Tiraikasih Website http://kangzusi.com
di balik sweater. Puting susunya terlihat mencuat. Dia tak
mengenakan kutang. Count Maurier lalu memperhatikan
wajah gadis muda yang nampak polos itu. Dia tak tahu
harus mengatakan apa. “Kau tak kenal aku.”
“Aku mengimpikan kau sejak masili kecil dulu.
Kubayangkan lelaki hangat bertubuh tinggi dan tampan
seperti kau—”
“Kurasa aku sudah mulai berkarat. Aku—”
“Jangan tertawakan aku,” pinta Eve. “Ketika aku
melihatmu pada jamuan makan malam kemarin, rasanya
mataku tak bisa lepas‐lepas memandangmu. Kau terus
terbayang dalam benakku. Aku tak bisa tidur. Sedetik pun
kau belum meninggalkan otak dan hatiku.” Yang ini
memang hampir benar.
“Aku—aku tak tahu mesti berkata apa kepadamu, Eve.
Aku sudah kawin. Rumah tanggaku bahagia. Aku—”
“Oh! Aku cemburu bukan main pada istrimu! Kupikir, dia
perempuan paling beruntung di dunia ini. Sadarkah dia
akan hal itu, Alfred?”
“Tentu saja. Aku selalu bilang begitu padanya.” Count
Maurier tersenyum gugup. Dia bingung bagaimana mesti
mengalihkan topik pembicaraan.
“Apakah istrimu betul‐betul menghargaimu? Tahukah
dia bahwa kau begitu perasa? Apakah dia memikirkan
kebahagiaanmu? Aku begitu.”
Count itu makin tak enak. “Kau perempuan cantik,”
katanya. “Kelak, pasti kau akan temukan lelaki idaman yang
belum berkarat. Lalu—”
“Aku sudah ketemu dengannya. Aku kepingin tidur
dengan dia.”
Lelaki itu melihat ke sekelilingnya, takut ada yang
mendengar. “Eve! jangan!”
Eve membungkuk ke depan. “Cuma itu yang kuminta.
Kenangannya akan kusimpan sepanjang hidupku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Count Maurier menjawab tegas. “Tak mungkin. Kau
memojokkanku ke sudut yang memalukan. Gadis muda
seperti kau tak sepatutnya bicara begini dengan orang yang
tak dikenal.”
Mata Eve berkaca‐kaca. “Jadi, kau punya pendapat begitu
tentangku? Aku mencari‐cari lelaki? Baru satu lelaki yang
kukenal selama ini. Kami bertunangan.” Eve membiarkan
air matanya menetes. “Dia baik, lembut, dan penuh kasih
sayang. Dia mati. Kecelakaan waktu mendaki gunung. Aku
menyaksikan kejadiannya. Sangat mengerikan.”
Count Maurier memegang tangan Eve. “Maafkan aku.”
“Kau bikin aku teringat padanya. Ketika aku melihatmu,
rasanya seperti Bill kembali kepadaku. Kalau saja kau mau
memberikan sejam dari waktumu buatku, Alfred, aku
berjanji takkan mengganggumu lagi.”
Count Maurier memandang Eve. Lama sekali. Dia
menimbang‐nimbang.
Temyata, dia tak berbeda dengan pria Prancis lainnya.
Mereka menghabiskan waktu siang itu di sebuah hotel
kecil di Rue Sainte‐Anne. Belum pemah Count Maurier tidur
dengan perempuan seperti Eve seumur hidupnya. Gadis itu
seperti angin puyuh, dewi laut, setan. Pengetahuannya
terlalu banyak. Menjelang sore hari, Count Maurier sudah
kecapekan luar biasa.
Ketika mereka berbusana, Eve bertanya, “Kapan kita
ketemu lagi, Sayang?”
“Nanti kutelepon,” sahut Maurier.
Lelaki itu tak punya rencana ketemu lagi dengan
perempuan satu ini. Dia menakutkan—hampir bisa dibilang
jahat. Orang Amerika menyebutnya kabar jelek. Dia sama
sekali tak punya niatan berhubungan dengan perempuan
begini lebih lanjut.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Masalahnya akan selesai sampai di situ saja seandainya
Alicia Vanderlake tak kebetulan bertemu mereka ketika
hendak meninggalkan hotel. Perempuan itu pemah duduk
dalam suatu badan sosial bersama Kate Blackwell tahun
lalu. Nyonya Vanderlake adalah seorang wanita yang
berpergaulan luas. Dia jadi seperti tangga kiriman Tuhan.
Rejeki. Dia pemah melihat potret Count Maurier dan
istrinya. Dia sudah melihat pula potret cucu kembar Kate
Blackwell. Dia kurang yakin cucu yang mana yang dia temui
ketika itu. Tapi, itu bukan masalah penting. Nyonya Van‐
derlake tahu kewajibannya. Dia mencari nomor telepon
dalam buku telepon pribadinya, dan mendapatkan nomor
telepon Kate Blackwell.
Pelayan menjawab teleponnya. “Bonjour.”
“Boleh bicara dengan Nyonya Blackwell?”
“Dari mana?”
“Nyonya Vanderlake. Urusan pribadi.”
Semenit kemudian, Kate Blackwell sudah berda di ujung
sebelah sana telepon. “Dari mana, ya?”
“Alicia Vanderlake, Nyonya Blackwell. Pasti Anda masih
ingat aku. Kita sama‐sama menjadi anggota badan sosial
tahun lalu dan—”
“Kalau perlu donatur, telepon saja—”
“Oh, tidak. Tidak,” Nyonya Vanderlake menyahut cepat.
“Ini urusan pribadi. Tentang cucu Anda.”
Kate Blackwell pasti akan mengundangnya minum teh.
Minum teh berdua saja. Ia hendak bicara dari hati ke hati
dengannya—antara wanita dengan wanita. Sebaiknya
dimulai dengan persaliabatan hangat.
Kate Blackwell bertanya, “Kenapa cucuku?”
Nyonya Vanderlake tak punya niatan membicarakan
masalah itu lewat telepon. Tapi, Kate Blackwell sama sekali
tak menunjukkan keramahan. Nada suaranya yang kaku
membuat Nyonya Vanderlake tak punya pilihan. “Aku
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
merasa wajib memberitahukan, bahwa beberapa menit
yang lalu kulihat dia bersama Count Alfred Maurier
meninggalkan sebuah hotel. Nampaknya ada apa‐apa di
antara mereka.”
Suara Kate dingin. “Aku sukar mempercayai berita ini.
Cucuku yang mana?”
Nyonya Vanderlake tertawa, tak yakin. “Aku kurang
tahu. Aku tak bisa membedakan mereka. Tapi, adakah yang
bisa? Kurasa—”
“Terima kasih atas informasinya.” Kate menaruh gagang
telepon.
Dia berdiri terpaku di situ, mencema berita yang baru
saja didengamya. Baru kemarin petang mereka makan
malam bersama. Kate sudah kenal Alfred Maurier sejak
lima belas tahun yang lalu. Alfred Maurier bukan tipe lelaki
hidung belang. Berbuat begitu sama sekali bukan sifatnya.
Tapi, lelaki memang sama saja. Semua patut dicurigai.
Kalau Alexandra yang merayunya ke ranjang... Kate
memungut kembali gagang telepon, lalu menyuruh
operator, “Aku ingin disambungkan ke Swiss, Institute
Femwood di Lausanne.”
Ketika Eve pulang petang itu, wajahnya merah ceria oleh
kepuasan. Bukan karena dia senang bermain seks dengan
Count Maurier, tetapi
karena dia menang. Kalau aku bisa mendapatkannya
dengan segampang itu, pikir Eve, siapa saja bisa
kudapatkan. Seluruh dunia bisa kumiliki. Dia berjalan masuk
ke ruang perpustakaan. Di situ ada
Kate.
“Halo, Nek. Bagaimana sehari tadi? Baik‐baik semua,
kan?”
Kate berdiri memperhatikan cucunya yang molek. “Hari
ini kurang baik buatku. Bagaimana dengan kau?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Oh, aku tadi jalan‐jalan. Belanja sedikit. Tak banyak
yang kuinginkan. Nenek sudah membelikan segalanya
buatku. Nenek selalu saja—”
“Coba tutup sebentar pintunya, Eve.”
Ada nada yang membuat Eve merasa tak enak
mendengar suara neneknya. Eve menurut. Ditutupnya
pintu kayu besar di ruangan itu.
“Duduklah.”
“Ada apa sih, Nek?”
“Kau yang mestinya cerita. Sebenamya aku bermaksud
memanggil Alfred Maurier kemari. Tapi, lebih baik tak usah
bikin malu orang di sini.”
Otak Eve mulai sibuk berputar‐putar. Tak masuk akal!
Tidak mungkin ada orang yang tahu apa yang dia dan Alfred
Maurier lakukan. Baru sejam yang lalu Eve berpisah dengan
lelaki itu. “Aku— aku tidak mengerti yang Nenek maksud.”
“Kalau begitu, baiklah. Aku blak‐blakan saja. Siang tadi
kau tidur dengan Count Maurier.”
Air mata membasahi mata Eve. “Oh, aku tadinya
berharap Nenek takkan mendengar tentang kelakuan jelek
lelaki itu, karena dia kawan baik Nenek.” Eve berusaha
keras agar suaranya tak kedengaran berbohong.
“Memalukan. Dia menelepon dan mengundangku makan
siang. Rupanya dia mabuk, dan—”
“Stop!” Suara Kate bagai cambuk diayun. Matanya
memancarkan kebencian tiada tara. “Memalukan kau ini!”
Sejam ini merupakan sejam paling menyakitkan yang
pemah dialami Kate. Dalam sejam itu dia menyadari
kenyataan tentang cucunya. Terdengar lagi olehnya suara
kepala sekolah berkata, Nyonya Blackwell, remaja putri ya
remaja putri. Kalau seorang di antara mereka menjalin
hubungan diamdiam yang tidak menghebohkan, aku takkan
ambil pusing. Tapi, Eve secara terangterangan melayani
siapa saja. Demi nama baik sekolah, terpaksa...
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dan Eve menyalahkan Alexandra.
Kate mulai teringat kecelakaan‐kecelakaan yang lalu.
Kebakaran yang hampir menewaskan Alexandra. Lalu
Alexandra jatuh di tebing. Alexandra terpental dari perahu
layar yang sedang dikemudikan Eve sampai anak itu
hampir tenggelam. Kate teringat akan suara Eve waktu
menceritakan kembali detil “perkosaan” guru bahasa
Inggrisnya: Pak Parkinson bilang dia perlu membicarakan
tugas bahasa Inggrisku. Dia menyuruhku datang ke
rumahnya pada suatu hari Minggu siang. Waktu aku sampai
di sana, dia sedang sendirian di rumah. Katanya, dia
kepingin menunjukkan sesuatu yang ada di kamamya. Aku
mengikuti dia ke atas. Dia memaksaku naik ke tempat tidur,
lalu dia...
Kate teringat pula kejadian di Briarcrest waktu Eve
dituduh menjual ganja. Ketika itu pun Alexandra yang
disalahkan. Bukan Eve memang yang menyalahkan
Alexandra. Tapi, dia justru melindungi adiknya. Itu memang
sudah jadi teknik Eve—jahat, tapi selalu menunjukkan diri‐
nya pahlawan. Oh, dia memang cerdik dan pandai.
Kini Kate mengamati si busuk berwajah molek di
hadapannya. Masa depan kucurahkan semua buatmu.
Kaulah yang kelak mesti mengelola KrugerBrent. Kaulah
yang selalu kusayangi dan menjadi harapanku. Kate lalu
mengatakan, “Pergi dari rumah ini segera. Aku tak mau
melihatmu lagi.”
Wajah gadis itu pucat‐pasi.
“Kau pelacur. Kalau cuma itu, kurasa aku masih bisa
memberikan toleransi. Tapi, bukan cuma itu. Kau
pembohong. Kau tak punya perasaan. Aku tak bisa hidup
dengan pembohong berdarah dingin seperti itu.”
Semuanya itu terjadi cepat sekali. Eve berkata putus asa,
“Nek, kalau Alexandra menceritakan yang tidak‐tidak
tentangku—”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Alexandra tak tahu‐menahu tentang semua ini. Aku
baru bicara panjang‐lebar dengan Nyonya Collins.”
“Cuma gara‐gara itu?” Eve memaksakan nada lega
terdengar dalam suaranya. “Nyonya Collins membenciku
karena—”
Kate mendadak capek. “Sudahlah, Eve. Tak ada gunanya
lagi. Semuanya sudah lewat. Aku sudah panggil
pengacaraku. Kau takkan menjadi ahli warisku.”
Eve merasa dunia runtuh. “Tak mungkin. Bagaimana—
aku hidup nanti?”
“Kau akan mendapat uang saku yang cukup. Mulai
sekarang, kau mesti hidup sendiri. Kau boleh melakukan
apa saja yang kausuka.” Suara Kate tajam. “'Tapi, kalau
sampai kudengar atau kubaca skandal tentang dirimu,
kalau kau sampai mencoreng nama baik keluarga Blackwell
dengan cara apa pun, uang sakumu akan kustop buat
selama‐lamanya. Jelas?”
Eve memandang ke dalam mata neneknya. Dia tahu,
sekali ini tak ada lagi maaf di situ. Berlusin alasan siap
terlontar dari bibimya, tapi, semua mati di situ.
Kate bangkit. Dengan suara gemetar katanya, “Meskipun
kukatakan hal ini, mungkin takkan ada artinya buatmu.
Tapi, ini merupakan hal paling sulit yang mesti kulakukan
dalam hidupku.”
Kate lalu melangkah pergi meninggalkan ruang itu.
Jalannya tegak dan tegap.
Kate duduk di kamar tidumya, sendirian. Lampunya
sengaja dipadamkan. Dia berpikir dan berpikir—mengapa
segalanya jadi salah begini.
Seandainya David tidak tewas, dan Tony sempat tahu
ayahnya...
Kalau Tony tak kepingin jadi pelukis...
Seandainya Marianne masih hidup...
Kalau. Seandainya. Dua kata yang tak ada gunanya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Masa datang merupakan tanah liat. Mesti dibentuk dari
hari ke hari. Tapi, masa lalu merupakan batu padas. Tidak
bisa diapa‐apakan. Semua yang kucintai membuatku
kecewa, Kate berpikir. Tony. Marianne. Eve. Benar yang
diucapkan oleh Sartre: “Neraka itu orang lain.” Entah kapan
pedih di hatinya itu akan hilang.
Sementara Kate diliputi kesedihan yang luar biasa, Eve
dibakar oleh rasa marah. Yang dia lakukan cuma tidur
bersama lelaki satu‐dua jam lamanya, tapi, sikap dan
tindakan neneknya seolah ditujukan pada orang yang telah
berbuat kesalahan fatal yang tak bisa diampuni. Dasar
kolot! Bukan. Bukan kolot! Sinting. Benar. Neneknya sinting.
Eve berjanji hendak mencari pengacara yang bisa bikin
keputusan neneknya mengenai warisan ditertawakan
pengadilan. Ayah dan neneknya sama‐sama tidak waras.
Tak seorang pun bisa membuatnya melepaskan haknya
atas kekayaan keluarga. Kruger‐Brent adalah
perusahaannya. Sudah berapa kali dia mendengar
neneknya mengatakan, bahwa perusahaan itu kelak akan
jadi miliknya. Miliknya dan Alexandra! Selama ini
Alexandra menjelek‐jelekkan dia selalu. Entah kata‐kata
apa saja yang dibisikkan anak itu ke telinga nenek mereka.
Alexandra menginginkan agar perusahaan itu jatuh
padanya sendiri. Yang bikin lebih jengkel, sekarang ini
mungkin justru dia yang akan memperolehnya. Yang terjadi
siang tadi sudah menjengkelkan. Tapi, membayangkan
Alexandra bakal memimpin perusahaan betul‐betul tak
tertahankan. Aku takkan membiarkan itu terjadi, pikir Eve.
Aku akan cari jalan supaya dia tidak akan mendapatkan itu.
Eve menutup kunci kopemya, lalu dia pergi mencari
adiknya.
Alexandra sedang duduk‐duduk membaca di halaman.
Gadis itu mendongakkan kepala ketika tahu Eve datang.
“Alex, aku memutuskan kembali ke New York.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alexandra memandang kakaknya dengan rupa
keheranan. “Sekarang? Nenek punya rencana mengajak kita
berlayar ke pesisir Dalmatian minggu depan. Kau—”
“Siapa sih yang peduli dengan pesisir Dalmatian? Aku
sudah lama berpikir tentang ini. Rasanya, sudah tiba
waktunya aku punya apartemen sendiri.” Eve tersenyum.
“Aku sudah besar. Jadi, aku akan cari apartemen yang
paling nyaman. Kalau kau manis, kau boleh menginap
sesekali.” Nada begini paling cocok, pikir Eve. Ramah, tapi
tidak cengeng. Jangan sampai dia tahu bahwa kau iri
padanya.
Alexandra menatap kakaknya dengan cemas.
“Nenek tahu Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/?”
“Sudah kukatakan kepadanya siang tadi. Nenek semula
tak setuju. Tapi dia akhimya mengerti juga. Aku kepingin
cari pekerjaan. Tapi, Nenek bersikeras memberiku uang
saku.”
Alexandra bertanya, “Kau ingin kuantar?”
Setan belang! Mula‐mula dia bikin sedemikian rupa agar
kakaknya dilempar ke luar dari rumah. Sekarang, dia
berpura‐pura ingin ikut pergi bersamanya. Mengusir Eve
bukan sesuatu yang gampang. Aku akan tunjukkan kepada
mereka semua. Dia bertekad mencari apartemen sendiri—
lalu cari penata ruangan yang hebat buat menata tempat
itu—sesudahnya, dia bebas pergi keluar dan masuk sesuka
hatinya. Dia bisa mengajak lelaki mana saja ke tempatnya
dan bermalam di sana. Sekarang dia betul‐betul bebas
sebebasbebasnya. Bayangan itu menimbulkan gairah di
batin Eve.
Katanya, Kau manis sekali, Alex. Tapi, rasanya aku
kepingin menyendiri beberapa waktu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alexandra mengamati kakaknya. Dia merasa kehilangan.
Baru pertama kali itu mereka akan berpisah. “Tapi, kita
bakal sering bertemu, kan?”
“Tentu saja,” janji Eve. “Sering sekali.”
26
SEKEMBALINYA ke New York, Eve mendaftarkan diri di
sebuah hotel yang letaknya di tengah kota. Dia memang
diinstruksikan begitu. Sejam kemudian, Brad Rogers
menelepon.
“Nenekmu menelepon dari Paris, Eve. Nampaknya
sedang ada ketegangan di antara kalian, ya?”
“Ah, tidak seserius itu,” Eve tertawa. “Biasa. Masalah
kecil keluarga—” Semula dia bemiat hendak menceritakan
sambil membela diri. Mendadak dia menyadari bahayanya.
Mulai saat itu, dia harus sangat berhati‐hati. Selama ini dia
tak pemah memikirkan uang. Uang selalu ada. Sekarang
uang menjadi masalah utamanya. Dia tak tahu berapa
banyak uang saku yang bakal dia terima. Sekali ini Eve
merasa kuatir.
“Dia sudah mengatakan padamu, bahwa dia mengubah
surat wasiatnya?” Brad bertanya.
“Betul. Nenek memang menyebut‐nyebut masalah itu.”
Eve memutuskan buat bersikap biasa‐biasa saja.
“Kurasa, sebaiknya ini kita bicarakan bersama.
Bagaimana kalau kita ketemu Senin jam tiga?”
“Baik juga, Brad.”
“Di kantorku. Oke?”
“Aku akan datang.”
***
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jam tiga kurang lima menit, Eve memasuki gedung
Kruger‐Brent, Ltd. Dia disapa dengan khusus oleh penjaga
keamanan, petugas lift, dan bahkan operatomya. Semua
orang tahu aku, pikir Eve. Aku keturunan Blackwell. Lift
membawanya ke lantai eksekutif. Beberapa saat kemudian
Eve sudah duduk di ruang kerja Brad Rogers.
Brad kaget luar biasa ketika Kate meneleponnya dan
mengatakan hendak menarik kembali surat wasiatnya yang
menyatakan Eve sebagai ahli waris. Soalnya, Brad tahu
betul betapa sayangnya Kate pada cucunya yang satu ini.
Dia tahu persis semua rencana yang telah dibuat Kate
untuk anak ini. Brad sama sekali tak mengerti apa yang
terjadi hingga Kate bisa mengambil keputusan seperti itu.
Memang semuanya itu bukan urusannya. Kalau Kate bemiat
membicarakan hal itu dengannya, tentu dia akan
membicarakannya. Tugasnya adalah melaksanakan
perintah perempuan tua itu. Sejenak Brad merasa kasihan
pada perempuan muda cantik di mukanya. Usia Kate tak
jauh berbeda dengan Eve sekarang ini ketika Brad
mula‐mula sekali bertemu dengannya. Dia sendiri pun
masih muda belia waktu itu. Sekarang dia sudah tua.
Rambutnya sudah putih. Walau begitu, masih ada harapan
dalam hatinya, bahwa kelak pada suatu hari Kate Blackwell
akan menyadari bahwa di dunia ini ada seseorang yang
teramat mencintainya.
Katanya kepada Eve, “Ada beberapa surat yang mesti
kautandatangani. Bacalah dulu, lalu—”
“Tak usah.”
“Eve, kau mesti tahu persis isinya.” Brad mulai
menjelaskan. “Surat wasiat nenekmu menyebutkan, bahwa
kau berhak atas dana tersimpan yang saat ini nilainya
melebihi lima juta dollar. Nenekmu merupakan penyimpan
dan pengelola dana tersebut sekarang ini. Menurut
hematnya, uang itu boleh dibayarkan kepadamu kapan saja
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kalau usiamu di antara dua puluh satu dan tiga puluh lima.”
Brad mendehem. “Nenekmu memilih menyerahkan uang
itu kepadamu sesudah kau mencapai usia tiga puluh lima.”
Wajah Eve serasa ditampar.
“Mulai hari ini kau akan mendapat uang saku mingguan.
Besamya dua ratus lima puluh dollar.”
Tak masuk akal! Sebuah gaun sopan saja harganya jauh
lebih dari itu. Tak mungkin dia bisa hidup dengan uang
cuma 250 dollar seminggu. Semua ini dilakukan neneknya
buat mempermalukan dia. Laki‐laki tua ini jangan‐jangan
sekongkol dengan neneknya. Dia duduk di situ dengan
perasaan senang—diam‐diam menertawakannya. Ingin
rasanya Eve mengambil pemberat kertas di meja dan
melemparkan benda itu ke wajah Brad Rogers. Hampir
terasa olehnya tulang remuk di tangannya.
Brad melanjutkan, “Kau tidak diperbolehkan
menggunakan kartu kredit—pribadi maupun bukan, dan
tidak diperkenankan menggunakan nama Blackwell di toko
mana pun. Segala sesuatu yang kaubeli harus kaubayar dari
uang saku itu.”
Mimpi itu semakin buruk saja.
“Selanjutnya, kalau sampai ada gosip yang dihubungkan
dengan namamu di koran atau majalah mana pun—lokal
atau impor—uang saku iningguanmu akan dihentikan.
Jelas?”
“Ya.” Suaranya tak lebih dari bisikan.
“Kau dan adikmu Alexandra akan mendapat santunan
asuransi sebesar lima juta dollar seorang bila nenekmu
meninggal. Tapi, polis atas namamu dibatalkan pagi tadi.
Pada akhir tahun pertama,” lanjut Brad, “kalau nenekmu
puas akan tingkah lakumu, uang saku mingguanmu akan
dinaikkan dua kali lipat.” Dia ragu sejenak. “Ini persyaratan
yang terakhir.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Nenek betulbetul kepingin menggantungku di muka
umum. “Ya?”
Brad Rogers nampak tak enak. “Nenekmu tak mau
ketemu kau lagi, Eve.”
Tapi aku kepingin ketemu kau sekali lagi, Nek. Aku ingin
menyaksikan kau mati susah.
Suara Brad Rogers menembus otak Eve. “Kalau kau
punya masalah, kau diminta meneleponku. Nenekmu tak
menghendaki kau datang ke gedung ini lagi, atau
mengunjungi rumah keluarga yang ada di mana pun.”
Brad berusaha mencegah Kate menaruh kondisi seperti
itu. “Astaga, Kate! Dia kan cucumu. Darah dagingmu sendiri.
Kau memperlakukannya seperti orang sakit kusta.”
“Dia memang penderita kusta.”
Pembicaraan terputus di situ.
Kini Brad berkata kagok, “Kurasa, semuanya sudah
kujelaskan. Ada pertanyaan, Eve?”
“Tidak.” Dia masih terperangah.
“Kalau begitu, tanda‐tangani surat‐surat ini…”
Sepuluh menit kemudian, Eve sudah berada di jalan lagi.
Ada cek senilai 250 dollar di tasnya,
***
Esok paginya, Eve menelepon agen perumahan dan
mulai mencari apartemen. Dalam fantasinya, dia
membayangkan hendak memilih satu apartemen cantik
menghadap Central Park, ruangan‐ruangannya diperaboti
dengan perabot modem wama putih, terasnya luas dan bisa
dipakai menjamu tamu. Kenyataan yang dihadapi bagai
tamparan yang mengejutkan. Takkan ada apartemen prima
di Park Avenue yang tersedia buat seseorang
berpenghasilan 250 dollar seminggu. Yang bisa dijangkau
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
hanyalah sebuah apartemen studio beruang tunggal dengan
perabot sangat sederhana, dengan dapur mungil dan kamar
mandi sempit.
“Ini yang terbaik?” tanya Eve.
“Tentu saja tidak,” agen itu menjawab. “Kami juga bisa
menyediakan rumah berkamar dua puluh di Sutton Place
dengan sewa setengah juta dollar setahun ditambah biaya
perawatan.”
Sialan! pikir Eve.
Rasa putus asa belum betul‐betul menghantam Eve
sampai keesokan harinya, ketika dia pindah. Apartemen
sempit itu tak lain dari penjara buatnya. Ruang berbusana
yang dia miliki di rumah luasnya sama dengan seluruh
apartemen ini. Dia membayangkan Alexandra sedang
bersenang‐senang di rumah besar mewah di Fifth Avenue.
Ya Allah, mengapa sih Alexandra tak mati terbakar saja?
Padahal, ketika itu sudab hampir! Seandainya Alexandra
mati waktu itu dan Eve merupakan satu‐satunya ahli waris,
tentu tak begini jadinya. Neneknya tak bakal berani mena‐
rik kembali surat wasiatnya.
Tapi, kalau Kate Blackwell mengira Eve mau begitu saja
melepaskan asal‐usulnya, itu namanya dia tak kenal
cucunya. Eve tak punya niatan mencoba hidup dengan 250
dollar seminggu. Ada lima juta dollar menganggur di bank
yang sebenamya merupakan haknya. Pasti ada jalan buat
mengambil uang itu. Aku akan cari jalannya sampai ketemu.
Pemecahannya datang keesokan harinya.
“Bisa kubantu, Nona Blackwell?” Alvin Seagram bertanya
penuh hormat. Dia adalah vice president National Union
Bank. Lelaki itu siap melakukan apa saja. Rejeki apa pula
yang membawa perempuan cantik ini menemuinya?
Mujurkah nasibnya? Kalau dia berhasil menjadikan Kruger‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Brent sebagai pelanggan, karimya bisa melejit dalam tempo
singkat.
“Ada uang yang disimpan atas namaku,” jelas Eve. “Lima
juta dollar. Karena suatu sebab, uang itu takkan dibayarkan
kepadaku sampai usiaku tiga puluh lima tahun.” Eve
tersenyum jujur. “Itu masih lama sekali.”
“Tentu saja, kalau melihat umurmu sekarang,” bankir itu
tersenyum. “Kau sekarang sembilan belas tahun?”
“Dua puluh satu.”
“Dan cantik sekali, kalau boleh kutambahkan, Nona
Blackwell.”
Eve tersenyum malu‐malu. “Terima kasih, Tuan
Seagram.” Rupanya lebih gampang dari yang dia duga.
Lelaki itu dungu.
Alvin Seagram merasa ada kecocokan di antara mereka.
Dia menyukaiku. “Katakan, bantuan apa yang Anda
harapkan dari perusahaan kami?”
“Aku berpikir, apakah mungkin aku meminjam uang dari
sini dengan jaminan dana yang kusebutkan tadi.
Masalahnya, saat ini aku sangat butuh uang itu. Kelak
mungkin aku takkan membutuhkannya seperti ini. Aku
telah bertunangan. Hampir kawin. Tunanganku insinyur
sipil. Dia bekerja di Israel. Baru tiga tahun lagi kembali ke
sini.”
Alvin Seagram menunjukkan simpati. “Aku bisa
mengerti.” jantungnya berdegup liar. Tentu saja
permintaannya itu bisa dikabulkan. Bukan merupakan
ketidakwajaran mencairkan dana bank dengan jaminan
seperti itu. Kalau dia berhasil memuaskan perempuan
muda ini, pasti dia akan merekomendasi keluarga
Blackwell lainnya untuk menggunakan jasa banknya. Dan,
mereka semua akan dia puaskan juga. Sesudahnya, takkan
ada lagi rintangan di jalannya. Dia akan menjadi dewan
pimpinan National Union. Siapa tahu suatu hari kelak dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bahkan bisa jadi pucuk pimpinannya. Dan, semuanya itu
bisa dia peroleh lewat si cantik di mukanya.
“Tak ada masalah sama sekali,” Alvin Seagram
meyakinkan Eve. “Itu transaksi sederhana. Tentunya Anda
mengerti, bahwa kami takkan bisa memberikan jaminan
sebesar dana itu sendiri, bukan? Yang jelas, kami bisa
memberikan jaminan—katakan—sejuta dollar dengan
sangat cepat. Cukup?”
“Cukup sekali,” kata Eve, berusaha agar tidak terlalu
tampak kegirangan.
“Baiklah. Bisa Anda berikan detil tentang dana tersimpan
yang Anda maksudkan...” Alvin Seagram mengambil pena.
“Hubungi saja Brad Rogers di Kruger‐Brent. Dia bisa
memberikan informasi lengkap yang Anda butuhkan.”
“Baiklah. Kutelepon dia segera.”
Eve bangkit. “Berapa lama aku mesti menunggu ?”
“Yah, satu‐dua harilah. Biar kuurus sendiri yang satu ini.”
Eve menyodorkan tangan yang putih mulus dan indah.
“'Anda sangat baik.”
Pada saat Eve keluar dari kantomyap Alvin Seagram
sudah menelepon Kruger‐Brent. “Tolong sambungkan aku
dengan Tuan Brad Rogers di Kruger‐Brent, Limited.” Nama
itu membuatnya merinding.
Dua hari berikutnya, Eve kembali ke bank. Dia
dipersilakan masuk ke ruang kerja Alvin Seagram. Yang
mula‐mula diucapkan lelaki itu, “Maaf. Kurasa, kami tak
bisa menolong Anda, Nona Blackwell.”
Eve tak percaya akan berita yang didengamya. “Aku tak
mengerti. Anda tempo hari mengatakan masalahnya
gampang. Sekarang—”
“Maaf. Waktu itu aku belum mempunyai semua data
yang diperlukan,”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alvin Seagram ingat betul pembicaraannya dengan Brad
Rogers. “'Betul. Memang ada dana yang diwalikan atas
nama Eve Blackwell. Anda boleh saja mencairkan dana
yang diminta olehnya. Tapi, Anda perlu ingat, Kate
Blackwell bakal memandang tindakan semacam itu sebagai
tindakan yang tak menyenangkan buatnya.”
Tak perlu lagi Brad Rogers memperinci tentang
konskuensinya. Kruger‐Brent punya kenalan penting di
mana‐mana. Kalau kenalan‐kenalan mereka mulai menarik
uang mereka dari National Union, Alvin Seagram tak perlu
menduga lagi apa yang akan terjadi pada karimya.
“Maaf,” ulangnya pada Eve. “Aku tak bisa beribuat
apa‐apa.”
Eve memandangnya. Frustrasi. Tapi, dia tak mau
membiarkan lelaki itu tahu betapa hebat pukulan yang dia
rasakan. “Terimakasih atas kerepotan Anda. Di New York
masih banyak bank lain. Selamat siang.”
“Nona Blackwell,” ujar Alvin Seagram, “takkan ada satu
pun bank di dunia ini yang mau memberi pinjaman dengan
jaminan dana itu.”
Alexandra keheranan. Dulu, neneknya terang‐terangan
memperlihatkan bahwa Eve yang lebih dia sukai. Sekarang,
mendadak segalanya berubah. Dia tahu bahwa ada cekcok
hebat antara Eve dan Kate. Tapi, dia tak tahu persis tentang
apa.
Setiap kali Alexandra mencoba membicarakan masalah
itu, selalu saja neneknya berkata, “'Tak ada yang perlu
dibicarakan. Eve sudah memilih jalan hidupnya sendiri.”
Dari Eve pun, Alexandra tak pemah mendapat informasi.
Kate Blackwell mulai sering menghabiskan waktu
bersama Alexandra. Alexandra tergugah. Nenek bukan saja
memperhatikannya, tetapi juga menjadikannya bagian
penting dari hidupnya. Neneknya seolah baru melihatnya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
buat pertama kali. Alexandra sering merasa dinilai oleh
neneknya.
Kate memang sedang melihat cucunya buat pertama kali.
Karena pemah tertipu, kali ini dia sangat berhati‐hati dalam
menilai saudara kembar Eve. Setiap ada waktu yang bisa
disisihkan, dia selalu menghabiskannya bersama
Alexandra. Banyak yang dia tanyakan. Jawaban cucunya
didengarkan dengan sungguh‐sungguh. Pada akhimya dia
merasa puas.
Mengenal Alexandra bukanlah hal yang gampang. Anak
itu sangat tertutup. Jauh lebih tertutup dibanding Eve.
Alexandra cerdas. Kepolosan yang dikombinasi dengan
kecantikannys membuat anak itu patut disayang. Dia
mendapat beribu‐ribu undangan pesta, santap malam, dan
menonton. Kalau dulu dia bebas memilih yang mana yang
dia terima, kini Kate yang menentukan. Pengundang yang
cuma kaya tidaklah cukup. Yang dicari oleh Kate adalah
lelaki yang mampu membantu Alexandra menjalankan
dinasti Kate. Walau begitu, sedikit pun hal itu tak pemah
dia ucapkan kepada Alexandra. Masih cukup banyak waktu
buat mencari lelaki yang cocok buat cucunya. Sesekali, jika
dia sukar tidur, Kate masih memikirkan Eve.
Eve baik‐baik saja. Episode dengan neneknya sangat
menggores egonya. Demikian tergoresnya, hingga dia lupa
satu hal yang paling penting: dia lupa, bahwa dia punya
daya tarik yang luar biasa buat lelaki. Pada pesta pertama
yang dia hadiri setelah pindah ke apartemennya, enam
lelaki diberi nomor teleponnya—empat di antara mereka
sudah kawin—dan dalam dua puluh empat jam saja, dia
sudah dihubungi oleh keenamnya. Sejak hari itu Eve tahu,
dia tak perlu kuatir tentang uang. Eve dihujani berbagai
hadiah: perhiasan mahal, lukisan, dan sering juga uang
tunai.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku baru saja memesan bufet baru. Uang sakuku belum
kuterima. Boleh kan, Sayang?”
Tak seorang pun berkeberatan.
Jika muncul di tempat umum, Eve hanya mau ditemani
oleh yang masih bujangan. Mereka yang sudah kawin cuma
dia temui di apartemennya Pada siang hari. Eve sangat
berhati‐hati. Dia berusaha agar namanya tak sampai
disebut‐sebut di kolom gosip surat kabar mana pun. Bukan
karena takut uang sakunya dihentikan. Eve mengharapkan
dan merasa yakin, bahwa kelak neneknya akan datang
merayap memintanya kembali. Kate Blackwell
membutuhkan seorang ahli waris yang bisa mengambil alih
kendali Kruger‐Brent. Alexandra tak berbakat jadi apa pun
selain ibu rumah tangga yang dungu, pikir Eve.
Suatu siang, ketika sedang membuka‐buka majalah
terbaru Town and Country, Eve melihat potret Alexandra
sedang berdansa dengan seorang lelaki keren. Eve bukan
melihat Alexandra. Dia melihat lelaki itu. Menyadari, bahwa
kalau Alexandra kawin dan beranak lelaki, habislah segala
cita‐cita dan rencananya.
Lama sekali dia menatap potret itu.
Setahun ini, Alexandra sering menelepon Eve, mengajak
makan bersama. Tapi, Eve selalu menolak dengan berbagai
alasan. Sekarang Eve merasa sudah tiba waktunya buat
mengobrol dengan adiknya. Dia mengundang Alexandra ke
apartemennya.
Alexandra belum pemah melihat apartemen kakaknya.
Eve takut dikasihani. Tapi, Alexandra cuma mengatakan,
“Enak, Eve. Santai sekali.”
Eve tersenyum. “Suasana begini cocok buatku. Aku
senang lingkungan yang intim.” Dia sudah punya cukup
banyak perhiasan yang bisa dijual buat pindah ke
apartemen yang bagus. Tapi, nanti Kate mendengar dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mau tahu dari mana dia dapat uang. Untuk sementara dia
perlu berhati‐hati.
“Bagaimana Nenek?” tanya Eve.
“Baik‐baik,” Alexandra ragu. “Aku tak mengerti ada apa
di antara kalian. Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan
buat membantu— “
Eve mengeluh. “Jadi, Nenek tidak menceritakan
kepadamu?”
“Tidak. Dia sama sekali tak mau membicarakan kau.”
“Aku tak menyalahkan Nenek. Mungkin perempuan tua
itu merasa bersalah. Aku ketemu dokter muda ganteng.
Kami punya rencana kawin. Nenek tahu. Dia lalu
mengusirku dari rumahnya dan bilang tak mau melihatku
lagi. Kurasa nenek kita itu terlalu kolot, Alex.”
Eve memperhatikan kesedihan yang muncul pada wajah
saudara kembamya. “Kasihan amat! Kalian berdua mesti
menemui Nenek. Pasti dia— “
“Sayangnya, dia tewas dalam kecelakaan pesawat.”
“Oh, Eve! Mengapa kau tak pemah menceritakan ini
kepadaku?”
“Aku malu memberi tahu siapa pun. Termasuk kau.” Eve
meremas tangan saudara kembamya. “Padahal, aku selalu
menceritakan segalanya kepadamu.”
“Kalau begitu, biar aku bicara dengan Nenek. Akan
kujelaskan‐“
“Jangan! Aku punya harga diri. Kau mesti berjanji takkan
membicarakannya dengan Nenek. Jangan pemah
menyebut‐nyebut ini padanya, Alex!”
“Tapi, aku yakin Nenek bakal— “
“Janji!”
Alexandra mengeluh. “Baiklah.”
“Percayalah. Aku bahagia di sini. Bisa pergi dan datang
semauku. Bebas. Enak.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alexandra memperhatikan kakaknya. Betapa kangen dia
pada Eve.
Eve merangkul Alexandra dan mulai menggoda. “Nah,
sekarang cukup tentangku. Bagaimana dengan kau sendiri?
Sudah ketemu Pangeran Idaman? Pasti sudah!”
“Belum.”
Eve menatap adiknya. Persis seperti bayangan dirinya di
cermin. Dia mendadak punya keinginan merusakkan wajah
itu. “Pasti, Sayang!”
“Aku tak buru‐buru. Aku kepingin bekerja. Sudah
kubicarakan dengan Nenek. Minggu depan aku punya janji
ketemu kepala sebuah agen iklan—melamar pekerjaan.”
Mereka makan bersama di kedai kecil dekat apartemen
Eve. Eve bersikeras membayar. Dia tak mau menerima apa
pun dari adiknya.
Ketika hendak berpisah, Alexandra berkata,
“Eve, kalau kau perlu uang— “
“Jangan! Aku sudah punya lebih dari cukup.”
Alexandra ngotot. “Pokoknya, kalau kau sampai
kekurangan, ambil saja semua yang kupunyai.”
Eve menatap mata Alexandra. Katanya, “Terima kasih,
Alex.” Dia tersenyum. “Tapi, aku betul‐betul tak perlu
apa‐apa.” Eve tak mau dapat remah‐remah. Yang dia
inginkan kuenya yang utuh. Masalahnya cuma: bagaimana
caranya mendapatkan kue itu?
Ada pesta akhir pekan di Nassau.
“Beda rasanya tak ada kau di sana, Eve. Semua kawanmu
bakal hadir.”
Yang menelepon Nita Ludwig, sobat Eve di sekolahnya di
Swiss dulu.
Dia bakal ketemu lelaki‐lelaki baru. Yang sekarang ini
semuanya menjengkelkan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Asyik juga kedengarannya Ebook by : Hendri Kho by
Dewi KZ http://kangzusi.com/,” sahut Eve. “Aku pasti
datang.”
Siang itu Eve menggadaikan gelang bermata zamrud
hadiah seorang pimpinan perusahaan asuransi yang
tergila‐gila padanya walau sudah beristri dan beranak tiga.
Lalu dia membeli gaun musim panas keren dari Lord &
Taylor, dan membeli tiket pesawat pulang‐pergi ke Nassau.
Esok harinya Eve sudah menumpang pesawat.
Bungalow keluarga Ludwig sangat luas. Letaknya di
pantai. Rumah utamanya punya tiga puluh kamar. Yang
paling kecil saja luasnya lebih dari seluruh apartemen yang
ditinggali Eve sekarang. Eve ditemani seorang pelayan
berseragam menuju ke kamamya. Pelayan itu membongkar
koper dan menggantung gaun‐gaun Eve sementara Eve
mencuci muka. Lalu dia turun menemui tamu‐tamu lainnya.
Ada enam belas orang di ruang tengah. Mereka semua
punya satu persamaan: kaya. Nita Ludwig punya satu
kepercayaan. Orang bisa merasa senang bersama‐sama
kalau punya persamaan. Mereka sama‐sama pernah
mengecap pendidikan di sekolah paling beken, rumah
mewah, kapal pesiar, pesawat jet pribadi, dan masalah
pajak. Itu sebabnya mereka bisa berkomunikasi dengan
enak. Bahasa mereka sama. Para kolumnis surat kabar
menjuluki mereka “jet set”. Di muka umum, mereka
mencemooh julukan itu. Namun, dalam hati mereka senang.
Mereka orang‐orang terpilih—orang‐orang yang
dipisahkan dari manusia lainnya oleh dewa pembawa
perbedaan. Biarkan orang lain berkeyakinan bahwa uang
tak bisa membeli segalanya. Orang‐orang ini tahu betul
yang sebenamya. Uang bisa membeli keindahan, cinta,
kemewahan, dan tempat di surga.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Oleh neneknya Eve dipisahkan dengan semua itu. Dasar
nenek kolot! Tapi, perpisahannya dengan semua itu bukan
buat selamanya, pikir Eve.
Eve masuk ke sana. Mendadak obrolan terhenti waktu
Eve melangkah masuk. Di ruangan yang dipenuhi
perempuan cantik itu, dialah yang paling cantik. Nita
menemani Eve berkeliling dan memperkenalkannya
dengan semuanya yang belum dikenal. Eve sangat cantik
dan menyenangkan. Dia menatap semua lelaki dengan
penuh pengetahuan. Matanya bekerja cepat menentukan
obyek yang dijadikan target. Kebanyakan lelaki yang sudah
berumur sudah beristri. Tapi, justru Itu yang bikin
gampang.
Seorang lelaki botak mengenakan celana wol
kotak‐kotak dengan hem kaus model Hawai menghampiri
dia. “Pasti kau sudah capek dengar orang menyanjung
kecantikanmu, Sayang.”
Eve menghadiahi lelaki itu sebuah senyum hangat. “Aku
tak pernah merasa capek mendengamya, Tuan—?”
“Peterson. Panggil saja aku Dan. Pasti kau bintang dari
Hollywood.”
“Rasanya aku tak punya bakat akting.”
“Tapi, pasti punya bakat lainnya.”
Eve tersenyum berteka‐teki. “Kau takkan tahu sampai
mencobanya sendiri. Ya kan, Dan?”
Lelaki itu membasahi bibir dengan lidahnya.
“Kau di sini sendirian?”
“Ya.”
“Kapal pesiarku berlabuh di teluk. Mau berlayar
bersamaku besok?”
“Asyik sekali,” ucap Eve.
Lelaki itu menyeringai. “Heran, kita belum pernah
ketemu selama ini. Padahal, aku sudah lama kenal
nenekmu, Kate.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Senyum Eve masih tertinggal di wajahnya. Tapi, itu
berkat usaha kerasnya. “Oh, Nenek sayang,” ujamya, “Kita
ngobrol dengan yang lain, yuk.”
“Tentu, Manis.” Lelaki itu mengedipkan mata.
“Jangan lupa besok, ya.”
***
Sejak saat itu, Dan tak berhasil mendapatkan Eve sendiri
lagi. Pada waktu makan siang, Eve menghindarinya.
Sesudahnya, Eve meminjam mobil dan pergi ke kota. Dia
melewati Blackbeard's Tower dan Taman Ardastra yang
indah. Di situ sekelompok burung flamingo warna‐warni
sedang berparade. Eve berhenti dekat pantai,
memperhatikan perahu nelayan sedang membongkar hasil
tangkapan berupa penyu raksasa, lobster besar‐besar,
ikan‐ikan tropis dan kerang warna‐warni yang bila dipoles
bakal jadi komoditi laku buat para turis.
Air di teluk itu tenang, berkilau‐kilau seperti berlian. Di
seberang sana, tampak oleh Eve lengkung sabit pantai
Pulau Paradise. Sebuah perahu motor sedang
meninggalkan pantai. Kecepatanya makin lama makin
tinggi. Mendadak nampak sosok tubuh seorang lelaki
terlempar tinggi ke langit dari belakang perahu motor tadi.
Pemandangannya sangat mengagetkan. Kelihatannya lelaki
itu berpegang pada sebatang logam yang dikaitkan pada
sebuah layar biru. Tubuhnya yang ramping diterpa angin.
Eve memandang takjub sementara perahu motor menderu
menuju dermaga. Makin lama, sosok tubuh tadi makin
terlihat jelas mendekat. Perahu motor itu mendekati
dermaga, lalu membelok tajam. Sekilas Eve melihat
tampang ganteng lelaki itu, sekejap kemudian dia sudah
menghilang.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lelaki itu melangkah masuk ke ruang tengah bungalow
Nita Ludwig kira‐kira lima jam kemudian. Eve merasa pasti
dia bakal muncul di sana. Dari dekat, dia jauh lebih
mempesona. Tingginya lebih dari enam kaki. Tubuhnya
ramping atletis dengan bentuk tulang wajah yang sempuma
dan kulit kecoklatan. Matanya hitam. Ketika tersenyum,
giginya terlihat berderet rapi dan putih. Dia tersenyum
pada Eve waktu Nita memperkenalkan mereka.
“Ini George Mellis. Eve Blackwell.”
“Astaga, kau cantik,” ujar George Mellis. Suaranya dalam
dan serak. Aksennya tak jelas.
“Ayo,” ajak Nita. “Kukenalkan kau pada tamu lainnya.”
George Mellis melambaikan tangan. “Tak perIu. Aku
sudah ketemu semuanya.”
Nita memperhatikan kedua temannya sejenak. “Baiklah.
Kalau butuh sesuatu, panggil saja aku,” katanya seraya
pergi.
“Kau kurang sopan,” ucap Eve.
Dia meringis. “Kata‐kata dan kelakuanku memang tak
bisa dipertanggungjawabkan kalau aku sedang jatuh cinta.”
Eve tertawa.
“Aku serius. Kau perempuan paling cantik yang pernah
kujumpai.”
“He, aku pun sedang berpikir sama tentang kau.”
Eve tak peduli apakah lelaki itu punya uang atau tidak.
Dia terpesona olehnya. Bukan cuma wajahnya yang
memikat. Ada semacam magnet, semacam tenaga dalam
yang membangkitkan gairah Eve. Belum pernah ia
terpengaruh seperti ini oleh seorang lelaki. “Siapa kau?”
tanya Eve.
“Nita sudah mengatakan. George Mellis.”
“Ya. Tapi, siapa kau?” ulangnya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Oh, maksudmu aku yang sebenamya? Ah, tak banyak
menarik. Aku berasal dari Yunani. Keluargaku punya
perkebunan buah zaitun.”
Oh, betul Mellis itu! Macam‐macam makanan bermerek
dagang Mellis dijual di setiap toko dan supermarket di
Amerika.
“Sudah kawin?” tanya Eve.
Dia menyeringai. “Kau memang selalu langsung begini,
ya?”
“Tidak.”
“Aku belum kawin.”
Jawaban itu membuat Eve merasa lega dan senang.
Melihatnya saja, Eve kepingin memiliki dan dimiliki lelaki
itu. “Kenapa tak muncul makan malam semalam?”
“Ingin tahu yang sebenarnya?”
“Ya.”
“Sangat pribadi—ini.”
Eve menunggu.
“Aku sibuk membujuk seorang gadis agar tak bunuh
diri.” Cara bicaranya biasa‐biasa saja. Seolah kejadian
seperti itu lumrah terjadi.
“Kau berhasil?”
“Mudah‐mudahan kau bukan tipe gadis yang suka
mencoba bunuh diri.”
“Bukan. Mudah‐mudahan kau juga bukan.”
Tawa George Mellis meledak. “Aku cinta kau,” ucapnya.
“Aku betul‐betul suka padamu.” Dia meraih lengan Eve.
Sentuhannya membuat Eve menggigil.
Sepanjang sore dan petang itu, George Mellis tak
lepas‐lepas dari sisi Eve. Dia sangat memperhatikan Eve
dan tak peduli akan kehadiran orang lain. Jarinya
panjang‐panjang dan lembut—tak henti‐hentinya
melakukan sesuatu buat Eve: membawakan minuman,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyalakan rokok, membelainya. Berada dekat dengannya
menyalakan api dalam tubuh Eve. Dia tak sabar, ingin
cepat‐cepat berdua saja dengannya.
Lepas tengah malam, waktu para tamu mulai pamitan
hendak tidur, George Mellis bertanya, “Kamarmu yang
mana?”
“Di ujung beranda sebelah utara.”
George Mellis mengangguk. Matanya yang berbulu lentik
menatap tajam mata Eve.
Eve melepas pakaian, lalu mandi dan mengenakan gaun
tidur warna hitam yang baru saja dibelinya sebelum datang
ke Nassau. Pada jam satu, pintunya diketuk pelan. Eve
buru‐buru membukakan. George Mellis masuk.
Lelaki itu berdiri. Matanya menyorotkan pandang penuh
kekaguman. “Matia mou, kau bikin Venus de Milo bukan
apa‐apa.”
“Aku lebih beruntung dari dia,” bisik Eve. “Tanganku ada
dua.”
Eve merangkul George Mellis dan merapatkan lelaki itu
pada tubuhnya. Kecup George meledakkan sesuatu dalam
dirinya. Bibirnya mencengkeram bibir Eve, sementara
lidahnya menjalari semua bagian tubuhnya.
“Oh, Tuhan!” Eve mengeluh.
George Mellis mulai melepas jaketnya. Eve menolongnya.
Dalam waktu singkat, dia sudah terbebas dari celana dan
celana dalamnya. Lelaki itu berdiri tanpa busana di muka
Eve. Tubuhnya sangat mempesona. Eve belum pernah
melihat lelaki begitu tampan dan perkasa.
“Cepat,” ujar Eve sambil bergerak ke tempat tidur.
Tubuhnya panas oleh bara di dalamnya.
George Mellis memberi perintah, “Balik.”
Eve kaget. Dia menengadah pada George.
“Aku—aku tidak‐“
Mendadak mulutnya ditinju. Eve bengong dan kaget.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Balik!”
“Tidak.”
Sekali lagi dia ditampar. Kali ini lebih keras. Eve pusing,
matanya berkunang‐kunang.
“Oh, jangan begitu.”
Lagi‐lagi dia ditampar tanpa ampun. Eve merasakan
tangan George yang perkasa membalik tubuhnya hingga
menungging.
“Jangan,” Eve terengah, “hentikan ini! Kalau tidak, aku
teriak nanti.”
George Mellis mengayunkan tangannya ke belakang
leher Eve. Dan Eve pun kehilangan kesadaran. Antara sadar
dan tidak, Eve merasakan sakit yang luar biasa. Dia
membuka mulut hendak berteriak. Tapi, dia menahan diri,
karena takut George berbuat yang lebih bengis kalau
mendengar teriakannya.
Eve meratap. “Oh, sakit sekali…”
Dia mencoba menarik diri dari lelaki itu. Tapi George
memegangi panggulnya erat‐erat. Sakitnya tak tertahankan.
“Ya, Tuhan, jangan!” bisiknya. “Hentikan itu! Hentikan!”
George Mellis tak peduli. Yang terakhir diingat Eve dia
mendengar George mengerang keras dekat telinganya.
Waktu dia tersadar, George Mellis sedang duduk di kursi.
Dia sudah berpakaian lengkap dan sedang merokok. Lelaki
itu bangkit menghampiri Eve dan mengelus‐elus dahinya.
Eve ngeri disentuh dia.
“Bagaimana rasanya, Sayang?”
Eve mencoba duduk. Tapi, terlalu sakit. Rasanya dia
seperti baru dicabik‐cabik. “Kau binatang buas....” Suaranya
seperti bisikan pecah.
Dia tertawa. “Aku memperlakukanmu dengan lembut.”
Eve memandangnya tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. “Kadang‐kadang aku bisa kasar
sekali.” Dia membelai rambut Eve lagi. “Tapi, karena aku
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sayang padamu, kucoba untuk melakukannya dengan
baik‐baik. Kau pasti akan terbiasa, Hreeseemoo. Aku
berjanji.”
Seandainya ada senjata di dekatnya waktu itu, ingin
rasanya Eve membunuh lelaki itu. “Kau sinting!”
Terlihat olehnya kilat di mata George Mellis. Tampak
pula lelaki itu mengepalkan tinjunya. Pada saat itu Eve
bagai disambar petir. Lelaki itu memang sinting.
Cepat dia berkata, “Aku cuma bercanda.
Soalnya—aku belum pernah mengalami yang seperti ini.
Biarkan aku tidur sekarang.”
George Mellis memandanginya lama sekali. Lalu dia
mulai santai lagi. Dia bangkit dan melangkah ke meja rias
tempat Eve menaruh perhiasannya. Ada gelang platina dan
kalung berlian mahal tergeletak di situ. George meraup
kalungnya, memeriksa, dan memasukkan ke dalam
sakunya. “Kusimpan sebagai kenang‐kenangan.”
Eve tak berani memprotes.
“Selamat malam, Sayang.” George Mellis kembali
mendekati ranjang, membungkuk dan mencium Eve
dengan lembut pada bibirnya.
Eve menunggu sampai dia pergi. Lalu dia merayap turun
dari tempat tidur. Tubuhnya sakit bukan main. Setiap
langkah membuatnya merasa ditusuk‐tusuk. Eve mengunci
pintu kamarnya dari dalam. Baru sesudah itu, dia merasa
aman. Rasanya dia tak kuat berjalan ke kamar mandi.
Karenanya, dia kembali ke tempat tidur, membiarkan
sakitnya berkurang. Rasanya sukar mempercayai yang baru
saja dia alami. Lelaki itu memperkosa dirinya dengan kasar
dan brutal. Entah apa yang dilakukan lelaki itu pada gadis
yang katanya hendak bunuh diri itu.
Ketika akhirnya Eve bisa menyeret tubuhnya ke kamar
mandi dan berkaca di sana, dia panik. Wajahnya lecet dan
bengkak di tempat George Mellis mengayunkan tinjunya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sebelah matanya begitu bengkak sampai seperti menutup.
Eve mengisi bak mandi dengan air panas. Dia lalu merayap
masuk seperti binatang kesakitan. Lama dia berendam,
membiarkan air mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
Ketika dia mulai dingin, dia bangkit dan melangkah.
Sakitnya sudah berkurang, tetapi nyerinya masih terasa,
Eve berbaring sepanjang malam sambil merasa takut kalau‐
kalau George Mellis kembali.
Ketika dia bangun esok paginya, seprei dan selimutnya
berbercak darah. Eve bertekad membuat George Mellis
membayar semuanya ini. Dia melangkah ke kamar mandi
dengan hati‐hati. Dia mandi air panas sekali lagi. Wajahnya
lebih bengkak dan lecet‐lecetnya tampak memar. Eve
merendam waslap ke air dingin lalu mengompres pipi dan
matanya. Dia berbaring dalam bak mandi, memikirkan
George Mellis. Ada yang aneh pada tingkah laku lelaki itu
terlepas dari kesadisannya. Apa ya? Mendadak ia ingat.
Kalungnya. Mengapa George Mellis mengambil kalung itu?
Dua jam kemudian, Eve turun menemui tamu lainnya
buat makan pagi bersama. Sebetulnya dia tak napsu makan
sama sekali. Dia merasa perlu bicara dengan Nita Ludwig
secepatnya.
“Astagal mengapa wajahmu?” tanya Nita.
Eve tersenyum jenaka. “Dasar tolol aku ini. Semalam
terbangun, ingin ke WC. Mau menyalakan lampu, segan.
jadinya nabrak pintu!”
“Perlu dipanggilkan dokter?”
“Ah, nanti juga baik,” sahut Eve. “Cuma lecet sedikit.” Eve
melihat berkeliling. “Mana George Mellis?”
“Di luar. Sedang main tenis. Dia salah satu pemain
jempolan. Katanya, dia menunggumu makan siang nanti.
Kukira lelaki itu betul‐betul tertarik olehmu, Sayang.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Coba ceritakan tentang dia,” Eve minta dengan nada
biasa‐biasa saja, “Apa latar belakangnya?”
“George? Dia keturunan keluarga kaya dari Yunani. Dia
anak sulung. Kayanya aujubilah. Dia bekerja di Hanson and
Hanson, perusahaan broker terkemuka di New York.”
“Mengapa tidak bekerja di perusahaan keluarganya?”
“Entah. Mungkin dia tak suka buah zaitun. Dengan
kekayaan keluarga Mellis, sebenarnya dia tak perlu bekerja.
Mungkin cuma sekadar mengisi waktu saja dia bekerja.”
Nita nyengir. Lalu katanya, “Malam harinya selalu penuh.”
“Oh, ya?”
“Eve, George Mellis bujangan yang dikejarkejar cewek.
Semua cewek tak sabar buka celana buat dia. Mereka
semua membayangkan kelak jadi Nyonya Mellis.
Terus‐terang, kalau suamiku tak begini cemburuan, aku
sendiri ingin kencan dengan George. Dia binatang hebat. Ya
kan?”
“Hebat,” ujar Eve.
***
George Mellis menghampiri teras tempat Eve sedang
duduk‐duduk sendirian. Eve tak biasanya merasa takut
begitu.
Dia mendekat. Katanya, “Selamat pagi, Eve. Kau
baik‐baik, kan?” Wajahnya mencerminkan perhatian serius.
Disentuhnya lecet di wajah Eve dengan lembut. “Sayangku,
kau cantik sekali.” George Mellis lalu menarik kursi dan
duduk di seberang Eve, menunjuk ke laut yang berkilauan.
“Pernah melihat pemandangan begitu indah?”
Seolah yang terjadi semalam tak pernah terjadi.
Eve mendengarkan George Mellis yang terus nyerocos
ngomong. Sekali lagi Eve merasakan daya tarik kuat lelaki
itu. Bahkan setelah dapat pengalaman begitu buruk, daya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tarik itu masih berpengaruh pada dirinya. Keterlaluan. Dia
seperti dewa Yunani. Mestinya dia itu adanya di museum. Di
rumah sakit jiwa.
“Aku mesti kembali ke New York nanti malam,” kata
George Mellis. “Boleh minta nomor teleponmu?”
“Wah, aku baru saja pindah,” Eve cepat menyahut.
“Belum punya nomor telepon. Biar aku saja yang
meneleponmu.”
“Baiklah, Sayang.” George Mellis nyengir. “Kau suka yang
kita lakukan semalam, kan?”
Eve tak percaya akan yang didengar kupingnya.
“Banyak yang bisa kuajarkan kepadamu, Eve,” bisiknya.
Dan aku juga punya satu pelajaran buatmu, Tuan Mellis,
janji Eve dalam hati.
Begitu pulang, Eve menelepon Dorothy Hollister. Di New
York sebagian besar media meliput berita‐berita tentang
mereka yang disebut “kalangan gemerlap”. Dorothy
merupakan sumber informasi yang tak pernah kehabisan
berita. Tadinya dia kawin dengan seorang kenamaan.
Ketika suaminya menceraikan Dorothy dan memilih kawin
dengan sekretarisnya yang baru dua puluh satu tahun,
terpaksa dia bekerja. Dia mencari pekerjaan yang paling
cocok dengan bakatnya: kolumnis gosip. Karena kenal
dengan kalangan yang dia tulis, dan karena mereka
umumnya menganggap Dorothy bisa dipercaya, jarang
orang menyimpan rahasia terhadapnya.
Dorothy Hollister pasti bisa dimintai keterangan tentang
George Mellis. Eve mengundang perempuan itu makan
siang di La Pyramide. Dorothy Hollister berwajah gemuk.
Rambutnya dicat merah. Suaranya parau. Tawanya
mengikik. Perhiasan yang ia kenakan berat—semuanya
palsu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Setelah selesai memesan makanan, dengan nada biasa
Eve berkata, “Minggu lalu aku ke Bahama. Asyik deh di
sana.”
“Aku tahu,” sahut Dorothy Hollister. “Aku punya daftar
tamu yang diundang Nita Ludwig. Bagaimana pestanya?
Menyenangkan?”
Eve mengangkat bahu. “Ketemu banyak sahabat lama.
Oh, ya—ada satu cowok menarik,” Eve berhenti,
mengerutkan dahinya seperti berpikir—”George... George
apa, ya? Miller, barangkali. Dia dari Yunani, katanya.”
Dorothy Hollister tertawa mengakak. Tawanya pasti
kedengaran sampai ke seberang sana. “Mellis. George
Mellis.”
“Kau betul. Mellis. Kau kenal dia, ya?”
“Pernah melihat. Astaga! Keren betul itu orang, ya ?”
“Apa sih latar belakangnya, Dorothy?”
Dorothy Hollister melihat berkeliling, lalu agak
membungkukkan badan ke depan, berbisik. “Tak ada orang
lain yang tahu ini. Tapi, janji jangan bicara dengan yang
lain, ya? George semestinya menjadi penerus usaha
keluarga. Tapi, dia kebanyakan main sama cewek, cowok,
kambing, dan entah apalah—sampai ayah dan
saudara‐saudaranya kesal dan mengusir dia dari negeri
mereka.”
Eve menyerap semua kata‐kata yang didengarnya.
“Dia tak diberi uang saku sepeser pun. Itu sebabnya dia
terpaksa bekerja buat menghidupi dirinya.”
Jadi, itu sebabnya dia mengambil kalung itu!
“Tapi, dia tak perlu kuatir. Dalam waktu dekat dia bakal
kawin dengan anak orang kaya.” Dorothy memandang Eve
dan bertanya, “Kau kepingin tahu?”
“Tidak terlalu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sesungguhnya Eve sangat kepingin tahu. George Mellis
bisa jadi kunci yang sudah lama dia cari‐cari. Kunci menuju
kekayaan yang dia idam‐idamkan.
Pagi‐pagi sekali keesokan harinya, Eve menelepon
George Mellis di kantor tempatnya bekerja. George
langsung mengenali suaranya. “Aku sudah
menunggu‐nunggu teleponmu, Eve. Bagaimana kalau kita
makan malam bersama nanti dan—”
“Jangan. Makan siang saja. Besok.”
George Mellis ragu. Dia kaget. “Baiklah. Sebetulnya aku
ada janji makan siang sama pelanggan. Tapi, kubatalkan
saja.”
Eve rasanya tak percaya yang bicara itu dia. “Datanglah
ke apartemenku,” ujar Eve. Dia memberikan alamat. “Jam
dua belas lebih tiga puluh. Kutunggu.”
“Aku pasti datang.” Terdengar nada puas dalam suara
lelaki itu.
George Mellis pasti kaget.
Dia datang terlambat setengah jam. Eve menyadari,
bahwa itu memang kebiasaannya. Bukan sengaja
menjengkelkan orang. Tapi, dia tak sadar bahwa menunggu
bisa bikin orang jengkel. Masalahnya, orang umumnya tak
keberatan menunggunya. Kesenangan selalu siap di sana
kapan saja dia kepingin mengambilnya. Dengan rupanya
yang elok dan begitu menarik, dunia memang jadi miliknya.
Cuma satu hal. Dia miskin. Itulah titik yang paling sensitif
pada dirinya.
George memperhatikan sekeliling apartemen mungil
tempat tinggal Eve. Matanya dengan ahli menaksir nilai
isinya. “Enak sekali.”
Dia menghampiri Eve. Lengannya terulur. “Aku ingat
terus padamu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve menghindari pelukan lelaki itu. “Tunggu. Ada
sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, George.”
Matanya yang hitam menembus mata Eve. “Nanti saja
kita bicara.”
“Sekarang.” Eve mengucapkan dengan perlahan tetapi
jelas. “Kalau sekali lagi kausentuh aku dengan cara begitu,
kau akan kubunuh.”
Wajah George menampakkan keragu‐raguan. “Jadi, kau
mengundangku kemari buat membicarakan masalah
bisnis?”
“Ya. Aku tak tahu persis sejauh mana kau bisa membujuk
perempuan tua kaya yang dungu agar membeli saham dan
surat‐surat obligasi. Tapi, aku yakin itu tak cukup.”
Wajahnya merah. Lelaki itu marah. “Kau gila!
Keluargaku—”
“Keluargamu kaya. Tapi kau tidak. Keluargaku kaya. Aku
tidak. Kita sama‐sama berlayar dengan perahu bocor,
Sayang. Aku tahu caranya menjadikan perahu itu sebuah
kapal pesiar mewah.” Eve berdiri, memperhatikan
perubahan di wajah lelaki itu. Rasa ingin tahu akhirnya
mengalahkan amarahnya.
“Baiknya kau cepat katakan yang hendak kaukatakan.”
“Gampang sekali. Aku dibikin tak berhak menerima
warisan besar. Adikku, Alexandra, masih berhak atas
kekayaan itu.”
“Apa hubungannya itu denganku?”
“Kalau kaukawini Alexandra, kekayaan itu bakal jadi
milikmu—milik kita.”
“Maaf. Aku tak bisa disuruh bikin ikatan dengan siapa
pun.”
“Kebetulan,” Eve meyakinkannya, “itu tak jadi masalah.
Adikku bernasib gampang celaka.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
27
AGEN Iklan Berkley and Mathews merupakan yang
terhebat di kalangan agen‐agen iklan lainnya di Madison
Avenue. Faktur tahunannya melebihi penggabungan faktur
dua saingan terdekatnya. Penyebab utamanya adalah
karena Kruger‐Brent, Ltd. merupakan pelanggan utamanya.
Ratusan anak perusahaannya di dunia ikut menggunakan
jasa agen iklan itu. Khusus untuk menangani Kruger‐Brent,
perusahaan itu mempekerjakan tujuh puluh lima penjaja
jasa, penulis naskah, direktur kreasi, ahli potret, ahli pahat,
berbagai seniman, dan ahli media. Tidaklah mengherankan
kalau begitu Kate Blackwell menelepon Aaron Berkley
minta dicarikan pekerjaan buat Alexandra, posisinya
langsung terbuka. Seandainya Kate Blackwell
menginginkan agar mereka menjadikan Alexandra presiden
direktur pun, mereka bakal menerimanya.
“Cucuku kepingin jadi penulis naskah,” ujar Kate pada
Aaron Berkley.
Berkley meyakinkan Kate, bahwa kebetulan sekali dia
sedang mencari penulis naskah, dan bahwa Alexandra bisa
mulai kapan saja dia mau.
Alexandra mulai bekerja hari Senin berikutnya.
***
Hanya sedikit agen iklan yang betul‐betul berkedudukan
di Madison Avenue. Berkley and Mathews merupakan
kekecualian. Perusahaan ini mempunyai bangunan besar
dan modern di salah satu sudut‐sudut antara Madison
Avenue dan Fifty‐seventh Street. Agennya sendiri
menempati lantai kedelapan. Sedang lantai‐lantai lainnya
disewakan. Untuk menghemat biaya gaji, Aaron Berkley
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dan mitra usahanya, Norman Mathews, memutuskan agar
Alexandra Blackwell menggantikan penulis naskah muda
yang baru enam bulan bekerja. Dengan cepat berita itu pun
tersebar. Ketika karyawan mendengar bahwa gadis yang
dikeluarkan itu digantikan oleh cucu pelanggan terbesar
perusahaan, sikap mereka sinis. Belum sampai melihat
Alexandra, mereka sudah memastikan, bahwa anak itu
manja dan seenaknya, bahwa dia ditempatkan di situ buat
memata‐matai kerja mereka.
Waktu Alexandra datang melapor hendak mulai bekerja,
dia diantarkan ke ruang kantor Aaron Berkley yang luas
dan modern. Di sana Berkley dan Mathews menunggunya.
Kedua mitra itu berbeda sekali dalam penampilan mereka.
Berkley tinggi dan kurus. Rambutnya putih. Mathews
bertubuh pendek gemuk. Kepalanya sama sekali botak. Ada
dua persamaan mereka: kedua‐duanya ahli dalam bidang
periklanan dan telah berhasil menciptakan slogan terkenal
dalam sepuluh tahun terakhir. Di samping itu, keduanya
bersikap sebagai tiran. Mereka memperlakukan pegawai
mereka seperti ternak. Satu‐satunya yang bikin mereka
betah, adalah, mereka bakal diterima bekerja di perusahaan
iklan mana pun kalau sudah dapat pengalaman di Berkley
dan Mathews.
Di ruangan itu hadir juga Lucas Pinkerton, wakil
presiden perusahaan. Lelaki itu selalu tersenyum. Tapi
sikapnya resmi dan matanya dingin. Pinkerton lebih muda
dibanding dengan kedua mitra seniornya. Walau kalah
dalam hal umur, dia menang dalam hal pembalasan
dendam terhadap orang‐orang yang bekerja di bawahnya.
Aaron Berkley mempersilakan Alexandra duduk di kursi
empuk. “Mau minum apa, Nona Blackwell? Kopi, atau teh?”
“Tak usah. Terima kasih.”
“Jadi, kau mau bekerja bersama kami di sini sebagai
penulis naskah.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku sangat berterima kasih diberi kesempatan ini, Tuan
Berkley. Masih banyak sekali yang harus kupelajari, tapi,
aku berjanji akan bekerja keras.”
“Itu tak perlu,” kata Norman Mathews cepat. Dia cepat
sadar. “Maksudku—kau tak perlu terlalu terburu‐buru.
Waktumu banyak.”
“Aku percaya kau akan kerasan di sini,” tambah Aaron
Berkley. “Di sini kau bekerja dengan orang‐orang terhebat
di bidang periklanan.”
Sejam kemudian, Alexandra berpikir‐pikir, Mereka
mungkin memang orangorang paling hebat, tapi yang jelas,
sangat tidak ramah. Lucas Pinkerton memperkenalkan
Alexandra pada stafnya. Di mana‐mana, Alexandra
disambut dengan dingin. Cuma sebentar waktu mereka
sisihkan buat berbasa‐basi dengan Alexandra. Sesaat ke‐
mudian mereka sudah mencari kesibukan lain. Alexandra
merasakan kebencian mereka. Tapi, dia tak mengerti apa
yang membuat mereka bersikap begitu. Pinkerton
mengajaknya ke ruang pertemuan yang bau asap rokok. Di
salah satu sisinya ada lemari berisi berbagai piala dan
tanda penghargaan. Di sekeliling meja rapat duduk seorang
perempuan dan dua lelaki. Ketiganya perokok sejati. Yang
perempuan bertubuh pendek gemuk. Rambutnya berwarna
pirang kusam. Yang lelaki kira‐kira tiga puluh lima tahun
usianya. Wajah mereka pucat dan rupa mereka tak
menyenangkan.
Pinkerton berkata, “Ini adalah tim kreatif yang akan
bekerja denganmu. Alice Koppel, Vince Barnes, dan Marthy
Bergheimer. Kenalkan, ini Nona Blackwell.”
Ketiganya memandang Alexandra.
“Nah, aku pergi sekarang. Silakan berkenalan lebih
lanjut,” ucap Pinkerton. Dia menoleh ke Vince Barnes. “Aku
ingin melihat kopi parfum baru di mejaku besok pagi.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tolong bantu Nona Blackwell mendapat segala yang dia
perlukan.” Dia lalu pergi.
“Perlu apa kau?” tanya Vince Barnes.
Pertanyaan itu mengagetkan Alexandra.
“Aku—aku perlu belajar tentang bisnis periklanan.”
Alice Koppel berkata manis, “Kau datang ke tempat yang
tepat, Nona Blackwell. Kami sudah lama menanti bisa main
jadi guru.”
“Diam,” Marty Bergheimer memotongnya.
Alexandra keheranan. “Apakah aku telah melakukan
sesuatu yang menyinggung kalian?”
Marty Bergheimer, “Tidak, Nona Blackwell. Cuma saja,
kami sedang dalam stress. Kami sedang mengerjakan iklan
parfum. Sejauh ini Tuan Berkley dan Tuan Mathews belum
puas dengan hasil kerja kami.”
“Aku akan berusaha tidak terlalu banyak mengganggu,”
janji Alexandra.
“Begitu namanya hebat!” sindir Alice Koppel.
Makin lama suasana bukan makin membaik. Tak sedikit
pun ada senyum di tempat itu. Salah satu rekan mereka
dikeluarkan gara‐gara kutu busuk kaya ini. Mereka
bertekad hendak membuat Alexandra membayar kesakitan
yang ditimbulkan.
Sore hari pada hari pertama Alexandra bekerja, Aaron
Berkley dan Norman Mathews berkunjung ke ruang kantor
sempit tempat Alexandra bekerja. Mereka ingin
menyakinkan diri bahwa Alexandra tak kekurangan
apa‐apa. Keistimewaan ini membuat rekan sekerja
Alexandra makin jengkel.
Di agen iklan itu, orang memanggil satu sama lain
dengan nama panggilan akrab. Cuma satu yang berbeda—
Alexandra. Dia dipanggil Nona Blackwell oleh semua orang.
“Panggil aku Alexandra,” ucapnya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Baik.”
Tapi, setiap kali memanggil, yang diucapkan “Nona
Blackwell” lagi.
Alexandra bersemangat besar buat cepat belajar dan
memberikan sumbangan. Dia menghadiri
pertemuan‐pertemuan tempat para penulis naskah
menuangkan ide‐ide mereka. Dia memperhatikan para
editor melukiskan disain mereka. Dia mendengar Lucas
Pinkerton merobek‐robek kopi yang dibawa kepadanya
buat disetujui. Orang itu memang bengis dan tak
berperasaan. Alexandra merasa iba pada para penulis
naskah yang menderita di bawahnya. Alexandra mendapati
dirinya mondar‐mandir dari lantai satu ke lantai lainnya—
menghadiri rapat dengan kepala departemen, menemui
pelanggan, menyaksikan acara pemotretan, serta ikut
dalam diskusi strategi. Dia tak pernah membuka mulut.
Yang dilakukan hanyalah mendengar dan belajar. Pada
akhir minggu pertamanya, dia merasa seperti sudah
sebulan bekerja. Setiap pulang dia merasa lunglai. Bukan
dari capek bekerja, melainkan dari ketegangan yang seolah
timbul oleh kehadirannya.
Ketika Kate menanyakan bagaimana kerjanya, Alexandra
menyahut, “Baik‐baik saja, Nek. Sangat menarik.”
“Aku percaya kau bakal berhasil, Alex. Kalau ada
masalah, langsung saja temui Tuan Berkley atau Tuan
Mathews.”
Itu merupakan yang terutama takkan dilakukan
Alexandra.
Hari Senin berikutnya, Alexandra berangkat bekerja
dengan tekad mencari jalan keluar dari masalah yang dia
hadapi. Setiap hari ada waktu istirahat sambil minum teh
atau kopi‐pagi dan sore. Percakapan ketika itu umumnya
ringan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Sudah dengar tentang yang terjadi di National Media?
Orang‐orang jenius di sana ingin orang memperhatikan
tahun yang luar biasa berhasil buat mereka dengan jalan
mencetak laporan keuangan mereka dengan tinta merah di
The New York Times!”
“Ingat promosi penerbangan: Terbangkan Istri Anda
dengan Gratis? Geger semua sampai perusahaan
penerbangan yang bersangkutan mengirim surat tanda
penghargaan buat para istri dan menerima surat
bertubi‐tubi dari para istri yang kepingin tahu dengan siapa
suaminya terbang. Mereka—”
Alexandra masuk. Mendadak obrolan terhenti.
“Bisa kubantu mengambil minuman, Nona Blackwell?”
“Terima kasih. Aku bisa ambil sendiri.”
Semuanya diam membisu sementara Alexandra
mencampur kopi. Ketika dia keluar, obrolan pun mulai lagi.
“Kaudengar tentang iklan sabun itu? Model cantik yang
mereka pakai ternyata bintang film porno...”
Siangnya Alexandra berkata pada Alice Koppel, “Makan
siang bersamaku, yuk—”
“Maaf. Aku sudah punya janji.”
Alexandra mengalihkan pandangan pada Vince Barnes.
“Aku juga,” katanya.
Lalu dia melihat pada Marty Bergheimer. “Sudah dipesan
orang.”
Alexandra tak kepingin pergi makan. Mereka semua
membuat dia merasa seperti orang paria. Hatinya tak
menerima diperlakukan begitu. Dia berkeras takkan
menyerah. Dia akan mencari jalan buat merangkul mereka,
memberitahukan kepada mereka, bahwa walau dia
bemama Blackwell, dia satu di antara mereka. Alexandra
duduk di dalam rapat, mendengarkan Aaron Berkley dan
Norman Mathews serta Lucas Pinkerton mencaci para
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
pencipta yang sudah bekerja keras buat menghasilkan
karya terbaik. Alexandra menaruh simpati pada mereka.
Tapi, tak seorang pun menginginkan rasa simpati darinya.
Tak seorang pun menginginkan berdekatan dengannya.
Alexandra menunggu tiga hari sebelum memulai lagi. Dia
berkata kepada Alice Koppel, “'Kudengar ada restoran Italia
enak di—”
“Aku tak makan makanan Italia.”
Dia berpaling pada Vince Barnes. “Aku diet.”
Alexandra melihat Marty Bergheimer. “Aku sedang
kepingin masakan Cina.”
Wajah Alexandra memh padam. Mereka tak mau
kelihatan orang bersamanya. Baiklah! Peduli setan dengan
mereka semua! Sudah cukup. Dia sudah mencoba berbagai
cara untuk bersikap ramah dan berkawan. Tetapi, setiap
kali dia ditampik. Bekerja di situ merupakan kesalahan
besar. Dia akan cari pekerjaan di tempat lain—di
perusahaan yang tak ada sangkut‐pautnya dengan
neneknya. Dia memutuskan hendak minta berhenti akhir
pekan nanti. Tapi, akan kubuat kalian semua ingat aku
pernah di sini, pikir Alexandra geram.
Jam satu siang pada hari Kamis, semua orang kecuali
resepsionis yang bekerja di switcbboard sedang makan ke
luar. Alexandra tinggal. Dia tahu, bahwa di kantor para
eksekutif ada interkom yang dihubungkan dengan berbagai
departemen. Dengan demikian, setiap saat seorang ekse‐
kutif perlu bicara dengan bawahannya, dia tinggal menekan
tombol pada kotak bicara dekat nama karyawan yang
dituju. Alexandra menyelinap ke ruang kerja Aaron Berkley
dan Norman Mathews serta Lucas Pinkerton sibuk
memindah‐mindahkan kartu nama karyawan pada kotak
bicara. Siangnya, Lucas Pinkerton menekan tombol yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menghubungkan dia dengan penulis naskah seniornya.
Katanya, “Cepat kemari, Tolol!”
Sejenak, tak terdengar sahutan. Beberapa saat kemudian
terdengar suara Norman Mathews menggelegar, “Apa
katamu?”
Pinkerton melongo, memandang mesin itu. Dia terpaku.
“Tuan Mathews, Andakah itu?”
“Tentu saja. Kemarilah kau sekarang, Tolol!”
Semenit kemudian, seorang penulis naskah menekan
tombol di mesinnya dan berkata, “Tolong antarkan kopi ke
bawah.”
Aaron Berkley menggelegar. “Apa?”
Itu mula‐mula keributannya. Mereka perlu waktu empat
jam buat membereskan kekacauan yang dibikin oleh
Alexandra. Belum pernah karyawan Berkley and Mathews
merasa begitu gembira dalam jam kerja mereka. Setiap kali
terjadi insiden baru, mereka melonjak‐lonjak kegirangan.
Para eksekutif dipanggil dan disuruh melakukan pekerjaan
pesuruh: mengambilkan rokok, membetulkan toilet. Aaron
Berkley dan Norman Mathwes serta Lucas Pinkerton
dibikin sibuk mencari siapa yang berbuat iseng dan bikin
geger itu. Tapi, tak seorang pun tahu‐menahu.
Satu‐satunya yang melihat Alexandra masuk dan keluar
dari ruang eksekutif adalah Fran, gadis resepsionis. Tapi,
dia lebih benci pada bos‐bosnya dibanding Alexandra. Jadi,
yang dia katakan ketika ditanyai cuma, “Aku tidak melihat
siapa‐siapa.”
Malam itu, waktu Fran berada di runjang bersama Vince
Barnes, dia menceritakan yang terjadi.
Barnes langsung bangkit. “Gadis Blackwell itu yang
melakukannya? Bukan main!”
Keesokan paginya, waktu Alexandra masuk ke ruang
kerjanya, Vince Barnes, Alice Koppel, dan Marty
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Bergheimer sudah menunggu. Mereka memandangnya
diam. “Ada apa?” tanya Alexandra.
“Tidak ada apa‐apa, Alex,” ujar Alice Koppel. “Kami
sedang bertanya‐tanya, apakah kira‐kira kau mau makan
siang bersama kami. Kami tahu ada restoran Italia enak
dekat...”
28
SEJAK masa kecilnya, Eve Blackwell telah menyadari
kemampuannya memanipulasi orang. Sebelumnya,
semuanya itu tak lain dari permainan belaka buatnya. Tapi,
kali ini lain. Ini betul‐betul serius. Dia telah diperlakukan
tak adil. Haknya sebagai ahli waris begitu saja dihapuskan
gara‐gara adiknya berkomplot dengan nenek mereka.
Mereka mesti membayar penuh yang telah mereka lakukan
terhadap dirinya. Memikirkan hal itu membuat Eve merasa
begitu puas sampai‐sampai dia hampir mencapai orgasme.
Kehidupan mereka kini ada dalam tangannya.
Eve membuat rencana dengan hati‐hati dan sangat rapi.
Setiap gerak dia atur. Mula‐mula George Mellis menjadi
komplotan yang enggan.
“Astaga, itu terlalu berbahaya. Aku tak perlu ikut‐ikut
dalam masalah seperti ini,” bantahnya. “Aku bisa mencari
uang yang kubutuhkan tanpa semua ini.”
“Bagaimana?” tanya Eve benci. “Dengan jadi pasangan
perempuan tua gemuk yang rambutnya dicat biru?
Kepingin begitu teruskah kau seumur hidupmu? Bagaimana
kalau badanmu mulai gemuk kelak dan wajahmu mulai
keriput? Jangan sia‐siakan kesempatan bagus seperti ini,
George. Kalau kaudengar baik‐baik yang kukatakan, kau
dan aku bakal memiliki perusahaan raksasa paling kuat di
dunia. Kaudengar aku? Memiliki!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Bagaimana kau tahu rencana ini bisa berhasil?”
“Sebab, aku paling tahu sifat nenek dan adikku.
Percayalah, rencana ini pasti berhasil.”
Kedengarannya Eve sangat yakin. Padahal, dia agak
was‐was. Eve tahu dia bisa melaksanakan bagiannya. Tapi,
dia kurang yakin George Mellis bisa melakukan tugasnya.
Dia orangnya tak stabil. Padahal, tak boleh sampai terjadi
kesalahan di sini. Satu saja kesalahan, seluruh rencana bisa
gagal.
Katanya kepada George, “Pikir dulu, dan ambil
keputusan. Kau mau atau tidak?”
Lama George Mellis mengamati wajah Eve. “Oke, aku
mau.” Dia mendekati Eve dan mulai mengelus bahunya.
Suaranya parau. “Aku kepingin tidur denganmu.”
Eve merasakan gairahnya timbul. “Baiklah,” bisiknya,
“Tapi, lakukan dengan caraku, ya!”
Mereka berdua di ranjang. Tanpa busana begitu, George
Mellis merupakan pemandangan paling indah dan
mempesona yang pernah disaksikan Eve. Juga paling
berbahaya. Tapi, justru itu yang membuat gairahnya
semakin menjadi‐jadi. Sekarang dia punya senjata buat
mengontrol lelaki itu. Eve menjilati tubuh George.
Perlahan‐lahan dia bergerak turun.
“Ayolah, George,” ujar Eve.
“Tengkurap.”
“Tidak. Kali ini kita pakai caraku.”
“Aku tak puas kalau begitu.”
“Aku tahu. Kau lebih senang main dengan pemuda
berpantat ketat, bukan? Aku perempuan, Sayang.”
“Aku takkan puas begini, Eve.”
Eve tertawa. “Aku tak peduli, Sayang. Aku puas.”
Eve mulai menggerak‐gerakkan panggulnya. Dia
mencapai orgasme berkali‐kali. Sementara itu, dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyaksikan George frustrasi. Lelaki itu ingin menyakiti
dia, membuatnya menjerit kesakitan, tapi tak berani.
“Lagi!” perintah Eve. “Ahh‐h‐h... sekarang cukup.”
George menarik diri dan berbaring di sampingnya. Dia
meraup buah dada Eve. “Sekarang giliran—”
Eve berkata ketus, “Pakai bajumu.”
Lelaki itu bangkit dari ranjang. Tubuhnya gemetar oleh
frustrasi dan kemarahan. Eve berbaring di ranjang,
menyaksikan George Mellis mengenakan pakaiannya. Dia
tersenyum. “Kau anak baik, George. Sudah waktunya kuberi
hadiah. Aku akan serahkan Alexandra kepadamu.”
Dalam sekejap, segalanya berubah bagi Alexandra. Yang
tadinya dikira akan menjadi hari terakhirnya bekerja di
Berkley and Mathews ternyata berubah menjadi hari
kemenangan. Dia berubah dari pesakitan menjadi
pahlawan. Berita tentangnya tersiar ke segenap penjuru
Madison Avenue.
“Kau sekarang tokoh terkenal,” ujar Vince Barnes
nyengir.
Sekarang dia menjadi bagian dari mereka semua.
Alexandra senang bekerja di situ. Dia paling menyukai
acara kreatif yang mereka lakukan setiap pagi. Alexandra
tahu bahwa dia tak kepingin melakukan ini sepanjang
umurnya. Tapi, sekarang ini dia belum pasti akan apa yang
dia inginkan. Dia sudah berkali‐kali dilamar lelaki buat jadi
istrinya. Sekali dua kali, dia memang tergoda buat
menerima. Tapi, rasanya ada yang kurang. Dia belum
menemukan lelaki yang betulbetul cocok.
Pada hari Jumat pagi, Eve menelepon—mengundang
Alexandra makan siang. “Ada restoran Prancis yang baru
dibuka. Katanya makanannya enak.”
Alexandra senang bukan buatan mendengar kabar dari
kakaknya. Dia sering memikirkan Eve. Alexandra
meneleponnya dua‐tiga kali seminggu. Tapi, Eve selalu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
pergi atau terlalu sibuk buat bertemu dengannya. Karena
itu, walau sebetulnya Alexandra sudah punya janji, dia
menerima undangan kakaknya, “Wah, senang sekali kalau
bisa makan siang bersamamu, Eve.”
Restorannya bergaya dan mahal. Pelayan berkumpul
dekat bar, siap melayani setiap meja. Eve terpaksa
menggunakan nama neneknya agar bisa memesan tempat.
Jengkel dia mesti begitu. Kataniya pada diri sendiri, Tunggu
saja. Kelak pasti kau memohonmohon supaya aku mau
makan di restoran jelek ini. Eve sudah duduk menunggu
waktu Alexandra tiba. Dia mengamati Alexandra sementara
adiknya itu dipersilakan menuju ke mejanya. Eve merasa
aneh—seolah dia melihat dirinya datang menghampiri
meja itu.
Eve menyambut adiknya dengan kecupan di pipi. “Kau
cantik sekali, Alex. Rupanya senang bekerja, ya?”
Mereka memesan makanan, lalu sibuk mengobrolkan
kisah masing‐masing.
“Bagaimana pekerjaannya?” tanya Eve.
Alexandra menceritakan semua yang dia alami.
Eve lalu menceritakan pengalamannya yang sudah diedit
dengan sangat hati‐hati. Di tengah‐tengah obrolan,
mendadak Eve mendongakkan kepala.
George Mellis berdiri dekat mereka. Dia memperhatikan
mereka berdua. Sejenak dia tampak bingung. Astaga, Eve
sadar, dia tak tahu yang mana aku!
“George!” ujarnya.
George menoleh kepadanya dengan lega.
“Eve! “
Eve berkata, “Wah, kebetulan sekali.” Dia
menganggukkan kepala pada Alexandra. “Kurasa kau belum
pernah ketemu adikku. Alex, kenalkan. Ini George Mellis.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
George menjabat tangan Alexandra. “Bukan main.” Eve
sudah mengatakan, bahwa dia punya saudara kembar. Tapi,
dia sama sekali tidak menduga bahwa mereka mirip betul
satu sama lain.
Alexandra memandang George, terpesona.
Eve berkata, “Mau makan bersama kami?”
“Sebenarnya ingin sekali, Tapi, aku punya janji.
Mudah‐mudahan lain kali kita bisa makan bersama.”
George memandang Alexandra. “Tak lama lagi,
mudah‐mudahan.”
Mereka memperhatikan lelaki itu pergi.
“Hmmm!” ucap Alexandra. “Siapa dia?”
“Oh. Dia kenalan Nita Ludwig. Aku kenal dia di
pestanya.”
“Aku yang gila, atau dia memang mempesona?”
Eve tertawa. “Dia bukan seleraku. Tapi, kebanyakan
perempuan memang menganggap dia menarik.”
“Aku juga! Sudah kawinkah dia?”
“Belum. Tapi, bukan berarti tak banyak yang mencoba
menjeratnya, Alex. George sangat kaya. Dia punya
segalanya: ketampanan, uang, latar belakang sosial.”
Dengan lihai Eve mengalihkan topik pembicaraan.
Ketika Eve meminta bon makanan, pelayan mengatakan,
bahwa makanan mereka sudah dibayar oleh Tuan Mellis.
Alexandra tak bisa melupakan George Mellis.
Pada hari Senin siang, Eve menelepon Alexandra.
Katanya, “He, rupanya kau menarik perhatiannya, Alex.
George Mellis meneleponku dan tanya nomor teleponmu.
Boleh kuberikan?”
Alexandra kaget. Tapi, dia tak kuasa menahan senyum.
“Boleh saja, kalau kau betul‐betul tidak tertarik padanya—”
“Sudah kukatakan, Alex, dia bukan seleraku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kalau begitu, aku tak keberatan kauberi dia nomor
teleponku.”
Mereka mengobrol beberapa menit, lalu Eve
memutuskan telepon. Dikembalikannya gagang telepon ke
tempatnya. Kemudian Eve memandang pada George yang
sedang berbaring di tempat tidur, tanpa busana. “Katanya,
boleh.”
“Kapan?”
“Tunggu perintahku.”
Alexandra mencoba melupakan George Mellis yang
katanya hendak meneleponnya. Tetapi, makin keras dia
berusaha melupakan lelaki itu, makin didapatinya dirinya
memikirkan dia. Dia belum pernah merasa tertarik pada
lelaki ganteng. Selama ini, lelaki ganteng umumnya terlalu
mementingkan diri sendiri. Tapi, George Mellis, pikir
Alexandra, kelihatannya lain. Ada kelebihan pada dirinya.
Seolah dia punya kekuatan yang memancar dari dalam.
Sadar. Kau baru dua menit melihatnya.
Seminggu itu George Mellis tidak menelepon. Alexandra
berubah dari tak sabar menjadi frustrasi dan akhirnya
marah. Persetan dengannya, pikir Alexandra. Pasti dia
ketemu cewek lain!
Ketika telepon berdering minggu setelahnya dan
Alexandra mendengar suara paraunya di seberang sana,
amarahnya pun seolah hilang begitu saja.
“Ini George Mellis,” ujarnya. “Kita pernah ketemu sesaat
waktu kau dan kakakmu sedang makan siang bersama. Eve
bilang, kau tak keberatan aku meneleponmu.”
“Oh, ya. Dia memang menyebut kau akan telepon tempo
hari,” kata Alexandra biasa‐biasa saja. “Ngomong‐ngomong,
terima kasih, ya. Makan siang kami kaubayarkan.”
“Kau berhak ditraktir. Kau berhak dapat penghargaan.”
Alexandra tertawa. Dia senang disanjung.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Berkeberatan enggak kalau kuajak makan malam suatu
malam nanti?”
“Wah, tentu saja tidak. Senang sekali, malah.”
“Bagus. Kalau kau menolak, bisa bunuh diri aku.”
“Jangan dong,” sahut Alexandra. “Aku paling benci
makan sendirian.”
“Aku juga. Aku tahu ada restoran kecil di Mulberry
Street. Matoon's. Tidak terkenal. Tapi, makanannya enak.”
“Matoon's! Restoran kesayanganku!” seru Alexandra.
“Kau taliu tempat itu?” suaranya kedengaran kaget.
“Tentu saja.”
George menoleh pada Eve. Dia meringis. Dia kagum pada
kecerdikan Eve. Barusan dia menceritakan segala kesukaan
dan hal‐hal yang tak disukai Alexandra. George Mellis
sekarang tahu segala yang mesti diketahui tentang saudara
kembar Eve.
Ketika George akhirnya menaruh gagang telepon, Eve
berpikir, Nah, mulailah sekarangl
Malam itu paling mempesona dalam hidup Alexandra.
Sejam sebelum George Mellis datang sesuai janji, selusin
balon merah jambu diantar orang dengan bunga anggrek
tersemat di sana. Alexandra kuatir imajinasinya akan
menimbulkan harapan yang terlalu tinggi. Tapi, begitu
melihat George Mellis lagi, segala keraguannya dengan
cepat pergi. Sekali lagi dia merasakan daya tarik luar biasa
lelaki itu.
Mereka minum‐minum sebentar di rumah, lalu
berangkat ke restoran.
“Mau pilih makanan sendiri?” tanya George. “Atau, boleh
kupilihkan?”
Alexandra memang punya makanan favorit di restoran
itu, tapi dia kepingin menyenangkan George. “Kenapa tidak
kau saja yang memesankan?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ