Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Jamie! Oh, syukurlah kau kembali dengan selamat.
Perempuan itu memperhatikan wajah lusuh Jamie yang
kemerah‐merahan. “Tak berhasil, ya? Jangan terlalu
dipikirkan, Nak. Minumlah teh bersamaku. Pasti hilang
capekmu.”
Tanpa berkata‐kata Jamie merogoh saku dan
mengeluarkan sebutir berlian besar. Ditaruhnya berlian itu
di tangan Nyonya Jardine.
“Aku datang memenuhi janjiku,” ucap Jamie.
Nyonya Jardine memandang batu mulia di tangannya.
Lama sekali. Mendadak matanya yang biru basah.
“Jangan, Jamie. Jangan!” suaranya lembut sekali. “Aku tak
kepingin memiliki berlian ini. Tak mengertikah kau, Nak!
Nanti jadi berantakan semua....”
Jamie McGregor kembali ke Klipdrift dengan penuh gaya.
Sebutir berliannya yang kecil dia tukarkan dengan seekor
kuda dan sado. Setiap pengeluaran dicatatnya, agar
mitranya tak tertipu. Perjalanan kembali ke Klipdrift
gampang dan enak. Mengingat perjuangan dan
penderitaannya dalam perjalanan berangkat tempo hari,
Jamie diliputi keheranan. Inilah bedanya kaya dan miskin,
pikirnya. Si miskin berjalan, si kaya mengendarai kereta.
Lembut, dicambuknya kudanya. Dan, keretanya pun
melaju menyeberangi gurun.
3
KLIPDRIFT belum berubah. Jamie McGregor sudah.
Orang memperhatikan ketika ia masuk kota mengendarai
kereta kuda dan berhenti di muka toko serba ada van der
Merwe. Bukan hanya kuda mahal dan keretanya yang
menarik perhatian orang, tapi kemenangan yang terpancar
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
di wajah pemuda itu. Sudah sering mereka menyaksikan
hal itu terjadi pada pencari berlian lain yang kaya
mendadak. Itu seolah menimbulkan harapan dan dorongan
baru buat mereka. Mereka mundur sedikit ketika Jamie
melompat turun.
Lelaki hitam kekar tempo hari masih ada di sana. Jamie
menyeringai kepadanya. “Hai! Aku kembali!”
Banda menambatkan kendali kuda pada tonggak tanpa
berkomentar. Ia masuk ke toko. Jamie mengikuti.
Salomon van der Merwe sedang melayani langganan.
Lelaki Belanda berperawakan kecil itu mendongak dan
tersenyum. Jamie mendadak tahu, bahwa van der Merwe
sudah mendengar beritanya. Entah bagaimana kabar
tentang penemuan berlian menyebar secepat kilat.
Seusai melayani pelanggannya, van der Merwe
menganggukkan kepala menunjuk ke belakang. “Silakan,
Tuan McGregor.”
Jamie mengikuti. Anak gadis van der Merwe sedang
sibuk memasak. “Halo, Margaret.”
Wajahnya merah padam, dan ia membuang muka.
“Yah! Kabar bagus itu sudah kudengar.” Wajah van der
Merwe berseri. Ia duduk di meja, menyingkirkan piring;
dan perkakas perak hingga ada tempat kosong di sana.
“Benar, Tuan.” Dengan bangga, Jamie mengeluarkan
pundi‐pundi kulit dari saku jaket, lalu menuang berlian ke
atas meja dapur. Bagai orang tersihir van der Merwe
memandangi batu‐batu di hadapannya. Perlahan ia
memungut satu per satu, menyelidik, dan sengaja
meninggalkan yang terbesar. Terakhir, baru ia
memperhatikan yang satu itu! Van der Merwe meraup
semuanya, memasukkan ke dalam tas kulit, lalu
memasukkan tas itu ke dalam lemari besi di sudut ruangan
dan menguncinya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Suaranya terdengar puas bukan main. “Kau hebat,
McGregor. Hebat sekali.”
''Terima kasih, Tuan. Ini baru permulaan. Masih beratus‐
ratus berlian tertinggal di sana. Entah berapa nilainya.”
“Kau sudah mencatatkan tempatnya sebagai hak kita?”
“Sudah, Tuan.” Jamie merogoh saku, mengeluarkan
selembar kertas bukti pendaftaran. “Sudah terdaftar atas
nama kita berdua.”
Van der Merwe mengamati kertas itu, lalu
mengantonginya.
“Kau berhak dapat bonus. Tunggu.” Ia bergegas ke pintu
yang menuju toko. “Kemarilah, Margaret.”
Gadis itu menurut. Kayak kucing ketakutan anak itu,
pikir Jamie.
Berapa menit kemudian van der Merwe kembali
sendirian.
“Nah.” Ia membuka dompet dan dengan hati‐hati
menghitung lima puluh pound.
Jamie memandangi lelaki itu dengan wajah keheranan.
“Untuk apa itu, Tuan?”
“Untukmu, Nak.”
“Aku—aku tidak mengerti.”
“Kau pergi dua puluh empat minggu. Seminggu upahmu
dua pound. Jadi jumlahnya empat puluh delapan pound.
Dua pound selebihnya kuberikan sebagai bonus tambahan.”
Jamie mengakak.
“Aku tak butuh bonus. Toh sudah berhak atas bagi hasil
berliannya.”
“Bagi hasil?”
“Tentu saja, Tuan. Lima puluh persen berlian itu
bagianku, kan? Ini usaha patungan.”
Van der Merwe menatap Jamie. “Patungan? Dari mana
kau mengambil kesimpulan itu?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Dari mana aku—?” Jamie memandang lelaki Belanda di
depannya dengan bingung. “Kita punya kontrak.”
“Betul. Sudah kaubaca kontraknya?”
“Belum. Kontraknya dibuat dalam bahasa Afrika. Tapi,
Anda menyebutkan bahwa kita patungan setengah‐
setengah.”
Van der Merwe menggeleng. “Kau salah mengerti, Nak.
Aku tak butuh usaha patungan. Kau bekerja untukku. Kau
kuperlengkapi dengan segala kebutuhan dan kusuruh
mencari berlian untukku.”
Amarah terasa membakar Jamie perlahan‐lahan. “Kau
tak memberiku apa‐apa. Aku membayar seratus dua puluh
pound untuk segala perlengkapan itu.”
Lelaki itu mengangkat bahu. “Aku tak kepingin buang‐
buang waktuku yang berharga berdebat denganmu,
McGregor. Begini saja. Kuberi kau tambahan lima pound
lagi, dan kita anggap masalahnya selesai. Kurasa aku sudah
bermurah hati.”
Amarah Jamie meledak. “Tidak! Aku berhak atas separuh
hasilnya. Dan aku menuntut hakku. Penemuan itu sudah
kudaftarkan atas nama kita berdua.”
Van der Merwe tersenyum tipis.
“Kalau begitu kau mencoba menipuku. Kau bisa ditahan
gara‐gara itu.” Ia menaruh uangnya ke genggaman Jamie.
“Nah, ambil upahmu dan pergi dari sini!”
“Aku akan menuntutmu!”
“Kau punya uang buat bayar pengacara? Semua kantor
pengacara di sini aku yang punya, Nak.”
Tak mungkin ini terjadi pada diriku, pikir Jamie. Ini cuma
mimpi. Terbayang kembali olehnya perjuangan dan
penderitaan yang ia lalui, berminggu‐minggu, bahkan
berbulan‐bulan dibakar terik matahari padang pasir,
tenaga yang ia peras dari subuh sampai senja. Semuanya itu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kembali memenuhi kepalanya. Ia hampir mati
memperjuangkan penemuan itu, dan sekarang lelaki itu
mencoba merampas haknya.
Ditatapnya mata van der Merwe. “Aku takkan
membiarkan ini berhenti di sini. Aku takkan meninggalkan
Klipdrift. Akan kuceritakan kelicikanmu kepada setiap
orang. Aku bertekad mendapatkan hakku.”
Van der Merwe membuang muka menghindari api
amarah pada mata abu‐abu pemuda itu. “Sebaiknya kau
cari dokter, Nak,” gumamnya. “Terik matahari
mempengaruhi akal sehatmu rupanya.”
Dalam sekejap Jamie berdiri di hadapan van der Merwe.
Disergapnya tubuh lelaki itu dan diangkatnya hingga
matanya sejajar dengan matanya sendiri. “Dengar, van der
Merwe. Akan kubuat kau menyesal pernah berurusan
denganku.” Van der Merwe ia lepaskan, lalu sembari
melemparkan uang ke meja, Jamie keluar.
Ketika Jamie McGregor melangkah ke kedai minum
Sundowner, tempat itu hampir kosong. Sebagian besar
pengadu nasib yang biasa memenuhi kedai itu sudah
berangkat ke Paardspan.
Jamie diliputi rasa marah dan putus asa yang luar biasa.
Keterlaluan, pikirnya. Semenit yang lalu aku kayaraya, dan
sekarang bangkrut. Van der Merwe tak ubahnya seorang
maling. Aku akan cari jalan buat menghukumnya. Tapi,
bagaimana? Kata‐kata van der Merwe betul. Membayar
pengacara antuk menuntutnya, Jamie tak mampu.
Lagi pula van der Merwe orang terhormat di sana.
Senjata satu‐satunya ia akan sebarluaskan kepada setiap
orang di Afrika Selatan kecurangan lelaki Belanda itu.
Smit, pelayan bar, menyapa, “Selamat datang kembali,
Tuan McGregor. Apa saja tersedia untuk Anda. Mau minum
apa?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Wiski”
Smit menuang dan menyodorkan gelas kepada Jamie.
Jamie meneguk habis isinya. Ia tak biasa minum alkohol.
Cairan itu serasa membakar tenggorokan dan perutnya.
“Lagi.”
“Baik, Tuan. Kudengar orang Skotlandia paling kuat
minum.”
Tegukan kedua lebih mudah tertelan. Teringat oleh
Jamie, pelayan ini yang pernah mengusulkan pada seorang
penggali agar pergi minta bantuan van der Merwe.
“Tahukah kau, bahwa van der Merwe licik? Ia menipuku,
merebut berlian hakku.”
Smit bersikap menaruh simpati. “Apa? Wah, keterlaluan.
Aku ikut prihatin mendengar ini.”
“Aku tak terima. Dia takkan kubiarkan,” suara Jamie
tertahan. “Separuh berlian itu milikku. Maling orang itu.
Akan kuceritakan ini kepada semua orang.”
“Hati‐hati. Van der Merwe orang penting di sini,” pelayan
itu mengingatkan. “Kalau kau punya niatan melawan dia,
sebaiknya kau cari bantuan. Ngomong‐ngomong, aku tahu
orang yang paling mau membantumu. Orangnya benci
bukan main pada van der Merwe seperti kau.” Ia melirik ke
sekelilingnya, memastikan tak ada orang lain yang
mendengar pembicaraannya. “Ada gudang tua di ujung
sebelah sana jalan. Kuatur deh, pokoknya ke sanalah nanti
malam. Jam sepuluh.”
“Terima kasih,” Jamie lega. “Aku takkan melupakan kau.”
“Jam sepuluh. Di gudang tua.”
Gudang yang dimaksud terbuat dari seng yang
disambung‐sambung dengan asal saja. Letaknya di
pinggiran kota. Tepat pukul sepuluh Jamie sampai di sana.
Gelap. Ia meraba‐raba. Tak kelihatan ada orang di sana. Ia
melangkah masuk.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Spada...”
Tak ada sahutan. Jamie maju perlahan‐lahan. Remang‐
remang nampak bentuk kuda bergerak‐gerak gelisah di
kandang mereka. Mendadak kedengaran suara di
belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, sebatang besi
berat menghantam bahunya. Ia jatuh terguling ke tanah.
Kepalanya dipentung. Kemudian tubuhnya direnggut dan
diangkat sepasang tangan kekar. Sementara itu tinju dan
sepakan kaki menghajar tubuhnya. Lama sekali ia di tonjoki
begitu. Akhirnya, Jamie tak tahan lagi. Ia pingsan. Air dingin
disiramkan ke wajahnya. Mata Jamie berkedip‐kedip,
membuka. Sekilas terlihat Banda, pelayan van der Merwe.
Lalu sekali lagi ia ditinju, ditampar, dan diinjak bertubi‐
tubi. Jamie merasa rusuknya patah semua. Benda berat
diayunkan ke kakinya. Terdengar bunyi tulang remuk.
Ia pingsan lagi.
Tubuhnya panas. Ada yang sedang menggosok‐gosok
wajahnya dengan ampelas. Jamie berusaha menggerakkan
tangan, mencegah. Tapi tak kuasa. Dipaksanya membuka
mata, tapi matanya bengkak tak bisa dibuka. Jamie
berbaring. Sekujur tubuhnya tak terkatakan sakitnya. Ia
menahan semua kenyerian itu sambil mengingat‐ingat di
mana ia berada. Jamie bergerak. Dan gesekan ampelas itu
pun ia rasakan lagi. Ia meraba‐raba. Wajahnya yang lecet‐
lecet mencium pasir panas. Ebook by : Hendri Kho by Dewi
KZ http://kangzusi.com/ Terpegang olehnya pasir.
Perlahan‐lahan, menahan rasa sakit yang bukan main di
sekujur tubuhnya, Jamie berhasil menyangga diri dan
berlutut. Dari celah sempit di antara kedua kelopak
matanya yang bengkak, Jamie berusaha melihat
sekelilingnya. Pandangannya kabur. Ia berada di tengah
padang pasir Karroo, telanjang. Hari masih pagi. Walaupun
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
begitu sinar matahari terasa mulai menyengat. Ia meraba‐
raba, mencari makanan atau kaleng air. Tak ada. Mereka
meninggalkan dia di situ biar mati. Salomon van der Merwe.
Dan, sudah pasti Smit, si pelayan bar itu, juga ambil bagian.
Jamie mengancam van der Merwe. Dan, dengan gampang
van der Merwe telah menghajarnya, seperti menghajar
anak kecil tak berdaya. Dia akan lihat nanti bahwa aku
bukan anak kecil, Jamie bertekad. Bukan lagi. Aku penuntut
balas. Mereka takkan punya pilihan lain! Kebencian dan
tekadnya yang begitu berapi‐api memberinya kekuatan
duduk. Bernapas saja merupakan siksaan berat buatnya.
Berapa banyak tulang rusukku yang patah? Aku harus hati
hati. Janganjangan tulang rusukku menusuk paruparu
nanti. Jamie mencoba berdiri, tapi segera terjatuh. Jerit
kesakitan terlontar di luar kesadarannya. Kaki kanannya
patah. Tulangnya bergeser. Ia tak bisa berjalan.
Tapi merangkak bisa.
Jamie McGregor tak bisa mengira‐ngira di mana ia saat
itu. Rupanya orang‐orang itu membawa tubuhnya ke
daerah jauh terpencil agar tak ada yang menemukan,
kecuali binatang padang pemakan bangkai! Padang pasir
tak ubahnya dengan tempat pembuangan mayat. Di sana‐
sini tampak tulang‐tulang yang tak lagi berdaging secuil
pun. Ketika sedang mengingat‐ingat demikian, Jamie
mendengar kepakan sayap burung raksasa di atasnya.
Burung bangkai! Teror mencekamnya. Matanya memang
tak bisa melihat. Tapi, desis dan baunya Jamie kenal betul.
Jamie mulai merangkak.
Ia mengkonsentrasikan perhatian pada rasa sakit di
tubuhnya. Tubuhnya membara. Setiap gerakan, betapapun
pelan dan kecilnya, mendatangkan gelombang kepedihan
yang tak terkira. Kalau ia bergerak menggunakan kakinya,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sakit menusuk ia rasakan. Kalau gerakan ia alihkan ke
tangan dan dada, tulang rusuknya terasa beradu satu sama
lain. Satu hal jelas: ia tak tahan siksa yang bakal
dihadapinya jika berbaring terus di situ. Tapi, ia juga tak
kuasa menahan sakit yang ditimbulkan oleh setiap
gerakannya.
Jamie terus merangkak.
Terdengar olehnya kawanan burung bangkai berputar‐
putar di atasnya—menunggu dengan sabar. Pikiran Jamie
mulai melayang‐layang. Ia berada di Aberdeen yang sejuk,
mengenakan pakaian hari Minggu yang bersih rapi, duduk
diapit kedua adik lelakinya. Kakaknya, Mary, dan Annie
Cord, nampak cantik mengenakan gaun putih segar. Annie
Cord memandangnya. Tersenyum. Jamie bangkit
menghampiri gadis itu. Tapi adik‐adiknya menahan, lalu
mencubiti dia. Cubitan mereka begitu menyakitkan. Ia
merayap terus di tengah padang pasir luas. Tubuhnya yang
hancur telanjang. Pekik kawanan burung bangkai terdengar
makin mendekat. Mereka sudah tak sabar rupanya.
Jamie memaksa matanya membuka, ingin melihat
sedekat apa mereka. Ia tak melihat apa‐apa. Hanya bentuk‐
bentuk kabur dan menyilaukan yang dalam imajinasinya
adalah dubuk dan serigala. Angin yang berembus seperti
embusan napas mereka yang panas, sangat dekat dengan
wajahnya.
Ia terus merangkak. Ia tahu betul, begitu ia berhenti,
mereka akan mencabiki tubuhnya. Badan Jamie demam,
sakit, dan dikecam oleh pasir panas. Tapi, ia tak boleh
menyerah. Tidak, sebelum van der Merwe terbalas. Tidak,
selama van der Merwe masih hidup.
Ia tak sadar lagi akan waktu. Rasanya sudah semil ia
bergerak. Nyatanya belum sampai sepuluh yard. Ia
merangkak memutar. Ia tak tahu di mana tadinya dan ke
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mana tujuannya. Pikirannya cuma tertuju pada satu hal:
Salomon van der Merwe.
Mendadak ia tak sadarkan diri. Ia terbangun oleh
kesakitan yang betul‐betul di luar kemampuannya
bertahan. Ada yang mencabik daging kakinya. Dalam
sedetik Jamie ingat di mana ia dan apa yang sedang terjadi.
Ia balikkan kelopak matanya yang bengkak dengan tangan.
Seekor burung bangkai raksasa sedang menyerang
kakinya—mencabik dagingnya dengan liar, memangsanya
hidup‐hidup. Paruhnya tajam. Jamie melihat matanya yang
seperti manik‐manik serta bulu berwarna di leher burung
itu. Bau tak enak menyengat hidungnya—bau khas burung
bangkai. Burung itu seenaknya hinggap di atas tubuhnya.
Jamie berusaha berteriak, tapi suaranya tak keluar. Panik,
ia menggerakkan badannya maju dengan mendadak. Terasa
olehnya darah hangat mengalir keluar dari kakinya. Kabur,
nampak olehnya bayang‐bayang burung raksasa di
sekitarnya—siap memangsa. Jamie sadar, bahwa kalau ia
sampai pingsan sekali lagi, akan habislah riwayatnya.
Begitu ia berhenti bergerak, burung‐burung itu akan mulai
mencabik‐cabik dagingnya. Ia terus merangkak. Pikirannya
mulai tak jelas. Terdengar kepak sayap burung. Mereka
makin dekat mengelilinginya. Ia tak kuat lagi melawan.
Tenaganya habis. Jamie berhenti bergerak. Ia tergolek diam
di pasir panas.
Kawanan burung raksasa bersorai‐ria. Sekarang bisa
pesta.
4
SABTU merupakan hari pasar di Cape Town. Jalan‐jalan
dibanjiri orang yang hendak berbelanja atau cuma sekadar
ingin bertemu kawan dan kekasih. Orang‐orang Boer dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Prancis, tentara dengan seragam berwarna‐warni, dan
wanita Inggris mengenakan rok berlipat‐lipat serta blus
berkerut‐kerut berdiri di depan bazar di alun‐alun
Braameonstein, Park Town, dan Burgersdrop yang telah
disulap jadi pasar. Segala macam barang dijual di sana:
perabot rumah tangga, kuda, kereta, buah‐buahan segar.
Orang bisa pula membeli gaun, papan catur, daging, atau
buku berbahasa apa pun. Setiap Sabtu Cape Town ramai
seperti pasar malam.
Banda berjalan perlahan‐lahan di antara masa yang
membanjir. Ia menghindar bertatap mata dengan orang
kulit putih. Terlalu berbahaya. Jalan dipenuhi manusia dari
bermacam‐macam keturunan: Negro, India, dan kulit putih.
Tapi, si putih yang termasuk minoritas itulah yang justru
berkuasa. Banda benci mereka. Ini tanahnya. Orang‐orang
bule itu semuanya uitlanders. Banyak suku di sebelah
selatan Afrika: Basuto, Zulu, Bechuana, Matabele—
semuanya itu Bantu. Kata bantu berasal dari abantu—
rakyat. Tapi Barolong—suku Banda—merupakan
kelompok bangsawan. Banda ingat cerita neneknya tentang
kerajaan besar bangsa Negro yang pernah berdaulat di
Afrika Selatan. Kerajaan itu kerajaan mereka. Negeri
mereka. Sekarang mereka malah diperbudak oleh serigala
putih. Bangsa kulit putih memojokkan mereka terus ke
wilayah yang makin hari makin sempit. Kebebasan mereka
pun tak ada lagi. Dalam situasi begitu orang Negro cuma
bisa bertahan dengan bersikap tunduk di luar, tapi cerdik
dan pandai di baliknya.
Banda tak tahu berapa umurnya. Penduduk asli Afrika
tak punya akte kelahiran. Usia mereka diukur dengan
zaman: perang, kelahiran atau kematian pemimpin besar,
komet, badai salju, gempa, revolusi pembunuhan, ternak,
dan sebagainya. Tapi, umur tak membedakan situasi. Banda
tahu ia anak seorang pemimpin. Ia merasa wajib
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsanya, rakyatnya.
Bangsa Bantu akan memerintah dan berdaulat kembali
berkat usaha dan perjuangan Banda. Pikiran itu membuat
Banda berjalan tegap penuh keyakinan sejenak, sampai ia
merasa seorang kulit putih mulai menaruh perhatian.
Banda bergegas menuju ke arah timur. Pinggiran kota
sebelah sana diperuntukkan bagi kaum hitam. Rumah‐
rumah megah dan toko‐toko menarik semakin berkurang
dan akhirnya yang nampak hanya gubuk‐gubuk reot. Ia
menyusur jalan kotor. Sesekali ia menoleh, takut ada yang
membuntuti. Sampai di depan sebuah gubuk kayu, Banda
menoleh sekali lagi ke belakang, mengetuk pintu dua kali
dan masuk. Seorang perempuan Negro kurus duduk di
kursi, di pojok ruangan. Ia sedang menjahit. Banda
mengangguk, lalu nyelonong ke kamar di belakang.
Dipandanginya tubuh yang tergolek di ranjang.
Enam minggu yang lalu Jamie McGregor siuman. Ia
mendapatkan dirinya terbaring di atas ranjang, di rumah
yang asing buatnya. Ingatannya datang. Ia seolah kembali
berada di tengah Karroo. Tubuhnya hancur, tak berdaya.
Lalu burung‐burung bangkai...
Mendadak Banda masuk ke kamar sempit tempatnya
terbaring. Jamie yakin orang itu datang hendak
membunuhnya. Rupanya van der Merwe tahu juga bahwa
Jamie masih hidup. Ia mengirimkan Banda untuk
menghabisinya.
“Mengapa tuanmu tak datang sendiri?” ucap Jamie serak.
“Aku tak punya tuan.”
“Van der Merwe. Kau kemari disuruh dia, kan?”
“Tidak. Kita berdua bisa dibunuh kalau dia sampai tahu.”
Semua itu tak masuk di akal Jamie.
“Di mana aku? Beri tahu aku.”
“Cape Town.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tak mungkin. Bagaimana aku bisa sampai kemari?”
“Kubawa.”
Jamie menatap mata hitam Banda. Lama sekali.
“Mengapa?”
“Aku butuh Anda. Aku ingin membalas dendam.”
“Kau—apa?”
Banda bergeser mendekat. “Bukan buatku sendiri. Aku
tak peduli akan diriku sendiri. Van der Merwe memperkosa
adikku. Adikku mati ketika melahirkan bayinya. Ia baru
sebelas tahun waktu itu.”
Jamie terpana. “Ya, Tuhan!”
“Sejak hari kematiannya aku tak berhenti mencari lelaki
kulit putih yang bisa membantuku. Lelaki itu kutemukan
suatu malam di gudang tua, ketika aku membantu mereka
menghajar Anda, Tuan McGregor. Kami membuang tubuh
Anda di Karroo. Aku diperintahkan membunuh Anda.
Kukatakan pada yang lain Anda sudah mati. Tapi cepat‐
cepat kembali menjemput Anda. Hampir saja terlambat.”
Jamie bergidik. Tercium kembali olehnya bau busuk
burung bangkai yang mencabiki daging kakinya.
“Burung bangkai sudah mulai berpesta. Kubopong Anda
ke kereta, lalu kusembunyikan di rumah rakyatku. Salah
seorang dokter kami menyambung tulang rusuk Anda dan
membetulkan letak tulang kaki Anda. Luka‐luka Anda
diobati.”
“Sesudahnya?”
“Sebuah kereta besar membawa kerabatku berangkat ke
Cape Town. Kami bawa Anda serta. Anda tak sadarkan diri.
Sepanjang perjalanan Anda tidur terus. Aku kuatir Anda tak
bangun lagi.”
Jamie memandang mata lelaki yang hampir menghabisi
nyawanya itu. Ia harus berpikir. Ia tak bisa percaya begitu
saja pada lelaki itu. Tapi, ialah yang menyelamatkan
nyawanya. Banda ingin membalas dendam pada van der
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Merwe melalui Jamie McGregor. Sambil menyelam minum
air, putus Jamie. Tekad Jamie cuma satu, ia ingin van der
Merwe membayar semua kejahatan yang dia lakukan
terhadap Jamie McGregor.
“Baiklah,” Jamie berkata. “Aku akan cari jalan membalas
van der Merwe atas kelicikannya pada kita.”
Baru pertama kali itu Jamie melihat seulas senyum pada
wajah Banda. “Akan Anda bikin dia mati?”
“Tidak,” sahut Jamie. “Dia akan kusiksa hidup‐hidup.”
Siang itu Jamie turun dari tempat tidur pertama kalinya
sejak siuman. Pusing. Lemas. Kakinya belum sembuh sama
sekali. Jalannya masih agak pincang. Banda hendak
menuntun.
“Lepaskan. Aku bisa sendiri.”
Banda cuma mengamati. Jamie merambat dengan hati‐
hati menyeberangi kamar.
“Minta cermin,” ujarnya. Pasti acakacakan rupaku,
pikirnya. Kapan terakhir cukur?
Banda kembali membawakan cermin tangan. Jamie
mengangkat cermin itu ke muka wajahnya. Yang ia lihat
orang asing. Sama sekali asing. Rambutnya berubah jadi
putih. Jenggotnya gondrong. Putih juga. Tulang hidungnya
patah. Sekarang hidungnya bengkok. Raut wajahnya
nampak dua puluh tahun lebih tua. Pipinya kempot. Dan
ada luka memar di dahinya. Yang paling berubah sorot
matanya. Sepasang mata pemuda itu kini memancarkan
terlalu banyak penderitaan, pengalaman pahit, dan
dendam membara. Perlahan diletakkannya cermin.
“Aku jalan‐jalan ke luar,” Jamie berkata.
“Maaf, Tuan McGregor. Jangan.”
“Kenapa?”
“Daerah ini tak biasa didatangi orang kulit putih. Yah,
seperti kami kaum Negro tak biasa datang ke daerah kulit
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
putih. Tetangga kami tak tahu ada Anda di sini. Kami
menyelundupkan Anda kemari tengah malam.”
“Lalu, bagaimana aku pergi dari sini?”
“Nanti malam kuantar pergi.”
Jamie baru sadar betapa banyak risiko yang diambil
Banda untuk menyelamatkan dia. Malu‐malu, katanya, “Aku
tak punya uang. Aku perlu kerja.”
“Aku kerja di dok kapal. Mereka selalu butuh tenaga
baru.” Banda merogoh uang dari saku. “Ambillah.”
Jamie menerima. “Nanti kukembalikan.”
“Bayarlah dengan pembalasan dendam atas nasib adik
perempuanku,” sahut Banda.
**d*w**
Tengah malam, Banda mengajak Jamie keluar dari gubuk
itu. Jamie melihat ke sekeliling. Ia berada di daerah
perkampungan kumuh. Gubuk‐gubuk reot di situ terbuat
dari kaleng, kayu, karton. Asal berbentuk dan bisa dipakai
bernaung. Jalannya becek, bekas tersiram hujan. Baunya
tak enak. Jamie heran orang ningrat seperti Banda bisa
bertahan hidup di tempat sekumuh itu. “Apa tak ada—?”
“Sst. Jangan bicara,” bisik Banda. “Orang sini suka banyak
ingin tahu.” Sampai di pinggiran daerah itu, Banda
menunjuk, “Pusat kota adanya di sebelah sana. Kutunggu
Anda di dok.”
Jamie masuk lagi ke rumah pondokan yang pertama kali
ia tinggali setibanya dari Inggris. Nyonya Venster sedang
sibuk di belakang meja kerjanya.
“Aku perlu kamar,” Jamie berkata.
“Oh, silakan,” ia tersenyum. Gigi emasnya berseri.
“Kenalkan. Namaku Nyonya Venster.”
“Aku sudah tahu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Mana mungkin?” sahut perempuan itu manja. “Dari
teman‐temanmu, ya?”
“Anda lupa saya, Nyonya Venster? Aku pernah tinggal di
sini tahun yang lalu.”
Nyonya Venster mengamati wajah Jamie. Hidungnya
bengkok, rambut dan jenggotnya putih! Ia sama sekali tak
ingat.
“Belum pernah aku lupa wajah orang yang kukenal. Aku
belum pernah bertemu denganmu, Tuan! Tapi, itu bukan
alasan untuk tak bersahabat. Teman‐temanku
memanggilku 'Dee‐Dee'. Siapa namamu?”
Jamie mendengar mulutnya berkata, “Travis. Ian Travis.”
Keesokan harinya Jamie pergi ke dok—cari pekerjaan.
Mandor di situ sibuk sekali nampaknya. Ia berkata,
“Kami butuh tenaga kuat. Masalahnya, kau sudah kelewat
tua buat pekerjaan begini.”
“Umurku baru sembilan belas—” Jamie mulai. Cepat ia
berhenti. Teringat olehnya wajah di cermin kemarin.
“Cobalah dulu menggunakanku,” lanjutnya.
Jamie dapat pekerjaan sebagai buruh pelabuhan.
Upahnya sembilan shilling sehari. Kerjanya membongkar
dan menaikkan muatan kapal yang datang ke pelabuhan. Ia
tahu Banda dan buruh Negro lainnya cuma dibayar enam
shilling sehari.
Pada kesempatan pertama, Jamie menarik Banda.
“Aku perlu bicara,” ucap Jamie.
“Jangan di sini, Tuan McGregor. Di sebelah sana ada
gudang terbengkalai. Sehabis kerja nanti kutemui Anda di
sana.”
Banda sudah menunggu ketika Jamie sampai ke sana.
“Ceritakan tentang Salomon van der Merwe,” kata Jamie.
“Apa yang Anda ingin tahu tentang dia?”
“Segalanya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Banda meludah. “Dia datang ke Afrika Selatan dari
Negeri Belanda. Menurut cerita yang kudengar, istrinya
jelek, tapi kaya. Ia meninggal karena sakit. Van der Merwe
membawa kekayaannya ke Klipdrift dan membuka toko
serba ada itu. Kekayaannya jadi berlipat ganda. Hasil
menipu penggali‐penggali berlian.”
“Seperti yang dia lakukan terhadapku?”
“Itu salah satu caranya. Penggali‐penggali yang
beruntung menemukan ladang baru banyak yang datang,
minta bantuan van der Merwe meminjami uang buat urus
hak paten atas penemuannya. Tapi, dalam sekejap, tanpa
sepengetahuan mereka, ladang‐ladang itu sudah dimiliki
van der Merwe.”
“Belum pernah ada yang melabrak dia?”
“Mana bisa? Petugas‐petugas hukum di sini semua digaji
van der Merwe. Hukum di sini menyebutkan, bahwa kalau
dalam empat puluh lima hari pengurusan hak belum
dilakukan, daerahnya dianggap terbuka. Petugas Kantor
Pendaftaran membisiki van der Merwe. Lalu van der
Merwe mencaplok daerah itu. Ada cara licik lain yang
sering dia lakukan. Paten atas suatu ladang bisa ditandai
dengan tonggak yang ditancapkan pada perbatasannya.
Tonggak‐tonggak itu harus menghadap lurus ke atas. Kalau
sampai roboh, siapa saja boleh masuk dan menyatakan itu
ladangnya. Kalau van der Merwe melihat daerah yang ia
inginkan, ia suruh orang ke sana malam‐malam, dan esok
paginya tonggak‐tonggak di situ sudah roboh semua.”
“Astaga!”
“Dia bersekongkol dengan Smit, pelayan bar itu. Smit
bertugas mengirim penggali yang bersungguh‐sungguh ke
van der Merwe. Mereka menandatangani kontrak bagi
hasil. Kalau ternyata mereka dapat berlian, van der Merwe
merebut semua hasilnya. Kalau mereka tak mau menerima,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
banyak algojo upahan yang bisa disuruhnya melakukan apa
saja, kapan saja.”
“Itu aku tahu,” ujar Jamie geram. “Apa lagi?”
“Ia fanatik sekali dalam keagamaan. Kerjanya
mendoakan arwah orang berdosa.”
“Anaknya, bagaimana?” Pasti gadis itu punya andil.
“Nona Margaret? Takutnya bukan main sama ayahnya.
Kalau sampai ia melirik seorang lelaki saja, bisa dibunuh
keduanya oleh van der Merwe.”
Jamie membalikkan badan, lalu berjalan ke pintu. Di situ
lama ia menerawang ke pelabuhan. Banyak yang harus
dipikirkan. “Besok kita ngobrol lagi.”
Di Cape Town Jamie baru menyadari adanya jurang yang
teramat dalam antara si putih dan si hitam. Si hitam sama
sekali tak punya hak, kecuali beberapa gelintir yang
beruntung mendapatnya dari mereka yang berkuasa.
Mereka digiring ke daerah kumuh, dan cuma diperbolehkan
keluar untuk bekerja, mengabdi bangsa kulit putih.
“Kok kau bisa tahan?” tanya Jamie pada suatu hari
kepada Banda.
“Singa lapar harus menyembunyikan cakar. Suatu hari
kelak semuanya ini akan kami ubah. Bangsa kulit putih mau
menerima orang Negro cuma karena tenaga kami kuat dan
mereka butuhkan. Lambat‐laun mereka harus menerima
pula kenyataan bahwa kami punya otak. Makin
memojokkan kami mereka makin takut—ngeri suatu saat
kelak mereka yang didiskriminasikan serta diperolok‐olok.
Kami percaya kami akan menang berkat isiko.”
“Siapa itu isiko?”.
Banda menggeleng. “Bukan siapa. Tapi apa. Susah
menjelaskannya, Tuan McGregor. Isiko itu akar kami. Rasa
persatuan sebagai bangsa yang memberikan nama mereka
kepada Sungai Zambezi, sungai besar yang terkenal itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Berabad‐abad yang lalu, nenek moyangku membawa
bangsanya masuk ke air sungai itu, bertelanjang badan.
Mereka yang lemah musnah—terbawa arus deras, kisaran
air atau dimakan buaya. Tapi, yang kuat muncul dan tampil
lebih kuat dan gagah. Kalau ada orang Bantu mati, isiko
mengharuskan anggota keluarga yang ditinggalkan
mengungsi ke hutan. Dengan begitu, orang lain tak perlu
merasakan kesedihan mereka. Isiko merupakan peringatan
bagi budak yang cepat ngeri, keyakinan bahwa seseorang
bisa menatap wajah lainnya, bahwa ia sama nilainya
dengan sesama manusia lainnya. Anda pernah dengar
tentang John Tengo Jabavu?” Nama itu disebut Banda
dengan sangat takzim.
“Belum.”
“Kelak Anda pasti mendengar, Tuan McGregor,” janji
Banda. “Pasti.” Banda lalu mengalihkan pembicaraan.
Jamie mulai merasakan tumbuhnya rasa kagum
terhadap Banda. Mula‐mula keduanya bersikap canggung
saru sama lain. Jamie belajar menaruh percaya pada lelaki
yang pernah hampir menghabisi nyawanya. Sementara
Banda belajar mempercayai musuh utama—orang kulit
putih. Berbeda dengan orang hitam lain yang pernah
dijumpai Jamie. Banda orangnya terpelajar.
“Kau sekolah di mana?” tanya Jamie.
“Tidak pernah. Aku bekerja sejak kecil. Nenekku yang
mengajari aku. Ia bekerja pada seorang guru Boer. Di sana
ia belajar membaca dan menulis. Nenekku lalu meneruskan
ilmunya kepadaku. Jadi aku bisa membaca dan menulis.
Aku berutang banyak sekali pada Nenek.”
Jamie pertama kali mendengar tentang Gurun Namib
suatu Sabtu siang, sehabis kerja. Gurun itu letaknya di Great
Namaqualand. Ia dan Banda sedang menikmati daging
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
macan muda rebus masakan ibu Banda di gudang kosong
dekat dok. Enak juga, meskipun Jamie kurang suka baunya.
Piringnya sebentar saja sudah kosong. Jamie lalu
merebahkan badan ke tumpukan karung bekas, menanyai
Banda,
“Kapan kau pertama kali bertemu van der Merwe?”
“Waktu kerja di pantai berlian di Gurun Namib. Van der
Merwe merupakan seorang di antara tiga pemilik padang
itu. Ia baru saja merebut secara licik hak yang sebenarnya
milik seorang penggali berlian. Ketika itu dia sedang
berkunjung menengok hasil curiannya itu.”
“Kalau van der Merwe sudah begitu kaya, kenapa dia
masih membuka toko?”
“Ah, toko itu kan alatnya. Dari sanalah dia mendapatkan
calon mangsanya—penggali berlian tak bermodal. Makin
hari ia makin kaya saja.”
Jamie ingat betapa gampangnya dia sendiri ditipu van
der Merwe. Ah! Ia masih terlalu muda dan naif waktu itu!
Terbayang kembali wajah Margaret yang oval waktu
mengatakan, Ayahku mungkin bisa membantu. Tadinya
Jamie mengira dia masih anak‐anak sebelum terpandang
olehnya buah dada gadis itu—mendadak Jamie melompat
berdiri. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Luka di dahinya
berkerut karena senyum itu.
“Coba ceritakan bagaimana sampai kau bisa bekerja di
tempat van der Merwe.”
“Hari itu, waktu van der Merwe mengunjungi pantai
berlian itu, dia bawa anaknya. Usianya baru kira‐kira
sebelas tahun. Mungkin dia bosan. Gadis cilik itu lalu main‐
main di air. Ombak besar datang menggulung. Tanpa pikir
aku mencebur, menariknya ke pantai. Aku masih kecil
ketika itu. Tapi van der Merwe nampaknya ingin
membunuhku.”
Jamie heran. “Kenapa?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Karena anak gadisnya kurangkul. Bukan gara‐gara
kulitku hitam. Tapi, karena aku lakilaki. Ia paling tak bisa
lihat lelaki lain menyentuh anaknya. Untunglah ada orang
yang menenangkan dia, dan mengingatkan bahwa aku
sudah menyelamatkan nyawa anaknya. Dia membawaku
pulang ke Klipdrift dan menjadikan aku pelayannya.” Banda
ragu‐ragu sejenak, lalu lanjutnya, “Dua bulan sesudah itu
adik perempuanku datang—menjengukku. Umurnya sama
dengan umur anak van der Merwe.”
Jamie tak bisa mengatakan apa‐apa.
Akhirnya Banda yang memecah kesunyian. “Mestinya
aku tinggal di Gurun Namib saja. Kerjanya di sana gampang.
Merayap menyusur pantai, memunguti berlian dan
memasukkan ke dalam kaleng selai.”
“Tunggu. Maksudmu, berlian di sana tergeletak begitu
saja—di atas pasir?”
“Betul, Tuan McGregor. Tapi, lupakan saja apa yang Anda
pikirkan. Tak ada yang bisa dekat‐dekat tempat itu.
Letaknya di pinggir samudra. Gelombang di sana tingginya
bisa sampai sepuluh meter. Mereka sampai tak perlu
memagari pantainya. Sudah banyak yang mencoba masuk
lewat jalan laut. Semuanya mati digulung ombak atau jatuh
dari jurang terjal.”
“Pasti itu bukan satu‐satunya jalan masuk ke sana.”
“Tentu saja. Gurun Namib luas sekali. Langsung
berbatasan dengan pantai samudra pada ujungnya.”
“Pintu masuknya?”
“Ada menara pengawas dan pagar kawat duri. Di dalam
pagar, penjaga bersenjata dan dilengkapi anjing pelacak
selalu siaga. Mereka bahkan memasang ranjau darat yang
dikubur di hampir seluruh padang itu. Orang yang tak
punya peta letak ranjaunya bisa hancur berkeping‐keping.”
“Seluas apa padangnya?”
“Panjangnya kira‐kira tiga puluh lima mil.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tiga puluh lima mil dengan berlian berserakan begitu
saja di atas pasir... “Astaga!”
“Anda bukan orang pertama yang terperangah
mendengar tentang Gurun Namib. Bukan juga yang
terakhir. Kutemui sendiri sisa‐sisa mayat korban ombak
atau karang terjal yang dahsyat di sana. Sudah pula
kusaksikan amukan ranjau tanah kalau terinjak orang yang
salah langkah atau leher manusia dikoyak taring anjing‐
anjing pemburu itu. Lupakan sajalah, Tuan McGregor. Aku
sudah pernah di sana. Tak ada jalan masuk maupun keluar
dari sana—hidup‐hidup, maksudku.”
Jamie tak bisa tidur malamnya. Terbayang terus olehnya
padang pasir yang terbentang tiga puluh lima mil dan
diseraki berlian besar‐besar. Padang itu milik van der
Merwe. Terbayang lautan ganas serta tebing karang terjal,
anjing pemburu yang siap menerkam, penjaga bersenjata,
dan dinamit yang terkubur. Ia tak gentar menghadapi
bahaya, ia tak takut mati. Ia cuma takut keburu mati
sebelum sempat membalas Salomon van der Merwe.
Hari Seninnya, Jamie membeli peta daerah Great
Namaqualand. Tampak di sana pantainya. Di Lautan
Atlantik Selatan, di antara Luderitz di arah utaranya, dan
muara Sungai Oranye di sebelah selatannya. Wilayah itu
ditandai merah: SPERRGEBIET—Terlarang.
Jamie memeriksa setiap detil peta itu berulang‐ulang.
Lautan tiga ribu mil membentang dari Amerika Selatan
sampai ke Afrika Selatan tanpa dihalangi apa pun yang bisa
menahan ombaknya. Itu sebabnya ombak menghajar
dinding karang Pantai Atlantik Selatan. Empat puluh mil ke
sebelah selatannya, di pesisir, ada pantai terbuka. Pasti dari
situlah orangorang malang itu menurunkan perahu mereka
dan berlayar ke daerah terlarang, putus Jamie. Melihat peta
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
saja ia mengerti mengapa perbatasan padang itu dengan
laut tak dijaga. Tebing karang yang begitu terjalnya tak
mungkin didarati.
Jamie mengalihkan perhatian ke jalan masuk lewat
darat. Kata Banda, wilayahnya dipagari kawat duri dan
dijaga dua puluh empat jam oleh penjaga bersenjata. Pintu
masuknya diawasi dari menara pengawas. Seandainya
seseorang lolos dari pengamatan pengawas pun, di dalam
dihadang ranjau tanah dan anjing pemburu.
Keesokan harinya, ketika ketemu Banda, Jamie bertanya,
“Kau bilang ada peta ranjaunya?”
“Padang Namib, maksud Anda? Mandornya punya.
Mereka bertugas menjadi petunjuk jalan untuk buruh
pencari berlian. Semua harus berbaris dalam satu baris
agar tak ada yang menginjak ranjau.” Ada kenangan
terlintas di mata Banda. “Pamanku kebetulan baris di
depanku. Ia tersandung batu dan jatuh ke atas ranjau.
Tubuhnya tak bersisa sama sekali. Tak ada jenazah yang
bisa dibawa pulang untuk dikubur keluarganya.”
Jamie bergidik.
“Lalu, ada yang namanya kabut laut, Tuan McGregor.
Kabut laut di Namib baru betul‐betul kabut. Datangnya
bergulung‐gulung dari arah lautan—terbawa angin
menyeberangi padang sampai ke gunung, membuat segala
sesuatu sama sekali tak kelihatan. Orang tak berani
bergerak jika sampai terperangkap kabut semacam itu.
Peta ranjau tak menolong lagi, sebab orang tak bisa melihat
apa‐apa. Semuanya cuma bisa duduk di tempat, menunggu
sampai kabutnya hilang.”
“Berapa lama biasanya?”
Banda mengangkat bahu. “Terkadang cuma beberapa
jam, ada kalanya bisa berhari‐hari.”
“Banda, kau pernah melihat peta ranjau itu?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Wah, dijaga ketat itu sih.” Kekuatiran nampak pada
wajah Banda. “Percayalah, Tuan McGregor, tak seorang pun
berhasil melakukan yang sedang Anda rencanakan itu.
Sesekali, ada buruh yang berusaha menyelundupkan
berlian ke luar. Mereka punya pohon buat menggantung
buruh yang begitu. Semua orang jadi tak berani lagi
mencoba‐coba mencuri berlian perusahaan.”
Nampaknya semua mustahil. Seandainya berhasil masuk
ke padang berlian van der Merwe pun, takkan ada jalan
keluarnya. Mungkin Banda benar. Sebaiknya ia lupakan saja
gagasan gila itu.
Esok harinya ia menanyai Banda, “Bagaimana cara van
der Merwe mencegah buruh mencuri berlian kalau mereka
kerjanya bergantian?”
“Digeledah. Mereka ditelanjangi. Petugas memeriksa
semua lubang di tubuh para buruh itu. Ada yang mencoba
mengiris kaki dan memasukkan berlian ke dalam lukanya
untuk membawa berlian ke luar. Ada yang mencabut
geraham belakangnya dan menaruh berlian di tempat
geraham itu. Segala cara sudah dicoba. Tapi gagal.” Banda
memandang Jamie. Katanya, “Kalau masih kepingin hidup,
buang jauh‐jauh dari kepala Anda padang berlian itu.”
Jamie mencoba. Tapi ide itu selalu saja kembali
memenuhi kepalanya. Berlian van der Merwe menggeletak
begitu saja di pasir—menunggu! Ya, menunggu dia!
Jalan keluarnya terpikir oleh Jamie malam itu. Tak sabar
ia menunggu bisa bertemu Banda. Tanpa basa‐basi
langsung saja ia berkata, “Coba ceritakan tentang perahu
yang pernah mencoba berlabuh di pantai itu.”
“Apanya?”
“Jenisnya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Segala jenis. Sekunar, perahu penyeret, perahu motor
besar, perahu layar. Bahkan ada empat orang nekat naik
perahu dayung. Sepanjang masa kerjaku di sana, aku
mengalami lebih dari enam percobaan semacam itu. Karang
langsung merobek‐robek perahu‐perahu itu hingga hancur.
Penumpangnya tenggelam semua.”
Jamie menghela napas. “Sudah pernah ada yang coba
naik rakit?”
Banda menatapnya. “Rakit?”
“Ya.” Semangat Jamie tumbuh. “Coba pikir. Belum pernah
ada yang bisa mencapai pantainya, sebab perahu mereka
dikoyak karang. Rakit bisa terapung melintasi daerah
berkarang tajam dan merapat ke pantai. Keluarnya sama—
begitu lagi.”
Lama Banda memandang Jamie. Ketika akhirnya ia
bicara, nadanya berubah. “Tuan McGregor, nampaknya
bagus juga gagasan itu....”
Mula‐mula seperti permainan. Mereka menemukan
jawab atas teka‐teki. Tapi, semakin banyak
membicarakannya, semakin berkobar‐kobar semangat
Jamie dan Banda. Yang semula sekadar diskusi iseng,
akhirnya menjadi rencana kongkret. Karena berlian di sana
tergeletak di pasir, tak dibutuhkan alat untuk menggali.
Rakit dan layarnya bisa dibuat sendiri—di pantai terbuka
yang letaknya kira‐kira empat puluh mil sebelah selatan
Sperrgebiet. Malam hari rakit diturunkan ke laut, dan
mereka bisa berlayar tanpa ketahuan siapa‐siapa. Tak ada
penjagaan dan ranjau di sepanjang pantai. Penjagaan dan
patroli cuma dilakukan di perbatasan darat. Mereka berdua
bisa bebas meraup berlian sebanyak‐banyaknya dari
pesisir.
“Menjelang subuh kita sudah bisa pergi,” ucap Jamie,
“dengan kantong penuh berlian van der Merwe.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Berkat bujukan Jamie yang meyakinkan, segala keraguan
Banda pun lenyap. Setiap kali Banda mengajukan lubang
yang mungkin jadi penghalang, Jamie memberikan jalan
keluarnya. Rencana mereka bisa berhasil. Yang paling indah
dari rencana itu adalah kesederhanaannya! Mereka hampir
tak memerlukan uang sama sekali. Modal yang dibutuhkan
cuma keberanian dan kenekatan.
“Kita perlu bawa kantong besar untuk menaruh berlian,”
ucap Jamie. Antusiasmenya membakar.
Banda menyeringai. “Kita bawa dua kantong yang besar.”
Minggu berikutnya mereka mengundurkan diri dari
pekerjaan di dok. Keduanya naik cikar menuju Port Nolloth,
perkampungan pantai yang letaknya kira‐kira empat puluh
mil di selatan daerah terlarang incaran mereka.
Di Port Nolloth, mereka mempelajari situasi.
Perkampungan di situ kecil dan primitif. Gubuk‐gubuknya
terbuat dari kaleng bekas. Ada beberapa warung dan toko
kecil. Selain itu pasir putih pantainya membentang sejauh‐
jauh mata memandang. Tak ada karang di sana. Ombak
berdebur dan memecah lembut di pantai. Tempat ideal
untuk menurunkan rakit ke air.
Tak ada hotel. Jamie menyewa kamar di pasar. Banda
dapat pondokan di daerah hunian orang kulit hitam.
“Kita mesti cari tempat yang aman buat bikin rakit,” ujar
Jamie. “Kalau ada yang tahu, jangan‐jangan dilaporkan
kepada yang berwajib kita nanti.”
Siangnya, mereka menemukan gudang tua yang sudah
terbengkalai.
“Ini pas betul,” putus Jamie. “Ayo, kita mulai bikin rakit.”
“Jangan dulu,” ujar Banda. “Tunggu. Kita beli dulu
sebotol wiski.”
“Buat apa?”
“Lihat saja nanti.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Esok harinya Jamie didatangi oleh polisi setempat.
Wajah polisi itu kemerah‐merahan. Perawakannya besar.
Hidungnya yang besar berurat‐urat, menunjukkan bahwa ia
peminum berat.
“Pagi!” ia menyapa Jamie. “Kudengar ada pendatang.
Kenalkan. Aku Constable [Polisi] Mundy.”
“Ian Travis,” sahut Jamie.
“Mau ke utara, Tuan Travis?”
“Selatan. Aku dan pelayanku hendak ke Cape Town.”
“Ah. Aku pernah ke Cape Town. Bisingnya bukan main.”
“Setuju. Mau minum, Pak?”
“Aku tak pernah minum selagi bertugas,” Constable
Mundy berucap. Ia diam sebentar, berpikir, “Tapi, sekali ini
biarlah. Sesekali boleh bikin perkecualian.”
“Silakan.” Jamie mengeluarkan botol wiski. Ia heran,
Banda tahu ini bakal terjadi. Dituangnya wiski ke dalam
gelas kusam, lalu disodorkannya pada Constable Mundy.
“Terima kasih, Tuan Travis. Mana minum Anda?”
“Aku sedang tak boleh minum,” suara Jamie kedengaran
menyesal. “Malaria. Aku hendak ke Cape Town untuk
berobat. Berhenti beberapa hari di sini—istirahat.
Perjalanan cepat membuatku capek.”
Constable Mundy mengamati Jamie.
“Anda kelihatan sehat.”
“Coba lihat kalau hari mulai dingin.”
Gelas Constable Mundy kosong. Jamie mengisi lagi.
“Terima kasih.” Polisi itu meneguk isi gelasnya sekaligus,
lalu bangkit. “Sudah waktunya aku meneruskan tugas. Anda
dan pelayan Anda akan berangkat dalam satu‐dua hari ini.
Ya, kan?”
“Secepat aku merasa kuat.”
“Hari Jumat aku kemari lagi,” ucap Constable Mundy.
Malam itu Jamie dan Banda mulai membuat rakit.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Banda, kau sudah pernah bikin rakit?”
“Terus terang, belum, Tuan McGregor.”
“Aku juga belum.” Kedua lelaki itu berpandang‐
pandangan. “Sesukar apa, ya?”
Mereka mencuri empat barel kayu kosong masing‐
masing berukuran lima puluh galon. Barel‐barel itu terbuat
dari kayu. Jamie dan Banda membawa barel hasil curian
dari pasar ke gudang. Keempatnya mereka susun hingga
membentuk persegi. Kemudian mereka cari empat peti
besar. Masing‐masing ditaruh di atas satu barel.
Banda ragu. “Tidak mirip rakit.”
“Belum selesai,” Jamie meyakinkan.
Karena tak ada papan, mereka menutup permukaan
atasnya dengan apa saja yang ada: dahan, ranting, daun
marula—semuanya diikat dengan tali rami tebal.
Simpulnya mereka buat sangat teliti.
Ketika selesai, Banda memperhatikan hasilnya. “Masih
belum mirip rakit.”
“Kalau sudah dinaikkan layarnya, pasti agak bagusan,”
janji Jamie.
Tiang layarnya mereka buat dari batang pohon. Dua
dahannya yang agak ceper mereka ambil untuk dayung.
“Tinggal layar yang kita perlukan sekarang. Aku ingin
berangkat nanti‐malam. Besok Constable Mundy kemari
lagi.”
Banda yang berhasil mendapatkan layarnya. Lepas
magrib ia datang membawa sehelai lebar kain biru.
“Ini bisa dipakai, Tuan McGregor?”
“Wah. Hebat. Dari mana?”
Banda menyeringai. “Sudahlah, jangan tanya. Masalah
kita sudah cukup banyak.”
Layarnya mereka pasang. Persegi bentuknya. Akhirnya
rakit mereka siap berangkat.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kita berangkat jam dua malam, ketika orang sudah
tidur semua,” ucap Jamie kepada Banda. “Sekarang baiknya
istirahat dulu saja.”
Tapi, keduanya tak bisa tidur. Masing‐masing berdebar
menghadapi petualangan yang bakal mereka hadapi
sebentar lagi.
***
Jam dua malam mereka bertemu di gudang. Masing‐
masing diliputi semangat menyala‐nyala dan sekaligus
kekuatiran yang tak terucap. Mereka berangkat menuju
kekayaan atau kematian. Salah satu. Tak ada jalan tengah di
antara keduanya.
“Yuk,” ajak Jamie.
Mereka melangkah ke luar. Sunyi. Sepi. Malam begitu
damai, dinaungi langit biru di atas sana. Bulan muncul.
Bagus, pikir Jamie. Kalau tidak, kami takkan bisa melihat.
Jadwal perjalanan mereka agak membingungkan. Satu
fakta: mereka harus berangkat malam supaya tak ada yang
melihat. Waktu ideal sampai ke tujuan malam berikutnya,
supaya bisa menyelinap mengambil berlian dan turun lagi
ke rakit sebelum subuh.
“Arus Benguela akan membawa kita ke sana. Kita bisa
sampai sebelum sore,” ujar Jamie. “Tapi, kita tak mungkin
menyelinap ke padang siang‐siang begitu. Mesti sembunyi
dulu sampai gelap.”
Banda mengangguk. “Kita bisa sembunyi di pulau‐pulau
kecil di perairan sekitar situ.”
“Pulau apa?”
“Banyak! Mercury, Ichabod, Plum Pudding...”
Jamie memandang Banda dengan rupa keheranan, “Plum
Pudding?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Ada juga pulau yang namanya Daging Panggang. Pulau
Roast Beef.”
Jamie mengeluarkan peta lusuh, lalu memeriksa. “Di sini
tak ada pulau‐pulau itu.”
“Itu pulau‐pulau guano. Orang‐orang Inggris suka
mengumpulkan tahi burung dari sana. Untuk pupuk.”
“Ada yang hidup di sana?”
“Mana bisa? Baunya sangat tidak enak. Di beberapa
tempat tebalnya lapisan tahi burung bisa mencapai
beratus‐ratus kaki. Pemerintah menggunakan tenaga
tahanan untuk mengambil. Beberapa mati di pulau.
Mayatnya ditinggalkan begitu saja di sana.”
“Kita sembunyi di sana saja kalau begitu,” putus Jamie.
Perlahan‐lahan, keduanya membuka pintu gudang.
Kemudian mereka mengangkat rakit. Berat sekali. Sampai
berkeringat keduanya mencoba menyeret, tapi gagal.
“Tunggu sebentar,” ujar Banda.
Ia bergegas keluar. Kira‐kira setengah jam kemudian ia
kembali membawa gelondong kayu besar.
“Kita pakai ini. Kuangkat ujung rakitnya, lalu Anda
gelundungkan ini ke bawahnya.”
Jamie kagum akan kekuatan Banda waktu lelaki hitam
itu mengangkat satu ujung rakit. Cepat Jamie
menyorongkan gelondong kayu tadi ke bawahnya.
Bersama‐sama mereka mengangkat bagian belakang rakit,
dan dengan gampang rakitnya meluncur di atas gelondong
kayu. Ketika ekor rakit akhirnya jatuh dari atas gelondong,
hal yang sama mereka ulang. Pekerjaan itu berat dan
melelahkan bukan main. Ketika akhirnya sampai ke pinggir
laut, Jamie dan Banda bersimbah peluh. Waktu yang
mereka habiskan jauh melebihi perhitungan Jamie. Hari
sudah menjelang subuh. Mereka harus bergegas berangkat
sebelum ada penduduk yang melihat dan melapor. Cepat
Jamie memeriksa layar dan lain‐lainnya. Ia merasa ada
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sesuatu yang terlupa. Mendadak ia ingat, dan tertawa
berderai.
Banda keheranan. “Ada yang lucu?”
“Ketika berangkat cari berlian tempo hari, perlengkapan
yang kubawa bukan main banyaknya. Kali ini cuma sebuah
kompas. Rasanya kelewat gampang.”
Banda menyahut tenang, “Masalah kita nanti bukan itu,
Tuan McGregor.”
“Panggil aku Jamie. Sudah waktunya kita lebih akrab.”
Banda menggeleng keheranan. “Anda benarbenar
datang dari negeri jauh.” Senyumnya lebar. Giginya putih
berseri. “Peduli setan—mereka toh cuma bisa
menggantungku sekali saja.” Banda mencoba membisikkan
nama Jamie, lalu mengucapkannya keras‐keras, “Jamie.”
“Ayo kita berangkat! Ambil berlian.”
Mereka mendorong rakit ke pinggir pasir lalu ke air
dangkal. Keduanya melompat naik dan mulai mendayung.
Beberapa menit pertama mereka mencoba menyesuaikan
diri dengan gerak naik‐turun aneh rakit mereka. Seperti
naik gabus terapung. Tapi, yang penting bisa dipakai. Rakit
itu bergerak maju ke utara. Laju sekali. Jamie menaikkan
layar, dan rakit itu pun bergerak makin menjauhi pantai.
Ketika penduduk bangun di perkampungan yang baru saja
mereka tinggalkan, rakit itu sudah jauh melintasi
cakrawala.
“Kita berhasil!” ucap Jamie.
Banda menggeleng. “Belum selesai.” Ia mencelupkan
tangan ke arus Bengeula. Dingin. “Baru mulai.”
Mereka berlayar terus ke utara, melewati Teluk
Alexander dan muara Sungai Oranye. Tak tampak tanda‐
tanda kehidupan, kecuali sekelompok burung laut terbang
pulang dan kawanan burung flamingo warna‐warni.
Meskipun ada daging kaleng, nasi dingin, buah‐buahan, dan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
air minum, keduanya terlalu grogi dan tak bisa makan.
Jamie membuang jauh‐jauh dari pikirannya segala bahaya
yang mungkin menghadang. Tapi Banda tak bisa. Ia pernah
di sana. Ingat betul ia betapa sadis petugas keamanan serta
ranjau penghancur tubuh manusia di sana. Ia menyesal dan
tak mengerti mengapa ia bisa terkena bujuk Jamie
melakukan usaha gila ini. Dipandanginya lelaki kulit putih
itu. Dia lebih bodoh. Kalau aku mati, kematianku adalah
demi adikku. Dia—buat apa?
Siang hari, datang kawanan ikan hiu, Ada kira‐kira enam
ekor. Sirip mereka bagai membelah air sementara mereka
meluncur mendekati rakit.
“Ikan hiu sirip‐hitam,” cetus Banda. “Mereka pemakan
manusia.”
Jamie melihat ikan‐ikan itu makin mendekat. “Apa yang
mesti kita lakukan?”
Banda menelan ludah. Tampangnya gugup. “Terus
terang, Jamie, baru sekali ini aku mengalami yang begini.”
Dengan punggungnya, ikan hiu itu menyenggol rakit.
Hampir saja terguling. Jamie dan Banda berpegang pada
tiang layar. Jamie memungut dayung lalu mendorong ikan
hiu dengan kayu itu. Dalam sekejap dayungnya pecah
dua—digigit ikan raksasa itu. Ikan‐ikan hiu itu berenang
berputar‐putar di sekitar rakit sekarang. Tubuh raksasa
mereka menggesek‐gesek dinding rakit mungil itu. Setiap
senggolan membuat rakit itu miring—siap terjungkir‐balik
setiap saat.
“Kita harus singkirkan mereka sebelum mereka bikin
kita tenggelam.”
“Menyingkirkan apa?” tanya Banda.
“Kemarikan daging kaleng itu.”
“Kau bercanda, Jamie. Sekaleng daging takkan
memuaskan mereka. Mereka ingin mencaplok kita.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sekali lagi rakit dihantam, terangkat dan tercampak
kembali ke air.
“Daging!” pekik Jamie. “Cepat ambil!”
Dalam sekejap Banda sudah menaruh kaleng yang
diminta ke tangan Jamie. Rakit terguncang hebat.
“Buka separuh. Cepat!”
Banda mencabut pisau saku, lalu mencongkel bagian
atas kaleng dan mengirisnya hingga robek separuh. Jamie
merebut kaleng itu. Dirasainya pinggir kaleng yang tajam
dengan jarinya.
“Pegangan yang kuat!” serunya, mengingatkan Banda.
Ia berlutut di pinggir rakit, menunggu. Dalam sekejap
seekor ikan hiu meluncur mendekat. Mulurnya menganga
lebar—sederet gigi runcing siap mencabik mangsa. Jamie
mencari‐cari mata ikan itu; menggunakan seluruh tenaga
dan kedua belah tangan, Jamie menggoreskan pinggir
kaleng yang tajam pada mata binatang itu hingga robek
menganga. Ikan hiu itu melompat. Sesaat rakit mereka
berada di ujung titik keseimbangan. Air di sekitar situ
mendadak merah. Kawanan ikan hiu itu melesat
menghampiri kawan mereka yang terluka. Rakit dan
penumpangnya terlupakan. Jamie dan Banda menyaksikan
ikan‐ikan raksasa itu berkerumun dekat si hiu malang,
sementara rakit mereka bergerak semakin menjauh, hingga
akhirnya ikan‐ikan itu hilang dari pandangan.
Banda menghela napas dan berkata pelan, “Kelak aku
akan menceritakan semua ini pada cucuku. Percaya tidak
mereka, ya?”
Keduanya tertawa terbahak‐bahak. Air mata membanjir
di pipi mereka.
Menjelang sore, Jamie memeriksa jam sakunya. “Kita
mesti mencapai pantai berlian kira‐kira tengah malam.
Matahari terbit jam enam seperempat. Jadi, kita punya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
waktu empat jam buat mengumpulkan berlian dan dua jam
buat balik ke laut dan menghilang ke tengah. Cukupkah
empat jam, Banda?”
“Seratus orang tak bisa hidup cukup lama untuk
berhura‐hura menghabiskan yang bisa kaupungut di sana
selama empat jam, Jamie.” Semoga saja kita masih diberi
cukup umur untuk mengambil berlianberlian itu....
Mereka berlayar terus ke arah utara sepanjang hari itu—
mengikuti embusan angin dan arus air. Menjelang senja,
sebuah pulau kecil nampak di depan mereka. Kelilingnya
tak sampai dua ratus yard, tampaknya. Semakin dekat ke
pulau itu, semakin menyengat bau amonia. Air mata
mereka sampai keluar oleh bau keras itu. Jamie mengerti
sekarang mengapa tak ada orang yang hidup di situ. Baunya
luar biasa. Tapi, itu menjadikan tempat itu cocok untuk
bersembunyi sampai hari gelap. Jamie membetulkan layar.
Rakit kecil itu membentur pantai karang pulau tadi. Banda
menambatkan rakit. Kemudian kedua lelaki itu melangkah
ke darat. Seluruh permukaan pulau seolah diselimuti oleh
berjuta burung: belibis, pelikan, penguin, dan flamingo.
Udara di situ betul‐betul menyesakkan. Baru enam langkah,
kaki mereka sudah terperosok dalam lapisan tahi burung
hingga ke paha.
“Kita balik ke rakit saja,” Jamie terkesiap.
Tanpa berkomentar, Banda mengikuti.
Sekelompok burung pelikan terbang membumbung
waktu Jamie dan Banda hendak kembali ke rakit. Tempat
yang ditinggalkan kawanan burung itu nampak sebagai
bidang kosong. Di sana tergeletak tiga orang lelaki. Entah
kapan matinya. Mayat mereka awet oleh tingginya kadar
amonia. Rambut mereka berubah warna jadi merah.
Semenit kemudian Jamie dan Banda sudah kembali ke
atas rakit, berlayar meninggalkan pulau itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mereka merapat ke pantai. Layar rakit mereka turunkan.
Menanti.
“Kita menunggu di sini sampai tengah malam, baru
masuk.”
Keduanya duduk diam‐diam. Masing‐masing
mempersiapkan diri menghadapi yang bakal terjadi nanti.
Matahari hampir tenggelam di cakrawala barat. Warna
langit mirip lukisan artis gila. Tahu‐tahu kegelapan sudah
menyelimuti bumi.
Dua jam mereka menunggu. Jamie menaikkan layar.
Rakit mulai bergerak ke timur, mendekati pantai yang tak
nampak. Di atas, awan terbelah dan bulan mengintip. Rakit
melaju. Di kejauhan mulai tampak samar pesisir yang
mereka tuju. Angin bertiup kencang, memukul‐mukul layar
dan mendorong rakit hingga makin laju dan laju. Dalam
waktu singkat terlihat jelas bentuk pesisir —karang
raksasa menjulang tinggi, angker. Dari kejauhan sudah
terlihat dan kedengaran bantingan ombak meledak pada
dinding karang yang. tegar. Mengerikan pemandangannya.
Jamie tak bisa membayangkan bagaimana di dekat sana
nanti, kalau dari jauh saja sudah begitu mengerikan.
Mendadak ia berbisik, “Kau yakin sisi yang berbatasan
dengan laut tak dijaga?”
Banda tak menyahut. Ia cuma menunjuk karang di depan
sana. Jamie tahu maksudnya. Karang yang tajam menjulang
itu lebih hebat dari bentuk penjagaan apa pun yang bisa
dibuat manusia. Mereka tak pernah istirahat, tak juga perlu
tidur. Dinding karang itu dengan angkuhnya menanti
datangnya penantang. Yah, Jamie membatin, akan kami
tunjukkan, bahwa kami lebih hebat dari kau. Kami akan
mengapung melewati kau.
Rakit tak sepadan itu telah mampu membawa Jamie dan
Banda menempuh jarak jauh. Ia akan mampu pula
membawa mereka sampai ke tempat tujuan. Pasti. Pantai
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
terjal menjulang di muka mereka. Makin lama makin dekat.
Sementara itu ombak bergulung‐gulung mengayun rakit
makin tinggi dan makin tinggi. Banda berpegang erat‐erat
pada tiang layar.
“Laju benar.”
“Jangan takut,” hibur Jamie. “Kalau sudah cukup dekat,
layarnya kita turunkan nanti. Pasti kecepatan berkurang.
Lalu kita meluncur melompati karang—gampang dan
lancar.”
Gaya angin dan ombak bertambah kuat mendorong rakit
ke karang yang menjulang. Cepat Jamie mengira‐ngira jarak
dan memutuskan itu saat tepat menurunkan layar supaya
ombak membawa rakit memasuki pantai. Buru‐buru Jamie
menurunkan layar. Kecepatan rakit tak berkurang sama
sekali. Mereka betul‐betul berada dalam genggaman ombak
raksasa. Rakit tak bisa lagi dikendalikan, diayun ombak
satu lalu lainnya. Guncangannya luar biasa. Jamie dan
Banda berpegangan dengan kedua tangan. Jamie sudah
bersiap‐siap mengalami kesulitan waktu hendak memasuki
wilayah pantai. Walaupun demikian, ia sama sekali tak siap
menghadapi gelegak ombak yang sedahsyat itu. Dinding
karang terjal menjulang tinggi, angker—cuma beberapa
meter di hadapan mereka. Terlihat ombak berdebur
membentur dindingnya yang bergerigi, lalu meledak—
pecah menjadi cipratan. Keberhasilan rencana mereka
tergantung pada keberhasilan mendaratkan rakit ke atas
pantai karang dengan utuh. Kalau tidak, mereka takkan bisa
lolos dari sana. Dan, itu sama saja dengan mati.
Keduanya bertiarap di lantai rakit—tak kuasa menahan
dorongan angin dan ombak. Gemuruhnya memekakkan
telinga. Mendadak rakit diayun ombak raksasa. Tinggi
sekali. Mereka terlempar menuju karang.
“Tahan, Banda!” teriak Jamie. “Kita masuk!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ombak raksasa mengayun rakit seperti mengayun
sebatang korek api. Rakit itu dibawa ke pantai,
dilemparkan melampaui dinding karang. Kedua
penumpangnya berpegang erat‐erat, mempertahankan
nyawa—melawan gerakan kuat yang mengancam hendak
menyeret mereka ke dalam air. Jamie melirik ke bawah.
Sekilas nampak gerigi karang tajam di bawah sana. Dalam
sekejap mereka akan berlayar di seberang dinding
karang—aman dan tenang, menuju pantai berlian.
Mendadak terasa ada guncangan kuat. Salah satu barel
kayu di bawah rakit terkait karang dan terlepas. Rakit itu
terguncang hebat. Dalam sekejap satu barel lagi lepas, lalu
satu lagi. Angin, ombak, serta karang yang kelaparan itu
mempermainkan rakit mereka—melemparnya ke sana‐
kemari, memutar dan melemparnya tinggi‐tinggi ke udara.
Jamie dan Banda merasa kayu di telapak kaki mereka mulai
terbelah.
“Lompat!” teriak Jamie.
Ia terjun dari sisi rakit. Ombak raksasa memungutnya
lalu melemparnya ke arah pantai dengan kecepatan
katapel. Ia terperangkap di tengah‐tengah kekuatan luar
biasa yang betul‐betul sukar dipercaya—tak dapat lagi
menguasai apa pun yang terjadi. Jamie McGregor sudah
menjadi bagian dari ombak yang menggulungnya.
Tubuhnya dipilin, diputar, dan paru‐parunya seperti mau
pecah. Kunang‐kunang mulai memenuhi kepala Jamie. Aku
tenggelam, pikir Jamie. Tubuhnya terlempar ke pantai
berpasir. Jamie terbaring megap‐megap—berusaha mengisi
paru‐parunya dengan udara pantai yang sejuk segar. Dada
dan kakinya lecet oleh gesekan pasir. Bajunya cabik‐cabik.
Perlahan‐lahan ia bangkit. Duduk. Pandangannya
diedarkan—mencari Banda. Yang dicari‐cari sedang
membungkuk, memuntahkan air laut—kira‐kira pada jarak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sepuluh yard dari tempatnya terdampar. Jamie berdiri, lalu
terhuyung‐huyung menghampiri.
“Kau tak apa‐apa?”
Banda mengangguk. Lelaki itu menghela napas dalam‐
dalam sambil bergidik. Mendongakkan kepala memandang
Jamie ia berkata, “Aku tak bisa berenang.”
Jamie menolong Banda bangkit. Keduanya memandang
ke karang. Rakit mereka tak kelihatan. Sudah hancur
tercabik amukan dahsyat lautan. Mereka sudah sampai ke
pantai berlian yang mereka tuju! Tak ada jalan keluar dan
sana.
5
LAUTAN terus mengamuk dahsyat di belakang. Di depan
terbentang padang luas dari pinggir laut sampai ke kaki
bukit yang samar‐samar nampak di kejauhan. Namanya
Pegunungan Richterveld. Berpuluh ngarai dan puncak terjal
terdapat di tanah pegunungan yang nampak keunguan itu.
Di kakinya terletak Lembah Hexenkessel—”kawah nenek
sihir”—perangkap angin suram. Tempatnya sunyi,
terpencil, dan belum terjamah. Satu‐satunya petunjuk
bahwa manusia pernah menapakkan kaki di situ adalah
adanya tanda bertulisan kasar yang tertancap di pasir.
Dalam keremangan cahaya rembulan, tulisannya terbaca:
VERBODE GEBIED
SPERRGEBIET
Terlarang.
Tak ada jalan lolos ke arah laut. Satu‐satunya arah yang
bisa dipilih cuma Gurun Namib.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kita mesti ambil risiko menyeberangi gurun ini'“ ucap
Jamie.
Banda menggeleng. “Begitu terlihat pengawas, kita pasti
ditembak atau digantung. Jika lolos dari pengamatan
petugas dan anjing pemburu pun, tak mungkin kita lolos
dari ranjau. Kita mati, Jamie.” Banda tidak takut. Ia cuma
menyatakan menerima nasib.
Jamie memandang lelaki itu. Timbul sesalnya. Dialah
yang membawa Banda ke dalam situasi ini. Tapi, sekali pun
Banda tak pernah mengeluh. Bahkan sekarang, ketika ia
menyadari mereka takkan bisa lolos, sedikit pun ia tak
mempersalahkan Jamie.
Jamie menoleh, memperhatikan amukan ombak pada
dinding karang terjal di pantai. Mukjizatlah yang membawa
mereka selamat sejauh ini. Saat itu sudah jam dua. Empat
jam lagi fajar menyingsing. Mereka masih utuh dan sehat.
Tidak! Gila kalau menyerah sekarang, pikir Jamie.
“Mari kita mulai kerja, Banda.”
Banda berkedip‐kedip. “Kerja apa?”
“Tujuan kita ke sini ambil berlian. Ya, kan? Ayo!”
Banda melongo, menatap lelaki kulit putih itu.
Rambutnya putih menempel basah di kepalanya.
Pantalonnya koyak‐koyak, kuyup menempel di kakinya.
“Ngomong apa sih kau?”
“Katamu, nyawa kita pasti mereka habisi begitu kita
terlihat mereka. Ya, kan? Nah, lebih baik mati kaya daripada
melarat. Mukjizat sudah membawa kita kemari. Seandainya
kita lolos, aku tak berniat keluar dari sini dengan tangan
hampa.”
“Kau gila,” ujar Banda, pelan.
“Kalau tidak gila, tak bakal kita berada di sini sekarang,”
Jamie mengingatkan.
Banda mengangkat bahu. “Peduli setan. Daripada
nganggur sampai mereka lihat kita.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie melepas hemnya yang sudah compang‐camping.
Banda mengerti. Ia juga melepas hemnya.
“Nah. Mana berlian raksasa yang kaumaksud?”
“Di mana‐mana ada,” janji Banda. Lalu tambahnya,
“Seperti penjaga dan anjingnya.”
“Nanti saja kita pikirkan yang itu. Jam berapa biasanya
mereka patroli ke pantai?”
“Kalau sudah terang.”
Jamie berpikir sejenak. “Adakah bagian pantai yang tak
pernah mereka periksa? Yang bisa kita pakai sembunyi?”
“Tak ada. Tempat buat menyembunyikan lalat pun tak
ada di sini.”
Jamie menepuk bahu Banda. “Oke. Kita mulai, yuk!”
Jamie memperhatikan Banda ketika lelaki itu jongkok
lalu merayap, meraba‐raba pasir menyusur pantai. Jarinya
menguak pasir ketika ia bergerak maju. Dalam waktu
kurang dari dua menit ia berhenti, mengangkat sebuah batu
tinggi‐tinggi.
“Aku sudah dapat satu!”
Jamie jongkok juga, lalu meniru cara kerja Banda. Dua
berlian yang mula‐mula ia temukan kecil. Yang ketiga pasti
lebih dari lima belas karat. Lama ia duduk mengamati batu
mulia temuannya. Tak masuk akal rasanya benda bernilai
semahal itu bisa dipungut begitu saja. Dan, ini semua milik
Salomon van der Merwe dan rekan‐rekannya. Jamie bekerja
lagi.
Dalam tempo tiga jam, kedua orang itu berhasil
mengumpulkan tak kurang dari empat puluh butir berlian
berkadar antara dua sampai tiga puluh karat. Langit di ufuk
timur mulai terang. Saat yang sudah direncanakan Jamie
untuk kembali —melompat ke rakit dan berlayar
melampaui karang‐karang terjal ke lautan luas. Sekarang
tak ada gunanya lagi memikirkan itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Sebentar lagi fajar,” ucap Jamie. “Kita cari lagi berlian
sebanyak‐banyaknya.”
“Kita toh tak mungkin keluar dari sini hidup‐hidup dan
menikmati semua ini. Rupanya kau kepingin mati kaya‐
raya, ya?”
“Aku sama sekali belum kepingin mati.”
Lagi‐lagi keduanya mencari berlian. Tanpa berpikir apa‐
apa, berlian demi berlian mereka pungut. Kedua orang itu
seperti orang tergila‐gila. Tumpukan berlian mereka
bertambah banyak. Enam puluh butir terkumpul dalam
bungkusan kemeja mereka yang koyak‐koyak.
“Kausuruh aku bawa ini?” Banda bertanya.
“Tidak. Kita bisa—” Lalu Jamie sadar apa yang kira‐kira
terlintas dalam pikiran Banda. Orang yang kedapatan
membawa berlian siksaannya lebih lama dan mengerikan
sebelum akhirnya dia mati. ‐
“Biar aku yang bawa,” ucap Jamie. Semua berlian itu ia
tuang ke bentangan hemnya yang sudah jadi gombal
compang‐camping, lalu ia ikat ujung‐ujungnya. Cakrawala
berwarna kelabu muda sekarang. Di timur sana, langit
mulai dijalari warna jingga.
Apa lagi sekarang? Itu, pertanyaannya! Apa jawabnya ?
Mereka bisa tinggal berdiri di situ dan mati, bisa pula
mencoba bergerak masuk ke arah darat dan mati.
“Kita ke sana.”
Jamie dan Banda berjalan berdampingan—perlahan‐
lahan meninggalkan pantai.
“Di mana mulai ada ranjau?”
“Kira‐kira seratus yard lagi.” Salak anjing di kejauhan
terdengar. “Mungkin kita tak perlu kuatir akan ranjau.
Anjing‐anjing itu menuju kemari. Aplusan pertama mulai
kerja.”
“Dalam berapa lama mereka sampai kemari?”
“Kira‐kira lima belas menit. Bisa juga sepuluh.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sebentar lagi matahari akan menyembul menerangi
bumi. Yang tadinya cuma tampak bagai bayang‐bayang
kabur, sekarang bentuknya nampak jelas. Bukit pasir dan
pegunungan di kejauhan sana. Tak ada tempat sembunyi.
“Berapa petugas biasanya dalam satu aplusan?”
Banda berpikir sebentar. “Kira‐kira sepuluh.”
“Sepuluh petugas pengawas tak begitu banyak untuk
daerah seluas ini.”
“Satu petugas sudah banyak. Mereka bawa senjata dan
punya banyak anjing. Mereka tidak buta. Dan, kita bukan
roh halus, Jamie.”
Salak anjing terdengar makin dekat. Jamie berkata,
“Banda, maafkan aku. Seharusnya aku tidak
mengikutsertakan kau dalam situasi ini.”
“Kau tidak mengajakku, Jamie.”
Jamie mengerti maksudnya.
Mereka mendengar suara orang berteriak di kejauhan.
Jamie dan Banda sampai ke dekat bukit pasir kecil.
“Bagaimana kalau kita berkubur dalam pasir saja?”
“Sudah ada yang mencoba. Ketemu juga oleh anjing
pelacak. Bisa dikoyak tenggorokan kita oleh mereka. Aku
kepingin matiku cepat. Biar saja mereka lihat aku. Baru lari.
Dengan begitu pasti ditembak. Aku—tidak mau dimangsa
anjing.”
Jamie mencekal lengan sahabatnya. “Kita mungkin
memang harus mati, Banda. Tapi, jangan kasih mereka
gampang. Kita buat mereka susah sedikit.”
Mereka mulai bisa mendengar jelas kata‐kata yang
diteriakkan di kejauhan. “Ayo, terus kerja, malas!”
terdengar teriakan seseorang.
“Ikuti aku.... Jangan melenceng dari garis.... Kalian kan
sudah tidur enak semalaman.... Sekarang kerja dong....”
Berlawanan dengan kata‐katanya, Jamie mundur. Ia
berbalik—melihat ke laut lagi. Tenggelam mungkin cara
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
lebih gampang buat mati. Tampak olehnya karang tajam
mengoyak ombak. Mendadak kelihatan sesuatu yang lain—
ada sesuatu di belakang ombak. Ia tak mengerti benda apa
itu.
“Banda, lihat...”
Jauh dari tengah laut ada gumpalan dinding kelabu
bergerak ke arah darat—ditiup angin barat yang kuat.
“Itu kabut laut!” seru Banda. “Kabut begitu datang dua‐
tiga kali seminggu.”
Sementara itu gumpalan kabut makin mendekat—bagai
tirai kelabu raksasa menyapu cakrawala, menutup langit.
Suara orang tadi makin dekat juga. “Den Dousant! Wah,
kabut! Terhambat lagi kerjaan. Majikan kita takkan
senang…”
“Kesempatan!” bisik Jamie.
“Kesempatan apa?”
“Kabut! Kita takkan kelihatan oleh mereka.”
“Ah! Cuma sementara. Kabut itu tak lama. Kalau hilang,
kita toh masih akan ada di sini. Kalau petugas keamanan
saja tak bisa bergerak menghindari ranjau dalam keadaan
begini, kita pun tidak. Coba saja maju sepuluh yard dalam
kabut begini. Pasti hancur berantakan tubuhmu diledakkan
ranjau. Kau mengharapkan mukjizat terjadi lagi?”
“Persis!” sahut Jamie.
Di atas, langit menggelap. Kabut makin mendekat,
menyelimuti laut dan siap mencaplok pantai. Pemandangan
ketika kabut bergulung‐gulung mendekat sangat
mengerikan. Penuh ancaman. Tapi Jamie senang. Ia akan
jadi penyelamat kami! pikirnya.
Mendadak ada suara mengejutkan mereka. “Hei! Sedang
apa kalian berdua di situ?”
Jamie dan Banda menoleh. Di puncak bukit pasir, kira‐
kira seratus yard dari tempat mereka berdiri, tampak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
seorang petugas berseragam, membawa senapan. Jamie
menengok ke laut lagi. Sebentar lagi kabut sampai.
“He! Kalian berdua kemari! Cepat!” seru petugas tadi,
mengangkat senapan.
Jamie mengangkat tangan. “Kakiku keseleo,” sahutnya
berteriak. “Tak bisa jalan.”
“Tunggu di situ,” perintah petugas itu. “Kujemput
kalian.” Senapannya diturunkan, lalu ia bergegas
menghampiri mereka. Jamie menoleh. Kabut sudah
mencapai tepi pantai. Geraknya sangat laju.
“Lari!” bisik Jamie. Ia berbalik dan menghambur ke arah
laut. Banda mengikuti di belakangnya.
“Stop!”
Sedetik kemudian terdengar pelatuk senapan ditarik,
dan... pasir di muka mereka meledak. Mereka berlari terus
menyambut gulungan kabut pekat yang semakin mendekat.
Terdengar ledakan peluru sekali lagi. Lebih dekat. Lalu satu
lagi. Semakin dekat. Tiba‐tiba keduanya diliputi kegelapan
total. Kabut laut mencekam mereka. Rasanya seperti
terkubur dalam kapas. Tak bisa melihat apa pun.
Suara petugas terdengar kacau dan jauh. Bergema‐gema
akibat benturan kabut. Terdengar suara orang berteriak,
bersahut‐sahutan.
“Kruger!... Ini Brent.... Kau dengar aku?”
“Ya, aku dengar…”
“Ada dua orang,” suara yang satu berseru. “Satu putih,
satu hitam. Mereka di pantai. Sebar anak buahmu. Skiet
hom! Perintahkan tembak mati!”
“Pegang aku,” bisik Jamie.
Banda mencekal lengan Jamie. “Mau ke mana kau?”
“Kita usaha keluar dari sini.”
Jamie mengeluarkan kompas. Hampir tak bisa dilihat.
Dia berputar sampai jarum kompas menunjuk ke timur. “Ke
sana...”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tunggu. Kita tak bisa jalan. Kalau tidak menubruk
petugas keamanan atau anjingnya, bisa terinjak ranjau
nanti!”
“Katamu tadi, ranjaunya baru mulai seratus yard dari
pantai. Ayo, kita tinggalkan pantai.”
Keduanya mulai bergerak ke arah gurun. Perlahan,
terseok‐seok, seperti orang buta di daerah yang tak
dikenalnya. Kalau terjerembap ke pasir, mereka bangkit
lagi dan terus maju. Jamie berhenti memeriksa kompas
setiap beberapa yard. Ketika menurut perkiraannya
mereka sudah bergerak hampir seratus yard, ia berhenti.
“Kita sudah mencapai daerah beranjau, rasanya. Ada
tanda‐tanda khusus petunjuk di mana ranjaunya
diletakkan? Coba ingat‐ingat, Banda. Adakah sesuatu yang
bisa jadi petunjuk?”
“Doa,” sahut Banda. “Belum pernah ada yang selamat
melintasi daerah beranjau ini, Jamie. Ranjaunya tersebar di
semua penjuru di padang ini. Terkubur kira‐kira enam inci
dari permukaan pasir. Kita terpaksa tinggal di sini sampai
kabutnya pergi. Lalu menyerah.”
Jamie memasang telinga—mendengarkan suara yang
berputar‐putar dalam bungkusan kapas.
“Kruger! Monitor suara....”
“Ya, Brent....”
“Kruger....”
“Brent....”
Suara mereka bergema bergantian dalam lingkup kabut
pekat. Otak Jamie bekerja keras, mencari kemungkinan
buat meloloskan diri. Kalau tinggal di situ, pasti ditembak
begitu kabut pergi. Kalau mencoba maju lagi, mereka bakal
hancur oleh ranjau darat.
“Pernah melihat bentuk ranjaunya?” bisik Jamie.
“Ya. Aku pernah disuruh mengubur beberapa.”
“Apa yang membuat ranjau itu meledak?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Berat badan manusia. Pokoknya beban melebihi empat
puluh kilo pasti meledakkan ranjau itu. Dengan begitu
anjing aman berkeliaran.”
Jamie menghela napas. “Banda, mungkin aku punya cara
buat membawa kita keluar dari sini.
Mungkin cara ini berhasil. Mau berspekulasi
bersamaku?”
“Apa yang kaurencanakan?”
“Kita merayap dengan perut—menyeberangi padang ini.
Merayap seperti ular begitu membagi berat badan ke
bidang yang lebih luas.”
“Oh, Yesus!”
“Bagaimana pendapatmu?”
“Kupikir, aku gila meninggalkan Cape Town.”
“Mau ikut?” Jamie tak bisa melihat wajah Banda walau
lelaki itu ada di sampingnya.
“Kau tak memberi orang banyak pilihan, Jamie.”
“Kalau begitu, ayo.”
Hati‐hati Jamie merebahkan tubuh, telungkup di atas
pasir. Banda memperhatikan ulahnya, menarik napas, lalu
mengikuti. Perlahan‐lahan, keduanya merambat
menyeberangi pasir, menuju daerah beranjau.
“Jangan menumpu berat badan pada tangan atau kaki,
kalau menggerakkan badan,” Jamie mengingatkan. “Pakai
seluruh permukaan badan.”
Banda tak menyahut. Ia sibuk berkonsentrasi—
mempertahankan nyawa.
Kabut tebal menyelimuti bumi dengan sempurna,
menghapuskan segala pemandangan. Setiap saat mereka
bisa menubruk petugas, anjing, atau ranjau. Jamie
memaksakan semua bayangan itu keluar dari kepalanya.
Gerak mereka teramat pelan. Keduanya bertelanjang dada
dan perut. Setiap inci bergerak maju, setiap kali pula kulit
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mereka digores pasir. Jamie sadar, kemungkinan mereka
selamat sangat tipis. Seandainya, mukjizat menyelamatkan
mereka sampai ke seberang padang tanpa tertembak atau
diledakkan dinamit, masih ada kawat berduri dan
penjagaan ketat menghadang mereka. Banda mengatakan
ada menara pengawas dengan petugas bersenjata dekat
pintu masuk. Lagi pula, berapa lama kabut akan tinggal di
situ—tak bisa ditebak. Setiap saat kabut bisa pergi. Dan,
mereka pun akan langsung kelihatan petugas.
Mereka terus merambat. Tanpa berpikir, maju inci demi
inci, inci menjadi kaki, kaki menjadi yard, dan yard menjadi
mil. Tak tahu lagi mereka akan waktu. Yang penting, maju
terus. Mereka terpaksa merapatkan kepala ke pasir terus—
menerus. Mata, kuping dan hidung keduanya penuh pasir.
Bernapas pun jadi sukar.
Di kejauhan, gema suara petugas terdengar terus
bersahut‐sahutan. “Kruger... Brent... Kruger... Brent...”
Beberapa menit sekali, keduanya berhenti—melihat
kompas. Lalu bergerak lagi, merayap dan merayap.
Terkadang mereka tergoda untuk bergerak lebih cepat.
Tapi, itu berarti mereka harus menekan tanah lebih kuat.
Jamie bisa membayangkan bagaimana kepingan logam
akan meledak di bawahnya, mengoyak perutnya. Dia
tahankan merambat pelan seperti semula. Dari waktu ke
waktu terdengar suara lain di sekitar mereka, tapi kata‐
katanya kabur ditelan kabut. Mereka tak bisa memastikan
dari arah mana datangnya. Ah, padang ini luas, harap Jamie.
Mana mungkin bertabrakan dengan orang lain.
Entah dari mana datangnya, tiba‐tiba saja ada yang
menerkam Jamie. Kejadiannya begitu mendadak, hingga
Jamie sama sekali tak siap. Terasa olehnya taring anjing
Alsatian menusuk daging lengannya. Jamie melepaskan
bungkusan berlian dari tangannya, mencoba membuka
rahang anjing itu. Tapi, dengan satu tangan saja, tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mungkin dia lakukan itu. Terasa olehnya darah hangat
mengalir di lengannya. Tanpa ampun si anjing
membenamkan giginya lebih dalam lagi! Jamie merasa
lemas. Terdengar gebukan hebat, lalu sekali lagi. Gigitan di
lengannya terlepas. Dalam kesakitan yang luar biasa, Jamie
melihat Banda menggebuk kepala anjing itu dengan
buntalan berlian. Anjing itu mengerang kesakitan, lalu
terguling dan tak bergerak lagi.
“Kau bagaimana?” tanya Banda, kuatir.
Jamie tak bisa menyahut. Ia berbaring, menunggu
sakitnya berkurang. Banda menarik salah satu campingan
pantalonnya. Dengan kain cabikan itu, diikatnya luka Jamie
erat‐erat, supaya darahnya tak keluar terus.
“Kita mesti maju lagi,” Banda mengingatkan. “Kalau ada
satu di sekitar sini, pasti ada lagi lainnya.”
Jamie mengangguk. Perlahan ia menggelincirkan
tubuhnya maju—berjuang melawan sakit berdenyut‐
denyut di lengannya.
Tak ada lagi yang teringat olehnya sesudah itu. Ia berada
dalam keadaan antara sadar dan tidak. Gerakannya
otomatis. Ada kekuatan di luar dirinya yang seolah
membimbing gerakannya. Tangan ke depan, tarik... Tangan
ke depan, tarik... Tangan ke depan, tarik... Tangan ke depan,
tarik... Petualangan menyiksa itu seolah tiada akan ada
akhirnya. Banda menguasai kompas sekarang. Kalau Jamie
merayap melenceng dari yang seharusnya, ia cepat‐cepat ‐
menyeret membetulkan arahnya—dengan hati‐hati.
Petugas bersenjata, anjing pelacak, dan ribuan dinamit
mengelilingi keduanya. Hanya kabut yang menjadi
pelindung mereka. Mereka terus maju. Merambat.
Merambat. Sampai tiba saatnya, tak tersisa lagi tenaga pada
keduanya buat maju seinci lagi.
Mereka tertidur.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ketika Jamie terbangun, matanya menangkap
perubahan. Ia terbaring di atas pasir. Sekujur tubuhnya
kejang dan sakit. Ia mencoba mengingat‐ingat. Terlihat
olehnya Banda tidur kira‐kira dua meter dari tempatnya.
Tiba‐tiba segalanya kembali memenuhi kepalanya. Rakit
dihantamkan ombak pada karang... kabut laut... Tapi, ada
yang tak betul rasanya. Jamie bangkit, mencoba mengingat
apa itu. Perutnya berontak— Ia bisa melihat Banda! Betul,
itulah yang tidak pada tempatnya. Kabut sudah pergi.
Kedengaran ada suara. Ia mengintip dari lapisan kabut
yang menipis. Rupanya mereka sudah merambat sampai ke
dekat pintu masuk padang berlian. Menara pengawas yang
tinggi tampak tak jauh dari situ. Juga pagar kawat duri yang
pernah diceritakan Banda. Sekelompok buruh kulit hitam
sedang bergerak meninggalkan padang menuju ke pintu
gerbang. Giliran kerja mereka sudah selesai. Kelompok
buruh lain datang mengaplus. Jamie berlutut, lalu
menghampiri Banda—merangkak. Diguncang‐guncangnya
lelaki itu. Banda langsung bangkit juga. Matanya tertuju
pada menara pengawas, lalu pintu gerbang.
“He!” ucapnya tak percaya. “Kita hampir berhasil.”
“Kita berhasil! Ke sinikan berliannya!”
Banda menyodorkan buntalan berlian.
“Mau apa—?”
“Ikut aku.”
“Ada petugas bersenjata di gerbang,” Banda berbisik.
“Dia pasti tahu kita bukan orang sini.”
“Justru itu yang kujagakan,” sahut Jamie.
Keduanya melangkah menghampiri petugas, menyelinap
di antara arus buruh yang hendak keluar dan yang hendak
masuk. Ribut benar mereka saling menyapa,
“He, kerja kau, ya! Kita enak tadi—tidur selama ada
kabut....”
“Keenakan, kau! Kasih tahu dong, cara panggil kabut...!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“He, Tuhan tuh, mau dengar doaku! Doamu? Mana
mau…”
Jamie dan Banda sampai ke gerbang. Persis di sebelah
dalamnya ada dua penjaga tinggi besar—masing‐masing
menyandang bedil. Mereka sedang sibuk menggiring buruh
masuk ke gubuk kecil tempat mereka digeledah. Mereka
ditelanjangi lalu setiap lubang di tubuhnya diperiksa. Jamie
menjinjing erat bungkusan kemeja berisi berlian di
tangannya. Ia menerobos arus buruh yang datang, lalu
menghadap petugas tadi. “Maaf Pak,” ucap Jamie. “Kalau
mau cari kerja, siapa yang mesti kami temui?”
Banda melongo, takut.
Petugas itu berbalik menghadap Jamie.
“He, ngapain kau di dalam pagar?”
“Kami mau cari kerjaan, Pak. Katanya ada lowongan buat
petugas keamanan. Pelayanku bisa jadi buruh gali. Apa—”
Petugas itu mengamati dua lelaki jembel di hadapannya.
“Keluar! Cepat!”
“Jangan, Pak. Kami tak mau keluar,” protes Jamie. “Kami
butuh kerjaan. Katanya—”
“Ini daerah terlarang, Tuan. Tak kelihatankah tandanya?
Nah, cepat keluar! Sekarang juga, keluar!” Ia menunjuk
pada sebuah cikar besar bermuatan buruh yang sudah
selesai bekerja. “Cikar itu bisa membawa kalian ke Port
Nolloth. Kalau mau melamar, tempatnya di kantor pusat di
sana.”
“Oh. Terima kasih, Pak,” sahut Jamie. Ia mengangguk,
mengajak Banda pergi. Keduanya pun keluar lewat gerbang
menuju ke alam bebas.
Petugas tadi mendelik. “Dasar tolol!”
Sepuluh menit kemudian, Jamie dan Banda sudah dalam
perjalanan menuju Port Nolloth. Buntalan yang mereka
bawa berisi berlian senilai lebih dari setengah juta pound.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ