The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

perasaan sesama bangsa dan persatuan tak dapat
dicapai, maka punahlah segala pengharapan untuk
kemudian hari kita hidup di Indonesia. Akan
tetapi, bila kita berhasil dan dapat menghilangkan
rasa curiga-mencurigai hingga hubungan menjadi
sehat, maka besarlah pengharapan kami, bahwa di
Indonesia pun pengalaman kita di Nederland ini
dapat dijadikan dasar penghidupan untuk masa
depan nanti”.

Pada tahun 1952 CHH tidak berhasil
dibubarkan karena tidak memperoleh dua per tiga
jumlah suara. Para pemerakarsa pembubaran
secara masal keluar dari CHH, yang kemudian
diikuti banyak anggota lain yang lalu bergabung
ke dalam PPI. Ini membuat CHH impoten.
Akhirnya sepuluh tahun kemudian (1962) CHH
bubar juga.

Pada tahun 1960 ia pulang ke Indonesia
dan banyak menulis di Star Weekly tentang
gerakan asimilasi. Konsep asimilasi total atau

432

peleburan seratus persen yang berarti
menghilangkan sama sekali identitas sebagai
anggota golongan etnis Tionghoa sangat ditentang
oleh Baperki.

Politisasi Masalah Asimilasi

Untuk menghadapi tindakan diskriminasi
terhadap nonpribumi, kelompok Baperki
mengusulkan formula “Terapi Komunis”. Baperki
ingin mempertahankan kebudayaan Tionghoa
yang murni dan tetap mempertahankan
pengelompokan etnis Tionghoa yang eksklusif,
lalu kelompok etnis Tionghoa itu memperjuangkan
proses menuju ke masyarakat sosialis (komunis).
Bila masyarakat sosialis sudah tercapai, otomatis
tidak ada lagi diskriminasi terhadap etnis
Tionghoa.

Formula “Terapi Komunis” mendapat
dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan kelompok progressif revolusioner lainnya.

433

Dengan demikian Baperki sudah masuk ke dalam
kelompok progressif revolusioner.

Kelompok Baperki mendapat tantangan
dari kelompok etnis Tionghoa yang anti komunis
dan mereka adalah pencetus “Piagam Asimilasi”.
Dalam pandangan mereka, untuk menjadikan
“Orang Indonesia yang murni dan patriotik”, etnis
Tionghoa harus dilebur ke dalam penduduk
Indonesia asli, sehinga tidak ada lagi golongan
minoritas Tionghoa yang eksklusif, maka dengan
sendirinya tidak ada lagi diskriminasi terhadap
keturunan Tionghoa yang sudah terlebur jadi
pribumi. Kelompok Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa (LPKB) yang pro asimilasi ini mendapat
dukungan dari militer dan partai-partai politik
yang berseberangan dengan PKI.

Maka terjadilah polarisasi antara Baperki
yang didukung PKI dengan kelompok LPKB yang
didukung militer. Jadi etnis Tionghoa terpecah
dalam dua kubu yang pada waktu itu

434

berseberangan, bahkan dapat dikatakan sedang
berseteru.

Karena Baperki berseberangan dengan
LPKB, maka konsep integrasi dari Baperki dan
konsep Asimilasi dari LPKB juga dipertentangkan
dengan sengit serta dijadikan polemik yang tiada
hentinya.

Setelah peristiwa G30S, PKI runtuh dan
Baperki bubar. TNI berkuasa dan semakin lama
semakin kuat. Semua etnis Tionghoa dicurigai
karena dianggap memiliki security risks sehingga
mereka harus “dibina” oleh Badan Koordinator
Masalah Cina (BKMC) dan Badan Koordinator
Inteligen (BAKIN). Pada zaman Orde Baru orang
Tionghoa boleh berdagang apa saja tetapi tidak
boleh berkegiatan di bidang politik karena
dianggap berbahaya. Semua yang berbau Cina
harus dicurigai sebagai kolone kelima. Pada waktu
itu di RRC sedang terjadi Revolusi Kebudayaan,
Partai Komunis Cina sedang radikal dan garang.

435

“Radio Peking” juga sering mengompori
permasalahan di Indonesia, sehingga menimbulkan
imbas yang merugikan etnis Tionghoa.

Kebijaksanaan asimilasi yang diterapkan
pemerintah Soeharto sangat otoriter. Soeharto
sendiri menyatakan secara jelas bahwa warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa harus segera
berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat
Indonesia asli. Dengan sangat otoriter Soeharto
memaksakan penghapusan tiga pilar utama
kebudayaan Tionghoa. Tiga pilar kebudayaan
yang dihapus itu adalah Sekolah Tionghoa, Pers
Tioghoa, dan Organisasi Massa Tionghoa.

Asimilasi antara perantau Tionghoa dengan
penduduk pribumi sudah terjadi lebih dari seribu
tahun lalu. Dari asimilasi itu lahir kaum Tionghoa
peranakan dan berkembang kebudayaan Tionghoa
peranakan, semuanya terjadi dengan sukarela dan
alamiah melalui proses interaksi sosial dan
pembauran yang spontan. Pada zaman Orde Baru

436

proses asimilasi menjadi proses yang dipaksakan.
Pemaksaan bagi etnis Tionghoa untuk melepaskan
kebudayaannya dan berasimilasi secara total
menjadi pribumi tidak disukai oleh sebagian etnis
Tionghoa, maka pada tahun 1977 ketika Bakom
PKB dibentuk, para pengurusnya yang sebagian
besar adalah mantan aktivis LPKB, tidak mau lagi
menggunakan istilah asimilasi. Mereka
menggunakan kata “pembauran”, karena kata
“asimilasi, oleh pemerintah Orde Baru sudah
diartikan sebagai asimilasi total (amalgamasi), dan
orang Tionghoa dipaksa beramalgamasi.

Dalam buku Tengara Orde Baru Kisah
Harry Tjan Silalahi yang ditulis oleh J. B.
Soedarmanta, disajikan satu bab khusus yang
diberi judul PEMBAURAN. Pada bab khusus
yang membahas “pembauran” itu, Harry
menjelaskan tentang “Konsep Pembauran” yang
dikampanyekan Bakom PKB.

437

- Masalah pembauran sebetulnya menjadi
bagian dari masalah nation and character
building yang merupakan suatu proses di
mana masalah “kecinaan” pada akhirnya
diterima sebagai bagian dari Indonesia.

- Istilah “pembauran” sendiri berasal dari
Bung Karno yang menginginkan agar
proses integrasi masyarakat Tionghoa
menjadi bangsa Indonesia berjalan secara
alamiah. Jadi, asimilasi dan pembauran
harus berjalan terus dan tidak boleh
eksklusif atau menutup diri terhadap
lingkungan sekitar.

- Proses pembauran adalah proses alamiah
yang menjadi bagian dari suatu masyarakat
yang berlangsung tanpa harus dipaksakan
dari luar. Dalam pembauran, identitas etnik
tetap dihormati eksistensinya. Ini berbeda
dengan “peleburan” yang berarti tiadanya

438

lagi identitas suatu etnik karena masuk
dalam identitas etnik yang lain.

- Para tokoh keturunan Tionghoa berusaha

membimbing masyarakatnya untuk

“menjadi Indonesia” atau

“mengindonesia”. Dalam proses menjadi

Indonesia itu ternyata situasi dan kondisi

politik nasional tidak membiarkan

semuanya berjalan dengan alamiah. Ada

infiltrasi politik yang memasuki proses itu.

Menurut Harry, sebenarnya masalah

integrasi dan asimilasi adalah suatu proses

alamiah dan mendapat analisis ilmiah,

yaitu perkembangan dari adaptasi ke

integrasi menuju ke asimilasi. Tetapi secara

politis-ideologis proses yang seharusnya

terjadi secara alamiah menjadi “power

confrontation” dan dipolemikkan serta

kadang-kadang diajukan dengan contoh

yang “vulgar” dan pedas.

439

- Pembauran harus berlangsung berdasarkan
itikad baik dari dua arah. Jadi tidak
bertepuk sebelah tangan, baik dari warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa
maupun dari suku-suku lain yang
dipandang sebagai pribumi.

- Pembauran tidak akan dapat berjalan jika
hanya dari langkah orang-orang Tionghoa
yang membaur secara individu. Politik
pemerintah juga harus membuka
kesempatan yang seluas-luasnya bagi
anggota masyarakat Indonesia yang
Tionghoa.

- Tentu saja langkah membuka kesempatan
itu harus diimbangi dengan langkah
konkret dari masyarakat Tionghoa sendiri
untuk benar-benar menunjukkan bahwa
mereka pantas disebut sebagai orang
Indonesia paripurna. Jangan sampai

440

pendulum bergerak ke ekstrim lain, dari
menerima menjadi antipati.
Dari jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa
yang sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, yang
sudah terjadi secara alamiah dan secara sukarela,
kemudian pada zaman Orde Baru karena dipaksakan
untuk berasimilasi total, dipaksakan untuk
beramalgamasi, maka istilah asimilasi menjadi tidak
disukai di kalangan etnis Tionghoa sehingga orang-
orang etnis Tionghoa lebih suka menggunakan kata
“pembauran” untuk menggantikan istilah “asimilasi.”

441

BAB XVI

KONSEP ASIMILASI
MELALUI SILANG
BUDAYA

Pada masa kepresidenan SBY, pada tanggal 11
Juli 2006. Sidang Paripurna DPR menyetujui
Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan yang
baru (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006).
Dengan sendirinya, Undang-Undang Kewarganegaraan
Nomor 62 Tahun 1958 tidak berlaku lagi.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah
tidak menggunakan lagi kata “keturunan asing”, dan
pada Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang Indonesia

442

asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

Dengan penjelasan ini berarti anak-anak dari
warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, Arab,
India, dan bangsa-bangsa lainnya sudah menjadi
bangsa Indonesia asli. Dengan demikian anak-anak
dari warga negara Indonesia etnis Tionghoa sudah
menjadi pribumi.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia
hampir semua dilakukan atas dasar bahwa orang-orang
etnis Tionghoa adalah warga negara Indonesia
nonpribumi. Sesudah WNI etnis Tionghoa disamakan
dengan orang-orang Indonesia asli (pribumi), maka
sumber untuk dijadikan dasar buat melakukan tindakan
diskriminasi sudah tidak ada lagi.

Karena orang Indonesia asli, sekarang dijelaskan
sebagai orang Indonesia yang menjadi warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri,

443

maka dapat dikatakan bahwa sekarang konsep bangsa
Indonesia didasarkan pada status kewarganegaraan
seseorang, ditentukan atas dasar status juridis, bukan
etnis atau ras. Dengan demikian, perdebatan yang
diskriminatif dan konfliktif tentang asli atau tidak asli
sudah ditutup. Dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa yang diteguhkan oleh
Undang-Undang lama harus menjadi masa silam
bangsa.

Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, etnis
Tionghoa sudah disamakan dengan sesama bangsa
Indonesia dari suku bangsa lainnya, maka sekarang
WNI etnis Tionghoa sudah dapat menyatakan diri
sebagai bangsa Indonesia suku Tionghoa. Tidak ada
lagi alasan untuk menolak pengakuannya.

444

Kebudayaan Tionghoa Menjadi Bagian dari
Kebudayaan Indonesia

Sejalan dengan perkembangan kehidupan
demokrasi, setiap manusia atau kelompok
masyarakat mempunyai hak untuk hidup dan
memelihara kebudayaannya sendiri. Pengakuan
terhadap kebudayaan yang berjenis-jenis di dalam
suatu negara telah merupakan suatu cara hidup
berbangsa yang modern. Inilah yang dikenal
sebagai multikulturalisme.

Setiap suku bangsa mempunyai hak untuk
memelihara kebudayaannya, maka bangsa
Indonesia suku Tionghoa juga mempunyai hak
untuk memelihara kebudayaannya dan
mengembangkan budaya komunitasnya di negara
Republik Indonesia.

Dalam suasana reformasi, Indonesia pun
mulai melihat diri dan dunia dengan kaca mata
baru, UUD 1945 pun mengalami amandemen.
Ketika itu pula sikap terhadap kebudayaan

445

dirumuskan kembali. Maka dalam Bab XIII (pasal
32 ayat 1) dinyatakan, “Negara memajukan
kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
kebudayaan”.

Pembauran Antarsuku dan Silang Budaya

Interaksi merupakan salah satu upaya untuk
menjaga persatuan suku-suku. Artinya interaksi
antarsuku dapat mencegah perpecahan bangsa.
Kalau tidak terjadi interaksi antarsuku, maka
negara tersebut akan mudah terpecah.

Bangsa Indonesia etnis Tionghoa (suku
Tionghoa) yang merupakan bagian integral dari
bangsa Indonesia, juga harus berinteraksi dengan
suku bangsa Indonesia lainnya. Tidak boleh
eksklusif, hanya berbaur dengan sesama etnis
Tionghoa saja.

446

Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru,
walaupun “Founding Fathers” negara Republik
Indonesia sudah menyatakan bahwa negara
Republik Indonesia adalah sebuah negara
kebangsaan (nation state), dan kemudian
ditetapkan melalui Pancasila dan UUD 1945,
tetapi pola pikir pemerintah pada waktu itu, masih
mengacu pada konsep bangsa Indonesia
berdasarkan konsep suku bangsa pribumi. Maka
pemerintah pada waktu itu menekankan proses
asimilasi total bagi etnis Tionghoa (suku
Tionghoa). Artinya etnis Tionghoa yang
nonpribumi harus berasimilasi secara total ke
dalam suku bangsa pribumi, baru dapat dianggap
sebagai bangsa Indonesia asli. Tetapi sekarang
sesudah bangsa Indonesia suku Tionghoa menjadi
bangsa Indonesia asli, menjadi pribumi, atas dasar
satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, multi budaya,
interaksi suku bangsa Tionghoa dengan suku
bangsa lainnya, cukup melalui proses pembauran
antarsuku dan silang budaya antarsuku.

447

Eddie Lembang, Ketua Pendiri Yayasan
Nation Building, menciptakan konsep yang sangat
tepat untuk mendorong bangsa Indonesia yang
majemuk berintegrasi atau berasimilasi melalui
konsep Cross Cultural Fertilization (Penyerbukan
Silang Antarbudaya). Konsep ini memadukan
semua unsur yang baik dari macam-macam
kebudayaan suku-suku, untuk menghasilkan
kebudayaan Indonesia yang makin maju.

Pada tanggal 30 September 2006, Drs.
Eddie Lembang mendirikan Yayasan Nation
Building (Nabil) di Jakarta. Tujuannya untuk
melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
pemahaman antar-etnis dan intra-etnis yang dapat
memajukan proses nation building Indonesia.

Eddie Lembang

Eddie Lembang dilahirkan pada tanggal 30
September 1936 di desa kecil Palasa, yang
termasuk dalam Kecamatan Tinombo, di Teluk
Tomini, Sulawesi Tengah.

448

Usai Perang Dunia II, tepatnya pada tahun
1947, demi memperbaiki taraf kehidupan dan hari
depan pendidikan anak-anak, ayahnya menyewa
perahu membawa anak-anaknya ke Gorontalo,
sehingga Eddie dapat bersekolah di sekolah
Tionghoa. Pada tahun 1955-1957, ia pindah
belajar dengan memasuki SMA Katolik Don
Bosco di Manado. Setelah lulus SMA, ia kuliah di
ITB. Semasa kuliah Eddie aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan dan menjadi pemimpin
mahasiswa. Di tahun 1961 ia menjabat sebagai
ketua Perhimpunan Mahasiswa Farmasi ITB.

Setelah lulus dari Fakultas Farmasi ITB
Eddie Langsung menjadi dosen dan sempat
terpilih pula sebagai sekretaris umum Ikatan
Sarjana Farmassi Indonesia (ISFI) pengurus
cabang Jawa Barat.

Dalam periode 1969-1974 Eddie menjabat
direktur PT. Wigo (sebuah perusahaan farmasi).
Di tahun 1974 ia mendirikan pabrik farmasi PT.

449

Pharos. Semenjak tahun 1972 selama 12 tahun
berturut-turut ia menjabat di kepengurusan
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan gerakan
Reformasi, seirama dengan kemajuan zaman, di
tahun 1999 Eddie menerjunkan diri ke dalam
kegiatan sosial. Kepemimpinan PT. Pharos
dialihkan kepada putranya yang telah menempuh
pendidikan di Amerika Serikat. Ia sendiri
bergabung dengan tokoh-tokoh komunitas
Tionghoa dan mendirikan Perhimpunan Indonesia-
Tionghoa (INTI) guna menentang diskriminasi
rasial dan perlakuan tidak adil terhadap etnis
Tionghoa.

Setelah meletakkan jabatan sebagai Ketua
Umum INTI (2005), untuk meneruskan cita-cita
luhurnya membangun bangsa, pada tanggal 30
September 2006, Eddie Lembang mendirikan
Yayasan “Nation Building” (Nabil).

450

Yayasan Nabil

Yayasan Nation Building (Nabil) ingin
turut serta membangun bangsa sesuai dengan
nama yang disandangnya. Nabil berharap dengan
melalui pendidikan dan pendalaman ilmu
pengetahuan, akan timbul konsepsi guna
mendorong maju seraya mengembangkan upaya
nation building. Dengan ini akan dapat tercipta
Indonesia Baru yang semakin maju, beradab,
berkeprimanusiaan dan bersatu.

Namun, seperti kita semua ketahui dan
sadari “Nation Building” adalah sesuatu hal yang
sangat luas cakupannya. Maka Nabil pun memilih
memfokuskan diri pada dua hal:

- Pertama, yakni memperbaiki perilaku yang
akan berdampak positif bagi kemajuan
bangsa melalui “Penyerbukan Silang
Antarbudaya”.

451

Dari hasil penelitian Harvard
Kennedy School dengan rajawali
Foundation yang disiarkan dalam
“Indonesia Menentukan Nasib (2010)”,
peneliti Harvard School itu menunjukkan
bahwa daya saing bangsa Indonesia adalah
yang paling rendah di ASEAN.

Yayasan Nabil juga menemukan
bahwa kelemahan bangsa Indonesia ada
pada bidang budaya. Sejauh ini yang
ditekankan pemerintah adalah kebijakan
state-building (pembangunan infrastruktur)
dan masih belum banyak menyentuh
permasalahan character building
(pembangunan karakter manusia), yang di
dalamnya termasuk soal budaya,
pendidikan moral, dan etika.

Budaya adalah perilaku kolektif
(collective behavior) suatu bangsa. Jika ia
rusak, maka bangsa tersebut akan menuju

452

ke jurang kehancuran. Untuk itu Nabil
menawarkan satu strategi kebudayaan
berupa “Penyerbukan Silang Antarbudaya”
(Cross Cultural Fertilization).

Intinya unsur-unsur budaya lokal
yang berkualitas dan memiliki nilai dorong
kemajuan dapat saling diserbuksilangkan.
Di samping menyerbukkan budaya-budaya
lokal yang ada, juga sangat dianjurkan
untuk menyerbukkan budaya Indonesia
dengan budaya-budaya unggul yang
berasal dari bangsa lainnya. Maka nantinya
akan terbentuk Budaya Indonesia baru
yang lebih harmonis, makin maju dan
makin unggul setara dengan
kebudayaan/peradaban bangsa-bangsa
maju lainnya. Dengan konsep
“Penyerbukan Silang Antarbudaya”
diharapkan semua etnis di Indonesia
membuka pikiran, berbesar hati,
mengambil nilai-nilai budaya yang baik

453

dari suku bangsa yang lain untuk diserap ke
dalam tubuh bangsa Indonesia.

- Kedua, terkait dengan golongan Tionghoa.
Setelah berlakunya UU Nomor 12/2006,
sudah saatnya kita semua menginsafi
bahwa etnis Tionghoa adalah bagian
integral dari bangsa Indonesia. Maka Nabil
hendak memperjuangkan upaya kesetaraan,
antara lain melalui penulisan buku sejarah
yang diharapkan akan mampu menjelaskan
kesalahpahaman terhadap golongan
Tionghoa, yang selama ini tidak disadari
oleh berbagai pihak, bahkan oleh golongan
Tionghoa sendiri. Maka Nabil ingin
menyelesaikan secara efektif dan tuntas
masalah-masalah yang memperlemah mata
rantai persatuan, seperti apa yang dulu
disebut sebagai “masalah Tionghoa di
Indonesia”.

454

Aktivitas Utama Nabil

Aktivitas utama Nabil dewasa ini adalah
memperkenalkan, menyebarluaskan dan
mengembangkan doktrin “Penyerbukan Silang
Antarbudaya” (Cross Cultural Fertilization)
sebagai ikhtiar untuk memperkuat kebudayaan
Indonesia menuju terbentuknya sebuah Budaya
Indonesia baru yang lebih harmonis, makin maju,
dan makin unggul, setara dengan
kebudayaan/peradaban bangsa-bangsa maju
lainnya.

Aktivitas penyerbukan antarbudaya untuk
memperkuat kebudayaan Indonesia menuju
terbentuknya sebuah budaya Indonesia baru, juga
merupakan upaya memajukan proses asimilasi
kebudayaan Indonesia menuju kebudayaan baru
yang lebih maju. Proses asimilasi kebudayaan
adalah satu proses pertemuan kebudayaan dari satu
kelompok masyarakat dengan kebudayaan dari
masyarakat lainnya yang berbeda, dan kemudian

455

masing-masing budaya berubah watak khususnya
dan kebudayaan masing-masing menjadi berubah
sehingga muncul suatu kebudayaan baru yaitu
kebudayaan campuran. Jadi kebudayaan dari satu
suku bangsa yang bercampur dengan satu
kebudayaan dari suku atau bangsa lainnya dan
menciptakan satu budaya baru yang lebih maju
dan semakin unggul adalah merupakan suatu
proses asimilasi kebudayaan. Penyerbukan silang
antarbudaya juga merupakan satu varian dari
asimilasi kebudayaan.

Dalam melakukan kegiatan dan
aktivitasnya, Yayasan Nabil mendapat dukungan
pemikiran dari berbagai tokoh masyarakat yang
memiliki kepakaran dalam bidang masing-masing.
Dewan Pakar (Alm) Dr. Thee Kian Wie, Didi
Kwartanada, Yerri Wirawan Ph.D, Prof. Dr.
Tamrin Amal Tomagola. MA, Prof. Dr. Bambang
Purwanto, A. Prasetyantoko Ph.D., Prof. Dr. Siti
Musalah Mulia, Dra. Mona Lohanda M.Phil, Dr.
Asvi Warman Adam, Prof. Dr. Saparinah Sadli,

456

Meli G Tan Ph.D, Dr. Anhar Gonggong dan Dr.
Yudi Latif.

Sinergi Budaya

Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, M.Msi,

mantan rektor Universitas Tarumanegara, dalam

artikelnya yang dimuat di Majalah Sinergi Nomor

18 Tahun II (April 2000) yang berjudul

Mengindonesiakan Ajaran Konghucu,

menyatakan, “Budaya dapat saja bersenergi.

Dalam sinergi ini, suatu budaya yang dirasakan

baik oleh suatu bangsa diterima oleh bangsa itu

untuk menjadi bagian dari budayanya. Sinergi

budaya sudah juga kita alami di Indonesia.”

“Seperti halnya ajaran Budha, ajaran
Socrates, ajaran Nabi Isa dan ajaran lainnya, ajaran
Konghucu adalah suatu ajaran yang universal. Isi
ajaran Konghucu tidak diperuntukkan bagi suatu
bangsa melainkan berlaku bagi seluruh umat
manusia di bumi ini. Karena itu ajaran Konghucu
sudah diterima di sejumlah negara di Asia Timur

457

termasuk Korea, Vietnam dan rasanya juga
Jepang”.

“Sifat universalisme ajaran Konghucu juga
tidak bertentangan dengan dasar yang dianut oleh
bangsa Indonesia. Karena itu, dari pada
menyebabkan sejumlah warga negara ini tampak
menganut ajaran dari luar negeri adalah lebih arif
kalau ajaran Konghucu itu diindonesiakan seperti
halnya mi, tahu, dan toge telah diindonesiakan”.

Dalam buku “70 Tahun Indonesia
Merdeka” yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar
Harapan. Prof Dali juga menulis sebuah artikel
yang diberi judul “Budaya Konghucu Menjadi
Bagian dari Budaya Indonesia”. Di bawah ini
disajikan cuplikan dari tulisannya.

Negara Indonesia terdiri atas banyak
suku bangsa dengan budayanya sendiri-
sendiri. Salah satu di antara suku bangsa itu
adalah suku Tionghoa dengan budaya
Tionghoanya. Secara moral dan etika,

458

budaya Tionghoa sarat berisi ajaran
Konghucu yang dapat dikatakan sebagai
budaya Konghucu.

Sekalipun tidak ditetapkan dalam
dokumen tertulis, sebagian besar bangsa
Indonesia suku Tionghoa secara sadar atau
tidak sadar telah menganut budaya
Konghucu. Sebagian besar ajaran Konghucu
telah mereka gunakan sebagai etika di
dalam pergaulan antarmanusia. Tidak salah
kiranya kalau dikatakan bahwa budaya
Konghucu adalah budaya yang dianut oleh
bangsa Indonesia suku Tionghoa di dalam
kehidupan mereka sehari-hari.

Banyak segi positif yang terkandung
dalam budaya Konghucu. Namun, ajaran
Konghucu yang lahir pada zaman feodal
perlu dikombinasikan dengan budaya
modern dan dengan Pancasila. Di dalam
masyarakat sekarang, banyak kenyataan
yang menunjukkan kelemahan di bidang
moral serta etika yang tidak sejalan dengan

459

budaya Konghucu. Sampai-sampai Presiden
Joko Widodo mencanangkan revolusi
mental untuk mengubah kekacauan mental
ke arah mental yang lebih bermoral.

Budaya Konghucu yang sudah menjadi
bagian dari budaya Indonesia melalui
pengakuan tahun baru Imlek, diharapkan
dapat menjadi bagian dari pelaksanaan
revolusi mental. Sepuluh unsur ajaran
Konghucu merupakan ajaran yang menolak
mental korupsi dan ketidakjujuran. Dengan
dua unsur terakhir dari sepuluh unsur ajaran
Konghucu saja yaitu, “lian” atau jujur dan
bersih serta “chi” atau memiliki perasaan
malu, kalau dapat dilaksanakan, maka
banyak ketidakberesan di negara ini dapat
diatasi. Apalagi kalau pelaksanaan itu
mencakup pula unsur lainnya dari ajaran
Konghucu.

Penyebaran budaya Konghucu sekarang
masih dapat mengikuti penyebaran yang
digunakan pada masa lalu, yakni melalui

460

pendidikan serta melalui cerita dan pentas
seni. Dalam rangka inilah kita melihat
eksistensi Sekolah Terpadu Pahoa di
Serpong yang mengangkat budaya
Konghucu sebagai bagian dari budaya
Indonesia ke dalam pelaksanaan
pendidikannya.

Diharapkan, lebih banyak sekolah yang
ikut menerapkan budaya Konghucu ke
dalam proses pendidikan. Kalau dirasa perlu
dapat saja budaya Konghucu diadaptasi ke
dalam budaya sekolah yang mereka anut.
Sepuluh unsur dan bahkan lebih dari
sepuluh unsur ajaran Konghucu (di dalam
analek Konghucu) dapat digunakan untuk
mendidik moralitas di kalangan pelajar
untuk selanjutnya ke masyarakat yang lebih
luas dengan catatan bahwa budaya
Konghucu ini adalah bagian dari budaya
Indonesia yang multikultur.

Dalam buku Silang Budaya Tiongkok
Indonesia, Prof. Kong Yuanzhi, Guru Besar di

461

Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Indonesia pada
Fakultas Studi Ketimuran (Oriental Sudies),
Universitas Peking, menguraikan ciri-ciri
hubungan kebudayaan Tiongkok-Indonesia
sebagai berikut:

Pergaulan bersahabat dan hubungan
kebudayaan antara kedua rakyat Tiongkok
dan Indonesia, dapat ditelusuri surut sampai
sekitar 2000 tahun yang lalu.

..............

Hubungan kebudayaan Tiongkok-
Indonesia meliputi lingkungan kebudayaan
material, kebudayaan spritual, kebudayaan
struktural dan bidang lainnya....

Dalam proses hubungan budaya dan
perdagangan lebih dari 10 abad lamanya,
baik dalam bahasa, sastra, seni,
pembangunan, pengobatan maupun ilmu
pengetahuan, dan teknologi, Indonesia
mengalami pengaruh kebudayaan
Tiongkok. Bersamaan dengan itu, bahasa,

462

agama, ilmu pengetahuan dan teknologi
Tiongkok juga mendapat pengaruh di
Indonesia.

Douwes Dekker menulis lebih lanjut
bahwa perdagangan antara Tiongkok dan
Indonesia di samping membawa
keuntungan komersial, juga mengandung
manfaat lain, yaitu kebudayaan Tiongkok
yang indah tersebar ke Indonesia, membuat
seni dan budaya Indonesia menjadi lebih
gilang gemilang.

Hubungan budaya antar bangsa
selamanya timbal balik. Demikian juga
hubungan budaya Tiongkok-Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
pandai menampung kebudayaan unggul
dunia dan juga pandai mengadakan
reformasi dan penciptaan...Indonesia telah
mengambil kebudayaan Arab, Tiongkok,
Eropa dan Hindu...Adalah kenyataan
obyektif bahwa dalam sejarah, kebudayaan
India, Tiongkok, Arab dan Eropa masing-

463

masing pernah berpengaruh cukup besar
terhadap Indonesia. Denis Lombard dalam
karyanya Nusa Jawa - Silang Budaya (tiga
jilid, edisi Perancis, 1900 dan edisi
Indonesia 1996) menguraikan dengan
materi yang sangat kaya bahwa Suku Jawa
telah mengambil sari pati kebudayaan
Hindu, Tiongkok, Arab, dan Eropa. Suku
Jawa adalah etnis yang berjumlah paling
besar dari bangsa Indonesia, dan dalam
jangka panjang memainkan peranan yang
sangat penting dalam bidang-bidang politik,
ekonomi, dan budaya. Dalam buku Nusa
Jawa – Silang Budaya, Jilid II secara
panjang lebar diuraikan pengaruh
kebudayaan Tiongkok terhadap Jawa.

Mantan Perdana Menteri Indonesia, Ali
Sastroamidjojo pernah mengatakan, “Jauh
sejak pembukaan pelayaran untuk dagang
pertama kali antara kedua negeri kita,
Indonesia dan Tiongkok telah merupakan
negeri tetangga yang bersahabat. Perahu
layar dari Tiongkok tidak hanya membawa

464

barang-barang, tetapi juga membawa serta
banyak pedagang-pedagang, buruh-buruh,
pekerja-pekerja tangan, dan sebagainya dari
Tiongkok. Mereka itu tinggal menetap di
negeri kita ini, dengan membawakan teknik
dan kebudayaan kuno dari Tiongkok.
Sampai sekarang di banyak pulau-pulau di
negeri kita ini masih terdapat sari-sari pati
kebudayaan Tiongkok itu.

Pramoedia Ananta Toer juga
mengatakan, “Jika dikatakan bahwa orang
Tionghoa telah memberikan sumbangan
yang berarti penting dalam gerakan
kemerdekaan Indonesia, industri, pertanian,
perikanan, dan bidang-bidang lainnya, maka
sumbangan di bidang kebudayaan bahkan
mempunyai arti yang lebih positif”.

Imigran Tiongkok dan keturunannya
memainkan peran sebagai jembatan dalam
proses memberikan sumbangan besar pada
masyarakat Indonesia....

465

Kita mengatakan bahwa orang
Tionghoa-Tionghoa peranakan pada
khususnya – memainkan peranan sebagai
tali penyambung penting dalam mendorong
maju hubungan kebudayaan Tiongkok-
Indonesia. Ini tidak berarti bahwa
kebudayaan suatu bangsa dapat
mempengaruhi dengan mudah kebudayaan
suatu bangsa lain. Pertukaran budaya adalah
suatu proses yang maju secara berangsur
dan bertingkat.

Ditinjau dari proses tersebarnya
kebudayaan Tiongkok ke Indonesia, pada
permulaan itu hanya terbatas pada kalangan
orang Tionghoa, kemudian meluas ke
masyarakat pribumi dan pada akhirnya
berbaur dengan kebudayaan rakyat pribumi.

Jalan panjang asimilasi di Indonesia
dimulai oleh para imigran Tionghoa yang disebut
hoa kiao (perantau Tionghoa) yang pada awal
kedatangannya di Nusantara berinteraksi dengan
penduduk pribumi setempat, kemudian mereka

466

mulai membaur lalu disusul dengan terjadinya
asimilasi biologis yang kemudian diikuti oleh
asimilasi budaya. Asimilasi tidak bisa tidak harus
terlebih dahulu melalui pembauran, maka konsep
pembauran dari Bakom PKB merupakan
keniscayaan yang harus dilalui sebelum terjadi
proses asimilasi. Setelah orang-orang Tionghoa
membaur dengan pribumi setempat, mereka saling
mengenal kebudayaan masing-masing, setelah
saling kenal, ada sebagian dari dua budaya itu
saling bersilang dan saling menyerbukkan.
Penyerbukan silang antarbudaya walaupun tidak
persis sama dengan asimilasi, tetapi dapat
dikatakan merupakan percampuran dua
kebudayaan yang berbeda membentuk suatu
kebudayaan baru. Maka konsep pembauran plus
penyerbukan silang antarbudaya, seharusnya dapat
diterima oleh masyarakat Tionghoa peranakan dan
masyarakat pribumi. Fakta sejarah telah
membuktikan bahwa di Indonesia sudah terjadi
pembauran antara Tionghoa perantauan dengan
pribumi setempat dan kemudian terjadilah

467

penyerbukan silang antar-budaya sehingga
menjadi kebudayaan campuran yang disebut
budaya Tionghoa peranakan.

Letnan Jendral TNI Angkatan Darat,
Sayidiman Suryohadiprojo, dalam bukunya yang
berjudul “Membangun Peradaban Indonesia”
menyatakan, “Dalam sejarah bangsa Indonesia,
berbagai kebudayaan dari luar telah masuk ke
Indonesia, seperti Hindu, Budha, Islam, China,
Kristen, dan Barat, namun bangsa Indonesia
senantiasa berhasil mengintegrasikan semua
kebudayaan dari luar ke dalam kebudayaan
Indonesia sendiri, dengan mengambil sarinya dan
segi positifnya dari kebudayaan luar untuk
meningkatkan kebudayaan sendiri”.

UUD 1945 menyatakan bahwa,
“Kebudayaan nasional Indonesia merupakan
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah
seluruh Indonesia, selain itu juga kebudayaan
Indonesia tidak menolak bahan-bahan baru dari

468

kebudayaan asing yang dapat mempertinggi
derajat manusia bangsa Indonesia” (penjelasan
pasal 32 UUD 1945).

Pernyataan Let. Jen. Sayidiman yang
dikutip di atas meyakinkan kita bahwa,
penyerapan kebudayaan asing ke dalam
kebudayaan Indonesia sudah terjadi sejak dulu dan
setelah Indonesia merdeka dihalalkan melalui
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa
(suku Tionghoa) belum selesai dan belum
waktunya untuk berhenti. Asimilasi akan terus
terjadi dan bangsa Indonesia suku Tionghoa harus
terus berinteraksi dan berasimilasi dengan sesama
bangsa Indonesia suku-suku lainnya, baik dengan
sebutan integrasi, asimilasi, pembauran,
penyerbukan silang antarbudaya dan apapun
sebutannya.

469

Konsep Pembauran dan strategi
Penyerbukan Silang Antarbudaya seharusnya
diterima dan ditumbuhkembangkan oleh seluruh
bangsa Indonesia demi persatuan bangsa yang
semakin kokoh dan demi menciptakan negara
Indonesia yang semakin maju, menuju Indonesia
Baru yang semakin aman dan makmur.

470

Daftar Pustaka

Al Qurtuby, Sumanto. Arus Cina – Islam – Jawa.
Inspeal Ahimsa – karya Press, Yogyakarta.
2003.

Atif, Afthonul. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia.
Penerbit Kepik. 2012.

Blackburn, Susan. Jakarta, Sejarah 400 Tahun.
Komunitas Bambu. Depok. 2011

Bouman, P.J. Sosiologi, Pengertian dan Masalah.
Jajasan Pendidikan Masyarakat. Jakarta.
1957.

Carry, Peter. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan
Perang Jawa. Komunitas Bambu. Depok.
2008.

Chang, Yau Hoon. Identitas Tionghoa. LP3ES. Jakarta.
2012.

471

Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia dalam Krisis.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1994.

Effendi, Wahyu. Tionghoa dalam Cengkeraman
SBKRI. Visi Media. Jakarta. 2008.

Ernawati. Asap Hio di Ranah Minang. Penerbit
Ombak. Yogyakarta. 2007.

Fairservis Jr, Walter A. Asal-Usul Peradaban Orang-
Orang Jawa & Tionghoa. Penerbit Selayar.
Surabaya. 2009.

Furnivall, J. S. Hindia Belanda. Freedom Institute.
Jakarta. 2009.

Gondomono. Manusia dan Kebudayaan Han. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta. 2013.

Gouw Giok Siong. Hukum Antar Golongan, Suatu
Pengantar. Penerbit dan Balai Buku
Indonesia. Jakarta. 1960.

472

Gouw Giok Siong. Segi-Segi Hukum Peraturan
Perkawinan Campuran. Penerbit Jembatan.
Jakarta. 1955.

Gouw Giok Siong. Tafsir Undang-Undang
Kewarganegaraan R.I. Penerbit Keng Po.
Jakarta. 1960.

Gouw Giok Siong. Warga Negara dan Orang Asing.
Penerbit Keng Po. Jakarta. 1960.

Groenevelt, W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.
Komunitas Bambu. Depok. 2009.

Hamdani, Nasrul. Komunitas Cina di Medan. LIPI
Press. Jakarta. 2012.

Hariyono, Paulus. Stereotip dan Persoalan Etnis Cina
di Jawa. Penerbit Mutiara Wacana.
Semarang. 2006.

Heidhues, Mary Somers. Bangka Tin and Mentok
Pepper. ISEAS. Singapura. 2008.

473

Heidhues, Mary Somers. Penambang Emas, Petani dan
Pedagang di “Distrik Tionghoa Kalimantan
Barat. Yayasan Nabil. Jakarta. 2008.

Indonesian Chinese Culture Society. Indonesian
Chinese Peranakan. Penerbit Kompas
Gramedia. Jakarta. 2012.

Jahja, H. Junus. Catatan Orang Indonesia. Komunitas
Bambu. Depok. 2009.

Jahja, H. Junus. Obrolan tentang Keindonesiaan.
Yayasan Haji Karim. Jakarta. 2011.

Kansil, C.S.T. Kostitusi-Konstitusi Indoneisa Tahun
1945-2000. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
2001.

Kymlicka, Will. Kewargaan Multikultural. LP3ES.
Jakarta. 2003.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Penerbit Jembatan. Jakarta.
1971.

474

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.
Penerbit Rineka Cipta. Jakrta. 1990.

Kong Yuan-Zhi. Silang Budaya Tiongkok-Indonesia.
P.T. Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2005.

Latif, Yudi. Negara Paripurna. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 2011.

Lohanda, Mona. Sejarah Para Pembesar Mengatur
Batavia. Penerbit Masup. Jakarta. 2007.

Loir, Hendri Chambert. Sadur, Sejarah Terjemahan.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
2009.

Manafe, Aco. Teperpu Mengungkap. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta. 2007.

Naga, Dali Santun. Lintas Milenium dalam Sinergi.
Universitas Tarumanegara. Jakarta. 2011.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Raja
Grafindo Persada. Jakarta. 1995.

475

Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan
Gerakan Cina. Komunitas Bambu. Depok.
2008.

Ong Hok Ham. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa.
Komunitas Bambu. Depok. 2005.

Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis.
Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa.
Jakarta. 2011.

Projodikoro, Wirjono. Hukum Antar Golongan di
Indonesia. Penerbit Sumur. Bandung. 1962.

Purwadi. Sejarah Walisanga. Penerbit Ragam Media.
Yogyakarta. 2009.

Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680. Pustaka. Obor. Jakarta. 1992.

Reid, Anthony. Sumatera Tempo Dulu. Komunitas
Bambu. Depok. 2010.

Resink, G.J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Komunitas
Bambu. Jakarta. 2012.

476

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Serambi. Jakarta. 2005.

Rustopo. Menjadi Jawa. Penerbit Ombak. Yogyakarta.
2007.

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara.
Penerbit Buku Gramedia. Jakarta. 2012.

Saputra, Teguh. Tarian Multikultural Sang Naga.
Lembaga Studi Kapasitas Nasional.
Jakarta. 2004.

Schlesinger Jr, Arthur M. Kebhinekaan Amerika.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1977.

Salmon, Claudine. Sastra Indonesia Awal.
Kepustakaan Populer Gramedia. 2010.

Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Prenada Media Group. Jakarta. 2006.

Setiawan, Teguh. Cina Muslim. Republika. Jakarta.
2012.

477

Setiono, Benny G. Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Transmedia Pustaka. Jakarta. 2010.

Setyautama, Sam. Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di
Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia.
Jakarta. 2008.

Soedarmanta, J. B. Mempertahankan Cita-Cita
Menjaga Spirit Perjuangan. Pustaka Obor.
Jakarta. 2014.

Soedarmanta, J. B. Tenggara Orde Baru Kisah Harry
Tjan Silalahi. Penerbit Gunung Agung.
Jakarta. 2004.

Soemardjan, Selo. Setangkai Bunga Sosiologi. Penerbit
FEUI. Jakarta. 1964.

Soyomukti, Nurani. Soekarno & Cina. Penerbit Garasi,
Yogyakarta. 2012.

Subroto, Hendro. Dewan Revolusi PKI. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta. 2007.

478

Suhandinata, Justian. WNI Keturunan Tionghoa.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009.

Sujitno, Sutejo. Tanah Indonesia. Cempaka Publishing.
Jakarta. 1995.

Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Grafiti
Pers. Jakarta. 1984.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme
Indonesia. Penerbit Kompas. Jakarta. 2010.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Pembangunan
Bangsa. LP3ES. Jakarta. 1999.

Suryadinata, Leo. Laksamana Cheng Ho. LP3ES.
Jakarta. 2007.

Suryadinata, Leo. Negara dan Etnis Tionghoa. LP3ES.
Jakarta. 2002.

Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa
Indonesia 1900-2002. LP3ES. Jakarta.
2005.

479

Suryadinata, Leo. Tokoh Tionghoa dan Identitas
Indonesia. Komunitas Bambu. Depok.
2010.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Membangun Peradaban
Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
1995.

Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta. 2008.

Tanggok, M. Ikhsan. Menghidupkan Kembali Jalur
Sutra Baru. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 2010.

Taniputera, Ivan. History of China. Ar-Ruzz Media.
Yogyakarta. 2008.

Team Gabungan Pencari Fakta. Kerusuhan Mei 1998.
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Jakarta.
2007.

480

Theo, Rika dan Lie, Fennie. Kisah, Kultur, dan Tradisi
Tionghoa Bangka. Penerbit buku Kompas.
Jakarta. 2014.

Tilaar, H. A. R. Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas
Bangsa Indonesia. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta. 2007.

Triyana, Bonnie. Eddie Lembang Mencintai Negara
Sepenuh Hati. Penerbit Buku Kompas.
Jakarta. 2011.

Twang Peck Yang. Elite Bisnis Cina di Indonesia.
Penerbit Niagara. Yogyakarta. 2004.

Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(UU No. 12/ 2006). Harvarindo. Jakarta.
2006.

Van Dijk, R. Pergaulan Hidup. Badan Penerbit Kristen.
Jakarta. 1955.

Verdiansyah, Chris. Jalan Panjang menjadi WNI.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta. 2007.

481


Click to View FlipBook Version