Menjadi Mahasiswa Universitas Gajah Mada 105
Untuk kemajuan daerah yang memiliki potensi kelautan yang
luar biasa, KSN Ambon menghimbau pemerintah agar mendirikan
Sekolah Pelayaran dan Kelautan di Ambon, Maluku. Saat itu tahun
1962, di Ambon kami bergembira menikmati makanan khas lokal,
Papeda namanya, yaitu semacam bubur dari olahan sagu dan ikan
laut, lezat dan tinggi kadar gizinya. Waktu kami menghirup bubur
dari pinggiran piring, sontak jemaat yang saat itu hadir mengikuti
resepsi tertawa geli mengamati para peserta KSN. Ada peserta yang
menghirupnya terburu-buru sehingga bubur tersebut muncrat ke
wajahnya, tetapi di bagian lain ada juga yang menertawakan peserta
yang kelihatan tenang dan lancar sekali menghirup papeda. "Berarti
sudah biasa,"komentar mereka dengan jenaka. Maksudnya sudah
biasa mencium pacar...
Perhatian saya tertuju pada tumbuhnya keinginan masyarakat
Ambon untuk makan nasi. Ada kecenderungan yang memandang
nasi sebagai makanan yang lebih berkelas, sementara lahan pertanian
padi di daerah ini tidak memadai. Jika ini terus berkembang, suatu
saat hal ini bisa mengancam ketahanan pangan masyarakat. Kala itu
saya juga mendapat informasi akan maraknya penebangan pohon
sagu diganti pohon kelapa sawit yang kabarnya lebih bernilai secara
bisnis.
Sikap rakyat yang mencontoh elit juga saya saksikan ketika
saya kesulitan mencari rokok Commodore yang biasa saya hisap,
tetapi begitu mudah mencari rokok Kresta. Saya terdorong untuk
mengulik lebih dalam walaupun kelihatannya ini soal kecil. Dari
pembicaraan dengan beberapa penduduk lokal, saya ketahui ternyata
pak gubernur rokoknya Kresta. Ini memang saya saksikan sendiri
ketika saya hadir dalam audiensi dengan pak gubernur.
Setelah kembali ke Yogya, Ketua bidang studi dan Kaderisasi
GMKI cabang Yogyakarta Tombang Pardede meminta laporan
pertanggungjawaban keikutsertaan saya pada KSN-musket
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Ambon. Saya melaporkannya pada sejumlah anggota dan pengurus
cabang GMKI Yogya yang berkumpul di suatu ruangan SMA
BOPKRI 1. Selain laporan standar tentang keikutsertaan saya,
saya juga menyampaikan kedua fakta di atas secara bergurau untuk
bahan studi tentang kepemimpinan di tengah masyarakat yang
paternalistik (mencontoh pemimpinnya). Dengan kondisi seperti
itu, sesungguhnya elit masyarakat akan lebih mudah memimpin
dengan memberi contoh yang baik dalam kehidupan sehari hari.
Puluhan tahun kemudian kekhawatiran saya pada dua peristiwa di
atas cenderung menjadi kenyataan. Secara lebih mendalam laporan
pertanggungjawaban saya ini menjadi bahan diskusi selanjutnya
pada kelompok studi dan kaderisasi GMKI cabang Yogyakarta.
106
J
Mantan Perokok Berat
Saya merokok sejak kecil. Mungkin sejak saya 7
tahun. Jaman dulu ini bukan hal yang aneh, karena di
kampung banyak juga anak seusia saya yang merokok.
Kenapa bisa sekecil itu saya menjadi perokok? Begini
ceritanya. Di kalangan kaum muda Batak itu ada istilah
martandang atau berkunjung. Di kampung, pemuda-
pemuda dewasa biasa pergi martandang ke rumah para
gadis-gadis, biasanya pada malam hari selepas kerja.
Ketika berkunjung, biasanya para pemuda akan
mengajak anak-anak yang lebih kecil, seperti saya dan
Menjadi Mahasiswa Universitas Gajah Mada 107
teman-teman saat itu. Kami senang-senang saja ikut
meramaikan, menemani mereka mengobrol dengan
para gadis. Karena biasanya waktu berkunjung itu
malam hari dan udara dingin, maka merokok jadi
kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan sembari
ngobrol, sekaligus untuk melawan dingin. Kami yang
masih kecil-kecil itu pun jadi ikut-ikutan menghisap
sigaret (rokok) yang biasanya pasti dibelikan oleh para
pemuda. Kalau keesokan harinya para pemuda bekerja,
sesi martandang biasanya akan lebih singat. Tapi kalau
gadis-gadis di sana menarik dan ada waktu panjang,
mereka bisa ngobrol sampai pukul 2-3 pagi.
Saat beranjak remaja, saya mulai membeli rokok
sendiri dari uang hasil kerja kecil-kecilan sebagai penjaga
parkir sepeda. Ada masanya saya sudah kecanduan,
sehingga terkadang lebih penting membeli rokok
daripada makanan. Berbagai jenis rokok pernah saya
coba, diantaranya yang cukup terkenal saat itu yaitu
555 (triple five, konon rokok favorit Bung Karno) dan
rokok cap daun.
Saat kuliah saya mengganti merek rokok, kadang
Commodore, kadang Dunhill. Waktu itu di Indonesia
baru beredar merk-merk rokok luar negeri seperti 555,
mungkin juga Marlboro. Ada yang dijual resmi, ada
juga yang selundupan. Saya tidak ingat persis harganya,
tapi rasanya cukup mahal, karena saya ingat honor
saya sekali mengajar saja tidak cukup untuk beli satu
bungkus rokok.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Rokok memang asyik menjadi teman kerja. Saya
tidak pernah punya batas dalam merokok. Pokoknya
selama bekerja, rokok selalu menemani. Kalau dikira-
kira, dalam sehari saya mungkin menghabiskan empat
bungkus. Jadi kalau satu kotaknya 20 batang, berarti
satu hari saya bisa merokok sampai 80 batang!
Kebiasaan buruk ini pun terus berlanjut sampai saya
masuk ke dunia kerja, bekerja sebagai staf ahli untuk
Menteri Muda Pemuda dan Olahraga. Bagaimana
mau berhenti, semua rekan kerja saya di sana juga
perokok. Tapi suatu hari di tahun 1978, kami semua
yang tergabung di Satgas Menpora memutuskan untuk
bersama-sama berhenti merokok. Saya tidak ingat apa
108 pemicunya, yang jelas hari itu kami sama-sama sepakat
untuk stop merokok. Maka sejak itu, saya pun langsung
memutuskan hubungan dengan rokok. Ternyata
semudah itu saya bisa berhenti.
Banyak saran bagaimana cara berhenti merokok,
seperti dikurangi dulu secara bertahap, diganti permen,
ditempel obat, dan lain-lain, tapi menurut saya cara
paling benar untuk bisa berhenti merokok itu ya
langsung saja berhenti!
Nasehat ini selalu saya sampaikan pada anak-anak
muda yang kesulitan untuk berhenti merokok. Jangan
percaya cara yang setengah-setengah, karena itu tidak
akan berhasil. Jika ingin berhenti merokok, langsung
saja putuskan untuk total berhenti. Lawan kecanduan
itu dan jangan sentuh rokok lagi. Kau pasti bisa!
z
BAB DEL APAN
Gagal Sekolah
ke Jepang
Sekembali dari Ambon untuk mengikuti KSN –Konferensi
Studi dan Musyawarah Ketua-ketua GMKI se-Indonesia, saya
menerima pesan dari seorang teman senior, Drs. J. Naiborhu, yang
saat itu menjabat sebagai Sekretaris Distribusi Pegawai Negeri. Dia
adalah alumni Sospol UGM yang rupanya mengikuti kegiatan saya
dalam organisasi mahasiswa.
Pesan itu mengatakan bahwa saya diterima menjadi salah satu
mahasiswa untuk mengikuti pendidikan di Jepang dalam rangka
Program Pampasan Perang. Saya sendiri tidak pernah melamar dan
tak pernah sekalipun bermimpi untuk sekolah ke Jepang.
Beberapa faktor membuat saya tergoda atas tawarannya, yang
terutama adalah karena keadaan ekonomi keluarga saya. Naiborhu
berpesan agar saya segera masuk ke Hotel Duta (kini pertokoan Duta
Merlin) di Jalan Gajah Mada, tempat tinggal beliau. Saya belum
pernah menginap di hotel sekelas Hotel Duta itu sehingga timbul
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
keraguan dalam hati, apakah pantas saya mengikuti program ini.
Saya sadar bahwa rekomendasi yang saya dapatkan untuk menjadi
mahasiswa Program Pampasan Perang Jepang itu sebenarnya
tanpa dasar yang kuat, saya tidak akan terpilih kalau tidak karena
popularitas Pak Naiborhu yang saat itu sedang naik daun.
Waktu itu saya sudah dewasa, saya diajari ketika dalam keraguan
saya harus bertanya kepada Tuhan di dalam doa. Setelah hilir mudik
ke Departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan)
di Jalan Raya Proklamasi untuk mengurus keperluan beasiswa,
sampailah pada satu hari Pak Naiborhu menyuruh saya melihat
pengumuman.
Akhirnya datanglah ‘malapetaka’ itu. Nama saya tidak ada pada
daftar pengumuman. Bagai tersambar petir di siang bolong, saya
tidak percaya, kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
110 Saat itu menjelang malam, saya tidak tahu mau ke mana.
Dengan hati remuk dan pikiran kacau, saya berjalan kaki tanpa
arah menyusuri Jalan Proklamasi sampai saya sadar tiba-tiba sudah
di Senen Raya. Setelah itu saya mengarah pulang menuju ke Hotel
Duta. Tapi di tengah jalan saya berpikir, untuk apa ke hotel? Tapi
kalau tidak hotel, mau ke mana? Di pinggir Jalan Senen Raya,
seorang pedagang batu-batuan muncul entah darimana mendekati
dan menegur saya yang mungkin kelihatan linglung. "Coba pegang,
pasti tidak tahan," katanya. Ia menyodorkan sebuah batu kecil yang
dibalut kertas timah seperti bungkus rokok. “Kalau tahan, tidak
usah bayar,” sambungnya lagi melihat saya yang masih diam saja.
Kemudian saya pegang batu itu sekian lama, tapi saya tidak
merasakan apa-apa. Lalu dia bilang saya perlu pertolongan. Waktu
itu saya simpulkan kalau orang itu pastilah semacam dukun. Lalu
seperti disadarkan, saya merasa sedang masuk jebakan iblis lewat
perdukunan. Cepat-cepat saya berdoa dalam hati agar ditunjukkan
jalan pulang ke Hotel Duta. Menembus malam, saya berjalan kaki
Gagal Sekolah ke Jepang 111
dari Senen Raya hingga Gunung Sahari. Kira-kira pukul 03.00 pagi,
saya sampai di Hotel Duta di Jalan Gajah Mada.
Ternyata Pak Naiborhu belum tidur. Ia menunggu saya dan
menyatakan penyesalannya karena saya batal berangkat ke Jepang.
Singkat cerita, ia mendengar kalau pada detik-detik terakhir posisi
saya digantikan oleh putra seorang menteri. Tidak jelas menteri
mana, tapi Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan)
kala itu adalah Prof. Mr. RH Iwa Kusuma Sumantri.
Pak Naiborhu terlihat menyayangkan kejadian ini, tapi tidak
punya gagasan apa pun untuk menolong saya. Maka saya ucapkan
terima kasih kepada beliau dan pamit untuk pulang ke Medan. Sejak
itu sampai beliau meninggal dunia, kami tidak pernah bertemu lagi.
Belakangan, saya mendengar desas desus kalau beliau disinyalir
sebagai anggota komunis dan kemungkinan besar para mahasiswa
yang diberikan beasiswa tersebut dimaksudkan untuk dijadikan
kader-kader komunis. Setelah mendengar hal ini, saya dapat
mencerna kegagalan tersebut sebagai suatu berkat terselubung. Tapi
kabar ini saya ketahui cukup lama setelah saya gagal berangkat ke
Jepang. Jadi cukup lama saya merasakan kekecewaan yang mendalam
karena lenyap sudah semua bayangan untuk bersekolah di Jepang
dengan semua fasilitas yang ditawarkan seperti tempat tinggal dan
uang saku.
Dari Jakarta saya menuju Belawan-Medan menumpang kapal
Kowanmaru selama tiga hari dua malam. Saya ingin pulang bertemu
Ibu. Saat itu, ibu sudah tinggal di Medan, dan katanya ia berdagang
di Pasar Medan. Tapi itu hanya cerita orang, karena sudah lima
tahun saya menjadi anak hilang, tak pernah pulang melihat ibunya.
Sesampainya di Medan, saya langsung ke pasar mencari Ibu
di tengah keramaian Pasar Medan yang sibuk. Kata orang, ibu
berdagang telur di emperan toko-toko besar di pasar itu. Benar saja,
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
dari kejauhan saya melihat tubuh ibu yang mungil sedang duduk di
dekat dagangannya. Ibu dan beberapa famili yang kebetulan sedang
di sana melihat saya datang. Mereka menangis terharu campur
senang melihat saya yang telah pergi lima tahun lebih dan kembali,
meski tanpa membawa apa-apa. Mereka menatap saya penuh iba,
apalagi ketika saya beritahu soal beasiswa ke Jepang. Saya yang masih
belum selesai menelan kecewa karena gagal berangkat ke Jepang,
tambah sedih karena saya tahu saya mengecewakan mereka juga,
terutama Ibu.
Sambil merenungi nasib, saya tinggal di rumah ibu di Gang
Pagar Batu No. 8 Jalan Sisingamangaraja, Medan. Saya merasa
tidak pantas disayangi lagi, karena saya sudah terlalu membebani
Ibu, padahal semua yang saya tempuh untuk pendidikan dan karir
selama ini saya lakukan untuk menyenangkan hatinya.
112 Selama lima tahun lebih, banyak sekali hal yang tidak saya
ketahui. Salah satunya kalau rumah ini sempat dilalap api,
untungnya Ibu tidak terluka sedikitpun. Sekitar tahun 1970an saya
merenovasi rumah yang bersejarah ini agar lebih nyaman ditempati
ibu. Disamping itu, teman-teman saya di Medan membangun Jalan
Pagar Batu, mengalirkan listrik dan air minum PAM yang dinikmati
juga oleh tetangga-tetangga Ibu saya.
Seminggu sudah saya tinggal di Medan. Mulai pukul.04.00
pagi saya sudah mendampingi Ibu mengangkat telur dagangan
naik oplet (angkot zaman dulu) menuju Pasar Sentral Medan,
sambil mempelajari sejauh mana bisnis telur ini dapat berlanjut dan
menopang kehidupannya.
Sambil merenungi nasib yang gagal mendapat beasiswa
Pampasan Perang Jepang, rasanya otak saya buntu mencari jalan
keluar. Saya berdoa agar dimampukan untuk menerima keadaan ini
sebagai cobaan bagi saya orang berdosa yang telah mengakibatkan
penderitaan bagi Ibu saya.
Gagal Sekolah ke Jepang
Pikiran dan hati saya terus bergejolak. Di satu sisi melihat
keadaan ekonomi Ibu yang sulit, di sisi lain, saya ingin menyelesaikan
kuliah yang tinggal satu tahun lagi, karena dengan gelar sarjana saya
akan lebih mudah untuk mencari pekerjaan. Tapi apakah dengan
keadaan ekonomi sulit seperti ini saya masih patut melanjutkan
kuliah yang membutuhkan uang yang tidak sedikit setiap bulannya?
113
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
114
z
BAB SEMBILAN
Kembali ke Bangku
Kuliah UGM
Setengah hati meninggalkan Ibu, akhirnya saya memutuskan
untuk kembali melanjutkan kuliah. Diiringi doa Ibu tercinta,
saya meninggalkan Belawan-Medan dengan kapal Kowanmaru
menuju Jakarta.
1 Oktober 1965. Kapal belum juga berlabuh di Tanjung Priok,
terasa para penumpang sudah kasak kusuk, gelisah ingin cepat-
cepat turun dari kapal. Telah tersiar berita lewat siaran radio yang
mengumumkan bahwa pemerintah tentang pemberlakuan jam
malam mulai pukul 18.00, karena kabarnya semalam telah terjadi
kudeta. Tak seperti biasanya, sore itu Pelabuhan Tanjung Priok
terlihat kosong dan penumpang yang baru turun kapal langsung
berdesakan sambil berebut tempat memenuhi angkutan oplet yang
sudah menunggu.
Saya berencana untuk menginap di asrama mahasiswa di Jalan
Pegangsaan Timur 17. Di kamar nomor 1, ada Sabam Sirait, Senior
GMKI yang juga Sekjen Parkindo. Walau suasana terasa tegang tak
menentu, saya sedikit merasa lega karena ada bersama Sabam Sirait
dan kawan-kawan mahasiswa penghuni asrama yang lain.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Saya bertanya pada Bang Sabam apa gerangan yang terjadi. Dia
tidak menjawab jelas, hanya mengangkat setumpuk surat kabar dan
menyodorkannya pada saya. Dia berpesan jangan bertanya sebelum
membaca semua surat kabar itu dan agar saya mengikuti berita
selanjutnya besok malam. Saya paham maksudnya. Segera saya lalap
semua koran itu.
Saya ingat sempat mengantarkan Bang Sabam ke RS DGI Tjikini
(sekarang RS PGI Cikini) karena kakinya bengkak dan menghitam
karena masalah pembuluh darah. Dari Kantor PP GMKI di Jl.
Salemba Raya 10 flat 21 sempat saya saksikan iring-iringan panser
pengusung para pahlawan korban penculikan G30S/PKI dan pidato
Jenderal A.H. Nasution dengan kata-kata berduka tapi tegas yang
mengatakan, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” Dari kejauhan
saya juga melihat Kantor PKI di Jl. Raya Kramat yang tidak terlalu
jauh dari kantor PP GMKI di Jl. Salemba Raya 10, tengah dibakar
116 massa.
Tanggal 4 atau 5 Oktober 1965, keadaan sudah relatif tenang,
sehingga saya sudah lebih percaya diri untuk pergi ke Yogyakarta
dengan kereta api. Perjalanan hampir sehari semalam itu saya lalui
tanpa tempat duduk. Tapi mengingat keadaan kereta api kelas
ekonomi kala itu, saya merasa bersyukur sudah bisa berangkat meski
kaki pegal karena harus berdiri sepanjang perjalanan.
Di Yogya, saya kost di bagian samping belakang ruangan kerja
dr. Kasmolo di Jalan Jenderal Sudirman 53, yang menjadi kantor
GMKI Cabang Yogyakarta. Keadaan sepi sekali, tidak seperti
biasanya. Kelihatannya Yogya pun masih menunggu perkembangan
keadaan. Meski begitu saya merasa aman tinggal di kantor tersebut
karena di sebelah Barat, hanya dibatasi sepotong jalan, adalah
Markas Korem Angkatan Darat pimpinan Kolonel Katamso dan
Letkol. Sugiono (yang saat itu sudah terbunuh).
Menyadari tugas saya sebagai Ketua Hubungan Luar Pengurus
Kembali ke Bangku Kuliah UGM 117
Cabang GMKI Yogyakarta, terlebih sebagai Wakil GMKI di PPMI
Konsulat Yogyakarta, saya harus ambil inisiatif mengkonsolidasikan
para pengurus, karena informasi masih minim, dan keadaan di
Yogya belum menampakkan keadaan yang terang benderang.
Saya bahkan mendapat kunjungan dari Nurdin yang adalah
salah satu aktivis CGMI (organisasi mahasiswa onderbouw PKI) di
PPMI Konsulat Jogjakarta. Dia menanyakan saya tentang keadaan
di Jakarta, pertanyaan yang saya juga belum bisa menjawab. Itulah
pertemuan saya terakhir dengan saudara Nurdin. Walau berbeda
paham, tapi kami tetap bersahabat. Walaupun baru kembali dari
Jakarta, saya memang belum membawa pesan organisasi karena
Pengurus Pusat dan cabang-cabang masih mengikuti Kongres
GMKI di Manado. Saya tidak ikut Kongres itu dan mereka kira saya
sudah di Jepang.
Semakin hari, panasnya bara perkembangan politik nasional
makin terasa di Yogya, isu-isu yang beredar pun semakin liar. Suatu
hari tersiar kabar tentang terancamnya keamanan pendeta-pendeta
di Yogyakarta. Beberapa Pengurus teras GMKI cabang bertemu dan
sepakat untuk mengantisipasi isu itu dengan segala keterbatasan
kami Pengurus Cabang.
Siang malam, tempat kost kami jadi tempat berkumpulnya para
aktivis. Masing-masing ingin mengetahui perkembangan keadaan
politik terkini. Selain saya, ada dua aktivis lain yang tinggal di rumah
ini, yaitu putra-putri dr. Kasmolo, yaitu dr. Tato Pujo Kasmolo dan
dr. Puji Sri Sumaryani. Melalui keduanya, saya minta izin agar kami
boleh "mengamankan" para pendeta.
Setelah mendapat persetujuan keluarganya, kami segera
menugaskan beberapa aktivis untuk menjemput para pendeta.
Untuk sementara, mereka kami ungsikan ke lantai dua rumah
keluarga dr. Kasmolo sambil menunggu perkembangan keadaan
politik selanjutnya. Cukup mengerikan juga kalau diingat-ingat
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
bagaimana kami mengamankan para pendeta itu tapi keluarga
mereka malah ditinggal di rumah...
Salah satu pendeta itu adalah Pendeta Sularso Sopater, STh,
guru bagi kami, para anggota GMKI Cabang Yogyakarta. Bersama
Pendeta Rusbiakto, keduanya merupakan kader Gereja Kristen Jawa
yang terkenal handal pada masa itu, dan sama-sama alumni STT
Jakarta Jl. Proklamasi 27 Jakarta. Pendeta Sularso Sopater kemudian
menjadi Ketua Umum PGI pada tahun 1987 sampai 2001.
Ternyata, ancaman keamanan para pendeta itu hanya isu
saja. Walau begitu, apa yang kami lakukan tetap berguna untuk
konsolidasi dan mengorganisir kekuatan ala kadarnya dan
membangun hubungan antar organisasi-organisasi pemuda yang
berbasis kekristenan seperti GSKI, GAMKI dan sebagainya. Dengan
kemampuan mengumpulkan para pendeta tersebut, kader-kader
118 GMKI lebih diandalkan oleh gereja-gereja se-Yogyakarta, sehingga
gereja meminta informasi perkembangan politik dari GMKI.
Ds. Tan, Pimpinan GKI Ngupasan suatu ketika sampai meminta
saya memberi penjelasan di tengah jemaatnya dan menjamin bantuan
transportasi saya untuk hilir mudik Jakarta bila diperlukan untuk
mengumpulkan informasi dari PP GMKI. Suatu sikap pimpinan
gereja yang jarang terjadi. Dua atau tiga kali, kesediaan Ds. Tan Ik
Hei itu saya gunakan dan laporkan ke GMKI Cabang Yogyakarta,
karena untuk kami hal ini merupakan suatu pengalaman baru, yaitu
berhubungan dengan jemaat apalagi jemaat GKI Ngupasan yang
kala itu sepertinya tabu dimasuki organisasi.
Untuk mengikuti perkembangan politik khususnya yang
menyangkut dunia kemahasiswaan, GMKI Cabang Yogyakarta
membentuk “Tim Screening” Cabang Yogyakarta. Saya diminta
mengetuai tim itu dan saya terima karena saya memikul tanggung
jawab formal sebagai Ketua Hubungan Luar Cabang dan Koordinator
GMKI Jawa Tengah – Yogyakarta.
Kembali ke Bangku Kuliah UGM 119
Menjalankan screening keanggotaan itu menjadi tugas yang
berat buat saya, karena kala itu GMKI secara nasional menganut
sistem keanggotaan rangkap. Jadi seorang anggota GMKI, bisa juga
menjadi anggota GMNI, CGMI, PERHIMI dan lain-lain. Dan
beberapa tahun terakhir hal ini memang sudah sering diperdebatkan.
Puncak kesulitan mengenai keanggotaan rangkap ini terjadi ketika
Rektor Universitas Gajah Mada membekukan kemahasiswaan dari
mahasiswa yang berafiliasi atau dianggap onderbouw (organisasi
sayap pendukung) Partai Komunis Indonesia seperti Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo) bahkan organisasi kekeluargaan PERHIMI pada waktu
itu.
Beberapa ibu-ibu mendatangi Kantor Sekretariat GMKI yang
saat itu menjadi tempat tinggal saya, bahkan ada yang bertanya
dengan air mata karena putra atau putrinya kena aturan pembekuan
atau skorsing kemahasiswaan. Saya benar-benar merasa "hijau"
menghadapi persoalan ini, tapi tidak ada jalan lain. Karena jabatan
saya sebagai Ketua Hubungan Luar GMKI dan wakil GMKI di
PPMI Konsulat Yogyakarta, saya ingat pernah berkenalan dengan
Prof. Dr. Johanes, Pejabat Rektor UGM, Korem Yogyakarta dan
Kapolda Polisi Yogyakarta. Saya yakin mereka mempercayai saya,
didukung senior-senior seperti Dr. Ruwido, David Izaak, Inget
Sembiring. Kasumbogo Untung, Dr. Pujo Kasmolo dan lain-lain.
Dengan doa yang lebih khusyuk kami mohon petunjuk Tuhan untuk
mengaruniakan kebijakan menghadapi pembekuan kemahasiswaan
keanggotaan GMKI ini. Surat Keterangan yang bagaimanakah yang
harus saya tandatangani sebagai Ketua Tim Screening yang bisa
menolong mahasiswa yang terkena skorsing tanpa implikasi negatif
kepada pribadi kami maupun GMKI Cabang Yogyakarta?
Pada masa itu saya sudah sering mencoba menghayati ajaran
Yesus Kristus tentang pembawa damai, maka seharusnya kita
tidak perlu takut membawa damai itu. Dalam Alkitab tertulis,
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
"Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan
disebut anak-anak Allah." (Matius 5 : 3-12; Lukas 6 : 20–26).
Saya akhirnya menemukan jalan untuk membuat surat
keterangan atas nama seseorang anggota dan kami sepakat menyusun
120
Kembali ke Bangku Kuliah UGM 121
Surat Keterangan itu. Untuk menerbitkan Surat Keterangan ini,
umumnya kami minta Surat Pengantar dari Pengurus Komisariat dan
bagi mereka yang tidak memiliki nomor pendaftaran di Komisariat,
harus didampingi satu atau dua orang saksi dan seterusnya. Anggota
GMKI Cabang Yogyakarta cukup tenteram dengan keluarnya Surat
Keterangan seperti itu.
Pada suatu tengah malam dalam perjalanan Jakarta – Surabaya
dengan kereta api, saya turun di Stasiun Semarang (Lawang
Semarang) untuk membeli rokok. Seorang laki-laki dari kejauhan
melompat pagar stasiun lalu mendekap saya. Saya pikir siapa,
ternyata kawan lama di GMKI. Dia mengeluarkan dompetnya, lalu
mengambil kertas lusuh dari dompetnya itu, yang ternyata adalah
Surat Keterangan yang saya tandatangani itu. "Ini Mir, surat yang
kau bikin. Masih kusimpan sampai sekarang!" katanya tertawa.
Saya kira kawan saya itu rindu bertemu dengan saya setelah kami
berpisah hampir lebih dari lima tahun sejak 1965.
Sebagai Ketua Hubungan Luar, saya rutin pulang pergi ke
Jakarta dua hingga tiga kali dengan kereta api. Rutinitas yang makin
lama terasa makin menyiksa. Belum lagi kegiatan keliling Jawa
Tengah ke daerah-daerah yang saya koordinir membuat waktu terasa
berjalan cepat dan studi saya pun terbengkalai. Saya teringat lagi
tekad sekembali dari Medan, walaupun dengan setengah hati, untuk
meraih tingkat Sarjana Muda Ekonomi. Dengan sisa waktu yang
tersedia, saya mengejar ketinggalan dengan bantuan teman-teman
aktivis GMKI yang meminjamkan diktat dan catatan kuliah yang
tidak sempat saya ikuti. Saya selalu berusaha keras belajar. Sayangnya
ada saja kendala di tengah semangat tersebut. Suatu hari mata kiri
saya harus dioperasi karena kelopak mata kiri bawah masuk ke biji
mata yang sangat mengganggu kalau saya sedang membaca.
Untuk membantu keuangan, saya minta dukungan teman-
teman organisasi untuk dapat mengajar mata pelajaran Ekonomi
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
dan Koperasi di SMA BOPKRI III Jl. Jend. Sudirman, dekat kantor
dan kost kami. “Dikit-dikit bisa jadi bukit,” begitu pemikiran pada
masa itu menimbang honor yang tak seberapa.
Saya mengirim surat ke Pengurus Pusat GMKI untuk
mengusahakan bantuan beasiswa dari DGI (Badan Kerja Sama
DGI – GMKI). Atas desakan PP GMKI, khususnya Ketua Umum
Bang Kilian Sihotang, beasiswa itu saya peroleh. Tidak seberapa
memang, tetapi sangat membantu memacu semangat saya, sehingga
terbayang rencana saya untuk melepas sedikit beban yang dipikul
Ibu. Ibu saya sudah semakin tua, saya merasa tak pantas jika saya
masih membebani beliau.
Dalam keadaan sakit mata, saya mengikuti ujian (tentamen)
sendirian untuk satu atau dua mata kuliah. Terasa sakit sekali
rasanya ketika mengingat teman-teman seangkatan saya waktu itu
122 sudah diwisuda. Ketika saya akhirnya lulus, saya hanya sendirian,
jadi tidak ada acara wisuda atau perayaan sukacita kelulusan yang
mungkin dirasakan teman-teman saya. Namun walau lulus sendirian,
Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta tetap memuat berita tentang
kelulusan saya dari UGM.
Membaca berita itu, teman-teman aktivis GMKI menyalami
saya. Salah satu diantaranya Inget Sembiring, senior saya baik di
GMKI maupun di Fakultas Ekonomi di UGM. Ia menyalam saya
sambil ngeledek, “Sekarang Amir baru berhak mengatakan tinggi
ilmu”. Inget maksudnya menyindir saya, karena pada ceramah-
ceramah pendidikan kader GMKI saya selalu mengangkat trilogi/
panji GMKI yang yaitu “Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Tinggi
Pengabdian.”
Teman-teman di Salemba 10 Flat 21 Jakarta, khususnya bang
Kilian Sihotang mendorong saya agar pindah saja ke Jakarta.
Mereka mengatakan bisa membantu saya pindah ke Universitas yang
memungkinkan, sambil berusaha mencari pekerjaan sambilan di sana.
Kembali ke Bangku Kuliah UGM
Komandan Korem Yogyakarta Dan Kolonel Polisi Soetaryo
membuat "surat kenal" (surat referensi) untuk saya. Pada masa itu,
surat jaminan seperti itu berperan penting ketika seseorang pindah
ke lain daerah. Saya juga mengantongi Surat Keterangan Dewan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta yang mengiringi
keberangkatan saya ke Jakarta. Permulaan tahun 1966 saya kemudian
pindah ke Jakarta dengan modal Sertifikat Sarjana Muda Ekonomi
(waktu itu gelarnya disebut B.Sc.).
Saya diterima bekerja di Kantor Dewan Gereja-gereja di
Indonesia (DGI) di Jl. Salemba Raya 10, satu gedung dengan
Pengurus Pusat GMKI yang mencatat saya sebagai anggota Pleno
Koordinator (Korda) GMKI Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta).
123
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
124
Surat Keterangan Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
Kembali ke Bangku Kuliah UGM
125
Surat Keterangan dari Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia - Care Taker
Kodema Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada Jogjakarta
z
BAB SEPULUH
Memasuki
Salemba 10
Setelah lulus Sarjana Muda Ekonomi Universitas Gajah Mada,
atas anjuran Drs. Kilian Sihotang, Ketua Umum PP GMKI,
saya pindah ke Jakarta pada awal 1966. Sambil menjadi pegawai
Komisi Kaum Awam di DGI, sebagai mantan Koordinator Daerah
GMKI Jawa Tengah – DI Yogyakarta, saya menjadi anggota PP
GMKI yang berlokasi di Salemba 10, Flat 21. Sekretaris Komisi
Kaum Awam saat itu adalah Drs. Pontas Nasution yang saya kenal
di Ambon pada tahun 1964. Beliau memberi bimbingan pada saya
tentang keawaman dalam gereja, negara dan masyarakat.
Saya ditugaskan untuk mempersiapkan materi Kursus Kader
GMKI. Materi ini akan dibahas pada Konferensi Studi Nasional di
Banjarmasin dan hasilnya akan dibawa ke Kongres GMKI di Tana
Toraja dan disahkan sebagai Keputusan Kongres tentang materi
Kursus Kader GMKI untuk Kader Komisariat, Kader Cabang,
Kader Regional dan Kader Nasional. Saya harus memacu diri untuk
melayani Komisi Kaum Awam DGI dan PP GMKI sekaligus.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Kongres Nasional GMKI di Tana Toraja berlangsung tahun
1967 dan materi Kursus Kader ini disahkan tanpa perubahan
yang berarti. Sebagai hasil Kongres Toraja, saya diangkat menjadi
Wakil Sekretaris Jenderal I, Tiolina Tobing sebagai Wakil Sekertaris
Jenderal II, dan Supardan sebagai Sekretaris Jenderal.
Sebagai pendatang "anak daerah" dari Yogyakarta, banyak hal
yang harus saya pelajari untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan
Kompleks Salemba Raya 10 dan kehidupan Jakarta pada umumnya.
Selama kepemimpinan Kilian Sihotang, ia selalu menugaskan saya
untuk merangkum pembicaraan pada setiap audiensi PP GMKI
dengan pejabat. Rangkuman itu kemudian saya susun dalam bentuk
siaran pers yang biasanya akan diterbitkan Harian Umum Sinar
Harapan dan terbitan nasional lainnya.
Siaran pers dengan gaya Yogyakarta yang berbeda dengan gaya
128 Ibukota ini menjadi siaran pers yang dibagikan kepada wartawan dari
berbagai surat kabar di Ibukota. Saya tahu maksud Kilian Sihotang.
Cara kerja seperti ini adalah jalan tercepat untuk membangun
citra diri baik dalam hubungan internal di organisasi PP GMKI
dan GMKI Jakarta, maupun eksternal, yaitu hubungan dengan
organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan yang satu
asas. Beruntung saya sudah berlatih selama di GMKI Yogyakarta
yang memahami bidang politik badan pengurus cabang, sehingga
saya tidak terlalu sulit untuk mengembangkannya.
Begitulah cara Kilian Sihotang mendidik kader-kader muda
dan barangkali sekaligus bentuk pertanggungjawabannya setelah ia
mendorong saya pindah ke Jakarta untuk menjadi aktivis dan bekerja
untuk PGI. Dalam kepengurusan GMKI dua periode kemudian,
saya dipilih menjadi Bendahara Umum PP GMKI. Ketika itu Ketua
Umumnya dijabat Binsar Sianipar yang kemudian digantikan oleh
Natigor Siagian yang menghendaki agar saya kembali menjabat
Bendahara Umum untuk kedua kalinya.
Memasuki Salemba 10 129
Menjadi Anggota Pengurus DC – DGI
Saya aktif pada hampir semua kegiatan PP GMKI dan DGI,
kemudian juga dalam kegiatan Gerakan Angkatan Muda Kristen
Indonesia (GAMKI).
Di tengah kesibukan mengikuti kegiatan organisasi, serta
penyesuaian diri dalam kehidupan metropolitan Jakarta, masih
terbersit niat untuk menyelesaikan kuliah Ekonomi. Namun waktu
berjalan cepat, antara studi, kegiatan organisasi dan kemasyarakatan
sudah tidak terkendali. Sempat terbayang tulisan pada sertifikat
Sarjana Muda Ekonomi UGM bahwa saya berhak menempuh ujian
doktoral, namun semuanya sirna.
Suatu hari ketika sedang kongkow-kongkow di kantor PP-
GMKI, Jl. Salemba Raya 10 flat 21, saya utarakan niat kepada
teman-teman kalau saya mau mencoba masuk ke Fakultas Ekonomi
di universitas swasta manapun di Jakarta untuk meraih gelar sarjana
ekonomi. Sabam Sirait nyeletuk, “Sudahlah Bung Amir, pakai gelar
Sarjana Muda Ekonomi Gajah Mada saja yang sudah kau pegang,
daripada pakai gelar doktorandus yang nanti kita tidak tahu dari
mana...”
Ledekan itu mengundang tawa teman-teman. Mungkin mereka
tertawa karena tahu kalau Sabam Sirait juga tidak menyelesaikan
sarjananya pada waktu itu. Nasehat Bung Sabam itu akhirnya
menjadi kenyataan yang tidak saya sesali, walau ada kalanya di saat-
saat tertentu terlintas juga di pikiran saya betapa banyak orang yang
berusaha untuk masuk UGM, tetapi saya malah meninggalkannya.
DC-DGI adalah singkatan dari Development Center - Dewan
Gereja-gereja di Indonesia yang kemudian disebut menjadi Dharma
Cipta DGI. DGI mendirikan badan ini sebagai salah satu lembaga
operasional program DGI di bidang partisipasi gereja dalam
pembangunan nasional.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Pada dekade 70-an partisipasi gereja (partisipasi agama-agama)
dalam pembangunan menjadi topik yang merata dan menarik
dalam masyarakat, dihubungkan dengan sebagian besar masyarakat
berada di desa-desa yang miskin, sehingga secara etik dan moral
dan panggilan nasionalisme seluruh masyarakat didorong untuk
membebaskan rakyat desa dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Pada Sidang Raya DGI di Pematang Siantar tahun 1971, topik
ini menjadi pergumulan berat karena berhubungan dengan tema
tahun itu yang berbunyi: ”Disuruh ke dalam dunia” dan subtema:
“Tugas kita dalam negara Pancasila yang sedang membangun.” Dari
pergumulan tersebut dicatat beberapa hal yang merupakan dasar
bagi partisipasi gereja dalam pembangunan.
T.B. Simatupang menandainya sebagai dasar “klasik” bagi
partisipasi gereja dalam pembangunan, yang antara lain sebagai
130 berikut : “Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan injil
Yesus Kristus, Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan
dan pembaharuan yang tersedia bagi manusia (Markus 1:15), serta
kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki
Tuhan untuk dunia (Lukas 4: 18-21).
Kita terpanggil untuk turut serta dalam usaha membebaskan
manusia dari penderitaannya yang disebabkan oleh keterbelakangan,
kemiskinan, penyakit, ketakutan dan ketidakpastian hukum. Kita
terpanggil untuk turut serta sepenuhnya mengusahakan keadilan
dalam segala aspek kehidupan; di bidang ekonomi dan politik,
keadilan antar manusia dan antar golongan, keadilan dalam susunan
masyarakat dan keadilan internasional. Kita terpanggil untuk turut
berjuang melenyapkan kepalsuan, korupsi, ketidakjujuran. Kita
terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia
secara jasmani dan rohani.
Oleh sebab itu, Tuhan menyuruh kita untuk berpartisipasi
dengan penuh tanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan
Memasuki Salemba 10 131
masyarakat, bangsa dan negara, untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat baik dalam pembangunan lima tahun dewasa ini maupun
dalam tahap-tahap pembangunan di masa mendatang. Dalam
melaksanakan pembangunan maka pertumbuhan ekonomi
hendaknya selalu ditempatkan dalam hubungan keadilan sosial
dan swadaya (self-reliance). Hendaknya gereja dalam pelaksanaan
pembangunan ini secara khusus menyiapkan dan membina manusia-
manusia pembangunan. “Kita turut mempersiapkan agar dalam
pembangunan martabat manusia senantiasa terjamin dan dijunjung
tinggi,” begitu ujar T.B Simatupang.
Apa yang dijalankan pada Sidang Raya DGI tahun 1971 itu
ialah menempatkan partisipasi gereja dalam pembangunan, dalam
rangka melaksanakan tugas panggilan gereja yang tidak pernah
berubah yaitu memberitakan injil Yesus Kristus. Partisipasi itu adalah
ungkapan dari keyakinan bahwa Tuhan menghendaki kebebasan,
keadilan, kebenaran dan kesejahteraan untuk dunia.
Itulah pedoman dan ukuran bagi partisipasi gereja dalam
pembangunan. Dalam hal ini tidak ada konflik antara tugas sebagai
warga negara Pancasila dan sebagai warga gereja, sebab negara
Pancasila juga menghendaki kebebasan, keadilan, kebenaran dan
kesejahteraan bagi semua orang.
Sejak dahulu sebelum Sidang Raya DGI tahun 1971, gereja-
gereja telah berpartisipasi dalam pembangunan yaitu dalam bidang
pendidikan, kesehatan, pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.
Hanya saja pelaksanaan dari keputusan-keputusan Sidang Raya
DGI tahun 1971 mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan
ditempatkan dalam perspektif yang baru. Ini berarti perlu adanya
reorientasi dan reorganisasi terhadap kegiatan-kegiatan yang lama
itu dan perlu diadakan lembaga-lembaga baru dan program-program
yang baru.
Dalam hubungan inilah Dharma Cipta Dewan Gereja-gereja
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
di Indonesia dibentuk, yaitu sebagai wadah untuk mewujudkan
pemikiran Sidang Raya DGI tahun 1971 mengenai partisipasi
gereja dalam pembangunan untuk mengkonkritkan pemikiran itu
melalui reorganisasi dan reorientasi terhadap kegiatan kegiatan lama
dan dimana perlu dengan mengadakan program-program baru.
Lembaga baru DC-DGI ini dalam waktu singkat dikenal masyarakat
karena berkaitan dengan institusi lain yang terkait dengan desa
seperti Departemen Dalam Negeri yang menerbitkan Garis-Garis
Besar Bagi Pembangunan Pedesaan di Indonesia pada tahun 1977.
Dikenal pula Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit
Desa (KUD), Badan Urusan Tenaga Sukarela Indonesia (BUTSI),
pimpinan Dr. Washington Napitupulu yang untuk satu dan lain
hal programnya mempunyai kesamaan dengan program DC-DGI.
Hanya berselang 2 tahun sebelumnya, tahun 1970 Dewan Gereja-
gereja Dunia membentuk badan mirip DC-DGI, yaitu WCC/
132 CCPD yang disebut Departemen Pembangunan dan Pelayanan
CCA dengan sikap teologi yang mirip.
DC-DGI berpusat di Cikembar, sukabumi, Jawa barat di atas
lahan seluas 15 hektar. Organisasi ini memiliki program menarik,
yaitu pendidikan motivator pembangunan. Sejumlah pemuda
dilatih menjadi motivator dan setelah program selesai, mereka
disebarkan untuk bertugas ke berbagai desa di Indonesia. Menarik
karena pesertanya terdiri dari berbagai latar belakang, dan lokasi
yang dituju adalah desa-desa yang sangat jauh dari akses komunikasi
pembangunan. Daerah-daerah dengan tingkat “kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakadilan” yang sangat
menonjol.
Seratus desa diimpikan akan terlayani. Pada tahun 1978,
sebanyak 51 desa berhasil dijangkau, ditempati 2-3 orang motivator
pada setiap desa. Saya sendiri anak desa dari daerah yang kala
itu dinamakan ”Tapanuli peta kemiskinan”, saya tidak dapat
Memasuki Salemba 10 133
membayangkan kapan “kedesaan” bangsa saya akan berakhir, namun
saya bersyukur DGI mengikutsertakan saya sebagai eksponen
generasi muda dalam kepengurusan Dharma Cipta DGI sebagai
anggota termuda.
Sekitar tahun 1973 saya turut mengunjungi Kupang, Nusa
Tenggara Timur disambut tuan rumah Ketua RDC-NTT (Regional
Dharma Cipta – Nusa Tenggara Timur), Pak Doko. Beliau adalah
tokoh masyarakat yang amat terkenal, namanya diabadikan warga
sebagai nama sebuah jalan di Kupang yaitu Jalan Doko. Untuk
menggambarkan betapa hebatnya kondisi lapangan yang menjadi
peta pelayanan Dharma Cipta-DGI, saya diajak meninjau suatu
desa terpencil bernama Bipolo -- kira-kira 20 km dari Kupang.
Kami berjalan kaki ke puncak Bukit Bipolo. Sebelumnya, Pak
doko meminta saya membeli “nasi bungkus” sebagai oleh-oleh
untuk warga. Tiba di rumah keluarga yang dituju, kami bertukar
buah tangan. Nasi bungkus saya ditukar dengan makanan setempat
berupa biji-biji jagung yang telah direbus. Begitulah adatnya.
Tinggal di atas bukit ”tadah hujan”, tidak ada jalan khusus atau
jalan setapak yang jelas ke Kota Kupang. Jauh di bawah bukit ini
terbentang lepas laut luas dan dalam. Terbayang betapa sulitnya
menjual hasil keringat keluarga tersebut. Bisa menghasilkan tetapi
sukar menjualnya untuk memenuhi keperluan lainnya. Dengan
demikian kami menemukan persoalan pokok desa ini yang tidak
mudah diatasi sekalipun dengan kehadiran “motivator”. Fakta-fakta
ini saya susun dan bawa ke Jakarta termasuk ketika saya ikut serta
menghadiri pertemuan CCPD/WCC di Jenewa, Swiss. Rumusan
persoalan konkret ini saya laporkan dan terangkat dalam diskusi
pembahasan.
Salah satu hal menarik lainnya semasa saya di Kupang adalah
kunjungan kehormatan kepada Gubernur NTT, Pak El Tari. Beliau
adalah seorang perwira tinggi angkatan darat yang tampak bersahaja.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Konon kabarnya Pak Gubernur berasal dari rakyat biasa, sedangkan
para bupati bawahannya hampir seluruhnya berasal dari keturunan
”raja-raja” atau bangsawan NTT.
Kami sempat berbincang tentang ternak sapi yang berlimpah
namun kita mengimpor daging sapi dari Australia. Pak El Tari yang
bersemangat itu mengatakan kepada saya bahwa sampai saat ini,
ternak sapi di NTT belum menjadi faktor ekonomi. “Kalau pun
misalnya terjadi secara kebetulan sapi-sapi masuk ke kebun rakyat,
maka yang diperiksa bukan sapinya, melainkan pagar kebun yang
rusak, apakah kokoh atau tidak,” demikian ia menggambarkan
kondisi sosial ekonomi rakyatnya.
Melihat potensi ekonomis dari ternak sapi yang cukup
menjanjikan, maka untuk sementara Dharma Cipta – DGI
merencanakan suatu “peternakan percontohan” dengan
134 pemeliharaan yang baik dengan “mencicil” motivasi. Hampir
bersamaan waktunya, cara berpikir untuk memotivasi ini kami
kembangkan juga di Komite Nasional Pemuda Pusat (KNPI).
Pada periode I DPP KNPI, tahun 1973 saya menjabat
Departemen Seni Budaya. Mengomentari Film Indonesia dalam
suatu diskusi di Taman Ismail Marzuki saya bergurau kalau selesai
menonton film Indonesia, saya merasa pulang tidak membawa apa-
apa. Komentar ini rupanya menyinggung perasaan beberapa orang
artis Ibukota, sehingga Rahayu Effendi, artis terkenal pada waktu
itu ‘marah-marah’ pada saya, bahkan termuat di halaman depan
beberapa koran Ibukota.
Di balik gurauan saya sebenarnya tersirat suatu keinginan agar
film-film nasional kita lebih banyak mendidik dan memotivasi
kaum muda bangsa kita. Untuk meluruskan kesalahpahaman ini,
Akbar Tanjung dan saya beserta teman lainnya berbincang ke rumah
Rahayu Effendi. Sejak kunjungan itu, saya menjalin komunikasi
yang baik dengan artis-artis ibukota sampai kemudian saya masuk
Memasuki Salemba 10 135
menjadi anggota Dewan Film Nasional. Pada beberapa kesempatan
di DPP KNPI, saya mengusulkan agar DPP KNPI menopang
produksi Film Nasional yang berkaitan dengan memotivasi bangsa
kita untuk membangun desa. Usulan ini sekaligus menyambung ide
David Napitupulu (Ketua Umum DPP KNPI) untuk mendirikan
Desa Pemuda di Sumatera Utara bersama dengan Ekponen KNPI
Sumut waktu itu, Ir. Rangkuti. Sayangnya program ini tidak
berlanjut walaupun Presiden Soeharto telah menjanjikan sepuluh
traktor.
Gagasan saya agar DPP KNPI turut menopang pembuatan
film Nasional disetujui DPP dan bekerja sama dengan Pemerintah
c.q. Departemen Penerangan RI. Diproduksilah suatu film nasional
oleh Slamet Rahardjo dan kawan-kawan yang skenarionya saya
baca, yaitu Dr. Siti Pratiwi Kembali Ke Desa. Salah satu pemain
utamanya adalah Christien Hakim, yang berperan sebagai dokter
yang mengabdi kepada rakyat desa. DPP KNPI bangga dengan film
yang dibintangi oleh pemain-pemain film terkenal kala itu.
Saya seorang anak desa, sempat turut merasakan partisipasi
rakyat desa dalam perjuangan perang kemerdekaan. Saya
menangkap pikiran Pak T.B. Simatupang yang menganalogikan
perjuangan kemerdekaan dengan desa dan rakyatnya yang
sekaligus menggambarkan betapa vitalnya peranan rakyat desa. T.B
Simatupang mengatakan bahwa sulit membayangkan kemenangan
perjuangan kemerdekaan tanpa peranan desa dan rakyat desa.
Pada 10 Maret 2019 saya hadir sebagai salah satu pembahas
di peluncuran biografi Abdul Gafur di Balai Kartini, Jakarta. Di
kesempatan itu saya mengangkat kembali pikiran T.B. Simatupang
tentang peranan penting desa tersebut ke tengah-tengah berbagai
tokoh yang hadir. Pemikiran Pak T.B. Simatupang itu relevan
dengan kehidupan Pak Gafur, tokoh yang lahir dari desa. Pencapaian
Pak Gafur menggambarkan potensi desa kita melahirkan pemimpin
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
bangsa, tetapi pada sisi lain keadaan desa-desa kita sekarang ini
kurang menggembirakan, bahkan setelah 75 tahun merdeka, sambil
menyebut nama tokoh yang juga hadir saat itu, dr. Emil Salim yang
saya sebut sebagai pencinta desa dan lingkungan hidup.
Pak T.B. Simatupang pernah menggambarkan totalitas
peranan rakyat desa pada perang kemerdekaan, betapa sulit kita
mengharapkan kemenangannya lawan penjajah tanpa rakyat desa.
Dalam sebuah tulisannya, “Motivator Milik Desa”, Dharma Cipta-
DGI, 1978, beliau menguraikan cita-cita atau impian di balik
program motivator pembangunan itu sebagai berikut:
Berdasarkan pengalaman selama Perang Kemerdekaan,
kita belajar bahwa perjuangan nasional yang besar hanya dapat
berhasil apabila dia berpangkalan dan berada di desa-desa. Maka
disadari bahwa pembangunan tidak kalah besarnya dengan Perang
136 Kemerdekaan, dan pembangunan hanya dapat berhasil apabila
berpangkalan dan berakar di desa-desa.
Berdasarkan pengalaman bahwa pada permulaan lahirnya
Gereja-gereja di Indonesia, jemaat-jemaat merupakan pusat-pusat
pembaharuan bagi kehidupan di desa-desa di banyak daerah di
Tanah Air. Maka disadari bahwa salah satu sasaran utama bagi
pertisipasi Gereja dalam pembangunan ialah agar jemaat-jemaat
yang berjumlah puluhan ribu itu dapat menghidupkan kembali
fungsinya sebagai pusat pembaharuan dalam pembangunan desa-
desa di sekitarnya.
Berdasarkan pengalaman selama Perang Kemerdekaan bahwa
kehadiran pemuda-pemudi terpelajar yang penuh dedikasi dan
semangat juang telah ikut mengembangkan motivasi di kalangan
rakyat desa untuk mengambil bagian penuh dalam perang
kemerdekaan itu, maka disadari bahwa dalam pembangunan
kehadiran pemuda-pemudi terpelajar yang penuh dedikasi di desa-
desa dapat membantu rakyat desa mengembangkan motivasi untuk
Memasuki Salemba 10 137
sepenuhnya mengambil bagian dalam pembangunan.
Dalam rangka cita-cita pembentukan Gereja Kristen Yang Esa
di Indonesia sebaiknyalah pemuda-pemudi itu merupakan satu
korps yang berasal dari berbagai gereja dan yang bertugas di mana
pun juga diperlukan dengan melihat seluruh Indonesia sebagai satu
wilayah pelayanan dan kesaksian bersama.
Para motivator pembangunan itu diharapkan menjadi unsur-
unsur penting dalam pembinaan generasi baru, tenaga-tenaga kader
yang akan menjadi pelopor dalam perwujudan cita-cita keesaan dan
pembaharuan gereja, sekaligus pelopor-pelopor dalam partisipasi
gereja dalam pembangunan sebagai semboyan yang bermakna
dalam upaya bangsa kita untuk membangun Masyarakat Indonesia
yang maju, makmur, adil dan lestari berdasarkan Pancasila.
Sejak tahun 1971, T.B.Simatupang bersama pimpinan MPH
DGI lainnya dan DR. M. Hutasoit (mantan Sekertaris Jenderal
Departemen Pendidikan & Kebudayaan) bersama beberapa anggota
Pengurus lainnya memimpin Dharma Cipta – DGI yang secara
fungsional di lapangan dioperasikan Drs. W. Lalisang (seorang
ekonom) dan Wakil Direktur Drs. Binsar Sianipar (Sarjana
Kedokteran Hewan) bersama puluhan tokoh-tokoh pemuda. Mereka
tampil dan muncul melahirkan ratusan motivator pembangunan
dan menyebarkannya di seluruh penjuru tanah air.
Sayang program yang strategis dan sangat penting ini tidak
pernah terdengar lagi kelanjutannya.
Prof. DR. Emi Salim bahkan memberi sambutan menulis: Dicari
Manusia Tipe Ruth. Ruth Sendi Ramba adalah seorang Toraja yang
membangun para wanita di Desa Batuneda. Menurut Emil Salim,
Ruth adalah manusia biasa tetapi berhasil melaksanakan fungsi-
fungsi motivator desa. Tujuan Ruth adalah merangsang masyarakat
desa untuk mencari pemecahan persoalannya sendiri. Kerja Ruth
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
adalah membangkitkan partisipasi masyarakat desa dengan gairah
spontan mereka sendiri tanpa perintah, tanpa paksaan. Menurut
Emil Salim di desa-desa di Indonesia hidup jutaan rakyat kecil
dalam keadaan “tertinggal” seperti di desa Batuneda, Tapanuli
Utara, Sumatera Utara, tempat Ruth bertugas sebagai motivator
pembangunan.
Mereka punya kemampuan, tapi persoalannya adalah mereka
tidak tahu, mereka hidup terlalu lama dalam perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan sehingga mereka hanya tahu dunia kemiskinan
ini.
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup, Prof. DR. Emil Salim akhirnya mengatakan bahwa
Dharma Cipta Dewan Gereja-gereja di Indonesia sebagai lembaga
pengembangan partisipasi pembangunan telah berhasil melatih
138 motivator-motivator desa seperti Ruth dan kawan-kawannya. Dan
secara obyektif kita lihat bahwa usaha ini berhasil membangkitkan
gairah dan semangat hidup di desa-desa miskin seperti di Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan, Emil Salim menceritakan
keberhasilan Dharma Cipta DGI ini kepada Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan beliau gembira mendengar bahwa langkah-
langkah serupa ini juga diselenggarakan oleh organisasi-organisasi
Islam di tanah air kita. Akhirnya Emil Salim mengatakan bahwa
Indonesia begitu luas, penduduknya begitu banyak dan yang miskin
jutaan.
Tetapi kita bisa membangkitkan gairah hidup mereka untuk
keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Yang
diperlukan adalah uluran tangan penuh kasih dan dedikasi yang
menuntun mereka untuk mencari solusinya sendiri, tegas Prof. DR.
Emil Salim.
Tetapi siapakah yang akan tampil untuk benar-benar
Memasuki Salemba 10 139
membebaskan jutaan rakyat desa dari jeritan penderitaan itu?
Saya teringat “karikatur” teman-teman dari Amerika Latin peserta
pertemuan “CCPD/WCC yang juga menghadapi persoalan desa
yang mirip dengan yang dialami Indonesia.
Karikatur mereka mengkritik gereja-gereja (termasuk penguasa)
melalui semacam “pelesetan” dari ayat alkitab Keluaran 3:7 yang
mengatakan: “Dan TUHAN berfirman: ‘Aku telah memperhatikan
dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah
mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah
mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka."
Setelah memperhatikan laporan-laporan dari berbagai negeri,
digambarkan ada tokoh karikatur yang sedang menutup telinganya
dan teks di bawahnya bertuliskan "I don’t hear you," seolah-olah
tokoh itu menggambarkan Tuhan. Kritik itu ditujukan kepada
Gereja, penguasa dan kita semua yang mengetahui dan melihat
penderitaan rakyat tetapi tidak melakukan usaha yang memadai atas
penderitaan tersebut.
Sambutan dan dukungan dunia (melalui CCW/WCC) atas
terciptanya Lembaga Development Center DGI besar sekali.
Begitu juga sambutan pemerintah secara nasional maupun lokal
seperti ditunjukkan Prof. DR. Emil Salim. Seharusnya dukungan
ini memberikan dorongan kepada gereja-gereja di Indonesia untuk
melanjutkan dan meningkatkan program-programnya khususnya
program primadona, Pendidikan Motivator Pembangunan, yang
telah dikenal luas secara nasional dan internasional itu. Dan sampai
sekarang masalah yang ditangani, yaitu pembebasan rakyat dari
kemiskinan, masih tetap menjadi masalah bangsa Indonesia.
Suatu ketika muncullah pemikiran di tengah DGI/PGI untuk
mengubah nama Lembaga ini menjadi Dharma Cipta PGI. Bagi saya,
ide perubahan ini sah-sah saja, namun sebenarnya saya tidak melihat
ada yang amat substansial dari perubahan ini, bahkan menguras
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
energi untuk menjelaskan padanan Bahasa Indonesia itu ke seluruh
dunia yang telah mencatat lembaga ini sebagai Development Centre.
Selang sekitar dua tahun lahirlah suatu lembaga baru yang
disebut Pelayanan Masyarakat Kota. Lembaga ini berupa program-
program lepas, bisa dikatakan hit and run. Kemudian lahirlah
pula Lembaga Pelayanan Pembangunan disingkat PELPEK
yang sebenarnya hanya menyatukan Lembaga-lembaga tersebut.
Namun apa pun nama untuk lembaga-lembaga baru itu, keadaan
menunjukkan penurunan. Perlahan-lahan kegiatan Dharma Cipta
(Development Centre) tidak terdengar lagi sampai berujung pada
kematiannya. Catatan ini hanya berupa pengamatan dari seorang
awam dan partisipan atas kegiatan dan program PGI.
Dalam perjalanan dari Wisma Caringin ke Jakarta, saya
berdiskusi tentang perkembangan pelayanan PGI dengan seorang
140 sahabat di GMKI alumni senior Motivator Pembangunan, Julius
Saludung, SH. Begitu mendalam pertanyaannya tentang pandangan
saya atas perkembangan pelayanan PGI ini. Saya katakan dari sisi
manajemen strategi saya mencatat kelemahan kita, antara lain
kelemahan pelaksanaan panggilan, dimana kita lemah membangun
dan melanjutkan serta mengembangkan hal-hal baik yang telah kita
capai, melakukan koreksi dan pembaharuan secara realistis, bukan
menghentikan sesuatu yang telah kita capai.
Saya beri contoh bahwa dahulu ada organisasi yang baik, yaitu
Institut Oikoumene Indonesia (IOI) Pimpinan Pendeta Habandi
dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) yang demikian populer. Tapi
kemudian IOI hilang tanpa bekas. Jadi kesimpulan saya saat itu,
kita lemah memelihara dan mengembangkan yang baik. Barangkali
hal ini berkaitan dengan pengendalian diri dan kepentingan serta
kerendahan hati.
z
BAB SEBELAS
Menjadi Angkatan
Pertama LPPM
Suatu hari ketika sedang kongkow-kongkow bersama teman-
teman di kantor PP-GMKI, Jl. Salemba Raya 10 flat 21, saya
utarakan niat kepada teman-teman kalau saya mau mencoba masuk
ke Fakultas Ekonomi di universitas swasta manapun di Jakarta untuk
meraih gelar sarjana ekonomi. Sabam Sirait nyeletuk, “Sudahlah
Bung Amir, pakai gelar Sarjana Muda Ekonomi Gajah Mada saja
yang sudah kau pegang, daripada pakai gelar doktorandus yang
nanti kita tidak tahu dari mana.” Ledekan itu mengundang tawa
teman-teman. Mungkin mereka tertawa karena tahu kalau Sabam
Sirait juga tidak menyelesaikan sarjananya pada waktu itu.
Nasehat Bung Sabam itu akhirnya menjadi kenyataan yang
tidak saya sesali, walau ada kalanya di saat-saat tertentu terlintas juga
di pikiran saya betapa banyak orang yang berusaha untuk masuk
UGM, tetapi saya malah meninggalkannya.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Pada tahun 1968 saya memasuki kemelut baru tatkala Pak T.B.
Simatupang, salah satu Ketua MPH PGI pada waktu itu memanggil
saya ke Kantor DGI. Beliau menjelaskan bahwa ia dan teman-teman
dari kelompok Katolik serta tokoh-tokoh Islam nasional demokrat
seperti Dr. Bahdir Djohan, Dr. Tedja Sukmana dan lainnya akan
mendirikan Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. Yayasan
tersebut akan mendirikan Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen (LPPM) dan mendirikan Sekolah Tinggi Manajemen
yang fulltime. Mahasiswanya akan memperoleh beasiswa. Kelompok
Salemba (DGI) diminta untuk merekomedasikan tiga atau empat
calon mahasiswa.
Mereka, tokoh-tokoh pejuang dan modernis tersohor itu,
memperkirakan bahwa kehidupan politik baru setelah Orde Lama
berakhir akan memerlukan manager-manager pada perusahaan-
perusahaan yang akan muncul karena penguasa rezim baru akan
142 membangun perekonomian yang sudah lama terlantar.
Waktu itu Orde lama mewariskan keadaan ekonomi yang kalut
dengan inflasi mencapai 650%, sehingga program ekonomi Orde
Baru pimpinan Presiden Soeharto amat memberi harapan yang
lebih baik. Saat itu sangat terkenal dan merakyat slogan pemerintah
yang menonjolkan Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi
dan Pemerataan Pembangunan. Tujuan LPPM untuk melahirkan
manager generasi baru segera menjadi berita besar, karena untuk
pertama kalinya muncul pendidikan model ini.
Saya mempersiapkan 4 orang, yaitu Inget Sembiring, David
Izaak, Albert Hasibuan dan saya sendiri. Albert Hasibuan pada
akhirnya tidak bergabung karena ada tujuan lain seperti keinginan
untuk memimpin PERSAHI, sehingga tinggal tiga orang yang
semuanya alumni GMKI Yogyakarta. Mereka bertiga punya
hubungan dekat, mudah dikontak, dan sudah bekerja.
Saya mendapat kritik dari Victor Matondang yang
Menjadi Angkatan Pertama LPPM 143
mempertanyakan kenapa hanya alumni GMKI Yogya yang diajukan.
Betul juga kritik itu, tetapi saya harus menampilkan kecepatan
karena pengajuan calon kepada Pak Sim tidak lebih dari satu
minggu. Kurang dari seminggu, tiga nama itu saya serahkan kepada
beliau di kantor PGI Salemba, yaitu David Izaak, Inget Sembiring
dan Amir Sirait.
Setelah pendaftaran selesai, munculah kemelut baru. Ternyata
persyaratan calon yang ditetapkan adalah mereka yang sudah S1,
sedangkan saat itu saya baru Sarjana Muda. Saat itu saya lebih
dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang sedang menjabat Wakil
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat GMKI dan beberapa kali menulis
artikel di Koran Sinar Harapan dan koran lokal selama di Yogja.
Berbeda dengan kedua teman saya. Inget Sembiring sudah bergelar
Sarjana Ekonomi dari UGM dan sudah menjadi pegawai negeri
BPK dan David Izaak, mantan Ketua Cabang GMKI Yogyakarta
adalah lulusan Sospol UGM dan sudah diterima sebagai pegawai
Kementerian Dalam Negeri.
Walaupun pengetahuan ekonomi saya masih minim, saya
menduga bukanlah ilmu ekonomi yang menjadi pokok persyaratan,
melainkan pengalaman manajerial dan potensi keterampilan
dalam memimpin dan manajemen. Semua hal itu sedikit banyak
sudah saya pelajari dan lakukan selama berorganisasi, sehingga
membuat saya sedikit optimis. Tapi akankah pimpinan LPPM
atau Panitia Penerimaan Mahasiswa untuk angkatan pertama
mempertimbangkan hal tersebut?
Hati saya mulai goncang. Trauma akan kegagalan masa lalu,
pikiran saya mulai dihinggapi kekhawatiran, saya mulai berpikir
jangan-jangan saya tidak diterima lagi seperti beasiswa ke Jepang
waktu itu. Sementara saya ingin sekali masuk ke program LPPM ini
karena saya dengar setiap mahasiswa akan disediakan beasiswa dan
asrama, dua hal yang sudah sejak lama saya idamkan.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Dalam proses menanti keputusan, saya teringat kalau saya
cukup sering bernasib tak menentu seperti ini. Sepertinya selalu
diperhadapkan pada keadaan yang sama, entah tujuan yang tidak
tercapai atau tujuannya tercapai, tapi ada saja hambatannya.
Pokoknya jalannya selalu tidak mulus...
Di tengah pikiran yang gamang itu, terngiang sepenggal
firman Tuhan yang saya dengar saat mengikuti pendalaman
Alkitab dalam kegiatan kekristenan, yaitu "... bukan rencanaku,
tetapi rencana-Nya”. Selengkapnya firman itu berbunyi “Sebab
rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-
Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi,
demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari
rancanganmu.” (Yesaya 55 : 8-9)
Sempat juga saya dengar desas-desus kalau ada perbincangan
144 tentang pencalonan saya untuk menerima beasiswa itu. Konon
diskusi itu berakhir setelah Pak T.B. Simatupang mengatakan bahwa
nanti Amir Sirait bisa menyelesaikan Studi Ekonomi S1 itu.
Akhirnya saya diterima! Saya menjadi mahasiswa dengan
nomor pokok 01 karena nama saya diawali dengan huruf A. Saya
senang senang sekali namun berita burung tentang perbincangan
soal pencalonan saya itu tetap membekas dan memacu saya untuk
bisa bertarung di tengah-tengah mahasiswa lainnya yang bertitel
Sarjana Hukum, Doktorandus, atau Insinyur dan sudah memiliki
pengalaman kerja pada perusahaan-perusahaan besar seperti
Krakatau Steel dan lain-lain.
Kalau tidak salah ingat, mahasiswa yang diterima sebanyak 24
orang. Sistem pendidikan dilakukan full time yaitu dari pukul 08.00
hingga pukul 19.15 setiap harinya, kecuali hari Minggu dan hari
Libur. Hari Sabtu, kelas mulai pukul 08.00 hingga pukul 13.00.
Selama dua tahun atau empat semester kami menjalani kuliah di
Menjadi Angkatan Pertama LPPM 145
kelas dan praktek lapangan dan setiap semester kami akan dievaluasi
untuk menentukan apa kami bisa lanjut belajar atau drop out.
Beberapa mahasiswa diangkat menjadi asisten untuk dosen tertentu.
Inget Sembiring menjadi asisten Ekonomi dan saya menjadi asisten
untuk Direktur LPPM Prof. Dr. Kadarman yang mengajar Bussiness
Ethics dan Ekonomi. Sungguh ‘mengerikan’ tugas itu – menjadi
asisten seorang profesor doktor yang juga pastor senior dalam gereja
Katolik...
Pada akhir Semester II lebih dari 50% mahasiswa drop out.
Mengingat sejak semula saya sudah ada beban ekstra karena belum
S1, saya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai lebih dari
standar. Saya juga melakukannya untuk menjaga nama baik Pak TB
Simatupang yang mencalonkan saya.
Suatu hari saya dipanggil Kepala Bagian Pengajaran LPPM,
DR. Surjono lantaran di antara mata pelajaran yang saya ambil, saya
mendapat angka 6. Saya dihantam DR. Suryono yang mengatakan
bahwa nilai 5,5 itu 6. Tapi 6,5 itu 6 juga. Ia menjelaskan pada saya
bahwa tujuan LPPM bukan menjadi perguruan tinggi nomor sekian
dan tidak bermaksud menghasilkan manusia rata-rata. Sebagai
mahasiswa ‘marginal’ saya hanya bisa tertunduk dan menjawab “Saya
paham”. Tetapi Dr. Suryono orangnya fair. Ketika saya memperoleh
nilai 8, nilai tertinggi di kelas untuk mata pelajaran ekonomi, saya
dipanggil lagi. Kali ini untuk suatu pujian yang sebetulnya tidak
saya harapkan. Peristiwa itu begitu membekas, sejak itu saya tidak
suka melihat angka 6, termasuk di rapor sekolah anak-anak dan
cucu saya.
Pada semester III saya sudah mulai mampu mengatasi beban
psikologis yang menghinggapi saya selama ini, yaitu kalau saya
sebenarnya bukan sarjana yang ada di tengah-tengah kelompok
mahasiswa bergelar sarjana.
Kondisi itu membuat saya lebih percaya diri dan akhirnya
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
mendorong saya untuk melakukan tugas-tugas dengan lebih baik.
Salah satunya adalah ketika saya menghasilkan makalah untuk
pelajaran Proses Produksi dari suatu bahan kasus tebal yang
dipresentasikan Alwyn Y. Young, dosen luar biasa bantuan PBB.
Makalah saya meraih penilaian terbaik dan dipajang di depan kelas.
Saya juga dianugerahi sebuah Buku Ekonomi Produksi, buku yang
beliau bawa dari Kantor PBB, New York, USA sebagai penghargaan
atas prestasi saya. Teman-teman sekelas pun terheran-heran
bagaimana hal ini bisa terjadi.
Pada akhir semester III, mahasiswa tersisa 9 orang dari jumlah
awal 24 orang. Pendidikan LPPM ini keras memang tapi sungguh
mengasyikkan. Kami diprogramkan untuk bisa langsung bekerja
menduduki posisi manajerial seperti cita-cita para pendiri Lembaga
LPPM ini, yaitu membantu pemerintah Orde Baru keluar dari
kemelut ekonomi Orde Lama, antara lain memajukan perusahaan-
146 perusahaan nasional yang memerlukan SDM yang berpengetahuan
dan berketerampilan manajemen.
Pada berbagai acara, LPPM mengundang beberapa pimpinan
perusahaan besar di Jakarta untuk mengamati kesungguhan
mahasiswa dan menjual mahasiswa calon-calon manajer tersebut.
Pada latihan lapangan, mahasiswa mengikuti simulasi role playing,
yang berfokus pada bidang-bidang General Management, Financial
Management, Marketing Management dan Personal Management.
Sembilan mahasiswa yang tersisa bertarung memenangkan
perusahaan simulasi yang hampir mendekati keadaan sebenarnya.
Saya teringat simulasi terakhir, ketika saya berperan sebagai
marketing manager dan Inget Sembiring sebagai financial manager
sebuah perusahaan sepeda. Meski jumlah sepeda kami habis terjual
(sold out), kami mendapat peringatan dari dewan komisaris yang
merasa kami terlalu menghambur-hamburkan dana promosi.
Salah satu promosi yang saya pakai pada perusahaan simulasi
Menjadi Angkatan Pertama LPPM 147
itu adalah penggunaan helikopter yang menerjunkan ‘sepeda buatan
baru’ serta menyebarkan berbagai selebaran yang semuanya berbiaya
tinggi, sehingga dapat teguran komisaris. Tapi dengan teknik
promosi itu, semua produksi terjual habis.
Perusahaan-perusahaan besar yang diundang menyaksikan dan
menilai kesembilan mahasiswa tersebut konon kabarnya diminta
untuk menyumbang ke LPPM sebagai ‘harga’ mahasiswa yang
dipilihnya atau dipinangnya.
Bapa Kadarman, Direktur LPPM, adalah seorang pastor Katolik
yang taat, terkenal cemerlang dan dikagumi seluruh mahasiswa.
Awalnya, laki-laki berdarah Belanda ini bernama dr. Cheulars
sebelum akhirnya dikenal sebagai Pak Kadarman. Beliau berpesan
agar kami masing-masing memasang gaji awal minimum sebesar
Rp.45.000,-(empat puluh lima ribu rupiah), angka yang sudah
terhitung tinggi pada masa itu, dengan kurs US Dollar Rp.9.250,-
per Dollar Amerika.
DR. I Tedjasukmana, tokoh nasional Manajemen dan Ketua
Perhimpunan Manajemen Indonesia (Permanin) bergurau
“Belajarlah makan siang dengan piring yang bersusun lima lapis,”
guraunya kepada para mahasiswa yang sudah ‘laku’ diambil oleh
wakil perusahaan-perusahaan besar.
Pada 1 Januari 1970 semua mahasiswa sudah ‘laku’,
walaupun belum secara resmi mengantongi gelar. Karena model
pendidikan LPPM ini masih baru sehingga perlu dukungan dan
izin dari Menteri Departemen Pendidikan & Kebudayaan untuk
memberikan gelar. Yang menghendaki gelar MBA diundang untuk
mengikuti pelajaran khusus seperti Minaut Indonesia, kuliah dan
pelatihan “Problem Solving dan Decision Making” serta Perencanaan
dan Tesis Perencanaan yang disusun berdasarkan yang dilakukan
di tempat kerja. Bertahun-tahun kemudian amat terkenal Metode
Analisis “SWOT” yang lahir dari pelajaran khusus itu, singkatan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
dari “Strength, Weakness, Opportunity, Threat” khususnya dalam
konteks Perencanaan. Saya bertarung mengikuti undangan ini dan
melihatnya sebagai suatu kesempatan emas untuk memiliki gelar
Master of Bussiness Administration (MBA).
Upacara wisuda kami, angkatan pertama, digabung dengan
wisuda angkatan kedua LPPM, yang saat itu nama akademisnya
sudah berubah menjadi Sekolah Tinggi Manajemen (STM). Di
acara itu saya diminta mewakili Alumni Angkatan I untuk memberi
sambutan dengan presentasi Rencana 5 Tahun PT Sitra Ekpress,
tempat saya bekerja sebagai manajernya. Sambutan kedua adalah
dari Alumni Angkatan Kedua yang telah menjadi manajer Coca-
Cola Indonesia yang disambut tepuk tangan meriah karena dengan
gelar MBA ini ia menyandang 3 gelar -- Drs. Marhusa Tampubolon,
S.H., M.B.A.
148 Nama STM/LPPM dengan cepat mencuat di dalam dan di luar
negeri, di samping metode pendidikannya yang relatif baru dengan
kombinasi belajar di kelas dan praktek di lapangan, juga didukung
nama besar tokoh-tokoh nasional sekelas DR. T.B. Simatupang,
Prof. DR. Bahder Johan, DR. Frans Seda, DR. I. Tedjasukmana,
DR. Awaludin Djamin dan lain-lain.
Tak lama kemudian jejak LPPM diikuti dengan lahirnya
institusi pendidikan manajemen lainnya seperti Institut Prasetya
Mulya (IPM) dan Institut Pendidikan Manajemen Indonesia
(IPMI) yang juga melakukan pekerjaan yang baik dalam mencetak
sarjana dan praktisi manajemen handal bergelar MBA dan atau MM
(Magister Manajemen) di Indonesia.
Menjadi Angkatan Pertama LPPM
Saat acara wisuda, 21 Desember 1985, saya mewakili angkatan pertama memberi sambutan 149
dengan memberikan presentasi Rencana 5 Tahun PT Sitra Ekpress, tempat saya bekerja
sebagai manajer saat itu.
Bersama para tokoh nasional pendiri Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen,
yaitu; Prof. DR. Bahder Johan, IJ Kasimo, A.M Tambunan. Tampak saya sedang bersalaman
dengan Frans Seda, Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (PPM).
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Inilah mahasiswa angkatan pertama LPPM: 6. P.G. Hendrata 7. Anis Gunawan 8. D.
Duduk: Dari kiri ke kanan (Depan) Sihotang 9. Roemadi 10. Soemardi Widjojo
1. M. Tampubolon 2. M. Setiawan 3. Syafei 11. Dasmirat 12. Andreas AD.
150 Azis 4. Amir L. Sirait 5. Henny Lestiyo 6. Thee
Kian Wie (Instruktur) 7. Eveline R.T. 8. Gatot Berdiri: Dari kiri ke kanan (Belakang)
Soemardjo 9. H.J. Sutijarto 10. WH. Muljono 1. Lukman P. 2. M. Setiobudi 3. M. Iwan
11. B. Hudyono 12. Mangiring L. Toroean Indrayana 4. Hendra Siswanto 5. A. Baharudin
6. Harry S. Alim 7. Pinardi B. Kadarisman
Berdiri: Dari kiri ke kanan (Tengah) 9. Widodo Sunaryo 10. Roosman M. Pohan
1. PM. Hendrawirjana 2. Dodi Hilman S. 11. Iskandar Wijaya
3. Sugiyanto 4. GM. Susetyo 5. FXA. Poerwadi
Menjadi Angkatan Pertama LPPM
151
Awalnya berjumlah 24 orang, namun yang bertahan hingga wisuda hanya 9 orang.
Upacara wisuda kami, angkatan pertama, digabung dengan wisuda angkatan
kedua LPPM, yang saat itu nama akademisnya sudah berubah menjadi Sekolah
Tinggi Manajemen (STM).
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Bersama Inget Sembiring (kiri) dan DR Harlan Bekti
(tengah), tokoh Perhimpunan Management Indonesia
(PERMANIN).
152
Sempat diliputi kekhawatiran sebagai
mahasiswa marginal selama kuliah,
akhirnya hari itu saya resmi menyandang
gelar MBA di belakang nama saya.
Liputan media ketika
IPPM baru dibuka sebulan
yang lalu. Saya dan dua
mahasiswa lainnya menjadi
perwakilan untuk bertemu
dengan Mendikbud saat
itu, Prof. Dr. Sumarlin
yang meresmikan
peluncuran program PPM.
z
BAB DUA BELAS
Bekerja Untuk PT Sinar
Kasih, Penerbit Harian
Umum Sinar Harapan
Pada bulan Desember 1969, Grup PT Sinar Kasih yang
disebut Sinar Grup yang menaungi Harian Umum Sinar
Harapan, Majalah Wanita Mutiara, Majalah Ragi Buana, Majalah
Komunikasi, Majalah Mode dan lain-lain, mengadakan perayaaan
Hari Natal di Aula PSKD, Jalan Diponegoro, Jakarta.
Entah kenapa saya diundang menghadiri perayaan Natal
tersebut. Kemungkinan besar karena saya aktivis Pengurus Pusat
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI). Di acara ini,
banyak personil Sinar Harapan yang menjadi kenalan baru saya
selain pimpinan terasnya yang sudah saya kenal melalui berbagai
kegiatan kekristenan yang berhubungan dengan lingkungan Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI).
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Pimpinan teras Sinar Grup itu memperkenalkan saya sebagai
mahasiswa yang sedang belajar manajemen di LPPM Jakarta. Kala
itu saya ingat ada dua orang tokoh Harian Umum Sinar Harapan
yang sudah saya kenal lama sejak di Yogyakarta. Saat itu saya kuliah
di UGM dan beberapa kali menulis artikel untuk Sinar Harapan.
Mereka adalah H.G. Rorimpandey, mantan pejuang di Jawa
Barat pada masa Revolusi Kemerdekaan dan Subagyo PR, tokoh
Persatuan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI) dan mantan pegawai
Departemen Penerangan. Ketokohan mereka pada Young Men's
Christian Association YMCA Indonesia (Young Men's Christian
Association) serta PPKI membuat saya tidak canggung lagi bergaul
dengan mereka. Dalam suasana Perayaan Natal tersebut saya merasa
ada perhatian khusus kepada saya sebagai seorang tamatan LPPM.
Malam itu, H.G. Rorimpandey membuat janji dengan saya untuk
bertemu setelah tahun baru.
154 Memasuki awal tahun 1970, sebuah sedan mewah (Dodgedard)
memasuki kampus LPPM. Ternyata itu adalah H.G. Rorimpandey
yang menyetir mobilnya sendiri. Ia menjemput dan membawa saya
ke kantornya di Jalan Pintu Besar Selatan, di kawasan Kota, Jakarta
Pusat.
Pagi hari itu belum banyak karyawan yang tiba di kantor. Beliau
bercerita bahwa dia sempat menjabat sebagai direktur perusahaan
obat Carlo Elba di Bandung, tapi akhirnya dia meninggalkan
perusahaan itu dan memilih memimpin Harian Umum Sinar
Harapan. Sinar Harapan terbit pertama kali pada 27 April 1961
dengan moto “Memperdjoangkan kebenaran dan keadilan, kebebasan
dan perdamaian berdasarkan kasih.”
Saya cukup terpukau mendengar cerita perjuangan, cita-cita,
serta keberaniannya melepas posisi direktur dengan gaji besar untuk
memimpin sebuah perusahaan penerbitan pers yang bermodal pas-
pasan dari saham beberapa pendeta yang kebetulan sudah saya kenal