The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Alfiyah Indarwati, 2021-11-06 23:17:19

BUKU-Ensiklopedia-Sastra-Jawa

BUKU-Ensiklopedia-Sastra-Jawa

374 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

o

ode berisi pujaan kepada tanah air, ke-
pada seseorang (biasanya pahlawan),
Istilah ode bukan istilah yang atau peristiwa yang dihormati masya-
berasal dari sastra Jawa. Istilah sas- rakat. Oleh karena itu, ode memiliki
tra tersebut diserap secara penuh dari ciri khusus pada irama, persajakan,
Barat, yaitu dari bahasa Yunani. Isti- dan diksi, yang membedakannya de-
lah ini digunakan untuk memuji atau ngan puisi heroik atau kepahlawan-
memuliakan seseorang, hal, atau ke- an.
adaan yang dianggap penting. Bia-
sanya, orang Yunani menulis ode un- Ode kadang-kadang dimuncul-
tuk merayakan peristiwa penting kan secara eksplisit pada judul, mi-
dalam masyarakat. Selain itu, dalam salnya pada puisi Toto Sudarto Bach-
sastra Yunani, ode juga dapat digu- tiar dalam sastra Indonesia, dalam
nakan untuk melukiskan peristiwa antologi ETSA. Dalam dunia guritan
umum yang penting atau juga kehi- (puisi Jawa), istilah ode hampir tidak
dupan pribadi. Di Inggris ode paling pernah digunakan secara eksplisit.
sering digunakan untuk merayakan Akan tetapi, bayak juga puisi Jawa
kejadian atau perisrtiwa penting di (guritan) yang bila dilihat dari tan-
dalam masyarakat, atau tema-tema da-tanda internalnya, substansi, dan
yang megah. Seperti halnya balada bentuk ekspresinya termasuk jenis
yang berasal dari puisi klasik Yuna- ode. Misalnya, guritan berjudul
ni, ode juga tetap menunjukkan ciri- “Gendhing Sampak Pathet Sanga”
ciri dasarnya secara universal. Mi- karya Kuslan Budiman berikut ini.
salnya, ode yang berkembang di Ing-
gris tetap menonjolkan diksi yang GENDHING SAMPAK
bermakna mengagungkan dan lebih PATHET SANGA
cenderung diformulasi klasik, yaitu
ke arah stanza daripada ke arah puisi donya kang edi endah tumraping
Inggris mutakhir. Dilihat dari cara pe- penganten
ngungkapkannya, ode dapat dima- yen aku bali saka palagan
sukkan ke dalam golongan puisi lirik ngrungkebi blegering giling
karena cenderung menggunakan ga- dadi sawiji
ya naratif atau bercerita. Dalam per-
sepsi sastra di Indonesia (termasuk tekane was sumelang lan ing
dalam pengertian sastra Jawa), ode atine
diartikan sebagai puisi pujaan ter- samangsa sing lanang pamit pe-
hadap seseorang atau terhadap se- rang
suatu yang dihormati. Pada umum- nguji aweting nyawa liwat ge-
nya, ode diartikan dengan puisi yang gaman

baliku saka palagan
bakal nggawa umbul-umbul

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 375

kemenangan utama sebuah ode, yaitu berwujud
amarga aku percaya sebuah lirik yang substansi di dalam-
urip iki dudu pacoban nya berupa pemujaan terhadap se-
nanging mujudake kembanging suatu. Pemujaan yang diungkapkan
pranyatan dalam lirik guritan ini mengacu ke-
pranyataning pribadi kang le- pada pengorbanan seorang pahla-
lapis kamanungsan wan kepada negara, yang dilakukan-
nya dengan ketulusan yang sangat
yen aku bali saka palagan tinggi. Judul yang berbunyi “Gen-
gigirku wis nggendhong kame- dhing Sampak Pathet Sanga” me-
nangan nyiratkan klimaks kegundahan jiwa-
nanging ngertiya yayi nya sebagai seorang prajurit yang se-
dhadhaku wis ora kuwat nyang- dang bertugas, yang sedang diper-
ga dosa tentangkan dengan kenyataan yang
amarga getihing mungsuh dadi akan dialaminya bila nanti pulang.
utangku Suasana haru yang terbangun oleh
luapan perasaan penggurit ini ter-
satekaku ing ngarepmu bangun dari keikhlasannya “nyang-
ora susah kokpapagake ati kang ga dosa/ amarga getihing mungsuh
bungah dadi utangku”. Larik-larik keikhlas-
subasitanen kanthi rasa trenyuh annya sebagai prajurit dikatakan de-
kang kawungkus nganggo po- ngan “yen aku ilang musna/iku pra-
ladan asih sumringah tandha panebus dosa/ subasitanen
kanthi lagu gembira/gendhing sam-
yen aku ilang musna pak pathet sanga”.
iku pratanda panebus dosa
subasitanen kanthi lagu gem- oemaryanto effendi (1955—)
bira
gendhing sampak pathet sanga Oemaryanto Effendi sering
menggunakan nama samaran Jaya
sejatine aku gila marang pe- Blangko. Pengarang beragama Islam
rang, yayi ini lahir di Kediri, Jawa Timur, pada
nanging rasa asihku kudu dak- 3 Juli 1955. Ia menikahi Yuli Harini,
sebar seorang gadis kelahiran Kediri, 18
marang bangsaku Juli 1960. Dari pernikahannya itu ia
lan katresnanku bakal nyram- dikaruniai dua orang anak: Deni Ya-
bahi donya nisa (lahir tahun 1982, sekarang ma-
(Jaya Baya, No. 44, XIV, 3 Juli 1960) hasiswa Universitas Negeri Malang)
dan Lukisania Arum Tanjungsari
Guritan Kuslan Budiman yang (lahir tahun 1988).
berjudul “Gendhing Sampak Pathet
Sanga” itu memang tidak menunjuk- Pendidikan terakhir Oemaryanto
kan secara eksplisit istilah ode pada adalah SMA (tamat 1975). Sejak
judul. Namun, substansi dan bentuk SMU ia aktif dalam kegiatan kepra-
ekspresinya menunjukkan ciri-ciri

376 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

mukaan. Selepas SMA ia melanjut- Anyar, No. 16, 1994), “Indrajit Ke-
kan aktivitasnya di bidang kepramu- belet Rabi” (Jawa Anyar, No. 36,
kaan sehingga tahun 1985 dinyata- 1994), dan “Play Boy Wurung” (Ja-
kan lulus sebagai Pelatih Pembina wa Anyar, No. 38, 1994).
Pramuka Tingkat Penggalang. Akan
tetapi, pekerjaan utamanya ialah Karya yang berupa liputan be-
guru SMP Brawijaya, Kepung, me- rita jauh lebih banyak daripada kar-
ngampu mata pelajaran Seni Rupa. ya sastranya. Beberapa liputan beri-
Pekerjaan ini mulai ditekuninya se- tanya yang dapat dicatat ialah “Mis-
jak tahun 1981. Selain itu, karena ber- teri Candhi Sanggrahan Tulung-
predikat sebagai Pelatih Pembina agung” (Panjebar Semangat, No.
Pramuka Tingkat Penggalang, sejak 11, 1998), “Petilasan Ragil Kuning”
1981 ia juga ditugasi mengajar ke- (Panjebar Semangat, No. 26, 2000),
pramukaan. dan “Banjir Bandhang Pacet, Puluh-
an Kurban Nemahi Tiwas lan Ilang”
Di tengah kesibukannya menga- (Panjebar Semangat, No. 52, 2002).
jar ia menyalurkan hobinya menulis
cerita misteri, cerita anak, cerita pen- onomatope
dek, dan liputan peristiwa. Ia juga
menjadi ilustrator dan wartawan ma- Istilah onomatope merupakan
jalah Jaya Baya. Pada 1996 ia men- kata pungut dari bahasa Yunani (ono-
dapat penghargaan dari Menparpos- matopoea). Istilah ini termasuk majas
tel sebagai salah seorang dari 10 no- khusus berupa bunyi atau suara yang
mine dalam Lomba Disain Perang- mirip dengan suara asli yang dihasil-
ko. Dia masih juga aktif mengikuti kan oleh suatu benda, barang, bina-
seminar di berbagai tempat, misal- tang, atau orang. Dalam ilmu tanda,
nya di Universitas 17 Agustus Sura- onomatope ini termasuk tanda yang
baya pada acara Temu Sastrawan ikonik karena secara langsung dapat
se-Jawa dan Bali yang dselenggara- membayangkan benda atau siapa pun
kan oleh Jawa Anyar. Selain itu ia yang menghasilkan suara atau bunyi
juga sebagai Staf Redaksi Majalah itu. Misalnya, suara tokek, meong ku-
Pamor Tulungagung. cing, desis ular, desir angin, dan se-
bagainya. Sastra Jawa mengenal juga
Karya-karya Oemaryanto telah nama binatang dan nama benda yang
tersebar di berbagai majalah berba- diangkat dari suara yang ditimbul-
hasa Jawa. Pada sekitar tahun 1994 kan. Nama jangkrik untuk menandai
ia rajin menulis cerita anak dan cerita binatang serangga yang mengeluar-
wayang di Jawa Anyar (Surakarta). kan suara krik, krik; uir-uir untuk
Beberapa judul yang masih diingat- nama serangga yang mengeluarkan
nya, antara lain, “Paaak… suara uir, uir; gangsir untuk serang-
Mboooook…Kaaaaoookkk” (Jawa ga yang mengeluarkan suara siiir,
Anyar, No. 1, 1994), “Garangan Ka- siiir; manuk guwek (burung hantu)
pusan” (Jawa Anyar, No.11, 1994), yang suaranya huek, huek; angklung
“Bedane Awan lan Bengi” (Jawa yang bila dimainkan mengeluarkan

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 377

suara klung, klung; gong yang bila nung nong ning, nong nong nong
dipukul mengeluarkan suara gong; nong
kenthongan yang bila ditabuh me- Ngumandhang. Pinurba lagune
ngeluarkan suara thong-thong, ga- jagad rumambat. Hiyeg
sing yang bila diputar mengeluarkan ….
suara sing, sing (Jawa). Dalam olah
sastra, onomatope digunakan untuk ORKESTRA JAGADRAYA
(1) menunjukkan intensitas makna, (Sugeng Adipitoyo)
menimbulkan efek melodius, merdu
bila dibaca, dan (3) juga menimbul- …
kan suasana dunia riil karena efek orkestra jagadraya, berlagak
tiruan suara atau bunyi yang natural. memberi aba
bonang mengalun, disambut ken-
Banyak penyair Jawa modern dang diakhiri gamelan penutup
memanfaatkan onomatope untuk bonang tak ragu walau tak ber-
menciptakan keindahan yang khas. kawan
Misalnya, kutipan guritan “Orkestra aba-aba dipercaya, bonang sem-
Jagadraya” karya Sugeng Adipitoyo purna
berikut. nang ning nung nong ning nung
nong nong byong
ORKESTRA JAGADRAYA nong byong dung gung
(Sugeng Adipitoyo) berhenti. Diakuasai irama jagad
… lewat. Hening
orkestra jagadraya, cumanthaka
ngaba orkestra jagadraya, berlagak
bonang nggrambyang, kasaut membuka
kendhang kewekasan suwukan bonang bertugas membuka sepi
bonang ora mamang nadyan sepinya pepujian
tanpa rowang tak gentar lepas, dari iri dan
aba-aba pinercaya, bonang dengki
sembada nung nong ning, nung neng nung
nang ning nung nong ning nung nung nong ning, nong nong nong
nong nong byong nong
nong byong dung gung Menggema. Dikuasai lagu jagad
rep. Pinurba lagune jagad liwat. merambat. Serentak.
Sidhem ….

orkestra jagadraya, cumanthaka Kutipan guritan di atas meng-
mbuka gambarkan peran onomatope game-
boning kawogan miyak sepi lan Jawa, yaitu bonang. Suara salah
sepining pangastuti satu perangkat gamelan yang berna-
ora wedi luwar, saka srei lan ma bonang ini mengeluarkan suara,
drengki yaitu variasi bunyi nong ning nung,
dengan bunyi nong dominan. Nama

378 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

alat musik itu diambil dari suara yang
dihasilkan bila ia ditabuh, yaitu bo-
nang. Seperti itu juga dengan alat mu-
sik lainnya, yaitu gong, rebab, ang-
klung, dan kenong. Variasi bunyi bo-
nang, kenong, rebab, gender itu di-
tata secara bervariasi dan berulang-
ulang sehingga menciptakan irama
atau suasana yang spesifik.

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 379

p

pada arti ngarep-arepa ‘hendaknya
mengharap atau mempunyai sua-
Istilah pada memiliki dua penger- tu pengharapan’. Adapun susun-
tian. Pengertian pertama kata pada an bentuk dari pada mangajapa
berarti (1) sikil ‘ kaki’, papan ‘tem- tersebut terdiri atas empat huruf
pat’, misalnya, padaning ulun ‘kaki atau pasangan, yaitu pasangan
engkau’. (2) kata pada berarti ‘tanda ma ( ), huruf nga ( ),
baca dalam tulisan Jawa atau pem- pasangan ja ( ), dan huruf
bukaan karangan’. Misalnya, pada pa ( ). Keempat huruf atau
lingsa, pada lungsi, dan pada dirga pasangan tersebut apabila sudah
(dirga meliputi dirgo melik, dirga dirangkai menjadi satu susunan-
nya mangajapa seperti tersebut
mendut, dan dirga mure). Di sam- di atas.
ping itu, dalam kosa kata Jawa ada
istilah “pada-pada” dalam kata “du- (2) Purwapada ( )
rung pada-pada” yang berarti ‘be-
lum apa-apa’ atau ‘belum terang’. Tanda baca ini berbunyi manga-
Dalam kaitannya dengan sastra Ja- japa becik yang berarti ‘selalu
wa, istilah pada berkaitan atau me-
ngacu pada arti kedua, yakni tulisan mengharapkan kebaikan’. Mak-
yang berkaitan dengan tembang. Ka-
rangan tembang yang ditulis dengan sudnya, setiap kali membaca nas-
huruf Jawa, umumnya, menggunakan
beberapa tanda baca (pada) yang ber- kah (tembang), pembaca berha-
macam-macam. Masing-masing tan- rap agar selalu mendapat kebaik-
da baca itu memiliki makna sendiri-
sendiri. Secara keseluruhan, pada an. Jika melihat susunan tanda
dibagi menjadi sepuluh macam
seperti berikut ini. baca di atas, dapat diketahui bah-

wa susunan tada baca itu terdiri

atas huruf ba ( ) yang di atas-
nya terdapat pasangan ca ( )

(1) Pada Mangajapa ( ) yang diapit oleh dua pada
mangajapa. Tanda baca ini selalu

Tanda baca itu disebut pada ma- ditulis di awal pupuh tembang
ngajapa karena tanda tersebut yang pertama. Jadi, di setiap per-
dapat dibaca mangajapa. Pada
mangajapa ini ditulis di setiap mulaan pupuh pertama dalam
awal pada ‘bait’ tembang. Jadi, naskah tembang selalu ditandai
dalam menulis tembang macapat
dengan huruf Jawa, setiap awal dengan tanda baca purwapada.
bait selalu ditandai dengan tanda
baca yang bernama pada ma- Secara etimologis, purwa berarti
ngajapa. Kata mangajapa ber-
‘awal’, sedangkan pada berarti

‘tanda baca’. Jadi, purwapada
berarti tanda baca di awal, yaitu

tanda baca yang berada di awal

380 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

naskah atau di awal teks. Jadi, Di samping empat tanda baca di
di setiap naskah yang ditulis atas, ada beberapa tanda baca lain
dalam bentuk tembang, hanya yang digunakan dalam menulis Jawa
ditemukan satu tanda baca dalam bentuk prosa atau gancar. Tan-
purwapada. da baca dimaksud adalah sebagai be-
rikut.
(3) Madyapada ( ) (1) Pada adeg-adeg ( )

Tanda baca ini dapat dibaca Tanda baca ini ditulis di awal ka-
limat atau awal bab.
mandrawa, yang berarti ‘jauh’. (2) Pada lingsa ( )
Maksudnya adalah bahwa tem- Tanda baca ini ditulis untuk me-
misah baris. Tanda ini digunakan
bang ini masih jauh atau masih untuk memberi peringatan kalau
pembacaannya berhenti sebentar
lama selesainya karena masih karena kalimat yang dibacanya
belum selesai. Di dalamtanda ba-
berada di tengah-tengah. Dikata- ca huruf latin, tanda baca ini iden-
kan madyapada karena tanda ini tik dengan tanda baca koma (,).
(3) Pada lungsi ( )
berada di tengah-tengah naskah, Tanda baca ini digunakan untuk
mengakhiri kalimat. Di dalam
di tengah cerita, atau di tengah bahasa Indonesia tanda baca ini
identik dengan tanda titik.
buku. Kata madyapada berasal (4) Pada pangkat ( )
Tanda baca ini digunakan untuk
dari kata madya ‘tengah’ dan pa- menandai bahwa yang diapit oleh
da ‘tanda baca’. Jadi, madyapa- tanda baca itu berupa petikan
langsung atau ucapan orang lain.
da berarti ‘tanda baca yang ber- Di samping itu, tanda baca ini ju-
ga berguna untuk mengapit kata-
ada di tengah’. Jika dilihat dari kata yang dianggap wigati ‘pen-
ting’. Jadi, di dalam bahasa Indo-
susunannya, tanda baca tersebut nesia, tanda baca ini dapat diiden-
berupa gabungan dari pasangan tikkan dengan tanda petik (“).
(5) Padaguru ( )
ma ( ) pasangan da dicerek ( Tanda baca ini mempunyai fung-
si yang sama dengan pada adeg-
) dan na ( ) yang diapit adeg, yakni untuk mengawali
kalimat.
oleh tanda baca mangajapa. (6) Pada Pancak ( )
Tanda baca ini sama dengan pa-
(4) Wasanapada ( ) da lungsi. Tanda baca ini berkait-

Tanda ini dapat dibaca iti berarti

entek ‘habis’ atau tamat. Mak-

sudnya, bahwa tanda baca ini di-

tulis pada akhir naskah atau akhir

cerita. Wasanapada berasal dari

kata wasana ‘akhir’ dan pada

‘tanda baca’. Jadi, wasanapada

berarti tanda baca yang berada

di akhir naskah yang berbentuk

tembang. Maksudnya, tanda ba-

ca itu berada di akhir pupuh yang

terakhir. Ditinjau dari susunan-

nya, wasanapada terdiri atas hu-

ruf ba dicerek ( ) yang diapit

oleh pada mangajapa.

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 381

an dengan tanda baca pada guru, dua, bernama R. Ng. Djajakartika.
maksudnya, jika kalimat itu di- R. Ng. Djajakartika mempunyai tiga
awali dengan tanda baca pada anak, yaitu (1) Hendranata, seorang
guru, di akhir kalimat diberi tan- dokter, (2) Hardjawiraga, seorang
da baca pada pancak. pengarang yang handal seperti ka-
keknya, dan (3) seorang putri yang
padmasoesastra (1843—1926) diperistri oleh Dr. Permadi. Pada
masa selanjutnya, anak Hardjawira-
Nama kecil Padmasoesastra ga yang bernama Marbangun dan
adalah Suwardi. Ia lahir di Sraten, anak Hendranata yang bernama Wi-
Surakarta, pada 21April 1843 (Jumat narna dikenal sebagai jurnalis yang
Pon, 21 Mulud, tahun 1771). Ayah- handal.
nya bernama Ngabei Bangsajuda. Ia
adalah anak kedua dari dua ber- Menurut keterangan Imam Su-
saudara. Kakak perempuannya di- pardi, Suwardi (Ki Padmasoesastra)
peristri oleh Wiraredja. Menurut Wi- menentang keras praktik poligami.
radat Supardi (1961), Padmasoe- Karena itu, pernikahannya dengan Ni
sastra masih keturunan Panembahan Boging merupakan pernikahan per-
Senopati. Secara kronologis silsilah- tama dan untuk selamanya. Oleh ka-
nya adalah Panembahan Senopati— rena itu pula, ia merasa sangat kehi-
Nyai Tumenggung Mayang—Tu- langan setelah istri yang dicintainya
menggung Wiraguna—Kyai Angga- mendahului dipanggil Tuhan dalam
juda Kentol Bangsatruna—Kyai usia 75 tahun. Pada waktu itu, usia
Bangsajuda (Panglawe Desa Nga- perkawinan Ki Padmasoesastra su-
ran)—Ngabei Bangsajuda—Ngabei dah mencapai 50 tahun lebih dan te-
Sindupradja (Panewu Gedongkiwa, lah dikaruniai dua anak, lima cucu,
bergelar Ngabei Bangsajuda)—Pad- dan 16 cicit. Meskipun sedih karena
masoesastra. ditinggalkan mati istrinya, Ki Pad-
masoesastra tetap rajin menulis. Ak-
Setelah dewasa Suwardi meni- tivitasnya itu dilakukan untuk meng-
kah (dinikahkan) dengan seorang hibur rasa sedihnya meskipun sulit
wanita sederhana yang biasa dipang- dihilangkan. Oleh karena rasa sa-
gil Nyai Boging (sayang wanita ini yangnya kepada mendiang istrinya,
tidak diketahui asal-usulnya). Per- ia berpesan agar kelak dikubur di
nikahan mereka menghasilkan dua samping istrinya di pemakaman
anak laki-laki.Anak pertama, setelah Kebonlayu. Pesan itu dilaksanakan
diangkat menjadi bupati anom, ber- oleh anak cucunya ketika Ki Padma-
nama Raden Tumenggung Ma- soesastra wafat pada tahun 1926 da-
ngoendipoera. Bakat mengarang lam usia 82 tahun.
ayahnya tampaknya diwarisi oleh
anak laki-lakinya itu. Mangoendi- Sejak kecil kecerdasan Suwardi
poera mempunyai seorang anak ber- (Ki Padmasoesastra) sudah menga-
nama Suwarna yang berprofesi se- gumkan meskipun tidak pernah me-
bagai dokter. Sementara itu, anak ke- ngenyam pendidikan formal dan

382 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

pondok pesantren. Kepandaiannya di an itu menunjukkan kekecewaan dan
bidang baca tulis Jawa dan Latin me- kekesalannya atas pemecatan dirinya
rupakan hasil didikan orang tua se- sebagai punggawa (pejabat) kasu-
jak berusia 6 tahun. Berkat kecer- nanan dalam usianya yang masih
dasannya tersebut, sejak berusia 9 dalam pematangan. Oleh karena itu,
tahun Suwardi dimagangkan untuk ketika ditawari Van der Pant untuk
memangku jabatan ayahnya sebagai menjadi sekretaris dan sekaligus se-
mantri gedhong di Kasunanan Su- bagai asistennya di Gymnasium Ko-
rakarta dengan gelar Ngabei Karta- ning Willem III Bagian B di Betawi
dirana. Ia biasa dipanggil Gus Bei tahun 1883, tawaran tersebut diteri-
karena usianya yang masih remaja. manya dengan senang hati.
Sejak itu kariernya terus menanjak.
Pada usia 18 tahun, ia diangkat men- Sejak bekerja bersama Van der
jadi mantri sadana (petugas hukum) Pant, proses kreatif menulis Ki Pad-
di bagian administrasi pemerintahan masoesastra mulai tumbuh dengan
Gedong Kiwa dengan gelar Mas baik. Atas prakarsa dan arahan Van
Ngabei Bangsajuda. der Pant, ia memperbaiki, menyun-
ting, dan mengubah karya prosa ber-
Setelah ditunjuk sebagai asisten judul Bok Randha Gunawacana ka-
jaksa, beberapa tahun kemudian ia rangan Surjawidjaja menjadi Serat
diangkat menjadi panewu jaksa se- Durcara Arja yang diterbitkan pada
puh (kepala kejaksaan) di Gedong tahun 1886. Setelah Van der Pant
Kiwa merangkap Ketua Pengadilan kembali ke negeri Belanda, Ki Pad-
Kepatihan, dengan gelar Mas Nga- masoesastra pulang ke Surakarta,
bei Kartipradata. Ketika berusia 21 kemudian menjadi staf redaksi Bra-
tahun, nasib malang menimpanya. Ia martani.
diberhentikan dari tugas dan jabatan-
nya karena terlibat utang-piutang de- Pengalaman dan pengetahuan
ngan rentenir Cina. Sejak saat itu ia Padmasoesastra terus bertambah
melepaskan diri dari ikatan-ikatan berkat hubungannya dengan sarjana-
tradisi keraton dan menjadi wong sarjana Belanda. Ia pernah berada di
mardika ‘orang bebas’. Kebebasan- negeri Belanda selama satu tahun
nya itu sering diungkapkan dalam (1890—1891) atas undangan De
buku-buku terbitannya. Dalam sam- Nooy. Di Belanda, ia diajak De Nooy
pul Serat Wirit Sopanalaya (Rang- untuk menyusun daftar kata bahasa
gawarsita, 1912) dan Paramasastra Jawa dengan ragam penggunaannya.
(Ranggawarsita, 1922), misalnya, Ia juga menyusun Serat Urapsari
tercantum ungkapannya yang berbu- yang memuat contoh-contoh perca-
nyi “Ki Padmasoesastra tiyang kapan bahasa Jawa dan informasi
mardika ingkang marsudi kasusas- tentang unggah-ungguh ‘tatakra-
tran Jawi” ‘Ki Padmasoesastra ma’. Sekembalinya dari Belanda, ia
orang bebas yang menekuni kesusas- tinggal beberapa waktu di Surakarta,
traan Jawa’. Secara tersirat, ungkap- kemudian pergi lagi ke Betawi. Di
Betawi, Ki Padmasoesastra mem-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 383

bantu Walbeem, pengganti Van der Kandha Bumi (novel, 1924); dan Se-
Pant, untuk menyusun acuan bahan rat Kabar Angin (novel, belum ter-
ajar bahasa Jawa sambil menyusun bit). Selain itu, ia juga menulis karya
buku-bukunya sendiri. Setelah kem- kebahasaan, misalnya, Serat Tataca-
bali ke Surakarta, pada 7 Juni 1899, ra (1907, 1911, 1980, 1983) dan Se-
ia diangkat menjadi Kepala Perpus- rat Hariwarta (1916); dan buku
takaan Museum Radya Pustaka yang berisi etika dan etiket, misal-
dengan gelar Ngabei Wirapustaka. nya, Serat Piwulang Becik (1911),
Secara politis, pengangkatan itu me- Serat Subasita (1914), Serat Madu
rupakan rehabilitasi namanya yang Basa II (1918), Serat Madu Wasita
pernah tercemar. Di Radya Pustaka (1918), dan Serat Erang-Erang
ia bertugas menangani dan memper- (1922).
kaya koleksi naskah dan karya cetak,
mengawasi percetakan dan penerbit- Padmasoesastra juga menyun-
an, menyunting surat kabar Sasa- ting karya fiksi berjudul Bok Rondha
dara dan Candrakanta, serta mener- Gunawacana karya Surjawidjaja
bitkan Waradarma. Pada tahun 1920, dan Van der Pant menjadi Serat Dur-
Ki Padmasoesastra diangkat menjadi cara Arja (terbit 1816, 1912), selain
panemu garap (kepala tata usaha) memprakarsai penerbitan Serat Wi-
di Kantor Pamong Praja, diberi ge- rit Sopanalaya (1912), Serat Pus-
lar Ngabei Prajapustaka. Empat ta- taka Raja (1912), Serat Paramayo-
hun kemudian (1924) ia pensiun dan ga (1912), Paramasastra (1922),
pada 1926 meninggal dunia dalam dan Wedhasastra karya Ranggawar-
usia 82 tahun (Quinn, 1995). sita; Serat Waraiswara (1896) karya
Pakoeboewana X; Serat Dwijais-
Ketekunan Ki Padmasoesastra wara (1899), Salokantara, Darma-
membaca karya-karya sarjana Be- laksita, Wirawiyata, Warayagnya,
landa amat berpengaruh pada tulis- Nayakawara, Salolatama, Wedha-
an-tulisannya. Dari pengalaman dan tama, Tripama, Manuara, Serat
karya tulisnya dapat diketahui bah- Iber-Iber, dan Serat Sekar-Sekaran
wa Padmasoesastra bukan hanya to- karya Mangkoenagara IV; dan Sri-
koh sastra dan bahasa Jawa, melain- mataya karya Poeradipoera. Padma-
kan juga budayawan dan jurnalis. soesastra juga mengutip, mengum-
Karya-karyanya cukup banyak dan pulkan, dan menerbitkan karya orang
isinya beragam, di antaranya Seja- lain, misalnya Baletri (1900 dan
rah Surakarta tuwin Ngayogya- 1914) dan Burat Wangi (1907).
karta atau Sejarah Pangiwa Pane-
ngen (babad, 1909) dan Nitik Kera- Berkat kelebihannya itu Ki Pad-
ton Surakarta (babad, 1912); Serat masoesastra oleh beberapa ahli digo-
Kancil tanpa Sekar (dongeng, 1909); longkan sebagai tokoh sastra, baha-
Serat Rangsang Tuban (novel, terbit sa, dan budaya Jawa pada masa tran-
1912, 1922, 1960, dan 1985); Serat sisi hingga awal abad ke-20. Dalam
Prabangkara (novel, 1912), Serat buku berjudul Ki Padmasoesastra
(1916) Imam Supardi mengupas se-

384 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

jarah, pengetahuan, ajaran, dan per- dhaton) yang kemudian dikutip oleh
juangan tokoh ini bagi bahasa dan beberapa penyusun buku tata bahasa
kesusastraan Jawa. Dikemukakan Jawa. Misalnya Karti Basa (Kemen-
bahwa sikap Padmasoesastra keras terian P.P. dan K, 1946), Serat Para-
dan pemberani dalam menghadapi masastra Jawi Modern (Dwidjasoe-
siapa pun. Dalam usianya yang su- sana, 1952), Konklusi Paramasas-
dah tua, ia masih sempat mengada- tra dan Persamaannya Jawa Indo-
kan kursus bahasa dan sastra Jawa nesia (Prawiratmadja, 1955), Re-
serta kursus karang-mengarang di ringkesaning Paramasastra Jawi
Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Be- (Antunsuhana, 1965), Paramasastra
berapa muridnya kemudian menjadi Jawi (Sastrasoepadma, 1957), Tata
penulis yang tangguh, misalnya R.P. Sastra (Hadiwidjana, 1967), Ceng-
Partahardja, Jie Siang Ling, Wignja- koronganing Paramasastra Jawi
hardja, dan Martadarsana. (anonim), dan Paramasastra Jawi
(Hadisoebrata). Serat Tatacara yang
Jauh sebelum itu, sekitar tahun menguraikan berbagai ucapan yang
1890, Ki Padmasoesastra sudah men- dijalin dalam gaya dialog menggu-
jadi tokoh dalam bidang pengajaran nakan bahasa Jawa ragam ngoko,
bahasa Jawa. Bahkan, buku-buku- madya, dan krama sesuai dengan
nya kemudian banyak dikutip dan tingkat sosial pemakainya itu masih
dijadikan acuan dalam penyusunan dianggap relevan sampai sekarang.
buku pegangan dan buku bacaan di Bahkan Serat Tatacara itu dijadikan
sekolah-sekolah. Misalnya, dalambu- acuan dalam mata kuliah “Pranata
ku Serat Warna Sari Basa susunan Masyarakat Jawa” di Fakutas Sastra
Kats (1929), antara lain, dimuat ku- Universitas Gadjah Mada.
tipan Serat Tatacara, Layang Basa
Jawa, Serat Urap Sari, Serat Erang- padmosoekotjo (1909—1986)
Erang, dan Serat Kancil Tanpa Se-
kar. Kats (1939) juga mengutip Se- Nama kecilnya Sitam. Nama
rat Rangsang Tuban dalam bukunya Padmosoekotjo ditambahkan setelah
Punika Pepethikan saking Serat Ja- ia menikah sehingga menjadi Sitam
wi ingkang Tanpa Sekar; sedangkan Padmosoekotjo. Tetapi, akhirnya po-
Prawiradihardjo (1957) juga mengu- puler dengan nama S. Padmosoe-
tip Serat tatacara dalam bukunya kotjo. Ia lahir pada 28 Juni 1909 di
Burat Sari. Desa Kumpulrejo, Kecamatan Gra-
bag, Kabupaten Purworejo, Jawa Te-
Quinn menyatakan bahwa Serat ngah. Padmosoekotjo menamatkan
Urap Sari dan Serat Warna Basa pendidikan normaal school ‘sekolah
masih menjadi sumber utama rujuk- guru’ di Purworejo tahun 1929. Ta-
an bagi banyak ahli. Kedua buku itu mat dari sekolah itu ia ditugaskan
mengetengahkan pemakaian ung- sebagai guru Sekolah Angko Loro
gah-ungguh basa Jawa ‘tingkat tu- di Desa Loning, Kecamatan Kemiri,
tur bahasa Jawa’ (mencakupi ragam Kabupaten Purworejo.
ngoko, madya, krama, dan basa ke-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 385

Belum lama mengajar, Padmo- SGB tersebut. Di sekolah itu ia me-
soekotjo kemudian dinikahkan de- megang mata pelajaran bahasa (dan
ngan seorang gadis, putri seorang gu- sastra) Jawa dan berhitung. Pada ta-
ru Sekolah Angka Loro tahun 1933. hun 1961 SGB tersebut diubah men-
Setelah menikah inilah—sesuai adat- jadi SMP. Seiring dengan kebijakan
istiadat Jawa waktu itu—Sitam di- itu, Padmosoekotjo dipindah menga-
beri nama tua Padmosoekotjo. Dari jar di SMP Negeri 3 Purworejo, sete-
pernikahannya itu lahirlah tiga orang lah selama 14 tahun mengajar di
putra (1 laki-laki dan 2 perempuan). SGB. Selanjutnya, setelah 8 tahun
Setelah beberapa tahun mengajar, ia mengajar di SMP, ia dipurnatugas-
dimutasikan ke Hollands Inslan- kan dengan hak pensiun sejak 1 Ja-
dsche School (HIS), yaitu sekolah nuari 1969.
yang menggunakan bahasa pengan-
tar bahasa Belanda dan murid-mu- Banyak aktivitas yang dilakukan
ridnya adalah anak-anak dari ka- setelah ia menjalani masa pensiun,
langan priayi. di antaranya, sebagai dosen mata ku-
liah Bahasa (dan Sastra) Jawa di Fa-
Ketika pemerintahan diambil kultas Keguruan dan Ilmu Pendidik-
alih oleh Jepang (1942—1945), Pad- an Universitas Tujuh Belas Agustus
mosoekotjo diangkat menjadi koco Purworejo, sebagai guru privat ba-
sensai ‘penilik’ yang membawahi 17 hasa Jawa bagi seorang misionaris
sekolah di Kecamatan Kemiri, Ka- berkebangsaanAmerika yang bertu-
bupaten Purworejo. Berkat prestasi- gas di Purworejo (1970—1975), dan
nya (peringkat pertama) dalam kur- sebagai pembantu (tenaga) ahli ma-
sus bahasa Jepang, ia ditunjuk se- jalah Jaya Baya. Sebagai pakar ba-
bagai pemandu dan pendamping pe- hasa dan sastra Jawa, ia sering pula
jabat Jepang yang datang ke Purwo- diminta untuk berceramah dan diun-
rejo sehingga ia pun ditawari akan dang dalam acara sarasehan bahasa
disekolahkan ke Jepang. Bahkan, ia dan sastra Jawa, Misalnya, dalam
juga ditawari untuk menjadi daidan- Sarasehan Ejaan Bahasa Jawa yang
co ‘perwira’ dan sanco ‘camat’ di Ke- Disempurnakan yang diselenggara-
miri oleh pemerintah Jepang, tetapi kan di Yogyakarta, 17—19 Januari
tawaran itu ditolak karena Padmo- 1973, dan sebagai penceramah da-
soekotjo lebih senang menjadi guru. lam sarasehan yang diselenggarakan
Pada tahun 1944—1947 ia diperca- oleh Jurusan Sastra dan Budaya Ja-
ya menjadi kepala sekolah rakyat wa, Fakultas Sastra dan Budaya, Uni-
(SR). Profesi sebagai guru ditekuni- versitas Negeri Surakarta.
nya hingga zaman kemerdekaan.
Dikemukakan oleh Djumadi
Pada tahun 1947, bersama dua (1987) bahwa sebagai tenaga ahli
kawannya, Kawidi dan Soetoko, Pad- Padmosoekotjo merupakan tokoh—
mosoekotjo membuka Sekolah Guru bahasa dan sastra Jawa—yang we-
bagian B (SGB) di Purworejo. Sejak kel ing karya ‘rajin bekerja’ dan nye-
itu, ia beralih tugas menjadi guru di titekake kuwajiban ‘sangat mem-

386 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

perhatikan kewajiban’. Banyak tu- (t.t.), dan Paramasastra Jawa (1986)
lisannya yang menguraikan masalah merupakan buku bahan ajar untuk
bahasa, sastra, dan budaya Jawa me- SLTP ke atas. Sementara itu, buku-
ngalir ke majalah Jaya Baya. Sam- nya yang berjudul Suluk Pedhalang-
pai menjelang ajal (wafat pada 21 an (1978) dan Silsilah Wayang Pur-
Desember 1986), tulisan Padmosoe- wa Mawa Carita jilid I, II, III, IV, V,
kotjo masih menghiasi majalah Jaya VI, dan VII (1979, 1981, 1982, 1984,
Baya. Bahkan cerita bersambungnya 1984, 1985, dan 1986) merupakan
“Silsilah Wayang Purwa Mawa Ca- buku pedoman dan bacaan untuk
rita”yang dimuat Jaya Baya sejak umum, terutama di kalangan peda-
edisi 8 Juni 1975 baru tamat pada 1 langan. Selain itu, Padmosoekotjo
Maret 1987. juga menyusun buku Berhitung jilid
1, 2, dan 3 (1955). Buku itu dikon-
Sejak kecil Padmosoekotjo me- sumsikan untuk SGB.
mang gemar menonton pertunjukan
wayang kulit. Setelah masuk sekolah Produktivitas Padmosoekotjo
kecintaannya terhadap wayang kulit dalam berkarya tidak datang secara
terus berlanjut seiring dengan kese- tiba-tiba, tetapi melalui proses pan-
riusannya dalam bidang baca dan tu- jang, seperti yang dialaminya ketika
lis. Keseriusannya dalam bidang ba- menulis Silsilah Wayang Purwa Ma-
ca tulis justru mendorongnya untuk wa Carita yang sempat mengendap
rajin membaca buku, terutama buku selama 45 tahun (1930—1975). Ba-
sastra klasik yang berisi cerita wa- nyak motivasi yang menyebabkan
yang. Sejak itu pula ia pun mulai ber- Padmosoekotjo aktif menulis. Ketika
kenalan dengan sastra lisan sebagai menyusun buku untuk kebutuhan
bahan bacaan. sekolah tahun 1950-an, misalnya, do-
rongan yang amat kuat adalah ka-
Dalam jagad kesusastraan Jawa, rena kala itu sekolah-sekolah sangat
Padmosoekotjo termasuk penulis pro- memerlukan sarana dan materi pe-
duktif. Ada 12 judul buku yang ber- ngajaran. Di antara buku-buku itu
hasil disusunnya, yang sebagian be- ialah buku ajar dan buku bacaan ka-
sar dikunsumsikan untuk kebutuhan rena negara sedang dilanda krisis
sekolah. Bukunya yang berjudul Ra- ekonomi dan moneter akibat perang
tjikan Basa jilid I dan II (1953), Nge- kemerdekaan. Situasi dan kondisi
ngrengan Kasusastran Djawa jilid yang memprihatinkan itu membang-
I dan II (1953), Sarine Basa Djawa kitkan Padmosoekotjo—yang berpro-
(1955), Wewaton Panulise Basa Dja- fesi sebagai guru—untuk menyusun
wa nganggo Aksara Latin (1956), buku kebutuhan sekolah demi kelan-
Patine Paramasastra (1956), Tata- caran proses belajar-mengajar.
rane Basa Djawa (1958), Memetri
Basa Jawi jilid I, II, dan III (1979, Menurut Suparto Brata (1981),
1982, dan 1982), Wewaton Panulise Padmosoekotjo termasuk pengarang
Basa Jawa nganggo Aksara Jawa sastra Jawa yang lebih menekuni bi-
(t.t.), Limpat Nembang Macapat dang tugasnya sebagai guru sehing-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 387

ga buku-bukunya banyak dipakai se- membatasi anggotanya pada pecinta
bagai sarana kegiatan belajar-me- dan ahli bahasa Jawa saja, bukan un-
ngajar di lembaga pendidikan for- tuk umum. Selanjutnya, pimpinan
mal. Demikian juga Ras menyatakan lembaga bahasa Jawa ini berganti-
bahwa meskipun buku-buku Padmo- ganti, misalnya pada periode perta-
soekotjo lebih banyak dikonsumsi- ma (tahun 1899 hingga tahun 1905)
kan untuk kebutuhan sekolah, ba- pimpinan dipegang oleh R.T.H. Djo-
nyaknya karya yang ditulis membuat jodiningrat II. Selanjutnya, pada pe-
ia mendapat predikat sebagai penulis riode tahun 1905 sampai dengan ta-
terkemuka. Sementara, keberhasilan hun 1914 dipimpin oleh R.T. Djone-
Padmosoekotjo menyusun buku ber- goro. Beberapa pimpinan lainnya se-
hitung merupakan prestasi tersendiri telah itu (hingga paheman ini ber-
karena pada kenyataannya ia lebih akhir, tahun 1960) masih ada bebe-
berminat dan percaya diri terhadap rapa pemimpin lainnya lagi. Kelom-
bidang bahasa dan sastra Jawa. Oleh pok ini terdiri atas para ahli dan pe-
karena itu, tidaklah keliru jika ia di- merhati bahasa Jawa yang berkum-
golongkan sebagai pengarang yang pul dalam sebuah wadah atau orga-
handal dalam bidang bahasa dan sas- nisasi, atas dasar tujuan utama yang
tra Jawa. sama. Tujuan utama itu ialah mem-
bahas perkembangan bahasa Jawa
paheman pada waktu itu dan waktu yang akan
datang. Lembaga ini diatur secara
Istilah paheman berasal dari ba- organisasi sehingga di dalamnya ter-
hasa kawi. Paheman mempunyai dua dapat pengurus yang terdiri atas: ke-
arti, yaitu (1) perbincangan, atau da- tua, pengurus harian, dan anggota.
lam bahasa Jawa dikenal dengan isti- Mereka, pada umumnya, ialah para
lah pirembugan, dan (2) berarti seke- guru dan karyawan yang memiliki
lompok orang yang saling berembug. perhatian atau keahlian di bidang
Dari arti dasar tersebut, terutama pa- bahasa, sastra, dan kebudayaan Ja-
da arti yang terakhir, pada tahun wa. Paheman Radyapustaka ini di-
1890, hari Selasa Kliwon, tanggal 15 lengkapi dengan perpustakaan dan
Maulud Ehe, tahun 1820, atau 28 museum. Pertemuan anggota diada-
Oktober 1890, sebuah lembaga ilmu kan secara periodik, yaitu setiap hari
pengetahuan yang benar-benar ber- Rabu malam, dan pada saat seperti
sifat otonom bernama “Paheman itu mereka membahas beraneka ilmu
Radyapustaka” didirikan di Sura- bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Se-
karta. Paheman ini didirikan oleh lain itu, sering juga secara khusus
K.R.A. Sosrodiningrat IV. Ketua lembaga ini memusyawarahkan ke-
yang pertama ialah R.T.H. Djojodi- adaan bahasa Jawa. Misalnya, pada
ningrat (sampai dengan tahun 1899). tahun 1941 lembaga ini mendirikan
Lembaga ilmu pengetahuan ini ber- Badan Paniti Basa yang diketuai oleh
sifat selektif. Artinya, ada seleksi da- K.G.P.H.Koesoemojuda. Beliau di-
lam hal keanggotaan. Lembaga ini

388 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

bantu oleh seorang panitera, yaitu R. menghormat pada tuan
Jasawijoto (dari pemerintah). Pada para tamu putra dan putri
periode kepemimpinan R.T. Djone- karena telah sudi menghadiri
goro (1905—1914) nama Wiropus- pertemuan tanda mendukung
taka atau Ki Padmosoesastra terca- pada keinginan panitia
tat sebagai salah seorang pegawai yang ingin memperingati
lembaga ini. SD yang telah berusia sepuluh
tahun ini.’
pakem
pangkur
Pedoman cerita asli pewayangan
yang mengacu pada Mahabarata Dalam bahasa Jawa terdapat isti-
dan Ramayana. Pakem tersebut dija- lah Pangkur. Kata Pangkur memiiki
dikan pegangan oleh para dalang wa- dua arti, yaitu (1) nama tembang ma-
yang ketika mereka menampilkan capat (2) iwak segara ‘ikan laut’.
suatu cerita dalam pergelaran. Jika Kaitannya dengan sastra Jawa, isti-
cerita yang ditampilkannya tidak ti- lah pangkur mengacu pada penger-
dak sesuai dengan pakem cerita ter- tian pertama, yakni kata Pangkur me-
sebut disebut cerita sempalan atau rupakan nama dari salah satu tem-
carangan. bang macapat. Dalam tembang ma-
capat, Pangkur berasal dari nama
panembrama punggawa dalam kalangan kepende-
taan seperti tercantum dalam piagam-
Pelantunan tembang yang dila- piagam berbahasa Jawa Kuna, mi-
kukan oleh sekelompok penembang salnya, dalam Serat Purwa Ukara
untuk menyambut atau menghormati Pangkur diberi arti buntut ‘ekor’.
kedatangan tamu. Dalam panembra- Oleh karena itu, Pangkur kadang-ka-
ma sering ditampilkan tembang Ki- dang diberi sasmita ‘isyarat’ tut
nanthi, Sinom, dan Asmaradana. pungkur, tut wuri, tut wuntat ‘meng-
Contoh: ekor atau mengikuti’. Selanjutnya,
dalam tembang macapat terdapat
SINOM watak yang erat kaitannya dengan
Dahat suka sukeng driya isi, metrum, dan lagu. Misalnya tem-
panitya sung pudyastuti bang yang berwatak sedih, rindu,
manembrama mring paduka mesra, gagah, dan sebagainya. Ma-
para tamu kakung putri sing-masing nama tembang memiliki
wus dhangan angrawuhi watak sendiri-sendiri. Kaitannya de-
pahargyan tanda jumurung ngan watak tembang, Pangkur me-
mring ancasing panitya miliki watak yang gagah, perwira,
dennya samya amengeti bergairah, bersemangat, dan pembe-
SR ngriki mangkya sampun rani. Di samping watak, tembang ma-
dasa warsa. capat juga memiliki kegunaan. Me-
milih nama tembang tidak sekedar
‘Dengan suka hati
panitia menyampaikan salam
hormat

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 389

asal memilih, tetapi disesuaikan de- kur, wuri, muri, ngungkuraken ‘be-
ngan kegunaannya. Kegunaan suatu lakang, membelakangi’. Adapun na-
tembang biasanya disesuaikan de- ma metrum macapat disesuaikan de-
ngan wataknya karena watak ikut ngan nama jenis tembangnya, misal-
menentukan nilai keindahan tem- nya tembang Pangkur metrumnya
bang. Apabila teks itu didendangkan, disebut Pangkur juga dengan aturan
lagunya juga harus sesuai dengan 8/a, 6/o, 8/u,7/a, 12/u, 8/a, 8/i.
suasana yang terdapat dalam isi yang
dikandungnya. Misalnya, tembang panglipur wuyung
yang yang berwatak haru, mempe-
sona, harus berguna untuk menyata- Istilah ini diperuntukkan bagi je-
kan suasana haru, terpesona dalam nis karya sastra naratif panjang (ro-
hubugannya dengan kasih sayang. man) yang dianggap bernilai sastra
Kaitannya dengan itu, tembang Pang- rendah, dan popular pada periode
kur yang berwatak gagah, perwira, 1950-an hingga akhir dekade 1960-
dan bergairah harus berguna untuk an. Jenis fiksi inilah yang disebut oleh
memberikan nasihat yang bersema- Rolvink (1958) dengan “roman pi-
ngat, melukiskan cinta yang berapi- cisan” ketika ia membahas jenis fiksi
api, suasana yang bernada keras. Be- dalam karya sastra Indonesia tahun
rikut ini contoh tembang pangkur 1950-an terbitan Medan. Istilah “ro-
yang berwatak gagah, perwira, ber- man picisan” dalam sastra Indonesia
gairah dan bersemangat. berkonotasi dengan kualitas rendah
karena identik dengan pengertian
Kukuse ngeksi ngujwala “yang harganya amat murah, yaitu
laju jujur arjaning saparaja di sekitar satu atau dua picis” (Inggris:
purwa wasana winangun dime novel; Perancis: roman noir;
na nagri pangastawa Belanda: stuiversroman). Waktu itu,
pratiwendra satriya tanapi ratu sepicis berharga 1 ketip. Dari ren-
nahen tentreming nagara dahnya harga itu, jenis fiksi ini dika-
tamat pameting palupi tegorikan sebagai sastra bernilai ren-
dah, yang disimbolkan dengan “pi-
‘Asap menampakkan sinar cisan” karena waktu itu nilai tukar
terus lestari makmur senegeri uang yang terendah ialah picis. Ciri
indah pokok fiksi yang digolongkan roman
awal akhir dibangun picisan itu ialah roman yang penuh
menumbuhkan rasa hormat sensasi, baik mengenai kriminalitas,
senapati, ksatria, serta raja kekejaman, dan petualangan (cinta)
menjaga ketenteraman negara yang tujuan pokoknya untuk meng-
tanat pengambilan contoh.’ hibur sesaat. Oleh karena itu, cerita
disajikan dengan alur yang cepat se-
Adapun sasmita ‘isyarat’ tem- lesai, yang menyarankan ketidakse-
bang Pangkur biasanya mengguna- riusan dalam penggarapan. Jenis fik-
kan kata seperti pungkuran, pung- si ini lebih mementingkan selera pa-

390 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

sar daripada selera keindahan (este- Franco” karya Asmara Asri (mung-
tis). kin samaran Kiai Asnawi sendiri).
Dalam kata pengantar majalah novel
Sastra Jawa menyebut jenis fiksi tersebut disebutkan hal kesejajaran
populer seperti terbitan Medan itu panglipur wuyung dengan roman
dengan roman panglipur wuyung, picisan secara eksplisit, seperti be-
yang menyaran kepada buku cerita rikut.
untuk mengisi waktu senggang, atau
hanya untuk menghibur sesaat. Isti- … Sawenehing juru ngarang
lah panglipur wuyung dalam sastra roman wonten ingkang nena-
Jawa menyaran kepada jenis fiksi cad, bilih buku roman ingkang
yang ditulis/diterbitkan untuk pang- regi mirah dipunparabi roman
lipur wuyung ‘penghibur hati (yang picisan, roman nyekethipan.
sedang sedih)’. Jenis fiksi ini dicetak Ngantos badhe nawekaken buku
dengan jumlah halaman yang tipis ka- roman, pariwaranipun ndadak
rena tujuannya untuk menghibur se- njawil ‘buku roman picisan’.
saat sehingga dijual dengan harga Punika mboten sanes saking
amat murah. Bahasa pengantar yang tuwuh pamanahan drengki, su-
digunakan dalam fiksi ini ialah ba- ka wiji pangajak dhateng nga-
hasa sehari-hari, yang kadang-ka- kathah supados tumuta kados
dang kasar. Untuk menarik perhatian kkajenganipun. Anggepan me-
pembaca, ilustrasi pada sampul de- nawi roman ingkang sanes ka-
pan bersifat romantis-sensasional rangipun piyambak punika
yang menyaran untuk menarik pem- boten wonten pangaosipun…
baca atau pembeli.
‘… Sejumlah pengarang roman
Dalam sejarah sastra Jawa, sas- ada yang mengejek bahwa buku
tra hiburan yang dikategorikan pang- roman yang harganya murah di-
lipur wuyung itu sudah muncul sejak namai roman picisan, roman nye-
tahun 1940-an, dalam majalah Poer- kethipan. Sampai-sampai bila
nama yang terbit di Sala, milik se- akan menawarkan buku roman,
orang guru agama di HIK (Hollands iklannya harus menggamit ‘buku
Inlaandse Kweek School) Muham- roman picisan’. Hal itu tidak lain
madiyah di Kleco, Surakarta Hadi- karena dari timbulnya rasa deng-
ningrat, bernama Kiai Asnawi Hadi- ki, suka mengajak orang lain su-
siswojo (sering menyamar dengan paya mengikuti keinginannya.
nama Kiai X). Dia banyak mengisi Anggapan bahwa yang bukan
majalah yang dikelolanya—yang karangannya itu tidak ada har-
rata-rata tebalnya antara 32 sampai ganya….’
64 halaman—itu dengan fiksi hibur-
an bertema percintaan dan cerita-ce- Majalah Poernama ini—bersa-
rita detektif. Sebuah fiksi hiburan di ma dengan majalah-majalah dan me-
dalamnya yang banyak dikenal ma- dia massa lainnya—pada zaman Je-
syarakat sastra Jawa ialah “Kyai pang dibreidel pemerintah.

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 391

Pada masa kemerdekaan, yaitu panglocita
tahun 1954, di Surabaya, Soebagijo
Ilham Natadidjaja (Pak SIN) dkk. Istilah ini berasal dari bahasa
menerbitkan majalah semacam Poer- Kawi yang berarti gagasan atau pe-
nama, yang diberinya nama Pustaka rasaan hati. Kata dasarnya ialah lo-
Roman. Majalah ini berukuran buku cita (bahasa Kawi) yang berarti
saku dengan ketebalan antara 32— ‘angan-angan atau gagasan’. Istilah
60 halaman. Majalah ini berisi ceri- asli Jawa ini bersinonim dengan is-
ta-cerita ringan tentang kisah-kisah tilah dalam bahasa Indonesia “angan-
sehari-hari, seperti kisah cinta sese- angan, bayangan-bayangan perasaan
orang, cerita petualangan, cerita de- hati, atau gambaran dalam ingatan”.
tektif, dan roman sejarah, yang dike- Jadi, panglocita adalah gambaran
mas secara populer. Pada waktu yang yang diangankan, dan bersifat fiktif,
hampir bersamaan dengan terbitnya bukan riil. Dalam dunia sastra mo-
Pustaka Roman itu, sebenarnya, di dern, istilah angan-angan, atau
Surabaya terbit juga majalah bulan- bayangan angan itu disebut imaji
an, khusus memuat cerita pendek (image), dan kekuatan mengangan,
(cerpen), bernama Tjrita Tjekak. Se- atau daya mengangan disebut imaji-
jumlah nama cerpenis baru muncul nasi (imagination), dan kata sifat-
di majalah tersebut, seperti Any As- nya, yaitu imaginatif (imaginative)
mara, PoerwadhieAtmodihardjo, Es- atau hanya ada di dunia angan.
miet, Widhie Widayat, Satim Kadar-
jono, St. Iesmaniasita, Rudhatan, Setiap jenis sastra memiliki du-
Soesilomurti, dan T.S.Argarinie, ser- nia panglocita sendiri, baik yang ber-
ta beberapa nama lagi. kaitan dengan budaya, alam, ling-
kungan, situasi zaman, dan situasi
Produktivitas sejumlah cerpenis spesifik para pengarangnya. Pang-
muda itu tidak hanya didukung oleh locita digunakan pengarang untuk
energi pribadi, tetapi didukung oleh menciptakan jarak estetika (aesthe-
kondisi zamannya pula. Ketika Any tic distance) antara dunia nyata de-
Asmara dan kawan-kawannya mun- ngan dunia kepengarangan yang ber-
cul, pemerintah sedang menggalak- sifat angan karena sastra itu mengu-
kan sektor pendidikan masyarakat se- capkan sesuatu pikiran secara tidak
lepas era kolonial. Pada tahun 1950- langsung. Misalnya, dalam sastra Ja-
an program utama di sektor ini ialah wa, hingga tahun 1960-an wayang
menyiapkan buku dan media massa adalah bagian budaya yang sangat
cetak untuk mengembangkan buda- dekat dan diakrabi masyarakat. Oleh
ya baca, walaupun sektor lain, eko- karena itu, struktur fiksi sastra Jawa
nomi dan politik belum dapat berja- modern hingga akhir tahun 1950-an
lan lancar. Kondisi masyarakat se- dekat dengan struktur wayang, dan
perti itulah yang dimanfaatkan para panglocita (imaji) tentang tatanan
sastrawan Jawa, yang sekaligus war- latar dan penokohan pun dekat sekali
tawan semacam Soebagijo I.N. dengan penataan tempat dan peno-
kohan pada tokoh-tokoh wayang.

392 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

Keadaannya berbeda dengan panglo- rus ada dan kehadirannya berkaitan
cita tentang latar dan tokoh pada fik- erat dengan perkembangan teori sas-
si pasca-tahun 1980-an karena pada tra dan sejarah sastra.
saat itu sastra Jawa modern banyak
mengadopsi situasi di sekitarnya, ya- Pada kenyataannya, panyaruwe
itu bentuk imaji dari sastra Indone- itu sudah dikenal oleh pengarang
sia. Jawa sejak sastra kerajaan. Sebagai
contoh, R. Ng. Ranggawarsita dike-
panyaruwe nal amat berani menulis panyaruwe
tentang perubahan tatanan masya-
Kata dasar istilah panyaruwe rakat, misalnya Serat Kalatidha,
ialah saruwe yang berarti “mencela, yang ditulis dengan gaya bahasa ter-
mencerca, atau menegur dengan ke- selubung dan diikat dalam bentuk
ras”. Dalam dunia sastra, istilah ini tembang.
sejajar dengan istilah kritik. Dalam
sejarahnya, istilah sejenis panyaru- Panyaruwe lebih hidup di ling-
we yang berasal dari Barat ini (kri- kungan masyarakat kecil karena sifat
tik) mengalami perkembangan pan- hubungan antaranggota masyarakat-
jang, yaitu menganalisis sebuah kar- nya lebih egaliter. Konsep alus dan
ya atau suatu situasi, dan selanjutnya rasa yang menjadi inti sari kelompok
menilai atau menghakimi (to judge) bangsawan itu tidak berlaku sepe-
suatu karya atau suatu situasi. Da- nuhnya di lingkungan masyarakat
lam bahasa Belanda disebut kritiek. kecil, apalagi bahasa komunikasi
Sebuah kritik yang baik harus men- antarmereka ialah cenderung ngoko.
cakupi kedua unsur itu, yaitu meng- Di masa pemerintahan Mataram da-
analisis untuk mendapatkan fakta. hulu rakyat menggunakan kritiknya
Setelah itu, menilai atau menghakimi. tidak secara verbal, tetapi dengan pe-
Dalam istilah yang diserap dari ba- pe di alun-alun depan siti hinggil.
hasa Yunani ini —kata bendanya kri-
tes: suatu hasil penghakiman: a jud- Ketika sastra Jawa diserahkan
ge; kata kerjanya krinein: mengha- kepada masyarakat, yaitu pada pas-
kimi: to judge—ter-kandung makna ca-Ranggawarsita, kritik secara ter-
memberi tanggapan dan penilaian buka atau secara verbal mulai mun-
terhadap suatu karya seni, termasuk cul. Dalam majalah Kedjawen—ya-
karya sastra. Panyaruwe atau kritik itu majalah berbahasa Jawa peme-
ialah salah satu kegiatan dalam ilmu rintah (1926)—sejak tahun 1938 me-
sastra yang harus ada karena karena miliki rubrik berjudul “Obrolanipun
tugasnya ialah membantu masyara- Petruk kaliyan Gareng”. Rubrik ini
kat membaca dan memahami sebuah sebenarnya berisi pandangan redaksi
karya secara objektif, agar dapat me- terhadap masalah-masalah khusus
ngetahui kelebihan dan kekurangan yang dihadapi negara. Namun, me-
karya tersebut. Dalam kesastraan lalui mulut para panakawan Panda-
mana pun, panyaruwe atau kritik ha- wa itu redaksi juga memanfaatkan
pandangan subjektifnya dengan mem-
berikan kritik kepada kebijakan pe-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 393

merintah yang dianggap tidak tepat. alus dan rasa yang masih kuat da-
Pada masa kolonial Belanda itu pula lam masyarakat Jawa, sehingga ta-
kritik terbuka disampaikan oleh van kut memberikan panyaruwe atau kri-
der Pant, seorang ahli bahasa Jawa. tik secara objektif yang mungkin ber-
Dari kritiknya terhadap bahasa Jawa akibat perpecahan hubungan antar-
yang dilihatnya semakin mundur itu, manusia terjadi. Seperti halnya bebe-
akhirnya didirikanlah Paheman Pa- rapa pengarang wanita Jawa yang
niti Basa. Lembaga di luar kerajaan berhenti menulis guritan dan cerpen
ini bertugas menata kembali bahasa karena pernah dikritik dengan keras.
Jawa standar agar menjadi pegangan Padahal, bila kritik-kritik itu diteri-
masyarakat. ma dan dilaksanakan, kualitas kar-
ya-karyanya akan semakin bagus.
Sastra Jawa modern tidak per-
nah menggunakan istilah panyaruwe Kritik sebenarnya memiliki be-
itu sebagai nama rubrik kritik, atau berapa jenis, Namun, secara garis
sebaliknya. Akan tetapi, ada istilah besar kritik itu dikelompokkan ke
lain yang sering digunakan, yaitu dalam 2 jenis, yaitu (1) kritik akade-
“tintingan” yang berarti ‘pilihan’. mis dan (2) kritik umum. Kritik jenis
Dalam majalah Crita Cekak pimpin- pertama adalah kritik yang dilaku-
an Soebagijo I.N. digunakan istilah kan oleh kalangan akademis, yang
“sorotan”. Pada intinya, masyarakat disebut “kritik akademis” (academic
sastra Jawa menghindari pengguna- criticism), dan kelompok kedua ada-
an istilah kritik secara eksplisit ka- lah kritik yang dilakukan oleh ma-
rena istilah tersebut dianggap berni- syarakat umum (general criticism).
lai absolut dan bermuatan arti peng- Kritik jenis pertama ialah kritik atau
hancuran bakat. Secara objektif, ma- penilaian yang bersifat objektif, se-
syarakat Jawa alergi kepada pernya- dangkan jenis kedua yang dilakukan
taan-pernyataan kritis secara terbu- oleh masyarakat umum itu lebih
ka, baik dengan menggunakan istilah subjektif.
sorotan, panyaruwe, tintingan, apa-
lagi istilah dari Barat kritik. Padahal, paraga
tradisi sastra modern ialah keterbu-
kaan dan objektivitas tanggapan. Sas- Istilah paraga itu bersinonim de-
tra seseorang yang diharapkan dapat ngan tokoh (bhs. Indonesia). Di da-
terbit itu mensinyalkan keberserahan lam istilah paraga terkandung watak
kepada pembaca, yang berarti kebe- atau perwatakannya yang membe-
ranian untuk diterima dengan baik, dakan satu tokoh dengan tokoh yang
atau ditolak oleh pembacanya. Ke- lain. Fungsi tokoh ialah untuk meng-
terbukaan sistem sastra Jawa itu ber- gerakkan cerita. Oleh karena itu, di
arti keberanian menerima berbagai dalam cerita biasanya terdapat 2 je-
masukan dan kritik. Kesadaran se- nis watak tokoh, yaitu tokoh baik dan
macam itu hingga sekarang masih tokoh buruk. Di dalam naskah san-
sulit sekali diterima karena konsep diwara atau drama, biasanya, 2 jenis
tokoh semacam itu harus ada karena

394 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

inti sebuah drama ialah konflik. De- yang buruk juga. Dalam cerita “Ba-
ngan demikian, dalam naskah drama wang Putih dan Bawang Merah” pun
selalu ada tokoh berwatak berkeba- deskripsi watak baik dan buruk di-
likan, yaitu tokoh yang berwatak gambarkan secara stereotipe. Dalam
baik disebut tokoh protagonis dan to- sastra modern pun masih sering di-
koh yang berwatak buruk disebut to- gunakan teknik penokohan tradisio-
koh antagonis. Di dalam teknik pe- nal yang bersifat hitam putih, bersi-
nempatan tokoh cerita, pada umum- fat stereotipe. Hal itu terlihat dari kri-
nya, ada 2 jenis tokoh yang harus teria watak tokoh yang selalu datar
ada, yaitu tokoh utama yang meme- (flat character), tidak pernah beru-
gang peranan utama (main charac- bah. Dalam novel Anteping Tekad
ter) dan berperan sebagai pusat atau (1975) karya Ag. Suharti, misalnya,
subjek cerita, atau yang menjadi pe- semua tokoh di dalamnya digambar-
laku sentral. Selain itu, juga terdapat kan berwatak baik, dari awal hingga
tokoh pembantu atau tokoh bawahan akhir cerita. Padahal, tokoh adalah
(peripheral character), yaitu tokoh gambaran watak manusia dan se-
yang membantu tokoh utama dalam baiknya digambarkan berdasar ha-
menjalankan cerita. kikat manusia hidup yang dinamis
dan berwatak bulat (round charac-
Jenis-jenis paraga atau tokoh da- ter), dengan berbagai kemungkinan
lam sastra tradisional sangat mudah watak dimiliki, di samping watak da-
dikenali karena perwatakan yang di- sar (bdk. Stanton, 1976:21; Fos-
bawakan tokoh diungkapkan secara ter,1971:51—71). Teknik penokoh-
langsung. Bahkan, dilengkapi de- an modern mendekatkan tokoh de-
ngan diskripsi tubuh. Tokoh berwa- ngan realita yaitu watah tokoh se-
tak jahat, misalnya, dijelaskan secara benarnya bulat (round character).
fisik dengan bentuk tubuh besar (se- Berkaitan dengan pengakuan bahwa
perti raksasa), atau rupa buruk, ca- watak manusia sebenarnya bulat itu,
cat tubuh, dan sebagainya, yang ber- teknik pengungkapan watak tidak
asosiasi dengan sesuatu yang buruk. lagi hanya diungkapkan secara ver-
Adapun tokoh baik digambarkan bal (direct speech), tetapi dengan ca-
secara fisikal juga, yaitu dengan tu- ra tidak langsung (indirect speech),
buh yang sempurna, kecantikan yang yaitu dengan membiarkan pembaca
sempurna, atau ketampanan yang mengamati sendiri watak tokoh-to-
sempurna pula. Misalnya, dalam to- koh ceritanya, misalnya dengan me-
koh wayang, keluarga Pandawa ngamati caranya berdialog dengan
yang dideskripsikan sebagai kelom- tokoh lain, komentar orang lain ter-
pok berwatak selalu baik, dilengkapi hadapnya, atau juga dengan menga-
dengan gambaran fisikal yang baik mati perilaku tokoh sehari-haridan
juga. Sebaliknya, tokoh-tokoh Kura- benda-benda di sekitarnya. Misal-
wa yang dideskripsikan sebagai ke- nya, seperti watak Ndara Sastro da-
lompok berwatak selalu buruk, di- lam kutipan novel Candhikala Ka-
lengkapi dengan gambaran fisikal

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 395

puranta (2003) karya Sugiarta Sri- Perilaku Ndara Sastra yang sa-
wibawa berikut. bar, seperti biasanya orang tua tidak
diungkapkan secara langsung oleh
.... pengarang, tetapi dengan pemba-
Bareng tontonan wayang wong yangan sikapnya yang tidak tergesa-
wis bubar, satemene Ndara Sas- gesa, penuh dengan pemikiran. Wa-
tra kepengin ketemu karo Asih, tak Ndara Sastra secara utuh juga
saperlu takon apa wis kepenak bukan datar, karena sedikit demi se-
awake sabubare lara. Nanging, dikit dibuka oleh pengarang bahwa
karepe mau dipenggak, supaya sebenarnya ia adalah orang tua yang
wong-wong Darma Utama ora tampak bijak dan suka menolong, te-
nyatur Asih sing ulihe ditemoni tapi ternyata ia juga seorang laki-laki
wong lanang ana njaban ge- yang punya pamrih menikahi Asih
dhong tontonan. Yen wong wis yang muda dengan alasan menghar-
nyatur, lumrahe perkarane dadi gai pekerjaan Asih sebagai sripang-
ngambra-ambra. gung (hlm. 151—153).
Anggone ora nemoni Asih iku
uga ndadekake pawadan yen paramengkawi
dina candhake arep tilik me-
nyang Patrajayan wae, lan api- Istilah paramengkawi dapat ber-
api ora ngerti yen Asih mentas arti pujangga atau ahli mengarang/
lara…. mencipta karangan. Istilah tersebut
(Candhikala Kapuranta, hlm.141) merupakan salah satu penanda dari
delapan penanda keahlian yang di-
.... miliki oleh seorang pujangga.
Ketika pertunjukan wayang su-
dah selesai, sebenarnya Ndara parikan
Sastra ingin menjumpai Asih,
ingin bertanya apakah badannya Kata parikan berasal dari kata
sudah merasa enak sehabis sakit. parik (mendapat akhiran an) yang
Tetapi, keinginannya itu dibatal- berarti lelarikan ‘baris yang berje-
kan, agar orang Darma Utama jer-jejer’. Kata parikan termasuk da-
tidak membicarakan Asih yang lam istilah yang tergolong kuna. Ka-
ketika pulang bersama dengan ta parikan berarti sesindenan utawa
seorang lelaki di luar gedung per- tetembungan ‘singiran atau nyanyi-
tunjukan. Jika orang sudah mem- an’ yang hanya terdiri atas dua baris
perbincangkan, biasanya jadi per- dengan purwakanthi guru swara
kara yang berkepanjangan. Ti- ‘asonansi bunyi’. Dalam pengertian
dak menjumpai Asih juga men- sastra Jawa yang dimaksud dengan
jadi alasan untuk menengoknya parikan adalah unen-unen mawa
di Patrajayan saja, dan pura-pu- paugeran telung warna ‘ungkapan
ra tidak tahu kalau Asih baru sa- dengan tiga macam aturan’. Ketiga
ja sembuh dari sakit.... macam aturan yang dimaksud, yaitu
(a) ungkapan yang berasal dari dua

396 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

kalimat yang susunannya menggu- calon guru kudu sabar (baris
nakan purwakanthi guru swara ‘aso- inti/isi)
nansi bunyi’. (b) setiap satu kalimat
terdiri atas dua baris, dan (c) kalimat ‘lebah madu menghisap bunga
pertama berupa gatra purwaka ‘ba- calon guru harus bersabar.’
ris pembuka’, sedangkan kalimat ke-
dua berupa gatra tebusan ‘kalimat Baris pembuka hanya berguna
isi atau inti’. Jadi, larik awal atau untuk menarik perhatian orang yang
larik sampiran lazim disebut gatra akan diberitahu atau diberi wejang-
purwaka; sedangkan larik akhir atau an. Maksudnya, supaya sebelum ka-
larik isi lazim disebut gatra tebusan. limat isi atau inti disampaikan, orang
Gatra tebusan berarti ‘baris-baris isi yang diberitahu sudah tertarik hati-
dalam parikan yang merupakan inti nya sehingga mau memperhatikan isi
wacana dan mengandung tema wa- yang baku (kaimat kedua) yang akan
cana’. disampaikan. Oleh karena memper-
Contoh: hatikan, pendengar dapat memahami
maksud kalimat isi.
Jam papat wis nyumet kompor
nyumet kompor masak sarapan Menurut jumlah suku kata, pa-
dadi pejabat ja dadi koruptor rikan dapat dibagi menjadi dua ma-
dadi koruptor golek suapan cam parikan yang satu barisnya ter-
diri atas 4 suku kata + 4 suku kata;
‘Jam empat sudah menghidup- dan parikan yang terdiri atas 4 suku
kan kompor kata + 8 suku kata.
menghidupkan kompor mema- (1) Parikan yang satu barisnya ter-
sak sarapan
pejabat jangan jadi koruptor diri atas 4 suku kata + 4 suku
jadi koruptor cari suapan.’ kata.
Iwak bandeng durung payu
Berdasarkan contoh parikan di priya nggantheng sugih ngelmu
atas terlihat bahwa wacana tersebut
mempunyai guru lagu yang berfung- ‘Ikan bandeng belum laku
si sebagai pemarkah spasial sekali- priya tampan kaya ilmu.’
gus berfungsi estetis. Dari contoh itu
dapat diketahui bahwa dua larik per- (2) Parikan yang terdiri atas 4 suku
tama termasuk dalam gatra purwa- kata + 8 suku kata
ka, sedangkan larik ketiga dan ke- Kembang adas sumebar te-
empat termasuk gatra tebusan atau ngahing alas
gatra isi. tuwas tiwas nglabuhi wong ora
waras
Berikut contoh parikan yang ter-
diri atas dua baris: ‘Bunga adas tersebar di tengah
hutan
tawon madu ngisep sekar (baris tak berguna melayani orang tak
pembuka) waras.’

Sega punar lawuh empal, segane
panganten anyar!!

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 397

dadi murid aja nakal, kudu ulah reka mengadakan penyamaran. Yu-
ati sabar dhistira menyamar sebagai brahma-
na dengan nama Sang Dwija Kang-
‘Nasi akas lauk empal, nasinya ka, Wrekodara menyamar sebagai
penganten baru juru masak sekaligus sebagai pen-
jadi murid jangan nakal, harus dekar benama Sang Ballawa, Arjuna
berhati sabar.’ menyamar sebagai orang banci yang
bertugas mengajar menari dan me-
parwa nyanyi, Nakula menyamar sebagai
penggembala kuda, Sadewa menya-
Parwa adalah prosa dalam ba- mar sebagai penggembala sapi,
hasa Jawa Kuna yang diadaptasi dari Drupadi menyamar sebagai pembuat
bagian epos-epos berbahasa Sans- minyak wangi, dan Kasai bernama
kreta dan menunjukkan ketergan- Sang Sairindri. Dalam dunia pewa-
tungannya dengan kutipan-kutipan yangan Jawa Wirataparwa mengil-
dari karya asli dalam bahasa Sans- hami ditulisnya lakon Jagal Abila-
kreta. Kutipan-kutipan yang dimak- wa.
sud tersebar di seluruh parwa itu.
Adapun karya-karya sastra Jawa Ku- Udjogaparwa berisi berbagai
no yang termasuk sastra parwa ada- macam cerita tentang para tokoh wa-
lah Adiparwa, Wirataparwa, Udjo- yang. Di dalam parwa tersebut juga
gaparwa, Bhismaparwa, Asrama- diceritakan situasi genting mendekati
wasanaparwa, Mosalaparwa, Pras- perang Baratayuda antara Pandha-
thanikaparwa, Swargarohanapar- wa dan Astina. Di samping itu, par-
wa, Uttarakanda, Brahmandapu- wa tersebut merupakan bagian ke-
rana, Agtyastyaparwa, dan Sabha- lima dari cerita Mahabarata. Dalam
parwa. dunia pewayangan Jawa, Udjoga-
parwa mengilhami ditulisnya lakon
Adiparwa berisi cerita tentang Kresna Gugah.
kelahiran tokoh pewayangan, ketika
tokoh-tokoh pewayangan itu masih Bhismaparwa menceritakan si-
muda. Dalam dunia pewayangan Ja- tuasi antara keluarga Pandawa dan
wa, Adiparwa mengilhami ditulisnya Astina ketika mulai memasuki pe-
lakon Dewi Lara Amis, Bale Sigala- rang Baratayuda. Di dalam parwa
gala, Matinya Arimba, Burung De- ini, terdapat beberapa petikan dari
wata, dan lain-lainnya. kitab Bhagawatgita.

Sabhaparwa mengisahkan ke- Asramawasanaparwa mence-
luarga Pandawa ketika bermain da- ritakan setelah perang Baratayuda
du. Parwa ini merupakan bagian ke- berakhir. Dhestarastra kemudian di-
dua dari cerita Mahabarata. angkat menjadi raja diAstina selama
lima belas tahun. Selama perang Ba-
Wirataparwa menceritakan ke- ratayuda berlangsung, Dhestarastra
tika para Pandawa mengabdi pada kehilangan semua putera dan keluar-
Raja Wirata selama dua belas tahun ganya. Oleh karena itu, agar Dhesta-
sebagai siasat untuk bersembunyi
dari musuh. Selama mengabdi, me-

398 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

rastra melupakan masalah itu, ke- Swargarohanaparwa mengisah-
luarga Pandawa mengangkatnya kan Prabu Yudhistira ketika berusa-
menjadi raja. Para Pandawa senan- ha menyelamatkan saudaranya dari
tiasa menyanjung-nyanjung Dhesta- hukuman neraka. Hukuman yang
rastra agar kenangannya pada anak menimpa para Pandawa itu terjadi
dan keluarga hilang. Namun, salah karena mereka telah mengkhianati
satu di antara Pandawa (Bima), me- Sang Drona, guru mereka, maupun
rasa tidak senang terhadap Dhesta- orang-orang lainnya. Di neraka, Yu-
rastra. Setiap saat, ketika para Pan- dhistira melihat banyak orang yang
dawa lainnya tidak ada, Bima selalu merintih dan mengerang kesakitan
mencaci Dhestarastra. Merasa risi akibat kena siksa. Yudhistira meli-
dengan caci-maki Bima, akhirnya hat, ternyata di antara orang yang
Dhestarastra meminta izin kepada merintih dan mengerang itu terdapat
Prabu Yudhistira untuk bertapa dan saudara-saudaranya. Melihat kenya-
tinggal di hutan. Kepergian Dhesta- taan pahit ini, ia menjadi sangat ma-
rastra diantar olehArya Widura, De- rah dan memrotes para dewa. Yu-
wi Gandari, dan Dewi Kunthi. Suatu dhistira menilai para dewa bertindak
saat, keluarga Pandawa mengun- tidak adil. Para dewa pun lalu men-
jungi pertapaan Dhestarastra. Sete- datanginya. Neraka itu kemudian di-
lah mendapat kunjungan itu, Dhes- ubah menjadi sorga. Swargarohana-
tarastra meninggal dunia. Asrama- parwa ialah bagian kedelapan belas
wasanaparwa merupakan bagian (bagian terakhir) dari cerita Maha-
kelimabelas dari cerita Mahabarata. barata.

Mosalaparwa mengisahkan ma- Uttakaranda bukan suatu versi
tinya para Wresni dan para Yadu, se- dari kedelapan belas cerita Mahaba-
buah kaum dalam negara Madura- rata, tetapi Uttakaranda sebenarnya
Dwarawati. Di samping itu, parwa merupakan bagian terakhir dari epos
ini juga menceritakan wafatnya Pra- Ramayana. Di dalam Uttakaranda
bu Baladewa dan Prabu Kresna. ini terkandung cerita tentang peri ke-
Mosalaparwa merupakan bagian hidupan Prabu Rama dan persete-
keenambelas dari cerita Mahaba- ruannnya dengan Dasamuka dari
rata. Alengka.

Prasthanikaparwa mencerita- Brahmandapurana merupakan
kan kepergian para keluarga Panda- antologi berbagai cerita, misalnya
wa untuk bertapa setelah mereka me- cerita Sang Romaharsana, ilmu ten-
nobatkan Parikesit menjadi raja di tang terjadinya dunia dan keadaan
Astina. Kepergian itu diantarkan oleh alam, riwayat para resi, dan Sang
Parikesit berserta dengan bala ten- Daksa mengadakan selamatan.
taranya sampai pada tempat tertentu.
Prasthanikaparwa merupakan ba- Agtyastyaparwa mengisahkan
gian ketujuhbelas cerita Mahaba- Dredhasyu bertanya kepada ayah-
rata. nya, Bagawan Agastya mengenai
berbagai masalah, misalnya apa

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 399

sebabnya manusia naik ke sorga atau Warigalit, Wariagung, Julungwa-
terjerumus ke dalam neraka, berba- ngi, Sungsang, Gaungan, Kuning-
gai macam kejahatan dan akibatnya, an, Langkir, Mandasiya, Julungpu-
dan sebagainya. jut, Pahang, Kuruwelut, Marakeh,
Tambir, Madhangkungan, Maktal,
pawukon Wuye, Manail, Prangbakat, Bala,
Wugu, Wayang, Kulawu, dan Dhu-
Istilah pawukon berasal dari kut.
kata wuku. Kata wuku mempunyai
tiga makna. Pertama, kata wuku ber- Adapun cerita terjadinya wuku
arti klentheng ‘isi kapas’, glintiran diawali dari kisah Prabu Watugu-
atau pringkilan yang berarti ‘buah nung di Kerajaan Gilingwesi beserta
zakar’. Kedua, kata wuku berarti ros- istri dan putranya. Prabu Watugu-
rosaning pring utawa penjalin/rotan nung beristrikan Dewi Sinta dan De-
‘mata bambu atau mata penjalin/ro- wi Landep. Dari perkawinannya itu,
tan’. Ketiga, kata wuku berarti wak- ia mempunyai 27 putra. Akan tetapi,
tu yang berdurasi tujuh hari. pada suatu ketika, Dewi Sinta me-
ngetahui bahwa Watugunung sebe-
Dari ketiga arti itu, dalam kaitan- narnya adalah putra kandungnya
nya dengan sastra Jawa, arti yang pa- sendiri, Dewi Sinta lalu berusaha
ling tepat adalah makna ketiga, yaitu membinasakannya. Watugunung di-
nama waktu. Selanjutnya, kata wuku suruh melamar bidadari di Kahya-
mendapat awalan pa dan akhiran an ngan. Sinta berharap agar Watugu-
(pa+wuku+an). Suku terakhir dari nung mati di dalam peperangan me-
kata wuku (u) bersandi dengan akhir- lawan para Dewa. Watugunung me-
an (an) berubah menjadi (o), akhir- nyanggupinya dan melamar bidadari
nya ditulis menjadi pawukon. Jadi, di surga. Watugunung mengajukan
istilah pawukon berarti ‘perhitungan beberapa teka-teki kepada Dewa
waktu berdasarkan nama wuku’. Per- Wisnu. Jika Dewa Wisnu tidak dapat
hitungannya adalah bahwa setiap menjawab, bidadari di Kayangan
wuku mempunyai waktu 7 hari lama- akan ia ambil sebagai istri. Sebalik-
nya. Misalnya, wuku Watugunung nya, jika Dewa Wisnu dapat menja-
bermasa 7 hari, wuku Sinta bermasa wab, Watugunung bersedia dihukum
7 hari, wuku Wukir bermasa 7 hari, mati. Ternyata, teka-teki dimenang-
dan seterusnya sampai wuku ke-30. kan oleh Dewa. Maka, Watugunung
Adapun jumlah kesemuanya ada 30 dibunuh oleh Wisnu. Kematian Wa-
nama yang terdiri atas 1 wuku yang tugunung ditangisi oleh Sinta, istri-
diambil dari nama suami (Watugu- nya, sekaligus ibu kandungnya. Para
nung), 2 wuku yang berasal dari na- Dewa sedih karena Kahyangan gem-
ma istri (Sinta dan Landep), dan 27 par akibat tangis Dewi Sinta. Watu-
nama wuku yang diambil dari nama gunung hendak dihidupkan lagi, teta-
anak. Ketiga puluh wuku tersebut, pi ia tidak mau karena telah merasa
yaitu Watugunung, Sinta, Landep, bahagia hidup di surga. Bahkan, Wa-
Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg,

400 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

tugunung menghendaki agar istri dan gedhe, tembang tengahan atau tem-
anaknya diajak ke surga bersama- bang dhagelan, dan tembang maca-
nya. pat atau tembang cilik. Semua tem-
bang mempunyai konvensi sendiri-
pedhotan sendiri sesuai dengan jenis dan me-
trumnya. Kaitannya dengan itu,
Istilah pedhotan berasal dari ka- pedhotan bisa berada di setiap tem-
ta pedhot yang berarti ‘ putus, peng- bang, baik tembang kawi, tembang
gal’ . Kata pedhot mendapat akhiran tengahan, maupun tembang cilik atau
an menjadi pedhotan. Istilah terse- tembang macapat. Hal itu terjadi ka-
but memiliki tiga arti, yaitu (1) se- rena pedhotan berkaitan dengan pen-
suatu yang telah putus atau diputus, dengar lagu. Selain itu, pedhotan ju-
(2) yang sudah kalah atau merasa ga berkaitan dengan unsur keindahan
kalah dalam pertarungan atau perke- tembang apabila didendangkan. Pe-
lahian, misalnya: jago pedhotan ‘ja- menggalan di dalam macapat meli-
go yang sudah kalah diadu’, dan (3) puti dua jenis, yaitu pedhotan ken-
berhentinya tarikan napas di setiap dho ‘pemenggalan longgar’ dan pe-
satu bait tembang. Kaitannya dengan dhotan kenceng ‘pemenggalan erat’.
sastra Jawa, istilah pedhotan menga- Pedhotan kendho, yaitu pemenggal-
cu pada arti ketiga, yakni istilah yang an pada akhir kata. Pedhotan ken-
terdapat pada tembang ‘lagu’. Jadi, ceng adalah pemenggalan yang tidak
dapat disimpulkan bahwa pedhotan terdapat pada akhir kata. Dalam me-
berarti pemenggalan irama sebagai nentukan letak pemenggalan dalam
pengatur napas dalam mendendang- macapat perlu memperhatikan jum-
kan tembang atau lagu. Dalam sastra lah suku kata pada tiap larik. Pola
Jawa, tembang dibagi tiga macam, pemenggalan macapat dapat dilihat
yaitu tembang kawi atau tembang dalam rumusan berikut ini.

No. Jumlah suku kata Pemenggalan atau penjedaan suku kata
dalam tiap larik
2.3 / 3.2
1. 5 2.4 / 4.2 / 3.3
3.4 / 4.3 / 2.3.2
2. 6 4.4 / 2.4.2 / 3.3.2 / 2.3.3 / 3.2.3
4.5 / 4.2.3 / 4.3.2
3. 7 4.6 / 4.2.4 / 4.4.2 / 4.3.3
4.4.3 / 3.4.4 / 4.3.4 / 4.2.3.2
4. 8 4.4.4 / 4.3.3.2 / 4.2.3.3 / 4.3.2.3

5. 9

6. 10

7. 11

8. 12

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 401

Berikut contoh pemenggalan gone ngucapake ‘tidak lazim mela-
longgar dalam tembang Sinom. falkannya’. Pegon juga diartikan se-
bagai teks yang ditulis dengan huruf
Sang Nata /malih/ ngandika (3.2.3) Arab tetapi bunyi/pelafalan maupun
sistem tulisannya mengikuti tulisan
mring Jaka/Sura /sang pekik (3.2.3) dalam bahasa Jawa (hanacaraka).
Oleh karena itu, aksara pegon me-
lah ta kaki / tampanana (4.4) miliki jumlah huruf sama seperti
huruf Jawa, yaitu dua puluh buah.
putraningsun / nini putri (4.4) Secara historis pegon berkaitan de-
ngan kebudayaan dan agama Islam.
nuli / gawanen / mulih (2.3.2) Ketika agama Islam telah menjadi
elemen yang utama dalam perabadan
marang / wismanira / jenu (2.4.2) Jawa, aksara Arab pun kemudian di-
adaptasikan dengan bahasa Jawa. Ji-
matur nuwun / Ki sura (4.3) ka pada awalnya aksara Arab hanya
dipergunakan sebagai media untuk
sandika / sarwi / wotsari (3.2.3) menulis teks-teks keagamaan Islam
dalam bahasa Arab, lama-kelamaan
gya pinondhong/sang retna/dhateng dimodifikasi dan diadaptasi serta di-
gunakan untuk menulis teks-teks Ja-
taratag (4.3.5) wa. Modifikasi itu, tulisan Arab-Ja-
wa, kemudian disebut pegon. Berikut
‘Sang Raja berkata lagi ini abjad pegon yang susunannya
kepada Jaka Sura si tampan dipadankan dengan abjad Jawa.
hendaklah Anda terima
anak perempuan saya
lalu bawalah pulang
ke rumahmu (desa) Jenu
terima kasih Ki Sura
bersedia serta menyembah
terus digendong sang retna
ke dengan berkedip.’

pegon

Pegon berasal dari bahasa Jawa
pego yang berarti ora lumrah ang-

No. Bunyi Jawa Pegon
1. Ha a ‫ھ‬
2. Na k ‫ن‬
3. Ca c ‫ﭲ‬
4. Ra r ‫ر‬
5. Ka k ‫ك‬
6. Da f ‫د‬
7. Ta t ‫ت‬
8. Sa s ‫س‬
9. Wa w ‫و‬
10. La l ‫ل‬

402 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

11. Pa p‫ﭫ‬
12. Dha d‫ڊ‬
13. Ja j‫ج‬
14. Ya y‫ي‬
15. Nya v‫پ‬
16, Ma m‫م‬
17. Ga g ‫ڬ‬.
18. Ba b‫ﺏ‬
19. Tha q ‫ط‬.
20. Nga z‫ڠ‬

Antara aksara Jawa dan aksara pengarang

pegon, tampak aksara pegon yang Istilah pengarang biasanya ditu-
berbentuk huruf Arab mempunyai jukan kepada penulis atau pengarang
sistem bunyi yang sama dengan ak- sastra pada masa pasca-kepujang-
sara Jawa. Akan tetapi, dari padanan gaan, khususnya setelah kepujang-
gaan Surakarta berakhir dan kreati-
aksara Arab dan pegon, terlihat bah- vitas diserahkan kepada rakyat
wa huruf pegon yang bunyi dan ben- umum. Mereka tidak terikat sama se-
tuknya sama dengan huruf Arab kali oleh sistem kepujanggaan kera-
jaan. Ki Padmasoesastra adalah bang-
dalam sistem tulisanArab jumlahnya sawan yang pertama kali menolak
hanya tiga belas, yaitu ba ( ), ta sistem kepujanggaan keraton, de-
(Ê ), jim ( Ì ), dal ( Ï ), ra ( Ñ ), sin ngan mengatakan bahwa dirinya
(Ó ), kaf ( ß ), lam ( á ), mim ( ã ), ialah wong mardika ‘orang merde-
nun ( ä ), wau ( æ ), alif/ha ( ), dan ka’. Jabatan pengarang dapat disan-
ya ( í ); sedangkan tujuh aksara dang siapa pun yang mampu menulis
pegon lainnya, yaitu ca ( ), pa sastra, baik jenis puisi, prosa, mau-
( ), dha ( ), nya ( ), ga ( ß. ), tha pun drama. Demikianlah, sebutan itu
( Ø. ), dan nga ( ). Ketujuh huruf dikenakan kepada para pengarang
Arab hasil modifikasi yang bentuk- modern, seperti R.B. Sulardi yang
nya mirip dengan huruf Arab, tetapi menulis novel Serat Riyanta (1920);
terdapat tanda titik diakritik dan bu- R.T. Jasawidagda yang antara lain
menulis Purasani (1923), Kirti Njun-
nyinya tidak dikenal dalam sistem tu- jung Drajat (1924), dan Pethi Wasi-
lisanArab disebut dengan hurufArab yat (1938); Sri Hadidjojo yang me-
rekaan. Ketujuh huruf Arab rekaan nulis novel Jodho kang Pinasthi
itu tampaknya diciptakan untuk me- (1952) dan Serat Gerilya Sala
(1957), dan sebagainya.
wakili bunyi-bunyi yang ada dalam
bahasa Jawa, karena tidak ada pa-
danan bunyinya dalam sistem tulisan
Arab.

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 403

pengutik rapa karyanya yang terbit dalam ba-
hasa Jawa biasanya dalam bentuk
Pengutik (pengrupak) adalah cerita pendek di majalah Jaya Baya
sejenis pisau kecil terbuat dari logam dan Panjebar Semangat. Beberapa
yang berujung runcing. Wujudnya cerita pendek karya Peni R. Swasti-
kurang lebih seperti pisau yang dipa- ka biasanya ditujukan untuk pemba-
kai oleh para pengukir kayu. Alat ini ca remaja, misalnya yang dimuat da-
digunakan untuk menulis teks yang lam rubrik Romansa majalah Jaya
alas naskahnya dari kulit daun lontar Baya. Ketekunannya menulis cerita
yang sudah menyerupai selembar pendek ternyata membuahkan hasil.
kayu. Sesudah itu kulitnya dioles de- Salah satu karyanya yang berjudul
ngan minyak kemiri ‘tingkih’ yang “Nalika Srengenge Angslup Mangu-
berwarna hitam yang meresap ke da- lon” termasuk karya yang dinomi-
lam goresan-goresan yang telah di- nasikan pada lomba penulisan cerita
buat oleh pengutik. Apabila kulit da- pendek yang diselenggarakan oleh
un lontar itu dibersihkan, cairan hi- Taman Budaya Yogyakarta tahun
tam tersebut tertinggal di dalam go- 1999, sehingga masuk dalamantologi
resan-goresan sehingga huruf-huruf berjudul Lion Tembang Prapatan.
tampil dengan jelas pada latar bela-
kang yang berwarna coklat muda. Peni R. Swastika mulai menulis
Lewat cara dan bentuk seperti itulah cerita pendek Indonesia sejak masih
naskah-naskah Jawa Kuna diawet- duduk di bangku SMA. Karya-kar-
kan di Bali. Semua naskah, kecuali yanya saat itu dimuat di majalah se-
sejumlah yang ditemukan di Jawa kolahnya. Kecintaannya pada sastra,
dan yang disalin di Bali (tetapi jum- di kemudian hari, memacu Peni R.
lahnya lebih sedikit), dibuat dengan Swastika belajar menulis dalam ba-
cara yang sama. Ada suatu perke- hasa Jawa. Kecintaannya itu sema-
cualian yang terlihat dalam naskah kin berkembang karena ayahnya,
Kuñjarakarna yang huruf-hurufnya Sudira, adalah seorang guru yang ju-
dicat pada kulit daun lontar dengan ga mencintai bahasa Jawa. Lewat
semacam tinta hitam. majalah yang biasa dibaca oleh ayah
dan ibunya ia kemudian belajar men-
peni r. swastika (1974— ) cintai sastra Jawa.

Peni R. Swastika lahir pada 10 Menurut pengakuannya, menu-
Desember 1974, di Surabaya, Jawa lis karya sastra dengan media bahasa
Timur. Ia menyelesaikan pendidikan Jawa merupakan sarana untuk me-
formalnya di IKIP Surabaya, Jurus- lestarikan dan menghayati kebuda-
an Bahasa Daerah, tahun 1997. Da- yaan Jawa. Menulis dengan bahasa
lam dunia sastra Jawa, pengarang Jawa, menurut pengarang yang ke-
muda ini sering memakai nama sa- mudian juga menjadi guru ini, adalah
maran Nikika. sebuah pengalaman yang menantang
dan perlu ditekuni. Sekarang ia ber-
Peni R. Swastika menulis dalam
bahasa Jawa dan Indonesia. Bebe-

404 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

tempat tinggal di Gayungan Pasar wan dan siap bertempur, tiba-
25, Surabaya. tiba kudanya lari tidak terkendali
sehingga Panembahan Senapati
pepali merasa malu dan hampir saja
mendapat kecelakaan. Pepali,
Istilah ini bersinonim dengan pe- wewaler atau pepacuh itu terma-
pacuh dan wewaler yang berarti ‘la- suk kelompok gugon tuhon ‘do-
rangan yang disampaikan oleh para ngeng atau wacana yang diang-
leluhur atau tetua agar anak cucu ti- gap mempunyai kekuatan terten-
dak melanggar (larangan) demi ke- tu’ dan dipercaya oleh masyara-
selamatan dan kebahagiaan hidup’. kat pendukungnya.
Para leluhur atau tetua mengeluar-
kan larangan itu karena mereka per- pepindhan
nah mengalami suatu kejadian yang
tidak mengenakkan akibat melaku- Pepindhan adalah kata-kata yang
kan perbuatan seperti yang dilarang- mengandung arti kesamaan, kemi-
kan itu. ripan, dan keserupaan. Bentuk kali-
Contoh: mat pepindhan dibagi dalam tiga ba-
1. Orang-orang Banyumas dila- gian, yaitu (1) pepindhan yang disu-
sun dengan menggunakan kata pin-
rang bepergian pada hari Sabtu dha atau sinonimnya, misalnya ka-
Pahing. Larangan tersebut dije- ya, lir, pendah, lir-pendah, yayah,
laskan bahwa Sang Adipati di anglir, sasat, prasasat, kadi, kadya,
Banyumas mendapat kecelakaan dan pangawak; (2) pepindhan yang
ketika bepergian pada hari Sabtu disusun dengan menggunakan tem-
Pahing. Oleh karena itu, Sang bung andhahan yang berarti pin-
Adipati Banyumas memberikan dha; dan (3) pepindhan yang disu-
pepali kepada anak cucu/semua sun dengan tanpa menggunakan pin-
keturunan Banyumas agar tidak dha atau tembung andhahan yang
bepergian pada hari tersebut. berarti pindha. Di dalam pepindhan
2. Keturunan Panembahan Sena- yang diutamakan adalah bentuk ka-
pati dilarang naik kuda bathilan limatnya. Adapun contoh pepindhan
‘kuda yang bulu di leher atau di sebagai berikut.
ekornya dipotong’ jika maju ke (a) Pepindhan yang disusun dengan
medan perang. Larangan terse-
but disampaikan kepada anak- menggunakan kata pindha atau
cucu berdasarkan pengalaman sinonimnya.
pahit yang menimpa Panem- 1. Kuwate manunggaling te-
bahan Senapati ketika berperang kade priyagung telu pindha ja-
dengan Arya Penangsang. Pada nget kinatelon.
waktu itu Panembahan Senapati ‘Kekuatan manunggal tiga orang
naik kuda bathilan yang berna- luhur bagai tali belulang yang di-
ma Gagakrimang. Ketika beliau rangkap tiga’.
sedang berhadapan dengan la-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 405

Maksudnya: Dokter Ciptama- 9. Endha mangiwa, endha
ngunkusuma, R.M. Suwardi Sur- manengen pindha prenjak tinaji
yaningrat, dan Dokter Douwes ‘Mengelak ke kiri, mengelak ke
Dekker/Setyabudi. kanan bagai burung prenjak
yang ditembak dengan tulup’.
2. Sumbare kaya bisa mu-
tungake wesi gligen 10. Tepunge kaya banyu karo
‘Kata-katanya bagaikan dapat lenga
mematah balokan besi’ ‘Hubungannya bagai air dengan
minyak’, maksudnya: hubung-
3. Lir sinabit talingane annya tidak dapat terjalin secara
‘Bagaikan disobek telinganya erat’.
(karena sangat marah)’
(b) Pepindhan yang disusun dengan
4. Swarane kaya mbelah-mbe- menggunakan kata andhahan
lahna bumi, sasat manengker yang berarti pindha
wiyat 1. Polahe ngaru-napung
‘Suaranya bagai mampu mem- ‘Tampak sangat ribut bagai
belah bumi, seperti menyigar orang yang sedang ngaru dan
langit’. sedang napung tanakan nasi”.
(ngaru: mengudak dan memer-
5. Panggalihe pepes, salirane ciki dengan air pada tanakan na-
lemes anglir linolosan beba- si yang masih setengah matang
lunge, yayah pejah tanpa kanin di pengaron; napung (napung-
‘Hatinya pupus harapan, badan- ake): membetulkan letak kukus-
nya lemas tubuhnya bagaikan di- an yang sudah berisi beras di
lolosi semua tulangnya, seperti dandang.)
mati tanpa luka’.
2. Parine lagi gumadhing
6. Sumengka pangawak braja ‘Padi yang berwarna putih agak
‘Naik bagaikan angin besar’, kekuning-kuningan bagai warna
maksudnya: menggapai keingin- emas’.
an yang bukan menjadi haknya;
terlalu berani menghadap raja 3. Para Pandhawa, kajaba Yu-
(tanpa diundang). dhistira, padha agelung mi-
nangkara
7. Pasemone Sang Dewi luruh ‘Para Pandawa, kecuali Yudhis-
kadi putri ing Banoncinawi tira, membentuk formasi bagai-
‘Wajah Sang Dewi luruh bagai kan badan udang yang dibeng-
Dewi Sumbadra’. kuk’.

8. Tandange cukat kadya ki- (c) Pepindhan yang disusun dengan
lat, kesit kadya thathit tanpa menggunakan pindha atau
‘Sepak terjangnya cepat bagai- kata andhahan yang berarti pin-
kan halilintar, cepat bagaikan ki- dha.
lat’

406 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

1. Wangsulane saur manuk jadi dua, yaitu (1) bahasa peprene-
‘Jawaban banyak orang tetapi san yang dipergunakan dalam ke-
tidak secara bersamaan’. hidupan sehari-hari; dan (2) bahasa
peprenesan di dalam tembang, ge-
2. Keris ing Jaman Majapait rong.
saprana, lumrahe tanpa kem- (1) Bahasa peprenesan yang di-
bang kacang lan lambe gajah
‘Keris di Zaman Majapahit, pergunakan dalam kehidupan
hiasannya pada bingkai keris ba- sehari-hari
gaikan bunga kacang dan bagai Jenis bahasa ini dipergunakan
bibir gajah’. dalam pembicaraan yang ber-
akhir pada “main-main jadi sung-
3. Gawe nam-naman menyan guhan”. Maksudnya, orang yang
kobar iku ora angel mengutarakan mempunyai mak-
‘Membuat anyaman bagai me- sud tertentu atas sesuatu yang
nyan terbakar (hitam putih) ti- diucapkannya itu. Namun, ucap-
dak sulit’. annya disampaikan dengan ma-
in-main agar tidak kentara.
4. Garasi iku akeh kang awa- Contoh:
ngun gedhang salirang 1. Yen (barangku) nedya kok-
‘Garasi itu banyak yang berben- tuku, aku ora olih; nanging yen
tuk bagaikan pisang sesisir’. kok jaluk malah dakwenehake
kabeh
peprenesan ‘Barang milikku (alat kelamin)
tidak boleh kau beli, tetapi jika
Peprenesan adalah gabungan kau minta akan kuberikan se-
kata atau ungkapan yang dibuat-buat, mua’.
biasanya mengandung makna untuk
menarik perhatian. Orang yang me- 2. Dodolane rokok larang,
nyampaikan peprenesan itu bermak- nanging meksa dakserang/dak-
sud mengambil hati orang yang se- tuku, wong sing dodol ora kalah
dang berada di dekatnya. Maksud- aksi karo Rara Mendut
nya, orang di sekitar pembicara itu ‘Rokok jualanannya mahal teta-
diharapkan dapat tumbuh rasa cinta pi terpaksa saya beli juga karena
kepada orang yang menyampaikan yang berjualan tidak kalah pe-
peprenesan itu. Bahasa peprenesan nampilannya dengan Rara Men-
dapat digolongkan sebagai bahasa dut’.
cremedan/lekoh ‘pornografi’. Orang
yang halus budinya segan menggu- Kadang-kadang tindakan main-
nakan bahasa seperti itu. Bahasa pe- main tersebut dapat mencapai
prenesan sering dipakai dalam tem- tujuan jika yang dituju memang
bang atau lagu-lagu yang diiringi oleh tertarik hatinya kepada orang
gamelan, khususnya dalam umpak- yang berucap itu. Namun, ka-
umpak dan senggakan. Bahasa pe- dang-kadang dapat juga terjadi
prenesan dapat dikelompokkan men-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 407

orang yang berucap itu akan Perubahan-perubahan semacam itu
mendapat makian dan diperma- dilakukan oleh pionir-pionir. Dalam
lukan oleh orang yang dituju. sastra Jawa modern tercatat bebe-
rapa orang pionir. Pertama ialah pem-
(2) Bahasa peprenesan di dalam tem- buka jalan ke arah sastra Jawa mo-
bang/gerong dern, ialah Padmasoesastra. Ia se-
Bahasa peprenesan jenis ini se- orang tokoh sastra Jawa dari kalang-
ring dipergunakan untuk seng- an bangsawan yang hidup pada pe-
gakan ‘penyela’ suatu tembang riode transisi, atau periode peralihan
tertentu. abad ke-19, awal abad ke-20. Dengan
Contoh: pandangan-pandangannya yang ba-
1. Ora susah kokliwetke, waton ru (karena pergaulannya yang luas
alus gelungane; ya Ndhuk dengan para ahli bahasa bangsa Be-
‘Tidak usah kaumasakkan, asal landa), ia berani keluar dari tradisi
halus sanggulmu/berdandan rapi’ sastra kerajaan, yang pada waktu itu
sudah tidak memiliki pujangga lagi.
2. Nyangking ember kiwa te- Ia menyebut dirinya sebagai wong
ngen mardika kang marsudi sastra Jawa
Lungguh jejer tamba kangen ‘orang merdeka/bebas yang mengem-
‘Menenteng ember kanan-kiri bangkan sastra Jawa’. Di tangan dia-
Duduk bersanding penghilang lah sastra gancaran (naratif) mulai
rindu’ dikembangkan. Karya Fiksinya yang
berjudul Serat Rangsang Tuban (ter-
pionir bit 1912) merupakan karya fiksinya
yang monumental, yang tidak hanya
Istilah ini bukan istilah asli Jawa, tampak dari teknik penulisan, tetapi
tetapi berasal dari sastra Barat (pio- juga pada perkembangan visi tentang
neer) yang digunakan untuk menye- perempuan. Kedua, ialah pengarang
butkan seseorang yang mengawali dari Surakarta, R.B. Soelardi, yang
sesuatu pembaruan, atau seseorang dengan novelnya Serat Riyanta
yang berdiri di garda depan dalam (1920) dinilai memperbarui tradisi
mengawali kebangkitan suatu perio- penulisan fiksi Jawa sebelumnya. Se-
de baru, suatu isme/aliran, atau suatu rat Riyanta ialah fiksinya yang per-
konvensi baru. Dengan demikian, se- tama yang bersifat padat, diawali de-
orang pionir pasti memiliki wawasan ngan konflik, dan berakhir dengan
lebih jauh dari lingkungan atau tra- surprise ending, yaitu memenang-
disi di sekitarnya. Sastra Jawa tidak kan cita-cita anak muda dalam pemi-
memiliki istilah khusus untuk menye- lihan jodoh. Melalui novelnya terse-
but secara tepat tokoh semacam itu. but, ia dapat disebut sebagai pionir
sastra Jawa modern. Selanjutnya,
Setiap jenis kesusastraan yang masih ada sejumlah pionir sastra Ja-
memiliki sistem terbuka bersifat di- wa modern, antara lain ialah R.T. Ja-
namis, misalnya sastra Jawa modern,
dimungkinkan terjadi perkembang-
an-perkembangan yang signifikan.

408 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

sawidagda yang melalui novel-no- mendapat peringatan. Di Indonesia,
velnya ia melakukan pergeseran bu- sejak kemerdekaan masalah plagiat
daya priayi, R. Intojo menawarkan mulai diketahui, beriringan dengan
pembaruan puisi Jawa dengan sone- bangkitnya kritik. Dalam sastra Jawa
ta, dan S.T. Iesmaniasita yang de- pun sebenarnya amat banyak karya
ngan berani telah mengawali lirik- plagiat, atau jiplakan, baik pada kar-
lirik bebas dalam perpuisian Jawa ya puisi maupun fiksi. Dalam anto-
modern. logi Anak Lanang (Kumpulan gegu-
ritan, cerkak, novelet) karya Bu Ti-
plagiat tis (1993) terdapat beberapa guritan
terjemahan atau saduran yang diakui
Istilah ini serapan dari bahasa sebagai karyanya sendiri, misalnya
Inggris plagiarism, yang artinya ialah guritan yang berjudul “Pangajab”
pemakaian karya seseorang (baik (dari “Surat dari Ibu” karya Asrul Sa-
sebagian atau banyak) tanpa sepe- ni), “Nangis” (saduran dari “Kerin-
ngetahuan atau seizin pemiliknya, duan” karya Soebagio Sastrowardo-
atau pengakuan gagasan atau pikir- jo), “Rendez Vous” (dari “Rendez
an orang lain yang dengan sengaja Vous” karya Hartojo Andangdjaja,
tidak menyertakan atau menyebut- dan guritan “Dhukita” (dari “Duka
kan sumbernya. Dengan kata lain, Cita” karya Kuntowijoyo). Berikut
plagiat dapat disebut dengan pencu- ini puisi “Rendez Vous” karya Har-
rian (dengan sengaja atau tidak) pi- tojoAndangdjaja yang diaku Bu Titis
kiran, atau gagasan orang lain. Se- sebagai guritannya, yaitu “Rendez
buah karya disebut plagiat, artinya Vous” juga. Berikut ini karya “Ren-
naskah itu hasil curian atau jiplakan dez Vous” karya HartojoAndangdja-
dari naskah orang lain, dan ada ka- ja dan “Rendez Vous” karya Bu Titis.
lanya diakukan sebagai karya sen-
diri. Adapun orang yang melakukan RENDEZ VOUS
kegiatan seperti itu disebut plagiator (Hartoyo Andangdjaja)
(plagiarist). Dalam sastra tradisi
yang kelisanannya kuat, kegiatan tu- Dalam sajak ditulis segala rindu
run-menurun atau jiplak-menjiplak dalam sajak bertatapan engkau
sangat tinggi karena hampir semua dan aku
karya tidak ada identitas pemiliknya dalam sajak kita bertemu
(anonim). Namun, ketika realisme dalam sajak kita adalah satu
dan industrialisme bangkit, maka sas-
tra mulai dicetak dan untuk itu dibu- karena sajak melambaikan ha-
tuhkan objektivitas. Individualisme rapan-harapan baru
pun muncul dan setiap karya indivi- karena sajak adalah kaki langit
du ditandai dengan nama pengarang- yang memanggil
nya. Hak cipta mulai mendapat per-
hatian sehingga jiplak-menjiplak atau sekali
pungut-memungut tanpa izin mulai karena sajak adalah dunia di mana
kasih kita

bertemu

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 409

karena sajak adalah kita punya ku kata; lima suku kata menjadi em-
rendez vous pat suku kata.

RENDEZ VUOZ Dalam sastra Jawa, penggabung-
(Bu Titis) an kata berkaitan dengan penulisan
tembang. Plutan dilakukan untuk
Sajroning gurit daksungging mengejar jumlah suku kata dalam se-
rasa kangenku tiap lariknya. Dengan cara tersebut,
sajroning gurit tempuk netramu seorang pengarang dipermudah ke-
lan netraku tika menyusun tembang, khususnya
sajroning gurit kita ketemu dalam hal menambah atau mengu-
sajroning gurit dakpuji asmamu rangi jumlah suku kata di setiap la-
riknya.
Marga gurit munjung pangarep-
arep anyar pocung
marga gurit langit biru neng-
semake Pocung adalah salah satu atau
maraga gurit jumeguring alun bagian dari tembang macapat. Selain
kang ngawe-awe itu, kata pocung sendiri adalah nama
marga gurit papan kita Rendez biji kepayang (pegium edule). Da-
vous. lam Serat Purwaukara, pocung di-
beri arti kudhuping gegodhongan
plutan ‘kuncup dedaunan yang biasa tam-
pak segar’. Ucapan cung dalam po-
Di dalam sastra Jawa terdapat cung cenderung mengacu pada hal-
istilah plutan. Istilah plutan berasal hal yag bersifat lucu, yang menim-
dari kata pluta yang berarti ‘ragkap’. bulkan kesegaran, misalnya kuncung
Kata dipluta ’dirangkap’, maksud- dan kacung. Tembang pocung biasa
nya adalah bahwa yang dirangkap digunakan dalam suasana santai. Wa-
adalah suku katanya. Penggabungan tak tembang pocung adalah santai,
itu dapat berupa kata yang terdiri atas enak, dan seenaknya. Di dalam men-
dua suku kata menjadi satu suku ka- cipta sebuah tembang macapat, pe-
ta, misalnya Weruh menjadi wruh; sa- ngarag biasanya memberi nama tem-
ri menjadi sri; serat menjadi srat; da- bangnya dengan cara memberi sas-
rana menjadi drana; gumerit men- mita ‘isyarat’, baik di awal pupuh
jadi gerit; telulikur menjadi tlulikur; tembang maupun di akhir pupuh se-
sinarawedi menjadi snarawedi. Dari belumnya. Berkaitan dengan itu, sas-
cotoh-contoh tersebut, dapat diketa- mita tembang pocung biasanya meng-
hui bahwa kata yang dipluta itu tidak gunakan kata pocung, cung, wohing
hanya berasal dari dua suku kata kaluwuk, mocung. Selanjutnnya, ber-
menjadi satu suku kata saja, tetapi da- dasarkan aturan metrumnya, pocung
pat juga berasal dari tiga suku kata termasuk tembang macapat yang
dipluta menjadi dua suku kata; em- jumlah barisnya sedikit. Tembang
pat suku kata dipluta menjadi tiga su- pocung terdiri atas empat larik yang

410 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

guru wilangan dan guru lagunya me- tingnya mengubah orientasi masya-
liputi baris pertama (12/u), baris ke- rakat dari cara berpikir tradisional
dua (6/a), baris ketiga (8/i), dan baris yang tidak rasional menjadi cara ber-
keempat (12/a) seperti contoh beri- pikir yang rasional-objektif. Dongeng
kut. Cariyosipun Tiyang Sepuh merupa-
kan karyanya yang pertama dan di-
Durung pecus kasusu kaselak terbitkan oleh Land Drukkerij, Ba-
besus, tavia. Cerita ini dimaksudkan seba-
yen maknani rapal, gai bacaan yang tidak melupakan as-
kaya sayid weton mesir, pek tradisional. Mas Poedjaardja ber-
pendhak-pendhak angendhak pandangan bahwa sastra modern be-
guaning janma. lum sepenuhnya diterima oleh masya-
rakat sehingga perlu disajikan peng-
‘Belum tamat sudah merasa pin- gabungan antara unsur tradisional
tar dan modern. Cerita ini menampilkan
jika mengartikan doa riwayat perjalanan Mangkoenegara
seperti tuan dari Mesir di Surakarta. Cerita ini cenderung
kadang-kadang merendahkan mengangkat pentingnya seseorang
orang lain.’ meyakini takdir, seperti dalam fiksi-
nya Cariyos ingkang Kasawaban
poedjaardja ing Nama (1911) yang diterbitkan
oleh H.A. Benyamin, Semarang. Ce-
Dalam barisan pengarang sastra rita ini mengangkat nasib seseorang
Jawa nama Mas Poedjaardja sejajar yang ditentukan oleh makna kata pa-
dengan pengarang Wirjaatmadja dan da namanya.
Soetardja. Bahkan, Mas Poedjaardja
termasuk penulis paling produktif di Pada tahun 1913 Mas Poedjaar-
antara penulis Jawa pada awal abad dja menerbitkan beberapa buku ce-
ke-20. Mas Poedjaardja menulis pa- rita, yakni Dongeng Empol-Empil
da tahun 1910 hingga 1913. Hingga (Papirus, Batavia), Cariyos Tilarso
saat ini, tidak dapat diketahui dengan (Kanjeng Gupermen, Batavia), Se-
pasti latar belakang keluarga, pendi- rat Nitikarsa dan Serat Nitileksana
dikan, dan kepengarangan Mas Poe- (Commissi voor de Volkslectuur, Ba-
djaardja. Hanya dapat diduga penu- tavia), dan Dongeng Sarimulya (Pa-
lis cerita Serat Nitikarsa dan Serat pirus, Batavia). Dongeng Empol-
Nitileksana (1913) yang diterbitkan Empil menampilkan kisah dua orang
oleh Commissie Voor de Volkslec- wanita yang masih memiliki hubung-
tuur ini berasal dari Surakarta, Jawa an saudara dengan sifat dan nasib
Tengah. yang berbeda-beda. Saudara sulung
Empol memiliki watak tekun bekerja
Pada umumnya, karya-karya dan hemat. Dari ketekunan dan kehe-
Mas Poedjaardja berupa cerita didak- matannya Empol memiliki nasib yang
tik yang dimaksudkan sebagai media cukup baik, berhasil dalam berda-
penyampaian nilai-nilai budi pekerti
kepada pembaca. Mas Poedjaardja
banyak mengangkat persoalan pen-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 411

gang dan mendapatkan rezeki besar Berdasarkan beberapa karyanya
tanpa diduga. Sementara itu, Empil dapat diketahui bahwa Mas Poedja-
tumbuh menjadi perempuan yang sa- ardja termasuk salah satu pengarang
ngat kikir, bahkan enggan mengeluar- Jawa yang produktif pada masa awal
kan biaya untuk memperingati kema- masuknya pengaruh modern dalam
tian ibunya. Empil menaruh rasa iri kehidupan masyarakat Jawa atau
ketika Empol mendapat rezeki besar pribumi. Oleh sebab itu, Mas Poe-
berkat bantuan nenek-nenek tua se- djaardja sangat mencela cara berpi-
cara misterius. Akhirnya, Empil ber- kir mistis yang hanya didasarkan pa-
upaya mendapatkan kekayaan seper- da keyakinan yang bersifat gugon
ti yang didapat oleh kakaknya, tetapi tuhon. Ia sangat kuat mendorong ma-
justru mendapatkan celaka. syarakat untuk berpikir secara rea-
listik-objektif. Dalam menjalani hi-
Dalam Cariyos Tilarsa, Mas dup modern, ia menyebutkan bahwa
Poedjaardja mengangkat kisah kehi- tidak ada sarat setan belang lagi,
dupan dunia pesantren. Dari kisah melainkan harus diupayakan dengan
tersebut, pengarang bermaksud un- nyambut gawe ‘bekerja’. Dikatakan
tuk mendidik pembaca bahwa dalam lebih lanjut bahwa cara berpikir ma-
hidup dibutuhkan keseimbangan an- gis atau gugon tuhon itu hanya akan
tara kebutuhan rohani (lewat pela- menghabiskan banyak energi tanpa
jaran agama) dan kebutuhan materi menghasilkan sesuatu yang positif.
atau harta sebagai bekal hidup. Te-
ma itu diekspresikan dalam pilihan poer adhie prawoto (1950—
hidup dua saudara yakni Tilarsa dan 2001)
Sudarsa. Sementara itu, Serat Niti-
karsa mengangkat persoalan pen- Nama asli Poer Adhie Prawoto
tingnya seseorang untuk mengikuti adalah Poerwanto. Namun, nama
cara-cara berpikir realistik-objektif Poerwanto kemudian sering dising-
dan meninggalkan cara-cara berpikir kat Poer dan nama Adhie Prawoto
mistis atau gugon tuhon. Cara ber- yang ditambahkan di belakangnya
pikir realistik itu sejalan dengan bu- adalah nama ayahnya (seorangAsis-
daya modern yang berasal dari Ba- ten Perhutani KPH Blora, kini sudah
rat. Persoalan seperti itu lebih dite- almarhum, dan ibunya bernama Mur-
kankan lagi dalam karya Mas Poe- tini). Poer Adhie Prawoto lahir di Le-
djaardja berjudul Serat Nitileksana. dok, Pojokwatu, Sambong, Blora,
Melalui tokoh seorang ‘guru’ ilmu ke- tanggal 7 Maret 1950. Pendidikan SD
batinan bernama Ki Nitileksana. Di diselesaikan tahun 1961 di Sambong;
situ pengarang menolak keras cara SMP tahun 1964 di Cepu; dan SGA
berpikir mistis, yakni kepercayaan (SPG) tahun 1968 di Blora. Setelah
yang sangat kuat terhadap benda- lulus ia menjadi guru di SD Ledok I,
benda tertentu yang memiliki kekuat- Sambong, Blora. Selain itu, pernah
an magis. pula mengajar di Cepu. Selain aktif

412 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

mengajar, ia juga aktif membina pra- Jawa. Akhirnya gelar Sarjana Sastra
muka. (Jawa) diperoleh tahun 2000.

Untuk menambah pengetahuan- Seperti telah disebutkan bahwa
nya, Poer Adhie Prawoto masuk ke Poer Adhie Prawoto mulai menulis
PGSLP (Jurusan Bahasa Indonesia) sastra Indonesia sejak tahun 1969.
di Kudus, selesai tahun 1969. Seta- Tulisan-tulisan berbahasa Indonesia
mat dari PGLP (1969) ia mulai mem- itu sering muncul di majalah, surat
baca dan menulisan karya sastra, ter- kabar, dan tabloid seperti Srikandi,
utama sastra Indonesia, dan sejak ta- Simponi, Intisari, Swadesi, Kom-
hun 1972 ia mulai menulis sastra Ja- pas, dan Sinar Harapan. Sementara
wa, di samping aktif menekuni pe- itu, ia menulis sastra Jawa sejak ta-
kerjaan pokoknya sebagai guru SD. hun 1972 setelah ia bertemu dengan
Pada tahun 1975, Poer Adhie Pra- NgalimuAnna Salim. Bersama Nga-
woto menikah dengan seorang gadis limu Ana Salim itu pula ia mendiri-
bernama Niek Sutarni, seorang pe- kan Grup Diskusi Sastra Blora
gawai Asuransi Jiwa Bumiputera (GDSB). Di dalam grup tersebut ia
1912. Dari pernikahan itu ia dika- dan Ngalimu Anna Salim menghim-
runiai dua orang anak laki-laki. Pada pun sejumlah pemerhati budaya dan
tahun 1980-an ia bersama keluarga sastra Indonesia dan daerah, yang
pindah ke Surakarta karena ia dimu- berdomisili di daerah pantura (pantai
tasi ke SD Gondhangrejo, Karang- utara, baik Jawa Tengah maupun Ja-
anyar, Jawa Tengah. wa Timur, untuk aktif dalam berba-
gai kegiatan sastra dan budaya. Pada
Poer Adhie merupakan sosok pe- saat itu, anggota kelompok GDSB
ngarang yang senang belajar. Selain antara lain J.F.X. Hoery, Suripan Sa-
aktif menulis guritan (sejak 1972), di Hutomo, Sri Setya Rahayu, St.
cerkak (sejak 1973), dan kritik/esai Iesmaniasita, Sukarman Sastrodiwir-
(sejak 1975), baik berbahasa Jawa ya, T. Susila Utama, Anjrah Lelono
maupun berbahasa Indonesia, ia ju- Brata, Jayus Pete, M.Tajib Nuryan-
ga aktif terlibat dalam berbagai per- to, Ardian Syamsudin, dan Ruswar-
temuan sastra dan budaya. Bahkan, diyatmo.
untuk memperdalam pengetahuan
dan wawasannya, pada awal 1990- Keberadaan Poer Adhie Prawoto
an ia masuk ke FKSS Jurusan Ba- sebagai pengarang sastra Jawa mu-
hasa dan Sastra Indonesia IKIP Bo- lai tampak sekitar tahun 1975 ketika
jonegoro, Jawa Timur. Namun, ka- Suripan Sadi Hutomo dalam Jaya
rena sulitnya mengatur waktu antara Baya edisi 23 Februari 1975 mem-
kerja dan kuliah, ia tidak dapat me- bahas guritan karya Poer Adhie Pra-
lanjutkan kuliahnya. Barulah pada woto dengan judul “Nyemak Guri-
pertengahan 1990-an, ia aktif kuliah tane Poer Adhie Prawoto”. Dalam
di IKIP Sukoharjo (sekarang Univer- pembicaraan tersebut Hutomo me-
sitas Bangun Nusantara). Di univer- nyebut-nyebut Poer Adhie Prawoto
sitas inilah ia memperdalam sastra sebagai penggurit berbakat dari Grup

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 413

Diskusi Sastra Blora. Menurut Hu- buru dipanggil Tuhan pada 26 Ja-
tomo, Poer Adhie Prawoto termasuk nuari 2001.
penggurit berbakat yang relatif ma-
sih muda karena baru menulis gu- poerbatjaraka (1884—1964)
ritan tahun 1972 melalui majalah
Djaka Lodhang, No. 74, Th. II, No- Poerbatjaraka, lengkapnya R.
vember 1972. Guritan karyanya itu Ng. Poerbatjaraka, lahir di Surakar-
berjudul “Winadi”, “Cathetan”, dan ta, pada 1 Januari 1884 (nama kecil-
“Sketsa-sketsa”. Pada tahun yang sa- nya Lesiya). Ia adalah putra kedua
ma ia juga mempublikasikan guritan- seorang birokrat di Surakarta. Ayah-
nya melalui majalah Jaya Baya, No. nya bernama R.M.T. Poerbadipoera,
2, Th. XXVIII, 11 Februari 1972, ya- Bupati Anom Kasunanan Surakarta
itu “Godhong-godhong Garing”, Adiningrat. Kebetulan sang ayah de-
“Dhuhkita”, “Apa”, dan “Gerimis”. kat dengan Pakoe Boewana X. Pada
waktu kecil, Lesiya sering diminta
Dengan selalu mengasah diri se- untuk menjaga dan menemani seko-
cara aktif lewat berbagai forum se- lah putra Pakoe Boewana X. Mak-
minar dan diskusi, Poer Adhie Pra- sudnya, agar putra PB X tidak di-
woto akhirnya mampu meningkat- ganggu oleh teman-temannya. Kare-
kan pengetahuan dan wawasannya na itu, ia bisa mendengarkan pelajar-
sehingga ia sering diundang untuk an di sekolah meskipun tidak resmi
memberikan ceramah atau menjadi tercatat sebagai murid.
pemakalah di berbagai pertemuan
sastra, bahkan juga menjadi tutor di Secara formal Lesiya belajar di
Kongres Bahasa Jawa I (1990) di Se- HIS di Surakarta. Ia bisa masuk HIS
marang. Dan sebagai pengarang berkat putra PB X. Akan tetapi, keti-
sastra Jawa, ia telah pula menerima ka akan menempuh ujian akhir, ia di-
beberapa penghargaan dalam berba- keluarkan dari sekolah dengan alas-
gai lomba, di antara lomba menulis an usianya terlalu tua. Lesiya dike-
guritan (1975, 1979, 1980), lomba luarkan dari sekolah karena Belanda
menulis esai (1975, 1977), bahkan khawatir kalau ia lulus nanti akan me-
juga lomba membaca guritan. Se- lanjutkan sekolah yang lebih tinggi
mentara itu, buku-buku antologi esai (HBS). Meski demikian, Lesiya ti-
yang telah ia himpun, antara lain, Kri- dak putus asa. Ia belajar di rumah ka-
tik Esai Kesusastraan Jawa Modern rena ayahnya menyimpan buku-buku
(Angkasa, Bandung, 1989), Keter- bahasa (dan sastra) Jawa. Untuk
libatan Sosial Sastra Jawa Modern menghibur diri, semua buku itu di-
(Tri Tunggal Tata Fajar, Sala, 1991), baca. Jika mengalami kesulitan, ia
dan Wawasan Sastra Jawa Modern bertanya kepada ibunya (Mas Ajeng
(Angkasa, Bandung, 1993). Hanya Semu). Karena itu, tekadnya belajar
sayang sekali, pengarang yang tetap bahasa Jawa dan Sanskerta semakin
mengajar di kelas 1 dan 2 SD itu ke- kuat. Maka, pada tahun 1911, ia per-
gi ke Betawi untuk belajar bahasa
Jawa kepda Prof. H.J. Krom. Na-

414 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

mun sayang, belum lama belajar, nilai tertinggi sehingga gelar doktor
Krom cuti ke Belanda. Meskipun be- segera diperolehnya. Ia merupakan
lum lengkap, ia sudah menguasai orang kedua (pertama Hoesein Dja-
materi dengan baik. Untuk meleng- jadiningrat) yang mendapat gelar
kapi pengetahuan dan keterampilan- doktor sastra dari Universitas Lei-
nya, ia belajar sendiri. Berkat kete- den. Sepulang dari Leiden, ia kem-
rampilan itulah, oleh PB X ia diberi bali ke Surakarta ingin menjadi di-
pekerjaan di museum (di Surakarta). rektur AMS. Niat untuk menjadi di-
rektur AMS tidak tercapai karena
Perkenalannya dengan Prof. Ha- dikhawatirkan akan mengalahkan
zeu di Surakarta menyebabkan Poer- sarjana Belanda. Maka, ia kembali di-
batjaraka dipindah ke Betawi. Ia di- pekerjakan di museum. Pekerjaan ini
tarik ke Batavia karena dipandang ditekuni sampai akhir hayatnya.
menguasai bahasa dan sastra Jawa
kuna. Tentu saja, ia tidak menolak Karier kesenimanan Poerbatja-
dengan harapan bisa mendalami ba- raka diawali ketika ia menjadi abdi
hasa dan sastra Jawa kuna. Oleh Ha- dalem yang bertugas sebagai niyaga
zeu ia dipekerjakan di Museum Be- atau pengrawit ‘penabuh gamelan’.
tawi. Dasar cerdas, sebentar saja ia Karena keterampilannya berolah
bisa menguasai pekerjaan dengan gendhing, ia diangkat menjadi lurah
baik sehingga para sarjana Belanda niyaga ‘kepala penabuh gamelan’
kagum kepadanya. Masalah-masa- dan diberi gelar dan nama Raden Lu-
lah yang tidak diketahui sarjana Be- rah Atmapradangga. Gelar ini tidak
landa dapat diselesaikan dengan baik disandang terlalu lama karena ia di-
olehnya. Karena itu, oleh Prof. Krom pindah menjadi mandhor dalan ‘pe-
dan Dr. P. van Stein Callenfles, ia gawai urusan jalan’ yang bertugas
diajak meneliti prasasti-prasasti mengawasi orang-orang yang me-
candi dan warisan-warisan budaya nebang pohon di pinggir jalan. Ia
lainnya. mendapat pangkat Mantri Anom dan
namanya berubah menjadi Poerba-
Di tempat kerja yang baru Poer- tjaraka. Namun, ia merasa tidak co-
batjaraka dapat menyerap berbagai cok dengan pekerjaan barunya seba-
macam pengetahuan seperti relief- gai mandhor dalan sehingga ingin
relief, candi-candi, sastra, budaya, se- segera pindah.
ni, dan sejenisnya. Itulah sebabnya,
atas prakarsa Yayasan Kern, selama Pada awal kemerdekaan, Poer-
4 tahun (sejak 1921) ia dikirim ke batjaraka ikut membidani lahirnya
Universitas Leiden (Belanda) untuk Universitas Gajah Mada, Yogyakar-
mempelajari bahasa-bahasa Arya. ta, tahun 1946. Di universitas terse-
Selain belajar, ia juga diserahi tugas but, ia diminta menjadi Dekan Fa-
untuk mengajar bahasa Jawa kuna kultas Sastra sekaligus sebagai Guru
dan kawruh di universitas tersebut. Besar. Di samping itu, ia juga men-
Sementara itu, disertasinya Agastya jadi Guru Besar pada Fakultas Sas-
in Den Archipel ketika itu mendapat tra Universitas Indonesia, Jakarta.

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 415

Bahkan, ketika Universitas Udayana jemahkan ke dalam bahasa Indone-
(Bali) dibuka, ia juga diminta men- sia, antara lain, Cerita Panji dalam
jadi Dekan Fakultas Sastra. Kenya- Perbandingan, diterbitkan oleh Ba-
taan itu membuktikan ia sangat ber- lai Pustaka.
peran dalam bidang pendidikan. Ker-
ja kerasnya pun membawa hasil yang poerwadarminta, w. j. s.
sangat baik. Di kemudian hari banyak (1903—1968)
mahasiswanya yang berhasil, seperti
Prof. Dr. Soetjipto Wirjosoeparto, Nama kecil Poerwadarminta
Prof. Dr. Koentjaraningrat, Prof. Dr. (lengkapnya W.J.S. Poerwadarminta)
Toedjimah, Prof. Dra. Siti Baroroh adalah Sabarija. W.J. adalah sing-
Baried, dan sebagainya. katan baptisnya dan S adalah sing-
katan dari Sabarija. Sabarija lahir di
Selain hal di atas, Poerbatjaraka Yogyakarta pada 20 Juli 1903. Pen-
juga mendapat gelar empu. Upacara didikan yang ditempuh ialah Hol-
penyerahan gelar oleh para mahasis- landsch Inlandsche School (HIS),
wa itu dilaksanakan di Universitas Tweede Inlandsche School ‘Sekolah
Indonesia pada 10 Mei 1964. Waktu Angka Loro’ (tamat 1919), kemudi-
itu, ia sedang sakit keras dan dirawat an masuk Normaal School Rooms-
di RSP Angkatan Darat, Jakarta. Katholiek ‘Sekolah Guru Roma-Ka-
Dua setengah bulan sejak peristiwa tholik’ di Muntilan. Setelah tamat ia
itu, tepatnya tanggal 25 Juli 1964, mengajar di sekolah Angka Loro.
Poerbatjaraka menghembuskan na- Sambil bekerja ia memperdalam ba-
fas terakhir. Jenazahnya dimakam- hasa Belanda. Selain itu ia belajar fil-
kan di Pemakaman Karet (Jakarta). safat kepada J. Van Ryckvorsel, be-
Ia meninggalkan dua orang putra lajar bahasa Jawa kuna kepada C.
(Purnadi, S.H. dan Ratna Himawa- Coos. Berkat kepandaiannya berba-
ti). hasa Jawa kuna, pada tahun 1930 ia
menulis dan menerbitkan buku pe-
Karya-karya Poerbatjaraka ber- lajaran bahasa Kawi dengan judul
aneka macam, baik berupa buku Mardi Kawi. Selanjutnya, bersama
maupun artikel. Karya yang berupa dengan R.L. Mellema, ia menerbit-
buku, antara lain, berjudul Kapoes- kan buku bacaan berbahasa Jawa ku-
takan Djawi (Jambatan, Jakarta, na, di antaranya Purana Castra
1952). Pada tahun yang sama, buku (1934).
itu diterbitkan dalam bahasa Indone-
sia berjudul Kapustakan Jawa. Ke- Berkat keahliannya di bidang ba-
cuali itu, beberapa karyanya dimuat hasa, Poerwadarminta diminta men-
di majalah ilmiah seperti Bahasa dan jadi dosen bahasa Indonesia di Seko-
budaya, Medan Bahasa Indonesia, lah Bahasa Asing (Gucho Hugo Gak-
Hudan Mas, dan sebagainya. Karya- ko), di Tokyo, Jepang, tahun 1923-
karyanya juga banyak yang ditulis da- 1937. Sambil mengajar di sana ia be-
lam bahasa Belanda. Sebagian kar- lajar bahasa Jepang beserta aksara
yanya (berbahasa Jawa) telah diter- Katakana, Hiragana, Kanji, selain

416 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

memperdalam bahasa Inggris. Pada kosa katanya oleh Tim Penyusun
tahun 1935 ia berhasil menerbitkan Kamus Pusat Bahasa menjadi Ka-
buku pelajaran bahasa Jepang, Pun- mus Besar Bahasa Indonesia (1988;
ca Bahasa Jepang. Sekembalinya 1991; 2000); sedangkan Bausastra
dari Jepang (1937), Poerwadarminta Jawa kemudian disusun kembali dan
bekerja di Balai Pustaka, kemudian diperkaya kosa katanya oleh Tim Pe-
pindah ke Museum Jakarta (1946) nyusun Balai Bahasa Yogyakarta (ta-
untuk membantu Volkslectuur di ba- hun 2001). Sementara itu, buku-bu-
gian perpustakaan. Pada tahun 1949 ku lainnya yang berhasil disusun
ia diangkat sebagai pembantu dalam ialah Bahasa Indonesia untuk
bidang ilmu pengetahuan untuk me- Karang-Mengarang, ABC Karang-
nyusun Kamus Bahasa Melayu pada Mengarang, Sarining Paramasas-
Lembaga Penyelidikan Bahasa dan tra Jawa (1953), naskah sandiwara
Kebudayaan di Fakultas Sastra dan “Bangsacara-Ragapadmi” (dalam
Filsafat, Balai Perguruan Tinggi Re- Pujangga Baru), dan buku pelajaran
publik Indonesia Serikat. Pada tahun Bahasaku bersama dengan B.M.
1952 ia ditugaskan di Lembaga Ba- Nur dan Jazir Burhan.
hasa dan Budaya Cabang Yogyakar-
ta (hingga tahun 1960). Poerwadar- Di samping menyusun buku dan
minta meninggal pada 28 November kamus, Poerwadarminta masih sem-
1968 di Yogyakarta. pat menulis cerita pendek Jawa, esai,
sandiwara, dan beberapa buku ber-
Ketekunannya di bidang perka- bahasa Indonesia. Cerita pendeknya
musan membuat Poerwadarminta yang berjudul “Kasengka” ditulis de-
mendapat sebutan sebagai ahli leksi- ngan nama samaran Pur dalam Pan-
kografi dan atau Bapak Perkamusan ji Pustaka (1 Agustus 1943). Esai-
Indonesia. Kamus momumental yang nya yang dimuat dalam Panji Pus-
berhasil disusunnya adalah Bausas- taka, antara lain, “Wahyu Sampun
tra Jawa (1930) dibantu oleh C.S. Dhumawah: Kantun Tumandang
Harjasoedarma dan J.C. Poedjasoe- kanthi Sucining Manah” dan
dira, Bausastra Welandi-Jawi “Anggesangaken Watak Kasarti-
(1936), Bausastra Indonesia-Jawi yan”. Selain sering menggunakan
(1948), Logat Kecil Bahasa Indone- nama samaran Pur, ia sering meng-
sia (1949), Indonesiasch-Neder- gunakan pula nama samaran PD, KI
landsch Woordenbook (1950) bersa- Pada (Jaya Baya, 1972), dan Ajira-
ma A. Teeuw, Kamus Bahasa Ing- bas (pembalikan nama kecilnya Sa-
gris-Indonesia (1952) bersama de- barija).
ngan S. Wojowasito dan S.A.M.
Gasstra, Kamus Umum Bahasa In- poerwadhie atmodihardjo
donesia (1952), dan Kamus Latin- (1919—1988)
Indonesia (1969). Kamus Umum
Bahasa Indonesia tersebut kemudi- Poerwadhie Atmodihardjo lahir
an disusun kembali dan diperkaya di Purwodadi, Grobogan, Jawa Te-
ngah, 1 Juni 1919. Ayahnya, R. At-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 417

modihardjo, seorang Weg-Opzeiner maja yang cenderung negatif bahkan
atau pemeriksa jalan di Dinas Pe- berjudi dan sejenisnya.
kerjaan Umum Jawa Tengah (zaman
Belanda). Masa kecil Poerwadhie sa- Kenakalan Poerwadhie tidak ber-
ngat manja karena orang tuanya ka- langsung lama. Saat itu datang se-
ya. Ia sering didongengi oleh Bu Lu- orang Belanda memberikan bantuan
rah, seorang wanita (janda) yang ber- untuk mendirikan sekolah swasta di
gabung dengan keluarga ayah Poer- Paron. Poerwadhie ditunjuk sebagai
wadhie Atmodihardjo. Wanita itu kepala sekolah. Beberapa waktu ke-
adalah janda seorang lurah, berasal mudian Poerwadhie jatuh cinta ke-
dari daerah yang sama dengan dae- pada wanita bernama Mursini, se-
rah asal ayah Poerwadhie di Paron, orang pengajar di sekolah itu. Tetapi,
Ngawi, Jawa Timur. cinta itu gagal karena orang tua tidak
setuju. Cinta yang tidak berjalan mu-
Masa kanak-kanak Poerwadhie lus itu sangat membekas di hatinya
di Semarang. Namun, ia kemudian sehingga mengilhami karyanya ber-
harus pergi mengikuti orang tuanya judul “Mung Kari Sasiliring Ba-
yang pindah ke Gelung, Paron, Nga- wang” ‘Tinggal Selapis Kulit Ba-
wi. Orang tuanya masih bekerja se- wang’. Pada tahun 1939, ketika ber-
bagai juru ukur jalan. Di tempat usia 20 tahun, Poerwadhie menikahi
yang baru itu ia hidup dengan suasa- Sri Juwariyah, gadis dari Kendal. Ta-
na pedesaan. Meski kawan-kawan- hun 1955 Poerwadhie kawin lagi
nya memandang sebagai anak orang dengan Sutami, gadis dari Paron. Per-
terhormat, ia dapat bergaul akrab de- kawinan dengan istri pertama mem-
ngan mereka. Walaupun hidup di de- buahkan sembilan anak, dengan istri
sa, orang tuanya tetap berharap ke- kedua membuahkan seorang anak.
lak ia tetap dapat menjadi seorang Istri pertama tetap setia mendam-
priayi atau pegawai. pingi, sedangkan istri kedua bertem-
pat tinggal di Paron, Ngawi.
Di Ngawi Poerwadhie sekolah di
HIS, kemudian setelah tamat melan- Poerwadhie pada awalnya be-
jutkan ke Openbare MULO-School kerja sebagai guru di Paron. Namun,
di Madiun. Tamat dari MULO ia ke ia “tidak kerasan” sehingga pindah ke
Particuliere Algemeene Middelbare Semarang dan bekerja di Kantor Ja-
School di Sala. Namun, di Sala ia ter- watan Irigasi. Itu pun tidak kerasan
seret pada kebiasaan hidup remaja lagi sehingga ia ke Surabaya menjadi
yang cenderung negatif (sering tidak pelayan Toko Taiyo dan kemudian
masuk sekolah). Mengetahui hal itu menjadi tukang penjual mesin jahit
sang ayah marah sehingga semua pada General Electric. Dari Surabaya
biaya sekolahnya dihentikan. Keja- ia kembali ke Semarang dan bekerja
dian itu membuat Poerwadhie mera- sebagai ahli ukur tanah di Banyubi-
sa terpukul dan tidak bersedia melan- ru, Ambarawa. Dari Banyubiru,
jutkan sekolah. Ia semakin hari se- Poerwadhie pindah kerja ke kantor
makin terjebak pada kehidupan re- yang sama di Kendal. Tahun 1940

418 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

pindah ke Dinas Militer di Cilacap menggunakan bahasa Jawa karena
dengan pangkat sersan dua. Tahun ia merasa bahasa Jawa perlu diles-
1942 keluar dari dinas itu dan pindah tarikan. Di samping itu, baginya me-
ke Paron menjadi penjual minyak. ngarang itu sebagai “istri kedua”.
Tidak berapa lama pindah ke Jember
bekerja pada Jawatan Kereta Api. Dalam karangan-karangannya
Tahun 1945 pindah ke Kaliwungu Poerwadhie sering menggunakan na-
dan bekerja di sebuah pabrik pemain ma samaran, di antaranya Sri Ning-
sandiwara “Irama Masa”. Beberapa sih (nama anak pertamanya), Habra-
hari di sana ia pindah lagi ke Kendal markata (api yang menjilat-jilat, se-
dan bekerja di Dinas Pekerjaan mangat yang berkobar), Prabasari
Umum. Laharjingga, Abang Istar (Bintang
Merah), Satria Paranggelung (nama
Pada 5 Oktober 1945 Poerwa- sebuah tempat di Paron), dan Harga
dhie masuk TKR dengan pangkat let- Lawu. Ia juga mengagumi penga-
nan satu. Namun, jiwanya yang se- rang lain, misalnya Sudharma K.D.
lalu ingin “merdeka” tidak mampu dan St. Iesmaniasita karena kedua-
menghalangi dirinya untuk terus ber- nya dinilai selalu menggarap per-
pindah. Maka, tahun 1949 ia bekerja soalan hidup yang realistik.
sebagai mantri ukur tanah di Kendal.
Tahun 1951 pindah ke Semarang dan Sebagai pengarang Poerwadhie
bekerja di Dinas Bangunan Tentara. memiliki tingkat produktivitas yang
Tidak lama kemudian keluar dari pe- tinggi. Ia menulis cerpen, sandiwara,
kerjaannya dan mengembara sebagai novel, guritan, cerita wayang, roman
penganggur. Ia berpindah-pindah da- sejarah, dan esai. Lebih dari 300 ju-
ri Sala, Salatiga, dan Paron. Tahun dul cerpen telah tersebar di Panji Pu-
1955-1965 ia bekerja sebagai redak- saka, Panjebar Semangat, Jaya Ba-
si Jaya Baya di Surabaya. Ia sempat ya, Crita Cekak, Mekar Sari, dan se-
pula sebagai redaksi Crita Cekak dan bagainya. Sejumlah cerpennya itu,
Gotong Royong. Sejak 1965 ia me- antara lain, “Begja kang Ambeg-
nikmati hidupnya sebagai “wong jakake” (Panji Pustaka, 1944),
mardika”, yakni dengan menjadi pe- “Tanggap lan Tandang ing Garis
nulis bebas. Wingking” (Panji Pustaka, 1944),
“Kebuka Atine” (Panji Pustaka,
Pelarian hidup dan unsur kecewa 1944), “Ndadar Angga: Nanggula-
banyak melatarbelakangi proses ke- ngi Salwiring Prakara” (Panji Pus-
pengarangan Poerwadhie. Tahun taka, 1944), “Heiho Sadikun” (Panji
1944 ia menulis cerpen “Begja kang Pustaka, 1944), “Sumbangsih ing-
Ambegjakake” (Panji Pustaka, 15 kang Tanpa Upami” (Panji Pusta-
Februari 1944). Cerpen yang berha- ka, 1944), “Dayane Prahara” (Pa-
sil dimuat itu semakin memacu se- njebar Semangat, 1951), “Penga-
mangatnya untuk menulis. Ia sadar lang-alange Kekarepan” (Panjebar
bahwa menulis ternyata dapat meng- Semangat, 1952), “Marga Mas Har-
hasilkan uang. Ia menulis dengan ja Lara” (Panjebar Semangat,

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 419

1953), “Lha Apa Ana” (Panjebar tresnan lan Urip” (Jaka Lodhang,
Semangat, 1953), “Kesandhung ing 1983), “Manyura” (Jaka Lodhang,
Rata” (Panjebar Semangat, 1954), 1983), dan sebagainya.
“Kembang Kanthil” (Jaya Baya,
1955), “Jangka lan Jangkah” (Jaya Keberadaan Poerwadhie dalam
Baya, 1955), “Ngrungkebi Keyakin- dunia sastra Jawa sangat diperhitung-
an” (Jaya Baya, 1956), “Karam- kan. Ia termasuk pengarang yang di-
pungan Wicaksana” (Jaya Baya, segani dan “dituakan”. Bukan kare-
1957), “Tinem” (Crita Cekak, na sudah berusia lanjut, tetapi sema-
1957), “Wesel Pos” (Mekar Sari, ta karena prestasi dan kemampu-
1981), “Luput ing Pandumuk” (Me- annya dalam berkarya. Sejumlah kar-
kar Sari, 1981), dan sebagainya. ya Poerwadhie telah dijadikan objek
kajian para mahasiswa di berbagai
Sementara itu, karya-karya cer- perguruan tinggi. Seolah hidupnya
bung dan novelnya, antara lain, “Ku- telah diberikan kepada perkembang-
mandhanging Asmara” (Jaya Baya, an sastra Jawa. Walaupun demi sas-
1956-1957), “Gumerite Rodha We- tra Jawa ia harus menderita, per-
si” (Jaya Baya, 1972), “Ibu” (Jaya juangannya yang tulus pada sastra
Baya), “Tumiyunge Ati Mulus” Jawa layak dihargai.
(Mekar Sari, 1968), “Sawungga-
ling” (Panjebar Semangar, 1953), pralambang
Gumuk Sandhi (CV Keng, Sema-
rang, 1963), Karana Sawabing Wibi Pralambang merupakan kaidah
(CV Keng, Semarang), Udan Ngre- ungkapan sastra Jawa lama. Menu-
ceh (CV keng, Semarang), dan seba- rut artinya, pralambang adalah per-
gainya. Karyanya yang berupa ro- nyataan tersamar atau petunjuk yang
man sejarah, misalnya, “Ki Derpa- tidak nyata. Keluarnya kata-kata pra-
yuda” (Panjebar Semangat, 1960- lambang diungkapkan melalui sin-
1961), “Sing Menang ing Pucuking diran, misalnya dengan (mengguna-
kanisthan” (Mekar Sari, 1961), dan kan) kata-kata terselubung, tidak nya-
sebagainya. Sedangkan guritan-gu- ta. Pralambang dalam tembang ma-
ritan-nya, antara lain, “Paman Ta- capat dinamai sasmita. Berikut con-
ni” (Panji Pustaka, 1945), “Swa- toh pralambang dalam sastra Jawa.
raning Asepi” (Panjebar Semangat, (1) Macan galak semune curiga
1950), “Bandha lan Budi” (Panje-
bar Semangat, 1952), “Pangangen- kethul
angen” (Panjebar Semangat, 1953), Macan galak melambangkan ra-
“Amung Siji” (Panjebar Semangar, ja agung, curiga kethul ‘keris
1953), “Melathi Suci” (Jaya Baya, tumpul’ melambangkan keturun-
1956), “Paran Marganing Katemu” an dan anak buah yang tumpul
(Jaya Baya,1963), “Nglindur” (Me- budinya, tidak tajam pemaham-
kar Sari, 1983), “Stasiun Solo Ba- annya terhadap sastra. Pralam-
lapan” (Mekar Sari, 1983), “Ka- bang ini menggambarkan Prabu
Brawijaya dari Majapahit serta
keturunan dan anak buahnya.

420 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

(2) Panggalih pindha pandam kèn- jemahkan ke dalam bahasa Belanda.
tir ing warih Berkat keahliannya menari sejak ke-
Pandam adalah sinonim dari da- cil, ketika menjadi mahasiswa di luar
mar (obor); kèntir ing warih ada- negeri (Eropa), ia sering mende-
lah kata-kata yang artinya sama monstrasikan beberapa tari Jawa di
dengan kèli (hanyut). Ungkapan sana.
yang dicontohkan di atas itu me-
rupakan sasmita untuk meminta Semasa hidupnya Priyono Win-
gendhing Damarkèli. duwinoto telah memegang berbagai
jabatan penting. Di samping menga-
(3) Panji loro semuné Pajang-Ma- jar di Sekolah Hakim Tinggi Jakarta,
taram ia juga menjadi guru besar di Fakul-
Ini merupakan sindiran terhadap tas Sastra dan Filsafat Universitas
dua orang raja yang berkuasa Gadjah Mada Yogyakarta, Ketua
pada waktu yang sama, yaitu Lembaga Bahasa Nasional di Yogya-
Pakubuwana III dan Hamengku- karta, guru besar di Universitas In-
buwana I. donesia, selain merangkap sebagai
Pimpinan Umum Lembaga Bahasa
pranasmaran dan Budaya serta Komisi Istilah. Se-
mentara itu, mulai tanggal 9 April
Pranasmaran adalah drama tari 1957, di Kabinet Karya sampai de-
yang seluruh dialognya mengguna- ngan Kabinet Dwikora sejak 27
kan tembang. Drama tari tersebut se- Agustus 1964, ia dipercaya menjadi
mula berkembang di Surakarta de- Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
ngan mengambil lakon dari cerita Kebudayaan Republik Indonesia. Ja-
Panji. Dalam sejarah kehidupannya batan terakhir ini barangkali dipero-
drama tari pranasmaran tidak sepo- leh berkat karier politiknya di Partai
puler langenmandrawa maupun la- Murba.
ngendriyan.
Di bidang kepengarangan, Pri-
priyono winduwinoto (1907— yono Winduwinoto telah melahirkan
1969) beberapa karya sastra, di antaranya
Dongeng Sato Kewan (Balai Pusta-
Priyono Winduwinoto lahir di ka, 1952). Karya ini bersifat satirik-
Yogyakarta pada 20 Juli 1907. Pen- simbolik. Tokoh-tokoh manusia di-
didikan AMS diselesaikan di Sura- ganti dengan tokoh-tokoh hewan.
karta pada tahun 1929. Pada tahun Karya sejenis DSK juga ditulisnya.
1932 ia memperoleh ijazah bahasa Karya itu berjudul MMM (Balai Pus-
Perancis dari Cours Mayon di Paris. taka, 1952) dan ditulis dalam bahasa
Lalu belajar sastra Timur di Leiden, Indonesia. Karya ini agaknya me-
Belanda, lulus tahun 1936. Gelar dok- rupakan kritik terhadap pemerintah-
tor diperoleh pada tahun 1938; di- an yang sedang berjalan. Kritiknya
sertasinya berkaitan dengan naskah tidak secara terang-terangan, tetapi
Jawa Tengahan Sri Tanjung; dan se- melalui simbol dunia lain, dunia bi-
bagian naskah ini telah pula ia ter-

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 421

natang. Dinyatakan bahwa buku itu perindah karangannya. Dia pernah
untuk bacaan anak-anak berumur 17 menyatakan bahwa sebenarnya ba-
hingga 70 tahun. Pernyataan itu jelas hasa Jawa dapat digunakan untuk
dimaksudkan sebagai suatu sindiran, menulis tentang sesuatu hal yang ak-
yakni dengan menggolongkan orang tual, yang sesuai zaman.
dewasa tetapi masih berpikiran se-
perti anak-anak. Oleh karena itu, to- Jasa Priyono Winduwinoto di bi-
koh yang ditampilkan berupa hewan. dang bahasa Indonesia cukup besar.
Dan tulisannya pun dibuat besar-be- Dalam Kongres Bahasa Indonesia di
sar seperti buku bacaan anak-anak, Medan (1954), misalnya, ia menga-
tetapi tema yang dibahas adalah ten- jukan makalah dengan pokok pem-
tang kenegaraan, kebudayaan, eko- bicaraan tata bahasa dan ejaan ba-
nomi, politik, dan lain-lain (Dojosan- hasa Indonesia dengan huruf Latin.
tosa, 1990:168—169). Selain itu, ka- Dia dipercaya pula sebagai nara-
rangannya yang berjudul MMM sumber oleh berbagai majalah, di an-
(Balai Pustaka, Jakarta) juga mem- taranya majalah ilmiah Bahasa dan
persoalkan hal yang sama, hanya sa- Budaya yang dikeluarkan oleh Lem-
ja ditulis dengan menggunakan ba- baga Bahasa dan Budaya, Fakultas
hasa Indonesia. Sastra dan Filsafat, Universitas Indo-
nesia, Jakarta.
Karya Priyono lainnya adalah Se-
rat Jakasura lan Tresnawati (Balai Demikian secara ringkas riwayat
Pustaka, 1966). Karya itu ditulis de- dan karier hidup Priyono Windu-
ngan menggunakan bahasa Jawa tem- winoto. Sayang sekali, pada 9 April
bang macapat. Serat Jakasura-Tres- 1969 ia telah meninggalkan kita, dan
nawati bersifat istana sentris, ten- meninggalkan seorang istri dan dua
tang keadaan kerajaan Kediri, wa- orang putra (Ami dan Punto). Ia di-
laupun ada gambaran tentang pede- makamkan di Makam Pahlawan
saan dan kaindran atau kahyangan Kalibata, Jakarta. Ia berhak dima-
(Dojosantosa, 1990: 170). Serat Ja- kamkan di sana karena ia adalah ju-
kasura-Tresnawati berisi cerita, na- ga seorang pahlawan. Bintang jasa
sihat, peristiwa-peristiwa yang ha- yang telah diperoleh dari pemerintah,
ngat, peringatan-peringatan, dan se- antara lain (1) Bintang Gerilya, (2)
bagainya (Sundari dkk. 1976/1977: Bintang Satya Lencana, dan (3) Bin-
55). tang Satya Lencana Dwija Siswa.
Bintang yang ketiga diberikan oleh
Priyono Winduwinoto adalah se- Presiden Suharto (Dojosantosa,
orang sarjana yang menguasai ber- 1990).
bagai macam bahasa. Dia pandai me-
nerapkan bahasa, yaitu bahasa Sans- pujangga
kerta, Inggris, Belanda, Jawa Kuna,
Arab, dan sebagainya. Dalam bersas- Pujangga adalah seseorang yang
tra, misalnya, berbagai bahasa itu di- mempunyai kelebihan potensi buda-
gunakan bersama-sama untuk mem- ya lahir batin dan mampu mencipta-
kan karangan yang berbobot. Pu-

422 ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA

jangga sering pula disebut kawitana, pupuh
kawindra, kawiwara, kawiswara,
atau paramengkawi Seorang pu- Pupuh adalah Kumpulan tem-
jangga itu memiliki delapan keahlian bang ‘puisi’ (dalam beberapa bait
atau kelebihan, yaitu Paramengsas- ‘pada’) yang sejenis dan isi yang
tra, ahli dalam bahasa dan sastra; disampaikan antara satu dan lainnya
Paramengkawi, ahli dalam pencip- saling berhubungan. Biasanya, da-
taan atau mengarang; Awicarita, lam sastra Jawa, karya yang ditulis
pandai mendongeng atau bercerita oleh para pujangga terdiri atas be-
yang dapat menarik perhatian pen- berapa pupuh, misalnya Serat Rama
dengarnya; Mardawa-lagu, pandai karya R. Ng. Yasadipura I. Dalam
atau halus perasaannya atas tem- karya tersebut terdapat berjenis-jenis
bang dan gendhing ‘lagu’; Marda- pupuh dan ditulis dalam ratusan bait,
wa-basa, pandai dalam mengguna- antara lain Dhandhanggula, Pang-
kan bahasa yang indah sehingga da- kur, Asmaradana, Sinom, Mijil, Dur-
pat menimbulkan keharuan, kegem- ma, Kinanthi, dan sebagainya. Na-
biraan, dan membangkitkan rasa ka- mun, sebaliknya, Serat Sabdatama
sih sayang; Mandraguna, mempu- karya R. Ng. Ranggawarsita hanya
nyai kedigdayaan atau pengetahuan; ditulis dalam satu pupuh, yaitu Gam-
Nawungkridha, halus perasaannya buh, sebanyak 22 bait.Tembang ma-
sehingga tanggap atas apa yang di- capat modern, kebanyakan hanya
kehendaki oleh orang lain; Sambe- ditulis dalam satu pupuh dan jumlah
gana, hidupnya sangat utama. baitnya pun hanya berapa buah, ke-
banyakan di bawah sepuluh bait. Ma-
Seorang pujangga yang telah capat modern kebanyakan dipublika-
sempurna potensi budaya batinnya sikan di media massa. Oleh karena
akan mampu mendengar akasawa- halaman media massa sangat terba-
kya/akasasabda ‘suara dari langit tas, macapat modern ditulis menjadi
atau suara gaib’. Oleh karena itu, se- lebih pendek jumlah pupuhnya.
ring terjadi seorang pujangga dapat
menulis sebuah jangka ’karya sastra purwakannthi
yang berisi ramalan atas sesuatu yang
bakal terjadi’. Seseorang pujangga Istilah purwakanthi berasal dari
juga mampu melihat segala sesuatu dua kata purwa ’permulaan’ dan kan-
yang belum terjadi atau bakal terjadi thi ‘menggandeng, kawan, memakai,
disebut orang sidik ‘tahu sebelum di- menggunakan’. Jadi, purwakanthi
beri tahu’. Pujangga Jawa yang ter- berarti menggandeng atau menggu-
kenal, misalnya, R. Ng. Ranggawar- nakan apa yang telah disebutkan di
sita, Empu Sedah, Empu Panuluh, bagian depan atau di bagian permu-
dan R.Ng. Yasadipuira, dan sebagai- laan. Adapun yang digandeng adalah
nya. suara, huruf, dan kadang-kadang ka-
tanya. Di dalam sastra Indonesia, is-
tilah purwakanthi identik dengan
persamaann bunyi, yaitu persamaan

ENSIKLOPEDI SASTRA JAWA 423

bunyi vokal, persamaan bunyi kon- ‘jangan merasa menang, terus
sonan, dan pengulangan kata. bertindak semena-mena.’
Misalnya:
(2) Purwakanthi guru sastra
sapa jujur bakal luhur (a) Sing sapa goroh growah
sapa salah bakal seleh ‘Barang siapa berdusta akan ce-
laka.’
Contoh larik pertama terdapat (b) Swargane wong duwe anak
bunyi “ur” pada kata jujur dan “ur” anung anindhita, tumekane tu-
pada kata luhur. Persamaan bunyi wa nemu mulya.
“ur” tersebut dalam sastra Indonesia ‘Surga bagi orang yang punya
disebut persamaan bunyi suara (aso- anak saleh, sampai tua selalu hi-
nansi). Selanjutnya, larik kedua, ter- dup mulia.’
dapat huruf “l” pada kata salah dan (c) Kekudanganku marang ko-
“l” pada kata seleh. Persamaan hu- we, klakon mengku kamulyan
ruf konsonan itu dalam sastra Indo- ‘Harapanku padamu, dapat mem-
nesia disebut aliterasi. peroleh kemuliaan.’
(d) Dewi Wara sumbadra po-
Purwakanthi berjumlah tiga ma- latae ruruh, tinndak tanduke sar-
cam, yaitu (1) purwakanthi guru wa rereh, ririh angarah-arah
swara ‘persamaan bunyi vokal’, (2) ‘Dewi Wara Sumbadra, sinar
purwakanthi guru sastra ‘persa- matanya redup, tingkah lakunya
maan bunyi konsonan’, dan (3) pur- serba hati-hati, halus, dan ter-
wakanthi lumaksita ‘perulangan su- arah.’
ku kata, kata, dan baris’.
(1) Purwakanthi guru swara (3) Purwakanthi lumaksita
Amenangi jaman edan
(a) kocak tandha lukak ewuh aya ing pambudi
‘bersuara sebagai pertanda tidak milu edan nora tahan
penuh’ yen tan milu anglakoni
(b) ora uwur ora sembur boya kaduman melik
‘tidak modal sama sekali.’ kaliren wekasanipun
(c) kutuk marai sunduk dilalah karsa Allah
‘ikan kutuk mendatangi perang- begja-begjane kang lali
kap.’ luwih begja kang eling lawan
(d) tunggak jarak mrajak, waspada
tunggak jati mati
‘tonggak jarak tumbuh subur, ‘Menemui zaman edan
tonggak kayu jati mati.’ serba salah di hati
(e) Aja dahwen ati open, mena- ikut gila tidak tahan
wa kowe kepengin kajen jika tak ikut melakukan
‘jangan berhati dengki jika kau punya rasa ingin memiliki
inginn dihormati.’ kelaparan akibatnya
(f) aja dupeh menang, banjur telah jadi kehendak Allah
atindak sawenang-wenang


Click to View FlipBook Version