Tiraikasih Website http://kangzusi.com
pongah seperti ini. Teringat akan Marianne, mendatangkan
kepedihan dalam hati Tony.
Aku akan kawin dengan seorang dokter. Aku sudah kenal
dia sejak kecil dulu.
Kira‐kira setengah jam kemudian, ketika Lucy mencari‐
cari Tony, Tony sudah berada dalam perjalanan kembali ke
New York.
Dia langsung menelepon Marianne dari telepon umum di
bandar udara. “Aku ingin ketemu kau.”
Sahutan Marianne tak ragu‐ragu. “Ya.”
Tony tak bisa melepaskan Marianne Hoffman dari
ingatannya. Sudah lama dia sendiri. Tapi, dia belum pernah
merasa kesepian. Berpisah dengan Marianne menimbulkan
kesepian... seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Bersama gadis itu hatinya hangat, hidupnya terasa
bergairah, segala bayangan gelap yang selama ini bagai
mengejar‐ngejar dia mendadak hilang. Tony ngeri. Dia
takut kalau‐kalau hidupnya akan sesat bila Marianne
dibiarkannya pergi. Dia butuh gadis itu. Dan belum pernah
dia merasakan butuh orang lain seperti ini.
Marianne datang ke apartemen Tony. Melihat gadis itu
melangkah masuk, Tony merasakan kehausan yang
dikiranya telah pergi buat selama‐lamanya. Dan melihat
wajahnya, Tony tahu bahwa Marianne pun merasakan
kehausan yang sama. Tak ada kata‐kata yang bisa dipakai
buat melukiskan keajaiban ini.
Marianne berlari ke dalam pelukan Tony. Emosi
keduanya tak tertahankan. Mereka terbuai oleh letupan
kebahagiaan yang tak terlukiskan. Bersama, keduanya
bagai melayang dalam beledu lembut yang tak mengenal
waktu dan tempat, segala sesuatu terlupakan oleh
keindahan yang ditimbulkan satu sama lain. Beberapa saat
kemudian, keduanya terbaring capek, saling berpelukan.
Rambut Marianne yang lembut membelai kulit wajah Tony.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku akan mengawinimu, Marianne.”
Marianne memegang wajah Tony dengan kedua telapak
tangannya. Pandangnya menyelidik ke dalam mata Tony.
“Kau pasti, Tony?” Suaranya lembut. “Kita punya masalah,
Sayang.”
“Pertunanganmu?”
“Bukan. Itu akan kuputuskan. Yang kupikirkan: ibumu.”
“Dia tak ada hubungannya dengan—”
“Hus. Dengar dulu aku, Tony. Ibumu ingin kau kawin
dengan Lucy Wyatt.”
“'Itu rencananya.” Tony memeluk Marianne lagi.
“Rencanaku ada di sini.”
“Nanti ibumu membenciku, Tony. Aku tak mau itu
terjadi.”
“Kau tahu yang kuinginkan?” bisik Tony.
Mukjizat itu pun terulang lagi.
Empat puluh delapan jam kemudian barulah Kate
mendengar kabar dari Tony. Dia mendadak lenyap dari
tempat tinggal keluarga Wyatt. Tak ada pesan, tak
berpamitan. Terbang kembali ke New York begitu saja.
Charlie Wyatt keheranan. Lucy gusar. Kate minta maaf
dengan penuh salah tingkah. Malam itu juga dia langsung
menumpang pesawat pribadi kembali ke New York.
Sesampainya di rumah, dia langsung menelepon ke aparte‐
men Tony. Tak ada sahutan. Hari berikutnya sama juga.
Kate sedang berada di ruang kerjanya di kantor ketika
mendadak pesawat telepon pribadinya berdering. Sebelum
mengangkat gagangnya, dia sudah tahu siapa yang
menelepon.
“Tony, kau baik‐baik saja, kan?”'
“B‐baik, Bu.”
“Di mana kau?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Bulan madu. Aku kawin dengan Marianne Hoffman
kemarin.”
Lama keduanya terdiam. “Bu, Ibu m‐masih di situ?”
“Ya.”
“Kasih selamat, dong! Biasanya orang mengucapkan s‐
selamat.” Ada nada mengejek pada suara Tony.
Kate lalu berkata, “Ya. Ya, tentu saja—semoga kau
mendapat banyak kebahagiaan, Nak.”
“Terima kasih, B‐bu.” Sambungan telepon pun putus.
Kate menaruh kembali gagang telepon. Dia lalu menekan
tombol interkom. “Kau bisa kemari sebentar, Brad?”
Waktu Brad Rogers masuk ke ruangan kerja Kate,
perempuan itu berkata, “Tony barusan telepon.”
Brad melihat sekilas wajah Kate, lalu berkata, “Astaga!—
Berhasil?”
“Tony yang sukses,” Kate tersenyum. “Kerajaan Hoffman
ada di pangkuan kita.”
Brad Rogers menjatuhkan diri ke kursi. “Aku tak
percaya! Aku tahu si Tony bukan main keras kepalanya.
Bagaimana ceritanya sampai kau berhasil mengawinkan dia
dengan Marianne Hoffman?”
“Sederhana,” Kate mendesah. “Kudorong dia ke arah
yang berlawanan.”
Kate tahu yang dia lakukan betul. Marianne bakal jadi
istri yang baik buat Tony. Gadis itu akan menghilangkan
kegelapan yang selama ini melingkupi hati Tony.
Lucy sudah disteril.
Marianne bisa memberi Tony anak lelaki.
21
ENAM bulan menyusul perkawinan Tony dan Marianne,
perusahaan Hoffman dilebur ke dalam Kruger‐Brent, Ltd.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Penandatanganan resmi kontraknya dilakukan di Munich.
Frederick Hoffman akan menjadi pengelola anak
perusahaan dari Jerman. Tony heran melihat ibunya
menerima perkawinannya dengan Marianne dengan sikap
yang demikian gampang. Kalah bukan sesuatu yang bisa dia
terima dengan begitu anggun. Tapi, sikapnya pada
Marianne ketika Tony dan istrinya pulang dari bulan madu
mereka, di Bahama sangat ramah. Kate bahkan
mengucapkan kesukacitaannya atas perkawinan Tony
dengan Marianne. Yang membuat Tony keheranan, ibunya
nampak tulus sekali. Perubahan sikap dan sifat ini terlalu
cepat. Bukan seperti ibunya. Mungkin, pikir Tony, dia
memang belum kenal betul siapa ibunya.
Perkawinan mereka sukses besar sejak permulaan.
Marianne mengisi kebutuhan yang telah lama terpendam
dalam diri Tony. Semua orang di sekitarnya melihat
perbedaan pada diri Tony. Yang paling memperhatikan,
tentu saja Kate.
Kalau Tony pergi dalam rangka bisnis, Marianne
menemani dia. Mereka bermain bersama, tertawa, dan
saling memberikan kebahagiaan. Melihat kebahagiaan
mereka, Kate berpikir puas, aku telah melakukan yang
paling baik buat anakku.
Marianne‐lah yang berhasil menjembatani jurang dalam
di antara Tony dan ibunya. Ketika mereka pulang dari
bulan madu, Marianne berkata, “Aku kepingin mengundang
ibumu makan malam bersama kita.”
“Jangan. Kau tak kenal dia, Marianne. Dia—”
“Aku ingin berkenalan dengan ibumu. Ayolah, Tony.”
Tony tak suka. Tapi, akhirnya dia mengalah.
Tony sudah bersiap‐siap menghadapi suasana kelabu
malam itu. Tapi dia terkejut. Kate nampak betul‐betul
senang bersama mereka. Minggu berikutnya Kate
mengundang mereka makan malam di rumahnya. Sejak itu,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
acara makan malam bersama menjadi acara rutin
mingguan.
Kate dan Marianne sangat akrab. Mereka berhubungan
lewat telepon beberapa kali dalam seminggu. Sekali
seminggu setidaknya, keduanya malah makan siang
bersama.
Mereka berjanji ketemu buat makan siang di Lutece.
Begitu Marianne melangkah masuk, Kate punya firasat ada
yang tak beres.
“Minta dua gelas wiski,” pintanya pada pelayan. “Pakai
es.”
Biasanya Marianne cuma minum anggur.
“Ada apa, Marianne?”
“Aku baru ketemu Dr. Harley.”
Mendadak jantung Kate seperti berhenti berdetak. “Kau
sehat‐sehat saja, kan?”
“Oh, ya. Cuma...” Kisah selanjutnya menyerocos keluar.
Permulaannya beberapa hari yang lalu. Marianne
merasa kurang enak badan. Dia bikin janji ketemu dengan
john Harley....
“Kau nampak sehat,” Dr. Harley tersenyum. “Umurmu
berapa, Nyonya Blackwell?”
“Dua puluh tiga.”
“Ada penyakit turunan di keluarga Anda?”
“Tidak.”
Dokter itu membuat catatan. “Kanker?”
“Tidak.”
“Orang tua Anda masih hidup?”
“Ayah masih. Ibu meninggal karena kecelakaan.”
“Pernah kena gondong?”
“Tidak.”
“Tampek?'‐'
“Ya. Waktu umurku sepuluh tahun.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Batuk rejan?”
“Tidak.”
“Pernah menjalani operasi?”
“Amandel. Ketika umurku sembilan tahun.”
“Selain itu, belum pernah dirawat di rumah sakit karena
penyakit lainnya?”
“Tidak. E, maaf. Ya. Sekali. Tapi cuma sebentar.”
“Karena apa itu?”
“Aku jadi anggota tim hockey. Ketika sedang bertanding
mendadak pingsan. Aku terbangun di rumah sakit. Cuma
dua hari aku di sana. Tapi, semuanya itu tidak serius.”
“Apakah Anda mengalami kecelakaan ketika bertanding
itu?”
“Tidak. Tiba‐tiba saja pingsan.”
“Berapa umur Anda waktu itu?”
“Enam belas. Kata dokter, mungkin penyebabnya
gangguan pada kelenjar remaja.”
John Harley duduk tegak di pinggir muka kursinya.
“Ketika sadarkan diri, apakah Anda merasa salah satu sisi
tubuh Anda lemas?”
Marianne berpikir sejenak. “Ya. Sebelah kanan. Tapi,
hilang beberapa hari kemudian. Sejak itu tak pernah lagi
kurasakan seperti itu.”
“Sering pusing? Pandangan berkunang‐kunang?”
“Ya. Tapi, semuanya itu juga hilang. “Marianne mulai
tegang. “Ada sesuatu yang tak beres denganku, Dokter?”
“Aku belum pasti. Sebaiknya kita lakukan beberapa tes—
supaya pasti.”
“Tes apa?”
“Angiogram otak. Tak susah. Bisa dilakukan segera.”
Tiga hari kemudian Marianne mendapat telepon dari Dr.
Harley. Yang menelepon perawatnya. Dokter Harley
memintanya datang. John Harley sudah menunggu di
kantornya. “Kita sudah pecahkan misterinya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Jelekkah hasilnya?”
“Tidak terlalu. Hasil tes menunjukkan, bahwa Anda
waktu itu mengalami serangan jantung lemah, Nyonya
Blackwell. Istilah medisnya berry aneurysm. Lumrah terjadi
pada wanita—terutama gadis remaja. Pembuluh darah
kecil di otak pecah dan menyebabkan darahnya keluar.
Itulah yang menyebabkan rasa pusing dan pandangan
buram. Untungnya, semua itu memang bisa hilang.”
Marianne duduk mendengarkan. Hatinya panik, “Apa
maksud semuanya ini? Apakah itu bisa terjadi lagi?”
“Sedikit sekali kemungkinannya.” John Harley
tersenyum. “Kecuali, kalau Anda punya rencana jadi pemain
hockey lagi. Anda aman selama menjalani kehidupan
normal.”
“Tony dan aku suka bermain tenis. Apakah—”
“Asal jangan sampai kelelahan, boleh saja. Tenis, sex, tak
ada masalah.”
Marianne tersenyum, lega. “Syukurlah kalau begitu.”
Ketika Marianne bangkit, John Harley berkata, “Ada satu
hal, Nyonya Blackwel. Kalau Anda dan Tony punya rencana
memiliki anak, sebaiknya mengadopsi saja.”
Marianne terpaku. “Anda tadi bilang aku normal.”
“Memang. Tapi, kehamilan meningkatkan volume
vaskuler secara drastis. Ketika kehamilan mencapai enam
sampai delapan minggu terakhir, tekanan darah akan naik
lagi. Dengan sejarah aneurysm yang Anda miliki, risikonya
sangat besar. Bukan saja berbahaya, tapi bisa berakibat
fatal. Sekarang ini mengadopsi anak sangat mudah. Aku
bisa menolong—”
Marianne tak lagi mendengarkan. Yang terdengar
olehnya cuma suara, Tony: Aku ingin kita cepat punya bayi.
Bayi perempuan mungil yang rupanya persis kau.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“...Aku tak sanggup mendengarkan lebih banyak lagi,”
Marianne menuturkan perasaannya kepada Kate. “Aku
segera saja lari dari kantornya dan langsung kemari.”
Kate berusaha sebaik‐baiknya agar perasaannya tak
terlihat. Buatnya, kabar itu seperti bom. Tapi, harus ada
jalan keluarnya. Ya, jalan keluar untuk masalah apa pun
selalu ada.
Dia tersenyum. Katanya, “Kupikir, beritanya lebih jelek
dari itu.”
“Tapi, Kate, Tony dan aku sangat menginginkan bayi.”
“Marianne, Dr. Harley memang suka terlalu berhati‐hati
dan bikin orang takut. Kau mengalami gangguan kesehatan
sepele bertahun‐tahun yang lampau. Dokter Harley cuma
membesarbesarkan. Dokter memang selalu begitu.” Kate
menggenggam tangan Marianne. “Kau merasa sehat, kan?”
“Sehat dan bahagia, sampai—”
“Nah. Betul, kan? Kau tak pernah pingsan‐pingsan lagi?”
“Tidak.”
“Soalnya, sebenarnya penyakit itu sudah hilang. Dia
bilang sendiri hal seperti itu hilang dengan sendirinya.”
“Katanya, risikonya—”
Kate mendesah. “Marianne, setiap kali seorang
perempuan hamil, risikonya selalu ada. Hidup memang
penuh dengan risiko. Yang paling penting dalam hidup ini
adalah memutuskan risiko mana yang perlu diambil.
Setuju?”
“Ya.” Marianne duduk sambil berpikir. Dia mengambil
keputusan saat itu. “Kau betul. Sebaiknya kita tak perlu
bilang apa‐apa pada Tony. Nanti dia jadi kuatir. Ini rahasia
kita berdua saja.”
Kate berpikir, Bisa kubunuh John Harley, bikin anak ini
begitu ketakutan. “Ya. Ini rahasia kita berdua,” Kate setuju.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tiga bulan kemudian Marianne hamil. Tony girang
bukan buatan. Kate diam‐diam merasa menang. Dr. John
Harley kebingungan.
“Sebaiknya segera digugurkan,” ucapnya kepada
Marianne.
“Jangan, Dr. Harley. Aku merasa sehat. Aku ingin
melahirkan bayi ini.”
Ketika Marianne menceritakan kepada Kate tentang
kunjungannya ke Dr. Harley, Kate langsung uring‐uringan
datang ke kantor John Harley. “Berani‐berani kau
mengusulkan agar menantuku menggugurkan
kandungannya!”
“Kate, aku sudah mengingatkan dia risikonya. Ada
kemungkinan jiwanya terancam.”
“Kau tak tahu betul. Dia kuat. Mulai sekarang, jangan
kautakut‐takuti lagi dia.”
Delapan bulan kemudian, pada jam empat subuh di awal
bulan Februari, Marianne mulai merasa mulas. Erangannya
membangunkan Tony.
Tony cepat‐cepat berpakaian. “Jangan kuatir, Sayang.
Kau segera kuantar ke rumah sakit.”
Sakitnya tak tertahankan. “Cepat.”
Marianne menimbang‐nimbang apakah sebaiknya dia
menceritakan tentang percakapannya dengan Dr. Harley.
Ah, tidak. Kate betul. Ini adalah risiko yang memang harus
diambil. Selama ini hidupnya begitu mulus dan indah. Tak
mungkin Tuhan akan membiarkan sesuatu terjadi pada
dirinya.
Ketika Marianne dan Tony sampai ke rumah sakit, segala
sesuatu sudah disiapkan. Tony dipersilakan menunggu di
ruang tunggu. Marianne dibawa ke ruang periksa. Dokter
ahli kandungannya, Dr. Mattson, mengukur tekanan darah
Marianne. Dahinya berkerenyit. Sekali lagi dia mengukur.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dia memandang perawat. “Bawa segera ke ruang operasi.
Cepat!”
Tony sedang membeli rokok di mesin penjual rokok di
koridor rumah sakit. Mendadak ada suara di belakangnya.
“Wah, kalau tak salah ini Rembrandt.” Tony menoleh. Lelaki
yang pernah bersama Dominique di depan apartemennya.
Siapa namanya, ya? Ben. Lelaki itu mengamati Tony.
Wajahnya penuh perlawanan. Cemburu? Apa yang
dikatakan Dominique kepadanya? Saat itu Dominique
muncul. Dia berkata kepada Ben, “Kata suster, Michelline
sedang di ruang perawatan khusus. Kita datang—” Dia
melihat Tony. Mendadak bicaranya terhenti.
“Tony! Sedang apa kau di sini?”
“Istriku sedang melahirkan.”
“Ibumu yang mengatur semuanya ini?” tanya Ben.
“Apa maksudmu?”
“Kata Dominique ibumu mengatur segala sesuatu
buatmu.”
“Ben! Diam kau!”
“Kenapa mesti diam? Memang betul begitu, kan? Kau
sendiri yang bilang begitu.”
Tony menoleh ke Dominique. “Ngomong apa sih dia?”
“Bukan apa‐apa,” sahut Dominique cepat.
“Ben, kita pergi, yuk.”
Ben kesenangan. “Aku senang kalau punya ibu kayak
ibumu, Sobat. Kau ingin tidur sama model cantik, ibumu
membelikan satu. Kau kepingin bikin pameran lukisan di
Paris, ibumu yang mengatur. Kau‐”
“Kau gila.”
“Oh, ya?” Ben menengok ke arah Dominique.
“Dia tak tahu, ya?”
“Bukan apa‐apa, Tony.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Dia bilang ibuku yang mengatur pameran di Paris. Itu
tidak betul, kan?” Tony menangkap suatu pancaran aneh di
wajah Dominique. “Itu tidak betul, kan?” ulangnya.
“Betul,” ucap Dominique enggan.
“Jadi, ibuku membayar Goerg buat memamerkan
lukisanku?”
“Tony, dia sangat menyukai lukisanmu.”
“Ceritakan sekalian tentang kritikus seni itu,” cetus Ben.
“Cukup, Ben!” Dominique berbalik pergi.
Tony merenggut lengannya. “Tunggu! Kenapa dia? Ibuku
juga yang mengatur supaya dia datang ke pameran itu?”
“Ya.” Suara Dominique lebih pelan dari berbisik.
“Dia mencela lukisanku.”
Dominique mendengar kegetiran hati yang terungkap
dalam suara Tony. “Sebenarnya tidak, Tony. Dia tidak
mencela lukisanmu. Andre d'Usseau mengatakan kepada
ibumu bahwa sebenarnya kau bisa jadi pelukis besar.”
Tony dihadapkan pada sesuatu yang sukar dipercaya.
“Ibuku membayar d'Usseau buat menghancurkanku?”
“Bukan menghancurkanmu. Ibumu punya keyakinan,
bahwa itu adalah yang paling baik buatmu.”
Yang dilakukan ibunya besar dan bertahap. Semua yang
dikatakan Kate kepadanya tak lebih dari kebohongan. Kate
tak pernah merelakan Tony menjalani kehidupannya sendiri.
Dan, Andre d'Usseau! Orang sebesar dia bisa dibeli?
Mengherankan! Tapi, tentu saja Kate bisa membayar
berapa pun harga yang ditetapkan orang. Segala sesuatu
ditujukan buat kepentingan perusahaan. Dan,
perusahaannya adalah Kate Blackwell. Tony berbalik dan
melangkah tanpa arah di koridor.
***
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Di ruang operasi, tim dokter sedang berjuang
menyelamatkan jiwa Marianne. Tekanan darahnya sangat
rendah, sementara detak jantungnya tak menentu. Dia
diberi oksigen dan transfusi darah. Tapi sia‐sia. Marianne
tak sadarkan diri oleh pendarahan otak ketika bayi
pertamanya dilahirkan. Dia meninggal tiga menit kemudian
ketika bayi kembarnya yang kedua sedang dikeluarkan.
Tony mendengar suara memanggil, “Tuan Blackwell.”
Dia berpaling. Dr. Mattson sudah berada di sisinya.
“Anda mendapat dua bayi perempuan cantik dan sehat,
Tuan Blackwell.”
Tony menangkap sesuatu di mata dokter itu.
“Marianne—bagaimana dia?”
Dr. Mattson menarik napas panjang. “Maafkan kami.
Kami sudah melakukan segalanya yang bisa kami lakukan.
Istri Anda meninggal ketika—”
“Dia apa?” Tony berteriak. Bagian muka kemeja dokter
itu direnggutnya sambil diguncang‐guncang. “Kau bohong!
Dia tidak mati.”
“Tuan Blackwell‐”
“Di mana dia? Aku ingin ketemu.”
“Anda belum boleh masuk sekarang. Mereka sedang
menyiapkan—”
Tony berteriak‐teriak histeris, “Kau yang
membunuhnya! Kau yang membunuhnya.” Dia lalu mulai
menyerang dokter itu. Dua mahasiswa yang sedang praktek
cepat‐cepat merenggut tangan Tony.
“Tenanglah, Tuan Blackwell.”
Tony meninju keduanya seperti orang gila. “Aku ingin
ketemu istriku!”
Dr. John Harley buru‐buru menghampiri mereka.
“Lepaskan dia,” perintahnya. “Tinggalkan kami.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dr. Mattson dan kedua mahasiswa tadi pergi. Tony
menangis putus asa. “John, mereka memmembunuh
Marianne. M‐mereka membunuh istriku.”
“Istrimu memang meninggal, Tony. Aku ikut sedih. Tapi,
tak seorang pun membunuhnya. Berbulan‐bulan yang lalu
aku sudah mengingatkan dia agar tidak meneruskan
kandungannya, karena risikonya bisa begini.”
Lama sekali Tony baru bisa mencema kata‐kata itu. “Apa
katamu tadi?”
“Marianne tidak menceritakan kepadamu? Juga ibumu?”
Tony menatap dokter itu. Matanya memancarkan
keheranan dan ketidakmengertian. “Ibuku?”
“Ibumu menuduhku menakut‐nakuti. Dia menyuruh
Marianne meneruskan kandungannya, Aku menyesal sekali,
Tony. Bayi kembarnya sudah kulihat. Mereka cantik dan
lucu. Mau—?”
Tapi, Tony sudah pergi.
Pelayan Kate membukakan pintu buat Tony. “Selamat
pagi, Tuan Blackwell.”
“Selamat pagi, Lester.”
Pelayan itu heran melihat penampilan Tony yang kusut.
“Anda baik‐baik saja, kan?”
“Oh, ya. Tolong buatkan secangkir kopi buatku, Lester.”
“Tentu.”
Tony memandang pelayan itu menuju ke dapur.
Sekarang, Tony, suara di kepalanya memberi perintah.
Ya. Sekarang. Tony berbalik, masuk ke ruang piala. Dia
menghampiri lemari penyimpan koleksi senjata.
Dipandangnya rentetan senjata yang berkilauan.
Buka lemari itu, Tony.
Dia membukanya. Lalu dipilihnya sebuah pistol dari rak
senjata. Diperiksanya peluru. Berisi.
Dia ada di atas, Tony.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tony berbalik, lalu naik ke atas. Dia tahu bahwa
sebenarnya bukan kesalahan ibunya bersifat jahat begitu.
Ibunya sakit jiwa. Dan, Tony hendak menyembuhkannya.
Perusahaan telah merampas jiwanya sebagai manusia. Itu
menyebabkan Kate tak bertanggung jawab atas tindakan‐
tindakannya. Ibunya dan perusahaan sudah menyatu. Kalau
ibunya dia bunuh, maka perusahaan pun akan mati.
Tony sampai di muka pintu kamar tidur ibunya.
Buka pintu, suara itu mengkomando.
Tony membuka pintu. Kate sedang bersolek di muka
kaca ketika mendengar pintu dibuka.
“Tony! Ada apa—”
Hati‐hati Tony membidikkan pistol kepadanya, lalu
menarik pelatuknya.
22
HAK anak sulung sebagai pewaris gelar atau kekayaan
keluarga sangat dipentingkan dalam sejarah. Di kalangan
keluarga kerajaan di Eropa, pejabat penting hadir pada
setiap kelahiran calon pewaris agar seandainya yang lahir
bayi kembar, bisa ditentukan sejak awal siapa yang berhak
menjadi ahli waris. Dr. Mattson sangat hati‐hati
memperhatikan bayi mana yang dilahirkan lebih dulu.
Semua orang sependapat, bahwa bayi kembar keluarga
Blackwell sangat cantik. Keduanya sehat dan luar biasa
lincah. Para perawat di rumah sakit menjadi lebih menaruh
perhatian karena mendengar kisah keluarga bayi itu,
walaupun tak seorang pun mau mengaku. Ibu mereka mati
ketika melahirkan. Ayah mereka mendadak hilang. Dan, ada
kabar burung, ayah bayi kembar itu membunuh ibunya.
Tapi, tak seorang pun berhasil mendapatkan kabar yang
pasti. Tak ada berita di surat kabar, kecuali berita yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mengabarkan bahwa Tony Blackwell mendapat guncangan
batin keras akibat kematian istrinya dan sedang dirawat
secara khusus. Ketika wartawan mencoba mewawancarai
Dr. Harley, dia cuma berkata, “Tak ada komentar!”
Beberapa hari belakangan ini bagai neraka buat John
Harley. Seumur hidupnya, dia tak bakal lupa pemandangan
yang dia Iihat ketika masuk ke kamar tidur Kate Blackwell
sehabis mendapat telepon dari pelayan rumah itu. Kate
terbaring di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. Ada
lubang tembusan peluru di leher dan dadanya. Darah
mengalir ke karpet putih. Tony sedang mengobrak‐abrik
lemari pakaian ibunya—mengguntingi baju‐baju ibunya.
Dr. Harley memeriksa Kate dengan cepat, lalu buru‐buru
menelepon ambulans. Dia berlutut di sisi Kate, merasai
denyut nadinya. Sangat lemah. Wajahnya kebiru‐biruan. Dia
shock. Cepat Dr. Harley menyuntikkan adrenaline dan
sodium bicarbonat.
“Apa yang terjadi?” tanya Dr. Harley.
Pelayannya berkeringat. “Aku‐aku tak tahu.
Tuan Blackwell minta dibuatkan kopi. Aku sedang di
dapur. Mendadak kudengar letusan senjata. Cepat aku lari
ke atas. Tahu‐tahu Nyonya Blackwell sudah terkapar
seperti ini. Tuan Blackwell berdiri di sampingnya sambil
mengatakan, 'Kau takkan merasa sakit lagi, Bu.
Penyebabnya sudah kubunuh.' Dia lalu membuka lemari
dan mulai mengguntingi baju‐baju ibunya.”
Dr. Harley menoleh pada Tony. “Sedang apa kau, Tony?”
Dia terus menggunting. “Aku membantu Ibu. Aku
berusaha menghancurkan perusahaan. Itu sebab kematian
Marianne, Dokter.” Dia meneruskan menggunting‐gunting.
Kate dibawa ke ruang pertolongan darurat di sebuah
rumah sakit kecil di tengah kota yang merupakan salah satu
anak perusahaan KrugerBrent, Ltd. Dia diberi empat
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kantung transfusi darah sementara dokter sibuk
mengeluarkan peluru dari dalam tubuhnya.
Tiga perawat lelaki berusaha keras memasukkan Tony
ke ambulans. Baru setelah Dr. Harley menyuntiknya dengan
obat penenang mereka berhasil membawanya masuk ke
ambulans. Tony jadi tenang setelahnya. Satuan polisi sigap
menanggapi panggilan ambulans. Dr. Harley tak mengerti,
bahwa berita macam begitu bisa tak tersiar dalam koran.
Dr. Harley pergi ke rumah sakit, mengunjungi Kate di
ruang perawatan intensif. Yang pertama dia tanyakan, “Di
mana anakku?” Suaranya lirih sekali.
“Dia dirawat, Kate. Tak apa‐apa.”
Tony dibawa ke sanatorium pribadi di Connecticut.
“John, mengapa dia mencoba membunuhku? Mengapa?”
Kepedihan sangat kentara dalam suaranya.
“Dia mempersalahkan kau membuat Marianne mati.”
“Itu namanya gila!”
John Harley tidak berkomentar.
Dia mempersalahkan kau membuat Marianne mati.
Lama setelah Dr. Harley pergi, Kate berbaring—menolak
menerima kata‐kata itu. Marianne dia sayangi, sebab
membuat Tony bahagia. Segalanya yang kulakukan itu demi
kau, Nak. Segala mimpiku adalah buatmu. Mengapa kau tak
mengerti? Dan, dia begitu membenci ibunya sampai
berusaha membunuhnya. Kate sangat tergores. Ingin
rasanya dia mati. Tapi, dia tak mengizinkan dirinya mati,
Yang dilakukannya selama ini adalah yang benar. Mereka
semua salah. Tony memang anak lemah. Mereka semua
lemah. Ayahnya terlalu lemah menghadapi kematian anak
lelakinya. Ibunya terlalu lemah menghadapi hidup seorang
diri. Tapi aku tidak lemah, pikir Kate. Aku bisa menghadapi
ini. Aku bisa menghadapi segala sesuatu. Aku akan hidup.
Aku akan selamat. Perusahaan akan terus jaya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
BUKU KE TIGA
MASTER OF THE GAME
by Sidney Sheldon
Copyright © 1982 by Sheldon Literary Trust
All rights reserved including the rights of reproduction in whole or
in part in any form.
RATU BERLIAN
Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 402 89.615
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, November 1989
Cetakan kedua, Juli 1990
Cetakan ketiga, September 1991
Cetakan keempat, November 1993
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney/
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Ratu Berlian: I / oleh Sidney Sheldon ; alihbahasa,
Indri K. Hidayat. — Jakarta : Gramedia Pustaka Utama/1989.
288 hal.; 18 cm.
Judul asli: Master of the Game
ISBN 979‐403‐614‐5 (No. Jil. lengkap).
ISBN 979‐403‐617‐X (Jil. 3).
1. Fiksi Amerika. I. Judul. II. Hidayat, Indri K.
8XQ3
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
LIMA
EVE DAN ALEXANDRA
1950-1975
23
KATE mengembalikan kesehatannya di Dark Harbor,
membiarkan matahari dan udara laut menyembuhkan
dirinya.
Tony masih dirawat di rumah sakit jiwa privat, tempat
dia bisa mendapat perawatan yang terbaik. Kate
mendatangkan psikiater dari Paris, Wina, dan Berlin.
Tetapi, ketika pemeriksaan telah selesai dan hasilnya
keluar, diagnosanya sama: Tony menderita sakit jiwa dan
schizofrenia.
“Sama sekali tak bereaksi terhadap obat‐obatan dan
perawatan dokter ahli jiwa. Selain itu dia sangat beringas.
Kami terpaksa mengurung dia.”
“Mengurung? Apa maksudnya?”
“Kami harus menempatkan dia di sel yang dindingnya
dilapis bantalan. Bahkan, hampir setiap saat dia perlu
diberi baju pengekang.”
“Perlukah semua itu?”
“Kalau tidak, Nyonya Blackwell, dia akan membunuh
siapa saja yang mendekatinya.”
Kate memejamkan mata. Hatinya teriris. Yang sedang
mereka bicarakan ini bukan lagi Tony‐nya yang lembut dan
manis. Tapi, orang asing—orang gila. Dia membuka mata
lagi. “Jadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan?”
“Tidak, selama kita tak bisa menjangkau pikirannya.
Kami terus‐menerus memberinya obat penenang. Tapi,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
begitu kekuatan obatnya berkurang, nafsunya timbul lagi.
Padahal, pemberian obat semacam ini tidak bisa diteruskan
berlama‐lama,”
Kate berdiri tegak sekali. “Lalu, apa saran Anda, Dokter?”
“Pada kasus yang hampir sama, pengalaman
menunjukkan, bahwa mengambil sebagian kecil otaknya
bisa membawa hasil memuaskan.”
Kate menelan ludah. “Lobotomy?”
“Betul sekali. Putra Anda akan bisa berfungsi normal
dalam segala hal, kecuali satu. Dia takkan lagi punya emosi
tak wajar yang begitu kuat.”
Kate duduk. Pikiran dan tubuhnya beku. Dr. Morris,
seorang dokter muda dari Klinik Menninger, memecahkan
kesunyian. “Aku tahu ini sulit sekali buat Anda, Nyonya
Blackwell. Mungkin sebaiknya Anda mempertimbangkan.”
“Kalau memang itu satu‐satunya jalan unruk
menghentikan amukannya,” ujar Kate, “lakukan saja.”
Frederick Hoffman ingin cucu‐cucunya tinggal bersama
dia di Jerman. “Mereka akan kubawa pulang ke Jerman.”
Lelaki itu nampak dua puluh tahun lebih tua sejak
kematian Marianne. Kate merasa kasihan melihatnya. Tapi,
dia tak punya niatan menyerahkan anak‐anak Tony pada
lelaki itu. “Mereka butuh perhatian dan kasih sayang
wanita, Frederick. Marianne pasti ingin anak‐anaknya
dibesarkan di sini. Datang dan tengoklah mereka kemari
sering‐sering.”
Akhimya Frederick Hoffman pun mengalah.
Si kembar dipindahkan ke rumah Kate. Kamar anak‐anak
disiapkan buat mereka. Kate mewawancarai beberapa
pengasuh anak. Akhimya dia menerima seorang
perempuan muda Prancis. Namanya Solange Dunas.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Si sulung diberi nama Eve. Saudara kembamya
Alexandra. Mereka mirip betul satu sama lain—susah
membedakannya. Melihat keduanya, seperti melihat salah
seorang sedang mengaca. Kate sangat terpesona oleh
mukjizat kembar yang dihasilkan oleh Tony dan Marianne.
Keduanya cerdas dan gesit. Tapi, dalam usia beberapa
minggu saja, nampak jelas bahwa Eve lebih matang
dibanding Alexandra. Eve lebih dulu merangkak, bicara,
dan berjalan. Alexandra mengikuti pelan‐pelan. Sejak
semula Eve yang jadi pemimpin. Alexandra sangat
mengagumi kakaknya dan selalu berusaha meniru apa pun
yang dilakukan kakaknya. Kate berusaha bermain dengan
cucu‐cucunya sesering mungkin. Bersama mereka dia
merasa muda kembali. Kate lalu mulai bermimpi. Kelak,
kalau aku sudah terlalu tua dan waktunya pensiun...
Pada hari ulang tahun pertama si kembar, Kate
mengadakan pesta. Masing‐masing punya kue ulang tahun
sendirl. Kuenya persis sama. Mereka dapat berlusin‐lusin
kado dari kawan‐kawan, karyawan perusahaan, dan
pelayan rumah tangga. Ulang tahun mereka yang kedua
rasanya begitu cepat datangnya. Kate tak percaya betapa
cepatnya waktu berlalu dan betapa cepat kedua anak itu
tumbuh. Kini dia mulai bisa melihat perbedaan pembawaan
anak‐anak itu: Eve, lebih kuat dan berani. Alexandra,
lembut dan selalu mengikuti kakaknya. Untunglah mereka
saling memiliki, kata Kate berulang kali. Kalau tidak, tentu
kesepian tanpa ayah dan ibu.
Malam menjelang ulang tahun mereka yang kelima, Eve
mencoba membunuh Alexandra.
Dalam Genesis 25:22‐23 tertulis:
Dan anakanak berjuang bersama di dalamnya...
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dan Allah berkata kepadanya, Dua (bangsa) ada dalam
rahimnya, dan dua perilaku manusia akan dipisahkan dari
perut mereka; dan yang satu (manusia) akan lebih kuat dari
yang lain (manusia); dan yang sulung akan melayani yang
muda.
Dalam kasus Eve dan Alexandra, Eve sama sekali tak
punya niatan melayani adiknya.
Eve membenci adiknya sejak dia sadar dan tahu siapa
dirinya. Diam‐diam dia berang kalau ada orang yang
menggendong Alexandra atau mencubitnya gemas, atau
memberinya hadiah. Eve merasa dia ditipu. Dia ingin
segalanya buat dia sendiri—semua perhatian, kasih sayang,
dan benda‐benda indah yang berada di sekitar mereka
berdua. Hari ulang tahun pun tak bisa dia miliki sendiri. Dia
benci pada Alexandra, karena rupanya mirip dia,
pakaiannya sama, dan karena adiknya itu mencuri sebagian
dari kasih sayang nenek mereka yang mestinya cuma
dicurahkan kepadanya. Alexandra sangat kagum pada Eve.
Tapi, Eve sangat tak suka. Alexandra murah hati, gampang
sekali memberikan mainan dan bonekanya kepada orang
lain. Ini membuat Eve lebih hebat membenci adiknya. Eve
tak mau berbagi apa pun. Yang dia miliki adalah
kepunyaannya. Tapi, itu saja belum cukup. Dia kepingin
semuanya yang dimiliki Alexandra. Sebelum tidur, dengan
diawasi oleh Solange Dunas yang teliti, keduanya mengucap
doa sebelum tidur dengan suara lantang. Tapi, Eve selalu
menambahkan doa dalam hati—memohon Tuhan agar
berkenan mencabut nyawa Alexandra.
Ketika doanya tak juga terkabul, Eve mengambil
keputusan. Dia sendiri yang akan memusnahkan adiknya.
Ulang tahun mereka yang kelima tinggal beberapa hari lagi.
Eve tak rela pesta ulang tahun itu harus ia bagi dengan
Alexandra pula. Mereka yang diundang adalah
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kawan‐kawannya. Kado yang mereka bawa untuk dia.
Alexandra, mencuri sebagian haknya. Ya, Alexandra mesti
disingkirkan. Dia akan membunuh adiknya sebentar lagi.
Malam menjelang ulang tahun mereka, Eve berbaring di
ranjangnya. Matanya masih terbuka lebar. Ketika dia yakin
semua orang di rumah sudah tidur, pelan‐pelan dia
menghampiri ranjang Alexandra dan membangunkan
adiknya. “Alex,” bisiknya, “kita turun ke dapur, yuk! Lihat
kue ulang tahun kita.”
Alexandra menyahut dengan suara mengantuk, “Semua
orang sudah tidur.”
“Kita pelan‐pelan saja supaya tak ada yang terbangun.”
“Mademoiselle Dunas marah nanti. Mending besok pagi
saja lihat kuenya.”
“Aku kepingin lihat sekarang. Kau ikut tidak?”
Alexandra menggosok‐gosok matanya. Dia tak kepingin
melihat kue ulang tahun. Kue ulang tahun tidak menarik
perhatiannya. Tapi dia tak mau menyinggung hati
saudaranya. “Iya deh. Ikut,” sahutnya.
Alexandra bangkit dari tempat tidumya, mengenakan
sandal. Lalu, keduanya—masih mengenakan gaun tidur
dari bahan nilon merah jambu—keluar dari kamar.
“Yuk,” ucap Eve. “Jangan berisik.”
“Beres,” sahut Alexandra.
Mengendap‐endap mereka berjalan menyusur koridor
panjang, lewat pintu kamar Mademoiselle Dunas yang
sudah tertutup. Dapumya luas sekali. Ada dua kompor gas
raksasa, enam oven, dan tiga lemari es serta sebuah lemari
pembeku berukuran kamar kecil di dalamnya.
Dalam lemari es, Eve menemukan kue ulang tahun
mereka yang sudah disiapkan oleh koki—Nyonya Tyler.
Ada dua kue. Yang satu bertuliskan “Selamat Ulang Tahun,
Alexandra”. Yang satunya “Selamat Ulang Tahun, Eve”.
Tahun depan, pikir Eve lega, cuma akan ada satu kue.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve mengambil kue Alexandra dan mengeluarkannya
dari lemari es. Kue itu lalu dia taruh di meja di
tengah‐tengah dapur. Anak itu kemudian membuka salah
satu laci dan mengeluarkan satu pak lilin ulang tahun
berwama‐wami.
“Mau apa kau?” tanya Alexandra.
“Aku kepingin lihat bagaimana kalau semua lilinnya
dinyalakan.” Eve mulai menancapkan lilin pada hiasan kue.
“Jangan, Eve. Nanti rusak kuenya. Nyonya Tyler bisa
uring‐uringan nanti.”
“Ah, tak mungkin.” Eve membuka laci lain lalu
mengeluarkan dua kotak besar korek api dapur. “Bantu
aku.”
“Aku mau balik ke kamar, ah.”
Eve berbalik menghadap adiknya dengan marah.
“Baiklah. Kembalilah ke kamar, kucing penakut. Aku bisa
sendiri kok.”
Alexandra ragu. “Kausuruh bantu apa sih aku?”
Eve memberikan sekotak korek kepada adiknya. “Bantu
menyalakan lilinnya.”
Alexandra paling takut api. Mereka berdua sudah sering
diperingatkan agar tidak bermain korek api, karena
berbahaya. Banyak cerita yang telah mereka dengar
tentang anak‐anak yang melanggar. Ngeri‐ngeri ceritanya.
Tapi Alexandra tak mau membuat kakaknya kecewa.
Dengan patuh dia mulai menyalakan lilinnya.
Eve memperhatikan adiknya bekerja. “Yang sebelah sana
belum kaunyalakan, dungu.”
Alexandra mencondongkan tubuhnya ke depan,
mencoba mencapai lilin‐lilin yang ada di seberang sana kue.
Eve ada di belakangnya. Dengan cepat Eve menggoreskan
sebatang korek api dan menyentuhkan apinya ke kotak
korek api yang ada di tangannya. Dalam sekejap kotak itu
menyala berkobar. Eve menjatuhkan kotak yang menyala
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
itu pada kaki Alexandra. Ujung bawah gaun Alexandra
terbakar. Mula‐mula Alexandra tak sadar akan apa yang
sedang terjadi. Ketika dia mulai merasakan rasa perih di
kakinya, dia melihat ke bawah dan berteriak, “Tolong!
Tolong aku!”
Eve memandang gaun adiknya dilalap api dengan cepat.
Ia kagum akan keberhasilannya. Alexandra berdiri terpaku,
ketakutan bukan main.
“Jangan bergerak!” ujar Eve. “Kuambilkan air dulu.” Dia
berlari ke ruang sebelah. Hatinya berdebar, penuh
kepuasan.
Film hororlah yang menyelamatkan nyawa Alexandra.
Nyonya Tyler, koki keluarga Blackwell diajak menonton
film oleh seorang polisi yang selama ini menjadi teman
kencannya. Film yang mereka tonton malam itu penuh
dengan kematian dan tubuh yang bergelimpangan. Nyonya
Tyler tak tahan lagi duduk menyaksikan kelanjutan film itu.
Di tengah‐tengah pertunjukan, katanya, “Karcisnya
mungkin menghabiskan penghasilanmu sehari, Richard,
tapi, aku sudah muak.” Sersan Richard Douglierty dengan
enggan mengikuti teman kencannya keluar.
Mereka sampai kembali ke rumah keluarga Blackwell
sejam lebih cepat dari yang direncanakan. Ketika membuka
pintu belakang, Nyonya Tyler mendengar teriakan
Alexandra dari arah dapur. Nyonya Tyler dan Sersan
Dougherty buru‐buru masuk. Sekejap mereka keheranan
melihat yang terjadi di dalam. Tapi, dengan sigap
si Sersan menghambur dan merobek pakaian Alexandra
yang terbakar. Kaki dan pinggul anak itu luka‐luka. Tapi
apinya belum mencapai rambut dan bagian muka
tubuhnya. Alexandra jatuh, tak sadarkan diri. Nyonya Tyler
mengisi panci besar dengan air dan menuangnya ke api di
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
lantai. “Panggil ambulans,” perintah Sersan Dougherty.
“Nyonya Blackwell ada di rumah?”
“Dia pasti sudah tidur di atas.”
“Bangunkan dia.”
Ketika Nyonya Tyler selesai menelepon, memanggil
ambulans, dari ruang sebelah dapur terdengar tangisan.
Eve berlari‐lari membawa ember berisi air. Dia menangis
histeris.
“Matikah Alexandra?” pekiknya. “Matikah dia?”
Nyonya Tyler merangkul Eve dan menenangkan gadis
cilik itu. “Tidak, Sayang. Adikmu tak apa‐apa. Dia pasti
sembuh.”
“Semua ini gara‐gara aku,” isak Eve. “Dia kepingin
menyalakan lilin pada kue ulang tahunnya. Mestinya dia
kucegah.”
Nyonya Tyler mengelus‐elus punggung Eve. “Sudahlah.
Sudah. Tidak apa‐apa. Jangan menyalahkan diri.”
“Korek apinya jatuh dari tanganku. Alex lalu terbakar.
Oh, ng‐ngeri.”
Sersan Dougherty memperhatikan Eve. Lalu katanya
penuh simpati, “Kasihan.”
“Alexandra kena luka bakar cukup serius pada kaki dan
punggungnya,” Dr. Harley berkata kepada Kate. “Tapi, dia
pasti sembuh. Sekarang ini luka bakar bisa disembuhkan
dengan menakjubkan. Percayalah, ini bisa jadi tragedi yang
lebih serius.”
“Aku tahu,” ucap Kate. Dia sudah melihat luka bakar
Alexandra. Mengerikan. Dia ragu sejenak. “John, rasanya
aku lebih kuatir akan Eve.”
“Apakah Eve terluka?”
“Secara fisik tidak. Tapi, anak itu menyalahkan dirinya
atas kecelakaan itu. Dia sering mimpi dan menjerit‐jerit
ketakutan kalau malam. Tiga malam terakhir, aku terpaksa
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
ke kamamya dan tidur menemani dia. Aku kuatir ini
berakibat trauma yang serius buat anak itu. Eve anaknya
sangat sensitif.”
“Ah, anak‐anak umumnya cepat melupakan sesuatu,
Kate. Kalau ada masalah, beri tahu saja aku. Nanti kuberi
alamat ahli jiwa anak.”
“Terima kasih,” sahut Kate.
Eve sangat marah dan jengkel. Pesta ulang tahunnya
dibatalkan. Garagara Alexandra, pikimya jengkel.
Alexandra sembuh sama sekali. Tak ada bekas luka
sedikit pun pada tubuhnya. Eve mengatasi rasa bersalahnya
dengan gampang luar biasa. Kate berkali‐kali meyakinkan
anak itu, “Kecelakaan bisa terjadi pada semua orang,
Sayang. Kau tak perlu menyalahkan diri.”
Eve tidak menyalahkan diri. Dia menyalahkan Nyonya
Tyler. Mengapa dia mesti pulang lebih dulu dan merusak
segala rencananya? Tadinya, rencananya itu sudah matang
betul.
Sanatorium tempat Tony dirawat sangat tenang.
Letaknya di daerah berhutan di Connecticut. Kate
mengunjunginya sekali sebulan. Lobotomy yang dilakukan
temyata berhasil. Tak ada lagi tanda‐tanda agresi pada
Tony. Dia mengenali Kate, dan setiap kali menanyakan
keadaan Eve dan Alexandra dengan sopan. Walau begitu,
nampaknya Tony tak punya keinginan melihat
anak‐anaknya. Dia memang seperti orang yang tak punya
keinginan apa pun sekarang ini. Nampaknya dia bahagia.
Bukan. Bukan bahagia, Kate membenarkan pikirannya.
Tenang. Puas—tapi, puas akan apa?
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate bertanya pada Mr. Burger, pengawas rumah
perawatan itu, “Apa saja yang dilakukan anakku
sehari‐hari?”
“Oh, dia duduk melukis berjam‐jam, Nyonya Blackwell.”
Putranya, yang sebetulnya dia memiliki dunia di
tangannya, duduk dan melukis saja kerjanya sehari‐hari.
Kate berusaha melupakan kerugian akibat hilangnya akal
Tony buat selama‐lamanya. “Melukis apa saja?”
Lelaki itu nampak malu. “Rasanya takkan ada yang tahu
apa yang dilukis putra Anda.”
24
DALAM dua tahun berikutnya, Kate jadi luar biasa kuatir
akan Alexandra. Anak itu nampaknya punya bakat dapat
kecelakaan. Ketika Eve dan Alexandra berlibur musim
panas di rumah peristirahatan keluarga Blackwell di
Kepulauan Bahama, Alexandra hampir tenggelam ketika
sedang bermain‐main dengan Eve di kolam. Kalau tidak
kebetulan ada tukang kebun yang sigap di dekat sana, pasti
tak tertolong nyawanya. Tahun berikutnya, waktu kedua
anak itu sedang berpiknik ke Palisades, Alexandra
terpeleset dari pinggir tebing. Nyawanya tertolong karena
anak itu berhasil menggelayut pada semak‐semak yang
tumbuh liar di dinding gunung yang curam.
“Mestinya kau menjaga adikmu lebih baik, kata Kate
kepada Eve. “Nampaknya dia tak bisa menjaga diri sebaik
kau.”
“Aku tahu,” Eve menyahut bersungguh‐sungguh. “Mulai
sekarang, aku akan menjaganya lebih baik, Nek.”
Kate menyayangi kedua cucunya. Tapi, perasaannya
terhadap masing‐masing berbeda. Mereka sudah tujuh
tahun sekarang. Sama cantiknya dengan rambut pirang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
panjang dan bentuk tulang wajah menarik serta mata
keturunan McGregor. Mereka mirip sekali satu sama lain.
Tapi, kepribadian mereka sangat berbeda. Alexandra
lembut sekali. Dia mengingatkan Kate pada Tony. Eve lebih
mirip dia—neneknya—keras kepala, dan bisa melakukan
segala sesuatu sendiri.
Mereka diantar ke sekolah oleh sopir, dengan mobil
Rolls‐Royce. Alexandra merasa malu bila kawan‐kawan
sekelasnya melihat dia diantar mobil dan sopir. Sebaliknya,
Eve bangga. Kate memberi mereka masing‐masing uang
jajan mingguan. Mereka disuruh membuat catatan tentang
apa saja yang mereka beli dengan uang itu. Eve cepat sekali
menghabiskan uangnya. Dia sering kehabisan uang
sebelum tiba waktunya menerima uang mingguan lagi, dan
selalu meminjam dari Alexandra. Eve pintar membuat
catatan hingga neneknya tak tahu akan kejadian begitu.
Tapi Kate tahu. Dan, dia tak kuasa menahan senyum. Tujuh
tahun. Tapi, sudah pandai jadi akuntan!
Mula‐mula secara diam‐diam Kate masih mempunyai
harapan bahwa Tony akan sembuh kembali pada suatu hari
nanti, bahwa Tony bisa keluar dari tempat perawatannya
sekarang ini dan kembali bekerja lagi di Kruger‐Brent. Tapi,
waktu berlalu dan impiannya perlahan‐lahan menghilang.
Dia harus menerima kenyataan, bahwa walau sesekali Tony
diizinkan mengunjungi rumah keluarganya dengan
ditemani oleh seorang perawat lelaki, dia takkan bisa lagi
hidup dalam dunia yang wajar.
Ketika itu tahun 1962. Kruger‐Brent, Ltd. semakin
makmur dan berkembang. Kebutuhan pemimpin baru
semakin dibutuhkan dengan segera. Kate merayakan ulang
tahunnya yang ketujuh puluh. Rambutnya sudah putih.
Walau begitu, tubuhnya masih fit dan langsing. Dia sadar
bahwa waktunya semakin pendek. Dia harus bersiap diri.
Perusahaan harus diamankan buat keluarga. Brad Rogers
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
memang manajer bagus. Tapi, dia bukan seorang Blackwell.
Aku harus bertahan sampai si kembar siap mengambil alih
perusahaan. Teringat olehnya kata‐kata terakhir Cecil
Rhodes, “Begitu sedikit yang sudah sempat dilakukan—
begitu banyak yang masih harus diselesaikan.”
Si kembar kini berusia dua belas tahun. Sebentar lagi
mereka jadi gadis remaja. Kate selama ini mencurahkan
perhatian sebanyak mungkin buat mereka. Sekarang ini
lebih‐lebih lagi. Sudah tiba saatnya membuat keputusan
penting.
Pada liburan Paskah, Kate dan cucu kembamya terbang
ke Dark Harbor menumpang pesawat pribadi. Si kembar
telah mengunjungi semua tanah dan rumah yang dimiliki
keluarga Blackwell, kecuali sebuah yang letaknya di
Johannesburg. Di antara kesemuanya itu Dark Harbor
merupakan tempat yang paling mereka senangi. Anak‐anak
itu senang bisa bermain bebas di pulau terpencil. Mereka
berlayar, berenang, dan bermain ski air. Di Dark Harbor
semua hobi ini bisa mereka lakukan. Eve bertanya apakah
boleh mengajak beberapa orang kawan sekolahnya lagi ke
sana. Tapi, kali ini neneknya tak mengizinkan. Nenek, buat
mereka merupakan tokoh yang sering pergi ke sana‐sini,
membawa oleh‐oleh, mencium mereka, sesekali memberi
tahu bagaimana hendaknya seorang remaja putri bersikap,
sesekali kepingin menghabiskan waktu bersama mereka.
Kali ini keduanya merasakan perbedaan. Seolah ada
sesuatu yang sedang terjadi. Nenek selalu menemani
mereka makan‐pagi, siang, dan sore. Nenek mengajak
mereka berlayar, berenang, dan bahkan menunggang kuda.
Kate mengendalikan kuda tunggangannya dengan luar
biasa mantap.
Si kembar masih mirip benar satu sama lainnya.
Dua‐duanya cantik luar biasa. Tapi, bukan persamaan
mereka yang lebih menarik perhatian Kate. Dia lebih
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
memperhatikan perbedaan di antara keduanya. Duduk di
beranda, memperhatikan kedua cucunya yang baru selesai
bermain tenis, Kate menyimpulkan dalam hati. Eve
pemimpinnya, Alexandra pengikutnya. Eve keras kepala.
Alexandra mudah menyesuaikan diri. Eve seorang atlet
alami. Alexandra sering mendapat kecelakaan. Baru
beberapa hari yang lalu, ketika keduanya sedang berdua
saja berperahu layar—Eve di belakang kemudi, mendadak
angin datang di belakang layar. Layamya terbanting dan
menjatuhi kepala Alexandra. Dia tak sempat mengelak.
Akibatnya, anak itu terlempar dari perahu dan hampir saja
tenggelam. Untunglah ada perahu yang sedang berlayar tak
jauh dari sana. Eve dibantu penumpang perahu itu
menolong Alexandra. Kate bertanya‐tanya dalam hati.
Apakah semuanya ini akibat Alexandra lahir tiga menit
setelah kakaknya? Tapi, sebab‐sebabnya tak perlu
dipermasalahkan. Tidak penting. Kate sudah mengambil
keputusan. Keputusannya sudah bulat. Ia mempertarulikan
uangnya pada Eve. Dan pertaruhan ini nilainya sepuluh juta
dollar. Ia bemiat mencarikan pasangan ideal buat Eve.
Kelak, jika sudah tiba saatnya ia pensiun, Eve‐lah penerus
Kruger‐Brent. Alexandra—dia akan hidup enak
bergelimang kekayaan. Mungkin dia bisa mengerjakan
pekerjaan‐pekerjaan sosial di beberapa yayasan sosial yang
telah didirikan Kate. Ya, itu lebih cocok buat Alexandra. Dia
anak yang manis dan penuh kasih sayang.
Langkah pertama untuk mewujudkan rencana Kate
adalah memastikan Eve mendapat pendidikan di sekolah
yang baik. Kate memilih Briarcrest, sekolah kenamaan di
Carolina Selatan. “Kedua cucuku berperangai
menyenangkan,” tutur Kate kepada Nyonya Chandler,
kepala sekolahnya. “Tapi, Eve lebih cemerlang. Dia anak
yang luar biasa. Kuharap Anda bisa memberikan kesempat‐
an sebanyak‐banyaknya kepada anak itu di sini.” “Semua
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
murid kami mendapat setiap kesempatan yang ada di sini,
Nyonya Blackwell. Anda membicarakan Eve. Bagaimana
dengan saudara kembamya?”
“Alexandra? Dia anak manis.” Nadanya meremehkan.
Kate bangkit. “Aku akan melihat perkembangan mereka
dari waktu ke waktu.”
Entah mengapa, kepala sekolah itu merasa bahwa
kata‐kata Kate mengandung ancaman.
Eve dan Alexandra sangat suka di sekolah yang baru,
terutama Eve. Dia betul‐betul menikmati kebebasan berada
jauh dari rumah. Di situ, ia tak perlu memberi penjelasan
apa pun kepada neneknya dan Solange Dunas. Peraturan
sekolah di Briarcrest sangat ketat. Tapi, Eve tak peduli. Dia
sudah biasa dikelilingi oleh berbagai aturan. Satu‐satunya
hal yang mengganggu ketenangan hatinya adalah bahwa
Alexandra berada di situ bersamanya. Ketika mula‐mula
diberi tahu tentang rencana menyekolahkannya di
Briarcrest, Eve memohon pada neneknya, “Bolehkah aku
pergi sekolah ke sana sendiri, Nek? Boleh, ya ?”
Dan Kate berkata, “Tidak, sayang. Kurasa, sebaiknya
Alexandra pergi bersamamu.”
Eve menyembunyikan kedengkian hatinya. “Terserah
Neneklah, kalau begitu.”
Anak itu selalu sangat sopan dan penuh kasih sayang bila
berada di dekat neneknya. Eve tahu di mana letaknya
kekuasaan. Ayah mereka gila, terkurung di rumah
perawatan orang sakit jiwa. Ibu mereka sudah mati.
Neneklah yang menjadi pemegang uang. Eve tahu mereka
kaya. Dia tak tahu berapa besar nilai kekayaan keluarga
mereka. Tapi dia tahu, bahwa jumlahnya banyak‐cukup
buat membeli semua yang bagus‐bagus yang ia inginkan.
Eve sangat menyukai benda‐benda indah. Masalahnya
cuma satu: Alexandra.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Salah satu kegiatan yang paling disukai si kembar di
sekolah Briarcrest adalah pelajaran menunggang kuda pagi
hari. Hampir semua siswi punya pakaian menunggang kuda
sendiri. Kate menghadiahi Eve dan Alexandra
masing‐masing satu setel pakaian menunggang kuda pada
ulang tahun mereka yang kedua belas. Guru berkuda
mereka bemama Jerome Davis. Dia memperhatikan ketika
murid‐muridnya mengendalikan kuda mereka melangkah
biasa mengelilingi lingkaran, melompati rintangan satu
kaki, lalu dua kaki, dan akhimya empat kaki. Davis
merupakan pelatih menunggang kuda terbaik di negeri itu.
Beberapa muridnya yang terdahulu telah berhasil meme‐
nangkan medali emas. Davis punya perasaan kuat buat
mengenali murid yang berbakat alam sebagai penunggang
kuda. Murid baru itu, Eve Blackwell, punya bakat alami. Dia
tak perlu lagi memikir apa yang mesti dia lakukan. Dia tak
perlu berpikir bagaimana caranya memegang kendali atau
duduk di atas pelana. Dia dan kudanya menyatu. Melihat
keduanya beraksi, dengan rambut Eve yang keemasan
terbang dipermainkan angin, merupakan pemandangan
indah yang memberinya kepuasan. Yang satu itu tak bisa
dihalanghalangi, pikir Pak Davis.
Tommy, perawat kuda di situ, lebih suka pada
Alexandra. Pak Davis mengamati Alexandra menaruh
pelana di punggung kudanya, menyiapkan. Alexandra dan
Eve mengenakan pita berbeda wama pada lengan pakaian
berkuda mereka. Itu sebabnya dia bisa membedakan yang
mana Eve dan yang mana Alexandra. Eve menolong Alexan‐
dra memasang pelana kudanya sementara Tommy sedang
sibuk menolong murid lain. Davis dipanggil ke gedung
utama, karena ada telepon untuknya. Yang terjadi sesudah
itu betul‐betul sukar dimengerti.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dari yang bisa disimpulkan oleh Jerome Davis beberapa
saat kemudian, Alexandra naik ke punggung kudanya,
memutari lingkaran, lalu mulai menuju rintangan paling
rendah. Kudanya mendadak mengamuk hingga Alexandra
terlempar ke tembok. Dia tak sadarkan diri oleh benturan
keras yang dialaminya. Mujur kaki kuda tak menginjak
wajah gadis itu. Injakan kuda cuma beberapa inci saja dari
wajah Alexandra. Tommy menggendong Alexandra ke
ruang pertolongan pertama. Di situ dokter yang bertugas
mendiagnosa gegar otak ringan.
“Tidak ada patah tulang, tidak ada yang perlu
dikuatirkan,” ujamya. “Besok pagi dia pasti sehat lagi dan
siap berkuda lagi.”
“Tapi, dia bisa mati gara‐gara kejadian tadi!” Eve
memekik.
Eve tak mau meninggalkan sisi Alexandra. Nyonya
Chandler belum pemah melihat seorang kakak yang begitu
sayang pada adiknya. Ia terharu melihatnya.
Ketika Pak Davis akhimya berhasil menenangkan kuda
Alexandra dan melepas pelananya, dia menemukan pelana
kuda itu berlumur darah. Ketika pelana itu dia angkat, di
bawahnya dia temukan potongan logam bekas kaleng bir
terhunjam di tempat dia ditindih pelana. Ketika ini dia
laporkan kepada Nyonya Chandler, kepala sekolah itu pun
segera mengadakan penyelidikan. Semua siswi yang ketika
itu berada di sekitar istal kuda ditanyai.
“Aku yakin,” ucap Nyonya Chandler, “siapa pun yang
menaruh potongan logam itu mengira perbuatannya cuma
lelucon yang tak berbahaya. Tapi, akibatnya bisa fatal. Aku
ingin yang melakukan mengaku dengan segera.”
Ketika tak ada yang mengaku, Nyonya Chandler lalu
membawa mereka dan menanyai satu per satu di
kantomya. Semua siswi yang ditanyai menolak. Mereka
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bilang tak tahu‐menahu tentang kejadian itu. Ketika tiba
giliran Eve ditanyai, dia nampak salah tingkah.
“Tahukah kau siapa yang kira‐kira melakukan itu?” tanya
Nyonya Chandler.
Eve menunduk, melihat ke karpet. “Sebaiknya tak
kusebut namanya,” dia bergumam.
“Jadi, kau melihat?”
“Oh, sudahlah, Nyonya Chandler…”
“Eve, Alexandra bisa menderita luka‐luka yang serius
gara‐gara kejadian itu. Siswi yang melakukan ini harus
dihukum supaya kejadian semacam ini tak terulang lagi.”
“Bukan salah satu siswi yang melakukan itu.”
“Apa maksudmu?”
“Tommy.
“Perawat kuda?”
“Ya, Nyonya Chandler. Aku melihat dia. Kukira dia cuma
sedang mengikat pelana. Mungkin dia tidak bermaksud
buruk. Alexandra sering menyuruh‐nyuruh dia. Kukira,
Tommy cuma kepingin memberi sedikit pelajaran pada
Alexandra. Oh, Nyonya Chandler, aku menyesal ditanyai
begini. Aku tak mau orang lain jadi susah gara‐gara aku
menyebutkan ini.” Anak malang itu seperti mau histeris.
Nyonya Chandler bergegas melangkah mengitari
mejanya, lalu merangkul Eve. “Tidak apa‐apa, Eve. Kau
melakukan yang memang harus kaulakukan—mengatakan
yang kauketahui kepadaku. Sekarang, lupakan saja
semuanya. Biar aku yang menyelesaikan.”
Keesokan paginya, ketika anak‐anak ke istal, ada
perawat kuda baru di sana.
Beberapa bulan kemudian, terjadi insiden lagi di
sekolah. Beberapa murid ketahuan merokok marijuana.
Salah satu murid yang tertangkap mengadukan, Eve‐lah
yang menjadi pengedar ganja di antara mereka. Eve
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menolak tuduhan itu dengan marah. Ketika Nyonya
Chandler memeriksa, ketahuan ada marijuana tersembunyi
di lemari Alexandra.
“Aku tak percaya Alexandra melakukannya,” kata Eve
keras. “Pasti ada orang lain yang menaruh di situ. Aku
tahu.”
Insiden itu dilaporkan kepada Kate oleh kepala sekolah.
Kate sangat kagum mendengar loyalitas Eve dalam
melindungi adiknya. Ya, Eve memang keturunan McGregor.
Pada ulang tahun si kembar yang kelima belas, Kate
membawa mereka ke rumah peristirahatan di Carolina
Selatan. Di sana Kate mengadakan pesta ulang tahun
besar‐besaran. Sudah tak lagi kepagian mempertemukan
Eve dengan pemuda yang patut buatnya. Setiap pemuda
yang digolongkan patut oleh Kate diundang ke pesta itu.
Rata‐rata mereka itu masih pemuda tanggung yang
belum tertarik secara serius pada gadis‐gadis. Kate cuma
ingin agar perkenalan terjadi dan persahabatan dibina.
Salah seorang di antara sekian banyak pemuda ini pasti
bisa menjadi calon pendamping Eve kelak, pendamping Eve
dalam mengelola Kruger‐Brent, Ltd.
Alexandra kurang suka berpesta. Tapi, supaya tak
mengecewakan neneknya, dia selalu berusaha
memperlihatkan kegembiraan. Eve sangat suka berpesta.
Dia senang sekali berpakaian bagus dan dikagumi orang.
Alexandra lebih senang membaca dan melukis. Dia sering
menghabiskan waktu berjam‐jam memperhatikan
lukisan‐lukisan ayahnya di Dark Harbor. Betapa ingin gadis
itu bisa mengenal ayahnya sebelum menderita sakit jiwa.
Pada saat‐saat liburan, ayahnya sering muncul di rumah
bersama perawatnya. Tapi, Alexandra merasa tak bisa
mendekati hati ayahnya. Ayahnya seperti orang asing yang
ramah dan selalu ingin menyenangkan orang lain. Tapi, tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
pemah bicara. Kakek mereka, Frederick Hoffman, tinggal di
Jerman. Dia sudah sakit‐sakitan. Si kembar jarang sekali
bertemu dengannya.
Tahun kedua di sekolahnya, Eve hamil. Beberapa minggu
lamanya gadis itu tampak pucat dan gelisah. Dia sering alpa
di kelas pagi. Ketika dia mulai merasakan mual‐mual dan
sering muntah, dia diperiksakan ke dokter. Nyonya
Chandler cepat‐cepat dipanggil.
“Eve hamil,” kata dokter kepadanya.
“Tapi—mana mungkin? Bagaimana bisa terjadi?”
Doktemya menyahut tenang. “Kukira, karena sebab yang
wajar.”
“Tapi, dia masih kecil.”
“Pokoknya, anak ini sudah jadi calon ibu.”
Eve menolak bicara. “Aku tak mau bikin orang lain
susah,” katanya setiap kali.
Nyonya Chandler memang sudah mengira bakal begitu
jawab Eve.
“Eve manis, kau harus mengatakan yang sebenamya
terjadi.”
Dan akhimya, Eve pun runtuh. “Aku diperkosa,” ucapnya,
lalu menangis tersedu‐sedu.
Nyonya Chandler kaget. Dirangkulnya tubuh gadis yang
gemetar itu. “Siapa orangnya?”
“Pak Parkinson.”
Itu guru bahasa Inggris mereka.
Seandainya yang mengatakan anak lain, bukan Eve, tentu
Nyonya Chandler takkan percaya. Joseph Parkinson
orangnya tenang. Dia sudah punya istri dan beranak tiga.
Sudah delapan tahun dia mengajar di Sekolah Briarcrest.
Nyonya Chandler takkan pemah mencurigai lelaki itu. Dia
memanggil Pak Parkinson ke ruang kantomya. Dalam
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sesaat, Nyonya Chandler tahu bahwa Eve tidak berbohong.
Lelaki itu duduk di hadapannya. Wajahnya nampak gelisah.
“Anda tahu, kan, mengapa kupanggil, Pak Parkinson?”
“Kukira begitu.”
“Ini menyangkut Eve.”
“Ya. Sudah kuduga.”
“Katanya dia kauperkosa.”
Parkinson memandangnya tak percaya. “Memperkosa
dia? Astaga! Kalau ada yang diperkosa, akulah yang
diperkosa.” Dalam gelora amarah, Pak Parkinson lupa
menggunakan tatabahasa Inggris yang benar.
Nyonya Chandler jadi dengki. “Tahukah kau, Pak
Parkinson, bahwa anak itu—”
“Dia bukan anak.” Suara lelaki itu sengit. “Dia setan.” Pak
Parkinson mengusap keringat dari alis matanya.
“Sepanjang semester, dia selalu duduk di bangku paling
depan waktu pelajaranku. Roknya selalu dia naikkan.
Sesudah selesai pelajaran, dia selalu datang menanyakan
pertanyaan yang tidak berarti sambil menggosok‐gosokkan
tubuhnya padaku. Aku tidak menanggapinya dengan serius.
Lalu, suatu siang, kira‐kira enam minggu yang lalu, dia
datang ke rumahku ketika istri dan anak‐anakku sedang
pergi dan—” Suaranya pecah. “Ya, Tuhan! Aku tak mampu
bertahan.” Lelaki itu pun menangis.
Eve dibawa ke kantor kepala sekolah. Sikapnya
terkontrol. Dia menatap mata Pak Parkinson. Pak
Parkinson yang lebih dulu membuang pandang. Di ruangan
itu ada Nyonya Chandler, wakil kepala sekolah, dan
komandan polisi setempat.
Komandan polisi berkata lembut, “Bagaimana kalau
kauceritakan kepada kami semua yang sebenamya terjadi,
Eve?”
“Baiklah, Pak.” Suara gadis itu tenang. “Pak Parkinson
menyuruhku datang ke rumahnya buat membicarakan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tugas pelajaran yang kuterima. Dia menyuruhku datang ke
rumahnya pada suatu Minggu siang. Dia di rumah sendirian
ketika aku datang ke sana. Katanya, ada sesuatu yang
hendak ditunjukkannya kepadaku di kamamya. Aku
mengikuti dia ke atas. Dia memaksaku naik ke ranjang, lalu
dia—”
“Bohong!” pekik Parkinson. “Bukan begitu kejadiannya.
Bukan begitu kejadiannya…”
Kate dipanggil. Situasinya dijelaskan kepadanya. Segera
diputuskan agar semua orang tak lagi membicarakan
masalah itu. Pak Parkinson dikeluarkan dari sekolah dan
diberi kesempatan empat puluh delapan jam buat
meninggalkan Amerika Serikat. Diam‐diam kandungan Eve
digugurkan.
Tanpa banyak suara, Kate membeli sekolah itu lewat
salah satu bank setempat. Kemudian sekolahnya ditutup.
Ketika mendengar tentang hal ini, Eve mengeluh.
“Sayang sekali, Nek. Sebetulnya, aku sangat senang sekolah
di situ.”
Beberapa minggu kemudian, ketika Eve telah sehat
sehabis menjalani operasinya, dia dan Alexandra
didaftarkan di L'Institut Femwood, sebuah sekolah lanjutan
dekat Lausanne, Swiss.
25
ADA api membara dalam diri Eve. Baranya begitu
berkobar hingga dia sendiri tak bisa memadamkan. Bukan
cuma bara seksual. Itu cuma sebagian kecil dari bara dalam
dirinya. Bara itu merupakan semacam dorongan buat
hidup, kebutuhan buat melakukan segalanya dan menjadi
segalanya. Hidup merupakan kekasih. Eve tak sabar
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
merengkuh dan memilikinya. Dia cemburu pada setiap
orang. Dia pergi menonton pertunjukan balet. Rasa benci
pada penari balet timbul dalam hatinya, karena balerina itu
yang menari dan mendapat tepuk riuh penonton—bukan
dia. Dia kepingin jadi ilmuwan, penyanyi, ahli bedah, pilot,
dan aktris. Dia kepingin melakukan segala sesuatu dan
dengan hasil yang lebih bagus dibanding dengan siapa pun
yang pemah melakukannya. Ya, dia kepingin semuanya, dan
dia tak sabar menunggu.
Di seberang lembah dari lokasi L'Institut Femwood
terdapat sekolah militer. Ketika umur Eve tujuh belas,
hampir semua murid dan instruktur di sana pemah
berliubungan dengannya. Eve pacaran seenaknya dan
menjalin hubungan bebas.
Kali ini dia berhati‐hati. Dia tak mau hamil lagi. Eve
sangat menikmati seks. Bukan tindakan itu sendiri yang
disukai Eve, melainkan rasa berkuasa yang timbul dalam
dirinya. Dialah yang menjadi penentu. Eve bisa memandang
tamak pada wajah para pemuda dan lelaki yang begitu
memohon agar dia diperbolehkan tidur dengannya dan
menggaulinya. Eve senang menggoda mereka dan
menyaksikan kehausan mereka menjadi‐jadi. Dia senang
mendengar janji kosong mereka yang diucapkan cuma agar
mereka boleh menggaulinya. Tapi, yang paling dinikmati
Eve adalah kekuasaan yang ia miliki terhadap tubuh
mereka semua. Dia bisa bikin mereka ereksi cuma dengan
satu kecupan, dan kemudian membuat mereka layu cuma
dengan sepatah kata. Bukan dia yang butuh mereka.
Mereka yang butuh dia. Dia punya kemampuan buat
menguasai mereka semua. Dan, perasaan itu sungguh luar
biasa. Dalam waktu beberapa menit saja, dia bisa mengukur
kekuatan dan kelemahan lelaki. Eve punya satu
kesimpulan: semua lelaki itu dungu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Eve cantik, cerdas, dan ahli waris kekayaan terbesar di
dunia. Sudah lebih dari selusin lamaran perkawinan dia
terima. Tapi, gadis itu tidak tertarik. Lelaki yang menarik
perhatiannya adalah lelaki yang disukai Alexandra.
Suatu Sabtu malam, pada pesta dansa sekolah, Alexandra
bertemu dengan seorang mahasiswa berkebangsaan
Prancis, Rene Mallot namanya. Dia seorang pemuda yang
penuh perhatian. Tidak tampan, tapi cerdas dan perasa.
Alexandra menganggapnya menyenangkan. Mereka bikin
janji ketemu di kota Sabtu berikutnya.
“Jam tujuh, ya,” ujar Rene.
“Kutunggu.”
Di kamar mereka malam harinya, Alexandra
menceritakan kepada Eve tentang kawan barunya. “Dia
tidak seperti pemuda lainnya. Agak pemalu, dan manis
sekali. Kami mau nonton bersama Sabtu depan.”
“Kau senang sekali sama dia, ya?” goda Eve.
Wajah Alexandra merah. “Aku baru saja kenal. Tapi,
rasanya kau pasti tahu.”
Eve membaringkan tubuhnya di ranjang. Tangannya
dijadikan bantal.
“Aku tak tahu. Cerita, dong. Apakah dia berusaha
mengajakmu tidur bersama?”
“Eve! Dia bukan tipe pemuda seperti itu. Sudah
kubilang... dia—dia pemalu.”
“Ha, adik kecilku sedang betul‐betul jatuh cinta,
rupanya.”
“Tidak! Aku nyesel cerita sama kau.”
“Aku senang kau cerita,” kata Eve tulus.
Ketika Alexandra tiba di muka gedung bioskop yang
dijanjikan Sabtu berikutnya, Rene tidak keliliatan.
Alexandra menunggu di tikungan jalan lebih dari sejam
lamanya. Dia pura‐pura tak peduli akan pandangan aneh
orang yang lewat, walaupun hatinya tak enak dan dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
merasa seperti orang tolol berdiri sendirian di situ.
Akhimya Alexandra makan malam sendirian di sebuah
kafetaria kecil dan pulang ke asrama dengan hati kecewa.
Eve tak ada di kamar mereka. Alexandra membaca sampai
larut malam, lalu memadamkan lampu kamar. Ketika itu
sudah hampir jam dua subuh. Alexandra mendengar Eve
menyelinap masuk ke kamar mereka.
“Aku sudah mulai kuatir, jangan‐jangan terjadi sesuatu
padamu,” bisik Alexandra.
“Aku ketemu teman lama. Bagaimana kencanmu—
asyik?”
“Rusak. Dia sama sekali tak muncul.”
“Yah, kasihan amat,” ujar Eve simpatik. “Kau mesti
belajar tidak terlalu percaya sama lelaki.”
“Aku kuatir ada apa‐apa terjadi dengan dia.”
“Tidak, Alex. Kurasa, dia ketemu dengan orang lain yang
lebih dia sukai.”
Ya, rasanya begitu, pikir Alexandra. Dia tidak heran. Dia
tak sadar, bahwa dia cantik dan sangat mempesona. Selama
ini dia hidup dalam bayang‐bayang kakaknya, saudara
kembamya. Alexandra sangat kagum pada kakaknya. Dan
baginya, wajar jika orang tertarik pada Eve. Dia merasa
rendah diri berada di samping Eve. Tapi, Alexandra tak
pemah mengira, bahwa perasaan rendah dirinya itu
memang sengaja dibangun kakaknya sejak mereka kecil
dulu.
Banyak janji yang batal. Pemuda‐pemuda yang menarik
buat Alexandra memang menunjukkan reaksi. Tapi,
Alexandra tak pemah bertemu lagi dengan mereka. Suatu
akhir pekan, Alexandra tak sengaja ketemu Rene di jalan.
Pemuda itu buru‐buru menghampiri Alexandra. “Apa yang
terjadi? Kau janji hendak meneleponku.”
“Meneleponmu? Kau ngomong apa, sih?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Pemuda itu undur beberapa langkah. Wajahnya nampak
bingung. “Eve... ?”
“Bukan. Alexandra.”
Wajah Rene merah padam. “Maaf. Aku mesti buru‐buru
pergi.” Pemuda itu pergi, meninggalkan Alexandra bengong.
Petangnya, Alexandra menceritakan pengalamannya
pada Eve. Eve mengangkat bahu. “Jelas dia fou, sinting.
Lebih baik kaujauhi saja pemuda begitu, Alex.”
Di balik keahliannya dalam hal lelaki, ada satu
kelemahan lelaki yang tak disadari Eve, dan hampir‐hampir
terbukti bisa membawa kehancuran buatnya. Dari
asal‐muasalnya, lelaki selalu membanggakan hasil yang
mereka capai. Mahasiswa sekolah militer kawan kencannya
tak berbeda.
Mereka mengobrolkan Eve Blackwell dengan penuh rasa
kagum dan takjub.
“Waktu dia selesai, aku tak bisa begerak...”
“Tak kusangka aku bakal dapat tubuh seindah itu...”
“Mainnya bukan main.”
“Wah! kayak macan dia di ranjang!”
Karena paling tidak dua lusin mahasiswa dan setengah
lusin dosen memuji kebolehan Eve di ranjang, dalam waktu
sebentar saja Eve Blackwell sudah menjadi rahasia umum
di sana. Salah seorang instruktur sekolah militer
menyebutkan tentang gosip ini pada rekannya, guru di
L'Institute Femwood. Guru ini lalu melapor pada Nyonya
Collins, kepala sekolah. Diam‐diam dilakukan penyelidikan.
Penyelidikan ini berakhir dengan dipanggilnya Eve
menghadap Nyonya Collins.
“Demi kebaikan nama sekolah ini, kuharap kau segera
pergi dari sini.”
Eve memandang Nyonya Collins tak mengerti.
“Apa yang Ibu bicarakan?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku bicara tentang kenyataan, bahwa kau telah
melayani separuh akademi militer di seberang sana.
Separuh yang belum kaulayani nampaknya sudah antri
menunggu.”
“Ini semuanya omong kosong,” bantah Eve. Suaranya
gemetar oleh amarah. “Jangan dikira aku takkan
melaporkan tuduhan seenaknya ini kepada nenekku. Kalau
sampai beliau dengar.”
“Aku tak mau membuatmu malu, Eve,” sela kepala
sekolah. “Tapi, aku harus menegakkan nama baik sekolah
yang kupimpin. Kalau kau menolak pergi secepatnya dari
sini, terpaksa kuberikan daftar nama kepada nenekmu.”
“Coba tunjukkan daftar nama itu kepadaku!”
Nyonya Collins memberikan daftar itu kepada Eve, tanpa
komentar. Panjang daftamya. Eve memperhatikan kertas di
tangannya dan melihat ada tujuh yang tak tercantum di
situ. Dia duduk tenang‐tenang. Otaknya bekerja.
Akhimya dia mengangkat wajah. Katanya dengan
angkuh, “Rupanya ini suatu plot yang sengaja dibuat untuk
menjatuhkan nama baik keluargaku. Ada orang yang
berusaha membuat malu nenekku melalui aku. Daripada
membiarkan rencana orang itu berhasil, sebaiknya aku
pergi saja.”
“Keputusanmu bijaksana,” komentar Nyonya Collins,
kering. “Kami sediakan mobil buat mengantar kau ke
pelabuhan udara besok pagi. Aku akan menulis telegram
mengabarkan kedatanganmu pada nenekmu. Kau
dikeluarkan dari sini.”
Eve berbalik, melangkah ke pintu. Mendadak terpikir
olehnya sesuatu. “Bagaimana dengan adikku?”
“Alexandra tetap tinggal di sini.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ketika Alexandra kembali ke asrama sehabis pelajaran
terakhir di kelasnya, dia mendapati Eve sedang mengepak
koper. “Sedang apa kau?”
“Aku mau pulang.”
“Pulang? Di tengah‐tengah semester begini?”
Eve menoleh ke adiknya. “Alex, tak sadarkah kau bahwa
kita membuang waktu percuma di sekolah seperti ini? Kita
tak belajar apa‐apa di sini. Cuma menghabis‐habiskan
waktu.”
Alexandra mendengarkan dengan keheranan.
“Tak kusangka kau punya pendapat begitu, Eve.”
“Aku merasa begini setiap hari dalam setahun.
Satu‐satunya sebab aku bertahan adalah kau. Kulihat, kau
begitu menyenangi pelajaran di sini Ebook by : Hendri Kho
by Dewi KZ http://kangzusi.com/.”
“Memang. Tapi—”
“Maafkan aku, Alex. Tapi, aku sudah tak tahan lagi. Aku
ingin pulang ke New York. Aku ingin kembali ke tempat
yang memang tempatku.”
“Kau sudah bicara dengan Nyonya Collins?”
“Baru saja.”
“Bagaimana reaksinya?”
“Kira‐kira bagaimana? Dia kecewa—takut nama
sekolahnya jadi jelek. Dia memintaku tetap tinggal.”
Alexandra duduk di pinggir tempat tidur. “Aku tak tahu
mesti bilang apa.”
“Kau tak perlu bilang apa‐apa. Ini semua tak ada
hubungannya denganmu.”
“Tentu saja ada hubungannya denganku. Kalau kau tak
senang di sini—” Alexandra berhenti. “Mungkin kau benar.
Ini semua pemborosan waktu saja. Siapa sih yang butuh
bisa menafsirkan kata‐kata Latin?”
“Betul. Atau, siapa yang peduli tentang Hannibal dan
saudaranya si Hasdrubal?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alexandra melangkah ke lemari pakaiannya.
Dia menurunkan koper, dan menaruhnya di tempat
tidur.
Eve tersenyum. “Aku tidak menyuruh kau ikut pergi dari
sini, Alex. Tapi, senang deh rasanya kalau kita bisa pulang
bersama.”
Alexandra meremas tangan kakaknya. “Aku juga.”
Dengan gaya biasa‐biasa saja, Eve berkata,
“Kau tahu? Sementara aku membereskan semua ini,
sebaiknya kau menelepon Nenek. Beri tahu dia bahwa kita
berdua akan datang menumpang pesawat dari sini besok
pagi. Katakan saja sama beliau kita tak betah di sini. Mau,
kan?”
“Oke,” sahut Alexandra ragu. “Tapi, rasanya Nenek bakal
tak suka mendengamya.”
“Tak usah kuatir,” bujuk Eve penuh percaya diri. “Biar
aku yang mengurus Nenek.”
Alexandra pun tak punya lagi alasan buat ragu.
Eve sudah membuktikan, bahwa dia bisa bikin Nenek
mengabulkan apa saja yang diinginkannya. Tapi, pikir
Alexandra, siapa yang bisa menolak permintaan Eve?
Dia lalu pergi menelepon.
Kate Blackwell punya kawan dan lawan. Hubungan
bisnisnya sangat luas dan ada di mana‐mana. Beberapa
bulan terakhir, dia sering mendengar kabar burung sampai
ke telinganya. Semula dia tak menghiraukan yang dia
dengar. Tadinya, dia mengira itu salah satu bentuk ke‐
cemburuan orang. Menurut kabar yang didengamya, Eve
terialu banyak kencan dengan mahasiswa sekolah militer di
Swiss. Eve menggugurkan kandungannya. Eve mendapat
perawatan dokter karena penyakit yang diakibatkan oleh
pergaulan bebas.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mendengar rencana kedua cucunya kembali dengan
segera merupakan kelegaan tiada tara buat Kate. Dia
bemiat mencari tahu tentang dasar gosip yang didengamya.
Pada hari kedatangan kedua cucunya, Kate menunggu
mereka di rumah. Dia mengajak Eve ke ruang duduk kamar
pribadinya. “Kudengar cerita‐cerita yang menguatirkan
tentang kau,” katanya. “Aku ingin tahu sebabnya kau
dikeluarkan dari sekolah.” Mata perempuan tua itu
menatap mata cucunya lekat‐lekat.
“Kami tidak diusir,” sahut Eve. “Alex dan aku
memutuskan berhenti sekolah dan pergi dari sana.”
“Gara‐gara insiden menyangkut lelaki?”
Eve berkata, “Jangan sebut begitu dong, Nek. Aku lebih
suka kita tidak membicarakannya.”
“Tapi, kurasa kau tak punya pilihan. Apa saja yang telah
kaulakukan?”
“Aku tak melakukan apa‐apa. Alex yang—”
Eve terdiam.
“Alex yang apa?” Kate tak sabar.
“Jangan salahkan dia, Nek,” ujar Eve cepat.
“Aku yakin dia tak bermaksud jahat. Dia cuma tak bisa
mencegah dirinya bermain konyol—berpura‐pura jadi aku.
Aku tak tahu apa saja yang dia lakukan sampai
kawan‐kawan mulai mengobrolkan hal itu. Rupanya dia
kencan dengan banyak cowok—” Eve terdiam. Wajahnya
malu.
“Berpura‐pura jadi kau?” Kate kaget. “Mengapa tak
kauhentikan?”
“Sudah kucoba,” ujar Eve sedih. “Dia mengancam hendak
bunuh diri. Oh, Nek, kurasa Alexandra agak”—Eve
memaksakan dirinya mengatakan itu—”kurang stabil.
Kalau sampai Nenek membicarakan ini dengannya, aku
kuatir dia betul‐betul bunuh diri nanti.” Mata Eve
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berkaca‐kaca. Tampak betul kesedihan yang mendalam di
hatinya.
Kate tak tega melihat kesedihan yang begitu dalam
mengganggu Eve. “Eve, sudahlah. Jangan menangis, Sayang.
Aku berjanji takkan mengatakan apa‐apa pada Alexandra.
Ini akan jadi rahasia di antara kita berdua saja.”
“Sebetulnya aku tak mau memberitahukan ini kepada
Nenek. Oh, Nek,” dia tersedu. “Aku tahu betul betapa
kecewa dan sakitnya hati Nenek kalau mendengar.”
Sorenya, sembari minum teh bersama, Kate mengamati
Alexandra. Dia cantik dari luar, tapi busuk di dalamnya,
pikir Kate. Bahwa dia menjalin hubungan kotor dengan
sekian banyak lelaki sudah cukup jelek dan memalukan.
Tapi, mencoba menjatuhkan nama kakaknya ... ! Kate
betul‐betul terperangah.
Dua tahun berikutnya, sementara Eve dan Alexandra
menyelesaikan pendidikan mereka di sekolah Nona Porter,
Eve sangat berhati‐hati. Dia takut luar biasa. Tak boleh ada
satu hal pun yang merusakkan hubungannya dengan
neneknya. Umur perempuan tua itu tak lama lagi—dia
sudah tujuh puluh sembilan tahun sekarang! Eve ingin
memastikan dia yang menjadi ahli waris neneknya.
Pada ulang tahun mereka yang kedua puluh satu, Kate
mengajak mereka ke Paris dan masing‐masing dibelikan
serangkaian pakaian rancangan Coco Chanel.
Di pesta makan kecil di Le Petit Bedouin, Eve dan
Alexandra bertemu Count Alfred Maurier dan istrinya,
Countess Vivien. Count itu sangat tampan. Umumya
kira‐kira lima puluh tahun. Rambutnya kelabu, tubuhnya
atletis. Istrinya cantik dan ramah. Countess Vivien terkenal
sebagai nyonya rumah yang luar biasa.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tadinya Eve tidak menaruh perhatian khusus pada
keduanya. Ia terganggu oleh komentar yang tak sengaja
terdengar olehnya. Seseorang berkata kepada Countess
Vivien, “Aku iri melihat kau dan Alfred. Kalian mungkin
pasangan suami‐istri paling bahagia yang pemah kukenal.
Berapa lama sudah kalian menikah? Dua puluh lima?”
“Dua puluh enam, bulan depan,” Alfred yang menyahut.
“Mungkin aku akan jadi satu‐satunya pria Prancis dalam
sejarah yang belum pemah tak setia pada istrinya.”
Semua yang mendengar tertawa, kecuali Eve. Sepanjang
acara jamuan makan malam itu, dia memperhatikan Count
Maurier dan istrinya. Eve tak bisa membayangkan apa yang
dilihat Count itu pada perempuan setengah baya yang
gemuk dan lehemya bertumpuk‐tumpuk itu. Mungkin
Count Maurier belum pemah tahu bagaimana bercinta yang
sesungguhnya. Kesombongan yang baru saja dia ucapkan
tadi tolol. Count Alfred Maurier merupakan tantangan buat
Eve.
Keesokan harinya, Eve menelepon Maurier di kantomya.
“Ini Eve Blackwell. Mungkin Anda tak ingat siapa aku,
tapi—”
“Mana mungkin aku lupa kau, Nak? Kau cucu cantik
sahabatku Kate, kan?”
“Oh, malu rasanya Anda masih ingat aku, Count. Maafkan
aku mengganggu begini. Kudengar, Anda sangat ahli dalam
masalah minuman anggur. Aku butuh konsultasi dengan
Anda. Aku merencanakan suatu makan malam kejutan buat
Nenek.” Eve tertawa kecil. Nadanya sedih. “Aku sudah
punya gambaran tentang yang hendak kuhidangkan. Tapi,
aku sama sekali tak tahu tentang anggur. Bolehkah aku
minta petunjuk Anda?”
“Wah, dengan senang hati,” Count Maurier merasa malu.
“Tergantung pada menu yang akan dihidangkan. Kalau
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dimulai dengan hidangan daging ikan, Chablis ringan
paling—”
“Oh, rasanya aku tak bakal bisa ingat semua ini.
Bagaimana kalau kutemui saja Anda? Apakah Anda bebas
jam makan siang nanti ... ?”
“Buat kawan lama, tentu saja itu bisa diatur.”
“Terima kasih.” Eve menaruh gagang telepon perlahan‐
lahan. Dia berjanji akan membuat makan siang nanti jadi
makan siang yang akan dikenang Count Maurier seumur
hidupnya.
Mereka bertemu di Lasserre. Obrolan tentang anggur tak
banyak makan waktu. Eve mendengarkan kuliah Maurier
yang membosankan dengan tak sabar. Mendadak dia
menyela. “Aku jatuh cinta padamu, Alfred.”
Count itu mendadak berhenti bicara. “Maaf. Apa katamu
tadi?”
“Aku bilang, aku cinta padamu.”
Lelaki itu meneguk anggumya. “Sedang modelnya tahun
ini.” Dia menepuk tangan Eve dan tersenyum. “Sahabat
memang harus saling menyayangi.”
“Bukan kasih sayang semacam itu yang kubicarakan,
Alfred.”
Count Maurier menatap mata Eve. Tahulah dia cinta
macam apa yang dimaksud anak itu. Dia jadi gugup
setengah mati. Anak itu baru dua puluh satu tahun. Dia
sendiri sudah lewat setengah baya, dan hidup berkeluarga
penuh kebahagiaan. Dia betul‐betul tak mengerti gadis
zaman sekarang. Merasa tak enak duduk berhadapan
dengan Eve dan mendengarkan kata‐kata anak itu, Count
Maurier merasa lebih tak enak karena tahu, bahwa Eve
merupakan perempuan muda paling cantik dan menawan
yang pemah dia temui. Dia mengenakan rok plits wama
beige dan sweater hijau muda. Buah dadanya tampak indah
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ