Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3.2 Analisis Kelayakan Jalur Kereta Api Madiun-Slahung
Kelayakan finansial dari suatu proyek sistem transportasi transit massal, dimana biaya dari proyek ini terdiri atas biaya
pembangunan (construction cost), dan biaya operasi dan pemeliharaan (maintenance), sedangkan pengembalian dari
proyek ini diharapkan diperoleh dari pendapatan langsung yang dalam hal ini berasal dari pendapatan tiket (farebox).
Pada analisis kelayakan finansial ini dikembangkan skenario pemeriksaan kelayakan sesuai dengan rencana
pengembangan skenario yang telah ditentukan sebelumnya. Keputusan untuk melakukan investasi yang menyangkut
sejumlah besar dana dilakukan dengan harapan mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang seringkali
berdampak besar terhadap kelangsungan hidup suatu proyek. (Abubakar, 1997).
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis sedang dalam proses pengumpulan data. Oleh karena itu penulis akan
mengungkapkan yang menjadi harapan penulis terhadap penelitian tersebut. Dengan menggunakan 3 skenario yaitu
skenario tinggi, skenario sedang dan skenario rendah untuk penelitian ini, agar dapat menghasilkan perhitungan pada
nilai kelayakan NPV bernilai positif (NPV>0), BCR>1 dan IRR>Discount Rate dan penelitian ini memberikan
perkiraan atas payback period tidak terlalu lama dari operasional kereta api Madiun-Slahung, sehingga proyek
reaktivasi jalur kereta api Madiun-Slahung layak untuk dilaksanakan.
3.3 Kelayakan Finansial
Dalam kajian kelayakan finansial pada penelitian ini, digunakan 4 jenis analisis untuk mengetahui kelayakan proyek
reaktivasi jalur kereta api Madiun-Slahung, yaitu:
a) Net Present Value (NPV): Analisis NPV ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu rencana dapat
memberikan keuntungan dalam periode waktu tertentu. Net present value adalah selisih antara present value
benefit dikurangi dengan present value cost. Dalam hal ini suatu proyek akan dinyatakan layak secara finansial
jika nilai NPV menunjukkan hasil positif (Tamin, 2008).
b) Benefit Cost ratio (BCR) merupakan suatu pendekatan untuk menganalisis kebijakan dengan cara menghitung
total biaya dan total keuntungan dalam bentuk uang.
c) Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mengetahui tingkat suku bunga pada saat NPV=0. Nilai IRR pada
suatu proyek haruslah lebih besar dibandingkan dengan nilai suku bunga yang berlaku (Tamin, 2008). Apabila
nilai dari IRR tersebut lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku, maka suatu proyek tersebut dapat
dikatakan layak secara finansial. Akan tetapi jika nilai IRR berada di bawah tingkat suku bunga yang berlaku,
maka dapat proyek tersebut tidak layak, dan akan lebih menguntungkan untuk melakukan investasi pada proyek
lain.
d) Payback Period (PP) merupakan periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jumlah total nilai keuntungan
proyek yang akan diperoleh sama dengan nilai investasi yang sudah dikeluarkan. Dalam buku Engineering
Economic Analysis oleh Newnan (1991), terdapat 4 hal penting yang harus dipahami dalam perhitungan payback
period, antara lain:
1. Analisis ini hanya sebatas pendekatan dan bukan sebuah nilai pasti dalam analisis ekonomi.
2. Nilai uang dalam menghitung payback period tidak dikonversikan terhadap fungsi waktu.
3. Nilai keuntungan/ pendapatan dan kerugian setelah payback period diabaikan.
4. Payback period menggunakan banyak pendekatan dalam perhitungannya, sehingga tidak akurat sebagai
acuan dalam mengambil keputusan. Analisis ini hanya digunakan untuk mengetahui tingkat kecepatan
pengembalian investasi.
4 KESIMPULAN
Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional mempunyai karakteristik
pengangkutan secara massal. Kereta Api juga memiliki keunggulan tersendiri, dengan semakin kuatnya isu
lingkungan. Dengan adanya perhitungan kelayakan terhadap reaktivasi jalur kereta api Madiun-Slahung maka akan
memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain adalah:
a) Memberikan masukan kepada pengambil keputusan untuk menjadikan penelitian ini sebagai salah satu acuan
dalam membangun kembali/reaktivasi pada jalur ini.
b) Selain itu manfaat yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya jalur ini yaitu memberikan kemudahan dalam
melakukan perpindahan dari Slahung ke Ponorogo/Madiun maupun sebaliknya. Sehingga dengan adanya jalur
ini akan sangat mengurangi kemacetan dan polusi serta tingkat kecelakaan di ruas jalan Madiun-Ponorogo-
Slahung.
276
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
c) Bagi investor, akan memberikan gambaran akan biaya pembangunan proyek dan keuntungan yang diperoleh
pada operasional kereta api Madiun-Slahung.
6 REFERENSI
Abubakar, I. (1997). “Financing Jakarta’s mass transit system”. Proceeding of the Eastern Asia Society for
Transportation Studies. Vol. 1. Hal. 263-275
Fuadi, A., Egza, R. A., Narayudha, M., and Kushardjoko, W. (2014). “Kajian reaktivasi jalur lintas cabang daerah
operasional IV (DAOP IV)”. Jurnal Karya Teknik Sipil. Vol.3. Hal 695-705
Newnan, D. G., (1991). Solution Manual; Engineering Economic Analysis, Third Edition. Binarupa Aksara, Jakarta,
Indonesia
Republik Indonesia. (2018). Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 2128 Tahun 2018
tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
Tamin, O. Z. (2008). Perencanaan, Pemodelan, dan Rekayasa Transportasi, Edisi Pertama. Penerbit ITB, Bandung,
Indonesia
Widyasti, R. P., Purba, A., and Karami, M. (2018). “Analisis ekonomi finansial pada proyek kereta cepat Jakarta-
Bandung”. Journal Rekayasa Sipil dan Desain. Vol 9, No. 2 Hal: 1-10
277
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Tipologi Permasalahan Audit Investigasi Bangunan Publik Berbasis Data
Historis
F. Hermawan1*, I.L. Nafiadi1, P.A. Yamadevira1 dan H. Indarto1, H.L. Wahyono2
1Departemen Teknik Sipil, Universitas Diponegoro, Semarang, INDONESIA
2Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Semarang, Semarang, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Penggunaan bangunan publik pada periode tertentu akan mempengaruhi fungsi bangunan. Beberapa riset tentang bangunan
publik dalam audit investigasi seringkali ditemukan permasalahan yang timbul mempunyai pola tertentu. Faktor teknis dan
administrasi menjadi persoalan dasar dalam audit investigasi bangunan publik. Pembelajaran dari data historis menjadi penting
bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan bangunan publik, baik bagi dinas teknis maupun para pihak seperti
auditor bangunan publik, ahli bangunan, kejaksaan dan kepolisian. Berdasarkan penelitian audit investigasi bangunan terdahulu,
diketahui belum ada sistem informasi yang dapat dijadikan media pembelajaran. Maka, penelitian database tipologi
permasalahan audit investigasi mempunyai peran strategis bagi pengelolaan bangunan publik di masa mendatang. Database
tersebut berisi mengenai input kesesuaian dokumen pekerjaan dengan dokumen kontrak dan input hasil audit, sehingga dapat
diketahui tipologi permasalahan dan rekomendasi dari audit investigasi dan dapat dijadikan referensi bagi auditor yang belum
berpengalaman dalam mengambil keputusan. Metode simulasi dengan database historis audit investigasi dari delapan sampel
laporan audit investigasi. Proses digitalisasai data pada dokumen konstruksi dan hasil audit investigasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa permasalahan teknis yang paling sering terjadi dari audit investigasi adalah turunnya mutu beton dan
diskrepansi terhadap kontrak konstruksi. Permasalahan administrasi yang paling sering terjadi yaitu, keterlambatan pekerjaan
dan proses addendum yang tidak sesuai prosedur.
Kata kunci: Tipologi, Bangunan, Publik, Audit, Investigasi
1 PENDAHULUAN
Industri konstruksi merupakan industri yang memiliki karakter yang unik. Banyak pihak yang terlibat dalam industri
tersebut dan memiliki tujuan masing- masing (Wibowo et al., 2011). Selain itu, industri konstruksi dikatakan unik
karena memiliki sumber daya fluktuatif dan tidak adanya standar yang yang baku (Diana dan Rahmanto, 2018).
Industri ini juga memiliki tingkat kesulitan dan bahaya yang tinggi, karena bersentuhan langsung dengan alam bebas
dan kondisi sosial budaya masyarakat yang beragam, sehingga rawan terjadi kegagalan pada tahap pelaksanaan
konstruksi.
Setiap tahapan pada pekerjaan konstruksi memiliki berbagai risiko yang dapat menimbulkan kegagalan, baik
kegagalan bangunan maupun kegagalan konstruksi. Menurut UU. No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,
kegagalan bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah
penyerahan akhir hasil jasa konstruksi. Menurut Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 Pasal 31 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi, baik sebagian maupun
keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.
Kegagalan bangunan dan konstruksi dapat disebabkan oleh faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis yang terjadi
disebabkan adanya penyimpangan proses pelaksanaan karena tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disepakati
dalam kontrak, sedangkan faktor non-teknis lebih disebabkan karena proses pra kontrak (bidding), maupun tidak
kompetennya badan usaha, tenaga kerja yang tidak terampil, tidak profesionalnya tata kelola manajerial dan
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi serta lemahnya pengawasan atau supervisi yang
dilakukan (Wiyana, 2012). Menurut Husen (2009), tujuan yang ingin dicapai pada suatu proyek meliputi 4 target
yaitu; biaya ekonomis, kualitas terpenuhi, waktu tak terlampui dan keselamatan kerja terpenuhi. Apabila salah satu
tujuan proyek tak terpenuhi maka dapat diartikan bahwa proyek tersebut mengalami kegagalan.
Berdasarkan adanya kegagalan bangunan dan konstruksi, maka perlu dilakukan proses audit investigasi. Audit
investigasi adalah serangkaian kegiatan mengenali, mengidentifikasi dan menguji fakta-fakta dan informasi yang ada
guna mengungkap kejadian yang sebenarnya dalam rangka pembuktian demi mendukung proses hukum atas dugaan
278
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
penyimpangan yang dapat merugikan keuangan suatu entitas (organisasi/perusahaan/negara/daerah) (Wahyono,
2018). Dalam hal ini audit investigasi bangunan dilakukan untuk mencocokan atau memeriksa hasil pekerjaan di
lapangan yang disepakati di dalam kontrak. Melalui audit investigasi, dapat diketahui penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi, baik saat pra kontrak, kontrak ataupun pada saat pelaksanaan. Penyimpangan atau diskrepansi akan
dapat ditemukan kerugian negara dari proyek tersebut. Pentingnya penelitian ini dilakukan adalah dengan mengetahui
tipologi permasalahan dengan pola yang berbeda-beda, nantinya dapat dijadikan media pembelajaran bagi auditor
investigasi yang belum berpengalaman dalam mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Pada penelitian ini, audit
yang dilakukan didasarkan pada delapan dokumen kontrak dari audit investigasi bangunan publik. Data penelitian
tersebut diperoleh dari tim auditor independent pada investigasi bangunan. Dokumen yang diteliti meliputi: dokumen
konstruksi dari tahap perencanaan hingga tahap penyerahan akhir/final hand over. Dokumen tersebut berupa data
sekunder dari proyek yang telah di audit, data semula berupa data hard copy kemudian didigitalisasi sehingga menjadi
data soft copy.
2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan data sekunder audit investigasi bangunan publik
terpilih. Sebagai symptoms dari studi kasus audit investigasi, dipilih delapan proyek yang menggambarkan variasi
jenis data dari jenis bangunan gedung dan infrastruktur. Tidak semua data audit investigasi dapat dimunculkan
identitas proyeknya karena merupakan data penyidikan dan penyelidikan bangunan dan dalam kasus hukum. Oleh
karena itu, database dibuat anonim untuk menjaga kerahasiaan data. Proses pembangunan database audit investigasi
dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, digitalisasi data audit investigasi dari dokumen kontrak dan dokumentasi saat
audit investigasi. Dalam dokumen kontrak diperoleh data proyek, meliputi gambar desain, spesifikasi, rencana
anggaran biaya dan metode kerja. Dokumen pelaksanaan investigasi meliputi foto dokumentasi, uji lapangan dan uji
laboratorium material konstruksi dan rekomendasi.
Database yang dibangun pada penelitian ini merupakan alat yang dibangun dari platform MS Access sebagai tools
pencarian untuk fungsi pembelajaran tipologi permasalahan audit investigasi dari bangunan publik yang dijadikan
sampel. Tipologi diperoleh dari proses grounded hasil eksplorasi data penelitian melalui hasil audit dan catatan
rekomendasi auditor dan standar atau spesifikasi yang berlaku di Indonesia, seperti SNI material terkait. Entitas data
yang disusun dalam form database yang dibangun berdasarkan siklus hidup proyek (project life cycle), antara lain
nama proyek, addendum proyek, data perencanaan, data pelelangan, data tender, data pelaksanaan, data uji lapangan
dan uji laboratorium, dan analisis hasil audit investigasi. Keberlanjutan pengembangan data dibuat melalui menu
penambahan data pada platform database.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Database Audit Investigasi Bangunan Publik
Berdasarkan beberapa penelitian mengenai audit investigasi bangunan publik yang sudah pernah dilakukan, diketahui
penelitian sebelumnya hanya melaksanakan audit dari segi teknis dan langsung melakukan pengujian di lapangan.
Penelitian tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek administrasi yang bisa saja menjadi penyebab
permasalahan pekerjaan pada suatu proyek. Beberapa contoh penelitian tersebut meliputi: Penelitian yang dilakukan
oleh Wahyono (2018) mengenai Framework Investigasi Mutu Pekerjaan Konstruksi Bangunan Publik pada Proses
Audit oleh Pihak Auditor dan Penyidik. Penelitian yang dilakukan oleh Budio & Cahya (2012) mengenai Keandalan
Bangunan Sipil pada Struktur Cerobong Studi Chimney PLTU Paiton Unit 6 dan 7. Penelitian yang dilakukan oleh
Alkhaly (2013) mengenai Penilaian Kerusakan pada Gedung Kantor Jasa Raharja Lhokseumawe. Penelitian yang
dilakukan oleh Wiyana (2012), mengenai Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor
Teknis. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan permasalahan dan rekomendasi yang berbeda-beda. Penelitian
yang sudah pernah dilakukan terhadap bangunan publik dengan sumber dana Pemerintah, diketahui belum adanya
suatu sistem informasi yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Penggunaan database sangat dibutuhkan
sebagai alat yang efektif dalam pengelolaan bangunan publik yang semakin komplek permasalahannya. Aspek
negatif tidak dikelolanya audit investigasi yang efektif dapat berpotensi menghilangkan rekaman aset bangunan.
Database pada penelitian ini merupakan platform yang dibangun dari data historis audit investigasi Dalam database
tersebut berisi tentang kesesuaian dokumen proyek dari tahap perencanaan hingga serah terima pekerjaan, serta hasil
audit investigasi yang telah dilaksanakan. Melalui data historis audit investigasi diketahui berbagai tipologi
permasalahan dan rekomendasi dari masing-masing proyek. Tipologi permasalahan dan rekomendasi yang berbeda-
beda dapat digunakan sebagai pengetahuan awal bagi auditor yang belum berpengalaman dalam pengambilan
279
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
keputusan dalam kegiatan audit. Delapan data audit investigasi yang digunakan pada penelitian ini meliputi: Gedung
Ruang Rawat Gabung di Kabupaten Batang, Rehabilitasi Puskesmas dan Rumah Dinas Medis Kabupaten Grobogan,
Gedung Laboratorium dan Radiologi Kabupaten Batang, Bangunan Pabrik Siap Pakai Kota Semarang, Peningkatan
Jalan G-L Kabupaten Pekalongan, Peningkatan Jalan G-B Kabupaten Pekalongan, Pembangunan Embung
Kabupaten Pati, Penyempurnaan Sarana dan Prasarana Pasar Kota Semarang. Proses digitalisasi dilakukan dengan
mengalihragamkan dokumen hardcopy menjadi softcopy. Manajemen database historis menggunakan software
aplikasi MS Access dengan menempatkan konten tipologi permasalahan secara kontekstual pada setiap data proyek
audit investigasi yang digunakan.
3.2 Simulasi Penggunaan Database
Berdasarkan hasil dari pembuatan database dengan aplikasi Microsoft Access, maka perlu diketahui cara penggunaan
dan cara kerja dari sistem database tersebut. Kegunaan dari database tersebut dapat memberikan kontribusi dalam
pelaksanaan audit investigasi. Secara sederhana, simulasi audit database dijelaskan pada flowchart seperti disajikan
Gambar 1. Kegunaan dari platform database, yaitu untuk menambah data baru, mengedit data ataupun untuk mencari
data yang sudah pernah dimasukkan/di-input.
Gambar 1. Model flowchart simulasi audit database
3.3 Overview Dokumen Kontrak
Pada sub bab ini, akan dijelaskan isi dokumen kontrak yang nantinya dapat dijadikan dasar apabila terjadi
penyimpangan atau ketidaksesuaian antara pekerjaan dan ketentuan kontrak. Pada pelaksanaan audit, dokumen
kontrak menjadi dokumen yang sangat penting. Dokumen kontrak menjadi dasar hukum pertama bagi para pemangku
kepentingan terkait apabila terjadi perselisihan/permasalahan di kemudian hari. Pada peneltian ini, audit yang
dilakukan berdasarkan dari ketentuan yang ada dalam dokumen kontrak. Dari dokumen kontrak,
280
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
permasalahan/penyimpangan yang terjadi di lapangan akan diketahui. Berikut dokumen yang terdapat dalam
dokumen kontrak:
a) Addendum Surat Perjanjian. Pada proyek ini, addendum kontrak mengenai perubahan desain pekerjaan tambah
kurang tidak melibatkan konsultan perencana, sehingga tidak sesuai prosedur addendum yang dilakukan. Hal ini
didapat dari dokumen addendum yang terdapat pada dokumen kotrak. Dokumen addendum merupakan dokumen
yang tidak terpisahkan dari dokumen kontrak.
b) Pokok Perjanjian, Syarat-Syarat Umum Kontrak, Syarat-Syarat Khusus Kontrak
c) Surat Penawaran. Surat penawaran pada Proyek Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota Semarang, berisi harga
penawaran dan kapan berlakunya penawaran tersebut serta lampiran-lampiran dari surat penawaran.
d) Spesifikasi Teknis. Spesifikasi teknis berisikan mengenai kualitas dan kuantitas yang harus dipenuhi dalam
pekerjaan ini. Spesifikasi teknis pada Pembangunan Sarana dan Prasarana Pasar Kota Semarang, dibagi menjadi
syarat-syarat teknis umum dan syarat-syarat teknis pelaksanaan pekerjaan. Pada syarat-syarat teknis umum
dijelaskan mengenai penjelasan umum mengenai proyek dan tempat proyek dilaksanakan. Pada syarat-syarat
teknis pelaksanaan pekerjaan, dijelaskan mengenai jenis-jenis dan detail dari pekerjaan yang dilakukan baik dari
spesifikasi material, dimensi pekerjaan dan ketentuan serta standar-standar yang dirujuk.
e) Gambar-Gambar Kerja. Gambar kerja (shop drawing) merupakan acuan pelaksanaan konstruksi di lapangan, yang
termuat dalam gambar kerja harus dilaksanakan. Selain sebagai acuan pelaksanaan, gambar kerja juga dijadikan
kontrol atas pekerjaan yang dilaksanakan. Berdasarkan isi dari dokumen kontrak, pada Proyek Pembangunan
Sarana dan Prasarana Pasar Kota Semarang, penyimpangan atau ketidaksesuaian pada addendum yang tidak
sesuai dengan prosedur yang berlaku, serta kuantitas dan mutu pekerjaan khususnya beton yang tidak sesuai
dengan spesifikasi teknis.
3.4 Tipologi Permasalahan Audit Bangunan Publik
Berdasarkan delapan data audit investigasi yang telah dilakukan analisis, dapat diketahui permasalahan-
permasalahan yang terjadi, yaitu: permasalahan teknis, permasalahan administrasi dan permasalahan mengenai
kelengkapan dokumen saat pelaksanaan audit. Permasalahan-permasalahan tersebut dijelaskan pada penjelasan sub
bab di bawah ini.
a) Permasalahan Teknis
Ada dua permasalahan inti, yaitu turunnya mutu beton di lapangan yaitu Hasil Uji Kuat Tekan Beton kurang dari
mutu yang ditentukan.dan kuantitas pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi/kontrak termuat pada poin
sisanya. Permasalahan kuantitas yang tidak sesuai dengan kontrak, dapat diselesaikan dengan mengacu pada Pasal
54 UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 dan Pasal 88 UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017. Dalam Pasal
54 UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 tentang jasa kontruksi dinyatakan penyedia jasa dan/atau sub penyedia
jasa yang tidak menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biaya, tepat mutu, dan/atau tepat waktu dapat dikenai
ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak kerja kontruksi. Menurut Pasal 88 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 dinyatakan mengenai cara-cara penyelesaian dari sengeketa atas permasalahan
yang terjadi.
Permasalahan turunnya mutu beton di lapangan dilakukan dengan prosedur pengujian mutu lapangan dengan core
drill. Memastikan mutu beton di lapangan mengacu pada SNI 2847:2019 Pasal 26.12.4 tentang investigasi pengujian
dengan hasil kekuatan tekan rendah. Setelah mengetahui mutu beton dari struktur yang diuji, dilanjutkan evaluasi
struktur yang mengacu pada Pasal 27 SNI 2847:2019. Evaluasi kekuatan struktur eksisting dapat dilakukan dengan
cara analisis dan atau uji beban. Berdasarkan evaluasi tersebut akan diketahui kekuatan dan kapasitas dari
strukturnya.
b) Permasalahan Administrasi
Dua permasalahan inti yang sering terjadi yaitu, keterlambatan proyek dan addendum yang tidak sesuai prosedur.
Permasalahan adminitrasi dari hasil audit didasarkan pada dokumen kontrak ataupun dokumen pada pekerjaan
konstruksi. Prosedur addendum, minimal setelah dimulai pelaksanaan ada temuan permasalahan yang tidak sama
dengan gambar rencana maka menjadi masalah yang harus diselesaikan melalui proses, pertama dibuat undangan
rapat dan hasil rapat ditulis pada notulen, ditunjuk siapa yang bertanggung jawab menyelesaikan perubahan dan harus
melibatkan konsultan perencana dari MC 0 (Mutual Check 0) perubahan tambah kurang terkait pekerjaan struktur,
hasil perubahan dirapatkan kembali dan dibuat notulen rapat dan putusan rapat, selanjutnya jadi usulan addendum
281
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
kontrak. Selanjutnya disepakati pihak I dan pihak II untuk dibuat addendum kontrak. Peraturan yang membahas
perubahan kontrak tertuang dalam Pasal 54 Perpres No. 16 Tahun 2018.
Permasalahan keterlambatan progress pekerjaan, prosedur penyelesaian permasalahan dapat merujuk pada Permen
PU No. 07/PRT/M/2011. Dalam peraturan dinyatakan mengenai kontrak kritis proyek, yang berisikan tingkat
keterlambatan proyek dan penyelesaian dari kontrak kritis, meliputi: rapat pembuktian atau show cause meeting
(SCM), pemberian surat tegutan bahkan pemutusan kontrak. Saat owner berkeyakinan bahwa penyedia jasa mampu
menyelesaikan pekerjaan, maka dapat diberikan kesempatan waktu penyelesaian, yang dijelaskan dalam Pasal 4 ayat
(1) PMK No. 243/PMK.05/2015, yaitu diberikan kesempatan sampai dengan 90 hari kalender sejak berakhirnya masa
pelaksanaan pekerjaan. Pembayaran denda keterlambatan dijelaskan pada Pasal 79 ayat 4 Perpres No. 16 Tahun
2018, yaitu: “Pengenaan sanksi denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (5) huruf f
ditetapkan oleh PPK dalam Kontrak sebesar 1/1000 (satu permil) dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk
setiap hari keterlambatan”.
3.5 Manfaat Database untuk Auditor dan Dampaknya bagi Auditor Tanpa Pengalaman
Pembuatan database audit, membantu auditor tanpa pengalaman untuk mempelajari pola-pola permasalahan dari
berbagai macam proyek yang telah diaudit. Auditor hanya perlu membaca dan memahami permasalahan dari setiap
tahapan konstruksi dan hasil audit yang telah dilakukan, dengan begitu auditor dapat mengetahui pola permasalahan
yang terjadi pada audit terdahulu dan dapat dijadikan referensi dalam melakukan pengambilan keputusan di masa
mendatang. Semakin banyak data yang tersimpan dalam database, semakin banyak pola yang terbentuk. Pola tersebut
berupa permasalahan yang berbeda-beda dan bervariasi dari setiap proyek. Maka, semakin banyak pola permasalahan
akan memudahkan auditor tanpa pengalaman dalam mengambil keputusan dari referensi historis. Platform
pembelajaran hasil audit investigasi melalui database ini, auditor tanpa pengalaman mendapatkan pengetahuan
tentang audit investigasi lebih awal, dan saat menemukan suatu permasalahan yang mirip, akan lebih mudah dan
lebih cepat mengetahui prosedur apa yang harus dilakukan serta rekomendasi apa yang harus diberikan, walaupun
auditor tersebut belum pernah melaksanakan audit tersebut.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a) Berdasarkan dokumen audit investigasi terdahulu yang diteliti, tipologi permasalahan yang terjadi diklasifikasikan
menjadi dua:
1. Tipikal Permasalahan Teknis.
Pada tipikal permasalahan teknis, terdapat dua permasalahan inti yang terjadi yaitu mutu beton yang mengalami
penurunan dan kuantitas pekerjaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak. Evaluasi mutu beton pada
struktur bangunan eksisting merujuk pada pasal 26 SNI 2847: 2019 (tentang persyaratan beton struktural untuk
bangunan gedung dan penjelasan). Pengujian yang harus dilakukan yaitu uji beton inti yang diambil dari
struktur. Selanjutnya sesuai pasal 27 SNI 2847: 2019, dapat dilakukan uji analisis dan uji beban untuk
mengetahui kapasitas dari struktur. Kuantitas pekerjaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak, dapat
merujuk pada Pasal 54 dan 88 Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 mengenai tata cara
penyelesaian permasalahan tersebut.
2. Tipikal Permasalahan Administrasi.
Pada tipikal permasalahan administrasi, terdapat dua permasalahan inti yang terjadi yaitu addendum kontrak
tidak sesuai prosedur dan keterlambatan proyek. Untuk permasalahan addendum kontrak yang tidak sesuai
prosedur, dapat merujuk pada pasal 54 Perpres No. 16 Tahun 2018 mengenai perubahan kontrak. Sedangkan
untuk permasalahan keterlambatan proyek, dapat merujuk pada Permen PU No. 07/PRT/M/2011 yang
membahas mengenai prosedur apabila terjadi keterlambatan proyek dan Pasal 4 PMK No. 243/PMK.05/2015
mengenai pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan serta pasal 79 Perpres No. 16 Tahun 2018 mengenai
denda keterlambatan proyek.
b) Belum adanya sistem database audit investigasi pada bangunan publik berpotensi sebagai platform pembelajaran
yang strategis terutama para pihak yang belum berpengalaman dalam manajemen bangunan publik, seperti audit
investigator independen, penyidik seperti polisi dan jaksa yang menangani investigasi permasalahan bangunan
publik.
282
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
REFERENSI
Alkhaly, Y.R. (2013). Penilaian Kerusakan Pada Gedung Kantor Jasa Raharja Lhokseumawe 3, 14
Badan Standarisasi Nasional. (2019). SNI 2847:2019 tentang Persyaratan Beton Betulang Untuk Bangunan Gedung.
Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia
Budio, S.P., Cahya, I., Puspa, K., Hasyim, M. H., and Jmaran, I. (2012). “Penelitian Keandalan Bangunan Sipil Pada
Struktur Cerobong (Studi Kasus: Chimney Pltu Paiton Unit 6 Dan 7)”. Jurnal Rekayasa Sipil, Malang, Indonesia.
Diana, A.I.N., and Rahmanto, D. (2018). Analisis Karakteristik Manajemen Proyek Konstruksi Gedung Di
Kabupaten Sumenep Tahun 2017. Jurnal Ilmiah MITSU, 10–13
Husen, A. (2009). Manajemen Proyek. Andi Offset, Yogyakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2000). Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi. Presiden Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2017). Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
Wahyono, H.L. (2018). "Framework investigasi mutu pekerjaan konstruksi bangunan publik pada proses audit oleh
pihak auditor dan penyidik." Doctoral Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
Wibowo, I.M.A., Dh, J.U., Hermawan, F., Wahyono, H.L., Wiyana, Y.E., Nurdiana, A. (2011). Laporan Akhir
Penelitian Kegagalan Konstruksi Dan Kegagalan Bangunan, 130
Wiyana, Y.E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi Dan Bangunan Dari Perspektif Faktor Teknis, 10
283
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Konsep Re-desain Stasiun Peralihan Antara (SPA) Gedebage Kota Bandung
I. M. W. Widyarsana, N. Fildzah*
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
SPA Gedebage Kota Bandung berfungsi untuk mereduksi volume sampah yang diangkut menuju TPA sehingga meminimalisir
biaya operasional pengangkutan. Namun dalam keberjalanannya, pengolahan sampah di SPA Gedebage belum efektif, sehingga
re-desain SPA Gedebage perlu dilakukan. Re-desain SPA Gedebage direncanakan melayani Kecamatan Panyileukan, Kecamatan
Gedebage, dan Kecamatan Cinambo, dengan periode perencanaan 20 tahun dari tahun 2021 hingga 2040. Jumlah sampah yang
diolah di SPA Gedebage yang bersumber dari rumah tangga dan non-rumah tangga pada tahun 2040 yaitu sebesar 97,828 ton/hari
atau 224,982 m3/hari. Sistem pengelolaan sampah yang direncanakan yaitu sentralisasi di SPA Gedebage dan dilakukan
pemisahan sampah organik dari jenis lainnya sejak di sumber. Pengolahan sampah di SPA Gedebage dilakukan dengan metode
pengomposan windrow untuk sampah organik, dan metode fisik seperti pemadatan kertas dan logam, pencacahan hingga
penjemuran plastik, dan pemadatan residu. Sehingga pada tahun 2040, jumlah sampah yang dibawa ke TPA yaitu 43,05 ton/hari.
SPA Gedebage direncanakan memiliki total luas 4.488,56 m2 dengan kebutuhan luas minimal yaitu 3.499 m2. Biaya investasi
yang diperlukan yaitu Rp 13.617.512.000 dan biaya operasional fasilitas yaitu Rp 719.954.000 /ton/hari untuk tahun 2040.
Kata kunci: Kompaksi, Material Flow Analysis, Pengelolaan Sampah, Re-Desain, Stasiun Peralihan Antara
1 PENDAHULUAN
Stasiun Peralihan Antara (SPA) Gedebage Kota Bandung merupakan fasilitas pengelolaan sampah yang diperlukan
untuk kabupaten/kota yang memiliki jarak menuju TPA lebih dari 25 km dengan fungsi untuk mereduksi volume
sampah yang diangkut menuju TPA dengan teknik kompaksi sehingga dapat mereduksi biaya operasional
pengangkutan menuju TPA (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2013). Namun dalam
keberjalanannya, pengolahan sampah di SPA Gedebage belum efektif dikarenakan terdapat fasilitas pengolahan
sampah yang tidak terpakai seperti ruang pemilahan sampah karena tidak dilakukan pemilahan sampah sesuai
jenisnya dan adanya fasilitas yang dibutuhkan namun belum tersedia seperti area pengolahan sampah dan beberapa
fasilitas penunjang seperti kantor, pos jaga, dan toilet. Oleh karena itu, re-desain SPA Gedebage perlu dilakukan agar
meningkatkan pengolahan sampah menjadi bernilai ekonomi dan lebih meminimalisir biaya operasional
pengangkutan menuju TPPAS Legok Nangka.
2 METODOLOGI
Dalam penyusunan konsep re-desain SPA Gedebage, dibutuhkan tahapan pekerjaan dari awal hingga selesai secara
sistematis, untuk memperoleh hasil yang optimal. Tahapan penyusunan konsep re-desain SPA Gedebage dapat
digambarkan dalam diagram alir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Adapun tahapan penyusunan konsep re-
desain SPA Gedebage dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah tahap awal dalam pekerjaan ini, dengan terlebih dahulu dilakukan studi literatur mengenai
re-desain SPA Gedebage. Studi tersebut kemudian menjadi dasar dalam pengambilan data dan perencanaan
metodologi dari awal hingga akhir pekerjaan ini. Disamping itu, dilakukan pula koordinasi kepada dinas-dinas terkait
perihal proses administrasi dan perijinan untuk melakukan pengambilan data.
2.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data
Tahap pengumpulan dan pengolahan data terdiri dari pengumpulan data primer, pengumpulan data sekunder, dan
pengolahan dan analisis data. Data primer diperoleh melalui pengambilan atau pengukuran secara langsung di
lapangan, yang diantaranya yaitu data densitas sampah, komposisi sampah, dan kondisi eksisting. Data sekunder
diantaranya yaitu komposisi sampah, data kependudukan, curah hujan, dan masterplan persampahan Kota Bandung,
yang diperoleh dari hasil penelitian PT. LAPI ITB dan instansi pemerintah Kota Bandung terkait. Kemudian
dilakukan analisis terhadap data primer dan data sekunder yang diperoleh tersebut.
284
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Gambar 1. Metodologi konsep re-desain SPA Gedebage
2.3 Tahap Perencanaan
Hasil analisis terhadap data yang telah dilakukan kemudian dijadikan acuan dalam perencanaan sistem dalam konsep
re-desain SPA Gedebage. Kemudian konsep rencana tersebut dimodelkan dalam bentuk desain layout yang
menggambarkan konsep re-desain SPA Gedebage.
3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Eksisting SPA Gedebage
SPA Gedebage berlokasi dibelakang Pasar Induk Gedebage, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, dengan luas
bangunan 350 m2. Berdasarkan data pencatatan, total volume sampah yang masuk ke SPA Gedebage yaitu 60 m3/hari
yang berasal dari perumahan penduduk mencakup 50 RW yang tersebar di Kecamatan Panyileukan, Kecamatan
Gedebage, Kecamatan Cinambo, Kecamatan Cibiru, dan Kecamatan Ujungberung, juga sebuah industri yaitu PT.
Ginanjar Saputra. Di SPA Gedebage terdapat dua macam reduksi volume, yaitu pemilahan sampah bernilai jual dan
pemadatan sampah menggunakan mesin kompaksi. Volume reduksi sampah oleh pemilahan sampah bernilai jual
yaitu 7,5 m3 dan volume reduksi sampah oleh pemadatan yaitu 12,5 m3. Setelah dilakukan reduksi volume, sehingga
volume sampah yang diangkut dari SPA Gedebage menuju TPA Sarimukti yaitu 40 m3. Kondisi eksisting SPA
Gedebage dapat dilihat pada Gambar 2.
3.2 Analisis Timbulan dan Komposisi Sampah
Komposisi sampah merupakan gambaran dari masing-masing komponen sampah dan distribusinya. Data ini
diperlukan dalam mengevaluasi peralatan yang diperlukan, sistem, program dan rencana manajemen persampahan
yang akan dirancang (Damanhuri, 2018). Data komposisi sampah yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh
dari PT. LAPI ITB 2017. Untuk melakukan verifikasi bahwa data sekunder yang sudah digunakan seragam dengan
data primer hasil sampling yang dilakukan di TPS wilayah rencana, maka dilakukan perbandingan nilai komposisi
dari kedua data menggunakan software IBM SPSS Statistics Version 23 dengan metode Independent-Samples T Test.
Data komposisi yang berasal dari data primer, data sekunder, dan hasil analisis SPSS dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1, diketahui nilai Sig. (2-tailed) lebih kecil dari 0,05 berjumlah 1 dari 11 komposisi sampah, yaitu pada
komposisi lain-lain. Sehingga diambil keputusan H0 diterima dan Ha ditolak, atau data komposisi sekunder
representatif terhadap data lapangan sehingga dapat digunakan.
Besar timbulan sampah di wilayah layan SPA Gedebage dianggap sama dengan pertumbuhan Kota Bandung, karena
wilayah layan SPA Gedebage berada di wilayah administrasi Kota Bandung. Perhitungan timbulan berdasarkan
jumlah dan volume sampah yang masuk di TPPAS Sarimukti pada tahun 2017 menurut PT. LAPI ITB (2019).
Metode proyeksi penduduk yang digunakan yaitu metode regresi linear. Selain itu dihitung pula pertumbuhan kota
di tahun 2017 yang dipengaruhi oleh pertumbuhan di sektor industri dan pertanian, pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan per kapita dengan sumber data menurut BPS Kota Bandung (2017). Sehingga diperoleh
285
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
besarnya laju pertumbuhan Kota Bandung pada tahun 2017 yaitu 1,06%. Hasil proyeksi timbulan sampah, jumlah
penduduk, dan jumlah sampah yang dihasilkan pada wilayah layan dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 2. Kondisi eksisting SPA Gedebage
Tabel 1. Komposisi sampah dan hasil analisis SPSS
Komposisi Sampah Data sekunder (%) Data primer (%) Nilai sig. (2-tailed)
Sisa makanan / sampah dapur 40,71 57,52 0,292
Kayu dan sampah taman 11,79 5,51 0,064
Kertas dan karton 9,45 9,42 0,945
Tekstil dan produk tekstil 4,04 1,53 0,077
Karet dan kulit 0,63 0,23 0,393
Plastik daur ulang 2,02 3,49 0,782
Plastik non daur ulang 22,81 19,8 0,374
Logam 0,23 0,09 0,096
Gelas atau kaca 0,88 0,48 0,579
B3 atau limbah B3 5,19 11,1 0,132
Lain-lain 2,25 0,47 0,004
Jumlah 100,00 100,00 -
Tabel 2. Hasil proyeksi jumlah penduduk dan timbulan sampah
Timbulan Timbulan, Jumlah Rumah tangga Non-rumah tangga Total sampah
(kg/orang/ (m3/orang/ penduduk
Tahun hari) hari) Timbulan Timbulan Timbulan Timbulan Total Total
205.226 (ton/hari) (m3/hari) (ton/hari) (m3/hari) (ton/hari) (m3/hari)
2021 0,422 0,0010 208.824
2022 0,427 0,0010 212.422 49,727 112,113 15,745 39,117 65,472 151,229
2023 0,431 0,0010 216.020 51,030 115,052 15,912 39,531
2024 0,436 0,0010 219.618 52,356 118,040 16,081 39,950 66,942 154,583
2025 0,441 0,0010 223.216 53,704 121,079 16,251 40,374
2026 0,445 0,0010 226.815 55,074 124,169 16,423 40,801 68,436 157,990
2027 0,450 0,0010 230.413 56,468 127,311 16,597 41,234
2028 0,455 0,0010 234.011 57,885 130,506 16,773 41,671 69,955 161,453
2029 0,460 0,0010 237.609 59,326 133,754 16,951 42,113
2030 0,464 0,0010 241.207 60,790 137,056 17,131 42,559 71,497 164,971
2031 0,469 0,0011 244.805 62,279 140,414 17,312 43,010
2032 0,474 0,0011 248.403 63,793 143,827 17,496 43,466 73,065 168,545
2033 0,479 0,0011 252.001 65,332 147,296 17,681 43,926
2034 0,484 0,0011 255.599 66,896 150,823 17,868 44,392 74,658 172,177
2035 0,490 0,0011 259.197 68,487 154,409 18,058 44,863
2036 0,495 0,0011 262.795 70,103 158,053 18,249 45,338 76,276 175,867
2037 0,500 0,0011 266.393 71,746 161,757 18,443 45,819
2038 0,505 0,0011 269.991 73,416 165,522 18,638 46,304 77,921 179,615
2039 0,511 0,0012 273.589 75,113 169,348 18,836 46,795
2040 0,516 0,0012 76,838 173,238 19,035 47,291 79,591 183,424
78,591 177,190 19,237 47,792
81,289 187,292
83,013 191,223
84,765 195,215
86,544 199,271
88,352 203,391
90,189 207,575
92,054 211,826
93,949 216,143
95,873 220,528
97,828 224,982
286
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
3.3 Konsep Desain
Sistem pemilahan di sumber yang direncanakan yaitu sudah dilakukan pemisahan antara sampah organik dari jenis
sampah lainnya, agar memudahkan pengolahan sampah yang dilakukan di SPA Gedebage. Pengumpulan sampah
menuju SPA Gedebage dilakukan dengan mengumpulkan sampah dari sumber menuju TPS kemudian dilanjutkan
dari TPS ke SPA Gedebage, kecuali daerah yang lebih dekat ke SPA Gedebage daripada ke TPS, seperti pada berikut
ini:
a) Kecamatan Gedebage: Kelurahan Cisaranten Kidul dan Kelurahan Cimincrang.
b) Kecamatan Cinambo: Kelurahan Babakan Penghulu.
c) Kecamatan Panyileukan: Kelurahan Mekar Mulya dan Kelurahan Cipadung Kidul.
Pengumpulan menuju TPS akan mempertimbangkan TPS eksisting dan wilayah pelayanan TPS eksisting. Adapun
rencana pembagian wilayah pengumpulan menuju TPS ditunjukkan pada Tabel 3.Penanganan sampah di SPA
Gedebage terdiri dari pemilahan sampah, pengolahan sampah organik, dan sampah anorganik, dengan mengacu
arahan pada Rencana Induk Persampahan Kota Bandung tahun 2017-2037 oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota
Bandung (2016). Sistem pemilahan direncanakan dengan sistem semi-mekanis yaitu sampah didistribusikan
menggunakan conveyor belt kemudian dipilah secara manual oleh pekerja. Pengolahan sampah organik direncanakan
menggunakan metode aerob yaitu pengomposan dengan metode windrow. Sedangkan pengolahan sampah anorganik
direncanakan menggunakan metode fisik yaitu dengan pemadatan dan pencacahan. Adapun Material Flow Analysis
(MFA) dari pengolahan sampah yang direncanakan pada re-desain SPA Gedebage dengan contoh pada tahun 2040
dapat dilihat pada Lampiran.
3.4 Kebutuhan Luas dan Layout Rencana
Berdasarkan konsep desain yang direncanakan, dilakukan perhitungan luas minimum pada SPA Gedebage, dengan
rincian fasilitas yang direncanakan beserta luas minimumnya terdapat pada Tabel 4. Adapun desain layout rencana
dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 3. Rencana pembagian wilayah pengumpulan dengan TPS
Nama TPS Wilayah Pelayanan Eksisting Wilayah Pelayanan Rencana Jarak dan Waktu ke SPA
Gedebage
Cempaka Arum Komplek Cempaka Arum Kel. Rancabolang dan Kel. 4,7 km, 12-16 menit
Cinambo Indah Rancanumpang
Pangaritan RW 5, Pakemitan Kel. Cisaranten Wetan, Kel. 2,1 km, 5-7 menit
Kel. Cipadung Wetan 4 RW, Kel. Cipadung Pakemitan, Kel. Sukamulya
Kulon 6 RW, Kel. Mekarmulya 1 RW Kel. Cipadung Kulon dan Kel. 3 km, 7-12 menit
Cipadung Wetan
Tabel 4. Kebutuhan luas minimum SPA Gedebage
Area Luas (m2) Area Luas (m2)
Pengolahan sampah organik 39,51 Pengolahan sampah anorganik 60,01
Penerimaan 79,97 Penerimaan 80,20
Pemilahan 16,20 Pemilahan 4,32
Pencacahan 1.286,00 Pemadatan kertas dan logam 0,40
Pengomposan 834,00 Pencacahan plastik bernilai jual 271,10
Pematangan 10,94 Pencucian plastik bernilai jual 4,80
Pengayakan dan pengemasan 122,95 Pengeringan plastik bernilai jual 88,63
Penyimpanan kompos Penyimpanan material siap jual 37,00
Unit Pengolahan Lindi 0,72 Penyimpanan sampah B3 rumah tangga
Bak penampung 0,18 Fasilitas Penunjang 56,00
Bak pengendap awal 2,11 Pos jaga dan pencatatan 36,00
Biofilter anaerob 1,00 Kantor pengelola 36,00
Biofilter aerob 0,50 Mushola 30,00
Bak pengendap akhir Parkir 37,00
Pengolahan residu 78,74 Penampungan air bersih 55,20
Pemadatan 105,43 Toilet 3.499
Penyimpanan Total kebutuhan minimal
287
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Gambar 3. Layout rencana SPA Gedebage
3.5 Perkiraan Biaya
Biaya investasi yang diperlukan yaitu Rp 13.617.512.000 untuk luas lahan rencana SPA Gedebage yaitu 4.488,56
m2, atau Rp 2.676.364,39/m2. Sedangkan perkiraan biaya operasional fasilitas per hari yaitu Rp 70.431.660.000,00
/hari untuk jumlah sampah 97,828 ton/hari pada tahun 2040. Sehingga biaya operasional fasilitas yaitu Rp
719.954.000 /ton/hari.
4 KESIMPULAN
Perlu dilakukan re-desain SPA Gedebage agar meningkatkan pengolahan sampah menjadi bernilai ekonomi dan lebih
meminimalisir biaya operasional pengangkutan menuju TPPAS Legok Nangka. Data dasar komposisi sampah dalam
re-desain ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari PT. LAPI ITB (2019) karena representatif terhadap
data lapangan berdasarkan analisa SPSS. Dengan laju pertumbuhan Kota Bandung pada tahun 2017 sebesar 1,06%,
maka total sampah yang dihasilkan di wilayah layan SPA Gedebage pada tahun 2040 yaitu 97,828 ton/hari. Sistem
pengumpulan sampah menuju SPA Gedebage direncanakan terdiri dari pengumpulan sampah dari sumber melalui
TPS dan dari sumber langsung menuju SPA. Fasilitas yang direncanakan terdiri dari pengolahan sampah organik dan
anorganik, unit pengolahan lindi, area penyimpanan, dan fasilitas penunjang, sehingga luas kebutuhan lahan minimal
yaitu 3.499 m2. Biaya investasi yang diperlukan yaitu Rp 13.617.512.000 untuk luas lahan rencana SPA Gedebage
yaitu 4.488,56 m2, atau Rp 2.676.364,39/m2. Sedangkan kebutuhan biaya operasional yaitu Rp 719.954.000 /ton/hari.
288
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
REFERENSI
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2018). Kota Bandung Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kota
Bandung, Bandung, Indonesia
Damanhuri, E. (2018). ”Pengelolaan Sampah Terpadu”. ITB Press, Bandung, Indonesia
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. (2016). Rencana Induk Persampahan Kota Bandung tahun 2017-2037.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Bandung, Indonesia
PT. LAPI ITB. (2019). Laporan Akhir Survei dan Analisis Kualitas Sampah di TPPAS Sarimukti. Nippon Koei Co.,
Ltd., Bandung, Indonesia
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan
Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga
LAMPIRAN
289
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Erection Process of a Long Span Arch Steel Truss Roof Structure:
Preparation, Execution, and Evaluation
B.D.P. Armeidan1, M.F. Darmawan2, A. Kurniawan1, A.F. Setiawan2
1Department of Civil Engineering, Vocational School, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
2Department of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
ABSTRACT
The construction method of long span structure especially the steel truss structure erection needs special attention so that the
construction can be done properly and there are no accidents and fatalities during the construction process. An erection process
of a 198.32 meters long span arch steel truss roof structure of a dry coal storage shed structure at a steam powered electric plant
(PLTU X) is discussed in this article to give some brief explanation about a long span arch steel truss roof structure erection
process. Material mobilization, truss assembling, and inspection was discussed in preparation section. Step by step erection
execution was briefly explained. Last, some evaluation of the erection work has been completed presented for better construction
in the next project and the similar problems do not occur repeatedly. Through this work, engineers are encouraged to pay attention
not only the design process but also the construction method of long span arch steel truss structure especially the erection process.
Keywords: Erection, Arch Steel Truss Structure, Construction Stage
1 INTRODUCTION
Long span roof structures were widely applied for buildings with purposes such as stadiums, halls, hangars, industrial
buildings, etc. (Majowiecki, 2012). Arch long span steel truss structures are commonly constructed for industrial
building such dry coal shed in steam powered electric plant area. Wide space, beautiful form and low steel
consumption are some advantages of the use of this structure (Du et al., 2017). A 155.6 meters of horizontal span of
double layer cylindrical steel truss structure for a dry coal shed in Liyuan of Henan province is an example of this
type of structure that had been constructed (Du et al., 2017).
Not only design process, but the construction method of long span structure especially the steel truss structure erection
also needs special attention so that the construction can be done properly and there are no accidents and fatalities
during the construction process. Therefore, every stage of the long span steel truss erection needs to be done carefully
from preparation to implementation to eliminate or mitigate the risk to the maximum extent (Krishnamurthy, 2013).
Evaluation should be carried out after the structure is finished to be constructed for better construction in the next
project and the similar problems do not occur repeatedly.
An erection process of a long span arch steel truss roof structure of a dry coal storage shed structure at a steam
powered electric plant (PLTU X) as shown in Figure 1 is discussed in this article. Some visual and physical inspection
during the erection work were reported. Moreover, the step-by-step process of the truss erection was explained. So
that the article could give some brief explanation about a whole process of long span arch steel truss roof structure
erection process. The configuration and the segment division of the discussed coal shed structure is illustrated at
Figure 2. The arch steel truss structure has 198.32 meters support to support span and supported by 12.6 meters height
of concrete column with rectangular tapered section. Each of arch truss is subdivided into 19 segments with 12 meters
length of each segment. The main truss consists of 12”, 8”, and 3” steel pipe for top, bottom, and middle member,
respectively. Vertical bracings consist of 3” and 1.5” steel pipe connected between two main trusses as the lateral
stiffener of the truss. There were two joint pins outside and a joint pin inside connecting the main truss to the concrete
column. The truss was connected to the concrete column through a baseplate system consists of 50 mm steel plate
welded to the vertical 12” steel pipe and 24 anchorages. A 30 mm steel plate under the base plate was embedded in
the concrete. Welding connection with steel stiffener was used to connect diagonal member to the top and bottom
member. Bolt connection with steel circular steel flange was used to connect between the truss segments.
290
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Figure 2. Dry coal storage shed at PLTU X using arch long span steel truss
Figure 3. Structural isometry and segment division
2 PREPARATION
2.1 Material mobilization
The steel pipes were bent with certain curvature and fabricated off-site. The flanges and/or the baseplate had been
welded to the ends of the steel pipes. The hot dip galvanizing was used to coat all the steel materials. All fabricated
materials were delivered to the site project by trailer trucks (Figure 3a). The mobilization process could be so difficult
if the 12 segmental truss is assembled off-site. Hence, the steel pipe materials were mobilized in the form of single
pipe as shown in Figure 3b then assembled at the site project. Materials were placed on the field and covered by
plastic after arriving the site project (Figure 3c).
2.2 Truss assembling and setting
The 12 meters segmental truss were assembled at site project as shown at Figure 4. The inner member of the main
trusses was connected to the top and bottom member using welding and stiffener. A crane was utilized to lift the
material while assembling the truss. Steel WF profiles were used to be the base of the assembled truss. First, material
was installed using pipe fitter to assembly and connect the truss member using tack welding (Figure 5a) to ensure the
truss member settle on the position. Then, hot dip galvanizing layer on the connection part was cleaned using power
brush so that the welding works can be done properly. Hot dip galvanize is an anti-corrosion coating to the steel
material by immersing the material to the hot galvanize box.
Figure 4. (a) Material mobilization using truck, (b) Materials placed on the field, (c) Material storage covered by plastic
291
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Figure 5. Truss setting and assembling process
Figure 6. (a) Tack welding, (b) Cold dip galvanize and (c) Power brush
Figure 7. Assembled truss
The welding was done in two layers. After the first welding layer was done, the welding was evaluated. If the welding
quality is not fulfilling the requirements, the welding would be repaired. After the second welding layer was done,
the welding area at the connection area was cleaned using power brush (Figure 5c) and re-coated using Cold Dip
Galvanize (Figure 5b), an anti-corrosion coating applied by spraying a liquid at cold condition. Figure 6 shows a
single truss finished to be assembled.
2.3 Inspections
Coating thickness was inspected using thickness meter by taking a sample as recommended by RSNI Hot Dip
Galvanized (Badan Standarisai Nasional, n.d.). The minimum thickness of the coating layer is 100μm. Visual
inspection was also done by supervising consultant and the contractor using a non-destructive test (NDT) i.e., Dry
Penetrant Test (DPT) by applying ASTM E165 / E165M-18 standard. DPT is a welding inspection method by
spraying a liquid to the connection area to observe whether there is a crack on the welding or not. First, the connection
area was cleaned using dry wiper, steel brush, and cleaner spray so there is no dust or sand left. After dry, the
remaining cleaner sprayed was wiped the connection area was sprayed with a red penetrant and waited for 5 minutes.
The next step was wiping the remaining penetrant using a cleaner sprayed and wiper. Then, after the next 5 minutes,
developer was sprayed to the inspection area. A welding should be repaired if a red color appeared after waiting for
10 minutes. The area where a red color is not appeared was cleaned using a cleaner. Figure 7 shows the coating
inspection documentation as explained before.
Bolt tightness of the bolt connections was inspected using torque wrench as shown in Figure 8 by setting a torsion
resisting according to the pipe and bolt diameter. The bolt connection at segment 2 to 10 and 11 to 18 was inspected
before the erection process. While the connection between segment 1-2, 10-11 and 18-19 was inspected after the
erection process was finished and the vertical bracing had worked as the lateral stiffener of the main truss.
292
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Figure 8. (a) Coating thickness inspection, (b) Penetrant sprayed on a welding connection, (c) Developer sprayed to the
welding connection after penetrant and cleaner spraying
Figure 9. Bolt tightness inspection (a) Before erection and (b) After erection
3 IMPLEMENTATION
3.1 Erection Method
Total six cranes as seen at Figure 9a and 9b with maximum load carrying capacities 50 (2 cranes), 65, 80, 90, 130
tons were used in the erection process. The erection was executed after all of truss segment had been assembled and
the inspection was approved by the supervising consultant. The following are the steps in the erection process of the
truss structures.
a) Segment 1 and 19 of the trusses 1 and 2 was lifted and put down on the column as shown in Figure 9c. Then the
vertical bracing was connecting the lifted truss was installed.
b) After truss segment 2-10 and 11-18 were connected at ground (Figure 9g), both trusses were erected to be in
vertical position (Figure 9f). Bolting between segment 10 and 11 above the height (not at ground). It was caused
by the STRE and cover belt (Figure 9h) under the truss must be still working even during the erection process.
c) After segment 10 and 11 had been connected, the truss segment 2-18 was lifted to be connected to segment 1 and
19.
d) Then the joint pin as shown ate Figure was installed connecting the main truss to the concrete column as the
swing-arm of the truss. (Figure 9c)
e) After truss 2 segment 2-18 was erected with the same scenario before and properly connected, the vertical bracing
connecting truss 1 and truss 2 was installed (Figure 9i). Same step was implemented in the erection of truss 3 to
5.
4 EVALUATION
Some problems occurred during the erection process need to be evaluated. Bolting works took a lot of time. It was
getting dark when the segment 2-18 had been connected and erected vertically. So that the connected segment 2-18
was descended with still in vertical position for one night held by six cranes. Low visibility of the operator or workers
connecting the bolts caused by the electricity problem of the PLTU. Good coordination between crane operator,
rigger and the worker above height was very important during the erection process. There was malfunction with the
load indicator of the 80 tons and 90 tons crane when erecting the truss 5. So that the erection work was done more
carefully. But the experienced crane operator could estimate whether the cranes are overloaded or not. Due to the
pandemic situation, the technician for the crane maintenance could not come so that the load indicator monitor could
not be repaired.
293
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Figure 10. Truss erection documentation
The site project location was at coal shed storage made another problem during the erection. The coal stored there
could be loose caused by a heavy rain and triggered a coal avalanche an unstable condition for the crane support. So
that the erection could be executed at sunny weathered only. Moreover, the coal stacking and reclaiming had to still
working and was prohibited to be stopped even during the erection process of the truss structure.
5 CONCLUSION
An erection process of a 198.32 meters long span arch steel truss roof structure of a dry coal storage shed structure
at a steam powered electric plant (PLTU X) have been discussed. Every stage of the long span steel truss erection
from preparation needs to be done carefully from preparation to implementation to eliminate or mitigate the risk so
that there are no accidents and fatalities during the construction process. Last, evaluation should be carried out after
the structure is finished to be constructed for better construction in the next project and the similar problems do not
occur repeatedly. In the end, engineers are encouraged to pay attention not only the design process but also the
construction method of long span arch steel truss structure especially the erection process.
REFERENCES
ASTM E165 / E165M-18. (2018). Standard Practice for Liquid Penetrant Testing for General Industry, ASTM
International, West Conshohocken, PA
Badan Standarisasi Nasional. (n.d). RSNI – Hot Dip Galvanized. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta, Indonesia
Du, W., Liu, C., Sun, Y. and Liu, Q. (2017). “Design and Optimization of the Large Span Dry-Coal-Shed Latticed
Shell in Liyuan of Henan province”. MATEC Web of Conferences, 100, pp.1–7
Krishnamurthy, N. (2013). “Safety During Steel Erection”. In: The Pacific Structural Steel Conference (PSSC 2013)
Majowiecki, M. (2012). Conceptual Design and Analysis of Long Span Structures. IUAV University of Venice, Italy
294
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Inovasi Platform Online dan Mandat Hukum Transparansi Penyediaan
Infrastruktur dengan CoST Approach
D. Yustiarini1*, B. W. Soemardi 2, K. S. Pribadi 2
1Program Studi Doktor Teknik Sipil, Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
2Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
CoST Approach terdiri dari empat fitur inti yang ditemukan Infrastructure Transparency Initiative CoST untuk transparansi
infrastruktur. CoST Approach terdiri dari multi-stakeholder working, disclosure, assurance, dan social accountability. CoST
Approach telah digunakan banyak negara sebagai panduan dalam penerapan transparansi penyediaan infrastruktur.
Infrastructure Transparency Initiative CoST bukan satu-satunya instrumen transparansi. Mengkaji Infrastructure Transparency
Initiative CoST karena adanya Kabupaten Lombok Barat yang menjadi anggota Infrastructure Transparency Initiative CoST.
Transparansi yang dimaksud merupakan keterbukaan informasi dan pengungkapan data dari pemerintah kepada masyarakat
sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Naskah ini bertujuan untuk mengungkapkan kondisi eksisting di
Indonesia terkait penerapan prinsip transparansi penyediaan infrastruktur publik dengan panduan empat fitur ini dari CoST
Approach. Fitur pengungkapan dari CoST Approach menghasilkan invosi platform online serta reformasi mandat hukum.
Metode penelitian dilakukan dengan mengkaji data sekunder yang bersumber dari kajian literatur, landasan hukum yang berlaku
di Indonesia, menggali informasi tentang empat fitur CoST Approach. Selanjutnya membandingkan empat fitur CoST Approach
dan kondisi eksisting di Indonesia yang memiliki kemiripan pola. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan kajian
dan diskusi penerapan prinsip transparansi secara utuh dengan panduan CoST Approach. Sehingga semangat Undang-Undang
membangun sistem informasi terintegrasi serta mengurangi celah tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kata kunci: Transparansi, Infrastruktur, Akuntabilitas.
1 PENDAHULUAN
Prinsip transparansi bersama dengan prinsip akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran
merupakan pedoman pelaksanaan tata kelola Pemerintahan yang baik. Transparansi erat kaitannya dengan
keterbukaan informasi dan pengungkapan data. Dengan membuka akses publik terhadap informasi diharapkan Badan
Publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan
demikian, hal ini dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis
mencegah praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan terciptanya pemerintahan yang baik (good
governance).
Pada Sharing Session International Best Practice dalam Dialog Nasional yang diselenggarakan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Pemerintah (LKPP) bulan Oktober 2020, dihadirkan narasumber dari beberapa Negara dan Organisasi
Internasional untuk berbagi pengalaman mereka dalam pengadaan barang/jasa selama Pandemi Covid-19. Inggris
dan Korea Selatan paling banyak mendapatkan perhatian peserta untuk penerapan mereka dalam memenuhi
kebutuhan alat kesehatan, tenaga medis, dan lainnya. Salah satu peserta menanyakan perihal penerapan prinsip
transparansi yang dilakukan dua negara ini. Berdasarkan penjelasan dua narasumber, diperoleh bahwa Inggris dan
Korea Selatan telah memiliki sistem yang solid terkait dengan keterbukaan informasi dan pengungkapan data.
Sehingga dua negara ini tidak memiliki kekhawatiran untuk memberikan pertanggungjawabannya ke masyarakat.
Diketahui bahwa Korea Selatan memiliki KONEPS dan Inggris memiliki Infrastructure Transparency Initiative
CoST.
Pengalaman mengikuti Dialog Nasional, menjadi latar belakang untuk melakukan kajian mendalam terkait dengan
penerapan prinsip transparansi berdasarkan panduan CoST Approach. Pengumpulan data dilakukan dengan menggali
informasi tentang empat fitur CoST Approach, selanjutnya menggali informasi yang memiliki kemiripan pola dengan
fitur ini di Indonesia, dan terakhir membandingkan antara empat fitur CoST Approach dan temuan fitur di Indonesia.
Dan ternyata pada tahun 2019 FIDIC telah resmi mendukung CoST dan mendorong 102 asosiasi anggota FIDIC di
seluruh dunia untuk mempertimbangkan pendekatan CoST yang berpotensi membantu meningkatkan praktik
transparansi di negara masing-masing anggota.
295
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2 KAJIAN PUSTAKA
2.1. Transparansi
Menurut CUI-ITB (2004), secara makna kata transparansi adalah suatu keadaan atau sifat yang mudah dilihat dengan
jelas. Jika dikaitkan dengan konteks penyelenggaraan publik, transparansi adalah suatu kondisi masyarakat dapat
mengetahui hal-hal yang terjadi dan dilakukan oleh pemerintah termasuk berbagai prosedur, serta keputusan yang
diambil oleh pemerintah dalam pelaksanaan urusan publik. Peran pemerintah termasuk yang diwakili oleh Badan
Publik adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan. Masih menurut CUI-ITB (2004) mengutip UNDP, transparansi
akan tercapai dengan cara membagi atau menyebarkan informasi dan bertindak dengan cara terbuka. Transparansi
menghasilkan kepercayaan. Sedikit cara untuk membangun kepercayaan namun satu diantaranya adalah bersikap
transparan. Kebalikan dari transparansi adalah kerahasiaan yang hanya berfungsi untuk mengikis kepercayaan.
Transparansi identik dengan keterbukaan dan pengungkapan meskipun orang bisa temukan beberapa perbedaan halus
di antara istilah-istilah ini. Transparansi merupakan salah satu prinsip Keterbukaan Informasi Publik dan Pengadaan
Barang/Jasa yang diharapkan sejalan memenuhi tujuan Pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik. Prinsip transparansi menurut Ofori (2007) adalah prinsip yang dilakukan oleh pelaku pengadaan untuk
memastikan keterbukaan dan kejelasan dalam kebijakan pengadaan dan pengiriman hasil pekerjaan. Menurut UNDP
dalam Maani (2009), transparansi adalah sistem informasi yang dikembangkan sehingga memungkinkan masyarakat
dapat mengakses berbagai informasi mengenai pelayanan publik termasuk layanan jasa konstruksi. The United
Nations (UN) dalam Armstrong (2005) menyebutkan bahwa transparansi mengacu pada akses tanpa batas oleh publik
untuk informasi yang tepat waktu dan dapat diandalkan pada keputusan dan kinerja di publik sektor. Transparansi
harus dipupuk dengan memberikan informasi yang tepat waktu, dapat diakses, dan akurat kepada publik.
2.2 Penyediaan Infrastruktur
Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, yang dimaksud dengan penyediaan infrastruktur adalah kegiatan
yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau
kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan
infrastruktur. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi adalah
keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan
pembangunan kembali suatu bangunan. penyediaan infrastruktur (infrastructure delivery) yang dimaksud dalam
penelitian ini merupakan penyediaan infrastruktur bangunan gedung negara untuk pekerjaan konstruksi dalam bidang
pembangunan gedung negara. Penyediaan infrastruktur dilakukan secara bertahap mulai dari persiapan pembangunan
sampai dengan pengawasan pembangunan dengan melibatkan pengguna jasa, penyedia jasa, dan partisipasi
masyarakat. Tahapan pembangunan bangunan gedung negara, terdiri dari; persiapan pembangunan bangunan gedung
negara, perencanaan teknis bangunan gedung negara, pelaksanaan konstruksi bangunan gedung negara, dan
pengawasan teknis bangunan gedung negara. Empat tahapan pembangunan bangunan gedung negara ini tidak
terlepas dari peran pengguna jasa dan penyedia jasa. Maka dari itu terdapat mandat hukum terkait dengan layanan
penyedia jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi yang disebut dengan jasa konstruksi. Mandat
hukum ini dikenal dengan istilah UUJK atau Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017.
2.3 Infrastructure Transparency Initiative CoST
Infrastructure Transparency Initiative CoST adalah inisiatif global terkemuka yang meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam infrastruktur publik. CoST bekerja dengan pemerintah (government), industri (industry), dan
masyarakat sipil (civil society) untuk mempromosikan pengungkapan (disclosure), validasi (validation), dan
interpretasi data (interpretation of data) dari proyek infrastruktur. Infrastructure Transparency Initiative CoST
membantu memberi informasi dan memberdayakan warga dan memungkinkan mereka meminta
pertanggungjawaban pembuat keputusan. Masyarakat yang rutin menerima informasi dan institusi publik yang
responsif membantu mendorong reformasi dalam mengurangi kesalahan manajemen, inefisiensi, korupsi, dan risiko
yang ditimbulkan kepada publik dari infrastruktur yang berkualitas buruk. CoST bekerja secara global dengan 19
negara anggota yang mencakup empat benua. Selain bekerja dengan anggota CoST di tingkat nasional, CoST bekerja
secara internasional dengan organisasi anti-korupsi utama untuk memfasilitasi pertukaran pengalaman dan
pengetahuan global tentang transparansi dan akuntabilitas dalam infrastruktur publik. Mitra Internasional CoST
meliputi Article 19, Open Contracting Partnership, Transparency International dan Hivos (CoST - about us, 2020).
296
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Pendekatan CoST difokuskan pada empat fitur inti (CoST, 2019 - Our Approach), meliputi bekerja dengan berbagai
pemangku kepentingan (multi-stakeholder working); pengungkapan (disclosure); jaminan (assurance); dan
akuntabilitas sosial (social accountability). Bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan menurut pendekatan
CoST terdiri dari pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sipil. Pengungkapan menurut pendekatan CoST
merupakan pengungkapan data yang tersusun dalam Standar Data Infrastruktur (IDS)-CoST. IDS-CoST dibagi
menjadi dua fase yaitu, fase proyek dan fase kontrak. Pada fase proyek, data yang diungkapkan meliputi identifikasi
proyek, persiapan proyek, dan penyelesaian proyek. Pada fase kontrak, data yang diungkapkan meliputi pengadaan
dan implementasi. IDS-CoST dapat dijadikan panduan untuk negara-negara yang mempunyai keinginan
mengungkapkan data sebagai bentuk penerapan prinsip transparansi dalam penyediaan infrastruktur. Menurut
pengalaman negara-negara anggota CoST, adanya pengungkapan data mendorong reformasi dan inovasi dalam
pengungkapan data penyediaan infrastruktur. Hal ini dapat ditinjau dari adanya reformasi yang tertulis dalam mandat
hukum dan inovasi dalam bentuk platform online untuk mendukung pengungkapan data penyediaan infrastruktur.
Proses jaminan berpuncak pada pembuatan laporan jaminan berfokus pada keakuratan dan kelengkapan informasi
yang diungkapkan; masalah kinerja umum di seluruh proyek, masalah yang menjadi perhatian pada proyek tertentu,
evaluasi masalah dan tema umum, dan rekomendasi. laporan jaminan menggunakan bahasa dan format yang dapat
dipahami sehingga fitur akuntabilitas sosial cost dapat bekerja sebaik mungkin dan pembuat keputusan dimintai
pertanggungjawabannya. Pemangku kepentingan akuntabilitas sosial seperti media, masyarakat sipil dan akademisi
memainkan peran penting dalam meminta pertanggungjawaban para pengambil keputusan. CoST bekerja dengan
para pemangku kepentingan ini untuk mempromosikan temuan dari proses penjaminannya sehingga mereka dapat
menempatkan masalah utama di domain publik. Alat yang digunakan CoST untuk mengukur akuntabilitas sosial,
meliputi proses jaminan (the assurance process), pelatihan media (media training), monitor warga (citizens monitor),
dan kegiatan komunitas (community events).
3 METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini mengkaji data-data sekunder yang bersumber dari teori, landasan hukum, dan informasi tentang
Infrastructure Transparency Initiative CoST. Infrastructure Transparency Initiative CoST sebagai salah satu
instrumen transparansi dikenal memiliki CoST Approach sebagai indikator penerapan transparansi infrastruktur.
Indonesia juga sudah menerapkan prinsip transparansi dalam penyediaan infrastruktur khususnya pengadaan bidang
jasa konstruksi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Bekerja dengan Berbagai Pemangku Kepentingan (Multi-stakeholder Working)
Mandat hukum yang digunakan untuk pekerjaan konstruksi membangun bangunan gedung adalah Undang-Undang
Jasa Konstruksi (UUJK) Nomor 2 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan
Pelaksana UUJK. Pihak-pihak yang terlibat dalam Jasa Konstruksi terdiri dari:
a) Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi (Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020). Pengguna Jasa meliputi Pemerintah, Badan Usaha, dan orang perseorangan
dengan tujuan untuk usaha.
b) Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020). Penyedia
Jasa meliputi: Jasa Konsultansi Konstruksi umum dan spesialis, serta Jasa Pekerjaan Konstruksi umum, spesialis,
dan terintegrasi.
c) Masyarakat Jasa Konstruksi adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang
berhubungan dengan Jasa Konstruksi (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020). Masyarakat Jasa
Konstruksi meliputi: asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, pengguna jasa, penyedia jasa, perguruan tinggi/pakar,
pelaku rantai pasok, tenaga kerja konstruksi, pemerhati konstruksi, dan pemanfaat produk jasa konstruksi.
4.2 Pengungkapan (Disclosure)
Walaupun inovasi platform online dan reformasi mandat hukum terkait penerapan prinsip transparansi penyediaan
infrastruktur telah tersedia di Indonesia. Namun Indonesia belum memiliki Standar Data Infrastruktur seperti IDS-
CoST. Hal ini menjadi temuan dan kesenjangan yang akan coba dilakukan penelitian lebih lanjut oleh tim penulis
naskah. Sedangkan untuk inovasi platform online dan reformasi mandat hukum, dapat dilihat pada Gambar dibawah
ini.
297
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Reformasi dan Inovasi Pengungkapan (Disclosure) Data
Berdasarkan Platform Online dan Mandat Hukum di Indonesia
Platform Online terkait Mandat Hukum terkait
Reformasi dan Inovasi Reformasi dan Inovasi
Pengungkapan Data Pengungkapan Data
Transparansi Keterbukaan Transparansi pada Proses Pekerjaan • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Informasi Publik dari Badan Konstruksi dalam Pengadaan Jasa Publik (UUKIP)
Publik (Pemerintah) khususnya Pemilihan Penyedia • Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UUKIP
menggunakan ePPID. Contoh: menggunakan SPSE dan SIRUP • Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan
https://eppid.pu.go.id/ yang dikelola LKPP. Contoh: Informasi Publik
http://lpse.bandungbaratkab.go.id/ • Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengkalsifikasian
Informasi Publik
• Keputusan Mengeri PUPR Nomor 674/KPTS/M/2015 tentang Penetapan
Struktur Organisasi dan Penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) Kemen PUPR.
• Keputusan Menteri PUPR Nomor 450 Tahun 2017 tentang Daftar Informasi
yang Wajib Disediakan dan Diumumkan di Kementerian PUPR
• Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Standar Operasional Prosedur Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik
Kementerian Pekerjaan Umum
• Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK)
• Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan UUJK
• Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia
• Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan
pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
Gambar 1. Reformasi dan inovasi pengungkapan data
Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa inovasi platform online dari pengungkapan data yang ada di Indonesia antara lain
adanya keterbukaan informasi dari Badan Publik dengan ePPID dan keterbukaan informasi untuk proses pengadaan
jasa khususnya pemilihan penyedia jasa. Namun temuan terakit sistem informasi yang telah dikembangkan oleh
Badan Publik, Kementerian PUPR, dan LKPP maasih belum terintegrasi. Kesenjangan ini yang terus coba
dikembangkan oleh pihak Kementerian PUPR, yaitu memiliki sistem informasi yang terintegrasi. Contohnya dengan
mengembangkan Sistem Informasi Pengalaman secara elektronik atau eSIMPAN. Dengan menggunakan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) diharapkan dapat diperoleh data pengalaman dari penyedia jasa. Sedangkan mandat
hukum yang ditemukan dan dikaji terkait keterbukaan informasi publik dan jasa konstruksi. Dua Undang-Undang ini
bersama dengan peraturan turunannya digunakan sebagai landasan hukum untuk tiap kegiatan penyediaan
infrastruktur bidang jasa konstruksi. Yang terbaru telah terbit Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dengan menekankan semangat untuk mempermudah perizinan berusaha.
4.3 Jaminan (Assurance)
Berbeda dengan CoST Approach yang membentuk tim jaminan independen, Indonesia belum memiliki standar tim
yang bertugas menilai dan membuat laporan proses jaminan penyediaan infrastruktur. Dikarenakan saat ini masih
terfokus pada pengadaan barang/jasa khususnya dalam hal pemilihan penyedia jasa, maka kajian terkait jaminan di
Indonesia akan dilihat dari proses pengadaan. Penyedia jasa yang hendak mengikuti lelang, mendaftarkan dirinya
melalui aplikasi SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik). Aplikasi SPSE yang merupakan bagian dari LPSE
(Layanan Pengadaan Secara Elektronik) telah menyiapkan beberapa poin terkait pakta integritas. Dengan adanya
pakta integritas ini, diharapkan data yang diberikan merupakan data yang jujur dan dapat dijamin kebenarannya.
4.4 Akuntabilitas Sosial (Social Accountability)
Menurut CoST Approach, fitur akuntabilitas sosial terdiri dari proses jaminan, pelatihan media, pemantauan warga,
dan kegiatan komunitas. Pada beberapa komunitas, hal ini telah dilakukan dengan adanya kerjasama antara
pemerintah, badan publik, dan masyarakat. Contohnya telah ada murembang (musyawarah perencanaan
pembangunan) dan rembuk RW (Rukun Warga).
298
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
4.5 Diskusi
Infrastructure Transparency Initiative CoST Approach
dan Kondisi di Indonesia
4 Fitur inti CoST Transparansi Penyediaan Infrastuktur
Kerjasama berbagai Pemangku Prinsip Transparansi diterapkan Pekerjaan Konstruksi untuk
Kepentingan (Multi-Stakeholder sebagai pedoman pelaksanaan Membangun Gedung Negara:
• Persiapan
Working): tata kelola Badan Publik • Perencanaan
• Pemerintah (Government) (Pemerintahan) • Pelaksanaan
• Sektor Swasta (Private Sector) • Pengawasan
• Masyarakat Sipil (Civil Society) Transparansi sebagai Keterbukaan
Informasi Publik (KIP): Pemangku Kepentingan
Pengungkapan (Disclosure): menggunakan (Stakeholder):
CoST-IDS dengan membagi Fase Proyek dan • Informasi Berkala
Fase Kontrak. CoST-IDS memberikan inovasi • Informasi Tersedia Setiap Saat • Pengguna Jasa
platform online dan reformasi mandat hukum • Informasi Serta Merta • Penyedia Jasa
• Informasi yang Dikecualikan • Partisipasi Masyarakat
Jaminan (Assurance)
Pejabat Pengelola Informasi Jasa Konstruksi
Akuntabilitas Sosial (Social dan Dokumentasi (PPID) di
Accountability) Badan Publik menggunakan LKPP mengelola Sistem Pengadaan
Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem
ePPID Informasi Rencana Umum Pengadaan
(SIRUP), satu diantaranya untuk
Pemilihan Penyedia
Gambar 2. Infrastructure Transparency Initiative CoST Approach dan kondisi Indonesia
Pada bagian diskusi ini mencoba untuk membandingkan Infrastructure Transparency Initiative CoST Approach dan
kondisi yang ada di Indonesia saat ini, seperti yang ditampilkan pada Gambar 2. Pengungkapan data dan keterbukaan
informasi yang ditemukan yaitu adanya kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan antara pemerintah, sektor
swasta, dan masyarakat sipil. Di Indonesia, masyarakat sipil ini diperjelas dengan istilah masyarakat jasa konstruksi.
Pengungkapan data yang menghasilkan inovasi platform online dan reformasi mandat hukum, telah menghadirkan
beberapa sistem informasi dan undang-undang beserta peraturan turunannya. Namun beberapa temuan dan
kesenjangan yang perlu segera diisi antara lain belum adanya standar data, antara UUKIP dan UUJK belum
memfasilitasi kelompok informasi UUKIP dan proses penyediaan infrastruktur atau bahasa UUJK disebut
penyelenggaraan konstruksi. Kedepannya diperlukan diskusi bersama atau dialog nasional antara multi-stakeholder
untuk menyusun standar data infrastruktur yang dapat diungkapkan ke publik sebagai bentuk keterbukaan informasi.
5 KESIMPULAN
Panduan Infrastructure Transparency Initiative CoST Approach memberikan pandangan baru dalam hal penerapan
prinsip transparansi. Keterbukaan informasi dan pengungkapan data antara Pemerintah, Sektor Swasta, dan
Masyarakat memerlukan standar data infrastruktur yang disepakati bersama. Sehingga tidak aka nada lagi celah
kecurangan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang pada akhirnya dapat menghasilkan infrastruktur yang
lebih bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat pengguna.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, FTSL, ITB.
REFERENSI
Armstrong, E. (2005). Integrity, Transparency and Accountability in Public Administration: Recent trends, regional
and international developments, and emerging issues. United Nations, Department of Economic and Social Affairs,
1-10
CoST the Infrastructure Transparency Initiative, Our Approach, retrieved from http://infrastructuretransparency
.org/our-approach/ (Accessed 19 March 2019)
CoST the Infrastructure Transparency Initiative, About Us, retrieved from http://infrastructuretransparency.org/
about-us/ pada tanggal 10 April 2020
299
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
CUI-ITB. (2004). “Keterkaitan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pencapaian Good Governance”, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 15 No. 1 2004, 34 - 47
Dipopramono. (2017). Keterbukaan dan Sengketa Informasi Publik, Renebook, Jakarta, Indonesia.
Maani, K. (2009). “Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik”, Jurnal Demokrasi Vol. VIII No. 1, 47
- 60
Ofori, G. (2007). “Procurement Reform: A Research Agenda for Construction in Developing Countries”, CIB World
Building Congress, 1949 - 1963
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2014). Surat Edaran Menteri PU Nomor 4/SE/M/2014 tentang Standar Operasional Prosedur
Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pekerjaan Umum,
Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, Presiden Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2017). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia
300
04 Urban Development for
Disaster Mitigation and
Recovery
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Perencanaan Sistem Penyediaan Air Baku Berbasis Masyarakat di Padukuhan
Ketangi, Banyusoco, Playen, Gunung Kidul
E. P. A. Pratiwi, S. Ismanti*, Y. Haroki, A. M. Emilidardi
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Akses air bersih merupakan hak asasi manusia. Namun demikian, masih banyak daerah di Indonesia yang penduduknya
mengalami kesulitan mengakses air bersih terutama pada musim kemarau, salah satunya adalah Padukuhan Ketangi yang
berlokasi di Kelurahan Banyusoco, Playen, Gunung Kidul. Sumber air yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Akibatnya, masyarakat harus membeli air bersih yang didatangkan dari luar daerah. Program ini dilaksanakan sejak tahun 2018
dengan tujuan mendampingi masyarakat Padukuhan Ketangi dalam merencanakan pengembangan jaringan penyediaan air
bersih, sehingga masyarakat dapat mengakses air bersih dengan mudah. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan meliputi
observasi lapangan, pengujian geolistrik, pendataan penduduk, perancangan jaringan air bersih, dan pengujian kualitas air. Hasil
pengujian geolistrik telah digunakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengekstrak air tanah dengan
membuat sumur artesis. Pengelolaan dan pemanfaatan air sumur tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat.
Hasil pengujian kualitas air menunjukkan bahwa air sumur memenuhi standar kualitas air bersih, tetapi perlu pengolahan lanjut
untuk digunakan sebagai air minum. Selanjutnya, dukungan finansial dari mitra masih diperlukan untuk merealisasikan hasil
rancangan jaringan air bersih agar air dari sumur artesis terdistribusi ke rumah penduduk.
Kata kunci: Krisis air; Eksplorasi air tanah; Uji geolistrik; Jaringan air bersih.
1 PENDAHULUAN
Akses air bersih merupakan hak asasi manusia. Namun demikian, masih banyak daerah di Indonesia yang
penduduknya mengalami kesulitan mengakses air bersih terutama pada musim kemarau. Ketersediaan air bersih
dengan akses yang mudah mampu menunjang aktivitas sehari-hari dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sebaliknya, minimnya akses terhadap air bersih menyebabkan terganggunya aktivitas-aktivitas sehari-hari yang
membutuhkan air, seperti minum, mandi, mencuci, dan sebagainya dan menyebabkan taraf hidup masyarakat rendah.
Padukuhan Ketangi yang berlokasi di Kelurahan Banyusoco, Playen, Gunung Kidul merupakan daerah yang
penduduknya mengalami kesulitan akses air bersih. Padukuhan ini berada di luar cakupan layanan Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Tirta Handayani di Kabupaten Gunung Kidul. Sistem hidrologi di Padukuhan Ketangi termasuk
dalam sistem hidrologi karst, yang salah satu cirinya adalah memiliki muka air tanah yang sangat dalam. Muka air
tanah yang dalam ini dibuktikan dengan temuan di lapangan bahwa tidak ada penduduk yang mempunyai sumur.
Sungai yang ada di sekitar Padukuhan Ketangi sebagian besar merupakan sungai musiman yang hanya akan dialiri
air saat hujan, sedangkan sungai tahunannya hanya Sungai Oya yang merupakan batas Kecamatan Playen bagian
utara hingga barat.
Banjir yang terjadi pada musim hujan seringkali berdampak terhadap ketersediaan air bersih. Dampak tersebut dapat
bersifat permanen. Widiyastuti dan Widyastuti (2018) menemukan bahwa berdasarkan hasil observasi lapangan,
terdapat mata air di sekitar Sungai Oya yang hilang akibat Badai Cempaka yang terjadi pada 27 November 2017,
yaitu mata air Oya 3 dan mata air Ngumbul. Mata air Oya 3 hilang akibat longsornya tebing sungai, sedangkan mata
air Ngumbul tenggelam oleh muka air sungai yang meningkat. Banjir di Sungai Oya akibat Badai Cempaka juga
telah menghancurkan instalasi penyediaan air bersih dari Sungai Oya yang menjadi sumber air utama bagi warga
Padukuhan Ketangi. Akibatnya, kelangkaan air yang parah terjadi pada musim kemarau. Sumber air baku yang lain,
yaitu dari mata air Cuwer dan air bawah tanah dari padukuhan lain, tidak dapat mencukupi kebutuhan air sehari-hari
karena debit yang kecil. Selain itu, Warga Padukuhan Ketangi hanya diizinkan mengalirkan air selama 20 menit/hari.
Dengan debit aliran yang kecil, warga hanya bisa mendapatkan air tidak lebih dari 100 liter untuk digunakan selama
sehari. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, sebagian warga akhirnya harus mengangkut air dari sungai
terdekat dan sebagian warga lainnya yang memiliki kemampuan finansial memilih membeli air tangki yang
didatangkan dari luar.
301
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Perbaikan infrastruktur air bersih yang rusak akibat badai Cempaka memerlukan prosedur yang cukup rumit dan dana
yang besar. Kendala lainnya adalah ketersediaan listrik untuk memompa air dari sumber air di Sungai Oya yang
jaraknya jauh dan beda elevasinya besar. Selain ketersediaan air, ketersediaan listrik di Padukuhan Ketangi juga
kurang dapat diandalkan. Oleh karena itu, warga berinisiatif mencari sumber air lain yang lokasinya lebih dekat dari
permukiman warga Padukuhan Ketangi. Dalam rangka membantu warga, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (DTSL FT UGM) melaksanakan program perencanaan sistem penyediaan
air baku berbasis masyarakat di Padukuhan Ketangi sejak tahun 2018 dan masih berlangsung hingga saat ini. Program
tersebut bertujuan mendampingi masyarakat Padukuhan Ketangi untuk memperoleh sumber air baru dan
merencanakan pengembangan jaringan penyediaan air bersih, sehingga masyarakat dapat mengakses air bersih
dengan mudah. Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah kebutuhan air bersih warga Padukuhan Ketangi
dapat terpenuhi sepanjang tahun.
2 METODE
2.1 Gambaran Lokasi Kegiatan
Program perencanaan sistem penyediaan air baku mencakup RT 01 dan RT 02 Padukuhan Ketangi yang secara
geografis terletak antara 11028’46” – 11029’12” BT dan 758’40” – 759’00” LS. Padukuhan Ketangi berada di
bagian paling selatan Kelurahan Banyusoco yang memiliki topografi berbukit dengan ketinggian rata-rata 150 meter
diatas permukaan laut. Lokasi Padukuhan Ketangi ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi Padukuhan Ketangi
2.2 Pengujian Geolistrik
Pengujian geolistrik dilaksanakan dengan tujuan mencari potensi air tanah di wilayah Padukuhan Ketangi. Kegiatan
pengujian geolistrik dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2018. Tim dari DTSL FT UGM bekerjasama dengan
Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi, Fakultas Geografi, UGM untuk melakukan uji geolistrik. Warga
masyarakat juga ikut mendampingi selama pengujian geolistrik berlangsung. Akuisisi data pengujian geolistrik
dilakukan di tiga titik yang menurut dugaan warga menyimpan potensi sumber air bawah tanah. Lokasi tiga titik
pengujian geolistrik tersebut disebutkan dalam Tabel 1.
Peralatan yang diperlukan untuk melakukan pengujian geolistrik adalah GPS Garmin Vista, kompas, rollmeter, dan
VES Geoelectric Instrument. Selain itu, diperlukan juga bensin sebagai bahan bakar genset dan baterai untuk sumber
tenaga geoelectric compensator dan GPS. Injeksi arus listrik dilakukan melalui susunan elektroda dalam konfigurasi
Schlumberger. Besarnya arus listrik dan beda potensial untuk masing-masing jarak elektroda arus dan elektoda
potensial dicatat untuk menghitung nilai resistivitas semu dari material penyusun lokasi penelitian (Loke, 2001;
Samouëlian et al., 2005). Proses inversi dilakukan pada nilai resitivitas semu menggunakan software IP2Win untuk
mendapatkan nilai resistivitas sebenarnya. Hasil inversi adalah tabel nilai resistivitas yang mencakup informasi nilai
resistivitas yang sebenarnya dan distribusinya menurut kedalaman dari permukaan bumi. Gambar 2 menunjukkan
peralatan yang digunakan dalam pengujian geolistrik dan dokumentasi pelaksanaan pengujian di Titik 3.
302
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 1. Lokasi pengujian geolistrik Elevasi
146,9 mdpl
Titik uji No. Sounding Koordinat 147,6 mdpl
49 M 443224.4, 9117700.6 145,7 mdpl
Titik 1 VES 1 49 M 443374.5, 9117632.3
49 M 443231.4, 9117557.5
Titik 2 VES 2
Titik 3 VES 3
mdpl : meter di atas permukaan laut
Gambar 2. Peralatan untuk pengujian geolistrik dan pelaksanaan pengujian geolistrik di Titik 3.
2.3 Perancangan Jaringan Air Bersih
Perancangan jaringan air minum diawali dengan survei lokasi-lokasi penting yaitu sumur bor, bak tampungan dan
rumah-rumah penduduk yang akan dilayani. Dari hasil survei tersebut diperoleh data koordinat dan elevasi titik-titik
penting, kapasitas pompa, kapasitas bak tampungan, jumlah penduduk yang akan dilayani, dan pemakaian air sehari-
hari. Kebutuhan air domestik dihitung dengan mengalikan jumlah penduduk dengan pemakaian air per kapita per
hari. Desain jaringan pipa air bersih Padukuhan Ketangi disimulasikan menggunakan software EPANET 2.0.
EPANET merupakan program komputer yang dikembangkan oleh United States Environmental Protection Agency
(US EPA) untuk menggambarkan hidraulika aliran air dalam jaringan pipa (Rossman, 2000). Program ini relatif lebih
unggul dan mudah digunakan daripada program lain yang sejenis (Al-Amin, 2011). Input simulasi terdiri atas
koordinat dan elevasi titik-titik penting (sumber air, tampungan, dan titik-titik layanan), rencana jaringan pipa,
diameter pipa, spesifikasi pompa, serta kapasitas bak tampungan. Hasil perancangan jaringan EPANET 2.0 tersebut
kemudian diplotkan pada gambar satelit Google Earth.
2.4 Pengujian Kualitas Air
Pengujian kualitas air dilakukan dengan tujuan menilai kelayakan kualitas air sumur bor untuk digunakan sebagai air
bersih untuk keperluan sanitasi maupun sebagai air minum. Pengambilan sampel air dari sumur bor dilakukan pada
tanggal 27 Juli 2020 dengan didampingi oleh warga. Pembacaan sampel dilakukan oleh Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu UGM, Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
UGM, dan Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati, Jawa Tengah. Parameter-parameter yang diuji
adalah Kromium (Cr), Kadmium (Cd), total padatan terlarut (Total Dissolved Solid, TDS), kekeruhan, pH, suhu, besi
(Fe), CaCO3, Mangan (Mn), Seng (Zn), Sulfat (SO4), Tembaga (Cu), Amonium (NH4), bakteri coli, Merkuri (Hg),
Nikel (Ni), Natrium (Na), Timbal (Pb), detergen ekuivalen Natrium Dodecyl Sulfat, Organoklorin, dan Karbamat.
Metode pengujian parameter-parameter tersebut disajikan pada Lampiran bersama dengan hasil pengujian. Hasil
pengujian kemudian dibandingkan dengan standar baku yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 untuk air minum dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2017 untuk air bersih keperluan sanitasi dan higiene.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Potensi Sumber Air Tanah Berdasarkan Hasil Pengujian Geolistrik
Susunan stratigrafi vertikal dan kedalaman setiap lapisan berdasarkan hasil pengujian geolistrik disajikan pada
Gambar 3. Pada Titik 1 terdapat tiga lapisan utama susunan stratigrafi yang berhasil terindetifikasi yaitu lempung
jenuh dengan kandungan pasir dan kerikil yang merupakan tanah lapisan atas, gamping napalan, dan batu gamping
napalan-tuffan. Lapisan tersebut sebagian besar merupakan batuan gamping dan terdapat batu konglomerat serta batu
pasir. Berdasarkan sebaran vertikal stratigrafi batuan, titik 1 memiliki potensi air tanah yang kecil. Titik 2 memiliki
303
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
empat lapisan stratigrafi secara vertikal yaitu Gamping Napalan, Tuff, Batugamping Tuffan, dan Sandstones.
Berdasarkan lapisan-lapisan batuan penyusunnya dapat diinterpretasi bahwa potensi air tanah pada Titik 2 juga kecil.
Titik 3 terdiri dari tiga lapisan stratigrafi, yaitu lapisan gamping napalan, lapisan limestone, dan lapisan batu gamping,
batu gamping tuffan, batu gamping konglomerat, sandstones. Susunan perlapisan batuan pada Titik 3 lebih baik
daripada Titik 1 dan Titik 2 dengan adanya campuran perlapisan batu gamping, batu gamping tuffan, batu gamping
konglomerat, sandstones pada kedalaman 40 meter dengan ketebalan cukup tebal yaitu sekitar 80 meter. Berdasarkan
hasil uji geolistrik, potensi air tanah pada Titik 3 lebih besar daripada Titik 1 dan Titik 2.
Gambar 3. Susunan stratigrafi vertikal dan kedalaman setiap lapisan berdasarkan hasil pengujian geolistrik.
Pada tahun 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memiliki program pembuatan sumur
bor di beberapa area di Kabupaten Gunung Kidul memanfaatkan hasil prediksi potensi sumber daya air menggunakan
uji geolistrik ini sebagai dasar penentuan lokasi sumur bor di Padukuhan Ketangi. Lokasi pengeboran dilakukan dekat
dengan Titik 3 uji geolistrik. Sesuai dengan prediksi, pengeboran yang dilakukan sampai kedalaman 120 m dengan
posisi pompa pada kedalaman 98 m mampu menemukan air pada kedalaman 48 m. Pumping test yang dilakukan
selama 5 jam setelah pengeboran juga menunjukkan hasil yang memuaskan dengan tetap dapat mengeluarkan air
dengan debit yang konstan. Kementerian ESDM telah melengkapi sumur bor dengan rumah panel listrik. Namun
demikian, program Kementerian ESDM tersebut terbatas hingga menaikkan air ke permukaan, belum sampai
mendistribusikan air ke rumah-rumah warga.
3.2 Perancangan Jaringan Distribusi Air dari Sumber Air ke Rumah Penduduk
Jaringan air bersih dirancang untuk melayani kebutuhan air bersih 79 kepala keluarga dengan total 250 orang warga
Padukuhan Ketangi. Dengan asumsi kebutuhan air rata-rata adalah 80 liter/orang/hari, maka total air yang harus
disediakan untuk memenuhi kebutuhan air sebesar 20.000 liter. Air dari sumur bor yang sudah dibuat oleh
Kementerian ESDM dipompa dengan debit 2,3 liter/detik dan dialirkan menuju bak tampungan air yang terletak pada
elevasi tertinggi Padukuhan Ketangi. Bak tampungan baru dirancang dengan kapasitas sebesar 15 m3. Air dialirkan
dari bak tampungan menuju rumah-rumah warga secara gravitasi melalui pipa jaringan baru. Pada studi ini,
perancangan jaringan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh nilai estimasi awal kebutuhan pipa jaringan air
bersih. Gambar 4 menunjukkan perancangan jaringan distribusi air bersih dari sumber air ke bak tampungan sampai
dengan rumah warga yang disimulasikan dengan EPANET 2.0. Total pipa yang diperlukan untuk pembuatan jaringan
air minum adalah 2300 m pipa dengan diameter 2 inci, 417 m pipa dengan diameter 1,5 inci dan 1150 m pipa dengan
diameter 1 inci. Secara umum hasil dari simulasi dengan EPANET 2.0 pada penyaluran air dapat dilakukan dengan
baik. Air bersih dapat dialirkan ke semua junction dengan debit tertentu sesuai besarnya debit air kebutuhan. Namun
demikian, pipa memiliki tekanan dan kecepatan yang sangat kecil, yaitu kurang dari 0,5 atm untuk tekanan dan
kurang dari 0,3 m/s untuk kecepatan (persyaratan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/PRT/M/2007
tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu
ditambahkan pompa pada outlet bak tampungan.
304
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Gambar 4. Rencana jaringan distribusi air bersih di Padukuhan Ketangi
3.3 Hasil Pengujian Kualitas Air
Hasil uji kualitas air sumur bor dan perbandingannya dengan baku mutu yang berlaku disajikan pada Lampiran. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa, untuk parameter-parameter yang diuji, air sumur bor telah memenuhi persyaratan
air bersih untuk keperluan higiene dan sanitasi. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan jika
akan langsung digunakan sebagai air minum karena air minum memiliki persyaratan yang lebih ketat dibandingkan
penggunaan lainnya. Beberapa parameter uji, seperti nikel dan pestisida, tidak dapat diketahui kandungan pastinya
karena kurang dari batas minimum kemampuan deteksi alat uji. Selain itu, beberapa parameter wajib dalam peraturan
baku mutu air minum, baik yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kesehatan, seperti
Nitrat, Arsen, Fluorida, dan sebagainya juga belum diuji.
Widiyastuti dan Widyastuti (2018) meneliti kualitas air empat belas mata air di Kecamatan Playen, termasuk mata
air Banyusoco yang dekat dengan Padukuhan Ketangi. Penelitian tersebut menemukan bahwa mata air Banyusoco
pada musim hujan memiliki kandungan nitrat (25 mg/l), kesadahan (560 mg/l) dan total bakteri coli (1100 MPN/100
ml) yang melebihi baku mutu air higiene sanitasi. Hal tersebut tidak ditemukan pada hasil pengujian kualitas air
sumur bor di Padukuhan Ketangi yang menunjukkan bahwa kesadahan dan total bakteri coli jauh lebih kecil dari
batas yang disyaratkan, sedangkan parameter nitrat tidak termasuk sebagai parameter uji. Secara umum, kualitas air
tanah dalam cenderung lebih baik daripada kualitas air permukaan (mata air).
4 KESIMPULAN
Program perencanaan sistem penyediaan air baku ini secara langsung maupun tidak langsung telah membantu warga
masyarakat dalam mendapatkan sumber air bersih yang lebih mudah dijangkau. Program ini ini diharapkan dapat
dilanjutkan sampai dengan realisasi pembangunan jaringan air bersih yang telah dirancang, sehingga warga
masyarakat dapat menggunakan air sumur bor langsung dari rumah masing-masing. Pengadaan sumber listrik
cadangan juga perlu menjadi perhatian untuk menjamin kelangsungan operasi pompa air, terutama apabila suatu saat
terjadi lagi bencana banjir. Namun demikian, untuk merealisasikan pembangunan tersebut diperlukan biaya cukup
besar, sehingga diperlukan dukungan dari mitra lain. Pengujian kualitas air perlu ditambahkan untuk parameter-
parameter yang belum diuji terutama parameter wajib dalam baku mutu air minum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada sebagai pemberi dana hibah program perencanaan sistem penyediaan air baku berbasis masyarakat di
Padukuhan Ketangi, serta kepada masyarakat Padukuhan Ketangi yang berpartisipasi aktif dalam mendukung
pelaksanaan program ini.
305
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
REFERENSI
Al-Amin, M. B. (2011). “Komputasi analisis hidraulika jaringan pipa air minum.” In: Prosiding Seminar Nasional
Kebumian 2011. UPN Yogyakarta, 3-18.
Loke, M.H. (2001). “Tutorial: 2-D and 3-D electrical imaging surveys”. Course Notes for USGS Workshop 2-D and
3-D Inversion and Modeling of Surface and Borehole Resistivity Data, Torrs, CT.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta, Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan
Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Departemen Pekerjaan Umum. (2007). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/PRT/M/2007 tentang
Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.
Rossman, L. A. (2000). EPANET 2: users manual. U. S. Environmental Protection Agency, Cincinnati.
Samouëlian, A., Cousin, I., Tabbagh, A., Bruand, A., and Richard, G. (2005). “Electrical resistivity survey in soil
science: a review”. Soil and Tillage research, 83(2), 173-193.
Widiyastuti, A. N., dan Widyastuti, M. (2018). “Potensi Mataair untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik
Masyarakat Kawasan Karst Playen, Gunungkidul Berdasarkan Variasi Temporal”. Jurnal Bumi Indonesia, 7(3).
LAMPIRAN
METODE DAN HASIL PENGUJIAN KUALITAS AIR SUMUR ARTESIS DI PADUKUHAN KETANGI
Parameter Satuan Metode Uji Hasil Uji Baku Mutu
Air Minum1 Air Bersih2
Total Dissolved Solids (TDS)* mg/liter Konduktometri 280,33 500 1000
Kekeruhan* NTU Konduktometri 1,03 5 25
6,5 – 8,5 6,5 – 8,5
Keasaman (pH)* - Potensiometri 7,14
Suhu* C Potensiometri 27,45
Besi (Fe)** mg/liter SSA-nyala 0,01 0,3 1
500 500
Kesadahan (CACO3)* mg/liter SSA-nyala 127,06 0,4 0,5
3 15
Mangan (Mn)** mg/liter SSA-nyala -- 250 400
2 -
Seng (Zn)** mg/liter SSA-nyala 9,49 1,5 -
1 1
Sulfat (SO4)* mg/liter Spektrofotometri UV-vis 8,99 0,07 -
200 -
Tembaga (Cu)* mg/liter SSA-nyala -- 0,01 0,05
0,05 0,05
Amonium (NH4)* mg/liter Spektrofotometri UV-vis 0,14 0,003 0,005
0,05 0,05
Merkuri (Hg)* µg/liter Mercury analyzer 0,39
Nikel (Ni)** mg/liter SSA-nyala --
Natrium (Na)** mg/liter SSA-nyala 12,38
Timbal (Pb)** mg/liter SSA-nyala --
Kromium (Cr)** mg/liter SSA-nyala --
Kadmium (Cd)* mg/liter SSA-nyala --
Detergen ekivalen Natrium mg/liter Spektrofotometri UV-vis 0,01
Dodecyl Sulfat*
Haptachlor*** mg/liter Kromatografi Gas -- 0,0002 Total
0,002 pestisida
Endosulfan*** mg/liter Kromatografi Gas -- 0,00003 < 0,01
0,001 mg/liter
Dieldrin*** mg/liter Kromatografi Gas -- 0,0007
p-p DDT*** mg/liter Kromatografi Gas --
Karbamat (Karbofuran)* mg/liter Liquid chromatography- --
mass spectrometry
Coliform* MPN/100 ml IKU/5.4/MF-AK-05 -- 0 50
(Most Probable Number)
* Pembacaan sampel di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu UGM
306
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
** Pembacaan sampel di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM
*** Pembacaan sampel di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati, Jawa Tengah
-- Tidak terdeteksi oleh batas minimum kemampuan alat uji
- Tidak disyaratkan
1Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010
2Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017
307
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Identifikasi Pola Persebaran Air Lindi (Leachate) di TPST Piyungan
Menggunakan Metode Geolistrik dan Pemetaan Topografi
H. A. Kusumawati1*, I. Supraba1, H. Sutanta2
1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
2Departemen Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
TPST Piyungan memiliki luasan area sebesar 12,5 ha dan kapasitas tampungan sampah sebesar 2,7 juta m3. Hingga tahun 2019,
jumlah total sampah yang dibuang ke TPST Piyungan mencapai 600 ton/hari berasal dari 3 wilayah yaitu Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Sistem pengelolaan sampah di TPST Piyungan telah berlangsung selama hampir 25
tahun dengan sistem controlled landfill, sementara pengolahan air lindi menggunakan sistem aerasi. Adanya pencemaran air
lindi akibat sistem pengolahan yang kurang tepat dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat sekitar maupun
lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji adanya resapan air lindi di TPST Piyungan, Bantul, Yogyakarta dengan
menggunakan kemiringan topografi (slope) di area TPST, dan metode geolistrik konfigurasi Schlumberger dan Dipole – dipole
untuk mengetahui pola persebaran air lindi di bawah permukaan. Dari hasil analisis data geolistrik dan topografi dengan
menggunakan beberapa software didapatkan pola persebaran air lindi di bawah permukaan. Ditemukan kontaminasi air lindi
yang mengarah ke bagian barat TPST Piyungan, yaitu Desa Bawuran dan Desa Sitimulyo. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukkan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan dan pengelolaan sampah dan air lindi.
Kata kunci: Leachate, Topografi, Geolistrik.
1 PENDAHULUAN
TPST Piyungan terletak di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
luas area sebesar 12,5 ha dan kapasitas tampungan sampah sebesar 2,7 juta m3. Jumlah total sampah yang dibuang
ke TPST Piyungan hingga tahun 2019 mencapai 600 ton/hari berasal dari 3 wilayah yaitu Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Metode pengolahan sampah yang digunakan di TPST Piyungan berupa
controlled landfill. Pengolahan air lindi di TPST Piyungan menurut Balai Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, air lindi diolah dengan proses aerasi dan anaerob. Namun air
effluent yang dibuang ke outlet masih mengandung COD dan BOD yang melampaui Baku Mutu Air Limbah. Hal ini
disebabkan oleh volume sampah yang tinggi, banyaknya amonia dan gas methan, serta pengelolaan yang belum
optimal.
Air lindi dari geomembrane dialirkan melalui saluran drainase di bawah TPST ke bak pengendapan yang berfungsi
untuk mengumpulkan dan mengendapkan air lindi. Selanjutnya air dialirkan ke kolam anaerob karena nilai BOD dan
COD yang masih tinggi. Kolam anaerob digunakan untuk mereduksi kandungan BOD yang relatif tinggi tanpa
bantuan oksigen. Kolam maturasi berfungsi untuk mengurangi BOD, COD, bakteri E.Coli, dan suspended solid.
Kolam aerasi digunakan untuk meningkatkan kualitas air dengan transfer oksigen ke permukaan air. Umumnya alat
yang digunakan berupa aerator dan blower untuk menghasilkan gelembung yang sangat kecil. Aerasi didefinisikan
sebagai proses perluasan daerah kontak antara air dan udara secara alamiah maupun dengan peralatan mekanis, dan
biasa disebut dengan transfer oksigen ke permukaan air (Hunt,1996)
Air lindi didefinisikan sebagai limbah cair yang terbentuk akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah,
melarutkan dan membilas materi-materi terlarut termasuk senyawa organik dan anorganik hasil proses dekomposisi
(Tchobanoglous, 1993). Aliran ini membawa bermacam-macam zat yang ada dalam sampah seperti nitrat, nitrit,
metan, karbon dioksida (CO₂), sulfat, sulfida, ammonia (NH₃), air, dan mikroorganisme. Kualitas air lindi tergantung
dari komposisi sampah, umur sampah, iklim, serta hidrogeologinya (Keenan, 1984).
308
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
2 DASAR TEORI
2.1 Topografi
Peta topografi terdiri dari beberapa garis kontur yang merepresentasikan ketinggian pada area penelitian. Garis kontur
adalah kombinasi dari dua segmen garis yang berhubungan tetapi tidak berpotongan yang menunjukkan titik elevasi.
Garis kontur diukur dari suatu titik ketinggian acuan yang diambil dari permukaan air laut rata-rata. Setiap garisnya
memiliki interval tertentu tergantung dari skala peta, relief, dan tujuan penggunaan peta. Pada perkembangannya,
pengukuran topografi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi pesawat tanpa awak atau disebut juga
Unmanned Aerial Vehicle (UAV).
2.2 Fotogrametri
Fotogrametri merupakan suatu bidang keilmuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya
pada suatu objek fisik dan keadaan disekitarnya dengan melakukan proses perekaman, pengamatan, pengukuran, dan
interpretasi citra geografis dalam jarak tertentu melalui bantuan gelombang elektromagnetik (Wolf et al., 2014;
McGlone dan Lee, 2013 dalam Aber et al., 2019). Umumnya fotogrametri terdapat dua tipe pengukuran, yaitu secara
aerial (foto udara) dan terrestrial (Aber et al., 2019).
2.3 Foto Udara
Foto udara merupakan gambar yang didapatkan dari hasil survei udara dengan melakukan pemotretan lewat udara
pada daerah tertentu. Foto udara menghasilkan rekaman detail permukaan bumi yang dipengaruhi beberapa faktor
seperti ketinggian terbang pesawat, waktu pemotretan, dan fokus lensa kamera. Orientasi kamera pada foto udara
dibagi menjadi 3 jenis yaitu secara vertikal, agak condong, dan sangat condong (Gambar 1).
Gambar 1. Orientasi pada 3 jenis foto udara (Wolf P. R, 1993)
Foto udara vertikal tergantung dari sumbu kamera saat dilakukan pemotretan, yaitu harus secara vertikal atau
kemiringannya < 3°. Sementara foto udara condong ketika sumbu foto memiliki kemiringan antara 3° - 90° dari
kedudukan vertikal.
2.4 Metode Geolistrik Tahanan Jenis
Metode geolistrik resistivitas merupakan metode geolistrik yang digunakan untuk menggambarkan kondisi bawah
permukaan dengan cara menginjeksikan aliran listrik ke permukaan tanah melalui elektroda arus. Penjalaran arus
kontinyu yang melewati suatu medium homogen.
Berdasarkan pada tujuan penyelidikan, metode geolistrik tahanan jenis dapat dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu:
a) Metode Tahanan Jenis Mapping
Metode tahanan jenis mapping merupakan metode tahanan jenis yang bertujuan untuk mempelajari variasi
resistivitas bawah permukaan secara lateral.
b) Metode Tahanan Jenis Sounding
Metode tahanan jenis sounding bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi
terhadap kedalaman.
Ilustrasi garis ekipotensial yang terjadi akibat injeksi arus ditunjukkan pada dua titik arus yang berlawanan di
permukaan bumi (Gambar 2) semakin besar jarak antar elektroda menyebabkan makin dalam tanah yang dapat
diukur.
309
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Gambar 2. Pola aliran dan bidang ekuipotensial (Van Nostrand and Cook, 1966; dalam Stummer, 2003)
3 METODOLOGI
Pengambilan sampel lapangan dilakukan pada tanggal 16 – 20 Juli 2020 di TPST Piyungan Dusun Ngablak, Desa
Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan data di
lapangan berupa nilai elevasi secara aerial mapping dengan menggunakan drone serta data resistivitas menggunakan
metode geolistrik konfigurasi Schlumberger dan dipole – dipole. Akuisisi data foto udara terdiri dari 5 titik ICP dan
5 titik GCP yang tersebar di sekitar TPST Piyungan. Sementara metode geolistrik Schlumberger terdiri dari 10 titik
dan dipole – dipole terdiri dari 4 lintasan yang melintang melewati TPST Piyungan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Topografi
Hasil pengolahan foto udara dengan menggunakan software Agisoft Metashape Professional menghasilkan beberapa
jenis peta, antara lain DTM, peta Kontur, dan peta Kemiringan Lereng (Slope).
4.2 Digital Terrain Model (DTM)
Gambar 3. Digital Terrain Model
DTM (Gambar 3) mengindikasikan tingginya tumpukkan sampah yang melebihi kapasitas TPST Piyungan hingga
mencapai >30 m. Peta DTM menunjukkan lokasi TPA Piyungan seharusnya berada pada elevasi sedang yang
310
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
ditunjukkan oleh warna kuning dengan nilai elevasi sebesar 51,8 – 88,75 m, namun akibat tumpukkan sampah
menyebabkan warnanya menjadi biru muda yaitu sebesar 88,75 – 125,73 m.
4.3 Peta Kontur dan Peta Kemiringan Lereng
Gambar 4. Peta Kontur
Peta Kontur (Gambar 4) didapatkan dari hasil koreksi peta DTM dan DEM untuk merepresentasikan ketinggian
permukaan tanah. Skala peta dibuat sesuai Perkab BIG no. 15 Tahun 2014 tentang ketelitian peta dasar yaitu sebesar
1:25.000 dengan jarak interval antar konturnya sebesar 10 meter. Nilai elevasi didapatkan range antar 30 – 80 meter.
Lokasi TPST Piyungan berada pada ketinggian 50 mdpl.
Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng
311
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Hasil peta kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 5 bahwa bagian barat laut dan timur laut memiliki tingkat
kemiringan lereng yang landai yang mengindikasikan arah aliran air lindi. Hasil ini sejalan dengan hasil dari metode
geolistrik Schlumberger dimana pada titik 7 ditemukan nilai resistivitas yang kecil pada kedalaman 40 – 60 meter
di bawah permukaan.
4.4 Metode Geolistrik
Hasil analisis data geolistrik berupa penampang inversi 1D yang diolah menggunakan software IP2WIN sebanyak
10 titik dan penampang 2D sebanyak 4 lintasan yang dianalisis menggunakan software RES2DINV. Selanjutnya
kedua penampang dikorelasikan dan analisis dengan data geologi di lapangan agar didapatkan informasi bawah
permukaan yang lebih valid.
Singkapan yang ditemukan di lapangan berupa singkapan Breksi yang ditambang oleh masyarakat sekitar di sebelah
Barat Daya TPST Piyungan dan singkapan Batupasir di dekat kolam pengolahan air lindi. Sementara menurut geologi
regionalnya, TPST Piyungan terletak pada Formasi Semilir (Tmse) dengan lapisan berupa Tuff, Batupasir Tuffan,
serta Breksi dan Endapan Vulkanik Gunung Merapi Muda (Qmi) dimana lapisan litologi berupa Tuff, Abu, Breksi,
Aglomerat, dan Lelehan Lava Tak Terpilahkan (Rahardjo et al., 1977).
Gambar 6. Korelasi penampang 1D dan 2D Line 1
Analisa korelasi penampang 1D dan 2D (Gambar 6) menunjukkan bahwa kontaminasi air lindi telah mencemari
lapisan Batupasir di bawah TPST Piyungan dan mengarah ke Barat hingga kedalaman yang besar. Hal ini juga
diperkuat dari peta topografi dimana nilai elevasi pada titik tersebut lebih rendah daripada nilai elevasi di sebelah
Timurnya.
Batupasir memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi sehingga memudahkan air lindi terinfiltrasi dan menyebar
di lapisan tersebut pada nilai kedalaman yang cukup besar. Sementara pada titik 6 yang terletak di bagian Timur
TPST, air lindi mengkontaminasi lapisan Tuff dan Batupasir pada kedalaman yang dangkal. Selain itu didapatkan
juga tinggian tumpukkan sampah yang mencapai 40 meter. Pengujian kualitas air akan dilakukan pada beberapa
sumur dangkal di bagian barat serta sumur kontrol di area TPST Piyungan.
312
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
5 KESIMPULAN
Hasil analisa pola persebaran air lindi dengan metode topografi dan metode geolistrik didapatkan data bahwa terjadi
kontaminasi air lindi di bawah permukaan TPST Piyungan akibat rusaknya lapisan geomembran atau bocornya
saluran air lindi di bawahnya. Air lindi mengkontaminasi lapisan Tuff dan Batupasir hingga kedalaman 100 meter di
bawah permukaan.
Menurut peta Kemiringan Lereng dan peta Kontur yang dikorelasikan dengan metode geolistrik didapatkan arah
persebaran air lindi yang mengarah ke Utara, Barat, Barat Laut, dan Timur Laut TPST Piyungan. Area tersebut
merupakan area perkampungan dan persawahan warga yaitu Desa Bawuran dan Desa Sitimulyo.
REFERENSI
Aber, J.S., Marzolff, I., Ries, J.B., Aber, S.E.W. (2019). Small-Format Aerial Photography and UAS Imagery
Principles, Techniques, and Geoscience Applications.Net. Elsevier, UK, US.
Hunt, B. (1996). “Fine Bubble”, Mechanical Aeration.
Keenan, J.D., Steiner, R. L., and Fungaroli, A.A. (1984). “Landfill Leachate Treatment”. WCPF, 56(1), 33-39.
Rahardjo,W., Rumidi S., dan Rosidi H.M.D. (1977). “Geological map of the Yogyakarta Quadrangle, Java, skala 1
: 100.000”. Geological Survey of Indonesia, 1-15.
Tchobanoglous, Theise, H., and Vigil, S.A. (1993). Integrated Solid Waste Management Engineering Principles
and Management Issues. Mc Graw Hill Inc, New York.
Wolf, P., Dewitt, B., and Wilkinson, B. (2014). Elements of Photogrammetry with Application in GIS, 4 edn,
McGraw-Hill Education., Maidenhead, United Kingdom.
313
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Implementasi Agent Based Modelling (ABM) dalam Mengamati Respon
Pergerakan Pengguna Gedung Dekanat Teknik Universitas Bengkulu Saat
Evakuasi Bencana Gempa Bumi pada Masa Pandemi
W. Fitrianip*, Hardiansyah, L. Z. Mase
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Bengkulu, Indonesia
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Gempa bumi adalah getaran asli yang bersumber di dalam bumi. Gempa bumi merambat ke permukaan bumi akibat rekahan
bumi pecah dan bergeser dengan keras. Gempa bumi mempunyai karakteristik yaitu peristiwanya tidak dapat dicegah, dan waktu
terjadinya tidak diketahui oleh siapa pun. Universitas Bengkulu adalah salah satu perguruan tinggi yang ada di Provinsi
Bengkulu. Universitas Bengkulu termasuk daerah rawan bencana karena terletak dekat dengan pesisir pantai. Letak Gedung
Dekanat Teknik dekat dengan pesisir pantai, menuntut pengguna gedung untuk dapat bersiapsiaga dalam menghadapi bencana
gempa bumi. Tujuan dalam penelitian ini adalah melihat pergerakan penghuni gedung dalam evakuasi bencana gempa bumi
pada masa pandemi COVID-19. Permodelan ini menggunakan metode Agent Based Modelling (ABM). Agen saat evakuasi
disimulasikan pada posisi awal agen bergerak menuju tangga dan pintu evakuasi menuju titik kumpul. Titik kumpul berada di
depan dan belakang Gedung Dekanat Teknik. Hasil dari penelitian ini mendapatkan waktu tempuh agen untuk evakuasi yaitu 81
detik dan 95% agen yang berhasil keluar dari gedung. Hasil dari permodelan ini mendapatkan titik yang berpotensi menjadi titik
konflik dalam evakuasi yaitu daerah tangga, koridor dan pintu keluar.
Kata kunci: Gempa bumi, Pengungsi, Evakuasi, Agent Based Modelling, Netlogo.
1 PENDAHULUAN
Pandemi virus Corona sudah sangat mewabah pada saat ini. Wabah virus ini membutuhkan perhatian khusus bagi
kemanusian dan kebencanaan. Kondisi kritis COVID-19 diperburuk dengan terjadinya suatu bencana alam, seperti
bencana gempa bumi. Provinsi Bengkulu merupakan daerah rawan bencana gempa bumi. Provinsi Bengkulu terletak
di antara 2 patahan aktif. Terletak di 2 patah aktif menjadikan Provinsi Bengkulu sebagai daerah rawan bencana
gempa bumi. Patahan aktif tersebut adalahpatahan Semangko dan patahan Mentawai (Wardani, 2016),
Universitas Bengkulu merupakan wilayah yang sangat dekat dengan pesisir pantai. Daerah perkuliahan ini memiliki
kawasan yang padat akan aktivitas perkuliahan. Aktivitas pengguna Gedung Dekanat Teknik dimasa pandemi virus
Corona masih tetap berlangsung. Kondisi yang terjadi saat ini mendorong peneliti untuk menjadikan Gedung
Dekanat Teknik menjadi objek analisis untuk memodelkan pergerakan pengguna gedung dalam evakuasi bencana
gempa bumi pada masa pandemi. Metode Agent Based Modeling adalah pendekatan pemodelan agen yang digunakan
untuk menganalisis sistem yang kompleks dalam dunia nyata. Hasil dari Penelitian ini diharapkan untuk dapat
memberikan hasil dari respon pengguna gedung saat evakuasi bencana gempa bumi. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam melakukan proses mitigas bencana pada masa pandemi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gempa Bumi di Wilayah Sumatra
Gempa bumi yang terjadi di wilayah Sumatra adalah getaran asli dari dalam bumi. Penyebab gempa bumi terjadi
dikarenakan pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang disebabkan oleh lempengan yang bergerak. Menurut
Nabila et al. (2020). pergerakan kedua lempeng yang terjadi secara tiba-tiba dan mendadak akan membangkitkan
potensi gempa bumi dan tsunami. Kerentanan alam terjadi di sepanjang pesisir Barat Bengkulu. Termasuk Kota
Bengkulu menjadi sangat rawan akan terjadinya bencana gempa bumi.
2.2 Sistem Evakuasi Bencana Gempa Bumi pada Masa Pandemi
Evakuasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pergerakan orang atau masyarakat menuju wilayah yang aman
dikarenakan adanya ancaman bencana di suatu wilayah (Edyanto, 2014). Dampak bencana gempa bumi dapat
314
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
diupayakan dengan tiga langka yaitu memahami rawan ancaman bencana di suatu wilayah, memahami kerentanan
wilayah, dan peta rawan bencana (Sunardi et al., 2012). Ketika bencana gempa bumi terjadi agen akan merespon dan
melakukan pergerakan keluar gedung. Pergerakan tersebut akan cenderung berada dalam jarak yang berdekatan.
Jarak berdekatan tersebut dikarenakan tempat yang terbatas misalnya tempat evakuasi,menuju titik aman. Hal ini,
menjadi tantangan tersendiri bila melakukan evakuasi dalam kondisi covid-19. Jarak evakuasi agen yang berdesakan
dalam evakuasi dapat menyebabkan tempat tersebut menjadi pusat infeksi virus Corona. Dalam melakukan evakuasi
mandiri, sebisa mungkin tetap menjaga jarak fisik (physical distancing). Tetap menggunakan masker dan mengikuti
kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Evakuasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu evakuasi
horizontal dan vertikal. Evakuasi horizontal diperlukan untuk mempertimbangkan masyarakat harus melakukan
evakuasi dengan berjalan kaki, sedangkan evakuasi vertikal berarti masyarakat menyelamatkan diri ke gedung yang
tinggi dan kokoh, sehingga layak untuk dijadikan sebagai shelter atau digunakan untuk menampung pengungsi
sementara saat terjadi gempa bumi secara tiba-tiba di dalam gedung.
2.3 Evakuasi Bencana Gempat Bumi dengan Metode Agent Based Modelling (ABM)
Bangunan bertingkat tinggi merupakan bangunan yang dirancang secara vertikal dengan jumlah lantai yang banyak.
Bangunan bertingkat ini memiliki beragam fungsi dan aktifitas di dalamnya. Menurut Saputra et al. (2019), kondisi
tersebut menyebabkan suatu bangunan gedung biasanya memiliki jumlah penghuni yang tidak sedikit. Bangunan
bertingkat harus memiliki sistem tanggap darurat yang baik dan menjamin keselamatan seluruh pengguna. Menurut
Nur (2010), banyaknya korban jiwa ketika bencana gempa bumi terjadi umumnya, dikarenakan terkena reruntuhan
bangunan akibat gempa bumi dan ketidak pemahan pengungsi terhadap tindak evakuasi penyelamatan diri. Ketika
bencana melanda semua orang yang berada pada suatu wilayah, semua orang akan melakukan pergerakan seketika
dan bersamaan dalam kepanikan yang tinggi. Jalur evakuasi seringkali tak mampu memberikan pelayanan maksimal.
Ketidak mampuan inilah, pada akhirnya banyak menimbulkan korban jiwa dalam proses evakuasi. Keterampilan
dalam melakukan tindakan evakuasi dan pengetahuan tetantang tindakan evakuasi akan dapat mengurangi kerugian
dan korban jiwa.
Pemodelan berbasis agen telah sangat efektif dalam mengajukan pertanyaan bagaimana perilaku orang banyak dalam
menghadapi suatu bencana.Agen akan menghasilkan suatu keputusan dalam proses evakuasi, keputusan tersebut
dapat mempengaruhi parameter fisik dan psikologisnya (Tumewu, 2017). Kelebihan dari ABM terletak kepada
kemampuan dalam memodelkan sistem dunia nyata menjadi kompleks. ABM juga dapat menghasilkan perilaku
sistem yang kompleks perilaku ini dihasilkan dari interaksi agen-agen yang berada didalamnya. Sifat yang dapat
muncul dari permodelan ABM adalah mengetahui pergerakan pengungsi dan interaksi pengungsi saat evakuasi, dan
sebagainya (Sahroli dan Hardiansyah. 2019).
2.4 Waktu Evakuasi Bangunan Gedung
Waktu evakuasi bangunan gedung dalam penelitian ini adalah waktu perjalanan agen untuk tiba di titik kumpul.
Pengamatan waktu tempuh dilihat ketika agen bergerak dari posisi semula menuju tangga, pintu dan tiba di titik
kumpul. Menurut Andhika et al. (2013). Waktu tercepat yang dicari haruslah lebih cepat dari keruntuhan gedung itu
sendiri.
2.5 Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari kumpulan yang memiliki sejumlah karakteristik umum. Populasi terdiri dari
bidang–bidang yang digunakan peneliti untuk diteliti. Sampel adalah sub kelompok dari populasi yang dipilih sebagai
perwakilan dari suatu kelompok populasi. Besaran sampel ditentukan menggunakan persamaan Slovin (1960) sebagai
berikut:
n = n (1)
1+N(e2)
2.6 Skala Likert
Skala Likert atau Likert Scale adalah skala penelitian yang digunakan untuk mengukur sikap dan pendapat.
Responden diminta untuk melengkapi kuesioner yang mengharuskan mereka untuk menunjukkan tingkat
persetujuannya terhadap serangkaian pertanyaan. Menurut Sugiyono (2014), variabel yang diukur dijabarkan menjadi
indikator variable, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai tolak ukur untuk menyusun item–item instrumen.
Skala Likert (1932) digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang bencan gempa bumi
315
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Tabel 1. Skala Likert
Tipe Skor Skala Skor
Sangat tidak setuju 1 0,00-0,99
Tidak setuju 2 1,00-1,99
Setuju 3 2,00-2,99
Sangat setuju 4 3,00-4,00
Sumber :Likert (1932)
3 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini berada di Universitas Bengkulu yang beralamatkan di jalan W.R. Supratman, Kelurahan
Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu. Lokasi penelitian yang ditinjau dalam penelitian
ini adalah Gedung Dekanat Teknik Universitas Bengkulu. Layout Gedung Dekanat Teknik dapat dilihat pada Gambar
1.
Gambar 1. Layout Gedung Dekanat Teknik
Sumber :http:///www.denahunib./download/image./2020.
3.1 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah jenis data yang
tidak diperoleh dari tangan pertama melainkan melalui tangan kedua, ketiga atau seterusnya. Data primer adalah data
utama atau data pokok yang digunakan dalam penelitian. Waktu evakuasi yang diukur dalam penelitian ini adalah
waktu terlama agen melakukan evakuasi. Waktu tempuh yang diukur yaitu waktu yang dibutuhkan agen untuk keluar
gedung sampai menuju titik kumpul. Penelitian ini meninjau populasi di dalam gedung dalam keadaandi masa
pandemi. Populasi agen yang berada di dalam gedung setengah dari keadaan penuh (50%).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi pengguna Gedung Dekanat Teknik meliputi pengguna tetap dan tidak tetap. Staf dan karyawan tergolong
dalam pengguna tetap. Pengguna tidak tetap Gedung Dekanat Teknik adalah dosen, mahasiswa dan tamu. Pengguna
Gedung Dekanat Teknik terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 19 tahun sampai dengan 60
tahun.Persentase jenis kalamin pengguna gedung dapat dilihat pada Gambar 2.
53% 47%
Perempuan 117 orang
Laki-Laki 133 orang
Gambar 2. Presentase jenis kelamin pengguna Gedung Dekanat Teknik
Alat transportasi Gedung Dekanat Teknik Universitas Bengkulu terdiri atas kendaraan sepeda motor dan mobil.
Kondisi parkiran dijadikan sebagai cerminan dalam mengetahui populasi agen yang berada di dalam gedung. Hasil
yang didapat mendapatkan waktu puncak pengguna gedung pada pukul 10.00-11.00 WIB. Waktu tersebut menjadi
dasar asumsi terjadinya bencana gempa bumi saat berada di dalam gedung.
316
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 2. Penggunaan alat transportasi pada Gedung Dekanat Teknik UNIB
Waktu (WIB) Kendaraan Kendaraan
Sepeda Ringan(mobil)
07.00-08.00 motor
08.00-09.00 5
09.00-10.00 16 15
10.00-11.00 50 20
11.00-12.00 74 25
12.00-13.00 87 23
13.00-14.00 65 15
55 8
36
4.1 Analisa Hasil Kuesioner
Penggunakan kuesioner dilakukan untuk mengetahui bagaimana tanggapan responden Gedung Dekanat Teknik
dalam menghadapi bencana gempa bumi. Hasil dari tanggapan responden akan dianalisis untuk memperkuat asumsi
dan menjadi dasar dalam permodelan evakuasi. Kebutuhan sampel yang dibutuhkan untuk penyebaran kuesioner
menggunakan Persamaan 1 yang mana:
n = 250
1+250(10%2)
n = 71,43
n = 71 Jumlah responden
Pembagian sampel sebaran kuesioner berdasarkan penghuni tetap dan tidak tetap pengguna gedung. pembagian
sampel kuesioner dilakukan untuk setiap agenyang mana 25 responden untukpenghunitetap dan 46 responden tidak
tetap.diantaranya 42 untuk responden mahasiswa pemilihan sempel dilakukan secara acak sehingga mewakili
setiap ruangan dan 4 responden untuk tamu yang datang berkunjung ke Gedung Dekanat Teknik UNIB.
4.2 Data Umum Kuesioner
Penyebaran kuesioner yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Informasi
tersebut diantaranya pemilihan agen dalam memilih pintu dan tangga evakuasi. Data yang didapat dapat dilihat dalam
Gambar 3 Penyebaran kuesioner yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Informasi tersebut diantaranya pemilihan agen dalam memilih pintu dan tangga evakuasi. Data yang didapat dapat
dilihat dalam Gambar 3.
Persentase agen (%)40% 36.36% 40% T1=tangga utama
Persentase agen(%)35%35% 32.47%
30% P1=pintu utama 30% T2=tangga kiri
25% 25%
20% P2=pintu kiri 20% T3=tangga kanan
15% 15%
10% 12P.939=%pintu kanan 10% 7.79%
5% P4=pintu belakang 5%
0% 3.90% 2.60% 0% 3.90%
P1 P2 P3 P4 T1 T2 T3
Kode pintu Kode Tangga
(a) (b)
Gambar 3. Grafik perjalanan agen (a) Lantai 1 (b) Lantai 2
4.3 Hasil Percobaan Permodelan ABM
Salah satu sifat dari NetLogo adalah output permodelan dari agen yang dihasilkan bersifat stokastik .Artinya hasil
yang diperoleh selalu berubah setiap kali percobaan dilakukan. Cara mengatasi hal tersebut dalam penelitian ini
mengambil nilai rata-rata setiap percobaan. Hasil dari percobaan yang dilakukan guna mengetahui pergerakan agen
317
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
saat evakuasi keluar gedung saat bencana gempa bumi terjadi. Penentuan jumlah sampel percobaan menggunakanWaktu evakusai dalam permodelan (s)
Tabel Isaac dan Michael dengan tingkat kesalahan 5%. Hasil dari tabel tersebut mendapatkan 258 kali percobaan.
Gambar 4 merupakan hasil simulasi digunakan untuk mengetahui perbandingan kondisi lapangan dengan permodelan
yang.
40
y = 1,057x
R² = 0,978
30
20
10
0
0 10 20 30 40
waktu evakuasi harian (s)
Gambar 4. Grafik regresiWaktu tempuh agen
Gambar 5 memperlihatkan hasil dari waktu tempuh yang dihasil merupakan simulasi agen dengan kapasitas 50%.
Kondisi tersebut diambil dalam masa pandemi COVID-19. Agen yang menempati gedung setengah dari kapasitas
maksimum gedung. Hasil tersebut mendapatkan persentase agen yang berhasil keluar dari gedung sebanyak 95%.
100
81
80
60 57 53 58
40
20
0 P2 P3 P4
P1
Pintu evakuasi
Gambar 5. Perbandingan setiap Skenario
Gambar 6. Titik konflik evakuasi
5 KESIMPULAN
Melalui penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa model pergerakan evakuasi yang dibangun dalam
penelitian ini ditinjau ketika agen menempati posisi semula menuju pintu dan tangga evakuasi lalu tiba dititik
assembly point. Sedangkan, pemodelan simulasi skenario di Gedung Dekanat Teknik mendapatkan titik-titik yang
berpontensi menjadi titik konflik yang dapat memperhambat proses evakuasi keluar gedung. Titik konflik tersebut
terjadi di koridor, tangga, dan pintu keluar. Waktu tempuh yang dibutuhkan oleh agen untuk keluar gedung menuju
titik assembly point adalah 81 detik dengan, populasi agen yang berada di dalam gedung 50% dalam keadaan COVID-
19.
318
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, kepada
pembimbing yang telah membantu memberikan arah, kepada pihak Gedung Dekanat Teknik UNIB yang telah
memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di Gedung Dekanat Teknik dan menyelesaikan penelitian dengan
baik
REFERENSI
Andhika, P. K., Kasim, F., dan Hawibowo, S. (2013). “Optimasi Proses Evakuasi dalam Menghadapi Situasi Darurat
pada Gedung Gerha Sabha Pramana (Studi Kasus Acara Wisuda).” Jurnal Teknofisika, 2(2), 35-41.
Edyanto, CB Herman. (2014). “Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Untuk Mengurangi Risiko Bencana Tsunami
Di Daerah Pantai.” Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 16(3), 22-23
Universitas Bengkulu. “Denah Universitas Bengkulu”, http:///www.denahunib (Accessed 2 June 2020).
Tumewu, T. W. (2017). “Simulasi Berbasis Agen untuk Evakuasi Bencana Kerumunan Lapangan Indoor Gor
X.” Widya Teknik, 15(1), 41-45.
Likert, R. (1932). “A Technique for the Measurement of Attitudes. Archives of Psychology”, 140, 1–55.
Nabila,F., Hardianysah, Mase,L. Z. (2020). “Analisis Numeris Menggunakan Agent Based Modelling Untuk
Evakuasi Bencana Tsunami Gedung I Universitas Bengkulu, Indonesia.” Potensi Jurnal Sipil Politeknik, 22(1), 21-
32
Nur, A. M. (2010). “Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya.” Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan
dan Profesi Kegeografian, 7(1), 66-73
Saputra, R.N., Hardiansyah, Mase, L. Z. (2019). “Analisis Evakuasibencana Tsunami Dengan Metode Agent Based
Modeling Studi Kasus Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Bengkulu.” Inersia, Jurnal Teknik
Sipil, 11(2).41-51.
Sahroli, A., dan Hardiansyah, H. (2019). “Analisis Evakuasi Bencana Tsunami Di Gedung Kuliah Bersama V
Universitas BengkuluDengan Metode Agent Based Modelling.” Inersia, Jurnal Teknik Sipil, 11(2), 25-33.
Sunardi, B., Ngadmanto, D., Hardy, T., Susilanto, P., dan Nurdiyanto, B. (2012). “Kajian Kerawanan Gempa Bumi
Berbasis SIG dalam Upaya Mitigasi Bencana Studi Kasus Kabupaten dan Kota Sukabumi.” Conference:Seminar
Nasional PJ dan SIG 2012.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, CV. Alfabeta,
Bandung, Indonesia.
Slovin, D. G. (1960). “Menentukan Jumlah Sampel dengan Persamaan Slovin.” Vol. 182.
Wardani, E. M. (2016). “Perubahan Iklim dan Suku Bangsa Minoritas di Filipina: Pengalaman dan Pelajaran dari
Suku Bangsa Ifugao untuk Masyarakat Asia Pasifik.” Kajian Wilayah, 5(2), 111-132.
319
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Konsep Rehabilitasi dan Revitalisasi TPA Temesi di Kabupaten Gianyar
I. M. W. Widyarsana*, N. Fildzah
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
TPA Temesi merupakan TPA lokal yang melayani sampah yang dihasilkan di wilayah Kabupaten Gianyar. Saat ini, daya
tampung sampah di TPA Temesi sudah melebihi kapasitas sehingga perlu dilakukan penyusunan konsep rehabilitasi dan
revitalisasi TPA Temesi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah dari berbagai segi teknis dan lingkungan. Lingkup
periode perencanaan ini yaitu selama 25 tahun, dimulai dari tahun 2020 hingga tahun 2045. Konsep perencanaan terdiri dari dua
bagian, yaitu penutupan zona lahan uruk (landfill) lama di bagian timur dan pengembangan zona landfill baru di bagian barat
area TPA. Penutupan landfill dilakukan dengan menggunakan material penutup akhir pada timbunan sampah dan landscaping
dengan pohon dan rumput perindang. Pengembangan zona landfill baru melingkupi pengadaan fasilitas-fasilitas kelengkapan
TPA, di antaranya yaitu fasilitas utama, fasilitas perlindungan lingkungan, fasilitas penunjang, dan fasilitas operasional.
Perkiraan kebutuhan biaya investasi yaitu Rp. 104.871.929.412, sedangkan perkiraan kebutuhan biaya operasional dan
pemeliharaan yaitu Rp. 163.812 per ton sampah yang masuk.
Kata kunci: TPA Temesi, Rehabilitasi, Revitalisasi, Landfill, Biaya.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
TPA Temesi merupakan TPA lokal yang melayani sampah yang dihasilkan di wilayah Kabupaten Gianyar, yang
terletak di Banjar Temesi, Desa Temesi, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar. TPA Temesi didirikan tahun 1994
dengan luas area awal yaitu 1,8 ha, kemudian mengalami perluasan secara bertahap hingga luas tanah total TPA
hingga tahun 2016 yaitu 44.070 m2. TPA Temesi dikelola oleh Yayasan Pemilahan Sampah Temesi (YPST) dan
bekerja sama dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang dilaporkan DLH Kabupaten
Gianyar (2019). Saat ini, daya tampung sampah di TPA Temesi sudah melebihi kapasitas sehingga perlu dilakukan
penyusunan konsep rehabilitasi dan revitalisasi TPA Temesi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah dari
berbagai segi teknis dan lingkungan.
1.2 Metodologi
Dalam penyusunan konsep rehabilitasi dan revitalisasi TPA Temesi dibutuhkan tahapan pekerjaan dari awal hingga
selesai secara sistematis, untuk memperoleh hasil yang optimal. Adapun tahapan penyusunan konsep rehabilitasi dan
revitalisasi TPA Temesi meliputi:
1.2.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah tahap awal dalam pekerjaan ini, dengan terlebih dahulu dilakukan studi literatur mengenai
rehabilitasi dan revitalisasi TPA serta perencanaan TPA baru termasuk sarana kelengkapannya. Studi tersebut
kemudian menjadi dasar dalam pengambilan data dan perencanaan metodologi dari awal hingga akhir pekerjaan ini.
Disamping itu, dilakukan pula koordinasi kepada dinas-dinas terkait perihal proses administrasi dan perijinan untuk
melakukan pengambilan data.
1.2.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data
Tahap pengumpulan dan pengolahan data terdiri dari pengumpulan data primer, pengumpulan data sekunder, dan
pengolahan dan analisis data. Data primer diperoleh melalui pengambilan atau pengukuran secara langsung di
lapangan, yang diantaranya yaitu pengukuran topografi, pengumpulan informasi hidrogeologi dan geoteknik, data
karakteristik lindi, sumur pantau, sungai sekitar TPA Temesi, dan data timbulan dan karakteristik sampah. Data
sekunder diperoleh hasil kajian sebelumnya dan data-data yang dimiliki oleh TPA Temesi maupun institusi yang
320
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
terkait seperti laporan persampahan Kabupaten Gianyar. Kemudian dilakukan analisis terhadap data primer dan data
sekunder yang diperoleh tersebut.
1.2.3 Tahap Perencanaan
Hasil analisis terhadap data yang telah dilakukan kemudian dijadikan acuan dalam perencanaan konsep rehabilitasi
dan revitalisasi TPA Temesi yang terdiri dari perencanaan penutupan zona landfill lama (area landfill timur) TPA
Temesi dan perencanaan rehabilitasi dan pengembangan zona landfill baru (area landfill barat) TPA Temesi.
Kemudian konsep rencana tersebut dimodelkan dalam bentuk desain layout yang menggambarkan konsep rehabilitasi
dan revitalisasi TPA Temesi.
Tahapan penyusunan konsep rehabilitasi dan revitalisasi TPA Temesi dapat digambarkan dalam diagram alir seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Metodologi konsep rehabilitasi dan revitalisasi TPA Temesi
2 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1 Proyeksi Timbulan Sampah dan Kebutuhan Lahan
Sampah yang masuk ke TPA Temesi bersumber dari rumah tangga, restoran, dan hotel yang diangkut truk swadaya
masyarakat, juga bersumber dari sepanjang jalan protokol, kegiatan jual beli di pasar, kantor pemerintah, sekolah dan
tempat umum lainnya seperti tempat wisata yang diangkut truk DLH dengan lingkup pelayanan yaitu wilayah
Kabupaten Gianyar. Truk sampah yang masuk kemudian diukur berdasarkan perkiraan volumenya secara kasat mata,
dikarenakan di TPA Temesi belum tersedia jembatan timbang. Sampah yang masuk TPA Temesi kemudian diolah
sebagian di Fasilitas Pengelolaan Sampah Temesi (FPST).
Menurut PT. LAPI ITB (2019), rata-rata timbulan sampah di Kabupaten Gianyar pada Tahun 2019 yaitu 0,29
kg/orang hari dengan total sampah yang dihasilkan yaitu 197.207,25 kg/hari, dan reduksi sampah sebelum masuk
TPA Temesi yaitu 13,16% dari total sampah yang dihasilkan di sumber. Kemudian dilakukan proyeksi timbulan dan
kebutuhan lahan di TPA Temesi dengan periode perencanaan yaitu selama 25 tahun, dimulai dari tahun 2020 hingga
tahun 2045. Proyeksi penduduk menggunakan metode logaritmik dikarenakan metode tersebut memiliki nilai R2
mendekati 1 dan standar deviasi terkecil dibandingkan metode lainnya yaitu metode aritmatik, metode geometrik,
metode regresi linear, dan metode eksponensial, berdasarkan data jumlah penduduk selama tujuh tahun terakhir.
321
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Sampah domestik diasumsikan mengalami kenaikan timbulan/orang/hari sebanyak 1,15% pertahun berdasarkan rata-
rata persentase pertumbuhan penduduk di Kabupaten Gianyar dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Gianyar Tahun 2012-2032. Adapun hasil proyeksi timbulan sampah dan kebutuhan lahan landfill dan
TPA ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil proyeksi timbulan sampah dan kebutuhan lahan
Tahun Total Total Sampah Sampah Kebu- Total Akumulasi Kebu- Aku- Aku-
sampah 3R ditimbun ditimbun tuhan ditimbun penim- tuhan mulasi mulasi
2020 di (ton/ (ton/ setelah tanah di bunan landfill kebu- kebu-
2021 sumber hari) hari) kompaksi penutup landfill (m3/tahun) tahunan tuhan tuhan
2022 (ton/hari) (m3/hari) (m3/hari) (m3/hari) (ha) landfill TPA
2023 51,20 tahunan tahunan
2024 201,16 53,78 143,92 261,67 13,08 261,67 95511,08 0,51 (ha) (ha)
2025 205,14 104,44 147,26 267,75 13,39 281,14 102614,68 0,55 0,51 0,61
2026 209,19 107,20 102,66 186,65 9,33 195,98 71533,26 0,38 0,55 0,66
2027 213,31 110,05 103,97 189,04 9,45 198,49 72450,64 0,39 0,93 1,11
2028 217,49 113,00 105,26 191,39 9,57 200,96 73348,66 0,39 1,32 1,58
2029 221,74 116,04 108,74 197,71 9,89 207,59 75771,12 0,40 1,71 2,05
2030 226,05 119,19 110,01 200,02 10,00 210,02 76657,27 0,41 2,11 2,53
2031 230,44 122,43 111,25 202,27 10,11 212,39 77521,75 0,41 2,52 3,02
2032 234,89 125,79 112,46 204,47 10,22 214,69 78363,65 0,42 2,93 3,52
2033 239,42 129,24 113,63 206,61 10,33 216,94 79182,08 0,42 3,35 4,02
2034 244,02 132,81 114,77 208,68 10,43 219,11 79975,86 0,43 3,77 4,53
2035 248,69 136,49 115,88 210,68 10,53 221,22 80744,51 0,43 4,20 5,04
2036 253,44 140,29 116,94 212,62 10,63 223,25 81486,82 0,43 4,63 5,56
2037 258,26 144,20 117,97 214,49 10,72 225,21 82201,56 0,44 5,06 6,08
2038 263,16 148,24 118,95 216,28 10,81 227,09 82888,17 0,44 5,50 6,60
2039 268,13 152,39 119,90 217,99 10,90 228,89 83545,15 0,45 5,95 7,13
2040 273,19 156,67 120,79 219,63 10,98 230,61 84171,90 0,45 6,39 7,67
2041 278,32 161,08 121,65 221,18 11,06 232,24 84766,87 0,45 6,84 8,21
2042 283,53 165,62 122,46 222,65 11,13 233,78 85329,16 0,46 7,29 8,75
2043 288,83 170,29 123,21 224,03 11,20 235,23 85857,64 0,46 7,75 9,30
2044 294,21 175,10 123,92 225,31 11,27 236,58 86351,15 0,46 8,20 9,85
2045 299,68 180,05 124,58 226,51 11,33 237,83 86808,50 0,46 8,67 10,40
305,23 185,14 125,18 227,60 11,38 238,98 87228,47 0,47 9,13 10,95
310,87 190,38 125,73 228,60 11,43 240,03 87609,82 0,47 9,59 11,51
316,60 195,76 126,22 229,49 11,47 240,96 87951,28 0,47 10,06 12,07
322,41 126,65 230,27 11,51 241,79 88251,55 0,47 10,53 12,64
11,00 13,20
Tingkat pengelolaan sampah direncanakan sesuai dengan Jakstrada Kabupaten Gianyar yang tercantum dalam
PerBup No. 18 Tahun 2019, yaitu dengan target penanganan berupa pengelolaan sampah sebesar 70% dan
pengurangan sampah sebesar 30% pada tahun 2025 yang diupayakan tercapai melalui adanya pengolahan di FPST
sesuai kondisi eksisting dengan asumsi kapasitas pengolahan sama setiap tahunnya, adanya peningkatan 3R dari
kegiatan non-formal sebanyak 1% pertahun, dan adanya fasilitas PDU di TPA Temesi yang siap beroperasi pada
tahun 2022. Sedangkan dalam menghitung akumulasi kebutuhan luas lahan setiap tahunnya, asumsi ketinggian
timbunan yang dipakai yaitu 15 m, faktor koreksi terasering yaitu 0,8, dan kebutuhan lahan utilitas sebesar 20% dari
kebutuhan luas landfill. Luas area galian untuk perluasan yang dilakukan saat ini (Zona 4) yaitu 7.094,11 m2 yang
terletak di sebelah utara zona landfill baru dengan kapasitas daya tampung sebesar 106.412 m3. Sehingga landfill
perluasan tersebut dapat dipakai selama 1 tahun 21 hari. Dari data pada Tabel 1, Material Flow Analysis (MFA)
sampah dari sumber hingga ditimbun di TPA Temesi dengan contoh pada tahun 2045 dapat dilihat pada Gambar 2.
2.2 Konsep Penutupan Zona Landfill Lama
Zona landfill lama (area landfill Timur) sudah tidak digunakan lagi dikarenakan kapasitasnya yang sudah terpenuhi,
sehingga menurut Kementerian PU (2013), landfill tersebut harus segera ditutup. Penutupan landfill dilakukan
dengan menggunakan lapisan/tanah penutup akhir pada timbunan sampah dan landscaping dengan pohon dan rumput
perindang, jalan setapak, menara pandang, dan wind turbine. Kemudian perlu dilakukan pemasangan pipa penangkap
gas metan (methane capture) yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Selain itu, menurut PT. Arkonin
322
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Engineering Manggala Pratama (2019), perlu mempertimbangkan dilakukannya landfill mining di masa depan agar
lahannya dapat digunakan sebagai landfill kembali dan pemanfaatan material hasil penambangannya sebagai opsi
tanah penutup dan subtitusi sumber daya primer, juga reprofiling untuk penanganan stabilitas lereng.
Gambar 2. Material Flow Analysis (MFA) tahun 2045
2.3 Konsep Rehabilitasi dan Pengembangan Zona Landfill Baru (Zona 3 dan Zona 4)
Dikarenakan zona landfill lama (area landfill Timur) kapasitasnya sudah terpenuhi, sehingga diadakan perluasan
zona landfill baru (zona 3 dan zona 4) yang kini sudah terisi sampah. Namun perluasan landfill tersebut tidak
dibarengi dengan pengadaan fasilitas-fasilitas kelengkapan TPA terutama fasilitas perlindungan lingkungan seperti
lapisan/liner dasar untuk mencegah pencemaran lingkungan karena lindi. Sehingga rehabilitasi pada zona landfill
baru menjadi hal penting yang harus disegerakan. Adapun perencanaan konsep rehabilitasi zona landfill baru (zona
3 dan zona 4) melingkupi pengadaan fasilitas-fasilitas kelengkapan TPA menurut Kementerian PU (2013), di
antaranya pengadaan dan perbaikan fasilitas utama seperti renovasi kantor TPA dan area edukasi, dengan dilengkapi
ruang meeting dan kantin. Berdasarkan perencanaan pada zona landfill lama dan zona landfill baru tersebut, siteplan
rehabilitasi dan revitalisasi TPA Temesi ditunjukkan pada Gambar 3.
323