPa, 22,47 MPa, dan 31.98 MPa dengan rata rata sebesar 28,15 MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah
serbuk kayu 5% sebesar 17,60 MPa, 14,72 MPa, dan 21,23 MPa dengan rata-rata sebesar 17,85 MPa. Kuat tekan
beton dengan bahan tambah serbuk kayu 10% sebesar 14,49 MPa, 16,47 MPa, dan 15,39 MPa dengan rata-rata
sebesar 15,45 MPa.

Tabel 7. Hasil perhitungan rata-rata dari 5 kali uji berat jenis kerikil dan penyerapan.

Keterangan Notasi I II III IV V Rata-rata

Berat jenis curah kering (SD) (A/(B-C)) 2,67 2,74 2,65 2,64 2,71 2,68
Berat jenis curah jenuh (SSD) ((B/(B-C)) 2,68 2,76 2,67 2,66 2,74 2,70
Berat jenis semu (A/(A-C)) 2,71 2,79 2,70 2,69 2,80 2,78
Penyerapan air (B-A)/A)100% 0,53 0,70 0,60 0,75 1,16 0,75

Tabel 3. Hasil uji kuat tekan beton umur 28 hari.

No Bahan tambah serbuk kayu Umur beton Berat (kg) Beban (kN) Kuat tekan Kuat tekan rata - rata
26,15 MPa
1 0% SK 28 hari 12,4 442 25,02 MPa
28,40 MPa
28 hari 12,4 475 26,89 MPa
28,15 MPa
28 hari 12,5 469 26,55 MPa
17,85 MPa
2 1% SK 28 hari 12,3 409 23,15 MPa
15,45 MPa
28 hari 12,4 567 32,10 MPa

28 hari 12,5 529 29,95 MPa

3 2% SK 28 hari 12,7 530 30,00 MPa

28 hari 12,4 397 22,47 MPa

28 hari 12,4 565 31,98 MPa

4 5% SK 28 hari 11,8 311 17,60 MPa

28 hari 11,8 260 14,72 MPa

28 hari 11,9 375 21,23 MPa

5 10% SK 28 hari 11,2 256 14,49 MPa

28 hari 11 291 16,47 MPa

28 hari 10,8 272 15,39 MPa

109

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Hasil pengujian kuat tekan beton dapat dilihat pada Gambar 2. Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kayu
1% dan 2% mengalami peningkatan menjadi 28,4 MPa dan 28,15 MPa dari kuat tekan beton normal sebesar 26,15
MPa. Kuat tekan beton dengan bahan tambah serbuk kayu sebanyak 5% dan 10% mengalami penurunan kuat tekan
menjadi 17,85 MPa dan 15,45 MPa dari kuat tekan beton normal sebesar 26,15 MPa.

Keruntuhan yang terjadi pada benda uji tekan silinder beton setelah pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.(a) sampai
3.(d). Dapat diamati pada Gambar 3.(a), benda uji beton mengalami kerusakan yang tidak merata dan hanya rusak
atau pecah disalah satu bagian atas saja dan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 3.(b), beton bahan tambah serbuk
kayu 1% pada mengalami kerusakan yang merata sehingga mengalami keruntuhan. Benda uji beton dengan bahan
tambah serbuk kayu 2% pada Gambar 3.(c) mengalami kerusakan yang merata dan tidak sampai runtuh/pecah pada
saat pengujian. Sementara itu, pada Gambar 3.(d), beton bahan tambah serbuk kayu 5% mengalami kerusakan yang
merata dan benda uji retak lurus di tengah sehingga benda uji pecah yang merata arah vertikal.

30 26.15 28.4 28.15

Kuat tekan beton 28 hari

Kuat tekan (MPa) 25

20 17.85
15.45

15

10

5

0 1% SK 2% SK 5% SK 10% SK
0% SK

Persentase serbuk kayu

Gambar 12 Grafik hasil pengujian kuat tekan beton

(a) (b) (c) (d)
Gambar 13. Kerusakan yang terjadi setelah uji kuat tekan beton pada: a).benda uji beton normal, b). benda uji beton dengan

serbuk kayu 1%, c). benda uji beton dengan serbuk kayu 2%, d). benda uji beton dengan serbuk kayu 5%

110

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 KESIMPULAN
Penambahan serbuk kayu dapat meningkatkan kuat tekan beton pada kadar serbuk kayu sebesar 1% dan 2% menjadi
28,4 MPa dan 28,15 MPa, dari kuat tekan beton normal sebesar 26,15 MPa. Beton serbuk kayu dengan bahan tambah
5% dan 10% mengalami penurunan kuat tekan menjadi 17,85 MPa dan 15,45 MPa karena sifat serbuk yang menyerap
air dan ada penambahan air pada mix desain maka hasil beton menurun dari yang ditergetkan dari kuat tekan beton
normal sebesar 26,15 MPa. Dari faktor deviasi yang dihasilkan tinggi dikarenakan persentase yang dibuat selisihnya
terlalu banyak di angka 5% dan 10%.

Dilihat dari wujud visual pecahnya beton yang sesudah diuji dapat disimpulkan beton normal hanya mengalami
kerusakan yang tidak merata dan hanya rusak atau pecah saja lalu beton normal ini tidak sampai runtuh keras, dan
beton bahan tambah serbuk kayu 5% hanya mengalami kerusakan yang merata dan tidak terjadi runtuh/pecah,
sedangkan beton dengan bahan tambah serbuk kayu 1% dan 2% mengalami kerusakan yang hampir sama merata dan
ke arah vertical sehingga beton tidak mencapai runtuh dan pecah. Dikarenakan bahan campuran serbuk kayu dapat
menyatu dengan bahan-bahan penyusun pembuatan beton.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Laboratorium Struktur dan Bahan Prodi Teknik Sipil Universitas Veteran Bangun
Nusantara Sukoharjo atas kesempatan bagi penulis untuk melakukan uji dalam penelitian ini.

REFERENSI
BSN. (2002). SNI-03-2847-2002 tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

Fransiska V.S., Ronny, P., and Servie, O. D. (2016). “Pemeriksaan kuat tarik belah beton dengan variasi agregat yang
berasal dari beberapa tempat di Sulawesi Utara”, Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol.6 (2), 476-484.

Gargulak, J. D., Bushar, L. L., and Sengupta, A. K. (2001). Ammoxidized Iignosulfanote Cement Dispersant. (Patent
No. US6238475B1), United States.

Muhammad, W. (2018), “Kontribusi mikrosilika dari pasir silika pada kekuatan beton mutu tinggi terhadap variasi
umur.” Undegraduate Thesis, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Saifudin, M. I. (2013). “Pengaruh penambahan campuran serbuk kayu terhadap kuat tekan beton.” Undergraduate
Thesis, Universitas Pasir Pengairan, Riau, Indonesia.

Siswadi, Rapa, A., and Dhian, P. (2007). “Pengaruh penambahan serbuk kayu sisa penggergajian terhadap kuat desak
beton.” Jurnal Teknik Sipil, Vol. 7 (2), 144-151.

111

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Pengaruh Konsentrasi Deltamethrin terhadap Ketahanan Bambu Petung dan
Peluang Aplikasinya pada Bambu Laminasi Perekat Urea Formaldehyde

T. Novitri, .S. Irawati*, A. Awaludin

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Bambu merupakan bahan yang potensial digunakan sebagai bahan alternatif pengganti kayu. Namun, bambu memiliki
kelemahan yaitu sifatnya yang rentan terhadap serangan serangga. Boraks banyak digunakan oleh sebagian besar industri bambu
di Indonesia sebagai pengawet bambu, akan tetapi ketersediaan boraks semakin terbatas. Oleh karena itu, pada penelitian ini
deltamethrin diteliti untuk digunakan sebagai pengawet bambu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi
deltamethrin 0%, 0,01%; 0,1%; dan 0,4% pada Bambu Petung terhadap ketahanan serangan rayap kayu kering melalui uji retensi,
uji mortalitas, dan pengukuran penurunan berat setelah uji mortalitas. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peluang
aplikasi deltamethrin pada industri bambu laminasi dengan menggunakan perekat urea formaldehyde. Peluang aplikasi
deltamethrin diketahui melalui pengujian kuat geser perekat. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi
deltamethrin berpengaruh signifikan terhadap retensi pengawet. Namun, konsentrasi deltamethrin 0,01%, 0,1%, dan 0,4% tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas rayap dan penurunan berat. Oleh karena itu, konsentrasi deltamethrin
0,01% diusulkan untuk digunakan pada pengawetan bambu. Berdasarkan hasil pengujian kekuatan geser perekat, deltamethrin
berpeluang untuk digunakan pada industri bambu laminasi. Hal ini disebabkan karena rata-rata kuat geser perekat urea
formaldehyde pada penelitian ini 7,61 MPa, lebih tinggi dibandingkan kuat geser pada penelitan terdahulu.

Kata kunci: Bambu Laminasi, Deltamethrin, Urea Formaldehyde, Retensi, Mortalitas.

1 PENDAHULUAN

Bambu merupakan sumber daya alam terbarukan yang memiliki potensi besar sebagai material alternatif kayu.
Bambu memiliki banyak keunggulan. Dibandingkan dengan kayu keras, masa panen bambu lebih cepat yaitu 3 – 5
tahun. Bambu tergolong cukup mudah tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Oleh karena itu, bambu banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan kerajinan, bahan furniture, maupun bahan bangunan. Meski merupakan
bahan yang multifungsi, bambu memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah ketidakseragaman dimensi pada
ruasnya dan sifatnya yang cukup rentan terhadap serangan serangga perusak seperti rayap dan kumbang bubuk. Hal
ini menjadi kendala pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan, khususnya bahan bangunan struktural. Teknologi
bambu laminasi dan teknologi pengawetan merupakan solusi untuk mengatasi kelemahan bambu terhadap
ketidakseragaman dimensi dan kerentanan bambu dari serangan serangga perusak. Dengan teknologi laminasi, bilah-
bilah bambu dapat direkatkan menjadi satu kesatuan yang relatif homogen dan dimensi batangnya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan. Sementara melalui teknologi pengawetan, bambu awet yang tahan terhadap serangan serangga
dapat diperoleh.

Boraks merupakan bahan pengawet yang paling banyak digunakan oleh sebagian besar Industri bambu di Indonesia.
Beberapa penelitian terkait efektifitas boraks pada pengawetan bambu juga sudah pernah dilakukan (Handayani,
2007; Susilaning & Suheryanto, 2012; Hamzah et al., 2016). Sayangnya, maraknya penyalahgunaan boraks dalam
industri pangan berdampak pada pembatasan pengadaan dan distribusi boraks di pasaran oleh pemerintah. Akibatnya,
pelaku industri bambu khususnya bambu laminasi sulit memperoleh boraks sebagai bahan pengawet bambu. Oleh
karena itu, pencarian bahan pengawet al.ternatif boraks yang mudah ditemui di pasaran menjadi hal yang tidak bisa
dihindari. Deltamethrin merupakan salah satu jenis insektisida yang cukup mudah ditemui di Indonesia saat ini dan
cukup efektif digunakan baik untuk pertanian maupun pengendalian hama rumah tangga (Persada et al., 2009).
Penelitian deltamethrin sebagai pengawet kayu telah dilakukan oleh beberapa peneliti namun informasi ilmiah
tentang keberhasilan deltamethrin sebagai bahan pengawet bambu masih jarang dijumpai.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat industri
bambu tentang pengaruh konsentrasi deltamethrin terhadap ketahanan Bambu Petung dari serangan serangga perusak
bambu melalui pengujian retensi pengawet dan pengujian mortalitas rayap kayu kering. Bambu Petung dipilih dalam
penelitian ini karena jenis bambu tersebut sering digunakan sebagai bahan bangunan struktural. Pada penelitian ini,
aplikasi deltamethrin sebagai bahan pengawet bilah bambu laminasi dengan perekat urea formaldehyd juga diteliti.

112

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pengujian kuat geser perekat pada bilah-bilah bambu yang diawetkan dengan deltamethrin dilakukan. Konsentrasi
deltamethrin dengan mortalitas rayap kayu kering tertinggi yang diperoleh dari penelitian ini digunakan untuk
pembuatan benda uji blok geser perekat. Dengan mengetahui kekuatan geser perekat, tipe kegagalan bambu laminasi
dapat diketahui dan kemudian dapat digunakan untuk pertimbangan apakah bambu laminasi yang diawetkan dengan
deltamethrin dapat digunakan sebagai bahan bangunan struktural.

2 METODE

Secara garis besar, penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yaitu penelitian untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi deltamethrin sehingga dapat diperoleh konsentrasi efektif deltamethrin pada proses
pengawetan Bambu Petung. Pengujian yang dilakukan pada tahap pertama adalah pengujian retensi bahan pengawet,
mortalitas rayap dan penurunan berat. Pada pengujian tahap pertama, variasi konsentrasi pengawet yang digunakan
yaitu 0%, 0,01%, 0,1%, dan 0,4%. Jumlah benda uji pada tahap pertama yaitu sebanyak 3 kali ulangan untuk masing-
masing konsentrasi pengawet. Benda uji konsentrasi 0% (tanpa bahan pengawet) digunakan sebagai kontrol.
Penelitian tahap kedua yaitu penelitian untuk mengetahui peluang aplikasi deltamethrin melalui pengujian kuat geser
bidang rekat pada bilah bambu yang diawetkan dengan deltamethrin dan direkatkan dengan perekat urea
formaldehyde. Konsentrasi bahan pengawet yang digunakan pada tahap kedua diambil berdasarkan hasil penelitian
tahap pertama. Jumlah benda uji tahap kedua yaitu sebanyak 15 benda uji. Bambu Petung yang digunakan berusia 3
– 5 tahun berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Bahan pengawet deltamethrin yang digunakan yaitu DTM 25 EC.
Perekat urea formaldehyde yang digunakan yaitu tipe UA-125.

2.1 Pengujian Retensi Bahan Pengawet

Pengujian retensi bahan pengawet dilakukan dengan mengacu pada standar SNI 03-3233-1992. Dimensi benda uji
yang dibuat yaitu 5 cm x 2.5 cm dengan ketebalan benda uji sesuai ketebalan bambu yang digunakan. Masing-masing
benda uji direndam ke dalam larutan pengawet selama 30 menit. Setelah itu, benda uji dikeringkan udara. Berat benda
uji sebelum dan setelah diawetkan ditimbang pada kondisi kadar air 12 ± 2 %. Nilai retensi diperoleh dengan
menggunakan Persamaan (1).

R = B1-B0 K (1)
V

dengan adalah retensi bahan pengawet (g/cm3), 1 adalah berat setelah pengawetan (g), 0 adalah berat sebelum
pengawetan (g), adalah volume benda uji (cm3), dan adalah konsentrasi larutan pengawet (%).

2.2 Pengujian Mortalitas dan Penurunan Berat

Metode pengujian mortalitas rayap dan penurunan berat dilakukan sesuai standar SNI 7207:2014. Benda uji yang
digunakan sama dengan benda uji yang digunakan untuk pengujian retensi. Pengujian mortalitas dilakukan setelah
pengujian retensi selesai dilakukan. Setelah benda uji yang telah diawetkan ditimbang untuk pengujian retensi, benda
uji dikondisikan kering tanur dengan cara dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 oC. Setelah
itu, benda uji diumpankan ke rayap kayu kering. Pengumpanan benda uji dilakukan dengan cara memasukkan benda
uji dan 50 ekor rayap pekerja yang sehat dan aktif ke dalam wadah seperti yang terlihat pada Gambar 1. Wadah
pengumpanan rayap kemudian ditutup dengan kain kasa dan diletakkan di tempat yang gelap selama 4 minggu.
Setelah benda uji diumpankan ke rayap, jumlah rayap yang mati kemudian dihitung setiap hari. Nilai mortalitas rayap
diperoleh dengan menggunakan Persamaan (2). Setelah pengumpanan selesai dilakukan, yaitu pada hari ke-28, benda
uji dimasukkan ke oven kembali hingga beratnya konstan. Setelah itu, penurunan berat benda uji dihitung dengan
menggunakan Persamaan (3).

Gambar 1. Pengujian mortalitas rayap dan penurunan berat

113

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

MR = D x 100% (2)
50

WL = W1-W2 x 100% (3)
W1

dengan adalah mortalitas rayap (%), adalah jumlah rayap mati, adalah penurunan berat (%), 1adalah
berat benda uji kering tanur sebelum pengumpanan (gr), dan 2 adalah berat benda uji kering tanur setelah
pengumpanan (gr).

2.3 Pengujian Kekuatan Geser Perekat

Benda uji kekuatan geser perekat urea formaldehyde dibuat dengan menggunakan bilah-bilah bambu laminasi yang
telah diawetkan dengan pengawet deltamethrin. Konsentrasi pengawet yang digunakan dalam pengujian kekuatan
geser diambil berdasarkan hasil pengujian ketahanan bambu terhadap rayap (retensi, mortalitas dan penurunan berat).
Urea formaldehyde yang digunakan yaitu tipe UA-125 berbentuk cairan yang dicampur dengan tepung terigu dan
katalis (hardener) dengan kode katalis HU-12. Rasio berat UA-125 : tepung terigu : katalis yang digunakan pada
penelitian ini adalah 100 : 20 : 0,3. Sebelum bilah-bilah bambu direkatkan, kadar air pada bilah-bilah bambu diukur
menggunakan moisture meter hingga mencapai kondisi kadar air 10-15%. Pengempaan bilah-bilah bambu untuk
menjadi bambu laminasi dilakukan dengan metode kempa dingin dan kempa panas. Pada metode kempa dingin,
bilah-bilah bambu yang telah dilaburi perekat urea formaldehyde dikempa menggunakan mesin hydraulic press.
Jumlah perekat terlabur yang digunakan adalah 300 g/m2 dengan pelaburan satu sisi dan tekanan kempa sebesar
2 MPa. Jumlah perekat terlabur dan tekanan kempa yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan
mempertimbangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Correal & Ramirez (2010). Metode kempa panas dilakukan
setelah kempa dingin selesai dilakukan. Pada metode kempa panas, bambu laminasi dimasukkan ke dalam oven pada
suhu 95 – 105 oC. Lama pengempaan panas yang dilakukan adalah 30 detik per mm tebal bambu laminasi yang
dibuat. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk proses pengempaan panas di dalam oven sekitar 30 menit. Setelah
itu, bambu laminasi dipotong sesuai dimensi benda uji geser.

Pengujian geser yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Derikvand & Pangh (2016).
Dimensi benda uji geser yang diusulkan oleh Derikvand & Pangh dapat dilihat pada Gambar 2. Kelebihan dari benda
uji tersebut dibandingkan dengan pengujian ASTM D905 dan EN 205 adalah dapat mengurangi kesalahan
pemotongan yang tidak disengaja pada proses pembuatan benda uji geser ASTM D905 dan EN 205. Setelah benda
uji selesai dibuat dan diposisikan dalam alat uji, benda uji dibebani dengan menggunakan mesin hydraulic jack.
Pembebanan dilakukan dengan kecepatan konstan 1 mm/menit hingga beban ultimit tercapai.

Beban ultimit masing-masing benda uji pada saat terjadi kegagalan dicatat dan kemudian dihitung kekuatan gesernya
dengan menggunakan Persamaan (4), dengan  adalah kekuatan geser perekat (MPa), adalah beban ultimit (N) dan
adalah luas area rekatan (mm2).

P (4)
=A

Gambar 2. Dimensi dan set up pengujian kekuatan geser perekat.
114

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Retensi Bahan Pengawet

Nilai retensi bahan pengawet merupakan banyaknya bahan pengawet yang meresap dan tertinggal di dalam bambu
yang telah diawetkan. Gambar 3 menunjukkan bahwa bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi pengawet maka
semakin tinggi nilai retensinya. Nilai rata-rata retensi masing-masing konsentrasi 0,01%, 0,1%, dan 0,4% secara
berturut-turut yaitu 0,313 kg/m3, 3,691 kg/m3 dan 13,660 kg/m3.

Berdasarkan hasil analisis varian pada tingkat kepercayaan 95%, konsentrasi deltamethrin sangat berpengaruh
terhadap nilai retensi pengawet. Hasil uji Post Hoc menunjukkan nilai signifikansi antar masing-masing perlakuan
konsentrasi yaitu kurang dari 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai konsentrasi deltamethrin 0,01%, 0,1%,
dan 0,4% sangat mempengaruhi nilai retensi. Semakin tinggi konsentrasi deltamethrin, maka nilai retensi juga
semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdurrohim & Martawijaya (1983) dalam Afif et al. (2013) bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi keawetan kayu yaitu konsentrasi larutan bahan pengawet. Jika semakin tinggi
konsentrasinya maka pada umumnya semakin besar pula bahan pengawet yang mampu diserap oleh kayu.

3.2 Mortalitas Rayap dan Penurunan Berat

Pengujian mortalitas rayap dan penurunan berat dilakukan untuk mengukur efektifitas dari bahan pengawet yang
digunakan pada benda uji. Mortalitas rayap merupakan persentase dari jumlah rayap yang mati setelah diumpankan.
Semakin banyak jumlah rayap yang mati menunjukkan semakin efektif bahan pengawet yang digunakan. Penurunan
berat merupakan selisih berat benda uji sebelum dan setelah diumpankan kepada rayap yang dinyatakan dalam satuan
gram. Hasil pengujian mortalitas rayap dan penurunan berat disajikan pada Gambar 4.

Nilai mortalitas rayap terlihat tidak berbeda pada benda uji yang diawetkan baik pada konsentrasi 0,01%, 0,1%, dan
0,4%. Rata-rata nilai mortalitas rayap yang diawetkan masing-masing tiap konsentrasi adalah 100% sedangkan pada
benda uji kontrol rata-rata nilai mortalitas rayap adalah 23,33%. Pengaruh konsentrasi deltamethrin terhadap nilai
mortalitas rayap kemudian dianalisa dengan analisis varian satu arah dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis
varian menunjukkan bahwa konsentrasi deltamethrin sangat berpengaruh terhadap nilai mortalitas rayap. Dari hasil
analisis Tukey HSD diketahui bahwa ketahanan terhadap serangan rayap benda uji yang tidak diawetkan (kontrol)
sangat berbeda dengan benda uji yang sudah diawetkan baik dengan konsentrasi pengawet 0,01%, 0,1%, dan 0,4%.
Dengan kata lain, benda uji yang tidak diawetkan sangat rentan terhadap serangan rayap. Namun, benda uji yang
diawetkan dengan konsentrasi 0,01%; 0,1% dan 0,4% tidak menunjukkan perbedaan tingkat mortalitas yang
signifikan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsentrasi pengawet 0,01%, 0,1%, dan 0,4% tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap ketahanan bambu terhadap rayap.

15

12
Mortalitas Rayap (%)
Retensi (kg/m3)9

Penurunan Berat (gr)6

3

0 0.1 0.4
0.01

Konsentrasi Pengawet (%)

Gambar 3. Grafik hasil pengujian retensi bahan pengawet

120 14

100 12
10
80 8
60 6

40 4

20 2

00

Kontrol 0.01 0.1 0.4 Kontrol 0.01 0.1 0.4

Konsentrasi Pengawet (%) Konsentrasi Pengawet (%)

Gambar 4. Grafik hasil pengujian mortalitas rayap dan penurunan berat.

115

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Nilai penurunan berat semakin tinggi seiring bertambahnya nilai konsentrasi bahan pengawet. Rata-rata nilai
penurunan berat untuk masing-masing konsentrasi 0% (kontrol), 0,01%, 0,1%, dan 0,4% secara berturut-turut adalah
12,14%, 4,87%, 4,76%, dan 3,68%. Berdasarkan hasil analisis varian pada tingkat kepercayaan 95%, diketahui bahwa
konsentrasi deltamethrin sangat berpengaruh terhadap nilai penurunan berat. Hasil uji Tukey HSD menunjukkan
bahwa penurunan berat benda uji kontrol sangat berbeda dengan benda uji yang sudah diawetkan. Namun, benda uji
yang diawetkan dengan konsentrasi 0,01%, 0,1%, dan 0,4% tidak menunjukkan perbedaan penurunan berat yang
signifikan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsentrasi pengawet 0,01%, 0,1%, dan 0,4% tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap penurunan berat pada bambu sehingga konsentrasi deltamethrin yang diusulkan untuk
pengawetan bambu adalah 0,01%. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Sumarni et al. (2003), klasifikasi atau
kelas ketahanan 99 jenis kayu yang berasal dari beberapa lokasi di Indonesia terhadap rayap kayu kering, bambu
Petung yang diawetkan dengan deltamethrin termasuk klasifikasi kelas ketahanan I atau memiliki ketahanan terhadap
rayap kayu kering cukup tinggi dengan nilai penurunan berat yang kurang dari 6,096%.

3.3 Kekuatan Geser Perekat

Pengujian kekuatan geser perekat dilakukan untuk mengetahui peluang aplikasi bambu laminasi yang telah diawetkan
dan direkatkan dengan perekat urea formaldehyde. Kekuatan geser perekat merupakan kekuatan ikatan garis perekat
pada bambu laminasi yang dinilai dari pengujian geser. Kekuatan geser perekat urea formaldehyde pada bambu
laminasi yang telah diawetkan dengan deltamethrin memiliki rata-rata 7,61 MPa dengan koefisien varian sebesar
23,06%. Hasil pengujian tersebut kemudian dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang
menggunakan bahan pengawet boraks dengan berbagai jenis bahan perekat. Menurut hasil penelitian Sumawa (2018),
rata-rata nilai kekuatan geser perekat polymer isocyanate pada bambu yang diawetkan dengan metode Boucherie-
Morisco dan rendaman panas yaitu 4,79 MPa dan 6,57 MPa. Menurut hasil penelitian Nugroho (2019), rata-rata nilai
kekuatan geser perekat PVAc pada bambu yang diawetkan dengan metode Boucherie-Morisco dan rendaman panas
yaitu 3,53 MPa dan 2,79 MPa. Menurut hasil penelitian Setyawati et al. (2009), rata-rata nilai kekuatan geser perekat
urea formaldehyd (UA-104) pada bambu yaitu 8,53 MPa.

Dari pengamatan visual yg dilakukan terhadap benda uji seperti pada Gambar 5, nilai kekuatan geser terendah rata-
rata terjadi pada benda uji yang mengalami kegagalan geser pada bambu. Sedangkan pada benda uji yang mengalam
kegagalan geser pada garis perekatnya rata-rata menunjukkan kekuatan geser yang cukup tinggi yang
mengindikasikan bahwa rekatan yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan substrat yang direkatkan. Kekuatan geser
perekat urea formaldehyde pada Bambu Petung yang diawetkan dengan deltamethrin yaitu 7,61 MPa mampu
mendekati nilai kekuatan geser Bambu Petung, yaitu 7,62 MPa (Irawati, 2004). Oleh karena itu, deltamethrin dapat
digunakan sebagai bahan pengawet pada bambu Petung bahan baku bambu laminasi yang direkatkan dengan urea
formaldehyd.

Gambar 5. Model Kegagalan Geser Perekat.

4 KESIMPULAN
Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa konsentrasi deltamethrin 0,01%, 0,1%, dan 0,4%
berpengaruh signifikan terhadap retensi pengawet. Namun, pengaruh konsentrasi deltamethrin 0,01%, 0,1%, dan
0,4% tidak berpengaruh signifikan terhadap mortalitas rayap dan penurunan berat. Oleh karena itu, konsentrasi

116

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

deltamethrin yang diusulkan untuk pengawetan Bambu Petung adalah 0,01%. Hasil pengujian kekuatan geser perekat
urea formaldehyde menunjukkan nilai rata-rata kekuatan geser 7,61 MPa. Nilai tersebut telah mendekati nilai
kekuatan geser Bambu Petung sebesar 7,62 MPa. Dari pola kerusakan geser yang diamati, benda uji yang mengalami
kegagalan pada perekat cenderung memiliki kekuatan geser yang lebih tinggi dibandingkan pada benda uji yang
mengalami kegagalan pada bambu. Berdasarkan kekuatan geser dan pola kerusakan geser, maka dapat disimpulkan
bahwa deltamethrin memiliki peluang yang besar untuk diaplikasikan sebagai pengawet bambu untuk bahan baku
bambu laminasi struktural.

REFERENSI
Abdurrohim, S. and Martawijaya, A. (1983). “Beberapa faktor yang mempengaruhi keterawetan kayu.” Prosiding
Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu, Jakarta, 133 – 154.

Afif, S. Hadikusumo, S. A., and Lukmandaru, G. (2013). “Pengawetan Kayu Gubal Jati secara rendaman dingin
dengan pengawet boron untuk mencegah serangan rayap kayu kering (cryptotermes cynocephalus light).” Jurnal
Ilmu Kehutanan, 7 (2), 93-107.

BSN. (1998). Standar Nasional Indonesia 03-3233-1998 tentang Tata Cara Pengawetan untuk Bangunan Rumah
dan Gedung, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2014). Standar Nasional Indonesia 7207:2014 tentang Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap
Organisme Perusak Kayu, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

Correal, J. F. & Ramirez, F. (2010). “Adhesive bond performance in glue line shear and bending for glued laminated
guadua bamboo”. Jurnal Tropical Forest Science, 22 (4), 433-439.

Derikvand, M and Pang, H. (2016). “A modified method for shear strength measurement of adhesive bonds in solid
wood.” Jurnal BioResources, 11 (1), 354-364.

Hamzah, N., Pujirahayu, N., and Tama, S.R. (2016). “Pemanfaatan boraks untuk pengawetan bambu betung terhadap
serangan rayap tanah”. Jurnal Ecogreen, 2 (2), 131-136.

Handayani, S. (2007). “Pengujian sifat mekanik bambu (metode pengawetan dengan boraks)”. Jurnal Teknik Sipil &
Perencanaan, 1(9), 43-53.

Irawati, I. S. (2004). “Pengaruh posisi sambungan terhadap kapasitas geser balok bambu laminasi horisontal.” Master
Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Nugroho, D. B. (2019). “Pengaruh pengawet boraks dan air tembakau terhadap kuat geser perekat serta lentur balok
laminasi perekat polinynil acetat (PVAc).” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Persada, D. S., Listyanto, T., and Lukmandaru, G. (2009). “Pengawetan Kayu Mahoni secara tekanan dengan
deltamethrin terhadap serangan rayap kayu kering.” Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu
Mahasiswa (MAPEKI) XVI, Balikpapan, 117-126.

Setyawati, Morisco and Prayitno., T. A. (2009). “Pengaruh ekstrak tembakau terhadap sifat dan perilaku mekanik
laminasi Bambu Petung”. Jurnal Forum Teknik Sipil, 19 (1), 1021-1029.

Sumarni, G., Roliadi, H., and Ismanto, A. (2003). “Keawetan 99 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering
(cryptotermes cynocephalus light).” Buletin Penelitian Hasil Hutan, 21(3), 239-249.

Sumawa, I. W. A. (2018). “Pengaruh bahan pengawet boraks dan ekstrak tembakau terhadap perilaku rekatan bambu
laminasi perekat polymer isocyanate.” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indoensia.

Susilaning. L, and Suheryanto. D. (2012). “Pengaruh waktu perendaman bambu dan penggunaan borak-barik
terhadap tingkat keawetan bambu.” Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2012,
Yogyakarta, A94-A101.

117

Yogyakarta. 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Penentuan Konsentrasi Deltamethrin untuk Pengawet Bambu Petung dan
Peluang Aplikasinya pada Bambu Laminasi Perekat Polymer Isocyanate

U. Azmy, I. S. Irawati*, A. Awaludin

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bahan pengawet deltamethrin yang efektif digunakan sebagai bahan
pengawet Bambu Petung. Efektivitas deltamethrin diperoleh dari hasil uji retensi dan uji mortalitas dengan menggunakan rayap
kayu kering. Konsentrasi deltamethrin yang digunakan yaitu 0,01%, 0,05%, dan 0,2%, yang kemudian dibandingkan dengan
benda uji kontrol. Nilai konsentrasi pengawet deltamethrin efektif, berdasarkan hasil uji retensi dan uji mortalitas, kemudian
digunakan sebagai pengawet bilah-bilah Bambu Petung untuk pembuatan bambu laminasi dengan perekat polymer isocyanate.
Pengujian blok geser perekat dilakukan untuk mengetahui peluang penggunaan deltamethrin pada industri bambu laminasi. Dari
hasil pengujian, nilai retensi pengawet deltamethrin antara 0,31-7,52 kg/m3. Ketiga nilai konsentrasi deltamethrin memberikan
nilai mortalitas sebesar 100% pada minggu pertama pengujian. Nilai mortalitas benda uji kontrol sebesar 23%. Penurunan berat
pasca uji mortalitas untuk ketiga nilai konsentrasi deltamethrin berkisar antara 4,04%-4,45%. Penurunan berat benda uji kontrol
12,14%. Berdasarkan uji Tukey diketahui bahwa tidak ada perbedaan pada nilai mortalitas dan penurunan berat ketiga nilai
konsentrasi deltamethrin sehingga konsentrasi pengawet deltamethrin yang diusulkan adalah 0.01%. Hasil uji kuat geser perekat
memberikan nilai rata-rata kuat geser sebesar 7.,4 MPa. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai kuat geser perekat pada
penelitian terdahulu. Oleh karena itu, deltamethrin berpeluang digunakan sebagai bahan pengawet bambu laminasi.

Kata kunci: Pengawetan Deltamethrin, Bambu Laminasi, Mortalitas, Retensi, Kuat Rekat.

1 PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan bambu telah mengalami perkembangan baik dari segi desain maupun
produk yang dihasilkan. Pemanfaatan bambu untuk struktur sederhana, yang biasanya dibangun dari batang bambu
utuh, kini juga telah mengalami diversifikasi dengan munculnya produk bambu rekayasa seperti ply-bamboo, strand
woven bamboo dan laminated bamboo lumber atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan nama bambu laminasi
(Xing et al., 2018). Karakteristik bambu dengan pertumbuhan yang cepat, ringan, kuat tekannya dua kali lebih tinggi
dari kuat tekan beton, kuat tariknya hampir sama dengan kuat tarik baja, dan rasio berat terhadap kekuatannya yang
tinggi, menjadikan bambu menarik untuk terus dikembangkan sebagai bahan struktural (Nurdiah, 2016). Bambu juga
merupakan material terbarukan yang berperan dalam penyimpanan karbon, konservasi air, dan dapat mencegah erosi
tanah (Zhi et al., 2005). Oleh karena itu, pengembangan teknologi rekayasa bambu dalam menghasilkan produk-
produk bambu rekayasa yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan struktural merupakan salah satu upaya dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di tengah maraknya isu lingkungan yang
terjadi saat ini (Chang et al., 2018).

Meskipun bambu memiliki karakteristik yang luar biasa, namun tingginya kandungan pati bambu jenis tertentu,
menjadikan bambu sangat rentan terhadap biodeteriorasi. Salah satunya adalah Bambu Petung (Dendrocalamus
Asper) yang digunakan sebagai bahan bambu laminasi. Hal ini menyebabkan bambu hanya memiliki umur kurang
dari 5 tahun (Correal, 2020). Jika bambu tersebut digunakan sebagai bahan bangunan, persyaratan masa layan yang
lebih lama sangat penting pada bahan bangunan yang berbasis lingkungan. Persyaratan tersebut dapat dicapai dengan
cara mengawetkan bambu sebelum diolah menjadi produk bambu rekayasa.

Metode pengawetan bambu dengan bahan kimia telah berkembang sejak lama di Indonesia. Boraks merupakan bahan
kimia yang sangat sering digunakan sebagai pengawet bambu. Hal tersebut disebabkan karena selain boraks mudah
ditemui di pasaran, harga boraks relatif lebih murah dan terjangkau. Namun akibat maraknya penyalahgunaan boraks
sebagai pengawet makanan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan pembatasan penjualan boraks (Kementrian
Perdagangan RI, 2009). Hal ini kemudian berdampak pada kelangkaan boraks di pasaran. Sulitnya memperoleh
boraks menjadi kendala pada aplikasi bambu sebagai bahan bangunan baik dalam bentuk bambu utuh maupun produk
bambu rekayasa. Solusi untuk memperoleh pengawet selain boraks yang mudah ditemui dan mempunyai tingkat
efektivitas yang baik sangat diperlukan. Dengan diperolehnya pengawet yang tersedia di pasaran sebagai pengganti
boraks maka struktur bambu yang kuat, aman serta mempunyai tingkat durabilitas yang tinggi dapat tercapai.

118

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta. 25-26 Januari 2021

Deltamethrin adalah pengawet yang mudah ditemukan di Indonesia dan banyak digunakan di bidang pertanian karena
deltamethrin efektif dalam membasmi hama (Fitriadi & Putri, 2019). Deltamethrin merupakan insektisida yang
tergolong sintetik piretroid yang membunuh serangga melalui sistem pencernaan setelah serangga tersebut memakan
bahan yang memiliki kandungan deltamethrin. Deltamethrin dengan cepat akan melumpuhkan sistem syaraf
serangga serta memberikan efek yang mematikan bagi serangga (FAO, 2016). Beberapa penelitian tentang
pemanfaatan deltamethrin sebagai bahan pengawet sudah mulai dilakukan. Namun penelitian tentang penggunaan
deltamethrin sebagai bahan pengawetan bambu yang tumbuh di Indonesia belum pernah dilakukan (Persada et al.,
2009; Prasetyo et al., 2019).

Pada perkembangan industri konstruksi bambu di Indonesia, informasi tentang aplikasi deltamethrin untuk
pengawetan bambu khususnya bambu yang tumbuh di Indonesia sangat penting untuk diketahui, baik pada struktur
bambu utuh maupun pada bambu yang digunakan sebagai bahan baku produk-produk bambu rekayasa. Oleh karena
itu, makalah ini menyampaikan informasi tentang hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
deltamethrin yang efektif sebagai bahan pengawet Bambu Petung. Selain itu, makalah ini juga menyampaikan
informasi tentang hasil observasi terhadap peluang deltamethrin sebagai bahan pengawet bambu Petung sebagai
bahan baku bambu laminasi yang diproduksi dengan menggunakan polymer isocyanate. Pada penelitian ini, cara
untuk mengetahui konsentrasi deltamethrin yang efektif dilakukan dengan uji retensi, uji mortalitas dan pengukuran
penurunan berat. Observasi untuk mengetahui peluang deltamethrin pada industri bambu laminasi berbahan perekat
polymer isocyanate dilakukan melalui pengujian blok geser perekat.

2 METODE

2.1 Bahan

Bahan yang digunakan adalah bambu Petung berumur 3.5-5 tahun dengan diameter 14-16 cm. Bambu diperoleh dari
daerah Purworejo, Jawa Tengah. Bagian bambu yang digunakan adalah bagian pangkal (1 m dari muka tanah) hingga
bagian tengah dengan panjang total ±6 m. Bambu terlebih dahulu dipotong menjadi dua bagian sepanjang 3 m.
Bambu kemudian dibelah menjadi bilah-bilah bambu dengan menggunakan mesin pembilah bambu. Selanjutnya,
bagian buku-buku bilah bambu yang menonjol diratakan dengan menggunakan mesin gergaji. Setelah permukaan
bagian buku-buku rata, kulit bagian luar dan bagian dalam bilah bambu dihilangkan dengan menggunakan mesin
planner. Proses planner dihentikan ketika seluruh kulit bambu luar dan dalam sudah hilang dan permukaan bilah
sudah rata. Bahan pengawet yang digunakan yaitu deltamethrin (DTM 25 EC). Konsentrasi larutan deltamethrin
yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.01%, 0.05%, dan 0.2%. Bahan perekat yang digunakan yaitu polymer
isocyanate. Perekat polymer isocyanate terdiri dari dua komponen, yaitu polymer resin dan isocyanate sebagai
crosslinker/hardener. Rasio pencampuran berat resin/crosslinker yaitu 100/15. Kadar air substrat bambu yang
direkatkan berkisar 7-12%. Bilah bambu direkatkan dengan pelaburan satu sisi menggunakan perekat terlabur sebesar
300 gr/m2 dengan closed assembly time selama 5 menit.

2.2 Uji Retensi Bahan Pengawet

Pengujian retensi bahan pengawet dilakukan berdasarkan SNI 03-3233-1998. Benda uji dibuat dari bilah bambu yang
dipotong berukuran 50 × 25 × mm, dengan adalah tebal bilah bambu. Proses pengawetan dilakukan dengan
metode rendaman dingin selama 30 menit di dalam larutan pengawet. Konsentrasi deltamethrin yang diuji adalah
0,01%, 0,05%, dan 0,2%. Jumlah benda uji dari ketiga nilai konsentrasi bahan pengawet tersebut masing-masing 3
benda uji. Retensi bahan pengawet diperoleh dengan cara menimbang berat benda uji sebelum dan sesudah diawetkan
dalam kondisi kering udara. Benda uji ditimbang pada kadar air yang sama yaitu 12±2%. Kadar air dikontrol
menggunakan moisture meter. Nilai retensi dihitung dengan Persamaan (1).

= 1− 0 (1)



dengan adalah retensi bahan pengawet, 1 adalah berat kering udara setelah diawetkan, 0 adalah berat kering
udara sebelum diawetkan, adalah volume benda uji, dan adalah konsentrasi bahan pengawet.

2.3 Uji Mortalitas dan Penurunan Berat

Uji mortalitas dilakukan berdasarkan SNI 7207-2014. Pengujian ini merupakan pengujian lanjutan dari uji retensi
sehingga benda uji yang digunakan adalah benda uji yang sama. Nilai mortalitas rayap benda uji yang telah diawetkan
nantinya akan dibandingkan dengan nilai mortalitas rayap pada benda uji kontrol. Benda uji dioven pada suhu

119

Yogyakarta. 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

103±2°C selama 24 jam lalu ditimbang untuk mengetahui berat kering tanur benda uji sebelum diumpankan ke rayap.
Masing-masing benda uji dan 50 ekor rayap dimasukkan ke dalam wadah plastik. Wadah plastik yang telah diisi
benda uji dan rayap ditutup menggunakan kain kasa. Uji mortalitas dilakukan seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1. Pengamatan terhadap mortalitas dilakukan selama 30 hari. Setelah pengumpanan, benda uji dioven kembali untuk
mengetahui berat kering tanur benda uji setelah pengumpanan. Berdasarkan data yang diperoleh kemudian dihitung
mortalitas rayap dan persentase penurunan berat masing-masing menggunakan Persamaan (2) dan Persamaan (3).

= ℎ 100% (2)



= 1− 2 100% (3)

1

dengan 1 adalah berat kering tanur sebelum diumpankan dan 2adalah berat kering tanur setelah diumpankan.

2.4 Uji Geser Perekat

Pengujian geser perekat bambu laminasi dilakukan berdasarkan metode pengujian yang diusulkan oleh Derikvand &
Pangh (2016) yang diberi nama blok geser MD. Blok geser MD merupakan hasil modifikasi dari blok geser ASTM
D905 yang dikembangkan untuk meminimalisir kesalahan pemotongan pada proses pembuatan benda uji geser.
Bilah-bilah bambu diawetkan dengan metode rendaman dingin selama 30 menit menggunakan bahan pengawet
deltamethrin dengan konsentrasi yang paling efektif mencegah serangan rayap kayu kering berdasarkan hasil uji
retensi, mortalitas dan penurunan berat. Setelah pengawetan selesai, bilah bambu kemudian dikeringkan hingga kadar
air 7-12% (sesuai spek perekat). Bilah-bilah bambu laminasi direkatkan menjadi benda uji blok geser MD dengan
menggunakan perekat polymer isocyanate. Tekanan kempa 2,0 MPa digunakan pada setiap bidang rekat. Total benda
uji geser dalam penelitian ini yaitu 15 benda uji. Dimensi benda uji dan set up pengujian blok geser MD dapat dilihat
pada Gambar 2. Benda uji dibebani dengan percepatan konstan 1 mm/menit. Hasil pembacaan beban oleh load cell
direkam melalui data logger yang ditampilkan pembacaannya pada layar laptop. Beban maksimum masing-masing
benda uji digunakan untuk menghitung kekuatan geser menggunakan Persamaan (4).

= (4)



dengan adalah kekuatan geser perekat, adalah beban maksimum, dan adalah luas area rekatan.

Gambar 1. Uji mortalitas

Gambar 2. (a) Dimensi benda uji geser, (b) Set up pengujian blok geser perekat.
120

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta. 25-26 Januari 2021

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Retensi

Nilai retensi merepresentasikan kuantitas pengawet deltamethrin yang terdapat di dalam dinding sel bambu Petung
setelah diawetkan dengan metode rendaman dingin selama 30 menit. Nilai retensi rata-rata, standar deviasi, dan
koefisien variasi (COV) pada berbagai nilai konsentrasi pengawet deltamethrin ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil
penelitian menunjukkan peningkatan nilai retensi seiring dengan peningkatan konsentrasi bahan pengawet
deltamethrin. Dengan bertambahnya konsentrasi larutan pengawet maka kuantitas bahan pengawet yang terlarut juga
semakin banyak sehingga bahan pengawet yang terdapat di dalam dinding sel bambu juga lebih banyak dibandingkan
dengan larutan pengawet yang memiliki konsentrasi lebih rendah. Hasil analisis varians pada level signifikansi 0.05
menunjukkan bahwa faktor konsentrasi bahan pengawet deltamethrin memberikan hasil nilai rata-rata retensi yang
berbeda secara signifikan.

Menurut SNI 03-5010.1-1999, persyaratan minimum retensi untuk pengawetan kayu adalah 8,2 kg/m3. Nilai retensi
deltamethrin yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai retensi yang disyaratkan
untuk kayu. Beberapa penelitian terdahulu tentang pengawetan bambu juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu
nilai retensi pengawet bambu lebih kecil dari nilai retensi minimum pengawet kayu yang disyaratkan SNI 03-5010.1-
1999. Hadjar et al. (2016) melakukan pengawetan terhadap bambu Petung menggunakan bahan pengawet dari kulit
bakau. Konsentrasi yang digunakan yaitu 5%, 10%, dan 15% dengan metode rendaman panas pada suhu 55-65°C
selama 60 menit. Nilai retensi yang dihasilkan berkisar 0,14 - 0,49 kg/m3. Putri et al. (2020) mengawetkan Bambu
Andong dan Bambu Petung menggunakan bahan pengawet entiblu 5%. Metode pengawetan yang digunakan yaitu
metode Boucherie. Nilai rata-rata retensi Bambu Andong yaitu 3,49 kg/m3 dan pada Bambu Petung yaitu 3,60 kg/m3.
Dengan mempertimbangkan belum tersedianya peraturan tentang persyaratan minimum retensi pengawetan bambu,
maka dalam penelitian ini konsentrasi deltamethrin sebagai pengawet bambu ditentukan dengan mempertimbangkan
pengaruh ketiga konsentrasi tersebut (0,01%, 0,05%, dan 0,2%) pada tingkat mortalitas rayap dan penurunan berat
benda uji pasca pengujian mortalitas.

3.2 Mortalitas

Mortalitas rayap kayu kering pada bambu Petung diamati selama 30 hari. Nilai mortalitas untuk masing-masing nilai
konsentrasi deltamethrin disajikan pada Gambar 3. Pengamatan yang dilakukan pada minggu pertama menunjukkan
nilai mortalitas rayap untuk konsentrasi pengawet 0,01%, 0,05%, dan 0,2% telah mencapai 100%. Sedangkan benda
uji kontrol memberikan nilai mortalitas sebesar 23% di akhir pengujian. Untuk mengetahui pengaruh nilai konsentrasi
pengawet deltamethrin terhadap nilai mortalitas rayap, maka dilakukan analisis varians dengan tingkat kepercayaan
95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai konsentrasi pengawet deltamethrin berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai mortalitas rayap. Analisis kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji Tukey untuk mengetahui pada
nilai konsentrasi berapa bahan pengawet memberikan pengaruh yang signifikan. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa
nilai rata-rata mortalitas benda uji kontrol berbeda secara nyata dengan nilai rata-rata mortalitas ketiga nilai
konsentrasi bahan pengawet. Hasil uji Tukey juga menunjukkan nilai rata-rata mortalitas dari bahan pengawet
konsentrasi 0,01%, 0,05%, dan 0,2% adalah sama atau tidak berbeda.

Konsentrasi deltamethrin (%) Tabel 1. Nilai retensi Standar deviasi COV(%)
Retensi rata-rata (kg/m3)
0,01 0,05 15
0,05 0,31 0,07 4
0,20 1,80 0,16 2
7,52

Mortalitas rayap (%) 120
100 100 100 100

80

60

40 23
20

0

0% (Kontrol) 0.01% 0.05% 0.20%

Konsentrasi bahan pengawet deltamethrin

Benda uji 1 Benda uji 2 Benda uji 3 Rata-rata

Gambar 3. Nilai mortalitas rayap

121

Yogyakarta. 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.3 Penurunan berat

Selain mortalitas, variabel yang dapat menunjukkan tingkat efetiktivitas bahan pengawet adalah penurunan berat
benda uji setelah diumpankan pada organisme perusak. Semakin kecil persentase penurunan berat maka semakin
efektif pengawet tersebut, begitupun sebaliknya. Rata-rata pengurangan berat benda uji yang diawetkan dengan
konsentrasi 0% (benda uji kontrol), 0,01%, 0,05%, dan 0,2% berturut-turut yaitu 1,75 gr, 0,62 gr, 0,59 gr, dan
0,55 gr. Dari hasil tersebut diperoleh nilai rata-rata penurunan berat yang dinyatakan dalam bentuk persen seperti
ditampilkan pada Gambar 4. Nilai penurunan berat terbesar ditunjukkan oleh benda uji kontrol (0%) dengan nilai
rata-rata penurunan berat sebesar 12.14%. Jika mengacu pada SNI 7207-2014 tentang Uji Ketahanan Kayu dan
Produk Kayu terhadap Organisme Perusak Kayu, ketahanan Bambu Petung yang diawetkan dengan pengawet
deltamethrin termasuk kategori kelas II yang artinya tahan terhadap rayap kayu kering. Sedangkan benda uji kontrol
termasuk kategori kelas IV yang artinya tidak tahan terhadap serangan rayap kayu kering.

Analisis varians selanjutnya dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi bahan pengawet terhadap nilai
pengurangan berat. Hasil analisis varians pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa nilai konsentrasi bahan
pengawet deltamethrin berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan berat. Uji Tukey menunjukkan perbedaan
nyata hanya terlihat antara rata-rata penurunan berat benda uji kontrol dengan rata-rata penurunan benda uji yang
diawetkan. Namun, rata-rata penurunan berat antara nilai konsentrasi 0,01%, 0,05%, dan 0,2% tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil uji Tukey, nilai rata-rata penurunan berat pada tiap konsentrasi deltamethrin tidak jauh berbeda
dan jika dikategorikan maka semua penurunan beratnya sama yaitu kategori kelas II. Oleh karena itu, konsentrasi
deltamethrin 0,01% dipilih sebagai konsentrasi dalam pengawetan bambu. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa
meskipun deltamethrin tergolong insektisida yang aman bagi lingkungan dan manusia, namun penggunaan bahan
kimia tetap harus diminimalisir (Acharya et al., 2004).

3.4 Kuat Geser

Seperti sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, uji blok geser MD dilakukan untuk mengetahui kuat geser
perekat polymer isocyanate ketika bilah yang direkatkan diawetkan dengan deltamethrin pada konsentrasi 0,01%.
Hasil dari uji blok geser ini dapat digunakan untuk mengetahui peluang penggunaan pengawet deltamethrin sebagai
pengganti boraks dalam industri bambu laminasi di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian kuat geser perekat bambu
laminasi dengan perekat polymer isocyanate, diperoleh kuat geser dari 15 benda uji berkisar antara 5,69 - 8,81 MPa.
Nilai rata-rata kuat geser sebesar 7,34 MPa. Koefisien variasi (COV) sebesar 16%. Perbandingan rata-rata kuat geser
perekat dari penelitian sebelumnya dengan rata-rata kuat geser perekat yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2. Berdasarkan data hasil penelitian sebelumnya dan perbandingan kuat geser perekat yang ditunjukkan
pada Tabel 2, maka kuat geser garis perekat polymer isocyanate pada bilah bambu yang diawetkan dengan
deltamethrin konsentrasi 0.01% menggunakan metode perendaman dingin lebih tinggi dibandingkan dengan kuat
geser perekat bambu laminasi dari hasil penelitian sebelumnya.

Penurunan berat (%) 14
12 12.14

10

8

6 4.45 4.07 4.04
4

2

0

0% (Kontrol) 0.01% 0.05% 0.20%

Konsentrasi bahan pengawet deltamethrin

Benda uji 1 Benda uji 2 Benda uji 3 Rata-rata

Gambar 4. Penurunan berat.

122

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta. 25-26 Januari 2021

Tabel 2. Perbandingan nilai rata-rata kuat geser penelitian terdahulu terhadap penelitian yang sedang dilakukan

Peneliti Jenis Pengawet Metode pengawetan Perekat Kuat geser
Lestari, 2020 bambu Boraks Pati sagu (MPa)
Sumawa, 2018 Rendaman panas 6 jam urea formaldehyde
Petung Polymer isocyanate 3,24
Nugroho, 2019 Boucherie-Morisco 2,91
Penelitian ini Petung Boraks Rendaman panas Polyvinyl acetate
Ekstrak tembakau Boucheri-Morisco Polymer isocyanate 4,78
Rendaman Panas 6,56
Petung Boraks Boucherie-Morisco 4,08
Petung Rendaman panas 4,78
Ekstrak tembakau Boucheri-Morisco
Deltamethrin Rendaman Panas 3,53
Rendaman dingin 30 menit 2,79
6,82
5,35

7,34

4 KESIMPULAN

Pengawetan bambu Petung menggunakan deltamethrin pada konsentrasi 0,01%, 0,05%, dan 0,2% memberikan nilai
retensi rata-rata berturut-turut yaitu 0,31 kg/m3, 1,80 kg/m3, dan 7,52 kg/m3. Semakin besar konsentrasi bahan
pengawet deltamethrin maka nilai retensi semakin meningkat karena kuantitas bahan pengawet deltamethrin yang
terlarut juga semakin banyak. Dari pengujian mortalitas diperoleh nilai rata-rata mortalitas dari benda uji kontrol
sebesar 23% sedangkan benda uji yang diawetkan dengan ketiga nilai konsentrasi deltamethrin memberikan hasil
yang sama yaitu 100% tingkat mortalitas rayap. Nilai rata-rata penurunan berat benda uji kontrol sebesar 12,14%.
Benda uji yang diawetkan dengan konsentrasi bahan pengawet 0,01%, 0,05%, dan 0,2% mengalami penurunan berat
masing-masing 4.45%, 4.07%, 4.04%, Dari hasil ini diketahui bahwa pengawet deltamethrin, efektif dalam
mencegah serangan rayap kayu kering. Untuk proses pembuatan bambu laminasi digunakan konsentrasi bahan
pengawet minimum yaitu 0,01%. Berdasarkan pengujian blok geser perekat diperoleh nilai kuat geser yang berkisar
antara 5,69 MPa – 8,81 MPa. Rata-rata nilai kuat geser sebesar 7,34 MPa dan COV sebesar 16%. Bambu laminasi
yang diawetkan dengan deltamethrin dan direkatkan dengan polymer isocyanate memberikan nilai rata-rata kuat
geser yang lebih tinggi dibandingkan dengan kuat geser pada penelitian-penelitian terdahulu, sehingga pengawet
deltamethrin berpeluang untuk digunakan dalam industri bambu laminasi.

REFERENSI

Acharya, B. N., Nivsarkar, M., Saxena, C., and Kaushik, M. P. (2004). “Effects of the Process of the incorporation
of deltamethrin on slow-release property of insecticidal paint.” Pigmen & Resin Technology, 33(1), 21-25.

BSN. (1998). Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3233-1998 tentang Tata Cara Pengawetan Kayu untuk Bangunan
Rumah dan Gedung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (1999). “Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999 tentang Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan
Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2014). Standar Nasional Indonesia (SNI) 7207-2014 tentang Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap
Organisme Perusak Kayu. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

Chang, F.C., Chen, K.S., Yang, P.Y., and Ko, C.H. (2018). “environmental benefit of utilizing bamboo material
based on life cycle assessment.” Journal of Cleaner Production, 204, 60-69.

Correal, F. F. (2020). “Bamboo design and construction.” Nonconventional and Vernacular Construction Materials
Woodhead Publishing, 521-559.

Derikvand, M. & Pangh, H. (2016). “A modified method for shear strength measurement of adhesive bonds in solid
wood.” BioResources, 11(1), 354-364.

Fitriadi, B. R., and Putri, A. C. (2019). “Dampak aplikasi pestisida sipermetrin, deltametrin, klorpirifos dan λ-
sihalotrin terhadap kandungan residu pestisida pada biji kakao.” Jurnal Agrosains dan Teknologi, 4(1), 10-18.

123

Yogyakarta. 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Food and Agriculture Organization (FAO) of The United Nations. (2016). FAO Spesificiations and Evaluations for
Deltamethrin. United Nations, Italy.

Hadjar, N., Pujirahayu, N., and Khaeruddin, M. (2016). “Pemanfaatan kulit bakau (rhzopora mucronata) sebagai
bahan pengawet Bambu Betung (Dendrocalamus Asper) terhadap serangan kumbang bubuk (Dinoderus minutus).”
Jurnal Ecogreen, 2(2), 89-96.

Lestari. A. (2012). “Perilaku mekanik balok bambu laminasi dengan perekat pati.” Master Thesis, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Nugroho, D. B. (2019). “Pengaruh pengawet boraks dan air tembakau terhadap kuat geser perekat serta perilaku
lentur balok laminasi dengan perekat polyvinyl acetate (PVAc).” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.

Nurdiah, E. A. (2016). “The potential of bamboo as building material in organic shaped buildings.” Procedia – Social
and Behavioral Sciences, 216, 30-38.

Kementrian Perdagangan RI. (2009). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Kementrian Perdagangan
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Persada, D. S., Listyanto, T., and Lukmandaru, D. (2009). “Pengawetan Kayu Mahoni secara tekanan dengan
deltamethrin terhadap serangan rayap kayu kering.” Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu
Mahasiswa (MAPEKI) XVI, Balikpapan, 117-126

Prasetyo, H., Nurrochmat, D. R., and Sundawati, L. (2019). “Kelayakan usaha pengawetan bambu berbasis
masyarakat.” Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 9(1), 200-209.

Putri, R. L., Rochmawati, L., Nandika, D., and Darmawan, I. W. (2020). “Pengawetan bambu dengan metode
boucherie.” Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 25(4), 618-626.

Sumawa, I. W. A. M. (2018). “Pengaruh bahan pengawet boraks dan ekstrak tembakau terhadap perilaku rekatan
bambu laminasi perekat polymer isocyanate.” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakrta, Indonesia.

Xing, W. Q., Hao, J. L., Galobardes, I., Wei, S. B., Chen, Z. T., and Sikora, K. S. (2018). “Engineered bamboo’s
further application: An empirical study in China.” MATEC Web of Conferences, 206, 02005.

Zhi, Z. B., Yi, F. M., Zhong, X. J., Sheng, Y. X., and Cai, L. Z. (2005). “Ecological functions of bamboo forest:
research and application.” Journal of Forestry Research, 16(2), 143-147.

124



02 Earthquake Engineering
and Structural Dynamic
and Material Engineering

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Review Karakteristik Mechanical Properties dari Mortar 3D Printing

F.W. Rivai*, I.Satyarno, A.Aminullah

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

3D Construction Printing (3DCP) dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sangat populer di dunia konstruksi. Hal ini
disebabkan karena 3DCP ini memiliki beberapa kelebihan yaitu: hemat waktu, hemat biaya konstruksi, serta lebih aman ketika
dikerjakan. Penerapan 3DCP sampai saat ini telah mencakup furniture, patung, jembatan sederhana, hingga rumah tinggal. Bahan
utama konstruksi dari 3D printing ini adalah mortar. Oleh karena itu banyak ditemukan penelitian-penelitian yang mempelajari
tentang kekuatan mortar 3D printing ini. Paper ini akan mereview tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut.
Secara umum parameter mechanical properties yang akan diamati terdiri dari kuat tekan (compressive strength), kuat tarik
(tensile strength), kuat geser (shear strength), dan kuat lentur (flexural strength). Dari hasil studi literatur secara umum diperoleh
kuat tekan sekitar 55 - 66 MPa, kuat tarik sekitar 1,22 - 1,99 MPa, kuat lentur sekiatar 4,12 - 10,5 MPa, kuat geser sekitar 4,63 -
6 MPa, modulus elastisitas sekitar 3300 – 36600 MPa, dan poisson ratio sekitar 0,157 – 0,311. Melalui literatur review ini
diharapkan menjadi referensi bagi para peneliti mortar 3D printing sebelum membuat konstruksi bangunan 3D printing secara
nyata di lapangan.

Kata kunci: 3D Construction Printing, Mechanical Properties, Compressive Strength, Tensile Strength, Shear Strength.

1 PENDAHULUAN

3D Construction Printing (3DCP) dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sangat populer di dunia konstruksi.
Pengembangan teknologi konstruksi menggunakan 3D printing dimulai sejak akhir tahun 1990-an (Khoshnevis,
2004). Namun perkembangan teknologi ini baru dimulai secara pesat pada tahun 2010-an dan sejak saat itu telah
menyebar ke seluruh dunia (Lee et al., 2019). Kelebihan konstruksi 3D printing ini yaitu hemat waktu, hemat biaya
konstruksi, serta lebih aman ketika dikerjakan. Bahan utama dari teknologi 3D printing ini adalah mortar.
Sebagaimana diketahui, mortar merupakan campuran antara semen, pasir, dan air. Penggunaan mortar dalam
konstruksi 3D printing ini salah satunya adalah untuk membuat konstruksi rumah yang dikenal dengan 3D Printing
House. Untuk menjamin kinerja dari mortar yang digunakan, penelitian untuk mengevaluasi sifat mekanika dari
mortar 3D printing telah banyak dilakukan. Makalah ini akan mengkaji riset-riset tentang mortar 3D printing yang
telah dilakukan dengan tujuan membantu memahami kinerja mortar 3D printing.

2 RISET TENTANG MORTAR 3D PRINTING

Lee et al. (2019) melakukan evaluasi terhadap sifat mekanika mortar 3D printing dengan melakukan uji kuat tekan
dan kuat tarik. Namun, metode pengambilan spesimen benda uji divariasikan seperti pada Gambar 1. Terdapat 2 jenis
cara pembuatan spesimen, yakni spesimen yang keluar langsung melalui noozle (berupa layer-layer), dan yang dibuat
dengan menggunakan cetakan khusus. Hasil pengujian kuat tekan menunjukkan, mortar yang keluar langsung dari
noozle memiliki kekuatan 30% (18,23 MPa) lebih rendah dibandingkan dengan mortar yang dibuat dengan cetakan
(66 MPa). Hal ini dikarenakan mortar dari cetakan memiliki kepadatan dibanding dengan mortar yang keluar dari
noozle langsung. Selain itu, kuat tarik dalam penelitian ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah lapisan mortar
dengan tinggi noozle, serta metode pengambilan sampel. Hubungan antara kuat tarik dengan jumlah lapisan dengan
tinggi noozle 10 mm dinyatakan tidak linier. Penelitan ini menunjukkan bahwa kuat tarik spesimen yang dicetak
kemudian diuji secara langsung nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesimen yang diambil dengan
metode core drilling, yaitu masing-masing 1,99 MPa dan 1,22 MPa.

Gambar 1. Metode pengambilan sampel dan pembebanan mortar 3D Printing (Lee et al., 2019).

125

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Verian et al. (2020) dalam penelitiannya melakukan pengujian terhadap mortar 3D printing yang diberi nama 3D-
M23. Mortar ini merupakan hasil pengembangan dari team Laticrete International, Inc., Singapura. Pengujian yang
dilakukan meliputi uji kuat tekan, kuat geser, dan kuat tarik. Hasil pengujian kuat tekan menunjukkan pada umur 28
hari mortar 3D printing mampu menahan beban sebesar 58 MPa, dengan nilai modulus elastisitas sebesar 3300 MPa.
Nilai ini sekitar 1/10 dari modulus elastisitas beton normal yaitu 25000 – 40000 MPa. Peneliti juga menjelaskan
bahwa mortar ini lebih daktail dibangkan dengan beton normal. Sedangkan untuk pengujian geser diperoleh kuat
geser sebesar 0,15 MPa untuk umur 6 jam. Sedangkan untuk kuat tarik yang dihasilkan sebesar 5,9 MPa. Selain itu,
peneliti juga sukses melakukan demonstrasi sebuah prototipe struktur 3D printing dengan dimensi panjang 100 cm,
dan tinggi 30 cm. Selanjutnya, dalam penelitian tersebut juga diusulkan metode memperoleh hasil yang optimum
dalam proses 3D printing, yang dinamakan metode “cured-on demand”. Melalui metode, ini kekentalan struktur
dapat meningkat sehingga lapisan antar lapisan mortar dapat lebih stabil dalam menahan beban yang bekerja pada
struktur, lebih lanjut hal ini dapat mengurangi deformasi dari struktur yang dicetak melalui 3D printing ini.

Rahul et al. (2019) melakukan beberapa pengujian terhadap mortar 3D printing, yakni uji porositas, uji geser antar
ikatan, uji tekan, dan uji lentur. Dalam pengujian tersebut, tata cara pengambilan sampel dibuat berbeda seperti pada
Gambar 2. Ada sampel mortar yang diambil pada lapisan arah vertikal dinding mortar, arah horizontal dinding mortar,
dan ada juga sampel mortar yang dibuat dengan cetakan. Dalam penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa
porositas sampel jika dibandingkan antara spesimen vertikal dan horizontal nilainya identik sama. Porositas yang
besar dalam mortar 3D printing menandakan bahwa terdapat hubungan antar partikel yang lemah. Sementara jika
dibandingkan dengan porositas mortar yang dibuat dengan cetakan, maka nilai nya lebih tinggi karena mortar yang
dibuat dengan cetakan mengalami proses pemadatan dalam pembuatan nya. Sementara jika ditinjau dari kuat
gesernya, mortar yang diekstraksi secara horizontal menunjukkan nilai yang lebih rendah 24-25% dari mortar yang
dibuat dengan cetakan yaitu sekitar 5,5 MPa, dan untuk ekstraksi mortar arah vertikal lebih rendah 22-30% jika
dibandingkan dengan mortar cetakan yaitu sekitar 6 MPa. Untuk pengujian kuat tekan dalam penelitian ini dilakukan
dalam arah beban yang bervariasi, yaitu arah D1 (searah vertikal sumbu ), D2 (searah horizontal sumbu ), dan D3
(searah horizontal sumbu ). Untuk D1 sampai D3 menunjukkan hasil yang identik sama, yaitu sekitar 55 sampai 60
MPa. Selanjutnya untuk pengujian kuat lentur juga dilakukan dengan arah yang bervariasi, yaitu E1 (arah vertikal),
E2 dan E3 (arah horizontal). Hasil dari kuat lentur menunjukkan mortar E1 sekitar 6 MPa, kemudian untuk E2 dan
E3 sekitar 12 MPa.

Feng et al. (2015) melakukan sebuah kajian terhadap sifat mekanika mortar 3D printing yang dibuat menggunakan
bahan plaster cementitious material. Plaster adalah sebuah campuran yang terdiri dari material semen, agregat halus,
dan air (ACI 2018). ACI menyebutkan bahwa plaster berfungsi untuk memplester sebuah bangunan yang terbagi
menjadi 2 jenis, yaitu portland-cement-based plaster dan gypsum-based plaster. Alur kajian yang dilakukan adalah
dengan membuat spesimen berukuran tertentu, kemudian dilakukan pengujian tekan. Melalui pengujian tekan ini
diperoleh grafik hubungan tegangan-regangan. Hasil pengujian tekan mortar kubus berukuran 50 mm rata-rata yaitu
sebesar 11,6 - 16,8 MPa dengan modulus elastisitas berkisar antara 4900-7100 MPa. Dilihat dari komposisinya,
Semen Portland merupakan semen yang mengandung kapur hidraulis, sehingga hal inilah yang menyebabkan
modulus elastisitas mortar 3D printing menjadi rendah, yaitu hanya 4900-7100 MPa. Disamping itu, dalam
penelitiannya juga disajikan hasil rasio Poisson yaitu antara 0,157 sampai 0,311. Untuk pengujian kuat lentur, beban
diaplikasikan pada 2 arah sumbu yang berbeda, yaitu arah sumbu dan . Untuk beban yang bekerja searah sumbu
diperoleh kuat lentur sebesar 0,365 MPa, sedangkan beban yang bekerja searah sumbu diperoleh kuat lentur 4,12
MPa. Dalam riset ini juga diperoleh kuat geser sebesar 0,628 - 4,63 MPa. Selanjutnya kajian Feng et al. (2015) ini
sampai pada tahapan analisis finite element terhadap mortar 3D printing.

Gambar 2. Metode ekstraksi spesimen mortar 3D Printing (Rahul et al., 2019).
126

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Shakor et al. (2017) melakukan penelitian tentang mortar 3D printing yang cukup unik. Mortar dalam penelitian ini
terbuat dari semen yang mengandung calcium aluminate lolos saringan 150 μm dan juga semen OPC. Disamping itu
beberapa sampel mortar dalam penelitian ini juga ditambahkan lithium carbonate untuk mengurangi setting time dari
campuran semen. Dalam penelitian ini juga diamati pengaruh level kejenuhan campuran mortar dengan kuat tekan.
Shakor et al. (2017) menyimpulkan, jika tingkat saturasi naik, maka kuat tekan dari mortar juga akan naik, dengan
catatan bahwa tingkat saturasi level bagian inti dan kulit mortar sama. Sebagai contoh seperti yang ditampilkan pada
Gambar 3, tingkat saturasi 100% menghasilkan kuat tekan 3,08 MPa, sedangkan untuk tingkat saturasi 170%
mengasilkan kuat tekan 8,26 MPa. Selain itu, melalui penelitian ini Shakor et al. (2017) juga menyimpulkan bahwa
mortar yang dibuat dengan metode pencampuran secara manual (hand mixing) akan menghasilkan kuat tekan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan mortar yang keluar melalui mesin 3D printing. Hal ini dikarenakan, mortar
yang dibuat dengan cara manual memiliki porositas yang rendah, dimana porositas berpengaruh pada nilai kuat tekan
mortar ketika diuji.

Panda et al. (2018) meneliti tentang kekuatan ikatan antara mortar 3D printing. Kuat ikat menjadi fokus utama dalam
penelitian ini karena merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja struktur. Dalam kasus tertentu, sering
terdapat kesalahpahaman tentang penggunaan sifat mekanika material struktur lama dan struktur baru. Contohnya
pada sambungan joint di jembatan, dek dan lapis perkerasan jembatan umumnya berhubungan dengan ikatan antara
lapisan lama dengan lapisan baru. Hal ini perlu diteliti dengan tujuan untuk mengantisipasi kegagalan struktur pada
awal masa layannya. Dalam penelitian ini, Panda et al. (2018) membuat mortar geopolymer kemudian dilakukan uji
tarik, tekan, dan lentur. Hasil menunjukkan nilai kuat tekan sebesar 36 MPa, kuat tarik sebesar 1,63 MPa, dan kuat
lentur sebesar 5,05 MPa. Selain hal tersebut, ada beberapa parameter yang divariasikan seperti: jarak waktu (time
gap), kecepatan pencetakkan (printing speed), dan tinggi jatuh noozle (noozle standoff distance) yang dapat dilihat
pada Gambar 4. Hasil pengujian menunjukkan dengan jarak waktu 1 menit, kuat tekan mencapai 1,4 MPa, 5 menit
1,1 MPa dan terus menurun hasilnya hingga jarak waktu 20 menit hanya mencapai 0,3 MPa. Hal ini menunjukkan
bahwa jika semakin lama jarak antar lapisan mortar dicetak, maka kuat ikat antar lapisan semakin kecil. Selain itu,
jika ditinjau dari kecepatan pencetakan, maka untuk kecepatan 70 mm/detik diperoleh kuat tekan 1,7 MPa, 90
mm/detik diperoleh 1,6 MPa, dan 110 mm/detik diperoleh 1,5 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa semakin cepat
mesin printer bergerak, maka ikatan antar mortar akan semakin rendah. Aspek terakhir yang akan ditinjau yaitu
pengaruh kuat ikat dengan tinggi jatuh mortar dari noozle. Tinggi jatuh dengan jarak 0 mm, 2 mm dan 4 mm masing-
masing menghasilkan kuat ikat sebesar 2,3 MPa, 1,8 MPa, dan 1,5 MPa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi mortar 3D printing dijatuhkan dari noozle, maka akan semakin rendah kuat ikat antar lapisan mortar.

Gambar 3. Hasil eksperimen kuat tekan mortar 3D printing dengan lithium carbonate (Shakor et al., 2017).

Gambar 4. Efek dari (a) jeda waktu pencetakan antar lapis (b) kecepatan noozle (c) Tinggi jatuh noozle (Panda et al., 2018).
127


Click to View FlipBook Version