The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

Iskandar Jusuf
JALAN PANJANG
ASIMILASI ETNIS TIONGHOA

Editor:
Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI

Kata Pengantar:
Dr. Albert Hasibuan, S.H

Penerbit Sekolah Terpadu Pahoa

i



DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................ iii
Kata Pengantar .......................................................................... iv
Prakata Penulis .......................................................................... xiii
Bab I : Perantau Tionghoa ke Nusantara............................. 1
Bab II : Perkawinan Campuran Perantau Tionghoa ............. 10
Bab III : Asimilasi Tionghoa Peranakan di Jawa .................. 19
Bab IV : Asimilasi Orang Tionghoa di Luar Jawa................. 36
Bab V : Peleburan Etnis Tionghoa Jadi Pribumi.................. 76
Bab VI : VOC Menghambat Proses Asimilasi....................... 93
Bab VII : Upaya “Mencinakan Kembali” ............................... 121
Bab VIII : Nasion Berdasarkan Konsep Negara Kebangsaan... 190
Bab IX : Indonesia Menjadi Negara Suku Bangsa Pribumi... 213
Bab X : Diskriminasi Terhadap Nonpribumi........................ 232
Bab XI : Kontroversi Tentang Asimilasi................................ 271
Bab XII : Politik Asimilasi Orde Baru ................................... 331
Bab XIII : Kerusuhan Anti Tionghoa Mei 1998....................... 355
Bab XIV : Masyarakat Tionghoa Pasca Orde Baru..................372
Bab XV : Istilah Asimilasi Diganti Jadi Pembauran................406
Bab XVI : Konsep Asimilasi Melalui Silang Budaya...............442

Daftar Pustaka............................................................................ 471

iii

KATA PENGANTAR

Albert Hasibuan *)

Bagi pembaca yang mempunyai perhatian dan
berminat pada masalah asimilasi etnis Tionghoan di
Indonesia, tulisan Iskandar Jusuf “Jalan Panjang
Asimilasi Etnis Tionghoa” menyajikan pengetahuan
yang cukup tentang proses evolusi masalah asimilasi
tersebut.

Karangan ini, didasarkan pada pemaparan dan
penguraian data-data historis yang luas, sejak perantau
berkebangsaan Tionghoa datang ke Nusantara, pada
kira-kira awal abad ke-9, sampai masa kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan
terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Liku-liku proses asimilasi tersebut, antara lain,
misalnya, pada masa pemerintahan Orde Baru dalam
bidang ekonomi dan perdagangan, Iskandar Jusuf,
menguraikan tentang Kepres 14 dan Kepres 14A,
Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal
Permanen (KMKP) yang bersifat diskriminatif
pengusaha Tionghoa.

Kemudian, berbagai kebijaksanaan pemerintah,
seperti ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina,

iv

pendayagunaan mass media berbahasa Cina sampai
pada keharusan menunjukkan SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia).

Lalu, kenyataan bahwa etnis Tionghoa
mendapat kesulitan mengurus dokumen seperti akte
kelahiran dan kartu penduduk. Pencantuman kode
tertentu pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan Pemda
DKI yang menerapkan dokumen K-I apabila warga
Tionghoa berpindah tempat.

Yang terakhir, pengalaman pahit peristiwa
kerusuhan anti Tionghoa Mei 1998 dengan penjarahan,
pengrusakan, pembakaran harta benda dan perkosaan.

Dengan lahirnya, Undang-undang No 12 Tahun
2006, pada era Reformasi, pengalaman pahit itu, yang
berlangsung selama bertahun-tahun, silih berganti,
secara yuridis, telah berakhir.

Hal itu dinyatakan bahwa “orang-orang
Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi
warga negara sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri”.

Dalam hal ini, Iskandar Jusuf, dalam halaman
terakhir menyebutkan “Asimilasi akan terus terjadi dan
bangsa Indonesia suku Tionghoa harus berinteraksi dan
berasimilasi dengan sesama bangsa Indonseia suku-

v

suku lainnya, baik dengan sebutan intergrasi, asimilasi,
pembauran, penyerbukan silang antarbudaya dan
apapun sebutannya”.

Saya meng-apresiasi konklusi dari tulisannya
itu, terutama sebutannya “sekarang konsep bangsa
Indonesia didasarkan pada status kewarganegaraan
seseorang, ditentukan atas dasar status juridis, bukan
etnis atau ras”.

Dengan demikian, bila dibandingkan dengan
Undang-undang Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958,
maka rumusan juridis dalam UU No. 12 Tahun 2006,
yang tidak menekankan etnis atau ras tersebut, saya
sebut, sebagai hasil dari reformasi hukum (law reform)
akibat berlangsungnya pembaharuan politik (political
reformation) pada masa pasca-Reformasi.

Saya anggap, pembaharuan politik. Di masa
pasca-Reformasi, berhubungan dengan proses evolusi
perkembangan demokrasi di Indonesia berdasarkan
sebutan “democracy is always in the making” atau
demokrasi selalu berkembang dan menyempurnakan
dirinya.

Oleh karena itu, saya melihat, ada hubungan
antara hukum, dalam hal ini UU No. 12 Tahun 2006,
dengan perkembangan demokrasi yang terjadi di
Indonesia berdasarkan persepsi bahwa hukum
merupakan tujuan politik dari negara Indonesia yang

vi

demokratis dan, sekaligus, menjadi instrument politik
demokrasi Indonesia.

Berkaitan itu, juga pemikiran Roscoe Pound,
professor Universitas Harvard di Amerika Serikat,
bahwa hukum merekayasa masyarakat (“law as tool of
social engineering”), dalam negara demokrasi, adalah
relevan.

Hukum, yang merekayasa masyarakat,
mempunyai relasi sebagai tujuan maupun instrument
dari politik demokrasi Indonesia, saya sebut, sebagai
hukum yang adil (rule of just law) yang membentuk
dan merekayasa politik kewarganegaraan Indonesia
pada masa pasca Reformasi, sehingga Iskandar Jusuf
menyatakan dalam akhir tulisannya “Konsep
pembauran dan strategi Penyerbukan Silang
Antarbudaya seharusnya diterima dan ditumbuh
kembangkan oleh seluruh bangsa demi persatuan
bangsa yang semakin kokoh, dst”.

Rumusan hukum, UU No. 12 Tahun 2006, yang
tidak menekankan unsur etnis atau ras, bersumber pada
politik pembaruan yang bersifat pencerahan
(enlightened) yang menekankan keadilan dan
kemanusian berdasarkan ketentuan tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam UUD 1945.

Hal itu, merupakan pelajaran dari sejarah (“the
lesson of history”) masyarakat Indonesia, terutama

vii

sejarah kelam warga Indonesia keturunan etnik
Tionghoa dimasa lalu, seperti dikatakan Lord
Bolingbroke yang mensitir Thucydides, sejarah adalah
pelajaran filsafat dengan memberi contoh (“History is
philosophy teaching by examples”).

Politik kewarganegaraan Indonesia yang tertera
dalam UU No. 12 Thun 2006, merupakan hasil dari
politik pencerahan berdasarkan pemahaman sejarah
dengan pemberian contoh yang benar.

Dengan adanya politik pencerahan tersebut,
kita bisa menatap masa depan bangsa Indonesia
berdasarkan keadaban Indonesia yang merupakan
sinergi keadilan, kedamaian, kemajuan dan
kemakmuran seluruh warga masyarakat bangsa
Indonesia.

Oleh karena itu, menjadi tugas dan kewajiban
kita, khusus warga etnik Tionghoa, untuk menjaga dan
memelihara diselenggarakan dan dipraktekkannya
politik pencerahan berdasarkan demokrasi tersebut.

Harus dipahami bahwa pernyataan Iskandar
Jusuf bahwa “etnis Tionghoa sudah disamakan dengan
sesama bangsa Indonesia dari suku bangsa lainnya,
maka sekarang WNI etnis Tionghoa sudah dapat
menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia”,
mengandung pemikiran untuk berpartisipasi aktif

viii

dalam pelaksanaan politik pencerahan dalam
demokrasi di Indonesia.

Apalagi, proses politik pencerahan demokratis
Indonesia adalah hasil dari proses evolusi politik yang
puluhan tahun lamanya, sejak Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga masa-masa
pasca Reformasi sekarang ini.

Oleh karena itu, saya rasa, warga etnis
Tionghoa tidak seharusnya menganggap “taken for
granted” kebijaksanaan kewarganegaraan itu, tetapi
justru ikut membina, mengembangkan dan menjaga
politik pencerahan yang demokratis agar berlangsung
terus, dan langgeng, di bumi Indonesia.

Salah satu jaminan akan kelangsungan politik
tersebut adalah apabila keterbukaan atau “openness”
masyarakat, dengan kebebasan politik, diselenggarakan
secara optimal. Filsuf yang paling berpengaruh pada
abad ke-20, Karl Popper, menyebut keterbukaan
masyarakat itu dalam karangannya “The Open Society
and Its Enemies”.

Dengan demikian, saya rasa partisipasi warga
etnis Tionghoa, dan segenap warga Indonesia lainnya,
untuk mendorong keterbukaan dalam politik
pencerahan yang demokratis guna melahirkan
pembaruan-pembaruan antara lain reformasi hukum.

ix

Salah satu aspek penting untuk keterbukaan dan
kebebasan itu, adalah apabila sesama warga Indonesia,
dan warga etnik Tionghoa khususnya, saling
berhubungan dan membuka diri agar timbul solidaritas,
antar sesama, dengan membangun jembatan-jembatan
(building bridges) dan bukan tembok-tembok pemisah
berdasarkan eksklusivisme (walls that separate).

Dalam hal ini, membangun hubungan dan relasi
antar warga etnis Tionghoa dengan warga etnis
Indonesia lainnya, agar seluruh warga Indonesia dapat
mempraktekkan inklusivisme dan solidaritas, karena
seperti dikatakan filsuf Will Durant: “The realization
of human interdependence and solidarity is the best
guard of civilization” (Realitas dari keterkaitan dan
solidaritas manusia adalah pengawalan yang paling
baik untuk peradaban).

Memisahkan diri, secara eksklusif, baik
berdasarkan kemampuan-kemampuan tertentu antara
lain modal (capital), kekuasaan, kegiatan bisnis dan
kelebihan-kelebihan lainnya, antara warga Indonesia
dari etnis Tionghoa dengan warga etnis bangsa
Indonesia lainnya, bersifat kontra-produktif.

Sebaliknya, kepedulian, yang dalam, tentang
permasalahan masyarakat Indonesia, antara lain,
masalah keadilan dalam mempraktekkan
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” sekaligus

x

dengan membangun kesejahteraan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan, akan diapresier, karena
hal ini, menurut saya, merupakan salah satu jaminan
dan garansi dari tumbuhnya keadaban dan peradaban
(civilization) masa depan Indonesia.

Di bidang ekonomi, warga etnik Tionghoa,
bersama warga Indonesia lainnya, mempunyai
kewajiban untuk memajukan ekonomi, diantaranya,
dengan menaikkan GNP dan pendapatan per orang
warga Indonesia dan lain sebagainya, namun juga ikut,
secara lebih aktif, berpartisipasi menanggulangi
masalah ketimpangan dan kesenjangan masyarakat
Indonesia.

Menurut berbagai survey, orang miskin dan
yang terpinggirkan serta berada di periferi masyarakat
Indonesia masih tinggi, sehingga, saya percaya,
menjadikan warga etnik Tionghoa, bukan hanya
terkenal sebagai orang-orang terkaya di Indonesia,
seperti menurut majalah Forbes 2016, dengan
perusahaan-perusahaan raksasa seperti “real estate”
atau property, berbagai industry antara lain, industry
rokok dsb., pertambangan, perdagangan, perbankan,
kelapa sawit, mall-mall dan tempat perbelanjaan dsb.,
tetapi warga (etnik Tionghoa) yang mempunyai
perhatian besar untuk membebaskan warga Indonesia
dari kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.

xi

Juga, kepatuhan terhadap hukum (obeyance to
law), diantaranya Undang-undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20
Tahun 2001).

Alasan saya, mengemukakan soal korupsi ini,
karena Indonesia, masih dikategorikan dalam negara
yang korupsinya tinggi oleh Transparency International
(TI), dengan Corruption Perception Index (CPI) tahun
2014 pada posisi 117 dari 175 negara.

Apabila hal itu terjadi, maka partisipasi dan
keikutsertaan warga etnis Tionhona, sebagai warga
kreatif, dalam mendorong, secara minimal, tidak
melakukan tindakan koruptif, dan, maksimal, ikut serta
melaksanakan pemberantasan korupsi, adalah tindakan
positif.

Sekian.
Mudah-mudahan, buku ini, bermanfaat!

------------------------------------
*) Mantan anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) periode 2012-2014.

xii

Prakata Penulis

“Sikap permusuhan dari satu suku terhadap suku

yang lainnya merupakan salah satu reaksi manusiawi
yang paling naluriah. Namun sejarah planet kita
sebagian besar merupakan sejarah tentang berbaurnya
bangsa-bangsa. Perpindahan bangsa-bangsa secara
besar-besaran telah menghasilkan antagonisme secara
besar-besaran pula sejak awal zaman.

Apa yang terjadi bila orang-orang dari berbagai
asal etnis yang memakai bahasa yang berbeda dan
memeluk agama yang berlainan menetap di tempat
geografis yang sama? Kecuali kalau suatu tujuan
bersama mengikat mereka menjadi satu, maka
permusuhan-permusahan kesukuan akan mencerai-
beraikan mereka” (Arthur M. Schlesinger, Jr).

Sejarah perpindahan orang-orang Tionghoa dari
Tiongkok ke bumi Nusantara pada abad ke-8 tidak

xiii

menghasilkan antagonisme antar suku sama sekali.
Orang-orang Tionghoa merantau ke Nusantara untuk
berdagang, bukan untuk mendirikan koloni, maka
mereka berinteraksi dan berbaur dengan penduduk
pribumi setempat, lalu mereka saling berasimilasi,
bahkan ada sebagian kecil perantau Tionghoa yang
beramalgamasi meleburkan diri ke dalam komunitas
pribumi dan menjadi pribumi. Sama sekali tidak terjadi
antagonisme. Mereka hidup damai dan harmonis.

Antagonisme dari sebagian penduduk pribumi
terhadap etnis Tionghoa justru baru mulai terjadi sejak
awal abad ke-20. Akibat dari politik “devide and rule”
dari pemerintah penjajah Hindia Belanda, pada tanggal
31 Oktober 1918 di kota Kudus terjadi peristiwa
kerusuhan terhadap etnis Tionghoa. Rumah-rumah dan
toko-toko milik orang Tionghoa habis dijarah dan
dibakar oleh masa Sarekat Islam yang datang dari kota-
kota di sekitar kota Kudus. Peristiwa kerusuhan di
Kudus 1918 menjadi huru-hara anti Tionghoa yang
pertama kali terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1945
pada zaman Revolusi, antagonisme terhadap etnis

xiv

Tionghoa semakin sering terjadi, dan terus terjadi pada
zaman Republik Indonesia Serikat, lalu diteruskan
pada zaman Orde Lama dan berlanjut terus sampai
zaman Orde Baru. Antagonisme dari sebagian
masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa yang
paling muktahir terjadi menjelang runtuhnya
pemerintah Orde Baru, kerusuhan anti Tionghoa Mei
1998.

Fenomena antagonisme terhadap etnis Tionghoa
yang baru terjadi beratus-ratus tahun setelah perantau
Tionghoa datang ke Nusantara. Setelah ratusan tahun
etnis Tionghoa hidup berdampingan dengan damai
dengan penduduk pribumi, dan setelah ratusan tahun
etnis Tionghoa berasimilasi dengan penduduk pribumi
dan melahirkan anak-anak Tionghoa peranakan,
sungguh menjadi pertanyaan besar bagi penulis.
Mengapa antagonisme semakin sering terjadi setelah
orang Tionghoa peranakan sudah menjadi warga
negara Indonesia (bangsa Indonesia)?

xv

Fenomena ini menarik perhatian penulis, dan
penulis berupaya menelusuri sejarah kehadiran orang-
orang Tionghoa di Indonesia dan proses asimilasi etnis
Tionghoa dengan penduduk pribumi dari zaman ke
zaman.

Dari penelitian yang dilakukan penulis, diperoleh
kesimpulan yang dicatat menjadi buku ini yang diberi
judul Jalan Panjang Asimilasi Etnis Tionghoa.

Penulis tidak berpretensi untuk menjadikan buku
ini sebagai tulisan ilmiah tentang ilmu sejarah atau
ilmu sosiologi, maka buku ini ditulis secara ringan dan
populer agar dapat dibaca banyak orang.

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada Narendra Dewadji Kristy, S.S.
yang sudah mengetik dengan rapi naskah buku ini,
kepada Agung Priambodo, S.Kom yang mendesain
sampul dan menata lay-out buku ini, dan kepada Prof.
Dr. Ir. Dali Santun Naga MMSI, mantan Rektor
Universitas Tarumanegara, yang sudah bersedia

xvi

mengoreksi dan menyunting tulisan ini menjadi bacaan
yang enak dibaca.

Kepada Dr. Albert Hasibuan, SH, mantan Dewan
Pertimbangan Presiden RI (1999-2014) yang sudah
bersedia membagikan kata pengantar untuk buku ini,
penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Sebagai penutup, penulis dengan tulus memohon
maaf apabila dalam tulisan ini ada kata-kata yang salah
atau kurang berkenan di hati.

Jakarta, 20 Mei 2016

Iskandar Jusuf



xvii

Halaman ini sengaja
dikosongkan

BAB I

PERANTAU TIONGHOA KE
NUSANTARA

Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah tentang
kapan awal kedatangan perantau Tionghoa ke
Nusantara. Ketidakjelasan ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya sumber-sumber tertulis yang
menjelaskan mengenai hal pertama kali datangnya
perantau Tionghoa ke Nusantara. Informasi yang
diperoleh tentang awal kedatangan perantau Tionghoa
di Nusantara selama ini hanya didasarkan pada
temuan-temuan benda-benda kuno yang diyakini
berasal dari Tiongkok pada zaman Dinasti Han (206
SM-221).

Salah satu benda kuno yang memberikan bukti
mengenai keberadaan perantau Tionghoa di kepulauan
Nusantara pada masa lalu adalah dengan ditemukannya
sejumlah genderang perunggu berukuran besar yang
termasuk dalam budaya Dongson di Sumatera Selatan.
Genderang perunggu besar ini dibuat di desa Dongson

1

yang terletak di provinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin,
sebelah utara Vietnam.

Genderang perunggu ini diperkirakan berasal
dari antara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.
Genderang ini berukuran tinggi lebih dari satu meter
dan berat lebih dari 100 kilogram. Genderang yang
besar dan berat ini mempunyai kesamaan dengan
genderang perunggu Tiongkok yang dibuat pada masa
Dinasti Han. Ini menunjukkan bahwa genderang dan
orang yang membawanya ke Sumatera Selatan sudah
ribuan tahun lalu. Maka disimpulkan bahwa sejak
ribuan tahun lalu sudah ada orang Tionghoa datang ke
Nusantara membawa genderang perunggu yang besar
dan berat itu.

Temuan benda-benda bersejarah lainnya di
berbagai daerah di Nusantara menunjukkan bahwa
hubungan Tiongkok dengan Nusantara pada masa itu
memang benar-benar sudah terjadi. Meskipun benda-
benda kuno tersebut telah menunjukkan indikasi yang
kuat terjadinya hubungan antara Tiongkok dan
Nusantara pada masa lalu, namun para ahli sejarah
belum berhasil menemukan siapa orang yang pertama
kali membawa masuk benda-benda tersebut ke
Nusantara dan kapan benda-benda itu dibawa ke
Nusantara.

2

Walaupun para ahli sejarah belum sepakat
kapan awal kedatangan perantau Tionghoa ke
Nusantara, tetapi mereka sudah dapat merekam jejak
pelayaran yang dilalui oleh perantau Tionghoa pada
waktu mereka pertama kali berlayar menuju ke
Nusantara.

Pada waktu mereka pertama kali berlayar
menuju ke Asia Tenggara, negara pertama yang
mereka kunjungi adalah bagian utara Vietnam.
Perantau Tionghoa dari wilayah Tiongkok bagian
Tenggara (Kwangtung dan Hokkian), berlayar
menelusuri pesisir Tiongkok Selatan menuju ke
Vietnam, lalu mereka menjumpai Kamboja dan
membelok ke Teluk Siam. Di sini mereka berhenti
dalam waktu yang panjang sebelum mereka
melanjutkan pelayaran menuju ke Nusantara.

Pelayaran mereka ke Asia Tenggara bukan
merupakan pelayaran petualangan melainkan pelayaran
perdagangan. Dengan perlahan dan penuh kehati-
hatian mereka menelusuri pesisir wilayah itu. Mereka
tidak memasuki sebuah negara sebelum mengenal
lebih dahulu melalui negara lain. Sebab dalam
pelayarannya mereka tidak membawa kapal perang dan
pasukan bersenjata; mereka berlayar dengan kapal
layar yang disebut “Jung” (kapal layar yang sangat
besar untuk mengangkut barang-barang dagangan ke
dan dari mancanegara).

3

Dari Kamboja sepertinya mereka tidak lagi
mengikuti pola perjalanan awal dengan menelusuri
pesisir, mereka menyeberang hingga mereka
menemukan jalan menuju ke Sumatera dan Jawa.

Informasi Dari Catatan Dinasti Han

Informasi tentang kedatangan perantau
Tionghoa ke Nusantara pada masa lampau dapat dibaca
di berbagai cerita tentang Dinasti Han. Dalam berbagai
cerita tersebut, diceritakan bahwa bangsa Tionghoa
pada waktu itu sudah mengenal Nusantara yang disebut
Huang Tse.

Pada waktu itu perjalanan pergi pulang dari
Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun.
Karena pengaruh musim, banyak perantau Tionghoa
yang harus tinggal selama enam bulan di Nusantara
untuk menunggu waktu angin datang untuk
memungkinkan mereka dapat berlayar kembali ke
Tiongkok.

Catatan resmi yang mencatat kedatangan
perantau Tionghoa ke Nusantara, tercatat dalam kitab
sejarah kuno Tiongkok, “Han Shu Ti Li Zhi” (Catatan
Geografi Dinasti Han). Kitab ini adalah kitab sejarah
kuno yang terawal mencatat adanya hubungan
Tiongkok dengan Nusantara. Dikatakan semenjak
masa Kaisar Han Wu Ti (140 SM-87 SM), sudah
dibuka perjalanan laut dari Tiongkok Tenggara melalui

4

Semenanjung Melayu hingga ke India, pergi pulang
mengambil waktu kira-kira dua tahun. Dalam
perjalanan ke India, perantau Tionghoa kerap kali
mampir ke Sumatera. Jadi pada awal abad Masehi
perantau Tionghoa sudah mampir ke Nusantara.

Catatan pertama tentang adanya hubungan
resmi antara Tiongkok dengan Nusantara terdapat
dalam kitab sejarah “Hou Han Shu” (Perpustakaan
Dinasti Han akhir). Walaupun catatannya sangat
ringkas, namun itu adalah catatan sejarah yang pertama
membuktikan bahwa pada abad ke-2, antara Dinasti
Han dan Nusantara sudah ada hubungan resmi.

Dari catatan yang diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa sejak zaman Dinasti Han, pada
awal abad Masehi, sudah ada perantau Tionghoa yang
merantau ke Nusantara. Akan tetapi, mula-mula
mereka hanya perantau musiman, mereka hanya
singgah beberapa bulan di Nusantara karena harus
menunggu waktu angin datang untuk memungkinkan
mereka berlayar kembali ke Tiongkok.

Pada waktu itu belum ada kapal uap, apalagi
kapal motor yang memungkinkan mereka cepat sampai
ke wilayah yang ingin mereka kunjungi, terutama
kepulauan Nusantara. Mereka hanya menggunakan
kapal layar yang sangat tergantung pada kondisi alam.
Jika kondisi alam tidak memungkinkan mereka

5

meneruskan pelayaran, maka mereka akan
memberhentikan kapalnya di tempat mereka sedang
berada. Oleh sebab itu, untuk sampai ke suatu tempat
tujuan, paling tidak mereka menghabiskan waktu yang
cukup lama. Ketika mereka sampai ke tempat tujuan,
mereka juga harus menunggu waktu yang cukup lama
untuk kembali ke tempat asalnya di Tiongkok. Mereka
harus menunggu pergantian arah angin yang dapat
mengantar mereka berlayar kembali ke Tiongkok.
Kondisi semacam ini memungkinkan mereka mengenal
lebih dekat wilayah, penduduk, dan kebudayaan
penduduk setempat. Sambil menunggu arah angin,
mereka juga mendapat kesempatan untuk mengenal
wilayah yang belum pernah mereka kunjungi melalui
hubungan dan informasi yang diperoleh dari penduduk
wilayah asing itu yang juga sedang merantau ke bandar
yang mereka kunjungi.

Sampai abad ke-8, walaupun ada perantau
Tionghoa tinggal berbulan-bulan di Nusantara, tetapi
belum banyak yang bermukim di Nusantara. Mereka
hanya datang ke Sumatera dan Jawa membawa barang-
barang dagangan dari Tiongkok untuk dijual, lalu
mereka membeli rempah-rempah dan hasil bumi
lainnya untuk dijual di Tiongkok. Setelah muatan kapal
penuh, mereka berlayar kembali ke Tiongkok.

6

Orang Tionghoa Mulai Bermukim di Nusantara

Pada tahun 755 Masehi, masyarakat Muslim di
Tiongkok, di bawah pimpinan Jenderal An Lu San,
komandan militer provinsi wilayah Barat, berontak
melawan Dinasti Tang (618-907M). Pemberontakan itu
baru berhasil ditumpas pada tahun 763 Masehi. Setelah
pemberontakan dan upaya makar Muslim Tionghoa
dapat digagalkan, maka terjadilah pengungsian besar-
besaran komunitas Muslim Tionghoa ke kota-kota
pesisir Nusantara untuk berdagang dan mencari hidup
baru.

Mereka bermukim lalu menetap di Nusantara
karena mereka merasa tertekan hidup di Tiongkok.
Bahkan ada sebagian dari mereka yang tidak berani
kembali ke Tiongkok karena mereka adalah buronan
politik. Mereka memilih bermukim dan menetap di
Nusantara yang berada di luar jangkauan kekuasaan
pihak yang berwenang dari pemerintah Dinasti Tang.

Menurut catatan sejarah Tiongkok, perantau
Tionghoa mulai banyak berdatangan untuk bermukim
di Jawa pada awal abad ke-9. Mereka datang ke Pulau
Jawa untuk berdagang dan mencari kehidupan baru di
luar Tiongkok.

Selain dari Muslim Tionghoa yang datang ke
Pulau Jawa untuk mengungsi, banyak juga para
pedagang Tionghoa non-Muslim yang datang ke

7

Nusantara. Pada abad ke-9 perdagangan antara
Tiongkok dengan Nusantara sedang berkembang;
waktu itu Tiongkok merupakan negara pengekspor teh,
sutera, dan porselen terbesar di dunia. Konsumen teh,
sutera, dan porselen di Nusantara semakin meningkat
dan hal demikian mendorong pemerintah Tiongkok
untuk mengirim utusan-utusan dagang untuk membuka
kantor-kantor dagang di sepanjang pesisir kawasan
Nusantara, dan selanjutnya diikuti oleh para pedagang
lain yang merantau untuk mencoba keberuntungan di
Nusantara.

Migrasi orang-orang Tionghoa ke berbagai
negara pada masa itu juga mempunyai sebab-sebab
lain, di antaranya karena pada waktu itu di daratan
Tiongkok sedang berkecamuk peperangan yang tidak
kunjung selesai. Akibat dari peperangan tersebut tidak
sedikit penduduk Tiongkok meninggalkan negerinya
dengan berbagai alasan untuk mencari hidup di negeri
yang lebih aman. Salah satunya adalah ke Nusantara.
Pada waktu itu, yang paling banyak dikunjungi adalah
Pulau Jawa.

Masuknya orang Tionghoa dari Tiongkok ke
Nusantara sejak abad ke-9 telah melahirkan hubungan
baik antara kedua negara tersebut. Dalam rentang
waktu yang cukup lama itu, tidak pernah terjadi
peperangan di antara kedua negara, bahkan kerajaan-
kerajaan Hindu dan Buddha yang terdapat di Sumatera

8

Selatan dan Jawa selalu mengirim utusan ke Kaisar
Tiongkok dan sering memberi upeti. Sebaliknya
utusan-utusan Kaisar dari Tiongkok juga sering
melakukan kunjungan balasan ke beberapa kerajaan di
Nusantara. Hubungan baik ini berjalan dengan lancar
tanpa ada hambatan.

Karena perdagangan antara Tiongkok dengan
Nusantara semakin ramai, maka para pedagang dari
Tiongkok pun makin hari makin banyak yang merantau
ke Nusantara dan kemudian tidak sedikit yang terus
bermukim lalu menetap di Nusantara. Pada abad ke-9
sudah banyak orang Tionghoa bermukim di Sumatera
Selatan dan Pulau Jawa.

9

BAB II

PERKAWINAN CAMPURAN
PERANTAU TIONGHOA

Istilah “Perkawinan Campuran” yang
digunakan dalam buku ini sebagai padanan dari kata
”Mixed Marriages” atau “Gemengde Huwelijken,”
mengacu pada istilah yang digunakan oleh Prof. Dr.
Mr. Gouw Giok Siong (Sidargo Gautama) dalam buku
tulisannya yang diberi judul “Segi-segi Peraturan
Perkawinan Campuran.”

Menurut Prof. Gouw, “perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berada di
Indonesia yang ada di bawah hukum yang berlainan.”

“Hukum yang berlainan” ini antara lain dapat
disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan,
kependudukan dari berbagai wilayah Hindia Belanda,
golongan rakyat (bevolkings group), tempat kediaman
atau agama. Dengan demikian kita mendapatkan
perkawinan campuran internasional, perkawinan
campuran antarwilayah (inter-regional), perkawinan

10

campuran antartempat (inter-locaal), perkawinan
campuran antargolongan (intergentiel) dan perkawinan
campuran antaragama.

Topik buku ini adalah tentang asimilasi antara
orang-orang Tionghoa dengan orang-orang pribumi,
maka yang akan dibahas dalam buku ini hanyalah
tentang perkawinan campuran antargolongan, yakni
perkawinan campuran antara golongan Tionghoa
dengan golongan pribumi.

Pada zaman Hindia Belanda, walaupun orang
Tionghoa dianggap sebagai Vreemdelingen (orang
asing), tetapi perkawinan campuran antara orang
Tionghoa dengan orang pribumi tidak dianggap
sebagai perkawinan campuran internasional melainkan
dianggap sebagai perkawinan campuran antargolongan.
Hal demikian terjadi karena pada pasal 163 Indiesche
Staatsregeling (IS) ditetapkan bahwa penduduk Hindia
Belanda dipecah menjadi tiga golongan, yakni
golongan Eropa, golongan Vreemde Oosterlingen
(Timur Asing), dan golongan Bumi Putera (Pribumi).
Selanjutnya pasal 131 IS menetapkan hukum yang
berlainan yang berlaku bagi masing-masing golongan.

11

Perkawinan Campuran Antara Ras Mongoloid dan
Ras Negroid

Perkawinan campuran antara manusia purba ras
Mongoloid dari Tiongkok dengan manusia purba ras
Negroid dari Jawa sudah terjadi sejak zaman pra-
sejarah 5000 tahun lalu.

Manusia purba ras Mongoloid mengembara
dari Yunan (Tiongkok Barat Daya), melalui Vietnam,
Kamboja, Muangthai, Semenanjung Melayu lalu
menyeberang ke Sumatera. Pada waktu itu ras
Melanesian Negroid dari Jawa sudah lebih dulu
mengembara sampai ke Pulau Sumatera. Maka
bertemulah ras Malayan Mongoloid dari Tiongkok
dengan ras Melanesian Negroid dari Jawa di Pulau
Sumatera.

Pada tanggal 30 Mei 2014, surat kabar Kompas
menulis sebuah artikel yang diberi judul, “Arkeologi :
Dua Ras bertemu di Goa Harimau.” Dalam artikel ini
diceritakan bahwa peneliti LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) menemukan dua jenis ras
manusia Homo Sapiens yang berbeda, yaitu ras
Malayan Mongoloid dan ras Melanesian Negroid
ketika ekskavasi situs Goa Harimau di Desa Padang
Sindu, Ogan Komering Ulu di Sumatera Selatan.

12

Pengarah tim peneliti arkeologi Goa Harimau
dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman
Simanjutak menyatakan bahwa Homo Sapiens
Melanesian Negroid dari Jawa lebih dulu datang ke
Goa Harimau, kemudian baru datang Homo Sapiens
Mongoloid dari Tiongkok. Setelah mereka bertemu
terjadilah adaptasi budaya antara keduanya lalu terjadi
perkawinan campuran ras Melanesian Negroid dengan
ras Malayan Mongoloid. Adanya perkawinan
campuran itu dibuktikan dengan ditemukannya ciri-ciri
campuran ras pada struktur tengkorak yang ditemukan
di sana.

Perkawinan Campuran Tionghoa-Jawa

Perantau Tionghoa mula-mula datang ke
Nusantara hanya mampir beberapa waktu dalam
rangka perjalanan ziarah agama Buddha ke India.
Beberapa abad kemudian baru mereka datang untuk
berdagang. Mereka membawa teh, sutera, porselen,
dan barang-barang lain untuk dijual di kota-kota pesisir
di pantai utara Pulau Jawa. Setelah barang-barang
dagangannya habis terjual, mereka kembali ke
Tiongkok membawa hasil bumi dari Pulau Jawa untuk
dijual di Tiongkok. Waktu itu mereka belum menetap
di Pulau Jawa.

Pada waktu melakukan perdagangan di Pulau
Jawa, para perantau Tionghoa berhubungan dan

13

berkomunikasi dengan penduduk setempat. Mereka
bernegosiasi untuk melakukan transaksi jual beli
barang dagangannya.

Perdagangan merupakan bagian dari aktivitas
sosial. Aktivitas sosial tidak akan terjadi tanpa ada
komunikasi sosial. Dalam kehidupannya, setiap
manusia tidak bisa lepas dari hubungan dengan
manusia lainnya (homo homini socius). Oleh karena
manusia adalah makhluk sosial, maka manusia
senantiasa saling berkomunikasi lalu berinteraksi
dengan sesama manusia lainnya.

Dalam suatu kelompok sosial, manusia
berinteraksi dengan sesamanya untuk menghasilkan
pergaulan hidup. Interaksi baru akan terjadi apabila
manusia saling berkomunikasi dan saling bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama.

Pedagang Tionghoa sudah berhasil menjalin
hubungan baik dengan penduduk pulau Jawa, maka
aktivitas perdagangan antara Tiongkok dengan Pulau
Jawa semakin ramai. Hubungan antara kelompok
pedagang Tionghoa dengan penduduk setempat
semakin meluas dan semakin intensif. Hubungan
perdagangan antara pedagang Tionghoa dengan
penduduk Jawa berlangsung dengan damai dan akrab.
Lambat laun mulai timbul rasa persahabatan dan rasa

14

saling bersimpati. Maka aktivitas perdagangan pun
semakin lancar.

Kontak sosial antara pedagang Tionghoa
dengan penduduk setempat sangat positif. Kerjasama
perdagangan pun semakin bergairah, baik pedagang
Tionghoa maupun penduduk Jawa semakin giat
melakukan aktivitas perdagangannya. Dengan
demikian perdagangan antara Tiongkok dengan Jawa
pun semakin hari semakin berkembang. Maka makin
hari makin banyak pedagang Tionghoa yang datang
untuk berdagang ke Pulau Jawa dan kemudian
bermukim dan menetap di Jawa.

Sejak pertengahan abad ke-9 semakin banyak
orang Tionghoa datang ke Jawa untuk bermukim dan
menetap. Mereka banyak bermukim di kota-kota
pesisir pantai utara Pulau Jawa.

Pemukim Tionghoa datang ke Jawa untuk
tujuan memperbaiki tingkat kehidupannya; mereka
mula-mula berusaha di bidang perdagangan. Dalam
melakukan usaha perdagangannya, mereka berusaha
keras untuk bergaul dan berinteraksi dengan penduduk
Jawa. Mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma
yang berlaku di wilayah itu, dan mereka juga berusaha
menghormati adat istiadat dan kebiasaan penduduk
Jawa, supaya mereka mendapat rasa simpati dari

15

orang-orang Jawa agar dapat membina hubungan yang
akrab dan harmonis.

Para perantau Tionghoa yang bermukim di
Jawa pada waktu itu semuanya bujangan. Oleh karena
perjalanan dengan kapal layar sangat berat dan
memakan waktu lama, mereka tidak membawa kaum
perempuan dari Tiongkok. Di Jawa hubungan mereka
dengan penduduk Jawa sangat baik dan sudah saling
bersimpati; sebagai manusia adalah wajar apabila
orang-orang Tionghoa yang masih bujangan jatuh cinta
dengan perempuan Jawa dan berkeinginan untuk
membentuk keluarga serta meneruskan keturunan,
sebab pada setiap manusia ada naluri yang mendorong
mereka mencari pasangan untuk meneruskan
keturunan. Naluri untuk meneruskan keturunan
merupakan suatu kebutuhan biologis manusia yang
bersifat mutlak. Oleh karena hubungan antara
pemukim Tionghoa dengan penduduk Jawa sudah
saling bersimpati, maka tidak sulit bagi pemukim
Tionghoa di Jawa untuk menikahi perempuan Jawa.
Terjadilah perkawinan Campuran Tionghoa-Jawa.

Dari perkawinan campuran Tionghoa-Jawa,
lahirlah anak-anak yang disebut peranakan Tionghoa.

Peranakan Tionghoa kebanyakan berorientasi
pada kebudayaan setempat karena semasa kecil diasuh
oleh ibu yang perempuan Jawa dan hidup di

16

lingkungan pergaulan dengan anak-anak Jawa.
Sekalipun tentu saja ada sebagian yang masih
berorientasi pada kebudayaan Tionghoa karena ketika
mulai meningkat dewasa mendapat didikan dari
ayahnya yang orang Tionghoa. Bila generasi
berikutnya kawin lagi dengan penduduk Jawa, maka
dapat dipastikan mereka akan semakin menganut
kebudayaan Jawa dan ciri-ciri fisiknya sebagai
keturunan Tionghoa pun semakin pudar.

Selanjutnya bila generasi berikutnya kawin lagi
dengan penduduk pribumi dapat diperkirakan
kebudayaan Tionghoanya akan makin pudar, dan ciri-
ciri fisiknya sebagai keturunan Tionghoa semakin tidak
kentara. Maka pada akhirnya sebagian dari mereka
menjadi orang Jawa, menjadi pribumi.

Bila perempuan peranakan Tionghoa kemudian
menikah dengan laki-laki Tionghoa yang baru datang
dari Tiongkok (Sin Khe), demikian pula selanjutnya
anaknya kawin lagi dengan Sin Khe, maka
keturunannya tetap memiliki kebudayaan Tionghoa
dan ciri-ciri fisiknya lebih serupa dengan orang
Tionghoa. Keturunannya hidup dalam kebudayaan
Tionghoa yang sudah tercampur dengan kebudayaan
Jawa. Maka mereka disebut Tionghoa peranakan.

Makin hari makin banyak orang Tionghoa
peranakan di Jawa; mereka mempunyai kebudayaan

17

yang berbeda dengan kebudayaan Tionghoa. Walaupun
mereka masih hidup dalam kebudayaan Tionghoa,
tetapi sudah tidak murni lagi. Kebudayaan mereka
adalah kebudayaan campuran. Oleh karena di Jawa
semakin hari semakin banyak orang Tionghoa
peranakan, maka perkawinan antara sesama Tionghoa
peranakan pun semakin banyak terjadi. Mereka tetap
memelihara kebudayaan campuran Tionghoa-Jawa,
yang juga disebut kebudayaan Tionghoa peranakan.

18

BAB III

ASIMILASI TIONGHOA
PERANAKAN DI JAWA

Frekuensi perkawinan campuran yang semakin
tinggi pada waktu awal kedatangan perantau Tionghoa
di Jawa melahirkan makin banyak anak yang disebut
Tionghoa peranakan.

Kata “peranakan” berasal dari kata “anak,” jadi
“peranakan” berarti anak dari bumi atau “anak dari
kelahiran setempat.” Kemudian kata “peranakan”
diperluas cakupannya sampai termasuk juga orang-
orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Nusantara
dan mereka tidak lagi bicara dalam bahasa Tionghoa;
mereka bicara dengan menggunakan bahasa setempat
(bahasa daerah) serta bertingkah laku seperti penduduk
setempat (orang-orang pribumi).

Ada pendapat lain tentang istilah “Tionghoa
peranakan.” Prof. Gondomono, M.A., Ph.D. (Guru
besar Studi Bahasa dan Kebudayaan Tionghoa), dalam
bukunya Manusia dan Kebudayaan Han, menyatakan

19

bahwa istilah “peranakan” untuk menunjukkan orang
Tionghoa adalah keturunan dari perkawinan campuran
dengan perempuan salah satu etnis di Indonesia, sangat
buruk dan absurd.

Selanjutnya dikatakan “kita tahu bahwa
‘peranakan’ arti harfiahnya adalah ‘rahim.’ Siapa
sebenarnya dulu yang memulai istilah itu dan kapan?
Kita tidak pernah membaca dalam bahasa Inggris: she
or he is a ‘womb American’ atau dalam bahasa
Belanda: Hij of Zij is een ‘baarmooder Chinees.”

Sampai sekarang istilah “Tionghoa peranakan”
masih banyak dipakai dalam tulisan di koran dan buku-
buku. Maka dalam buku ini, untuk membedakan antara
Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok, penulis
masih tetap memakai istilah “Tionghoa peranakan.”

Perantau Tionghoa yang datang belakangan
juga banyak melakukan perkawinan dengan perempuan
Jawa, kebiasaan ini berlangsung terus hingga berabad-
abad. Maka ada sebagian masyarakat Jawa di
sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa yang dapat
diduga merupakan kelompok masyarakat yang lahir
dari proses perkawinan campuran antara perantau
Tionghoa dengan perempuan Jawa.

Kelompok peranakan ini baik yang laki-laki
maupun perempuan, kemudian ada yang menikah
dengan orang-orang pribumi atau dengan sesama

20

peranakan. Makin hari orang-orang Tionghoa
peranakan makin sedikit ciri-ciri Tionghoanya. Bahkan
dapat dikatakan semakin sulit dibedakan dengan orang
Jawa.

Dalam buku Identitas Tionghoa pasca-Suharto,
Chang-Yau Hoon (Asisten Profesor Kajian Asia di
Singapore Management University) menyatakan,
“Banyak orang di kota-kota pesisir pantai utara Jawa
sekarang ini, merupakan generasi hibrida hasil silang
budaya antara budaya Tionghoa dengan budaya Jawa.”

Asimilasi Tionghoa Peranakan

Anak-anak Tionghoa peranakan dibesarkan dan
dididik menurut adat istiadat Jawa oleh ibunya dan
dididik menurut kebudayaan Tionghoa oleh ayahnya.
Mereka bicara dalam bahasa Tionghoa dengan
ayahnya, tetapi dengan ibunya dan teman-temannya
mereka bicara dalam bahasa Jawa. Mereka hidup
dalam kebudayaan campuran. Asimilasi budaya
Tionghoa dengan budaya Jawa sudah terjadi pada diri
anak-anak Tionghoa peranakan.

Proses asimilasi adalah proses sosial yang
timbul apabila terdapat kelompok-kelompok manusia
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda,
saling berinteraksi secara intensif serta dalam waktu
yang lama, pertemuan budaya-budaya antara kelompok
itu masing-masing berubah watak khasnya, dan unsur-

21

unsur kebudayaannya saling berubah sehingga
memunculkan suatu watak kebudayaan yang baru,
yaitu kebudayaan campuran.

Asimilasi Tionghoa peranakan di Jawa
berlanjut berabad-abad, makin lama anak-anak
Tionghoa peranakan makin menyerupai orang Jawa
dan pada generasi selanjutnya Tionghoa peranakan
makin tidak menguasai bahasa Tionghoa. Dalam
keluarga dan dalam pergaulan di luar rumah, mereka
berbicara menggunakan bahasa Jawa. Mereka juga
semakin kurang mengerti adat istiadat Tionghoa,
karena sejak kecil mereka menerima pendidikan adat-
istiadat campuran yang disebut “budaya Tionghoa-
Jawa” atau disebut juga “budaya Tionghoa peranakan.”
Dengan demikian, artinya orang-orang Tionghoa
peranakan dapat dikatakan sudah berasimilasi dan
sudah terasimilasi.

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf
lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha
mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara
orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia.
Asimilasi juga meliputi usaha-usaha untuk
mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses
mental orang perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

22

Jadi proses asimilasi berkembang melalui
perjalanan panjang. Mula-mula saling berkomunikasi
lalu masing-masing berusaha beradaptasi, kemudian
saling berinteraksi lalu berintegrasi dan berasimilasi.

Apabila ada orang yang berasimilasi ke dalam
suatu kelompok manusia atau masyarakat lain, maka ia
tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok
tersebut, yang mengakibatkan bahwa mereka tidak lagi
dianggap sebagai orang asing. Dalam proses asimilasi,
mereka mengidentifikasikan diri dengan kepentingan-
kepentingan serta tujuan-tujuan bersama. Apabila dua
kelompok manusia mengadakan asimilasi, batas-batas
antara kelompok tadi akan hilang dan perbedaan
kebudayaan dua kelompok akan berkurang dan kedua-
duanya akan lebur menjadi satu kelompok baru dengan
budaya baru.

Pada dasarnya asimilasi hanya akan berjalan
secara baik manakala ada sikap toleransi dan simpati
antara masyarakat pendatang dengan penduduk
setempat. Hal demikian sudah terjadi pada perantau
Tionghoa dengan warga Jawa.

Tionghoa peranakan di Jawa mengenal dua
macam kebudayaan, yaitu kebudayaan Tionghoa dan
kebudayaan Jawa, maka pada diri seorang Tionghoa
peranakan terdapat kebudayaan campuran yang disebut
kebudayaan Tionghoa peranakan. Dengan demikian

23

dapat dikatakan sudah terjadi asimilasi pada diri orang
Tionghoa peranakan yang berkebudayaan campuran
Tionghoa-Jawa. Maka tidak dapat dibantah lagi bahwa
asimilasi orang-orang Tionghoa peranakan di Jawa
sudah terjadi sejak lebih dari seribu tahun lalu.

Awak Kapal Armada Cheng Ho Berasimilasi di
Semarang

Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644 M)
perdagangan luar negeri dan pelayaran melalui
samudera yang telah dimulai sejak zaman Dinasti Tang
(618-906 M) semakin dikembangkan. Pada abad
kelima belas, tidak diragukan lagi bahwa Tiongkok
merupakan pasar terpenting bagi barang-barang
dagangan Asia Tenggara. Marcopolo menyatakan
bahwa setiap ada satu kapal Itali berlabuh di
Alexandria (Mesir), seratus kapal bermuatan penuh
rempah-rempah dari Asia Tenggara berlabuh di
pelabuhan Kwangchou (Tiongkok).

Pada awal abad ke-15 perekonomian Dinasti
Ming semakin berkembang. Sangat melonjaknya
permintaan akan produksi dari Asia Tenggara di
Tiongkok adalah karena tujuh ekspedisi perdagangan
negara yang diperintahkan oleh Kaisar Yong Le (1402-
1414 M).

Pada tahun 1405 Kaisar Yong Le menunjuk
Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim Tionghoa dari

24

provinsi Yunan, untuk memimpin sebuah armada yang
berkekuatan 300 buah kapal dengan 27.000 anak buah
berlayar menuju Nan Yang (Asia Tenggara) dalam
sebuah ekspedisi pamer kekuatan, menjalin
persahabatan, dan mengembangkan perdagangan.

Antara tahun 1405-1433, ekspedisi Cheng Ho
berlayar sampai tujuh kali menuju Nan Yang (Asia
Tenggara) dan Samudera Indonesia.

Di kalangan penduduk keturunan Tionghoa di
Indonesia, tersiar cerita saat armada Cheng Ho berada
di tepi pantai utara Jawa, Ong King Hong (perwira
armada Cheng Ho) mendadak sakit keras. Cheng Ho
memerintahkan armadanya untuk singgah di pelabuhan
Simongan (Semarang).

Setelah mendarat di Semarang, Cheng Ho dan
awak kapalnya menemukan sebuah goa yang kemudian
digunakan sebagai tangsi sementara. Sebuah pondok
kecil dibangun di luar goa dan dipakai sebagai tempat
peristirahatan dan pengobatan bagi Ong King Hong.
Sepuluh hari kemudian Cheng Ho melanjutkan
pelayaran ke barat dengan meninggalkan sepuluh awak
kapal untuk menjaga dan merawat Ong King Hong,
serta sebuah kapal dan sejumlah perbekalan.

Namun setelah sembuh dari sakit, Ong King
Hong ingin tetap tinggal di Semarang. Dia memimpin
sepuluh orang awak kapalnya untuk membuka lahan

25

dan membangun rumah. Apabila Ong mau menyusul
armada Cheng Ho, mereka bisa menggunakan kapal
yang ditinggalkan sebelumnya. Namun ia lebih suka
menetap di Pulau Jawa.

Kapal yang ditinggalkan Cheng Ho untuk Ong,
kemudian dipergunakan Ong untuk usaha dagang di
sepanjang pantai. Dalam setiap pelayaran mereka akan
singgah di beberapa bandar. Awak kapalnya kemudian
banyak yang menikah dengan perempuan Jawa. Berkat
jerih payah Ong dan anak buahnya, kawasan sekitar
goa berangsur-angsur menjadi ramai dan makmur.
Banyak Tionghoa peranakan dan penduduk Jawa yang
datang untuk bermukim, lalu menetap serta bercocok
tanam di sana. Terbentuklah komunitas campuran
Tionghoa dan Jawa, terjadilah percampuran budaya
Tionghoa dengan budaya Jawa. Terjadilah asimilasi.

Sampai sekarang makam Ong King Hong yang
oleh masyarakat Muslim Jawa disebut Kyai Juru Mudi
Dompo Awang di Sam Po Kong, di pinggir kota
Semarang, ramai diziarahi oleh masyarakat Tionghoa
dan Muslim Jawa. Kejadian seperti ini merupakan
bukti bahwa di wilayah pinggiran kota Semarang telah
terjadi asimilasi antara kebudayaan Tionghoa dan
kebudayaan Jawa.

26

Pembauran “Cina Benteng”

Sebutan “Cina Benteng” mengacu pada
keberadaan benteng yang dibangun VOC di sisi timur
sungai Cisadane. Benteng itu dibangun untuk
melindungi kota Batavia yang pada abad ke-17
menjadi pusat perdagangan VOC di Asia Tenggara.

Pada abad ke -17 setelah VOC berkuasa di
Batavia, mereka memperluas wilayah kekuasaannya
sampai ke wilayah Tangerang. Di sana VOC
membangun sebuah benteng yang dinamakan Benteng
Makassar. Banyak orang Tionghoa yang bermukim
dalam benteng itu, tetapi kemudian, karena tidak suka
dengan aturan-aturan VOC yang sangat mengekang
orang Tionghoa, banyak orang Tionghoa keluar dari
dalam benteng dan membentuk pemukiman komunitas
Tionghoa di sekitar benteng.

Pada tahun 1740, terjadi peristiwa pembantaian
orang Tionghoa di Batavia. Setelah terjadi peristiwa
itu, orang-orang Tionghoa di Batavia merasa mendapat
tekanan dari VOC, maka sebagian dari mereka
meninggalkan Batavia mencari pemukiman baru dan
banyak di antara mereka yang menuju ke wilayah
Tangerang. Di sana mereka bergabung dengan
komunitas Tionghoa yang bermukim di sekitar benteng
Makassar. Komunitas Tionghoa yang bermukim di
sekitar Benteng Makassar itulah yang kemudian

27

disebut “Cina Benteng.” Kemudian sebutan “Cina
Benteng” juga mencakup masyarakat Tionghoa yang
tersebar di sepanjang Sungai Cisadane sampai kawasan
Cikupa dan di pedalaman hingga ke Tanjung Kait di
pesisir Tangerang.

Awal Kedatangan Orang Tionghoa ke Tangerang

Konon keberadaan Tionghoa perantauan di
kawasan Tangerang sudah ada sebelum bangsa
Portugis dan bangsa Belanda menginjakkan kakinya di
Pulau Jawa.

Dalam majalah Historia nomor 10 tahun I,
2013, ada sebuah artikel yang menceritakan awal
kedatangan orang Tionghoa ke wilayah Tangerang.
Pada artikel itu diceritakan bahwa orang Tionghoa
pertama kali datang ke wilayah Tangerang pada tahun
1407. Pada waktu itu kapal layar rombongan saudagar
Tjen Tjie Lung yang berlayar dari Tiongkok menuju
pelabuhan Jayakarta, ketika hampir sampai di Bandar
Jayakarta, kapalnya rusak, sehingga terdampar ke
muara Sungai Cisadane (sekarang disebut Teluk Naga).
Saudagar Tjen bersama 9 gadis dalam rombongannya
menghadap penguasa setempat, Sang Hyang
Anggalarang untuk minta bantuan.

Gadis-gadis itu menarik perhatian para
pembesar kerajaan. Lalu gadis-gadis itu dilamar dan
kemudian terjadilah perkawinan dengan bangsawan

28

kerajaan. Sebagai imbalan, rombongan saudagar Tjen
diberikan sebidang tanah di sebelah timur Sungai
Cisadane. Rombongan Tjen menjadi gelombang awal
pemukim Tionghoa di wilayah Tangerang.

Komunitas Tionghoa di kawasan Teluk Naga di
pesisir Tangerang terus berkembang, sehingga banyak
kapal layar dari Tiongkok yang berlabuh dan
berdagang di sana. Teluk Naga memperoleh nama itu
karena banyak kapal dari Tiongkok yang dihiasi kepala
naga pada bagian haluannya, berlabuh di teluk yang
berada di muara Sungai Cisadane tersebut. Maka
wilayah muara Sungai Cisadane tersebut dinamakan
Teluk Naga.

Teluk Naga makin hari makin ramai, semakin
hari semakin banyak pedagang Tionghoa yang datang
lalu bermukim dan menetap di sana. Kaum laki-laki
Tionghoa yang bermukim di Teluk Naga banyak yang
menikah dengan perempuan setempat. Perkawinan itu
kemudian melahirkan anak-anak yang membentuk
komunitas Tionghoa peranakan di Tangerang.
Tionghoa peranakan dari Teluk Naga terus
berkembang dan kemudian menyebar ke seluruh
wilayah Tangerang.

Tradisi Leluhur Masih Tetap Dipertahankan

“Cina Benteng” berkulit gelap, bermata lebar
dan mempunyai ciri tubuh sama seperti orang-orang

29

pribumi. Mereka memang Tionghoa peranakan yang
mempunyai nenek moyang perempuan pribumi dan
pekerjaannya sebagian besar adalah petani yang setiap
hari bekerja di bawah terik matahari. Maka tidak heran
mereka berkulit gelap dan bermata lebar seperti orang-
orang pribumi.

Perempuan “Cina Benteng” di Tangerang
berpakaian sarung kebaya dan menata rambutnya yang
panjang dengan berkonde (bersanggul) serupa dengan
perempuan Sunda.

Walaupun penampilan fisik dan cara
berpakaian “Cina Benteng” sama seperti orang-orang
Sunda atau orang-orang Banten, tetapi mereka masih
sangat terikat tradisi dan adat istiadat leluhurnya dari
Tiongkok. Di dalam rumahnya, tepat berhadapan
dengan pintu masuk rumah, ada “meja abu” lengkap
dengan guci-guci kecil, hio lo (tempat dupa) dan foto
para leluhur. “Meja abu” adalah sarana tempat mereka
memuja leluhur. Mereka masih menganut ajaran
Konghucu yang sangat menekankan budi pekerti
berbakti pada orangtua dan para leluhur.

Walaupun “Cina Benteng” tidak mengerti
bahasa Tionghoa dan mereka berbicara dengan
menggunakan bahasa Betawi yang bercampur dengan
bahasa Sunda pesisir, tetapi masih banyak tradisi
Tionghoa kuno yang mereka pertahankan. Antara lain,

30

upacara perkawinan tradisional yang disebut “cio thau”
(kapan pengantin laki-laki harus keluar rumah, kapan
mulai melangkah, dan kapan upacara perkawinan harus
digelar, semuanya harus dihitung berdasarkan
perhitungan ajaran Taoisme). Mereka juga masih
melakukan upacara kematian menurut tradisi Tiongkok
kuno yang disebut “siu pan” (upacara kematian yang
harus mentaati ketentuan, kapan hari dan jam
penguburan yang baik, yang harus dihitung menurut
ajaran Taoisme).

Tradisi leluhur yang sudah kuno itu masih terus
dilakukan di kantong-kantong “Cina Benteng” di udik
(pedalaman) wilayah Tangerang, seperti Panongan,
Curug, Kelapa Dua, Tiga Raksa, Legok, dan Balaraja.
Walaupun “Cina Benteng” tetap memelihara tradisi
leluhurnya, tetapi nyatanya sebagian besar dari mereka
tidak mengerti kenapa mereka harus melakukannya.
Hanya sedikit orangtua yang masih mengerti ala
kadarnya. Maka orang-orangtua itulah yang
mengarahkan ritual tradisi bagi mereka yang lebih
muda.

Walaupun ciri fisik, cara berpakaian dan logat
bahasa “Cina Benteng” sama dengan orang-orang
pribumi Tangerang, tetapi mereka masih memegang
teguh tradisi dan adat istiadat Tionghoa yang sudah
kuno dengan sangat ketat. Maka dapat dikatakan “Cina
Benteng” hidup dalam kebudayaan campuran.

31


Click to View FlipBook Version