The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-25 21:39:29

Jalan panjang asimilasi etnis Tionghoa

Penulis : Iskandar Yusuf

Buku karangan Iskandar Jusuf ini menambah dan memperkaya khasanah tulisan tentang orang Tionghoa/WNI di Indonesia serta usaha meng-Indonesia-nya. Banyak informasi tentang sejarahnya dan bahan pemikiran diketengahkan dalam buku ini. Prof. Dali Santun Naga sebagai editor dan DR. Albert Hasibuan sebagai pemberi Kata Pengantar, menjadi jaminan akan mutu dan seriusnya bacaan ini. Iskandar Jusuf telah dengan tekun dan teliti menuliskan naskah, dan saya juga merasakan rasa debaran jantungnya. Ini ibaratnya menjadi obsesi agar sebagai orang Indonesia dianggap
lengkap terutama dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Tekanan penting yang didalilkan, bahwa dengan dihapuskannya kata "asli” yang digandengkan di dalam Pasal 8 UUD 1945:Presiden adalah orang Indonesia "asli", maka dianggap bahwa diskriminasi ras kewarganegaraan Indonesia telah selesai terutama bagi WNI keturunan Tionghoa. Anggapan ini tentu kurang tepat. Di Pasal 8 ini kata asli bukan mengenai etnisitasnya tetapi hukum ketatanegaraan. Sebenarnya, secara etnistras tidak ada orang "Indonesia asli“, sebab faham kebangsaan Indonesia adalah faham
politis, etis. Jadi supaya menjadi Indonesia yang asli, yang tulen, adalah diukur berdasarkan nasionalisme-patriotismenya terhadap nusa Indonesia - "Nusantara" ini. Dengan mengerti problematik psikhologis dan semangat dari orang seperti Saudara Iskandar Jusuf ini, maka buku ini sungguh menjadi petunjuk tentang
pembinaan kebangsaan Indonesia yang multi-minoritas ini.

Keywords: Sejarah

Gambang Kromong dan Tari Cokek

Dalam kehidupan sehari-hari, “Cina Benteng”
membaur dengan masyarakat pribumi di sekitarnya.
Mereka hidup bersama dan bergaul sangat akrab.
Modal sosial yang mereka miliki seperti rumah pesta
perkawinan, musik gambang kromong, dan tarian
cokek merupakan sarana pemersatu bagi pembauran
antara “Cina Benteng” dengan warga pribumi
Tangerang. Di wilayah Tangerang hubungan antara
komunitas “Cina Benteng” dengan warga pribumi
sangat akrab dan cair. Mereka hidup rukun. Bahkan
banyak di antara mereka yang memiliki hubungan
kekerabatan.

Gambang kromong pada mulanya adalah
sejenis musik tradisonal dari Jakarta. Gambang
kromong adalah “perpaduan musik Jawa dan
Tiongkok.” Sejak abad ke-17, di kalangan masyarakat
Batavia, terdapat orang Jawa, orang Bali, orang
Tionghoa, dan lain-lain. Pertemuan berbagai budaya
telah melahirkan semacam musik yang dinamakan
gambang kromong, dengan alat musik gambang,
kromong, kecrek, dan gong dari Jawa digabung dengan
alat-alat musik dari Tiongkok.

Pengaruh Tiongkok yang terdapat pada
gambang kromong adalah alat-alat musik gesek teh
yan, kong a yan, dan shu kong, serta alat-alat perkusi,

32

yaitu kecer dan ningnong. Maka musik gambang
kromong dapat dikatakan musik gabungan dari budaya
Jawa dengan Tiongkok.

Di wilayah Tangerang, dalam keseharian,
seniman Tionghoa dan pribumi sering tampil bersama
dalam keramaian di klenteng atau di acara di rumah
warga atau rumah pesta. Kondisi serupa sering terjadi
di lokasi yang menjadi kantong-kantong pemukiman
warga “Cina Benteng” di wilayah Tangerang. Para
pelaku seni Tionghoa peranakan dan warga pribumi
sering tampil bersama di panggung yang memadukan
seni campuran Betawi-Tionghoa melalui “Lenong
Betawi” yang diiringi orkes gambang kromong.

Masyarakat “Cina Benteng” baik di udik
maupun di kota, sama-sama berasimilasi secara alami
selama berabad-abad dengan budaya setempat.
Hasilnya unsur budaya Tionghoa peranakan mewarnai
budaya Tangerang dan sebaliknya. Perpaduan budaya
itu bisa bertahan karena keberadaan wadah rumah
pesta. Dalam pesta perkawinan, masyarakat “Cina
Benteng” dan warga pribumi berbaur dengan harmonis
melalui musik gambang kromong sambil menari cokek
bersama.

Cokek identik dengan gambang kromong
karena setiap ada cokek selalu diiringi gambang
kromong. Gambang kromong merupakan hasil

33

asimilasi kesenian Tionghoa dengan pribumi
(Tangerang/Betawi). Dalam perkembangannya, lagu-
lagu yang dinyanyikan pun bercorak Tionghoa-
pribumi. Budaya Tionghoa dan budaya Betawi
kemudian saling mempengaruhi. Dalam buku Hoakiao
di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer menyatakan
bahwa gambang kromong jelas merupakan kesenian
pribumi yang kuat dipengaruhi oleh seniman Tionghoa.

Cokek yang berasal dari kata bahasa Hokkian
tjio khe, yang artinya gadis-gadis setempat yang
menyanyi sekaligus menemani tamu-tamu untuk
menari.

Hingga kini di wilayah Tangerang hampir
setiap akhir pekan ada penampilan tari cokek dan
musik gambang kromong, kecuali pada bulan puasa.

Sampai sekarang di setiap upacara pernikahan
di Tangerang hampir selalu ada cokek, dan sampai
sekarang cokek masih mampu berfungsi sebagai
pelebur strata sosial dan antaretnis. Pada berbagai
penampilan cokek di upacara pernikahan, tidak sedikit
buruh dan majikan melantai bersama ditemani cokek,
dan orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi
berbaur bercokek ria bersama. Di situ gambang
kromong dan seni cokek tak cuma jadi penghibur,
tetapi juga menjadi ajang pembauran antarstrata dan
antaretnis.

34

Pembauran antara “Cina Benteng” dengan
warga pribumi dan asimilasi budaya Tionghoa dengan
budaya pribumi dapat terlihat dengan kasat mata dalam
keseharian kehidupan “Cina Benteng” di wilayah
Tangerang.

35

BAB IV

ASIMILASI ORANG
TIONGHOA DI LUAR JAWA

Sejak abad ke-9 sudah banyak orang Tionghoa
yang bermukim di Pulau Jawa dan Sumatera bagian
selatan. Akan tetapi, di wilayah Nusantara lainnya,
belum banyak orang Tionghoa yang bermukim dan
menetap. Orang Tionghoa hanya datang ke sana untuk
berdagang lalu kembali ke tempat mereka bermukim di
Pulau Jawa atau Sumatera bagian selatan.

Orang Tionghoa baru mulai banyak bermukim
di wilayah Nusantara lainnya sejak zaman VOC,
kemudian pada zaman Hindia Belanda makin banyak
orang Tionghoa yang pergi ke luar Jawa untuk
bermukim lalu menetap di sana.
Asimilasi Orang Tionghoa di Minangkabau

Minangkabau adalah daerah berpenduduk padat
penghasil lada, beras, dan emas di pegunungan bagian
tengah Pulau Sumatera. Hubungan perdagangan antara
orang Tionghoa dengan orang Minang diawali sejak
zaman Kerajaan Aditiawarman pada tahun 1347.

36

Hubungan dagang antara pedagang Tionghoa dengan
pedagang Minang di pedalaman Sumatera Barat terjadi
melalui jalur transportasi sungai yang melintas dari
pedalaman Sumatera Barat sampai ke Selat Malaka.

Selain melalui jalur transportasi sungai di
pedalaman Sumatera Barat, pelabuhan Pariaman yang
terletak di pantai barat Sumatera juga dikenal sebagai
pusat perdagangan Minangkabau. Sejak abad ke-14
Pantai Pariaman sudah dikunjungi oleh pedagang-
pedagang dari India, Tiongkok, dan kerajaan-kerajaan
dari kepulauan Nusantara. Hubungan antara kerajaan
Minangkabau dengan pedagang India, Tiongkok,
Aceh, dan pedagang dari kepulauan Nusantara lainnya
terjalin dengan baik.

Orang-orang Tionghoa di Pariaman bekerja
sebagai agen bagi para pedagang dari Tiongkok dan
pedagang-pedagang Tionghoa dari Jawa. Jumlah orang
Tionghoa yang menetap di sekitar pelabuhan Padang
dan Pariaman semakin meningkat setelah VOC
berhasil mengambil alih Padang dan Pariaman dari
tangan Kesultanan Aceh pada tahun 1620. Sejak VOC
menjadikan Padang sebagai pusat kedudukannya di
wilayah Sumatera Barat pada tahun 1666, makin
banyak orang Tionghoa dari Batavia datang untuk
berdagang lalu bermukim dan menetap di
Minangkabau.

37

Meningkatnya jumlah komunitas Tionghoa di
Minangkabau membuat VOC pada tahun 1682
mengangkat Lie Ma Sei menjadi letnan Tionghoa di
Padang.

Imigran Tionghoa yang datang ke
Minangkabau sebelum pertengahan abad ke-17
umumnya hanya laki-laki. Banyak di antara mereka
yang menikah dengan perempuan Minang. Keturunan
dari perkawinan Tionghoa-Minang itu kemudian
membentuk komunitas Tionghoa peranakan di
Minangkabau.

Imigran dari Tiongkok yang datang kemudian,
dengan cepat membaur ke dalam komunitas Tionghoa
peranakan yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena pada abad ke-18 imigran Tionghoa
yang datang ke Minangkabau tidak secara massal
sehingga mau tidak mau, mereka yang baru datang
harus membaur ke dalam komunitas peranakan yang
sudah lebih dulu datang ke Minangkabau. Kemudian
banyak di antara mereka yang juga menikah dengan
perempuan Minang. Mereka menambah populasi
Tionghoa peranakan di Minangkabau.

Orang Tionghoa peranakan banyak tinggal di
pusat kota dan mereka berusaha di bidang perdagangan
perantara. Sebagai keluarga peranakan, mereka
mengembangkan kebudayaan yang sudah terpengaruh

38

oleh kebudayaan ibunya yang perempuan
Minangkabau. Bahasa yang mereka gunakan adalah
bahasa Minang dengan dialek Tionghoa. Kebudayaan
mereka adalah kebudayaan campuran, kebudayaan
Tionghoa bercampur dengan kebudayaan
Minangkabau. Dengan demikian Tionghoa peranakan
di Minangkabau sudah terasimilasi.

Komunitas Tionghoa Totok Tidak Membaur

Imigran Tionghoa yang datang pada akhir abad
ke-19, merupakan imigran yang datang dari Tiongkok
beserta dengan seluruh keluarganya. Pada akhir abad
ke-19 imigran dari Tiongkok sudah dapat melakukan
pelayaran dengan menggunakan kapal uap. Pelayaran
dengan kapal uap lebih cepat dan lebih nyaman. Maka,
mereka datang dalam rombongan besar dan banyak
yang disertai imigran perempuannya. Setelah tiba di
tempat tujuan, mereka tidak membaur dengan
penduduk lokal dan jarang bergaul dengan komunitas
Tionghoa peranakan yang sudah datang lebih dulu.
Mereka membentuk komunitas sendiri, komunitas Sin
Khe (tamu baru). Mereka bicara dalam bahasa
Tionghoa dialek dari kampungnya di Tiongkok dan
bukan bahasa Minang atau bahasa Melayu. Mereka
disebut Tionghoa totok.

Tionghoa totok adalah orang Tionghoa yang
tinggal di Indonesia tetapi lahir di Tiongkok. Mereka

39

masih murni orang Tionghoa, tidak seperti Tionghoa
peranakan yang merupakan anak dari perkawinan
campuran. Tionghoa totok tidak berbicara dalam
bahasa Melayu atau bahasa daerah tempat mereka
bermukim, mereka hanya dapat berbicara dalam bahasa
Tionghoa.

Oleh karena mereka tidak dapat berbicara
dalam bahasa Melayu atau bahasa Minang, maka
mereka sulit berkomunikasi dengan penduduk pribumi
atau Tionghoa peranakan. Maka mereka tinggal
berkelompok sesuai dengan dialek bahasa dari
kampung mereka masing-masing di Tiongkok (Hakka,
Konghu). Sebagian besar dari “Sin Khe” bukan berasal
dari suku Hokkian, mereka tidak dapat berbahasa
Hokkian, mereka sulit berbaur dengan orang-orang
Hokkian yang sudah datang lebih awal. Maka mereka
membentuk komunitas sendiri, komunitas Tionghoa
totok.

Pada zaman Hindia Belanda, Tionghoa totok
menyekolahkan anaknya di sekolah Tionghoa. Mereka
berorientasi politik ke Tiongkok. Mereka tidak berbaur
dengan Tionghoa peranakan apalagi dengan warga
pribumi. Sebaliknya mereka memiliki hubungan erat
dengan orang-orang Tionghoa dan organisasi Tionghoa
yang berbasis di Singapura dan Tiongkok.

40

Tionghoa Peranakan Berorientasi ke Hindia
Belanda

Orang-orang Tionghoa peranakan umumnya
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda yang
dikelola oleh gereja Katolik atau misi gereja Kristen.
Maka banyak anak Tionghoa peranakan beralih agama
menjadi beragama Katolik atau beragama Kristen.
Anak-anak Tionghoa peranakan sudah tidak bisa
berbahasa Tionghoa. Sebaliknya mereka sangat fasih
berbahasa Belanda. Orientasi politiknya pada Hindia
Belanda.

Orang-orang Tionghoa peranakan sudah
memiliki kedudukan yang kuat dalam dunia
perdagangan di Minangkabau dan mereka sudah
berasimilasi dengan penduduk lokal dalam waktu yang
panjang. Sebagian besar dari generasi kedua dan ketiga
Tionghoa peranakan sudah tidak dapat lagi berbahasa
Tionghoa. Mereka sulit berkomunikasi dengan
Tionghoa totok yang tidak berbahasa Melayu atau
bahasa Minang. Maka mereka lebih akrab dengan
orang-orang Minang daripada dengan orang-orang
Tionghoa totok.

Orang-orang Tionghoa peranakan di
Minangkabau sudah hidup dalam kebudayaan
campuran. Sebagian besar sudah beragama Katolik
atau agama Kristen, dan tidak sepenuhnya mengikuti

41

tradisi atau adat istiadat leluhur. Mereka tidak murni
lagi berkebudayaan Tionghoa; mereka sudah hidup
dalam kebudayaan campuran, budaya Tionghoa-
Minang. Jadi dapat dikatakan mereka sudah memiliki
watak dan kebudayaan yang berbeda dengan orang-
orang Tionghoa totok. Tionghoa peranakan di
Minangkabau sudah terasimilasi.

Asimilasi Kebudayaan Tionghoa di Bali

Dalam buku Peranakan Tionghoa di
Nusantara, Iwan Santosa bercerita tentang asimilasi
orang Tionghoa di Bali. Pulau Bali adalah tempat
asimilasi alami dari berbagai kebudayaan. Meskipun
didominasi pengaruh Jawa dan India yang memberi
warna dalam agama Hindu, Bali juga memiliki dan
menyerap pengaruh Tionghoa yang menjadi bagian
tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bali.

Salah satu tonggak asimilasi budaya Bali
dengan budaya Tionghoa adalah perkawinan Raja Jaya
Pangus dengan Kang Tjin We. Konon kisah
pernikahan Raja Jaya Pangus yang memerintah
wilayah Panarayon di Bali pada abad ke-12, dimulai
dari kedatangan seorang Empu Tionghoa bermarga
Liem. Konon Empu Liem menjadi tangan kanan Raja
yang mengajarkan strategi berperang dan pemerintahan
dengan prinsip Asta Brata.

42

Pada saat Empu Liem bekerja bagi Raja Jaya
Pangus, ia dibantu seorang gadis bernama Kang Tjin
We yang cantik dan lemah lembut. Raja Jaya Pangus
sangat tertarik kepada Kang Tjin We lalu kemudian
mereka menikah.

Oleh karena pernikahan mereka tidak
dikaruniai keturunan, Raja Jaya Pangus pergi
bersemedi di sekitar Danau Batur. Saat bersemedi
selama tiga tahun itu, ia menikahi Dewi Danu dan
memiliki seorang anak.

Kang Tjin We yang merasa kesepian setelah
ditinggal bertahun-tahun, menyusul Raja Jaya Pangus
ke tempat ia bertapa. Ia terkejut melihat adanya Dewi
Danu dan seorang anak. Sebaliknya, Dewi Danu
merasa dibohongi dan murka kepada Raja Jaya Pangus
dan Kang Tjin We. Dewi Danu mengeluarkan kutukan
yang memusnahkan Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin
We. Namun, setelah menyesali kemarahan sesaat itu,
Dewi Danu menciptakan sepasang barong landung dan
meminta masyarakat merawat serta menghormati
barong landung itu.

Cerita tentang barong landung di Bali memang
hanya merupakan cerita rakyat dari Bali. Tetapi adanya
penghormatan rakyat Bali terhadap barong landung
adalah kenyataan yang sampai sekarang pun masih
sering terlihat di Pulau Bali.

43

Barong landung adalah sepasang sosok barong
yang sangat landung (dalam bahasa Bali, landung
berarti jangkung atau panjang). Barong landung selalu
menampilkan sosok Raja Jaya Pangus yang berkulit
sawo matang cenderung hitam, berhidung besar dan
bermata bulat. Barong landung perempuan
menampilkan sosok Kang Tjin We yang bermata sipit,
ayu, bibir tersenyum, dan berkulit kuning langsat.

Sejak saat itu penghormatan terhadap Raja Jaya
Pangus dan Kang Tjin We dipusatkan di Pura Ulun
Danu. Kawasan Pura Ulun Danu adalah pusat hunian
awal warga Tionghoa di Bali.

Selain dari barong landung yang sudah menjadi
ikon pembauran dan asimilasi orang Tionghoa dan
orang Bali, di Bali juga banyak ditemukan Pura-
Kelenteng yakni kompleks rumah ibadah Hindu
Dharma Bali yang di dalamnya terdapat kelenteng
tempat pemujaan masyarakat Tionghoa. Sebagai
contoh, dapat dilihat di Pura Ulun Batur, di Tanjung
Benoa dan Pura Agung Besaki.

Di Bali budaya Tionghoa dan budaya Bali
sudah tercampur dan sulit dipisahkan. Di Bali, banyak
budaya yang didapat dari Tiongkok sudah menjadi
bagian dari budaya Bali, misalnya, ketika umat Hindu
sembahyang, mereka menggunakan dupa dan uang
logam Tiongkok kuno. Tercampurnya budaya

44

Tionghoa dengan budaya Bali juga terlihat pada para
pedagang Bali yang sering meminta berkah kepada
Kongco Ida Ratu Subandar di kelenteng yang berlokasi
di Pura Batur.

Dalam kebudayaan orang Tionghoa ada ajaran
berbakti pada leluhur. Di Bali juga ada ajaran
menghormati Batara Kawitan yang artinya
menghormati para leluhur. Mereka sama-sama sangat
memuja leluhur. Maka dapat dikatakan banyak
kesamaan budaya antara budaya Tionghoa dengan
budaya Bali. Maka percampuran kebudayaan antara
budaya Tionghoa dengan budaya Bali dapat terjadi
dengan sendirinya dan berlangsung tanpa ada
kontroversi.

Di kelenteng Cao Eng Bio, Tanjung Benoa,
sering terlihat beberapa ibu sibuk menyiapkan
beberapa ornamen dan kembang. Mereka bukan orang
keturunan Tionghoa, mereka beragama Hindu Bali,
namun pada dirinya hanya ada satu niat, yaitu ngayah
(berbakti). Pada orang Hindu Bali ada satu kebiasaan
untuk berbakti pada alam semesta dan sesama umat
manusia, yaitu “ngayah.”

Kelenteng Cao Eng Bio didirikan oleh para
saudagar Tionghoa yang datang ke Bali melalui
pelabuhan Benoa pada pertengahan abad ke-16.
Awalnya kelenteng berada di area Pura Dalam Ning,

45

beberapa meter dari kelenteng yang ada sekarang. Pada
tahun seribu delapan ratusan, pihak Puri Pecutan,
Denpasar, memberi sebidang tanah untuk dibangun
kelenteng baru, maka dibangunlah sebuah kelenteng
Cao Eng Bio yang baru di Puri Pecutan.

Selanjutnya saudagar Tionghoa pendiri
kelenteng Cao Eng Bio beranak-pinak, keturunannya
membaur lalu menyerap kebudayaan Bali, Bio Kong
(pemangku kelenteng) Cao Eng Bio memakai baju adat
Bali termasuk ikat kepala Bali (uding). Dalam upacara
di Cao Eng Bio, persembahan yang biasa berupa
kembang dan buah pun dihiasi canangsari yang
merupakan sarana upacara umat Hindu Bali, yaitu
tempat bunga yang biasanya berbentuk kotak sama sisi
berukuran sekitar 10 sentimeter. Terbuat dari janur
kelapa serta ada rajangan daun pandan. Kelenteng
orang Tionghoa pun sudah banyak menyerap adat
kebiasaan orang-orang Bali.

Pembauran juga terjadi ketika masing-masing
ada kegiatan upacara dan saling membantu. Pada hari
raya Imlek umat kelenteng berkumpul dari seluruh
Bali, Jawa, dan negara tetangga, jumlahnya bisa
mencapai lebih dari seribu orang. Pada waktu itulah di
kelenteng Cao Eng Bio, terjadi salah satu momentum
persatuan dari dua kebudayaan berbeda di Bali. Tradisi
kebersamaan ini dipelihara berabad-abad sampai
sekarang.

46

Tidak hanya dalam urusan sembahyang, tetapi
juga dalam berbagai aspek kehidupan, masyarakat
Tionghoa peranakan di Bali, sudah terasimilasi ke
dalam kebudayaan Bali. Di Bali sering terlihat
masyarakat Bali mengarak Barong Bangkung
berkeliling dari pintu ke pintu diiringi anak-anak kecil
untuk menolak bala dan mendatangkan kebaikan.
Rombongan Barong pun mendapat uang pemberian
dari pemilik rumah. Kebiasaan mengarak Barong
Bangkung di Bali disebut “ngelawang.”

Tradisi ngelawang di Bali persis sama dengan
kebiasaan masyarakat Tionghoa yang mengamen
bermain barongsai berkeliling perkampungan untuk
memberkati rumah atau toko pada perayaan hari raya
Imlek, lalu menerima hadiah angpao (uang terbungkus
dalam amplop berwarna merah). Tradisi ngelawang di
Bali biasa dilakukan di antara perayaan Galungan dan
Kuningan.

Proses asimilasi budaya di Bali terus berlanjut
sampai sekarang. Pada tahun 1970-an masyarakat Bali
mementaskan pertunjukkan Sam Pek Eng Tai dengan
busana dan pakem cerita Bali. Pada tanggal 22
Februari 2015, Made Suartini, koreografer dari
Bengkel Tari Ayu Bulan, dalam rangka turut
memeriahkan perayaan tahun baru Imlek,
mementaskan Tari Legong Sam Pek Eng Tai di Galeri
Indonesia Kaya, Jakarta.

47

Begitu banyak perjumpaan dan asimilasi
budaya Tionghoa dengan budaya Bali, sehingga kini
banyak kebudayaan Tionghoa yang sudah menjadi
bagian dari keseharian kehidupan masyarakat Bali.
Asimilasi masyarakat Tionghoa di Bali merupakan
salah satu bentuk asimilasi budaya terbaik di
Nusantara. Sangat banyak kebudayaan kebudayaan
Tionghoa yang sudah terasimilasi menjadi kebudayaan
Bali dan banyak kebudayaan Bali yang sudah terserap
menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Tionghoa
peranakan di Bali.

Asimilasi Orang Tionghoa di Bangka

Pulau Bangka berada di sebelah timur Pulau
Sumatera, terpisah dari daratan Pulau Sumatera oleh
Selat Bangka. Posisi Pulau Bangka sangat strategis.
Selat Bangka adalah jalur pelayaran yang paling
banyak dilayari oleh kapal-kapal yang berlayar dari
Jawa atau Sumatera Selatan menuju ke Eropa,
Tiongkok, dan Jepang. Pulau Bangka juga berada dekat
muara Sungai Musi yang merupakan jalur menuju ke
Palembang.

Riwayat Pulau Bangka adalah riwayat pulau
gersang dan kosong yang tidak banyak penduduknya.
Penduduk asli Pulau Bangka ada dua kelompok: Orang
Laut atau disebut Orang Selat dan Orang Gunung atau
disebut juga Orang Darat.

48

Orang Laut

Orang Laut hidup berkelompok yang terdiri
dari berbagai suku, misalnya Orang Laut Tembusa,
Mantung, Barok, Galang, Posik, dan Saramak, nama-
nama yang diberikan sesuai dengan tempat mereka
berada.

Di Bangka, Orang Laut dinamakan Orang
Selat. Mereka menempati pantai-pantai Teluk Kelabat
dan menjadikan Mantung sebagai tempat berkumpul.
Sebagian lagi terdapat di Muara Karau. Mereka
terdapat juga di Pulau Lepas di lepas Pantai Toboali.

Orang Laut hidup di atas perahu dalam arti
sebenarnya, yakni hidup bertempat tinggal di atas
perahu dalam kumpulan keluarga yang terdiri dari anak
istri sekitar lima atau enam orang.

Orang Laut di Bangka terkenal sebagai nelayan
yang paling handal di seantero perairan Melayu,
bahkan Asia Tenggara. Maka mata pencaharian mereka
yang utama adalah mengumpulkan tripang dan agar-
agar. Di samping itu mereka juga hidup dari hasil-hasil
hutan bakau yang mudah ditemui di manapun wilayah
tersebut pada zaman itu.

49

Orang Gunung

Orang Gunung atau disebut juga Orang Darat
hidup dari berladang dan/atau pengumpul hasil hutan.
Makanan mereka adalah umbi-umbian, sayuran, dan
buah-buahan. Hanya mereka yang tinggal di dekat
pantai sering makan ikan, sedangkan mereka yang
tinggal di daerah pegunungan biasa mencari madu
hutan atau berburu menjangan, babi hutan, maupun
binatang-binatang lain.

Tempat tinggal mereka tidak menetap sebab
mereka berpindah-pindah dalam berladang. Mereka
berladang dengan cara membabat serta membakar
hutan. Setelah tanah sudah tidak subur lagi, ladang
ditinggalkan, mereka berpindah mencari ladang baru
dengan cara membabat dan membakar hutan.

Pendatang Melayu, Jawa, dan Banten.

Selain daripada Orang Laut dan Orang Gunung,
di Pulau Bangka juga ada pendatang suku bangsa lain.
Hal ini terjadi karena selama berabad-abad Pulau
Bangka seringkali dikuasai oleh suku bangsa lain
selain penduduk asli Bangka yang memang hanya
sedikit.

Kampung penduduk asli Bangka yang pertama
adalah Kota Kapur. Kota Kapur terletak di pantai selat
Bangka yang berhadapan dengan Palembang.

50

Sriwijaya melihat posisi strategis dari Pulau Bangka,
baik dari penguasaan jalur pelayaran maupun dari segi
pertahanan negara. Penalaran semacam itu secara
geografis adalah masuk akal karena letak daerah itu
berhadapan dengan Palembang dan pelayaran dari dan
ke Palembang selalu melewati Selat Bangka. Pada
perkembangan selanjutnya Kota Kapur dikuasai
Sriwijaya.

Unsur strategis Pulau Bangka mendapat
perhatian Kerajaan Majapahit. Patih Gajah Mada
melihat arti strategis pulau ini, ia segera mengangkat
seorang “kepala,” seperti di setiap daerah lain yang
dianggap penting. Di kaki Gunung Menumbing
didirikan kampung yang dinamakan Ponggor dan
diangkat seorang Kepala kampung. Mengingat letak
daerah ini yang langsung berhadapan dengan
Palembang, maka tidak mustahil didirikannya
kampung ini untuk digunakan menjadi basis
menghadapi Sriwijaya. Kemudian Majapahit
menguasai Bangka dan juga Belitung dari tahun 1293
hingga 1520. Kekuasannya berakhir seiring dengan
runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Pada awal tahun 1600-an, untuk mengatasi
bajak laut, Sultan Johor dengan sekutunya Sultan
Minangkabau mengirim Panglimanya yaitu Tuan Sard
dan Raja Amal Harimau Garang untuk memerangi

51

bajak laut. Untuk sementara bajak laut dapat
disingkirkan.

Pada waktu itu Bangka belum dianggap sebagai
pulau yang memiliki nilai ekonomi yang pantas
diperhatikan baik oleh Majapahit, Banten, Johor,
maupun Palembang yang berturut-turut menguasainya.
Karena Sultan Johor menganggap tidak menghasilkan
apa-apa, maka pulau Bangka kemudian ditinggalkan
kembali dan Bangka kembali menjadi sarang bajak
laut.

Sultan Banten kemudian juga mengirim
pasukan untuk menyapu bersih bajak laut di Bangka.
Untuk menjaga keamanan diangkatlah Bupati
Nusantara untuk memerintah Bangka dengan pusat
kekuasaan di Bangka Kota. Karena Bupati Nusantara
telah berjasa memberantas gangguan bajak laut, maka
Sultan Banten memutuskan bahwa Bupati Nusantara
untuk selanjutnya berkuasa penuh atas Pulau Bangka,
lepas dari Banten dan diberi gelar Raja Muda.

Dari catatan sejarah pulau Bangka yang
diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa penduduk
pulau Bangka pada masa sebelum kedatangan orang
Tionghoa di sana, bukan hanya ada Orang Laut dan
Orang Gunung, tetapi juga sudah ada orang-orang
keturunan Jawa, keturunan Banten, keturunan

52

Palembang, keturunan Johor dan suku bangsa lainnya
dari kepulauan Nusantara. Penduduk asli Pulau Bangka
memang tidak banyak, maka dengan datangnya
berbagai suku dari Nusantara, penduduk Bangka
menjadi sangat heterogen.

Awal Kedatangan Imigran Tionghoa

Penambangan timah dimulai di Bangka sejak
tahun 1710. Penduduk Bangka harus meyerahkan
sebagian timah yang mereka tambang kepada Sultan
Palembang yang pada waktu itu menguasai pulau
Bangka. Selanjutnya Sultan Palembang menjual timah
tersebut kepada VOC.

Namun penambangan timah Bangka baru mulai
ditambang secara lebih teratur dan berskala besar pada
tahun 1733, pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I.
Menurut cerita rakyat Bangka, Mahmud Badaruddin
yang tadinya tersingkir ke Johor berhasil memperoleh
kembali haknya atas Kesultanan Palembang. Dalam
upayanya merebut kembali tahtanya di Palembang, ia
mendapat bantuan dari Kepala Negeri Siantan yang
bernama Wan Akup. Sebagai balas budinya, Mahmud
Badaruddin menghadiahkan tanah di Muntok (Bangka
barat laut) kepada Wan Akup. Ia juga mengangkat
Wan Akup sebagai Kepala Daerah Muntok dan
kemudian juga menjadi kepala penambangan timah di
seluruh Bangka.

53

Wan Akup adalah seorang Tionghoa
peranakan. Ayahnya bernama Lim Tau Kian yang
menikah dengan seorang perempuan Melayu. Lim Tau
Kian dahulu adalah pimpinan pemberontak terhadap
Kerajaan Manchu (Man Ching). Kerajaan Manchu
berhasil menumpas gerombolan pemberontak yang
dipimpin Lim. Lalu Lim kabur ke sebuah pulau kosong
yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Johor. Ia
mendapat perlindungan dari Sultan Johor. Ia masuk
Islam dan berganti nama menjadi Abdulhayat. Pulau
itu pun diberi nama Siantan seperti daerah asalnya di
Tiongkok Tenggara.

Di Muntok Wan Akup memperkenalkan teknik
pertambangan timah dengan sistem kolong seperti
yang diterapkan di Johor. Pada waktu itu, Johor sudah
lebih dulu menjadi penghasil timah. Wan Akup
kemudian mendatangkan saudara-saudaranya dari
Johor untuk membantu menggali timah di Muntok.
Kemudian ia banyak mendatangkan orang Tionghoa
dari tambang timah di Johor dan Patani (Muangthai).

Pada awalnya orang Tionghoa didatangkan dari
Johor (Melayu), kemudian karena semakin lama
semakin banyak tenaga kerja yang diperlukan,
mulailah didatangkan tenaga kerja Tionghoa langsung
dari Tiongkok.

54

Sampai abad ke-19 penambangan timah masih
tergantung pada usaha padat karya, maka upaya
peningkatan produksi tidak ada cara lain selain dari
penambahan tenaga kuli. Ini berarti harus lebih banyak
lagi mendatangkan kuli dari Tiongkok.

Asimilasi Imigran Tionghoa

Sejak tahun 1851 Orang Gunung mulai
mendekat ke daerah tanah pertambangan dan
berinteraksi dengan kuli parit Tionghoa. Mereka
membersihkan hutan untuk dijadikan tanah
pertambangan, mereka membuat arang untuk dijual
pada pertambangan orang Tionghoa. Mereka mulai
mendirikan kampung dekat wilayah pertambangan
orang Tionghoa. Kaum perempuannya menjual buah-
buah dan makanan kecil (snack) pada kuli tambang
Tionghoa. Bahkan kemudian ada anak perempuan
Orang Gunung yang menikah dengan kuli tambang
Tionghoa. Itulah awal dari perkawinan campuran
antara orang Tionghoa dengan pribumi, yang kemudian
diikuti dengan perkawinan campuran dengan suku
bangsa lainnya yang ada di Bangka.

Imigran Tionghoa yang datang ke Bangka
semua laki-laki bujangan tidak disertai kaum
perempuan. Mereka didatangkan dari Tiongkok
sebagai kuli kontrak untuk dipekerjakan di

55

pertambangan timah. Makin hari makin banyak kuli
tambang Tionghoa yang menikah dengan perempuan
pribumi.

Mengenai perkawinan campuran ini, dalam
buku “Bangka Tin and Mentok Pepper’, Mary Somers
Heidhues menyatakan: “all Chinese woman on Bangka
are originally descended from Malay woman”. “all the
[Chinese] woman were born on Bangka and most are
descendents of Bangkanese and Chinese”. Jadi
sebelum abad ke-20, semua perempuan Tionghoa di
Bangka adalah Tionghoa peranakan.

Perempuan Tionghoa Peranakan di Bangka

Perempuan Tionghoa peranakan yang lahir dari
perkawinan campuran pada awal zaman Hindia
Belanda nampak beda dengan perempuan totok yang
lahir di Tiongkok dan baru datang ke Hindia Belanda
pada akhir abad ke-19.

Perempuan peranakan Tionghoa pada
umumnya berambut panjang dan dikonde (disanggul)
lalu ditusuk dengan tusuk konde. Pakaiannya kain
sarung dan kebaya, perempuan Tionghoa peranakan
yang masih agak muda memakai kain sarung berwarna
cerah dan kebaya pendek sampai di atas paha, yang
kemudian terkenal sebagai kebaya encim. Tetapi

56

perempuan Tionghoa yang sudah agak tua lebih suka
memakai kain sarung berwarna gelap dan kebaya
panjang sampai sedikit di atas lutut, seperti kebaya
kurung perempuan Melayu. Sedangkan perempuan
Tionghoa totok pada waktu itu, berambut dipotong
pendek sampai sebatas leher, atau berambut panjang
yang ditaucang (dikuncir). Mereka berpakaian celana
komprang (gombrong) dan memakai baju jaket tangan
panjang, model gaya Tiongkok dengan model belahan
kancing miring seperti pakaian perempuan bangsa
Manchu (Manching) di Tiongkok. Pakaian mereka
umumnya berwarna hitam atau biru tua, kecuali pada
hari perayaan tahun baru imlek, mereka berpakaian
berwarna merah atau setidaknya berwarna cerah.

Di Bangka banyak perempuan Tionghoa
peranakan yang sudah agak tua suka mengunyah sirih.
Di samping tempat ia biasa duduk, selalu ada cipak
sirih (kotak perlengkapan menyirih). Sekali-sekali ia
mengambil selembar daun sirih, lalu diolesi kapur dan
ditaburi gambir, setelah itu ia mengacip pinang dengan
kacipnya (gunting khusus untuk membelah dan
mengiris-iris biji pinang), irisan pinang disatukan
dengan kapur dan gambir di atas daun sirih, kemudian
ia mulai mengucah daun sirih yang sudah terisi kapur,
gambir, dan pinang. Setelah selesai mengucah sirih ia
menyugi (menyelipkan tembakau yang sudah
dipulung-pulung di antara gusi dan bibirnya).

57

Mengunyah sirih bukan kebiasaan orang
Tionghoa dari propinsi Kwangtung atau Hokkian,
perempuan Tionghoa peranakan mengikuti kebiasaan
ibunya yang pribumi, yang mempunyai kebiasaan
mengucah sirih dan menyugi.

Tionghoa peranakan di Bangka, tidak hanya
mengikuti adat kebiasaan pribumi, tetapi mereka juga
masih setia menjalankan tradisi dan adat istiadat
Tionghoa. Mereka masih merayakan Ceng Beng (hari
sembahyang di makam leluhur), Pe Cun (hari makan
Ba Cang dan lomba perahu), Tiong Ciu (hari
sembahyang Dewi bulan pada tanggal 15 bulan 8
kalender Imlek sambil makan Tiong Ciu Pia (kue
bulan), Tang Ce (hari perayaan makan onde-onde),
Imlek (hari perayaan tahun baru kalender Imlek) dan
Cap Go Me (hari penutupan rangkaian tahun baru
Imlek pada tanggal 15 bulan pertama kalender Imlek).

Banyak orang Tionghoa peranakan yang
beragama Buddha dan penganut ajaran Kong Hu Cu
sering pergi bersembahyang di Kelenteng. Banyak
yang masih memakai nama Tionghoa dan berbicara
dalam bahasa campuran, bahasa Melayu Bangka yang
bercampur bahasa Hakka.

Orang Tionghoa peranakan di Bangka hidup
dalam dua kebudayaan, kebudayaan Tionghoa dan

58

kebudayaan Melayu. Mereka berbaur dengan Tionghoa
totok dan orang-orang Melayu pribumi Bangka dengan
sangat akrab dan harmonis. Kebudayaan Tionghoa
peranakan di Bangka, sudah tercampur baur dan
mereka sudah terasimilasi.

Begitu menyatunya kebudayaan Tionghoa
dengan kebudayaan Melayu di Bangka dan begitu
lekatnya pergaulan antara etnis Tionghoa dengan etnis
Melayu Bangka, sehingga cukup banyak etnis Melayu
Bangka yang bisa bicara bahasa Hakka, dan orang-
orang Tionghoa di Bangka sering menyatakan, “Thong
Nyin Fan Nyin Jit Jong” yang artinya orang Tionghoa
atau orang Melayu sama saja.

Di Sumatera Utara Tidak Terjadi Asimilasi

Pada zaman Hindia Belanda, Sumatera Utara
mempunyai komunitas Tionghoa yang paling besar di
luar Jawa. Menurut sensus 1905, Sumatera Utara
berpenduduk keturunan Tionghoa sejumlah 99.000
orang. Kemudian menurut sensus 1930, Sumatera
Utara berpenduduk keturunan Tionghoa sejumlah
193.000 orang.

Sebelum abad ke-19 peranan orang Tionghoa di
Sumatera terpusat di Sumatera bagian Selatan.
Sriwijaya adalah tempat singgah peziarah penganut

59

agama Buddha dari Tiongkok yang akan menuju ke
India untuk mendalami agama Buddha. Kemudian
pada abad ke-7 sampai abad ke-12, Palembang menjadi
bandar penting penampung ekspor Asia Tenggara ke
Tiongkok.

Pada abad ke-17, kapal-kapal dari Tiongkok
merupakan pembeli paling penting bagi lada Sumatera
Selatan. Waktu itu sudah semakin banyak orang
Tionghoa menetap di Palembang dan Jambi.

Sampai dengan abad ke-17 sangat sedikit orang
Tionghoa yang bermukim di Sumatera bagian utara.
Pada waktu itu bagian timur Sumatera Utara masih
dikuasai oleh Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Thani
(1637-1641) yang sangat taat beragama Islam, dengan
tegas melarang orang Tionghoa masuk ke wilayah
yang berada di bawah kekuasaannya, karena orang
Tionghoa tidak mau berpisah dengan ternak babinya.

Pada tahun 1863, Jacob Nienhuys, seorang
berkebangsaan Belanda datang ke Sumatera Timur. Ia
mengontrak lahan dari Sultan Deli untuk membuka
perkebunan tembakau. Pada waktu itu di Deli cuma
ada sekitar 20 orang Tionghoa, sebagian dari mereka
adalah pandai emas dan pedagang kecil. Sedangkan
orang Batak maupun orang Melayu tidak cocok untuk
bekerja sebagai kuli untuk merawat tanaman tembakau.

60

Maka pada tahun 1865 Nienhuys membawa 88 orang
Tionghoa dari pulau Penang untuk menjadi kuli
kontrak di perkebunan tembakau di Deli.

Sukses Neinhuys berkebun tembakau membuat
modal mengalir dengan cepat ke wilayah Deli,
Serdang, dan Langkat. Mereka semua membuka
perkebunan tembakau mengikuti jejak Nienhuys.
Semua perusahaan itu menggunakan orang Tionghoa
untuk merawat tanaman tembakau, sedangkan orang
India, Melayu, dan Batak cuma dipekerjakan untuk
pekerjaan yang lebih rutin.

Perkebunan Deli Maatschappij membawa 900
orang Tionghoa dari Penang ketika memulai operasi
pada 1867, kemudian didatangkan lebih dari 4000
orang Tionghoa dari propinsi Hokkian di Tiongkok
Tenggara pada 1878. Setiap tahun sepanjang 1870 dan
1880-an, ribuan kuli Tionghoa dibawa dari propinsi
Hokkian ke Sumatera Utara untuk dijadikan kuli
kontrak di perkebunan tembakau.

Banyak orang Tionghoa yang menjadi kuli
kontrak akhirnya menetap di Sumatera Utara setelah
kontrak kerja selesai. Pada tahun 1881 hanya 2101
orang yang meninggalkan Sumatera Utara setelah
kontrak kerja selesai, sedangkan kuli kontrak yang

61

datang ke Sumatera Utara pada tahun sebelumnya ada
sekitar 8000 orang.

Antara tahun 1888 dan 1931 ada sejumlah
305.000 orang Tionghoa mendarat di Pelabuhan
Belawan untuk bekerja sebagai kuli kontrak di
perkebunan. Akan tetapi, tidak semua orang Tionghoa
yang sudah bebas dari kontrak meninggalkan Sumatera
Utara.

Setelah masa kontraknya usai, memang ada
sebagian kuli kontrak memilih kembali ke Tiongkok,
tetapi sebagian besar tetap bekerja di perkebunan
sebagai tenaga kerja bebas atau mencoba peruntungan
dengan bercocok tanam di tanah-tanah jalur yang
disewa dari orang Melayu di sekitar perkebunan.

Orang Tionghoa bekas kuli kontrak cenderung
tidak langsung melepaskan diri dari perkebunan.
Sebaliknya “Tionghoa bebas” (Imigran Tionghoa yang
tidak pernah terikat kontrak dengan perkebunan) yang
datang ke Sumatera Utara sebagai perantau
perseorangan atau kelompok-kelompok kecil, lebih
suka bergelut dengan dinamika ekonomi perkotaan
dengan bekerja sebagai pedagang, penjaga toko,
penjajah barang atau mengabdikan diri kepada
pemimpin Tionghoa sebagai pegawai atau bekerja di
perusahaan para pengusaha Tionghoa.

62

Antara kedua kelompok orang Tionghoa ini,
“Tionghoa bekas kuli kontrak” dan “Tionghoa bebas”
ada satu persamaan yakni akhirnya mereka memilih
pindah ke kota, menetap, dan mengembangkan usaha
sendiri di kota-kota sekitar perkebunan dan kemudian
mereka dikenal dengan sebutan “Cina Medan”.

Menjelang tahun 1911, seiring dengan
runtuhnya Dinasti Manchu (Dinasti Ching) dan
lahirnya kelompok nasionalis di Tiongkok, pada
tanggal 1 Januari 1912 diproklamirkan negara
Republik Tiongkok. Sejak waktu itu, peta politik di
Tiongkok dan Asia Tenggara mulai berubah. Pada
waktu itu terjadi persebaran ide-ide kelompok
nasionalis Tiongkok yang menyusup di antara
perkumpulan orang Tionghoa di perantauan.

Pergolakan politik di Tiongkok membawa
perubahan besar bagi perkembangan orang Tionghoa
di Hindia Belanda. Secara bertahap pemerintah Hindia
Belanda memberikan perhatikan khusus pada
masyarakat Tionghoa. Langkah pertama dimulai
dengan membubarkan sistem wijkenstelsel pada tahun
1928, dengan harapan ketergantungan warga Tionghoa
pada pemimpin kelompok berkurang. Tetapi di
Sumatera Utara kenyataannya tidak seperti yang
diharapkan pemerintah Hindia Belanda. Pada
kelompok-kelompok Tionghoa totok malah

63

berlangsung transformasi politik dan penguatan
jaringan politik dan ekonomi yang berorientasi ke
Tiongkok. Pemimpin warga Tionghoa beralih dari
Mayor, Kapitan, dan Letnan Tionghoa, opsir
pemerintah Hindia Belanda ke pemimpin-pemimpin
organisasi yang berorientasi ke Tiongkok, seperti
Chung Hoa Chung Hwe (CHCH) dan lain-lain.

Pasca pembubaran wijkenstelsel, orientasi
politik orang Tionghoa makin terpecah-belah dan
kesadaran kelompok makin menguat. Perbedaan
golongan Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok
semakin jelas dan tak terkendali. Kelompok Tionghoa
peranakan mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwe
Koan (THHK) dan Tionghoa totok mendirikan
perkumpulan Chung Hoa Chung Hwe (CHCH).
Kemudian orang-orang Tionghoa berpendidikan
Belanda mendirikan perkumpulan Chung Hoa Hwe
(CHH).

Setelah penghapusan wijkenstelsel, golongan
Tionghoa di Medan membentuk CHCH (Perkumpulan
Orang Tionghoa di Perantauan). Hampir semua orang
Tionghoa di Sumatera Utara menjadi anggota CHCH,
maka peran para opsir Tionghoa yang diangkat oleh
pemerintah Hindia Belanda diganti oleh para
pemimpin CHCH yang berorientasi ke Tiongkok.

64

CHCH sangat berperan dalam kehidupan
masyarakat Tionghoa di perkotaan, karena CHCH
mempunyai struktur organisasi yang terpusat dan
manajemen organisasinya sangat rapi dan baik. Maka
perkumpulan CHCH berhasil menghubungkan
masyarakat Tionghoa yang berorientasi ke Tiongkok di
Sumatera Utara dengan masyarakat Tionghoa yang
sealiran di kota-kota lainnya di Hindia Belanda.

Komposisi Tionghoa totok yang besar di
Sumatera Utara memungkinkan kebudayaan Tionghoa
di Sumatera Utara berkembang dengan baik.
Tambahan lagi, orang-orang Tionghoa di Sumatera
Utara cenderung untuk menikah dengan sesama
Tionghoa totok. Banyak Tionghoa totok di Sumatera
Utara mengambil istri orang-orang Tionghoa totok dari
Singapura atau Penang. Pada waktu itu pelayaran
sudah sangat lancar dan nyaman sehingga dengan
sangat mudah orang Tionghoa dari Sumatera Utara,
mendapatkan istri dari Singapura atau Penang. Karena
tidak banyak terjadi perkawinan campuran, maka
kemurnian kebudayaan Tionghoa di Sumatera Utara
tetap terjaga.

65

Orang Tionghoa di Sumatera Utara Tidak
Berasimilasi

Orang Tionghoa di Sumatera Utara yang
berbaur dengan penduduk pribumi hanya sedikit. Dapat
dikatakan nyaris tidak terjadi perkawinan campuran
antara orang Tionghoa dengan penduduk pribumi.
Adapun sebabnya adalah:

1. Orang Tionghoa mulai datang ke Sumatera
Utara pada akhir abad ke-19 dan pada waktu itu
pemerintah Hindia Belanda sudah menetapkan
politik segregasi. Orang-orang Tionghoa tidak
bermukim bersama-sama dalam satu kampung
dengan orang-orang pribumi. Wijkenstelsel
sudah berlaku, orang Tionghoa bermukim
dengan sesamanya dalam satu wijk (lorong)
tertentu yang dipimpin oleh seorang
wijkmeester (rukun tetangga) bangsa Tionghoa.
Lorong-lorong itu berada dalam kampung
Tionghoa yang terpisah dari perkampungan
orang-orang pribumi. Wijkmeester dikoordinir
oleh Kapitan Tionghoa.

2. Orang Tionghoa di Sumatera Utara mula-mula
didatangkan dari Semenanjung Melayu dan
belakangan baru didatangkan dari Hokkian di
Tiongkok bagian Tenggara. Mereka

66

didatangkan oleh pemilik perkebunan tembakau
dalam jumlah besar untuk dipekerjakan sebagai
kuli kontrak di perkebuan tembakau. Karena
mereka didatangkan dalam kelompok besar dan
mereka datang untuk bekerja di perkebunan
tembakau milik pengusaha perkebunan bangsa
Belanda, maka mereka hanya berbaur dengan
sesama orang-orang Tionghoa yang bekerja
dalam perkebunan itu dan mereka tidak berbaur
dengan penduduk pribumi di luar perkebunan
itu.
3. Pedagang Tionghoa di Sumatera Utara pada
awal abad ke-20berada pada waktu pelayaran
dengan kapal uap sudah sangat lancar dan
nyaman, sehingga banyak imigran Tionghoa
yang datang ke Sumatera Utara bersama-sama
istri dan anak-anaknya. Pada awal abad ke-20
banyak kuli kontrak yang sudah bebas
mendatangkan perempuan Tionghoa dari
Singapura atau Penang untuk dijadikan sebagai
istri. Maka tidak banyak orang Tionghoa di
Sumatera Utara yang menikah dengan
penduduk pribumi. Hampir semua orang
Tionghoa menikah dengan sesama orang
Tionghoa. Maka mereka masih tetap berbicara
dengan bahasa Hokkian di dalam keluarga
maupun di dalam komunitasnya. Maka di
Sumatera Utara bahasa Hokkian masih tetap

67

langgeng dan menjadi bahasa sehari-hari di

kalangan orang-orang Tionghoa.

4. Karena orang Tionghoa datang ke Sumatera

Utara dikontrak oleh pemilik perkebunan

tembakau untuk dijadikan kuli di

perkebunannya, mereka diberikan fasilitas

perumahan di dalam perkebunan sehingga

mereka tidak bertempat tinggal di

perkampungan orang-orang pribumi bersama-

sama dengan orang-orang pribumi. Mereka

dilarang keluar dari wilayah perkebunan tempat

mereka bekerja. Bila mereka keluar dari

perkebunan tanpa izin administratur

perkebunan, mereka dapat dihukum

berdasarkan undang-undang “Koelie

Ordonansi.” Maka di Sumatera Utara jarang

sekali terjadi kawin campur antara orang

Tionghoa dengan perempuan pribumi seperti di

Jawa. Karena tidak banyak terjadi perkawinan

campuran, maka kebudayaan Tionghoa masih

tetap bertahan secara murni di dalam keluarga

Tionghoa di Sumatera Utara.

5. Dalam keluarga Tionghoa di Sumatera Utara,

mereka masih tetap bicara dengan bahasa

Hokkian. Karena mereka jarang berhubungan

dengan masyarakat pribumi, maka mereka

kesulitan berbicara dalam bahasa Melayu atau

bahasa Indonesia. Mereka hanya dapat

68

berbicara dalam bahasa Hokkian atau bahasa
Tionghoa, sehingga mereka sulit berkomunikasi
dengan orang Melayu, orang Batak, dan
penduduk pribumi lainnya.

Orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara

tidak berkomunikasi dan berinteraksi dengan

penduduk pribumi; mereka sangat ekslusif. Mereka

sangat kuat mempertahankan kemurnian

kebudayaan Tionghoa, maka tidak terjadi

percampuran budaya antara kebudayaan Tionghoa

dengan kebudayaan Melayu atau kebudayaan Batak

di Sumatera Utara. Maka dapat dikatakan, tidak

terjadi asimilasi di Sumatera Utara.

Di Kalimantan Barat Orang Dayak Terlebur Jadi
Tionghoa

Pada permulaan tahun 1740, Panembahan
Mempawah, Sultan Sambas memutuskan untuk
mendatangkan para pekerja Tionghoa untuk
menambang emas di Kalimantan Barat. Emas sudah
ditemukan di Kalimantan Barat sejak berabad-abad
lalu. Di sana semua penduduk melakukan kegiatan
menambang emas, namun kegiatan ini biasanya
dianggap sebagai pekerjaan yang sederhana dan
mudah, padahal tidaklah demikian kenyataannya.
Orang Tionghoa sudah jauh melampaui mereka dalam

69

usaha penambangan. Orang Tionghoa melakukan
penambangan dengan penuh ketekunan dan ketelitian.
Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja
Tionghoa menghasilkan emas lebih banyak dari
penambangan yang mempergunakan metode tidak
beraturan dari penambang pribumi.

Penduduk pribumi hanya menambang emas
ketika pekerjaan pertanian, penangkapan ikan,
perburuan binatang liar, dan pengumpulan hasil hutan
sedang tidak memakan waktu mereka. Sebaliknya
orang Tionghoa menambang dalam kelompok besar.
Mereka menggunakan mesin-mesin sederhana dalam
rangka skala besar, sehingga memungkinkan mereka
melakukan pengoperasian penambangan secara lebih
terus-menerus. Mereka membentuk organisasi yang
rapi yang mereka namakan “Kongsi” (Persekutuan
Dagang).

Para penguasa Melayu berharap peningkatan
produksi emas yang dihasilkan oleh para penambang
Tionghoa akan memberi keuntungan bagi mereka.
Mereka mendorong kedatangan lebih banyak imigran
Tionghoa ke Kalimanta Barat dan berencana
memperlakukan orang Tionghoa sama dengan cara
mereka memperlakukan orang Dayak di daerah hulu.

70

Antara tahun 1760-1770, orang Tionghoa
datang secara besar-besaran ke Kalimantan Barat.
Mereka dipekerjakan oleh Sultan Sambas sebagai
penambang emas. Lama sebelumnya sudah ada orang
Tionghoa datang ke Kalimantan Barat dalam kelompok
kecil. Mereka membuka lahan pertanian yang luas,
menanam lada dan berkebun sayur-mayur. Ketika
orang Tionghoa mulai membangun tempat
pemukimannya, belum ada pemukiman yang luas di
Kalimantan Barat. Jadi orang Tionghoa dapat
dikatakan sebagai “pionir” yang membangun desa-desa
di Kalimanta Barat. Mereka datang tidak membawa
istri, dan kemudian mereka menikah dengan
perempuan suku Dayak.

“Pionir” yang pertama kali datang ke
Kalimantan Barat adalah orang-orang suku Hakka.
Suku Hakka merupakan kelompok dialek dari
Tiongkok bagian Tenggara. Penutur dalam bahasa
Hakka kebanyakan tinggal di provinsi Kwangtung
dekat perbatasan provinsi Hokkian. Menurut cerita dari
sejarah Tiongkok, orang Hakka dipaksa keluar dari
kampung halamannya di bagian utara Tiongkok oleh
serangan suku Barbar pada masa Dinasti Sung (960-
1279 M). Hal ini membuat mereka pindah ke arah
selatan. Ketika tiba di daerah Tenggara yang padat
penduduknya, mereka menetap di dataran yang lebih
tinggi mengais nafkah dari tanah yang kurang subur,

71

suatu hal yang menjadikan mereka sebagai pekerja
keras.

Sebagai pendatang di wilayah Kwangtung,
orang Hakka biasanya menetap di daerah-daerah
pertanian dan pertambangan, jarang berada di kota-
kota, sehingga mereka mendapat julukan “pionir”.
Sebagai pendatang di Kwangtung, mereka tersingkir
dan menetap di daerah pinggiran yang jarang
penduduknya. Mereka harus hidup di wilayah
kelompok-kelompok suku minoritas bukan suku Han
di wilayah pegunungan. Di sana suku minoritas yang
penting adalah kelompok suku She. Orang Hakka
menyunting perempuan She sebagai istri, melibatkan
mereka dalam kehidupan Hakka, dan memakai bantuan
orang suku She untuk membuka hutan-hutan
pegunungan untuk bercocok tanam. Interaksi ini
menunjukkan bahwa orang Hakka tidak terlalu
tertutup, mengingat mereka terbukti sanggup bekerja
sama dengan kelompok minoritas yang mereka temui
di pegunungan Kwangtung.

Pola serupa juga membentuk hubungan orang
Hakka dengan orang Dayak yang tinggal di pedalaman
Kalimantan Barat. Mereka menikahi perempuan
Dayak, dan menyatukan istri serta keluarganya ke
dalam kebudayaan Hakka. Mereka menggunakan
keahlian orang Dayak untuk membantu membersihkan

72

area tambang dari pohon dan belukar, sama halnya
seperti ketika mereka bekerja sama dengan orang suku
She di tanah leluhurnya di Tiongkok. Mereka
menyesuaikan pemukiman mereka dengan lingkungan
lokal, mempergunakan kayu sebagai bahan bangunan
dan nipah atau sirap dari kayu besi sebagai atap.
Sesekali mereka menerapkan tata cara pertanian
setempat. Kemampuan orang Hakka berinteraksi
dengan orang non-Tionghoa juga merupakan kelebihan
mereka ketika mereka berkelana ke daerah pedalaman
Kalimantan Barat.

Orang suku Hakka jarang ada yang meleburkan
diri (beramalgamasi) “menjadi dayak.” Perkawinan
antara laki-laki Hakka dengan perempuan Dayak
menjadikan para istri tersebut (perempuan Dayak)
“menjadi Tionghoa.” Istri-istri ini mengenakan pakaian
Tionghoa dan membesarkan anak-anak mereka sebagai
orang Tionghoa. Para laki-laki Tionghoa yang
menyunting perempuan suku Dayak, biasanya
menempatkan seluruh keluarga dari pihak istri “di
bawah perlindungan mereka”. Hubungan ini ikut
mendorong orang Dayak yang hidup dalam keluarga
Tionghoa belajar bicara bahasa Hakka dan pelan-pelan
menerapkan hidupnya dalam adat istiadat Tionghoa.
Mereka meleburkan diri ke dalam kebudayaan
Tionghoa.

73

Dalam komunitas tambang pada abad ke-19,
sekilas dapat dikatakan semua perempuan Tionghoa
merupakan keturunan campuran atau perempuan
Dayak yang sudah terlebur menjadi Tionghoa. Mereka
memakai gaun Tionghoa, celana katun biru hingga ke
bawah lutut dengan jaket senada dengan kancing perak
di sisinya, sepasang selop kulit dengan sol kayu yang
tebal melengkapi pakaian mereka. Berbeda dengan
perempuan Tionghoa dari daerah lain di Hindia
Belanda yang dipingit, perempuan campuran Hakka-
Dayak memiliki kebebasan untuk melihat dan dilihat
oleh orang asing, bahkan menurut beberapa “penulis”,
mereka tidak pemalu sama sekali. Tambahan lagi,
mereka merupakan aset perdagangan bagi
pasangannya, paling tidak bagi mereka yang
berdagang, karena para istri tersebut bisa menjaga toko
saat suami mereka melakukan kegiatan lain. Para
perempuan Hakka-Dayak juga terpantau pergi
menyaring sisa-sisa pasir yang mengandung emas
dengan memakai celana dan jaket biru tua, dan kain
kepala berwarna merah di bawah topi tambang mereka.
Mereka pergi menuju tambang membawa dulang
(loyang berbentuk wajan untuk mencuci emas) sambil
menyanyikan “lagu-lagu pegunungan”, suatu hal yang
khas kebiasaan orang Hakka. Walaupun mereka bukan
“murni” keturunan Tionghoa, secara budaya mereka
sudah teramalgamasi (terlebur) menjadi etnis
Tionghoa.

74

Perkawinan campuran antara orang Hakka
dengan perempuan Dayak, tidak mengakibatkan
terjadinya percampuran kebudayaan seperti di Jawa.
Yang terjadi adalah perempuan Dayak yang menikah
dengan laki-laki Tionghoa di Kalimantan Barat
mengikuti suaminya menjalankan tradisi dan adat
istiadat Tionghoa yang sangat murni tanpa sedikit pun
tercampur dengan tradisi dan adat istiadat Dayak.
Maka di Kalimantan Barat tidak terjadi asimilasi
budaya, yang terjadi adalah amalgamasi perempuan
Dayak ke dalam kebudayaan Tionghoa. Di Kalimantan
Barat, perempuan Dayak yang menikah dengan laki-
laki Tionghoa sudah terlebur (teramalgamasi) menjadi
etnis Tionghoa sub-suku Hakka.

75

BAB V

PELEBURAN ETNIS
TIONGHOA JADI PRIBUMI

Pada awal kedatangan orang Tionghoa di Jawa,
mereka beradaptasi, berkomunikasi, dan berinteraksi
sangat akrab dengan penduduk Jawa. Kemudian
mereka menikah dengan perempuan Jawa dan
melahirkan anak-anak Tionghoa peranakan.

Tionghoa peranakan berbaur dengan penduduk
Jawa. Mereka berkebudayaan Tionghoa mengikuti
kebudayaan ayahnya, tetapi mereka juga
berkebudayaan Jawa mengikuti kebudayaan ibunya,
mereka hidup dalam dua kebudayaan. Mereka hidup
dalam kebudayaan campuran yakni kebudayaan
Tionghoa-Jawa atau disebut juga kebudayaan
Tionghoa peranakan.

Tionghoa peranakan yang sudah hidup dalam
kebudayaan Tionghoa peranakan dapat dikatakan
sudah berasimilasi, karena proses asimilasi adalah
suatu proses sosial yang timbul apabila terdapat
kelompok-kelompok manusia dengan suatu latar

76

belakang budaya yang berbeda, saling bergaul
langsung secara intensif serta dalam waktu yang lama.
Dalam pertemuan budaya-budaya antarkelompok itu
masing-masing budaya berubah watak khasnya dan
unsur-unsur kebudayaannya saling berubah sehingga
memunculkan suatu watak kebudayaan yang baru,
yakni kebudayaan campuran.

Proses asimilasi terus berlanjut, kemudian
sebagian dari Tionghoa peranakan semakin
meleburkan diri masuk ke dalam kebudayaan pribumi
dan akhirnya meninggalkan tradisi, adat istiadat, dan
kebiasaan-kebiasaan leluhurnya, yakni kebudayaan
Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
menjalankan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan orang Jawa, mereka hidup seperti orang
Jawa. Walaupun mereka adalah orang-orang keturunan
Tionghoa, tetapi karena mereka sudah melepaskan
tradisi dan adat istiadat Tionghoa, maka mereka sudah
tidak dapat disebut sebagai etnis Tionghoa. Mereka
sudah menjadi etnis Jawa melalui proses peleburan
(opplosing, amalgamasi). Mereka sudah jadi orang
Jawa.

Dalam hukum pemerintahan Hindia Belanda,
pada pasal 163 ayat 3 IS (Indiesche Staatsregeling)
dinyatakan: “Melalui peleburan (opplosing,
amalgamasi) seorang yang semula tergolong dalam

77

golongan rakyat bukan pribumi (non-pribumi) berubah
menjadi golongan pribumi.” Tidak sedikit orang-orang
keturunan Tionghoa yang sudah melakukan peleburan
(opplosing, amalgamasi) berubah statusnya menjadi
golongan pribumi.

Peleburan Orang Tionghoa di Palembang

Pada awal abad ke-15, dalam pelayaran
muhibah Laksamana Cheng Ho ke Nan Yang (Asia
Tenggara), ia berkali-kali singgah di Nusantara. Pada
salah satu pelayarannya ke perairan Nusantara, ia
mendapat perintah dari Kaisar Dinasti Ming untuk
mencari Pangeran Hui Ti yang disingkirkan dari takhta
kerajaan oleh Kaisar.

Kaisar khawatir Pangeran Hui Ti yang
diperkirakan bersembunyi di salah satu wilayah di Asia
Tenggara, sedang menyusun kekuatan untuk kembali
ke Tiongkok dan merebut kembali takhta kerajaan.

Dalam pencarian ini Cheng Ho bertemu dengan
bajak laut yang dipimpin oleh Pangeran Hui Ti yang
bermarkas di sekitar perairan Palembang. Bajak laut itu
dapat dikalahkan. Pemimpin bajak laut (Pangeran Hui
Ti) ditawan dan dibawa kembali ke Tiongkok untuk
diserahkan kepada kaisar untuk dihukum mati.

78

Anak buah bajak laut Hui Ti yang tidak
tertangkap melarikan diri dan masuk hutan di sekitar
Palembang. Mereka tidak berani keluar lagi, mereka
membaur lalu meleburkan diri dengan penduduk
setempat. Mereka meninggalkan jati dirinya sebagai
orang Tionghoa, dan selanjutnya menjadi terlebur ke
dalam komunitas pribumi Palembang dan menjadi
orang pribumi Melayu Palembang.

Maka tidak heran apabila kita banyak
menjumpai orang Palembang yang kulitnya berwarna
kuning langsat dan wajahnya mirip orang Tionghoa.
Mereka memang bukan etnis Tionghoa, tetapi mereka
adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah
terlebur (teramalgamasi) menjadi pribumi Palembang.

Peleburan Muslim Tionghoa di Jawa

Beberapa tokoh islam berpendapat bahwa
ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Asia Tenggara
selain bertujuan menjalin persahabatan dan
mengembangkan perdagangan juga mempunyai
“hidden agenda” untuk menyebarkan agama Islam di
Asia Tenggara. Hal ini disimpulkan dari kenyataan
bahwa Cheng Ho banyak menempatkan duta dan
konsul Muslim Tionghoa di setiap wilayah yang
dikunjunginya.

79

Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta di
Campa (Kamboja). Gan Eng Cu mula-mula
ditempatkan di Manila, kemudian dipindah ke Tuban
sebagai konsul bagian Asia Selatan. Pada tahun 1447
Gan Eng Cu mengangkat menantunya, Bong Swee
Hoo (cucu Bong Tak Keng dari Campa) sebagai
kapitan muslim Tionghoa di Bangil.

Dalam buku “Arus Cina-Islam-Jawa,” Sumanto
Al Qurtuby menyatakan, “Sepanjang pengetahuan
penulis, sejauh ini belum ada karya ilmiah yang
mengulas secara intensif dan komprehensif tentang
peran Cina dalam islamisasi Jawa.”

Pada kata pengantar buku “Arus Cina-Islam-
Jawa”, Prof.Dr. Nurcholis Madjid menyatakan,
“Sebenarnya sudah lama dicoba dipahami termasuk
oleh ulama pujangga legendaris, Buya Hamka, apa
sebenarnya peran negeri dan bangsa Cina dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Sudah banyak yang
menduga dan meyakini bahwa Wali Jawa (Wali Songo)
adalah keturunan Cina, paling tidak sebagian dari
mereka.”

Silsilah Wali Songo

Penelusuran silsilah Wali Songo harus dimulai
dari Bong Tak Keng. Pada tahun 1419 Laksamana

80

Cheng Ho menempatkan Bong Tak Keng di Campa
(Kamboja) untuk memimpin muslim Tionghoa yang
sedang berkembang pesat di kota-kota pesisir seluruh
Asia Tenggara.

Kemudian Bong Tak Keng menempatkan Gan
Eng Cu di Manila untuk memimpin muslim Tionghoa
di Filipina. Pada tahun 1423 Gan Eng Cu dipindah dari
Manila ke Tuban untuk memimpin muslim Tionghoa
yang sedang berkembang di pulau Jawa. Pada waktu
itu Tuban adalah pelabuhan utama Kerajaan Majapahit.
Bagi Kerajaan Majapahit Gan Eng Cu dijadikan
semacam “kapitan Cina Islam” di Tuban. Di Jawa ia
dikenal sebagai Aria Teja, Adipati Tuban.

Pada tahun 1445, Bong Tak Keng menitipkan
cucunya, yang bernama Bong Swee Hoo untuk
diperbantukan pada Swan Liong (Ario Damar), kapitan
muslim Tionghoa di Palembang. Tahun itu juga Bong
Swee Hoo sudah dipercaya oleh Swan Liong pergi
menghadap Gan Eng Cu, supaya ditempatkan menjadi
salah satu kapitan muslim Tionghoa di Jawa.

Pada tahun 1447, Bong Swee Hoo (Raden
Rachmat) menikah dengan putri Gan Eng Cu yang
bernama Nyi Ageng Manila dan kemudian Gan Eng
Cu menempatkan menantunya (Bong Swee Hoo)
menjadi kapitan muslim Tionghoa di Bangil.

81


Click to View FlipBook Version