The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hiysma, 2021-03-01 05:24:10

Prosiding SNTI UGM Abad ke-21

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Kajian Eksperimental Aspal Buton Lawele Subtitusi Aspal Minyak Pertamina
Penetrasi 60/70 untuk Campuran AC-WC

F. Chairuddin, G. M. Pongmari*

Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Makassar, Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik campuran AC-WC dengan memanfaatkan asbuton sebagai bahan pengganti
sebagian dalam mengurangi pemakaian aspal minyak. Metode yang digunakan dalam kajian ini merujuk pada Spesifikasi Bina
Marga 2018 untuk campuran beraspal panas dengan asbuton dengan melakukan serangkaian pengujian karakteristik material
lalu merancang komposisi campuran dengan 5 variasi kadar aspal minyak untuk menentukan kadar aspal minyak optimum
melalui pengujian Marshall, serta mengetahui stabilitas Marshall sisa dari hasil pengujian Marshall Konvensional dan Marshall
Immertion. Dari hasil kajian yang telah dilakukan, komposisi campuran AC-WC Asbuton adalah batu pecah 1-2 cm yaitu 14%,
batu pecah 0,5-1 cm yaitu 28%, pasir yaitu 10%, abu batu yaitu 38%, dengan varisi kadar aspal minyak yaitu 3,0%, 3,5%, 4,0%,
4,5%, dan 5,0%. Nilai karakteristik Marshall yang diperoleh dari kadar aspal minyak optimum yaitu 4,2% diperoleh nilai VIM
4,78%, VMA 15,7%, VFB 69,5%, stabilitas 1501,6 kg, dan flow 3,15 mm dengan stabilitas Marshall Sisa sebesar 92%.

Kata kunci: Asbuton, Lawele, AC-WC, Marshall.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Jalan merupakan salah satu sarana transportasi darat yang sangat dibutuhkan untuk mendorong distribusi barang dan
mobilitas penduduk, maka dibutuhkan konstruksi jalan raya yang baik dan tahan lama, sehingga dapat memperlancar
kegiatan perekonomian. Campuran aspal dalam konstruksi jalan juga berbeda-beda sesuai dengan letak
penggunaannya, salah satunya adalah campuran Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC). Campuran AC-WC
adalah salah satu lapisan permukaan pada konstruksi perkerasan lentur jalan raya. Komposisinya terdiri dari aspal,
agregat kasar, pasir dan abu batu. Aspal adalah suatu bahan perekat berbentuk padat atau setengah padat berwarna
hitam sampai coklat gelap. Aspal berasal dari aspal alam atau aspal buatan. Proses terbentuknya asbuton berasal dari
minyak bumi yang terdorong muncul ke permukaan menyusup di antara batuan yang berpori. Saat ini juga berbagai
modifikasi campuran, antara lain dengan menambahkan asbuton sebagai bahan pengikat bersama aspal minyak,
untuk mengurangi pemakaian aspal minyak. Hal ini dikarenakan produksi aspal minyak yang dihasilkan dari dalam
negeri masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan, yaitu hanya sekitar 600.000 ton pertahunnya atau sekitar 50% dari
kebutuhan nasional sehingga Indonesia masih melakukan impor aspal minyak dalam jumlah yang cukup banyak dari
beberapa negara lain (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rancangan komposisi pada campuran AC-WC menggunakan
asbuton, mengetahui karakteristik Marshall pada campuran AC-WC asbuton dengan 5 variasi kadar aspal minyak,
dan mengetahui karakteristik Marshall pada campuran AC-WC asbuton dengan kadar aspal minyak optimum.

1.2 Landasan Teori

1.2.1 Konstruksi Perkerasan Lentur
Konstruksi perkerasan jalan adalah konstruksi yang terletak antara tanah dasar dan roda kendaraan yang berfungsi
untuk menggurangi tegangan pada tanah dasar (subgrade) sampai batas yang diijinkan. Salah satu konstruksi
perkerasan jalan adalah konstruksi perkerasan lentur yang merupakan campuran yang terdiri dari agregat (kasar dan
halus), material pengisi (filler), dan aspal yang kemudian dihamparkan, lalu dipadatkan (Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, 2005). Perkerasan lentur dirancang untuk melendut dan kembali lagi ke posisi semula
bersama-sama dengan tanah-dasar pada saat menerima beban (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, 2005b). Perancangan perkerasan lentur didasarkan pada teori elastis dan pegalaman lapangan. Teori elastis

423

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

pada perkerasan sendiri untuk menganalisis regangan dalam setiap lapisan agar defleksi permanen tidak terjadi.
Perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-
lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu-lintas (Sukirman, 2010).

1.3 Campuran Beraspal Panas dengan Asbuton
Campuran AC-WC Asbuton terdiri dari agregat kasar, agregat halus, bahan pengisi (filler), aspal minyak pen 60/70,
dan asbuton.

Gambar 1. Alur kajian

424

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2 HASIL KAJIAN
2.1 Hasil Rancangan Komposisi Campuran

Tabel 1. Hasil gradasi agregat gabungan

Nomor Gradasi Gabungan (%) Total Gradasi Spec. Gradasi
Saringan Agregat (%) Agregat (%)
3/4 1-2 cm 0,5-1 cm Pasir Abu Batu Asbuton 100,00 100,00
1/2 91,30 90 - 100
3/8 14,00 28,00 10,00 38,00 10,00 86,97 77 - 90
No. 4 5,30 28,00 10,00 38,00 10,00 65,30 53 - 69
No. 8 10,00 38,00 10,00 44,27 33 - 53
No. 16 1,21 27,76 10,00 36,22 10,00 31,88 21 - 40
No. 30 9,42 28,88 5,69 21,06 14 - 30
No. 50 0,00 9,07 8,44 20,53 2,78 14,60 9 - 22
No. 100 4,56 15,44 1,06 8,97 6 - 15
No. 200 0,00 0,29 3,06 10.99 0,55 4,03 4-9
Pan 1,63 7,14 0,20 0,00 0
0,00 0,12 0,49 3,47 0,07
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

0,00 0,00

0,00 0,00
0,00 0,00

0,00 0,00

Gambar 2. Grafik gradasi agregat gabungan

Dari hasil gradasi agregat gabungan dengan melihat batas-batas yang telah ditentukan oleh Bina Marga 2018 maka
diperoleh proporsi agregat yang akan digunakan yaitu batu pecah 1-2 cm 14%, batu pecah 0,5-1 cm 28%, pasir 10%,
abu batu 38%, dan asbuton 10%. Perkiraan kadar aspal minyak optimum yaitu 3,9% dan diambil pendekatan sebesar
0,5% dengan 3 kadar aspal ke atas dan 2 kadar aspal ke bawah untuk pembuatan 5 kadar aspal benda uji menjadi
3,0%, 3,5%, 4,0%, 4,5%, dan 5,5%.

425

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.2 Hasil AC-WC Asbuton dengan 5 Variasi Kadar Aspal Minyak

Gambar 2. Grafik hubungan kadar aspal minyak terhadap stabilitas

Hasil stabilitas campuran dengan perendaman 30 menit pada suhu 60°C dengan kadar aspal 3,0% mendapatkan nilai
stabilitas sebesar 1430,4 kg, pada kadar aspal minyak 3,5% mendapat nilai stabilitas 1704,4 kg, pada kadar aspal
minyak 4,0% mendapat nilai 1698,9 kg, pada kadar aspal 4,5% mendapat nilai 1583,8 kg, dan pada kadar aspal
minyak 5,0% mendapatkan nilai stabilitas sebesar 1403,0 kg. Hasil stabilitas ini menunjukkan bahwa beban yang
dapat diterima oleh perkerasan tersebut merupakan beban berat dengan kondisi lalulintas yang padat.

Gambar 3. Grafik hubungan kadar aspal minyak terhadap kelelehan

Berdasarkan pembacaan pada alat uji nilai kelelehan pada kadar aspal minyak 3,0% yaitu 2,38 mm, pada kadar aspal
3,5% nilai kelelehannya yaitu 2,78 mm, pada kadar aspal 4,0% nilai kelelehanya yaitu 3,24 mm, pada kadar aspal
4,5% nilai kelelehannya yaitu 3,74 mm, dan pada kadar aspal 5,0% mendapatkan nilai kelelehan yaitu 4,11 mm.
Seiring bertambahnya kadar aspal minyak dalam sebuah campuran maka nilai kelelehan semakin tinggi, hal ini terjadi
karena pengaruh sifat aspal minyak yang mudah leleh ketika dipanaskan dan diberikan beban.

Gambar 4. Grafik hubungan kadar aspal minyak terhadap VIM

426

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Hasil VIM yaitu rongga terhadap campuran pada kadar aspal 3,0% sebesar 6,71%, pada kadar aspal 3,5% mendapai
nilai VIM sebesar 5,83%, pada kadar aspal 4,0% yaitu 5,16%, pada kadar aspal 4,5% yaitu 4,39%, dan pada kadar
aspal 5,0% mendapat nilai VIM sebesar 3,70%. Nilai VIM yang semakin rendah disebabkan dengan bertambahnya
kadar aspal minyak maka aspal minyak akan mengisi rongga-rongga antar agregat dan pori-pori pada agregat.

Gambar 5. Grafik hubungan kadar aspal minyak terhadap VMA

Nilai VMA atau rongga terhadap agregat yang diperoleh dari kadar aspal minyak 3,0% yaitu 15,0%, pada kadar aspal
3,5% didapatkan nilai VMA sebesar 15,2%, pada kadar aspal 4,0% didapatkan 15,6%, pada kadar aspal 4,5%
didapatkan 15,9%, dan pada kadar aspal 5,0% diperoleh nilai VMA atau rongga terhadap agregat sebesar 16,2%.
Seiring bertambahnya kadar aspal minyak yang digunakan maka nilai VMA yang diperoleh akan semakin tinggi. Hal
ini dipengaruhi oleh kadar aspal minyak yang tinggi sehingga menghasilkan selimut aspal yang besar dan agregat
dalam campuran dapat terselimuti dengan efektif.

Gambar 6. Grafik hubungan kadar aspal minyak terhadap VFB

Nilai VFB atau rongga terisi aspal yang diperoleh dari kadar aspal minyak 3,0% yaitu 55,1%, pada kadar aspal 3,5%
diperoleh 61,6%, pada kadar aspal 4,0% diperoleh 67,0%, pada kadar aspal 4,5% diperoleh 72,5%, dan pada kadar
aspal 5,0% diperoleh nilai VFB atau rongga terisi aspal sebesar 77,4%.

2.3 Analisis Menentukan Kadar Aspal Minyak Optimum
Berdasarkan hasil uji Marshall dapat dilihat variasi kadar aspal minyak yang memenuhi spesifikasi untuk campuran
AC-WC asbuton adalah kadar aspal minyak 4,0%, 4,5, dan 5,0%.

Dari 3 kadar aspal minyak yang telah memenuhi spesifikasi, diambil 2 kadar aspal minyak terendah, yaitu kadar aspal
minyak 4,0% dan 4,5% untuk menjadi acuan dalam menentukan kadar aspal minyak optimum. Kemudian dari kedua
kadar aspal tersebut diambil nilai tengahnya yaitu 4,2%, setelah itu nilai yang didapatkan dijadikan sebagai kadar
aspal minyak optimum yang akan digunakan dalam campuran AC-WC Asbuton. Dari kadar aspal minyak optimum
yang telah ditetapkan maka akan dilakukan pengujian karakteristik Marshall untuk memastikan kadar aspal minyak
optimum dapat memenuhi spesifikasi.

427

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.4 Hasil AC-WC Asbuton pada Kadar Aspal Minyak Optimum

Tabel 2. Hasil karakteristik Marshall kadar aspal minyak optimum

Kadar Aspal Minyak Stabilitas Flow VIM VMA VFB
% kg mm % % %
4,2 1501,6 3,15 4,78 15,7 69,5
Spesifikasi Min. 800 2-4 3-5 Min. 14 Min. 65

Tabel 3. Nilai stabilitas Marshall sisa

Pengujian Marshall Stabilitas
Perendaman 30 menit pada suhu 60°C 1501,6kg
Perendaman 24 jam pada suhu 60°C 1381,0kg

Stabilitas Marshall Sisa 92%

Spesifikasi Min. 90%

3 KESIMPULAN

a) Komposisi campuran untuk AC-WC Asbuton yaitu batu pecah 1-2 cm 14%, batu pecah 0,5-1 cm 28%, pasir
10%, abu batu 38%, asbuton 10% untuk 5 variasi kadar aspal minyak yaitu 3,0%, 3,5%, 4,0%, 4.5%, dan 5,0%.

b) Nilai minimum Voids In Mineral Aggregate (VMA) diperoleh dari kadar aspal minyak 3,0% yaitu 15,0% dan
nilai maksimum VMA diperoleh kadar aspal minyak 5,0% yaitu 16,3%. Voids In Mix (VIM) minimum diperoleh
pada pada kadar aspal minyak 5,0% yaitu 3,70% dan maksimumnya pada kadar aspal minyak 3,0% yaitu 6,71%.
Voids Filled Bitument (VFB) minimum diperoleh dari kadar aspal minyak 3,0% yaitu 55,1% dan maksimumnya
dari kadar aspal minyak 5,0% yaitu 77,4%. Stabilitas minimum diperoleh dari kadar aspal minyak 5,0% yaitu
1403,0 kg dan stabilitas maksimum diperoleh pada kadar aspal minyak 3,5% yaitu 1704,4 kg. Sedangkan nilai
flow minimum diperoleh pada kadar aspal minyak 3,0% yaitu 2,38 mm dan flow maksimum diperoleh pada
kadar aspal minyak 5,0% yaitu 4,11 mm.

c) Karakteristik Marshall pada kadar aspal minyak optimum yaitu kadar aspal minyak 4,2% menghasilkan nilai
VMA 15,7%, VIM 4,78%, VFB 69,5%, stabilitas 1501,6 kg, dan flow 3,15 mm dengan stabilitas Marshall sisa
sebesar 92%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada reviewer yang telah meninjau hasil kajian ini, besar harapan kami
segala kritikan dan masukkan yang membangun dalam pengembangan penelitian ini. Semoga kita senantiasa
dilindungi dan diberkati. Amin.

REFERENSI
Direktorat Jenderal Bina Marga. (2018). Spesifikasi Umum 2018 Untuk Pekerjaan Kontruksi Jalan dan Jembatan,
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. (2005). Modul RDE – 12: Bahan Perkerasan Jalan, Badan
Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia, Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi, Jakarta,
Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. (2005). Modul RDE – 11: Perencanaan Perkerasan Jalan,
Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia, Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi,
Jakarta, Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. (2016). Modul 1:Bahan Campuran Asbuton, Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pusat Pendidikan dan Latihan Jalan, Perumahan, Permukiman, Dan
Pengembangan Infrastruktur Wilayah, Bandung, Indonesia.

Sukirman, S. (2010). Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur, Nova, Bandung, Indonesia.

428

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Analisis Model Hubungan Guna Lahan dan Transportasi
di Kota Samarinda

S. R. P. Gaby*, D. Ansusanto

*Program Studi Teknik Sipil, Magister Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 43 Yogyakarta
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Samarinda mempunyai total luas wilayah sebesar 718 km². Jumlah penduduk kota Samarinda berdasarkan Statistik Kota
Samarinda pada tahun 2018 sebanyak 828.303 jiwa. Prasarana transportasi di Kota Samarinda mayoritas berbasis jalan raya dan
sungai dengan kondisi jalan negara di Kota Samarinda berkondisi baik sepanjang 50,69 km, atau sudah sekitar 96,77 persen dari
total panjang jalan negara. Tata guna lahan di Kota Samarinda didominasi untuk permukiman dan belukar/kawasan lindung,
dengan persentase lebih dari 60% dan 17% dari total keseluruhan luasan Kota Samarinda. Pola pembangunan pada umumnya
lebih mengutamakan pembangunan pada pusat kota, dengan prasarana transportasi yang lebih baik dan juga pusat perbelanjaan
dan perdagangan yang cenderung mendekati pusat kota. Teori spasial konsep daya tarik lokasi menunjang harga tanah menjadi
lebih mahal, apabila daerah tersebut tidak memiliki daya tarik yang baik, maka tanah tersebut akan menjadi lebih mahal. Dari
hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa perencanaan pengembangan transportasi mempengaruhi harga lahan di suatu
wilayah. Semakin jauh dari pusat kota, maka harga tanah akan semakin turun dan demikian pula sebaliknya.

Kata kunci: Guna Lahan, Pusat, Geografis.

1 PENDAHULUAN
Pertumbuhan penduduk di Kota Samarinda semakin tahun semakin tinggi, selain dari itu tumbuhnya pusat kegiatan
wilayah dan pusat kegiatan nasional baru yang mengakibatkan kebutuhan akan kendaraan bermotor semakin tinggi.
Kurang masifnya fasilitas kendaraan umum di Kota Samarinda yang menjadi salah satu penyebabnya. Peran
transportasi dalam hal mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan akan tercermin dari
interaksi antara sistem pergerakan dan sistem jaringan dengan sistem kegiatan wilayah perkotaan Gesellschaft Fur.
(2002). Pembangunan infrastruktur pada bidang transportasi serta layanan transportasi tentu akan mengubah pola
aksesibilitas yang berujung mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi pada kalangan keluarga dan bisnis.
transportasi kecepatan tinggi. Pola hunian yang berkembang saat ini akan tergantung kepada layanan transportasi
yang tersedia serta jenis infrastruktur yang dibangun.

Tata guna lahan pada suatu kota pada hakikatnya sangat berhubungan erat dengan sistem pengerakan yang ada atau
lebih tepatnya pada transportasi (Aditianata, 2014). Perbaikan akses di bidang transportasi akan meningkatkan tarikan
kegiatan guna berkembangnya tata guna lahan kota (Silitonga et al., 2017). Tujuan dari dilakukannya penelitian ini
ialah untuk mengetahui seberapa jauh peran penggunaan lahan di Kota Samarinda terutama pada perumahan dan
transportasi. Beberapa faktor lain tentu ikut memberikan pengaruh seperti kebijakan pemerintah pusat, dan beberapa
pengembangan kawasan baru juga akan mempengaruhi pertumbuhan khususnya di pusat Kota Samarinda.

2 METODE PENELITIAN

2.1 Daerah Studi
Kota Samarinda yang secara geografis berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah utara, timur,
selatan dan barat. Kota Samarinda dibagi menjadi 10 kecamatan yaitu Kecamatan Palaran, Samarinda Ilir, Samarinda
Kota, Sambutan, Samarinda Seberang, Loa Janan Ilir, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Samarinda Utara, dan Sungai
Pinang. Kota Samarinda mempunyai total luas wilayah sebesar 718 km² yang terdiri dalam Kecamatan Palaran
221,29 km2, Kecamatan Samarinda Ilir 17,18 km2, Kecamatan Samarinda Kota 11,12 km2, Kecamatan Sambutan
100,95 km2, Kecamatan Samarinda Seberang 12,49 km2, Kecamatan Loa Janan Ilir 26,13 km2, Kecamatan Sungai
Kunjang 43,04 km2, Kecamatan Samarinda Ulu 22,12 km2, Kecamatan Samarinda Utara 229,52 km2, dan Kecamatan
Sugai Pinang 34,16 km2.

429

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 1. Peta Administrrasi Kota Samarinda
Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2018

2.2 Kependudukan
Penduduk Kota Samarinda berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 843.333 jiwa yang terdiri atas
435.947 jiwa penduduk laki-laki dan 407.497 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah
penduduk tahun 2016, penduduk Kota Samarinda mengalami pertumbuhan sebesar 0,018 persen. Sementara itu
besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2017 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 106,98.
Kepadatan penduduk di Kota Samarinda tahun 2017 mencapai 1.174,716 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di 10
kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kota Samarinda dengan kepadatan
sebesar 6.302,158 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Palaran sebesar 274,305 jiwa/km2. Sementara itu jumlah
rumah tangga mengalami pertumbuhan sebesar 2,13 persen dari tahun 2013 (Badan Pusat Statistik, 2016).

Gambar 2. Piramida Penduduk Kota Samarinda
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Samarinda Tahun 2017

2.3 Transportasi
Prasarana transportasi di Kota Samarinda mayoritas berbasis jalan raya dan sungai dengan kondisi jalan negara di
Kota Samarinda berkondisi baik sepanjang 50,69 km, atau sudah sekitar 96,77 persen dari total panjang jalan negara.
Sepanjang 75,70 km jalan provinsi dan 663,97 km jalan kota di Samarinda berkondisi baik. Jaringan transportasi
sungai di Kota Samarinda mencakup pelabuhan dan alur pelayaran angkutan sungai serta pelabuhan alur pelayaran
lintas penyeberangan.

430

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.4 Hubungan Jarak dan Guna Lahan di Kota Samarinda

Tata guna lahan di Kota Samarinda didominasi untuk permukiman dan belukar/kawasan lindung, dengan persentase
lebih dari 60% dan 17% dari keseluruhan luasan Kota Samarinda (Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda
2014-2034).

Gambar 3. Peta Guna Lahan di Kota Samarinda

Gambar 4. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke Gambar 5. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke
Kecamatan Samarinda Ilir Kecamatan Sungai Kunjang

Sumber: Google Maps (diakses 2020) Sumber: Google Maps (diakses 2020)

Gambar 6. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke Gambar 7. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke
Kecamatan Loa Janan Ilir Kecamatan Sambutan

Sumber: Google Maps (diakses 2020) Sumber: Google Maps (diakses 2020)

431

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Gambar 8. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke Gambar 9. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke
Kecamatan Samarinda Ulu Kecamatan Samarinda Ilir

Sumber: Google Maps (diakses 2020) Sumber: Google Maps (diakses 2020)

Gambar 10. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke Gambar 11. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke
Kecamatan Sungai Pinang Kecamatan Samarinda Kota

Sumber: Google Maps (diakses 2020) Sumber: Google Maps (diakses 2020)

Gambar 12. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke Gambar 13. Jarak dari Pusat Kota Samarinda ke

Kecamatan Palaran Kecamatan Samarinda Seberang

Sumber: Google Maps (diakses 2020) Sumber: Google Maps (diakses 2020)

2.5 Jumlah Kendaraan di Kota Samarinda
Jumlah kendaraan di Kota Samarinda tidak berimbang dibandingkan pertumbuhan penduduknya. Sebagai contoh
pada kecamatan Palaran yang memiliki jumlah rumah sebanayak 11.491 dengan kepemilikan kendaraan sebesar
12.811 yang berarti masing-masing rumah memiliki minimal 1 kendaraan bermotor. Maka dapat diasumsikan
semakin banyak atau padatnya permukiman maka jumlah kepemilikan kendaraan pada suatu kawasan akan semakin
tinggi (Silitonga et al., 2017).

2.6 Pengeluaran Per Bulan Berdasarkan Kategori Lahan
Kota Samarinda mempunyai data pengeluaran per kapita per bulan yang terbagi menjadi 5 (kuintil). Pembagian
kategori berdasarkan dari pengeluran per bulan, dimulai dari kelompok kuintil 1 dengan penduduk dengan

432

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

pengeluaran terendah hingga kelompok kuintil 5 sebagai kelompok penduduk dengan pengeluaran tertinggi (Badan
Pusat Statistik, 2017).

Tabel 1. Rerata Pengeluaran Per-Kapita dalam sebulan di Kota Samarinda

Kuintil Pengeluaran Rata-rata Pengeluaran Perkapita
Sebulan

Kuintil 1/ Quintil 1 565 090

Kuintil 2/ Quintil 2 843 400

Kuintil 3/ Quintil 3 1 576 020

Kuintil 4/ Quintil 4 2 154 001

Kuintil 5/ Quintil 5 3 546 005

Rerata 1 736 903.2

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Model interaksi guna lahan dan transportasi yang ada saat ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu
model transportasi dan model guna lahan. Menurut Chang dan Mackett (2005) dalam mengidentifikasi terdapat 4
model utama tentang interaksi transportasi dan lokasi perkotaan sebagai berikut:
a) Spatial Interaction Models.
b) Mathematical Programming Models.
c) Random Utility Models.
d) Bid-Rent Models.
Pola pembangunan pada umumnya lebih mengutamakan pembangunan pada pusat kota, dengan prasarana yang lebih
baik dan juga pusat perbelanjaan dan perdagangan yang cenderung mendekati pusat kota. Sementera, jika guna lahan
dipisah lagi berdasarkan tingkat pendapatan pemiliknya, maka akan ditemukan kecenderungan bahwa dengan jarak
yang sama, nilai lahan pada High Income Housing akan bernilai lebih besar daripada Middle Income Housing &
Low Income Housing, industri,dsb.

Tabel 2. Rerata Pengeluaran Per-Kapita dalam sebulan di Kota Samarinda

Kecamatan Harga lahan/m² Jarak dari Pusat Kota

Samarinda Kota Rp16.500.000,00 3

Samarinda Ilir Rp15.000.000,00 4

Samarinda Ulu Rp12.000.000,00 7

Sungai Pinang Rp9.000.000,00 9

Sambutan Rp8.500.000,00 9.5

Samarinda Seberang Rp7.000.000,00 10

Sungai Kunjang Rp5.000.000,00 11

Loa Janan Ilir Rp2.000.000,00 14

Samarinda Utara Rp1.500.000,00 16

Palaran Rp500.000,00 23

Grafik Nilai Lahan berdasarkan jarak dari Pusat Kota

Rp20,000,000 Harga lahan/m² Jarak dari Pusat Kota

Harga Lahan/m2 Rp15,000,000

Rp12,000,000

Rp10,000,000 Rp9,00R0p,080,500R0,p070,0000,000 y = 1.8515x + 0.4667

Rp5,000,000 R² = 0.9035

4 7 9 9.5 10 11Rp2,01040R,p010,051060,00023Rp500,000
Rp-

Jarak (km)

Gambar 14. Grafik Nilai Lahan Berdasarkan Jarak dari Pusat Kota Samarinda

Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa semakin jauh dari pusat kota maka harga tanah hunian cenderung semakin
kecil. Selain itu, lokasi tanah dengan pemilik yang termasuk dalam kelas High Income Housing berada lebih dekat

433

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

dengan pusat kota dibanding dengan dua kelas yang lain. Hunian bagi penduduk dengan pendapatan yang rendah
cenderung menjauhi pusat kota. Harga-harga tanah diatas sudah menjelaskan bahwa menurut teori spasial analisis
terhadap fenomena pemilihan lokasi aktifitas karena adanya asumsi-asumsi yang sulit untuk diterima berkaitan
dengan harga yang mahal dan harga yang murah. Transportasi serta penggunaan lahan menjadi satu bagian yang
tidak terpisahkan. Dalam hal perencanaan transportasi serta penggunaan lahan memiliki tujuan yang spesifik dan
terarah. Kedua hal tersebut juga ikut berperan dalam menentukan harga lahan di Kota Samarinda. Analisis dari studi
ini menyimpulkan model perencanaan transportasi berkaitan dengan perkembangan geografis transportasi karena
dengan mengetahui bangkitan tarikan pergerakannya, model distribusi, pemilihan moda, dan pemilihan rute
pengembangan transportasi akan mempengaruhi harga lahan diwilayah tersebut.

4 KESIMPULAN

Tata guna lahan pada suatu kota pada hakikatnya sangat berhubungan erat dengan sistem pengerakan yang ada atau
lebih tepatnya pada transportasi. Maka dari itu penting untuk mengetahui seberapa jauh peran penggunaan lahan di
Kota Samarinda terutama pada perumahan dan transportasi. Kota Samarinda memiliki laju pertumbuhan rumah
tangga sebesar 2,13 persen dari tahun 2013. Rasio kepemilikan kendaraan adalah 1: 1 dimana 1 rumah memiliki
minimal 1 kendaraan bermotor. Melihat dari data-data diatas, maka sarana transportasi jalan merupakan faktor yang
penting dalam menentukan posisi rumah bagi masyarakat Kota Samarinda. Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil
bahwa perencanaan pengembangan transportasi mempengaruhi harga lahan di suatu wilayah. Di Kota Samarinda
telah terbukti bahwa jarak dari pusat kota merupakan faktor penentu harga tanah. Semakin jauh dari pusat kota, maka
harga tanah akan semakin turun dan demikian pula sebaliknya.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada para dosen yang telah membimbing sehingga jurnal ini dapat terselesaikan dengan
baik. Penulis juga berterima kasih kepada orangtua dan rekan-rekan yang selalu memberi dukungan, semangat serta
doa. Penulis juga sangat berterima kasih jika ada kritik, saran dan tambahan dari pembaca agar jurnal menjadi
semakin sempurna dan berguna bagi setiap pembaca.

REFERENSI
Aditianata. (2014). “Fenomena Tata Guna Lahan, Perumahan dan Transportasi dalam Perkembangan Kota-Kota
Besar (Kasus : Kota Surabaya dan Metropolitan Gks Plus).” Jurnal Planesa, 5(1), 36-44.

BPS. (2016). Kecamatan Samarinda Kota dalam Angka 2016, Badan Pusat Statistik, Samarinda, Indonesia.

BPS. (2017). Statistik Kesejateraan Kota Samarinda 2017, Badan Pusat Statistik, Samarinda, Indonesia.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. (2019). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda 2014-2034,
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Samarinda, Indonesia.

Silitonga, S. P., Murniati, and Darlin, D. R. (2017). “Analisis Interaksi Tata Guna Lahan terhadap Ketersediaan Parkir
dan Skenario Pengoperasian Bus Rapid Transit (Brt)(Studi Kasus Pasar Besar Kota Palangka Raya).” Jurnal Teknika,
1(1), 33-40.

Gesellschaft Fur. (2002). Perencanaan Guna Lahan dan Transportasi Perkotaan, Federal Ministry for Economic
Cooperatrion, and Development, Germany.

434

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Analisis Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jetis, Yogyakarta

S. D. T. Manja*

Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Daerah Isimewa Yogyakara (DIY) tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, sementara
penambahan sarana jalan raya di DIY khusunya di kawasan Jalan Jenderal Sudirman belum memadai sehingga sering
menyebabkan terjadinya permasalahan lalu lintas seperti kemacetan dan kecelakaan di kawasan tersebut. Berdasarkan data
Polresta Yogyakarta di jalan Jenderal Sudirman dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2017, terdapat 6 orang yang meninggal
dunia karena kecelakaan lalu lintas, dan 93 orang yang mengalami luka ringan serta 76 kali kejadian kecelakaan. Dengan kondisi
tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi daerah rawan kecelakaan sebagai langkah awal dalam menentukan penanganan
daerah rawan kecelakaan. Dari hasil penelitian yang telah di lakukan oleh penulis pada tahun 2019 diperoleh daerah rawan
kecelakaan atau black spot sesuai nilai tingkat kecelakaan terjadi pada km 0,8-1,3 sebesar 17 kasus, sehingga pada jalan tersebut
sudah masuk dalam kategori black spot. Upaya menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas di area black spot pada Jalan Jenderal
Sudirman dapat dilakukan dengan memberikan rambu-rambu peringatan rawan kecelakaan 50 m atau 100 m sebelum memasuki
area black spot, juga mengurus dan merapikan pohon-pohon yang menghalangi rambu-rambu lalu lintas serta merawat kembali
marka jalan yang agak pudar dengan mengecat ulang marka jalan tersebut.

Kata kunci: Kecelakaan, Black Spot, Sarana.

1 PENDAHULUAN

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di provinsi DIY tiap tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data
Polresta Yogyakarta pertumbuhan kendaraan bermotor di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan
kendaraan pada 3 tahun, seperti sepeda motor mengalami peningkatan sebesar 3,18%, mobil penumpang mengalami
peningkatan sebesar 18,80%, mobil beban mengalami peningkatan sebesar 5,88%, bus mengalami peningkatan
sebesar 7,96% dan kendaraan khusus mengalami peningkatan sebesar 7,61%. Tingginya pertumbuhan kendaraan
bermotor namun tidak ditunjang oleh fasilitas jalan raya demi kelancaran arus lalu lintas. Kepadatan kendaraan
bermotor yang melalui jalan raya setiap hari mengalami peningkatan setiap tahun menyebabkan munculnya
permasalahan baru di sektor transportasi, di antaranya sering terjadi kecelakaan di jalan raya. Faktor yang dapat
mempengaruhi tingginya angka kecelakaan lalu lintas antara lain : kondisi lalu lintas, fasilitas rambu jalan, kondisi
jalan, yang merupakan akumulasi dari berbagai interaksi sosial dan berbagai karakter pengemudi kendaraan,
prasarana jalan maupun karateristik lingkungan. Menurut data kepolisisan Kota Yogyakarta (2019) di ruas Jalan
Jenderal Sudirman dalam kurun waktu 2014 s/d 2017 terdapat sekitar 76 kasus kecelakaan dengan korban meninggal
dunia sebanyak 6 orang dan 93 orang mengalami luka ringan. Mengingat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas tersebut. Untuk itu penulis melakukan kajian tentang studi kasus analisis kecelakaan lalu lintas
di jalan jendral Sudirman. Capaian tersebut diharapkan dapat dikembangkan dan dapat diaplikasikan pada jalan lain.
Menurut penulis bahwa ruas jalan tersebut merupakan jalan arteri yang dimana kawasan tersebut sangat padat lalu
lintas dan penduduk karena jalan tersebut terdapat perkantoran, tugu jogja, hotel-hotel, sekolah, kampus rumah sakit
pasar dan sebagainya. Dengan demikian terjadilah peningkatan volume kendaraan bermotor pada jam-jam sibuk
terutama pada pagi hari dan sore hari.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jalan

Defenisi jalan menurut UU nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, yaitu prasarana transportasi darat yang meliputi
segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

435

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.2 Kelas Jalan

Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi, intensitas lalu lintas dan daya dukung untuk menerima muatan sumbu
terberat seperti yang dimuat dalam UU 22 tahun 2009 tentang LLAJ tentang kelas jalan, termuat seperti dalam tabel
berikut :

Tabel 1. Kelas jalan menurut fungsi, intensitas dan muatan sumbu terberat

Kelas Jalan Fungsi Jalan Ukuran Kendaraan Muatan Sumbu
Bermotor Terberat
10 ton
Kelas I Jalan Arteri Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Kolektor Panjang ≤ 18.000 mm 8 ton
Tinggi ≤ 4.200 mm
8 ton
Kelas II Jalan Arteri Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Kolektor Panjang ≤ 12.000 mm >10 Ton
Jalan Lokal Tinggi ≤ 4.200 mm
Jalan Lingkungan

Kelas III Jalan Arteri Lebar ≤ 2.100 mm
Kelas Khusus Jalan Kolektor Panjang ≤ 9.000 mm
Jalan Lokal Tinggi ≤ 3.500 mm
Jalan Lingkungan
Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Arteri Panjang ≤ 18.000 mm
Tinggi ≤ 4.200 mm

*UU-22/2009 LLAJ (Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)

2.3 Defenisi Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut PP No. 43 Tahun 1993, Kecelakaan lalu lintas dapat diartikan sebagai suatu peristiwa di jalan raya yang
tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya,
mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa korban mati,
luka berat, luka ringan dan diperhitungkan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan terjadi.

2.4 Daerah Rawan Kecelakaan (Black Spot)

Dalam penanggulangan kecelakaan lalu lintas terdapat hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu mengidentifikasi
lokasi yang menjadi daerah rawan kecelakaan. Daerah rawan kecelakaan adalah daerah yang mempunyai angka
kecelakaan tertinggi, resiko kecelakaan tertinggi, dan potensi kecelakaan tinggi pada suatu ruas jalan. Adapun kriteria
umum yang dapat digunakan untuk menentukan titik black spot, antara lain:

a) Jumlah kecelakaan selama periode tertentu melebihi suatu nilai tingkat kecelakaan rata-rata,
b) Tingkat kecelakaan atau accident rate (per kendaraan) untuk satu periode,
c) Jumlah kecelakaan dan tingkat kecelakaan, keduanya melebihi nilai tingkat kecelakaan rata-rata,
d) Tingkat kecelakaan melebihi nilai kritis yang diturunkan dari analisis statistik tersedia.

Dalam penentuan lokasi black spot dapat dilakukan dengan pertimbangan tingkat kecelakaan yang
mempertimbangkan panjang ruas jalan yang ditinjau.

2.5 Angka Kecelakaan Lalu Lintas

Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untung menghitung angka kecelakaan lalu lintas. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu mengacu pada metode Pignataro (1973), memberikan persamaan sistematis
sebagai berikut :

2.5.1 Angka kecelakaan lalu lintas per kilometer (1)


=

dimana R adalah tingkat kecelakaan (kecelakaan per km panjang jalan), A adalah jumlah kecelakaan selama T tahun,
dan L adalah rentang waktu pengamatan (tahun)

436

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

2.5.2 Angka kematian yang menggambarkan kecelakaan pada tingkat yang parah (2)
100000

=

dimana R adalah jumlah kecelakaan total per 100000 penduduk , B adalah jumlah total kecelakaan dalam satu
tahun, dan P adalah jumlah penduduk

3 METODE PENELITIAN
Berikut Bagan alir penelitian ini :

Mulai

Identifikasi masalah
Tinjauan pustaka

Teknik pengumpulan data

Data primer Data sekunder

✓ Kondisi fisik dan topografi jalan ✓ Data Kecelakaan lalu lintas
jendral sudriman ✓ Data pertumbuhan kendaraan

✓ Kegiatan disekitar ruas jalan jenderal
sudirman

Melakukan analisis dan Pembahasan
Kesimpulan dan saran
Selesai

Gambar 1. Bagan alir penelitian

437

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Daerah Rawan Kecelakaan
Kejadian kecelakaan yang terjadi di Jalan Jendral Sudirman selama empat tahun dikelompokkan menurut lokasi
terjadinya kecelakaan berdasarkan per km dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2. Data tempat kejadian kecelakaan

Lokasi (km) Tahun 2015** 2016*** 2017**** Jumlah
2014* 10 2
8 3 25
0 – 0,4 7 6 11 4 17
0,4 – 0,8 5 1 34
0,8 – 1,3 5 14

* (Satlantas Yogyakarta, 2014)

** (Satlantas Yogyakarta, 2015)

*** (Satlantas Yogyakarta, 2016)

****(Satlantas Yogyakarta, 2017)

Dari Tabel 2 di atas, peringkat daerah rawan kecelakaan jika diurutkan dari yang tertinggi adalah km 0,8-1,3 dengan
jumlah kecelakaan sebanyak 34 kasus. Kemudian pada Km 0-0,4 dengan jumlah kecelakaan sebesar 25 kasus dan
lokasi dengan tingkat kecelakaan terendah terjadi pada Km 0,4-08 dengan hanya berjumlah 17 kasus kecelakaan.
Untuk mementukan lokasi black spot, dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kecelakaan yang
memperhitungkan ruas jalan yang ditinjau.

Dalam pententuan lokasi black spot dapat dilakukan dengan pertimbangan tingkat kecelakaan yang
mempertimbangkan Panjang ruas jalan yang ditinjau, perhitungan yang dapat di gunakan untuk menentukan lokasi
black spot (Dewanti, 1996) sebagai berikut :

(3)
=

dimana TK adalah tingkat kecelakaan ( kecelakaan per km panjang jalan ), JK adalah jumlah kecelakaan selama T
tahun, T adalah rentang waktu pengamatan ( tahun ), dan L adalah panjang ruas jalan yang ditinjau (km).
Lebih lengkapnya hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Kecelakaan Per Km

Lokasi JK T L (km) TK
25 4 0,4 15,6
0 – 0,4 17 4 0,4 10,6
0,4 – 0,8 34 4 0,5 17
0,8 – 1,3

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa lokasi terjadinya kecelakaan lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman dari
tahun 2014, sampai dengan 2017 terbanyak terjadi pada km 0,8-1,3 dengan tingkat kecelakaan sebanyak 17 kasus.
Dari data diatas disimpulkan bahwa pada km 0,8-1,3 merupakan lokasi paling rawan terjadinya kecelakaan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan fasilitas pendukung yang terdapat pada jalan tersebut seperti rambu
dan marka jalan sudah baik, akan tetapi dengan banyaknya dan padatnya kegiatan serta ramainya kawasan tersebut
karena terdapat sekolah, rumah sakit, hotel, warung makan, kantor dan sebagainya maka hal tersebut yang
mengakibatkan volume arus kendaraan di kawasan tersebut meningkat, serta faktor jalan yang dominan lurus
terkadang memicu pengendara kendaraan bermotor memacu laju kendaraannya lebih cepat dan sikap kurang hati-
hati pengendara atau kurangnya kewaspadaan baik dari pengguna jalan maupun pengendara kendaraan bermotor
menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

438

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 4. Angka Kecelakaan Per Km

Tahun Ac L (km) RL
1,3 13,1
2014* 17 1,3 16,2
1,3 22,3
2015** 21 1,3 6,9

2016*** 29

2017**** 9

* (Satlantas Yogyakarta, 2014)

** (Satlantas Yogyakarta, 2015)

*** (Satlantas Yogyakarta, 2016)

****(Satlantas Yogyakarta, 2017)

Seperti pada Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa nilai angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2016 yaitu sebesar
22,3, artinya dalam kurun waktu 1 tahun telah terjadi 22,3 kasus kecelakaan lalu lintas per kilometer, sedangkan pada
tahun 2014, 2015 dan 2017 angka kecelakaan lalu lintas dalam kurun waktu 1 tahun sebanyak 13.1, 16,2 dan 6,9
kasus per kilometer.

Berdasarkan pada sub bab 2.4 pada poin pertama, kriteria umum yang dilakukan untuk menentukan daerah rawan
kecelakaan (black spot) yaitu jumlah kecelakaan melebihi tingkat kecelakaan. Karena dalam penelitian yang telah
dilakukan menggunakan perhitungan berdasarkan jarak tempuh/perjalanan, maka jumlah kecelakaan yang di maksud
adalah jumlah kecelakaan rerata per km dalam satu tahun (RL), sedangkan tingkat kecelakaan yang dimaksud adalah
tingkat kecelakaan per km panjang jalan (TK).

Jika dilihat dari Tabel 3 dan Tabel 4 di atas menunjukan bahwa nilai tingkat kecelakaan tertinggi terjadi pada tahun
2016 sebanyak 22,3 kasus. Nilai tingkat kecelakaan pada km 0,8-1,3 sebesar 17 kasus sehingga pada jalan tersebut
sudah masuk dalam kategori black spot. Pada tabel 3 menunjukan km 0,8-1,3 terdapat jumlah kecelakaan lalu lintas
yang cukup tinggi yaitu sebesar 34 kasus, maka perlu untuk dilakukan analisis penyebab terjadinya kecelakaan
tersebut.

4.2 Waktu Kejadian Kecelakaan

Kecelakaan lalu lintas bisa saja terjadi pada waktu pagi, siang, sore maupun malam hari. Kasus kecelakaan lalu lintas
di sepanjang jalan Jenderal Sudirman tidak hanya terjadi pada waktu tertentu maupun pun pada satu lokasi tertentu
saja, akan tetapi berdasarkan data dari Polresta Yogyakarta diketahui bahwa waktu dan lokasi terjadinya kecelakaan
lalu lintas bersifat menyebar. Jumlah kecelakaan yang terjadi berdasarkan waktu kejadian di jalan Jendral Sudirman
dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Data waktu kejadian kecelakaan lalu lintas

Jam 2014* Tahun 2017**** Jumlah Kecelakaan
5 2015** 2016*** 0
00.00 – 06.00 2 0 10 3 13
06.00 – 08.00 1 92 1 15
08.00 – 10.00 1 42 1 6
10.00 – 12.00 0 02 0 4
12.00 – 14.00 1 45 5 7
14.00 – 16.00 3 13 1 8
16.00 – 18.00 4 10 0 5
18.00 – 20.00 7 23 0 7
20.00 – 22.00 1 42 1 7
22.00 – 00.00 02 4

* (Satlantas Yogyakarta, 2014)

** (Satlantas Yogyakarta, 2015)

*** (Satlantas Yogyakarta, 2016)

****(Satlantas Yogyakarta, 2017)

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa waktu kejadian kecelakaan lalu lintas yang terbesar di Jalan Jenderal Sudirman dari
tahun 2014 sampai dengan 2017 adalah pukul 06.00-08.00 WIB, jumlah kecelakaan mencapai 15 kasus. Dapat
dianalisis bahwa waktu kecelakaan yang terjadi merupakan waktu-waktu sibuk, dimana pada pagi hari antara pukul
06.00-08.00 WIB adalah waktu di mana para pelajar maupun pegawai memulai aktivitas mereka menuju sekolah

439

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

maupun tempat kerja. Pada siang hari antara pukul 15.00-16.00 WIB terdapat 8 kasus kecelakaan lalu lintas, ini
merupakan waktu di mana kegiatan para pelajar maupun pegawai berakhir yang juga menjadi salah satu peluang
terjadinya kecelakaan. Terdapat 7 kasus kecelakaan lalu lintas antara pukul 12.00-14.00 WIB, 7 kasus kecelakaan
lalu lintas pada pukul 18.00-20.00 WIB dan 7 kasus kecelakaan lalu lintas pada pukul 20.00-22.00 WIB yang waktu
kejadiannya adalah pada malam hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecelakaan lalu lintas tidak hanya dapat terjadi
pada jam sibuk baik pagi maupun siang hari tapi juga dapat terjadi di malam hari, beberapa faktor yang mungkin saja
dapat memicu terjadinya kecelakaan di malam hari adalah kelelahan, kondisi kendaraan yang tidak prima dan
mengantuk setelah seharian beraktifitas.

5 KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan data dan analisis kecelakaan lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman,Yogyakarta dapat
disimpulkan sebagai berikut :

a) Lokasi kejadian kecelakaan lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman dari tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017
terbanyak terdapat pada km 0,8-1,3 dengan jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 34 kasus. Data tabel 3 dan 4
menujukan bahwa nilai angka kecelakaan dari tahun 2014 sampai 2017 yaitu sebanyak 13,1, 16,2, 22,3, 6,9 kasus
beberapa melebihi dari nilai tingkat kecelakaan (tahun 2016 sebanyak 22,3 kasus) pada km 0,8-1,3 terjadi
sebanyak 17 kasus maka pada jalan yang telah disurvei sudah masuk dalam kategori daerah rawan kecelakaan
(black spot).

b) Fasilitas pelengkap seperti rambu-rambu lalu lintas di daerah black spot sudah cukup baik namun masih ada
beberapa rambu yang tidak kelihatan karena terhalang pohon, penggunaan trotoar yang tidak semestinya.

c) Waktu kejadian kecelakaan lalu lintas di jalan Jenderal Sudirman tertinggi terjadi pada jam 06.00-08.00 WIB
dengan jumlah kecelakaan sebanyak 15 kasus kecelakaan. Dapat dianalisis bahwa waktu kecelakaan yang terjadi
merupakan waktu-waktu sibuk, dimana pada pagi hari antara pukul 06.00-08.00 WIB adalah waktu di mana para
pelajar maupun pegawai memulai aktivitas mereka menuju sekolah maupun tempat kerja.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Y. Hendra Suryadharma, M.T. selaku dosen pembimbing, Polresta
Yogyakarta selaku pemberi data dan rekan-rekan mahasiswa Teknik Sipil Jurusan Transportasi selaku pihak yang
turut membantu dalam penelitian ini.

REFERENSI
Pignataro, L.J. (1973). Traffic Engineering: Theory and Practice, Prantice Hall Int., Englewood Cliffs, N.J.

Dewanti, M.S. (1996). “Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas di Yogyakarta”. Media Teknik, 18(3), 33-37

Satlantas Polresta Yogyakarta. (2014). Laporan Tahunan Satlantas Tahun 2014. Tidak Dipublikasikan. Satlantas
Polresta Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Satlantas Polresta Yogyakarta. (2015). Laporan Tahunan Satlantas Tahun 2015. Tidak Dipublikasikan. Satlantas
Polresta Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Satlantas Polresta Yogyakarta. (2016). Laporan Tahunan Satlantas Tahun 2016. Tidak Dipublikasikan. Satlantas
Polresta Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Satlantas Polresta Yogyakarta. (2017). Laporan Tahunan Satlantas Tahun 2017. Tidak Dipublikasikan. Satlantas
Polresta Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Satlantas Polresta Yogyakarta. (2018). Laporan Tahunan Satlantas Tahun 2018. Tidak Dipublikasikan. Satlantas
Polresta Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Republik Indonesia. (2004). Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

440

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Kajian Pemahaman Masyarakat terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

A. Kusumawati, K. N. S Ayuningtyas*, A. N. Zahiyah

Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pemahaman terhadap peraturan lalu lintas termasuk Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (LLAJ) diprediksi akan berpengaruh terhadap perilaku berlalu lintas pada jalan raya. Penelitian ini bertujuan untuk mencari
hubungan latar belakang masyarakat termasuk pengalaman mengemudi, pendidikan, usia, kepemilikan SIM terhadap
pemahaman mengenai UU LLAJ. Selain itu, penelitian ini juga akan mengevaluasi pengetahuan masyarakat terkait dengan aspek
peraturan lalu lintas serta membandingkan dengan kondisi yang terjadi di lapangan terutama untuk perilaku belok kiri langsung.
Data dikumpulkan secara primer menggunakan kuesioner online untuk mengukur pemahaman masyarakat mengenai peraturan
berlalu lintas dan pengumpulan data lapangan menggunakan ATCS untuk perilaku belok kiri langsung. Penelitian ini bermanfaat
untuk mengedukasi masyarakat mengenai peraturan berlalu lintas melalui kuesioner online, serta dapat dijadikan dasar kebijakan
lalu lintas bagi pemangku kepentingan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai prioritas
pengguna jalan, rambu, serta marka masih rendah yaitu hanya sekitar 1%-3%. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap
pemahaman masyarakat terhadap peraturan berlalu lintas adalah tingkat pendidikan, kepemilikan SIM, serta jenis kelamin;
dimana semakin tinggi tingkat pendidikan maka pemahaman akan peraturan berlalu lintas semakin baik. Selain itu, terdapat
keterkaitan antara rendahnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan belok kiri langsung dengan perilaku lalu lintas belok
kiri langsung.

Kata kunci: UU No. 22 tahun 2009, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Regresi Linear, Belok Kiri Langsung.

1 PENDAHULUAN

Jumlah fatalitas akibat kecelakaan lalu lintas di dunia mencapai 1,35 juta pada tahun 2016 (WHO, 2018). Di
Indonesia, kecelakaan lalu lintas menempati ranking ke delapan penyebab kematian prematur (IHME, 2017).
Sebagian besar penyebab kecelakaan disebabkan oleh perilaku pengemudi. Faktor utama penyebab kecelakaan di
Kota Bandung adalah ceroboh saat menyalip dan melampaui batas kecepatan (BRSAR, 2018) dan berhubungan
dengan pelanggaran berlalu lintas. Perilaku lalu lintas pengemudi di jalan berhubungan dengan pemahaman
pengemudi atas peraturan lalu lintas yang berlaku. Jika pengemudi tidak mengerti peraturan berlalu lintas, pengemudi
akan cenderung untuk melanggar peraturan tersebut. Peraturan lalu lintas tentang lalu lintas dan angkutan jalan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2009.

Kecelakaan dan konflik lalu lintas mempunyai pengaruh besar atas sejumlah besar kasus luka berat dan fatalitas yang
terjadi di jalan raya (Rothengatter, 1997;Petridou and Moustaki, 2000; Shinar, 2007). Peraturan lalu lintas, termasuk
rambu dan marka jalan bermanfaat untuk mengurangi konflik dan meningkatkan keselamatan di jalan raya, namun
keefektifannya tetap dipengaruhi oleh kemampuan pengguna jalan untuk memahami peraturan lalu lintas tersebut
(Kaplan et al., 2018). Di Indonesia, jumlah pelanggaran lalu lintas mencapai nilai 40 juta pelanggaran pada tahun
2012-2016 dengan rata-rata pelanggaran adalah 23.200 pelanggaran per hari (Saragih, 2017).

Terdapat beberapa penelitian yang menganalisis perilaku lalu lintas terhadap peraturan lalu lintas. Dari hasil
penelitian terdahulu, didapatkan hasil yang tidak signifikan antara pengemudi berusia yang lebih muda dan tua dalam
memahami tanda dan peraturan lalu lintas (Dewar et al., 1994; Scialfa et al., 2008; Shinar et al., 2013; Ben-Bassat
and Shinar, 2015). Sementara itu, beberapa penelitian menemukan bahwa pengemudi dengan usia yang lebih muda
cenderung dapat memahami peraturan berlalu lintas dan rambu lalu lintas dengan benar dibandingkan dengan
pengemudi yang berusia lebih tua (Al-Madani and Al-Janahi, 2002; Bortei-Doku et al., 2017), terutama dalam
memahami simbol tertentu yang berkaitan dengan rambu dan marka di jalan raya. Pengemudi yang berusia muda dan
juga pelajar cenderung lebih sering melanggar peraturan lalu lintas (Susilo et al., 2015). Dari segi jenis kelamin,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki pemahaman yang lebih baik dalam memahami rambu
dan peraturan lalu lintas di jalan raya dibandingkan perempuan (Al-Madani and Al-Janahi, 2002; Bortei-Doku et al.,

441

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2017). Selain itu, pengemudi yang memiliki pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi akan memiliki pemahaman
yang lebih baik dan benar terhadap peraturan lalu lintas dan rambu di jalan raya (Al-Madani and Al-Janahi, 2002).
Pada beberapa aspek yang lebih detail, pengemudi cenderung untuk melanggar batas kecepatan pada jalan dengan
tingkat arus lalu lintas yang tinggi dibandingkan tingkat arus yang rendah (Kusumawati, 2019). Pengemudi sepeda
motor cenderung lebih banyak melanggar peraturan lalu lintas (Susilo et al., 2015) dan kurang memahami peraturan
lalu lintas dibandingkan dengan pengemudi kendaraan lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap peraturan berlalu lintas
yang terdapat pada UU No. 22 tahun 2009; menganalisis hubungan latar belakang masyarakat (termasuk gender,
usia, pendidikan, pengalaman mengemudi, dan kepemilikan SIM) terhadap pengetahuan mengenai aspek-aspek
berlalu lintas sesuai UU No. 22 tahun 2009, serta membandingkan perilaku belok kiri langsung pada simpang
bersinyal dengan pengetahuan masyarakat mengenai peraturan belok kiri langsung. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan untuk mengambil tindak lanjut dari nilai pemahaman masyarakat
terhadap peraturan lalu lintas, serta mengedukasi masyarakat mengenai peraturan berlalu lintas melalui kuesioner.

2 METODOLOGI DAN PENGUMPULAN DATA

2.1 Metodologi

Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi isu yang terjadi di masyarakat yaitu pelanggaran lalu lintas yang dapat
berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran lalu lintas dapat disebabkan karena ketidaktahuan pengguna
jalan akan peraturan lalu lintas yang berlaku sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pemahaman masyarakat
tentang peraturan lalu lintas yang berlaku, dalam hal ini UU No. 22 tahun 2009. Pengumpulan data adalah secara
primer untuk kuesioner online, serta pengumpulan data lapangan menggunakan video ATCS Bandung. Data
kuesioner online akan diolah untuk mendapatkan pengaruh dari variabel latar belakang responden terhadap
pengetahuan mengenai peraturan lalu lintas. Selain itu akan diukur dan diidentifikasi pemahaman masyarakat
berdasarkan aspek-aspek yang terdapat pada UU No. 22 tahun 2009. Perbandingan antara persentase belok kiri
langsung berdasarkan data lapangan akan dibandingkan juga dengan persentase responden yang dapat menjawab
benar mengenai peraturan belok kiri langsung pada simpang bersinyal. Dalam hal ini, keluaran dari penelitian ini
adalah hubungan latar belakang masyarakat terhadap pengetahuan berlalu lintas; identifikasi aspek krusial yang pada
peraturan lalu lintas yang tidak diketahui oleh masyarakat; serta mengidentifikasi hubungan pengetahuan masyarakat
mengenai peraturan belok kiri langsung pada persimpangan dengan perilaku berlalu lintas di jalan raya

2.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data terbagi menjadi dua jenis yaitu pengumpulan data primer menggunakan kuesioner online serta
pengumpulan data lapangan berdasarkan video ATCS. Pengumpulan kuesioner online bertujuan untuk mengukur
pemahaman masyarakat terhadap peraturan berlalu lintas yang berlaku (UU No. 22 tahun 2009), sedangkan
pengumpulan data lapangan melalui video ATCS bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat di lapangan
khususnya untuk perilaku belok kiri langsung.

2.2.1 Pengumpulan Data Kuesioner Online

Desain kuesioner online dilakukan berdasarkan aspek-aspek yang terdapat pada UU No. 22 tahun 2009 termasuk
kelas jalan, batas kecepatan, surat izin mengemudi (SIM), pengutamaan APILL dan rambu lalu lintas, ketertiban dan
keselamatan, belokan/simpangan, hak utama pengguna jalan, rambu lalu lintas (Peraturan Menteri Perhubungan no
13 tahun 2014), serta marka jalan (Peraturan Menteri Perhubungan no 67 tahun 2018) . Dari hasil pengumpulan data
menggunakan kuesioner online, didapatkan 536 responden yang tersebar di seluruh Indonesia dimana 76% responden
berasal dari Pulau Jawa, 8% dari Pulau Sumatera, 7% dari Pulau Kalimantan, 6% dari Pulau Sulawesi, dan 3 % dari
wilayah lainnya. Berikut ini merupakan data latar belakang responden:

442

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Usia Responden Pengalaman Mengemudi
Responden (tahun)
0% 0% 04%% Tidak sekolah 4% Tidak ada
40% 5% 16% SD/MI 19% 15% 8% < 1 tahun
60% SMP/MTs 17% 20% 1-5 tahun
26% 49% SMA/SMU/SMK/MA 6-10 tahun
Laki-laki Perempuan D3 49% 22% 11-20 tahun
S1 17% > 20 tahun
S2 < 23 23-34 35-46 >46
S3 29%

Gambar 1. Latar belakang responden

Dari latar belakang responden dapat dilihat bahwa responden laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
responden perempuan dengan rasio 6:4. Sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir S1 dan berusia
sekitar 22-34 tahun. Pengalaman mengemudi responden sebagian besar adalah 6-10 tahun dan 1-5 tahun. Dengan
persebaran data yang cukup merata maka data yang telah dikumpulkan dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.

70Frekuensi
60
50
40
30
20
10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Jumlah jawaban benar

Gambar 2. Frekuensi jumlah jawaban benar terhadap kuesioner

Terdapat 41 total pertanyaan mengenai aspek-aspek pada UU No. 22 tahun 2009 pada kuesioner. Dari Gambar 2 di
atas dapat dilihat bahwa jumlah jawaban benar responden terdistribusi secara normal dengan nilai median adalah 22,
modus 23, serta rata-rata adalah 22,55. Secara umum responden dapat menjawab benar sekitar setengah dari
pertanyaan yang diajukan.

2.2.2 Pengumpulan Data Lapangan
Pengumpulan data berdasarkan video ATCS dilakukan di beberapa simpang bersinyal di Kota Bandung yaitu
Simpang Gardujati, Simpang Anggrek, Simpang Pahlawan, serta Simpang Aceh. Pengumpulan data dilakukan pada
satu jam puncak masing-masing pada pagi, siang dan sore hari dengan menghitung volume kendaraan berdasarkan
arah pergerakan untuk motor (MC), kendaraan ringan (LV), serta kendaraan berat (HV), serta menghitung volume
kendaraan yang melakukan belok kiri langsung pada saat sinyal lampu lalu lintas berwarna merah (LTOR).

3 HASIL DAN ANALISIS

3.1 Pemahaman Mengenai Peraturan Berlalu Lintas
Pengetahuan mengenai peraturan berlalu lintas sesuai dengan UU No. 22 tahun 2009 dapat dinilai berdasarkan
persentase jawaban benar dari total responden. Pengetahuan responden mengenai jenis SIM termasuk SIM A, BI,
BII, C, D sangat tinggi dengan persentase jawaban benar responden adalah 89%-97%. Pengetahuan mengenai
prioritas pengguna jalan mendapatkan jawaban benar dengan nilai persentase terendah yaitu 1%-2%. Dimana
prioritas pengguna jalan ini merupakan ranking pengutamaan pengguna jalan dimana prioritas utama adalah
kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, ambulans, kendaraan yang memberikan
pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan pimpinan lembaga RI, kendaraan pimpinan pejabat asing/tamu
negara, iring-iringan pengantar jenazah, serta konvoi kendaraan. Selain itu pengetahuan responden mengenai arti

443

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

rambu dan marka, termasuk rambu batas minimum kecepatan kendaraan, rambu giveaway, rambu perintah belok
kanan, rambu batas akhir larangan kecepatan, serta marka kotak kuning juga sangat rendah yaitu hanya sekitar 2%-
3% responden yang dapat menjawab benar. Aspek peraturan lalu lintas lain yang tidak banyak diketahui oleh
responden adalah terkait parkir, prioritas pergerakan pada persimpangan termasuk jalan minor dan mayor,
persimpangan 4 tak bersinyal, maupun bundaran yaitu dengan jawaban benar hanya sekitar 4%-9%. Kewajiban
pengendara sepeda motor menyalakan lampu pada siang hari hanya mendapat jawaban benar 14% dari total
responden. Sedangkan untuk batas kecepatan, pengetahuan masyarakat cukup tinggi yaitu sekitar 30%-48%. Untuk
peraturan belok kiri langsung pada persimpangan yang hanya diperbolehkan jika ada rambu/APILL mendapatkan
9% jawaban benar dari responden. Berikut ini merupakan gambar hierarki persentase jawaban benar yang diberikan
pada kuesioner berdasarkan latar belakang responden.

Total responden
N = 536

Laki-Laki Perempuan
N=324 (60%) N=212 (40%)
Jawaban benar: 56.03% Jawaban benar: 53.12%

Gambar 3. Hasil survey berdasarkan latar belakang responden

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa responden laki-laki lebih memahami peraturan berlalu lintas dibandingkan
dengan responden perempuan. Secara umum, responden yang memiliki SIM A memiliki pemahaman yang lebih baik
dibandingkan dengan SIM C. Pemahaman berlalu lintas yang baik berdasarkan usia terdapat pada rentang 47-52
tahun untuk responden laki-laki dan 41-46 tahun untuk responden perempuan. Dari segi pendidikan, secara umum
untuk responden perempuan memiliki pemahaman berlalu lintas yang lebih baik seiring meningkatnya usia
dibandingkan dengan responden laki-laki. Pemahaman berlalu lintas secara umum sama untuk responden yang
memiliki pengalaman mengemudi 1-20 tahun baik untuk responden perempuan maupun laki-laki.

444

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.2 Model Regresi Linear

Model regresi linear dengan menggunakan chi square dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dari variabel
yang memiliki signifikansi terhadap variabel terikat (jumlah jawaban benar). Variabel bebas yang dimasukkan ke
dalam model adalah jenis kelamin, kepemilikan SIM, usia, pengalaman mengemudi, dan tingkat pendidikan. Model
ini dilakukan dengan level kepercayaan 95% untuk variabel-variabel yang dianggap memiliki pengaruh terhadap
jumlah jawaban benar pada kuesioner. Variabel yang tidak signifikan akan dieliminasi, sedangkan variabel signifikan
yang memiliki nilai t-statistik (>1,96) atau P-value (<0,05) akan dipertahankan dalam model. Berdasarkan hasil
iterasi yang telah dilakukan, maka didapatkan model terbaik adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Model regresi linear berdasarkan latar belakang responden

coef std error t P>|t| [0.025 0.975]
0,377 0,01
Constant 0,025 0,009 37 0,000 0,357 0,397
Jenis kelamin 0,0925 0,009
Pendidikan 1 (SMA) 0,1258 0,007 3 0,008 0,007 0,044
Pendidikan 2 (D3, S1) 0,1587 0,008
Pendidikan 3 (S2, S3) 0,0298 0,015 10 0,000 0,075 0,11
SIM
Pearson χ2 10,013 19 0,000 0,113 0,139
Df 526
χ2 statistics 580,45 21 0,000 0,144 0,174

2 0,045 0,001 0,059

Berdasarkan hasil pemodelan menggunakan regresi di atas dapat dilihat bahwa variabel yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap pemahaman masyarakat mengenai peraturan berlalu lintas adalah jenis kelamin, pendidikan, serta
kepemilikan SIM. Semakin tinggi pendidikan responden, maka pengetahuan akan peraturan berlalu lintas juga
semakin baik di bandingkan dengan responden yang memiliki pendidikan yang rendah. Kepemilikan SIM memiliki
pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan jenis kelamin, dimana nilai koefisien variabel SIM lebih besar
dibandingkan dengan jenis kelamin.

3.3 Perbandingan Pemahaman dan Perilaku Belok Kiri Langsung

Berdasarkan hasil survey lapangan pada 4 simpang di Kota Bandung, didapatkan pelanggaran belok kiri langsung
(LTOR) terdapat pada Simpang Gardujati dengan persentase pelanggaran paling banyak pada pagi hari yaitu 64,29%.
Dengan membandingkan hasil dari kuesioner online di mana hanya 9% responden yang mengetahui bahwa belok
kiri langsung pada persimpangan bersinyal hanya dapat dilakukan jika terdapat rambu/APILL terkait belok kiri
langsung tersebut, maka pelanggaran di lapangan untuk kasus belok kiri langsung dapat disebabkan oleh
ketidaktahuan masyarakat mengenai peraturan belok kiri langsung yang berlaku.

Tabel 2. Data lapangan untuk belok kiri langsung pada simpang di Kota Bandung

Simpang Pagi Total volume Siang Total volume Sore Total volume
Gardujati (%LTOR) (smp/jam) (%LTOR) (smp/jam) (%LTOR) (smp/jam)
Pahlawan 64,29% 2192 64,11% 1854 59,12% 1937
Aceh 45,49% 2359 37,95% 1832 23,97% 1920
Anggrek 38,14% 438 42,17% 1141 15,05% 1218
18,18% 998 22,67% 1126 33,33% 1387

4 KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara umum, pemahaman masyarakat
terhadap peraturan berlalu lintas masih rendah, terutama yang berkaitan dengan prioritas pengguna jalan, rambu dan
marka jalan, prioritas pergerakan pada persimpangan, serta parkir (1-9%). Selain itu, terdapat keterkaitan antara
pemahaman masyarakat terhadap peraturan belok kiri langsung terhadap perilaku berlalu lintas pada kasus belok kiri
langsung, dimana rendahnya pemahaman masyarakat mengenai peraturan berdampak pada tingginya pelanggaran di
lapangan untuk kasus belok kiri langsung.

Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pemahaman masyarakat terhadap peraturan lalu lintas adalah jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan kepemilikan SIM. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka pemahaman akan

445

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

peraturan berlalu lintas akan semakin baik. Selain itu, dapat dilakukan dengan sosialisasi mengenai peraturan berlalu
lintas, kampanye taat peraturan lalu lintas, serta peningkatan penegakan hukum untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat akan berlalu lintas.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terselenggara atas bantuan Program Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Inovasi (P3MI)
Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2020.

REFERENSI
Al-Madani, H., and Al-Janahi, L. R. (2002). “Role of Drivers’ Personal Characteristics in Understanding Traffic Sign
Symbols”. Accident Analysis and Prevention, 34, 185–196.

Pemerintah Konta Bandung. (2018). Bandung Road Safety Annual Report, Pemerintah Kota Bandung, Bandung,
Indonesia.

Ben-Bassat, T., and Shinar, D. (2015). “The Effect of Context and Drivers’ Age on Highway Traffic Signs
Comprehension”. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 33, 117–127.

Bortei-Doku, S., Kaplan, S., Prato, C. G., and Nielsen, O. A. (2017). “Road Signage Comprehension and Overload:
The Role of Driving Style and Need for Closure”. Transportation Research Procedia, 24, 442–449.

Dewar, R. E., Kline, D. W., and Swanson, H. A. (1994). “Age differences in comprehension of traffic sign symbols”.
Transportation Research Record, 1456, 1–10.

Institute of Health Metrics and Evaluation. (2017). “Global Burden of Disease Report”, http://www.healthdata.
org/indonesia (Accessed 28 October 2020).

Kaplan, S., Bortei-Doku, Shaun., Prato, C.G. (2018). “The Relation Between the Perception of Sale Traffic and The
Comprehension of Road Signs in Conditions of Ambiguous and Redundant Information”. Transportation Research
Part F, 55, 415-425.

Kusumawati, A., Ayuningtyas KNS., and Ellizar E. (2019). “The Effect of Speed Limit Violation on Motorcycle
Crash Rate: Case Study Bandung National Road”. Journal of Indonesia Road Safety, 171-182.

Saragih, F. A. (2017). Angka Pelanggaran Lalin Tidak Pernah Turun, diakses melalui Otomotif.kompas.com pada
tanggal 29 November 2020.

Kemehub RI. (2014). Peraturan Menteri Perhubungan Indonesia No. 13 tahun 2014 tentang Rambu Lalu Lintas,
Kementrian Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Kemenhub RI. (2018). Peraturan Menteri Perhubungan Indonesia No. 67 tahun 2018 tentang Marka Jalan,
Kementrian Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Petridou, E., and Moustaki, M. (2000). “Human Factors in The Causation of Road Traffic Crashes”. European
Journal of Epidemiology, 16, 819–826.

Rothengatter, T. (1997). “Psychological Aspects of Road User Behaviour”. Applied Psychology: An International
Review, 46, 223–234.

Scialfa, C., Spadafora, P., Klein, M., Lesnik, A., Dial, L., and Heinrich, A. (2008). “Iconic Sign Comprehension in
Older Adults: The Role of Cognitive Impairment and Text Enhancement”. Canadian Journal on Aging, 27, 253–265.

Shinar, D. (2007). Traffic Safety and Human Behavior, Emerald Group Publishing Limited, Bingley, UK.

Shinar, D., and Vogelzang, M. (2013). “Comprehension of Traffic Signs with Symbolic Versus Text Displays”.
Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behavior, 18, 72–82.

446

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Susilo, YO., Joewono, TB., Vandebona, U. (2015). “Accident Analysis and Prevention”. Elsevier Journals, 75, 272-
284

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

WHO. (2018). Global Status Report On Road Safety 2018, World Health Organization, Switzerland.

447

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Analisis Karakteristik Perjalanan Komuter Pegawai Negeri Sipil di Kota
Makassar

M. I. Sabil1*, M. I. Ramli2, S. A. Adisasmita2, M. Pasra2

1 Mahasiswa, Departemen Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia.
2 Dosen, Departemen Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia.
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Kota Makassar merupakan salah satu kota terbesar di bagian Indonesia Timur. Kepadatan penduduk dan besarnya kebutuahan
akan mempengaruhi pergerakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui
karakteristik karakteristik perjalanan komuter perkotaan dalam perjalanan kantor setiap hari pada komuter PNS di Kota
Makassar. Survei pada penelitian ini mencakup beberapa kantor dinas dengan jumlah responden 352 orang dengan menggunakan
teknik Stated Preference dalam pengambilan data, dari data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan analisis dan uji pada data
tersebut dengan uji statistik. Hasil dari penelitian ini didapatkan karakteristik dengan jenis kelamin yang mendominasi adalah
perempuan, pada usia terbanyak yaitu pada rentang 30-40 tahun, S1 pada pendidikan adalah jumlah terbanyak dengan
penghasilan paling dominan antar 3-4 juta. Hasil Uji Statistik menunjukkan bahwa hasil dengan signifikansi <0,05 atau >95%
kepercayaan menunjukkan adanya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Sesuai dengan hasil Uji T
disimpulkan bahwa Jenis Kelamin tidak berpengaruh pada karakteristik lainnya, pada Karakteristik Usia hanya berpengaruh
pada Pendidikan begitupun sebaliknya pendidikan hanya berpengaruh pada Usia, serta pada karakteristik penghasilan juga hanya
berpengaruh pada Usia.

Kata kunci: Karakteristik, Perjalanan, Makassar, PNS. Uji T.

1 PENDAHULUAN
Tingkat populasi penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya menjadikan penduduk Kota Makassar semakin padat.
Kepadatan penduduk di Kota Makassar mengakibatkan besarnya kebutuhan akan pergerakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Dewasa ini, aktivitas perjalanan individu di perkotaan di kota-kota berkembang di Asia, seperti
Kota Makassar, Indonesia meningkat pesat. Kegiatan kebutuhan perjalanan wisata membutuhkan penyediaan
infrastruktur seperti berbagai moda transportasi dan jaringan transportasi. Mengenai kebutuhan aktivitas-wisata di
Kota Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini didukung dengan meningkatnya aktivitas-perjalanan
Pegawai Negeri Sipil Komuter dari dan ke kota-kota tetangganya seperti Maros, Gowa, dan Takalar, namun
penelitian ini hanya di Makassar. Tujuan pergerakan bekerja dan pendidikan, disebut tujuan pergerakan utama yang
merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang setiap hari, sedangkan tujuan pergerakan lain sifatnya hanya
pilihan dan tidak rutin dilakukan.

Menurut Warpani (1990) yang dimaksud dengan perjalanan kerja adalah perjalanan yang dilakukan dengan maksud
bekerja. Perjalanan kerja juga dapat dikatakan sebagai perjalanan ulang-alik, yaitu perjalanan yang terjadi setiap hari
dan waktu yang tetap. Pelayanan moda transportasi yang dibutuhkan dan memenuhi syarat adalah moda transportasi
yang mampu meminimumkan waktu atau moda transportasi yang mampu menjamin dengan rentang waktu yang pasti
untuk perjalanan dari rumah ketempat kerja dan tiadanya hambatan sepanjang lintasan perjalanan.

Karakteristik perjalanan penduduk yang dihasilkan tentu akan berbeda satu sama lain, tergantung dari tujuan
perjalanan itu sendiri. 6 Berbagai karakteristik perjalanan yang terjadi (dikenal dengan lalu lintas) sebenarnya
merupakan fungsi dari [4] yaitu 1). Pola dan perkembangan guna lahan kota. 2). Karakteristik sosial ekonomi pelaku
perjalanan. 3). Sifat dan kemampuan sistem perangkutan yang ada.

1.1 Perjalanan
Pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti, secara kebetulan
tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. Meskipun perjalanan sering
diartikan dengan perjalanan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis keduanya harus dipisahkan.
Dalam kasus perjalanan berbasis rumah, lima kategori tujuan perjalanan yang sering digunakan adalah:

448

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

a) Perjalanan ke tempat kerja.
b) Perjalanan ke sekolah atau universitas (pergerakan dengan tujuan pendidikan).
c) Perjalanan ke tempat belanja.
d) Perjalanan untuk kepentingan sosial dan rekreasi.

1.2 Ciri pelaku perjalanan
Sejumlah faktor penting yang termasuk dalam kategori ini adalah yang berkaitan dengan ciri sosial – ekonomi
keluarga pelaku perjalanan, termasuk tingkat penghasilan, kepemilikan kendaraan, struktur dan besarnya keluarga,
kerapatan permukiman, macam pekerjaan dan lokasi tempat pekerjaan. Meskipun dalam menentukan pilihan moda
semua faktor ini semua faktor ini dapat dibahas secara terpisah, pada prakteknya mereka saling berkaitan.

1.3 Stated Preference (SP)

Stated Preference (SP) merupakan sebuah pendekatan eksperimen kontrol sistem transportasi yang dibuat dengan
mengadakan hipotesis situasi perjalanan, Menurut defenisinya stated preference berarti pernyataan preferensi tentang
suatu alternative dibanding alternatif-alternatif yang lain. Teknik ini menggunakan pernyataan preferensi dari para
responden untuk menentukan alternatif rancangan yang terbaik dari beberapa macam pilihan rancangan. Teknik
stated preference mendasarkan estimasi permintaan pada sebuah analisis respon terhadap pilihan yang sifatnya
hipotetikal misalnya sarana yang masih dalam perencanaan. Hal ini tentu saja dapat mencakup atribut-atribut dan
kondisi-kondisi dalam lingkup yang lebih luas daripada sistem yang sifatnya nyata. Sifat utama dari stated preference
adalah sebagai berikut : Stated preference didasarkan pada pernyataan pendapat responden tentang bagaimana respon
mereka terhadap beberapa alternatif hipotesa.

2 METODE

2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar dengan target survei yaitu Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di beberapa
kantor dinas yang setiap harinya sebagai komuter perjalanan kantor, diantara kantor dinas tersebut yaitu, Dinas
Perhubungan, Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian, dan Peternakan, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Dinas Pendidikan dan Budaya, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Dinas Perumahan dan
Gedung Pemerintah Daerah, Dinas Komunikasi dan Informasi, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan dan Dinas Kesehatan.

Gambar 1. Kota Makassar (Citra Satelit)
449

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.2 Data
Pada tahapan ini terdiri dari 2 tahap yaitu pengambilan data primer dan pengambilan data sekunder.

2.2.1 Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang berfungsi sebagai pelengkap data primer.
Pengambilan data sekunder diambil melalui database dari instansi-instansi pemerintahan Kota Makassar. Data-data
yang diperoleh berupa : Nama pegawai dari instansi-instansi pemerintahan kota makassar, Jumlah pegawai, alamat
pegawai, jabatan dan golongan.

2.2.2 Data Primer
Pengambilan data primer terdiri dari beberapa tahap, antara lain:

a) Desain Kuisoner
Penelitian ini menggunakan metode survei stated preference dari responden maka digunakan metode wawancara
melalui kuisoner. Agar informasi yang diberikan responden sesuai dengan data yang diinginkan pada penelitian
ini, maka perlunya melakukan perencanaan kuisoner.

b) Menentukan Jumlah Sampel
Untuk memperoleh data dengan tingkat ketelitian 95% dan tingkat kesalahan tidak lebih dari 5% maka digunakan
rumus Slovin yaitu:

(1)
= 1 + ( )2

dimana n adalah ukuran sampel, N adalah ukuran populasi, dan e adalah toleransi kesalahan.

Penelitian ini mengadopsi pendekatan maksimisasi utilitas acak dalam menyusun dan menghitung parameter
preferensi individu [8] [9].

Tabel 1. Kategori Karakterisrik Responden

Karakteristik Kategori Karakteristik

Responden

Jenis a. Laki-Laki

Kelamin b. Perempuan

Usia (Tahun a. <30 c. 41-50
b. 31-40 d. >50
e. S1
a. SD f. S2
g. Lainnya
Pendidikan b. SMP
c. Diploma (D3) d. 4.000.000-5.000.000
e. > 5.000.000
d. Diploma (D4)

a. < 2.000.000

Penghasilan b. 2.000.000-3.000.000

c. 3.000.000-4.000.000

Tabel 1 memperlihatkan bahwa terdapat kategori - kategori pertanyaan yang diajukan kepada responden dalam
melakukan penelitian ini, baik pertanyaan karakteristik responden maupun pertanyaan mengenai atribut-atribut
perjalanan komuter Pegawai Negeri Sipil. Semua pertanyaan diatas diambil dengan cara Stated Preference.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Hasil Karakteristik Responden
Hasil Karakteristik dari responden PNS kota Makassar yang disjikan terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan dan
penghasilan disajikan dalam tabel berikut:

450

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Tabel 2. Rekap Karakterisrik Responden

Karakteristik Kategori Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
Responden
Jenis Laki-Laki 145 41.19
Kelamin Perempuan 189 53.69
Lainnya 18 5.11
Usia <30 50 14.20
(Tahun) 31-40 102 28.98
41-50 95 26.99
Pendidikan >50 48 13.64
Lainnya 57 16.19
Penghasilan SD 2 0.57
(IDR) SMA 54 15.34
Diploma (D3) 11 3.13
Diploma (D4) 3 0.85
S1 165 46.88
S2 49 13.92
Lainnya 68 19.32
< 2.000.000 51 14.49
2.000.000-3.000.000 112 31.82
3.000.000-4.000.000 116 32.95
4.000.000-5.000.000 52 14.77
> 5.000.000 21 5.97

a) Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil survei dan tabulasi data Tabel 2 di atas memperlihatkan prosentase dari jenis kelamin komuter
PNS Pemerintah Kota Makassar dimana pegawai perempuan memiliki prosentase lebih besar sebesar 54 persen

dengan jumlah 189 orang dibandingkan pegawai laki laki dengan 41 persen dengan jumlah 145 orang, sedangkan
tidak diketahui 5 persen sebanyak 18 orang.

b) Usia

Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil survei dan tabulasi data diperoleh jumlah dari usia komuter

PNS Pemerintah Kota Makassar dimana jumlah terbesar usia komuter PNS Pemerintah Kota Makassar pada
kelompok 31 – 40 tahun sebnyak 102 orang pegawai atau sebesar 29 persen di ikuti kelompok umur 41-50 tahun

dengan 95 orang dan yang terkecil pada kelompok umur di atas 50 tahun.

c) Pendidikan
Berdasarkan hasil survei dan tabulasi data dari Tabel 2 di atas diperoleh prosentase dari pendidikan terakhir komuter
PNS Pemerintah Kota Makassar dimana persentase pendidikan terakhir terbesar komuter PNS Pemerintah Kota
Makassar adalah S1 sebesar 47 persen dengan 165 orang sedangkan yang terkecil pada tingkat pendidikan D4 dengan
presentasi 1 persen atau 3 orang pegawai.

d. Penghasilan
Berdasarkan hasil survei pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa penghasilan rata-rata komuter PNS Pemerintah Kota
Makassar dimana prosentase terbesar untuk penghasilan rata-rata komuter PNS Pemerintah Kota Makassar yaitu
berkisar 3-4 juta sebesar 33 persen dengan 116 orang di ikuti kelompok penghasilan 2-3 juta dengan persentase 32
persen atau 112 orang pegawai, sedangkan persentase terkecil yaitu pada penghasilan di atas 5 juta dengan 21 orang.

3.1.2 Hasil Uji Statistik

Hasil model uji Statistik (Uji T) memperlihatkan hubungan karakteristik dengan karakteristik lainnya sebagaimana
tertera dibawah ini:

451

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Tabel 3. Hasil Model Uji Statistik Karakteristik Responden

No Variabel Independen Variabel Dependen Coeficient Signifikansi
1 Jenis Kelamin
2 Usia Usia 0.118 0.065
3 Pendidikan Pendidikan 0.138 0.161
4 Penghasilan Penghasilan 0.100 0.592

Jenis Kelamin 0.024 0.065
Pendidikan 0.061 0.000
Penghasilan 0.044 0.000

Jenis Kelamin 0.021 0.161
Usia 0.045 0.000
Penghasilan 0.038 0.139

Jenis Kelamin 0.029 0.592
Usia 0.062 0.000
Pendidikan 0.074 0.139

a) Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel jenis kelamin

adalah sebesar 0,065. Karena nilai sig. 0,065 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

pengaruh jenis kelamin terhadap usia. Selanjutnya pengaruh terhadap pendidikan Berdasarkan Tabel 3 di atas output
SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel jenis kelamin adalah sebesar 0,161. Karena

nilai sig. 0,161 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap
pendidikan. Serta pengaruh terhadap penghasil Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas

diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel jenis kelamin adalah sebesar 0,592. Karena nilai sig. 0,592 > probabilitas

0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap penghasilan.

b) Usia
Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel usia adalah

sebesar 0,065. Karena nilai sig. 0,065 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh

usia terhadap jenis kelamin. Sedangkan pengaruh terhadap pendidikan Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS
“Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel usia adalah sebesar 0,000. Karena nilai sig. 0,000 <

probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh usia terhadap pendidikan. pengaruh terhadap
penghasilan Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel

usia adalah sebesar 0,000. Karena nilai sig. 0,000 < probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh usia terhadap penghasilan.

c) Pendidikan
Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel pendidikan

adalah sebesar 0,161. Karena nilai sig. 0,161 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

pengaruh pendidikan terhadap jenis kelamin. Sedangkan pengaruh terhadap usia berdasarkan Tabel 3 di atas output
SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel pendidikan adalah sebesar 0,000. Karena nilai

sig. 0,000 < probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan terhadap usia. pengaruh
terhadap penghasilan berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig)

variabel pendidikan adalah sebesar 0,139. Karena nilai sig. 0,139 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada pengaruh pendidikan terhadap penghasilan.

d) Penghasilan
Berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel penghasilan

adalah sebesar 0,592. Karena nilai sig. 0,592 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

pengaruh penghasilan terhadap jenis kelamin. Sedangkan pengaruh terhadap usia berdasarkan Tabel 3 di atas output
SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig) variabel penghasilan adalah sebesar 0,000. Karena nilai

sig. 0,000 < probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penghasilan terhadap usia. pengaruh
terhadap pendidikan berdasarkan Tabel 3 di atas output SPSS “Coefficients” di atas diketahui nilai signifikansi (Sig)

variabel penghasilan adalah sebesar 0,139. Karena nilai sig. 0,139 > probabilitas 0,05, sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada pengaruh penghasilan terhadap pendidikan.

452

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.2 Pembahasan
Terdapat 4 karakteristik responden komuter PNS kota Makassar yang menjadi titik analisis sebagaiman terlihat
hubungan antara karakteistik tersebut. Hubungan jenis kelamin terhadap karakteristik lainnya seperti usia,
Pendidikan dan Penghasilan tidak berpengaruh karena nilai probabilitas di atas 0,05 yang berarti kurang dari 95
persen kepercayaan yang menjadi syarat berpengaruny variabel tersebut, sedangkan hubungan Usia terhadap
pendidikan dan penghasilan ada pengaruh karena nilai probabilitas di bawah 0,05 atau lebih dari 95 persen
kepercayaan berbanding terbalik dengan hubungan usia dan jenis kelamin yang tidak berpengaruh. Pada hubungan
antara Pendidikan dengan jenis kelamin dan penghasilan diperoleh hasil tidak adanya pengaruh yang signifikan
berbeda hubungan antara Pendidikan dan Usia terdapat adanya pengaruh yang signifikan. Pada hubungan
karakteristik antara penghasilan terhadap jenis kelamin dan penghasilan tidak terdapat adanya pengaruh antara dua
karakteristik tersebut, sedangkan hubungan penghasilan terhadap Usia terdapat adanya pengaruh yang signifikan.

4 KESIMPULAN
Penelitian ini menguraikan mengenai karakteristik Komuter perjalanan Pegawai Negeri Sipil kota Makassar yaitu
jenis kelamin, Usia, Pendidikan dan Penghasilan serta hubungan antara karakteristik-karakteristik tersebut. Sesuai
dengan hasil Uji T disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh pada karakteristik lainnya, pada karakteristik
usia hanya berpengaruh pada pendidikan begitupun sebaliknya pendidikan hanya berpengaruh pada usia, serta pada
karakteristik penghasilan juga hanya berpengaruh pada usia.

REFERENSI
Ramli, M, I., and Hustim, M. (2003). “Study on Influence Passenger Dwelling Process of Para Transit at Area of
Foot Intersection to Performance of Signal Intersection in Makassar City”. Proc. of Annual National Symp. 6th of
Transportation Studies Forum inter-University.

JICA. (2007). “Study on Mamminasata Metropolitan Area (MMA) Development Plan” Final Report of JICA & South
Sulawesi Province Collaboration Project.

Warpani, S. dan Suwardjoko. (1990). Merencanakan Sistem Perangkutan, Bandung Penerbit ITB, Bandung,
Indonesia.

Bruton. M. J., (1985). Introduction to Transportation Planning, Hutchinson, Melbourne.

Sutomo. (2006). “Analisa Karakteristik Pergerakan ke Kawasan Industri Rokok di Kabupaten Kudus”. Thesis,
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

Kristanto, A. (2007). Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Gava Media Yogyakarta, Yogyakarta,
Indonesia

Ortuzar, J, D., and Willumsen, L, G., (2001). Modelling Transport, John Wiley and Sons (England: Ltd).

Train, K, E. (2009). Discrete Choice Methods with Simulation Second Edition, Cambridge University Press, New
York.

453

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Pengaruh Pengembangan Kawasan TOD di Stasiun LRT Jabodebek
terhadap Ridership Moda LRT
(Lintas Cawang-Bekasi)

A. Wirawan, S. Priyanto*, I. Muthohar

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pembangunan kawasan TOD di wilayah Kota Bekasi akan diintegrasikan dengan moda angkutan umum massal yaitu moda
LRT (Light Rail Transit). Dimana integrasi antara moda transportasi LRT dengan kawasan TOD dapat mendukung
pengembangan transportasi di wilayah Kota Bekasi yang mengutamakan moda transportasi tidak bermotor yang menuju
Jakarta untuk beralih menggunakan moda transportasi LRT ini. Pembangunan kawasan TOD di koridor LRT Jabodebek lintas
Cawang-Bekasi terdiri dari empat (5) kawasan yaitu di Stasiun Jatibening Baru, Stasiun LRT Cikunir 1, Stasiun LRT Cikunir
2, Stasiun LRT Bekasi Barat, dan Stasiun LRT Jatimulya. Pembangunan TOD di koridor LRT Jabodebek khususnya pada
lintas Cawang-Bekasi saat ini telah dibangun dan untuk progress pembangunan Stasiun LRT lintas Cawang Bekasi sekitar
82%. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis karakteristik kawasan transit stasiun LRT lintas cawang - bekasi
berdasarkan kriteria TOD, pola pergerakan dan tingkat penggunaan moda LRT di lintas cawang-bekasi, keterkaitan antara
karakteristik TOD berdasarkan kriteria TOD terhadap pengguna moda LRT di lintas Cawang-Bekasi.

Kata kunci : Karakteristik Kawasan Transit, Transit Oriented Development, Ridership.

1 PENDAHULUAN
Pengembangan transportasi di wilayah Jabodebek menjadi fokus tersendiri, seiring semakin meningkatnya
pengguna kendaraan pribadi dan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Cervero (1997) mengemukakan bahwa
kendaraan bermotor yang ada pada kawasan Asia Pasifik meningkat tinggi hingga 200% setiap tujuh tahunnya
sehingga dengan meningkatnya keberadaan kendaraan bermotor tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi
yang terhambat serta meningkatnya kebutuhan infrastruktur jalan pada kawasan perkotaan tersebut. Mayoritas
manajemen kota di berbagai kawasan di negara berkembang masih memperioritaskan pembangunan berbasiskan
jalan untuk mengatasi kemacetan. Perlu suatu upaya yang komprehensif dari mulai perencanaan, strategi
operasional, pelaksanaan aksi yang berkelanjutan dan juga evaluasi untuk dapat mengurangi jumlah kendaraan
pribadi.

Kemacetan yang menjadi permasalahan yaitu di wilayah perkotaan dan juga pada perbatasan atau akses jalan yang
masuk ke wilayah Jakarta dari kota penyangga di sekitarnya termasuk Kota Bekasi. Beberapa upaya telah masuk
dalam perencanaan yang meliputi wilayah JABODEBEK yaitu dengan membangun jaringan angkutan massal baik
yang berbasil jalan raya ataupun jalan rel, dan tentunya bertujuan menarik masyarakat agar supaya beralih
menggunakan kendaraan angkutan umum massal.

Kota Bekasi merupakan kota yang menjadi wilayah aglomerasi pengembangan transportasi Jabodebek.
Berdasarkan data hasil survei komuter Jabodetabek 2019 menunjukan bahwa dari 29 juta penduduk Jabodetabek
terdapat 3,2 juta komuter Jabodetabek atau sekitar 11% dengan jenis kegiatan bekerja sebesar 80,6%, kegiatan
sekolah sebesar 19,2% dan kegiatan sosial lainnya sebesar 0,2%. Pada Kota Bekasi jumlah komuter yang
berkegiatan utama di luar Kota Bekasi sebanyak 373.125 orang dengan persentase 84% bekerja dan 18% kegiatan
sekolah. Selain itu terdapat 166.197 komuter dari luar Kota Bekasi yang berkegiatan utama di Kota Bekasi dengan
persentase kegiatan bekerja sebesar 63% dan 37% sisanya kegiatan sekolah (BPS, 2019).

Keberadaan komuter masyarakat tentu akan memberikan dampak pada pembangunan baik asal dan daerah tujuan
komuter. Ketersediaan fasilitas yang berkaitan dengan transportasi perkotaan menjadi penting untuk dikembangkan
mengingat pertimbangan jumlah komuter khususnya dari ataupun ke wilayah Kota Bekasi yang cukup tinggi setiap

454

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

harinya. Oleh karena itu dibutuhkan angkutan massal untuk dapat menunjang keberlangsungan transportasi dari
Kota Bekasi menuju Jakarta untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di jalan.

Pemerintah Kota Bekasi dalam Perda Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah
serta revisi di tahun 2016 telah menetapkan sebagian wilayahnya menjadi kawasan TOD. Pengembangan kawasan
TOD dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi sebagai salah satu upaya penyelesaian permasalahan kemacetan
akibat adanya mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, diharapkan dengan adanya
pengembangan suatu kawasan TOD di sekitar simpul transit dapat meningkatkan nilai tambah yang menitih
beratkan pada integrasi antar jaringan angkutan umum massal, dan antar jaringan moda transportasi tidak bermotor
serta mengurangi penggunanaan kendaraan bermotor yang disertai pengembangan kawasan campuran dan padat
dengan instensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi menjadi suatu perubahan sistem transportasi yang
sering disebut dengan Transit Oriented Development (TOD).

Pembangunan beorientasi transit atau TOD yang dicanangkan di Kota Bekasi akan terintegrasi dengan moda LRT,
hal ini menjadi salah satu pertimbangan untuk mengurai komuter masyarakat yang semakin meningkat. Selain itu
dengan pembangunan stasiun LRT semakin menguatkan bahwa kawasan TOD di wilayah Kota Bekasi merupakan
kawasan transit yang strategis sebagai asal penduduk Kota Bekasi untuk beraktivitas. Konsep TOD merupakan
konsep pengembangan dari beragam jenis tata guna lahan (mix use) yang kemudian menciptakan pergerakan
berbasis transit dengan moda utama pilihan yaitu angkutan umum massal, dalam penelitian ini berupa moda LRT.
Kawasan TOD pada pembangunan LRT lintas Cawang-Bekasi belum sepenuhnya terbangun dengan
pengembangan kawasan transit, dimana konsep TOD menggunakan konsep pengembangan lahan yang
menciptakan pergerakan berbasis transit dengan moda utama yaitu transportasi publik dan dikhiri dengan berjalan
kaki. Pembangunan kawasan transit di sekitar stasiun LRT Jatibening Baru, Cikunir 1, Cikunir 2, Bekasi Barat dan
Jati Mulya belum banyak dilayani angkutan umum sehingga tingkat kemacetan di wilayah Kota Bekasi masih
cukup tinggi. Pada penelitian ini fokus dalam hal kesesuaian antara kriteria kawasan transit sesuai dengan Perka.
BPTJ No.PR.377/AJ.208/BPTJ-2017 sebagai variabel yang digunakan dan menghitung potensi jumlah pengguna
moda LRT data lalu lintas sebagai data awal.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat seberapa besar pengaruh pengembangan kawasan TOD di
koridor LRT Jabodebek terhadap tingkat pengguna moda transportasi LRT lintas Cawang-Bekasi. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh karakteristik TOD stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi dengan kriteria transit dan pola
pergerakan serta Ridership moda LRT itu sendiri.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang akan dilaksanakan terdapat pada wilayah Kota Bekasi dengan panjang lintas pelayanan 3 antara
Stasiun LRT Cawang hingga Stasiun Jatimulya (Bekasi Timur) sepanjang 18,49 km. pembangunan kawasan transit
di Stasiun LRT lintas Cawang - Bekasi terdapat pada Stasiun Jatibening Baru, Stasiun Cikunir 1, Stasiun Cikunir 2,
Stasiun Bekasi Barat dan Stasiun Jatimulya (Bekasi Timur).

Gambar 1. Lokasi Penelitian 5 Stasiun LRT Jabodebek Lintas Cawang-Bekasi

(Sumber: Adhi Karya, 2018)

455

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2.1 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis penelitian yang dilakukan.
Metode pengumpulan data secara umum yang digunakan pada suatu penelitian berupa observasi, wawancara
ataupun kuisioner. Metode pengumpulan data dapat diklasifikasikan berdasarkan variabel- variabel yang
membutuhkan cara untuk mengumpulkan data yang berbeda beda. Pada penelitian ini, metode pengumpulan data
yang digunakan berupa survei primer dan survei sekunder.

2.1.1 Data Sekunder

Metode yang digunakan pada pengumpulan data sekunder yaitu dengan mengumpulkan data, informasi ataupun
peta terkait dengan wilayah studi yang ditujukan kepada instansi atau pihak terkait serta pustaka yang mendukung
kebutuhan data dalam penelitian ini. Ternik pengumpulan data sekunder yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri
dari:

a) Survei Instansi atau Pihak Terkait
Survei yang dilakukan dengan cara memperoleh informasi dari instansi yang memiliki data sekunder terkait dengan
keperluan penelitian ini. Adapun instansi dan pihak terkait tersebut adalah Badan Pengelola Transportasi
Jabodetabek (BPTJ), Dinas Perhubungan Kota Bekasi, PT.KAI (Operator LRT Jabodebek), dan PT. Adhi Karya
(Kontraktor Pembangunan TOD).

b) Survei Pustaka
Survei pustaka yang dilakukan yaitu dengan cara mencari pustaka yang bersumber dari buku, media dan juga
penelitian orang lain sebelumnya.

2.1.2 Data Primer

Dalam metode pengumpulan data primer yang dilakukan peneliti diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi
serta wawancara (kuisioner). Oberservasi yang dilaksanakan guna mengidentifikasi potensi jumlah Sedangkan
wawancara yang dilakukan guna mengetahui potensi jumlah pengguna moda LRT di wilayah kawasan sekitar TOD
lintas Cawang-Bekasi.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan penelitian belum sepenuhnya berjalan dikarenakan sedang disusun dan dilaksanakan pemenuhan
Analisa secara komprehensif untuk didapatkan keseluruhan hasil penelitian.

3.1 Analisis Karakteristik Kawasan Transit Stasiun LRT Lintas Cawang - Bekasi Berdasarkan Kriteria TOD
Dalam menganalisis karakteristik kawasan transit stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi berdasarkan kriteria Transit
Oriented Development peneliti menggunakan teknik statistik deskriptif. Statistik deskriptif sendiri merupakan cara
berbasis statistik yang berfungsi untuk memberikan gambaran terhadap suatu obyek penelitian melalui data sampel
ataupun populasi sebagaimana adanya ataupun berdasarkan kondisi eksisting yang ada. Dalam sasaran ini, obyek
penelitian yang diteliti adalah karakteristik densitas kawasan (rata-rata KDB dan KLB serta kepadatan kawasan),
diversitas kawasan (presentase penggunaan lahan residential ataupun non-residential) dan desain kawasan
(keberadaan, dimensi, dan kondisi jalur pedestrian serta keberadaan jalur sepeda).

3.1.1 Densitas Kawasan

Densitas pada suatu kawasan merupakan salah satu indikator yang harus terdapat pada kawasan berbasis TOD.
Menurut TOD Standart yang dikeluarkan oleh ITDP (Institute Transportation Development Policy) sebagai salah
satu konsultan pembangunan kawasan TOD di Jakarta mengatakan bahwa dalam menopang pertumbuhan
perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan, kota tersebut harus tumbuh secara vertikal (densifikasi) bukan secara
horizontal (sprawl). Adapun batasan dari pembangunan secara vertikal tersebut yaitu kebutuhan akses sinar
matahari, sirkulasi udara segar dan kelestarian lingkungan hidup.

3.1.2 Diversitas Kawasan

Diversitas kawasan merupakan suatu konsep yang menyediakan berbagai penggunaan lahan dalam satu blok di
sekitar kawasan transit. Dalam perkembangannya, berdasarkan wawancara dengan ITDP (Institute Transportation
Development Policy) selaku konsultan pemberi arahan untuk pengembangan kawasan berbasis TOD di DKI Jakarta
mengatakan bahwa penggunaan lahan yang ada di kawasan TOD dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian yaitu

456

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

perumahan/ residential, fasilitas umum dan open space, perdagangan dan jasa serta perkantoran. Pembauran tata
guna lahan dalam kawasan TOD akan membuat kawasan tersebut semakin hidup sehingga berbagai kegiatan
berdekatan dan mampu ditempuh dengan berjalan kaki.

Dalam melakukan sasaran penelitian ini dilakukan dua tahapan, yaitu mengidentifikasi karakteristik kawasan
transit stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi berdasarkan prinsip TOD dan menganalisis tingkat kesesuaian kawasan
transit berdasarkan kriteria TOD. Dalam mendeskripsikan obyek penelitian maka diperlukan penjelasan lebih lanjut
terkait dengan berbagai indikator yang diidentifikasi karakteristiknya.

Setelah mengidentifikasi karakteristik kawasan transit stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi yang dilihat berdasarkan
densitas, diversitas maupun desain kawasan, tahap selanjutnya adalah melakukan tabulasi kriteria ideal
pengembangan TOD terhadap karakteristik eksisting kawasan transit yang telah didapatkan pada proses
sebelumnya. Dari proses tersebut, kemudian dilakukan perbandingan antara variabel dari karakteristik yang ada
terhadap parameter berdasarkan kriteria pengembangan kawasan TOD.

3.1.3 Desain Kawasan

Komponen mendasar yang harus ada dalam penerapan prinsip kawasan yang berbasiskan TOD yaitu keberadaan
dari desain kawasan yang ramah pejalan kaki. Hal ini dikarenakan kegiatan berjalan kaki merupakan kegiatan
transportasi yang sangat efesien dalam mengatasi berbagai permasalahan transportasi yang sering terjadi di kota
kota besar. Ketersediaan dari infrastruktur pejalan kaki sendiri mampu mendorong orang untuk berpindah moda
yang tadinya menggunakan kendaraan pribadi sehingga mampu mengurangi kemacetan serta polusi, baik polusi
udara ataupun polusi suara.

3.2 Analisis Karakteristik Pergerakan dan Tingkat Penggunaan Moda LRT di Lintas Cawang-Bekasi

Dalam menganalisis karakteristik pergerakan dan tingkat pengguna moda LRT di kawasan TOD lintas Cawang-
Bekasi peneliti menggunakan analisis statistik deskriptif dengan tujuan untuk mengambarkan ataupun
mendeskripsikan tingkat penggunaan moda LRT pada masing-masing kawasan TOD di sekitar stasiun LRT lintas
cawang-bekasi. Fokus obyek penelitian yang dilihat adalah karakteristik pergerakan masyarakat yang rutin
beraktivitas kawasan TOD di sekitar stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi serta tingkat penggunaan moda LRT pada
masing- masing analisis yang ada. Dalam mendeskripsikan gambaran obyek penelitian, maka digunakan
karakteristik pergerakan seseorang yang sudah dijelaskan pada sintesa pustaka seperti umur, jenis kelamin,
pekerjaan, asal dan tujuan pergerakan, maksud perjalanan serta ketersediaan moda feeder atau angkutan
pengumpan. Selain itu menganalisis presentase tingkat penggunaan moda LRT pada masing-masing kawasan TOD
di sekitar stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi.

3.3 Analisis Keterkaitan Antara Karakteristik TOD Berdasarkan Kriteria TOD Terhadap Pengguna Moda LRT di
Lintas Cawang-Bekasi

Pada analisis ini output yang dihasilkan yaitu berupa permodelan keterkaitan antara tingkat kesesuaian karakteristik
masing-masing kawasan transit stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi berdasarkan kriteria pengembangan berbasis
TOD terhadap tingkat penggunaan moda LRT pada kawasan transit stasiun LRT lintas Cawang-Bekasi. Dalam
mencapai luaran yang diinginkan maka digunakan analisis regresi linier sederhana karena hanya terdapat dua
variabel yang diteliti.

4 KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antara karakteristik
kawasan transit yang berada di stasiun LRT Jabodebek berdasarkan konsep atau kriteria TOD sesuai dengan Perka
BPTJ. Selain itu, pola pergerakan dan persentase tingkat Ridership sesuai dengan target yang diharapkan sehingga
pengembangan kawasan transit optimum dalam menunjang komuter di wilayah Kota Bekasi. Adanya keterkaitan
antara kriteria kawasan transit (TOD) dengan tingkat Ridership di kawasan TOD sekitar stasiun LRT Jabodebek
lintas Cawang-Bekasi.

457

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada yang terhormat Rektor Universitas Gadjah Mada dan Dosen
Pembimbing Bapak Prof.Sigit Priyanto, serta tak lupa seluruh civitas akademika Prodi MSTT UGM dan juga
segenap keluarga besar MSTT angkatan 32 yang kami cintai dan banggakan.

REFERENSI

Cervero, R., and Kockelman, K. (1997). Travel Demand and The 3Ds: Density, Diversity, and Design, Elsevier
Science, Berkeley.

Pemerintah Kota Bekasi. (2011). Perda Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 mengenai Rencana Tata Ruang
Wilayah, Pemerintah Kota Bekasi, Bekasi, Indonesia.

BPS. (2019). Statistik Komuter Jabodetabek, Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.

BPTJ. (2017). Perka. BPTJ No. PR. 377/AJ.208/BPTJ-2017, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, Jakarta,
Indonesia.

458

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Penerapan Barrier Free Access dengan Skema Transit Joint Development pada
Kawasan TOD Lebak Bulus, Jakarta

F.N. Prasetyo, S. Priyanto*, I. Muthohar

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author : [email protected]

INTISARI

Aksesibilitas pada Kawasan TOD Lebak Bulus dirasa belum dapat mengakomodir pergerakan yang massif khususnya untuk
pejalan kaki dan sejatinya setiap aspek fasililtas sosial dan umum dibangun oleh Pemerintah namun keterbatasan fiskal
menyebabkan Pemerintah memiliki kendala dalam pembangunannya sehingga diperlukan kerjasama dengan entitas/badan usaha
untuk dapat berpartisipasi didalamnya namun yang perlu digarisbawahi adalah seringkali infrastruktur akses yang merupakan
fasilitas sosial maupun fasilitas umum tersebut tidak memiliki profit bagi sebuah badan usaha. Penelitian ini bertujuan untuk
dapat Menyusun pola kerjasama penyelenggaraan barrier free access dengan skema Transit Joint Development (TJD).
Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik pejalan kaki, fasilitas pejalan kaki dan indeks walkability jalur
pejalan kaki dan penerapan barrier free access serta penyusunan pola kerjasamanya. Hasil dari penelitian ini menunjukan model
kerjasama yang dapat diterapkan bagi penyelenggaraan TOD khususnya pada kawasan TOD Lebak Bulus dengan menerapkan
skema TJD yang dalam hal ini merupakan mekanisme business to business dengan meminimasi peran fiskal Pemerintah.

Kata Kunci : Barrier Free, Access, Transit Joint Development (TJD), Transit Oriented Development (TOD).

1 PENDAHULUAN
Kawasan TOD merupakan suatu keterpaduan secara komprehensif terhadap interaksi tata guna lahan dengan
transportasi yang tercermin dalam suatu rangkaian aksesibilitas (Sideris, 2001). Aksesibilitas memainkan peranan
penting dalam memfasilitasi orang yang akan menggunakan angkutan umum untuk dapat menjangkau simpul moda
transportasi dengan selamat, aman, nyaman dan mudah (Aminah, 2018). Simpul transportasi yang mudah diakses
(accessible) merupakan suatu keunggulan yang kemudian dapat memiliki nilai dan daya tarik serta dapat memberikan
pengalaman bagi setiap orang yang akan menuju dan keluar dari simpul moda. Kebutuhan akan aksesibilitas
orang/penumpang tersebut memiliki pengaruh besar terhadap penyediaan sarana dan prasarana transportasi baik
secara kuantitas maupun kualitas.

Salah satu Kawasan TOD pada simpul moda MRT Jakarta adalah Kawasan TOD Lebak Bulus yang dalam hal ini
memiliki jaringan pelayanan transportasi dan mobilitas masyarakat yang luas serta bersifat komuter secara dominan
dan dengan penggunaan moda transportasi yang tinggi. Pola perjalanan masyarakat sesuai dengan perkembangan
wilayah tersebut akan sangat memungkinkan terjadinya perpindahan moda transportasi dengan jumlah yang sangat
besar. Disisi lain, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siburian et al. (2020) disebutkan bahwa Kawasan TOD
Lebak Bulus memiliki index aksesibilitas paling rendah.

Dalam hal pemenuhan aksesibilitas, konsep barrier free access (Siedle, 1996) dapat menjadi suatu solusi untuk
mewujudkan perjalanan/pergerakan yang menerus atau seamless di Kawasan TOD Lebak Bulus tersebut dimana
konsep tersebut memiliki pengertian yaitu akses bebas hambatan yang secara terbuka dapat diakses oleh orang
banyak meskipun harus melalui bangunan-bangunan sekitarnya yang awalnya bersifat ekslusif dan juga dapat
diperuntukan bagi penyandang disabilitas (cacat fisik) atau dengan keterbatasan lainnya, yang melibatkan penyediaan
akses sarana alternatif yang berkaitan untuk memudahkan langkah, seperti lantai yang landai, blok pemandu dan lift
serta dapat menyediakan area untuk usaha kecil formal di sepanjang akses tersebut.

Akses bebas hambatan (barrier free access) merupakan fasilitas umum dan sosial yang sejatinya disediakan oleh
Pemerintah, namun karena keterbatasan fiskal yang dimiliki pemerintah maka perlu adanya terobosan yang dapat
mengatasi masalah tersebut agar penyediaan infrastruktur akses bagi masyarakat dapat terbangun dengan maksimal.
Disisi lain, penyediaan akses bebas hambatan tersebut tentunya tidak serta merta dapat diselenggarakan dengan
mudah terlebih dalam hal ini aksesibilitas tersebut berada pada Kawasan TOD dimana dalam proses penyelenggaraan

459

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Kawasan TOD banyak melibatkan stakeholder yang akan terkait satu sama lain. Secara umum, pemerintah dapat
menggunakan instrument pembiayaan infrastruktur melalui konsep Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
namun untuk penyediaan fasilitas umum maupun sosial perlu model Kerjasama yang lebih rinci dan fokus karena
dalam hal ini penyediaan akses bebas hambatan tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda antara Pemerintah
yang mementingkan nilai manfaat dengan Pengembang/swasta yang berorientasi pada profit, dalam hal ini akses
bebas hambatan tersebut merupakan bagian dari fasilitas umum yang tidak memiliki profit secara finansial secara
langsung namun disisi lain memiliki nilai manfaat yang tinggi dan bahkan sejatinya mampu meningkatkan ridership
maupun nilai lahan di wilayah tersebut dan saat ini dikota-kota besar khususnya belum terdapat model kerjasama
dalam penyelenggaraan akses bebas hambatan pada Kawasan TOD tersebut.

Oleh karena itu, penerapan konsep barrier free access/akses bebas hambatan tersebut akan dikaji lebih mendalam
yang kemudian penyediaanya akan diwujudkan melalui konsep Transit Joint Development (TJD) (Landis et al., 1991)
yang merupakan integrasi antar 2 atau lebih transfer points transportasi publik yang fungsional dan memiliki nilai
ekonomi,finansial,dan estetik yang baik dengan konsep kerja sama antar stakeholder terkait yang dalam hal ini tidak
hanya melibatkan pemerintah dan swasta (pengembang/pengelola TOD/Operator Transportasi) melainkan dengan
seluruh pemilik lahan/bangunan yang akan berdampak pada akses yang dilalui sejauh radius 500 meter pada Kawasan
TOD Lebak Bulus tersebut. Diharapkan skema transit joint development tersebut dapat menjadi alternatif untuk
pembangunan TOD dalam jangka pendek mengingat penyelenggaraan TOD perlu diperkuat dengan staging yang
baik, maka Transit Joint Development (TJD) dapat menjadi bagian dari staging yang tepat dalam mengawali
pembangunan Kawasan TOD Lebak Bulus secara komprehensif.

2 METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada Kawasan TOD Lebak Bulus karena lokasi tersebut memiliki tingkat aksesibilitas yang
rendah, disisi lain memiliki keterpaduan moda angkutan massal yang ditopang dengan angkutan feeder lainnya.
Adapun lokasi Kawasan TOD Lebak Bulus berpusat pada Stasiun MRT yang terintegrasi dengan Halte Bus
Transjakarta Lebak Bulus. Lokasi Kawasan TOD lebak bulus tersebut sebagaimana tertera dalam masterplan
panduan rancang kota milik PT. MRT Jakarta dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Kawasan Berorientasi Transit (TOD) Lebak Bulus

Penelitian dilakukan diawali dengan Identifikasi dan analisis kendala yang mungkin terjadi dan rekomendasi
penyelesaian, kemudian melakukan kajian terhadap studi terdahulu maupun peraturan terkait yang selanjutnya
melaksanakan survey institusional. Dengan kebutuhan data sebagai berikut :
a) Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
b) Masterplan TOD Lebak Bulus.
c) Data Kepemilikan Lahan / Aset dan Lokasi Komersial di Pada Kawasan TOD Lebak Bulus.

460

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Adapun data-data yang digunakan pada analisa dimaksud akan diperkuat dengan mengelaborasi prinsip-prinsip
barrier free acces terkait dengan moda transportasi yaitu :

a) Pelaksanaan dari konsep yang berkembang dengan berfokus pada orang, menjamin dan meningkatkan hak-hak
perjalanan bagi orang tua dan masyarakat dengan disabilitas

b) Meningkatkan kualitas pelayanan perjalanan dengan menciptakan layanan moda yang inovatif
c) Merencanakan sumber layanan koordinasi dan mengusulkan layanan sukarela
d) Menyediakan layanan perjalanan yang unggul bagi orang lansia dan orang dengan disabilitas.

Selanjutnya setelah rancangan penerapan barrier free access telah dilakukan maka akan disusun pola kerjasama
menggunakan skema transit joint development dalam melaksanakan penyelenggaraan barierr free access dimaksud
dengan beberapa skenario penerapan kerjasamanya.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahap ini, pelaksanaan penelitian belum sepenuhnya berjalan dikarenakan sedang disusun dan dilaksanakan
pemenuhan analisa secara komprehensif untuk didapatkan keseluruhan hasil penelitian. Adapun pembahasan
sementara terhadap penelitian yang diharapkan adalah identifikasi dan penilaian bentuk kerja sama untuk
pelaksanaan penyediaan barrier free access di kawasan TOD lebak bulus secara umum yang mempunyai peluang
untuk dapat diimplementasikan harus memperhatikan hasil analisis risiko. Beberapa hal penting yang menjadi
pertimbangan dalam pemilihan bentuk kerjasama adalah keterkaitan pemerintah dengan badan usaha (KPBU)
melalui hal berikut:

a) Efisiensi dalam pelaksanaan Proyek, baik efisiensi teknis maupun keuangan;
b) Alokasi risiko;
c) Tingkat kelayakan komersial Proyek; dan
d) Ketentuan peraturan perundangan terkait dengan Proyek, seperti kepemilikan aset dan pembiayaan.

Tabel 1. Sasaran beberapa modalitas kerjasama pemerintah dan Badan Usaha pada penyelenggaraan Barrier Free Access

Sasaran Model KPBU Service Contract O&M Contract Lease Contract BOT/ BOO
BOOT

Technical Expertise

Managerial Expertise
Pengalihan Risiko Konstruksi ke Swasta
Pengalihan Risiko Operasi ke Swasta
Pengalihan Risiko Pembiayaan ke Swasta
Kepemilikan atas Aset

Intervensi PJPK

Sasaran yang ingin dicapai
Hanya sebagian sasaran yang ingin dicapai
Bukan sasaran yang ingin dicapai

Bentuk kerjasama pada penyelenggaraan barrier free access di kawasan TOD Lebak Bulus yang paling sesuai dengan
memperhatikan tingkat risiko dan tingkat keterlibatan swasta yang cukup tinggi selama masa konsesi adalah Bangun
Milik Guna Serah (BOOT), dimana Badan Usaha akan menyediakan layanan dengan membangun infrastruktur
barrier free access dengan biayanya sendiri, kemudian mengelola fasilitas tersebut selama masa konsesi dan pada
akhir masa konsesi infrastruktur tersebut dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah. Adapun bentuk kerjasama
dengan skema transit joint development diwujudkan dalam bentuk mekanisme business to business berupa penugasan
Badan Usaha Milik Negara / Daerah (BUMN/D) dan Joint Venture.

461

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

3.1 Penugasan BUMN/BUMD

Model penugasan BUMN / BUMD dalam business to business berlandaskan kepada UU No. 19 Tahun 2003
(BUMN), Peraturan Menteri No. 45 Tahun 2005, Surat Menteri BUMN (penugasan), dan Peraturan Presiden
(Penugasan). BUMN/D bertugas membangun dan mengoperasikan fasiltias infrastruktur, dengan dukungan
Pemerintah berupa penambahan PMN ke BUMN, akselerasi pengeluaran perizinan, dan Jaminan Pemerintah.
BUMN/D mendapat penugasan dari PJPK untuk membangun fasilitas infrastruktur, dimana aggarannya dapat perasal
dari PJPK (PMN). Swasta yang memiliki kepentindan dapat menyambung ke fasiltias infrastruktur yang telah
dibangun oleh BUMN/D. Adapun proses pengembangannya dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut :

Gambar 2. Model B to B melalui penugasan BUMN/BUMD

Tabel 2. Peran Stakeholder dalam model B to B melalui penugasan BUMN/D

Penugasan Peran
BUMN
PJPK PJPK dapat memberikan penugasan atau penunjukan terhadap BUMN/D dan
melakukan penyertaan modal negara
BUMN/D 1. Dapat melakukan transfer assetnya kepada PJPK
2. BUMN/D melaksanakan pembayaran hutang dan bunga atas pinjaman yang
Lenders dilakukan2
Swasta 3. BUMN/D memerlukan izin akses terhadap penerapan barrier free access yang
Kontraktor melewati kawasannya (swasta)
4. BUMN/D membayar pembangunan terhadap kontraktor terpilih
5. Publik diberikan pelayanan akses yang menerus dan tanpa hambatan (barrier free
access)
Dalam hal ini lenders melakukan pembiayaan terhadap pembangunan dengan
pinjamannya
1. Swasta memberikan izin akses dan mendapatkan connection fee dari BUMN/D
2. Swasta memberikan akses infrastruktur kepada publik untuk dapat melalui
kawasannya
Kontraktor melakukan pembangunan sesuai dengan arahan BUMN/D

Publik Publik dapat melakukan transaksi atas komersialisasi akses (Usaha kecil formal)

Dalam hal ini peran PJPK dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dalam kawasan TOD dimaksud
terdapat simpul MRT dan Bus Transjakarta yang kepemilikan asetnya berada dibawah Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Melalui PT. MRT Jakarta dan PT. Transjakarta serta dalam hal ini Peran BUMD yang diberi penugasan dapat
menjadi tanggung jawab PT. MRT Jakarta atau PT. Transjakarta.

462

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

3.2 Joint Venture

Skema Join Venture memiliki landasan hukum Undang Undang No.19 tahun 2003 (BUMN), Undang Undang No.
40 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016. BUMN/D membentuk joint venture bersama dengan swasta
untuk membangun fasiltias barrier free access dimaksud. Bentuk dukungan Pemerintah berupa penambahan PMN
kepada BUMN, Akselerasi perizinan, dan jaminan Pemerintah. Adapun proses pengembangannya dapat dilihat pada
gambar dan tabel berikut :

Gambar 3. Model B to B melalui Joint Venture

Penugasan Tabel 3. Peran Stakeholder dalam model B to B melalui Joint Venture
BUMN
PJPK Peran

BUMN/D PJPK dapat memberikan Izin prinsip kepada BUMN/D
1. BUMN/D dapat melakukan transfer assetnya kepada PJPK
Swasta 2. Melaksanakan Joint Venture Agreement & Ekuitas dengan swasta
JV Melaksanakan Joint Venture Agreement & Ekuitas dengan BUMN/D
Company
1. JV Co. melaksanakan pembayaran hutang dan bunga ataspinjaman yang dilakukan
Lenders
Kontraktor 2.JV CO.membayar pembangunan terhadap kontraktor terpilih
Publik 3. Publik mendapatkan pelayanan akses yang menerus dan tanpa hambatan (barrier free
access)
Dalam hal ini lenders melakukan Pembiayaan Pembangunan melalui pinjamannya
Kontraktor melakukan pembangunan sesuai dengan arahan JV Co.
Publik dapat melakukan transaksi atas komersialisasi akses (Usaha kecil formal)

Dalam hal ini peran PJPK dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dalam kawasan TOD dimaksud
terdapat simpul MRT dan Bus Transjakarta yang kepemilikan asetnya berada dibawah Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Melalui PT. MRT Jakarta dan PT. Transjakarta. Peran BUMD yang dapat menjadi tanggung jawab PT. MRT
Jakarta atau PT. Transjakarta untuk kemudian BUMD tersebut melakukan kerjasama dengan pihak swasta di sekitar
kawasan yang dilalui fasilitas barrier free access tersebut untuk membentuk badan usaha (joint venture company)
yang diawali dengan diterbitkannya joint venture agreement.

463

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil pembahasan pada penelitian ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

a) Penyediaan aksesibilitas yang menerus perlu memperhatikan aspek-aspek dalam barrier free access agar
pergerakan masyarakat yang akan menuju / dari simpul moda dapat terakomodir dengan baik dan memberikan
pengalaman yang menarik bagi setiap orang yang melaluinya.

b) Fasilitas barrier free access dapat dipadukan dengan unsur peningkatan ekonomi kawasan seperti penempatan
usaha kecil formal seperti stan makanan, minuman dan sejenisnya.

c) Penyediaan barrier free access yang merupakan fasilitas umum / sosial dapat dilakukan dengan melibatkan pihak
swasta melalui mekanisme tertentu.

d) Pola kerjasama transit joint development dalam penyediaan barrier free access tersebut adalah dengan mekanisme
business to business berupa penugasan BUMN/D dan Joint Venture.

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

a) Kelembagaan dalam melaksanakan kerjasama perlu diberikan ruang yang jelas dan terfasilitasi oleh pemerintah
khususnya dalam pemberikan izin agar tidak menghambat jalannya kerjasama pembangunan.

b) Staging awal pembangunan TOD yang berupa Transit Joint Development (TJD) harus dapat terakomodir dalam
masterplan sebagai perencanaan jangka menengah dan Panjang.

c) Pola kerjasama dengan skema transit joint development perlu diterapkan juga untuk unsur non motorized transport
lainnya agar pengembangan kawasan TOD dapat secara utuh diwujudkan dengan mengedepankan keberlanjutan
lingkungan (sustainable environtment).

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Kepala Prodi MSTT UGM, Sekretaris Prodi MSTT UGM, dan seluruh
tenaga pengajar serta akademik yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat
kami dan segenap keluarga besar MSTT angkatan 32 yang selalu memberikan inspirasi dan semangat kepada sesama.

REFERENSI
Aminah, S. (2018). “Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan.” Jurnal Teknik Sipil, Vol. 9 No.
1, 1142-1155.

Landis, J., Cervero, R., Hall, P. (1991). “Transit Joint Development in the USA: An Inventory and Policy
Assessment.” Environment and Planning C: Government and Policy, 9(4), 431-452.

Siburian, T. E., Sumadio, W., Shidiq, I. P. A. (2020). “Characteristics of Transit Oriented Development Area (Case
Study: Jakarta MRT.” Jurnal Geografi Lingkungan Tropik, 4 (1), 46-58.

Sideris, A.L. (2001). “Transit-Oriented Development in the inner city: A Delphi survey.” Journal of Public
Transportation, 2000, 3(2), 75-98.

Siedle, J.H. (1996). Barrier-Free Design: A Manual for Building Designers and Managers 1st Edition, Routledge,
Oxfordshire, United Kingdom.

464

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Desain Fasilitas Pejalan Kaki untuk Mengubungkan
Stasiun MRT Istora Mandiri dengan Halte Transjakarta

Gelora Bung Karno

M. A. Wicaksono*, I. Muthohar

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta merupakan salah satu moda transportasi penunjang aktivitas penduduk Jakarta. Stasiun MRT
Istora Mandiri merupakan salah satu stasiun yang terhubung dengan moda transportasi Buss Rapid Transit (BRT). Oleh karena
itu, fasilitas pejalan kaki yang menghubungkan Stasiun MRT Istora Mandiri dan Halte Transjakarta Gelora Bung Karno menjadi
salah satu bentuk integrasi antar moda untuk memudahkan perpindahan penumpang dengan berjalan kaki. Kriteria desain dan
parameter ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 03/PRT/M/2014 dan standar pendukung lainnya.
Perancangan fasilitas pejalan kaki bawah tanah tersebut menggunakan data sekunder penumpang masing-masing moda
transportasi dan dianalisis menggunakan metode Furness dengan pendekatan Bi- Proportional untuk mendapatkan distribusi
perjalanan penumpang antar moda. Dilanjutkan dengan pengalian faktor non-motorized dan diproyeksikan hingga 10 tahun ke
depan. Setelah itu dilakukan konversi dari penumpang/hari menggunakan panduan California High-Speed Rail Authority agar
didapatkan volume pejalan kaki rencana dalam penumpang/menit. Penentuan dimensi teknis terowongan pejalan kaki mengikuti
volume pejalan kaki rencana sesuai dengan peraturan dan standar yang digunakan. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan
volume pejalan kaki rencana antar stasiun dan halte sebesar 6 orang/menit. Terowongan pejalan kaki dirancang dengan panjang
210 m, lebar 5 m, tinggi desain 3 m, dan disertai dengan berbagai fasilitas pelengkap lainnya.

Kata kunci : Desain, Terowongan Pejalan Kaki, MRT Istora Mandiri, Integrasi.

1 PENDAHULUAN

Transportasi umum memegang peran penting dalam sistem kehidupan dan sistem kemasyarakatan perkotaan,
khususnya di Jakarta sebagai ibukota negara. Kemacetan menjadi salah satu permasalahan utama di Jakarta. The
TomTom Traffic Index mencatat, Jakarta sebagai peringkat ke-10 dari 416 kota dunia paling macet pada 2019.
Kemacetan disebabkan faktor-faktor seperti perbandingan jumlah kendaraan dengan ruas jalan yang tersedia tidak
seimbang dan penggunaan jumlah kendaraan pribadi yang terus meningkat. Salah satu solusi dari masalah tersebut
adalah pemindahan pengguna moda dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Jakarta mempunyai banyak moda transportasi umum yang telah beroperasi maupun yang sedang dalam tahap
konstruksi. Transportasi umum yang beroperasi di Jakarta antara lain, Metromini, Kopaja, Angkot, Mikrolet, Kereta
Komuter (Commuter Line), Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, dan Mass Rapid Transit (MRT). Transportasi
umum berbasis kereta lainnya yang tengah dalam tahap konstruksi yaitu Light Rapid Transit (LRT). Maka dari itu,
integrasi antar moda diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.

Keberadaan MRT sebagai salah satu moda transportasi penunjang bagi moda transportasi lainnya diharapkan dapat
menopang segala macam aktivitas penduduk Jakarta. Pada pembangunan MRT Jakarta Fase 1 Koridor Selatan–
Utara, Senayan akan menjadi salah satu daerah yang dikembangkan menggunakan konsep Transit Oriented
Development (TOD). Pada kondisi eksisting, terdapat Halte Transjakarta Gelora Bung Karno yang telah beroperasi
namun belum terintegrasi langsung dengan Stasiun MRT Istora Mandiri. Dalam penelitian ini, akan dibahas
bagaimana mengintegrasikan Stasiun MRT Istora Mandiri dengan Halte Transjakarta Gelora Bung Karno melalui
penyediaan fasilitas pejalan kaki untuk mengatur pergerakan manusia antar stasiun. Perancangan desain fasilitas
pejalan kaki menjadi hal yang sangat penting agar tercapai integrasi antar moda dengan aksesbilitas yang baik yang
mengutamakan aspek kenyamanan, keamanan dan kualitas pelayanan.

465

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

2 METODOLOGI

Penelitian berlokasi pada kawasan sekitar Stasiun MRT Istora Mandiri yang terletak di Kota Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari layout Stasiun MRT Istora
Mandiri dan volume penumpang harian Stasiun MRT Istora Mandiri, Halte Transjakarta Gelora Bung Karno, dan
Halte Transjakarta Polda Metro Jaya. Data sekunder bersumber dari PT. MRT Jakarta dan PT. Transportasi Jakarta.
Untuk memenuhi tujuan penelitian, bagan alir desain dibuat dan ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Lokasi
Stasiun MRT Istora Mandiri dan Halte Transjakarta Gelora Bung Karno terletak di kawasan Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta. Kawasan ini merupakan Transit Oriented Development (TOD) yang berfungsi untuk memadukan fungsi
transit dengan manusia, kegiatan, bangunan, dan ruang publik.

Pada kondisi eksisting, untuk berpindah moda dari Stasiun MRT ke Halte Transjakarta, pejalan kaki harus melewati
akses bawah tanah ke trotoar lalu menuju JPO untuk menyeberang ke halte. Adanya koneksi langsung berupa
integrasi infrastruktur akan bermanfaat untuk penumpang yang akan berpindah moda sehingga bisa mengurangi
waktu tunggu, waktu transfer, jarak berjalan kaki, dan menambahkan kenyamanan. Oleh karena itu, pada desain ini
diusulkan jalur pejalan kaki lain melalui koneksi langsung berupa terowongan bawah tanah dengan elevasi dibawah
level jalan.

3.2 Zonasi Wilayah
Dalam pembuatan dan perhitungan matriks asal tujuan, tahap awal yang harus dilakukan adalah membagi kawasan
sekitar Stasiun MRT Istora Mandiri menjadi beberapa wilayah atau titik penting (node) sebagai lokasi bangkitan dan
tarikan perjalanan di dalam kawasan Stasiun MRT Istora Mandiri. Penentuan titik lokasi ini berdasarkan pada

466

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

stasiun/halte/tempat berpindah moda transportasi di dalam kawasan sekitar stasiun. Terdapat 2 moda transportasi di
kawasan Jalan Jenderal Sudirman, yaitu MRT dan BRT (Transjakarta).

Terdapat 3 lokasi titik bangkitan-tarikan perjalanan yang akan diperhitungkan. Tiga lokasi tersebut adalah Stasiun
MRT Istora Mandiri, Halte Halte Gelora Bung Karno, dan Halte Polda Metro Jaya. Ketiga lokasi tersebut dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lokasi Titik Bangkitan Tarikan.

3.3 Perhitungan Matriks Asal Tujuan

Setelah menentukan titik bangkitan-tarikan tersebut diketahui, langkah selanjutnya adalah pengumpulan data volume
penumpang harian yang didapatkan dari masing-masing instansi yang terkait. Seluruh data yang didapatkan diproses
menggunakan software Microsoft Excel. Beberapa data yang didapatkan hanya berupa data total volume penumpang
harian tanpa memperhitungkan keluar masuknya penumpang secara tepat sehingga digunakan asumsi berupa separuh
penumpang masuk dan separuh penumpang keluar. Rekapitulasi volume penumpang harian yang keluar-masuk pada
masing- masih halte dan stasiun dapat dilihat pada Tabel 1. Setelah itu seluruh data tersebut direkap kembali dan
dibuat ke dalam bentuk matriks asal tujuan dan dilakukan simulasi perhitungan matriks asal tujuan dengan
menggunakan metode Furness melalui pemodelan Bi-Proportional.

Tabel 1. Rekapitulasi Volume Penumpang Harian

Lokasi Volume Penumpang Masuk Volume Penumpang Keluar

Halte Gelora Bung Karno (1) 5.582 4.555
Halte Polda Metro Jaya (2) 2.340 2.106

Stasiun MRT Istora Mandiri (3) 2.495 2.495
(asumsi keluar-masuk seimbang)

Dalam perhitungan, terdapat faktor asal (FO) dan faktor tujuan (FD) yang digunakan sebagai faktor koreksi untuk
merevisi angka jumlah penumpang pada masing- masing total dari asal dan tujuan. Perhitungan dilakukan melalui
iterasi sampai nilai faktor FO dan FD mendekati angka 1. Iterasi dapat dihentikan dan dirasa cukup jika perubahan
nilai faktor asal (FO) dan faktor tujuan (FD) menunjukkan angka yang stabil. Setelah dilakukan perhitungan melalui
Microsoft Excel, nilai faktor FO dan FD pada iterasi ke-11, 12, dan 13 menunjukkan angka yang stabil dan tidak
mengalami perubahan yang signifikan pada jumlah penumpang. Diambil perhitungan pada iterasi ke-13 sebagai hasil
akhir dari perhitungan pembuatan tabel matriks asal-tujuan. Hasil iterasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 2. Hasil Iterasi ke-13 untuk asal ke tujuan Tabel 3. Hasil iterasi ke-13 untuk tujuan ke asal

Tujuan Total Oi' FO Tujuan Total Oi' FO
1
123 0 2 3 4.868,31 4.868,31 1
2.217,22 2.349,68 2.518,63 2.250,78 2.250,78 1
10 2.157,99 2.313,16 4.868,31 4.471,16 1,09 1 2.630,07 0 33,56 2.667,20 2.667,20 1
Asal 2 5.243,84 37,13 0
Asal 2 2.398,42 0 36,30 2.250,78 2.434,71 0,92 4.847,29 2.198,17 2.154,78
3 1,08 2.2386,81 2.159,55
Total 3 2.845,43 40,18 0 2.667,20 2.885,60 0,92 Total 0,92 0,92
Dj' Dj'
FD 5.243,84 2.198,17 2.344,27 FD

5.243,84 2.198,17 2.349,46

111

467

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Dari Tabel 3 dan 4, maka diambil kesimpulan jumlah penumpang yang berpindah dari Halte Gelora Bung Karno (1)
menuju Stasiun MRT Istora Mandiri (3) sebesar 2313 orang/hari. Untuk jumlah penumpang yang berpindah dari
Stasiun MRT Istora Mandiri (3) menuju Halte Gelora Bung Karno (1) sebesar 2630 orang/hari. Dari kedua data
tersebut, diambilah jumlah penumpang terbesar dari kedua nilai tersebut agar lebih efektif

3.4 Desain Volume Pejalan Kaki

Tidak seluruh penumpang berpindah lokasi untuk berganti moda transportasi dengan berjalan kaki. Perlu dikalikan
faktor pembagian moda (modal split) dalam melakukan perpindahan moda. Maka jumlah penumpang tersebut harus
dikalikan dengan faktor modal split untuk non-motorized, yang termasuk pejalan kaki dan pesepeda. Faktor modal
split kota Jakarta ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Modal Split di 6 Kota di Asia (Nguyen and Hanoka, 2011).

Berdasarkan Gambar 3, maka diambil faktor pengali modal split untuk non-motorized transport sebesar 23%. Maka
perhitungan untuk penumpang yang berpindah antar node dengan berjalan kaki adalah sebagai berikut.

Jumlah pejalan kaki (modal split) = 2.630 x 23% = 604,9 ≈ 605 orang/hari

Perhitungan juga perlu mempertimbangan faktor pertumbuhan penumpang. Faktor pertumbuhan dihitung melalui
data rerata penumpang harian kereta commuter dari tahun ke tahun. Dari data tersebut, dapat dicari tren kenaikan
persentase faktor pertumbuhan penumpang. Berdasarkan data penumpang harian kereta commuter tahun 2009-2018
(Badan Pusat Statistik, 2018), didapatkan rerata penumpang harian selama 10 tahun terakhir sebesar 561593
orang/hari dan slope data sebesar 70.755,01. Maka dari perhitungan, didapatkan faktor pertumbuhan sebsar 12,6%

Untuk perancangan kali ini, volume pejalan kaki yang dibutuhkan adalah volume pejalan kaki pada 10 tahun yang
akan datang, sehingga langkah perancangan selanjutnya adalah sebagai berikut.

n = 10 tahun

Jumlah pejalan kaki pada tahun ke-10 = orang x (1+faktor pertumbuhan)n

= 605 x (1+0,126)10 = 1.982,16 ≈ 1.982 orang/hari

Hasil dari hitungan di atas merupakan jumlah pejalan kaki per hari. Namun,data yang dibutuhkan untuk merancangan
lebar pejalan kaki menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 3/PRT/M/2014 adalah volume pejalan kaki per
menit sehingga data tersebut harus dikonversikan. Volume pejalan kaki per hari dapat dikonversikan menjadi volume
pejalan kaki per menit melalui beberapa tahapan menurut California High-Speed Rail Authority. Tahapan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rumus Konversi Perjalanan Tiap Periode (California High-Speed Rail Authority, 2008)

Simbol Deskripsi Deskripsi Rumus
P60 Perjalanan pada jam puncak Perjalanan Puncak Harian x Faktor Jam
Puncak

P30 Perjalanan puncak tiap 30 menit (P60 ÷ 2) x 1,2

P15 Perjalanan puncak tiap 15 menit (P60 ÷ 4) x 1,3

P1 Perjalanan puncak tiap menit (P60 ÷ 60) x 1,5

468

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Untuk konversi perjalanan puncak harian menuju perjalanan pada jam puncak (P60) dikalikan faktor penumpang jam
puncak sebesar 12% untuk area asal-tujuan inter regional (California High-Speed Rail Authority, 2008). Faktor 12%
diartikan sebagai faktor jam puncak sebesar tiga kali dari faktor jam puncak biasanya. Perhitungan dapat dilihat
sebagai berikut.

Perjalanan pada jam puncak (P60) = 1.982 x 12% = 237,84 ≈ 238 orang/hari

Perjalanan puncak tiap menit (P1) = (238 ÷ 60) x 1,5 = 6 orang/menit

Volume pejalan kaki rencana = 6 orang/menit

3.5 Desain Trase

Perencanaan trase dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan. Dengan melihat kondisi eksisting wilayah
dan posisi stasiun, didapatkan trase yang paling memungkinkan untuk dibuat terowongan pejalan kaki. Pengukuran
panjang trase dilakukan menggunakan Google Earth yang dapat dilihat garis rutenya pada Gambar 4. Panjang trase
yang ditentukan adalah sebesar 210 m.

Gambar 4. Desain Trase Jalur Terowongan Pejalan Kaki (Google Earth, 2018).

3.6 Desain Aksesbilitas

Berdasarkan layout Stasiun MRT Istora Mandiri dan pengamatan langsung lapangan, desain pintu masuk/keluar akan
berada pada lantai concourse (area komersil) dengan elevasi -7,2 m. Elevasi lantai concourse dipilih karena desain
Stasiun MRT Istora Mandiri berada di bawah tanah dan untuk mendapatkan tinggi bebas minimal yang
dipersyaratkan. Pintu keluar/masuk akan ditempatkan disebelah barat daya dari Stasiun MRT Istora Mandiri.
Perencanaan desain pintu keluar/masuk pada Halte Gelora Bung Karno berada pada JPO Gelora Bung Karno dengan
elevasi +3,2 m.

3.7 Lebar Terowongan Pejalan Kaki

Penentuan lebar jalur pejalan kaki menggunakan rumus perhitungan lebar berdasarkan volume pejalan kaki rencana.
Kemudian, hasil hitungan lebar dibandingkan dengan syarat minimal dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No
3/PRT/M/2014 tentang. Jika tidak memenuhi syarat, maka digunakan lebar standar yang terdapat pada India
Guidelines for Pedestrian Facilities mengenai terowongan pejalan kaki, karena standar dari India memuat
persyaratan lebar minimal yang spesifik untuk terowongan pejalan kaki. Perhitungan lebar pejalan kaki menggunakan
persamaan ditunjukkan sebagai berikut.

= (3 5) + (1)

Dimana W adalah lebar jalur pejalan kaki, P adalah volume pejalan kaki rencana, dan n adalah lembar tambahan.

Volume pejalan kaki rencana (P) = 6 orang/menit

Lebar tambahan (n) = 1,5 m (papan surat kabar)

Lebar jalur pejalan kaki (W) = ((P/35) + n) x 2 lajur

= ((6/35) + 1,5) x 2 = 3,34 m

469

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa lebar jalur berdasarkan volume pejalan kaki yaitu 3,34 m tidak
memenuhi syarat lebar minimal yaitu sebesar 4,8 m (Indian Road Congress, 2012) Diambil lebar jalur terowongan
pejalan kaki sebesar 5 m karena memenuhi kedua standar dan peraturan baik Indonesia maupun India.

3.8 Tinggi Bebas Jalur Pejalan Kaki
Di Indonesia untuk perencanaan jalur pejalan kaki yang diatur dalam Peraturan Menteri PU No 03/PRT/M/2014
tidak tercantum mengenai ketentuan untuk perencanaan tinggi bebas jalur pejalan kaki pada terowongan. Oleh karena
itu, untuk tinggi bebas ditentukan dari Guidelines for Pedestrian Facilities (Indian Road Congress, 2012) yaitu
minimal sebesar 2,75 m. Pada desain ini, diambil tinggi bebas sebesar 3 m.

3.9 Hasil Gambar Desain
Hasil perhitungan dan pertimbangan yang diperlukan untuk menentukan dimensi jalur terowongan pejalan kaki yang
ditambahkan fasilitas pelengkap divisualisasikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Visualisasi gambar tampak atas dan potongan memanjang terowongan pejalan kaki

4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Furness pemodelan Bi-Proportional, dibagi modal split
non-motorized, dikalikan faktor pertumbuhan selama 10 tahun kedepan, didapatkan volume pejalan kaki harian
sebesar 1982 orang/hari, kemudian dikonversi menjadi perjalanan puncak tiap menit dengan asumsi perjalanan rerata
harian dianggap sebagai perjalanan puncak harian dan menggunakan faktor jam puncak inter-regional sebesar 12%
berdasarkan California High-Speed Authority (2008). Hasil kemudian dibulatkan dan didapatkan volume pejalan
kaki rencana sebesar 6 orang/menit.

Dari hasil perhitungan, volume pejalan kaki rencana tiap menit cukup kecil sehingga digunakan standar desain lebar
minimum. Lebar yang digunakan adalah 5 m. Untuk tinggi bebas digunakan tinggi rancangan sebesar 3 m, sedangkan
panjang keseluruhan desain jalur terowongan yang menghubungkan Stasiun MRT Istora Mandiri dengan Halte
Transjakarta Gelora Bung Karno adalah 210 m.

REFERENSI

California High-Speed Rail Authority (2008). “California High-Speed Train Project Technical Memorandum Phase
1 Service Plan”. California High- Speed Rail Authority, California.

Indian Roads Congress (2012). “Guidelines for Pedestrian Facilities”. Indian Roads Congress, New Delhi.

Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia (2014). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Nguyen, L. X. and Hanoka, S., (2011). “An Application of Social Force Approach To The Description of The Mixed
Traffic Flow.” Proc. of Eastern Asia Society for Transportation Studies, 8, 319-326.

TomTom (2019). “Traffic Index 2019”, https://www.tomtom.com/en_au/navigation/ (Accessed Desember 2020).

470

Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21

Sistem Multi Bandara pada Hub Bandar Udara di Provinsi Kalimantan Timur
dengan MADAM

Tukimun1*, S. A. Sasmita2, I. Ramli2, R. U. Latief2

1Mahasiswa Program Doktor, Universitas Hasanuddin Makassar, Makassar, INDONESIA
2Dosen Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin Makassar, Makassar, INDONESIA

*Corresponding author: [email protected]

INTISARI

Pengaturan rute penerbangan pada Hub bandar udara yang berdekatan dalam satu wilayah metropolitan perlu dilakukan agar
mengurangi kepadatan pada bandara primer, mempertahankan kualitas pelayanan, adanya alternatif pilihan perjalanan,
membangkitkan perekonomian wilayah dan mengurangi dampak monopoli pelayanan penerbangan pada bandara tertentu. Hasil
simulasi dengan menggunakan Multiple Airport Demand Allocation Model (MADAM) pada bandar udara Hub di Kalimantan
Timur yaitu Bandara SAMS. Balikpapan dengan frekuensi penerbangan existing sebanyak 82 penerbangan/hari setelah
disimulasikan menjadi 86 penerbangan/hari yaitu perlu penambahan jumlah penerbangan sebanyak 4 kali. Sedangkan pada
Bandara APT. Pranoto Samarinda baik eksisting dan hasil simulasi menunjukkan jumlah penerbangan yang sama yaitu 20 kali
penerbangan/hari. Setelah dilakukan penggabungan simulasi antara kedua Hub Bandar Udara tersebut menunjukkan adanya
perpindahan penumpang dari Bandara APT. Pranoto ke Bandara SAMS. Balikpapan sebanyak 176 orang/harinya. Untuk jangka
10 tahun kedepan dengan kenaikan penumpang sebesar 30% hasil simulasi menunjukkan adanya perpindahan penumpang dari
APT. Pranoto ke SAMS. Balikpapan sebanyak 248 penumpang/hari. Kondisi ini diakibatkan adanya keterbatasan kapasitas baik
dari sisi darat dan udara di Bandara APT. Pranoto Samarinda sehingga membatasi jumlah penerbangan yang ada.

Kata kunci: Sistem Multi Bandara, MADAM.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagai provinsi yang memiliki topografi berbukit-bukit, moda transportasi udara memegang peranan penting dalam
menghubungkan akses transportasi dari satu kota/daerah ke kota/daerah lainnya di Provinsi Kalimantan Timur.
Ditambah dengan adanya penetapan calon Ibu Kota Negara (IKN) yang berada di Provinsi Kalimantan Timur
memberikan dampak yang sangat signifikan pada sektor transportasi udara dalam menunjang operasional
penerbangan di Provinsi Kalimantan Timur.

Provinsi Kalimantan Timur memiliki 12 bandara yang tersebar pada beberapa daerah, diantaranya terdapat 3 bandar
udara pengumpul (Hub) yakni Bandar Udara AM. Sulaiman Sepinggan (BPN) di Balikpapan, Bandar Udara APT.
Pranoto (SRI) Sei Siring di Samarinda dan Bandar Udara Kalimarau (BEJ) di Berau. Bandar udara (BPN) dan (SRI)
terletak pada kota besar (metropolitan) yakni Balikpapan sebagai Kota Industri dan Samarinda sebagai Ibukota
Provinsi dengan jarak ± 100 Km, yang mana memiliki hinterland yang beririsan menyebabkan calon penumpang
pesawat dapat memilih bandar udara mana yang dapat menerbangkan mereka ke tujuannya (O-D).

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan simulasi model dengan Multiple Airport Demand Allocation Model
(MADAM) pada Hub bandar udara di dalam satu kawasan metropolitan untuk mendapatkan suatu sistem pengaturan
terhadap rute, jadwal dan permasalahan yang terjadi.

1.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Hub bandar udara dalam satu kawasan metropolitan di Provinsi Kalimantan Timur yakni
Bandar Udara SAMS. Balikpapan dan Bandar Udara APT. Pranoto di Samarinda.

1.4 Tinjauan Pustaka
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Bandar Udara adalah kawasan didaratan dan / atau perairan
dengan batas – batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun
penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan antar moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. Tatanan kebandar

471

Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021

udaraan terdiri atas bandara umum dan bandara khusus. Sedangkan ruang udara terdiri atas ruang udara diatas
bandara yang digunakan langsung untuk aktivitas bandara, ruang udara di sekitar bandara yang digunakan untuk
operasi penerbangan dan ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur / rute penerbangan (Adisamita, 2014).

Multi Airport System adalah kumpulan bandar udara yang melayani lalu lintas (udara) pada suatu area metropolitan.
Dimana pada suatu kawasan perkotaan dapat diadakan pelayanan oleh dua bandar udara atau lebih (De Neufville,
1995). Penerapan sistem multi bandar udara memiliki beberapa keuntungan antara lain; (1) mengurangi kepadatan di
bandar udara primer (primary airport) sekaligus menambah kapasitas sistem transportasi udara secara regional, (2)
mempertahankan kualitas pelayanan (khususnya di bandar udara primer) dengan memecah dan mengurangi efek
gangguan yang mungkin terjadi dalam operasional bandar udara; (3) memberikan alternatif pilihan perjalanan bagi
masyarakat yang berada di area metropolis yang bisa mengurangi jarak dan waktu perjalanan menuju bandar udara;
(4) membangkitkan kegiatan perekonomian wilayah sekitar seperti bertambahnya lapangan kerja, pendapatan pajak,
menarik perusahaan baru dan lain-lain; (5) mengurangi dampak dari monopoli pelayanan yang sewaktu-waktu bisa
muncul pada single airport system.

Ada 13 (tiga belas) kawasan metropolitan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya adalah kawasan
metropolitan di Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi Kawasan Metropolitan Balikpapan-Tenggarong-
Samarinda-Bontang. Jadwal Penerbangan adalah penerbangan yang dilakukan secara teratur dengan rute dan jadwal
yang tetap. Biasanya penjawalan berhubungan dengan pengalokasian sumber daya yang ada pada jangka waktu
tertentu (Pinedo, 2002).

1.5 Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam simulasi model ini adalah dengan menggunakan Multiple Airport Demand Allocation
Model (MADAM). Model ini dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA) sejak September 1977
yang merupakan pemodelan komputer dengan program MATLAB untuk memodelkan daya tarik penumpang
terhadap suatu bandar udara dalam satu Wilayah Metropolitan. Pemodelan ini digunakan dalam pengambilan
keputusan pada keberadaan Bandara Washington international, Dulles International dan Baltimore International yang
termasuk dalam satu wilayah Metropolitan Washington DC.

Gambar 1. Bagan alir penelitian

2 PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Wilayah
Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari 12 kota dan untuk mempermudah dalam melakukan simulasi maka setiap
wilayah diberikan kode. Wilayah dan kode di Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada tabel berikut:

472


Click to View FlipBook Version