Masa Kecil di Parongil, Dairi 55
lalu menyusul Margaret tahun 1977 dan Bunga
tahun 1979. Dengan dua anak laki-laki dan dua
anak perempuan, keluarga kami diberkati dengan
hidup yang berkecukupan, meski ada juga saat-saat
ketika kami harus berjuang lebih keras. Misalnya saja
ketika pemerintah Orde Baru sedang galak-galaknya
melakukan pembredelan terhadap surat kabar yang
dianggap mengganggu pemerintah. Penerbitan yang
dinilai menyinggung atau memberi kritik terlalu keras
pada pemerintah pasti akan ditindak, termasuk tempat
kerja saya saat itu, Sinar Harapan, yang sudah bolak-
balik diganjar pembredelan.
Maraknya ancaman pembredelan yang dialami
perusahaan media saat itu membuat saya harus
mempersiapkan rencana lain untuk kelangsungan
ekonomi keluarga. Saya melihat Martha menyukai
keindahan dan memiliki bakat di bidang keterampilan,
maka saya mengarahkan dia untuk mengambil kursus
merangkai bunga yang ternyata memang menarik
minatnya.
Martha menekuni hobinya itu hingga ia bisa
mengembangkannya menjadi sebuah bisnis. Ia rajin
mengikuti sejumlah kompetisi merangkai bunga dan
sekitar tahun 90-an membuka toko bunga di Sarinah
Departement Store yang ada di Jalan M.H. Thamrin,
Jakarta.
Beberapa tahun kemudian, Martha juga menekuni
Ulos, tenun tradisional Sumatera Utara. Kain Ulos yang
awalnya hanya dipakai untuk acara adat, dikreasikan
Martha menjadi produk moderen seperti tas, sepatu,
baju dan lainnya di bawah merek Martha Ulos.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Melalui berbagai event dan pameran, Martha
menjadi pionir yang memperkenalkan Ulos Batak ke
khalayak yang lebih luas, bukan hanya di Indonesia
namun juga ke luar negeri. Tahun 1992, Martha
dianugerahi penghargaan Upakarti oleh Presiden
Suharto atas jasanya mempromosikan Ulos di dalam
negeri dan internasional.
56
Berkat ketekunannya mengembangkan Ulos dan dukungan dari Menteri
Perdagangan saat itu, Arifin Siregar, Martha dianugerahi Penghargaan Upakarti
oleh Presiden Suharto tahun 1992.
Saat itu, pada tahun 1990-an pemerintah di bawah
pimpinan DR. Arifin Siregar, Menteri Perdagangan
Republik Indonesia sedang menggalakkan usaha ekspor
produk kerajinan nasional ke seluruh penjuru dunia.
Martha Ulos melihat kesempatan itu dan berusaha
mengikuti semua rencana pameran kerajinan nasional
yang dirancang pemerintah. Melalui kerjasama dengan
Departemen Perdagangan, Martha Ulos mengikuti
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Bersama Pak Arifin Siregar dan ibu Adiati Siregar. Keduanya banyak mendukung 57
usaha Martha untuk memajukan kerajinan Ulos.
Martha dan ibu mertua saya, Dorianna Napitupulu yang merupakan seorang
penenun, berkesempatan memberikan Ulos kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien
di salah satu pameran budaya yang diikutinya.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
pameran di berbagai negara seperti Thailand, Hongkong,
Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, dan Kanada.
Martha juga pernah diminta untuk menyelenggarakan
pameran Ulos dan kesenian Batak di Los Angeles,
Amerika Serikat.
Malam sebelum bertolak ke Amerika Serikat,
saya membantu Martha bersama rombongan pengisi
acara yang akan berangkat menggelar malam budaya
"Impressive Tapanuli" di Hotel Shangrila Jakarta yang
dihadiri Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia
H.E. Pascoe bersama istri, Diana Pascoe beserta Menteri
Perdagangan dan pejabat-pejabat lainnya.
58
Malam seni budaya "Impressive Tapanuli" pada 12 Agustus 2005
di Hotel Shangri-La, Jakarta, digelar sebelum Martha memimpin
rombongan budaya ke Amerika Serikat. Malam itu saya dan
Martha, bersama Akbar Tanjung dan Nyonya, memberikan Ulos
kepada Duta Besar Amerika Serikat B. Lynn Pascoe dan Diana
Pascoe.
Di antara kegiatan mengurus empat anak dan
usahanya, Martha juga masih sering saya tinggal pergi
karena kesibukan saya di kantor dan organisasi. Tapi
Martha adalah perempuan yang mandiri, penuh ide
dan kreasi, sehingga ia bisa mencari kesenangannya
sendiri tanpa tergantung orang lain. Jarang sekali ia
Masa Kecil di Parongil, Dairi
Saya dan Martha didampingi putra saya, Charles Bonar Sirait, memberikan 59
Ulos kepada Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam Rapat Koordinasi Nasional
Kepariwisataan di Jakarta Convention Center, April 2016.
mengeluh akan kesibukan saya yang mungkin berbeda
dengan suami-suami yang sering ada di rumah bersama
keluarganya. Begitulah saya merasakan dukungan
Martha dalam perjalanan karir saya.
Pada tahun 2020 saat buku ini ditulis, kami telah
mengarungi bahtera pernikahan selama 50 tahun. Tentu
hari-hari kami tidak selalu dipenuhi dengan tawa dan
canda, ada kalanya kami berdua harus melalui masa-
masa sulit yang penuh tantangan dan air mata sebagai
suami istri dan orangtua. Pernikahan kami jauh dari
sempurna, namun saya berharap anak-anak saya tetap
dapat memetik pelajaran dari jatuh bangunnya rumah
tangga kami.
Dengan segala kelemahannya dan segala kelemahan
saya, saya mengagumi pendirian Martha yang selalu
berusaha sebaik mungkin menjalankan perannya
sebagai seorang ibu dan istri. Selama 50 tahun kami telah
mengalami berbagai masalah dari yang ringan hingga
yang sangat rumit. Tapi seberat apapun masalah yang
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Martha, teman hidup yang setia selama lima puluh tahun.
pernah kami hadapi, tak sekalipun Martha pernah meninggalkan
rumah kami.
60 Saya mengucap syukur kepada Tuhan kalau dalam hidup ini
saya diberkati dengan teman hidup yang setia dan penolong yang
sepadan.
Terima kasih, Martha!
z
BAB DUA
Masa Kecil Dalam
Kemiskinan
Menurut catatan Gereja HKBP Nagatimbul, saya dilahirkan
di huta (kampung) Lumban Simatombak dari pasangan
Frederick Sirait dan Carolina boru Sitorus. Tahunnya kurang jelas,
mungkin 1939 mungkin juga 1937, bahkan tanggalnya pun saya
tidak pernah tahu dengan pasti, tapi kira-kira pada masa panen.
Waktu saya masih di bangku SMP III Negeri Medan, guru
saya, Encik Tumpi namanya, menanyakan tanggal lahir saya untuk
mengisi formulir. Karena saya jawab tidak tahu, ia lantas mengarang
sendiri tanggal lahir saya. Dia tuliskan: 14 Juli 1939.
“Bagaimana?” tanya Encik Tumpi. Saya setuju saja dengan
karangan spontannya karena tahu itu tanggal bersejarah (Revolusi
Perancis - 14 Juli 1789). Sejak saat itu, saya selalu menulis 14 Juli
1939 sebagai tanggal lahir saya.
Beberapa waktu setelah pulang merantau dari Parongil,
keluarga kami kembali tinggal di Lumban Simatombak. Suatu hari
berkembanglah wacana di tengah keluarga agar saya masuk sekolah.
Kakak saya Hilda, yang paling tua diantara kami, sepakat dengan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Ibu. Ia rela tidak melanjutkan sekolah untuk memberi kesempatan
pada saya dan dia bisa membantu Ibu bekerja di ladang pertanian.
Kakak saya ini memang baik hatinya, pintar, dan pekerja keras.
Saya tidak tahu persisnya umur berapa saya masuk Sekolah
Rakyat (sebutan untuk Sekolah Dasar saat itu). Tapi saya ingat saya
merasa seperti orang asing di lingkungan anak-anak sekolah karena
saya ‘pendatang’ dari Parongil. Sepertinya saat saya masuk sekolah
itu juga tidak pas dengan masa penerimaan murid baru di Sekolah
Rakyat Nagatimbul, sehingga saya tidak punya teman karena teman-
teman sebaya sudah ditinggal di Parongil.
Sekolah Rakyat Nagatimbul terletak berhadapan dengan Gereja
HKBP Nagatimbul dan termasuk bekas Sekolah Zending (lembaga
misi penyebaran agama Kristen). Setiap hari Senin semua murid
wajib berbaris di halaman sekolah dan menyanyikan lagu-lagu
62 gereja. Setiap guru mendapatkan giliran untuk mengajarkan anak-
anak bernyanyi bersama dalam barisan, artinya setiap guru wajib
menguasai nyanyian gereja. Sekolah itu dibangun atas bantuan
masyarakat sekitar yang menyumbangkan tiang bangunan untuk
pembangunan sekolah, termasuk Ayah saya yang mencari dan
mengolah pohon di hutan untuk menyumbangkan bagiannya.
Di kelas I, saya duduk di bagian depan karena badan saya kecil
dan pendek. Di belakang saya, duduk seorang anak yang badannya
jauh lebih besar dari saya, dia senang sekali menarik-narik kuping
saya dari belakang untuk jadi mainannya. Dia melakukannya
berulang-ulang sampai akhirnya saya kesal karena tidak tahan lagi
dan mengadu pada Ayah. Besoknya, Ayah ikut mengantar saya ke
sekolah dan bicara dengan guru kelas. Guru memperkirakan kuping
saya mungkin sudah sakit karena sering ditarik-tarik oleh anak usil
itu. Akhirnya anak itu ditarik guru ke halaman kelas dan dihajar
sampai ia berjanji tidak akan mengulangi kelakuannya lagi. Hari itu
dia tidak duduk di belakang saya lagi.
Masa Kecil Dalam Kemiskinan 63
Kejadian itu lewat begitu saja, tidak pernah dibahas lagi oleh
Ayah. Setelah di rumah pun ia tidak membicarakannya. Kalau
mengingat-ingat kembali kenangan tentang Ayah, inilah satu-
satunya peristiwa dimana dia campur tangan untuk urusan sekolah
saya. Begitulah Ayah saya, bukan tipe orang yang banyak bicara.
Kalau adik-adiknya melakukan kesalahan, Ayah tidak akan banyak
omong, dia akan menghajar mereka semua sampai mengaku salah.
Setiap hari saya pergi sekolah dengan baju seadanya tanpa alas
kaki alias nyeker. Saya juga jarang mengganti pakaian sekolah karena
memang tidak punya terlalu banyak pakaian. Ada kalanya saya
memakai Ulos (kain tenun Batak) ke sekolah. Kedua ujungnya saya
sambung dan ikat di leher, jadilah pakaian! Saya perhatikan ada juga
beberapa anak yang berpakaian seperti itu, tetapi tidak banyak. Tidak
bisa ditutupi bahwa keadaan saya itu adalah gambaran kemiskinan,
anak yang gagal merantau di Parongil, sehingga harus kembali ke
pangkalan asli.
Saya tidak pernah mengenal sarapan. Bangun pagi-pagi,
membantu ibu menggiring kerbau ke sawah lalu ke sekolah. Di
rumah, saya membaca buku-buku pelajaran ditemani remang-
remang lampu minyak tanah (lampu teplok).
Orang tidak tahu apa yang bergejolak di dalam hati saya,
tetapi kala itu saya tergolong anak yang mudah terpancing untuk
berkelahi, bahkan dengan anak yang badannya jauh lebih besar pun
saya tidak takut.
Di sekolah sering terjadi adu jotos antar murid yang waktu
dan tempatnya direncanakan bersama pada jam istirahat dan
dilaksanakan setelah pulang sekolah. Tidak ada minggu berlalu
tanpa baku hantam, baik antar-kelas ataupun antar-kampung. Kalau
perkelahian berlangsung lebih lama daripada biasanya, ada saja ayah
atau saudara dari ‘peserta’ perkelahian yang datang untuk melerai
dan menjemput, tapi itu tidak pernah terjadi dengan saya. Sedih
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
juga, kadang saya diejek karena tidak pernah ada ayah atau saudara
yang datang untuk menjemput saya.
Suatu waktu, Pak Jonas Sitorus, Kepala Sekolah kami, membawa
tiga orang familinya yang menjadi murid di sekolah itu. Dua
diantaranya bertubuh lebih besar daripada rata-rata kami dan selalu
menunjukkan kesombongan karena ia keluarga Kepala Sekolah dan
orang berada.
Tak suka melihat gayanya, saya dan teman-teman pun sepakat
untuk mengajaknya kelahi. Jadilah tiga lawan dua -- saya dan dua
teman, melawan dua orang dari mereka yang badannya besar-besar.
Kami sepakat untuk bertemu di Aek Tanggal, pinggir sungai sekitar
3 kilometer di utara sekolah. Pulang sekolah kami menggelar ajang
adu jotos itu. Setelah partai "Tiga Lawan Dua" usai, lanjut ke
partai "Satu Lawan Satu", yaitu Gunung (nama anak itu) melawan
64 Amir Sirait. Seperti namanya, perawakan Gunung tinggi besar jika
dibandingkan saya, tapi saya terpilih untuk melawannya. Walaupun
saya membuat si Gunung berdarah-darah, entah kenapa dalam
perkelahian itu saya dianggap kalah dan penonton yang merupakan
anak-anak dari kelas lain ramai-ramai memisahkan kami.
Perkelahian seperti itu hanya terjadi di luar sekolah. Esok
harinya kami bertemu di sekolah seperti biasa saja, tidak ada yang
bermusuhan. Saya sendiri sebenarnya tidak merasa jago berkelahi,
tetapi saya sering panas hati kalau melihat orang sombong apalagi
yang suka menghina atau melecehkan orang lain.
Mungkin saya merasa begitu karena saya anak orang miskin.
Sejak anak-anak saya sadar betapa miskinnya keluarga kami,
walaupun bukan yang termiskin di desa itu. Dalam keadaan seperti
itu rasanya bermimpi pun sulit, meskipun saya ingin sekali keluar
dari belenggu kemiskinan itu.
Masa Kecil Dalam Kemiskinan 65
J
Asal Usul Lumban Simatombak,
Legenda Ompu Tampurung
Lumban Simatombak, tempat saya dilahirkan
delapan puluh dua tahun lalu, memiliki kisahnya
sendiri. Desa ini letaknya di bagian paling utara dari
Sibadihon utara, berhadapan tidak jauh dengan
Sibatu, kampung ompung saya. Sibadihon dan Sibatu
terhitung masuk dalam daerah Nagatimbul, Kecamatan
Lumbanjulu, Porsea.
Nenek Besar kami bernama Ompu Porhas
Marlongkung yang tinggal di Lumban Mual, sebuah
desa sekitar 10 km dari Porsea. Dia tiba di kampung
ini sebagai pendatang dalam perjalanan dari Lumban
Rang, sebuah daerah dekat Parapat. Porhas Marlokkung
memiliki empat anak, yaitu Ompu Rumbungan, Ompu
Panongin, Ompu Pungga Panihai, dan Ompu Guru
Sojuangan. Mereka hidup tersebar di daerah Sibadihon,
Lumban Mual, Siraituruk, Patane, Habinsaran, sampai
ke Sumatera Timur.
Dari Ompu Rumbungan, lahirlah Ompu
Tampurung, Ompu Runggu Parsait, Ompu Liat
Mangasa Mangatur, Ompu Liling Porsa.
Pada suatu malam, beberapa orang tua dari
Lumban Mual datang berkunjung ke desa kami,
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Lumban Simatombak. Kunjungan mereka yang tanpa
pemberitahuan itu ternyata untuk mencari keturunan
abang mereka, yaitu Ompu Tampurung. Para tamu
yang datang itu menjelaskan bahwa saudara-saudara
Ompu Tampurung ini telah tersebar ke berbagai
penjuru seperti ke Huta Nagadong, Janji Matogu, dan
daerah lain, namun sebagian tetap menghuni Lumban
Mual.
Tarombo atau silsilah keturunan, mengandung
makna kasih sayang dalam kehidupan masyarakat
Batak, sehingga selalu diusahakan agar tetap terpelihara
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka itu tak
heran jika silsilah generasi sebuah keluarga Batak dapat
66 dilacak hingga ratusan tahun ke belakang.
Cerita pun mengalir dari para tamu yang datang
malam itu. Konon pada masa mudanya, Ompu
Tampurung adalah sosok pemuda tampan dan
pemberani. Ia bepergian dengan menunggangi kuda
putih. Suatu saat, Ompu Tampurung menikah dengan
boru Simanjuntak dari Sigumpar. Tapi ketampanan
dan keberanian Ompu Tampurung tampaknya
mengundang hubungan cinta yang terlarang secara adat
Batak. Diceritakan kalau ia juga menikahi adik iparnya
atau adik kandung dari istrinya sendiri.
Akibat perbuatannya, Ompu Tampurung
mendapat sanksi sosial, ia disisihkan dari kampungnya
dan kampung mertuanya. Ia pergi keluar dari Lumban
Mual dan dengan kuda putihnya melintasi berbagai
Masa Kecil Dalam Kemiskinan 67
wilayah. Ia kemudian membuka daerah (manosor) di
kawasan paling utara Sibadihon yang masih berupa
hutan belantara tanpa penghuni.
Warga yang ada desa sekitarnya yaitu Sibadihon
dan Sibatu, tidak keberatan ketika ia ingin mengolah
daerah itu. Ompu Tampurung justru disambut baik
oleh penduduk karena dipandang sebagai pemberani
yang diperlukan di kawasan tersebut.
Itulah sebabnya kampung kami itu dinamakan
Lumban Simatombak, yang artinya kurang lebih adalah
kampung baru di atas tombak (perbukitan), di tengah
hutan tak bertuan.
Malam itu, Ibu meminta saya untuk mendengarkan
dan menuliskan kisah itu. Ada kertas besar dan pensil,
sayangnya saat itu saya belum terampil menulis.
Walaupun saya tidak menuliskannya, peristiwa malam
itu lengket dalam ingatan saya. Seolah menemukan
anak yang hilang, pertemuan malam itu berakhir
mengharukan. Semua yang hadir meneteskan air mata
haru karena setelah ratusan tahun, malam itu mereka
akhirnya saling bertemu, kakak beradik keturunan
Porhas Marlokkung.
Waktu pelepasan jenazah ibu saya, hadir di antara
tamu, Guru Pulungan, seorang Penatua dan tokoh
senior dari Sibadihon Dolok Parbagasan, yang juga
guru saya di Sekolah Rakyat. Saya gunakan kesempatan
ini untuk bertanya tentang kebenaran kisah Ompu
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Tampurung ini. Beliau mengiyakan dan kebenaran itu
diketahui serta didukung oleh warga kampung Sibatu
yang hadir saat itu. Untuk saya, konfirmasi Guru
Pulungan itu perlu saya dengar untuk memastikan asal
muasal kampung kami itu dan sebagai catatan sejarah
bagi generasi selanjutnya.
Saya memiliki rasa hormat yang besar kepada
almarhum Guru Pulungan karena dia adalah keluarga
Kepala Negeri, suatu unsur pemerintahan pada jaman
penjajahan (sekarang mungkin istilahnya Kecamatan).
Beliau juga salah satu tokoh yang saya hormati untuk
mendapat Ungkap Hombung (bagian harta peninggalan)
ketika ibu meninggal dunia, yang dalam Bahasa Batak
68 disebut Mauli Bulung (orang yang cucunya sudah
bercucu).
Sejak pertemuan mengharukan malam itu,
kumpulan kakak beradik itu sepakat untuk mendirikan
Tugu Peringatan Ompu Porhas Marlokkung di Lumban
Mual. Pada 1986 pendirian tugu ini dirayakan dengan
menggelar pesta adat besar yang dihadiri keturunan
4 anak Ompu Porhas Marlokkung yaitu Ompu
Rumbungan, Ompu Panongin, Ompu Panihai, dan
Ompu Guru Sojuangan. Semua anak dan cucu saya
menghadiri upacara ini sekaligus untuk mengenal
Lumban Simatombak tempat asal saya dilahirkan 82
tahun lalu.
Keturunan Porhas Marlokkung sejak ratusan tahun
yang lalu telah tersebar di kawasan di Toba Samosir,
Masa Kecil Dalam Kemiskinan
Rumah beberapa keluarga keturunan Porhas Marlokkung yang menetap di Lumban 69
Simatombak. - Foto oleh Efriandi Sirait dan Suhunan Sirait.
Tambak/makam Ompu Porhas Sumber mata air yang dulu digunakan
Marlokkung di Lumban Mual. masyarakat di Lumban Mual.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Dairi, hingga Sumatera Timur. Sekitar 30 tahun lalu
keturunannya belum dikenal baik, tetapi sekarang
di Jakarta saja sudah mencapai 400 kepala keluarga
dan telah terorganisir pula di berbagai tempat di luar
Lumban Mual. Pada waktu tulisan ini dipersiapkan,
Ketua Punguan Porhas Marlongkung di Jakarta
dipegang oleh Osbon Sirait, keturunan Ompu Raja
Sojuangon.
Sejak tahun 1970an, saya sebagai keturunan tertua
di Jakarta tak bosan berulang-ulang menceritakan kisah
ini pada keturunan Porhas Marlokkung lainnya yang
ada di Toba dan Jakarta dengan maksud agar kami
semua dapat memupuk kasih sayang persaudaraan
70 Sisada Lungun sisada Las Ni Roha.
Saya berharap persaudaraan ini mandiri dalam
organisasi, saling menyebar kasih sayang dalam
lingkungan Keluarga Besar Sirait dan masyarakat
luas. Saya gembira karena kini maksud tersebut telah
terwujud. Puji Tuhan!
Masa Kecil Dalam Kemiskinan
Osbon Sirait, Ketua Punguan Porhas Marlokkung 71
Se-Jabodetabek.
Saya dan Martha bersama keturunan
Porhas Marlokkung Se-Jabodetabek
berkumpul merayakan Bona Taon
(Tahun Baru) dengan penuh sukacita di
Cibubur, 31 Maret 2019.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
72
Bukan acara Batak kalau tidak ada sesi manortor atau menari. Saya senang
persaudaraan Porhas Marlokkung Se-Jabodetabek bisa berkumpul dan saling
mengenal. Di Jakarta saja, jumlah keturunan Porhas Marlokkung mencapai 400
keluarga. Semoga persaudaraan ini bisa semakin bertumbuh dalam kasih sayang.
Masa Kecil Dalam Kemiskinan
Silsilah Keluarga Besar
Porhas Marlokkung, Lumban Mual
RAJA MANGARORING
OMPU PARGUROAN
PORHAS MARLOKKUNG
OMPU OMPU OMPU OMPU
PANONGIN RUMBUNGAN PANIHAI SOJUANGON
PUNIHUTA
OMPU TAMPURUNG 73
RUNGGU PARGAIT
LIAT MANGASA MANGATUR
LULING PORSA
FREDERICK BENJAMIN
TURMAN
SIMON AMIR SANAR JADNER
GILIRAN
CHARLES JAIMAR KONSTAN
KRIS LAMBOK
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
74
z
BAB TIGA
'Diperas' Ketika Masuk
SMP Negeri Narumonda
Tahun 1953 saya mengikuti Ujian Nasional Kelas VI Sekolah
Rakyat bersama sekitar 25 orang siswa Sekolah Rakyat
Nagatimbul. Ujian Nasional kala itu merupakan peristiwa besar
yang tersiar sampai ke desa-desa yang berada di sekitar Nagatimbul.
Pagi-pagi sekali peserta ujian dari Nagatimbul sudah berangkat,
sebagian besar berjalan kaki menuju tempat ujian yang berjarak
sekitar 10 kilometer. Tidak terkecuali dari desa kami Sibadihon,
Sibatu dan sekitarnya. Umumnya mereka berangkat didampingi
orangtuanya, tapi tidak begitu dengan saya yang hari itu berangkat
seorang diri.
Ujian diselenggarakan di Sekolah Rakyat Negeri yang terletak
di seberang jembatan sungai Asahan Porsea. Setelah selesai
mengerjakan ujian, para peserta akan bergabung dengan orangtua
mereka yang telah menunggu di kedai-kedai di Pasar Porsea,
sementara saya berjalan lurus melewati kedai-kedai itu karena tidak
ada yang menunggu dan memang tidak punya uang untuk jajan...
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Ada cerita yang saya ingat tentang hari itu. Salah satu peserta
ujian dari Nagatimbul keluar lebih dulu dari yang lain karena sudah
menyelesaikan soal ujian. Ia pun langsung menuju orangtuanya yang
menunggu di restoran. Tapi malang bagi kawan itu karena ternyata
yang diserahkan ke Pengawas Ujian adalah kertas ujian yang kosong,
sedang jawabannya belum dipindahkan dari kertas klat (coret-coret)!
Padahal di kertas klat, jawabannya cemerlang. Diperkirakan nilainya
mencapai nilai rata-rata delapan.
Kepala Sekolah yang juga guru kami, Pak Djonas Sitorus
memperkirakan bahwa murid yang akan lulus sekitar 50% saja.
Saya sudah lupa kenyatannya berapa persisnya yang lulus. Sekitar
2 minggu setelah ujian, keluarlah pengumuman kelulusan yang
ditempel di papan pengumuman di Porsea. Orang-orang berkerumun
di depan papan itu dengan pandangan terpaku dan penuh harap
mencari nama-nama yang ingin mereka temukan. Papan itu hanya
76 mengumumkan nama, sedangkan nilai kelulusan diambil di sekolah
masing-masing.
Dari sekolah kami tercatat murid yang masuk Tiga Besar; yaitu
Victoria boru Dolok Saribu dengan nilai total tertinggi yaitu 25
(nilai rata-rata 8 lebih), disusul adiknya Mangantar dan Daud Sirait
dengan nilai yang hampir sama, yaitu 24 (nilai rata-rata 8), dan saya
di posisi ketiga, dengan angka 23 atau nilai rata-rata 7 lebih.
Saya cukup gembira menjadi juara ketiga di Nagatimbul. Tapi
beberapa minggu kemudian ketika membaca pengumuman siswa
yang diterima di SMP Negeri Narumonda, saya tidak menemukan
nama saya. Tidak lama keluar pemberitahuan bahwa hanya
yang bernilai 8 dan 8 lebih yang dapat diterima di SMP Negeri
Narumonda.
Bagaikan tersambar halilintar di siang bolong rasanya ketika
saya mendengar kabar itu.
'Diperas' Ketika Masuk SMP Negeri Narumonda 77
Saya mengumpulkan keberanian untuk menemui Kepala Tata
Usaha, Pak Marpaung, untuk menanyakan kebenaran berita tersebut.
Pada masa itu, kurang lazim bagi seorang murid untuk menghadap
‘penguasa’, namun saya merasa harus melakukannya. Setelah bicara
dengan Pak Marpaung, dia menyuruh saya menunggu pengumuman
penerimaan siswa untuk SMP Sore (karena SMP Narumonda ada
yang pagi dan sore). Ketika pengumuman penerimaan siswa untuk
SMP Sore keluar, saya tidak juga menemukan nama saya. Pak
Marpaung kemudian menyuruh saya untuk menemuinya di luar
sekolah beserta orangtua saya.
Sesak rasanya dada ini mendengar permintaan yang sudah saya
tahu arahnya itu, tapi saya penuhi juga. Setelah pertemuan orangtua
dan Pak Marpaung itu, saya masuk ke SMP Narumonda, satu-
satunya SMP Negeri di Toba. Lega akhirnya bisa masuk, tetapi hati
saya terluka dan itu membuat saya tidak percaya diri. Sampai lama
berselang saya tidak menduga sama sekali bahwa apa yang sekarang
disebut ‘gratifikasi’ sudah terjadi pada masa itu.
Saya masuk Kelas 1A dan terpilih menjadi Ketua Kelas. Saya juga
bisa naik ke Kelas 2 dengan baik, tetapi hati saya gelisah tanpa arah,
mudah terpicu untuk berkelahi dan tidak mengerti perkembangan
zaman.
Suatu hari kami berkelahi antar kelompok di Siajangan, sebuah
daerah dekat sekolah. Dari antar kelompok, perkelahian menjadi satu
lawan satu. Saya mewakili kelompok Adonia Sinambela, keponakan
pemilik kost kami, melawan Joel Tambun dari kelompok lainnya.
Adu jotos disaksikan oleh warga desa sekitar dan berlangsung sampai
sore hari hingga akhirnya kami diadili para penatua kampung itu
yang dipimpin Pak Munthe, Kepala Desa setempat. Saya merasa
amat malu karena ‘pengadilan’ itu dilakukan di asrama wanita milik
Pak Munthe yang kami semua kenal.
Lalu tersiar kabar bahwa kami akan dipecat dari sekolah.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Sebelum keputusan pemecatan itu benar-benar keluar, saya
cepat-cepat meninggalkan SMP Narumonda pada akhir kwartal II
dan berangkat ke Medan menemui Tulang saya Sitorus (kakak dari
ibu saya) yang tinggal di Jalan Sisingamangaraja, Simpang Limun.
Saya menceritakan peristiwa yang terjadi sepotong-sepotong kepada
Tulang dan mohon ijin agar dia bisa menampung saya di rumahnya.
78
z
BAB EMPAT
Masuk ke SMP 3
Jalan Seram, Medan
Untuk menghindari pemecatan dari sekolah, saya kabur ke
Medan dan tinggal di rumah tulang (paman) saya, Sitorus.
Tulang saya ini baik orangnya, tapi bebannya besar sekali. Ia adalah
pedagang kecil di Medan, rumahnya berlantai tanah dengan
penerangan lampu teplok, dan sedikitnya ada 10 orang yang tinggal
dalam rumah itu. Sesungguhnya rumah tulang saya itu sama sekali
tidak memadai untuk anak-anak, tapi apa boleh buat, saya tidak
punya tempat lain lagi selain rumah itu. Setiap bulannya saya
mendapat kiriman 36 liter beras dari kampung untuk "membayar"
biaya kost sekadarnya.
Saat itu SMP Negeri 3 di Jalan Seram, Medan baru saja
didirikan. Kepala sekolahnya, marga Siregar (saya lupa namanya),
kebetulan mengontrak di rumah tulang saya itu. Saya lalu dibawa
tulang menghadap beliau dan saya diterima menjadi siswa baru
SMP Negeri 3 Medan pada akhir Kwartal II Tahun 1954.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Berbeda dengan SMP Narumonda, murid-murid di sekolah ini
datang dari berbagai penjuru Medan, bahkan ada yang datang dari
Jakarta dan kota-kota besar lain. Dari pakaiannya yang necis untuk
ukuran zaman itu, tampak jelas bahwa mereka adalah anak-anak
orang berada, berbeda sekali dengan penampilan saya, anak miskin
pindahan dari desa pula. Di kelas itu saya perhatikan hanya ada
tiga orang saja "anak desa" seperti saya. Kadang Bahasa Indonesia
kami menjadi bahan tertawaan karena intonasi dan logat kami yang
"lucu", jauh berbeda dengan logat penduduk Medan yang pada
masa itu sudah dikenal sebagai kota besar.
Suatu ketika, kami "anak-anak desa" ini ingin mencari jalan
keluar dari kesulitan keuangan dan olok-olok teman sekelas dengan
mencari uang tambahan dan olah raga darurat body building. Awalnya
sekadar tambahan saja, tapi nyatanya kami malah keasyikan, larut
dalam kegiatan itu, bahkan menjadikannya yang utama. Uang dan
80 penampilan gagah-gagahan memang menjadi tren anak jalanan
pada masa itu.
Lalu saya dan lae Bonggas, anak dari paman tempat saya tinggal
itu, mencoba mencari uang tambahan lebih banyak. Kami punya
ide untuk menyewa sebuah "kapling" di kawasan Stadion Sepak
Bola Teladan untuk kami jadikan tempat parkir sepeda. Bila ada
pertandingan sepak bola besar melawan PSMS, klub pujaan orang
Medan, penonton meluap sehingga jasa penitipan sepeda panen
besar. Banyak sekali "kapling-kapling" penitipan sepeda lain yang
bersaing dengan kami, maka terpaksalah kami ngibul. Agar layanan
parkir kami memiliki nilai tambah dibanding para kompetitor, kami
meminjam beberapa lembar seng dari toko bangunan yang ada di
dekat stadion. Lembaran seng itu lalu kami jadikan sebagai atap
darurat, sehingga kami bisa mengatakan bahwa layanan parkir kami
menyewakan "tempat dingin" atau teduh. Begitu pertandingan
dimulai, kami segera buka atap itu dan mengembalikannya ke
toko bangunan yang menyewakan. Maka jika hujan, basahlah
Masuk ke SMP 3 Seram, Medan 81
semua sepeda itu! Suatu saat seorang pemilik sepeda menggerutu
menemukan sepedanya basah kuyup. “Lho, kan kami menyewakan
‘tempat dingin’ artinya terlindung dari panas, bukan dari hujan,”
begitu penjelasan sepupu saya sambil ngeles.
Mimpi orang bodoh yang mengharapkan kehidupan yang lebih
baik tanpa arah membuat kehidupan saya makin merana. Usaha ini
kami lakukan secara tidak bertanggung jawab karena demi mencari
uang, kami jadi sering bolos sekolah. Semakin menjadi-jadi, saya
pun mencoba menjadi "tukang catut" atau calo tiket acara-acara
besar seperti pertandingan sepakbola atau tiket bioskop yang tidak
jauh dari lokasi sekolah seperti Bioskop Medan, Bioskop Cathay, dan
Bioskop Olimpia. Kalau tiketnya 3 rupiah, kami bisa menjualnya 5
sampai 6 rupiah, tergantung bagus atau tidaknya film itu.
Tambahan uang saku yang saya dapat dari mencatut karcis
bioskop itu sesungguhnya tidaklah seberapa, tapi dengan pekerjaan
itu kami bisa dapat tempat duduk, jual tampang dan nonton semua
film baru dengan gratis, meski kadang harus duduk di lantai, di
tengah preman-preman yang bau dan seram...
Tahun itu 1956, saya duduk di kelas 3 SMP. Saya naik ke kelas
III B (jurusan ilmu pasti alam) atas perjuangan guru saya, Encik
Tampi. Ia menilai mata pelajaran berhitung saya tinggi, meskipun
nilai mata pelajaran lainnya kurang memadai. Sebagai remaja
yang belum punya jati diri saya hidup tanpa arah, mudah ikut-
ikutan dengan apa yang dilakukan teman-teman lain. Saya mulai
terpengaruh ingin ikut dalam gank pemuda (preman). Pada masa
itu ada kelompok yang menamakan dirinya Cross Boys, isinya adalah
anak-anak pejabat. Sementara kami, anak-anak orang miskin,
tergabung dalam sebuah gank bernama Singa Boys karena kami
sering nongkrong di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Medan yang
menuju Pematang Siantar. Saya sendiri masih tergolong anggota
yang termuda di Singa Boys, jadi kalau ada semacam kerusuhan, saya
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
ada di barisan paling belakang sebagai "pasukan cadangan".
Setelah sekian lama luntang lantung hanyut dalam pergaulan
yang tidak jelas, suatu ketika saya dihinggapi rasa penyesalan.
Saya baru tersadarkan kalau saya sudah kelewatan, terlalu asyik
menghabiskan waktu sia-sia dan menelantarkan sekolah. Saat itu
dua pertiga tahun ajaran telah berlalu dan ujian akhir kelulusan
SMP sudah semakin dekat. Saya merasa bersalah kepada guru
yang memperjuangkan saya untuk naik kelas dan lebih-lebih lagi
terhadap Ibu saya yang telah banting tulang untuk menyekolahkan
saya sebagai anak laki-laki satu-satunya. Padahal saya selalu ingat
pepatah “Sesal kemudian tak ada gunanya.” Memang betul, saat itu
tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menyesali kebodohan saya.
Lelah dengan kehidupan sebagai berandalan di Medan,
saya mohon izin kepada Ibu untuk pergi ke Pulau Jawa memulai
82 kehidupan baru. Kebetulan adik ipar dari kakak saya Hilda sudah
menjadi guru di SMP Negeri di Klaten, Jawa Tengah. Lae yang
menjadi teman seperjuangan saya untuk mencari uang tambahan
itu pun akhirnya juga meninggalkan Singa Boys dan pergi untuk
mengikuti pendidikan Sekolah Prajurit TNI.
Puluhan tahun kemudian ketika saya berlebaran di rumah
Keluarga Presiden Soeharto di Jalan Cendana, saya bertemu lagi
dengan Bonggas. Lae saya itu sudah menjadi Anggota Pasukan
Pengawal Presiden dengan pangkat Letnan Kolonel (TNI AD),
sementara saya waktu itu anggota MPR-RI dari Daerah Pemilihan
Jawa Timur. Suatu pertemuan mengharukan yang tidak terduga
sama sekali, kami melepas rindu di tengah khalayak ramai yang
sedang berlebaran. Kami yang waktu kecil tumbuh bersama,
puluhan tahun berjumpa lagi dalam kondisi yang berbeda. Masing-
masing kini sudah bekerja dan berkeluarga.
Setelah itu hubungan kami tidak seakrab dulu lagi, dan
Masuk ke SMP 3 Seram, Medan 83
saya dengar kabar kalau dia terserang penyakit berat dan sempat
dirawat di RS PGI Cikini tempat saya melayani sebagai Sekretaris
Yayasan Penyelenggara Rumah Sakit tersebut. Kami tak sempat lagi
mengenang masa-masa Singa Boys, berwirausaha titipan sepeda, dan
hari-hari ketika kami jadi tukang catut karcis bioskop di Medan.
Waktu saya menjenguknya, ia mengeluh seolah seluruh bagian
tubuhnya terasa digigiti sesuatu, kemungkinan dia menderita kanker.
Dia meninggal dunia pada usia sekitar 71 tahun dan saya meratapi
jenazahnya di depan istrinya, boru Manurung. Selamat jalan Lae,
Tuhan memberkatimu serta menghibur dan menguatkan keluarga
dan kami semua yang Lae tinggalkan. Begitulah doa perpisahan saya
bersama istrinya dan beberapa keluarga yang mengelilingi jenazah
almarhum.
Kembali kepada rencana keberangkatan saya ke Jawa. Saya pergi
ke Pulau Jawa dengan mengandalkan bantuan keluarga kakak ipar
saya, Darianus Manurung, seorang Letnan Dua yang bertugas di
Dinas Kesehatan Angkatan Darat (waktu itu di Pasar Rebo) dan
adiknya, Jamilin Manurung, seorang guru di SMP Negeri di Klaten.
Waktu itu akhir tahun 1956, terdengar rumor tentang persoalan
politik seperti ketidakpuasan daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Saya tidak mengerti, sampai akhirnya saya tahu setelah saya sudah
tiba di di Pulau Jawa yaitu tentang lahirnya pemberontakan oleh
PRRI di Medan, Sumatera Utara, pimpinan Kolonel Simbolon. Dan
kabarnya, banyak teman-teman saya di Medan, direkrut menjadi
anggota pemberontak PRRI. Tidak heran, untuk melakukan
gerakan pemberontakan yang mereka cari memang pemuda-pemuda
berandalan yang berani dan nekat seperti anak-anak yang tergabung
di Singa Boys dan semacamnya. Kadang saya berpikir, kalau saja
saya terlalu asyik dalam kegiatan gank yang tidak jelas arahnya itu,
mungkin saya akan direkrut juga oleh para pemberontak, dan apa
jadinya masa depan saya.
z
BAB LIMA
Masa SMP Kristen
di Klaten
Dengan bantuan saudara saya Jamilin Manurung, saya diterima
di SMP Kristen 1 Klaten, tempatnya bekerja sebagai guru.
Klaten adalah kabupaten berpenduduk terbesar di Jawa Tengah.
Sebagai anak yang datang dari sebuah dusun di Sumatera Utara,
saya memasuki dunia baru yang sama sekali berbeda dengan
kehidupan sebelumnya. Sering saya merasa terasing di tengah anak-
anak lainnya karena kami begitu berbeda, dari tingkah laku, cara
bicara, penampilan dan sebagainya.
Meski begitu, anak-anak di sekolah itu ramah dan mereka ingin
tahu tentang Medan. Saya malah dengan lancar bercerita tentang
film-film, baik film Hollywood maupun India dan bintang filmnya
yang terkenal. Tentu saja saya tidak cerita kalau saya tahu banyak
film karena saya mantan tukang catut karcis di bioskop Medan...
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Saya ditempatkan di Kelas III B. Saya menyukai Aljabar
(berhitung) dan Ilmu Ukur, hanya dua mata pelajaran itu saja,
sisanya seperti Ilmu Bumi, Sejarah dan lainnya tidak saya pahami
dan saya kurang tertarik.
Masa ujian pun datang. Saya merasa tidak percaya diri untuk
ikut ujian karena sejak di Medan saya sering bolos sekolah, banyak
pelajaran yang saya lewati. Sementara masa ujian semakin dekat,
saya makin cemas karena pengetahuan saya yang tidak memadai.
Kembali kehidupan saya menjadi kalut, saya merasa tidak ada jalan
keluar. Meski begitu saya tetap mengikuti ujian.
Dan seperti yang telah saya prediksi, saya tidak lulus.
Setelah menerima kenyataan pahit itu, dengan berbagai
pertimbangan saya pergi ke Solo, kira-kira satu jam perjalanan
dari Klaten. Saya mencoba mengikuti kursus Tata Buku (Bond A).
86 Kursus belum selesai, datang kabar kalau ada kesempatan untuk
ikut ujian nasional sekali lagi sebagai extraneus (peserta ujian tamu)
melalui SMP Kristen Klaten. Tak pikir panjang, saya pun bertolak
kembali ke Klaten, meninggalkan kursus Tata Buku yang pada
akhirnya tidak pernah saya selesaikan.
Saya didaftarkan sebagai extraneus oleh keluarga di Klaten.
Waktu itu tiga bulan lagi menjelang Ujian Nasional. Setibanya
di Klaten, saya tidak ke rumah keluarga Jamilin lagi karena saya
merasa malu. Saya mondok di rumah seorang Penata Usaha Kantor
Kejaksaan Klaten yang merupakan keluarga berada dan sayang
pada saya, sehingga mereka tidak terlalu mempersoalkan biaya sewa
kamar. Selama menumpang di rumah itu, saya tidak pernah ditagih
biaya apapun, meski saya diberi kamar sendiri dan makan 3 kali
sehari. Saya ingat, putri terkecil keluarga ini juga senang bermain
dengan saya.
Kegagalan saya di ujian yang lalu menimbulkan semangat dan
Masa SMP Kristen di Kllaten
tekad yang luar biasa untuk lulus. Selama tiga bulan saya tidak keluar
rumah, saya fokus untuk melahap semua buku-buku mata pelajaran
kelas III B yang sudah saya tumpuk di atas meja belajar. Siang
malam saya membaca, berlatih soal-soal sendiri tanpa bimbingan
guru, sampai suatu hari mata saya sakit dan harus berobat ke dokter
di RS Tegalyoso Klaten.
87
Saat berlibur ke Jogja, saya mengunjungi sekolah ini bersama istri. Mungkin saya
satu-satunya murid SMP 1 Kristen Klaten yang perlu enam tahun untuk lulus...
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
88 Dengan persiapan yang sangat matang, saya berani memasuki
ruang ujian yang dulu pernah saya tempati. Dan perjuangan saya
akhirnya terbayar, saya dinyatakan lulus!
Kabar pun tersiar, teman-teman dari Solo, Klaten dan Yogya
turut senang mendengar keberhasilan saya, mereka berkumpul
di Klaten untuk mengucapkan selamat atas kelulusan saya itu.
Walaupun dengan tangis, saya merasakan suatu kebahagiaan yang
tidak bisa saya jelaskan. Bagaimana tidak? Setelah enam tahun (1953
sampai 1958) akhirnya saya lulus SMP juga!
z
BAB ENAM
Memasuki SMA
Bopkri 1 Yogyakarta
Seorang teman, Washington Sirait, yang telah menyelesaikan
studinya di Sekolah Guru Atas (SGA) di Solo, Jawa Tengah,
diterima menjadi guru di SMA BOPKRI I Yogyakarta. Sembari
mengajar, ia kuliah di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.
Mendengar kabar kalau saya lulus SMP secara ‘darurat’, dia
mengatakan kalau saya harus mulai hidup baru dengan melanjutkan
pendidikan SMA. Dia menganjurkan saya untuk masuk ke SMA
BOPKRI I tempatnya mengajar dan menjamin saya akan diterima
walaupun dengan nilai lulus pas-pasan. Selain itu, ada jaminan
pemondokan bersamanya di Yogyakarta.
Nasihat sehebat itu tentu saja saya sambut. Saya pun
meninggalkan Klaten, yang berjarak sekitar ±30 km dari Yogyakarta.
Air mata mengiringi perpisahan saya dengan keluarga tempat saya
kost di Kliwonan. Hubungan saya dengan keluarga ini begitu
erat. Selama hampir lima bulan, saya hampir tidak pernah keluar
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
rumah karena saya ingin benar-benar mempersiapkan diri untuk
kesempatan kedua menghadapi ujian akhir SMP.
Rupanya Washington sudah terlebih dulu mendekati Kepala
Sekolah BOPKRI 1, saat itu Pak Margono Paulus. Betul saja, atas
persetujuan Pak Margono saya diterima sebagai siswa SMA BOPKRI
I dan memilih jurusan C -- Sosial Ekonomi.
BOPKRI adalah singkatan
dari Badan Oesaha Pendidikan
Kristen Republik Indonesia
yang dipimpin oleh Keluarga
Paulus, keluarga Kristen Jawa
yang terkenal taat beragama.
Pak Margono memimpin SMA
BOPKRI I dan adiknya dr.
90 Kasmolo Paulus memimpin
Rumah Sakit Bethesda di jalan
protokol, Jl. Jenderal Sudirman.
Badan Usaha ini mengelola
Pendidikan Kristen di Daerah
Istimewa Yogyakarta mulai dari
tingkat Taman Kanak-kanak sampai SMA. SMA BOPKRI I terletak
di Jl. Wardani No.2, Klitren, Yogyakarta berdekatan dengan Rumah
Sakit Tentara dan Gereja Kristen Jawa Gondokusuman (sering
disebut Gereja Sawo Kembar). BOPKRI I termasuk sekolah papan
atas di Yogyakarta dan sering meraih juara pada pertandingan Atletik
(Panca Lomba) SLTA se-Yogyakarta. Saya pernah turut dalam Tim
Panca Lomba mewakili SMA BOPKRI I. Sekolah ini juga cukup
dikenal di Yogyakarta karena pemerintah meminjam gedung sekolah
ini untuk SMA C Negeri V pada sore hari.
Lulus dari SMP Kristen Klaten menumbuhkan rasa percaya
diri yang luar biasa. Beberapa mata pelajaran yang dulu merupakan
Memasuki SMA BOPKRI 1 Yogyakarta 91
momok dan dirasa membosankan, berangsur saya minati. Di
samping itu entah kebetulan atau tidak, saya diperlakukan dengan
baik oleh beberapa guru, sehingga mata pelajarannya mengundang
minat saya.
Saya pelajari apa kemauan guru-guru yang memberi saya
perhatian itu, seperti salah satunya Pak Abdul Aziz, guru sejarah.
Pada mata pelajarannya, saya sering mendapat nilai tertinggi. Saya
sadar bukan karena saya pandai tetapi karena saya menangkap
keinginannya. Beliau lebih suka jika kami bisa menguraikan latar
belakang peristiwa daripada sekadar menghafal tahun-tahun
yang membosankan. Pak Abdul mendidik kami untuk mampu
menganalisa peristiwa sejarah, tidak peduli analisa itu sepenuhnya
benar atau tidak. Saya ingat beliau mengomeli salah satu teman
yang hanya menulis "Perang Diponegoro tahun 1825-1830" tanpa
menulis tujuan perang itu. Sementara jawaban saya mendapat
pujian dari Pak Abdul. Saya tuliskan bahwa perang Diponegoro
merupakan embrio gerakan kemerdekaan Indonesia dalam melawan
penjajahan Belanda.
Setelah saya menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, saya
tahu kalau Pak Abdul adalah seorang aktivis sosialis, sementara
saya mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) yang berhadapan dengan kelompok mahasiswa
kiri ekstrim. Meski begitu, dia tetap baik pada saya. Waktu saya sakit
mata dan harus dioperasi di RS Mata “Dr. Yap”, dia memfasilitasi
saya untuk ikut ujian filsafat yang tertunda. Atas bantuan beliau
saya lulus dan diumumkan sendirian saja.
Konon menurut cerita-cerita orang tua, sekolah BOPKRI 1
ini pernah menjadi markas tentara sekaligus tempat pembantaian
penduduk pada zaman penjajahan. Di tengah halaman sekolah
terdapat sebuah pohon beringin yang tumbuh besar dan rimbun.
Katanya di pohon itulah korban-korban bersandar sebelum
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
dibunuh. Menurut cerita yang beredar, pada malam hari terkadang
terdengar suara-suara misterius yang secara mistis dikaitkan dengan
pembantaian. Kebenarannya tentu saja tidak dapat dibuktikan.
Penerangan di pemondokan (kamar kost) saya waktu itu tidak
memadai, sehingga sulit untuk saya belajar di sana. Jadi saya minta
ijin Kepala Sekolah agar saya dapat belajar di sekolah. Pak Margono
yang baik hati itu pun mengijinkan saya menggunakan ruang
kerjanya, termasuk teleponnya! Saya mengambil kunci ruangan dari
Kepala Tata Usaha yang tinggal di kompleks sekolah, agak jauh di
ujung Timur, lalu berjalan sendirian ke Ruang Kepala Sekolah yang
ada di ujung Barat.
Pada malam hari kompleks sekolah yang berada di atas lahan
±10.000 m2 itu gelap gulita, kecuali Ruang Kepala Tata Usaha
dan Ruang Kepala Sekolah yang terang menyala karena saya ada di
92 dalamnya. Dalam suasana yang amat hening, bulu roma saya berdiri,
teringat cerita tentang suara-suara misterius itu, tetapi semangat
belajar dan tekad harus sukses ujian akhir SMA mengalahkan
ketakutan saya. Saya tenang saja belajar sendiran di ruangan Pak
Margono hingga larut malam.
Pak Margono tidak hanya mengijinkan saya memakai
ruangannya, saya pun diijinkan untuk memakai teleponnya. Untuk
memecah kesunyian yang amat terasa, terkadang saya menelpon
teman sekelas saya, Zaidar, putri Pak Bustaman, Kepala PLTD
(Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) DIY yang tinggal di Jalan
Wirobrajan. Terkadang dia yang lebih dulu menelepon saya kalau
ia memperkirakan saya sudah kesepian menjelang tengah malam.
Zaidar memang juga perlu teman diskusi soal-soal ujian karena
kami akan menghadapi ujian yang sama. Di kemudian hari, kami
sama-sama lulus dan diterima di Fakultas Ekonomi Universitas
Gajah Mada.
Banyak siswa dan guru yang tahu kalau saya sering belajar
Memasuki SMA BOPKRI 1 Yogyakarta
Kondisinya berbeda dengan dulu, tapi inilah ruang Kepala Sekolah yang pernah 93
saya pinjam untuk belajar hingga larut malam.
di ruang Kepala Sekolah pada malam hari. Karenanya ada yang
menafsirkan kalau saya adalah anak emas Pak Margono, sementara
sebagian lain menilai bahwa apa yang saya lakukan itu cukup
mengerikan. Meski begitu, selama saya belajar hingga larut malam
di sekolah, suara-suara misterius itu tidak pernah saya dengar.
Suatu waktu terjadi banyak kasus kehilangan barang di sekolah.
Maka Kepala Sekolah membentuk tim keamanan sekolah. Mungkin
karena beliau menilai saya sebagai anak yang berani hidup dalam
kesepian dan ‘kesunyian’, beliau mengangkat saya menjadi ketua
tim tersebut dan meminta saya menjelaskan program kerja tim pada
apel seluruh siswa di halaman sekolah pada permulaan bulan. Tugas
itu saya jalankan sebaik-baiknya.
Saya merasakan kasih sayang Bapak Kepala Sekolah dan beberapa
guru pada saya. Sebagai rasa terima kasih, saya selalu menyanggupi
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
penugasan apapun di luar pelajaran biasa. Salah satunya saya menjadi
aktivis Young Men’s Christian Assosiation (YMCA), suatu kumpulan
pemuda Kristen Internasional yang diterjemahkan menjadi IMKA
(Ikatan Masehi Untuk Kepemudaan) SMA BOPKRI I yang diketuai
Pak Margono Paulus. Saya juga menjadi anggota paduan suara yang
kadang tampil mengisi Siaran RRI Yogyakarta dilatih guru seni
suara, Pak Usadi.
Pada liburan sekolah, saya diminta untuk mengorganisir tour
ke Bukit Kaliurang dekat Gunung Merapi, menapaki jalan mulai
dari Barat sampai puncak bukit, lalu turun di bagian Timur. Tahun
depannya, tujuan kami adalah Tawang Mangu, daerah dingin di
pegunungan dekat kota Solo.
Setelah tiga tahun menjalani masa SLTA, tahun 1961 saya lulus.
Saya gembira karena tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika
94 mengerjakan ujian nasional. Saya menitikkan air mata haru ketika
menerima hasil ujian – saya memperoleh nilai tertinggi di SMA
BOPKRI I Bagian C! Bagaimana saya tidak menangis? Jika melihat
ke belakang, untuk memperoleh ijazah SMP saja saya perlu enam
tahun, itupun harus melalui extraneus SMP Kristen Klaten. Saya
menyadari itu semua terjadi bukan karena saya pintar, tapi karena
Allah bekerja dalam kehidupan saya.
Entah bagaimana, berita kelulusan saya itu sampai ke keluarga
di Medan. Karena tidak begitu yakin, tulang menyurati Kepala
Sekolah BOPKRI I menanyakan perihal kelulusan saya itu, sebab
saya sendiri memang tidak mengirim kabar apapun ke rumah.
Pak Margono yang sudah saya kenal seperti bapak sendiri,
memanggil saya ke kantornya dan sempat mengomeli saya karena hal
ini. Beliau tampak merasa iba mendengar cerita tentang bagaimana
saya perlu enam tahun untuk mendapatkan ijazah SMP. Beliau
menepuk bahu saya dan berkata ia akan membalas surat tulang saya
itu. Saya mencium tangannya sebagai tanda terima kasih saya dan
Memasuki SMA BOPKRI 1 Yogyakarta 95
berdoa semoga kebaikan hatinya dibalas Tuhan Maha Pengasih.
Ketika merayakan ulang tahun saya yang ke-74 (tahun 2014),
saya bersama anak cucu pergi ke Yogyakarta, sekaligus napak tilas
kehidupan saya di kota itu dulu. Salah satu tempat yang kami
kunjungi adalah SMA BOPKRI 1.
Teringat setelah saya menjabat Manager Sirkulasi di Harian
Sore Sinar Harapan, saya sempat menyumbangkan Papan Bacaan
di ruang depan SMA BOPKRI 1. Dengan bantuan agen distribusi
Sinar Harapan setempat, Harian Sinar Harapan terpampang setiap
hari di sekolah ini dari tahun 1971 sampai dengan 1972, demikian
pula di ruang depan SMP Kristen Klaten.
Ketika kami datang, ternyata sekolah sedang libur, tetapi terlihat
sedang ada rapat guru. Dengan rendah hati, saya interupsi rapat
tersebut dan menawarkan makan siang sebagai bagian dari melepas
rindu.
Saya terharu ketika pemimpin rapat memberitahukan bahwa
mereka sedang membahas tentang beberapa murid baru yang tidak
mampu membayar uang masuk sekolah. Setelah basa-basi tidak
perlu makan siang bersama, rapat guru menawarkan kepada saya
agar bersedia ambil bagian mengatasi persoalan ketidakmampuan
beberapa murid untuk membayar uang masuk. Dengan senang hati
saya menyambut ajakan ini dan langsung menyerahkan sejumlah
bantuan yang disambut tepuk tangan dan perasaan sendu. Puji Tuhan
saya masih diberi kesempatan berkontribusi untuk almamater saya.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Foto Pak Margono Paulus
terpampang di deretan Kepala
Sekolah BOPKRI 1. Semoga
Tuhan membalas kebaikan
hatinya.
96
Hingga kini BOPKRI 1 masih dikenal sebagai sekolah yang berprestasi di Yogyakarta. Etalase penuh
dengan piala-piala yang mengharumkan nama sekolah.
Memasuki SMA BOPKRI 1 Yogyakarta
97
Nilai ujian akhir sekolah. Saya mendapat nilai tertinggi untuk Pengetahuan dan
Hitung Dagang (nilai 9), dan paling rendah untuk mata pelajaran Menggambar
(nilai 5). Dari dulu saya memang tidak bisa menggambar.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
98
z
BAB TUJUH
Menjadi Mahasiswa
Universitas Gajah Mada
Walaupun nilai rata-rata saya pada ijazah SMA katanya
tertinggi di sekolah, sesungguhnya tidak ada yang luar
biasa. Nilai saya tidak lebih dari 7, bahkan ada angka 5 untuk mata
pelajaran Menggambar. Tapi pada mata pelajaran pokok Hitung
Dagang saya memang mendapat nilai 9.
Saya sendiri kaget kenapa nilai Tata Buku saya tidak sebaik
Hitung Dagang, padahal sejak kelas 1 saya sering mendapat pujian
dari Drs. Jalal Anwar, guru kedua mata pelajaran tersebut. Beliau
Ekonom yang tampan, putra keluarga kaya dari kota Perak, Kota
Gede Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian beliau menjadi salah
satu pejabat penting Bank Indonesia di Jakarta.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Dengan ijazah SMA-C yang dinilai baik pada masa itu, tahun
1961 saya mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi Universitas
Gajah Mada. Kabarnya nilai Ujian Nasional seperti itu bisa diterima
di semua Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UGM.
Pada pengumuman pertama, saya diterima di Fakultas Hukum
UGM. Kala itu nama Mr. Djojodiguno identik dengan Fakultas
Hukum UGM. Setelah dua-tiga kali mengikuti kuliahnya di Sasana
Hinggil, Kraton Yogyakarta, diadakanlah tes untuk mata kuliah
Pengantar Tata Hukum.
Sebelum mengikuti tes itu saya bertanya pada para senior
tentang Pak Djojodiguno yang dikenal sebagai “dosen killer”.
“Kamu harus hati-hati, apalagi tes lisan. Kamu harus siap mulai dari
soal pakaian sampai cara menjawab pertanyaannya,” begitu nasehat
para senior. Pak Djojodiguno, kata mereka, tak segan mengeluarkan
100 mahasiswa dari ruang ujian hanya karena mereka memakai sepatu
atau gulungan lengan baju yang salah, padahal beliau sendiri pakai
sandal.
Hari tes pun datang. Giliran saya dan teman saya, Mbak Endang
masuk ke ruang ujian. Pak Djojodiguno menanyakan Mbak Endang
tentang definisi sebuah istilah yang penting. Mbak Endang pun
menjawabnya, namun di tengah penjelasannya, Pak Djojodiguno
tiba-tiba saja menyela. Kemudian Mbak Endang dinyatakan tidak
lulus dan disuruh pulang. Beliau menyuruh Mbak Endang untuk
memotong dulu satu giginya yang kepanjangan.
Mengerikan.
Tiba giliran saya. Secara perlahan saya mengeja rumusan yang
harus dihafal itu, dengan ekor kalimat yang berbunyi "penting".
Sambil membentak, Pak Djojodiguno mengatakan “Itu tidak hanya
penting, tetapi perlu! Banyak hal yang penting tetapi tidak perlu!”
Meski mendapat bentakan, saya dinyatakan lulus, sementara
Menjadi Mahasiswa Universitas Gajah Mada 101
teman saya, Mbak Endang, duduk termenung di teras dengan mata
lembap. Saya juga tidak tahu harus berkata apa. Mr. Djojodiguno
sesungguhnya orangnya baik. Di balik gaya dan tutur katanya,
beliau menghendaki mahasiswanya disiplin dan teratur berpikir
serta berperilaku baik.
Tidak lama berselang, keluar pengumuman penerimaan
mahasiswa Fakultas Ekonomi. Pada masa itu, Fakultas Ekonomi
relatif lebih mudah ditembus dibanding fakultas lain di UGM yang
menjadi favorit mahasiswa. Saya sendiri tidak begitu paham tetapi
teman-teman senior yang berasal dari Tapanuli merekomendasikan
agar saya masuk Fakultas Ekonomi karena nilai ujian nasional SMA
saya tergolong baik.
Untuk kesekian kalinya saya menyadari kalau saya orang yang
mudah terpengaruh. Saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa
Fakultas Ekonomi di Bulaksumur yang saat itu terkenal dengan
gedung baru dengan arsitektur khas dan tiang-tiang penyanggga
raksasa-nya. Nomor mahasiswa saya 3708/E, sedang sahabat saya
dari SMA BOPKRI I juga nomornya 3707/E. Perbedaan nomor
ganjil dan genap ini nantinya membuat kami sering terpisah dan
akhirnya merenggangkan hubungan saya dengan teman sekelas saya
di SMA BOPKRI I itu.
Di Fakultas Ekonomi UGM inilah saya mengenal dan
mengalami perpeloncoan. Rambut yang biasanya tersisir rapi harus
dicukur gundul dan ditutup topi kerucut mirip nasi tumpeng.
Celana panjang harus digulung sebelah. Pagi-pagi sekali, dengan
perut kosong kami harus tiba di halaman kampus Bulaksumur
diiringi bentakan-bentakan para senior yang terkadang keterlaluan
dan menurut saya melampaui batas perilaku manusia. Saya ingat ada
seorang Wali Mahasiswa bernama Pong Waluyo. Sepanjang masa
perpeloncoan kerjanya membentak-bentak saja tanpa kehabisan
suara.
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Saya termasuk mahasiswa yang tidak suka perpeloncoan ini
sehingga teman-teman bergunjing kalau saya termasuk aliran
kiri seperti CGMI. CGMI atau Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia adalah sebuah organisasi mahasiswa yang terkait
dengan Partai Komunis Indonesia. Anggota CGMI memang anti
perpeloncoan, tapi saya bukan anggotanya. Saya hanya berpendapat
agar perpeloncoan diarahkan untuk kegiatan sosial kemanusiaan
kemasyarakatan yang lebih berguna. Tetapi suara saya terlalu kecil
dan tidak digubris Panitia.
Saat itu saya masuk organisasi ekstra universitas Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Gagasan saya agar
perpeloncoan diarahkan ke kegiatan sosial kemanusiaan ini diserap
oleh cabang GMKI Yogyakarta, sehingga materi perpeloncoannya
banyak mengangkat studi tentang Perguruan Tinggi, Gereja dan
Masyarakat, Persatuan, Persahabatan, dan Kekeluargaan.
102 Gagasan-gagasan seperti ini nantinya berkembang dan
melembaga dalam kehidupan mahasiswa Kristen yang tergabung
dalam GMKI. Ternyata perpeloncoan kala itu menjadi isu publik
dan mengundang blok-blok organisasi ekstra universitas. Organisasi
ekstra universitas yang cukup terkenal pada waktu itu adalah
GMNI, CGMI, HMI dan GMKI. Berlatar belakang keaktifan saya
di SMA BOPKRI I dan pemuda gereja HKBP Yogyakarta, saya
menjatuhkan pilihan untuk bergabung dengan GMKI. Kala itu
jarang sekali putra-putri Tapanuli menjadi siswa SLTP apalagi SLTA
di Yogyakarta, sehingga hanya sedikit yang menjadi mahasiswa yang
aktif.
Saya masih ingat peristiwa pemungutan suara untuk memilih
Ketua Pemuda di Gereja (NHKBP) Yogyakarta. Calonnya ada dua:
saya dan Simanjuntak. Perolehan suara kami imbang. Sekelompok
aktivis GMKI Yogyakarta antara lain Tombang Pardede dan kawan-
kawan kemudian menskors pemilihan tersebut dan mendekati
Menjadi Mahasiswa Universitas Gajah Mada 103
saya. Ia menyarankan agar saya mengundurkan diri dari pemilihan
tersebut. Mereka mencoba mempengaruhi saya dan menjanjikan
saya akan aktif di GMKI Yogyakarta yang sebentar lagi akan
menyelenggarakan penerimaan anggota baru. Saya nilai ajakan
mereka sebagai hal positif walau saya paham maksudnya, yaitu agar
‘kawan’ mereka, saingan saya, menjadi pemenang mutlak.
Janji-janji para aktivis senior GMKI itu memang benar
terwujud. Tatkala mereka mendesak Badan Pengurus Cabang untuk
membentuk GMKI Komisariat Ekonomi Universitas Gajah Mada,
mereka mengangkat saya menjadi ketuanya. Mereka juga mendorong
pengurus cabang untuk mengangkat saya menjadi anggota pengurus
cabang pada Departemen Hubungan Luar, dan saya juga diangkat
menjadi Ketua Hubungan Luar Badan Pengurus Cabang yang
mengatur hubungan lembaga GMKI dengan PPMI (Persatuan
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Komisariat Yogyakarta.
Waktu saya terhisap dalam kegiatan GMKI khususnya yang
terkait dengan kegiatan Hubungan Luar. Atas nama GMKI, saya
memenuhi berbagai undangan Gereja dan Organisasi-organisasi
Kegerejaan superti GAMKI, GSKI, Kespekri, Pertakin IKIK,
dan sebagainya. Demikian pula kegiatan-kegiatan yang sifatnya
persatuan nasional seperti kegiatan politik yang digagas oleh Front
Nasional.
Salah satu yang amat melelahkan adalah kegiatan yang sifatnya
jor-joran, yang menuntut kami untuk menggerakkan massa sebanyak
mungkin untuk mengikuti penampilan massa organisasi pemuda/
mahasiswa lainnya. Saat itu organisasi pemuda-mahasiswa Kristen
tergolong kecil di antara organisasi pemuda-mahasiswa lainnya,
meski begitu kami tetap mengikuti kegiatan bersama walaupun
dengan barisan pendek. Salah satu peristiwa besar adalah Rapat
Umum di Alun-alun Utara Yogyakarta untuk mendengarkan Pidato
Presiden Bung Karno yang sangat menggelegar untuk menancapkan
Hanya Karena Kasih Karunia - Sebuah Memoar, Amir L. Sirait
Bendera Merah Putih di Irian Barat. Lautan massa di Alun-alun
Utara bagai terbakar semangat menyambut pidato Bung Karno.
Pendeta muda Rusbiyakto dan
Pak Sularso Sopater adalah dua
pendeta dinamis yang selalu hadir
di tengah pemuda/mahasiswa
Kristen Yogyakarta. Kehadiran
mereka menjadi semacam
jaminan bahwa kegiatan kami
dapat dipertanggungjawabkan
sebagai kehadiran partisipasi
Kristen dalam revolusi nasional
yang belum selesai. Ungkapan ini
mendapat tempat penting dalam
rangkaian materi Pendidikan
104 Kader GMKI pada segala
tingkatan.
Awal tahun 1964, Pengurus Pdt. Prof. Sularso Sopater, D.Th,
Cabang menugaskan saya untuk senior yang kelak menjadi Ketua
mengikuti KSN – Konferensi Umum Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia.
Studi dan Musyawarah Ketua-ketua GMKI se-Indonesia di Ambon,
Maluku. Bagi GMKI, Konferensi Studi ini penting artinya karena
di samping penguasaan perkembangan bangsa, konferensi ini juga
menjadi persiapan Kongres Dua Tahunan GMKI yang setelah
Ambon, akan berlangsung di Manado, Sulawesi Utara. Semangat
peserta KSN/ Musket menggambarkan semangat persatuan yang
menjadi ciri GMKI dimanapun berada dalam suasana semangat
bangsa yang sedang berevolusi. Semangat ini diilhami motto GMKI
secara internasional yaitu Ut Omnes Unum Sint, Bahasa Latin dari
ayat yang tertera pada Yohanes 17: 21 yang berarti “Agar Semua Satu
Adanya.”