The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by bagusekap1, 2021-07-27 14:15:57

HANYA KARENA KASIH KARUNIA

Hanya Karena Kasih Karunia

Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Copyright ©2020 oleh Amir L. Sirait.

Diterbitkan oleh
CBS School of Communications
Jl. Taman Bendungan Jatiluhur No. 6A
Jakarta Pusat 10210

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan ke-1, Desember 2020

Editor: Bunga Sirait
Pembaca dan Pemeriksa Naskah: Charles Bonar Marisi Tua Sirait
Penata Letak: Purwa Mahendra
Desainer Sampul: Andrini Christiana
Dokumentasi: Martha Sirait
Asisten Dokumentasi: Colin Patar Legowo Siregar
Desainer Promosi & Korektor Naskah: Bagus Eka Pratama

Katalog Dalam Terbitan

Sirait, Amir L.
Hanya Karena Kasih Karunia: Sebuah Memoar.
Amir L. Sirait / oleh Amir L. Sirait
--Cet.ke-1 – Jakarta: CBS School of Communications, 2020
594 halaman, 16cmx23.5cm
ISBN 000-000-00000-0-0

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001
Tentang Hak Cipta
Pasal 72:

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagai dimakasud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Naskah memoar ini saya serahkan kepada
putri saya, Bunga Sirait dan timnya tanpa
judul. Saya sadar memang tidak mudah
membuat judul, hanya saya percaya di
antara putra-putri saya, dialah yang dikenal
sebagai penulis yang tulisan-tulisannya
pernah dimuat di The Jakarta Post dan
berbagai majalah gaya hidup. Tatkala saya
bertanya bagaimana dia dan timnya tiba
kepada “Hanya Karena Kasih Karunia”--
judul memoar ini, Bunga menjawab singkat
bahwa ia meminjamnya dari Alkitab dan
dia rasa sesuai dengan apa yang dia tangkap
dari kisah hidup yang saya tuliskan.
Dari keberaniannya mengangkat judul
ini, seharian saya membolak-balik Alkitab
sampai saya menemukan 1 Petrus 5:10 dan 2
Petrus 1 : 5-7. Setelah membaca ulang draft
naskah memoar ini dan memeriksa berbagai
rangkaian kesedihan dan penderitaan yang
saya alami di dalamnya, barulah saya
sadari alasan di balik pemilihan judul buku
ini.
Terima Kasih pada Bunga Sirait dan tim
atas buku memoar ini sehingga menjadi
warisan bagi keluarga; anak-anak, putera-
puteri dan cucu-cucu saya.

Penulis



Prakata

Amir L. Sirait

Sebelum menulis buku ini saya mengalami kondisi psikologis
yang membuat saya dilematis. Di satu sisi ada keinginan untuk
menulis dan merekam kenangan kehidupan saya, namun pada
suatu ketika saya bertanya kepada diri sendiri untuk apa menulis
karena saya jauh dari keinginan untuk menonjolkan diri.

Tetapi Tuhan begitu baik kepada saya, saya dikaruniakan
waktu yang panjang, lebih panjang daripada angka yang tertulis
dalam doa Musa, abdi Allah, seperti yang tertulis di Mazmur 90:10
“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan
puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan;
sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap”.

V

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Jangka 70-80 tahun itu adalah jangka yang pendek jika
dibandingkan dengan kekekalan. Teolog Donald C. Stamp berkata:
“Kita harus berdoa memohon pemahaman yang memadai tentang
singkatnya hidup kita ini supaya mempersembahkan hati yang
bijaksana kepada Allah dalam memanfaatkan setiap hari yang
diberikan-Nya kepada kita. Maka pada ayat 12 dikatakan “Ajarlah
kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh
hati yang bijaksana.”

Pada waktu saya dikaruniai Tuhan umur panjang ke-72 tahun
saya menulis buku “Menyambut HUT HKBP Sudirman Jakarta
50 Tahun”. Sebagai Wakil Guru Huria (Ketua Majelis HKBP
Sudirman Jakarta), saya bergumul menulis buku tersebut karena
berbagai keterbatasan kelahiran, perjalanan dan perkembangan
gereja tersebut, tetapi bertekad harus bercerita.

Pada umur tersebut, sebagai aktivis yang sudah dipersiapkan
pensiun, banyak kejadian yang saya ingat tetapi lebih banyak yang
saya tidak ingat lagi, tetapi panggilan untuk menulis buku tersebut
terus mengusik saya. Dalam perjalanannya, HKBP Sudirman
sungguh menghadapi banyak kesulitan dan persoalan dan menurut
keyakinan saya, gereja ini juga mengalami beberapa kejadian yang
ajaib (mujizat) yang tidak dapat dikerjakan menurut hukum alam
saja, sehingga dalam hal ini memperlihatkan Daya Perantara
Allah. Ini berarti bahwa mukjizat diadakan dengan maksud
memperlihatkan kuasa Allah (Kamus Alkitab oleh Howard M.
Gerling. 1999).

Mujizat yang mengungkap kebaikan dan kasih Tuhan itu
hendaklah dipahami generasi ini dan generasi selanjutnya, cucu
maupun cicit kita. Bandingkan Ulangan 4:9 “Tetapi waspadalah

VI

Prakata

dan berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan hal-hal yang
dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan semuanya itu
hilang dari ingatanmu tentang hidupmu. Beritahukanlah kepada
anak-anakmu, dan kepada cucu cicitmu semuanya itu” ; Ulangan 6:
5-7 “5. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengaan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. 6. Apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
7. haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-
anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,
apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring
dan apabila engkau bangun”. Ulangan 6:21 “maka haruslah engkau
menjawab mereka anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun
di Mesir, tetapi TUHAN membawa kita keluar dari Mesir dengan
tangan yang kuat”.

Dalam konteks itulah, kini pada usia lebih dari 80 tahun, saya
merespons kasih sayang dan anugerah Tuhan dengan menceritakan
pengalaman hidup saya seperti Mazmur yang ditulis Raja Daud
di Mazmur 71 :17-18, yaitu “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku
sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu
yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah,
janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasa-Mu
kepada angkatan ini, keperkasaan-Mu kepada semua orang yang akan
datang.”

Pengalaman panjang yang mengandung esensi rangkaian
penderitaan, rangkaian kegagalan dalam mengejar cita-cita,
rangkaian kesedihan sampai mencucurkan air mata. Tetapi tidak
terbandingkan dengan kasih setia Tuhan yang terus menyertai
kehidupan saya.

VII

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Di balik semua kesedihan penderitaan maupun kegagalan
selalu mengalir kasih Tuhan, mengalir petunjuk jalan baru yang
harus saya tempuh menuju akhir jalan yang menjanjikan. Kini saya
dikasihi Tuhan dan dikaruniai umur yang lebih panjang lagi.

Dengan doa yang sama, Memoar ini mengandung esensi
rangkaian penderitaan dan kesulitan, rangkaian kegagalan dalam
mengejar cita-cita, kadang mencucurkan air mata tetapi tidak
sebanding dengan kasih sayang Tuhan yang terus mengalir meliputi
kehidupan saya pada usia lanjut lebih dari 80 tahun. Kasih Tuhan
inilah yang hendak saya ceritakan pada anak-anak, cucu-cucu,
keluarga, teman dan sahabat yang membacanya.

Ungkapan-ungkapan peristiwa masa lalu ini saya susun dalam
bentuk dan sifat memoar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (1996),
memoar adalah kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa
masa lampau yang menyerupai autobiografi yang ditulis dengan
menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas
peristiwa yang dialami dan tentang tokoh-tokoh yang berhubungan
dengannya. Dikatakan pula bahwa memoar itu adalah catatan atau
rekaman tentang pengalaman hidup seseorang.

Sewaktu putri saya, Bunga menanyakan tentang penderitaan-
penderitaan yang banyak saya ungkapkan, saya menjawab bahwa
melalui penderitaan-penderitaan itulah kasih sayang Tuhan
terungkap dan mengalir dalam kehidupan saya. Terima kasih
kepada Bunga (Nai Colin) yang memimpin tim editor dan memilih
judul buku memoar ini -- HANYA KARENA KASIH KARUNIA.

Terima kasih kepada anak-anak, putra-putri saya yang lain
serta istri saya yang mendorong terbitnya buku ini dan tidak lupa

VIII

Prakata

peranan Sdr. Mulyo atas bantuan pengetikan naskah sejak awal
penyusunan buku memoar ini. Satu bantuan berharga yang
tidak terlupakan pula dari rekan saya Sdr. Anderson Tambunan,
mantan wartawan Harian Umum Sinar Harapan yang menggali
dokumen Perpustakaan Nasional dan berhasil menemukan artikel
“Saya Tidak Melihat Desa Di Jepang”, artikel yang saya tulis
sebagai pertanggungjawaban atas kunjungan saya ke beberapa
“desa” di Jepang sampai ke puncak Gunung Fuji dalam rangkaian
kepesertaan ALDEC (Asian Leadership Development Center) 1971,
Tokyo, Jepang yang diselenggarakan oleh WSCF (World Student
Christian Federation) Asia Office.

Ada lima tokoh menjanjikan sambutan atas memoar ini, yaitu
DR. Abdul Gafur, mantan Menteri Muda Pemuda yang terkait
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1978-1983 dan
Menteri Pemuda dan Olah Raga RI pada periode selanjutnya.
Saya membantu kedua Kementerian ini selama tidak kurang dari
10 tahun bertutut-turut. Akan tetapi kehendak Tuhan lain, karena
Bung Gafur telah mendahului kita sebelum keinginan dan janji
menyambut tersebut terselesaikan karena Covid-19.

Tokoh kedua adalah Pendeta Prof. Sularso Sopater, D.Th.,
mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI), senior saya selama aktif di Yogyakarta. Beberapa waktu
lalu saya mendengar kabar Pak Sularso jatuh sakit dan saya masih
sempat mengunjunginya ketika beliau dirawat di RS PGI Cikini.
Tapi hanya beberapa hari setelah kunjungan itu, pada 27 Juni 2020
almarhum meninggalkan kita. Beberapa waktu sebelum berpulang,
puteri almarhum, yaitu mbak Woro menyampaikan sambutan yang
masih sempat ditulis Pak Sularso untuk memoar saya ini. Selamat
jalan sahabat yang baik.

IX

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Tokoh Ketiga adalah Pdt. D. DR. S.A.E. Nababan, LLD,
seorang pemimpin legendaris dalam Lembaga Kegerejaan di HKBP,
PGI, Dewan Gereja se-Asia dan Dewan Gereja se-Dunia (DGD)
atau World Council of Churches (WCC).

Tokoh Keempat adalah Ir.Akbar Tandjung sesama aktivis dan
tokoh pemuda Indonesia yang ikut menandatangani Deklarasi
Pemuda pada 23 Juli 1973. Akbar adalah Ketua Umum Partai
Golkar periode 1999-2004 serta Ketua DPR RI ke -13 pada tahun
1999-2004.

Tokoh Kelima adalah aktivis Partai Golkar Dr.Agung Laksono,
yang saat ini bertugas sebagai Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden Republik Indonesia. Dalam karier politiknya Bung Agung
pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat pada tahun 2009-2014, Ketua DPR-RI pada tahun 2004-
2009 serta mantan Ketua Umum PPK Kosgoro yang merupakan
sayap Partai Golkar.

Saya menghargai para tokoh tersebut yang amat mewarnai
berbagai kegiatan saya khususnya selama menjadi mahasiswa di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dalam berbagai kegiatan
politik dan pemerintahan serta kegiatan keagamaan dan sosial
di HKBP dan PGI. Perhatian para tokoh dimaksud telah
mendorong saya untuk menjalankan panggilan saya di tengah-
tengah Negara, Gereja dan Masyarakat di Indonesia. Panggilan
untuk menyampaikan kasih sayang Tuhan dalam berbagai bentuk
aksi pelayanan. Terpujilah Dia di dalam nama Yesus Kristus Juru
Selamat dan Penebus kita.

Jakarta, Desember 2020
Amir L. Sirait, MBA

X

Sambutan Penerbit Buku
CBS School Of Communications

“PEMBANGUNAN POLITIK TIDAK DAPAT
DIPISAHKAN DARI PEMBANGUNAN
BANGSA DAN NEGARA”

Oleh :
Dr (Cand) Charles Bonar MT. Sirait,SE,MM
Anggota Dewan Pakar PPK (Pimpinan Pusat Kolektif ) Kosgoro 1957

Tingginya minat rakyat berpolitik di Indonesia sejak tahun
2004 seiring meningkatnya jumlah partai politik di Indonesia
perlu dicermati sebagai meningkatnya perhatian rakyat terhadap
pembangunan politik. Mengapa demikian? Karena Rakyat Indonesia
terlihat semakin melek terhadap politik. Rakyat Indonesia tampak
semakin kritis dan sadar apabila ingin merasakan perubahan
dalam pembangunan negaranya maka salah satu jalan yang dapat
ditempuh adalah dengan cara berperan aktif dalam proses politik
negara. Rakyat Indonesia tampak semakin yakin bahwa politik tak
dapat dipisahkan dari pembangunan sebuah bangsa dan negara.

Hal itu dapat kita amati melalui fenomena maraknya partai
politik yang lahir, tumbuh, berkembang atau juga mati sejak
tahun 2004. Infrastruktur politik Indonesia dengan sistem multi
partai yang bebas bahkan diketahui melahirkan 24 partai politik
peserta pemilu, yaitu: Golkar, PDIP, PKB, PPP, Partai Demokrat,
PKS, PAN, PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PNBK, Partai PP, PNI
Marhaenisme, PPNUI, Partai Pelopor, Partai PDI, Partai Merdeka,
PSI, PPIB, PPD, dan PBSD. Infrastruktur politik tersebut berperan
dalam pembangunan politik di Indonesia.

t

Mengapa pembangunan politik tak dapat dipisahkan dari
pembangunan sebuah bangsa dan negara?. Sebuah bangsa dan negara
termasuk Indonesia sejatinya memang tidak dapat dilepaskan dari
pembangunan unsur-unsur politik, karena politik sesungguhnya
melekat dalam semua unsur-unsur kehidupan manusia seperti ilmu
pengetahuan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan.

Ciri utama pembangunan politik berkisar di semua sendi
kehidupan manusia yang meliputi Equality (persamaan), Capacity
(kapasitas), dan Differentiation and Specialization (Diferensiasi dan
Spesialisasi).

Pembangunan politik sebuah bangsa dan negara juga tak dapat
dilepaskan dari hubungan perubahan, modernisasi dan pembangunan
politik, konsep pembangunan politik dalam arti geografis, derivatif,
teleologis, fungsional, definisi pembangunan politik, dan ciri-ciri
utama pembangunan politik.

Tingginya minat rakyat Indonesia untuk terlibat dalam
pembangunan politik diyakini timbul karena semakin terbukanya
kesempatan dan akses kepada Pendidikan, termasuk pendidikan
politik, yang menyebabkan rakyat semakin cerdas dan kritis
memandang berbagai persoalan bangsa.

Semakin banyak pihak yang mampu dan fasih berbicara tentang
politik Indonesia. Semakin banyak pengamat politik, semakin
banyak program radio televisi yang membahas permasalahan politik
dan kebangsaan.

Ramlan Surbakti (1992) menjelaskan yang dimaksud dengan
Pembangunan Politik adalah perubahan politik ke arah yang
lebih baik. Perubahan politik diartikan sebagai adanya perbedaan
karakteristik dari suatu sistem politik pada periode tertentu ke
periode lainnya atau dari sebuah sistem politik yang satu menuju ke
sistem politik yang lainnya.

t

Salah satu contoh perubahan politik di Indonesia adalah dari
Sistem Politik Otoriter Parlementer menuju ke Sistem Politik Demokrasi
Pancasila. Perubahan Politik pada masa pemerintahan orde baru
yang diketahui cenderung otoriter berubah ke pemerintahan era
reformasi yang cenderung lebih demokratis, di mana kedaulatan
rakyat dijunjung tinggi. Perubahan-perubahan politik tersebut
menjadi pintu masuk proses pembangunan sebuah bangsa dan
negara.

Pembangunan sebuah bangsa dan negara meliputi perencanaan,
penentuan sasaran yang jelas, dapat diraih melalui proses bertahap
serta diraih tanpa melalui jalan kekerasan. Rakyat Indonesiapun
semakin sadar bahwa dukungan pembangunan politik sangat
diperlukan untuk meraih tujuan dan target-target pembangunan
sebuah bangsa dan negara tersebut.

Pembangunan politik meliputi semua ciri pembangunan dan
modernisasi politik yang objeknya antara lain mencakup perubahan
sistem nilai politik, struktur kekuasaan dan strategi kebijaksanaan
umum.

Huntington dan Dominguez dalam Afan Gaffar (1989)
menjelaskan bahwa konsep pembangunan politik mempunyai
konotasi secara geografis, derivatif, teleologis, dan fungsional.

Pembangunan politik geografis adalah proses perubahan politik
pada negara-negara sedang berkembang dengan menggunakan
konsep-konsep dan metode yang pernah digunakan oleh negara-
negara maju, seperti konsep mengenai sosialisasi politik, komunikasi
politik dan sebagainya.

t

Huntington dan Dominguez menyebutkan pembangunan
politik derivatif merupakan aspek dan konsekuensi politik dari proses
perubahan yang menyeluruh, yakni modernisasi yang membawa
konsekuensi pada pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan
pendidikan, media massa, perubahan status sosial dan aspek-aspek
lainnya.

Pembangunan politik berkaitan erat dengan bidang-bidang
pembangunan lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya dan
keamanan. Bila sebuah negara berhasil mengelola pembangunan
ekonomi akan mendorong terjadinya peningkatan proses
pembangunan politik. Demikian pula sebaliknya, gagalnya sebuah
negara mengelola pembangunan dalam bidang politik juga akan
menghambat proses pembangunan ekonomi.

Nazaruddin Syamsuddin (1996) menjelaskan pembangunan
politik teleologis sebagai proses perubahan menuju beberapa tujuan
dari sistem politik antara lain stabilitas politik, integrasi politik,
demokrasi, partisipasi, mobilisasi dan sebagainya.

Nazaruddin (1992) menjelaskan tujuan pembangunan suatu
bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan,
demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional.

Indonesia kemudian diketahui menurunkan tujuan
pembangunan yang disebutkan Hungtinton di atas ke dalam bentuk
Program Pembangunan Nasional (Propenas) antara lain mewujudkan
kehidupan demokratis, berkeadilan sosial, melindungi hak-hak asasi
manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat
dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju,
dan sejahtera.

t

Tujuan-tujuan pembangunan nasional tersebut ditetapkan
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Sementara itu pembangunan politik fungsional dapat diartikan
sebagai suatu gerakan perubahan menuju kepada suatu sistem
politik yang lebih ideal dan ingin dikembangkan oleh suatu negara.
Indonesia kemudian dikenal ingin mengembangkan sistem politik
demokrasi konstutisional.

Dalam konteks ini, MPR-RI pada era reformasi melakukan
amandemen UUD 1945 yang memperkuat kedaulatan rakyat dan
lebih demokratis. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 6 A, bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.

Buku Memoar Amir L Sirait “Hanya Karena Kasih Karunia”
ini dapat menjadi gambaran nyata akan tingginya minat seorang
Warga Negara Indonesia dalam menggunakan hak politiknya
dan berpartisipasi langsung melakukan perubahan melalui
pembangunan politik.

Tak sulit menemukan beberapa konsep pembangunan politik
yang dikemukakan Huntington dan Dominguez yang berkonotasi
geografis, derivatif, teleologis, dan fungsional dalam buku ini,
karena seluruh pengalaman kehidupan yang dituliskan oleh penulis
mewakili aspek-aspek tersebut baik yang terjadi di Indonesia
maupun di negara lainnya.

t

Penulis melalui cerita kehidupannya ingin menjelaskan kepada
kita semua bahwa “Pembangunan Politik sebuah negara tidak dapat
dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara”.

Penerbit mengucapkan selamat kepada penulis atas penerbitan
buku ini, termasuk kepada para pemberi kata sambutan, serta
para pemberi tanggapan atas isi buku ini yang telah turut serta
memperkaya khasanah politik para pembaca.

Selamat membaca, Selamat melakukan pembangunan politik,
perubahan politik untuk pembangunan bangsa dan negara
Indonesia!!

Jakarta, Juni 2021

Dr (Cand) Charles Bonar MT. Sirait, SE,MM

t

Kata Sambutan

Akbar Tandjung

Sambutan Buku Memoar
Amir L. Sirait “Hanya
Karena Kasih Karunia”

Kehadiran sebuah memoar atau kisah hidup dan ragam hikmah
yang menyertai penulisnya, sebagaimana buku yang ditulis Amir
L. Sirait, berjudul “Hanya Karena Kasih Karunia” ini, tentu patut
disambut dengan baik. Sebagaimana lazimnya sebuah memoar,
Bung Amir Sirait berkisah tentang pengalaman dan dinamika
hidup yang dialaminya, misalnya tentang latar belakang keluarga,
perjalanan pendidikan, kiprahnya sebagai aktivis dan politisi, serta
kesan dan pesan keluarga dan para kolega.

Pembaca memoar diharapkan mampu mengambil hikmah dari
kisah hidup penulisnya, serta memperoleh banyak inspirasi yang
mencerahkan. Sebagai pembaca, saya tentu juga turut berikhtiar
untuk mengambil hikmah dan inspirasi dari sang penulis, kolega
saya, Amir Sirait.

Saya telah mengenal Amir Sirait sejak beliau berkiprah sebagai

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan
Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). Secara
khusus, kami termasuk diantara para aktivis dan tokoh pemuda
yang menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia pada 23 Juli 1973,
yang mendasari berdirinya organisasi Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI). Selanjutnya, kami juga sama-sama berkiprah
di kepengurusan DPP KNPI. Ketika saya menjabat sebagai Ketua
Umum DPP KNPI pada periode kepengurusan 1978-1981, beliau
juga termasuk salah satu jajaran pengurusnya.

Saya mengenal Bung Amir sebagai aktivis yang baik dan
konsisten dalam memperjuangkan terwujudnya visi organisasi.
Secara khusus, beliau memiliki perhatian lebih dalam bidang
seni budaya dengan berbagai capaian prestasinya. Selain memiliki
pengalaman dalam berkiprah di DPP KNPI, beliau juga berkiprah
di DPP Golkar. Beliau terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar
pada Pemilu 1997 dari daerah pemilihan Sumatera Utara.

Pada saat saya menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai
Golkar (1999-2004), Amir Sirait tercatat sebagai Wakil Ketua
Departemen Pendidikan DPP Partai Golkar. Beliau juga pernah
menjadi Ketua Panitia Perayaan Natal Keluarga Besar Partai Golkar
pada 10 Januari 2003. Kiprahnya di Partai Golkar patut diapresiasi,
sebagai kader dan pengurus yang berdedikasi dan berprestasi.

Kiprahnya di bidang sosial keagamaan juga patut diapresiasi,
mengingat beliau tidak saja sosok organisatoris, tetapi juga panutan
dalam bidang keagamaan. Saya mengenal beliau sebagai sosok yang
bersahaja, sekaligus religius, serta memiliki wawasan yang luas.
Komitmen Keindonesiaannya tidak diragukan lagi, sebagaimana
sikap dan tindakannya yang toleran dan inklusif.

XII

Kata Sambutan

Karenanya, para generasi penerus harus merasa bersyukur
manakala berkesempatan membaca buku memoar ini, karena
perjalanan hidup beliau, termasuk kiprahnya dalam berorganisasi
dan berpolitik, merupakan referensi yang berharga sebagai inspirasi
yang mencerahkan.

Sekali lagi saya menyatakan menyambut baik hadirnya buku
ini, sekaligus saya ucapkan selamat dan sukses kepada Bapak
Amir Sirait sebagai penulis buku yang mencerahkan ini. Saya
berterimakasih, antara lain karena saya telah disebut beberapa kali
dalam buku ini, karena memang penulisnya, Bapak Amir Sirait,
pernah bersentuhan dengan saya, baik ketika kami berkiprah di
organisasi KNPI maupun ketika berjuang bersama-sama di Partai
Golkar.

Akhirnya, semoga buku ini mampu menginspirasi para
pembaca, khususnya generasi muda, dalam rangka mewujudkan
masa depan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan majemuk yang
lebih baik di bawah naungan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

Jakarta, 7 Desember 2020

Akbar Tandjung

XIII

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Kata Sambutan

SAMBUTAN
Dr (HC) dr. H. R. Agung Laksono
ANGGOTA DEWAN PERTIMBANGAN

PRESIDEN RI

Saya menyambut baik terbitnya buku yang berjudul: “Amir
Liven Sirait HANYA KARENA KASIH KARUNIA: Sebuah
Memoar”, yang bukan saja merupakan biografi, tetapi sebuah
percikan pemikiran dan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
dalam ruang dan waktu yang telah dilalui Bung Amir dalam
perspektif pemikiran dan pengalamannya.

Sahabat saya ini, Bung Amir Liven Sirait, adalah seorang aktivis,
politisi, ideolog dan pelayan umat dalam keagamaannya. Perjalanan
Bung Amir dari tempat kelahirannya dan pendidikannya, dimulai
dari Dari Sumatera Utara, Medan, Klaten dan Yogyakarta, baik
saat SLTA Bopkri 1 maupun di Universitas Gadjah Mada, dan
ketika menjadi aktivis di ibu kota negara, telah menempanya dan
menyerap pelajaran pluralisme di negeri ini.

Menyimak perjalanan Bung Amir sebagai pelajar, sebagai
mahasiswa, sebagai aktivis, sebagai politisi, dan sebagai ideolog,
maka Bung Amir adalah seorang Kristen yang taat dan sekaligus

XIV

Kata Sambutan

nasionalis sejati. Hingga dalam usia yang seniorpun, Bung Amir
tetap mendedikasikan dirinya kepada masyarakat, bangsa dan
negara Republik Indonesia.

Bak pepatah buah jatuh tak akan jauh dari pohon, tampaknya
talenta politik Bung Amir Sirait turun pula ke puteranya Sdr.
Charles Bonar Sirait yang merupakan Tokoh Muda Public Speaking
Indonesia, Presenter TV Nasional, Politikus Muda Partai Golkar
dan kader muda kami di Ormas Kosgoro 1957.

Bagi saya, penulisan buku ini sangat bermakna, sebab seorang
aktivis dan seorang politisi jika tidak menulis buku, maka di
kemudian hari ia mudah terlupakan dan tidak dikenal lagi oleh
generasi kemudian. Padahal sejatinya, banyak pelajaran hidup,
pelajaran aktivis, pelajaran politik, pelajaran pengabdian dan
pikiran-pikiran cerdas untuk masyarakat, bangsa dan negara yang
biasanya dimiliki seorang tokoh pejuang seperti Bung Amir. Bung
Amir beruntung, sempat menulis memoar ini dengan baik. Saya
yakin buku ini sangat bermanfaat, khususnya bagi generasi penerus.

Demikian, saya ucapkan Selamat dan Sukses kepada Bung
Amir L. Sirait, atas terbitnya buku ini, semoga Tuhan YME
senantiasa memberkahi perjuangan Bung Amir dan Keluarga,
Amin, terimakasih.

Jakarta, 10 November 2020

Dr (HC) dr. H. R. Agung Laksono
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI 2019-2024

XV

Kata Sambutan

Pdt. DR (hc). DR.S.A.E. Nababan LLD

Amir Sirait dan
Batak Dream
Abad-21

Dalam setiap biografi selalu dapat diperoleh dua hal. Pertama,
pengenalan yang lebih baik dari penulis, dan kedua, informasi
mengenai kejadian atau peristiwa yang lebih lengkap atau kurang
lengkap dari apa yang diceritakan. Kedua hal ini kita dapati dalam
buku ini.

Bertolak dari titik nol desa kecil Sibadihon, kecamatan
Lumbanjulu dibawa keluarga “merantau” ke Dairi untuk mencari
kehidupan yang lebih baik, kecewa, kembali lagi ke titik nol.
Seterusnya sendirian “lari” ke Medan, lalu ke Klaten dan Jogja
dan tiba di Jakarta. Segala pengalaman, kesulitan dan kemudahan
yang dialami penulis dalam perjalanan dari Sibadihon ke Jakarta
ikut membentuk kepribadian penulis: suka belajar, ulet dan gigih
berjuang, pantang menyerah dan hidup ala kadarnya. Inilah yang
kita lihat dalam perjalanan hidup, kegiatan dan pekerjaannya
sampai sekarang.

Kata Sambutan

Perjalanan hidup orang Batak keluar dari kemiskinan di
Tano Batak untuk mencari kemajuan dan ketercukupan, biasanya
“mendarat” di Jakarta – kota dan tempat yang menawarkan lebih
banyak kemungkinan dan kesempatan – dan kemungkinan
berkunjung atau belajar ke luar negeri – adalah perjalanan
pemenuhan mencapai cita-cita yang saya sebut “Batak Dream Abad
21”. Dan Sdr Amir telah mencapai cita-cita ini. Persoalan yang kita
semua hadapi ialah bagaimanakah sekarang keadaan desa yang kita
tinggalkan puluhan tahun yang lalu? Dapatkah Sdr Amir ceritakan
apa yang berubah di Desa Sibadihon sejak puluhan tahun yang lalu?
Yang jelas, pada umumnya ketimpangan kehidupan desa dan kota,
apalagi pedalaman Tano Batak dan Jakarta masih terus membesar.
Inilah tantangan masa kini dan masa yang akan datang bagi setiap
orang yang ingin mencapai Batak Dream abad 21.

Dengan berbekalkan pengalaman yang sangat berharga itu,
Sdr Amir dapat memperoleh sumber penghasilannya dan dapat ikut
aktif berpartisipasi dalam kegiatan baik dalam masyarakat maupun
dalam Gereja. Tetapi perlu juga dicatat peranan dua orang yang
memungkinkan dia mencapai cita-citanya itu. Yang pertama adalah
ibunda terkasih yang dengan gigih bertani dan kemudian berjualan
telur di Pasar Sentral di Medan untuk dapat menyekolahkan Amir.
Dan kedua adalah istrinya, Martha, yang banyak mendukung
kegiatan Amir dan yang dengan bakatnya juga dikenal karena
berhasil mempopulerkan Ulos Batak dengan nama “Martha Ulos”.

Sangat menarik juga bagaimana Sdr Amir memperoleh
kepercayaan dari dr. Abdul Gafur, sehingga selama 10 tahun dia
ikut menentukan arah perkembangan kepemudaan nasional di
Tanah Air. Demikian juga partisipasinya dalam kehidupan legislatif
MPR dan DPR.

XVII

Saya juga menghargai partisipasinya dalam kehidupan Gereja
dan Gerakan Oikoumene. Usaha mempersatukan angkatan muda
gereja dengan angkatan muda dalam gerakan adalah usaha yang
sangat berguna. Secara khusus saya catat pentingnya laporan
Konferensi Gereja dan Masyarakat 1993 tentang Pancasila. Memang
KGM biasanya diadakan sebelum satu-satu Sidang Raya DGI/PGI
diadakan. Yang diundang ke KGM adalah warga gereja dari hampir
semua bidang kehidupan dan pekerjaan, yang biasanya tidak pernah
atau jarang diikutsertakan dalam putusan resmi gereja. Dengan
KGM, gereja-gereja dapat mengetahui apa yang dihadapi dan
diperjuangkan warga Kristen di tengah masyarakat. Mereka adalah
Gereja di tengah Masyarakat.

Pikiran-pikiran yang dirumuskan KGM 1993 tetang Pancasila
sangat membantu bukan saja menghadapi masalah yang timbul
sepuluh tahun sebelumnya, akibat dari slogan “azas tunggal”,
melainkan juga dalam abad 21 ini dimana tantangan untuk
Pancasila terus dirasakan. Sebagai Sekretaris SEKSI VI: POLITIK
DAN KETAHANAN NASIONAL Sdr Amir berjasa merekam
pemikiran-pemikiran yang dicetuskan dalam KGM 1993. Gereja-
gereja di Indonesia dapat memanfaatkan laporan KGM ini sebagai
pegangan dalam menghadapi pertanyaan bagaimana sikap Gereja
tentang Pancasila.

Dalam hal pemahaman krisis HKBP, perlu saya berikan
informasi untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap. Dari
sejak awal saya sudah tegaskan, bahwa apa yang dihadapi HKBP
adalah suatu krisis – berada dalam persimpangan jalan – akibat
intervensi penguasa, yang pada waktu itu dengan gesitnya ingin
menjinakkan semua organisasi sosial termasuk gereja, dengan segala
cara. Gereja berada dalam persimpangan jalan untuk memilih: lebih

Kata Sambutan

taat kepada Tuhan daripada kepada manusia. Untuk menutupi
maksud buruk ini, penguasa memakai kata-kata yang membenarkan
intervensi itu, seperti kemelut (KBBI: Keadaan yang berbahaya,
keadaan genting), perlunya rekonsiliasi.

Menghadapi cara ini dengan tegas saya menolak istilah-istilah
yang dipakai. Setiap gereja pernah menghadapi persoalan atau
konflik, tetapi hal itu selalu diusahakan diatasi dalam Sidang Sinode.
Itu sebabnya yang terus saya perjuangkan adalah memperoleh
izin Sinode Godang. Juga warga gereja yang ingin membantu,
saya minta supaya mereka ikut memperjuangkan agar izin Sinode
Godang diberikan. Karena memang izin persidangan ini pada
waktu itu dengan jelas dipakai penguasa untuk mempengaruhi atau
memaksakan kehendaknya.

Oleh sebab itu, saya tidak pernah menyambut pembentukan
tim rekonsiliasi baik oleh warga terkemuka HKBP. Bila ada yang
mengklaim bahwa saya mengutus seseorang untuk mendekati
orang tertentu, sepanjang ingatan saya, hal ini tidak pernah saya
lakukan, karena saya tidak melihat persoalan dalam HKBP
sebagai “perebutan kekuasaan antar pemimpin” yang memerlukan
rekonsiliasi, sebagaimana dihembuskan penguasa. Sayangnya,
kebanyakan warga HKBP waktu itu lebih percaya kepada penguasa
daripada berusaha memahami persoalan yang sebenarnya. Usaha
T.B. Silalahi, sebagai Menpan waktu itu memprakarsai “sandiwara
penyerahan jabatan Ephorus” dalam tayangan televisi saya terima
karena di bawah paksaan dan ancaman. Bila saya tolak, korban akan
bertambah di jemaat. Saya sadar bahwa penyerahan jabatan Ephorus
hanya diadakan oleh dan di Sinode Godang dalam kebaktian. Tetapi
demi mengurangi kekerasan yang didukung penguasa di banyak
tempat, saya ikuti saja “sandiwara” itu. Nyatanya, yang menghadapi

XIX

Kata Sambutan

Sinode Godang sebagai Ephorus HKBP 1998 adalah saya. Dan yang
mengadakan timbang terima jabatan Ephorus pada Januari 1999 di
Pearaja kepada Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, Ephorus yang dipilih Sinode
Bersama di Pematangsiantar, adalah saya juga, bukan orang yang
ditempatkan penguasa sebelum itu!

Bukti dari apa yang saya katakan ini kelihatan: pada saat
penguasa Orba rontok, HKBP memperoleh ijin bersidang dan dapat
mengadakan SINODE Bersama pada bulan Desember 1998. Sinode
ini bukan sinode rekonsiliasi.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr Amir
Sirait yang meminta saya memberikan sambutan ini, dan saya
percaya bahwa buku ini akan menarik perhatian terutama orang
muda, yang rindu mencapai “Batak Dream Abad 21”.

Pdt. DR (hc). DR.S.A.E. Nababan LLD

t

XX

Kata Sambutan
Pdt.Prof. DR. Sularso Sopater

Amir Sirait,
Sang Aktivis

Lokasi : Yogyakarta
Waktu : Tahun-tahun 1960-an

Saya adalah pendeta muda yang melayani GKJ Gondokusuman
Yogyakarta. Saya ditugasi untuk membimbing keluarga S untuk
menjadi warga jemaat. Mereka tinggal di suatu kampung di pinggir
kota Yogyakarta bagian utara dekat saluran irigasi Selokan Mataram.
Keluarga S mempunyai anak tunggal yaitu N.S. yang bersekolah
di SMA BOPKRI I. Di rumah itulah -secara tidak disengaja- saya
bertemu dengan Sdr. Amir Sirait, siswa SMA BOPKRI I asal
Sumatera Utara yang mondok di rumah keluarga S.

Perkenalan dengan Sdr. Amir Sirait lebih bersifat basa-basi,
asal kenal saja, karena tugas utama saya memberi katekisasi sebagai
persiapan pembaptisan mereka. Saya menduga ia pasti berasal dari
HKBP, sementara saya melayani GKJ. Kedua gereja itu sama-sama
anggota PGI wilayah D.I. Yogyakarta.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Zaman NASAKOM

Tahun-tahun 1960 itu perkembangan politik di Indonesia
berkembang secara dinamis. Dunia politik bersifat multi partai.
Ada partai-partai besar: PNI, Masyumi, PKI, partai-partai
keagamaan Islam, Partai Katolik dan Parkindo. Presiden Sukarno
memperkenalkan poros besar NASAKOM, dan mengundang semua
pihak untuk berperan dalam ”meja kerja” pembangunan Indonesia.

Waktu itu Parkindo dianggap partainya umat Kristen.
Tokoh-tokoh lokal utamanya seperti DR. J. Leimena, DR. A.M
Tambunan, Melanchton Siregar, Ds W.Y Rumambi dsb, tampil
dalam pemerintahan dalam berbagai posisi.

Ada ormas-ormas Kristen yang dianggap sebagai “onderbouw”
Parkindo, diantaranya: GMKI, GAMKI, PWKI, GSKI, PIKI,
KESPEKRI, PERTAKIN dan LKIK. Hampir semua warga jemaat
dari gereja-gereja di Indonesia aktif dalam berbagai bidang dalam
kehidupan masyarakat.

Dalam tahun-tahun 1962-1965 kerjasama saya dengan Sdr.
Amir Sirait menjadi lebih nyata. Ia sudah menjadi mahasiswa
Universitas Gajah Mada dan menjadi pengurus Cabang GMKI
Yogyakarta. Saya menjadi Ketua DPD Pertakin DIY dan Sekjen
LKIK. Kecuali Sdr. Amir Sirait, beberapa kawan mahasiswa dari
Sumatera Utara menjadi kawan sekerja yang akrab, misalnya Anton
B. Simanjuntak, Moxa Nadeak, Tombang Pardede, Inget Sembiring.
Karena jumlah aktivis tidak banyak, maka kami sering merangkap
beberapa fungsi dalam ormas-ormas Kristen itu.

Peristiwa Tak Terlupakan

Bingkai besar gagasan Nasakom akhirnya tidak diterima
secara tulus oleh Partai Komunis Indonesia, sehingga meletuslah
peristiwa G30S 1965. Suasana panas telah dirasakan beberapa bulan
sebelumnya. Gesekan antara ormas dipicu sebagai uji coba. Slogan-

XXII

Kata Sambutan

slogan provokatif yang bisa memancing konflik saling dilontarkan
oleh ormas-ormas pemuda, berlomba-lomba berlatih ilmu beladiri,
bila saatnya perlu untuk adu jotos. Eskalasi menuju konflik fisik
makin dihembus-hembuskan. Kader-kader GMKI dan GAMKI
terpaksa belajar ilmu bela diri Merpati Putih.

Waktu itu saya tinggal di Jl. Cik Ditiro 17, di rumah dosen STT
Duta Wacana yang sedang kosong, karena penghuninya sedang
cuti ke Netherland. Rumah itu terletak tidak jauh dari Makorem
Pamungkas, yang mewilayahi DI Yogyakarta dan Surakarta. Di
depan rumah saya adalah tempat tinggal Mayor Dainury, anggota
staff Korem (ternyata kemudian ia diseret ke Mahmilub karena
nampaknya terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Kol.
Katamso dan Letkol. Sugiyono (Komandan dan Kastaf Korem),
kelak keduanya diangkat jadi Pahlawan Revolusi). Kehidupan
bertetangga kami baik-baik saja.

Berita pecahnya G 30 S menjadikan suasana masyarakat kacau.
Belajar dari proses Revolusi Komunis di Korea dan Vietnam, ormas-
ormas GMKI dan GAMKI bersiaga. Mereka membentuk regu-regu
pengamanan para tokoh-tokoh Kristen, termasuk para pendeta.
Regu pengawal yang mengamankan rumah saya yang strategis
letaknya adalah Anton Simanjuntak, Moxa Nadeak, Tombang
Pardede, dsb. Mereka pasang badan mengawal keluarga saya.
Sementara itu secara diam-diam mereka membawa saya ke rumah
Dr. Kasmolo Paulus di samping markas Korem dan di depan RS
Bethesda. Di situlah berjaga-jaga Sdr. Amir Sirait dan kawan-kawan
sebagai pusat koordinasi. Pusat koordinasi ini dipimpin oleh Amir
Sirait, Ketua Hubungan Luar BPC GMKI Cabang Yogyakarta,
Koordinator Daerah GMKI Jawa Tengah dan DIY serta Ketua Tim
Screening Anggota GMKI Cabang Yogyakarta.

Para pendeta dikawal ketat oleh para pemuda gereja, yang
pasang badan mengamankan para rohaniwan. Suasana amat tegang
berlangsung tidak berkepanjangan.

XXIII

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Tidak antara lama, Pasukan RPKAD di bawah Jend. Sarwo
Edhie datang, dan segera bergerak ke wilayah Timur yaitu Klaten
dan Surakarta. Di wilayah itu, massa pro PKI yang dipersenjatai
disapu bersih. Tidak lama kemudian, D.N. Aidit tertangkap di
Surakarta.

Peristiwa dahsyat ini tidak mudah dilupakan. Betapa para
pemuda Kristen mengasihi dan melindungi para tokoh masyarakat
Kristen, termasuk pada pendetanya, dengan mempertaruhkan
hidup dan keselamatannya sendiri, demi mewujudkan darma
baktinya bagi gereja dan masyarakat Kristen. Kelak mereka ternyata
menjadi kader pembangunan gereja dan masyarakat yang tangguh.

Pasca G 30 S

Sesudah peristiwa G 30 S, keadaan berubah total. Konsep
Nasakom yang dianggap gagal, ditinggalkan. Mulailah Zaman Orde
Baru. Pola politik multi partai dibatasi jumlahnya hingga tinggal
3, yaitu Golkar, PDI dan PPP. Terjadi pengelompokan. Parkindo
bubar, sebagai ormas-ormas onderbouw partai, mereka mencari
jalan sendiri untuk bertahan atau membubarkan diri. GMKI tetap
solid dan menemukan peran-peran baru dalam perubahan zaman.

30 Tahun Kemudian

Tahun-tahun 1990-an secara tidak direncanakan kami
bertemu lagi. Sdr. Amir Sirait sudah menyelesaikan studinya dan
bekerja pada suatu penerbitan swasta. Saya meneruskan pekerjaan
kependetaan saya dan diutus menjadi dosen STT Jakarta, kemudian
menjadi Ketua Umum MPH PGI. Salah satu kegiatan PGI adalah
meneruskan penyelenggaraan RS PGI Cikini yang telah berusia satu
abad. Dalam kepengurusan RSPGI Cikini, saya bertemu kembali
dengan Sdr. Amir Sirait yang terpilih sebagai pelaksana harian yang
membantu Pak Soedarjo, Ketua Pengurus. Saya sebagai Ketum PGI

XXIV

Kata Sambutan

berfungsi sebagai Pengawas secara ex officio, Drs. Inget Sembiring
- kader GMKI cabang Yogyakarta tahun 1960 dan lulus sarjana
ekonomi, sebagai bendahara.

Sdr. Amir Sirait memiliki perhatian khusus kepada RS PGI
Cikini, yang berusia satu abad. Sejak tahun 1970an ia terpilih
menjadi anggota pengurus, 1986 -1989 menjadi wakil bendahara,
1989-2004 menjadi sekretaris dilanjutkan sampai 2013 dalam
konteks undang-undang tentang Yayasan.

Ada saatnya di tengah-tengah rapat Yayasan, saya merasa sangat
berbahagia tatkala kader-kader muda GMKI cabang Yogyakarta
yang ikut saya bina, 30 tahun kemudian tampil sebagai pemimpin-
pemimpin masyakarat Kristen yang kompeten di bidangnya masing-
masing. Dan itu menjadi petunjuk keberhasilan proses pengaderan
secara nasional.

Sdr. Amir Sirait, sebagai Sintua HKBP Sudirman terpilih
menjadi Ketua Umum Panitia Peringatan 50 tahun PGI pada tahun
2000. Dalam pengabdian di gereja, ia dengan rasa syukur dapat
mengabdikan diri sebagai sintua, sampai berstatus sintua emeritus.

Pdt. Prof. DR. Sularso Sopater

t

XXV

Catatan Editor

Tiga tukang batu ditanyai: “Apa yang Anda lakukan?”
Tukang batu pertama berkata, “Saya sedang meletakkan batu
bata.” Yang kedua berkata, “Saya sedang membangun gereja.” Dan
yang ketiga berkata,”Saya sedang membangun rumah Tuhan.”
Amy Wrzeniewski, profesor manajemen Yale, mengatakan tidak
sulit bagi orang untuk melihat cara pandang dari ketiga jawaban
tersebut. Tukang batu pertama mempunyai profesi (pekerjaan adalah
kebutuhan hidup, sama seperti bernapas atau tidur), yang kedua
mempunyai karier (pekerjaan adalah batu loncatan ke pekerjaan
lain), dan yang ketiga mempunyai panggilan (pekerjaan adalah hal
terpenting dalam hidupnya). Banyak diantara kita, menurut Amy,
ingin menjadi tukang batu ketiga, tapi malah terjebak menjadi yang
kedua kalau bukan yang pertama.*
Menjalankan hidup yang digerakkan panggilan tentu amat
berbeda dengan menjalankan hidup yang hanya digerakkan
uang. Menurut Amy, mereka yang memiliki panggilan, melihat
pekerjaannya sebagai sesuatu yang lebih besar daripada dirinya
sendiri, menyangkut kehidupan orang lain, dan pada tingkat
tertentu, panggilan mereka membuat dunia menjadi lebih baik.
Sebaliknya, mereka yang bekerja karena “harus”, akan loncat di

* Grit: The Power of Passion and Perseverance. Duckworth, Angela. 2020

Catatan Editor

setiap kesempatan, mengikuti kemana uang yang lebih banyak
berada agar bisa membeli rumah yang lebih besar, mobil yang
lebih bagus, liburan, atau apapun yang bisa diperlihatkan di acara
keluarga atau sosial media.

Tak mengherankan jika orang-orang yang menganggap
pekerjaan mereka sebagai panggilan hidup jauh lebih tekun
dibanding mereka yang menjalankan pekerjaannya sebagai profesi
atau karier semata. Saya pikir hubungan ketekunan dan panggilan
bisa terjadi dalam dua arah. Panggilan dapat membuat orang menjadi
tekun bekerja, dan ketekunan yang terlatih bisa membimbing
orang untuk menemukan panggilan hidupnya. Cara kerjanya bisa
berbeda, namun yang jelas, seperti kata Amy di atas, tidak semua
orang cukup beruntung untuk menemukan panggilan hidupnya.

Menurut saya, penulis adalah salah satu dari orang-orang yang
beruntung tersebut. Ia tidak pernah bekerja, tapi ia menjalankan
panggilannya melalui pekerjaannya.

Penulis adalah tukang batu ke-tiga.

Anda bisa mencermatinya dari tulisan di dalam buku ini. Sejak
menjadi aktivis pemuda hingga bekerja di Menpora misalnya, banyak
tersurat dan tersirat kalau penulis melakukan apa yang dilakukannya
sebagai bagian dari “tanggung jawabnya sebagai pemuda penerus
perjuangan bangsa”, atau ketika ia masuk ke pelosok-pelosok
untuk melakukan pembangunan daerah bersama tim Satgas, selain
karena pekerjaan, hal itu juga didorong keinginan agar “merah
putih tertancap juga di daerah-daerah terpencil Indonesia”, agar
kemajuan pembangunan dirasakan juga oleh mereka yang hidup
jauh dari ibukota. Di bagian lain dalam kehidupannya seputar surat
kabar, organisasi politik dan gereja, penulis mengambil keputusan

XXVII

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

yang sebenarnya tidak menguntungkan dirinya, tapi tetap diambil
karena penulis melihatnya sebagai bagian dari panggilan seorang
Kristen ke dunia ini, yaitu menjadi “garam dan terang”.

Panggilan itu membuahkan ketekunan yang terekam dalam
riwayat pekerjaannya; yaitu di Sinar Harapan selama 25 tahun, di
Menpora selama 10 tahun, dan melayani di Yayasan Kesehatan PGI
Cikini selama lebih dari 23 tahun -- sebuah riwayat pekerjaan yang
mungkin bisa membuat kaum millenial terheran-heran bagaimana
seseorang dapat bertahan selama itu di suatu tempat.

Sebagai editor, saya dapat merasakan melalui tulisannya,
bagaimana dalam bekerja, penulis digerakkan oleh panggilan yang
lebih besar daripada dirinya sendiri, daripada sekadar keinginan
untuk punya jabatan mentereng di kartu nama, atau bahkan karena
uang yang nyaris tidak pernah disinggung dalam buku ini.

Sebagai seorang anak, saya merasakannya sendiri dalam
kehidupan saya. Saya merasa hidup penulis adalah pekerjaannya,
dan pekerjaannya menjadikan dia “hidup”. Bukan dalam arti saya
tahu betul semua perjalanan karirnya, sebaliknya, saya nyaris tidak
punya memori kenangan masa kecil dengan penulis, mungkin
sampai saya beranjak dewasa, karena sebagian besar waktunya
memang dipakai untuk bekerja. Buku ini memberikan saya
gambaran yang lebih jelas tentang perjalanan hidupnya yang selama
ini hanya saya dengar sepotong-sepotong. Jika diibaratkan, pada usia
produktifnya, saya melihat penulis sebagai pelari marathon. Penulis
sempat “hilang” dari gambaran mental saya karena ia sangat fokus
berlari, dan kini akhirnya ia bisa beristirahat dan menceritakan apa
yang dialaminya sepanjang lintasan. “Hilangnya” sosok penulis dari
sejumlah episode hidup saya juga semakin terasa karena saya bukan

XXVIII

Catatan Editor

anak yang pandai basa-basi, mencari muka, apalagi mengambil hati.
Saya tidak tahu apakah penulis pernah menyesalkan berapa banyak
momentum kehidupan anak-anaknya yang terlewatkan selama ia
asyik berlari, atau mungkinkah penulis pernah memikirkan berapa
banyak memori menyenangkan yang sebenarnya bisa dia ciptakan
bersama anak-anaknya, kalau saja ia mau berhenti berlari sebentar.
Terkadang saya berpikir, lucu juga bagaimana saya dan penulis,
terpaut 40 tahun, menjalani masa kecil di ruang dan waktu yang
berbeda, namun mengalami kondisi yang hampir sama. Waktu kecil
ayah saya pergi mencari ayahnya yang “hilang” (bisa dibaca di Bab 1),
sementara di masa kecil saya, ayah saya tidak pernah “hilang” dalam
arti yang sesungguhnya, hanya saja saya jarang sekali melihatnya.

Namun itulah jalan yang sudah diambil penulis dan apa
yang saya rasakan tidak penah membuat saya lantas jadi kurang
menghormatinya. Untuk banyak hal, penulis adalah teladan
ketekunan; dalam belajar, bekerja, berolahraga, hingga mengejar
cita-cita. Saya berharap bisa mewarisi sedikit dari ketekunannya.

Buku yang ada di tangan Anda ini juga lahir dari ketekunannya,
yang dimulai lebih dari satu tahun yang lalu. Untuk seusia penulis,
mengingat kembali masa lalu saja sudah menjadi pekerjaan yang
menguras energi, tapi bukan hanya mengingat, penulis juga
bisa menyusunnya secara sistematis. Saya menyaksikan sendiri
bagaimana nyaris tiada hari terlewatkan tanpa waktu yang
disediakan untuk menulis buku ini, kecuali saat penulis sedang
merasa kurang fit. Pagi, siang, sore, kadang sampai malam penulis
menyusun kembali potongan-potongan perjalanan hidupnya,
membuka lagi laci-laci lama dalam memorinya, dan memproses
ulang peristiwa-peristiwa yang membekas dalam ingatannya, tak
terkecuali luka-luka lama. Memakai pulpen (bukan komputer),

XXIX

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Penulis, Pak Mul, dan Bunga dalam
pertemuan-pertemuan kecil kami
ketika menggodok buku ini.

buku ini ditulis di atas selembar demi selembar kertas hingga lama-
lama menjadi susunan bab demi bab. Seperti yang bisa Anda baca,
buku ini dibuka dengan kenangan ketika penulis duduk di Sekolah
Rakyat di Desa Nagatimbul, artinya ia mampu memanggil kembali
ingatannya jauh ke akhir tahun 1930-an atau lebih dari 70 tahun
lalu. Saya rasa ketekunan yang terlatih telah mengganjarnya dengan
daya ingat yang amat sehat.

XXX

Catatan Editor

Meski menulis sendiri kisah hidupnya, proses lahirnya buku
ini mungkin akan memakan waktu yang lebih lama jika tidak ada
campur tangan Pak Mulyo Prihantono, sekertaris yang mendampingi
penulis selama masa bakti 23 tahun di Yayasan Kesehatan PGI
Cikini (15 Agustus 1990 - 31 Oktober 2013). Pak Mulyo adalah satu
dari sedikit orang yang fasih membaca tulisan tangan penulis yang
“nyentrik” alias tidak mudah dibaca. Transkrip digital dari tulisan
tangan penulis yang dibuat Pak Mul membuat hidup saya menjadi
lebih mudah. Terima kasih, Pak Mul.

Banyak peristiwa yang dialami penulis terjadi sudah sangat lama
sehingga tidak semua peristiwa dapat saya verifikasi dikarenakan
terbatasnya dokumentasi dan banyak narasumber yang merupakan
teman penulis sudah tutup usia, namun sebisa mungkin saya selalu
menjaga esensi dari kisah yang disampaikan penulis. Untuk itu,
saya mohon maaf jika ada penulisan peristiwa atau bahkan nama
yang kurang akurat dan berbagai kekurangan lainnya dari buku
ini. Sebagai editor sekaligus seorang anak, saya merasa terhormat
diberikan kepercayaan oleh penulis untuk mengerjakan memoar
yang membuat saya lebih mengenal penulis dari sisi yang selama ini
tidak saya ketahui dengan baik. Terima kasih, Papa!

Di dalam buku ini Anda juga akan melihat banyak foto
bersejarah yang menambah dimensi dan warna dari kisah hidup
yang dituturkan penulis. Besar kemungkinan buku ini hanya
akan berisi teks semata jika bukan karena jasa Ibu Martha, istri
penulis, yang sejak lama telah memahami pentingnya dokumentasi
keluarga. Kegemarannya untuk merekam semua momen-momen
penting yang dilalui keluarga kami berbuah manis untuk memoar
suaminya.

XXXI

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada penulis untuk kisah
hidupnya yang kini sudah berbentuk buku, semoga bisa menjadi
warisan yang berguna untuk generasi selanjutnya. Menulis buku
di usia 80 tahunan tidaklah mudah, tapi seperti banyak rintangan
yang dihadapi penulis, ia berhasil melampauinya.
Dan kepada Anda semua, saya ucapkan Selamat Membaca!
Jakarta, Desember 2020
Bunga Sirait

XXXII

Daftar Isi

Prakata V
XA
Amir L. Sirait

KATA SAMBUTAN PENERBIT

Dr.(Cand) Charles Bonar Sirait,SE,MM

KATA SAMBUTAN

Akbar Tandjung

Sambutan Buku Memoar Amir L. Sirait
“Hanya Kasih Karunia” XI

KATA SAMBUTAN XIV

Sambutan Dr (HC) dr. H. R. Agung Laksono
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI

KATA SAMBUTAN XVI

Pdt. DR (hc). DR.S.A.E. Nababan LLD

Amir Sirait dan Batak Dream Abad-21

KATA SAMBUTAN XXI

Pdt.Prof. DR. Sularso Sopater

Amir Sirait, Sang Aktivis

CATATAN EDITOR XXVI

BAB SATU 1
13
Masa Kecil di Parongil, Dairi 18
24
Cerita Tentang Ayahku
Jalan Panjang Mencari Ayah Yang Hilang 26
Menemukan Ayah dan Kehilangannya Lagi

Ibu, Pahlawan Yang Nyata Dalam Kehidupanku

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Kepergian Ibu 38
Martha, Teman Hidup yang Setia 45
Memulai Hidup Baru Bersama Martha Di Jakarta 52

BAB DUA

Masa Kecil Dalam Kemiskinan 61

Asal Usul Lumban Simatombak, Legenda Ompu

Tampurung 65

Silsilah Keluarga Besar Porhas Marlokkung, Lumban Mual 73

BAB TIGA

'Diperas' Ketika Masuk SMP Negeri Narumonda 75

BAB EMPAT 79

Masuk ke SMP 3 Jalan Seram, Medan

BAB LIMA 85

Masa SMP Kristen di Klaten

BAB ENAM 89

Memasuki SMA Bopkri 1 Yogyakarta

BAB TUJUH 99
106
Menjadi Mahasiswa Universitas Gajah Mada

Mantan Perokok Berat

BAB DELAPAN 109

Gagal Sekolah ke Jepang

BAB SEMBILAN 115

Kembali ke Bangku Kuliah UGM

XXXIV

Daftar Isi 127
129
BAB SEPULUH 141

Memasuki Salemba 10 153
169
Menjadi Anggota Pengurus DC – DGI 177
182
BAB SEBELAS
197
Menjadi Angkatan Pertama LPPM
204
BAB DUA BELAS 245
254
Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit 265
Harian Umum Sinar Harapan

BAB TIGA BELAS

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang

Sebuah Laporan Tentang Desa di Jepang
Semangat Kerja Korea Selatan Yang Telah
Berhasil Tinggal Landas

BAB EMPAT BELAS

Konsultasi Nasional Gereja dan Masyarakat
PGI Untuk Persiapan Sidang Raya PGI di
Surabaya 1989

Pembangunan Politik Dan Ketahanan Nasional
Memasuki Pembangunan Jangka Panjang 25
Tahun Tahap Kedua (PJPT II)

BAB LIMA BELAS

Menghidupkan GAMKI Yang Mati Suri

Deklarasi Pemuda Indonesia

BAB ENAM BELAS

Mendukung Perfilman Nasional

XXXV

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

BAB TUJUH BELAS 273
291
Ketua Umum Panitia Perayaan HUT PGI Ke-50 299
300
BAB DELAPAN BELAS 315

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga 319
335
Menjadi Anggota Dewan Film Nasional
Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pemuda 351
Ikrar Putera Indonesia
365
BAB SEMBILAN BELAS 369

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila 370
di UGM Yogyakarta, Penataran P4 untuk
Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Menjadi Manggala BP7

BAB DUA PULUH

Dicalonkan Golkar Pada Pemilu Legislatif
(1977, 1982, 1997)

Pendapat Akhir Mini Fraksi Karya
Pembangunan DPR-RI Terhadap Rancangan
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pers
Sidang Istimewa MPR-RI Tahun 1999
Tambahan Penjelasan Atas Pengantar
Musyawarah FKP MPR-RI Pada Acara Rapat
Komisi A SI MPR-RI Terhadap Rantap MPR-
RI Tentang Perubahan Dan Tambahan Atas
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1998 Tentang
Pemilihan Umum

XXXVI

Daftar Isi

BAB DUA PULUH SATU 381
400
Jalan Panjang Menjadi Wakil Guru Huria 429
HKBP Sudirman Jakarta 433
434
Gereja dan Politik 439

Belajar Teologia

Menyambut Hut Ke-50 HKBP Sudirman Jakarta

St. Amir Sirait Luncurkan Buku

Kepemimpinan dan Manajemen Gereja

BAB DUA PULUH DUA

Mengabdi Untuk Yayasan PGI Cikini 469

Hari Ulang Tahun, Momen Untuk Pencapaian Baru 472

Sumber Mata Air Bersih Di RS PGI Cikini: Suatu Mukjizat 477

Ibu Soekini Soedarjo, Sang “Profesor" Taman 480

Resmi Menjadi Lembaga Berbadan Hukum

Dengan Nama Yayasan Kesehatan PGI Cikini 482

Konsep Pelayanan Kristiani 490

Perginya Seorang Sahabat: 500

Mengenang Prof. dr. R.P. Sidabutar 500

Kado Unik Untuk Pak Soedarjo 503

Generasi Pengurus Baru Yayasan RS PGI Cikini 507

BAB DUA PULUH TIGA 519

Koridor Panduan Bagi Para Legislatif dan
Peran Public Speaking

GALERI FOTO 531
532
Kehidupan Pekerjaan 536
Keluarga

XXXVII

DAFTAR PUSTAKA 553

TENTANG PENULIS 557
558
Riwayat Pendidikan 559
Riwayat Profesi/Pekerjaan 560
Riwayat Pelayanan Di Gereja HKBP
Riwayat Kegiatan Di PGI (Persekutuan Gereja- 561
Gereja Di Indonesia)
Riwayat Dalam Organisasi Gerakan Mahasiswa 561
Kristen Indonesia (GMKI)
Riwayat Dalam Organisasi Gerakan Angkatan 562
Muda Kristen Indonesia (GAMKI)
Riwayat Dalam Organisasi Komite Nasional 562
Pemuda Indonesia (KNPI)
Riwayat Partisipasi Dalam Partai Golongan 562
Karya (GOLKAR) 563
Riwayat Dalam Organisasi Kemasyarakatan Lainnya 563
Riwayat Dalam Organisasi Kemasyarakatan Lainnya 564
Riwayat Dalam Jabatan Politik/Idiologi 565
Riwayat Dalam Kegiatan Internasional

Tanggapan Atas Buku Memoar Amir Liven Sirait ”Hanya Karena
Kasih Karunia”

Rosan Perkasa Roeslani 568
D20u2t1a-2B0e2s6ar&ReKpeutbulaikUImnduomneKsiAaDunINtuk20A1m5-2e0ri2k0a Serikat

Suryopratomo 574
Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura 2020-2025

z

BAB SATU

Masa Kecil di
Parongil, Dairi

Orangtua saya, Frederick Sirait dan Carolina boru Sitorus,
berasal dari sebuah desa kecil bernama Sibadihon, kecamatan
Bonatua Lunasi, Porsea. Desa ini berada di pinggiran Sungai Asahan
Danau Toba, di kaki pegunungan Bukit Barisan. Penduduknya
kurang dari 1,000 orang, umumnya bermarga Sirait, Sitorus, dan
Manurung.

Pada suatu waktu, untuk memperbaiki kondisi ekonomi
keluarga, ayah dan ibu saya memutuskan untuk merantau ke
Dairi, wilayah di bagian Barat Danau Toba. Pada masa itu memang
banyak penduduk asal Toba yang merantau ke Dairi untuk mencari
peruntungan. Di sana mereka bekerja membuka lahan pertanian,
karena di daerah itu penduduknya masih jarang sedangkan lahan
ladang luas tersedia.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Saya sendiri tidak tahu pada umur berapa saya dibawa orangtua
ke Parongil, sebuah kota kecil di Dairi. Tetapi teringat jelas tangan
kanan saya belum bisa menjangkau telinga kiri -- salah satu ukuran
bagi seorang anak yang akan memasuki Sekolah Rakyat (sekarang
Sekolah Dasar) pada masa itu.

Di Dairi, kami tinggal di tepi jalan raya yang melintas Kampung
Polling Anak-anak, sekitar 10 kilometer dari Parongil. Sampai
sekarang masih ada sanak saudara kami yang tinggal di sini, bahkan
ada juga di Lae Simbolon dan Sinampang, desa yang lebih jauh lagi
ke pedalaman.

Kelak pada tahun 1996/1997, saya dicalonkan sebagai anggota

DPR-RI partai Golkar dari daerah pemilihan Sumatera Utara,

dengan basis Kabupaten Dairi. Pada masa kampanye Pemilu itu, saya

meminta keluarga saya di Polling untuk secara khusus mengundang

2 semua penduduk yang tinggal di kawasan tersebut dan yang berasal
dari Toba, dari Polling sampai Parongil, untuk bertemu dengan saya,

dengan tujuan untuk saling melepas rindu.

Pertemuan itu terwujud, namun tidak terasa seperti kampanye
lagi, karena semua penghuni desa ini datang, tidak peduli partai
mana yang mereka dukung. Pada dasarnya semua hadir karena
rindu yang tidak terduga. Setelah lebih dari 50 tahun, ada seorang
anak dari desa Polling yang kini muncul di depan mereka sudah
menjadi seorang politisi.

Saya ingat betapa hangat pertemuan malam itu yang diisi
obrolan dari hati ke hati, yang dilanjutkan dengan makan malam
bersama. Kebanyakan para penduduk hanya mengenal nama ayah
dan ibu saya, pasangan suami-istri yang pernah tinggal di desa ini,
setengah abad yang lalu.

Saat saya memberi sambutan, terdengar tepuk tangan hadirin
yang menandakan kebanggaan mereka akan putra daerah ini, namun

Masa Kecil di Parongil, Dairi 3

sesekali juga terasa keheningan yang memilukan saat saya mengenang
kembali perjuangan orangtua saya ketika mereka mencoba mengadu
nasib di wilayah tersebut. Dengan daya ingat anak-anak, saya
bercerita tentang masa kecil saya jauh dari kenyamanan. Orangtua
saya bekerja sebagai petani di ladang tadah hujan. Pada musim
tembakau, ibu berdagang tembakau dan kacang goreng dari Polling
menuju Parongil, dilanjutkan ke Lae Parira (sekitar 15 kilometer
ke sebelah Timur). Saya tambahkan juga bahwa akhirnya orangtua
saya tidak sukses merantau di Polling, sehingga kami kembali ke
kampung asal kami, Porsea. Saya pun mengingat kembali rasanya
gagal merantau dan kepedihan yang kami alami dalam perjalanan
pulang.

Saya mulai bercerita tentang hari ketika ayah, ibu, saya, kakak
saya Hilda, dan adik saya yang masih kecil, Bismark, bersama-sama
berjalan kaki dari Polling menuju tepi Danau Toba. Di tengah
malam yang gelap gulita dan udara yang dingin kami berlima
berjalan kaki menyusuri pegunungan dan akhirnya mencapai tepi
danau Toba pada esok malamnya. Terasa suasana dalam pertemuan
itu jadi hening; pendengar sepertinya ikut membayangkan apa yang
kami sekeluarga alami saat itu.

Jarak Polling ke tepi danau Toba sekitar 70 km, kira-kira seperti
jarak dari Jakarta ke Bogor. Kami melewati banyak daerah, antara
lain Lae Renun, Lae Parira, Sidikalang, Sumbul, dan seterusnya
hingga ke pinggir Tao Silalahi di Paropo.

Di tengah malam gelap gulita itu kami melalui Lae Renun yang
terkenal angker pada masa itu. Konon disinilah lokasi pembunuhan
musuh pada era perang kemerdekaan. Di sana ada sungai besar,
Lae Simbolon namanya, dan tempat yang mengerikan itu disebut
Ronuan. Orang bilang mengerikan karena jauh di bawah sana kita
bisa mendengar suara air terjun yang mengalir deras tapi kami tidak
bisa melihat airnya.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Saya mengingat kembali bagaimana dalam keadaan lelah kami
berlima terus berjalan kaki dalam gelap dan dingin, diiringi suara
derasnya air terjun dan cerita tentang pembunuhan itu di kepala
kami. Perjalanan yang begitu mencekam dan sangat melelahkan,
apalagi untuk adik saya Bismark yang saat itu baru berumur empat
atau lima tahun...

Pada waktu kampanye Pemilu tahun 1997, saya bersama
rombongan mendatangi Dairi dan dalam perjalanan kami melewati
kawasan Lae Renun. Saya minta kepada ketua rombongan untuk
berhenti sebentar di kawasan ini.

Saya turun dari bis, melihat sekitar dan pikiran saya memanggil

4

Jembatan Renun dibangun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda sekitar
tahun 1936, menghubungkan antara (saat itu) wilayah Keresidenan Dairi menuju
Keresidenan Siantar.


Click to View FlipBook Version