The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by destinnafid42759, 2021-10-10 21:15:23

Muhammad Sang Teladan

Muhammad Sang Teladan

Agama Islam

*4#/



Rp.144.000,-



H



MUHAMMAD SANG TELADAN

‘Abdurrohman Asy-Syarqawi
604 hlm: 16,5 x 24 cm, HVS NW 70
ISBN : 978-602-6563-70-5
ISBN e Book : 978-602-6563-71-2

Judul Asli : Muhammad Rasuulul Hurriyyah
Penulis : ‘Abdurrohman Asy-Syarqawi
Penerjemah : KH. Baihaqi Sya uddin
Editor : Ir. Sumbodo, Eni Oesman, & Abu Khodijah AR
Design Cover : Agi Sandyta
Cetakan Ke :I

Penerbit :
Senja Media Utama
Jl. Jl. Kemang 1 No. 3A
RT. 004/10 Kp. Cikumpa
Kel. Sukmajaya, Kec. Sukmajaya
Tlp. 021 29444 697
[email protected]

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku

ini tanpa izin tertulis penerbit

4 MUHAMMAD Teladan Penegak Kebenaran

Kata Pengantar Penerbit

“Tiadalah Kami mengutus dirimu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)

Da n m e m a n g b e n a r d e m i k i a n a d a n y a b a h w a
kedatangannya telah menghiasi bumi ini dengan
segenap kasih sayang dan kebaikan, sehingga tiada yang bisa
mengelak dari kenyataan ini, selain orang-orang yang benar-benar
ingkar kepadanya.

Muhammad adalah pelopor dari segala pelopor, yang luar biasa...
dalam hal kebaikan, kasih sayang, pembebasan dari belenggu kekafiran
dan kemunafiqan; dan keberhasilan perjuangannya mengentaskan manu-
sia dari kegelapan kepada cahaya sungguh merupakan rahmat, anugerah,
dan kemuliaan yang tiada hal yang serupa dengannya. Keh­ adira­ nnya,
bahkan sebelum kemunculannya, telah memancarkan cahaya dan me-
nyebar berkah, yang segenap makhluk di bumi ini mendambakannya.
Sungguh, Muhammad sebenarn­ ya bukan manusia biasa, meski kata-kata
ini yang senantiasa ia ucapkan. Ia adalah pancaran cahaya Ilahi yang
diciptakan untuk kebaikan manusia dan seluruh makhluk di bumi ini.

Karena itu, rasanya tiada berlebihan jika kami mere­ferensikan
pembaca untuk membaca buku ini, karena dengan bahasa cerita
yang sangat menarik dan rangkaian sejarah yang cukup lengkap,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 5

‘Abdurrohman Asy-Syarqawi, sang penulis asli dari karyanya berjudul
Muhammad Rasuulul Hurriyyah, mengisahkan perjalanan hidupnya
yang penuh derita dan perjuangan, dengan seluruh akhlaq baik dan
mulianya, baik terhadap kawan, lawan, saudara, keluarga, maupun
semua relasi yang pernah berhubungan dengannya, agar kita dapat
mengenal dirinya lebih jauh dan mendalam. Dan tidaklah keliru jika
kami mempercayak­ an KH. Baihaqi Syafiuddin sebagai pengalih ba-
hasanya, selanjutnya memunculkan buku ini dengan judul Muhammad
Teladan Penegak Kebenaran, dengan harapan pembaca dan kaum
muslimin yang menelusurinya sejarah kehidupan­nya dan perjalanannya
hidupnya akan menangkap segala hikmah kehidupan yang mengiring-
inya dan mengambil manfaat serta meneladani kebaikan dan kemuliaan
yang melekat pada dirinya.
Tiada hal yang senantiasa kami harapkan, selain harapan agar Al-
lah senantiasa melimpahkan shalawat dan salamnya kepada beliau,
anutan dan kecintaan kita; keluarganya; dan segenap shahabatnya
yang menyertai perjuangan dan perjalanan dakwahnya. Demikian juga
semoga kerja sama jarak jauh dan dalam rentang waktu yang cukup
lama dari semua pihak, baik penulisnya, penerjemahnya, maupun
pihak yang mendukung terw­ ujudnya buku ini, menghasilkan kebaikan
dan pahala yang melimpah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Semoga
Allah menjadikannya investasi akhirat sebagai saksi kebaikan yang
akan dihadapkan ke haribaan-Nya. Amiin.

Depok, November 2017
Penerbit

6 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit.............................................. 5
Daftar Isi................................................................ 7
Persembahan........................................................... 9
Aku manusia biasa sepertimu........................................ 11
PENDAHULUAN.......................................................... 13
Kabut di atas langit Makkah......................................... 19
Kondisi sosial-geografis Makkah pada abad VII.................... 31
Di balik awan, sang rembulan terbit............................... 41
Gejolak cinta di masa muda......................................... 59
Cahaya di Malam Gelap............................................... 61
Pengisolasian di Dinding Tiran....................................... 81
Hegemoni Kebenaran para Bangsawan............................ 99
Mulai Runtuhnya Benteng Kesesatan............................... 113
Antagonisme Menolak Kebenaran................................... 131
Luluhnya Hati Singa Jantan Padang Pasir.......................... 151
Kegetiran dalam kesendirian......................................... 171
Mencari Bumi Tempat Berpijak...................................... 189
Mengungsi Demi Masa Depan........................................ 206
Jalan panjang yang melelahkan..................................... 225

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 7

Kemakmuran membawa krisis internal............................. 243
Idealisme vs Interes Konfrontatif................................... 267
Banjir darah di Lembah Badar....................................... 287
Antara mata pedang dan kelicikan................................. 307
Darah membanjiri lembah Uhud, sebuah pelajaran............. 327
Membalut luka Membangun asa..................................... 345
Darah lembah Uhud harus ditebus.................................. 363
Gosip perselingkuhan ‘Aisyah menggoyang reputasi Muhammad 383
Perang Khandaq danpengkhianatan Bani Quraizhah............. 409
Kesuksesan yang membangkitkan konfidensi...................... 427
Rindu kampung halaman.............................................. 445
Badai menerpa keluarga Muhammad............................... 467
Kesepakatan yang membentangkan jalan.......................... 487
Makkah berada dalam genggamannya.............................. 507
Metamorfosis Makkah................................................. 533
Bendera kemenangan berkibar jauh................................ 555
Rembulan kembali ke peraduannya................................. 575

8 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Persembahan

BBuku ini kupersembahkan buat Ayahku....

yang telah menanamkan dalam sanubariku
–sedari aku kecil– rasa cinta kepada Muhammad n.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 9

10 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Aku manusia biasa sepertimu

S“ eorang manusia”, yang dalam hidupnya tersimpan kekayaan
berupa cinta kasih, kebijaksanaan,
kesederhanaan, kedermawanan, dan kemampuan
yang luar biasa dalam manajerial, leadership, maupun dalam tinda-

kan-tindakan inovatif dan reformasinya.

Haramkah jika aku menulis untuk orang-orang

nonmuslim tentang kehidupan Muhammad, sang nabi; keberanian-
nya; kepahlawanannya; keimanannya;
dan ketakutannya?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 11

12 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

PENDAHULUAN

Se b e n a r n y a p e n u l i s s a m a s e k a l i t i d a k l a h a k a n
menyajikan tulisan yang baru dalam hal sejarah,
sebab khazanah kepustakaan sejarah sudah banyak sekali, baik
yang diformat dalam bentuk klasik maupun yang modern. Oleh karenanya,
dalam buku ini, penulis memang tidak berpretensi bahwa buku sejarah
ini akan menambah realiatas yang baru dalam karya tulisan sejarah.

Hanya saja, inisiatif penulis dalam buku sejarah ini ingin mengekspos
kisah sosok manusia yang memiliki ciri khas kelapangan hati untuk
menampung cerita yang menyelimuti kehidupan manusia, prob-
lematika kehidupan yang membebani, dan ekspektasi yang menjadi
idealisme hidup mereka. Sebab dialah pembawa ajaran-ajaran yang
mampu melahirkan mercusuar peradaban -laksana bunga yang tumbuh
berkembang dengan subur- sehingga menjadi khazanah peradaban
dunia yang tiada habis-habisnya sepanjang abad. Bahkan tidak hanya
itu, ajaran-ajarannya juga mampu memberikan tuntunan untuk senan-
tiasa dijadikan rujukan menuju progresivitas dan membuka wawasan
tentang dinamika kehidupan dan manusia.

Jasa peradaban Islam dalam mengantarkan umat manusia ke gerbang
pintu progresivitas, tak perlu diingkari oleh siapa pun. Kontribusi Ibnu
Sina dengan filsafatnya telah tersebar luas di Asia tengah. Filsafat
Islam dengan kecemerlangannya mampu mendobrak benteng Eropa
Selatan dan Barat yang diselimuti kegelapan dan kepekatan di bawah

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 13

cengkeraman kebuasan srigala, kelicikan-kelicikan tukang sihir, dan
metamorfose kubah-kubah keemasan. Begitu pula Ibnu Rusyd dan
Ibnu Khaldun dengan pemikiran­nya yang brilian dapat merebut posisi
di berbagai negara, seperti di pantai Mediterania. Masa keemasan
peradaban Kairo, Bukhara, Baghdad, Tunisia, Kordova, Tasyken, Dam-
askus, dan Asbilia menjadi bukti konkrit mercusuar yang menjulang
tinggi menyinari kegelapan dengan pancaran terang-benderangnya
sinar yang memancar dari ajaran Muhammad.

Bagi seseorang yang berinisiatif akan meneliti sejarah kehidupan si
pemilik ajaran-ajaran yang mampu mencipta­kan peradaban dunia
ini, sudah tentu akan sanggup menangkap pesan buku ini dengan
benar tanpa harus membaca muqaddimahnya terlebih dahulu, sebab
tulisan dalam muqaddimah buku ini tidak disajikan kepada mereka
tersebut; yaitu tokoh-tokoh yang ingin menatap potret Muhammad
sebagai sosok manusia biasa, bukan dari sisi anti riba, anti tuak, dan
menonjolkan kenabiannya. Kepada mereka, penulis mempersilakan
langsung membaca isi buku ini. Semoga saja Anda sekalian semua
menemukan kisah seorang manusia yang memiliki kepribadian yang
menga­gumkan, seorang pahlawan yang tak pernah bergeming melawan
tindakan-tindakan tiranik, kebrutalan, dan kebengisan dalam berbagai
kondisi demi terealisasinya cinta-kasih antar sesama manusia, keadi-
lan, kebebasan, dan masa depan yang sentosa dan sejahtera tanpa
perlakuan yang diskriminatif, baik terhadap orang-orang yang beri-
man kepada profetik kenabiannya maupun orang-orang yang berani
mengingkarinya. Semua mendapatkan pengayomann­ ya dan diposisikan
secara setara.

Dialah (Muhammad) sosok manusia yang harus diwarisi kepribadian-
nya, tidak hanya dispesialisasikan kepada manusia yang beriman saja,
tetapi juga buat kalangan manusia yang secara tegas memproklamirkan
penolakan terhadap misi profetik kenabiannya.

Jika secara kebetulan pembaca termasuk kategori mereka yang penulis
sebutkan di atas, maka buku ini sangat tepat disajikan untuk Anda, se-
bab, -sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas-, pendahuluan
dalam buku ini bukan untuk pembaca. Oleh karenanya, silakan saja lalui

14 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

pendahuluan ini dan langsung saja pembaca menikmati isinya.

Penulis tidak menyajikan pendahuluan ini untuk orang-orang yang
berasumsi bahwa sebagian kupasan dalam buku ini terdapat bentuk
reduksionis dari agama, termasuk orang-orang yang menuduh bahwa
buku ini cenderung mereduksi ajaran tasawuf yang negatif, dan tidak
pula muqaddimah ini ditujukan kepada orang-orang yang menuding
begini atau begitu menurut situasi dan kondisi. Demikian pula bukan
untuk disajikan kepada orang-orang yang membolak-balikkan buku
ini sembari menuding dengan tuduhan-tuduhan yang bersifat apriori:
Di manakah Rasulullah n di halaman-halaman buku ini? Di manakah
gerangan Muhammad sebagai sosok Nabi?

Jika tudingan-tudingan itu benar-benar berangkat dari sikap fanatisme
dan konsistensi terhadap agamanya, maka sikap tersebut sama sekali
tidak akan diremehkan oleh penulis. Hanya saja penulis ingin meny-
odorkan sebuah Hadits syarif (mulia) kepada mereka:

“Barangsiapa menuduh kafir kepada sesama muslim, maka salah satu dari
keduanya pasti menyandang tuduhan itu.”

Penulis hanya ingin membuka kembali memori mereka tentang per-
damaian Hudaibiyah agar kita dapat men­contohnya. Barangkali kasus
itu dapat kita ambil sebagai bentuk dari pelajaran.

Tulisan dalam pendahuluan ini hanya diperuntukkan bagi mereka
yang menyambut buku ini secara objektif dan meng­kajinya dengan sikap
kritik konstruktif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh penulis ketika
mengekspos secara berepisode pada sebuah koran sore tahun lalu. Muqad-
dimah ini bagi orang-orang yang tidak hanya membaca secara parsialistik
terhadap pasal-pasalnya saja, tetapi mereka menunggu dengan harapan
dapat menemukan tulisan dari buku ini yang berkenaan dengan sejarah
kenabian secara totalitas.

Penulis ingin mengemukakan sebuah opini bahwa sejarah tidaklah
membutuhkan buku baru yang membahas era Nabi ketika beliau mem-
bela kebenaran risalahnya ataupun mengokohkan kehebatan mukjizat

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 15

Nabi. Kita tidaklah membutuhkan buku-buku baru di bidang agama
yang hanya dapat dibaca orang-orang Islam saja, tetapi kita sangat
memerlukan beratus-ratus buku yang mampu mengungkapkan revolusi
dunia yang telah diperankan Islam, yang dapat diperoleh kalangan
Islam maupun non-Islam, hingga menjadi jelas tentang peradaban dan
sifat kemanusiaan dalam kehidupan Muhammad, si pembawa ajaran
Islam. Kita membutuhkan beratus-ratus literatur yang dapat dibaca
oleh seluruh umat manusia, baik mereka yang beriman kepada kena-
bian Muhammad maupun yang jelas-jelas menolaknya.

Saat ini sebenarnya kita dituntut untuk menegakkan kembali
peradaban, menghidupkan nilai-nilai humanis, dan menyebarkan ke
seluruh penjuru dunia serta mendeskripsi­kan tentang persamaan dan
perbedaan ajaran para rasul dari aspek duniawi yang menjadi warisan
budaya seluruh umat manusia, meskipun mereka berbeda agama,
filsafat, dan cara berpikirnya.

Penulis tahu bahwa ada sebagian orang yang tidak mengakui
gerakan yang telah diperankan Islam dan Muhammad. Ada pula yang
menuduh Islam sebagai gerakan reaksioner. Di antara mereka ada yang
melontarkan tuduhan bahwa Muhammad adalah seorang aristokrat
Makkah yang ingin mendominasi Hijaz. Muhammd dituding pula sebagai
orang yang akan mengatur perbudakan. Menurut tuduhan mereka,
bahwa perbaikan-perbaikan orang fakir miskin sebenarnya hanyalah
tipudaya belaka untuk mengelabuhi masyarakat agar mereka tidak
mengadakan pemberontakan. Ada juga yang lain lagi menuduh bahwa
Muhammad datang untuk melakukan agresi pada bangsa Yahudi.

Tuduhan-tuduhan tersebut mereka publikasikan melalui buku-buku
yang didistribusikan ke seluruh dunia dengan berbagai bahasa, bahkan
beribu-ribu argumentasi yang menunjukkan non-objektivitas pendapat-
pendapat mereka, juga fakta historis yang memastikan bahwa Islam
adalah gerakan reformatif dan pembebasan yang masih belum lenyap
jejaknya dalam sejarah kemanusiaan pada masa yang lalu dan masa
mendatang.

Meskipun kita tahu betapa gencarnya tuduhan-tuduhan yang dilon-
tarkan oleh orang-orang yang anti Islam, tetapi justru kebanyakan para

16 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

penulis tidak menarik untuk mengkajinya. Sebagian besar buku-buku
sejarah hanya berkutat pada sekitar kenabian, mukjizat, dan rasul
semata, bukan mengkaji dan menganalisis karakteristik Muhammad
sebagai sosok manusia pembebas. Semestinya, ketika kita berdialog
dengan orang-orang yang tidak mukmin, kita berdialog menurut logika
mereka, bukan dengan keislaman dan sistem teologi kita.

Mereka membahas tentang seorang manusia dan ajaran yang
dibawanya. Karena itu, kita tidak perlu berbicara yang lain-lain. Tidak
ada artinya kita menghadapi mereka dengan “Nabi”, ketika mereka
berbicara tentang “seorang manusia”. Sudah tentu akan lebih relevan
jika kita menghadapi mereka dengan “seorang manusia” juga. “Seorang
manusia” yang dalam hidupnya tersimpan kekayaan berupa cinta kasih,
kebijaksanaan, kesederh­ anaan, kedermawanan, dan kemampuan yang
luar biasa dalam manajerial, leadership, maupun dalam tindakan-
tindakan inovatif dan reformasinya.

Mengapa kita tidak berani berbicara tentang status Muhammad
sebagai seorang manusia biasa, bukan rasul, karena banyak di tengah-
tengah masyarakat kita yang tidak merasa puas kalau dalam kehidu-
pannya tidak memasang perangkat? Harus takutkah kita kepada orang-
orang yang merasa tersakiti hatinya, jika ada orang yang berupaya
membuka pintu-pintu pengetahuan yang baru? Begitu khawatirkah kita
untuk dituding kafir dan murtad serta tidak mengakui status kenabian?
Siapakah sesungguhnya yang berhak memeriksa hati seseorang untuk
menjajaki keyakinan dan sistem imannya? Haramkah jika aku menulis
untuk orang-orang nonmuslim tentang kehidupan Muhammad sang nabi,
keberaniannya, ketakutannya, kepahlawanannya, dan keimanannya?

Mengekspos dan mendistribusikan buku-buku yang membahas
tentang peradaban kita di tengah-tengah masyarakat yang begitu het-
erogen ideologi dan agamanya, tidaklah semata-mata tugas seorang
budayawan belaka, tapi juga merupakan keharusan umat Islam dan
tanggung jawab setiap orang menurut disiplin ilmu dan profesinya. Di
sini penulis telah berupaya untuk memikul tanggung jawab ini sesuai
dengan bidang keahlian penulis.

Penulis suguhkan buku ini dengan memilih format berbentuk roman

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 17

yang bernuansa cerita, bukan dalam format kajian. Usaha ini penulis
suguhkan pertama-pertama kepada orang-orang yang mengingkari kena-

bian Muhammad, dengan harapan pembaca buku ini akan menerima apa

pun keyakinannya, dengan semangat sebagaimana sem­ angat penulis

dalam menulis buku ini. Semoga para pembaca yang budiman diberi

kemudahan untuk memahami buku ini oleh Allah l.

15 Ramadhan 1381 H.
20 Pebruari 1962 M.
‘Abdurrahman Asy-Syarqawi

18 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Kabut
di atas langit Makkah

L laki itu merasa hidup untuk kedua kalinya setelah
melalui perjalanan panjang yang sangat mencekam.
Dirinya seolah-olah baru terlahir kembali dengan semangat
jiwa mudanya, cintanya, obsesinya, sosok postur tubuhnya yang tinggi
semampai, kelembutan suaranya, dan idealismenya yang hampir pupus.

Ia pun tidak memiliki daya kekuatan apa-apa untuk mengha-
dapi peristiwa yang terjadi, seperti halnya kebanyakan orang-orang
(masyarakat) Makkah waktu itu, sebab garis kehidupan orang-orang
Makkah, baik laki-laki maupun perempuan, ketika itu sangat ditentukan
oleh “peristiwa kebetulan”. Sang penentu di balik peristiwa-peristiwa
kebetulan itu adalah sebuah patung tuli yang bernama Manat, tuhan
tanpa hati. Dialah sang penguasa hukum yang di sampingnya berdiri
pula dengan penuh angkuh sebuah patung bernama Hubal, tuhan
semua tuhan; tuhan peristiwa kebetulan, tuhan yang menggenggam
erat garis-garis nasib umat manusia, dan tuhan tempat mereka meng-
gantungkan segala harapan, sedang tuhan di antara tuhan-tuhan itu
adalah Manat, Lata, dan ‘Uzza.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 19

Daya apakah yang dapat dia lakukan sebagai seorang pemuda sep-
erti dirinya untuk memberontak kepada tuhan-tuhan itu? Dia adalah so-
sok pemuda yang bernama ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Mampukah
pemuda seperti dirinya memberontak terhadap hegemoni kekuasaan
penjaga Ka‘bah yang sejak dahulu kala bukan hanya sebagai tempat
bergantung dan memohon masyarakat Makkah saja, tetapi hegemoni
itu juga terjadi pada ayahnya sendiri, yaitu ‘Abdul Muththalib yang
sangat disegani masyarakat dan telah melahirkan dirinya ke muka
bumi? Kuasakah ia menentang titah pemangku kekuasaan yang sangat
dipatuhi oleh seluruh suku Quraisy, yang merupakan ayahnya sendiri?

Kendati demikian hegemoni kekuasaan itu men­cengkeram dirinya,
tetapi ‘Abdulllah harus membuka kelopak matanya bahwa adanya
peristiwa kebetulan itu pula justru telah memberikan konstribusi yang
dapat menyelamatkan hidupnya. Andaikata tidak, maka sudah tentu
darahnya telah mengalir di bawah kaki patung-patung yang menyeram-
kan dan paling berkuasa merenggut nyawa seseorang dari permukaan
bumi ini, termasuk jaminan keselamatan hidup seorang pemuda yang
seusia dengannya.

Setelah dikaruniai hidup untuk kedua kalinya, ia menuruti inisiatif
sang ayah, ‘Abdul Muththalib, yang akan membawanya ke suatu negeri
yang jauh, sebab ia merasa bahwa seluruh hidupnya kini betul-betul
bergantung pada kekuasaan sang ayah tercinta. ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib merasa bahwa garis kehidupannya tidak jauh berbeda den-
gan perjalanan hidup Yusuf di Palestina ketika ia mendengar cerita dari
orang-orang asing yang ia temui di sela-sela perjalanan bersama para
kafilah. Ia merasa seakan-akan menjadi Yusuf kedua yang terlempar
dari pangkuan kasih sayang sang ayah yang sabar dan merana untuk
menikmati hangatnya hubungan kebapakan setelah berkelana dan
terdampar di negeri asing.

‘Abdullah adalah putra bungsu ‘Abdul Muththalib yang teramat
disayangi. Konon, sebelum dikaruniai putra, perjalanan hidup ‘Abdul
Muththalib penuh dengan cobaan. Dalam keadaan seperti itu, tak
seorang pun yang sudi mengulurkan tangan dan berbagi belas kasih
untuk meringankan sedikit beban hidup yang ditanggungnya, sehingga

20 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

pada suatu ketika, ‘Abdul Muththalib berinisiatif akan menggali sumur
zamzam. Namun ketika inisiatif baik itu belum terrealisir, orang-orang
Quraisy justru mener­tawakannya. Mereka menganggap maksud ‘Abdul
Muththalib sebagai inisiatif yang tak waras. Meski caci-maki dan cibiran
datang bertubi-tubi, kebulatan tekad ‘Abdul Muththalib sedikit pun tak
tergoyahkan. Ia terus mengerahkan tenaga hingga akhirnya harapan
itu membuahkan hasil yang optimal, yaitu sumur zamzam itu kembali
memancarkan air, sebagaimana kondisi pancaran air sedia kala pada
masa Nabi Isma‘il.

Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang telah dica-
pai, ‘Abdul Muththalib membasahi wajahnya dengan air zamzam itu
setelah air tersebut memancar kembali dari sumur zamzam. Selanjut-
nya, ia palingkan wajahnya kepada tuhan Ka‘bah seraya bernadzar:
“Jika tuhan menganugerahkan kepadaku sepuluh orang anak hingga
mereka dewasa, maka aku akan menyembelih salah seorang di an-
tara mereka di sisi Ka‘bah sebagai ungkapan rasa syukur dan bentuk
pengorbananku.”

Harapan ‘Abdul Muththalib pun betul-betul menjadi kenyataan
indah yang menggairahkan. Saat itu ia dikaruniai sepuluh putra setelah
lahirnya ‘Abdullah sebagai putra bungsunya, hingga pada akhirnya usia
ke sepuluh putranya menjadi anak dewasa semua.

Tidak berapa lama kebahagiaan itu tercipta dan dinikmati bersama,
‘Abdul Muththalib kembali dirundung duka ketika ia mengingat tentang
nadzar yang pernah ia ucapkan dan punya dugaan kuat bahwa putra-
putranya akan membantah keputusan nadzar yang pernah ia ikrarkan
di hadapan tuhan-tuhan Ka‘bah tempo dahulu. Namun apa boleh buat,
ia tetap konsisten pada ikrar yang pernah ia ucapkan. Akhirnya, beliau
kumpulkan semua putranya.

Setelah mereka berkumpul, ia sampaikan maksud mengumpulkan
mereka dan memberitahukan kepada mereka tentang nadzar itu.
Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib membawa mereka ke Ka‘bah dan
menghadapkannya kepada “Hubal”, sebuah patung terbesar di antara
tuhan-tuhan yang terdapat di sekeliling Ka‘bah.

Upaya realisasi sebagai tindak lanjut dari nadzar akan segera

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 21

dimulai. Selanjutnya, ‘Abdul Muththalib mengambil anak panah untuk
mengundi di antara putra-putranya, siapakah di antara salah seorang
mereka yang akan dijadikan qurban, sebagaimana telah dinadzarkan.

Ketika ‘Abdul Muththalib melepaskan anak panah dari busurnya
yang terus meluncur secara kilat, ternyata anak panah tersebut jatuh
pada putra bungsunya yang sangat dicintainya, ‘Abdullah. Kontan
saja jatuhnya panah tersebut membuat perasaan ‘Abdul Muththalib
menjadi galau dan merasa terkejut, sebab dengan begitu, ia harus
berpisah dengan putra tersayangnya. Meskipun demikian, ia tak dapat
mengelak dari kenyataan. Dengan hati berdebar-debar, ia melangkah
secara perlahan-lahan mendekati putra tersayangnya yang sebentar
lagi akan disembelihnya di bawah kedua belah kaki “Hubal”.

Melihat sang ayah, ‘Abdul Muththalib, menghunus sebilah pedang
sambil memegangi anak bungsunya, saudara-saudaranya yang ikut
menyaksikan akan terjadinya tragedi berdarah itu, secara serentak
berdiri dan berusaha keras mencegah terjadinya pertumpahan darah
pada saudara bungsunya. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib membentak
dan menghalau mereka seraya memperingatkan agar mereka tidak
menentang keputusan tuhan.

Aksi protes keras akan terjadinya tragedi berdarah itu tidak
hanya datang dari anak-anak ‘Abdul Muththalib, tetapi beberapa te-
man karibnya yang sedang duduk di pelataran Ka‘bah juga berusaha
ikut intervensi untuk mencegah penyembelihan ‘Abdullah. Mereka
menyarankan agar ia menangguhkan pemenggalan kepala putranya,
dengan suatu harapan akan menemukan solusi untuk menyelamatkan
nyawa ‘Abdullah, hingga pada akhirnya “Hubal” merespon positif dan
menyetujui penangguhan yang digagas oleh teman-temannya.

Tetapi sayang sekali, gagasan dan saran yang diajukan oleh teman-
temannya tetap tidak bisa mengubah kon­sistensi keputusan ‘Abdul
Muththalib. Ia masih tetap bersikeras atas pendiriannya. Maka pada
saat itulah muncul protes-protes keras di antara mereka: “Kalau eng-
kau tetap teguh dengan sikap egoismu untuk melaksanakan tindakan
gila ini, sudah tentu tradisi penyembelihan qurban anak manusia akan

22 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

terus berlangsung pasca penyembelihanmu. Lalu bagaimana jadinya
masyarakat ini selanjutnya?”

Mendengar protes keras itu, pintu hati para orang tua yang kebetu-
lan pada waktu itu sedang mengerubungi ‘Abdul Muththalib menjadi
miris dan bergetar dan ikut memberikan saran agar ia menggagalkan
niat penyembelihan putranya dengan memohon kerelaan “Hubal”.

Lobi-lobi untuk menggagalkan insiden berdarah terus digalakkan. Di
antara lobi itu ialah mereka mengajukan tawaran (bargaining) kepada
‘Abdul Muththalib supaya menebus nadzarnya dengan harta benda
saja. Namun tawaran itu ia tolak dengan mentah-mentah seraya me-
nyatakan: “Tidak! Anak itu harus disembelih di bawah dua belah kaki
“Hubal”, sebab prosesi undian telah jatuh padanya.”

Hati ‘Abdullah yang dulunya tegar menerima keputusan ayahnya,
ternyata kini dinding hatinya mulai bergetar ketika mendengar pekikan
protes terus mengalir deras dari berbagai penjuru. Hati nuraninya
sungguh-sungguh sangat tidak menerima keputusan ini. Rasanya ingin
sekali ia memberontak kepada ayahnya, bahkan kepada “Hubal” seka-
lipun. Tapi, apa hendak dikata, ia merasa tidak punya bekal keberanian
untuk berbicara dan hanya bisa mem­bungkam seribu bahasa.

Ketika lobi-lobi dirasa sudah menemukan jalan buntu, akhirnya
terjadilah perdebatan sengit antara ‘Abdul Muththalib dan teman-
temannya. Untung saja, seorang laki-laki di antara mereka ada yang
mengajukan suatu pendapat bahwa sebelum penyembelihan ‘Abdullah
dilangsungkan, sebaiknya mereka mendatangi seorang paranormal di
Yatsrib. Barangkali paranormal itu dapat memberikan keputusan dan
solusi yang menggembirakan hati mereka. Saran ini pun mendapat
respon positif dari semua orang yang berkerumun di situ.

Keesokan harinya mereka berduyun-duyun berangkat ke Yatsrib
pagi-pagi sekali menuju rumah sang paran­ ormal. Setibanya di tempat
itu, sang paranormal mengajukan per­tanyaan tentang tebusan yang
akan dijadikan ganti penyem­belihan ‘Abdullah. “Sepuluh ekor unta,”
jawab mereka.

Paranormal itu berkata: “Pulanglah kalian ke negerimu. Dekat-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 23

kanlah teman kalian ini bersama sepuluh ekor unta di sisi “Hubal”.
Kemudian undilah. Jika undian yang keluar adalah tepat pada te-
manmu, maka kalian hendaknya menambah unta itu sampai tuhanmu
merelakannya. Namun jika undian jatuh kepada unta-unta itu, maka
sembelihlah, sebab tuhanmu telah menerima qurbanmu dan itu berarti
bahwa temanmu ini selamat,” pungkasnya.

Mereka akhirnya bersama-sama pulang ke Makkah dengan mem-
bawa keputusan yang sangat menggembirakan dengan perasaan riang
gembira. Solusi paranormal itulah yang sangat didamba-dambakan.

Sepulang dari Yatsrib bersama teman-teman, ‘Abdul Muththalib
kembali lagi menghadap “Hubal”. Ia berdiri di sisi “Hubal” dengan
membawa putra bungsunya, ‘Abdullah, bersama sepuluh ekor unta.
Ketika anak panah dilepaskan dari busurnya dan undian pertama jatuh
pada ‘Abdullah, maka mereka pun menambah sepuluh ekor unta sesuai
dengan saran yang diberikan oleh paranormal, sementara itu ‘Abdul
Muththalib terus berdo‘a. Selanjutnya, pada babak kedua, anak panah
diluncurkan lagi dan ternyata undian masih juga jatuh kepada putra
tercintanya, ‘Abdullah. Kembali mereka menambah jumlah qurban
sebanyak sepuluh ekor lagi, sementara itu ‘Abdul Muththalib masih
tetap dalam kondisi memanjatkan do‘a. Undian demi undian terus
berlangsung dan tetap saja nasib serupa jatuh pada putra ‘Abdul
Muththalib hingga akhirnya unta-unta itu mencapai jumlah seratus
ekor qurban. Namun tepat pada undian yang kesepuluh, barulah undian
meleset dari ‘Abdullah dan jatuh pada unta.

Gemuruh pekik kegembiraan mengelilingi Ka‘bah sebagai
ungkapan kebahagiaan lantaran diselamatkannya ‘Abdullah dari
tragedi berdarah. Sementara itu, ‘Abdullah sendiri tetap berdiri
tercengang. Dua bola matanya terb­ elalak sayu menatap ayahnya,
saudara-saudaranya, orang-orang yang mengerumuninya, patung-
patung, dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia seakan tidak
percaya seolah-olah tetap menyaksikan indahnya kehi­dupan seperti
semula, setelah melalui perjalanan panjang penuh aral dan rintangan
yang sangat mencekam dan menyeramkan.

24 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

‘Abdul Muththalib kemudian berteriak dengan lantang: “Sembeli-
hlah seratus ekor unta ini semuanya dan biarkan orang lain menikmati
dagingnya, sebab tidak akan ada seorang pun, baik manusia maupun
binatang, yang dapat menghalangi untuk memakannya.”

Setelah berteriak lantang, ia akhirnya menggaet tangan putranya,
‘Abdullah, pulang dengan menyusuri jalan-jalan di kota Makkah yang
terbentang luas di hadapannya. Di sana-sini berjajar rumah-rumah
penduduk yang menutup rapat pintunya dalam kesenangan, kenik-
matan yang melimpah-ruah, harta benda, dan segala sesuatu yang
dapat mengobarkan emosi pemuda seusia ‘Abdullah.

Dalam perjalanan panjang menuju rumahnya, di lubuk hati ‘Abdul-
lah yang terdalam tebersit pertanyaan: “Wahai ‘Abdullah, sampai
kapankah seorang anak manusia digiring untuk disembelih hanya
karena anak-anak panah tuli yang dilepaskan dari busurnya, lalu jatuh
padanya? Apakah hanya karena orang tua yang ingin bersyukur kepada
tuhan yang selalu haus darah, kita harus menggugurkan kepala anak-
anak kita?

Meski pertanyaan-pertanyaan yang bernada protes dan berontak itu
kadang bermunculan dari hati sanubarinya, tapi ‘Abdullah tak ubahnya
seperti pemuda-pemuda lainnya. Ia tak kuasa mengangkat kepala di
hadapan ayahnya, karena seorang ayah berkuasa penuh atas diri anak-
anaknya, termasuk juga jaminan hidup dan matinya, sedangkan hidup
sang ayah berada dalam genggaman kekuasaan “Hubal”.

Sebenarnya, bisa saja paranormal Yatsrib itu meme­rintahkan un-
tuk menyembelih ‘Abdullah, sebab hanyalah dia orang yang dianggap
memiliki kapabilitas untuk menafsirkan kehendak tuhan. Oleh kare-
nanya, selama paranormal itu masih dianggap sebagai satu-satunya
orang yang mampu memahami kehendak patung-patung ini, maka tak
seorang pun yang dapat menentang keputusannya, meski pembesar
Quraisy sekalipun yang akan menebus ‘Abdullah. Hegemoni keyakinan
seperti ini benar-benar telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat
Arab waktu itu. Tak seorang pun mampu melepaskannya.

‘Abdullah masih belum merasa lelah juga berjalan di lorong-lorong

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 25

Makkah. Pikirannya dipenuhi obsesi tentang kebebasan. Ia tak habis
pikir merenungkan segala peristiwa yang hampir saja akan menghabisi
masa mudanya. Namun secara tiba-tiba, pandangan ‘Abdullah berubah
dan terfokus pada seorang gadis yang teramat cantik paras mukanya;
ramping postur tubuhnya dengan mengenakan pakaian penuh dengan
aksesoris yang mahal harganya. Paras muka gadis itu memancarkan
cahaya yang berbinar-binar, ibarat sang ratu malam di atas singgas-
ananya.

Bak gayung bersambut, dalam benak gadis cantik muda belia itu
juga terlintas sosok remaja yang kini sedang menatap dirinya. Remaja
itu adalah seorang anak manusia yang menemukan hidupnya kembali.
Gadis itu ingin sekali menatap bola matanya yang memancarkan pan-
dangan yang penuh kerinduan akan sebuah masa depan dan sorot mata
tajam yang teramat menawan.

Belum lama tatapan itu terjadi, terlihatlah oleh ‘Abdullah lekuk
bahu dan lehernya yang menggiurkan pada saat desir angin padang
pasir yang nakal menyingkap sebagian baju gadis itu. Ia melangkah,
mendekati ‘Abdullah sambil melayangkan tatapan matanya yang begitu
tajam. Tatapan seorang gadis yang memancar dari gemuruh gairah
remaja itu menggulung habis wajah ‘Abdullah, bahkan tatapan itu
menembus ke dalam lubuk hatinya yang terdalam. Tatapan gadis itu
terus menelusuri wajah dan kedua bola matanya, ia juga berusaha
untuk menyingkap cinta yang terpendam di balik wajah dan kedua
mata ‘Abdullah yang sangat menawan rupanya.

Dari bibirnya yang tipis dan kemerah-merahan, terlempar sebuah
senyuman manis yang mampu mengge­tarkan hati ‘Abdullah seraya
menyapa mesra: “Wahai ‘Abdullah, hendak ke manakah engkau?”

“Aku pergi bersama ayahku,” sahut ‘Abdullah yang ketika itu
ingatannya masih belum dapat melupakan peristiwa mencekam yang
baru saja terjadi di dekat Ka‘bah.

“Engkau tak ubahnya seperti seekor unta yang akan disembelih.
Jika engkau menikahi diriku sekarang juga, maka dengan senang hati
aku akan menerima lamaranmu,” ujar gadis cantik itu melanjutkan

26 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

pembicaraan tanpa mempedulikan ‘Abdul Muththalib yang berada di
samping putranya.

Pernyataan sikap gadis itu membuat ‘Abdullah tertegun. Pikiran-
nya masih kacau diliputi oleh peristiwa yang hampir saja merenggut
nyawanya dari indahnya dunia. Namun ia tidak menghiraukan dan
mencoba untuk terus melangkahkan kakinya. Dalam situasi kacau
dan kebingungan, gadis itu justru kian mengundang tanda tanya bagi
‘Abdullah.

Siapakah sebenarnya gadis yang telah begitu berani menawarkan
diri secara terang-terangan tanpa merasa malu kepada ayahnya? Apak-
ah dia bukan perempuan jalanan yang suka menjajakan kemontokan
postur tubuhnya kepada setiap lelaki hidung belang di tepi-tepi jalan
kota Makkah? Namun, jika melihat raut muka, pakaian, serta aksesoris
yang dikenakan, dan tata cara bicaranya, terlihat bahwa gadis itu ter-
masuk kalangan hartawan dan bangsawan; dari kedua bola mata yang
lebar dan hitam terpancar sinar keteduhan dan kesucian. Pancaran
sinar matanya yang menyala-nyala laksana bara api yang berasal dari
seorang gadis yang berperangai lemah-lembuh, penuh kasih sayang,
dan feminim.

Pandangan kedua bola mata gadis itu mengindikasikan seuntai
harapan yang sungguh-sungguh dan tulus agar ‘Abdullah tidak meno-
lak dan tidak merasa keberatan menerima harapan cintanya. Tetapi,
harapan gadis itu terpaksa harus terganjal ketika sang ayah menarik
tangannya agar terus melangkahkan kakinya dan tidak menggubris
rayuan perempuan itu lagi.

Sambil berjalan di belakang ayahnya, ‘Abdullah hanya bisa memba-
las niat baik gadis itu seraya berkata: “Aku bersama ayahku. Aku tidak
kuasa untuk memberontak kehendak beliau dan berpisah dengannya.”

‘Abdullah terus berjalan mengiringi langkah ayahnya. Ia mening-
galkan gadis itu dengan membawa rasa iba dan simpati yang teramat
mendalam. Hatinya terasa mau meledak, tak kuasa memandang dan
terbuai oleh sikap feminimnya. Hampir saja ia akan memohon restu
kepada ayahnya untuk melamar gadis yang telah menawarkan itu.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 27

Rupanya kecantikan, kesempurnaan, keanggunan, dan kesucian itu
telah merebut hatinya.

‘Abdullah betul-betul terpesona dan tersanjung akan ketulusan
cinta gadis cantik nan mungil yang tak seorang pun menemukan kej-
elekan perangainya. Hal ini dikarenakan ‘Abdullah masih dijanjikan
pula akan diberi seratus unta. Sekalipun ‘Abdullah tak sampai hati
menolak harapan gadis itu, namun harapan itu kandas dan ia tidak
dapat berbuat apa-apa, karena ayahnya telah memutuskan akan men­
jodohkan ‘Abdullah dengan seorang gadis yang menjadi idaman dan
pilihan sang ayah, yaitu putri dari kalangan teman dekatnya sendiri.

Selanjutnya, perjalanan ‘Abdul Muththalib bersama putranya tidak
langsung pulang ke rumah. Mereka berdua masih transit menuju ke
rumah seorang tokoh Bani Zahrah, Wahb Ibnu ‘Abdi Manaf. Setiba di
sana, ‘Abdul Muththalib mengutarakan maksud kedatangannya bahwa
ia akan melamar anak gadisnya yang bernama Aminah untuk dijodo-
hkan dengan putranya, ‘Abdullah. Harapan sang ayah tidak sia-sia,
sebab Wahab Ibnu ‘Abdi Manaf menerima lamarannya. Bahkan pada
hari itu juga ‘Abdullah dan Aminah langsung diikat secara resmi dalam
ikatan perkawinan. Ketika itu pengantin laki-laki, ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muththalib, berusia tujuh belas tahun lebih, sedang usia pengantin
perempuan, Aminah, dua tahun lebih muda dari ‘Abdullah.

Keesokan harinya pasca pernikahan, ‘Abdullah pergi ke Ka‘bah
bersama istrinya, Aminah binti Wahb. Namun sewaktu di tengah-
tengah perjalanan menuju Ka‘bah, ‘Abdullah berpapasan lagi dengan
gadis cantik mungil yang pernah meminta kesediaan ‘Abdullah untuk
menikahinya kemarin. Hanya saja, gadis itu tak mau menyapanya lagi
walaupun ‘Abdullah memandangnya. ‘Abdullah mencoba melempar
senyum kepadanya, tapi gadis itu justru memalingkan raut mukanya
dengan penuh kekecewaan dan rasa emosi.

“Apakah gerangan yang membuatmu tidak menawar­kan lagi seperti
kemarin?” tanya ‘Abdullah.

Gadis itu menjawab pertanyaan ‘Abdullah dengan ketus: “Sinar
yang berseri-seri itu kini sudah menghilang dari raut wajahmu. Kare-

28 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

nanya, sekarang aku sudah tidak sudi lagi membutuhkanmu.”
‘Abdullah akhirnya melangkah meninggalkan gadis cantik itu seraya
melantunkan bait syair:

Setelah Aminah
mengambil keputusan menerima ‘Abdullah

Mataku tak mau lagi memandangnya
dan mulutku bungkam seribu bahasa

R

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 29

30 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

2

Kondisi sosial-geografis
Makkah pada abad VII

Makkah adalah kota besar yang sangat berkembang
pada abad ketujuh Masehi. Kota ini sudah sejak
lama dipersiapkan sebagai sentral perdagangan dengan segala fasilitas
yang memadai berupa perniagaan, termasuk rumah-rumah penginapan
para saudagar.

Secara geografis, kota Makkah terletak di sebelah utara kerajaan
Persia dan Rum, di mana dua kerajaan adidaya itu hidup dalam agresi
militer yang berkepanjangan dan sama-sama mencari bala bantuan
kepada bangsa Arab badui (dusun) yang hidup jauh di pelosok desa.

Tentu saja, perang yang berkepanjangan antar dua negara adidaya
itu sangat mempengaruhi kondisi lalu lintas perniagaan Makkah, se-
hingga para kafilah yang membawa barang-barang perniagaan berada
dalam ancaman antara bangsa Persia dan Rum serta suku-suku (kabilah)
yang bersekutu dengan masing-masing dua negara adidaya itu.

Karena letak geografisnya yang sangat strategis, tidak heran jika
Makkah menjadi tempat transit para kafilah dagang yang datang dan
pergi silih-berganti menuju ke kota sentral perniagaan. Bahkan pada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 31

waktu itu, di Makkah telah tersedia pasar-pasar sebagai tempat per-
tukaran barang-barang antar para saudagar dari Asia Tengah, Syam,
Yaman, Mesir, India, Irak, Etiopia, Persia, dan Rum. Dengan kondisi
yang kondusif semacam ini, maka para pedagang punya kesempatan
untuk melayani para kafilah-kafilah dagang dalam hal kalkulasi bisnis
menurut masing-masing kafilah.

Sudah barang tentu sumber perekonomian masyarakat Makkah
adalah perdagangan, mengingat posisi Makkah berada di suatu lem-
bah yang tandus. Hari demi hari, sektor perdagangan menjadi faktor
penentu utama dalam interaksi sosial penduduk kota Makkah. Pemban-
gunan sektor spritual, keagamaan, dan kebudayaan, bahkan semuanya
dibangun di atas prinsip dan logika bisnis yang berorientasi jual beli
dan untung rugi. Dengan konsep yang demikian, para saudagar kaya
menjadi orang-orang nomor satu untuk menentukan berbagai kebi-
jakan dalam dinamika dan sektor riil kehidupan. Bahkan aturan-aturan
kebijakan dan tradisi-tradisi yang berlaku senantiasa dikeluarkan dari
para saudagar tersebut. Sudah tentu, aturan-aturan dan tradisi-tradisi
dalam etika bisnisnya adalah logika orientasi profit yang selalu berpihak
pada mereka.

Demikian pula mereka membuat seperangkat aturan, bahwa para
pedagang asing yang meninggal dunia di Makkah, maka harta benda
mereka harus diwariskan kepada Makkah, yaitu para pedagang Quraisy
yang melakukan kontrak perdagangan dengan para pedagang asing
yang meninggal dunia tersebut.

Adapun dalam kasus utang-piutang, dikeluarkanlah aturan bahwa
kreditor harus memberikan jaminan yang besar kepada pihak debitor.
Tak jarang terjadi, seseorang menjadikan anak, istri, dan dirinya sendiri
sebagai barang jaminan utang. Dalam prakteknya, jika perjanjian
utang-piutang melewati batas jatuh tempo, maka pihak kreditor harus
membayar utangnya dengan cara pembayaran yang berlipat-ganda dari
jumlah utang yang diterimanya.

Namun yang sangat fatal sekali, seandainya utang itu belum juga
terlunasi, maka barang jaminan yang berupa anak, istri, dan dirinya,
berubah status menjadi budak yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak

32 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

debitor. Status budak itu kemudian diperas keuntungannya dengan
berbagai cara sesuai dengan kehendak debitor.

Tuhan-tuhan yang dibuat oleh para bangsawan Makkah di sekitar
Ka‘bah adalah tuhan yang menjadi sesembahan generasi demi gen-
erasi penduduk kota Makkah. Merekalah yang melayani tuhan-tuhan
itu dan mereka pula yang bersikap oportunis terhadap tuhan-tuhan itu
untuk mengeruk keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Mereka
ikuti aturan tuhan-tuhan itu dan mereka minta agar diberikan berkah
dalam perdagangannya. Mereka juga tunduk patuh kepada semua
keputusannya.

Selain sikap kepatuhan, mereka juga mengangkat tukang tenung
dan paranormal yang bertugas khusus menafsirkan keinginan patung-
patung tuli yang mereka buat sebagai simbol tuhan-tuhan mereka.
Akhirnya, tahun demi tahun Ka‘bah telah dipenuhi dengan patung-
patung sebagai simbol tuhan yang dijadikan sesembahan semua kabilah
(suku) yang mengadakan kontak dagang dengan kota Makkah.

Profesi yang dimainkan penduduk Makkah dalam hal perniagaan
sangat variatif. Sebagian mereka ada yang bergerak di bidang bisnis
ekspor-impor; mereka perjual-belikan dengan seluruh penduduk oasis
dan kota-kota yang tersebar di Jazirah Arab. Ada pula yang menjadi
perantara tukar-menukar barang antara pedagang-pedagang yang
melintasi kota Makkah. Ada pula di antara mereka yang bergerak di
bidang perbankan. Mereka menanam modal kepada para pedagang
kecil dengan bunga sebesar laba. Sebagian lagi, ada yang mencari
keuntungan dari mem­bungakan uang yang berprofesi sebagai rentenir.

Profesi lain yang ditekuni oleh para elit pengusaha Makkah yaitu
juga mengembangkan usahanya dalam bidang sektor perkebunan kurma
dan anggur, peternakan babi, dan produksi minuman keras. Semen-
tara posisi puluhan ribu rakyat jelata, profesi mereka hanyalah hidup
sebagai buruh di ladang-ladang pertanian, kuli kasar, dan karyawan
bank dari pusat perdagangan. Bahkan ada pula di antara mereka yang
hidup sebagai gelandangan.

Perdagangan di kota Makkah telah meliputi semua komoditi yang

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 33

sangat populer. Trayek-trayek perjalanan kafilah membentang luas
hingga ke pedalaman Asia, Afrika, kawasan Laut Tengah, kawasan Laut
Merah, sampai mencapai trayek samudera Hindia.

Sebagai kota perdagangan, Makkah telah diperlengkapi dengan
aparat keamanan, tentara, dan polisi. Namun kaum bangsawan Makkah
tetap saja memberikan senjata kepada budak-budak yang dibeli dari
Afrika untuk dijadikan sebagai pengawal, baik disiagakan di luar mau-
pun di dalam kota Makkah, untuk menjaga stabilitas keamanan dan
kese­lamat­an para kafilah dari ancaman aksi perampokan dan suku
Badui di tengah-tengah perjalanan.

Orang Arab menganggap Makkah sebagai penyelamat mereka.
Oleh karenanya, Makkah disebut sebagai Ummul Quro, yaitu sebagai
pusat perniagaan besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat
Makkah. Di dalamnya terdapat rumah tua sebagai tempat keramat
yang diberkati para penduduk Makkah.

Makkah menjadi sebuah kota yang ramai dan penuh kesibukan
lantaran kekuatan sektor perekonomiannya. Di sekeliling Ka‘bah
berjejer tuhan-tuhan semenanjung bangsa Arab dan tempat itu pula
menjadi ramai oleh berbagai suku bangsa Arab yang datang untuk
melaksanakan ritual ibadah haji. Musim haji adalah musim perdagangan
mereka yang ramai. Pada musim itu di kota Makkah banyak didirikan
pasar-pasar tempat perbelanjaan. Kota Makkah kian hari kian dipadati
para pengunjung. Bahkan di pinggiran Makkah banyak pula dibangun
pasar-pasar. Di antara pasar yang terbesar adalah pasar ‘Ukazh.

‘Ukazh adalah sebuah tempat perbelanjaan terlengkap yang tidak
hanya dikunjungi oleh orang-orang Quraisy, tetapi juga para raja; dan
semua pangeran dari seluruh Seme­nanjung Arab ikut pula menghadiri
bazaar pasar ‘Ukazh.

Mereka memamerkan barang-barang berharga dari Persia, Rum, dan
negeri-negeri asing lainnya. Di ‘Ukazh terdapat pula mimbar-mimbar
khusus, tempat kompetisi kepiawaian para penyair Arab. Syair-syair
mereka dipilih secara selektif dan yang pantas digantungkan di bawah
Ka‘bah agar senantiasa menjadi kenangan dalam sejarah.

34 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Selain hal-hal di atas, arena ‘Ukazh juga menjadi tempat memutus-
kan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat.
Para kafilah (suku) di tempat ini pula mengumumkan terhindarnya diri
mereka dari macam-macam pelanggaran, sehingga salah satu anggota
kabilahnya yang dikenai hukuman karena pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang anggota yang lain sudah tidak ada lagi.

Di pasar ‘Ukazh juga terdapat tempat penjualan budak-budak yang
beraneka macam ras, mulai dari budak Ethiopia yang hitam, budak
Rum yang putih, budak Persia yang merah, dan budak-budak lainnya
yang berasal dari India, Mesir, dan juga perempuan Asia Tengah.

Dengan demikian, ‘Ukazh juga menjadi tempat yang sangat kon-
dusif dan strategis untuk mengais keuntungan dari kalangan rakyat
jelata yang mana posisi mereka hanyalah menjadi pengawal para
saudagar dengan cara menjaga keamanannya dari kekejaman para pe-
nyamun yang setiap saat mengancam keselamatannya. ‘Ukazh adalah
tempat yang tidak hanya menjadi ajang hiruk-pikuk dalam persoalan
bisnis belaka, melainkan juga menjadi tempat bagi pembunuhan
pengkhianat.

‘Ukazh juga menjadi wahana yang sangat menarik bagi perniagaan,
pertukaran budaya, dan komoditi. Di sana para penyair melantunkan
bait-bait puisinya yang berbicara tentang keturunan dan kehormatan
golongannya; para pendeta (rahib) berpidato tentang tokoh gerejanya;
orang Yahudi membacakan kitab-kitabnya; perempuan bangsawan
tampil di hadapan kaum lelaki sambil melantunkan tembang-tembang
tentang suaminya; tukang-tukang tenung berb­ icara tentang filsafat
Persia dengan kata-kata puitis; para raja dan semua pangeran mem-
bicarakan barang-barang dan permata yang langka; para pedagang
minuman keras, penghibur, pedagang budak, hostes, dan budayawan-
budayawan ulung, semuanya hadir membanjiri pasar ‘Ukazh.

Tetapi meskipun kota Makkah sebagai pusat per­dagangan, ternyata
penduduknya hidup di bawah garis yang serba tidak berkecukupan
dalam gemerlapnya harta benda. Seluruh penduduk Makkah tidak
semuanya menjadi saudagar kaya-raya. Sebagian dari mereka ada

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 35

yang hidup dalam kepapaan, sehingga tidak jarang ditemui dalam satu
rumah dihuni oleh seluruh anggota keluarganya.

Demikian pula tidak jarang seorang pedagang kaya-raya mempunyai
saudara yang teramat miskin. Dalam kabilah ‘Abdul Muththalib dan Bani
Hasyim saja, ada yang menjadi saudagar-saudagar kaya-raya, tetapi
ada juga yang menjadi orang miskin yang hidup dalam penderitaan
yang memprihatinkan.

Di antara saudagar Makkah ada yang berprofesi pemilik modal
besar, pemilik kafilah-kafilah, pemilik bank, pemilik kebun di sekitar
Thaif, namun ada juga yang terus-menerus mencari utang untuk modal
perdagangan atau untuk biaya hidup sehari-hari.

Seorang pedagang kecil yang jatuh pailit, padahal modal usahanya
adalah uang berbunga, jika ia tidak mampu melunasi pinjaman itu,
maka ia harus rela menyerahkan kemerdekaannya selama bertahun-
tahun, bahkan kadang-kadang sampai akhir hidupnya. Ia akan menjadi
budak penuh yang dimiliki oleh si pemilik piutang seperti memiliki
harta kekayaan. Ia adalah seorang budak yang tidak lagi memiliki hak
asasi manusia.

Jika pihak debitor tidak membutuhkan para budak, bisa saja ia
meminta cara lain untuk melunasi utang-utangnya. Terkadang pihak
kreditor lebih antusias kepada perempuan, maka istri atau anak gadis
yang paling dicintai, ibu dan istri anak laki-lakinya, harus rela diserah-
kan kepada pihak debitor sebagai jaminan utang yang tidak mampu
dilunasinya.

Ketika perempuan jaminan telah menjadi milik pihak debitor,
maka posisi perempuan itu tidak hanya dijadikan sebagai tempat
melampiaskan nafsu seksual belaka, tetapi si debitor berhak penuh
untuk menggunakan perempuan itu sesukanya, sekalipun akan dijadi-
kan sebagai perempuan-perempuan penghibur pria hidung belang di
rumah-rumah bordil yang memiliki bendera-bendera khusus sebagai
simbol rumah pemuasan nafsu seksual.

Rancangan dan format rumah-rumah bordil yang khusus disediakan

36 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

bagi pencari kepuasan seksual memiliki aksesoris lengkap lagi mewah,
minuman keras, dan semerbak aroma dupa, mulai dari cendana sampai
kemenyan yang memenuhi setiap kamar. Di dalam rumah bordil itu
pihak debitor menyediakan fasilitas berupa perempuan untuk dijual
kepada para saudagar yang singgah. Di lembah hitam itu, berkumpul
semua perempuan yang beraneka ragam, baik yang berwarna kulit
yang merah, hitam, maupun putih.

Dari hasil perdagangan seks inilah pihak kreditor mampu melunasi
utang-utangnya. Jika utang-utangnya telah terlunasi, perempuan-
perempuan itu dilepas dan dikembali­kan lagi. Hampir semua orang
laki-laki harus menundukkan kepala di hadapan kenyataan yang sangat
hina ini.

Memang ada juga sebagian kaum lelaki yang tidak ingin reputasinya
dilumuri lumpur kehinaan, maka mereka segera berusaha melepaskan
anak perempuannya dengan cara menyerahkan uang tebusan setelah
perempuan-perempuan itu dilarikan.

Kenyataan fenomenal pemerasan dan penjajahan yang sedang
melanda masyarakat Arab ketika itu, ternyata tidak diterima semua
penduduk Makkah dengan lapang dada. Sebagian mereka ada yang me-
nolak sama sekali terhadap pemerasan, perbudakan, dan perdagangan
seks itu. Namun apa yang dapat mereka perbuat? Mereka tak kuasa dan
tidak akan kuasa menghadapi kekuatan para cengkeraman bangsawan,
saudagar-saudagar, dan kaum-kaum feodal. Karena itu, pergi menjauh
dari tempat itu merupakan alternatif yang menggembirakan. Mereka
lebih memilih hidup terisolir di tempat pedalaman yang jauh daripada
harus terus-menerus menikmati hiruk-pikuknya keramaian kota Makkah
yang diliputi oleh kebiadaban moral yang tidak berperikemanusiaan.
Dari tempat terpencil nan jauh di sana, terdengar teriakan-teriakan
anak-anak manusia yang mengutuk keras aksi cacat moral kaumnya,
meratapi dirinya yang terlempar, dan protes-protes tajam akan praktek
ketidak-adilan penguasanya.

Mereka yang mengisolasikan diri dari kehidupan masya­rakat kota
Makkah itu hidup secara berkelompok di lembah-lembah yang ter-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 37

lindung dari bukit-bukit terjal. Mereka hidup dengan mengandalkan
ketajaman mata pedang dengan berprofesi menjadi perampok yang
siap menerkam para kafilah dagang di tengah perjalanan. Namun ada
juga di antara mereka yang menjadi pembunuh bayaran.

Di lokasi-lokasi itulah mereka menyusun kekuatan. Kekuatan ke-
lompok mereka telah melahirkan jembel yang terlempar dan terbuang
dengan mendekap luka dalam yang penuh dengan dendam-kesumat.
Kerajaan jembel mereka itu menciptakan tradisi-tradisi kemasyaraka-
tan di atas prinsip-prinsip prusianisme. Di tengah-tengah mereka ada
penyair yang menggubah syairnya dengan nafas-nafas keputus-asaan,
kebencian, emosional, dan cita-cita semua tentang sebuah keadilan.

Kota Makkah yang penuh dengan pemerasan, perbudak­an, perda-
gangan seks, perampokan, perjudian, dan ketim­pangan sosial bukan
berarti hidup tanpa undang-undang. Hanya saja, undang-undang yang
berlaku di Makkah ber­sikap diskriminatif dan berpihak pada kalangan
bangsawan dan saudagar belaka, karena peraturan-peraturan itu
menjadi hak prerogatif para bangsawan dan saudagar kaya yang mer-
eka jadikan instrumen untuk menjaga posisi dan ketimpangan kelas
mereka. Kaum dhuafa (lemah) adalah orang-orang yang terbuang dari
sistem kehidupan dan merupakan lahan empuk kalangan elite.

Para elite masyarakat hidup dalam kecongkakan, kesombongan,
dan kebanggaan, dengan segala fasilitas yang dimilikinya; hamba sa-
haya, harta benda, dan minum-minuman keras kesukaannya. Semen-
tara itu, rakyat jelata hanya bisa menikmati hidup dalam kemelaratan
dan kemiskinan.

Bentuk kehidupan kaum perempuan Makkah dengan banyaknya
lelaki selingkuhannya dan banyaknya anak laki-laki, sekalipun hubun-
gan mereka tidak sesuai dengan moral, menjadi kebanggaan tersendiri
bagi mereka, sebab nilai kehebatan perempuan pada waktu itu adalah
perempuan yang banyak menelorkan keturunan anak laki-laki. Ikatan
pernikahan bukan lagi menjadi sesuatu yang urgen dan sakral untuk
segera digalakkan, sebab sistem pergaulan kaum lelaki dengan kaum
perempuan tidaklah sama dengan aturan pergaulan yang kita kenal

38 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

sekarang.

Bagi orang-orang yang stratifikasi sosialnya berada di kelas bawah,
mereka tak punya pelindung siapa-siapa. Kekuatan undang-undang
dan tradisi, bahkan patung-patung di sekitar Ka‘bah sekalipun enggan
menatap dan memberi­kan perlindungan kepada mereka. Bagi rakyat
fakir-miskin yang hidup dalam ketiadaan, juga tidak ada sesuatu apa
pun yang dapat dimiliki, bahkan pribadinya sekalipun. Mereka terjerat
oleh kebutuhan hidup sehari-hari yang setiap saat dapat mengubah
nasibnya menjadi seorang budak. Sementara itu, kaum perempuan
-sekalipun tidak nakal- berada di bawah ancaman para durjana yang
suka mengumbar nafsu seksual di rumah-rumah bordil kelas elit.

Sedikit sekali jumlah kaum lelaki dan perempuan yang dapat
menikmati kehidupan wajar sebagai manusia utuh layaknya seorang
manusia di tengah-tengah kebrutalan Makkah, sebab kemuliaan, ke-
hormatan, pangkat, dan kedudukan itu hanyalah milik para elite dan
raja-raja jembel yang hidup di lembah-lembah curam. Sedikit sekali
dari kalangan orang-orang Quraisy yang dapat menye­lamatkan diri dari
imbas kebiadaban dan cekikan rentenir-rentenir yang tak mengenal
belas kasihan. Mereka yang selamat dari cengkeraman itu laksana
hidup dalam sebuah benteng ajaib yang kokoh. Harta, tuhan Ka‘bah,
dan sikap hedonistik hanyalah milik elite penguasa. Orang-orang fakir
hidup dalam kehampaan, perbudakan, pemerasan, dan terlempar dari
garis kehidupan sejati.

Adapun mereka yang asal-mulanya hidup dalam bergelimang harta,
kemudian pada suatu moment tertentu jatuh bangkrut, maka ia secara
otomatis akan berubah status menjadi hamba sahaya. Mereka pun tak
lepas dari tekanan-tekanan kebutuhan hidup sehari-hari.

Istri-istri yang dirampas dari pelukan suaminya; ibu-ibu yang
dijadikan menu utama untuk menyenangkan tamu-tamu asing; gadis-
gadis yang menderita dalam cengkeraman manusia-manusia hamba
seks; dan para budak belian yang diperjual-belikan dari pantai Afrika
adalah orang-orang yang tidak memiliki apa-apa, selain kegetiran,
kehancuran, kepedihan, dan kepengapan yang hanya berfungsi sebagai

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 39

anjing penjaga harta kekayaan majikannya dan pelayan kesenangan-
nya.
Mereka semuanya adalah orang-orang yang terbuang jauh dari
Ka‘bah, tuhan, dan terbuang jauh dari istana-istana juragan yang
mengelilingi Ka‘bah, jauh terdampar di tengah-tengah padang pasir
dalam kepapaan, ketiadaan, dan kehampaan. Kini yang tersisa dari
mereka hanyalah nostalgia dan obsesi yang tertelan pupus oleh kebi-
adaban.
Pada saat kian merajalelanya kekejaman, kelamnya nuansa-nuansa
kehidupan dan rintihan tangis penderitaan, maka pada malam yang
penuh kegelapan, lahirlah sosok manusia pembebas, manusia penunjuk
jalan, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib.

R

40 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Di balik awan,

sang rembulan terbit

Batang-batang pohon gandum di perkebunan Yaman
tumbuh subur menjulang tinggi; dedaunan kurma
di bumi Thaif kembali bersemi setiap kali musim semi tiba di
Jazirah Arab setiap tahun. Padang-padang rumput harum semerbak
dengan aroma bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun terbawa
oleh hembusan sang bayi. Padang rerumputan tumbuh menghijau di
lembah-lembah yang terbentang luas. Mayang-mayang hijau bermah­
kotakan serangga menghiasi pepohonan kurma di Yatsrib.

Masyarakat kota Makkah selalu menyambut musim semi sebagai
pertanda awal kebebasan dan dimulainya kembali perjalanan dagang
musim panas. Pada waktu musim panas, orang-orang Quraisy merasa
riang gembira untuk me­ngadakan perjalanan dagang ke Syria, sedang
musim dingin ke Yaman.

Kedua bentuk perjalanan dagang musim dingin dan musim panas
tidaklah menyebabkan kekhwatiran dan kegelisahan terhadap kes-
elamatan anak-anak muda mereka yang mengarungi gurun pasir di

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 41

bawah panas terik matahari yang tak mengenal belas kasihan, dan
malam-malam yang riuh-gemuruh dengan hembusan-hembusan angin
yang sulit dimengerti.

Pada musim semi, tepatnya pada tahun 570 Masehi, Aminah binti
Wahb -istri ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib- merasa sangat berat
hatinya untuk melepas kepergian suami melaksanakan perjalanan
dagang bersama romb­ ongan para kafilah. Rasa khawatir yang teramat
menggeli­sahkan senantiasa melilit lubuk hatinya. Ia ingin selalu berdua
dengan suami yang sangat disayanginya. Aminah begitu berharap andai
saja dapat menahan kepergian suaminya, tentu ia akan melakukannya.
Betapa ia sangat mencintai suaminya, bahkan ia merasa ada rasa damai
di hatinya pada saat-saat berdampingan dengannya. Bahkan tatkala
Aminah mendengar pembicaraan orang-orang bahwa pernikahannya
dengan ‘Abdullah telah membuat rasa cemburu di hati para gadis,
maka cinta kasih kepada suaminya menjadi kian menjulang tinggi.

Namun sebesar apa pun idealisme untuk terus-menerus berdamp-
ingan dengan suaminya, Aminah terbentur pada suatu kondisi himpitan
perekonomian keluarga, sebab selain ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib
hanya memiliki lima ekor kambing perah, ia juga tidak memiliki harta
kekayaan yang dapat menyambung hidup dirinya dan istri tersayang
yang sedang hamil. Jangankan untuk kebutuhan yang bersifat sekunder
dan tersier, mencukupi kebutuhan primer saja bagi kehidupan keluarga
kecil ini sangat sulit. Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit kurma
dan dendeng, padahal pasangan muda-mudi ini sedang menunggu
kelahiran anaknya yang sulung.

Sebagai seorang suami, ‘Abdullah tak punya penghasilan dari
sebuah usaha yang dapat menjadi sumber ekonomi keluarga. Jalan
alternatif meringankan beban dan tang­gungan keluarga dengan cara
meminta uluran tangan dari orang tuanya, bagi ‘Abdullah rasa-rasanya
merupakan cara yang tidak mungkin ia lakukan, sebab meskipun
stratifikasi sosial ayahnya cukup terhormat di mata kaumnya, ia juga
hidup dalam garis kemiskinan. Himpitan kondisi ekonomi keluarga yang
demikian ini terjadi ketika ‘Abdullah masih berumur delapan belas
tahun.

42 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Betapapun Aminah berharap untuk senantiasa ber­dampingan den-
gan suami yang sangat dicintainya, namun ia rela melepaskan kepergian
suaminya, karena tuntutan kebutuhan hidup mereka berdua, hingga
akhirnya ‘Abdullah berangkat juga pergi berdagang bersama kafilah
ke manca negara untuk mencari nafkah, dengan satu harapan kelak
ia akan pulang kembali memboyong harta benda yang melimpah-ruah
buat istri tercinta, yang waktu itu Aminah sedang menunggu kelahiran
anaknya yang pertama.

Wahai ‘Abdullah, semoga anak yang akan terlahir dari istrimu kelak
menjadi anak yang dapat membantu usahamu dan menemanimu dalam
perjalanan dagangmu, baik di waktu musim panas maupun musim
dingin.

Wahai ‘Abdullah, demikian pula semoga anakmu yang terlahir
dari istrimu kelak akan mempunyai sepuluh orang saudara yang akan
menambah kekuatan kabilah Quraisy.

Betapa besar keinginanmu untuk senantiasa mendam­pingi istrimu
selama kehamilan hingga ia melahirkan seorang anak sebagai hasil dari
buah cinta kasihmu. Tetapi sampai detik-detik terakhir waktu kelahiran
anakmu, engkau masih juga berada di manca negara nan jauh di sana.
Alangkah berat suratan taqdir mempermainkan hidupmu. Akan tetapi,
istrimu adalah kehendak tuhan-tuhan Ka‘bah.

Dulu ketika engkau masih kecil, hampir saja engkau disembelih
agar pembesar tuhan Ka‘bah merelakan ayah dan dirimu. Akan tetapi,
tuhan itu telah menerima seratus ekor unta sebagai penggantimu dan
untuk menebus hidupmu dari nadzar ayahmu. Andaikata keseratus ekor
unta itu sekarang ada padamu, sudah tentu di tengah-tengah kabilah
Quraisy engkau akan bernasib lain dari keadaanmu saat ini. Sekarang,
keadaan hidupmu yang teramat berat telah memaksamu untuk menin-
ggalkan istrimu seorang diri, bahkan kini istrimu melahirkan anakmu
yang pertama tanpa engkau di sisinya.

Wahai engkau, seorang laki-laki yang berkelana untuk mencari
nafkah buat istrimu ke manca negara yang jauh dari Makkah, tumpah
darahmu dan kampung halaman pilihanmu untuk hidup! Engkau ber-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 43

harap akan dapat berbaring di atas tanahnya dengan usia panjang
bersama-sama keluargamu.

Meskipun kota Makkah merupakan sebuah negeri yang dilanda
wabah, tetapi anakmu yang akan terlahir sudah tentu diselamatkan
Tuhan dari malapetaka ini. Malapetaka itu datang bersama Abrahah,
raja Habsy yang ambisius untuk membumi-ratakan kota Makkah dan
meluluh-lantakkan bangunan Ka‘bah.

Tidak mendengarkah Abrahah tentang legenda orang-orang Se-
menanjung Arabia tempo dulu? Apakah ia tidak mendengar juga tentang
legenda kejahatan, keberanian, dan keperkasaan pahlawan-pahlawan
padang pasir Arabia yang membuat kerdil musuh, bahkan jin sekali-
pun? Mereka membelah kegelapan dengan ketajaman mata pedang.
Mereka mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, kemudian mereka
menunjukkan sikap hipokritnya kepada tuhan Ka‘bah, sehingga mereka
terisolir oleh kutukan. Mereka hidup selama beratus-ratus tahun di
tengah-tengah gurun pasir, sebagai suatu bentuk hukuman.

Akan tetapi, Abrahah tidak mau peduli dengan legenda-legenda itu.
Ia merasa tak gentar sama sekali dengan legenda pendekar-pendekar
padang pasir Arabia. Ia tetap bersikukuh pada kekuatan ambisinya
untuk menggenggam dunia dalam kekuasaannya, karena ia mempunyai
pasukan perang berupa binatang besar yang bernama gajah, yang tidak
hanya mampu membuat kuda lari terebirit-birit ketakutan, tetapi juga
pendekar-pendekar pilih tanding sekalipun akan lari terkencing-kencing
bila berhadapan dengan kekuatan pasukan binatang gajahnya. Dengan
kekuatan pasukan perang yang tangguh itulah, Abrahah merasa yakin
akan mampu mendobrak pintu-pintu pen­duduk Makkah dengan meng-
gunakan pasukan tentara yang didukung pasukan gajah.

Wahai ‘Abdullah, betapa bijaksananya ayahmu, ‘Abdul Muththalib.
Dia adalah seorang bijaksana yang hampir-hampir tak pernah melaku-
kan kesalahan.

Ketika semua orang Quraisy bertekad akan mengadakan perlawa-
nan terhadap pasukan Abrahah, ‘Abdul Muththalib berusaha mencegah
kaumnya untuk melaksanakan ke­bulatan tekad mereka. Bukannya dia

44 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

seorang pengecut, tetapi ia tahu betul bahwa kaumnya tidak akan
mampu bertempur melawan Abrahah dan pasukan gajahnya.

Ia menyarankan agar mereka mengungsikan kaum perempuan dan
anak-anak ke pelosok-pelosok kota Makkah yang dipandang aman dari
agresi tentara-tentara Abrahah. Menurut ‘Abdul Muththalib, kesela-
matan Ka‘bah dari jamahan tangan-tangan jahil yang akan merusaknya,
tidak perlu dirisaukan lagi oleh orang-orang Quraisy, karena Ka‘bah
mempunyai tuhan-tuhan yang senantiasa menj­aganya. Peristiwa-
peristiwa dan insiden semacam ini juga pernah terjadi dalam legenda
orang-orang tempo dulu.

Ketika balatentara Abrahah akan segera melakukan penyerbuan,
secara tiba-tiba dan tak diduga-duga, ternyata pasukannya dilanda
wabah penyakit yang pernah melanda penduduk Makkah. Satu persatu
anggota pasukannya tiba-tiba berguguran karena menderita penyakit
cacar. Abrahah sendiri juga tak luput dari serangan panyakit yang
mematikan ini. Penyakit ini membuat keperkasaan dan kegagahan
pasukan gajahnya tidak berguna lagi, sehingga mereka tak mampu
melakukan tindakan apa pun. Akhirnya, wabah panyakit cacar itu
memaksa Abrahah untuk melarikan diri bersama sisa tentaranya yang
sudah kocar-kacir selaksa dedaunan yang dicabik-cabik ulat.

Sementara itu pula, penduduk Makkah yang semula merasa cemas
di tempat persembunyiannya, kini bermun­culan keluar seraya mengelu-
elukan kata kemenangan. Di antara mereka, ada ayahmu dan Aminah,
istrimu yang sedang hamil tua.

Tragedi agresi tentara pasukan bergajah ini terjadi se­kitar satu
bulan dari kepergianmu. Ketika itu engkau bera­ da di tempat yang jauh.
Engkau sedang dalam perjalanan dagangmu yang sangat jauh dari kam-
pung halamanmu, sanak keluargamu, juga istrimu dan keha­milannya
yang memang ditunggu-tunggu sejak berapa bulan yang lalu.

Wahai ‘Abdullah, kapankah engkau akan pulang kembali ke pan-
gkuan istrimu untuk menikmati sisa usiamu dengan hidup tenang dan
berkecukupan?

Akan tetapi, Abdullah tidak bisa kembali pulang, karena jatuh

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 45


Click to View FlipBook Version