Tiraikasih Website http://kangzusi.com
GEORGE MELLIS sangat terguncang oleh kejadian itu.
Nyaris dia menghancurkan semua yang
diidam‐idamkannya. Tadinya dia tak begitu sadar akan arti
menguasai Kruger‐Brent, Ltd. buat dirinya. Selama ini dia
sudah puas hidup dari pemberian perempuan‐perempuan
kesepian. Tapi, sekarang dia sudah kawin dengan
keturunan Blackwell. Dan menguasai perusahaan raksasa
sudah berada dalam jangkauannya. Ayahnya tak bakal
mengira. Lihatlah aku sekarang, Yah. Aku hidup lagi. Aku
memiliki perusahaan yang jauh lebih besar dari
perusahaanmu. Semua ini bukan lagi sekadar permainan.
Dia tahu dia rela membunuh buat mendapatkan
keinginannya.
George memusatkan perhatian agar dia tampak sebagai
suami ideal. Dia menghabiskan. sebanyak mungkin waktu
bersama Alexandra. Mereka sarapan bersama. George
membawa istrinya makan siang. Dan sore hari dia selalu
berusaha pulang pada waktunya. Akhir pekan mereka
lewatkan di bungalow pantai milik Kate Blackwell yang
terletak di East Hampton, Long Island, atau terbang ke Dark
Harbor dengan pesawat pribadi perusahaan—Cessna 602.
Dark Harbor merupakan tempat favorit George. Dia sangat
suka pada rumah tua dengan barang‐barang antik serta
lukisan mahal di dalamnya itu. Kerjanya masuk keluar
ruangan‐ruangan luas di situ, mengamati barang‐barang
berharga yang dipajang. Tak lama lagi semua ini bakal jadi
milikku, pikirnya. Perasaannya melambung tinggi.
George juga sekaligus merupakan cucu menantu idaman.
Dia sangat memperhatikan Kate. Wanita itu berumur
delapan puluh satu sekarang, dan masih memimpin dewan
direksi KrugerBrent, Ltd. Perempuan itu luar biasa kuat
dan bersemangat baja. George memastikan dia dan
Alexandra makan bersama Kate setidaknya seminggu
sekali. Setiap beberapa hari sekali dia menelepon Kate dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mengobrol dengannya. Dengan sangat hati‐hati, George
berusaha memberikan gambaran bahwa dia suami yang
sangat mencintai istrinya dan cucu menantu yang penuh
perhatian pada nenek istrinya.
Takkan pernah ada orang yang mengira dia tega
membunuh dua orang yang begitu dia cintai.
Rasa puas diri yang ada dalam hati George Mellis
mendadak porak‐poranda oleh telepon dari Dr. John
Harley.
“Kau sudah kubuatkan janji ketemu dengan psikiater. Dr.
Peter Templeton namanya.”
George berusaha agar suaranya terdengar hangat dan
menyenangkan, “Rasanya itu tak perlu lagi, Dr. Harley.
Kupikir— “
“Aku tak peduli dengan apa yang kaupikir. Kita punya
persetujuan bersama—aku tidak melapor ke polisi, tapi kau
mesti ketemu psikiater. Kalau kau mengingkari persetujuan
di antara kita— “
“Bukan begitu maksudku,” ujar George buru‐buru.
“Kalau Anda memang mau begitu, baiklah.”
“Nomor telepon Dr. Templeton: lima‐lima
‐lima‐tiga‐satu‐enam‐satu. Dia menunggu telepon darimu.
Hari ini.” Dokter Harley melempar gagang telepon.
Sialan! George berpikir marah. Yang paling tak dia
butuhkan di dunia ini adalah membuang‐buang waktu
dengan orang gila macam psikiater. Tapi, dia tak berani
ambil risiko buat melawan kemauan Dr. Harley. Dia harus
menelepon Dr. Templeton, berkunjung ke tempatnya sekali
atau dua kali. Dan, selesai.
Eve menelepon George di kantor. “Aku sudah pulang.”
“Betul?” George takut bertanya. “Bagaimana?”
“Datang saja dan lihat sendiri. Nanti malam, ya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku sukar pergi malam sekarang. Alex dan aku— “
“Pokoknya, jam delapan.”
George hampir tak percaya. Eve berdiri di hadapannya—
secantik semula. Diamatinya wajah perempuan itu dengan
cermat. Tak sedikit pun ada bekas kerusakan yang pernah
dia bikin di sana.
“Luar biasa! Kau—kau persis seperti semula.”
“Ya. Aku masih tetap cantik, kan, George?” Eve
tersenyum‐senyum kucing—memikirkan apa yang dia
rencanakan buat George. Lelaki itu binatang sakit. Tak
pantas hidup. Dia akan bayar penuh semua yang pernah dia
lakukan terhadap dirinya. Tapi, belum tiba saatnya. Eve
masih butuh dia. Mereka berdiri, tersenyum satu sama lain.
“Eve, aku sangat menyesal— “
“Sudahlah. Jangan bicarakan itu lagi. Semuanya sudah
lewat. Tak ada yang berubah,” potong Eve.
Tapi, George ingat ada yang sudah berubah. “Aku dapat
telepon dari Harley,” ucapnya. “Dia membuatkan janji buat
aku untuk ketemu psikiater.”
Eve menggeleng. “Jangan. Bilang saja kau tak punya
waktu.”
“Sudah kucoba. Kalau aku tak mau, dia akan bikin
laporan buat polisi.”
“Kurang ajar!”
Eve berdiri, berpikir‐pikir. “Siapa psikiaternya?”
“Namanya Templeton. Peter Templeton.”
“Namanya pernah kudengar. Reputasinya bagus.”
“Jangan kuatir. Aku bisa berbaring di meja periksanya
selama lima puluh menit tanpa mengatakan apa pun.
Kalau— “
Eve tidak mendengarkan. Mendadak dia dapat ide. Eve
sedang mencoba menganalisa idenya.
Dia memandang George. “Mungkin ini namanya rezeki!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Peter Templeton berumur kira‐kira tiga puluh lima
tahun. Tingginya enam kaki lebih sedikit. Dadanya bidang,
kurus, dan bermata biru. Tampangnya lebih mirip
gelandangan ketimbang dokter. Dahinya
berkerut‐memeriksa agendanya. George Melliscucu
menantu Kate Blackwell.
Masalah orang kaya tak menarik buar Peter Templeton.
Banyak rekan seprofesinya yang kegirangan kalau dapat
pasien orang terkenal. Semula, pada permulaan karirnya,
dia merasakan hal yang sama, Tapi, dia segera merasa
bahwa dia tak bisa bersimpati pada masalah‐masalah
mereka. Seorang janda kaya pernah menjerit‐jerit di ruang
prakteknya cuma gara‐gara tidak diundang menghadiri
suatu acara resmi. Pengusaha mengancam hendak bunuh
diri gara‐gara sebagian besar uangnya hilang dalam
pertaruhan bursa. Belum lagi nyonya‐nyonya bertubuh
kegemukan yang mencoba berpuasa pada suatu saat tapi
tak bisa menahan diri makan makanan yang enak di waktu
lain. Dunia memang penuh masalah. Tapi, sudah sejak lama
Peter Templeton memutuskan, bahwa bukan masa‐
lah‐masalah seperti itu yang ingin dia selesaikan.
George Mellis. Peter tadinya enggan menerima lelaki ini
jadi pasiennya. Dia menerima karena terpaksa. Dr. John
Harley adalah seorang dokter yang terhormat. “Kalau bisa,
kirim dia ke psikiater lain saja, John,” Peter mengatakan
waktu John Harley menyebutkan. “Agendaku sudah penuh.”
“Aku butuh bantuanmu, Peter.”
“Apa masalahnya?”
“Itu justru bagianmu. Aku cuma dokter biasa.”
“Baiklah,” Peter akhirnya setuju. “Suruh dia
meneleponku.”
Sekarang pria itu sudah ada di situ. Dr. Templeton
menekan tombol interkom di mejanya. “Suruh Tuan Mellis
masuk.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Peter Templeton sudah pernah melihat potret George
Mellis di surat kabar dan majalah. Tapi, dia tidak mengira
bahwa lelaki itu begitu hidup dan berkharisma.
Mereka berjabat tangan. Peter berkata, “Silakan duduk,
Tuan Mellis. George memandang kursi yang ada di ruangan
itu. “Di sana?”
“Di mana saja yang enak.”'
George memaih kursi yang terletak di seberang meja
kerja Peter, lalu memandang psikiater itu sambil
tersenyum. Tadinya, dia sangat takut menghadapi saat ini.
Tapi, sesudah bicara dengan Eve, dia berubah pendapat. Dr.
Templeton akan jadi sekutunya—saksinya.
Peter memperhatikan lelaki di seberangnya. Biasanya,
pasien tampak gugup pada kunjungan mereka yang
pertama. Ada yang menutup‐nutupi kenyataan itu dengan
berpura‐pura berani, ada yang diam saja, ada yang banyak
bicara, ada yang membela diri. Peter tak melihat
tanda‐tanda kegugupan pada lelaki ini. Sebaliknya, dia
justru tampak senang. Aneh, pikir Peter.
“Kudengar dari Dr. Harley, Anda punya masalah.”
George menarik napas dalam. “Ada dua, rasanya.”
“Coba ceritakan.”
“Aku malu. Itu sebabnya aku—aku ingin sekali bertemu
dengan Anda.” George memajukan tubuhnya dan berkata
bersungguh‐sungguh, “Aku melakukan sesuatu yang belum
pernah kulakukan, Dokter. Aku menampar seorang perem‐
puan. “
Peter menunggu.
“Kami bertengkar, aku tak sadarkan diri. Ketika sadar,
aku... meninjunya.” George sengaja membikin suaranya
terputus sedikit. “Keterlaluan.”
Suara hati Peter Templeton memberi tahu psikiater itu
apa masalah George Mellis sesungguhnya. Lelaki itu senang
menyiksa perempuan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Istri Andakah yang jadi korban?”
“Bukan. Kakak perempuannya.”
Beberapa kali Peter melihat potret atau berita tentang si
kembar Blackwell kalah mereka muncul pada suatu acara
dana atau acara sosial lainnya. Keduanya mirip sekali satu
sama lain, ingat Peter, dan mereka sangat cantik. Jadi, lelaki
ini menyerang kakak iparnya. Peter menganggap kasusnya
menarik. Yang menarik lagi, George Mellis menggambarkan
seolah yang dia lakukan cuma menampar sekali atau dua
kali. Kalau masalahnya cuma begitu, John Harley tak bakal
memaksa Peter menerima George Mellis.
“Anda tadi bilang memukul kakak ipar Anda. Dia luka?”
“Terus terang, agak parah. Tapi, sudah kukatakan tadi,
Dokter, aku tak sadarkan diri. Waktu aku sadar, rasanya
aku tak percaya.”
Ketika aku sadar. Pembelaan diri klasik. Bukan aku yang
melakukan, luar sadarku yang berbuat.
“Apa kira‐kira yang menyebabkan Anda berbuat begitu?”
“Akhir‐akhir ini aku sedang mengalami tekanan berat.
Ayahku sakit keras. Beberapa kali mengalami serangan
jantung. Aku sangat memikirkan ayahku. Keluarga kami
sangat erat satu sama lain.”
“Ayah Anda tinggal di sini?”
“Di Yunani.”
Jadi, dia memang Mellis itu. “Katanya Anda punya dua
masalah.”
“Ya. Istriku, Alexandra…” George diam.
“Punya masalah perkawinan?”
“Bukan seperti yang Anda maksud. Kami sangat
mencintai satu sama lain. Hanya—” Dia ragu‐ragu,
“Alexandra tampaknya kurang sehat akhir‐akhir ini.”
“Fisiknya?”
'Emosinya. Dia senantiasa dalam emosi depresi. Selalu
menyebut‐nyebut hendak bunuh diri.”'
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Sudah minta bantuan profesional?”
George tersenyum, Wajahnya sedih. “Dia menolak.”
Terlalu, pikir Peter. Ada dokter Park Avenue dirugikan.
“Sudah membicarakan masalahnya dengan Dr. Harley?”
“Belum.
“Karena dia dokter keluarga, sebaiknya Anda bicara
dengan dia. Kalau Dr. Harley merasa perlu, pasti dia akan
merekomendasi istri Anda untuk menemui psikiater.”
George Mellis berkata gugup, “Tidak. Aku tak mau
Alexandra merasa aku mengobrolkan dia di belakangnya.
Jangan‐jangan Dr. Harley nanti—”
“Tenang, Tuan Mellis. Biar aku yang meneleponnya.”
“Eve, kita celaka,” bentak George. “Celaka besar.”
“Kenapa?”
“Aku melakukan segalanya yang kausuruh. Kuceritakan
kekuatiranku atas Alexandra. Dia seperti orang yang sering
kepingin bunuh diri.”
“Lalu?”
“Jahanam itu mau menelepon John Harley dan
mendiskusikan itu dengan John Harley!”
“Astaga! Jangan sampai begitu.”
Eve mondar‐mandir. Mendadak dia berhenti.
“Baik. Biar aku yang berurusan clengan Harley. Kau
punya janji ketemu Templeton lagi?”
“Ya.”
“Pertahankan.”
Esok paginya, Eve menemui Dr. Harley di kantornya.
John Harley senang pada keluarga Blackwell. Dia
menyaksikan si kembar tumbuh. Dia mengalami kematian
Marianne, serangan yang dialami Kate setelahnya, dan
kemudian Tony dimasukkan ke sanatorium terpencil.
Sudah terlalu banyak penderitaan yang dilalui oleh Kate.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kemudian, terjadi pula perpecahan antara Kate dan Eve.
Dia tak punya gambaran tentang penyebab perpecahan itu.
Bukan urusannya. Tugasnya cuma menjaga kesehatan fisik
keluarga itu.
Waktu Eve masuk ke ruang kantornya, Dr. Harley
mengamati wajahnya. Katanya, “Hebat ya, hasil kerja Keith
Webster!” Satu‐satunya yang membekas cuma goresan
kemerahan yang hampir tak kelihatan di dahinya. Eve
menyahut, “Dr. Webster akan mengambil goresan ini dalam
tempo kurang‐lebih sebulan.”
Dr. Harley menepuk lengan Eve. “Goresan itu malah
bikin kau tampak lebih cantik, Eve. Aku senang sekali.” Dia
membimbing Eve ke kursi. “Bisa bantu apa aku sekarang?”
“Bukan aku sebenarnya, John. Aku kuatir akan Alex.”
Dr. Harley mengernyitkan dahi. “Dia punya masalah?
Ada hubungannya dengan George?”
“Bukan,” Eve cepat menyahut. “George berlaku baik.
Sebetulnya, justru George yang menguatirkan keadaan
Alex. Akhir‐akhir ini dia seperti orang yang sedang dilanda
depresi. Sering mencoba bunuh diri.” Dr. Harley
memandang Eve. Katanya datar,
“Aku tak percaya. Alexandra bukan tipe perempuan
seperti itu.”
“Aku tahu. Aku juga tak percaya. Itu sebabnya aku
menemui dia. Aku terkejut melihat perubahannya.
Nampaknya dia betul‐betul depresi. Aku tak bisa
membicarakan ini dengan Nenek—itu sebabnya aku datang
kemari. Tolonglah dia.” Mata Eve berair. “Aku sudah
kehilangan nenekku. Aku tak mau kehilangan adikku.”
“Sudab berapa lama ini?”
“Aku kurang tahu. Aku sudah meminta Alex
membicarakan masalahnya denganmu. Semula dia
menolak. Tapi akhirnya aku berhasil membujuk anak itu.
Tolonglah dia, Dokter.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tentu saja aku mau menolong. Suruh dia kemari besok
pagi. Dan, kau tak perlu terlalu kuatir, Eve. Banyak obat
yang bisa menyembuhkan adikmu. “
Dr. Harley menemani Eve keluar dari kamar kerjanya.
Dia prihatin Kate tak bisa memaafkan cucunya ini. Padahal
Eve orang yang begitu penuh perhatian dan kasih sayang.
Waktu kembali ke apartemennya, dengan hati‐hati Eve
menghapus bekas merah di dahinya dengan krim wajah.
Esok paginya, kira‐kira jam sepuluh, resepsionis Dr.
Harley memberi tahu, “Nyonya George Mellis ingin bertemu
Anda, Dokter.”
“Suruh masuk.”
Perempuan itu berjalan pelan, seperti tak yakin akan
dirinya sendiri. Dia nampak pucat dan ada lingkaran biru di
sekitar matanya.
John Harley meraih tangannya. Katanya, “Hm, sudah
lama tak ketemu kau, Alexandra. Kudengar kau sedang
punya masalah?”
Suaranya Pelan. “Rasanya aku tak mau merepotkan kau,
John. Aku yakin sebenarnya tak ada apa‐apa. Tapi Eve
ngotot. Kalau tidak gara‐gara dia, aku tak bakalan kemari.
Aku sehat. Fisikku sempurna.”
“Bagaimana emosimu?”
Dia ragu. “Susah tidur.”
“Apa lagi?”
“Nanti kaukira aku sakit jiwa…”
“Aku kan tidak bodoh, Alexandra,”
Perempuan muda itu menunduk. “Aku merasa tertekan
sekali. Selalu diliputi perasaan kuatir dan... capek. George
berusaha keras membuatku gembira dan tak
henti‐hentinya mencari ide—apa yang bisa kami lakukan
bersama, tempat yang menyenangkan buat kami kunjungi.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Yang jadi masalah, aku tak kepingin melakukan apa‐apa
atau pergi ke mana pun. Semuanya seperti—tak menarik,
tak ada gunanya.”
John Harley mendengarkan dengan cermat setiap kata
yang diucapkan sembari mengamati Alexandra. “Ada yang
lain lagi?”
“Aku—aku kepingin mati.” Suaranya begitu pelan
sampai hampir tak kedengaran oleh John Harley. “Apakah
ini gejala sakit jiwa?”
John Harley menggeleng. “Bukan. Kau takkan gila.
Pernah dengar tentang anhedonia?”
Dia menggeleng.
“Semacam gangguan biologis yang menimbulkan gejala
seperti yang baru saja kauceritakan. Cukup sering terjadi.
Tapi, ada obat‐obatan baru yang bisa dengan. cepat
menyembuhkan. Obat‐obatan ini tak punya efek sampingan
dan sangat manjur. Biar kuperiksa kau sebentar meskipun
aku percaya kita takkan menemukan kelainan serius.”
Setelah selesai memeriksa dan. Alexandra sudah
mengenakan gaunnya kembali, Dr. Harley mengatakan,
“'Kutulis resep Welibutrin. Obat baru anti depresi—salah
satu obat terbaru yang mengagumkan.”
Tanpa rasa tertarik, dia cuma melihat sementara dokter
itu menuliskan resep.
“Kembalilah ke sini seminggu lagi. Sementara itu, kalau
ada apa‐apa, segeralah telepon aku. Siang atau malam.”
John Harley memberikan resepnya.
“Terima kasih, John,” ujarnya. “Mudah‐mudahan obat ini
bikin aku tak mimpi.”
“Mimpi apa?”
“Oh, rasanya tadi sudah kukatakan. Mimpi sama setiap
malam. Aku sedang berlayar. Cuaca berangin. Kudengar
deru lautan. Aku berjalan ke geladak, melihat ke bawah.
Lalu, kulihat diriku di sana, hampir tenggelam…
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dia keluar dari ruang praktek Dr. Harley. Di luar, dia
bersandar di tembok gedung, menarik napas panjang.
Berhasil, pikir Eve berdebar riang. Aku berhasil. Dia
mengusap keringatnya.
32
KATE BLACKWELL merasa lelah. Rapat itu terlalu lama.
Dia melihat ke sekeliling meja rapat—pada tiga lelaki dan
tiga perempuan anggota dewan pimpinan perusahaan.
Mereka semua segar dan bertenaga. Jadi, sebenarnya bukan
rapatnya yang terIalu lama, pikir Kate. Aku yang sudab
kelewat lama bertahan. Aku sudah tua. Menyadari hal itu
membuatnya sedih. Bukan karena takut mati, tapi, karena
dia belum siap. Dia belum mau mati sebelum ada keturunan
Blackwell yang bisa mengelola perusahaan. Sesudah
dikecewakan oleh Eve, Kate mencoba membangun masa
depannya pada diri Alexandra.
“Nenek kan tahu aku mau disuruh apa saja. Tapi, aku
sungguh‐sungguh tak tertarik melakukan bisnis. George
pasti bisa mengelola dengan baik ......
“Kau setuju, Kate?” tanya Brad Rogers.
Pertanyaan itu membuat Kate tersadar dari lamunannya.
Dia memandang Brad dengan rasa bersalah. “Maaf. Apa
pertanyaannya, tadi?”
“Kami sedang membicarakan peleburan Deleco.”
Suaranya sabar. Brad Rogers merasa prihatin melihat Kate
Blackwell. Akhir‐akhir ini dia sering melamun dalam rapat.
Tapi begitu Brad menganggap perempuan itu sudah pikun
dan mesti pensiun, mendadak dia dapat ide cemerlang yang
membuat orang lain bertanya‐tanya mengapa bukan Brad
yang mempunyai gagasan begitu. Kate memang perempuan
yang mengagumkan. Teringat olehnya kisah cinta mereka
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
yang singkat bertahun‐tahun yang lalu. Dia tak mengerti
mengapa percintaan itu mendadak terputus begitu saja.
Itu kunjungan George Mellis yang kedua ke ruang
praktek Peter Templeton. “Apakah masa lalu Anda diwarnai
kekerasan, Tuan Mellis?”
George menggeleng. “Tidak. Aku paling benci
kekerasan.” Ingat itu baikbaik, Jahanam. Polisi pasti akan
menanyaimu pertanyaan ini.
“Maksud Anda, ayah dan ibu Anda tidak pernah
menghukum Anda secara fisik?”
“Betul.”
“Apakah Anda termasuk anak yang penurut?”
Hatihati. Ada jerat di situ. “Di atas rata‐rata, kukira.”
“Rata‐rata, anak dihukum dengan salah satu bentuk
hukuman kalau melanggar aturan orang tua.”
George tersenyum mencela. “Seingatku, aku tak pernah
melanggar aturan.”
Dia berbobong, pikir Peter Templeton. Mengapa, ya? Apa
yang dia coba tutuptutupi? Teringat olehnya
percakapannya dengan John Harley setelah pertemuannya
yang pertama dengan George Mellis.
“Katanya dia memukul kakak iparnya, John, dan— “
“Memukul!” John Harley kedengaran marah dan jengkel.
“Kakak iparnya dia jagal, Peter. Tulang pipinya hancur,
hidungnya patah, juga tiga tulang rusuknya. Pantat dan
telapak kaki gadis malang itu penuh dengan luka
bakar‐puntung rokok.”
Peter Templeton dilanda rasa jijik luar biasa. “Itu tidak
disebutkan padaku.”
“Tentu saja tidak,” bentak Dr. Harley. “Dia kuancam akan
kulaporkan ke polisi kalau tak mau menemui kau.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Peter ingat akan kata‐kata George sendiri: Aku malu. Itu
sebabnya aku kepingin bertemu Anda. Jadi, dia juga
berbohong ketika mengatakan itu.
“Mellis menceritakan istrinya mengalami depresi dan
kepingin bunuh diri.”
“Ya. Itu memang benar. Alexandra datang menemuiku
beberapa hari yang lalu. Dia kuberi resep Wellbutrin.
Kasihan dia. Apa opinimu tentang George Mellis?”
Peter menjawab perlahan, “Aku belum tahu. Aku punya
firasat dia orang yang berbahaya.”
Dr. Keith Webster tak bisa melupakan Eve Blackwell.
Gadis itu seperti dewi cantik—tak terjamah. Dia terbuka,
periang, dan menggairahkan. Sebaliknya, Keith Webster
pemalu, tidak menarik, dan membosankan. Keith Webster
belum pernah kawin. Sebabnya, dia belum pernah ketemu
dengan perempuan yang cukup tak berharga buat Jadi
istrinya. Di luar pekerjaannya, dia,tak punya harga diri. Dia
dibesarkan oleh seorang ibu yang berkuasa dan ayah yang
lemah. Dorongan seksual Keith Webster tergolong rendah.
Dan yang hampir tak ada itu menjadi hilang oleh
keasyikannya bekerja. Tapi, sekarang dia mulai
mengimpikan Eve Blackwell. Dia malu kalau teringat
mimpinya semalam. Eve sudah sembuh sama sekali. Tak
ada lagi alasan baginya buat bertemu gadis itu.
Dia menelepon Eve di apartemennya. “Eve? Ini Keith
Webster. Mudah‐mudahan aku tak mengganggu. Aku—aku
ingat kau tempo hari. Bagaimana keadaanmu?”
“Baik‐baik, Keith. Kau sendiri bagaimana?” Ada nada
menggoda pada suaranya.
“Ba—baik juga,” sahutnya. Hening. Keith Webster
mengumpulkan keberanian. “Kukira kau sibuk dan tak
bakal bisa meluangkan waktu buat makan siang
bersamaku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve tersenyum sendiri. Lelaki ini begitu jinak dan
gampang dikuasai. Menyenangkan juga. “Wah, senang
sekali, Keith.”
“Sungguh?” Eve mendengar nada kaget dalam suara
lelaki itu. “Kapan?”
“Kalau besok bagaimana Ebook by : Hendri Kho by Dewi
KZ http://kangzusi.com/?”
“Oke,” Keith cepat menyahut sebelum Eve sempat
mengubah pikiran.
Eve senang makan siang bersama Keith Webster. Dokter
itu tingkahnya seperti anak sekolah sedang dimabuk cinta.
Serbetnya jatuh, anggurnya tumpah, dan vas di meja
terguling olehnya. Sambil mengamati lelaki itu, Eve berpikir
dengan perasaan senang, Takkan ada orang yang mengira
dia dokter bedah kawakan.
Ketika selesai makan siang, Keith Webster bertanya
malu‐malu, “Kapan lagi kita bisa makan siang bersama
begini?”
Dengan tegas dan jujur Eve menyahut, “Sebaiknya tidak
lagi, Keith. Aku takut jangan‐jangan aku jatuh cinta
kepadamu nanti.”
Wajahnya merah padam, lelaki itu tak tahu mesti bilang
apa.
Eve menepuk tangannya. “Percayalah. Aku takkan lupa
padamu.”
Sekali lagi vas bunga terguling olehnya.
John Harley sedang makan siang di kafetaria rumah sakit
ketika tiba‐tiba Keith Webster duduk di dekatnya.
Keith berkata, “John, aku berjanji menyimpannya
sebagai rahasia, tapi, coba ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi pada Eve Blackwell tempo hari.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Harley ragu. Dia cuma mengangkat bahu. “Baiklah.
Gara‐garanya adalah adik iparnya, George Mellis.”
Keith Webster merasa dia tahu rahasia kehidupan Eve.
George Mellis tak sabaran. “Uangnya sudah siap. Surat
wasiatnya sudah diubah. Apa lagi yang kita tunggu?”
Eve duduk di kursi. Kakinya yang panjang bersimpuh
sementara dia memperhatikan George Mellis mondar‐
mandir di ruangan.
“Aku ingin urusannya cepat selesai, Eve.”
Dia tak takuttakut lagi, pikir Eve. Lelaki ini seperti ular
sedang tidur. Berbahaya. Dia sudah bikin kesalahan fatal
sekali—terlalu jauh menantangnya. Hampir saja dia
kehilangan hidupnya gara‐gara itu. Eve takkan berbuat
kesalahan serupa sekali lagi.
“Aku setuju dengan kau,” sahutnya pelan. “Kurasanya
waktunya sudah tiba.”
George berhenti. “'Kapan?”
“Minggu depan.”
Kunjungannya ke psikiater sudah hampir selesai. George
Mellis belum sekali pun menyinggung‐nyinggung istrinya.
Mendadak dia berkata, “Aku sangat kuatir akan Alexandra,
Dr. Templeton. Dia semakin murung saja. Semalam tak
henti‐hentinya dia bercerita tentang kecelakaan—dia
tenggelam, katanya. Aku tak tahu mesti berbuat apa.”
“Aku sudah bicara dengan John Harley. Katanya istri
Anda sudah diberi obat.”
“Mudah‐mudahan saja obatnya menolong, Dokter,” ucap
George bersungguh‐sungguh. “Aku bisa gila kalau sampai
terjadi sesuatu dengan dia.”
Telinga Peter Templeton menangkap kata‐kata yang tak
terucapkan. Dia merasa tak enak. Seolah dia sedang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyaksikan sandiwara. Lelaki ini berbahaya. “Tuan Mellis,
bagaimana hubungan Anda dengan perempuan selama ini?”
“Biasa.”
“Pernah marah dan kehilangan kesabaran?”
George Mellis tahu ke mana arah pertanyaan itu. “Tak
pernah.” Aku terlalu cerdas buat kau, Dok. “Sudah
kukatakan pada Anda, Dokter, aku sangat membenci
kekerasan.”
Kakak iparnya dijagal, Peter. Tulang pipinya remuk,
hidungnya patab. juga tiga tulang rusuknya. Pantat dan
telapak kakinya penuh luka bakarpuntung rokok.
“Terkadang,” ujar Peter, “buat sementara orang
kekerasan perlu disalurkan ke luar—luapan emosi.”
“Aku tahu yang Anda maksudkan. Aku punya kawan
yang suka menyiksa pelacur.”
Aku punya kawan. Tanda bahaya. “Coba ceritakan
tentang kawan Anda itu.”
“Dia benci pelacur. Mereka selalu mencoba menelanjangi
kawanku itu. Karena itu, setiap kali selesai bercumbu, dia
berlaku kasar kepada mereka—sekadar memberi
pelajaran.” George mengamati wajah Peter. Tak tampak
pancaran perasaan tidak setuju di situ. Merasa aman,
George melanjutkan, “Aku ingat, kami pernah bersama di
Jamaica. Seorang pelacur Negro mengajaknya ke kamar
sebuah hotel. Begitu berhasil melepas celana dalam
kawanku itu, si pelacur mendadak minta tambahan uang.”
George tersenyum. “Pelacur itu dihajarnya habis‐habisan.
Kurasa, pelacur itu kapok dan tak bakal mencoba berbuat
licik lagi pada orang lain.”
Dia punya gangguan kejiwaan, Peter Templeton
memutuskan. Kawannya itu tentu saja tak ada. Dia
membanggakan diri sendiri sambil bersembunyi di balik
bayangan orang lain. Lelaki ini seorang megalomaniak. Dia
sangat berbahaya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Peter memutuskan, sebaiknya dia bicara lagi dengan
John Harley. Secepatnya.
Keduanya berjanji bertemu sambil makan siang di
Harvard Club. Peter Templeton berada di posisi sulit. Dia
perlu mendapatkan informasi yang sebanyak‐banyaknya
tentang George Mellis tanpa membocorkan kerahasiaan
pasien.
“Coba ceritakan tentang istri George Mellis, John,”
pintanya.
“Alexandra? Dia cantik. Aku merawatnya sejak dia dan
kakak kembarnya, Eve, masih bayi. “ John Harley berdecak.
“Kita memang sering mendengar tentang anak kembar.
Tapi, rasanya belum pernah aku melihat persamaan yang
sampai begitu susah dibedakan. Keduanya sama persis.”
Peter bertanya pelan, “Jadi, mereka betul‐betul kembar?”
“Ya. Dan tak ada yang bisa membedakan yang mana
siapa. Waktu kecil dulu, mereka sering mengecoh orang.
Suatu kali, waktu Eve sakit dan mesti disuntik, aku salah
menyuntik Alexandra.” John Harley menghirup
minumannya. “Mengherankan. Sampai sekarang pun aku
belum bisa membedakan mereka.”
Peter berpikir. “Katamu Alexandra datang menceritakan
dia kepingin mati.”
“Betul. Itu memang betul.”
“John, bagaimana kau tahu yang datang itu memang
betul Alexandra?”
“Gampang dong,” ucap Harley. “Eve masih punya sedikit
goresan di dahinya, bekas operasi wajah akibat jagalan
George Mellis tempo hari.”
Jadi, itu jalan buntu. “Oh.”
“Bagaimana perkembangannya dengan Mellis?”
Peter ragu. Dia berpikir‐pikir sejauh mana boleh
menceritakan. “Aku belum bisa menjangkaunya. Dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bersembunyi di balik tedeng alingaling. Sedang kucoba buat
meruntuhkan benteng persembunyiannya.”
“Hati‐hati, Peter. Menurutku, dia itu sinting.”
Teringat olehnya Eve terbaring di ranjang bergelimang
darah.
“Kedua bersaudara kembar itu sama‐sama ahli waris
kekayaan keluarga yang besarnya ratusan juta. Betul?”
Peter bertanya.
Sekarang giliran John Harley yang ragu. “Ah, itu masalah
pribadi dalam keluarga mereka,” ujarnya. “Tapi, jawabnya
sih tidak. Nenek mereka memutuskan hak Eve sebagai ahli
waris. Alexandra akan mewarisi semuanya.”
Aku sangat kuatir akan Alexandra, Dr. Templeton. Dia
semakin murung saja. Dia tak hentihentinya bercerita
tentang kecelakaan—dia tenggelam, katanya. Aku bisa gila
kalau sampai terjadi sesuatu padanya.
Buat Peter Templeton itu semua kedengaran seperti
situasi pembunuhan klasik. Cuma, George Mellis sendiri
merupakan ahli waris kekayaan keluarganya yang juga
besar jumlahnya. Dia tak punya alasan buat membunuh
demi uang. Kau membayangkan yang bukanbukan, Peter
mengingatkan dirinya.
Seorang perempuan tenggelam di lautan dingin. Dia
mencoba berenang ke sampingnya. Tapi, ombak begitu
besar. Perempuan itu diayun ombak. Tunggu, teriaknya.
Aku ke situ. Dia berusaha berenang lebih cepat. Tapi, tangan
dan kakinya berat sekali. Dia menyaksikan perempuan itu
tenggelam lagi sehabis diayun ombak. Waktu sampai ke
tempat perempuan itu tenggelam tadi, dia memeriksa
sekelilingnya. Ada seekor ikan hiu raksasa berwarna putih
menghadangnya. Peter Templeton terbangun. Dia cepat
menyalakan lampu dan duduk di tempat tidurnya‐memikir‐
kan mimpinya tadi.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Esok paginya, pagi‐pagi sekali dia menelepon Letnan
Detektif Nick Pappas.
Nick Pappas bertubuh tinggi besar. Tingginya enam kaki
empat inci dan berat badannya hampir tiga ratus pon. Tapi,
setiap orang bisa memastikan, bahwa tak satu ons pun ada
lemak pada tubuh detektif itu. Letnan Pappas bekerja
sebagai anggota tim penyelidik pembunuhan di salah satu
distrik di Manhattan. Peter kenal dia sejak beberapa tahun
yang lalu. Waktu itu dia butuh bantuan ahli jiwa dalam satu
kasus percobaan pembunuhan. Sejak itu Peter dan Pappas
akrab berkawan. Pappas sangat gemar bermain catur.
Keduanya bertemu sebulan sekali untuk bermain catur.
Nick mengangkat teleponnya. “Dengan Pappas.”
“Ini Peter, Nick.”
“Oh, Sobat! Bagaimana kabarnya misteri pikiran orang?”
“Masih kucoba buat memahaminya, Nick. Bagaimana
Tina?”
“Sehat‐sehat. Ada yang bisa kubantu?”
“Aku butuh informasi. Kau masih punya kenalan di
Yunani?”
“Astaga!” ujar Pappas. “Aku punya ratusan
sanak‐saudara di sana. Mereka semua butuh duit.
Celakanya, aku masih terus mengirimi mereka. Mungkin
ada baiknya kau analisa aku.”
“Sudah terlambat,” sahut Peter. “Kau kasus yang sukar
disembuhkan.”
“Itu yang selalu dikatakan Tina. Perlu informasi apa
kau?”
“Pernah dengar tentang George Mellis?”
“Raja pengusaha makanan itu?”
'Ya.”
“Dia sama sekali bukan kalanganku. Tapi, aku tahu dia.
Mengapa dia?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku perlu tahu apakah dia punya uang.”
“Masya Allah! Keluarganya kan— “
“Maksudku, uangnya sendiri.”
“Akan kucek dulu, Peter. Tapi, ini sama saja dengan
buang waktu percuma. Keluarga Mellis kaya‐raya.”
“Ngomong‐ngomong, kalau kau menyuruh orang
menanyai ayah George Mellis, sebaiknya tanyanya hati‐hati.
Lelaki tua itu sering kena serangan jantung.”
“Oke, kumasukkan itu dalam telegramku nanti.”
Peter teringat akan mimpinya semalam. “Nick,
bagaimana kalau kau menelepon saja? Hari ini?”
Nada suara detektif itu berubah. “Ada yang hendak
kauceritakan padaku, Peter?”
“Tidak ada. Aku cuma ingin tahu. Biar aku yang
membayar biaya teleponnya nanti.”
“Tentu saja. Dan kau mesti mentraktirku makan sambil
bercerita tentang semua ini.”
“Beres.” Peter Templeton menaruh teleponnya. Dia
merasa sedikit lega.
Kate Blackwell merasa kurang enak badan. Dia sedang
bekerja di mejanya, menjawab telepon, waktu tiba‐tiba dia
merasakan serangan itu. Ruang kerjanya seperti
berputar‐putar. Kate berpegang erat‐erat pada mejanya
sampai semuanya kembali normal.
Brad masuk ke ruangan itu. Tampak olehnya wajah Kate
yang pucat‐pasi. “Kate, mengapa kau?”
Dia melepas pegangannya dari meja. “Tidak serius, cuma
sedikit pusing.”
“Kapan sih kau cek kesehatan yang terakhir?”
“Aku tak punya waktu buat yang begitu‐begituan, Brad.”
“Kau mesti cari waktu. Biar kusuruh Annette menelepon
Dokter Harley—membuatkan janji untukmu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Ya ampun, Brad! Jangan repot‐repot. Aku betul‐betul
tak apa‐apa.”
“Tapi, kau mesti ke dokter, ya?”
“Oke. Asal kau pergi dari sini sekarang.”
Esok paginya, sekretaris Peter Templeton mengatakan,
“Detektif Pappas ingin bicara. Anda mau menerima
teleponnya?”
Peter mengangkat telepon di mejanya. “Halo, Nick Ebook
by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/ “
“Kurasa, kita perlu mengobrol, Sobat!”
Peter mendadak merasa tak enak. “Kau sudah berhasil
bicara tentang Mellis?”
“Aku bicara sendiri dengan ayahnya—Tuan Mellis
sendiri. Yang pertama, dia belum pernah mendapat
serangan jantung dalam hidupnya. Yang kedua, menurut
dia, sejauh menyangkut dirinya, anak sulungnya—George
Mellis sudah mati. Anak itu diusir ayahnya beberapa tahun
yang lalu. Ketika kutanya mengapa, lelaki tua itu menaruh
telepon. Lalu aku menelepon salah seorang agen polisi di
Athena. George Mellis bukan orang asing buat mereka.
Tampan mempesona, dia suka menghajar cewek dan
cowok. Korbannya yang terakhir sebelum dia pergi dari
Yunani, seorang pelacur berumur lima belas tahun. Lelaki.
Tubuhnya ditemukan di sebuah hotel. Ayah George berhasil
menyogok entah siapa agar nama Mellis tak
disangkut‐pautkan dengan kejadian itu. Tapi, Georgie yang
malang didepak keluar dari Yunani. Buat selama‐lamanya.
Puas?”
Kabar itu bukan sekadar memuaskan Peter. Tapi, bahkan
membuatnya ketakutan. “Terima kasih, Nick. Aku berutang
budi padamu.”
“Oh, sama sekali tidak. Kukira, kalau anak asuhmu itu
lepas lagi, sebaiknya kaulibatkan aku.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Pasti. Secepatnya. Salam buat Tina, Nick.”
Peter pun menarub gagang telepon. Banyak yang harus
dia pikirkan. George Mellis punya janji datang ke tempat
prakteknya siang itu.
***
Dr. John Harley sedang memeriksa pasiennya.
Sekretarisnya mengatakan, “Nyonya George Mellis ingin
bertemu, Dokter. Dia belum punya janji. Sudah kukatakan
kepadanya jadwal Anda—”
John Harley menyahut, “Suruh dia masuk lewat pintu
samping, dan bawa ke kantorku.”
Wajahnya lebih pucat dibanding tempo hari. Lingkaran
biru di sekitar matanya nampak lebih gelap. “Maafkan aku
mengganggumu seperti ini, John. Tapi— “
“Tidak apa‐apa, Alexandra. Ada apa?”
“Entah. Rasanya makin memburuk keadaanku.”
“Sudah kauminum Wellbutrin‐nya secara teratur?”
“Sudah.”
“Masih merasa murung dan tertekan?”
Tangannya diremas‐remas. “Lebih dari itu. Aku—aku
merasa putus asa. Rasanya aku tak bisa melakukan apa‐apa
sama sekali. Aku tak tahan begini. Aku kuatir‐kuatir... aku
mungkin melakukan yang tidak‐tidak nanti, John.”
Dr. Harley menghibur, “Sebenarnya tubuhmu sehat
sekali. Percayalah padaku. Penyebab dari semua ini adalah
emosi. Kuberi kau obat lain. Nomifensine. Sangat manjur.
Dalam beberapa hari pasti kaurasakan perbedaannya.”
John Harley menuliskan resep dan memberikan kepadanya.
“Kalau sampai Jumat nanti masih belum enak, datanglah
lagi. Mungkin sebaiknya kau kukirim ke psikiater.”
Setengah jam kemudian, sekembalinya ke apar‐
temennya, Eve menghapus krim alas rias wajah yang pucat
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dari mukanya serta menggosok‐gosok celak biru di sekitar
matanya.
Waktu bergerak semakin cepat.
George Mellis duduk di seberang Peter Templeton.
Wajahnya tersenyum, penuh percaya diri.
“Bagaimana rasanya hari ini?”
“Jauh lebih baik, Dokter. Beberapa kali bertemu Anda
membuatku merasa tertolong sekali.”
“Oh, ya? Tertolong bagaimana?”
“Punya teman bicara rasanya enak. Itu prinsip Gereja
Katolik, bukan? Mengaku dosa?”
“Syukurlah kalau pertemuan denganku membuat Anda
merasa begitu. Bagaimana istri Anda? Keadaannya
membaik?”
Dahi George berkerut. “Kurasa tidak. Dia sudah menemui
Dr. Harley lagi. Tapi, makin hari makin sering saja dia
menyebut‐nyebut bunuh diri. Mungkin sebaiknya dia
kuajak berlibur. Dia butuh suasana yang lain.”
Mendengar ini Peter Templeton merasakan firasat tak
enak. Mungkin cuma imajinasinya saja yang berlebihan.
“Yunani tempat yang sangat menyenangkan,” Peter
berkata dengan nada biasa‐biasa saja. “Dia sudah pernah
Anda bawa ke sana—menemui keluarga Anda?”
“Belum. Keluargaku sudah ingin sekali bertemu dengan
Alexandra.” George tersenyum lebar. “Yang jadi masalah,
setiap kali aku ketemu Ayah, Ayah selalu memaksaku
kembali ke perusahaan kami.”
Saat itu, Peter merasa pasti bahwa Alexandra Mellis
dalam keadaan bahaya.
Lama setelah George Mellis pergi, Peter Templeton
duduk di ruang kerjanya—mempelajari catatan‐catatan
kecil di buku catatannya. Akhirnya dia meraih telepon dan
memutar nomornya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku butuh bantuanmu, John. Bisa kau cari tahu ke mana
George Mellis membawa istrinya berbulan madu?”
“Itu bisa kuberitahukan kepadamu sekarang juga.
Mereka kusuntik sebelum berangkat. Mereka pergi ke
Jamaica.”
Aku punya kawan yang suka menghajar pelacur… Aku
ingat, kami pernah bersama di Kamaica. Seorang pelacur
Negro mengajaknya ke kamar sebuah hotel. Begitu berhasil
melepas celana dalam kawanku itu, si pelacur mendadak
minta tambahan uang.... Pelacur itu dihajarnya habis
habisan. Kurasa, pelacur itu kapok dan tak bakal mencoba
berbuat licik lagi pada orang lain.
Meskipun begitu, dia tak punya bukti bahwa George
Mellis sedang merencanakan pembunuhan atas diri
istrinya. John Harley sendiri memberi keterangan, bahwa
Alexandra Mellis berkecenderungan punya keinginan
bunuh diri. Bukan urusanku, Peter berkata kepada dirinya
sendiri. Tapi, dia tahu itu urusannya.
Peter Templeton terpaksa bekerja buat membiayai
sekolahnya. Ayahnya penjaga sebuah sekolah di kota kecil
di Nebraska. Bahkan dengan beasiswa yang disediakan,
Peter tak bisa memasuki salah sebuah sekolah kedokteran
Ivy League. Dia lulus dari Universitas Nebraska dengan
predikat sangat memuaskan. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya ke bidang kejiwaan. Dia sukses dari mula.
Rahasianya, dia memang menyukai orang lain dengan
segenap hatinya. Dia ikut merasakan dan memikirkan nasib
mereka. Alexandra Mellis bukan pasiennya. Tapi dia merasa
tersangkut dalam masalah yang dihadapi. Alexandra Mellis
merupakan sebagian dari teka‐teki yang sepertinya hilang.
Bertemu dengannya mungkin bisa memecahkan
masalahnya. Peter memeriksa arsip George Mellis, mencari
nomor telepon rumahnya. Dokter jiwa itu menelepon ke
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sana. Teleponnya diangkat oleh seorang pelayan wanita
yang lalu memanggilkan Alexandra.
“Nyonya Mellis, namaku Peter Templeton. Aku— “
“Oh, aku tahu siapa Anda, Dokter. George menceritakan
tentang Anda padaku.”
Peter kaget. Tadinya, dia berani bertaruh George Mellis
tak bakal menyebut‐nyebut dia di muka istrinya. “Aku perlu
ketemu Anda. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”
“Tentang George‐kah? Apakah ada yang menguatirkan?”
“Tidak. Tak ada apa‐apa. Aku cuma merasa kita perlu
mengobrol.”
“Tentu saja, Dokter Templeton.”
Mereka berjanji ketemu esok harinya.
Mereka duduk di meja sudut restoran La Grenouille.
Sejak Alexandra masuk ke restoran itu, tak lepas‐lepas
mata Peter dari perempuan itu. Wanita itu mengenakan rok
bawah berwarna putih dengan blus yang memperlihatkan
kemolekan tubuhnya. Seuntai kalung mutiara, tergantung
di lehernya. Peter mencari‐cari tanda kelelahan dan depresi
pada wanita itu seperti yang diceritakan Dr. Harley. Tidak
ada sama sekali. Seandainya Alexandra merasa aneh
melihat pandangan Peter Templeton, dia tidak diam saja.
“Suamiku tak apa‐apa, kan, Dr. Templeton?”
“Tidak.” Nampaknya, situasinya lebih sulit dari yang
semula dia bayangkan. Titiannya sangat tipis. Dia tak punya
hak buat membocorkan kerahasiaan pasien. Tapi,
Alexandra Mellis perlu diperingatkan.
Sesudah memesan makanan, Peter berkata, “Apakah
suami Anda menceritakan sebabnya dia menemuiku,
Nyonya Mellis?”
“Ya. Akhir‐akhir ini dia merasa tertekan. Mitra usahanya
di bursa penjualan saham itu memberi beban kerja yang
terlampau berat di pundaknya. George orangnya sangat
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bertanggung jawab. Mungkin Anda juga tahu tentang hal
itu, Dokter.”
Bukan main. Rupanya dia sama sekali tak tahu‐menahu
tentang kasus penjagalan kakaknya. Mengapa tak ada yang
memberi tahu?
“George mengatakan, dia merasa lega setelah bisa
mendiskusikan masalahnya dengan Anda.” Alexandra
tersenyum berterima kasih. “Syukurlah Anda bisa
menolong suamiku.”
Dia tak tahu apaapal Nampaknya, dia sangat memuja
suaminya. Yang hendak dikatakan Peter mungkin bisa
menghancurkan hatinya. Bagaimana caranya mengatakan
bahwa suaminya sakit jiwa, pernah membunuh pelacur,
diusir keluarganya, dan pernah menjagal kakak iparnya?
Tapi, tak adil kalau dia tak diberi tahu.
“Pasti sangat memuaskan bekerja sebagai psikiater,” ujar
Alexandra. “Anda bisa menolong banyak orang.”
“Ada kalanya bisa,” Peter berkata hati‐hati. “Tapi,
terkadang tidak juga.”
Makanan yang mereka pesan datang. Mereka makan
sambil mengobrol. Cepat sekali keduanya merasa akrab.
Peter terpesona oleh Alexandra. Mendadak dia merasa tak
enak, karena dalam hatinya timbul rasa iri pada George
Mellis. “Aku senang sekali makan siang bersama Anda siang
ini,” Alexandra, akhirnya berkata. “Tapi, pasti ada alasan
mengapa Anda merasa perlu bertemu denganku. Bukankah
begitu, Dr. Templeton?”
Saatnya sudah sampai.
“Begitulah. Aku— “
Peter berhenti. Kata‐katanya yang berikut akan
menghancurkan hidup wanita cantik ini. Maksudnya
menemui dia siang ini adalah memberi tahu tentang
kecurigaan‐kecurigaannya dan mengusulkan agar
suaminya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi, setelah
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bertemu dengan Alexandra, Peter merasa tugasnya tak
gampang. Teringat lagi dalam benaknya kata‐kata George
Mellis: Keadaannya memburuk. Kecenderungannya buat
melakukan bunuh diri membuatku kuatir. Peter melihat
Alexandra sebagai wanita yang normal dan bahagia.
Mungkinkah ini akibat obat‐obatan yang dia minum? Paling
tidak, itu bisa ditanyakan. “Kudengar John Harley memberi
Anda obat— “
Mendadak suara George Mellis terdengar di dekatnya.
“Oh, di sini rupanya kau, Sayangku! Aku menelepon ke
rumah. Katanya kau ke sini.” Lelaki itu menoleh ke Peter.
“Wah, senang bertemu Anda, Dr. Templeton. Boleh
nimbrung?”
Kesempatannya pun lenyap.
“Mengapa Templeton ingin ketemu Alexandra?” tanya
Eve.
“Aku tak punya bayangan sama sekali,” ujar George.
“Untung saja dia meninggalkan pesan di rumah ke mana
perginya kalau aku perlu dia. Makan siang dengan Peter
Templeton. Astaga! Untung saja aku cepat sampai ke sana!”
“Aku tak suka mendengarnya.”
“Percayalah padaku. Alexandra tak tahu apa‐apa. Dia
kutanyai. Katanya, mereka tak mendiskusikan hal khusus.”
“Kurasa, sebaiknya cepat kita selesaikan saja rencana
kita.”
George Mellis merasa gairah seksualnya bergolak
mendengar kata‐kata Eve. Sudah lama betul dia
menunggu‐nunggu saat ini. “Kapan?”
“Sekarang.”
33
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
PUSING‐PUSINGNYA makin sering menyerang. Pikiran
Kate tak lagi terang. Sering dia duduk mempelajari usulan
pengambilan dan penyatuan suatu perusahaan, dan
kemudian mendadak ingat, bahwa penyatuannya sudah
dilakukan sepuluh tahun berselang. Dia takut. Akhirnya dia
menuruti gagasan Brad Rogers—berkonsultasi dengan
John Harley.
Sudah lama sekali Dr. Harley membujuk agar Kate cek
kesehatan total. Tapi, selama ini usahanya sia‐sia.
Kunjungan Kate kali ini dimanfaatkan betul oleh dokter itu.
Dia memeriksa Kate dengan sangat teliti. Sesudah selesai,
dokter itu meminta Kate menunggu. John Harley merasa
tak enak. Kate Blackwell masih sangat cerdas buat usianya.
Tapi, ada tanda‐tanda yang menguatirkan. Ada pengerasan
pembuluh darah. Itu sebabnya dia sering pusing dan
berkunang‐kunang serta kurang jelas berpikir. Semestinya
perempuan itu sudah pensiun sejak bertahun‐tahun yang
silam. Tapi, dia masih terus bertahan—tak mau menye‐
rahkan kendali perusahaan kepada orang lain. Dengan
siapa aku harus bicara? pikir John Harley. Aku sendiri
mestinya sudah lama pensiun.
Menghadapi hasil pemeriksaannya, John Harley berkata
pada Kate, “Aku iri melihat kondisi badanmu, Kate.”
“Hentikan basa‐basimu, John. Apa sebetulnya yang
mengganggu kesehatanku?”
“Umur. Ada sedikit pengerasan pembuluh darah dan— “
“Arteriosderosis?”
“Oh. Itukah istilah kedokterannya?” tanya Dr. Harley.
“Apa pun namanya, kau menderita itu.”
“Seburuk apa situasinya?”
“Buat usiamu, menurutku ini normal. Hal‐hal begini
sifatnya relatif.”
“Ada obat yang bisa kauberikan buat menghentikan
gangguan pusing ini? Aku tak mau pingsan di ruang rapat,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
di hadapan banyak orang yang hampir semuanya lelaki.
Bisa bikin wanita tampak lemah.”
John Harley mengangguk. “Ah, itu tak jadi masalah.
Kapan kau merencanakan pensiun, Kate?”
“Sesudah punya buyut lelaki yang bisa meneruskan
perusahaan.”
Kedua sahabat yang telah saling mengenal. Sejak
puluhan tahun yang lalu itu kemudian mengobrol. John
Harley tidak selalu sependapat dengan Kate. Tapi, dia
kagum melihat keberanian perempuan itu.
Seolah membaca yang ada dalam pikiran dokter itu, Kate
berkeluh‐kesah. “Tahukah kau apa yang paling
mengecewakan dalam hidupku, John? Eve. Sebetulnya, aku
sangat menyayangi anak itu. Aku bercita‐cita memberikan
dunia ini kepadanya. Tapi, dia tak pernah peduli pada siapa
pun kecuali dirinya sendiri.”
“Kau salah, Kate. Eve sangat sayang padamu.”
“Hm. Bisa saja kau.”
“Aku tahu itu. Baru‐baru ini dia—” John mesti memilih
kata‐kata dengan sangat hati‐hati— “mengalami
kecelakaan hebat. Hampir dia mati dibuatnya.”
Hati Kate luluh. “Mengapa—mengapa kau tak
memberiku kabar?”
“Eve melarangku. Katanya, dia kuatir kau panik. Dia
minta aku berjanji takkan memberi tahu kau.”
“Astaga,” bisik Kate dengan nada pilu. “Bagaimana dia
sekarang?” tanyanya serak.
“Sudah sehat kembali.”
Kate duduk. Matanya menerawang. “Terimakasih, John.
Terima kasih aku kauberi tahu.”
“Kau kuberi resep pil.” Sesudah selesai menulis
resepnya, John Harley melihat ke depannya. Kate sudah
pergi.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
***
Eve membukakan pintu. Dia bengong, tak percaya
melihat yang ada di depannya. Neneknya berdiri di luar.
Tegap seperti dulu. Sama sekali tak kelihatan lemah.
“Boleh masuk?” tanya Kate.
Eve minggir, tak percaya akan apa yang sedang terjadi.
“Tentu.”
Kate masuk dan mengamati apartemen kecil cucunya.
Tapi, dia tak memberi komentar. “Boleh duduk?”
“Maaf. Silakan. Maafkan aku—begini. Ini sangat—Mau
minum apa? Teh, kopi, atau lainnya?”
“Tak perlu, Eve. Terima kasih. Kau sehat‐sehat, Eve?”
“Ya. Terima kasih, Nek. Aku sehat.”
“Aku baru saja dari tempat Dr. John. Dia memberi tahu
kau baru mengalami kecelakaan hebat.”
Eve mengamati neneknya dengan hati‐hati. Dia tak pasti
apa yang selanjutnya akan diucapkan neneknya. “Ya...”
“Dia bilang... kau hampir mati. Dia juga bilang, kau
melarangnya memberi tahu aku karena kau takut aku
panik.”
Jadi itu yang jadi sebabnya. Eve merasa punya tempat
berpijak yang lebih pasti sekarang. “Betul, Nek.”
“Buatku, itu menunjukkan, bahwa—”mendadak suara
Kate tersendat, “kau menyayangiku.”
Eve merasa lega bukan main. “Tentu saja aku sayang
sama Nenek. Dari dulu juga sayang.”
Sesaat kemudian, Eve sudah berada dalam pelukan
neneknya. Kate memeluk Eve erat‐erat sambil mencium
kepala berambut pirang di pangkuannya. Dia berbisik, “Aku
ini tolol. Kau mau memaafkan aku, kan, Eve?” Kate
mengeluarkan saputangan dan membersihkan ingus di
hidungnya. “Aku terlalu keras memperlakukanmu,” tukas‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
nya. “Bayangkan kalau sesuatu sampai terjadi padamu. Aku
takkan bisa memaafkan diriku.”
Eve mengelus tangan neneknya yang berotot biru.
Belaiannya lembut menghibur. “Aku tidak apa‐apa kok,
Nek. Segalanya baik‐baik saja.”
Kate berdiri. Dia mengerjapkan matanya agar tak
menangis. “Kita mulai lagi dari awal. Oke?” Dia menarik Eve
hingga, berdiri berhadap‐hadapan dengannya. “Aku selama
ini keras kepala—seperti ayahku. Akan kuubah itu. Yang
pertama‐tama hendak kulakukan adalah mengembalikan
kau sebagai ahli waris dalam surat wasiatku. Itu hakmu,
Nak.”
Kejadian ini seperti mimpi! “Aku tak peduli dengan
uangnya, Nek. Yang paling penting buatku cuma Nenek.”
“Kau ahli warisku—kau dan Alexandra. Kalian berdua
darah dagingku.”
“Sebetulnya, aku sudah puas hidup begini,” ujar Eve.
“Tapi, kalau hal itu akan membuat Nenek merasa lebih
senang— “
“Aku akan merasa senang sekali, Sayang.
Sungguh‐sungguh senang dan bahagia. Kapan kau bisa
pindah kembali dan tinggal bersamaku?”
Sejenak, Eve merasa ragu. “Mungkin, yang paling baik
aku tetap tinggal di sini. Tapi, aku berjanji akan
sering‐sering menengok Nenek. Oh, Nek, Nenek pasti tak
tahu betapa kesepiannya aku selama ini.”
Kate meraih tangan cucunya. “Kau mau memaafkanku,
kan, Eve?”
Eve menatap mata neneknya. Katanya dengan
bersungguh‐sungguh, “Tentu saja aku memaafkan Nenek,
Nek.”
Begitu neneknya pulang, Eve mencampur minuman lalu
menjatuhkan diri di kursi memikirkan kejadian barusan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ingin rasanya dia berteriak‐teriak kegirangan. Dia dan
Alexandra kini menjadi ahli waris kekayaan keluarga
Blackwell. Menyingkirkan Alexandra bukan masalah sulit.
George Mellis yang dipikirkan Eve. Mendadak saja lelaki itu
menjadi penghalang yang mengganggu buatnya.
“Rencanaku berubah,” kata Eve kepada George. “Kate
menaruh kembali namaku di surat wasiatnya.”
George yang sedang menyalakan korek hendak
menyulut rokok terdiam. “Sungguh? Selamat dong!”
“Kalau sekarang Alexandra sampai mengalami
kecelakaan, bisa menimbulkan kecurigaan. Jadi, sebaiknya
nanti saja kita singkirkan dia kalau—”
“Buatku, menunggu tak menyenangkan lagi. “
“Maksudmu?”
“Aku bukan orang bodoh, Sayang. Kalau sampai
Alexandra mengalami kecelakaan, akulah yang bakal
mewarisi sahamnya. Kau ingin menyingkirkanku sekarang,
bukan?”
Eve mengangkat bahu. “Kita katakan saja kau komplikasi
yang mestinya tak perlu ada. Aku mau bikin janji dengan
kau. Ceraikan Alexandra. Begitu aku mendapatkan uangnya,
kau akan kuberi—”
George tertawa. “Kau ini lucu. Itu tak ada gunanya,
Sayang. Tak ada yang berubah. Alex dan aku janji ketemu di
Dark Harbor Jumat malam. Aku akan mempertahankan
rencana ini.”
Alexandra kegirangan ketika mendengar Nenek dan Eve
rujuk. “Kita sekarang jadi satu keluarga lagi,” ujarnya.
Telepon berdering.
“Halo. Mudah‐mudahan aku tak mengganggumu, Eve.
Keith Webster ini.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dia mulai menelepon Eve dua‐tiga kali seminggu.
Mula‐mula kekagokannya menyenangkan buat Eve. Tapi,
akhir‐akhir ini dia mulai merasa terganggu.
“Aku tak bisa mengobrol sekarang,” ucap Eve. “Aku
persis hendak berangkat.”
“Oh.” Suaranya meminta maaf. “Kalau begitu, silakan.
Aku punya dua karcis pacuan kuda minggu depan. Aku tahu
kau suka sekali kuda. Kupikir kau—”
“Maaf. Minggu depan kemungkinan aku harus ke luar
kota.”
“Oh.” Terdengar kekecewaan pada suara lelaki itu.
“Bagaimana kalau minggu sesudahnya? Nanti kucarikan
karcis pertunjukan. Kau suka nonton apa?”
“Aku sudah melihat semuanya,” Eve menyahut ketus.
“Maaf. Aku mesti pergi sekarang.” Eve menaruh gagang
telepon. Sudah waktunya dia berdandan. Dia hendak
menemui Rory McKenna, seorang aktor muda yang
ditemuinya di salah satu pertunjukan Broadway. Dia lima
tahun lebih muda dari Eve. Eve menganggapnya seperti
kuda jantan yang sukar dijinakkan. Membayangkan lelaki
itu mencumbunya membuat Eve merasa pangkal pahanya
basah. Dia tak sabar menanti petang yang menggairahkan
nanti.
Dalam perjalanan pulang, George Mellis mampir ke toko
bunga—membeli bunga buat Alexandra. Hatinya sedang
gembira. Ironis, bahwa Kate menjadikan Eve ahli warisnya
lagi. Tapi kenyataan itu tak membawa perbedaan buatnya.
Setelah Alexandra mengalami kecelakaan, dia akan mena‐
ngani Eve. Segala persiapannya sudah dilakukan. Hari
Jumat, Alexandra akan menunggunya di Dark Harbor. “Kita
berdua saja, Alex,” pintanya sembari mengecup istrinya.
“Tak perlu ada pelayan segala.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Peter Templeton tak bisa melupakan Alexandra Mellis.
Suara George Mellis bagai tak hentihentinya bergema di
telinganya. Aku akan mengajaknya berlibur. Kukira dia
butuh perubahan suasana. Firasat Peter mengatakan
Alexandra dalam keadaan bahaya. Tapi, dia tak punya
kemampuan untuk berbuat sesuatu. Dia tak mungkin
mendatangi Nick Pappas dan menceritakan kecurigaannya.
Dia tak punya bukti.
Di seberang kota, di ruang eksekutif KrugerBrent, Ltd.,
Kate Blackwell sedang menandatangani surat wasiat baru.
Surat wasiat itu menyebutkan, bahwa kekayaan keluarga
Blackwell akan jatuh ke tangan kedua cucunya.
Di luar kota New York, Tony Blackwell sedang berdiri di
muka kanvas gambarnya, di halaman sanatorium
tempatnya dirawat. Lukisan di kanyas itu terdiri dari
bermacam‐macam goresan warna. Mirip lukisan anak kecil
yang tak berbakat menggambar. Tony mundur, mengamati
lukisannya sambil tersenyum puas.
Jumat, pukul 10 lewat 57 menit pagi hari
Di Bandara La Guardia, sebuah taksi berhenti di muka
terminal shuttle Eastern Airlines. Eve Blackwell turun dari
dalamnya. Dia memberikan selembar uang seratus dollar
kepada sopir taksinya.
“Aku tak punya uang kembali, Nona,” ujar sopir itu. “Ada
uang kecil?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, tukarkan dulu uangnya.”
“Aku tak punya waktu. Aku harus mengejar pesawat
shuttle berikut ke Washington.” Dia melihat Baume &
Mercier di pergelangan tangannya, lalu memutuskan.
“Ambil saja deh seratus dollar itu,” katanya pada si sopir.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve bergegas ke terminal. Setengah berlari dia menuju
gerbang pemberangkatan bertanda Washington Shuttle.
“Satu tiket pulang‐pergi ke Washington,” ucap Eve
terengah.
Lelaki yang bertugas melihat jam dinding di atasnya.
“Terlambat dua menit. Pesawat yang barusan sudah
terbang dua menit yang lalu.”
“Seharusnya aku menumpang pesawat itu. Aku janji
bertemu—Ada yang bisa Anda lakukan?” Eve hampir panik.
“Tenang, Non. Sejam lagi ada pesawat berangkat ke
sana.”
“Itu terlalu—sial!”
Lelaki itu menyaksikan Eve menguasai diri akhirnya.
“Baiklah. Aku tunggu yang berikutnya. Ada kantin
dekat‐dekat sini?”
“Tak ada. Tapi, di koridor sebelah sana ada mesin
pembuat kopi.”
“Terima kasih.”
Petugas itu mengamati Eve. Cantik sekali. Pasti dia punya
janji bertemu dengan kawan lelakinya.
Jumat, pukul 2 siang.
Bulan madu kedua, pikir Alexandra. Dia bergairah. Tak
usah pakai pelayan segala. Aku kepingin kita berdua saja,
Bidadariku. Pasti akhir pekan kita nanti asyik. Alexandra
meninggalkan rumah mereka menuju ke Dark Harbor
untuk menemui George. Jadwalnya terlambat. Makan siang
tadi ternyata lebih lama dari yang semula dia perkirakan.
Dia mengatakan kepada pelayan di rumah, “Aku berangkat
sekarang. Pulang hari Senin pagi.”
Ketika Alexandra sampai ke pintu depan, telepon
berdering. Aku sudah telat. Biar saja teleponnya berdering,
pikirnya, sambil berlari ke luar.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jumat, pukul 7 petang.
George Mellis sudah berulang kali mempelajari rencana
Eve. Tak ada cacatnya sama sekali. Akan ada selancar motor
menunggumu di Philbrook Cove. Bawa selancar itu ke Dark
Harbor dan jangan sampai kau kelihatan. Tambatkan di
buritan Corsair. Bawa Alexandra berlayar ketika terang
bulan. Sesudah berada jauh di laut, lakukan apa saja yang
terpikir olehmu, George—yang penting, jangan sampai
meninggalkan bercak darah. Ceburkan tubuhnya ke laut,
cepat naik ke selancar dan tinggalkan Corsair terapung.
Bawa kembali selancarnya ke Philbrook Cove, kemudian
naiklah feri Lincolnville ke Dark Harbor. Dari dermaga,
ambil saja taksi buat membawamu ke rumah. Cari alasan
supaya sopir taksinya ikut masuk, biar kalian duaduanya
menyaksikan Corsair tak ada di dermaga. Begitu tahu
Alexandra pergi, kau cepat panggil polisi.
Polisi tak bakal menemukan tubuh Alexandra. Pasti sudab
dibawa ombak ke lautan. Dua dokter kenamaan bisa
memberi kesaksian, bahwa sangat mungkin kematiannya
diakibatkan bunuh diri.
George mendapatkan selancar motor buatnya siap di
Philbrook Cove, menantinya, sesuai dengan rencana.
Tanpa menyalakan lampu dan hanya memanfaatkan
cahaya bulan, dia mengemudikan selancar itu. Tanpa
ketahuan, dia melewati beberapa perahu lain yang sedang
berlabuh, dan akhirnya tiba di wilayah pantai rumah
keluarga Blackwell. Mesinnya dia matikan sementara tali
penambatnya dia lemparkan ke Corsair, perahu pesiar
keluarga Blackwell yang berukuran besar.
Alexandra sedang mengobrol di telepon waktu George
masuk. Melambaikan tangan, dia menutupi lubang bicara
telepon dengan tangan satunya sambil memberi tahu,
“Eve.” Sesaat dia mendengarkan suara di sebelah sana
telepon. Kemudian katanya, “Aku mesti pergi sekarang, Eve.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kekasihku baru saja datang. Sampai ketemu pada janji
makan siang kita minggu depan.” Dia menaruh gagang
telepon dan bergegas mendapatkan George. “Kau datang
lebih cepat. Senang, deh!” ucapnya manja sambil memeluk
lelaki itu.
“Aku kangen sekali padamu. jadi, semuanya
kutinggalkan dan buru‐buru kemari.”
Dia mengecup George. “Aku sayang padamu.”
“Aku juga, matia mou. Pelayannya sudah kausuruh
pulang?”
Dia tersenyum. “Kita cuma berdua saja. Aku punya
kejutan. Coba tebak, apa? Aku bikin moussaka buat kau.”
George meraba puting susu yang mencuat di balik blus
sutera yang dikenakan istrinya. “Tahu yang kupikirkan
sepanjang hari di kantor tadi? Berlayar bersamamu.
Anginnya sedang enak. Kita berlayar, yuk.”
“Kalau itu memang maumu. Tapi, moussakanya—”
George meraup buah dada istrinya dengan tangannya.
“Makan malam bisa nanti, kan? Yang ini tidak.”
Alexandra tertawa. “Baiklah. Aku ganti dulu. Tunggu
sebentar, ya?”
“Kita adu cepat, yuk!”
George naik ke kamar dan mengganti pakaiannya
sendiri. Dia memakai celana panjang dari bahan kaos,
sweater, dan sepatu berlayar. Saat yang ditunggu‐tunggu
telah tiba. Dirinya diliputi oleh perasaan bergairah yang
meletup‐letup.
Terdengar suara Alexandra. “Aku sudah siap, Sayang.”
Alexandra berdiri di pintu, mengenakan sweater, celana
panjang hitam, dan sepatu kanvas. Rambutnya yang pirang
panjang diikat ke belakang dengan pita kecil biru. Ya,
Tuhan, cantiknya dia! pikir George. Rasanya sayang menyia‐
nyiakan kecantikan seperti itu.
“Aku juga siap,” sahut George.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alexandra melihat ada selancar motor kecil tertambat di
buritan Corsair. “Buat apa itu, Sayang?”
“Ada pulau kecil di ujung teluk sebelah sana. Sudah lama
aku kepingin menjelajah pulau itu”, jelas George. “Nanti kita
naik selancar kecil itu ke sana. Dengan selancar kecil, kita
tak perlu kuatir menabrak karang.”
George melepaskan tali penambat, lalu perlahan‐lahan
mengeluarkan Corsair dari wilayah dermaga‐menuju ke
arah datangnya angin agar layar utama dan layar
topangnya mengembang. Perahu itu pun bergerak ke
kanan. Angin mengembus layarnya yang lebar, dan Corsair
pun bergerak maju. George mengarah ke laut lepas. Selepas
mereka dari lingkungan teluk, perahu itu mulai miring.
Terali pagar deknya naik‐turun.
“Hm, bebas dan indahnya, George! Aku bahagia sekali,
Sayang.”
George tersenyum. “Aku juga Ebook by : Hendri Kho by
Dewi KZ http://kangzusi.com/.”
Entah mengapa, George Mellis merasa puas Alexandra
merasa bahagia. Setidaknya, dia akan mati dalam
kebahagiaan. George mengamati cakrawala, memastikan
tak ada kapal atau perahu lain di sekitar situ. Cuma ada
cahaya lemah samar‐samar di kejauhan. Waktunya sudah
tiba.
Kemudi perahu ia pindahkan ke otomatis.
Sembari sekali lagi mengamati cakrawala, George Mellis
menuju ke terali pagar dek. Hatinya berdebar penuh gairah.
l
“Alex,” serunya. “Coba lihat ini.”
Alex bergegas berlari mendapatkan George.
Kini matanya memandang air dingin yang gelap
membuncah di bawah sana.
“Ayolah, Sayang.” Suaranya serak, bernada memerintah.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alex menghambur ke pelukan suaminya. George
melumat bibirnya. Tangannya memeluk tubuhnya yang
molek. Terasa tubuh itu mulai santai dalam pelukannya.
George mengencangkan ototnya, lalu mengangkat dan
menggendongnya ke arah terali pagar dek.
Mendadak dia meronta. “George!”
George mengangkatnya lebih tinggi. Terasa dia berusaha
melepaskan diri. Tapi, George jauh lebih kuat. Dia sudah
hampir berada di atas terali pagar dek sekarang. Kakinya
meronta‐ronta. George mengumpulkan tenaga buat
melemparkannya ke seberang sana. Pada ketika itu,
mendadak George merasakan nyeri menusuk di dadanya.
Semula, dia berpikir, Wah, serangan jantung aku rupanya.
Dia membuka mulut hendak bicara. Tapi, darah menciprat
ke luar. Tangannya diturunkan, dan dia memandang
dadanya dengan tak percaya. George mendongakkan
kepala. Wanita itu berdiri di sana dengan pisau berlumur
darah di tangannya. Senyum puas menghiasi wajahaya.
Yang terakhir sempat terpikir oleh George Mellis adalah,
Eve...
34
SUDAH jam sepuluh malam waktu Alexandra tiba di
rumah di Dark Harbor. Dia mencoba menelepon George
beberapa kali, tetapi tak ada sahutan. Dia cuma bisa
berharap George takkan marah gara‐gara
keterlambatannya. jengkel betul dia dengan penyebab
semuanya ini. Siang itu, waktu Alexandra berangkat
menuju Dark Harbor, teleponnya berdering. Dia berpikir,
Aku sudah telat, Biar saja telepon itu berdering. Dia lalu
masuk ke mobil. Pelayan berlari‐lari menyusulnya.
“Nyonya Mellis! Kakak Anda. Katanya penting sekali.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Waktu Alexandra mengangkat gagang telepon, Eve
berkata, “Alex, aku sedang di Washington D. C. Aku dapat
masalah serius. Aku butuh ketemu kau. “
“Aku akan menemuimu,” ujar Alexandra dengan cepat.
“Tapi, aku mau berangkat ke Dark Harbor sekarang—
menemui George. Aku pulang hari Senin. Nanti— “
“Ini tak bisa ditunda,” suara Eve terdengar putus asa.
“Kau mau menungguku di Bandara La Guardia, kan? Aku
pasti datang dengan pesawat yang jam lima.”
“Aku sebetulnya mau, Eve. Tapi, aku sudah bilang sama
George— “
“Ini masalah penting sekali, Alex. Tapi, kalau kau
memang terlalu sibuk...”
“Tunggu! Baiklah. Aku akan menunggumu di sana.”
“Terima kasih, Dik. Kau memang bisa kuandalkan.”
Eve jarang‐jarang minta bantuannya. Alexandra tak tega
menolaknya. Biar nanti dia menumpang pesawat yang agak
malam menuju ke pulau. Dia menelepon George di kantor,
hendak memberi tahu bahwa kedatangannya akan
terlambat. Tapi, George tak ada di kantor. Alexandra
meninggalkan pesan pada sekretarisnya. Sejam kemudian
dia naik taksi ke La Guardia, persis menjelang kedatangan
pesawat yang datang jam lima dari Washington. Eve tak
muncul. Alexandra menunggu dua jam. Tapi tetap saja Eve
tak muncul. Alexandra tak tahu alamat Eve di Washington
atau nomor teleponnya. Akhirnya, karena tak ada lagi yang
bisa dilakukan, Alexandra naik pesawat ke pulau. Ketika
menuju ke Cedar Hill House, tampak rumah itu gelap.
Masakan George belum datang sampai malam begitu?
Sesampainya di sana, Alexandra masuk‐keluar ruangan,
menyalakan lampu.
“George?”
Tak kedengaran sahutan. Alexandra menelepon rumah
mereka di Manhattan. Pelayan yang menyahut.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Apa, Tuan Mellis ada di situ?” tanya Alexandra.
“Tidak ada, Nyonya Mellis. Katanya Anda berdua akan
berakhir pekan di luar.”
Tak ada sebab yang masuk akal mengapa George belum
juga sampai. Jangan‐jangan ada urusan penting di kantor
yang mendadak mengganggu jadwalnya. Mitra George
selalu memberikan segala pekerjaan kepada George.
Tunggu saja. Dia pasti datang sebentar lagi. Alexandra
memutar nomor telepon Eve.
“Eve!” seru Alexandra. “Kutunggu kau di La Guardia
sampai dua jam lebih. Kenapa?”
“Kau yang kenapa? Aku menunggumu di Kennedy.
Waktu kau tak juga muncul‐“
“Kennedy! Kaubilang tadi La Guardia.”
“Bukan, Alex. Aku bilang Kennedy.”
“Tapi—” Sudah tak ada artinya lagi. “Maaf,” ujar
Alexandra. “Mungkin aku salah tangkap. Bagaimana
keadaanmu? Baik‐baik, kan?”
Kata Eve, “Sekarang sudah baik. Tadi... ya, ampun! Aku
terlibat dengan seorang lelaki‐tokoh politik besar di
Washington. Dia cemburu setengah. mati lalu—” Eve
tertawa. “Detilnya tak bisa kubicarakan lewat telepon.
Kepanjangan. Hari Senin saja kuceritakan.”
“Oke, sahut Alexandra. Dia lega bukan main.
“Selamat bersantai,” kata Eve. “Bagaimana George?”
“Dia belum datang.” Alexandra berusaha agar suaranya
tak kedengaran kuatir. “Pasti tertunda oleh urusan kerjaan
lagi dan tak sempat meneleponku.”
“Pasti sebentar lagi juga datang. Selamat malam, Alex.”
“Selamat malam, Eve.”
Alexandra menaruh telepon dan berpikir,
Mudahmudahan Eve dapat lelaki yang baik. Lelaki yang
baik dan penyayang seperti George. Alexandra menilik jam
di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam sebelas.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Masakan sampai sekarang dia belum bisa juga menelepon?
Alexandra memutar nomor telepon kantor George. Tak ada
sahutan. Dia mencoba menelepon ke klab yang biasa
didatangi suaminya. Tuan Mellis belum kelihatan ke situ,
terdengar jawaban. Menjelang tengah malam, Alexandra
mulai panik. Jam satu kepanikannya memuncak. Dia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin saja George keluar
membawa pelanggannya dan tak bisa menemukan telepon.
Atau, mungkin saja mendadak dia mesti terbang entah ke
mana dan tak bisa mengabari dulu sebelum berangkat.
Pasti sebabnya sederhana. Kalau dia menelepon polisi dan
mendadak George datang, dia akan seperti orang tolol.
Jam 2 pagi, Alexandra menelepon polisi. Di Pulau
Islesboro sendiri tak ada pos polisi. Pos polisi terdekat
letaknya di Waldo County.
Suara yang menyahut kedengaran mengantuk,
“Pos Polisi Waldo County—Sersan Lambert.”
“Ini dari Nyonya George Mellis di Cedar Hill House.”
“Ya, Nyonya Mellis.” Suaranya mendada sigap. “Bisa kami
bantu?”
“Terus‐terang, aku sendiri tak merasa pasti,” Alexandra
berkata ragu. “Suamiku berjanji datang menemuiku di sini
petang tadi, tapi dia belum jug muncul.”
“Oh.” Banyak yang tersirat dari sepatah kata itu. Sersan
itu tahu paling tidak ada tiga alasan yang menyebabkan
seorang suami belum sampai ke rumah pada jam dua
subuh: cewek berambut pirang, coklat, atau merah.
Tapi, dengan bijaksana sersan itu bertanya,
“Mungkinkah‐ada suatu urusan yang menyebabkan
kedatangannya tertunda?”
“Kalau begitu, dia biasanya—menelepon.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tapi, Anda tentu tahu sendiri, Nyonya Mellis. Terkadang
ada suatu situasi yang membuat seseorang menelepon pun
tak bisa. Tunggu saja dulu.”
Dugaannya betul. Dia merasa seperti orang tolol. Tentu
saja polisi tak bisa apa‐apa. Pernah dia baca, entah di mana,
bahwa polisi takkan berusaha mencan sampai seseorang
dinyatakan hilang lebih dari dua puluh empat jam. Dan,
demi Tuhan, George bukan hilang. Dia cuma terlambat.
“Baiklah,” ujar Alexandra. “Maaf, aku mengganggu Anda.”
“Tidak apa‐apa, Nyonya Mellis. Kurasa, dia pasti
menumpang feri pertama‐jam tujuh pagi besok.”
George tak datang dengan feri yang datangnya jam tujuh
esok paginya. Dia tak ada juga di feri berikutnya. Alexandra
menelepon rumah mereka di Manhattan lagi. George tak
ada di sana.
Alexandra merasa dicekam ketakutan. Jangan‐jangan
George mendapat kecelakaan, sakit, atau mati. Ah,
seandainya saja tak terjadi salah paham dengan Eve di
bandara! Mungkin George sudah datang. Ketika tahu dia tak
ada di sana, George pergi lagi. Tapi, kalau itu yang terjadi,
dia pasti meninggalkan pesan. Jangan‐jangan dia dirampok
atau diculik. Alexandra masuk‐keluar ruangan Cedar Hill
House—mencari‐cari yang bisa dijadikan jejak. Tak ada
yang aneh. Dia lalu menuju ke dermaga. Corsair ada di
situ‐tertambat aman di dermaga.
Dia menelepon pos polisi Waldo County lagi. Kali ini
teleponnya diterima oleh Letnan Philip Ingram, seorang
veteran yang sudah dua puluh tahun bertugas di sana. Dia
sudah tahu bahwa George Mellis tidak pulang semalaman.
Itu jadi topik pembicaraan utama di pos subuh tadi.
Katanya kepada Alexandra, “Masih belum ada jejak sama
sekali, Nyonya Mellis? Baiklah. Aku sendiri akan ke situ.”
Dia merasa pasti itu cuma akan buang‐buang waktu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Suaminya mungkin sekali sedang jadi kucing jantan yang
berkeliaran di suatu lorong. Tapi, kalau keluarga Blackwell
yang menelepon, rakyat kecil harus cepat datang, pikirnya
kesal. Paling tidak, perempuan yang ini baik. Sudah
beberapa kali dia bertemu dengan Alexandra.
“Sejam lagi, kira‐kira, aku balik,” tururnya pada petugas
lainnya yang berjaga.
Letnan Ingram mendengarkan cerita Alexandra,
memeriksa seluruh bagian rumah dan dermaga. Akhirnya
dia memutuskan, bahwa Alexandra memang punya
masalah. George Mellis punya janji bertemu dengan istrinya
petang kemarin di Dark Harbor, tapi dia tak muncul.
Meskipun bukan masalahnya, letnan itu tahu bahwa
menolong keluarga Blackwell tak ada ruginya. Ingram
menelepon ke lapangan terbang pulau itu, juga ke terminal
feri di Lincolnville. Berita yang didapat, George Mellis tak
terdaftar sebagai pemakai jasa di kedua tempat itu selama
dua puluh empat jam terakhir. “Dia memang belum ke Dark
Harbor,” ujar si letnan pada Alexandra. Jadi apa yang
tojadi? Mengapa lelaki itu mendadak hilang dari peredaran?
Akal sehat Letnan Ingram mengatakan, tak mungkin lelaki
meninggalkan perempuan seperti Alexandra atas
kemauannya sendiri.
“Kita cari informasi dari rumah sakit dan r—” Letnan itu
cepat mengubah kata‐katanya, “dan tempat lain. Aku akan
mengirim telegram ke pos‐pos polisi lainnya supaya
mencari dia.”
Alexandra berusaha menguasai emosinya. Letnan
Ingram tahu betapa sulitnya itu. “Terima kasih, Letnan. Aku
betul‐betul menghargai setiap usaha Anda.”
“Itu sudah pekerjaanku,” sahut Letnan Ingram.
Setiba di posnya, Letnan Ingram segera menelepon
rumah‐rumah sakit dan kamar mayat. Jawaban yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
didapat negatif. George Mellis tidak dilaporkan mendapat
kecelakaan. Langkah berikut yang diambil letnan itu adalah
menelepon kawannya, seorang wartawan Maine Courier.
Sesudahnya dia mengirimkan kabar orang hilang ke semua
pos polisi.
Surat kabar siang itu memuat berita dengan judul besar:
SUAMI PEWARIS KEKAYAAN BLACKWELL HILANG.
Peter Templeton semula mendengar kabarnya dari
Detektif Nick Pappas.
“Peter, kau ingat kan, baru saja kau memintaku cari
informasi tentang diri George Mellis?”
“Ya...
“Dia menghilang.”
“Dia apa?”
“Menghilang, lenyap, pergi.” Dia menunggu sementara
Peter mencerna apa yang didengarnya.
“Bawa sesuatu? Uang, pakaian, paspor?”
“Tidak. Menurut laporan yang kami terima dari Maine,
Tuan Mellis lenyap begitu saja. Kau yang merawat dia.
Kupikir, mungkin kau punya ide mengapa dia berbuat
begitu.”
Dengan jujur Peter menyahut, “Aku sama sekali tak
punya ide, Nick.”
“Kalau terpikir sesuatu olehmu, beri tahu aku. Ini pasti
jadi berita hangat.”
“Oke,” janji Peter.
Tiga puluh menit sesudahnya, Alexandra Mellis
menelepon Peter Templeton. Suaranya terdengar panik
oleh Peter. “Aku—George hilang. Tidak ada orang yang tahu
apa yang terjadi dengannya. Aku berharap suamiku
menceritakan sesuatu kepada Anda, yang mungkin bisa
dijadikan jejak atau— “ Kata‐katanya putus.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Maaf sekali, Nyonya Mellis. Dia tidak mengatakan
apa‐apa. Aku sendiri tak punya gambaran tentang apa yang
terjadi.”
“Oh.”
Peter ingin menenangkan Alexandra. “Kalau teringat
sesuatu olehku, pasti Anda segera kutelepon. Di mana Anda
sekarang?”
“Aku masih di Dark Harbor sekarang. Tapi, nanti sore
kembali ke New York. Aku akan berada di rumah nenekku.”
Alexandra tak bisa membayangkan berada sendirian di
rumah dalam keadaan begitu. Sepagi itu sudah beberapa
kali dia menelepon Kate. “Kurasa, kau tak usah terlalu
kuatir, Nak,” Kate berkata. “Mungkin dia pergi buat urusan
bisnis dan lupa memberi tahu kau.”
Baik Kate maupun Alexandra tak yakin bahwa itu yang
terjadi.
Eve mendengar berita tentang menghilangnya George di
televisi. Potret bagian luar Cedar Hill, House diperlihatkan,
lalu potret perkawinan Alexandra dan George. Ada satu
potret close‐u'p George sedang mendongakkan kepala dan
mendelik. Melihatnya, Eve teringat akan kekagetan lelaki
itu sesaat sebelum kematiannya.
Penyiar televisi mengatakan, “Tidak diketahui adanya
tanda‐tanda permainan curang, dan belum ada pihak yang
mengajukan permintaan tebusan. Polisi menduga George
Mellis menjadi korban kecelakaan dan menderita amnesia.”
Eve tersenyum puas.
Mereka tak bakal menemukan tubuh George. Sudah
dihanyutkan ombak ke laut. Malang betul nasibnya. Dia
sudah mengikuti rencana yang dibuat Eve dengan
sempurna. Tapi Eve mengubah rencananya semula. Dia
terbang ke Maine dan menyewa perahu motor di Philbrook
Cove. “Buat kawanku,” katanya. Selanjutnya, dari dermaga
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
lain tak jauh dari sana, dia juga menyewa perahu motor lain
dan membawanya ke Dark Harbor. Di sana dia menanti
kedatangan George. Pria itu sama sekali tak curiga apa‐apa.
Eve sudah membersihkan dulu dek Corsair agar tak
menunjukkan tanda apa pun sebelum mengembalikan
kapal pesiar itu ke dermaga tempatnya selalu ditambatkan.
Lalu perahu motor George dia seret dengan perahu kedua
yang disewanya, dan dia kembalikan ke tempatnya semula.
Sehabis mengembalikan perahu motor sewaannya, Eve
terbang kembali ke New York—menanti telepon Alexandra.
Dia merasa pasti Alexandra akan menelepon.
Kejahatan terselubung hebat yang baru saja
dilakukannya. Polisi mengira George menghilang secara
misterius.
Penyiar mengatakan, “Berita lain yang kami terima...”
Eve mematikan pesawat televisinya.
Dia tak mau terlambat. Dia punya janji ketemu dengan
kekasihnya, Rory McKenna.
Jam enam pagi esok harinya, seorang nelayan
menemukan tubuh George Mellis terdampar di pantai
Teluk Penebscot. Semula dikabarkan kematiannya
diakibatkan kecelakaan. Tetapi, makin banyak informasi
yang diterima, isi ceritanya pun mulai berubah. Dari kantor
penyelidik kasus kematian, dikabarkan, bahwa luka yang
tadinya dikira bekas gigitan ikan hiu ternyata bekas
tusukan belati. Surat kabar sore memberitakan: KEMATIAN
GEORGE MELLIS DIDUGA AKIBAT PEMBUNUHAN...
JUTAWAN DITIKAM MATI.
Letnan Ingram mempelajari gambaran arah arus sehari
sebelumnya. Sesudah selesai, dia bersandar di kursinya.
Rupanya bingung. Tubuh George Mellis pasti sudah
terhanyutkan ombak ke lautan seandainya tidak tersangkut
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
di pantai teluk. Herannya, nampaknya tubuh lelaki itu
terbawa arus yang datangnya dari Dark Harbor. Padahal
dari hasil pelacakan, George Mellis tidak diketahui berada
di sana sebelumnya.
Detektif Nick Pappas terbang ke Maine, menemui Letnan
Ingram.
“Mungkin bagian kami bisa menolong Anda dalam kasus
ini,” kata Nick. “Kami Mempunyai latar belakang menarik
tentang George Mellis. Aku tahu ini di luar kebiasaan kita.
Tapi, kalau Anda butuh bantuan kami, kami senang
membantu, Letnan.”
Dalam dua puluh rahun masa kerjanya, Letnan Ingram
belum pernah menangani kasus yang lebih menarik. Kasus
paling menggemparkan yang pernah dia tangani adalah
waktu ada turis mabok dan menembak kepala rusa di
tembok toko barang antik. Berita pembunuhan atas diri
George Mellis menjadi berita utama di berbagai surat
kabar. Letnan Ingram punya perasaan, kejadian ini bisa
mengorbitkan namanya. Kalau mujur, dia bisa diangkat jadi
detektif dan bekerja di kantor pusat di New York. Di situ
baru namanya bekerja sungguhan. Sambil memandang Nick
Pappas, lelaki itu bergumam, “Entahlah...”
Seperti membaca jalan pikirannya, Nick Pappas berkata,
“Kami bukan bermaksud cari nama di sini. Yang pasti, kita
bakal didesak dari sana‐sini dalam kasus ini. Kalau kita bisa
cepat mengambil kesimpulan, hidup kita lebih gampang.
Sebagai contoh, aku bisa membantumu dengan memberi
gambaran tentang latar belakang George Mellis.”
Akhirnya Letnan Ingram memutuskan, tak ada ruginya
berkongsi. “Oke.
Alexandra berbaring di tempat tidur. Dokter
memberinya obat penenang dengan dosis tinggi. Otaknya
menolak menerima kenyataan bahwa George mati
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
terbunuh. Mana mungkin? Sama sekali tidak beralasan ada
orang yang sampai membunuhnya. Kata polisi, ada bekas
tikaman pisau di dadanya. Pasti mereka itu salah. George
mengalami kecelakaan. Takkan ada orang yang punya
niatan membunuhnya.... Takkan ada.... Obat penenang yang
diberikan Dr. Harley akhirnya mengalahkan Alexandra. Dia
terlelap.
Eve kaget bukan main mendengar kabar tentang
ditemukannya tubuh George. Mungkin ada baiknya, pikir
Eve. Pasti Alexandra yang dicurigai. Dia yang ada di sana—
di pulau itu.
Kate duduk di samping Eve di bangku ruang tengah.
Beritanya membawa kejutan besar buat Kate.
“Mengapa ada orang yang berniat membunuh George?”
tanyanya.
Eve cuma menghela napas. “Aku tak tahu, Nek. Sama
sekali tak punya bayangan. Kasihan si Alex.”
Letnan Ingram menanyai penjaga yang bertugas di feri
Lincolnville‐Islesboro. “Kau bisa memastikan bahwa baik
Tuan maupun Nyonya Mellis tak ada yang datang kemari
Jumat siang?”
“Yang pasti, mereka tidak datang pada jam kerjaku, Phil.
Sudah kutanyakan pada yang bertugas pagi harinya. Tapi,
dia pun tidak melihat mereka datang. Pasti mereka datang
menumpang pesawat.”
“Satu pertanyaan lagi, Lew. Ada orang tak kaukenal yang
menyeberang dengan feri hari jumat?”
“Astaga,” ujar si petugas, “kau kan tahu sendiri bahwa
pada bulan‐bulan begini tak ada orang asing datang ke
pulau itu. Musim panas sih, ada satu‐dua turis yang datang.
Tapi, bulan November gini ... ?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Letnan Ingram lalu menemui manajer lapangan terbang
Islesboro. “Bisa kupastikan George Mellis tidak datang
dengan pesawat petang itu, Phil. Pasti dia datang naik feri.”
“Lew bilang dia tak melihat lelaki itu.”
“Lalu... masakan dia datang berenang?”
“Bagaimana dengan istrinya‐Nyonya Mellis?”
“Ya. Dia memang, terdaftar datang menumpang pesawat
pantai yang datang jam sepuluhan. Anakku, Charley, yang
mengantar dia ke Cedar Hill dari sini.”
“Bagaimana keadaannya waktu datang?”
“Aneh kau menanyakan itu. Dia seperti orang
kebingungan. Anakku saja memperhatikan hal itu. Biasanya
dia selalu kalem, bertegur sapa dengan siapa saja yang dia
temui. Tapi, malam itu dia nampak sangat terburu‐buru.”
“Satu pertanyaan lagi. Ada orang asing yang datang
menumpang pesawat siang atau petang itu? Wajah yang tak
kaukenal, maksudku.”
Dia menggeleng. “Tak ada. Semua yang biasa datang.”
Sejam kemudian, Letnan Ingram bicara dengan Nick
Pappas lewat telepon. “Sejauh ini yang berhasil
kudapatkan, “ ucapnya pada detektif New York itu, “malah
bikin pusing. Jumat malam Nyonya Mellis tiba menumpang
pesawat pribadi di lapangan terbang Islesboro. Dia datang
kira‐kira jam sepuluh. Suaminya tak bersama dia. Juga tidak
diketahui datang menumpang pesawat maupun feri. Tak
ada bukti sama sekali, bahwa George Mellis berada di pulau
itu pada hari Jumat.”
“Kecuali arus.”
“Yeah.
“Pembunuhnya mungkin melemparkan dia ke laut dari
perahu. Dikiranya, tubuh itu bakal dihanyutkan ombak ke
laut. Corsair sudah kauperiksa?”
“Sudah. Tidak ada tanda‐tanda bekas dilakukan
kekerasan, tak ada bercak darah.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ