Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tentu.
“Bagus. Kalau tidak, percuma. Ambilkan aku seember air
dan sabun.”
Dominique langsung bekerja membersihkan lantai
apartemen itu, lalu merapikan barang‐barang yang
berantakan. Setelah selesai, katanya, “Nah, sudah lumayan
sekarang. Astaga, mesti mandi aku.”
Ia menuju ke kamar mandi mungil dan membuka keran,
mengisi bak. “Mana cukup bak ini kaupakai berendam?”
serunya.
“Kaki dinaikkan, dong!”
Dominique tertawa. “Jadi pingin lihat, deh!”
Seperempat jam kemudian, Dominique keluar dari
kamar mandi cuma berselubungkan sehelai handuk.
Rambutnya yang pirang basah, keriting. Tubuhnya indah
dengan dada penuh, pinggang langsing, serta kaki mulus
panjang. Selama ini Tony tidak melihat gadis itu sebagai
perempuan. Dia cuma berpose telanjang untuk dilukis di
kanvas. Anehnya, handuk itu membuat segalanya berubah.
Mendadak Tony terangsang.
Dominique memandangnya. “Kau ingin mencumbuku?”
“Ya.”
Perlahan Dominique melepas lilitan handuk dari
tubuhnya. “Coba.”
Belum pemah Tony mengenal perempuan seperti
Dominique. Memberikan segalanya tanpa meminta apa
pun. Setiap sore ia datang, memasak buat Tony. Kalau
makan ke luar, Dominique selalu saja memaksa Tony
makan di warung murahan. “Kau harus menabung,”
katanya,
“Meskipun kau artis hebat, memulai profesi itu susah.
Kau hebat, cheri.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mereka pergi ke Les Halles menjelang subuh, lalu makan
sup bawang di Pied de Cochon. Mereka ke Musee
Carnayalet dan tempat‐tempat aneh yang tidak dikunjungi
turis, seperti Cimetiere P6re‐Lachaise—peristirahatan
terakhir Oscar Wilde, Frede'ric Chopin, Honore de Balzac,
dan Marcel Proust. Mereka mengamati makam‐makamnya,
lalu berlibur seminggu menyusur Sungai Seine menumpang
tongkang milik kenalan Dominique.
Dominique kawan yang menyenangkan. Rasa humornya
tinggi. Kalau Tony merasa tak enak hati dan jengkel,
Dominique pasti membuatnya tertawa. Nampaknya dia
kenal setiap orang di Paris. Tony diajaknya ke pesta‐pesta
menarik dan bertemu dengan orang‐orang kenamaan
seperti penyair Paul Wluard dan Andre' Bre'ton—pengelola
galeri paling prestis: Galerie Maeght.
Dominique selalu memberi semangat. “Kau pasti jadi
pelukis lebih hebat dari mereka semua, cheri. Percayalah.
Aku tahu.”
Kalau Tony sedang berselera melukis pada malam hari,
Dominique dengan riang duduk menjadi modelnya walau ia
telah bekerja keras seharian. Betapa mujurnya aku, pikir
Tony. Baru kali ini ia merasa yakin ada orang yang
mencintai dirinya, bukan karena yang ia miliki. Perasaan
seperti itu sangat membuat Tony berbahagia. Tony takut
memberi tahu Dominique bahwa dia sebenarnya pewaris
kekayaan besar dunia. Ia kuatir gadis itu akan berubah, dan
mereka kehilangan yang mereka miliki sekarang. Walau
begitu, Tony tak kuasa menahan keinginannya
menghadiahi Dominique mantel bulu buatan Rusia pada
hari ulang tahunnya.
“Hm, baru sekali ini aku melihat mantel seindah ini!” ujar
Dominique sembari menari‐nari mengenakan mantel itu.
Mendadak ia berhenti. “Dari mana kau dapat ini, Tony? Dari
mana uangnya?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Tony sudah siap memberi jawaban. “Barang curian.
Kubeli dari orang yang menjajakan di depan Museurn
Rodin. Dia ingin buru‐buru barang itu laku. Harga yang
kubayar tak banyak lebihnya dari harga jaket yang dijual di
Au Printemps.”
Dominique terpaku memandang Tony sejenak. Lalu
tawanya meledak. “Meski harus masuk penjara, aku akan
selalu memakai mantel ini!”
Dia lalu merneluk Tony dan, menangis. “Oh, Tony, kau ini
dungu. Kekasihku, hebat tapi dungu.”
Mengena juga tipunya, pikir Tony.
Suatu malam Dominique mengusulkan agar Tony pindah
saja ke apartemennya. Bekerja di ecole des Beaux‐Arts dan
menjadi model beberapa artis beken di Paris, Dominique
mampu menyewa apartemen besar dan modern di Rue
Pretres‐Saint Severin. “Mestinya kau tak tinggal di tempat
begini, Tony. Jorok. Tinggallah bersamaku. Kau tak perlu
membayar sewa. Selain itu, aku bisa bantu mencuci
pakaianmu, masak buatmu, dan—”
“Tidak, Dominique. Terima kasih.”
“Kenapa sih?”
Bagaimana caranya menjelaskan? Dulu‐dulu, ia bisa
bilang pada Dominique—dia kaya. Tapi, sekarang sudah
terlambat. Jangan‐jangan Dominique merasa dipermainkan.
Tony lalu berkata, “Nanti aku merasa memanfaatkan kau.
Sudah terlalu banyak yang kuterima darimu.”
“Kalau begitu, aku yang mengalah. Aku akan pindah ke
sini. Aku kepingin selalu bersamamu.”
Dominique pindah esok harinya.
Hubungan mereka intim dan menyenangkan. Akhir
minggu mereka habiskan di luar kota. Singgah di hotel kecil
murahan, Tony memasang kuda‐kuda, lalu mulai melukis
pemandangan. Kalau lapar, Dominique mengeluarkan bekal
makan siang yang sudah disiapkan. Keduanya lalu makan di
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
padang rumput. Habis itu, mereka bercumbu‐mesra dan
lama. Belum pernah Tony merasa demikian bahagia dalam
hidupnya.
Di sekolah ia maju. Suatu pagi Maître Cantal
memamerkan lukisan karya Tony di muka kelas. Katanya,
“Coba lihat tubuh ini. Terlihat bernapas betul‐betul.”
Tony merasa tak sabar. Ingin cepat‐cepat menyampaikan
kabar gembira itu kepada Dominique. “Kau tahu sebabnya
aku bisa melukis tubuh itu sampai kelihatan seperti
bernapas? Soalnya, setiap malam modelnya kudekap dalam
pelukanku.”
Dominique tertawa. Ia gembira. Tapi, mendadak ia jadi
serius. “Tony, kukira kau tak perlu sekolah tiga tahun lagi.
Kau sudah siap jadi pelukis. Siapa saja di sekolah sudah
tahu. Termasuk si Cantal.”
Ada ketakutan dalam hati Tony. Ia takut lukisannya
kurang bagus. Takut kalau ia cuma jadi pelukis biasa dan
karya‐karyanya akan tenggelam dalam lautan karya beribu
pelukis lain sekalibernya di dunia. Ia tak rela begitu.
Menang adalah yang paling penting, Tony. Ingatlah itu
selalu.
Terkadang, seusai melukis, Tony merasakan kepuasan.
Aku punya bakat. Ya. Aku memang berbakat. Pada lain
kesempatan ia memperhatikan karyanya dan berpikir, Aku
cuma pelukis amatir.
Dengan dorongan Dominique, Tony makin percaya diri.
Sudah hampir dua lusin lukisan ia selesaikan.
Pemandangan, benda mati. Ada lukisan Dominique—
berbaring bugil di bawah naungan pohon, sinar matahari
menimpa tubuhnya. Ada jaket dan kemeja lelaki tergeletak
di tanah. Yang melihat lukisan itu segera tahu, bahwa si
gadis sedang menunggu kekasihnya.
Ketika melihat lukisan itu, Dominique memekik, “Kau
mesti mengadakan pameran!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Gila, kau. Dominique! Aku belum siap.”
“Kau salah, mon cher.”
Tony pulang sore keesokan harinya. Dominique punya
tamu. Anton Goerg, seorang lelaki berperawakan kurus
dengan mata coklat berkelopak bengkak. Dia pemilik dan
pengelola Goerg Gallery, sebuah galeri sederhana di Rue
Dauphine. Lukisan Tony terserak di sekitar ruangan.
“Ada apa ini?” tanya Tony.
“Ada apa, monsieur,” seru Anton Goerg.
“Lukisanmu betul‐betul brilian.” Lelaki itu menepuk
pundak Tony. “Aku senang kalau bisa memamerkan
karyamu di galeriku.”
Tony melirik Dominique. Wajah gadis itu berseri.
“E—entahlah. Aku tak tahu mesti bilang apa.”
“Semuanya sudah kaukatakan,” sahut Goerg. “Lewat
kanvas‐kanvas ini.”
Tony dan Dominique memperbincangkan hal itu sampai
tengah malam.
“Aku merasa belum siap. Bisa‐bisa aku digantung oleh
kritikus.”
“Kau salah, cheri. Ini paling cocok untukmu. Galerinya
kecil. Cuma penduduk sini saja yang bakal datang dan
menilai karyamu. Percayalah. Kau takkan mereka sakiti.
Monsieur Goerg takkan mau menawarkan ini kalau ia
sendiri tak merasa yakin akan kebolehanmu. Dia
berpendapat sama denganku. Kau bakal jadi seniman
besar.”
“Baiklah,” ucap Tony akhimya. “Siapa tahu? Jangan‐
jangan aku bisa menjual salah satu lukisanku pula.”
***
Telegramnya berbunyi: TIBA PARIS SABTU. TEMANI
AKU MAKAN MALAM. SAYANG, IBU.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Yang terpikir oleh Tony ketika melihat ibunya masuk ke
studio, Bukan main anggunnya dia. Usianya lima puluh lima,
rambut putih nampak di sana‐sini. Penampilannya hidup.
Tony pernah menanyakan pada ibunya, mengapa dia tak
kawin lagi. Jawabnya tenang, “Cuma ada dua lelaki yang
berarti dalam hidupku. Ayahmu dan kau.”
Berdiri di apartemennya yang sempit di Paris,
berhadapan dengan ibunya, Tony berkata, “S—senang
sekali bertemu I—ibu, Bu.”
“Tony, kau nampak sehat dan gagah. jenggotnya baru
saja dibiarkan panjang, ya?” Ibunya tertawa sembari
mengusap jenggot Tony. “Kau seperti Abe Lincoln.”
Pandangannya menyapu ruangan di sekitarnya. “Syukurlah.
Rupanya kau dapat tukang bikin bersih rumah yang bagus
sekarang. Tempat ini jadi terasa lain.”
Kate melangkah ke kuda‐kuda, tempat Tony sedang
menyelesaikan sebuah lukisan. Di situ ia berhenti, lalu
memandang lama sekali. Tony berdiri dekat ibunya,
menunggu reaksinya dengan hati berdebar‐debar.
Ketika Kate bicara, suaranya lembut sekali. “Brilian
sekali, Tony. Sungguh‐sungguh hebat.” Kate sama sekali tak
berusaha menyembunyikan rasa bangga dalam hatinya. Ia
tak bisa dibohongi dalam hal karya seni. Dan, ia merasakan
kegembiraan yang meluap‐luap menyadari putranya demi‐
kian berbakat.
Ia berpaling kepada Tony. “Boleh lihat lainnya?”
Dua jam mereka habiskan melihat‐lihat setumpuk
lukisan Tony. Kate mempelajari dan berkomentar sangat
detil mengenai setiap lukisan itu. Sama sekali tak terdengar
nada merendahkan dalam suaranya. Kate gagal dalam
usahanya mengatur hidup Tony. Tony kagum melihat sikap
ibunya yang begitu anggun menghadapi kenyataan bahwa
ia kalah.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate berkata, “Nanti kuatur agar semua ini bisa
dipamerkan. Aku tahu beberapa agen yang—”
“T‐terima k‐kasih, B‐bu. Itu tak perlu. Aku a‐akan
mengadakan p‐pameran sendiri J‐jumat depan. Ada satu g‐
galeri yang mensponsori.”
Kate merangkul Tony. “Bagus! Galeri apa itu?”
“G‐goerg Gallery.”
“Rasanya aku belum kenal galeri itu.”
“Galeri kecil, sih. A‐aku belum siap pameran di Hammer
atau W‐wildenstein.”
Kate menunjuk ke lukisan Dominique yang sedang
berbaring di bawah pohon. “Kau salah, Tony. Kurasa ini—”
Terdengar pintu depan dibuka. “Aku kangen, cheri. Cepat
buka—” Dominique melihat Kate. “Oh, merde! Maaf. Aku tak
tahu ada tamu di sini, Tony.”
Semuanya terdiam sejenak.
“Dominique, ini i‐ibuku. I‐ibu, kenalkan, Dominique
Masson.”
Kedua perempuan itu berpandangan, satu mengamati
lainnya.
“Apa kabar, Nyonya Blackwell?”
“Aku baru saja mengagumi lukisan putraku—potretmu,”
ujar Kate.
Mereka terdiam lagi. Suasana terasa canggung.
“Tony sudah bercerita bahwa dia akan pameran, Nyonya
Blackwell?”
“Ya. Sudah. Kabar itu sangat menggembirakan.”
“I‐ibu bisa tinggal di sini sampai p‐pameran itu, B‐bu?”
“Aku ingin sekali hadir. Tapi, ada rapat direksi penting
yang harus kuhadiri lusa. Kalau aku tahu lebih dulu tentang
pameran ini, pasti bisa kuatur waktunya.”
“Oh, t‐tidak apa‐apa, Bu,” ujar Tony. “Aku mengerti.”
Tony kuatir ibunya bicara lebih banyak tentang perusahaan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mereka di muka Dominique. Tapi, perhatian Kate masih
terpusat pada lukisan‐lukisan Tony.
“Sangat penting orang yang tepat melihat pameranmu.”
“Siapa itu orang yang tepat, Nyonya Blackwell?”
Kate berpaling pada Dominique. “Pemberi opini, kritikus.
Orang‐orang macam Andre d'Usseau. Dia mesti hadir dalam
pameranmu.”
Andre d'Usseau adalah kritikus paling dihormati di
Prancis. Dia dikenal sebagai singa galak pelindung kuil seni.
Komentar sepotong darinya bisa membuat seorang
seniman tenar atau jatuh dalam semalam. D'Usseau
diundang pada setiap pembukaan parneran. Tapi, dia cuma
datang pada pameran besar. Para pemilik galeri dan
seniman gemetar menunggu komentarnya muncul di koran.
Dia adalah pengusaha bon mot. Sindirannya terbang
menggunakan sayap beracun ke sekeliling Prancis. Andre
d'Usseau merupakan tokoh paling dibenci di lingkungan
seniman Paris, sekaligus paling dihormati. Kritiknya yang
tajam dan menyakitkan diterima orang karena keahliannya.
Tony menoleh pada Dominique.
“Itulah gunanya i‐ibu.”
Lalu kepada Kate ia berkata, “Andre d'Usseau tak pernah
pergi ke galeri kecil.”
“Oh, Tony. Dia harus datang. Dia bisa bikin kau tenar
dalam sekejap.”
“Ya. Atau, mematahkanku sama sekali.”
“Kau tak percaya pada dirimu sendiri?” Kate
memperhatikan putranya.
“Tentu saja,” ucap Dominique. “Cuma saja, kami tak
berani berharap Monsieur d'Usseau akan datang.”
“Mungkin aku bisa cari salah seorang kawan yang dekat
dengan dia.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Wajah Dominique berseri. “Wah, hebat!” Dia berpaling
pada Tony. “Cberi, tahukah kau apa artinya kalau sampai
dia datang pada pembukaan pameranmu?”
“Lupa diri?”
“Yang serius dong! Aku tahu seleranya, Tony. Aku tahu
apa yang dia sukai. Pasti dia memuji karyamu.”
Kate berkata, “Aku takkan berusaha membuatnya
datang, Tony, kalau kau tak mau.”
“Tentu saja Tony mau, Nyonya Blackwell.”
Tony menarik napas dalam. “Aku t‐takut. Tapi,
sudahlah—kita coba saja.”
“Baiklah. Akan kuusahakan.” Kate memperhatikan
lukisan yang terpasang di kuda‐kuda. Lama sekali. Lalu ia
berbalik ke arah Tony. Nampak ada kesedihan yang dalam
di matanya.
“Nak, aku mesti meninggalkan Paris besok. Kau bisa
menemaniku makan malam nanti?”
Tony menyahut, “Tentu saja, Bu. Kami tak punya acara.”
Kate menoleh ke arah Dominique dan dengan anggun
bertanya, “Tempat mana yang kausukai? Maxim's atau—”
“Ada restoran kecil yang menyenangkan tempat kami
biasa makan. Tak begitu jauh dari sini.”
Mereka pergi ke kedai kecil di Place Victoire.
Makanannya enak dan anggurnya lezat. Kate dan
Dominique cepat akrab. Tony merasa bangga melihat
keduanya. Ini salah satu malam paling bagus yang pernah
kulewatkan, pikirnya. Aku bersama ibuku dan gadis yang
kelak akan kuperistri.
Esok harinya Kate menelepon dari pelabuhan udara.
“Aku sudah menelepon beberapa kawan,” ujarnya kepada
Tony. “'Tapi, tak seorang pun bisa memberi kepastian
tentang Andre d'Usseau. Apa pun yang terjadi, Sayang, aku
sangat bangga padamu. Lukisan‐lukisanmu sangat hebat.
Aku sayang sekali padamu, Tony.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku j‐juga sayang sekali pada I‐ibu.”
Goerg Gallery tak bisa dikatakan luas. Kira‐kira dua lusin
lukisan karya Tony digantung di dindingnya dengan
terburu‐buru menjelang pembukaan pameran. Di atas bufet
marmer terhidang potongan keju dan biskuit serta
beberapa botol Chablis. Galerinya kosong. Cuma ada Anton
Goerg, Tony, Dominique, dan seorang asisten perempuan
yang membantu menggantung beberapa lukisan yang
terakhir.
Anton Goerg memandang arlojinya. “Undangannya
menyebut jam tujuh. Sekarang sudah waktunya tamu
berdatangan.”
Tony tak mengira dia bakal gugup. Aku bukan gugup,
katanya pada diri sendiri. Aku panik!
“Bagaimana kalau tak ada tamu yang datang?” tanyanya.
Dominique tersenyum dan membelai pipi Tony. “Ya kita
habiskan keju, biskuit, dan minuman ini sendiri.”
Orang mulai datang. Mula‐mula seorang‐seorang. Lama‐
lama berkelompok‐kelompok. Monsieur Goerg menyambut
di pintu. Mereka bukan pembeli benda seni di mataku, pikir
Tony muram. Matanya yang tajam mengelompokkan tamu‐
tamunya menjadi tiga kategori: seniman dan mahasiswa
sekolah seni yang datang menilai karya saingan mereka;
agen yang mencari sumber lukisan baru; dan kaum
seniman yang sebagian besar terdiri dari kaum homo dan
lesbian—mereka yang menghabiskan hidup mereka di
sekitar dunia seni. Takkan sebuah pun lukisanku bisa
terjual, pikir Tony.
Monsieur Goerg memberi isyarat kepada Tony dari
seberang ruangan.
“Rasanya aku enggan menemui orang‐orang itu,” bisik
Tony pada Dominique. “Mereka bakal mengoyak‐ngoyak
aku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Jangan tolol. Mereka kemari buat menemuimu. Ayolah.
Bersikaplah yang ramah, Tony.”
Dia pun ramah. Setiap tamu ia hampiri. Senyumnya
sering terlihat sementara ia mengucapkan kata‐kata yang
pantas menanggapi pujian yang diberikan orang
kepadanya. Tapi, benarkah semuanya itu pujian? Tony
bertanya‐tanya. Ada istilah yang tahun‐tahun belakangan
ini berkembang di lingkungan seniman. Pada pameran
pelukis tak dikenal, kata‐kata yang diucapkan banyak, tapi
tak ada artinya.
“Rasanya seperti benar‐benar berada di sana…”
“Belum pernah aku melihat gaya lukisan seperti
gayamu…”
“Nah, ini baru lukisan!”
“Kayaknya lukisan ini bicara kepadaku…”
“Hm, tak bakal bisa dibuat lebih bagus lagi…”
Tamu mengalir terus. Tony jadi curiga, jangan‐jangan
bukan lukisannya yang menjadi daya tarik buat mereka,
tapi anggur yang disajikan dengan gratis serta keju dan
biskuitnya. Sejauh ini, belum satu pun lukisannya laku.
Tapi, anggur, keju, dan biskuit dengan cepat berkurang.
“Sabarlah,” bisik Monsieur Goerg kepada Tony. “Mereka
tertarik. Mula‐mula, orang memang harus mengenal dulu
bau lukisannya. Kalau melihat yang mereka sukai, pasti
balik lagi ke situ. Tak lama kemudian mulai tanya harga.
Kalau mereka mulai menggigit bibir, voila! Kail mengena!”
“Astaga! Seperti sedang piknik memancing saja,” ujar
Tony pada Dominique.
Monsieur Goerg bergegas menghampiri Tony. “Kita
berhasil menjual satu!” serunya. “Pemandangan Normandy.
Lima ratus franc.”
Saat itu merupakan saat yang seumur hidupnya tak
bakal terlupakan oleh Tony. Ada orang yang membeli
lukisannya! Ada orang yang begitu menghargai lukisannya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
hingga rela membayar buat memiliki lukisan itu, agar
lukisan itu bisa ia gantung di dinding rumah atau
kantornya, dilihat, dijadikan teman, dan dipamerkan
kepada sahabat‐sahabatnya. Itu semacam kekekalan. Salah
satu cara hidup dalam lebih dari satu kehidupan, berada di
tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan. Pelukis
yang berhasil bisa berada dalam ratusan rumah dan kantor,
serta museum di eluruh dunia, membawa kesenangan buat
ribuan terkadang, bahkan jutaan manusia. Tony merasa
dirinya telah melangkah ke dalam dunia Da Vinci,
Michelangelo, dan Rembrandt. Ia bukan lagi pelukis amatir
melainkan pelukis profesional. Ada orang yang rela
membayar buat mendapatkan lukisannya.
Dominique bergegas menghampiri Tony. Matanya
berbinar kegirangan. “Laku satu lagi, Tony.”
“Yang mana?”' tanya Tony bersemangat.
“Lukisan bunga.”
Galeri kecil itu kini penuh terisi manusia. Suasana riuh
oleh obrolan keras dan bunyi gelas beradu; mendadak
ruangan menjadi hening. Orang berbisik‐bisik. Mata
mereka tertuju ke pintu.
Andre d'Usseau memasuki galeri. Umurnya lima puluh
limaan. Tubuhnya jangkung, melebihi tinggi rata‐rata pria
Prancis. Raut wajahnya memancarkan kekerasan.
Rambutnya lebat dan sudah putih. la mengenakan rompi
lebar dan topi Borsalino. Di belakangnya berjalan pengikut‐
pengikutnya. Orang di dalam galeri minggir memberi jalan
buat d'Usseau. Tak seorang pun tidak mengenal siapa dia.
Dominique memijit tangan Tony. “Dia datang!” ujarnya.
“Dia di sini!”
Belum pernah Monsieur Goerg mendapat kehormatan
seperti ini. Dia girang bukan kepalang, membungkuk
memberi hormat di depan lelaki masyhur itu dan sibuk
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
melakukan semuanya yang bisa dia lakukan buat
menyenangkan tamu agungnya.
“Monsieur d'Usseau,” gagapnya. “Wah, ini kejutan luar
biasa buatku. Aku merasa betul‐betul mendapat
kehormatan! Mau minum anggur? Atau, mungkin Anda
suka keju?” Ia menyalahkan diri sendiri tidak membeli
anggur yang sopan.
“Terima kasih,” sahut lelaki ternama itu. “Aku datang
kemari buat pesta mata saja. Mana senimannya?”
Tonny serasa terpaku. Dominique mendorongnya ke
depan.
“Ini dia,” Monsieur Goerg berkata. “Tuan Andre d'usseau,
kenalkan. Ini Tony Blackwell.”
Tony berhasil mengeluarkan suara. “Halo. Terima kasih
banyak Anda sudi datang.”
Andre d‐Usseau membungkuk sedikit, lalu melangkah ke
dekat lukisan yang tergantung di dinding. Orang minggir
memberinya jalan. Ia bergerak teramat pelan. Setiap
lukisan ia amati lama dan teliti sebelum meneruskan
langkah ke lukisan berikutnya. Tony mencoba membaca
ekspresi wajah lelaki itu. Tetapi, tak sedikit pun ia berhasil
menangkap yang ada dalam hati dan pikiran Andre
d'Usseau. Lelaki itu tak sedikit pun mengerutkan dahi atau
tersenyum. Ia berhenti lama sekali di depan salah satu
lukisan: Dominique tanpa busana, lalu berlalu. Galeri ia
putari sampai habis. Tak satu lukisan pun luput dari
pengamatannya. Tony jadi berkeringat dingin.
Setelah selesai mengamati, Andre d'Usseau menghampiri
Tony.
“Aku senang datang kemari,” cuma itu yang diucapkan.
Cuma dalam beberapa menit saja sepeninggal kritikus
lukisan tenar itu, semua lukisan yang dipamerkan di galeri
itu terjual habis. Seorang pelukis besar baru lahir, semua
orang ingin menyaksikan kelahirannya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Belum pernah aku mengalami yang begini!” cetus
Monsieur Goerg. “Andre d'Usseau datang ke galeriku.
Galeriku! Sekota Paris pasti tahu besok. ‘Aku senang datang
kemari.' Andre d'Usseau bukan orang yang biasa
menghambur kata‐kata. Ini patut dirayakan dengan
sampanye. Ayo kita rayakan.”
Malamnya, Tony dan Dominique bikin perayaan sendiri.
Dominique meringkuk dalam dekapan Tony. “Aku sudah
beberapa kali tidur dengan pelukis,” ucapnya, “tapi, belum
ada yang setenar kau nantinya. Besok, setiap orang di Paris
akan tahu siapa kau.”
Yang diucapkan Dominique benar.
Jam lima subuh, Tony dan Dominique bergegas
mengenakan pakaian lalu keluar mencari surat kabar pagi
edisi pertama. Korannya baru saja tiba di kios. Tony
menjambret sehelai lalu membuka halaman karya seni.
Pamerannya merupakan judul utama dan ditulis oleh Andre
d'Usseau. Tony membaca keras‐keras:
“Pameran lukisan karya pelukis muda Amerika, Anthony
Blackwell, dibuka kemarin petang di Goerg Gallery. Pameran
ini merupakan pengalaman besar buatku. Terlalu banyak
sudah kukunjungi pameran lukisan karya pelukis berbakat,
sampaisampai aku lupa bagaimana rupa jukisan jelek.
Semalam aku dipaksa mengingat...”
Wajah Tony pucat pasi.
“Jangan teruskan,” pinta Dominique. Dia berusaha
merebut koran dari tangan Tony.
“Jangan!” bentak Tony.
Ia meneruskan membaca Ebook by : Hendri Kho by Dewi
KZ http://kangzusi.com/.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Semula kukira ada yang sedang bikin lelucon. Aku tak
bisa percaya ada orang yang berani menggantung karya
lukis yang begitu amatir, apalagi menyebutnya karya seni.
Kucoba mencari goresan bakat yang cuma segores sekali
pun. Tapi, sama sekali tak kutemukan. Mestinya pelukisnya
yang digantung, bukan lukisannya. Dengan setuIus hati
kuanjurkan pada Tuan Blackwell agar kembali saja pada
profesinya yang sebenarnya, yang kuduga cuma pelukis
rumahan.”
“Rasanya aku tak percaya,” bisik Dominique.
“Tak percaya, bahwa d'Usseau tak bisa melihat bakatmu.
Oh, bajingan dia!” Dominique pun menangis tersedu‐sedu.
Dada Tony sesak. Ia merasa sukar bernapas.
“Dia lihat,” katanya. “Dia tahu, Dominique. Dia tahu
betul.” Suaranya kedengaran bernada pilu. “Justru itulah
yang menyakitkan. Tuhan! Betapa dungunya aku!” Tony
lalu melangkah pergi.
“Mau ke mana kau, Tony?”
“Entah.”
Pemuda itu keluyuran di jalanan yang masih gelap dan
dingin, tak sadar akan air mata yang membanjiri pipinya.
Beberapa jam lagi semua orang di Paris bakal membaca
komentar itu. Dia akan jadi bulan‐bulanan. Tapi, yang
paling melukai hatinya: dia tertipu oleh dirinya sendiri.
Keyakinannya begitu kuat bahwa kelak dia punya karir
melukis. Paling tidak, Andre d'Usseau telah
menyelamatkannya dari kesalahan fatal. Persetan pikir
Tony geram. Ia masuk ke pintu bar pertama yang
ditemuinya, lalu minum sepuas‐puasnya.
Tony baru kembali ke apartemennya jam lima subuh
keesokan harinya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dominique menunggunya dengan waswas. “Dari mana
saja kau, Tony? Ibumu mencari kau. Dia kuatir sekali.”
“Kaubacakan kritik itu padanya?”
“Ya, ibumu memaksa. Aku—”
Telepon berdering. Dominique memandang Tony, lalu
mengangkat gagang telepon. “Halo? Ya, Nyonya Blackwell.
Baru saja dia datang.” Gagang telepon diberikannya pada
Tony. Tony ragu. Lalu mengambilnya.
“Halo, B‐bu.”
Suara Kate kedengaran gugup. “Tony, Sayangku, dengar!
Aku—bisa membuat dia menulis ralat. Aku—”
“Ibu,” sahut Tony capek, “Ini bukan transaksi bisnis. Ini
tulisan kritikus tentang pendapatnya. Menurut
pendapatnya aku mesti didigantung.”
“Sayangku, aku sedih kau luka begini. Aku tak tahan—”
Kata‐katanya terputus. Dia tak kuasa melanjutkan.
“Tidak apa‐apa, B‐bu. Aku mencoba‐coba. Ternyata
gagal. Ya sudah. Aku b‐benci d'Usseau mencaci sekejam itu.
Tapi, dia kritikus terbesar di dunia. Jadi, aku harus percaya.
Yang terang, dia menyelamatkanku dari kesalahan be‐
besar.”
“Tony, rasanya aku ingin bisa mengatakan sesuatu...”
“Semuanya sudah dikatakan oleh d'Usseau. Lebih baik
aku tahu sekarang daripada s‐sepuluh tahun lagi. Ya, kan?
Aku mesti buru‐buru pergi dari kota ini.”
“Tunggullah aku, Sayang. Aku terbang dari Johannesburg
besok. Kita kembali ke New York bersama.”
“Baiklah,” sahut Tony. Dia menaruh gagang telepon lalu
berbalik ke Dominique. “Maafkan aku, Dominique. Kau
salah pilih.”
Dominique diam saia. Dia cuma memandang Tony
dengan perasaan pilu yang tak terucapkan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Esok siangnya, di kantor Kruger‐Brent yang
berkedudukan di Rue Matignon, Kate Blackwell
menandatangani selembar cek. Lelaki yang duduk di
seberang mejanya menarik napas. “Sayang. Putra Anda
sebetulnya berbakat, Nyonya Blackwell. Dia bisa jadi
pelukis besar.”
Kate menatapnya dengan dingin. “Tuan d'Usseau,
puluhan ribu pelukis ada di dunia ini. Putraku tidak
ditakdirkan buat masuk ke golongan mereka.” Kate
menyerahkan cek. “Anda sudah memenuhi kewajiban Anda
sesuai dengan perjanjian, dan aku pun bersedia memenuhi
kewajibanku. Kruger‐Brent, Limited, akan mensponsori
museum‐museum seni di Johannesburg, London, dan New
York. Anda bertugas memilih lukisan‐lukisannya—tentu
saja dengan komisi memuaskan.”
Walaupun begitu, berjam‐jam setelah d'Usseau pergi,
Kate masih duduk di balik meja kerjanya. Perasaannya
berat dan sedih luar biasa. Ia begitu mencintai putranya.
Kalau sampai dia tahu... Kate tahu risikonya. Tapi, dia tak
rela membiarkan Touy melemparkan warisannya begitu
saja. Apa pun risikonya, Tony harus dilindungi. Perusahaan
harus dilindungi. Kate bangkit. Mendadak ia merasa capek
sekali. Sudah waktunya dia menjemput Tony dan
membawanya pulang. Dia berjanji hendak membantu Tony
melupakan pengalaman pahitnya agar anak itu bisa
mengemban tugas yang dibawanya sejak lahir.
Mengelola perusahaan.
19
DUA tahun lamanya Tony Blackwell merasakan
kebosanan luar biasa yang tak membawanya ke mana‐
mana. Dia ahli waris perusahaan raksasa yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menakjubkan. Kruger‐Brent telah melebarkan sayap dan
memasukkan pabrik kertas, usaha penerbangan,
perbankan, dan rumah sakit dalam bidang usahanya. Tony
sekarang tahu bahwa nama bisa membuka pintu mana pun.
Tony diterima sebagai anggota Union Club, The Brook, dan
The Links Club. Dia dilayani orang ke mana pun dia pergi.
Anehnya, dia merasa jadi penipu. Dia merasa belum pernah
melakukan apa pun yang menyebabkan dia berhak atas
semuanya itu. Dia berada di bawah bayang‐bayang raksasa
kakeknya, dan selalu saja merasa dibandingkan dengan
lelaki pendiri perusahaan berhasil itu. Itu tak adil. Sekarang
tak ada lagi padang berlian yang bisa dia arungi dengan
merangkak. Tak ada lagi penjaga keamanan yang
membidikkan senapan kepadanya. Tak ada lagi ikan hiu
yang mengancam. Kisah kepahlawanan masa lalu tak ada
hubungannya sama sekali dengan Tony. Kisah itu kisah
seabad yang lampau, zaman yang berbeda, tempat yang
berbeda—kisah tindak kepahlawanan oleh seseorang yang
tak dikenal.
Tony bekerja dua kali lebih keras dibanding siapa pun di
Kruger‐Brent, Ltd. Dia menyiksa diri, mencoba
menghilangkan kenangan yang terlalu memedihkan hati
bila dikenang. Beberapa kali ia menulis surat kepada
Dominique, tetapi, setiap kali suratnya kembali tanpa
dibuka. Dia menelepon Maitre Cantal, tapi katanya Domini‐
que sudah tak lagi bekerja sebagai model di sekolah situ.
Gadis itu hilang, entah ke mana.
Kerja Tony sangat hebat dan rapi. Tak ada emosi dalam
hatinya. Tak ada pula cinta. Kalau pemuda itu merasakan
kehampaan dalam hatinya, tak seorang pun mengira. Kate
pun tidak. Laporan mingguan tentang putranya dia terima
secara teratur. Perempuan itu puas membaca setiap
laporan tentang kerja Tony.
“Dia punya bakat bisnis,” ujarnya kepada Brad Rogers.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Buat Kate, kerja lembur yang dilakukan Tony
membuktikan betapa Tony menyukai pekerjaannya. Kalau
ingat bagaimana putranya hampir saja menyia‐nyiakan
masa depannya, Kate bergidik. Ia bersyukur telah berbuat
sesuatu buat menyelamatkan Tony.
Pada tahun 1948, Partai Nasionalis berkuasa penuh di
Afrika Selatan. Setiap tempat umum melaksanakan
pemisahan warna kulit. Perpindahan penduduk diawasi
ketat. Keluarga dipecah‐belah buat kepentingan
pernerintah. Setiap orang kulit hitam diharuskan
membawa bewyshoek. Itu bukan saja surat izin, tetapi
sekaligus juga kehidupan, surat lahir, izin kerja, dan tanda
pembayar pajak. Setiap gerakan dan hidupnya diatur oleh‐
nya. Huru‐hara timbul di sana‐sini di Afrika Selatan.
Semuanya dipadamkan dengan keji oleh polisi. Sesekali
Kate membaca cerita tentang sabotase dan pemberontakan
dari surat kabar. Nama Banda selalu disebut‐sebut. Walau
usianya sudah lanjut, lelaki itu masih tetap merupakan
pemimpin bawah tanah. Sudah tentu dia berjuang buat
rakyatnya, pikir Kate. Namanya saja Banda.
Kate merayakan ulang tahunnya yang kelima puluh
enam berdua saja dengan Tony di rumah mereka di Fifth
Avenue. Pemuda tampan dua puluh empat tahun di
seberang meja itu tak mungkin anakku. Aku masih terlalu
muda. Tony pun mengacungkan gelas dan berkata, “Buat i‐
ibuku y‐yang h‐hebat. Selamat u‐ulang tahun!”
“Mestinya kaukatakan buat ibuku yang tua dan hebat,”
komentar Kate. Tak lama lagi aku pensiun, pikir Kate, tapi
putraku akan mengambil alih tempatku. Putraku!
Atas desakan Kate, Tony akhirnya mau pindah ke rumah
di Fifth Avenue.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Rumah ini kebesaran kutinggali sendiri,” kata Kate.
“Sayap kiri rumah ini boleh kaupakai sendiri supaya kau
tak terganggu.” Buat Tony lebih mudah menyerah daripada
harus berdebat.
Setiap pagi ibu dan anak itu sarapan bersama. Obrolan
mereka selalu berkisar pada KrugerBrent, Ltd. Tony takjub
ibunya bisa begitu bergairah mengurus sesuatu yang tak
berwajah dan tak berjiwa—kumpulan gedung‐gedung kan‐
tor, mesin, dan buku‐buku pencatat angka. Di mana sih daya
tariknya? Begitu banyak hal dan misteri yang bisa dikuak di
dunia ini. Heran, ada orang yang membuang‐buang waktu
cuma buat menumpuk kekayaan, mencari tambahan kekua‐
saan! Tony tak bisa mengerti jalan pikiran ibunya. Tapi, dia
sangat menyayangi perempuan itu. Dia cuma bisa mencoba
hidup memenuhi harapan ibunya.
Penerbangan Pan American dari Roma ke New York
berjalan mulus. Tony suka terbang dengan Pan American.
Santai dan sangat efisien. Dia sibuk dengan laporan‐
laporannya sejak pesawat lepas‐landas. Hidangan makan
malam tidak dia sentuh. Begitupun sapaan pramugari yang
menawarkan minuman, bantal, dan lain‐lainnya, tidak dia
hiraukan.
“Terima kasih, Non. Nanti saja.”
“Kalau ada yang Anda perlukan, Tuan Blackwell...”
“O, terima kasih..”
Seorang perempuan setengah baya yang duduk
bersebelahan dengan Tony membuka majalah mode. Ketika
perempuan itu membalik halaman, Tony kebetulan sedang
melirik. Mendadak ia merasa beku. Ada foto peragawati
mengenakan gaun dansa. Dominique. Tak perlu ditanyakan
lagi. Dia Dominique. Tulang pipinya yang indah, matanya
yang hijau, dan rambutnya yang pirang menawan... jantung
Tony mulai berdegup keras.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Maaf,” kata Tony pada perempuan di sebelahnya. “Boleh
pinjam sebentar?”
Keesokan paginya Tony menelepon toko pakaian yang
namanya tercantum di halaman majalah. Dari sana dia
mendapatkan nama dan alamat agen iklan mereka. Tony
menelepon agen itu.
“Aku sedang mencari‐cari salah satu model Anda,”
katanya kepada operator telepon. “Bisakah—”
“Sebentar, Tuan.”
Terdengar suara lelaki di seberang sana. “Bisa dibantu?”
“Aku melihat potret dalam terbitan Vogue bulan ini.
Model itu memperagakan gaun dansa untuk toko pakaian
Rothman. Betulkah itu langganan Anda?”
“Ya.”
“Bolehkah aku meminta nama agen modelnya?”
“Oh, Carleton Blessing Agency—namanya.” Lelaki itu
memberi Tony nomor telepon.
Semenit kemudian Tony sudah bicara dengan seorang
perempuan di Blessing Agency. “Aku sedang mencari salah
satu model Anda,” ujarnya. “Namanya Dominique Masson.”
“Oh, maaf. Kebijaksanaan perusahaan melarang kami
memberi informasi pribadi.” Sambungan telepon diputus.
Tony duduk terpaku, memandang gagang telepon. Harus
ada jalan buat menghubungi Dominique. Dia pergi
menemui Brad Rogers.
“Pagi, Tony. Mau kopi?”
“Tak usah. Terima kasih, Brad. Pernah mendengar
tentang Carleton Blessing Model Agency?”
“Rasanya ya. Itu milik kita.”
“Apa?”
“Perusahaan itu bernaung di bawah payung salah satu
perusahaan subsidiari kita.”
“Sejak kapan?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kira‐kira dua tahun yang lalu. Kira‐kira sejak kau kerja
di sini. Mengapa tiba‐tiba menaruh perhatian?”
“Aku sedang mencari salah satu model mereka. Kenalan
lamaku.”
“Ah, itu sih gampang. Nanti kuteleponkan.”
“Tak perlu. Biar kutelepon sendiri. Terima kasih, Brad.”
Perasaan hangat penuh harap menjalar di dada Tony.
Siangnya, Tony pergi ke kantor Carleton Blessing
Agency. Dia memperkenalkan diri. Semenit kemudian dia
sudah duduk di kantor presiden perusahaan. Tuan Tilton
namanya.
“Wah, ini kehormatan besar, Tuan Blackwell. Mudah‐
mudahan tidak ada masalah gawat. Keuntungan kami
kuartal lalu—”
“Oh, bukan itu maksud kedatanganku. Aku tertarik pada
salah satu model Anda. Dominique Masson namanya.”
Wajah Tilton berseri. “Wah, dia kebetulan model
terbagus yang kami punyai. Ibu Anda memang jeli.”
Tony mengira dia salah mengerti. “Maksud Anda?”
“Secara pribadi ibu Anda meminta kami menerima
Dominique. Terus terang, itu merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi ketika Kruger‐Brent, Limited,
mengambil alih perusahaan ini. Semua surat‐suratnya
masih tersimpan di arsip, kalau Anda berkenan—”
“Tak perlu.” Tony tak mengerti. Rasanya dia tak bisa
mencerna yang didengarnya barusan. Mengapa ibunya—?
“Boleh minta alamat Dominique?”
“Tentu saja, Tuan Blackwell. Dia sedang bekerja di
Vermount hari ini. Tapi pasti pulang,” —sebentar dia
melirik jadwal di mejanya—”besok siang.”
Tony sedang menunggu di luar gedung apartemen
Dominique sewaktu sebuah sedan hitam mendadak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
berhenti dan Dominique melangkah ke luar. Dia ditemani
seorang lelaki bertubuh besar dengan perawakan atletis.
Lelaki itu membawakan koper Dominique. Dominique
terpaku melihat Tony.
“Tony! Astaga! Sedang apa kau di sini?”
“Aku perlu bicara denganmu.”
“Lain kali saja, Sobat,” ucap lelaki atletis kawan
Dominique. “Siang ini kami sibuk.”
Melirik dia pun Tony tidak. “Suruh kawanmu itu pergi.”
“He! kaupikir kau ini siapa?”
Dominique berbalik kepada kawannya. “Pergilah dulu,
Ben. Nanti sore kutelepon.”
Sejenak dia nampak ragu. Lalu lelaki itu mengangkat
bahu. “Oke.” Matanya mendelik pada Tony, lalu melompat
masuk ke mobilnya dan menderu pergi.
Dominique memandang Tony. “Baiknya kau masuk.”
Apartemennya luas, diperaboti dengan permadani putih
dan tirai jendela serta perabotan modern. Pasti harganya
mahal.
“Rupanya kau sukses,” ucap Tony.
“Ya. Aku beruntung.” Jemari Dominique meremas ujung
blusnya dengan gelisah. “Mau minum?”
“Tak perlu. Aku berusaha mencari‐cari kau sejak
meninggalkan Paris.”
“Aku pindah.”
“Ke Amerika?”
“Ya.”
“Bagaimana ceritanya sampai kau dapat kerjaan di
Carleton Blessing Agency?”
“D‐dari iklan di koran,” sahut Dominique enggan.
“Kapan kau ketemu ibuku pertama kali, Dominique?”
“Aku—di apartemenmu di Paris. Ingat kan? Kita—”
“Jangan main‐main lagi,” tukas Tony. Bara amarah
berkobar dalam dadanya. “Semuanya sudah lewat. Aku
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
belum pernah menampar perempuan, tapi—kalau sekali
lagi kauucapkan kebohongan, kutampar mukamu biar tak
bisa lagi jadi model.”
Dominique berusaha bicara, tapi bara menyala yang
terpancar di mata Tony membuatnya diam.
“Kutanya kau sekali lagi. Kapan kau ketemu ibuku
pertama kali?”
Kali ini tak ada lagi keragu‐raguan. “Ketika kau diterima
di Ecole des Beaux‐Arts. Ibumu mengatur agar aku bekerja
jadi model di sana.”
Perut Tony mulas. Tapi, dia memaksakan dirinya
bertahan. “Supaya aku bisa ketemu kau?”
“Ya, aku—”
“Dan kau dibayar ibuku supaya mau tidur denganku,
supaya mau berpura‐pura mencintaiku?”
“Ya. Waktu itu perang baru saja selesai. Aku dalam
kesulitan. Aku tak punya uang. Tidak bisa mengertikah kau?
Tapi, Tony—kau harus percaya, aku betul‐betul
menyayangimu. Aku betul‐betul cinta padamu.”
“Jawab yang kutanyakan saja.” Suara Tony kejam. Itu
membuat Dominique ketakutan. Lelaki di depannya ini
asing, dan bisa brutal.
“Apa sebetulnya tujuan semua itu?”
“Ibumu minta agar aku mengawasimu.”
Tony teringat kelembutan Dominique kala mereka
berpelukan—rupanya itu dibeli, hadiah ibunya—Tony
muak dan malu mengingat semuanya itu. Jadi, selama ini
dia tak lain daripada wayang yang dipermainkan ibunya—
dikontrol dan dimanipulasi. Ibunya tak pemah peduli
sedikit pun pada perasaannya. Dia bukan anak wanita yang
tak berperasaan itu. Dia putra mahkotanya, penerus
tahtanya. Yang paling penting buatnya cuma perusahaan.
Tony memandang Dominique buat terakhir kalinya, lalu
berbalik dan pergi. Dominique memperhatikan Tony.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Matanya berlinang‐linang. Aku tidak berbohong bila
kukatakan aku mencintaimu, Tony. Aku tidak berbohong
tentang hal itu.
Kate sedang di ruang perpustakaan waktu Tony masuk.
Dia mabuk sekali.
“Aku baru n‐ngomong sama Dominique,” ujarnya.
“Selama i‐ini, k‐kalian berdua pasti senang menertawakan
aku di balik punggungku.”
Kate merasa kaget dan ketakutan. “Tony—”
“Mulai saat ini, aku ingin Ibu tak mencampuri urusan
pribadiku. Dengar?” Tony berbalik, terhuyung‐huyung
meninggalkan perpustakaan.
Kate memandang kepergian anaknya. Mendadak
firasatnya tak enak.
20
ESOK harinya, Tony menyewa apartemen di Greenwich
Village. Tak ada lagi makan malam bersama ibunya.
Hubungannya dengan Kate cuma untuk urusan perusahaan
semata. Sesekali Kate mencoba mengambil gagasan buat
mengembalikan hubungan baik, tetapi semua usahanya tak
dihiraukan Tony.
Hati Kate luka. Yang dia lakukan sebenarnya adalah yang
paling baik buat Tony. Persis seperti yang telah dia lakukan
demi kebaikan David. Dia tak bisa membiarkan keduanya
meninggalkan perusahaan. Tony merupakan satu‐satunya
manusia di dunia ini yang dicintai Kate. Kate menyaksikan
anak itu makin menarik diri dan menolak setiap orang. Dia
tak punya kawan. Kalau dulu dia hangat dan terbuka, kini
dia jadi dingin dan tertutup. Dia membangun tembok tinggi
di sekelilingnya, yang tak bisa ditembus siapa pun. Dia
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
butuh istri, pikir Kate. Buat merawat dan melahirkan putra
penerusnya. Aku harus membantu dia. Harus.
Brad Rogers masuk ke ruang keria Kate. Katanya,
“Kurasa kita dapat kesusahan lagi, Kate.”
“Ada apa lagi?”
Brad menaruh selembar telegram di meja Kate.
“Parlemen Afrika Selatan mengalahkan Dewan Perwakilan
Rakyat dan meneruskan Undang‐undang Komunis.”
“Astaga!” ucap Kate. Undang‐undang itu tak ada
hubungannya dengan komunisme. Isinya menyatakan,
bahwa siapa pun yang tidak setuju dengan kebijaksanaan
pemerintah dan mencoba mengubahnya secara apa pun
dianggap bersalah di bawah Undang‐undang Komunis dan
bisa ditahan.
“Itu cara mereka mematahkan gerakan pertahanan
orang hitam,” katanya. “Kalau—” Kata‐katanya terputus
karena sekretarisnya masuk.
“Ada interlokal buat Anda. Tuan Pierce dari
Johannesburg.”
Jonathan Pierce adalah manajer kantor cabang
Johannesburg. Kate mengangkat gagang telepon. “Halo,
Johnny. Apa kabar?”
“Baik, Kate. Aku punya kabar yang sebaiknya
kaudengar.”
“Apa itu?”
“Baru saja kudapat laporan, polisi berhasil menangkap
Banda.”
Kate langsung terbang dengan penerbangan pertama ke
Johannesburg. Dia minta konsultan hukum perusahaan
agar memikirkan sesuatu yang bisa mereka lakukan buat
Banda. Kali ini kekuatan dan nama besar Kruger‐Brent, Ltd.,
pun mungkin tak bakal bisa menyelamatkannya. Banda
sudah dinyatakan sebagai musuh negara. Tak berani
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
rasanya Kate membayangkan hukuman apa yang bakal
dijatuhkan kepada lelaki itu. Paling tidak, dia harus
bertemu dengan Banda dan bicara dengannya—
menawarkan dukungan yang bisa dia berikan.
Ketika pesawat mendarat di Johannesburg, Kate
langsung bergegas ke kantornya dan menelepon direktur
penjara.
“Dia ada di blok isolasi, Nyonya Blackwell. Dia tidak
diperkenankan menerima tamu. Tapi, buat Anda, coba
kulihat kalau‐kalau ada yang bisa dilakukan…”
Keesokan paginya Kate sudah berada di penjara
Johannesburg, berhadap‐hadapan dengan Banda. Tangan
dan kaki Banda diborgol. Di antara mereka ada partisi kaca.
Rambutnya sudah putih semua. Kate tak tahu apa yang
mesti dia harapkan—wajah putus asa atau menantang.
Tetapi, yang terlihat olehnya ketika dia datang, Banda
tersenyum lebar melihatnya. “Aku tahu kau bakal datang.
Kau persis ayahmu. Tak bisa disurah menjauhi bahaya.”
“He, lihat dulu siapa yang ngomong,” balas Kate.
“Bagaimana caranya mengeluarkan kau dari sini?”
“Mereka cuma akan membiarkan aku pergi dalam peti.”
“Aku punya banyak pengacara yang bisa—”
“Lupakan itu, Kate. Mereka menangkapku dengan
terang‐terangan. Aku juga mesti meloloskan diri dengan
cara yang sama.”
“Ngomong apa sih kamu ini?”
“Aku tak suka kurungan. Dari dulu aku tak suka. Belum
pernah mereka membuatkan kurungan khusus buatku,
yang bisa menahanku di dalamnya.”
Kate berkata, “Banda, jangan coba‐coba. Jangan. Mereka
akan membunuhmu.”
“Tak ada apa pun yang bisa mematikanku,” ucap Banda.
“Ingat, Kate. Kau sedang bicara dengan lelaki yang bertahan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
hidup dan berhasil lolos dari serangan ikan hiu, ranjau
tanah, dan anjing pemburu.” Ada kerling nakal di matanya.
“Tahu sesuatu, Kate? Kupikir, saat‐saat itu merupakan
waktu paling menyenangkan dalam hidupku.”
Ketika Kate datang menjenguk Banda lagi keesokan
harinya, pengawas penjara berkata, “Maafkan kami, Nyonya
Blackwell. Kami terpaksa memindahkan dia karena alasan
keamanan.”
“Di mana dia?”
“Kami tidak diperbolehkan mengatakannya.”
Ketika bangun esok paginya, Kate membaca judul utama
koran yang dibawa masuk bersama sarapannya. Judul itu
memberitakan:
PEMIMPIN PEMBERONTAK MATI TERTEMBAK WAKTU
MELOLOSKAN DIRI DARI PENJARA.
Sejam kemudian Kate sudah berada di penjara, dalam
kantor pengawas.
“Dia tertembak ketika mencoba melarikan diri, Nyonya
Blackwel. Cuma itu.”
Kau salah, pikir Kate, masih banyak lagi. Banyak lagi.
Banda sudah mati. Tapi, matikah cita‐citanya buat
membebaskan rakyatnya?
Dua hari kemudian, sesudah mengurus penguburan
Banda, Kate terbang lagi ke New York. Dari tempat
duduknya dalam pesawat, ia menengok sekali lagi ke tanah
kecintaannya. Tanahnya merah, kaya, dan subur. Di
dalamnya, terkandung kekayaan yang tak terbayangkan
banyaknya. Afrika merupakan tanah pilihan Tuhan. Itu
sebabnya, Tuhan dengan murah melimpahi tanah itu. Tapi,
negara‐negaranya seperti kena kutuk. Aku takkan pernah
datang lagi kemari, pikir Kate sedih. Takkan pernah lagi.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Salah satu kewajiban Brad Rogers adalah mengawasi
Bagian Perencanaan Jangka Panjang di Kruger‐Brent, Ltd.
Dia sangat brilian dalam hal mengenali bisnis yang bisa
mendatangkan keuntungan besar.
Suatu pagi di bulan Mei, dia melangkah masuk ruang
keria Kate Blackwel “Aku menemukan sesuatu yang sangat
menarik, Kate.” Lelaki itu menaruh dua map di atas meja
Kate. “Dua perusahaan. Kalau kita ambil salah satu, wah—
tak ada tandingannya.”
“Terima kasih, Brad. Akan kupelajari nanti malam.”
Malamnya, Kate makan sendirian, lalu mempelajari
laporan rahasia Brad Rogers tentang kedua perusahaan
yang dibicarakan siangnya—Wyatt Oil & Tool, dan
International Technology. Laporannya panjang dan sangat
detil. Keduanya diakhiri dengan singkatan TD—Tidak
Dijual. Kate tahu betul artinya. Maksudnya, yang ingin
mengambil‐alih perusahaan‐perusahaan itu harus bersedia
memberikan lebih dari transaksi jual‐beli perusahaan yang
normal. Keduanya menarik buat diambilalih, pikir Kate.
Masing‐masing dari kedua perusahaan itu diawasi secara
pribadi oleh pribadi kaya berpendirian kuat. Ini
menghilangkan sama sekali kemungkinan usaha
pengambilalihan. Itu menjadi tantangan. Sudah lama Kate
tidak merasa tertantang. Makin banyak ia berpikir, makin
banyak kemungkinan yang membuatnya bersemangat.
Sekali lagi dia mempelajari neraca keuangan rahasia di
depannya. Wyatt Oil & Tool dimiliki oleh Charlie Wyatt,
seorang Texas. Kekayaan perusahaan itu meliputi sumur
minyak, perusahaan pengeboran, dan berlusin‐lusin
kontrak minyak yang menguntungkan. Jelas sudah bahwa
Wyatt Oil & Tool merupakan potensi bagus buat dimiliki
Kruger‐Brent, Ltd.
Kate mengalihkan perhatiannya pada perusahaan kedua.
International, Technology dimiliki oleh seorang Jerman,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Count Frederick Hoffman. Perusahaan itu dimulai dengan
pabrik pengolahan besi kecil di Essen. Tahun demi tahun
membawa perkembangan buat perusahaan itu, dan kini
perusahaan itu merupakan perusahaan raksasa yang
membawahi beberapa galangan kapal, pabrik‐pabrik
petrokimia, sepasukan tanker minyak, dan satu divisi
komputer.
Walaupun didukung perusahaan raksasa seukuran
Kruger‐Brent, cuma satu di antara keduanya yang bisa
diambil. Kate tahu yang mana yang dia inginkan. TD, begitu
tertulis pada akhir laporan tentang perusahaan yang kedua.
Lihat saja nanti, pikir Kate.
Pagi‐pagi sekali esoknya, Kate memanggil Brad Rogers.
“Bagaimana kau bisa dapat dua neraca rahasia itu?” tanya
Kate sembari tersenyum lebar. “Coba ceritakan tentang
Charlie Wyatt dan Frederik Hoffman.”
Brad sudah siap. “Charlie Wyatt lahir di Dallas. Orangnya
banyak bicara, suaranya lantang, dan sangat cerdik
mengendalikan perusahaannya. Dia mulai dari nol,
beruntung dapat sumur minyak, terus mengembangkan
sayap dan kini, memiliki hampir separuh Texas.”
“Berapa umurnya?”
“Empat puluh tujuh.”
“Punya anak?”
“Seorang. Perempuan. Dua puluh lima tahun. Katanya,
dia cantik sekali.”
“Sudah kawin Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/?”
“Cerai.”
“Frederick Hoffman.”
“Hoffman dua tahun lebih muda dari Charlie Wyatt. Dia
seorang bangsawan, datang dari keluarga terpandang dari
Abad Pertengahan di Jerman. Dia duda. Kakeknya memulai
dengan pabrik pengolahan bijih besi kecil‐kecilan. Frede‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
rick Hoffman mewarisi perusahaan itu dari ayahnya dan
menjadikan perusahaan kecil itu jadi perusahaan raksasa.
Dia salah satu pengusaha yang menyentuh bidang
komputer. Dia memegang banyak paten prosesor mikro.
Setiap kali kita menggunakan komputer, Count Hoffman
mendapat royalti.”
“Anaknya?”
“Perempuan. Dua puluh tiga tahun.”
“Rupanya bagaimana?”
“Belum tahu.” Brad Rogers minta maaf. “Keluarga itu
sangat tertutup. Mereka bepergian dalam lingkungan
keluarga sendiri saja.” Lelaki itu ragu. “Mungkin kita cuma
membuang waktu mengobrolkan ini, Kate. Aku minum‐
minum dengan dua eksekutif top dari masing‐masing
perusahaan itu. Baik Wyatt maupun Hoffman sama sekali
tak punya keinginan menjual. atau melebur perusahaan
mereka dengan perusahaan lain. Bahkan kerja sama pun
mereka tak berminat. Seperti kaulihat sendiri dalam
laporan keuangan masing‐masing, perusahaan mereka
sehat. Gila kalau berpikir hendak menjual.”
Lagi‐lagi Kate merasa ditantang.
Sepuluh hari kemudian, Kate diundang oleh Presiden
Amerika Serikat buat menghadiri suatu konferensi di
Washington. Yang diundang semua industrialis terkemuka.
Tujuan konferensinya sendiri adalah membahas bantuan
buat negara‐negara terbelakang. Kate menelepon. Tak lama
kemudian Charlie Wyatt dan Count Frederick Hoffman pun
menerima undangan buat menghadiri konferensi yang
sama.
Kate sudah punya bayangan tentang kedua pengusaha
Texas maupun Jerman itu. Ternyata, keduanya mirip benar
dengan yang selama ini ia bayangkan. Belum pernah Kate
bertemu orang Texas yang pendiam. Charlie Wyatt juga
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bukan kekecualian. Tubuhnya tinggi besar—hampir enam
kaki empat inci—bahunya bidang dan tubuhnya seperti
tubuh pemain sepak bola yang sudah menggemuk.
Wajahnya lebar dan kemerah‐merahan. Suaranya lantang.
Charlie Wyatt tidak mendirikan perusahaan raksasanya
atas dasar keberuntungan. Dia memang seorang jenius da‐
lam bidang bisnis. Belum sampai sepuluh menit Kate
mengobrol dengannya, dia tahu bahwa lelaki itu takkan
bisa dibujuk melakukan apa pun yang tidak ingin
dilakukannya. Dia orang berpendirian dan punya sifat keras
kepala. Takkan ada orang yang bisa membujuk,
mengancam, atau memaksanya berpisah dengan
perusahaannya. Tapi, Kate telah menemukan
kelemahannya. Dan, sekarang ini itu sudah cukup.
Frederick Hoffman sangat berlawanan sifatnya dengan
Charlie Wyatt. Dia tampan. Wajahnya ningrat. Rambutnya
lembut kecoklatan dengan beberapa helai mulai memutih
di dekat dahinya. Sikapnya korek dan penuh hormat. Dari
luar lelaki itu tampak menyenangkan dan mempesona.
Tetapi, Kate merasa dia berhati besi.
Konferensi di Washington berlangsung tiga hari
lamanya. Segalanya berjalan lancar. Pertemuan‐
pertemuannya dipimpin oleh Wakil Presiden. Presidennya
sendiri muncul memberikan sambutan pendek. Semua yang
hadir sangat terkesan oleh Kate Blackwell. Perempuan itu
menarik dan berkharisma. Bukan cuma itu. Dia sekaligus
pimpinan perusahaan raksasa yang pengembangannya dia
andili pula. Semua terpesona. Dan, itu memang tujuan Kate.
Ketika Kate berhasil mendapatkan Charlie Wyatt
sendirian buat beberapa saat, dia bertanya polos, “Keluarga
Anda ikut kemari, Tuan, Wyatt?”
“Oh, aku bawa anak perempuanku. Dia perlu belanja.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Oh , ya? Wah, senang dong. “ Tak seorang pun mengira
bahwa Kate bukan cuma tahu bahwa anak perempuan
Charlie Wyatt ikut ke Washington. Dia juga tahu gaun apa
yang dibeli anak Charlie Wyatt di Garfinckel's pagi tadi.
“Aku mengadakan makan‐makan di rumah kami di Dark
Harbor Jumat nanti. Senang sekali kalau Anda dan putri
Anda bisa hadir berakhir minggu di sana.”
Wyatt tak ragu‐ragu. “Aku banyak mendengar tentang
pesta makan Anda yang mengesankan. Tentu saja kami
senang kalau bisa menghadiri,”
Kate tersenyum. “Bagus. Akan segera kuatur agar Anda
dan putri Anda bisa diterbangkan ke sana besok malam.”
Sepuluh menit kemudian, Kate mengobrol dengan
Frederick Hoffman. “Sendirian saja di Washington, Tuan
Hoffman?” tanyanya. “Atau istri Tuan ikut?”
“Istriku meninggal beberapa tahun yang lalu,” tukas
Frederick Hoffman kepadanya. “Aku kemari dengan
putriku.”
Kate tahu mereka menginap di Hotel HayAdams, Suite
418. “Aku bikin makan‐makan di rumah kami di Dark
Harbor. Senang sekali kalau Anda dan putri Anda bisa hadir
bermalam minggu besok.”
“Wah, kami sudah harus kembali ke jerman,” sahut
Hoffman. Lelaki itu mengamati Kate sejenak, lalu
tersenyum. “Ah, kukira sehari dua hari lagi tinggal takkan
banyak bedanya.”
“Bagus. Akan kuatur transportasinya.”
Sudah menjadi kebiasaan Kate mengadakan pesta dua
bulan sekali di rumahnya di Dark Harbor. Beberapa orang
terkemuka dan berkuasa di dunia berkumpul di sana, dan
pertemuan seperti ini selalu membuahkan hasil. Kate berte‐
kad membuat pesta kali ini sangat khusus. Masalah
utamanya adalah menghadirkan Tony di sana. Setahun
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
terakhir ini dia jarang muncul. Kalaupun datang, cuma
sebentar, lalu pergi lagi. Kali ini mutlak Tony harus datang
dan tinggal.
Waktu Kate menyebut‐nyebut tentang acara akhir
minggu yang dia rencanakan kepada Tony, Tony
berkomentar kasar, “Aku tak bisa datang. Senin mesti
berangkat ke C‐Canada, dan masih banyak yang mesti
kuselesaikan sebelum pergi.”
“Ini penting sekali,” ujar Kate kepadanya. “Charlie Wyatt
dan Count Hoffman akan hadir kali ini. Dan, mereka—”
“Aku sudah tahu siapa mereka,” potong Tony. “Brad
Rogers cerita tempo hari. Kita belum bikin sembahyangan
buat mendapat salah satu perusahaan itu.”
“Aku ingin coba.”
Tony memandang ibunya dan berkata, “Y‐yang mana
yang Ibu kejar?”
“Wyatt Oil and Tool. Bisa menambah keuntungan kita
sampai lima belas persen. Bahkan mungkin lebih. Begitu
negara‐negara Arab sadar mereka menguasai dunia, pasti
langkah selanjutnya membentuk satu kartel. Harga minyak
akan membumbung tinggi. Minyak bakal jadi cairan
emas.—”
“Bagaimana dengan International T‐technology?”
Kate mengangkat bahu. “Perusahaan bagus juga. Tapi,
Wyatt Oil and Tool lebih menguntungkan. Sangat cocok
buat kita ambil‐alih. Aku butuh kehadiranmu, Tony. Canada
bisa ditunda beberapa hari.”
Tony paling benci pesta. Dia tak suka obrolan tak habis‐
habisnya dari orang‐orang yang suka membual dan
perempuan‐perempuan pencari mangsa di sana. Tapi, kali
ini urusan bisnis. “Baiklah.”
Segalanya pun siaplah.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Keluarga Wyatt diterbangkan ke Maine dengan Cessna
milik Kruger‐Brent, Ltd., lalu dibawa ke Cedar Hill House
dengan Limousine. Kate menyambut mereka di pintu. Brad
Rogers bercerita benar tentang anak perempuan Charlie
Wyatt, Lucy. Sangat cantik dan menawan. Tubuhnya
semampai, rambutnya hitam, dan bermata coklat dengan
bentuk hampir sempurna. Gaun Galanos yang ia kenakan
menampilkan kerampingan yang mempesona. Menurut
yang dikatakan Brad, dia bercerai dari playboy kaya Italia
dua tahun berselang. Kate memperkenalkan Lucy kepada
Tony dan memperhatikan reaksi putranya. Tak ada sama
sekali. Wyatt dan Lucy disapanya dengan keramahan yang
sama, lalu ia persilakan ke bar tempat pelayan bar sudah
menunggu buat menyiapkan minuman yang mereka sukai.
“Wah, indahnya ruangan ini,” Lucy berseru. Suaranya
sangat lembut. Tak terdengar aksen Texas‐nya sama sekali.
“Kau banyak tinggal di sini?” tanyanya pada Tony.
“Tidak.”
Lucy menunggu Tony meneruskan. Ketika tak
didengarnya apa‐apa lagi, ia meneruskan, “Kau dibesarkan
di sini?”
“Ya, kurang‐lebih.”
Kate buru‐buru menyela, melicinkan obrolan yang jadi
kaku oleh sikap Tony yang cuma menjawab seperlunya.
“Tony melewatkan masa‐masa bahagianya di sini. Tapi,
kesibukan menyebabkan dia tak bisa sering kemari dan
menikmati rumah ini. Ya kan, Tony.”
Kerling Tony pada ibunya dingin. Katanya,
“Betul. Sekarang pun mestinya aku berada di Canada—”
“Ya. Dia sengaja menunda keberangkatannya supaya
bisa menemui kalian,” lanjut Kate.
“Wah, aku senang sekali, Nak,” ujar Charlie Wyatt.
“Sudah banyak kudengar tentang kau.” Senyumnya lebar.
“Kau tak bakal mau kerja di perusahaanku, kan?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kurasa, bukan itu yang terpikir oleh ibuku, Tuan
Wyatt.”
Charlie Wyatt menyeringai lagi. “Aku tahu.” Dia lalu
mengalihkan perhatian pada Kate. “Ibumu hebat. Semua
orang terjerat olehnya pada pertemuan di Gedung Putih
kemarin. Dia—” Wyatt berhenti bicara ketika Frederick
Hoffman dan putrinya, Marianne, masuk. Marianne
Hoffman mirip ayahnya, cuma pucat. Dia bertipe aristokrat
seperti ayahnya. Rambutnya panjang dan pirang. Gadis itu
mengenakan gaun dari bahan sifon putih. Di samping Lucy
Wyatt, Marianne terbanting.
“Perkenalkan. Ini putriku, Marianne,” Count Hoffman
berkata. “Maaf, kami terlambat,” tambahnya menyesal.
“Pesawatnya tertunda di La Guardia.”
“Oh, kasihan,” kata Kate. Tony yakin ibunyalah yang
mengatur keterlambatan itu. Keluarga Wyatt dan Hoffman
diterbangkan ke Maine dengan pesawat yang terpisah
sedemikian rupa agar keluarga Wyatt datang lebih dulu dan
keluarga Hoffman terlambat. “Kami baru saja mulai minum.
Mau minum apa?”
“Scotch saja,” ucap Count Hoffman.
Kate menoleh pada Marianne. “Dan untukmu, Manis?”
“Tak usah. Terima kasih.”
Beberapa menit kemudian tamu lain mulai berdatangan.
Tony berkeliling menemui masing‐masing, memerankan
peran tuan rumah yang baik. Tak seorang pun kecuali Kate
menduga betapa terpaksa Tony di situ. Kate tahu sebabnya
bukan bosan. Dia cuma tak peduli dengan segala yang
terjadi di sekitarnya. Dia kehilangan rasa tertarik untuk
bergaul. Dan Kate merasa kuatir.
Dua meja telah disiapkan di ruang makan utama. Kate
mengatur tempat duduk Marianne Hoffman—
menempatkan gadis itu di antara seorang hakim
Mahkamah Agung dan seorang senator. Lucy Wyatt
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
ditempatkan di sebelah kanan Tony di meja satunya. Semua
lelaki yang ada di situ—kawin ataupun tidak—menaruh
perhatian pada Lucy. Kate mendengar Lucy mencoba
mengajak Tony mengobrol. Kelihatan sekali Lucy suka pada
Tony. Kate tersenyum sendiri. Permulaan yang baik.
Esok paginya, Sabtu, ketika mereka sedang sarapan,
Charlie Wyatt berkata kepada Kate, “Kapal pesiar Anda
yang merapat di sana bagus betul, Nyonya Blackwel.
Seberapa besar kapal itu?”
“Wah, kurang tahu aku.” Kate menoleh pada putranya.
“Tony, berapa besar sih Corsair?”
Ibunya tahu persis ukuran kapal pesiar mereka. Tapi
Tony menyahut sopan, “Delapan puluh k‐kaki. “
“Di Texas, kami hampir tak bisa berlayar. Selalu
terburu‐buru. Kalau bepergian, umumnya pesawat terbang
yang kami pakai.” Wyatt tertawa cerah. “Coba, ah.”
Kate tersenyum. “Aku kepingin mengajak Anda
berkeliling pulau. Bagaimana kalau kita berlayar besok.”
Charlie Wyatt menatap Kate. Katanya, “Anda sangat baik,
Nyonya Blackwell.”
Tony diam‐diam memperhatikan keduanya.
Tetapi tidak berkata apa pun. Langkah pertama baru saia
selesai. Tony menebak‐nebak kalau‐kalau Charlie Wyatt
menyadari. Mungkin tidak. Dia memang pengusaha
cemerlang. Tapi, rupanya belum pernah bertemu dengan
seseorang macam Kate Blackwell.
Kate mengalihkan perhatian kepada Tony dan Lucy.
“Pagi ini cuaca begitu cerah. Kenapa kalian tidak
berlayar?”
Sebelum Tony sempat menolak, Lucy menyahut, “Wah,
kepingin sekali aku berlayar.”
“M‐maaf,” ucap Tony pendek. “Aku harus interlokal.” Dia
merasa pandang ibunya tak senang.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate lalu berkata pada Marianne Hoffman. “Aku belum
ketemu ayahmu sepagi ini.”
“Dia jalan‐jalan‐menjelajah pulau. Ayahku selalu bangun
pagi sekali.”
“Kudengar kau senang menunggang kuda. Kami punya
kuda‐kuda bagus di sini.”
“Terima kasih, Nyonya Blackwell. Kalau boleh, aku lebih
suka berjalan‐jalan di sekitar sini saja.”
“Oh, silakan.” Kate berbalik kepada Tony. “Betul kau tak
mau mengajak Nona Wyatt berlayar?” Nada besi terdengar
di suaranya.
“Tidak.”
Kemenangan kecil memang. Tapi, toh kemenangan juga.
Pertempuran bersumber dari keduanya. Tony tak berniat
jadi pihak yang kalah. Paling tidak—tidak buat kali ini.
Ibunya tak lagi punya kekuatan buat membohongi dia.
Ibunya sudah pernah mempermainkan dia seperti mem‐
permainkan pion. Tony sadar sekarang ini ibunya sedang
mencoba melakukan hal itu lagi. Tapi, kali ini Tony tahu
ibunya takkan berhasil. Kate kepingin mengambil alih
Wyart Oil & Tool. Charlie Wyatt sama sekali tak punya
niatan melebur atau menjual perusahaannya. Tapi, setiap
lelaki punya kelemahan. Kate sudah menemukan
kelemahan Charlie Wyatt: putrinya. Kalau Lucy kawin
dengan Tony, mau tak mau perusahaan itu akan bergabung
dengan Kruger‐Brent. Pandang Tony melayang ke seberang
meja makan. Diperhatikannya ibunya dengan benci dan tak
suka. Jeratnya memang hebat. Lucy bukan cuma cantik. Dia
juga cerdas dan menarik. Tapi, Lucy pun sama dengan
Tony: mereka dua‐duanya cuma pion. Tony berjanji takkan
pemah menyentuh Lucy . Dan ini karena pertempuran
diam‐diam di antara dia dan ibunya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ketika selesai sarapan, Kate bangkit. “Tony, sebelum
interlokal, kenapa tidak kauajak Nona Wyatt melihat‐lihat
halaman?”
Tony tak bisa menolak. “Baiklah.” Sebentar saja.
Kate berbalik pada Charlie Wyatt. “Anda suka buku‐buku
langka? Kami punya koleksi yang lumayan di ruang
perpustakaan.”
“Aku tertarik pada apa saja yang ingin Anda
perlihatkan,” lelaki Texas itu menyabut.
Hampir seperti kelupaan, Kate bertanya pada Marianne
Hoffman. “Tak apa‐apa kan, sendirian?”
“Oh, tidak, Nyonya Blackwell. Anda tak usah merisaukan
aku.”
“Tentu saja tidak,” sahut Kate.
Tony yakin, ibunya memang tak peduli. Nona Hoffman
tak ada gunanya buat Kate. Itu sebabnya Kate “mengusir”
gadis itu. Semuanya memang dilakukan dengan ramah dan
senyum. Tetapi, di balik itu Tony tahu kejelekan hati
ibunya.
Lucy memperhatikannya. “Siap, Tony?”
“Yuk.”
Tony dan Lucy melangkah ke pintu. Mereka belum jauh
betul ketika Tony mendengar ibunya berkata, “Pasangan
serasi mereka, ya?”
Keduanya berjalan melewati kebun‐kebun luas yang
ditata resmi menuju ke dermaga tempat Corsair
ditambatkan. Beratus meter persegi kebun dihiasi berbagai
bunga indah mewangi terhampar di sana.
“Seperti surga tempat ini,” komentar Lucy.
“Ya.”
“Di Texas tidak ada bunga‐bunga seperti ini.”
“Oh, ya ?”
“Suasananya begitu tenang dan damai.”
“Betul.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lucy mendadak berhenti, lalu memperhatikan Tony.
“Apa aku mengucapkan sesuatu yang menyinggung
perasaanmu?” tanya Tony ketika melihat amarah di wajah
Lucy.
“Kau tak mau bicara. Itu yang membuatku tersinggung.
Yang kauucapkan dari tadi cuma ya atau tidak. Aku jadi
merasa seperti aku ini mengejar‐ngejarmu.”
“Dan itu betul?”
Lucy tertawa. “Ya. Kalau saja kau bisa kuajari ngomong,
sangat mungkin kita bisa lebih dekat.”
Tony meringis.
“Apa sih yang kaupikirkan?” tanya Lucy.
“Tidak ada.”‐
Tony memikirkan ibunya. Betapa tak suka dia jadi pihak
yang kalah.
Kate sedang memamerkan ruang perpustakaan luas
yang dindingnya terbuat dari bahan panel. Pada raknya
berderet edisi pertama buku‐buku Oliver Goldsmith,
Laurence Sterne, Tobias Smollett, dan John Donne, bersama
dengan folio pertama Ben Johnson. Ada pula buku‐buku
Samuel Butler dan John Bunyan. Di samping itu ada 1813
edisi Queen Mab, cetakan khusus. Wyatt berjalan perlahan
mengamati buku‐buku berharga yang berjajar di rak.
Matanya cernerlang. Dia berhenti di muka kumpulan edisi
Endymion‐nya John Keats.
“Ini pasti kopi Roseberg,” komentarnya.
Kate memandangnya heran. “Ya. Dan Cuma ada dua
kopi.”
“Yang satunya aku yang punya,” kata Wyatt.
“Ah, mestinya harus bisa kutebak dari tadi,” tawa Kate.
“Gaya Anda bikin aku terkecoh.”
Wyatt menyeringai. “Oh, ya? Kalau begitu kena juga
kamuflaseku.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Sekolah Anda dulu di mana?”
“Colorado. Sekolah Pertambangan. Lalu Oxford—dengan
beasiswa.” Wyatt mengarnati Kate sebentar. “Kudengar
Anda yang membuatku diundang ke konferensi Gedung
Putih.”
Kate mengangkat bahu. “Aku cuma menyebut nama
Anda. Mereka senang Anda datang.”
“Anda baik sekali, Kate. Mumpung kita cuma berdua saja,
coba katakan maksudmu yang sebenarnya.”
Tony sedang bekerja di ruang kerja pribadinya—sebuah
ruang tak seberapa luas dekat tangga di serambi. Dia
sedang duduk di kursi kerjanya yang empuk ketika
mendadak didengarnya ada orang membuka pintu dan
masuk. Tony menoleh. Ternyata Marianne Hoffman.
Sebelum Tony sempat membuka mulut supaya gadis itu
tahu dia ada di sana, terdengar olehnya Marianne terkesiap.
Dia melihat lukisan‐lukisan yang tergantung di dinding.
Semuanya lukisan Tony. Beberapa dari yang dia bawa
pulang dari Paris beberapa tahun sebelumnya. Ruangan itu
merupakan satu‐satunya ruangan yang boleh digantungi
lukisannya. Diperhatikannya Marianne berjalan
mengelilingi ruangan—mengamati satu per satu lukisan
yang tergantung di sana. Sudah terlambat buat Tony buat
bersuara sekarang.
“Hm, tak percaya rasanya,” gumam Marianne.
Mendadak Tony merasa marah. Lukisannya tak sejelek
itu. Ketika ia bergerak, kulit bantalan kursinya berbunyi.
Marianne berbalik dan melihatnya.
“Oh! Maaf,” katanya. “Kukira tak ada orang di sini.
Tony bangkit. “Tidak apa‐apa.” Tapi, nada suaranya
ketus. Dia tak suka tempat pribadinya dimasuki orang, “Ada
yang kaucari?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tidak. Aku cuma sedang melihat‐lihat. Koleksi
lukisanmu cocok untuk museum.”
“Kecuali yang tergantung di sini,” ucap Tony tanpa sadar.
Marianne heran mendengar keketusan di suara Tony.
Dia kembali memperhatikan lukisan yang tergantung di
situ. Terlihat olehnya inisial pelukisnya. “Kau yang melukis
semua ini?”
“Maaf saja kalau tidak menarik buatmu.”
“Justru sebaliknya. Lukisanmu luar biasa!”
Marianne mendekati Tony. “Aku tak mengerti. Kalau kau
bisa melukis sebagus ini, mengapa kau memilih kerja yang
lain? Kau hebat. Bukan maksudku bilang kau baik, Tapi, kau
hebat.”
Tony berdiri, tidak mendengarkan. Dia ingin cepat‐cepat
keluar.
“Aku kepingin jadi pelukis,” ucap Marianne. “Aku belajar
jadi murid Oskar Kokoschka setahun. Tapi, akhirnya tak
kuteruskan karena aku tahu aku tak bakal jadi pelukis
bagus seperti yang kucita‐citakan. Tapi, kau!” Lagi‐lagi Ma‐
rianne mengamati lukisan Tony. “Kau belajar di Paris?”
Tony kepingin ditinggal sendiri. “Ya.”
“Dan kau berhenti belajar—begitu saja?”
“Ya.”
“Sayang betul. Kau—”
“Ah, di sini kau rupanya!”
Keduanya menoleh. Kate berdiri di pintu,
Sejenak Kate mengamati keduanya. Lalu ia melangkah
menghampiri Marianne. “Kau kucari kemana‐mana,
Marianne. Kata ayahmu, kau suka bunga anggrek. Coba
lihat rumah bunga kami.”
“Terima kasih,” gumam Marianne. “Saya—”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kate mengalihkan perhatian kepada Tony. “Tony,
rasanya kau mesti menemui tamu‐tamu lainnya.” Ada nada
tak senang di suara ibunya.
Kate menggandeng Marianne, lalu keduanya pergi.
Ada rasa takjub dalam hati Tony menyaksikan ibunya.
membelokkan orang. Kate melakukannya dengan lancar.
Tak sedikit pun waktu atau tindakan yang dibiarkan
percuma. Mula‐mulanya dengan kedatangan keluarga
Wyatt yang lebih pagi dari tamu lainnya dan keterlambatan
keluarga Hoffman. Lalu Lucy ditempatkan di sisinya setiap
acara makan. Kemudian konferensi pribadi beberapa kali
dengan Charlie Wyatt. Semuanya sangat jelas buat Tony.
Tapi Tony harus mengakui, bahwa ibunya hebat. Tapi, itu
karena dia tahu kuncinya dia yang pegang. Tony kenal
ibunya dan jalan pikiran wanita itu. Lucy Wyatt sangat
rupawan. Pasti bakal jadi istri yang memuaskan buat
seorang lelaki. Tapi, bukan dia lelakinya. Yang jelas, bukan
buat dia kalau sponsornya Kate Blackwell. Buat Tony,
ibunya tak lain dari perempuan egois yang tega melakukan
apa pun untuk mencapai yang dicita‐citakannya. Selama
Tony ingat itu, dia aman dan tak gampang terjerat dalam
jerat mekanis ibunya. Tony bertanya‐tanya, langkah apa
yang bakal dilakukan ibunya sesudah ini.
Dia tak perlu mehunggu lama.
Mereka sedang minum‐minum di teras. “Tuan Wyatt
mengundang kita berakhir minggu di rumah
peternakannya minggu depan.” Kate berkata kepada Tony.
“Asyik, bukan?” Wajahnya berseri oleh rasa senang. “Aku
belum pernah berkunjung ke rumah peternakan Texas.”
Kruger‐Brent mempunyai tanah peternakan luar biasa
luas di Texas. Dan, mungkin ukurannya dua kali yang
dimiliki Wyatt.
“Kau bisa ikut, kan Tony?” Charlie Wyatt bertanya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Lucy mendorong. “Bilang ya dong, Tony.”
Mereka berkomplot menghadapinya rupanya. Buat Tony,
ini satu tantangan. Dia memutuskan untuk menerima
tantangan itu. “Wah, t‐tentu.”
“Bagus.” Suara Kate terdengar puas.
Kalau Lucy punya rencana buat menjeratku, pikir Tony,
dia buangbuang waktu. Luka yang ditimbulkan oleh ibunya
dan Dominique begitu mendalam bekasnya di hati Tony.
Sekarang, perempuan buat Tony tak ada bedanya dengan
gadis panggilan kelas tinggi. Dia tak percaya lagi pada
perempuan. Perempuan tak bisa dipercaya. Dan dari sekian
ribu perempuan di dunia, gadis panggilanlah yang paling
jujur. Mereka bilang sebelumnya, berapa transaksi harga
yang mereka minta. Tinggal bayar apa yang memang
kautahu harus dibayar. Tak ada komplikasi, air mata, dan
kebohongan.
Lucy Wyatt calon korban suatu kejutan.
Minggu pagi‐pagi sekali, Tony menuju ke kolam renang
hendak berenang. Marianne Hoffman sudah ada di sana‐
mengenakan pakaian renang putih. Tubuhnya indah. Tinggi
semampai dan anggun. Tony berdiri, menyaksikan gadis itu
membelah air. Tangannya bergerak naik‐turun dengan
anggun dan teratur. Marianne melihat Tony. Dia berenang
mendekati.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi. Kau pandai berenang,” ucap Tony.
Marianne tersenyum. “Aku suka olahraga. Seperti
ayahku.” Gadis itu naik ke pinggir kolarn. Tony memberinya
handuk. Tony memperhatikan setiap gerakan Marianne
sementara gadis itu dengan santai mengeringkan
rambutnya.
“Sudah sarapan?” tanya Tony.
“Belum. Kurasa koki belum bangun pagi‐pagi begini.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Ini hotel. Pelayanannya dua puluh empat jam sehari.”
Marianne tersenyum. “Hm, bagus dong.”
“Kau tinggal di mana?”
“Umumnya sih di Munich. Kami tinggal di schloss tua—
semacam kastil yang letaknya di luar kota. “
“Dan besar di—?”
Marianne menarik napas. “Ceritanya panjang. Selama
perang, aku disekolahkan di Switzerland. Sesudah itu aku
meneruskan pendidikan di Oxford, kemudian di Sorbonne.
Terakhir aku tinggal di London beberapa tahun.” Marianne
menatap mata Tony. “Itu ceritaku. Kau?”
“Oh, New York, Maine, Switzerland, Afrika Selatan,
beberapa tahun di Pasifik Selatan—selama perang.
Kemudian Paris...” Mendadak Tony berhenti, seperti orang
yang mendadak sadar telah bicara terlalu banyak.
“Maaf. Bukan maksudku menyelidik. Aku cuma ingin
tahu mengapa kau berhenti melukis.”
“Itu tidak penting,” ujar Tony ketus. “Kita sarapan dulu,
yuk.”
Mereka makan berdua saja di teras, menghadap ke teluk
yang airnya kemilau oleh cahaya matahari pagi. Marianne
menyenangkan—enak diajak ngobrol. Sikapnya anggun dan
lembut, menarik hati Tony. Gadis itu tidak genit merayu,
dan obrolannya berisi. Nampaknya dia berul‐betul
menaruh perhatian pada Tony. Diam‐diam Tony tertarik
pada gadis tenang berperasaan halus ini. Walau begitu, dia
bertanya‐tanya juga kalau‐kalau salah satu penyebab daya
tarik itu adalah karena dia tahu ibunya takkan setuju.
“Kapan kau pulang ke Jerman?”
“Minggu depan,” sahut Marianne. “Aku mau kawin. “
Kata‐katanya membuat Tony kehilangan kontrol diri.
“Oh,” ujarnya terkesiap. “Asyik amat. Siapa calon
suamimu?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Seorang dokter. Aku kenal dia sejak kecil.”
Mengapa dia mesti menambahkan kalimat terakhir itu?
Ada maksudnyakah?
Tanpa berpikir, Tony bertanya, “Kau mau kuajak makan
malam di New York?”
Marianne mengarnati Tony, menimbang‐nimbang
jawabnya. “Mau. Senang sekali.”
Tony tersenyum, puas. “Kalau begitu, itu janji. OK?”
Mereka makan malam di restoran kecil di Pantai Long
Island. Tony ingin bersama Marianne berdua saja—jauh
dari mata ibunya. Walau tak ada yang serius malam itu,
Tony tahu persis ibunya akan cepat mematikan semuanya
kalau sampai tahu. Ini masalah pribadi antara dia dan
Marianne. Tony tak kepingin ada yang mengganggu waktu
singkat yang mereka punyai, Tony senang mengobrol
dengan Marianne. Jauh lebih senaug daripada yang ia
perkirakan semula. Rasa humor gadis itu tinggi. Tony
mendapati dirinya banyak tertawa—lebih dari tawanya
sejak kembali dari Paris. Marianne membuatnya merasa
ringan hati dan bebas.
Kapan kau pulang ke Jerman?
Minggu depan... Aku mau kawin.
Lima hari lamanya Tony sering menghabiskan waktu
mengobrol dengan Marianne. Dia membatalkan
perjalanannya ke Canada. Alasannya, dia sendiri tak pasti.
Tony berpikir, mungkin ini semua bentuk pemberontakan
terhadap rencana ibunya. Semacam balas dendam.
Meskipun pada mulanya memang begitu, tapi lama‐
kelamaan itu tak lagi benar. Tony mendapati dirinya makin
lama makin tertarik pada Marianne. Dia sangat suka pada
kejujuran Marianne. Sifat itu sudah lama dia cari, tapi
belum pernah dia jumpai.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Karena Marianne melancong di New York, Tony
mengajaknya ke mana‐mana. Mereka naik ke puncak
Patung Liberty, naik feri ke Pulau Staten, pergi ke puncak
Empire State Building, dan makan di Chinatown. Seharian
mereka habiskan di Museum Kesenian Metropolitan, dan
siang harinya di Frick Collection. Keduanya punya selera
sama. Masing‐masing berusaha tidak menyinggung‐
nyinggung masalah pribadi. Walaupun demikian keduanya
merasakan adanya arus listrik di antara mereka. Hari
berganti hari. Tahu‐tahu, sudah Jumat. Tony mesti
berangkat ke rumah peternakan keluarga Wyatt.
“Kapan kau, pulang ke Jerman?”
“Senin pagi.” Suara Marianne kedengaran riang.
Siang itu Tony berangkat ke Houston. Sebenarnya dia
bisa pergi bersama ibunya menumpang pesawat pribadi
perusahaan. Tony sengaja menghindari situasi dia berdua
saja dengan Kate. Buatnya, ibunya cuma seorang mitra
usaha. Mitra usaha yang hebat, kuat, licik, dan berbahaya.
Sebuah Rolls‐Royce menjemput Tony di Bandara
William P. Hobby di Houston. Dia lalu dibawa ke
peternakan oleh sopir bercelana Levi's dengan kaus
berwarna‐warni.
“Kebanyakan orang lebih suka terbang langsung ke
sana,” sopirnya berkata. “Tuan Wyatt punya lapangan
terbang pribadi yang lumayan di sana. Dari sini, kita butuh
kira‐kira sejam sampai ke gerbang. Dari gerbang ke
rumahnya kira‐kira setengah jam.”
Tony mengira sopir itu cuma membesar‐besarkan.
Ternyata dugaannya keliru. Tanah peternakan keluarga
Wyatt besarnya melebihi sebuah kota. Mereka melalui
pintu gerbang utama, menyusur jalan pribadi, dan kira‐kira
tiga puluh menit kemudian lewat dekat bangunan‐
bangunan berisi mesin pembangkit listrik dan gudang‐
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
gudang. Sesudah itu nampak rumah‐rumah tamu serta
bungalow para pelayan. Rumah utamanya sangat besar dan
luas. Jelek betul, pikir Tony.
Kate sudah datang lebih dulu. Dia dan Charlie Wyatt
sedang duduk‐duduk di teras menghadap ke kolam renang
berukuran danau kecil. Keduanya sedang asyik mengobrol
waktu Tony muncul. Melihat kedatangannya, Wyatt
memutus kalimat yang sedang dia ucapkan. Tony punya
firasat, dialah yang sedang mereka perbincangkan.
“Ini dia, anak kita datang! Lancar perjalananmu, Tony?”
“Y‐ya. T‐terima kasih.”
“Sebenamya Lucy berharap‐harap kau bisa ikut pesawat
yang datang lebih pagi,” ujar Kate.
Tony berpaling kepada ibunya. “O, ya?”
Charlie Wyatt menepuk bahu Tony. “Kami menyiapkan
pesta barbecue besar‐besaran buat menyambut kau dan
Kate. Semua orang kuundang buat mencicipi.”
“A‐anda baik s‐sekali,” ucap Tony. Kalau mereka bikin
rencana menyajikan sapi gemuk, pikir Tony, mereka bakal
kelaparan.
Lucy muncul mengenakan kemeja putih dan celana jeans
butut ketat. Mau tak mau Tony terpaksa mengakui
keelokan perempuan itu.
Dia menghampiri Tony dan merangkulnya. “Tony! Aku
kuatir kau tak jadi datang.”
“M‐m‐maaf, aku terlambat,” sahut Tony. “Ada urusan
yang mesti kuselesaikan dulu.”
Senyum Lucy hangat. “Tidak apa‐apa. Yang penting kau
sudah sampai sekarang. Apa rencanamu siang ini.”
“Apa yang kauusulkan?”
Lucy menatap mata Tony. “Apa saja yang kausuka,”
ucapnya lembut.
Kate Blackwell dan Charlie Wyatt berseri.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Pesta barbecue‐nya tergolong luar biasa—bahkan buat
standard Texas. Ada kira‐kira dua ratus tamu datang
menumpang pesawat pribadi, Mercedes, dan Rolls‐Royce.
Dua kelompok band bermain bersamaan di dua tempat
yang berbeda dalam lokasi peternakan Wyatt. Setengah
lusin pelayan bar sibuk menyajikan sampanye, wiski,
minuman ringan, dan bir. Sementara empat orang koki
menyiapkan makanan dekat api unggun di halaman. Ada
daging sapi, kambing, ayam, dan bebek panggang. Saus
pedasnya mendidih di beberapa panci. Lobster, kepiting,
dan jagung dibakar dengan tusukan. Sebagai pelengkap,
disediakan kentang bakar, ubi, dan buncis segar; enam
macam salad, biskuit hangat, roti jagung dengan madu dan
selai. Empat meja disediakan khusus untuk makanan
penutup. Di sana terhidang pie yang baru saja keluar dari
oven, bermacam‐macam kue basah dan puding, serta
selusin rasa es krim. Baru kali itu Tony menyaksikan
penghamburan uang besar‐besaran. Itulah bedanya uang
yang baru saja dikantongi dan yang sudah lama jadi milik
seseorang, pikimya. Semboyan orang kaya lama, kalau
punya uang, sembunyikan. Semboyan orang kaya baru, kalau
punya uang, hamburkan.
Tapi, penghamburan yang satu ini betul‐betul luar biasa.
Tamu‐tamu perempuan mengenakan gaun‐gaun
merangsang. Perhiasan mereka berkilauan menyilaukan
pandang. Tony berdiri di pinggir, mengamati tamu yang
melahap makanan, menyapa sahabat mereka dengan suara
keras. Rasanya dia sedang berada di tengah‐tengah upacara
adat manusia yang belum beradab. Setiap kali Tony
memutar tubuhnya, dia menemui pelayan membawa
nampan berisi kaviar atau sampanye. Banyaknya pelayan
dan tamu hampir sama, pikir Tony. Tony mendengarkan
percakapan orang‐orang di sekelilingnya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Dia datang kemari dari New York dengan niatan
menjual sesuatu kepadaku. Kataku, 'Kau buang‐buang
waktu, Tuan. Di timur Houston tak ada bisnis minyak
menguntungkan…’”
“Kau mesti hati‐hati menanggapi orang yang pintar
ngomong. Cuma omongnya yang besar, isinya tak ada ......”
Lucy muncul di sisi Tony. “Kok tak makan?” Ditatapnya
Tony lekat‐lekat. “Kenapa, Tony? Ada yang kaupikirkan?”
“Ah, tidak. Pesta kalian meriah juga, ya.”
Lucy tersenyum lebar. “Ini belum apa‐apa. Tunggu
sampai pesta kembang api nanti.”
“Pesta kembang api?”
“Hm‐eh.” Dia menyentuh lengan Tony. “Maaf ya,
tamunya pongah semua. Ayahku kepingin membuat ibumu
terkesan.” Dia tersenyum lagi, “Mereka semua pulang
besok.”
Aku juga, pikir Tony geram. Datang ke situ merupakan
kesalahan besar. Kalau ibunya betul‐betul kepingin
mengambil alih Wyatt Oil & Tool, mestinya cari jalan lain
saja. Tony mengedarkan pandang, mencari ibunya di antara
lautan tamu. Kate terlihat dikelilingi sekelompok orang
yang menjadi pengagumnya. Dia cantik. Sudah hampir
enam puluh tahun usianya. Tapi, dia nampak sepuluh tahun
lebih muda. Wajahnya tak berkerut. Tubuhnya masih padat
dan langsing berkat latihan dan perawatan teratur. Kate
sangat disiplin terhadap diri sendiri, seperti dia
mendisiplin setiap orang di sekelilingnya. Sebetulnya, Tony
kagum pada ibunya. Buat orang yang melihat, Kate
Blackwell tampak gembira menikmati pesta besar itu. Dia
mengobrol dengan banyak tamu. Wajahnya ceria, tertawa‐
tawa. Padahal dia sangat membenci setiap menit di sini,
pikir Tony. Kalau sudah ada yang dimaui, Kate tak peduli
harus menderita apa pun. Tony teringat akan Marianne.
Gadis itu pasti muak berada di tengah‐tengah orang‐orang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ