The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by bagusekap1, 2021-07-27 14:15:57

HANYA KARENA KASIH KARUNIA

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga

dilupakan melainkan harus dihargai dan dipahami serta 305
ditingkatkan oleh seluruh pemuda dan bangsa serta
masyarakat Pancasila Indonesia.

Satu lagi karya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga adalah
menumbuhkan kesadaran nasional cinta tanah air lewat aksi solidaritas
sosial di khususnya di kalangan generasi muda. Salah satunya adalah
ketika Abdul Gafur membentuk Satuan Tugas Nasional Pemuda
yang saya ketuai. Satuan Tugas ini mengangkat persoalan-persoalan
sosial yang belum terpecahkan dan mengorganisir tenaga pemuda
untuk secara sukarela mengambil bagian memecahkan persoalan
itu. Tidak mudah untuk memecahkan persoalan yang dimaksud
karena relatif generasi muda hanya memiliki gagasan dan tenaga
yang prima, namun yang paling pokok dari aksi itu adalah untuk
mengangkat nilai solidaritas sosial, gotong royong dan cinta tanah
air yang perlu lebih tertanam dalam benak dan hati generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Peristiwa banjir yang mengganggu kesejahteraan sosial di Jakarta
Barat dan Bojonegoro atau letusan Gunung Galunggung di Jawa
Barat adalah salah satu contoh ketika Satgas Pemuda bersuara dan
bergerak membawa bantuan dan mengajak pemuda setempat untuk
menunjukkan bahwa pemuda tidak pantas berlipat tangan dalam
situasi bangsa seperti itu. Maka pemuda bergerak mengumpulkan
bantuan dan membagikannya kepada korban bencana. Sekelompok
pemuda di tingkat pusat yang saya ketuai diangkat menjadi anggota
Satgas Pemuda Tingkat Nasional seperti Drs. Hamid Kuning, Farida
Chadaria, Martin Sirait, IR. Pandapotan Sinaga, dan lain-lain dalam
Kelompok Kerja Menpora. Saya sendiri berperan sebagai ketua.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

Banjir besar yang kala itu melanda berbagai penjuru Jakarta
setiap lima tahun, juga membawa penderitaan di kawasan Plumpang
Jakarta Utara. Di kawasan ini sebuah Masjid menampung korban
banjir dan memfasilitasi kegiatan Satgas Pemuda untuk menyalurkan
bantuan beras yang kami kumpulkan dari berbagai kalangan.
Saya memimpin langsung kegiatan pembagian beras kepada umat
yang mengenal baik tokoh-tokoh pemuda setempat seperti tokoh
pemuda, Amir Biki.

Pada waktu itu saya sadar berada di tengah-tengah saudara
sebangsa dan setanah air yang menderita, sehingga sama sekali
tidak canggung memberi bantuan walaupun mungkin mereka
memperhatikan saya seorang Nasrani tapi bernama Amir Sirait
yang memberikan salam Assalamualaikum seperti lazimnya. Saya
sampaikan bahwa kami adalah pemuda-pemuda yang dengan hati
tulus berempati atas penderitaan rakyat di tempat itu. Bantuan yang
306 besar pasti akan datang dari pemerintah. Solidaritas Sosial dan Cinta
Tanah Air, slogan yang terus kami kumandangkan pada masa itu,
memimpin aksi para pemuda. Aksi Satgas Pemuda ini tidak pelak
lagi menembus sekat-sekat pemisah dalam masyarakat sehingga kita
bisa bersatu menghadapi masalah secara gotong royong.

Kelompok Inti Sukarelawan Pemuda yang kita sebut Satgas
Pemuda diyakini akan diikuti pemuda-pemuda di beberapa tempat
baik melalui KNPI atau kelompok-kelompok pemuda terorganisasi
seperti Karang Taruna. Slogan yang sama disampaikan kepada
pemuda-pemuda keturunan seperti keturunan India yang di Jakarta
berkumpul di halaman kantor Menpora RI bekerja sama dengan
Gandi Memorial School pimpinan Mr. Ram. Simpati atas penderitaan
saudara-sudara kita korban letusan Gunung Galunggung dengan
membawa obat-obatan dilanjutkan dengan Kunjungan Kerja
Menpora RI dan Satgas Pemuda ke lokasi bencana, di sekitar
Tasikmalaya dalam suasana bulan Ramadhan tahun itu.

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga 307

Rombongan kunjungan Menpora dan Satgas Pemuda
mengambil ancang-ancang untuk bermalam terlebih dahulu di
Cianjur. Diskusi dengan pihak pemerintah di Cianjur berlangsung
akrab sampai larut malam, sampai kami semua terlambat bangun
sehingga waktu sahur terlewati. Jadilah kami berpuasa sehari penuh
termasuk putra saya Charles Bonar Sirait bersama Reza, putra Bung
Gafur yang turut dalam rombongan, di tengah pengapnya hujan
debu. Tampak semua merasa lega setelah tiba kembali di Cianjur
dan menikmati buka puasa bersama dengan Pemuda dan masyarakat
Cianjur sore harinya sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke
Jakarta.

Di Sekretariat Satgas Pemuda di Kantor Menpora, kami
melihat bagian-bagian bangsa yang miskin dan tertinggal di tengah
lajunya Pembangunan Nasional. Menurut kami bagian-bagian yang
tertinggal ini harusnya ditangani lebih baik sehingga melahirkan
semangat bersatu, berbagi dan berprestasi di kalangan warga
sehingga akan memupuk keadilan, dimensi solidaritas nasional dan
Cinta Tanah Air yang selalu kita angkat.

Dalam hubungan itu kadang-kadang terkuak bau kritik terhadap
penguasa namun kritik tersebut benar-benar kritik membangun
sehingga tidak ada ketakutan dalam menyampaikannya. Terdapat
sedikit kesulitan memang karena pada satu sisi, kami adalah bagian
penguasa walaupun dengan sukarela. Oleh sebab itu langkah Satgas
Pemuda harus ekstra hati-hati. Ketika menyampaikan kritik, maka
haruslah kritik yang “sopan.” Saya sebagai Ketua Satgas Pemuda
kelahiran Batak yang besar di Yogyakarta berpendapat bahwa kritik
“sopan” itu amatlah penting.

Tatkala Satgas Pemuda mendapat gambaran betapa rusaknya
pantai utara Jakarta dan diperkirakan rembesan air laut sudah
sampai ke kawasan Grogol, kami berkesimpulan untuk menanam
kembali pohon bakau yang telah hilang dan rusak di Pantai Utara

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

Jakarta. Kami simpulkan perlunya diadakan kerja sama dengan
Dinas Lingkungan Hidup Pemda DKI dan pemuda-pemuda lintas
etnis yang berdomisili di Jakarta Utara. Masyarakat pemuda Jakarta
Utara khususnya pemuda keturunan Cina dan India diundang
berpartisipasi. Kami menjelaskan betapa strategisnya hutan tersebut
sebagai penjaga kelestarian lingkungan hidup, pemeliharaan pantai
dan perlindungan kehidupan ikan laut, serta kepentingan nelayan.

Program Satgas Pemuda ini mengundang perhatian umum
dan mendapat pemberitaan yang cukup luas. Untuk menegaskan
pentingnya program ini, para pemuda berkumpul di kawasan
Kapuk Pantai Utara Jakarta dan menyaksikan Peletakan Prasasti
Program Satgas Pemuda yang ditandatangani Menpora Abdul Gafur
dan disaksikan beberapa Pejabat Pemerintah Jakarta Utara dan
Dinas Lingkungan Hidup Pemda DKI Jakarta. Ini adalah salah satu
bentuk “kritik sopan” kala itu yaitu dengan strategi melalui kerja
308 sama dengan instansi Pemerintah.

Bung Gafur berusaha menempatkan diri sebagai pemerintah
tetapi juga berusaha menyerap kritik dari para pemuda. Dalam
program Penanaman Pohon Bakau di Pantai Jakarta Utara, Satgas
Pemuda melahirkan satu tulisan untuk umum berjudul Manajemen
Daerah Pantai (MDP) yang ditulis Martin Sirait, salah seorang
anggota Satgas. Satgas berharap dengan diterbitkannya tulisan ini
di surat kabar, daerah-daerah lain juga akan memperhatikan pantai-
pantai yang kerusakannya tidak terkontrol. Lagi-lagi Satgas Pemuda
bukan hendak mencari jabatan atau popularitas melainkan dengan
sukarela mengembangkan rasa solidaritas dan cinta tanah air. Itulah
pengangkatan nilai Solidaritas dan Cinta Tanah Air yang merupakan
program primadona Satgas Pemuda Kantor Menpora R.I.

Belajar dari Jakarta Utara, Satgas Pemuda bekerja sama dengan
kelompok pemuda di kawasan Pantai Carita Banten. Kami ingin
mengangkat masalah kehidupan saudara-saudara nelayan. Menurut

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga 309

pengamatan kami saat itu, sepotong pantai akanlah amat indah
kalau saja ada perhatian yang lebih serius dari Pemerintah Jawa
Barat. Maka Satgas Pemuda mengundang Gubernur Jawa Barat
untuk bersama-sama Menpora RI meninjau daerah tersebut.

Masalahnya memang sangat rumit. Nelayan yang hidup di
area pantai tersebut menggunakan pasir sepanjang pantai sebagai
toilet terbuka sehingga sering terjadi pengunjung pantai menginjak
kotoran manusia yang ditutup pasir. Tetapi itulah masalahnya,
tidak mungkin kita mengharapkan nelayan miskin untuk
mengatasi sendiri masalah besar itu. Kita harus bersedia membantu,
mengulurkan tangan, perhatian, dan bantuan untuk perubahan yang
membawa kemajuan. Maka dalam pidatonya, Gubernur Jawa Barat
dan Menpora RI menjanjikan perubahan atas kawasan pelabuhan
alam itu menjadi pelabuhan yang disentuh tangan manusia. Bagi
Satgas Pemuda, kehadiran dan pidato kedua pejabat teras ini sudah
menggembirakan.

Rupanya beberapa pihak yang berkepentingan (stakeholders)
turut memberi perhatian, termasuk peneliti oceanografi. Tidak lama
kemudian Menpora memanggil saya menjelaskan masalah baru.
“Konsekuensi merusak lingkungan akan besar,” kata Abdul Gafur.
Singkatnya ia menjelaskan, menurut para peneliti, jika dijalankan,
program Satgas akan merusak batu karang di kedalaman pantai di
kawasan itu.

Hal ini menjadi penghalang modernisasi dan kesejahteraan
rakyat kawasan itu. Tetapi sudah merupakan tugas Satgas Pemuda
dan Pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Saya sempat berharap
janji Gubernur Jawa Barat ketika itu terwujud, yaitu membuka
kemungkinan pelabuhan baru yang menyejahterakan rakyat.
Mungkin kami di Satgas Pemuda terlalu jauh bermimpi alias
terlalu idealis, walaupun gampang sekali membayangkan terjadinya
perubahan penataan lingkungan yang akan membawa nilai wisata,

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

perubahan hidup dan kehidupan para nelayan di kawasan ini dan
lain sebagainya. Kita akhirnya memahami bahwa penanganan
persoalan haruslah komprehensif, namun mengatakannya memang
jauh lebih mudah daripada melaksanakannya.

Berpuluh tahun kemudian, pada waktu mempersiapkan tulisan
ini, saya membaca strategi pembangunan Presiden Joko Widodo
yang antara lain adalah “Pembangunan dimulai dari pinggiran”. Saya
memaknainya sebagai sentuhan atas ketertinggalan, kebodohan dan
kemiskinan. Diperlukan tekad luar biasa untuk memutus vicious
cycle ini, sehingga pemimpin yang berhasil memutus rantai itu layak
dikatakan sebagai pemimpin yang luar biasa.

Suatu waktu seorang wartawan menanyakan kepada saya,

kenapa Satgas Pemuda membuat program yang jauh sampai ke

suatu dusun di pantai kawasan Cilacap? Saya dengan singkat

310 menjawab bahwa merah putih juga hubungkan kawasan itu. Di
sana penderitaan sederhana dirasakan rakyat yang sulit mendapat

hal mendasar seperti air minum bersih. Bekerja sama dengan suatu

perusahaan di Jakarta Utara, Satgas Pemuda menyumbangkan

sejumlah jerigen plastik kepada setiap keluarga agar mereka dapat

mengambil dan menyimpan air minum yang harus diambil jauh

dari tempat tinggalnya.

Saya mengusulkan Pak Sunaryo, Sekretaris Menpora RI untuk

memimpin Tim Satgas

Pemuda ke lokasi di

kawasan pantai Cilacap.

Sambil bergurau saya

katakan bahwa kantong

jerigen air minum ini

didesain berwarna merah

putih sekaligus simbol

Berdiskusi bersama Bung Gafur. bahwa Merah Putih harus

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga

berkibar juga di tempat terpencil yang masih jauh dari kemakmuran
itu. Saya bangga atas kesediaan Pak Sunaryo, seorang pejabat tinggi
bergelar Doktorandus dan Master of Science (M.Sc) namun bersedia
untuk turun langsung ke lapangan. Saya berangkatkan beliau dari
halaman Kantor Menpora RI.

Mengasosiasikan bagian bangsa dan negara kita yang di

"pinggiran" ini dengan desa, saya teringat tulisan T.B. Simatupang

yang mengatakan, “Berdasarkan pengalaman selama Perang

Kemerdekaan bahwa perjuangan nasional yang besar hanya dapat

berhasil apabila dia berpangkalan berakar di desa-desa, maka disadari

bahwa pembangunan

yang merupakan

perjuangan perang

kemerdekaan hanya

dapat berhasil apabila

pembangunan itu 311

berpangkalan dan

berakar di desa-desa

(Motivator Milik Desa,

TB Simatupang, Dharma

Cipta DGI-BPK Gunung

Mulia, 1978).

Tahun 1974 saya Selalu ada yang didiskusikan dalam kelompok
memimpin Departemen Satgas pimpinan Abdul Gafur. Di pesawat pun
kami tak berhenti berdiskusi.

Seni Budaya DPP KNPI. Saat itu, kami bekerja sama dengan artis

terkenal Christine Hakim dan artis lainnya memproduksi film

berjudul Dr. Siti Pratiwi Kembali Ke Desa. Film ini menyampaikan

pesan akan pentingnya membangun desa.

Berbagai pihak memberi perhatian terhadap Satgas Pemuda
sebagai bagian dari pembinaan generasi muda untuk menanamkan
nilai-nilai bahwa kesukarelaan dalam membantu sesama, solidaritas

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

sosial dan cinta tanah air akan melahirkan persatuan, kerukunan dan
persaudaraan yang lebih baik. Pelatihan-pelatihan pemuda untuk
maksud ini dibantu pula oleh pihak TNI seperti pelatihan pemuda
SAR yang bekerja sama dengan Dinas Kebakaran dan Kesehatan
DKI Jakarta serta pihak TNI Angkatan Udara.

Sekitar tahun 1985 terjadi sebuah kebakaran kapal di Danau
Toba dan dikabarkan bantuan kepada penumpang minim sekali.
Peristiwa ini mengundang perhatian Satgas Pemuda sehingga kami
menggalang Program Bersama Pemuda yang membentuk Lembaga
Sukarelawan Pemuda di Danau Toba dengan Pemuda Simalungun,
Pihak TNI Angkatan Laut (di Belawan) serta Persatuan Hotel-Hotel
di Kawasan Danau Toba. Pemuda-pemuda dilatih oleh personil TNI
AL yang khusus didatangkan dari kawasan pelabuhan Belawan-
Medan, Sumatera Utara untuk menjadi safe guard. Kantor Menpora
RI menambah motor mesin speed boat untuk mendukung speed boat
312 milik Pemda Simalungun yang sudah diterjunkan. Speed boat ini
digunakan para sukarelawan pemuda (safe guard) khusus pada hari-
hari besar yang tinggi kunjungan wisatawan di Danau Toba. Hotel-
hotel juga berkepentingan atas program ini.

Pada masa itu sekitar 1987 di Indonesia banyak kita saksikan
film yang menampilkan pemuda-pemuda Amerika yang tergabung
dalam US Peace Corps, sebuah lembaga terkenal yang memiliki
peralatan lengkap; pesawat udara, kapal laut, dan peralatan di darat.
Mereka melayani masyarakat secara sukarela dan dengan kualitas
pelayanan yang profesional.

Kita harus mengakui bahwa Satgas Pemuda terinspirasi akan US
Peace Corps walaupun dalam skala yang amat kecil. Tatkala Komisi
IX DPR-RI dalam Rapat Kerja dengan Menpora RI menanyakan
berbagai kegiatan Satgas Pemuda, Menpora Abdul Gafur dengan
penuh semangat menjawab “Mudah-mudahan Satgas Pemuda
Kantor Menpora RI ini akan menjadi Peace Corps-nya Indonesia."

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga

Sesungguhnya harapan Menpora Abdul Gafur itu tinggal
selangkah lagi terwujud, tetapi sayangnya beliau tidak turut di
kabinet yang baru. Dan hampir menjadi kebiasaan kalau kita sukar
melanjutkan yang baik kecuali di tangan kita sendiri. Jangankan
meningkatkan, melanjutkan penempatan lambang Sumpah Pemuda
di puncak gedung kantor Menpora RI pun tidak dapat berlanjut

313

Bersama Bung Gafur di rumahnya di Jalan Teuku Umar, beberapa hari
sebelum peluncuran biografinya.

"Buku ini saya tulis untuk generasi muda sekarang agar mereka tahu
bagaimana sejarah perjuangan seorang anak dari Halmahera bisa sampai ke
Jakarta. Saya berharap bisa menginspirasi dan bermanfaat untuk anak-anak
muda sekarang," kata Abdul Gafur pada acara peluncuran biografinya,
Zamrud Halmahera, di Jakarta, 10 Januari 2019.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

Seperti ini persiapan Pasukan Pengibar Bendera

Pusaka (Paskibraka), berbaris di aula Kementerian

314 Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman
untuk mengikuti upacara pra pelantikan. Saya akan

membacakan Ikrar Putera Indonesia yang akan diikuti

oleh anggota. Ketika saya membacakannya, setiap

anggota terlihat menangis haru, bahkan tersedu-sedu

sambil mengikuti bacaan janji tersebut. Sejak itu – sejak

tahun 1978 dan tahun-tahun selanjutnya – Menteri

P&K Daoed Joesoef dan Menpora Abdul Gafur selalu

meminta saya mengisi acara yang sama di Wisma

Negara, yang berlokasi di samping Istana Merdeka.

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga 315

IKRAR
PUTERA INDONESIA

Aku mengaku Putera Indonesia dan berdasarkan
pengakuan ini :

Aku mengaku bahwa aku adalah makhluk Al Khalik
yang Maha Esa dan bersumber pada-Nya.

Aku mengaku bertumpah darah satu, Bangsa
Indonesia

Aku mengaku berjiwa satu, Jiwa Pancasila
Aku mengaku berbudaya satu, Budaya dan Bahasa

Indonesia
Aku mengaku bernegara satu, Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
Aku mengaku bercara karya satu, Masyarakat Adil
Makmur berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan isi

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Aku mengaku bercara karya satu, perjuangan besar
dengan akhlak dan ihsan menurut Ridho Tuhan Yang

Maha Esa
Berdasarkan pengakuan-pengakuan ini dan demi
kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh
menjalankan kewajibanku untuk mengamalkan semua
pengakuan ini dalam karya hidupku sehari-hari.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati niatku ini
dengan taufik dan hidayah-Nya serta inayah-Nya.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir Liven Sirait

tanpa penjelasan yang memadai.
Di minggu-minggu akhir Agustus 2020, saya mendapat kabar

Bung Gafur jatuh sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto, belum
jelas karena apa. Tentu saya prihatin dan ingin melihatnya, tapi
dalam kondisi pandemi Covid-19, beliau tidak dapat dijenguk. Saya
hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya. Tapi Tuhan berencana
lain. Jumat pagi hari tanggal 4 September 2020, saya dapat kabar
Bung Gafur tutup usia. Saya merasa kehilangan dan sedih karena
sesuai protokol kesehatan saya tidak dapat melihat beliau untuk
terakhir kalinya, apalagi mengantarnya ke pemakaman.

Marsda Purn. dr. H. Abdul Gafur Tengku Idris lahir di Patani,
Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada 20 Juni 1939. Almarhum
menjalani hidup yang penuh sepanjang 81 tahun, meninggalkan
istri Prof. Dr. Kemala Motik, SE,MM dan anak-anak; Arief, Ika,
316 Riza, Reza, Sherry, dan Gamal yang juga saya kenal dengan baik.

Berdasarkan pembicaraan dengan Reza dan Ika, tahun depan
jenazah Bung Gafur akan dipindahkan dari Pondok Rangon ke
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Saya senang mendengar rencana

Pengamat politik
Margarito Kamis
menyebutkan Bung
Gafur sebagai sosok
manusia penggagas.

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga

Saya menjadi salah 317
satu pembedah buku
pada peluncuran
biografi Abdul
Gafur, Zamrud
Hamahera, Januari
2019, di Balai
Kartini Jakarta.

Selain saya, hadir pula Emil Salim, Cosmas Batubara, Akbar Tanjung dan sejumlah
tokoh nasional lainnya.

Membantu Menteri Muda Pemuda dan Olahraga

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul
Abdul Gafur Idris Luncurkan Buku Autobiografi di Jakarta
Dihadiri Sejumlah Tokoh Nasional, https://www.tribunnews.
com/nasional/2019/01/11/abdul-gafur-idris-luncurkan-buku-
autobiografi-di-jakarta-dihadiri-sejumlah-tokoh-nasional?page=2.
Editor: Hasanudin Aco

318

z

BAB SEMBILAN BELAS

Mengikuti Lokakarya
Pengamalan Pancasila
di UGM Yogyakarta,
Penataran P4 untuk Pemuda
dan Menjadi Manggala BP7

Bagi saya kelahiran KNPI adalah salah satu bagian usaha kreatif
bangsa ini untuk memasuki era baru pengorganisasian pemuda
yang kita perlukan dalam rangka modernisasi bangsa menuju akhir
abad XX dan permulaan abad XXI millenium ketiga. Hal ini sudah
beberapa kali didiskusikan dalam lingkungan GMKI Salemba dan
DPP KNPI Tanah Abang.

Di tengah eksistensi KNPI yang baru diterima setengah hati oleh
pemuda dan mahasiswa serta masyarakat umum, diselenggarakanlah
suatu pertemuan di bawah pimpinan Pak Ali Murtopo di Wisma
Antara, Jakarta.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Hadir dalam pertemuan itu warga pers, para pemimpin organisasi
pemuda dan pimpinan partai politik serta unsur-unsur lain yang
memenuhi aula besar itu. Tentu saja hadir juga DPP-KNPI yang saat
itu sedang mendapat sorotan. Pikiran dan penjelasan pemerintah
tentang KNPI memang perlu disampaikan lebih luas lagi pada
audiens. Saya lupa posisi Pak Ali Murtopo waktu itu apakah sebagai
Waka Bakin atau sebagai asisten pribadi Presiden Suharto, namun ia
jelas mewakili kekuasaan, sosok yang amat menonjol kala itu.

Berbagai hal mengenai kehidupan berbangsa dalam era Orde
Baru diperbincangkan dan salah satu yang menonjol adalah masalah
kehadiran atau lahirnya organisasi baru kepemudaan yang bernama
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Pertemuan sudah hampir berakhir pada tengah malam ketika

Pak Subagyo PR, Pemimpin Redaksi Harian Umum Sinar Harapan

320 bertanya tentang usia pemuda pada konsep pemuda KNPI.
Pertanyaan yang cukup menggelitik karena tim DPP-KNPI yang

hadir pun banyak yang sudah berumur, lebih tua daripada pengertian

pemuda rata-rata.

Saya dan jajaran DPP-KNPI lingkaran luar, duduk di barisan
paling belakang audiens, tekun menyimak setiap komentar dan
jawaban lugas Pak Ali Murtopo. Beliau nampak menginginkan agar
para pemuda yang diwakili KNPI malam itu tidak memberikan
jawaban atas pertanyaan Subagyo PR. Di luar dugaan khalayak, Pak
Ali malah menunjuk ke arah kami untuk memberikan komentar atas
pertanyaan tentang umur pemuda yang sedang diperbincangkan.
Kami saling melihat dan tunjukkan jari Pak Ali mengarah kepada
saya. Saat itu saya yakin Pak Ali tidak mengetahui nama saya, namun
dari depan ia mengatakan “Ya, ya, dia,”katanya sambil menunjuk
saya.

Tentu saja pimpinan teras DPP-KNPI malam itu agak was-
was melihat saya yang akhirnya menerima penunjukan itu. Saya

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 321
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

sadar diri kalau posisi saya hanya anggota lingkaran luar yang ada
di tengah anggota DPP-KNPI yang mayoritas sudah aktivis Golkar
seperti David Napitupulu yang telah dikenal tetapi enggan berbicara
di hadapan Ali Murtopo dan tokoh-tokoh Golkar yang hadir malam
itu.

Menyambut penunjukan Pak Ali, saya pun berdiri dan
mendahuluinya dengan permintaan maaf apakah saya bisa
memakai ilustrasi sebuah film Amerika yang baru saya tonton
saat itu (sayangnya saya lupa apa nama filmnya). “Ya setuju, coba
ceritakan,”kata Pak Ali spontan. Saya menyadari semua mata tertuju
kepada saya dan juga merasakan ketegangan para senior DPP-
KNPI menunggu jawaban saya. Saya berusaha menceritakan film
yang saya maksud untuk memecah keheningan diskusi yang sudah
larut malam itu dengan kelakar orang Ambon tentang “ular besi”
untuk menggambarkan kereta api. Kira-kira seperti ini yang saya
sampaikan:

"Pak Ali dan hadirin yang terhormat, yang akan saya ceritakan
adalah tentang kereta api yang dibangun Amerika Serikat setelah
ditemukannya mesin uap sekitar tahun seribu tujuh ratusan.
Yang diangkat menjadi cerita adalah usaha Amerika untuk
menghubungkan pantai Barat dan pantai Timur yang konon
kabarnya sepanjang Sabang sampai Merauke. Pembangunan ini
adalah salah satu terobosan untuk mencapai Amerika yang lebih
maju. Penemuan kereta api dengan mesin uap itu ditolak banyak
pihak antara lain karena hitam warnanya, berisik ketika berjalan,
dan menakutkan bagi banyak hewan liar maupun piaraan karena
suara mesin uapnya yang kurang segar. Pak Ali dan Bapak sekalian,
sangat menarik karena penolakan banyak pihak tersebut berpuncak
pada pertunjukan dipertandingkannya kereta api itu dengan kuda,
yang merupakan alat transportasi darat utama pada zaman itu. Pada
fase awal, kereta api kalah sehingga mengundang tepuk tangan para
pendukung kuda tunggangan. Namun pada jarak yang lebih jauh,

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

dan lebih jauh, kuda tunggangan kelelahan, sedang kereta api terus
melaju. Pada akhirnya, kemajuan Amerika-lah yang tercapai pada
cerita di film itu. Maaf Pak Ali kalau dirasa terlalu jauh saya bicara,
namun saya berharap kalau Bapak yakin dengan KNPI kita akan
mencapai kemajuan bangsa, pimpinlah kami semua yang ada di
ruangan ini, yang akan mendukung Pak Ali dan KNPI. Pertanyaan-
pertanyaan pasti akan muncul seperti pertanyaan atas mesin uap
itu,"kata saya.

Sontak hadirin bertepuk tangan riuh dan tampak wajah Pak
Ali ceria menggambarkan kepuasannya. Pertemuan ditutup sudah
agak larut malam dan semua berdiri mempersilakan Ali Murtopo
dan rombongannya meninggalkan ruangan lebih dahulu. Kami
barisan belakang yang menunggu beliau melewati barisan kami
berdiri dan menyalaminya. Pak Ali menyalam saya dengan ucapan
terimakasih seraya berucap kepada jajaran DPP-KNPI lainnya, “Ini
322 filsuf kita,”katanya menunjuk saya.

Setelah itu Suryadi, tokoh PDI yang juga salah satu ketua pada
jajaran DPP-KNPI berjalan melewati kami. Sambil menyalam
saya, dia berguman bahwa uraian saya menyinggung perasaan
Subagyo PR, pembicara terakhir sebelum saya. “Kamu bisa dipecat
dari Sinar Harapan karena uraianmu itu,” katanya. Saya mengerti
maksud Suryadi, tetapi di benak saya akan lebih baik kalau teman
dan senior sekantor saya itu tersinggung daripada "orang lain" yang
tersinggung. Selain itu, saya meyakini bahwa hal yang baik harus
saya katakan. Nilai yang saya sampaikan jauh lebih berarti dan harga
nilai itu kadang harus kita bayar mahal.

Saya berkata tentang sesuatu yang mungkin belum dipikirkan
orang lain, uraian atau cerita saya orisinil. Lagipula kami biasa
berdiskusi di depan umum dan kadang berbeda pendapat, tapi justru
untuk mengundang objektivitas dan menghindari menyinggung
perasaan orang lain.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 323
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Rombongan DPP-KNPI malam itu mengapresiasi komentar
dan penampilan serta gaya yang saya tempuh apalagi setelah
mendengar reaksi Pak Ali Murtopo yang sangat disegani dan
dihormati ketika itu. Mungkin apresiasi itu juga yang mendorong
David Napitupulu, Zamroni dan pimpinan teras DPP-KNPI kala
itu untuk mengangkat dan mengutus saya untuk mewakili KNPI
menghadiri Lokakarya Pengamalan Pancasila yang berlangsung di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 30 Maret sampai 2
April 1976. Lokakarya ini diselenggarakan berdasarkan keputusan
Presiden Suharto guna menghimpun pikiran perguruan tinggi
Indonesia membuat rumusan-rumusan Pancasila sehingga semakin
mudah dimengerti masyarakat.

Cukup jauh sebelum lokakarya yang direncanakan, tahun
1974 Presiden Suharto telah mengutarakan pemikiran agar
dilakukan penelitian ilmiah tentang Pancasila. Dengan begitu akan
memungkinkan penyusunan Pancasila, misalnya menjadi suatu
sistim filsafat yang mempunyai posisi dan sifat sendiri yang jelas
terhadap berbagai macam sistem filsafat yang berlaku. Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat juga akan menjadi ilmu induk, sebagai
pangkal dan landasan bagai pengembangan ilmu-ilmu lainnya.

Sebuah kehormatan bagi UGM di bawah pimpinan rektor Prof.
Dr. Sukaji untuk melaksanaan Lokakarya Pengamalan Pancasila
karena saat itu Indonesia sedang mengalami masa perubahan politik
nasional setelah peristiwa malapetaka pemberontakan G30S/PKI.
Slogan politik pada masa itu adalah perlunya semua warga negara
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Saat itu tidak banyak yang mau menjadi peserta lokakarya
mewakili KNPI yang masih dipandang sebelah mata, tapi bagi
saya penunjukan DPP-KNPI menggembirakan karena lokakarya
diselenggarakan di almamater saya, di UGM Fakultas Ekonomi,
Bulaksumur, Yogyakarta. Saya cukup merasa was-was juga karena

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

peserta lokakarya datang dari berbagai perguruan tinggi serta
berbagai pejabat tinggi pemerintahan dari pusat dan daerah-daerah,
sedangkan DPP-KNPI yang saya wakili belum sepenuhnya disambut
masyarakat sejak deklarasi pemuda 23 Juli 1973, namun mendapat
perhatian khusus.

Tetapi karena saya alumni UGM, maka saya merasa cukup
tenang juga secara psikologis. Lagi pula prinsip yang saya pegang
kuat adalah KNPI mewakili kepentingan bangsa dan negara, bukan
kepentingan pribadi. Saya juga terus berusaha untuk simpatik
mengingat posisi politik KNPI yang saya wakili masih terus
diperdebatkan di tengah masyarakat.

Pada salah satu sesi ceramah dari seorang pejabat negara dari

Jakarta terlontar uraian bahwa mereka yang tidak beragama di

tengah-tengah kita dapat berarti tidak pancasilais, dan oleh sebab itu

324 sudah boleh dihukum, katanya. Begitulah pemahaman penceramah
yang barangkali sebagai pejabat sedikit all-out dalam menangkap

slogan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan

konsekuen. Saya tertarik atas uraian pejabat ini dan pada giliran

saya, saya mengomentari uraiannya.

Saya mengatakan bahwa di tengah masyarakat kita ini masih
banyak yang belum beragama seperti agama yang kita pahami.
Mereka adalah saudara kita yang telah berada di Nusantara ini jauh
sebelum adanya agama-agama besar seperti yang kita anut, sebelum
Republik Indonesia terbentuk. Apakah gerakan yang akan terjadi
kalau mereka berpikir seperti uraian penceramah.

Apakah tidak lebih baik dan manusiawi kalau kita dengan
pemahaman dan penghayatan Pancasila, mendekati dan merangkul
mereka yang tidak atau belum beragama ini sebagai saudara sebangsa
dan setanah air dan sebagai negarawan mengayomi mereka untuk
sama-sama membangun negara dan masyarakat Pancasila ini.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 325
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Tepuk tangan cukup panjang menyambut komentar saya yang
mungkin tidak diduga-duga akan keluar dari seorang anggota KNPI.
Lebih lanjut atas nama DPP-KNPI, saya usulkan agar UGM dan
perguruan tinggi lainnya serta kita semua menangkap maksud baik
Presiden Suharto untuk menyusun rumusan-rumusan Pancasila
yang mudah dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat. Saya
berharap lokakarya kita sukses dan lebih memperhatikan kemajuan
bangsa kita berdasarkan Pancasila.

Beberapa hari kemudian, sekembali dari Yogyakarta saya ke
kantor DPP-KNPI. David Napitupulu, Drs. Zamroni dan yang
lain-lain menyampaikan selamat dan apresiasi kepada saya yang
telah melaksanakan tugas dan mendapat pujian dari para pimpinan
dan panitia lokakarya Pancasila.

Mereka bercerita kalau Prof.Dr.Sukaji menelpon menyampaikan
penghargaan kepada DPP-KNPI yang mengutus saya. Saya hanya
menjawab terima kasih karena sudah mempercayai mengutus saya.
Sesungguhnya saya hanya menyampaikan salah satu nilai berbangsa
dan bernegara yang sebenarnya bukan hal baru. Meski begitu dari sisi
politik memang perlu keberanian untuk mengutarakannya dan bisa
juga terlihat saya seolah berseberangan dengan pemerintah. Tetapi
panggilan nurani saya harus mengatakannya, bahwa persatuan
dan kesatuan dari keberagaman suku, ras dan agama atau aliran
kepercayaan adalah modal utama perjuangan bangsa.

Saya sesungguhnya ingin mengajak bangsa yang terjajah 350
tahun ini dengan jujur dan tenang serta berani melihat sejarahnya
sekaligus sejarah Pancasila yang sejak 18 Agustus 1945 telah kita
tempatkan sebagai dasar negara dan kita pahami sebagai falsafah
hidup bangsa. Tetapi beberapa waktu yang lalu sebelum peristiwa
G30S/PKI terjadi, Ketua Umum DN Aidit pernah berkata
“Pancasila adalah alat pemersatu bangsa. Karena kita telah bersatu,
maka Pancasila itu tidak perlu lagi,“ katanya.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Suatu pemahaman yang dangkal dan salah ini adalah salah satu
bukti bagaimana Pancasila belum dipahami secara baik. Melihat
keadaan ini saya makin terdorong untuk mempelajari Pancasila. Saya
pernah membaca kalau Pancasila itu janganlah ditafsirkan begitu
saja. Janganlah digunakan sebagai taktik dan menafsirkannya sesuai
dengan keinginan untuk menguntungkan dirinya atau kelompok,
atau melihat Pancasila sebagai taktik politik belaka, sebagaimana
digunakan PKI.

Sejak 18 Agustus 1945, kita mengenal rumusan Pancasila
sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
326 dalam Permusyarawatan dan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila itu harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat,
yang tidak dapat dipecah pecahkan. Kita tidak dapat menerima
Pancasila hanya karena kita kebetulan menyukai salah satu silanya
dan tidak menyukai sila-sila lainya. Menerima Pancasila itu hanya
sebagai suatu alat. Untuk mencapai suatu tujuan atau sebagai taktik
dalam perjuangan, tidak dapat dibenarkan karena hal itu akan
bertentangan dengan arti dan fungsi Pancasila itu sendiri (Rozali
Abdulah,S.H.,1984).

Pada kenyataannya masyarakat memang memerlukan rumusan
penjabaran Pancasila yang lebih mudah dicerna. Sekitar setahun lebih
setelah Lokakarya Pancasila di UGM Yogyakarta tahun 1976 terbit
buku berjudul “Pandangan Presiden Soeharto terhadap Pancasila”
yang diterbitkan oleh Center For Strategic And International Studies
(CSIS).

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 327
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Dalam sambutannya atas terbitnya buku tersebut, Presiden
Soeharto mengatakan:

“… tantangan masa depan Indonesia yang kita cita-citakan
bersama adalah membangun masyarakat yang maju
berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila, karenanya segala
usaha untuk memahami, mendalami dan memantapkan
penghayatan Pancasila adalah hal yang mutlak untuk
menjamin tercapainya masyarakat yang dicita-citakan itu.
Itulah sebabnya mengapa pendalaman dan penghayatan
Pancasila selalu menjadi perhatian saya. Oleh karenanya
berkali-kali dalam berbagai kesempatan saya ajak untuk
mempelajari, mendalami dan menghayati Pancasila, bukan
untuk meragukan dasar negara dan falsafah hidup bangsa ini,
melainkan untuk memantapkan dan melaksanakanya dalam
kehidupan sehari-hari. Pancasila bukan sekedar angan-angan
indah, melainkan harus dapat kita wujudkan dan kita rasakan
dalam kehidupan nyata sebagai kebahagiaan lahir dan batin.”

Mimpi Presiden Soeharto itu mempunyai alasan kuat, melihat
kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pengorbanan
yang besar sekali karena ketidaksetiaan dan ketidakpahaman bangsa
kita kepada Pancasila. Maka presiden memimpin pemikiran agar
Pancasila dilaksanakan secara “murni dan konsekuen” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Pembangunan Nasional.
Ini berarti bahwa Pembangunan Nasional harus berjalan berdasarkan
Pancasila.

Pada berbagai kesempatan seperti pada pidato kenegaraan 16
Agustus 1975, Presiden Soeharto antara lain mengatakan:

“…saya mengajak masyarakat luas untuk memikirkan dan

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

mengusahakan rumusan-rumusan penjabaran Pancasila itu
yang sederhana dan mudah dimengerti sehingga mudah
dihayati dan diamalkan oleh rakyat Indonesia.”

Pancasila yang dimaksud adalah yang bersumber atau terdapat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea
keempat. Presiden Soeharto menegaskan bahwa hal tersebut telah
disepakati oleh para pendiri republik ini pada 18 Agustus 1945 dan
selanjutnya dikukuhkan oleh ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
yang menegaskan bahwa:

“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan
kemerdekaan terperinci yang mengandung cita-cita luhur
dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang
memuat Pancasila sebagai dasar negara, merupakan satu
rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
328 dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga,
termasuk MPR hasil pemilihan umum…karena mengubah isi
pembukaan berarti membubarkan negara”.

Adapun penjabaran atau penafsiran lebih lanjut adalah sebagai
berikut, yaitu:

Pertama, penafsiran atau penjabaran yang yuridis konstitusional
sebagaimana terdapat pada pasal-pasal dan batang tubuh dan
penjelasan UUD 1945. Serta kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam ketetapan-ketetapan MPR(S) termasuk terutama Garis-
garis Besar Haluan Negara dan dilaksanakan dalam peraturan
perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam
perkembangan dan pelaksanaan selanjutnya, GBHN direalisasikan
dalam bentuk usaha-usaha pembangunan yang nyata sebagaimana
dikenal sebagai REPELITA, dan dalam penerapannya setiap tahun
terangkum dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 329
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Dari penjabaran yuridis-konstitusional ini jelas tampak bahwa
Pancasila tercipta bukanlah semata-mata suatu falsafah abstrak
belaka. Melainkan dan terutama harus dihayati dan dilaksanakan
secara konkret oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian
perwujudan Pancasila harus dilaksanakan secara terus-menerus.

Penafsiran atau penjabaran kedua adalah bahwa memang
diperlukan suatu bentuk penafsiran atau penjabaran Pancasila yang
sifatnya resmi dan mengikat seluruh warga negara guna mengatur
kehidupan bersama dalam republik ini. Dan hal ini terdapat dalam
UUD 1945 serta penjelasannya yang kemudian dilaksanakan dalam
ketetapan-ketetapan MPR(S) terutama yang menyangkut GBHN
serta selanjunya diuraikan dalam peraturan perundang-undangan
ataupun kebijakan pemerintah karena seluruh pasal-pasal yang
terdapat di dalamnya haruslah merupakan perincian pelaksanaan
lebih lanjut daripada Pancasila itu sendiri, yaitu sumber dari segala
sumber (tertib) hukum (Ketetapan No. XX/MPRS/1966)

Pada kesempatan lain, Presiden Soeharto mengatakan, ”Pancasila
bukan dasar falsafah negara yang sekadar dikeramatkan dalam
Pembukaan UUD 1945, melainkan Pancasila harus diamalkan.
Tanpa diamalkan apapun dasar falsafah negara yang kita pakai,
apapun konsepsi yang kita buat, tidak akan berguna dan tidak ada
artinya.” (Pidato Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1967
di Jakarta). Dan untuk mengamalkan serta menghayati Pancasila,
Presiden Soeharto memberikan pedoman penghayatannya,
yaitu Ekaprasetia Pancakarsa. Lebih jauh Presiden Soeharto juga
menyatakan ”Mengapa Pancasila harus diresapi, diyakini, dihayati,
diamalkan dan dipertahankan? karena Pancasila bagi kita adalah
masalah hidup matinya Bangsa Indonesia” (Amanat Presiden
Soeharto, Banda Aceh 30-8-1968)

Selanjutnya, pandangan-pandangan Presiden Soeharto tentang
Pancasila dan pendapat yang berkembang dalam masyarakat tentang

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

penghayatan dan pengamalan Pancasila, bermuara ke dalam Sidang
Umum MPR tahun 1978, sehingga MPR menetapkan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang disebut Ekaprasetia
Pancakarsa, yaitu sebagai berikut:

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
dinamakan Ekaprasetia Pancakarsa yang berasal dari Bahasa
Sanskerta. Eka berarti satu atau tunggal, Prasetia berarti janji atau
tekad, Panca berarti lima, dan Karsa artinya kehendak kuat. Dengan
demikian Ekaprasetia Pancakarsa dalam P4 berarti tekad yang tunggal
untuk melaksanakan lima kehendak. Dalam hubungannya dengan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, lima kehendak yang kuat itu
adalah kehendak untuk melaksanakan kelima sila dari Pancasila.

Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan

tidak tergoyahkan lagi. Pancasila merupakan tekad yang tumbuh

330 dari kesadaran atau merupakan janji terhadap diri sendiri. Tekad ini
merupakan panggilan hati nurani, bukan sesuatu yang dipaksakan

dari luar. Maka itu yang menjadi janji manusia Indonesia kepada

dirinya adalah ”Dengan segala kemauan dan kemampuan selalu

berusaha mengendalikan diri dari kepentingannya, agar dapat

melaksanakan kewajibannya sebagai manusia sosial dan bersama-

sama mewujudkan kehidupan berdasarkan Pancasila.”

Yang terkandung dalam karsa adalah kesadaran akan kodrat
sebagai makhluk pribadi dan makluk sosial, serta kemauan untuk
mengendalikan diri dari kepentingan pribadi. Inilah yang menjadi
modal dan mendorong tumbuhnya karsa pribadi manusia Indonesia
dalam menghayati dan mengamalkan kelima sila dari Pancasila.
Dalam hubungan itu, pemerintah membentuk Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7) untuk menyelenggarakan penataran, baik bagi
pegawai negeri maupun masyarakat umum. Badan ini bertanggung
jawab kepada presiden.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 331
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Sejak itu berkembang pesatlah penataran-penataran dan bahan-
bahan penataran P4 yang dipersiapkan oleh para ahli yang terdiri
dari tokoh-tokoh nasional. Tim dipimpin oleh Sudarmono, SH.
Sebagai penanggung jawab sub-tim Pancasila dipimpin oleh Prof.
Emil Salim, Sub-tim UUD 1945 dipimpin Ismail Saleh, Sub-tim
GBHN dipimpin drs. Cosmas Batubara dan Sub-tim Kewaspadaan
Nasional dipimpin oleh Tjokropranolo, SH.

Dapatlah kita bayangkan berjuta-juta kopi buku bahan
Penataran P4 ini dicetak dan diedarkan sejak 1996 oleh Perum
Percetakan Negara RI. Di kantor Menpora, Menteri Abdul Gafur
dan kelompok kerja merancang Penataran P4 untuk generasi muda
yang didahului para pemimpin pemuda tingkat nasional. Beberapa
peserta penataran pemuda tingkat nasional seperti Akbar Tanjung
dan saya diajukan kepada BP7 pusat agar ditatar bersama pimpinan-
pimpinan tingkat nasional lainnya menjadi Manggala BP7 Pusat
yang diselenggarakan di Istana Bogor. Gus Dur, yang kelak menjadi
Presiden RI, juga salah satu peserta penataran di Istana Bogor ini.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
332

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta,
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7
333

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
334

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 335
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Menjadi Manggala BP7

Penugasan para Manggala diawasi oleh BP7. Salah satu bentuk
pengawasan itu ialah memasang sirkuit TV di ruangan pimpinan
BP7 pusat, sehingga Manggala yang bertugas menatar atau
berceramah harus serius. Saya sendiri pernah merasa diawasi dengan
pengamatan langsung ketika untuk pertama kalinya memberi
ceramah selama 2 jam tentang Bab II, yaitu Latar belakang perlunya
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang terdiri dari:

1. Pengalaman sejarah
2. Mengemban tugas ke masa depan, yang antara lain perlunya

penanaman nilai kepribadian dalam pembangunan;
pergantian generasi; babak pembangunan; perkembangan
dunia dan perwujudan Pancasila sebagai panggilan sejarah.

Saya ingat, dalam dua jam persis saya bisa menyelesaikan
seluruh Bab II dan rupanya hal itu memuaskan para Manggala
senior, setidaknya dari segi ketepatan waktu dan konten ceramah.
Pengamatan/penilaian mereka kemudian disampaikan ke BP7 di
Pejambon. Konon kabarnya, penilaian inilah yang membuat mereka
memutuskan untuk menempatkan saya dalam daftar penceramah
untuk bidang P4 di Istana Bogor yang berlangsung sekitar 2 minggu
full time dengan SK yang disebut Keppres 111.

Manggala BP7 pusat berisikan tokoh-tokoh pemimpin pemuda,
pemimpin partai politik, pemimpin lembaga kemasyarakatan seperti
Gus Dur, David Napitupulu, Akbar Tanjung, Albert Hasibuan,
Siswono, dan masih banyak lagi dari partai Golkar, PDI, maupun
PPP, semuanya ada dalam buku daftar Manggala BP7 Pusat. Tapi
dalam perkembangannya, tidak semua atau bahkan tidak banyak
dari 111 orang Manggala itu yang ditugasi BP7 Pusat, sehingga
dapat diduga segi politis dari pengangkatan mereka jadi Manggala
BP7 pusat lebih dominan, atau bisa juga karena kesibukan mereka

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

sehingga tidak memungkinkan menjalankan tugas berceramah yang
padat. Mereka yang berasal dari pimpinan pemuda tingkat nasional
lebih banyak ditugaskan untuk penataran pemuda tingkat nasional
di Cibubur.

Penugasan Manggala BP7 Pusat yang baru biasanya diamati
oleh Manggala BP7 senior. Berdasarkan pemantauan itulah
selanjutnya para Manggala BP7 Pusat yang berasal dari penataran
pemuda tingkat nasional di Istana Bogor ditugaskan untuk menatar
kelompok-kelompok masyarakat dan perguruan tinggi selain
kelompok pemuda tingkat nasional Cibubur.

Penugasan untuk menatar itu didasarkan pada kesukarelaan

penatar dengan imbalan yang tidak signifikan. Waktu penugasan ke

Cibubur misalnya, uang absensi saja sudah habis untuk membayar

biaya tol, karena saya harus bolak-balik ke Cibubur bila bertugas

336 untuk pendalaman bahan penataran. Namun hal ini saya kenang
sebagai suatu kesukarelaan yang bersemangat. Saya mencatat

suatu diskusi yang selalu dinamis pada sesi acara ceramah maupun

pendalaman P4, khususnya pada Penataran Pemuda Tingkat

Nasional Cibubur. Hal ini terjadi karena kami selalu mengaitkan

pekerjaan ini dengan tugas dan tanggung jawab pemuda sebagai

penerus perjuangan bangsa, penerus cita-cita perjuangan nasional.

Terkadang tensi diskusi bisa juga “meninggi” apabila sampai
kepada topik sikap kepemimpinan Pancasila yang mencakup
prinsip-prinsip perilaku pemimpin seperti:

a. Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti keseluruhan sikap,

tingkah laku dan perbuatan seorang pemimpin harus sesuai

dengan norma yang berlaku sehingga orang-orang yang

dipimpin menjadikannya sebagai teladan, panutan, dan

mengikutinya.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 337
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

b. Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti seorang pemimpin
harus mampu memotivasi dan membangkitkan tekad serta
semangat orang-orang yang dipimpinnya untuk berswakarsa,
berkreasi, dan mempunyai niat kuat untuk berbuat.

c. Tut Wuri Handayani, yang antara lain berarti seorang
pemimpin harus mampu mendorong dan mengedepankan
orang-orang yang dipimpinnya seraya membekalinya dengan
rasa percaya diri.

Sikap-sikap tersebut mendorong kepribadian bangsa, mentalitas
mandiri serta sikap pertisipatif dalam usaha-usaha bersama.

Demikian juga jika diskusi sampai kepada pengendalian diri
dan kepentingan yang dikaitkan dengan kasus korupsi. Terkadang
peserta penataran yang masih muda bicara lugas tanpa tedeng aling-
aling, sehingga penceramah maupun Manggala pendalaman harus
bisa memberi jawaban bijaksana, misalnya bahwa penyusunan P4
bukanlah sekali jadi melainkan telah melalui proses, bahkan proses
panjang. Ibarat kita mendengar khotbah yang baik kemudian
setelah berpisah, kita lupa. Oleh sebab itu dikatakan perlunya
urutan berpikir dan pemahaman mulai dari “mengetahui”,
“menghayati”, dan “mengamalkan” Pancasila itu. Dalam bahasa lain
dikatakan perlunya proses internalisasi dan sosialisasi secara sadar
dari nilai-nilai yang dikemukakan dalam P4. Agar pelaksanaan itu
berhasil, perlulah diadakan upaya yang sungguh-sungguh dengan
memperhatikan kondisi budaya masyarakat Indonesia, cita-cita,
tantangan dan masalah yang dihadapi.

Pada hampir semua penugasan BP7 kepada saya, baik untuk
ceramah maupun tugas pendalaman penataran P4, kalau diminta
memilih, saya akan memilih Bab II yaitu latar belakang perlunya
P4. Bab II mengandung dimensi sejarah perjuangan bangsa merebut

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan
untuk mengejar ketertinggalan Bangsa Indonesia dari negara-
negara yang telah lebih dahulu maju dan moderen. Menurut
hemat saya, pembangunan kita harus berorientasi ke masa depan.
Pancasila diamalkan untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur, mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih
dahulu menjadi negara maju, dan bila mungkin dengan loncatan
pembangunan, sehingga Bangsa Indonesia tidak terus berada pada
ekor bangsa-bangsa maju dunia dan tidak terus menderita sebagai
negara underdeveloped, produk penjajahan selama 350 tahun.

Untuk itu kita harus mampu melihat dan menggunakan sifat
pluralistik masyarakat Indonesia sebagai kekuatan bangsa seperti
adanya 1.340 suku bangsa dan 1.158 bahasa daerah, berbagai
agama seperti Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha
dan penganut kepercayaan, adanya sistem hukum nasional, agama
338 dan adat, adanya sistem kerabat patrilineal, matrilineal, parental dan
adanya sistem perkawinan monogami, poligami. Selain itu, kita juga
harus menjauhkan diri dari perilaku pemimpin yang menonjolkan
politik identitas yang memecah belah bangsa.

Sejarah telah mencatat bahwa keberagaman itu berhasil
memfungsikan pluralisme bangsa untuk perjuangan membangun
Bangsa Indonesia. Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang
mempersatukan bangsa dalam pemikiran “Satu Nusa, Satu Bangsa,
Satu Bahasa” menjadi embrio Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, embrio ciri-ciri kehidupan perjuangan moderen dengan
organisasi dan persatuan bangsa. Sejarah telah mencatat betapa
Bangsa Indonesia tidak berkutik mengusir penjajah dengan berperang
sendiri-sendiri dan dengan cara–cara konvensional. Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 telah menginspirasi para pejuang bangsa
bahwa hanya dengan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal
pokok, dan teknik serta cara yang modern, seia sekata, kebersamaan
sepenanggungan seperasaan dan nasionalisme kebangsaanlah yang

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 339
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

bisa membawa bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Tidak ada satu golongan, satu suku, satu ras atau satu agama pun
yang dapat bertepuk dada dalam perjuangan usaha pencapaian dan
perjuangan kemerdekaan indonesia, dan seluruh Bangsa Indonesia
bangga atas keadaan dan sikap nasional kebangsaan tersebut.

Semangat perjuangan bangsa kita itu telah dibayar mahal baik
dalam bentuk tenaga, darah, jiwa raga, maupun siksaan penjara
yang diderita para pejuang bangsa kita. Para pemimpin pergerakan
kemerdekaan, the founding fathers, pendiri dan para pejuang bangsa
kita banyak yang telah meraih dan menyandang gelar pendidikan
seperti dokter, insinyur, meester in rechten (master of law),
doktorandus dan lain-lain. Kalau saja mereka hanya menginginkan
kesenangan pribadi, menjadi pegawai kaum penjajah, pasti mereka
bisa makmur secara material. Tetapi mereka memilih penjara
bahkan mengorbankan jiwa raga demi martabat saudara-sudaranya
sebangsa dan setanah air, demi kehidupan bangsanya yang lebih
baik seperti rakyat bangsa-bangsa lain yang telah merdeka dan maju
lebih dahulu, bermartabat dan peradaban tinggi.

Saya mengundang hadirin untuk mengunjungi Taman Makam
Pahlawan yang tersebar di Sabang sampai Merauke. Saya katakan
bahwa batu nisan-batu nisan yang tidak berjiwa dan berbadan
itu meninggalkan pesan kepada setiap kita untuk melanjutkan
perjuangan mereka. Kita yang mewarisi perjuangan mereka harus
mampu membaca kesaksian di Taman Makam Pahlawan tersebut.
Siapa pun kita, kita adalah penerus cita-cita perjuangan Bangsa
Indonesia dan Pancasila. Kepada kita sudah disediakan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dapat kita artikan dan
tangkap sebagai pesan para pejuang. Tergantung bagaimana kita
menangkap jiwa pesan itu dan bagaimana mengamalkannya melalui
pembangunan nasional bangsa, melalui tingkah laku dan perbuatan
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, perkataan
dan perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Suatu waktu saya mengikuti penataran juru kampanye Golkar
untuk menghadapi Pemilu 1987 di Hotel Sahid Jakarta. Ketika itu
seorang ibu separuh baya yang menjadi peserta penataran terlihat
menangis tersedu-sedu. Belakangan saya tahu, ibu itu adalah keluarga
pejuang kemerdekaan dan beliau emosional mendengar pidato saya.
Melihat itu, selesai saya berpidato, dr. Arifin Siregar beserta timnya
yang menjadi pembimbing, pembina dan penilai penataran juru
kampanye ini mendekati saya dan berkata, “Kalau begini Golkar
akan menang mutlak.” Saya dengar dari Theo Sambuaga bahwa
“boss” kami di DPP Golkar, Pak Sukardi (mertua Pak Theo) juga
mengomentari pidato itu setelah mendengar penilaian dr. Arifin
Siregar dan timnya.

Sebetulnya tekanan pidato saya itu juga terarah ke Golkar
sendiri, partai terbesar yang berlandaskan karya dan kekaryaan
dan yang telah mengklaim dirinya sebagai agen pembaharuan yang
340 bertekad mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, menciptakan demokrasi Pancasila yang benar dan sehat,
yang akan menggunakan kemenangan Golkar untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Tujuan bersama yang akan dicapai itu telah
diterakan para founding fathers yaitu merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur seperti tertera pada alinea kedua pembukaan
UUD 1945.

Untuk mencapai maksud dan tujuan bersama itu, Pembangunan
Nasional harus kita lipatgandakan dengan orientasi ke depan,
ke arah Indonesia yang kita cita-citakan, menempuh jalan maju
karena jalan mundur tidak tersedia. Untuk maksud itu telah
dipergumulkan secara amat mendalam oleh para pendiri bangsa
kita, bahwa idiologi yang menjamin perwujudan nilai-nilai dasar
falsafah bangsa kita adalah Pancasila, suatu pilihan dengan tekad
dan keyakinan sempurna bahwa idiologi individualisme, liberalisme
maupun marxisme-komunisme sama sekali tidak cocok dengan jiwa
dan kepribadian bangsa indonesia.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 341
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Namun demikian sebagian dari elit bangsa kita tidak sabar
menunggu hasil idiologi sendiri, hasil Pembangunan Nasional yang
mengamalkan Pancasila disamping ketidaksabaran menunggu hasil
penelitian ilmiah Pancasila, sehingga terumus menjadi idiologi yang
utuh sehingga secara sadar atau tidak sadar sebagian elit bangsa
kadang-kadang terjerumus pada politik identitas, isu agama, ras atau
etnik, sehingga terjadi fragmentasi rakyat yang menggerus ikatan
kebangsaan, amandemen UUD1945 dan lain-lain yang bermuara
pada perubahan sistem kenegaraan kita, yang tidak sesuai dengan
Pancasila.

Maka dapat dikatakan bahwa betapapun Bangsa Indonesia
telah meyakini kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa dan dasar negara, namun dalam perjalanan
sejarah masih terdapat usaha-usaha dari pihak tertentu untuk
menyelewengkannya. Hal ini terlihat dari adanya usaha-usaha untuk
memperdebatkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan
dasar negara sehingga membawa bangsa kita ke jurang perpecahan.

Di samping itu tidak jarang pula ada usaha-usaha yang lebih
ekstrim untuk mengganti Pancasila melalui jalan pemberontakan,
seperti pemberontakan Madiun tahun 1948, Pemberontakan
DI/TII, Pemberontakan G30S/PKI dan lain-lain. Tidak kurang
pula usaha-usaha untuk menyelewengkan dan memutarbalikkan
kebenaran Pancasila sesuai dengan tujuan dan maksud-maksud
tertentu. Mereka menerima Pancasila tidak lebih dari alat untuk
menyelundupkan idiologi mereka sehingga lahirlah yang disebut
Nasakom yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang pada
hakekatnya bertentangan dengan jiwa Pancasila itu sendiri. Kalau
hal ini dibiarkan berlarut-larut, akhirnya Pancasila itu hanya akan
menjadi sebuah nama, tanpa makna.

Maka apabila direnungkan dan dipikirkan secara matang,
Pancasila walaupun diakui sebagai pandangan hidup bangsa dan

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

dasar negara, sebenarnya belumlah dihayati dan diamalkan oleh
Bangsa Indonesia secara baik dan benar. Oleh karena itu dicari
jalan serta langkah-langkah konkret agar Bangsa Indonesia tanpa
kecuali dapat menghayati dan mengamalkan Pancasila itu dalam
kesehariannya. Inilah pengalaman sejarah yang merupakan salah
satu latar belakang perlunya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4).

Latar belakang lainnya menyangkut tugas di masa depan. Di
atas telah diutarakan bahwa dengan proklamasi kemerdekaan, kita
menghendaki kesetaraan dengan bangsa-bangsa di dunia yang telah
maju dan moderen lebih dahulu. Kita tidak mau terus menjadi
ekor bangsa-bangsa tersebut dan oleh sebab itu kita harus maju
terus dengan melipatgandakan pembangunan berdasarkan Pancasila
sehingga terwujud suatu masyarakat adil dan makmur, maju dan
modern berlandaskan Pancasila.

342 Pembangunan adalah suatu gerak perubahan dari suatu
masyarakat menuju masyarakat yang lebih maju dan modern.
Dalam hubungan itulah kita harus menerima ilmu pengetahuan
dan teknologi-teknologi dan keterampilan dari luar untuk tidak
tenggelam oleh zaman. Dalam proses masuknya ilmu pengetahuan,
teknologi dan keterampilan tersebut, sadar atau tidak biasanya juga
diikuti oleh masuknya nilai-nilai sosial dan politik kebudayaan
asing. Hal ini harus disikapi dengan hati-hati, jangan sampai
masyarakat maju dan modern yang kita bangun itu menjurus
ke westernisasi, tidak lagi berlandaskan kepribadian kita sendiri.
Masyarakat kita haruslah tetap menjadi masyarakat Indonesia
yang memiliki kepribadian Pancasila. Oleh karena itu kita harus
mampu menyaring budaya asing yang masuk ke tanah air kita, dan
penyaring yang paling tepat adalah Pancasila yang dihayati dan
diamalkan oleh segenap bangsa Indonesia dengan baik dan benar.
Untuk mencapai hal itu, perlu diciptakan suatu pedoman untuk
mencegah timbulnya penyimpangan atau penyelewengan Pancasila

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 343
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

itu. Pedoman inilah yang secara bijaksana diciptakan oleh MPR
kita melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 yang berisikan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
bukanlah tafsir Pancasila sebagai dasar negara, karena penafsiran
resmi Pancasila adalah UUD 1945. P-4 merupakan penuntun sikap
dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara
serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik
di pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.

Terdapat 5 kunci pokok ketika kita mempelajari P4, yaitu :
1. P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup bagi sikap

dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat dan kehidupan bernegara.
2. Pedoman tersebut didasarkan atas kemampuan dan kelayakan
manusiawi, artinya dapat dilaksanakan manusia Indonesia.
3. Pedoman ini dikembangkan dari kodrat manusia sebagai
makluk pribadi dan makluk sosial yang menyadarkan kita
bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam hubungan
dengan manusia lainnya.
4. Dalam hubungan ini diajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan
hidup akan terasa jika dapat dikembangkan keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan. Dalam hubungan dengan
sesama manusia, manusia dengan masyarakat, dengan Tuhan,
dan lingkungan dalam hubungan bangsa-bangsa.
5. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pangkal tolak penghayatan
dan pengamalan Pancasila adalah kemampuan seseorang
mengendalikan dirinya, agar dapat melaksanakan kewajibannya
sebagai warga negara dan warga masyarakat.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Dari kelima kunci pokok tersebut, yang merupakan kunci utama
adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya dan
kepentingannya. Seandainya setiap warga mampu mengendalikan
dirinya dari pengaruh hawa nafsu untuk mementingkan diri sendiri
atau golongannya dan dapat melaksanakan kewajibannya sebagai
warga yang baik, maka akan terjadilah suatu masyarakat yang berjiwa
Pancasila. Kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam kerangka
kesadaran kewajibannya sebagai makluk sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih
besar dari kepentingan pribadinya.

Pengamalan Pancasila itu dapat pula berupa pengalaman
“subyektif ”, yaitu pengamalan yang dilakukan oleh subyek atau
manusia-manusianya, yang tercermin pada tingkah lakunya. P-4
sebagai tuntunan dan pegangan hidup bagi bangsa Indonesia sudah
barang tentu menghadapi beberapa kendala.

344 Sejumlah tokoh, putra-putri bangsa cendekiawan, akademisi
bahkan negarawan, telah merinci P4 sebagai tuntunan dan pegangan
hidup bagi bangsa Indonesia yang melahirkan beberapa kewajiban
moral yang harus ditaati oleh setiap warga negara Indonesia.
Terdapat 36 butir kewajiban-kewajiban moral yang merupakan
penjabaran dari sila-sila Pancasila itu sendiri. Kemudian 36 butir
kewajiban moral tersebut dirinci lagi sehingga menjadi 93 kewajiban
moral yang antara lain; Sila pertama - 10 kewajiban; Sila kedua -
19 kewajiban; Sila ke-3 - 16 kewajiban, Sila ke-4 - 27 kewajiban,
dan Sila ke-5 - 21 kewajiban moral. (Rozali Abdullah, SH dalam
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, 1984).

Hal ini menggambarkan betapa makin luasnya tugas dan
tanggung jawab Manggala BP7 yang diikuti penggarisan dan
pernyataan Prasetya Manggala yang meliputi fungsi sebagai
pendidik, juru bicara negara, panutan, pemimpin, dan sebagai
kader Pancasila dan patriot bangsa yang sekaligus menjadi kode etik

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 345
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Manggala BP7. Dari segi tanggungjawab berbangsa dan bernegara,
tidaklah berlebihan apabila LetJend Moerdiono, Menteri Sekretaris
Negara saat itu, menyebut Manggala sebagai “korps” inti yang
mempersonifikasikan nilai-nilai ideologi Pancasila itu.

Sejak penataran calon Manggala BP7 tahun 1986 di Istana
Bogor, fungsi mereka sudah ditanamkan yaitu sebagai pelaksana
tugas penataran, yang berarti bertugas untuk melakukan sosialisasi
nilai dan pengkajian pengembangan nilai-nilai itu secara dinamis.
Dalam ceramahnya pada penyegaran penatar tingkat nasional/
Manggala BP7 Pusat, 12 Desember 1988 di Jakarta, LetJend
Moerdiono mengartikan Manggala sebagai panglima yang bertugas
mulia.

Semua pemahaman, pengertian dan butir-butir kewajiban moral
dan kode etik atau Prasetia Manggala BP7 pusat tersebut menurut
pendapat saya harus ditanamkan secara mendalam secara konsekuen
dan konsisten kepada seluruh lapisan masyarakat, diajarkan pada
lembaga-lembaga pendidikan bangsa dari tingkat bawah sampai
pendidikan tinggi di pusat sampai ke daerah-daerah. Dengan begitu,
pengamalan tersebut menjadi seperti “paduan suara” yang dilakukan
secara nasional dan struktural demi tercapainya masyarakat bangsa
Pancasila. Perilaku dan pembangunan bangsa seperti itulah yang
akan membawa Bangsa Indonesia menjadi setara dengan bangsa-
bangsa maju di dunia.

Didorong oleh tugas keManggalaan, saya mengikuti banyak
kegiatan yang erat berkaitan dengan P4. Salah satunya adalah
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) tahun 1995/1996 yang
diselenggarakan Departemen Hankam selama beberapa hari di Jalan
Merdeka Barat. Sebelumnya saya ikut memimpin kegiatan seminar
nasional, sosialisasi gerakan displin nasional yang diselenggarakan
oleh alumni pendidikan politik pemuda tingkat nasional di kantor
Menpora dalam rangka menyongsong Pembangunan Jangka Panjang

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Tahap II (PJPT) 25 tahun mendatang. Sarasehan yang berlangsung
29 – 30 Mei 1995 itu menghadirkan beberapa menteri seperti
Menko Polkam Susilo Sudarman, Ir. Hartarto, Prof. Dr. Muladi,
Gubernur Lemhanas dan lain-lain sehingga gaung politiknya untuk
generasi muda cukup tinggi.

Di samping itu di kantor Menpora telah terbangun Satuan Tugas
Nasional Pemuda (SatGasNas Pemuda) yang berintikan nilai cinta
tanah air dan solidaritas sosial, kegiatan yang mewujudkan sila-sila
Pancasila dalam rangkaian nilai-nilai dasar, nilai-nilai instrumental
dan nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan yang menyangkut
kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan dan kasih sayang. Dalam
semangat itu pulalah saya sumbangkan tulisan terbatas kepada DPP
Golkar menyongsong Pemilu 1977 berupa penanaman wawasan
kebangsaan sebagai salah satu aspek pendidikan politik rakyat.
Tulisan itu saya sajikan secara terbatas sebagai pengantar diskusi sub
346 Poksipol II DPP Golkar dimana saya jadi anggotanya.

Dalam kesungguhan dan penuh semangat, pada November 1986
dirumuskanlah secara otonom peranan yang hendak dipikul oleh
para Manggala sendiri. Lahir dari relung hati nurani para Manggala,
lahirlah kode etik atau yang disebut juga Prasetia Manggala yang
berisi sebagai berikut:
1. Sebagai pendidik memasyarakatkan P4 atas dasar keyakinan

dan kebenaran Pancasila sebagai pendangan hidup, jiwa dan
kepribadian bangsa, dasar negara dan ideologi nasional.
2. Sebagai juru bicara negara menyampaikan dan menyerap
informasi obyektif, benar dan konstruktif demi kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
3. Sebagai panutan memberikan suri tauladan dalam bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta, 347
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

4. Sebagai pemimpin memberikan pengaruh dan pengarahan
kepada petatar dan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-
Undang 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara.

5. Sebagai kader Pancasila dan patriot bangsa senantiasa berdiri
di barisan paling depan dalam memahami, menghayati,
mengamalkan serta mengamankan dan melestarikan Pancasila.

Jangan sampai ideologi Pancasila kehilangan relevansinya. Kita
harus berjuang agar kenyataan hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara benar-benar merupakan refleksi dari cita-cita yang
dirumuskan dalam Pancasila. Semakin besar kesenjangan antara
kenyataan hidup dengan rumusan ideologis, maka semakin besar
bahaya irelevansi yang dihadapi oleh ideologis itu.

Presiden Soeharto pernah menyatakan adanya sinyalemen bahwa
bahaya terhadap Pancasila tidak saja timbul dari mereka yang hendak
meniadakan pancasila, tetapi juga bisa dari diri kita sendiri yang
secara formal mendukung Pancasila, tetapi tidak mengamalkannya
dalam kehidupan. Disinilah peranan para Manggala BP7 yaitu
sebagai dedicated guardian of our national ideology. Untuk maksud itu
dan untuk mendukung tugas mulia para Manggala BP7 ini, nilai-
nilai Pancasila yang sudah kita terima melalui rangkaian konsensus
nasional, perlu disistematisasi menjadi ideologi terpadu, koheren
dan taat asas.

Kalau kita jujur melihat sejarah, Bangsa Indonesia sungguh
beruntung mempunyai Pancasila pada masa 1945, di tengah-tengah
tarikan dan pengaruh idiologi maju berkembang seperti paham
individualisme dan konsumerisme. Pertama-tama, dapat kita jumpai
Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI yang mengajukan
pertanyaan tentang dasar negara yang akan didirikan, yang tentunya
mengguncang sidang BPUPKI. Bersyukurlah kita memiliki putra
bangsa yang luar biasa, Bung Karno, yang saat itu memberi jawaban
mengagumkan tentang Pancasila dan uraian-uraiannya.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Pada diskusi pendalaman penataran P4 untuk pemuda, saya
menyatakan bahwa bangsa ini harus jujur melihat dan menilai
sejarah tersebut. Diskusi-diskusi dangkal pihak tertentu seolah
mengecilkan pikiran luar biasa Bung Karno dengan mempersoalkan
siapa yang menemukan Pancasila. Bung Karno beberapa kali
mengatakan bahwa dia menggalinya dari bumi dan jiwa Bangsa
Indonesia setidaknya antara 1925 – 1928. Berlian digali dari
pertambangan dan setelah itu diasah menjadi benda yang harganya
selangit, sehingga apa perlu dipertanyakan siapakah penambang
yang menemukan berlian tersebut? Tentu saja tidak, karena berlian
itu sudah ada di perut bumi sebelum digali.

Demikian pula dengan Pancasila, saya hanya menggalinya dari
bumi dan jiwa bangsa Indonesia, begitu kata Bung Karno. Dengan
logika dan cara berpikir cemerlang itu, BPUPKI menemukan dasar
negara yang dipertanyakan Ketua Radjiman. Pancasila yang digali
348 Bung Karno itulah yang ditetapkan sebagai dasar negara pada
tanggal 18 Agustus 1945.

Tahun 1988, jumlah Manggala BP7 sudah mencapai 2,265
orang. Idiologi mana pun selalu membutuhkan adanya suatu
korps inti yang mempersonifikasikan nilai-nilai idiologi itu. Maka
2,265 orang ini diharapkan secara berkesinambungan memikirkan,
baik rumusan maupun sosialisasi dan pengamalan, dari rumusan
nilai yang dikandung idiologi itu. Masalah nilai adalah masalah
mendasar, karena itu haruslah ditangani serius, tidak bisa asal-asalan
saja. Untuk itu perlu adanya kelompok pemelihara dan pengembang
nilai-nilai itu, yang sejak awal sudah kita sebut sebagai Manggala
atau Panglima. Tanpa pengkajian dan pengembangan nilai Pancasila
dalam kehidupan masyarakat kita yang berubah dengan amat cepat,
Pancasila sebagai idiologi akan tertinggal oleh perubahan. Dan jika
hal ini terjadi, dampaknya jelas akan berkonotasi idiologis, yang
selanjutnya akan mendorong orang untuk mencari idiologi alternatif
yang sejak awal kita tolak dan yang secara konstitusional telah

Mengikuti Lokakarya Pengamalan Pancasila di UGM Yogyakarta,
Penataran P4 untuk Pemuda dan Menjadi Manggala BP7

Ketika bertugas sebagai Penatar tingkat Nasional atau Manggala BP-7 bersama Manggala BP-7 349
senior, Pak Supardjo, 12 Februari 1985.perjuangan bangsa.

dilarang seperti ditetapkan MPR RI dalam Tap XXV/MPRS/1966
yang melarang idiologi Marxisme–Leninisme untuk hidup di Tanah
Republik Indonesia.

(Foto atas dan bawah) Bersama kelompok masyarakat dan perguruan tinggi yang menjadi
peserta penataran. Melakukan tugas penataran sifatnya sukarela, imbalan pun tidak
signifikan, tapi saya senang dengan diskusi-diskusi yang berlangsung selama penataran dan
saya melihat pekerjaan ini sebagai panggilan untuk meneruskan perjuangan bangsa.

z

BAB DUA PULUH

Dicalonkan Golkar
Pada Pemilu Legislatif
(1977, 1982, 1997)

Saya ragu dan bimbang untuk kembali berpolitik mengingat
pengalaman waktu memenuhi ajakan Sabam Sirait ke PDI
Sumatera Barat sebagai unsur Parkindo. Saat itu saya ditempatkan
sebagai calon nomor 1 PDI Sumatera Barat, tapi ternyata Pak
Gobel tidak setuju dengan pencalonan saya itu. Saya membacanya
di sebuah artikel di surat kabar, yang sampai sekarang pun saya
masih ingat kata-katanya yang menyakitkan sekali. “Kambing yang
diminta, babi yang dikirim,” katanya menyindir keputusan partai
yang mencalonkan saya, kemungkinan karena pengaruh Sabam
Sirait yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDI.

Saya benar-benar kaget karena saya kira tidak ada lagi pikiran
seperti itu dalam partai politik Abad XX yang notebene partai
nasionalis dan saya anggap rendah. Teman-teman juga mendorong
saya menerima pencalonan tersebut dengan alasan kerja sama
organisasi kekristenan di Yogyakarta yang dikenal sebagai "Wali

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Songo" (GSKI, GMKI, GAMKI, PWKI, Pertakin, Kespekri, IKIK,
dan Parkindo). Bahkan sebelumnya, sebagai unsur Parkindo, saya
ditempatkan Parkindo DKI pimpinan TAM Simatupang dan
Parulian Silalahi menjadi Sekretaris Cabang PDI Jakarta Selatan.
Namun akhirnya saya memutuskan untuk menarik diri dan secara
tertulis saya menyatakan pengunduran diri saya dari PDI.

Pada suatu ketika, Aulia Rachman, orang Golkar di DPP
KNPI mendekati saya dan menyarankan agar saya pergi ke gereja
dan bersyukur. Ketika saya tanya ada apa, Bung Aulia mengatakan
"Golkar akan mencalonkan Amir Sirait pada pemilu mendatang
untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur." Sebelumnya, David
Napitupulu juga telah memberikan tanda kalau saya mendapat
perhatian, khususnya sejak diskusi di Gedung Antara, Menteng.

Maksudnya adalah perhatian Pak Ali Murtopo, sang arsitek

352 pembaharuan politik organisasi masyarakat dan kepartaian. Saya
jujur mengakui bahwa saya belum mengerti banyak tentang politik

saat itu. Saya hanya melayani dan menginginkan persatuan dan

kesatuan sebagai modal nasional untuk melakukan Pembangunan

Nasional, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Berbincang dengan Letjend (Purn) Ali Moertopo di salah satu acara KNPI. Duduk di
sebelah kanan saya, Akbar Tandjung dan Soerjadi.

Dicalonkan Golkar Pada Pemilu Legislatif (1977, 1982, 1997) 353

Pancasila, seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, serta menginginkan kemajuan bangsa.

Peristiwa ini saya informasikan kepada Sabam Sirait yang
dulu mengajak saya ke PDI. Dia tidak menghalangi maksud itu
bahkan menasihati agar saya bertanya kemana saya akan "dibawa"
Golkar. Ajakan David Napitupulu, Aulia dan teman-teman lain di
kepengurusan KNPI akhirnya menjadi kenyataan tatkala Golkar
secara resmi mencalonkan saya di Daerah Pemilihan Jawa Timur
bersama Posdam, Sarwoko dan Thomas Manurung. Saya memegang
Kartu Anggota Golkar Nomor 09010000097.

Anehnya, saya menjadi semacam juru bicara calon-calon yang
didrop dari Jakarta, bukan karena saya aktivis Golkar tetapi karena
saya adalah aktivis KNPI yang turut menandatangi Deklarasi
Pemuda 23 Juli 1971 yang melegenda itu.

Sebelum Sidang Lengkap Golkar Jawa Timur yang
diselenggarakan di Pandaan ditutup, Ketua DPD I Golkar Jawa
Timur, Pak Said, meminta sidang mendengarkan sambutan calon-
calon yang dikirim dari Jakarta. Semua mata tertuju kepada saya
yang saat itu cukup grogi karena saya orang luar Jawa Timur, orang
Batak pula. Saya hanya tahu "mangguk" khas orang Jawa berdasarkan
pengalaman hidup di Yogya, namun pengetahuan Bahasa Jawa saya
minim sekali. Para peserta yang hadir pasti tahu kalau banyak pihak
melihat pengaruh Ali Murtopo, Letnan Jenderal TNI Angkatan
Darat itu, dalam menentukan 4 atau 5 orang dari Jakarta yang
menjadi bakal calon Anggota DPR dari Jawa Timur itu.

Akhirnya saya naik podium untuk memberi sambutan mewakili
teman-teman dari Jakarta. Demikian kira-kira sambutan yang saya
berikan saat itu:

”Ketua DPD Golkar Jawa Timur Bapak Moh. Said yang kami
hormati, Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pimpinan DPD I dan II se-Jawa

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Timur, Pimpinan Organisasi Pemuda dan Wanita Golkar Jawa Timur
serta Ibu, Bapak sekalian yang saya hormati, Assalammualaikum
Warahamatulahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera bagi kita semua,
selamat malam.

Saya melihat sambutan atas salam saya bersahabat sehingga
saya tegar melanjutkan sambutan. Kami mengikuti dengan sungguh-
sungguh dan menggeluti persidangan Golkar se-Jawa Timur ini dan
menyambut Strategi Pemenangan Pemilu yang Bapak-bapak/Ibu
rumuskan. Kami akan dengan tekun mengikuti dan melaksanakannya,
karena semua yang bapak-bapak rencanakan dalam konteks daerah ini
masih baru bagi kami. Keputusan persidangan ini adalah perintah
bagi kami. Kami menunggu dan mengharapkan petunjuk-petunjuk
dan bimbingan lebih lanjut dari Bapak Ibu sekalian karena Bapak
Ibulah yang paling mengetahui dan menguasai daerah ini dalam
arti seluas-luasnya. Kami sungguh-sungguh merupakan pendatang
354 yang merindukan petunjuk, bimbingan dan bentuan dari Bapak/Ibu
sekalian untuk turut beroperasi di lapangan yang kami juga belum
kuasai. Memang kami yang dari Jakarta telah lulus dengan baik
mengikuti Penataran Juru Kampanye yang baru berakhir di Hotel
Sahid Jakarta, akan tetapi penataran itu hanya teoritis sedangkan yang
praktis Bapak Ibulah yang menguasainya.

Bapak/Ibu sekalian yang terhormat,
Perkenankanlah saya dan teman-teman dari Jakarta mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya karena Bapak Ibu telah berkenan
menerima kami untuk turut menjadi calon Golkar di daerah ini. Kami
tahu masih banyak kader-kader Golkar lainnya yang pantas ikut atau
mungkin lebih pantas daripada kami, tetapi Bapak Ibu menerima kami
apa adanya sebagai putera bangsa yang datang dari jauh. Sejarah akan
mencatat bahwa Golkar Jawa Timur telah menunjukkan diri sebagai
Golkar Daerah Perjuangan Surabaya Kota Pahlawan 10 November
yang menampung putra-putra bangsa, anak-anaknya dari mana pun
sebagai Putera Indonesia, suatu sikap yang luar biasa.


Click to View FlipBook Version