Tiraikasih Website http://kangzusi.com
6
KERETA mahal itu meluncur di jalan berdebu kota
Klipdrift, ditarik oleh sepasang kuda tampan. Yang
mengendalikan seorang lelaki ramping atletis berambut
putih dengan jenggot dan kumis putih, rapi. Ia mengenakan
jas abu‐abu. Jahitannya rapi dengan model mutakhir. Pada
dasinya ada jepitan dasi bermata berlian. Topinya kelabu.
Cincin berlian besar terselip di jarinya. Nampak ia orang
baru di kota itu. Pada kenyataannya bukan.
Klipdrift banyak berubah sejak ditinggalkan Jamie kira‐
kira setahun yang lalu. Ketika itu tahun 1884. Dari kota
perkemahan, Klipdrift menjelma jadi kota permanen. Jalur
kereta api dari Cape Town ke Hopetown sudah selesai. Jalur
itu bercabang ke Klipdrift. Ini menimbulkan banjirnya
imigran. Kota itu jadi lebih padat dan ramai. Orang‐
orangnya berbeda. Kalau dulu sebagian besar isinya
penggali berlian, pengadu nasib, kini banyak yang
berpakaian bisnis resmi: dasi, jas. Perempuan bergaun
indah nampak masuk‐keluar toko. Klipdrift telah menjelma
menjadi kota terhormat.
Jamie lewat tiga gedung dansa baru dan kira‐kira enam
kedai minum yang baru juga. Sebuah gereja baru selesai
dibangun. Ada rumah cukur, dan sebuah hotel besar
bernama Grand. Keretanya dia hentikan di muka sebuah
bank. Lalu ia melompat turun sembari menyerahkan
kendali kuda dengan sembrono kepada seorang anak lelaki
hitam. “Kasih minum kudaku.”
Jamie masuk ke bank, lalu dengan suara keras berkata
kepada manajernya,
“Aku ingin mendepositokan seratus ribu pound di bank
Anda.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Beritanya tersebar dengan cepat. Jamie tahu bakal
begitu. Ketika ia meninggalkan bank dan masuk ke kedai
minum Sundowner, ia jadi pusat perhatian. Suasana dalam
kedai itu belum berubah. Tamunya padat. Semuanya
mengikuti gerak Jamie. Pandangan mereka penuh rasa
ingin tahu. Jamie melangkah langsung ke bar. Smit
mengangguk penuh hormat. “Mau minum apa, Tuan?”
Nampaknya pelayan bar itu sama sekali tak mengenali dia.
“Wiski. Yang paling mahal.”
“Baik, Tuan.” Ia menuang minuman yang diminta Jamie.
“Anda pendatang baru?”
“Ya.”
“Cuma sekadar lewat?”
“Tidak. Kudengar kota ini sangat cocok untuk menanam
modal.”
Mata pelayan itu berkilat mendengarnya.
“Wah, betul, Tuan! Tak ada tempat yang lebih bagus
daripada Klipdrift. Bermodal seratus—eh, bermodal uang
banyak—keuntungan bisa berlipat ganda dalam waktu
singkat. Mungkin aku bisa menolong, Tuan?”
“Oh, ya? Bagaimana itu?”
Smit mencondongkan tubuh ke depan, lalu dengan
setengah berbisik, berkata, “Aku kenal orang penting yang
praktis menguasai kota ini. Ia ketua Borough Council dan
pimpinan Perkumpulan Warga. Pokoknya ia orang paling
penting di daerah sini. Namanya Salomon van der Merwe.”
Jamie meneguk minuman. “Coba undang dia kemari.”
Pelayan bar itu melirik cincin berlian di jari Jamie, lalu
jepitan dasinya. “Baik, Tuan. Nama Anda?”
“Travis. Ian Travis.”
“Baik, Tuan Travis. Aku yakin Tuan van der Merwe mau
menemui Anda.” Ia menuang lagi wiski ke dalam gelas
Jamie. “Silakan minum sambil menunggu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie duduk, meneguk wiski. Ia sadar orang
memperhatikannya. Sudah banyak orang yang
meninggalkan Klipdrift kaya‐raya. Tapi, belum pernah ada
yang datang dengan kekayaan yang begitu nyata. Ini hal
baru buat mereka.
Kira‐kira seperempat jam kemudian pelayan tadi
kembali, ditemani Salomon van der Merwe.
Van der Merwe menghampiri lelaki berjenggot dan
berambut putih yang asing baginya. Ia mengulurkan
tangan. Senyumnya lebar. “Tuan Travis, kenalkan. Aku
Salomon van der Merwe.”
“Ian Travis.”
Jamie menanti van der Merwe mengenali sesuatu pada
dirinya. Tapi sama sekali tak ada tanda‐tanda. Mengapa
mesti mengenali? pikir Jamie. Pada dirinya sudah tak tersisa
lagi kenaifan dan idealisme yang merupakan bagian dari
kepribadiannya ketika berumur delapan belas tempo hari.
Resmi, Smit mengantarkan kedua lelaki itu ke sebuah meja
sudut.
Begitu duduk van der Merwe langsung berkata,
“Kudengar Anda mencari tempat menanam modal di
Klipdrift, Tuan Travis?”
“Boleh jadi.”
“Barangkali aku bisa memberi saran. Di sini harus hati‐
hati. Banyak orang tak bermoral.”
Jamie menatap van der Merwe. Katanya, “Oh, ya. Pasti
banyak.”
Seperti mimpi rasanya duduk berhadap‐hadapan dengan
lelaki yang telah menipu, merebut kekayaannya, dan
bahkan berusaha membunuhnya! Dendamnya pada van der
Merwe mendidih terus setahun terakhir ini. Kehausan buat
membalas lelaki itu menjadi sumber kekuatan yang
membuatnya bisa bertahan hidup. Sekarang, barulah van
der Merwe akan mulai merasakan pembalasannya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Maaf, Tuan Travis. Berapa banyak kira‐kira yang Anda
rencanakan buat ditanamkan di sini?”
“Oh, kurang lebih seratus ribu pound, mula‐mula,” Jamie
menyahut tak acuh. Terlihat olehnya van der Merwe
menjilat bibir. “Kalau prospeknya bagus, bisa
kupertimbangkan menambah tiga atau empat ratusan lagi.”
“Ah—Anda bisa untung banyak sekali dengan modal
sekian. Tapi, Anda perlu petunjuk yang tepat, tentu,”
tambah van der Merwe cepat‐cepat. “Sudah punya
bayangan bidang bisnis apa yang kira‐kira Anda incar?”
“Kupikir, sebaiknya aku lihat‐lihat dulu kemungkinan
apa saja yang prospeknya bagus.”
“Itu bijaksana, Tuan.” Van der Merwe mengangguk.
“Bagaimana kalau kuundang Anda makan malam di
rumahku malam nanti, lalu kita bisa berbincang‐bincang?
Putriku pandai sekali memasak. Kami merasa terhormat
menjamu Anda.”
Jamie tersenyum. “Oh, terima kasih, Tuan van der
Merwe. Kuterima undangan Anda dengan senang hati.” Kau
tak tahu betapa puas hatiku, pikirnya.
Permainan telah mulai.
Perjalanan dari Gurun Namib ke Cape Town tak banyak
halangannya. Jamie dan Banda jalan kaki ke desa kecil. Di
situ tangan Jamie diobati oleh seorang dokter. Mereka
beruntung dapat tebengan naik cikar bertujuan Cape Town.
Perjalanannya panjang dan tak enak. Tapi, keduanya tak
peduli. Di Cape Town, Jamie mendaftar sebagai tamu Hotel
Royal di Plein Street—hotel yang dilindungi oleh yang
mulia Duke of Edinburgh. Jamie diantarkan ke Royal
Suite—kamar istimewa.
“Tolong panggilkan tukang cukur paling bagus di kota
ini,” Jamie berpesan pada manajer hotel. “Lalu, aku perlu
penjahit dan pembuat sepatu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Baik, Tuan,” manajer itu menyahut hormat.
Punya uang itu enak, pikir Jamie, apa saja bisa.
Kamar mandi di Royal Suite bagaikan surga buat Jamie.
Ia berbaring, berendam air hangat. Segala kelelahan
terbilas dari tubuhnya. Sambil berendam, ia mengingat‐
ingat kejadian beberapa minggu terakhir. Tak bisa
dipercaya, rasanya. Baru beberapa minggukah sejak ia dan
Banda mulai membuat rakit? Rasanya seperti sudah
bertahun‐tahun yang lalu. Terbayang kembali oleh Jamie
pelayaran ke Sperrgebiet dengan rakit, lalu ikan hiu,
amukan ombak, serta karang yang menghancurleburkan
rakit mereka. Kabut laut, perjalanan melintas padang
beranjau dengan gerak perut, serangan anjing raksasa...
Teriakan mengerikan yang bergema bagai tak ada
habisnya: Kruger... Brent... Kruger... Brent...
Di antara semuanya itu yang paling mengesankan adalah
Banda. Sahabatnya.
Sesampai di Cape Town, Jamie memaksa dia, “Tinggallah
bersamaku, Banda!”
Banda cuma tersenyum. Giginya yang putih tampak
berderet rapi. “Hidup bersama kau terlalu membosankan
buatku, Jamie. Aku mesti pergi— entah ke mana, cari
tantangan.”
“Kau mau apa sekarang?”
“Yah. Pertama‐tama, terima kasih! Gagasanmu berlayar
dengan rakit melampaui daerah berkarang ternyata
memang gampang. Kupikir, aku akan beli tanah pertanian
dan peternakan, cari istri dan punya anak sebanyak‐
banyaknya.”
“Baiklah. Sekarang kita ke tempat diamant kooper, jadi
kita bisa bagi hasil berlian kita.”
“Tak usah,” ucap Banda. “Aku tak kepingin berlian itu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Dahi Jamie berkerut. “Apa katamu, Banda? Separuh
berlian ini milikmu. Kau kaya‐raya, Banda. Kau miliuner.”
“Tidak, Jamie. Lihatlah kulitku. Kalau aku jadi miliuner,
hidupku takkan ada artinya.”
“Ayolah. Kau bisa sembunyikan berlianmu. Kau bisa—”
“Aku cuma butuh sekadar buat beli tanah pertanian dan
dua ekor sapi pembeli istri. Dua‐tiga butir berlian kecil
sudah lebih dari cukup buat memenuhi segala
kebutuhanku. Lainnya buat kau.”
“Tak mungkin, Banda. Masakan kauberikan semua
bagianmu kepadaku?”
“Kenapa tidak, Jamie? Kau toh akan membalaskan
dendamku pada Salomon van der Merwe.”
Jamie menatap Banda. Lama sekali. “Aku berjanji,
Banda.”
“Kalau begitu, sekarang aku permisi, sobat.”
Keduanya berjabat tangan.
“Kita akan ketemu lagi,” ujar Banda. “Lain kali, pikir
kerjaan yang lebih menantang buat kita.
Oke?”
Banda melenggang pergi, membawa tiga butir berlian
yang dengan hati‐hati ia masukkan ke dalam sakunya.
Jamie mengirimkan dua puluh ribu pound kepada orang
tuanya, membeli kereta dan kuda paling bagus, lalu menuju
Klipdrift.
Waktu untuk membalas dendam telah tiba
***
Malam itu, ketika Jamie McGregor menginjakkan kaki ke
toko serba ada van der Merwe, perasaan membara penuh
kebencian mencekam dirinya. Ia terpaksa berhenti sejenak,
menguasai diri.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Van der Merwe tergopoh‐gopoh keluar dari belakang
tokonya. Melihat siapa yang datang, wajahnya mendadak
berseri. Senyum lebar menghiasi wajahnya. “Tuan Travis!”
sapanya. “Selamat datang!”
“Terima kasih, Tuan... Eh, maaf, aku lupa nama Anda....”
“Van der Merwe. Salomon van der Merwe. Tak usah
minta maaf. Nama Belanda memang sukar diingat.
Santapan malam sudah siap. Margaret!” panggilnya sambil
menunjukkan jalan ke ruang belakang. Semuanya belum
berubah. Margaret sedang berdiri di muka kompor,
menggoreng. Ia membelakangi mereka.
“Margaret, kenalkan. Ini tamu kita—Tuan Travis.”
Margaret membalikkan badan. “Apa kabar?”
Gadis itu pun sama sekali tak mengenalinya.
“Senang bertemu kau.” Jamie mengangguk.
Lonceng di depan berbunyi. Ada langganan datang. Van
der Merwe berkata,
“Maaf. Sebentar saja. Silakan duduk, Tuan Travis.” Ia
buru‐buru keluar.
Margaret membawa mangkuk berisi sayur panas ke
meja. Ia lalu bergegas mengeluarkan roti dari oven.
Sementara itu Jamie berdiri—memperhatikan gadis itu. Ia
sudah tumbuh jadi perempuan muda yang sexy selama
setahun ini.
“Kata ayahmu, kau pandai memasak.”
Wajahnya merah. “Mudah‐mudahan betul begitu, Tuan.”
“Sudah lama aku tak merasakan masakan rumah. Ini
sudah kunanti‐nantikan.” Jamie mengambil alih piring
mentega dari tangan Margaret dan menaruhnya di atas
meja. Margaret kaget bukan main. Hampir terjatuh piring
yang dipegangnya. Belum pernah ia mendengar ada laki‐
laki yang membantu mengerjakan pekerjaan perempuan.
Pandangan kaget dilontarkan gadis itu pada Jamie. Ah,
betapa tampan wajah lelaki itu seandainya hidungnya tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bengkok dan tak ada guratan bekas luka di dahinya. Dari
matanya yang abu‐abu muda terpancar kepandaian dan
semangat yang menyala‐nyala. Rambutnya putih. Pasti ia
tak muda lagi. Tapi, entah apa—ada sesuatu yang
membuatnya nampak muda. Perawakannya tinggi.
Penampilannya gagah—Margaret membuang muka, malu
mendapati lelaki itu memandangnya.
Van der Merwe tergopoh‐gopoh masuk, menggosok‐
gosok tangannya. “Tokonya sudah kututup,” ucapnya. “Mari
kita makan.”
Jamie diberi tempat paling terhormat.
“Kita berdoa dulu,” ajak van der Merwe.
Mereka memejamkan mata. Margaret membuka
matanya kembali setelah beberapa saat, mencuri
pandang—meneruskan pengamatannya atas diri lelaki di
depannya, sementara ayahnya mengucapkan doa panjang.
“Kami semua orang berdosa di hadapanMu, ya Tuhan,
yang pantas dihukum. Berikan kekuatan agar kami tahan
menghadapi hidup berat di bumi ini, agar kami boleh
menikmati buah surga jika tiba waktunya kami Kaupanggil.
Kami panjatkan syukur atas bantuan dan rezeki yang telah,
Kaulimpahkan pada kami. Amin.”
Salomon van der Merwe mulai melayani. Kali ini porsi
yang ia siapkan untuk Jamie berlebihan. Sambil makan,
mereka mengobrol.
“Ini pertama kalinya Anda ke daerah sini, Tuan Travis?”
“Ya,” sahut Jamie. “Baru kali ini.”
“Nyonya tidak dibawa?”
“Belum ada Nyonya Travis. Sejauh ini belum kutemukan
perempuan yang mau bersuamikan aku.” Jamie tersenyum.
Perempuan bodoh yang menolak jadi istrinya, pikir
Margaret. Cepat ia menurunkan pandangannya, kuatir
orang asing itu bisa membaca apa yang terlintas di otaknya.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Klipdrift merupakan kota berpotensi, Tuan Travis.
Banyak kesempatan di sini.”
“Aku mau diantar melihat‐lihat.” Ia memandang
Margaret. Gadis itu tertunduk. Wajahnya merah padam.
“Maafkan pertanyaanku ini, Tuan Travis. Bagaimana
Anda jadi kaya‐raya begini?”
Margaret malu mendengar pertanyaan ayahnya yang
terang‐terangan. Tapi nampaknya orang asing itu tidak
tersinggung. “Warisan dari ayahku,” sahut Jamie gampang.
“Ah, tapi kurasa Anda sendiri pasti sudah punya banyak
pengalaman dalam bisnis.”
“Justru—sedikit sekali. Itu sebabnya aku perlu banyak
bimbingan.”
Wajah van der Merwe berseri. “Beruntung sekali nasib
mempertemukan kita, Tuan Travis. Aku punya relasi yang
menguntungkan. Sangat menguntungkan, bahkan. Kujamin
uang Anda berlipat ganda dalam beberapa bulan saja.” Ia
membungkuk, menepuk‐nepuk lengan Jamie. “Firasatku
mengatakan, ini hari besar buat kita berdua.”
Jamie cuma tersenyum.
“Anda pasti tinggal di Grand Hotel?”
“Betul.”
“Terkenal mahal sekali hotel itu. Tapi, buat orang sekaya
Anda...” Ia menyeringai.
Jamie memotong, “Kudengar pemandangan di sekitar
sini sangat menarik. Bolehkah putri Anda mengantarku
melihat‐lihat besok, Tuan van der Merwe?”
Sejenak Margaret merasa jantungnya berhenti berdetak.
Dahi van der Merwe berkerenyit. “Entah. Dia…”
Sudah menjadi aturan baku buat van der Merwe: tak
seorang lelaki pun boleh berdua‐duaan saja dengan anak
gadisnya. Tapi, dalam hal Tuan Travis, ia memutuskan: tak
ada salahnya membuat perkecualian. Dengan begitu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
banyak yang ia harapkan dari lelaki itu, ia tak ingin
dianggap kurang sopan.
“Kuizinkan Margaret meninggalkan toko sebentar. Kau
tidak keberatan menjadi penunjuk jalan tamu kita kan,
Margaret?”
“Kalau itu yang Ayah kehendaki,” sahutnya pelan.
“Oke,” Jamie berkata, tersenyum. “Jam sepuluh. Bisa?”
Setelah tamu jangkung berpakaian necis itu pergi,
Margaret membereskan meja dan mencuci peralatan yang
kotor bagai dalam mimpi. Pasti dia pikir aku ini gadis tolol.
Berkali‐kali ia mencoba mengingat‐ingat apa saja yang ia
ucapkan selama makan malam tadi. Tak sepatah kata pun.
Mulutnya hampir terkunci selama itu. Lalu kenapa?
Berpuluh‐puluh lelaki yang datang ke toko selama ini ia
layani tanpa memberi kesan dia gadis tolol. Mengapa lelaki
tadi lain? Ah, tamu‐tamu toko tak pernah memandangnya
seperti Ian Travis tadi. Semua lelaki itu jahat, Margaret. Aku
tak mau kepolosanmu mereka curi. Suara ayahnya bergema
dalam kepala Margaret. Itukah maksud ayahnya? Rasa
lemah dan gemetar yang mendadak menjalari tubuhnya
ketika dipandang Ian Travis? Apakah itu yang namanya
mencuri kepolosan? Memikirkan hal itu mendatangkan
gelombang menyenangkan pada sekujur tubuhnya.
Dipandangnya piring yang sudah tiga kali ia keringkan. Ia
lalu duduk. Ah, seandainya ibunya masih hidup...
Ibu pasti mengerti. Margaret sangat menyayangi
ayahnya. Tapi, terkadang ia merasa jadi tawanannya. Ia
kuatir. Ayahnya sama sekali tak mengizinkan lelaki
mendekat apalagi bergaul dengannya. Aku takkan pernah
kawin, pikir Margaret. Sampai ayahku mati. Rasa bersalah
timbul dalam hatinya, karena pikiran menentang begitu.
Cepat ia bangkit dan melangkah ke toko. Ayahnya duduk
di belakang meja kerjanya—sibuk menghitung‐hitung.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Selamat malam, Yah. Aku tidur duluan.”
Van der Merwe melepas kacamatanya yang bergagang
emas. Digosok‐gosoknya matanya, lalu ia merangkul
putrinya. Margaret tak tahu mengapa ia cepat‐cepat
melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
Sendirian dalam kamar yang hanya dibatasi tirai,
Margaret mengamati pantulan wajahnya pada cermin bulat
kecil yang tergantung di dinding. Ia tak punya gambaran
tentang rupanya. Ia tak cantik. Tapi punya daya tarik.
Matanya bagus. Tulang pipinya tinggi. Badannya indah. Ia
mendekat ke cermin. Apa yang dilihat Ian Travis ketika
memandangnya tadi? Ia mulai menanggalkan gaunnya. Ian
Travis ada di situ, bersamanya, memandangnya. Ah,
pandang matanya begitu berapi—membakar tubuh dan
perasaannya. Ia melangkah tanpa busana, mendekati lelaki
itu. Tangannya membelai lembut gunung di dadanya.
Terasa putingnya mengeras. Jemarinya merayap turun
melewati perutnya yang datar. Tangannya bertemu dengan
tangan Ian Travis. Yang satu mengait lainnya. Bersama,
keduanya bergerak turun perlahan‐lahan sampai mencapai
pangkal pahanya. Lalu, ia disentuh lembut, digosok makin
keras, makin cepat sampai akhirnya ia merasa terbang
berputar‐putar dan merasakan ledakan hebat dalam
tubuhnya. Bibirnya mendesahkan nama lelaki itu. Lalu ia
menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Mereka mengendarai kereta kuda Jamie. Sekali lagi Jamie
tertegun menyaksikan perubahan yang telah terjadi. Di
tempat yang tadinya merupakan lautan kemah, sekarang
berdiri rumah‐rumah berpenampilan kuat. Dindingnya
terbuat dari kayu dan atapnya dari seng atau ilalang kering.
“Nampaknya Klipdrift kota makmur, ya?” ucap Jamie
sementara kereta yang dikendarainya melaju di jalan
utama kota itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Bagi pendatang baru kurasa memang menarik,”
Margaret mengomentari. Dalam hati ia menambahkan,
sebelum saat ini aku benci kota ini.
Mereka meninggalkan kota dan menuju ke perkemahan
penggali berlian di tepi Sungai Vaal. Hujan telah mengubah
pemandangan pedesaan. Di sana‐sini tampak taman ceria
ditumbuhi berbagai tumbuhan padang yang tak dijumpai di
tempat lain. Ketika melintasi sekelompok penggali berlian,
Jamie bertanya,
“Ada penemuan berlian besar akhir‐akhir ini?”
“Oh, ya. Beberapa. Setiap kali kabarnya tersebar, beratus
pencari berlian datang membanjir. Sebagian besar pergi
dari sini tanpa uang dan putus asa.” Margaret merasa perlu
mengingatkan lelaki di sampingnya, “Ayahku pasti tak
senang kalau mendengar aku mengatakan ini, Tuan Travis.
Tapi, menurutku bisnis ini terlalu berat.”
“Untuk sementara orang, mungkin begitu,” Jamie setuju.
“Ya, untuk beberapa orang.”
“Anda berminat tinggal di sini?”
“Ya.”
Hati Margaret bernyanyi riang. “Bagus.” Lalu tambahnya
cepat‐cepat, “Ayah pasti senang,”
Setengah hari mereka berputar‐putar Klipdrift. Sesekali
Jamie berhenti, berbincang‐bincang dengan pencari berlian.
Banyak di antara mereka mengenali Margaret. Sikap dan
sapa mereka penuh hormat. Gadis itu hangat dan ramah,
berbeda dengan kalau ia dekat dengan ayahnya.
Sementara berkendaraan lagi, Jamie berkata,
“Nampaknya semua orang kenal kau.”
Wajahnya merah. “Soalnya, mereka bisnis dengan Ayah.
Ayahku menyokong kebanyakan penggali berlian itu.”
Jamie tak mengomentari. Perhatiannya tertuju pada
pemandangan di depannya. Jalur kereta api membawa
segudang perubahan bagi Klipdrift. Perusahaan gabungan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
baru bernama De Beers membeli perusahaan saingan
terbesar di sana: Barney Barnato. Nama De Beers sendiri
diambil dari nama petani pemilik ladang tempat berlian
mula‐mula ditemukan. De Beers sibuk mempersatukan
perusahaan kecil‐kecil ke dalam organisasinya. Emas baru
saja ditemukan di daerah tak jauh dari Kimberley. Di
tempat yang sama ditemukan pula mangaan dan seng.
Jamie merasa yakin, bahwa semua ini barulah permulaan.
Afrika merupakan gudang hasil tambang. Untuk orang yang
berorientasi pada masa depan, tempat ini betul‐betul
merupakan peluang besar.
Hari sudah hampir sore ketika Jamie dan Margaret
kembali. Jamie menghentikan keretanya di muka toko van
der Merwe, lalu katanya,
“Kalau kau dan ayahmu mau datang makan malam
bersamaku di hotel malam nanti, aku akan senang sekali.”
Hati Margaret berbunga. “Akan kusampaikan undangan
Anda kepada Ayah. Mudah‐mudahan Ayah mau. Terima
Kasih, Tuan Travis.” Dan gadis itu berlari masuk.
Ketiganya bersantap malam di ruang makan luas Grand
Hotel.
Ruangannya bisa dikatakan penuh tamu. Van der Merwe
menggerutu, “Heran. Begitu banyak orang membuang‐
buang uang makan di sini.”
Jamie mengambil daftar menu, lalu mempelajari isinya.
Seporsi steak harganya satu pound empat shilling, kentang
empat shilling dan sepotong pie apel sepuluh shilling.
“Betul‐betul rampok!” keluh van der Merwe. “Makan
beberapa porsi di sini bisa, langsung membuat orang
bangkrut.”
Jamie berpikir, apa yang bisa menyebabkan van der
Merwe bangkrut. Ia betul‐betul ingin cari tahu. Mereka
memesan makanan. Van der Merwe memesan yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
harganya paling mahal. Itu tak luput dari perhatian Jamie.
Margaret memilih sop bening. Kegembiraannya yang
meluap‐luap membuat gadis itu hampir tak bisa makan. Dia
perhatikan jemarinya. Malu ia, ketika teringat apa yang
semalam dilakukan tangannya. Rasa bersalah tumbuh
dalam hatinya.
“Aku mampu membayar,” goda Jamie. “Ayolah, pesan apa
saja yang kausuka.”
Wajahnya merah. “Terima kasih. Aku tak begitu lapar.”
Van der Merwe sempat memperhatikan perubahan
wajah anaknya. Pandangan matanya tajam—berpindah
dari Margaret ke Jamie.
“Putriku ini gadis yang langka, Tuan Travis. Langka
sekali.”
Jamie manggut‐manggut. “Aku setuju sekali, Tuan van
der Merwe.”
Kata‐kata Jamie itu membuat Margaret begitu bahagia
sampai ia betul‐betul tak bisa makan walau sekadar makan
sop. Pengaruh Ian Travits pada dirinya tak bisa ia mengerti.
Setiap kata dan tingkah laku lelaki itu mengundang
Margaret mencari arti yang tersembunyi. Kalau Jamie
tersenyum kepadanya, artinya lelaki itu suka padanya.
Kalau dahinya berkernyit, artinya ia tak senang kepadanya.
Perasaan Margaret seperti termometer emosi yang tak
berhenti naik‐turun.
“Ada yang menarik perhatian Anda pagi tadi?” tanya van
der Merwe.
“Tak ada yang khusus,” sahut Jamie biasa‐biasa saja.
Van der Merwe mencondongkan badan ke depan.
“Percayalah, Tuan—daerah ini adalah daerah yang paling
cepat berkembang di dunia. Menanam modal di sini betul‐
betul menguntungkan. Jalur kereta api akan segera
membuat kota ini jadi Cape Town kedua.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Entahlah,” Jamie berkata ragu. “Aku sering mendengar
kota yang mendadak melambung
cepat runtuh. Yang jelas, aku tak kepingin menanam
modal di kota begitu.”
“Ah, Klipdrift tak akan begitu,” van der Merwe berusaha
meyakinkan Jamie. “Makin hari makin banyak ditemukan
berlian. Sekarang bahkan ditambah emas pula.”
Jamie mengangkat bahu. “Berapa lama semua itu bisa
bertahan?”
“Yah, itu sih tak ada yang tahu pasti. Tapi—”
'Tepat.”
“Jangan‐membuat keputusan terburu‐buru,” desak van
der Merwe. “Aku tak mau melihat Anda merugi.”
Jamie merenungkan kata‐kata itu.. “Betul. Mungkin aku
terlalu terburu‐buru. Margaret, bisa mengantarku melihat‐
lihat lagi besok?”
Van der Merwe membuka mulut hendak memprotes.
Tapi cepat menutup kembali. Teringat olehnya kata‐kata
Thorenson, manajer bank. Dia datang dengan santai
menyimpan seratus ribu pound, Salomon. Katanya masih
banyak lagi yang akan masuk.
Ketamakan van der Merwe mengalahkan akal sehatnya.
“Tentu saja Margaret bisa.”
Esok paginya Margaret mengenakan gaun hari
Minggunya—bersiap‐siap menemui Jamie. Ketika ayahnya
melihat, langsung wajah lelaki itu merah padam.
“Kau kepingin lelaki itu mengira kau gadis murahan—
dandan buat menarik perhatiannya? Ini bisnis, Nak. Copot
gaun itu. Ganti pakaian kerja biasa.”
“Tapi, Yah—”
“Turut kataku!”
Margaret tak membantah. “Ya, Yah.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Van der Merwe mengintip Margaret dan Jamie berangkat
kira‐kira dua puluh menit kemudian. Ia bertanya‐tanya,
mungkinkah ia bisa salah?
Kali ini Jamie mengendalikan keretanya ke arah yang
berlawanan dengan sehari sebelumnya. Di mana‐mana
nampak ada pembangunan. Kalau penemuan mineral
berlanjut, pikir Jamie dengan keyakinan, modal akan lebih
cepat berbunga jika ditanamkan dalam usaha real estate
daripada jika ditanam untuk menggali berlian atau emas.
Klipdrift akan memerlukan lebih banyak bank, hotel,
restoran, bar, toko, rumah hiburan... masih banyak lagi.
Begitu pula kesempatan mengambil keuntungan.
Jamie merasa Margaret memperhatikan dia. “Kenapa,
Margaret?” tanyanya.
“Oh, tidak apa‐apa,” sahutnya, cepat‐cepat membuang
muka.
Kini ganti Jamie yang memperhatikan gadis itu. Tampak
olehnya sinar kebahagiaan terpancar dari wajah Margaret.
Margaret merasakan kehadirannya di dekatnya,
kejantanannya di dekatnya. Jamie bisa merasakan yang ada
dalam batin gadis itu. Margaret seorang perempuan yang
merindukan lelaki.
Tengah hari Jamie meninggalkan jalan besar, menuju ke
pinggir hutan. Dekat aliran sungai, di bawah pohon
rindang, ia menghentikan keretanya. Ia memesan pelayan
hotel agar menyiapkan keranjang makanan tadi. Margaret
menggelar taplak meja di rumput, lalu mengeluarkan
makanan dari dalam keranjang. Ada daging kambing
panggang, ayam goreng, nasi kuning, selai, jeruk, buah
peach, dan soetekoekjes—kue kenari.
“Ini namanya pesta!” seru Margaret. “Kurasa, aku tak
pantas mendapat semua ini, Tuan Travis.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Kau pantas menerima lebih banyak lagi,” Jamie
meyakinkan Margaret.
Margaret membuang muka, menyibukkan diri dengan
makanan di depannya.
Jamie memegang wajah Margaret dengan kedua belah
tangannya.
“Margaret... pandang aku.”
“Oh! Jangan! Aku—” Ia gemetar.
“Pandang aku.”
Perlahan gadis itu mengangkat wajahnya, memandang
mata Jamie. Jamie merengkuh dan memeluknya. Bibirnya
mencari bibir Margaret. Dirapatkannya tubuh gadis itu
pada tubuhnya.
Beberapa saat kemudian Margaret meronta melepaskan
diri dari pelukan Jamie, menggeleng‐geleng, lalu berkata,
“Ya, Tuhan. Kita tak boleh. Tak boleh. Nanti kita masuk
neraka.”
“Surga.”
“Aku takut.”
“Tak ada yang mesti ditakuti. Kaulihatkah mataku? Aku
bisa melihat isi hatimu. Dan kau, kau tahu juga yang kulihat,
bukan? Kau ingin kucumbu. Dan itu akan kulakukan. Tak
perlu ada yang kautakutkan, sebab kau milikku. Kau tahu,
kan? Kau milikku, Margaret. Katakan. Aku milik Ian. Ayo—
aku milik Ian.”
“Aku milik—Ian.”
Bibir Jamie mengecup lagi bibir Margaret. Tangannya
mulai membuka kancing belakang gaun gadis itu. Dalam
sekejap ia sudah berdiri tanpa busana, di tengah embusan
angin lembut. Hati‐hati Jamie merebahkannya ke rumput.
Dan saat yang menggetarkan yang mengantar Margaret
menjadi wanita dewasa pun menjadi pengalaman paling
nikmat dan membahagiakan buat Margaret. Akan kuingat
saat ini selamalamanya, pikirnya. Rumput dan dedaunan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
yang menjadi alasnya berbaring, sentuhan lembut angin
pada kulitnya, kerindangan pohon... Mereka bercumbu lagi.
Dan kali ini lebih indah lagi. Margaret berkata dalam hati,
Tak mungkin ada perempuan yang begitu mencintai seorang
lelaki seperti aku mencintai lelaki ini.
Seusai bercumbu, Jamie merangkul Margaret dengan
tangannya yang kekar. Betapa Margaret ingin mereka
selamanya berpelukan begitu. Ia memandang Jamie. Lalu
bisiknya, “Apa yang kaupikirkan?”
Jamie menyeringai. Lalu berbisik kembali, “Lapar.”
Margaret tertawa. Keduanya bangkit, menyantap
hidangan di bawah kerindangan pohon. Sehabis makan
mereka berenang‐renang, lalu berbaring‐baring,
membiarkan sinar matahari mengeringkan tubuh mereka.
Jamie mencumbu Margaret sekali lagi. Margaret berpikir,
Ah, indahnya kalau hari ini tak habishabis.
Malamnya Jamie dan van der Merwe duduk di meja
sudut kedai minum Sundowner.
“Anda betul,” ujar Jamie. “Kemungkinan bisnis di sini
bisa jadi lebih banyak dari yang kubayangkan semula.”
Van der Merwe berseri. “Aku yakin Anda lelaki cerdas,
Tuan Travis. Tak mungkin Anda tak mengenali
kemungkinan‐kemungkinan itu.”
“Apa yang Anda usulkan untuk kulakukan?” tanya Jamie.
Van der Merwe melirik kiri‐kanan, lalu bicara berbisik,
“Baru saja—tadi—kudengar informasi tentang penemuan
berlian besar di utara Pniel, Masih ada sepuluh hak
tersedia. Kita bagi dua saja. Aku andil lima puluh ribu
pound untuk mengambil yang lima, Anda ambil yang lima
sisanya. Berlian di sana banyak sekali. Kita bisa jadi
miliuner dalam semalam. Bagaimana pendapat Anda, Tuan
Travis.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie tahu jalan pikiran lelaki itu. Van der Merwe akan
mengaku kelima hak yang menguntungkan sebagai
miliknya, dan Jamie akan kebagian yang tak menghasilkan.
Lagi pula, Jamie berani bertaruh van der Merwe takkan
pasang modal sepeser pun.
“Kedengarannya menarik,” kata Jamie. “Berapa banyak
penggali yang tersangkut?”
“Cuma dua.”
“Mengapa perlu modal begitu besar?” tanya Jamie polos.
“Ah, pertanyaan bagus itu.” Van der Merwe memajukan
kursinya. “Mereka tahu nilai hak atas daerah itu. Tapi tak
punya uang untuk menggarap. Di situlah kita masuk. Kita
beri mereka seratus ribu pound, dan biarkan mereka
menahan dua puluh persen ladang mereka.”
Kata dua puluh persen itu diucapkan begitu mulus
hingga hampir tak terperhatikan. Jamie yakin penggali‐
penggali itu akan dibohongi. Semua uang dan berliannya
akan masuk ke kantong van der Merwe.
“Kita harus gerak cepat,” van der Merwe mengingatkan.
“Begitu beritanya bocor—”
“Kalau begitu, jangan sampai keduluan yang lain,” desak
Jamie.
Vart der Merwe tersenyum. “Jangan kuatir. Kontraknya
akan kusiapkan secepatnya.”
Dalam bahasa Afrika, pikir Jamie.
“Nah, ada beberapa bisnis lain yang menurutku menarik,
Ian.”
Merasa perlu menyenangkan hati mitra usahanya yang
baru, van der Merwe tak lagi berkeberatan bila Jamie minta
Margaret menemaninya melihat‐lihat kota. Makin hari cinta
Margaret semakin mekar. Jamie menjadi yang paling akhir
ia pikirkan sebelum tidur dan yang pertama teringat ketika
bangun. Belum pernah ada orang yang bisa membangkitkan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
hawa nafsunya seperti Jamie. Margaret bahkan tak pernah
menyadari sebelumnya bahwa kobaran semacam itu ada
pada dirinya. Rasanya baru saat itu ia kenal dirinya sendiri.
Cinta merupakan daerah baru yang perlu dijelajah. Penuh
lembah nafsu tersembunyi, padang kenikmatan, dan sungai
madu. Ia takkan pernah puas mereguk kenikmatannya.
Di pinggiran kota, gampang mencari tempat terpencil
yang enak buat melepas dahaga cinta. Setiap kali
merupakan pengalaman yang menyenangkan untuk
Margaret, seperti pengalamannya yang pertama.
Rasa bersalah terhadap ayahnya membayangi gadis itu.
Salomon van der Merwe merupakan tokoh Gereja
Pembaharuan Belanda. Margaret tahu pasti takkan ada
ampun baginya jika ayahnya sampai tahu apa yang,ia
perbuat. Bahkan pada zaman di mana lelaki mereguk
kenikmatan di mana saja, kasusnya takkan bisa dimengerti.
Di dunia ini hanya ada dua tipe perempuan—perempuan
baik‐baik dan pelacur. Perempuan baik‐baik tak
membiarkan dirinya dijamah lelaki kecuali jika lelaki itu
suaminya. Jadi, ia termasuk golongan pelacur. Tak adil,
pikirnya. Saling memberi dan menerima dalam cinta begitu
indahnya. Tak mungkin itu dianggap kejahatan. Kekuatiran
dalam diri Margaret mendorongnya bicara soal
perkawinan.
Mereka sedang berkereta menyusuri tepi Sungai Vaal
ketika Margaret berkata, “Ian, kau tahu, kan, aku sangat—”
Ia tak tahu bagaimana mesti menyelesaikan kata‐kata itu.
“Maksudku, kau dan aku—” Putus asa, ia pun langsung
menuju sasaran, “Apa pendapatmu tentang perkawinan?”
Jamie tertawa.
“Aku setuju, Margaret. Setuju sekali.”
Margaret tertawa bersama Jamie. Saat itu merupakan
saat paling indah dalam hidup Margaret.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Minggu pagi Salomon van der Merwe mengajak Jamie ke
gereja bersama dia dan Margaret. Nederduits Hervormde
Kerk gedungnya bergaya Gothic mengesankan. Ada mimbar
di ujung yang satu, dan orgel besar di ujung lainnya. Ketika
mereka masuk, van der Merwe disapa teramat sopan dan
hormat.
“Aku ikut mendirikan gereja ini,” jelas van der Merwe
bangga. “Di sini aku jadi diakon.”
Khotbah misanya tajam dan berkobar‐kobar. Van der
Merwe duduk, manggut‐manggut penuh; semangat pada
setiap kata yang diucapkan oleh pendeta.
Ia hamba Tuhan pada hari Minggu, pikir Jamie. Hari
lainnya jadi hamba setan.
Van der Merwe duduk di antara Jamie dan Margaret.
Tapi, sepanjang misa Margaret merasakan kehadiran Jamie
di dekatnya. Untung saja—ia tersenyum gugup pada diri
sendiri— pendeta tak tahu yang sedang berkecamuk dalam
pikiranku.
Malamnya Jamie ke kedai minum Sundowner. Smit
sedang menyiapkan minuman di balik meja bar. Wajahnya
berseri melihat kedatangan Jamie.
“Selamat malam, Tuan Travis,” sapanya hormat. “Minum
yang biasa?”
“Malam ini tidak, Smit. Aku perlu bicara dengan kau. Bisa
pakai ruang belakang?”
“Tentu, Tuan.” Smit membayangkan dapat uang. Ia
berkata pada asistennya, “Titip bar.”
Ruang di belakang bar sempit sekali, tapi mereka tak
terganggu di sana. Ada meja bundar dengan empat kursi di
situ. Di atas meja, di tengah‐tengah, ada lentera. Smit
menyalakannya.
“Duduklah,” ujar Jamie.
Smit menarik kursi. “Ya, Tuan. Ada yang bisa kubantu?”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku datang hendak membantu kau, justru, Smit.”
Smit berseri. “Ah, apa betul, Tuan?”
“Begitulah.” Jamie mengeluarkan sebatang rokok lalu
menyulut. “Aku sudah memutuskan untuk membiarkan kau
hidup.”
Mata Smit mencerminkan ketidakpastian. “Aku tak
mengerti maksud Anda, Tuan Travis.”
“Bukan Travis. Namaku McGregor. Jamie McGregor.
Ingat? Setahun yang lalu kau sengaja
menyuruhku ke gudang kosong di pinggir kota—biar
aku mati. Kau suruhan van der Merwe.”
Dahi Smit berkerut. Mendadak ia gelisah. “Aku tak tahu
apa—”
“Tutup mulut dan dengar aku.” Suara Jamie bagai
cambuk.
Jamie bisa melihat otak Smit berputar. Ia sedang
berusaha menyamakan wajah lelaki berambut putih di
depannya dengan wajah pemuda polos bersemangat yang
dikenalnya setahun yang lalu.
“Aku masih hidup, dan aku kaya—cukup kaya buat bayar
orang yang mau disuruh bakar tempat ini sekaligus kaunya.
Kau bisa tangkap maksudku, Smit?”
Smit berniat mengatakan tak tahu‐menahu. Tapi melihat
kilat bahaya dalam pandangan Jamie, ia menjawab hati‐
hati, “Ya, Tuan....”
“Van der Merwe mengupahmu agar mengirim penggali
berlian tak berduit kepadanya. Biar mereka bisa ditipunya
kalau berhasil menemukan berlian. Menarik juga kerja
sama begitu. Berapa sih kau dibayar dia?”
Diam. Smit merasa terjepit di tengah dua kekuatan yang
luar biasa. Ia tak tahu mana yang harus dipilih.
“Berapa?”
“Dua persen,” sahutnya enggan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Akan kuberi kau lima persen. Mulai sekarang, kalau ada
calon penggali yang bagus—kausuruh mereka datang
kepadaku. Mereka akan kubiayai. Bedanya, mereka akan
dapat bagian yang adil, dan kau dapat hakmu pula. Kau
percaya Merwe betul‐betul memberimu dua persen dari
yang dia peroleh? Kalau percaya, tolol kau.”
Smit manggut‐manggut. “Baiklah, Tuan Trav – e, Tuan
McGregor. Aku mengerti maksud Anda.”
Jamie bangkit. “Belum sepenuhnya.” Jamie bersandar
kemeja. “Kau akan melaporkan pembicaraan kita ini kepada
van der Merwe supaya dapat uang juga dari dia. Sanksinya
cuma satu, Smit. Kalau kaulakukan itu, kau mati.”
7
Jamie sedang ganti pakaian ketika terdengar ketukan
lembut di pintu. Ia dengarkan. Ketukan tadi diulang. Cepat
Jamie membuka pintu. Margaret berdiri di sana.
“Masuklah, Maggie,” ujarnya. “Ada apa?” Baru sekali itu
Margaret datang ke kamar Jamie di hotel. Ia melangkah
masuk. Berhadapan muka dengan Jamie, ia merasa sukar
bicara. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana
cara terbaik menyampaikan berita ini kepada Jamie. Ia
kuatir Jamie tak mau lagi bertemu dengannya.
Margaret memandang mata lelaki itu. “Ian, aku hamil.”
Jamie terdiam. Lama sekali, sampai Margaret dicekam
ketakutan. Bagaimana kalau Jamie meninggalkan dia?
Mendadak wajah lelaki itu berubah begitu gembira.
Hilanglah segala keraguan Margaret. Jamie merenggut
lengannya, katanya, “Bagus, Maggie! Bagus sekali! Kau
sudah ceritakan kepada ayahmu?”
Margaret mundur, bagai diteror. “Oh, jangan! Dia—” Dia
melangkah ke sofa empuk gaya Victoria yang ada di sana,
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
lalu duduk. “Kau belum tahu ayahku. Ayah—dia takkan
mau mengerti.”
Buru‐buru Jamie mengancingkan kemeja. “Kita
sampaikan bersama‐sama, yuk!”
“Kau yakin tak apa‐apa, Ian?”
“Yakin betul.”
Salomon van der Merwe sedang menimbang dendeng
buat penggali berlian waktu Jamie dan Margaret nyelonong
masuk ke dalam toko.
“Ah, Ian! Sebentar, ya.” Ia bergegas melayani pembeli,
lalu menghampiri Jamie. “Apa kabar?”
“Wah, kabar bagus sekali,” ujar Jamie berseri‐seri.
“Maggie hamil.”
Mendadak sunyi.
“Aku tak mengerti—” van der Merwe tergagap.
“Masalahnya sederhana. Dia kuhamili.”
Wajah van der Merwe pucat‐pasi. Matanya liar
memandang kedua orang di depannya berganti‐ganti.
“Ini—ini tidak benar, kan?” Berbagai perasaan yang
bertentangan berkecamuk dalam dirinya. Terperanjat...
putrinya satu‐satunya tak gadis lagi... hamil... Ia pasti jadi
bahan pergunjingan orang sekota. Tapi, Ian Travis kaya‐
raya. Kalau mereka cepat‐cepat kawin...
Van der Merwe memandang Jamie. “Kalian segera kawin,
kan?”
Jamie memandangnya takjub. “Kawin? Kauizinkan
Maggie kawin dengan anak bodoh yang mau kaubohongi
dan kaurampas haknya?”
Kepala van der Merwe berputar‐putar. “Kau ngomong
apa sih, Ian? Aku tak pernah—”
“Namaku bukan Ian,” potong Jamie kasar. “Aku Jamie
McGregor. Kau lupa, ya?”
Van der Merwe nampak gugup.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Tentu saja. Kaupikir anak itu sudah mati. Kaubunuh dia.
Tapi, aku bukan pendendam, van der Merwe. Jadi, kuberi
kau hadiah. Benihku—di perut anakmu.”
Jamie berbalik, pergi, meninggalkan ayah‐beranak itu
melongo.
Margaret mendengar semuanya itu dengan kaget dan tak
percaya. Tak mungkin lelaki itu serius. Dia mencintainya.
Dia—
Salomon van der Merwe menoleh kepada anaknya.
Suaranya menggelegar. “Pelacur!” teriaknya. “Pelacur!
Pergi! Pergi dari sini!”
Margaret berdiri terpaku, tak mampu menyelami apa
yang sedang terjadi pada dirinya. Ian mempersalahkan dia
atas kesalahan yang dibuat ayahnya. Ian mengira dia
tersangkut dalam kejahatan ayahnya. Siapa sih Jamie
McGregor? Siapa—?
“Pergi!” Van der Merwe menampar keras wajah anaknya.
“Jangan temui aku lagi. Aku tak mau lihat kau lagi.”
Margaret berdiri terpaku. Jantungnya berdebar keras.
Napasnya sesak. Ayahnya seperti orang kehilangan akal. Ia
lari—keluar— tanpa menoleh.
Salomon van der Merwe berdiri menyaksikan kepergian
putrinya. Ia diliputi keputusasaan luar biasa. Sudah sering
ia melihat yang terjadi pada gadis‐gadis ternoda lainnya.
Mereka dipaksa berdiri di muka gereja, dipermalukan di
hadapan umum, lalu dikucilkan. Salah sendiri. Itu hukuman
setimpal. Tapi, Margaret ia besarkan secara baik‐baik, dan
bertuhan. Bagaimana bisa tega ia membalasnya dengan
cara begini? Van der Merwe membayangkan tubuh
Margaret—tanpa busana, berpasangan dengan tubuh lelaki
itu, menggeliat‐geliat seperti binatang. Ia ereksi.
Tanda “Tutup” dipasangnya di depan pintu toko.
Kemudian lelaki itu rebah ke ranjang—tak kuasa dan tak
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
ingin bergerak‐gerak. Begitu kabarnya tersebar di kota,
orang akan menggunjingkan dirinya. Ia akan dikasihani.
Kalau tidak, disalahkan. Kedua‐duanya memalukan. Harus
diusahakan tak ada yang tahu. Pelacur itu harus diusir buat
selama‐lamanya. Ia berlutut dan mulai berdoa: Ya, Tuhan!
Mengapa Kaubiarkan semua? ini menimpa hambaMu yang
setia ini? Mengapa Kautinggalkan hamba? Biarlah dia mati,
o, Tuhan. Biarlah keduanya mati...
Kedai minum Sundowner sedang penuh ketika Jamie
melangkah masuk ke sana siang itu. Ia langsung ke bar, dan
berbalik menghadap orang banyak yang sedang minum‐
minum. “Perhatian!” Semuanya diam. Suasana yang hiruk‐
pikuk mendadak sepi. “Kalian semua kutraktir minum.”
“Ada apa?” tanya Smit. “Dapat ladang berlian baru?”
Jamie mengakak. “Kurang‐lebih, sobat! Anak gadis
Salomon van der Merwe hamil. Tuan van der Merwe
kepingin kita semua merayakannya.”
Smit berbisik, “Oh, Yesus!”
“Yesus tak ada sangkut‐pautnya. Cuma Jamie McGregor.”
Dalam waktu satu jam saja semua orang di Klipdrift
sudah mendengar. Bahwa Ian Travis sebenarnya adalah
Jamie McGregor. Bahwa ia menghamili anak perempuan
van der Merwe. Margaret membuat orang sekota terheran‐
heran. “Dia kan bukan tipe perempuan begitu?”
“Air tenang menghanyutkan. Begitu kan kata pepatah?”
“Sudah berapa lelaki ya, yang sempat meniduri dia?”
“Hm, montoknya. Aku juga mau.”
“Minta saja. Dia mau kok kasih.”
Orang pun tertawa.
Ketika Salomon van der Merwe keluar dari tokonya
siang itu, ia sudah menerima nasib buruk yang tiba‐tiba
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
menimpanya. Sudah bulat tekadnya untuk mengirim
Margaret ke Cape Town dengan kereta berikut. Biar dia
melahirkan anak jadahnya di sana. Tak perlu ada orang
yang tahu di Klipdrift. Menutupi rahasianya, ia melangkah
ke jalan. Senyum cerah menghias wajah lelaki itu..
“Siang, Tuan van der Merwe. Kudengar Anda mulai
menyimpan persediaan baju bayi, ya?”
“He, Salomon. Dengar‐dengar sebentar lagi kau punya
tambahan tenaga mungil buat tokomu.”
“Halo, Salomon. Kudengar ada yang baru melihat jenis
burung baru di tepi Sungai Vaal. Ya, bangau pembawa bayi.”
Salomon van der Merwe terhuyung kembali dengan
mata nanar ke tokonya—masuk dan mengunci pintu.
Di kedai minum Sundowner, Jamie minum wiski sambil‐
mendengarkan gosip orang di sekitarnya. Kabar itu menjadi
skandal paling besar di Klipdrift. Orang sangat getol
membicarakannya. Sayang Banda tak bisa menikmatinya
bersamaku di sini, pikir Jamie. Ini merupakan ganjaran buat
perbuatan keji van der Merwe terhadap adik Banda, Jamie,
dan entah berapa orang lagi yang lain. Tapi, ini pun baru
sebagian saja dari ganjaran yang bakal dirasakan van der
Merwe. Dendam Jamie takkan habis sebelum van der
Merwe betul‐betul hancur. Ebook by : Hendri Kho by Dewi
KZ http://kangzusi.com/ Jamie tak punya simpati buat
Margaret. Ia bersekongkol dengan ayahnya. Apa katanya
ketika pertama kali bertemu dulu? Ayahku mungkin bisa
menolongmu. Ia tahu segalanya. Margaret juga seorang van
der Merwe. Jamie akan menghancurkan kedua‐duanya.
Smit datang ke tempat duduk Jamie. “Boleh bicara sebentar,
Tn. McGregor?”
“Ada apa?”
Smit berdehem, merasa tak enak. “Ada dua penggali
berlian. Mereka punya hak atas sepuluh ladang baru yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mereka temukan dekat Pniel. Mereka tak punya uang untuk
menggarap ladang itu dan perlu modal. Mereka cari orang
bermodal yang tertarik bekerja sama. Kupikir Anda
mungkin tertarik.”
Jamie mengamati pelayan itu. “Ini orang‐orang yang
kautawarkan pada van der Merwe, kan?”
Smit mengangguk, heran. “Betul, Tuan. Tapi, mendengar
yang Anda tawarkan, aku lebih suka bekerja sama dengan
Anda.”
Jamie menarik sebatang rokok ramping panjang. Smit
buru‐buru membantu menyalakan korek. “Teruskan,” ujar
Jamie.
Smit menurut.
Semula pelacuran di Klipdrift tak beraturan. Pelacurnya
kebanyakan orang Negro. Mereka bekerja di rumah‐rumah
bordil gelap semi permanen. Pelacur kulit putih yang mula‐
mula datang ke kota itu adalah pelayan bar sambilan.
Makin banyak ladang berlian ditemukan, makin makmur
kota Klipdrift, makin banyak pula pelacur kulit putih
muncul di sana.
Sekarang ada kurang‐lebih setengah lusin rumah bordil
murah di pinggiran kota. Rumah‐rumah kayu beratap seng
tipis. Ada satu yang berbeda. Dikelola Madam Agnes.
Letaknya di Jalan Bree, menempati gedung sopan berlantai
dua, tak jauh dari Jalan Loop—jalan utama kota Klipdrift.
Istri orang terhormat tak merasa rikuh bila terpaksa,
melewati rumah itu. Kenyataannya, rumah bordil ini
langganan suami‐suami mereka, serta orang‐orang asing
berduit. Tarifnya memang mahal. Tapi, layanan yang
didapat dari wanita‐wanita mudanya juga seimbang.
Minuman dihidangkan di ruang duduk yang ditata asri.
Sudah menjadi aturan Madam Agnes, bahwa tamu‐tamunya
tak boleh merasa diburu‐buru. Madam Agnes sendiri
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
orangnya periang, sehat, dan berambut merah. Usianya
kira‐kira tiga puluh lima. Tadinya ia bekerja di rumah
bordil di London. Kemudian timbul rasa tertarik
mendengar gampangnya cari uang di kota pertambangan
macam Klipdrift di Afrika Selatan. Tabungannya cukup
banyak untuk membuka usaha sendiri. Dan, usahanya
berkembang pesat.
Madam Agnes bangga, ada karunia khusus yang
dimilikinya, ia mengerti perasaan lelaki. Tapi, Jamie
McGregor masih tetap teka‐teki buatnya. Lelaki itu sering
berkunjung, tak pernah segan mengeluarkan uang, dan
berlaku ramah terhadap anak buah Madam Agnes.
Walaupun demikian, ia selalu tertutup, jauh dan tak dapat
dijangkau. Matanyalah yang paling mempesona Madam
Agnes. Berwarna pucat, dingin, dan begitu dalam. Berbeda
dengan tamu‐tamu lainnya, dia tak pernah menceritakan
tentang diri dan masa lalunya. Baru saja Madam Agnes
mendengar kabar, bahwa Jamie McGregor sengaja
menghamili anak perempuan van der Merwe dan menolak
kawin dengannya. Bajingan, pikir Madam Agnes. Tapi ia tak
bisa memungkiri, bahwa bajingan satu ini menarik luar
biasa. Dipandanginya Jamie yang tengah menuruni tangga
berlapis beledu merah, mengucapkan selamat malam
dengan sopan dan pulang.
Ketika Jamie kembali ke hotel, Margaret ada dalam
kamarnya. Ia sedang duduk, menerawang jauh ke luar
jendela. Perempuan itu menoleh ketika mendengar Jamie
masuk.
“Halo, Jamie.” Suaranya gemetar.
“Sedang apa kau di sini?”
“Aku perlu bicara denganmu.”
“Tak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Aku mengerti mengapa kaulakukan semua ini. Kau
dendam pada ayahku.” Margaret mendekati Jamie. “Tapi,
kau harus tahu, apa pun yang dilakukan ayahku
terhadapmu, aku sama sekali tak tahu‐menahu.
Percayalah—kumohon, percayalah! Jangan kaubenci pula
aku. Aku sangat mencintaimu.”
Pandangan Jamie dingin. “Itu persoalanmu sendiri, kan?”
“Jangan pandang aku seperti itu, Jamie. Kau juga
mencintaiku....”
Jamie tak mendengarkan. Perjalanan berat menuju
Paardspan seolah kembali ia arungi. Dia hampir mati... batu
raksasa di pinggir sungai itu—betapa habis tenaganya
mengungkit dan menggeser batu itu, betapa lunglai
tubuhnya... Akhirnya, mukjizat terjadi, ia menemukan
berlian.... Berlian itu ia serahkan kepada van der Merwe.
Van der Merwe mengatakan, Kau salah mengerti, Nak. Aku
tak butuh usaha patungan. Kau bekerja untukku.... Kuberi
kau waktu dua puluh empat jam buat meninggalkan kota ini.
Kemudian ia dihajar... Tercium lagi bau burung bangkai,
terasa paruh burung itu mencabik dagingnya....
Seolah datang dari tempat jauh sekali, ia mendengar
suara Margaret, “Lupakah kau? Aku —milikmu.... Aku
mencintaimu.”
Jamie mengguncang diri, meninggalkan kenangan tak
enak, kembali ke saat ini. Dia pandang Margaret. Cinta. Ia
tak tahu lagi apa arti kata itu. Van der Merwe telah
merenggut segala perasaan dari dirinya, kecuali dendam.
Bersama perasaan itulah ia hidup sekarang. Dendam
mengalir di pembuluh darahnya, dendam menjadi napas
penyambung hidupnya. Tanpa perasaan yang begitu kuat,
takkan mampu ia bertahan melawan hiu, menyeberangi
karang terjal, merayap melintas padang pasir beranjau.
Penyair menulis tentang cinta, penyanyi
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
mengumandangkan cinta pula. Mungkin cinta memang ada.
Tapi bukan buat Jamie McGregor.
“Kau anak Salomon van der Merwe. Yang di perutmu itu
cucunya. Pergi dari sini!”
Margaret tak tahu harus ke mana. Ia sangat sayang pada
ayahnya, dan butuh pengampunannya. Tapi, ia tahu pasti
ayahnya takkan pernah memaafkan. Ayahnya akan
membuat hidupnya sengsara. Tapi, Margaret tak punya
pilihan.
Ditinggalkannya hotel, lalu ia melangkah ke toko
ayahnya. Ia merasa semua orang yang berpapasan
mengamati dirinya. Beberapa tersenyum mengejek.
Margaret tak peduli. Ia berjalan terus. Di muka toko
ayahnya, ia ragu sejenak, lalu masuk. Tokonya kosong.
Ayahnya datang dari belakang.
“Ayah...”
“Kau!” Kebencian yang terdengar dalam suara itu bagai
tamparan buat Margaret. Ayahnya mendekat. Napasnya
bau alkohol. “Malam ini juga kau harus meninggalkan kota
ini. Jangan sekali‐sekali kemari lagi. Dengar?” Dari
kantongnya, van der Merwe menarik beberapa lembar uang
kertas lalu melemparkannya pada Margaret. “Ambil uang
itu dan pergi sekarang juga!”
“Aku sedang hamil, Yah! Anak ini cucumu.”
“Yang kaubawa itu anak setan!” Van der Merwe
mendekati anaknya. Tangannya mengepal. “Tiap kali orang
melihat kau keluyuran seperti pelacur, aku yang malu.
Kalau kau pergi dari sini, mereka akan lupa.”
Margaret menatap ayahnya. Lama— Bingung. Kemudian
ia berbalik, bergegas keluar.
“Uangnya, pelacur!” seru van der Merwe. “Kau lupa bawa
uangmu.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Ada rumah pondokan murah di pinggiran kota. Margaret
menuju ke sana. Pikirannya kacau‐balau. Sesampai di sana,
ia mencari Nyonya Owens, pemilik rumah pondokan itu.
Nyonya Owens berbadan gemuk. Sikap perempuan
setengah baya itu menyenangkan. Ia dibawa ke Klipdrift
oleh suaminya, tapi lalu ditinggalkan begitu saja.
Perempuan lain mungkin hancur diperlakukan demikian.
Tapi, Nyonya Owens bertahan. Sudah banyak orang
menderita yang ia lihat di kota itu, tapi belum pernah ada
yang nampak lebih menderita daripada gadis tujuh belas
tahun yang kini berdiri di hadapannya. “Kau mencariku?”
“Ya. Mungkin Anda punya pekerjaan yang bisa
kulakukan, Nyonya?”
“Pekerjaan? Pekerjaan apa?”
“Apa saja. Aku bisa masak. Jadi pelayan ruang makan
juga bisa. Membereskan tempat tidur, atau... apa saja,”
suaranya terdengar putus asa dan memohon. “Apa saja,
Nyonya.”
Tak sampai hati Nyonya Owens melihat gadis yang
gemetar di depannya. “Kurasa, tak ada salahnya. Kapan bisa
mulai kerja?” Kelegaan membuat wajah Margaret sedikit
berseri.
“Sekarang.”
“Aku cuma bisa bayar—” Nyonya Owens berpikir
sebentar, lalu, “Satu pound dua shilling sebelas pence
sebulan, dengan pondokan cuma‐cuma.”
“Tak apa‐apa,” Margaret berkata, penuh terima kasih.
Salomon van der Merwe jarang muncul di jalan. Tokonya
lebih sering tutup. Akhirnya langganannya mencari toko
lain.
Walaupun begitu, Salomon van der Merwe masih selalu
ke gereja setiap Minggu. Bukan buat sembahyang, tetapi
buat menuntut Tuhan agar memindahkan beban berat dari
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
bahu hambaNya yang setia ini. Umat gereja selama ini
selalu memandang van der Merwe penuh hormat karena ia
kaya dan berkuasa. Tapi, sekarang van der Merwe merasa
mereka memperhatikan dan berbisik‐bisik di belakangnya.
Keluarga yang duduk di bangku tempat ia duduk mendadak
pindah ke bangku lain. Dia jadi orang paria. Yang lebih
menghancurluluhkan hatinya adalah khotbah pendeta yang
menggelegar, yang dengan ahlinya menggabungkan Kitab
Keluaran, Yehezkiel, dan Imamat, “Aku, Tuhan Aliahmu,
adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan
bapa kepada anak‐anaknya. Oleh karena itu, hai perempuan
sundal, dengarkanlah firman Tuhan! Oleh karena engkau
menghamburkan kemesumanmu dan auratmu
disingkapkan dalam persundalanmu dengan orang yang
mencintaimu.... Dan Tuhan berfirman kepada Musa,
demikian, 'Janganlah engkau merusak kesucian anakmu
perempuan dengan menjadikan dia perempuan sundal,
supaya negeri itu jangan melakukan persundalan, sehingga
negeri itu penuh dengan perbuatan mesum....' “
Van der Merwe tak pernah lagi menginjakkan kakinya ke
gereja sejak hari Minggu itu.
Sementara bisnis Salomon van der Merwe makin
merosot, bisnis Jamie berkembang pesat. Biaya penggalian
berlian semakin tinggi. Makin dalam tempat yang digali,
makin dibutuhkan peralatan tambahan. Umumnya para
penggali tak punya cukup uang untuk membeli peralatan
itu. Kabar segera tersebar, bahwa Jamie McGregor mau
membiayai dengan mendapat saham sebagai gantinya.
Dalam tempo singkat seluruh saham tambang‐tambang
berlian itu sudah terbeli oleh Jamie. Jamie menanamkan
modal bukan saja dalam bidang penggalian berlian. Ia juga
memutar uangnya di bidang real estate, perdagangan, dan
penambangan emas. Dalam setiap transaksi yang
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
dilakukan, dia selalu mengutamakan kejujuran.
Reputasinya naik dan makin banyak orang datang
berhubungan bisnis dengannya.
Ada dua bank di Klipdrift. Ketika satu di antaranya
bangkrut akibat manajemen yang tak memadai, diam‐diam
Jamie membeli bank itu. Ia menggunakan nama anak
buahnya. Nama Jamie McGregor sama sekali tak tertera
dalam transaksi jual‐belinya.
Segala usaha yang disentuh Jamie berkembang pesat. Ia
jadi orang sukses dan kaya, jauh melebihi cita‐citanya.
Walaupun begitu, semuanya itu tak banyak berarti buat
Jamie. Jamie cuma mengukur sukses dirinya dari
kemunduran dan kegagalan Salomon van der Merwe.
Pembalasan dendamnya belum tuntas. Baru saja mulai.
Sesekali Jamie berpapasan dengan Margaret dijalan. Tapi
ia tak menghiraukan perempuan itu.
Jamie tak tahu betapa berarti pertemuan‐pertemuan tak
sengaja itu buat Margaret. Melihatnya saja, tubuh Margaret
mendadak lunglai. Napasnya terhenti. Margaret masih
mencintainya. Sepenuhnya. Takkan ada sesuatu pun yang
bisa mengubah perasaannya terhadap Jamie. Jamie telah
menggunakan tubuhnya untuk menghukum ayahnya, tetapi
Margaret tahu, ini bukan takkan kembali menyakiti Jamie.
Sebentar lagi bayi mereka lahir. Anak Jamie. Kalau melihat
anak itu, darah dagingnya sendiri, pasti Jamie mau
mengawini dia—agar anaknya punya nama. Margaret akan
jadi Nyonya Jamie McGregor. Cuma itu yang dia harapkan
dalam hidup ini. Malam hari, sebelum tidur, Margaret selalu
membelai perutnya yang makin membuncit. “Putra kita,”
bisiknya. Bodoh betul mengira kelamin bayi di perutnya
bisa ditentukan begitu. Tapi, satu hal jelas buat Margaret.
Setiap pria menginginkan anak laki‐laki.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Kekuatiran Margaret makin hari makin menjadi
sementara perutnya terus membengkak. Ia perlu kawan
bicara. Tapi, perempuan‐perempuan di kota itu tak mau
bicara dengannya. Agama mereka mengajar agar mereka
menghukum orang bersalah, bukan memaafkan. Margaret
betul‐betul sendirian, di tengah orang asing. Setiap malam
ia menangis, meratapi diri dan bayi dalam perutnya.
Jamie McGregor membeli gedung berlantai dua di pusat
kota Klipdrift. Tempat itu digunakan sebagai markas besar
berbagai perusahaannya yang berkembang pesat. Suatu
hari, Harry McMillan, kepala akuntannya, menemui Jamie,
“Sebaiknya kita satukan saja semua perusahaanmu,”
katanya. “Kita perlu nama buat badan hukum ini. Nama apa
yang kauusulkan?”
“Nanti—kupikir dulu.”
Jamie berpikir‐pikir. Seolah terdengar olehnya suara
yang dulu bergema di Padang Namib dalam liputan kabut
laut. Jamie segera tahu nama satu‐satunya yang ia inginkan
buat perusahaannya. Akuntannya dipanggil.
“Kita namai perusahaan baru ini Kruger‐Brent. Kruger‐
Brent Limited.”
Alvin Cory, manajer bank Jamie, muncul di ruang kerja
Jamie. “Tentang pinjaman Tuan van der Merwe,” katanya.
“Cicilannya sudah menunggak lama sekali. Dulu memang
kecil risiko memberi pinjaman padanya. Tapi sekarang
keadaannya berubah drastis, Tuan McGregor. Menurutku,
sudah waktunya kita menghentikan pinjaman kepadanya.”
“Jangan.”
Cory memandang Jamie keheranan. “Tadi pagi dia
datang, minta pinjaman untuk—”
“Beri saja. Berikan semuanya yang dia minta.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Alvin bangkit. “Terserah Anda, Tuan McGregor. Akan
kukatakan kepadanya Anda—”
“Jangan katakan apa pun. Berikan saja uangnya.”
Setiap pagi Margaret bangun jam lima, lalu mulai sibuk
membakar roti dan kue‐kue. Pada saat para pemondok
berbondohg‐bondong memasuki ruang makan, semuanya
sudah siap dihidangkan: bubur, telur, roti, kue, kopi.
Kebanyakan yang mondok di sana penggali berlian. Ada
yang baru hendak berangkat mencari berlian, ada pula yang
pulang dari ladang berlian. Mereka singgah di Klipdrift
cukup lama: menunggu hasil pengujian berlian yang
mereka bawa, mandi, minum‐minum, dan berkunjung ke
salah satu rumah bordil. Umumnya mereka itu kasar dan
petualang buta huruf.
Ada semacam undang‐undang tak tertulis di Klipdrift
bahwa perempuan baik‐baik tak boleh diganggu. Kalau
seorang lelaki membutuhkan sex, mereka pergi ke pelacur.
Margaret van der Merwe merupakan perkecualian. Ia tak
masuk dalam kedua golongan yang ada. Perempuan baik‐
baik yang belum kawin tak mungkin hamil. Teorinya, kalau
Margaret pernah mau, mungkin ia mau lagi bermain
dengan lelaki lain. Mereka cuma tinggal tanya. Dan betul
mereka bertanya.
Beberapa terang‐terangan. Yang lain melirik dengan
sembunyi‐sembunyi. Semuanya dihadapi Margaret dengan
tenang dan anggun. Suatu malam, ketika Nyonya Owens
sedang bersiap‐siap hendak tidur, terdengar teriakan‐
teriakan dari kamar Margaret di belakang. Perempuan
setengah baya itu cepat‐cepat mendorong pintu dan masuk.
Seorang tamu mabok telah mengoyak gaun Margaret dan
menindihnya di tempat tidur.
Nyonya Owens seperti orang kesetanan. Diraihnya
seterika, lalu dia pukuli tamu tadi dengan seterika itu.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Walaupun tubuhnya cuma separuh ukuran tamunya,
Nyonya Owens tak peduli. Saking marahnya, tamu itu ia
getok sampai tak sadarkan diri. Nyonya Owens lalu
menyeret lelaki itu keluar—ke jalan. Kemudian ia buru‐
buru kembali ke kamar Margaret. Margaret sedang
menyeka darah dari bibirnya yang luka digigit lelaki tadi.
Tangannya gemetar.
“Kau tak apa‐apa, Maggie?”
“Tidak. Oh—terima kasih banyak, Nyonya Owens.”
Air matanya membanjir. Di kota yang hampir semua
penduduknya tak mau bicara dengannya, ada perempuan
yang justru begitu baik dan menolongnya.
Nyonya Owens memperhatikan perut Margaret yang
menggunung. Impiannya akan tinggal impian. Kasihan dia.
Jamie McGregor takkan pernah mau mengawini dia.
Saat melahirkan sudah makin dekat. Margaret cepat
sekali menjadi lelah. Membungkuk dan berdiri lagi terasa
berat buatnya. Satu‐satunya kebahagiaan yang ia rasakan
adalah ketika bayi dalam perutnya bergerak. Mereka cuma
berdua saja di dunia ini. Margaret tak henti‐hentinya
mengajak bayinya bicara, meyakinkan mahluk yang belum
lahir itu, bahwa hidupnya kelak akan enak.
Suatu malam, sehabis waktu makan malam, ada anak
lelaki Negro datang—menyerahkan sepucuk surat
beramplop tertutup kepada Margaret.
“Aku disuruh tunggu jawabannya,” anak itu berkata.
Margaret membaca surat itu. Lalu dibacanya sekali lagi,
dengan hati‐hati. “Ya,” ucapnya. “Jawabannya, ya.”
Jumat berikutnya, tepat jam dua belas siang, Margaret
sampai di rumah bordil Madam Agnes. Di muka pintu ada
tanda “Tutup”. Margaret mengetuk pintunya pelan, tak
menghiraukan lirikan heran orang‐orang yang lewat.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Mungkin salah ia datang kemari. Sukar memutuskan ya
atau tidak. Ia mengatakan “ya” karena kesepian sudah
terlalu lama mencekam batinnya. Suratnya berbunyi:
Nona van der Merwe yang baik, Bukannya kami mau
mencampuri urusan Anda, tapi, kami—aku dan anak
buahku—sangat bersimpati atas situasi tak adil yang
menimpa Anda. Kami ingin membantu Anda dan bayi Anda.
Seandainya Anda tak merasa malu datang ke tempat kami,
datanglah makan siang bersama kami hari Jumat ini. Kami
menunggu jawaban Anda.
Salamku, Madam Agnes
P.S. Kami akan berhatihati.
Margaret sedang berdebat dengan dirinya sendiri: terus
atau pergi saja. Mendadak pintu dibuka oleh Madam Agnes
sendiri.
Perempuan itu menjabat tangan Margaret. “Masuklah,
Nak. Uh, panasnya ya, di luar.”
Madam Agnes membawa Margaret ke ruang duduk
bersofa merah empuk gaya Victoria. Ruang itu dihiasi pita
dan balon warna‐warni. Karton bertuliskan,” SELAMAT
DATANG, BAYI MANIS... KAU PASTI BAYI LELAKI...
SELAMAT LAHIR KE DUNIA”, tergantung di langit‐langit.
Di situ sudah menunggu delapan anak buah Madam
Agnes. Perawakan, umur, dan warna kulitnya bermacam‐
ragam. Mereka semua berpakaian istimewa. Madam Agnes
sendiri yang mengawasi cara mereka berpakaian. Siang itu
semuanya mengenakan gaun siang konservatif—dan tanpa
make‐up. Mereka nampak lebih terhormat daripada
kebanyakan istri orang di kota ini, pikir Margaret.
Margaret mengamari ruangan penuh pelacur itu.
Bingung, tak tahu harus bagaimana. Wajah beberapa di
antara mereka sudah tak asing buatnya. Margaret sering
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
melayani mereka kalau datang membeli sesuatu ke toko
ayahnya tempo hari. Beberapa masih muda dan cantik.
Yang lain sudah lebih berumur dan tidak langsing, dengan
rambut yang kelihatan sekali dicat. Tapi, semuanya punya
persamaan: penuh perhatian. Mereka ramah, hangat, dan
baik. Semua berusaha menggembirakan Margaret.
Mereka mengelilingi Margaret dengan canggung, mula‐
mula takut mengatakan atau berbuat yang kurang
berkenan pada Margaret. Apa pun yang digunjingkan orang
tentang perempuan ini, mereka tahu betul Margaret gadis
baik‐baik. Ia berbeda dengan mereka. Mereka merasa
mendapat kehormatan Margaret mau datang memenuhi
undangan mereka. Karenanya, semua berusaha agar acara
siang itu tidak dirusakkan oleh apa pun.
“Kami sudah siapkan makan siang enak buat kau,
Sayang,” ujar Madam Agnes. “Mudah‐mudahan kau sudah
lapar.”
Mereka mengajak Margaret ke ruang makan. Meja
makannya sudah ditata indah. Berbagai makanan terhidang
di sana. Sebotol sampanye diletakkan di tempat Margaret.
Ketika melewati ruang tengah, Margaret memperhatikan
tangga menuju ke kamar‐kamar di lantai dua. Ia tahu Jamie
sering kemari. Margaret ingin tahu yang mana di antara
perempuan‐perempuan ini yang jadi pilihan Jamie.
Mungkin semuanya pernah dia rasai. Margaret mengamati
mereka lagi, mencari kelebihan mereka dari dirinya yang
dicari Jamie.
Makan siang itu lebih mirip pesta. Mula‐mula
dihidangkan sup dingin dengan selada. Lalu disusul ikan
gurame, daging domba dan bebek dihidangkan dengan
kentang dan sayuran. Penutupnya kue‐kue, keju, buah‐
buahan, dan kopi. Margaret makan dengan lahap. Ia betul‐
betul menikmati semuanya yang terhidang. Ia dipersilakan
duduk di bagian kepala meja. Di sebelah kanannya duduk
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Madam Agnes. Di sebelah kirinya Maggie, gadis cantik
berambut pirang yang nampaknya baru berumur enam
belasan. Mula‐mula obrolan mereka terasa kaku. Mereka
punya banyak cerita jorok lucu, tapi mereka tahu bahwa
cerita macam itu tak pantas didengar Margaret. Akhirnya
mereka mengobrol tentang cuaca, perkembangan kota
Klipdrift, dan masa depan Afrika Selatan. Mereka tahu
banyak tentang politik, ekonomi, dan penemuan berlian.
Tentu saja. Informasinya mereka dapat langsung dari ahli‐
ahlinya.
Maggie, si pirang cantik, sekali tergelincir. “Jamie baru
menemukan ladang berlian baru di—” Mendadak
semuanya diam. Gadis itu menyadari kesalahannya. Lalu
cepat menambahkan, “Dia pamanku. Suami bibiku.”
Margaret heran juga merasakan kecemburuan yang
merasuki hatinya. Madam Agnes cepat mengalihkan topik
pembicaraan.
Seusai santap siang, Madam Agnes bangkit dan berkata,
“Nah, sekarang ikuti aku, Nak.”
Margaret dan anak buah Madam Agnes mengikuti
perempuan itu menuju ruang duduk satu lagi. Di sana
bertumpuk kado. Bungkusnya cantik wama‐warni.
Margaret tak percaya melihat semuanya itu.
“A‐aku tak tahu, harus bilang apa....”
“Bukalah,” kata Madam Agnes kepada Margaret.
Ada buaian bayi, sepatu bayi dari wol rajut, topi bayi
dengan bordiran manis, mantel wol mungil panjang, sepatu
bayi berkancing, cangkir bayi dari perak terpelisir emas,
sisir dan sikat rambut bayi indah bergagang perak, peniti
bayi, mainan bayi, gelang karet untuk gigitan gigi bayi,
kuda‐kudaan, boneka, balok kayu mainan berwarna‐warni,
dan yang tercantik: gaun putih panjang indah untuk
dikenakan sang bayi pada waktu dipermandikan.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Seperti Natal. Semua itu jauh di luar yang diharapkan
Margaret. Segala kesepian dan penderitaan yang selama ini
terpendam mendadak pecah. Ia menangis sesenggukan.
Madam Agnes merangkul gadis itu. Lalu katanya kepada
yang lain, “Tinggalkan.”
Perlahan‐lahan mereka pergi. Madam Agnes
membimbing Margaret ke kursi, mendudukkannya di sana.
Ia memeluk gadis malang itu sampai tangisnya berkurang.
“Maafkan aku,” ucap Margaret tersendat. “Aku tak tahu
mengapa tiba‐tiba seperti ini.”
“Tidak apa‐apa, Nak. Ruangan ini sudah melihat banyak
problem datang dan pergi. Tahukah kau, pelajaran apa yang
kudapat selama ini? Pada akhirnya, segala sesuatu itu ada
jalan keluarnya. Percayalah, kau dan bayimu akan selamat.”
“Terima kasih,” bisik Margaret. Ia menunjuk ke arah
tumpukan kado. “Aku tak bisa membalas kebaikan Anda
dan kawan‐kawan Anda—”
Madam Agnes meremas tangan Margaret. “Jangan. Tak
perlu. Kau tak tahu betapa senangnya hatiku dan anak‐anak
itu menyiapkan semua ini buatmu. Jarang kami mendapat
kesempatan melakukan semua ini. Kalau salah seorang di
antara kami hamil—itu bencana.” Madam Agnes mendadak
menutup mulut dengan tangannya. “Oh! Maaf!”
Margaret tersenyum. “Hari ini merupakan salah satu hari
yang paling membuatku bahagia.”
“Kami benar‐benar merasa dihargai kau mau berkunjung
kemari. Buatku, kau lebih berharga dibanding setumpuk
perempuan lain di kota ini. Aku marah sekali melihat cara
mereka memperlakukan kau. Maaf, tapi menurutku Jamie
McGregor orang tolol.” Madam Agnes bangkit. “Dasar lelaki!
Alangkah indahnya hidup kita tanpa mereka. Atau, mungkin
tambah sengsara? Ah, kita tak tahu.”
Margaret sudah tenang kembali. Ia bangkit, diraihnya
tangan Madam Agnes. “Aku takkan pernah melupakan
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
semua ini. Kelak, kalau putraku sudah dewasa, akan
kuceritakan semua ini kepadanya.”
Dahi Madam Agnes berkerut. “Perlukah itu?
Margaret tersenyum. “Menurutku perlu sekali.”
Madam Agnes mengantar Margaret ke pintu. “Kadonya
biar diantar nanti. Semoga semua berjalan baik.”
“Terima kasih. Terima kasih banyak.”
Margaret pergi.
Madam Agnes berdiri sejenak mengamati Margaret
berjalan di luar sana, lalu ia berbalik dan berseru, “Oke,
anak‐anak. Kita kerja lagi.”
Satu jam kemudian tanda “TUTUP” di muka pintu rumah
bordil Madam Agnes dibalik, “BUKA”.
8
WAKTU merentang jerat sudah tiba. Selama enam bulan
terakhir diam‐diam Jamie McGregor membeli saham
kongsi‐kongsi van der Merwe dalam berbagai perusahaan.
Dengan sebagian besar saham perusahaan‐perusahaan di
tangannya, Jamie menjadi pengendali dan punya kekuasaan
di dalamnya. Walaupun begitu, tekad utamanya adalah
memiliki Gurun Namib, ladang berlian van der Merwe.
Ladang berlian itu telah ia bayar beratus kali lipat—dengan
darah, tekad, dan... hampir saja mengorbankan nyawanya.
Berlian yang diambilnya bersama Banda dari ladang itu
telah ia gunakan untuk mendirikan kekuatan raksasa yang
kelak akan menghancurkan Salomon van der Merwe.
Tugasnya belum selesai. Tapi, Jamie kini siap menuntaskan
tugasnya.
Utang van der Merwe makin lama makin menumpuk.
Tak seorang pun di Klipdrift mau memberi dia pinjaman,
kecuali bank yang secara diam‐diam dimiliki Jamie.
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Perintah Jamie kepada manajer bank itu selalu, “Berikan
berapa saja yang diminta Salomon van der Merwe.”
Toko van der Merwe hampir tak pernah buka lagi. Pagi‐
pagi ia sudah minum‐minum. Siang ia ke rumah bordil
Madam Agnes. Terkadang ia bahkan menginap di sana.
Suatu pagi Margaret sedang berdiri di depan toko
daging, menunggu ayam muda pesanan Nyonya Owens.
Ketika ia menoleh ke arah jendela, terlihat ayahnya keluar
dari rumah bordil itu. Hampir Margaret tak mengenali
lelaki lusuh yang berjalan tersaruk‐saruk di jalan sana.
Akulah garagaranya. Oh, Tuhan—ampuni aku. Garagara
akulah Ayah jadi begitu.
Salomon van der Merwe tak mengerti apa yang sedang
terjadi pada dirinya. Yang dia tahu, hidupnya tiba‐tiba
rusak berantakan walaupun ia merasa tak pernah berbuat
salah. Tuhan memilihnya—seperti dulu Tuhan memilih
Ayub—untuk diuji imannya. Van der Merwe berkeyakinan
ia akan menang. Musuh‐musuhnya yang tersembunyi pada
akhirnya akan kalah. Cuma waktu yang dia butuhkan—
waktu dan uang. Tokonya telah dia jadikan jaminan buat
mendapat tambahan uang. Begitu juga sahamnya pada
enam ladang berlian, bahkan kuda dan keretanya.
Akhirnya, yang tinggal cuma saham ladang berlian Gurun
Namib. Ketika tiba saatnya van der Merwe menggadaikan
Gurun Namib pula, Jamie menerkam.
“Tagih piutang kita!” perintah Jamie kepada manajer
banknya. “Beri waktu dua puluh empat jam. Kalau tidak,
jaminan kita sita.”
“Tuan McGregor, mana mungkin dia bisa mengumpulkan
uang sebanyak itu? Dia—”
“Pokoknya, kataku dua puluh empat jam.”
Persis pukul empat sore esok harinya, asisten manajer
bank datang ke toko van der Merwe. Ia disertai seorang
polisi dan membawa surat perintah menyita seluruh harta
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
milik van der Merwe. Dari ruang kantornya di seberang
jalan Jamie menyaksikan van der Merwe digiring keluar
dari tokonya. Lelaki itu berdiri di luar kepanasan. Matanya
berkedip‐kedip, bingung—tak tahu harus bagaimana atau
ke mana. Segala miliknya dirampas habis. Pembalasan
dendam Jamie tuntaslah sudah. Tapi, mengapa, pikir Jamie,
aku tak merasa menang? Hatinya kosong. Lelaki yang dia
hancurkan telah menghancurkan dia lebih dulu.
Ketika Jamie melangkah ke rumah bordil Madam Agnes
malam harinya, perempuan itu berkata, “Sudah dengar
kabarnya, Jamie? Salomon van der Merwe bunuh diri sejam
yang lalu.”
Penguburannya dilakukan di kuburan suram agak ke
luar kota. Di samping petugas pemakaman, hanya ada dua
orang yang hadir: Margaret dan Jamie McGregor. Margaret
mengenakan gaun lebar hitam buat menyembunyikan
perutnya yang menggunung. Ia nampak pucat dan tidak
sehat. Jamie tampak jangkung dan perlente, tapi diam
menarik diri. Keduanya berdiri berhadap‐hadapan, di
antara mereka petugas sibuk menurunkan peti ke liang
lahat. Lalu, tanah dan batu‐batu terdengar peletak‐peletok
pada peti sementara petugas menguruknya. Margaret
seolah mendengar suara ayahnya, Pelacur!... Pelacur!...
Ia memandang ke seberang kubur ayahnya. Pandangnya
beradu dengan Jamie. Sorot mata lelaki itu dingin dan tak
acuh, seolah Margaret orang asing yang tak dia kenal.
Ketika itu timbul benci Margaret terhadapnya. Kau seperti
tak merasakan apaapa. Padahal kau merasa bersalah—
seperti aku juga. Kita yang membunuhnya —kau dan aku. Di
mata Tuhan, aku istrimu. Tapi kita bersekutu dalam
kejahatan. Margaret mengalihkan perhatiannya ke liang
kubur yang masih tampak menganga. Ia memperhatikan
petugas menguruk sampai akhirnya yang ada di mukanya
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
gundukan tanah merah. “Beristirahatlah,” bisiknya.
“Beristirahatlah dengan damai, Yah!” Ketika Margaret
mengangkat wajahnya, Jamie sudah pergi.
Ada dua bangunan kayu di Klipdrift yang berfungsi
sebagai rumah sakit. Tapi, kebersihannya sama sekali tak
dijaga hingga lebih banyak pasien yang mati ketimbang
yang hidup. Orang umumnya melahirkan bayinya di rumah.
Ketika tiba waktunya Margaret hampir melahirkan, Nyonya
Owens memanggil bidan Negro. Hannah namanya.
Persalinan mulai pukul tiga subuh.
“Nah, mengejanlah kuat‐kuat,” kata Hannah kepada
Margaret, “selanjutnya alam yang menyelesaikan.”
Margaret tersenyum ketika rasa sakit yang pertama
mulai melanda. Putranya akan segera lahir. Anak ini akan
punya nama. Ia akan buat Jamie McGregor mengenali
anaknya. Anak ini tak boleh dihukum.
Persalinan semakin maju. Jam demi jam berlalu.
Beberapa pemondok masuk ingin melihat. Mereka diusir
Hannah.
“Ini urusan pribadi,” ucap Hannah kepada Margaret.
“Antara kau, Tuhan, dan entah setan mana yang membuat
kau repot begini.”
“Laki‐lakikah anakku nanti?” Margaret tersengal.
Hannah menyeka dahi Margaret dengan lap basah.
“Begitu kelihatan, akan kuberi tahu. Nah! Sekarang
mengejanlah... Yang kuat! Terus! Lebih kuat lagi!”
Kontraksinya makin dekat. Sakit luar biasa bagai
merobek tubuh Margaret. Oh, Tuhan, ada yang tidak beres,
pikir Margaret.
“Ayo, mengejanlah lagi!” ucap Hannah. Mendadak
suaranya bernada ketakutan. “Oh, bayinya melintang,” seru
bidan itu. “Aku tak bisa mengeluarkan!”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Melalui kabut merah, Margaret melihat Hannah
membungkuk—memutar perutnya. Mendadak segalanya
hilang. Rasa sakit pun tak ada lagi. Ia melayang‐layang di
ruang hampa, ada cahaya terang di ujung terowongan. Di
sana ada orang memanggilnya. Jamie. Aku di sini, Maggie,
sayangku! Kau bakal memberiku putra tampan.
Jamie kembali kepadanya. Margaret tak lagi membenci
dia. Ia tahu, ia tak pernah betul‐betul membenci lelaki itu.
Terdengar suara berkata, “Hampir selesai.” Terasa ada
robekan keras dalam tubuhnya... sakit sekali. Margaret
berteriak!
“Nah!” kata Hannah. “Bayinya keluar.”
Margaret merasakan semburan cairan di selangkangnya.
Hannah bersorak gembira. Ia mengangkat bayi merah itu.
“Selamat datang ke Klipdrift, bayi mungil! Anakmu lelaki,”
tambahnya.
Margaret menamainya “Jamie”.
Margaret tahu kabar kelahiran bayinya akan sampai ke
telinga Jamie dengan cepat. Ia menunggu‐nunggu
kedatangan Jamie atau suruhannya. Minggu demi minggu
berlalu, tetapi yang ditunggu tak juga muncul. Akhirnya
Margaret mengirim pesan buat Jamie. Orang yang
disuruhnya menyampaikan pesan datang setengah jam
kemudian.
Margaret tak sabar. “Kau ketemu dengan Tuan
McGregor?”
“Ya, Nyonya.”
“Pesannya kausampaikan?”
“Ya, Nyonya.”
“Apa katanya?” tanya Margaret.
Anak muda itu salah tingkah. “Katanya, dia tak punya
anak.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Sehari semalam Margaret mengunci diri bersama
bayinya di kamar, tak mau keluar.
“Ayahmu sedang marah, Jamie. Dikiranya ibumu berbuat
jahat terhadapnya. Tapi, kau anaknya. Kalau dia melihatmu,
pasti dia membawa kita tinggal di rumahnya. Dia akan
menyayangi kita berdua. Tunggu saja, ya sayang. Nanti juga
marah ayahmu reda.”
Keesokan paginya, ketika Nyonya Owens mengetuk
pintu, Margaret membukakan. Ia nampak tenang sekali.
“Kau baik‐baik saja, kan, Margaret?”
“Ya, terima kasih.” Ia sedang mengenakan pakaian baru
pada tubuh Jamie. “Jamie akan kuajak jalan‐jalan pagi ini.”
Kereta bayi hadiah Madam Agnes dan anak buahnya
indah sekali. Bahan pembuatnya bagus dan kuat. Buatannya
halus. Sandarannya dilapisi kain brokat import, dan ada
payungnya.
Margaret mendorong bayinya menyusur trotoar Jalan
Loop. Orang‐orang asing terkadang berhenti, tersenyum
melihat bayinya. Tapi, perempuan‐perempuan penduduk
Klipdrift buang muka, atau bahkan menyeberang jalan
menghindari Margaret.
Margaret tak peduli. Ia tak memperhatikan. Yang ia cari
cuma seorang. Setiap hari, kalau udara baik, Margaret
mengenakan pakaian bagus pada bayinya, lalu
membawanya berjalan‐jalan. Setelah seminggu tak juga
bertemu Jamie di jalan, tahulah Margaret, bahwa Jamie
sengaja menghindari bertemu mereka. Kalau ia tak mau
menemui anaknya, anaknya yang akan menemui dia, putus
Margaret.
Keesokan harinya, Margaret menemui Nyonya Owens di
ruang tengah. “Aku mau ke luar kota, Nyonya Owens,”
ujarnya. “Seminggu lagi aku kembali.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Bayimu masih terlalu kecil dibawa bepergian, Maggie.
Dia—”
“Bayi ini takkan kubawa.”
Nyonya Owens mengerutkan dahi. “Maksudmu, dia
kautinggal di sini?”
“Tidak, Nyonya Owens. Bukan di sini.”
Jamie McGregor mendirikan rumah di bukit menghadap
ke kota Klipdrift. Bungalow itu rendah, beratap miring,
dengan dua sayap di kiri‐kanannya yang dihubungkan
dengan bangunan induk oleh teras lebar. Di sekelilingnya
terhampar rumput hijau dengan pepohonan dan rumpun
mawar di sini‐sana. Di belakangnya terdapat kandang kuda
dan kereta serta bangunan terpisah tempat tinggal pelayan.
Urusan rumah tangga diserahkan kepada Eugenia Talley—
janda setengah baya. Nyonya Talley punya enam orang
anak. Semuanya sudah dewasa dan tinggal di Inggris.
Margaret datang ke rumah itu membawa bayinya kira‐
kira pukul sepuluh pagi. Ia tahu Jamie sudah berada di
kantornya pada saat itu. Nyonya Talley membuka pintu. Ia
kaget melihat Margaret dan bayinya. Seperti orang lain di
sekitar sana, Nyonya Talley tahu siapa Margaret dan bayi
itu.
“Maaf, Tuan McGregor tak ada di rumah,” ujarnya,
bersiap‐siap menutup kembali pintunya.
Margaret mencegah. “Aku kemari bukan buat menemui
Tuan McGregor. Cuma mau mengantarkan anaknya.”
“Maaf, saya tidak dipesan apa‐apa—”
“Aku harus ke luar kota, seminggu lamanya. Begitu
pulang, bayi ini akan kujemput.” Margaret menyerahkan
bayinya. “Oh, ya... namanya Jamie.”
Wajah Nyonya Talley ketakutan. “Jangan ditinggal di sini!
Nanti Tuan McGregor—”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
“Silakan pilih,” kata Margaret. “Bawa masuk bayi ini, atau
kutaruh dia di muka pintu. Tuan McGregor pasti tak senang
juga.”
Tanpa mengatakan apa‐apa lagi, Margaret menaruh
bayinya ke tangan Nyonya Talley dan pergi.
'Tunggu! Jangan—! Kembalilah, Nona—!”
Margaret tak menoleh. Nyonya Talley berdiri terpaku.
Otaknya berputar. Ya, Tuhan! Bisa uringuringan Tuan
McGregor nanti!
Belum pernah Nyonya Talley melihat Jamie begitu gusar.
“Mengapa kau sebodoh itu?” suaranya menggelegar.
“Mestinya banting saja pintunya cepat‐cepat!”
“Dia tak memberiku kesempatan, Tuan McGregor. Dia—”
“Aku tak mau anak itu tinggal di rumahku!”
Seperti orang bingung, Jamie mondar‐mandir, lalu
berhenti di muka Nyonya Talley yang tak berdaya.
“Kau bisa kuusir gara‐gara ini.”
“Dia akan menjemput bayi ini seminggu lagi. Saya‐”
“Aku tak peduli kapan dia akan datang,” Jamie berteriak.
“Bawa bayi itu keluar dari sini. Sekarang juga! Cepat!”
“Apa yang sebaiknya saya lakukan, Tuan McGregor?
Harus saya bawa ke mana?” tanya perempuan itu kaku.
“Taruh saja di kota. Pasti di sana ada tempat penitipan.”
“Di mana?”
“Mana aku tahu?”
Nyonya Talley memandang buntalan bayi mungil dalam
gendongannya. Teriakan Jamie membuat bayi itu takut. Ia
mulai menangis.
“Di Klipdrift tak ada rumah yatim‐piatu,” ujarnya
sembari menimang‐nimang si bayi. Tapi tangisnya semakin
menjadi. “Dia perlu orang yang mau merawatnya.”
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Jamie menggaruk‐garuk kepalanya, frustrasi. “Oke!”
putusnya. “Karena kau yang begitu berbaik hati menerima
dia, kau yang rawat.”
“Baik, Tuan.”
“Hentikan tangisnya. Dan, ingat Nyonya Talley, jangan
sampai bayi itu terlihat olehku. Aku tak mau dengar dia di
rumahku. Kalau ibunya datang menjemput minggu depan,
aku tak mau ketemu. Jelas?”
Bayi itu mulai berteriak‐teriak lagi.
“Jelas sekali, Tuan McGregor.” Nyonya Talley bergegas
pergi.
Jamie McGregor duduk di ruang kerjanya—mengisap
cerutu sambil meneguk brandy. Tolol betul perempuan itu.
Dikiranya dengan melihat bayi itu hatiku akan luluh lalu
mencari dia dan bilang, 'Aku mencintaimu. Aku mencintai
bayi itu. Ayo kita kawin.' Nah, melihat bayi itu saja dia tidak.
Bayi itu tak ada sangkut‐pautnya dengan dia. Bayi itu bukan
buah cinta, bukan pula ‐ buah nafsu birahi. Ia buah dendam.
Jamie takkan pernah lupa rupa Salomon van der Merwe
ketika mendengar Margaret hamil. Itu awalnya. Akhirnya
tanah dicangkul ke atas peti jenazah lelaki itu. Ia perlu
mencari Banda, mengabarkan bahwa misi mereka telah
selesai.
Jamie merasakan kekosongan dalam dirinya. Aku perlu
bikin target baru, pikirnya. Kekayaannya sudah tak
terhitung. Ia memiliki beratus hektar tambang mineral.
Tadinya ia membeli tanah itu karena mungkin mengandung
berlian. Nyatanya, bukan hanya berlian yang ia dapatkan,
tapi juga emas, platina, dan mineral lainnya yang jarang
ditemukan. Banknya menyimpan jaminan hampir meliputi
separuh kota Klipdrift. Ia menguasai daerah yang
terbentang antara Cape Town dan Namib. Jamie merasa
puas atas hasil yang telah ia capai. Tapi, semuanya itu
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ