The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by destinnafid42759, 2021-10-10 21:15:23

Muhammad Sang Teladan

Muhammad Sang Teladan

sakit. Ia istirahat di rumah pamannya, Bani Najjar.

Bulan April yang membakar kota Makkah dengan sengat­an panas
teriknya matahari kini telah berlalu. Lima puluh hari sudah tragedi
penyerbuan Abrahah dengan bala­tenta­ranya berlalu. Ketika itu Aminah
melahirkan kandungannya, dan ternyata ia dikaruniai seorang bayi
laki-laki.

Dalam hati kecil Aminah tebersit suatu keinginan yang sangat
besar sekali agar proses kelahiran anaknya tidak terlihat oleh siapa-
siapa, sebelum ayahnya. Akan tetapi, di manakah gerangan ayahnya
kini berada? Ketika idealisme itu dibenturkan pada sesuatu yang
mustahil, maka dengan perasaan pasti Aminah mengubahnya den-
gan suatu harapan agar bayinya tidak dilihat siapa-siapa sebelum
kakeknya, ‘Abdul Muththalib. Maka setelah bayi idaman itu lahir,
Aminah menyuruh agar bayinya ditutupi, kemudian ia menyuruh ses-
eorang supaya menyampaikan berita kelahiran anaknya kepada sang
kakek, ‘Abdul Muththalib: “Telah lahir seorang anak laki-laki untukmu,
maka datang dan lihatlah dia.”

‘Abdul Muththalib segera bangkit dan pergi menjeguk putri man-
tunya yang sedang melahirkan, sehingga dialah orang yang pertama
kali melihat wajah cucunya yang waktu itu pula Aminah telah memberi
nama bayinya Muhammad. Sebutan nama Muhammad itu dimaksudkan
dengan sebuah harapan agar anaknya menjadi terpuji dan selalu dipuji.

‘Abdul Muththalib menimang-nimang cucunya dengan kegembiraan
yang meluap-luap seraya mendo‘akannya, kemudian dia mencarikan
orang yang akan menyusuinya. ‘Abdul Muththalib menemukan seorang
perempuan bernama Tsuwaibah, pembantu rumah tangga anak laki-laki
Abu Lahab. Perempuan itu dikirimkan kepada Aminah untuk menyusui
anaknya yang baru dilahirkan itu. Tetapi ternyata perempuan itu hanya
bisa memberikan air susunya pada cucu kecil yang bernama Muhammad
dalam beberapa minggu saja. Sementara itu, ibunya terus menunggu
kepulangan ayahnya.

Aminah menyerahkan anaknya kepada Tsuwaibah, agar ia dapat
memulihkan kembali kebugaran fisiknya dalam rangka mempersiapkan

46 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

diri untuk menyambut kedatangan suaminya dari perjalanan dengan
segala yang dimilikinya, sebagaimana lazimya suami istri pada zaman
itu. Namun semuanya hanya impian belaka. Ia harus sabar menunggu
dalam penantian yang panjang.

Sementara itu di tempat nun jauh di sana, ‘Abdullah terbaring
lemah kaku tak berdaya apa-apa. Penyakit yang dideritanya kian hari
kian bertambah parah, kemudian bara hidup dalam dadanya padam.
Harapan untuk pulang kampung halaman melihat istri dan anak lenyap
sudah. Kini ia menutup mata selama-lamanya dengan impian-impian
yang terkubur.

Janda kembang yang masih berusia enam belas tahun itu akhirnya
sadar, bahwa suami, sang buah hati dan pujaan hidupnya, akan tinggal
selama-lamanya di bawah gundukan tanah bernisan di sebuah negeri
yang jauh, tempat ia mencari rizki untuk keluarga tercinta. Kini sudah
tak akan ada lagi kesempatan untuk bercanda-ria dalam gelora api
asmara seperti memori indah di masa-masa yang telah lalu. Bahkan
untuk membasahi tanah kuburan suaminya dengan derai air matanya
saja sekedar melepaskan rasa rindu yang menggelora merupakan
sebuah harapan kosong.

Meskipun saat itu Aminah sedang diliputi duka, tetapi para
tetangga di sekitarnya bersikap acuh tak acuh, seakan tak terjadi
apa-apa. Mereka tetap hidup dalam gelak-tawa kegembiraan, ket-
erlenaan dalam buaian gemerlapnya dunia, dan keglamoran yang
memberikan kepuasan semu dalam menikmati indahnya kehidupan
yang tak bermakna.

Belum lama berselang dari suasana berkabung atas kepergian sua-
minya menghadap Tuhan Rabbul Izzati, sang kakek -‘Abdul Muththalib-
memboyong Aminah dan anak malang yang ditinggal mati ayahnya itu
ke rumahnya untuk hidup bersama dengannya.

‘Abdul Muththalib berpikir untuk mengirim cucunya yang yatim
ke kampung Bani Sa‘ad agar disusui oleh inang. Di sana bayi mungil
itu juga diharapkan dapat tumbuh berkembang dan mulai berbicara,
sehingga anak itu akan baik kata-katanya dan fisiknya menjadi kuat.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 47

Pada musim paceklik para wanita Bani Sa‘ad biasanya berduyun-
duyun pergi ke kota Makkah untuk mencari pekerjaan sebagai inang
dan kebetulan saja pada saat itu di kabilah Bani Sa‘ad dilanda musim
krisis, sehingga banyak sekali wanita Bani Sa‘ad yang pergi ke kota
Makkah. Di antara mereka ada beberapa orang yang ditawari oleh
‘Abdul Muththalib untuk menyusui cucunya, Muhammad. Namun tidak
seorang pun di antara mereka yang mau menerima tawarannya.

“Dia hanyalah anak yatim yang miskin. Lantas apa yang dapat di-
harapkan dari ibu dan kakeknya dari pekerjaan ini?,” demikian jawab
mereka dalam hati kecilnya, karena pada umumnya para inang itu
meng­harap­kan pemberian-pemberian sebagai imbalan dari ayah anak
yang mereka susui.

Hampir saja kafilah-kafilah itu pulang kembali ke kampungnya
untuk membawa inang-inang itu. Namun ternyata masih ada seorang
inang di antara mereka yang bernama Halimah yang tidak mendapat-
kan bayi. Ia berkata dalam hatinya: “Aku tidak akan kembali kepada
teman-temanku tanpa membawa bayi susuanku. Biarlah, aku akan
pergi kepada anak yatim itu untuk aku ambil.”

Halimah kembali pulang bersama teman-temannya dengan membawa
anak yatim itu. Ia susui anak itu agar kelak ia berbangga hati dengan
pertumbuhannya di Bani Sa‘ad. Demikianlah, harapan dan impian inang
Halimah untuk mem­banggakan proses pertumbuhan anak itu menjadi
kenya­taan, sebab setelah sekian tahun lamanya tinggal di Bani Sa‘ad,
anak yatim yang bernama Muhammad itu berk­ ata dengan bangga:
“Aku adalah keturunan Arab tulen, sebab aku anak suku Quraisy yang
menyusu di Bani Sa‘ad Bin Bakr.”

Muhammad, anak yatim yang miskin itu, menyusu di Bani Sa‘ad Bin
Bakr hingga mencapai usia lazimnya anak disapih dari ibunya sekitar
dua tahun. Akan tetapi, ‘Abdul Muththalib tak ingin membawa pulang
cucunya. Ia masih menginginkan cucunya untuk tetap tinggal di Bani
Sa‘ad hingga mencapai usia lima tahun, agar dia dapat belajar mengu-
capkan kata-kata dan telinganya terbiasa men­dengar­kan bahasa Arab
yang fasih, sehingga pasca pembelajaran itu, nantinya ia juga mampu

48 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

berbicara dengan kata-kata yang fasih.

Kehidupan Muhammad di tengah-tengah keluarga Halimah,
menggembala kambing bersama-sama dengan saudara-saudara su-
suannya yang lain. Halimah datang kembali ke kota Makkah dengan
membawa anak yang sudah berusia lima tahunan, sebab pada waktu
itu usia lima tahun adalah usia seorang anak yang sudah layak bekerja.
Muhammad kecil merasa gembira sekali hatinya, karena ia diberi tahu
akan dibawa ke sebuah tempat di mana ia dilahirkan dan tempat di
mana ibu dan kerabat familinya bertempat tinggal.

Di tengah perjalanan, di sebuah tempat yang ramai sebelum
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad berpisah dengan
Halimah. Ia hilang di tengah keramaian dan tetap tidak ditemukan
meskipun Halimah sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya
ke sana ke mari.

Merasa gagal mencari Muhammad kecil yang hilang, akhirn­ ya
Halimah memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanannya dengan
maksud untuk menyampaikan berita hilangnya Muhammad kepada
orang tuanya, Aminah, sesegera mungkin. Namun setibanya di rumah
Aminah, lagi-lagi ia gagal menemuinya. Selanjutnya, Halimah memu­
tuskan untuk memberitahukan peristiwa itu kepada kakeknya, ‘Abdul
Muththalib, dengan perasaan sedih sekali seraya berkata: “Aku datang
pada malam ini bersama Muhammad, cucu Tuan. Namun sebelum kami
memasuki dataran tinggi kota Makkah, Muhammad terpisah dariku. Ia
hilang di tengah keramaian dan aku sendiri dengan segala kekuatanku
sudah berusaha mencarinya, tapi usahaku tetap saja sia-sia. Entah di
manakah anak itu berada sekarang ini!”

‘Abdul Muththalib lalu berdiri seraya memohon kepada tuhan-tuhan
Ka‘bah agar memulangkan cucunya itu setelah mendengar berita ke-
hilangan Muhammad dari penuturan Halimah. Belum lama berselang,
tahu-tahu datanglah Waraqah bin Naufal dengan menggandeng tangan
Muhammad sambil berkata: “Ini anakmu (cucu) Muhammad. Aku men-
emukannya di dataran tinggi Makkah.”

Melihat cucunya yang sedang digandeng tangannya oleh Waraqah,

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 49

‘Abdul Muththalib melompat kegirangan, lalu dipeluknya erat-erat
sambil melakukan thawaf di Ka‘bah, memohon perlindungan untuk
cucunya. Selanjutnya, beliau mengirimkan Muhammad kepada ibunya,
Aminah.

Setelah satu tahun lamanya tinggal bersama ibunya, Muhammad
diajak mengunjungi paman-pamannya yang bertempat tinggal di
sebuah perkampungan yang terletak di antara Makkah dan Yatsrib.
Aminah tinggal di sana hanya sebentar sekali. Namun ia tidak dapat
kembali lagi ke Makkah, karena ia meninggal dunia di tengah perjala-
nan pulang; dan jenazahnya dikuburkan di tempat itu juga.

Aminah -seorang janda kembang yang berusia dua puluh tiga tahun
itu- telah pergi untuk selama-lamanya me­ninggalkan Muhammad yang
masih berusia enam tahun menjadi anak yatim piatu.

Anak yatim piatu yang bernama Muhammad itu tak pernah dan ti-
dak akan pernah melihat ayahnya selama hidupnya. Kini ia ditinggalkan
ibunya, padahal ia masih belum puas melihat ibunya. Ia anak yatim yang
tidak pernah merasakan hangatnya belaian kasih seorang ibu. Aminah
tidak akan pernah mengajari anaknya melangkah. Aminah tidak akan
pernah menetahnya berjalan dan mengajarinya mengucapkan kata-kata
nama-nama benda. Baru setahun lamanya Muhammad diasuh ibunya,
tiba-tiba maut mer­enggut ibunya dari Muhammad dan meninggalkannya
hidup sebatang kara di padang luas tanpa batas, yang menakutkan dan
mengerikan.

Jika demikian kenyataan yang ada, apakah makna kematian itu
dan apa makna kehidupan itu pula?

Kini Muhammad di asuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib,
sepeninggal ibunya. ‘Abdul Muththalib merasa seolah-olah melahirkan
Muhammad untuk kedua kalinya. Dialah pada akhirnya yang merawat
dan memelihara putra (cucu)nya yang sangat dicintainya.

Aktivitas ‘Abdul Muththalib biasanya duduk seharian penuh di dekat
Ka‘bah pada sebuah alas hambal yang dibuat agak tinggi. Sementara
itu, putra-putranya duduk mengelilingi alas tersebut, hingga ayahnya
datang. Tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di atas

50 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

alas itu, sebagai rasa hormat mereka kepada ayahnya. Namun pada
suatu ketika datanglah Muhammad; bocah kecil yang ditinggal wafat
ayah ibunya itu melompat ke atas hambal itu, lalu duduk di atasnya.

Paman-pamannya segera mengambil bocah itu, me­nurun­kannya
dari alas tersebut, tapi ‘Abdul Muththalib justru mencegah paman-
pamannya agar tidak menurunkan Muhammad dan membiarkan di
tempat itu.

“Biarkan anakku...,” cegah ‘Abdul Muththalib kepada mereka,
kemudian ‘Abdul Muththalib duduk di atas alas hambal itu sambil
mengelus-elus Muhammad dengan tangannya.

Keakraban mereka tampak sekali. Salah seorang paman Muhammad
yang tampan bernama Zubair bin ‘Abdul Muththalib sering kali me-
manggil Muhammad untuk bersenda-gurau atau menggodanya hingga
bocah kecil itu tertawa riang.

Hanya saja, curahan kasih sayang kakeknya yang dapat sedikit men-
gobati perihnya luka-luka keyatiman Muhammad tidaklah berlangsung
lama. Dalam usia Muhammad yang masih belum mencapai delapan
tahun, kakeknya merasa akan menemui ajalnya. ‘Abdul Muththalib
akan meninggal dan meninggalkan cucunya seorang diri di dunia yang
luas tak berbatas tanpa harta, ayah, dan ibu.

Ketika ajalnya akan tiba, ‘Abdul Muththalib memanggil putra-
putranya, menyampaikan wasiat kepada mereka agar memelihara,
merawat, dan mendidik cucunya yang yatim piatu itu. Ia menunjuk
salah seorang putranya yang bernama Abu Thalib -satu-satunya saudara
kandung ‘Abdullah- untuk bertanggung jawab sepenuhnya dalam men-
gasuh Muhammad.

Setelah selesai mengucapkan kata-kata perpisahan terakhirnya,
‘Abdul Muththalib menutup mata untuk selama-lamanya; dan bocah
yatim piatu itu akhirnya pindah ke rumah pamannya, Abu Thalib.

Abu Thalib punya tanggungan keluarga yang cukup banyak jum-
lahnya. Pendapatan dari hasil pekerjaannya hampir-hampir tak mencu-
kupi untuk memenuhi kebut­uhannya sendiri dan anggota keluarganya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuha­n keluarganya yang cukup besar

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 51

itu, Abu Thalib melibatkan anaknya. Tidak jarang anak-anaknya ter-
paksa harus memeras keringat juga, sekedar untuk pengganjal perut,
sekalipun mereka masih kecil-kecil. Namun Abu Thalib tetap konsis
tidak mau mencari utang yang punya resiko berat, untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, betapapun sulitnya mencari nafkah bersama
anak-anaknya.

Perasaan asing yang dirasakan Muhammad di tengah-tengah ke-
luarga pamannya susah dihilangkan, walaupun ia sendiri merasakan
suasana kebersamaan dan sangat disayang oleh paman dan sanak kelu-
arganya. Setiap kali pamannya menghidangkan makanan untuk keluarga
dan anak-anaknya yang masih kecil, Muhammad tidak mengulur­kan
tangannya seperti mereka, karena ia merasa rikuh dan malu. Namun
perasaan malu itu dapat dihilangkan juga, setelah sekian lama tinggal
di tengah-tengah keluarga pamannya.

Muhammad, bocah yatim itu, mulai membantu pekerjaan-peker-
jaan pamannya, sebagaimana pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak
pamannya. Mau tidak mau ia harus ikut membantu meringankan beban
pamannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Muhammad
ikut menggembala kambing, mencari rumput, bersama kafilah dalam
perjalanan dagang musim panas ke Syam. Mendengar rencana sang
paman akan melakukan perjalanan dagang, ia menyatakan kepada
pamannya akan ikut bersamanya. Tetapi keinginan tersebut tidak
mendapatkan restu dari pamannya, sebab sang paman tidak sampai
hati untuk membawa anak kecil seusia keponakannya itu dalam per-
jalanan jauh yang sangat melelahkan.

Saat ini adalah perpisahan Abu Thalib pertama kali dengan kepon-
akannya, Muhammad, sejak ia mengasuhnya. Sebenarnya Muhammad
telah memohon kepada pamannya untuk kesekian kali agar ia tidak
ditinggalkannya. Muhammad bertanya kepada pamannya: “Kepada
siapakah Pamanda akan meninggalkanku jika Pamanda nanti pergi?”

Mendengar pernyataan sang keponakan dengan nada memelas,
hati Abu Thalib merasa terenyuh. Akhirnya, Abu Thalib lalu bersumpah
kepada dirinya sendiri untuk pergi bersama keponakannya dan tidak
akan berpisah dengannya selamanya.

52 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Muhammad merasa lebih senang pergi ke manca negara yang jauh
daripada hanya ke Makkah yang diliputi suasana kehidupan yang penuh
dengan aksi pemerasan dan kebrutalan. Kondisi ini sungguh sangat me-
nyesakkan dada Muhammad. Gelapnya kehidupan masyarakat Makkah
menjadikan lenyapnya nilai-nilai kehormatan. Anak-anak fakir miskin
bekerja bersama-sama dengan kondisi fisik yang telanjang, tanpa harus
merasa malu. Sementara itu, pintu-pintu rumah para bangsawan ketika
malam hari tertutup rapat. Mereka berfoya-foya dan melantai dengan
para penari. Arak mengalir deras tiada terhitung lagi banyaknya, men-
guras habis keringat orang baik-baik, seperti ‘Abdullah dan ayahnya.

Keadaan orang-orang mencari rizki untuk mempert­aruhk­ an antara
hidup dan mati, membuat kekayaan para saudagar besar terus berlipat-
ganda. Mereka dijaga oleh budak-budak yang juga adalah manusia,
seperti juragan-juragannya. Di luar rumah-rumah besar dan megah
milik para penghisap darah orang-orang lemah itu, ada seorang anak
muda belia yang bernama Muhammad, sedang menatapi gubuk-gubuk
reyot dan rumah-rumah kumuh yang pintu-pintunya tertutup rapat.
Di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita. Secara sayup-
sayup telinga mereka menangkap riuhnya gelak-tawa manusia-manusia
iblis yang sedang mengumbar nafsu binatangnya lewat hembusan angin
dalam keheningan malam.

Dalam gubuk-gubuk reyot nan kumuh itu, para penghuninya dihan-
tui bayang-bayang yang sangat menye­ramkan. Mereka takut sekali,
jika bayangan itu akan menjadi kenyataan yang akan menimpa hidup
dan keluarga­nya. Mereka sangat khawatir kebutuhan hidup sehari-hari
akan menjerat mereka, memaksa mereka untuk mengga­daikan anak
gadis, istri, dan ibunya, kemudian akan dikumpulkan dengan budak-
budak hitam atau putih yang dijadikan santapan para saudagar kaya
atau para peng­hamba seks seperti barang-barang dagangan.

Di sebuah halaman yang berjauhan dengan rumah-rumah megah
dan gubuk-gubuk reyot, berkumpullah pemuda-pemuda yang belum
pernah terjerat oleh cengker­aman lintah darat, sekalipun mereka
hidup dalam keku­rangan. Pikirannya dipenuhi dengan impian-impian
tentang mukjizat yang mereka harapkan kedatangannya, karena hanya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 53

mukjizat itulah yang akan mampu membebas­kan Makkah dari kebejatan
dan kebiadaban para penindas itu.

Para pemuda itu berkumpul di suatu halaman, duduk melingkari
seorang laki-laki yang mengungkap sebuah legenda yang mengobar-
kan khayalan mereka yang ter­tindas, menenangkan hati mereka yang
tercekam ketakut­an, dan membangkitkan semangat dan optimisme
di dalam hati yang terombang-ambing oleh gelapnya awan kehidu-
pan yang menyelimuti mereka. Legenda itu berisikan cerita tentang
pahlawan zaman dahulu, raja-raja yang bersikap tiranik dan sewenang-
wenang. Orang-orang lemah yang menguasai kehidupan dan tentang
mereka sendiri yang sudah sekian lama hidup dalam kekerasan. Hati
Muhammad merasakan adanya kegelisahan yang serius ketika melihat
realitas sosial yang penuh dengan ketimpangan dan intimidasi dalam
masyarakat Makkah.

Kepergian Abu Thalib -pamannya- bersama para kafilah akan me-
ninggalkanya seorang diri hidup di Makkah yang dengan pergumulan
orang-orang yang lemah dalam cengkeraman para saudagar membuat
Muhammad menjadi resah. Namun kesendirian saat ini dirasakannya
lebih berat daripada kesendiriannya di masa-masa yang telah berlalu.

Akhirnya, Muhammad menyertai pamannya pergi bersama para
kafilah ke negeri Syam. Ketika itu ia berusia dua belas tahun. Di neg-
eri Syam ia melihat realitas sosial yang tak jauh berbeda dengan di
Makkah. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing-kambing.
Manusia dimiliki oleh manusia lainnya. Akhir perjalanan hidup mereka
tergantung pada kata-kata yang diucapkan majikannya dan para elite
masyarakat yang feodalistik menguasai per­dagangan dan tanah. Reali-
tas sosial yang penuh dengan ketimpangan ini sangat menggetarkan
hati Muhammad.

Selang beberapa waktu dari perjalanan itu, akhirnya Muhammad
mendengar berita bahwa di Makkah ada orang-orang yang berani
memberontak terhadap sistem sosial kehidupan masyarakatnya dan
terjun ke tengah-tengah kaumnya untuk mengajak mereka menen-
tang kebiadaban yang tengah berlangsung. Di antara tokoh-tokoh
masyarakat yang cukup keras dalam melancarkan aksi protesnya

54 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

adalah Waraqah bin Naufal, Umayyah bin Abu Shalt, dan Zaid bin
‘Amr.

Tokoh-tokoh yang memberontak itu melontarkan kritik dan pro-
tesnya kepada kalangan elite masyarakat yang kejam, mengutuk Latta,
‘Uzza, dan Hubal. Dalam aksi protesn­ ya, mereka menuntut direalisasi-
kannya kebijakan egalitarian­ isme dalam hal kerja sama. Muhammad
juga mendengar kabar tentang kritik mereka terhadap pengu­buran
yang sering kali dilakukan oleh para bangsawan terkemuka.

Salah seorang tokoh yang cukup vokal dan getol menggugah kesada-
ran kaumnya untuk membebaskan diri dari jeratan dan tirani mereka
adalah Zaid bin ‘Amr. Namun tampaknya, gagasan brilian Zaid itu tak
mendapat dukungan, sehingga ia akhirnya terpaksa diisolir dan dis-
ingkirkan oleh para saudagar ke suatu daerah yang jauh dari Makkah.
Saudagar-saudagar Makkah adalah penjaga tuhan-tuhan Ka‘bah yang
memberikan legitimasi terhadap sikap mereka yang intimidatif. Ada-
pun di Syam, situasinya berbeda dengan di Makkah, sebab kebanyakan
penduduk Syam menganut agama Kristen.

Sementara itu, dalam hati kecilnya Muhammad ber­tanya-tanya
tentang seseorang yang menampar pipi sau­daranya. Ia juga memper-
tanyakan perihal seseorang yang merampas hak milik saudaranya.
Persoalan-persoalan yang tak luput dari perhatian Muhammad adalah
orang-orang yang seolah-olah memiliki kehidupan ini dan kondisi para
dermawan yang terbakar dalam gulatan api kecongkakan.

Muhammad pulang kembali ke Makkah bersama kafilah setelah
bertemu dengan seorang pendeta. Pendeta itu merasa kagum terha-
dap kepribadian Muhammad dan mengajaknya makan bersama para
pembesar, meskipun dicegah oleh mereka.

Setibanya di Makkah, Muhammad kembali menggem­bala kambing
dan thawaf di Ka‘bah. Hari demi hari berlalu dengan tanpa terasa,
sehingga ia memasuki masa remaja.

Kini Muhammad memasuki usia enam belas tahun. Profesi Muham-
mad tetap saja seperti sebelum pergi ke Syam, yaitu menggembala
kambing. Selanjutnya, ia pulang untuk thawaf di Ka‘bah. Namun ia kini

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 55

merasakan suatu kegelisahan yang membuatnya tidak pernah nyenyak
tidur sebagaimana nyenyaknya tidur orang-orang yang bekerja berat
sepanjang hari. Memori ingatannya melayang-layang kepada ayahnya
yang meninggal dunia karena mencari rizki untuk menjaga stabilitas
keluarga harmonis.

Ia juga terkenang kepada ibu dan kakeknya yang hidup dalam pen-
deritaan. Ia memikirkan tentang kehidupan pamannya, Abu Thalib yang
hidup dalam kekurangan, sementara paman-paman yang lain hidup
berkecukupan. Pikirannya menerawang jauh hingga pada kenyataan-
kenyataan yang ia saksikan ketika di Syam.

Selanjutnya, ingatannya terkenang kembali kepada para penyuluh
masyarakat yang telah terlempar dari kehidupan kaumnya, karena para
bangsawan dan saudagar kaya tidak menginginkan adanya perubahan
transformasi sistem kehidupan sosial yang sudah mapan dan meng­
untungkan kelas mereka, termasuk juga sisitem teologi masyarakat
terhadap tuhan-tuhan Ka‘bah.

Betapa seringnya ia melihat di sekitar Ka‘bah. Ia heran sekali atas
sikap patung-patung yang acuh tak acuh itu terhadap realitas sosial
yang eksploitatif dan intimidatif di hadapan kedua belah matanya.
Muhammad bertanya-tanya, tuhan-tuhan macam apakah itu?

Di dekat Ka‘bah, ia melihat seorang laki-laki yang sedang bertha-
waf dengan telanjang. Para perempuan ada yang berthawaf hanya
dengan mengenakan pakaian transparan yang dapat membangkitkan
birahi setiap laki-laki yang memandangnya. Ia juga melihat beberapa
orang laki-laki yang menempel lengket pada orang-orang perempuan
di hadapan tuhan Ka‘bah. Sementara itu, tuhan-tuhan Ka‘bah tetap
saja memejamkan kedua matanya seolah tidak menyaksikan adegan
mesum itu.

Kelakukan-kelakuan mesum seperti itu terus mereka lakukan, ken-
datipun mereka percaya bahwa di antara batu-batu Ka‘bah yang tegak
berdiri, dua di antaranya merupakan perlambang sinyal kemurkaan
tuhan terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran di pelataran
suci itu. Simbol kutukan tuhan itu berupa dua buah batu yang meny-

56 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

erupai seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut kepercayaan
mereka, kedua batu itu berasal dari dua pezina yang kemudian diku-
tuk tuhan menjadi batu. Meskipun mereka percaya dengan mitos itu,
namun masih ada juga seorang laki-laki dan perempuan yang masuk
Ka‘bah, lalu bersembunyi di balik patung itu untuk berbuat mesum
sebagaimana biasa mereka lakukan.

R

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 57

58 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Gejolak cinta

di masa muda

K ehidupan sehari-hari telah membawa Muhammad
memasuki pintu gerbang masa remaja. Pada siang
harinya ia masih saja menggembala kambing, se­men­tara di
malam harinya ia mulai terbawa ke dalam dunia pemikiran tentang
fenomena dan realitas sosial yang mengitarinya dan mencari solusi
perbaikan sistem sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya.
Di manakah jalan itu?

Akhirnya, pada suatu ketika ia menggembala kambing bersama
teman sebayanya; dan secara spontanitas dari kejauhan ia mendengar
bunyi rebana. Ia berkata kepada temannya: “Biarlah kita berhenti dulu
menggembala kambing-kambing ini. Aku ingin sekali tiba di Makkah.”

Buru-buru ia pergi ke rumah yang sedang menyeleng­garakan rebana
itu. Ternyata di rumah itu ada pesta perkawinan yang dimeriahkan
dengan berbagai macam hiburan musik. Setelah ia hampir sampai di
rumah yang dituju, ia merasa keletihan. Semalaman ia bersandar pada
tembok. Ia mengantuk, lalu terlelap dalam keletihan. Ia tidak sempat
mengikuti jalannya hiburan itu dengan penuh khidmat dan konsentrasi.

Ketika ia bangun dari tidurnya, ia tak habis pikir dan bertanya-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 59

tanya tentang sesuatu yang membuat ia me­ninggalkan gembalaannya
hanya karena ingin menikmati tontonan gratis yang terdapat di pesta
itu. Memang gairah remaja telah menggelora di dadanya, tetapi apa
boleh buat ketika rasa kantuk yang melelapkan datang untuk meny-
elamatkan dirinya dari hal-hal seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan
untuk beristri saja agar dirinya tidak sampai terlibat dalam kenakalan-
kenakalan remaja yang merusak kepribadiannya seperti pemuda lain-
nya, sehingga pada saat itulah ia mulai mencurahkan seluruh tenaga
dan kemam­puannya untuk setiap pekerjaannya.
Sewaktu Muhammad melaksanakan thawaf di dekat Ka‘bah, ia
melihat gadis cantik yang sedang thawaf juga, sedang tingkah laku
gadis itu, perhiasan, dan baju yang dikenakannya, membuat hati
Muhammad sangat terpesona. Muhammad jatuh cinta kepada gadis
bernama Dhaba‘ah binti Amir bin Sha‘sha‘ah itu dan memutuskan un-
tuk meminangnya. Ibarat gayung bersambut, ternyata gadis itu juga
punya perasaan yang sama, jatuh cinta kepada Muhammad.
Akan tetapi, Muhammad lalu mendengar sendiri perihal tunan-
gannya yang meskipun sedang thawaf dengan mengenakan pakaian
yang sopan itu, ternyata wanita itu lalu melantunkan syair-syair yang
kurang etis dan tidak senonoh yang menggelorakan gairah remajanya,
di mana bait-bait syairnya mengungkapkan apa yang sedang diinginkan
gadis itu, maka pada waktu itu pula Muhammad mengambil sikap un-
tuk memutuskan dan meninggalkannya, sehingga kesepakatan untuk
melangsungkan ikatan pinangan akhirnya digagalkan. Gadis itu patah
hati hingga meninggal dunia dalam derita duka cintanya.

R

60 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Cahaya
di Malam Gelap

Ap a k a h i a a k a n t i n g g a l d i M a k k a h m e n j a d i
penggembala selama-lamanya? Mengapa dalam usia
yang keenam belas, ia tidak mencoba beralih profesi menjadi seorang
pedagang saja? Bukankah ia sudah tergolong seorang remaja yang
telah dewasa?

Tapi mungkinkah itu? Apakah ia menjadi jongos-jongos para juragan
yang congkak dan suka menghisap darah orang-orang miskin? Tak ada-
kah jalan lain untuk mencari penghidupan? Akan tetapi, harta benda
hanya milik orang-orang kaya saja sekalipun mereka punya hati.

Para pendusta itu masih juga mampu bicara di tengah-tengah
kehidupan masyarakatnya dengan segenap ke­boh­ onga­nnya. Mereka
berani menghadapi segala hal karena mereka masih menemukan
orang-orang yang mau men­dengarkan perkataan mereka, sebab mereka
memiliki segala-galanya; kekayaan, kekuasaan, dan tuhan-tuhan.

Kekayaan lintah darat itu hari demi hari kian menjulang tinggi.
Orang-orang yang tenggelam dalam lumpur-lumpur kebejatan dan

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 61

kemunafiqan hingga dagu-dagu mereka, terlihat mengenakan pakaian-
pakaian bersih tak ternoda di hadapan orang lain, sehingga banyak
orang terkecoh oleh kulit luar mereka. Mereka terhormat dan terpuji
di mata orang banyak, tapi mereka sebenarnya menyimpan kebusukan.

Di hadapan orang-orang hipokrit dan suka menjilat, mereka tampak
selalu percaya. Bahkan acapkali cahaya itu lebih menyilaukan dari
kilauan mata seorang laki-laki pemberani dan tak seorang pun mampu
membedakan antara kearifan dan kegilaan.

Para tukang tenung, paranormal, dan penjual budak semuanya
berbicara tentang sebuah “kemuliaan”. Sement­ ara Hubal berdiri tegak
dengan keangkuhannya di kelilingi tuhan-tuhan kecil yang tuli dan
bisu. Di hadapan tuhan-tuhan ini, perempuan pelacur dan perempuan
baik-baik nilainya sama saja.

Para pemilik modal adalah pemilik segala kebenaran. Karena
itu, mereka secara leluasa menyulap kebathilan menjadi kebena-
ran, sedangkan kebenaran yang hakiki hanyalah kesabaran hati
yang tercabik-cabik. Di padang kebejatan tersebut hati ini menjadi
sanggup untuk bersabar, bersabar menunggu masa depan yang cerah
dan bahagia.

Di atas bumi, di tempat ini, telah hidup hakikat kebenaran yang
lain sejak ribuan tahun; di sini, di rumah tua yang dibangun sebagai
tempat berkumpulnya manusia dan tempat yang aman.

Di manakah tuntunan yang telah diajarkan Ibrahim itu?

Bukankah di tempat ini Ibrahim berbicara secara tegas dan lan-
tang: “Janganlah kalian mencuri; janganlah kalian berbohong; jangan
melakukan sistem kontrak riba; jangan kalian melakukan sistem per-
zinaan; jangan kalian bersikap tidak adil dalam memutuskan suatu
perkara; jangan kalian membungakan uang; dan jangan kalian berkhi-
anat dalam menakar dan menimbang barang!”

Akan tetapi, kota yang telah dibangun Ibrahim itu kini telah di-
penuhi dengan kesewenang-wenangan dan ke­biadaban. Orang-orang
yang mempunyai posisi kuat telah berlaku tiranik. Mereka mencuri,

62 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

berbohong, dan tidak adil dalam memutuskan perkara. Jika mereka
meminjam­kan uang, mereka melakukan kontrak bunga yang berlipat-
ganda; dan jika menakar dan menimbang, mereka curang.

Nilai seseorang ditentukan oleh apa saja yang dimiliki. Tak ada
seorang pun yang mempertanyakan bagaimana cara memperolehnya,
sebab sistem yang digunakan oleh mereka berasaskan profit tanpa
mempedulikan bagaimana proses dan cara memperolehnya. Berdusta,
munafiq, mencuri, dan merampas, sudah dianggap instrumentalia yang
paling tepat. Selama orang masih sanggup berthawaf di Ka‘bah dan
mempersembahkan qurban untuk Hubal, maka semua kekejian itu
sah-sah saja dilakukan. Berbeda dengan para bangsawan yang selalu
mendapatkan legitimasi untuk bertindak apa pun, orang fakir miskin
yang tidak mencuri dan tidak merampas serta tidak mampu untuk ber-
qurban, maka patung-patung itu tidak sudi menerimanya di pelataran
Ka‘bah. Ini jelas tuhan-tuhan elitis yang hanya menyukai orang-orang
tertentu saja.

Lalu siapakah tuhannya orang-orang jelata? Sesungguh­nya Ibra-
him mempunyai tuhan yang lain. Dialah Tuhan seluruh umat manusia.
Ibrahim melarang untuk menyembah tuhan selain itu. Dengan Tuhan
itu, Ibrahim menjanjikan seb­ uah kehidupan yang tenteram jika umat
manusia me­matuhi-Nya. Dalam kehidupan yang tenteram itu, kilauan
mata pedang tak berarti apa-apa lagi di muka bumi mereka.

Namun di manakah gerangan Tuhan Ibrahim ber­semayam? Patung-
patung yang hanya menyukai orang-orang yang memiliki posisi kuat
dan membiarkan orang-orang miskin, sudah tentu bukanlah tuhan yang
pantas dijadikan sesembahan manusia.

Adakah Tuhan Ibrahim selain matahari yang memberi kehidupan
pada segala sesuatu? Tetapi kadang-kadang matahari terbenam. Bu-
kankah Tuhan semestinya tidak tidur dan tidak mati, sementara se-
tiap hati yang senantiasa ingin menatapnya dan merindukannya tidak
menyukai suatu yang terbenam?

Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memutuskan bahwa se-
tiap orang yang dibunuh, harus dibunuh juga; setiap orang yang berzina

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 63

harus dibakar dengan api; setiap orang yang memendam kebencian
akan terkena kutukan; dan setiap dengki dan iri hati kepada orang lain
akan ditimpa adzab kehinaan, sehingga dengan demikian, kebejatan
dan kebiadaban tak dapat tumbuh dan hidup di permukaan bumi?

Di manakah gerangan Tuhan Ibrahim yang memuliakan orang-orang
yang tidak menyembah patung-patung, tidak menodai perempuan-
perempuan yang mempunyai hubungan keluarga dekat, tidak berbuat
aniaya kepada sesama, tidak mau menerima gadai, tidak suka meram-
pas hak milik orang lain, bahkan ia memberikan rotinya kepada orang-
orang kelaparan, memberi pakaian kepada orang-orang telanjang,
menolong fakir miskin, dan tidak melakukan praktek riba?

Lalu apakah batu yang dithawafi orang-orang itu? Di manakah
Tuhan Ibrahim itu bersemayam? Bukankah batu itu adalah batu yang
tuli, buta, tak berdaya untuk meniupkan angin, tak berdaya untuk
menurunkan hujan, dan tak berdaya pula untuk memberikan kemud-
haratan dan kemanfaatan?

Adakah sekelompok orang dari kabilah Quraisy yang memperhatikan
perilaku kaumnya dan sistem sosial yang berkembang di tengah-tengah
mereka? Sekelompok orang itu adalah sebagian warga kabilah Quraisy
yang sudah mulai merasakan suatu kemuakan berthawaf kepada Hubal.
Hati mereka merasa tergugah untuk merenungkan sikap fanatisme
kepada Hubal di mana banyak orang yang berqurban atas nama Hubal,
beri‘tikaf di sisinya, dan berkeliling mengitarinya. Salah seorang di
antara mereka berkata: “Apa yang dilakukan kaummu saat ini? Mereka
sungguh-sungguh telah melakukan penyimpangan dari agama mono-
theisme Ibrahim.”

Adapun di antara sekelompok orang itu adalah Waraqah bin Nau-
fal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin Huwairits, dan Zaid bin ‘Amr.
Mereka inilah yang terus-menerus gencar mendiskusikan dan mencari
kebenaran di tengah-tengah membludaknya praktek penipuan dan
kebohongan.

Mereka membaca referensi kitab-kitab yang ada kaitannya den-
gan kondisi yang terjadi di masyarakat kala itu. Problem rusaknya

64 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

tatanan sosial di tengah-tengah masyarakat Makkah menjadi pusat
perhatian pemikiran mereka. Mereka kemudian saling berjanji untuk
mera­hasiakan gerakan yang sedang mereka lancarkan hingga pada
akhirnya mereka memutuskan untuk berkelana ke berbagai manca
negara, dengan sebuah harapan bahwa kelak akan kembali lagi ke
tengah-tengah masyarakatnya, membawa agama Ibrahim dan mendidik
mereka dengan ajaran-ajarannya yang lurus.

Waraqah bin Naufal mendapatkan hidayah dalam ajaran Al-Masih
‘Isa w. Ia menjadi pemeluk agama Nabi ‘Isa w; dan akhirnya
kembali ke tengah-tengah kaumnya dengan membawa ajaran Nabi
‘Isa w yang mengajarkan tentang keesaan Tuhan dengan suatu
ajaran yang berbunyi: “Ia (Tuhan) tidak bertempat tinggal dalam
berhala-berhala yang dibuat oleh tangan-tangan manusia dan tidak
pula membutuhkan pelayanan mereka lantaran Dia tak mem­butuhkan
suatu apa pun. Karena Dialah yang memberi kehidupan dan nyawa
kepada semua makhluk hidup dan Dia pulalah Tuhan yang menguasai
langit dan bumi.”

Setelah menemukan petunjuk dari ajaran Nabi ‘Isa w , Waraqah
kini memulai karir kehidupan sehari-harinya sebagai guru spritual
(rahib) bagi kaumnya sebagaimana profesi para pendeta yang mena-
sihati kaumnya agar saling mencintai, karena cinta kasih tidak akan
pernah gugur selamanya; dan agar senantiasa mendo‘akan orang-orang
yang menindas mereka, bukan justru mengutuknya. Adapun ‘Abdullah
sendiri awalnya memeluk agama Kristen, tetapi karena merasa kurang
puas dengan apa yang selama ini ia jalani, akhirnya ia beralih memeluk
agama Ibrahim, agama nenek moyang mereka.

Sementara itu ‘Utsman bin Huwairits berkelana ke berbagai manca
negara, hingga akhirnya ia berkenalan dengan kaisar Rum yang meme-
luk agama Kristen, kemudian ia diangkat sebagai gubernur Makkah oleh
kaisar Rum. Akan tetapi, ketika ia pulang kembali ke tengah-tengah
masyarakat Quraisy dengan membawa surat kaisar, mereka membuang
surat itu karena enggan untuk tunduk pada kekuasaan kaisar sekalipun
ia sudah diangkat sebagai gubernur. Mereka berkata kepada ‘Utsman:
“Penduduk Makkah tidaklah memeluk agama seorang raja.”

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 65

Respon negatif mereka membuat ‘Utsman mengambil keputusan
untuk memisahkan diri dari kelompoknya. Ia tetap mengamalkan
ajaran-ajaran agama yang baru dipeluknya dan terus mengulang ayat-
ayat Injil hingga hafal: “Janganlah membunuh; jangan mencuri; dan
jangan memberi kesaksian palsu. Janganlah merusak dan berzina.
Hormatilah ayah dan ibumu. Pergilah kepada raja-raja yang adil dan
ulurkanlah tangan kepada orang fakir agar menjadi harta simpananmu
di langit; dan marilah ikut bersamaku membawa salib.”

Adapun sikap Zaid bin ‘Amr tidak hanya berusaha untuk mencari
kesucian dirinya saja, tapi ia juga berusaha untuk memberikan kesu-
cian tersebut kepada kaumnya. Ia mengajak kaumnya yang sedang
dalam kesesatan untuk meninggalkan berhala-berhala dan tidak me-
makan daging qurban yang disembelih di hadapan patung-patung itu.
Ia menyampaikan juga kepada kaumnya tentang larangan praktek
penguburan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. Zaid sering kali me-
larang seorang ayah yang akan membunuh putrinya seraya berkata:
“Janganlah engkau bunuh dia. Biarlah aku saja yang akan mencukupi
makan bayi itu.”

Namun ajakan Zaid itu tetap tidak diindahkan oleh mereka, se-
hingga dalam kondisi yang demikian ia sering kali menyandarkan pung-
gungnya kepada Ka‘bah sambil berkata: “Wahai orang-orang Quraisy,
demi Tuhan yang menguasai jiwa Zaid bin ‘Amr, tak seorang pun di
antara kalian yang lebih dulu memeluk agama Ibrahim, selain aku.”

Ia terus melancarkan kritiknya atas kebodohan orang-orang Quraisy
dan apa yang disembahnya. Ia menyerukan kepada mereka untuk tidak
melakukan riba, tidak berbohong, tidak melakukan kezhaliman, dan
tidak menyembah patung-patung. Dalam seruan-seruannya, Zaid mel-
antunkan syair-syair panjang, menceritakan kisah Nabi Musa melawan
Fir‘aun; Nabi Yunus melawan ikan paus; dan cerita sejarah tentang
misionaris terdahulu yang sudah pernah kontra dengan para penguasa
diktator dan tiranik.

Propaganda-propaganda yang dilancarkan oleh Zaid cukup mere-
sahkan perasaan kalangan para elite masya­rakat. Dengan demikian,
dilakukanlah suatu upaya untuk membendung gerakan Zaid bin ‘Amr

66 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

ini. Orang-orang yang merasa tidak aman dengan propaganda Zaid
berusaha mencari pamannya yang bernama Al-Khaththab. Dia adalah
paman Zaid yang tergolong saudagar kaya yang suka memeras, mer-
ampas, mabuk, dan main perempuan.

Pada suatu hari datanglah Al-Khaththab menemui kepo­nakannya.
Ia meminta kepada Zaid agar bersedia meng­hentikan aksi protes dan
propagandanya, tetapi langkah preventif dan permintaan itu ditolak
oleh Zaid dan ia tetap konsisten pada pendiriannya. Bahkan Zaid terus
dengan gencar melancarkan kritik dan propagandanya itu, sehingga
dengan perasaan yang kesal melihat ulah kepo­nakan­nya, sang paman
akhirnya bertindak dengan cara kekerasan.

Zaid pergi ke gunung Hira’ yang berada di dekat Makkah. Di tempat
itu ia melakukan kontemplasi dalam waktu yang cukup lama. Setelah
itu, ia kembali lagi ke tengah-tengah kaumnya dan membawa ajaran
untuk meninggalkan perilaku amoral yang mewarnai kehidupan mer-
eka.

Karena cara untuk mencegah aksi keponakannya sudah tidak
mempan lagi, Al-Khaththab pun menggunakan siasat lain untuk
mendiskreditkan keponakannya itu. Maka ditempuhlah siasat licik,
yaitu provokasi. Zaid diadu domba dengan pemuda-pemuda Quraisy,
termasuk di antara mereka adalah putranya sendiri, yaitu ‘Umar bin
Khaththab. Al-Khaththab memerintahkan kepada mereka untuk tidak
membiarkan Zaid memasuki Makkah. “Jangan kalian membiarkan si
Zaid itu memasuki Makkah secara leluasa,” imbau Al-Khaththab.

Dengan imbauan itu, maka diadakanlah pengawasan terhadap
Zaid, sehingga ia tak mungkin lagi memasuki Makkah secara leluasa.
Meskipun demikian ketat peng­awasan tersebut, Zaid masih juga bisa
memasuki Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sial sekali, ia
ketahuan pemuda-pemuda Quraisy ketika masuk Makkah hingga mer-
eka memukulinya secara biadab. Mereka sangat khawatir akan terjadi
pengrusakan terhadap tatanan sosial yang dianggap sudah mapan.
Bahkan mereka juga khawatir terhadap protes dan propaganda yang
dilancarkan Zaid akan sampai mempengaruhi warga Quraisy.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 67

Dalam situasi demikian, bagi Zaid kehidupan ini terasa sempit,
sesak, dan pengap dalam kungkungan dan belenggu orang-orang
bodoh. Karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke Hijaz dengan
maksud akan mencari agama Ibrahim. Ia berangkat berkelana ke
seantero Jazirah Arab, sehingga ia sampai ke Mosul. Di tempat itu
ia bertanya kepada para pendeta dan orang-orang yang ditemuinya
tentang agama Ibrahim.

Pendeta Yahudi dan Kristen yang ditemuinya sama-sama me-
maparkan secara detail tentang agama mereka masing-masing. Na-
mun penjelasan-penjelasan yang ia terima tetap saja tidak membuat
hatinya puas. Ia menolak kedua agama itu. Maka berkatalah para
pendeta itu kepada Zaid: “Kalau begitu, engkau sebenarnya mencari
suatu agama yang tidak akan engkau temui lagi pembawanya.”

Perjalanan panjang mencari kebenaran membuat Zaid dalam
kegelisahan. Namun ia tetap optimis. Ia terus berkelana, berpindah
dari suatu negeri ke negeri yang lain, mengetuk setiap pintu rumah
pendeta dan pemuka-pemuka agama, keluar masuk dari suatu gereja
ke gereja yang lain. Ia sempat dibuat heran oleh para penyembah api
yang melumuri kepalanya dengan debu-debu suci bersama para tukang
tenung; demikian pula orang-orang yang memeluk agama Budha dan
agama Zoroaster didatanginya, tetapi kebenaran yang ia cari-cari
selama ini masih juga belum ditemukan. Ia yakin bahwa kebenaran
sejati pasti terdapat pada agama yang lain dan ajaran yang lain. Dia
terus berkelana seperti seorang yang terlempar dari atas kendaraan
yang ditungganginya. Tangannya menggenggam sebuah tongkat; tu-
buhnya yang kurus kering karena dimakan usia, terguncang-guncang.
Tubuh yang sudah tinggal tulang itu hanya dibungkus dengan baju
yang terbuat dari kain kasar yang ditambal-tambal. Jenggotnya yang
memutih bergetar-getar. Kedua belah matanya yang cekung menatap
dengan pandangan kosong.

Pada suatu perjalanan panjang yang menyiksa kehid­ upannya, Zaid
dihadang oleh beberapa orang pencuri. Ia disiksa hingga penyiksaan itu
merenggut nyawanya. Kontan saja, mendengar informasi tentang ke-

68 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

matian Zaid, para bangsawan sangat gembira, sementara orang-orang
yang profesinya sama dengan Zaid untuk mengabdikan hidupnya dalam
mencari kebenaran, merasa sangat terpukul dan berduka sedalam-
dalamnya. Termasuk di antara mereka, teman-teman seperjuangannya
adalah Waraqah bin Naufal. Setiap kali terkenang memori perjalanan
perjuangan Zaid, air mata Waraqah terus-menerus bercucuran mem-
basahi pipinya yang sudah mulai keriput.

g

Muhammad juga menangis atas kepergian seorang penyuluh agung
yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjalanan panjang untuk
mencari kebenaran sejati sebelum ia menemukannya. Muhammad
menyimpan rasa kagum yang teramat besar kepada penyuluh agung
yang telah pergi untuk selamanya.

Muhammad bin ‘Abdullah juga terkenang kembali pada beberapa
tahun yang silam semenjak bertemu dengan Zaid, sewaktu makan
bersama di sebuah tempat ia berdagang, di mana waktu itu Zaid Bin
‘Amr sedang dalam pengem­baraannya untuk mencari kebenaran yang
dia semaikan dalam hatinya.

Ketika itu Zaid menolak untuk makan daging qurban yang disem-
belih di bawah kedua belah kaki patung-patung yang dipertuhankan.
Dalam pertemuan itu Muhammad yang masih berusia dua puluh tahun
sempat berdialog dengan Zaid. Pertemuan itu adalah pertemuan dua
insan yang sama-sama merasakan keprihatinan yang serius terhadap
kebejatan orang-orang Quraisy, tuhan mereka yang tuli, dan tradisi-
tradisi yang sangat kondusif bagi berakarnya praktek eksploitatif
para saudagar besar atas leher-leher para budak. Sementara Muham-
mad waktu itu tidak menolak untuk makan daging binatang qurban,
tetapi Zaid adalah orang yang sangat konsisten dalam memegang
pendiri­annya. Ia lebih memilih lapar daripada kenyang dengan makan
binatang-binatang yang disembelih di hadapan patung-patung tanpa
proses penyembelihan yang menyebut nama Tuhan Ibrahim.

Tiap kali terkenang Zaid, Muhammad merasakan duka yang begitu
mencekam. Zaid adalah pemeluk agama monotheisme. Dengan posisi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 69

itu, Zaid bin ‘Amr diperlakukan oleh orang-orang Quraisy sebagai
seorang penjahat, lantaran melakukan kritik terhadap tatanan sosial
mereka dan melancarkan aksi propaganda untuk mengadakan refor-
masi terhadap sistem sosial. Semua saudagar kaya, bahkan keluarga
dekatnya pun tidak menaruh rasa kasihan sama sekali kepadanya.
Pamannya yang bernama Khaththab yang sangat dihormati oleh Zaid
dan putranya yang bernama Ibnu Khaththab -seorang pemuda Quraisy
yang terkenal pemberani-, keduanya tidak mempunyai rasa iba sama
sekali atas kematiannya.

Zaid bin ‘Amr telah pergi untuk selama-lamanya. Dialah sang pen-
erang yang hanya bersinar sekejap mata, selaksa bintang berekor yang
melesat di tengah gelap-gulitanya kehidupan Makkah. Akan tetapi, kini
semenjak kematian Zaid, kota Makkah kembali lagi seperti semula.
Para rakyat jelata mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para
bangsawan dan saudagar dengan cara leluasa.

Tak seorang pun yang mau mendengar seruan Zaid, sedang­kan
kebohongan para pembohong justru masih didengar. Harta kekayaan
para rentenir kian menjulang tinggi hari demi hari. Tukang-tukang
tenung dan para penjual budak semakin lihai bersilat lidah. Meski-
pun demikian, di mata orang-orang hipokrit dan penjilat, mereka
tetap memancarkan cahaya terang yang me­nyilaukan.

Sementara itu, Muhammad, seorang pemuda, bekerja sebagai bu-
ruh kasar untuk menyambung hidup­nya sebagai­mana kehidupan pahit
yang dirasakan ayahnya. Dahulu, untuk sekedar menyambung hidup,
ayahnya harus me­nyambung nyawa hingga menemui ajalnya. Semen-
tara di sekitarnya hidup para elite Quraisy, seperti pamannya sendiri,
Abu Lahab, Walid bin Abu Sufyan yang memiliki emas bertumpuk-
tumpuk dan beratus-ratus budak. Siapakah yang merintis terciptanya
kondisi sosial seperti ini?

Dalam kondisi seperti itu, Hubal tetap saja berdiri tegak di sisi
Ka‘bah dan membiarkan orang-orang yang berlaku semena-mena.
Sikap Hubal dan tuhan-tuhan Ka‘bah tidak punya rasa solidaritas dan
loyalitas sedikit pun terhadap nasib si miskin.

70 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Dalam suatu kafilah yang terdiri dari seribu unta dan dua ratus
budak, paling sedikitnya sembilan ratus unta dan sebagian besar dari
dua ratus budak adalah milik tiga atau empat orang kaya Makkah.
Selebihnya adalah milik orang lain.

Kendatipun banyak orang yang kaya-raya, tetapi ketika terjadi
suatu peperangan, maka tetap saja orang-orang melaratlah yang harus
merasakan penderitaan akibat yang ditimbulkan oleh peperangan itu,
sedangkan orang-orang kaya hanya memikirkan keselamatan dirinya
sendiri. Sewaktu perang Fijar berkecamuk beberapa tahun yang silam,
Muhammad menyaksikan kelakuan pamannya, Abu Lahab, dan para
koleganya yang kaya. Mereka minta perlindungan kepada pamannya,
Zubair, dan pemuda-pemuda miskin.

Dalam pertempuran yang berlangsung di dekat Ka‘bah itu, Muham-
mad ikut bergabung juga. Ia berdiri di dekat pamannya, melindungi
mereka dari serangan panah-panah musuh dan akhirnya pertempuran
itu dimenangkan orang-orang Quraisy.

Pada waktu itu Zubair dan para pasukan penunggang kuda yang
berasal dari kalangan orang-orang miskin usai peperangan hanya
memperoleh bagian yang sangat sedikit; satu dinar atau dua dinar
saja. Kondisi ini berbeda sekali dengan apa yang telah diperoleh oleh
Abu Lahab dan Abu Sufyan. Mereka berdua memperoleh bagi­an beribu-
ribu dinar.

Dialah Muhammad yang terpaksa bekerja sebagai buruh kasar dalam
kafilah-kafilah, sekedar untuk menyambung hidup. Ia tidak memiliki
simpanan satu dinar pun. Ia harus menyambung nyawa bersama seorang
pamannya, Zubair, dalam perjalanan musim panas ke Yaman.

Di sinilah Muhammad melihat dengan kedua belah matanya perilaku
para pedagang dalam mencari ke­untungan. Mereka mengurangi tim-
bangan dan curang dalam menakar. Praktek perdagangan yang penuh
kecurangan ini menjadi gugatan Muhammad. Di dalam hati kecilnya
ia berkata, mengapa para pedagang itu tidak cukup puas dengan
memperoleh keuntungan dari cara tukar-menukar yang baik dan harga
seimbang?

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 71

Ia pulang kembali ke Makkah dengan membawa beban pikiran
yang sangat menyusahkan batinnya. Ia berpikir tentang kebohongan
besar yang menjadi sokoguru kekayaan penduduk Makkah. Sebenarnya
apa yang dilakukan oleh para pedagang itu tidak layak bila dianggap
mencari keuntungan belaka. Kelakuan mereka jauh lebih jahat dari-
pada membungakan uang. Para pekerja yang ikut kafilah-kafilah juga
berbuat curang ketika menjual; dan mereka melakukan tindakan korup
pada laba yang diperolehnya dengan cara curang. Maka demikianlah,
kecurangan bercampur-aduk kecurangan. Ada jaringan terorganisir
memeras buruh. Sebaliknya, para buruh tidak risih-risih lagi untuk
melakukan tindakan korup.

Amanat merupakan mata uang yang tidak laku di pasar yang jelek
itu. Kebenaran, kesucian, dan kejujuran hanyalah suara sayup-sayup
yang digulung oleh gelombang-gelombang teriakan para calo, gemer-
incing emas, dan godaan barang-barang perhiasan.

Muhammad ingin sekali pergi dari bergabung bersama kafilah,
dengan membawa barang dagangannya sendiri atau barang dagangan
pamannya yang diasuh oleh Abu Thalib. Dalam hatinya berharap,
siapa tahu ia bisa bekerja pada seorang juragan yang jujur dalam cara
memperoleh laba.

Tetapi siapakah gerangan yang mau mempekerjakannya sekarang,
sebab ketika ia pulang bersama orang-orang yang sama-sama ikut
dalam kafilahnya, mereka justru meng­gunjing kelakuannya yang tidak
mau mengikuti kebiasaan mereka yang suka melakukan kecurangan
dalam menakar dan menimbang.

Memang begitulah kenyataannya. Muhammad benar-benar menen-
tang kebiasaan praktek perdagangan mereka. Bahkan ia menyarankan
kepada mereka untuk menyem­purnakan timbangan dan tidak mengu-
ranginya. Sebab itu, kini tak seorang pun yang mau menerima Muham-
mad untuk diangkat sebagai pekerja pada perdagangannya.

Kendatipun demikian tradisi itu berjalan dalam tatanan masyara-
kat yang mayoritas serba curang, namun secara minoritas masih ada
beberapa orang juragan yang mencari keuntungan dengan cara-cara

72 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

yang jujur, hanya saja jumlahnya relatif terbatas. Lalu bagaimanakah
cara untuk bekerja pada mereka? Akankah Muhammad menawarkan
diri kepada mereka? Penolakannya terhadap praktek penipuan dalam
berdagang membuat ia enggan sekali untuk bekerja pada juragan-
juragan yang rakus, meskipun ia harus menanggung resiko beban hidup
yang sangat berat, bahkan mati sekalipun.

g

Untuk kesekian kalinya, Muhammad hidup seorang diri di rumah
pamannya, Abu Thalib. Ia hidup seorang diri tanpa memiliki apa-apa,
selain cita-cita masa depan yang tak menentu dan memori-memori
kelabu kehidupan masa lalu yang diwarnai coretan tinta hitam. Seuntai
kenangan ketika hidup bersama ibunya, kini muncul lagi kepermukaan.
Ibunya yang meninggalkan dia sebatang kara; ayahnya yang tak pernah
dilihatnya; dan kakeknya pun yang sangat menyayanginya, kemudian
ia ditinggal hidup terlunta-lunta seorang diri dalam kehampaan.

Ingatannya melayang-layang hingga pada kenangannya tentang
para penyuluh dan pencari kebenaran sejati yang terisolir dari garis-
garis kehidupan masyarakatnya, sehingga mereka menemui ajalnya
sebagai patriot di padang pasir. Itulah sebuah memori tentang orang-
orang yang berikhtiar untuk membebaskan masyarakat dari belenggu
praktek eksploitatif pada rakyat jelata. Hanya itulah miliknya yang
paling berharga dalam hidupnya. Selain itu, tak ada lagi.

Abu Thalib sudah kehabisan persediaan makanan di rumah, hingga
seluruh anggota keluarganya mencari pekerjaan, sekedar untuk me-
nyambung hidup. Sementara di luar sana, orang-orang kaya menindas
orang-orang yang kekurangan; orang-orang yang berkecukupan meng-
hardik peminta-peminta; dan orang-orang yang kelaparan hidup tanpa
tempat tinggal. Semuanya hidup dalam kesesatan.

Ia berpikir tentang kehidupan, kematian, masa depan, dan ke-
nangan ketika pamannya, Abu Thalib, menerima dirinya dengan berat
hati, lalu berkata kepadanya: “Wahai keponakanku, aku adalah seorang
laki-laki yang tak berharta. Masa demi masa menjerat perjalanan hidup
kita. Tahun demi tahun berlalu tanpa harapan. Kita tak memiliki materi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 73

dan perdagangan. Inilah unta kaummu telah datang untuk bertolak ke
Syam. Khadijah telah mengutus beberapa orang untuk memasarkan
barang dagangannya dan mencari keuntungan. Andaikata engkau ber-
sedia datang kepadanya, sudah tentu ia akan menda­hulukanmu, karena
orang-orang telah menyampaikan kepadanya perihal kesucianmu.”

Muhammad paham betul bahwa yang dimaksud pamannya adalah
Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar perempuan yang kaya-raya
nan cantik jelita yang menyewa orang-orang untuk mengurus barang-
barang dagangannya. Ia dikenal kebaikannya dan kesuciannya, sehingga
pantas jika ia digelari sebagai “perempuan suci”.

Muhammad sebenarnya ingin sekali berdagang barang-barangnya,
tapi Muhammad menolak, karena enggan untuk menawarkan diri ke-
padanya atau untuk meminta-meminta pekerjaan kepadanya. Ia ber-
kata kepada pamannya: “Mudah-mudahan saja ia mengutus kurirnya
untuk menyampaikan masalah itu kepadaku.”

Sang paman menyangkal: “Aku khawatir sekali jika ia akan men-
gangkat karyawan lain.”

Sungguh benar sekali bahwa Khadijah binti Khuwailid -seorang
perempuan terhormat dan kaya-raya itu- adalah saudara sepupu
Waraqah bin Naufal, salah seorang yang menderita mencari kebenaran,
hingga akhirnya ia memeluk agama Kristen. Khadijah nampaknya sangat
terpengaruh dengan ajaran-ajaran yang dibawa Waraqah. Karena itu,
ia tak pernah melakukan praktek pemungutan rente dari modal-modal
usaha perdagangannya yang dipinjamkan kepada pedagang-pedagang
kecil. Ia juga tak pernah dikenal melakukan praktek curang dalam
timbangan dan takaran.

Khadijah telah mendengar perihal perilaku Muhammad. Ia berharap
akan mempekerjakan Muhammad sebagai distributor atas barang-
barang dagangannya. Namun setelah Khadijah mengetahui bahwa
Muhammad enggan sekali untuk menawarkan diri kepadanya, maka
diutuslah seorang kurir untuk menyampaikan inisiatifnya untuk men-
gangkat sebagai karyawan yang bergerak dalam bidang distributor.

Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun; dan dia adalah

74 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

seorang perempuan terhormat. Dalam puncak kecantikannya, ia
teramat sukar untuk didekati. Ia pernah menikah dua kali dengan
saudagar dari kalangan bangsawan Makkah, tapi naas, kedua suaminya
itu meninggal dunia.

Kini Muhammad bin ‘Abdullah merespon positif maksud baiknya.
Muhammad datang menghadap kepadanya. Ketika itu Muhammad
adalah seorang pemuda berwajah tampan berseri-seri, berhidung man-
cung, berdahi lebar, bertubuh tinggi dengan langkah-langkahnya yang
tegap, berbodi sedang, dan berwibawa dengan sorot matanya yang
tajam. Kendatipun ia hidup dalam kemiskinan, namun pakaian yang
ia kenakan nampak terlihat bersih. Rambutnya hitam bergelombang
dan tubuhnya membias bau harum dan aroma yang menyegarkan. Pada
raut wajahnya yang masih baru memasuki masa remaja, menggoreskan
isyarat-isyarat tentang derita kehidupan yang tersimpan, karena beban
kehidupan dan cita-cita panjang yang ia harus lalui.

Khadijah menyambut kedatangannya dengan ucapan selamat
datang, kemudian ia memuji atas kejujurannya, sikap, dan tanggung
jawab, serta latar belakang sejarah kehidupannya yang bersih dari
noda hitam kehidupan masyarakatnya, sebagaimana telah ia dengar
dari orang-orang. Khadijah menawarkan kepadanya untuk membawa
barang-barang dagangannya ke Syam dengan imbalan yang jauh lebih
tinggi di atas imbalan yang pernah diberikan kepada orang lain.

Muhammad menerima tawaran yang disampaikan oleh Khadijah.
Ia berangkat ke Syam dengan membawa barang-barang dagangan
Khadijah. Sekembalinya dari Syam, ia berhasil mengantongi keuntun-
gan yang sangat besar, karena ternyata ia dapat menarik minat para
pembeli untuk berbelanja kepadanya. Ia terapkan cara-cara yang
jujur, tidak mengurangi takaran, baik ukuran maupun timbangan,
dalam melayani para konsumen yang datang berbelanja kepadanya.
Praktek perdagangan Muhammad sangat menyimpang dari cara-cara
yang biasa ditempuh oleh para pedagang lainnya.

Demikianlah Khadijah memperoleh keuntungan dari barang-barang
dagangannya secara berlipat-ganda, di luar perkiraan semestinya atas
kehebatan dan kejujuran Muhammad. Sebagai imbalan atas keberhasi-

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 75

lannya, Khadijah pun memberi dua kali lipat dari upah yang semestinya.

Maka terjalinlah hubungan kerja sama yang baik antara Khadijah
dan Muhammad. Sepanjang tahun Muhammad berkali-kali membawa
barang dagangannya. Bahkan pada perjalanan dagang musim dingin
ke Yaman, Muhammad ikut pergi bersama kafilah-kafilah besar yang
terdiri dari tiga ratus orang dan seribu lima ratus unta.

g

Ketika terdengar informasi di Makkah bahwa kafilah dagang musim
dingin dari Yaman telah pulang kembali dengan membawa keuntun-
gan besar, maka keluarlah semua orang Quraisy untuk mengadakan
penyambutan sebagai­mana biasa mereka lakukan. Para penunggang
kuda, penabuh rebana, penari, dan para perempuan berdiri di tepi-tepi
jalan yang akan dilalui kafilah-kafilah itu untuk menyambut kedatangan
mereka.

Sedangkan Khadijah sendiri hanya menyambut para kafilah di
serambi rumahnya. Ia berdiri di serambi rumah dengan didampingi
para hamba sahayanya. Ketika Muhammad tampak di tengah-tengah
iring-iringan kafilah, tiba-tiba hati Khadijah terasa berdebar-debar.
Perasaannya mengakui bahwa sesungguhnya ia menyambut di serambi
rumahnya bukanlah untuk para kafilah, tapi sebenarnya ia menyambut
kedatangan Muhammad, raganya, kepemudaannya, dan kelemah-
lembutan sikapnya. Dia hanya menyambut Muhammad bukan sebagai
orang upahan yang akan menyerahkan keuntungan dari perniagaannya.

Seorang budak Khadijah yang ditugaskan menemani Muhammad,
bercerita banyak tentang perilaku Muhammad yang banyak mengun-
dang perhatian dan daya tarik semua orang, baik kaum lelaki maupun
perempuan. Penuturan tentang perilaku Muhammad yang disampaikan
oleh budaknya membuat perasaan Khadijah semakin tertarik terha-
dap Muhammad hingga dalam hati kecilnya terlontar sebuah kalimat
harapan: “Oh... alangkah bahagianya andaikata ia mau melamarku.”
Akan tetapi, rasa malu, minder, sungkan, perbedaan jenjang usia
yang terlampau mencolok, dan stratifikasi sosial yang sangat senjang
menjadikan idealismenya mendapatkan suatu ganjalan yang cukup

76 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

berat bagi dirinya.

Khadijah secara diam-diam menyuruh Nafisah binti Munabbih
untuk melakukan penjajakan terhadap respon dan sikap Muhammad.
Dengan sikap yang ramah, Nafisah mencoba bertanya: “Wahai Muham-
mad, mengapa engkau tidak segera mencari pendamping hidupmu,
padahal engkau sudah berusia dua puluh lima tahun. Aku yakin setiap
gadis-gadis Quraisy pasti mendambakanmu, karena engkau tepercaya,
pemberani, jujur, dan tampan. Kalau hanya masalah ekonomi yang
membuatmu pesimis untuk mema­suki hidup berumah tangga, maka
aku sarankan kepadamu untuk mencari istri yang kaya-raya, bahkan
lebih dari itu semua. Wanita yang kutawarkan itu berasal dari keluarga
terhormat dan baik-baik.”

Mendengar pernyataan Nafisah, Muhammad menjawab dengan nada
menyangkal: “Ah... siapakah gerangan yang mau menerima diriku,
sedangkan diriku hanyalah orang upahan yang melarat.”

Nafisah menjawab: “Perempuan itu, Khadijah....”

Bagai mimpi di siang bolong, Muhammad hampir-hampir tak per-
caya akan kata-kata Nafisah. Ia berkata: “Mana mungkin Khadijah
dengan kekayaan yang melimpah-ruah akan mau menerima pemuda
miskin seperti diriku ini untuk dijadikan suaminya?”

“Tapi biarlah aku yang mengatur semuanya,” sanggah Nafisah.

Maka Nafisah pun segera pulang untuk menyampaikan kabar gem-
bira ini kepada majikannya, Khadijah binti Khuwailid. Disampaikan
juga kepadanya, bahwa Muhammad menginginkan untuk mempercepat
perkawinannya. Hanya saja ia enggan untuk mengajukan lamaran
karena persoalan ekonomi.

Maka diutuslah seorang kurir kepada Nabi Muhammad untuk me-
nyampaikan pesan lamaran kepadanya.

“Aku menaruh simpati kepadamu karena sikapmu yang familier,
bertanggung jawab, perilakumu yang lemah-lembut, dan kata-katamu
yang jujur,” pesan Khadijah.

Buru-buru Muhammad pergi menemui paman-pamannya untuk me-
nyampaikan perihal lamaran Khadijah. Selanjut­nya, ia pergi bersama

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 77

Hamzah, paman yang paling mencintai dirinya dan sebaya umurnya,
Zubair, Abu Thalib, dan semua pamannya, untuk menemui Khuwailid
bin Asad, ayah Khadijah. Mereka menyampaikan lamaran buat anak
putrinya untuk dijodohkan dengan Muhammad. Ketika itu Khuwailid
sedang minum tuak; dan dalam keadaan setengah sadar, ia setuju dan
menerima lamaran Muhammad.

Tetapi keesokan harinya setelah ayahnya siuman dari mabuknya,
ia bertanya kepada putrinya, Khadijah, tentang kejadian kemarin.
Maka dikatakan oleh Khadijah bahwa ia mengikat dirinya dalam se-
buah pertunangan dengan seorang pemuda bernama Muhammad bin
‘Abdullah. Mendengar penuturan putrinya, Khuwailid langsung emosi
dan men­ yangkal atas keputusan itu: “Orang mana yang mau menjodo-
hkan pemuda miskin itu dengan putrinya yang cantik nan kaya, yang
pernah menolak lamaran bangsawan-bangsawan Quraisy?”

Akan tetapi, Khadijah terus membantahnya dan menyatakan rasa
tidak senang kepada ayahnya, jika sang ayah sampai menggagalkan
apa yang sudah menjadi kesepakatan. Dia berkata: “Aku tak butuh
suami yang kaya. Aku memilih pemuda yang akan menjadi pendaming
hidupku bukan karena harta, tapi karena suara hatinya yang tulus,”
begitulah pernyataan Khadijah kepada ayahnya.

Khadijah tahu bahwa Khuwailid tidak setuju lamarannya dengan
alasan ia menyetujui lamaran dalam keadaan mabuk.

Apa pula khamr itu? Bagaimana mungkin khamr dapat merusak
kesadaran seseorang sampai sejauh ini?

Akhirnya, perkawinan dua sejoli itu pun dapat di­lang­sungkan juga
lantaran Khadijah sanggup memper­tahankan diri di hadapan ayahnya.
Zubair, paman Muhammad, merasakan gembira yang meluap-luap;
budak-budak Khadijah menari; dan unta dipotong di pintu rumahnya
untuk dishadaqahkan kepada fakir-miskin sebagai tanda bahagia yang
tiada tara bagi Khadijah yang telah mem­peroleh segala sesuatu yang
menjadi miliknya untuk dipergunakan semaunya. Hartanya ia shadaqa-
hkan kepada semua orang pada malam itu.

Dalam keharuan dan kegembiraan, Muhammad masih terkenang

78 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

kepada ibunya. Ia mencari Halimah, perempuan yang telah menyu-
suinya, lalu dikirimkanlah empat puluh ekor kambing untuk dijadikan
gembalaannya agar tidak kekurangan lagi hingga ajalnya tiba.
Kini Muhammad hidup senantiasa berada di sisi Khadijah siang dan
malam. Ia telah berpindah seutuhnya dengan cintanya, masa mudanya,
kehidupannya, impian-impian dan obsesi masa depannya ke rumah
perempuan suci itu.

R

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 79

80 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Pengisolasian
di Dinding Tiran

Wahai anakku, di padang pasir yang ganas dan
bernafas lumpur kutukan, kebohongan, dan
kebejatan, engkau hidup dalam keterasingan. Engkau dalam
keterasingan dan kedukaan! Tiada henti-hentinya engkau merenungi
berbagai fenomena, langit, bumi, dan potret kehidupan, baik kehidu-
pan kaum lelaki, perempuan, maupun anak-anak.

Hidup barumu yang penuh dengan kedamaian bersama seorang
perempuan cantik, suci, lagi bijaksana, yang telah memilihmu sebagai
teman sehidup-semati, hampir tak pernah terlihat senyum kebahagiaan
di bibirmu, sehingga timbul gelombang-gelombang dahsyat yang sulit
dipahami dari kedalaman jiwamu. Tiba-tiba senyum di bibirmu menjadi
beku. Tatapan indah bola matamu membelah kebisuan. Kedua belah
tanganmu yang kekar perkasa melambai-lambai dalam kehampaan.
Dari kedua pelipismu, mengucur keringat deras. Sorot tatapan matamu
yang tajam memancarkan seberkas cahaya yang menggentar­kan,
seakan-akan ada sebuah sinar dari keghaiban menyelimutimu, sehingga
wajahmu yang merah merona terlihat galau menanggung beratnya

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 81

beban berbagai hal.

Wahai Anakku, penyairkah engkau?
Adakah sebuah inspirasi telah timbul dalam dirimu

dalam keheningan?
Tapi dirimu selama ini belum pernah melantunkan syair

Tak seorang pun yang menduga bahwa dirimu
akan melantunkan syair-syair di kemudian hari

Betapa tabahnya dirimu!
Betapa dukanya dirimu!
Betapa nestapanya dirimu!
Bukankah hidup ini indah?
Untuk apa harus berduka?

Dulu engkau hidup serba kekurangan, suka mengangkut batu. Eng-
kau juga menjadi penggembala kambing milik orang lain, di bawah terik
sinar matahari yang tak pernah berbelas-kasihan menyengat tubuhmu,
menggembara untuk keuntungan orang lain dan bekerja berat dengan
seluruh kekuatan fisikmu. Tapi sejak hari ini, engkau telah memiliki
sesuatu yang membuat dengki seluruh pemuda Quraisy dengan peker-
jaan gampang yang telah memberimu lebih dari apa saja yang kamu
butuhkan, istri yang mencintai dan senantiasa memperhatikanmu, baik
di kala engkau dekat maupun jauh. Seluruh harta kekayaan, kebesaran,
dan hidup­nya, kini telah menjadi milikmu semua. Dialah seseorang istri
yang akan menjaga dan mencukupi segala tuntutan masa remajamu.
Dia pula yang menjaga pen­dengar­anmu. Dialah perempuan yang dapat
memberi belai kasih sayang mesra seorang ibu yang tak pernah eng-
kau rasakan sejak masa kecilmu. Dia memberi nikmatnya kehidupan
yang dapat menyegarkan hausnya gairah remaja seusiamu dan dapat
menunjukkan agungnya sifat kebapakan darimu.

Kehadiran perempuan itu dapat menggantikan seluruh duka ne-

82 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

stapa yang pernah menimpa pada masa kecilmu. Dialah santapan yang
menyegarkan hausnya kejantanan.

Setelah sekian lama engkau mengembara di bawah terik panas
matahari, kini saatnya engkau bersuka ria dalam sebuah rumah yang
dipenuhi dengan suasana bahagia dan lucunya anak-anak. Di tempat
tidurmu, seorang perempuan suci dan senantiasa mendambakan cinta
kasihmu telah siap memberi segala yang menjadi keinginanmu.

Jika demikian realitas yang terjadi, lantas dari manakah sumber
kegalauan yang menyelimuti raut wajahmu dari hari ke hari? Bukankah
usaha perdagangan Khadijah kian hari kian berkembang pesat dalam
kekuasaanmu? Begitu pula sebaliknya, penghasilanmu kian menumpuk
di bawah kekuasaannya.

Engkau telah menjadi seorang ayah bagi anak-anak. Engkau kini
bebas berdagang sesuka hatimu, tanpa harus mengurangi sukatan atau
timbangan. Karena kejujuran itulah hingga engkau mendapat predi-
kat dari kaummu dengan sebutan “Al-Amin”. Tidak sedikit di antara
mereka yang mengikuti jejakmu.

g

Tapi hidup ini bukan hanya sebuah rumah mewah sebagai tempat
tinggal, bukan hanya karena istri cantik, baik budi, dan mencintai,
serta bukan pula hanya karena anak-anak yang memenuhi kebahagiaan
hati.

Sungguh, semua fasilitas itu merupakan ketenangan yang akan
menghiasi sebuah rumah tangga. Tapi fenomena kehidupan di luar
pintu sedang mengalami goncangan dahsyat yang sangat melukai hati
yang tenang.

Pasca menikmati bulan madu, engkau telah memperoleh ketenan-
gan dan ketenteraman yang mampu mengisi kehidupanmu, seorang
istri yang cantik dan baik hati, serta anak-anak kecil yang memberi
rasa bahagia bagi orang yang melihatnya. Akan tetapi, duniamu yang
luas, tempat tinggal hidupmu, tak pernah berada dalam ketenangan
dan ketenteraman. Semuanya sama sekali tak ada yang membahagia-
kanmu. Kondisi ini adalah sebuah kontradiksi yang membelah di antara

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 83

rumah dan alam di sekitarmu.

Akan tetapi, kehidupan di rumahmu mampu memberi kekuatan
untuk menghadapi sebuah dunia yang menjadi tempat berkocolnya
kebohongan. Kehadiran Khadijah dalam hidupmu sangat berarti sekali
setelah setahun engkau jalani kehidupan berumah tangga. Karenanya,
kian dalam pula cintamu. Segala bentuk kepalsuan dan kebohongan,
engkau hadapi bersamanya.

Berdua engkau peroleh kelapangan hidup dan berdua pula engkau
telah kehilangan anak. Keringat dan air matamu bercampur jadi satu.
Dia, istrimu, menangis di pundakmu, ketika Qasim –buah cintamu– men-
emui ajalnya. Ketika itu pula, engkau tak mampu menahan iba hingga
akhirnya engkau pun menangis di pundaknya. Lalu dia menghapus air
mata yang menetes di pipimu, kemudian dia memberi­mu anak-anak
yang lain.

Jika para bangsawan Quraisy tidak mempunyai rasa solidaritas
sama sekali pada persoalan intelegensia dan kerja, namun istrimu
justru sangat memperhatikan intelegensia dan kerjamu. Dialah yang
telah membersihkan dirimu dari kotornya kehidupan yang diwarnai
dosa, foya-foya, perjudian, dan pelacuran.

Wahai Abul Qasim, kini engkau tak ingin membebaninya lagi den-
gan persoalan yang menggalaukan batin, setelah kematian anakmu,
Qasim. Biarkan perempuan agung itu dalam duka kematian anaknya
(jangan beri beban lagi), sebab beban batin yang harus dipikulnya
terasa teramat berat baginya!

Betapa berat beban batin yang harus engkau pikul, wahai Anakku!

Apa rencanamu selanjutnya?

Membicarakannya bersama sahabat karibmu yang bernama Abu
Bakar.

Abu Bakar bin Abi Quhafah adalah satu-satunya orang di antara
para pemuda Quraisy yang setia dan tulus hati kepadamu. Karena itu,
engkau dapat mencurahkan segala beban persoalan yang terpendam
di dalam hatimu kepada­nya. Dia adalah orang yang mempunyai kohe-
sifitas sosial dalam hal ikhtiar pembebasan seperti dirimu juga. Dia

84 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

orang yang mempunyai keyakinan bahwa patung-patung itu hanyalah
batu-batu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak akan pula
mencelakakan. Ia sudah pernah mengutarakan semua itu kepadamu.
Engkau pun juga tahu bahwa ia tak pernah menyembah patung-patung
itu. Tiada henti-hentinya ia menceritakan pertama kali pertemuannya
dengan patung-patung itu kepada teman seusianya yang tidak percaya
pada patung-patung itu.

Sewaktu dia (Abu Bakar) masih kecil, ayahnya pernah membawanya
pada suatu tempat seraya berkata: “Inilah tuhan-tuhanmu sebagai
sesembahan yang paling agung.” Kemudian ia meninggalkan ayahnya.
Setelah si kecil –Abu Bakar– mendatangi tuhan-tuhannya, ia berkata
kepada salah satu patung-patung itu: “Aku lapar. Berilah aku makan!”
Tetapi apa yang terjadi, ternyata patung itu diam saja membisu seribu
bahasa. Si bocah kecil melanjutkan kata-katanya lagi: “Aku telanjang.
Berilah aku pakaian!” Karena patung itu tidak menjawab, si bocah
kecil lalu me­lemparkan sebongkah batu. Karenanya, patung itu roboh
dalam kondisi tertelungkup. Sejak si bocah kecil melihat sebuah pa-
tung yang roboh tertelungkup ke bumi, sejak itu pulalah ia tidak mau
menyembah tuhan yang tuli dan lemah yang dapat dirobohkan oleh
anak kecil dengan sekali pukulan saja.

Tetapi Abu Bakar tidak tergolong anak kecil, bukan pula anak yang
telanjang, dan bukan pula anak yang kelaparan. Kini dia telah melalui
usia tiga puluh tahun seperti dirimu, wahai Muhammad! Dia pernah
pergi bersamamu dalam suatu perjalanan dagang. Dalam usianya yang
relatif muda, ia telah berhasil meraih posisi sebagai bangsawan. Ia
terus menekuni usaha perdagangan miliknya sendiri dan mengikuti
jejak-jejakmu dalam praktek jual beli, seperti dalam menakar dan
menimbang; dia tak pernah melakukan pengurangan dalam sukatan
dan timbangan.

Ia juga tak pernah melakukan cara-cara bohong. Kalian berdua
sama-sama memendam sikap anti terhadap tindakan para bangsawan
Quraisy. Engkau berdua sama-sama mendambakan terciptanya sebuah
dunia yang menjunjung keadilan; sebuah dunia di mana sudah tak ada
lagi si pembesar menjerat leher si kecil; tak ada lagi seorang pemberi

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 85

utang yang merendahkan martabat orang yang punya utang; tak ada
orang kuat yang bertindak semena-mena kepada si lemah. Kalian
berdua sama-sama mendamb­ akan kedudukan yang lebih terhormat
bagi kaum perem­puan, lebih dari sekedar pemuas nafsu birahi kaum
pria belaka.

Engkau berdua sama-sama mengetahui realitas sosial tersebut
dan merasakan suatu keprihatian yang mendalam terhadap sistem
sosial yang berlaku di Makkah. Semua itu tiada henti-hentinya engkau
renungkan.

Sedangkan Abu Bakar mempelajari secara serius literatur-literatur
orang-orang terdahulu yang sampai kepadanya. Alangkah beruntungnya
dia, karena kehidupan telah memberi kesempatan belajar membaca
dan menulis. Semua ini berbeda dengan kondisi dirimu. Abu Bakar
senantiasa membaca dan menghafal berbagai referensi yang sampai
kepadanya. Perjalanan dagangnya dijadikan kesempatan untuk me-
nambah pengetahuan, sehingga saat ini dia menjadi pemuda Quraisy
yang paling banyak memahami masalah-masalah tentang seputar
kebudayaan; dan engkau sendiri mengagumi kepiawaiannya.

Engkau berdua sama-sama mengetahui bahwa yang menjadi faktor
dominan tetap bercokolnya patung-patung di sekeliling Ka‘bah lantaran
suasana kehidupan dan sistem perdagangan masyarakat Quraisy. Para
penjaga patung-patung Ka‘bah itu adalah biang keladi kebobrokan
masyar­akat Quraisy yang menganut sistem kehidupan amoral. Patung-
patung itulah yang telah memberkati aturan-aturan ini. Sementara
terhadap selain norma-norma yang telah ditentukan, patung-patung
itu sama sekali tak akan mentolerir. Patung-patung itu yang menarik
beribu bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk menunaikan ibadah
haji, membayar pajak kepada para bangsawan Quraisy, dan meramaikan
musim haji dengan perdagangan, sehingga dengan aturan-aturan itu
bertambahlah kekayaan para bangsawan Quraisy dari tahun ke tahun,
walaupun sebenar­nya sebagian dari kalangan masyarakat Quraisy telah
melanc­ arkan kritik tajam terhadap pola hubungan sosial para elite
penguasa dengan rakyat jelata serta mengecam patung-patung yang
memberikan legitimasi pada aturan-aturan ini.

86 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

Kekayaan kota Makkah berada dalam genggaman segelintir orang
saja, sementara orang-orang yang berada dalam penderitaan jum-
lahnya bisa mencapai berpuluh-puluh ribu orang. Semua ketimpangan
sosial ini diberikan legitimasi oleh patung-patung Ka‘bah.

Siklus roda-roda kehidupan di Makkah dan ekspansi dalam bidang
perdagangannya kian mempertajam ketim­pangan sosial ini, di mana
yang kaya semakin bertumpuk kekayaannya, sementara mayoritas
penduduk yang hidup dalam kemiskinan semakin tenggelam dalam
jurang pen­deritaan, sehingga membuat hati kaum tertindas semakin
muak terhadap kehidupan yang menjerat mereka. Semua orang tahu
bahwa semua ini adalah kebathilan yang nyata.

Patung-patung Ka‘bah tidak mampu lagi mengisi hati manusia dan
memuaskan kehidupan spritual mereka. Relasi yang terjalin antara
sang penguasa dan rakyat jelata dan antara si kaya dan si miskin sudah
dipandang sebagai pola hubungan sosial yang tak layak lagi direalisasi-
kan untuk masa-masa yang akan datang. Para penduduk Makkah yang
berada dalam kemiskinan memahami bahwa kenyataan hidup yang mer-
eka jalani adalah kehidupan yang menindas dan tiranik. Mereka juga
paham bahwa tuhan-tuhan yang banyak itulah yang telah melindungi
kondisi sosial yang bercorak penindasan ini, sehingga menyebabkan
kian bertambah jurang kemiskinan mereka dan bertambah investasi
kekayaan orang-orang kaya. Dialah tuhan-tuhan yang biadab! Dialah
tuhan yang keji!

Rakyat kecil yang hidup dalam kesusahan dan keter­purukan telah
menyadari sepenuhnya bahwa untuk mem­berikan solusi dari gejolak
sosial kiranya perlu sistem hubungan sosial yang lebih manusiawi dan
nilai-nilai spiritual baru. Sebuah sistem sosial yang baru tersebut sangat
dituntut kemampuannya untuk menegakkan pola hubungan sosial yang
stabil dan seimbang.

Tapi yang jelas, para pembesar Quraisy tidak akan pernah tol-
eran dan takkan pernah membiarkan aturan yang arif dan bijaksana
ini terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Quraisy. Bahkan
sebagian dari pembesar Quraisy sengaja menghindar dari perbuatan-
perbuatan terpuji sebagai upaya membendung berbagai reaksi sosial

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 87

dan memadamkan berbagai cahaya yang akan bersinar dalam dinding
kepekatan tersebut.

Seorang bangsawan Quraisy yang bernama Khaththab bin Nufail tak
mau lagi melindungi tetangga yang satu kabilah dengan dirinya. Bahkan
ia tidak mau lagi menampung keponakannya yang bernama Zaid bin
‘Amr bin Nufail, karena ia berani gencar melakukan aksi kritik terhadap
nilai-nilai spiritual yang dianut oleh pembesar Quraisy, patung-patung,
berhala-berhala, politheisme, dan sisitem sosial masyarakat Makkah.
Di samping itu, karena keponakannya menuntut semua terciptanya
keadilan dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat menjawab
tuntutan dan kebutuhan bagi perkembangan masyarakat Makkah. Den-
gan demikianlah, setelah disiksa oleh orang-orang bodoh itu, akhirnya
Zaid dibuang ke padang pasir agar ia mati terasing dan sia-sia.

Wahai Muhammad, engkau tangisi kepergian Zaid. Demikian pula
Waraqah bin Naufal, Khadijah, dan Abu Bakar, turut berduka cita atas
kepergiannya.

Di antara orang-orang yang berpaling dari patung-patung itu dan
mengecam kebejatan kaumnya adalah Umayyah bin Abi Shalt. Secara
tegas Umayyah menyatakan bahwa tuhan-tuhan Ka‘bah tidak mampu
mengisi keham­paan batin yang dirasakannya. Akan tetapi, agar tetap
hidup, secara terpaksa Umayyah memuji-muji orang kaya Tsaqif di
Thaif dan orang-orang kaya Quraisy di Makkah yang sebelumnya ia
kritik melalui syair-syairnya.

Setelah kepergian Zaid, masih banyak lagi orang yang menentang
kebathilan, seperti Khalid bin Sinan yang menyerukan kepada kaumnya
agar mereka mau meninggal­kan kehidupan yang kotor, hidup saling
menolong antar sesama, dan tidak menindas kaum lemah. Kepada
mereka dikabarkan juga kerajaan langit. Dia berharap agar mereka
meningggalkan patung-patung itu dan hanya menyembah Tuhan Yang
Maha Esa yang menguasai segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi, tetapi mereka mengabaikannya.

Pada mulanya mereka hanya mengejeknya, tetapi kemudian ketika
mereka menemukan orang yang mengikuti ajakannya, maka mereka
menyiksanya hingga meninggal dunia. Mereka minta kepadanya agar

88 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

minta tolong kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diajarkan, supaya
Tuhan yang dipercayainya dapat menyelamatkan dari siksaan mereka.

Maka demikianlah, Khalid bin Sinan menutup kedua belah mat-
anya yang mengucurkan darah dalam obsesinya tentang sebuah dunia
yang menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai spiritual yang diidam-
idamkan.

Para pemegang kekuasaan Makkah yang terdiri dari para rentenir
dan pedagang-pedagang besar niscaya akan pergi bagaikan ikan-ikan
buas menelan ikan-ikan kecil yang menggigit daging segar dan kian
menambah pertumpahan darah. Tetapi rekayasa sosial yang dilakukan
oleh penyuluh agung itu tak ubahnya selaksa upaya menambal baju
kumal yang compang-comping dan tak dapat dipakai lagi. Mereka
tak ubahnya melakukan rehabilitas sebuah bangunan yang reot yang
menuntut rehabilitasi total, di mana kemudian hari dibangun lagi
dengan sebuah konstruksi yang baru sama sekali.

Para penyuluh-penyuluh agung itu berikhtiar untuk melakukan
renovasi terhadap masyarakatnya, sementara itu masyarakatnya
menuntut suatu revolusi total hingga ke akar-akarnya, kemudian
menciptakan sebuah tatanan konstruksi baru, pola hubungan sosial
dan sistem nilai-nilai spiritual baru yang dapat mengikis mitos-mitos,
menghapus dominasi ideologis manusia atas manusia lainnya, dan
membasmi patung-patung dengan seluruh pelayan-pelayannya serta
orang-orang yang memegang otoritas terhadap jalan kehidupan orang
lain yang mengatas-namakan patung-patung itu.

Dalam tatanan sosial baru tersebut tidak dibenarkan lagi ada orang
yang menggantungkan hidupnya pada seseorang atau alam; dan juga
tak layak lagi seseorang menyerahkan pekerjaannya kepada seseorang
yang mengatur seluruh aktivitasnya. Demikianlah karena setiap manu-
sia sama-sama memiliki hati untuk memahami, memiliki mata untuk
melihat, dan memiliki akal untuk berpikir secara logis. Setiap manusia
harus menjaga dirinya dari kenistaan dan menjaga kondisi badannya
dari segala sesuatu yang membahayakan. Janji yang diucapkannya dan
hak sesama manusia harus dihormati. Setiap manusia mempunyai hak
untuk hidup bebas.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 89

Oleh karena itu, Muhammad bin ‘Abdullah tidak mau memiliki
budak-budak. Ia sangat menekankan kepada istrinya agar memper-
lakukan budak-budaknya sebagaimana layaknya orang yang merdeka
dan tidak lagi menyebut-nyebut mereka dengan sebutan budak atau
pelayan.

Ketika Khadijah membeli seorang budak laki-laki yang bernama
Zaid bin Haritsah, Muhammadlah yang membayarn­ ya, lalu ia di-
merdekakan olehnya, kemudian diangkat sebagai anaknya. Pada saat
Zaid telah menemukan ayah kandungnya, Muhammad memberikan
kebebasan baginya untuk memilih antara tetap tinggal bersama atau
kembali kepada keluarganya. Namun akhirnya, Zaid mengambil kepu-
tusan dan memilih tetap tinggal bersamanya dan menjadi anak ang-
katnya. Dengan demikian, tak dapat dielakkan lagi betapa pentingnya
mewujudkan suatu etika sosial yang menjunjung tinggi kejujuran dan
mengikis habis sebuah pengkhianatan.

Dalam kehidupan masyarakat yang baru tersebut, prinsip amanat
dan melindungi hak asasi setiap orang tanpa diskriminasi antara ras
yang berkulit hitam dan berkulit putih, antara bangsawan dan si budak,
antara si kaya dan si miskin, antara laki-laki dan perempuan, telah
direalisasi­kan dengan baik.

Dalam tatanan sosial baru tersebut, kepentingan sosial harus
mendapatkan perlindungan. Dengan demikian, dituntut adanya pemer-
iksaan terhadap pelaku pencurian dan penindasan, di mana seorang
yang melakukan peng­khianatan harus mendapat balasan terhadap dosa
yang dilakukannya. Seorang pelaku tindak kriminal pembunuhan harus
dibunuh pula tanpa adanya diskriminasi antara si kaya dan si miskin,
bahkan setiap perbuatan yang melukai orang lain harus dikenakan
hukum qishas.

Demikian pula dalam tatanan sosial yang baru tersebut, semua
kepentingan keluarga harus pula dilindungi. Oleh karena itu, bagi
pelaku perbuatan zina harus dijatuhi hukum pidana. Dalam konteks
tersebut dituntut pula adanya perlindungan terhadap kehormatan
perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga, seorang istri,
teman hidup, dan tumpuan hati. Maka tak dibenarkan lagi seorang

90 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

perempuan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki untuk suatu
waktu tertentu, kemudian setelah laki-laki itu puas menikmati tu-
buhnya ternyata perempuan itu ditinggal­kan begitu saja. Poliandri tak
dapat dibenarkan lagi. Para janda harus mendapatkan perlakuan yang
terhormat. Para janda tidak dapat lagi dipaksa untuk memilih seorang
pria sebagai suaminya, terkecuali mereka memang mencintai­nya.
Seorang istri harus mendapatkan perlakuan yang ter­hormat sebagai
seorang manusia yang sama-sama membu­tuhk­ an, bukan hanya sebagai
pemuas nafsu birahi belaka.

Dalam tatanan masyarakat baru tersebut tak dapat dibenarkan
lagi para perempuan memancangkan umbul-umbul di depan rumahnya
untuk menjemput kehadiran kaum laki-laki, lalu bila perempuan itu
hamil dan melahirkan anak, maka nasab anaknya dikaitkan dengan
laki-laki yang menyerupai wajahnya.

Semua itu adalah perbuatan keji, nista, dan hina. Masyarakat harus
menghindari semua perilaku-perilaku tersebut. Dalam kondisi yang
sudah demikian parah bobroknya, maka rekayasa sosial yang bersifat
rehabilitasi atau renovatif merupakan suatu solusi yang tidak kondusif.
Oleh karenanya, tak ada cara lain lagi selain melakukan rekayasa se-
cara revolusioner dan totalitas untuk kemudian direkonstruksi dengan
sebuah konstruksi sosial baru.

Dengan demikian, dituntut adanya gerakan pembasmian praktek-
praktek riba, kenistaan, kebejatan, penindasan, dan sikap arogansi
para penguasa, sehingga pada akhirnya gerakan tersebut dapat
mewujudkan tegaknya keadilan, terbebasnya manusia dari perlakuan
sewenang-wenang dan rasa takut, terbebasnya akal dan hati manusia
dari cengkeraman patung-patung dan kekuasaan yang bersem­bunyi
di balik patung-patung itu, serta terciptanya prinsip-prinsip pola
hubungan sosial antara pria dan perempuan yang sama-sama berposisi
sebagai manusia.

Hanya saja, bagaimana cara mewujudkan rekayasa secara revolu-
sioner itu?

g

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 91

Semua problema sosial ini sudah cukup lama menjadi perbincan-
gan antara Muhammad bin ‘Abdullah dengan shahabat karibnya yang
bernama Abu Bakar. Mereka berdua pergi dalam perjalanan dagang
bersama-sama. Mereka bersama-sama mendatangi dan menyaksikan
para pendeta dan tukang-tukang tenung di manca negara. Berdua, mer-
eka banyak menyadap informasi. Berdua, mereka sama-sama berjalan
di atas keadilan, kejujuran, dan amanat. Berdua, mereka menangisi
peristiwa yang menimpa para penyuluh terdahulu. Berdua, mereka
sama-sama menjauhi kaum pria dan perempuan yang berthawaf di
sekeliling Ka‘bah dalam keadaan telanjang dan saling berhimpitan
satu dengan yang lainnya di Baitul Haram. Berdua pula mereka dalam
impian panjang tentang kebebasan.

g

Rombongan dagang dari Makkah berangkat menuju ke Romawi
dan Yaman. Sementara di pasar-pasar Makkah berkumpul pedagang-
pedagang dari Mesir, India, Syam, dan Asia Tengah. Di pasar-pasar
telah beredar berbagai cerita-cerita yang aneh. Para pedagang Mesir
meceritakan tentang guru perempuan di Iskandariyah yang mengajar-
kan filsafat untuk berpikir secara rasional dari perguruan tinggi.

Guru perempuan tersebut banyak mengundang per­hatian para pe-
lajar. Maka berkumpullah para pelajar mengelilingi si guru perempuan
tadi dengan penuh rasa kagum terhadap ajakan-ajakan dan perjalanan
hidupnya. Ketika itu guru perempuan tersebut berumur empat puluh
lima tahun. Ia memiliki paras ayu, anggun tiada duanya. Tetapi para
tukang tenung dan para pendeta yang memegang otoritas terhadap hati
semua manusia, merasa terancam posisinya oleh ajakan-ajakan yang
disampaikan guru tersebut. Karena guru perempuan itu melancarkan
kecaman, maka kehadirannya dianggap akan menjadi sumber perusak
kekayaan oleh para tukang tenung dan para pendeta, sebab jika akal
sudah dapat mengemban fungsi berpikir, maka akal akan menjadi alat
pengendali semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Karena
itu, lenyaplah kedudukan dan harta mereka.

Para tukang tenung berusaha untuk mendiskreditkan dan menodai

92 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

kehormatannya, tetapi aksi mereka tidak mempan. Dengan kecantikan-
nya yang memukau, guru perempuan itu tetap terpelihara kehormatan-
nya di tengah-tengah masyarakat yang jarang menjaga kehormatannya.
Ia sangat tanggap terhadap berbagai tipu muslihat. Akhirnya, mereka
tak berhasil memperdayakannya.

Karena tak menemukan cara untuk menyingkirkan guru perempuan
tersebut, maka akhirnya mereka melakukan agresi ke rumah guru
perempuan itu, lalu membunuhnya. Demikianlah, suara akal di Mesir
yang menganut ajaran monotheisme, beriman kepada ‘Isa Al-Masih,
dan men­dirikan sebuah kota “Akhtanun” untuk Tuhan Yang Maha Esa,
telah dipadamkan.

Di negeri-negeri lainnya juga terjadi pengusiran atau penjatuhan
hukuman terhadap orang-orang yang mengem­bangkan pola berpikir
rasional.

Para pedagang dari Romawi menceritakan pula tentang munculnya
para missionaris agama yang melakukan aktivitas dakwah di tengah-
tengah mereka. Dalam dakwahnya, para missionaris tersebut men-
gatakan bahwa alam ini tunggal dan menunggal, dahulu tak berawal,
tidak diciptakan oleh manusia dan Tuhan. Alam ini ada dan hidup akan
terus menyala, lalu pada akhirnya akan padam menurut aturan-aturan
hukum alam yang telah ditentukan. Semua realitas dan aturan-aturan
alam ini hanya dapat disingkap dengan kekuatan dan fungsi akal.
Orang yang mengembangkan ketuhanan selain api, di negeri Persia
akan dilemparkan ke dalam api.

Sementara di Ka‘bah orang yang menentang kekuasaan orang-
orang yang mengambil keuntungan dari patung-patung Ka‘bah akan
dijatuhi pidana mati atau dibuang ke gurun sahara atau martabatnya
didiskreditkan. Para pemegang otoritas ini hanyalah beberapa gelintir
orang saja dari kalangan rentenir terkemuka di tengah masya­rakat
Quraisy. Tak seorang pun yang tidak hidup dalam lumpur dosa. Mereka
menentukan jalan kehidupan berpuluh ribu laki-laki, perempuan, dan
anak-anak.

Kondisi dunia yang sudah sedemikian parah, rekayasa inovatif atau

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 93

rehabilitatif tak akan berarti banyak. Untuk itu, mesti dilakukan suatu
akselerasi atau reformasi secara total yang mampu merekonstruksi
tatanan itu. Kini hati semua orang telah siap menyambut reformasi
tersebut, kecuali segelintir orang yang memperoleh keuntungan dari
kondisi sosial yang penuh ketimpangan ini.

Ketika itu Muhammad memiliki citra dan reputasi yang baik. Tak
sedikit pun ia memiliki kejelekan. Dia tepercaya dan jujur. Karena
teramat jujurnya, andaikata ia menga­takan ada seekor keledai datang,
sementara itu orang-orang di sekitarnya tak melihat apa-apa, sudah
tentu mereka akan mempercayai kata-katanya dan takkan memper-
cayai mata mereka sendiri.

Keluhuran budi pekerti Muhammad yang tak pernah ada sebelum-
nya, kini popularitasnya menjadi tersebar luas di tengah masyarakat-
nya. Ia hanya mempunyai seorang istri, yaitu Khadijah binti Khuwailid,
padahal sekarang usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Dalam
usianya yang telah melewati usia remaja, ia sama sekali tak pernah
berpikir untuk melukai perasaan istrinya dengan mencari istri muda,
tidak seperti kebanyakan kaumnya yang biasa mempunyai gundik. Ia
tidak terpikat kepada perempuan lain selain istrinya walaupun pada
masa remajanya banyak gadis tergila-gila pada ketampanannya.

Sikap keberpihakan Muhammad terhadap orang-orang yang tertin-
das, telah menyadarkan Zubair bin ‘Abdul Muththalib, salah seorang
pamannya yang tergolong pembesar Makkah, untuk memberikan per-
tolongan kepada seorang saudagar asing (luar Makkah) yang dirampas
dagangannya. Saudagar yang dirampas dagangannya itu melakukan
demo dengan cara berkeliling Ka‘bah sembari melantunkan sebuah
syair:

Wahai keluarga Fihr!
tolonglah orang yang dirampas barang dagangannya

di tengah-tengah kota Makkah
yang jauh rumahnya

94 MUHAMMAD SANG T E L A D A N

dan jauh pula sanak saudaranya

Akhirnya, barang-barang dagangan yang dirampas itu dikembalikan
lagi kepada saudagar itu.

Dengan kegigihannya, Muhammad dapat membuat sebuah kes-
epakatan dengan sebagian masyarakat Quraisy di bawah pimpinan
Bani Hasyim. Dalam kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa mereka
akan memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap orang-orang
yang diperlakukan sewenang-wenang di Makkah, baik orang tersebut
penduduk Makkah maupun pendatang, hingga haknya dikembalikan
lagi kepadanya.

Muhammad bin ‘Abdullah dalam persoalan ini adalah seorang arif
dan bijaksana. Ketika terjadi sebuah konflik yang nyaris memporak-
porandakan mereka, maka dengan kearifannya ia mampu menyelamat-
kan manusia dari malapetaka. Gelombang konflik itu muncul tatkala
masyarakat Quraisy akan merehab Ka‘bah setelah hangus terbakar
api. Pada saat penggalian pondasi dilakukan, salah seorang di antara
mereka menemukan sebuah batu tua yang bertuliskan kata-kata yang
tidak mereka pahami. Akhirnya, mereka menyerahkan batu tersebut
kepada orang yang punya banyak pengalaman ke berbagai manca
negara dan yang tahu berbagai macam bahasa. Di atas lempeng batu,
tertulis beberapa kalimat yang berbunyi: “Siapa menanam kebajikan
pasti ia akan menuai kebajikan. Siapa yang menanam keburukan, sudah
pasti akan menuai penyesalan. Mungkinkah kalian akan mendapatkan
imbalan kebajikan, padahal kalian semua melakukan keburukan? Maka
jawabannya pastilah ‘tidak’. Buah anggur takkan pernah dipetik dari
pohon berduri.”

Muhammad menyarankan kepada masyarakat Quraisy agar mau
mengambil pelajaran dari ungkapan yang tertera di atas batu tua
tersebut. Generasi-generasi sebelum mereka telah memberikan sebuah
pengalaman hidup. Semestinya mereka mengenang kembali dan men-
jadikannya sebuah peringatan, jika mereka orang-orang yang berpikir
waras.

MUHAMMAD SANG T E L A D A N 95


Click to View FlipBook Version