The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Modul dan Ringkasan Laboratorium Auditing

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by rossitasari94, 2021-04-23 07:36:21

Akuntansi Syariah by Wiroso

Modul dan Ringkasan Laboratorium Auditing

Keywords: Akuntansi Keuangan Syariah

Atas gambar tersebut di atas dapat diberikan penjelasan akun-akun khusus, sedangkan akun yang bersifat
umum penggunaannya sebagaimana lazimnya. Akun-akun yang perlu dijelaskan lebih lanjut adalah:

1) Pendapatan Usaha Utama

Yang dikategorikan sebagai pendapatan usaha utama dalam Lembaga Keuangan Syariah
adalah pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan dana yang berasal dari (1) prinsip jual beli -
pendapatan margin murabahah, pendapatan keuntungan salam dan pendapatan keuntungan
istishna’, (2) prinsip ujroh - pendapatan neto ijarah, pendapatan neto ijarah muntahia bittamllik,
pendapatan neto Ijarah berlanjut, (3) prinsip bagi hasil – pendapatan bagi hasil mudharabah,
pendapatan bagi hasil musyarakah, (4) pendapatan prinsip syariah lainnya – pendapatan Sertifikat
Invetasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) dan pendapatan bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI). Pendapatan usaha utama ini merupakan pendapatan yang akan dibagi hasil dengan pemilik
dana mudharabah.

Pendapatan Usaha Utama yang diperoleh Lembaga Keuangan Syariah tersebut merupakan
pendapatan milik bersama antara Lembaga Keuangan Syariah sebagai pengelola (mudharib) dana
dan pemodal sebagai pemilik dana (shahibul maal), sehingga belum dapat dikategorikan sebagai
pendapatan Lembaga Keuangan Syariah sepenuhnya sebagaimana lazimnya pendapatan dalam
pengertian akuntansi umum. Disamping itu pendapatan usaha utama merupakan unsur pokok
dalam perhitungan pembagian hasil usaha (profit distribution), yaitu pendapatan yang akan dibagi
antara Lembaga Keuangan Syariah sebagai pengelola modal dengan pemodal sebagai pemilik dana.

2) Hak Pihak Ketiga atas Bagi Hasil

Lembaga Keuangan Syariah tidak pernah membayar imbalan kepada pemodal dalam jumlah
yang ditetapkan di depan. Imbalan yang diberikan Lembaga Keuangan Syariah kepada pemodal
dalam bentuk bagian hasil usaha yang diperoleh pengelola usaha (yang sering disebut bagi hasil)
yang besarnya tergantung pada hasil usaha yang diperoleh oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagai
pengelola dana (mudharib). Akun yang dipergunakan untuk mencatat bagi hasil yang menjadi hak
pemilik dana adalah “Hak pihak ketiga atas bagi hasil”. Dalam akuntansi syariah akun ini harus
disajikan tersendiri tidak boleh diketegorikan sebagai pendapatan dan tidak boleh dikategorikan
sebagai beban operasional Lembaga Keuangan Syariah. Tidak dikategorikan sebagai beban
operasional karena (1) besarnya bagi hasil sangat tergantung pada hasil usaha yang nyata-nyata
diterima oleh Lembaga Keuangan Syariah. Jika pendapatan usaha utama (hasil usaha utama) yang
diterima cash basis besar maka bagi hasil menjadi besar, begitu sebaliknya jika pendapatan usaha
utama (hasil usaha utama) yang diterima cash basis kecil maka bagi hasil menjadi kecil, (2)
merupakan bagian dari pendapatan usaha utama yang diperoleh pengelola dana yang menjadi hak
pemilik modal sesuai porsi pembagian hasil usaha yang disepakati diawal akad. Terkait dengan
pendapatan dan hak pihak ketiga atas bagi hasil adalah adanya paradigma bahwa sebagian dari hasil
usaha yang nyata-nyata diterima oleh Lembaga Keuangan Syariah atas pengelolaan dana
mudharabah merupakan hak dari pemilik dana mudharabah. Dalam Lembaga Keuangan
Konvensional hal ini tidak pernah terjadi, karena besarnya imbalan yang dibayarkan kepada
pemodal tidak terkait atau dipengaruhi oleh pendapatan yang diterima.

3) Pendapatan Usaha Lainnya

Yang dikategorikan sebagai pendapatan usaha lainnya adalah seluruh pendapatan atau upah
yang diperoleh Lembaga Keuangan Syariah dari kegiatan usaha yang dilakukan atas dasar imbalan
(fee base income). Oleh karena pendapatan ini bukan hasil dari pengelolaan dana mudharabah yang
dilakukan oleh LKS sebagai mudharib maka pendapatan ini tidak dibagikan kepada pemilik modal
mudharabah. Pendapatan ini sepenuhnya menjadi hak Lembaga Keuangan Syariah, yaitu merupakan
upah Lembaga Keuangan Syariah dalam melaksanakan pekerjaan.

BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 33

4) Beban Usaha

A. Jika menggunakan prinsip revenue sharing, maka seluruh beban usaha menjadi tanggung jawab
pengelola dana (karena yang dibagikan adalah dari laba kotor/gross profit), yaitu pendapatan
sebelum dikurangi dengan beban-beban.

B. Jika menggunakan Profit Sharing, beban dikategorikan menjadi:

1) beban usaha yang menjadi tanggungan Lembaga Keuangan Syariah.
2) beban usaha yang menjadi beban pengelola dana Mudharabah
C. Akun ekstra komtabel

Unsur lain dari Laporan Keuangan Syariah adalah Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat,
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan dan laporan yang mencerminkan kegiatan usaha entitas
syariah tertentu (dalam Perbankan Syariah - Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat). Laporan-laporan
ini merupakan laporan tambahan khusus yang harus dibuat oleh LKS. Laporan ini sering disebut sebagai
“off balance sheet” yaitu laporan diluar neraca, oleh karena itu tidak dapat menggunakan akun-akun yang
digunakan untuk kepentingan Laporan Posisi Keuangan (neraca) dan Laporan Laba Rugi. Untuk
kepentingan pembuatan laporan tersebut perlu disiapkan akun-akun yang tidak mempunyai pengaruh
terhadap posisi keuangan (neraca) dan laba rugi.

2.9. Laporan keuangan Entitas Syariah

Laporan keuangan Lembaga Keuangan Syariah akan dibahas tersendiri dalam bab lain.
Dalam bab ini hanya disampaikan pokok-pokok laporan keuangan Lembaga Keuangan Syariah
saja. Salah satu tujuan dari laporan keuangan dari Lembaga Keuangan Syariah adalah memberikan
informasi yang lengkap kepada penggunanya dan sebagai laporan pertanggungjawaban fungsi
yang dilaksanakan oleh entitas syariah. Oleh karena Lembaga Keuangan Syariah memiliki fungsi
yang berbeda dengan Lembaga Keuangan Konvensional, maka Laporan keuangan Lembaga
Keuangan Syariah memiliki unsur yang berbeda dengan unsur Laporan keuangan Lembaga
Keuangan Konvensional. Perbedaan unsur Laporan keuangan tersebut dapat digambarkan dalam
tabel berikut:

Unsur Laporan keuangan Konvensional Unsur Laporan keuangan Syariah
1 Laporan Posisi Keuangan (Neraca) 1 Laporan Posisi Keuangan (Neraca)
2 Laporan Laba Rugi 2 Laporan Laba Rugi
3 Laporan Arus Kas 3 Laporan Arus Kas
4 Laporan Perubahan Ekuitas 4 Laporan Perubahan Ekuitas
5 Catatan Laporan keuangan 5 Laporan Sumber dan Penggunanaan Dana Zakat
6 Laporan Sumber dan Penggunaan Dana

Kebajikan
7 Laporan Khusus yang mencerminkan kegiatan

Entitas Syariah tertentu
8 Catatan Laporan keuangan

Laporan khusus yang mencerminkan kegiatan khusus dari entitas syariah yang dimaksud adalah:

a. Pada Bank Syariah dikenal Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat

b. Pada Asuransi Syariah dikenal laporan surplus (defisit), underwriting dana tabarru’ dan laporan
perubahan dana tabarru’;

34 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

Laporan ini juga merupakan unsur dari laporan keuangan entitas syariah yang tidak dapat dipisahkan
dengan unsur laporan keuangan lainnya. Oleh karena entitas syariah tertentu memiliki karakteristik khusus
yang tidak dapat disamakan dengan entitas syariah yang lain maka perlu dibuat laporan yang sesuai dengan
karakteristik kegiatan usaha yang dilakukan.

Salah satu tujuan dari laporan keuangan dari Lembaga Keuangan Syariah merupakan laporan
pertanggungjawaban fungsi yang dilakukan oleh manajemen. Sehubungan dengan keterkaitan pelaksanaan
fungsi dan pertanggungjawaban yang harus dilaporkan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2-10 : hubungan laporan keuangan dan fungsi LKS

Dari gambar tersebut di atas dapat dilihat bahwa sebagai pertanggungjawaban fungsi manajer
investasi, fungsi investor dan fungsi jasa keuangan, Lembaga Keuangan Syariah membuat Laporan Posisi
Keuangan (Neraca), Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas dan Laporan Perubahan Ekuitas. Sedangkan
sebagai pertanggung jawaban fungsi sosial atau pemegang amanah, Lembaga Keuangan Syariah harus
membuat laporan sumber dan penggunaan dana Zakat, Laporan sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
dan Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat (untuk Bank Syariah) atau Laporan Surplus (defisit)
underwriting dana tabarru’ dan Laporan Perubahan Dana Tabarru’ (untuk asuransi syariah). Laporan
keuangan entitas syariah ini akan dibahas secara rinci dan lengkap pada bab berikutnya.

2.10. Pertanyaan dan Soal

1. Akuntansi Syariah mulai berkembang di Indonesia seiring berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah
di Indonesia.
a. Jelaskan pengertian akuntansi dan Landasan Syariah Akuntansi Syariah?
b. Jelaskan perkembangan akuntansi syariah di Indonesia?

2. Dalam melaksanakan akuntansi dikenal “Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum/General Accepted
Accounting Principle / GAAP”. Pada akuntansi syariah memiliki Prinsip Akuntansi Syariah yang
Berlaku Umum/General Accepted Sharia Accounting Principle/GASAP.

BAB II. Sekilas Akuntansi Syariah di Indonesia | 35

a. Jelaskan perbedaan GAAP dengan GASAP!
b. Berikan contoh prinsip yang berlaku di akuntansi umum tidak dilaksanakan di akuntansi

syariah?
3. Banyak pihak yang membutuhkan informasi akuntansi, dan laporan keuangan hendaknya dapat

disajikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
a. Jelaskan pihak-pihak yang membutuhkan informasi akuntansi syariah?
b. Jelaskan asumsi yang dipergunakan dalam akuntansi syariah ?

4. Akuntansi syariah sangat dipengaruhi oleh transaksi yang dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan
Syariah.
a. Jelaskan dengan rinci dan jelas paradigma tentang transaksi syariah?
b. Jelaskan dengan rinci dan jelas karakteristik transaksi syariah?

5. Dalam perkembangan awal, akuntansi syariah berpedoman PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah.
a. Jelaskan dengan rinci dan jelas cakupan akuntansi perbankan syariah ?
b. Jelaskan dengan rinci dan jelas mengapa PSAK 59 harus direvisi?

6. Akun-akun yang dipergunakan dalam akuntansi syariah disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha
yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah?
a. Jelaskan pokok-pokok akun yang dipergunakan dalam laporan keuangan syariah?
b. Jelaskan persamaan akuntansi syariah dan jelaskan perbedaannya dengan persamaan akuntansi
umum?

7. Tujuan akhir penyusunan akuntansi adalah diterbitkannya laporan keuangan?
a. Jelaskan unsur laporan keuangan pada Lembaga Keuangan Syariah?
b. Jelakan perbedaan laporan keuangan syariah dan laporan keuangan umum?

36 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

BAB III
LAPORAN KEUANGAN

ENTITAS SYARIAH

3.1. Tujuan Laporan Keuangan

Tujuan Laporan Keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan,
kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Disamping itu, tujuan lainnya adalah:

(a) meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha;
(b) informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban,

pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan bagaimana perolehan
dan penggunaannya;
(c) informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah terhadap
amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak; dan
(d) informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana
syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas
syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar
pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin
dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan
pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi
nonkeuangan.
Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen (stewardship), atau
pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Pemakai yang ingin
menilai apa yang telah dilakukan atau pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian agar mereka
dapat membuat keputusan ekonomi; keputusan ini mungkin mencakup, misalnya, keputusan untuk
menahan atau menjual investasi mereka dalam entitas syariah atau keputusan untuk mengangkat kembali
atau mengganti manajemen.
Berkaitan dengan Laporan Keuangan Entitas Syariah, dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah dijelaskan sebagai berikut:
1. Tujuan Laporan Keuangan

a. Laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan (pengguna laporan keuangan) dalam pengambilan keputusan ekonomi
yang rasional, seperti:
1) investor (pemegang saham);
2) pemberi dana qardh;
3) pemilik dana syirkah temporer;
4) pemilik dana titipan;

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 37

5) pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah, dan wakaf;
6) pengawas syariah;
7) karyawan;
8) pemasok dan mitra usaha lainnya;
9) pelanggan (nasabah)
10) otoritas pengawasan;
11) Bank Indonesia;
12) pemerintah;
13) lembaga penjamin simpanan; dan
14) masyarakat.
b. Informasi bermanfaat yang disajikan dalam Laporan Keuangan, antara lain, meliputi:

1) posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi keuangan bank;
2) peningkatan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan

usaha;
3) tingkat kepatuhan bank syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban,

pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, bila ada, dan bagaimana
perolehan dan penggunaannya;
4) pemenuhan tanggung jawab bank terhadap amanah dalam mengamankan dana,
menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak;
5) tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syirkah
temporer; dan
6) pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan penyaluran
zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
c. Laporan keuangan juga merupakan sarana pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan
sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
2. Tanggung jawab atas Laporan Keuangan
Manajemen bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan Keuangan.
3. Komponen Laporan Keuangan
Laporan Keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen: Neraca, Laporan Laba Rugi,
Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat,
Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat,
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
4. Bahasa Laporan Keuangan
Laporan keuangan harus disusun dalam Bahasa Indonesia. Jika laporan keuangan juga
disusun dalam bahasa lain selain dari Bahasa Indonesia, maka laporan keuangan dalam bahasa lain
tersebut harus memuat informasi yang sama dan waktu yang sama (tanggal posisi dan cakupan
periode). Selanjutnya, laporan keuangan dalam bahasa lain tersebut harus diterbitkan dalam waktu
yang sama seperti laporan keuangan dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal terjadi inkonsistensi dalam
penyajian laporan, maka yang dipergunakan sebagai rujukan adalah dalam Bahasa Indonesia.
5. Mata Uang Pelaporan
Mata uang pelaporan harus dalam rupiah. Apabila transaksi Bank menggunakan mata uang
selain rupiah, maka harus dijabarkan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs laporan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Keuntungan atau kerugian dalam periode berjalan yang
terkait dengan transaksi dalam mata uang asing dinilai dengan menggunakan kurs laporan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.

38 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

6. Kebijakan Akuntansi

Kebijakan tersebut harus mencerminkan prinsip kehati-hatian dan mencakup semua
informasi yang material dan sesuai dengan ketentuan dalam PSAK. Apabila PSAK belum mengatur
masalah pengakuan, pengukuran, penyajian atau pengungkapan dari suatu transaksi atau peristiwa,
harus ditetapkan kebijakan agar laporan keuangan yang disajikan memuat informasi yang dapat
diandalkan dan relevan dengan kebutuhan para pengguna laporan keuangan untuk pengambilan
keputusan.

7. Penyajian

a. Laporan Keuangan harus menyajikan secara wajar Posisi Keuangan, Kinerja Keuangan, Arus
Kas, Perubahan Ekuitas, Perubahan Dana Investasi Terikat, Pendapatan dan Bagi Hasil,
Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan, disertai
pengungkapan yang diharuskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Aset disajikan berdasarkan karakteristiknya menurut urutan likuiditas, kewajiban disajikan
menurut urutan jatuh temponya, dan Dana Syirkah Temporer dalam unsur tersendiri.

c. Saldo transaksi sehubungan dengan kegiatan operasi normal bank disajikan dan diungkapkan
secara terpisah antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa termasuk pihak-pihak terkait sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.

d. Laporan Laba Rugi menggambarkan pendapatan dan beban menurut karakteristiknya yang
dikelompokkan secara berjenjang (multiple step) dari kegiatan utama Bank dan kegiatan lainnya.

e. Catatan atas Laporan Keuangan harus disajikan secara sistematis dengan urutan penyajian
sesuai dengan komponen utamanya. Setiap pos dalam komponen Laporan Keuangan harus
berkaitan dengan informasi yang terdapat dalam catatan atas Laporan Keuangan. Catatan atas
Laporan Keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Keuangan, yang
sifatnya memberikan penjelasan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif terhadap
Laporan Keuangan Pokok, sehingga Laporan Keuangan secara keseluruhan tidak akan
menyesatkan pembaca. Informasi yang diungkapkan dalam catatan atas Laporan Keuangan,
antara lain, mengenai:

1) gambaran umum bank syariah;

2) ikhtisar kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan Laporan Keuangan;

3) penjelasan atas pos-pos yang terdapat dalam setiap komponen Laporan Keuangan; dan

4) pengungkapan hal-hal penting lainnya yang berguna untuk pengambilan keputusan.

Dalam catatan atas Laporan Keuangan tidak diperkenankan menggunakan kata "sebagian
besar" untuk menggambarkan bagian dari suatu jumlah tetapi harus dinyatakan dalam jumlah
nominal atau persentase.

f. Perubahan akuntansi wajib memperhatikan ha!-hal sebagai berikut:

1) Perubahan estimasi akuntansi

Estimasi akuntansi dapat diubah apabila terdapat perubahan kondisi yang mendasarinya.
Selaian itu, juga wajib diungkapkan pengaruh material dari perubahan yang terjadi baik
pada periode berjalan maupun periode-periode berikutnya.

2) Perubahan kebijakan akuntansi

a) Kebijakan akuntansi dapat diubah apabila:

(1) terdapat peraturan perundangan atau standar akuntansi yang berbeda
penerapannya; atau

(2) diperkirakan bahwa perubahan tersebut akan menghasilkan penyajian
kejadian atau transaksi yang lebih sesuai dalam Laporan Keuangan.

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 39

b) Dampak perubahan kebijakan akuntansi harus diperlakukan secara retrospektif
dengan melakukan penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan
dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian.

c) Dalam hal perlakuan secara retrospektif dianggap tidak praktis maka cukup
diungkapkan alasannya atau mengikuti ketentuan dalam PSAK yang berlaku
apabila terdapat aturan lain dalam ketentuan masa transisi pada Standar
Akuntansi Keuangan baru.

3) Terdapat kesalahan mendasar

Koreksi kesalahan mendasar dilakukan secara retrospektif dengan melakukan
penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan dampaknya terhadap
masa sebelum periode sajian.

g. Pada setiap lembar Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus
Kas, Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi
Hasil, Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan harus diberi pernyataan bahwa "Catatan atas Laporan Keuangan merupakan bagian
tak terpisahkan dari Laporan Keuangan".

h. Disamping hal-hal di atas, penyajian Laporan Keuangan bagi Bank wajib mengikuti ketentuan
yang dikeluarkan Bank Indonesia, sedangkan bagi Bank yang telah go public wajib pula
mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas pasar modal.

8. Konsistensi penyajian

a. Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten,
kecuali:

1) terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi perbankan; atau

2) perubahan tersebut diperkenankan oleh PSAK.

b. Apabila penyajian atau klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan diubah, maka penyajian
periode sebelumnya direklasifikasi untuk memastikan daya banding, sifat, jumlah dan alasan
reklasifikasi tersebut juga harus diungkapkan. Dalam hal reklasifikasi dianggap tidak praktis
maka cukup diungkapkan alasannya.

9. Materialitas dan Agregasi

a. Penyajian laporan keuangan didasarkan pada konsep materialitas.

b. Pos-pos yang jumlahnya material disajikan tersendiri dalam laporan keuangan, sedangkan yang
jumlahnya tidak material dapat digabungkan sepanjang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis.

c. Informasi dianggap material apabila kelalaian dalam mencantumkan (ommission) atau kesalahan
mencatat (misstatement) informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan dalam
pengambilan keputusan ekonomi.

10. Saling hapus (offsetting)

a. Jumlah aset dan kewajiban yang disajikan pada neraca tidak boleh saling hapus dengan
kewajiban atau aset lain kecuali secara hukum dibenarkan dan saling hapus tersebut
mencerminkan perkiraan realisasi atau penyelesaian aset atau kewajiban.

b. Pos-pos pendapatan dan beban tidak boleh saling hapus kecuali yang berhubungan dengan
aset dan kewajiban yang saling hapus sebagaimana dimaksud pada 10.a.

11. Periode Pelaporan

Laporan keuangan wajib disajikan secara tahunan berdasarkan tahun takwim. Dalam hal Bank
baru berdiri, merger atau akuisisi atau konsolidasi, laporan keuangan dapat disajikan untuk periode
yang lebih pendek dari satu tahun takwim. Selain itu, untuk kepentingan pihak lainnya, Bank dapat
membuat dua laporan yaitu dalam tahun takwim dan periode efektif dengan mencantumkan:

40 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

a. Alasan penggunaan periode pelaporan selain periode satu tahunan.

b. Fakta bahwa jumlah komparatif dalam Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas,
Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, Laporan Rekonsiliasi
Pendapatan dan Bagi Hasil, Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat, Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana Kebajikan, dan Catatan atas Laporan Keuangan Tidak Dapat
Diperbandingkan.

12. Informasi Komparatif

a. Laporan keuangan tahunan dan interim harus disajikan secara komparatif dengan periode yang
sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk laporan laba rugi interim harus mencakup
periode sejak awal tahun buku sampai dengan akhir periode interim yang dilaporkan.

b. Informasi komparatif yang bersifat naratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode
sebelumnya wajib diungkapkan kembali apabila relevan untuk pemahaman laporan keuangan
periode berjalan.

13. Laporan Keuangan Interim

a. Laporan Keuangan Interim adalah laporan keuangan yang diterbitkan di antara dua laporan
tahunan dan harus dipandang sebagai bagian integral dari laporan periode tahunan.
Penyusunan laporan keuangan interim dapat dilakukan secara bulanan, triwulan atau periode
yang lain yang kurang dari satu tahun.

b. Laporan keuangan interim memuat komponen yang sama seperti laporan keuangan tahunan
yang terdiri dari Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas,
Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil,
Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan,
dan Catatan atas Laporan Keuangan.

14. Laporan Keuangan Konsolidasi

Dalam menyusun Laporan Keuangan Konsolidasi, laporan keuangan dan anak perusahaan
digabungkan satu persatu dengan menjumlahkan unsur-unsur yang sejenis dari aset, kewajiban, dana
syirkah temporer, ekuitas, pendapatan dan beban. Agar laporan keuangan konsolidasi dapat
menyajikan informasi keuangan dari kelompok perusahaan tersebut sebagai satu kesatuan ekonomi,
maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Transaksi dan saldo resiprokal antara induk perusahaan dan anak perusahaan, harus dieliminasi.
b. Keuntungan dan kerugian yang belum direalisasi, yang timbul dari transaksi antara induk

perusahaan dan anak perusahaan, harus dieliminasi.
c. Untuk tujuan konsolidasi, tanggal pelaporan, keuangan anak perusahaan pada dasarnya harus

sama dengan tanggal pelaporan keuangan perusahaan induk. Apabila tanggal laporan keuangan
tersebut berbeda maka laporan keuangan konsolidasi per tanggal laporan keuangan Bank
masih dapat dilakukan sepanjang:

1) perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan; dan
2) peristiwa atau transaksi material yang terjadi di antara tanggal pelaporan tersebut

diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan konsolidasi.
Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi maka penyesuaian yang diperlukan harus dilakukan.
d. Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan menggunakan kebijakan akuntansi yang sama
untuk transaksi, peristiwa, dan keadaan yang sama atau sejenis.
e. Hak minoritas (minority interest) harus disajikan tersendiri dalam neraca konsolidasi antara
kewajiban dan modal. Sedangkan hak minoritas dalam laba disajikan dalam laporan laba rugi
konsolidasi.
Keputusan ekonomi yang diambil pemakai laporan keuangan memerlukan evaluasi atas kemampuan
entitas syariah dalam menghasilkan kas (dan setara kas), dan waktu serta kepastian dari hasil tersebut.
Kemampuan ini akhirnya menentukan, misalnya, kemampuan pembayaran kepada para karyawan dan para
pemasok, pembayaran kewajiban dan pembagian penghasilan kepada para pemilik. Para pemakai dapat

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 41

mengevaluasi kemampuan entitas syariah dalam menghasilkan kas (dan setara kas) dengan lebih baik kalau
mereka mendapat informasi yang difokuskan pada posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan entitas syariah.

Posisi keuangan entitas syariah dipengaruhi oleh sumber daya yang dikendalikan, struktur keuangan,
likuiditas dan solvabilitas, serta kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Informasi
sumber daya ekonomi yang dikendalikan dan kemampuan entitas syariah dalam memodifikasi sumber daya
ini di masa lalu berguna untuk memprediksi kemampuan entitas syariah dalam menghasilkan kas (dan
setara kas) di masa depan. Informasi struktur keuangan berguna untuk memprediksi kebutuhan pinjaman
di masa depan dan bagaimana penghasilan bersih (laba) dan arus kas di masa depan akan didistribusikan
kepada mereka yang memiliki hak di dalam entitas syariah; informasi tersebut juga berguna untuk
memprediksi seberapa jauh entitas syariah akan berhasil meningkatkan lebih lanjut sumber keuangannya.
Informasi likuiditas dan solvabilitas berguna untuk memprediksi kemampuan entitas syariah dalam
pemenuhan komitmen keuangannya pada saat jatuh tempo. Likuiditas merupakan ketersediaan kas jangka
pendek di masa depan setelah memperhitungkan komitmen yang ada. Solvabilitas merupakan ketersediaan
kas jangka panjang untuk memenuhi komitmen pada saat jatuh tempo.

Informasi kinerja entitas syariah, terutama profitabilitas, diperlukan untuk menilai perubahan
potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa depan. Informasi fluktuasi kinerja
adalah penting dalam hubungan ini. Informasi kinerja bermanfaat untuk memprediksi kapasitas entitas
syariah dalam menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada. Disamping itu, informasi tersebut juga
berguna dalam perumusan pertimbangan tentang efektivitas entitas syariah dalam memanfaatkan
tambahan sumber daya.

Informasi perubahan posisi keuangan entitas syariah bermanfaat untuk menilai aktivitas investasi,
pendanaan dan operasi selama periode pelaporan. Informasi ini berguna bagi pemakai sebagai dasar untuk
menilai kemampuan entitas syariah dalam menghasilkan kas (dan setara kas) serta kebutuhan entitas
syariah untuk memanfaatkan arus kas tersebut. Dalam penyusunan laporan perubahan posisi keuangan,
dana dapat didefinisikan dalam berbagai cara, seperti, seluruh sumber daya keuangan, modal kerja, aktiva
likuid atau kas. Kerangka dasar ini tidak mendefinisikan dana secara spesifik.

Informasi posisi keuangan terutama disediakan dalam neraca. Informasi kinerja terutama disediakan
dalam laporan laba rugi. Dalam laporan keuangan, informasi perubahan posisi keuangan dan laporan yang
menjelaskan pemenuhan fungsi sosial entitas syariah disajikan dalam laporan tersendiri.

Informasi lain yang tidak diatur secara khusus tetapi relevan bagi pengambilan keputusan sebagian
besar pengguna laporan keuangan hendaknya disajikan dalam laporan keuangan.

Komponen-komponen laporan keuangan saling terkait karena mencerminkan aspek-aspek yang
berbeda dari transaksi transaksi atau peristiwa lain yang sama. Meskipun setiap laporan menyediakan
informasi yang berbeda satu sama lain, tidak ada yang hanya dimaksudkan untuk memenuhi tujuan tunggal
atau menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus pemakai.
Misalnya, laporan laba rugi menyediakan gambaran yang tidak lengkap tentang kinerja kecuali kalau
digunakan dalam hubungannya dengan neraca dan laporan arus kas.

Laporan keuangan juga menampung catatan dan skedul tambahan serta informasi lainnya. Misalnya,
laporan tersebut mungkin menampung informasi tambahan yang relevan dengan kebutuhan pemakai
neraca dan laporan laba rugi. Mungkin pula mencakupi pengungkapan tentang risiko dan ketidakpastian
yang mempengaruhi entitas syariah dan setiap sumber daya dan kewajiban (obligation) yang tidak
dicantumkan dalam neraca (seperti cadangan mineral). Informasi segmen-segmen industri dan geografi
serta pengaruhnya pada entitas syariah akibat perubahan harga dapat juga disediakan dalam bentuk
informasi tambahan.

42 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

3.2. Karakteristik Kualitas Laporan Keuangan

Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi dalam Laporan Keuangan berguna
bagi pemakai. Terdapat empat karateristik kualitatif pokok yaitu: dapat dipahami, relevan, keandalan, dan
dapat diperbandingkan (KDPPLK, 2008).

A. Dapat Dipahami

Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk
segera dapat dipahami oleh pemakai. Untuk maksud ini, pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang
memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi
dengan ketekunan yang wajar. Namun demikian, informasi kompleks yang seharusnya dimasukkan dalam
laporan keuangan tidak dapat dikeluarkan hanya atas dasar pertimbangan bahwa informasi tersebut terlalu
sulit untuk dapat dipahami oleh pemakai tertentu.

B. Relevan
Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses

pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan kalau dapat mempengaruhi keputusan
ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa
depan, menegaskan, atau mengkoreksi, hasil evaluasi mereka di masa lalu.

Peran informasi dalam peramalan (predictive) dan penegasan (confirmatory) berkaitan satu sama lain.
Misalnya, informasi struktur dan besarnya aset-aset yang dimiliki bermanfaat bagi pemakai ketika mereka
berusaha meramalkan kemampuan entitas syariah dalam memanfaatkan peluang dan bereaksi terhadap
situasi yang merugikan. Informasi yang sama juga berperan dalam memberikan penegasan (confirmatory role)
terhadap prediksi yang lalu, misalnya, tentang bagaimana struktur keuangan entitas syariah diharapkan
tersusun atau tentang hasil dari operasi yang direncanakan.

Informasi posisi keuangan dan kinerja di masa lalu seringkali digunakan sebagai dasar untuk
memprediksi posisi keuangan dan kinerja masa depan dan hal-hal lain yang langsung menarik perhatian
pemakai, seperti pembayaran dividen dan upah, pergerakan harga sekuritas dan kemampuan entitas syariah
untuk memenuhi komitmennya ketika jatuh tempo. Untuk memiliki nilai prediktif, informasi tidak perlu
harus dalam bentuk ramalan eksplisit. Namun demikian, kemampuan laporan keuangan untuk membuat
prediksi dapat ditingkatkan dengan menampilkan informasi tentang transaksi dan peristiwa masa lalu.
Misalnya, nilai prediktif laporan laba rugi dapat ditingkatkan kalau pos-pos penghasilan atau beban yang
tidak biasa, abnormal dan jarang terjadi diungkapkan secara terpisah.

(1) Materialitas
Relevansi informasi dipengaruhi oleh hakekat dan materialitasnya. Dalam beberapa kasus,

hakekat informasi saja sudah cukup untuk menentukan relevansinya. Misalnya, pelaporan suatu
segmen baru dapat mempengaruhi penilaian risiko dan peluang yang dihadapi entitas syariah tanpa
mempertimbangkan materialitas dari hasil yang dicapai segmen baru tersebut dalam periode
pelaporan. Dalam kasus lain, baik hakekat maupun materialitas dipandang penting, misalnya jumlah
serta kategori persediaan yang sesuai dengan kebutuhan entitas syariah.

Informasi dipandang material kalau kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam
mencatat informasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas
dasar laporan keuangan. Materialitas tergantung pada besarnya pos atau kesalahan yang dinilai sesuai
dengan situasi khusus dari kelalaian dalam mencantumkan (omission) atau kesalahan dalam mencatat
(misstatement). Karenanya, materialitas lebih merupakan suatu ambang batas atau titik pemisah dari
pada suatu karakteristik kualitatif pokok yang harus dimiliki agar informasi dipandang berguna.

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 43

Dalam hal bagi hasil, dasar yang dibagi hasilkan harus mencerminkan jumlah yang
sebenarnya tanpa mempertimbangkan pelaksanaan konsep materialitas.

(2) Keandalan

Agar bermanfaat, informasi juga harus andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika
bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya
sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang
secara wajar diharapkan dapat disajikan.

Informasi mungkin relevan tetapi jika hakekat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan maka
penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. Misalnya, jika keabsahan dan
jumlah tuntutan atas kerugian dalam suatu tindakan hukum masih dipersengketakan, mungkin tidak
tepat bagi entitas syariah untuk mengakui jumlah seluruh tuntutan tersebut dalam neraca, meskipun
mungkin tepat untuk mengungkapkan jumlah serta keadaan dari tuntutan tersebut.

(3) Penyajian Jujur

Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta
peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.
Jadi, misalnya, neraca harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya dalam
bentuk aset, kewajiban, dana syirkah temporer, dan ekuitas entitas syariah pada tanggal pelaporan
yang memenuhi kriteria pengakuan.

Informasi keuangan pada umumnya tidak luput dari risiko penyajian yang dianggap kurang
jujur dari apa yang seharusnya digambarkan. Hal tersebut bukan disebabkan karena kesengajaan
untuk menyesatkan, tetapi lebih merupakan kesulitan yang melekat dalam mengidentifikasikan
transaksi serta peristiwa lainnya yang dilaporkan, atau dalam menyusun atau menerapkan ukuran
dan teknik penyajian yang sesuai dengan makna transaksi dan peristiwa tersebut. Dalam kasus
tertentu, pengukuran dampak keuangan dari suatu pos sangat tidak pasti sehingga entitas syariah
pada umumnya tidak mengakuinya dalam laporan keuangan. Misalnya, meskipun dalam kegiatan
usahanya entitas syariah dapat menghasilkan goodwill, tetapi lazimnya sulit untuk mengidentifikasi
atau mengukur goodwill secara andal. Namun, dalam kasus lain, pengakuan suatu pos tertentu tetap
dianggap relevan dengan mengungkapkan risiko kesalahan sehubungan dengan pengakuan dan
pengukurannya.

(4) Substansi Mengungguli Bentuk

Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur transaksi serta peristiwa lain yang
seharusnya disajikan, maka peristiwa tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi
dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya. Substansi transaksi atau peristiwa lain
tidak selalu konsisten dengan apa yang tampak dari bentuk hukum. Substansi transaksi tersebut
harus mengacu kepada substansi transaksi sesuai prinsip syariah dan dalam kondisi tertentu, prinsip
syariah menentukan substansi ekonomi dalam transaksi syariah. Contohnya ijarah dengan hak opsi
untuk pengalihan kepemilikan aset ijarah kepada penyewa (ijarah muntahiyah bittamlik) secara
substansi ekonomi aset ijarah tidak diakui sebagai aset oleh penyewa.

(5) Netralitas

Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, dan tidak bergantung pada
kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang
menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak lain yang
mempunyai kepentingan yang berlawanan.

(6) Pertimbangan Sehat

Penyusun laporan keuangan adakalanya menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan
tertentu, seperti ketertagihan piutang yang diragukan, prakiraan masa manfaat pabrik serta peralatan,
dan tuntutan atas jaminan garansi yang mungkin timbul. Ketidakpastian semacam itu diakui dengan
mengungkapkan hakekat serta tingkatnya dan dengan menggunakan pertimbangan sehat (prudence)

44 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada
saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau penghasilan tidak
dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun
demikian penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya, pembentukan
cadangan tersembunyi atau penyisihan (provision) berlebihan, dan sengaja menetapkan aset atau
penghasilan yang lebih rendah atau pencatatan kewajiban atau beban yang lebih tinggi, sehingga
laporan keuangan menjadi tak netral, dan karena itu, tidak memiliki kualitas andal.

(7) Kelengkapan

Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan (omission) mengakibatkan informasi
menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna
ditinjau dari segi relevansi.

C. Dapat Dibandingkan

Pemakai harus dapat memperbandingkan laporan keuangan entitas syariah antar periode untuk
mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat
memperbandingkan laporan keuangan antar entitas syariah untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja
serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karena itu, pengukuran dan penyajian dampak
keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan secara konsisten untuk entitas
syariah tersebut, antar periode entitas syariah yang sama, untuk entitas syariah yang berbeda, maupun
dengan entitas lain.

Implikasi penting dari karakteristik kualitatif dapat diperbandingkan adalah bahwa pemakai harus
mendapat informasi tentang kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan dan
perubahan kebijakan serta pengaruh perubahan tersebut. Para pemakai harus dimungkinkan untuk dapat
mengidentifikasi perbedaan kebijakan akuntansi yang diberlakukan untuk transaksi serta peristiwa lain yang
sama dalam sebuah entitas syariah dari satu periode ke periode dan dalam entitas syariah yang berbeda.
Ketaatan pada standar akuntansi keuangan syariah, termasuk pengungkapan kebijakan akuntansi yang
digunakan oleh entitas syariah, membantu pencapaian daya banding.

Kebutuhan terhadap daya banding jangan dikacaukan dengan keseragaman semata-mata dan tidak
seharusnya menjadi hambatan dalam memperkenalkan standar akuntansi keuangan syariah yang lebih baik.
Entitas syariah tidak perlu meneruskan kebijakan akuntansi yang tidak lagi selaras dengan karakteristik
kualitatif relevansi dan keandalan. Entitas syariah juga tidak perlu mempertahankan suatu kebijakan
akuntansi kalau ada alternatif lain yang lebih relevan dan lebih andal.

Berhubung pemakai ingin membandingkan posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan antar periode, maka entitas syariah perlu menyajikan informasi periode sebelumnya dalam
laporan keuangan.

D. Kendala Informasi yang Relevan dan Andal

(1) Tepat Waktu
Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya dalam pelaporan, maka informasi yang dihasilkan

akan kehilangan relevansinya. Manajemen mungkin perlu menyeimbangkan manfaat relatif antara
pelaporan tepat waktu dan ketentuan informasi andal. Untuk menyediakan informasi tepat waktu,
seringkali perlu melaporkan sebelum seluruh aspek transaksi atau peristiwa lainnya diketahui, sehingga
mengurangi keandalan informasi. Sebaliknya, jika pelaporan ditunda sampai seluruh aspek diketahui,
informasi yang dihasilkan mungkin sangat andal tetapi kurang bermanfaat bagi pengambil keputusan.
Dalam usaha mencapai keseimbangan antara relevansi dan keandalan, kebutuhan pengambil keputusan
merupakan pertimbangan yang menentukan.

(2) Keseimbangan antara Biaya dan Manfaat

Keseimbangan antara biaya dan manfaat lebih merupakan suatu kendala yang dapat terjadi (pervasive)
daripada suatu karakteristik kualitatif. Manfaat yang dihasilkan informasi seharusnya melebihi biaya

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 45

penyusunannya. Namun demikian, secara substansi evaluasi biaya dan manfaat merupakan suatu proses
pertimbangan (judgement process). Biaya tidak harus dipikul oleh mereka yang menikmati manfaat. Manfaat
mungkin juga dinikmati oleh pemakai lain disamping mereka yang menjadi tujuan penyampaian informasi.
Karena alasan inilah maka sulit untuk mengaplikasikan uji biaya-manfaat pada kasus tertentu. Namun
demikian, dewan penyusun standar akuntansi syariah, seperti juga para penyusun dan pemakai laporan
keuangan, harus menyadari kendala ini.

(3) Keseimbangan di antara Karakteristik Kualitatif
Dalam praktek, keseimbangan atau trade-off di antara berbagai karakteristik kualitatif sering

diperlukan. Pada umumnya tujuannya adalah untuk mencapai suatu keseimbangan yang tepat di antara
berbagai karakteristik untuk memenuhi tujuan laporan keuangan. Kepentingan relatif dari berbagai
karakteristik dalam berbagai kasus yang berbeda merupakan masalah pertimbangan profesional.

E. Penyajian Wajar

Laporan keuangan sering dianggap menggambarkan pandangan yang wajar dari, atau menyajikan
dengan wajar, posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah. Meskipun
kerangka dasar ini tidak menangani secara langsung konsep tersebut, penerapan karakteristik kualitatif
pokok dan standar akuntansi keuangan yang sesuai biasanya menghasilkan laporan keuangan yang
menggambarkan apa yang pada umumnya dipahami sebagai suatu pandangan yang wajar dari, atau
menyajikan dengan wajar, informasi semacam itu.

F. Pengakuan Unsur Laporan Keuangan

Dalam Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) pengakuan
unsur Laporan Keuangan (paragraf 109 sd 126) dijelaskan bahwa Pengakuan (recognition) merupakan proses
pembentukan suatu pos yang memenuhi definisi unsur serta kriteria pengakuan yang dikemukakan dalam
paragraf 110 dalam neraca atau laporan laba rugi. Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos tersebut
baik dalam kata-kata maupun dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke dalam neraca atau laporan
laba rugi. Pos yang memenuhi kriteria tersebut harus diakui dalam neraca atau laporan laba rugi. Kelalaian
untuk mengakui pos semacam itu tidak dapat diralat melalui pengungkapan kebijakan akuntansi yang
digunakan maupun melalui catatan atau materi penjelasan (paragraf 109)
Pos yang memenuhi definisi suatu unsur harus diakui kalau: (paragraf 110)

(a) ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos tersebut akan mengalir dari
atau ke dalam entitas syariah; dan

(b) pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.
Dalam mengkaji apakah suatu pos memenuhi kriteria ini dan karenanya memenuhi syarat untuk

diakui dalam laporan laba rugi, perhatian perlu ditujukan pada pertimbangan materialitas yang dibahas
dalam paragraf 49 sampai dengan 51. Hubungan antara unsur berarti bahwa suatu pos yang memenuhi
definisi dan kriteria pengakuan untuk unsur tertentu, misalnya, suatu aset, secara otomatis memerlukan
pengakuan unsur lain, misalnya, penghasilan atau kewajiban. (paragraf 111)

(1) Probabilitas Manfaat Ekonomi Masa Depan
Dalam kriteria pengakuan penghasilan, konsep probabilitas digunakan dalam pengertian

derajat ketidakpastian bahwa manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan pos tersebut
akan mengalir dari atau ke dalam entitas syariah. Konsep tersebut dimaksudkan untuk
menghadapi ketidakpastian lingkungan operasi entitas syariah. Pengkajian derajat ketidakpastian
yang melekat dalam arus manfaat ekonomi masa depan dilakukan atas dasar bukti yang tersedia
pada saat penyusunan Laporan Keuangan. Misalnya, kalau pembayaran suatu piutang besar
kemungkinan terjadi (probable) dan tidak ada bukti lain yang bertentangan, maka dapat dibenarkan
untuk mengakui piutang tersebut sebagai aset. Namun demikian, jika populasi piutang banyak

46 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

jumlahnya, maka besar kemungkinan ada yang tidak tertagih; karena itu suatu beban yang
merepresentasikan pengurangan manfaat ekonomi yang diharapkan harus diakui. (paragraf 112)

(2) Keandalan Pengukuran

Kriteria pengakuan suatu pos yang kedua adalah ada tidaknya biaya atau nilai yang dapat
diukur dengan tingkat keandalan tertentu (reliable) seperti yang dibahas pada paragraf 52 sampai
dengan paragraf 59 kerangka dasar ini. Pada banyak kasus, biaya atau nilai harus diestimasi;
penggunaan estimasi yang layak merupakan bagian esensial dalam penyusunan Laporan Keuangan
tanpa mengurangi tingkat keandalan. Namun demikian, kalau estimasi yang layak tak mungkin
dilakukan, pos tersebut tidak diakui dalam neraca atau laporan laba rugi. Misalnya, hasil yang
diharapkan dari suatu tuntutan hukum dapat memenuhi definisi baik aset dan penghasilan
maupun kriteria probabilitas untuk dapat diakui; namun demikian, kalau tidak mungkin diukur
dengan tingkat keandalan tertentu, tuntutan tersebut tidak dapat diakui sebagai aset atau sebagai
penghasilan; namun demikian, eksistensi tuntutan harus diungkapkan dalam catatan, materi
penjelasan atau skedul tambahan. (paragraf 113) Suatu pos yang pada saat tertentu tidak dapat
memenuhi kriteria pengakuan dalam paragraf 110 dapat memenuhi syarat untuk diakui di masa
depan sebagai akibat dari peristiwa atau keadaan yang terjadi kemudian. (paragraf 114) Suatu pos
yang memiliki karakteristik esensial suatu unsur tetapi tidak dapat memenuhi kriteria pengakuan
tetap perlu diungkapkan dalam catatan, materi penjelasan atau skedul tambahan. Pengungkapan
ini dapat dibenarkan kalau pengetahuan mengenai pos tersebut dipandang relevan untuk
mengevaluasi posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah oleh
pemakai laporan keuangan. (paragraf 115)

(3) Pengakuan Aset

Aset diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan bahwa manfaat ekonominya di masa
depan diperoleh entitas syariah dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur
dengan andal (paragraf 116). Aset tidak diakui dalam neraca kalau pengeluaran telah terjadi dan
manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir ke dalam entitas syariah setelah periode
akuntansi berjalan. Sebagai alternatif transaksi semacam itu menimbulkan pengakuan beban dalam
laporan laba rugi. Dengan perlakuan ini tidak berarti pengeluaran yang dilakukan manajemen
mempunyai maksud yang lain daripada menghasilkan manfaat ekonomi bagi entitas syariah di
masa depan atau bahwa manajemen salah arah. Implikasi satu-satunya adalah bahwa tingkat
kepastian dari manfaat ekonomi yang diterima entitas syariah setelah periode akuntansi berjalan
tidak mencukupi untuk membenarkan pengakuan aset (paragraf 117).

(4) Pengakuan Kewajiban

Kewajiban diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan bahwa pengeluaran sumber daya
yang mengandung manfaat ekonomi akan dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban (obligation)
sekarang dan jumlah yang harus diselesaikan dapat diukur dengan andal. Dalam praktek,
kewajiban (obligations) menurut kontrak yang belum dilaksanakan oleh kedua belah pihak
(misalnya, kewajiban atas pesanan persediaan yang belum diterima) pada umumnya tidak diakui
sebagai kewajiban dalam Laporan Keuangan. Namun demikian, kewajiban (obligation) semacam itu
dapat memenuhi definisi kewajiban dan, kalau dalam keadaan tertentu kriteria pengakuan
terpenuhi, maka kewajiban (obligation) tersebut dapat dianggap memenuhi syarat pengakuan.
Dalam kasus ini, pengakuan kewajiban mengakibatkan pengakuan aset atau beban yang
bersangkutan (paragraf 118).

(5) Pengakuan Dana Syirkah Temporer

Pengakuan dana syirkah temporer dalam neraca hanya dapat dilakukan jika entitas syariah
memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana yang diterima melalui pengeluaran sumber daya
yang mengandung manfaat ekonomi dan jumlah yang harus diselesaikan dapat diukur dengan
andal. Jumlah dana syirkah temporer dapat berubah sesuai dengan hasil dari investasinya (paragraf
119).

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 47

(6) Pengakuan Penghasilan

Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi kalau kenaikan manfaat ekonomi di masa depan
yang berkaitan dengan peningkatan aset atau penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur
dengan andal. Ini berarti pengakuan penghasilan terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan
aset atau penurunan kewajiban (misalnya, kenaikan bersih aset yang timbul dari penjualan barang
atau jasa atau penurunan kewajiban yang timbul dari pembebasan pinjaman yang masih harus
dibayar). (paragraf 120). Prosedur yang biasanya dianut dalam praktek untuk mengakui
penghasilan, seperti misalnya ketentuan bahwa penghasilan telah diperoleh, merupakan penerapan
kriteria pengakuan dalam kerangka dasar ini. Prosedur semacam ini pada umumnya dimaksudkan
untuk membatasi pengakuan penghasilan pada pos-pos yang dapat diukur dengan andal dan
memiliki derajat kepastian yang cukup (paragraf 121).

(7) Pengakuan Beban

Beban diakui dalam laporan laba rugi kalau penurunan manfaat ekonomi masa depan yang
berkaitan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur
dengan andal. Ini berarti pengakuan beban terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan
kewajiban atau penurunan aset (misalnya, akrual hak karyawan atau penyusutan aset tetap)
(paragraf 122). Beban diakui dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya
yang timbul dan pos penghasilan tertentu yang diperoleh. Proses yang biasanya disebut pengaitan
biaya dengan pendapatan (matching of costs with revenues) ini melibatkan pengakuan penghasilan dan
beban secara gabungan atau bersamaan yang dihasilkan secara langsung dan bersama-sama dari
transaksi atau peristiwa lain yang sama; misalnya, berbagai komponen beban yang membentuk
beban pokok penjualan (cost or expense of goods sold) diakui pada saat yang sama sebagai penghasilan
yang diperoleh dari penjualan barang. Namun demikian, penerapan konsep matching dalam
kerangka dasar ini tidak memperkenankan pengakuan pos dalam neraca yang tidak memenuhi
definisi aset atau kewajiban (paragraf 123).

Kalau manfaat ekonomi diharapkan timbul selama beberapa periode akuntansi dan
hubungannya dengan penghasilan hanya dapat ditentukan secara luas atau tak langsung, beban
diakui dalam laporan laba rugi atas dasar prosedur alokasi yang rasional dan sistematis. Hal ini
sering diperlukan dalam pengakuan beban yang berkaitan dengan penggunaan aset, seperti aset
tetap, goodwill, paten dan merek dagang. Dalam kasus semacam itu, beban ini disebut penyusutan
atau amortisasi. Prosedur alokasi ini dimaksudkan untuk mengakui beban dalam periode akuntansi
yang menikmati manfaat ekonomi aset yang bersangkutan (paragraf 124). Beban segera diakui
dalam laporan laba rugi kalau pengeluaran tidak menghasilkan manfaat ekonomi masa depan atau
kalau sepanjang manfaat ekonomi masa depan tidak memenuhi syarat, atau tidak lagi memenuhi
syarat, untuk diakui dalam neraca sebagai aset (paragraf 125). Beban juga diakui dalam laporan
laba rugi pada saat timbul kewajiban tanpa adanya pengakuan aset, seperti apabila timbul
kewajiban akibat garansi produk (paragraf 126).

G. Pengakuan Unsur Laporan Keuangan Syariah

Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan memasukkan setiap unsur
Laporan Keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi. Proses ini menyangkut pemilihan dasar
pengukuran tertentu. (paragraf 127). Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat
dan kombinasi yang berbeda dalam Laporan Keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah
sebagai berikut (paragraf 128):

(a) Biaya historis. Aset dicatat sebesar pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar atau sebesar nilai
wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan.
Kewajiban dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam
keadaan tertentu (misalnya, pajak penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara kas)yang diharapkan akan
dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha yang normal.

48 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

(b) Biaya kini (current cost). Aset dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang seharusnya dibayar bila aset
yang sama atau setara aset diperoleh sekarang. Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara
kas) yang tidak didiskontokan (undiscounted) yang mungkin akan diperlukan untuk menyelesaikan
kewajiban (obligation) sekarang.

(c) Nilai realisasi/penyelesaian (realisable/settlement value). Aset dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara
kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal (orderly disposal).
Kewajiban dinyatakan sebesar nilai penyelesaian; yaitu, jumlah kas (atau setara kas) yang tidak
didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha
normal.

Dasar pengukuran yang lazimnya digunakan entitas syariah dalam penyusunan Laporan Keuangan
adalah biaya historis. Ini biasanya digabungkan dengan dasar pengukuran yang lain. Misalnya, persediaan
biasanya dinyatakan sebesar nilai terendah dari biaya historis atau nilai realisasi bersih (lower of cost or net
realizable value), atau akuntansi dana pensiun menilai aset tertentu berdasarkan nilai wajar (fair value)
(paragraf 129).

Penggunaan pengukuran nilai realisasi/penyelesaian untuk menghasilkan nilai kas (atau setara kas)
memerlukan revaluasi secara periodik atas aset, kewajiban dan dana syirkah temporer. Untuk itu, maka
informasi yang dihasilkan harus andal dan dapat dibandingkan. Untuk menjamin keandalan serta dapat
dibandingkan, manajemen harus menggunakan seluruh prinsip-prinsip berikut selama merevaluasi aset,
kewajiban dan dana syirkah temporer (paragraf 130):

(a) Adanya indikator eksternal, seperti harga pasar, yang tersedia secara luas.
(b) Utilisasi seluruh informasi yang relevan baik positif atau negatif.
(c) Utilisasi metode-metode penilaian yang logis dan relevan.
(d) Konsistensi penggunaan metode-metode penilaian yang digunakan.
(e) Utilisasi penggunaan ahli-ahli penilai yang tersedia secara luas.
(f) Konservatisme dalam proses penilaian sesuai objektivitas dan netralitas dalam pemilihan nilai-nilai.

Meskipun relevan untuk merevaluasi nilai aset, kewajiban dan dana syirkah temporer, namun
penggunaan konsep pengukuran nilai realisasi / penyelesaian tidak mudah diterapkan dalam kondisi
sekarang. Penggunaan konsep nilai realisasi/penyelesaian dapat diterapkan untuk tujuan penyajian
informasi tambahan yang relevan dengan suatu akun investasi yang telah ada atau yang prospektif. Namun,
penyajian informasi tambahan tersebut tidak mewajibkan entitas syariah untuk mendistribusikan hasil
investasi yang belum terealisasi (paragraf 131).

3.3. Unsur Laporan Keuangan Entitas Syariah

Laporan keuangan menggambarkan dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang
diklasifikasikan dalam beberapa kelompok besar menurut karakteristik ekonominya. Kelompok besar ini
merupakan unsur laporan keuangan. Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi
keuangan adalah aset, kewajiban, dana syirkah temporer, dan ekuitas. Sedang unsur yang berkaitan dengan
pengukuran kinerja dalam laporan laba rugi adalah penghasilan dan beban. Laporan perubahan posisi
keuangan biasanya mencerminkan berbagai unsur laporan laba rugi dan perubahan dalam berbagai unsur
neraca; dengan demikian, kerangka dasar ini tidak mengidentifikasikan unsur laporan perubahan posisi
keuangan secara khusus.

Penyajian berbagai unsur ini dalam neraca dan laporan laba rugi memerlukan proses subklasifikasi.
Misalnya, aset dan kewajiban dapat diklasifikasikan menurut hakekat atau fungsinya dalam bisnis entitas
syariah dengan maksud untuk menyajikan informasi dengan cara yang paling berguna bagi pemakai untuk
tujuan pengambilan keputusan ekonomi.
Sesuai karakteristik maka laporan keuangan entitas syariah antara lain meliputi:

1 komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial:
(a) laporan posisi keuangan;
(b) laporan laba rugi;

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 49

(c) laporan arus kas; dan
(d) laporan perubahan ekuitas.

2 komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial:

(a) laporan sumber dan penggunaan dana zakat; dan
(b) laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.

3 komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus
entitas syariah tersebut.

3.3.1 Laporan Posisi Keuangan (Neraca)

Dalam KDPPLK syariah dijelaskan tentang Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Entitas Syariah
sebagai berikut:

A. Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset, kewajiban,
dana syirkah temporer dan ekuitas. Pos-pos ini didefinisikan sebagai berikut: (paragraf 71)

(a) Aset adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu
dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas syariah.

(b) Kewajiban merupakan hutang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu,
penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang
mengandung manfaat ekonomi.

(c) Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima sebagai investasi dengan jangka waktu tertentu
dari individu dan pihak lainnya dimana entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan
menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian hasil investasi berdasarkan kesepakatan.

(d) Ekuitas adalah hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana
syirkah temporer.

B. Definisi aset dan kewajiban mengidentifikasikan ciri esensialnya tetapi tidak mencoba untuk
menspesifikasikan kriteria yang perlu dipenuhi sebelum diakui di dalam neraca. Jadi, definisi tersebut
mencakup pos-pos yang tidak diakui sebagai aset atau kewajiban di dalam neraca karena tidak
memenuhi kriteria untuk diakui seperti yang dibahas dalam paragraf 109 sampai 126. Khususnya,
harapan bahwa manfaat ekonomi di masa depan akan mengalir dari atau ke dalam entitas syariah
harus cukup pasti untuk memenuhi kriteria probabilitas dalam paragraf 112 sebelum suatu aset atau
kewajiban diakui (paragraf 72).

C. Dalam penilaian apakah suatu pos memenuhi definisi aset, kewajiban, dana syirkah temporer atau
ekuitas, perhatian perlu ditujukan pada substansi yang mendasari, serta realitas ekonomi dan bukan
hanya bentuk hukumnya (paragraf 73).

D. Neraca yang disusun menurut standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku dapat meliputi pos
yang tidak memenuhi definisi aset atau kewajiban dan tidak disajikan sebagai bagian dari dana syirkah
temporer atau ekuitas. Namun demikian, definisi yang dirumuskan dalam paragraf 71 akan mendasari
peninjauan kembali terhadap standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku di masa depan dan
perumusan standar selanjutnya (paragraf 74).

Komponen Laporan Posisi Keuangan (neraca) seperti Aset, Kewajiban, Dana Syirkah Temporer
dan Ekuitas dijelaskan dalam ketentuan yang lebih rinci seperti dibawah ini:

1. Aset

a. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi dari aset tersebut untuk
memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, arus kas dan setara kas kepada
entitas syariah. Potensi tersebut dapat berbentuk sesuatu yang produktif dan merupakan bagian
dari aktivitas operasional entitas syariah. Mungkin pula berbentuk sesuatu yang dapat diubah
menjadi kas atau setara kas atau berbentuk kemampuan untuk mengurangi pengeluaran kas,
seperti penurunan biaya akibat penggunaan proses produksi alternatif (paragraf 75).

50 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

b. Entitas syariah biasanya menggunakan aset untuk memproduksi barang atau jasa yang dapat
memuaskan kebutuhan dan keperluan pelanggan; berhubung barang atau jasa ini dapat
memuaskan kebutuhan dan keperluan ini, pelanggan bersedia membayar sehingga memberikan
sumbangan kepada arus kas entitas syariah. Kas sendiri memberikan jasa kepada entitas syariah
karena kekuasaannya terhadap sumber daya yang lain (paragraf 76).

c. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset dapat mengalir ke dalam entitas syariah
dengan beberapa cara. Misalnya dalam paragraf 77, aset dapat:
(a) digunakan baik sendiri maupun bersama aset lain dalam produksi barang dan jasa yang
dijual oleh entitas syariah;
(b) dipertukarkan dengan aset lain;
(c) digunakan untuk menyelesaikan kewajiban; atau
(d) dibagikan kepada para pemilik entitas syariah.

d. Banyak aset, misalnya, aset tetap memiliki bentuk fisik. Namun demikian, bentuk fisik tersebut
tidak esensial untuk menentukan eksistensi aset; karena itu, paten dan hak cipta, misalnya,
merupakan aset kalau manfaat ekonomi yang diperoleh entitas syariah di masa depan dan kalau
masing-masing aset tersebut dikuasai entitas syariah (paragraf 78).

e. Banyak aset, misalnya, piutang dan properti, dihubungkan dengan hak menurut hukum, termasuk
hak milik. Dalam menentukan eksistensi aset, hak milik tidak esensial; jadi, misalnya, properti yang
diperoleh melalui sewa guna usaha adalah aset jika entitas syariah mengendalikan manfaat yang
diharapkan dari properti tersebut. Meskipun kemampuan entitas syariah untuk mengendalikan
manfaat biasanya berasal dari hak menurut hukum suatu barang atau jasa dapat memenuhi definisi
aset meskipun tidak dikuasai berdasarkan hukum. Misalnya, pengetahuan yang diperoleh melalui
aktivitas pengembangan dapat memenuhi definisi aset jika, dengan merahasiakan pengetahuan
tersebut, entitas syariah menikmati manfaat yang diharapkan dari pengetahuan tersebut (paragraf
79).

f. Aset entitas syariah berasal dari transaksi atau peristiwa lain yang terjadi di masa lalu. Entitas
syariah biasanya memperoleh aset melalui pembelian atau produksi sendiri, tetapi transaksi atau
peristiwa lain juga dapat menghasilkan aset; misalnya properti yang diterima entitas syariah dari
pemerintah sebagai bagian dari program untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam suatu
wilayah. Transaksi atau peristiwa yang diharapkan terjadi di masa depan tidak dengan sendirinya
memunculkan aset; oleh karena itu, misalnya, maksud untuk membeli persediaan tidak dengan
sendirinya memenuhi definisi aset (paragraf 80).

g. Ada hubungan erat antara terjadinya pengeluaran dan timbulnya aset, tetapi kedua peristiwa ini
tidak perlu harus terjadi bersamaan. Oleh karena itu, kalau entitas syariah melakukan pengeluaran,
peristiwa ini memberikan bukti bahwa entitas syariah tersebut mengejar manfaat ekonomi tetapi
belum merupakan bukti konklusif bahwa suatu barang atau jasa yang memenuhi definisi aset telah
diperoleh. Sama halnya dengan tidak adanya pengeluaran yang bersangkutan tidak mengecualikan
suatu barang atau jasa memenuhi definisi aset dan dengan demikian terdapat kemungkinan untuk
diakui pencantumannya dalam neraca; misalnya, barang atau jasa yang telah didonasikan kepada
entitas syariah memenuhi definisi aset (paragraf 81).

2. Kewajiban

a. Karakteristik esensial kewajiban (liabilities) adalah bahwa entitas syariah mempunyai kewajiban
(obligation) masa kini. Kewajiban adalah suatu tugas atau tanggung jawab untuk bertindak atau
untuk melaksanakan sesuatu dengan cara tertentu. Kewajiban dapat dipaksakan menurut hukum
sebagai konsekuensi dari kontrak mengikat atau peraturan perundangan. Ini biasanya memang
demikian, misalnya, dengan disertai jumlah yang terhutang dari barang dan jasa yang telah
diterima. Namun, kewajiban juga timbul dari praktek bisnis yang lazim, kebiasaan dan keinginan
untuk memelihara hubungan bisnis yang baik atau bertindak dengan cara yang adil. Kalau,

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 51

misalnya, sebagai suatu kebijakan, entitas syariah memutuskan untuk menarik kembali produknya
yang cacat meskipun masa garansi sebenarnya telah lewat, jumlah yang diharapkan akan
dibayarkan tersebut merupakan kewajiban (paragraf 82).

b. Suatu perbedaan perlu dilakukan antara kewajiban sekarang dan komitmen di masa depan.
Keputusan manajemen entitas syariah untuk membeli aset di masa depan tidak dengan sendirinya
menimbulkan kewajiban sekarang. Kewajiban biasanya timbul hanya kalau aset telah diserahkan
atau entitas syariah telah membuat perjanjian yang tidak dapat dibatalkan untuk membeli aset.
Pada kasus yang terakhir, hakekat perjanjian yang tak dapat dibatalkan berarti bahwa konsekuensi
ekonomi dari kegagalan untuk memenuhi kewajiban, misalnya, karena adanya hukuman yang
substansial, membuat entitas syariah memiliki sedikit pilihan, itu pun kalau ada, untuk mencegah
pengeluaran sumber daya kepada pihak lain (paragraf 83).

c. Penyelesaian kewajiban masa kini biasanya melibatkan entitas syariah untuk mengorbankan
sumber daya yang memiliki manfaat masa depan demi untuk memenuhi tuntutan pihak lain.
Penyelesaian kewajiban yang ada sekarang dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya,
dengan: (paragraf 84)
(a) pembayaran kas;
(b) penyerahan aset lain;
(c) pemberian jasa;
(d) penggantian kewajiban tersebut dengan kewajiban lain; atau
(e) konversi kewajiban menjadi ekuitas.

Kewajiban juga dapat dihapuskan dengan cara lain, seperti kreditur membebaskan atau
membatalkan haknya.

d. Kewajiban timbul dari transaksi atau peristiwa masa lalu. Jadi, misalnya, pembelian barang atau
penggunaan jasa menimbulkan hutang usaha (kecuali kalau dibayar di muka atau pada saat
penyerahan) dan penerimaan pinjaman bank syariah menimbulkan kewajiban untuk membayar
kembali pinjaman tersebut. Entitas syariah juga dapat mengakui sebagai kewajiban jumlah rabat
masa depan yang didasarkan pada jumlah pembelian tahunan para pelanggan; dalam kasus ini,
penjualan barang masa lalu merupakan transaksi yang menimbulkan kewajiban (paragraf 85).

e. Beberapa jenis kewajiban hanya dapat diukur dengan menggunakan estimasi dalam derajat yang
substansial. Beberapa entitas syariah menyebut kewajiban ini sebagai penyisihan (provision).
Dalam pengertian sempit, penyisihan semacam itu tidak dipandang sebagai kewajiban karena
hanya mencakupi jumlah yang dapat ditentukan tanpa perlu membuat estimasi. Definisi kewajiban
dalam paragraf 71 mengikuti pendekatan luas. Jadi, kalau penyisihan menyangkut kewajiban masa
kini dan memenuhi ketentuan lain dalam definisi tersebut, maka pos yang bersangkutan
merupakan kewajiban meskipun jumlahnya harus diestimasi. Contohnya adalah penyisihan untuk
pembayaran yang akan dilakukan terhadap garansi berjalan dan penyisihan untuk menutup
kewajiban manfaat pensiun (paragraf 86).

3. Dana Syirkah Temporer

a. Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima oleh entitas syariah dimana entitas syariah
mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana, baik sesuai dengan kebijakan entitas
syariah atau kebijakan pembatasan dari pemilik dana, dengan keuntungan dibagikan sesuai dengan
kesepakatan; sedangkan dalam hal dana syirkah temporer berkurang disebabkan kerugian normal
yang bukan akibat dari unsur kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan,
entitas syariah tidak berkewajiban mengembalikan atau menutup kerugian atau kekurangan dana
tersebut. Contoh dari dana syirkah temporer adalah penerimaan dana dari investasi mudharabah
muthlaqah, mudharabah muqayyadah, musyarakah, dan akun lain yang sejenis (paragraf 87).

b. Dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai kewajiban. Hal ini karena entitas syariah
tidak berkewajiban, ketika mengalami kerugian, untuk mengembalikan jumlah dana awal dari
pemilik dana kecuali akibat kelalaian atau wanprestasi entitas syariah. Di sisi lain, dana syirkah

52 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

temporer tidak dapat digolongkan sebagai ekuitas karena mempunyai waktu jatuh tempo dan
pemilik dana tidak mempunyai hak kepemilikan yang sama dengan pemegang saham, seperti hak
voting dan hak atas realisasi keuntungan yang berasal dari aset lancar dan aset noninvestasi (current
and other non investment accounts) (paragraf 88).

c. Hubungan antara entitas syariah dan pemilik dana syirkah temporer merupakan hubungan
kemitraan berdasarkan akad mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah atau musyarakah.
Entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana yang diterima
dengan atau tanpa batasan seperti mengenai tempat, cara, atau obyek investasi (paragraf 89).

d. Dana syirkah temporer merupakan salah satu unsur neraca dimana hal tersebut sesuai dengan
prinsip syariah yang memberikan hak kepada entitas syariah untuk mengelola dan
menginvestasikan dana, termasuk untuk mencampur dana dimaksud dengan dana lainnya
(paragraf 90).

e. Pemilik dana syirkah temporer memperoleh bagian atas keuntungan sesuai kesepakatan dan
menerima kerugian berdasarkan jumlah dana dari masing-masing pihak. Pembagian hasil dana
syirkah temporer dapat dengan konsep bagi hasil atau bagi untung (paragraf 91).

4. Ekuitas

a. Meskipun dalam paragraf 71, didefinisikan sebagai residual, ekuitas dapat disubklasifikasikan
dalam neraca. Misalnya, dalam perseroan terbatas, setoran modal oleh para pemegang saham,
saldo laba (retained earnings), penyisihan saldo laba dan penyisihan penyesuaian pemeliharaan modal
masing-masing disajikan secara terpisah. Klasifikasi semacam itu dapat menjadi relevan untuk
kebutuhan pengambilan keputusan pemakai laporan keuangan apabila pos tersebut
mengindikasikan pembatasan hukum atau pembatasan lainnya terhadap kemampuan entitas
syariah untuk membagikan atau menggunakan ekuitas. Klasifikasi tersebut juga dapat
merefleksikan fakta bahwa pihak-pihak dengan hak kepemilikannya masing-masing dalam entitas
syariah mempunyai hak yang berbeda dalam hubungannya dengan penerimaan dividen atau
pembayaran kembali modal (paragraf 92).

b. Pembentukan cadangan kadang-kadang diharuskan oleh suatu peraturan perundangan yang
berlaku untuk memberikan perlindungan tambahan kepada entitas syariah dan para krediturnya
terhadap kerugian yang ditimbulkan. Cadangan yang lain dapat dibentuk kalau hukum pajak
memberikan pembebasan dari, atau pengurangan dalam kewajiban pajak pada waktu dilakukan
pemindahan ke cadangan semacam itu. Eksistensi serta besarnya cadangan menurut peraturan
perundangan yang berlaku ini merupakan informasi yang relevan untuk kebutuhan pengambilan
keputusan bagi para pemakai laporan keuangan. Pemindahan ke cadangan tersebut lebih
merupakan penyisihan saldo laba daripada beban (paragraf 93).

c. Jumlah ekuitas yang ditampilkan dalam neraca tergantung pada pengukuran aset, kewajiban dan
dana syirkah temporer. Biasanya hanya karena faktor kebetulan kalau jumlah ekuitas agregat sama
dengan jumlah nilai pasar keseluruhan (aggregate market value) dari saham entitas syariah atau jumlah
yang dapat diperoleh dengan melepaskan seluruh aset bersih entitas syariah baik satu persatu
(liquidating value) atau secara keseluruhan dalam kondisi kelangsungan usaha (going concern value).
(paragraf 94)

d. Aktivitas bisnis sering dilakukan melalui beberapa bentuk entitas syariah seperti entitas
perseorangan, persekutuan dan trust, serta badan usaha milik negara. Kerangka hukum bagi
berbagai entitas syariah semacam itu seringkali berbeda dengan yang berlaku bagi perseroan
terbatas. Misalnya, mungkin hanya sedikit saja, kalaupun ada, pembatasan-pembatasan terhadap
pembagian jumlah yang tergolong dalam ekuitas kepada para pemilik atau pihak lain. Namun
demikian, definisi ekuitas dan aspek-aspek lain dalam kerangka dasar yang mengatur ekuitas
berlaku untuk entitas syariah semacam itu (paragraf 95).

Sedangkan dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Syariah dijelaskan
Pembagian Lancar dengan Tidak Lancar dan Jangka Pendek dengan Jangka Panjang sebagai berikut:

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 53

1. Entitas syariah menyajikan aset lancar terpisah dari aset tidak lancar dan kewajiban jangka pendek
terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industri tertentu yang diatur dalam Standar
Akuntansi Keuangan khusus. Aset lancar disajikan menurut ukuran likuiditas sedangkan kewajiban
disajikan menurut urutan jatuh temponya (paragraf 44).

2. Entitas syariah harus mengungkapkan informasi mengenai jumlah setiap aset yang akan diterima dan
kewajiban yang akan dibayarkan sebelum dan sesudah 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca (prg
45).

3. Apabila entitas syariah menyediakan barang atau jasa dalam siklus operasi entitas syariah yang dapat
diidentifikasi dengan jelas, maka klasifikasi aset lancar dan tidak lancar serta kewajiban jangka
pendek dan jangka panjang dalam neraca memberikan informasi yang bermanfaat dengan
membedakan aset bersih sebagai modal kerja dengan aset yang digunakan untuk operasi jangka
panjang. Pengklasifikasian tersebut juga menonjolkan aset yang diharapkan akan direalisasi dalam
siklus operasi berjalan dan kewajiban yang akan jatuh tempo pada periode yang sama. Informasi
tentang tanggal jatuh tempo aset dan kewajiban bermanfaat dalam menilai likuiditas dan solvabilitas
entitas syariah (paragraf 46).

Sedangkan dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Syariah dijelaskan karakteristik
aset lancar dan kewajiban lancar sebagai berikut:

1. Aset Lancar

a. Dalam paragraf 47 disebutkan bahwa suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar, jika aset
tersebut:

(a) diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu
siklus operasi normal entitas syariah; atau

(b) dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan direalisir
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca; atau

(c) berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.

Aset yang tidak termasuk kategori tersebut diatas diklasifikasikan sebagai aset tidak lancar.

c. Siklus operasi entitas syariah merupakan rata-rata jangka waktu antara perolehan bahan baku
memasuki proses dan realisasinya menjadi kas atau instrumen yang siap dijadikan kas. Aset lancar
termasuk persediaan dan piutang dagang yang dijual, dikonsumsi dan direalisasi sebagai bagian
dari siklus normal operasi entitas syariah walaupun aset tersebut tidak diharapkan akan direalisasi
dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca. Surat berharga diklasifikasikan sebagai
aset lancar apabila surat berharga tersebut diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu dua
belas bulan dari tanggal neraca dan jika lebih dari dua belas bulan diklasifikasikan sebagai aset
tidak lancar. Untuk tujuan pengklasifikasian ini, siklus operasi diasumsikan satu tahun, kecuali
untuk kegiatan atau industri tertentu dimana jangka waktu yang lebih panjang jelas lebih layak
(paragraf 48).

2. Kewajiban Jangka Pendek

a. Dalam paragraf 49, suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek, jika:

(a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi entitas syariah;
atau

(b) jatuh tempo dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.

Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.

b. Kewajiban jangka pendek dapat diklasifikasikan dengan cara yang serupa dengan aset lancar.
Beberapa kewajiban jangka pendek seperti hutang dagang dan biaya pegawai serta biaya operasi
lainnya membentuk sebagian modal kerja yang digunakan dalam siklus operasi normal entitas
syariah. Pos-pos operasi seperti tersebut di atas diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek
walaupun pos-pos tersebut diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari dua belas bulan dari
tanggal neraca. (paragraf 50)

54 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

c. Kewajiban jangka pendek lainnya lebih sulit untuk dikaitkan dengan siklus operasi berjalan
meskipun akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, misalnya,
utang dividen, pajak penghasilan dan utang selain utang dagang. (paragraf 51 )
Sedangkan dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Syariah dijelaskan
Informasi yang disajikan dalam Neraca adalah sebagai berikut:
1. Neraca entitas syariah disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur posisi
keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Neraca, minimal mencakup pos-pos
berikut: (paragraf 52)
(a) kas dan setara kas;
(b) piutang usaha dan piutang lainnya;
(c) aset keuangan;
(d) persediaan;
(e) investasi yang diperlakukan menggunakan metode ekuitas;
(f) aset tetap;
(g) Paset tak berwujud;
(h) hutang usaha dan hutang lainnya;
(i) hutang pajak;
(j) dana syirkah temporer;
(k) hak minoritas; dan
(l) modal saham dan pos ekuitas lainnya.
Pos, judul, dan sub-jumlah lain disajikan dalam neraca apabila diwajibkan oleh Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian tersebut diperlukan untuk menyajikan
posisi keuangan entitas syariah secara wajar.
2. Pernyataan ini tidak mengatur susunan atau format mengenai pos-pos yang harus disajikan
dalam neraca. Paragraf 52 merupakan suatu daftar pos-pos yang berbeda dalam sifat maupun
fungsinya sehingga layak disajikan di neraca secara terpisah. Penyesuaian terhadap pos-pos
tersebut di atas meliputi: (paragraf 53 )

(a) penambahan pos-pos dilakukan jika Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan mewajibkan
penyajian secara terpisah dalam neraca, atau apabila suatu pos sangat material sehingga penyajian
yang terpisah akan membantu penyajian posisi keuangan secara wajar;

(b) istilah yang digunakan dan urutan pos-pos dapat diubah sesuai dengan sifat entitas syariah dan
transaksinya guna memberikan informasi yang diperlukan bagi pemahaman posisi keuangan
entitas syariah secara menyeluruh.

3. Pertimbangan apakah pos-pos tambahan disajikan secara terpisah didasarkan atas penilaian dari (prgf
54):
(a) sifat, likuiditas dan materialitas aset;
(b) fungsi pos-pos tersebut dalam entitas syariah;
(c) jumlah, sifat dan jangka waktu kewajiban.

4. Aset dan kewajiban yang berbeda dalam sifat dan fungsi kadang-kadang diukur dengan dasar
pengukuran yang berbeda. Misalnya aset tertentu dicatat atas dasar biaya perolehan atau penilaian
kembali, maka penggunaan dasar pengukuran yang berbeda untuk setiap aset mengindikasikan bahwa
sifat dan fungsi aset tersebut juga berbeda sehingga aset tersebut harus disajikan secara terpisah
(paragraf 55).

Sedangkan dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Syariah dijelaskan
informasi disajikan di neraca atau di catatan atas Laporan Keuangan sebagai berikut:

1. Entitas syariah harus mengungkapkan, di Neraca atau di Catatan atas Laporan Keuangan,
subklasifikasi pos-pos yang disajikan, diklasifikasikan dengan cara yang tepat sesuai dengan operasi
entitas syariah. Setiap pos disubklasifikasikan, jika memungkinkan, sesuai dengan sifatnya; dan
jumlah terutang atau piutang pada entitas syariah induk, anak entitas syariah, entitas syariah asosiasi
dan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa lainnya diungkapkan secara terpisah (paragraf
56).

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 55

2. Rincian yang tercakup dalam subklasifikasi, di Neraca atau di Catatan atas Laporan Keuangan,
tergantung pada persyaratan dari PSAK dan materialitas jumlah pos yang bersangkutan. Faktor-
faktor yang diuraikan pada paragraf 54 dapat digunakan dalam menentukan dasar bagi subklasifikasi
(prgf 57).

3. Entitas syariah mengungkapkan hal-hal berikut di Neraca atau di Catatan atas Laporan Keuangan
(paragraf 58):
(a) untuk setiap jenis saham:
(b) jumlah saham modal dasar;
(c) jumlah saham yang diterbitkan dan disetor penuh;
(d) nilai nominal saham;
(e) ikhtisar perubahan jumlah saham beredar;
(f) hak, keistimewaan dan pembatasan yang melekat pada setiap jenis saham, termasuk
pembatasan atas dividen dan pembayaran kembali atas modal;
(g) saham entitas syariah yang dikuasai oleh entitas syariah itu sendiri atau oleh anak entitas
syariah atau entitas syariah asosiasi; dan
(h) saham yang dicadangkan untuk hak opsi dan kontrak penjualan, termasuk nilai dan
persyaratannya;
(i) penjelasan mengenai sifat dan tujuan pos cadangan dalam ekuitas; dan
(j) penjelasan apakah dividen yang diusulkan tapi secara resmi belum disetujui untuk dibayarkan
telah diakui atau tidak sebagai kewajiban.

4. Entitas syariah yang modalnya tidak terbagi dalam saham, seperti persekutuan, mengungkapkan
informasi yang setara dengan persyaratan di atas, yang memperlihatkan perubahan dalam suatu
periode dari setiap jenis penyertaan serta hak, keistimewaan dan pembatasan yang melekat pada
setiap jenis penyertaan (paragraf 59):

56 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

Ilustrasi Neraca Untuk Perbankan Syariah 200-B 200-A
xxx xxx
PT Bank Syariah “X” xxx xxx
Laporan Posisi Keuangan (Neraca) xxx xxx
Per 31 Desember 200-A dan 200-B xxx xxx
ASET xxx xxx
Kas
Penempatan pada Bank Indonesia xxx xxx
Giro pada bank lain xxx xxx
Penempatan pada bank lain xxx xxx
Investasi pada efek/surat berharga xxx xxx
Piutang:
Murabahah xxx xxx
Salam
Istishna' xxx xxx
Ijarah xxx xxx
Jumlah Piutang
Pembiayaan: xxx xxx
Mudharabah xxx xxx
Musyarakah xxx xxx
Jumlah Pembiayaan xxx xxx
Persediaan xxx xxx
Tagihan dan kewajiban akseptasi xxx xxx
Aset Ijarah xxx xxx
Aset Istishna dalam penyelesaian xxx xxx
Penyertaan pada entitas lain xxx xxx
Aset tetap dan akumulasi penyusutan
Aset lainnya xxx xxx
Jumlah Aset xxx xxx
xxx xxx
KEWAJIBAN xxx xxx
Kewajiban segera
Bagi hasil yang belum dibagikan xxx xxx
Simpanan xxx xxx
Simpanan dari bank lain
Uutang: xxx xxx
xxx xxx
Salam xxx xxx
Istishna’ xxx xxx
Jumlah utang xxx xxx
Kewajiban kepada bank lain xxx xxx
Pembiayaan yang diterima xxx xxx
Hutang pajak xxx
Estimasi kerugian komitmen dan kontinjensi
Pinjaman yang diterima
Pinjaman subordinasi
Jumlah Kewajiban

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 57

DANA SYIRKAH TEMPORER (DST) xxx xxx
Dana syirkah temporer dari bukan bank: xxx xxx

Tabungan mudharabah xxx xxx
Deposito mudharabah
Jumlah DST bukan bank xxx xxx
Dana syirkah temporer dari bank: xxx xxx
Tabungan mudharabah
Deposito mudharabah xxx xxx
Jumlah DST dari bank xxx xxx
Musyarakah xxx xxx
Jumlah Dana Syirkah Temporer
EKUITAS xxx xxx
Modal disetor xxx xxx
Tambahan modal disetor xxx xxx
Saldo laba (rugi) xxx xxx
Jumlah Ekuitas xxx xxx
Jumlah Kewajiban, DST dan Ekuitas

3.3.2 Laporan Laba Rugi (Laporan Kinerja)

Salah satu unsur Laporan Keuangan Lembaga Keuangan Syariah adalah laporan tentang kinerja
yang dilakukan dalam periode tertentu yaitu “Laporan Laba Rugi”. Dalam Kerangka Dasar Penyusunan
Penyajian Laporan Keuangan Syariah dijelaskan tentang Kinerja sebagai berikut:

1. Penghasilan bersih (laba) seringkali digunakan sebagai ukuran kinerja atau sebagai dasar bagi ukuran
yang lain seperti imbalan investasi (return on investment) atau penghasilan per saham (earnings per share).
Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan bersih (laba) adalah penghasilan dan
beban (paragraf 96).

2. Unsur penghasilan dan beban didefinisikan sebagai berikut (paragraf 97):

(a) Penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.

(b) Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.

3. Definisi penghasilan dan beban mengidentifikasikan ciri-ciri esensial namun tidak mencoba untuk
mengidentifikasikan kriteria yang perlu dipenuhi sebelum diakui dalam laporan laba rugi. Kriteria
pengakuan penghasilan dan beban dibahas dalam paragraf 109 sampai dengan 126 (paragraf 98).

4. Penghasilan dan beban dapat disajikan dalam laporan laba rugi dengan beberapa cara yang
berbeda demi untuk menyediakan informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi.
Misalnya, pembedaan antara pos penghasilan dan beban yang berasal dan tidak berasal dari
pelaksanaan aktivitas entitas syariah yang biasa (ordinary) merupakan praktek yang lazim.
Pembedaan ini dilakukan berdasarkan argumentasi bahwa sumber suatu pos adalah relevan dalam
mengevaluasi kemampuan entitas syariah untuk menghasilkan kas (dan setara kas) di masa depan;
misalnya, aktivitas insidental seperti pengalihan investasi jangka panjang tampaknya tidak akan

58 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

terjadi secara reguler. Pada waktu membedakan pos dengan cara ini perlu dipertimbangkan
hakekat entitas syariah dan operasinya. Pos yang timbul dari aktivitas yang biasa bagi suatu entitas
syariah mungkin tidak biasa bagi entitas syariah dan entitas lain (paragraf 99).

5. Pembedaan antara pos penghasilan dan beban dan penggabungan pos tersebut dengan cara
berbeda juga memungkinkan penyajian beberapa ukuran kinerja entitas syariah, masing-masing
dengan derajat cakupan yang berbeda. Misalnya, laporan laba rugi dapat menyajikan laba kotor,
laba bersih dari aktivitas biasa sebelum pajak, laba bersih dari aktivitas biasa setelah pajak, dan laba
bersih (paragraf 100).

Sedangkan dari kompenen-komponen yang ada dalam laporan tentang kinerja tersebut yang meliputi
penghasilan, beban, hak pihak ketiga atas bagi hasil diatur secara rinci sebagai berikut:

1. Penghasilan

a. Definisi penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gains).
Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktivitas entitas syariah yang biasa dan dikenal dengan
sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bagi hasil, dividen, royalti dan sewa
(paragraf 101).

b. Keuntungan mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin timbul
atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas entitas syariah yang biasa. Keuntungan
mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakekatnya tidak berbeda
dengan pendapatan. Oleh karena itu, pos tersebut tidak dipandang sebagai unsur terpisah dalam
kerangka dasar ini (paragraf 102 ).

c. Keuntungan meliputi, misalnya, pos yang timbul dalam pengalihan aset tak lancar. Definisi
penghasilan juga mencakupi keuntungan yang belum direalisasi; misalnya, yang timbul dari
revaluasi sekuritas yang dapat dipasarkan (marketable) dan dari kenaikan jumlah aset jangka
panjang. Kalau diakui dalam laporan laba rugi, keuntungan biasanya dicantumkan terpisah karena
informasi mengenai pos tersebut berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. Keuntungan
biasanya dilaporkan dalam jumlah bersih setelah dikurangi dengan beban yang bersangkutan
(paragraf 103).

d. Berbagai jenis aset dapat diterima atau bertambah karena penghasilan; misalnya kas, piutang serta
barang dan jasa yang diterima sebagai penukar dari barang dan jasa yang dipasok. Penghasilan
dapat juga berasal dari penyelesaian kewajiban. Misalnya, entitas syariah dapat memberikan barang
dan jasa kepada kreditur untuk melunasi pinjaman (paragraf 104).

2. Beban

a. Definisi beban mencakupi baik kerugian maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas
entitas syariah yang biasa. Beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas entitas syariah yang
biasa meliputi, misalnya, beban pokok penjualan, gaji dan penyusutan. Beban tersebut biasanya
berbentuk arus keluar atau berkurangnya aset seperti kas (dan setara kas), persediaan dan aset
tetap (paragraf 105).

b. Kerugian mencerminkan pos lain yang memenuhi definisi beban yang mungkin timbul atau
mungkin tidak timbul dari aktivitas entitas syariah yang biasa. Kerugian tersebut mencerminkan
berkurangnya manfaat ekonomi, dan pada hakekatnya tidak berbeda dari beban lain. Oleh karena
itu, kerugian tidak dipandang sebagai unsur terpisah dalam kerangka dasar ini (paragraf 106).

c. Kerugian dapat timbul, misalnya dari bencana kebakaran, banjir, seperti juga yang timbul dari
pelepasan aset tidak lancar. Definisi beban juga mencakupi kerugian yang belum direalisasi,
misalnya, kerugian yang timbul dari pengaruh peningkatan kurs valuta asing dalam hubungannya
dengan pinjaman entitas syariah dalam mata uang tersebut. Kalau kerugian diakui dalam laporan
laba rugi, biasanya disajikan secara terpisah karena pengetahuan mengenai pos tersebut berguna
untuk tujuan pengambilan keputusan ekonomi. Kerugian seringkali dilaporkan dalam jumlah
bersih setelah dikurangi dengan penghasilan yang bersangkutan (paragraf 107).

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 59

3. Hak Pihak Ketiga atas Bagi Hasil

108. Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer adalah bagian bagi hasil pemilik
dana atas keuntungan dan kerugian hasil investasi bersama entitas syariah dalam suatu periode
Laporan Keuangan. Hak pihak ketiga atas bagi hasil tidak bisa dikelompokan sebagai beban (ketika
untung) atau pendapatan (ketika rugi). Namun, hak pihak ketiga atas bagi hasil merupakan alokasi
keuntungan dan kerugian kepada pemilik dana atas investasi yang dilakukan bersama dengan entitas
syariah (paragraf 108).

Dalam PSAK 101 tentang Penyajikan Laporan Keuangan Syariah diatur informasi disajikan dalam
Laporan Laba Rugi sebagai berikut:

1. Laporan Laba Rugi entitas syariah disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur
kinerja keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Dalam paragraf 60, Laporan laba rugi
minimal mencakup pos-pos berikut:
(a) pendapatan usaha;
(b) bagi hasil untuk pemilik dana;
(c) beban usaha;
(d) laba atau rugi usaha;
(e) pendapatan dan beban nonusaha;
(f) laba atau rugi dari aktivitas normal;
(g) beban pajak; dan
(h) laba atau rugi bersih untuk periode berjalan.

Pos, judul dan sub-jumlah lainnya disajikan dalam laporan laba rugi apabila diwajibkan oleh
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian tersebut diperlukan untuk
menyajikan kinerja keuangan entitas syariah secara wajar.

2. Berbagai kegiatan, transaksi, dan peristiwa menghasilkan pengaruh berbeda terhadap stabilitas, risiko,
dan prediksi. Pengungkapan unsur-unsur kinerja membantu dalam memahami hasil yang dicapai dan
dalam menilai hasil yang akan diperoleh pada masa akan datang. Dalam rangka menyajikan laporan
laba rugi secara wajar maka dapat dilakukan penambahan pos-pos dan perubahan istilah-istilah yang
dipakai serta perubahan urut-urutan dari pos-pos yang terdapat dalam laporan laba rugi. Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam melakukan penambahan dan perubahan tersebut meliputi materialitas,
hakekat dan fungsi dari berbagai komponen pendapatan dan beban (paragraf 61).

3 Jika terdapat pendapatan non-halal maka pendapatan tersebut tidak boleh disajikan di dalam laporan
laba rugi entitas syariah maupun laba rugi konsolidasian entitas konvensional yang
mengkonsolidasikan entitas syariah. Informasi pendapatan non-halal tersebut disajikan dalam laporan
sumber dan penggunaan dana kebajikan (paragraf 62).

Disamping itu dalam PSAK 101 tentang Penyajikan Laporan Keuangan Syariah diatur Informasi
Disajikan di Laporan Laba Rugi atau di Catatan Atas Laporan Keuangan sebagai berikut:

1. Entitas syariah menyajikan, di Laporan Laba Rugi atau di Catatan atas Laporan Keuangan, rincian
beban dengan menggunakan klasifikasi yang didasarkan pada sifat atau fungsi beban di dalam entitas
syariah (paragraf 63).

2. Entitas syariah disarankan untuk menyajikan rincian seperti tersebut dalam paragraf 63 di atas pada
Laporan Laba Rugi. Pos-pos beban di subklasifikasikan lebih lanjut dalam rangka menonjolkan
cakupan komponen-komponen kinerja keuangan yang mungkin berbeda dalam hal stabilitas, potensi
menghasilkan laba atau rugi dan prediksi (paragraf 64).

3. Entitas syariah yang mengklasifikasikan beban menurut fungsinya harus mengungkapkan informasi
tambahan mengenai sifat beban, termasuk beban penyusutan dan amortisasi serta beban pegawai
(paragraf 65).

4. Entitas syariah mengungkapkan dalam Laporan Laba Rugi atau dalam Catatan atas Laporan
Keuangan, jumlah dividen per saham yang diumumkan (paragraf 66).

60 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

Ilustrasi Laporan Laba Rugi Bank Syariah

PT Bank Syariah “X”
Laporan Laba Rugi dan Saldo Laba
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 200-B dan 200-A

200-B 200-A

Pendapatan Pengelolaan Dana oleh Bank sebagai Mudharib xxx
xxx
Pendapatan dari jual beli: xxx

Pendapatan marjin murabahah xxx xxx

Pendapatan bersih salam paralel xxx xxx

Pendapatan bersih istishna paralel xxx xxx
xxx
Jumlah pendapatan jual beli xxx
xxx
Pendapatan dari sewa: xxx
xxx
Pendapatan bersih ijarah xxx (xxx)
(xxx)
Pendapatan dari bagi hasil:
xxx
Pendapatan bagi hasil mudharabah xxx xxx

Pendapatan bagi hasil musyarakah xxx xxx

Jumlah pendapatan bagi hasil xxx (xxx)
(xxx)
Pendapatan usaha utama lainnya xxx (xxx)
(xxx)
Jumlah Pendapatan Pengelolaan Dana oleh Bank sbg Mudharib xxx
(xxx)
Hak pihak ketiga atas bagi hasil (xxx) xxx

Hak bagi hasil milik Bank (xxx) xxx
xxx
Pendapatan Usaha Lainnya
xxx
Pendapatan imbalan jasa perbankan xxx xxx
xxx
Pendapatan imbalan investasi terikat xxx xxx

Jumlah Pendapatan Usaha Lainnya xxx

Beban Usaha

Beban kepegawaian (xxx)

Beban administrasi (xxx)

Beban penyusutan dan amortisasi (xxx)

Beban usaha lain (xxx)

Jumlah Beban Usaha (xxx)

Laba (Rugi) Usaha xxx

Pendapatan dan Beban Non-usaha

Pendapatan nonusaha xxx

Beban nonusaha xxx

Jumlah Pendapatan (Beban) Nonusaha xxx

Laba (Rugi) sebelum Pajak xxx

Beban Pajak xxx

Laba (Rugi) Bersih Periode Berjalan xxx

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 61

3.3.3 Laporan Arus Kas

Laporan arus kas disusun berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan terkait yaitu PSAK 2 tentang Laporan Arus Kas. Laporan arus kas harus melaporkan
arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi, investasi dan pendanaan
(paragraf 9).
A. Aktivitas Operasi

Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas penghasilan utama pendapatan
perusahaan. Oleh karena itu, arus kas tersebut pada umumnya berasal dari transaksi dan peristiwa lain yang
mempengaruhi penetapan laba aau rugi bersih. Beberapa contoh arus kas dari aktivitas operasi adalah:

(1) Penerimaan kas dari penjualan barang dan jasa
(2) Penerimaan kas dari royalty, fees, komisi, dan pendapatan lain
(3) Pembayaran kas kepada pemasok barang dan jasa
(4) Pembayaran kas kepada karyawan
(5) Penerimaan dan pembayaran kas oleh perusahaan asuransi sehubungan dengan premi, klaim,

anuitas, dan manfaat asuransi lainnya
(6) Pembayaran kas atau penerimaan kembali (restitusi) pajak penghasilan kecuali jika dapat

diidentifikasikan secara khusus sebagai bagian dari aktivitas pendanaan dan investasi
(7) Penerimaan dan pembayaran kas dari kontrak yang diadakan untuk tujuan transaksi usaha dan

perdagangan

B. Aktivitas Investasi
Pengungkapan terpisah arus kas yang berasal dari aktivitas investasi perlu dilakukan sebab arus kas

tersebut mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas sehubungan dengan sumber daya yang bertujuan
menghasilkan pendapatan dan arus kas masa depan. Beberapa contoh arus kas yang berasal dari aktivitas
investasi adalah

(1) Pembayaran kas untuk membeli aset tetap, aset tidak berwujud, dan aset jangka penjang lain,
termasuk biaya pengembangan yang dikapitalisasi dan aset tetap yang dibangun sendiri.

(2) Penerimaan dari penjualan tanah, bangunan, dan peralatan, serta aset tidak berwujud dan aset
jangka panjang lain;

(3) Perolehan saham atau instrumen keuangan perusahaan lain
(4) Uang muka dan pinjaman yang diberikan kepada pihak lain serta pelunasannya (kecuali yang

dilakukan oleh lembaga keuangan)
(5) Pembayaran kas sehubungan dengan future contracts, forward contracts, option contracts, dan swap contracts

kecuali apabila kontrak tersebut dilakukan untuk tujuan perdagangan (dealing or trading), atau
apabila pembayaran tersebut diklasifikasikan sebagai aktivitas pendanaan.
Jika suatu kontrak dimaksudkan untuk melindung nilai (hedge) suatu posisi yang dapat diidentifikasi,
maka arus kas dari kontrak tersebut diklasifikasikan dengan cara yang sama seperti arus kas dari posisi yang
dilindung nilainya.

C. Aktivitas Pendanaan
Pengungkapan terpisah arus kas yang timbul dari aktivitas pendanaan perlu dilakukan sebab berguna

untuk memprediksi klaim terhadap arus kas masa depan oleh pemasok modal perusahaan. Beberapa
contoh arus kas yang berasal dari aktivitas pendanaan adalah:

(1) Penerimaan kas dari emisi seham atau instrumen modal lainnya
(2) Pembayaran kas kepada para pemegang saham untuk menarik atau menebus saham perusahaan.
(3) Penerimaan kas dari emisi obligasi, pinjaman, wesel, hipotek, dan pinjaman lainnya
(4) Pelunasan pinjaman

62 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

(5) Pembayaran kas oleh penyewa (lessee) untuk mengurangi saldo kewajiban yang berkaitan dengan
sewa pembiayaan (finance lease)

Perusahaan harus melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan salah satu dari
metode berikut (paragraf 17):

a. Metode langsung : dengan metode ini kelompok utama dari penerimaan kas bruto dan pengeluaran
kas bruto diungkapkan; atau

b. Metode tidak langsung: dengan metode ini laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengkoreksi
pengaruh dari transaksi bukan kas, penangguhan (deferral) atau akrual dari penerimaan atau
pembayaran kas untuk operasi di masa lalu dan masa depan, dan unsur penghasilan atau pembayaran
kas untuk operasi di masa lalu dan masa depan, dan unsur penghasilan atau beban yang berkaitan
dengan arus kas investasi atau pendanaan.

Arus kas yang berasal dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan berikut ini disajikan menurut arus kas
bersih.

a. Penerimaan dan pengeluaran kas untuk kepentingan para pelanggan apabila arus kas tersebut lebih
mencerminan aktivitas pelanggan dari pada aktivitas perusahaan.
Beberapa contoh penerimaan dan pengeluaran kas dimaksud di atas adalah:
(1) Penerimaan dan pembayaran rekening giro.
(2) Dana pelanggan yang dikelola oleh perusahaan investasi dan,
(3) Sewa yang ditagih oleh pengelola dan selanjutnya disetor kepada pemilik properti.

b. Penerimaan dan pengeluaran kas untuk pos-pos dengan perputaran cepat, volume transaksi yang
besar dan dengan jangka waktu singkat (maturity short).
Beberapa contoh penerimaan dan pengeluaran kas yang dimaksud di atas adalah pembayaran dan
penerimaan untuk :
(1) Transaksi kartu kredit para nasabah
(2) Pembelian dan penjualan surat-surat berharga; dan
(3) Pinjaman jangka pendek lain dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan atau kurang
Arus kas yang berasal dari aktivitas suatu lembaga keuangan berikut ini dapat dilaporkan dengan

dasar arus kas bersih:
a. Penerimaan dan pembayaran kas sehubungan dengan deposito berjangka waktu tetap.
b. Penempatan dan penarikan deposit pada lembaga keuangan lainnya; dan
c. Pemberian dan pelunasan kredit.

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 63

Ilustrasi Laporan Arus Kas Bank Syariah

PT BANK MUAMALAT INDONESIA 2007
LAPORAN ARUS KAS
1.145.026.616
UNTUK TAHUN-TAHUN YANG BERAKHIR (498.722.137)
PADA 31 DESEMBER 2008 DAN 2007
2008 107.792.296

ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI 3.404.417
(89.889.734)
Penerimaan pendapatan pengelolaan 1.325.426.321 (339.708.151)
(49.283.351)
Pembayaran bagi hasil dana syirkah temporer (513.376.205)
1.073.111
Penerimaan pendapatan usaha lainnya 164.961.543 (11.188.828)
268.504.239
Penerimaan kembali piutang dan pembiayaan yg telah 8.910.694
dihapusbukukan 260.000.000
(41.000.000)
Pembayaran beban kepegawaian (108.040.191) (909.658.674)
(88.805.112)
Pembayaran beban lainnya (611.215.871)
11.360.516
Pembayaran pajak penghasilan (96.628.241) (950.572.894)
(34.560.986)
Penerimaan pendapatan non usaha 3.639.502 (39.443.003)
(215.111.420)
Pembayaran beban non usaha (16.897.269)
26.846.674
Arus kas dari aktivitas operasi aset dan pasiva 156.780.283 281.721.250
(3.264.641)
Penurunan (kenaikan) Aktiva operasi (7.220.233)
(164.748.573)
Penempatan pada Bank Indonesia 445.000.000 (1.276.455.711)

Penempatan pada Bank Lain 13.251.004

Piutang (774.289.740)

Pinjaman Qardh (63.252.495)

Pembiayaan Mudharabah 434.099.112

Pembiayaan Musyarakah (1.264.294.437)

Penyertaan (320.796)

Aktiva Ijarah (213.554.467)

Aktiva lain-lain (124.025.303)

Kenaikan (penurunan) kewajiban operasi

Kewajiban segera 66.012.495

Simpanan (180.035.225)

Simpanan dari bank lain (7.429.669)

Hutang pajak 1.321.738

Kewajiban lain-lain (32.053.584)

Kas Bersih Dipergunakan untuk Aktivitas Operasi (1.542.791.084)

64 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

ARUS KAS DARI AKTIVITAS INVESTASI (15.000.000) 00
Penjualan (pembelian) efek tersedia untuk dijual dan dimiliki 277.061 613.478
hingga jatuh tempo (24.664.170)
(34.976.911) (24.050.692)
Hasil penjualan aktiva tetap (49.699.850)
Pembelian aktiva tetap 1.680.452.772
Kas bersih Digunakan untuk Aktivitas Investasi 1.796.719.948 (85.602.217)
ARUS KAS DARI AKTIVITAS PENDANAAN (87.194.958) (25.568.950)
Kenaikan dana syirkah temporer (53.767.962) 00
Pembayaran deviden tunai 312.436.175
Pembayaran pinjaman 1.569.281.605
Penerimaan sukuk mudharabah subordinasi 1.968.193.203 268.775.202
Arus Kas Bersih Diperoleh dari aktivita pendanaan 375.702.269 629.188.209
KENAIKAN BERSIH KAS DAN SETARA KAS 897.963.411 897.963.411
KAS DAN SETARA KAS PADA AWAL TAHUN
KAS DAN SETARA KAS PADA AKHIR THN 1.273.665.680

Kas dan Setara Kas Akhir Tahun terdiri dari:

Kas 227.098.427 173.671.330
612.651.614
Giro pada Bank Indonesia 789.382.515 47.110.141
64.530.326
Giro pada Bank Lain 175.757.271 897.963.411

Giro pada bank PT Pos Indonesia (persero) 81.427.467

Jumlah 1.273.665.680

Sumber : Laporan Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk- (RUPS -2008)

3.3.4 Laporan Perubahan Ekuitas

Dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah dijelaskan bahwa entitas syariah
harus menyajikan laporan perubahan ekuitas sebagai komponen utama Laporan Keuangan, yang
menunjukkan: (paragraf 61 -62)

(a) Laba atau rugi bersih periode yang bersangkutan;
(b) Setiap pos pendapatan dan beban, keuntungan atau kerugian beserta jumlahnya yang berdasarkan

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan terkait diakui secara langsung dalam ekuitas;
(c) Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan perbaikan terhadap kesalahan

mendasar sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan terkait;
(d) Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik;
(e) Saldo akumulasi laba atau rugi pada awal dan akhir periode serta perubahannya; dan
(f) Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis modal saham, agio dan cadangan pada

awal dan akhir periode yang mengungkapkan secara terpisah setiap perubahan.

Perubahan ekuitas entitas syariah menggambarkan peningkatan atau penurunan aset bersih atau
kekayaan selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan harus
diungkapkan dalam laporan keuangan. Laporan perubahan ekuitas, kecuali untuk perubahan yang berasal
dari transaksi dengan pemegang saham seperti setoran modal dan pembayaran dividen, menggambarkan
jumlah keuntungan dan kerugian yang berasal dari kegiatan entitas syariah selama periode yang
bersangkutan

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 65

Ilustrasi Laporan Perubahan Ekuitas Bank Syariah

PT BANK MUAMALAT INDONESIA , Tbk

LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS

UNTUK TAHUN-TAHUN YANG BERAKHIR

PADA TANGGAL 31 DESEMBER 2008 DAN 2007

Modal Saham Tambahan Modal Saldo Laba Jumlah Ekuitas

Ditempatkan dan Disetor Bersih Telah Ditentukan Belum Ditentukan 786.440.991
0
Disetor Penuh Penggunaan nya Penggunaan nya
(85.602.216)
Saldo per 31 Des 2006 492.790.792 132.498.258 45.559.662 115.592.280 145.324.930
Pembentukan Cad umum 846.163.706
Deviden Kas 22.755.020 (22.755.020)
Laba bersih tahun 2007 0
(85.602.216) (87.194.958)
207.210.886
145.324.930 966.179.634

Saldo per 31 Des 2007 492.790.792 132.498.258 68.314.682 152.559.974
Pembentukan Cad umum 58.129.972 (58.129.972)
Deviden Kas (87.194.958)
Laba bersih tahun 2008 207.210.886

Saldo per Des 2008 492.790.792 132.498.258 126.444.654 214.445.930

Sumber : Laporan Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk- (RUPS -2008)

3.3.5 Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat

Dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah dijelaskan (paragraf 64 – 68) bahwa
entitas syariah menyajikan Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat sebagai komponen utama
Laporan Keuangan, yang menunjukkan:

(a) Dana zakat berasal dari wajib zakat (muzakki):
(i) Zakat dari dalam entitas syariah;
(ii) Zakat dari pihak luar entitas syariah;

(b) Penggunaan dana zakat melalui lembaga amil zakat untuk:
(i) Fakir;
(ii) Miskin;
(iii) Riqab;
(iv) Orang yang terlilit hutang (gharim);
(v) Muallaf;
(vi) Fiisabilillah;
(vii) Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil); dan
(viii) Amil;

(c) Kenaikan atau penurunan dana zakat;
(d) Saldo awal dana zakat; dan
(e) Saldo akhir dana zakat.

Zakat adalah sebagian dari harta yang wajib dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) untuk
diserahkan kepada penerima zakat (mustahiq). Pembayaran zakat dilakukan apabila nisab dan haulnya
terpenuhi dari harta yang memenuhi kriteria wajib zakat. Unsur dasar Laporan Sumber dan Penggunaan
Dana Zakat meliputi sumber dana, penggunaan dana selama suatu jangka waktu, serta saldo dana zakat
yang menunjukkan dana zakat yang belum disalurkan pada tanggal tertentu. Dana zakat tidak

66 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

diperkenankan untuk menutup penyisihan kerugian aset produktif. Entitas syariah harus mengungkapkan
dalam catatan atas Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, tetapi tidak terbatas pada:

(a) Sumber dana zakat yang berasal dari internal entitas syariah;

(b) Sumber dana zakat yang berasal dari eksternal entitas syariah;

(c) Kebijakan penyaluran zakat terhadap masing-masing asnaf;dan

(d) Proporsi dana yang disalurkan untuk masing-masing penerima zakat diklasifikasikan atas pihak
terkait, sesuai dengan yang diatur dalam PSAK 7: Pengungkapan Pihak-pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, dan pihak ketiga.

Ilustrasi Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat Bank Syariah

PT Bank Syariah “X”
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
Periode yang berakhir pada 31 Desember 200-A dan 200-B

200-B 200-A

Sumber Dana Zakat xxx
xxx
Zakat dari dalam bank syariah xxx
xxx
Zakat dari pihak luar bank syariah xxx
(xxx)
Jumlah sumber dana zakat xxx (xxx)
(xxx)
Penggunaan Dana Zakat (xxx)
(xxx)
Fakir (xxx) (xxx)
(xxx)
Miskin (xxx) (xxx)

Amil (xxx) (xxx)
xxx
Muallaf (xxx) xxx
xxx
Orang yang terlilit hutang (gharim) (xxx)

Riqab (xxx)

Fisabilillah (xxx)

Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) (xxx)

Jumlah penggunaan dana zakat (xxx)

Kenaikan (penurunan) dana zakat xxx

Saldo awal dana zakat xxx

Saldo akhir dana zakat xxx

3.3.6 Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan

Dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah dijelaskan (paragraf 69 -73) bahwa
entitas syariah menyajikan Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan sebagai komponen utama
Laporan Keuangan, yang menunjukkan:

(a) Sumber dana kebajikan berasal dari penerimaan:
(i) Infak;
(ii) Sedekah;
(iii) Hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
(iv) Pengembalian dana kebajikan produktif;

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 67

(v) Denda; dan
(vi) Pendapatan nonhalal.
(b) Penggunaan dana kebajikan untuk:
(i) Dana kebajikan produktif;
(ii) Sumbangan; dan
(iii) Penggunaan lainnya untuk kepentingan umum.
(c) Kenaikan atau penurunan sumber dana kebajikan;
(d) Saldo awal dana penggunaan dana kebajikan; dan
(e) Saldo akhir dana penggunaan dana kebajikan.

Unsur dasar laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan meliputi sumber dan penggunaan
dana selama jangka waktu tertentu, serta saldo dana kebajikan yang menunjukkan dana kebajikan yang
belum disalurkan pada tanggal tertentu. Entitas syariah mengungkapkan dalam catatan atas Laporan
Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan, tetapi tidak terbatas, pada:

(a) Sumber dana kebajikan;
(b) Kebijakan penyaluran dana kebajikan kepada masing-masing penerima;dan
(c) Proporsi dana yang disalurkan untuk masing-masing penerima dana kebajikan diklasifikasikan

atas pihak terkait, sesuai dengan yang diatur dalam PSAK 7: Pengungkapan Pihak-pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa, dan pihak ketiga.

Ilustrasi Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan Bank Syariah

PT Bank Syariah “X”
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
Periode yang berakhir pada 31 Desember 200-B dan 200-A

200-B 200-A

Sumber Dana Kebajikan xxx
xxx
Infak dari dalam bank syariah xxx xxx
xxx
Sedekah xxx xxx
xxx
Hasil pengelolaan wakaf xxx
xxx
Pengembalian dana kebajikan produktif xxx

Denda xxx

Pendapatan nonhalal xxx

Jumlah Sumber Dana Kebajikan xxx

Penggunaan Dana Kebajikan (xxx) (xxx)
Dana kebajikan produktif (xxx) (xxx)
Sumbangan (xxx) (xxx)
Penggunaan lainnya untuk kepentingan umum
Jumlah Penggunaan Dana Kebajikan (xxx) (xxx)

Kenaikan (penurunan) dana kebajikan xxx xxx
Saldo awal dana kebajikan xxx xxx
Saldo akhir dana kebajikan xxx xxx

68 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

3.3.7 Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat

Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat ini dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagai
laporan dalam menjalankan amanah dalam menjalankan pengelolaan dana. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat antara lain:
1. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat memisahkan dana investasi terikat berdasarkan sumber

dana dan memisahkan investasi berdasarkan jenisnya.
2. Bank syariah menyajikan Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat sebagai komponen utama

Laporan Keuangan, yang menunjukkan:
(a) Saldo awal dana investasi terikat;
(b) Jumlah kelompok investasi pada setiap jenis investasi dan nilai per kelompok pada awal periode;
(c) Dana investasi yang diterima dan kelompok investasi yang diterbitkan bank syariah selama periode

laporan;
(d) Penarikan atau pembelian kembali kelompok investasi selama periode laporan;
(e) Keuntungan atau kerugian dana investasi terikat;
(f) Imbalan bank syariah sebagai agen investasi;
(g) Beban administrasi dan beban tidak langsung lainnya yang dialokasikan oleh bank syariah ke dana

investasi terikat;
(h) Saldo akhir dana investasi terikat; dan
(i) Jumlah kelompok investasi pada setiap jenis investasi dan nilai per kelompok pada akhir periode.
3. Investasi terikat adalah investasi yang bersumber dari pemilik dana investasi terikat dan sejenisnya yang
dikelola oleh bank syariah sebagai agen investasi. Investasi terikat bukan merupakan aset maupun
kewajiban karena bank syariah tidak mempunyai hak untuk menggunakan atau mengeluarkan investasi
tersebut, serta bank syariah tidak memiliki kewajiban mengembalikan atau menanggung risiko investasi.
4. Dana yang diserahkan oleh pemilik investasi terikat dan sejenisnya adalah dana yang diterima bank
syariah sebagai agen investasi. Dana yang ditarik oleh pemilik dana investasi terikat adalah dana yang
diambil atau dipindahkan sesuai dengan permintaan pemilik dana.
5. Keuntungan atau kerugian investasi terikat adalah jumlah kenaikan atau penurunan bersih nilai
investasi terikat, selain kenaikan yang berasal dari penyetoran atau penurunan yang berasal dari
penarikan.
6. Dalam hal bank syariah bertindak sebagai agen investasi, imbalan yang diterima adalah sebesar jumlah
yang disepakati tanpa memperhatikan hasil investasi.
7. Catatan atas Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat harus mengungkapkan:
(a) sifat hubungan antara entitas syariah dan pemilik dana investasi terikat;
(b) hak dan kewajiban yang terkait dengan setiap jenis dana investasi terikat atau unit investasi.

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 69

Ilustrasi Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat Bank Syariah

PT Bank Syariah “X”
Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat
Periode yang berakhir pada 31 Desember 200-B dan 200-A

200-B 200-A
xxx
Saldo awal xxx
xxx
Jumlah kelompok investasi awal periode xxx xxx

Nilai per kelompok investasi xxx xxx
(xxx)
Penerimaan dana xxx xxx
(xxx)
Penarikan dana (xxx) (xxx)
xxx
Keuntungan (kerugian) investasi xxx
xxx
Biaya administrasi (xxx) xxx

Imbalan bank sebagai agen investasi (xxx)

Saldo investasi pada akhir periode xxx

Jumlah kelompok investasi pada akhir periode xxx

Nilai kelompok investasi pada akhir periode xxx

3.3.8 Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil

Tujuan pembuatan laporan rekonsilasi pendapatan dan bagi hasil ini antara lain untuk mengetahui
kebenaran pendapatan yang nyata-nyata diterima (cash basis) yang diterima oleh Lembaga Keuangan
Syariah yang merupakan pendapatan yang dibagi hasilkan dengan pemilik dana. Beberapa hal yang perlu
diketahui dalam membuat laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil antara lain:

1 Bank syariah menyajikan Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil yang merupakan
rekonsiliasi antara pendapatan bank syariah yang menggunakan dasar akrual dengan pendapatan
yang dibagihasilkan kepada pemilik dana yang menggunakan dasar kas.

2. Perbedaan dasar pengakuan tersebut mengharuskan bank syariah menyajikan Laporan Rekonsiliasi
Pendapatan dan Bagi Hasil sebagai bagian komponen utama Laporan Keuangan.

3. Dalam Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil, bank syariah menyajikan:

(a) Pendapatan pengelolaan dana oleh bank sebagai mudharib;

(b) Penyesuaian atas:

(i) pendapatan pengelolaan dana oleh bank sebagai mudharib periode berjalan yang kas atau
setara kasnya belum diterima;

(ii) pendapatan pengelolaan dana oleh bank sebagai mudharib periode sebelumnya yang kas
atau setara kasnya diterima di periode berjalan;

(c) Pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil;

(d) Bagian bank syariah atas pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil;

(e) Bagian pemilik dana atas pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil:

(i) Bagi hasil yang sudah didistribusikan ke pemilik dana;

(ii) Bagi hasil yang belum didistribusikan ke pemilik dana.

70 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

Ilustrasi Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil Bank Syariah

PT Bank Syariah “X”
Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil
Periode yang berakhir pada 31 Desember 200-B dan 200-A

200-B 200-A
xxx
Pendapatan Usaha Utama (Akrual) xxx

Pengurang:

Pendapatan periode berjalan yang kas atau setara kasnya belum

diterima:

Pendapatan margin murabahah (xxx) (xxx)
(xxx)
Pendapatan istishna’ (xxx)

Hak bagi hasil:

Pembiayaan mudharabah (xxx) (xxx)
(xxx)
Pembiayaan musyarakah (xxx) (xxx)

Pendapatan sewa (xxx)

Jumlah pengurang (xxx) (xxx)

Penambah:

Pendapatan periode sebelumnya yg kasnya diterima pada periode

berjalan:

Penerimaan pelunasan piutang:

Margin murabahah xxx xxx
xxx
Istishna’ xxx xxx

Pendapatan sewa xxx xxx
xxx
Penerimaan piutang bagi hasil:
xxx
Pembiayaan mudharabah xxx
xxx
Pembiayaan musyarakah xxx xxx

Jumlah penambah xxx xxx
xxx
Pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil xxx
Bagi hasil yang menjadi hak bank syariah xxx
Bagi hasil yang menjadi hak pemilik dana
Dirinci atas: xxx
xxx
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang sudah didistribusikan
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang belum didistribusikan

BAB III. Laporan Keuangan Entitas Syariah| 71

3.4 Pertanyaan

1. Hasil akhir proses akuntansi adalah Laporan Keuangan.
a. Jelaskan tujuan pembuatan laporan keuangan syariah?
b. Sebutkan unsur-unsur laporan keuangan untuk entitas syariah?

2. Laporan keuangan hendaknya disajikan sedemikian rupa sehingga dapat diterima semua pihak.
a. Jelaskan hal-hal yang perlu diketahui dalam penyajian laporan keuangan syariah?
b. Jelakan hal-hal yang perlu diketahu dalam laporan keuangan syariah?

3. Laporan Keuangan memiliki karakter tertentu.
a. Jelaskan dengan rinci dan jelas karakter laporan keuangan syariah ?
b. Jelaskan dengan rinci dan jelas pengungkapan unsur laporan keuangan syariah?

4. Unsur Laporan Keuangan syariah berbeda dengan unsur laporan keuangan secara umum.
a. Sebutkan dan jelaskan unsur laporan keuangan syariah secara umum?
b. Jelaskan perbedaan kelompok-kelompok dalam unsur laporan keuangan syariah?

5. Entitas syariah tertentu memiliki karakteristik yang tidak sama dengan yang lain, yang
mengakibatkan harus dibuat unsur laporan keuangan khusus untuk industri yang bersangkutan
a. Jelaskan unsur laporan khusus untuk Lembaga Keuangan Syariah perbankan dan asuransi
syariah?
b. Jelaskan laporan rekonsiliasi pendapatan kas basis untuk kepentingan pembagian hasil usaha?

6. Jelaskan pengakuan unsur-unsur Laporan Keuangan Syariah yang diperkenankan. Jelaskan
perbedaan dengan pengakuan unsur Laporan Keuangan akuntansi umum.

72 | Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

BAB IV
AKUNTANSI MURABAHAH

4.1. Pengertian dan Karakteristik Murabahah

Murabahah merupakan salah satu prinsip dalam jual beli, selain Salam dan Istishna’. Prinsip
murabahah sebenarnya sudah dilaksanakan jauh sebelum Lembaga Keuangan Syariah tumbuh di Indonesia.
Murabahah telah dilaksanakan pada pasar, toko dan sejenisnya yang dikenal dengan jual beli barang.

Dalam bab ini dibahas akuntansi murabahah, baik akuntansi pada Lembaga Keuangan Syariah (baik
sebagai pembeli dan sebagai penjual) maupun akuntansi pada pihak terkait (nasabah sebagai pembeli). Bab
ini tidak dibahas akuntansi pada pemasok sebagai penjual, karena banyak cara yang dilakukan pemasok
dalam pengadaan barang seperti antara lain membuat sendiri sebagai pabrikan sehingga akuntansi yang
tepat dipergunakan adalah akuntansi pabrik.

Untuk memberikan pemahaman secara lengkap dari masing-masing pembahasan disampaikan
aturan syariah sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional. Selain dibahas pengertian
istilah-istilah yang ada dalam akuntansi murabahah ini, juga dibahas tentang rukun murabahah dan
karakteristik murabahah secara garis besar. Dalam akuntansi penjual, dibahas akuntansi yang terkait
dengan uang muka, pengadaan barang, penjualan barang, pembayaran harga barang, potongan angsuran
atau pelunasan murabahah, denda dan sebagainya.

4.1.1. Pengertian dan Istilah dalam Transaksi Murabahah

Dalam Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan
Syariah, Bank Indonesia mengemukakan :

Murabahah (bai’ murabahah), jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati. Dalam bai’ murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional dijelaskan:
Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba.
Dalam beberapa istilah yang terkait dengan akuntansi Murabahah yang tercantum dalam Dalam
PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah dijelaskan beberapa pengertian yang berkaitan dengan transaksi
Murabahah sebagai berikut:
Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut
kepada pembeli.
Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan untuk memperoleh suatu aset
sampai dengan aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau digunakan.
Aset murabahah adalah aset yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dengan
menggunakan akad murabahah.
Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pembeli kepada penjual sebagai bukti komitmen
untuk membeli barang dari penjual.

BAB IV. Akuntansi Murabahah | 73

Diskon murabahah adalah pengurangan harga atau penerimaan dalam bentuk apapun yang
diperoleh lembaga keuangan syariah sebagai pihak pembeli dari pemasok.
Potongan murabahah adalah pengurangan kewajiban pembeli akhir yang diberikan oleh lembaga
keuangan syariah sebagai pihak penjual.
Dalam Murabahah, rukun-rukunnya terdiri dari :

1. Ba’i = penjual (pihak yang memiliki barang)

2. Musytari = pembeli (pihak yang akan membeli barang)

3. Mabi’ = barang yang akan diperjualbelikan

4. Tsaman = harga, dan

5. Ijab Qabul = pernyataan timbang terima.

Syarat Murabahah (Syafi’i Antonio, h.102) adalah :

1. Penjual memberitahu biaya barang kepada nasabah

2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan

3. Kontrak harus bebas dari riba

4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian

5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian
dilakukan secara utang

4.1.2. Karakteristik Murabahah

Transaksi Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah, khususnya perbankan menempati porsi
yang paling besar, bahkan pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hampir seluruh transaksi penyaluran
dananya mempergunakan prinsip jual beli Murabahah. Salah satu penyebabnya adalah paradigma para
pelaksana Bank Syariah yang menyamakan atau membandingkan dengan Bank Konvensional. Murabahah
dianalogkan dengan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) adanya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
dilaksanakan oleh Bank Konvensional, dimana secara konsep keduanya memiliki perbedaan yang
mendasar. Dalam Bank Konvensional dalam melaksanakan kedua transaksi tersebut tidak pernah
memberikan barang, Bank Konvensional hanya menyediakan “uang” kebutuhan nasabah untuk membeli
barang, sehingga Bank Konvensional memperhitungkan keuntungan dalam bentuk bunga atas dasar uang
yang diberikan (uang sebagai komoditi) termasuk apabila terjadi penurunan uang yang diberikan,
sedangkan dalam murabahah yang diberikan “barang” (dalam syariah uang hanya sebagai alat ukur) dan
keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang tidak merugikan kedua pihak, sehingga tidak dapat
dikaitkan uang yang dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh.

Dalam murabahah barang yang diperjualbelikan harus ada pada saat akad, sedangkan
pembayarannya dapat dilakukkan secara tunai atau secara tangguh atau cicilan.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (selanjutnya disebut PSAK) nomor 102 tentang Akuntansi
Murabahah (paragraf 6 sd 17) menjelaskan karakteristik Murabahah sebagai berikut:

6. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah
berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari
pembeli.

7. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk
membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat
membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual, mengalami
penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi
beban penjual dan akan mengurangi nilai akad.

8. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh
adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi
pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.

74 |Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

9. Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran
yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati
maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.

10. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus
diberitahukan. Jika penjual mendapatkan diskon sebelum akad murabahah maka potongan itu
merupakan hak pembeli. Sedangkan diskon yang diterima setelah akad murabahah disepakati
maka sesuai dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam akad maka potongan
tersebut adalah hak penjual.

11. Diskon yang terkait dengan pembelian barang, antara lain, meliputi:
(a) Diskon dalam bentuk apapun dari pemasok atas pembelian barang;
(b) Diskon biaya asuransi dari perusahaan asuransi dalam rangka pembelian barang; dan
(c) Komisi dalam bentuk apapun yang diterima terkait dengan pembelian barang.

12. Diskon atas pembelian barang yang diterima setelah akad murabahah disepakati diperlakukan
sesuai dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Jika akad tidak mengatur maka diskon
tersebut menjadi hak penjual.

13. Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain,
dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual.

14. Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembelian
sebelum akad disepakati. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika akad
murabahah disepakati. Jika akad murabahah batal, uang muka dikembalikan kepada pembeli
setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil
dari kerugian maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli.

15. Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan,
penjual berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa pembeli tidak atau
belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur. Denda tersebut didasarkan pada
pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat pembeli lebih disiplin terhadap kewajibannya.
Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari
denda diperuntukkan sebagai dana kebajikan.

16. Penjual boleh memberikan potongan pada saat pelunasan piutang murabahah jika pembeli:
(a) Melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu; atau
(b) Melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati.

17. Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi jika
pembeli:
(a) Melakukan pembayaran cicilan tepat waktu; dan atau
(b) Mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

Sedangkan dalam Fatwa Dewan Syarian Nasional nomor 4/DSN-MUI/IX/2000 menjelaskan
ketentuan Murabahah (Fatwa. 2006) sebagai berikut

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini
harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai
harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga
pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

BAB IV. Akuntansi Murabahah | 75

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu
yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad
jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji
tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari
uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat
meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:

a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa
harga.

b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian
yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak
mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat : Hutang dalam Murabahah:

1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya
dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap
berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera
melunasi seluruh angsurannya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan
hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau
meminta kerugian itu diperhitungkan.

Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.

2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketujuh : Bangkrut dalam Murabahah:

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, Bank harus menunda
tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

76 |Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

4.1.3. Jenis dan Alur Murabahah

Transaksi jual beli dapat dilakukan dengan beberapa cara penyerahan barang dan dengan beberapa
cara pembayarannya juga. Murabahah dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis murabahah sebagaimana
diilustrasikan pada gambar berikut:

Gambar 4-1 : jenis murabahah
Dilihat dari proses pengadaan barang murabahah dapat dibagi menjadi:
A. Murabahah tanpa pesanan

Dalam jenis ini pengadaan barang yang merupakan obyek jual beli dilakukan tanpa memperhatikan
ada yang pesan atau tidak, ada yang akan membeli atau tidak. Pengadaan barang dilakukan atas dasar
persediaan minimum yang harus dipelihara. Sebagai contoh pada supermaket, ada yang beli atau tidak,
begitu persediaan sudah sampai pada jumlah persediaan minimum yang harus diperlihara, maka langsung
dilakukan pengadaan barang sehingga proses jual beli dengan proses pengadaan barang tidaklah tekait.
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut:

Gambar 4-2 : Alur Murabahah tanpa pesanan
BAB IV. Akuntansi Murabahah | 77

Dalam Murabahah tanpa pesanan ada dua tahapan yang terpisah yaitu tahapan pengadaan barang
dan tahapan alur pembelian barang.

A. Alur pengadaan barang
Dalam alur ini tidak memperhatikan ada yang membeli atau tidak, yang diperhatikan adalah

pemenuhan ketentuan penyediaan persediaan minimum, dengan memperhatikan jangka waktu
pengiriman, kelangkaan barang dan sebagainya. Umumnya proses ini dilakukan oleh pedagang
grosir dan retail yang menjual kebutuhan masyarakat seperti supermaket, toko dan sebagainya.
B. Alur proses jual beli dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Abdullah melakukan negosiasi dan menyepakati persyaratan yang terkait dengan jual beli

tersebut.
2. Pembeli (Abdullah) melakukan negosiasi jual beli dengan LKS Ridho Gusti tentang barang,

syarat pembayaran dan sebagainya, sampai diperoleh kesepakatan kedua belah pihak dan
dilakukan akad jual beli Murabahah.
3. Berdasarkan akad Murabahah tersebut LKS Ridho Gusti mengirimkan barang yang telah
disepakati kedua belah pihak.
4. Tahap terakhir dilakukan pembayaran harga barang sesuai kesepakatan yang dilakukan oleh
kedua belah pihak, baik dengan tunai, tangguh maupun dengan cicilan.

B. Murabahah berdasarkan pesanan
Dalam jenis ini pengadaan barang yang merupakan obyek jual beli, dilakukan atas dasar pesanan

yang diterima. Apabila tidak ada yang pesan maka tidak dilakukan pengadaan barang. Pengadaan barang
sangat tergantung pada proses jual belinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari persediaan barang yang
menumpuk dan tidak efesien, sehingga proses pengadaan barang sangat dipengaruhi oleh proses jual
belinya.

Untuk memberikan gambaran atas murabahah berdasarkan pesanan ini dapat diberikan
ilustrasi sebagai berikut :

Gambar 4-3 : Alur Murabahah tanpa pesanan
Urutan transaksi Murabahah berdasarkan pesanan dijelaskan dengan contoh :
1. Aminah sebagai pembeli memesan barang yang dikehendaki kepada LKS Ridho Gusti dan

dilakukan juga negosiasi harga jual, syarat pembayaran yang dilakukan dan syarat lainnya. Sebagai
tanda keseriusan Aminah dapat memberikan uang muka kepada LKS Ridho Gusti yang besarnya
sesuai kesepakatan.
2. Berdasarkan pesanan Aminah tersebut LKS Ridho Gusti melakukan pengadaan atau pemesanan
kepada PT Barakah sebagai pemasok atas barang yang sesuai pesanan Aminah dan syarat-syarat

78 |Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

pembayarannya. Sebagai tanda keseriusan LKS Ridho Gusti memberikan uang muka kepada
Barakah, yang besarnya sesuai kesepakatan.
3. Tahap berikutnya adalah PT Barakah menyerahkan barang pesanan kepada LKS Ridho Gusti,
sehingga barang tersebut menjadi penguasaan LKS Ridho Gusti. Atas pembelian barang tersebut,
Barakah dapat memberikan diskon kepada LKS Ridho Gusti.
4. Oleh karena barangnya telah ada dan telah disetujui oleh Aminah, termasuk keuntungan dan harga
jualnya, maka dilakukan akad Jual Beli Murabahah.
5. Berdasarkan akad Jual Beli Murabahah, LKS Ridho Gusti menyerahkan barang yang dibeli oleh
Aminah.
6. Tahap terakhir adalah Aminah melakukan pembayaran atas harga jual barang. Pembayarannya
dapat dilakukan dengan tunai atau dengan tangguh/cicilan sebesar harga jual yang disepakati.
Dilihat dari cara pembayaran, murabahah dibagi menjadi:
a. Pembayaran Tunai, yaitu pembayaran dilakukan secara tunai saat barang diterima.

b. Pembayaran Tangguh atau Cicilan, yaitu pembayaran dilakukan kemudian setelah penyerahan
barang baik secara tangguh sekaligus dibelakang atau secara angsuran.

Dalam praktik, khususnya pada Bank Syariah, baik Bank Umum Syariah, cabang syariah dari Bank
Konvensional, maupun BPR Syariah, saat ini banyak yang menjalankan murabahah berdasarkan pesanan,
sifatnya mengikat dan pembayarannya dilakukan secara tangguh atau cicilan. Pada saat ini belum ada
perbankan yang melaksanakan murabahah tanpa pesanan dengan pembayaran tunai atau tangguh seperti
supermaket. Murabahah tanpa pesanan baik dengan pembayaran tunai dan atau tangguh/cicilan banyak
dilaksanakan oleh Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) dan Koperasi Syariah, Lembaga Keuangan
Syariah lainnya.

4.2. Cakupan Akuntansi Murabahah

Pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi murabahah yang sebelumnya diatur
dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah, diganti dengan PSAK 102 tentang Akuntansi
Murabahah. Dalam PSAK 102 menjelaskan cakupan ketentuan akuntansi yang diatur dalam akuntansi
murabahah (paragraf 2 s/d 4) sebagai berikut :

2. Pernyataan ini diterapkan untuk:
(a) lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi murabahah
baik sebagai penjual maupun pembeli; dan
(b) pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah dengan lembaga keuangan syariah atau
koperasi syariah.

3. Lembaga Keuangan Syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
(a) perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
(b) lembaga keuangan syariah nonbank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan
dana pensiun; dan
(c) lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi murabahah.

4. Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang
menggunakan akad murabahah.

Perbedaan cakupan akuntansi Murabahah dalam PSAK 102 dengan Akuntansi Murabahah dalam
PSAK 59 adalah dalam PSAK 59 hanya membahas akuntansi murabahah dari pihak Bank Syariah sebagai
penjual dan akuntansi pada pihak pembeli (nasabah) tidak dibahas dalam PSAK 59 tersebut. Sedangkan
dalam PSAK 102 diatur akuntansi murabahah dari pihak penjual dan akuntansi murabahah dari pembeli.
PSAK 102 tentang akuntansi murabahah hanya membahas akuntansi dari penjual dan pembeli atas barang
dagangan yang siap untuk dijual (bukan barang yang dalam proses pembuatan) oleh karena itu dalam
PSAK 102 tidak membahas akuntansi pada sisi pemasok yang pengadaan barang dilakukan dengan proses
dibuat sendiri.

BAB IV. Akuntansi Murabahah | 79

Jika dilihat dari proses terjadinya transaksi murabahah, khususnya murabahah berdasarkan pesanan,
maka penggunaan akuntansi penjual dan akuntansi pembeli dalam transaksi murabahah dapat dilihat dalam
gambar sebagai berikut:

Gambar 4-4 : penggunaan akuntansi murabahah
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa:

1. Pada saat Lembaga Keuangan Syariah melaksanakan proses pengadaan barang, maka kedudukan
Lembaga Keungan Syariah sebagai pembeli sedangkan pemasok sebagai penjual. Oleh karena itu
Lembaga Keuangan Syariah menerapkan Akuntansi Pembeli dan pemasok menerapkan Akuntansi
Penjual (kecuali jika pemasok memproduksi sendiri barang dagangannya yang menerapkan
akuntansi pabrikan bukan akuntansi penjual sebagaimana dalam PSAK tersebut.

2. Pada saat Lembaga Keuangan Syariah melakukan proses jual beli murabahah dengan nasabah, maka
kedudukan Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Oleh karena
itu Lembaga Keuangan Syariah menerapkan Akuntansi Penjual dan Nasabah menerapkan Akuntansi
Pembeli.
Sesuai dengan judul buku ini pembahasan akuntansi murabahah yang akan dilakukan difokuskan

pada akuntansi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah, namun demikian juga dibahas akuntansi
yang dilakukan oleh pembeli atau pihak-pihak terkait yaitu nasabah sebagai pembeli.

4.3. Akuntansi Penjual

Cakupan akuntansi yang tercantum dalam PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah dibahas
akuntansi penjual dan akuntansi pembeli. Penjual yang dimaksud disini adalah Entitas Syariah yang
melakukan penjualan kepada pembeli akhir. Dalam PSAK tersebut tidak dilakukan pembahasan tentang
akuntansi pada pihak pemasok atau pembuat, yang pengadaan barang dilakukan dengan membuat sendiri
sehingga disini perlu akuntansi pabrikan. Namun demikian jika pemasok tidak memproduksi sendiri tetapi
membeli barang jadi dari pihak lain (pabrikan) maka akuntansi penjual dapat diterapkan pada yang
bersangkutan. Untuk memberikan gambaran yang jelas dan rinci akuntansi penjual dalam transaksi
murabahah, perlu dibahas terlebih dahulu akun-akun yang terkait atau yang dipergunakan untuk
membukukan transaksi tersebut

80 |Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )

4.3.1 Akun-akun untuk akuntansi penjual

Dalam melakukan pencatatan transaksi murabahah banyak akun-akun yang dipergunakan dalam
akuntansi penjual ini antara lain dan tidak terdapat pada:

A. Akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca)
Beberapa akun-akun yang dipergunakan untuk mencatat transaksi murabahah pada akuntansi penjual

untuk kepentingan Laporan posisi Keuangan (neraca) antara lain :
1. Persediaan/Aset Murabahah

Akun ini dipergunakan untuk mencatat aktiva yang dimiliki untuk dijual dalam transaksi Murabahah.
Akun ini didebet pada saat perolehan aktiva untuk dijual, biaya-biaya yang harus dikeluarkan supaya
aktiva tersebut memiliki nilai ekonomis misalnya biaya kelengkapan surat-surat, uji coba dan
sabagainya. Akun ini dikredit pada saat aktiva tersebut dijual atau memperoleh diskon harga
(mengurangi nilai aktiva untuk dijual).
2. Piutang Murabahah
Akun ini dipergunakan untuk mencatat harga jual (harga pokok ditambah keuntungan) yang
disepakati dalam murabahah dan belum dibayar oleh pembeli. Akun ini didebet pada saat terjadi jual
beli murabahah yang pembayaran dilakukan secara tangguh atau cicilan, sebesar harga jual (harga
pokok ditambah keuntungan). Akun ini dikredit pada saat pembayaran harga barang (baik secara
keseluruhan maupun secara angsuran) dan pengurangan uang muka yang dibayar oleh pembeli.
3. Margin Murabahah Tangguhan (Cr)
Akun ini dipergunakan untuk mencatat Keuntungan Murabahah yang telah disepakati dan belum
dibayar oleh pembeli. Akun ini disajikan sabagai pengurang (offseting account) dari akun Piutang
Murabahah. Akun ini dikredit pada saat terjadi akad murabahah dengan pembayaran tangguh atau
cicilan, sebesar keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli.
4. Piutang Murabahah Jatuh Tempo
Akun ini dipergunakan untuk mencatat angsuran murabahah yang telah jatuh tempo dan belum
dibayar oleh pembeli. Akun ini dapat dipergunakan sebagai alat kontrol untuk memantau angsuran
murabahah yang belum dibayar oleh pembeli. Akun ini didebet pada saat angsuran pembayaran
murabahah telah jatuh tempo dan belum dibayar oleh pembeli sebesar angsuran yang harus dibayar
(atau pada saat pengakuan pendapatan atas angsuran yang belum dibayar oleh pembeli). Akun ini
dikredit pada saat diterima pembayaran dari pembeli sebesar jumlah pembayaran yang diterima.
5. Margin Murabahah Tangguhan Jatuh Tempo ( Cr)
Dalam pengakuan pendapatan (akrual) pada umum diberikan batasan tertentu, hal ini dimaksudkan
agar tidak ada over pendapatan yang sebenarnya tidak mungkin diterima lagi. Apabila melebihi
batasan yang telah ditentukan, maka pendapatan yang telah diakui (pendapatan akrual) dilakukan
jurnal balik. Akun ini dipergunakan untuk mencatat pengakuan pendapatan margin murabahah
yang diberhentikan pengakuannya (stop akrual). Akun ini disajikan sebagai pengurang (offseting
aacont) dari akun Piutang Murabahah Jatuh Tempo. Akun ini dikredit pada saat pemberhentian
pengakuan pendapatan sebesar pendapatan yang telah diakui. Akun ini didebet pada saat
penerimaan pembayaran angsuran (termasuk margin) yang telah jatuh tempo.
6. Hutang Diskon Murabahah (Kewajiban kepada Pembeli)
Akun ini dipergunakan untuk mencatat diskon dari pemasok yang diperoleh setelah akad
murabahah ditandatangani dan telah diperjanjikan dalam akad yang merupakan hak pembeli sebesar
porsi diskon sesuai dalam akad. Akun ini dikredit pada saat diterima diskon dari pemasok sebesar
hak pembeli dan didebet pada saat pembayaran kewajiban tersebut.

BAB IV. Akuntansi Murabahah | 81

7. Piutang Uang Muka Murabahah

Akun ini dipergunakan untuk mencatat pembayaran uang muka oleh LKS kepada pemasok. Akun
ini didebet pada saat pembayaran uang muka kepada pemasok sebesar jumlah yang dibayarkan.
Akun ini dikredit pada saat pelunasan harga barang kepada pemasok sebesar uang muka yang telah
dibayar

8. Hutang Uang Muka Murabahah

Akun ini dipergunakan untuk membukukan penerimaan uang muka LKS dari pembeli. Akun in di
kredit pada saat penerimaan uang muka dari pembeli sebesar uang yang diterima. Akun ini didebet
pada saat (1) akad murabahah jadi dilaksanakan sebagai pengurang piutang murabahah (2)
pengembalian uang muka setelah dikurangi kerugian LKS, jika akad dibatalkan dan LKS mengalami
kerugian

9. Cadangan Kerugian Murabahah (Cr)

Akun ini dipergunakan untuk mecatat penyisihan kerugian yang dibentuk oleh Lembaga Keuangan
Syariah atas kemungkinan tidak tertagihnya tagihan murabahah dan kerugian lain transaksi
murabahah. Akun ini dikredit pada saat pembentukkan penyisihan kerugian sebesar yang dibentuk
dan didebet pada saat dilakukan penghapusan piutang murabahah sebesar piutang murabahah yang
diharuskan.

10. Piutang pada Nasabah (calon pembeli)

Akun ini dipergunakan untuk mencatat kerugian yang timbul akibat pesanan murabahah dibatalkan
dan Lembaga Keuangan Syariah mengalami kerugian lebih besar dari uang muka yang diterima dari
pembeli.

B. Akun Laporan Laba Rugi

Berikut akun-akun yang dipergunakan dalam transaksi murabahah yang dipergunakan untuk
penyusunan laporan laba rugi:

1. Pendapatan Margin Murabahah
Akun ini dipergunakan untuk mencatat pendapatan margin Murabahah, baik yang telah dibayar
maupun yang masih dalam pengakuan. Akun ini kredit pada saat (1) diterima pembayaran angsuran
sebesar porsi margin (2) pengakuan pendapatan atas angsuran murabahah yang telah jatuh tempo
sebesar porsi margin. Akun ini didebet pada saat (1) pemberhentian pengakuan pendapatan (akrual)
sebesar pendapatan akrual yang telah diakui (2) dipindahkan ke akun pendapatan operasi atau usaha
utama.

2. Potongan Pelunasan (muqasah) Murabahah
Akun ini dipergunakan untuk mencatat pemberian potongan pelunasan pembayaran angsuran
murabahah atau pemberian potongan angsuran murabahah atas permintaan nasabah (bukan atas
pemberian LKS). Akun ini disajikan sebagai pengurang akun “Pendapatan Margin Murabahah”,
tidak dikategorikan sebagai beban Lembaga Keuangan Syariah. Akun ini didebet pada pemberian
potongan sebesar jumlah potongan yang diberikan. Akun ini dikredit pada saat dipindahkan atau
diperhitungkan sebagai pendapatan operasi atau usaha utama.

3. Potongan Angsuran Murabahah - Prestasi
Akun ini dipergunakan untuk mencatat potongan angsuran yang diberikan oleh Lembaga Keuangan
Syariah sebagai penjual, atas prestasi pembayaran angsuran oleh pembeli karena tepat waktu dalam
melakukan pembayaran. Akun ini merupakan pengurang pendapatan margin murabahah (tidak
dikategorikan sebagai beban Lembaga Keuangan Syariah). Akun ini didebet pada saat pemberian
potongan angsuran sebesar angsuran dan dikredit pada saat dipindahkan atau diperhitungkan ke
pendapatan operasi atau usaha utama.

4. Potongan Angsuran Murabahah – Beban operasi
Akun ini dipergunakan untuk mencatat potongan angsuran yang diberikan oleh Lembaga Keuangan
Syariah sebagai penjual, atas pembayaran angsuran oleh pembeli sebagai akibat penurunan
kemampuan pembeli. Akun ini merupakan beban Lembaga Keuangan Syariah (tidak diperkenankan

82 |Akuntansi Transaksi Syariah ( Wiroso, IAI, 2011 )


Click to View FlipBook Version