Tiraikasih Website http://kangzusi.com
George memilih semua makanan kesukaan Alexandra,
sementara Alexandra merasa dirinya di awang‐awang
karena lelaki itu seolah bisa membaca apa yang ada dalam
benaknya. Mereka makan bistik spesial Matoon dengan
sayuran, pasta, dan salad. Saladnya dicampur sendiri di
meja. George mencampurkan dengan cekatan.
“Kau bisa masak?” tanya Alexandra.
“Memasak salah satu hobiku. Ibuku mengajariku masak.
Dia sangat pandai memasak.”
“Kau dekat dengan keluargamu, George?”
Lelaki itu tersenyum. Betapa menariknya senyum itu,
pikir Alexandra. Belum pernah dia melihat senyum begitu
memukau.
“Aku orang Yunani,” sahutnya pendek. “Aku anak sulung
dari lima bersaudara yang terdiri dari tiga lelaki dan dua
perempuan. Kami sangat erat satu sama lain.” Mendadak
ada pancaran kesedihan di matanya. “Meninggalkan
mereka sangat berat buatku. Ayahku minta agar aku tetap
tinggal di sana. Kami kebetulan punya bisnis keluarga yang
cukup besar. Mereka merasa membutuhkanku di sana.”
“Mengapa kau pergi, kalau begitu?”
“Mungkin kaupikir aku ini tolol. Tapi, aku lebih suka
mencari uang dengan caraku sendiri. Menerima pemberian
dari siapa pun sulit buatku. Bisnis itu tak lain dari suatu
pemberian yang diturunkan dari kakek ke ayahku. Tidak,
aku tak kepingin mendapat apa pun dari ayah. Biar saja
adik‐adikku yang mewarisi semua itu.”
Alexandra sangat kagum pada lelaki di depannya.
“Di samping itu,” tambah George lembut, “kalau aku
tetap di Yunani, aku tak bakal ketemu dengan kau.”
Wajah Alexandra memerah. “Kau belum pernah kawin?”
“Belum. Pernah tunangan,” godanya, “tapi, menjelang
pernikahan, kurasa ada yang tak beres.” George Mellis
membungkukkan badannya. Suaranya tulus ketika
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mengatakan, “Alexandra cantik, mungkin kau berpendapat
aku ini orang kolot, tapi, buatku perkawinan itu mengikat
seumur hidup. Seorang perempuan sudah cukup buatku.
Yang penting, perempuan itu perempuan yang tepat.”
“Menurutku, itu pandangan yang bagus sekaii,”
gumamnya.
“Kau sendiri bagaimana?” tanya George Mellis. “Pernah
jatuh cinta?”
“Belum.”
“Malang betul cowokmu,” ujar George. “Tapi, mujur
buat—”
Pada saat itu pelayan muncul membawa hidangan
penutup. Alexandra tak sabar ingin mendengar George
menyelesaikan kalimatnya. Tapi, dia tak berani meminta.
Belum pernah Alexandra merasa santai berdua saja
dengan lelaki lain. George Mellis nampaknya betul‐betul
tertarik pada dirinya. Tanpa sadar, Alexandra menceritakan
kepadanya tentang masa kecilnya, tentang kehidupannya
serta segala pengalaman yang sangat berharga buatnya.
George Mellis bangga akan kepandaiannya bergaul
dengan perempuan. Dia tahu, bahwa umumnya perempuan
cantik itu merasa tak aman karena lelaki cuma
memperhatikan kecantikannya dan kurang mempedulikan
perasaannya. Kalau George sedang bersama wanita cantik,
dia tak pernah sekali pun menyebut‐nyebut kecantikannya.
Dia membuat perempuan itu merasa dirinya tertarik pada
pikiran dan perasaannya, bahwa George merupakan kawan
hati tempat membagi cita‐cita dan impiannya. Ini semua
bukan pengalaman yang biasa buat Alexandra. Dia
bercerita tentang Kate kepada George. Juga tentang Eve.
“Jadi, kakakmu tidak tinggal dengan kau dan nenekmu?”
“Tidak. Dia—Eve ingin punya apartemen sendiri.”
Alexandra tak bisa menebak mengapa George Mellis
tidak tertarik pada kakaknya. Apa pun sebabnya, Alexandra
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
merasa bersyukur. Selama mereka duduk makan di
restoran itu, Alexandra merasa setiap perempuan di situ
memperhatikan George. Tapi, tak sekali pun George
memperhatikan mereka. Matanya selalu tertuju pada
Alexandra. Sambil minum kopi, George mengatakan,
“Aku tak tahu apakah kau suka jazz atau tidak. Di sebuah
klab di St. Marks Place—namanya Five Spot...”
“Tempat Cecil Taylor main!”
George memandang Alexandra dengan rupa kaget dan
tak percaya. “Kau pernah ke sana?”
“Sering!” Alexandra tertawa. “Aku sangat suka
permainannya! Heran, selera kita sama, ya?”
George menyahut tenang, “Betul. Seperti mukjizat saja.”
Mereka mendengarkan permainan piano Cecil Taylor
yang memukau, solo panjang yang mengguncang ruangan.
Dari situ mereka pergi ke bar di Bleecker Street, tempat
orang minum‐minum sambil makan popcorn dan
mendengarkan permainan piano lembut. Alexandra
memperhatikan waktu George berlomba paser dengan
salah seorang tamu di situ. Tempat itu memang me‐
nyediakan tempat lomba paser. Lelaki itu pandai, tapi tak
pernah dapat kesempatan. George bermain dengan
keseriusan yang hampir menakutkan. Itu cuma permainan,
tapi, caranya bermain seperti itu berarti hidup atau mati.
Dia lelaki yang harus menang, pikir Alexandra.
Jam dua subuh keduanya meninggalkan bar. Alexandra
kecewa malam itu mesti berakhir.
Alexandra duduk di samping George dalam mobil
Rolls‐Royce bersopir yang disewa George. Dia tak bicara.
Pandangannya tak lepas‐lepas dari Alexandra. Kemiripan
gadis itu dengan kakaknya sangat luar biasa. Samakah
tubuh mereka? Terbayang olehnya Alexandra bersamanya
di tempat tidur—menggeliat‐geliat dan menjerit kesakitan.
“Mikir apa?” tanya Alexandra.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Cepat George membuang pandang agar tak terbaca yang
ada dalam matanya. “Nanti kau tertawa kalau tahu.”
“Aku janji takkan menertawakan.”
“Kalau kau tertawa, aku tak menyalahkan. Aku memang
agak dicap sebagai playboy. Hidup berpindah‐pindah dari
kapal pesiar, pesta, dan sebangsanya.”
“Ya...”
George menatap Alexandra. “Kurasa, kaulah
satu‐satunya perempuan yang bisa mengubah pola hidupku
yang begitu. Buat selama‐lamanya.”
Alexandra merasakan denyut nadinya berirama lebih
cepat. “Aku tak tahu mesti bilang apa.”
“Jangan katakan apa‐apa.” Bibir George sangat dekat
dengan bibir Alexandra, Alexandra sudah siap menerima,
Tapi, George tak melakukan apa‐apa. Jangan bersikap
terlalu agresif, pesan Eve. Jangan lakukan apaapa pada
kencan pertama. Kalau sampai kaulakukan itu, kau akan
bernasib sama dengan deretan Romeo lain yang tak sabar
menyentuh dan mendapatkan kekayaannya. Biarkan dia
yang lebih dulu bertindak.
Karenanya, George Mellis hanya memegang tangan
Alexandra sampai mobil yang membawa mereka berhenti
mulus di muka rumah tinggal keluarga Blackwell. George
menemani Alexandra turun menuju pintu depan, Alexandra
berbalik kepadanya dan berkata, “Aku sangat senang
menghabiskan petang tadi denganmu.”
“Aku juga.”
Senyum Alexandra, sangat cerah. “Selamat malam,
George,” bisiknya. Gadis itu pun menghilang ke dalam
rumah.
Lima belas menit sesudahnya, telepon Alexandra
berdering. “Kau tahu apa yang baru saja kulakukan?
Menelepon keluargaku. Kuceritakan mereka tentang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
perempuan cantik yang menemaniku petang tadi. Selamat
tidur, Alexandra cantik.”
Ketika menaruh gagang telepon kembali, George Mellis
berpikir, Sesudah dia dan aku kawin, akan kutelepon
keluargaku. Akan kukatakan kepada mereka, bahwa aku tak
peduli lagi sama mereka.
29
LAMA Alexandra menunggu‐nunggu kabar dari George
Mellis. Tapi, dia tak dihubungi esok harinya, hari
berikutnya, dan bahkan seminggu kemudian. Setiap kali
telepon berdering, Alexandra buru‐buru mengangkatnya.
Tapi, selalu saja dia kecewa. Dia tak bisa membayangkan
mengapa jadi begitu. Berkali‐kali dia memutar kembali
kenangan indah petang itu dalam benaknya: Kurasa, kaulah
satusatunya perempuan yang bisa mengubah pola hidupku
itu buat selamalamanya. Kemudian, Aku menelepon ibu dan
ayahku serta adikadikku. Kuceritakan kepada mereka
tentang perempuan cantik yang menemaniku petang ini.
Alexandra mencoba mencari alasan mengapa George Mellis
tidak meneleponnya.
Mungkin, di luar kesadarannya, dia telah menyinggung
perasaan lelaki itu.
Mungkin, lelaki itu terlalu menyukainya dan takut jatuh
cinta dengannya hingga dia memutuskan tak mau bertemu
lagi dengannya.
Mungkin, dia akhirnya memutuskan, bahwa Alexandra
bukan perempuan idamannya.
Jangan‐jangan dia mengalami kecelakaan hebat dan
sedang terbaring tanpa daya entah di rumah sakit mana.
Siapa tahu dia sudah mati, bahkan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ketika Alexandra sudah putus asa dan tak tahan lagi
menunggu‐nunggu, dia menelepon Eve. Alexandra
memaksakan diri berbicara dengan ringan‐ringan saja
semenit dua menit lamanya, sebelum melontarkan, “Eve,
apa kaudengar kabar dari George Mellis belakangan ini?”
“Kebetulan tidak. Kukira tempo hari dia punya rencana
meneleponmu, mengajak makan malam.”
“Betul. Kami memang pergi makan malam‐seminggu
yang lalu.”
“Dan sejak itu kau belum dapat kabar lagi darinya?”
“Belum.”
“Mungkin karena dia sibuk saja.”
Tak mungkin orang sampai sesibuk itu, pikir Alexandra.
“Mungkin,” begitu yang terucapkan.
“Lupakan saja George Mellis, Alex. Nanti kau kukenalkan
pada orang Canada ganteng. Dia memiliki perusahaan
penerbangan dan...”
Waktu Eve meletakkan kembali teleponnya, dia
duduk‐tersenyum lega. Sayang Nenek tak tahu betapa
mulus segala sesuatunya telah dia rencanakan.
“Hai, kenapa kau?” tanya Alice Koppel.
“Maaf,” sahut Alexandra.
Sepagi itu entah sudah berapa kali dia membentak
orang. Sudah dua minggu persis dia menanti‐nanti telepon
dari George Mellis yang tak kunjung tiba. Alexandra jadi
marah. Bukan marah pada George, tapi pada dirinya sendiri
karena tak bisa melupakan lelaki itu. George Mellis
memang tak punya kewajiban apa pun terhadapnya. Mere‐
ka asing satu sama lain, dan baru sekali menghabiskan
petang hari bersama. Alexandra bertingkah seolah mereka
sudah hampir kawin saja. Dia mesti sadar, bahwa lelaki
semacam George Mellis bisa memilih perempuan mana pun
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
yang ia sukai di dunia. Mengapa dia mesti memilih
Alexandra?
Neneknya pun sampai merasa, bahwa Alexandra
gampang sekali jengkel. “Ada apa sih, Nak? Terlalu
beratkah kerjamu di agen iklan itu?”
“Tidak, Nek. Cuma saja—sudah beberapa malam aku
susah tidur.”
Waktu akhirnya dia bisa tidur, Alexandra bermimpi
erotis tentang George Mellis. Sialanl Dia menyesal Eve
memperkenalkannya dengan lelaki itu.
Telepon yang ditunggu‐tunggu dia terima di kantor
keesokan siangnya. “Alex? George Mellis.” Seolah suara
dalam itu tak terdengar olehnya dalam mimpi semalam.
“Alex? Kau masih di situ?”
“Ya, aku masih di sini.” Alexandra diliputi berbagai
perasaan yang membaur jadi satu. Dia tak tahu apakah
mesti menangis atau tertawa. Lelaki itu tak berperasaan
dan egois. Mestinya dia tak peduli apakah bakal bertemu
lagi dengannya atau tidak.
“Sebetulnya aku sudah lama ingin meneleponmu,”
George meminta maaf, “tapi, aku baru pulang dari Athena
beberapa menit yang lalu.”
Hati Alexandra mencair. “Jadi, kau dari Athena.”
“Ya. Kau ingat waktu kita makan malam bersama tempo
hari?”
Tentu saja Alexandra ingat.
“Keesokan paginya, Steve, adikku, meneleponku—Ayah
dapat serangan jantung.”
“Oh, George!” Alexandra merasa bersalah telah berpikir
dan menuduh George macam‐macam. “Bagaimana ayahmu
sekarang?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Syukur saja, Ayah selamat. Rasanya hatiku seperti
pecah berkeping‐keping. Ayah memintaku kembali ke
Yunani dan meneruskan bisnis keluarga kami.”
“Kau mau?” Alexandra menahan napas.
“Tidak.”
Alexandra lega.
“Aku tahu tempatku di sini. Tak sedetik pun pikiranku
terlepas dari kau selama ini, Alex. Kapan kita bisa
bertemu?”
Hore! “Aku bebas malam nanti.”
Hampir saja George menyebut salah satu restoran
favorit Alexandra lagi. Dia cepat tersadar. Katanya, “Bagus.
Kepingin makan di mana nanti?”
“Di mana saja. Aku tak peduli. Apa kau mau makan
malam di rumahku saja?”
“Jangan, ah.” George Mellis merasa belum siap berjumpa
dengan Kate. Apa pun yang kaulakukan, jauhjauhlah dari
Kate Blackwell sementara ini. Dia bisa jadi penghalang
besar. “Kujemput kau jam delapan,” kata George.
Alexandra menaruh teleponnya. Dia langsung mencium
Alice Koppel, Vince Barnes, dan Marty Bergheimer.
Katanya, “Aku mau ke salon dulu. Sampai besok, ya!”
Mereka memperhatikan gadis itu keluar ruangan.
“Pasti gara‐gara cowok,” ucap Alice Koppel.
***
Mereka makan malam di Maxwell's Plum. Seorang
pelayan menunjukkan jalan melewati bar berbentuk sepatu
kuda yang terletak di muka, menuju ke ruang makan yang
terletak di lantai atas. Mereka lalu memesan makanan.
“Waktu aku pergi, kau ingat aku?” tanya George.
“Ya.” Alexandra merasa dia harus jujur terhadap George.
Lelaki ini sangat terbuka dan perasa. “Waktu lama kau tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
juga meneleponku, kupikir kau mengalami kecelakaan. Aku
gelisah. Rasanya tak kuat aku menanti sehari lagi.”
Seratus buat Eve, pikir George. Tunggu yang manis, aku
akan memberimu perintab kapan mesti mulai lagi. George
merasakan buat pertama kalinya, bahwa rencana mereka
bakal berhasil. Selama ini dia tak terlalu
bersungguh‐sungguh. Rasanya tak segampang itu
mendapatkan kekayaan luar biasa seperti kekayaan
keluarga Blackwell. Mungkin saja, tapi dia tidak terlalu
berharap. Dia tak berani berharap. Semua ini cuma
permainan Eve. Saat itu, melihat Alexandra duduk di
hadapannya dengan mata memuja, George Mellis baru
yakin, bahwa semuanya ini bukan sekadar permainan
iseng. Alexandra sudah berhasil dia menangkan. Ini langkah
pertama. Langkah‐langkah selanjutnya bisa berbahaya,
tapi, dengan bantuan Eve, dia pasti bisa melaksanakan.
Kita berusaha bersama dalam hal ini, George. Hasilnya
nanti akan kita bagi dua sama rata.
George Mellis tak suka berpatungan. Kalau yang dia
inginkan sudah didapat, dan Alexandra sudah dia
singkirkan, giliran Eve yang mesti dia tangani.
Membayangkan semuanya itu membuat hatinya puas luar
biasa.
“Kau tersenyum,” kata Alexandra.
George Mellis menggenggam tangan Alexandra.
Sentuhannya menghangatkan perasaan gadis itu. “Aku
sedang berpikir, betapa menyenangkan berdua bersamamu
di sini. Tak peduli di mana. Kupikir, di mana pun berdua
dengan kau akan menyenangkan.” George Mellis merogoh
saku dan mengeluarkan kotak perhiasan. “Aku bawa
oleh‐oleh dari Yunani.”
“Oh, George...”
“Bukalah, Alex.”
Di dalam kotak itu ada kalung berlian indah.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Cantiknya...”
Kalung itu adalah kalung Eve yang pernah dia curi.
Aman. Kalung itu boleh kauberikan kepadanya, begitu kata
Eve. Alexandra belum pernah melihat kalung itu.
“Tapi, ini terlalu berharga buatku.”
“Tidak. Tak ada yang terlalu berharga buatmu. Aku
senang melihat kau mengenakan kalung itu.”
“Aku—” Alexandra gemetar. “Terima kasih.”
George memperhatikan piring Alexandra,
“Kok tidak makan?”
“Aku tak lapar.”
Melihat mata gadis itu, sekali lagi George merasakan
dirinya berkuasa penuh. Perasaannya melambung tinggi.
Sudah kerap dia melihat pandang begitu pada banyak
perempuan: perempuan cantik, jelek, kaya, miskin.
Semuanya telah dia manfaatkan. Dengan cara mereka
masing‐masing, mereka semuanya telah memberikan
sesuatu buatnya. Tapi, yang satu ini akan memberinya jauh
lebih banyak dari yang pernah dia dapatkan.
“Lalu, apa yang kepingin kaulakukan?” Suara seraknya
mengundang.
Dengan terbuka dan lugas, Alex mengatakan,
“Aku kepingin bersama kau.”
George Mellis punya hak buat membanggakan
apartemennya. Tempat itu anggun, mempesona dan
menyenangkan. Ruangan‐ruangannya ditata oleh
kekasihnya—lelaki dan perempuan—yang semuanya ingin
menyatakan rasa terima kasih mereka dengan jalan
membelikan hadiah‐hadiah mahal.
“Apartemenmu enak sekali, — “ seru Alexandra.
George memutar Alexandra dengan lembut hingga
kalung berliannya berkilau dikenai sinar lampu temaram.
“Kalung itu pantas sekali bagimu, Sayang.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
George mengecup bibir Alexandra. Dengan lembut
sekali, mula‐mula. Lalu, makin lama makin menggebu.
Alexandra tak sadar, bahwa George membawanya masuk
ke kamar tidur. Kamarnya ditata dalam warna biru.
Perabotnya terpilih dan sangat maskulin. Di tengah‐tengah
kamar itu terletak tempat tidur ukuran paling besar.
George memeluk Alexandra lagi. Terasa olehnya gadis itu
gemetar. “Kau tidak apa‐apa kan, kale mou?”
“'Aku—aku agak gugup.” Alexandra takut dia bakal
mengecewakan lelaki ini. Dia menarik napas panjang dan
mulai membuka kancing gaunnya.
George berbisik, “Biar aku yang membuka.” Lelaki itu
melepaskan gaun Alexandra. Ketika memandang tubuh
molek di hadapannya, teringat olehnya kata‐kata Eve:
Kontrol dirimu. Kalau sampai kau menyakiti Alexandra,
kalau sampai dia tahu siapa kau sebenarnya, kau tak bakal
pernah melihatnya lagi. Mengerti? Simpan tamparanmu
buat pelacur dan cowokcowok mainanmu.
George pun memperlakukan Alexandra dengan teramat
lembut. Dipandanginya tubuh gadis itu.
Tubuhnya persis sama dengan tubuh Eve: indah, penuh,
dan matang. Timbul keinginannya melukai kulit yang putih
dan halus itu; menampar dan meninjunya sampai dia
berteriak kesakitan. Kalau kaulukai dia, kau tak bakal
pernah melihatnya lagi.
George melepas pakaiannya sendiri. Kemudian
ditariknya Alexandra ke dalam pelukannya. Mereka berdiri
berdua—berpandang‐pandangan. Dengan lembut George
mengajak Alexandra ke tempat tidur. Di situ dia mulai
mencumbu gadis itu. Semuanya dia lakukan dengan
perlahan dan lemah lembut. Lidahnya dengan ahli
menyusur setiap lekuk tubuh Alexandra sampai Alexandra
tak kuasa bertahan.
“George!” desahnya. “Sekarang, George! Sekarang!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lelaki itu naik ke atasnya, dan Alexandra pun mengecap
kenikmatan yang memuncak dan meletup‐letup tak
tertahankan. Ketika akhirnya gadis itu berbaring tenang
dengan kepala bersandar di relung bahu George, katanya,
“Oh, George, mudah‐mudahan kau puas seperti yang
kurasakan tadi.” George berbohong. Katanya, “Aku puas,
Sayang.”
Alexandra memeluknya dan menangis. Dia tak tahu
mengapa dia menangis begitu. Yang dia tahu hanyalah
bahwa dia bersyukur atas keindahan dan kebahagiaan yang
baru saja dia rasakan.
“Hus, hus,” kata George menenangkan. “Mengapa mesti
menangis. Semuanya begitu indah, Alex.”
Betul.
Eve pasti bangga kalau tahu semua ini.
Pada setiap kisah cinta, pasti terjadi salah paham,
cemburu, dan rasa tersinggung. Tapi, kisah cinta George
dan Alexandra berbeda. Berkat pengarahan Eve, George
bisa memainkan peran dengan pas dalam menghadapi
setiap emosi Alexandra. George tahu kekuatiran Alexandra,
fantasinya, nafsu, dan hal‐hal yang tak disukai gadis itu. Dia
tahu apa‐apa yang bisa membuatnya tertawa dan apa yang
bisa membikin Alexandra menangis. Alexandra sangat puas
mengingat hubungan cintanya dengan George. Sebaliknya
George frustrasi. Jika dia sedang berada di tempat tidur
bersama Alexandra dan mendengar jerit kepuasannya,
nafsunya bangkit luar biasa. Ingin sekali dia mendera gadis
itu, membuatnya menjerit kesakitan dan minta ampun
sampai nafsunya terpuaskan. Tapi, dia tahu, kalau itu
sampai dia lakukan, segalanya bakal hancur berantakan.
Frustrasinya makin lama makin menjadi. Makin sering
mereka bercumbu begitu, makin benci dia pada Alexandra.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ada tempat‐tempat tertentu yang bisa dipergunakan
George Mellis buat mencari kepuasan. Tapi, dia tahu‐dia
mesti sangat berhati‐hati. Larut malam, dia mendatangi
kedai minum tak dikenal, mengunjungi disko kaum gay,
dan memilih janda‐janda kesepian yang mencari kawan
malam, cowok‐cowok gay yang kehausan cinta, dan pelacur
yang butuh uang. George membawa mereka ke hotel‐hotel
lusuh di West Side, Bowery, dan Greenwich Village. Tak
pernah sekali pun dia kembali ke hotel yang pernah
dipakai. Kalaupun kembali, mereka tak bakal mau meneri‐
manya kembali. Pasangan seksnya biasanya ditemukan
dalam keadaan tak sadar, atau setengah tak sadar. Tubuh
mereka berbilur‐bilur biru dan sering juga penuh dengan
luka bakar akibat sundutan rokok.
George menghindari mereka yang menikmati disakiti.
Masalahnya, kepuasannya jadi berkurang kalau tahu
pasangannya menikmati sakit yang dia timbulkan. Dia
kepingin mendengar pasangannya menjerit kesakitan dan
minta ampun—seperti ayahnya dulu selalu membuatnya
berteriak kesakitan dan minta ampun waktu dia masih
kecil. Gara‐gara kesalahan kecil saja, dia bisa didera
ayahnya sampai tak sadarkan diri. Waktu George berumur
delapan tahun dan menemui George telanjang bersama
seorang anak tetangga, ayah George menghajarnya sampai
darah mengucur keluar dari kuping dan hidungnya. Lelaki
itu berbuat begitu agar anaknya tidak lagi melakukan
perbuatan terlarang yang sama. Bukan cuma itu. Ayah
George malah melukai penis George dengan puntung rokok
panas. Lukanya memang sembuh. Tetapi, luka yang lebih
dalam di batinnya tetap tertinggal.
George Mellis memiliki temperamen liar dan bernafsu
seperti leluhurnya, bangsa Yunani. Dia tak mau diperintah
orang lain. Bahwa sekarang ini dia berusaha menahan diri
atas rasa hina yang ditimbulkan Eve Blackwell pada
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dirinya, itu karena saat ini dia membutuhkan perempuan
itu. Setelah berhasil mendapatkan kekayaan keluarga
Blackwell nanti, George berniat menghukum perempuan itu
sampai dia memohon‐mohon dihabisi nyawanya, kalau
perlu. Bertemu dengan Eve merupakan rezeki besar yang
tiada taranya buat George. Mujur buatku, pikir George. Ma
lang buat dia.
Alexandra tak habis‐habisnya mengagumi George. Lelaki
itu tahu persis bunga kesukaannya, musik favoritnya, dan
buku‐buku kegemarannya. Setiap kali, ada‐ada saja yang
dia bawakan buat menyenangkan hati Alexandra. Kalau
mereka berjalan‐jalan melihat‐lihat museum, George
mengagumi lukisan yang paling disukai Alexandra.
Kadang‐kadang sulit buat Alexandra untuk menerima
kenyataan, bahwa mereka betul‐betul mempunyai selera
yang sama. Dia mencoba mencari kekurangan pada diri
George Mellis. Tapi, sedikit pun tak dia temui. Lelaki itu
sempurna. Alexandra sudah tak sabar kepingin cepat‐cepat
memperkenalkan George pada Kate.
Tapi, George selalu punya alasan buat menghindari
pertemuan dengan Kate Blackwell.
“Kenapa sih? Kau pasti suka sama nenekku. Selain itu,
aku ingin pamer pada Nenek.”
“Aku tahu nenekmu baik, George berkata seperti anak
kecil. “Tapi, aku betul‐betul kuatir nenekmu menganggap
aku tak cukup baik untukmu.”
“Omong kosong!” Alexandra trenyuh oleh kerendahan
hati kekasihnya. “Nenek pasti kagum melihatmu.”
“Nanti dulu, Alexandra,” ujar George. “Biar kukumpulkan
dulu keberanianku.”
Suatu malam, George memperbincangkan hal itu dengan
Eve.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve berpikir‐pikir. “Baiklah. Cepat atau lambat kau
memang harus menghadapinya. Tapi, kau mesti
berhati‐hati sekali. Kontrol dirimu setiap saat. Nenek kayak
setan. Tapi, dia setan yang bukan main cerdasnya. Jangan
sekali pun kau menganggapnya enteng. Kalau sampai dia
curiga kau mengejar‐ngejar sesuatu, bisa jadi hatimu diiris
dan diberikan pada anjingnya.”
“Apa perlu kita melibatkan dirinya di sini?” George
bertanya.
“Soalnya, kalau sampai kau melakukan sesuatu yang
bikin Alexandra melawannya, kita bisa celaka.”
Belum pernah Alexandra begitu gugup. Mereka akan
makan malam bersama buat pertama kalinya: George, Kate,
dan Alexandra. Alexandra berdoa—memohon agar jangan
sampai ada yang salah. Yang paling dia inginkan adalah
agar George dan neneknya bisa saling menyukai, agar
neneknya bisa menilai bahwa George orang yang baik dan
sebaliknya, agar George bisa menghargai Kate Blackwell.
Kate belum pernah melihat Alexandra begitu bahagia.
Gadis itu sudah bertemu dengan pemuda‐pemuda yang
paling patut mendampinginya, tapi, belum satu pun yang
berkenan di hati anak itu. Kate berniat hendak mengamati
sebaik‐baiknya lelaki yang berhasil memikat hati cucunya.
Sudah banyak sekali pengalaman Kate menghadapi mereka
yang memburu kekayaan. Dia tak punya niatan buat
melepas Alexandra pada orang sejenis itu.
Itu sebabnya Kate pun tak sabar ingin cepat bertemu
dengan Tuan George Mellis. Dia punya firasat lelaki itu
enggan bertemu dengannya, dan itu menimbulkan tanda
tanya dalam hatinya.
Kate mendengar bel pintu depan dibunyikan. Beberapa
menit kemudian, Alexandra datang ke ruang tengah—
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
memperkenalkan seorang pemuda tinggi dan bertampang
ganteng klasik. Alexandra memegangi tangan lelaki itu.
“Nek, ini George Mellis.”
“Wah, akhirnya kita ketemu juga, ya?” ujar Kate. “Aku
sudah mulai merasa Anda sengaja menghindariku, Tuan
Mellis.”
“Justru sebaliknya, Nyonya Blackwell. Anda tak tahu
betapa lamanya aku menanti‐nanti waktu ini.” Hampir saja
dia menambahkan, “Ternyata Anda jauh lebih cantik dari
yang diceritakan Alex,” tapi, George cepat menguasai diri.
Hatihati. jangan menyanjung dia, George. Buat
perempuan tua itu sanjungan sama artinya dengan bendera
merah.
Seorang pelayan masuk, menuang air minum, lalu pergi
diam‐diam.
“Silakan duduk, Tuan Mellis.”
“Terima kasih.”
Alexandra duduk di sisinya di bangku. Keduanya kini
berhadap‐hadapan dengan Kate.
“Kudengar sudah beberapa kali Anda menemui cucuku.”
“Betul. Dan aku sangat senang.”
Kate mempelajari lelaki itu dengan matanya yang kelabu
pucat. “Kata Alexandra, kau bekerja di perusahaan penjual
bursa.”
“Benar.”
“Terus‐terang, aneh rasanya melihat Anda bekerja
makan gaji seperti itu. Padahal, Anda bisa memilih
memimpin perusahaan keluarga yang memberi banyak
keuntungan.”
“Nek, kan sudah kujelaskan bahwa—”
“Aku kepingin mendengar sendiri dari Tuan Mellis,
Alexandra.”
Yang sopan, tapi demi Tuhan jangan
menyembahnyembah perempuan itu. Kalau melihat sedikit
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
saja tandatanda kelemahan pada dirimu, kau takkan punya
barapan.
“Nyonya Blackwell, aku tak biasa mengobrolkan
kehidupan pribadiku.” George nampak ragu—
menimbang‐nimbang sebelum mengambil keputusan.
“Tapi, dalam hal ini, kukira...” Dia menatap mata Kate
Blackwell. Lalu katanya, “Aku lelaki yang berdikari. Tak
suka menerima dengan cuma‐cuma. Seandainya Mellis and
Company aku yang mendirikan, tentu sekarang ini aku yang
memimpin. Tapi, perusahaan itu didirikan oleh kakekku.
Ayahku menjadikannya perusahaan besar yang
menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Perusahaan itu
tak memerlukan aku. Aku punya tiga adik lelaki. Mereka
semuanya bisa mengelola perusahaan keluarga kami kelak.
Aku lebih suka jadi karyawan biasa sampai suatu ketika
nanti, aku bisa mendirikan perusahaan sendiri yang bisa
kubanggakan.”
Kate manggut‐manggut. Lelaki ini sama sekali bukan
lelaki yang selama ini dia bayangkan. Tadinya Kate sudah
bersiap‐siap menemui seorang lelaki iseng—playboy, dan
pemburu, harta—seperti pemuda‐pemuda lain yang selama
ini mencoba mendekati cucu‐cucunya. Yang satu ini
nampaknya lain. Tapi, ada sesuatu yang membuat hati Kate
tak enak tentang dia. Kate berusaha mendefinisikan
perasaannya. Tapi tak ketemu. Mungkin, karena dia hampir
terlalu sempurna.
“Kudengar keluarga Anda kaya‐raya.”
Dia harus yakin betul bahwa kau kayaraya dan
tergilagila pada Alex. Bersikaplah yang menarik dan sopan.
Kontrol emosimu. Pasti berhasil.
“Uang memang merupakan kebutuhan, Nyonya
Blackwell. Tapi, banyak hal‐hal lain yang lebih menarik
perhatianku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate sudah memeriksa laporan tentang Mellis and
Company di Dun & Bradstreet. Nilai perusahaan itu
melebihi tiga puluh juta dollar. “Apakah Anda dekat dengan
keluarga Anda?”
Wajah George berbinar. “Terialu dekat, mungkin.” Seulas
senyum bermain di wajahnya. “Kami punya semboyan
dalam keluarga kami, Nyonya Blackwell. Kalau satu di
antara kami teriris pisau, yang lain ikut berdarah. Kami
senantiasa berhubungan satu sama lain.” Padahal, sudah
lebih dari tiga tahun George tak bicara dengan salah
seorang anggota keluarganya.
Kate manggut‐manggut. “Aku sendiri sangat
mementingkan ikatan yang erat dalam keluarga.” Kate
melirik cucunya. Gadis itu nampak sangat mengagumi
George. Sejenak, pemandangan itu mengingatkan Kate pada
masa mudanya dulu—ketika dia dan David sedang dilanda
cinta. Masih jelas betul perasaannya ketika itu, walaupun
kejadiannya sudah entah berapa puluh tahun yang lalu.
Lester masuk. “Makanan sudah siap, Nyonya.”
***
Pembicaraan selama mereka bersantap malam lebih
santai. Walau begitu, pertanyaan‐pertanyaan Kate selalu
terarah. George sudah siap menjawab pertanyaan yang
paling penting waktu pertanyaan itu dilontarkan
kepadanya.
“Apakah Anda menyukai anak‐anak, Tuan Mellis?”
Dia sangat merindukan buyut lelaki.... Itu yang paling
diidamidamkannya.
George menoleh pada Kate dengan rupa kaget.
“Menyukai anak‐anak? Apa artinya lelaki kalau dia tak
beranak? Aku malah kuatir istriku nanti tak henti‐hentinya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
disibukkan oleh anak‐anak. Di Yunani, nilai seorang lelaki
diukur dari berapa banyak anaknya.”
Nampaknya dia tulus, pikir Kate. Tapi, tetap saja harus
berhatihati. Besok, akan kusuruh Brad Rogers menyelidik
keadaan keuangan pribadinya.
Sebelum tidur malam harinya, Alexandra menelepon
Eve. Dia pernah memberi tahu kakaknya, bahwa George
Mellis akan datang makan malam. “Bagaimana? Sudah tak
sabar aku mendengar beritanya,” sahut Eve waktu itu. “Kau
mesti segera meneleponku begitu dia pulang dari sana. Aku
ingin dengar laporan yang lengkap.”
Kini Alexandra melapor. “Kurasa, Nenek sangat suka
kepadanya.”
Eve merasa puas. “Apa katanya?”
“Nenek menanyai George entah berapa ratus pertanyaan
yang pribadi sifatnya. Dan, George bisa menangani
semuanya dengan hebat.”
Jadi, dia menurut.
“Ah! Kalian mau kawin?”
“Aku—dia belum melamarku, Eve. Tapi, kurasa dia bakal
melamar tak lama lagi.” Suara Alexandra kedengaran
sangat gembira.
“Nenek akan setuju?”
“Aku yakin beliau pasti setuju. Nenek mau menyelidiki
keadaan keuangan pribadi George. Tapi, itu sih tak jadi
soal.”
Hati Eve mendadak ciut.
Alexandra mengatakan, “Kau kan tahu sendiri Nenek itu
orangnya kelewat berhati‐hati.”
“Memang,” sahut Eve perlahan.
Rencana mereka hancur! Kecuali, jika dia berhasil dapat
akal dalam waktu singkat.
“Kabari terus aku, ya,” pesan Eve.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tentu. Selamat bobok.”
Begitu menaruh kembali gagang telepon, Eve langsung
memutar nomor telepon George Mellis. Dia belum sampai
ke apartemennya. Eve menelepon sepuluh menit sekali.
Ketika akhirnya telepon di sebelah sana diangkat, yang
diucapkan Eve, “Kau bisa cari sejuta dollar dalam waktu
singkat?”
“Ngomong apa kau ini?”
“Kate hendak menyelidiki keuanganmu.”
“Dia tahu nilai kekayaan keluargaku. Dia—”
“Aku tak bicara tentang keluargamu. Aku bicara tentang
kau. Sudah kukatakan nenekku bukan orang dungu.”
Hening. “Dari mana aku bisa dapat sejuta dollar?”
“Aku punya ide,” ucap Eve.
Begitu sampai di kantor esok paginya, Kate Blackwell
berkata pada asisten pribadinya, “Suruh Brad Rogers
menyelidiki keadaan keuangan pribadi George Mellis. Dia
bekerja di Hanson and Hanson.”
“Tuan Rogers sedang pergi. Baru kembali besok, Nyonya
Blackwell. Bisa ditunggu, atau—”
“Besok juga boleh.”
Di satu sisi Manhattan, di Wall Street, George Mellis
sedang duduk di meja kerjanya—di kantor pemasaran
bursa Hanson and Hanson. jual‐beli saham sudah dibuka,
dan kantor besar itu pun hiruk‐pikuk. Ada 225 karyawan
bekerja di kantor pusatnya: pedagang perantara, analis,
akuntan, operator, dan wakil para pelanggan. Semua
bekerja dengan kecepatan tinggi. Cuma George Mellis yang
tidak. Dia sedang terpaku di balik mejanya, panik. Kalau
gagal melakukan rencananya ini, dia bisa dibui. Kalau
berhasil, dia bisa menguasai dunia.
“Enggak mau terima telepon, ya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Salah seorang rekan sekerjanya berdiri di sisinya.
George baru sadar bahwa teleponnya sudah berdering dari
tadi. Dia harus bersikap wajar dan tidak menimbulkan
kecurigaan siapa pun. Cepat George mengangkat gagang
telepon. “George Mellis.” Dia pun tersenyum lebar pada
rekan sekerjanya tadi.
Pagi itu George menghabiskan waktunya melayani
pesanan menjual dan membeli saham. Tapi, otaknya sibuk
memikirkan rencana Eve buat mencuri sejuta dollar.
Gampang sekali, George. Kau cuma perlu pinjam beberapa
sertifikat saham buat semalam. Esok paginya kau bisa
mengembalikan tanpa ketahuan siapa pun.
Setiap perusahaan penjualan bursa memiliki jutaan
dollar saham dan obligasi tersimpan di ruangan besi agar
gampang melayani pelanggan. Ada saham yang ditulis atas
nama pemiliknya, tetapi sebagian besar terdiri dari saham
yang bisa dipertukarkan dengan kode nomor CUSIP—Com‐
mittee on Uniform Security Identification Procedures. Dari
nomor itu bisa diketahui nama pemiliknya. Sertifikat saham
tidak bisa ditukarkan dengan uang tunai. Tapi, George
memang tak bemiat menukarkannya dengan uang tunai.
Dia punya rencana lain. Di Hanson and Hanson, surat‐surat
berharga disimpan di ruangan besi yang terletak di lantai
ketujuh. Daerah itu dijaga ketat oleh polisi bersenjata yang
berjaga dekat pintu masuk. Pintu itu cuma bisa dibuka
dengan kartu plastik berkode khusus. George Mellis tak
memiliki kartu semacam itu. Tapi, dia tahu orang yang
memilikinya.
Helen Thatcher adalah seorang janda yang kesepian.
Umurnya empat puluhan. Wajahnya menyenangkan, dan
tubuhnya tidak jelek. Dia sangat pandai memasak. Dua
puluh tiga tahun lamanya dia menjadi istri seorang lelaki.
Kematian suaminya menimbulkan kekosongan dalam hi‐
dupnya. Dia butuh lelaki yang bisa melindungi. Masalahnya,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
perempuan lain yang bekerja di Hanson and Hanson
kebanyakan masih muda dan lebih menarik. Karenanya, tak
pernah ada yang mengajak Helen keluar.
Dia bekerja di bagian akuntansi, satu lantai di atas
tempat kerja George Mellis. Sejak pertama kali melihat
George Mellis, Helen menganggap lelaki itu bisa jadi suami
ideal buatnya. Sudah lebih dari enam kali dia mengundang
George makan malam di rumahnya. Caranya mengundang
jelas‐jelas memberi isyarat, bahwa bukan cuma hidangan
makan malam yang akan disajikannya. Tapi, George selalu
mencari alasan buat tak datang. Pagi itu, ketika teleponnya
berdering dan dia menyahut, “Bagian Akuntansi, dengan
Nyonya Thatcher,” langsung kedengaran suara George
Mellis. “Helen? Ini George.” Suaranya hangat, dan Helen
kegirangan. “Ada yang bisa kubantu, George?”
“Aku punya kejutan buatmu. Bisa ke tempatku
sebentar?”
“Sekarang?”
“Ya.”
“Wah, aku sedang—”
“Oh. kalau sedang sibuk, tak apa‐apa. Nanti saja.”
“Ah. tidak. Aku akan turun segera.”
Telepon George berdering lagi. Dia tak menggubris.
Diraupnya setumpuk surat‐surat lalu ia bergegas menuju
lift. George melihat ke sekelilingnya, takut kalau‐kalau ada
yang mengawasi. Sesampainya di lantai atas, dia
memeriksa buat memastikan Helen sudah pergi dari
ruangannya. Kemudian, dengan biasa‐biasa saja dia masuk,
Kalau sampai tertangkap. Tapi, dia tak punya waktu buat
berpikir. Dia cepat‐cepat membuka laci tengah tempat
Helen menyimpan kartu plastik berkode buat memasuki
ruang besi perusahaan. Kartunya ada di situ. George
memungutnya, lalu cepat menyelipkan kartu itu ke sakunya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dan bergegas turun ke lantai bawah. Sesampai di mejanya,
Helen sudah ada di situ‐mencari‐cari dia.
“Maaf,” ujar George. “Aku dipanggil sebentar.”
“Oh, tidak apa‐apa. Apa sih kejutannya?”
“Ada burung yang bilang, hari ini ulang tahunmu,” ucap
George, “karena itu, aku kepingin mentraktirmu makan
siang nanti.” George memperhatikan perubahan wajah
perempuan itu. Tampak betul bahwa dia bingung—antara
kepingin memberi tahu tanggal ulang tahunnya yang
sebenarnya, dan tak mau kehilangan kesempatan makan
siang bersamanya.
“Ah, kau baik sekali,” ujarnya. “Aku senang sekali makan
siang bersamamu.”
“Baiklah,” kata George kepadanya. “Kita ketemu di
Tony's jam satu, ya.” Janji seperti itu bisa dibuat lewat
telepon, sebenarnya. Tapi, Helen Thatcher terlalu
kegirangan buat memberi komentar. George mengawasi
perempuan itu beranjak kembali ke ruang kerjanya.
Begitu dia tidak kelihatan, George pun beraksi. Dia harus
bekerja banyak sebelum kartu itu bisa dia kembalikan.
George naik lift ke lantai tujuh dan melangkah ke daerah
yang dijaga petugas pengaman. Petugas pengaman berdiri
dekat pintu besi tertutup. George memasukkan kartu
plastik ke lubang yang disediakan di pintu, dan pintu itu
pun terbuka. Waktu George hendak melangkah masuk,
petugas itu berkata, “Rasanya aku belum pernah melihat
kau kemari.”
Jantung George berdegup kencang. Dia tersenyum.
“Tentu. Aku memang tak biasa kemari. Salah seorang
pelanggan kebetulan kepingin melihat sertifikat sahamnya.
Aku terpaksa mencarikan. Mudah‐mudahan saja cepat
ketemu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Petugas itu tersenyum, bersimpati. “Selamat mencari
sajalah, kalau begitu.” Dia memperhatikan George masuk ke
ruang besi.
Ruangannya terbuat dari beton, berukuran tiga puluh
kali lima belas kaki. George masuk ke tempat lemari tahan
api yang berisi surat‐surat berharga. Dibukanya laci‐lacinya
yang terbuat dari logam. Di dalamnya terdapat
beratus‐ratus surat berharga yang mewakili hampir setiap
perusahaan yang menjual sahamnya di New York dan
Amerika. Jumlah saham yang diwakili oleh masing‐masing
sertifikat tercetak pada bagian muka sertifikatnya dan
jumlahnya berkisar dari satu sampai seratus ribu saham.
George dengan cepat dan cekatan memeriksa surat‐surat
itu. Dia memilih sertifikat beberapa perusahaan komputer
raksasa dengan jumlah nilai saham sejuta dollar.
Surat‐surat berharga itu dia selipkan di saku jasnya.
Kemudian dia menutup laci dan melangkah kembali ke
tempat penjaga keamanan.
“Kok cepat?” tanya petugas itu.
George menggelengkan kepala. “Rupanya komputernya
memberi nomor yang salah. Mesti kucek dulu.”
“Oh, komputer!” si petugas menunjukkan kekesalan.
“Katanya lebih teliti dari kita!”
Ketika George kembali ke mejanya, bajunya basah kuyup
oleh keringat. Tapi, sejauh ini beres semua. Dia memutar
nomor telepon Alexandra.
“Sayangku,” ujarnya. “Aku ingin bertemu kau dan
nenekmu nanti malam.”
“Kukira kau punya urusan bisnis nanti malam, George.”
“Sebetulnya memang begitu. Tapi, sudah kubatalkan.
Aku ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting
kepadamu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Persis jam satu siang, George berada kembali di ruang
kerja Helen Thatcher—mengembalikan kartu ke lacinya.
Sementara itu, perempuan itu sedang menunggu‐nunggu
George di restoran yang dijanjikan. Sebenarnya George
ingin sekali memegang kartu itu, karena dia bakal
memerlukan kartu itu lagi. Tapi dia tahu, bahwa setiap
kartu yang tidak dikembalikan, malam harinya akan dibuat
tak berfungsi oleh komputer, hingga tak bisa dipergunakan
lagi esok harinya. Jam satu lebih sepuluh George sudah
makan siang dengan Helen Thatcher.
George memegang tangan perempuan itu. “Aku senang
kalau kita bisa lebih sering makan siang bersama begini.”
Pandangannya menyelidik. “Sudah ada janji buat besok
siang?”
“Belum.” Wajah Helen Thatcher berseri.
Ketika George Mellis meninggalkan kantornya sore itu,
dia mengantongi saham senilai satu juta dollar.
Dia tiba di rumah kediaman keluarga Blackwell pada jam
tujuh tepat, dan dipersilakan masuk ke ruang
perpustakaan. Kate dan Alexandra menunggunya disana.
“Selamat petang,” ujar George. “Mudah‐mudahan saja
aku tak terlalu mengganggu. Aku perlu menyampaikan
sesuatu pada kalian.” George menoleh kepada Kate. “Aku
tahu ini cara kuno, Nyonya Blackwell, tapi, izinkanlah aku
menikahi cucu Anda. Aku sangat mencintai dia. Dan, kukira,
dia pun mencintaiku. Kami berdua akan merasa sangat
berbahagia kalau kami mendapat restu Anda.” George
merogoh saku jasnya, mengeluarkan sertifikat sahamnya
dan menaruh surat‐surat itu di meja, di hadapan Kate. “Ini
mas kawinnya. Surat‐surat itu bernilai sejuta dollar.
Alexandra takkan memerlukan uang Anda, Nyonya
Blackwell. Yang kami butuhkan adalah restu Anda.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate memperhatikan sertifikat saham yang dengan
sembrono ditaruh George di meja. Dia kenal nama
perusahaan yang tertera pada masing‐masing sertifikat itu.
Alexandra menghampiri George. Matanya bersinar‐sinar.
“Oh, George!” Kemudian dia memandang neneknya,
pandang matanya memohon. “Bagaimana, Nek?”
Kate melihat keduanya berdiri di hadapannya. Tak ada
alasan buat mengecewakan mereka. Sesaat, dia merasa iri.
“Kalian kurestui,” ucapnya.
George tersenyum lebar. Dia menghampiri Kate. “Boleh,
kan?” tanyanya sambil mengecup pipi perempuan tua itu.
***
Dua jam lamanya mereka sibuk membuat rencana pesta
perkawinan yang akan datang. “Aku tak mau pesta
besar‐besaran, Nek,” kata Alexandra. “Tak perlu
merayakannya secara besar‐besaran begitu, kan?”
“Aku setuju,” tambah George. “Cinta buatku merupakan
sesuatu yang pribadi sekali.”
Akhirnya mereka setuju buat mengadakan upacara
kecil‐kecilan di catatan sipil.
“Apakah ayahmu akan hadir?” tanya Kate.
George tertawa. “Tak bakal bisa dicegah. Ayahku akan
datang bersama tiga adik lelaki dan dua adik
perempuanku.”
“Aku kepingin sekali bertemu dengan mereka.”
“Pasti Anda cocok dengan mereka,” kata George.
Matanya beralih ke Alexandra.
Kate sangat terharu oleh segala yang terjadi petang hari
itu. Dia gembira cucunya bisa mendapatkan lelaki yang
begitu sayang padanya. Aku tak boleb lupa, pikir Kate,
membatalkan perintab agar Rogers menyelidiki keadaan
keuangan George.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sebelum pulang, ketika George berdua saja dengan
Alexandra, George berkata—nadanya biasa, “Menyimpan
surat berharga bernilai sejuta dollar di rumah, tak
bijaksana. Sebaiknya kusimpan saja di brankasku dulu.”
“Betul. Simpankan dulu, ya?”
George memungut surat‐surat berharga itu, kemudian
memasukkan kembali ke saku jasnya.
Keesokan harinya, George mengulang urut‐urutan
kegiatan yang dia lakukan sehari sebelumnya dengan Helen
Thatcher. Sementara Helen sedang dalam perjalanan turun
menemui George (“Aku punya sesuatu buatmu.”), George
naik ke ruang kerja Helen mengambil kartunya. Dia
memberi Helen sehelai scarf Gucci—”Hadiah ulang tahun.
Maaf, agak terlambat.”—kemudian dia menegaskan sekali
lagi rencana makan siang bersama siang itu. Kali ini, George
merasa pekerjaan mencapai ruang penyimpan surat ber‐
harga lebih gampang dari kemarin. George mengembalikan
sertifikat‐sertifikat yang dia ambil kemarin, lalu
mengembalikan kartu Helen, dan menemui perempuan itu
di restoran.
Helen meraih tangan George. Katanya, “George,
kumasakkan sesuatu buatmu, ya—datanglah nanti malam
ke rumahku.”
George menyahut, “Rasanya aku tak bakal bisa datang,
Helen. Aku akan kawin.”
Tiga hari menjelang upacara pernikahan yang telah
ditentukan, George tiba di rumah kediaman keluarga
Blackwel Wajahnya tampak sedih dan bingung. “Ada kabar
buruk,” katanya. “Ayahku dapat serangan jantung lagi.”
“Astaga,” ucap Kate. “Apakah kesehatannya bisa pulih?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Semalam aku beberapa kali telepon. Menurut
adik‐adikku, keadaan Ayah sudah lebih baik. Tapi, beliau
takkan bisa hadir pada upacara pernikahan nanti.”
“Sebaiknya kita berbulan madu ke Athena saja, Sayang,
biar aku bisa bertemu dengan mereka semua,” usul
Alexandra.
George membelai pipi gadis itu. “Aku sudah punya
rencana lain buat bulan madu kita, matia mou. Aku
kepingin kita berdua saja pada waktu bulan madu. Tak ada
keluarga‐keluargaan.”
Petugas catatan sipil datang mengukuhkan perkawinan
mereka di ruang tengah rumah kediaman keluarga
Blackwell. Tamu yang hadir tak lebih dari selusin. Yang
tampak di sana antara lain Vince Barnes, Alice Koppel, dan
Marty Bergheimer. Alexandra membujuk neneknya agar
memperbolehkan Eve menghadiri upacara itu. Tapi, Kate
bersikeras, “Kakakmu takkan pernah kuizinkan datang ke
rumah ini lagi.”
Mata Alexandra berkaca‐kaca. “Nenek jahat sekali sih.
Aku sayang pada Nenek. Tapi, aku juga sayang pada Eve.
Tak bisakah Nenek memaafkan dia, Nek?”
Sejenak, Kate tergoda buat menceritakan semua kisah
ketidaksetiaan Eve. Tapi, cepat dia memutuskan buat tidak
menceritakan. “Yang kulakukan adalah yang menurutku
terbaik buat semua pihak,” katanya.
Seorang juru potret memotret upacara pernikahan itu.
Kate mendengar George memesan lelaki itu agar
membuatkan beberapa lembar potret buat dikirim ke
keluarganya di Yunani. Sangat teliti dan memperhatikan
keluarganya, pikir Kate.
Seusai acara memotong kue, George berbisik pada
Alexandra, “Sayangku, rasanya aku perlu menghilang dulu
beberapa jam.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Ada apa, George?”
“Tidak ada apa‐apa. Hanya, aku takkan diperbolehkan
ambil cuti buat berbulan madu kalau urusan buat
pelanggan penting itu belum selesai.. Aku takkan
lama‐lama. Pesawat kita berangkat jam lima, kan?”
Alexandra tersenyum. “Cepat‐cepat pulang, ya. Aku tak
mau pergi berbulan madu sendirian.”
Waktu George tiba di apartemen Eve, Eve sudah
menunggunya—mengenakan gaun tidur tipis.
“Menyenangkan pesta pemikahanmu barusan, Sayang?”
“Ya. Terima kasih. Kecil‐kecilan, tapi sangat elegan.
Segalanya berjalan mulus sekali.”
“Kau tahu kan, apa sebabnya? Karena aku. Jangan pernah
melupakan itu.”
George memandang Eve. Katanya perlahan, “Aku takkan
lupa.”
“Dari semula kita berkongsi.”
“Tentu saja.”
Eve tersenyum. “Hm, hm! Jadi, kau sekarang suami
adikku.”
George melirik jam tangannya. “Ya. Dan aku mesti
buru‐buru kembali.”
“Jangan,” ucap Eve.
“Kenapa?”
“Soalnya, kau mesti melayaniku dulu, Sayang.”
30
EVE yang merencanakan bulan madunya. Mahal. Tapi,
katanya pada George, “Tidak perlu selalu berhemat‐hemat.”
Eve menjual tiga potong perhiasan pemberian
kekasih‐kekasih yang memujanya. Uangnya dia berikan
pada George.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku sangat menghargai semuanya ini, Eve,” kata
George. “Aku—”
“Nanti toh kembali.”
Bulan madu itu sempurna. George dan Alexandra
menginap di Round Hill di Teluk Montego yang letaknya di
sebelah utara Jamaica. Lobi hotelnya berbentuk bangunan
mungil berwarna putih—terletak di tengah‐tengah
kurang‐lebih dua lusin bungalow pribadi yang cantik dan
tersebar dari ketinggian bukit ke pantai laut yang biru
jernih. Keluarga Mellis mendapat bungalow bernama Noel
Coward. Bungalow itu mempunyai kolam renang sendiri
dan seorang pelayan yang bertugas menyiapkan sarapan. di
teras. George menyewa perahu kecil. Mereka pergi berlayar
dan memancing. Waktu mereka, mereka habiskan buat
berenang, membaca, bermain backgammon, dan
berkasih‐kasihan. Alexandra berusaha sedapat‐dapatnya
menyenangkan George di ranjang. Kalau mendengar
suaminya mengerang pada puncak hubungan cinta kasih
mereka, Alexandra merasa begitu bahagia bisa
menimbulkan kepuasan seperti itu pada diri suaminya.
Pada hari kelima, George mengatakan, “Alex, aku perlu
pergi ke Kingston. Urusan bisnis. Kantorku punya cabang di
sana, dan aku diminta melihat‐lihat kantor cabang itu.”
“Tak apa‐apa,” sahut Alexandra. “Aku ikut.”
Dahi George berkerut. “Sebenarnya, aku senang sekali
kalau kau bisa ikut, Sayang. Tapi, aku kebetulan sedang
menunggu telepon penting dari luar negeri. Aku butuh
bantuanmu menunggu telepon itu di sini dan mencatat
pesannya.”
Alexandra kecewa. “Biar resepsionis saja yang
menerima.”
“Pesannya terlalu penting. Aku kuatir resepsionis tak
bisa menyimpan rahasia.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Baiklah, kalau begitu.”
George menyewa mobil dan pergi ke Kingston. Sudah
sore waktu dia tiba di sana. Jalan di ibukota itu penuh oleh
turis yang baru turun dari kapal pesiar. Mereka sibuk
berbelanja di pasar murah. Kingston merupakan kota
perdagangan. Banyak pabrik, gudang, dan industri
perikanan di sana. Tapi, dengan pelabuhannya yang
dilingkungi daratan itu, Kingston juga merupakan kota
cantik. Banyak bangunan kuno di sana. Juga museum dan
perpustakaan.
George tidak tertarik pada semuanya itu. Dia terdorong
untuk memuaskan kebutuhan yang telah bertumpuk tak
terpuaskan selama beberapa minggu ini. Dia masuk ke bar
pertama yang dilihatnya, lalu bicara dengan penjaga bar itu.
Lima menit kemudian George naik tangga menuju ke kamar
sebuah hotel murah bersama seorang pelacur berkulit
hitam yang umurnya kira‐kira lima belas tahunan. Dua jam
lamanya George di sana bersama gadis muda itu. Ketika
pergi dari sana, George sendirian. Dia langsung masuk ke
mobil dan memacu mobilnya kembali ke Teluk Montego.
Alexandra mengatakan bahwa telepon penting yang
ditunggunya belum juga datang.
Esok harinya, surat kabar pagi di Kingston mengabarkan,
seorang turis menyiksa seorang pelacur. Pelacur itu
ditemukan dalam keadaan hampir tewas.
Di Hanson and Hanson, pimpinan perusahaan telah agak
lama membicarakan George Mellis. Beberapa pelanggan
berkeluh‐kesah tentang cara George menangani mereka.
Pimpinan perusahaan telah sepakat buat mengeluarkan
George. Tapi, sekarang, mereka berpikir ulang.
“Dia kawin dengan salah seorang cucu Kate Blackwell,”
kata seorang pimpinan senior. “Kita harus pertimbangkan
lagi keputusan kita.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Betul,” tambah pimpinan lainnya. “Kalau kita berhasil
menjadikan Blackwell pelanggan kita...” Ketamakan yang
meliputi mereka jelas sekali.
Mereka memutuskan buat mencoba George Mellis sekali
lagi.
Waktu Alexandra dan George pulang dari bulan madu
mereka, Kate mengatakan, “Aku ingin kau pindah kemari
dan tinggal bersamaku. Rumah ini terlalu besar buatku
sendiri. Lagi pula, kita takkan saling mengganggu di sini.
Kau—” George menyela. “Anda baik sekali, Nyonya
Blackwell,” komentarnya. “Tapi, aku sungguh‐sungguh
berpendapat bahwa sebaiknya kami punya rumah sendiri.”
George tak punya niatan tinggal serumah dengan
perempuan tua itu—yang setiap saat bakal bisa
memata‐matai setiap gerak‐geriknya.
“Aku mengerti,” kata Kate. “Kalau begitu, perbolehkan
aku membelikan kalian rumah. Anggap saja itu hadiah
perkawinan dariku.”
George merangkul Kate dan menciumnya.
“Anda sangat bermurah hati.” Suaranya parau, nadanya
terharu. “Alex dan aku menerima hadiah itu dengan penuh
rasa terima kasih.”
“Terima kasih, Nek,” ucap Alexandra. “Kami akan cari
rumah yang tidak terlalu jauh dari sini.”
“Ya,” George menyetujui. “Kami ingin tinggal sedekat
mungkin hingga bisa menjaga Anda. Anda perempuan yang
sangat menarik, kalau aku boleh mengatakannya!”
Dalam waktu seminggu mereka sudah menemukan
rumah yang cocok. Rumahnya indah, terletak dekat taman
dan cuma beberapa blok dari rumah keluarga Blackwefl.
Rumah berlantai tiga itu sangat menarik. Di dalamnya ada
satu ruang tidur utama, dua ruang tidur tamu, tempat
tinggal para pelayan, sebuah dapur besar, kamar makan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berdinding panel, sebuah ruang keluarga yang elegan, dan
ruang perpustakaan.
“Terpaksa kau mesti mendekor sendiri, Sayang,” ujar
George pada Alexandra. “Aku sedang sibuk sekali.”
Kenyataannya, George hampir tak pernah muncul di
kantor. Hari‐harinya diisi dengan halhal lain yang lebih
menarik buatnya. Polisi mendapat seberondong laporan
kejahatan dari pelacur lelaki dan perempuan serta
bebempa perempuan kesepian yang berkunjung ke bar
orang‐orang bujang. Para korban menggambarkan
penyerang mereka sebagai lelaki ganteng dan sopan,
keturunan asing—besar kemungkinan berdarah Latin.
Korban yang mau meluangkan waktu melihat potret‐potret
penjahat di kantor polisi tak bisa menunjukkan yang mana
yang paling mirip.
Eve dan George makan siang bersama di sebuah warung
kecil di tengah kota. Di sana mereka tak bakal dikenali
orang.
“Kau mesti suruh Alex bikin surat wasiat tanpa ketahuan
Kate.”
“Bagaimana caranya?”
“Tenang. Nanti kuberi tahu, Sayang..
Esok petangnya, George dan Alexandra makan malam
bersama di Le Plaisir, salah satu restoran Prancis paling
bagus di New York. George terlambat lebih dari setengah
jam dari waktu jumpa yang telah ditentukan.
Pierre Jourdan, pemilik restoran, menunjukkan meja
tempat Alex sudah menunggu. “Maafkan aku, Bidadariku,”
ucap George terengah. “Aku baru dari tempat pengacaraku.
Kau tahu sendiri bagaimana lambatnya kerja mereka.
Segala sesuatu dibuatnya jadi kompleks.”
Alexandra bertanya, “Ada masalah apa sih, George?” ‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tidak apa‐apa. Aku cuma mengubah surat wasiatku.”
George merengkuh tangan Alexandra dan memeganginya.
“Kalau terjadi sesuatu padaku sekarang ini, Sayang, semua
yang kumiliki akan jadi milikmu.”
“George, aku tak kepingin—”
“Oh, nilainya tak seberapa kalau dibandingkan dengan
kekayaan keluarga Blackwell. Tapi, cukuplah untuk hidup
lumayan.”
“Takkan ada apa pun terjadi denganmu, George. Tak
akan ada apa‐apa.”
“Tentu saja tidak, Alex. Tapi, terkadang hidup ini tidak
mulus. Ada, hal‐hal yang kurang menyenangkan mesti
dihadapi. Karenanya, lebih baik kita bersiap‐siap. Ya, kan?”
Alexandra duduk terdiam beberapa saat. “Mestinya aku
pun mengubah isi surat wasiatku. Ya kan, George?”
“Buat apa?” Geor'ge kedengaran kaget.
“Kau suamiku. Semua milikku juga milikmu.”
George menarik tangannya. “Alex, aku tak peduli dengan
uangmu.”
“Aku tahu, George. Tapi kau memang benar. Lebih baik
kalau kita bersiap‐siap.” Matanya berlinang air mata. “Aku
memang tolol. Tapi, kebahagiaanku saat ini membuat aku
tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi kalau
sampai satu di antara kita... George, aku ingin kita selalu
bersama‐selamanya.”
“Kita akan selalu bersama,” bisik George.
“Besok aku akan bicara, dengan Brad Rogers—minta
bantuannya buat mengubah isi surat wasiatku.”
George cuma mengangkat bahu. “Kalau itu memang yang
kauinginkan, Sayang, silakan.” Seperti terlambat
mengatakan, tambahnya, “Ngomong‐ngomong, mungkin
ada baiknya kau berhubungan saja langsung dengan
pengacaraku. Dia sudah biasa menangani urusanku. Dia
sangat pandai mengatur segala sesuatu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Terserah kau saja. Kata Nenek—”
George membelai pipi istrinya. “Urusan begini sebaiknya
kita saja yang mengurus. Aku kagum pada, nenekmu. Tapi,
aku lebih senang kalau masalah‐masalah yang pribadi
sifatnya kita urus sendiri tanpa mengikutcampurkan
nenekmu. Bagaimana menurutmu?”
“Kau benar, Sayang. Aku takkan bilang apa‐apa sama
Nenek. Kau bisa buatkan janji biar aku bisa ke tempat
pengacaramu besok?”
“Ingatkan aku untuk meneleponnya. Sekarang, kita
makan dulu. Aku sudah kelaparan. Apanya dulu? Kepiting ...
?”
Seminggu berikutnya, George menemui Eve di
apartemennya.
“Alex sudah menandatangani surat wasiatnya yang
baru?” tanya Eve.
“Sudah. Tadi pagi. Dia akan mewarisi bagian
perusahaannya minggu depan, pada hari ulang tahunnya.”
Seminggu sesudahnya, 49 persen saham Kruger‐Brent,
Ltd., dialihkan kepada Alexandra. George menelepon Eve,
memberi kabar. Katanya, “Bagus! Datanglah nanti malam.
Kita rayakan keberhasilan kita.”
“Aku tak bisa. Kate bikin pesta buat merayakan ulang
tahun Alex.”
Hening. “Apa yang mereka hidangkan di sana?”
“Mana aku tahu?”
“Cari tahu.” Sambungan telepon pun diputuskan.
Empat puluh menit kemudian George menelepon Eve
kembali. “Aku tak mengerti kenapa kau begitu tertarik pada
menunya,” kata George kasar, “kau toh tak diundang ke
pestanya. Tapi, kalau kau ingin tahu juga, mereka
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyebutnya Coquille Saintjacques, Chateaubriand, salad,
Brie, cappuccino dan kue ulang tahun dengan es krim
kesukaan Alex—Neapolitan. Puas?”
“Ya, George. Sampai nanti malam.”
“Tidak, Eve. Tak mungkin aku bisa pergi begitu saja di
tengah‐tengah pesta ulang tahun Alex—”
“Cari jalan.”
Sialan. Setan dia! George menaruh gagang telepon dan
melihat arlojinya. Sialan semuanya! Dia punya janji bertemu
dengan pelanggan penting yang sudah dua kali dia hindari.
Sekarang dia sudah terlambat. George tahu betul, bahwa
dia belum dikeluarkan gara‐gara dia kawin dengan
keturunan Blackwell. Dia tak boleh bikin ulah yang bisa
merusak posisinya. George telah berhasil memberikan
gambaran baik tentang dirinya pada Alexandra dan Kate.
Sangat penting gambaran itu tak dirusak oleh apa pun.
Sebentar lagi dia tak butuh mereka lagi.
Dia mengirimi ayahnya surat undangan pernikahan.
Tapi, menulis surat balasan pun ayahnya tidak. George tak
menerima satu ucapan pun dari keluarganya. Aku tak mau
melihatmu lagi, ayahnya berkata. Kau sudab mati. Mengerti?
Yah, ayahnya pasti kaget. Anaknya yang mati ternyata
hidup lagi.
Pesta ulang tahun Alexandra yang keduapuluh tiga
sukses besar. Ada empat puluh tamu diundang. Dia
meminta George mengundang beberapa kawannya. Tapi,
dia menolak. “Ini kan pestamu, Alex,” katanya. “Kita undang
kawan‐kawanmu saja.”
Yang sebenarnya, George tak punya kawan. Dia orang
yang lebih suka sendirian. George membanggakan
kenyataan itu. Orang yang tergantung pada orang lain itu
lemah. George menyaksikan Alexandra meniup lilin ulang
tahunnya, sambil diam‐diam berkata dalam hati, Mestinya
kau berharap berumur lebih panjang, Sayang. Dia mengakui
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bahwa Alexandra sangat cantik. Dia mengenakan gaun
panjang dari bahan sifon putih. Sepatunya sepatu tali dari
bahan keperakan. Di lehernya tergantung kalung berlian
indah, hadiah Kate. Batu berlian besar‐besar berbentuk
buah pir itu dirangkai indah pada tali platina. Terkena
cahaya lilin, kilaunya mempesona.
Kate memandang mereka. Aku ingat ulang tahun
perkawinanku yang pertama, waktu David mengenakan
kalung itu pada leherku dan mengatakan betapa dia
mencintaiku.
Sementara itu George berpikir, Kalung itu paling tidak
bernilai seratus lima puluh ribu dollar.
George menyadari, bahwa beberapa tamu perempuan
Alexandra memperhatikan dirinya. Mereka tersenyum
mengundang kepadanya, serta sesekali menyentuhnya
sambil mengobrol. Setansetan jahat! George berpikir
dengan tak suka. Pada kesempatan lain, mungkin dia akan
ambil risiko. Tapi, dengan kawan Alexandra dia tak mau
bikin gara‐gara. Mengadu pada Alexandra, mungkin mereka
tak berani. Tapi, sangat mungkin mereka mengadu ke
polisi. Dia tak boleh mengambil risiko yang tak perlu.
Jam sepuluh kurang semenit, George mendekati telepon.
Ketika semenit kemudian telepon berdering, dia cepat
mengangkat. “Halo.”
“Tuan Mellis?”
“Ya.”
“Dari apartemen Anda. Mesin penjawab otomatis Anda
menyuruhku menelepon jam sepuluh.”
Alexandra ada di sisinya.
“Baiklah,” ujar George ke dalam telepon.
“Katakan kepadanya aku segera datang. Aku akan
menemui dia di Pan Am Dipper Dub.”
George setengah membanting telepon.
“Ada apa, George?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
George berpaling pada Alexandra. “Pimpinan tolol! Dia
mau ke Singapura. Kontrak yang harus dia bawa
ketinggalan di kantor. Aku disuruh mengambilkan dan
membawakan ke pelabuhan udara sebelum pesawatnya
bemngkat.”
“Sekarang?” suara Alexandra bernada kecewa.
“Masakan tak ada orang lain yang bisa melakukan itu?”
“Aku satu‐satunya yang mereka percaya,” keluh George.
“Mungkin karena aku satu‐satunya yang paling bisa kerja di
kantor.” George merangkul istrinya. “Maafkan ya, Sayang.
Jangan gara‐gara ini pestamu jadi rusak. Teruskan saja. Aku
pasti pulang secepatnya.”
Alexandra berusaha tersenyum. “Tapi, aku pasti
kehilangan kau.”
Alexandra memperhatikan suaminya pergi. Lalu dia
mengedarkan pandangannya berkeliling—mengamati
apakah semua tamunya tampak senang.
Dalam hati dia bertanya‐tanya, bagaimana Eve
merayakan ulang tahunnya.
Eve membukakan pintu buat George, “Bisa, kan?”
katanya. “Kau memang pandai!”
“Aku tak bisa lama‐lama, Eve. Alex sedang—”
Eve menggenggam tangan George. “Masuklah dulu,
Sayang. Aku punya kejutan buatmu.” Eve mengajaknya ke
ruang makan mungil. Meja telah ditata untuk makan
berdua, dengan perlengkapan makan dari perak dan serbet
cantik warna putih. Ada lilin dinyalakan di tengah‐tengah
meja.
“Buat apa semua ini?”
“Ini kan ulang tahunku, George.”
“Oh, ya,” ujarnya malu‐malu. “Aku—aku lupa bawa
kado.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve membelai pipi George. “Kau sudah memberiku kado.
Nanti juga kauberikan padaku. Duduklah.”
“Terima kasih,” sahut George. “Tapi, rasanya aku tak bisa
makan lagi. Barusan sudah makan besar.”
“Duduklah.” Nada suaranya tak berubah.
George menatapnya, lalu duduk.
Hidangan di meja terdiri dari Coquille SaintJacques,
Chateaubriand, salad, Brie, cappuccino, dan kue ulang tahun
dengan es krim Neapolitan.
Eve duduk berseberangan dengan George, menyaksikan
lelaki itu memaksakan makanan yang dimulutnya tertelan.
“Alex dan aku selalu menikmati hal‐hal yang sama,” Eve
berkata kepadanya. “Malam ini, aku menikmati santapan
ulang tahun yang sama. Tahun depan, cuma akan ada
seorang di antara kami yang merayakan ulang tahun. Sudah
tiba waktunya, Sayangku, adikku itu mengalami kecelakaan.
Sesudah kejadian itu, Nenek pasti mati dilanda kesedihan.
Semuanya akan jadi milik kita, George. Nah, sekarang kita
ke kamar, yuk! Beri aku hadiah ulang tahun yang
mengasyikkan.”
George sangat takut menghadapi saat itu. Dia lelaki kuat
dan bersemangat. Cara Eve mendominasi dia bikin dia
merasa impoten. Eve menyuruh George melepaskan
gaunnya dengan perlahan‐lahan. Kemudian, dia sendiri
membuka pakaian George dengan cekatan.
“Nah, begitu dong, Sayang, “ Eve berkata. “Ah,
nikmatnya.... Tapi kau tak bisa puas dengan begini. Ya, kan,
Sayang? Oh, kasihan. Kau tahu kenapa, George? Karena kau
tak normal. Kau tak suka cewek. Ya kan, George? Yang
kausenangi Cuma menyakiti mereka. Kau kepingin
menyakitiku, kan? Coba katakan, kau kepingin
menyakitiku.”
“Aku kepingin mencekikmu sampai mati.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve tertawa. “Ya. Tapi kau tak berani. Soalnya, kau
begitu kepingin memiliki perusahaan itu—seperti aku....
Kau tak bakal menyakitiku, George, karena, kalau sampai
terjadi sesuatu padaku, seorang kawanku akan membawa
sepucuk surat buat polisi.”
George tak percaya. “Kau mengada‐ada.”
Eve menggoreskan kukunya yang panjang di dada
George. “Kalau tak percaya, ada satu cara buat
membuktikan. Ya, kan?” Eve menantang.
Mendadak George sadar. Eve mengatakan yang
sebenarnya. Dia tak bakal lepas dari kungkungan Eve! Eve
akan selalu berada di sana, menantangnya, memperbudak
dia! Tak tahan rasanya membayangkan dirinya dikuasai
setan ini sepanjang hidupnya. Sesuatu dalam dirinya
meledak. Lapisan transparan kemerahan turun menaungi
matanya. Dan sejak saat itu dia tak sadar akan apa yang dia
lakukan. Sepertinya ada orang lain yang menguasai dirinya.
Segalanya terjadi perlahan‐lahan. Dia ingat dia mendorong
Eve dan mendengarnya berteriak kesakitan. Kemudian dia
memukul berulang‐ulang, dan hm, kenikmatan yang
ditimbulkan tak bisa diungkapkan dengan kata‐kata. Dia
merasakan lonjakan kenikmatan yang tak tertahankan...
dan bukan cuma sekali. Kenikmatan itu datang lagi dan lagi.
Dalam hati dia berkata, Ya Tuhan! Sudah lama betul aku
menunggu semua ini. Dari kejauhan terdengar ada yang
menjerit‐jerit. Lapisan transparan berwarna merah di
matanya mulai terangkat. Pandangannya tak lagi kabur. Dia
melihat ke bawah. Eve terkulai di tempat tidur. Tubuhnya
bersimbah darah. Hidungnya patah. Tubuhnya penuh luka
dan luka bakar akibat sundutan rokok. Matanya bengkak
dan menutup. Rahangnya patah. Lewat sisi mulutnya yang
terbuka, dia mengerang, “Hentikan, hentikan, hentikan....”
George menggeleng‐gelengkan kepala, mengusir kabut
merah yang serasa menutupi pandangannya. Mendadak dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyadari yang telah terjadi. Dia panik. Semua ini tak bisa
dipertanggungjawabkan. Dan gara‐gara ini, segalanya bisa
lenyap. Ya. Segalanya!
George membungkuk di atasnya. “Eve?”'
Eve membuka matanya yang bengkak. “Dokter...
Panggil... dokter...” Setiap kata diucapkan dengan kesakiran.
“Harley... John Harley.”
Di telepon, George cuma mengatakan, “Bisakah Anda
datang kemari secepatnya? Eve Blackwell mendapat
kecelakaan.”
Ketika Dr. John Harley masuk ke kamar itu dan
menyaksikan keadaan Eve serta percikan darah di ranjang
dan dinding, katanya, “Ya, Tuhan!” Dia meraba denyut nadi
Eve lalu berbalik pada George. “Panggil polisi. Katakan kita
perlu ambulans.”
Dalam kesakitang Eve berbisik, “John…”
john Harley membungkuk. “Kau pasti sembuh. Kami
akan membawamu ke rumah sakit.”
Eve merengkuh tangan dokternya. “Jangan panggil
polisi....”
“Aku wajib melaporkan ini. Aku—”
Eve meremas tangan John Harley. “Jangan panggil
polisi…”
Dokter itu mengamati tulang Eve yang patah di sana‐sini,
luka bakar bekas puntung rokok di sekujur tubuhnya.
“Sudahlah. Jangan bicara dulu.”
Sakit yang dirasakan Eve menusuk‐nusuk tak
tertahankan. Eve berjuang mempertahankan nyawa. “John...
“ Lama sekali baru kata‐kata berikutnya keluar. “Ini
pribadi... Nenek bisa tidak... memaafkanku. Jangan... jangan
panggil polisi. Bilang saja korban... tabrak lari…”
Tak ada waktu buat berdebat. Dr. Harley menuju tempat
telepon dan memutar nomor. “Ini Dr. Harley.” Dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
memberikan alamat Eve. “Tolong kirim ambulans
secepatnya. Kemudian, panggil Dr. Keith Webster dan
minta dia ke rumah sakit segera. Beri tahu ada kasus gawat.
Siapkan ruang bedah.” Dokter itu diam mendengarkan
sebentar. “Korban tabrak lari.” Lalu dia melempar telepon
kembali ke tempatnya.
“Terima kasih, Dokter,” kata George terengah.
Dr. Harley menoleh dan melihat suami Alexandra.
Matanya memancarkan kebencian. George sudah
mengenakan pakaiannya kembali. Tapi tinjunya lecet dan
tangannya masih berbercak darah. “Jangan ucapkan terima
kasih kepadaku. Aku melakukan ini demi kepentingan
keluarga Blackwell. Ada satu syarat. Kau mesti berobat ke
psikiater.”
“Aku tak butuh.”
“Kalau begitu, aku akan melapor ke polisi sekarang juga,
bajingan! Kau berbahaya dibiarkan keluyuran dengan
bebas.” Dr. Harley mengangkat telepon lagi.
“Tunggu!” George berdiri, memikir‐mikir. Hampir saja
tamat riwayatnya. Tapi, seolah ada keajaiban, dia diberi
kesempatan sekali lagi. “Baiklah. Aku akan menemui
psikiater.”
Dari kejauhan, terdengar sirene ambulans.
Eve merasa didorong melalui terowongan panjang.
Cahaya berwarna‐warni dijepretkan berulang kali.
Tubuhnya terasa ringan sekali. Eve berpikir, Kalau kepingin
terbang, aku bisa sekarang. Dia mencoba menggerakkan
tangannya. Tapi, ada yang menahan. Dia membuka mata.
Dia sedang didorong melewati koridor putih—terbaring di
atas ranjang dorong yang didorong oleh dua lelaki berjubah
dan bertopi hijau. Aku sedang jadi bintang film, pikir Eve.
Tapi, aku lupa peranku. Apa ya, peranku? Ketika dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
membuka matanya lagi, dia berada di ruangan besar
berwarna putih, di atas meja operasi.
Seorang lelaki bertubuh kecil dan kurus mengenakan
jubah operasi membungkuk di dekatnya. “Namaku Keith
Webster. Aku akan mengoperasi Nona.”
“Aku tak mau rupaku jelek,” bisik Eve. Sukar rasanya
berbicara. “Jangan biarkan rupaku... jelek.”
“'Tidak,” janji Dr. Webster. “Sekarang kau akan kubius.
Rileks.”
Dokter itu memberi isyarat kepada dokter anestesi.
George membersihkan percikan darah yang ada di
tubuhnya di kamar mandi Eve. Dia kaget waktu melihat jam
tangannya. Sudah jam tiga pagi. Mudah‐mudahan saja
Alexandra sudah tidur. Tapi, waktu George melangkah ke
ruang keluarga rumah mereka, istrinya masih menunggu di
sana.
“George! Aku kuatir setengah mati! Kau tak apa‐apa,
kan?”
“Tidak, Alex.”
Alexandra bangkit dan merangkul suaminya. “Hampir
saja aku menelepon polisi. Aku kuatir kau dapat
kecelakaan.”
Kekuatiranmu memang benar, pikir George.
“Kontraknya sudah kauberikan?”
“Kontrak?” Mendadak George teringat. “Oh, ya. Ya!
Sudah.” Rasanya alasan bohong itu dia ucapkan sudah lama
sekali‐sudah bertahuntahun.
“Kenapa sampai begitu lama?”
“Jam keberangkatan pesawatnya ditunda,” sahut George
lancar. “Dia minta ditemani. Kupikir tak lama. Eh, tahu‐tahu
lama betul dan sudah kelewat larut buat meneleponmu.
Maaf, ya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tidak apa‐apa. Sekarang aku sudah tenang. Kau sudah
pulang.”
George terbayang kernbali waktu Eve ditandu ke
ambulans. Dari mulutnya yang sudah tak berbentuk, dia
masih mengucapkan, “Pulanglah... tidak ada... apa‐apa....”
Tapi, bagaimana kalau sampai Eve mati? Dia pasti
ditangkap dan dituduh sebagai pembunuh. Kalau Eve
bertahan hidup, takkan ada apa‐apa. Segalanya akan
berjalan seperti sebelumnya. Eve pasti memaafkan, karena
dia butuh George.
George tak bisa tidur malam itu. Dia mengingat‐ingat
waktu Eve menjerit‐jerit minta ampun. Terasa tulang
perempuan itu remuk oleh tinjunya. Dagingnya terasa
panas. Ketika itu ada perasaan hampir mencintai Eve pada
diri George.
Beruntung john Harley bisa mendapat bantuan Keith
Webster dalam kasus Eve. Dr. Webster adalah salah
seorang dokter bedah plastik paling terkernuka di dunia.
Dia membuka praktek pribadi di Park Avenue. Klinik
pribadinya terletak di sisi bawah Manhattan, tempat
khusus perawatan mereka yang mempunyai cacat bawaan.
Orang‐orang yang datang kepadanya diperbolehkan
membayar semampu mereka. Dr. Webster sudah biasa
menangani kasus kecelakaan. Walaupun demikian,
kerusakan wajah Eve membuatnya kaget. Dia pernah
melihat potret Eve di beberapa majalah. Melihat kecantikan
seperti itu dirusak demikian membuat dokter itu merasa
marah.
“Siapa yang bikin begini, John?”
“Kecelakaan—tabrak lari, Keith.”
Keith Webster mendengus. “Lalu sopirnya berhenti
sebentar dan menyocosnya dengan puntung rokoknya? Apa
kejadian yang sebenarnya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Maaf. Aku tak bisa membicarakan hal itu. Bagaimana
kira‐kira? Kau bisa membuatnya pulih?”
“Itu pekerjaanku, John.”
Sudah hampir tengah hari ketika Dr. Webster akhirnya
berkata kepada asistennya. “Selesai. Bawa dia ke ruang
perawatan ICU. Kalau ada yang kurang beres sedikit saja,
segera panggil aku.”
Operasi itu berlangsung sembilan jam.
Eve dibawa ke ruang ICU empat puluh delapan jam
kemudian. George menjenguknya ke rumah sakit. Dia
merasa harus menemui Eve dan bicara kepadanya.
Jangan‐jangan Eve merencanakan balas dendam
terhadapnya.
“Aku pengacara Nona Bladkwell,” kata George pada
perawat yang berjaga. “Dia minta aku datang. Boleh
bertemu sebentar saja?”
Perawat itu mengamati pria ganteng di depannya
sebentar. Katanya, “Mestinya dia tak boleh dijenguk. Tapi,
dalam hal ini rasanya Anda boleh masuk. “
Eve berada di ruangan tersendiri.
Dia terbaring di tempat tidur. Wajahnya penuh balutan.
Sementara itu berbagai selang menghubungkan entah
tabung apa saja dengan tubuhnya. Satu‐satunya bagian
yang kelihatan di wajahnya hanyalah mata dan bibir.
“Halo, Eve...”
“George...” Suaranya tak lebih dari bisikan.
George mesti membungkuk mendekatinya agar
mendengar yang dia katakan.
“Kau.... tidak bilang Alex, kan?”'
“Tentu saja tidak.” George duduk di sisi tempat tidur.
“Aku datang karena—”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku tahu kenapa kau datang.... Kita... akan teruskan
rencana itu ......
George merasakan kelegaan yang tak terkatakan.
“Maafkan aku buat semuanya ini, Eve. Aku
sungguh‐sungguh menyesal. Aku—”
“Suruh seseorang menelepon Alex... memberi tahu
adikku itu aku pergi ke luar negeri... pulang dalam...
beberapa minggu…”
“Baik.”
Sepasang mata merah memandang George.
“George... kau mau menolongku?”
“Ya?”
“Matilah dengan menderita....”'
Eve tertidur. Waktu dia bangun, Dr Keith Webster ada di
samping tempat tidurnya.
“Bagaimana rasanya?” tanyanya lembut menghibur.
“Capek sekali.... Ada apa... Apa yang terjadi?”'
Dr. Webster ragu. Hasil rontgen menunjukkan keretakan
zygoma dan patah tulang. Beberapa mengganggu gerak otot
temporal hingga dia tak bisa membuka dan menutup mulut
tanpa merasa sakit. Hidungnya patah. Dua tulang rusuknya
patah, dan ada beberapa luka bakar parah bekas puntung
rokok di daerah pantat dan di telapak kakinya.
“Apa?” ulang Eve.
Dengan selembut mungkin Dr. Webster berkata, “Tulang
pipimu retak. Hidungmu patah. Lengkung tulang mata
bergeser. Otot pembuka dan penutup mulutmu tertekan.
Dan, ada beberapa luka bekas puntung rokok. Semuanya
sudah dirawat. “
“Aku ingin lihat kaca,” bisik Eve.
Itu yang paling tak diperbolehkan. “Maaf,” dokter itu
tersenyum. “Tak ada kaca di sini.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve takut‐takut menanyakan yang berikutnya.
“Bagaimana—bagaimana rupaku nanti, setelah
perban‐perban ini dilepas?”
“Kau akan cantik. Secantik sebelum kecelakaan ini. “
“Aku tak percaya.”
“Lihat saja nanti. Nah, sekarang ceritakan yang
sebenarnya terjadi. Aku mesti menulis laporan ke polisi.”
Hening. Lama sekali. “Aku ditabrak truk.”
Dr Keith Webster sekali lagi heran—ada orang yang tega
merusak kecantikan begini. Tapi, sudah lama dia menyerah
buat memengerti kejahatan yang bisa dilakukan manusia
serta kemampuan mereka berbuat keji. “Aku butuh nama,”
ucapnya lembut. “'Siapa yang melakukan?”
“Mack..”
“Nama keluarganya?”
“Truk.”
Dr. Webster merasa aneh oleh kesepakatan membisu.
Mula‐mula John Harley. Sekarang Eve Blackwell.
“Dalam kasus kejahatan,” ujar Keith Webster pada Eve,
“aku diharuskan oleh hukum untuk membuat laporan pada
polisi.”
Eve meraih tangan dokter itu dan meremasnya.
“Kalau sampai nenek atau adikku tahu, mereka bisa mati.
Kalau kau laporkan ini kepada polisi... beritanya akan
disebar oleh surat kabar. jangan, Dokter... jangan. Tolong
aku.”
“Aku tak bisa melaporkan kejadiannya sebagai kasus
tabrak lari. Wanita tak lumrah keluyuran di jalan tanpa
busana.”
“Jangan, Dokter, jangan.”
Dr. Webster memandang Eve. Timbul rasa iba di hatinya.
“Kurasa, bisa kukatakan kau jatuh dari tangga di
rumahmu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve meremas tangan dokter itu lagi. “Betul. Memang itu
yang sebenarnya terjadi…”
Dr. Webster mengeluh. “Kukira memang begitu.”
Dr. Keith Webster mengunjungi Eve setiap hari.
Terkadang dia mampir sampai dua atau tiga kali sehari. Dia
membawakan Eve bunga dan hadiah kecil‐kecil yang dibeli
dari toko yang khusus menjual benda‐benda seperti itu di
rumah sakit. Setiap hari Eve bertanya dengan kuatir,
“Sepanjang hari aku berbaring saja. Mengapa tak ada yang
mengobatiku?”
“Kawan kerjaku sedang mengobati kau,” ujar Dr.
Webster.
“Kawan kerjamu?”
“Alam. Di balik perban banyak yang mengerikan itu,
kulitmu sedang menjalani penyembuhan.”
Beberapa hari sekali, Dr. Webster membuka perban dan
memeriksa kemajuannya.
“Beri aku cermin,” pinta Eve.
Jawabannya selalu sama. “Jangan dulu.”
Dia merupakan satu‐satunya kawan. Dan Eve mulai
menunggu‐nunggu kedatangannya. Keith Webster
orangnya kagok. Tubuhnya kurus pendek, rambutnya
jarang, dan matanya rabun berwarna kecoklatan—sering
sekali berkedip. Dia malu‐malu bila berada dekat Eve. Ini
membuat Eve senang.
“Kau pernah kawin?” tanyanya.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Entah. Kurasa aku tak bakal jadi suami yang baik. Aku
terlalu sering dapat panggilan mendadak.”
“Tapi, kau pasti punya cewek.”
Wajah lelaki itu merah padam. “Ah... “
“Cerita dong, tentang cewekmu,” goda Eve.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku tak punya cewek tetap.”
“Pasti banyak perawat yang naksir.”
“Tidak. Mereka bukan tipe orang yang romantis.”
Sekadar ngomong, pikir Eve. Kalau Eve mengobrolkan
Keith Webster dengan perawat dan dokter lain yang datang
merawatnya, Eve mendapat kesan mereka menganggap
Keith Webster itu dewa.
“Kerjanya seperti mukjizat,” seorang dokter berkata.
“Tidak ada yang tak bisa dia lakukan pada wajah manusia.”
Mereka menceritakan tentang bagaimana Keith Webster
menyembuhkan anak‐anak cacat dan korban kejahatan.
Tetapi, waktu Eve menanyakan hal itu pada Keith Webster,
dia cuma mengatakan, “Sayang sekali di dunia ini orang
dinilai dari rupa mereka. Aku cuma menolong mereka yang
lahir dengan rupa cacat. Nasib mereka bisa berubah.” Eve
heran. Keith Webster melakukan semuanya itu bukan demi
uang dan kemenangan. Dia sama sekali tak egois. Belum
pernah Eve menjumpai orang seperti dia. Eve mencoba
mencari apa motivasi kerja lelaki itu. Tapi itu cuma rasa
ingin tahu tanpa maksud lain. Eve tak tertarik pada Keith
Webster, kecuali pada jasa yang bisa dia berikan buatnya.
Lima belas hari setelah masuk rumah sakit, Eve
dipindahkan ke klinik pribadi di luar kota New York.
“Kau bisa lebih santai di sini,” Dokter Webster
meyakinkan.
Eve tahu jarak yang harus ditempuh oleh dokter itu
sekarang jadi lebih jauh kalau hendak memeriksanya. Tapi,
toh dia masih muncul setiap hari.
“Kau tak punya pasien lain, ya?” tanya Eve.
“Tak ada yang seperti kau.”
***
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lima minggu setelah Eve pindah ke klinik itu, Keith
Webster melepas perbannya. Dia memutar wajah Eve dari
sisi yang satu ke sisi satunya. “Terasa sakit?” tanyanya.
“Tidak.”
“Merasa seperti ditarik?”
“Tidak.”
Dr. Webster menoleh pada perawat. “Ambilkan cermin
buat Nona Blackwell.”
Mendadak Eve merasa ngeri. Sudah berminggu‐minggu
dia kepingin mengaca. Sekarang, ketika waktunya tiba, dia
malah ketakutan. Dia ingin melihat wajahnya sendiri di
cermin nanti, bukan wajah orang lain yang tak dia kenal.
Waktu Dr. Webster memberikan cermin kepadanya, dia
berkata lemah, “Aku takut—”
“Lihat wajahmu,” ujar dokter itu lembut.
Perlahan sekali, Eve mengangkat cerminnya. Mukjizat!
Tak ada perubahan sama sekali. Wajah yang terpantul di
situ betul‐betul wajahnya sendiri. Eve mencoba mencari
bekas luka di sana. Tidak ada. Matanya berlinang‐linang.
Dia mendongak. Katanya, “Terima kasih,” lalu dia
mengangkat tumit dan mencium Keith Webster.
Maksudnya cuma buat menyatakan terima kasih. Tapi, Eve
merasakan kehausan pada bibir lelaki itu.
Keith Webster menarik diri, mendadak malu. “Aku
senang kau gembira,” ujarnya.
Gembira! “Yang dikatakan orang tentang kau memang
benar. Kerjamu seperti mukjizat.”
Dokter itu malu‐malu. “Lihat dulu wajah siapa yang
mesti kurawat.”
31
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ