The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Zhang et al. (2019) mempelajari tentang sifat reologi mortar 3D printing ketika sudah mengeras. Menurut Han
(2007), sifat rheologi adalah sifat yang berhubungan dengan deformasi dan aliran pada sebuah material Dalam
penelitian Zhang et al. (2019), sifat reologi yang diteliti meliputi viskositas, tegangan leleh, dan thixotropy. Didalam
penelitian nya, peneliti melakukan pengujian performa anisotropik mortar 3D printing. Pengujian terdiri dari 5 jenis,
yaitu pengujian kuat tekan (Gambar 5.a), kuat lentur, penyusutan, dan modulus elastisitas. Benda uji divariasikan
dengan parameter rasio pasir terhadap semen ( / ratio). Hasil pengujian tekan menunjukkan, mortar 3D printing
dengan rasio / 1,2 memiliki nilai kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mortar dengan rasio / 1,0.
Mortar dengan rasio / 1,2 memiliki kuat tekan antara 47-59 MPa, sedangkan mortar dengan rasio / sebesar 1,0
memiliki kuat tekan antara 44-58 MPa. Selanjutnya parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kuat lentur.
Hasil pengujian menunjukkan, mortar dengan rasio / 1,0 memiliki nilai kuat lentur yang tinggi jika dibandingkan
dengan rasio / 1,2 yaitu 8,5-10,5 MPa. Hal ini disebabkan karena mortar dengan rasio / 1,2 akan menghasilkan
mortar yang bersifat kaku, sehingga tidak dapat untuk di cetak melalui mesin 3D printer dengan baik. Hasil pengujian
ditampilkan pada Gambar 5.(b). Selain itu hasil pengujian modulus elastisitas diperoleh 36600 MPa, dan Rasio
Poisson 0,28. Zhang et al. (2019) menyimpulkan, bahwa dengan nilai tersebut modulus elastisitas dan rasio Poisson
dapat diterapkan pada project praktis yang berkaitan dengan struktur 3D printing. Hal ini dikarenakan nilai kuat
tekan, modulus elastisitas, dan rasio Poisson dari mortar 3D printing yang diteliti mendekati atau serupa dengan nilai
parameter pada beton normal.

Marchment et al. (2019) melakukan penelitian tentang ikatan antara lapisan (interlayer bond strength) mortar 3D
printing. Lemahnya ikatan antar lapisan dapat disebabkan oleh jarak pencetakan mortar antara lapisan pertama
dengan lapisan kedua pada sebuah struktur 3D printing. Untuk menaikkan kekuatan antar lapisan maka perlu
ditempuh cara yaitu mengurangi rongga dari struktur mortar, dan menaikkan kontak area antar lapisan mortar.
Peneliti ini membuat variasi campuran mortar. Ada campuran yang terbuat dari semen OPC, pasir yang mengandung
silika tinggi, serta air dikenal dengan 3D printed mix. Selain itu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, ada
beberapa variasi pasta yang juga dibuat dalam penelitian ini, yaitu pasta biasa (paste control), pasta dengan bahan
tambah retarder, pasta yang dimofikasi viskositasnya (VMA), dan pasta dengan superplastisizer (SP). Hasil
pengujian tekan menunjukkan, campuran mortar 3D printing biasa memiliki kuat tekan yang rendah yaitu sebesar 34
MPa. Namun untuk pasta yang menggunakan bahan tambah berkisar 42,1-45,5 MPa, sedangkan untuk pasta jenis SP
memiliki kuat tekan paling tinggi yaitu 53,4 MPa. Hasil pengujian kuat ikat antara mortar menunjukkan pasta yang
menggunakan superplastisizer memiliki kuat ikat yang lebih tinggi yaitu 0,43 MPa jika dibandingkan dengan
campuran mortar 3D printing biasa yang hanya memiliki kuat ikat sebesar 0,27 MPa. Disamping itu, hasil pengujian
kuat tarik mortar diperoleh sebesar 0,27 sampai 0,43 MPa.

(a) (b)

Gambar 5. (a). Sampel pengujian tekan mortar, (b). Hasil pengujian kuat tekan dan kuat lentur dengan berbagai macam variasi
arah pembebanan (Zhang et al., 2019).

Gambar 6. Spesimen dan hasil uji tekan (Marchment et al., 2019)
128

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Paul et al. (2018) meneliti tentang pengaruh arah mesin printer terhadap sifat mekanika mortar 3D printing. Sifat
mekanik yang diteliti yaitu kuat tekan dan kuat lentur. Namun campuran mortar dalam penelitian ini dibuat bervariasi.
Arah mesin printer dalam hal ini diidealisasikan sebagai arah beban seperti dalam Gambar 7. Terdapat 3 macam arah
beban, yaitu searah sumbu , , dan . Dari penelitian ini disimpulkan, kuat tekan mortar yang diuji searah dengan
sumbu X memiliki kuat tekan paling tinggi yaitu 58 MPa pada umur 28 hari. Sedangkan untuk pengujian kuat lentur,
dengan pembebanan searah sumbu menunjukkan hasil yang paling tinggi yaitu 9 MPa. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa sifat mekanika mortar 3D printing dipengaruhi arah mesin printer dalam proses pencetakkan.

Tay et al. (2019) memfokuskan risetnya pada pengaruh jeda waktu (time-gap) filament mortar 3D printing dengan
sifat reologi mortar yakni kuat tarik dan kuat ikat mortar. Peneliti menyimpulkan bahwa dengan meningkatnya jeda
waktu antar filament mortar, maka pori-pori dalam mortar juga akan bertambah. Hal ini akan menyebabkan lemahnya
ikatan (bond-strength) antar partikel dalam mortar, sehingga kestabilan struktur mortar juga akan berkurang. Selain
itu peningkatan jeda waktu akan menyebabkan kuat tarik mortar berkurang. Kuat tarik mortar dengan jeda waktu 1
menit mencapai 0,8 MPa, dan akan terus menurun hingga jika waktu divariasikan menjadi 20 menit hanya tersisa
sekitar 0,2 MPa. Benda uji beserta hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 8. Selanjutnya secara agar lebih mudah
dipahami, hasil literatur review direkap dan disajikan dalam Tabel 1.

Gambar 7. Model pengujian tekan dan lentur dengan arah beban yang berbeda (Paul et al., 2018).

Gambar 8. Uji kuat tarik dan hasil uji kuat tarik mortar 3D printing dengan variasi time-gap (Tay et al., 2019).

Tabel 1. Hasil studi literatur sifat mekanika dari mortar 3D printing.

No Peneliti Kuat tekan Kuat tarik Kuat lentur Kuat geser Modulus elastisitas Rasio
(MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) Poisson

1 Feng et al. (2015) 11,6 - 16,8 - 4,12 0,628 - 4,63 4900 - 7100 0,157 -
0,311
2 Shakor et al. (2017) 3,08 - 8,26 - - - - -
1,63 5,05 - - -
3 Panda et al. (2018) 36 - 9 - - -
1,22 - 1,99 - - - -
4 Paul et al. (2018). 58 - 6 -12 5,5 - 6 - -
- 8,5 -10,5 - 36600 0,28
5 Lee et al. (2019) 18,23 - 66 0,27 - 0,43 - - - -
0,2 - 0,8 - - - -
6 Rahul et al. (2019) 55 - 60 5,9 - 3300 -

7 Zhang et al. (2019) 44 - 58

8 Marchment et al. (2019) 34 - 53,4

9 Tay et al. (2019) -

10 Verian et al. (2020) 58

3 KESIMPULAN

Dari hasil studi literatur yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut.
1. Teknologi 3D printing pada era revolusi industri 4.0 ini terus mengalami perkembangan. Hal ini terbukti karena

riset-riset seputar 3D printing terus ditemukan. Teknologi 3D printing dapat diaplikasikan pada pembuatan
furniture, patung, jembatan sederhana, hingga konstruksi rumah tinggal (3D printing house).

129

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2. Dalam penerapannya, teknologi ini menggunakan mortar sebagai bahan baku utama. Ketika digunakan, mortar
diharapkan memiliki performa yang baik, sehingga tidak mudah hancur ketika terkena gaya yang bekerja dari
luar. Oleh karena itu, sifat mekanika dari mortar tersebut perlu diperhatikan.

3. Sifat mekanika mortar 3D printing sangat bergantung pada metode pembuatannya. Dalam beberapa riset yang
telah dikaji, parameter yang mempengaruhi sifat mekanika mortar adalah variasi campuran mortar, zat aditif, jarak
waktu pencetakan mortar antar lapisan (time gap), kecepatan pencetakkan (printing speed), tinggi jatuh noozle
(noozle standoff distance), metode ekstraksi spesimen, dan arah pembebanan pada saat pengujian (loading
direction).

4. Dari hasil studi literatur secara umum diperoleh kuat tekan sekitar 55 - 66 MPa, kuat tarik sekitar 1,22 - 1,99 MPa,
kuat lentur sekitar 4,12 - 10,5 MPa, kuat geser sekitar 4,63 - 6 MPa, modulus elastisitas sekitar 3300 – 36600
MPa, dan rasio Poisson sekitar 0,157 – 0,311.

5. Nilai modulus elastisitas mortar 3D printing yang paling mendekati dengan nilai modulus elastisitas beton normal
yaitu sebesar 36600 MPa.

6. Studi literatur ini diharapkan menjadi referensi bagi para peneliti mortar 3D printing sebelum membuat konstruksi
bangunan 3D printing secara nyata di lapangan.

REFERENSI
American Concrete Institute. (2018). “Plaster”, ini https://www.concrete.org/topicsinconcrete/topicdetail/plaster?
search=plaster (Accessed on November 16th , 2020).

Han, S. D. (2007). Rheology and Processing of Polymeric Materials (Vol.1), Oxford University Press, Oxford, United
Kindom.

Feng, Peng, Meng, X., Chen, J. F., and Ye, L.. (2015). “Mechanical properties of structures 3D printed with
cementitious powders.” Construction and Building Materials, 93: 486–97.

Khoshnevis, B. (2004). “Automated construction by contour crafting - related robotics and information
technologies.” Automation in Construction 13(1): 5–19.

Lee, H., Kim, J. H. J., Moon, J. M., Kim, W. W., and Seo, E. A. (2019). “Evaluation of the mechanical properties of
a 3D-printed mortar.” Materials 12(24): 1–13.

Marchment, T., Sanjayan, J., and Xia, M. (2019). “Method of enhancing interlayer bond strength in construction
scale 3D Printing with mortar by effective bond area amplification.” Materials and Design, 169, 107684.

Panda, B., Paul, S. C., Mohamed, N. A. N., Tay, Y. W. D., and Tan, M. J. (2018.) “Measurement of tensile bond
strength of 3D printed geopolymer mortar.” Measurement: Journal of the International Measurement Confederation,
113, 108–16.

Paul, S. C., Tay, Y. W. D., Panda, B., and Tan, M. J. (2018). “Fresh and hardened properties of 3D printable
cementitious materials for building and construction.” Archives of Civil and Mechanical Engineering 18(1): 311–19.

Rahul, A. V., Santhanam, M., Meena, H., and Ghani. Z. (2019). “Mechanical characterization of 3D Printable
concrete.” Construction and Building Materials 227: 116710.

Shakor, P., Jay, S., Nazari, A. and Nejadi, S. (2017) “Modified 3D Printed powder to cement-based material and
mechanical properties of cement scaffold used in 3D printing.” Construction and Building Materials 138: 398–409.

Tay, Y. W. D., Ting, G. H. A., Qian, Y., Panda, B., He, L., and Tan, M. J. (2019). “Time Gap effect on bond strength
of 3D-printed concrete.” Virtual and Physical Prototyping 14(1): 104–13.

Verian, K. P., Kowaleski, S. R., Carli, M. D., and Bright, R. P. (2020). “Properties of 3D printing mortar with the
development of a 3D construction printing (3DCP) delivery system.” Transportation Research Record 2674(2): 1–
9.

Zhang, Y., Zhang, Y., She, W., Yang, L., Liu, G. and Yang, Y. (2019). “Rheological and harden properties of the
high-thixotropy 3D printing concrete.” Construction and Building Materials 201: 278–85.

130

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Review Analisis Statik Nonlinear Pushover dalam Evaluasi Kinerja Struktur
Bangunan Gedung

A.A. Putra *, S. Siswosukarto, B. Supriyadi

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Analisis pushover merupakan sebuah metode analisis beban gempa nonlinear yang mampu memberikan solusi dalam mencari
kapasitas struktur dengan berdasarkan konsep perancangan berbasis kinerja (performance-based design). Analisis ini mampu
memperkirakan berapa nilai gaya maksimum yang dapat ditahan oleh struktur dan besarnya deformasi yang terjadi serta
memberikan informasi mengenai elemen mana saja yang akan mengalami kegagalan. Banyak penelitian yang telah dilakukan
terkait analisis pushover. Output dari analisis merupakan tingkatan level kinerja yang terdiri dari operational, immediate
occupancy, life safety, dan collapse prevention. Dari hasil analisis tersebut nantinya akan didapat kesimpulan apakah gedung
yang ditinjau aman atau tidak aman. Apabila tidak aman, maka perlu dilakukan tindak lanjut berupa perkuatan struktur atau
rehabilitasi. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terkait
analisis pushover. Diharapkan makalah bisa menjadi referensi bagi para akademisi maupun perencana struktur dalam
mengaplikasikannya dalam struktur bangunan.

Kata kunci: Analisis Pushover, Performance Based Design, Level Kinerja.

1 PENDAHULUAN
Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sering kali mengakibatkan kerugian ekonomi hingga korban jiwa
dikarenakan kerusakan pada komponen struktural maupun komponen nonstruktural bangunan gedung. Guna
mengurangi dampak kerusakan yang terjadi akibat gempa diperlukan sebuah konstruksi bangunan tahan gempa.
Selain untuk menjamin keamanan dan keselamatan pengguna gedung, hal itu juga dimaksudkan dapat mengurangi
dampak kerugian ekonomi. Dengan menggunakan analisis performance-based design perencana bisa menentukan
level kinerja bangunan yang dikehendaki untuk memperoleh biaya paling ekonomis (Suryanto, 2018). Level kinerja
bangunan terdiri dari operational, immediate occupancy, life safety, dan collapse prevention (FEMA, 2000). Level
kinerja ini nantinya akan menjadi acuan standar minimal dalam perancangan bangunan gedung. Ada dua metode
yang sudah umum digunakan dalam analisis antara lain nonlinear static procedure (NSP) atau bisa disebut pushover
dan nonlinear response history analysis (NLHRA) (Alexander & Sukamta, 2016). Analisis pushover merupakan
sebuah metode analisis beban gempa nonlinear yang mampu memberikan solusi dalam mencari kapasitas struktur
dengan berdasarkan konsep perancangan berbasis kinerja. Analisis ini mampu memperkirakan berapa nilai gaya
maksimum yang dapat ditahan oleh struktur dan besarnya deformasi yang terjadi pada struktur serta memberikan
informasi mengenai elemen mana saja yang akan mengalami kegagalan. Analisis pushover lebih cepat dan lebih
mudah jika dibandingkan dengan nonlinear response history analysis namun cukup memberi gambaran perilaku
inelastik pada struktur serta hasilnya dapat dipercaya dan diandalkan (Pranata 2006). Oleh karena itu dalam makalah
ini akan dibahas beberapa penelitian terkait analisis pushover yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

2 RISET TENTANG ANALISIS PUSHOVER
Akhsan (2014) melakukan penelitian evaluasi kinerja Gedung Kantor Pusat Fakultas Teknik (KPFT) Universitas
Gadjah Mada. Gedung memiliki denah bangunan irregular/assmetric sepeti huruf “Y” terdiri dari tiga lantai. Dalam
penelitian dilakukan 6 pemodelan struktur dengan program bantu SAP2000 guna mendapatkan periode ( ) yang
mendekati dengan pengujian lapangan dengan menggunakan seismometer Mitutoyo GPL-6A3P yang telah dilakukan
Priyosulistyo (2010). Selain itu digunakan program bantu Respons2000 guna mencari data input moment curvature
balok dan balok prategang untuk analisis pushover pada program SAP2000.

Dari penelitian diperoleh nilai periode ( ) yang mendekati kondisi riil gedung KPFT UGM adalah pemodelan gedung
dengan model shell pada dinding dan tangga bertumpuan jepit serta kolom lantai 1 diperbesar 15 cm pada fondasi

131

Yogyakarta, 25-26 Januari 202 1Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

bertumpuan sendi dan pada permukaan lantai dasar bertumpuan jepit. Level kinerja struktur gedung sesuai ATC 40
berdasar story drift lantai 3 adalah Immediate Occupancy, lantai 2 Life Safety, dan lantai 1 Damage Control.
Sedangkan sesuai dengan FEMA 356 dan FEMA 302 menunjukan kesamaan berdasarkan story drift lantai 3 adalah
Immediate Occupancy, lantai 2 Collapse, dan lantai 1 Life Safety.

Jabbar (2018) melakukan studi analisis pushover guna mengevaluasi struktur beton bertulang di wilayah Basrah
dengan mengacu pada ATC-40. Tiga model gedung dianalisis (teratur, tidak teratur dalam bentuk dan tidak teratur
dalam tinggi). Gempa rencana dihitung berdasarkan kode bangunan UBC97. Pemodelan dan analisis dilakukan
menggunakan program SAP2000.

Dari hasil analisis diperoleh gaya geser dasar, perpindahan atap, peredam ekuivalen, letak dan tingkat kinerja plastic
hinges pada titik kinerja dari masing-masing bangunan pada arah dan . Semua bangunan berperilaku mendekati
elastis. Ketidakteraturan dalam gedung tidak mempengaruhi hasil analisis dalam hal penyimpangan antar lantai,
penyimpangan struktur atau tingkat kinerja apabila tegangan terjadi mendekati batas elastis. Bangunan dengan
ketidakteraturan denah menunjukkan kinerja yang lebih baik pada arah sumbu y. Ketiga model gedung menunjukan
level kinerja immediate occupancy.

Haryanto et al. (2015) melakukan evaluasi kinerja struktur akibat pengaruh gempa terhadap gedung D dan gedung E
Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman yang masing-masing berfungsi sebagai laboratorium dan ruang
kuliah. Kajian yang dilakukan meliputi analisis statik linear, analisis dinamik linear, dan analisis beban dorong
(pushover) menggunakan program SAP2000. Pemodelan berupa model tanpa dinding (MTD) masing-masing terdiri
dari 3 lantai. Beban gempa dinamik yang digunakan adalah beban gempa respon spektrum berdasarkan SNI 1726-
2012.

Gambar 1. Pemodelan gedung KPFT UGM yang mendekati kondisi riil Gedung KPFT (Akhsan, 2014).

Gambar 2. Pemodelan 3 gedung dengan ketidakberaturan di Wilayah Basrah (Jabbar, 2018).

Gambar 3. Pemodelan gedung D Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Haryanto, 2015).
132

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Dari analisis statik linear diperoleh gaya geser dasar dan simpangan tingkat maksimum. Dari analisis dinamik linear
diperoleh data simpangan tingkat maksimum pada arah dan . Untuk analisis beban dorong (pushover), dilakukan
pendefinisian sendi plastis pada setiap elemen balok dan kolom secara otomatis pada SAP2000 berdasarkan FEMA
356. Dari analisis diperoleh story drift dari struktur sebesar 0,48% pada gedung D dan 0,56% pada gedung E.
Berdasarkan FEMA 356 kedua gedung memiliki level kinerja immediate occupancy.

Daniel & John (2016) melakukan studi perilaku seismik pada bangunan gedung beton bertulang 10 lantai
menggunakan metode kontrol perpindahan analisis pushover. Diasumsikan gedung berada di wilayah zona gempa 3.
Hinges diberikan pada kedua ujung kolom dan balok. Gaya lateral pada gedung diberikan sesuai IS 1893
(Part1):2002. Bangunan dirancang sebagai model rangka dengan tumpuan jepit.

Dari analisis bangunan memiliki kapasitas base shear melebihi base shear rencana, sehingga bangunan aman untuk
gempa rencana. Sendi plastis terjadi diawali dengan elemen balok dan dilanjutkan pada elemen kolom. Hal ini
menunjukan konsep strong column weak beam. Hasil analisis menunjukan bahwa level kinerja bangunan masuk
kedalam kategori life safety untuk arah dan .

Kadarusman et al. (2017) melakukan kajian analisis pushover untuk perfromance based seismic design pada Gedung
A Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kertosono yang terdiri 4 lantai. Analisis yang dilakukan meliputi analisis
dinamik respon spektrum dan analisis statik non-linear pushover. Analisis dinamik respon spektrum menggunakan
respon spektrum dari SNI 1726-2002 dan SNI 1726-2012. Analisis statik non-linear pushover menggunakan prosedur
A dan B sesuai ATC 40 dengan respon spektrum dari SNI 1726-2002 dan SNI 1726-2012. Analisis dan pemodelan
dengan menggunakan program bantu SAP2000.

Simpangan lateral pada struktur dibebani beban gempa dinamik sesuai SNI 1726-2002 terhadap sumbu dan sumbu
masih termasuk dalam SP-1 Immediate Occupancy (IO). Dari hasil penelitian prosedur A dan B diperoleh titik
kinerja struktur dengan nilai , yang berbeda dikarenakan asumsi penulis yang berbeda dengan program SAP2000.
Mekanisme keruntuhan dari struktur merupakan keruntuhan column sway mechanism dimana elemen struktur yang
mengalami runtuh akibat leleh adalah kolom.

Gambar 5. Pemodelan Gedung 10 Lantai (Daniel & John 2016).

Gambar 6. Pemodelan Gedung A Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kertosono (Kadarusman et al., 2016).
133

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Ismaeil (2018) melakukan pengujian kapasitas seismik pada bangunan gedung beton bertulang menggunakan analisis
pushover. Bangunan yang digunakan adalah gedung 5 lantai yang berfungsi sebagai kantor dan pusat perbelanjaan
berlokasi di Khartoum, Sudan. Gedung didesain mengacu pada British Standards dan dimodelkan serta dianalisis
dengan menggunakan program bantu SAP2000. Analisis yang digunakan adalah analisis statik nonlinear pushover
mengacu pada ATC-40 dan FEMA 273 dengan metode displacement control. Elemen balok dan kolom dimodelkan
sebagai nonlinear frame element with lumped plasticity dengan menetapkan plastic hinges di kedua ujung kolom dan
balok. Plat dimodelkan sebagai shell elements.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bangunan di Sudan perlu diperkuat karena kurva demand memotong kurva
kapasitas antara titik B dan C pada arah menunjukan kinerja collapse prevention. Dan antara titik B dan C pada
arah menunjukan level kinerja life safety dan collapase prevention. Letak sendi plastis menunjukan area yang lemah
dari suatu bangunan, sehingga hal ini akan membantu dalam perkuatan kembali bangunan yang sudah ada. Konsep
strong column weak beam terpenuhi.

Handayani (2018) melakukan penelitian analisis pushover struktur gedung Asrama Mahasiswa Kinanti UGM
berjumlah 7 lantai yang dimodelkan dan dianalisis menggunakan program bantu komputer SAP2000. Kondisi
bangunan masih berupa struktur (atas dan bawah) tanpa komponen arsitektural, mekanikal, dan elektrikal serta beban
layan belum bekerja sehinggan Tier 1 tidak dapat dilakukan. Pemodelan gedung dibuat dalam dua model yakni
pemodelan untuk analisis linear dan untuk analisis nonlinear. Dalam analisis linear dinding geser dimodelkan sebagai
shell sedangkan dalam analisis nonlinear dinding geser dimodelkan sebagai frame dengan rigid body pada balok
selebar dinding geser. Dalam pendefinisian sendi plastis pada penelitian digunakan program bantu Response2000.

Dari Tier 2 analisis statik linear diperoleh struktur gedung Asrama Mahasiswa Kinanti UGM tidak memiliki
ketidakberaturan horizontal dengan beberapa komponen memiliki DCR > 2, maka berdasar FEMA 356 evaluasi
dapat dihentikan, namun struktur gedung memiliki target level kinerja yang tinggi (IO) sehingga berdasar FEMA 310
(1998) struktur gedung diperlukan analisis lebih lanjut. Dalam Tier 3 struktur gedung Asrama Mahasiswa Kinanti
UGM berdasarkan hasil analisis nonlinear statik (analisis pushover) memenuhi persyaratan simpangan antar-lantai
kategori Kategori Resiko IV SNI 1726-2012 untuk gedung Pendidikan. Berdasarkan rasio simpangan antar-lantai,
struktur gedung memiliki level kinerja Immediate Occupancy sesuai FEMA 356 (2000). Dalam analisis disimpulkan
struktur gedung tidak memenuhi target kinerja Immediate Occupancy karena saat titik kinerja terjadi ada beberapa
komponen structural mengalami kegagalan geser

Gambar 7. Pemodelan Gedung 5 Lantai di Khartoum, Sudan (Ismaeil, 2018).

Gambar 9. Pemodelan Gedung Kiri dan Kanan Struktur Gedung Asrama Mahasiswa Kinanti (Handayani, 2018).
134

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Cavdar (2019) melakukan pengamatan perilaku gempa pada hotel dengan dinding geser beton bertulang
menggunakan metode nonlinear. Dalam studi diselidiki gedung hotel di Van Turki yang runtuh selama gempa Van
tahun 2011 dengan menggunakan analisis statik pushover dan analisis dinamik linear menggunakan program
SAP2000. Komponen balok dan kolom dimodelkan sebagai komponen frame nonlinear dengan pilous plasticity
digambarkan dengan plastic hinges di kedua ujung balok dan kolom. Peraturan kegempaan Turki 2019 yang sesuai
denga FEMA 356 digunakan sebagai acuan dalam menilai evaluasi perilaku seismik dari dinding geser gedung beton
bertulang. Flexural rigidity pada tiap member. Balok, kolom, dan dinding geser dimodelkan sebagai frame element
yang dihubungkan pada joint satu sama lain. Pemodelan mengacu pada TEC-1975 sesuai dengan pedoman yang
digunakan saat membangun gedung tersebut.

Berdasarkan TBEC-2019 level kinerja gedung hotel masuk dalam life safety. Sesuai dengan TBEC-2019 bangunan
dinding geser beton bertulang diharapkan dapat memenuhi tingkat kinerja life safety pada saat terjadi gempa rencana
(10% dalam 50 tahun hazar level). Dari analisis nonlinear dinamik diperoleh hasil bahwa level kinerja gedung bukan
life safety melainkan collapse. Dari analisis diperoleh kesimpulan analisis pushover merupakan metode sederhana
untuk mengeksplorasi perilaku nonlinear bangunan. Hasil yang diperoleh adalah spektrum kapasitas dan plastic
hinges yang memberi gambaran tentang perilaku struktur yang sesungguhnya. Namun ketika gedung mengalami
collapse yang parah, analisis pushover meremehkan kinerja bangunan, terlepas dari distribusi beban lateral.

Fauzan et al. (2019) melakukan studi analisis untuk evaluasi kinerja nonlinear dari struktur bagunan tinggi. Studi
dilakukan dengan analisis statik nonlinear pushover dan dihitung dengan capacity spektrum method. Bangunan yang
digunakan adalah sebuah apartemen yang berlokasi di Tangerang. Penelitian dilakukan dalam program ETABS 2016.
Analisis pushover mengacu pada ATC-40. Untuk pembebanan digunakan aturan SNI1726-2012, SNI 1726-2013,
dan PPURG 1987. Kurva respon spektrum sesuai dengan SNI 1726-2012.

Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa gedung apartemen tidak cukup aman, karena level kinerja struktur
masuk kategori damage control. SNI 1726-2012 mensyaratkan untuk periode kala ulang gempa 2500 tahun, kinerja
bangunan diharapkan pada level kinerja life safety. Gaya geser tiap lantai pada arah lebih bersar daripada gaya
geser tiap lantai arah . Plastic hinges lebih banyak terjadi pada arah , hal ini menunjukan bahwa kekakuan pada
arah masih dalam kondisi elastis.

Pierre & Hidayat. (2020) melakukan studi perilaku seismik dari struktur beton bertulang dengan analisis pushover.
Dalam studi digunakan gedung 18 lantai yang berfungsi sebagai gedung perkantoran. Pemodelan dan dibuat dengan
program SAP2000 dengan mengacu pada standar SNI 1726-2012. Analisis pushover dilakukan dengan mengacu
pada ATC-40. Balok dan kolom dimodelkan sebagai elemen nonlinear dengan lumped plasticity pada kedua ujung
elemen dan untuk sendi plastis digunakan default-hinge pada SAP2000.

Gambar 10. Pemodelan Gedung Hotel di Van, Turki (Cavdar, 2019).

Gambar 11. Distribusi Plastic Hinge pada Arah dan Arah Gedung Apartemen (Fauzan et al., 2019).

135

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 12. Pemodelan gedung perkantoran 18 lantai (Pierre & Hidayat, 2020).

Struktur gedung akan menerima beban gempa dalam bentuk base shear atau geser dasar. Geser dasar dari tiap lantai
merupakan fungsi dari massa ( ) dan kekakuan ( ). Geser dasar akan menyebabkan pergeseran atau perpindahan
lantai dari posisi awal. Untuk struktur berbentuk simetris, penyimpangan hanya akan terjadi pada dua dimensi,
penyimpangan suatu massa hanya pada satu posisi sehingga dapat dianggap sebagai derajat kebebasan tunggal
(SDOF) pada atap. Beban gempa akan menimbulkan gaya dalam pada struktur gedung. Apabila material masih dalam
keadaan daktail dan gaya dalam melebihi kapasitas gedung, maka gedung akan berperilaku elastis. Apabila bahan
menunjukan setengah hancur, maka material telah kehilangan sifat daktailnya. Dari hasil analisis pushover. Gaya
geser dasar efektif diperoleh lebih rendah dari gaya geser rencana. Berdasarkan ATC-40 maximum total drift dan
nilai total inelastic drift maksimum pada arah x dan y masuk kategori immediate occupancy.

3 KESIMPULAN
Hasil tinjauan pustaka dalam makalah ini berupa rangkuman beberapa penelitian terkait analisis pushover yang
pernah dilakukan sebelumnya. Masing-masing penelitian memberikan output berupa kurva kapasitas yang
merupakan grafik hubungan antara gaya geser dasar dan perpindahan guna mengetahui level kinerja bangunan
gedung tersebut. Selain itu juga disajikan pola kondisi sendi plastis yang terjadi dalam struktur bangunan sehingga
elemen yang lemah pada bangunan bisa diketahui. Oleh karena itu para peneliti menyimpulkan bahwa analisis
pushover dinilai mampu dalam menunjukan kapasitas struktur dari sebuah bangunan.

REFERENSI
FEMA. (2000) FEMA 356 Prestandard and Commentary for the Seismic Rehabilitation of Buildings. Federal
Emergency Management Agency, Washington, D.C., United States.

Akhsan, A.Y. (2014). “Evaluasi kinerja gedung kantor pusat fakultas teknik (KPFT) Universitas Gadjah Mada
terhadap pengaruh gempa dengan analisis pushover.” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Indonesia.

Alexander, N., and Sukamta, D. (2016). “Inovasi perancangan Gedung Indonesia-1 menggunakan konsep
performance based.” Seminar HAKI 2010. Jakarta.

Cavdar, O. (2019). “Investigation of the earthquake performance of a reinforced concrete shear wall hotel using
nonlinear methods.” International Journal of Science and Engineering Applications, 8(12), 509-516.

Daniel, D.M., and John, S.T. (2016). “Pushover analysis of RC building.” International Journal of Scientific &
Engineering Research, 7(10), 88-92.

Fauzan, R., Erizal, and Sapei, A. (2019). “Nonlinear performance evaluation of high rise building structure”. Asian
Journal of Applied Science, 7(1), 147-154.

Handayani, N.K. (2018). “Analisis pushover struktur gedung Asrama Mahasiswa Kinanti UGM.” Master Thesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Haryanto, Y. and Soedibyo, G.H. (2015). “Evaluasi kinerja struktur akibat pengaruh gempa (studi kasus Gedung D
dan Gedung E Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman)”. Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 1
(SeNaTS 1), Denpasar, 187-194.

Ismaeil, M.A. (2018). “Seismic capacity assessment of existing RC building by using pushover analysis.” Civil
Engineering Journal, 4(9), 2034-2043.

136

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Jabbar, S. (2018). “Pushover analysis of G+5 reinforced concrete building in Basrah”. International Journal of
Innovations in Engineering and Technology (IJIET), 11(1), 53-59.

Kadarusman, R.A., Agoes, S. M. D., and Wibowo, A. (2017). “Kajian analisis pushover untuk performace based
design pada Gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kertosono”. Jurnal Mahasiswa Teknik Sipil, Vol 1 (3).

Pranata, Y.A. (2006). “Evaluasi kinerja gedung beton bertulang tahan gempa dengan pushover analysis (sesuai ATC-
40, FEMA 356 dan FEMA 440). Jurnal Teknik Sipil, Vol 3(1), 41-52.

Priyosulistiyo. (2010). “Dynamic behavior of a three storey building based on microtremor analysis.” Journal
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM.

Pierre, A.J., and Hidayat, I. (2020). “Seismic performance of reinforced concrete structures with pushover analysis.”
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 426, The 3rd International Conference on Eco
Engineering Development, Solo, 012045.

IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, 426, 1-10.

Suryanto, S. E. (2018). “Performance based seismic design: pendekatan lebih terukur dan ekonomis untuk
perencanaan bangunan tingkat tinggi beton bertulang”. Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Indonesia.

137

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Analisis Rasio Kestabilan Angin Dinamik Jembatan Gantung Steel Box Girder

A. N. Hafizh, B. Supriyadi, Muslikh

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Struktur jembatan panjang sering kali menggunakan tipe kabel kerena lebih ekonomis. Jembatan gantung yang merupakan salah
satu jenis jembatan berkabel mampu didesain hingga 2km. Salah satu dari permasalahan jembatan tipe ini adalah beban angin
dinamik yang dapat menimbulkan ketidakstabilan pada dek dan kabel. Faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan ini diantarnya
adalah rasio lebar jembatan terhadap bentang jembatan. Maka dari itu, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang rasio lebar
terhadap bentang jembatan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 3 rasio lebar terhadap bentang yaitu 2%, 3%, dan 5,67%
dari panjang bentang jembatan 300 meter dan menggunakan steel box untuk deknya. Pemodelan dilakukan dengan bantuan
software Midas Civil. Berdasarkan hasil analisis, nilai frekuensi lentur alami dan torsi semakin mengecil seiring dengan
mengecilnya rasio lebar terhadap bentang jembatan. Pada rasio 2%, didapat nilai kerentanan terhadap beban angin ( ) sebesar
1,32 dan masuk kedalam kategori c dengan kriteria jembatan memiliki kerentanan tinggi terhadap beban angin dinamik. Pada
rasio 3%, didapat nilai sebesar 0,446 yaitu berada pada kategori perlunya perhatian lebih pada bentuk penampang jembatan.
Sementara itu, pada rasio 5,67% didapat nilai sebesar 0,063 yang juga masuk dalam kategori b, namun sudah sangat mendekati
nilai kategori a dengan kriteria besaran nilai sebesar 0,04.

Kata kunci: Jembatan Gantung, Beban Angin Dinamik. Aerodinamik, Stabilitas Jembatan Gantung.

1 PENDAHULUAN

Jembatan merupakan struktur yang fungsinya untuk menghubungkan suatu kawasan dengan kawasan lain yang
dihalangi oleh rintangan seperti sungai, laut, jurang, jaringan jalan yang berbeda dan lain sebagainya. Pada tahap
perencanaan, jembatan didesain dengan beberapa faktor penting seperti kekuatan, keawetan, ekonomi, hingga faktor
estetika. Jembatan yang memiliki bentang panjang (long span) sering kali menggunakan tipe jembatan gantung
(suspension bridge) seperti jembatan Akashi Kaikyo di Jepang, jembatan Golden Gate di San Francisco, dan lain
sebagainya. Hal ini dikarenakan jembatan tipe gantung dinilai lebih ekonomis pada bentang 300-2000 meter
(Svensson, 2012).

Salah satu jembatan tipe gantung adalah jembatan Tacoma yang menggunakan sistem dek berupa pelat girder dan
tidak menggunakan bantuan sistem rangka baja. Jembatan ini tercatat runtuh pada 7 November 1940 diakibatkan
hembusan angin dengan kecepatan 42mph atau berkisar 67 km/h. Runtuhnya jembatan tersebut sangan mengejutkan
dikarenakan jembatan tersebut didesain dengan beban angin hingga 120 mph. Setelah jembatan ini runtuh, banyak
peneliti mulai mencari tahu penyebab utama keruntuhan jembatan tersebut. Keruntuhan jembatan Tacoma ini
diklasifikasikan sebagai fenomena aerodinamik pada jembatan bentang panjang yang memiliki ketebalan dek yang
tinggi serta lebar dari jembatan dibandingkan dengan bentang dari jembatan yang kurang ideal menahan beban
aerodinamik. Akibatnya, jembatan mengalami gerak berombak sampai akhirnya jembatan tersebut runtuh (Suangga
& Wiryana, 2008). Agar kejadian runtuhnya jembatan Tacoma ini tidak terulang kembali, maka perlu dilakukan
kajian terhadap rasio lebar jembatan dengan panjang bentang terpanjang dari jembatan gantung.

Imanuel (2016) melakukan penelitian rasio bentang terhadap lebar jembatan gantung, dan didapatkan rasio optimum
lebar dan panjang jembatan adalah = 0,032 . Pada penelitian tersebut, digunakan jembatan tipe rangka dengan
panjang bentang samping 100m, bentang tengah 200m, dan lebar sistem dek yang divariasikan dari 9m hingga 22m.
Data jembatan tersebut diambil dari data Jembatan Kutai Kartanegara. Algazt (2015) juga melakukan hal yang sama
namun dengan tipe jembatan kabel (cable stayed bridge) tipe sharp menggunakan panjang bentang tengah 320 dan
betang samping 160. Dari penelitian tersebut, didapatkan hasil optimal yaitu sebesar ≥ /30. Diseluruhi dunia
sudah banyak jembatan gantung yang terbangun, diantaranya ada yang menggunakan sistem dek rangka baja, dan
box girder dek seperti yang terlihat pada Tabel 1.

138

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 1. Jembatan gantung yang ada di seluruh dunia

Nama Jembatan Bentang (m) Tinggi Pilon (m) Jenis dek Dimensi Dek (m)
Utama Samping BH
Akashi Kaikyō 1991 960 Dari Air Dari Dek Rangka Baja 35,5 14
Great Belt 1642 535 Steel Box 31 4
Fatih Sultan Mehmet 1090 210 297,3 232,3 Steel Box 39,4 3
Yi Sun-sin 1545 357,5 254 Steel Box 29,1 3,05
Golden Gate 1280 345 Rangka Baja 27 7,62
Hakucho Suspension 720 330 111,6 198,7 Steel Box 23 2,5
Humber 1410 530 dan 280 270 152 Steel Box 28,8 4,5
230 91

131

162,5 132,5

Oleh karena itu, dalam makalah ini peneliti ingin melakukan studi analisis terkait perilaku dan nilai frekuensi lentur
alami dan torsi jembatan, sekaligus mencari nilai kerentannan angin dinamik ( ) pada masing-masing rasio lebar
terhadap bentang jembatan. Analisis hanya dilakukan pada struktur atas jembatan gantung saja sehingga penurunan
tanah, gaya arus, dan hal lain yang terkait dengan masalah pada bangunan bawah tidak ikut ditinjau. Pemodelan dan
analisis dilakukan menggunakan software Midas Civil. Selain itu, faktor konstruksi tidak dipertimbangkan dalam
penelitian ini. Peneliti berharap makalah ini dapat membantu para perencana dalam mendesain jembatan dan
menentukan rasio yang aman dari bentang jembatan dan lebar dek jembatan terhadap kestabilan jembatan terutama
pada kestabilan aerodinamik.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Jembatan gantung adalah jenis jembatan yang menggunakan tumpuan tegangan kabel pada tumpuan samping.
Jembatan gantung biasanya memiliki kabel utama (kabel baja atau rantai) yang diangkurkan pada setiap ujung
jembatan. Setiap beban yang diterapkan ke jembatan berubah menjadi tegangan dalam kabel utama. Komponen atau
bagian-bagian struktur atas jembatan gantung seperti yang tertera pada Gambar 1 meliputi: lantai (deck) jembatan,
kabel penggantung (suspension cables/hanger), kabel utama (main cable), dan menara (pylon/tower),

2.1 Fungsi komponen jembatan gantung

Jembatan gantung meiliki beberapa komponen seperti lantai (deck) jembatan merupakan struktur longitudinal yang
menyokong dan berfungsi sebagai mendistribusikan beban lalu lintas yang lewat diatasnya. Kabel utama (main
Cable) memilki fungsi sebagai penahan kabel penggantung dan juga berfungsi menyalurkan beban dari kabel
penggantung ke menara (tower/pylon). Pada Gambar 2, terlihat beberapa potongan melintang berbagai macam kabel
yang biasa digunakan pada jembatan. Kabel penggantung (hanger/suspender), berfungsi sebagai penggantung lantai
(deck) jembatan dan menyalurkan beban dari lantai (deck) jembatan ke kabel utama. Menara merupakan salah satu
komponen vital, dimana menara akan menjadi tumpuan kabel utama. Beban yang dipikul oleh kabel utama diteruskan
ke menara yang kemudian disebarkan ke tanah melalui fondasi.

Gambar 1. Komponen struktur atas jembatan suspensi (Harazaki, et al., 2000)

Gambar 2. Penampang Melintang Kabel baja (Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No.02/SE/M/2010)

139

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.2 Kestabilan Aerodinamik

Pada jembatan yang menggunakan sistem kabel, hal utama yang perlu diperhatikan juga dalam tahap desain adalah
kestabilan jembatan terhadap aerodinamik. Beberapa hal yang mempengaruhi kestabilan aerodinamik diantaranya
bentuk penampang dek jembatan, kekakuan dek jembatan, berat dek jembatan, dan adanya bantuan dari alat kontrol
untuk menstabilkan kabel dari beban aerodinamik. Selain itu, aspek penting lainnya dari gelagar jembatan adalah
kekakuan torsional jembatan, semakin baik kekakuan torsional maka akan menyebabkan kestabilan yang lebih baik
dari jembatan terhadap beban aerodinamik. Efek dari terjadinya fenomena aerodinamik dapat dilihat pada Gambar 3

3 METODE PENELITIAN

Aspek teknis yang perlu diperhitungkan dalam proses perencanaan jembatan bentang panjang adalah ketahanan
terhadap beban angin (Angga & Syariefatunnisa, 2018). Kecenderungan pengaruh beban angin dinamik akan
semakin signifikan berdampak pada jembatan apabila bentang jembatan semakin panjang.

3.1 Pembebanan Jembatan

Pembebanan jembatan yang digunakan adalah menggunakan standar SNI 1725:2016 yang mengatur komponen
beban jembatan terdiri dari, beban MS (beban mati komponen struktural dan non struktural jembatan), MA (beban
mati perkerasan dan utilitas), TD (beban lajur “D”), TD (beban truk “T”), TAPI (beban pejalan kaki), EQ (gaya
gempa), EWs (beban angin pada struktur), dan EWl (beban angin pada kendaraan).

3.2 Stabilitas aerodinamik

Dalam Pedoman Teknis Jembatan Beruji Kabel (2015) dijelaskan bahwa tingkat kerentanan jembatan terhadap beban
dinamik angin dinyatakan dengan parameter dengan Persamaan (1).

= (φ 2) ( 1 6 22) (1)



dimana φ adalah kerapatan udara (kg/m3), adalah lebar dek jembatan (m), adalah berat persatuan panjang dek,
adalah kecepatan angin rata-rata dalam periode 1 jam (m/s), adalah panjang bentang maksimum (m), dan
adalah frekuensi lentur alami (Hz).

Gambar 3. Jembatan Tacoma yang mengali beban efek dari aerodinamik flutter (Svensson, 2012).

Tabel 2. Tingkat kerentanan jembatan terhadap angin dinamik (Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 08/SE/M/2015)

Kategori Syarat Keterangan
Kategori a Pengaruh angin dinamik pada struktur jembatan tidak signifikan
Kategori b <0,04 Diperlukan perhatian terhadap bentuk penampang jembatan
Kategori c 0,04 ≤ ≤ 1,00 Pengaruh angin dinamik sangat signifikan
> 1,00

140

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dengan beberapa langkang yang sesuai dengan urutan penelitian berikut:
a) Pengumpulan data referensi jembatan gantung: panjang bentang, tinggi pilon, material dek, rasio lebar dek
dengan tinggi dek.
b) Studi literatur
c) Permodelan jembatan dilakukan secara numerik dengan idealisasi pengunaan elemen hingga 3Dimensi
menggunakan Software MIDAS Civil. dengan berbagai variasi rasio bentang terhadap lebar dek, rasio lebar
terhadap bentang yang digunakan adalah 2%, 3%, dan 5,67% atau 6m, 9m dan 17m.
d) Pembebanan jembatan sesuai dengan SNI 1725:2016
e) Perhitungan kestabilan terhadap kerentanan angin dinamik jembatan pada seluruh jembatan
f) Analisis hasil perhitungan
g) Pembuatan kesimpulan dan saran

Model jembatan terdiri dari beberapa material yang berbeda-beda. Tabel 3 menyajikan jenis material beserta mutu
materialnya dan. Gambar 4 menyajikan tipikal geometri jembatan gantung yang akan dibuat.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Frekuensi Alami Struktur

Setelah melakukan analisis jembatan gantung sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan sebelumnya, maka
diperoleh perilaku jembatan seperti terlihat pada Gambar 5. Nilai frekuensi alami lentur pada jembatan dengan lebar
17 meter (5,67% dari bentang span terpanjang atau ) adalah 0,5699 Hz, sedangakan untuk jembatan dengan lebar 9
meter (3% ) nilainya adalah 0,3445 Hz. Pada jembatan dengan lebar 6 meter (2% ), didapatkan nilai frekuensi
alami lentur sebesar 0,2855 Hz. Sementara itu, nilai frekuensi alami torsi pada masing-masing jembatan dengan lebar
17m, 9m, dan 6m adalah 0,9820 Hz, 0,5088 Hz, dan 0,3087 Hz.

Tabel 3. Material dan mutu dari tiap komponen jembatan

Komponen Material Mutu Keterangan
Pilon Beton Fc40
Dek Steel BJ41 ′= 40MPa
Kabel Steel strand A416-270(low) = 240MPa & = 410 MPa
= 1600MPa & = 1800MPa

Gambar 4. Tipikal geometri jembatan

Frekuensi (Hz) 1.2 Fb
1 Ft

0.8
0.6
0.4
0.2

0
0 5 10 15 20
Lebar Jembatan (m)

Gambar 5. nilai frekuensi banding dan torsi jembatan

141

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Fungsi dari rasio lebar terhadap frekuensi bending adalah seperti yang terlihat pada Persamaan (2) sedangkan untuk
fungsi frekuensi alami torsi seperti terlihat pada Persamaan (3)

= 18,236 − 0,0485 (2)

dimana adalah natural frekuensi lentur alami jembatan, dan adalah rasio lebar terhadap bentang jembatan.

= 7,9 + 0,119 (3)

dimana adalah natural frekuensi torsi alami, dan adalah rasio lebar terhadap bentang jembatan.

4.2 Kerentanan Jembatan Terhadap Beban Dinamik

Nilai kerentanan jembatan terhadap beban dinamik ( ) terlihat pada Gambar 6. Jembatan dengan lebar jembatan 17
meter (5,67% L) memiliki nilai sebesar 0,063 dan jembatan dengan lebar 9 meter (3% L) memiliki nilai sebesar
0,446. Kedua jembatan ini masuk kedalam kategori b dengan makna bahwa perlu adanya perhatian terhadap bentuk
penampang jembatan agar efek angin dinamik yang mengenai struktur tidak menimbulkan hal fatal pada jembatan.
Namun, jembatan yang memiliki lebar 17 meter sudah sangat mendekati kategoti a, dengan selisih untuk kategori
a dengan lebar 17 meter adalah 0,023 sedangkan pada lebar 6 meter (2%L) didapatkan nilai sebesar 1,32
shingga masuk kedalaman kategori c yaitu pengaruh angin dinamik sangat signifikan pada jembatan. Pada kategori
ini, beban angin dinamik menjadi perhatian utama dan perlu dikaji lebih dalam lagi apakah masih memungkinkan
menggunakan konfigurasi yang sama atau adanya perubahan rasio lebar terhadap bentang jembatan.

Angka kerentanan angin 10
dinamik (Pb)
Kategori c

1

Kategori b

0.1

Kategori a

0.01
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lebar Jembatan (m)

Gambar 6. Nilai dari masing-masing lebar jembatan

Hubungan antara rasio lebar-bentang dengan nilai kerentanan angin dinamik ( ) membentuk persamaan power atau
berpangkat seperti yang dapat dilihat pada seperti pada Persamaan (4)

= 10−5 −2,939 (4)

dimana adalah angka kerentanan angin dinamik, dan adalah rasio lebar terhadap bentang jembatan.

5 KESIMPULAN

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai frekuensi alami lentur pada jembatan semakin mengecil seiring
dengan berkurangnya rasio lebar terhadap bentang jembatan, begitupula dengan frekuensi torsi yang semakin
mengecil. Nilai frekuensi lentur untuk masing-masing rasio 5,67%, 3%, dan 2% adalah 0,5699 Hz, 0,3445 Hz, dan
0,2855 Hz. Sementara itu, nilai frekuensi torsi untuk masing-masing rasio 5,67%, 3%, dan 2% adalah 0,982Hz,
0,5088Hz dan 0,3087Hz

Nilai atau angka kerentanan angin dinamik dari ketiga model dengan rasio 5,67%, 3%, dan 2% adalah 0,063;
0,446; dan 1,32. Jembatan dengan rasio 2% masuk kedalam kategori c yaitu dengan kategori jembatan memiliki
kerentanan tinggi terhadap beban angin dinamik. Jembatan dengan rasio 3% masuk kedalam kategori b yang
bermakna perlunya perhatian lebih pada bentuk penampang jembatan, dan jembatan dengan rasio 5,67% juga masuk
kedalam kategori b, namun pada rasio ini nilai sudah sangat mendekati kategori a yang menyaratkan angka

142

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

sebesar 0,004. Nilai ini membentuk power curve atau persamaan berpangkat yang bila diteruskan maka kategori
a atau kategori dengan pengaruh angin dinamik pada struktur jembatan tidak signifikan jatuh di angka rasio 7,33%
atau sama dengan 22 meter.

REFERENSI
Algazt, A., M., (2016). “Analisis kestabilan cable stayed tipe sharp akibat rasio bentang terhadap lebar jembatan”
Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Angga, D. S., and Syariefatunnisa. (2018). “Kajian eksperimental soft flutter pada model seksional jembatan.”
Journal of Aero Technology, Vol 1(2) , 29-36.

BSN. (2016). SNI 1725:2016. Pembebanan untuk Jembatan. Badan Standar Nasional, Jakarta, Indonesia.

Harazaki, I., Suzuki, S., Okukawa, A., (2000). Bridge Engineering Handbook, CRC Press, Florida, United States.

Imanuel E.S.H. (2016). “Analisis kestabilan jembatan gantung dengan rasio bentang terhadap lebar jembatan” Master
Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2010). Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No.
02/SE/M/2010. Pemberlakukan Pedoman Perencanaan dan Pelaksanaan Konstruksi Jembatan Gantung Untuk
Pejalan Kaki. Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.

Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015) Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No.
08/SE/M/2015. Pedoman Perencanaan Teknis Jembatan Beruji Kabel. Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta,
Indonesia.

Suangga, M., and Wiryana, A. (2008). “Analisis flutter jembatan tacoma narrows lama”. Seminar dan Pameran HAKI
2008, Jakarta, Indonesia

Svensson, H., (2012). Cable-Stayed Bridges 40 Years of Experience Worldwide, Ernst & Sohn, Berlin, Germany.

143

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Peningkatan Frekuensi Lantai Gedung untuk Menghindari Resonansi Akibat
Beban Dinamik

(Studi kasus Gedung Sleman City Hall Yogyakarta)

A. Andrestari*, B. Supriyadi, S. Siswosukarto

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Gedung Sleman City Hall merupakan salah satu mall yang memiliki lantai bertingkat yang terletak di Sleman, Yogyakarta.
Intensitas masyarakat untuk mengunjungi mall tersebut termasuk tinggi, karena selain untuk tempat pusat perbelanjaan, juga
menyediakan rekreasi hiburan untuk pengunjung. Hasil penelitian numerik terhadap Gedung Sleman City Hall masih mampu
untuk menahan gempa dan beban statik. Namun, pengadaan live music konser di plat lantai di Ballroom tersebut menerima beban
hidup statik pengunjung serta beban gerakan ritme pengunjung (beban dinamik), sehingga displacement yang besar dan
ketidaknyamanan dirasakan. Hal ini disebabkan frekuensi alami struktur plat lantai Ballroom hanya memiliki 3,35 Hz serta
displacement yang terjadi ketika live music konser sebesar 132,54 mm. Penelitian ini akan mencoba mencari solusi untuk
meningkatkan frekuensi natural plat lantai dan meminimalkan displacement. Perkuatan 1 dilakukan dari pihak owner sendiri
yang sudah dilaksanakan di Gedung Sleman City Hall, dengan hasil numerik didapatkan frekuensi sebesar 4,27 Hz, dan
displacement terbesar 47,59 mm. Perkuatan 2 sebagai penelitian lanjutan, dengan hasil numerik didapatkan frekuensi sebesar
5,34 Hz, serta displacement terbesar 2,57 mm. Nilai displacement yang didapatkan dari perhitungan SNI 2847-2019 didapatkan
batas displacement maksimum 66,67 mm. Hasil analisis numerik dari dua perkuatan tersebut, untuk perkuatan 2 memiliki
frekuensi alami lebih tinggi dan displacement lebih kecil.

Kata kunci: Frekuensi Alami, Displacement, Plat Lantai, Analisis Numerik, Ritme.

1 PENDAHULUAN

Penelitian secara numerik pada plat lantai Ballroom di gedung Sleman City Hall menunjukkan bahwa struktur masih
mampu menahan beban gempa dan beban hidup statik. Namun, adanya konser live music, khususnya pada 14 Febuari
2020 lalu, sempat menjadi viral di media sosial karena pengunjung yang mengikuti konser merasakan adanya getaran
yang besar pada Ballroom ketika pengunjung mulai berjoget mengikuti ritme musik . Hal ini menimbulkan perasaan
tidak nyaman, sehingga konser dihentikan dan para pengunjung dievakuasi untuk keluar dari gedung. Hal ini terjadi
karena frekuensi alami struktur lantai yang hanya 3,35 Hz, didekati oleh frekuensi gerakan ritme pengunjung.

Struktur bentang panjang berperilaku fleksibel dan memilki frekuensi natural yang rendah, dimana nililanya
mendekati frekuensi natural yang dihasilkan oleh pemain band dan beban pejalan kaki, jika itu dipaksakan ke dalam
struktur, maka respon dinamik bahkan kerusakan katastropik dapat terjadi. Oleh karena itu, selain persyaratan desain
harus memperhatikan potensi getaran yang disebabkan aktivitas ritmik manusia dalam struktur bentang panjang
terhadap kemampuan servis getaran (Zhu et al., 2020). Struktur gedung yang sudah berdiri sebelumnya memiliki
perilaku dinamik yang kurang memuaskan, disebabkan dalam desain hanya meninjau strengh limit states tanpa
meninjau serviceability limit states. Oleh karena itu, perbaikan struktur harus dilakukan dan memilih metode yang
tepat dalam perbaikan sehingga efektif dan tanpa overlap pada limit states (Islam, 2010). Untuk melakukan perkuatan
pada struktur di Ballroom Gedung Sleman City Hall merupakan hal yang tidak mudah, sehingga diperlukan analisis
perkuatan yang dapat menambahkan kekakuan pada pelat Ballroom dan menghindari overdesign.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kondisi eksisting dan kondisi perkuatan 1 yang sudah
terbangun di Gedung Sleman City Hall dan mencari solusi penambahan perkuatan struktur yang menjadi penelitian
pada perkuatan 2 sehingga frekuensi alami pelat lantai meningkat dan displacement plat lantai menururn tanpa harus
merubah perkuatan struktur yang sudah terbangun (Perkuatan 1). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat
menjadi pertimbangan untuk desain perkuatan selanjutnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Frekuensi gaya eksitasi akibat aktivitas ritmik manusia juga terjadi dalam rentang kurang lebih sekitar 4 Hz. Semua
kombinasi membuat sistem struktural lebih rentan fenomena resonansi, menyebabkan getaran yang tidak diinginkan

144

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

dengan rentang frekuensi yang dapat dirasakan oleh manusia (Gaspar et al., 2015). Pelat lantai dengan bentang
panjang yang didesain hanya untuk beban statik memiliki frekuensi alami sebesar 4,5 – 5,5 Hz. Beban dinamik dari
kelompok dansa dalam waktu lebih dari 20 detik, memilki frekuensi sebesar 2 Hz – 3 Hz. Oleh karena itu dalam
mendesain pelat lantai bentang panjang seharusnya memiliki minimal frekuensi alami dua kali lebih besar dari beban
dinamik ketika orang berdansa. Rekomendasi frekuensi alami pada plat lantai bentang panjang untuk dansa yang
telah diteliti untuk struktur beton bertulang frekuensi alami > 6,5 Hz, struktur beton prategang frekuensi alami > 7
Hz, struktur Komposit > 7,5 Hz, dan struktur baja > 8 Hz ( Bachman, 1995).

Redaman struktural dalam sistem lantai komposit baja-beton adalah parameter yang sangat penting dalam masalah
dinamik, khususnya dalam mengurangi getarannya yang berlebihan. Meskipun redaman dalam komposisi sistem
pelat lantai itu dapat diukur dengan menggunakan heel impact test , nilai untuk redaman struktural di lantai komposit
baja-beton sistem sebagian besar tidak dikenal karena berbagai batasan. Ada banyak referensi yang melaporkan
beberapa tingkat redaman. Literatur teknis dan secara umum, redaman untuk lantai komposit didefinisikan antara
1,0% dan 2,0% (Silva et al., 2014). Respon dinamis pelat lantai ditentukan oleh analisis frekuensi dan percepatan
alaminya, sehingga hasil dari analisis dinamik diperoleh dari analisis parametrik berdasarkan metode elemen hingga
menggunakan software. Bertujuan untuk mengevaluasi secara kuantitatif dan kualitatif hasil yang diperoleh yang
diusulkan dianalisis dan dibandingkan dengan beberapa rekomendasi perkuatan, perbandingan tersebut untuk
mengedintifikasikan untuk tingkat geteran berlebihan terhadap kenyaman manusia (Gaspar et al., 2016).

3 METODE PENELITIAN

Pemodelan analisis numerik dilakukan tiga pemodelan yaitu, kondisi eksisting, kondisi perkuatan (perkuatan sudah
dilakukan oleh pihak owner di area Ballroom), dan kondisi perkuatan 2 yang dilakukan peneliti. Konvergensi yang
dilakukan adalah menbandingkan displacement maksimum yang terjadi, frekuensi alami struktur, serta hasil
hubungan dari kedua variabel tersebut menggunakan software SAP2000.

3.1 Informasi Mutu material

Material pada pemodelan ini menggunakan beton dengan ′ = 25 MPa dan modulus elastisitas, sebesar 23500
MPa. Selain itu, juga digunakan tulangan BJTS 420 dengan = 420 MPa dan = 525 MPa, serta baja BJ-37 dengan
= 240 MPa dan = 370 MPa.

3.2 Informasi Kondisi Eksisting

Ballroom Sleman City Hall dan rangka profil baja yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Kondisi Eksisting Ballroom Sleman City Hall dengan struktur truss Baja

Gambar 2. Profil yang digunakan pada truss

145

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.3 Input Beban dan Analisis Respon Harmonik

Beban-beban yang di input pada pemodelan struktur Ballroom sebagai berikut :

a) Beban mati struktur dan mati tambahan
Beban mati struktur yaitu beban yang dihasilkan dari berat sendiri struktur (truss baja dan pelat beton bertulang),
dan pada pemodelan struktur sudah otamatis terhitung. Beban mati tambahan berupa karpet penutup pelat beton
dengan asumsi beban luasan sebesar 0,7 kN/m2 dan beban lampu gantung yang berupa beban titik dengan asumsi
800 N.

b) Beban hidup
Beban hidup diatur oleh SNI 1727-2020 yang didapatkan sebesar 4,79 kN/m2.

c) Analisis Respon Harmonik
Analisis respon harmonic yang akan diinputkan dipemodelan, menggunakan persamaan (1), dengan asumsi berat
manusia sebesar 800 N sebagai variable P pada persamaan (1), dari persamaan tersebut dan parameter yang
diinputkan didapatkan dari (Faisca, 2003) dan (Murray, 2016) yaitu konser rock pada plat bentang panjang
didapatkan hasil yang dapat dilihat pada Gambar 3.

( ) = { [0.5 − 0.5 (2 )]} Ketika ≤ (1)



dimana ( ) adalah beban dinamik (N), :adalah koefisien phase, adalah koefisien impact; adalah berat
manusia; adalah waktu kontak aktivitas (s), : aktivitas periode (s), dan adalahwaktu (s).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis Pemodelan Eksisting Ballroom

Pemodelan Eksisting pada Ballroom yang sudah diinputkan beban dinamik rock konser yang sebelumnya dianalisis
menggunakan Persamaan (1), menunjukan hasil displacement ditengah bentang maksimum yang terjadi pada
keseluruhan pemodelan struktur, akibat kombinasi beban layan sebesar 132,54 mm yang dapat dilihat pada Gambar
4, sehingga displacement tersebut tidak memenuhi kriteria dimana nilai displacement maksimum melebihi 66,67 mm
yang merupakan nilai displacement maksimum yang terjadi dari analisis dari SNI 2847-2019, dan memiliki frekuensi
alami struktur sebesar 3,34 Hz. Sehingga diperlukan perkuatan struktur untuk meminimalkan displacement serta
meningkatkan frekuensi alami struktur, dari perkuatan struktur tersebut dapat dibandingkan untuk menentukan
perkuatan struktur yang lebih aman (lihat Tabel 1).

Gambar 3. Beban dinamik rock konser dari gerakan ritmik manusia

Gambar 4. Hasil Pemodelan SAP2000 Ballroom Eksisting
146

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4.2 Hasil Analisis Perkuatan 1 Ballroom

Analisis Perkuatan 1 dilakukan sesuai yang sudah terbangun di Gedung Sleman City Mall (lihat Gambar 6),
pemodelan ini dilakukan untuk menganalisis perkuatan tersebut dengan beban dinamik rock konser yang sebelumnya
dianalisis menggunakan persamaan (1), menunjukkan hasil lebih baik dari kondisi eksisting, dari hasil pemodelan
dan analisis didapatkan bahwa displacement di As-6 dan As-9 merupakan displacement maksimum akibat kombinasi
beban layan sebesar 47,59 mm yang dapat dilihat pada Gambar 6, displacement tersebut sudah memenuhi kriteria
SNI 2847-2019, dimana nilai displacement maksimum tidak melebihi 66.67 mm, dan memiliki frekuensi alami
struktur sebesar 4,27 Hz. Perkuatan 1 menunjukkan peningkatan signifikan (lihat Tabel 1 dan Tabel 2) dari kondisi
eksisting, tetapi frekuensi alami struktur yang dihasilkan masih kecil, sehingga perlu dicoba untuk menambah
perkuatan lagi dari kondisi perkuatan 1 yang akan dimodelkan menjadi perkuatan 2 dari peneliti.

4.3 Hasil Analisis Perkuatan 2 Ballroom

Pemodelan Perkuatan 2 yang sudah diinputkan beban dinamik rock konser yang sebelumnya dianalisis menggunakan
persamaan (1), dilakukan perkuatan dengan menambah kolom baja H-Beam 350.350.12.19 di As-5, As-6, As-9 dan
As-10 di tengah bentang struktur pada perkuatan 1, karena tidak memungkinkan untuk mengubah total dari perkuatan
1, sehingga dari pemodelan perkuatan 2 didapatkan displacement akibat kombinasi beban layan sebesar 25.74 mm
yang dapat dilihat pada Gambar 7, displacement tersebut sudah memenuhi kriteria SNI 2847-2019, dimana nilai
displacement maksimum tidak melebihi 66,67 mm, dan memiliki frekuensi alami struktur sebesar 5,34 Hz. Perkuatan
2 menunjukan hasil yang lebih baik dari kondisi eksisting dan perkuatan 1, dan penambah kolom baja tersebut sudah
aman terhadap tekuk dari hasil analisis, dikarenakan kondisi sekarang untuk sambungan masih tidak memenuhi
syarat, sehingga perlu untuk diperbaiki kembali dan dengan penelitian ini bisa untuk pertimbangan untuk menambah
perkuatan.

Gambar 5. Ballroom Sleman City Mall yang dimodelkan sebagai perkuatan 2

Gambar 6. Hasil Pemodelan SAP2000 Ballroom Perkuatan 1

147

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 7. Hasil Pemodelan SAP2000 Ballroom Perkuatan 2

Tabel 4. Frekuensi dan Kekakuan Ballroom

Frekuensi (Hz) SAP2000 Massa Kekakuan

No Pemodelan Plat Eksisting Plat Eksisting + Gabungan Gabungan
Perkuatan (Gabungan) (kg.s2/cm) (kg/m)

1 Pelat Eksisting 3,3531 - 665,21 295269,9

2 Pelat Perkuatan 1 4,2690 674,32 485143,2

3 Pelat Perkuatan 2 5,3438 677,08 763304,8

Tabel 5. Displacement pada Pemodelan Ballroom

Maximum Displacement (mm) 1.2 DL + 1.6 1.2 DL + L/360 (mm)
LL 1.6 LL SNI 2847-
No Pemodelan Dead LL LL Harmonic Static (mm) Harmonic 2019 Keterangan
3Hz (mm)
Load Static Rock Konser 3 Hz 66.67 Berbahaya
66.67 Memenuhi
1 Plat Eksisting 15.33 11.80 71.34 37.28 132.54 66.67 Memenuhi

2 Plat Perkuatan 1 11.91 8.03 20.81 27.14 47.59

3 Plat Perkuatan 2 7.39 4.96 10.55 16.80 25.74

5 KESIMPULAN

Hasil analisis pemodelan pada Ballroom Eksisting dengan beban dinamik rock konser memiliki frekuensi alami yang
rendah yaitu 3,34 Hz, dan displacement yang terjadi di tengah bentang sebesar 132,54 mm yang melebihi analsis
batas maksimum SNI 2847-2019 sebesar 66,67 mm. Hasil Perkuatan 1 masih memenuhi dalam menerima beban
dinamik rock konser dengan nilai frekeunsi alami sebesar 4,27 Hz dan displacement yang dihasilkan 47,59 mm yang
nilai tersebut masih memenuhi SNI 2847-2019. Perkuatan 2 menujukan hasil yang lebih baik dairi kondisi eksisting
dan perkuatan 1 dengan nilai frekuensi alami sebesar 5,34 Hz dan displacemet yang terjadi sebesar 25,74 mm, karena
dapat meningkatkan 60% frekuensi natural yaitu dari 3,35 Hz (kondisi eksisting) menjadi 5,34 Hz, dan mengurangi
displacement menjadi 25,74 mm terhadap respon dinamik konser rock, mengingat kondisi sambungan profil baja
yang sudah terlaksana memilki kondisi yang kurang baik, maka disarankan untuk dilakukan perbaikan kembali
terhdapa sambungan profil baja dan perkuatan 2 dapat menjadi pertimbangan kembali untuk meningkatkan frekuensi
dan mengurangi displacement.

REFERENSI

Bachmann, H., Pretlove, A.J. (1995). “Vibration Problems in Structures”. Birkhauser Verlag. Boston

BSN. (2019). SNI 2847-2019 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung. Badan Standisasi
Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2013). “SNI 1727-2013 tentang Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain.
Badan Standisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

148

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Faisca., R.G. (2003). “Characterization of dynamic loads due to human activities”. PhD Thesis (In Portuguese). Civil
Engineering Department. COPPE/UFRJ. Rio de Janeiro/RJ. Brazil

Gaspar, C.M.R., Silva, J.G.S.da., Neves, L.F. (2016). “Multimode vibration control of building steel;-concrete
composite floors submitted to human rhythmic activities”. Computers ans Structures. 165(1) : 107 – 122.

Gaspar, C.M.R., Silva, J.G.S.da., Campista, F.F. (2015). “Human Comfort Evaluation of Composite Floors”.
International Journal of Civil and Structural Engineering. 2(1) : 121 – 125.

Islam, M. (2010). “Perilaku Dinamik Lantai Berbentang Panjang dengan dan tanpa Pengaku Rangka Batang”. Jurnal
Teknik Sipil Inersia. 2(2) : 10 – 19

Murray, T.M., Allen, D.E., Ungar, E.E., Davis, D.B. (2016).”Vibrations of Steel-Framed Structural Systems Due to
Human Activity”. Steel Design Guide Series. American Institute Of Steel Construction-11. Chicago. United States of
American

Silva, J.G.S.da., Andrade, S.A.L.de., Lopes, E.D.C. (2014). “Parametric Modelling of the Dynamic Behaviour of a
Steel-Concrete Composite Floor”. Engineering Structures. 75(1) : 327 – 339

Zhu, Q., Liu, K., Liu, L., Du, Y., Zivanovic, S. (2020). “Experimental and Numerical Analysis on Serviceability of
Cantilevered Floor Based on Human-Structure Interaction”. Journal of Constructional Steel Research. 173(1) : 1 –
16.

149

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Kekakuan Kolom Persegi Beton Bertulang Diretrofit dengan Wire Mesh akibat
Beban Siklik

H. M. Wuaten*, H. Parung, A. A. Amiruddin, R.Irmawaty

Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Gempa bumi dapat menyebabkan kerusakan dan kegagalan pada struktur yang tidak direncanakan dengan baik terhadap beban
gempa. Kekakuan struktur merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan pada struktur yang didesain terhadap beban
gempa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kekakuan pada kolom beton bertulang adalah dengan
melakukan retrofitting pada perkiraan daerah sendi plastis kolom menggunakan material yang mudah didapat di pasaran seperti
wire mesh. Dalam penelitian ini, spesimen uji terdiri dari 2 buah kolom persegi beton bertulang dengan ukuran 300 x 300 mm
dan pada salah satu spesimen diretrofit menggunakan wire mesh ukuran M6 pada perkiraan daerah sendi plastis. Spesimen diuji
dengan beban siklik berdasarkan metode displacement control. Dari hasil pengujian menunjukan bahwa kolom yang diretrofit
dengan wire mesh pada perkiraan daerah sendi plastis mempunyai kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan kolom yang
tidak diretrofit. Selain itu, penurunan nilai kekakuan dari kolom yang diretrofit dengan wire mesh lebih kecil dibandingkan

dengan kolom yang tidak diretrofit.

Kata kunci: Retrofit, Wire Mesh, Kekakuan.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi potensial dari dalam perut bumi yang kemudian menjalar ke
permukaan bumi dalam bentuk gelombang gempa yang diakibatkan oleh aktivitas dari pergerakan pelat tektonik.
Sampai saat ini, gempa bumi merupakan fenomena alam yang belum dapat diprediksi kapan terjadinya, dimana
lokasinya dan berapa besar energi yang akan dilepaskan, sehingga setiap terjadi peristiwa gempa bumi cenderung
bersifat merusak dan memakan korban jiwa.

Menurut Seible et al. (1997), kerusakan yang terjadi pada struktur bangunan akibat gempa bumi dapat bervariasi,
mulai dari kerusakan ringan sampai dengan kerusakan berat dan salah satu kerusakan yang paling berbahaya pada
struktur adalah terjadinya keruntuhan kolom yang dapat mengakibatkan keruntuhan total dari struktur bangunan.
Sedangkan menurut Tsonos (2008), struktur yang dibangun pada periode tahun 1960an dan 1970an memiliki
kekurangan pada desain, khususnya pengaruh akibat gaya lateral dan memiliki daktalitas yang rendah, sehingga hal
ini yang menjadi alasan mengapa konstruksi yang dibangun pada era tersebut rawan terhadap gempa.

Menurut Williams et al. (1997), struktur dengan tingkat kerusakan sedang akibat gempa masih dapat diperbaiki
dengan beberapa metode, salah satunya adalah dengan cara perbaikan dan perkuatan yang merupakan konsep retrofit
untuk meningkatkan atau mengembalikan kekuatan struktur tersebut. Selain itu, pada struktur yang mengalami
kerusakan akibat gempa, benturan, dan kelebihan beban, perlu untuk segera dilakukan pencegahan dan perbaikan
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kegagalan total (collapse) pada struktur tersebut (Tsonos, 2008).

Menurut Ilki et al. (2008), Wu et al. (2014), Zhou et al. (2015), dan Panjehpour et al. (2016), perbaikan pada
komponen struktur yang mengalami kerusakan lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan waktu. Selain itu,
menurut Stoppenhagen et al. (1995), Lehman et al. (2001), Lacobucci et al. (2003), dan Gu et al. (2010), metode
retrofit dengan menggunakan kekangan (confinement), dapat meningkatan daktilitas dan kekakuan dari beton yang
telah mengalami kerusakan. Walaupun demikian, penggunaan kekangan sebagai metode retrofit pada kolom belum
dapat diterima sebagai metode yang andal, disebabkan oleh alasan bahwa pemasangan kekangan harus lebih
kompetitif dari segi ekonomi. Diperlukan data yang lebih andal yang harus diuji sepanjang masa dan masih
memerlukan pengembangan dalam jangka panjang (Ma et al., 2017). Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
mengkaji perilaku kekakuan pada model kolom yang diretrofit menggunakan kombinasi wire mesh dan SCC, serta
model kolom yang tidak diretrofit.

150

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2 TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Tsonos (1999), pada struktur yang mengalami beban siklik, kekakuan ditetapkan sebagai kemiringan garis
yang menghubungkan puncak-puncak beban maksimum arah positif dan negatif, dari kurva beban dan lendutan yang
dapat digambarkan dalam bentuk persamaan (1) :

= 1+ 2 (1)
Δ1+Δ2

dimana, adalah beban yang bekerja arah lateral dan  adalah defleksi yang terjadi. Selain itu, pada kolom atau
spesimen yang dibebani dengan beban siklik, SNI 7834:2012 mensyaratkan bahwa spesimen uji harus memenuhi

persyaratan kekakuan awal, dimana spesimen uji harus mencapai nilai tahanan lateral minimum ( ) sebelum rasio
simpangannya 2% melebihi dari nilai yang konsisten dengan batasan rasio simpangan yang diijinkan, seperti
disajikan dalam persamaan (2) :

1 < (1 + 0,02). 2 (2)

dimana, 1 adalah rasio simpangan tahanan lateral (%),  adalah nilai simpangan pada saat leleh (mm) dan 2 adalah
simpangan minimum sebesar 0,035 (%).

3 METODOLOGI PENELITIAN

Spesimen uji yang digunakan dalam penelitian adalah kolom persegi full-scale dengan ukuran 300 mm x 300 mm
dan tinggi kolom 1465 mm. Untuk penulangan longitudinal kolom menggunakan BJTD 8D13 mm, tulangan
sengkang BJTP 8 – 150 mm, mutu beton ′ = 25 MPa dan mutu baja = 390 MPa. Spesimen uji terdiri dari 2
buah kolom, dimana spesimen pertama adalah kolom kontrol (KK) dan spesimen kedua adalah kolom yang diretrofit
(KR) dengan wire mesh diameter 6 mm dan menggunakan Self Compacting Concrete (SCC) mutu ′ = 25 MPa. SCC
memiliki tebal 50 mm pada keempat sisi kolom, dan tinggi kolom yang diretrofit adalah 700 mm, seperti terlihat
pada Gambar 1.

Dalam pengujian, spesimen uji dibebani dengan beban siklik menggunakan metode displacement control, dimana
pola pembebanan didasarkan pada ketentuan dalam SNI 7834:2012 dengan simpangan rasio sebesar 0,2%, 0,25%,
0,35%, 0,5%, 0,75%, 1,00%, 1,40%, 1,75%, 2,20% dan seterusnya seperti disajikan dalam Gambar 2. Selain itu,
untuk mengontrol besarnya deformasi yang terjadi pada spesimen, dipasang 2 buah LVDT yang ditempatkan pada
bagian depan dan belakang spesimen atau searah bekerjanya beban siklik seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 1. Model spesimen uji

151

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2. Pola pembebanan

Gambar 3. Setting up pengujian

4 PEMBAHASAN

4.1 Kekakuan
Pada spesimen KK, nilai kekakuan akibat beban tekan pada awal simpangan rasio 0,2% sebesar 3,021 atau 100%
dan pada akhir pembebanan simpangan rasio 3,5% sebesar 0,971 atau 67,85%. Hal ini menunjukan bahwa akibat
beban tekan terjadi penurunan kekakuan pada spesimen sebesar 32,15% dari nilai kekakuan awal pada akhir
pembebanan. Pada pembebanan tarik, nilai kekakuan awal pada simpangan rasio 0,20% sebesar 2,105 atau 100%
dan pada akhir simpangan rasio 3,5% sebesar 1,007 atau 52,15%. Hal ini menunjukan bahwa akibat beban tarik
terjadi penurunan kekakuan pada spesimen sebesar 47,85% dari nilai kekakuan awal pada akhir pembebanan,
sehingga penurunan kekakuan pada spesimen KK lebih didominasi oleh pengaruh beban tarik seperti disajikan dalam
Gambar 4.

Pada spesimen KR, nilai kekakuan akibat beban tekan pada awal simpangan rasio 0,20% sebesar 3,267 atau 100%
dan pada akhir pembebanan simpangan rasio 5,73% sebesar 0,788 atau 78,26%. Hal ini menunjukan bahwa akibat
beban tekan terjadi penurunan kekakuan pada spesimen sebesar 21,74% dari nilai kekakuan awal pada akhir
pembebanan. Pada pembebanan tarik, nilai kekakuan awal pada simpangan rasio 0,20% sebesar 2,096 atau 100%
dan pada akhir simpangan rasio 5,73% sebesar 0,836 atau 60,11%. Hal ini menunjukan bahwa akibat beban tarik
terjadi penurunan kekakuan pada spesimen sebesar 39,89% dari nilai kekakuan awal pada akhir pembebanan,
sehingga penurunan kekakuan pada spesimen KR lebih didominasi oleh beban tarik, seperti terlihat dalam Gambar
5.

152

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3.5Kekakuan (kN/mm)

Kekakuan (kN/mm) 3.0

2.5

2.0

1.5

1.0

0.5

0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

KK Tekan KK Tarik

Gambar 4. Kekakuan spesimen KK

4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00

1,0100 2,0200 3,0300 4,4000 5,0500 6,0600 7,0700 8,0800 9,9000 101,0000 111,0100

KR02 Tekan KR02 Tarik

Gambar 5. Kekakuan spesimen KR

4.2 Kekakuan Awal
Pada spesimen yang diuji dengan beban siklik, SNI 7834:2012 mensyaratkan bahwa spesimen uji harus memenuhi
persyaratan kekakuan awal, dimana spesimen uji harus mencapai nilai tahanan lateral minimum ( ) sebelum rasio
simpangannya 2% melebihi dari nilai yang konsisten dengan batasan rasio simpangan yang diijinkan berdasarkan
peraturan gempa yang berlaku, seperti disajikan dalam Tabel 1.Pada Tabel 1, nilai tahanan lateral minimum ( )
diambil dari gaya lateral pada saat terjadi leleh ( ) dan simpangan tahanan lateral minimum diambil dari nilai
simpangan pada saat leleh (∆ ). Sedangkan nilai rasio simpangan tahanan lateral ( 1) merupakan perbandingan antara
nilai simpangan pada saat leleh (∆ ) dengan tinggi spesimen (ℎ). Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa semua
spesimen memenuhi persyaratan kekakuan awal, karena nilai rasio simpangan tahanan lateral ( 1) lebih kecil dari
persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 7834:2012 untuk sistem rangka pemikul momen.

4.3 Degradasi Kekakuan
Untuk struktur atau spesimen yang didesain terhadap gempa harus mempunyai degradasi kekakuan yang cukup pada
saat mengalami gempa atau beban siklik. Degradasi kekakuan dapat disajikan dalam bentuk rasio kekakuan pada
setiap siklus pembebanan dengan kekakuan pada saat terjadinya leleh. Berdasarkan ketentuan dalam SNI 7834:2012,
bahwa evaluasi degradasi kekakuan pada spesimen berhubungan dengan kekakuan secant, dimana spesimen uji
dianggap memiliki degradasi kekakuan yang memadai, apabila kekakuan secant garis yang menghubungkan titik
rasio simpangan -0,0035 ke rasio simpangan +0,0035 tidak kurang dari 0,005 dari nilai kekakuan awal ( 0). Untuk
hasil analisa degradasi kekakuan pada spesimen disajikan pada Tabel 2.

153

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 1. Nilai kekakuan awal pada spesimen

Spesimen Uji ∆ ℎ 1 = ∆ /ℎ 2 Syarat : 1 < (1 + 0,02). 2
(kN) (mm) (mm) (%) (%) (%)

KK Tekan 20,000 12,400 1460 0,849 3,5 Terpenuhi
Tarik 23,000 13,000 1460 0,890 3,5 Terpenuhi
27,600 12,780 1460 0,875 3,5 Terpenuhi
KR Tekan 24,500 12,780 1460 0,875 3,5 Terpenuhi
Tarik

Tabel 2. Persyaratan degradasi kekakuan spesimen

Spesimen Kekakuan Awal, 0 Kekakuan Secant Rasio Syarat
(kN/mm) -0,35% (K')
(kN/mm) = ,/ 0 > 0,05
3,021
KK Tekan 2,105 2,964 0,981 OK
Tarik 3,627 2,343 1,113 OK
2,096 2,109 0,582 OK
KR Tekan 2,109 1,006 OK
Tarik

Dari hasil analisa menunjukan bahwa semua spesimen memenuhi persyaratan degradasi kekakuan, dimana nilai rasio
pada semua spesimen lebih besar dari 0,05 dari nilai kekakuan awal ( 0) seperti yang disyaratkan dalam SNI
7834:2012 untuk kriteria penerimaan spesimen uji siklik.

5 KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dan analisa data dapat disimpulkan bahwa pada awal pembebanan, baik akibat beban tekan dan
beban tarik nilai kekakuan pada spesimen yang diretrofit dengan wire mesh (KR) lebih besar dibandingkan dengan
nilai kekakuan pada spesimen yang tidak diretrofit dengan wire mesh (KK). Sedangkan pada akhir pembebanan,
penurunan nilai kekakuan pada spesimen KK lebih besar dari penurunan nilai kekakuan pada spesimen KR.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada LPDP Kementrian Keuangan Republik Indonesia yang menjadi sponsor dalam penelitian ini
dan kepada Promotor dan Co-Promotor, Tim Kolom Retrofit serta Keluarga Besar Laboratorium Riset Gempa,
Universitas Hasanuddin Makassar.

REFERENSI
BSN. (2012). SNI 7834:2012 tentang Metode Uji dan Kriteria Penerimaan Sistem Struktur Rangka Pemikul Momen
Beton Bertulang Pracetak Untuk Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

Gu, D. S., Wu, G., Wu, Z. S., and Wu, Y. F. (2010). “Confinement effectiveness of FRP in retrofitting circular
concrete columns under simulated seismic load.” Journal Composite Construction, 14 (5), 531–540.

Ilki, A., Peker, O., Karamuk, E., Demir, C., and Kumbasar, N. (2008). “FRP retrofit of low and medium strength
circular and rectangular reinforced concrete columns.” J. Mater. Civ. Eng, 20 (2), 169–188.

Lacobucci, R. D., Sheikh, S. A., and Bayrak, O. (2003). “Retrofit of square concrete columns with carbon fiber-
reinforced polymer for seismic resistance.” ACI Structural Journal, 100 (6), 785–794.

Lehman, D. E., Gookin, S. E., Nacamuli, A. M., and Moehle, J.P., (2001). “Repair of earthquake damaged bridge
columns.” ACI Structural Journal, 98 (3), 233–238.

Ma, C. K., Apandi, N. M., Yung, S. C. S., Hau, N. J., Haur, L. W., Awang, A. Z., and Omar, W. (2017), “Repair and
rehabilitation of concrete structures using confinement-a review.” Journal of Const. and Build. Materials, 133, 502 –
515.

154

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Panjehpour, M., Farzadnia, N., Demirboga, R., and Ali A. A. A. (2016). “Behavior of highstrength concrete cylinders
repaired with CFRP sheets.” J. Civ. Eng. Manage, 22 (1), 56–64.

Seible F., Priestley, M.J.N., Hegemier, G.A., and Innamorato D. (1997). “Seismic retrofit of RC columns with
continuous carbon fiber jackets.” Journal of Composites for Construction, Vol 1 (2), 52 – 62.

Stoppenhagen, D. R., Jirsa, J. O., and Wyllie, L. A. (1995), “Seismic repair and strengthening of a severely damaged
concrete frame.” ACI Journal of Structure, 92(2), 177 – 187.

Tsonos A.G. (1999). “Lateral load response of strengthened reinforced concrete beam-column joints.” ACI Structural
Journal, 96(1),46–56.

Tsonos A. G. (2008). “Effectiveness of CFRP jackets and RC jackets in post-earthquake and pre-earthquake
retrofitting of beam column sub assemblages.” Engineering Structures, 30 (3), 777–793.

Williams M.S., Villemure, I., and Sixsmith R.G. (1997), “Evaluation of seismic damage indices for concrete elements
loaded in combined shear and flexure.” ACI Structural Journal, Vol 94 (3), 315 – 322.

Wu, Y.F., Yun, Y., Wei, Y., and Zhou, Y. (2014). “Effect of predamage on the stress strain relationship of confined
concrete under monotonic loading.” Journal of Structural Engineering, 140 (12), 04014093.

Zhou, Y. W., Liu, X. M., Sui, L. L., Xing, F., and Zhou, H. J. (2015). “Stress strain model for fibre reinforced polymer
confined load induced damaged concrete.” Material Research Innovations, 19 (6), S6–S125.

155

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Studi Perilaku Gedung Baja Modular terhadap Beban Gempa akibat Perbedaan
Jenis Sambungan Antar Modul

M. Lyman*, L.F. Tjong, L. Eddy

Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Gedung baja modular merupakan teknologi yang baru di Indonesia. Namun, studi perilaku dan standar gedung baja modular
terhadap beban gempa masih terbatas. Gedung modular sesungguhnya adalah gabungan dari beberapa modul individu yang
disambung secara vertikal dan horizontal, sehingga sambungan antar-modul mempengaruhi performa dari keseluruhan gedung
tersebut. Penelitian ini mempelajari perilaku gedung baja modular terhadap beban gempa akibat perbedaan jenis sambungan
antar-modul yang dipakai dengan menggunakan analisis linear dinamik yaitu analisis spektrum respons ragam. Terdapat 3 tipe
sambungan dengan variasi jenis dan kekakuan yang dibahas pada studi ini. Di samping itu, studi parametrik mempelajari
pengaruh kekakuan sambungan antar-modul. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis sambungan antar-modul
mempengaruhi simpangan lateral dan periode fundamental gedung, selain itu kekakuan translasi sambungan vertikal
memberikan pengaruh paling signifikan terhadap simpangan lateral gedung.

Kata kunci: Gedung Baja Modular, Sambungan Antar Modul, Beban Gempa, Perilaku Dinamik Struktur.

6 PENDAHULUAN

Konstruksi gedung baja modular semakin marak diperbincangkan dan dipelajari terutama di Indonesia yang sedang
membutuhkan inovasi pada metode konstruksi untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi konstruksi. Gedung
baja modular terdiri dari beberapa modul individu dimana masing-masing modul individu dipabrikasi dengan ukuran
tertentu di pabrik, dan penyambungan modul individu dengan modul individu yang lain dilakukan di lapangan. Hal
ini menyebabkan teknik konstruksi modular memiliki potensi untuk mempercepat waktu konstruksi, meningkatkan
kualitas kontruksi, dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Bangunan modular pada umumnya dikaitkan
dengan bangunan rumah bertingkat rendah dengan material beton. Namun dengan semakin berkurangnya
ketersediaan lahan di perkotaan, pembangunan secara vertikal menjadi suatu kebutuhan. Meskipun konstruksi
bangunan modular dapat dipertimbangkan sebagai alternatif konstruksi bangunan konvensional, namun standar dan
penelitian perilaku dari gedung baja modular masih terbatas, sehingga menjadi penghalang dalam proses penerapan
sistem konstruksi ini di Indonesia.

Mekanisme transfer gaya dari gedung modular dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu load bearing module dan
corner supported module. Penelitian ini fokus membahas bangunan modular dengan corner supported module yang
pada umumnya dibuat dengan material baja karena corner supported module mampu menahan beban lateral,
memiliki performace-to-weight ratio yang lebik baik, dan pemasangan modul lebih cepat, sehingga corner supported
module dapat digunakan untuk bangunan modular bertingkat sedang hingga tinggi. Pada struktur bertingkat tinggi
sambungan intra-modul dan antar-modul memegang peranan penting dalam hal mentransfer gaya gravitasi dan lateral
seperti angin dan gempa. Dalam kasus pembebanan gempa, Gunawardena (2016), Lacey et al. (2020), dan Chua et
al. (2020) menyimpulkan bahwa pemodelan sambungan antar modul perlu dimodelkan dan diperhitungkan dengan
baik agar dapat merepresentasikan keadaan aslinya. Pemodelan dan perhitungan kekakuan dari sambungan
merupakan hal yang penting karena dapat mempengaruhi perilaku dinamik dari gedung. Namun penelitian-penelitian
tersebut masih berfokus pada satu sistem sambungan yang mereka kembangkan dan belum terdapat studi yang
membandingkan perilaku dinamik dari beberapa jenis sambungan.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh dari perbedaan jenis dan kekakuan sambungan
antar-modul terhadap perilaku dinamik struktur yang menerima beban gempa. Pada studi ini, perilaku dinamik
struktur yang akan dibahas adalah periode fundamental struktur dan simpangan lateral gedung. Untuk mempelajari
pengaruh kekakuan sambungan antar-modul, maka akan dilakukan studi parametrik.

156

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

7 SAMBUNGAN ANTAR-MODUL

Pada gedung baja modular, modul yang satu dengan modul yang lainnya disambung pada arah vertikal (SV) dan
horizontal (SH). Untuk mempelajari pengaruh jenis sambungan terhadap perilaku gedung baja modular dalam
menahan beban gempa, terdapat 3 kasus yang akan dibahas pada studi ini. Kasus pertama yang dinamakan S1,
memodelkan sambungan antar-modul secara rigid dengan continuous frame pada arah vertikal dan horizontal, seperti
yang terlihat pada Gambar 1(a). Kasus kedua yang dinamakan S2, menggunakan sambungan baut dalam arah vertikal
dan horizonal untuk menghubungkan modul yang satu dengan modul yang lainnya, sambungan ini dikembangkan
oleh Styles et al. (2016). Elemen pegas (link) dengan 6 derajat kebebasan yang terdiri dari 3 kekakuan translasi dan
3 kekakuan rotasi digunakan untuk memodelkan sambungan baut tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 1(b).
Kasus ketiga yang dinamakan S3, merupakan sistem sambungan yang diusulkan oleh Gunawardena (2016). Menurut
Gunawardena (2016), sambungan ini tidak dapat menahan momen pada arah vertikal (moment release) sehingga
dimodelkan sebagai pinned frame untuk SV, sedangkan pada sambungan horizontal dapat dimodelkan sebagai
elemen pegas dengan 3 derajat kebebasan kekakuan translasi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1(c). Ilustrasi
dari sambungan antar-modul dapat dilihat pada Gambar 2.

Sambungan baut dimodelkan sebagai elemen pegas dengan kekakuan tertentu. Kekakuan pegas tersebut dihitung
dengan cara berikut. Kekakuan SV merepresentasikan kekakuan kolom sehingga kekakuan aksial dapat dihitung
menggunakan Persamaan (1), kekakuan geser dapat hitung dengan Persamaan (2), kekakuan torsi dapat dihitung
dengan Persamaan (3), dan kekakuan tekuk dapat dihitung menggunakan Persamaan (4).

1 = ⁄ (1)

2 = 3 = 12 ⁄ 3 (2)

1 = ⁄ (3)

2 = 3 = ⁄ (4)

dimana adalah kekakuan translasi, adalah kekakuan rotasi, adalah luas penampang kolom, adalah
modulus elastisitas baja, adalah modulus geser, adalah konstanta torsi, adalah momen inersia kolom, dan
adalah panjang SV.

Kekakuan sambungan horizontal (SH) dapat dianggap sebagai serangkaian pegas dengan kekakuan tarik dan
kekakuan geser. Kekakuan tarik dihitung berdasarkan Wileman et al. (1991) yang diperlihatkan pada Persamaan (5),
sedangkan kekakuan geser dihitung menggunakan hukum Hooke yang diperlihatkan pada Persamaan (6). Kombinasi
pegas dapat berupa rangkaian seri atau rangkaian paralel. Untuk rangkaian seri, kombinasi pegas dapat dihitung
menggunakan Persamaan (7), sedangkan untuk rangkaian paralel kombinasi pegas dapat dihitung menggunakan
persamaan Persamaan (8).

m = ( ) (5)

τ = / (6)

1 = 1 + 1 +⋯+ 1 (7)
1 2

1= 1 (8)

1+ 2+…+

dimana adalah konstanta tanpa dimensi dari material (baja = 0,78715), B adalah konstanta tanpa dimensi dari
material (baja = 0,62873), adalah diameter lubang baut, adalah panjang baut yang kontak dengan pelat,
adalah area tegangan tarik baut, k adalah kekakuan sambungan, dan adalah bilangan Euler (≈ 2,71828).

Nilai kekakuan translasi SH untuk sambungan S3 dapat dihitung menggunakan Persamaan (5) sampai Persamaan
(8), namun pada penelitian ini peneliti akan menggunakan nilai kekakuan berdasarkan eksperimen yang dilakukan
oleh Gunawardena (2016) yaitu sebesar 137,9 kN/mm. Nilai kekakuan rotasi pada sambungan S2 menggunakan nilai
dari literatur oleh Styles et al. (2016). Nilai kekakuan sambungan S2 dapat dilihat pada Tabel 1.

157

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 1. (a) pemodelan sambungan S1; (b) pemodelan sambungan S2; (c) pemodelan sambungan S3.

Gambar 2. (a) ilustrasi sambungan S3; (b) ilustrasi sambungan horizontal sambungan S2; (c) ilustrasi sambungan veritkal
sambungan S2 (Lacey et al., 2020).

Tabel 1. Nilai kekakuan sambungan vertikal dan sambungan horizontal untuk sambungan S2

Arah kekakuan Sambungan Vertikal Sambungan Horizontal

1 2.782.000 kN/m 3.000.000 kN/m
2 dan 3 885.000 kN/m 5.400.000 kN/m
1 5.950 kN-m/rad 20.000 kN-m/rad
2 dan 3 9.030 kN-m/rad 20.000 kN-m/rad

8 STUDI KASUS

Untuk mempelajari pengaruh dari ketiga jenis sambungan terhadap perilaku dinamik gedung baja modular dalam
menahan beban gempa, gedung baja modular dimodelkan secara 3 dimensi dan dianalisis secara linear dinamik yaitu
analisis respons spektrum dengan menggunakan bantuan program ETABS. Gedung baja modular terletak di
Kabupaten Penajam Paser Utara dengan kondisi tanah keras. Fungsi bangunan adalah gedung perkantoran dan
memiliki kategori desain seismik B. Gedung dirancang dengan sistem baja tidak didetail secara khusus untuk
ketahanan seismik, tidak termasuk sistem kolom kantilever dengan = 3, Ω0 = 3, dan = 3. Gedung baja modular
yang diteliti memiliki total 4 tingkat yang terdiri dari 20 modul individu. Gedung memiliki tinggi 12,25 m dengan
luas 10,8 m × 22,8 m. Gedung baja modular memiliki jarak antar-modul secara vertikal dan horizontal masing-masing
0,35 m dan 0,45 m. Pelat lantai pada gedung modular dirancang sebagai pelat dengan diafragma semirigid
berdasarkan kesimpulan dari penelitian Chua et al. (2020). Perletakan gedung baja modular adalah sendi. Koneksi
intra-modul akan dianggap jepit/rigid untuk sambungan kolom dan balok induk, kecuali sambungan bresing dan
balok anak akan dianggap sendi/pinned. Sambungan antar-modul hanya akan terdapat pada kolom utama saja.
Pemodelan tiga dimensi, tampak sumbu , dan tampak sumbu dilihat pada Gambar 3.

Ukuran dan konfigurasi modul individu mengikuti model dari Gunawardena (2016) dengan ukuran 4,2 m × 10,8 m
× 2,8 m dan jarak antar kolom sebesar 1,8 m yang dapat dilihat pada Gambar 4(a). Untuk studi ini gedung baja
modular terdiri dari 2 macam modul individu yaitu modul tipe 1 dengan bresing pada sumbu dan sumbu dan
modul tipe 2 dengan bresing pada sumbu yang dapat dilihat pada Gambar 4(b) dan Gambar 4(c). Material baja
menggunakan mutu A572 Gr.50 dengan Fy sebesar 345 MPa dan Fu sebesar 450 MPa, sedangkan beton yang
digunakan memiliki kuat tekan ( ′) sebesar 25 MPa. Beban gempa yang dipakai mengacu pada SNI 1726:2019.

158

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kombinasi pembebanan dan beban hidup gedung perkantoran mengikuti SNI 1727:2020 dan beban mati tambahan
diambil dari referensi Fathieh (2013) dan Chua et al. (2020). Rincian beban dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan
kombinasi pembebanan tersebut dilakukan analisis dan desain untuk mendapatkan profil dan ukuran komponen
struktural. Profil dan komponen struktural tersebut sama untuk ketiga model yang diperlihatkan pada Tabel 3.

(c)

z x
y

(a) (b) (d)

Gambar 3. (a) Model 3 dimensi; (b) tampak sumbu ; (c) tampak sumbu dengan bresing; (d) tampak sumbu tanpa
bresing.

2,8 10,8 m 4,2 m (c)
m (b) (d)

modul tipe 2

modul tipe 1
(a)

Gambar 4. (a) Penempatan modul individu pada model; (b) dimensi modul dan penempatan profil pada modul individu;
(c) modul tipe 1; (d) modul tipe 2.

Tabel 2. Beban hidup dan beban mati tambahan pada model

Komponen Tipe beban Beban
Pelat lantai
Beban mati tambahan 1,2 kN/m2
Plafon Beban hidup 2,4 kN/m2
Beban mati tambahan 0,7 kN/m2
Balok lantai Beban hidup 1,0 kN/m2
Beban mati tambahan 4,2 kN/m

Tabel 3. Profil dan dimensi komponen struktural

Komponen Label Dimensi

Kolom utama K1 SHS 150 x 150 x 9
Kolom sekunder K2 PFC 200 x 90 x 11 x 7,5
Balok lantai B1 PFC 250 x 90 x 13 x 9
Balok atap B2 PFC 180 x 75 x 10,5 x 7
Bresing arah BR1 EA 150 x 150 x 15
Bresing arah BR2 EA 100 x 100 x 13
Metaldeck - Tebal 1 mm
Pelat lantai beton - Tebal 120 mm

159

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

9 HASIL ANALISIS DAN DISKUSI

9.1 Periode Fundamental Gedung

Periode struktur berbanding terbalik dengan frekuensi alami dari struktur, frekuensi alami dari struktur bergantung
pada kekakuan dan massa struktur tersebut. Semakin besar massa suatu struktur maka frekuensi struktur akan
semakin kecil dan periode struktur semakin besar, sebaliknya semakin besar kekakuan struktur maka frekuensi akan
semakin besar dan periode semakin kecil. Pada penelitian ini ketiga model memiliki kekakuan modul yang sama, hal
yang membedakan hanya kekakuan dari sambungannya. Hasil dari analisis menunjukkan model S1 memiliki periode
fundamental sebesar 0,888 detik, model S2 sebesar 0,878 detik, dan model S3 sebesar 0,906 detik. Hasil tersebut
menyimpulkan bahwa struktur gedung dengan kekakuan terbesar dimiliki oleh model S2, diikuti S1 dan S3. Hal ini
disebabkan model S2 memiliki kekakuan sambungan antar-modul yang paling besar dibandingkan 2 model lainnya.
Kekakuan struktur model S3 lebih kecil dibandingkan model lainnya dikarenakan model S3 memiliki end release
moment pada bagian tengah sambungan vertikal.

9.2 Simpangan Lateral dan Rasio Simpangan Antar Tingkat

Pada studi kasus ini perbedaan jenis sambungan lebih mempengaruhi simpangan lateral arah , karena pada sumbu
terdapat sambungan vertikal dan horizontal (SV dan SH) sedangkan pada sumbu hanya terdapat sambungan
vertikal (SV). Simpangan lateral terbesar terjadi pada arah , dimana model dengan sambungan S3 memiliki
simpangan lateral terbesar yaitu 29,925 mm, kemudian diikuti oleh model dengan sambungan S1 sebesar 29,133 mm
dan model dengan sambungan S2 sebesar 28,629 mm. Semua rasio simpangan antar tingkat memenuhi batas sebesar
2%, dimana rasio simpangan antar tingkat terbesar terjadi pada tingkat 1 pada semua model yang dapat dilihat pada
Gambar 5(b) dan Gambar 5(d). Rasio simpangan antar tingkat cenderung bernilai semakin kecil seiring bertambahnya
elevasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa model S3 memiliki rasio simpangan antar tingkat terbesar yaitu sebesar
0,140% pada arah dan 0,437% pada arah , diikuti oleh S1 dengan rasio 0,097% pada arah dan rasio 0,404%
pada arah , dan S2 dengan rasio 0,085% pada arah dan rasio 0,413% pada arah . Gambar 5(a) memperlihatkan
bahwa simpangan antar tingkat yang signifikan terdapat pada tingkat sambungan antar-modul. Penyebab perbedaan
kekakuan struktur yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, yang menyebabkan perbedaan simpangan lateral
pada setiap model. Hal ini mengindikasikan bahwa sambungan antar-modul mempengaruhi simpangan lateral
gedung.

9.3 Studi Parametrik Kekakuan Sambungan Antar Modul

Modul yang satu dengan modul yang lain dapat disambung menggunakan sambungan baut, namun sambungan
tersebut dapat memiliki kekakuan yang berbeda-beda. Studi parametrik kekakuan sambungan dibahas pada bagian
ini. Studi parametrik yang dilakukan adalah variasi seluruh kekakuan sambungan, variasi kekakuan SV, variasi
kekakuan SH, variasi kekakuan rotasi dan variasi kekakuan translasi. Setiap variasi memiliki 5 nilai rasio kekakuan
yaitu ⅕, ½, 1, 2, dan 5 kali kekakuan sambungan antar-modul pada model S2. Dari Gambar 6(a) dan 6(b) kekakuan
sambungan vertikal dan kekakuan translasi memberikan pengaruh yang signifikan pada simpangan lateral, sedangkan
kekakuan sambungan horizontal dan kekakuan rotasi hanya memberi sedikit pengaruh pada simpangan lateral
gedung. Hal ini mengindikasikan bahwa kekakuan translasi sambungan vertikal memiliki pengaruh yang paling
signifikan terhadap simpangan lateral gedung.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 5. (a) Simpangan lateral arah ; (b) rasio simpangan antar tingkat arah ; (c) simpangan lateral arah ; (d) rasio
simpangan antar tingkat arah .

160

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

(a) (b)
Gambar 6. (a) Hasil studi parametrik kekakuan sambungan terhadap simpangan maksimum arah ; (b) hasil studi parametrik

kekakuan sambungan terhadap simpangan maksimum arah .

10 KESIMPULAN
Pada penelitian ini studi numerik dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan jenis sambungan dan
kekakuannya terhadap perilaku dinamik struktur yang menerima beban gempa. Berikut beberapa kesimpulan yang
dapat ditemukan dari penelitian ini.
1. Perilaku dinamik struktur yaitu periode fundamental dan simpangan lateral struktur dipengaruhi oleh perbedaan

jenis sambungan antar-modul. Sambungan antar-modul yang lebih kaku akan menghasilkan periode fundamental
dan simpangan lateral struktur yang lebih kecil.
2. Hasil studi parametrik yang dilakukan menyimpulkan bahwa kekakuan sambungan antar-modul memberikan
pengaruh terhadap simpangan lateral gedung dengan kekakuan translasi sambungan vertikal yang memberikan
pengaruh yang paling signifikan.
3. Pemodelan dengan sambungan pegas/link dengan menghitung kekakuan sambungan dapat digunakan, namun
ada kemungkinan terjadinya asumsi kekakuan yang berlebihan seperti hasil dari model S2 lebih kaku dari model
S1. Namun pada praktiknya banyak ditemukan sambungan antar-modul seperti end plate bolted connection oleh
Gunawardena (2016) yang menggabungkan sambungan vertikal dan sambungan horizontal pada satu komponen
dan hanya terdiri dari satu sambungan horizontal yang terletak pada tengah sambungan vertikal. Dalam kasus ini
disarankan menggunakan sambungan vertikal berupa kolom dengan end release moment agar dapat
menggambarkan perilaku asli dari sambungan, karena pada posisi pertemuan kolom dan sambungan antar-modul
sesungguhnya tidak rigid dan tidak dapat memikul momen.

REFERENSI
Chua, Y.S., Liew, Richard.J.Y., and Pang, S.D. (2020). “Modelling of connections and lateral behavior of high-rise
modular”. Journal of Constructional Steel Research,Vol. 166 (2020), 105901.

Fathieh, A. (2013). “Nonlinear dynamic analysis of modular steel buildings in two and three dimensions”. Master
Thesis, University of Toronto, Toronto, Canada.

Gunawardena, T. (2016). “Behaviour of prefabricated modular buildings subjected to lateral loads”. Ph.D Thesis,
University of Melbourne, Melbourne, Australia.

Lacey, A.W., Chen, W., Hao, H., and Bi, K. (2020). “Effect of inter-module connection stiffness on structural
response of a modular steel building subjected to wind and earthquake load”. Journal of Engineering Structures, 213,
110628.

BSN. (2019). SNI 1726:2019 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung
dan Non Gedung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2020). SNI 1727:2020 tentang Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain.
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

161

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Styles, A.J., Luo, F.J., Bai, Y., and Murray-Parkes, J.B. (2016). “effects of joint rotational stiffness on structural
responese of multi-story modular buildings”. Proceedings of the International Conference on Smart Infrastructure
and Construction. London: ICE Publishing, 457-462.

Wileman, J., Choudhury, M., and Green, I. (1991). “Computation of member stiffness in bolted connections”. ASME
Journal of Mechanical Design, 113, 432–437.

162

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pengembangan Respons Spektra pada Tanah Lunak di Jakarta

G. Aglia1, S. D. Alvi2*, P. P. Rahardjo1

1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, INDONESIA
2Research and Development Division Head for Design Support, PT Geotechnical Engineering Consultant, Bandung

INDONESIA*
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Lapisan tanah dekat permukaan di Jakarta didominasi oleh tanak lunak dengan ketebalan yang bervariasi. Peta gempa Indonesia
tahun 2017 memberikan rekomendasi respons spektra untuk bangunan-bangunan sipil (termasuk bangunan gedung) untuk
berbagai kelas situs. Penelitian ini membahas mengenai analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan
tanah (SSRA / Site Specific Response Analysis) pada lima lokasi yang memiliki nilai ̅ yang bervariasi di bawah 15 (Kelas
Situs SE), berdasarkan SNI 8460:2017. Analisis dilakukan dengan program NERA (Nonlinear Earthquake Site Response
Analysis) untuk menghasilkan spektral percepatan di permukaan tanah. Ground motion batuan dasar yang digunakan berasal dari
11 sumber gempa yang sama yang telah melalui proses PSHA. Hasil dari penelitian pada lima (5) lokasi yang berbeda di Jakarta,
meskipun kelima lokasi tersebut masuk ke dalam kategori tanah lunak, besar percepatan yang dihasilkan berbeda untuk setiap
lokasi. Apabila lapisan tanah lunak semakin tebal, maka puncak pada spektral percepatan akan lebih rendah, namun lebih panjang
(periode yang lebih besar). Di samping itu, percepatan pada respons spektra hasil analisis untuk periode panjang lebih rendah
dibandingkan percepatan pada respons spektra yang direkomendasikan dalam SNI 8460:2017.

Kata kunci: Perambatan Gelombang Gempa, SSRA, Situs Kelas SE, Tanah Lunak

1 PENDAHULUAN
Sebagai negara yang memiliki potensi kegempaan yang tinggi, Indonesia memiliki standar yang digunakan dalam
perencanaan bangunan tahan gempa, salah satunya bangunan gedung tahan gempa. Dari sumber gempa, gelombang
gempa dirambatkan dalam arah radial hingga batuan dasar (bedrock), lalu dirambatkan ke permukaan tanah, dan
kemudian dirambatkan ke sistem struktur bangunan di atasnya. Parameter yang menjadi masukkan (input) dalam
perencanaan bangunan gedung tahan gempa adalah besar percepatan gempa di permukaan tanah sesuai periode
bangunan yang bersangkutan. Oleh karena itu, besar percepatan yang bekerja pada bangunan tergantung pada kondisi
tanah setempat serta periode bangunan. Semakin tinggi bangunan, maka periode bangunan akan semakin besar.

Analisis perambatan gelombang gempa dari batuan dasar hingga permukaan tanah (Site Specific Response Analysis
/ SSRA) dilakukan untuk memperoleh percepatan gempa di permukaan tanah. Struktur bangunan dimodelkan sebagai
sistem dengan derajat kebebasan tunggal (SDOF / Single Degree of Freedom). Respon bangunan terhadap gempa
ditunjukkan dalam suatu diagram respons maksimum (percepatan, kecepatan, dan peralihan) terhadap periode
bangunan. Respons spektra bergantung kepada jarak bangunan dari sumber gempa, topografi pada lokasi bangunan,
geologi lokasi, jenis dan pelapisan tanah, serta kedalaman batuan dasar. Dengan demikian, getaran yang sama akan
memberikan dampak yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Respons spektra yang digunakan dapat berasal dari
analisis SSRA yang dilakukan secara mandiri maupun respons spektra yang direkomendasikan dalam peraturan
terkait kegempaan. Peta sumber dan bahaya gempa Indonesia tahun 2017 memberikan rekomendasi besar percepatan
gempa melalui respons spektra desain untuk perencanaan bangunan tahan gempa.

Berdasarkan SNI 8460:2017, suatu lokasi dikategorikan ke dalam Kelas Situs Tanah Lunak (SE) apabila memiliki
̅ ̅ di bawah 15, di bawah 175 m/s, di bawah 50 kPa. Penelitian ini membahas mengenai terkait analisis
perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah (SSRA / Site Specific Response Analysis) pada
lima lokasi yang terkategori masuk dalam kelas situs SE di Jakarta.

2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data ground motions dan data tanah di beberapa lokasi di Jakarta. Ground
Motion ini diperoleh dari katalog gempa yang dimiliki oleh Pacific Earthquake Engineering Research dan Strong-
Motion Virtual Data Center. Data ground motion tersebut diproses melalui kajian PSHA untuk memperoleh ground
motion di batuan dasar, namun kajian PSHA tidak dibahas dalam paper ini. Analisis yang dilakukan pada beberapa

163

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

lokasi didasarkan pada sebelas (11) ground motion di batuan dasar yang sama. Gambar 1 menunjukkan sebelas (11)
ground motion yang digunakan sebagai input dalam analisis SSRA.

Berdasarkan ground motion di batuan dasar yang diperoleh, dilakukan analisis SSRA dengan bantuan Program
NERA (Nonlinear Earthquake Site Response Analysis). NERA (Nonlinear Earthquake Site Response Analysis)
adalah sebuah program komputer untuk nonlinear site response analysis yang dikembangkan oleh Iwan (1967) dan
Mroz (1967) pada tahun 2001. Output yang akan dihasilkan oleh Program NERA berupa spektral percepatan untuk
11 ground motions, dan spektral percepatan tersebut akan dirata – rata lalu dikalikan dengan 2/3 dan ditambahkan
dengan standar deviasi untuk setiap lokasi sehingga didapatkan spektral percepatan rata – rata untuk lima lokasi.
Spektral percepatan tersebut akan dibandingkan dengan respons spektra untuk situs SE di Jakarta.

Data tanah yang digunakan berasal dari data pengeboran teknis dengan Uji Penetrasi Standar (SPT) serta data
Downhole Seismic Test. Parameter dinamik tanah yang akan digunakan dalam analisis adalah (kecepatan
gelombang geser), / (modulus geser tanah), (berat isi tanah), dan rasio redaman yang diperoleh dengan
menggunakan modulus reduction curve dan damping ratio curve. Nilai dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan berikut:

= . 2 (1)

dimana adalah massa jenis tanah dan adalah kecepatan gelombang geser. Nilai dapat diperoleh dengan
menggunakan data Downhole Seismic Test. Nilai juga dapat diperoleh dari korelasi antara dan nilai ̅
(Yunita, 2013) sebagai berikut.

= 92,868 ̅0,3403 (2)

Nilai γ dapat diperoleh dengan menggunakan acuan hasil penelitian Look (2007). Pada penelitian ini digunakan
modulus reduction curve dan damping ratio curve hasil penelitian dari Vucetic & Dobry (1991) yang bervariasi

terhadap indeks plastisitas (PI) untuk tanah kohesif dan penelitian dari Seed & Idriss (1991) untuk tanah non-kohesif.
Gambar 2 menunjukkan modulus reduction curve dan damping ratio yang digunakan.

Gambar 1. Ground Motion Input di Batuan Dasar
164

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 2. Modulus reduction curve dan damping ratio curve (Vucetic & Dobry,1991; Seed & Idriss,1991)

3 DATA DAN HASIL ANALISIS

Pada penelitian ini akan ditinjau lima lokasi di Jakarta, yaitu Bangunan ADR PIK, Rusunawa Nagrak, Astra Bari
Tower, MRT Stasiun Sarinah, dan MRT Stasiun Monas pada MRT Jakarta. Nilai N̅ SPT yang diperoleh adalah sebesar
2.5 untuk Bangunan ADR PIK, 7.5 untuk Rusunawa Nagrak, 9.8 untuk Astra Bari Tower, 1.4 untuk MRT Stasiun
Sarinah, dan 10.8 untuk MRT Stasiun Monas. Analisis dilakukan dengan asumsi kedalaman batuan dasar (bedrock)
berdasarkan hasil penelitian Ridwan et al. (2013), yang dapat dilihat pada Gambar 3. Dari hasil penelitian tersebut,
diketahui perkiraan kedalaman bedrock adalah sedalam 640 m untuk Bangunan ADR PIK, 700 m untuk Rusunawa
Nagrak, 420 m untuk Astra Bari Tower, dan 660 m untuk MRT Stasiun Sarinah dan MRT Stasiun Monas. Nilai
untuk kedalaman di bawah data tanah yang ada ditentukan berdasarkan data microtremor (Ridwan et al., 2013) dan
diambil sebesar 350 m/s – 750 m/s. Untuk nilai pada bedrock diambil sebesar 800 m/s.

Legend
ADR PIK
MRT STASIUN MONAS
RUSUNAWA NAGRAK
ASTRA BARI TOWER
MRT STASIUN SARINAH

Gambar 3. Perkiraan kedalaman bedrock di Jakarta (Ridwan et.al.,2013)

165

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 4 menunjukkan parameter input yang akan dimasukkan ke dalam Program NERA.

Gambar 4. Parameter kecepatan gelombang geser dalam analisis
Spektral percepatan di permukaan tanah untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 5. Sementara itu,
Gambar 6 menunjukkan perbandingan spektral percepatan di permukaan tanah untuk masing-masing lokasi terhadap
respons spektra desain untuk kelas situ SE (Tanah Lunak) di Jakarta berdasarkan SNI 1726:2019.

166

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 5. Spektral percepatan di permukaan tanah hasil analisis

Gambar 6. Perbandingan antara spektral percepatan di lima lokasi tinjauan dengan respons spektra desain situs SE berdasarkan
SNI 1726:2019
167

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

4 KESIMPULAN
Berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kajian yang telah dilakukan.
a. Lima (5) lokasi tinjauan di Jakarta memiliki nilai ̅ ̅ T yang berbeda – beda, namun memiliki kelas situs yang

sama yaitu situs SE (tanah lunak) menurut SNI 8460:2017. Meskipun kelima lokasi tersebut masuk ke dalam
kategori tanah lunak, besar percepatan yang dihasilkan berbeda untuk setiap lokasi.
b. Apabila lapisan tanah lunak semakin tebal, maka puncak pada spektral percepatan akan lebih rendah, namun
lebih panjang (periode yang lebih besar).
c. Spektral percepatan pada keempat bangunan memiliki percepatan puncak di bawah SE, kecuali pada Bangunan
Astra Bari Tower. Percepatan pada respons spektra hasil analisis untuk periode panjang lebih rendah
dibandingkan percepatan pada respons spektra yang direkomendasikan dalam SNI 8460:2017.

REFERENSI
BSN. (2012). SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan non
Gedung, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2017). SNI 8460:2017 Persyaratan Perancangan Geoteknik, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

BSN. (2019). SNI 1726:2019, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan non
Gedung, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia.

Look, Burt. G. (2007). Handbook of Geotechnical Investigation and Design Tables. The Netherlands, Taylor and
Francis.

Ridwan, M., Widiyantoro, S., Afnimar, and Irsyam, M. (2013). “Identification of engineering bedrock in Jakarta by
using array observations of microtremors.” 3rd International Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation,
Procedia Earth and Planetery Scienc Elsevier, Yogyakarta, 77-83.

Seed, H.B., Ugas, C., dan Lysmer, J. (1976). “Site-dependent spectra for earthquake-resistant design.” Bulletin of the
Seismological Society of America, Vol. 66, 221-243.

Tim Pusat Studi Gempa Nasional. (2017). Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Bandung, Indonesia.

Vucetic, M. and Dobry, R. (1991). “Effect of soil plasticity on cyclic response,” Journal of Geotechnical
Engineering, ASCE, Vol. 117, No.1,. 89-107.

Yunita, H. (2013). “Studi Efek Kondisi Tanah lokal dan sumber gempa dalam analisis respons dinamik tanah dan
implementasinya dalam pembuatan peta mikrozonasi Kota Jakarta.” Doctoral Thesis. Institut Teknologi Bandung,
Bandung, Indonesia.

168

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Data Mikrotremor terhadap Kekuatan Bangunan Terbengkalai
di Surabaya

D.P. Dibiantara*, A.F. Refani, M.S. Darmawan, Y. Tajunnisa, R. Arrafi

Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Zonasi gempa di Indonesia terus berubah dari waktu ke waktu berdasarkan hasil penelitian terhadap pergerakan tanah. Penelitian-
penelitian tiap wilayah yang dilakukan secara komprehensif, dengan tipe geologi dan morfologi unik, mendefinisikan
karakteristik dinamik/seismik wilayah tersebut. Penelitian kondisi geologi dan morfologi, secara teknik, mencatat pergerakan-
pergerakan mikro dengan durasi waktu tertentu, sehingga didapat laju pergerakan, besar pergerakan, dan lain-lain. Data beberapa
kejadian gempa yang ada, dapat menjadi justifikasi untuk memprediksi kekuatan gempa yang akan terjadi. Analisis deterministi
seismic hazard membutuhkan initial ground motion, yang dapat diambil dari ground acceleration kejadian gempa yang
karakteristiknya mendekati area tersebut. Selain menggunakan data gempa adekuat, yang cenderung merusak, pengujian non-
destruktif seperti microtremor method dapat digunakan untuk meninjau bangunan. Metode ini menangkap getaran harmonik
alami tanah dan elemen struktur pada lantai tertentu, yang merupakan kondisi ambiens lingkungan.Nilai hasil pengukuran
memiliki rentang 80-509 m/s. Hal ini sesuai apabila mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai
perhitungan nilai dengan menggunakan mikrotremor, nilai daerah Surabaya berkisar antara 50-500 m/s. Lokasi
pengambilan data sangat menentukan hasil yang didapat karena rekaman data mikrotremor sensitif terhadap kondisi ambien.
Simpangan pada arah − sebesar 0,00339 dan arah − sebesar 0,00292, sehingga struktur bangunan termasuk dalam
kategori Immediate Occupancy.

Kata kunci: Mikrotremor, Floor Spectral Ratio, Shear Wave ( ), Analisis Pushover.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesimpulan, yang diilustrasikan dalam peta gempa, merupakan muara dari penelitian-penelitian territorial pada tiap-
tiap lokasi di seluruh Indonesia. Tiap-tiap area tersebut memiliki kondisi geologi dan morfologi unik, yang
mendefinisikan karakteristik seismiknya. Sebagai contoh, Pulau Sumatera memiliki pola subduksi oblique
convergence, berbeda dengan daerah selatan Pulau Jawa yang frontal, sehingga aktivitas seismiknya lebih tenang
(Pusat Studi Gempa Nasional, 2017). Penelitian kondisi geologi dan morfologi, secara teknik, mencatat pergerakan-
pergerakan mikro dengan durasi waktu tertentu, sehingga didapat laju pergerakan, besar pergerakan, dan lain-lain.
Bentuk morfologi terkait dengan sesar yang ditengarai aktif, memiliki gawir sesar, bukit sesar (shutter ridge), bukit
bertekanan (pressured ridge), kolam sesar (sag pond), dan lereng curam (scarp). Tujuannya untuk mencatat nilai
pergeseran yang terjadi pada tiap-tiap kejadian gempa, dengan cara mendeteksi pergeseran teras, sungai, dan endapan
alluvial fan (McCalpin & Elson, 2009). Magnitudo gempa menjadi salah satu parameter besaran sesar, yaitu
segmentasi, yang dapat didefinisikan sebagai batas sesar yang membagi sesar menjadi beberapa batas retakan
permukaan akibat gempa, dan seksi sesar, yaitu batasan perkiraan morfologi gempa.

Segmen Jawa Timur (JTM) merupakan bagian dari Zona Megathrust Jawa. Karakteristik zona subduksi Jawa
diketahui lebih dingin dan berat, karena umur plate-nya yang relatif lebih tua dibanding Sumatera (Abercrombie et
al., 2001). Zona subduksi Jawa, yang menunjam, memiliki permukaan kasar dan daerah locked zone/seismic gap di
sepanjang zona seismik yang sempit, sehingga kemungkinan gempa zona subduksi terjadi pada area tersebut
(Kanamori, 2008). Struktur geologi aktif di Zona Megathrust Jawa terdiri dari beberapa sesar aktif. Area Jawa Timur
terdapat sesar turun, contohnya Sesar Pasuruan dan Baluran; dan sesar naik, lanjutan dari Jawa Tengah, yaitu Sesar
Kendeng dan Semarang. Pergerakan kumpulan sesar naik dalam Zona Kendeng ini menyebabkan beberapa gempa
sedang-dangkal, dengan magnitude 4 sampai 5, yang secara kasat mata dibuktikan dengan terangkatnya teras-teras
sungai di area ini (Marliyani et al., 2016). Meskipun karakteristik gempa-gempanya relatif sedang, tingginya
kepadatan penduduk pada zona ini dapat memperburuk dampak gempa. Tidak hanya kejadian gempa yang dapat
menjadi bencana, tetapi dampak sekundernya seringkali malah menjadi penyebab bencana yang lebih massif.

169

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Kondisi tanah di Surabaya bersifat aluvial (lunak) dengan tingkat kerawanan gempa sedang di lokasi yang dangkal.
Maka, meski berpotensi mengalami gempa sedang, lokasi dangkal dan kondisi sedimen yang aluvial dapat
memperbesar amplifikasi ketika gempa terjadi.

1.2 Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai frekuensi natural (dominan) dari lapisan sedimen di
Surabaya; mengetahui nilai frekuensi natural bangunan, resonansi bangunan, dan indeks kerentanan bangunan; dan
mengetahui perilaku struktur bangunan terhadap amplifikasi yang mungkin terjadi.

1.3 Metodologi

Pengadaan data mikrotremor, dilakukan dengan pengambilan data sendiri (bekerjasama dengan Laboratorium
Geofisika untuk perekaman data mikrotremor pada lokasi tinjauan) maupun pengutipan dari data penelitian yang
sudah dilakukan (studi literatur). Sebanyak 6 datum berada didalam gedung dan 2 datum berada di tanah. Terdapat
dugaan sumber noise yang berasal dari Jalan Embong Malang dan angin yang cukup kencang dikarenakan dinding-
dinding di gedung lokasi pengukuran belum sepenuhnya jadi.

Metode FSR (Floor Spectral Ratio) digunakan untuk menentukan frekuensi natural bangunan ( 0). Untuk melakukan
analisa FSR, dilakukan analisis spektrum terlebih dahulu untuk memperoleh frekuensi masing-masing komponen.
Komponen yang digunakan dalam analisis ini hanya komponen horizontalnya saja yakni komponen East-West dan
North-East. Metodologi yang digunakan dalam analisis spektrum ini yaitu penggunaan filter bandpass 1-5 Hz. Hasil
proses FFT dihaluskan menggunakan filter smoothing Konno dan Ohmachi dengan koefisien bandwith sebesar 40.

Analisis HVSR dan perhitungan hanya dapat dilakukan pada datum yang berada di tanah yaitu datum Ground 1
dan Ground 2. Analisis HVSR merupakan rasio nilai frekuensi pada spektrum horizontal dan spektrum vertikalnya.
Dari analisa HVSR ini akan didapatkan nilai frekuensi dominan ( 0) dan amplifikasi ( 0) yang dapat
merepresentasikan kondisi geologi setempat. Metodologi yang digunakan dalam analisis HVSR pada pengolahan ini
yaitu menggunakan filter bandpass 1 – 5 Hz dan filter smoothing Konno dan Ohmachi dengan koefisien bandwith
sebesar 40. Spektrum amplitudo rata-rata untuk masing-masing komponen dihitung dari window yang terseleksi.

Perhitungan dilakukan dengan melakukan inversi terhadap kurva HVSR yang telah dilakukan. Perhitungan
dilakukan dengan menggunakan software OpenHVSR berbasis Matlab. Metodologi perhitungan yang dilakukan
pada pengolah ini yaitu pembuatan forward modelling parameter model yang digunakan adalah kecepatan gelombang
P ( ), kecepatan gelombang S ( ), densitas ( ), ketebalan lapisan ( ), faktor redaman gelombang P ( ), dan
gelombang S ( ) berdasarkan data oleh Riyantiyo, 2017). OpenHVSR membuat model bawah permukaan dengan
meminimalkan fungsi misfit menggunakan algoritma Monte Carlo. Monte Carlo menggunakan prinsip sampling acak
dan berulang untuk memperoleh solusi yg diinginkan. Di setiap iterasi akan dihasilkan best fitting model untuk
membuat kurva simulasi yg nanti akan dibandingkan degan kurva / hasil akuisisi.

Analisa pushover atau analisa beban dorong statik merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku
keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa dengan memberikan pola beban statik tertentu dalam arah lateral yang
besarnya ditingkatkan secara bertahap (incremental) sampai struktur tersebut mencapai target displacement tertentu
atau mencapai pola keruntuhan tertentu.

2 HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Analisis Data Mikrotremor

Hasil pengolahan spektrum analisis pada tiap datum ditabulasi pada Tabel 1. Setelah dilakukan analisis spektrum
komponen horizontal pada masing-masing datum, dilakukan analisa perhitungan FSR dilakukan dengan membagikan
antara spektrum horisontal bangunan dengan spektrum horisontal tanah (Mufida et al., 2013). Rumus yang digunakan
dalam perhitungan untuk mendapatkan nilai FSR adalah:

0 ( ) = (1)
(2)

0 ( ) =


170

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Nilai frekuensi natural bangunan dari FSR ini dapat digunakan sebagai bahan untuk menghitung resonansi dan indeks
kerentanan bangunan untuk memperkirakan kerentanan bangunan terhadap getaran gempa bumi. Nilai frekuensi hasil
analisis spektrum memiliki rentang antara 1-2 Hz. Hal ini sesuai dengan syarat bahwa nilai frekuensi bangunan tidak
memiliki nilai dibawah 1 Hz (Herak, 2011). Sesuai dengan hasil penelitian dari (Gosar, 2010) hasil nilai dari analisa
FSR bangunan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil Analisis Floor Spectral Ratio (FSR) menunjukan bahwa frekuensi natural
hasil analisis metode spektrum horisontal maupun FSR pada data mikrotremor EW (East-West) dan NS (North-
South) memiliki nilai yang hampir sama.

Analisis datum Ground 1 dan Ground 2 menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) dan
Analisis Shear Wave ( ). Analisis HVSR merupakan rasio nilai frekuensi pada spektrum horizontal dan spektrum
vertikalnya. Dari analisa HVSR ini akan didapatkan nilai frekuensi dominan ( 0) dan amplifikasi ( 0) yang dapat
merepresentasikan kondisi geologi setempat. Metodologi yang digunakan dalam analisis HVSR pada pengolahan ini
yaitu menggunakan filter bandpass 1 – 5 Hz dan filter smoothing Konno dan Ohmachi dengan koefisien bandwith
sebesar 40. Spektrum amplitudo rata-rata untuk masing-masing komponen dihitung dari window yang terseleksi.
Analisa Floor Spectra Ratio menggunakan algoritma Fast Fourier Transform (FFT), metode yang dapat mengubah
data domain waktu menjadi domain frekuensi. Analisis dilakukan dengan melakukan inversi terhadap kurva
HVSR yang telah dilakukan. Kurva HVSR (Gambar 7) menjadi acuan bagi parameter model selama proses inversi.

Tabel 1 Hasil Analisis Spektrum

Titik Spektrum Frekuensi

Lantai 24 East – West North – South
Lantai 20
Lantai 16 2,44 2,20
Lantai 12 2,44 1,10
Lantai 8 1,60 1,70
Lantai 4 1,74 1,34
Ground 1 1,80 1,42
Ground 2 1,32 1,68
1,26 1,03
2,27 2,10

Tabel 2 Hasil Analisis Floor Spectral Ratio (FSR)

Titik Frekuensi ( 0), Hz

Lantai 24 East – West North – South
Lantai 20
Lantai 16 1,93 2,13
Lantai 12
Lantai 8 1,93 1,06
Lantai 4
1,26 1,65

1,38 1,30

1,42 1,37

1,04 1,63

Gambar 7 Kurva HVSR Titik Ground 1 dan Ground 2

171

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan software OpenHVSR berbasis Matlab dengan lisensi bebas. Data
input yang dipakai dalam tahap inversi berupa nilai parameter model serta kurva HVSR berupa nilai amplitudo
puncak dan frekuensi natural. Ketika kurva HVSR diinversi (Gambar 8), parameter model bawah permukaan diacak
dan diperturbasi. Kurva data (hitam) dan kurva model (merah) akan bergerak saling mendekati selama proses iterasi.
Jika kecocokan antara kedua kurva ini sudah ditemukan dan nilai misfit kecil (<10), maka model bawah permukaan
yang dihasilkan dapat diterima.

Nilai hasil pengukuran memiliki rentang 80-509 m/s (Lihat Tabel 3). Hal ini sesuai apabila mengacu pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Riyantyo, 2017; Mufida, 2013), mengenai perhitungan nilai dengan
menggunakan mikrotremor, nilai daerah Surabaya berkisar antara 50-500 m/s. Meskipun jarak antar titik
pengukuran mikrotremor tanah pada pengukuran ini tidak terlalu jauh, nilai yang didapat memilliki perbedaan
yang cukup besar. Hal ini diduga akibat lokasi titik Ground 1 tepat berada di lantai bangunan sehingga nilai akan
lebih banyak dipengaruhi oleh struktur pondasi dari bangunan tersebut.

2.2 Analisis Pushover

Analisa pushover (ATC 40, 1996) merupakan salah satu komponen performance based seismic design yang
memanfaatkan teknik analisa non-linier berbasis komputer untuk menganalisa perilaku inelastis struktur dari
berbagai macam intensitas gerakan tanah (gempa), sehingga dapat diketahui kinerjanya pada kondisi kritis yang
menjadi sarana untuk mengetahui kinerja struktur bangunan terhadap gempa. Hasil akhir dari analisis ini berupa
kurva kapasitas struktur (capacity curve) yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan
perpindahan atap (roof displacement). Melalui kurva kapasitas tersebut dapat diketahui kinerja dari struktur gedung
yang dianalisis. Selain itu, analisa pushover juga dapat memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat
kondisi elastis, plastis dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen strukturnya. Metode analisa pushover
dapat menghasilkan informasi yang sangat berguna karena mampu menggambarkan respons in-elastis bangunan
ketika mengalami gempa. Gambar 9 menunjukkan hasil deformasi pushover arah- dan arah- .

Gambar 8 Hasil Inversi Titik Ground 1 dan Ground 2

Tabel 3 Hasil Perhitungan Vs pada titik Ground 1 dan Ground 2

Titik Kedalaman (m) (m/s)
Ground 1
4,41 154,86
Ground 2 10,50 118,81
15,62 277,45
24,50 431,13
34,24 220,88
8,05 80,00
14,6 80,00
21,42 181,41
36,85 509,42
66,000 337,86

172

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 9 Hasil Deformasi Pushover Arah-X dan Arah-Y

Parameter respons percepatan periode 2 detik ( ) dikonversi ke dalam , parameter respon percepatan periode 1
detik (SM1) ke dalam Cv. Sesuai ATC-40 Pasal 4.4.3, nilai = 0,4 dan = 1. Untuk Structural Behavior
Type sesuai dengan ATC-40, dipilih Type B, yang artinya struktur merupakan Average Existing Building dan
mempunyai short period response. Parameter tingkat kinerja struktur menggunakan nilai drift rata-rata tiap lantai
dengan total tinggi bangunan 100 m. Simpangan pada arah − sebesar 0,00339 dan arah − sebesar 0,00292,
sehingga struktur bangunan termasuk dalam kategori Immediate Occupancy.

3 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari analisis data mikrotremor, frekuensi natural hasil analisis metode spektrum horisontal maupun FSR pada data
mikrotremor EW (East-West) dan NS (North-South) memiliki nilai yang hampir sama dan berada pada rentang 1-2
Hz. Nilai hasil pengukuran memiliki rentang 80-509 m/s dan mendukung hasil analisis penelitian sebelumnya,
dimana nilai daerah Surabaya berkisar antara 50-500 m/s. Maka dapat disimpulkan, data hasil analisis mikrotremor
dapat digunakan lebih lanjut untuk menilai kerentanan bangunan. Dari analisis struktur dengan metode pushover,
diketahui bangunan berada dalam kategori Immediate Occupancy, yang artinya, secara umum struktur masih dalam
kondisi yang aman sesuai peraturan kegempaan yang berlaku saat ini.

Rekomendasi penulis, dalam pengambilan data mikrotremor, peneliti sebaiknya mempertimbangkan kebisingan yang
terjadi di sekitar lokasi pengambilan data. Hasil dari analisis struktur yang sudah dilakukan dapat digunakan untuk
dibandingkan dengan hasil analisis kerentanan bangunan ataupun analisis lanjutan lainnya terhadap dapat
mikrotremor.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih pada Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi – ITS, yang
mendanai penelitian dengan skema “Penelitian Dana Departemen 2020” nomor Surat Perjanjian Pelaksanaan
Penelitian: 1672/PKS/ITS/2020. Pengambilan data mikrotremor bekerjasama dengan Laboratorium Geofisika,
Departemen Geofisika, Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan, Dan Kebumian – ITS.

REFERENSI
Abercrombie, R.E., Antolik, M., Felzer, K., and Ekstrom, G. (2001). “The 1994 Java tsunami earthquake: Slip over
a subducting seamount.” Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 106(B4), 6595-6607.

Applied Technology Council. (996). “Seismic evaluation and retrofit of concrete buildings.” Seismic Safety
Commision, California, united States.

Gosar, A. (2010). “Site effects and soil-structure resonance study in the Kobarid basin (NW Slovenia) using
microtremors.” Natural Hazards & Earth System Sciences, 10(4), 761-772.

Herak, M. (2011). “Overview of recent ambient noise measurements in Croatia in free-field and in buildings.”
Geofizika, 28(1), 21-40.

173

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Kanamori, H. (2008). “Earthquake physics and real-time seismology”. Nature, 451(7176), 271-273.

Konno, K., and Ohmachi. T. (1998) “Ground-motion characteristics estimated from spectral ratio between horizontal
and vertical components of microtremor.” Bulletin of the Seismological Society of America, 88.1, 228-241.

Marliyani, G., Arrowsmith, J., and Whipple, K. (2006). “Characterization of slow slip rate faults in humid areas:
Cimandiri fault zone, Indonesia.” Journal of Geophysical Research: Earth Surface, 121(12), 2287-2308.

McCalpin, J.P. and Nelson, A. R. (2009) Chapter 1: Introduction to paleoseismology in International Geophysics.
1996, Academic Press, Vol 95, 1-27.

Mufida, A., Santosa, B. J., and Warnana, D. D. (2013). “Profiling kecepatan gelombang geser (Vs) Surabaya
berdasarkan pengolahan data mikrotremor.” Jurnal Sains dan Seni ITS, 2(2), B76-B81.

Pusat Studi Gempa Nasional. (2017). Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, Kementrian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia

Riyantiyo, N.D., (2017). “Identifikasi patahan lokal menggunakan analisa mikrotremor (studi kasus: patahan lokal
Sungai Surabaya).” Undergraduate Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia.

174

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tinjauan Analisis Ketahanan Tekuk Kolom Baja Canai Dingin yang Dibebani
Secara Aksial

N.Z. Mangoda*, A. Saputra, A. Awaludin

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Salah satu mode kegagalan kolom Cold-formed steel (CFS) yang memikul beban tekan, adalah tekuk. Tekuk menjadi sebuah
fenomena bagi material konstruksi khususnya pada struktur yang memiliki rasio kelangsingan yang besar dan ketebalan
penampang yang tipis. Tekuk merupakan sebuah kegagalan struktur dimana penampang mengalami perubahan bentuk pada saat
atau sebelum struktur mencapai kapasitas lelehnya. Oleh karena itu dalam tinjauan ini akan dibahas beberapa penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya terkait analisis eksperimental di laboratorium maupun analisa numerik dari penampang kolom
CFS profil CNP yang di modifikasi geometri atau double penampang dengan tujuan untuk mendapatkan kesimpulan tentang
perilaku tekuk penampang CFS profil CNP dengan perhitungan kapasitas tekan dari CFS profil CNP. Dari hasil tinjauan analisis
masing-masing penelitian memberikan output berupa peningkatan kapasitas tekan. Oleh karena itu dari penelitian ini
disimpulkan bahwa modifikasi geometri atau double penampang dinilai mampu dalam menunjukan dan meningkatkan kapasitas
tekan CFS profil CNP.

Kata kunci: Tekuk, Cold-Formed Steel (CFS), Kapasitas Tekan, Kolom.

1 PENDAHULUAN

Baja canai dingin atau cold-formed steel (CFS) merupakan material konstruksi yang dibentuk melalui proses
pabrikasi yang konstitutif dengan membentuk profil baja pada suhu ruang. Keunggulan dari material CFS ini adalah
tegangan lelehnya mendekati 500 MPa, sehingga termasuk material yang kuat, ringan dan mudah didapatkan.
Namun, ada hal yang menjadi fokus perhatian pada CFS saat didesain untuk dapat memikul beban tekan yaitu tekuk.
Tekuk menjadi sebuah fenomena bagi material konstruksi khususnya pada struktur yang memiliki rasio kelangsingan
yang besar dan ketebalan penampang yang tipis sehingga apabila mengalami gaya aksial tekan akan rawan terhadap
tekuk. Tekuk merupakan sebuah kegagalan struktur dimana penampang mengalami perubahan bentuk pada saat atau
sebelum struktur mencapai kapasitas lelehnya. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari CFS. Dua jenis tekuk
yang sering terjadi pada CFS adalah tekuk lokal dan tekuk global dimana salah satu faktor yang mempengaruhinya
adalah faktor geometri atau penampang. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka perlu dilakukan analisis
eksperimental di laboratorium dan atau numerik CFS profil CNP yang di modifikasi geometri atau double penampang
untuk mengetahui kapasitas tekan dan perilaku tekuk dari penampang CFS profil CNP.

2 RISET TENTANG KETAHANAN TEKUK KOLOM CFS

Kang et al. (2013) melakukan penelitian mode tekuk kolom CFS dengan benda uji seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1. Penelitian eksperimental ini menggunakan benda uji dari dua profil CNP berbibir yang dihubungkan
dengan las sepanjang 102 mm di bagian atas dan bawah, dengan panjang kolom 1,8 m. Ada juga lokasi pengelasan
menengah di seluruh elemen yang memiliki panjang pengelasan 25 mm. Perbedaan antara pola pengelasan
ditunjukkan pada Gambar 2. Semua pengelasan memiliki ketebalan sekitar 4,8 mm. Ketebalan yang dipilih
didasarkan pada elemen bangunan yang biasa digunakan dalam rangka berbentuk dingin dan dibuat sama pada kedua
benda uji. Total ketebalan nominal yang digunakan dalam pengujian adalah 1,6, 2 dan 2,5 mm.

Gambar 1. Benda uji CFS profil CNP yang dibentuk persegi panjang dan berbentuk I (Kang et al., 2013).

175

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Gambar 2. Perbedaan antara pola pengelasan (Kang et al., 2013).

Hasi penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tekuk kolom persegi panjang dengan panjang 1,8 m lebih tinggi
dibandingkan dengan kolom bentuk I. Kolom berbentuk I dengan tebal 1,6 mm rata-rata 11% lebih rendah dari kolom
persegi panjang dengan tebal 1,6 mm. Kolom bentuk I tebal 2 mm rata-rata 20% lebih rendah, dan kolom bentuk I
tebal 2,5 mm juga rata-rata 20% lebih rendah. Kolom dengan panjang 1,8 m berbentuk I jauh lebih rentan terhadap
tekuk distorsi sayap dan badan daripada kolom persegi panjang. Mayoritas kolom berbentuk I gagal dalam bentuk
tekuk distorsi. Ada perbedaan yang signifikan antara kolom persegi panjang dan kolom berbentuk I untuk kolom
dengan panjang 1,8 m.
Deskarta (2016) melakukan studi eksperimen perilaku struktur rangka batang CFS terhadap beban tekan. Tiga buah
benda uji dibuat dengan dua variasi meliputi benda uji tekan elemen batang yang memiliki sambungan 4 sekrup dan
6 sekrup. CFS yang dipakai dalam pengujian adalah baja kanal C75-75 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Pengujian
tekan pada benda uji batang C75.75 dengan panjang 75 cm menghasilkan data hubungan beban dan deformasi dengan
beban maksimum berbeda untuk tiap benda uji namun beban dimana mulai terjadinya deformasi yang sangat besar
akibat tekuk distorsional hampir sama yaitu pada beban 11 sampai 12 kN. Benda uji pertama memberikan beban
maksimum 12,5 kN sedangkan benda uji kedua dan ketiga memberikan beban maksimum sampai 15 kN.
Craveiro et al. (2016) melakukan penelitian ketahanan tekuk kolom CFS yang dibebani secara aksial. Profil kanal
(CNP) memiliki tinggi 150 mm dan lebar 43 mm dan tebal 2,5 mm, sedangkan profil saluran biasa (U) memiliki
tinggi 155 mm dan lebar 43 mm dan tebal 2,5 mm. Jari-jari tikungan dalam dan panjang pengaku tepi profil berbibir
masing-masing adalah 2 mm dan 15 mm. Kedua jenis penampang tunggal juga digabungkan menggunakan sekrup
bor Hilti S-6.3~19MD03Z untuk membuat penampang melintang. Panjang semua profil adalah 2950 mm dan jarak
pengencang sepanjang kolom adalah 725 mm. Jarak yang diterapkan untuk sekrup bor sendiri didasarkan pada
pengamatan struktur CFS yang dirancang. Empat jenis bentuk penampang melintang (CNP, I, R dan 2R) yang
digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam penelitian ini dilakukan 24 uji tekuk pada suhu kamar.
Selama uji tekuk, perpindahan aksial dan lateral dipantau dan dicatat. Regangan dipantau di tengah-tinggi kolom dan
di beberapa titik penampang. Mode kegagalan diamati secara menyeluruh untuk setiap penampang yang diuji.

Gambar 3. Jarak Sekrup Pada Sambungan (Deskarta 2016).

Gambar 4. Penampang melintang CFS profil CNP, I, R dan 2R (Craveiro et al. 2016).

176

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Dalam pengujian ini keuntungan menggunakan penggabungan elemen sudah jelas, karena peningkatan beban tekuk
signifikan. Misalnya, ditemukan bahwa beban tekuk kolom dengan penampang 2R tertutup adalah 9,4 kali lebih
tinggi daripada beban tekuk kolom dengan penampang profil CNP, 3,35 kali lebih tinggi dari beban tekuk kolom
dengan penampang I terbuka dan 3,62 kali lebih tinggi dari beban tekuk kolom dengan penampang R tertutup, untuk
kondisi tumpuan ujung sendi. Untuk kondisi tumpuan ujung jepit, beban tekuk kolom dengan penampang 2R adalah
5,6 kali lebih tinggi daripada beban tekuk kolom dengan penampang profil CNP, 2,01 kali lebih tinggi dari beban
tekuk kolom dengan penampang I terbuka dan 2.51 kali lebih tinggi dari beban tekuk kolom dengan penampang R
tertutup.

Ruus et al. (2017) melakukan penelitian pengaruh bentuk badan profil CFS terhadap kuat tekan. Penelitian dilakukan
terhadap profil kanal C dengan tiga bentuk modifikasi bentuk badan profil dimana mutu CFS mengikuti standar
Australia (AS1397) yaitu G550 yang diaplikasikan pada seluruh profil yang akan dianalisis. Selanjutnya dilakukan
pemodelan finite element dengan program Ansys Mechanical APDL. Analisis linear buckling (eigen buckling)
digunakan untuk memperoleh besarnya beban kritis tekuk profil dan mode keruntuhan struktur. Setelah diperoleh
besar beban kritis tekuk, maka hasil tersebut dibandingkan antara profil kanal C tanpa modifikasi badan profil (C1)
dengan profil kanal C yang dimodifikasi bentuk badan profilnya (C2, C3 dan C4) seperti tampak pada Gambar 5.
Dari analisis eigen buckling dengan finite element model diketahui bahwa dengan memodifikasi bentuk badan profil
terbukti dapat meningkatkan kemampuan tekan dengan mereduksi tekuk lokal yang terjadi pada profil.

Sandjaya & Suryoatmono (2018) melakukan studi eksperimental batang tekan CFS diperkaku sebagian. Dalam
penelitian ini, dua buah profil CFS yang disusun bersama pada bagian punggung dengan punggung sebagai batang
tekan akan ditambahkan pengaku dengan tiga pola penempatan berbeda untuk meningkatkan ketahanan terhadap
tekuk lokal. Struktur benda uji merupakan struktur batang tekan dengan tumpuan bawah jepit dan atas jepit-rol.
Pengaku menggunakan profil yang sama (Gambar 6) dengan total panjang 60 cm. Model pertama menggunakan
pengaku pada kedua tumpuan batang saja. Model ke dua menggunakan pengaku pada bagian tengah batang saja.
Model ke tiga menggunakan pengaku pada kedua ujung dan tengah batang. Model ke empat tanpa penambahan
pengaku (Gambar 7).

Gambar 5. Modifikasi bentuk badan dan data geometri profil C1, C2, C3 dan C4 (Ruus et al., 2017).

Gambar 6. Sketsa penampang kanal (kiri), penampang tersusun (tengah), dan penampang berpengaku (kanan) (Sandjaya &
Suryoatmono, 2018).

Gambar 7. Sketsa penempatan pengaku struktur benda uji (Sandjaya & Suryoatmono, 2018).

177


Click to View FlipBook Version