Tiraikasih Website http://kangzusi.com
nyimpan berpintu raksasa itu. Berlusin‐lusin kotak besi
yang berfungsi sebagai tempat penyimpan dibuat di kiri‐
kanannya. Semua penuh berisi berlian. Di tengah‐tengah
ruang dalam lemari itu, Banda terbaring setengah sadar di
lantai.
Kate berlutut di samping lelaki itu.
“Mereka sudah pergi.”
Perlahan sekali, Banda membuka mata. Ia berusaha
tersenyum. Lemah sekali senyumnya.
“Seandainya aku bisa minggat dari sini, kaya‐raya aku
sekarang, Kate.”
Hati‐hati Kate membantunya berdiri. Banda meringis
kesakitan waktu Kate menyentuh lengannya. Luka di situ
sudah dibalut Kate tadi. Tapi, darah masih merembes ke
luar.
“Bisa pakai sepatu?” Kate tadi sengaja membawa sepatu
Banda supaya anjing‐anjing pelacak polisi terkecoh. Sepatu
itu ia pakai berjalan‐jalan berkeliling kantor, lalu
disembunyikan dalam lacinya.
“Ayo, kita mesti buru‐buru pergi dari sini,” ucap Kate.
Banda menggeleng.
“Biar aku pergi sendiri. Kalau kau kedapatan
menolongku, bisa berabe nanti.”
“Itu urusanku.”
Terakhir kali Banda melayangkan pandang ke sekeliling
lemari pengaman.
“Mau contoh berlian?” Kate menawari. “Ambil saja
sendiri.”
Banda memandang perempuan muda itu, dan tahu
bahwa yang diucapkannya tadi bukan basa‐basi.
“Ayahmu pernah menawariku hal yang sama.”
Kate tersenyum masam.
“Aku tahu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku tak butuh duit. Yang penting, aku bisa lolos dari
kota ini buat sementara.”
“Bagaimana kau mau pergi dari Johannesburg? Sudah
terpikir olehmu caranya?”
“Nanti juga pasti dapat saja akal.”
“Dengar aku. Polisi sudah mengepung semua jalan
keluar saat ini. Sendirian, kau tak bakal bisa lolos.”
Keras kepala, Banda menyahut,
“Yang kaulakukan sudah lebih dari cukup.”
Banda berhasil mengenakan kembali sepatunya. Berdiri
dengan kemeja dan jaket robek berlumur darah, ia nampak
mengibakan. Wajahnya berkerut dan rambutnya putih.
Tapi, ketika Kate betul‐betul memperhatikan lelaki itu,
tampak olehnya lelaki tinggi gagah yang pertama kali
dilihatnya ketika ia masih kecil.
“Banda, kalau kau sampai tertangkap, mereka pasti
membunuh kau,” ujar Kate pelan. “Ikutlah aku. “
Kate yakin betul jalan sudah dikepung. Semua jalan
menuju ke luar kota Johannesburg dijaga patroli polisi.
Penangkapan Banda sedang menjadi pusat perhatian
mereka. Pemerintah memerintahkan agar ia ditangkap,
hidup‐hidup ataupun mati. Stasiun kereta api dan jalan
darat diawasi semua.
“Mudah‐mudahan rencanamu lebih berbobot daripada
rencana yang dibuat ayahmu,” ucap Banda. Suaranya
lemah. Kate jadi kuatir. Jangan‐jangan sudah terlalu banyak
darah yang dikeluarkan lelaki itu.
“Hus. Sudah, jangan banyak bicara. Simpan tenagamu.
Percayakan segala sesuatu kepadaku.”
Suara Kate terdengar lebih meyakinkan daripada
perasaannya. Hidup Banda sepenuhnya berada di
tangannya. Ia akan menyesal jika sesuatu sampai terjadi
pada diri lelaki itu. Untuk keseratus kalinya Kate
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menyayangkan kepergian David. Yah, ia harus bisa
menguasai situasi tanpa kehadiran David.
“Tunggu. Aku akan bawa mobilku ke lorong,” katanya.
“Beri aku waktu sepuluh menit. Lalu, keluarlah. Pintu
belakang mobilku akan kusiapkan agar mudah dibuka. Kau
masuk dan cepat berbaring di lantainya, ya. Di sana ada
selimut. Tutupi badanmu.”
“Kate, mereka akan menggeledah setiap mobil yang
menuju ke luar kota. Kalau—”
“Kita takkan naik mobil. Ada kereta berangkat ke Cape
Town jam delapan pagi. Aku sudah menyuruh orang
merangkaikan gerbong pribadiku pada kereta api itu.”
“Kau akan membawaku keluar dari kota ini naik gerbong
kereta pribadimu?”
“Betul.”
Banda menyeringai.
“Kalian—keturunan McGregor‐rupanya betul‐betul suka
bertualang.”
Tiga puluh menit kemudian, Kate mengendarai mobilnya
masuk ke halaman stasiun. Banda meringkuk di lantai
belakang, tubuhnya dibalut selimut. Tanpa kesulitan berarti
mereka berhasil melampaui beberapa petugas di dalam
kota. Tapi, ketika hendak masuk ke stasiun, mendadak ada
lampu dinyalakan—menyorot mobil Kate. Beberapa polisi
menghadang jalan masuk. Sesosok tubuh berseragam
menghampiri—bukan sosok tubuh baru.
“Inspektur Cominsky!”
Lelaki itu kelihatan kaget.
“Nona McGregor, sedang apa Anda di sini?”
Kate tersenyurn kecil.
“Anda pasti menganggapku perempuan dungu dan
lemah, Inspektur. Tapi, sehabis kejadian di kantor tadi,
terus‐terang aku ketakutan. Aku memutuskan hendak ke
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
luar kota sampai pembunuh itu berhasil ditangkap. Atau,
mungkin sudah tertangkap sekarang?”
“Belum, Nona. Tapi, kami pasti berhasil menemukan
orang itu. Aku punya firasat, dia akan memasuki halaman
stasiun ini. Ke mana pun larinya, kami pasti bisa
menangkapnya.”
“Mudah‐mudahan saja!”
“Anda mau ke mana?”
“Gerbong pribadiku sudah disiapkan. Aku hendak ke
Cape Town.”
“Perlu dikawal salah seorang petugas kami?”
“Oh, terima kasih, Inspektur. Tapi, kurasa tak perlu. Aku
sudah lega, mengetahui Anda dan anak buah Anda berjaga‐
jaga di sini.”
Lima menit kemudian, Kate dan Banda sudah berada
dalam gerbong kereta pribadi Kate. Gelap‐gulita di sana.
“Maaf, sengaja digelapi,” ucap Kate. “Aku tak mau
memasang lampu.”
Kate menolong Banda berbaring di tempat tidur.
“Kau aman berada di sini sampai besok pagi. Begitu
kereta berangkat, sebaiknya kau sembunyi di kamar kecil.”
Banda mengangguk.
“Terima kasih.”
Kate menutup tirai.
“Sesampai kita di Cape Town, adakah dokter yang akan
merawat lukamu?”
Banda memandang Kate.
“Kita?”
“He, kaupikir aku membiarkan kau pergi sendirian dan
tak mengalami petualangan asyik ini?”
Banda mendongakkan kepala dan tertawa. Betulbetul
anak bapaknya, dia.
Menjelang fajar, sebuah lokomotif menjemput gerbong
itu dan menariknya ke jalur kereta utama. Gerbong itu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kemudian dirangkaikan dengan kereta api yang hendak
berangkat ke Cape Town. Gerbongnya berguncang hebat
ketika sedang dirangkaikan.
Tepat jam delapan pagi, kereta api meninggalkan
stasiun. Kate meninggalkan pesan pada petugas kereta api,
bahwa ia tak mau diganggu.
Luka Banda mengeluarkan darah lagi. Kate merawat luka
itu. Kate belum sempat bicara dengan Banda sejak petang
kemarin, ketika mendadak ia terhuyung‐huyung memasuki
kantornya. Katanya.
“Nah, Banda—sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi.”
Banda mengamati perempuan muda itu dan berpikir,
Dari mana mesti kumulai? Mana bisa ia menerangkan
tentang trekboers yang mendesak kaum Bantu keluar dari
tanah leluhurnya? Dari situkah mulanya? Atau dari pidato
Oom Paul Kruger, presiden Transvaal, di sidang Parlemen
Afrika Selatan, yang menyebutkan, “Kita harus menjadi
yang dipertuan oleh kaum hitam. Kita jadikan mereka kaum
pengabdi...” Atau, mungkinkah permulaannya Cecil
Rhodes—pembangun kekaisaran yang bersemboyan,
“Afrika adalah tanah untuk kaum kulit putih!” Bagaimana
caranya merangkum sejarah rakyatnya dalam satu kalimat?
Banda berpikir‐pikir.
“Polisi membunuh anak lelakiku,” ucapnya.
Kemudian kisahnya pun menyerocos keluar. Anak
sulung Banda, Ntombenthle, sedang menghadiri rapat
umum politis ketika mendadak datang polisi membubarkan
rapat itu. Polisi melepaskan beberapa tembakan
peringatan. Dan huru‐hara pun terjadi. Ntombenthle
ditangkap, dan keesokan paginya ia didapati tergantung
dalam sel.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kata mereka dia bunuh diri,” ucap Banda kepada Kate.
“Tapi, aku kenal siapa anakku. Pasti dia dibunuh.”
“Astaga, dia masih begitu muda,” desah Kate. Teringat
olehnya ketika mereka bermain bersama, tertawa bersama.
Ntombenthle tampan sekali. “Aku ikut sedih, Banda. Betul‐
betul sedih. Tapi, mengapa mereka mengejarmu sekarang?”
“Setelah mereka membunuh anakku, aku mulai
mengumpulkan sukuku. Aku harus membalas, Kate. Tak
bisa rasanya cuma duduk‐duduk tanpa melakukan apa pun.
Polisi lalu mengumumkan aku sebagai musuh negara.
Mereka menangkapku—menuduhku merampok walaupun
aku tak pernah melakukannya. Aku dijatuhi hukuman
penjara dua puluh tahun. Empat orang tahanan meloloskan
diri. Seorang penjaga penjara tertembak mati. Mereka
menyalahkan aku. Sekalipun aku belum pemah membawa
senjata api dalam hidupku.”
“Aku percaya,” ujar Kate. “Yang pertama‐tama mesti kita
lakukan, adalah membawamu ke tempat yang aman.”
“Maafkan aku terpaksa mengikutsertakan kau dalam
semua kemelut ini.”
“Kau tak mengikutsertakan aku, Banda. Aku sahabatmu.”
Banda tersenyum.
“Tahukah kau, siapa orang kulit putih pertama yang
memanggilku kawan? Ayahmu.” Banda berdesah.
“Bagaimana kau, hendak menyelundupkanku keluar dari
gerbong ini di Cape Town nanti?”
“Kita takkan menuju Cape Town.”
“Katamu tadi—”
“Aku perempuan. Jadi, punya hak buat mengubah
keputusan.”
Tengah malam, ketika kereta berhenti di stasiun di
Worcester, Kate minta agar gerbong pribadinya dilepas
dari rangkaian dan dibawa ke tempat memarkir gerbong.
Ketika bangun esok paginya, Kate langsung menghampiri
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
tempat tidur Banda. Kosong. Banda sudah pergi. Rupanya ia
tak mau lagi merepotkan Kate. Kawan yang mau meno‐
longnya banyak. Kate kecewa, tetapi ia yakin Banda
selamat. Pasti David bangga kalau tahu apa yang sudah
kulakukan untuk Banda, pikir Kate.
“Tak kukira kau bisa setolol itu!” Suara David
menggelegar, ketika Kate kembali ke Johannesburg dan
menceritakan semuanya kepada David. “Bukan cuma
keselamatanmu yang kaupertaruhkan, tapi perusahaan ini
pun dalam keadaan bahaya. Seandainya polisi sampai
menemukan Banda di sini, apa kaupikir yang akan mereka
lakukan?”
“Mereka pasti membunuhnya,” sahut Kate, menantang.
David menggosok‐gosok dahinya, frustrasi.
“Kau ini rupanya tak mengerti apa‐apa, ya!”
“Tahu! Aku tahu kau dingin—tak berperasaan.”
Mata Kate berkilat marah.
“Kau memang masih anak‐anak.”
Kate mengayunkan tangan hendak menampar David,
tetapi David dengan cepat memegang lengannya.
“Kate, kau harus belajar mengontrol diri.”
Kata‐kata itu seolah bergema di kepala Kate. Kate, kau
harus belajar mengontrol diri....
Sudah lama sekali. Ketika itu ia baru empat tahun, dan
sedang berkelahi dengan seorang anak lelaki yang
mengejeknya. Melihat kedatangan David, anak lelaki itu
lari. Kate bergegas hendak mengejar. Tapi, David
mencengkeramnya.
“Tunggu, Kate. Kau harus belajar mengontrol diri. Anak
gadis baik‐baik tak biasa berkelahi.”
“Aku bukan gadis,” sentak Kate. “Lepaskan aku.” Lalu
David melepasnya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Gaun merah jambu yang ia kenakan berlepotan lumpur
dan koyak‐koyak. Pipinya tergores.
“Sebaiknya kau membersihkan diri sebelum ibumu
melihat kau begini,” kata David kemudian.
Kate melihat ke arah anak lelaki yang melarikan diri tadi
dengan kecewa.
“Kalau kau tak ikut campur, anak itu pasti dengan
gampang sudah kukalahkan.”
David mengamati wajah mungil penuh nafsu di
hadapannya, lalu tertawa.
“Mungkin saja.”
Amarahnya reda, Kate membiarkan dirinya digendong
David masuk ke dalam rumah. Ia senang berada dalam
gendongan David. Apa saja tentang David ia senangi. David
merupakan satu‐satunya orang dewasa yang mengerti
perasaannya. Kalau sedang di kota, David sering
menemaninya bermain. Dalam suasana santai, Jamie suka
bercerita tentang petualangannya dengan Banda kepada
David. Sekarang, David meneruskan cerita itu kepada Kate.
Rasanya tak puas‐puas Kate mendengarkan kisah‐kisah
petualangan ayahnya.
“Coba ceritakan lagi tentang rakit mereka.”
David pun menceritakan lagi.
“Sekarang, tentang ikan hiu... Lalu, tentang kabut laut...
juga tentang hari…
Kate jarang bertemu ibunya. Margaret terlalu sibuk
mengurusi Kruger‐Brent, Ltd. Semua itu ia lakukan demi
Jamie.
Margaret mengobrol dengan Jamie setiap malam. Persis
seperti yang dilakukannya selama setahun sebelum Jamie
meninggal.
“David banyak sekali membantu, Jamie. Dia pasti masih
di sini kalau tiba saatnya Kate mengambil alih pimpinan
perusahaan. Aku tak kepingin membuatmu kuatir, tapi‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
terus‐terang aku tak tahu apa yang mesti kulakukan dengan
anak itu…
Kate keras kepala, banyak kemauannya, dan tak bisa
dinasihati. Ia selalu menolak jika dinasihati oleh ibunya
atau Nyonya Talley. Kalau mereka memilihkan baju
untuknya, serta‐merta baju itu ia campakkan dan memilih
lainnya. Ia tak mau makan dengan betul. Yang dimakannya
hanya yang ia inginkan. Dan, itu pun hanya jika ia sedang
kepingin makan. Tak ada kata kompromi, dan tak ada janji
yang bisa membuat Kate mengubah pendiriannya. Kalau
dipaksa pergi ke pesta ulang tahun, ada‐ada saja ulahnya
buat menggagalkan. Kate tak punya kawan anak
perempuan. Ia tak mau disuruh belajar dansa. Sebaliknya,
ia malah main bola dengan anak‐anak lelaki. Di sekolah,
kenakalannya luar biasa. Paling tidak sekali sebulan
Margaret terpaksa menemui Kepala Sekolah‐memohon
agar Kate dimaafkan dan diperbolehkan tinggal di sekolah
itu.
“Aku tak mengerti maksud anak itu, Nyonya McGregor,”
keluh kepala sekolahnya. “Kecerdasannya bukan main. Tapi
ia selalu saja memberontak. Terus‐terang, kami tak tahu
lagi harus bagaimana menanganinya.”
Margaret sendiri pun tak tahu.
Satu‐satunya orang yang bisa mengatasi Kate hanyalah
David.
“Dengar‐dengar, kau diundang ke pesta ulang tahun
nanti sore,”' ucap David.
“Aku paling benci pesta.”
David membungkuk hingga matanya sama tinggi dengan
mata gadis itu. “Aku tahu kau paling benci pesta, Kate. Tapi,
ayah anak yang ulang tahun itu kebetulan teman dekatku.
Janganjangan dia tersinggung kalau sampai kau tak datang.”
Kate memandangnya. “Kawan baikmu?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Ya.”
“Kalau begitu, aku pergi.”
Sikapnya di pesta sore itu sedikit pun tak ada cacatnya.
“Heran,” Margaret berkata kepada David. “Bagaimana
caranya, sih? Ini baru mukjizat.”
“Ah, namanya juga anak‐anak,” tawa David berderai.
“Lama‐lama sifatnya yang begitu juga akan hilang sendiri.
Yang paling penting, jangan sampai kita mematahkan
semangatnya yang sedang menggebu‐gebu.”
“Terus‐terang,” ujar Margaret, geram, “kadang‐kadang
aku kepingin mencekik anak itu.”
***
Ketika umur Kate sepuluh tahun, ia berkata kepada
David‐, “Aku ingin ketemu Banda.”
David tercengang. “Kurasa, tak mungkin, Kate. Rumah
Banda jauh dari sini.”
“Mau enggak kau mengantarku ke sana, David? Kalau
tidak, aku pergi sendiri.”
Minggu berikutnya, David membawa Kate ke rumah
pertanian Banda. Tanahnya cukup luas. Banda menanam
gandum dan memelihara kambing serta burung unta di
sana. Rumah yang ditinggali berupa gubuk berbentuk
melingkar. Dindingnya terbuat dari lumpur kering. Atapnya
berbentuk kerucut, dari jerami. Banda berdiri di muka
rumahnya—menyaksikan kedatangan Kate dan David.
Keduanya turun dari dokar. Banda memperhatikan gadis
cilik ceking berwajah serius di sisi David.
“Aku tahu kau anak Jamie McGregor,” sapanya.
“Dan aku tahu kau Banda,” sahut Kate.
Suaranya besar. “Aku kemari ingin menyampaikan
terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa ayahku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Banda tertawa. “Rupanya ada orang yang bercerita
mengada‐ada tentangku. Masuklah, keluargaku ada di
dalam.”
Istri Banda Negro juga. Cantik. Namanya Ntame. Banda
punya dua anak lelaki. Ntomblenthle berumur tujuh tahun
di atas, Kate, dan Magena, kira‐kira enam tahun lebih tua
dari Kate. Ntombenthle persis miniatur ayahnya. Tulang
wajahnya bagus, pembawaannya gagah dan raut penuh
percaya diri.
Kate menghabiskan siang itu bermain dengan kedua
anak lelaki Banda. Mereka makan malam di dapur rumah
mungil yang tertata rapi. David merasa kurang enak makan
bersama‐saina keluarga Negro. Ia menaruh hormat pada
Banda. Walau
begitu, bergaul dengan keluarga Negro seperti itu
bukanlah merupakan kebiasaan lumrah. Tambahan, David
agak kuatir akan kegiatan politik yang dilakukan Banda.
Ada yang mengatakan Banda merupakan kaki‐tangan John
Tengo Javabu—tokoh radikal yang tengah gencar‐
gencarnya memperjuangkan perubahan sosial yang drastis.
Karena pemilik tambang mineral di Afrika Selatan tak
mendapatkan cukup buruh untuk dipekerjakan di tambang‐
tambang mereka, pemerintah mengeluarkan peraturan:
mengenakan pajak sebesar sepuluh shilling pada semua
penduduk asli yang tak mau bekerja sebagai buruh
tambang. Akibatnya, pemberontakan pecah di berbagai
pelosok Afrika Selatan.
Hari sudah petang waktu David berkata,
“Baiknya kita permisi sekarang, Kate. Perjalanan kita
masih jauh.”
“Jangan dulu,” Kate menoleh kepada Banda.
“Coba ceritakan tentang ikan paus…
Sejak itu, setiap kali David sedang di kota, Kate selalu
memaksanya menemani ke rumah Banda.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Semula David mengira semangat Kate yang berkobar‐
kobar akan surut dengan bertambahnya umur gadis itu.
Tapi, gejala ke arah sana tak kunjung kelihatan. Kate
bahkan semakin keras kemauannya. Ia terang‐terangan
menolak ikut kegiatan yang diikuti oleh gadis‐gadis lain
seusianya. Sebaliknya, ia bersikeras menemani David ke
tambang. David mengajaknya berburu, memancing, dan
berkemah. Kate paling suka. Suatu hari, ketika Kate dan
David sedang memancing di Vaal, Kate tersenyum lebar
ketika berhasil mendapatkan ikan yang jauh lebih besar
dari ikan‐ikan yang telah berhasil dikail oleh David.
“Mestinya kau ini dilahirkan sebagai laki‐laki, Kate,” ucap
David.
Kate menoleh kepadanya dengan wajah jengkel.
“Jangan sembarangan kau, David. Kalau aku laki‐laki, kita
takkan bisa kawin.”
David tertawa keras.
“Kelak kita pasti jadi suami‐istri. Ya, kan?”
“Kurasa tidak, Kate. Umurku dua puluh dua tahun lebih
tua dari umurmu. Aku cukup tua buat jadi ayahmu. Kelak
kau akan bertemu pemuda baik‐baik—”
“Aku tak kepingin pemuda baik‐baik,” cetus Kate berang.
“Aku kepingin bersuamikan kau.”
“Kalau kau bersungguh‐sungguh,” ujar David, “kuberi
tahu rahasianya.”
“Apa? Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Kasih tahu sekarang dong.”
“Rahasianya, manjakan perut pemuda idamanmu. Nah,
cepat bersihkan ikan itu, dan kita makan.”
Tak pemah ada keraguan sedikit pun dalam pikiran Kate,
bahwa ia kelak akan bersuamikan David Blackwell. Ialah
lelaki satu‐satunya buat Kate di dunia ini.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Seminggu sekali Margaret mengundang David makan
malam di rumahnya. Biasanya, Kate lebih menyukai makan
di dapur bersama para pelayan. Di sana, ia bisa makan
tanpa perlu bersusah‐susah menjaga tata‐krama. Tapi, pada
hari Jumat malam‐hari David datang makan malam ke
rumah keluarga McGregor – Kate mau duduk dan makan
malam di ruang makan keluarga. Biasanya David datang
sendirian. Tetapi, sesekali ia membawa kawan perempuan.
Kate pasti langsung membenci perempuan mana pun yang
dibawa David.
Kate lalu berusaha menemui David ketika lelaki itu
sedang berjauhan dengan kawan kencannya, dan
mengatakan dengan nada naif dan manis, “Rasanya, belum
pernah aku melihat rambut yang berwarna seperti
rambutnya,” atau, “Selera berpakaiannya sangat unik, ya?”,
atau “Bekas anak buah Madam Agnes, ya?”
Ketika usia Kate mencapai empat belas, kepala
sekolahnya memanggil Margaret. “Sekolah yang kupimpin
ini sekolah terhormat, Nyonya McGregor. Putri Nyonya
berpengaruh buruk di sini.”
Margaret mengeluh. “Apa lagi yang dia lakukan, Ibu
Kepala Sekolah?”
“Dia mengajari kawan‐kawannya mengucapkan kata‐
kata tak senonoh.” Wajahnya masam: “Selain itu, Nyonya
McGregor, aku sendiri belum pernah mendengar kata‐kata
semacam itu. Heran. Entah dari mana anak itu
mendapatkan kata‐kata begitu.”
Margaret tahu, tentu Kate mendapatkan kata‐kata itu
dari kawan‐kawannya‐anak‐anak jalanan. Hm, putus
Margaret, sudah waktunya semuanya ini dihentikan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kepala sekolah berkata lagi, “Kami betul‐betul
mengharapkan Anda berbicara serius dengannya, Nyonya.
Kami masih bersedia memberinya lagi kesempatan, tapi—”
“Tak perlu. Aku punya gagasan yang lebih bagus.
Sebaiknya Kate kukirimkan ke sekolah berasrama.”
Ketika Margaret menyampaikan keputusannya kepada
David, lelaki itu meringis. “Pasti Kate tak senang.”
“Tak ada cara lain. Kali ini kepala sekolahnya mengeluh
karena kata‐kata Kate tidak senonoh. Kate pasti mendengar
dari orang‐orang pencari berlian yang sering dia ikuti. Cara
anakku berbicara sudah mirip mereka. Baunya pun sama.
Terus terang, David, aku tak mengerti jiwa anak itu. Aku tak
tahu mengapa ia berkelakuan begitu. Anak itu cantik,
cerdas—”
“Mungkin, penyebabnya karena ia terlalu cerdas.”
“Terlalu cerdas atau tidak, ia akan kukirim ke sekolah
berasrama.”
Ketika Kate pulang siang harinya, Margaret
menyampaikan keputusan yang telah dia ambil. Kate uring‐
uringan. “Ibu cuma mau aku jauh dari sini saja!”
“Bukan itu maksudku, Sayang. Aku cuma berpikir,
sekolah di sana jauh lebih baik untukmu—”
“Buatku, di sini lebih baik. Semua temanku ada di sini.
Ibu cuma berusaha memisahkanku dari mereka. Ya, kan?”
“Kalau yang kaumaksud temanmu itu orang‐orang
gelandangan yang—”
“Mereka bukan gelandangan. Mereka orang baik‐baik
seperti kita.”
“Kate, aku tak mau berdebat denganmu. Keputusan
sudah kuambil. Kau harus berangkat ke sekolah remaja
putri yang telah kupilih buatmu.”
“Aku akan bunuh diri,” tukas Kate.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Baiklah, Sayang, kalau memang itu maumu. Di atas ada
silet. Atau kalau kaucari, di sini banyak racun tikus.”
Kate berurai air mata. “Bu, jangan hukum aku seperti
ini.”
Margaret memeluknya. “Ini semua demi kebaikanmu
sendiri, Kate. Sebentar lagi kau akan jadi wanita muda. Kau
harus siap menghadapi perkawinan. Mana ada lelaki yang
mau kawin dengan gadis yang cara bicaranya,
berpakaiannya, dan tingkah‐lakunya seperti kau sekarang
ini.”
“Itu tak benar,” protes Kate. “David mau.”
“Apa hubungannya David dengan semua ini?”
“Kami akan kawin.”
Margaret menarik napas dalam‐dalam.
“Akan kusuruh Nyonya Talley menyiapkan koper
pakaianmu.”
Ada enam sekolah asrama putri terkemuka di Inggris.
Margaret memilih Cheltenham yang letaknya di
Gloucestershire. Ia menganggap sekolah itu paling cocok
buat Kate. Peraturannya ketat dan sangat menekankan
disiplin. Letaknya di atas tanah luas yang dikelilingi oleh
pagar tinggi bermenara. Katanya, sekolah itu didirikan
untuk putri para bangsawan dan orang terkemuka. Suami
kepala sekolahnya mitra usaha David. Itu sebabnya David
tak menemui kesulitan mendaftarkan Kate di sana.
Mendengar tentang calon sekolahnya, Kate uring‐
uringan lagi. “Aku tahu sekolah itu! Tak enak. Bisa‐bisa aku
keluar dari sana sudah mirip boneka Inggris yang pongah.
Itukah yang Ibu inginkan dariku?”
“Yang kuinginkan, Kate, kau belajar sedikit tata‐krama,”
sahut Margaret. “Kau ini anak perempuan.”
“Aku tak kepingin jadi perempuan,” pekik Kate.
“Mengapa sih semua orang meributkan diriku?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Perhatikan cara bicaramu, Kate.”
Keadaan begitu terus sampai tiba saatnya Kate harus
berangkat. Kebetulan David harus pergi ke London dalam
rangka bisnis. Margaret minta tolong,
“Tolong antar Kate sampai ke sekolahnya, David. Entah
ke mana perginya anak itu kalau dibiarkan berangkat
sendiri.”
“Dengan senang hati,” sahut David.
“Kau! Rupanya kau sama saja dengan ibuku! Kau juga
kepingin aku pergi jauh‐jauh dari sini.”
David menyeringai. “Kau keliru. Aku bersedia
menunggu.”
Mereka naik gerbong kereta api pribadi dari Klipdrift ke
Cape Town, dan dari sana menumpang kapal laut ke
Southampton. Perjalanannya memakan waktu empat
minggu. Walaupun tak mau terang‐terangan mengakui,
diam‐diam Kate merasa bangga bepergian bersama David.
Seperti bulan madu, pikirnya, cuma kami belum kawin.
Selama di kapal laut, David banyak menghabiskan waktu
dengan bekerja di ruang kantor kamarnya. Kate suka
duduk‐duduk santai sambil mengamati lelaki itu. Hatinya
tenteram berada dekat David.
Suatu ketika ia bertanya, “Tak bosan sehari‐harian
menghadapi angka‐angka begitu, David?”
David meletakkan pena, lalu memandangnya.
“Ini bukan cuma angka, Kate. Ada ceritanya.”
“Cerita apa?”
“Kalau kau bisa membaca angka‐angka ini, isinya cerita
tentang perusahaan‐perusahaan yang kita beli atau yang
kita jual, tentang orang‐orang yang bekerja di perusahaan
kita. Beribu‐ribu orang di berbagai pelosok dunia ini
mendapat nafkah dari perusahaan yang didirikan ayahmu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku seperti Ayah tidak?”
“Dalam banyak hal, ya. Ayahmu keras kepala dan tidak
tergantung pada orang lain.”
“Jadi, aku keras kepala dan tidak tergantung pada orang
lain?”
“Kau sih manja. Lelaki yang kawin denganmu kelak, pasti
susah hidupnya.”
Kate tersenyum sendiri. Malang betul si David.
Di ruang makan, malam terakhir dalam perjalanan laut,
David bertanya, “Kenapa sih Kate, kau ini sulit sekali?”
“Masa iya, sih?”
“Ah, kau tahu sendiri kau sulit. Kasihan ibumu, Kate. Bisa
gila dia gara‐gara kau.”
Kate merengkuh tangan David. “Dan kau? Bisakah kau
gila karena aku, David?”
Wajah David merah padam. “Hentikan itu. Aku tak
mengerti yang kaubicarakan.”
“Ah, kau mengerti.”
“Mengapa sih kau tak bisa bertingkah laku seperti gadis‐
gadis lain seusiamu?”
“Mendingan mati. Aku tak mau seperti orang lain.”
“Semua orang tahu kau tak seperti yang lain!”
“David, kau mau menungguku sampai aku cukup dewasa
buat kawin, kan? Percayalah, aku akan menjadi dewasa
dengan cepat. Tunggulah aku, David. Jangan kawin dengan
orang lain. Jangan temui orang lain yang kaukasihi.”
David tersentuh oleh kesungguhan Kate. Ia meraih
tangan gadis itu dan menggenggamnya. Katanya, “Kate,
kalau aku kawin kelak, aku ingin anak perempuanku
seperti kau.”
Kate bangkit, lalu berkata lantang, “Peduli setan dengan
kau, David Blackwell!” Ia lalu lari ke luar ruangan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
sementara berpuluh pasang mata menyaksikan dengan
terheran‐heran.
Tiga hari keduanya tinggal bersama di London. Kate
menikmati betul setiap menit selama tiga hari itu.
“Aku kepingin mengajak kau nonton,” tukas David. “Ini
ada dua karcis pertunjukan Bu Wiggs dari Kebun Kubis.”
“Wah, terima kasih, David. Tapi, aku ingin pergi ke
Gaiety.”
“Hus! Itu kan operat! Kau belum pantas menonton
pertunjukan seperti itu, Kate.”
“Pantas atau tak pantas itu baru bisa ditentukan setelah
kita tonton, David.”
Keduanya pun pergi ke Gaiety.
Kate sangat suka pemandangan kota London. Mobil‐
mobil dan kereta, perempuan‐perempuan ningrat bergaun
renda, tule, satin, dan perhiasan berkilauan, para lelaki
yang menyertai mereka—gagah dan tampan serta
mengenakan pakaian malam resmi. Mereka makan malam
di Ritz, lalu menikmati hidangan tengah malam di Savoy.
Ketika tiba waktunya meninggalkan tempat itu, Kate
berpikir, Kita pasti kembali kelak—kau, David, dan aku. Kita
berdua.
Setibanya di Cheltenharn, mereka dipersilakan masuk ke
ruang kantor Nyonya Keaton.
“Terima kasih banyak, Nyonya Keaton, Anda telah
menerima Kate di sini,” ucap David.
“Oh, aku percaya kami akan senang Kate berada di
tengah‐tengah kami. Senang rasanya bisa menampung
rekan suamiku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Saat itu Kate tahu ia dibohongi. Jadi, David‐lah yang
menginginkan Kate pergi dari Klipdrift. David‐lah yang
mengatur kepergiannya ke tempat ini.
Ia merasa marah dan kecewa bukan main. Gadis itu tak
mau menemui David ketika ia hendak pamitan.
13
SEKOLAH di Cheltenham betul‐betul mengesalkan.
Segala macam ada aturannya. Semua siswi diwajibkan
mengenakan seragam. Waktu belajar sepuluh jam sehari,
dan pelajarannya padat sekali. Nyonya Keaton sangat keras
terhadap murid dan stafnya. Para siswi harus belajar tata‐
krama dan disiplin, etiket dan keluwesan—agar bisa
menarik hati calon suami idaman.
“Ini namanya penjara,” tulis Kate kepada ibunya. “Murid‐
muridnya mengesalkan semua. Pekerjaan mereka tak lain
cuma membicarakan pakaian dan pemuda idaman. Huh!
Guru‐gurunya seperti monster. Meskipun begitu, mereka
takkan bisa menahanku di sini. Aku akan minggat.”
Tiga kali Kate berhasil minggat dari sekolah. Setiap kali,
ia tertangkap dan dibawa kembali tanpa rasa sesal.
Dalam rapat mingguan, ketika nama Kate disebut, salah
seorang guru berkata, “Anak itu tak bisa diatur. Sebaliknya
kita pulangkan dia ke Afrika Selatan.”
Nyonya Keaton menyahut, “Aku cenderung sependapat
dengan Anda. Tapi, menurutku, hendaknya kita
menganggapnya sebagai tantangan. Kalau kita berhasil
menjadikan Kate McGregor disiplin, takkan ada anak lain
yang tak bisa kita disiplinkan.”
Kate pun tinggal di sekolahnya.
***
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Guru‐gurunya keheranan menyaksikan Kate menaruh
perhatian pada lahan pertanian yang ada di sekolah. Lahan
itu ditanami sayur‐sayuran. Ayam, sapi, babi, dan kuda
dipelihara pula di situ. Kate banyak menghabiskan waktu
disana. Nyonya Keaton girang bukan main ketika tahu akan
hal ini.
“Nah, betul kan,” ujamya kepada staf sekolah,
“masalahnya cuma kesabaran. Akhirnya Kate menemukan
yang ia sukai dalam hidup. Suatu hari kelak, ia akan jadi
istri tuan tanah dan bisa membantu suaminya.”
Keesokan paginya, Oscar Denker, orang yang ditugasi
mengelola pertanian sekolah, datang menemui Kepala
Sekolah, “Ibu Kepala, tolong jaga murid bernama Kate
McGregor agar tidak menggangguku di kebun.”
“Maksudmu apa?” tanya Nyonya Keaton. “Setahuku ia
sangat berminat dalam bidang pertanian.”
“Memang betul. Tapi, tahukah Anda bidang apa yang
sebenarnya dia minati? Melihat binatang kawin—maafkan
aku. “
“Apa?”
“Ya itulah. Ia berdiri di sana seharian memperhatikan
binatang‐binatang bercumbu dan kawin.”
“Astaga!” kata Nyonya Keaton.
Walaupun belum bisa memaafkan David karena dialah
yang mengirimkan Kate ke pengasingan ini, Kate merasa
sangat kehilangan lelaki itu. Nasibku, pikirya, mencintai
lelaki yang kubenci. Dihitungnya hari sejak ia berpisah dari
David, seperti
seorang tahanan menghitung hari kebebasannya. Kate
kuatir David melakukan hal‐hal yang fatal—seperti kawin
dengan perempuan lain sementara ia sendiri terkurung di
sekolah celaka ini. Kalau sampai dia kawin dengan orang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
lain, pikir Kate, keduanya akan kubunuh. Oh, salah. Cuma
istrinya yang akan kubunuh. Palingpaling aku ditahan dan
dihukum gantung. Kalau aku sudah di liang kubur, baru
David akan sadar bahwa sebenarnya akulah yang ia cintai.
Tapi itu namanya terlambat. David akan memohon peng
ampunanku. “Ya, David, Kasihku, kuampuni kau. Kau tolol,
tak menyadari bahwa orang yang paling mencintaimu sudah
berada di telapak tanganmu. Kaubiarkan saja ia terbang
jauh seperti burung kecil. Sekarang, kalau burung itu hampir
mati digantung, barulah kau sadar. Selamat tinggal, David.”
Dan, pada detikdetik terakhir mendadak ia diampuni. Lalu
David memeluknya, membawanya pergi ke negeri eksotis
yang menghidangkan makanan lezat—tidak seperti
makanan yang tiap hari dihidangkan di Cheltenham sialan
ini.
Kate mendapat surat pendek dari David, mengabarkan
bahwa David akan berkunjung ke London dan hendak
menyempatkan diri mengunjunginya. Bermacam‐macam
pikiran muncul di kepala Kate. Mengapa David datang ke
Inggris? Pasti karena ingin dekat dengannya. Mengapa
David hendak menyempatkan diri mengunjunginya? Soalnya,
akhirnya ia sadar bahwa sebetulnya ia mencintai Kate dan
tak tahan berjauhan dengannya lamalama. David akan
membawanya pergi dari neraka ini. Kate tak bisa
menyembunyikan kegembiraannya. Fantasinya seolah
begitu nyata sampai‐sampai pada hari kedatangan David,
Kate berpamit pada teman‐teman sekelasnya. “Kekasihku
akan datang menjemputku. Aku akan dibawanya pergi dari
kurungan ini,” ucapnya.
Semua kawannya memandang Kate dengan rupa tak
percaya. Cuma Georgina Christy yang berani protes. “Kau
berbohong lagi, Kate McGregor.”
“Tunggu dan lihat saja sendiri nanti. Kekasihku tinggi
dan tampan. Ia sangat tergila‐gila pada diriku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
David keheranan diperhatikan oleh hampir semua murid
ketika datang. Mereka mengintip‐intip lalu berbisik dan
cekikikan. Kalau kebetulan mata mereka beradu dengan
mata David, mereka pun merah padam dan membuang
muka.
“Kayak belum pernah melihat orang laki‐laki saja kawan‐
kawanmu itu,” tutur David kepada Kate. Dengan wajah
curiga ia bertanya, “Kau cerita yang aneh‐aneh tentangku,
ya?”
“Tidak,” sanggah Kate. “Buat apa?”
Mereka makan di ruang makan sekolah yang luas, David
menceritakan semua perkembangan kepada Kate.
“Salam sayang dari ibumu. Beliau sudah tak sabar
menanti kedatanganmu pada liburan musim panas yang
akan datang.”
“Bagaimana keadaan Ibu?”
“Baik‐baik saja. Ibumu kerja berat.”
“Majukah perusahaan kita, David?”
David terkejut oleh minat Kate yang tiba‐tiba.
“Lumayan. Kenapa?”
Sebab, pikir Kate, suatu hari kelak perusahaan itu akan
jadi milikku dan milikmu. Aku akan punya andil di sana.
“Cuma kepingin tahu saja.”
David memperhatikan piring Kate yang belum tersentuh.
“Kok tidak makan?”
Kate sama sekali tak tertarik makan. Ia tak sabar
menunggu yang selama ini ia nanti‐nantikan: David
mengatakan kepadanya, Ikutlah denganku, Kate. Kau sudah
dewasa sekarang. Aku ingin kau menjadi istriku.
Makanan pencuci mulut dihidangkan. Lalu datang kopi.
Tapi, kata‐kata yang ditunggu Kate tak kunjung terdengar.
David akhirnya melihat arlojinya dan berkata,
“Wah, sudah waktunya aku pamit. Kalau tidak, bisa
ketinggalan kereta api nanti.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Saat itulah Kate baru menyadari, bahwa David sama
sekali tak punya niat untuk membawanya pergi. Lelaki
sialan itu akan meninggalkannya di neraka jahanam ini.
David sangat puas atas kunjungannya ke sekolah. Kate
sangat cerah dan menyenangkan. Sikapnya sudah jauh
lebih baik dibandingkan dengan tempo hari. David
menepuk tangan gadis itu dengan senang hati.
“Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu, Kate?”
tanyanya.
Kate menatap mata David, lalu dengan teramat manis
berkata, “Ya, David. Ada sesuatu yang bisa kau lakukan
untukku. Pergilah kau jauhjauh dari hidupku!” Gadis itu
pun melangkah pergi meninggalkan ruangan dengan
angkuhnya. Kepalanya terangkat tinggi, ditinggalkannya
David duduk melongo.
Margaret baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan
Kate. Anak itu tak bisa diatur, tetapi ialah satu‐satunya
manusia hidup yang ia cintai. Kelak Kate akan jadi
perempuan hebat, pikir Margaret dengan bangga. Tapi, aku
ingin sikapnya seperti sikap perempuan terhormat.
Kate pulang berlibur pada musim panas. “Bagaimana
kemajuan di sekolah?” tanya Margaret.
“Aku benci betul pada sekolah itu, Bu! Rasanya seperti
dikelilingi beratus‐ratus pengasuh.”
Margaret mengamati anak gadisnya. “Apakah teman‐
temanmu juga merasakan hal yang sama, Kate?”
“Tahu apa mereka?” ujar Kate jengkel. “Coba kalau Ibu
lihat mereka! Sepanjang hidupnya, mereka selalu
terlindung. Tak ada satu hal pun tentang kehidupan yang
mereka ketahui.”
“Astaga,” kata Margaret. “Pasti membosankan teman‐
temanmu itu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Jangan tertawakan aku, Bu. Mereka belum pernah ke
Afrika Selatan. Binatang yang mereka lihat cuma yang ada
di kebun binatang. Satu pun belum ada yang pernah
melihat tambang berlian atau emas.”
“Itu kekurangan mereka.”
“Boleh dibilang begitu sih. Tapi, kalau aku nanti berubah
jadi seperti mereka, pasti Ibu menyesal.”
“Kaupikir kau bisa berubah menjadi begitu?”
Kate menyeringai. “Mana mungkin? Gila memangnya?”
Sejam setelah kedatangannya di rumah, Kate sudah asyik
bermain bola dengan anak‐anak pelayan di halaman. Dari
jendela Margaret memperhatikan sambil berpikir, Buang
buang uang saja menyekolahkan anak itu di Inggris. Dia
takkan pernah bisa berubah.
Ketika makan malam, dengan biasa‐biasa saja Kate
bertanya, “David sedang di kota?”
“Dia sedang ke Australia. Mungkin besok dia datang.”
“Masih suka datang makan malam kalau hari Jumat?”
“Mungkin.” Margaret mengamati Kate, lalu berkata, “Kau
menyukai dia, ya?”
Kate cuma mengangkat bahu. “Dia lumayan.”
“Oh,” Margaret cuma bisa berkomentar begitu. Dalam
hati perempuan itu tersenyum, teringat akan tekad Kate
untuk kawin dengan David.
“Maksudku, aku bukan membenci David, Bu. Aku suka
padanya sebagai manusia. Hanya saja, sebagai lelaki dia
sangat mengesalkan.”
Ketika David datang hendak makan malam bersama
pada hari Jumat, Kate memburu ke pintu menyambutnya.
Dipeluknya lelaki itu seraya berbisik dekat telinganya, “Aku
sudah memaafkan kau, David. Oh, betapa rindu aku
bertemu denganmu lagi! Kau juga merindukanku?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Otomatis David menjawab, “Ya.” Lalu pikirnya, Ya Tuhan,
memang betul ia merindukan anak ini. Belum pernah ia
bertemu seseorang yang seperti Kate. Ia menyaksikan anak
itu tumbuh, dan setiap kali bertemu dengannya, ia seolah
menjadi semacam wahyu buatnya. Usianya sudah hampir
enam belas. Tubuhnya mulai berisi. Rambutnya yang hitam
terurai panjang hingga ke bahu. Ia mulai matang dan
menarik. Daya tarik semacam ini belum pernah terlihat
oleh David. Ia cantik, cerdas, dan berkemauan keras. Buat
banyak lelaki, ia sukar diatur, pikir David.
Sambil makan David bertanya, “Bagaimana kabarnya
sekolah, Kate?”
“Wah, senang sekali,” sembur gadis itu. “Banyak yang
kupelajari di sana. Guru‐gurunya baik, dan aku dapat
banyak sahabat di sana.”
Margaret diam, terperangah.
“David, kau mau mengajakku ke tambang lagi?”
“Jadi, itu yang kauinginkan untuk mengisi liburan?”
“Ya.”
Perjalanan ke tambang cukup panjang. Berarti, ia bisa
seharian bersama David.
“Boleh saja, kalau ibumu mengizinkan.”
“Boleh ya, Bu?”
“Boleh saja, Sayang. Asal kau pergi dengan David, Ibu
percaya kau aman.” Walau demikian Margaret tak yakin
David aman bersama putrinya.
Tambang Berlian Kruger‐Brent terletak dekat
Bloemfontein. Ukurannya raksasa dibanding dengan
tambang‐tambang lainnya. Beratus‐ratus pekerja bekerja di
sana: penggali, ahli teknik, pencuci, pemisah.
“Ini adalah salah satu tambang perusahaan kita yang
paling menguntungkan,” tuturDavid. Mereka sedang berada
di ruang kantor manajernya, menunggu petugas yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
hendak menyertai mereka turun ke tambang. Satu sisi
dinding ruangan itu berlemari kaca, penuh dengan berbagai
contoh berlian. Bentuk, ukuran, dan warnanya bermacam‐
macam.
“Setiap berlian mempunyai ciri khas,” jelas David.
“Berlian asli dari pinggir Sungai Yaal mengendap di lumpur.
Pinggirannya lusuh oleh gesekan berabad‐abad lamanya.”
Makin tampan saja dia, pikir Kate. Aku senang melihat
alisnya.
“Batu‐batu berlian ini ditambang dari tempat yang
berbeda‐beda. Tapi, dari penampilannya bisa gampang
diketahui dari mana asalnya. Kaulihat yang satu ini? Dari
ukuran dan warnanya yang bersemu kuning langsung
ketahuan bahwa asalnya dari Paardspan. Berlian De Beer
nampak berminyak permukaannya dan bentuknya dode
cahedral.”
Hebat betul dia. Segala macam dia tahu.
“Yang satu ini ketahuan dari Kimberley, sebab
bentuknya octahedron. Di sana ditemukan berlian dari yang
buram seperti asap sampai yang putih terang.”
Janganjangan manajer itu mengira David kekasihku.
Mudahmudahan saja.
“Warna berlian menentukan nilainya. Warna berlian di
ukur dari satu sampai sepuluh. Pada urutan teratas warna
putih kebiruan dan pada urutan paling bawah warna
kecoklatan.”
Baunya menyenangkan. Begitu jantan. Dan, hmindahnya
lengan dan bahunya. Alangkah—
“Kate!”
“Ya, David?” sahut Kate merasa bersalah.
“Kaudengar aku?”
“Tentu.” Suaranya kedengaran jengkel. “Setiap patah
katamu kudengarkan.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dua jam lamanya mereka berada di perut tambang, lalu
makan siang. Buat Kate, itulah hari yang bisa dikatakan
indah!
Ketika pulang sore harinya, Margaret menyambut
kedatangan Kate. “Senang?”
“Asyik! Pertambangan sangat memikatku.”
Sejam setengah kemudian, kebetulan Margaret
memandang ke luar dari jendela. Dilihatnya Kate sedang
bergulat dengan anak salah seorang tukang kebun.
Tahun berikutnya, surat‐surat Kate dari Inggris berbunyi
optimis. Ia dipilih jadi ketua tim hockey dan lacrosse serta
mendapat ranking yang patut dibanggakan. Ternyata
sekolahnya tidak sejelek yang ia rasakan semula, begitu
tulisnya. Lagi pula ada beberapa siswi yang ternyata cukup
menyenangkan. Kate bahkan minta izin mengajak dua
orang kawan dekatnya pulang pada liburan mendatang.
Margaret girang mendengar semuanya itu. Rumah mereka
akan hidup diwarnai tawa ceria. Rasanya tak sabar ia
menunggu kedatangan putrinya. Masa depannya tinggallah
Kate sekarang ini. Aku dan Jamie adalah masa lalu, pikir
Maggie. Katelah masa datang. Ah, pasti masa depannya
indah dan cerah!
Selama Kate berlibur di Klipdrift, hampir setiap pemuda
kaya di sana berusaha menarik perhatiannya. Tetapi Kate
tak tertarik bergaul dengan mereka semua. David sedang
melawat ke Amerika. Kate tak sabar menunggu
kedatangannya. Ketika David datang ke rumah mereka,
Kate menyambut di pintu depan. Ia mengenakan gaun putih
bersabuk beledu hitam yang membuat tubuhnya yang belia
tampak indah mempesona. David memeluknya. Lelaki itu
kaget merasakan hangatnya sambutan Kate. Ia undur
selangkah, lalu memperhatikan gadis itu. Ada yang lain
pada diri Kate. Matanya memancarkan sesuatu yang tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dapat didefinisikan, tetapi yang membuat David merasa
canggung.
Beberapa kali selama liburan itu, David melihat Kate
dikelilingi anak‐anak muda. Ia menebak‐nebak yang mana
di antara mereka yang bakal beruntung mendapatkan
tempat di hati Kate. David dipanggil ke Australia dalam
rangka bisnis. Ketika ia kembali ke Klipdrift, Kate sudah
berada dalam perjalanan kembali ke Inggris.
Pada tahun terakhir Kate di sekolah, tanpa memberi
tahu lebih dulu, mendadak David muncul pada suatu sore.
Biasanya David selalu menulis surat atau menelepon dulu
sebelum berkunjung.
“'David! Wah, ini namanya baru kejutan yang
menyenangkan!” ucap Kate sembari memeluknya. “Kalau
kauberi tahu dulu kau akan datang, tentu aku—”
“Kate, aku datang unruk menjemputmu pulang.”
Kate undur, memandang David dengan keheranan. “Ada
apa, David?”
“Ibumu sakit keras.”
Kate termenung sejenak. “Aku bersiap sebentar.”
Kate kaget bukan main melihat keadaan ibunya.
Beberapa bulan yang lalu, kala terakhir ia melihat ibunya,
ibunya sehat dan segar‐bugar. Saat ini perempuan itu
nampak pucat tak berdaya. Sinar cerah di matanya telah
pudar. Nampaknya kanker yang menggerogoti tubuhnya
menggerogoti pula jiwa dan semangatnya.
Kate duduk di sisi tempat tidur ibunya. Digenggamnya
tangan perempuan itu. “Ibu,” bisiknya. “Aku menyesal, Bu.
Margaret meremas tangan putrinya. “Tak perlu Nak. Aku
sudah siap menghadapi semua ini. Aku sudah siap sejak
ayahmu meninggal.” Dipandangnya wajah Kate. “Mau
dengar sesuatu yang konyol? Ini belum pernah kuceritakan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
kepada siapa pun.” Mulanya Margaret agak ragu. Tetapi ia
meneruskan juga. “Selama ini aku kuatir ayahmu tak ada
yang mengurusi dengan benar. Sekarang aku bisa
mengurusnya lagi.”
Margaret dimakamkan tiga hari kemudian. Kate sangat
terguncang oleh kematian ibunya. Ia telah ditinggalkan oleh
ayah dan kakaknya, tetapi mereka tak dia kenal. Mereka
cuma cerita masa lalu yang terkadang disampaikan orang
kepadanya. Kematian ibunya sangat nyata dan menyakit‐
kan buatnya. Kate baru berusia delapan belas. Mendadak
saja ia sebatang kara di dunia ini. Bayangan itu sangat
menakutkan buatnya.
David memperhatikan gadis itu berdiri di sisi pusara
ibunya—berusaha keras melawan tangis yang hendak
meledak. Ia berhasil menguasai diri. Tetapi, ketika sampai
di rumah, tangisnya tak lagi terbendung. Kate meraung dan
terisak seolah tak bisa dihentikan. “Ibu selalu begitu baik
kepadaku, David. Dan, a—aku selalu begitu bandel.”
David berusaha menghiburnya. “Siapa bilang kau bandel,
Kate. Ibumu sangat membanggakan kau. “
“Aku tak patut dibanggakan. Aku tak pernah baik, selalu
bandel dan menyusahkan. Oh, rasanya aku mau
mengorbankan apa pun asal bisa menebus semua
kesalahanku pada Ibu. Aku tak mau ibuku mati, David!
Mengapa Tuhan membunuhnya?”
David menunggu tangis Kate mereda. Lalu katanya,
“Sekarang ini memang susah kau mempercayai kata‐
kataku, Kate. Aku tahu itu. Tapi, percayalah—suatu hari
kelak, kepedihan ini akan hilang. Dan, tahukah kau apa
yang ditinggalkan ibumu untukmu, Kate? Kenangan manis.
Kau akan teringat segala pengalaman indah yang pernah
kaualami bersama ibumu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kurasa kau benar. Tapi, sekarang ini sakitnya bukan
main.”
Keesokan paginya, mereka membicarakan hari depan
Kate. “Kau punya famili di Skotlandia, Kate,” David
mengingatkan.
“Tidak!” sahut Kate tajam. “Mereka bukan famili. Saudara
jauh.” Suaranya pahit. “Ketika Ayahku ingin kemari, mereka
menertawakan Ayah. Tak seorang pun menolongnya,
kecuali ibunya. Ibu ayahku sudah mati. Tidak. Aku tak mau
berhubungan dengan mereka.”
David duduk, berpikir. “Kau hendak menyelesaikan
sekolahmu?” Sebelum Kate sempat menjawab, David sudah
melanjutkan, “Kurasa itu yang diinginkan ibumu, Kate.”
“Kalau begitu, aku akan menyelesaikan sekolahku,”
sahut Kate. Matanya tertuju ke lantai. “Meskipun, itu berarti
neraka buatku.”
“Aku mengerti,” ujar David lembut. “Aku mengerti
perasaanmu, Kate.”
Kate lulus sekolah. David hadir pada upacara perpisahan
murid‐murid yang lulus.
***
Dalam perjalanan dari Johannesburg ke Klipdrift
menumpang wagon kereta pribadi, David berkata,
“Beberapa tahun lagi semuanya ini akan jadi milikmu,
Kate. Gerbong kereta ini, semua tambang‐tambang,
perusahaan‐punyamu semua. Kau perempuan kaya sekali.
Kalau kaujual perusahaanmu, kau bisa dapat uang jutaan
pound.”
David memperhatikan wajah Kate, lalu tambahnya,
“Atau, bisa juga kaupertahankan perusahaan itu. Kau punya
cukup waktu buat berpikir.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Sudah kupikirkan,” sahut Kate. Gadis itu memandang
David sambil tersenyum. “Ayahku seorang perampok,
David. Perampok yang baik, Sayang aku tak sempat
mengenalnya. Aku tak berniat menjual perusahaan yang
didirikan ayahku. Tahukah kau apa sebabnya? Soalnya,
perampok itu menamai perusahaannya dengan nama dua
petugas keamanan yang berusaha membunuhnya. Baik hati
betul ayahku. Ya, kan? Sering kali, kalau sedang tak bisa
tidur, aku membayangkan ayahku dan Banda merayap
menembus kabut. Rasanya kudengar jelas teriakan
petugas‐petugas itu: Kruger... Brent...” Kate mendongak,
mencari pandang David. “Tidak, David. Aku takkan menjual
perusahaan ayahku. Setidaknya, selama kau tinggal dan
mengelolanya.”
Tenang David menyahut, “Aku akan tinggal selama
masih kaubutuhkan.”
“Aku ingin mendaftarkan diri ke sekolah niaga.”
“Sekolah niaga?” Suara David terdengar kaget.
“Ini tahun 1910,” Kate mengingatkan lelaki itu. “Di
Johannesburg ada sekolah niaga yang menerima murid
perempuan.”
“Tapi—”
“Kau tadi tanya apa yang ingin kulakukan dengan
uangku,” kata Kate memandang David.
“Aku ingin punya andil dalam mendapatkan uang itu.
14
SEKOLAH niaga merupakan pengalaman baru yang
mengasyikkan. Cheltenham merupakan kewajiban yang
sangat tak menyenangkan buat Kate. Sekolah yang
sekarang ini lain sekali. Setiap pelajaran yang diberikan
mengupas tentang ilmu yang berguna, yang kelak bisa
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
membantunya dalam mengelola perusahaan. Pelajaran
yang diberikan termasuk akuntansi, manajemen,
perdagangan internasional, dan administrasi usaha.
Seminggu sekali David menelepon, menanyakan
kemajuannya.
“Aku senang sekali belajar di sini, David,” ujar Kate.
“Pelajarannya sangat menarik.”
Kelak ia dan David akan bekerja sama, berdampingan
siang dan malam—berdua saja. Dan salah satu dari malam
malam itu, David akan berpaling kepadanya, mengatakan,
“Kate, sayangku, betapa tolol dan butanya aku selama ini.
Maukah kau kawin denganku?” Dan, sejenak kemudian ia
akan berada dalam pelukan David...
Tapi, itu harus menunggu. Sementara itu, masih banyak
yang harus dipelajari. Kate mengalihkan perhatiannya pada
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Dua tahun lamanya Kate menuntut pelajaran di sekolah
niaga. Lalu ia pulang ke Klipdrift. Wakrunya bertepatan
dengan ulang tahunnya yang ke dua puluh. David
menjemputnya ke stasiun. Serta‐merta Kate merangkul dan
memeluk David.
“Oh, David, betapa senangnya ketemu lagi dengan kau.”
David menarik diri, lalu berkata canggung, “Aku juga
senang ketemu kau, Kate.” Sikapnya kaku dan tak enak.
“Ada apa, David?”
“Tidak. Cuma, remaja putri tak biasanya memeluk lelaki
di muka umum begini.”
Kate menatap David sejenak. “Oh. Baiklah, Aku berjanji
takkan mempermalukanmu lagi.”
Sementara mengendarai mobil ke rumah keluarga
McGregor di Klipdrift, David diam‐diam memperhatikan
Kate. Gadis itu cantik sekali, polos dan sensitif. David
berjanji takkan mengambil keuntungan dari semuanya itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Hari Senin pagi Kate pindah ke kantor barunya di
Kruger‐Brent, Ltd. Rasanya seperti diceburkan ke tengah‐
tengah alam asing yang aneh dengan kebiasaan dan bahasa
yang tidak dia mengerti. Ada berbagai divisi, anak
perusahaan, departemen regional, kantor perwakilan dan
cabang luar negeri. Barang‐barang yang diproduksi oleh
perusahaan dan milik perusahaan seperti daftar yang tak
ada habis‐habisnya. Ada pabrik peleburan bijih besi,
peternakan, perusahaan kereta api, perusahaan angkutan
laut, dan tentu saja yayasan yang mengelola kekayaan
keluarga: berlian dan emas, seng dan platina, magnesium—
semuanya ditambang dua puluh empat jam sehari dan
menambah kekayaan dan kekuatan perusahaan.
Kekuasaan.
Rasanya terlalu banyak yang harus ditelan. Kate duduk
di ruang kantor David, mendengarkan lelaki itu mengambil
keputusan yang mempengaruhi beribu‐ribu orang di
berbagai pelosok dunia. Para manajer umum perusahaan
memberikan rekomendasi. Tetapi, sesering menyetujui
rekomendasi mereka, sering pula David mengambil
keputusan sendiri.
“Mengapa kaulakukan itu, David? Bukankah merekalah
yang paling tahu tentang pekerjaan itu?” tanya Kate.
“Tentu saja, tapi bukan itu point‐nya,” jelas David.
“Masing‐masing manajer cuma melihat bisnis dari divisi
mereka sendiri. Padahal bukan begitu seharusnya. Harus
ada orang yang mempunyai pandangan luas dan
menentukan yang terbaik bagi perusahaan. Ayo. Kita punya
janji makan siang dengan orang penting yang perlu
kaukenal.”
David mengajak Kate ke ruang makan pribadi yang luas.
Letaknya bersebelahan dengan ruang kantor Kate. Seorang
lelaki muda bertubuh kurus dan bermata kecoklatan
menunggu mereka.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kenalkan. Ini Brad Rogers,” kata David.
“Brad, kenalkan, ini bosmu yang baru, Kate McGregor.
Brad Rogers menjabat tangan Kate.
“Senang bertemu dengan Anda, Nona McGregor.”
“Brad adalah senjata rahasia kita,” ucap David. “Dia tahu
banyak hal tentang Kruger‐Brent, Ltd.—seperti aku.
Seandainya pada suatu saat nanti aku terpaksa pergi, kau
tak perlu kuatir. Di sini ada Brad.”
Kalau aku terpaksa pergi. Mendengamya saja Kate sudah
panik. Tentu saja David takkan pernah meninggalkan
perusahaan. Tak ada hal lain yang dipikirkan oleh Kate
selama acara makan siang itu. Setelah selesai, ia pun tak
tahu apa saja yang dihidangkan tadi.
Sehabis makan, mereka mendiskusikan Afrika Selatan.
“Kita akan mengalami kesulitan tak lama lagi,” David
mengingatkan. “Pemerintah baru saja memberlakukan
pajak hak pilih.”
“Apa itu?” tanya Kate.
“Setiap orang Negro, suku berwarna, dan orang India
harus membayar dua pound untuk setiap anggota keluarga
mereka. Itu lebih besar dari pendapatan mereka sebulan.”
Kate teringat Banda. Timbul perasaan kuatir dalam
hatinya. Lalu pembicaraan pindah ke hal lainnya.
Kate merasakan kehidupan barunya sangat
mengasyikkan. Setiap keputusan mempertaruhkan jutaan
pound. Bisnis raksasa memang memerIukan gabungan akal
sehat, keberanian bertaruh, dan insting tentang kapan
harus mundur dan kapan mesti maju terus.
“Bisnis adalah permainan,” tutur David kepada Kate.
“Permainan yang mempertaruhkan nasib sementara kita
bersaing dengan pemain‐pemain yang ahli. Kalau kepingin
menang, kau mesti belajar menjadi dalang permainannya.”
Kate merasa pasti. Itu yang harus ia lakukan. Belajar.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate hidup sendirian di rumah besar keluarga McGregor.
Hanya para pelayan yang menemaninya. Ia dan David
meneruskan kebiasaan makan malam bersama setiap hari
Jumat malam. Kalau Kate mengundangnya makan pada hari
lain, ada‐ada saja alasan David untuk menolak. Pada jam
kerja, mereka selalu bersama‐sama. Walaupun begitu,
terasa David mendirikan dinding pemisah di antara mereka
yang tak dapat ditembus oleh Kate.
Pada hari ulang tahun Kate yang kedua puluh satu,
semua saham Kruger‐Brent, Ltd., secara resmi dialihkan
haknya kepada Kate. Secara resmi Kate‐lah pemegang
kendali perusahaan.
“Kita makan malam bersama, yuk—buat merayakan,”
ajak Kate kepada David.
“Maafkan aku, Kate. Banyak sekali pekerjaan yang mesti
kukejar.”
Malam itu Kate bersantap malam sendirian. Tak henti‐
hentinya ia berpikir mengapa David bersikap seperti itu.
Diakah penyebabnya, atau memang David? Kalau sampai
David tak tahu perasaan Kate terhadapnya, itu namanya dia
tuli, tolol, dan buta. Kate perlu berbuat sesuatu untuk
membereskan hal ini.
Perusahaan sedang dalam negosiasi dalam bidang
angkutan laut di Amerika Serikat.
“Mengapa kau tak pergi bersama Brad ke sana buat
menandatangani kontraknya?” usul David, “Pengalaman
bagus buatmu.”
Sebetulnya, Kate ingin sekali David yang menemaninya.
Tetapi, gengsinya terlalu tinggi untuk mengatakan hal itu.
Ia harus menyelesaikan negosiasi ini tanpa dia. Di samping
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
itu, ia belum pernah ke Amerika. Kate tak sabar menunggu
tanggal keberangkatannya.
Negosiasinya berjalan lancar. Kontrak pun
ditandatangani.
“Mumpung di sana, pergilah melancong,” usul David.
Kate dan Brad mengunjungi anak‐anak perusahaan
mereka di Detroit, Chicago, Pittsburgh, dan New York. Kate
tercengang melihat besarnya Amerika Serikat serta
kekuatan mereka. Yang paling mengesankan buat Kate
adalah kunjungan ke Dark Harbor, Maine, pulau kecil
bernama Islesboro, di Teluk Penobscot. Ia diundang makan
malam ke rumah Charles Dana Gibson, seniman kenamaan.
Ada dua belas orang yang diundang selain Kate. Mereka
semua punya rumah di pulau itu.
“Tempat ini mempunyai sejarah menarik,” tutur Gibson
kepada Kate, “Bertahun‐tahun yang lampau, orang sering
datang kemari menggunakan kapal layar dari Boston. Kalau
kapal mereka merapat, mereka disambut oleh sebuah
andong yang kemudian membawa mereka ke rumah‐
rumah mereka.”
“Ada beberapa keluarga yang hidup di pulau ini?” tanya
Kate.
“Kira‐kira ada lima puluh keluarga. Kaulihatkah
mercusuar ketika ferry kita merapat tadi?”
“Ya.”
“Yang menjaga seorang lelaki bersama anjingnya. Kalau
ada kapal lewat, anjingnya keluar dan membunyikan
lonceng.”
Kate tertawa. “Kau melucu.”
“Tidak. Yang lebih lucu lagi, anjing itu tuli. Ia
menempelkan telinganya pada lonceng di lehernya untuk
merasakan apakah ada getaran.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate tersenyum. “Kedengarannya pulau ini sangat
menarik.”
“Kalau kau suka, baik juga bermalam dan berjalan‐jalan
berkeliling melihat‐lihat besok pagi.
Tanpa banyak pikir Kate berkata, “Betul juga.”
Ia bermalam di hotel—satu‐satunya yang ada di sana.
Islesboro Inn, namanya. Pagi harinya Kate menyewa seekor
kuda dan andong. Saisnya penduduk asli pulau itu. Mereka
meninggalkan pusat Dark Harbor yang terdiri dari sebuah
toko serba ada dan sebuah restoran kecil. Beberapa menit
lamanya sampailah mereka ke daerah hutan yang indah.
Tak ada nama jalan terpasang di sepanjang jalan berkelok‐
kelok yang mereka lalui. Juga tak terlihat adanya kotak‐
kotak surat di pinggir jalan. Ia menoleh kepada
pemandunya,
“Apakah orang tidak tersesat? Kuperhatikan jalannya tak
dinamai semua.”
“Tidak. Orang sini tahu persis jalan di sekitar sini.”
Kate meliriknya. “Oh.”
Di daerah dataran rendah di sebelah sana pulau, mereka
melewati tanah pemakaman.
“Tolong berhenti sebentar, Pak,” pinta Kate.
Ia lalu melangkah turun dan berjalan ke pemakaman tua,
memperhatikan tulisan pada batu‐batu nisannya.
JOB PENDLETON, WAFAT 25 JANUARI 1749, USIA 47. Di
bawahnya tertulis: Di bawah nisan ini kuberbaring dalam
tidur indah; Kristus memberkati ranjangku.
JANE, ISTRI THOMAS PENDLETON, WAFAT 25
FEBRUARI 1802, USIA 47.
Ada arwah abad lampau di situ, arwah mereka yang
hidup di zaman silam. KAPTEN WILLIAM HATCH
TENGGELAM DI LINGKUNGAN LONG ISLAND, OKTOBER
1866, USIA 30 TAHUN. Di bawahnya tertulis: Badai menga
muk dan hidup berada jaub di seberang lautan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lama Kate tinggal di sana, menikmati ketenangan dan
kedamaian tempat itu. Akhirnya ia kembali ke andong,
meneruskan perjalanan.
“Bagaimana keadaan di sini pada musim dingin?”
tanyanya.
“Dingin. Kadang‐kadang air teluk membeku hingga
orang datang kemari dari daratan sana menggunakan
kereta luncur salju. Sekarang, tentu aja ada ferry.”
Mereka menikung. Tampak di sebelah sana, di tepi air
jauh di bawah, sebuah rumah peristirahatan berlantai dua.
Warnanya putih, indah dikelilingi bunga‐bunga aneka
warna. Kerai pada kedelapan jendelanya yang menghadap
ke depan dicat hijau. Dekat pintunya terdapat bangku‐
bangku putih dan enam pot tanaman geranium berbunga
merah cerah. Persis seperti pemandangan di alam dongeng.
“Rumah siapa itu?”
“Oh, itu rumah keluarga Dreben. Nyonyanya baru saja
meninggal beberapa bulan yang lalu.”
“Siapa yang tinggal di situ sekarang?”
“Tak ada, rasanya.”
“Tahukah, Bapak, kalau‐kalau rumah itu ditawarkan?”
Pemandu wisata yang membawa Kate melempar
pandang pada wanita itu.
“Kalau dijual, kemungkinan besar pembelinya anak salah
satu keluarga yang sudah tinggal di daerah ini. Penduduk
asli pulau ini kurang senang kedatangan orang baru.”
Mengatakan hal itu kepada Kate merupakan kesalahan
fatal.
Sejam kemudian Kate memperbincangkan rumah itu
dengan seorang notaris. “Aku ingin menanyakan rumah
keluarga Dreben,” ucap Kate, “Dijualkah rumah itu?”
Notaris itu mempermainkan bibirnya, lalu jawabnya,
“Yah, bisa dikatakan dijual, bisa juga tidaj.”
“Maksud Anda?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Rumah itu memang betul dijual. Tapi, sudah banyak
orang yang menanyakan dan berminat membeli.”
Pasti yang berminat membeli keluargakeluarga yang
telah lama tinggal dipulau ini, pikir Kate.
“Sudah ada yang menawar?”
“Belum, tapi—”
“Aku hendak menawar, Tuan Notaris,” ucap Kate.
Dengan sikap merendah lelaki itu berkata, “Itu rumah
mahal. “
“Coba sebutkan harganya.”
“Lima puluh ribu dollar.”
“Ajaklah aku melihat‐lihat rumah itu dulu.”
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mempesona
daripada yang semula dibayangkan Kate. Serambi
dalamnya luas, berjendela selebar dinding menghadap ke
arah laut. Di satu sisinya terdapat ruang dansa yang juga
luas. Di sisi lainnya terdapat ruang keluarga berdinding
panel dengan perapian besar. Ada ruang perpustakaan dan
dapur berisi kompor besi dan meja kerja luas dari kayu.
Bersebelahan dengannya, ruang pantry dan ruang cuci. Di
lantai bawah ada enam kamar tidur untuk pelayan serta
sebuah kamar mandi. Di loteng terletak kamar tidur utama
dan empat kamar tidur lainnya. Rumah itu ternyata lebih
luas dari yang diperkirakan Kate. Kalau aku dan David
punya anakanak kelak, pikir Kate, semua ruangan ini akan
kami perlukan. Halamannya terbentang hingga ke tepi
teluk. Di sana ada dermaga pribadi.
Kate menoleh kepada notaris yang menemaninya.
“Baiklah, Tuan Notaris—akan kubeli rumah ini.”
Kate menamai rumah itu Cedar Hill House.
Tak sabar ia menunggu sampai kembali ke Klipdrift buat
menyampaikan kabar gembira ini kepada David.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dalam perjalanan kembali ke Afrika Selatan, Kate
merasa berdebar‐debar. Rumah di Dark Harbor merupakan
pertanda bahwa ia dan David akan menikah. Ia yakin David
akan menyukai rumah itu.
Siangnya Kate dan Brad tiba kembali di Klipdrift. Kate
buru‐buru menuju ke ruang kantor David. Lelaki itu sedang
bekerja di balik mejanya. Melihatnya, jantung Kate
berdegup keras. Ia baru sadar betapa rindunya ia pada
David.
David bangkit. “Kate! Selamat datang!” Dan, sebelum
sempat Kate menyahut, ia sudah menyerocos, “Kau orang
pertama yang kuberi tahu bahwa aku akan kawin.”
15
MULANYA biasa‐biasa saja, kira‐kira enam minggu
berselang. Di tengah‐tengah kesibukannya yang luar biasa,
pada suatu hari David mendapat kabar bahwa Tim O'Neil,
sahabat dekat salah seorang pembeli berlian penting dari
Amerika, sedang berada di Klipdrift. David diminta
menyambut kedatangannya dan menjamu makan malam.
Sebetulnya David tak punya waktu untuk menemani turis.
Tapi, ia tak mau menyinggung perasaan pelanggannya.
Seandainya ada Kate, tentulah Kate yang akan ia mintai
bantuan menemani turis itu. Tapi, Kate sedang melawat ke
Amerika Utara bersama Brad Rogers. Aku tak punya pilihan,
pikir David. Ia menelepon hotel tempat O'Neil menginap,
lalu mengundangnya makan malam sore itu.
“Aku bersama putriku,” ujar O'Neil. “Boleh kuajak?”
David sama sekali tak berselera melewatkan waktu
dengan anak‐anak.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Silakan,” sahutnya ramah. Ia berjanji pada dirinya
hendak menyudahi acara malam itu secepat‐cepatnya.
Mereka bertemu di Grand Hotel, di ruang makannya.
Ketika David sampai ke sana, O'Neil dan putrinya sudah
menunggu di meja. O'Neil tampan. Rambutnya sudah
bersemu putih. Usianya kira‐kira lima puluhan. Putrinya,
Josephine, cantik bukan main. Belum pernah David
bertemu dengan gadis secantik itu. Umurnya kira‐kira tiga
puluhan. Tubuhnya indah menawan. Rambutnya pirang
dan matanya biru jernih. David terkesiap melihatnya.
“Maafkan aku agak terlambat,” ucapnya. “Biasa... ada‐ada
saja yang mengganggu pada saat‐saat terakhir. “
Josephine menyaksikan reaksi David dengan senang.
“Kadang‐kadang, justru di situlah asyiknya bisnis,”
komentar Josephine, polos. “Kata ayahku, Anda orang
penting, Tuan Blackwell.”
“Ah, biasa‐biasa saja. Ngomong‐ngomong, namaku
David.” Josephine mengangguk.
“Nama yang bagus. Mencerminkan kekuatan yang
besar.”
Sebelum mereka selesai bersantap malam, David sudah
bisa menyimpulkan, bahwa Josephine bukan hanya cantik.
Jauh lebih dari itu, ia cerdas, suka bergurau, dan sangat
pandai membuat David merasa tak kaku. David merasa
Josephine betul‐betul menaruh perhatian padanya. Banyak
yang ia tanyakan, yang belum pernah ditanyakan orang lain
pada David. David sudah setengah jatuh cinta pada
Josephine malam itu.
“Di mana rumah Anda?” tanya David pada O'Neil.
“San Francisco.”
“Rencananya kembali kapan?” David berusaha agar
pertanyaannya itu terdengar wajar.
“Minggu depan.”
Josephine tersenyum pada David.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kalau Klipdrift ternyata menarik, mungkin saja kubujuk
Ayah agar tinggal lebih lama di sini.”
“Kalau begitu, akan kuusahakan agar Klipdrift jadi
semenarik mungkin,” janji David. “Berminat melihat
tambang berlian?”
“Wah, senang sekali,” sahut Josephine. “Terima kasih.”
Dulu David memang sering menemani tamu penting
melihat‐lihat tambang. Tapi, sudah lama ia biasa
mendelegasikan tugas semacam itu kepada anak buahnya.
Entah mengapa, malam itu ia mendengar dirinya berkata,
“Bagaimana kalau besok pagi kita ke sana?” Padahal ada
kira‐kira enam rapat penting yang harus ia hadiri esok
harinya. Mendadak saja semua rapat itu jadi tak penting.
David membawa O’Neil dan putrinya melihat corong
tambang yang letaknya kira‐kira seribu dua ratus kaki di
bawah permukaan tanah. Corong itu berlebar enam kaki
dan panjangnya dua puluh kaki, terbagi menjadi empat
bagian: satu untuk pemompaan, dua unruk mengangkat
tanah yang mengandung berlian kebiruan, dan satu lagi
berisi kerekan yang dipergunakan untuk mengangkut
buruh tambang dari dan ke tempat kerja mereka.
“Ada satu pertanyaan yang telah lama timbul dalam
benakku,” ujar Josephine. “Apa sebabnya berlian diukur
dengan karat?”
“Karat menunjukkan bijih carob‐nya,” jelas David,
“Dipakai sebagai ukuran karena beratnya konsisten. Satu
karat setara dengan dua ratus miligram. Atau, satu sama
dengan seperseratus empat puluh ons.”
“Bukan main,” sahut Josephine.
David bertanya‐tanya dalam hati, berliannyakah yang
bukan main? Berada di dekat gadis itu membangkitkan
gairahnya. Setiap kali pandangnya jatuh pada Josephine,
ada desiran aneh yang ia rasakan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Mestinya kalian melihat‐lihat pinggiran kota juga,” usul
David kepada O'Neil. “Kalau kalian punya waktu, aku
senang mengantar kalian melihat‐lihat besok.”
Sebelum ayahnya sempat mengucapkan sesuatu,
Josephine sudah menyahut, “Wah, senang sekali!”
Sejak itu David selalu bersama dengain Josephine dan
ayahnya setiap hari. Makin hari cinta David semakin dalam.
Belum pernah ia bertemu dengan perempuan yang begitu.
memikat.
Ketika David datang menjemput keluarga O'Neil hendak
mengajak mereka makan malam pada suatu petang, Tim
O'Neil berkata, “Aku agak capek malam ini, David.
Bagaimana kalau sekali ini aku tak ikut?”
David kegirangan. Tapi, ia berusaha menyembunyikan
perasaannya. “Oh, tidak apa‐apa. Aku mengerti.”
Josephine mengerling nakal menggoda David.
“Percayalah, aku sendiri pun bisa berusaha membuat
kau tak merasa kesepian, David,” janjinya.
David membawa Josephine ke sebuah restoran yang
terletak di sebuah hotel yang baru saja dibuka. Ruangannya
penuh. Tetapi, karena dikenal, David dengan segera diberi
tempat. Mereka makan dihibur oleh pemain musik yang
menyajikan lagu‐lagu Amerika.
David bertanya, “Mau dansa?”
“Dengan scaang hati.”
Sesaat kemudian Josephine sudah berada dalam
rangkulan tangannya di lantai dansa. Bukan main. David
memeluk tubuh indah perempuan itu. dan merasakan
reaksinya.
“Josephine, aku cinta padamu.”
Josephine menempelkan jari telunjuknya pada bibir
David. “David, jangan...”
“Mengapa?”
“Soalnya, aku takkan bisa kawin dengan kau.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kau cinta aku, kan?”
Josephine tersenyum. Pandangannya menembus mata
David. Biru kemilau matanya, dan bersinar‐sinar.
“Aku tergila‐gila padamu, David. Tak tahukah kau?”
“Lalu, mengapa?”
“Aku takkan bisa hidup di Klipdrift. Bisa gila aku kalau
terus‐terusan di sini.”
“Cobalah dahulu.”
“David” aku kepingin. Tapi, aku tahu apa yang bakal
teriadi. Kalau kita kawin dan aku harus tinggal di sini, aku
akan jadi perempuan cerewet yang tak henti‐hentinya
meneriaki kau. Akhirnya, kita akan saling membenci. Lebih
baik kita berpisah saja.”
“Aku tak mau kita berpisah.”
Josephine menatap David. David merasa tubuh
perempuan itu seolah melebur dan menyatu dengan
dirinya.
“David, adakah kemungkinan kau bisa tinggal di San
Fransico?”
Gagasannya tak masuk akal.
“Lalu, mau kerja apa aku di sana?”
“Besok pagi kita sarapan bersama, yuk! Aku mau bicara
dulu dengan ayahku.”
Tim O'Neil berkata, “Josephine menceritakan
pembicaraan kalian semalam. Nampaknya kalian berdua
punya masalah. Tapi, kalau kau tertarik, mungkin aku
punya jalan keluar.”
“Aku tertarik sekali.”
O'Neil memungut tas kerjanya yang terbuat dari kulit
berwarna coklat. Ia mengambil beberapa cetak biru dari
dalamnya.
“Tahu sesuatu tentang makanan beku?”
“Rasanya tidak.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Di Amerika, orang mulai mengusahakan makanan yang
dibekukan pada tahun 1865. Yang jadi masalah adalah
mengangkut makanan ke tempat berjarak jauh sedemikian
rupa agar makanan itu tidak mencair. Gerbong kereta
berpendingin ruangan memang sudah ada. Tapi, belum ada
yang berhasil membuat truk berpendingin ruangan.”
O'Neil mengetuk‐ngetuk cetak biru yang dipegangnya.
“Sampai sekarang. Aku baru saia menerima hak patennya.
Ini akan merupakan revolusi dalam industri makanan,
David.”
David inelirik cetak biru itu. “Rasanya aku kurang
banyak mengerti mengenai hal itu.”
“Ah, tidak apa‐apa. Bukan teknisi ahli yang kucari.
Teknisi begitu banyak. Yang kucari justru orang yang
mengerti tentang masalah keuangan dan bagaimana
mengelola usaha. Semua ini bukan cuma cita‐cita. Aku
sudah bicara dengan orang paling berpengalaman dalam
bidang pengolahan makanan . Ini akan jadi bisnis besar
besar sekali, melebihi yang kita bayangkan. Aku butuh
orang semacam kau.”
“Kantor pusat perusahaannya bertempat di San
Francisco,” tambah Josephine.
David duduk terdiam, mencoba mencerna semuanya
yang baru saja ia dengar.
“Anda tadi menyebut patennya sudah Anda peroleh?”
“Betul sekali. Kita tinggal bergerak.”
“Bolehkah kupinjam cetak biru ini buat kuperlihatkan
pada seseorang?”
“Tentu saja.”
Yang pertama‐tama dilakukan David adalah mencari
tahu tentang latar belakang Tim O'Neil. Dari informasi yang
dia dapat, O'Neil mempunyai reputasi bagus di San
Francisco. Ia adalah Kepala Bagian Ilmu Pengetahuan pada
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Berkeley College di sana, dan sangat dihormati orang. David
tak banyak tahu tentang bisnis makanan beku, tapi ia
berniat mencari informasi.
“Aku akan kembali lima hari lagi, Sayang. Kuminta kau
dan ayahmu menunggu sampai aku pulang. “
“Pergilah selama yang kauperlukan. Tapi, aku pasti
kesepian dan merindukan kau,” ujar Josephine.
“Siapa bilang aku takkan merindukan kau juga,” sahut
David. Dan, ia bersungguh‐sungguh mengatakannya.
David menumpang kereta api menuju Johannesburg dan
bikin janji bertemu dengan Edward Broderick, pemilik
pabrik pengepak daging terbesar di Afrika Selatan.
“Aku butuh pendapat Anda.” David mengulurkan
kepadanya cetak biru O'Neil. “Bagaimana menurut Anda?
Akan bisa berhasilkah bisnis ini?”
“Terus‐terang, aku tak tahu‐menahu tentang makanan
beku dan truk pengangkutnya, Tapi, aku kenal orang yang
bergerak di bidang itu. Datanglah lagi siang nanti.
Kukenalkan kau dengan dua orang ahlinya, David.”
Pukul empat sore, David kembali. Ia merasa gugup dan
tak pasti—tak tahu apa yang sebenarnya ia harapkan dari
hasil pertemuan sore itu. Seandainya dua minggu yang lalu
ada orang mengatakan ia akan keluar dari Kruger‐Brent,
Ltd., pasti ia mengakak. Tawanya akan semakin keras kalau
orang itu mengatakan ia mempertimbangkan jabatan
pimpinan pada sebuah perusahaan pengolah makanan
berukuran kecil di San Francisco. Semuanya itu tak masuk
akal. Cuma satu yang masuk akal: Josephine O'Neil.
Ada dua lelaki bersama Edward Broderick di ruang
kantor itu. “Kenalkan. Ini Dr. Crawford dan Tuan Kaufman.
David Blackwell.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mereka bersalaman. Lalu David bertanya, “Apakah Anda
sudah sempat melihat‐lihat cetak birunya?” Dr. Crawford
menjawab, “Sudah, Tuan Blackwell. Sudah kami pelajari
dengan cermat.”
David menghela napas dalam. “Dan?”
“Kudengar Kantor Urusan Paten di Amerika telah
memberikan hak paten pada cetak biru ini?”
“Betul.”
“Tuan Blackwell, cuma satu yang kami bisa katakan:
siapa pun pemilik patennya, dia bakal jadi orang kaya‐
raya.”
David mengangguk pelan. Berbagai emosi berkecamuk
dalam hatinya.
“Seperti penemuan besar lainnya—sangat sederhana
prinsipnya. Herannya, mengapa orang tak lebih dulu
berpikir begitu.”
David tak tahu mesti bagaimana ia bereaksi. Tadinya ia
setengah berharap keputusannya akan dengan gampang ia
buat. Jika ternyata ide Tim O'Neil tak berarti, ada
kemungkinan ia merayu agar Josephine menetap di Afrika
Selatan saja. Tapi, yang dikatakan O'Neil ternyata betul.
Sekarang David terpaksa harus mengambil keputusan.
Tak ada hal lain yang ia pikirkan sepanjang perjalanan
pulang ke Klipdrift. Jika tawaran O'Neil ia terima, berarti ia
harus meninggalkan perusahaan tempatnya bergelut
selama ini dan memulai usaha baru yang belum pernah
diuji. Memang ia warga negara Amerika. Tetapi, negeri
Amerika sendiri asing buatnya. Sekarang ini ia memegang
jabatan kunci pada perusahaan yang tergolong paling kuat
di dunia. Ia sangat menyukai pekerjaannya. Jamie dan
Margaret McGregor sangat baik terhadapnya. Lagi pula, ada
Kate. Ia menyayangi Kate sejak Kate masih bayi. Ia
menyaksikan Kate tumbuh dari gadis cilik yang jorok dan
keras kepala hingga menjadi perempuan muda yang cantik
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dan anggun. Kehidupan Kate tak ubahnya album foto yang
telah melekat di benak David. Ia membalik halamannya,
dan tampaklah wajah Kate ketika berumur empat, delapan,
sepuluh, empat belas, dua puluh satu—perasa, susah
diduga...
Ketika kereta api yang ia tumpangi sampai di Klipdrift,
keputusan David telah bulat. Ia takkan meninggalkan
Kruger‐Brent, Ltd.
Ia langsung menuju Grand Hotel dan bergegas ke kamar
keluarga O'Neil. Josephine membuka pintunya.
“David!”
David memeluk perempuan itu dan menciumnya
kangen. Tubuhnya yang molek terasa hangat dalam
dekapannya.
“Oh, David. Betapa rinduku padamu. Aku tak mau lagi
berpisah darimu.”
“Tak perlu, Sayang,” ujar David lambat‐lambat. “Aku
akan pergi ke San Francisco ......
Dengan gelisah David menunggu Kate pulang dari
Amerika Serikat. Begitu keputusan diambilnya, David tak
sabar hendak melangkahkan kaki ke dalam kehidupan baru
yang dipilihnya. Ia ingin cepat‐cepat mengawini Josephine. .
Sekarang Kate sudah pulang. Dia berdiri di hadapan
perempuan muda itu, mengatakan, “Aku akan kawin.”
Kata‐kata itu terdengar di antara deburan keras dalam
telinga Kate. Kate merasa hendak pingsan. Cepat ia
berpegang pada ujung meja. Lebih baik aku mati, pikirnya.
Tuhan, ambillah nyawaku sekarang.
Walau demikian, dari kemauan keras dalam dirinya, Kate
berhasil menampilkan senyum pada wajahnya. “Ceritakan
tentang calon istrimu, David.” Kate merasa bangga
mendengar betapa kalem suaranya terdengar. “Siapa sih
orangnya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mula‐mula David ragu. “Ada satu hal lagi, Kate. Aku
mengundurkan diri dari perusahaan ini. “
Dunia seolah runtuh. “Kalau cuma gara‐gara mau kawin,
tak perlu kau—”
“Bukan itu sebabnya, Kate. Ayah Josephine hendak
merintis usaha baru di San Francisco. Mereka
membutuhkanku.”
“Jadi—jadi, kau akan tinggal di San Francisco?”
“Betul. Brad Rogers pasti bisa menggantikan
kedudukanku. Kita ambil saja satu tim manajemen terbaik
untuk membantunya. Kate, sukar menceritakannya. Tapi,
keputusan ini sangat sulit buatku.”
“Aku tahu, David. Pasti—pasti kau mencintainya
setengah mati. Kapan aku boleh bertemu dengan calon
istrimu?”
David tersenyum. Lega hatinya melihat Kate bisa
menerima kabar yang ia sampaikan dengan begitu mudah.
“Nanti malam. Kalau kau punya waktu makan malam
bersama kami.”
“Tentu saja aku punya waktu.”
Kate berkeras diri—ia tak boleh menangis sampai ia
sendirian dalam suatu ruangan.
Keempatnya makan malam bersama di rumah kediaman
keluarga McGregor. Begitu melihat Josephine, Kate
terperangah. Ya, Tuhan! Pantas dia jatuh cinta! Josephine
begitu cernerlang. Bersamanya, Kate merasa kaku dan
jelek. Yang lebih celaka lagi, Josephine sangat anggun dan
ramah. Tampak betul bahwa ia sangat mencintai David.
Sialan!
O'Neil menceritakan tentang perusahaan barunya
kepada Kate sambil bersantap.
“Wah, menarik sekali kedengarannya,” sahut Kate.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tapi, bukan tandingan Kurger‐Brent, Ltd., Nona
McGregor. Kami harus memulainya dari kecil sekali. Tapi,
kami yakin dengan bantuan David, usaha kami akan
berhasil.”
“Tentu saja. David pengelola perusahaan yang luar
biasa,” komentar Kate, meyakinkan Tim O'Neil.
Petang itu sangat menyakitkan hati Kate. Mendadak saja
Kate kehilangan lelaki yang ia cintai dan satu‐satunya orang
yang memegang peranan penting di perusahaannya. Kate
berhasil bersikap tetap tenang, menanggapi pembicaraan di
sekitarnya dengan tetap anggun. Tapi, ia tak ingat lagi apa‐
apa saja yang ia katakan atau lakukan petang itu. Yang
teringat olehnya hanyalah keinginan bunuh diri yang begitu
kuat setiap kali menyaksikan David berpandangan dengan
Josephine.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Josephine berucap,
“Dia mencintaimu, David.”
David tersenyum. “Kate? Ah, tidak. Kami bersahabat.
Sudah begitu sejak ia bayi. Dia sangat menyukai kau,
Josephine.”
Josephine tersenyum. Lelaki memang naif.
Di ruang kantor David, Tim O'Neil dan David duduk
berhadap‐hadapan keesokan harinya.
“Aku butuh kira‐kira dua bulan unruk menyelesaikan
masalah di sini,” tutur David. “Sudah kupikirkan tentang
uang yang kita perlukan unruk memulai usaha kita. Kalau
kita mencari perusahaan besar untuk menunjang kita, pasti
kita dicaplok dan cuma diberi saham kecil. Kalau sudah
begitu, usahanya bukan punya kita lagi. Kupikir, sebaiknya
kita membiayai sendiri. Kuperkirakan kita perlu delapan
puluh ribu dollar untuk memulai. Aku punya tabungan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ