Masa Kecil di Parongil, Dairi 5
kembali perjalanan memilukan yang kami lalui pada malam itu,
lima puluh tahun lalu...
Tapi keadaan sudah jauh berbeda, kawasan yang kami lalui
itu tak lagi seseram dulu. Kini arus deras sungai Lae Renun yang
mengerikan itu dimanfaatkan sebagai salah salah satu lokasi wisata
olahraga arung jeram.
Kembali lagi ke perjalanan kami sekeluarga menuju tepi Danau
Toba. Di tengah jalan saat malam gelap gulita itu, saya ingat tiba-
tiba ayah mengatakan kalau dia harus kembali ke Polling karena ada
barang penting yang ketinggalan di sana.
Beberapa saat setelah berpisah jalan dengan ayah, tampak
di kejauhan dua orang laki-laki muncul dari kegelapan dari arah
yang berlawanan. Ketika berpapasan dengan kami, mereka berhenti
mengamati kami sedemikian rupa, lalu mengatakan sesuatu dalam
Bahasa Batak yang pada dasarnya menanyakan, “Suaminya dimana?”
atau “Kemana bapaknya?”
Pertanyaan yang mengerikan.
Bagaimana tidak? Saya dan Bismark hanya dua anak kecil, Hilda
kakak perempuan saya remaja saat itu, dan ibu saya perempuan
bertubuh mungil yang tidak akan kuat melawan dua laki-laki ini
kalau mereka punya niat jahat.
Tapi ibu dengan tenang saja menjawab mereka. Ibu bilang
kalau ayah kami sedang pergi sebentar mengambil barang yang
ketinggalan. Tak lama kedua laki-laki itu pun pergi meneruskan
perjalanannya.
Setelah ayah kembali bergabung bersama kami, barulah saya
tahu barang yang ketinggalan itu adalah bantal! Begitu pentingnya
bantal, sampai ayah harus menempuh perjalanan panjang kembali
untuk mengambilnya. Kami pun melanjutkan lagi perjalanan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
panjang bersama-sama hingga akhirnya pagi hari kami mencapai
area di bibir Danau Toba, yaitu Pantai Paropo Silalahi.
Tentu saja sekarang kondisinya sudah berbeda dengan yang
saya ingat, meskipun keindahannya tetap sama. Paropo Silalahi kini
telah menjadi lokasi wisata yang ramai pengunjung. Dari Paropo
Silalahi, keindahan Danau Toba tampak begitu memesona. Begitu
indahnya, area ini disebut-sebut sebagai "Sepotong surga di pinggir
Danau Toba."
6
Pantai Paropo Silalahi, tempat kami dulu menunggu kapal untuk menyeberang ke
Balige, setelah semalaman lelah berjalan kaki. Kini Paropo Silalahi menjadi lokasi
wisata di Danau Toba.
Kami beristirahat sebentar di sini. Di tengah hari, kami kakak
beradik berlari-lari kecil memetik buah harimonting yang banyak
tumbuh subur di kaki bukit. Buahnya berwarna ungu dan manis
rasanya, lumayan untuk "mengganjal" perut sebelum melanjutkan
perjalanan yang saya tidak tahu berapa lama lagi.
Masa Kecil di Parongil, Dairi 7
Suatu saat di masa depan, mungkin sekitar tahun 80-an, saya
kembali lagi ke tempat ini, dijamu Mayjen Purnawirawan Haposan
Silalahi di rumahnya yang terletak di pinggir pantai Paropo.
Rumahnya menghadap Danau Toba dan terlihat sebuah speedboat
terparkir di teras. Kami bercerita panjang lebar tentang politik.
Pak Silalahi mengatakan kalau untuk mencapai rumahnya itu, ia
harus berjalan ratusan meter jauhnya. Ia mengeluh betapa susahnya
mengambil hati warga daerah itu agar mau menjual rumah mereka,
padahal ia sudah sampaikan berapapun harga yang diminta, ia akan
bayar. Jika rumah-rumah itu sudah dibeli, maka ia bisa membuat
akses jalan menuju rumahnya. Tapi seperti yang dikatakannya,
warga sekitar tidak mau menjualnya. Saya pikir juga begitu; selama
tetangga bapak ini masih miskin, mereka tidak akan mau menjual
rumahnya kepada orang kaya seperti beliau. Lantas saya bergurau,
“Kalau begitu Pak Silalahi naik speedboat saja agar bisa leluasa pulang
pergi ke rumahnya yang bagus itu.”
Kembali ke kisah perjalanan keluarga yang tidak mungkin saya
lupakan itu...
Kapal motor membawa kami mengarungi Tao Silalahi (Danau
Silalahi) yang membentang amat luas. Untuk menggambarkan
luasnya, di kalangan masyarakat Batak ada anekdot ”Tao Silalahi na
so hahabangani lali” atau bisa diartikan begitu luasnya Danau Toba
Silalahi, elang pun tidak bisa melintasinya.
Kapal motor itu tiba di Balige keesokan malamnya. Sebenarnya
saya tidak benar-benar tahu apakah kapal itu menuju Porsea atau
Balige, karena saya tidak tahu hari apa kami berangkat. Yang saya
tahu, setiap pekan pada hari Rabu, ada pasar di Porsea dan setiap
hari Jumat, ada pasar di Balige. Pada hari-hari itu, setiap kapal pasti
menuju salah satu pasar. Kemungkinan kami harus tiba sore itu
di tepi Tao Silalahi untuk mengejar perahu yang akan berlayar ke
Porsea menuju sungai Asahan atau Balige.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Ilustrasi Perjalanan
8 dari Polling
Meniuju Pasea
Betul saja perhitungan ayah saya, kami tiba tepat waktu dan
berhasil menumpang sebuah kapal. Semua berjalan lancar, tapi
di tengah jalan, kapal itu tiba-tiba mogok. Para penumpang pun
bergumam dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Salah satu
awak kapal mengatakan kapal sedang melalui bagian danau yang
berwarna merah. Lalu awak kapal itu minta ijin Ibu untuk meminjam
baskom yang kami bawa. Lalu saya lihat Ibu memberikan baskom
itu sambil berdoa.
Ternyata, baskom itu dipakai untuk mengambil air dari bagian
danau yang berwarna merah. Setelah itu, kapten kapal menyuruh
Masa Kecil di Parongil, Dairi
9
semua penumpang meminum air dari baskom itu. Dan tak lama,
kapal motor itu pun kembali melaju dan wajah para penumpang
terlihat lega.
Saya hanya mengamati, masih tidak mengerti apa yang barusan
terjadi. Yang saya tahu, Ibu saya pekerja keras dan anggota gereja
yang taat, setiap hari Minggu dan Kamis dia selalu menampakkan
diri ke gereja. Ketika saya tanya soal minum air danau tadi, Ibu
menanggapinya dengan dingin saja, tidak benar-benar menjelaskan
apapun tentang kejadian itu. ”Ido ito uhumna,”kata Ibu singkat.
Maksudnya, begitulah "aturan"nya, mereka yang melewati kawasan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
ini haruslah minta ijin. Tidak jelas minta ijin kepada siapa, tetapi
legendanya, air yang diciduk tadi adalah bagian air yang terlihat
merah yang ada di tengah danau ini.
Sore hari menjelang malam, kami mencapai daratan. Kami lalu
naik sado (dokar/andong) kira-kira 30 kilometer menuju kampung
halaman kami: Lumban Simatombak, Sibadihon, Nagatimbul.
Ayah, Ibu, Hilda, saya, dan Bismark pun tiba, disambut haru oleh
sanak saudara di kampung kami, memasuki rumah warisan yang
sedang ditempati keluarga adik ayah saya, keluarga Benjamin dan
Inanguda boru Hutajulu.
Tak lama segera tersiar kabar bahwa orangtua saya yang
dahulu diberangkatkan ke Sidikalang, Dairi, hari ini telah kembali
memasuki rumah peninggalan nenek moyang.
Rumah ini adalah rumah tertua di Lumban Simatombak, yang
10 diapit dua Ruma (rumah yang besar) dan berhadapan dengan tiga
Sopo (rumah yang relatif lebih kecil daripada Ruma, tapi memiliki
fungsi tersendiri).
Jadi begitulah, sekembalinya kami ke kampung halaman,
Ayah dan ibu kembali bertani lagi layaknya penduduk umumnya.
Sayangnya, tak lama setelah kami memulai kembali kehidupan di
kampung, kami mengalami kedukaan. Adik saya, Bismark, jatuh
sakit. Kami tidak tahu apa penyakitnya, dan saat itu sulit mencari
pengobatan medis. Setelah bertahan berhari-hari, Bismark pergi
meninggalkan kami. Saya ingat, bersama adik saya itu, kami dengan
pedih menyusuri 70 km dari Polling ke pinggir Danau Toba, kadang
Bismark berlari-lari kecil di perbukitan Dairi. Tapi itulah rencana
dan jalan Tuhan yang kita sembah serta taati, kami harus menerima
kenyataan itu.
Setelah kepergian Bismark, kami dikaruniakan Tuhan lagi
seorang anak laki-laki lagi yang diberi nama Herbert. Tetapi Herbert
Masa Kecil di Parongil, Dairi 11
pun meninggal dalam keadaan bayi kecil. Dengan keadaan itu,
sayalah satu-satunya anak laki-laki yang masih hidup. Ompung Boru
(Nenek - Ibu dari ibu saya) begitu pilu memandang nasib kami,
khususnya putri sulungnya yang berkali-kali kehilangan anak;
Bismark, Herbert, dan dua orang lagi abang saya yang lain, yang
meninggal sebelum kami merantau.
Beberapa tahun kemudian, Ibu mengandung lagi dan
melahirkan seorang bayi perempuan yang kami beri nama Rensy,
nama yang diambil dari nama tetangga kami di Polling. Jadilah kami
tiga bersaudara yang tersisa; Hilda, Amir, dan Rensy.
Menurut cerita orang-orang, waktu kecil saya pun berulang kali
terancam maut, hanya saja Tuhan berkehendak lain, saya selalu lolos
dari marabahaya.
Desa Sibadihon di Nagatimbul, tempat saya tinggal, letaknya
tidak jauh dari Sibatu, kampung tempat tinggal Ompung Boru saya.
Ompung Boru tinggal bersama Tulang, paman saya yang adalah
kepala kampung di kawasan itu.
Konon ketika saya lahir, orang-orang yang datang melihat saya
melihat seperti ada yang tidak beres dengan saya. Mereka bilang
mata saya tidak terbuka. Panik mendengar omongan orang-orang,
Bapauda saya langsung meluncur ke Sibatu untuk memberitahu
kabar mengenaskan ini kepada ompung saya bahwa cucunya terlahir
dalam keadaan buta. Mendengar berita itu, sontak ompung bergegas
pergi menuju rumah kami dengan perasaan kacau.
Dari luar rumah sudah terdengar sayup-sayup suara ompung
yang berteriak-teriak melepaskan kesedihannya. Sambil memasuki
rumah kami, ompung menghentakkan kakinya keras-keras ke lantai
seperti menyesalkan apa yang terjadi.
Sampailah akhirnya ompung melihat saya secara langsung yang
sedang terbungkus kain dan dalam kondisi sempurna. Mata saya
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
terbuka, saya tidak buta! Hatinya pun langsung lega. Meski begitu
paman saya tetap kena omelan karena telah menyebarkan hoax kalau
saya buta.
Kejadian lainnya adalah ketika saya remaja dan terkena malaria
tropikana yang saat itu memang sedang mewabah di Medan dan
Lubuk Pakam. Seharusnya saya dibawa ke Medan untuk pertolongan
medis yang lebih baik, tapi mungkin karena sudah putus asa,
kakak saya mengambil keputusan untuk membawa saya pulang ke
kampung di Simatombak. Setibanya di rumah, saya dikelilingi sanak
keluarga yang menangisi saya. Mungkin mereka berpikir kalau anak
laki-laki satu-satunya ini juga akan “pergi”.
Beberapa hari kemudian saya dibawa ke Desa Silimbat (kira-
kira 10 km dari Porsea) karena di sana ada dukun terkenal yang bisa
menyembuhkan orang sakit.
12 Setelah "mendiagnosa" saya, sang dukun menyuruh kami
untuk mengambil air dari mata air yang ada di bawah pohon
beringin besar yang ada di kampung itu. Air di dalam botol itu lalu
ditambahkan Utte Mukkur, sejenis jeruk yang dipercaya masyarakat
bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Saya menuruti saja saran dukun tersebut untuk meminumnya
sampai habis. Benar saja, beberapa hari kemudian saya memang
sembuh.
Masa Kecil di Parongil, Dairi 13
J
Cerita Tentang Ayahku
Ibu menikah dengan ayah saya, Frederick Sirait,
seorang laki-laki yang berkarakter unik. Beliau adalah
anak desa, tapi tidak suka dengan kehidupan desa.
Misalnya saja, tidak seperti umumnya orang lain,
Ayah tidak suka makan ikan asin, yang pada masa itu
merupakan makanan standar penduduk desa. Kalau
kebetulan sedang di kampung, dia akan pergi berburu
untuk memenuhi seleranya, dari musang, kucing,
sampai babi hutan. Apapun, asal bukan ikan asin.
Di wilayah kami, ayah dikenal sebagai seorang
pemberani dan penjudi ulung. Dia sering merantau
ke berbagai daerah, khususnya ke Humbang di Dairi,
Sumatera Timur. Maka dari itu teman-temannya
memanggil dia “Juara Humbang”, sebutan untuk orang
yang berani (mungkin jaman sekarang disebut preman).
Di Dairi, seperti banyak dilakukan rakyat Toba
saat itu, Ayah manombang (mencari pekerja sampingan
secara musiman).
Pencari kerja musiman menjadi cerita menarik
karena yang dimaksud musiman di sini bukan menerima
pekerja pada musim tertentu, tetapi pergi ke daerah lain
pada saat pekerjaan pokok di kampung dapat ditinggal.
Pekerjaan pokok itu antara lain menanam padi di
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
sawah. Ketika masa tanam selesai, orang-orang mulai
bergegas mencari pekerjaan ke luar daerah. Begitu juga
saat musim panen selesai, mereka bisa meninggalkan
pekerjaan bertani satu sampai dua bulan.
Di sana mereka menggarap perkebunan yang
banyak dijumpai di Sumatera Timur, seperti perkebunan
tembakau di Deli Serdang, perkebunan kelapa dan
kelapa sawit serta karet di Tanjung Balai, Teluk Nibung,
Rantau Prapat dan sekitarnya.
Saat masih anak-anak, kami sering melihat
saudara sekampung yang pergi bekerja ke kawasan
Tanjung Balai, Teluk Nibung. Di sana mereka bertugas
untuk membabat semak belukar yang mengerubungi
14 pohon-pohon kelapa kopra yang mengganggu
pertumbuhannya.
Selama masa itu, mereka membangun gubuk
bersama, tempat mereka tinggal sampai pada hari
pembagian upah. Upahnya dihitung berdasarkan jumlah
pohon yang dibersihkan. Biasanya dalam satu sampai
dua bulan mereka bisa pulang kampung membawa
sebagian upah yang tersisa. Walaupun namanya sisa,
jumlah uang yang dibawa sudah amat berarti untuk
memenuhi kebutuhan keluarga di kampung.
Mereka kembali ke kampung halaman bukan
berdasarkan upah yang terkumpul di kantongnya,
tetapi berdasarkan perhitungan bahwa musim kerja
bertani di kampung halaman sudah tiba; apakah itu
Masa Kecil di Parongil, Dairi 15
musim mencangkul untuk siap menanam padi atau
musim panen ketika padi di sawah sudah menguning.
Jadi sebelum waktu bekerja tiba, mereka sudah harus
pulang.
Suatu hari, waktu itu saya masih sekolah di kelas 3
Sekolah Rakyat Nagatimbul, saya melihat ayah sedang
mengumpulkan beberapa keranjang ayam yang katanya
akan dijual "ke Timur" (Sumatera Timur). Sejak hari
itu, hingga lebih dari dua tahun kemudian, kami
sekeluarga tidak pernah melihat dia lagi. Meski kami
sempat bertanya-tanya kenapa ayah tidak kunjung
pulang, kami tidak pernah membahas keberadaannya.
Termasuk ibu.
Sejak kepergian ayah, ibulah yang mengolah sawah.
Pekerjaan berat yang sebenarnya tugas laki-laki, diambil
alih oleh ibu tanpa mengeluh, demi kelangsungan
hidup anak-anaknya.
Pada masa membajak sawah, ibu dibantu kakak
saya, Hilda dan tulang saya. Dari pukul lima pagi mereka
sudah bekerja di sawah. Saya bertugas menggiring
kerbau ke sawah dan memasang kuknya. Sehabis
membajak, saya menggiring kerbau naik ke Gunung
Sulanti setinggi mungkin agar kerbau mencari makan
di sana. Sore hari sepulang sekolah, saya menjemput
kerbau itu di kaki gunung.
Jika diingat kembali, rasanya tidak masuk akal, ibu
saya, perempuan yang berperawakan mungil itu mampu
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
mengolah beberapa bidang sawah -- lebih luas dari
rata-rata sawah yang diolah tetangga sekampung, yang
terdiri dari lima kepala keluarga. Kemungkinan sawah-
sawah ini atau setidaknya sebagian besar adalah warisan
orang tua ayah saya. Ayah adalah anak tertua, sehingga
kemungkinan besar ia mendapat warisan sawah yang
lebih luas, selain sawah yang dibeli sendiri oleh ibu.
Selama ayah pergi, ibu ditopang oleh adik laki-
lakinya yang merupakan seorang kepala kampung,
sosok terpandang di Sibatu dan wilayah sekitarnya.
Sibatu hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari tempat
tinggal kami, mengarah ke kaki perbukitan Gunung
Sulanti.
16 Tulang saya itulah yang membantu Ibu menggarap
sawah di masa yang lebih berat, yaitu masa panen.
Masa panen adalah masa kritis, kami harus bekerja
tepat waktu, karena kalau perhitungan meleset bisa rugi
besar. Padi menguning harus disabit dan dikumpulkan
ke luhutan (gundukan padi yang disabit) dan pada
waktu yang tepat akan didege (dipisahkan antara bilur
padi dari batangnya).
Selain membantu Ibu, tulang juga bertindak
layaknya seorang ayah. Saya menyaksikan bagaimana
ia mengambil alih tugas ayah saya yang saat itu
menghilang tanpa kabar. Tulang melindungi kami secara
sosial ekonomi dan memberikan kasih sayang seperti
kami anak-anaknya sendiri. Saya sangat menghargai
kebaikannya karena bisa dibilang kami tidak sempat
Masa Kecil di Parongil, Dairi 17
menikmati kasih sayang dari seorang ayah.
Tulang saya itu luar biasa, ia memikul tanggung
jawab atas keluarganya dan keluarga kakaknya. Kami
semua menangis pilu menyaksikan penderitaannya
ketika disiksa barisan harimau liar BHL karena ia
dianggap melindungi saudaranya, dianggap feodal dan
bekerja sama dengan penjajah.
Barangkali peristiwa itu berkaitan dengan keadaan
bangsa kita pada permulaan kemerdekaan, yang
diwarnai pemberontakan PKI Madiun. Selain itu ada
juga beberapa revolusi sosial di kawasan Toba, yang
membuat pejabat zaman penjajahan seperti tulang saya
menjadi korban gerakan pasukan Harimau Liar.
Tulang saya adalah seorang pemberani dan disegani
di sekeliling kawasan kampung kami. Masih sempat
saya saksikan bagaimana bekas Barisan Harimau Liar
menyembah sujud di kakinya, memohon ampun.
Saat itu keadaan berbalik, banyak anggota BHL yang
dikejar-kejar. Saya sungguh merasa berdosa kepadanya,
karena di tengah kasih sayang dan pelukannya kepada
saya sebagai keponakan tertua, saya terkadang masih
tidak sepaham dengannya.
Dalam penerbangan Japan Airlines menuju Tokyo
pada tahun 1972, saya menulis surat untuk tulang. Saya
berharap surat itu bisa mengobati kesedihannya ketika
mendengar saya gagal sekolah ke Jepang beberapa
waktu lalu.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Tulang saya yang amat baik itu bernama Pipin
Sitorus. Sekitar tahun 1979, tulang dipanggil Tuhan.
Dengan perasaan amat emosional saya menghadiri
pemakamannya di kampung halamannya di Sibatu. Air
mata saya tak berhenti mengalir menyadari tulang, yang
sudah seperti ayah saya itu, sudah pergi.
“Inilah tulangmu, sudah pergi memakai setelan jas
yang baru-baru ini kau beri,” kata istrinya, nantulang
saya, dengan amat memilukan.
"Selamat jalan tulang, aku bersyukur Tuhan
memberiku kesempatan untuk mengantarkanmu,
maafkanlah aku. Terpujilah Tuhan," demikian doa saya
saat itu di depan jenazahnya.
18
J
Jalan Panjang Mencari
Ayah Yang Hilang
Suatu ketika di tahun 1950, datanglah kabar
tentang ayah saya. Dari mulut ke mulut, kami
mendengar informasi kalau ayah sedang sakit keras di
pedalaman Teluk Nibung, Tanjung Balai, Sumatera
Masa Kecil di Parongil, Dairi 19
Timur. Daerah itu sering kami dengar sebagai salah
satu kawasan perkebunan kelapa tempat banyak rakyat
Toba manombang, tapi dimana letak persisnya, tidak
ada yang tahu.
Tidak ada satupun dari kami yang sedih mendengar
berita itu. Baik Ibu, maupun kami anak-anaknya. Saya
sendiri tidak merasa memiliki hubungan kasih sayang
layaknya anak dan ayah seperti keluarga lain di desa ini.
Jadi rasanya datar saja. Meski begitu, saya tetap ingat
kalau dia adalah ayah saya.
Saat itu kebetulan ada satu kelompok yang akan
berangkat manombang ke kawasan Teluk Nibung.
Seseorang yang saya panggil tulang, mengusulkan agar
saya ikut bersama rombongannya itu untuk mencari
ayah. Sontak seluruh keluarga gempar mendengar
usulannya. Bagaimana saya yang masih anak kecil kelas
3 Sekolah Rakyat bisa ikut dalam perjalanan begitu jauh,
belum lagi di kawasan itu sedang mewabah penyakit
malaria. Ibu, kakak dan adik saya pun mentah-mentah
menolak gagasan itu.
Tapi kami semua tahu, tulang itu, Letong Sitorus
namanya, bermaksud baik. Idenya mungkin bisa
membahayakan nyawa saya, tapi itu muncul didasari
rasa kasih sayang. Menurutnya, jika saya datang, ayah
akan terdorong untuk kembali pulang ke rumah dan
kalaupun ayah tidak mampu melawan penyakitnya,
biarlah ia meninggal di kampung halamannya.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Saya sebenarnya takut juga mendengar usulan
itu, tapi kemudian saya ingat cerita orang tentang
tulang Letong. Konon pada masa pemerintahan
Belanda, tulang ini pernah membunuh orang lantaran
cekcok dengan keluarganya dan karena itu dia sempat
mendekam di Nusa Kambangan. Setelah mengingat
kisah itu, saya jadi merasa lebih aman kalau harus pergi
bersama mereka, karena ada paman saya itu, "alumni"
Nusa Kambangan yang amat disegani di kawasan Toba.
Jika dirunut secara silsilah, tulang Letong termasuk
golongan Hula-hula (kelompok tertinggi yang amat
dihormati pada struktur kekerabatan masyarakat
Batak), sehingga kami pun yakin dia tidak akan berbuat
20 yang tidak baik terhadap saya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ibu
mengijinkan saya pergi bersama mereka. Dengan
berurai air mata, ibu melepas saya, anak laki-laki semata
wayangnya, untuk mencari ayah kami. Ia berpegang
pada apa yang menjadi rencana Tuhan baginya.
Pagi harinya, rombongan berangkat dari Sibadihon
dekat Porsea dan tiba di Pematang Siantar sekitar pukul
12.00. Ketika turun dari bus, saya kira kami sudah
sampai tujuan karena saya tidak dapat membayangkan
tujuan perjalanan ini.
Ternyata kami turun di Pematang Siantar itu
untuk mencari bus sambungan lagi menuju Tanjung
Balai. Setibanya di Tanjung Balai, saya pikir kali ini
Masa Kecil di Parongil, Dairi 21
kami sudah sampai karena saat itu hari sudah hampir
malam, ternyata kami masih harus menumpang bus
lagi menuju Teluk Nibung dan sampai di sana pada
malam hari. Sekali lagi, saya pikir akhirnya kami sudah
sampai, tapi ternyata dari situ kami harus melanjutkan
perjalanan lagi dengan berjalan kaki, terus masuk
menuju pedalaman Teluk Nibung melalui jalan setapak
tanpa penerangan sama sekali.
Jalan setapak itu terasa begitu panjang seperti
tidak ada ujungnya. Kami berjalan dalam gelap gulita
menyusuri jalur sungai yang mengalir di sisi sebelah
kiri kami. Sekali-kali terdengar suara gemericik air
dari dalam sungai itu. Saya dengar celetukan anggota
rombongan yang mengatakan (barangkali bergurau)
bahwa itu bukan suara loncatan ikan, tapi buaya, yang
banyak populasinya di kawasan ini...
Waktu saya duduk di Kelas 2 SMA BOPKRI I
Yogyakarta tahun 1958, saya pernah membaca headline
Surat Kabar Kedaulatan Rakyat tentang Teluk Nibung.
Kawasan ini jadi terkenal pada zaman pemberontakan
PRRI pimpinan Kolonel Simbolon karena pelabuhannya
dipakai untuk menyelundupkan kopra. Saat pelajaran
Ilmu Bumi, saya mengatakan kepada teman-teman
sekelas kalau waktu kecil saya sudah pernah ke Teluk
Nibung, entahlah mereka percaya atau tidak.
Setelah berjam-jam berjalan kaki seperti tiada
akhir, kami tiba di depan sebuah rumah. Saat itu
sudah larut malam, lama sekali kami mengetuk pintu
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
rumah berharap ada yang mendengar kami. Akhirnya
dari dalam ada yang bertanya siapa kami. Setelah
rombongan, enam orang termasuk saya, masing-
masing menyebut nama, penghuni rumah membuka
pintu. Luar biasa, kami bisa menemukan keluarga yang
dicari ini untuk tempat istirahat dan mencari informasi
tentang pekerjaan. Dalam keadaan lunglai kami semua
merebahkan diri pada sepasang tikar yang digelar di
lantai kayu.
Saya pikir saat itulah saya akan bertemu ayah, tapi
sungguh malang ternyata bukan di tempat ini. Malam
itu saya bukan hanya amat lelah tapi juga bercampur
jadi sedih karena saya tidak ada bayangan sama sekali
22 dimana saya harus mencari ayah atau bagaimana
keadaannya sekarang.
Setelah membicarakan berbagai hal, saya dengar
rombongan dan tuan rumah kemudian membahas
tentang ayah saya. Saya sendiri tidak diajak bicara, hanya
memasang telinga. Rombongan menyebutkan ciri-ciri
ayah saya, dan tuan rumah mengatakan bahwa ada laki-
laki bermarga Sirait dengan ciri-ciri yang diutarakan itu
yang pernah datang ke rumah ini. Ibu pemilik rumah
itu memberi petunjuk agar kami menapaki jalan setapak
lagi, menyusuri sungai kira-kira satu hari lagi.
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan
sesuai dengan arahannya. Sepanjang jalan, di sisi kiri
atau kanan, saya tidak melihat yang lain kecuali pohon
kelapa. Sejauh mata memandang hanya ada pohon
Masa Kecil di Parongil, Dairi 23
kelapa yang seolah membentuk lautan pohon kelapa.
Pohon-pohon itu kelihatan sudah bersih dari
rumput ilalang yang tumbuh liar di sekitarnya.
Pohon kelapa dibersihkan dengan alat khusus, sampai
pada waktunya nanti buah kelapa dipetik dan diolah
menjadi kopra dan dijual ke seantero dunia sebagai
minyak kelapa. Tugas membersihkan ilalang dari pohon
kelapa inilah yang menjadi pekerjaan rombongan yang
membawa saya itu.
Akhirnya kami sampai juga pada daerah yang
dikatakan ibu pemilik rumah tempat kami beristirahat
tadi malam. Saat itu waktu mendekati maghrib, dan
terlihat beberapa kelompok pekerja bersiap-siap pulang
setelah selesai bekerja hari itu.
Dan benar apa yang dikatakan ibu tersebut. Salah
satu kelompok pekerja itu adalah kelompok ayah saya.
Saat itu ayah tidak terlihat diantara mereka, tapi teman-
temannya yang mendengar cerita kami itu pun gempar.
Mereka memandangi saya seolah tak percaya ada anak
kecil yang masuk ke hutan belantara untuk menjemput
ayahnya.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
J
Menemukan Ayah dan Kehilangannya Lagi
Malam itu, kami akhirnya bertemu. Setelah berpisah
lebih dari dua tahun, saya melihat ayah lagi. Wajahnya
lesu, jelas sekali terlihat dia sedang sakit. Ayah memeluk
saya ringan dan terasa ia menahan berat tangis yang
membendung. Bagaimana perjumpaan kami terjadi
hari itu, tentu dia tidak bisa membayangkan. Saya pun
tidak. Saya sendiri tidak tahu harus bicara apa, saya
hanya merasa senang setelah perjalanan yang begitu
panjang, saya bisa menyaksikan kalau Ayah saya masih
24 hidup.
Saya mendengar teman-teman Ayah mendorongnya
untuk pulang kampung karena “jemputan” anak
kecil ini. Nampak mereka saling berbisik yang saya
simpulkan sebagai perencanaan untuk menggalang
biaya perjalanan kami kembali ke kampung.
Langsung saja terbayang lagi perjalanan panjang
kembali ke rumah... Ini berarti saya harus menempuh
perjalanan 3 hari lagi! Walaupun saya tidak mengerti
caranya, saya yakin bersama ayah, saya akan aman
dalam perjalanan. Hanya saja saya kasihan melihat ayah
yang sedang dalam keadaan tidak sehat.
Kita sering mendengar cerita tentang bagaimana
semangat hidup seseorang bisa mengubah keadaannya.
Masa Kecil di Parongil, Dairi 25
Hal ini saya saksikan sendiri kebenarannya. Dalam
keadaan sakit, Ayah bangkit dari tidurnya dan bergegas
pergi membawa saya. Kami menempuh jalan setapak
selama 2 hari menuju Teluk Nibung, lalu ke Tanjung
Balai, lalu ke Pematang Siantar dan akhirnya sampai ke
Porsea, kampung kami. Demikianlah saya saat itu, anak
sekolah 3 SD yang tidak punya apa-apa, pengetahuan
pun tidak memadai, harus membawa Ayah saya yang
sakit menempuh perjalanan yang amat panjang.
Kami tiba di rumah pada malam hari. Gemparlah
seisi kampung kami yang kecil dan miskin itu. Sambil
menatap kami berdua, mereka menangis, terlebih Ibu
saya yang begitu lama terisak-isak. Ia menangisi saya,
bukan suaminya yang boleh dikatakan sudah tidak dia
harapkan lagi.
Karena kondisi ayah masih sakit, secepatnya
keluarga mencarikan pengobatan darurat. Belum ada
dokter kala itu, tapi banyak orang percaya pada seorang
tenaga kesehatan yang terkenal manjur di Porsea, mantri
Tampubolon namanya. Ayah pun dibawa berobat ke
tempat mantri Tampubolon. Tapi sayangnya, beberapa
bulan setelahnya, kesehatan ayah makin memburuk.
Ayah yang baru saya temukan, setelah melalui
perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, hari
itu meninggalkan saya lagi.
Tubuh ayah dibaringkan di tengah rumah besar
kami. Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah
orang-orang tua membuka bubungan rumah persis di
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
atas pandangan matanya.
Hari itu kami bertiga; saya, kakak saya Hilda, dan
adik saya Rensy, secara formal disebut maliali (anak
yang tidak punya Ayah lagi). Saya katakan secara
formal, karena secara aktual sesungguhnya sudah lama
kami ditinggalkan Ayah, hanya bergantung pada Ibu
yang tidak mengenal lelah dan sepanjang ingatan saya,
tidak pernah jatuh sakit. Hari itu juga, Ibu saya secara
formal menyandang status sebagai janda, meski pada
kenyataannya ia telah lama membesarkan kami tanpa
suaminya.
Sepeninggal ayah, Ibu saya, tertua dari lima saudara,
terus menjadi teladan dan tempat bertanya di kampung
26 kami, Lumban Simatombak. Terlebih khusus bagi kami
anak-anaknya, Ibu selamanya menjadi sosok yang saya
kasihi dan banggakan.
J
Ibu, Pahlawan Yang Nyata Dalam Kehidupanku
Ibu saya, Carolina boru Sitorus adalah putri seorang Kepala
Kampung pada zaman penjajahan Belanda. Abangnya juga seorang
Kepala Kampung dan adiknya, Pipin Sitorus, dikenal sebagai sosok
yang disegani di kawasan kampung kami.
Ayah saya sering pergi merantau ke berbagai daerah untuk
menambah penghasilan dan membiarkan Ibu bekerja sendiri untuk
Masa Kecil di Parongil, Dairi 27
menghidupi kami tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Tersimpan
di memori saya, suatu hari ada seseorang datang bersama pejabat
setempat ke rumah untuk menagih hutang ayah saya. Saat itu, kami
pun tidak tahu menahu tentang keberadaan ayah. Ibu tidak punya
uang untuk membayarnya, sehingga yang bisa dilakukan adalah
menyandangkan ulos (mangulosi) kepada orang yang berpiutang itu
sambil menangis. Lalu kami semua menangis melihat ibu menangis.
Itulah caranya meminta maaf atas perbuatan Ayah saya dengan
ucapan terima kasih. Untungnya, pejabat setempat memahami
keadaan kami dan menerima permintaan maaf Ibu.
Meskipun saat itu saya masih kecil, saya bisa mengerti
penderitaan batin Ibu saya, tapi malangnya tak ada yang bisa saya
perbuat. Saya hanyalah anak kecil yang ingin cepat-cepat jadi orang
dewasa. Keinginan psikologis yang saya sadari lama kelamaan
merusak batin saya.
Ketika sudah cukup umur (menurut standar orang kampung)
kakak perempuan saya, Hilda, melepas masa lajangnya. Ia menikah
dengan Lukas Manurung, seorang veteran, putra Kepala Kampung
Lumban Tonga-Tonga. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai 10
orang anak; 7 laki-laki dan 3 anak perempuan. Waktu buku ini
ditulis, abang ipar saya berumur 93 tahun (lahir 5 Desember 1927),
sementara kakak saya telah lebih dulu berpulang pada usia 73 tahun
(lahir tahun 1932).
Kakak saya dikenal cantik dan pintar, setidaknya di lingkungan
muda-mudi gereja di kawasan Nagatimbul. Dia ditarik ibu dari
sekolah untuk memberikan kesempatan kepada saya, anak laki-laki
satu-satunya yang masih hidup, untuk bersekolah.
Sebagai boli (mas kawin), keluarga Manurung menyerahkan
dua ekor kerbau dan seekor sapi, yang nilainya tinggi pada masa itu.
Dengan kerbau itu, ibu jadi lebih mudah untuk membajak sawah.
Membajak sawah dengan kerbau umumnya adalah pekerjaan laki-
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
laki, tetapi tugas itu dilakukan Ibu demi kami anak-anaknya. Pada
masa bajak, sejak pukul lima pagi ibu sudah bekerja di sawah.
Saya bertugas menggiring kerbau itu ke tempat membajak dan
memasang kuk pada kerbau. Sehabis membajak, saya menggiring
kerbau itu naik ke Gunung Sulanti setinggi mungkin dan sore hari
sepulang sekolah, saya jemput kerbau itu yang sudah turun ke kaki
bukit. Begitulah kehidupan saya sehari-sehari semasa sekolah. Di
rumah, saya membaca buka-buku pelajaran dengan lampu minyak
tanah (dalam bahasa Jawa disebut sentir atau teplok).
Dalam kondisi seperti itu, orang tidak tahu apa yang bergejolak
di dalam hati saya. Tetapi kala itu saya tergolong anak sekolah yang
mudah terpancing untuk berkelahi bahkan dengan yang badannya
jauh lebih besar dari saya.
Pada zaman itu di sekolah sering terjadi "adu jotos" yang
28 direncanakan ramai-ramai pada jam istirahat dan dilaksanakan
setelah jam pulang sekolah. Tidak ada minggu berlalu tanpa adu
jotos, antar-kelas atau antar-kampung. Kalau sedang berkelahi,
kadang-kadang ayah atau saudara salah satu murid datang untuk
melerai, tapi Ayah saya tidak pernah hadir dan tidak pernah tahu
tentang hal ini. Ketidakhadiran ayah kadang mendatangkan ejekan
beberapa teman pada saya.
Pada waktu “Clash ke-2” (agresi militer Belanda) 19-20
Desember 1948, pasukan Belanda kembali memasuki daerah
Toba-Sumatera Utara dan pasukan TNI tersebar dalam kelompok-
kelompok di berbagai tempat. Letnan Situmorang, pimpinan sebuah
kelompok (pleton), meminta kesediaan ibu saya agar pasukannya
boleh bermarkas di rumah kami yang relatif lebih besar dan lebih
bersih di antara enam rumah yang ada.
Sebenarnya banyak kampung lain di kawasan ini yang lebih
bagus dan relatif lebih kaya daripada Lumban Simantombak,
Masa Kecil di Parongil, Dairi 29
tetapi umumnya mereka enggan menampung tentara. Sudah
banyak kejadian, rumah penampungan yang menjadi markas TNI
(gerilyawan) dibakar tentara Belanda baik secara langsung maupun
‘disiram’ api lewat pesawat terbang Belanda yang bermoncong
merah. Tetapi hal seperti itu tidak terjadi di kampung kami yang
terletak di paling ujung utara Sibadihon mendekati kaki Gunung
Sulanti.
Ibu tanpa ragu menerima permintaannya. Kadang-kadang saya
membantu para anggota pleton memasak nasi atau menunjukkan
tempat mandi air panas air belerang yang kami sebut Aek Rangat.
Dari pinggir tebing kampung ini kita dapat melihat dari jauh,
jalan setapak antara desa sampai ke jalan raya. Di jalan antar Desa
Nagatimbul-Sibadion saya pernah melihat pasukan Belanda patroli
sambil berbaris, saya berlari ke rumah dan memberi tahu anak
buah Letnan Situmorang karena pasukan itu berbelok arah ke Barat
menuju jalan raya Porsea-Pematang Siantar. Kalau belok ke Timur
bisa saja sampai ke tempat kami.
Saya bangga bisa bergaul dan melayani pleton Situmorang.
Sebenarnya saya ingin ikut menjadi pembantu mereka, tapi katanya
saya masih terlalu kecil. Pak Situmorang nampaknya seorang
komandan pleton yang menguasai senjata otomatis Thomson. Dua
jari tangan kirinya cacat, kemungkinan bekas tertembak, tapi saya
tak pernah tega menanyakannya. Situmorang dan pasukannya
nampak sejahtera menikmati sajian seadanya di rumah kami. Selesai
makan pagi mereka pergi entah kemana dan baru pulang ketika
malam. Begitu setiap harinya.
Salah seorang yang termuda diantara sekitar 12 anggota Pak
Situmorang, bergaul erat dengan saya lebih dari anggota yang lain.
Suatu hari, barangkali hari itu perang telah berakhir, Situmorang dan
pletonnya meninggalkan kami dan pindah ke Dolok Sanggul. Kami
semua melepas mereka dengan rasa haru dan sedih, tapi tidak ada
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
basi-basi upacara perpisahan. Tidak ada tanda mata ataupun kenang-
kenangan. Masing-masing anggota Pak Situmorang menyalami
kami sembari mengatakan "Sampai jumpa lagi". Entah kapan dan
dimana tidak seorang pun tahu kapan kami akan berjumpa lagi. Oh,
begitulah perjuangan!
Ibu menatap mereka dengan haru, seolah melepas 12 orang
anak-anaknya sendiri. Tapi dari semuanya, ada satu orang yang
menangis lebih sedih daripada yang lain pada perpisahan itu, yakni
yang termuda di antara mereka, yang selalu memanggil saya ‘adik’
dalam Bahasa Indonesia.
Sejak kepergian pleton Situmorang dari rumah kami, hampir
setiap bulan dia mengirimkan saya surat yang dialamatkan ke
Sekolah Rakyat Nagatimbul.
Suatu ketika saya mendapat surat yang mengatakan bahwa
30 dia adalah seorang ‘Sirait’, tanpa penjelasan lebih lanjut. Ia hanya
menuliskan kata-katanya yang terus mengatakan bahwa saya adalah
adiknya. Jalinan kasih sayang abang adik itu pun berlangsung
berbulan-bulan sampai tiba pada suatu waktu dia mengabarkan
kalau ia akan menikah dengan seorang gadis, boru Tobing dari
Sosornapa, sebuah kampung di pinggir kota Dolok Sanggul sebelah
timur.
Setelah itu, datang pula berita dari Dolok Sanggul bahwa
Pleton Situmorang akan diberangkatkan ke Aceh untuk mengatasi
suatu pemberontakan (Darul Islam). Waktu itu saya sudah duduk
di Kelas I SMP Narumonda, Porsea. Ibu menyarankan supaya saya
berangkat ke Dolok Sanggul menghadiri upacara pemberangkatan
pasukan itu dan saya turuti.
Saya tiba di Dolok Sanggul persis semalam sebelum pasukan
berangkat. Itu berarti mereka sudah masuk konsinyering (masa
karantina). Dengan alasan ada adiknya datang dari Porsea, abang
Masa Kecil di Parongil, Dairi 31
saya itu mendapat ijin keluar dari asrama. Kami bertemu di rumah
mertuanya di Sosornapa.
Pertemuan malam itu membahagiakan sekaligus memilukan
hati. Setelah sekian lama akhirnya kami bertemu lagi tapi untuk
segera berpisah lagi. Hati saya semakin pilu ketika mengingat
kembali kalau ternyata pelukan ‘abang adik’ malam itu adalah
pelukan terakhir kami. Tahun 1954, saya sudah kelas 2 SMP,
saya mendapat berita duka bahwa abang saya itu terbunuh dalam
pertempuran di Sigli, Aceh.
Sungguh luar biasa kesedihan dalam penderitaan itu, khususnya
bagi Ibu saya yang telah menganggapnya sebagai putra laki-laki
kedua. Tapi karena umurnya lebih tua, kami memanggilnya abang.
Ketika duduk di bangku Sekolah SMA BOPKRI I Yogyakarta,
saya mendengar bahwa kuburan abang saya itu dipindahkan dari
Pekuburan Sigli, Aceh ke Taman Makam Pahlawan Tarutung,
Sumatera Utara. Salah satu puteranya yang lahir di Sigli, diberi
nama Giliran. Bertahun-tahun kemudian, setelah cukup dewasa,
Giliran bergabung dengan saya yang sudah lebih dulu berkeluarga
dan menetap di Jakarta. Kelak Giliran saya tampung bekerja di
kelompok Koran Sinar Harapan yang saya pimpin.
Saat diskusi menyangkut perjuangan bangsa di Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) atau dalam Komisi I DPR-RI,
saya teringat akan almarhum abang saya itu. Pernah ada niat untuk
menceritakan peranan Ibu dan keluarga kami dalam membantu para
pejuang di bawah pimpinan Letnan Situmorang ini kepada Pak Ali
Murtopo atau Pak Achmad Taher yang saat itu Pimpinan Veteran
RI. Namun saya urungkan niat itu karena tak satu pun anggota
Pleton Situmorang terdengar ‘jadi’, mengingat pada tahun 70-an
kabarnya harus ada saksi dalam perjuangan.
Tetapi tidak ada yang perlu disesali karena semua itu diterima
dan dikerjakan Ibu saya tanpa mengharapkan pujian dan balas jasa.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Ibu saya percaya bahwa berkat Tuhan jauh lebih besar dari pujian
maupun tanda jasa.
Pada masa-masa kuliah saya jarang sekali pulang ke rumah
untuk menengok ibu atau kakak dan adik saya. Karena sudah terlalu
sering saya meninggalkan ibu, saya teringat suatu keadaan ketika
beliau sama sekali sudah tidak menunjukkan kesedihan lagi saat
kami akan berpisah untuk kesekian kalinya. Melihat keadaan ini,
makin pilu hati saya. Di dalam hati saya merasa berdosa dan dengan
dada yang sesak, saya mohon pengampunan Tuhan.
Sekitar tahun 1960-an kehidupan organisasi benar-benar
menyita waktu saya. Tahun 1964 saya menjabat Wakil Ketua
Presidium PPMI Konsulat Yogyakarta. Atas nama GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia), saya memenuhi berbagai undangan
Gereja dan Organisasi-organisasi Kegerejaan seperti GAMKI, GSKI,
32 Kespekri, Pertekin IKIK dan lainnya. Tahun 1964, saya dikirim
untuk mengikuti KSN (Konferensi Studi dan Musyawarah) Ketua-
ketua GMKI se-Indonesia di Ambon, Maluku.
Sepulang dari Ambon, saya menerima pesan dari seorang teman
senior yang juga menjabat Sekretaris Distribusi Pegawai Negeri,
Drs. J. Naiborhu, alumni Sospol UGM. Ia menyampaikan kabar
kalau saya diterima menjadi salah satu mahasiswa untuk mengikuti
pendidikan di Jepang dalam rangka Program Pampasan Perang. Saya
sendiri tidak pernah melamar program ini dan menyadari bahwa saya
tidak akan mendapat kesempatan ini jika bukan karena popularitas
Pak Naiborhu yang saat itu sedang naik daun. Dengan situasi
ekonomi keluarga yang sulit, saya tentu senang dengan tawaran ini.
Hari-hari saya jalani penuh semangat sambil membayangkan kalau
sebentar lagi saya akan bersekolah di Jepang.
Tapi apa mau dikata, saat daftar peserta diumumkan, nama saya
tidak ada. Seperti mendengar halilintar di siang bolong, saya tidak
percaya, tapi itulah yang terjadi. Singkat cerita, pada detik-detik
Masa Kecil di Parongil, Dairi 33
terakhir, ternyata posisi saya digantikan oleh seorang anak Menteri
(cerita lebih lengkap tentang ini ada di bab 8.)
Dengan hati kecewa saya merasa tidak ada alasan lagi untuk
tetap tinggal di Jakarta. Saya memutuskan pulang ke Medan. Saya
ingin pulang melihat ibu, yang saat itu sudah tinggal di Medan.
Kabarnya ibu berdagang telur bebek di trotoar di depan toko-toko
besar di Pusat Pasar Medan. Tapi itu hanya cerita-cerita orang yang
saya dengar, karena sudah lima tahun saya menjadi anak hilang,
sekalipun tak pernah pulang melihat Ibu.
Saya pulang menumpang kapal Kowanmaru selama dua hari
tiga malam, menuju Medan. Setibanya di Medan saya langsung ke
Pasar Sentral Medan untuk mencari ibu di tempat yang dikatakan
orang-orang. Benar saja, saya dari kejauhan saya melihat ibu dekat
telur-telur dagangannya.
Melihat kedatangan saya, Ibu dan beberapa famili yang
kebetulan juga sedang ada di sana pun menyambut saya sambil
menangis terharu. Setelah lima tahun tidak pernah kelihatan,
mereka melihat saya lagi yang kembali tanpa membawa apa-apa.
Ditambah lagi ketika mereka tahu bahwa saya gagal berangkat ke
Jepang, semua menatap saya pilu. Saya hanya bisa tertunduk dengan
mata basah merasakan kasih sayang dan perhatian mereka.
Sambil merenungi nasib, saya tinggal beberapa hari di rumah
ibu di Gang Pagar Batu No. 8 Jalan Sisingamangaraja, Medan. Saya
merasa tidak pantas disayangi lagi, karena rasanya saya sudah terlalu
banyak membebani Ibu. Padahal semua yang saya tempuh untuk
pendidikan dan karir selama ini saya lakukan untuk menyenangkan
hatinya.
Banyak peristiwa yang saya lewatkan selama lima tahun saya
berpisah dengan ibu. Salah satunya, ibu bercerita kalau rumah
ini pernah dilalap api sampai ke atapnya. Seorang pendeta dari
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
HKBP Simpang Limun, yang tinggal kira-kira dua kilometer dari
rumah ini, datang dan berdoa. Dalam doanya pendeta itu berkata
bahwa kasih Tuhan kepada janda melebihi permintaan janda itu.
“Sebagaimana terangnya atap rumah yang terbakar ini menganga
ke langit, demikianlah terang belas kasihan Tuhan yang akan turun
kepada Ibu,” demikian Ibu mengutip doa sang pendeta (sayangnya
saya lupa nama pendeta tersebut).
Selama di Medan, tiga atau empat kali saya dampingi Ibu
berjualan telur di Pasar Pagi Sentral Medan. Berangkat dari rumah
pukul empat pagi dan tiba di Sentral sekitar 20 menit, kemudian
naik angkot. Begitu rupanya rutinitas Ibu setiap hari.
Di pasar, pedagang-pedagang telur mengambil tempat di depan
Bioskop Olympia. Di samping gedung bioskop itu, ada toko besar
milik seorang tauke (sebutan bagi pedagang atau pengusaha besar
34 keturunan Cina saat itu). Nampaknya dia kasihan melihat Ibu saya
yang sudah tua dan bertubuh kecil. “Hitung telur inang kecil itu (Ibu
tua kecil),” saya dengar si tauke menyuruh pegawainya. Menurut
perhitungan pegawai tauke itu, sekian ratus telur ibu dihargai sekian
rupiah dan sekian sen. Ibu saya berpikir sebentar lalu ia mengatakan
sudah betul harga itu. Dia sudah lama menjadi pelanggannya, maka
menurut Ibu tidaklah mungkin tauke itu membohongi dia.
Untuk saya, hal itu sungguh suatu mukjizat. Ibu saya tidak bisa
baca tulis, tidak pernah belajar berhitung di sekolah, tidak tahu pula
berbahasa Indonesia yang baik, tetapi dia tahu benar perhitungan
dagangannya dengan metoda berpikir jika jumlahnya sekian maka
harganya sekian. Dari kejauhan saya terpaku memandang tauke
yang baik hati itu lalu memandang ke langit untuk membendung
air mata yang sudah siap jatuh.
Terasa betul timbul pergolakan dalam hati saya. Apakah
dengan keadaan ekonomi seperti ini saya masih patut kuliah yang
memerlukan uang yang tidak sedikit setiap bulannya. Di sisi lain,
Masa Kecil di Parongil, Dairi 35
jika saya bisa menyelesaikan kuliah yang hanya setahun lagi, gelar
sarjana ekonomi akan membuka lebih banyak peluang untuk
membangun hidup yang lebih baik. Meskipun Ibu tidak mengerti
keresahan hati saya itu, saya minta agar ia tetap mendoakan saya.
Meski dalam keadaan sulit, Ibu tetap optimis memandang
hidup. Ia bercerita kalau setiap minggu mendekati jadwal
pengiriman uang bulanan saya, ia merasa selalu ada saja cara
Tuhan menolongnya melalui dagangannya yang lebih lancar. Saya
pun meyakini Ibu diberkati kasih sayang Tuhan yang tanpa batas.
Rangkaian penderitaan tanpa akhir, membuat Ibu saya bisa hidup
dan bekerja dengan ketekunan yang luar biasa, tahan uji dan terus
berpengharapan di dalam Yesus Kristus.
Di tengah pergumulan berkepanjangan atas kemampuan bisnis
Ibu, saya kembali lagi ke Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Berkobar semangat saya untuk mengejar ketinggalan
dalam tentamen dan meraih ijazah tingkat III Fakultas Ekonomi
untuk mencari pekerjaan. Saya memohon Ibu agar ia rela melepas
saya kembali. Hati Ibu luar biasa, walau saya tahu pasti berat hatinya,
dia menyerahkan keputusan kepada saya.
Setelah lima tahun ‘menghilang’, saya meninggalkan Ibu lagi di
usianya yang sudah semakin lanjut, bertarung tidak imbang dengan
pedagang-pedagang lain di Sentral Medan, tanpa pendidikan sekolah
sama sekali, kemampuan berbahasa Indonesia sepotong-sepotong
bercampur Bahasa Batak, tidak tahu membaca ataupun menulis.
Saya pun dengan berat hati meninggalkan ibu menuju
Yogyakarta. Di rumah, ibu tinggal bersama Rensy, si bungsu yang
sedang di bangku SMEA saat itu.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Foto kenangan ibu dan tiga bersaudara beserta pasangannya masing-masing, di
Jalan Pagar Batu, Medan. Duduk (ki-ka): Hilda (kakak), Rensy (adik), Ibu, dan
36 saya. Berdiri (ki-ka): Lukas Manurung (suami Hilda), Justin Binsar Situmorang
(suami Rensy), Ibunda Giliran Sirait, Martha.
Keluarga besar keturunan Ibu (Ompung Gumalak) berkumpul di rumah ibu di Jalan
Pagar Batu, Medan.
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Alm. kakak saya, Hilda,
bersama Martha dan
cucu Tito & Devlin saat
berlibur ke kampung
halaman.
37
Alm. adik saya,
Rensy (kiri) bersama
putrinya, Yuli.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
J
Kepergian Ibu
Tahun 1970, saya menikah dan memulai kehidupan
baru di Jakarta. Rensy, adik saya, juga menetap ke Jakarta
setelah menikah dengan suaminya, Situmorang. Kami
pun mengajak Ibu pindah juga ke Jakarta agar lebih
dekat dengan kami dan berharap ia bisa melupakan
penderitaan di kampung dan di Medan.
Cukup lama ibu hidup di Jakarta, menyaksikan
cucu-cucunya tumbuh besar dan menikah hingga
kelahiran cicitnya dari saya dan Rensy. Sampai pada
38
Saya mengarahkan Togi (anak ke-2) untuk manulangi ompungnya. Manulangi
adalah kebiasaan masyarakat Batak untuk memberi makan (simbolis) kepada orang
tua. Upacara ini dilakukan kepada orang tua ketika mereka sudah menginjak masa
tua. Tampak Charles (di ujung ruangan memakai topi) mengamati adiknya.
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Ibu memberikan kain Ulos (mangulosi) sebagai “kado” dan doa pada sepasang
pengantin baru di sebuah pesta pernikahan di kampung. Nampak Martha (kiri)
turut membantunya.
39
Foto kenangan bersama ibu di rumah kami di Simpang Limun, Medan ketika
putri-putri saya masih kecil. Saya lupa kapan, tapi kemungkinan besar di awal
tahun 1980-an. Margaret duduk di pangkuan ompungnya dan Bunga duduk di
pangkuan Martha.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
suatu waktu kesehatan ibu mulai menurun karena
sakit tua. Pada umur yang diperkirakan 96 tahun, Ibu
dipanggil Tuhan di RS PGI Cikini, hari Minggu pagi,
28 Agustus 2007. Sebagai penghormatan terakhir, kami
menyelenggarakan acara adat maksimal selama tiga hari
di rumah saya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
40
Kami menggelar acara adat Batak melepas kepergian ibu, di rumah saya. Tampak
pada foto (dari kanan-kiri): Togi, Charles, Saya, Martha, Maria (istri Charles),
Tina (istri Togi), istri dari keponakan saya, (alm) Ny. Giliran, keponakan saya
Giliran Sirait dan anaknya Kris. Kisah unik tentang Giliran bisa dibaca di
halaman 31.
Rabu pagi, kami membawa jenazahnya ke Medan
dan disemayamkan di rumah sekitar 6 jam untuk
memberi kesempatan terakhir kepada para tetangga,
saudara-saudara dan jemaat HKBP di lingkungan
Masa Kecil di Parongil, Dairi
ac
b
a. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang hadir dalam prosesi pemakaman ibu. 41
b. Beriringan dari rumah kami menuju lokasi pemakaman. Tampak Charles, cucu tertua, membawa
foto ompungnya.
c. Berdoa di makam ibu. Saya bersyukur pada Tuhan, saya dibesarkan oleh ibu yang luar biasa.
tempat tinggal kami di Jalan Pagar Batu. Sore harinya,
kami membawa jenazah menuju kampung Lumban
Simatombak dan menerima upacara penghormatan
terakhir dari sanak saudara di sekitar kota Porsea yang
dipimpin pendeta dari HKBP Nagatimbul, gerejanya
sejak dulu.
Saya berterima kasih kepada semua pihak yang
turut mengantarkan Ibu yang amat saya kasihi, kepada
Kepolisian Medan yang menyediakan pengawalan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Saya tak kuasa menahan tangis di acara penguburan ibu. Di sebelah kiri
berdiri adik saya Pdt. Dr. Jamilin Sirait, di kanan saya ibunda dari Giliran
42 dan Martha.
Sanak keluarga dan para tetangga setia mengikuti acara pemakaman sampai
mengantar jenazah ibu ke tempat peristirahatan terakhir.
Masa Kecil di Parongil, Dairi 43
mulai dari Medan sampai ke Lumban Simatombak,
kepada barisan pemusik yang mengiringi jenazah dan
rombongan sejak perbatasan Toba, Simalungun sampai
Lumban Simatombak, Nagatimbul.
Selamat jalan Ibuku tercinta, pahlawan keluarga
kami, ke pangkuan Tuhan yang mengatur hidup dan
perjuanganmu dalam untaian garis penderitaan. Kami
menikmati perjuanganmu, semoga Ibu memaafkan
kebodohan dan dosa kami sekeluarga. Sebagian dari
ketekunan dan tahan uji serta pengharapan Ibu dalam
kasih Yesus Kristus saya teladani dalam membesarkan
dan mendidik cucu-cucunya yang dikaruniakan Tuhan
kepada saya.
Ketika menerima kunjungan duka dari teman-
teman HKBP Sudirman, saya menyanyikan lagu
kesukaannya “Iso do ale alenta na so olo muba I”
dengan bercucuran air mata duka cita, penuh emosi,
namun tetap percaya kalau ini adalah kehendak Tuhan.
Terpujilah nama-Nya. Haleluya!
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
44
Perempuan bermental baja,
Pahlawan keluarga,
Ibu yang penuh kasih,
Carolina Sirait Boru Sitorus.
Masa Kecil di Parongil, Dairi 45
J
Martha, Teman Hidup yang Setia
Suatu hari, di masa saya masih kuliah di LPPM,
saya bertamu bersama teman-teman ke rumah seorang
senior organisasi di bilangan Cinere. Di rumah itulah
kali pertama saya berjumpa dengan Marthalena Boru
Napitupulu, gadis cantik dari Porsea yang sedang
sekolah di SMEA PSKD, Kwitang. Di Jakarta, Martha
tinggal di rumah pamannya, senior saya itu, Prof.
Dr. Washington Pandapotan Napitupulu, yang kelak
menjadi Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan
Olahraga (1974-1991) dan dikenal sebagai salah satu
tokoh gerakan Pramuka di Indonesia.
Sejak pertemuan itu, kami menjalin hubungan
lebih akrab. Meski usia terpaut cukup jauh yaitu
sepuluh tahun, kami bisa nyambung. Kemungkinan
besar karena kepribadian Martha yang luwes dan ceria.
Martha juga suka memberikan perhatian ke orang lain.
Saya ingat Martha begitu perhatian kepada saya. Saat
itu saya sedang kuliah di LPPM dan tinggal di asrama
LPPM di Menteng. Suatu hari penjaga asrama memberi
tahu kalau ada kiriman untuk saya. Awalnya saya sempat
bingung karena selama ini saya tidak pernah mendapat
kiriman dari siapapun, sampai akhirnya saya tahu kalau
bungkusan yang isinya makanan itu adalah kiriman dari
Martha. “Saya kasihan saat itu melihat kamu. Banyak
sekali kegiatanmu, pasti makanmu sembarangan,”
begitu responnya ketika kami mengingat-ingat kembali
momen tersebut.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Martha ketika bersekolah di SMEA PSKD di Kwitang, Jakarta Pusat.
Hubungan kami pun mengalir begitu saja selama
kurang lebih satu tahun, hingga akhirnya kami
merencanakan untuk menikah. Suatu saat ketika kami
46 berjalan-jalan ke Ancol, kami bersama-sama menulis
surat untuk meminta restu orangtua Martha akan
rencana kami itu.
"Proposal" tersebut beserta foto kami berdua itu
pun sampai ke Porsea. Martha bercerita kalau ia sudah
menelpon ayahnya, dan ia bilang komentar ayahnya
waktu itu hanya satu: “Apakah tidak terlalu tua itu?”
Usia kami memang terpaut cukup jauh. Saat itu
Martha 18 tahun dan saya 28 tahun. Latar belakang
kami pun cukup berbeda. Saya anak laki-laki satu-
satunya dari tiga bersaudara, Martha anak ke-3 dari
keluarga besar, 7 bersaudara. Saya lahir dari keluarga
sangat sederhana sementara ayah Martha saat itu adalah
kepala desa, keluarganya tergolong berada.
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Meski begitu, tidak ada yang rumit dalam proses
menuju pernikahan kami. Kedua keluarga setuju saja.
Pikiran orang-orang di masa itu, jika umur sudah cukup,
kami memang diharapkan menikah, karena kalau tidak
akan jadi bahan omongan orang di kampung.
Sejujurnya, saya sendiri sebenarnya belum benar-
benar mau menikah, karena saya melihat teman-teman
saya di kampung yang menjalani pola kehidupan yang
sama; sekolah, bekerja, menikah, punya anak, dan
menghabiskan sisa hidupnya di kampung mengolah
harta keluarga. Bukan seperti itu hidup yang saya
inginkan.
47
Saat berjalan-jalan ke Ancol. Hari itu kami menulis surat “proposal” rencana
pernikahan kami kepada orangtua Martha di Porsea.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Bersama teman dan keluarga.
48
Foto kenangan bersama teman-teman dan keluarga setelah acara pemberkatan pernikahan
kami di Gereja HKBP Simpang Limun. Di foto bawah, terlihat adik saya, Rensy (berdiri
nomor enam dari kanan).
Masa Kecil di Parongil, Dairi
49
Saya dan Martha bersama para pendamping, Wilson Manurung (kiri), teman saya
dari UGM dan Gading boru Napitupulu (kanan).
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
50
16 April 1970, di HKBP Simpang Limun, Medan,
kami berdua mengikat janji setia, sehidup semati.
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Keluarga dan
teman yang
hadir pada acara
pemberkatan kami
yang sederhana.
51
Keluarga dan
teman-teman
yang hadir
memberi selamat
pada pasangan
pengantin dan
keluarga.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
MEMULAI HIDUP BARU BERSAMA
MARTHA DI JAKARTA
16 April 1970 kami diberkati sebagai pasangan
suami istri di HKBP Simpang Limun, Medan. Setelah
pemberkatan, kami mengadakan perayaan sederhana
yang dihadiri sanak saudara dan teman-teman di
Medan.
Tak lama setelah itu, saya dan Martha pindah ke
Jakarta. Kami menyewa sebuah paviliun kecil di Jalan
Danau Laut Tawar di daerah Pejompongan, Jakarta
Pusat.
Kalau mengenang masa-masa awal pernikahan
kami, Martha selalu mengungkapkan cerita waktu ia
akan melahirkan bayi pertama kami. Sejak kuliah saya
52 sudah sibuk sekali berorganisasi, hingga kami menikah
pun waktu saya pun banyak dihabiskan dengan kegiatan
berorganisasi. Saya bisa berada di luar kota berhari-hari
lamanya, meninggalkan Martha yang sedang hamil
sendirian di rumah.
Sebagai pasangan baru, kami belum punya
pengalaman dan pengetahuan yang cukup soal
kehidupan rumah tangga, termasuk soal menantikan
kelahiran anak. Jadi ketika sudah mendekati hari-
hari persalinan pun saya tidak tahu dan malah pergi
menghadiri seminar berhari-hari di Puncak. Di salah
satu hari seminar, saya ijin untuk pergi ke Jakarta
karena saya perlu membuat pas foto di imigrasi sebagai
kelengkapan dokumentasi untuk berangkat menghadiri
konferensi ALDEC ke Jepang.
Saya tiba di Jakarta dan pulang rumah seperti biasa
Masa Kecil di Parongil, Dairi 53
saja, tapi ternyata saat itu Martha mengatakan kalau ia
sudah mulas dan mengalami kontraksi berkali-kali dan
meminta agar kami segera ke dokter. Langsung saja
saya cari taksi dan meluncur menuju ke Rumah Sakit
Cikini. Benar saja, sampai di sana dokter kandungan
Imam Sujudi menyuruh agar kami tidak kembali lagi ke
rumah. “Bayinya sebentar lagi lahir,” kata dokter.
Malamnya, 19 Maret 1971, lahirlah anak kami
yang pertama, bayi laki-laki yang kami beri nama
Charles Bonar Marisitua Sirait. Kami semua bersukacita
menyambut kelahirannya.
Saya sering merasakan penyertaan Tuhan dalam
hidup saya, salah satunya yang saya alami saat itu. Kalau
diingat, sebenarnya hari itu saya ke Jakarta bukan untuk
pulang ke rumah.Yang saya pikirkan hanya soal membuat
pas foto di kantor imigrasi agar urusan dokumentasi
selesai. Namun sedemikian rupa saya diarahkan pulang
ke rumah pada waktu yang tepat sehingga akhirnya bisa
mendampingi Martha melahirkan bayi pertama kami.
Saya tidak bisa membayangkan betapa mengerikan dan
menyedihkan untuk Martha jika saat itu dia harus pergi
sendiri ke rumah sakit dalam keadaan mulas-mulas dan
menjalani proses persalinan pertama itu tanpa ditemani
suami.
Tak lama setelah Charles lahir, mungkin hanya
dua minggu setelahnya, saya pergi lagi meninggalkan
Martha dan Charles untuk berangkat bersekolah ke
Jepang. Untungnya ibu mertua datang dari Porsea,
sehingga hati saya lebih tenang karena ada yang
membantu Martha yang saat itu belum berpengalaman
menjadi ibu.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
54
Di depan Kantor Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/
WCC) di Tokyo, Jepang. Saya menulis keterangan tanggal di
belakang foto 21 Mei 1971. Setiap hari saya merindukan putra
pertama saya, Charles, yang baru berusia 3 bulan ketika saya pergi
ke Jepang (lahir 19 Maret 1971).
Selama di Jepang saya senang bisa belajar banyak
hal dan bertemu teman-teman baru dari berbagai
negara, tapi pikiran saya selalu terbagi, menahan rindu
pada keluarga, terutama pada bayi kami yang baru
lahir itu. Waktu itu sambungan telepon internasional
mahal sekali sementara uang saya pas-pasan di Jepang,
sehingga sebagai obat rindu saya membawa baju Charles
di koper.
Ketika saya kembali ke tanah air, Charles sudah
berusia 3 bulan. Tahun 1972, adiknya Partogi lahir,