Kepada kedua orang tersebut, tak ada seorang pun pengikut Mu-
hammad yang berani melawannya, baik Abu Bakar, ‘Utsman, Sa‘ad,
maupun Abu Ubaidah. Tak satu pun dari ketiga orang tersebut yang
berani menghadapi kedua jagoan tersebut.
Jika Muhammad telah dipukuli tanpa ada seorang pun yang mem-
belanya, maka habislah wibawanya. Dengan cara itu, tidak ada lagi
kesulitan bagi para bangsawan Quraisy untuk memukuli para pengi-
kutnya.
Langkah awal yang dilakukan adalah menyuruh orang-orang bodoh
untuk melakukan penyerangan dengan lemparan-lemparan batu di
jalan, lalu mereka meneriakinya dengan teriakan: “Pembohong besar!
Orang gila! Tukang sihir!”
Dengan cara olok-olokan tersebut, otomatis wibawa Muhammad
akan hancur, sehingga di mata publik martabatnya menjadi turun
dengan sendirinya.
Pada suatu hari Muhammad lewat di beberapa ruas jalan di Makkah.
Tak seorang pun yang berpapasan dengannya, kecuali orang itu dan
meneriakinya dengan teriakan: “Pembohong besar! Orang gila! Tukang
sihir!”, termasuk juga para budak, para perempuan yang diperjuangkan
nasibnya oleh Muhammad, sebagian para buruh pasar, dan anak-anak
kecil, serta orang-orang yang tertindas sistem sosialnya yang menjadi
sasaran reformasi Muhammad.
Terasa berat beban Muhammad dalam menghadapi semua tantan-
gan yang menghadang di hadapannya. Tetapi beliau terus mencoba
untuk berpikir, berusaha untuk bersabar, dan menerima kenyataan.
Tepat di sebuah tempat yang di rindang, di atas sebongkah batu, dia
tidur terlentang berusaha menahan air matanya. Tak ada sesuatu pun
yang menyakiti hatinya, bila dibanding dengan celaan dan cercaan
orang-orang yang diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dan
penuh tenaga demi kebebasan mereka dari taring-taring sistem sosial
Makkah yang teramat buas.
g
146 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Dalam kesendiriannya di bawah pohon rindang itu, tiba-tiba datan-
glah Abu Jahal sambil bersungut-sungut mencaci-maki habis-habisan.
Sementara rakyat kecil yang tidak mengerti perjuangan Muhammad,
hanya mengarahkan pandangannya pada Abu Jahal dengan tatapan
yang tajam, kemudian arah pandangannya dialihkan ke arah kerumunan
orng-orang yang mengejeknya. Orang-orang yang mengejekinya itulah
sebenarnya yang telah membuat diri Muhammad dalam kedukaan dan
kesengsaraan.
Beliau diam dan tak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.
Seorang budak merasa kasihan kepada Muhammad, tapi tak kuasa
mengutarakannya. Ia masih belum beriman kepadanya, namun ajaran-
ajaran Muhammad terus mengiang-ngiang dalam pikirannya.
Seorang budak perempuan itu melihat Hamzah bin Abu Muththalib
datang dengan penuh kesombongan dari perjalanan berburu. Busur
panahnya tergenggam di tangannya. Orang-orang saling berbisik mem-
bicarakannya penuh keheranan. Mengapa dia bisa tenang-tenang saja,
padahal keponakannya dicaci-maki orang, dicaci-maki oleh kelompok
lain yang menjadi rival Bani Hasyim? Betulkah dia adalah pemuda
Quraisy yang paling disegani, gagah-perkasa, dan pantang menyerah
kepada lawan? Mengapa dia kini tak berbuat sesuatu pun atas caci-
maki yang menimpa Bani Hasyim?
Seorang perempuan datang mendekatinya sambil berkata: “Tak
taukah engkau apa yang sedang menimpa keponakanmu itu?”
Lalu diceritakan semua peristiwa yang menimpa keponakannya.
Dikatakan pula bahwa setelah Abu Jahal mencaci-maki Muhammad,
ia lalu pergi bergegas ke Ka‘bah dengan rasa puas untuk disampaikan
kepada teman-temannya.
Dengan hati panas selaksa terbakar api, Hamzah segera menyu-
sul. Tanpa bicara dan tegur sapa kepada siapa pun, Hamzah langsung
menemui Abu Jahal yang sedang duduk di tengah teman-temannya di
pelataran Ka‘bah.
“Apakah engkau telah mencaci-maki Muhammad, padahal aku telah
memeluk agamanya dan berkata apa yang dikatakannya? Coba lakukan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 147
penghinaan kepadaku jika engkau memang pejantan tangguh,” labrak
Hamzah.
Setelah itu, Hamzah melayangkan pukulan kepada Abu Jahal
dengan menggunakan anak panahnya hingga kepala Abu Jahal ter-
luka parah. Memang pada insiden itu ada beberapa orang yang ingin
membela Abu Jahal, tetapi Abu Jahal punya dugaan kuat, jika mereka
maju, sudah pasti Hamzah tidak akan membiarkan hidup, sebab dia
jelas akan membunuhnya. Sebaliknya, bagi Hamzah, untuk mengha-
dapi beberapa orang tersebut bukan masalah berat. Maka akhirnya,
Abu Jahal pun memutuskan untuk mengalah saja agar Hamzah tidak
melancarkan pukulannya yang mematikan lagi. Abu Jahal berusaha
menahan emosinya dan menutupi lukanya. Kepada orang-orang yang
akan membelanya, Abu Jahal berkata: “Tinggalkan saja dia! Aku me-
mang telah mencaci-maki keponakannya.”
Maka menjauhlah mereka.
Setelah Abu Jahal tak berkutik, Hamzah pergi menemui Muhammad
dan menyatakan bahwa ia mempercayainya dan akan membelanya.
Mendengar kata-kata pamannya, dengan rasa gembira bercampur haru,
Muhammad langsung merangkul pamannya diiringi cucuran air mata.
Itulah dia penunggang jagoan Quraisy!
Siapa lagi yang berani mengganggu Muhammad setelah ini?
Bergabungnya seratus orang ke dalam barisan Muhammad ti-
daklah akan dapat membuat pengikut Muhammad merasa disegani,
ditakuti, dan kuat, bila dibandingkan dengan bergabungnya jagoan
penunggang kuda Quraisy yang bernama Hamzah ini.
Masyarakat Quraisy banyak mengecam tindakan Abu Jahal yang
gegabah tanpa perhitungan yang matang, karena akibatnya sudah
dapat dipastikan akan menimbulkan bentrokan tajam dengan Hamzah.
Meskipun demikian tindakan gegabah yang dilakukannya, Abu Jahal
tetap akan mendapatkan pembelaan dari para penunggang kuda lain
yang masih banyak jumlahnya. Di sana masih ada sederet daftar nama-
nama pemberani terkemuka, yaitu ‘Umar bin Khaththab dan Khalid
bin Walid.
148 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Setelah Abu Jahal dibuat bertekuk lutut di hadapan Hamzah,
masyarakat Quraisy menggantungkan harapannya kepada ‘Umar bin
Khaththab. Hanya ‘Umar bin Khaththab seorang sajalah yang mampu
mewujudkan cita-cita masyarakat Quraisy sekarang setelah Hamzah
menyatakan sikap tegas pembelaannya terhadap keponakannya.
Tapi beranikah ‘Umar bin Khaththab menentang Muhammad?
Karena siapa yang berani coba-coba mengganggu Muhammad, kini
yang siap menghadapi dan menangkalnya adalah Hamzah bin ‘Abdul
Muththalib, si jagoan penunggang kuda Quriasy yang ternama!
R
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 149
150 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Luluhnya Hati
Singa Jantan Padang Pasir
D iseantero dunia tak ada sesuatu pun yang mampu
melunakkan hati ‘Umar bin Khaththab dari sikap
dan tindakannya yang mudah naik pitam dan garang. Sikapnya
tak dapat diluluhkan oleh para gadis penghibur sekalipun tatkala ia
mendatangi pintu-pintu penjual minuman khamr. Tidak pula oleh para
pelaku begadang yang suka bergerombol di sebagian pelataran rumah
dan para penabuh rebana di rumah-rumah hiburan. Semuanya tidak
mampu melunakkan kekerasan hatinya yang mudah terbakar emosi
dan suka bertindak garang dan menyeramkan.
‘Umar telah mendengar semua berita tentang konfrontasi antara
Hamzah dan Abu Jahal. Hati ‘Umar cukup takjub atas keberanian
Hamzah melakukan konfrontasi dengan Abu Jahal dan sekaligus mena-
klukkannya. Ada dugaan kuat di hati ‘Umar bahwa para bangsawan
Quraisy yang di hari-hari biasanya sudah merasa takut terhadap
Hamzah, maka sejak hari itu rasa takut mereka terhadap Hamzah
tentu akan bertambah-tambah. Jelas hal ini akan membuat pen gikut
Muhammad merasa besar, kuat, dan merasa mend apat sokongan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 151
dengan bergabungnya Hamzah di kubu mereka.
Kondisi itu jelas membakar emosi ‘Umar. Ia bersumpah akan
mendatangi rumah Hamzah. Maka, diambillah sebilah pedang yang
sangat tajam dan beberapa senjata lainnya, lantas bergegas ia pergi
menuju Darul Arqam di bukit Shafa. Maksud hati tidak lain hanyalah
ingin mengobrak-abrik rumah yang menjadi sentral aktivitas pengikut
Muhammad dan akan menyembelihnya, yang sudah tentu akan mem-
buat Makkah senang dan tenang.
Kini telah tiba saatnya, seorang teman beradu kekuatan dengan
temannya sendiri. ‘Umar bin Khaththab akan terlibat konfrontasi fisik
langsung dengan sahabat karibnya yang sama-sama menyandang gelar
singa padang pasir, yaitu yang bernama Hamzah bin ‘Abdul Muththalib.
Wahai Abul Qasim, mengapa engkau lakukan semua ini, padahal
engkau mencintai kami dan sangat mempedulikan kesulitan-kesulitan
kami?
Wahai anak ‘Abdullah, mengapa engkau datang kepada kami den-
gan ajaran-ajaranmu yang menyebabkan seorang teman menghunus
pedangnya pada muka temannya sendiri? Engkau telah mencerai-
beraikan kesatuan kelompok, menggoblok-goblokkan berbagai obsesi,
menimbulkan permusuhan di antara dua orang bersaudara, dan meru-
sak hubungan kami dengan para budak dan kekasih-kekasih kami!
Wahai Hamzah, siapa gerangan yang telah menghasutmu hingga
engkau bentrok dengan sahabatmu sendiri, Abu Jahal? Bukankah kita
bertiga dengan Khalid bin Walid telah berhasil mengangkat pamor
Quraisy di antara suku-suku Arab lainnya? Bukankah jerih-payah kita
berempat hingga Makkah menjadi bumi yang paling agung? Suku-
suku bangsa Arab merasa iri terhadap suku Quraisy karena memiliki
jagoan-jagoan penunggang kuda yang terkemuka. Satu orang di antara
mereka mampu mengimbangi kekuatan seluruh pasukan suku-suku
Arab. Lantas mengapa senantiasa menentang berbagai ancaman dari
suku-suku Arab yang lain, yang justru akhirnya akan menghujamkan
senjata-senjata kita pada leher teman-teman kita sendiri? Kita telah
menjadikan negeri ini sebagai negeri yang aman. Kita isi negeri ini
152 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
dengan impian-impian dan kebanggaan kita. Di negeri ini kita bangun
sebuah mercusuar peradaban untuk seluruh bangsa Arab. Semua kita
lakukan dengan tangan-tangan kita sendiri. Wahai Hamzah, apakah
gerangan hasutan yang telah membuat dirimu tidak harmonis lagi
dengan teman-temanmu? Sejak kapankah engkau disibukkan dengan
persoalan ajaran-ajaran Abul Qasim?
Apakah sebenarnya yang engkau kehendaki di kemudian hari,
wahai Abul Qasim? Engkau telah membuat pusing kepala orang-orang
miskin, buruh-buruh kasar, budak-budak, dan para perempuan. Engkau
menetapkan hak-hak mereka yang harus dipenuhi oleh para majikan
mereka.
Engkaulah yang telah melancarkan fitnah terhadap para pedagang
ketika engkau mengatakan bahwa ajaran-ajaranmu tidak akan meng-
hapuskan aktivitas haji dan thawaf di Ka‘bah. Engkau mengajak umat
manusia untuk melakukan haji dengan satu maksud, yaitu hanyalah
menyembah Tuhanmu, bukan untuk patung-patung dan berhala. Selebi-
hnya, agar umat manusia dapat merasakan secara nyata manfaat dari
penyelenggaraan haji tersebut. Untuk maksud itu, maka didirikanlah
pasar-pasar dan stand-stand, tetapi semua itu tetap dalam garis-garis
yang telah ditentukan.
Sebenarnya pada suatu hari pernah aku dengar seseorang mem-
bacakan ajaran-ajaranmu, lalu ingin aku ambil sebagian bacaannya.
Tapi aku berusaha mencegah diriku, lalu aku pergi ke warung-warung
khamr. Tukang sihirkah engkau? Sejak kapan engkau mempelajari ilmu
sihir?
Peringatan-peringatan yang telah engkau sampaikan menjadikan
para pengikutmu dari kalangan saudagar-saudagar kaya secara sukarela
mengorbankan seluruh hartanya untuk kepentingan dakwahmu dalam
derap langkah yang sungguh luar biasa, seolah-olah mereka berlomba-
lomba. Abu Bakar memerdekakan budak laki-laki dan perempuan yang
seluruhnya berjumlah enam orang. ‘Abdurrahman bin ‘Auf memerdeka-
kan tiga puluh orang budak dan masih banyak yang lainnya.
Engkaulah yang mengajak teman-temanmu yang dikhawatirkan
akan terkena kemarahan masyarakat Quraisy untuk berimigrasi ke
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 153
bumi Ethopia; sebuah negeri yang engkau katakan di bawah kekuasaan
seorang raja yang adil dan tidak melakukan penindasan terhadap raky-
atnya. Maka berimigrasilah kalangan rakyat jelata, kemudian mereka
diikuti ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Utsman bin ‘Affan bersama istrinya,
dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Tak seorang pun di antara mereka yang
mempedulikan masalah usaha dagang pun yang luas setelah mereka
berimigrasi.
Wahai Abul Qasim, dengan sihir apakah engkau mempengaruhi
hati mereka? Pada suatu hari salah seorang di antara kami mendapat-
kan Makkah dalam keadaan kosong; siang malam berlalu begitu saja
tanpa seorang teman. Sejak mengikuti ajaranmu, Abu Bakar tidak mau
lagi berdagang dan juga tak ada lagi kebiasaan menceritakan kabar
orang-orang yang merantau, hingga pada akhirnya Hamzah mengikuti
ajaranmu juga. Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah.
Oh, betapa remehnya masyarakat Quraisy di mata musuh mereka,
setelah Hamzah memisahkan diri dari mereka!
Wahai Abul Qasim, tidak adakah rasa belas kasihan dalam hatimu
kepada orang-orang yang berimigrasi (hijrah) dari Makkah ke negeri
Ethiopia? Mereka tinggalkan tanah tumpah darah yang sangat mereka
cintai dan sanak famili yang mereka kasihi. Di antara para pengungsi
itu sebenarnya ada sepotong hati buah cintamu, yaitu Ruqayyah, istri
‘Utsman bin ‘Affan.
Wahai Abul Qasim, hati kami takkan pernah sembuh dari luka;
semua provokasi telah mengguncangkan Makkah sejak kehadiranmu
dengan ajaran-ajaranmu, hingga aku dapat menyingkirkan dirimu dari
Makkah. Akan kubunuh engkau, biar Makkah tenang dan senang.
Ketika ‘Umar hampir sampai di rumahnya, seorang perempuan
datang mencegatnya di tengah jalan. Perempuan itu menumpuk
barang-barangnya di depan rumahnya sambil menunggu putranya
untuk mengungsi ke Ethiopia dengan rombongan pengungsi baru yang
menurut rencana akan meninggalkan Makkah pada tengah malam
buta. Ia adalah seorang perempuan baik-baik yang telah cukup lanjut
usia. ‘Umar menaruh belas kasihan dan rasa sayang kepadanya. Akan
154 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
tetapi, sejak mengikuti ajaran-ajaran Muhammad, ia selalu diganggu
oleh ‘Umar. Karena perempuan itu takut diamuk oleh ‘Umar, maka ia
bersembunyi di balik tumpukan barang-barangnya seraya menahan
hembusan nafas dan debaran hati agar tidak diketahui oleh ‘Umar.
“Jadi engkau benar-benar akan berangkat, wahai Ummi ‘Abdul-
lah?,” tegur ‘Umar. Teguran yang baru saja keluar dari mulut ‘Umar,
kedengarannya tidak menampakkan amarah, sebagaimana ia pernah
bertemu sebelumnya.
“Ya, demi Allah, engkau telah menyakitiku dan menindasku. Aku
akan benar-benar pergi ke bumi Allah, hingga Allah memberi jalan
keluar kepadaku,” sahut perempuan tua itu.
‘Umar terdiam sesaat dan tak berbicara. Ini dia tetangganya akan
pergi juga dari Makkah. Sudah lama ia menaruh hati kepadanya, yaitu
hati belas kasihan. Keberingasannya telah menumbuhkan rasa iba
dan belas kasihan kepadanya. Sesaat lagi segalanya akan sirna secara
tiba-tiba. ‘Umar menatap raut wajah perempuan setengah tua itu di
belakang barang-barangnya, yang akan pergi meninggalkan segalanya
untuk hidup di manca negara, jauh dari segenap kehidupannya di
Makkah. Nada-nada keibaan terdengar jelas dari suara ‘Umar. Den-
gan ucapan lirih dan lembut terucap kata-kata ‘Umar: “Semoga Allah
senantiasa menyertaimu.” Tentu saja, melihat sikap ‘Umar yang sangat
lembut, perempuan itu sangat heran, maka diceritakanlah semua itu
kepada putranya. Pertemuan itu adalah pertemuan keduanya untuk
pandangan terakhir kalinya di Makkah.
“Tak melihatkah engkau pada kelemah-lembutan dan kedukaan
‘Umar terhadap kita?,” ucap perempuan itu kepada putranya.
Di tengah-tengah perjalanan panjang yang tak tentu arah dan tu-
juan itu, putranya berkata: “Apakah Ibu berharap dia akan memeluk
ajaran agama Islam? Dia yang pernah Ibu lihat tak akan pernah masuk
Islam, hingga keledai Khaththab masuk Islam?”
g
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 155
‘Umar bin Khaththab baru saja berangkat dari rumahnya menuju
ke Darul Arqam di bukit Shafa sambil menghunus sebilah pedang, yang
tiada lain tujuannya hanya untuk membunuh Muhammad. Baginya, di
mana saja dia menemui Muhammad, maka di sanalah dia akan mem
bunuhnya. Ya, membunuh Muhammad di depan mata kepala para
pengikutnya. Mengenai Hamzah, bagi ‘Umar bisa saja akan bertarung
setelah itu. Baginya, membunuh Hamzah atau Hamzah yang akan
membunuh dirinya merupakan persoalan yang tak perlu terlalu dip-
ikirkan dan dirisaukan, sebab yang penting adalah menghabisi nyawa
Abul Qasim, Muhammad bin ‘Abdullah!
Dalam perjalanannya, pikirannya selalu terusik oleh perbuatan-
perbuatan yang dilakukan Muhammad. Hatinya teriris-iris dalam ke-
pedihan yang tak jelas. Di matanya terbayang putra perempuan tua
yang mengungsi berbaur dengan potret orang-orang yang meninggalkan
Makkah. Kerongkongannya tersumbat oleh rasa duka yang seolah-olah
mengganjal tenggorokannya secara tiba-tiba.
Di tengah jalan, salah seorang temannya bertemu dengannya, lalu
menanyakan hendak ke mana ia akan pergi dengan menghunus sebilah
pedang yang tajam.
“Aku akan menemui Muhammad, sebab dia yang menukar agama
nenek moyang; dia yang memecah-belah integritas masyarakat Quraisy;
dia yang mempunyai obsesi-obsesi tolol; dan dia juga yang mencaci
tuhan-tuhan masyarakat Quraisy. Karenanya, sekarang aku akan mene-
bas batang lehernya,” jawab ‘Umar tegas.
“Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai ‘Umar.
Apakah tindakanmu membunuh Muhammad akan dibiarkan saja oleh
Bani ‘Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang saja? Urusi ke-
luargamu sendiri!” Orang itu menghela ‘Umar.
“Keluargaku yang mana?,” tanya ‘Umar dengan nada heran.
“Saudara sepupumu sendiri, Sa‘id bin Zaid bin ‘Amr dan saudara
perempuanmu, Fathimah binti Khaththab, telah mengikuti ajaran
Muhammad. Urusi saja mereka,” jawab temannya lugas.
156 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
g
Mendengar berita dari orang tadi, spontan ‘Umar bergegas pergi
menuju ke rumah saudaranya. Ia akan bertindak kepada Sa‘id bin Zaid
sebagaimana bapaknya, Khaththab, bertindak kepada Zaid bin ‘Amr,
ayah Sa‘id.
Setelah sampai ke rumah saudara perempuannya, ‘Umar kemudian
mengetuk pintu. Namun setibanya di depan pintu, ‘Umar menghentikan
ketukannya lantaran mendengar bacaan yang tak pernah didengarnya
dari seorang laki-laki dan juga bacaan itu terasa asing baginya. Ia hanya
berdiri di depan pintu. Laki-laki yang asing suaranya di telinga ‘Umar
itu membacakan bacaan-bacaan. Selanjutnya, ‘Umar mendengar di
luar pintu, sementara Fathimah dan Sa‘id mengikuti bacaan tersebut
secara berulang-ulang:
“(1) Thoohaa.. (2) Tidaklah Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu untuk me-
nyusahkanmu, (3) tetapi sebagai peringatan kepada orang yang takut (kepada
Allah)....” (QS. Thaahaa [20]: 1-16)
‘Umar menunggu hingga mereka selesai membaca, kemudian ia
mengetuk pintu kembali. Setelah Fathimah bisa memastikan bahwa
dari ketukan pintu itu yang datang adalah ‘Umar, maka laki-laki asing
tersebut segera bersembunyi di salah satu sudut rumah, sementara
Fathimah segera mengambil lembaran-lembaran yang tadi dibaca
laki-laki asing itu, lalu diselipkan di bawah pahanya, kemudian Sa‘id
membuka pintu.
“Suara apa yang baru saja kudengar itu?,” tanya ‘Umar dengan
nada emosi setelah ia masuk rumah.
“Ah, aku justru tak mendengar suara apa-apa sama sekali,” kilah
mereka berdua.
Seketika itu pula ‘Umar berteriak: “Baik, tapi aku telah mendengar
bahwa kalian berdua telah mengikuti ajaran Muhammad.”
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 157
Dengan gagang pedangnya, ‘Umar melayangkan pukulan kepada
Sa‘id hingga ia terluka, maka mengalirlah darahnya. Fathimah ber-
kata sambil berusaha melerai aksi anarkhis saudaran ya kepada sang
suami tercinta. Namun meski begitu, ‘Umar tetap saja menghajarnya
hingga kepalanya cedera. Darah menetes pada kedua belah tangan
saudara perempuannya.
g
Inilah tetesan darah saudara perempuanmu yang mengalir atas
kedua belah tanganmu juga, wahai ‘Umar! Darah yang paling engkau
sayangi, seorang perempuan yang masih dalam ikatan saudara dan
engkau laksana seorang ayah yang menyayanginya.
Saudara perempuannya yang belum pernah mengangkat muka di
hadapannya sebelum itu, tiba-tiba ia berubah geram sambil berteriak
lantang menentang: “Baiklah, lakukanlah apa yang engkau kehendaki.”
Dia sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi
pada dirinya dari tindakan saudaranya, bahkan harus mati sekalipun.
Dengan kedua belah tangan yang terentang, Fathimah telah siap meng-
hadapi tikaman pedang ‘Umar, kakaknya yang gagah dan perkasa.
Namun kekuatan ‘Umar tiba-tiba berubah lumpuh total lantaran ia
tak kuasa melawan rasa sayang kepada adik perempuannya. Ia tatap
dalam-dalam tetesan darah yang mengalir akibat cidera di kepala
adik dan saudara sepupunya yang tergeletak di lantai. Selanjutnya,
‘Umar meminta saudara perempuannya agar memperlihatkan lemba-
ran-lembaran yang mereka baca untuk melihat ajaran yang dibawa
Muhammad, tapi saudara perempuannya menolak untuk memenuhi
permintaannya. ‘Umar najis.
Kekuatan apakah gerangan yang mendorong perempuan lemah
berani berbicara? Dengan semangat apakah dia secara lantang berani
menentang?
‘Umar bangkit, lalu bergegas mandi. Setelah itu, Fathimah men-
gambilkan lembaran-lembaran itu dengan erat-erat agar tidak sobek.
158 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
‘Umar mulai membaca lembaran-lembaran itu. Ia membaca sebagian
besar lembaran-lembara itu, kemudian ia kembalikan lagi kepada
saudara perempuannya sambil berkata: “Alangkah bagus dan agungnya
kata-kata ini.”
Mendengar ucapan ‘Umar, laki-laki asing yang bersembunyi segera
muncul dari tempat persembunyiannya sambil berkata: “Wahai ‘Umar,
aku sungguh berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu
sebab do‘a Nabinya. Kemarin aku mendengar beliau berdo‘a:
“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua ‘Umar: Abu Jahal
‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khaththab.”
Dengan tergesa-gesa, ‘Umar pun pergi ke Darul Arqam di bukit Shafa.
Dia langsung mengetuk pintu dengan kekuatan yang keras. Sebelum
membukakan pintu, laki-laki tersebut mengatakan: “Pengetuk pintu
itu adalah ‘Umar. Dia datang dengan sebilah pedang terhunus.”
“Biarkan saja dia masuk. Jika ia datang dengan maksud baik, kita
sambut dengan baik. Tapi jika dia datang dengan maksud jahat, kita
bunuh saja dia dengan pedangnya,” demikian pendapat yang dikemu-
kakan Hamzah bin ‘Abdul Muththalib kepada keponakannya, Muham-
mad.
Hamzah meraba gagang pedangnya. Dia telah siap membunuh
‘Umar, salah seorang temannya sendiri.
Tapi Muhammad bertekad akan menghadapinya sendiri dan akan
membuat bertekuk-lutut di hadapannya. Dengan demikian, tak ada lagi
orang yang dapat mengungguli kekuatan dirinya. Jika Hamzah telah
membuat Abu Jahal bertekuk lutut di hadapannya, maka kini giliran
Muhammad yang akan membuat ‘Umar tidak berkutik di hadapannya.
‘Umar tetap berdiri dan tidak masuk hingga akhirnya Muhammad
bangkit untuk menemuinya. Selanjutnya, Muhammad mencengkeram
lehernya dengan cengkeraman yang kuat sambil berkata: “Wahai
‘Umar, dengan maksud apakah engkau datang? Demi Allah, aku takkan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 159
melihat engkau berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap kita
hingga Allah menurunkan bencana untukmu.”
Dengan suara lirih yang penuh ketakutan, ‘Umar menjawabnya:
“Wahai Rasulullah,....”
Semua yang ada di Darul Arqam tercengang tatkala ‘Umar melan-
jutkan kata-katanya: “Aku datang kepadamu untuk beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Maka terucaplah dari mulut Muhammad sebuah kalimat kegembi-
raan dan mengagumkan kebesaran-Nya: “Alloohu akbar.” Selanjutnya,
Hamzah mengikuti pula dengan kata takbir. Dalam kegembiraan yang
tiada tara, Muhammad mengusap dada ‘Umar dan mendo‘akannya
semoga ia akan tetap dalam keimanan.
Pada waktu itu Darul Arqam bergema dengan ungkapan-ungkapan
kegembiraan yang menggetarkan persendian-persendian semua orang.
Hamzah dan ‘Umar, jagoan penunggang kuda Quraisy terkemuka
bergabung di tengah-tengah mereka dalam satu hari. Mereka akan
menuntut terwujudnya keadilan bersama-sama dan mempertahankan
diri bersama-sama.
Sebentar kemudian, ‘Umar meninggalkan mereka pulang. Dalam
perjalanan pulangnya, ‘Umar menyempatkan diri mampir ke rumah
Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam. Setelah ia mengetuk pintu, Abu Jahal me-
nyambutnya dengan ucapan: “Selamat datang, wahai keponakanku!
Kabar apakah gerangan yang engkau bawa?”
“Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku telah
mempercayai ajaran-ajaran Muhammad.”
Dengan suara lantang sambil menggebrak pintu, Abu Jahal berkata:
“Mudah-mudahan Allah mengutukmu. Betapa buruknya kabar yang
engkau bawa.”
Sepanjang jalan menuju rumahnya, ‘Umar tiada henti-hentinya
menyampaikan kabar keimanan dirinya kepada ajaran-ajaran Muham-
mad kepada setiap orang yang menemuinya.
160 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Keesokan harinya Muhammad berjalan di lorong-lorong Makkah
dengan diapit oleh Hamzah di sebelah kanannya dan ‘Umar di sebelah
kirinya. Setiap orang melihatnya, mereka semua melihat dengan penuh
keheranan.
Selanjutnya, ‘Umar pergi seorang diri menuju Ka‘bah, diumum-
kanlah kepada semua orang bahwa dirinya telah beriman kepada
Muhammad. Namun mereka tak mau terima dengan keputusan ‘Umar
itu. Antara mereka dan ‘Umar akhirnya terus dalam konflik panjang.
Mereka berusaha membunuh ‘Umar, dan ‘Umar berusaha membunuh
mereka. Terus demikian tiada henti bertikai, hingga matahari teng-
gelam di ufuk barat.
g
Kini Hamzah dan ‘Umar telah memeluk ajaran Muhammad dengan
segala kekuatan dan semangat yang dimilikinya. Sebagian orang yang
ingin menjelek-jelekkan Hamzah dan ‘Umar menyatakan bahwa mereka
berdua telah hilang kejantanan dan keberaniannya. Mereka berdua
telah mengikuti ajaran-ajaran yang mengharuskan manusia untuk ber-
serah diri kepada kekuatan yang misterius dan menjauhi kesenangan
hidup dengan menganut pola kehidupan orang-orang miskin.
Hamzah dan ‘Umar tiada henti-hentinya membaca dan bertanya,
hingga hatinya mempunyai keyakinan yang mantap bahwa ajaran-
ajaran baru itu menuntut manusia agar tidak menggantungkan jalan
kehidupan pada tuhan-tuhan Ka‘bah, tetapi menghadapkan jiwanya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap orang harus melakukan ikhtiar
dalam hidupnya dan harus bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang diketahuinya. Tiap orang bebas memilih jalan kehidupan yang
diniatinya. Dia berhak atas segala perbuatan yang dikerjakannya.
Dengan demikian, bukan menggantungkan jalan kehidupan, tetapi
menghadapkan diri kepada Tuhan.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Islam menuntut seseorang un-
tuk mengayunkan pedangnya, sebab yang benar dalam Islam adalah
mendorong untuk membangun segenap spirit dalam rangka terciptanya
tatanan keadilan dan melindungi kehormatan dan hak asasi manusia
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 161
dalam kehidupan. Seseorang dituntut membebaskan orang-orang yang
tertindas, membantu orang-orang yang membutuhk an, memperlakukan
baik famili dekat, dan menikmati barang-barang yang halal, termasuk
pula berhias dan makan dengan makanan yang halal pula. Demikan
juga beristri dengan tidak melampaui batas-batas aturan yang telah
ditentukan.
Islam tidaklah melarang perdagangan yang menjadi sokoguru per-
ekonomian dan berkembangnya peradaban Makkah. Islam memperbole-
hkan jual beli yang didasarkan atas prinsip saling menguntungkan. Tapi
Islam melarang riba (rentenir) yang memanfaatkan kebutuhan orang
lain untuk mengeruk keuntungan tanpa harus bekerja susah-payah,
bahkan merampas harta orang lain dengan cara-cara yang tidak benar.
Dalam memperoleh keuntungan, Islam meletakkan prinsip pada
nilai-nilai cinta kasih, persaudaraan, tolong-menolong, dan kebersa-
maan, karena hidup ini bukanlah semata-mata didasarkan pada harta
kekayaan yang melimpah-ruah semata. Cinta kasih adalah kekayaan
yang jauh lebih mahal nilai dan harganya daripada tumpukan emas
dan perak.
Islam menganjurkan untuk bertindak secara adil dan berbuat baik.
Seorang muslim dikategorikan bermartabat tinggi karena amalnya,
bukan karena harta kekayaan yang tak seorang pun tahu dari mana
memperolehnya.
Nilai seorang laki-laki ataupun seorang perempuan didasarkan
pada amal shalihnya, bukan pada dasar depositonya di bank-bank
Makkah, bukan pula gundik-gundiknya dan koneksinya dengan para
pejabat pemerintah. Kekuasaan bukanlah anugerah yang turun dengan
sendirinya; sebab para thaghut menyukai yang demikian. Para pejabat
pemerintah tak lain adalah orang yang dipilih oleh mayoritas rakyat.
Islam menganjurkan umat manusia agar meninggalkan konflik di
antara mereka, sehingga mereka bersatu bagai saudara dan tidak
berpecah-belah.
Sekelompok orang dari masyarakat Quraisy merasa kebingungan,
karena sejak waktu yang silam Abu Bakar telah keluar dari kelompok
162 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
mereka dan bergabung dengan Hamzah dalam barisan pengikut ajaran
Muhammad. Tak seorang pun yang masuk Islam, kecuali akan menyisi-
hkan sebagian hartanya untuk membeli budak laki-laki dan perempuan
yang memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, mereka dimerdekakan agar
menjadi orang-orang yang lebih tinggi derajatnya dari para bangsawan
dan dari seluruh masyarakat Quraisy yang tidak mengikuti ajaran
Muhammad. Kedudukan mereka tidak dibatasi oleh apa pun, selain
perbuatan mereka belaka.
Sejumlah delapan orang telah mengungsi ke Ethiopia. Sekarang
para pengungsi telah mencapai sekitar delapan puluh orang laki-laki
dan perempuan. Mereka memperoleh perlakuan yang baik dari raja
Habsy.
Memang, masyarakat Quraisy telah mengirim delegasi khusus ke
raja Habsy untuk memberi peringatan atas keputusannya itu, karena
antara raja Habsy dan masyarakat Quraisy ada kepentingan bersama.
Namun peringatan tersebut tidak diindahkan sama sekali. Akhirnya,
delegasi khusus itu kembali dengan tangan hampa dan membawa
kegagalan yang memalukan dan membuat orang-orang Islam mencela
mereka.
Di antara yang ikut dalam rombongan delegasi khusus tersebut
terdapat ‘Amr bin ‘Ash dan Ibnul Walid, seorang pemuda Quraisy yang
tampan dan pemberani, yang hampir akan dijadikan tumbal kepada
Abu Thalib sebagai ganti keponakannya. Adapun ‘Amr bin ‘Ash ikut
dalam romb ongan delegasi itu disertai oleh istrinya yang baru saja
dikawini. Dia seorang perempuan cantik yang memikat hati. ‘Amr bin
‘Ash sangat mencintainya dan tak dapat berjauhan dengannya.
Ketika dalam perjalanan menuju Ethiopia, istrinya melihat Ibnul
Walid, lalu mengajaknya berbincang-bincang. Namun rupanya, dia
terpikat oleh ketampanan Ibnul Walid hingga akhirnya ia jatuh hati.
Pada suatu malam dia meninggalkan ‘Amr bin ‘Ash secara diam-
diam dan pergi ke tempat tidur Ibnul Walid. Perempun cantik itu tak
mau kembali lagi kepada ‘Amr, kecuali dengan syarat dia diperbolehkan
menjalin hubungan dengan Ibnul Walid.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 163
Kabar yang memalukan ini telah sampai terlebih dahulu kepada
raja Najasy dan para imigran muslim. Maka usaha-usaha yang dilakukan
‘Amr bin ‘Ash tak membawa hasil yang baik, sementara orang-orang
Islam Quraisy mencela ‘Amr bin ‘Ash dan memberi tahu kepadanya
bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang menjaga diri dan istrinya
dari kekejian seperti itu.
Kini umat Islam kian berani menampakkan diri di pasar-pasar,
membaca ajaran-ajaran Muhammad dengan memproklamasikan secara
terang-terangan, dan mengadu argumentasi dengan musuh-musuh
mereka dengan jumlah kekuatan yang terus bertambah lantaran dua
singa jantan padang pasir, yaitu Hamzah dan ‘Umar bin Khaththab,
telah ikut bergabung dan memeluk ajaran baru itu.
Masyarakat Quraisy sepakat untuk melakukan perundingan dengan
Muhammad. Mereka bermaksud akan menarik Muhammad ke dalam
kelompok mereka atau mendudukkan Muhammad dalam jajaran
pemerintah Makkah. Langkah strategis tersebut dimaksudkan agar
Muhammad menghentikan aktivitas dakwahnya, sehingga prediksinya
bahwa mereka dapat selamat dari kehancuran total. Tak ada langkah
strategis lagi selain berunding (negosiasi). Untuk itu, masyarakat
Quraisy mengirimkan utusan khusus kepada Muhammad.
Muhammad menyambut tawaran mereka dengan rasa gembira.
Kegembiraan tersebut muncul, karena di dalam benak Muhammad
tersimpan sebuah harapan agar kiranya ajaran yang telah dipeluk oleh
Hamzah dan ‘Umar akan dipeluk pula oleh mereka.
Pada momentum negosiasi, pemuka-pemuka Quraisy telah berkum-
pul. Di antara mereka terdapat Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin
Harb, Abu Lahab, Utbah bin Rabi‘ah, Walid bin Mughirah, dan Umayyah
bin Khalaf.
“Telah sampai suatu kabar kepada kami bahwasanya orang yang
telah mengajarmu adalah seorang laki-laki dari daerah Yamamah
bernama Musailimah yang terkenal dengan sebutan Ar-Rahman. Kita
masyarakat Quraisy takkan pernah percaya selamanya kepada laki-laki
yang berasal dari daerah Yamamah itu,” begitulah salah seorang di
164 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
antara mereka membuka pembicaraan kepada Muhammad.
Raut muka Muhammad tampak layu karena dadanya terasa sesak.
Hanya untuk inikah mereka mengundang Muhammad, lalu ia memenuhi
undangan mereka?
Tetapi salah seorang cerdik-cendekia di antara mereka menangkap
kesesakan yang dirasakan Muhammad. Oleh karenanya, langkah se-
lanjutnya sebagai suatu cara agar perundingan tidak berakhir dengan
kegagalan, ia segera melontarkan kata-katanya dengan lemah-lembut:
“Wahai Abul Qasim, keteguhan dan kegigihanmu sungguh sangat men-
gagumkan kami. Belum pernah kami temukan seorang laki-laki yang
berani membawa ajaran ke tengah-tengah masyarakat Arab sebagaima-
na ajaran yang kamu bawa ke tengah-tengah masyarakatmu. Engkau
caci-maki nenek moyang. Engkau robek-robek integritas masyarakat.
Kiranya semua kenyataan yang tidak kita inginkan ini tidak akan terus
berlangsung, jika engkau melakukan negosiasi dengan kami. Andaikata
dengan perundingan ini engkau menginginkan harta kekayaan, maka
kami akan mengumpulkan harta kami untukmu, hingga engkau menjadi
orang terkaya di antara kami. Bahkan andaikata yang engkau inginkan
adalah kekuasaan, maka kami rela menjadikanmu sebagai penguasa
di antara kami.”
Dengan negosisasi itu, Muhammad diam sesaat. Hanya untuk inikah
penguasa Quraisy mengadakan pertemuan? Engkau telah memenuhi
keinginan mereka untuk mengadakan perundingan dengan rasa gem-
bira. Di dalam hatimu terselip berbagai harapan dan impian. Wahai
Muhammad bin ‘Abdullah, berapa banyak yang engkau impikan?
Beberapa detik kemudian, ternyata Muhammad menolak tawaran
mereka seraya berkata: “Apa yang kalian katak an sama sekali tidak per-
nah terlintas dalam lubuk hatiku. Aku datang untuk memenuhi ajakan
kalian untuk mengadakan perundingan. Tak ada maksud sama sekali
untuk mencari harta kekayaan, tidak pula kemuliaan dan kekuasaan.
Tapi Allah telah mengutus diriku sebagai utusan bagi kalian semua.
Jika kalian mau menerima ajaran-ajaran yang kubawa, maka hal itu
merupakan keberuntungan kalian di dunia dan akhirat. Namun jika
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 165
kalian semua menolak, maka aku akan bersabar hingga Allah akan
memutuskan persoalan yang terjadi di antara aku dan kalian.”
Abul Qasim tiada henti-hentinya berbicara tentang Tuhannya, ten-
tang akhirat, tentang ketetapan dan keputusan Allah, dan sebagainya.
Setelah itu, apalagi yang akan engkau bicarakan, wahai Abul Qasim?
Salah seorang dari mereka mengajukan permintaan kepada Muham-
mad untuk membuat konsensus agar ia tidak lagi melecehkan tuhan-
tuhan mereka. Jika konsensus itu disepakati, maka mereka tidak akan
melecehkan lagi Tuhannya.
Wahai orang-orang Quraisy, sampai kapankah tuhan-tuhan kalian
tidak akan dicaci-maki dan kalian menghentikan caci-maki pula?
Salah seorang dari mereka memberanikan diri berbicara: “Marilah
antara kami dan engkau mengadakan kerja sama dalam persoalan ini.
Jika yang kami sembah lebih baik daripada yang kamu sembah, maka
kami akan memperoleh keuntungan darinya. Sebaliknya, jika yang
engkau sembah lebih baik daripada yang kami sembah, maka engkau
akan memperoleh keuntungan darinya.”
“Maka engkau harus menyembah tuhan-tuhan kami dan men-
jalankan perintah-perintahnya,” lanjut mereka.
“Tidak. Aku takkan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun
bukanlah orang-orang yang menyembah apa yang kusembah. Agama
kalian adalah agama kalian dan agamaku adalah agamaku sendiri.”
Dengan demikian, tak ada jalan untuk mengadakan perubahan!
Para pemuka Quraisy dituntut untuk mempelajari problema yang
dihadapi sebelum menjadi besar. Suku-suku di luar kota Makkah sudah
mulai mendengar tentang Islam. Jika hal itu dibiarkan, maka akan
berakibat gugurnya patung-patung Ka‘bah dengan segala keuntungan
dan hasil perolehnya.
Jumlah orang-orang Islam terus kian bertambah. Budak-budak
telah mulai berani angkat bicara dan angkat muka di hadapan majikan-
majikan mereka dalam perlindungan para pengikut Muhammad yang
166 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
kaya-raya.
Belum lagi salah seorang majikan melakukan penyiksaan kepada
para budak itu, salah seorang pengikut Muhammad akan datang dengan
tanpa berat hati akan membeli dan memerdekakan mereka.
Budak-budak yang telah dimerdekakan berjumlah mencapai ratu-
san. Bukan suatu hal yang mustahil lagi pada akhirnya jumlah itu akan
membengkak menjadi ribuan budak, kemudian mereka dipersenjatai.
Oleh karenanya, jika itu terus terjadi, maka akan muncullah sebuah
revolusi bersenjata!
Sejak Hamzah dan ‘Umar masuk Islam, maka tak ada lagi jagoan
penunggang kuda yang ditakuti dan diperhitungkan lagi, selain Khalid
bin Walid, Abu Jahal, dan ‘Amr bin Hisyam.
Dengan melihat kenyataan tersebut, maka dituntutlah langkah-
langkah strategis lain yang kondusif dan mampu mendiskreditkan posisi
Muhammad dan para pengikutnya.
Abu Thalib yang sedari dulu sama sekali tak menguntungkan mer-
eka, dia tetap pada pendirian dan sikap melindungi dan membela
keponakannya. Semenjak Hamzah dan ‘Umar bergabung dalam barisan
orang-orang Islam, mereka berjalan tanpa dihantui rasa takut lagi. Kini
mereka secara terang-terangan telah berani membaca ajaran-ajaran
yang dibawa Muhammad.
Bani Hasyimlah yang paling bertanggung jawab dalam masalah
ini, karena andaikata mereka merintangi Muhammad, sudah tentu dia
tidak akan melanjutkan aktivitasnya. Oleh karena itu, para pemuka
Makkah perlu membuat konsensus dan memutuskan hubungan dengan
Bani Hasyim. Seluruh sektor usaha perdagangan mereka dijegal, agar
meraka mati kelaparan, hingga mereka mau melepaskan Muhammad
bin ‘Abdullah!
Maka berkumpullah para pemuka Quraisy dan membuat kesepaka-
tan, termasuk dari mereka adalah Abu Lahab. Selanjutnya, mereka
menulis suatu pengumuman yang isinya berupa larangan menjalin
pernikahan dan jual beli dengan Bani Hasyim. Tidak dibenarkan me-
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 167
nikah dan dinikahi atau menjual dan membeli dengan salah seorang
keturunan Bani Hasyim. Pengumuman yang tertera di selembar kertas
itu mereka gantungkan pada dinding Ka‘bah.
Lembar pengumuman ini telah menumbuhkan solidaritas dan
komitmen seluruh Bani Hasyim, bahkan orang-orang yang sudah beri-
man kepada ajaran Muhammad sekalipun. Mereka semua tergabung
di bawah pimpinan Abu Thalib dan Hamzah, dua orang pembela Mu-
hammad. Keputusan pemerintah Quraisy melakukan embargo kepada
Bani Hasyim adalah sebagai upaya untuk melemahkan semangat dan
kekuatan pada Bani Hasyim.
Maka mulailah pemerintah Quraisy menerapkan keputusan embargo
tersebut dengan seluruh tentaranya. Di samping itu, para pemuka
Quraisy turun tangan sendiri dalam rangka penerapan keputusan
tersebut.
Pada suatu ketika Abu Jahal bertemu dengan seorang laki-laki
yang membawa gandum dan makanan yang biasa dihaturkan kepada
bibinya, Khadijah, istri Muhammad. Abu Jahal memukuli anak laki-laki
itu dan merampas gandum dan makanan tersebut. Dia bersumpah tak
akan memperbolehkan apa pun masuk dalam rumah Muhammad.
Seorang laki-laki datang mendekati Abu Jahal seraya berkata:
“Apakah yang membuatmu melarang anak laki-laki ini untuk mengan-
tarkan makanan kepada bibinya?”
Laki-laki tersebut mendesak Abu Jahal agar melepaskan anak
tersebut, tapi Abu Jahal tetap tak mau melepaskannya. Kontan saja
egoisitas Abu Jahal membuat ia marah, lalu berkelahi, hingga akhirnya
hampir saja terjadi aksi saling membunuh.
Wahai Muhammad, embergo ekonomi di sekitar rumahm u dan
rumah sanak keluargamu tak akan pernah terlepas, tanpa mengor-
bankan salah seorang di antara mereka.
Apa pun yang menghadang di hadapanmu, engkau harus tetap
menyampaikan ajaran-ajaranmu. Bersuaralah dengan lantang di
jalan-jalan dan kampung-kampung Makkah meski engkau tak pernah
168 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
melakukannya sebelumnya, sebab kobaran kata-kata yang brilliant
akan membuat bongkahan-bongkahan besi sekalipun akan luluh me-
lepuh dan cair laksana air.
Kini berangkatlah engkau! Kutuklah orang-orang yang memusuhimu
dengan kutukan-kutukan yang tak pernah engkau lakukan sebelum-
nya! Berilah harapan dan janji yang membangunkan optimisme pada
orang-orang yang tabah dalam menghadapi penderitaan yang berada
di barisanmu.
R
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 169
170 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Kegetiran dalam kesendirian
S aat ini kedengkian rasialis kesukuan dalam melawan
Bani Hasyim muncul kepermukaan. Suku-suku yang
memang sudah lama memendam rasa kebencian kepada Bani
Hasyim bersumpah tidak akan menjalin hubungan, hingga Bani Hasyim
mati lemas karena lapar terkapar dalam kehinaan dan kenistaan. Bani
Hasyim tidak hanya tidak boleh menerima suplay makanan, tetapi
dalam perdagangan pun mereka tidak boleh menjalin kerja sama.
Dengan kedengkian rasialis ini, kini banyak anak gadis yang diminta
kembali oleh keluarga mereka dari rumah yang suaminya berasal dari
Bani Hasyim. Para istri yang mempunyai tetes darah Bani Hasyim diusir
dari rumah-rumah suami mereka dan anak-anak dipisahkan dari ibu
mereka. Termasuk di dalamnya yang memperoleh perlakuan seperti itu
adalah putri Muhammad yang bernama Ummu Kultsum. Ia dipulangkan
kembali ke rumahnya dengan cara diusir dari rumah suaminya yang
bernama Qutaibah bin Abi Lahab, sebagaimana saudara perempuannya,
Ruqayyah, yang pernah pula mengalami nasib serupa sebelumnya dari
rumah itu juga.
Muhammad menyadari bahwa dirinya telah banyak menimbulkan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 171
malapetaka bagi Bani Hasyim, sementara tidak semua Bani Hasyim
mampu menanggung beban berat malapetaka ini. Hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang mengikuti ajarannya. Namun ia telah me-
nyebarkan timbulnya kepahitan dan kepedihan jalan keimanan yang
ditempuhnya.
Abu Thalib sebagai pemimpin Bani Hasyim menyarankan kepada
mereka agar mengungsi ke pelosok-pelosok Makkah untuk menghindari
ancaman dan serangan dari suku-suku yang lain. Mereka dianjurkan
untuk tetap tinggal di lokasi-lokasi pengungsian yang cukup terlind-
ung di berbagai pelosok tersebut. Mereka harus mempertahankan
hidup dalam pengungsian hari demi hari. Bagi mereka, bagaimanapun
laparnya, semuanya masih jauh lebih baik daripada dihina oleh suku-
suku lain, esok atau lusa, karena mereka melepaskan salah seorang di
antara mereka dan menyerahkannya kepada pedang-pedang musuh.
Aksi kebencian dan pemblokadean ini dipimpin langsung oleh Abu
Sufyan dan Abu Jahal. Kedua pemuka Quraisy ini melakukan monitor-
ing ketat terhadap pihak-pihak yang berusaha melakukan penyusupan
kepada Bani Hasyim yang hidup dalam pengungsian, yang terpencil
dan merana di balik dinding-dinding penyekat.
Tidak lama berselang, tindakan yang keterlaluan dari Abu Sufyan,
Abu Jahal, dan suku dari keduanya, telah membuka tendensi terse-
lubung dalam aksi kebencian dan blokade terhadap Bani Hasyim itu.
Sebenarnya duduk permasalahan yang sesungguhnya bukanlah
persoalan menyingkirkan Muhammad dan bukan pula persoalan me-
nyelamatkannya. Persoalannya adalah meruntuhkan Bani Hasyim dan
menghancurkan mereka, karena dengan hancurnya Bani Hasyim, maka
posisi Bani Hasyim dalam pemerintahan, perdagangan, dan kekayaan
mereka akan jatuh ke dalam genggaman tangan Abu Sufyan, Abu Jahal,
dan suku mereka berdua.
Tendensi perebutan posisi yang terselubung dalam aksi kebencian
terhadap Bani Hasyim, kini mulai terkuak tabirnya dan ditangkap oleh
suku-suku Quraisy yang belum pernah menaruh rasa iri, dengki, dan
kebencian terhadap Bani Hasyim sebelum itu. Bahkan di antara mer-
172 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
eka ada yang masih mempunyai pertalian darah dengan Bani Hasyim
berupa paman, keponakan, dan bibi.
Sebelumnya mereka telah menandatangi keputusan itu, ketika
digambarkan kepada mereka bahwa tujuan utama dari adanya kes-
epakatan itu adalah menyingkirkan Muhammmad semata dan tidak
melakukan pendiskreditan kepada Bani Hasyim.
Sejak mereka mengetahui bahwa maksud pemblokedan itu adalah
untuk mennghancurkan dan melenyapkan Bani Hasyim dari Makkah,
maka timbullah rasa iba, kasihan, dan simpatik yang mendalam pada
beberapa sanak famili Bani Hasyim tersebut.
Setelah terkuaknya transparansi ambisi musuh-musuh Bani Hasyim
yang bermaksud akan menguasai posisi dan kekayaannya, maka
tergugahlah hati kelompok Bani Hasyim untuk mengambil langkah
penyobekan lembar perjanjian itu.
Di bawah gelapnya malam, Hisyam bin ‘Amr bin Rabi‘ah pergi
dengan seekor unta yang membawa makanan untuk dihantarkan ke-
pada Bani Hasyim yang tinggal di pelosok-pelosok bukit. Tidak hanya
itu saja aksi solidaritas yang dilakukan oleh Hisyam, bahkan ia lalu
pergi menemui Zuhair bin Abi Umayyah, seorang putra Atikah binti
‘Abdul Muththalib. Ia katakan kepadanya: “Relakah engkau makan,
berpakaian, dan beristri, sementara paman-pamanmu tak diperbole-
hkan melakukan jual beli? Tidak ingatkah dirimu seandainya mereka
itu adalah paman-pamannya, sudah tentu dia tidak akan pernah mau
selamanya.”
Kata-kata itu terasa merobek-robek hati Zuhair. Peristiwa pahit
yang menimpa paman-pamannya, Abu Thalib, Hamzah, ‘Abbas, sauda-
ra-saudara sepupu, dan sanak keluarga dari ibunya, menggoreskan
luka di dalam hatinya. Oleh karena itu, Zuhair bin Atikah bertekad
akan merobek lembar kesepakatan yang pernah dicetuskan bersama
dengan pemuka-pemuka Quraisy. Hisyam bin ‘Amr bin Rabi‘ah tiada
henti-hentinya membicarakan pemblokadean ekonomi terhadap Bani
Hasyim dengan tokoh terkemuka lainnya, sehingga aksi ini berjalan
mulus dan pada akhirnya bergabunglah Muth‘am bin Ady, Bahtari bin
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 173
Hisyam, dan Zam‘ah bin Aswad. Mereka tergolong orang kaya yang
memiliki posisi terpandang di tengah-tengah masyarakatnya.
Mereka semua membuat kesepakatan untuk pergi ke Ka‘bah
keesokan harinya dengan maksud akan melakukan penyobekan lembar
pengumuman blokade terhadap Bani Hasyim yang dicetuskan oleh
pemuka-pemuka Quraisy dan mereka gantungkan lembar keputusan
itu di dinding Ka‘bah.
Keesokan harinya Zuhair bin Umayyah, putra Atikah binti ‘Abdul
Muththalib, pergi ke Ka‘bah. Kepada orang-orang yang berkumpul di
sekitar Ka‘bah ia mengatakan: “Wahai penduduk Makkah, akankah kita
makan dan minum, sementara Bani Hasyim bergumul dalam penderi-
taan diambang kehancuran? Mereka tak diperbolehkan berdagang dan
tidak pula diperbolehkan membeli dagangan dari mereka? Demi Allah,
aku takkan duduk sebelum aku bisa merobek lembar pengumuman
blokade yang sangat kejam ini.”
Ketika itu Abu Thalib telah datang dari pelosok-pelosok perbuki-
tan. Ia duduk seorang diri, terpencil dari yang lain, sedangkan Abu
Jahal duduk di salah satu pilar dengan penuh kecongkakan di antara
pemuka-pemuka Quraisy. Abu Jahal mulai menjawab kata-kata yang
dilontarkan oleh Zuhair bin Abu Umayyah.
“Zuhair, engkau bohong! Engkau takkan pernah berani menyobek
lembar pengumuman ini,” tantang Abu Jahal.
“Abu Jahal, justru engkaulah pembual besar. Aku sungguh-sungguh
tidak dapat menerima tulisan yang tertera dalam lembaran yang eng-
kau tulis itu,” sahut Zam‘ah bin Aswad yang ada dalam pertemuan itu.
Ucapan Zam‘ah tadi diperkuat lagi oleh Bahtiar: “Kita tak pernah
menerima tulisan yang tertera dalam lembaran itu dan kita tak ada
kaitan sama sekali dengan tulisan itu.”
Muth‘am bin Ady menyusuli ucapan Zam‘ah: “Kalian berdua benar.
Orang yang berkata selain itu adalah pembohong besar! Kita bebas
dari lembaran ini dan tulisan yang tertera di atasnya.”
Hisyam bin ‘Amr mengukuhkan pula kata-kata yang telah din-
174 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
yatakan mereka sebelumnya. Sementara itu, Abu Thalib duduk di
kejauhan, diam dalam kesendirian.
Abu Jahal segera memotong pembicaraan mereka dengan menyam-
paikan pengumuman kepada orang-orang yang hadir bahwa keputusan
yang tertuang dalam lembar pengumuman itu merupakan konsensus
para pemuka Quraisy. Ia berusaha mempertahankan lembar pengumu-
man itu, tetapi kelima orang yang telah bersepakat menghapus blokade
terhadap Bani Hasyim bangkit dari duduknya secara serentak, lalu
merobek-robek lembar pengumuman itu. Melih at keberanian mereka
merobek lembaran itu, kemarahan Abu Jahal, Abu Sufyan, dan kawan-
kawannya memuncak tak tertahankan. Akan tetapi, ketegasan sikap
kelima orang itu menumbuhkan semangat keberanian pada yang lain.
Abu Thalib yang tetap tidak beranjak dari tempat duduknya men-
gamati dengan seksama. Di dalam hatinya muncul keyakinan bahwa
blokade itu pada akhirnya tak berpengaruh apa-apa. Tembok-tembok
yang didirikan oleh orang Quraisy sudah penuh dengan lubang-lubang.
Bani Hasyim pada akhirnya akan mendapatkan orang-orang yang mau
menjalin hubungan dengan mereka. Para istri yang dipulangkan secara
terusir akan diminta kembali lagi dan para suami akan menerima pe-
nyerahan kembali istri-istri yang dirampas dari mereka.
Abu Thalib kembali lagi ke pelosok-pelosok bukit dengan menegas-
kan kepada mereka bahwa mereka boleh pulang ke rumah masing-
masing dan kehidupan mereka di Makkah.
Bani Hasyim sangat mendambakan perubahan situasi seperti se-
diakala. Maka takkan ada lagi seorang dari masyarakat Quraisy yang
melakukan pemutusan hubungan dengan mereka.
Namun meskipun demikian, beban derita blokade itu telah mengg-
oreskan bekas kepahitan yang tak dapat disembunyikan pada diri Abu
Thalib yang sudah berusia lanjut dan pada diri Khadijah yang kini telah
melampaui usia enam puluh tahun. Khadijah melalui tahun-tahun
terakhirnya dalam sakit yang berkepanjangan dan dalam kepahitan
hidup bersama suaminya. Semua itu ia sembunyikan dari suaminya.
Dia selalu menampakkan wajah yang berseri-seri di hadapan suaminya,
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 175
walaupun dalam hatinya tersimpan tangis kegetiran.
Muhammad datang kembali dalam kondisi yang lebih tegar bila
dibandingkan dengan kondisinya sebelum mengungsi ke pelosok-
pelosok bukit. Dia berani mengejek pada hal-hal yang ditemuinya,
menentang musuh-musuhnya, dan berjalan seperti biasanya di antara
Hamzah dan ‘Umar.
Kini tumbuh sebuah tekad di dalam hatinya untuk tidak diam begitu
saja terhadap gangguan-gangguan yang menimpa dirinya, sementara
orang-orang Quraisy tak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan lebih
banyak dari tindakan sebelumnya.
Di tengah jalan Umayyah bin Khalaf berpapasan dengannya.
Umayyah adalah seorang laki-laki yang berperangai jelek, gemar ber-
musuhan, dan tak mempunyai rasa takut kepada siapa pun. Sekalipun
Hamzah dan ‘Umar telah bergabung dalam barisan Muhammad, namun
Umayyah tetap menganggap enteng-enteng saja. Bahkan ia sesumbar
akan membunuh Muhammad dengan tangannya sendiri. Umayyah
menghadapi Muhammad dengan maksud akan menakut-nakutinya
seraya berkata: “Aku beri makan kuda ini tidak lain adalah untuk
membunuhmu.”
“Tidak, justru akulah yang akan membunuhmu dengan izin Allah,’
sahut Muhammad menanggapi ejekan Umayyah.
Demikianlah, Muhammad menjalankan aktivitasnya. Beliau meng-
hadapi setiap tantangan dengan tantangan pula. Dia juga mengejek
setiap orang yang mengejek dirinya. Musuh-musuhnya dihadapi dengan
langkah-langkah yang dapat meruntuhkan wibawa mereka yang sekian
lama mereka bangga-banggakan. Di celah-celah kenyataan semua ini,
Muhammad menebarkan ajaran-ajarannya. Dia bersikap konsisten
menjalankannya. Dia menganjurkan orang-orang agar mau mengikuti
ajaran-ajarannya dan terus melakukan gerakan-gerakan agresif, tanpa
mempedulikan resikonya lagi.
Hari demi hari, keberanian Muhammad menumbuhkan rasa kegagu-
man dalam hati kalangan rakyat kecil. Sebagian dari mereka ada sebuah
perasaan yang jika bergabung ke dalam kelompok Muhammad saat ini,
176 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
maka mereka tidak akan diejek-ejek dan disakiti lagi, sebagaimana
perlakuan yang pernah diderita oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini
disebabkan keberanian Muhammad dalam menghadapi orang-orang
Quraisy mampu mengukuhkan hati orang-orang yang akan mengikuti
ajaran-ajarannya. Dia akan mampu menangkal setiap ancaman dan
rintangan.
Para pemuka Quraisy merasa sangat khawatir. Keadaan ini akan
mempengaruhi orang-orang asing yang berkunjung ke Makkah untuk
berniaga dan berkumpul pada musim haji. Oleh karena itu, pemer-
intah Makkah menetapkan suatu keputusan lagi yang menyatakan
bahwa Muhammad telah melakukan perbuatan melanggar hukum;
dan orang yang mendengarkan kata-katanya berarti telah menentang
pemerintahan Makkah. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga dan
memelihara kestabilan Makkah, maka pemerintah akan menerapkan
aturan ini sebagaimana mestinya.
Secara khusus Makkah sangat takut kepada para penyair, karena
setiap suku membangga-banggakan diri dengan para penyairnya dan
sangat memperhatikan kata-kata yang diucapkan mereka. Seandainya
seorang penyair yang mengikuti ajaran Muhammad, lalu dia memuji-
muji ajaran itu, sudah tentu ajaran-ajaran itu akan segera tersebar
luas kepada suku si penyair tersebut. Maka berkembanglah ajaran
Muhammad dan dipuja-puja para penyair itu dengan penuh rasa apre-
siatif, sebagaimana apresiasi yang dituang dalam untaian-untaian kata
si penyair.
Pemerintah Makkah kini menunggu hasil usaha orang-orang yang
ditugaskan untuk mencegah para penyair yang datang berkunjung
kepada Muhammad dan orang-orang yang ditugaskan untuk menyebar
isu kepada para cendikiawan yang juga datang kepada Muhammad,
bahwa Muhammad adalah orang sinting dan dipandang hina oleh ma-
syarakatnya.
Akan tetapi, Muhammad berusaha menentang para penyair yang
cerdik-cerdik itu. Ketika mereka duduk di sekitar Ka‘bah, Muhammad
masuk ke tengah mereka. Muhammad menjelaskan ajaran-ajarannya
dengan suara lantang melebihi gemuruh suara orang-orang yang meng
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 177
ejeknya. Di suatu pojok dari tempat itu, ada seorang pria asing yang
menjerit: “Wahai orang-orang Quraisy, adakah orang yang bersedia
menolong diriku untuk mengambil hakku dari ‘Amr bin Hisyam? Aku
adalah pendatang yang dalam perjalanan telah diperlakukan sewenang-
wenang.”
Sebagian orang-orang Quraisy memberi petunjuk kepada pria as-
ing itu agar minta tolong kepada Muhammad, padahal sebenarnya di
dalam hati mereka tersimpan maksud mengejek Muhammad.
Mereka semua tahu bahwa tak seorang pun berani menentang Abu
Jahal Bin Hisyam. Maka bagaimana mungkin Muhammad akan berani
menuntutnya?
Mereka semua tahu bahwa Muhammad tak mungkin melakukan-
nya, karena Abu Jahal adalah musuh besarnya yang paling garang dan
bringas. Namun pria asing itu memenuhi petunjuk mereka. Ia datang
kepada Muhammad untuk menceritakan bahwa Abu Jahal telah mem-
beli sebagian untanya, tapi Abu Jahal tak membayarkan uang pembe-
lian unta itu.
Riuhnya suara orang-orang yang mengejek Muhammad berubah
kian gaduh. Mereka yakin bahwa Muhammad pasti akan mengecewakan
harapan pria asing itu. Muhammad tak punya keberanian yang cukup
untuk menghadapi Abu Jahal. Karena itu, mereka bersiap-siap akan
mengejek Muhammad dengan ejekan-ejekan yang akan meruntuhkan
wibawa dan pengaruhnya terhadap orang-orang yang mengikuti ajaran-
ajarannya.
Tetapi ternyata Muhammad beranjak pergi menuju ke rumah ‘Amr
bin Hisyam bersama pria asing itu. Muhammad dan orang-orang Islam
sudah terbiasa menyebut ‘Amr bin Hisyam dengan sebutan Abu Jahal.
Muhammad pergi ke rumah Abu Jahal diiringi pandangan orang-orang
yang meremehkan dengan tatapan penuh keheranan.
Sewaktu Muhammad sampai di rumah Abu Jahal, di mana ia sedang
duduk di tengah-tengah budak-budak dan penunggang-penunggang
kudanya, maka dengan spontanitas Muhammad menggedor pintu
rumahnya dan menyuruh Abu Jahal agar segera menemui dirinya.
178 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Raut mukanya tampil penuh percaya diri dengan segenap kekua-
tannya dalam upaya membela pria asing yang teraniaya itu. Maka Abu
Jahal keluar dari dalam rumahnya menemui Muhammad dengan penuh
antisipatif. Apakah gerangan yang telah terjadi di Makkah, hingga
Muhammad berani memukul pintu rumahnya dengan cara seperti ini?
Bahkan sebelum Abu Jahal tersadar dari ketertegunannya, Muhammad
segera menggertak lagi: “Berikanlah hak orang lain!”
Melihat aksi gertakan Muhammad, Abu Jahal tidak menjawab, bah-
kan ia justru masuk kembali ke dalam rumahnya, kemudian ia keluar
lagi dengan membayar uang pembelian unta yang pernah diutanginya
itu kepada pria asing tersebut.
Sekembalinya pria asing itu dari rumah Abu Jahal yang telah me-
lunasi utangnya, ia memberi tahu kepada orang-orang yang ada di
sekitar Ka‘bah bahwa Muhammad telah mengambilkan haknya dari
seorang penindas yang sangat ditakutinya itu.
Keberanian Muhammad ini menimbulkan suatu kegaguman di hati
orang-orang asing. Orang-orang yang mengejek menjadi bubar dan
berubah heran dalam kekesalan dan kegeraman.
g
Kini pasca kedatangan Muhammad ke rumah Abu Jahal, kata-kata
telah dimanifestasikan dalam bentuk aksi yang konkrit. Ungkapan-
ungkapan harus diubah dalam bentuk langkah-langkah. Hal ini dik-
arenakan telah datang suatu masa, di mana suatu ajaran dituntut
menjadi suatu gerakan-gerakan faktual selama kurang lebih sepuluh
tahun di Makkah. Muhammad mengajak dengan kata-kata dan sikap
sabar dalam menghadapi berbagai penganiayaan. Akan tetapi, justru
kesabaran tersebut telah membuka peluang berakarnya sewenang-
wenang masyarakatnya.
Muhammad telah cukup kenyang makan garamnya kesabaran dan
ketabahan. Kini ia harus menghadapi kekerasan dengan kekerasan
pula. Bagaimanapun juga, masyarakat tidak akan mampu berbuat
lebih banyak lagi perbuatan-perbuatan yang pernah mereka lakukan.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 179
Manusia dituntut memenuhi janjinya, demikianlah menurut ajarannya.
Oleh karena itu, dia sendiri harus menekan orang-orang yang congkak
agar mereka mau memenuhi janji mereka.
Dia mengutuk penindasan dan mengajak untuk tidak makan harta
milik orang lain. Oleh karena itu, dia sendiri yang harus merampas hak
itu kembali dari cengkeraman kuku-kuku perampas. Dia sendiri yang
harus menekan dan mendesak para perampas agar mengembalikan
hak-hak orang yang terampas kepada pemiliknya.
Di lorong-lorong jalan, beberapa orang asing yang mengunjungi
Makkah merasa tertarik kepada Muhammad. Seorang penyair “Daus”
dan ahli filsafat bernama Thufail bin ‘Amr datang ke rumah Muham-
mad.
“Wahai Muhammad, masyarakatmu telah bercerita banyak ke-
padaku tentang dirimu. Tiada henti mereka menakut-nakuti diriku
berkenaan dengan dirimu hingga aku menyumbat telinga agar aku
tak mendengar lagi ucapan-ucapanmu. Namun ternyata setelah aku
dengar sendiri ucapan-ucapanmu, aku menemukan ucapan yang baik,
maka aku jadi tertarik kepada ajaranmu,” demikian ucap sang penyair
yang cendekiawan itu. Dialah seorang pemimpin suatu suku yang jauh
bersusah-payah datang untuk menemuinya.
Muhammad berbincang-bincang dengannya, menjelaskan ajaran-
ajaran yang dibawanya, hingga ia (Thufail bin ‘Amr) masuk Islam. Bah-
kan setelah ia kembali ke tengah masyarakatnya, istri dan ayahnya juga
mengikuti jejaknya, masuk Islam. Ia terus mengajak masyarakatnya,
hingga terhitung sebanyak tujuh puluh orang laki-laki dan perempuan
dari mereka yang masuk Islam.
Informasi tentang masuknya Thufail ke dalam Islam kepada orang-
orang Quraisy, menumbuhkan rasa kekhawatiran akan timbulnya ba-
haya besar di kemudian hari. Jika ajaran-ajaran Muhammad menyebar
keluar Makkah dan ada orang-orang yang bersedia membelanya, sudah
pasti Muhammad akan merasa lebih kuat di atas mereka dan bantuan
orang-orang dari manca negara. Ketika sudah menjadi kelompok may-
oritas, jika mereka menemukan kesulitan, sudah dapat dipastikan mer-
eka akan bergabung untuk melakukan penyerbuan kepada masyarakat
180 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Quraisy di Makkah dan mereka menjadikan Muhammad sebagai raja.
Makkah sangat menyesali telah membiarkan Thufail menemui Muham-
mad.
Dengan demikian, perlu langkah-langkah strategis lain untuk
menekan para pengikut Muhammad yang tinggal di manca negara.
Para pemuka Quraisy sebenarnya telah berusaha menakut-nakuti mer-
eka, namun cara ini tampaknya tidak membawa pengaruh apa-apa.
Oleh karenanya, diperlukan langkah yang anarkhis untuk mencegah
berlangsungnya pertemuan-pertemuan dengan Muhammad dan para
pengikutnya.
Tentara-tentara Makkah mulai melakukan pengintaian-pengintaian
kepada setiap pendatang. Pemerintah Quraisy menyebarkan intel di
setiap pasar Makkah dan dalam masa-masa penyelenggaraan haji.
Setiap orang yang diketahui menjalin hubungan dengan Muhammad,
dengan serta-merta mereka langsung dikenai tindakan pengusiran
dengan cara dipukul dan disiksa setelah barang dagangannya disita
terlebih dahulu.
Akan tetapi, Muhammad takkan mempedulikan reaksi ini. Ia tetap
berdiri di sekitar Ka‘bah menjelaskan ajaran-ajaran Islam kepada para
pendatang. Sebagian para pendatang ada yang diam mendengarkan,
kemudian berpaling, sementara sebagian yang lain lagi ada yang men-
jauh, karena takut kepada ancaman pemerintah Quraisy.
Dalam keadaan apa pun, pemerintah Quraisy tak akan pernah
memberi kesempatan kepada siapa pun untuk berbincang-bincang
dengan Muhammad selamanya hingga datanglah seorang laki-laki
yang bijaksana dari suku Ghifar, dengan hati yang dibebani beratnya
kecongkakan para pemuka Quraisy yang kaya-raya dan diliputi obsesi
tentang pembebasan dan penindasan yang dilihatnya.
Pada suatu sore laki-laki dari suku Ghifar ini berbaring di dekat
Ka‘bah. ‘Ali bin Abi Thalib melihat dan memperhatikan laki-laki itu
seorang diri yang lemah-lembut perangainya. ‘Ali bertanya: “Seper-
tinya engkau laki-laki asing?”
Selanjutnya, ‘Ali mengajak laki-laki tersebut ke rumahnya hingga
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 181
ia bermalam di rumah ‘Ali. Namun keesokan harinya ‘Ali tak melihat
laki-laki itu lagi.
Sore harinya, laki-laki itu datang lagi ke rumah ‘Ali. Raut muka
laki-laki yang cekung itu menyiratkan getirnya duka dalam menang-
gung obsesi yang panjang.
“Tuan, jika Tuan tidak keberatan, apakah gerangan yang mendorong
Tuan untuk berkunjung di negeri ini?,” tanya ‘Ali.
“Jika engkau mau berjanji akan menunjukkan aku, akan aku beri
tahu.”
‘Ali berjanji akan menunjukkan laki-laki itu dan akan merahasiakan
persoalannya.
Laki-laki itu mengatakan bahwa dirinya telah mendengar informasi
tentang Muhammad. Karenanya, ia datang dengan maksud ingin men-
emuinya, tapi ia mengetahui tindakan yang akan dikenakan pemerintah
Quraisy kepada pendatang yang berani menemui Muhammad.
“Tuan ini siapa dan dari mana?,” tanya ‘Ali lagi.
“Namaku Abu Dzar; kabilahku Ghifar.”
‘Ali segera beranjak demi Abu Dzar Al-Ghifari dan pergi menemui
Muhammad sambil berbisik: “Ikut saja aku dan masuklah di mana aku
masuk. Jika engkau melihat orang yang aku khawatirkan akan meng-
ganggu keselamatan Tuan, maka aku akan mendekat ke sebuah tembok,
seolah-olah aku sedang buang air kecil, kemudian silakan Tuan terus
berjalan.”
Maka berangkatlah mereka berdua hingga bertemu dengan Muham-
mad. Selanjutnya, Muhammad menjelaskan ajaran-ajarannya kepada
Abu Dzar Al-Ghifari.
Esok malamnya, Abu Dzar mengunjungi Muhammad kembali mele-
wati jalan itu juga dengan ditemani ‘Ali lagi. Ia menanyakan ajaran-
ajaran baru itu dalam kaitannya dengan persoalan budak-budak,
rentenir-rentenir, orang-orang yang congkak, kaum perempuan, orang-
orang miskin, dan orang-orang yang tertindas.
Esok malamnya lagi Abu Dzar mengunjungi Muhammad kembali
182 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
bersama ‘Ali. Ia menanyakan tentang problema yang dipertanyakan
dan Abu Dzar menemukan jawabannya dalam ajaran-ajaran baru ini.
Memang inilah yang dicari-cari Abu Dzar sejak dulu. Seorang manusia
bebas di hadapan Tuhan; tak ada Tuhan selain Dia, sedangkan orang-
orang yang lemah dan dilemahkan di muka bumi ini, ajaran baru itulah
yang akan mengangkat mereka sebagai pemimpin dan pewaris.
Abu Dzar Al-Ghifar menyatakan keimanannya terhadap ajaran-
ajaran ini. Ia bertekad akan menyampaikan kepada masyrakat Bani
Ghifar.
Ketika Abu Dzar berpamitan, Muhammad memberi saran: “Wahai
Abu Dzar, kembalilah kepada masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mer-
eka; dan rahasiakanlah persoalanmu dari penduduk Makkah, karena
aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu.”
Akan tetapi, Abu Dzar tetap saja nekad. Ia pergi ke Ka‘bah.
Di sekitar Ka‘bah ia bertemu dengan beberapa seorang laki-laki,
maka diajaklah mereka memeluk ajaran Islam. Mendengar ajakan
Abu Dzar, orang-orang itu tersentak kaget atas keberanian pria as-
ing ini menentang pemerintah Makkah. Mereka lalu memukuli Abu
Dzar hingga hampir saja nyawanya melayang. Namun untung saja
‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib berteriak mencegah mereka seraya
berkata: “Celaka kalian! Tidak tahukah kalian bahwa laki-laki ini
berasal dari suku Bani Ghifar? Bukankah jalan perniagaan kalian ke
Syam harus melewati Bani Ghifar?”
Mereka berhenti tak memukulinya lagi, karena khawatir jika pria
Bani Ghifar ini sampai mati, sudah dapat dipastikan perjalanan dagang
mereka ke Syam akan dicegat oleh Bani Ghifar untuk menuntut balas
dendam atas perlakuan mereka terhadap Abu Dzar.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, Abu Dzar akhirnya
dilepas. Ia pulang kembali ke tengah masyarakatnya dengan mem-
bawa ajaran-ajaran yang diimpikannya sejak lama. Dalam hatinya
penuh dengan seruan-seruan untuk bersikap adil dan memperjuang-
kan persamaan hak.
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 183
g
Cara apa lagi yang dapat dilakukan untuk menekan aktivitas Mu-
hammad setelah ini?
Abu Thalib masih saja memberi perlindungan kepada Muhammad.
Bila terjadi sesuatu yang cukup serius, Bani Hasyim membelanya. Kini
ajakannya telah menembus dinding-dinding Makkah dan bebukitannya
dan mulai tersebar ke berbagai suku, baik Daus dan Bani Ghifar, dan
siapa tahu apa yang akan terjadi besok.
Kini Muhammad membacakan ajaran-ajarannya di masjid tanpa
merasa risih lagi.
Untuk kesekian kalinya para pemuka Quraisy mendatangi paman-
nya lagi untuk meminta pendapatnya dalam menyelesaikan masalah
Muhammad, tapi Abu Thalib sedang dalam keadaan sakit keras. Dalam
keadaannya yang sangat kritis, Muhammad yang duduk di sampingya
berusaha mengajaknya untuk mempercayai ajaran-ajarannya.
Namun sayang, Abu Thalib menghembuskan nafas yang terakhir
kalinya....
Mereka senang dan gembira atas kematian Abu Thalib, karena
kematian itu memberikan indikasi lenyapnya batu sandungan besar
dari pihak musuh-musuh Muhammad, sebab selama ini musuh-musuh
Muhammad sangat memperhitungkan eksistensi Abu Thalib. Sekalipun
mereka telah berusaha untuk tidak mengait-kaitkan pribadi Muham-
mad dengan Bani Hasyim, tetapi Bani Hasyim senantiasa merintangi
musuh-musuhnya untuk melakukan penganiayaan terhadap pribadi
Muhammad.
Dalam duka yang termat dalam, Muhammad pulang ke rumahnya
menangisi kematian pamannya. Di rumahnya dia sudah tidak menemu-
kan lagi tangan yang biasanya mengusap air matanya dalam keadaan
gemetar dan menahan sakit. Sementara itu Khadijah juga menderita
sakit dalam kondisi yang sangat kritis; dan kematian Khadijah akhirnya
datang juga, setelah berselang beberapa hari saja dari kematian Abu
Thalib.
184 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Dalam beberapa hari saja, Muhammad telah kehilangan dua orang,
yaitu seorang pamannya yang telah mengasuh dirinya; dan seorang
istri yang setia mendampinginya dalam suka dan dukanya kehidupan
selama kurang lebih sepuluh tahun. Kegembiraan terasa pudar; in-
dahnya kehidupan terasa hambar selaksa lebur terkubur. Ia menunduk
dalam tangis di dekat pusara Khadijah. Ia tidak dapat berbuat banyak
dan hanya bisa menangis dan menangis.
Ketika teman-temannya dan sanak keluarganya mengajak pulang
ke rumahnya, Muhammad dalam kondisi murung tanpa bicara. Hanya
desah nafasnya yang terdengar dan air matanya mengalir deras dari
kedua matanya.
Apakah yang dapat diberikan oleh kehidupan baginya setelah ini?
Betapa banyak penderitaan yang dipikul pamannya lantaran me-
lindungi dirinya. Betapa banyak penderitaan yang harus dirasakan oleh
Khadijah dalam mendampingi dirinya.
Kini Muhammad harus menjalani hidup sebatang kara. Lenyap su-
dah naungan pamannya sebagai tempat ia berteduh. Dia akan tidur di
tempat tidur yang dingin sambil meratapi kembali kenang-kenangan
indah yang tak mudah dilupakan.
Sebagian teman-temannya menyarankan Muhammad agar mau
mengawini seorang gadis yang dapat mengganti peran atas kepergian
Khadijah, tapi ia menolak. Bertahun tahun ia menjalani hidup bersama
Khadijah dan usianya kian bertambah tua. Usia tua kemudian mereng-
gut Khadijah untuk pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya. Karena
itu, wajar saja jika kepergian istrinya membuatnya teramat memukul
batinnya, walaupun banyak perempuan lain yang masih menaruh hati
kepada dirinya.
Hanya saja, secara mendadak para pengikutnya yang mengungsi ke
Ethiopia pulang kembali. Raja Najasy yang memberikan perlindungan
kepada mereka menghadapi krisis politik di negaranya. Di samping
itu, terdengar berita bahwa Makkah telah mengalami perubahan. Mer-
eka yang kembali di antaranya adalah Ruqayyah bersama suaminya,
‘Utsman bin ‘Affan; ‘Abdurrahman bin ‘Auf; Zubair bin Awwam; dan
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 185
Mush‘ab bin Umair. Mereka semua pulang bersama istrinya dan hanya
beberapa orang saja yang telah mereka kubur di bumi Ethiopia (Hab-
syah).
Di antara mereka ada juga seorang perempuan yang pulang seorang
diri. Dia ditinggal mati suaminya yang telah dikebumikan di bumi
Ethiopia di sana. Perempuan itu- setelah ditinggal mati suaminya-
hidup dirundung susah dalam menanggung beban hidup sehari-hari dan
hidup seorang diri. Karena itu, Muhammad mengemukakan kepada
beberapa orang temannya bahwa ia bermaksud ingin menyembuhkan
luka di hati perempuan itu dan akan menikahinya. Akan tetapi, hati
perempuan itu tak tertarik lagi kepada siapa pun. Namun siapa tahu
dengan kehadiran Muhammad, luka yang tergores di hati perempuan
itu dapat terobati, maka dilamarlah perempuan itu oleh Muhammad
sendiri.
g
Para pemuka Quraisy tak mau menunggu hingga kering air matanya.
Belum pulih kembali ketenangan hatinya dari luka kematian Abu Thalib
dan Khadijah, Makkah sudah mengobrak-abrik para pengikutnya yang
pulang dari Habasyah, membuang barang-barang dagangan mereka,
dan menyiksa sebagian di antara mereka yang tertangkap.
Kini masa lain datang lagi dengan siksaan yang baru!
Muncul sebuah angan-angan dalam hati Muhammad, seandainya
ia dapat menemukan suku yang beriman kepada ajarannya, lalu mer-
eka mengajak Muhammad dan seluruh pengikutnya untuk hidup di
tengah-tengah suku tersebut. Andaikata Bani Ghifar atau Daus yang
telah memeluk ajaran-ajarannya bersedia membebaskan dirinya dan
pengikut-pengikutnya dari siksaan hidup yang menjerat di Makkah.
Tapi ia tak mendapatkan ajakan yang diangan-angankannya dari
Bani Ghifar dan Daus.
Seorang pamannya, ‘Abbas, membujuk agar ia pergi ke Thaif saja.
Di sana ada beberapa orang yang mempunyai hubungan akrab dengan
pamannya. Di samping itu, di sana terdapat lahan pertanian anggur dan
zaitun yang cukup luas. Di sana juga terdapat banyak budak, buruh,
186 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
petani, dan perempuan yang terlantar hidupnya.
Dengan demikian, di Thaif dia menemukan orang-orang yang akan
membelanya karena menghormati dan menghargai pamannya.
Bersama dengan seorang budaknya yang bernama Zaid bin Harit-
sah, ia berangkat ke Thaif. Kebun-kebun anggur, kebun-kebun kurma,
dan kebun-kebun zaitun, daunnya melambai-lambai dari kejauhan.
Inilah rupanya daerah “impian”; pagar-pagarnya tampak putih kemilau
menjulang. Kini dadanya dipenuhi wanginya kebun-kebun yang harum
semerbak di tengah-tengah kilauan padang pasir.
Tiba-tiba wajahnya cerah berbinar-binar. Ia merasakan sebuah
ketenangan batin yang merayap ke dalam sekujur tubuhnya. Ia telah
menemukan naungan tempat ia berteduh dari teriknya panas dan
pembela yang akan mengangkat kehormatannya dan menyebarkan
ajaran-ajarannya.
Di sini, di negeri kurma, ketenteraman dan kebahagiaan yang
didambakannya kini akan ditemukan olehnya. Siapa tahu di sebuah
negeri yang hijau ini, panji-panji ajaran-ajarannya akan mencuat ke
atas.
R
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 187
188 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
Mencari Bumi
Tempat Berpijak
W a h a i A n a k k u , e n g k a u t e r u s i r d a n t e r s i n g k i r.
Engkau harus menjalani hidup dalam kemiskinan,
kemelaratan, kenestapaan, dan penyiksaan, sebagaimana yang telah
dirasakan oleh para penyuluh kebenaran terdahulu sebelum dirimu.
Mungkinkah engkau padamkan bara yang menyala-nyala di dalam
hatimu secara tiba-tiba, lalu segalanya pupus terhapus? Mungkinkah
engkau melintasi gelapnya kabut hitam yang menyelimuti gurun pa-
sir yang terhampar luas dipenuhi dengan kelicikan, kecurangan, dan
kebejatan?
Mungkinkah ajaran-ajaranmu akan hancur gugur terkubur di bawah
pasir-pasir tempat tegaknya tuhan-tuhan emas yang berkilau di bawah
pancaran sinar matahari; dan eksistensi manusia akan tetap ditump-
ahkan darahnya dan dicabik-cabik kehormatannya, dipotong-potong
dagingnya tanpa pertanggungjawaban; keringat dan tenaganya diperas
tanpa mengenal batas?
Wahai Abul Qasim, akankah engkau menjadi kenang-kenangan yang
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 189
melekat di hati orang-orang yang lemah, laksana sebuah impian tentang
kebahagiaan yang porak-poranda dan engkau lenyap tak akan mening-
galkan bekas selain senyuman sinis di bibir para penguasa?
Mungkinkah semua ini akan terjadi?
Tapi dirimu tak sama dengan penyuluh kebenaran terdahulu yang
disia-siakan.
Engkau datang dengan sesuatu yang lain dan berbeda. Zaman menyong-
song kehadiranmu dengan cara yang lain pula, tidak seperti kehadiran
Ibnu Samman, Ibnu Nufail, dan siapa pun yang datang pada zaman
yang menunggu kehadirannya sebagaimana kehadiranmu yang datang
dengan membawa obat bagi jiwa-jiwa yang engkau temui, memenuhi
berbagai tuntunan dan kebutuhan jasmani dan rohani.
Jalan kehidupan para penyuluh ajaran-ajaran terdahulu tak mem-
buatmu susah sama sekali. Demikian juga, orang-orang yang beriman
kepada ajaran-ajaranmu pun juga menemui sesuatu sebagaimana apa
yang engkau temui. Mereka yang beriman kepada ajaran-ajaranmu
merasakan juga pedihnya siksaan dan mereka tak akan pernah menun-
dukkan kepala selamanya. Sebaliknya, para penyuluh ajaran terdahulu,
tak seorang pun dari mereka yang menghadapi siksaan, tantangan, dan
pembangkangan sebagaimana kenyataan yang engkau hadapi.
Alangkah keterlaluan ejekan dan penghinaan masyarakat Thaif!
Alangkah kejamnya mereka menghancurkan segenap obsesi-obsesinya
dan membuatnya berdarah hingga kedua tumitnya.
Orang-orang yang mengusirnya dengan ejekan, kotoran, dan batu
adalah justru budak-budak, buruh-buruh, dan rakyat jelata yang
diajaknya untuk memperoleh kemerdekaan dan diberinya harapan-
harapan kebebasan mereka.
Teman-teman pamannya, Al-‘Abbas, menentang kedatangannya dan
mengusirnya, karena berusaha menjaga hubungan baik mereka dengan
para pedagang Quraisy, juga karena kelangsungan hegemoni mereka
terhadap budak-budak dan buruh-buruh.
Sebelum kedatangan Muhammad di tengah-tengah mereka, mereka
190 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
sudah tahu bahwa dia mengharamkan bunga uang, anti tuak, dan
menekan orang-orang untuk membenci daging babi, sedangkan harta
kekayaan mereka menumpuk karena membungakan uang. Perdagangan
mereka yang paling utama adalah babi-babi yang memenuhi padang
gembala Thaif dan arak yang mereka hasilkan dari perkebunan ang-
gur di sana.
Mereka juga tahu bahwa kehadiran Muhammad di tengah-tengah mer-
eka akan menghasut orang-orang lemah dan miskin untuk menuntut
apa yang disebut-sebut sebagai “hak orang-orang miskin terhadap
harta benda orang-orang kaya”. Oleh karena itulah, mereka tidak
mau menerima kedatangannya dan ditumbuhkanlah rasa kebencian di
hati budak-budak yang terus-menerus membuntutinya di setiap jalan.
Apabila Muhammad berusaha berbicara, maka buruh-buruh dan budak-
budak yang telah termakan hasutan itu senantiasa menyumbat lubang
telinga mereka dan mereka melempari dengan batu-batu yang tajam.
Darah segar mengalir di sekujur tubuh Muhammad yang telah mengalir
di atas bumi Thaif. Mereka telah mengusirnya dengan lemparan batu.
Akhirnya, dia menyatakan akan pulang kembali ke Makkah agar musuh-
musuhnya dari suku Quraisy tidak memaki-maki dirinya dan berupaya
menyakitinya lagi dengan siksaan yang lain.
Akan tetapi, Bani Tsaqif, penduduk Thaif menolak untuk merahasiakan
persoalan dirinya. Mereka bersumpah akan mengeksposnya.
Dia berjalan di atas kedua tumitnya yang luka berdarah secara tertatih-
tatih dan diiringi Zaid bin Haritsah dengan cucuran air mata. Muham-
mad duduk bersama dengan bujangnya berteduh di sebuah tembok
mengobati luka-lukanya. Ia memulihkan tenaganya dan menghibur
bujangnya. Pandangan matanya yang tertutup oleh derasnya air mata
sedang menatap padang pasir yang terbentang luas di hadapannya
dengan pasir-pasirnya yang menguning laksana emas seolah-oleh telah
lenyap.
Di dalam benaknya yang menanggung beban derita, terlintas
kata-kata pamannya, Abu Thalib, yang diwasiatkannya kepada para
pemimpin Quraisy ketika dia berbaring lemah di atas tempat tidur
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 191
yang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Aku titipkan Muhammad kepada kalian untuk menjagan ya baik-
baik. Dia adalah orang yang tepercaya di kalangan masyarakat Quraisy
dan orang yang jujur di kalangan masyarakat Arab. Sepertinya aku me-
lihat kalangan rakyat jelata masyarakat Arab, para pecinta kebajikan
di berbagai pelosok, dan orang-orang yang lemah, telah menerima
ajakan-ajakannya dan menghormati ajaran-ajarannya. Selanjutnya,
dia menyelam bersama-sama mereka ke dalam kancah yang memper-
taruhkan nyawa. Maka tidak heran, jika di kemudian hari dia menjadi
pemimpin masyarakat Quraisy dan para bangsawan Quraisy menjadi
ekornya, sedangkan rakyat jelata menjadi tuan-tuan. Bangsa Arab
telah menyerahkan tampuk kepemimpinan mereka kepadanya. Wahai
segenap masyarakat Quraisy, terimalah dan jagalah putra bapak kalian
semua. Jadilah kalian sebagai pelindung untuknya.”
Akan tetapi, Abu Thalib kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Tak seorang pun dari masyarakat Quraisy yang memp erhatikan saran-
sarannya. Orang-orang yang cinta kebajikan, rakyat jelata, dan orang
miskin di Thaif telah menolaknya, menyakitinya, mengusirnya, dan
tak mau memberi makanan, bahkan air sekalipun. Bahkan yang fatal
sekali, mereka bersumpah akan menyampaikan segala peristiwa itu
kepada orang-orang Quraisy yang buta hati agar menyakitinya lagi
nanti setelah kembali ke kampung halamannya.
Beban kehidupan apalagi yang akan dirasakan di Makkah esok?
Seorang pamannya yang banyak menyelamatkannya dari anca-
man, telah meninggalkannya dan telah pergi untuk selama-lamanya.
Demikian pula istri yang banyak menanggung beban penderitaan, telah
meninggalkan dirinya menuju alam Barzakh.
Meskipun masih ada pamannya yang bernama ‘Abbas, tetapi
wibawa pamannya tidak sebesar wibawa Abu Thalib yang telah tiada.
Demikian pula meski sekarang telah ada istrinya yang baru, tetapi
kehadirannya sama sekali tak mampu menggantikan posisi istri yang
dahulu, yaitu Khadijah.
Shahabat-shahabatnya yang pulang kembali ke Habsyah menemui
192 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
penyiksaan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Pemerintah
Quraisy dengan segala kesiapan dan kekuasaannya, kini berkeliaran
seperti binatang buas kelaparan menerkam orang-orang yang mengikuti
Muhammad di Makkah dan orang-orang asing yang coba-coba berani
menjalin kontak dengan Muhammad. Sementara posisi Hamzah dan
‘Umar sudah tidak diperhitungkan lagi. Apa yang dapat diperbuat
Hamzah, ‘Umar, dan beberapa puluh orang lainnya yang jumlahnya
sangat minim sekali untuk menghadapi jumlah musuh yang besar se-
banyak beribu-ribu orang yang bermata gelap karena membela kepen
tingan mereka.
Muhammad dan bujangnya belum lama melepas lelah di balik
tembok itu, ternyata luka-luka di kedua tumitnya yang baru saja di-
alaminya sudah tak mengeluarkan darah lagi, namun orang-orang yang
mengusirnya datang lagi. Mereka mengobrak-abriknya, menyeretnya,
dan mendorongnya secara paksa. Muhammad dan bujangnya harus
berjalan lagi, sementara mereka terus melempari dan menertawakan-
nya.
Lemparan demi lemparan mengakibatkan darah segar mengucur
lagi. Setelah keluar dari daerah Thaif, baru dia dapat beristirahat.
Dia tidur terlentang seorang diri di hadapan pagar-pagar kokoh yang
putih. Nafasnya tersengal-sengal dari segumpal hatinya. Dia mendesah
sambil berdo‘a kepada Tuhannya: “Kepada siapakah Engkau menyerah-
kan diriku? Kepada orang yang jauh yang menyambutku dengan muka
sinis ataukah kepada musuh Engkau, aku serahkan segala persoalanku.
Jika Engkau tak murka kepadaku, maka aku tak akan peduli.” Setelah
berdo‘a, dia meraih tangan bujangnya, lalu mereka berdua berjalan
lagi.
Ia akan coba menawarkan ajarannya kepada orang lain. Ia bertekad
akan mendobrak benteng-benteng penghalang yang dibangun pemer-
intah Quraisy antara dirinya dan orang-orang asing itu. Ia bertekad
akan menanggung segala resiko yang akan diperbuat oleh orang-orang
Quraisy.
Konsistensi sikapnya itulah yang mampu memikat hati dan me-
numbuhkan rasa kekaguman di kalangan orang-orang yang menolak
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 193
ajaran-ajarannya.
Dia berjalan dengan postur tubuhnya yang sedang dan padat. Dia
terobos tempat-tempat di sekitar Ka‘bah yang sesak dengan para sau-
dagar asing. Informasi tentang avonturirnya ke Thaif telah sampai lebih
dahulu ke Makkah. Musuh-musuhnya di Makkah telah bersiap-siap akan
melancarkan aksi intimidasi yang jauh lebih sadis daripada sebelumnya.
Tapi dia telah bersikukuh untuk tidak mempedulikan semua itu. Dia
mulai memberikan penjelasan tentang ajaran-ajarannya kepada para
saudagar asing. Dia mengajak mereka untuk percaya kepada ajaran
Islam yang dibawanya. Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk
berpikir, kemudian dia pergi.
Musuh-musuh dari kalangan para tokoh pemerintah Quraisy men-
getahui apa yang telah dilakukannya. Mereka segera berkumpul di
Ka‘bah untuk membicarakan strategi dan taktik yang akan mereka
ambil dalam rangka menekan Muhammad. Mereka bersumpah akan
menunggu perkembangan selanjutnya sampai esok.
Keesokan harinya dengan segenap keyakinan dan kegigihannya,
Muhammad kembali lagi menghadapi masyarakat Quraisy tanpa ambil
peduli. Muhammad berpapasan dengan mereka tatkala mereka berada
di sekitar Ka‘bah. Mereka saling mengedipkan mata, tetapi isyarat
kedipan mata itu diketahui oleh Muhammad tentang adanya indikasi
terselubung bahwa mereka sedang membicarakan langkah-langkah
yang akan dilancarkan kepada dirinya.
Dia datang seorang diri, sementara itu jumlah mereka sepuluh
orang, yang terdiri dari para pemimpin, para penunggang kuda, dan
jongos-jongos masyarakat Quraisy. Dia menantang mereka seraya
berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, aku datang untuk memenggal
leher kalian.”
Menyembelih?
Dengan nama apakah hingga dia berani menantang seperti itu?
Begitu beraninya dia menerobos kerumunan publik seorang diri tanpa
didampingi siapa-siapa, tanpa Hamzah dan tanpa ‘Umar. Rasa-rasanya
194 MUHAMMAD SANG T E L A D A N
tak mungkin ada seorang yang menakut-nakuti orang lain seorang diri.
Orang-orang yang duduk sama-sama bengong, lantaran terkejut.
Mereka bungkam, tak kuasa berkata-kata.
Maka dengan suara lemah-lembut, Abu Jahal berkata: “Muham-
mad, engkau tidak bodoh kan?”
Mungkin hanyalah berdalih dengan para pembesar atau mungkin ia
mengatakan sesuatu yang memberikan kepuasan kepada orang-orang
yang sedang duduk, tetapi sesungguhnya yang dituju adalah orang-
orang yang buta hati.
Dengan muka masam penuh kebencian, Muhammad menjawab uca-
pan Abu Jahal sambil berpaling: “Abu Jahal! Termasuk juga engkau.”
Para pemimpin Quraisy bertekad akan mengambil tindakan ke-
kerasan sebagai suatu pelajaran di hadapan para pendatang asing
itu. Dengan demikian, Muhammad tidak akan berani lagi mengungguli
mereka dan tidak akan memiliki kekuatan apa-apa untuk menghadapi
mereka dengan ejekan.
Mengapa mereka tidak mengambil tindakan kepadanya, sebagaima-
na tindakan yang pernah dilakukan Bani Tsaqif ketika ia mengunjungi
Thaif? Mereka berkumpul dengan kalangan pendekar-pendekarnya,
jagoan-jagoan penunggang kudanya, dan jongos-jongosnya.
Seperti biasanya, Muhammad datang lagi ke Ka‘bah esok harinya.
Mereka membiarkan Muhammad menuju ke Maqam Ibrahim, namun
saat ia sedang melakukan shalat di mihrab, mereka melompatinya.
Secara serentak, mereka melompat.
Ketika Muhammad sedang membungkuk penuh khusyu‘ dalam shalat-
nya, secara tiba-tiba ‘Utbah bin Rabi‘ah melakukan tindakan sadis den-
gan cara menjeratkan selendang Muhammad ke lehernya, kemudian ia
menariknya hingga Muhammad terjatuh bersimpuh. Sementara mereka
yang lain langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi kepadanya.
Sebagian orang yang ada di masjid menjerit nyaring melengking.
Mereka mengutus seseorang kepada Hamzah dan ‘Umar agar meny-
elamatkan temannya, tapi di Makkah tak ada teman-temannya, selain
MUHAMMAD SANG T E L A D A N 195