Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Gambar 5. Hasil pemodelan perubahan garis pantai 5 tahun
3.5.2 Pemodelan perubahan garis pantai 10 tahun
Waktu pemodelan yang dipilih untuk perubahan garis pantai 10 tahun dilakukan mulai tanggal 01 November 2020
sampai dengan 25 Desember 2030. Hasil perubahan garis pantai 10 tahun dengan pemodelan GENESIS dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Pemodelan Perubahan Garis Pantai 10 Tahun
3.5.3 Pemodelan perubahan garis pantai 15 tahun
Waktu pemodelan yang dipilih untuk perubahan garis pantai 15 tahun dilakukan mulai tanggal 01 November 2020
sampai dengan 23 Desember 2035. Hasil perubahan garis pantai 15 tahun dengan pemodelan GENESIS dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Hasil pemodelan perubahan garis pantai 15 tahun
3.6 Analisa Hasil Pemodelan
Hasil pemodelan berupa pengurangan garis pantai yaitu abrasi dengan tanda (-) dan penambahan garis pantai yaitu
sedimentasi/akresi dengan tanda (+). Perubahan garis pantai pada tiga variasi jangka waktu dapat dilihat pada Tabel
3.
571
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Tabel 3. Hasil pemodelan tiga variasi waktu
Hasil Pemodelan 5 tahun Hasil Pemodelan 10 tahun Hasil Pemodelan 15 tahun
Pias Koordinat Koordinat Selisih Koordinat Koordinat Selisih Koordinat Koordinat Selisih
Awal Hasil Awal Hasil Awal Hasil
0 1.241,93 1.241,93 0,00 1.241,93 1.241,93 0,00 1.241,93 1.241,93 0,00
50 1.207,72 1.213,53 5,80 1.207,72 1.216,34 8,62 1.207,72 1.217,86 10,14
100 1.182,30 1.188,72 6,42 1.182,30 1.192,77 10,47 1.182,30 1.195,46 13,16
150 1.164,31 1.168,65 4,34 1.164,31 1.172,03 7,72 1.164,31 1.175,01 10,70
200 1.149,81 1.151,95 2,14 1.149,81 1.154,09 4,29 1.149,81 1.156,37 6,56
250 1.136,76 1.136,92 0,17 1.136,76 1.138,06 1,31 1.136,76 1.139,66 2,91
300 1.123,53 1.123,50 -0,03 1.123,53 1.123,77 0,24 1.123,53 1.125,10 1,57
350 1.110,13 1.110,26 0,13 1.110,13 1.111,17 1,04 1.110,13 1.112,52 2,39
400 1.096,77 1.098,52 1,74 1.096,77 1.100,25 3,47 1.096,77 1.101,71 4,94
450 1.084,97 1.088,30 3,33 1.084,97 1.090,97 6,00 1.084,97 1.092,42 7,45
500 1.076,17 1.080,00 3,84 1.076,17 1.083,06 6,90 1.076,17 1.084,37 8,20
4 KESIMPULAN
a) Hasil pemodelan menunjukan perubahan garis pantai berupa abrasi dan akresi. Nilai pada perubahan garis pantai
pola 3 variasi waktu sebagai berikut:
1) Hasil pemodelan dengan jangka waktu 5 tahun menunjukkan abrasi maksimum sebesar -0,03 m dan akresi
sebesar 6,42 m.
2) Hasil pemodelan dengan jangka waktu 10 tahun menunjukkan akresi maksimum sebesar 10,47 m.
3) Hasil pemodelan dengan jangka waktu 15 tahun menunjukkan akresi maksimum sebesar 13,16 m.
b) Perubahan garis pantai yang terjadi di Tapak Paderi didominasi terjadi karena sedimentasi setiap tahunnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini, kepada pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih juga tidak
lupa diucapkan kepada kedua orangtua dan semua pihak di Program Studi Teknik Sipil yang telah memberikan izin
sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
REFERENSI
Arafat, Y., dan Hidayat, N. (2011). “Model Perubahan Garis Pantai Rerang (Kabupaten Donggala) Menggunakan
GENESIS”. Infrastruktur, 1 No.1, 18–25
Fajri, H., Fatnanta, F., dan Sutikno, S. (2013). Simulasi Perubahan Garis Pantai Teluk Belitung Kabupaten
Kepulauan Meranti Menggunakan Program GENESIS. Teknik Sipil Universitas Riau, Hal 1–15
Hariyadi. (2011). “Analisis Perubahan Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering
Design and Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan Bangunan Pelindung Pantai.
Buletin Oseanografi Marina”. Jurnal Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan: Universitas
Diponegoro, Volume 1(1), Hal 82–94, Semarang
Mutiara, I. (2018). Pemetaan Batimetri Untuk Penentuan Ujung Dermaga Dan Posisi Tiang Pancang Pada Rencana
Dermaga PLTMG Selayar. Teknik Sipil: Politeknik Negeri Ujung Pandang Makassar. Hal 7–12.
Pranoto, S., (2007). “Prediksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Model GENESIS. Berkala Ilmiah Teknik
Keairan”. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Vol 13. No.3, Semarang
Triatmodjo, B., (1999). Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta
Yulius, E. (2013). “Kajian Perubahan Garis Pantai Dengan Menggunakan Software CEDAS (Studi Kasus Pada
Kawasan Pantai Parupuk Tabing)”. Jurnal Bentang, Vol.1 No.01
572
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Studi Pengaruh Tinggi Silinder Pori Terhadap Debit Infiltrasi
Pada Saluran Drainase Bersilinder Pori
F. D. Sindagamanik, S. Antaria, Nenny*
Fakultas Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Makassar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Infiltrasi sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah yang di dominasi oleh pori – pori partikel tanah. Semakin besar pori – pori partikel
tanah semakin besar infiltrasi yang terjadi. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Membuat silinder pori pada
dasar drainase untuk meningkatkan debit infiltrasi, yang di harapkan mampu mengurangi genangan yang ada pada permukaan
drainase. Tujuan dari penelitian ini mengetahui pengaruh tinggi silinder pori terhadap laju infiltrasi dengan tiga varian tinggi
silinder pori pada tiga varian tanah. Penelitian ini merupakan penelitian uji laboratorium yang menggunakan model berupa
saluran drainase berselinder pori yang memiliki jarak antarsilinder pori 32 cm dan dialiri air di permukaan drainase sesuai dengan
debit yang dinginkan. Dari hasil penelitian ini didapatkan pengaruh tinggi silinder pori terhadap debit infiltrasi, semakin tinggi
silinder pori maka semakin besar pula debit infiltrasi yang terjadi, dapat dibuktikan dari hasil analisa data penelitan, untuk debit
pengaliran 400 cm3/det dan sampel tanah lempung berpasir, yaitu Qf = 31,930 cm3/detik (untuk tinggi silinder pori 15 cm), Qf =
29,773 cm3/dtk (untuk tinggi silinder pori 10 cm); dan Qf = 26,993 cm3/detik (untuk tinggi silinder pori 5 cm).
Kata kunci: Drainase, Silinder Pori, Debit
1 PENDAHULUAN
Makassar yang merupakan kota metropolitan terbesar di kawasan Indonesia Timur. Menjadi salah satu pusat
pertumbuhan utama di Indonesia. Meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan
menimbulkan banyak masalah terutama saat musim penghujan datang. Ini di akibatkan banyaknya daerah resapan
yang hilang contoh besarnya area lapangan karbosi yang berada di pusat kota Makassar beralih fungsi menjadi mall
dan buruknya sistem drainase yang ada di hampir seluruh wilayah Makassar. Hal ini yang menyebabkan kota
Makassar menjadi langganan banjir setiap musim hujan.
Usaha pemerintah dalam mengatasi banjir dengan melakukan perbaikan sistim drainase, yaitu dengan usaha untuk
mengurangi genangan banjr yang terjadi pada saat musim hujan dengan curah hujan tinggi (Asdak, 2004). Secara
umum kondisi saluran drainase yang ada sudah tidak mampu lagi menampung debit air yang melimpas pada saluran
drainase. Faktor penyebabnya antara lain, sedimentasi, penumpukan sampah, rusaknya kondisi dinding saluran.
Sehingga pengaliran air pada saluran mengalami hambatan aliran dan menyebabkan air stagnan atau air tidak
mengalir di dalam saluran. Menurut, (Sunjoto, 2018). Sebab utama terjadinya genangan, yang kemudian diselesaikan
dengan drainage sistem adalah terjadinya perubahan tataguna lahan dari yang semula tanah secara alami dapat
meresapkan air hujan ke dalam tanah, namun akibat pembangunan hingga proses tersebut terhalangi hingga air run
off meningkat dan akibatnya menggenang dipermukaan.
Maka dari itu perlu adanya desain saluran drainase efektif, berwawasan lingkungan, yang mana bukan saja
menampung dan mengalirkan air tetapi sekaligus berfungsi sebagai usaha penyerapan air ke lapisan tanah di
bawahnya (Daud, 2015). Salah satu cara yang dapat untuk meresapkan air tersebut, dengan membuat lubang pori
atau lubang resapan yang membantu proses infiltrasi di sepanjang bagian dasar saluran. Infiltrasi sendiri adalah
gerakan vertikal air ke dalam tanah melalui permukaan tanah (Brata, 2008). Infiltrasi menyebabkan air dapat tersedia
untuk pertumbuhan tanaman dan air tanah (groundwater) terisi kembali (Darwia, et al., 2017). Istilah infiltrasi dan
perkolasi sering digunakan dan dipertukarkan, tetapi sebenarnya kedua istilah tersebut mendefinisikan hal yang
berbeda. Perkolasi secara spesifik digunakan untuk menyebut gerakan air antar lapisan didalam tanah, sedang
infiltrasi digunakan untuk mendiskripsikan gerakan air dari permukaan masuk ke dalam lapisan tanah yang teratas
(Fuadi, 2014).
Sehubungan dengan itu, penelitian ini direncanakan skala laboratorium masing-masing dengan variasi tinggi selinder,
variasi debit pengaliran, dan jenis tanah; lempung, lempung berpasir, lempung dan lempung berliat.
573
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Untuk uji karakteristik tanah dilakukan di laboratorium Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar dan
di laboratorium Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar.
2.1 Model Rencana Penelitian
Model saluran drainase terdiri atas dua buah wadah yang terbuat dari bahan acrilyc, yang tersusun dimana wadah
bagian bawah berisi tanah dan bagian atas akan dialiri air (Gambar 1).
Berdasarkan uji pengaliran yang dilakukan di laboratorium, jarak silinder pori yang digunakan yaitu 32 cm. Jarak
ini dianggap paling efektif dalam pengaplikasiannya di lapangan yaitu empat kali dari diameter lubang
dimana diameter lubang sendiri yaitu 1/5 lebar saluran (Gambar 2).
Lubang berselinder pori ini berdiameter 8 cm dengan varian tinggi silinder pori yaitu h1 = 5 cm, h2 = 10 cm, h3 = 15
cm di bawah permukaan tanah. saluran berselinder pori ini menggunakan kawat ram yang berisi agregat kasar yang
lolos uji saringan no.16 (Gambar 3).
Gambar 1. Model drainase bersilinder pori
2.2 Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium yang menngunakan model drainase bersilinder pori,
yang didahului oleh penelitian pendahuluan untuk menetapkan parameter yang akan digunakan antara lain debit
aliran(Q), kadar air(w), tinggi muka air (h), laju infiltrasi(f).
2.3 Alat dan Bahan
Simulasi drainase bersilinder pori terbuat dari akrilik dengan rangka besi holo, wadah menampung air runoff, gelas
ukur untuk menampung infiltrasi, kawat rang untuk silender pori, stopwatch, pompa air, jenis tanah (tanah lempung
berpasir, lempung dan lempung berliat).
2.4 Karakteristik tanah
Karakteristik tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah dari hasil pemeriksaan ukuran butir dengan uji
saringan 40, 100 dan 200. Karakteristik tanah di klasifikasikan yaitu pasir, debu dan liat ditentukan berdasarkan
pembagian ukuran fraksi-fraksi tanah menurut Sistem Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 1938.
Segitiga tekstur tanah USDA (USDA soil triangle) I merupakan salah satu alat untuk mengklasifikasikan tanah atas
dasar komposisi tekstur nya. Diagram segitiga USDA dapat dilihat pada Gambar 4.
574
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Gambar 4. Diagram segitiga tekstur menurut USDA (Bowles, 1989)
Dari klasifikasi diatas didapatkanhasil karakteristik tanah untuk media infiltrasi pada table di bawah ini.
Tabel 1. Karakteristik tanah sampel untuk media infiltrasi
Tekstur Tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Lempung Berpasir 75 15 10
Lempung 50 30 20
Lempung Berliat 45 20 35
2.4.1 Berat isi
Berat isi adalah berat tanah utuh dalam keadaan kering dibagi dengan volume tanah dinyatakan dalam gr/cm3. Hasil
pengujian berat isi pada Tabel 2.
Tabel 2. Berat isi tanah sampel
Tekstrur tanah Berat isi tanah sampel gr/cm3
Lempung berpasir 1,84
Lempung 1,544
Lempung berliat 1,6
Berdasarkan berat isi tanah sampel yang diperoleh dapat diketahui berat tanah yang dibutuhkan untuk setiap sampel
tanah ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Berat tanah yang dibutuhkan
Berat Tanah Yang Dibutuhkan
Kedalaman Lempung Lempung Lempung Berliat
Berpasir
(cm) (kg) (kg) (kg)
5 554,29 574,39
10 660,55 552,74 572,78
15 658,70 551,19 571,18
656,85
2.4.2 Pengaturan Debit Aliran
Debit aliran dalam penelitian ini menggunakan pintu Thomson. Untuk mencapai debit pengaliran yang di inginkan
maka dilakukan kalibrasi alat pintu Thomson untuk menentukan debit pengaliran. Pengambilan data kalibrasi
dilakukan sebanyak 5 kali running tiap 5 menit selama 25 menit.
575
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Besarnya debit yang melewati pintu Thomson dihitung dengan rumus:
= 8 ∝ √2 5⁄2 (1)
15 2 Sudut peluap segitiga, g adalah
Dimana Q adalahdebit aliran (l/dtk), Cd adalah koefisien pengaliran, α adalah
percepatan gravitasi, H adalah tinggi air pada pintu Thomson
3 HASIL
3.1 Koefisien Pengaliran (Cd)
Kalibrasi hasil koefisien pengaliran debit dilakukan dengan pengamatan debit aliran melalui pintu Thomson.
Pengamatan dilakukanberulang, sehingga dari pengamatan ini besarnya koefisien pengaliran Cd dapat dihitung,
seperti pada Tabel 4. di bawah ini.
Tabel 4. Penentuan koefisien pengaliran debit Cd
Tinggi Air (m) Waktu (detik) Volume Air (ml) Volume air (m3)
No T V
H
1 0.035 300 127000 0,127
2 0.035 300 127800 0,1278
3 0.035 300 127000 0,127
4 0.035 300 128100 0,1281
5 0.035 300 129000 0,129
V rata -rata 0,12778
Q (m3/det) 0,0004259
= 8 ∝ √2 5⁄2
15 2
= 8 × 0,0004259 ×15 = 0.787
45 × √2 ×9.81 × 0,0355⁄2
Dengan nilai Cd = 0,787 maka dapat di hitung tinggi air pada pintu Thomson (H) sesui dengan debit pengaliran yang
dinginkan. Tinggi air pada pintu Thomson terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tinggi air pada pintu Thomson
No Debit Pengaliran (cm3/det) Koefisien Pengaliran Tinggi Air pada Pintu (cm)
Q Cd H
1 2500 7,1
2 1500 0,787 5,8
3 400 3,5
3.2 Penentuan Debit Infiltrasi
Dari hasil penelitian pengaruh tinggi silinder pori terhadap debit infiltrasi. Untuk sampel tanah lempung berpasir,
lempung dan lempung berliat dengan debit pengaliran 400cm3/det, 1500 cm3/det dan 2500cm3/det, dengan jarak antar
lubang 32 cm dengan variasi tinggi silinder pori 15 cm, 10 cm dan 5 ditunjukkan pada Tabel 6. Dari Gambar. 6,
Gambar. 7 dan Gambar. 8. Dapat diliat untuk sampel tanah lempung berpasir, lempung dan lempung berliat debit
infiltrasi maksimum di dapatkan pada saat ketinggian silinder pori 15 cm. hal ini menunjukkan bahwa debit infiltrasi
berbanding lurus dengan ketinggian silinder pori.
576
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Tabel 6. Parameter debit infiltrasi
Tinggi Tinggi Silinder Pori (cm) Debit Infiltrasi (cm³/det) Varian Debit Infiltrasi (cm³/det)
Silinder Pori
(cm)
Lempung 15 400 1500 2500
Berpasir 10 31,930 30,881 29,808
5 29,774 28,615 28,230
Lempung 15 26,993 26,726 24,867
10 28,023 26,336 25,487
Lempung 5 25,486 25,487 25,145
Berliat 15 24,576 24,209 23,608
10 24,293 23,408 23,350
5 22,625 21,863 21,500
20,781 20,458 18,819
Debit Infiltrasi (m³/det) 34
Debit Infiltrasi (m³/det)32
30
Debit Infiltrasi (m³/det)
28 Lempung Berpasir
26 Lempung
24 Lempung Berliat
22
20 5 10 15 20
18 Tinggi Silinder Pori (cm)
0
Gambar 6. Pengaruh tinggi lubang silinder pori terhadap debit infiltrasi dengan debit pengaliran 400 cm3/det
33 Lempung 32 Lempung
31 Berpasir 30 Berpasir
29 28
27 5Tinngi SIlin1d0er Pori (cm1)5 20 26 5 Tinggi Silin1d0er Pori (cm)15 20
25 24
23 22
21 20
19 18
17 16
15 14
12
0
0
Gambar 7. Pengaruh tinggi lubang silinder pori terhadap debit infiltrasi dengan debit pengaliran 1500 cm3/det
dan 2500 cm3/dt
4 KESIMPULAN
Untuk tiga sampel tanah yg diuji yaitu lempung berpasir, lempung dan lempung berliat Pengaruh tinggi lubang
silinder pori terhadap debit infiltrasi sangat besar, Semakin tinggi silinder pori maka semakin besar pula debit
infiltrasi yang dihasilkan.
577
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terlaksana atas bantuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, atas
bantuan dana penelitian melalui Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT).
REFERENSI
Asdak, C. (2004). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Bowles, J. E. (1989). Sifat-Sifat Fisis Dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). Hainim, Ir. JK, Penerjemah:
Erlangga. Terjemahan dari: McGraw-Hill, Inc
Brata, R. K. (2008). Lubang Resapan Biopori Modifikasi. Penebar Swadaya, Jakarta
Darwia, S., Ichwana, dan Mustafril. (2017). “Laju Infiltrasi Lubang Resapan Biopori (LRB) Berdasarkan Jenis Bahan
Organik Sebagai Upaya Konservasi Air dan Tanah”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 2(1), 1-10
Daud, F. S. (2015). Model Saluran Drainase Berpori Untuk Mereduksi Genangan Banjir Perkotaan. Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin, Makasar
Fuadi, A. (2014). “Pengaruh Infiltrasi Dan Permeabilitas Terhadap Sumur Resapan Di Kawasan Perumahan (Studi
Kasus: Taman Setia Budi Indah II, Medan)”. Jurnal Teknik Sipil Univesitas Sumatera Utara, Halaman 1-10, Medan
Sunjoto. (2018). Teknik Drainase Pro Air. Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan: Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
578
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Penentuan Nilai k (Koefisien Infiltrasi Horton)
dengan Cara Pengukuran yang Berbeda Untuk Koefisien Abstraksi
I. Kusuma1, D. N. Khaerudin2*
1Program Doktor Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya, Malang, INDONESIA
2Program Studi Teknik Sipil, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Penentuan laju infiltrasi dihitung dengan cara pengukuran langsung dan dengan perhitungan empiris. Pengukuran langsung di
lakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengukuran di lapangan dilakukan di DAS Lesti. Pengukuran di lapangan dapat
dilakukan dengan metode penggenangan dan simulasi hujan. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan
penggenangan, yaitu dengan menggunakan ring ganda berdiameter 60 cm ring luar dan 30 cm ring dalam. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan nilai laju infiltasi. Laju infiltrasi diketahui untuk mendapatkan nilai k
(koefisien infiltrasi Horton). Nilai k (koefisien infiltrasi Horton) adalah nilai koefisien yang menunjukkan sifat tanah pengukuran
laju infiltrasi. Namun ternyata pada saat penentuan nilai k diperhitungannya berubah-ubah tergantung dari banyaknya data. Nilai
k akan berubah dengan variasi perlakuan pengamatan laju infiltrasi. Nilai k berubah karena kondisi tanah, dan pengamatan laju
infiltrasi dengan pengukuran yang berbeda. Dalam peneltian ini pengukuran dilakukan dengan menggunakan 3 cara pengukuran
yang berbeda, yaitu perlakuan ring luar tidak dibuat konstan, ring luar dikonstankan interval 4 menit, dan dengan ring luar
konstant, interval SNI, serta membandingkan dengan alat lain yaitu Turftech Infiltrometer. Hasil yang didapat, bahwa ternyata
nilai k (koefisien infiltasi Horton) akan berubah bukan karena bertambahnya data saja, namun juga karena metode pengukuran,
dan alat yang digunakan juga berbeda, maka dengan nilai rata-rata perbedaan 38% untuk ring luar tidak konstan berarti cara ini
tidak dapat digunakan, dan nilai rata-rata perbedaan lebih besar untuk interval SNI, yaitu 34% menandakan bahwa interval tidak
mempengaruhi pengukuran laju infiltrasi, dan nilai k. Nilai k dipengaruhi oleh kondisi tanah dan lamanya waktu menuju konstan.
Kata kunci: Laju Infiltrasi, Koefisien k, Rumus Horton
1 PENDAHULUAN
Infiltrasi merupakan salah satu parameter dalam proses siklus hidrologi dan menjadi bagian dalam proses
keseimbangan air di drainase perkotaan. Infiltrasi adalah proses meresapnya air ke dalam tanah. Infiltrasi ini
merupakan laju aliran air ke dalam tanah. Infiltasi yang terdalam dapat mencapai aliran hingga kedap air dan menjadi
cadangan air tanah. Penentuan laju infiltrasi dihitung dengan cara pengukuran langsung dan dengan perhitungan
empiris. Dengan pengukuran langsung dengan pengamatan langsung di lahan. Pengukuran langsung dilahan dapat
dilakukan dengan 2 metode, metode penggenangan dan simulasi hujan. Metode penggenangan adalah metode
pengamatan laju infiltrasi langsung di lahan dengan tujuan mengetahui laju infiltrasi secara alamiah, gerakan gravitasi
air meresap ke dalam tanah. Selain itu, pengamatan dilapangan dapat langsung mengatahui factor pengaruh dari tanah
terhadap laju infiltasi. Faktor pengaruh tanah dalam peramaan Horton adalah nilai k (koefisien Horton).
Penentuan laju infiltrasi di lapangan masih cukup memadai dengan mengaplikasikan rumus Horton dan rumus
Philips. Rumus Philips menggunakan parameter yang lebih sederhana dan mudah didapat dibandingkan dengan
rumus Horton yang masih melibatkan unsur subyektifitas. (Ritawati, 2010). Namun penentuan laju infiltrasi dengan
menggunakan persamaan Horton masih memadai untuk digunakan, salahsatunya di daerh perkubunan, Batu (Susan,
et al., 2014). Nilai k (koefisien Horton) didapat adalah berasal dari hasil pengamatan dan pengukuran laju infiltrasi.
Sedangkan nilai k Horton dapat menjadi penentu dalam menentukan koefisien abstraksi awal () yang sebelumnya
ditentukan 0,2 pada metode SCS-CN. SCS-CN adalah difungsikan untuk menentukan resapan air ke dalam tanah
(Mishra dan Singh, 2004). Nilai k ini digunakan untuk meninjau ulang parameter koefisien abstraksi awal tersebut
dengan fungsi k dan waktu ponding. Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan nilai k (koefisien Horton)
yang sesuai dan dapat membatasi subyektifitas yang dinyatakan dalam penelitian sebelumnya.
Penentuan laju infiltrasi secara empiris dapat dilakukan dengan membuat model regressi. Variabel yang berpengaruh
untuk tanah yang diolah menunjukkan variabel fisik tanah lebih berpengaruh dari variabel sifat non fisiknya seperti
kadar air, berat kering dan basah tanah, tingkat kejenuhan nya (Patle, et al., 2019). Faktor lain yang mempengaruhi
579
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
nilai k adalah penggunaan lahan. Karena laju infiltrasi juga dipengaruhi oleh factor tersebut. Laju infiltrasi
dipengaruhi oleh pemadatan tanah dari penggunaan lahan yang mengakibatkan menaiknya nilai bulk density.
Semakin besarnya nilai bulk density maka laju infiltrasi akan semakin kecil (Gregory, et al., 2006). Pada rumus
Horton, semakin lamanya waktu, maka kapasitas infiltrasi semakin kecil dan hal ini mempengaruhi kondisi tanah
yang berakibat pula pada nilai k. Nilai k ditentukan berdasarkan data pengamatan. Selama ini, nilai k akan sangat
bergantung terhadap jumlah data karena waktu laju infiltrasi dari hasil pengamatan. Berdasarkan permasalahan ini,
maka akan dilakukan pembahasan dengan melakukan perulangan dan perlakuan laju infiltrasi pada berbagai macam
cara pengukuran, apakah ada perbedaan yang signifikan. Beberapa artikel sebelumnya masih membahas untuk
peninjauan perbedaan diantara dua atau lebih metode pengamatan laju infiltrasi, di dalam pembahasan kali ini, adalah
untuk nilai k yang berperan dalam penentuan resapan dalam tanah melalui parameter koefisien abstraksi awal untuk
kemampuan resapan air ke tanah.
2 PENDEKATAN TEORI (1)
Persamaan infiltrasi Horton dinyatakan sebagai = ( − ) −
Dimana; ft adalah laju infiltrasi, fo merupakan laju infiltrasi awal, fc adalah laju infiltrasi konstan, k merupakan
koefisien Horton dan t adalah waktu.
Berdasarkan rumus utama Horton tersebut, nilai k didapat dari persamanaan berikut ini.
= + (2)
= = log( − ) (3)
(4)
= −1 = −1 log( − )
log
Persamaan yang digunakan.
= −1
= −1
3 METODE
Pengamatan laju infiltrasi menggunakan ring ganda (cincin ganda) dengan ukuran 60 cm untuk ring luar dan 30 cm
untuk ring dalam dan terbuat dari baja, sesuai dengan SNI. (Jakarta Patent No. SNI: 7752:2012, 2012). Alat
ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Alat pengukur laju infiltrasi (cincing ring ganda)
580
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Pelaksanaan pengukuran dilakukan di beberapa titik di DAS Lesti. Pengamatan laju infiltrasi dilakukan di Wilayah
DAS Lesti. DAS ini mempunyai data yang lengkap untuk data output debitnya. Selain itu pula, DAS Lesti secara
sarana dan prasarana hirometri sudah lengkap, sehingga dipilih lokasi ini.
Pengamatan dilakukan dengan perlakuan jenis tanah, kemiringan dan penggunaan lahan yang berbeda. Pelaksanaan
pengukuran dilakukan dengan 3 percobaan. Percobaan (1) dilakukan dengan memperlakukan ring luar tiak konstan,
interval 4 menit (2) dilakukan dengan memperlakukan ring luar konstan interval 4 menit, (3) dilakukan dengan
memperlakukan ring luar konstan interval SNI, yaitu pengukuran pertama digunakan interval 1 menit, 2 menit, 5
menit, dan hingga 10 menit dan 15 menit sampai kondisi laju infiltrasi konstan. Gambar 2 berikut merupakan
pelaksanaan pengukuran pada cara (1), (2), (3).
Gambar 2 Peralatan yang digunakan, cara pengukuran
Pengolahan data hasil pengamatan diperoleh dengan menghitung nilai k, rumus Horton, dari hasil pengamatan fo, fc,
dan ft. Percobaan dilakukan pada titik yang sama dengan jenis tanah yang sama, kemiringan yang sama dan
pemanfaatan lahan yang sama. Selanjutnya masing-masing percobaan dibandingkan hasil k atas cara pengukuran
yang berbeda, dan dianalisis. Analisis percobaan pertaman dengan membandingkan percobaan 1, yaitu ring luar tidak
konstasn waktu pengukuran interval 4 menit terhadap percobaan 2 yaitu ring luar dikondisikan ketinggian
penggenangan tetap dan interval 4 menit. Analisis percobaan kedua dengan membandingkan percobaan 2, dan
percobaan ke 3, yaitu ring luar dikondisikan konstan tinggi penggenangannya dan interval waktu pengamtan dibuat
sesuai SNI, 10 pengamatan pertama 1 menit, 2 menit, 5 menit, 10 menit hingga konstan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengunaan lahan mempengaruhi nilai koefisien k Horton infiltrasi. Nilai k akan berkurang seiring dengan
berkurangnya resapan air di lahan atau berkurangnya lahan terbuka, seperti halnya berkurangnya lahan sawah dan
beralih lahan menjadi permukiman (Syauqi dan Dibyosaputro, 2011). Nilai k (koefisien infiltrasi Horton) merupakan
penentu padajenis tanah dan perlakuan permukaan lahan tempat pengukuran infiltrasi. berikut ini adalah deskripsi
lokasi studi.
Tabel 1. Titik pengamatan dengan jenis tanah, kelas lereng dan kelas tutupan lahan
Titik Jenis tanah Kelas Lereng Kelas Tutupan Lahan
7,8,9 Andosol Lahan terbuka, lahan pertanian, pertanian
18,19,20, Mediteran 15 – 40 Lahan Terbuka, Permukiman, Pertanian
45,34, 35 15 – 40
Lokasi percobaan terdiri dari jenis tanah Andosol, Regool, Mediteran dan mediteran. Kemiringan lereng lahan
berkisar antara 0 sampai dengan 15 persen, 15 sampai dengan 40 meter, da lebih besar dari 40 persen. Sedangkan
untuk penggunaan lahannya, adalah lahan terbuka, permukian, vegetasi, dan pertanian.
581
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Cara pengukuran yang benar akan menetukan keakuratan nilai k, namun disini, cara pengukuran untuk menentukan
k koefisien infiltrasi dari pengamatan laju infiltrasi yaitu lama waktu yang diperlukan hingga konstan dan saat mulai
meresap juga menentukan perubahan nilai k.
Percobaan (1) ring luar tidak konstan, interval 4 menit. Kondisi ini diambil pengamatan untuk memverifikasi metode
cincin ring ganda.
(a) Laju infiltrasi ring luar tidak konstan (b) Laju Infiltrasi ring luar konstan
Gambar 3 Grafik laju infiltrasi f hasil pengamatan dan perhitungan
Dapat diketahui bahwa hasil pengamatan pengukuran laju infiltrasi dengan ring luar tidak dikondisikan konstan (a)
akan mendapatkan nilai determinasi (R2) adalah 0,2225, dan (b) hasil pengamatan laju infiltrasi ring luar dikondisikan
konstan mendapatkan nilai determinasi (R2) adalah 0,7753. Untuk nilai R2 dibawah 0,5 berarti data pengaruh
variabel x tidak banyak berkontribusi terhadap y (laju infiltrasi) sedangkan untuk yang lebih dari 0,5 variabel x lebih
banyak yang terkontribusi terhadap y. Namun untuk nilai k tetap dapat dihitung untuk keduanya, yaitu untuk titik 7
dengan ring luar tidak konstan bernilai 0,0922, dan titik 7 dengan ring luar konstan bernilai 0,130, dapat dilihat pada
Gambar 4 (a) dan (b) berikut.
(a) Grafik m, titik 7 ring luar tidak konstan (b) Grafik m, tiitk 7 ring luar konstan
Gambar 4. Grafik nilai koefisien k Horton Laju Infiltrasi
582
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3.5 4
3
LAJU INFILTRASI (MM/MENIT) 3
Laju Infiltrasi (mm/menit)2.5
2 2
1.5 1
1
WAKTU (MENIT) 0 Waktu (Menit)
0.5 50 100 150 0 10 20 30 40 50 60
0 f hitung (mm/menit)
f hitung (mm/menit) f horton (mm/menit)
(a) Ring luar tidak konstan
(b) Ring luar konstan
Gambar 5. Hasil f hitung dan f Horton untuk titik 7
5 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data laju infiltrasi hasil pengamatan dan perhitungan rumus Horton, maka pelaksanaan
pengamatan dengan ring luar tidak konstan Gambar 5(a), mempunyai nilai yang berbeda dengan hasil perhitungan
menggunakan rumus Horton, rata-rata perbedaan 0,38 atau 38%. Sedangkan untuk Gambar 5 (b) mempunyai nilai
yang mendekati dengan hasil perhitungan menggunakaan rumus Horton, rata-rata perbedaan 0,0493 atau 4,9%.
Bagaimana bila dibandingkan terhadap pengukuran dengan sama-sama ring luar konstan namun interval waktu yang
berbeda apakah nilai k akan sama, berdasarkan Gambar 6 (a) dan (b) berikut.
(a) Laju infiltrasi ring luar konstan, interval 4 menit (b) Laju infiltrasi ring luar konstan, internal SNI
Gambar 6. Grafik laju infiltrasi f hasil pengamatan dan perhitungan
Percobaan dengan perlakuan pada ring luar yang konstan dan hanya waktu yang dibedakan terhadap interval di
lakukan pada titik 35. Titik 35 mempunyai jenis tanah Mediterania, kemiringan lahan berkisar 15 – 40, dan
penggunaan lahan terbuka, pertanian, dan permukiman. Laju infiltrasi pada interval 4 menit mempunyai laju infiltrasi
hasil pengamatan dan perhitungan dengan R2 = 0,4, sedangkan untuk interval SNI R2 didapat 0,77. Berdasarkan
pengujian ini, maka dapat disampaikan bahwa interval SNI lebih baik dibandingkan dengan interval yang tanpa
menggunakan jenjang interval waktu pengukuran.
Nilai k untuk titik 35 dengan cara pengukuran yang berbeda terhadap interval waktu adalah ditunjukkan dengan
gambar 7 (a) dan (b) berikut ini.
583
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
(a) Grafik m, titik 35 ring luar konstan, interval 4 menit (b) Grafik m, titik 35 ring luar konstan, interval
Gambar 7. Grafik nilai koefisien k Horton laju lnfiltrasi
Nilai k untuk pengukuran dengan perlakuan yang sama yaitu kondisi ring luar tetap, namun untuk waktu diintervalkan
4 menit (a), dan interval SNI (b) dihasilkan nilai k untuk (a) adalah 0,0246, sedangkan untuk perlakuan di Gambar 7
(b) adalah 0,407. Hal ini menunjukkan bahwa selain kondisi tanah, nilai k dapat berubah karena waktu yang
digunakan.
Selanjutnya dibuktikan dengan pengolahan data laju infiltrasi hasil pengamatan dan perhitungan adalah seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 8 (a) dan (b) berikut ini.
4.5Laju Infiltrasi (mm/menit) 14 Waktu (Menit)
4 12
Laju Infiltrasi (mm/menit) 10
3.5 50 100 Waktu (Menit) 6 f horton 8(mm/men1i0t) 12
3 f hitung (mm/menit) 8
150 200 6
2.5 f horton (mm/menit) 4
2 2
0
1.5
1 0 f hitung2(mm/men4it)
0.5
0
0
(a) Interval 4 menit (b) Interval SNI
Gambar 8. Hasil f hitung dan f Horton untuk titik 35 ring luar konstan,
Berdasarkan hasil pengolahan data laju infiltrasi hasil pengamatan dan perhitungan rumus Horton, maka pelaksanaan
pengamatan dengan ring luar tidak konstan Gambar 8(a), mempunyai nilai yang berbeda dengan hasil perhitungan
menggunakan rumus Horton, rata-rata perbedaan 0,0187 atau 1,8%. Sedangkan untuk Gambar 8 (b) mempunyai nilai
yang mendekati dengan hasil perhitungan menggunakaan rumus Horton, rata-rata perbedaan 0,3406 atau 34,06%.
6 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan bahwa perbedaan nilai k yang ada adalah terjadi pada kondisi semua
pengukuran, dan bersifat generic, tidak hanya pada titik lokasi ini saja, nilai k selain diengaruhioleh metode
pengukuran laju infilltrasinya, dipengaruhi oleh lamanya waktu konstans, dan dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Nilai k dipengaruhi kondisi tanah, pada kemiringan yang sama, dengan jenis tanah yang berbeda maka
menghasilkan nilai yang berbeda. Pengaruh tersebut adalah kadar air awal, tingkat porositas tanah, dan kepadatan
tanah.
b) Nilai k pada perngukuran yang sama, interval yang berbeda tidak berpengaruh signifikan, nilai k akan dipengaruhi
pada lama waktu konstan
c) Nilai k pada kondisi ring luar tidak konstan tidak dapat digunakan sebagai metode pengukuran laju inifltrasi
metode ring ganda ini.
584
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
REFERENSI
Badan Standarisasi Nasional. (2012). Jakarta Patent No. SNI: 7752:2012, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta
Gregory, J. H, Dukes, M. D., Jones, P. H., dan Miller, G. L. (2006). “Effect of urban soil compaction on Infiltration
Rate”. Journal of Soil and Land Conservation, 117 - 124.
Mishra, S. K., dan Singh, V. P. (2004). “Validity and extension of the SCS-CN method for computing infiltration
and rainfall-excess rates”. Hydrology Process, 3323 -3345.
Patle, G. T., Sikar, T. T., Rawat, K. S., dan Sudir. (2019). “Estimation of infiltration rate from soil properties using
regression model for cultivated land”. Geology, Ecology, and Landscapes, 1-13.
Ritawati, S. P. (2010). Analisis kesesuaian model infiltrasi horton dan philips untuk prediksi limpasan permukaan di
Sub DAS Progo Hulu. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Susanawati, L. D., Rahmadi, B., dan Tauhid, Y. (2014). “Penentuan Laju Infiltrasi Menggunakan Pengukuran Double
Ring Infiltrometer dan Perhitungan Model Horton pada Kebun Jeruk Keprok 55 (Citrus Reticulata) Di Desa Selorejo,
Kabupaten Malang”. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Syauqi, M. B., dan Dibyosaputro, S. (2011). “Studi Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Perubahan
Infiltrasi Dan Limpasan Permukaan di Sebagai Wilayah Desa Maguwoharjo, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta”.
Jurnal Bumi Indonesia,Vol. 6 No. 4
585
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Perancangan dan Evaluasi Kinerja Sistem Lumpur Aktif IPAL
Toilet Wisdom Park UGM dalam Mengurangi Kadar COD dan Nitrogen
O. Y. Setyapeni1, S. P. Saraswati2, J. S. M. Ahmad2
1Magister Pengelolaan Air dan Air Limbah, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
INDONESIA
2Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Mayoritas rumah tangga di perkotaan menggunakan tangki septik sebagai pengolah limbah dari toilet, namun mutu efluen dari
tangki septik berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama air tanah sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut. Selain
itu pembangunan infrastruktur pengolahan limbah terpusat di wilayah perkotaan seringkali terkendala permasalahan ketersediaan
lahan. Oleh karena itu, perlu dicari solusi pilihan teknologi yang lebih efektif dari segi mutu efluen dan biaya. Salah satu pilihan
teknologi yang berpotensi untuk menjawab permasalahan tersebut adalah pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif.
Kelebihan dari sistem lumpur aktif diantaranya adalah mampu mengolah beban polutan organik yang tinggi, kebutuhan lahan
yang tidak besar, serta biaya instalasi yang cukup rendah. Penelitian ini bertujuan untuk merancang, membangun,
mengoperasikan serta mengevaluasi kinerja IPAL dengan sistem lumpur aktif untuk menurunkan kandungan organik air limbah
toilet/kamar mandi umum Wisdom Park UGM. IPAL direncanakan menggunakan sistem lumpur aktif dengan dengan debit
rencana 0,8 m3/hari. Sistem lumpur aktif dibangun dengan volume reaktor tangki aerasi kapasitas 500 liter dan tangki clarifier
300 liter. Starting up IPAL selama 119 hari dengan aerasi secara kontinyu menggunakan blower yang dapat menghasilkan debit
udara rata-rata 16,454 lpm dan resirkulasi rata-rata 4,012 lpm menghasilkan maksimal penyisihan COD dan total Nitrogen
sebesar 73% dan 54%.
Kata kunci: Return Activated Sludge, Difuse Aeration, COD, Nitrogen
1 PENDAHULUAN
Pembangunan yang tidak merata di desa dan kota menyebabkan arus urbanisasi. Urbanisasi meningkatkan
pertumbuhan penduduk di kota. Jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Asia, laju pertumbuhan kota di Indonesia
mengalami percepatan. Rata-rata laju pertumbuhannya adalah 4,1% per tahun, pada tahun 2025 diperkirakan 68%
penduduk Indonesia adalah warga perkotaan (World Bank, 2016). Pertumbuhan penduduk yang cepat terutama di
wilayah perkotaan akan memberikan dampak buruk terhadap penurunan kualitas lingkungan. Kenaikan jumlah
penduduk akan meningkatkan konsumsi pemakaian air bersih yang berdampak pada peningkatan jumlah air limbah.
Pembuangan air limbah tanpa melalui proses pengolahan akan mengakibatkan pencemaran pada sumber-sumber air
baku, baik air permukaan maupun air tanah (Yudo, 2017).
Mayoritas rumah tangga di perkotaan menggunakan tangki septik sebagai pengolah limbah dari toilet, tetapi mutu
efluen dari tangki septik berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama air tanah sehingga memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Berdasarkan data Survey sosial ekonomi nasional (BPS, 2018) mencatat sebanyak 85,29%
rumah tangga di kawasan perkotaan menggunakan tangki septik untuk mengelola air limbah dan hanya 0,96%
terhubung dengan sistem IPAL terpusat skala kota maupun skala komunal. Untuk mendorong pemenuhan kebutuhan
masyarakat terhadap akses sanitasi yang layak pemerintah menetapkan target 100% akses sanitasi layak pada akhir
tahun 2019 yang dituangkan dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Menurut data BPS
capaian akses sanitasi layak pada tahun 2019 baru mencapai 77,39%. Berdasarkan laporan kinerja Kementerian
PUPR tahun 2019, peningkatan akses sanitasi layak tidak mencapai target dikarenakan terbatasnya alokasi anggaran
pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah dan permasalahan ketersediaan lahan sebagai lokasi
pembangunan. Kesulitan penyediaan lahan diantaranya disebabkan keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk
menyediakan lahan terutama di wilayah perkotaan.
Untuk memastikan kondisi lingkungan yang sehat pada wilayah perkotaan yang tumbuh pesat perlu dicari solusi
pilihan teknologi yang lebih efektif dari segi mutu efluen dan biaya. Salah satu pilihan teknologi yang berpotensi
untuk menjawab permasalahan tersebut adalah pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif. Kelebihan dari
586
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
sistem lumpur aktif diantaranya mampu mengolah beban polutan organik yang tinggi, kebutuhan lahan yang tidak
besar, serta biaya instalasi yang cukup rendah.
Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem pengolahan air limbah (IPAL) dalam
menggunakan sistem lumpur aktif untuk mengetahui efektifitasnya dalam mengolah air limbah domestik. Pemilihan
lokasi IPAL adalah toilet umum Wisdom Park UGM. Pada kondisi eksisting, air limbah yang berasal dari toilet umum
Wisdom Park dialirkan ke dalam tangki septik dan air limpasan dari tangki septik diresapkan ke dalam sumur resapan.
Kondisi tersebut dapat berpotensi mencemari air tanah di sekitar area Wisdom Park. Oleh karena itu, efluen dari
tangki septik tersebut diperlukan pengolahan lebih lanjut.
2 METODE
2.1 Setup Alat Rancangan dan Kondisi Operasional
IPAL didesain dengan debit rencana 0,8 m3 dan rencana efisiensi removal Chemical Oxygen Demand (COD) 93%.
Setup IPAL terdiri dari 2 (dua) reaktor yaitu tangki aerasi kapasitas 500 liter dan tangki clarifier kapasitas 300 liter
dari bahan HDPE. Sistem aerasi menggunakan aliran udara dari blower (Resun tipe LP-40) dan resirkulasi air limbah
dari tangki clarifier ke tangki aerasi dengan menggunakan pompa submersible (Atman tipe AT 103). Skema
rancangan alat dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Skema rancangan alat penelitian
Sistem dioperasikan selama 119 hari dengan influen air limbah berasal dari efluen tangki septik eksisting toilet umum
Wisdom Park UGM. Reaktor beroperasi suhu pada antara 27-33oC dan pada rentang pH 6,5 – 7,5. Hydraulic
Retention Time (HRT) pada tangki aerasi selama 25,5 jam dan HRT pada tangki clarifier selama 14,2 jam dihitung
berdasarkan debit puncak 0,414 m3/hari, sedangkan debit rata-rata influen IPAL adalah 0,236 m3/hari. Total HRT
pada kedua reaktor adalah 39,7 jam.
Blower mampu menginjeksi udara ke dalam tangki aerasi dengan kapasitas antara 14 – 18 liter per menit (lpm)
melalui difuser batu yang berjumlah 12 buah, bila dirata-rata kapasitas blower selama pengoperasian sebesar 16,454
lpm. Berdasarkan perhitungan, desain rencana kebutuhan udara adalah sebesar 15,434 lpm. Meskipun kapasitas
blower sudah memenuhi target desain, level DO pada tangki aerasi sangat rendah yaitu 0,4 – 0,5 mg/l. Pompa
resirkulasi beroperasi dengan debit maksimal 8,8 lpm namun karena sering tersumbat oleh lumpur dan kotoran kinerja
pompa resirkulasi menurun dengan rata-rata debit pompa resirkulasi selama pengoperasian sebesar 4,012 lpm.
Pada awal pengoperasian dilakukan preliminary test untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan seeding dengan
penambahan lumpur aktif. Dilakukan 3 kali pengambilan sampel air limbah dengan parameter yang diuji adalah COD
dan Total Suspended Solids (TSS). Hasil yang didapat pada reaktor telah terjadi proses penurunan COD dengan
efisiensi 54,55 – 73,33% meskipun kadar TSS pada reaktor masih rendah yaitu 34,60 mg/l – 45,56 mg/l pada tangki
aerasi dan 26,67 – 48, 49 mg/l pada tangki clarifier. Berdasarkan hal tersebut diputuskan untuk tidak dilakukan
seeding pada sistem IPAL.
587
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
2.2 Metode Analisa
Pengambilan sampel air limbah toilet wisdom park dilakukan secara frekuentif dengan rentang waktu antara tanggal
24 Oktober 2019 s/d 5 Desember 2019. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali dalam satu minggu pada hari
Senin dan Kamis pada pukul 08.00 WIB. Pengambilan sampel untuk parameter COD, amonia, nitrit, nitrat pada titik
1,2 dan 3. Parameter Total Solids (TS), Total Volatile Solids (TVS), Dissolved Oxygen (DO), pH dan suhu pada titik
A dan B. Lokasi titik pengambilan sampel terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Titik Pengambilan Sampel Air Limbah
Pengukuran yang langsung dilakukan di lapangan adalah pengukuran konsentrasi DO, pH, suhu, kapasitas blower
dan debit pompa resirkulasi. Pengukuran DO menggunakan alat portabel DO meter Lutron DO-5509, pengukuran
pH menggunakan kertas lakmus, pengukuran suhu menggunakan termometer kaca, kapasitas blower dan pompa
resirkulasi dapat dibaca langsung pada flowmeter.
Analisa laboratorium untuk menguji parameter COD, total solids (TS), total volatile solids (TVS), ammonia (NH3-
N), nitrit (NO2-N), dan nitrat (NO3-N). Uji kadar COD dilakukan dengan menggunakan metode refluks tertutup
secara titrimetri / closed reflux, titrimetric method (APHA,1998). Uji TS dan TVS dilakukan dengan metode
gravimetri sesuai standar method APHA 1998. Uji NH3-N dilakukan dengan metode elektroda selektif sesuai dengan
standar method 4500-NH3 D (APHA 1998). Uji NO3-N dengan metode elektroda sesuai dengan standar method
4500-NO3 D.
2.3 Perhitungan
Analisis terhadap efisiensi, removal rate, dan removal capacity pengolahan IPAL untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan reaktor dalam menurunkan kandungan bahan pencemar.
Efisensi = Cin – Cef x 100% (1)
Cin
Removal rate = (Cin – Cef )/HRT (mg/l.hari) (2)
(3)
Removal capacity = (Cin – Cef )/ (MLVS x HRT) (mg/g. MLVS/hari)
Dimana; Cin adalah konsentrasi COD, total N pada influen (mg/l), Cef merupakan konsentrasi COD dan total N pada
efluen (mg/l), HRT adalah waktu tinggal air limbah pada reaktor (hari), dan MLVS merupakan konsentrasi MLVS
pada reaktor (mg/l).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penyisihan COD
Konsentrasi COD influen IPAL cukup fluktuatif dengan kisaran 176,29 – 1031,68 mg/l. Pada tangki aerasi terjadi
proses penurunan COD dengan konsentrasi antara 138,51 – 685,44 mg/l dan pada efluen tangki clarifier nilai
konsentrasi COD antara 125,92 – 604,80 mg/l. Konsentrasi COD pada efluen IPAL belum memenuhi baku mutu
Kementerian LHK No. 68 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah domestik yaitu sebesar 100mg/l. tersebut
588
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Pada saat pengoperasian IPAL terjadi 2 (dua) kondisi operasi yaitu kondisi pompa resirkulasi menyala dan pompa
resirkulasi mati. Kondisi pompa resirkulasi menyala pada 24 hari pertama IPAL beroperasi dan hari ke 87 s/d 119.
Pompa resirkulasi dalam kondisi mati pada hari ke 25 s/d 85. penurunan COD pada saat awal pengoperasian
menunjukkan efisiensi sebesar 55 – 73% dengan removal rate sebesar 111,79 – 204,95 mg/l.hari. Kinerja IPAL
mengalami penurunan pada saat kondisi pompa resirkulasi mati dengan efisiensi penurunan COD 18 – 29% dengan
removal rate 46,30 – 115,52 mg/l.hari. Setelah pompa dioperasikan kembali efisiensi penurunan COD meningkat
sebesar 31 – 71% dengan removal rate sebesar 17,35 – 160,52 mg/l.hari. Hasil uji konsentrasi COD pada masing-
masing titik sampel dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perubahan konsentrasi COD per titik sampel
Besaran efisiensi pada saat pompa dioperasikan kembali tidak sebaik pada saat awal pengoperasian dikarenakan
kinerja pompa resirkulasi sudah berkurang. Pada proses resirkulasi, selain terjadi resirkulasi lumpur aktif dari tangki
clarifier namun juga menambah kontak air limbah di tangki clarifier dengan oksigen dari blower. Selain itu pada
hari ke 89 operasional IPAL yaitu tanggal 5 November 2019 terjadi penggantian pompa resirkulasi dengan pompa
baru yang diperuntukan khusus untuk air kotor. Penggantian tersebut bertujuan untuk mengatasi sumbatan yang
sering terjadi pada pompa sebelumnya. Namun pompa tersebut mengakibatkan lumpur yang sebelumnya terendap di
tangki clarifier ikut teraduk dan ikut terbuang bersama efluen sehingga mengurangi Solid Retention Time (SRT) di
dalam sistem. Peningkatan konsentrasi total N pada influen juga menyebabkan konsumsi oksigen meningkat untuk
proses nitrifikasi. Kurangnya level DO yang terlarut juga mempengaruhi kinerja mikroorganisme dalam
mengoksidasi polutan organik yang masuk ke dalam sistem. Hasil pengukuran DO pada tangki aerasi sangat rendah
yaitu 0,4 – 0,5 mg/l. Sedangkan level DO yang dianjurkan adalah minimal 2 mg/l (Metcalf dan Eddy,2003)
Removal capacity tangki aerasi paling tinggi terjadi pada hari ke 109 yaitu 446,71 COD/g MLVS.hari dengan
efisiensi pada efluen IPAL sebesar 71%. Removal capacity tangki clarifier pada saat pompa resirkulasi mati nilainya
lebih besar yaitu 146,56 – 292,29 mgCOD/g MLVS.hari jika dibandingkan dengan removal capacity tangki aerasi
sebesar 40,1 – 49,15 mg COD/g MLVS.hari. Variasi antara removal capacity COD dan konsentrasi MLVS dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Variasi removal capacity COD dan konsentrasi MLVS
589
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
3.2 Penyisihan Total N
Total N adalah jumlah nitrogen organik, NH3, NH4, NO2 dan NO3 (Metcalf dan Eddy, 2003). Pada penelitian ini uji
nitrogen organik dan NH4 tidak dilakukan sehingga asumsi total N adalah jumlah kadar NH3, NO2 dan NO3. Untuk
perhitungan removal capacity debit yang digunakan adalah debit rata-rata. Hasil uji konsentrasi total N pada masing-
masing titik sampel IPAL dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Perubahan konsentrasi total N per titik sampel
Kadar total N pada influen antara 19,1 – 77,9 mg/l. Pada tangki aerasi terjadi proses nitrifikasi merubah ammonia
menjadi nitrit oleh bakteri nitrosomonas dan nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter dan pada tangki clarifier
dapat terjadi proses denitrikasi dengan kondisi anoksik. Sehingga terjadi penurunan kadar total N dengan konsentrasi
antara 11,8 – 69,21 mg/l. Removal rate cenderung tidak terdapat perbedaan signifikan pada kondisi pompa beroperasi
dan tidak beroperasi dengan nilai antara 1,35 – 6,78 mg/l.hari. Efisiensi penyisihan total N masih belum efektif yaitu
antara 8 – 54%. Tingkat removal rate dan efisiensi penyisihan lebih rendah pada saat terjadi percampuran lumpur
akibat penggantian pompa resirkulasi yaitu 1,35 – 1,53 mg/l/hari dan efisiensinya hanya 8 – 10%.
Tingkat efisiensi penyisihan total N yang rendah bisa disebabkan karena kondisi level DO rendah sehingga
menyebabkan tidak sempurnanya proses nitrifikasi. Untuk menyempurnakan proses nitrifikasi maka level DO perlu
dinaikan dengan meningkatkan performa sistem aerasi. Alternatif lain untuk meningkatan performa proses nitrifikasi
adalah dengan memperpanjang SRT (Stenstrom, 1980), yang diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Zhang, et
al (2017) dimana sistem lumpur aktif konvensional dengan kondisi level DO yang rendah dan SRT yang lama dapat
diperoleh kondisi nitrifikasi denitrifikasi simultan secara sempurna. Penelitian tersebut mengamati kinerja sistem
lumpur aktif konvensional yang beroperasi secara kontinyu dalam jangka waktu 150 hari dengan kondisi level DO
pada tangki aerasi yang rendah (0,5-1 mg/l) serta waktu pengendapan pada tangki clarifier yang lama (>10 jam)
didapatkan efisiensi penyisihan polutan cukup tinggi (COD, 95+2%; NH4-N, 99+1%; dan TN, 69+6%), meskipun
demikian kondisi level DO yang rendah memicu kondisi sludge bulking yang cukup banyak. Kondisi sludge bulking
juga terjadi selama pengoperasian IPAL seperti terlihat seperti pada Gambar 6.
(a) Kondisi pompa resirkulasi beroperasi (kiri) (b) Kondisi pompa resirkulasi mati (kanan)
Gambar 6. Sludge bulking pada tangki clarifier
590
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3.3 Kendala yang Terjadi Selama Pengoperasian IPAL
Pompa resirkulasi (Atman tipe AT 103) perlu dibersihkan secara rutin dari sumbatan. Pada masa awal pengoperasian
dalam waktu rata-rata 11 hari pompa mati dan harus dibersihkan, kemudian menurun menjadi 4 hari dan kemudian
harus dibersihkan hampir setiap hari meskipun pompa dibungkus dengan jaring untuk mengurangi penyumbatan.
Dikarenakan pompa resirkulasi sering mengalami sumbatan, pada hari ke 89 IPAL beroperasi yaitu pada tanggal 5
November 2019 pompa resirkulasi Atman diganti dengan pompa air kotor multi pro SP-125-DWMP dengan debit
pabrikan sebesar 115 lpm, namun debit aktual tidak dapat terbaca pada pengukur debit dikarenakan laju aliran terlalu
kencang. Pompa tersebut beroperasi selama 12 hari dan mengalami kerusakan pada tanggal 16 November 2019 (hari
ke-100 operasional IPAL) dimana pompa juga mengalami kondisi tersumbat dan menyala secara konstan sehingga
mengakibatkan suhu pompa terlalu panas dan menyebabkan pompa mengalami kondisi mati total. Kemudian pompa
resirkulasi yang sebelumnya digunakan kembali yaitu pompa air Atman tipe AT 103.
4 KESIMPULAN
a) Efisiensi maksimal penyisihan COD dan total N sebesar 73% dan 54%. Efisiensi penyisihan untuk parameter
COD belum sesuai dengan target desain sebesar 93%. Efluen COD masih belum memenuhi baku mutu
Kementerian LHK No. 68 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah domestik.
b) Rendahnya efisiensi penyisihan COD dan total N diduga disebabkan oleh (a) level DO pada tangki aerasi
rendah (0,4 – 0,5 mg/l), selain itu kinerja pompa resirkulasi kurang maksimal akibat sering tersumbat oleh
kotoran maupun lumpur. (b) Terjadi kondisi sludge bulking di tangki clarifier. (c) Penurunan efisiensi removal
COD terjadi pada saat penggantian pompa resirkulasi dengan menggunakan pompa untik air kotor (Multipro
SP-125-CWMP) dengan debit 115 lpm, sehingga aliran resirkulasi di dalam kedua reaktor menjadi aliran
turbulen sehingga lumpur yang terendap pada tangki clarifier dengan SRT yang cukup lama ikut terbuang
bersama efluen. Namun angka pasti SRT pada tangki clarifier tidak dapat diketahui karena tidak dilakukan
kontrol untuk dapat melakukan penghitungan nilai SRT.
REFERENSI
BPS. (2018). Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan Tahun 2018, Jakarta.
Metcalf dan Eddy, Inc., (2003). Wastewater Engineering: Treatment and Reuse. Fourth Edition. Mc Graw Hill, New
York
Stenstrom, M. K., (1980). “The effect of dissolved oxygen concentration on nitrification.” Water Research 14(6). pp
643-649
Yudo, S., dan Said, N.I., (2017). “Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Domestik di Indonesia”. JRL,
Vol.10 No.2. pp 58-75
Worldbank, (2016). https://www.worldbank.org/in/news/feature/2016/06/14/indonesia-urban-story
Zhang, X., Zheng, S., Xiao, X., Wang, L., dan Yin, Y. (2017). “Simultaneous nitrification/denitrification and stable
sludge/water separation achieved in a conventional activated sludge process with severe filamentous bulking”.
Bioresource Technology, 226. pp 267-27
591
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Review Penanganan Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan
I. K. Nuraga
Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang amat pesat saat ini seharusnya diikuti dengan penyediaan prasarana dan sarana dasar
kota yang memadai. Salah satunya adalah sarana dan prasarana sistem drainase kota yang nyaman sehingga pada musim hujan
tidak terjadi banjir dan genangan di badan jalan yang dapat mengganggu kegiatan pemerintah dan masyarakat perkotaan.
Perencanan sistem drainase yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan saat ini diharapkan secara fungsional tidak hanya
mengalirkan air buangan hujan dan limbah lainnya, tetapi juga harus bisa berfungsi untuk menampung air kelebihan dengan
membuat retarding basin pada suatu sisi saluran atau sungai atau di tengah-tengah badan sungai. Retarding Basin adalah juga
berfungsi sebagai folder dan menurunkan ketinggian banjir pada daerah hilir dengan menampung kedalam areal genangan seperti
waduk. Tampungan banjir ini nantinya dapat berguna untuk jenis pemanfaatan air lainnya, seperti untuk air minum, air
penggelontoran kota, konservasi air kawasan kota dan lain-lain.
Kata kunci: Drainase, Retarding Basin, Folder
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Perkotaan merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, tetapi juga sebagai kawasan pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan juga kegiatan ekonomi.
Di daerah perkotaan tinggal banyak manusia, banyak terdapat fasilitas umum, transportasi, komunikasi, dan
sebagainya. Salah satu sistem jaringan prasarana perkotaan adalah sistem jaringan drainase. Sistem jaringan drainase
yang dimaksud adalah sistem saluran drainase primer yang ditetapkan dalam rangka mengurangi genangan air di
kawasan perkotaan dan mendukung pengendalian banjir, terutama di kawasan permukiman, kawasan perdagangan,
kawasan perkantoran dan kawasan pariwisata. (Permen PUPR RI No.12/PRT/M/2014)
Permasalahan umum yang terjadi di sistem drainase di Bali adalah dwifungsi saluran drainase (drainase berfungsi
ganda) seperti tampak pada Gambar 1, saluran drainase yang memiliki kemiringan seadanya sehingga aliran air
menjadi lambat dan muncul sedimentasi, berkurangnya kemampuan saluran untuk membawa air saat terjadi pasang
air laut, banyaknya alih fungsi lahan dan berubahnya kondisi tangkapan air. (Nirwana, 2018)
Penanganan drainase hendaknya dilakukan dengan sistem drainase ramah lingkungan dimana memberi manfaat bagi
kenyamanan kehidupan masyarakat disekitarnya. (Ginting, 2007)
1.2 Permasalahan Umum Drainase Di Kawasan Perkotaan
Tidak berfungsinya sistem drainase dengan baik dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti (a) topografi daerah
landai, (b) terdapat sarana utilitas di saluran, (c) tumpukan sampah di badan saluran, (d) saluran banyak
waled/sedimen, (e) dimensi culvert tidak memadai dan (d) inlet drain kurang berfungsi optimal.
Beberapa klasifikasi yang tampak pada Gambar 1. kondisi umum sistem drainase yang terjadi di beberapa daerah di
Bali dan daerah lainnya dari survey-survey yang dilakukan selama melakukan studi tentang penanganan drainase
baik pada studi master plan dainase (Semarapura (2010), drainase Kota Negara (2011), drainase Kota Waikabubak,
NTT (2011), drainase Karangasem (2012), drainase Kecamatan Sukawati (2014), drainase Kawasan Sarbagita
(2017)), evaluasi sistem drainase kawasan kota (Singaraja (2012), drainase Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
(2013), maupun DED sistem dranase Sarbagita (2017, 2018).
592
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Kondisi topografi yang landai Terjadi backwater saat air laut Pemasangan utilitas kurang
sehingga menyebabkan pasang terkoordinasi
sedimentasi
Alih fungsi lahan sehingga daerah Dwifungsi saluran drainase Adanya penyempitan alur sungai
tangkapan berubah dari areal (saluran irigasi dan saluran dan kecendrungan cepatnya
hijau menjadi pemukiman
drainase) pertumbuhan perkotaan ke arah hulu
Tidak Terlaksananya aturan
sempadan, tmengenai batas/jarak
sempadan sungai, Namun tidak
diterapkan dalam pemberian
perijinan dalam pembangunan
dan kurangnya pengawasan
dalam penerapannya
Gambar 1. Permasalahan umum drainase di kawasan perkotaan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kriteria Perencanaan Teknis
Dalam perencanaan sistem drainase perkotaan ada beberapa kriteria teknis yang harus dipenuhi sebagai berikut
(Suripin, 2004).
2.1.1 Kriteria Perencanaan Hidrologi
Kriteria perencanaan hidrologi mencakup analisis dan uji data hujan dan analisis banjir rancangan yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
a) Analisis Hujan :
1) Perkiraan hujan rencana: analisis frekuensi, data curah hujan harian maksimum tahunan, > 10 tahun.
2) Analisis frekuensi: metode Distribusi Normal, Log Normal, Log Pearson Type III, dan Gumbel.
3) Pemeriksaan data hujan: outliner, trend, RAPS, metode kurva masa ganda atau yang sesuai.
4) Perhitungan intensitas hujan: metode Mononobe, Hasper, Weduwen.
b) Analisis Debit Banjir :
1) Debit rencana dihitung dengan metode rasional yang telah dimodifikasi.
2) Koefisien limpasan (runoff): berdasarkan tata guna lahan daerah tangkapan
3) Debit rencana saluran (metode rasional)
Pada penanganan sistem drainase khususnya sistem drainase primer (sungai) metode perhitungan banjir rencana
dapat dilakukan dengan metode rasional dan metode unit hidrograf tergatung dari luas daerah tangkapan banjir.
Dengan mengacu pada besarnya luas daerah tangkapan banjir, maka metode perhitungan banjir rancangan dapat
ditentukan seperti yang disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2. Penetapan banjir rancangan berdasarkan luas daerah tangkapan (Suripin, 2004)
Luas Daerah Tangkapan Periode Ulang Metode Perhitungan Banjir
(Ha) (Th)
< 10 2 Rational
10 - 100 2-5 Rational
101 - 500 5 - 20 Rational
> 500 10 - 25 Unit Hydrogrph
593
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Pada penanganan drainase khususnya pada sistem drainase primer, sekunder dan tersier, juga pada sistem drainase
lingkungan perhitungan debit banjir rancangan dihitung berdasarkan kriteria tipologi kota yang mengacu pada jumlah
penduduk kota (jiwa) dan luas daerah tangkapan banjir (Ha). Tabel 2 di bawah ini memberikan kriteria dasar dalam
penentuan debit banjir rancangan saluran drainase berdasarkan tipologi kota dan luas daerah tangkapan banjir.
Tabel 3. Penetapan banjir rancangan berdasarkan tipologi kota (Suripin, 2004)
Tipologi Kota Jumlah Penduduk Luas Daerah Tangkapan (Ha)
(jiwa)
Metropolitan < 10 10 - 100 101 - 500 > 500
Besar > 1.000.000 10-25 th
Sedang 500.000-1.000.000 2 th 2-5 th 5-10 th 5-20 th
Kecil 100.000-500.000 5-10 th
< 100.000 2 th 2-5 th 2-5 th 2-5 th
2 th 2-5 th 2-5 th
2 th 2 th 2 th
2.1.2 Kriteria Perencanaan Hidrolika
Kriteria perencanaan hidrolika dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Kapasitas saluran dihitung dengan rumus Manning atau yang sesuai.
b) Untuk saluran drainase yang terpengaruh oleh pengempangan (back water effect karena pasang surut air laut):
Standard Step Method.
c) Kecepatan maksimum ditentukan oleh dinding dan dasar saluran, untuk saluran tanah V = 0,7 m/dt, pasangan
batu kali V = 2 m/dt, pasangan beton V = 3 m/dt.
2.1.3 Kriteria Perencanaan Struktur
Kriteria perencanaan sturktur dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Muatan dengan ketentuan sebagai berikut.
1) Berat bahan: mengacu pada SNI pembebanan untuk rumah dan gedung.
2) Beban rencana dapat dipergunakan sesuai dengan standar yang berlaku.
b) Stabilitas struktur.
1) Stabilitas struktur penahan tanah: kekuatan amblas, geser dan guling. Besarnya faktor keamanan untuk
pondasi, masing-masing 1,5.
2) Pasangan batu dengan tegangan tekan maksimum 8 kg/cm2. Untuk klasifikasi beton dipakai minimal fc =
17,5 MPa (mengacu pada SNI.T-15.1991.03, tentang tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan
gedung).
2.2 Kewenangan Penanganan Sistem Drainase
Dalam Permen PUPR No. 15/PRT/M/2014 telah dilakukan pengelompokan sistem drainase perkotaan berdasarkan
kewenangan penanganan pada kawasan permukiman perkotaan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema kewenangan penanganan drainase perokotaan
594
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3 KONSEP DASAR DESAIN SISTEM DRAINASE
3.1 Cakupan Sistem
Bagian sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran
pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima
(receiving waters). Masing-maing saluran tersebut berfungsi sebagai berikut (Wesli, 2008).
a) Saluran interceptor (Saluran Penerima)
Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya.
Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari
saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam.
b) Saluran collector (Saluran Pengumpul)
Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan
dibuang ke saluran conveyor (pembawa).
c) Saluran conveyor (Saluran Pembawa)
Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan
daerah yang dilalui.
d) Saluran induk (main drain) adalah Saluran yang berupa sungai dan anak-anak sungai
e) Badan air penerima sendiri merupakan pembuang akhir menuju laut atau danau.
Dalam perencanaan sistem drainase ini hendaknya juga melakukan survey arah aliran untuk bisa menentukan layout
jaringan drainase secara konfrehensif, terutama pada tingkat kuarter dan tersier pada lingkup kawasan pemukiman.
Permasalahan terbesar biasanya ada pada sistem drainanse lingkungan sehingga genangan terjadi sangat tinggi
dengan durasi yang lama karena topografi daerah yang relatif datar. Pada Gambar 3. diberikan model layout sistem
drainase ideal dari tingkat darinase pemukiman sampai pada badan penerima air.
Saluran Pengumpul Saluran Induk Saluran Penerima
(Collector Drain) (Main Drain) (Interceptor Drain)
PEMUKIMAN PERTANIAN
Saluran Badan Air Penerima
(Receiving Waters)
APRemEbAawLa REKREASI
(Conveyor Drain)
Gambar 3. Skema Sebuah Sistem Drainase Kawasan (Permen PUPR No. 12/PRT/M/2014)
Namun berdasarkan Permen PUPR No. 12/PRT/M/2014, sistem drainase perkotaan terdiri dari saluran kwarter,
saluran tersier, saluran sekunder, saluran primer dan badan penerima air dan dapat digambarkan seperti pada Gambar
4 berikut.
a) Saluran kwarter berfungsi sebagai saluran pembawa air buangan dari kawasan pemukiman menuju saluran
drainase tersier
b) Saluran tersier berfungsi sebagai saluran pembawa air buangan dari saluran kwater menuju saluran sekunder dari
beberapa kawasan pemukiman
c) Saluran sekunder berfungsi sebagai pembawa air buangan dari saluran tersier kemudian dibawa ke saluran primer
d) Saluran primer (main drain) berfungsi sebagai saluran pembawa air buangan dari saluran tersier kemudian dibawa
ke badan penerima aliran. Dalam hal ini anak-anak sungai bisa berfungsi sebagai saluran drainase primer
e) Badan air penerima sendiri merupakan pembuang akhir menuju laut atau danau atau sungai utama tergantung dari
struktur anak-anak sungai
595
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Gambar 4. Skema Kewenangan Penanganan Sistem Drainase Kawasan (Permen PUPR No. 12/PRT/M/2014)
3.2 Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan
Penerapan konsep drainase ramah lingkungan di kawasan perkotaan yang diiringi oleh program pengembangan
masyarakat dilakukan pada berbagai bidang, sebagai berikut.
a) Sistem pembuangan air hujan di rumah
b) Saluran drainase sebagai long storage
c) Penyediaan taman dan kolam di kompleks perumahan
d) Peningkatan luas badan air untuk menambah kapasitas tampungan saluran
e) Penataan kawasan sekitar waduk
f) Pemeliharaan kebersihan bahkan bisa sebagai kawasan wisata sungai
g) Penataan saluran drainase di kawasan industri
Pada Gambar 5 ditampilkan salah satu contoh model Kolam Detensi dan Retensi pada sungai sebagai bentuk
penanganan sistem drainase yang mendukung kenyamanan lingkungan terutama pada kawasan-kawasan dimana
sungainya pada musim hujan rentan mengalami banjir dan luapannya menggenang ke daearah dataran sekitarnya.
Kolam detensi dan retensi ini bisa dibangun dalam alur sungai dan ada juga disamping alur sungai yang pemilihannya
tergantung dari betuk topografi sungai. Konstruksinya yang banyak dipakai adalah metode SPS (Sistem Panel
Serbaguna) dengan material beton pracetak (Precast).
Kolam Detensi Dan Retensi Yang Terletak Di Kolam Detensi Dan Retensi Yang Terletak Di
Samping Badan Saluran/Sungai Pada Badan Saluran/Sungai
Gambar 5. Model retarding basin pada drainase utama, sungai (Permen PUPR No. 12/PRT/M/2014)
Salah satu contoh penanganan sistem drainase berwawasan lingkungan yaitu Penataan dan normalisasi Tukad Mati
Hilir berada di wilayah Lingkungan Patasari, Kuta sepanjang 1,9 km dengan lebar 50 meter (Gambar 6). Cakupan
pekerjaan mulai pembangunan tanggul, kisdam, pengerukan sendimen, pembuatan jalan inspeksi, dan pembangunan
bendung gerak. Fungsi bendung gerak adalah meminimalisir air laut masuk ke hulu sungai ketika kondisi pasang
dimana pada saat bersamaan terjadi banjir di hulu sungai. Dengan adanya bendung gerak, banjir yang terjadi di hulu
sungai diharapkan dapat tetap mengalir ke hilir tanpa terganggu rob akibat pasang air laut.
596
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Gambar 6. Model sistem drainase utama Tk. Mati (Nirwana, 2019)
Beberapa contoh penanganan drainase utama (sungai) berwawasan lingkungan sehingga juga berfungsi sebagai
kawasan wisata alam disamping berfungsi utama sebagai pengendali banjir perkotaan (Gambar 7).
Gambar 7. Model sistem drainase utama berwawasan lingkungan
4 KESIMPULAN
Sistem drainase yang direncanakan dan dilaksanakan dengan konsep ramah lingkungan maka sistem drainase
menjadi hijau, dapat berfungsi sebagai kawasan wisata dan konstruksinya dibuat dengan kontruksi beton precast
dengan metode SPS (Sistem Panel Serbaguna) yang menjadikan sungai bersih dan indah.
REFERENSI
CV. Amertha Nirwana. (2018). Laporan Akhir DED Drainase Perkotaan Sarbagita, Denpasar
Kalsim, D. K. (2010). Teknik Drainase Bawah Permukaan. Graha Ilmu, Yogyakarta
Ginting, P. (2007). Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Yrama Widya, Bandung.
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No.12/PRT/M/2014 tentang
Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, Jakarta.
PPLP Bali. (2017). Konsiyasi Drainase Lingkungan Wilayah Indonesia Timur, Surabaya
Soemarto, C. D. (1999). Hidrologi Teknik. Erlangga, Surabaya.
Sosrodarsono, S., dan Takeda, K. (2003). Teknik Pengaturan Sungai. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Republik Indonesia. (2019). Undang Undang RI No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Wesli. (2008). Drainase Perkotaan. Penerbit Graha Ilmu, Jakarta
597
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Detail Perancangan Unit Sedimentasi Primer Untuk Instalasi Pengolahan Air Limbah
Industri Produk Rumah Tangga
A. Wirayudhatama, F. R. Ismail, A. Sugiarto, A. Kurniawan*
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Unit sedimentasi primer dalam satu unit pengolahan limbah berperan penting dalam mereduksi nilai Total Suspended Solid
(TSS), dibutuhkan penentuan desain yang tepat untuk optimalisasi kinerja. Studi kasus air limbah industri produk rumah tangga
didapatkan nilai TSS yang cukup tinggi. Pada studi ini, unit sedimentasi berbentuk rectangular dengan modifikasi pada beberapa
komponen rancangan terutama pada zona influen dan efluen. Detail perancangan mempertimbangkan dimensi unit sedimentasi
primer meliputi panjang, lebar, kedalaman, rasio panjang dan lebar, rasio panjang dan kedalaman, dan kemiringan dasar unit.
Perhitungan unit sedimentasi primer untuk debit rata-rata air limbah 48 m3/m2.hari dengan dimensi panjang 6,6 m, lebar 0,83
m, kedalaman 1,32 m, dan kemiringan dasar unit 8%. Hasil estimasi reduksi TSS pada unit sedimentasi rectangular diperoleh
nilai Surface Overflow Rate (SOR) sebesar 52%. Selain itu, nilai parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD5) juga direduksi
hingga mencapai 32%.
Kata kunci: Air Limbah, Industri Produk Rumah Tangga, Rectangular, Sedimentasi Primer, TSS
1 PENDAHULUAN
Beberapa output hasil produksi dari industri produk rumah tangga dihasilkan produk barang seperti, seperti sabun,
pasta gigi, shampoo, dan sebagainya. Industri produk rumah tangga merupakan salah satu penyumbang limbah cair
terbesar. Produknya yang bervariasi menyebabkan konsentrasi polutan pada air limbah industri ini dinilai cukup
tinggi pada parameter-parameter kualitas air tertentu. Peningkatan konsentrasi baik parameter fisik, kimia, maupun
biologi dapat menurunkan kualitas dan mutu air. Apabila jumlah efluen air limbah industri ini tidak dikelola dengan
baik, maka akan menyebabkan ketidakseimbangan pada lingkungan. Ekosistem yang paling terdampak yaitu pada
badan air sebagai tempat akhir pembuangan.
Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa salah satu parameter, Total Suspended Solid (TSS), memiliki nilai
pencemar yang cukup tinggi. Unit sedimentasi merupakan pilihan utama dalam usaha mereduksi polutan pada air
limbah khususnya parameter fisik, seperti TSS. Sedimentasi merupakan metode pengolahan untuk memisahan
padatan terlarut dalam air limbah (Xiaoling, et al., 200). Unit sedimentasi adalah unit operasi yang didesain untuk
mengumpulkan dan memindahkan padatan tersuspensi dari air dengan cara gravitasi sehingga tingkat kekeruhan air
dapat berada pada kualitas yang memenuhi baku mutu (Asmadi dan Suharno 2012). Bangunan sedimentasi umumnya
mampu menyisihkan padatan tersuspensi sebesar 65%-70% (Hadi, 2000). Selain itu, parameter biochemical oxygen
demand (BOD5) dapat disisihkan sebesar 30-40% (Metcalf dan Eddy 2003). Penelitian ini bertujuan memberikan
informasi dasar desain unit sedimentasi industri produk rumah tangga sebagai tahap perencanaan pra-konstruksi. Unit
perencanaan direncanakan berbentuk persegi (rectangular) dengan aliran horizontal (horizontal flow). Desain
perencanaan ini telah berhasil diimplementasikan ke dalam tahap konstruksi salah satu bagian dari konfigurasi IPAL
pada satu industri produk rumah tangga di Jakarta.
2 METODOLOGI DAN PROSEDUR DESAIN
2.1 Pengambilan Sampel Air Limbah
Analisis penentuan debit air limbah industri produk rumah tangga dilakukan setiap hari selama dua bulan pada tahun
2015 melalui pembacaan di flowmeter. Flowmeter berjumlah dua buah berdasarkan lokasi industri pada lahan lama
dan baru.
598
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
2.2. Penentuan Kriteria Desain Unit Sedimentasi
Unit sedimentasi memiliki beberapa kriteria desain yang perlu dipenuhi selain untuk menyesuaikan dengan kapasitas
debit, juga untuk menunjang efektivitas kinerja unit. Menurut Qasim (1999), kriteria desain unit sedimentasi dengan
bentuk rectangular dapat diperoleh untuk menentukan dimensi unit, seperti panjang (P), lebar (L), kedalaman air
(H), dan kemiringan dasar unit (Tabel 1). Selain kriteria desain dimensi, Tabel 1 juga menjelaskan kriteria desain
kinerja unit sedimentasi (Qasim 1999; Qasim dan Zhu 2018). Penggunaan parameter desain perencanaan sedimentasi
dipilih berdasarkan pengaplikasian unit terhadap konfigurasi unit pengolahan lain.
Tabel 1 Kriteria desain dimensi dan kinerja unit sedimentasi
Parameter Kisaran
Kriteria desain dimensi 15-90
Panjang, P (m) 6-24
Lebar, L (m) 3-5
Kedalaman air, H (m) 1,5-15:1
Rasio P:L 5-25:1
Rasio P:H 6-15
Kemiringan dasar unit (%)
32-48
Kriteria desain kinerja: 60-100
Surface overflow rate (SOR) (m3/m2·hari) 1,5-3,5
125-375
- pada debit rata-rata
- pada debit puncak selama 2 jam
Waktu detensi (jam)
Weir loading rate (WLR) (m3/m·hari)
2.3 Perhitungan Desain Unit Sedimentasi
Berdasarkan fungsi utama unit sedimentasi sebagai bak pengendapan, parameter kualitas air limbah utama di dalam
perencanaan ini adalah konsentrasi TSS dan BOD5 pada influen. Penentuan konsentrasi TSS dan BOD5 pada unit
sedimentasi merupakan implikasi dari pengolahan sebelumnya. Konsentrasi TSS pada influen sedimentasi primer
(Xp0) diperhitungkan mengikuti analisis kesetimbangan massa dari Persamaan 1. Qg merupakan debit aliran setelah
melewati grit chamber, X0 merupakan konsentrasi influen TSS (tidak termasuk screening dan grit chamber), ts dan
ts merupakan debit aliran dan konsentrasi TSS supernatan efluen thickener menuju influen sedimentasi primer,
sedangkan ct dan ct menunjukkan debit aliran dan konsenrasi TSS centrate dari sentrifugasi menuju influen
sedimentasi primer
P0 = g 0 + ts ts + ct ct (1)
g + ts + ct
Perhitungan luas permukaan unit (A) dihitung berdasarkan pemilihan kriteria SOR pada debit rata-rata air limbah
( r) (Persamaan 2).
= r (2)
SOR
Penentuan dimensi unit didapat dari rasio kriteria desain dimensi terpilih. Pengecekan kesesuaian dimensi unit
terhadap SOR pada debit puncak ( p) diperoleh menggunakan Persamaan 3.
SOR = p (3)
Air limbah melalui pipa influen unit sedimentasi selanjutnya akan dialirkan menuju zona influen yang membagi dua
aliran sesuai dengan jumlah perencanaan unit. Pada zona influen, submerged orifice dirancang pada kedua sisi
dinding zona depan pipa influen. Jarak spasi antar orifice diperoleh dari Persamaan 4. Desain struktur influen lainnya
mengikuti hukum kontinuitas untuk debit influen.
Spasi = 0,5 −(Jumlah × Diameter ) (4)
Jumlah spasi
Pada struktur efluen terdiri atas beberapa launder cabang. Kedua sisi launder terdapat weir dengan sudut bukaan V-
notch sebesar 90°. Kalkulasi kebutuhan jumlah weir didapat dari persyaratan total panjang weir ( ′total) berdasarkan
standar WLR pada Tabel 1.
599
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
′weir = 0,5 ( − ef) (5)
weir = ′total (6)
′weir
launder = weir (7)
2
′weir merupakan panjang tiap weir (m), L adalah lebar unit sedimentasi primer (m), ef lebar saluran launder pusat
dengan lebar (m), weir merupakan jumlah weir, dan launder jumlah launder.
Prinsip pemisahan partikel tersuspensi dari fase cairan tergantung pada besarnya specific gravity partikel tersebut.
Dengan demikian, kecepatan pengendapan horizontal ( h) perlu dijaga sedemikian rupa untuk mencegah resuspensi
padatan. Kecepatan horizontal harus lebih besar dibandingkan kecepatan kritis ( c). Besar h dan c diperoleh
dengan Persamaan (8) dan (9).
h = r (8)
∙
c = √ 8 ( −1) (9)
merupakan konstanta kohesi untuk tipe padatan tersuspensi, S merupakan specific gravity untuk padatan
tersuspensi, percepatan gravitasi (9,81 m/detik2), d merupakan diameter rata-rata partikel padatan tersuspensi (m),
dan f adalah faktor friksi Darcy-Weisbach. Estimasi penanganan produksi lumpur padatan tersuspensi sebagai
pertimbangan desain struktur lumpur didapat menggunakan Persamaan 10. Perhitungan volume lumpur sedimentasi
primer menggunakan tipikal kandungan padatan sebesar 4,5% dan spesific gravity sebesar 1,015; sedangkan
penentuan volume ruang lumpur diperoleh dengan Persamaan 11.
lumpur = Kuantitas lumpur kering × 100 kg lumpur basah × 1 (10)
4,5 kg lumpur kering 1,015 x 108mkg3lumpur (11)
ruang lumpur = lumpur
∑ Pengurangan per hari
Besar reduksi penyisihan BOD5 dan TSS dapat diketahui dengan tiga metode, yaitu grafik korelasi persen reduksi
berdasarkan SOR dan waktu detensi atau dengan menggunakan Persamaan 12 dan 13 berikut.
BOD5 = d (12)
1+ 1 d (13)
TSS = d
2+ 2 d
RBOD5 atau RTSS merupakan nilai reduksi (efisiensi) BOD5 atau TSS (%), td merupakan waktu detensi (jam), a1 dan b1
adalah konstanta empirik untuk reduksi BOD5, dan a2 dan b2 adalah konstanta empirik untuk reduksi TSS.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Fluktuasi Debit Air Limbah
Debit rata-rata pengukuran selama 960 jam (2 bulan) sebesar 0,0003 m3/detik (0,3 L/detik). Fluktuasi debit air limbah
menunjukkan bahwa debit puncak sebesar 0,0016 m3/detik, tetapi nilai tersebut dianggap sebagai anomali karena
simpangan nilai terlalu besar akibat debit puncak dari hasil produksi dihasilkan tidak menentu. Dengan demikian,
debit puncak berdasarkan grafik dan frekuensi terjadinya keluaran debit diperoleh sebesar 0,0004 m3/detik atau 0,4
L/detik). Debit influen sangat kecil karena aliran bersifat tidak kontinu aehingga unit ekualisasi sebelum unit
sedimentasi berfungsi tidak hanya untuk menstabilkan aliran, tetapi untuk menampung aliran pada rentang waktu
tertentu dalam meningkatkan debit aliran. Oleh karena itu, debit aliran rata-rata influen unit sedimentasi meningkat
menjadi 3 L/detik.
600
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
3.2 Hasil Pengambilan Sampel Air Limbah Industri Produk Rumah Tangga
Pengujian karakteristik air limbah diperoleh melalui proses pengujian di laboratorium (Tabel 2). Hasil pengujian
dibandingkan dengan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, serta Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri. Pemilihan baku mutu berdasarkan
nilai terketat antara kedua regulasi tersebut. Beberapa parameter di bawah ini menunjukkan konsentrasi yang masih
melebihi baku mutu lingkungan.
Tabel 2 Hasil pengujian karakteristik air limbah yang perlu diolah
No. Parameter Air Limbah Industri Baku Mutu
1 Total Suspended Solid (TSS, mg/L) 390 100 1)
2 Amonia (NH3, mg/L) 1,2 5 1)
3 Biochemical Oxygen Demand (BOD, mg/L) 1050 50 2)
4 Chemical Oxygen Demand (COD, mg/L) 13736 100 1) 2)
5 Deterjen (MBAS, mg/L) 9,1 1 1)
Keterangan :
1) Standar baku mutu Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu
Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2) Standar baku mutu Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri.
Perhitungan unit sedimentasi rectangular limbah sesuai dengan debit air limbah rata-rata pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Hasil desain unit sedimentasi rectangular limbah produk rumah tangga
Parameter desain Nilai Satuan
Zona pengendapan: 259,2 m3/hari
6,6 m
Luas permukaan unit (A) pada surface overflow rate (SOR) 0,9 m
Panjang unit sedimentasi (P) 1,4 m
8,3 m3
Lebar unit sedimentasi (L) 1,35 m
1,3 m
Kedalaman unit sedimentasi (H0) 62,5 m3/m2·hari
Volume unit sedimentasi primer (V) 1 m
Kedalaman pada sisi influen (Hin) 0,15 m
2 buah
Kedalaman pada sisi efluen (Hef) 0,11 m
Pengecekan SOR pada debit puncak 0,1 m
0,2 m
Zona influen:
Lebar zona influen (Bin) 0,15 m
0,34 m/weir
Diameter submerged orifice 4 weir
Jumlah orifice 2 launder
Jarak spasi orifice 1 launder
Zona efluen: 1,35 m
Jarak antar launder
2:1 -
Ketinggian V-noch dengan launder 0,20 m
0,09 m3
Penentuan jumlah launder dan weir 0,10 m2
Lebar launder pusat 1,10 m
Panjang potensial maksimum setiap weir ( ′weir) 0,37 m
Total kebutuhan jumlah weir dan launder ( weir) 0,74 m
Jumlah launder untuk total kedua cabang dari saluran launder pusat
( launder)
Jumlah launder untuk setiap cabang dari saluran launder pusat
Total panjang weir pada dua sisi launder ( ′weir total)
Zona lumpur:
Perbandingan sisi ruang zona lumpur (limas terpancung)
Kedalaman (Hsl)
Volume ruang lumpur (Vsl)
Luas ruang lumpur (Asl)
∑sisi sejajar
Panjang sisi 1 (P1-sl)
Panjang sisi 2 (P2-sl)
601
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
3.3 Dimensi Unit Sedimentasi Primer
Perencanaan desain unit sedimentasi umumnya menggunakan nilai Surface Overflow Rate (SOR) untuk menentukan
luas permukaan unit saat aliran efluen berada pada debit rata-rata dan debit puncak (Water Environment Federation
2017). SOR pada debit rata-rata diambil nilai sebesar 48 m3/m2·hari, sedangkan ketika debit puncak sebesar 60
m3/m2·hari sesuai dengan kriteria desain. Dasar bak unit menggunakan tipikal desain dengan kemiringan 8%. Rasio
dari panjang dan lebar serta panjang dan tinggi sebesar berturut-turut 8:1 dan 5:1. Pemilihan nilai-nilai tersebut
digunakan sebagai pertimbangan desain pada ruang pengendapan. Tabel 3 memperlihatan hasil dimensi zona
pengendapan. Dimensi zona pengendapan sebesar 6,6 m (P); 0,83 m (L); dan 1,32 m (H).
Pertimbangan aspek penting lain adalah perencanaan struktur zona influen, zona efluen, dan zona lumpur. Ketiga
zona tersebut memiliki beberapa komponen penting pendukung proses pengolahan. Struktur influen berfungsi untuk
mengurangi kecepatan air limbah yang masuk ke tangki serta mendistribusikan aliran ke ruang pengendapan (Water
Environment Federation, 2017). Desain struktur influen dilengkapi dinding berdifusi berupa submerged orifice
(Tabel 3). Setelah melewati orifice, baffle dekat saluran influen dirancang untuk membantu penyebaran aliran air
limbah secara merata ke seluruh tangki. Bagian struktur efluen sedimentasi primer terdapat launder yang didesain
secara lateral dengan weir pada kedua sisi launder. Jumlah dan penempatan launder dan weir perlu diperhitungkan
sesuai dengan pola hidrolika untuk mencegah efek end wall. Untuk mengurangi efek tersebut, launder tidak didesain
tunggal, tetapi didesain bercabang menjadi dua buah dari saluran launder pusat. Tiap cabang pada saluran launder
pusat dibuat satu launder. Kuantitas lumpur kering dihasilkan sebesar 8,37 kg/hari. Jumlah lumpur tersebut cukup
kecil sehingga menyebabkan desain ruang lumpur tidak terlalu besar dengan volume sebesar 0,09 m3.
3.4 Estimasi Penyisihan BOD5 dan TSS Unit Sedimentasi Rectangular
Untuk rekomendasi desain telah ditentukan besar penyisihan BOD5 dan TSS unit sedimentasi berturut-turut sebesar
35% dan 60%. Penyisihan parameter BOD dan TSS dapat diestimasi berdasarkan berdasarkan nilai SOR dan waktu
detensi berdasarkan grafik korelasi persen reduksi BOD5 dan TSS (Gambar 1) dan Persamaan 12 dan 13. Dengan
menggunakan metode SOR, estimasi penyisihan BOD5 dan TSS unit sedimentasi diperoleh berturut-turut sebesar
32% dan 52%. Selanjutnya, estimasi penyisihan BOD5 dan TSS berdasarkan waktu detensi didapatkan nilai berturut-
turut sebesar 20% dan 39%. Kemudian dengan menggunakan persamaan terhadap waktu detensi didapatkan nilai
estimasi berturut-turut sebesar 19% dan 23%. Dari ketiga metode perhitungan tersebut, metode penentuan besar
reduksi penyisihan menggunakan SOR untuk BOD5 (32%) dan TSS (52%) adalah metode yang paling mendekati
rekomendasi desain berturut-turut sebesar 35% dan 60%.
Gambar 1 Grafik korelasi persen reduksi BOD5 dan TSS pada unit sedimentasi dengan:
(a) surface overflow rate dan (b) waktu detensi (Qasim, 1999)
4 KESIMPULAN
Pada perencanaan unit sedimentasi pada konfigurasi IPAL untuk air limbah industri produk rumah tangga, nilai debit
rata-rata air limbah perlu diketahui sebagai dasar penentuan kapasitas unit sedimentasi primer rectangular.
Berdasarkan nilai debit rata-rata limbah sebesar 0,003 m3/detik, dimensi unit sedimentasi mempunyai panjang, lebar,
dan kedalaman berturut-turut sebesar 6,6 m; 0,83 m; dan 1,32 m. Dimensi total ini akan menentukan detail dimensi
untuk zona influen, efluen, pengendapan, dan lumpur.
602
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Yanuar Chandra Wirasembada, Nura Adithia Dewi, Age Baturimba (Alm.),
Asiyah Azmi, Muhammad Ihsan, Ratna Kusuma Dewi, dan Ety Herwati untuk membantu di dalam proses sampling
air limbah dan desain perencanaan unit IPAL salah satu industri produk rumah tangga.
REFERENSI
Metcalf dan Eddy Inc., AECOM, Tchobanoglous, G., Stensel, H.D., Tsuchihashi, R., Burton, F. (2003). Wastewater
Engineering: Treatment and Resource Recovery, McGraw-Hill, New York
Nguyen, T. A, T. M. D Nguyet, T Mitsuharu, and Y Hidenari. (2019). "Improvement of Suspended Solids Removal
Efficiency in Sedimentation Tanks by Increasing Settling Area Using Computational Fluid Dynamics." Journal of
Water and Environment Technology, 17 (6), 420-431
Qasim, S.R. (1999). Wastewater Treatment Plants: Planning, Design, and Operation. 2nd ed, CRC Press, Boca
Raton
Qasim, S.R., Zhu, G. (2018). Wastewater Treatment and Reuse - Volume 1: Principles and Basic Treatment, CRC
Press, Boca Raton
Water Environment Federation. (2017). Liquid Stream Fundamentals: Sedimentation WSEC-2017-FS-022
Xiaoling, W, Y Lili, S Yuefeng, S Lingguang, Z Mingxing, and C Yuebo. (2008). "Three-Dimensional Simulation
on the Water Flow Field and Suspended Solids Concentration in the Rectangular Sedimentation Tank." Journal of
Environmental Engineering, 134 (1):, 902-911
LAMPIRAN
Gambar 2. Desain umum unit sedimentasi rectangular air limbah industri produk rumah tangga
603
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Perhitungan Status Mutu Air Sungai Cisangkan
Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat
Rosmeiliyana*, E. Wardhani
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Sungai Cisangkan terletak di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Sungai Cisangkan memiliki panjang ± 16,71 km yang melintasi
3 kecamatan di Kota Cimahi. Tahun 2019, Sungai Cisangkan dinyatakan sebagai sungai dengan tingkat pencemaran kronis oleh
DLH Kota Cimahi. Berdasarkan hal tersebut diperlukan penentuan kualitas air Sungai Cisangkan yang bersifat menyeluruh
dengan menggunakan paramater kualitas air sungai. Penggunaan indeks kualitas air dapat mempermudah penentuan kualitas air
sungai serta mempermudah juga dalam pemberian informasi kepada pihak yang membutuhkan. Tujuan penelitian ini adalah
menentukan status mutu air Sungai Cisangkan. Perhitungan ini dilakukan pada 3 periode pengukuran kualitas air yang mewakili
3 musim, yaitu musim pancaroba di bulan April, musim kemarau di bulan September, dan musim hujan di musim Desember.
Penentuan status mutu air menggunakan metode indeks pencemaran menurut Kepmen LH 115/2003. Parameter yang diamati
dan diukur ada 33 paramater pengukuran kualitas air. Berdasarkan hasil perhitungan, status mutu Sungai Cisangkan pada musim
pancaroba menunjukkan sungai telah tercemar sedang, pada musim kemarau dengan status sungai telah tercemar berat, dan
musim hujan dengan status tercemar sedang hingga berat.
Kata kunci: Sungai Cisangkan, Cimahi, Status mutu.
1 PENDAHULUAN
Sungai Cisangkan merupakan anak Sungai Citarum yang memberi kontribusi terhadap pencemaran yang terjadi di
sungai ini. Daerah aliran sungai (DAS) Cisangkan meliputi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi
Tengah, dan Cimahi Selatan dengan kelurahan yang masuk DAS yaitu Kelurahan Padasuka, Setiamanah, Baros, dan
Leuwigajah. Sungai ini memiliki panjang 16,91 km, dan lebar berkisar 3-7 m. Kondisi Sungai Cisangkan yang
terletak di daerah padat penduduk menyebabkan sungai ini kerap mengalami penurunan kualitas. Berdasarkan hasil
pengukuran kualitas air Sungai Cisangkan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi tahun
2019, Sungai Cisangkan sudah tercemar. Sektor utama yang menjadi sumber pencemar dari Sungai Cisangkan adalah
limbah domestik warga yang berada di DAS Cisangkan (DIKPLH Kota Cimahi, 2020).
Dampak dari aktivitas domestik dan industri menyebabkan Sungai Cisangkan menjadi salah satu sungai dengan
beban pencemaran tertinggi di Kota Cimahi. Hal tersebut menyebabkan Sungai Citarum memperoleh tekanan yang
berat. Kualitas air Sungai Citarum tercemar sangat berat bahkan terindikasi terdapat beberapa logam berat di dalam
airnya (Desriyan dan Wardhani, 2015; Rachmaningrum, 2015). Selain Sungai yang berasal dari Kota Cimahi anak
sungai lainnya pun memberi konstribusi beban pencemar yang signifikan seperti Sungai Citarik dan Cikijing di
Kabupaten Sumedang yang masih merupakan DAS Citarum memberikan kontribusi pencemar dari sektor domestik,
pertanian, dan peternakan (Wardhani dan Sulistiowati, 2018) dan (Sulistiowati dan Wardhani, 2018). Buruknya
kualitas air Sungai Citarum yang diakibatkan aktivitas di DAS dan Sub DAS berdampak pada penurunan fungsi dari
Waduk Saguling. Waduk ini merupakan waduk pertama yang membendung Sungai Citarum yang saat ini kualitas
airnya terus memburuk (Arinda dan Wardhani, 2018). Kualitas air dan sedimen Waduk Saguling telah tercemar
bahkan beberapa logam berat terdeteksi di dalamnya (Wardhani, et al., 2014; Wardhani, et al., 2017a; Wardhani, et
al., 2017b) Hal tersebut jika dibiarkan akan berdampak pada ksehatan masyarakat mengingat waduk ini selain
berfungsi sebagai pembangkit listrik juga sumber air irigasi, budidaya perikanan jaring terapung, dan sumber air baku
air minum (Wardhani, et al., 2018).
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan status mutu air Sungai Cisangkan agar dapat menentukan strategi
pengendalian pencemaran yang efektif/efisien di masa mendatang sesuai dengan perencanaan Pemerintah Kota
Cimahi (DIKLHD Kota Cimahi, 2020). Penelitian ini akan membahas mengenai penentuan status mutu dari air
Sungai Cisangkan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
604
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Hidup No 115 Tahun 2003 (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2003) tentang pedoman penentuan
status mutu air. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari DLH Kota Cimahi berdasarkan hasil
pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan pada Bulan April, September, dan Desember 2019. Seluruh kualitas
air dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (PP 82/2001) tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air untuk kelas II yaitu air yang peruntukannya dapat di
gunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman,
dan atau peruntukan lain yang sejenis dengan kegunaan tersebut.
2 METODE PENELITIAN
Penentuan status mutu air menggunakan metode IP ditandai dengan huruf PIj yang merupakan indeks pencemaran
bagi peruntukan (j) (KepMen.LH, 2003). Langkah-langkah perhitungan disajikan pada persamaan 1-4. Langkah
pertama yaitu menghitung Ci/Lij untuk setiap parameter. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan
tingkat pencemaran meningkat, maka Ci/ Lij hasil pengukuran diganti dengan Ci/ Lij hasil perhitungan. Jika nilai Lij
memiliki rentang, maka digunakan Persamaan 1 dan 2.
Ci ≤ Lij rata-rata ( ) = − − (1)
(2)
− −
Ci > Lij rata-rata ( ) = − −
− −
Jika nilai Ci/Lij hasil pengukuran lebih kecil dari 1, maka nilai Ci/Lij tetap menggunakan hasil pengkuran. Jika nilai
Ci/Lij hasil pengukuran lebih besar dari 1, maka nilai Ci/ Lij menggunakan Persamaan 3.
(Ci/ Lij) baru = 1 + P.Log(Ci/ Lij)hasil pengukuran (3)
Apabila perhitungan telah selesai maka lanjutkan dengan menghiyung nilai rata-rata dan nilai maksimum dari nilai
Ci/ Lij yang telah ditentukan. Langkah terakhir yaitu menentukan nilai Pij dengan Persamaan 4.
= √(( ) 2 +( ) 2 ) (4)
2
Penjelasan mengenai persamaan-persamaan di atas yaitu Lij merupakan konsentrasi parameter kualitas air yang
dicantumkan dalam baku mutu suatu peruntukkan air (j). Ci menunjukkan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang
diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan air. P menunjukkan konstanta
ditentukan berdasarkan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki, dan Pij merupakan
Indeks pencemaran bagi peruntukan (j). Nilai Pij memiliki klasifikasi 0 ≤ PIj ≤ 1,0 menunjukkan mutu air memenuhi
baku mutu (kondisi baik), 1,0 < PIj ≤ 5,0 menunjukkan mutu air tercemar ringan, 5,0 < PIj ≤ 10 menunjukkan mutu
air tercemar sedang, dan PIj > 10 menunjukkan mutu air tercemar berat (Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia, 2003).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hulu Sungai Cisangkan berada di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah dengan lebar permukaan dan
dasar sungai 2 m, kedalaman 0,2 m dengan debit maksimum 0,99 m3/detik dan minimum 0,02 m3/detik. Bagian hulu
sungai didominasi oleh kegiatan domestik dan beberapa home industry. Bagian tengah berada di Kelurahan
Setiamanah, Kecamatan Cimahi tengah dengan lebar permukaan dan dasar sungai 3 m, kedalaman 0,3 m dengan
debit maksimum 1,19 m3/detik dan minimum 0,05 m3/detik. Bagian tengah sungai, didominasi oleh kegiatan
domestik, pendidikan, dan home industry. Bagian hilir sungai berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi
Selatan dengan lebar permukaan dan dasar sungai 6 m, kedalaman 0,7 m dan memiliki debit maksimum 2,24 m3/detik
dan minimum sebesar 0.3 m3/detik. Bagian hilir sungai di dominasi oleh pemukiman meskipun masih terdapat ruang
terbuka hijau. Peta DAS dan lokasi pengambilan sampel kualitas air Sungai Cisangkan disajikan pada Gambar 1.
Lokasi pengambilan sampel kualitas air sungai bagian hulu pada koordinat 6o52’15.44”LS 107o32’06.34” BT terletak
di Kelurahan Padasuka, bagian tengah pada koordinat 6o52’57.04”LS 107o31’46.59” BT di Kelurahan
Setiamanah, dan bagian hilir pada koordinat 6o53’50.28”LS 107o31’45.54” BT berada di Kelurahan Leuwigajah
(DIKPLHD Kota Cimahi, 2020). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air sungai, terdapat beberapa parameter yang
605
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
tidak memenuhi baku mutu yaitu TDS, dan TSS, Nitrit, NH3-N Bebas, Zn, Cl2, Sulfida, P, BOD5, COD, DO, dua
parameter mikrobiologi terdiri dari fecal coliform dan total coliform, terakhir tiga parameter kimia organik terdiri
dari minyak dan lemak, fenol, dan detergen (MBAS). Hasil pengukuran kualitas air Sungai Cisangkan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Gambar 1. Peta lokasi sampling pada DAS Cisangkan
Tabel 4. Kualitas Air Sungai Cisangkan (DIKPLH Kota Cimahi, 2020)
Bulan/Musim
No Parameter Satuan Baku April/Pancaroba September/Kemarau Desember/Hujan
Mutu Tengah Hilir
Hulu Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir
FISIKA
1 Temperatur °C ± 3 25 28 26 25 28 26 25 28 26
20 31 84 29 26 35 33
2 TSS mg/L 50 23 25 598 312 406 514 468 540 1.200
3 TDS mg/L 1.000 290 350 7,55 7,34 7,33 7,57 7,5
19 24 34 21 48
KIMIA 42 90 150 85 118
1,73 2,17 0,9 0,9 0,9
1 pH mg/L 6-9 7,35 7,21 1,4 0,7 1,6 1,6 7,47 7,41 0,9
1 1,8 14,4 16,6 53 98 6,2
2 BOD5 mg/L 31 6 0,15 tt tt 0,098 113 204 0,01
3 COD mg/L 25 6 23 tt tt tt tt 3,46 0,9 Tt
tt 0,041 tt tt 3,5 3 0,19
4 DO mg/L >4 4,25 0,9 tt tt tt tt 5,3 14,8 tt
tt tt tt tt 0,01 0,01 tt
5 Nitrat mg/L 10 2,6 1,8 0,003 0,003 0,003 0,003 tt tt 0,003
0,03 0,03 0,03 0,03 tt tt 0,003
6 Amonia mg/L 0,02 1 1 0,014 0,011 0,011 0,011 tt tt 0,012
0,36 0,86 1,66 0,852 tt tt 2,11
7 Arsen mg/L 1 tt tt 0,03 0,02 0,02 0,02 0,003 0,003 0,02
0,516 0,688 0,788 9,301 0,004 0,003 0,76
8 Co mg/L 0,2 tt tt tt tt tt tt 0,012 0,012 tt
0,094 0,053 0,066 0,046 1,01 1,43 0,03
9 B) mg/L - 0,034 tt 42,8 40,5 60,2 75,3 0,03 0,02 154
0,007 0,013 0,007 0,007 0,72 0,81 0,007
10 B mg/L 1 tt tt 0,49 0,52 0,43 0,38 tt tt 0,78
0,098 0,01 0,01 0,01 0,05 0,08 0,009
11 Selenium mg/L 0,05 tt tt 112 19 19 21 45 59 94
0,09 0,23 0,17 0,05 0,007 0,007 0,1
12 Cd mg/L 0,01 0,003 0,003 0,11 0,38 0,32 0,29 0,28 0,3 tt
0,156 0,01
13 Cr 6+ mg/L 0,05 0,03 0,03 1,1 1,4 1 0,34 46 29 2,28
0,05 0,08
14 Cu mg/L 0,02 0,011 0,011 0,148 1,5 4,16 0,81 0,11 0,14 0,313
0,1189 0,0563 0,0568 0,0037 0,1708
15 Fe mg/L - 0,15 0,67 0,94 0,4 0,79 1,05 1,2 2,25 0,6
16 Pb mg/L 0,03 0,02 0,03 9,3x104 0,6 0,434
0,1314 0,1195
17 Mn mg/L - 0,499 0,499 2,4x105 0,2 0,6
18 Hg mg/L 0.002 tt tt
19 Zn mg/L 0,05 0,047 0,056
20 Cl mg/L - 24,1 34,5
21 Cn mg/L 0,02 0,007 0,007
22 F mg/L 1,5 0,52 0,44
23 Nitrit mg/L 0,06 0,235 0,009
24 SO4 mg/L - 73 76
0,03 0,04 0,07
25 Cl2 mg/L 0,002 0,11 0,11
26 H2S mg/L 1 1,1 1,1
27 Minyak mg/L
dan Lemak
28 MBAS mg/L 0,2 0,075 0,149
29 Fenol mg/L 0,001 0,0225 0,017
30 P mg/L 0,2 0,78 0,86
MIKROBIOLOGI
32 Total CFU/100 mL 5,000 4,6x105 1,1x105 24x106 23x106 17 x106 998 6,5x106 7,8x105
Koliform 6.5x106 13x106 15 x106 98 30x106 61x106
33 Fecal CFU/100 mL 1,000 4,6x105 1,1x105
Koliform
Keterangan: warna merah tidak memenuhi baku mutu
606
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Hasil perhtungan status mutu air Sungai Cisangkan di setiap titik pantau dengan menggunakan metode IP disajikan
pada Tabel 2. Perhitungan status mutu pada pengukuran Bulan April 2019 menunjukkan bahwa pada musim
pancaroba, angka indeks pencemaran menunjukkan rata-rata 7,5 di musim pancaroba mulai dari hulu hingga hilir
sungai. Sungai Cisangkan di musim pancaroba dikategorikan sebagai sungai dengan mutu air tercemar sedang. Faktor
domestik menjadi salah satu sumber pencemar utama, dapat dilihat dari tingginya angka parameter mikrobiologi dan
juga parameter lain yang mengindikasikan adanya pencemaran dalam air seperti DO, BOD5, dan COD. Hal lainnya
yaitu faktor kimia anorganik juga menjadi faktor besarnya angka indeks pencemaran di Sungai Cisangkan seperti
fenol dan sulfida.
Pengukuran di bulan September 2019 pada bagian hulu sungai, nilai indeks pencemarannya adalah 10,47. Angka ini
dikategorikan sebagai tercemar berat karena >10. Nilai indeks pencemaran bagian tengah Sungai Cisangkan adalah
11,26 dan dapat juga diketahui bahwa bagian tengah Sungai Cisangkan di bagian tengah sudah tercemar berat, bahkan
melebihi bagian hulunya. Pada bagian hilir sungai, nilai indeks pencemaran berdasarkan hasil perhitungan adalah
11,26. Nilai ini dapat diartikan bahwa bagian hilir Sungai Cisangkan di musim kemarau sudah tercemar berat.
Parameter mikrobiologis seperti total coliform dan fecal coliform, juga parameter kimia salah satunya adalah fenol,
sulfida, dan BOD5 menjadi parameter-parameter yang sangat mempengaruhi nilai IP di bagian hilir sungai pada
musim kemarau. Hal ini perlu dilakukan pemeliharaan sungai dan pengendalian pencemaran supaya dapat
menurunkan tingkat pencemaran air Sungai Cisangkan yang tercemar cukup berat.
Tabel 2. Perhitungan status mutu air Sungai Cisangkan pada musim pancaroba pengukuran bulan April 2019
Baku Muim Pancaroba Musim Kemarau Musim Hujan
Mutu
No Parameter Ci/Lij Baru Ci/Lij Baru Ci/Lij Baru
6-9
50 Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir
1.000
1 pH 3 0,10 0,19 0,03 0,11 0,11 0,05 0,02 0,06 0
25
1 TSS >4 0,17 0,50 0,40 0,62 2,13 0,58 0,52 0,70 0,66
0,03
2 TDS 0,05 0,29 0,35 0,60 0,31 0,41 0,51 0,47 0,54 1,20
3 BOD 0,06 0,33 2,51 5,01 5,52 6,27 5,23 7,24 8,57 7,02
4 COD 0,03 0,24 0,92 2,13 3,78 4,89 3,66 4,28 5,56 4,37
5 DO 0,002 0,87 2,78 1,95 1,78 2,78 2,22 1,26 2,78 2,22
6 Timbal (Pb) 1 0,67 1,00 1,00 0,67 0,12 0,12 1,00 0,12 0,12
7 Seng (Zn) 0,2 0,94 1,25 2,37 1,13 1,60 0,92 1,00 2,02 0,60
0,001
8 Nitrit (NO2- 3,96 0,15 2,07 0,17 0,17 0,17 3,07 0,17 0,15
N) 0,2
9 Klorin (Cl2) 5.000 1,62 2,84 3,39 5,42 4,77 2,11 2,11 3,13 3,61
10 Sulfida 1.000 9,70 9,70 9,70 12,39 12,02 11,81 9,70 10,23 0
(H2S)*
11 Minyak dan 1,21 1,21 1,21 1,73 1,00 0,34 1,40 2,76 2,79
Lemak
0,38 0,75 0,74 5,38 7,59 4,04 3,00 2,17 1,57
12 MBAS 7,76 7,15 11,38 9,75 9,77 3,84 11,59 11,39 12,16
13 Fenol* 3,96 4,17 4,36 2,51 3,98 4,60 1,00 3,39 3,39
14 Total Posfat
sbg P
15 Total 10,82 12,71 7,35 19,42 19,37 18,70 0,20 21,57 11,97
Koliform
16 Fecal 14,31 16,21 12,90 20,06 21,59 21,88 0,10 23,44 24,94
Koliform
14,31 16,21 21,59 24,94
Ci/LiJ Maksimum 3,37 3,79 12,90 20,06 5,80 21,88 11,59 23,44 5,12
7,35 8,32 3,92 5,34 11,18 4,75 2,82 5,80 12,73
Ci/Lij Rata-rata Cemar Cemar 6,74 10,38 Cemar 11,20 5,97 12,07 Cemar
sedang sedang Cemar Cemar Berat Cemar Cemar Cemar berat
Pij sedang Berat Berat sedang berat
Status Mutu Air
Pengukuran di bulan Desember 2019 menunjukkan di bagian hulu sungai, nilai indeks pencemaran menunjukkan
nilai 5,99 yang mana ini masih dikategorikan sebagai tercemar sedang. Nilai IP di bagian tengah Sungai Cisangkan
menunjukkan nilai 12,12 dan dikategorikan sebagai tercemar berat. Bagian hilir sungai memiliki nilai IP 12,73 dan
dikategorikan sebagai tercemar berat. Tingginya nilai IP di musim hujan menyebabkan Sungai Cisangkan pada
musim ini terindikasi sebagai sungai dengan tingkat pencemaran berat. Faktor mikrobiologi menjadi faktor utama
607
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
dari tingginya angka indeks pencemaran di musim hujan. Tingginya fluktuasi debit pada musim hujan menyebabkan
akumulasi air limbah domestik sehingga konsentrasi parameter yang berkaitan dengan material organik menjadi
tinggi (Yustiani et al., 2020)
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa IP Sungai Cisangkan sudah tercemar dengan tingkatan sedang
hingga berat. Faktor limbah domestik dari warga sekitar DAS Cisangkan dan juga sumber pencemar lainnya menjadi
penyebab Sungai Cisangkan tercemar berat. Akumulasi dari hasil perhitungan indeks pencemaran di musim
pancaroba, kemarau, dan musim hujan dapat dilihat pada Tabel 3 dan grafik perubahan nilai indeks pencemaran dapat
dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 memperlihatkan perubahan IP dari musim pancaroba, hingga musim hujan di tiga
bagian sungai; hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu Sungai Cisangkan memiliki tingkat tercemar paling tinggi pada
musim hujan, bagian tengah sungai di musim kemarau memiliki tingkat tercemar paling tinggi, dan begitu juga pada
bagian hilir sungai yang tercemar sangat tinggi pada musim kemarau. Dari 3 musim hasil pengukuran, musim
kemarau memiliki rata-rata tingkat pencemaran tertinggi, dikarenakan fluktuasi debit yang sangat minim, dan juga
beberapa konsentrasi parameter yang berasal dari limbah domestik seperti parameter BOD5, COD, dan juga
parameter mikrobiologi konsentrasinya cukup tinggi.
Tabel 3 Nilai IP dan status mutu air Sungai Cisangkan
Musim Nilai IP Tengah Hilir Status Mutu Air Tengah Hilir
Hulu 8,32 6,74 Hulu Cemar sedang Cemar sedang
Pancaroba 7,35 11,18 11,2 Cemar sedang Cemar berat Cemar berat
Kemarau 10,38 12,07 12,73 Cemar sedang Cemar Berat Cemar Berat
Hujan 5,97 Cemar Berat
Dengan kondisi sungai yang sudah tercemar berat, perlu adanya penangan lebih lanjut terkait upaya untuk
menurunkan konsentrasi pencemar dalam air Sungai Cisangkan. Dikarenakan faktor pencemar di Sungai Cisangkan
didominasi oleh parameter organik, sumber limbah organik terbesar adalah limbah domestik warga. Oleh karena itu,
perlu adanya pengelolaan limbah domestik di DAS Cisangkan supaya angka tingkat tercemarnya Sungai Cisangkan
bisa turun dan air Sungai Cisangkan memiliki kualitas yang lebih baik lagi untuk dipergunakan sehari-hari. Jika tidak
dilakukan upaya pengelolaan, dikhawatirkan bisa meningkatkan pencemaran di sungai yang nantinya akan
berdampak bukan hanya bagi masyarakat yang tinggal di DAS Cisangkan, tetapi juga berdampak bagi lingkungan di
sekitar DAS yang pasti ada kaitannya dengan keberadaan sungai ini (Effendi, 2003).
Nilai Indeks Pencemar 14.00 10.38 11.18 11.2 12.07 12.73
12.00 8.32 10
10.00 7.35 6.74
8.00 5.97
6.00 5
4.00
2.00 1
0.00
Hulu Tengah Hilir
Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir Periode III
Periode I
Periode II
Lokasi Sampling
Nilai IP Kondisi Baik Tercemar Ringan Tercemar Sedang
Gambar 2. Grafik perubahan nilai Indeks Pencemaran di Sungai Cisangkan
Mutu air Sungai Cisangkan yang masuk kategori cemar sedang sampai berat sama dengan Sungai Citarik dan Cikijing
Kabupaten Sumedang (Sulistiowati dan Wardhani, 2018; Wardhani dan Sulistiowati, 2018). Fenomena yang sama
terjadi di seluruh anak Sungai Citarum. Upaya perbaikan kualitas air harus dilakukan secara menyeluruh dan
terencana sesuai dengan target penurunan pencemaran air yang dicanangkan program Citarum harum. Pengendalian
608
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
pencemaran limbah domestik di DAS Cisangkan dapat menggunakan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik
(SPALD) yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 tahun 2017
tentang penyelenggaraan sistem pengelolaan air limbah domestik. Penentuan jenis SPALD menurut peraturan
tersebut mempertimbangkan lima parameter kepadatan penduduk, kedalaman muka air tanah, permeabilitas tanah,
kemampuan Pembiayaan, dan kemiringan tanah. Penerapan SPALD baik secara setempat dan terpusat akan
mendukung program Citarum Harum dalam upaya perbaikan kualitas air Sungai Cisangkan sebagai salah satu anak
Sungai Citarum.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian kualitas air Sungai Cisangkan telah tercemar, hal tersebut ditandai dengan terdapat
beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu yaitu TDS, dan TSS, Nitrit (NO2-N), NH3-N Bebas, Zn, Cl2,
P, BOD5, COD, DO, dua parameter mikrobiologi terdiri dari fecal coliform dan total coliform, serta tiga parameter
kimia organik terdiri dari minyak dan lemak, fenol, dan detergen (MBAS). Hasil perhitungan status mutu air
menggunakan metode IP Sungai Cisangkan termasuk tercemar sedang hingga berat. Hal ini disebabkan oleh faktor
pencemar dari limbah domestik sebagai pencemar utama, dengan parameter yang paling berpengaruh adalah
parameter mikrobiologi seperti total coliform dan fecal coliform. Perlu adanya penanganan lebih lanjut terkait
tercemarnya Sungai Cisangkan agar bisa digunakan kembali dengan layak bagi warga sekitar DAS Cisangkan dan
tidak membahayakan baik bagi lingkungan, maupun bagi masyarakat sekitar sungai. Pengendalian yang dapat
dilakukan yaitu perencanaan SPALD baik setempat maupun terpusat sesuai dengan kemampuan pemerintah Kota
Cimahi.
REFERENSI
Arinda, A. dan Wardhani, E. (2018). “Analisis Profil Konsentrasi Pb di Air Waduk Saguling”. Rekayasa Hijau:
Jurnal Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan No.3 Vol. 2
Desriyan, R. dan Wardhani, E. (2015). “Identifikasi Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) pada Perairan Sungai
Citarum Hulu Segmen Dayeuhkolot sampai Nanjung”. Jurnal Reka Lingkungan Volume 3 Nomor 1
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air, bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius,
Yogyakarta
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2003). KepMen.LH no 115 tahun 2003). Pedoman Penentuan
Status Mutu Air. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta, Indonesia
Pemerintah Kota Cimahi. (2020). Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD)
Kota Cimahi Tahun 2020. Wali Kota Cimahi.
Rachmaningrum, M. (2015). “Konsentrasi Logam Berat Kadmium (Cd) pada Perairan Sungai Citarum Hulu Segmen
Dayeuhkolot-Nanjung”. Jurnal Reka Lingkungan Volume 3 Nomor 1
Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta, Indonesia
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Sistem pengelolaan Air Limbah Domestik, Jakarta, Indonesia
Sulistiowati, LA dan Wardhani, E. (2018). “Kajian Dampak Pembuangan Air Limbah Industri PT. X Terhadap
Sungai Cikijing di Provinsi Jawa Barat. Rekayasa Hijau”. Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan Volume 2 No 1
Wardhani, E dan Sulistiowati, LA. (2018). “Kajian Daya Tampung Sungai Citarik Provinsi Jawa Barat”. Rekayasa
Hijau: Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan Volume 2 No 2
Wardhani, E. Notodarmojo, S dan Roosmini, D. (2014). “Pencemaran Kadmium di Sedimen Waduk Saguling
Provinsi Jawa Barat”. Jurnal Manusia dan Lingkungan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah mada
(PSLH UGM) Volume 23, No 3, Hal 285-294.
609
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Wardhani, E. Notodarmojo, S dan Roosmini, D. (2017a). “Heavy Metal Speciation in Sediments in Saguling Lake
West Java Indonesia”. International Journal of GEOMATE ISSN: 2186-2990 Japan Bulan Juni 2017 Vol 12 Issue
34 pp 146-151.
Wardhani, E. Notodarmojo, S dan Roosmini, D. (2017b). “Status heavy metal in Sediment of Saguling Lake, West
Java. Province”. International Journal IOP Conferences Series: Earth and Environmental Science ISSN: 17551315,
17551307 Volume 60 tahun 2017, 012035.
Wardhani, E. Notodarmojo, S dan Roosmini, D. (2018). “Assessment of heavy metal contamination in the water of
Saguling Reservoir West Java Province Indonesia”. E3S Web of Conferences 73, 06009 (2018).
Yustiani, Y. M., Mulyatna, L., & Anggadinata, A. (2020). “Studi Identifikasi Kualitas Air dan Kapasitas
Biodegradasi Sungai Cibaligo”. Infomatek: Jurnal Informatika, Manajemen dan Teknologi, 22(1), 23-30.
610
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Analisis Dampak Limbah Domestik Terhadap Kualitas Air Sungai Cibeureum,
Kota Cimahi
Y. I. Hermawan*, E. Wardhani
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional, Bandung, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Sungai Cibeureum telah tercemar salah satu sumbernya dari kegiatan domestik. Hal tersebut terjadi karena sungai ini melewati
pemukiman padat di Kota Cimahi yang belum dilengkapi dengan sistem pengelolaan air limbah domestik yang baik. Penelitian
ini bertujuan menganalisis kualitas air Sungai Cibeureum di musim pancaroba, kemarau, dan hujan sesuai dengan data yang
diperoleh dari Pemerintah Kota Cimahi Jawa Barat. Baku mutu yang dipergunakan yaitu PP 82/2001 kelas II. Pengukuran
kualitas air dilakukan pada tiga titik sampling yaitu bagian hulu, tengah, dan hilir. Berdasarkan hasil penelitian, sektor domestik
merupakan sumber pencemar paling dominan terlihat dari tingginya kandungan total coli dan fecal coli di air sungai. Beban
pencemar merupakan perkalian antara debit sungai terukur dengan konsentrasi setiap parameter. Berdasarkan perhitungan,
hampir semua beban pencemar aktual melebihi beban pencemar maksimum di berbagai musim. Beban pencemar utama yang
perlu diturunkan untuk parameter TSS sebesar 97-32.846 kg/hari, BOD sebesar 249-11.944 kg/hari, COD sebesar 169-38.071
kg/hari, Phosphat sebesar 16,17-94,82 kg/hari, Pb sebesar 1,04-1,84 kg/hari, Zn sebesar 0,08-26,38 kg/hari, Nitrit sebesar 3,18-
104,99 kg/hari, klorin bebas sebesar 0,14-10,37 kg/hari, minyak dan lemak sebesar 0,97-76,93 kg/hari, fenol sebesar 0,38-15,34
kg/hari, dan detergen sebagai MBAS sebesar 40,54-1.122 kg/hari.
Kata kunci: Cibeureum, Cimahi, Beban Pencemar, Domestik
1 PENDAHULUAN
Resiko sanitasi akibat dari aktivitas domestik di Kota Cimahi termasuk kategori tinggi-sangat tinggi. Kelurahan
Melong di Kecamatan Cimahi Selatan termasuk kategori resiko sanitasi sangat tinggi. Kelurahan ini termasuk ke
dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibeureum. Berdasarkan status mutu air Sungai Cibeureum tergolong ke dalam
kondisi tercemar berat (Yasya dan Juwana, 2019). Sugai Cibeureum merupakan salah satu anak Sungai Citarum.
Berdasarkan klasifikasi peruntukannya, termasuk kelas II yaitu sungai yang diperuntukan untuk sarana rekreasi air,
pembudidayaan air tawar, peternakan, dan pengairan air irigasi (PerDa Jawa Barat No.39/ 2000). DAS Cibeureum
meliputi Kelurahan Cibeureum dan Melong Kota Cimahi dan Kelurahan Cijerah Kota Bandung. Berdasarkan
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Cimahi tahun 2012-2032, peruntukan Kelurahan Cibeureum dan Melong
sebagian besar termasuk ke dalam kawasan dengan kepadatan penduduk tinggi dan sebagian kecil untuk kawasan
industri. Menurut RTRW Kota Bandung tahun 2011-2031, peruntukan Kelurahan Cijerah sebagian besar untuk
kawasan kepadatan penduduk tinggi dan sebagian lainnya termasuk kawasan perdagangan.
Tekanan lingkungan yang tinggi di DAS Cibeureum menyebabkan sungai ini memberi kontribusi beban pencemar
yang besar ke Sungai Citarum. Salah satu tujuan program Citarum Harum yang dicanangkan pemerintah yaitu
melakukan perhitungan beban pencemaran air sungai di semua anak Sungai Citarum. Sampai saat ini Sungai Citarum
termasuk kategori tercemar berat sehingga harus segera diupayakan perbaikan kualitasnya (Rachmaningrum, 2015).
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui beban pencemar sehingga dapat diketahui seberapa besar beban pencemar
Sungai Cibeureum yang perlu diturunkan. Penelitian sejenis telah dilakukan di Sungai Citarik yang merupakan anak
Sungai Citarum (Eka Wardhani dan Sulistiowati, 2018). Berdasarkan penelitian tersebut kontribusi beban pencemar
dominan yaitu aktivitas domestik dan industri.
2 METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi tahun
2019. Data yang diperoleh dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 (PP No. 82/ 2001). tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air baku mutu kelas II. Analisis dilakukan untuk mengetahui
parameter kunci yang melebihi baku mutu. Pengukuran kualitas air dilakukan pada tiga titik sampling yaitu hulu,
611
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
tengah dan hilir Sungai Cibeureum dengan kondisi musim pancaroba, kemarau dan hujan. Perhitungan beban
pencemar pada sektor domestik menggunakan rumus yang berlaku. Lokasi titik sampling disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi titik sampling dan kondisi lingkungannya (Google Earth, 2020)
Segmen Lokasi Titik Sampling Kondisi
Hulu 06o54’ 37,45’’ S dan 107o34’ 07,31’’ E Merupakan kawasan padat penduduk, terdapat beberapa pipa
Tengah (Kelurahan Cibeureum dan Cijerah) saluran buangan yang langsung mengarah ke sungai. terdapat
Hilir industri print kaos, tempat laundry.
06o55’ 09,7’’ S dan 107o33’ 55,5’’ E Merupakan kawasan padat penduduk, bangunan berbatasan
(Kelurahan Melong dan Cijerah) langsung dengan sungai, terdapat bengkel, toko bahan bangunan,
pertanian, steam mobil.
06o54’ 55,5’’ S dan 107o33’ 42,9’’ E DAS didominasi kawasan industri, seperti pabrik suku cadang
(Kelurahan Melong dan Cijerah) mobil, pabrik tekstil. Permukiman penduduk dengan kepadatan
tinggi berada di sekitar DAS.
Perhitungan beban pencemar mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 115 tahun 2003
(KepMenLH No115/ 2003). tentang pedoman penentuan status mutu air. Beban pencemaran merupakan berat suatu
unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah dalam satuan berat dibagi waktu. Beban pencemar dibagi
menjadi dua yaitu Beban Pencemar Maksimum (BPM) adalah beban pencemaran yang diperbolehkan di suatu sungai
berdasarkan peruntukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal sungai tanpa adanya masukan
sumber pencemar. Perhitungan BPM disajikan pada Persamaan 1.
= (1)
BPM dalam satuan kg/hari merupakan hasil kali dari debit terukur (m3/detik) dengan konsentrasi untuk parameter
tertentu sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan (mg/Liter). Kedua, Beban Pencemaran Aktual (BPA) adalah
beban pencemaran yang dihasilkan di suatu sungai pada saat kondisi eksisting dengan rumus disajikan pada
Persamaan 2.
= (2)
BPA dalam satuan kg/hari adalah hasil perkaian antara debit terukur (m3/detik) dengan konsentrasi aktual hasil
pengukuran untuk parameter tertentu (mg/Liter). Selisih antara BPM dengan BPA menghasilkan data apakah sungai
masih mampu menampung atau telah melebihi beban pencemarnya.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sungai Cibereum memiliki debit pada musim pancaroba antara 0,78-1,96 m3/detik, kemarau 0,23-3 m3/detik dan
hujan 0,16-1,68 m3/detik. Analisis kualitas air Sungai Cibeureum setelah dibandingkan dengan PP No. 82/ 2001
ditampilkan pada Tabel 2. Tabel tersebut hanya menampilkan parameter yang melebihi baku mutu.
Musim pancaroba, terjadi peningkatan konsentrasi BOD dan COD pada titik hulu menuju tengah, lalu diikuti
penurunan konsentrasi DO. Hal ini terjadi karena, oksigen terlarut akan digunakan oleh mikroorganisme untuk
mendekomposisi materi organik, sehingga konsentrasi BOD menjadi tinggi sedangkan konsentrasi DO mengalami
penurunan. Sama halnya dengan COD yang menggambarkan keseluruhan zat organik yang teroksidasi maka nilai
COD akan lebih besar dari BOD (Effendi, 2003). Hal ini dikarenakan BOD hanya mengukur secara relatif jumlah
oksigen yang dibutuhkan sedangkan COD menggambarkan sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi termasuk BOD didalamnya. Nilai DO yang terus menurun
mengindikasikan kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik akan berkurang, akibatnya
kemampuan sungai untuk pulih sendiri (self-purification) secara alami akan sangat berkurang (Effendi, 2003). Hasil
perhitungan menyatakan bahwa rasio nilai BOD/COD berfluktuasi mulai dari hulu hingga hilir, sekitar 0,26-0,59.
Rasio tersebut menandakan pencemar yang masuk bersifat sukar terurai (persistent) (Effendi, 2003).
Musim kemarau, terjadi peningkatan konsentrasi BOD dan COD pada titik hulu menuju hilir, lalu diikuti penurunan
konsentrasi DO semakin hilir. Hal ini mengindikasikan proses dekomposisi materi organik baik secara biologi
maupun kimiawi berlangsung sangat tinggi, dan terus meningkat seiiring menuju hilir sungai. Proses dekomposisi
612
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
yang sangat tinggi, menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut berkurang karena digunakan mikroorganisme untuk
mengoksidasi materi organik.
Tabel 2. Parameter kualitas air Sungai Cibeureum
Parameter Baku Musim Pancaroba Musim Kemarau Musim Hujan
Hulu Tengah
mutu Hulu Tengah Hilir Hilir Hulu Tengah Hilir
Parameter Fisika (mg/L) 858 680
182* 57*
TDS 1.000 532 514 836 492 476 720 666
156* 70* 51* 98* 72* 21*
TSS 50 15 72* 38 178* 73*
2,97* 4,31
Kimia Anorganik (mg/L) 0,41* 0,16
<0,03 <0,03
BOD 3 7* 50* 24* 29* 22* 0,16* 22* 39* 0,06*
41* 83* 0,64* 50* 92* <0,12
COD 25 26* 84* 50* 5,35 3,74* 0,21* 6,19 5,53 0,29*
<0,16 <0,16 0,06* 0,2 <0,16 0,04*
DO >4 5,74 3,31* 3,3* <0,03 <0,03 0,2* <0,03 <0,03 4,9*
0,054* 0,08* 0,1* 0,09*
Phosphat 0,2 0,48* 0,44* 0,82* <0,12 0,13* 24x106* <0,12 <0,12 23x106*
0,54* 0,43* 0,23* 0,26*
Pb 0,03 <0,03 0,0455* 0,042* 0,05* 0,07* 84x104* 0,03 0,03 1,4x106*
1,3* <1,1 3,3* 4,1*
Zn 0,05 0,05 0,26* 0,13* <0,35 1,07*
0,03* 1,105*
H2S 0,002 <0,12 <0,12 <0,12 1,82* 0,19
2,88 0,16
Nitrit 0,06 0,68* 0,414* 0,49*
Klorin Bebas 0,03 0,04* 0,05* 0,08*
Amonia <0,02 <1,1 <1,1 <1,1
Mikrobiologi (Jumlah/100 mL)
Total 5.000 46x104* 24x104* 46x104 12x106 7,7x106* 17x106* 5,5x106*
Coliform * * 2,3x106* 3,1x106* 23x106*
1,9x106
Fecal 1.000 46x104* 24x104* 46x104 *
Coliform *
Kimia Organik (mg/L)
Minyak dan 1 <1,1 2,00* <1,1 0,40 <0,35 0,54 1,53*
Lemak
0,02* 0,02* 0,056* 0,107*
Fenol 0,001 <0,181 0,07* 0,08* 2,24* 4,53* 0,038 1,53*
Detergen 0,2 0,075 0,019 0,104 0,23 3 0,39 1,68
Debit - 1,96 0,78 1,77
(m3/detik)
Keterangan: *Parameter yang melebihi baku mutu
Musim hujan, terjadi peningkatan konsentrasi BOD dan COD pada titik hulu menuju tengah, kemudian terjadi
penurunan pada titik tengah menuju hilir dan diikuti penurunan konsentrasi DO semakin hilir. Nilai COD yang lebih
tinggi dari BOD mengindikasikan bahwa terdapat banyak bahan anorganik dibanding bahan organik, karena sungai
biasanya memiliki kadar bahan anorganik terlarut sepuluh kali lipat lebih besar dari pada kadar bahan organik
(Effendi, 2003). Musim hujan, bagian tengah sungai memiliki zat pencemar lebih tinggi dibanding titik lainnya. Hal
ini mengindikasikan pada tengah sungai banyak sumber pencemar yang masuk ke badan air. Hubungan DO, BOD,
COD memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan oksigen terlarut di perairan. Grafik hubungan parameter DO,
BOD, dan COD dapat dilihat pada Gambar 1. Hubungan amonia, nitrit, nitrat memiliki hubungan yang erat kaitannya
dengan proses amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Grafik hubungan amonia, nitrit, nitrat dengan DO dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Hubungan DO, BOD5, COD Gambar 2. Hubungan Amonia, Nitrit, Nitrat dengan DO
613
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Musim pancaroba, terdapat konsentrasi amonia <1,1 mg/l pada titik hulu hingga hilir. Konsentrasi tersebut tidak
terukur sehingga nilainya tidak terlalu signifikan untuk peruntukan Kelas II. Amonia dapat berasal dari kotoran, urin
hewan atau manusia dan air limpasan dari pertanian sekitar yang mengandung nitrogen dan tumbuhan yang telah
didekomposisi oleh mikroorganisme. Rendahnya konsentrasi amonia menandakan bahwa sungai pada musim
pancaroba masih memiliki cukup oksigen terlarut untuk mendekomposisi bahan organik secara aerob, sehingga tidak
terjadi proses anaerob. Kemudian, konsentrasi nitrit terus berkurang seiring menuju hilir sungai, hal ini karena amonia
akan dioksidasi oleh bakteri kemotrofik menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat dengan proses nitrifikasi. Nitrit yang
memiliki sifat tidak stabil, akan mudah dioksidasi menjadi nitrat, ketika perairan masih memiliki cukup oksigen
terlarut (Pribadi dkk., 2016). Proses dekomposisi ini dilakukan pada suhu optimum yaitu sekitar 20-30oC (Effendi,
2003). Proses nitrifikasi ini menyebabkan oksigen terlarut semakin berkurang seiring waktu, akibatnya proses
oksidasi nitrit yang menjadi nitrat menjadi terhambat. Terjadi penurunan konsentrasi nitrat pada titik hulu hingga
hilir, dikarenakan terjadi proses denitrifikasi, dimana nilai oksigen terlarut semakin sedikit dan mendekati kondisi
anaerob. Dinitrogen Oksida (N2O) adalah produk utama dari proses denitrifikasi dengan kadar oksigen rendah
(Effendi, 2003).
Musim kemarau, terjadi penurunan konsentrasi amonia dan nitrit disemua titik sampling. Konsentrasi amonia turun
disebabkan telah terjadi proses nitrifikasi. Amonia pada bagian hulu dan hilir melebihi baku mutu kelas II, Hal
tersebut mengindikasikan konsentrasi oksigen terlarut yang sangat sedikit dibanding dengan bahan pencemar organik
yang masuk ke sungai. Proses amonifikasi berlangsung lambat seiiring menuju hilir sungai, sehingga proses
nitrifikasi oleh bakteri nitrit ikut melambat. Namun, konsentrasi nitrat bertambah seiiring menuju hilir, karena nitrit
yang terbentuk dari proses oksidasi amonia tidak stabil dengan keberadaan oksigen maka proses nitrifikasi terus
berlangsung hingga menjadi nitrat. Hal ini menyebabkan telah terjadinya proses pengoksidasian secara lengkap,
ditandai dengan konsentrasi nitrat yang semakin hilir semakin tinggi. Oleh karena proses oksidasi, menyebabkan
oksigen terlarut menjadi semakin berkurang pada hilir sungai.
Musim hujan, terjadi peningkatan konsentrasi amonia dari titik hulu sampai hilir, diikuti peningkatan konsentrasi
nitrit. Hal ini dikarenakan banyaknya materi organik yang masuk ke dalam sungai, sehingga proses amonifikasi
sangat tinggi. Selain itu, konsentrasi oksigen terlarut pada musim hujan cukup tinggi menyebabkan laju proses
oksidasi menjadi tinggi. Namun, konsentrasi nitrat terjadi fluktuasi seiiring menuju hilir sungai, hal ini dapat
dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat dari pada bakteri heterotrof, karena pada
perairan yang banyak terdapat materi organik maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan
nitrifikasi (Effendi, 2003). Hal ini menyebabkan proses nitrfikasi dari nitrit menjadi nitrat terhambat meskipun
konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi.
Berdasarkan Tabel 2. tersebut parameter yang tidak memenuhi baku mutu yaitu TDS, TSS, BOD, COD, DO,
Phosphat, Pb, Zn, H2S, Nitrit, Klorin Bebas, Amonia, Total Coliform, Fecal Coliform, Minyak dan lemak, Fenol, dan
detergen sebagai MBAS. Tidak semua parameter tersebut dapat dihitung beban pencemarannya. Parameter Total
Coliform, Fecal Coliform yang memiliki satuan jumlah/100L tidak dapat dihitung. Perhitungan BPM di Sungai
Cibeureum dapat dilihat pada Tabel 3. dan BPA dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. BPM Sungai Cibeureum (kg/hari)
Parameter Musim Pancaroba Hilir Musim Kemarau Hilir Musim Hujan Hilir
Hulu Tengah 7.646 Hulu Tengah 12.442 Hulu Tengah 691
TSS 8.467 3.370 459 994 12.960 747 1.685 7.258 42
BOD 508 202 3.823 60 778 6.221 101 436 346
COD 4.234 1.685 30,59 497 6.480 49,77 842 3.629 2,76
Phosphat 33,87 13,48 4,59 3,97 51,84 7,46 6,74 29,03 0,41
Pb 5,08 2,02 7,65 0,60 7,78 12,44 1,01 4,35 0,69
Zn 8,47 3,37 0,31 0,99 12,96 0,50 1,68 7,26 0,03
H2S 0,34 0,13 9,18 0,04 0,52 14,93 0,07 0,29 0,83
Nitrit 10,16 4,04 4,59 1,19 15,55 7,46 2,02 8,71 0,41
Klorin Bebas 5,08 2,02 152,9 0,60 7,78 248,83 1,01 4,35 13,82
Minyak dan Lemak 169,3 67,39 0,15 19,87 259,2 0,25 33,70 145,15 0,01
Fenol 0,17 0,07 30,59 0,02 0,26 49,77 0,03 0,15 2,76
Detergen 33,87 13,48 3,97 51,84 6,74 29,03
614
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Baku mutu air limbah domestik terdiri dari parameter pH, BOD, COD, TSS, Minyak dan Lemak, Total Coliform
serta Amoniak (PerMenLH No. 68/ 2016). Semua parameter tersebut kecuali pH tidak memenuhi baku mutu sehingga
dapat disimpulkan bahwa limbah domestik memberikan kontribusi terhadap pencemaran di Sungai Cibeureum.
Parameter logam berat seperti Pb dan Zn diprediksi berasal dari aktivitas industri dan domestik di DAS Cibeureum.
Tabel 4. BPA Sungai Cibeureum (kg/hari)
Parameter Musim Pancaroba Hilir Musim Kemarau Hilir Musim Hujan Hilir
Hulu Tengah 5.811 Hulu Tengah 45.287 Hulu Tengah 788
TSS 2.540 4.852 3.670 3.100 18.144 12.690 3.302 10.451 290
BOD 1.185 3.370 7.646 576 5.702 44.292 741 5.661 1.009
COD 4.403 5.661 125,4 815 21.514 102,02 1.685 13.354 2,21
Phosphat 81,29 29,65 6,42 00 0 6,74 0 0
Pb 0 3,07 19,42 00 38,82 00 0,83
Zn 8,47 17,45 0 1,07 19,96 159,25 3,37 13,06 0
H2S 00 74,32 0 33,7 52,5 00 4,01
Nitrit 115,2 27,9 12,23 10,73 110,2 14,93 7,75 37,74 0,55
Klorin Bebas 6,77 3,37 0 0,99 18,14 0 1,01 4,35 14,79
Minyak dan Lemak 0 134,8 12,16 7,95 0 8,63 18,2 222,1 15,27
Fenol 0 4,5 15,9 0,4 5,83 452,9 1,9 15,49 2,63
Detergen 12,7 1,28 44,51 1.174 1,28 222,1
Berdasarkan Tabel 3 dan 4, hampir semua BPA melebihi BPM sungai, hal ini dapat menyebabkan sungai menjadi
over capacity dalam menerima beban pencemar. Selisih antara BPM dan BPA disajikan pada Tabel 5. Tabel tersebut
merupakan beban pencemar yang harus diturunkan.
Tabel 5. Beban Pencemar Sungai yang Harus Diturunkan (kg/hari)
Parameter Musim Pancaroba Hilir Musim Kemarau Hilir Musim Hujan Hilir
Hulu Tengah 0 Hulu Tengah 32.846 Hulu Tengah 97
TSS 0 1.483 3.215 2.106 5.184 11.944 1.617 3.193 249
BOD 677 3.167 3.823 517 4.925 38.071 640 5.226 664
COD 169 3.976 94,82 318 15.034 52,25 842 9.725 0
Phosphat 47,42 16,17 1,84 00 0 00 0
Pb 0 1,04 11,78 00 26,38 00 0,14
Zn 0 14,08 65,15 0,08 7 37,57 1,68 5,81 3,18
Nitrit 104,9 23,86 7,65 9,54 94,61 7,46 5,73 29,03 0,14
Klorin Bebas 1,69 1,35 0 0,4 10,37 0 00 0,97
Minyak dan Lemak 0 67,39 12 00 8,39 0 76,93 15,26
Fenol 0 4,43 0 0,38 5,57 403,11 1,86 15,34 0
Detergen 00 40,54 1.122 0 193,05
Logam berat walaupun beban pencemarannya kecil akan terakumulasi di Sungai Citarum dan akhirnya mengendap
di Waduk Saguling sebagai bendungan pertama yang menampung Sungai Citarum. Berdasarkan Arinda dan
Wardhani (2018) di Waduk Saguling teridentifikasi logam berat Pb yang diprediksi berasal dari aktivitas masyarakat
di Sungai Citarum dan anak-anaknya. Logam berat merupakan unsur konservatif bilamana telah masuk ke perairan
akan terakumulasi di sedimen, biota, dan flora air. Beban pencemar logam berat tidak akan berkurang karena proses
degradasi tetapi dapat berpindah dan terdistribusi ke tempat lain (Wardhani et.al, 2016; Wardhani et.al, 2017a;
Wardhani et.al, 2017b). Tingginya beban pencemar BOD dan COD dari Sungai Cibeureum yang akan masuk ke
Sungai Citarum dan bermuara ke Waduk Saguling akan mempengaruhi parameter lainnya seperti DO, H2S, serta
konsentrasi logam berat (Eka Wardhani dkk., 2017a).
Diperlukan upaya pengendalian pencemaran air di Sungai Cibeureum sebagai anak Sungai Citarum dari semua sektor
yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran yang terjadi. Program Citarum Harum berpusat pada limbah
industri sedangkan aktivitas domestik memberi beban yang cukup signifikan seiring dengan jumlah penduduk yang
ada di DAS Cibeureum. Pengelolaan air limbah domestik dapat dilakukan dengan menerapkan Sistem Pengelolaan
Air Limbah Domestik Terpusat atau Setempat (SPALD-T) atau (SPALD-S).
615
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
4 KESIMPULAN
Pencemaran Sungai Cibeureum didominasi oleh limbah domestik yang banyak mengandung materi organik. Hal ini
dikarenakan DAS Cibeureum merupakan kawasan padat penduduk, sehingga limbah domestik berpotensi besar
langsung dibuang ke sungai. Sungai Cibeureum memiliki BPA melebihi BPM hampir disemua musim. Beban
pencemar utama yang perlu diturunkan untuk parameter TSS sebesar 97-32.846 kg/hari, BOD sebesar 249-11.944
kg/hari, COD sebesar 169-38.071 kg/hari, Phosphat sebesar 16,17-94,82 kg/hari, Pb sebesar 1,04-1,84 kg/hari, Zn
sebesar 0,08-26,38 kg/hari, Nitrit sebesar 3,18-104,99 kg/hari, Klorin Bebas sebesar 0,14-10,37 kg/hari, Minyak dan
Lemak sebesar 0,97-76,93 kg/hari, Fenol sebesar 0,38-15,34 kg/hari, dan Detergen sebagai MBAS sebesar 40,54-
1.122 kg/hari.
REFERENSI
Arinda, A., dan Wardhani, E. (2018). "Analisis Profil Konsentrasi Pb di Air Waduk Saguling". Rekayasa Hijau:
Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan, 2(3)
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air, bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius,
Yogyakarta
Google Earth. (2020). Google Earth: Peta Administrasi Kelurahan Cibeureum, Melong, dan Cijerah yang diunduh
dari https://earth.google.com/
Republik Indonesia. (2000). Peraturan Daerah Jawa Barat No 39 Tahun 2000 tentang Peruntukan Air dan Baku
Mutu Air pada Sungai Citarum dan Anak-Anak Sungainya di Jawa Barat
Republik Indonesia. (2003). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68
Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air
Pribadi, R. N., Zaman, B., dan Purwono, P. (2016). "Pengaruh Luas Penutupan Kiambang (Salvinia molesta)
Terhadap Penurunan COD, Amonia, Nitrit, dan Nitrat Pada Limbah Cair Domestik (Grey Water) dengan Sistem
Kontinyu". Jurnal Teknik Lingkungan, 5(4)
Rachmaningrum, M. (2015). "Konsentrasi Logam Berat Kadmium (Cd) pada Perairan Sungai Citarum Hulu Segmen
Dayeuhkolot-Nanjung". Jurnal Reka Lingkungan, 3(1)
Wardhani, E., Notodarmojo, S., dan Roosmini, D. (2017a). "Heavy metal speciation in sediments in Saguling Lake
West Java Indonesia". International Journal, 12(34), 146-151
Wardhani, E., Roosmini, D., dan Notodarmojo, S. (2016). "Pencemaran Kadmium Di Sedimen Waduk Saguling
Provinsi Jawa Barat (Cadmium Pollution in Saguling Dam Sediment West Java Province)". Jurnal Manusia Dan
Lingkungan, 23(3), 285-294
Wardhani, E., Roosmini, D., dan Notodarmojo, S. (2017b). "Status of heavy metal in sediment of Saguling Lake,
West Java". Paper presented at the IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science
Wardhani, E., dan Sulistiowati, L. A. (2018). "Kajian Daya Tampung Sungai Citarik Provinsi Jawa Barat". Rekayasa
Hijau: Jurnal Teknologi Ramah Lingkungan, 2(2)
Yasya, H. R., dan Juwana, I. (2019). "Pemetaan Area Risiko Sanitasi Sektor Air Limbah Domestik Kota Cimahi".
Jurnal Serambi Engineering, 4(2)
616
07 Mitigasi
Bencana Geoteknik
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
Analisis Potensi Likuifaksi Pada Area Wisata Danau Dendam Tak Sudah,
Kota Bengkulu
S. L. Zain, H. Safira, S. Agustina, L. Z. Mase*, Hardiansyah
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Bengkulu, Bengkulu, INDONESIA
*Corresponding author: [email protected]
INTISARI
Terjadinya gempa bumi dapat memicu bencana lanjutan seperti likuifaksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya
potensi likuifaksi di area wisata Danau Dendam Tak Sudah Kota Bengkulu. Danau Dendam Tak Sudah merupakan salah satu
tempat wisata yang menjadi daya tarik dari Kota Bengkulu. Perlapisan tanah di sekitar area wisata tersebut tersusun atas
lapisan tanah pasiran sehingga perlu dianalisis kemungkinan terjadinya likuifaksi di area tersebut. Penelitian dilakukan dengan
melakukan uji Cone Penetration Test (CPT) pada dua titik penelitian dan melakukan pengambilan data dengan metode
mikrotremor di dua titik penelitian lainnya. Analisis kerentanan likuifaksi dilakukan menggunakan metode pengukuran Cone
Penetration Test (CPT) dan pengukuran kecepatan gelombang geser (Vs). Perambatan gelombang satu dimensi dilakukan
untuk mendapatkan nilai peak ground acceleration (PGA) dalam penelitian ini. Nilai faktor aman (FS) ditentukan untuk
mengetahui potensi likuifaksi yang selanjutnya di analisis dengan metode Simplified Procedure. Penelitian ini bertujuan untuk
mengindetifikasi potensi likuifaksi di kawasan wisata Danau Dendam Tak Sudah dengan menggunakan nilai kerentanan
Liquefaction Potential Index (LPI) oleh Iwasaki, dkk. (1981). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai PGA berkisar antara
0,143 g – 0,571 g. Analisis likuifaksi yang dilakukan menunjukkan bahwa area wisata Danau Dendam Tak sudah berpotensi
rendah terhadap likuifaksi dengan nilai 0 di titik S-1 dan S-4 serta sebesar 1,926 di S-2 dan 1,787 di S-3.
Kata kunci: Bengkulu, Likuifaksi, Simplified Procedure, Liquefaction Potential Index (LPI)
1 PENDAHULUAN
Kota Bengkulu merupakan daerah berkembang. Pembangunan infrastruktur untuk menunjang kemajuan sektor
pariwisata masih terus dilakukan, mengingat Kota Bengkulu memiliki potensi alam yang besar. Selain wisata
pesisir pantai, Danau Dendam Tak Sudah cukup diminati masyarakat Kota Bengkulu. Keindahan dan ketenangan
suasana Danau Dendam Tak Sudah menjadi pesona wisata yang potensial. Untuk meningkatkan daya tarik
wisatawan, pengelolahan tata ruang yang baik dan pembangunan infrastruktur seperti hotel perlu dibangun.
Pembangunan infrastruktur harus memerhatikan kondisi pelapisan tanah. Secara geologis, Kota Bengkulu
didominasi oleh endapan kuarter yang terdiri atas endapan fluvial dan endapan vilium yang mengandung pasir,
lempung dan lumpur (Sugalang dan Buana, 2012). Menurut Farid dan Hadi (2018) batuan aluvium rentan terhadap
guncangan gempa bumi yang dapat memicu bencana lanjutan seperti likuifaksi. Peristiwa likuifaksi menimbulkan
keruntuhan, retakan tanah, amblesan, kelongsoran dan lain-lain (Misliniyati, et al., 2013). Berdasarkan data Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) (2019), terjadi gempa bumi berkekuatan 8,6 Mw (moment
magnitude) pada tanggal 12 September 2007 yang memicu terjadinya likuifaksi.
Analisis kerentanan likuifaksi dilakukan menggunakan metode pengukuran Cone Penetration Test (CPT) dan
pengukuran kecepatan gelombang geser (Vs). Perambatan gelombang satu dimensi dilakukan untuk mendapatkan
nilai percepatan tanah maksimum dalam penelitian ini. Nilai faktor aman (FS) ditentukan untuk mengetahui potensi
likuifaksi yang selanjutnya di analisis dengan metode Simplified Procedure. Penelitian ini bertujuan untuk
mengindetifikasi potensi likuifaksi di kawasan wisata Danau Dendam Tak Sudah dengan menggunakan nilai
kerentanan LPI (Liquefaction Potential Index) oleh Iwasaki, et al. (1981). Hasil dari penelitian diharapkan berguna
untuk keperluan dalam perencanaan serta pembangunan tata ruang wilayah Kota Bengkulu khususnya daerah
kawasan Pantai Panjang agar terhindar dari kegagalan konstruksi.
2 LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di sekitar area wisata Danau Dendam Tak Sudah yang berada di Kecamatan Singaran Pati
Kota Bengkulu. Pada Gambar 1 dapat kita lihat pada penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data dari hasil
uji Cone Penetration Test (CPT) sebanyak 2 titik dan data dari hasil survei mikrotremor sebanyak 2 titik. Data
617
Yogyakarta, 25-26 Januari 2021 Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21
Cone Penetration Test (CPT) ditunjukkan oleh simbol segitiga dan data survei mikrotremor dengan simbol
lingkaran.
Gambar 1. Lokasi penelitian (dimodifikasi dari Google Maps, 2020)
Penyelidikan tanah menggunakan Cone Penetration Test (CPT) dilakukan untuk memperoleh referensi tentang
analisis profil kecepatan gelombang geser (Vs) yang diperoleh dengan menghitung Vs estimasi pada tiap lapisan
tanah. Vs dari data CPT tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam inversi untuk pengolahan data mikrotremor.
Proses inversi tersebut akan menghasilkan nilai Vs di setiap lapisan tanah pada titik yang datanya telah diambil
langsung di lapangan. Berdasarkan hasil penyelidikan tanah, didapat bahwa jenis tanah di sekitar danau terdiri dari
tanah lempung dan pasir. Hasil penyelidikan tanah dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b) (c) (d)
Gambar 2. Hasil penyelidikan tanah di titik (a) S-1 (b) S-2 (c) S-3 (d) S-4
618
Simposium Nasional Teknologi Infrastruktur Abad ke-21 Yogyakarta, 25-26 Januari 2021
3 METODE PENELITIAN
3.1 Metode Perambatan Gelombang
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui perilaku dinamis tanah akibat dari terjadinya gempa
adalah metode perambatan gelombang satu dimensi. Metode yang dipakai adalah metode dari Elgamal et al.,
(2006). Gelombang dirambatkan dari batuan dasar ke setiap lapisan tanah dengan gelombang input dari penelitian
Mase et al., (2019). Gelombang tersebut merupakan gelombang gempa terskala yang disesuaikan dengan kondisi
seismik Kota Bengkulu. Setelah gelombang dirambatkan maka akan didapat nilai percepatan tanah maksimum atau
Peak Ground Acceleration (PGA) pada permukaan tanah. Gelombang input dapat dilihat pada Gambar 3.
P ercepatan (g) 0.4 PGAmax = 0,367 g
0.3
0.2 5 10 15 20 25 30 35 40
0.1
Waktu (detik)
0
-0.1
-0.2
-0.3
-0.4
0
Gambar 3. Gelombang input terskala (Mase et al., 2019)
3.2 Analisis Likuifaksi Metode Simplified Procedure
Metode simplified procedure merupakan metode yang diusulkan oleh Idriss dan Boulanger (2008) menganalisis
likuifaksi dengan menghitung perbandingan nilai CSR terhadap CRR.
3.2.1 Cyclic Stress Ratio (CSR)
CSR adalah perbandingan rasio tegangan siklik dari gempa bumi di lapisan tanah (Idriss dan Boulanger, 2008).
CSR hanya terjadi saat tanah menerima tegangan siklik dari gelombang gempa. Nilai CSR dipengaruhi oleh
percepatan puncak muka tanah. Idriss dan Boulanger (2008) merumuskan persamaan CSR sebagai berikut:
CSR = 0,65rd amax σv 1 1 (1)
g σv' MSF Kσ
Dimana amax adalah percepatan tanah maksimum akibat gempa, g adalah percepatan gravitasi, σv adalah tegangan
vertikal total, σ'v adalah tegangan vertikal efektif, rd adalah koefisien reduksi tegangan geser, Kσ adalah overburden
correction factor dan MSF adalah magnitude scaling factor.
3.2.2 Cyclic Resistence Ratio (CRR)
CRR adalah nilai rasio tahanan siklis tanah sebagai parameter untuk menahan atau melawan tegangan geser siklis
saat gempa. Perhitungan CSR biasanya berdasarkan hasil pengujian menggunakan CPT atau SPT. Namun, Andrus
dkk. (2004) mengusulkan metode alternatif untuk menghitung CRR berdasarkan kecepatan gelombang geser. CRR
dihitung menggunakan persamaan:
.CRR = exp [qc1Ncs + ( )qc1Ncs 2 – ( )qc1Ncs 3 + ( )qc1Ncs 4 – 2,8] (2)
113 1000 140 137
Cara umum untuk mengukur potensi likuifaksi adalah berdasarkan kondisi dari faktor aman. Andrus dan Stokoe
(2000) menyarankan persamaan berikut untuk menghitung faktor aman:
619