Prakata
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tiada kata-kata yang pantas disampaikan kecuali puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan ridhonya kepada saya untuk dapat menyelesaikan buku ini. Salawat serta salam
kita sampaikan kepada nabi Muhammad SAW teriring doa semoga kita dapat digolongkan sebagai
umatnya yang taat segala aturan dan tutunannya sampai akhir zaman. Amin, amin ya robbal alamin.
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia seperti Bank Syariah, Asuransi Syariah,
Lembaga Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Koperasi Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah
dan lembaga keuangan syariah lainnya menuntut akuntansi harus mampu untuk mengikuti perkembangan
Lembaga Keuangan Syariah tersebut. Akuntansi syariah di Indonesia berkembang dengan cukup pesat
dimana tahun 2001 sampai dengan 2007 hanya ada satu ketentuan akuntansi syariah yaitu PSAK 59
tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang hanya dipergunakan untuk bank syariah, maka mulai tahun
buku 2008 sudah dapat dikembangkan dan disempurnakan menjadi beberapa PSAK Syariah, yaitu PSAK
101 sampai dengan PSAK 108, yang dipergunakan oleh seluruh lembaga keuangan syariah dan pihak-pihak
terkait, termasuk Kerangka Dasar Penyajian Penyusunan Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) yang
terpisah dari akuntansi umum. Dengan adanya perubahan dan penyempurnaan akuntansi syariah tersebut
sangat diperlukan pemahaman semua pihak, khususnya pelakasana lembaga keuangan syariah termasuk
para akademi. Pada tingkatan akademisi hambatan yang dialami adalah keterbatasan buku-buku leteratur
aplikatif tanpa mengabaikan konseptual, yang dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan.
Dengan adanya perubahan dan penyempurnaan PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah
menjadi PSAK Syariah (saat ini nomor 101 sampai dengan 108) tersebut, terdapat perbedaan yang sangat
mendasar dalam memahami akuntansi syariah untuk Lembaga Keuangan Syariah. Pada PSAK syariah yang
baru terdapat PSAK Syariah yang berlaku umum dan berlaku atau diterapkan untuk seluruh lembaga
keuangan syariah dan pihak-pihak terkait dalam melaksanakan transaksi syariah (tidak membedakan
entitas) dan juga terdapat PSAK yang dipergunakan industri khusus, misalnya khusus untuk asuransi
syariah, pengelola zakat dsb. Oleh karena itu pemahaman akuntansi lembaga keuangan syariah secara
menyeluruhpun perlu disesuaikan dengan pola pemahaman sebagai berikut:
1 ”Akuntansi Transaksi Syariah” dengan cakupan bahasan PSAK 101 sampai dengan PSAK 107
(PSAK Syariah yang berlaku umum), yaitu Akuntansi Murabahah, Akuntansi Salam, Akuntansi
Istishna’, Akuntansi Mudharabah, Akuntansi Musyarakah dan Akuntansi Ijarah serta Penyajian
Penyusunan Laporan Keuangan Syariah yang dilakukan dan diterapkan pada Lembaga Keuangan
Syariahnya maupun pihak-pihak yang terkait (nasabahnya) tanpa membedakan entitas syariahnya.
2. ”Akuntansi Industri Khusus” dengan cakupan bahasan PSAK 101 sampai dengan PSAK 107 yang
berlaku umum, dengan fokus pembahasan hanya dari segi industri atas akuntansi pelaksanaan
transaksi yang dilakukan industri tersebut dan dengan memperhatikan ketentuan instansi yang
terkait, misalnya ”Akuntansi Asuransi Syariah” dengan cakupan PSAK 101 sampai dengan PSAK
107 atas akuntansi yang dilaksanakan oleh asuransi syariah (hanya dari titik pandang asuransi syariah
saja) dalam melaksanakan transaksi syariah ditambah dengan PSAK 108 tentang Akuntansi Asuransi
Syariah dan ketentuan dari Departemen Keuangan tentang Asuransi Syariah. Begitu juga dengan
”Akuntansi Bank Syariah” dengan cakupan PSAK 101 sampai dengan Pak 107 dari segi bank
syariah atas transaksi yang dilaksanakannya dengan memperhatikan Peraturan Bank Indonesia yang
berlaku.
Selain itu dalam pelaksanaan akuntansi Lembaga Keuangan Syariah tersebut harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan PSAK untuk transaksi non syariah (PSAK 1 sampai dengan PSAK 99) sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti misalnya PSAK tentang persediaan, PSAK
tentang pendapatan, PSAK tentang Aktiva Tetap, PSAK tentang Aktiva Tidak Berwujud dan sebagainya
Dengan adanya pola pemikiran di atas, buku yang diberi judul “Akuntansi Transaksi Syariah” ini
merupakan salah satu buku yang dapat dipergunakan untuk memahami Lembaga Keuangan Syariah secara
umum dan khususnya Akuntansi Syariah, buku ini merupakan pelengkap dan saling mengisi dengan buku
penyusun yang berjudul “Produk Perbankan Syariah” yaitu suatu buku dengan cakupan bahasan kegiatan
usaha yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Perbankan Syariah yang meliputi
perbedaan Bank Syariah dan Konvensional, penghimpunan dana Bank Syariah, penyaluran dana Bank
Syariah, jasa layanan Bank Syariah, perhitungan pembagian hasil usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah
dan sekilas Akuntansi Syariah. Buku Akuntansi Transaksi Syariah ini memberikan gambaran Akuntansi
Syariah atas transaksi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah secara umum serta akuntansi yang
dilakukan pihak-pihak terkait (nasabahnya), yang sebelumnya tidak diatur dalam PSAK 59 tentang
Akuntansi Perbankan Syariah seperti misalnya dalam Akuntansi Murabahah dibahas akuntansi yang
dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual dan akuntansi yang harus dilakukan oleh
nasabannya sebagai pembeli. Pola pemikiran dalam pembahasan Akuntansi Syariah dalam buku ini
didasarkan pada prinsip syariah yang dipergunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan sesuai PSAK
Syariahnya yaitu Murabahah, Salam, Istishna’, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah tanpa memperhatikan
aplikasi produk yang dilakukan karena nama produk industri yang satu dapat berbeda dengan nama
produk industri yang lain. Dalam buku ini juga dilengkapi dengan beberapa soal kasus yang dapat
dipergunakan sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman akuntansi syariah Lembaga Keuangan
Syariah tersebut. Buku ini juga ditulis dengan pendekatan aplikatif tanpa harus mengabaikan konsepnya
sehingga diharapkan dapat dipergunakan oleh pelaksana Lembaga Keuangan Syariah, nasabah sebagai
pihak yang terkait, kantor akuntan saat melakukan pemeriksaan baik pada Lembaga Keuangan Syariah
maupun nasabahnya, akademisi dan sebagainya. Buku ini diharapkan dapat membantu semua pihak yang
menginginkan pemahaman Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Akuntansi Syariah. Perkembangan
industri syariah di Indonesia sangat dibutuhkan kualitas Sumber Daya Insani yang memadai dan
berkualitas serta mempunyai wawasan kedepan yang luas, memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku,
memahami Akuntansi Syariah secara utuh dan menyeluruh, memiliki komitmen untuk mengedepankan
prinsip syariah dari kepentingan yang lain serta selalu melakukan kajian-kajian kearah postif untuk
mendukung perkembangan industri syariah tersebut. Di bidang pendidikan sangat diperlukan sarana
pengajaran yang aplikatif tanpa harus meninggalkan kajian-kajian teoritis, folosifnya dan konsep yang
berlaku secara umum serta tidak melanggar ketentuan syariah.
Sangat disadari bahwa buku ini tersusun atas dorongan dan saran semua pihak, oleh karena itu
sudah sepantasnyalah penyusun ucapan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ekonomi Trisakti – Prof Dr. Hj. Farida Jasfar, ME, PhD Ketua Jurusan akuntansi
FE Usakti – Dra. Hj. Etty M. Nasser, Ak MM , Sekretaris Jurusan Akuntansi FE Usakti - H.
Murtanto SE, MSi, tim dosen pengajar akuntansi perbankan syariah FE Usakti.
2. Ketua program Magister Akuntansi (Maksi) Fakultas Ekonomi Universitas Trisaksi dan direktur
program IEF Universitas Trisakti - Prof Dr.Sofyan Safri Harahap, MSAc, S.E., BSc, Akuntan
3. Teman-teman Komite Akuntansi Syariah, Ikatan Akuntansi Indonesia – pak Yusuf Wibisana, mas
Sriyanto, Eka, Yakub, Widodo, Dewi Astuti, mas Agus Siregar, Cecep Makanul Hakim, Setiawan
Budiutomo, mas Ikhwan Abidin, mas Hasanudin, mas Kany Hudaya, Amin Musa, Dwiyanto, mas
arief.
5. Teman-teman di lembaga pendidikan - ICDIF LPPI, Bagian Diklat Bank Mega Syariah Indonesia,
Bagian Diklat Bank BRI Syariah, Bagian PPL IAI dan IAPI, dan teman-teman dibidang pendidikan
dan pelatihan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
6. Serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyelesian buku ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi menghargaan penulis kepada yang bersangkutan.
7. Ucapan terima kasih dan penghargaan khusus penulis sampaikan kepada istriku Wahyu Winarti dan
kedua anakku Adhitya Hapsoro SH dan Ajeng Anindita SE, yang dengan penuh kesabaran dan
tolerensi serta memberikan dorongan untuk menyelesaikan buku ini
Akhirnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang telah memberikan dorongan dan masukkan
atas penulisan buku ini.
Sangat disadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu semua saran, komentar
dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan buku ini dengan senang hati dan terbuka
sangat diharapkan.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jagakarsa, Nopember 2010-
penyusun
Kata Pengantar
Perkembangan akuntansi syariah di Indonesia selaras dengan perkembangan perbankan syariah. Berbagai
tulisan tentang perbankan syariah dan akuntansi syariah baik berupa buku teks maupun hasil kajian ilmiah
yang beredar dimasyarakat mencerminkan semakin diminatinya bidang perbankan syariah dan akuntansi
syariah. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan lahan subur yang menunggu
digarap untuk mengembangkan perbankan dan akuntansi syariah lebih lanjut.
Dalam buku yang berjudul Akuntansi Transaksi Syariah ini, penulis ingin memenuhi kebutuhan berbagai
pihak yang menginginkan pemahaman tentang Transaksi Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah,
khususnya Akuntansi Syariah. Pola pemikiran pembahasan akuntansi syariah dalam buku ini didasarkan
pada prinsip syariah yang sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah. Selain
pembahasan, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa pertanyaan dan soal kasus yang dapat
dipergunakan untuk lebih memahami Akuntansi Transaksi Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah.
Kami merasa bangga dan berterima kasih kepada Bapak Wiroso yang merupakan anggota Dewan Standar
Akuntansi Syariah dan Dewan Penguji Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia yang
telah meluangkan waktu untuk menulis buku ini. Saya yakin berbagai pihak akan memetik manfaat dari
keberadaan buku ini.
Jakarta, Nopember 2010
M. Jusuf Wibisana
Ketua Dewan Standar Akuntansi Syariah
Ikatan Akuntan Indonesia
Daftar Isi Hal
1
BAB I : PENDAHULUAN 3
1.1. Lembaga Keuangan di Indonesia 5
1.2. Imbalan Pemodal Lembaga Keuangan Syariah 8
1.3. Fungsi Lembaga Keuangan Syariah 10
1.4. Titik Pandang Uang Lembaga Keuangan Syariah 12
1.5. Alur Operasional Lembaga Keuangan Syariah
1.6. Pertanyaan dan Soal Hal
13
BAB II : SEKILAS AKUNTANSI SYARIAH DI INDONESIA 15
2.1. Pendahuluan 18
2.2. Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia 20
2.3. Bangun Prinsip Akuntansi Syariah 21
2.4. Pemakai dan Kebutuhan Informasi Akuntansi Syariah
2.5. Asumsi Dasar Akuntansi Syariah 23
24
A. Kelangsungan Usaha 24
B. Dasar Akrual 25
2.6. Proses (siklus) Akuntansi Syariah 27
2.7. Transaksi Syariah 27
A. Paradigma Transaksi Syariah 27
B. Asas Transaksi Syariah 30
C. Karakteristik Transaksi Syariah 32
2.8. Akun-akun Akuntansi Syariah 32
A. Akun Riil (akun Laporan Posisi Keuangan/neraca) 33
B. Akun Nominal (akun laporan laba rugi)
C. Akun Ekstra Komtabel Hal
2.9. Laporan Keuangan Entitas Syariah 35
2.10 Pertanyaan dan Soal 40
47
BAB III : LAPORAN KEUANGAN ENTITAS SYARIAH 47
3.1. Tujuan Laporan Keuangan 56
3.2. Karakteristik Kualitas Laporan Keuangan 61
3.3. Unsur Laporan Keuangan Entitas Syariah 65
66
3.3.1. Laporan Posisi Keuangan (neraca) 67
3.3.2. Laporan Laba Rugi (Laporan Kinerja) 69
3.3.3. Laporan Arus Kas 70
3.3.4. Laporan Perubahan Ekuitas 72
3.3.5. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
3.3.6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
3.3.7. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat
3.3.8. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil
3.4. Pertanyaan
BAB IV : AKUNTANSI MURABAHAH Hal
4.1. Pengertian dan Karakteristik Murabahah 73
73
4.1.1. Pengertian dan Istilah dalam transaksi Murabahah 74
4.1.2. Karakteristik Murabahah 77
4.1.3. Jenis dan Alur Murabahah 77
78
A. Murabahah Tanpa Pesanan 79
B. Murabahah Berdasarkan Pesanan 80
4.2. Cakupan Akuntansi Murabahah 81
4.3. Akuntansi Penjual 81
4.3.1. Akun-akun untuk Akuntansi Penjual 82
A. Akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 85
B. Akun Laporan Laba Rugi 86
4.3.2. Uang muka Murabahah 87
A. Penerimaan Uang Muka dari Pembeli 88
B. Pembayaran Uang Muka LKS kepada Pemasok 91
C. Pembatalan Murabahah oleh Pembeli 92
4.3.3. Pengadaan Aset (barang) Murabahah 94
A. Aset Murabahah 97
B. Penerimaan Diskon Murabahah 99
C. Pengukuran Aset murabahah Setelah Diperoleh
D. Pengadaan Barang oleh LKS Sebagai Penjual Diwakilkan kepada Pihak Lain 100
102
(Nasabah atau Pihak Ketiga) 102
4.3.4. Penjualan Barang dan Pembayaran Harga Barang 103
106
A. Persediaan (harga perolehan) 106
B. Piutang Murabahah 107
C. Keuntungan yang Disepakati 109
4.3.5. Penjualan dengan Pengakuan Keuntungan Saat Penyerahan Barang 110
A. Penerimaan Uang Muka dari Pembeli 112
B. Penyerahan Barang kepada Pembeli 113
C. Penerimaan Pembayaran Angsuran dari Pembeli 114
D. Angsuran Jatuh Tempo Belum Membayar (tertunggak) 117
E. Penerimaan Pembayaran Angsuran yang Tertunggak 118
F. Pembayaran Angsuran Lebih Kecil dari Kewajiban 120
G Potongan Angsuran Murabahah 120
H. Potongan Pelunasan Piutang Murabahah Sebelum Jatuh Tempo 122
4.3.6. Penjualan Dengan Pengakuan Keuntungan Proporsional 123
A. Penerimaan Uang Muka dari Pembeli 124
B. Penyerahan Barang Kepada Pembeli 125
C. Penerimaan Pembayaran Angsuran dari Pembeli 127
D. Angsuran Jatuh Tempo Belum Dibayar (Tertunggak) 130
E. Penerimaan Pembayaran Angsuran Tertunggak 132
F. Pembayaran Angsuran Lebih Kecil dari Kewajiban
G. Potongan Angsuran Murabahah
H. Potongan Pelunasan Piutang Murabahah Sebelum Jatuh Tempo
4.3.7 Penjualan dengan Pengakuan Keuntungan Setelah Pelunasan Pokok
4.3.8. Denda Kepada Pembeli 134
4.3.9. Pembentukan Cadangan Kerugian Piutang Murabahah 135
4.3.10 Piutang Murabahah Bermasalah 135
137
A. Penundaan / Penjadwalan kembali Pembayaran Murabahah 138
B. Konversi Akad Murabahah oleh Penjual (Kreditur) 139
C. Potongan Tagihan Murabahah oleh Penjual (Kreditur) 139
D. Debitur Tidak Mampu Bayar 141
4.4. Akuntansi Pembeli Akhir 141
4.4.1. Akun-akun pada Pembukuan Pembeli 141
142
A. Akun dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 143
B. Akun dalam Laporan Laba Rugi 147
4.4.2. Pembayaran Uang Muka Kepada Penjual 149
4.4.3. Penerimaan Barang dan Pengakuan Hutang Harga Barang 150
4.4.4. Penerimaan Diskon Harga Barang 150
4.4.5. Pembayaran Harga Barang 151
4.4.6. Pembayaran Angsuran 152
A. Angsuran Telah Jatuh Tempo Belum Dibayar 153
B. Pembayaran Sebagian Angsuran JatuhTempo 153
C. Potongan Angsuran Hutang Murabahah 155
4.4.7. Penerimaan Potongan Pelunasan Harga Barang 155
4.4.8 Pembayaran Denda 156
4.4.9. Wakil LKS untuk Membeli Barang 156
4410 Akuntansi Utang Piutang Murabahah Bermasalah 157
4.5. Penyajian dan Pengungkapan Murabahah
4.6. Pertanyaan dan Soal Hal
163
BAB V : AKUNTANSI SALAM 163
5.1. Pengertian dan Karakteristik Salam 164
165
5.1.1 Pengertian dan Istilah dalam Transaksi Salam 166
5.1.2. Karakteristik Salam 166
5.1.3. Jenis dan Alur Transaksi Salam 167
168
A. Transksi Salam Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pembuat 169
B. Transaksi Salam Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pembeli 169
C. Salam Paralel (Entitas Syariah sebagai Pembuat dan Pembeli) 169
5.2. Cakupan Akuntansi Salam 170
5.3. Akuntansi Pembeli 171
5.3.1. Akun-akun Pada Pembeli 171
A. Akun-akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 172
B. Akun-akun Laporan Laba Rugi 174
5.3.2. Penyerahan Modal Salam Kepada Produsen (Pembuat) 176
A. Jika Penyerahan Modal Salam dalam Bentuk Uang Tunai (Kas) 176
B. Jika Penyerahan Modal Salam dalam Bentuk Non Kas (Barang)
5.3.3. Penerimaan Barang Pesanan dari Produsen (Pembuat)
A. Penerimaan Barang Salam dengan Kualitas Sama dengan Kontrak
B. Penerimaan Barang Salam dengan Kualitas Berbeda dengan Kontrak
5.3.4. Pada Saat Jatuh Tempo Tidak Ada Penerimaan Barang 179
A. Memperpanjang Jangka Waktu Pengiriman Barang Kepada Pembeli 180
B. Pembatalan Pesanan dan Penjual Tidak Dapat Melunasi Hutangnya 180
C. Pembatalan Pesanan dan Penjual Melunasi Kewajibannya dari Hasil 181
Penjualan Jaminan Salam
5.3.5. Denda 183
5.4. Akuntansi Penjual (Produsen/Pembuat) 183
5.4.1. Akun-akun Pada Penjual 183
A. Akun-akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 183
B. Akun-akun Laporan Laba Rugi 184
5.4.2. Penerimaan Modal Salam dari Pembeli/Pemesan 185
A. Penerimaan Modal Salam Dalam Bentuk Kas/Tunai 185
B. Penerimaan Modal Salam Dalam Bentuk Non Kas (Barang) 186
5.4.3. Penyerahan Barang Salam Kepada Pembeli/Pemesan 186
A Penyerahan Barang dengan Kualitas yang Sama Dalam Akad 187
B. Penyerahan Barang dengan Kualitas yang Berbeda 187
5.5. Akuntansi Salam Paralel 188
5.5.1. Ilustrasi Contoh Pertama 188
A. Penerimaan Modal dari Bulog (Sebagai Pemesan Akhir) 189
B. Penyerahan Modal Kepada KUD Berkah (Sebagai Pembuat) 190
C. Penerimaan Barang Salam dari KUD Berkah Sukabumi 191
D. Penyerahan Barang Salam Kepada Bulog (Pemesan Akhir) 194
5.5.2. Ilustrasi Contoh Kedua 195
5.6. Penyajian dan Pengungkapan 197
5.7. Pertanyaan dan Soal 197
BAB VI : AKUNTANSI ISTISHNA’ Hal
6.1. Pengertian dan Karakteristik Istishna’ 203
203
6.1.1. Pengertian 204
6.1.2. Karakteristik Istishna’ 205
6.1.3. Jenis dan Alur Transaksi Istishna’ 205
206
A. Istishna’ Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pembuat 207
B. Istishna’ Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pemesan 208
C. Istishna’ Paralel 209
6.2. Cakupan Akuntansi Istishna’ 210
6.3. Akuntansi Penjual 210
6.3.1. Akun-akun untuk Akuntansi Penjual 210
A. Akun-akun Laporan Posisi Keuangan/Neraca 211
B. Akun Laporan Laba Rugi 213
6.3.2. Penyatuan dan Segmentasi Akad 213
6.3.3. Memproduksi Aset Istishna’ dan Pengakuan Pendapatan Istishna’ 220
A. Pengakuan Pendapatan Istishna’ Metode Prosentase Penyelesaian 222
B. Pengakuan Pendapatan Istishna’ Metode Penyelesaian (Completed Method) 222
6.3.4. Penyerahan Aset Istishna’ dan Cara Pembayaran oleh Pemesan 223
A. Pembayaran Dimuka Seluruh Harga Aset Istishna’
B. Pembayaran Dilakukan Selama Dalam Proses Penyelesaian Aset Istishna’
(Jangka Waktu Pembayaran dan Penyelesaian Aset Istishna’ Sama)
C. Pembayaran dengan Jangka Waktu Tidak Sama Dengan Jangka Waktu 224
Penyelesaian Aset Istishna’
D. Pembayaran Dilakukan Secara Tangguh Setelah Penyerahan Aset Istishna’ 224
6.3.5. Ilustrasi Contoh Lain LKS Sebagai Produsen/Penjual Dalam Transaksi Istishna’ 225
6.3.6. Istishna’ Dengan Pembayaran Tangguh 230
A. Istishna’ Pembayaran Tangguh LKS Sebagai Produsen (Kontraktor) dengan 231
Setelah Barang Diterima
B Istishna’ Pembayaran Tangguh LKS Sebagai Produsen dengan Secara 240
Angsuran Selama Proses Pembuatan Aset Istishna’
C. Istishna’ Paralel dengan Pembayaran Tangguh 262
6.3.7. Penyelesaian Awal 273
6.3.8. Perubahan Pesanan dan Tagihan Tambahan 274
6.3.9. Pengakuan Taksiran Rugi 275
6.4. Akuntansi Pembeli 276
6.4.1. Akun-akun Dalam Akuntansi Pembeli 276
A. Akun untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 276
B. Akun untuk Laporan Laba Rugi 277
6.4.2. Pembayaran Harga Barang 277
A Pembayaran Harga Barang Seluruhnya Dimuka 278
B Pembayaran Harga Barang Selama Dalam Proses Produksi 278
C Pembayaran Harga Barang Secara Tangguh Setelah Barang Diterima 280
6.4.3. Penerimaan Barang Pesanan 280
6.5. Akuntansi Istishna’ Paralel 280
6.5.1. Istishna’ Paralel - Biaya Sub Kontraktor Sama Dengan Nilai Tunai Penyerahan 281
6.5.2. Istishna’ Paralel – Biaya Sub Kontraktor Tidak Sama Nilai Tunai Saat Penyerahan 298
A. Pengakuan Pendapatan Istishna’ Metode Prosentase Penyelesaian 299
B. Pengakuan Pendapatan Istishna’ Metode Penyelesaian (Completed Method) 317
6.5.3. Istishna’ Paralel – Jangka Waktu Produksi Aset Istishna’ Sama Dengan Jangka 320
Waktu Pembayaran
6.6. Penyajian dan Pengungkapan 326
6.7. Pertanyaan dan Soal 327
BAB VII : AKUNTANSI MUDHARABAH Hal
7.1. Pengertian dan Karakteristik Mudharabah 333
333
7.1.1. Pengertian 335
7.1.2. Karakteristik Mudharabah 340
7.1.3. Jenis dan Alur Transaksi Mudharabah 342
7.2. Cakupan Akuntansi Mudharabah 343
7.3. Akuntansi Pemilik Dana (Shahibul Maall) 343
7.3.1. Akun-akun Dalam Akuntansi Pemilik Dana Mudharabah 343
344
A. Akun-akun Untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 346
B. Akun-akun Untuk Laporan Laba Rugi 346
7.3.2. Persetujuan Investasi Mudharabah oleh Pemilik Dana 348
7.3.3. Modal Mudharabah
A. Pembelian Aset Mudharabah
B. Penyerahan Modal Kas 349
C. Penyerahan Modal Non Kas (Barang) 350
D. Modal Mudharabah Hilang dan Penurunan Modal Non Kas (Barang) 354
E. Penurunan dan Hilang Setelah Usaha Dimulai 355
7.3.4. Bagi Hasil Mudharabah 359
A. Penerimaan dan Pengakuan Bagi Hasil Mudharabah 361
B. Kerugian Mudharabah 362
7.3.5. Penerimaan Kembali Modal Mudharabah 364
7.4. Akuntansi Pengelola Dana (Mudharib) 369
7.4.1. Akun-akun Dalam Akuntansi Pengelola Dana (Mudharib) 369
A. Akun-akun untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 369
B. Akun-akun untuk Laporan Laba Rugi 370
7.4.2. Modal Mudharabah 370
A. Penerimaan Modal Mudharabah Kas 371
B. Penerimaan Modal Mudharabah Non Kas (Barang) 371
7.4.3. Pembagian Hasil Usaha 372
7.4.4. Pengembalian Modal Mudharabah 374
7.4.5. Akuntansi Pengelolaan Dana Bagi Lembaga Keuangan Syariah 377
A. Penerimaan Modal Mudharabah 377
B. Pembayaran Kembali Modal Mudharabah 379
C. Pembagian Hasil Usaha 380
7.5 Akuntansi Mudharabah Musytarakah 382
7.6 Akuntansi Mudharabah Muqayyadah 384
7.6.1 LKS Sebagai Pemilik Dana Mudharabah Muqayyadah 386
7.6.2. LKS Sebagai Pengelola Dana Mudharabah Muqayyadah 387
7.7. Penyajian dan Pengungkapan 395
7.8. Pertanyaan dan Soal 396
BAB VIII : AKUNTANSI MUSYARAKAH Hal
8.1. Pengertian dan Karakteristik Musyarakah 405
405
8.1.1. Pengertian Musyarakah 407
8.1.2. Karakteristik Musyarakah 409
8.1.3. Jenis dan Alur Transaksi Musyarakah 410
8.2. Cakupan Akuntansi Musyarakah 413
8.3. Akuntansi Mitra Pasif 413
8.3.1 Akun-akun Pada Mitra Pasif 413
414
A. Akun-akun Untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 415
B. Akun-akun Untuk Laporan Laba Rugi 415
8.3.2. Pada Saat Akad 416
A. Biaya musyarakah 426
B. Penyerahan Modal Musyarakah 426
8.3.3. Selama Akad 429
A. Musyarakah Permanen 431
B. Musyarakah Menurun
8.3.4. Pengakuan Hasil Usaha
A. Perlakuan Hasil Usaha Musyarakah 431
B. Perlakuan Rugi Investasi Musyarakah 432
8.3.5. Akhir Akad 432
8.4. Akuntansi Mitra Aktif (Penyetor Modal Musyarakah) 434
8.4.1. Akun-akun Mitra Aktif (Sebagai Pemilik Modal Musyarakah) 434
A. Akun-akun Untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 434
B. Akun-akun Untuk Laporan Laba Rugi 435
8.4.2. Pada Saat Akad Musyarakah 436
A. Biaya Akad Musyarakah 436
B. Penyisihan Modal Musyarakah oleh Mitra Aktif 437
8.4.3. Selama Akad Musyarakah 443
A. Penerimaan Hasil Usaha Musyarakah 443
B. Pengembalian Modal 444
8.4.4. Pada Akhir Akad Musyarakah 449
8.5. Akuntansi Mitra Aktif (Sebagai Pengelola Musyarakah) 449
8.5.1 Akun-akun Pada Mitra Aktif (Sebagai pengelola musyarakah) 449
A. Akun-akun untuk Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 449
B. Akun-akun untuk Laporan Laba Rugi 450
8.5.2. Penerimaan Penyertaan Modal (Pada Saat Awal Akad) 451
A. Penyertaan Modal Musyarakah oleh Mitra Aktif 451
B. Penerimaan Modal Musyarakah dari Mitra pasif 453
8.5.3. Selama Akad Musyarakah 456
A. Hasil Usaha Musyarakah 456
B. Pengalihan Modal Musyarakah dari Mitra pasif ke Mitra Aktif 457
8.5.4 Akhir Akad 459
8.6. Penyajian dan Pengungkapan 460
8.7. Pertanyaan dan Soal 460
BAB IX : AKUNTANSI IJARAH Hal
9.1. Pengertian dan Karakteristik Ijarah 469
469
9.1.1. Pengertian dan Rukun 470
9.1.2. Karakteristik Ijarah 472
9.2. Cakupan Akuntansi Ijarah 474
9.3. Akuntansi Pemilik Obyek Ijarah (Mu’jir) 474
9.3.1. Akun-akun Dalam Transaksi Ijarah 474
474
A. Akun-akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 476
B. Akun-akun Laporan Laba Rugi 476
9.3.2. Obyek Ijarah 477
A. Pengadaan aset Ijarah 478
B. Pengeluaran biaya lain aset Ijarah 479
9.3.3. Harga Sewa 479
A. Perhitungan Harga Sewa 483
B. Pelaksanaan Akad Ijarah 494
C. Penyusutan Obyek Ijarah
D Pemeliharaan dan Perbaikan Obyek Ijarah
E. Pendapatan Ijarah 495
9.3.4. Perpindahan Kepemilikan 497
498
A. Pemindahan Kepemilikan dengan Cara ”Hibah” 499
B. Perpindahan Kepemilikan dengan Cara Penjualan 502
9.3.5. Penurunan Kualitas Obyek Sewa 502
9.4. Akuntansi Penyewa (Musta’jir) 502
9.4.1. Akun dalam Akuntansi Penyewa 503
A. Akun dalam Laporan Posisi Keuangan 503
B. Akun dalam Laporan Laba Rugi 504
9.4.2. Beban Sewa 504
A. Akuntansi Penyewa Ijarah 505
B. Akuntansi Penyewa Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) 506
9.4.3. Beban Pemeliharaan dan Perbaikan 506
9.4.4. Pemindahan Kepemilikan 509
9.5. Akuntansi Jual dan Ijarah 510
9.6 Akuntansi Ijarah Lanjut 513
9.7 Penyajian dan Pengungkapan 513
9.8 Pertanyaan dan Soal
Lampiran
1 Daftar Akun (Chart of Account)
A. Daftar Akun Aktiva
B. Daftar Akun Kewajiban
C. Daftar Akun Dana Syirkah Temporer
D Daftar Akun Equity
E Daftar Akun Pendapatan Usaha Utama
F Daftar Akun Hak Pihak Ketiga Atas Bagi Hasil
G. Daftar Akun Pendapatan Operasi Lainnya
H Daftar Akun Beban Operasi
I. Daftar Akun Komitmen dan Kontijen
2 Komparasi Akuntansi LKS dan Pihak Terkait
A. Akuntansi Penjual dan Pembeli (PSAK 102)
B Akuntansi Pemesan dan Produsen (PSAK 103)
C Akuntansi Pemesan dan Produsen (PSAK 104)
D. Akuntansi Pemilik Dana dan Pengelola Dana (PSAK 105)
E. Akuntansi Mitra Pasif dan Mitra Aktif (PSAK 106)
F. Akuntansi Penyewa dan Pemilik Obyek Sewa (PSAK 107)
Daftar Gambar
Bab I - Pendahuluan
Gambar 1-1 : Sistem Keuangan Indonesia
Gambar 1-2 : Imbalan Kepada Pemodal
Gambar 1-3 : Perbedaan Transaksi Bank Konvensional, Multi Finance dan Bank Syariah
Gambar 1-4 : Alur Operasional Lembaga Keuangan Syariah
Bab II – Sekilas Bank Syariah
Gambar 2-1 : Kedudukan KAS
Gambar 2-2 : Pola Pemahaman Akuntansi Syariah
Gambar 2-3 : Bangun Prinsip Akuntansi Syariah
Gambar 2-4 : Asumsi Dasar Akrual
Gambar 2-5 : Pos-pos Neraca Akrual Sebelum PSAK 59
Gambar 2-6 : Alur Akuntansi
Gambar 2-7 : Alur Akuntansi Komputerisasi
Gambar 2-8 : Hubungan Akun Neraca dengan Prinsip Syariah
Gambar 2-9 : Akun dalam Laporan Laba Rugi
Gambar 2-10 : Hubungan Laporan Keuangan dan Fungsi LKS
Bab IV - Akuntansi Murabahah
Gambar 4-1 : Jenis Murabahah
Gambar 4-2 : Alur Murabahah Tanpa Pesanan
Gambar 4-3 : Alur Murabahah Tanpa Pesanan
Gambar 4-4 : Penggunaan Akuntansi Murabahah
Gambar 4-5 : Alur Transaksi Murabahah (1)
Gambar 4-6 : Pembelian Barang Diwakilkan
Gambar 4-7 : Harga Jual dan Hutang Nasabah
Bab V – Akuntansi Salam
Gambar 5-1 : Alur Transaksi Salam LKS sebagai Pembuat
Gambar 5-2 : Alur Transaksi Salam LKS sebagai Pemesan
Gambar 5-3 : Alur Transaksi Salam LKS sebagai Pemesan
Gambar 5-4 : Penggunaan Akuntansi Salam
Gambar 5-5 : Alur Transaksi Salam Paralel
Bab VI – Akuntansi Istishna’
Gambar 6-1 : Alur Istishna’ LK Syariah sebagai Pembuat
Gambar 6-2 : Alur Istishna’ Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pemesan
Gambar 6-3 : Alur Istishna’ Paralel
Gambar 6-4 : Penggunaan Akuntansi Istishna’
Gambar 6-5 : Skema Transaksi Istishna’
Gambar 6-6 : Skema Istishna’ Produksi Sendiri
Gambar 6-7 : Skema Istishna’ Pembayaran Tangguh
Gambar 6-8 : Ilustrasi Istishna’ Pembayaran Tangguh
Gambar 6-9 : Skema Istishna’ Penyelesaian 25% (Produksi Sendiri)
Gambar 6-10 : Skema Penyelesaian Proyek 60% (Produksi Sendiri)
Gambar 6-11 : Skema Penyelesaian Proyek 100% (Produksi Sendiri)
Gambar 6-12 : Skema Istishna’ Paralel Pembayaran Tangguh
Gambar 6-13 : Ilustrasi Istishna’ Paralel Pembayaran Tangguh
Gambar 6-14 : Skema Istishna’ Penyelesaian 25% (Paralel Biaya Subkon Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6-15 : Skema Penyelesaian Proyek 60% (Paralel Biaya Subkon Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6-16 : Skema Penyelesaian Proyek 100% (Paralel Biaya Subkon Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6 -17: Skema Istishna’ Penyelesaian 25% (Biaya Subkon Tidak Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6-18 : Skema Penyelesaian Proyek 60% (Biaya Subkon Tidak Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6-19 : Skema Penyelesaian Proyek 100% (Biaya Subkon Tidak Sama Dengan Nilai Tunai)
Gambar 6-20 : Istishna’ Paralel (Jangka Waktu Produksi Sama Dengan Pembayaran)
Bab VII – Akuntansi Mudharabah
Gambar 7-1 : Pihak-pihak Terkait dalam Mudharabah
Gambar 7-2 : Alur Transaksi Mudharabah Mutlaqah
Gambar 7-3 : Penggunaan Akuntansi Mudharabah
Gambar 7-4 : Penggunaan Akun
Gambar 7-5 : Laba Kotor Transaksi (Gross Profit)
Gambar 7-6 : Pembagian Hasil Mudharabah Musyatarak 1
Gambar 7-7 : Pembagian Hasil Mudharabah Musyatarak 2
Gambar 7-8 : Mudharabah Muqayyadah, LKS Sebagai Pemilik Dana
Gambar 7-9 : Skema Transaksi Mudharabah Muqayyadah
Bab VIII – Akuntansi Musyarakah
Gambar 8 – 1 : Alur transaksi Musyarakah
Gambar 8 – 2 : Penggunaan Akuntansi Musyarakah
Gambar 8 – 3 : Skema Ilustrasi Transaksi Musyarakah
Bab IX – Akuntansi Ijarah
Gambar 9-1: Penentuan Harga Sewa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Lembaga Keuangan di Indonesia
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia khususnya perbankan syariah mulai berkembang dengan
pesat sejak tahun 1999 yaitu setelah berlakunya Undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dengan berkembangnya
perbankan syariah di Indonesia tersebut mendorong perkembangan Lembaga Keuangan Syariah lainnnya
seperti antara lain Asuransi Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Koperasi Syariah
dan juga Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang sering disebut dengan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
yaitu lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum Koperasi Syariah atau Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS). Sering timbul pertanyaan adalah apa bedanya Bank Syariah dengan Bank Konvensional,
apa bedanya kegiatan usaha yang dilakukan Bank Syariah dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh
bank konvensional. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dibahas terlebih dahulu tatanan Lembaga
Keuangan di Indonesia. Sistem keuangan Indonesia yang secara umum membedakan antara Lembaga
Keuangan Bukan Bank yang banyak bergerak pada sektor riil seperti Lembaga Pembiayaan,
Perasuransian, Modal Ventura, Dana Pensiun, Pegadaian, Penjaminan dan Lembaga Keuangan Bank
yang bergerak pada sektor moneter seperti Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Sistem keuangan
yang ada di Indonesia dan implikasi pada akuntansi syariah dapat dilihat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1-1 : Sistem Keuangan Indonesia
BAB I. Pendahuluan | 1
Dari gambar tersebut di atas, berikut dibahas secara singkat dari masing-masing Lembaga
Keuangan yang ada yaitu (a) Lembaga Keuangan Bukan Bank (b) Lembaga Keuangan Bank.
A. Lembaga Keuangan Bukan Bank
Kelompok Lembaga Keuangan Bukan Bank yaitu (1) Lembaga Pembiayaan yang meliputi antara
lain Leasing, Factoring (anjak piutang), Consumer Financing, (2) Perasuransian, (3) Modal Ventura, (4) Dana
Pensiun, (5) Pegadaian, (6) Penjaminan. Lembaga Keuangan Bukan Bank ini di bawah pembinaan dan
pengawasan dari Departemen Keuangan dan sesuai perudangan-undangan yang berlaku. Lembaga ini
tidak diperkenankan untuk menghimpun dana secara langsung dari masyarakat sehingga sumber dana
Lembaga ini umumnya berasal dari Bank atau Pemodal lainya. Pada umumnya lembaga ini dikatakan
bergerak pada sektor riil karena dalam penyaluran yang dilakukan dalam bentuk barang dan tidak
diperkenankan menyalurkan dana (uang) kepada masyarakat secara langsung.
B. Lembaga Keuangan Bank
Kelompok Lembaga Keuangan Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Lembaga Keuangan Bank saat ini di bawah pembinaan dan pengawasan Bank Indonesia. Secara umum
Lembaga Keuangan Bank bergerak dalam bidang keuangan (sektor moneter) karena lembaga ini
diperkenankan untuk menghimpun dana dan menyalurkan dana berupa kredit langsung kepada
masyarakat. Sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, perbankan (Bank Konvensional) tidak
diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha diluar dari kegiatan utamanya (core business) yaitu bidang
keuangan, seperti yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank di atas.
Sering timbul pertanyaan dimana kelompok Bank Syariah itu? Sesuai perundang-undangan yang berlaku,
Bank Syariah diketagorikan sebagai Lembaga Keuangan Bank dan di bawah pembinaan dan pengawasan
Bank Indonesia, namun dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank syariah sudah merambah pada
kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank, karena Bank Syariah diperkenankan
melaksanakan kegiatan usaha leasing yang setara dengan ijarah, anjak piutang (factoring) setara dengan
hawalah atau hiwalah, consumer financing setara dengan murabahah, modal ventura setara dengan
musyarakah, pegadaian setara dengan rahn dan penjaminan setara dengan kafalah. Berikut diberikan
kupasan yang lebih rinci dari kesetaraan tersebut.
1 Leasing - Ijarah
Seperti dijelaskan di atas, Bank tidak diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha di luar
kegiatan usaha utamanya, yaitu bidang keuangan. Oleh karana itu Bank Konvensional tidak
diperkenankan melaksanakan kegiatan usaha penyewaan barang (leasing) karena transaksi leasing
merupakan transaksi bukan bidang keuangan karena di dalam transaksi leasing perusahaan leasing
menyediakan barang untuk dilakukan beli sewa. Namun berbeda dengan Bank Syariah yang dapat
menyewakan barang dengan mempergunakan akad Ijarah. Untuk memberikan gambaran diberikan
ilustrasi contoh sebagai berikut:
Bank Mega (konvensional) memiliki Gedung Menara Mega setinggi 25 lantai. Untuk
keperluan operasional Bank Mega mempergunakan 5 lantai. Sisanya disewakan sendiri oleh Bank
Mega. Sesuai ketentuan Bank Indonesia hal ini tidak diperkenankan karena penyewaan gedung
bukan merupakan kegiatan utama Bank, penyewaan gedung merupakan kegiatan usaha perusahaan
leasing. Oleh karena itu biasanya Bank mendirikan perusahaan (anak perusahaan) yang melakukan
pengurusan penyewaan gedung, karena Bank diperkenankan untuk melakukan penyertaan pada
anak perusahaan. Lain halnya misalnya jika yang memiliki Gedung Menara Mega tersebut adalah
Bank Mega Syariah dan untuk kepentingan operasional 5 lantai dipergunakan sendiri oleh Bank
Mega Syariah dan sisanya disewakan sendiri juga oleh Bank Mega Syariah, maka hal ini tidak
melanggar ketentuan kegiatan usaha Bank Syariah, karena menyewakan gedung mempergunakan
akad Ijarah.
2 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
Sekilas perbedaan mendasar antara Leasing dengan Ijarah adalah dalam akuntansi leasing
pencatatan aset dilakukan oleh lessee sehingga lessee yang melakukan pemeliharaan dan melakukan
penyusutan. Sedangkan dalam Ijarah pencatatan obyek ijarah tetap dilakukan oleh lessor, oleh karenanya
lessor yang melakukan pemeliharaan dan melakukan penyusutan.
2 Anjak Piutang – Hawalah / Hiwalah
Hal ini tidak berbeda dengan leasing di atas. Bank Konvensional tidak diperkenankan untuk
melakukan transaksi-transaksi anjak piutang karena transaksi tersebut merupakan kegiatan usaha
perusahaan anjak piutang. Bank Syariah diperkenankan untuk melakukan transaksi anjak piutang dengan
akad Hawalah atau Hiwalah dengan tujuan tolong menolong. Dalam perusahaan anjak piutang umum
dilakukan dengan sistem diskonto, sedangkan pada Bank Syariah transaksi Hawalah atau Hiwalah sifatnya
tolong menolong dan tidak diperkenankan menggunakan sistem diskonto.
3) Consumer Financing - Murabahah
Beberapa contoh perusahaan consumer financing adalah Adira, FIF, Colombia, Sumber Kredit
dimana dalam melakukan transaksi dari perusahaan ini konsumennya menerima barang yang
pembayarannya dapat dilakukan dengan tunai atau dengan tangguh/cicilan. Bank konvensional tidak
diperkenankan menjalankan transaksi ini, tetapi dalam Lembaga Keuangan Syariah diperkenankan
dengan akad Murabahah. Sesuai ketentuan syariah yang ada Murabahah merupakan transaksi jual beli
barang (bukan uang), nasabah sebagai pembeli menerima barang bukan menerima uang. Oleh karena
Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual maka Lembaga Keuangan Syariah diperkenankan untuk
menentukan dan melakukan negosiasi keuntungan dan harga jual barang. Hal ini sama dengan consumer
financing dimana nasabahnya menerima barang (bukan uang).
Banyak yang mengatakan murabahah yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah sama
dengan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang dilakukan oleh bank konvensional. Murabahah dan
Kredit Kendaraan Bermotor dua hal yang berbeda, jika Kredit Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh
bank konvensional - bank menyediakan uang untuk nasabah untuk membeli kendaraan bermotor (yang
disediakan bank adalah uang), sedangkan dalam murabahah yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan
Syariah - bank menyediakan kendaraan bermotor untuk dilakukan jual beli dengan nasabah (yang
disediakan bank adalah kendaraan bermotor)
4) Pegadaian - Rahn
Jelas Bank Konvensional tidak diperkenankan untuk menjalankan transaksi pegadaian karena ini
merupakan kegiatan usaha perusahaan pegadaian, tetapi dalam Lembaga Keuangan Syariah
diperkenakkan untuk melaksanakan kegiatan usaha pedagaian dengan akad Rahn.
Masih banyak kegiatan usaha Bank Syariah yang tidak boleh dilaksanakan oleh Bank Konvesional.
Kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah jauh lebih luas dibandingkan dengan Bank konvensional,
sehingga sangat disayangkan jika selalu disetarakan dengan Bank Konvensional. Titik pandang ”adanya
perbedaan terdapat peluang” itulah seharusnya dipergunakan sebagai motivasi, kreativitas dan pendorong
kemajuan Bank Syariah. Jika selalu membandingkan dan menyetarakan Bank Syariah dan Bank
Konvensional maka memerlukan ratusan tahun untuk bisa mencapai kebesarannya seperti bank
konvensioal sekarang. Sesuai karakteristiknya Bank Syariah tidak membedakan secara tegas pada sektor
keuangan seperti yang dilaksanakan oleh perbankan atau pada sektor riil seperti yang dilaksanakan oleh
Lembaga Keuangan Bukan Bank. Dengan adanya karakter tersebut membawa implikasi pada akuntansi
yang dipergunakan oleh bank syariah. Akuntansi Bank Syariah dan Akuntansi Lembaga Keuangan
Syariah pada umumnya merupakan gabungan dari akuntansi perbankan, akuntansi sewa beli, akuntansi
perdagangan, akuntansi kontruksi dan sebagainya.
BAB I. Pendahuluan | 3
1.2. Imbalan Pemodal Lembaga Keuangan Syariah
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai imbalan yang diterima oleh
pemodal dapat dilihat dalam perbankan syariah. Pembayaran imbalan kepada pemilik dana yang
dihimpun (shahibul maal) Bank Syariah tidak sama dengan pembayaran imbalan kepada pemilik dana bank
konvensional (yang lazim disebut dengan deposan atau penabung). Bank konvensional memberikan
imbalan kepada para deposannya dalam bentuk bunga dalam jumlah tetap dan ditentukan dimuka, tidak
dipengaruhi oleh risiko atau masalah yang dihadapi oleh bank konvensional, sedangkan imbalan pemilik
dana (shahibul maal) Bank Syariah sangat tergantung pada pendapatan yang diperoleh oleh Bank Syariah
sebagai mudharib dalam pengelolaan dana mudharah, Bank Syariah tidak diperkenankan memberikan
imbalan dalam jumlah yang telah ditentukan di depan. Untuk memberikan gambaran perbedaan
pemberikan imbalan bank konvensional dengan Bank Syariah dalam diperhatikan gambar dan beberapa
uraian sebagai berikut:
Gambar 1-2 : Imbalan kepada Pemodal
Pada Bank Konvensional dalam penghimpunan dana yang dilakukan, misalnya dalam bentuk
deposito berjangka disepakati diberikan bunga sebesar 6% per tahun, dengan sifat tetap ditetapkan di
depan. Hal ini sesuai dengan karakter sistem ekonomi kapitalis dimana pemodal tidak mau menanggung
riisko, apapun permasalahan yang dihadapi oleh bank konvensional deposan diberikan bunga 6% per
tahun. Untuk dapat membayar bunga deposito kepada deposan, uang tersebut oleh bank konvensional
dijual kepada debitur dalam bentuk kredit dengan perhitungan suku bunga minimal angka tertentu yang
didasarkan perhitungan dasar bunga kredit (base lending rate) dengan rumus umum cost of money ditambah
risk cost ditambah spread misalnya 13% per tahun. Artinya dengan dikenakan bunga 13% tersebut dapat
membayar bunga deposan 6%, dapat membayar seluruh beban overhead bank, dapat menutup risiko
khususnya pembentukan cadangan umum kerugian kredit dan sebagian keuntungan bank. Pada bank
konvensional besarnya bunga kredit yang dikenakan kepada debitur tidak mempengaruhi besarnya bunga
deposito kepada deposan. Misalnya bank konvensional dapat menyalurkan kredit dengan bunga 20%,
maka bank konvensional tetap membayar bunga deposito sebesar 6% kepada deposan (pemodal),
sebaliknya bank konvensional menyalurkan kredit dengan bunga 10% bank konvensional tetap
membayar bunga deposito 6%, bahkan bank konvensional tidak dapat menyalurkan dana dalam bentuk
kredit pun bank konvensional tetap harus membayar bunga deposito sebesar 6%. Disinilah sering
4 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
dikatakan para ahli timbulnya ketidakadilan antara pemodal (deposan) dan pekerja (bank), dimana salah
satu dirugikan. Pada saat bank konvensional dapat mengenakan bunga kredit 20%, yang dirugikan adalah
deposan sebagai pemodal, sebaliknya jika bank konvensional mengenakan kredit 10% yang dirugikan
adalah bank sebagai pekerja. Pada bank konvensional dapat terjadi membayar bunga deposito (bunga atas
dana pihak ketiga) lebih besar dari pendapatan penyaluran dana atau kredit, disebut dengan “negative
spread”. Hal ini yang dialami oleh bank konvensional pada krisis moneter beberapa waktu yang lalu, dalam
penghimpunan dana bank konvensional memberikan bunga 56% pertahun dan dalam penyaluran dana
tidak ada nasabah yang mau mengambil kredit, karena tingginya bunga kredit.
Dalam Bank Syariah, imbalan yang diberikan kepada para deposan sebagai pemodal (shahibul maal)
sangat tergantung pada hasil usaha yang diperoleh atas pengelolaan atau penyaluran dana yang dilakukan
oleh Bank Syariah, khususnya hasil usaha yang telah diikuti dengan aliran kas masuk (cash basis), sehingga
dari bulan ke bulan berikutnya penghasilannya tidak selalu sama. Secara konsep/ketentuan syariah, Bank
Syariah tidak pernah memberikan atau menjanjikan imbalan jumlah tetap kepada pemilik dana atau
pemodal, yang disepakati pada saat awal akad antara pemodal dan pekerja adalah porsi pembagian hasil
usaha yang sering disebut dengan ”nisbah”. Misalnya Bank Syariah menerima sejumlah dana mudharabah
dari pemilik dana/(shahibul maal) dengan akad mudharabah dalam jumlah tertentu dengan pembagian
hasil usaha untuk Bank Syariah 40 dan untuk pemilik dana 60. Dana tersebut oleh Bank Syariah
disalurkan pada investasi sesuai syariah seperti jual beli (murabahah, salam dan istishna’), ujroh (ijarah,
IMBT, multijasa) dan investasi (mudharabah, musyarakah). Dari hasil investasi diperoleh disebut dengan
pendapatan usaha utama yaitu pendapatan milik bersama bank syariah sebagai pengelola dana dan
pemodal (shahibul maal). Jika misalnya dalam pengelolaan dana tersebut memperoleh hasil usaha sebesar
Rp1 Milyar (cash basis), maka pembagian hasil usaha didasarkan pada jumlah Rp1 Milyar, sehingga
imbalan yang diberikan kepada nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) sebesar 60% dari Rp1 Milyar
yaitu Rp600 juta sedangkan untuk Bank Syariah sebagai pengelola dana (mudharib) sebesar 40% dari Rp1
Milyar yaitu Rp400 juta. Sebaliknya jika hasil usaha yang diperoleh Bank Syariah tersebut hanya Rp10,00
(cash basis) maka perhitungan pembagian hasil usaha didasarkan jumlah Rp10,00 sehingga imbalan yang
diberikan kepada nasabah sebagai pemilik dana sebesar 60% dari Rp10,00 yaitu Rp6,00 dan untuk
Lembaga Keuangan Syariah sebesar 40% dari Rp10,00 yaitu Rp4 .
Dalam prinsip berbagi hasil yang dilakukan oleh Bank Syariah, pembagian keuntungan tidak boleh
hanya untuk satu pihak (kedua pihak harus mendapat bagian dari hasil usaha), sehingga dapat
disimpulkan bahwa Bank Syariah tidak pernah mengalami negative spread, karena Bank Syariah tidak
pernah membayarkan imbalan kepada pemilik dana yang lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari
penyaluran dana. Disini timbulnya keadilan antara pemodal dan pekerja, hasil usaha besar masing-masing
mendapat imbalan besar dan hasil usaha kecil masing-masing mendapat imbalan kecil. Bagi hasil yang
dibayarkan kepada pemilik dana (shahibul maal) merupakan bagian dari pendapatan usahan utama. Oleh
karena itu bagi hasil yang dibayarkan kepada pemilik dana bukan merupakan beban operasional bank
syariah.
1.3. Fungsi Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga Keuangan Syariah memiliki kegiatan usaha yang lebih luas dari bank konvensional,
Lembaga Keuangan Syariah yang tidak membedakan bergerak dibidang sektor keuangan atau sektor riil
sebagaimana yang telah dibahas dimuka yaitu dapat melaksanakan kegiatan usaha leasing (ijarah), anjak
piutang (hawalah/Hiwalah), consumer financing (murabahah), modal ventura (musyarakah), pegadaian
(rahn) yang dibagian besar secara konsep berkaitan langsung dengan sektor riil maka Lembaga Keuangan
Syariah memiliki fungsi sebagai manajer investasi, investor, jasa layanan dan sosial. Untuk memberikan
gambaran yang lengkap dan rinci mengenai fungsi-fungsi tersebut berikut dilakukan pembahasan satu
persatu fungsi itu.
BAB I. Pendahuluan | 5
A. Fungsi Manager Investasi
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah yang sangat penting adalah manager Investasi.
Lembaga Keuangan Syariah merupakan manager investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang
dihimpun dengan prinsip mudharabah (dalam perbankan lazim disebut dengan deposan atau penabung),
karena besar-kecilnya imbalan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana, sangat tergantung pada hasil
usaha yang diperoleh (dihasilkan) oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam mengelola dana (khususnya
dana mudharabah). Hal ini sangat dipengaruhi oleh keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari
Lembaga Keuangan Syariah sebagai manajer investasi (pihak yang mengelola dana).
Lembaga Keuangan Syariah dapat menghimpun dana yang besar, kemudian dalam penyaluran
dana dilakukan tidak efektif, kurang memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian, sembarangan sehingga
banyak yang macet atau banyak yang diketagorikan bermasalah (non performing financing), banyaknya
penyaluran dana yang tidak melakukan pembayaran angsuran, maka membawa dampak hasil usaha yang
diikuti aliran kas masuk (cash basis) hanya kecil atau sedikit yang diterima. Dengan adanya hasil usaha yang
cash basis kecil maka pendapatan yang akan dibagi antara Lembaga Keuangan Syariah dan Shahibul Maal
juga kecil, yang akhirnya membawa dampak kecilnya bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (shahibul
maal). Begitu sebaliknya penyaluran dana yang tidak besar, namun dilakukan dengan efektif, efesien dan
produktif, dan kualitas penyaluran dana yang baik sehingga banyak debitur yang melakukan pembayaran
angsuran atau pembayaran bagi hasil yang diterima dari nasabah pengelola dana (mudharib) banyak, akan
membawa dampak pada hasil usaha yang akan dibagi antara Lembaga Keuangan Syariah sebagai
pengelola dana dan pemilik dana juga besar, yang mengakibatkan pendapatan bagi hasil diterima pemilik
dana besar juga.
Dana yang dihimpun oleh Lembaga Keuangan Syariah, hendaknya ditanamkan pada sektor yang
produktif dan tidak melanggar syariah, karena sesuai konsep syariah apa yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah dalam penyaluran dana akan membawa dampak atau risiko kepada pemilik dana
(shahibul maal) dari dana yang dihimpun (deposan atau penabung). Hal ini sangat berbeda dengan Bank
Konvensional, begitu deposan memberikan dana kepada Bank Konvensional dan dijanjikan bunga
tertentu, deposan tidak menananggung risiko. Bank bisa menyalurkan dana atau tidak, mendapatkan
pendapatan besar atau kecil bahkan tidak memperoleh pendapatan sama sekali, deposan sebagai pemodal
akan menerima bunga tetap yang diperjanjikan, dengan kata lain pemodal dalam aliran kapitalis tidak
bersedia untuk menanggung risiko.
Besarnya penyaluran dana atau investasi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah bukanlah
suatu indikasi imbalan atau bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (deposan atau penabung) besar,
tetapi kualitas dari penyaluran dana atau investasi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah itulah
yang mempunyai pengaruh terhadap imbalan atau bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana yang
dihimpun. Besarnya porsi pembagian hasil usaha (nisbah) tidak menjamin besarnya bagi hasil yang akan
diterima oleh pemilik dana, karena bagi hasil tersebut sangat dipengaruhi oleh hasil usaha yang akan
dibagikan (pendapatan operasi utama), hasil usaha yang akan dibagikan sangat dipengaruhi oleh
pendapatan penyaluran dana yang diterima secara tunai (cash basis) oleh Lembaga Keuangan Syariah
sebagai pengelola dana (mudharib), pendapatan penyaluran dana dipengaruhi oleh kualitas aktiva produktif
(penyaluran dana), kualitas aktiva produktif dipengaruhi oleh proses dan prinsip-prinsip penyaluran dana.
Secara umum dikatakan bahwa indikasi keberhatian Lembaga Keuangan Syariah sebagai manajer
investasi adalah adanya trend kenaikan return bagi hasil dari waktu ke waktu dan adanya trend penurunan
pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) dari waktu ke waktu. Kedua hal ini pemodal berhak
untuk memperoleh informasinya sebagai salah satu bentuk transparansi Lembaga Keuangan Syariah.
B. Fungsi Investor.
Dalam penyaluran dana, baik dalam prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), prinsip
ujroh( ijarah) dan prinsip jual beli (murabahah, salam dan istishna’), Lembaga Keuangan Syariah
berfungsi sebagai investor (sebagai pemilik dana). Oleh karena sebagai pemilik dana maka dalam
menanamkan dana dilakukan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan tidak melanggar syariah,
ditanamkan pada sektor-sektor produktif dan mempunyai risiko yang sangat minim. Keahlian,
profesionalisme sangat diperlukan dalam menangani penyaluran dana ini, penerimaan pendapatan dan
6 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
kualitas aktiva produktif yang sangat baik menjadi tujuan yang penting dalam penyaluran dana, karena
pendapatan yang diterima dalam penyaluran dana inilah yang akan dibagikan kepada pemilik dana
(deposan atau penabung mudharabah). Jadi fungsi ini sangat terkait dengan fungsi Lembaga Keuangan
Syariah sebagai manajer investasi.
Bank-Lembaga Keuangan Syariah menginvestasikan dana yang disimpan pada bank tersebut (dana
pemilik bank maupun dana rekening investasi) dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan
Syariah. Investasi yang sesuai dengan Syariah tersebut meliputi akad Murabahah, akad Ijarah, akad
Musyarakah, akad Mudharabah, akad Salam atau Istishna’, pembentukan perusahaan atau akuisisi
pengendalian atau kepentingan lain dalam rangka mendirikan perusahaan, memperdagangkan produk.
Hasil usaha yang diperoleh dibagikan kepada pihak yang memberikan kontribusi dana (shahibul maal), dan
Lembaga Keuangan Syariah menerima bagian keuntungan sebagai Mudharib sesuai yang disepakati antara
pemilik dana dan bank sebagai pengelola, sebelum pelaksanaan akad.
Fungsi investor ini dapat dilihat dalam hal penyaluran dana yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah, baik yang dilakukan dengan mempergunakan prinsip jual beli maupun dengan
menggunakan prinsip bagi hasil sendiri. Karena Lembaga Keuangan Syariah melaksanakan fungsi sebagai
investor maka Lembaga Keuangan Syariah penyedia dana bersedia untuk menanggung risiko dari
investasinya. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada saat Lembaga Keuangan Syariah melakukan
pengelolaan dana dengan prinsip bagi hasil, pendapatan dari hasil usaha sangat tergantung pada hasil
usaha yang diperoleh nasabah sebagai pengelola dana. Untuk memberikan gambaran berikut diberikan
ilustrasi.
Lembaga Keuangan Syariah melakukan pembiayaan (investasi) mudharabah kepada Debitur
sebesar Rp250 milyar. Nisbah (pembagian hasil usaha) untuk Lembaga Keuangan Syariah 60 dan
untuk debitur 40. Berdasarkan Nisbah Lembaga Keuangan Syariah, proyeksi keuntungan
(ekspektasi keuntungan) yang diharapkan sebesar Rp50 juta per bulan. Dengan berjalannya
pelaksanaan akad mudharabah, ternyata dalam bulan yang bersangkutan debitur hanya
memperoleh hasil usaha sebesar Rp75 juta, sehingga hasil usaha untuk Lembaga Keuangan Syariah
sebesar 60% x Rp75 juta = Rp45 juta. Sesuai ketentuan yang ada Lembaga Keuangan Syariah
hanya diperkenankan untuk mengakuan pendapatan bagi hasil sebesar Rp45 juta. Sisanya sebesar
Rp5 juta tidak diperkenankan untuk ditagih.
Hal ini sangat berbeda dengan bank konvensional dimana sisa bunga yang belum dibayar
merupakan hutang bunga. Misalnya bank memberikan modal sebesar Rp250 milyar, bunga yang
harus dibayar sebesar Rp50 juta per bulan. Pada bulan yang bersangkutan nasabah hanya mampu
membayar Rp45 juta maka sisanya sebesar Rp5 juta, diakui sebagai piutang bungan (hutang bunga
bagi nasabah).
Contoh lain dalam transaksi Murabahah yang pembayarannya dilakukan dengan tangguh dan atas
hutangnya tersebut nasabah tidak mampu untuk membayar sesuai waktunya, kemudian dilakukan
penangguhan pembayaran (re-schedule) tidak diperkenankan untuk menambah kewajiban yang
ditangguhkan jangka waktunya.
C. Fungsi Jasa perbankan
Dalam menjalankan fungsi ini, Lembaga Keuangan Syariah tidak jauh berbeda dengan bank non
syariah, seperti misalnya memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji dan sebagainya,
hanya saja yang sangat diperhatikan adalah adalah prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar.
Lembaga Keuangan Syariah memberikan jasa transfer, inkaso, kliring dengan prinsip wakalah;
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad
amanah; memberikan layanan letter of credit (L/C) dengan prinsip wakalah, memberikan layanan bank
garansi dengan prinsip kafalah; melakukan kegiatan wali amanat dengan prinsip wakalah, memberikan
layanan penukaran uang asing dengan prinsip sharf dan sebagainya. Bank Lembaga Keuangan Syariah
juga menawarkan berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh imbalan atas dasar agency contract
atau sewa dan pendapatan yang diperolah atas jasa keuangan tersebut merupakan pendapatan operasi
lainnya dan tidak termasuk dalam perhitungan pembagian hasil usaha.
BAB I. Pendahuluan | 7
Pada awal berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah, banyak masyarakat yang beranggapan
bahwa Lembaga Keuangan Syariah hanya Bank Sosial, Bank yang melayani kegiatan sosial saja, tidak ada
kliring, tidak ada transfer, tidak mengeluarkan cek atau bilyet giro dan sebagainya, namun dengan
pemahaman dan penjelasan tentang Lembaga Keuangan Syariah anggapan tersebut sudah tidak ada lagi.
D. Fungsi sosial
Dalam konsep perbankan syariah mengharuskan bank-Lembaga Keuangan Syariah memberikan
pelayanan sosial apakah melalui dana Qardh (pinjaman kebajikan) atau Zakat dan dana sumbangan sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Disamping itu, konsep perbankan Islam juga mengharuskan bank-
Lembaga Keuangan Syariah untuk memainkan peran penting di dalam pengembangan sumber daya
manusianya dan memberikan kontribusi bagi perlindungan dan pengembangan lingkungan. Fungsi ini
juga yang membedakan fungsi Lembaga Keuangan Syariah dengan bank konvensional, walaupun hal ini
ada dalam bank konvensional biasanya dilakukan oleh individu-individu yang mempunyai perhatian
dengan hal sosial tersebut, tetapi dalam Lembaga Keuangan Syariah fungsi sosial merupakan salah satu
fungsi yang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi-fungsi yang lain. Lembaga Keuangan Syariah harus
memegang amanah dalam menerima ZIS atau dana kebajikan lainnya dan menyalurkan kepada pihak-
pihak yang berhak untuk menerimanya dan atas semua itu haruslah dibuatkan laporan sebagai
pertanggunganjawab dalam pemegang amanah tersebut.
1.4. Titik Pandang Uang Lembaga Keuangan Syariah
Perubahan paradigma tentang uang dalam Lembaga Keuangan Syariah khususnya perbankan
syariah bukanlah hal yang mudah, karena sudah beratus-ratus tahun paradigma yang terjadi diperbankan
bahwa uang sebagai komoditi, karena kegiatan usahanya dilakukan di bidang keuangan. Dalam
perbankan syariah, khususnya dalam konsep ekonomi Islam, uang hanya sebagai ”alat tukar” dan ”satuan
pengukur nilai” bukan sebagai komoditas. Kenaikan uang harus diikuti dengan kegiatan ekonomi yang
nyata seperti jual beli, menyewakan barang, investasi dan sebagainya. Untuk memperoleh hasil Lembaga
Keuangan Syariah harus nyata-nyata kerja seperti melakukan jual beli (murabahah, salam dan istishna’)
menyewakan suatu obyek sewa (ijarah, IMBT, multijasa) dan melakukan investasi kepada pihak yang
memiliki usaha (mudharabah, musyarakah). Secara konsep Lembaga Keuangan Syariah tidak
diperkenankan memperoleh hasil akibat penggunaan uang sebagaimana dilakukan oleh Bank
Konvensional.
Untuk memberikan gambaran titik pandang uang pada Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga
Keuangan Konvensional berikut diberikan beberapa ilustrasi:
A. Seseorang datang ke Bank Konvensional untuk meminjam uang sebesar Rp10 juta dan akan
dikembalikan satu tahun kemudian. Berapa yang harus dibayar satu tahun kemudian? Yang
dibayar adalah sebesar Rp12 juta, yaitu Rp10 juta uang awal ditambah dengan bunga Rp2 juta.
Bank Konvensional memperoleh hasil dari uang yang dipinjamkan.
B. Seseorang datang ke Bank Syariah untuk meminjam uang sebesar Rp10 juta dan akan
dikembalikan satu tahun kemudian. Berapa yang harus dikembalikan satu tahun kemudian? Yang
harus dibayar atau dikembalikan satu tahun kemudian tetap sebesar Rp10 juta, dan tidak
diperkenankan untuk mengenakan tambahan kepada peminjam. Inilah yang akadnya disebut
akah Qardh. Bagaimana jika akadnya sesuai ketentuan syariah yaitu akad Qardh, tetapi pada saat
peminjam menandatangani akad, pelaksana Lembaga Keuangan Syariah mengharuskan
mengembalikan sebesar Rp12 juta (akad hanya sebagai formalitas saja). Jika hal demikian terjadi
maka dari segi hubungan horisontal aman-aman saja, audit intern tidak akan menemukan
pelanggarannya, DPS tidak akan menemukan pelanggarannya, pengawasan lain tidak akan
menemukan pelanggarannya. Kejadian ini yang terlanggar adalah hubungan vertikal dan hanya
Audit Yang Maha Kuasa yang mengetahui hal ini. Dengan demikian hal ini sudah berada di luar
area muamalah.
Ilustrasi lain dapat diberikan gambaran perbedaan kredit yang dilakukan oleh Bank Konvensional
dengan jual beli yang dilakukan oleh Bank Syariah dapat dilihat dalam ilustrasi sebagai berikut:
8 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
Harga mobil sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta), return yang diharapkan sebesar 20%
dan pembayaran dilakukan selama satu tahun. Bagaimana paradigma nasabah jika yang
melakukan adalah Bank Konvensional, bagaimana paradigma nasabah jika yang melakukan
adalah lembaga pembiayaan (multi finance) dan bagaimana paradigma nasabah jika yang melakukan
adalah Bank Syariah.
Untuk memberikan jawaban atas paradigma nasabah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1-3 : Perbedaan transaksi bank konvensional, multi finance dan bank syariah
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jika yang melakukan adalah bank konvensional, nasabah diberikan uang sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta) dan selama jangka waktu satu tahun menjadi Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta), sejak awal nasabah mengakui memiliki hutang pokok sebesar Rp100.000.000,00 dan hutang
bunga sebesar Rp20.000.000,00. Oleh karena itu jika ia melunasi sebelum jatuh tempo, paradigma
nasabah adalah berapa sisa hutang pokok dan berapa harga yang harus dibayar?
2. Jika yang melakukan adalah Lembaga Pembiayaan (multi finance), yang diberikan adalah mobil dan
sejak awal sudah disepakati harga mobil sebesar Rp100.000.000,00 ditambah keuntungan sebesar
Rp20.000.000,00 sehingga harga jual sebesar Rp120.000.000,00. Sejak awal nasabah telah
mengakui memiliki hutang pada Lembaga Pembiayaan sebesar Rp120.000.000,00. Oleh karena itu
jika ia melunasi sebelum jatuh tempo paradigma nasabah adalah berapa hutangnya yang tidak
membedakan pokok dan bunganya?
3. Jika yang melakukan adalah bank syariah :
a) Jika yang diberikan kepada nasabah adalah uang sebesar Rp100.000.000,00 maka sampai
akhir pembayaran (setahun kemudian) nasabah tetap memiliki hutang sebesar
Rp100.000.000,00 karena uang tidak diperkenankan untuk beranak.
b) jika yang diberikan kepada nasabah adalah mobil maka sejak awal nasabah mengakui
memiliki hutang sebesar Rp120.000.000,00 sebagaimana yang dilakukan oleh Lembaga
Pembiayaan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap diberikan contoh yang dialami dalam praktek
yang alami pejabat bank konvensional yang sedang mendalami perbankan syariah dan mengikuti cara
kerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam melakukan penjualan produknya, dan berikut petikannya:
Jika Bapak pinjam uang kepada kami (BMT) sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta)
diminta untuk dikembalikan Rp10.020.000,00 selama setahun (return sebesar 0.02%), hukumnya
BAB I. Pendahuluan | 9
haram. Tetapi jika melakukan jual beli dengan kami harga pokok Rp10.000.000,00 (sepuluh juta)
dengan harga jual disepakati Rp12.000.000,00 (dua belas juta) dibayar setahun (return sebesar
20%) hukumnya halal.
Dari permasalahan tersebut timbul pertanyaan kenapa yang kecil diharamkan sedangkan yang
besar dihalalkan? Bukankah hal ini tidak adil?. Halal dan haramnya hal tersebut bukan terletak pada besar
kecilnya return yang diperoleh, tetapi obyek yang dilakukan. Sekecil apapun jika meminjamkan uang minta
tambahan dalam pengembaliannya hukumya adalah haram, karena uang tidak diperkenankan untuk
bertambah jika tidak diikuti dengan kegiatan ekonomi yang nyata, uang dalam ekonomi syariah hanya
sebagai ”alat tukar” dan ”satuan pengukur nilai” bukan sebagai komoditas. Sedangkan dalam jual beli
selama harga perolehan diberitahukan, keuntungan dilakukan negosiasi hingga disepakati dan harga jual
nya disepakati maka hukumnya dalah halal. Dalam menentukan keuntungan dalam jual belu hendaknaya
mempergunakan azas ” mengambil keuntungan tidak di atas kerugian orang lain” arti sama-sama
menerima manfaat.
1.5. Alur Operasional Lembaga Keuangan Syariah
Dilihat dari aspek syariah, kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah yang satu tidak beda dengan
yang lain. Besarnya kegiatan usaha sangat dipengaruhi oleh segmentasi yang dilakukan, misalnya pada
Lembaga Keuangan Syariah perbankan, bank umum syariah dalam menghimpun dana dan menyalurkan
dana dalam jumlah yang besar-besar, BPRS pada jumlah yang sedang-sedang saja, serta BMT pada
jumlah-jumlah yang kecil dan mikro. Begitu juga pada Lembaga Keuangan Syariah non bank seperti multi
finance, leasing, pegadaian dan sebagainya Secara umum alur operasional Lembaga Keuangan Syariah,
sebagaimana tercermin dalam gambar berikut:
Gambar 1-4 : Alur operasional Lembaga Keuangan Syariah
10 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
Dari gambar tersebut di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
A. Dalam sumber dana Lembaga Keuangan Syariah, saat ini mempergunakan dua prinsip yaitu :
1) prinsip wadiah yad dhamanah yang diaplikasikan pada giro wadiah dan tabungan wadiah
dan
2) prinsip mudharabah mutlaqah yang diaplikasikan pada produk deposito mudharabah dan
tabungan mudharabah.
Selain itu Lembaga Keuangan Syariah juga mempunyai sumber dana lain yang berasal dari
modal sendiri. Semua sumber dana tersebut dicampur menjadi satu, dalam bentuk pooling dana.
Dalam sumber dana inilah Lembaga Keuangan Syariah sangat berperan sebagai manager
investasi dari pemilik dana yang dihimpun, khususnya pemilik dana mudharabah, karena hasil
pemilik dana mudharabah tergantung pada hasil usaha pengelolaan dana yang dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syariah.
B. Dana Lembaga Keuangan Syariah yang dihimpun, disalurkan atau dikelola dengan pola-pola
penyaluran dana yang dibenarkan syariah. Secara garis besar pengelolaan dana Lembaga
Keuangan Syariah dilakukan dengan tiga pola yaitu :
1) prinsip jual beli yang meliputi Murabahah, Salam dan Salam Paralel, Istishna’ dan Istishna’
paralel,
2 prinsip bagi hasil yang meliputi Mudharabah dan Musyarakah, dan
c) prinsip ujroh yaitu ijarah dan ijarah muntahiayah bittamlik.
Oleh karena dana Lembaga Keuangan Syariah dicampur menjadi satu dalam bentuk pooling
dana, maka dalam pengelolaan dana tersebut tidak diketahui dengan jelas sumber dananya dari
prinsip sumber dana yang mana, dari prinsip wadiah atau dari prinsip mudharabah atau dari
sumber dana modal sendiri.
C. Atas penyaluran dana akan diperoleh pendapatan yaitu dalam prinsip jual beli lazim disebut
dengan margin atau keuntungan dan prinsip bagi hasil akan menghasilkan bagi hasil usaha serta
dalam dalam prinsip ujroh akan memperoleh upah (sewa). Pendapatan dari penyaluran dana ini
disebut dengan pendapatan operasi utama, merupakan pendapatan usaha bersama yang akan
dibagihasilkan, pendapatan yang merupakan unsur pembagian hasil usaha (profit distribution).
D. Dari pendapatan operasi utama yang penerimaannya benar-benar terjadi (cash basis) inilah yang
akan dibagihasilkan antara pemilik dana dan pengelola dana. Secara prinsip pendapatan yang
akan dibagi hasilkan antara pemilik dana dengan pengelola dana adalah pendapatan dari
penyaluran dana yang sumber dananya berasal dari Mudharabah Mutlaqah.
Pada dasarnya perhitungan distribusi hasil usaha, hanya dilakukan oleh mudharib karena
sesuai dengan prinsip Mudharabah, mudharib diberi kekuasan penuh dalam mengelola dana tanpa
adanya campur tangan shaibul maal (pemilik dana), sehingga yang mengetahui besaran hasil usaha
tersebut adalah mudharib. Dalam akad Mudharabah yang dilakukan antara pemodal (shahibul
maal) dengan Lembaga Keuangan Syariah sebagai mudharib – penghimpunan dana yang dilakukan
oleh Lembaga Keuangan Syariah – perhitungan distribusi hasil usaha dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah, sedangkan dalam akad mudharabah yang dilakukan antara nasabah debitur
dengan Lembaga Keuangan Syariah sebagai shahibul maal – penyaluran dana yang dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syariah – perhitungan distribusi hasil usaha dilakukan oleh debitur sebagai
mudharib.
E. Pendapatan Lembaga Keuangan Syariah tidak hanya dari bagian pendapatan pengelolaan dana
Mudharabah saja tetapi ada pendapatan-pendapatan yang lain yang menjadi hak sepenuhnya
Lembaga Keuangan Syariah, dimana pendapatan-pendapatan tersebut tidak dibagihasilkan antara
pemilik dan pengelola dana (LKS). Pendapatan-pendapatan tersebut antara lain pendapatan yang
berasal dari fee base income, misalnya pendapatan atas fee kliring, fee transfer, fee inkaso, fee pembayaran
payroll dan fee lain dari jasa layanan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Disamping
itu pendapatan yang menjadi milik Lembaga Keuangan Syariah sepenuhnya adalah pendapatan
dari mudharabah muqayyadah dimana Lembaga Keuangan Syariah bertindak sebagai agen.
Pendapatan berbasis imbalan sepenuhnya menjadi milik LKS.
BAB I. Pendahuluan | 11
Sebagai keunikan Lembaga Keuangan Syariah adalah dalam hal pembagian hasil usaha (distribusi
hasil usaha) yang tidak pernah ada dalam Lembaga Keuangan Konvensional. Dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan Syariah, dijelaskan:
Menimbang : (a). bahwa pembagian hasil usaha di antara para pihak (mitra) dalam suatu bentuk
usaha kerjasama boleh didasarkan pada prinsip Bagi Untung (Profit Sharing), yakni
bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal) dan
biaya-biaya, dan boleh pula didasarkan pada prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing),
yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal (ra’su al-mal);
dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan;
Pertema : Ketentuan Umum
1. Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing)
maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra
(nasabah)nya.
2. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya
digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).
3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Sesuai ketentuan dalam fatwa tersebut Akuntansi syariah menjelaskan sesuai pengertian akuntansi,
dalam PSAK 105 tentang akuntansi mudharabah (paragraf 11) sebagai berikut:
11. Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi
laba. Dalam prinsip bagi hasil usaha berdasarkan bagi hasil, dasar pembagian hasil usaha
adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan dalam
prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba bersih (net profit) yaitu laba bruto dikurangi
beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.
Contoh
Uraian Jumlah Metode bagi hasil
Penjualan 100
Harga Pokok Penjualan (65)
Laba Kotor 35 Net Revenue Sharing
Beban (25)
Laba rugi bersih 10 Profit Sharing
Dalam praktek prinsip bagi hasil yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah baik dengan
pemilik dana (shahibul maal) – untuk produk sumber dana, maupun dengan pengelola dana
(mudharibnya) – untuk produk penyaluran dana / pembiayaan, seluruh Lembaga Keuangan syariah di
Indonesia masih menerapkan prinsip Net Revenue Sharing dan belum ada yang menerapkan prinsip Profit
Sharing. Akibat kurang pemahaman pengertian dalam akuntansi mengakibatkan ada yang berpendapat
bahwa prinsip pembagian hasil usaha dalam akuntansi syariah tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Dewan Syariah Nasional, yang mengakibatkan atau menjadi salah satu sebab tidak banyaknya transaksi
bagi hasil dilaksanakan oleh bank syariah.
Dalam akuntansi memiliki istilah yang sudah lazim dipergunakan dalam kalangan akuntansi
misalnya Harga Pokok Penjualan (Cost of Good Sold) yaitu merupakan modal dari barang yang dijual,
bukan modal dalam pengertian “ekuiti” (modal saham disetor dan sebagainya) yang merupakan selisih
kenaikan dan atau penurunan aset dan kewajiban. Begitu juga pengertian biaya (cost) yaitu suatu
pengeluaran yang belum selesai tujuannya, misalnya biaya tenaga kerja pabrik yang dapat dikategorikan
sebagai unsur perhitungan harga pokok penjualan produksi, dengan beban (expense) yaitu suatu
pengeluaran yang sudah jelas atau selesai tujuannya, misalnya beban tenaga kerja bagian administrasi yang
merupakan beban operasional. Pendapatan yang meliputi keuntungan dan penghasilan, sehingga
pendapatan berbeda dengan penghasilan dan berbeda pula dengan keuntungan.
12 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
1.6. Pertanyaan dan Soal
1. Lembaga Keuangan Syariah, khususnya perbankan syariah banyak bermunculan di Indonesia.
a. Jelaskan perbedaan kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga Keuangan
konvensional?
b. Jelaskan perbedaan fungsi Lembaga Keuangan dan Lembaga Keuangan Syariah
2. Lembaga keuangan Syariah memiliki titik pandang ”uang” yang berbeda dengan Lembaga
Keuangan konvensional, khususnya perbankan.
a. Jelaskan perbedaan titik pandang terhadap uang yang dimaksud?
b. Berikan contoh yang dapat menggambarkan perbedaan titik pandang terhadap uang
tersebut?
3. Dalam Lembaga Keuangan sangat erat dengan pemodal atau sumber dana dari entitas tersebut.
a. Jelaskan perbedaan pemberian imbalan kepada pemodal pada Lembaga Keuangan Syariah
dan Konvenional?
b. Jelaskan mengapa Lembaga Keuangan Syariah tidak pernah mengalami negative spread?
4. Lembaga Keuangan Syariah tidak membedakan secara tegas bergerak pada sektor keuangan atau
sektor riil?
a. Sebutkan dan jelaskan hal-hal yang boleh dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan
tidak pernah dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Konvensional, khususnya perbankan?
b. Apa pengaruhnya terhadap akuntansi, jika Lembaga Keuangan Syariah tidak membedakan
sektor keuangan dan sektor riil?
5. Dalam melaksanakan kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah hendaknya diperhatikan prinsip
syariah yang dipergunakan.
a. Jelaskan secara rinci prinsip-prinsip syariah yang dipergunakan dalam kegiatan usaha
Lembaga Keuangan Syariah?
b. Jelaskan pengaruhnya dari prinsip syariah terhadap akuntansi dari Lembaga Keuangan
Syariah?
BAB I. Pendahuluan | 13
14 |Akuntansi Transaksi Syariah (Wiroso, IAI, 2011)
BAB II
SEKILAS AKUNTANSI SYARIAH
DI INDONESIA
2.1. Pendahuluan
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah membawa dampak untuk perkembangan akuntansi
syariah. Saat ini yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
adalah akuntansi syariah yang aplikatif, sedangkan akuntansi syariah pada tataran normatif, tataran
akademik perlu terus dikembangkan untuk penyempurnaan akuntansi syariah yang saat ini ada. Dalam
buku ini lebih difokuskan pada pembahasan Akuntansi Transaksi Syariah yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah.
Komite Terminologi AICPA (The Committee on Terminology of the American Institute of Certified Public
Accountants) mendefinisikan akuntansi sebagai berikut:
Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan peringkasan transaksi dan kejadian yang
bersifat keuangan dengan cara yang berdayaguna dan dalam bentuk satuan uang, dan
penginterpretasian hasil proses tersebut.
Cakupan akuntansi dari definisi di atas nampak terbatas. Perspektif yang lebih luas ditawarkan oleh
definisi akuntansi berikut ini :
Proses pengindentifikasian, pengukuran, dan pengkomunikasian informasi ekonomik untuk
memungkinkan pembuatan pertimbangan dan keputusan berinformasi oleh pengguna informasi.
Yang terbaru, akuntansi telah didefinisikan dengan mengacu pada konsep informasi kuantitaif:
Akuntansi adalah aktivitas jasa. Fungsinya adalah menyediakan informasi kuantitatif, terutama
yang bersifat keuangan tentang entitas ekonomik yang diperkirakan bermanfaat dalam pembuatan
keputusan-keputusan ekonomis dalam membuat pilihan diantara alternatif tindakan yang ada.
Definisi-definisi tersebut merujuk akuntansi sebagai ”seni” atau sebagai ”aktivitas jasa” dan
implikasinya adalah bahwa akuntansi mempunyai seperangkat tehnik yang dianggap berguna bagi bidang-
bidang tertentu.
Akuntansi syariah antara lain berhubungan dengan pengakuan, pengukuran dan pencatatan
transaksi dan pengungkapan hak-hak dan kewajiban- kewajibannya secara adil. Allah berfirman:
“ Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar”
(Surah 2 ayat 282).
Allah juga berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan (Surah 4: ayat
135).
Allah juga berfirman:
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 15
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi,
(Surah 83: ayat 1-3).
Allah juga berfirman di dalam hadist yang suci :
“Hai, hambaKu, Aku telah haramkan bagiku kezaliman dan telah mengharamkannya diantara kamu, jadilah
janganlah saling menindas satu sama lain”.
Tidak diragukan bahwa berkurang atau berlebihnya hak-hak dan kewajiban adalah tidak adil dan tidak bisa
diterima di dalam Islam. Allah telah menyatakan bahwa seorang Muslim harus adil dan jujur di dalam
urusan-urusannya. Dia berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (Surah 16: ayat 90).
Akuntansi keuangan di dalam Islam harus memfokuskan pada pelaporan yang jujur mengenai posisi
keuangan entitas dan hasil-hasil operasinya, dengan cara yang akan mengungkapkan apa yang halal dan apa
yang haram. Ini sesuai dengan perintah Allah untuk saling tolong menolong di dalam mengerjakan
kebaikan. Allah berfirman:
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Surah 5: ayat 2).
Ini berarti bahwa akuntansi keuangan di dalam Islam mempunyai sasaran-sasaran yang harus
disadari dan dipatuhi oleh akuntan keuangan di dalam Islam. Dia tidak boleh memasuki bidang ini tanpa
kesadaran dan pemahaman yang jelas mengenai sasaran akuntansi keuangan. Ini sesuai dengan firman
Allah:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri yang tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak
apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil
maupun besar. Yang demikian itu; lebih adil di sisi Allah, lebih menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan
kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kami jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu
berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Surah Baqarah : 282).
Khalifah Umar Bin Al-Khattab (Radhiallahu‘anhu) meminta kepada para pedagang di pasar untuk
mengetahui halal dan haram. Dia mengatakan “Tidak seorangpun yang diperbolehkan berjualan di pasar
kami kecuali dia mempunyai pengetahuan agama, jika tidak mau dia akan melakukan transaksi yang ribawi”.
Sehingga, oleh karena itu orang-orang yang bertugas harus menetapkan bagi akuntansi keuangan aturan-
aturan yang diperlukan yang melindungi hak-hak dan kewajiban perorangan, dan menjamin pengungkapan
yang memadai.
16 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
2.2. Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia
Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia tidak lepas dari perkembangan Lembaga Keuangan
Syariah yang tumbuh di Indonesia. Untuk mengetahui perjalanan akuntansi perbankan syariah dapat dilihat
dari beberapa periode yaitu (a) sebelum tahun 2002, (b) tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 dan (c)
setelah tahun 2007.
A. Periode sebelum tahun 2002
Pada periode ini Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Bank Umum Syariah, cabang syariah, Bank
Konvensional maupun BPR-Syariah, tidak memiliki acuan akuntansi. Pada periode ini Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK), sebagai otoritas bidang akuntansi belum mengeluarkan ketentuan (PSAK)
Akuntansi Syariah. Pada peiode ini masih mempergunakan acuan PSAK 31 tentang Akuntansi Perbankan,
namun PSAK tersebut tidak sepenuhnya dapat dipergunakan terutama paragraf-paragraf yang
bertentangan dengan prinsip syariah misalnya paragraf tentang pengakuan, pengukuran dan penyajian
kredit.
Perkembangan Akuntansi Bank Syariah secara konkrit baru dikembangkan pada tahun 1999, Bank
Indonesia sebagai pemrakarsa, membentuk tim penyusunan PSAK Bank Syariah, yang tertuang dalam
Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 1/16/KEP/DGB/1999, yang meliputi unsur-unsur
komponen dari Bank Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, Bank Muamalat Indonesia dan Departemen
Keuangan, hal ini seiring dengan pesatnya perkembangan Perbankan Syariah yang merupakan
implementasi dari Undang-undang nomor 10 tahun 1998. Pembahasan draft PSAK dilakukan oleh Tim
Penyusun PSAK di bawah tanggung jawab Ikatan Akuntan Indonesia (Dewan Standar Akuntansi
Keuangan) namun jika terkait dengan masalah syariah dikonsultasikan dengan Dewan Syariah Nasional
karena sangat disadari kedua bidang ini dimiliki oleh masing-masing. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
memiliki keahlian terhadap pengukuran, pengakuan dan penyajian atau hal-hal lain yang berkaitan dengan
akuntansi, dengan memerhatikan fatwa dari Dewan Syariah Nasional, sedangkan Dewan Syariah Nasional
memiliki keahlian terhadap syariah.
Tim Penyusun PSAK telah membuahkan hasil sebagaimana telah diterbitkannya Exposure Draft
Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan Perbankan Syariah dan Exposure Draft tentang PSAK
No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah pada bulan Maret 2000. Dari hasil Exposure Draft tersebut
juga menghasilkan masukan-masukan yang sangat berarti, yang menuntut tim untuk mencermati lebih
hati-hati, khususnya yang berkaitan dengan aspek syariah. Diskusi, pertemuan dengan Dewan Syariah
Nasional secara terus-menerus dilakukan, termasuk permintaan Dewan Standar Akuntasi Keuangan
(DSAK) Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) kepada Dewan Syariah Nasional untuk mereview hasil akhir
draft PSAK Perbankan Syariah. Dewan Syariah Nasional juga memberikan opini bahwa PSAK Bank
Syariah tersebut secara umum tidak bertentangan dengan aspek syariah. PSAK 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah disahkan pada tanggal 1 Mei 2002 dan secara efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari
2003.
Sebelum diterbitkannya PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, Bank Indonesia mengatur
acuan akuntansi Bank Syariah yaitu:
1. PSAK 31 tentang Akuntansi Perbankan
2. Accounting Auditing Standar for Islamic Financial Institution (terbit tahun 1998) yang dikeluarkan oleh
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions. Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institutions, suatu badan usaha nirlaba yang otonom, yang didirikan pada pada 1
Safar 1410 H bertepatan dengan tanggal 27 Maret 1991 di Negara Bahrain. Pada tahun 1999 buku
tersebut dirubah namanya menjadi “Accounting, Auditing and Governance Standar for Islamic Financial
Institutions” yang membahas Accounting, Auditing dan Governance serta perubahan cakupannya.
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 17
B. Periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2007
Pada periode ini, Akuntansi Syariah di Indonesia telah memiliki acuan yaitu PSAK 59 tentang
Akuntansi Perbankan Syariah. Sebagaimana tercantum dalam ruang lingkup PSAK 59 hanya diterapkan
untuk Bank Umum Syariah (BUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan kantor cabang syariah
Bank Konvensional. Jadi PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah hanya untuk Bank Syariah,
sehingga Lembaga Keuangan Syariah Non Bank yang didirikan seperti Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah,
Lembaga Pembiayaan Syariah dan sebagainya, tidak mengikat dan tunduk pada Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan Nomor 59 (PSAK 59).
C. Periode setelah tahun 2008
Oleh karena PSAK 59 hanya untuk Perbankan Syariah saja sedangkan Lembaga Keuangan Syariah
Non Bank banyak berkembang maka Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntansi Indonesia
(DSAK–IAI), merasa perlu untuk menerbitkan PSAK Syariah yang dapat dipergunakan oleh Entitas
Syariah atau entitas yang melaksanakan transaksi syariah.
Dalam pertemuan DSAK di Malang, maka Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan
Akuntan Indonesia merasa perlu membentuk ”Komite Akuntansi Syariah” (KAS) yaitu tim khusus yang
melakukan pembahasan akuntansi syariah dan membahas tanggung jawab DSAK. Organisasi Komite
Akuntansi Syariah adalah sebagai berikut:
Komponen anggota KAS
1. DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan)
2. DSN (Dewan Syariah Nasional)
3. Regulator (Bank Indonesia, Pasar Modal)
4. Unsur Industri (Perbankan, Asuransi)
5. Praktisi dan akademisi
Pada awalnya KAS beranggotakan 12 orang, dan
dengan perkembangnya transaksi syariah di Indonesia
maka anggota KAS ditambah sesuai keahliannya.
Gambar 2-1: Kedudukan KAS
Pada periode ini, PSAK Syariah yang merupakan perubahan PSAK 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah sudah dapat disahkan oleh DSAK dan dapat diterapkan suatu keharusan melaksanakan
mulai tahun buku 2008. PSAK Syariah yang disahkan tahun 2007 dan berlaku tahun buku 2008 adalah:
PSAK 101 – Penyajian Penyusunan Laporan keuangan Syariah
PSAK 102 – Akuntansi Murabahah
PSAK 103 – Akuntansi Salam
PSAK 104 – Akuntansi Istishna’
PSAK 105 – Akuntansi Mudharabah
PSAK 106 – Akuntansi Musyarakah
Jadi pada periode ini acuan akuntansi pada Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Perbankan
Syariah mempergunakan PSAK 59 tentang akuntansi syariah dan PSAK yang berlaku umum sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sedangkan untuk Lembaga Keuangan Syariah selain perbankan
masih mempergunakan PSAK industri masing-masing. Mulai tahun buku 2008 akuntansi menunjukkan
kemajuan yang luar biasa, karena Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia
(DSAK – IAI) dapat mengesahkan PSAK Syariah yaitu PSAK 101 sampai dengan PSAK 106 dan
18 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan keuangan Syariah (KDPPLKS) yang terpisah dengan
PSAK dan Kerangka Dasar Akuntansi Non Syariah.
Mulai tahun buku 2008 acuan akuntansi dipisahkan menjadi PSAK Syariah dan PSAK non Syariah,
sebagai berikut:
Akuntansi non syariah Akuntansi syariah
Kerangka dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
keuangan (KDPPLK) Laporan keuangan Syariah (KDPPLKS)
PSAK 01 s/d PSAK 99 – untuk Transaksi Non PSAK 101 s/d PSAK 199 – untuk Transaksi
Syariah Syariah
Dalam PSAK Syariah yang baru pada dasarnya dilakukan mengacu pada prinsip syariah yang
dipergunakan, seperti 102 tentang Akuntansi Murabahah, 103 tentang Akuntansi Salam, 104 tentang
Akuntansi Istishna’, 105 tentang Akuntansi Mudharabah dan seterusnya.
Pada periode ini telah terbit PSAK Syariah lain (Exposure Draft) yang diharapkan dapat
dilaksanakan mulai tahun buku 2009 seperti:
PSAK 107-ED – Akuntansi Ijarah (disahkan 2009 dengan nomor PSAK 107)
PSAK 108-ED – Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah
PSAK 109-ED – Akuntansi Zakat, Infaq dan Shadaqah
PSAK 110-ED – Akuntansi Asuransi Hawalah
PSAK 111-ED – Akuntansi Asuransi Syariah (disahkan 2009 dengan nomor PSAK 108)
Dari PSAK yang telah diserahkan bahwa PSAK 101 sampai dengan PSAK 107 dipergunakan secara
umum oleh seluruh entitas yang melaksanakan transaksi syariah, seperti Bank Syariah, Asuransi Syariah,
Lembaga Pembiayaan Syariah, Koperasi Syariah dan sejenisnya termasuk pihak-pihak yang terkait. Disisi
lain terdapat PSAK yang hanya dipergunakan oleh industri khusus, karena memiliki karakter khusus yang
tidak dapat disampaikan dengan entitas yang lain seperti misalnya asuransi syariah, oleh karena itu dalam
melaksanakan akuntansinya industri khusus ini harus menerapkan PSAK yang berlaku umum dan juga
PSAK khusus tersebut.
Oleh karena cakupan yang sangat luas, maka pembahasan akuntansi syariah dapat dilakukan dengan
pola pemikiran sebagaimana dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 2-2 : Pola pemahaman akuntansi syariah
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 19
Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Akuntansi Transaksi Syariah, dengan cakupan pembahasan akuntansi transaksi yang dilakukan
secara umum oleh Lembaga Keuangan Syariah dan pihak terkait sebagaimana diatur dalam PSAK
101 sampai dengan PSAK 107.
2. Akuntansi Industri Khusus seperti misalnya:
a. Akuntansi Perbankan Syariah, dengan cakupan pembahasan (hanya dari segi Perbankan
Syariah saja) akuntansi transaksi yang berlaku umum (PSAK 101 sampai dengan PSAK 107)
yang dilakukan oleh Perbankan Syariah dengan memerhatikan ketentuan Perbankan Syariah
yang berlaku antara lain Peraturan Bank Indonesia.
b. Akuntansi Asuransi Syariah, dengan cakupan pembahasan (hanya dari segi asuransi syariah
saja) akuntansi transaksi yang berlaku umum (PSAK 101 sampai dengan PSAK 107) yang
dilakukan oleh asuransi syariah ditambah dengan PSAK 108 tentang Akuntansi Asuransi
Syariah dan peraturan yang terkait dengan Asuransi Syariah antara lain Peraturan Departemen
Keuangan.
c. Akuntansi Koperasi Syariah, dengan cakupan pembahasan (hanya dari segi koperasi syariah
saja) akuntansi transaksi yang berlaku umum (PSAK 101 sampai dengan PSAK 107) yang
dilakukan oleh Koperasi Syariah ditambah dengan PSAK 27 tentang Akuntansi Koperasi
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan peraturan yang terkait dengan Koperasi
Syariah antara lain Peraturan Departemen Koperasi.
d. Akuntansi Syariah Lainnya (Industri Khusus Syariah lainnya)
Mulai awal tahun 2010 dibentuk Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS), dimana anggotanya
merupakan anggota ”Komite Akuntansi Syariah” dengan ditambah beberapa orang anggota. Dengan
dibentuknya Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) maka dengan demikian sudah tidak ada
lagi ”Komite Akuntansi Syariah” dan terhitung dari tahun 2010 maka yang mengesahkan PSAK Syariah
adalah Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS).
2.3. Bangun Prinsip Akuntansi Syariah
Proses perlakuan akuntansi atas suatu transaksi yang terjadi harus dilakukan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Bangun prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum di Indonesia adalah
sebagai berikut:
Gambar 2-3 : Bangun Prinsip Akuntansi Syariah
20 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
Rerangka ini digambarkan seperti suatu bangunan rumah ‘Prinsip Akuntansi Syariah yang Berlaku
Umum di Indonesia’. Setiap lapisan di bawahnya menjadi landasan bagi lapisan yang berada di atasnya.
Dalam hal terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dari berbagai sumber tersebut, (para) auditor harus
mengikuti perlakukan akuntansi yang diatur di dalam kelompok yang posisinya menjadi landasan atau pada
lapisan yang terletak lebih di bawah.
Pedoman ini merupakan bagian dari pedoman atau kodifikasi praktik akuntansi industri dalam
struktur bangun prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Dalam akuntansi syariah memiliki landasan utama, yaitu landasan syariah yang bersumber pada Al
Quran, Al Hadist dan Fatwa Syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang berhak (Dewan Syariah
Nasional). Oleh karena itu seluruh ketentuan akuntansi yang bertentangan dengan prinsip syariah
(landasan syariah) tidak boleh dipergunakan. Hal ini dapat dilihat dalam Kerangka Dasar Penyusunan
Penyajian Laporan keuangan Syariah (KDPPLKS) paragraf 128 yang menjelaskan sebagai berikut:
128. Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi yang berbeda
dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Biaya historis. Aset dicatat sebesar pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar atau
sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aset
tersebut pada saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai
penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam keadaan tertentu (misalnya, pajak
penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara kas) yang diharapkan akan dibayarkan untuk
memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha yang normal.
(b) Biaya kini (current cost). Aset dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang seharusnya
dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang. Kewajiban dinyatakan
dalam jumlah kas (atau setara kas) yang tidak didiskontokan (undiscounted) yang mungkin
akan diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang.
(c) Nilai realisasi/penyelesaian (realisable/settlement value). Aset dinyatakan dalam jumlah kas
(atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan
normal (orderly disposal). Kewajiban dinyatakan sebesar nilai penyelesaian; yaitu, jumlah kas
(atau setara kas) yang tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk
memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.
Dari ketentuan tersebut di atas terdapat satu pengukuran yang dilakukan untuk laporan keuangan
konvensional tidak diperkenankan untuk dipergunakan pada Laporan keuangan Syariah yaitu “present
value”. Hal ini didasarkan Surah Lukman 34 yang berbunyi:
“ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, dan mengetahui pada yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Segala sesuatu ke depan mutlak milik Allah SWT, sehingga tidak diperkenankan untuk mencampuri
urusan Allah SWT. Hal ini juga dapat dilihat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional yang menetapkan
bahwa hasil usaha yang dibagikan kepada pemodal sebagai pemilik dana adalah hasil usaha yang nyata-
nyata diterima, artinya hasil usaha yang masih dalam pengakuan (akrual) tidak diperkenankan untuk
dibagikan, karena pendapatan akrual tersebut belum diketahui diterima atau tidak.
Dalam Kerangka Dasar Penyajian Pengungkapan Laporan keuangan (KDPPLK) dalam akuntansi umum
paragraf 100 butir d menjelaskan bahwa nilai sekarang (Present Value). Aset dinyatakan sebesar arus kas
masuk bersih dimasa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang dari pos yang diharapkan dapat
memberikan hasil dalam pelaksanaan usaha normal. Kewajiban dinyatakan sebesar arus kas keluar bersih
dimasa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang yang diharapkan akan diperlukan untuk menyelesaikan
kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 21
2.4. Pemakai dan Kebutuhan Informasi Akuntansi Syariah
Pemakai laporan keuangan meliputi investor sekarang dan investor potensial; pemilik dana qardh;
pemilik dana investasi mudharabah; pemilik dana titipan; pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah dan
wakaf; pengawas syariah; karyawan; pemasok dan mitra usaha lainnya; pelanggan; pemerintah serta
lembaga-lembaganya; dan masyarakat. Mereka menggunakan laporan keuangan untuk memenuhi beberapa
kebutuhan informasi yang berbeda. Beberapa kebutuhan ini meliputi:
(a) Investor dan penasehat berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari
investasi yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan
apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada
informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan entitas syariah untuk membayar
dividen.
(b) Pemberi dana qardh tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk
memutuskan apakah dana qardh dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
(c) Pemilik dana syirkah temporer yang berkepentingan akan informasi keuangan yang memungkinkan
mereka untuk mengambil keputusan investasi dengan tingkat keuntungan yang bersaing dan aman.
(d) Pemilik dana titipan tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk
memutuskan apakah dana titipan dapat diambil setiap saat.
(e) Pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta mereka yang berkepentingan akan
informasi mengenai sumber dan penyaluran dana tersebut.
(f) Pengawas syariah yang berkepentingan dengan informasi tentang kepatuhan pengelola bank akan
prinsip syariah.
(g) Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai
stabilitas dan profitabilitas entitas syariah. Mereka juga tertarik dengan informasi yang
memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan entitas syariah dalam memberikan balas jasa,
manfaat pensiun dan kesempatan kerja.
(h) Pemasok dan mitra usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk
memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Mitra usaha
berkepentingan pada entitas syariah dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi
pinjaman qardh kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup
entitas syariah.
(i) Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup entitas syariah,
terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada, entitas
syariah.
(j) Pemerintah. Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan
dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas entitas syariah. Mereka
juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas entitas syariah, menetapkan kebijakan pajak
dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
(k) Entitas syariah memengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, entitas syariah
dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang
dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat
membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan
terakhir kemakmuran entitas syariah serta rangkaian aktivitasnya.
Informasi akuntansi yang disajikan dalam Laporan keuangan bersifat umum. Dengan demikian tidak
sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan informasi setiap pemakai. Berhubung para investor saham dan
pemilik dana syirkah temporer merupakan penanam modal/dana berisiko ke entitas syariah, maka
ketentuan laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan mereka juga akan memenuhi sebagian besar
kebutuhan pemakai lain.
22 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
Manajemen entitas syariah memikul tanggung jawab utama dalam Penyusunan dan Penyajian
Laporan keuangan Entitas Syariah. Manajemen juga berkepentingan dengan informasi yang disajikan
dalam Laporan keuangan meskipun memiliki akses terhadap informasi manajemen dan keuangan
tambahan yang membantu dalam melaksanakan tanggung jawab perencanaan, pengendalian dan
pengambilan keputusan. Manajemen memiliki kemampuan untuk menentukan bentuk dan isi informasi
tambahan tersebut untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun demikian, pelaporan informasi
semacam itu berada di luar ruang lingkup kerangka dasar ini. Bagaimanapun juga, laporan keuangan yang
diterbitkan didasarkan pada informasi yang digunakan manajemen tentang posisi keuangan, kinerja serta
perubahan posisi keuangan.
2.5. Asumsi Dasar Akuntansi Syariah
Asumsi dasar yang dipergunakan dalam akuntansi syariah tidak beda dengan asumsi dasar pada
akuntansi umum yaitu asumsi kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual (accrual basis).
A. Kelangsungan Usaha
Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah dan akan
melanjutkan usahanya di masa depan. Karena itu, entitas syariah diasumsikan tidak bermaksud atau
berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya. Jika maksud atau keinginan
tersebut timbul, Laporan keuangan mungkin harus disusun dengan dasar yang berbeda dan dasar yang
digunakan harus diungkapkan.
Manajemen bertanggung jawab untuk mempertimbangkan apakah asumsi kelangsungan usaha
masih layak dipergunakan dalam menyiapkan laporan keuangan. Dalam mempertimbangkan apakah
asumsi dasar kelangsungan usaha dapat digunakan, manajemen mempertimbangkan semua informasi masa
depan yang relevan paling sedikit untuk jangka waktu 12 bulan dari tanggal Neraca. Tingkat pertimbangan
bergantung pada kasus demi kasus. Apabila selama ini perusahaan menghasilkan laba dan mempunyai
akses ke sumber pembiayaan, maka asumsi kelangsungan usaha mungkin dapat disimpulkan tanpa melalui
analisis rinci. Dalam kasus lain, manajemen perlu memperhatikan faktor yang mempengaruhi profitabilitas
masa kini maupun masa depan, jadwal pembayaran utang, dan sumber potensial pembiayaan pengganti
sebelum dapat menyimpulkan bahwa asumsi kelangsungan usaha dapat digunakan.
B. Dasar Akrual
Dalam asumsi dasar akrual, aset, kewajiban, ekuitas, penghasilan, dan beban diakui pada saat
kejadian bukan saat kas atau setara kas diterima dan dicatat serta disajikan dalam laporan keuangan pada
periode terjadinya. Beban diakui dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya yang
timbul dengan pos penghasilan tertentu yang diperoleh. Proses yang biasanya disebut pengaitan biaya
dengan pendapatan (matching concept) melibatkan secara bersamaan atau gabungan penghasilan dan beban
yang dihasilkan secara langsung dan bersama-sama dari transaksi atau peristiwa lain yang sama. Misalnya,
berbagai komponen beban yang membentuk harga pokok penjualan diakui pada saat yang sama dengan
pengakuan penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang yang bersangkutan. Namun demikian
penggunaan konsep “matching” tidak diperkenankan pengakuan pos dalam neraca yang tidak memenuhi
kriteria pengakuan aset dan kewajiban. Beban segera diakui dalam laporan laba rugi jika pengeluaran tidak
menghasilkan manfaat ekonomi masa depan atau sepanjang manfaat ekonomi masa depan tidak lagi
memenuhi syarat untuk diakui dalam neraca sebagai aset.
Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh
transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode
yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 23
pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga
kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan
diterima di masa depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa
lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas. Dalam hal
prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah
keuntungan bruto (gross profit).
Jadi asumsi dasar akrual dipergunakan dalam penyusunan laporan keuangan syariah, sedangkan
pendapatan yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pembagian hasil usaha kepada pemilik modal
mudharabah (dalam perbankan sering disebut dengan Dana Pihak Ketiga Mudharabah) adalah pendapatan
yang nyata-nyata diterima (cash basis). Lembaga Keuangan Syariah dalam Laporan keuangannya harus
mengungkapkan (disclosure) pendapatan atas dasar akrual dan pendapatan cash basisnya. Dalam Lembaga
Keuangan Syariah sebagian dari pendapatan pengelolaan dana mudharabah yang nyata-nyata diterima (cash
basis) merupakan pendapatan hak pemilik dana mudharabah. Tujuannya untuk memberikan informasi yang
lengkap kepada pengguna laporan keuangan dalam melakukan analisa/telaan kinerja yang dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syariah dan kebutuhan analisa laporan keuangan syariah lainnya. Oleh karena itu
transparansi, kejujuran, amanah merupakan prinsip yang harus dipegang oleh Lembaga Keuangan Syariah
sebagai pengelola modal (mudharib).
Pendapatan dalam Laporan Laba Rugi Lembaga Keuangan Syariah dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2-4 : asumsi dasar akrual
Dalam gambar tersebut di atas dapat dilihat bahwa pendapatan yang ada pada Laporan Laba Rugi
Lembaga Keuangan Syariah, merupakan pendapatan yang diakui secara akrual dan pendapatan yang nyata-
nyata diterima (cash basis). Pendapatan yang nyata-nyata diterima merupakan dasar yang dipergunakan
dalam perhitungan pembagian hasil usaha (profit distribution). Dalam laporan keuangan LKS
mempergunakan asumsi dasar akrual, sehingga baik pendapatan cash basis maupun pendapatan akrual
tercantum dalam laporan keuangan, namun untuk kepentingan pembagian hasil usaha (profit distribusi)
harus mempergunakan pendapatan cash basis, oleh karenanya LKS harus dapat memisahkan pendapatan
akrual dan pendapatan cash basis.
Sebelum PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan PSAK Syariah diterbitkan banyak
yang mengatakan Bank Syariah mempergunakan dasar kas (cash basis). Betulkah demikian? Untuk
mengetahui hal tersebut dapat digambarkan secara sederhana neraca Bank Syariah sebagai berikut:
24 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
Gambar 2-5 : Pos-pos neraca akrual sebelum PSAK 59
Jika dilihat dari gambar tersebut di atas aktiva Bank Syariah dapat dikategorikan dalam kelompok (1)
aktiva produktif, yaitu aktiva yang diharapkan menghasilkan dan atau mengandung risiko seperti misalnya
aktiva yang dicatat dari jual beli (murabahah salam dan istishna’), dari ujroh (ijarah dan ijarah muntahia
bittamlik) dan dari bagi hasil ( mudharabah dan musyarakah), (2) aktiva tetap adalah aktiva yang
dipergunakan sendiri oleh Bank Syariah untuk mendukung kegiatan usaha Bank Syariah misalnya gedung,
inventaris kantor, komputer dan sebagainya, (3) aktiva lain yaitu aktiva yang tidak dapat diketegorikan
dalam kelompok tersebut di atas. Sebelum PSAK Syariah diterbitkan yang dilakukan untuk pengakuan
dengan cash basis adalah pengakuan pendapatan yang terkait dengan aktiva produktif. Untuk aktiva tetap
dilakukan penyusutan (depresiasi) dan aktiva lainnya dilakukan pengurangan nilai dengan amortisasi. Baik
depresiasi maupun amortisasi merupakan salah satu metode akrual. Oleh karena itu sebelum PSAK
Syariah diterbitkan Bank Syariah tidak murni melaksanakan cash basis dan juga tidak murni melakukan
akrual basis, yang lebih tepat adalah dasar kas modifikasi (cash basis modified), dimana motode ini tidak
dikenal dalam sistem akuntansi di Indonesia.
2.6. Proses (siklus) Akuntansi Syariah
Proses/siklus akuntansi perbankan syariah, mulai bukti transaksi sampai dengan laporan keuangan
sama dengan proses/siklus akuntansi umum, (Sofyan Safri, Teori Akuntansi, hal 9) yaitu:
Gambar 2-6 : alur akuntansi
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 25
SISTEM EKONOMI KAPITALISProses akuntansi syariah tidak berbeda dengan alur atau proses akuntansi umum yaitu dimulai dari
Ditangani komputeradanya transaksi yang dilakukan, dibuat jurnal kemudian dibukukan dalam ledger atau buku besar,
SISTEM EKONOMI ISLAMditerbitkan neraca percobaan, jurnal penyesuaian hingga diterbitkan laporan keuangan. Dalam praktik,
terutama apabila Bank Syariah dalam penataan akuntansinya telah menggunakan komputer, alurnya
dimulai dari bukti transaksi yang merupakan input dengan mempergunakan kode debet dan kode kredit,
kemudian setelah transaksi dalam hari tersebut selesai, beberapa kegiatan proses akuntansi ditangani oleh
komputer sebagai proses yaitu jurnal, pembukuan dalam buku besar sampai dengan neraca percobaan atau
neraca saldo, dan akhirnya pada setiap akhir tanggal transaksi diterbitkan seperangkat laporan keuangan
Bank Syariah yang merupakan output. Apabila Bank Syariah telah menggunakan komputer dalam penataan
akuntansinya, yang diketahui oleh pada pelaksana hanya kode transaksi debet dan kode transaksi kredit,
bahkan terdapat beberapa transaksi yang jurnalnya dilakukan secara otomasi oleh komputer, dan akhirnya
pelaksana hanya mengetahui cetakan seperangkat laporan keuangan. Proses atau siklus akuntansi yang
penataan akuntansinya dilakukan komputer dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2-7 : alur akuntansi komputerisasi
Jurnal penyesuaian, jurnal penutup dan jurnal koreksi (jika diperlukan) dilakukan pada hari kerja
berikutnya atau dilakukan oleh kantor akuntan yang melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan
tersebut. Jika akuntansi konvensional dilandasi pada pemikiran-pemikiran sistem ekonomi kapitalis, maka
dalam akuntansi syariah dilandasi pada sistem ekonomi Islam, sehingga perlu kesamaan persepsi tentang
transaksi syariah, akun-akun dan akuntansi syariah dan laporan keuangan syariah.
2.7. Transaksi Syariah
Informasi akuntansi yang diperoleh oleh penggunanya sangat dipengaruhi oleh ketepatan,
kebenaran dan keakuratan data pada laporan keuangan entitas yang bersangkutan. Laporan keuangan
Entitas Syariah ini sangat dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah.
Banyak pelaksana Lembaga Keuangan Syariah memiliki paradigma yang sama dengan paradigma yang
dilakukan oleh Lembaga Keuangan Non Syariah lainnya. Dalam Kerangka dasar Penyajian Penyusunan
Laporan keuangan Syariah (KDPPLK) telah dijelaskan secara rinci dan panjang lebar tentang paradigma
transaksi syariah, azas transaksi syariah, karakteristik transaksi syariah.
26 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
A. Paradigma Transaksi Syariah
Proses awal akuntansi syariah adalah adanya data dasar yang berupa dokumen pembukuan yang
berisikan informasi transaksi yang dilakukan oleh entitas syariah. Transaksi syariah berlandaskan pada
paradigma dasar bahwa alam semesta dicipta oleh Tuhan sebagai amanah (kepercayaan Ilahi) dan sarana
kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan
spiritual (al-falah). Paradigma dasar ini menekankan setiap aktivitas umat manusia memiliki akuntabilitas
dan nilai illahiah yang menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar
dan salahnya aktivitas usaha. Paradigma ini akan membentuk integritas yang membantu terbentuknya
karakter tata kelola yang baik (good governance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik. Syariah
merupakan ketentuan hukum Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi perintah dan
larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan Tuhan maupun interaksi horisontal
dengan sesama makhluk. Prinsip Syariah yang berlaku umum dalam kegiatan muamalah (Transaksi
Syariah) mengikat secara hukum bagi semua pelaku dan stakeholder entitas yang melakukan transaksi syariah.
Akhlak merupakan norma dan etika yang berisi nilai-nilai moral dalam interaksi sesama makhluk agar
hubungan tersebut menjadi saling menguntungkan, sinergis dan harmonis.
B. Asas Transaksi Syariah
Transaksi yang dilakukan oleh Entitas Syariah berasaskan pada prinsip paradigma sebagai berikut:
1) Persaudaraan (ukhuwah);
Prinsip persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi
sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat
saling tolong menolong. Transaksi Syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh
manfaat (sharing economics) sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian
orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling
memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan
beraliansi (tahaluf).
2) Keadilan (‘adalah);
Prinsip keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan
memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.
Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya
unsur:
(a) Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);
Esensi riba adalah setiap tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam
transaksi pinjam-meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, dan setiap
tambahan yang disyaratkan dalam transaksi pertukaran antar barang-barang ribawi termasuk
pertukaran uang (money exchange) yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak
sejenis secara tidak tunai.
(b) Kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);
Esensi kezaliman (dzulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,
memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang
bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai posisinya. Kezaliman dapat
menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya sebagian; atau
membawa kemudharatan bagi salah satu pihak atau pihak-pihak yang melakukan transaksi.
(c) Maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
Esensi maysir adalah setiap transaksi yang bersifat spekulatif dan tidak berkaitan
dengan produktivitas serta bersifat perjudian (gambling).
(d) Gharar (unsur ketidakjelasan); dan
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 27
Esensi gharar adalah setiap transaksi yang berpotensi merugikan salah satu pihak
karena mengandung unsur ketidakjelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak
adanya kepastian pelaksanaan akad. Bentuk-bentuk gharar antara lain:
(1) tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi
akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada;
(2) menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual;
(3) tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas barang/jasa;
(4) tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat pembayaran;
(5) tidak adanya ketegasan jenis dan obyek akad;
(6) kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam
transaksi;
(7) adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau
dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan.
(e) Haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait).
Esensi haram adalah segala unsur yang dilarang secara tegas dalam Al-Quran dan As-Sunah.
3) Kemaslahatan (mashlahah);
Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat
yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
Kemaslahatan yang diakui harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) serta
bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak
menimbulkan kemudharatan. Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara
keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa
pemeliharaan terhadap:
(a) akidah, keimanan dan ketakwaan (dien);
(b) intelek (‘aql);
(c) keturunan (nasl);
(d) jiwa dan keselamatan (nafs); dan
(e) harta benda (mal).
4) Keseimbangan (tawazun); dan
Prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan
spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan
keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada
maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga
manfaat yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua
pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.
5) Universalisme (syumuliyah)
Prinsip universalisme (syumuliyah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua
pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai
dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).
Banyak Lembaga Keuangan Syariah yang melaksanakan usahanya secara eksklusif, sedangkan seperti
diketahui bahwa sektor ekonomi tidak bisa dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu, bahkan ekonomi
dikendalikan oleh pihak-pihak yang diluar eksklusifme yang diciptakan. Banyak pihak yang beranggapan
bahwa pelaksanakan ekonomi syariah hanya untuk muslim atau nasabah yang beragama Islam. Hal yang
demikian tidak tepat, memang betul seluruh ketentuan dalam Lembaga Keuangan Syariah berasal dari
hukum Islam, namun pelaksana dan pihak-pihak yang melakukan (nasabah) dapat dilaksanakan oleh non
Islam, karena dalam melaksanakan transaksi Lembaga Keuangan Syariah mempergunakan azas universal
dan hal demikian telah dicontohkan oleh Rasul yang dijelaskan dalam hadist yang mengatakan Rasul
membeli gandum dari Yahudi dan Beliau menggadaikan baju besinya. Transaksi syariah terikat dengan
nilai-nilai etis meliputi aktivitas sektor keuangan dan sektor riil yang dilakukan secara koheren tanpa
dikotomi sehingga keberadaan dan nilai uang merupakan cerminan aktivitas investasi dan perdagangan.
28 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
C. Karakteristik Transaksi Syariah
Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan azas transaksi syariah harus memenuhi
karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:
1) transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha;
2) prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib);
3) uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas;
4) tidak mengandung unsur riba; kezaliman; maysir; gharar; haram;
5) tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat
dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan
prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk);
6) transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua
pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga
untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam
satu akad;
7) tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran
(ihtikar); dan
8) tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).
Transaksi syariah dapat berupa aktivitas bisnis yang bersifat komersial maupun aktivitas sosial yang
bersifat nonkomersial. Transaksi syariah komersial dilakukan antara lain berupa: investasi untuk
mendapatkan bagi hasil; jual beli barang untuk mendapatkan laba; dan atau pemberian layanan jasa untuk
mendapatkan imbalan. Transaksi syariah non komersial dilakukan antara lain berupa: pemberian dana
pinjaman atau talangan (qardh); penghimpunan dan penyaluran dana sosial seperti zakat, infak, sedekah,
wakaf dan hibah.
2.8. Akun-akun Akuntansi Syariah
Akun yang dipergunakan dalam akuntansi syariah pada Lembaga Keuangan Syariah lebih banyak
dibandingkan dengan akun-akun yang umumnya dipergunakan oleh Lembaga Keuangan Konvensional,
karena masing-masing prinsip syariah pada Lembaga Keuangan Syariah memiliki perlakuan akuntansi
masing-masing yang mengakibatkan adanya akun masing-masing. Penyajian dari akun dalam akuntansi
syariah telah diatur pada masing-masing PSAK yang terkait dan secara rinci akun-akun yang dipergunakan
sehubungan dengan akuntansi syariah dibahas dalam bab yang terkait.
Pembagian akun dalam Akuntansi Syariah dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu
akun riil (neraca), akun nominal (laba rugi) dan ekstra komtabel yang masing-masing memiliki karakteristik
berbeda-beda.
A. Akun riil (akun Laporan Posisi Keuangan/neraca)
Akun ini akan menghasilkan Laporan Posisi Keuangan (Neraca) dan memiliki karakteristik bahwa
saldo akhir tutup buku akan dipindahkan sebagai saldo awal tahun buku berikutnya. Akun riil pada
Lembaga Keuangan Syariah harus mencerminkan transaksi Lembaga Keuangan Syariah yang tidak
membedakan sektor riil atau sektor keuangan, oleh karena itu akun-akun yang dipergunakan oleh Lembaga
keuangan Syariah merupakan gabungan dari beberapa akun yaitu akun-akun yang dipergunakan oleh
Lembaga Keuangan yang bergerak di sektor keuangan seperti perbankan, akun-akun yang dipergunakan
oleh Lembaga Pembiayaan seperti leasing, consumer financing, akun-akun yang dipergunakan oleh kontruksi
dan juga perdagangan. Secara garis besar akun-akun riil dalam akuntansi syariah dapat digambarkan
sebagai berikut:
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 29
Gambar 2-8 : hubungan akun neraca dengan prinsip syariah
Dari gambar tersebut beberapa akun pada akuntansi syariah yang terkait prinsip syariah yang
dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
1) Kelompok Aktiva
Kelompok ini dipergunakan salah satunya untuk mencatat pengelolaan dana yang dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syariah, baik yang dilakukan dengan prinsip jual beli, prinsip ujroh maupun
prinsip bagi hasil, dimana masing-masing prinsip memiliki karakteristik akun sendiri-sendiri.
a) Akun untuk Prinsip Jual Beli
Jika Lembaga Keuangan Syariah menyalurkan dana dengan prinsip jual beli, yang
meliputi murabahah, salam dan istishna’, maka akun yang dipergunakan adalah “Piutang”.
Oleh karena itu dalam penyajian Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Lembaga Keuangan
Syariah terdapat akun piutang murabahah, piutang salam dan piutang istishna’. Jika seseorang
melakukan jual beli dan pembayarannya dilakukan dengan tanggung maka pada penjual timbul
akun “piutang”. Sedangkan pada pihak terkait (pembeli) akun yang dipergunakan adalah
“hutang” sehingga dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca) pembeli timbul akun hutang
murabahah, hutang salam dan hutang istishna’. Dalam perbankan syariah akun piutang
merupakan salah satu aktiva produktif.
b) Akun untuk Prinsip Ujroh
Kelompok lain dari penyaluran dana yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah
adalah prinsip ujroh (upah) yang meliputi Ijarah, Ijarah Muntahia Bittamllik (IMBT), Sewa
Berlanjut dan sejenisnya. Akun yang dipergunakan dalam transaksi Ijarah ini adalah “Aktiva
Ijarah”. Aktiva Ijarah bukan merupakan aktiva tetap tetapi merupakan aktiva produktif yaitu
aktiva yang diharapkan menghasilkan. Jika dalam akuntansi leasing, pencatatan aset yang
disewakan dilakukan oleh lessee, tetapi dalam transaksi Ijarah pencatatan aset atau obyek sewa
yang disewakan tetap dilakukan pada lessor. Oleh karena aktiva tersebut dicatat pada lessor maka
lessor juga melakukan penyusutan dan pemeliharaan dari aktiva tersebut.
c) Akun untuk Prinsip Bagi Hasil
Prinsip lain yang dilakukan dalam penyaluran dana yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah adalah “prinsip bagi hasil” yang terdiri dari Mudharabah dan Musyarakah.
Akun yang dipergunakan dalam prinsip bagi hasil oleh pemilik dana adalah “Investasi” (dalam
PSAK 59 disebut pembiayaan). Dalam transaksi ini dapat dilakukan secara bertahap oleh
karena itu dipihak lain prinsip bagi hasil ini memiliki akun pada Kewajiban Komitmen.
Sedangkan akun yang dipergunakan pada akuntansi pengelolaan dana adalah “Dana Syirkah
Temporer” yang akan dibahas lebih lanjut pada butir berikutnya.
30 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )
2) Kelompok Pasiva
Kelompok ini dipergunakan untuk mencatat sumber dana yang diterima oleh Lembaga Keuangan
Syariah, baik dalam bentuk prinsip wadiah maupun dalam bentuk prinsip mudharabah.
a). Akun untuk Prinsip Wadiah (sumber dana)
Salah satu prinsip yang dipergunakan dalam penghimpunan dana (sumber dana) yang
dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalah “prinsip wadiah”. Tanpa membedakan
produk jika prinsipnya adalah wadiah maka akun yang dipergunakan adalah “Titipan” pada
unsur “Kewajiban”. Sebagai unsur kewajiban karena prinsip wadiah yang dilaksanakan oleh
Lembaga Keuangan Syariah adalah “wadiah yad dhamanah’” yaitu penerima titipan atas seijin
penitip diperkenankan mengambil manfaat barang yang dititipkan, tetapi penerima titipan
harus menjamin (dhaman) dikembalikan barang tersebut apabila sewaktu-waktu penitip
memintanya kembali.
b) Akun untuk prinsip mudharabah (sumber dana)
Prinsip lain yang dipergunakan dalam penghimpunan dana yang dilaksakan Lembaga
Keuangan Syariah adalah “Mudharabah Mutlaqah”. Tanpa memperhatikan produknya jika
prinsip yang dilaksanakan adalah Mudharabah Mutlaqah maka akun yang dipergunakan
dikelompokkan pada “Dana Syirkah Temporer” (dalam PSAK 59 diberi istilah Investasi Tidak
Terikat). Dalam Penyajiannya Dana Syirkah Temporer disajikan antara kewajiban dan equity
(tidak diperkenankan dikelompokkan sebagai kewajiban atau equity). Jadi dalam Laporan Posisi
Keuangan Syariah (Neraca Syariah) pada posisi pasiva terdapat unsur atau kelompok baru yang
disebut dengan Dana Syirkah Temporer. Harus dibuat kelompok baru (tidak sebagai kewajiban
atau equity) karena dalam prinsip mudharabah terdapat ketentuan yang menyatakan “jika dalam
pengelolaan dana mudharabah terdapat kerugian dan bukan kesalahan pengelola, maka
kerugian ditanggung oleh pemilik dana” dengan kata lain bahwa modal mudharabah tidak ada
jaminan untuk dikembalikan seratus persen oleh pengelola karena ada kemungkinan terjadi
kerugian yang bukan kelalaian pengelola akan ditanggung oleh pemilik dana. Jika Lembaga
Keuangan Syariah memperoleh sumber dana mudharabah mutlaqah, kemudian dalam
pengelolaan dana tersebut LKS sudah jujur, transparan, amanah tidak melanggar ketentuan
syariah, tidak melanggar ketentuan regulator dan sebagainya tetapi rugi, maka kerugian tersebut
secara prinsip ditanggung oleh pemilik modal mudharabah. Di Indonesia hal ini tidak terjadi
karena di Indonesia, prinsip pembagian hasil usaha yang dilaksanakan oleh LKS
mempergunakan prinsip “revenue sharing”, yang dibagi adalah revenue dimana dalam teori tidak
mengalami negatif atau kerugian. Hal terburuk yang terjadi adalah tidak diterima revenue sama
sekali, jika hal ini terjadi maka LKS tersebut dalam posisi tidak untung dan tidak rugi (pada
titik impas) sehingga modal mudharabah tetap dikembalikan seluruhnya kepada pemilik dana.
Jika prinsip pembagian hasil usaha LKS mempergunakan revenue sharing, pemilik modal
mudharabah baru menanggung kerugian jika LKS tersebut dilikuidasi dan total aset lebih kecil
dari kewajibannya. Oleh karena itu tahapan pembayaran kewajiban dalam likuidasi LKS adalah
(1) kewajiban (2) dana syirkah temporer dan terakhir (3) modal.
Dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam bidang akuntansi, adanya akuntansi syariah,
merupakan kemajuan yang luar biasa, apabila selama ini pada akuntansi secara umum mempunyai
persamaan yang sudah baku, maka dengan adanya akuntansi Bank Syariah, persamaan akuntansi tersebut
terpaksa harus mengalami perubahan yang mendasar, yang mana persamaan tersebut belum dapat
diperoleh pada literatur akuntansi umum.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Lembaga Keuangan Syariah mempunyai karakteristik
tersendiri, dimana hal ini juga membawa implikasi dalam akuntansi Lembaga Keuangan Syariah itu sendiri.
Oleh karena itu apabila dalam akuntansi umum terdapat persamaan akuntansi syariah pada unsur neraca
adalah sebagai berikut :
Aktiva = Kewajiban + Modal
BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 31
Karena karakteristiknya akuntansi Lembaga Keuangan Syariah mempunyai persamaan akuntansi
yang berbeda dengan persamaan akuntansi umum atau akuntansi konvensional, persamaan akuntansi pada
unsur neraca Lembaga Keuangan Syariah adalah :
Aktiva = Kewajiban + Dana Syirkah Temporer + Modal
Apabila dalam unsur laporan laba rugi akuntansi umum diperoleh persamaan akuntansi sebagai
berikut :
Laba / Rugi = Pendapatan - Jumlah Beban
Ada unsur dalam Laporan Laba Rugi yang membedakan dengan laporan laba rugi secara umum
adalah “Hak pihak ketiga atas bagi hasil Investasi Tidak Terikat” yang mana unsur ini tidak dapat
dikategorikan sebagai unsur beban bagi bank (mudharib), dan disajikan setelah pendapatan utama
operasional sebelum pendapatan operasi lainnya, sehingga persamaan akuntansinya adalah:
Laba/Rugi Pendapatan Hak pihak ketiga Pendapatan Beban
= Usaha Utama -/- atas bagi hasil + Usaha lain -/- Operasional
Untuk memberikan gambaran yang lengkap dan rinci dalam akuntansi Lembaga Keuangan syariah,
perlu dijelaskan beberapa hal yang berbeda dengan akuntansi konvensional dan hal-hal yang mendasari hal
tersebut. Secara ini penjelasan tentang ini dibahas pada unsur-unsur laporan keuangan pokok bahasan
berikut.
B. Akun Nominal (Akun Laporan Laba Rugi)
Akun nominal merupakan akun untuk mendukung pembuatan Laporan Laba Rugi. Akun ini
memiliki karakteristik saldo akhir tutup buku periode akuntansi dipindahkan akun Laba Rugi Berjalan,
sehingga pada awal periode tahun berikutnya saldonya dimulai dengan nihil. Inilah salah satu
pertimbangan penggantian (konversi) akun lama ke akun baru dalam sistem akuntansi entitas umumnya
dilakukan pada akhir periode akuntansi, sehingga pada saat penggantian akun perlu dikonversi adalah
akun-akun yang terkait dengan akun riil atau akun-akun dalam posisi laporan keuangan (neraca). Dalam
menyiapkan akun-akun nominal ini perlu dipahami dengan betul penyajian dan kerakteristik atau filosofi
dari transaksinya, karena terdapat akun-akun yang menurut kaedah akuntansi umum dikategorikan sebagai
beban operasional dalam akuntansi syariah tidak diperkenankan sebagai beban melainkan harus
diperlakukan sebagai pengurang dari pendapatan, misalnya biaya penyusutan aktiva ijarah dan biaya
pemeliharaan aktiva ijarah dalam akuntansi syariah dikategorikan sebagai pengurang pendapatan sewa.
Akun nominal secara umum untuk Lembaga Keuangan Syariah secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut:
Bukan kelompok
beban atau
pendapatan
(KDPPLK pr
108)
Gambar 2-9 : akun dalam laporan laba rugi
32 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )