The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by bagusekap1, 2021-07-27 14:15:57

HANYA KARENA KASIH KARUNIA

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan

Sinar Harapan, terbitan 1961. 155

juga. Ajakan bergabung mengikuti beliau dan kawan-kawannya
untuk berjuang terasa amat menggoda dan merasuk ke sanubari
saya.

Saya terbawa ke suatu keadaan yang dilematis karena saat
itu saya sudah mengikuti tes kesehatan dan wawancara di suatu
perusahaan asing untuk memenuhi keinginan DR. Kadarman
pimpinan LPPM. Di perusahaan itu saya diproyeksikan membantu
direktur pemasaran, bidang yang lebih saya sukai dibanding bidang-
bidang lain, seperti keuangan, produksi, atau personalia.

Jaminan kesejahteraan perusahaan besar itupun jauh lebih
menjanjikan dibanding tawaran Pak Rorimpandey yang ingin
saya membantu mengembangkan Sinar Harapan dengan Business
Management baru yang sedang saya geluti. Sebagian teman-teman
menganjurkan saya untuk menerima tawaran perusahaan asing,
sebagian mendorong untuk memenuhi ajakan Bapak Rorim untuk
menyampaikan suara pelayanan Kristiani melalui produk pers.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Dalam keadaan dilematis itu saya menghadap Pak T.B.
Simatupang di kediamannya di Jalan Diponegoro, Jakarta. Di
hadapan saya, beliau menelpon Pak Rorimpandey yang menjelaskan
bahwa dia memerlukan kader Pemimpin Umum Harian Sinar
Harapan serta menjelaskan arah kebijakan kesejahteraan saya ke
depannya, bahwa saya belum punya apa-apa sebagai eks pegawai
sekretariat Komisi Kaum Awam Dewan Gereja-gereja di Indonesia
(DGI).

Kepada Pak Simatupang akhirnya saya katakan untuk menerima
ajakan perjuangan Pak Rorim itu, khususnya karena ajakan dan janji
beliau bahwa bersama dia, saya bisa melanjutkan kehadiran dan
pelayanan saya pada kegiatan kemasyarakatan, khususnya kegiatan
politik dan kepemudaan yang sedang saya emban kala itu, yang
notebene berhubungan erat dengan perjuangan persuratkabaran.

156 Saya memahami langkah Pak Rorim yang secara sistematis
memperkenalkan saya di berbagai kesempatan mulai dari

keluarganya, Dewan Komisaris PT Sinar Kasih penerbit Harian

Umum Sinar Harapan, pemimpin teras Redaksi Harian Umum

Sinar Harapan sampai kepada jaringan dan sahabat-sahabatnya baik

pejabat pemerintah maupun tokoh-tokoh yang secara popularitas

berhubungan dengan perusahaan-perusahaan Harian Umum Sinar

Harapan. Saya banyak memetik pelajaran tentang pengelolaan

perusahaan pers, salah satunya adalah pentingnya jaringan atau

komunikasi sosial politik dengan berbagai pihak untuk mewartakan

eksistensi perusahaan penerbitan pers kala itu.

Suatu ketika Pak Rorim mengutus saya ke Jalan Penjambon
untuk bertemu Pak Ali Alatas (saat itu Pejabat Senior di Departemen
Luar Negeri, kelak ia menjadi Menteri Luar Negeri) untuk
menyampaikan sebuah memo. Dia adalah pejabat yang baik dan
berani. “Teman makan sate,” begitu kata Pak Rorim tentang Ali
Alatas ketika ia memberangkatkan saya.

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan 157

Saya tidak menghadapi kesulitan bertemu pejabat ini. Pak Ali
yang sudah menyediakan waktu menerima saya dengan ramah dan
berpesan tentang berita atau news. “Katakan pada Pak Rorimpandey,
not only news but also the accuracy of the news,” pesannya.

Terinspirasi pertemuan dengan Pak Ali Alatas, saya merasa
perlu mempelajari seluk beluk pers lebih dalam. Semula saya hanya
tahu sekadarnya bahwa Pers Pancasila berarti mengarah pada pers
yang sehat, bebas dan bertanggungjawab, yaitu pers yang dapat
menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif
dan edukatif. Sadar dengan pengetahuan yang kurang, saya segera
belajar Undang-Undang Pokok Pers, yaitu UU No.11/1966 (dengan
perubahannya) tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers.

Ini berarti saya harus belajar bekerja bukan hanya sebagai
‘MBA’ yang berkonsentrasi pada usaha modern business, tapi juga
dunia pers yang bertanggung jawab. Kesadaran ini teringat kembali
ketika tahun 1977/1979 saya menjadi Anggota Komisi I DPR-RI
yang antara lain membidangi Departemen Penerangan RI termasuk
Pers Nasional.

Di samping itu saya juga harus mempelajari Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas khususnya yang mengatur Pemegang
Saham, Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan
Kedireksian. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tidak
mengenal istilah Direktur melainkan hanya menyebut Pemimpin
Umum, Pemimpin Perusahaan dan Pemimpin Redaksi sebagai
Pengelola Usaha Penerbitan Pers.

Mengikuti cara berpikir Pak Simatupang, saya mengusulkan
agar pararel dengan ‘doktrin’ terbitan utama yaitu Harian Umum
Sinar Harapan yang terus memperjuangkan kemerdekaan dan
keadilan berdasarkan kasih, perlu dibenahi kelembagaannya, yaitu
memadukan kepemimpinan yang diatur dalam UU Pokok Pers
No. 11 tahun 1966 dengan kepemimpinan yang diatur dalam

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

UU Tentang Perseroan Terbatas sebagai badan usaha bisnis dan
penerbitan. Gagasan ini disambut Pak Rorim dan Dewan Komisaris
PT Sinar Kasih dalam komunikasi yang menunjukkan jaminan
posisi yang lebih kuat dalam Pimpinan Redaksi yang mengemban
tugas Penanggung Jawab pada isi terbitan.

Untuk pertama kalinya Subagyo Pr dipilih untuk menduduki
posisi Direktur /Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab pada Rapat
Komisaris yang diselenggarakan untuk maksud itu. Gagasan dasar
ini diikuti pengangkatan beberapa orang pada posisi kunci yang
menggairahkan dengan penawaran jabatan-jabatan yang tegas.
Seingat saya, PT Sinar Kasih adalah perusahaan pers pertama yang
memadukan undang-undang ini dalam manajemen persuratkabaran
nasional. Maka pada rapat-rapat di lingkungan PT Sinar Kasih,
setiap orang dapat berbicara pada jalur yang jelas. Dengan demikian,
selangkah demi selangkah saya menawarkan strategi dasar yakni
158 penataan doktrin, kelembagaan, dan kaderisasi organisasi, yang
disambut baik oleh Pak Rorimpandey dan Dewan Komisaris.
Strategi seperti ini nampaknya sudah lama ada di pikiran beliau,
hanya saja dia tidak menemukan tim yang diperlukan untuk itu.

Suatu ketika Pak Subagyo mendekati saya dan bertanya apakah
ada maksud terselubung di balik gagasan-gagasan yang saya usulkan.
Saya dengan tegas menjawab bahwa untuk gagasan-gagasan
pengembangan ini saya mempertaruhkan nama sekolah saya dan
ajakan berjuang yang saya terima dari Pak Rorimpandey sejak awal.
Beliau agak tercengang ketika kami berdiskusi soal oplah. Saya
memproyeksikan oplah Sinar Harapan mencapai 120 ribu pada
tahun 1971 – dua kali lipat dari oplah saat itu, yaitu sekitar 55.000
eksemplar. Dengan demikian volume iklan akan meningkat sekitar
30%. Gagasan-gagasan ini sedikit banyak tersirat dan tersurat pada
literatur Tested News Paper Promotion yang terkenal pada masa itu
serta buku berjudul News Paper Organization and Management yang
ditulis Frank W. Rucker, terbitan University Press tahun 1967.

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan 159

Target sirkulasi ini dianggap terlalu “gila” mengingat sudah
hampir tiga tahun oplah Sinar Harapan tidak bisa naik, bahkan
sudah nampak tanda-tanda turun. Dalam hati, saya pun merasa
tidak perlu berlama lama tinggal di perusahaan ini kalau tidak
mampu membawa perubahan khususnya perubahan jumlah oplah
yang notabene pasarnya begitu luas. Saya teringat waktu masih
mahasiswa di UGM memang termasuk sulit untuk berlangganan
Sinar Harapan, kala itu sudah diperkirakan terdapat persoalan pada
saluran distribusi.

Tanpa mencampuri apalagi menggurui redaksi, langkah yang
lebih dulu saya lakukan adalah membenahi lembaga/organisasi
penjualan fisik Sinar Harapan mulai dari hulu sampai hilir. Saya
menelusuri mulai dari percetakan, lapangan penjualan, serta
mengorganisir anak-anak remaja yang menjadi loper koran. Kami
memperlengkapi mereka dengan kaos berlogo Sinar Harapan.
Anak-anak remaja ini juga cukup gembira ketika kami memberikan
mereka bonus berlibur bersama di Taman Impian Jaya Ancol.

Kala itu hanya ada satu atau dua surat kabar sore di Jakarta.
Gagasannya adalah ‘mencegat’ elit Jakarta yang dalam perjalanan
pulang kantor untuk membaca berita baru di sore hari. Saat itu
slogannya adalah ”Berita Hari Ini, Hari Ini Juga”.

Strategi penjualan ekstra ini cukup berhasil. Para penjual koran
stand by menunggu calon pembeli di persimpangan-persimpangan
jalan strategis seperti kawasan Air Mancur, Gunung Sahari, Senen,
Kebayoran, Pasar Rebo, dan lain-lain. Strategi ini membawa
dinamika pada petugas redaksi, percetakan dan juga pengangkutan
yang harus bekerja tepat waktu. Demikianlah, akhirnya angka
120.000 eksemplar yang dianggap ‘mimpi’ pada waktu itu menjadi
kenyataan di kwartal pertama tahun 1971. Ini berarti kurang dari
tiga bulan angka target yang dianggap mimpi itu tercapai.

Lebih jauh saya mengenal Pak Rorim sebagai sosok yang memiliki

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

banyak ide cemerlang dan kalau idenya berhasil kita terjemahkan
beliau senang sekali dan mau membayar mahal atas usaha itu.
Berkaitan dengan oplah surat kabar dengan fungsi pendidikan pers,
Sinar Harapan menghadapi situasi yang dilematis. Pendidikan lebih
diperlukan masyarakat daerah (desa) yang memerlukan informasi
cepat. Tetapi untuk mencapai daerah itu, kami harus berhadapan
dengan kendala sarana transportasi yang biayanya tinggi. Saya
sendiri senang akan ide itu. Berkontribusi memodernisasi daerah
atau desa adalah suatu tugas mulia, tapi memang memerlukan biaya
yang tidak sedikit.

Tapi tidak semua bagian mendukung gagasan ini, khususnya
bagian keuangan. Dalam hubungan itu, saya mendekati manajer
periklanan yang kebetulan adik kelas di LPPM/STM, Iskandar
Wijaya, SH. Saya mengusulkan agar Bagian Periklanan bersedia
memikul biaya tambahan yang diperlukan dengan menunjukkan
160 rumus cost per thousand, di samping popularitas yang dimiliki
Redaksi Sinar Harapan. Gagasan saya itu diterima dan didukung.

Akhirnya dengan kesediaan Bagian Periklanan, Sinar Harapan
bisa dibaca masyarakat di Banda Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi
Utara, Jayapura dan daerah-daerah lain yang relatif terpencil, serta
di berbagai Kedutaan RI di beberapa negara sahabat. Semua tempat
itu hanya dapat dicapai dengan ‘rugi’ ratusan kali lipat dari harga
fisik surat kabarnya. Namun publisitas yang dicapai juga tidak
tanggung-tanggung dan langkah ini memberikan nilai finansial
yang signifikan pada periklanan.

Sambil mengajukan konsep-konsep berlatar belakang
manajemen modern yang saya bawa dari LPPM, saya memacu diri
sendiri untuk belajar liku-liku perusahaan pers yang amat exciting.
Sungguh menarik bekerja pada perusahaan pers pada masa itu
karena diperlukan idealisme, keberanian yang bertanggung jawab
serta modal yang memadai.

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan 161

Saya mencatat dan mengapresiasi idealisme Pak HG
Rorimpandey yang mencita-citakan Sinar Harapan menjadi bagian
penting dari Pembangunan Pers Nasional yang bertanggung jawab.
Tatkala saya menanyakan soal bertanggung jawab tersebut, dengan
bersemangat ia menjelaskan bahwa sesungguhnya pers itu secara
idealis harus menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan
kehidupan bangsa dan masyarakat yang demokratis. Maka sejalan
dengan itu pers haruslah menjalankan fungsinya, yaitu penyebar
informasi dan pemberi edukasi.

Diskusi terbatas seperti itu secara internal berlangsung dalam
kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan yang sedang memasuki
transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang di sana-sini mulai
tampak gejala-gejala kekuasaan yang mengarah kepada otoriterisme.
Prinsip-prinsip kehidupan pers yang ideal pada masa itu diterapkan
secara kaku, yang mengakibatkan beberapa penerbitan dibreidel
oleh penguasa, termasuk Sinar Harapan. Dalam sebuah diskusi di
DPP-KNPI saya menyampaikan pendapat saya terkait pembreidelan
ini. Saya katakan bahwa sesungguhnya bangsa ini belum siap atau
belum matang untuk berdemokrasi Pancasila.

Pada edisi terakhir Sinar Harapan, 31 Desember 2015,
wartawati Wahyu Dramastuti merangkum perjalanan surat kabar
yang digambarkannya bak kucing ‘bernyawa sembilan’ yaitu:
• 2 Oktober 1965, dua hari setelah peristiwa G30S, SH dibreidel

bersama media-media lainnya.
• Juli 1970, SH dilarang terbit karena menyiarkan laporan Komisi

IV kepada Presiden Soeharto tentang masalah korupsi.
• 2 Januari 1973, Surat Izin Cetak (SIC) SH dicabut oleh

Pangkopkamtib karena tulisan tajam mengenai korupsi di
Pertamina, Bulog, Kehutanan, dan dimuatnya RAPBN 1973-
1974 pada 30 Desember 1972.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

• 20 Januari 1978, SH diberangus akibat menyiarkan kegiatan
mahasiswa dan mengakibatkan panasnya situasi politik.

• Oktober 1986, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) SH
dibatalkan oleh pemerintahan Soeharto dipicu berita utama
tentang rencana pencabutan tata niaga bidang impor yang
dianggap spekulatif dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

162

Salah satu headline Sinar Harapan yang dinilai terlalu “berani”
dalam mengkritik pemerintah.

Jauh sebelumnya, Pak Rorimpandey sudah memperingatkan
apabila idealisme pers mau dilaksanakan maka kita harus
membangun ‘industri pers’. Kala itu banyak yang tidak mengerti
apa maksud beliau. Maka satu dua di antara kami ‘menerjemahkan’
pemikirannya itu. Intinya adalah apabila kita memiliki industri
pers, maka kebebasan yang bertanggung jawab itu relatif akan lebih
mungkin diwujudkan. Saat itu, komponen penting dari industri
tersebut adalah kertas koran yang sulit diperoleh sampai terbentuk
Serikat Grafika Pers. Di samping itu yang amat penting pula adalah
transportasi, agar surat kabar masih ‘hangat’ ketika sampai ke tangan
pembaca, beserta komponen-komponen lain yang harus dimiliki

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan 163

oleh suatu perusahaan pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Dijiwai idealisme dan semangat itu, konsep Industri pers
diwujudkan Pak Rorimpandey dengan mendirikan percetakan
(Sinar Agape Press-SAP), perusahaan transportasi (Sitra Express),
Perjalanan (Agaphos Tour & Travel) serta perusahaan periklanan
(PT Karya Espera Advertising). Dan hampir saja berdiri pabrik
kertas yang direncanakan di kawasan Cirebon, Jawa Barat.

Di samping itu, Pak Rorimpandey memelopori pemilikan
saham perusahaan pers oleh karyawan. Sayangnya, karena kondisi
politik yang tidak begitu kondusif ditambah dengan munculnya
dinamika internal di antara pimpinan dan masalah finansial, cita-
cita membangun industri pers ini tidak tercapai, sampai akhirnya
kekuatan baru kelompok konglomerat mendominasi pemilikan
saham perusahaan. Kelompok ini lebih dominan orientasi bisnisnya
dibanding orientasi pers yang bertanggungjawab.

Tatkala Pak HG Rorimpandey memindahkan saya untuk
memimpin PT Sitra Express di Jalan Kalibata, strategi distribusi yang
dijiwai misi koran yang masih ‘hangat’ (fresh from printer) sampai
di tangan pembaca masih sempat diterapkan dengan kesiapan dan
displin tinggi para pengemudi memburu waktu jual yang amat
pendek. Semua armada angkutan distribusi ditempeli stiker Sinar
Harapan dengan maksud agar diberi kelonggaran oleh pengguna
jalan lainnya. Kami bahkan sering memohon fasilitas dari petugas
lalu lintas agar diprioritaskan untuk mempercepat pengiriman.
Dengan teknik distribusi ini, anak-anak loper koran sudah bisa
'menghadang' para elit pegawai negeri dan swasta yang umumnya
pulang kantor pada pukul 17.00, agar mereka bisa membacanya di
mobil atau dibawa ke rumah.

Gaya dan teknik distribusi ini amat disukai Pak Rorim. Menurut
saya dia sudah lama mengidamkan hal ini, hanya saja belum ada staf
yang mengerti atau berhasil menerjemahkannya sampai di lapangan.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Pak HG Rorimpandey
berdarah Manado, Minahasa
yang fasih berbahasa Belanda
layaknya bahasa ibu, beliau juga
lancar berbahasa Inggris. Saya
ingat beliau pernah bermimpi
mendirikan Tower Headlines
di atas Kantor Sinar Harapan
yang dapat dibaca dari segenap
penjuru Jakarta sebagai bagian
dari strategi pemasaran industri
pers di Jakarta khususnya.

“Billboard” atau Papan

“Headlines” yang memuat berita Biografi H.G. Rorimpandey, tokoh
pers Indonesia, Pendiri koran sore
164 utama Sinar Harapan itu baru legendaris, Sinar Harapan.
terwujud kira-kira sepuluh

tahun kemudian, sehingga beliau tidak sempat lagi menyaksikannya.

Perjuangannya membangun Sinar Harapan telah menjadikan Pak

Rorim sebagai salah satu tokoh pers Indonesia yang dihormati.

Gagasannya diwujudkan dalam berbagai bentuk oleh berbagai pihak

termasuk kalangan selain perusahaan pers.

Industri pers yang digagas HG Rorimpandey, diakui berbagai
pihak sebagai sebuah penerapan manajemen yang kuat, meliputi
penerbitan lain miliknya seperti Majalah Wanita Mutiara, Majalah
Ragi Buana, Majalah Komunikasi, Majalah Mode dan lain-lain.
Sayangnya produk-produk lainnya itu tidak berkembang secepat
Sinar Harapan karena tidak dapat mengikuti sistem terpadu yang
kami terapkan pada Sinar Harapan, antara lain dengan strategi dasar
yang menyangkut doktrin kelembagaan dan kader organisasi.

Kepada pemimpin penerbitan lainnya itu secara terbuka
diperkenalkan juga sistem dan langkah-langkah yang ditempuh dari

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan 165

segi manajemen, yaitu riset pasar, perencanaan produksi, penetapan
harga, pembangunan saluran distribusi, dan promosi yang harus
dilakukan secara terus-menerus sebagai operational management dari
moral dan etik serta spiritual dari landasan pokok, yakni doktrin
berupa visi dan misi setiap penerbitan. Bagi Sinar Harapan, landasan
pokok atau doktrin yang dimaksud adalah “Memperjuangkan
Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan
Kasih.”

Jika dihitung, secara resmi saya membantu Bapak HG
Rorimpandey selama 25 tahun dimulai dari menjadi Asisten Direksi
dan melakukan penugasan-penugasan strategis seperti menjadi
Manajer Sirkulasi Harian Umum Sinar Harapan (termasuk produk-
produk lain yang pengelolaan sirkulasinya dipercayakan kepada
PT Sinar Kasih seperti majalah-majalah tersebut di atas). Pada
sisa waktu lebih dari 25 tahun tersebut, saya ditugaskan menjadi
Pemimpin Umum Tabloid Mingguan Tribun Olah Raga yang
dapat dikategorikan sebagai bagian dari industri pers yang selama
ini dimaksud beliau. Saya juga sempat ditugaskan menjadi Ketua
Dewan Komisaris PT Karya Espera Advertising, anak perusahaan
Sinar Group.

“Memasyarakatkan Olahraga, Mengolahragakan Masyarakat”
begitulah motto Tribun Olahraga pada waktu itu. Penegasan dasar-
dasar organisasi dan kepemimpinan, perijinan, penampilan tokoh-
tokoh pemimpin seperti Bapak Rudini (saat itu Menteri Dalam
Negeri) dan olahragawan dan pembinaan kerja sama dengan berbagai
pihak sebagai tabloid olahraga pertama di Indonesia sempat tampil
memukau.

Salah satu pengalaman yang mengesankan adalah ketika sebuah
perusahaan rokok Marlboro mengundang saya mewakili Tribun
untuk meliput pertandingan tenis di Hong Kong antara Michael
Chang dan Ivan Lendl, sekitar akhir September 2000.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

166
Plakat Penghargaan atas pengabdian 25 tahun dari
Suara Pembaruan

Peredaran Tribun olahraga sempat mencapai oplah 20 ribu
eksemplar, sebuah angka yang cukup tinggi untuk sebuah tabloid
olahraga. Sayangnya, Tabloid Tribun tak bertahan lama karena
sejumlah wartawan yang menjadi pentolannya, seperti Ronny
Pangemanan ditarik ke induk perusahaan yaitu Suara Pembaruan
(nama pengganti Sinar Harapan yang dibredel). Kondisi ini
diperparah dengan krisis moneter yang melanda Indonesia tahun
1997/1998.

Pak Rorim adalah salah satu mentor yang membentuk cara saya
berpikir khususnya tentang manajemen perusahaan pers. Beliau juga
mewariskan nilai-nilai yang saya teladani dalam perjalanan karir
profesional saya. Terinspirasi beliau, saya sempat mengunjungi koran
Jepang Mainichi Shimbun dan beberapa penerbit buku kristiani di

Bekerja Untuk PT Sinar Kasih, Penerbit Harian Umum Sinar Harapan

Tokyo dan harian Manila Chronicle di Manila, Filipina. Saya juga
berkesempatan untuk bertemu dengan Menteri Penerangan Filipina
kala itu Mr. Fransisco S. Tatad.

Hendrikus Germandus Rorimpandey lahir di Palu, Sulawesi
Tengah, pada 2 Januari 1922 dan berpulang pada 15 November
2002 dalam usia 80 tahun.

167

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
168

z

BAB TIGA BELAS

Mengikuti ALDEC di
Tokyo, Jepang

Pada musim semi 1971, Pengurus Pusat GMKI mengirimkan 3
nama dari Indonesia untuk menjadi peserta ALDEC 1971 di
Tokyo, Jepang. Mewakili unsur kampus adalah Budi Gunawan
(Universitas Trisakti) dan Albert Hasibuan (Universitas Kristen
Indonesia). Dari PP GMKI adalah saya, Amir L. Sirait, MBA.
Waktu itu saya sudah menjabat Bendahara Umum PP GMKI
(sebelumnya Wakil Sekretaris Jenderal).

ALDEC, singkatan dari Asian Leadership Development Center
adalah program dari World Student Christian Federation (WSCF)
yang berpusat di Jenewa, Swiss. Penyelenggaranya adalah Sekretaris
WSCF Asia Office yang dikomandoi Moon Kyu Kang (seorang
senior gerakan pemuda Kristen di Korea Selatan serta aktivis senior
YMCA Korea Selatan). Program ini diciptakan untuk membantu
organisasi mahasiswa kristen di Asia.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Namanya ALDEC For Asia tetapi pesertanya dari berbagai
negara seperti Amerika Serikat, Australia, New Zealand, Malaysia,
Filipina, Pakistan, Thailand, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea
Selatan, Bangladesh, dan Ceylon. Program ALDEC yang dirancang
tiga bulan penuh dipimpin Direktur Program WSCF, Kentaro
Suzuki, Sekjen YMCA Jepang, seorang insinyur, teolog dan sosiolog.
Orangnya ramah, dikenal luas, dan amat disegani. Semua peserta
hadir dalam perpektif persaudaraan yang taat.

Kentaro Suzuki beberapa kali berkunjung ke Indonesia dan
menyempatkan datang mengunjungi keluarga saya dan menerima
cindera mata berupa selendang tenunan Batak dari isteri saya.
"Arigatou gozaimashita," ujar Kentaro Suzuku berterima kasih
sembari membungkukkan badannya khas masyarakat Jepang.

Program ALDEC ini diselenggarakan bekerja sama dengan

170 Waseda University di Shinyuku, Tokyo, tempat Kentaro Suzuki
menjadi dosen ilmu Politik. Sebelum tiba di Jepang tiap peserta

diwajibkan membawa makalah tentang negerinya masing-masing

dan dipresentasikan secara singkat di depan kelas.

Makalah saya berfokus pada Pembangunan Nasional Indonesia
dengan sub judul “A Dynamic Stability Progress”. "You did a good
job,” puji Moon Kyu Kang mengomentari makalah saya. Sedangkan
Direktur Program Kintaro Suzuki mengatakan bahwa “dynamic
stability progress” menjadi kunci makalah ini.

Makalah itu mendapat perhatian karena Indonesia saat itu
sedang memasuki pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde
Baru. Kami memerlukan Pembangunan Nasional yang dinamis
serta kepemimpinan yang kuat yang dapat menjaga stabilitas politik
dan keamanan agar Pembangunan Nasional berjalan.

Saya terpancing berbicara serius tatkala seorang peserta
mengatakan bahwa Irian Barat adalah pemberian Belanda kepada

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 171

Indonesia. Saya jelaskan bahwa banyak harta dan jiwa yang telah
dikorbankan untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman
kolonial Belanda dan kami memang menyelamatkan saudara-
saudara kami dari penjajahan itu. Saya tambahkan bahwa saya
sendiri terlibat dalam gerakan demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta
untuk mendukung pembebasan tersebut ketika Bung Karno
memerintahkan untuk memancangkan bendera Merah Putih di Irian
Barat dalam Pidato Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta.
Dan dunia berpihak kepada Indonesia.

Binsar Sianipar, Ketua Umum PP GMKI kala itu datang
meninjau pelaksanaan Program ALDEC persis ketika saya
mempresentasikan makalah. Di tengah perdebatan itu, ia berusaha
melerai dengan mengatakan bahwa peserta dari kawasan Selatan itu
tidak mendapat informasi yang memadai tentang konflik Indonesia
– Belanda sehingga ia berpendapat demikian.

Bagi GMKI, ALDEC seolah jenjang kaderisasi tertinggi pada
masa itu setelah Kursus Kader Komisariat, Kursus Kader Cabang,
Kursus Kader Regional dan Kursus Kader Nasional. ALDEC
1971 ini berlangsung selama tiga bulan penuh dengan berbagai
pengetahuan dari aspek Sosial Politik khususnya di negara-negara
sedang berkembang di Asia yang diperluas.

Secara lebih intensif ALDEC memberi pelajaran tentang
konsep politik dan budaya Jepang dan mengenai RRC dengan
menunjukkan beberapa kalimat Ketua Mao Zedong yang tercatat
dalam buku kecil yang disebut Buku Kecil Merah (Little Red Book).

Di RRC ketika itu sedang berlangsung Revolusi Kebudayaan
yang berlangsung sejak 1966 yang konon kabarnya telah merambah
masyarakat dan perekonomian RRC. Pelajaran tentang Jepang
dimulai dari berakhirnya pemerintahan Tokugawa yang panjang
selama dua abad lebih yang kemudian digantikan oleh Kaisar Meiji
dengan nama Restorasi Meiji (1868 - 1912).

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Pada zaman itu mahasiswa Jepang dikirim ke luar negeri untuk
mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan bagi Restorasi Jepang.
Setelah menguasai ilmu dan teknologi yang diperlukan, Jepang
malah kembali tertutup kepada dunia asing. Dengan demikian
terjadilah kemajuan Jepang dengan identitas diri Jepang yang kuat
dan masyarakatnya relatif homogen. Keadaan ini berlangsung hingga
kekalahan Jepang pada Perang Dunia Ke-2. Kami amat bertekun
mengikuti pelajaran “Japan Study” ini di kelas YMCA di Shinjuku,
Tokyo, Gotemba, sampai Tozanso sekitar 100 kilometer di luar kota
Tokyo.

Peserta diminta memilih topik untuk presentasi yaitu
“China Study” atau “Japan Study” dengan menggunakan fasilitas
perpustakaan yang memadai, disamping itu juga mengunjungi
langsung penduduk dari rumah ke rumah.

172 Salah satu sesi yang berkesan untuk saya adalah kunjungan
Pimpinan Gerakan Mahasiswa, All-Japan League of Student Self-

Government. Gerakan ini didominasi Zengakuren, sebuah liga

mahasiswa garis keras berhaluan Komunis/Anarkis yang berdiri

sejak 1948. Dalam sambutan perkenalannya, pimpinan Zengakuren

mengatakan bahwa kita semua menginginkan hal yang sama. ”Kamu

datang ke Jepang untuk memperoleh sesuatu yang baru, demikian

juga kami menginginkan hal yang baru dari pertemuan ini,” kata

sang pemimpin.

Direktur Kentaro Suzuki mendorong kami untuk tidak ragu
bertanya apa saja karena pemimpin Zengakuren itu didampingi
penerjemah Bahasa Inggris, Perancis, Spanyol. Dia mengajak
kami untuk turut berdemonstrasi ke Narita untuk menentang
pembangunan lapangan terbang baru yang dinilai merugikan rakyat
setempat.

Lapangan Terbang Narita berjarak sejauh 3 – 4 jam dari Tokyo.
Dia menunjuk tempat kumpul di halaman Universitas Tokyo

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 173

yang tidak terlalu jauh dari Shinjuku, markas YMCA Japan yang
menjadi tempat pertemuan kami. Atas sepengetahuan Kentaro,
saya dan Albert Hasibuan bertekad melihat massa mahasiswa yang
akan berkumpul di Kampus. “Be careful of your camera,” Kentaro
memperingatkan, karena katanya massa tidak begitu senang dipotret.
Kabarnya ada saja massa yang merampas atau merusak kamera. Saya
tidak peduli, saya tetap membawa kamera Minolta yang baru saya
beli di Hongkong dalam perjalanan menuju Tokyo.

Di kampus yang lain kami berjumpa massa yang berpegangan
membentuk barisan-barisan tangguh. Dengan pelindung kepala
semacam helm, saya menerobos hambatan-hambatan sambil
berusaha mengambil gambar. Barisan mahasiswa berpegangan
tangan satu dengan yang lain sambil meneriakkan yel-yel anti
Amerika sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. “Okinawa,
US Out!” begitu massa berseru dengan berapi-api. Setelah beberapa
saat, massa bergerak menuju Narita. Saya tidak ikut karena terlalu
jauh dan harus naik bus. Sepertinya Albert Hasibuan turut serta,
dan kami terpisah oleh demonstrasi besar itu. Saya kemudian
mengirimkan hasil liputan demonstrasi itu ke Sinar Harapan dan
dimuat keesokan harinya. Artikel itu dijadikan bahan bacaan kami
di kelas dan mendapat pujian dari pimpinan ALDEC.

Dalam Program ALDEC ini dihadirkan pula teolog Jepang
terkenal kelas dunia, Prof. Furuya, yang menguraikan perkembangan
teologi di Jepang yang membuka pemikiran atas tafsiran yang
baru dalam teologi. Dia membahas tafsiran baru teologi ini
dengan membandingan pemikiran teolog Jerman, Bultman dan
Brunner. Pemikiran Prof. Furuya dianggap sebagai angin segar jika
dibandingkan dengan pemikiran teologi yang tradisional, khususnya
dalam konteks demitologi.

Di luar kelas, kami mengunjungi berbagai tempat untuk lebih
mengenal budaya Jepang, seperti Universitas Waseda, dan tempat-

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

174
Foto-foto yang sempat
saya ambil ketika
demonstrasi dimulai.
Beginilah masyarakat
Jepang, ketika unjuk
rasa pun berbaris
dengan teratur.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 175

tempat peringatan Perang Dunia II, khususnya bom hidrogen di
Hiroshima dan Nagasaki yang jaraknya ratusan kilometer dari
Tokyo. Peristiwa itu memang amat sangat mengerikan.

Saya tinggal selama dua hari di rumah sebuah keluarga yang
terdiri dari suami, istri dan seorang remaja putri. Konsentrasi saya
dalam program homestay ini adalah mempelajari semangat kerja keras
yang melekat pada rakyat Jepang, sebagai bagian dari Japan Study.
Etos kerja tersebut adalah jawaban rakyat Jepang atas malapetaka
Jepang pada Perang Dunia II.

Saya dijemput sekitar pukul 16.00 di Stasiun Kereta Api Miyogi
oleh Pak Kuya yang datang dengan mengemudikan sebuah mobil
kecil. Dalam dua jam perjalanan, kami tiba di "desa" Miyagi. Di
kebun yang luas tampak rumah Pak Kuya yang mungil dan apik
khas Jepang. Saya berusaha memperkenalkan diri dengan cara
membungkukkan badan mengikuti adat orang Jepang dan salam
untuk membangun simpati.

Di rumah itu saya menempati sebuah kamar yang terbilang
kecil untuk ukuran orang Indonesia, tapi bersih dan antik. Di atas
kasur tergeletak sebuah bantal kepala, tapi tidak ada bantal guling.
Seperti kebiasaan saya di Tanah Air, saya selalu membaca sebelum
tidur. Malam itu untuk mengantar tidur, saya membaca buku yang
ditulis seorang Jerman tentang Jepang modern di atas kebudayaan
yang tradisional.

Pagi-pagi pukul 06.00 saya bangun dan menyapa ibu kost yang
sudah bangun lebih dulu. Saya perhatikan, suaminya tidak ada, maka
saya menanyakan kemana beliau. Ibu menjelaskan bahwa pukul 05.00
pagi tadi dia sudah berangkat ke ladang dan kebun. Dengan terlebih
dahulu mohon maaf saya lanjutkan bertanya, apakah memang beliau
biasa berangkat kerja pada waktu tersebut. Ibu kost menjelaskan
bahwa untuk menjemput saya kemarin suaminya "kehilangan" 2
– 3 jam kerja, sehingga ia harus menggantinya dengan berangkat

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

lebih pagi hari ini. Jawaban itu sangat menarik, mengasyikkan, dan
membuat saya kagum. Saya semangat sekali melanjutkan obrolan
singkat namun padat dengan ibu itu. Terbayang di pikiran saya
bagaimana Jepang kembali muncul sebagai raksasa ekonomi di Asia
kurang dari 30 tahun sejak rata dengan bumi akibat bom atom yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945.

Saya lalu menyusul bapak kost ke ujung kebun dan ambil bagian
untuk memanen jamur yang tumbuh pada batang-batang kayu
basah yang terletak teratur di kebun tersebut. Siang harinya, jamur
itu kami nikmati bersama. Terasa kasih sayang berlangsung dalam
Bahasa Inggris yang sepotong-sepotong, namun dengan bantuan
bahasa tubuh, kami cukup memahami apa maksud masing-masing.

Pada malam perpisahan, saya mengingat pasangan ini berpesan

kepada putri remaja semata wayangnya agar belajar dengan baik

176 sehingga kelak ia pun bisa pergi ke Indonesia seperti saudara Amir
ini datang ke negeri mereka. Sempat juga saya bertanya, didahului

dengan mohon maaf, apa yang membuat rakyat Jepang bekerja

demikian "keras". Dengan serius bapak kost ini mengatakan bahwa

rakyat Jepang mendapat imbauan Kaisar (Hirohito waktu itu) bahwa

hanya dengan kerja keras, Jepang bisa kembali ke kemakmuran

dan kejayaan serta bangkit dari malapetaka kekalahan pada Perang

Dunia II. “Saya yakin seluruh rakyat Jepang menerima imbauan itu

dengan iklas dan penuh semangat,”katanya.

Ketika saya bersama direktur Kentaro mengunjungi beberapa
rumah tangga di kawasan lain, saya melakukan survei kecil-kecilan.
Saya menanyakan pertanyaan yang sama soal kerja keras kepada
mereka, dan saya mendapat jawaban yang relatif sama. Merinding
bulu roma saya mendengarnya. Hasil survei sederhana terhadap
beberapa rumah tangga di Jepang inilah yang menjadi topik dan
inti uraian saya pada makalah Japan Study yang wajib dibuat peserta
di akhir kursus ALDEC.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 177

Temuan ini juga saya tuangkan dalam bentuk artikel yang
diterbitkan pada 26 Juli 1971 di Harian Umum Sinar Harapan,
dengan judul “Saya tidak melihat ‘desa’ di Jepang.” Dengan kata
lain, 30 tahun sejak Perang Dunia II, Jepang telah kembali paling
tidak menjadi "raja" ekonomi industri di Asia. Saya kecewa berat
karena catatan dan paper saya selama di Jepang hilang ketika rumah
saya direnovasi dan saya memindahkan barang-barang dari Gudang
Peluru ke Bendungan Hilir.

Untuk menambah pengalaman kuliah lapangan ALDEC, kami
dibawa mendaki puncak gunung Fuji yang indah. Mulai dari dataran
kaki sampai puncak gunung, pepohonan yang membentuk hutan
tampak indah dan terpelihara. Kami peserta Indonesia berbisik-
bisik pada waktu itu bahwa telah lama dibicarakan soal kerusakan
dan penggundulan hutan di Indonesia.

Berikut artikel saya tentang Jepang yang dimuat di Sinar
Harapan 26 Juli 1971.

SEBUAH LAPORAN
TENTANG DESA DI JEPANG

oleh amir sirait

Salah satu acara Asian Leadership Development
Center (ALDEC) 1971 yang dilangsungkan di Tokyo, Jepang
dari tanggal 27 April s/d 16 Juli 1971 adalah kunjungan
ke desa, dan tinggal bersama keluarga-keluarga Jepang
yang ada di sana. Bagi yang berasal dari ‘the big village’
di Indonesia, acara ini sudah barang tentu lebih menarik
daripada kunjungan ke jantung Kota Tokyo yang penuh

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

dengan bangunan-bangunan raksasa yang terencana
dan terealisir dengan rapi berlapis-lapis di bawah tanah,
di atas tanah dan ke udara. Lebih menarik juga karena
terlalu pagi untuk membandingkan pembangunan Kota
Tokyo dengan kota manapun di Indonesia.

Untuk pertama kalinya kami mengunjungi sebuah desa
di sebelah timur laut Tokyo, kira-kira sejauh 125 km atau
barangkali sejauh Jakarta-Sukabumi. Desa ini bernama
Miyagi, dimana terdapat 800 rumah tangga. Bersama
seorang peserta dari Filipina, saya ditempatkan pada
keluarga bekas landlord dan kami hidup di tengah-tengah
keluarga ini selama dua hari, seperti halnya teman-teman
lain. Ditempatkan pula seorang interpreter oleh panitia
178 untuk memungkinkan kami berkomunikasi.

Anak tertua dari ‘induk semang’ kami ini melanjutkan
usaha orangtuanya sebagai petani, dengan menyetir
sendiri kendaraannya bersama seorang interpreter
membawa kami keliling Desa Miyagi. Jelaslah bagi kami
bahwa tiada rumah yang tidak dapat dicapai dengan
mobil dan memang semua rumah tangga di desa ini
mempunyai mobil disamping alat-alat pertanian yang
serba bermesin. Kami menjelajahi desa yang terletak di
daerah pegunungan ini dari ujung yang satu ke ujung
yang lain, dari tempat terendah sampai ke bagian yang
tertinggi, yaitu Gunung Akagi, sebuah gunung yang
kawahnya telah menjadi danau sehingga menjadi tempat
rekreasi pada waktu yang mengijinkan untuk itu.

Pada waktu itu saya teringat kepada sosialismenya

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 179

Presiden RI Bung Karno yang mencita-citakan elektrifikasi
sampai puncak-puncak gunung Indonesia dan saya lihat
cita-citanya itu “terrealisir” di desa-desa Jepang. Di bagian
manapun dari desa itu yang terdapat kehidupan keluarga
Jepang, tempat itu pasti dicapai listrik, pasti dicapai
telepon, sedangkan television-sets, radio dan sebagainya
tidak menjadi persoalan lagi.

Desa ini mempunyai koperasi yang mempunyai
usaha pokok untuk memasarkan hasil-hasil pertanian,
mengurus alat-alat yang diperlukan untuk pertanian dan
berfungsi juga sebagai bank desa baik untuk menyimpan
mapun meminjam disamping fungsi pendidikan.

Technical know how untuk pemakaian alat-alat
pertanian dan pertanian modern pada umumnya diurus
melalui sebuah kantor yang ada di tengah-tengah Desa
Miyagi, yaitu pada suatu gedung bertingkat tiga pada
bagian mana dari gedung itu terdapat alat broadcast
yang dapat menjangkau seluruh rumah keluarga
dengan loudspeaker. Broadcast ini digunakan untuk
menyampaikan pengumuman-pengumuman penting,
keadaan bahaya dan sebagainya dan bila diperlukan
hanya dalam beberapa menit saja seluruh rakyat desa ini
dapat dikumpulkan dan digerakkan.

“Tidak satu keluarga pun yang tidak masuk anggota
koperasi, sebab semuanya menikmati hasilnya, bahkan
dia pasti rugi kalau tidak menjadi anggota koperasi,” jawab
petugas setempat yang kami tanyakan.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Dalam suatu kesempatan, peserta-peserta ALDEC yang
menjadi orang asing di negara samurai ini mengadakan
pertemuan resmi dengan pengurus koperasi beserta
puluhan anggotanya dan beserta undangan lainnya. Suatu
hal yang mengesankan bukan hanya bagi kami yang datang
dari Indonesia, tapi juga bagi mereka yang datang dari
Filipina, India, Ceylon, Pakistan, Korea, Taiwan, Hongkong,
Malaysia, Australia, New Zealand, Amerika Serikat dan
Kanada adalah bagaimana diskusi pada pertemuan itu
sedemikian lancarnya, tidak berbeda jauh dengan diskusi
kami dengan kaum intelektual di Universitas Waseda
Tokyo pada waktu resepsi pembukaan ALDEC.

Rakyat desa ini mampu mendiskusikan persoalan
180 mulai dari Restorasi Meiji sampai ke kesiapan Jepang yang

pada waktu itu akan membuat bom atom bila diperlukan,
dari politik luar negeri Amerika sampai ke basis militernya
di Okinawa, dari tradisi Jepang sampai perdamaian dunia,
dari kekuatan ekonomi Jepang sampai pembangunan
Asia dan seterusnya.

Peserta-peserta dari Asia khususnya hanya terpaku
pada pertemuan kami selanjutnya dengan kira-kira 75
orang pemuda desa ini. Setelah mendengar bahwa
pemuda “kampung” ini minimal lulusan Sekolah
Menengah Atas, kami semuanya geleng-geleng kepala.
Waktu kami mengunjungi desa lainnya, saya bertanya
berapa keluarga petani yang membaca surat kabar secara
teratur (berlangganan)? Mereka menjawab paling sedikit
ada satu.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 181

Hal ini mendorong saya untuk memeriksa statistik
sirkulasi surat kabar Jepang. Berdasarkan data tahun
1969, setiap copy surat kabar Jepang rata-rata dibaca
2,93 orang atau 1,24 copies untuk setiap rumah tangga
yang berarti rata-rata lebih dari satu surat kabar untuk
tiap rumah setiap tahunnya.

Sebagaimana rata-rata manusia Jepang yang sudah
mempunyai tradisi bekerja keras, penduduk desanya
pun demikian. Mereka bersemangat dan senang pada
pekerjaannya karena hasilnya terjamin. Khusus untuk
petani padi, mereka mendapat jaminan harga dari
pemerintah. Pada saat ini pemerintah meminta petani
padi untuk mengosongkan tanahnya sebanyak 10%,
karena Jepang kelebihan beras ratusan ton per tahun.
Petani memenuhi permintaan itu karena pemerintah
membayar tanah yang dikosongkan itu.

Sehabis kunjungan ke desa, surat kabar THE YMCA
dan THE CHRISTIAN Tokyo menanyakan kesan-kesan
saya dan saya mengatakan: ”Saya tidak melihat "desa" di
Jepang!” ****

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Dua tahun kemudian, Albert Hasibuan, Bungaran Saragih dan
saya diundang menghadiri pertemuan Alumni ALDEC di Tozanso,
Gotemba, Jepang. Kami bertiga berpendapat bahwa banyak yang
kami peroleh tentang politik, sosial kemasyarakatan, bahkan
tentang teologi selama mengikuti Program WSCF ALDEC, maka
kami usulkan agar program itu bisa berlanjut. Namun karena alasan
biaya, Sekretaris WSCF Asia Office hanya bisa menawarkan ALDEC
"mini" yang pelaksanaannya kurang dari satu bulan.

Ketika saya diundang untuk menghadiri Studi dan Sidang
Gereja-gereja Asia yang berlangsung di Korea tahun 1994, saya
juga mengusulkan agar Gereja-gereja Asia mengambil alih Program
ALDEC itu sebagai bagian penting Program Pembinaan Generasi
Muda Gereja khususnya di Kawasan Asia Pasifik. Saya usulkan agar
program ALDEC itu diambil alih dan diselenggarakan di Korea
mengingat kemajuan negara itu yang luar biasa. Kemajuan tersebut
182 saya gambarkan dalam tulisan yang dipublikasikan oleh beberapa
terbitan nasional di Indonesia. Berikut tulisan tersebut:

SEMANGAT KERJA KOREA
SELATAN YANG TELAH
BERHASIL TINGGAL LANDAS

oleh amir l. sirait, mba.

Sebuah Konferensi bernama “Asia Mission Conference”
yang diselenggarakan oleh CCA (Christian Conference of
Asia) berlangsung di Seoul, Korea Selatan pada tanggal 25
April sampai dengan 24 Mei 1994.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 183

Konferensi dengan tema “Called to Witness Together
Amidst Asian Plurality” itu unik dan menarik sekali
karena dihadiri orang-orang dari berbagai agama dan
kepercayaan.

Dari Indonesia misalnya, disamping peserta dari
berbagai gereja di Indonesia yang diutus PGI (Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia) juga direncanakan sebagai
penceramah tokoh Indonesia, Abdurrachman Wahid.
Akan tetapi kemudian dijelaskan bahwa tokoh Indonesia
beragama Islam yang amat terkenal dengan panggilan
Gus Dur itu berhalangan hadir karena sakit. Banyak sekali
yang mengharapkan kehadirannya.

Dari Filipina ditampilkan tokoh Islam Filipina Mrs.
Mastura (Direktur Islamic Wellfare Society of the
Philippines) bersama suaminya anggota Parlemen
terkenal Filipina, Dr. Mastura.

Mewakili Agama Hindu adalah Dr. Jayapragasani dari
India, tokoh Budhist Ven Madampage Assogi dari Srilanka,
tokoh Budhist dari Jepang, Revd Yasuo Katuyama, dan
tokoh Konfusianisme dari Korea, Dr. Lee Seoung Hwan.

Mereka berbicara akrab di tengah-tengah sekitar
150 peserta konferensi utusan dari berbagai gereja dan
lembaga-lembaga masyarakat dari negara-negara Asia,
Eropa, Kanada, USA, Australia dan New Zaeland.

Ketika penulis menanyakan alasan pemilihan Seoul,
Korea Selatan menjadi tempat konferensi ini, sekretaris
Jendral CCA the RT Revd John Samuel (Pakistan)

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

menyatakan bahwa alasan utama adalah kemajuan Korea
Selatan (untuk selanjutnya akan kita sebut Korea Saja).

Memang dari jauh kita sudah sering mendengar
kemajuan Korea tersebut baik karena kita menjumpai
bahkan memakai beberapa barang buatan Korea di
negeri kita ini maupun karena membaca uraian ahli-
ahli ekonomi yang menjulukinya sebagai salah satu dari
empat negara “Naga” di kawasan North East Asia.

Namun demikian sesungguhnya kita sering pula
bertanya faktor-faktor apakah gerangan yang menopang
atau yang menjadi roh keberhasilan pembangunan Korea
tersebut. Sudah barang tentu sulit menjawab pertanyaan
itu dan sudah barang tentu pula pasti banyak faktor
184 pendukung yang tidak mungkin terurai dalam kolom
sesempit ini. Bahkan sesungguhnya yang tahu persis
akan hal itu adalah Bangsa Korea itu sendiri.

Yang kita ketahui dari luar secara umum adalah
keberhasilannya. Misalnya pada segi pertumbuhan
ekonomi, sejak pencanangan Pembangunan Ekonomi
5 tahunan Korea tahun 1962, Gross National Product
(GNP) negeri ini bertumbuh rata-rata lebih dari 8%
per tahun. Begitu hebat pertumbuhan itu sehingga
dunia mengakuinya sebagai salah satu negara dengan
pertumbuhan ekonomi tercepat dari negara-negara di
seluruh dunia dalam 30 tahun terakhir.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 185

BERHASIL TINGGAL LANDAS

Semasa hidupnya, dalam berbagai kesempatan,
antara lain pada bulletin Akademi Leimena No. 2 tahun I,
Mei 1988, almarhum TB. Simatupang sering menyatakan
bahwa proses menuju tinggal landas merupakan
transformasi dari semua segi kehidupan manusia,
negara, bangsa, dan masyarakat dan tiap bangsa harus
membayar “harga” untuk transformasi itu. Almarhum
juga sering mengingatkan bahwa sampai sekarang lebih
banyak bangsa yang gagal daripada yang berhasil tinggal
landas dari masyarakat yang agraris menjadi masyarakat
industri yang maju.

Akan tetapi barangkali ukuran baku tentang
keberhasilan memasuki tinggal landas belum ada.
Walaupun sama-sama menggunakan istilah tinggal
landas, tidak berarti hasil tinggal landas semua negara
akan sama, sebab masyarakat industri yang maju di
suatu negara berbeda dengan negara lainnya, walaupun
ada segi-segi yang sama (universal) dari hasil maupun
syarat-syarat keberhasilan pembangunan dari mereka
yang menganut teori pembanguan dengan istilah tinggal
landas tersebut.

Kita di Indonesia misalnya, mengharapkan bahwa
transformasi masyarakat kita dari masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri yang maju akan tetap
mengungkapkan kepribadian dan cita-cita perjuangan
nasional kita seperti telah dirumuskan dalam Pancasila dan
UUD 1945. Dalam bahasa lain, kita mengharapkan bahwa

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

di dalam keberhasilan tinggal landas pembangunan kita
dalam 5 tahun mendatang kita akan menyaksikan dan
merasakan kehidupan yang lebih Pancasilais, masyarakat
industri yang maju yang antara lain makin merasakan
kehidupan yang makin beretika, bermoral dan berspritual,
makin berkemanusiaan dan beradab, kehidupan yang
makin berkebangsaan dan persatuan yang makin erat,
kehidupan politik yang makin demokratis serta kehidupan
yang makin adil dan merata.

Itulah hasil tinggal landas pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila. Namun demikian seperti
dikatakan di atas, sedikit banyak terdapat pula hal-
hal yang universal baik dalam syarat-syarat maupun
186 dalam hasil dari setiap pembangunan oleh siapapun
dan dimanapun dengan teori tinggal landas dimaksud
sehingga paling tidak untuk memacu semangat perlu
juga melihat contoh yang disebut berhasil memasuki era
tinggal landas tersebut.

Sudah menjadi pendapat dan kesimpulan umum
bahwa Korea dengan segala harga yang telah dibayar
adalah negara yang telah berhasil memasuki tinggal
landas pembangunannya. Dalam hubungan keberhasilan
tersebutlah kita membaca data-data kuantitatif seperti
telah disinggung di atas bahwa sejak dicanangkannya
Rencana Lima Tahun Pembangunan Ekonomi Korea
tahun 1962, GNP riil negeri ini telah bertumbuh rata-
rata lebih dari 8% per tahun. Per Kapita, GNP Korea itu
bertumbuh dari US $ 82 pada tahun 1962 menjadi US $

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 187

7.300 pada tahun 1993.

Korea yang sekarang diperkirakan hanya berpenduduk
44 juta itu pada tahun 1992 telah mampu memproduksi
TV berwarna sebanyak 1.992.000 unit; iron dan steel
23.650.000 m/t; Automobiles 1.660.070 unit dan lain
sebagainya.

Kemampuan Korea Selatan memproduksi sekian
banyak kendaraan bermotor seperti disebutkan di
atas membawa kenyataan yang dapat kita saksikan
di sepanjang jalan metropolitan Seoul yang dipadati
kendaraan bermotor buatan Korea sendiri, apakah itu
mobil sedan, bus, atau truk hampir semuanya merk
Daewoo, Hyundai maupun KIA. Jarang sekali ditemukan
buatan negara lain.

Kendaraan bermotor ini hanya salah satu contoh.
Oleh sebab itu, melihat contoh ini, barangkali tidak terlalu
mengada-ada kalau kita berkesimpulan bahwa pada
dasarnya pasar dalam negeri Korea telah mantap diduduki
oleh barang-barang yang dapat diproduksi Korea sendiri
dengan kualitas handal yang mampu bertanding dengan
barang-barang buatan negara lain, sebab keadaan yang
hampir sama kita jumpai pula di toko-toko maupun
supermarket untuk barang kebutuhan sehari-hari.

Pada sektor pertanian, setiap keluarga memiliki rata-
rata 1,26 Ha dengan pengolahan yang serba mekanis.
“Jangan heran melihat sedan di tengah sawah di Korea,
sebab sudah hal biasa kalau petani Korea memiliki

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

mobil, traktor dan truk. Lagipula harga sedan di Korea ini
hanya kira-kira separuh harga di tanah air,” kata pendeta
Simarmata, teman penulis yang sudah 8 bulan di Korea
untuk memperdalam studi teologinya.

Langkah lebih lanjut dari kemampuan Bangsa Korea
adalah penetrasi pasar ke luar Korea Selatan, barangkali
termasuk Indonesia. Mungkin dalam waktu dekat,
penetrasi ini akan semakin terasa di Indonesia dalam
pertarungan perdagangan yang semakin liberal dengan
globalisasi ekonomi dunia.

Melihat kemampuan Korea Selatan misalnya di bidang
Industri mobil seperti tergambar diatas, maka bukan
mustahil dalam waktu dekat mobil “Made in Korea” seperti
188 Daewoo, Hyundai, dan sebagainya akan meramaikan
persaingan merk mobil di pasar Indonesia. Demikian pula
barang-barang lainnya.

KERJA KERAS UNTUK HIDUP

Kenapa Korea Selatan berhasil memasuki era tinggal
landas, di atas telah digambarkan sebagai pertanyaan
yang sulit dijawab secara pasti. Secara formal tentu
akan dihubungkan dengan peranan pemerintah beserta
seluruh institusi-institusinya, pendidikan, manpower,
training, peranan Amerika Serikat, dan lain sebagainya.

Semuanya tentu secara relatif berperan dalam
keberhasilan tersebut baik sendiri-sendiri maupun secara
terpadu. Akan tetapi di balik alasan formal maupun resmi

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 189

itu ada pula barangkali faktor yang tersembunyi seperti
faktor Semangat Kerja. Faktor semangat ini kita kenal
juga di Indonesia, seperti yang dipesankan para pendiri
negara kita pada penjelasan UUD 1945.

Pada waktu penulis bertanya kepada Tuan Dong-
Ik Cho, seorang banker, tentang kenapa Bangsa Korea
bekerja begitu keras, saya merasa jangan-jangan setengah
mengejek saya, dia menyatakan kira-kira sebagai berikut:

“Kami tidak bisa berleha-leha seperti Anda karena
negara Anda memiliki berbagai kekayaan alam, seperti
hutan, pertambangan, lautan dan lain-lain. Berbeda
dengan Korea, kami tidak punya apa-apa selain manusia
Korea. Pasar kami pun amat sempit, bahkan pasar kami
harus di tempat lain. Oleh sebab itu kami harus bekerja
keras supaya bisa hidup.”

Jika kita lanjutkan pertanyaan yang sama kepada
berbagai kalangan di Korea, kita akan memperoleh
jawaban dengan penjelasan yang kurang lebih sama
tetapi yang pasti ada dalam setiap penjelasan itu ialah
kata-kata “Kami harus bekerja keras supaya bisa hidup.”
Kadang-kadang dikatakan bahwa mereka tidak akan bisa
hidup kalau hanya bekerja dari jam 09.00 pagi sampai jam
18.00 sore.

Dalam kalimat lain, tokoh wanita Korea, Dr. Hun-
Soon Shin (Associate Professor Ewha Woman University,
Seoul) mengatakan secara bergurau bahwa Korea paling
“tidak disiplin” dalam soal waktu bekerja. Lebih lanjut

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

dia katakan bahwa walaupun Bangsa Korea mengenal
semacam standar waktu kerja 42 jam seminggu, dalam
prakteknya tidak ada orang Korea yang mematuhi jam
kerja seperti itu.

“Kami bekerja jauh melebihi 42 jam seminggu itu,
supaya kami bisa hidup dan hidup lebih baik dan tidak
mengalami penderitaan lagi. Setiap hari kerja, kami bekerja
dari pagi hingga malam hari,” kata wanita cemerlang dan
cantik bekas pengungsi dari Korea Utara itu.

Bahkan untuk anak sekolah, ada yang disebut “anak
sekolah dengan dua mangkok”. Maksudnya bahwa anak
sekolah berangkat dengan dua mangkok, mangkok
pertama untuk makan siang dan mangkok kedua berisi
190 makanan untuk makan malam.

Mendengar keterangan seperti itu, penulis teringat
uraian seorang penceramah yang adalah seorang
manager dari Korea Selatan pada waktu Kongres
Manajemen di Hotel Shangri-La Singapore sekitar tahun
1977. Pada Kongres yang dihadiri beberapa peserta
Indonesia seperti Tony Agus Ardie dan almarhum P.K.
Ojong dan lain-lain, Manajer Korea itu mengutarakan
bahwa kunci keberhasilan manajemen Korea adalah
kerja keras. “Manajer-manajer Korea sudah berangkat ke
tempat kerja jam 07.00 pagi hari dan baru pulang paling
cepat jam 22.00 malam hari," kata manajer yang energetic
itu.

Kerja keras supaya bisa hidup, nampaknya jelas

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang 191

bukan sekadar slogan melainkan sebuah sikap maupun
tekad yang ditanamkan kepada segenap Bangsa Korea
sejak anak-anak dipadu dengan sistem pendidikan yang
berorientasi kepada hasil untuk bertahan hidup (survive).

Pengalaman hidup Bangsa Korea yang panjang dan
penuh keterbelakangan pada zaman feodal dengan
kasta-kasta masyarakat dimana walaupun seseorang
bekerja keras tidak mungkin memasuki kasta yang lebih
tinggi sampai penderitaan zaman penjajahan dan perang
yang memecah Korea, diakui telah berlalu. Kini setiap
anak Korea bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam
masyarakat kalau dia bekerja keras.

Bangsa Korea merasa pedih sekali pada waktu
penjajahan Jepang yang antara lain sering dilukiskan
dalam kelaparan karena seluruh bahan makanan penting
diangkut Jepang ke luar Korea. Demikian pula penderitaan
akibat Perang Korea sekitar tahun 1950 – 1953, semuanya
digunakan Bangsa Korea sebagai cambuk untuk bekerja
keras agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi.

Masih ada faktor lain yang menjadi pemacu semangat
bekerja keras dan barangkali berperan lebih besar yakni
faktor tradisi Konfusianisme yang sangat berakar dalam
masyarakat dengan nilai-nilai tinggi yang amat berharga,
khususnya dalam kaitan semangat bekerja Bangsa Korea.
Nilai nilai itu antara lain berhubungan dengan loyalitas
terhadap negeri sendiri, tanggung jawab yang tinggi atas
kehidupan keluarga serta nilai-nilai moral antara laki-laki
dan wanita dan lain sebagainya.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Semua faktor-faktor yang tergolong tersembunyi itu

telah bermuara dan menempa bangsa Korea menjadi
bangsa yang berorientasi kepada hasil melalui dan dengan
semangat bekerja keras serta disiplin tinggi, sehingga
Korea Selatan mampu dengan sukses melaju memasuki
era tinggal landas menuju tingkatan selanjutnya.

192 Pimpinan Umum
Sinar Harapan,
H.G. Rorimpandey,
sempat mengunjungi
saya dan Albert
Hasibuan di Jepang.

Saling bertukar informasi dengan peserta lain di waktu istirahat

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang

Foto-foto kenangan 193
selama mengikuti
program ALDEC.
Sangat
menyenangkan
tapi selalu rindu
membayangkan
Charles, anak
pertama yang baru
lahir 3 bulan lalu.

Menyempatkan diri
mengunjungi kuil-

kuil di Jepang.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Binsar Sianipar,
Pengurus GMKI
Pusat datang
mengunjungi
kami saat
program ALDEC
berlangsung.
194
Suasana saat
waktu senggang,
terlihat Albert
Hasibuan tengah
bergembira
bersama para
peserta lain.

Pemandangan yang setiap hari kami lihat dari The Mount Praying For World Peace.
kantor World Student Christian Federation
(WSCF), salju di atas Gunung Fuji.

Mengikuti ALDEC di Tokyo, Jepang

Namanya ALDEC For Asia tetapi pesertanya dari berbagai negara seperti 195
Amerika Serikat, Australia, New Zealand, Malaysia, Filipina, Pakistan, Thailand,
Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Bangladesh, dan Ceylon. Saya berdiri di
posisi kelima dari sebelah kanan.

35 tahun kemudian,
kami para peserta
ALDEC 1971,
bertemu kembali
di Tokyo, Jepang.
Dari Indonesia saya
(duduk, ke-2 dari
kiri) hadir bersama
Bungaran Saragih
(duduk, ke-2 dari
kanan) dan Albert
Hasibuan (berdiri
ke-3 dari kiri).

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
196

z

BAB EMPAT BEL AS

Konsultasi Nasional
Gereja dan Masyarakat
PGI Untuk Persiapan
Sidang Raya PGI di

Surabaya 1989

Di DGI saya membantu Sekretariat Komisi Kaum Awam
pimpinan Ds. W.J. Rumambi dan Pontas Nasution yang
banyak menyelenggarakan Konsultasi Nasional yang semuanya
terkait dengan teologi dan panggilan gereja di tengah masyarakat,
bangsa dan negara yang sedang membangun. Tokoh-tokoh gereja,
perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa
bertemu dalam kegiatan ini.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Di Jawa Tengah khususnya Yogyakarta, saya sudah sering
mendengar tentang mereka, tapi baru di Komisi Kaum Awam ini
saya benar-benar bertemu mereka. Saya amat beruntung memiliki
kesempatan untuk bergaul dan belajar dari tokoh-tokoh itu
diantaranya DR. T.B. Simatupang, Prof. DR. Abineno, Pdt. DR
P.D. Latuihamallo, DR. S.A.E. Nababan, Prof. DR. Ihromi, Prof.
Dr. Lim Kim Yang, Ds. W.J. Rimambi, para pendeta serta tokoh
masyarakat lainnya.

Secara khusus saya kagum dan hampir tak pernah absen apabila
dalam daftar pembicara terdapat nama DR. T.B. Simatupang. Saya
selalu terkagum-kagum ketika menyaksikan beberapa kali mereka
berdebat soal teologi dan Pak Simatupang yang mendominasi
perdebatan itu, padahal beliau bukan teolog, tapi Letnan Jenderal
(Purn) mantan Kepala Staf Angkatan Perang R.I.

198 Saya pribadi dalam konteks kekaguman pernah bertanya
kepada Pdt. Prof. P.D. Latuihamallo dan Prof. Abineno, kenapa

mereka memiliki kepercayaan dan penghargaan yang tinggi tentang

teologi kepada Pak Simatupang? Mereka satu bahasa mengatakan

bahwa mereka mengenal pikiran Pak Simatupang dari daftar

literatur teologinya. Kami membaca tulisannya yang mengatakan

bahwa ketika dia mempelajari soal ideologi dan revolusi komunis

dia membaca Karl Max, untuk soal kemiliteran dia membaca Carl

von Clausewitz, dan untuk soal teologi dia membaca Karl Barth.

Pak Simatupang sering mengatakan kalau ia punya tiga guru

orang Jerman yang semuanya bernama Karl. Dari buku-bukunya

itulah kita melihat pemikiran-pemikiran, konsep dan analisisnya

khususnya mengenai teologia, kata mereka.

Pak Simatupang memang menguasai bahasa Jerman, selain
Bahasa Belanda, Inggris dan tentu saja Bahasa Batak dan bahasa
Indonesia. Suatu ketika di tengah keluarga dia mengatakan, “Kalau
bicara dengan ibu saya, saya berbahasa Batak, kalau bicara dengan

Konsultasi Nasional Gereja dan Masyarakat PGI 199
Untuk Persiapan Sidang Raya PGI Di Surabaya 1989

istri, Bahasa Belanda, dan ketika berbicara dengan anak-anak,
Bahasa Indonesia”.

Dalam lingkungan Komisi Kaum Awam itu saya bertemu senior
saya di GMKI, Pontas Nasution, yang kemudian diangkat sebagai
Sekretaris Komisi Kaum Awam itu, sehingga saya terbantu sebagai
tenaga staf yang baru.

Waktu kami bertemu di Konferensi Studi GMKI di Ambon
tahun 1962, dia sudah memimpin Komisi Pengkaderan yang
bermakna teologi dan menggariskan panggilan kader-kader Kristen
sebagai buah sulung (Kejadian :25 - 31) di tengah masyarakat yang
sedang berevolusi. Hampir semua dari kami di komisi itu terperangah,
tidak paham dengan pandangan-pandangan Alkitabiahnya.

Empat tahun kemudian dia sudah menjadi pejabat teras Komisi
Kaum Awam DGI. Pontas Nasution memang seorang kader yang
unik dan terpercaya. Sebagai lulusan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, dia sebenarnya sudah bekerja di Departemen Perkebunan,
tetapi lebih tertarik kerja di DGI. Dan ketika diangkat untuk
jabatan yang lebih tinggi, dia malah memilih mengundurkan diri
dan menjadi pegawai penuh waktu di DGI yang kesejahteraannya
amat minim. Selama hampir 2 tahun saya terhisap dalam kegiatan
PP GMKI sambil menjadi pegawai di Sekretaris Komisi Kaum
Awam DGI. Bersama Pontas, saya mempersiapkan Rancangan
Materi Pendidikan Kader GMKI yang akan dibahas di Konferensi
Studi di Banjarmasin tahun 1966 dan disahkan di Kongres Toraja
tahun 1967 sebagai Keputusan Kongres.

Pada dasarnya materi Kursus Kader itulah yang menjadi
pedoman untuk Kursus Kader Komisariat, Kursus Kader Cabang,
Kursus Kader Regional dan Kursus Kader Nasional GMKI di
seluruh Indonesia secara berjenjang. Kala itu dirasakan tumbuhnya
keinginan kaum awam untuk lebih memahami Alkitab ditandai
dengan terbitnya berbagai buku seperti Tafsiran Alkitab Masa Kini

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

Jilid 1, 2, dan 3 yang dianggap cocok untuk Sekolah Teologia,
para pendeta, penatua, dan guru-guru agama dan termasuk kaum
awam. Jilid 1 dan 2 dari buku itu adalah bagian Perjanjian Lama
dan Jilid 3 Perjanjian Baru. Buku Tafsiran Alkitab Masa Kini
disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah ilmiah dan Alkitabiah dan
diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia.

Konsultasi-konsultasi ataupun seminar-seminar teologi dalam
hubungan tugas Kristen dalam masyarakat yang diselenggarakan
DGI dalam gereja dan masyarakat selalu melibatkan aktivis-aktivis
GMKI sehingga kesempatan-kesempatan itu menjadi tempat kami
belajar teologi.

Salah satu yang amat berkesan adalah konsultasi yang

diselenggarakan DGI dalam rangka persiapan Sidang Raya XI

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia yang akan diselenggarakan

200 di Surabaya, Jawa Timur tahun 1989. Sidang Raya itu bertema:
“Roh Kudus Memberi Kuasa Menjadi Saksi” yang didasarkan pada

sebuah ayat dalam Kisah Para Rasul 1:8 yaitu “Tetapi kamu akan

menerima kuasa kalau Roh Kudus turun atas kamu, dan kamu akan

menjadi saksi-Ku di Yerusalem, dan di seluruh Yudea, dan di Samaria

dan sampai ke ujung bumi.”

Menurut Pak T.B. Simatupang, tema itu dipilih agar kita
melihat tugas panggilan Gereja di dunia umumnya dan Indonesia,
khususnya, menjelang akhir abad XX dan awal abad XXI yang
sekaligus awal millennium ketiga dalam sejarah gereja dan dalam
sejarah umat manusia, sebagai semacam ulangan dari Kisah Para
Rasul yang terjadi hampir 2,000 tahun yang lalu. Dengan kata lain,
kita sedang dan akan melaksanakan Kisah Para Rasul kontemporer.

Pak Simatupang mengatakan bahwa tiap zaman mengulangi
Kisah Para Rasul untuk menjawab tantangan-tantangan dan
menggunakan peluang yang terdapat pada zaman dan tempat yang
bersangkutan.

Konsultasi Nasional Gereja dan Masyarakat PGI 201
Untuk Persiapan Sidang Raya PGI Di Surabaya 1989

Pada 29 April 1987, Pak Simatupang menyampaikan ceramah
untuk mempersiapkan Sidang Raya XI PGI 1989 di Jawa Timur.
Ceramah yang disampaikan di tengah sekitar 100 orang utusan
gereja-gereja dan organisasi pemuda dan mahasiswa itu amat
memukau.

Beliau membahas judul ceramahnya dengan nalar yang luar biasa,
menggunakan logika manusia yang percaya dan taat. Ia menganalisa
kata demi kata dari teks Alkitab, disandingkan dengan suasana
kehidupan kemasyarakatan pada masa itu, dan dihubungkan dengan
tugas panggilan gereja sekarang dan pada masa yang akan datang.
Dengan penuh kekaguman, kami generasi muda menyimak dengan
serius semua pengetahuan, logika dan analisa yang dipaparkannya
tanpa komentar.

Beliau mengibaratkan Yesus Kristus sebagai pemimpin politik
yang diadili dengan tuduhan tindakan “subversif ” lalu dibunuh,
sehingga membuat pengikutnya tercerai berai, bahkan ada murid
yang menyangkalnya. Meski dalam keadaan tertekan, nampaknya
ada sesuatu yang terjadi karena para murid tidak lagi dihinggapi
ketakutan. Mereka berkumpul kembali dan dengan penuh
keberanian menghadapi dunia yang memusuhi mereka.

Lalu apa yang terjadi? Menurut Pak Simatupang, para murid
bertemu dengan Kristus yang bangkit. Bukan hanya bertemu,
mereka ‘ditatar’ oleh Kristus yang bangkit itu selama 40 hari. Untuk
mendukung pendapatnya, beliau mengangkat Kisah Para Rasul 1:3
yaitu: “Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-
Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan bahwa Ia
hidup. Sebab selama 40 hari Ia berulang-ulang menampakkan diri
dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah.”

Kristus yang bangkit itu juga memberikan suatu pesan sebelum
Ia berpisah dengan para murid. Pesan tersebut tercatat dalam Kisah
Para Rasul 1:8 : “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

turun atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem, dan
seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”

Pak TB Simatupang menegaskan bahwa kedua hal itulah yang
telah mem-posible-kan suatu mission impossible, yaitu bahwa segelintir
murid dari guru yang divonis mati sebagai penjahat ‘subversif ’ tidak
lagi menyembunyikan diri mereka tetapi dengan penuh keberanian
dan “sense of mission” yang luar biasa, maju bergerak ke semua
penjuru. Sehingga gereja mula-mula terdiri dari segelintir manusia
yang tidak punya kedudukan sosial, pendidikan tinggi, kekayaan
ataupun kekuasaan, tapi berhasil menyebar dari Yerusalem, Roma,
kemudian ke seluruh bagian dunia. Hal itu bisa terjadi menurutnya
karena; (1) Pertemuan dengan Kristus yang bangkit, dan (2) Kuasa
Roh Kudus untuk menjadi saksi, telah mem-possible-kan apa yang
menurut logika manusia sebagai mission impossible.

202 Kemudian beliau menyimpulkan, apabila gereja-gereja di
Indonesia dan di seluruh dunia sekarang ini hendak melaksanakan

Kisah Para Rasul kontemporer, pertama–tama gereja-gereja harus

bertemu kembali dengan Kristus yang bangkit dan harus memperoleh

kembali kuasa menjadi saksi dari Roh Kudus. Gereja-gereja di

Indonesia, dalam melaksanakan Kisah Para Rasul Kontemporer dan

sebagai bagian dari gereja-gereja dunia, jangan hanya mengandalkan

kemampuan dan kekuasaannya, tetapi mengandalkan tindakan-

tindakan yang besar dari Allah sendiri; yang sudah membebaskan

orang Israel dari perbudakan di Mesir, telah membangkitkan Kristus

dari antara orang mati, yang dalam Kristus telah memberi kuasa

menjadi saksi melalui Roh Kudus yang telah menyertai gereja

selama hampir 2,000 tahun dan yang akan senantiasa menyertai

gereja sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20).

Bumi itu bulat, tidak ada ujungnya, ujar Pak Simatupang.
Demikian pula teologi — menyampaikan firman sampai ke seluruh
dunia. Bagi Umat Kristen atau Gereja Indonesia, melahirkan

Konsultasi Nasional Gereja dan Masyarakat PGI 203
Untuk Persiapan Sidang Raya PGI Di Surabaya 1989

“Teologi Indonesia” berarti membawa pemahaman teologi dari Asia
sampai ke Barat.

Pak TB Simatupang, jenderal yang awam dari "tua-tua" GKI
Kwitang kelak menjadi Ketua Dewan Gereja-gereja di Indonesia,
dan salah satu Ketua Dewan Gereja-gereja se-Asia, dan salah satu
Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Dengan jabatan gerejawi itu
kita meyakini bahwa pandangan teologinya mewarnai pandangan
teologi Gereja-gereja Asia dan Dunia.

Beliau bisa berbicara tentang “garam” dengan penuh makna.
Misalnya ketika beliau menjelaskan kesatuan orang Kristen
Indonesia (khususnya suku Batak) dengan komunitas Amerika.
“Kita bukan hanya satu kata dalam panggilan, tetapi 'satu darah'
sejak nenek moyang kita,"ujarnya. Maksudnya merujuk pada
peristiwa pekabaran Injil di Tanah Batak yang dilakukan pertama
kali pada tahun 1834 oleh misionaris Amerika Munson & Leyman.
Sejumlah sumber menyebutkan, mereka dibunuh dan tubuhnya
dimakan oleh para orang Batak kuno yang kanibal (pemakan daging
manusia).

Tentang Munson & Leyman ini saya konfirmasi kepada Pendeta
Luhut Simbolon pada tahun 2018. Pak pendeta mengatakan
jenazah dua misionaris itu dikuburkan di Lobu Pinang. Di batu
nisan mereka tertulis epitaf dalam Bahasa Batak: “Mudarni Namate
Martir Do, Boni Ni Huria”. Artinya darah dari para martir adalah
benih perkembangan gereja.

Tema lain yang dimotori Ketua PGI T.B. Simatupang adalah
dalam rangka persiapan Gereja-gereja di Indonesia untuk menjawab
pertanyaan sumbangsih apa yang dapat diberikan dalam rangka
rencana Bangsa Indonesia menyelenggarakan Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun tahap Ke-dua [PJPT II]. Dalam hubungan itu,
dirumuskanlah tema Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM)
yang diselenggarakan di Kinasih, Jawa Barat pada 4-8 Agustus 1993.

Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait

PEMBANGUNAN POLITIK DAN KETAHANAN

NASIONAL MEMASUKI PEMBANGUNAN JANGKA

PANJANG 25 TAHUN TAHAP KEDUA (PJPT II)

Konferensi Gereja Dan Masyarakat (KGM-PGI) adalah salah
satu program primadona PGI pada akhir tahun l980-an sampai
permulaan tahun 1990-an. KGM itu menarik perhatian masyarakat
karena menampakkan pergumulan gereja dalam panggilannya
berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Pembangunan bangsa
dan negara merupakan pergumulan seluruh Bangsa Indonesia yang
menginginkan kemajuan serta kemakmuran seluruh masyarakat.
Biasanya pemikiran-pemikiran maju yang mengacu pada
perkembangan kehidupan internasional dan nasional lahir dalam
diskusi-diskusi KGM tersebut, sebagai interaksi pemikiran tokoh-
tokoh masyarakat, lembaga negara maupun swasta, tokoh-tokoh
pimpinan gereja dari seluruh Indonesia serta tokoh-tokoh pemuda
204 dan mahasiswa yang diundang ke pertemuan KGM.

Pada 4-8 Augustus 1993, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) menyelenggarakan KGM VI di Wisma Kinasih Caringin,
Jawa Barat, dengan tema “Pembangunan Politik dan Ketahanan
Nasional Memasuki Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Tahap
Kedua (PJPT II)”. Tema ini diambil untuk mempersiapkan jawaban
tentang sumbangsih apa yang dapat ditawarkan Gereja-gereja di
Indonesia dalam rencana Bangsa Indonesia menyelenggarakan
Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun tahap Ke-dua [PJPT II].
Saya adalah salah satu eksponen generasi muda yang beruntung
diundang untuk mengikuti acara ini.

KGM yang sejak awal dimotori Ketua PGI, DR.T.B. Simatupang
ini, merumuskan tema tersebut yang diturunkan dari tema sentral
“Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila” dengan sub
proyeknya dalam bidang Politik, Ekonomi, Hukum, Sosial, Budaya,
dan Pertahanan Keamanan.


Click to View FlipBook Version