Tiraikasih Website http://kangzusi.com
RATU BERLIAN
Sidney Sheldon
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Daftar Isi :
RATU BERLIAN
Daftar Isi :
BUKU SATU
PROLOG
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
BUKU KE DUA
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
BUKU KE TIGA
23
24
25
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
EPILOG
36
37
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
BUKU SATU
MASTER OF THE GAME
by Sidney Sheldon
Copyright © 1982 by Sheldon Literary Trust
All rights reserved including the rights of reproduction in whole or
in part in any form.
RATU BERLIAN
Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 402 89.615
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1989
Cetakan kedua, Juli 1990
Cetakan ketiga, Juni 1991
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney/
Ratu Berlian: I / oleh Sidney Sheldon ; alihbahasa,
Indri K. Hidayat. — Jakarta : Gramedia Pustaka Utama/1989.
256 hal.; 18 cm.
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Judul asli: Master of the Game
ISBN 979‐403‐614‐5 (No. Jil. lengkap).
ISBN 979‐403‐615‐3 (Jil. 1).
1. Fiksi Amerika. I. Judul. II. Hidayat, Indri K.
8XQ3
Untuk saudaraku,
Richard yang berhati‐baja
Terima kasihku untuk Miss Geraldine Hunter
untuk kesabaran yang tak habis‐habis
dan bantuannya dalam menyiapkan naskah ini.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
PROLOG
KATE
1982
RUANG dansa luas itu dipenuhi roh‐roh mereka yang
pernah begitu dekat, datang ikut merayakan ulang
tahunnya. Kate Blackwell melihat mereka bercampur
dengan tamu‐tamu berdasi hitam, bergaun malam kemilau
yang sedang asyik bergerak dalam irama musik. Ada
seratus tamu hadir dalam pesta di Cedar Hill House yang
letaknya di Dark Harbour, Maine, malam itu. Belum
termasuk rohroh itu, pikir Kate Blackwell masam.
Tubuhnya mungil, ramping. Sikapnya anggun—
membuat perempuan itu nampak lebih tinggi. Wajahnya
gampang diingat. Susunan tulangnya mantap, warna mata
abu‐abu dan dagu sedikit mencuat. Ia betul‐betul
mencerminkan campuran darah Scot dan Belanda yang
diwariskan kepadanya. Rambutnya yang semula hitam
lebat kini tipis putih. Gaun beludru warna gading yang ia
kenakan membuat kulitnya tampak lembut cemerlang.
Rasanya aku belum sembilan puluh tahun, pikir Kate
Blackwell. Ke mana saja perginya tahuntahun itu?
Dipandangnya roh‐roh yang berdansa. Mereka yang tahu.
Waktu itu mereka ada, bersamaku melewatkan waktu.
Banda, wajahnya yang hitam tersenyum lebar. Dan, itu dia
David! David yang begitu ia cintai. Tinggi, muda, dan
tampan—persis seperti yang dilihatnya kala ia pertama kali
jatuh cinta pada lelaki itu. David tersenyum
memandangnya. Sebentar lagi, Sayang! Sebentar lagi, begitu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate berbisik, dalam hati. Ah, seandainya David masih
hidup! Betapa ingin Kate membanggakan buyut mereka!
Kate mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang dansa.
Ah, itu dia! Berdiri dekat panggung, memperhatikan
permainan orkes. Anak itu tampan. Usianya hampir
delapan tahun. Malam itu ia mengenakan jas beludru warna
hitam dengan pantalon kotak‐kotak. Robert adalah replika
moyangnya, Jamie McGregor yang lukisan wajahnya
tergantung di atas perapian. Merasa diperhatikan, Robert
menoleh. Kate memberi isyarat dengan jarinya, memanggil
anak itu ke dekatnya. Berlian dua puluh karat di jarinya
berkilau cemerlang. Berlian itu hasil cidukan mendiang
ayahnya—hampir seratus tahun yang silam, dari suatu
pantai di Afrika. Hatinya puas memandang Robert
menyeberangi lantai dansa, menghampirinya.
Aku bagian dari masa lampau, pikir Kate. Dialah masa
datang. Buyutku ini akan mengambil alih kendali Kruger
Brent Limited kelak. Robert datang. Ia bergeser ke samping,
memberi tempat untuk Robert agar bisa duduk di samping.
“Senang, Nek?”
“Tentu. Terima kasih, Robert.”
“Alat‐alat musik itu luar biasa. Pimpinan orkesnya betul‐
betul mengerikan.”
Kate memandang buyutnya. Sejenak ia bingung. Lalu,
kerut di dahinya pun menghilang.
“Ah, maksudmu dia hebat. Ya, kan?”
Robert meringis.
“Betul, Nek! Nenek belum pantas berumur sembilan
puluh!”
Kate Blackwell tertawa.
“Ini rahasia di antara kita. Aku juga tidak merasa
umurku sudah sembilan puluh.”
Robert menyelipkan tangan pada tangan perempuan tua
itu. Lalu keduanya duduk diam berdampingan. Delapan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
puluh dua tahun perbedaan umur di antara keduanya
justru mendekatkan satu sama lainnya. Kate
memperhatikan cucunya berdansa. Ah, tak perlu diragukan
lagi. Cucunya itu dan suaminya—mereka pasangan paling
serasi di lantai dansa.
Ibu Robert melihat anaknya duduk berdampingan
dengan neneknya. Bukan main nenek ini, pikirnya. Tak
pernah tua. Orang takkan percaya mendengar apa saja yang
pernah dialami Nenek.
Mendadak musik berhenti. Pimpinannya berkata,
“Hadirin, dengan bangga saya perkenalkan kepada Anda
Tuan Robert!”
Robert meremas tangan nenek buyutnya, berdiri, lalu
melangkah ke piano. Ia duduk. Wajahnya serius. Kemudian
jemarinya yang mungil mulai menyapu tuts. Ia memainkan
Scriabin. Alunannya bak riak sinar rembulan di danau.
Ibunya mendengarkan, lalu berpikir, Dia genius. Kelak
pasti jadi pemusik besar. Robert bukan lagi bayi yang
kemarin ia timang. Ia akan jadi milik dunia. Ketika
permainan Robert selesai, tepuk riuh hadirin bukan cuma
basa‐basi.
Agak sore tadi santap malam sudah dihidangkan di
taman. Halaman luas yang biasanya berkesan resmi disulap
jadi arena meriah dengan lampu, pita, dan balon. Pemain
musik menyajikan permainan mereka dari teras, sementara
pelayan sibuk melayani berpuluh meja dengan tenang tapi
cekatan. Tak satu pun gelas atau piring dibiarkan kosong.
Telegram dari Presiden Amerika Serikat dibacakan.
Seorang hakim Mahkamah Agung mengangkat gelasnya.
Toast buat Kate. Gubernur memuji,
“...satu di antara wanita paling menonjol dalam sejarah
bangsa kita. Amal Kate. Blackwell bagi berbagai bencana di
dunia ini bukan hanya dongeng. Blackwell Foundation telah
menyumbangkan dana tak sedikit untuk kesehatan dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kesejahteraan lebih dari lima puluh negara. Mengutip kata‐
kata Sir Winston Churchill almarhum, 'Belum pernah kita
begitu berutang budi pada seseorang.' Saya merasa
beruntung berkesempatan mengenal Kate Blackwell...”
Omong kosongi pikir Kate. Tak seorang pun kenal aku.
Dia pikir aku nabi. Apa kata orang
orang ini kalau mereka tahu Kate Blackwell yang
sebenarnya? Berayah maling dan diculik sebelum usianya
genap setahun. Bagaimana jika kutunjukkan kepada mereka
bekas lubang peluru yang tertinggal pada tubuhku?
Ia menoleh, memperhatikan lelaki yang pernah berusaha
membunuhnya. Pandangan Kate lalu beralih pada sosok
wanita bercadar yang berdiri di keremangan sebelah sana.
Dalam gegap‐gempitanya tepuk tangan hadirin, terdengar
oleh Kate Gubernur menutup pidatonya dan memberi
isyarat agar Kate menyambung. Ia bangkit, memandang
tamu‐tamu yang bergerombol. Ketika ia bicara, suaranya
tegas dan keras,
“Umurku sudah lebih dibanding kalian semua. Muda‐
mudi sekarang bilang, 'Ah, cuma begitu!' Tetapi aku
bersyukur masih hidup sampai kini. Kalau tidak, aku takkan
bersama kalian saat ini, Kawan! Aku tahu ada di antara
kalian yang menyempatkan datang dari negara jauh khusus
buatku. Kalian pasti capek. Tak adil rasanya jika kutuntut
kalian semua berenergi sepertiku.” Tepuk riuh dan tawa
pun berderai.
“Terima kasih. Kalian semua telah membuat malam ini
begitu berkesan buatku. Bagi yang sudah lelah, kamar
kalian sudah siap. Yang ingin berdansa, ruang dansa
menanti kalian.” Tepuk riuh terdengar lagi.
“Sebaiknya kita semua masuk, sebelum badak Maine
menyerang kita.”
Santap malam dan pesta dansa telah usai. Para tamu
masuk ke kamar mereka, beristirahat. Kate tinggal
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sendirian, ditemani oleh roh‐roh dalam bayangannya. Ia
duduk di ruang perpustakaan seolah kembali ke masa
silam. Mendadak hatinya kecut. Tak ada lagi yang tinggal
dan memanggilku Kate, pikirnya. Mereka semua sudah pergi.
Dunianya sudah tenggelam. Longfellow‐kah yang pernah
mengatakan, “Daun‐daun kenangan berdesah sedih dalam
gelap?” Tak lama lagi ia akan memasuki kegelapan.
Sebentar lagi. Tidak sekarang. Masih ada sesuatu yang
teramat penting yang harus kuselesaikan dalam hidup ini,
pikir Kate. Bersabarlah, David. Sebentar lagi aku
bersamamu.
“Nek...”
Kate membuka matanya yang terpejam. Keluarganya
datang. Dipandanginya mereka satu per satu. Matanya yang
tajam tak melewatkan apa pun. Keluargaku, pikir Kate.
Kehidupanku. Pembunuh, pengkhayal, dan orang gila. Inikah
kerangka keluarga Blackwell? Inikah buah dari harapan,
perjuangan, dan pengorbanan berpuluhpuluh tahun ini?
Cucunya berdiri di sampingnya. “Nenek tidak apa‐apa?”
“Aku cuma agak capek, Nak. Mungkin sudah waktunya
tidur.” Perempuan tua itu bangkit, lalu melangkah ke
tangga. Pada saat bersamaan, guruh menggelegar di luar
dan badai pun memecah. Air hujan memukul‐mukul kaca
jendela seperti rentetan peluru. Keluarganya masih
memperhatikan waktu ia sampai ke puncak tangga. Betapa
tegap dan anggun perempuan itu. Di luar, langit seolah
terbelah oleh kilat. Tak lama kemudian badai mengamuk.
Kate Blackwell berhenti sebentar, memandang mereka
semua. Ketika terdengar suaranya, aksennya aksen nenek
moyangnya,
“Di Afrika Selatan, badai begini disebut donderstorm.”
Masa silam dan sekarang mulai berbaur lagi. Ia
melangkah di koridor, menuju kamarnya. Roh‐roh tadi
seolah menemani, membuat hatinya damai dan tenteram.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
BUKU KESATU
JAMIE
1883-1906
1
“ASTAGA, ini baru donderstrom namanya!” ucap Jamie
McGregor. Ia dibesarkan di suatu dataran tinggi yang sering
diamuk badai hebat di Skotlandia, tetapi belum pernah
menyaksikan badai seseram ini. Langit siang mendadak
digumul awan pasir dan hari pun mendadak gelap. Langit
berdebu dibelah oleh cahaya kilat. Weerlig, begitu orang
Afrika menyebutnya, membakar langit dan diikuti oleh
donderslag—guruh! Kemudian banjir. Hujan yang
menghantam kelompok kemah dan gubuk kaleng membuat
jalan‐jalan kotor di Klipdrift jadi sungai lumpur. Langit
digulung oleh gelegar guruh, satu menyusul lainnya seperti
rentetan peluru dalam peperangan.
Jamie McGregor cepat melangkah minggir waktu sebuah
rumah dari bata mentah mendadak hancur jadi lumpur.
Bisa bertahankah kota Klipdrift? pikirnya.
Sebenarnya Klipdrift bukanlah kota. Di sana cuma
berdiri entah berapa ratus kemah, gubuk, dan kereta—di
sepanjang tepi Sungai Vaal. Penghuninya para pemimpi
yang datang dari berbagai pelosok dunia—mengadu nasib,
mencari berlian!
Jamie McGregor adalah satu di antara mereka. Usianya
belum genap delapan belas. Ia pemuda tampan,
berperawakan tinggi dengan rambut pirang dan mata abu‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
abu. Kejujuran dan ketulusan tercermin pada wajah anak
muda itu. Ia sendiri periang dan sangat optimis.
Ia telah menempuh hampir delapan ribu mil dari tanah
pertanian ayahnya di Skotlandia. Mula‐mula ia menuju
Edinburgh, London, Cape Town, dan sekarang ia berada di
Klipdrift. Ia telah mengorbankan haknya sebagai pewaris
tanah pertanian yang kelak akan dibagi di antara ia dan
saudara‐saudaranya. Tapi, Jamie McGregor tak menyesal
sedikit pun. Ia yakin, yang ia dapatkan sepuluh ribu kali
lebih berharga dibanding dengan yang ia tinggalkan.
Kehidupan aman tenteram yang sejak kecil ia rasakan telah
ia tinggalkan. Tempat terpencil ini ia datangi karena impian
dan tekadnya jadi orang kaya. Jamie tak takut akan kerja
keras. Namun hasil jerih payahnya menggarap tanah
pertanian kecil di bukit batu sebelah utara Aberdeen
selama ini terlalu sedikit! Ia membanting tulang dari fajar
hingga senja, bersama saudara‐saudara lelaki dan
perempuannya serta ayah dan ibunya. Tapi, hasilnya tak
bisa dibanggakan. Pernah ia menonton pasar malam di
Edinburgh. Di sana ia melihat betapa banyaknya keindahan
yang bisa dibeli dengan uang. Uang membuat hidup enak
kala kita sehat, dan menutup segala kebutuhan kita kala
sakit. Jamie melihat banyak tetangga mereka yang hidup
dan mati dalam kemiskinan.
Teringat olehnya betapa bersemangat hatinya ketika
mula‐mula mendengar kabar tentang penemuan berlian di
Afrika Selatan. Berlian paling besar di dunia ditemukan
orang di sana—tergeletak begitu saja di pasir. Daerah itu,
menurut kabar burung, merupakan daerah kaya yang
menunggu dibuka.
Ia menyampaikan niatnya kepada keluarganya seusai
makan bersama pada suatu hari Sabtu. Ketika itu mereka
masih duduk mengelilingi meja makan di dapur. Dengan
suara malu bercampur bangga Jamie berkata,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku akan pergi ke Afrika Selatan mencari berlian.
Minggu depan berangkat.”
Lima pasang mata memandangnya aneh. Dikira gila ia
rupanya.
“Kau mau kejar berlian?” ayahnya bertanya. “Gila kau,
Nak! Semua itu cuma dongeng—godaan setan yang
menghalangi orang bekerja bersungguh‐sungguh .”
“Memangnya kau punya uang buat pergi?” Ian, adiknya,
berkomentar. “Tempat itu kan hampir separuh lingkaran
bumi dari sini? Dari mana ongkosnya?”
“Kalau punya uang, aku tak perlu pergi jauh‐jauh
mencari berlian!” balas Jamie. “Di sana tak ada orang punya
uang. Aku sama dengan mereka. Modalku cuma otak dan
badan kuat. Aku yakin takkan gagal.”
Mary, kakak perempuannya, berkata,
“Annie Cord pasti kecewa. Dia kepingin jadi istrimu,
Jamie.”
Jamie sangat menyayangi Mary. Mary lebih tua enam
tahun dari Jamie. Baru dua puluh empat usianya, tapi sudah
seperti perempuan empat puluh tahun. Belum pernah ia
memiliki sesuatu yang indah seumur hidupnya. Tunggu,
aku akan mengubah semua itu, Jamie berjanji dalam hati.
Tanpa berkomentar ibunya mengambil piring dan
membawanya, ke tempat ciici piring.
Malam harinya, sudah larut ketika ia menghampiri Jamie
di tempat tidur anak itu. Lembut, disentuhnya pundak
Jamie. Kekuatan darinya seolah mengalir kepada Jamie.
“Lakukanlah yang kaupikir harus kaulakukan, Nak. Aku
tak tahu apa di sana betul ada berlian. Tapi, kalau betul ada,
kau pasti menemukan yang kaucari.” Dari belakang
tubuhnya perempuan itu mengambil kantong kulit lusuh.
“Ada beberapa pound sempat kusisihkan. Tak usah bilang
apa‐apa pada yang lain. Tuhan besertamu, Jamie.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ketika berangkat ke Edinburgh, ada lima puluh pound
dalam kantong itu.
Perjalanan ke Afrika Selatan bukan perjalanan gampang.
Jamie McGregor menghabiskan waktu hampir setahun
mencapai tempat itu. Ia mendapat pekerjaan sebagai
pelayan di restoran murahan di Edinburgh dan bekerja di
sana sampai uangnya bertambah lima puluh pound. Lalu
London menjadi tujuan berikutnya. Jamie takjub melihat
besarnya kota itu, jumlah penduduknya, kebisingan serta
bis penumpang bertenaga kuda yang mondar‐mandir di
jalan dengan kecepatan lima mil per jam. Di sana‐sini
tampak taksi keren ditumpangi wanita cantik bertopi lebar,
bergaun indah, dengan sepatu bertumit tinggi yang cantik.
Jamie memperhatikan mereka turun dari taksi dan
mengayunkan kaki ke sederetan pertokoan di Burlington
Arcade. Etalasenya memamerkan entah berapa set
perabotan perak, pecah‐belah, gaun‐gaun indah, mantel
bulu, dan keramik. Toko‐toko obat dipenuhi oleh botol‐
botol dan stoples.
Jamie mendapat pondokan di sebuah rumah. Letaknya di
Fitzroy Street. Sewa yang harus dibayar sepuluh shilling
seminggu. Tapi itu sudah tempat paling murah yang bisa ia
temukan. Hari‐harinya dihabiskan di pelabuhan, mencari
kapal yang bisa membawanya ke Afrika Selatan. Malam hari
ia lewatkan dengan ngeluyur, menyaksikan gemerlapnya
kota London. Suatu petang ia melihat Edward, Prince of
Wales, sedang memasuki restoran dekat Covent Garden
lewat pintu samping restoran itu. Seorang perempuan
cantik bergayut di lengannya. Topinya lebar berbunga‐
bunga. Jamie berpikir, alangkah indah topi itu di kepala
Mary.
Jamie menyaksikan konser di Crystal Palace yang
dibangun untuk Expo Akbar pada tahun 1851. Ia
berkunjung ke Drury Lane dan menyelinap masuk ke Savoy
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Theatre pada jam istirahat. Tempat itu merupakan gedung
umum pertama yang mendapat sarana listrik. Beberapa
jalan utama juga sudah diterangi lampu listrik.
Dan, Jamie mendengar orang bisa mengobrol dengan
orang lain di seberang kota menggunakan mesin bernama
telepon. Jamie merasa ia sedang menjelang masa datang!
Di tengah munculnya berbagai inovasi dan kesibukan
kota London, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi musim
dingin saat itu. Banyak penganggur dan orang kelaparan
keluyuran di jalan. Di sana‐sini terjadi demonstrasi dan
keributan. Aku harus cepat pergi dari sini, pikir Jamie. Aku
pergi menghindari kemiskinan. Keesokan harinya Jamie
menandatangani kontrak kerja sebagai pelayan di kapal
Walmer Castle yang hendak berlayar ke Cape Town, Afrika
Selatan.
Pelayaran ke sana memakan waktu tiga minggu. Walmer
Castle singgah di Madeira dan St. Helena untuk menambah
batu bara untuk bahan bakar. Gelombang laut luar biasa
besar dan kuat di tengah musim dingin. Jamie mabuk dari
saat kapalnya bergerak. Walaupun begitu Jamie tak pernah
murung, sebab setiap hari membawanya makin dekat ke
tanah sumber kekayaan. Cuaca berubah waktu kapal
memasuki daerah khatulistiwa. Cuaca dingin bersalju
mendadak beralih ke cuaca cerah musim panas. Makin
mendekati pantai Afrika, siang dan malam hawa terasa
panas dan lembab.
Walmer Castle tiba di Cape Town pada suatu subuh,
bergerak hati‐hati melintasi kanal sempit yang membatasi
tempat isolasi penderita lepra di Pulau Robben dengan
daratan Afrika. Kapal itu akhirnya menjatuhkan sauh di
Teluk Table.
Jamie berdiri di dek sebelum matahari terbit. Ia terpaku
menyaksikan kabut pagi seolah terangkat dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
memunculkan pemandangan Gunung Table yang
menjulang tinggi sebagai latar belakang kota. Ia sudah
sampai.
Begitu kapal berlabuh, deknya bagai diserbu oleh
manusia berwajah aneh yang baru kali itu ditemui Jamie.
Mereka sibuk mempropagandakan berbagai hotel—orang
kulit hitam, kuning, coklat, dan merah berebut
membawakan bagasi. Anak kecil berlari kian‐kemari
menjajakan koran, buah‐buahan, dan permen. Sopir taksi
berdarah campuran Parsi dan Negro berteriak‐teriak
menawarkan jasa. Penjaja minuman mendorong dagangan
mereka sambil berteriak. Udara dipenuhi lalat hitam besar
yang tak terhitung banyaknya. Awak kapal dan portir
bekerja di tengah lautan manusia. Sementara penumpang
hampir tak kuasa menjaga barang bawaan mereka agar
tetap berada di satu tempat yang kelihatan. Suasana betul‐
betul hiruk‐pikuk.. Orang bicara dalam bahasa yang tak
dimengerti Jamie.
“Yulle kom van de Kaap, neh?”
“Het julle mine papa zijn wagen”
“Wat bedui'di?”
“Huistoe!”
Sepatah kata pun ia tak mengerti
Cape Town sama sekali berbeda dengan kota lain yang
pernah dilihat Jamie. Tak ada dua rumah di sana yang mirip
satu sama lain. Di samping gudang besar berlantai tiga yang
dibuat dari bata atau batu, ada kantin mungil dari seng, lalu
toko perhiasan berbatasan dengan warung sayur. Di
samping sebelah sananya berdiri gubuk reyot penjual
tembakau.
Jamie terkesima menyaksikan orang‐orang lelaki,
perempuan, dan anak‐anak yang seolah membanjiri jalan.
Ada penduduk asli mengenakan jas dari karung yang hanya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dilubangi untuk masuk tangan dan kepala. Ia berjalan di
belakang dua lelaki Cina yang bergandengan tangan.
Keduanya mengenakan celana gombrong biru. Kucir
mereka digulung rapi di bawah topi jerami. Ada petani‐
petani Boer gemuk. Wajahnya merah, rambutnya kusam.
Gerobak mereka sarat kentang, jagung, dan sayur‐mayur.
Ada pula beberapa lelaki berpantalon dan berjas beludru,
topi lebar halus dan pipa rokok panjang terselip di mulut
mereka. Orang‐orang ini berjalan mendahului istri mereka
yang bergaun hitam, bercadar tebal, dan bertopi sutera
lebar. Babu cuci Parsi menyunggi cucian di kepala,
menyeruak maju melewati rombongan tentara berseragam
merah. Pemandangannya bukan main.
Yang pertama‐tama dilakukan Jamie adalah mencari
pondokan murah yang dianjurkan oleh salah seorang awak
kapal. Pemiliknya seorang janda setengah baya bertubuh
gemuk‐pendek dengan dada montok.
Ia memandang Jamie dan tersenyum,
“Zoek yulle goud?”
Wajah Jamie merah padam.
“Maaf, Nyonya, aku tidak mengerti.”
“Oh, Inggris, ya? Kau kemari cari emas? Atau berlian?”
“Berlian. Betul, Nyonya.”
Perempuan itu menarik Jamie masuk.
“Kau pasti suka di sini. Pondokanku menyediakan segala
sesuatu buat mengenakkan orang‐orang muda macam kau.”
Jamie bertanya‐tanya. Dia salah satunya? Ah, mudah‐
mudahan saja tidak.
“Aku Nyonya Venster,” ucapnya genit, “tapi kawan‐
kawanku memanggilku Dee‐Dee.” Ia tersenyum. Sebaris
gigi emasnya kelihatan di muka. “Kurasa kita bakal jadi
sobat baik. Kalau perlu apa‐apa, datang saja ke tempatku.”
“Anda sangat baik,” ujar Jamie. “Di mana kira‐kira aku
bisa beli peta, Nyonya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Berbekal peta di tangan, Jamie berangkat menjelajah sisi
kota sebelah dalam, berbatasan dengan daerah
Rondebosch, Claremont, dan Wynberg—perkebunan
hampir gundul dan pertanian anggur membentang
sepanjang kira‐kira sembilan mil. Sisi lainnya berbatasan
dengan laut. Jamie berjalan melintasi daerah pemukiman
elite di sepanjang Jalan Strand dan Jalan Bree. Dengan
kagum dipandanginya bangunan‐bangunan megah
berloteng dengan atap datar dan teras tinggi.
Ia berjalan terus sampai akhirnya dipaksa masuk ke
salah satu bangunan oleh segerombolan lalat yang seolah
punya rasa dendam terhadapnya. Lalat‐lalat besar dan
hitam itu menyerangnya bergerombol‐gerombol. Waktu
Jamie kembali ke pondokannya, kamarnya penuh dengan
lalat yang serupa. Mereka hinggap menempel di dinding,
meja, dan bahkan ranjangnya.
Serta‐merta Jamie mengadu pada pemilik rumah.
“Nyonya Venster, bisa tolong menyingkirkan lalat dari
kamarku?”
Perempuan itu tertawa mengakak sambil mencubit
gemas pipi Jamie.
“Myn magtig. Nanti juga kau terbiasa hidup bersama
mereka. Percayalah.”
Sanitasi di Cape Town sangat kuno dan tak memadai.
Saat matahari tenggelam, kota itu bagai diselubungi uap
yang baunya tak enak bukan main. Meskipun demikian
Jamie tak berkeluh‐kesah. Ia butuh uang sebelum bisa
berangkat dari sana.
“Kau takkan mampu bertahan di padang berlian tanpa
uang cukup,” ia pernah diperingatkan orang. “Napas saja
mesti bayar!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Pada hari kedua di Cape Town, Jamie mendapat
pekerjaan sebagai kusir kereta pada perusahaan angkutan
barang. Pada hari ketiga ia mulai bekerja di restoran
sehabis jam makan malam—mencuci piring. Hidupnya ia
sambung dengan menghabiskan sisa‐sisa makanan di
restoran itu. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Dengan cekatan ia membungkus
makanan sisa dan membawanya pulang ke pondokannya.
Makanan itu aneh rasanya. Jamie rindu akan masakan
ibunya. Ia tak pernah mengeluh karena terpaksa
mengorbankan makan enak dan kenikmatan cuma; buat
menambah modalnya. Ia sudah memilih, dan tak ada suatu
apa pun yang bisa menghalangi niatnya—tidak udara
berbau, tak pula lalat yang membuatnya tak bisa tidur
sepanjang malam. Jamie merasa sangat kesepian. Tak
seorang pun dikenalnya di tempat asing itu. Ia betul‐betul
merasa kehilangan kawan‐kawan dan keluarganya. Jamie
termasuk orang yang suka menyendiri, tapi kesepian yang
berkepanjangan membuat hatinya pedih.
Akhirnya, hari yang ditunggu‐tunggu pun datanglah.
Pundi‐pundinya sudah berisi dua ratus pound. Ia sudah
siap. Tekadnya bulat hendak berangkat meninggalkan Cape
Town keesokan paginya—mencari ladang berlian.
Pemesanan karcis kereta ke Klipdrift ditangani oleh
Inland Transport Company di stasiun kecil dari kayu dekat
pelabuhan. Ketika Jamie sampai ke sana, hari masih pukul 7
pagi. Tapi, stasiun begitu penuh dijejali manusia hingga
Jamie tak berhasil menerobos masuk mendekati stasiun itu.
Beratus‐ratus pengadu nasib berebut karcis. Mereka datang
dari Rusia, Amerika, Australia, Jerman, dan Inggris.
Terdengar teriakan dalam berbagai bahasa, memohon
penjual karcis agar memberi mereka tempat. Seorang lelaki
Irlandia bertubuh tinggi besar mengomel marah sambil
keluar dari kantor stasiun, menerobos gerombolan massa.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Maaf,” ucap Jamie. “Ada apa sih di sana?”
“Tak ada apa‐apa,” gerutu lelaki itu tak senang. “Tempat
sudah terjual habis sampai enam minggu mendatang.”
Melihat kekecewaan pada wajah Jamie, katanya, “Bukan
cuma itu, Sobat! Orang sialan itu minta lima puluh pound
per kepala!”
Bukan main!
“Pasti ada cara lain buat mencapai ladang berlian.”
“Ada dua cara. Menumpang Dutch Express, atau jalan
kaki.”
“Apa itu Dutch Express?”
“Kereta sapi. Kecepatannya dua mil per jam. Berlian
yang kaukejar sudah habis ketika kau sampai ke sana
nanti!”
Jamie McGregor sama sekali tak punya niatan menunda
kedatangannya ke tempat itu sampai setelah berlian yang
diburunya habis. Pagi itu ia habiskan mencari pilihan
angkutan lain yang bisa membawanya ke sana. Menjelang
tengah hari ia mendapatkan yang dicari. Ia lewat di depan
sebuah gudang bertuliskan “GUDANG POS.” Tanpa pikir
panjang ia masuk. Seorang lelaki kurus sedang menaikkan
karung‐karung surat ke atas kereta tinggi beroda dua.
Jamie mengamati sejenak.
“Maaf,” katanya. “Surat‐surat itu mau dibawa ke
Klipdrift?”
“Betul.”
Timbul harapan dalam hati Jamie.
“Bisa bawa penumpang?”
“Kadang‐kadang.” Lelaki itu mendongakkan kepala,
memperhatikan Jamie. “Berapa umurmu?”
Pertanyaan aneh.
“Delapan belas. Mengapa, Pak?”
“Kami tak mau bawa penumpang yang berumur lebih
dari duapuluh satu atau dua puluh dua. Sehat?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lebih aneh lagi pertanyaannya.
“Sehat, Pak!”
Lelaki itu menggeliat.
“Kupikir kau bisa ikut. Aku berangkat kira‐kira sejam
lagi. Ongkosnya dua puluh pound.”
Jamie hampir tak percaya akan nasib baik yang
menimpanya.
“Bagus! Aku ambil koper dan...”
“Tak ada koper. Cuma ada tempat untuk satu hem dan
sikat gigi.”
Jamie memperhatikan dengan teliti kereta di depannya.
Kecil. Buatannya kasar. Bagian tengahnya cekung—tempat
karung surat. Agak ke atas ada bidang sempit yang bisa
diduduki penumpang, membelakangi saisnya. Perjalanan
nanti pasti melelahkan. Sudah bisa ditebak.
“Oke,” kata Jamie. “Aku ambil kemeja dan sikat gigiku
dulu.”
Waktu Jamie kembali, lelaki tadi sedang memasang kuda
di bagian muka kereta. Di situ ada dua lelaki muda
berperawakan besar. Seorang pendek berkulit hitam. Yang
lain tinggi berambut pirang —lelaki Swedia. Kedua lelaki
itu menyodorkan uang kepada sais.
“Tunggu,” seru Jamie. “Kaubilang aku boleh
menumpang.”
“Kalian semua kuberi tumpangan,” kata lelaki itu. “Ayo,
naiklah.”
“Tigatiganya ?”
“Ya.”
Jamie tak mengerti bagaimana mereka semua bisa
masuk ke ruang sempit dalam bendi itu. Walaupun begitu,
ia pasti akan ada di dalam situ kalau bendi berangkat nanti.
Jamie memperkenalkan diri kepada kedua penumpang
lainnya. “Namaku Jamie McGregor.”
“Wallach,” lelaki yang pendek hitam berkata.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Pederson,” yang tinggi pirang menyusul.
“Kita beruntung mendapatkan tebengan ini,” komentar
Jamie. “Untung saja yang lain tak tahu.”
“Oh, mereka tahu ada kereta pos ini, McGregor. Cuma
saja, jarang yang bisa diterima jadi penumpang, atau yang
sebegitu tak sabarnya sampai mau menumpang kendaraan
macam begini.”
Jamie belum sempat menanyakan maksud ucapan
Pederson, ketika sais berkata, “Ayo, berangkat!”
Jamie terjepit di tengah kedua kawan penumpangnya.
Lutut mereka tak bisa digerakkan, sementara punggung
ketiganya bersandar rapat pada belakang sandaran kursi
sais. Tak ada ruangan untuk bergerak ataupun bernapas.
Tapi lumayan, Jamie menghibur diri.
“Hiyaa!” sais memberi isyarat kepada kudanya. Tak lama
kemudian mereka pun sudah melaju menuju ladang berlian
di Klipdrift.
Perjalanan dengan kereta sapi jauh lebih enak. Angkutan
penumpang dari Cape Town ke ladang berlian itu relatif
luas. Penutup kanvas melindungi penumpang dari teriknya
matahari. Setiap kereta berpenumpang kira‐kira selusin,
ditarik oleh beberapa ekor kuda atau bagal. Kereta berhenti
di beberapa stasiun, dan penumpang dijamu minum dan
kue‐kue di sana. Perjalanannya memakan waktu sepuluh
hari.
Lain halnya dengan kereta pos. Tak pernah berhenti,
kecuali untuk menukar kuda dan sais. Kecepatannya tinggi
terus tanpa mempedulikan keadaan jalan yang tidak
beraturan. Kendaraan ini tak punya per, dan karenanya
setiap benturan terasa seperti injakan kaki kuda. Jamie
merapatkan rahangnya sambil berkata dalam hati, Aku
tahan begini sampai kereta pos ini berhenti buat bermalam
nanti, makan, lalu tidur. Pasti besok kuat lagi. Tapi, ketika
malam tiba, mereka hanya berhenti sepuluh menit untuk
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
ganti kuda dan sais. Selanjurnya kereta dipacu lagi dengan
kecepatan‐tinggi.
“Kapan istirahat makan?'' tanya Jamie.
“Tak ada,” sahut sais, menggerutu. “Kita harus
secepatnya sampai. Yang kita bawa ini surat, Tuan!”
Mereka melaju terus sepanjang malam melintasi jalan‐
jalan berbatu dan berlubang yang diterangi bulan. Benda
kecil itu menanjak di tempat berbukit, meluncur turun ke
lembah dan melompat‐lompat di tanah datar. Sekujur
tubuh Jamie seperti dihajar dan lecet‐lecet oleh sentakan
yang tiada hentinya. Ia capek, tapi tak bisa tidur. Setiap kali
matanya terpejam, sentakan keras membangunkannya.
Tubuhnya pegal, tapi tak ada tempat untuk menggeliat.
Perutnya lapar, dan ia mulai mabok. Ia tak tahu kapan bisa
makan. Perjalanan dari Cape Town ke Klipdrift jaraknya
enam ratus mil. Jamie McGregor tak lagi berkeyakinan ia
bisa tahan menyelesaikan perjalanan itu. Ia tak lagi yakin
ada cukup kemauan dalam dirinya untuk menyelesaikan
perjalanan berat itu.
Pada malam hari kedua, penderitaannya telah berubah
menjadi siksaan. Kedua teman seperjalanan Jamie
kondisinya sama payahnya. Mereka bahkan tak mampu lagi
untuk mengeluh. Jamie mengerti sekarang, kenapa
perusahaan pos itu bersikeras agar penumpangnya muda
dan kuat.
Menjelang subuh, mereka memasuki wilayah Great
Karroo. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah
bentangan pasir datar dalam naungan terik matahari.
Penumpang lengket oleh keringat, debu, dan lalat.
Sesekali, tampak oleh Jamie sekelompok manusia
berjalan di gurun yang seolah diselimuti kabut panas yang
dipancarkan bumi. Beberapa orang nampak menunggang
kuda, entah berapa lusin naik kereta ditarik delapan belas
sampai dua puluh sapi. Saisnya membawa cambuk dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berkali‐kali terdengar kibasan cambuknya, “Trek! Trek!”
Kereta raksasa itu sarat dengan bahan makanan, tenda,
alat‐alat penggali, kompor, tepung, batu bara, lampu
minyak, kopi, beras, rami Rusia, gula, anggur, wiski, sepatu
bot, lilin, dan selimut. Pendeknya, segala kebutuhan para
pencari berlian di Klipdrift.
Sesudah menyeberangi Sungai Oranye, barulah
pemandangan padang pasir yang monoton berubah. Di
sana‐sini semak mulai terlihat hijau dan tinggi. Tanah
nampak lebih merah dan rerumputan bergoyang‐goyang
diembus angin. Semak tumbuhan berduri mulai pula
menampakkan diri.
Aku kuat, pikir Jamie. Aku pasti kuat sampai ke sana.
Ia merasa harapan baru merambati tubuhnya yang
capek.
Setelah empat hari penuh dalam perjalanan, akhirnya
sampailah mereka di pinggiran Klipdrift.
Jamie McGregor tak tahu apa yang ia harapkan akan ia
lihat di Klipdrift, tetapi pemandangan yang menyambut
matanya yang merah lelah sama sekali berbeda dengan
yang bisa ia bayangkan. Klipdrift merupakan tempat luas
dengan sebaris tenda dan gerobak di tepi jalan dan di
sepanjang sisi Sungai Vaal. Jalan kotor di sana dijejali oleh
penduduk‐penduduk asli yang hanya memakai jaket
warna‐warni, para pencari berlian yang berjenggot, tukang
jagal, tukang roti, maling, guru. Di pusat Klipdrift berderet‐
deret bedeng dari kayu atau seng berfungsi sebagai toko‐
toko, kantin, ruang bilyard, warung makan, kantor pembeli
berlian, dan kantor notaris. Di salah satu sudut kota berdiri
Hotel Royal Arch yang sudah hampir ambruk. Kamar‐
kamarnya berderet, tanpa jendela sama sekali.
Jamie melangkah turun dari kereta pos yang ditumpangi
dan mendadak terjungkir‐balik ke tanah. Kakinya kejang,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tak kuasa menopang berat badannya. Ia terbaring diam di
situ, kepalanya serasa berputar‐putar, sampai akhirnya ia
merasa kuat bangkit. Kakinya diseret ke arah hotel,
menyeruak manusia yang menjejali jalan. Kamar yang ia
dapat kecil, panas, dan penuh lalat. Syukurlah ada ranjang
di situ. Jamie menjatuhkan diri di atasnya, dan terlelap
seketika. Ia tidur delapan belas jam lamanya.
Ketika bangun, tubuhnya sakit bukan main. Tapi,
batinnya bergejolak. Aku sudah sampai! Aku berhasil
mencapai tempat ini! Rasa lapar luar biasa mendorongnya
segera pergi mencari makanan. Hotel tidak menyediakan
makanan. Tapi, di seberang sana ada kedai kecil yang
dibanjiri manusia. Di situ Jamie melahap makanan yang
dihidangkan.
Lama tak diisi, perut Jamie terasa tak enak waktu diisi.
Jamie membiarkan rasa sakitnya berkurang dulu sebelum
meneruskan makan. Sambil menunggu, dialihkannya
perhatian ke sekeliling ruangan. Meja‐meja di sekitarnya
ditempati oleh sesama pencari berlian. Semuanya
membicarakan hal yang sama dengan nafsu membara:
berlian.
“...Masih ada berlian di sekitar Hopetown, tapi
sumbernya di New Rush....”
“...Di Kimberley kudengar ada lebih banyak daripada di
Joburg....”
“...Oh, penemuan di Dutoitspan minggu lalu itu? Menurut
kabarnya, berlian di sana banyak sekali....”
“...Ada sumber baru di Christiana. Aku berangkat ke sana
besok.”
Jadi, memang benar. Di mana‐mana ada berlian! Jamie
berdebar penuh semangat. Ia hampir tak kuasa
menghabiskan secangkir kopi. Ia kaget bukan main melihat
angka pada bon yang disodorkan pelayan kedai. Dua pound
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tiga shilling buat sekali makan! Aku mesti hati‐hati,
pikirnya sembari mengayunkan langkah ke jalan yang
hiruk‐pikuk.
“Masih bertekad cari kekayaan, McGregor?” sapa suara
di belakangnya.
Jamie menoleh. Pederson, si pemuda asal Swedia yang
sama‐sama menumpang kereta pos dari Cape Town!
“Tentu saja,” sahut Jamie.
“Kalau begitu, kita pergi ke ladang berlian, yuk!” Ia
menunjuk. “Sungai Vaal ada di sebelah sana.” Keduanya
berjalan.
Klipdrift merupakan lembah, dikelilingi bukit‐bukit.
Sejauh yang kelihatan oleh Jamie, tanahnya gundul. Tak
sehelai rumput pun tampak tumbuh di sana. Debu merah
beterbangan menyesakkan napas. Sungai Vaal jauhnya kira‐
kira seperempat mil. Makin dekat ke sana, udara terasa
makin sejuk. Beratus‐ratus pencari berlian berjajar di kiri‐
kanan sungai. Sebagian menggali, yang lain mengayak batu,
yang lain lagi memisah‐misahkan batu di atas semacam
meja darurat. Peralatan yang digunakan berkisar dari
peralatan cuci tanah modern sampai ke kardus dan ember
tua. Orang‐orangnya berkulit gosong, gondrong, dan
berpakaian sembrono: hem flanel garis‐garis tanpa leher,
celana kordu‐roy, sepatu bot karet, celana pendek,
pembungkus kaki bertali, topi lebar atau helm. Semua
mengenakan sabuk kulit lebar. Kantong‐kantong pada
sabuk itu untuk tempat berlian atau uang.
Jamie dan Pederson berjalan ke tepi sungai. Keduanya
memperhatikan seorang anak lelaki dan seorang lelaki
dewasa sedang berjuang menyingkirkan bongkah batu
raksasa, agar mereka bisa mengambil kerikil‐kerikil di
sekitarnya. Kemeja mereka basah kuyup oleh keringat. Di
dekatnya, sekelompok orang sedang menciduk pasir ke
dalam ayakan. Salah seorang menggoyang‐goyangkan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
ayakan, sementara yang lain menyiramkan air untuk
menghanyutkan lumpur. Batu‐batu kecil yang tertinggal
kemudian dituang ke atas meja. Di situ mereka sibuk
memilih dan memeriksa.
“Nampaknya gampang,” Jamie menyeringai.
“Jangan terlalu banyak berharap, McGregor. Aku sudah
mengobrol dengan beberapa penggali berlian yang sudah
lama di sini. Kita mesti beli kemah.”
“Apa maksudmu?”
“Tahukah kau berapa banyak penggali berlian di sini?
Dua puluh ribu—semua ingin kaya! Padahal berlian yang
tersedia tak sebegitu banyaknya. Bahkan kalau betul
berliannya banyak pun, aku mulai ragu. Pengorbanannya
kelewat banyak! Kita akan digodok mati‐matian. Pada
musim dingin, membeku; pada musim panas, diamuk
donderstorm dan masih harus berjuang melawan debu,
lalat, serta bau busuk. Mandi tak bisa, tempat tidur yang
memadai tak ada. Tambahan, di kota ini tak ada WC umum.
Setiap minggu ada orang hanyut di Sungai Vaal. Beberapa
memang kecelakaan, tapi katanya, itu salah satu cara
meloloskan diri dari neraka dunia ini. Aku tak mengerti
mengapa masih banyak juga orang yang bertahan.”
“Aku tahu apa sebabnya,” Jamie memandang anak lelaki
berbaju lusuh tadi. Wajahnya penuh harap. “Mereka
berharap ada berlian pada cangkulan berikutnya.”
Ketika mereka kembali ke kota, Jamie terpaksa
mengakui bahwa Pederson benar. Mereka melewati sisa‐
sisa kerangka dan tubuh hewan potong; sapi, biri‐biri, dan
kambing membusuk di luar kemah. Tak jauh dari sana ada
parit mampet yang berfungsi sebagai WC umum. Baunya
tak bisa dilukiskan. Pederson memandangnya,
“Apa yang hendak kaulakukan sekarang?”
“Cari alat gali!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Di pusat kota ada sebuah toko. Namanya terpampang
pada lempeng besi berkarat yang tergantung di luar:
SALOMON VAN DER MERWE, TOSERBA. Seorang lelaki
hitam tinggi berumur kurang‐lebih sama dengan Jamie
sedang membongkar muatan gerobak di depan toko itu.
Bahunya bidang dan tubuhnya berotot. Dibanding yang
pernah dilihat Jamie, lelaki itu tampan sekali. Matanya
hitam‐legam, hidungnya mancung, dan dagunya sedikit
mencuat. Pembawaannya anggun dan tenang. Kelihatannya
suka menyendiri. Ia memanggul sebuah kotak kayu berat
berisi senapan, dan ketika hendak membalik, terpeleset.
Ada sehelai daun kol terjatuh dari kardusnya. Secara tak
sadar, Jamie meraih dan memegangi lelaki itu agar tak
jatuh. Tapi lelaki hitam itu seolah tak peduli akan kehadiran
Jamie. Ia berbalik dan masuk ke dalam toko. Seorang
penggali Boer menambatkan keledainya dan berkata tak
senang, “Itu Banda dari suku Barolong. Ia kerja di tempat
Tuan van der Merwe. Aku heran van der Merwe
mempertahankan si hitam tak tahu diri itu. Orang‐orang
Bantu itu merasa mereka yang punya dunia.”
Tokonya sejuk dan agak gelap. Nyaman berada di situ
sehabis berkelana di jalan panas berbau. Nampaknya setiap
ruang dalam toko itu ditempati barang dagangan. Jamie
berjalan‐jalan melihat barang yang dijual di sana, takjub.
Ada alat pertanian, bir, susu kaleng, mentega, semen,
sekring, dinamit, serbuk senapan, pecah‐belah, perabot
rumah tangga, senjata, pakaian, minyak, cat, pelitur, daging,
buah‐buahan yang sudah dikeringkan, pelana dan alat‐alat
penunggang kuda, sabun, minuman keras, alat tulis‐
menulis, kertas, gula, teh, tembakau, pipa, cerutu... Selusin
rak terisi penuh dari atas sampai bawah dengan kemeja
flanel, selimut, sepatu, topi, dan pelana. Siapa pemiliknya?
pikir Jamie. Pasti kaya sekali dia.
Suara lembut di belakangnya mengagetkan Jamie.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Bisa kubantu?”
Jamie menoleh. Seorang gadis muda berdiri di sana.
Jamie mengira‐ngira umurnya lima belasan. Wajahnya
menarik, berbentuk hati. Hidungnya mencuat dan matanya
hidup, berwarna hijau. Rambut gadis itu hitam, keriting.
Jamie mengamati tubuhnya. Ah, lebih cocok enam belasan.
“Aku pencari berlian,” ucap Jamie. “Kemari hendak beli
perlengkapan menggali.”
“Apa saja yang kauperlukan?”
Entah mengapa, Jamie merasa perlu mengesankan gadis
ini.
“Aku perlu—eh, yang biasa‐biasa saja.”
Gadis itu tersenyum.. Matanya mengerling nakal.
“Apa yang biasa‐biasa saja itu, Tuan?”
“Yah,” Jamie ragu‐ragu. “Sekop.”
“Cuma itu?”
Jamie tahu gadis itu mempermainkan dia. Ia menyeringai
dan mengaku,
“Terus terang, aku baru datang. Aku belum tahu apa saja
yang biasa diperlukan orang untuk menggali berlian.”
Gadis itu tersenyum. Senyum seorang wanita dewasa.
'Tergantung di mana kau akan mencari berlian, Tuan...”
“McGregor. Jamie McGregor.”
“Aku. Margaret van der Merwe.” Ia melirik ke belakang
toko dengan gugup.
“Oh, senang berkenalan dengan kau, Nona van der
Merwe.”
“Kau baru saja datang?”
“Ya. Kemarin. Menumpang kereta pos.”
“Mestinya orang memberi tahu kau bahwa itu
berbahaya. Banyak penumpang yang mati dalam
perjalanan.” Mata gadis itu memancarkan amarah.
Jamie meringis. “Pantas. Tapi, aku masih hidup, kok.
Terima kasih.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Dan sekarang mau cari mooi klippe.”
“Mooi klippe?”
“Itu berlian dalam bahasa Belanda. “Kerikil indah.”
“Kau Belanda?”
“Keluargaku datang dari Belanda.”
“Aku dari Skotlandia.”
“Sudah kuduga.” Dengan gugup ia melirik lagi ke
belakang. “Berlian memang ada di sekitar sini, Tuan
McGregor. Tapi, kau harus pandai‐pandai memilih ladang.
Umumnya pendatang membuntut orang lain. Pada waktu ia
sampai ke sana, berliannya sudah habis. Kalau kau betul‐
betul kepingin kaya, carilah sumber sendiri.”
“Bagaimana caranya?”
“Ayahku mungkin bisa menolongmu. Ia tahu segalanya.
Sejam lagi Ayah pasti punya waktu untukmu.”
“Kalau begitu, aku kembali nanti,” Jamie meyakinkan
gadis itu. “Terima kasih, Nona van der Merwe.”
Jamie melangkah kembali ke terik matahari di luar.
Kebahagiaan tiada tara merambati dirinya. Segala sakit di
tubuhnya terlupakan. Kalau Salomon van der Merwe
sendiri yang akan menunjukkan tempat berliannya, bisa
dipastikan usaha Jamie tak sia‐sia. Jamie tertawa keras‐
keras. Ia merasa girang, muda, dan penuh semangat. Jalan
menuju kekayaan telah ia temukan.
Jamie menelusur jalan raya, melewati pandai besi,
tempat main bilyard, dan kira‐kira setengah lusin kedai
minum. Lalu dilihatnya papan di muka sebuah hotel tua.
Jamie berhenti. Papan itu bertuliskan:
R‐D MILLER,
MANDI PANAS & DINGIN
BUKA TIAP HARI, JAM 6‐20
DILENGKAPI RUANG GANTI NYAMAN.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie berpikir, Kapan aku mandi terakhir? Kalau tak
salah, di kapal. Ya, aku ambil seember air waktu itu. Dan itu
sudah—Mendadak ia sadar, tubuhnya pasti sudah bau
sekali. Terbayang olehnya mandi air panas di bak besar di
rumahnya. Seolah terdengar pesan ibunya, “Mandi yang
bersih, Jamie.”
Jamie membelok masuk ke tempat mandi. Ada dua pintu.
Satu untuk perempuan dan satu lagi untuk laki‐laki. Jamie
menuju ke bagian laki‐laki, lalu menghampiri penjaga.
Sudah tua sekali dia.
“Berapa ongkosnya?”
“Sepuluh shilling mandi dingin, lima belas buat mandi
panas.”
Jamie ragu sejenak. Mandi panas sehabis perjalanan
panjang melelahkan paling enak dan menyenangkan,
“Dingin saja,” ujarnya. Ia tak mampu bermewah‐mewah.
Belum lagi membeli peralatan untuk menggali berlian!
Penjaga tadi menyodorkan sepotong sabun alkali
berwarna kuning dan sehelai handuk gundul sambil
menunjuk.
“Masuklah ke situ.”
Jamie masuk ke sebuah ruangan kecil. Ada bak mandi
logam di tengah‐tengahnya dan beberapa kaitan
penggantung di dinding. Penjaga tadi mulai sibuk mengisi
bak mandi dengan air dari gentong kayu besar.
“Siap, Tuan. Gantung saja pakaian Anda di gantungan
itu.”
Jamie menunggu sampai penjaga itu pergi, baru
menanggalkan pakaian. Dipandanginya tubuhnya yang
tebal debu, lalu mencelup sebelah kakinya ke dalam bak.
Airnya dingin, seperti tertulis di papan. Jamie mengenakkan
rahang, lalu mencebur. Disabunnya sekujur tubuh kuat‐
kuat, dari kepala sampai jempol kaki. Ketika akhirnya ia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
melangkah keluar dari bak itu, airnya hitam. Ia lalu
mengeringkan badan sebisanya dengan handuk gundul
yang tersedia, dan mengenakan lagi pakaiannya. Celana dan
kemejanya sudah kaku penuh debu. Dengan sangat
terpaksa Jamie mengenakannya. Ia mesti beli pakaian
untuk ganti. Itu mengingatkan Jamie, betapa sedikit
uangnya. Ia lapar lagi.
Jamie meninggalkan tempat mandi. Ia menuju ke kedai
minum bernama Sundowner, menerobos lautan manusia di
jalan. Dipesannya bir dan makanan. Daging dengan tomat,
sosis, selada kentang, dan acar. Sementara ia makan,
telinganya sibuk mendengarkan obrolan penuh harap
orang‐orang di sekitarnya.
“...Kudengar mereka menemukan berlian dua puluh satu
karat dekat Colesberg. Ingat, kalau ada satu berlian di sana,
pasti banyak lagi lainnya....”
“...Ada ladang baru di Hebron, baru saja ditemukan.
Kupikir aku akan ke sana....”
“Tolol, kau! Berlian yang besar‐besar adanya di Sungai
Oranye....”
Di bar, seorang tamu berjenggot mengenakan kemeja
flanel garis‐garis tanpa leher dan bercelana korduroy
sedang duduk mengusap‐usap gelas birnya.
“Hebron sudah terkuras habis,” katanya berterus terang
kepada pelayan bar. “Aku butuh modal baru.”
Pelayan yang diajak bicara seorang lelaki gemuk besar,
botak. Hidungnya bengkok, matanya seperti mata musang.
Ia tertawa. “Siapa yang tak butuh! Kaupikir untuk apa aku
kerja di sini? Begitu uangku cukup, akan kukuras sendiri
Sungai Oranye.” Bar itu digosok‐gosoknya dengan gombal
lusuh. “Kalau aku boleh kasih saran, Tuan, pergilah temui
Salomon van der Merwe. Ia pemilik toko serba ada dan
lebih separuh kota ini.”
“Apa gunanya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kalau dia percaya kepada Anda, besar kemungkinan dia
mau patungan dengan Anda.”
Tamu di bar itu mengamati pelayan di mukanya.
“Yeah? Kaupikir itu mungkin?”
“Sudah ada beberapa orang yang berhasil. Modal Anda
tenaga, dia biaya. Hasilnya dibagi dua, tentu!”
Pikiran Jamie meloncat ke depan. Tadinya ia cukup yakin
uangnya yang seratus dua puluh pound akan cukup untuk
membeli alat‐alat dan makan. Tapi, harga‐harga di Klipdrift
di luar bayangan! Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Di toko van der Merwe tadi ia
melihat sendiri satu karung tepung Australia harganya lima
pound. Satu pon gula harganya satu shilling. Biskuit tiga
shilling per poh‐nya. Sebotol bir lima pound, telur tujuh
shilling selusin. Dengan harga seperti itu, uangnya takkan
bertahan lama. Astaga, pikir Jamie, di rumah kami
sekeluarga bisa hidup setahun dengan harga tiga kali makan
di sini. Tapi, seandainya ia bisa mendapat dukungan
seorang kaya macam Tuan van der Merwe... Cepat Jamie
membayar harga makanan, lalu bergegas kembali ke toko
serba ada.
Salomon van der Merwe sedang berdiri di belakang
meja, mengeluarkan senapan dari kotaknya. Tubuhnya
kecil. Wajahnya yang kurus bercambang lebar. Rambutnya
kemerah‐merahan, matanya kecil berwarna hitam.
Hidungnya tebal bulat dan bibirnya tipis. Anak gadisnya
tadi pasti mirip ibunya, pikir Jamie.
“Permisi, Tuan...”
Van der Merwe mendongakkan kepala. “Ja?”
“Anda Tuan van der Merwe? Aku Jamie McGregor, Tuan.
Datang dari Skotlandia. Aku kemari hendak mencari
berlian.”
“Ja? So?”
“Kudengar Anda suka menyokong pencari berlian.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Van der Merwe menggerutu. “Myn magtig! Siapa yang
menyebarluaskan ini? Aku pernah membantu beberapa
penggali. Tapi orang lalu menganggapku Sinterklas.”
“Aku punya tabungan seratus dua puluh pound, Tuan,”
Jamie berkata jujur. “Tapi nampaknya takkan banyak yang
bisa kudapat dengan uang itu di sini. Kalau terpaksa, aku
bersedia memulai dengan berbekal cuma sebuah sekop.
Tapi, peluangku untuk berhasil akan lebih besar kalau aku
bermodalkan seekor keledai dan peralatan yang lebih
lengkap.”
Mata van der Merwe yang hitam kecil itu menyelidik
Jamie. “Wat denk je? Mengapa kaupikir kau bisa
menemukan berlian?”
“Aku sudah berkelana hampir mengitari dunia buat
sampai kemari, Tuan. Dan, aku bertekad takkan pergi dari
sini sebelum kaya. Kalau di sini memang ada berlian, pasti
kutemukan. Kalau Tuan mau membantu aku, akan kubuat
kita sama‐sama kaya.”
Van der Merwe menggerutu lagi. Membelakangi Jamie, ia
meneruskan yang semula dikerjakan—membongkar
senapan dari peti kayunya. Jamie salah tingkah, tak tahu
mesti berkata apa. Ketika van der Merwe membuka mulut,
Jamie betul‐betul kaget. “Kau datang menumpang kereta
sapi. Ja?”
“Bukan. Kereta pos.”
Lelaki tua itu kembali mengamati Jamie. Akhirnya ia
berkata, “Kita rundingkan ini.”
Mereka berunding sambil bersantap malam di ruangan
di belakang toko yang merupakan tempat tinggal keluarga
van der Merwe. Ruangannya sempit, berfungsi ganda
sebagai dapur, ruang makan, dan kamar tidur. Sehelai tirai
membatasi dua tempat tidur di situ. Dindingnya yang
bagian bawah terbuat dari batu dan semen. Bagian atasnya
dari kayu peti kemas. Lubang persegi pada dindingnya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berfungsi sebagai jendela. Pada musim hujan, lubang itu
bisa ditutup dengan menaruh sebilah papan di bagian
mukanya. Meja makannya dari papan yang ditopang oleh
peti kayu. Sebuah peti besar yang dimiringkan jadi lemari.
Jamie menebak, van der Merwe bukan orang yang gampang
membuang uang.
Anak gadis van der Merwe sibuk menyiapkan makanan
tanpa berkata‐kata. Sesekali ia melempar pandang ke arah
ayahnya, tapi tak sekali pun ia memandang Jamie. Mengapa
nampaknya ia ketakutan benar? Jamie bertanya‐tanya.
Ketika mereka duduk mengelilingi meja makan, van der
Merwe berucap,
“Marilah kita berdoa dulu. Kami bersyukur, ya Tuhan,
atas karuniaMu. Kami bersyukur atas ampun yang
Kauberikan atas dosa‐dosa kami dan atas petunjuk yang
Kauberikan dalam menghadapi godaan. Kami panjatkan
pula syukur atas hidup penuh arti yang telah Kauberikan
kepada kami. Amin.” Tanpa menarik napas, “Kemarikan
dagingnya,” ia berkata kepada anak gadisnya.
Hidangannya bersahaja: sepotong kecil daging babi
panggang, tiga buah kentang rebus, dan sepiring daun
lobak. Porsi yang disendokkan Salomon buat Jamie sangat
sedikit. Sambil makan, kedua lelaki itu sesekali bicara.
Margaret sama sekali tidak bersuara.
Setelah selesai makan, van der Merwe berkata,
“Enak, Nak.” Ada kebanggaan tersirat dalam suara si
ayah. Ia lalu menoleh kepada Jamie. Katanya, “Sekarang
ngomong soal bisnis. Ja?”
“Ya, Tuan.”
Van der Merwe memungut pipa rokoknya dari atas
lemari kayu. Ia lalu mengisi pipa itu dengan tembakau
harum dari dalam pundi‐pundi dan menyulutnya.
Pandangannya tajam menyelidik Jamie dari balik kepulan
asap.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Penggali berlian di Klipdrift sini bodoh. Berliannya
sedikit, yang cari terlalu banyak. Orang bisa setahun
menggali tanpa dapat apa‐apa yang berarti. Paling‐paling
yang mereka temukan schlenters.”
“Maaf, aku tak mengerti artinya, Tuan.”
“Berlian mentah. Tak ada nilainya. Mengerti?”
“E—ya, Tuan. Sedikit. Lalu, di mana adanya berlian itu?”
“Griquas.”
Jamie melongo.
“Itu nama suku di daerah sebelah utara sana. Mereka
menemukan berlian besar‐besar. Sesekali mereka
membawa kemari, menukarkan berlian dengan bahan
keperluan sehari‐hari.” Lelaki Belanda itu menurunkan
nada suaranya hingga hampir berbisik, “Aku tahu dari
mana mereka mendapatkan berlian sebesar itu.”
“Anda kan bisa mencarinya sendiri, Tuan van der
Merwe?”
Van der Merwe mengeluh panjang, “Tidak. Aku tak bisa
meninggalkan toko. Bisa‐bisa daganganku dicuri orang. Aku
butuh orang yang bisa kupercaya untuk mengambil berlian
dari sana dan membawanya kemari. Kalau kutemukan
orang yang cocok, dia akan kubekali segala perkakas yang
diperlukan.” Ia diam sebentar, mengisap pipanya dalam‐
dalam. “Dan dia akan kuberi tahu di mana tempatnya.”
Jamie melonjak bangkit. Hatinya berdebar keras.
“Tuan van der Merwe, akulah orang yang Anda cari.
Percayalah, Tuan, aku akan bekerja siang dan malam.”
Suaranya meluap‐luap, “Aku akan membawa berlian
sebanyak‐banyaknya kembali ke sini.”
Van der Merwe diam‐diam memperhatikan anak muda
itu. Lama sekali. Ketika akhirnya ia bicara, cuma sepatah
yang diucapkan, “Ja.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie menandatangani kontrak keesokan paginya.
Kontraknya dibuat dalam bahasa Afrika.
“Kujelaskan dulu isinya,” ujar van der Merwe. “Kita
patungan dalam usaha ini. Aku menyediakan modal—kau
tenaga. Hasilnya kita bagi dua.”
Jamie memperhatikan kontrak di tangan van der Merwe.
Hanya dua kata yang dikenalnya di antara sekian baris
kata‐kata di kontrak itu: dua pound.
Jamie menunjuk.
“Untuk apa itu, Tuan van der Merwe?”
“Artinya, sebagai tambahan dari setengah hasil berlian
yang kauperoleh, kau akan kuberi tambahan uang dua
pound seminggu selama kau bekerja. Meskipun aku tahu di
sana ada berlian, mungkin saja kau tak mendapatkannya,
Nak. Dengan begini, paling sedikit kau dapat imbalan atas
jerih payahmu.”
Lelaki itu lebih dari adil.
“Terima kasih. Terima kasih banyak, Tuan.” Jamie
kepingin memeluknya.
Van der Merwe berkata,
“Nah, sekarang kita siapkan perlengkapanmu.”
***
Dua jam lamanya mereka memilih perkakas yang akan
dibawa Jamie ke ladang: kemah kecil, matras, alat‐alat
memasak, dua ayakan, sebuah baskom pencuci, beliung,
dua sekop, tiga ember, dan sepasang kaus kaki serta
pakaian dalam untuk ganti. Di samping semua itu ada pula
kapak, lentera, minyak tanah, korek api dan sabun,
makanan kalengan, daging kering, buah‐buahan, gula, kopi,
dan garam. Akhirnya semua pun siap. Banda, si pelayan
hitam, tanpa bersuara membantu Jamie memasukkan
semuanya ke dalam ransel. Lelaki tinggi kekar itu tak sekali
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
pun membuang pandang kepada Jamie. Sepatah kata pun
tak ia ucapkan. Dia tak bisa bicara bahasa Inggris, putus
Jamie. Margaret di toko, melayani pembeli. Seandainya
gadis itu tahu pun, bahwa di sana ada Jamie, sedikit pun ia
tak menunjukkan pengetahuannya.
Van der Merwe menghampiri Jamie, “Keledaimu ada di
depan,” katanya. “Banda akan membantumu menaikkan
semua perbekalan itu.”
“Terima kasih, Tuan van der Merwe,” ucap Jamie, “Aku—
”
Van der Merwe mempelajari sehelai kertas penuh angka.
“Semuanya seratus dua puluh pound.”
Jamie keheranan. “A—apa? Ini kan bagian dari perjanjian
kita? Kita—”
“Wat bedui'di?” Wajah van der Merwe merah padam,
marah. “Kauharap semuanya ini kuberikan begitu saja?
Seekor keledai bagus, menjadikan mitra usaha, memberi
upah dua pound seminggu pula? Kalau kau mencari
pemberian cuma‐cuma, kau salah alamat.”
Jamie cepat‐cepat menyela, “Tidak! Jangan marah, Tuan
van der Merwe. Aku tidak mengerti tadi. Baiklah. Ini
uangnya.” Ia merogoh pundi‐pundi dari sakunya, dan
menyerahkan semua sisa tabungannya kepada lelaki
Belanda itu.
Van der Merwe ragu. “Baiklah,” katanya enggan.
“Mungkin kita salah paham, neh. Kota ini penuh penipu.
Aku harus berhati‐hati memilih kawan usaha.”
“Tentu saja, Tuan,” Jamie setuju. Dalam suasana hati
yang meluap‐luap. Dengan semangat, ia mengartikan
perjanjian mereka dengan salah. Beruntung aku masih
diberi kesempatan sekali lagi, pikir Jamie.
Van der Merwe merogoh kantong bajunya,
mengeluarkan peta lusuh. “Di sini tempat mooi klippe yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kumaksudkan. Arah utara dari sini, di Magerdam. Tepatnya,
di tepi Sungai Vaal yang sebelah utara.”
Jamie mempelajari peta itu. Hatinya mulai berdegup
keras. “Berapa mil jaraknya, Tuan?”
“Di sini jarak diukur dengan waktu. Dengan keledai itu,
kau akan sampai ke sana dalam tempo empat atau lima
hari. Kembalinya makan waktu lebih lama karena beban
berlian yang kaubawa.”
Jamie nyengir. “Ja.”
Ketika Jamie McGregor melangkah lagi ke jalanan
Klipdrift, ia sudah bukan lagi seorang turis. Ia sudah jadi
pencari berlian—dalam perjalanan menuju kaya. Banda
sudah selesai menaikkan muatan ke punggung keledai yang
nampak rapuh dan tertambat pada tonggak di muka toko.
“Terima kasih.” Jamie tersenyum.
Banda menoleh, menatap mata Jamie dan pergi tanpa
mengucapkan apa‐apa. Jamie melepaskan tambatan
keledainya dan berbisik,
“Kita berangkat, yuk! Cari mooi klippe!”
Mereka menuju ke utara.
Jamie memasang kemah dekat sungai ketika malam tiba.
Sehabis menurunkan perbekalan, diberinya keledai makan
dan minum. Kemudian ia menyiapkan makan malam untuk
dirinya sendiri. Terdengar olehnya geram dan lolong serta
kecipak binatang liar yang turun ke sungai. Ia tak
terlindung dan dikelilingi oleh binatang liar paling ganas di
dunia, di tengah‐tengah daerah primitif terpencil. Tiap kali
didengarnya bunyi‐bunyian, ia terlonjak. Setiap saat ia
merasa hendak disergap atau diterjang binatang liar dari
kegelapan di luar sana. Pikirannya melayang. Terbayang
tempat tidur empuk di rumah. Rasa aman dan kenikmatan
di sana selama ini dianggapnya hal wajar. Tidurnya tak
nyenyak. Ia bermimpi singa, gajah, dan lelaki berperawakan
besar serta berkumis berjuang merebut berliannya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Subuh, ketika Jamie terbangun, keledainya telah mati.
2
TAK percaya ia rasanya. Dicarinya bekas luka. Mungkin
semalam binatang itu diserang binatang buas. Tapi tak ada
bekasnya sama sekali. Keledai itu mati waktu tidur. Tuan
van der Merwe pasti minta pertanggungjawaban atas
kejadian ini, pikir Jamie. Tapi, kalau aku membawa berlian,
pasti dia tak marah.
Jalan kembali sudah tertutup. Ia harus meneruskan
perjalanan ke Magerdam tanpa keledai. Terdengar suara di
udara. Ia mendongak. Terlihat burung bangkai raksasa
terbang berkeliling‐keliling di atasnya. Jamie bergidik.
Secepatnya ia menyusun perlengkapan yang bisa dibawa
dan perlu. Lainnya terpaksa ditinggalkan. Dengan
menyandang ransel akhirnya ia berangkat. Ebook by :
Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/ Ketika lima
menit kemudian Jamie menoleh, sekelompok burung
bangkai sudah mengerumuni tubuh keledainya. Yang
terlihat masih utuh cuma kupingnya. Panjang. Jamie
mempercepat langkahnya.
Ketika itu bulan Desember. Di Afrika Selatan sedang
musim panas. Perjalanan melintasi gurun di bawah
sengatan matahari oranye sangat mengerikan. Jamie
memulai langkahnya di Klipdrift dengan ringan. Hatinya
gembira. Tetapi, dengan beralihnya menit ke jam dan jam
ke hari, langkahnya semakin lambat dan hatinya makin
berat tertekan. Sejauh‐jauh mata memandang yang
kelihatan hanyalah lautan pasir datar, panas, dan
mengerikan.
Jamie mendirikan tenda dekat mata air. Tidurnya
dicekam rasa aneh dan diganggu bunyi‐bunyian binatang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
malam di sekitarnya. Bunyi‐bunyian itu sudah tidak terlalu
mengganggunya. Bunyi‐bunyian itu menandakan adanya
kehidupan di padang tandus itu. Setidaknya mereka
mengurangi kesepiannya. Suatu pagi Jamie bertemu dengan
kawanan singa. Dari jauh ia memperhatikan singa betina
menghampiri singa jantan dan anak‐anak mereka. Di
mulutnya, ia menggonggong bayi macan tutul. Macan
mungil itu ia jatuhkan di muka singa jantan, dan ia mundur
waktu si jantan melahap makanan yang dia bawakan.
Seekor anaknya sembarangan melompat, menerkam bayi
macan tadi. Serta‐merta si singa jantan mengayunkan kaki
depannya, menampar wajah anak singa itu hingga mati
seketika. Dengan tenang ia kembali menghampiri
mangsanya. Sesudah si jantan selesai makan, keluarganya
baru boleh mendekat, menghabiskan sisa‐sisanya. Jamie
perlahan‐lahan meninggalkan pemandangan itu.
Hampir dua minggu ia menyeberangi Karroo. Bukan
cuma sekali ia hampir menyerah, putus asa. Ia meragukan
kemampuannya menyelesaikan perjalanan. Aku tolol.
Mestinya kembali ke Klipdrift, minta keledai baru dari Tuan
van der Merwe. Tapi bagaimana kalau van der Merwe
membatalkan perjanjiannya? Ah, tidak! Aku mengambil
keputusan yang paling tepat, meneruskan perjalanan tanpa
keledai.
Jamie pun berusaha maju, selangkah demi selangkah.
Suatu hari dilihatnya empat sosok tubuh berjalan ke
arahnya dari kejauhan. Aku ngelindur, barangkali, pikir
Jamie. Cuma khayalanku. Tapi keempat orang itu bergerak
makin dekat. Hari Jamie berdebar. Manusia! Ada kehidupan
manusia di sekitar sini! Jangan‐jangan ia lupa bagaimana
caranya bicara. Ia mencoba mengeluarkan suara di tengah
hari bolong. Suaranya kedengaran seperti suara orang yang
sudah lama mati. Keempat orang itu akhirnya sampai ke
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dekatnya. Mereka penggali berlian yang hendak kembali ke
Klipdrift—lelah dan kalah.
“Halo,” sapa Jamie.
Mereka mengangguk. Seorang berkata, “Tak ada apa‐apa
di sana, Nak. Sudah kami lihat. Kau cuma buang waktu.
Pulang saja.”
Mereka pun lalu.
Hanya satu yang dipikirkan Jamie. Pemborosan waktu.
Terik matahari dan lalat hitam yang menyerang dalam
gerombolan membuatnya tak tahan. Tapi, tak ada tempat
sembunyi. Ada pepohonan berduri, tapi dahan‐dahannya
sudah dipatahkan gajah. Jamie hampir buta oleh
benderangnya cahaya matahari. Kulitnya yang bule gosong.
Kepalanya pusing terus. Setiap isapan napas ke dalam paru‐
parunya serasa hendak meledakkan kepalanya. Pemuda itu
tak lagi berjalan, tapi terhuyung. Lunglai kaki yang satu dia
seret menyusul kaki lainnya. Tanpa pikir ia terus merayap
maju. Suatu siang, di bawah terik matahari yang berpijar,
Jamie menjatuhkan ransel punggungnya dan roboh ke
tanah. Tak kuat lagi ia melangkah. Matanya terpejam. Ia
bermimpi berada dalam tempat peleburan logam
sementara matahari sebuah berlian besar yang mencorong
membakarnya, melelehkan tubuhnya. Ia terbangun larut
malam. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dipaksakannya
menggigit sedikit daging kering dan meneguk air hangat. Ia
tahu ia mesti segera bergerak sebelum matahari terbit,
selagi bumi dan langit masih sejuk. Ada dorongan buat
memilih yang paling gampang dalam dirinya, terus saja
berbaring di situ dan tidak usah melangkah lagi selama‐
lamanya. Aku hanya akan tidur sebentar lagi, pikir Jamie.
Tapi seolah ada bisikan jauh di dalam batinnya—dia takkan
pernah bangun lagi! Orang akan mendapatkan tubuhnya
tergeletak di sana seperti ratusan korban lainnya. Teringat
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
olehnya burung bangkai tempo hari. Tidak, bukan
tubuhku—bukan tulangku! Perlahan, menahan sakit di
sekujur tubuhnya, Jamie memaksakan diri berdiri. Berat
betul ransel itu. Jamie tak kuat mengangkatnya. Ia mulai
melangkah. Ranselnya diseret. Entah berapa kali ia ambruk
ke pasir dan bangkit lagi—terhuyung. Sekali ia berteriak ke
langit menjelang fajar, “Aku Jamie McGregor. Aku akan
berhasil. Aku akan bertahan hidup. Kaudengarkah aku ini,
Tuhan? Aku akan bertahan hidup....” Kepalanya bagai
dibentur beribu suara.
Kau mau kejar berlian? Gila kau, Nak! Semua itu cuma
dongeng—godaan setan yang menghalangi orang bekerja
bersungguhsungguh.
Memangnya kau punya uang buat pergi? Tempat itu kan
hampir separuh lingkaran bumi dari sini? Dari mana
ongkosnya?
Tuan van der Merwe, akulah orang yang Anda cari.
Percayalah, Tuan, aku akan bekerja siang dan malam! Aku
akan membawa berlian sebanyakbanyaknya ke sini.
Dan ternyata ia kalah sebelum mulai—Kau punya dua
pilihan, kata Jamie kepada dirinya. Meneruskan tekadmu,
atau tinggal di sini dan mati... dan mati… dan mati...
Kata‐kata itu terus‐menerus bergema dalam kepalanya.
Maju selangkah lagi, kata Jamie. Ayo, Jamie anak pintar.
Selangkah lagi. Ya, selangkah lagi…
Dua hari kemudian, tersaruk‐saruk Jamie McGregor
memasuki desa Magerdam. Gosong di kulitnya sudah lama
berubah jadi luka dan infeksi. Tubuhnya berlumur darah
dan nanah. Kedua matanya bengkak hampir tak terbuka
lagi. Ia roboh di tengah jalan. Ketika sekelompok penggali
berlian membantu melepaskan ranselnya, Jamie menggeluti
mereka dengan sisa kekuatan dalam tubuhnya. Ia berteriak
ngelindur, “Jangan! Pergi! Jauhi berlianku....”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ia terbangun dalam kamar kosong kecil tiga hari
kemudian. Tubuhnya hanya dibalut perban. Yang pertama‐
tama dilihatnya ketika tersadar adalah seorang perempuan
montok setengah baya. Ia duduk di pinggir ranjang yang
dibaringi Jamie.
“Di... ?” Suara Jamie serak. Kata‐kata tak keluar dari
kerongkongannya.
“Sst, jangan paksa dirimu, Nak. Kau habis sakit.”
Perempuan itu perlahan‐lahan menegakkan kepala Jamie
dan memberinya minum dari cangkir seng.
Jamie berhasil menyangga tubuhnya dengan sebelah
siku.
“Di—” ia menelan liur dan bertanya lagi, “di mana aku?”
“Kau di Magerdam. Namaku Alice Jardine. Ini rumah
pondokanku. Kau pasti sembuh sebentar lagi. Yang
kaubutuhkan cuma istirahat. Nah, berbaringlah lagi
sekarang.”
Teringat oleh Jamie orang‐orang tak dikenal yang
hendak merebut ranselnya. Ia panik.
“Ranselku, mana—?”
Ia mencoba bangkit, tapi suara perempuan tadi
mencegahnya lembut.
“Semuanya selamat. Jangan khawatir, Nak.” Ia menunjuk
ke sudut ruangan. Ranselnya ada di sana.
Jamie berbaring lagi. Sepreinya putih bersih.
Aku sudah sampai. Aku berhasil. Segalanya pasti beres.
Alice Jardine merupakan karunia Tuhan. Bukan cuma
buat Jamie, tapi juga buat hampir separuh penduduk
Magerdam. Di kota yang penuh pengadu nasib bercita‐cita
sama itu, Alice Jardine mengurus makanan mereka,
merawat mereka, dan tak henti‐hentinya memberi
semangat. Ia berasal dari Inggris. Datang ke Afrika Selatan
bersama suaminya. Suaminya meninggalkan pekerjaannya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sebagai guru di Leeds, dan memutuskan ikut mengadu
nasib mencari berlian! Ia meninggal karena demam tiga
minggu setelah kedatangan mereka. Alice Jardine
memutuskan menetap di sana. Penggali‐penggali berlian itu
pun kemudian jadi anaknya—pengganti anak kandung
yang tak sempat ia peroleh.
Jamie dibiarkannya berbaring empat hari lagi. Setiap
hari ia suapi pemuda itu, diganti perbannya, dan
dibantunya Jamie memperoleh kembali kekuatannya. Pada
hari kelima Jamie sudah kuat berdiri‐.
“Aku betul‐betul berterima kasih atas kebaikan Anda,
Nyonya Jardine. Aku tak bisa membayar sepeser pun.
Belum. Tapi, percayalah, kelak akan kubawakan Anda
sebuah berlian besar. Mudah‐mudahan tak lama lagi. Itu
janjiku, janji Jamie McGregor.”
Perempuan ku tersenyum melihat kesungguhan pemuda
tampan itu. Beratnya masih kurang kira‐kira sepuluh kilo.
Ia terlalu kurus. Dan, matanya yang abu‐abu itu penuh
kengerian yang baru saja ia lewati. Walaupun begitu ada
kekuatan dan tekad yang luar biasa pada diri pemuda itu. Ia
berbeda dari yang lain, pikir Nyonya Jardine kagum.
Mengenakan pakaian bersih rapi, Jamie mengayunkan
kaki melihat‐lihat kota. Kota itu seperti Klipdrift. Cuma,
ukurannya lebih kecil. Tenda dan gerobak berjajar‐jajar di
jalan berdebu. Toko‐toko ringkih dan ratusan pencari
berlian. Ketika melewati sebuah kedai minum, Jamie
mendengar ada ribut‐ribut di dalam. Ia masuk. Orang ribut
mengerumuni seorang lelaki Irlandia berkemeja merah.
“Ada apa?” tanya Jamie.
“Ia merayakan penemuannya.”
“Ia—apa?”
“Hari ini dia mendadak kaya. Ia mentraktir kita semua.
Kita boleh minum sepuas‐puasnya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie nimbrung ngobrol dengan penggali berlian lainnya
yang kurang beruntung.
“Dari mana kau, McGregor?”
“Skotlandia.”
“Aku tak tahu apa yang kaudengar di negerimu. Yang
jelas, berlian di sini tak cukup buat makan saja.”
Mereka mengobrolkan tempat galian lain: Gong Gong,
Forlorn Hope, Delports, Poormans Kopje, Sixpenny Rush...
Semua penggali punya cerita yang sama—membanting
tulang berbulan‐bulan: mencongkel batu raksasa, menggali,
mengayak lumpur sungai. Setiap hari ada berlian yang
ditemukan, tapi tak cukup banyak buat menjadikan
seseorang kaya. Setidaknya, penemuan yang sedikit itu
membantu mereka tak putus asa. Suasana di kota itu
merupakan campuran antara optimisme dan pesimisme.
Yang optimis datang, yang pesimis pergi. Jamie tahu ia
termasuk kelompok yang mana. Dihampirinya lelaki
Irlandia berkemeja merah itu. Matanya merah kebanyakan
alkohol. Ditunjukkannya peta van der Merwe kepada lelaki
itu.
Ia memperhatikan sebentar, lalu melempar kembali peta
itu kepada Jamie.
'Tak ada apa‐apanya. Sudah habis berlian di situ. Kalau
aku jadi kau, kucoba mencari di Bad Hope.”
Jamie hampir tak percaya. Peta van der Merwe‐lah yang
membawanya ke tempat itu. Pedomannya menuju
kekayaan.
Penggali lain berkata,
“Ke Coiesberg sajalah. Orang dapat berlian di sana, Nak.”
“Gilfillans Kop—itu baru tempatnya.”
“Menurutku, coba dulu di Moonlight Rush.”
Ketika mereka makan malam, Alice Jardine berkata,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Jamie, tempat yang satu sama riskannya dengan yang
lain. Carilah tempat galianmu sendiri. Gali dan berdoalah.
Itulah yang dilakukan ahliahli berlian.”
Setelah semalam menimbang‐nimbang, akhirnya Jamie
mengambil keputusan. Ia akan lupakan peta van der
Merwe. Berlawanan dengan saran lainnya, ia berminat
menuju ke timur, menyusur Sungai Modder. Keesokan
paginya Jamie berpamitan pada Nyonya Jardine, lalu
berangkat.
Tiga hari dua malam ia berjalan. Ketika merasa sudah
sampai ke tempat yang cocok, dipasangnya tenda. Batu‐
batu besar tergeletak di sepanjang sisi‐sisi sungai di situ.
Menggunakan dahan kuat sebagai pengungkit, Jamie
berusaha sekuat tenaga menyingkirkan batu‐batu itu dari
tempatnya, hingga ia bisa menjamah pasir dan kerikil di
bawahnya.
Ia menggali dari subuh sampai senja, mencari lempung
kuning atau lapisan tanah kebiru‐biruan yang menandakan
adanya pipa berlian. Tapi ladang itu gundul. Ia menggali
seminggu lamanya tanpta menemukan sebutir berlian pun.
Pada akhir minggu ia pindah.
Suatu hari, ketika sedang berjalan, nampak olehnya
semacam rumah dari perak yang berkilauan ditimpa sinar
matahari. Aku hampir buta, pikir Jamie. Tapi ketika ia
mendekat rupanya ada desa di sana. Semua rumah di situ
seperti terbuat dari perak. Beberapa kelompok orang India‐
lelaki, perempuan dan anak‐anak yang berpakaian
compang‐camping memenuhi jalan. Jamie memandang
semuanya itu dengan keheran‐heranan. Ebook by : Hendri
Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/ Rumah‐rumah yang
berkilau keperakan ternyata terbuat dari kaleng selai yang
dibuat lempengan lalu ditempelkan satu sama lain dengan
semacam paku. Jamie berjalan terus. Kira‐kira sejam
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kemudian, ia menoleh. Kemilau rumah‐rumah perak tadi
masih tampak olehnya. Pemandangan itu tak terlupakan
oleh Jamie.
Jamie bergerak terus ke utara. Ia menyusur sungai,
tempat yang paling banyak ditempati berlian. Ia menggali
dan menggali, sampai tangannya tak mampu lagi mengayun
beliung serta memindahkan pasir dan kerikil ke atas
ayakan. Ketika malam tiba, tidurnya seperti orang terbius.
Pada akhir minggu kedua, ia menanjak lagi, ke sebelah
utara tempat bernama Paardspan. Ia berhenti di tempat
sungai menikung, lalu menyiapkan makanan untuk dia
sendiri. Jamie duduk di muka kemah, memandang bintang
yang bertebaran di angkasa. Sudah dua minggu ia tak
bertemu seorang manusia pun. Ia dilanda kesepian. Apa
yang kulakukan di sini? pikirnya. Duduk sendirian kayak
orang bodoh di tengah belantara, menyiksa tubuh, memecah
batu dan menggali tanah. Lebih menguntungkan kerja di
peternakan. Kalau sampai Sabtu yang akan datang belum
juga kutemukan berlian, aku pulang saja. Ia menerawang
pada bintang‐bintang yang tak peduli.
“Kaudengarkah aku?” teriaknya. Oh, Jesus, pikirnya, aku
sudah mulai gila. Jamie duduk, iseng mempermainkan pasir
dengan tangannya. Tak sengaja terpegang olehnya sebuah
batu besar. Ia memperhatikan batu itu sejenak. Lalu
melemparnya. Sudah beribu batu tak berharga macam
begitu dilihatnya beberapa minggu belakangan ini.
Schlenters. Tapi, ada sesuatu pada batu yang satu ini, yang
akhirnya menarik perhatian Jamie. Ia bangkit menghampiri
batu tadi. Ukurannya jauh lebih besar dibanding batu
lainnya yang berbentuk aneh. Ia gosokkan kotoran yang
menempel di sana pada celananya, lalu ia periksa lagi batu
itu. Seperti berlian. Satu‐satunya hal yang menimbulkan
ragu pada diri Jamie adalah ukurannya! Hampir sama
dengan telur ayam! Ya, Tuhan, seandainya ini betulbetul
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berlian... Mendadak ia sesak napas. Diraihnya lentera lalu
mulai mengais‐ngais tanah di sekitarnya. Dalam waktu lima
belas menit ia menemukan empat butir batu semacam yang
ia temukan mula‐mula, meskipun ukurannya tak sebesar
itu. Kegembiraan Jamie meluap‐luap!
Ia bangun sebelum fajar menyingsing dan menggali
seperti orang gila. Menjelang tengah hari ia berhasil
menemukan setengah lusin berlian lagi. Seminggu lamanya
ia menggali di sana. Malam hari berlian temuannya dikubur
di tempat tersembunyi. Setiap hari ada berlian baru ia
temukan. Melihat hartanya makin menumpuk, kebahagiaan
Jamie tak terkirakan. Cuma separuhnya akan jadi miliknya,
tapi itu pun sudah cukup buat menjadikan dirinya kaya‐
raya—jauh melebihi yang pernah ia bayangkan!
Pada akhir minggu Jamie memberi tanda pada petanya
dan menyatakan daerah itu sebagai miliknya dengan cara
membatasi dengan beliungnya. Ia menggali tempat
berliannya disembunyikan, memasukkan semuanya dengan
hati‐hati ke dasar ransel, lalu kembali ke Magerdam.
Papan nama di luar bangunan kecil itu bertulis‐kan:
DIAMANT KOPPER.
Jamie masuk ke dalam ruang kantornya. Sempit dan
menyesakkan. Mendadak ia diliputi rasa gentar. Sudah
sering ia mendengar pencari berlian menemukan batu yang
ternyata tak ada harganya. Bagaimana kalau aku keliru?
Bagaimana kalau—
Penguji kadar duduk di belakang meja berantakan dalam
kantor sempit itu.
“Bisa dibantu?”
Jamie menghela napas.
“Ya, Pak. Minta tolong batu‐batu ini diuji.”
Disaksikan lelaki penguji kadar itu, Jamie meletakkan
batu temuannya satu per satu di atas meja. Ada dua puluh
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tujuh butir semuanya. Lelaki dimukanya terbengong‐
bengong.
“Di mana kautemukan ini?”
“Nanti kuberi tahu setelah Bapak pastikan bahwa batu‐
batu ini berlian betul.”
Lelaki itu memungut batu di depannya satu per satu dan
memeriksa masing‐masing dengan teropong batu berharga.
“Astaga!” ujarnya. “Belum pernah kulihat berlian begini
besar!”
Jamie baru sadar bahwa napasnya tertahan. Ingin
rasanya ia berteriak sekeras‐kerasnya.
“Dari mana sih?” ulang lelaki itu.
“Temui aku di kantin lima belas menit lagi.” Jamie
nyengir, “Nanti kuberi tahu.”
Jamie mengumpulkan kembali berliannya,
memasukkannya ke kantong, dan nyelonong ke luar. Ia
menuju ke Kantor Pendaftaran yang letaknya dekat dengan
tempat pengujian berlian.
“Aku ingin mendaftarkan hak atas ladang berlian yang
baru kutemukan,” ujarnya. “Atas nama Salomon van der
Merwe dan Jamie McGregor.”
Ketika masuk tadi ia cuma seorang anak miskin. Ketika
keluar dari sana dia sudah jadi multi‐miliuner.
Tukang uji berlian tadi menunggu Jamie di kantin. Ia
sudah di situ waktu Jamie datang. Rupanya ia sudah pula
menyebar beritanya. Ketika Jamie melangkah masuk, orang
berbisik rikuh. Ada pertanyaan yang sama pada tiap kepala.
Jamie menghampiri pelayan bar.
“Aku di sini hendak merayakan penemuanku.” Ia lalu
berpaling kepada orang banyak yang ada di sana.
“Paardspan.”
Alice Jardine sedang minum teh waktu Jamie melangkah
masuk ke dapur. Wajahnya langsung cerah melihat Jamie.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ